POLICY BRIEF : PEMETAAN SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN MENDUKUNG PENGEMBANGAN KAWASAN DAN KONSERVASI EKOSISTEM DANAU TEMPE SULAWESI SELATAN
Fx.Hermawan K Adji Krisbandono M.Andri Hakim A Andi Suriadi Masmian Mahida Dwi Rini Hartati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan 1 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Policy Brief : Pemetaan Sosial Ekonomi Dan Lingkungan Mendukung Pengembangan Kawasan Dan Konservasi Ekosistem Danau Tempe Sulawesi Selatan Penulis: Fx.Hermawan K Adji Krisbandono M.Andri Hakim A Andi Suriadi Masmian Mahida Dwi Rini Hartati ISBN : 978-602-0811-07-9 Editor: Tomi Hendratno Layout dan design: Tomi Hendratno Penerbit: Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Redaksi : Gedung Heritage Lt.3 Jl.Pattimura No.20 Kebayoran Baru 12110 Jakarta Selatan Cetakan pertama, Desember 2015 ©Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas taufik dan hidayah-Nya sehingga penyusunan bukuPolicy Brief berjudul Pemetaan Sosial Ekonomi Dan Lingkungan Mendukung Pengembangan Kawasan Dan Konservasi Ekosistem Danau Tempe Sulawesi Selatan oleh Pusat Litbang Kebijakandan Penerapan Teknologitelah terlaksana denga nbaik. Pusat Penelitian dan Pengembangan KebijakandanPenerapan Teknologi mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan, pengkajian kebijakan dan strategi pengembangan infrastruktur serta penerapan teknologi hasil penelitian dan pengembangan bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Latar belakang penulisan buku policy brief berjudul Pemetaan Sosial Ekonomi Dan Lingkungan Mendukung Pengembangan Kawasan Dan Konservasi Ekosistem Danau Tempe Sulawesi Selatan ini dikarenakan Danau Tempe salah satu danau di Sulawesi Selatan yang saat ini kondisinya cukup memprihatinkan yang ditetapkan sebagai salah satu di antara 15 (lima belas) danau yang perlu mendapat prioritas penanganan. Hal tersebut terjadi karena kawasan danau Tempe sedang mengalami permasalahan ekosistem. Dalam buku policy brief ini berisi pemetaan sosial, ekonomi, dan lingkungan di kawasan Danau Tempe dan rumusan rekomendasi zona – zona prioritas untuk penanganan sedimentasi yang akan dilakukan oleh BBWS Pompengan Jeneberang, Ditjen SDA. Akhirnya, kami mengucapkan selamat dan terimakasih kepada Tim Penyusun yang telah merumuskan buku policy brief ini. Semoga buku policy brief ini bermanfaat sebagai dasar pengambilan kebijakan, acuan dalam melakukan program/kegiatan, sekaligus sebagai pegangan dalam melakukan pendekatan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan danau Tempe.
Jakarta, Desember 2015 Ir.Bobby Prabowo, CES Kepala Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
ii
RINGKASAN Danau Tempe adalah salah satu dari 15 danau yang kondisinya dalam kategori kritis. Hal ini ditandai oleh laju sedimentasi yang tinggi, terbatasnya volume air, penurunan kualitas air, berkurangnya jenis tanaman di sekitar danau, dan hilangnya beberapa jenis fauna. Kebijakan pemerintah melakukan revitalisasi, memerlukan dukungan terutama pada aspek sosial ekonomi dan lingkungan. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa dari sisi aspek sosial, kawasan Danau Tempe secara umum dimanfaatkan oleh dua kelompok masyarakat, yakni nelayan dan petani. Dalam pengelolaan lahannya, terdapat tipologi pemanfaatan lahan, baik untuk pertanian, perikanan, maupun konservasi. Untuk menata pola pemanfaatan tersebut diterbitkan Perda dan/atau Peraturan Bupati di 3 kabupaten. Selain itu, terdapat norma dan pranata sosial yang mengatur tata cara pemanfaatan danau dan mekanisme penerapan sanksi oleh macoa tappareng (tetua danau). Dari sisi aspek ekonomi, masyarakat di kawasan Danau Tempe telah menjadikan sebagai tumpuan mata pencaharian untuk pertanian: padi, jagung, kacang hijau, kedelai, serta labu dan semangka; untuk perikanan dengan pendapatan/keuntungan: nelayan tombak, nelayan jalan, nelayan jaring/lanra, nelayan jabba trwal, jabba kawat/besi, dan nelayan bungka toddo. Dari aspek lingkungan kondisi kawasan Danau Tempe sudah sangat memprihantinkan ditandai dengan semakin tingginya sedimentasi dan semakin luasnya areal DAS yang terkonversi dari vegetasi menjadi pertanian, yakni 63,2 km2 sejak tahun 2000 s/d 2015. Kondisi ini juga diperkuat oleh persepsi masyarakat terhadap perubahan kondisi lingkungan di kawasan Danau Tempe. Mendukung dan menghindari terjadinya konflik dalam proses revitalisasi, berupa penghentian sementara pelelangan kawasan Danau Tempe, mengidentifikasi tanah danau yang sudah mendapat SPPT dan sertifikat, melakukan pengerukan pola sentrifugal, kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, kompensasi tanah kas desa atau tanah masyarakat dengan membuat pulau di tengah danau, tanah kerukan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bata merah dan untuk meninggikan lokasi kawasan permukiman terutama di Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo, membuat tanggul di sekeliling danau sebagai garis batas danau sehingga tidak ada lagi okupasi lahan yang dilakukan warga secara tidak sah. Selain itu, untuk memperkuat masyarakat kawasan Danau Tempe sebagai masyarakat nelayan, perlu didukung oleh sarana dan prasarana seperti pendidikan (misalnya mendirikan sekolah perikanan) sekaligus dapat mendorong tingkat akseptabilitas masyarakat terhadap rencana revitalisasi. iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................................................ ii RINGKASAN ................................................................................................................................................. iii DAFTAR ISI ................................................................................................................................................... iv I.
PENDAHULUAN..................................................................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .............................................................................................................................. 1 1.2. Tujuan ........................................................................................................................................... 3 1.3. Metode Penelitian ........................................................................................................................ 4
II.
GAMBARAN UMUM LOKASI ................................................................................................................ 8
III. HASIL PEMETAAN ................................................................................................................................ 10 3.1 Aspek Sosial di Kawasan Danau Tempe .................................................................................... 10 3.2 Aspek Ekonomi Masyarakat di Danau Tempe........................................................................... 19 3.3 Aspek Lingkungan Danau Tempe ............................................................................................... 20 3.4 Potensi Konflik ........................................................................................................................... 21 IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ..................................................................................................... 23 DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................................... 26
iv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia diperkirakan memiliki tidak kurang dari 500 danau dengan luas keseluruhan lebih dari 5.000 km² atau sekitar 0,25 % luas daratan Indonesia. Namun, saat ini kondisi sebagian besar danau di Indonesia berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan sehingga fungsi danau sudah sangat berkurang. Kondisi tersebut diakibatkan oleh rusaknya lingkungan danau, lemahnya koordinasi antarsektor dan wilayah dalam pemanfaatan danau, dan belum adanya visi dan rencana pengelolaan danau yang baik (Moedjodo dan Hironori, 2004). Salah satu danau yang saat ini kondisinya cukup memprihatinkan adalah danau Tempe di Sulawesi Selatan. Hal ini sejalan dengan data Meneg LH Tahun 2011 yang menetapkan danau Tempe sebagai salah satu di antara 15 (lima belas) danau yang perlu mendapat prioritas penanganan. Hal tersebut terjadi karena kawasan danau Tempe sedang mengalami permasalahan ekosistem, antara lain terbatasnya volume air danau, penurunan kualitas air, berkurangnya jenis tanaman di sekitar danau, dan hilangnya beberapa jenis fauna, termasuk beberapa jenis burung (Koeshendrajana dalam Surur, 2014). Masalah yang paling krusial dihadapi dalam beberapa dekade terakhir di danau Tempe adalah tingkat sedimentasi yang sangat tinggi. Sedimentasi tersebut terjadi secara alamiah yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara di kawasan danau Tempe, yakni sungai Walennae, sungai Bila, sungai Lawo, sungai Batu Batu, dan sungai Bilokka. Tingkat sedimentasi di danau Tempe berdasarkan data JICA tahun 1980 menyatakan bahwa konsentrasi sedimen di danau mencapai 2,4 juta m³ per tahun dan sedimen yang lewat sungai mencapai 1,8 juta m³ per tahun dan diperkirakan tingkat sedimentasi di danau sebesar 1 cm m³ per tahun (Muin, 2004). Tingginya sedimentasi (dan berbagai faktor penyebab, seperti pencemaran pertanian dan rumah tangga, overfishing, perubahan struktur biota perairan, eksploitasi badan air yang berlebihan, belum optimalnya restocking ikan, dll) mengakibatkan penurunan hasil tangkapan ikan. Tercatat pada tahun 1948 ikan yang tertangkap mencapai 58.000 ton/tahun. Jumlah ini semakin menurun, pada tahun 1955 sebesar 48.000 ton/tahun, hingga data terakhir tahun 2011 yang menunjukkan hanya sebesar 10.960 ton/tahun (Dina, et.al., 2014).
