POLICY BRIEF :
INOVASI TATA KELOLA TEKNOLOGI UPRATING MENDUKUNG PENYEDIAAN AIR MINUM
FX. Hermawan K. Adji Krisbandono Alia Rainy D. Masmian Mahida Dica Erly Andjarwati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan 1 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Policy Brief : Inovasi Tata Kelola Teknologi Uprating Mendukung Penyediaan Air Minum Penulis : FX. Hermawan K. Adji Krisbandono Alia Rainy D. Masmian Mahida Dica Erly A. ISBN : 978-602-0811-05-5 Editor: Adji Krisbandono Layout dan design: Tomi Hendratno Penerbit: Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Redaksi : Gedung Heritage Lt.3 Jl.Pattimura No.20 Kebayoran Baru 12110 Jakarta Selatan Cetakan pertama, Desember 2015 ©Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas taufik dan hidayah-Nya sehingga penyusunan buku Policy Brief berjudul Inovasi Tata Kelola Teknologi Uprating Mendukung Penyediaan Air Minum oleh Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi telah terlaksana dengan baik. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan, pengkajian kebijakan dan strategi pengembangan infrastruktur serta penerapan teknologi hasil penelitian dan pengembangan bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Penulisan buku Policy Briefini dilatarbelakangi pemanfaatan teknologi yang perlu dimaksimalkan untuk mendukung target pencapaian 100% akses air minum di Indonesia pada tahun 2019. Dalam buku policy brief ini diusulkan beberapa skema yang mendukung tata kelola teknologi, salah satunya adalah dengan menggunakan teknologi Uprating yang dibiayai melalui skemaRegional Infrastructure Development Fund (RIDF). Akhirnya, kami mengucapkan selamat dan terima kasih kepada Tim Penyusun yang telah merumuskan buku Policy Brief ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi para user dalam mengakselerasi target pencapaian 100% akses air minum pada tahun 2019.
Jakarta, Desember 2015 Ir.Bobby Prabowo, CES Kepala Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
ii
RINGKASAN
D
alam rangka peningkatan pelayanan air minum, perlu dilakukan pengembangan sistem penyediaan air minum melalui inovasi teknologi untuk meningkatkan sistem fisik (teknik) dan non fisik (tata kelola).Ini dimaksudkan agar upaya penyediaan air minum dilaksanakan guna mencapai target akses air minum 100% pada tahun 2019.
Kelayakan Teknologi Uprating dan Kewajiban Penurunan NRW Teknologi Upratingyang sedang dikembangkan oleh Puslitbang Perumahan dan Permukiman bersama PT. Tekno Mas Tirta layak digunakan untuk meningkatkan kapasitas IPA. Teknologi ini sudah proven di beberapa lokasi PDAM. Beberapa keunggulannya antara lain : menghemat biaya pembangunan sampai dengan 50%, lahan yang diperlukan yang juga hanya 50%, hingga berdampak pada penghematan biaya OP. Tidak hanya itu, teknologi ini juga bisa memberikan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi lokal dengan membuka lapangan pekerjaan baru (melalui kerjasama dengan SMK lokal setempat sebagai calon tenaga operator). Beberapa hal yang bisa direkomendasikan untuk pengembangan tata kelola teknologi Uprating (secara khusus) dan penyediaan air minum (secara umum) adalah :
Terbuka peluang produksi dan industrialisasi teknologi Upratinguntuk memberikan layanan air minum berkualitas.
Sistem jaringan perpipaan dan distribusi (termasuk kualitas pipa yang tergolong “food grade”, dukungan teknologi informasi untuk meningkatkan layanan pelanggan dan memantau kebocoran, dsb.) sebagaimana telah dipraktikkan PT. Aetra Air Tangerang harus ditangkap para produsen teknologi dalam negeri, termasuk Puslitbang Perumahan dan Permukiman untuk menyediakan teknologi yang lebih kompetitif. Hal ini juga dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap produk asing.
Agar upaya peningkatan kinerja di sistem IPA berjalan dengan optimal, harus ditetapkan batas maksimum NRW melalui kerangka regulasi yang tegas. PDAM diberi kewajiban untuk menurunkan NRW. Pemberlakuan sanksi yang tegas, melibatkan aparat penegak hukum, menjalin MoU untuk bersama-sama berkomitmen menurunkan NRW, memahami bahwa NRW jangan hanya menjadi tugas operator, tetapi merupakan tugas negara, merupakan upaya yang harus dilakukan seluruh stakeholder.
Possible Financing Schemes Ditengah-tengah funding gap yang dialami pemerintah (dan pemerintah daerah), banyak skema pembiayaan dapat membantu mengakselerasi target capaian 100% akses air minum, diantaranya :
Kerjasama dengan swasta atau BUMN/BUMD. Best practice dari Ofwats, JWWA, dan PT. AAT hendaknya menjadi inspirasi untuk tidak menutup peran swasta dalam iii
penyelenggaraan SPAM.Pemerintah bertugas melindungi hak publik dengan memperketat regulasi untuk pengawasan dan memberlakukan SPM (Standar Pelayanan Minimal) agar swasta atau BUMN/BUMD comply terhadap aturan yang ada.
Jikamemungkinkanketerlibatan swasta sebaiknya di seluruh proses, tidak hanya terbatas pada Unit Air Baku atau Unit Produksi saja. Hal ini terutama bagi PDAM yang terkategori “sakit” atau “kurang sehat”. Keterlibatan swasta secara penuh ini juga untuk memudahkan penyusunan rencana bisnis. Pemerintah/Pemda harus menciptakan iklim investasi yang kondusif agar risiko-risiko terkait investasi (termasuk political risk) dapat ditekan supaya swasta juga dapat terlibat di Unit Distribusi dan Pelayanan.
Regional Infrastructure Development Fund (RIDF) menjadi salah satu skema yang cukup menarik dan dapat dimanfaatkan oleh Pemda. Selain itu, perlu koordinasi dan komunikasi yang intensif (disertai kemudahan perizinan dari Pemda) agar dukungan penjaminandari PT. PII untuk proyek-proyek SPAM dapat dilakukan.
Bantuan stimulan dari dana APBN cq. Ditjen CK dapat dimanfaatkan Pemda/PDAM untuk berinvestasi di Unit Distribusi dan Pelayanan. Namun yang perlu dicatat disini adalah harus adanya kontribusi dana dari APBD Provinsi dan APBD Kab/Kota.
Masuknya CSR dalam pembiayaan SPAM juga sangat dimungkinkan. Jika PDAM hendak menggunakan dana CSR, sebaiknya proposal yang disusun dipersiapkan dengan baik
Prasyarat Tata Kelola dan The Way Forward
Kuantitas, kualitas, dan kontinuitas air baku menjadi prasyarat keberhasilan kinerja SPAM. SIPA harus di-manage secara profesional. SIPA juga sebaiknya tidak hanya berlaku 2 – 5 tahun. Untuk kasus proyek SPAM yang dibiayai swasta melalui skema BOT (Build Operate Transfer), BBWS atau pengelola WS harus menjamin kuantitas, kualitas, dan kontinuitas air baku yang diterbitkan dalam SIPA selama masa konsesi.
Kebijakan pendayagunaan sumberdaya air yang salah satunya digunakan untuk air minum harus dibarengi dengan kebijakan pengendalian eksploitasi air tanah. Untuk itu, layanan SPAM harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat; selain agar target 100% akses air minum terpenuhi, juga agar eksploitasi air tanah dapat dikendalikan.
SPAM seyogyanya tidak dipandang hanya menjadi tugas Kementerian PUPR saja. Dukungan kementerian dan BUMN lain, seperti Kementerian Perhubungan, PT. KAI, PT. PLN (untuk jaminan pasokan listrik), dsb.
Memberlakukan tarif air secara nasional (per regional) seperti yang dilakukan oleh OFWATS dapat diwacanakan di Indonesia namun harus melalui tahapan riset pelanggan terlebih dahulu, konsolidasi dengan perusahaan/operator, dan konsultasi publik.
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. ii RINGKASAN ............................................................................................................................................. iii DAFTAR ISI................................................................................................................................................ v I.
LATAR BELAKANG ......................................................................................................................... 1
II. OUTPUT .............................................................................................................................................. 1 III. METODE PENELITIAN ................................................................................................................... 2 IV. SISTEMATIKA................................................................................................................................... 2 V. PERMASALAHAN DAN ANALISIS ............................................................................................... 2 5.1 Permasalahan Umum............................................................................................................... 2 5.2 Pemisahan Unit Air Baku, Produksi, Distribusi, dan Pelayanan ........................................ 5 5.3 Keterlibatan Swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) ...................... 6 5.4 Alternatif Sumber dan Skema Pembiayaan ........................................................................ 11 5.5 Beberapa Best Practices Penyelenggaraan SPAM............................................................... 13 VI. PENUTUP : URGENSI INOVASI TEKNOLOGI DAN TATA KELOLA ................................. 18 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 22
v
I.
LATAR BELAKANG
RPJMN 2015-2019 menargetkan pelayanan air minum 100% pada tahun 2019. Hal ini tentunya membutuhkan dukungan dari berbagai aspek, antara lain teknologi, pembiayaan, dan tata kelola. 1.
Dari sisi teknologi pengolahan air minum, (Instalasi Pengolahan Air/IPA) umumnya saat ini menggunakan teknologi IPA konvensional yang masih memiliki beberapa kekurangan. Untuk itu, terbuka peluang pengembangan teknologi IPA yang mampu meningkatkan kapasitas produksi air baku,penghematan anggaran biaya pembangunan (dibandingkan dengan sistem IPA konvensional), serta penghematan biaya operasi dan perawatan. Pertimbangan-pertimbangan ini tentunya sangat tepat dalam mendukung proses pencapaian palayanan air minum 100% hingga tahun 2019.
2.
Dari segi pembiayaandalam mewujudkan pelayanan air minum 100% hingga tahun 2019, menurut laporan Direktorat Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat capaian cakupan pelayanan air minum hingga tahun 2014 telah mencapai 70,3% sehingga masih terdapat gap kurang lebih 30% dengan kebutuhan dana sekitar Rp. 253 triliun hingga 2019. Dengan kemampuan APBN yang hanya 30% atau sekitar Rp. 53,8 triliun dari total Rp. 253 triliun tersebut, artinya pemerintah harus mencari pendanaan sekitar 200 triliun rupiah dari berbagai sumber pendanaan, antara lain dari swasta, BUMN/D, KPS, DAK, Pinjaman Perbankan, Hibah, CSR, dll untuk menutup gap tersebut.
3.
Dari segi tata kelolapenyediaan dan pengembangan SPAM, yang sebagian besar dilakukan oleh PDAM dirasa masih kurang memuaskan. Berdasarkan laporan Buku Kinerja PDAM 2014 yang diterbitkan BPPSPAM bekerjasama dengan BPKP,dari 350 PDAM yang ada di kabupaten/kota terdapat 50% PDAM dalam kondisi “Sakit” dan “Kurang Sehat”, sedangkan 50% sisanya dalam kondisi “Sehat”.Hal tersebut mengindikasikan dilihat dari 4 (empat) aspek kinerja yang digunakan untuk menilai kondisi “kesehatan” PDAM tersebut, yakni : aspek keuangan, pelayanan, operasional, dan Sumber Daya Manusia, pekerjaan rumah yang harus diselesaikan guna mencapai target 100% pada tahun 2019 masih sangat besar.
II. OUTPUT Policy brief ini menghasilkan kerangka rekomendasi kebijakan untuk pengembangan tata kelola teknologi, dalam hal ini yaitu teknologi Uprating,agar Ditjen Cipta Karya dan stakeholder terkait (BPPSPAM, PDAM, dll) mencapai target pencapaian universal akses air minum 100% pada tahun 2019. Diharapkan dengan policy briefini dapat membantu penyelesaian permasalahan teknis, pembiayaan, dan tata kelola yang selama ini dihadapi dalam menyediakan dan mengembangkan SPAM.
1
III. METODE PENELITIAN Tim Peneliti melakukan wawancara terstruktur dan FGD dengan beberapa stakeholder utama, yakni dengan pemerintah selaku regulator (Direktorat SPAM Ditjen Cipta Karya dan BPPSPAM), operator swasta (PT.Aetra Air Tangerang, Kabupaten Tangerang, Banten), operator BUMD (PDAM Tirta Silaupiasa Kabupaten Asahan, Sumatera Utara), dan beberapa BUMN yang diberi tugas untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur (PT.Penjaminan Infrastruktur Indonesia dan PT. Sarana Multi Infrastruktur). Selain mewawancarai key informants, Tim Peneliti juga melakukan telaah dan analisis dari data-data sekunder, seperti peraturan, dokumentasi proyek, policy paper, jurnal, dsb.Analisis komparatif juga dilakukan dengan beberapa best practices dari luar dan dalam negeri. Dari data dan informasi yang dikumpulkan, Tim Peneliti menggunakan Frame/Value Critical Analysis1 untuk menganalisis facts dan findings yang ada.
IV. SISTEMATIKA Struktur penulisan policy brief ini dimulai dengan gambaran umum mengenai target pencapaian sasaran 100% universal akses air minum pada tahun 2019, isu dan permasalahan yang menghambat, metode penelitian yang digunakan, serta hasil wawancara, temuan lapangan, dan analisis data. Di akhir laporan, di-highlight kembali poin-poin penting yang akan menjadi usulan rekomendasi untuk mewujudkan target pencapaian 100% air minum ditinjau dari aspek teknis-teknologis, pembiayaan, dan tata kelolanya.
V. PERMASALAHAN DAN ANALISIS Beberapa hal yang akan diulas antara lain : permasalahan yang kerap muncul dalam penyelenggaraan SPAM, NRW yang masih menjadi permasalahan utama penyelenggaraan SPAM, isu pemisahan unit dalam proses penyelenggaraan SPAM, perbedaan prinsip antara PPP (Public Private Partnership) dengan Privatisasi (satu hal yang terus menjadi bahan perdebatan hingga menyebabkan dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA),pengalaman empirik hasil pengamatan lapangan, dan beberapa best practicesdalam tata kelola SPAM yang berpeluang diaplikasikan untuk penyelenggaraan SPAM di Indonesia.
5.1 Permasalahan Umum Permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan dan pengembangan SPAM cukup banyak dan kompleks. Beberapa diantaranya merupakan masalah internal dan eksternal di luar kewenangan pengelola SPAM (manajemen PDAM, misalnya). Masalah-masalah tersebut diantaranya :
1
Sebagaimana dijelaskan oleh Linder (1995) dan Schmidt (2006), Tim Peneliti harus mampu menangkap “frame” atau perspektif terhadap masalah dan kebijakan yang dipersepsikan oleh masing-masing informan. Analisis juga harus berlandaskan pada nilai-nilai (values) yang dianut oleh setiap informan. 2
-
Hasil evaluasi kinerja yang dilakukan BPPSPAM (2014) menunjukkan fakta bahwa separuh dari jumlah PDAM yang dievaluasi kurang “well performed”. Hal ini disebabkankarena masih adanya persepsi publik terhadap manajemen PDAM yang tidak dilihat secara utuh sebagai pengelolaan perusahaan (corporate governance), namun penekanannya masih diarahkan pada fungsi sosial. Sebagaimana informasi yang sudah diketengahkan di awal, dengan kondisi PDAM yang demikian, ditambah fakta bahwa baru 25% PDAM yang sudah menerapkan tarif Full Cost Recovery (FCR), upaya pembenahan kesehatan manajemen PDAM menjadi semakin sulit. 200 180 160 140 120 SEHAT
100
KURANG SEHAT 80
SAKIT
60 40 20 0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 1. Trend Kondisi PDAM di Indonesia 2006 – 2013(BPPSPAM, 2014)
-
Prosentase kehilangan/kebocoran air (NRW)juga masih cukup tinggi. Padahal NRW sangat berpengaruh terhadap skala usaha dan kelayakan investasi. Jika kerugian yang diakibatkan 1% NRW setara dengan Rp. 20 miliar/tahun, maka dapat dikalkulasi besar kerugian yang harus ditanggung operator dengan besaran NRW 42% (lihat Tabel 1). Padahal jika NRW dapat teratasi, maka dengan cakupan pelayanan wilayah Timur Jakarta, misalnya, yang sudah mencapai 85%, dapat dipastikan jumlah air yang diproduksi sudah memenuhi 100% kebutuhan air bersih penduduk di wilayah tersebut.