1
Selain sedimentasi, masalah yang juga tidak kalah besar dampaknya adalah seringnya terjadi banjir. Peningkatan permukaan air danau yang disebabkan oleh terbatasnya kapasitas pengeluaran (outflow) sungai Cenranae dan semakin tingginya tingkat sedimentasi telah menyebabkan terjadinya banjir yang setiap tahun terjadi. Pada musim hujan, air akan meluap dan menjadi satu perairan yang luasnya mencapai 30.000 – 43.000 ha dan menggenangi areal persawahan, perkebunan, rumah penduduk, prasarana jalan dan jembatan, serta prasarana sosial lainnya yang menimbulkan kerugian yang cukup besar di beberapa wilayah di Kabupaten Wajo, Kab. Soppeng, dan Kab. Sidrap sering terendam oleh setiap tahun (Muin, 2004). Upaya untuk mengatasi permasalahan dan peningkatan fungsi danau Tempe telah dilakukan antara lain dengan pembangunan Bendung Gerak yang dibangun mulai tahun 2010 dan selesai 2012. Bendung ini berfungsi untuk mempertahankan elevasi muka air danau dengan elevasi +5. Di samping itu, juga sebagai intake PDAM Sengkang, perikanan, pariwisata, dan irigasi pompa (https://www.pu.go.id/m/main/view/10263). Dalam konteks yang lebih luas, upaya pengembangan skala kawasan juga sudah mulai dilakukan. Hasil analisis laporan studi kawasan danau Tempe dan sekitarnya teridentifikasi potensi pengembangan dan pengelolaan danau Tempe dalam menunjang Kapet Pare Pare, yakni: (a) Potensi ekologi dan sumber daya air, meliputi: potensi sumber daya airoptimasi pemanfaatannya masih terbuka luas, potensi ekosistem perairandanau serta potensi ekosistem tanah basah yang dimiliki kawasan danauTempe pemanfaatannya masih terbuka luas, potensi geologis untukpengembangan tanaman pangan optimasi pemanfaatannya terbuka, danpotensi hidrologis untuk pengembangan perikanan air tawar/payau optimasipengembangannya yang masih berpeluang. (b) Potensi kependudukan dan sosial budaya, meliputi: tradisi pengelolaankawasan danau yang telah berjalan selama ini dapat dijadikan basispenyusunan model pengelolaan di masa mendatang, tradisi pesta nelayandanau maccera tappareng dapat dikembangkan menjadi objek wisata budaya,dan potensi tenaga kerja di bidang pertanian dan perikanan yang tumbuh saatini merupakan modal potensial pengembangan kawasan sekitar danau Tempe.
2
(c) Potensi ekonomi, meliputi: Kabupaten Pinrang saat ini telah dikembangkansebagai pusat pelayanan untuk pengembangan produksi padi dan KapetParepare memberikan peluang kawasan sekitar danau Tempe untukpengembangan pertanian (padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ikan asin air tawar),industri (beras dan ikan asap), dan pariwisata (agrowisata dan ekowisata). (d) Potensi tata ruang, meliputi: telah ditetapkannya tata guna hutan kesepakatanProvinsi Sulawesi Selatan dan adanya arahan pengembangan pusat-pusatpelayanan di antaranya terdapat di kawasan sekitar danau Tempe. (e) Potensi sumber dana dan kelembagaan, meliputi: kelembagaan pemerintahmasih dimungkinkan optimasi kinerjanya untuk menunjang pengelolaankawasan danau Tempe, adanya lembaga Kapet Parepare sebagai fasilitatorpengembangan ekonomi yang berdaya jangkau lintas kabupaten, adanyapotensi kelembagaan masyarakat seperti koperasi dan lembaga swadayamasyarakat (Surur, 2014). Sementara itu, arahan pengelolaan kawasan danau Tempe, meliputi: (a) pengelolaan kawasan lindung: cathment area sungai inflow dan outflowdanau Tempe dan sekitarnya, (b) dataran sekitar perairan Danau Tempe dan (c) kawasan perairan (Surur, 2014).Untuk mendukung upaya-upaya pengembangan kawasan dan pelestarian ekosistem danau Tempe, diperlukan pemetaan sosial, ekonomi, dan lingkungan agar berbagai potensi yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal. Hasil pemetaan sosial, ekonomi, dan lingkungan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai dasar pengambilan kebijakan, acuan dalam melakukan program/kegiatan, sekaligus sebagai pegangan dalam melakukan pendekatan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan danau Tempe. 1.2. Tujuan
Tujuan: untuk memetakan kondisi dan potensi sosial ekonomi dan lingkungan terkait dengan rencana revitalisasi kawasan Danau Tempe.