3
Gambar 2. Vicious and Virtuous Cycle of NRW (ADB, 2010)
Ilustrasi ADB (2010) pada Gambar 2 di atas menguraikan dampak yang ditimbulkan dari NRW, serta upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasinya. Tabel 1. NRW Semula dan Setelah Berjalannya Program di Beberapa Kota Kota
NRW Semula
NRW Setelah Program
(Negara)
(Tahun)
(Tahun)
Ilembe (Afrika Selatan)
30% (1999)
16% (2003)
Istanbul (Turki)
50% (1994)
34% (2000)
Manila (Filipina)
63% (1997)
16% (2009)
Pnom Penh (Kamboja)
72% (1993)
6% (2008)
Pengurangan NRW bukan masalah yang sederhana, terutama untuk NRW komersial karena di beberapa kota besar tindakan pencurian air, sambungan tidak resmi, dsb cukup marak.Dari Tabel tersebut dapat diketahui bahwa beberapa kota di luar negeri telah melakukan reformasi kebijakan penurunan NRW dan membuahkan hasil yang cukup signifikan. -
Tarif PDAM, terutama di kota besar seperti Jakarta masih relatif tinggi dibandingkan beberapa negara tetangga2. Tingginya tarif tersebut jarang sekali diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan. Masih rendahnya kualitas, kuantitas, dan kontinuitas air bakumenyebabkan semakin mahalnya proses pengolahan. Djoko Mulyo Hartono (2013) dalam pidato pengukuhan Guru Besarnya yang berjudul “Perlindungan Air Permukaan sebagai
2
Tarif air bersih di Singapura ditetapkan sekitar US$ 0,55 per meter kubik, Manila (Filipina) sekitar US$ 0,35 per meter kubik, Bangkok (Thailand) sekitar US$ 0,29 per meter kubik, Kuala Lumpur (Malaysia) sekitar US$ 0,22 per meter kubik. Sedangkan Jakarta ditetapkan US$ 0,70 permeter kubiknya. 4
Sumber Air Baku Air Minum dan Tantangannya dalam Menghadapi Perubahan Iklim” menegaskan bahwa pemukiman sepanjang aliran sungai, erosi, bertambahnya sedimentasi, adanya kandungan bahan kimia, penyebaran penyakit, dan rendahnya COD/BOD adalah beberapa masalah yang kerap terjadi pada air baku. Akibatnya, terjadi penurunan kualitas yang ditandai dengan peningkatankekeruhan3, pembuangan dan penumpukan sampah, pendangkalan badan air, penyempitan badan saluran, serta pengelolaan air permukaan yang belum terkoordinasi dan terintegrasi. -
Kualitas SDM masih belum memadaijika dibandingkan dengan besarnya tantangan pengelolaan air minum saat ini dan kedepannya. Dari hasil wawancara yang dilakukan, masih dijumpai beberapa operator IPA yang baru mendapat training setelah yang bersangkutan bekerja selama lebih dari 10 tahun.
-
Pada beberapa kasus, PDAM masih sering dibebani tanggung jawab berbagai kegiatan yang kurang relevan dengan tugasnya.
Di satu sisi, dihadapkan berbagai permasalahan kompleks dan segala keterbatasannya, namun di sisi lain sebagai salah satu penyelenggara SPAM di daerah saat ini, PDAM tetap diharapkan untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, khususnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Box 1. Permasalahan yang dialami PDAM Tirta Silaupiasa, Kab. Asahan Dalam laporan Kinerja PDAM tahun 2014 yang dirilis BPPSPAM, PDAM Tirta Silaupiasa dikategorikan dalam kondisi “Sakit”. Jika ditinjau dari Unit Air Baku/Produksi, terdapat beberapa kendala, terutama dalam hal tingginya biaya listrik PLN untuk operasionalisasi IPA. Hampir separuh pendapatan PDAM digunakan untuk membayar biaya listrik. Selain itu operator IPA jarang mendapatkan pelatihan teknis. Ditinjau dari sisi distribusi juga ditemui beberapa kendala, antara lain pembebasan lahan untuk perluasan jaringan terbentur ijin crossing dan beban biaya pengawasan pekerjaan melewati rel kereta api, serta besarnya biaya peremajaan jaringan pipa distribusi. Sedangkan dari unit pelayanan beberapa kendala yang ada antara lain : kebocoran pipa distribusi karena pipa yang sudah tua, pencurian air oleh masyarakat dan perilaku oknum PDAM yang membuat sambungan gelap, kontinuitas dan distribusi air minum yang belum menjangkau seluruh kecamatan, serta pemeliharaan meteran air yang belum maksimal sehingga menyebabkan meteran air lebih cepat rusak. Sumber : Hasil survey lapangan (2015)
5.2 Pemisahan Unit Air Baku, Produksi, Distribusi, dan Pelayanan 3
Tingkat kekeruhan air saat ini bahkan sudah melampaui batas 1.000 NTU (Nephelometric Turbidity Unit). Pada musim hujan bisa mencapai 15.000 NTU. Sementara teknologi yang ada hanya mampu mengolah air dengan tingkat kekeruhan 5 NTU sampai 1.000 NTU. Adapun kadar maksimum tingkat kekeruhan air baku yang diperbolehkan sesuai Permenkes No. 416 Tahun 1990 adalah 25 NTU. Implikasi dari hal ini adalah harus menambahkan unit pada bangunan instalasi pengolahan air untuk menurunkan kekeruhan (terdiri dari bangunan prasedimentasi, bangunan aerasi, dan unit pengolahan lumpur). 5
Hal lain yang menjadi sorotan dalam RPP SPAM adalah pemisahan (unbundling) Unit penyelenggara SPAM(khususnya melalui jaringan perpipaan) menjadiSub Sistem Air Baku, Sub Sistem Produksi, Sub Sistem Distribusi, dan Sub Sistem Pelayanan.Beberapa informan berpendapat bahwa meskipun bertujuan untuk menjamin kuantitas dan kualitas air minum, namun dengan memisahkan Unit tersebutberpotensi memicu inefisiensi karena perlu upaya koordinasi lebih lanjut antarunit penyelenggarauntuk memastikan agar layanan penyediaan air minum kepada masyarakat tidak terganggu. Hal lain yang juga disoroti adalah keterlibatan badan usaha swasta yang dibatasi hanya di Unit Air Baku dan Unit Produksi. Padahal komponen terbesar investasi pengembangan SPAM terletak pada Unit Distribusi dan Unit Pelayanan. Apabila kondisi manajemen PDAM yang bersangkutan tidak cukup sehat untuk mengembangkan dan mengelola kedua unit tersebut, dapat dipastikan layanan air minum kepada masyarakat juga tidak akan maksimal. Terlebih lagi jika NRW juga belum mendapat perhatian serius. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menyikapikerjasama (kontrak konsesi) antara Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha Swasta yang telah dilaksanakan sebelum RPP SPAM tersebut diberlakukan. Sebagaimana diketahui, banyak Badan Usaha Swasta (termasuk diantaranya PT. Aetra Air Tangerang, PT. Aetra Air Jakarta, PT. Palyja, dll) yang terlibat dalam penyediaan dan pengembangan SPAM melalui skema PPP (Public Private Partnership). Jika kontrak konsesi tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi setelah RPP SPAM ini diberlakukan, atau berakhir sampai habis masa berlaku Surat Izin Pengambilan Air (SIPA), maka Pemerintah Daerah selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) berisiko terkena fraud, dan harus menanggung biaya investasi (serta biaya lain yang ditimbulkannya) yang telah dikeluarkan Swasta. Tentu tidak hanya itu; terjadinya distrust Swasta kepada Pemerintah juga mungkinterjadi karena Swasta akan beranggapan bahwa iklim dan kepastian usaha yang seharusnya merupakan tugas Pemerintah justru memberikan fakta yang berbeda4. Swasta seyogyanya berperan aktif karena rendahnya dukungan pembiayaan dari APBN yang hanya mampu meng-cover 30% dari total kebutuhan pengembangan SPAM s/d akhir 2019.
5.3 Keterlibatan Swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) Meskipun BPPSPAM mencatat banyak proyek KPS yang berhasil dan masih on going hingga saat ini, beberapa informan masih mempersepsikan keterlibatan Badan Usaha Swasta dalam penyelenggaraan SPAM merupakan pelanggaran amanat Konstitusi karena tidak sesuai Pasal 33 UUD 1945. Hal inilah yang menyebabkan peran mereka 4
UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengamanatkan agar Pemerintah menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, dst. Hal tersebut dilakukan agar bisa terwujud peningkatan kemampuan daya saing dunia usaha nasional hingga berujung pada kesejahteraan masyarakat. 6
(sebagaimana tercantum dalam RPP SPAM) hanya dibatasi pada Unit Air Baku dan Unit Produksi. Selain itu, istilah “KPBU” atau Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (baik BUMN, BUMD, maupun Swasta) masih diidentikkan dengan “Swastanisasi”. Padahalsecara definisi dan prinsip,“PPP” sama sekali berbeda dengan “Swastanisasi/Privatisasi”.Beberapa peraturan juga sudah disusun untuk mempertegas positioning Pemerintah dalam skema PPP tersebut5. Untuk itu, pada Tabel berikut akan diuraikan secara jelas perbedaan definisi kedua istilah tersebut. Tabel 2. Perbedaan Public Private Partnership(PPP)dan Privatisasi No 1
PPP
Privatisasi
DEFINISI
DEFINISI
“Kemitraan Pemerintah-Swasta dapat Subagjo (1996) : didefinisikan sebagai berbagai bentuk (i) Privatisasi adalah perubahan kerja sama antara otoritas publik bentuk usaha dari “perusahaan (pemerintah) dengan sektor swasta negara” menjadi perusahaan untuk membiayai, membangun, berbentuk PT. merenovasi, mengelola, menjalankan, atau memelihara suatu infrastruktur (ii) Pelepasan sebagian (besar/kecil) atau seluruh saham dari suatu atau pelayanan” (ADB, tanpa tahun) perusahaan yang dimiliki negara kepada swasta “Sebuah perjanjian kontrak antara (iii) Pelepasan hak atau asset milik swasta dan pemerintah, yang keduanya negara atau perusahaan yang bergabung bersama dalam sebuah sahamnya dimiliki negara pada kerjasama untuk menggunakan swasta, baik pelepasannya untuk keahlian dan kemampuan masingselamanya (antara lain melalui jual masing untuk meningkatkan pelayanan beli, hibah, atau tukar guling) kepada publik di mana kerjasama maupun pelepasan untuk tersebut dibentuk untuk menyediakan sementara waktu (termasuk Build kualitas pelayanan terbaik dengan biaya Operate Transfer) yang optimal untuk publik” (America’s National Council on Public Private Partnership, 2010) (iv) Pemberian kesempatan pada swasta untuk menggeluti bidang usaha tertentu yang sebelumnya merupakan monopoli pemerintah (v) Pembuat usaha patungan atau kerjasama dalam bentuk lain dengan memanfaatkan asset pemerintah (vi) Membuka dan meningkatkan adanya persaingan sehat dalam 5
Beberapa diantaranya adalah Perpres No. 38 Tahun 2015. 7
No
PPP
Privatisasi dunia usaha UU No. 23 Tahun 2003 : Privatisasi adalah “penjualan saham Persero baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat” Savas (1987) : Privatisasi sebagai tindakan mengurangi peran pemerintah, atau meningkatkan peran swasta, dalam sebuah aktivitas atau pemilikan asset. Diana Carney dan John Farrington (1998) : Privatisasi adalah proses perubahan yang melibatkan sektor privat untuk ikut bertanggung jawab terhadap kegiatan yang semula dikendalikan secara eksklusif oleh sektor publik
2
Sektor publik mendapat dan membayar Perusahaan swasta mengambil alih jasa layanan dari sektor swasta untuk usaha dan juga menanggung tanggung dan atas nama komunitas dan tetap jawab penyerahan jasa layanan mengontrol tanggung jawab terakhir untuk penyerahan jasa-jasa layanan walaupun KPS tersebut disediakan oleh swasta dalam periode tertentu (25 th atau lebih)
3
BENTUK
BENTUK
Kontrak jasa: aspek tertentu (pemasangan dan pembacaan meteran air, operasi stasiun pompa dan sebagainya) diserahkan kepada swasta untuk periode 6 bulan – 2 tahun.
Umum (dikontrakan ke swasta atau LSM dan penyedia sukarela)
Kontrak manajemen: Swasta mengoperasikan perusahaan dengan memperoleh jasa manajemen baik seluruh maupun sebagian operasi, berjangka waktu 3-5 thn dan tidak terkait langsung dengan penyedia jasa sehingga lebih fokus pada peningkatan mutu layanan daripada peningkatan akses penduduk miskin. Kontrak sewa-beli: swasta menyewa asset pemerintah dan bertanggung 8
Khusus (food stamps, housing vouchers, volunteer fire departments)
No
PPP
Privatisasi
jawab terhadap operasi dan pemeliharaannya berjangka waktu 1015 thn. Bangun-operasi-alih (BuildOperate Transfer/BOT): pemerintah menguasai kepemilikan asset dan memiliki 2 peran sebagai pengguna dan regulator pelayanan infrastruktur tersebut. Konsesi: pengalihan seluruh tanggung jawab investasi modal dan pemeliharaan serta pengoperasian ke operator swasta dalam jangka waktu tertentu (biasanya 25 tahun). Aset tetap milik pemerintah, operator swasta membayar jasa penggunaannya (concession fee) 4
TUJUAN PPP
TUJUAN SWASTANISASI
Untuk mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan melalui pengerahan dana swasta, meningkatkan kuantitas, kualitas, dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat, meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan infrastruktur serta mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal tertentu mempertimbangkan daya beli pengguna.
Untuk mencapai efisiensi ekonomi mikro, mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi kebutuhan pinjaman publik akibat defisit anggaran belanja dengan cara mengurangi subsidi negara yang diberikan kepada BUMN.
Selain keterbatasan pembiayaan, pertimbangan lain yang mendasari dilakukannya PPP adalah kemampuan manajemen risiko. Besarnya kapasitas dan sumberdaya yang dimiliki Swasta, termasuk kapasitas memitigasi dan menangani risiko, maka semakin besar pula risiko yang dialihkan (risk sharing) dari Pemerintah ke Swasta dalam skema PPP ini (lihat Gambar 3).