Keluaran: - Peta Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan, berupa informasi kondisi eksisting dan potensi permasalahan sosial ekonomi dan lingkungan (sosekling). Untuk visualisasi dan mempermudah pemahaman konteks
3
permasalahan, peta sosekling yang dihasilkan akan di-overlaydengan peta spasial. - Rekomendasi Kebijakan, berupa rumusan rekomendasi zona – zona prioritas untuk penanganan sedimentasi yang akan dilakukan oleh BBWS Pompengan Jeneberang, Ditjen SDA. Zona prioritas merupakan zona – zona yang minim konflik, mendapatkan dukungan/partisipasi dari komunitas lokal dan pemda, serta di luar zona reservat1untuk terjaganya habitat ikan.
1.3. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam pelaksanaan advis ini adalah metode kualitatif.Ada empat teknik pengumpulan data yang dilakukan, yakni pengumpulan data sekunder (hasil-hasil penelitian dan data instansi terkait), wawancara, focus group discussion (FGD), dan observasi lapangan.Data sekunder diperoleh dari laporan Konsultan Nippon Koei, Limnologi LIPI, tesis/makalah, dan berita-berita di media elektronik.Sedangkan wawancara dilakukan kepada BBWS Pompengan – Jeneberang, Pemda Kab.Wajo dan Pemda Kab.Soppeng.Selain itu, dilakukan focus group discussion (FGD) dengan para lurah/kepala desa dan masyarakat petani/nelayan. Untuk Tahap I di Kab.Wajo telah dilakukan FGD dengan para lurah/kepala desa dan masyarakat petani/nelayan yang wilayahnya berbatasan dengan Danau Tempe.Sedangkan Tahap II dilakukandi Kab.Sidrap dan Kab.Soppeng.Sementara itu, observasi lapangan dilakukan dengan melihat langsung aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, baik di areal danau maupun di sekitar/pinggiran danau.Metode analisis data dilakukan dengan analisis data kualitatif.Pada penggunaan metode kualitatif, data dianalisis dengan cara identifikasi, klasifikasi, eksplanasi, dan penarikan kesimpulan.
1
Zona Reservat diusulkan oleh LIPI melalui Dina et.al (2014) sebagai zona dengan ketersediaan pakan alami dan kondisi habitat yang juga secara alami mampu menjaga populasi sumberdaya ikan di Danau Tempe.
4
1.4.