9
Gambar 3. Kontinum Kemitraan – Privatisasi
Dalam konteks penjaminan proyek-proyek yang dilaksanakan dengan skema KPBU/PPP, telah dibentuk PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) (PERSERO) pada tahun 2009. Tujuan dibentuknya PT. PII adalah menyediakan penjaminan (termasuk turun tangan jika terjadi wanprestasi) bagi proyek infrastruktur yang menggunakan skema KPS, termasuk salah satunya adalah proyek – proyek air minum. Dalam operasionalisasinya, prinsip yang dijalankan adalah “Single Window Policy”, yaitu kebijakan penugasan Pemerintah kepada PT. PII sebagai badan usaha penjamin infrastruktur untuk melaksanakan proses penjaminan pemerintah. Dengan prinsip ini, dapat mewujudkan transparansi dan konsistensi proses pemberian jaminan dan klaim dalam rangka meningkatkan kepercayaan investor untuk berpartisipasi dalam proyek – proyek infrastruktur, selain meningkatkan creditworthiness dan bankability proyek – proyek KPS. Sebagai dasar pelaksanaan PPP/KPS, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 67/2005 tentang KPS dalam Penyediaan Infrastruktur, yang diubah dengan Perpres 13/2010. Perpres 13/2010 menyebutkan adanya dukungan kontingensi berupa Jaminan Pemerintah yang akan diberikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) kepada proyek KPS. Dukungan kontingensi atau jaminan tersebut diberikan Menkeu melalui suatu Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI). Untuk itu, PII yang merupakan BUPI dibentuk pada tanggal 30 Desember 2009 sebagai salah satu upaya Pemerintah mendukung percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia melalui penyediaan jaminan yang dilakukan dengan proses yang akuntabel, transparan, dan kredibel. Dalam beberapa sesi workshop dan wawancara yang dilakukan, pada dasarnya jika ada peluang untuk terlibat dalam penyelenggaraan SPAM, Swasta pasti tertarik. Terlebih jika project tersebut layak secara finansial dan Swasta sudah memiliki pengalaman serta penguasaan teknologi. Yang akan dilakukan kemudian adalah bagaimana melakukan analisis dan manajemen risikosehingga risiko bisa diminimalisir. Terobosan kebijakan dari Pemerintah untuk mengendalikan risiko-risiko yang telah diidentifikasi menjadi poin penting lainnya, termasuk risiko politik, ketidakpastian hukum, dan iklim usaha. Dalam konteks penerapan teknologi Uprating pun demikian; dilihat dari kapasitas produksi, pengalaman, serta penguasaan teknologi, Swasta (dalam hal ini diwakili PT. Tekno Mas Tirta) menyatakan kesiapannya mendukung upaya Pemerintah menyediakan 10
dan mengembangkan SPAM. Berkolaborasi dengan Puslitbang Perumahan dan Permukiman cq. Balai Teknologi Air Minum dan PLP yang bertugas menyusun Pedoman dan Standarisasi teknologi Uprating ini, harapan yang disampaikan adalah agar penyelenggara SPAM menyelesaikan persoalan NRW (dan kesehatan manajemen PDAM) di lingkup Distribusi terlebih dahulu sebelum dilakukan peningkatan kapasitas produksi.
5.4 Alternatif Sumber dan Skema Pembiayaan Untuk mengatasi keterbatasan pembiayaan, dalam Permen PU No. 13/PRT/M/2013 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan SPAM sebenarnya telah diatur beberapa alternatif pembiayaan di luar APBN, diantaranya adalah : 1. Pemberian jaminan dan subsidi bunga oleh Pemerintah Pusat; skema ini diluncurkan seiring ditetapkannya Perpres No. 29 Tahun 2009. Namun, sesuai amanat Perpres tersebut diketahui bahwa program ini sudah selesai per tanggal 31 Desember 2014. Dari hasil evaluasi yang dilakukan BPPSPAM juga diketahui bahwa skema ini sangat menarik bagi PDAM karena selain terdapat subsidi bunga6, juga ada jaminan tanggungan dari Pemerintah Pusat sebesar 70% jika PDAM gagal bayar. Meski demikian, tentunya jaminan ini tidak dijadikan “tameng” agar PDAM tidak berkinerja karena 30% dari nilai jaminan tersebut menjadu utang Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat. Selain itu, untuk memperoleh dukungan legalitas dari legislatif, hal ini juga harus mendapat persetujuan dari DPRD. 2. Regional Infrastructure Development Fund (RIDF) yang dikelola oleh PT. Sarana Multi Infrastruktur/SMI7 (Persero); RIDF ini merupakan pengembangan dari Pusat Investasi Pemerintah (PIP8) yang telah dilikuidasi. Salah satu kelebihan skema ini adalah dapat digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan infrastruktur di daerah yang dikategorikan layak secara ekonomi (economically viable) dan produktif. 6
Sebagaimana diatur dalam PMK No. 229/PMK.01/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam rangka Percepatan Penyediaan Air Minum yang diperbaharui dengan PMK No. 91 Tahun 2011, serta Permen PU No. 21/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Kelayakan Investasi Pengembangan SPAM. 7 PT SMI memiliki peran aktif dalam pembiayaan infrastruktur Indonesia dan membantu persiapan proyek infrastruktur, baik yang dilakukan melalui layanan konsultasi maupun pengembangan proyek bagi proyekproyek infrastruktur di Indonesia. PT SMI memiliki mandat untuk mendukung percepatan pengembangan infrastruktur, dengan fokus Program Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) yang mengikutsertakan berbagai institusi keuangan, baik swasta maupun multilateral. Sejalan dengan rencana Pemerintah RI untuk mentransformasi PT SMI menjadi Lembaga Pembiayaan Pembangunan Indonesia (LPPI), PT SMI mendapat perluasan sektor yang dapat dibiayai, yaitu bukan hanya infrastruktur publik, tetapi juga infrastruktur sosial. Sektor-sektor yang dapat dibiayai oleh PT SMI, antara lain jalan tol dan jembatan, tranportasi, minyak dan gas, telekomunikasi, pengolahan limbah, kelistrikan, irigasi, air minum, infrastruktur sosial, efisiensi energi, dan kereta api. 8 Seluruh aset PIP senilai +/- Rp. 18 triliun saat ini telah ditukar-guling kepada PT. SMI (Persero) http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150205161918-78-29942/menkeu-targetkan-pengalihan-aset-pipke-smi-tuntas-agustus/. 11
Untuk tahap awal, RIDF akan fokus pada proyek-proyek infrastruktur di lingkup Pemkab/kota (mendukung kerangka kebijakan desentralisasi). Seiring dengan peningkatan kapasitas keuangan PT. SMI, skema akan di-scale up ke complex regional projects di lingkup Pemprov. Dalam konteks SPAM, kucuran dana dari PT. SMI dapat ditransfer langsung ke PDAM atau PD, namun bisa juga ditransfer ke Pemda untuk kemudian dikucurkan ke PDAM. Kelebihan skema ini selain sangat membantu Pemda membiayai proyek-proyek strategis di wilayahnya, RIDF juga dilindungi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan memiliki tenor yang cukup panjang yakni antara 10 – 20 tahun. Tidak hanya itu, skema ini juga sangat cocok untuk PDAM yang terkategori “Sakit”. 3. Obligasi; merupakan pengakuan hutang atau kesanggupan resmi (berupa kontrak) untuk membayar sejumlah nilai tertentu pada waktu yang telah ditetapkan sebagai balas jasa atas hutang tersebut. Penerbit obligasi akan membayar sejumlah uang tertentu secara periodik selama obligasi tersebut belum dilunasi. Karakteristik obligasi secara umum sesuai dengan karakteristik kebutuhan pendanaan pembangunan SPAM.