Landasan Konseptual
Pemetaan pada dasarnya merupakan suatu istilah generik yang mendeskripsikan sejumlah proses untuk merepresentasikan ide-ide dalam bentuk suatu gambar atau peta (Kane dan Willian, 2007). Secara lebih rinci, berdasarkan Permen PU No. 05/PRT/M/2013 tentang Pedoman Pemetaan Sosial Ekonomi dan Lingkungan Bidang Pekerjaan Umum disebutkan bahwa pemetaan adalah suatu proses penggambaran secara sistematis mengenai kondisi dan potensi sosial, ekonomi, dan lingkungan di suatu wilayah untuk menyediakan data dan informasi yang dibutuhkan dalam setiap tahapan pembangunan bidang pekerjaan umum. Dalam hal aspek sosial menurut Suharto (2005), pemetaan sosial adalah proses penggambaran masyarakat yang sistemik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi mengenai masyarakat termasuk di dalamnya profile dan masalah sosial yang ada pada masyarakat tersebut. Pengumpulan data dan informasi dalam pemetaan sosial menurut Rudito dan Melia (2008) dapat dilakukan dengan menggunakan existing data approach, attitude data approach, key informan approach, community forum, dan focus group discussion.Sementara itu, Prayogo (2003) mengatakan bahwa pemetaan sosial sebagai upaya mengidentifikasi dan memahami struktur sosial – sistem kelembagaan dan individu – dan tata hubungan antar-lembaga dan/atau individu pada suatu lingkungan sosial tertentu.Peta sosial yang baik dapat digunakan sebagai dasar kebijakan dan strategi secara positif dalam membangun relasi yang saling mendukung dan menguntungkan (Prayogo, 2011). Dalam konteks aspek ekonomi, pemetaan ekonomi adalah pemetaan yang mendeskripsikan aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat suatu wilayah, baik yang bersifat makro maupun mikro.Sementara itu, pemetaan lingkungan lebih banyak diarahkan untuk kondisi lingkungan alam, sosial, dan binaan yang dalam suatu kawasan tertentu. Namun demikian, pada intinya, pemetaan sosial ekonomi dan lingkungan sebagaimana Permen PU No. 05/PRT/M/2013 berusaha memetakan potensi dan masalah sosial ekonomi dan lingkungan, yakni: (a) Masalah sosial adalah kondisi yang tidak sesuai antara harapansebagian masyarakat dengan realitas yang terjadi akibat ada atau tidak adanya pembangunan infrastruktur bidang pekerjaan umum, yang memerlukan pemecahan melalui kebijakan atau tindakan bersama untuk mengatasinya.
5
(b) Masalahekonomi adalah kondisi yang mengakibatkan kemiskinan, keterbelakangan, pengangguran/minimnya kesempatan kerja, serta belum optimalnya berbagai potensi ekonomi sumber daya. (c) Masalah lingkungan adalah kondisi penurunan kualitas lingkungan akibat adanya aktivitas masyarakat yang menganggu dan/atau merusak daya dukung dan daya tampung beban lingkungan. (d) Potensi sosial adalah faktor sosial yang berperan dan berpengaruh dalam masyarakat yang dapat dilibatkan, difungsikan, dan dikembangkan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan bidang pekerjaan umum. (e) Potensiekonomi adalah faktor yang berperan dan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan, aset/modal, dan nilai tambah produksi dalam mendorong peningkatan kesejahteraan suatu wilayah dan masyarakat. (f) Potensilingkungan adalah faktor perilaku masyarakat yang berperan dan berpengaruh terhadap lingkungan alam, sosial, dan binaan. Sementara itu, dalam konteks pengembangan kawasan, wilayah/kawasan sering didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya, terdiri dari: (a) Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. (b) Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Pembangunan seyogyanya tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan sektoral yang bersifat parsial, namun lebih dari itu, pembangunan diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya sebagai unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, buatan, manusia dan sistem aktivitas), yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang melingkupinya.Perencanaan pengembangan kawasan (termasuk kota), secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan 6
merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang kabupaten dan kota serta pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginkan (Sirait, 2009).
7
II. GAMBARAN UMUM LOKASI Danau Tempe terletak di Provinsi Sulawesi Selatan yang berada pada koordinat 119º53´ -120º04´ BT dan 4º09´ LS. Luas kawasan danau 13.750 ha yang berbatasan dengan 3 wilayah, yakni Kab. Wajo, Kab. Soppeng, dan Kab.Soppeng.Secara topografis, kawasan danau Tempe merupakan lembah yang dikelilingi pengunungan dengan 1.500 – 3.00 mdpl. Pada musim hujan, level permukaan air dapat mencapai elevasi 9,0 mdpl dengan 43.000 ha. Pada musim kemarau normal elevasinya mencapai 4,5 mdpl dengan luas 10.00 ha. Sedangkan pada musim kemarau panjang mencapai level terendah dengan elevasi 3,5 mdpl dengan luas 1.000 ha (Surur, 2014). Secara hidrologis, danau Tempe merupakan terminal sekunder (tempat penampungan yang mengumpulkan aliran beberapa sungai) dan sungai-sungai di sekelilingnya kemudian mengalir ke laut Teluk Bone di Kabupaten Bone. Hal ini yang menyebabkan fluktuasi muka air sangat bergantung pada aliran keluarmasuk dari dan ke danau Tempe. Muka air yang tinggi disebabkan oleh tidak cukupnya kapasitas sungai Cenranae mengalirkan ke Teluk Bone dan menurunnya kapasitas tampungan karena sedimentasi (Surur, 2014). Secara administratif, kawasan danau Tempe meliputi 3 kabupaten, yakni Kab. Wajo, Kab. Soppeng, dan Kab. Sidenreng Rappangdengan 7 kecamatan dan 26 desa/kelurahan yang berbatasan langsung. Distribusi wilayah administrasi kawasan danau Tempe dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Wilayah Administrasi Kawasan Danau Tempe
No. Kabupaten
Kecamatan
1.