Gambar 4. Business Process Penerbitan Obligasi (BPPSPAM, 2015)
4. Business to Business (B2B); BUMN/BUMD penyelenggara dapat bekerjasama dengan Badan Usaha (BU) untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan SPAM di wilayah pelayanannya berdasarkan prinsip B2B. Dalam skema ini, Direksi BUMN/BUMD penyelenggara bertindak sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dan tata cara kerjasama diatur dengan peraturan Direksi BUMN/BUMD penyelenggara yang disetujui oleh Badan Pengawas. Dari data BPPSPAM (2014), sebagian besar proyek KPS dan B2B yang sedang berjalan menerapkan skema BOT (Build Operate Transfer), baik Penuh maupun 12
Sebagian, dan RUOT (Rehabilitate Uprating Operate Transfer), baik di IPA maupun sistem distribusinya. 5. Corporate Social Responsibility (CSR); UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan PP No. 47 Tahun 2012 tentang CSR dan Lingkungan mengamanatkan “Perseroan yang usahanya di bidang sumber daya alam wajib memberikan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR) dan pelaksanaannya dengan memperhatikan aspek kepatutan dan kewajaran”. Untuk perseroan yang bergerak dalam bidang sumber daya alam, maka CSR merupakan “mandatory”. Sedangkan bagi perseroan yang bergerak di luar bidang sumber daya alam bersifat “voluntary”. PDAM atau penyelenggara SPAM di daerah dapat memanfaatkan peluang CSR ini untuk meningkatkan kinerja layanan SPAM melalui peningkatan produksi, pengembangan jaringan, dsb. Kerjasama yang baik antara perusahaan dan PDAM menjadi kunci berjalannya program CSR secara berkelanjutan. Dari uraian skema-skema tersebut, yang paling penting untuk dicatat adalah bagaimana Pemda beserta shareholder-nya memberikan komitmen peran dan dukungan penuh (melalui fasilitasi perizinan dan regulasi yang solid, akuntabilitas dan transparansi dalam pemanfaatan bantuan pembiayaan, dll.) dalam penyelenggaraan SPAM, sehingga dapat meyakinkan Pemerintah Pusat untuk membantu Pemda serta Swastaselaku Investor dan/atau Operator/Penyelenggara.
5.5 Beberapa Best Practices Penyelenggaraan SPAM Ofwats, London Pendahuluan Office Water Service UK (OfWats) merupakan sebuah badan pemerintah Inggris yang bertugas memberikan jaminan layanan air minum kepada konsumen dan proteksi lingkungan melalui layanan air limbah (sewerage) di Inggris Raya (Inggris dan Wales). Dalam menarik investor untuk pengusahaan air minum di Inggris dan Wales, Ofwats menawarkan pada swasta jika ada yang tertarik untuk berinvestasi di layanan air minum dan air limbah. Saat ini terdapat 32 perusahaan air minum dan air limbah (10 perusahaan monopoli daerah menyediakan layanan air dan saluran pembuangan limbah, 9 perusahaan monopoli daerah hanya menyediakan layanan air, 5 perusahaan monopoli lokal berkomitmen untuk menyediakan layanan baik air minum, air limbah, atau keduanya, dan 8 perusahaan menawarkan pelayanan air minum kepada pelanggan pengguna yang besar). Untuk itu, Ofwats sudah menyiapkan regulasisejak pengusahaan industri air minum dan air limbah diprivatisasi tahun 1989. Sebuah kerangka peraturan dibuat untuk memastikan konsumen menerima standar pelayanan tertinggi dengan harga yang wajar, bahkan water bill untuk tahun 2019 – 2020 cenderung menurun dibandingkan tahun 2014 – 2015 (lihat Tabel 3). Kerangka ini mengijinkan perusahaan 13
untuk berinvestasi lebih dari 108 juta poundsterling dalam rangka pemeliharaan serta peningkatan aset dan layanan. Tidak hanya itu, dalam kebijakan tersebut industri juga harus mematuhi legislasi yang berlaku di lingkup nasional dan Eropa. Undang-undang tersebut juga mengijinkan persaingan di tingkat retail dan pasar non rumah tangga (bisnis), sehingga publik dan lembaga sosial dapat memilih suplier retail mereka. Lessons Learned : Skema Penetapan Tarif dan Jaminan Tarif yang Affordable Sebelum menetapkan batas atas tarif air yang berlaku secara nasional, Ofwats selalu aktif melakukan riset pelanggan yang cukup ekstensif dan pendekatan ke masyarakat. Customer research yang dilakukan bahkan memakan waktu hingga 2 (dua) tahun agar permasalahan yang dialami dan ekspektasi masyarakat dapat didapat secara menyeluruh. Komplain atas layanan yang diberikan para water companies juga ditampung untuk kemudian diformulasikan menjadi kebijakan nasional. Hasil dari survey pelanggan ini kemudian dipadukan dengan penawaran harga dari para water companies, dan dilempar kembali ke customer. Tabel 3. Perkembangan Tarif Air Minum di Inggris
(sumber : http://www.ccwater.org.uk/waterissues/pr14/)
Meskipun water bill turun, pada kenyataannya setiap tahun water companies diizinkan untuk memasukkan komponen inflasi kedalam tarif yang dibebankan kepada pelanggan. Namun demikian, Consumer Council for Water (CCWater) tetap melakukan advokasi dan “menekan” water companies agar golongan tertentu masih dapat membayar air.
14
JWWA, Jepang Aktivitas Utama JWWA Japan Water Works Association (JWWA) dibentuk pada 12 Mei 1932 dibawah Kementerian Dalam Negeri Jepang yang bertujuan untuk meningkatkan layanan penyediaan air serta menyediakan air aman (yang berkualitas) dan berkelanjutan kepada masyarakat. Guna menunjang tugas tersebut, JWWA melakukan banyak aktivitas terkait riset dan studi tentang layanan SPAM, kualitas air, pengembangan teknologi, advisory and training, serta inspeksi dan sertifikasi produk untuk mempertahankan kualitas layanan.
Gambar 5. Beberapa Aktivitas Utama JWWA a.l Training dan Inspeksi
Dalam hal publikasi, JWWA melakukan berbagai macam survey yang berhubungan dengan statistik penggunaan air, kemudian menyebarluaskan hasilnya ke jurnal bulanan yang dikelola JWWA. Tidak hanya itu, konferensi umum para Direksi juga dilakukan 3 (tiga) kali setahun untuk saling bertukar informasi dan ide dalam diskusi yang berhubungan dengan masalah penyediaan air. Pertemuan juga dilakukan dalam skala kecil selama 2 (dua) kali setahun untuk mendiskusikan berbagai isu penyediaan air dari penyediaan skala kecil. Selain melakukan serangkaian kegiatan tersebut, JWWA juga aktif memberikan masukan kepada Pemerintah. Pada pertemuan direksi JWWA yang dilakukan pada awal setiap tahun anggaran, dilakukan rencana untuk mengamankan alokasi budget pemerintah. JWWA yang dipimpin oleh Board of Director melakukan lobi secara agresif kepada Pemerintah Pusat dan Legislator selama proses pembahasan anggaran sampai disahkan oleh parlemen.
15
Lessons Learned : Perkuatan Fungsi PERPAMSI PERPAMSIsebagai wadah perkumpulan perusahaan penyedia air minum di Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan JWWA di Jepang. Banyak aktivitas JWWA yang juga dilakukan Perpamsi dalam rangka meningkatkan layanan air minum kepada masyarakat. Bahkan kedua lembaga ini sudah bekerjasama dan menyelenggarakan aktivitas bersama (terutama dalam hal capacity building). 1 (satu) hal yang belum dilakukan PERPAMSI adalah aktivitas lobi, pembahasan dengan DPR/DPRD, hingga disahkannya anggaran. Dengan dilibatkannya lebih banyak unsur stakeholder, termasuk PERPAMSI dalam pembahasan anggaran, diyakini akan semakin mempertajam kualitas program dan anggaran khususnya yang ditujuan untuk penyelenggaraan SPAM.
PT. Aetra Air Tangerang Pendahuluan Setelah Kejadian Luar Biasa (KLB) diare pada tahun 2007 di Sepatan, Kab. Tangerang yang menyebabkan 3 (tiga) orang meninggal dan ribuan orang juga menjadi korban membuat Pemkab. Tangerang segera mengupayakan proyek air layak minum. Karena PDAM Tirta Kerta Raharja belum mampu membangun jaringan baru di Sepatan, Pemkab. Tangerang mengundang pihak swasta melalui lelang terbuka dalam proyek tersebut. Setelah dinyatakan menjadi pemenang proyek KPS,Acuatico Capitalink mendirikan perusahaan PT.Aetra Air Tangerang (AAT) untuk melaksanakan proyek tersebut yang kemudian bersama-sama dengan pemerintah daerah Kabupaten Tangerang dibantu Kementerian Pekerjaan Umum membangun IPA untuk melayani 8 (delapan) kecamatan di Kab. Tangerang. Komitmen Memberikan Kualitas Layanan Terbaik Dalam proyek KPS ini, PT. AAT telah menyediakan investasi sepenuhnya di awal proyek sehingga tidak ada kekhawatiran dan proyek bisa mandiri berkelanjutan selama 25 tahun masa konsesi. Hal ini didukung pula dengan kontrak KPS yang fleksibel, dimana pihak Kabupaten Tangerang memberikan keleluasaan kepada PT. AAT untuk memilih material sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan. Dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten Tangerang tidak mempermasalahkan soal pengadaan material selama target teknis yang ditetapkan dapat terpenuhi. Dengan kontrak fleksibel seperti di atas, PT. AAT memiliki kebebasan untuk memilih material kualitas terbaik demi operasionalisasi pelayanan secara efisien serta mampu meminimalkan kerusakan di dalam jaringan. Sehingga seluruh material dijamin masih dalam kondisi yang baik bahkan hingga saat diserahterimakan kepada Pemerintah Kabupaten Tangerang pada masa akhir konsesi.
16
Terkait kualitas air minum yang dipersyaratkan Permenkes No.492/MENKES/PER/IV/2010, PT. AAT menunjuk PT.Degremont yang mempunyai reputasi dunia dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan IPA sebagai kontraktor Enginering, Procurement and Construction (EPC) dengan menggunakan teknologi terkini untuk menjamin kualitas produk air olahan. Sedangkan untuk menjamin kualitas air sesuai dengan Permenkes No.492/MENKES/PER/IV/2010 sampai dengan kran pelanggan, maka seluruh sistem jaringan perpipaan dan sambungan pelanggan menggunakan material yang bersertifikat "food grade". Sedangkan dari segi tarif, PT. AAT menerapkan tarif progresif disesuaikan dengan kelompok penggunanya. Tarif berkisar dari Rp. 1.325 (pemakaian 0 s/d 10 m3) untuk kelompok pelanggan “Sosial9” hingga Rp. 14.934 (pemakaian di atas 20 m3) untuk kelompok pelanggan “Industri”. PT. AAT juga merupakan salah satu PAM yang memiliki tingkat kehilangan air terendah di Asia, bahkan dunia. Mereka berhasil menekan tingkat kebocoran air atau Non Revenue Water (NRW) hingga 6 %. Pencapaian ini jauh lebih rendah dari apa yang ditargetkan, yaitu 20%. Lessons Learned : PPP dan Dukungan Pemerintah Best practice dari PT. AAT hendaknya menginspirasi pemerintah, baik Pusat maupun Daerah agar berinovasi dan memberikan komitmen penuh, terutama dalam hal menyediakan basic need seperti air minum. Kekhawatiran banyak kalangan mengenai skema PPP dalam penyediaan air minum, dapat dipatahkan pada kasus PT. AAT ini. Kolaborasi Pemda dan Swasta, hubungan yang baik antara Pemkab. Tangerang dengan Pemerintah Pusat, bentuk-bentuk fasilitasi yang diberikan Pemkab. Tangerang untuk mempermudah proses PPP patut diapresiasi. Komitmen PT. AAT untuk memberikan layanan terbaik (termasuk menurunkan NRW hingga 6%) juga merupakan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Kab. Tangerang.
Inspirasi dari Proyek Penyediaan Listrik melalui Skema Independent Power Producers(IPP) Pendahuluan Dalam rangka memenuhi target 35 ribu MW s/d tahun 2019, Pemerintah mengisyaratkan akan membuka ruang selebar-lebarnya bagi perusahaan listrik swasta nasional maupun asing (independent power producer/IPP) dalam pembangunan pembangkit listrik di Indonesia. Sebanyak 25 ribu MW dibangun oleh IPP, sementara PLN hanya 10 ribu MW.
9
Yang termasuk dalam kategori kelompok ini antara lain : hidran umum, asrama badan sosial, tempat ibadah, penjahit, rumah yatim piatu, dll. 17
Pemerintah juga berencana mengubah status bisnis PT PLN (Persero) dari semula badan usaha penyedia ketenagalistrikan di lingkup hulu ke hilir, hanya menjadi perusahaan penyedia jaringan distribusi, transmisi dan jasa perawatan infrastruktur listrik. Rencana untuk menjadikan PLN sebagai service companyakan dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu 5 s/d 10 tahun mendatang. Pengubahan status perusahaan ini dimaksudkan untuk meringankan beban keuangan dan tanggung jawab PLN di sektor pembangunan pembangkit listrik. Saat ini PLN sudah mulai berkonsentrasi ke pembangunan transmisi, distribusi dan services jaringan listrik. Ini dilakukan karena seluruh proyek pembangkit akan diberikan ke swasta. Di Filipina bahkan konsep ini sudah lama diterapkan. Skema IPP IPP dibagi dalam 2 (dua) skema yaitu : 1.
PPP, dengan government support
2.
Business to business, tanpa government support
Sedangkan dari peraturan-peraturan yang ada, proyek IPP dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori: 1.
IPP dengan pola PPP (Public Private Partnership) – Mengacu kepada Perpres No 67/2005 Jo No 13/2010, mendapatkan jaminan Pemerintah.
2.
IPP pola Business to business– Mengacu pada PP No 3/2005 dan peraturan turunannya. Umumnya IPP dengan perusahaan domestik dan tidak ada jaminan Pemerintah.
3.
IPP skala kecil dengan pola published tariff – Mengacu kepada PP No 3/2005 dan Permen ESDM No 31/2009. Umumnya IPP PLTM dengan pengembang domestik.
4.
IPP Panasbumi – Mengacu kepada Permen ESDM No 2/2011 tentang penugasan kepada PLN untuk membeli listrik dari PLTP.
VI. PENUTUP : URGENSI INOVASI TEKNOLOGI DAN TATA KELOLA Permen PU No 13 Tahun 2013 mengamanatkan bahwa dalam rangka peningkatan pelayanan air minum, perlu dilakukan pengembangan sistem penyediaan air minum (inovasi teknologi) yang bertujuan untuk membangun, memperluas, dan/atau meningkatkan sistem fisik (teknik) dan non fisik (tata kelola) berupa kelembagaan, manajemen, keuangan, peran masyarakat, dan hukum dalam kesatuan yang utuh untuk melaksanakan penyediaan air minum kepada masyarakat menuju keadaan yang lebih baik dan sejahtera. Dari hasil facts dan findings yang ada, serta analisis terhadap peraturan dan best practices, dihighlight kembali beberapa hal sebagai berikut guna mengembangkan sistem penyediaan air minum melalui inovasi teknologi dan tata kelolanya :
18
Inovasi Teknologi : Uprating IPA 1) Teknologi Upratinglayak digunakanuntuk meningkatkan kapasitas IPA. Teknologi ini sudah proven di beberapa lokasi PDAM (seperti di Bogor, Badung, Batam, dll). Beberapa kelebihannya antara lain : -
Menghemat biaya pembangunan sampai dengan 50%, lahan yang diperlukan juga hanya 50% (karena teknologi Uprating sangat compact dan rigid). Perbaikan kinerja di IPA akan berdampak pada penghematan biaya OP.
Gambar 6. Analisis Kelayakan Finansial SPAM dengan Teknologi Uprating -
Tidak hanya dari aspek finansial, teknologi ini juga bisa memberikan manfaat ekonomi lokal dengan membuka lapangan pekerjaan baru (bekerjasama dengan SMK lokal setempat).
-
Mengambil pelajaran dari penerapan teknologi Uprating di berbagai PDAM, ada satu hal yang dapat dipetik yaitu terbukanya peluang produksi dan industrialisasi teknologi Uprating yang digunakan dalam memberikan layanan air minum berkualitas.
-
Hasil ujicoba dan uji terima sistem (commissioning) IPA dijamin dengan bentuk PBC (Performance Based Contract).
-
Sedangkan berkaca dari pengalaman PT. AAT, jaminan kinerja yang diberikan oleh vendor dari luar negeri terkait sistem jaringan perpipaan dan distribusi (termasuk kualitas pipa yang tergolong “food grade”, dukungan teknologi informasi untuk meningkatkan layanan pelanggan dan memantau kebocoran, dsb.) seharusnya ditangkap para produsen teknologi dalam negeri, termasuk 19
Puslitbang Perumahan dan Permukiman untuk menyediakan teknologi yang lebih kompetitif. Hal ini juga dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap produk asing. -
Menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan diberlakukan pada tahun 2016, dengan memfasilitasi produksi teknologi Uprating secara massal, berbarengan dengan kebijakan penyiapan SDM operator yang profesional, disertai penyiapan SPM, akan dapat menjadi “amunisi” guna menghadapi MEA.
2) Bank Dunia menetapkan batas maksimum NRW adalah 25%, Inggris sebesar 19%, Chili sebesar 15%. Agar upaya peningkatan kinerja di sistem IPA berjalan dengan optimal, Indonesia harus menetapkan batas maksimum NRW melalui kerangka regulasi yang tegas (PDAM juga diberi kewajiban untuk menurunkan NRW). Pemberlakuan sanksi yang tegas, melibatkan aparat penegak hukum, menjalin MoU untuk bersama-sama berkomitmen menurunkan NRW, memahami bahwa NRW jangan hanya menjadi tugas operator, tetapi merupakan tugas negara, merupakan upaya yang harus dilakukan seluruh stakeholder.Dengan demikian maka upaya penurunan NRW dapat dilakukan secara lebih masif dan sistematis.
Inovasi Tata Kelola dan Pembiayaan 1) Beberapa skema yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja penyelenggara SPAM, khususnya PDAM, dengan mempertimbangkan kondisi PDAM yang bersangkutan. -
Dapat bekerjasama dengan swasta atau BUMN/BUMD. Yang dapat dilakukan Pemerintah adalah memperketat regulasi untuk pengawasan dan memberlakukan SPM karena bagaimanapun juga kita membutuhkan swasta di tengah-tengah funding gap yang terjadi. Best practice dari Ofwats, JWWA, dan PT. AAT hendaknya menjadi inspirasi untuk tidak menutup peran swasta dalam penyelenggaraan SPAM.
-
Keterlibatan swasta, jika memungkinkan, sebaiknya di seluruh proses, tidak hanya terbatas pada Unit Produksi saja. Hal ini agar memudahkan swasta menyusun rencana bisnis mereka. Adalah Pemerintah/Pemda yang memegang wewenang penuh agar risiko investasi dapat ditekan supaya swasta juga dapat terlibat di Unit Distribusi dan Pelayanan. Kekhawatiran publik seiring dicabutnya UU No. 7 Tahun 2014 dapat diantisipasi dengan rekomendasi sebelumnya, yaitu melindungi hak publik melalui pemberlakukan regulasi dan pengawasan yang ketat agar swasta comply terhadap aturan yang ada.
-
Kendala pembiayaan yang dialami sebagian besar PDAM dapat diatasi dengan berbagai skema bantuan pembiayaan yang ada. RIDF menjadi salah satu skema yang cukup menarik, dan dapat dimanfaatkan oleh Pemda. Selain itu, dengan koordinasi dan komunikasi yang intensif (disertai kemudahan perizinan dari 20
Pemda), maka dukungan penjaminan10 dari PT. PII untuk proyek-proyek SPAM juga dapat dilakukan. -
Selain itu, bantuan stimulan dari dana APBN cq. Ditjen CK dapat dimanfaatkan untuk investasi di Unit Distribusi. Namun yang perlu dicatat disini adalah harus adanya kontribusi dana dari APBD Provinsi dan APBD Kab/Kota.
-
Masuknya CSR dalam pembiayaan SPAM juga sangat dimungkinkan. Jika PDAM hendak menggunakan dana CSR, sebaiknya proposal yang disusun dipersiapkan dengan baik.
2) Kuantitas, kualitas, dan kontinuitas air baku menjadi prasyarat keberhasilan kinerja SPAM. Untuk itu, SIPA harus di-manage secara profesional. SIPA juga sebaiknya tidak hanya berlaku 2 – 5 tahun. Untuk kasus proyek SPAM yang dibiayai swasta melalui skema BOT, BBWS atau pengelola WS harus menjamin kuantitas, kualitas, dan kontinuitas air bakuyang diterbitkan dalam SIPA selama masa konsesi. Ketentuan detail mengenai SIPA dapat dilihat pada Permen PUPR No. 37 Tahun 2015. 3) Kebijakan pendayagunaan sumberdaya air yang salah satunya digunakan untuk air minum harus dibarengi dengan kebijakan pengendalian eksploitasi air tanah.Untuk itu, layanan SPAM harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat; selain agar target 100% akses air minum terpenuhi, juga agar eksploitasi air tanah dapat dikendalikan. 4) SPAM seyogyanya tidak dipandang hanya menjadi tugas Kementerian PUPR saja. Dukungan kementerian dan BUMN lain, sepertibeberapa permasalahan yang dialami PDAM Tirta Pilausa, Kab. Asahan memerlukan dukungan kebijakan dari Kementerian Perhubungan, PT. KAI, PT. PLN (untuk jaminan pasokan listrik), dsb. 5) Memberlakukan tarif air secara nasional (dibuat per regional) seperti yang dilakukan oleh Ofwats dapat diwacanakan di Indonesia namun harus melalui tahapan riset pelanggan terlebih dahulu, konsolidasi dengan perusahaan/operator, dan konsultasi publik.
10
Investor dari luar negeri lebih cenderung berinvestasi di Unit Produksi. Hal ini dikarenakan banyaknya risiko di Unit Distribusi (termasuk NRW). Skema kontrak yang digunakan adalah “Take or Pay”. 21
DAFTAR PUSTAKA ADB (2010). The Issues and Challenges of ReduciNon-Revenue Water. ADB : Manila. BPPSPAM. (2014). Model Percepatan Layanan Penyediaan Air Minum Perkotaan : Best Practice KPS SPAM Kabupaten Tangerang. Jakarta. BPPSPAM. (2014). Kinerja PDAM 2014 Wilayah I, II, III. Jakarta. Carney, D. & Farrington, J. (1998). Natural Resource Management and Institutional Change. Routledge : London. JWWA (2014). Profile Japan Water Works Association. Tokyo. Linder (1995) Frame/Value Critical Analysis Permen PU No 13 Tahun 2013 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Permenkes No.492/MENKES/PER/IV/2010 tentangPersyaratan Kualitas Air Minum. Permen PU No. 21/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Pengembangan SPAM.
Kelayakan
Investasi
Savas, E.S. (1987). Privatization: The key to better government. Chatham: Chatham House Schmidt, R. (2006) „Value-Critical Policy Analysis‟, dalam Dvora Yanow &Peregrine Schwartz-Shea (eds) Interpretation and Method, 2nd edn (Armonk: M.E. Sharpe), 322– 37. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal http://www.ccwater.org.uk/waterissues/pr14/ http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150205161918-78-29942/menkeu-targetkanpengalihan-aset-pip-ke-smi-tuntas-agustus/ http://listrik.org/pln/ipp-ppa/ http://www.ccwater.org.uk/savewaterandmoney/lower-bills-for-customers-struggling-to-pay/ http://www.ppwsa.com.kh/en/index.php?page=cleanwaterforall http://www.ppwsa.com.kh/en/index.php?page=sharingthereformprocess http://edukasi.kompas.com/read/2013/02/13/21205114/Teknologi.Pengolahan.Air.Minum.Ma sih.Konvensional http://www.aat.co.id/18-content-Daftar%20Tarif%20Pemakaian%20Air.html http://www.ccwater.org.uk/savewaterandmoney/averagewateruse/ www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150312133525-85-38667/jk-tebar-wacana-kurangitugas-pln-bangun-pembangkit-listrik/
22