Wajo
2.
Soppeng
3.
Sidenreng Rappang Jumlah
Tanasitolo Tempe Sabbangparu Belawa Marioriawa Donri Donri Panca Lautang 7 Kecamatan
8
Jumlah Desa 6 5 6 3 3 1 2 26 Desa
Khusus desa/kelurahan yang berbatasan langsung dengan Danau Tempe dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Desa-desa yang Berbatasan Langsung dengan Danau Tempe
9
III. HASIL PEMETAAN 3.1 Aspek Sosial di Kawasan Danau Tempe 3.1.1 Pola Pemanfaatan Areal Danau Tempe Masyarakat yang berada di sekitar kawasan Danau Tempe sangat tergantung terhadap keberadaan dan kondisi air Danau Tempe. Kelompok masyarakat yang sangat tergantung terhadap keberadaan Danau Tempe terutama dalam hal mata pencaharian adalah petani dan nelayan.Secara tipologi, pola pemanfaatan areal Danau Tempe dapat dibagi ke dalam dua kategori (a) air danau ketika air menggenang dan (b) tanah danau ketika air surut. Pada saat air danau menggenang masyarakat menggunakan air genangan sebagai tempat mencari ikan, baik secara berpindah-pindahmaupun menetap.Aktivitas nelayan yang berpindah umumnya dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan jaring, tombak, jala, dan tongkang, sedangkan nelayan yang menetap dilakukan oleh nelayan bungka toddo.Sementara itu, pada saat air surut2, tanah digunakan untuk aktivitas bertani, baik padi maupun palawija.Pada umumnya, masyarakat di sekitar Danau Tempe memiliki 2 profesi pekerjaan, yakni menjadi nelayan dan bertani. 3.1.2 Tipologi Pengelolaan Lahan Danau Tempe Ada beberapa tipe pengelolaan lahan di kawasan Danau Tempe yang dikenal, seperti tanah ongko, tanah ex ornament, tanah koti, tanah bebas, tanah patok Belanda, dan tanah milik. Konsep-konsep penguasaan tanah tersebut adalah: 2
Pada musim kemarau Danau Tempe berstatus open access, pada masa ini berlaku sebagai area palawang. Dimana aktivitas pengakapan ikan berkurang dan debit air danau menurun. Pada masa ini ada kearifan nelayan untuk memberi kesempatan ikan-ikan berkembang biak. Sehingga masyarakat nelayan tradisional cenderung melakukan aktivitas pertanian pada lahan sedimen yang semakin meluas pada musim kemarau. Lahan-lahan sedimen dimanfaatkan secara pribadi yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan konflik antar nelayan setempat terkait status pemanfaatannya.
10
(a) Tanah ongko adalah lahan yang dikuasai secara tradisional oleh desa dan kecamatan yang diolah atau dipersewakan untuk penghasilan desa/kecamatan. (b) Tanah ex ornamentadalah lahan yang dikuasai sepenuhnya oleh negara, dan dikuasakan pemanfaatannya kepada penduduk melalui sistem lelang oleh Pemerintah Daerah. Secara teknis, pelaksanaan lelang dilakukan Dinas Perikanan untuk jangka waktu 2 tahun selama periode tahun ganjil ke tahun genap, dan hanya berlaku saat lahan tergenang air atau dalam ungkapan lokal “penguasaan atas air dan ikannya”. (c) Tanah koti adalah tanah ex ornament yang di atasnya telah dilelangkan ikannya. Ketika air surut, lahan tersebut dibagi kepada masyarakat yang ingin menggarap lahan. Sistem pembagian tanah tersebut dilakukan dengan menggunakan system undian (koti). Di samping itu, juga ada tanah yang dikuasai secara turun-temurun. Secara teknis memiliki batas patok dan umumnya berukuran sekitar 10 x 100 depa per kapling. (d) Tanah bebas adalah yang tidak diatur pemakaiannya dan dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. (e) Tanah Patok Belanda adalah kawasan konservasi yang bebas dari aktivitas ekplorasi dan posisinya di tengah danau. (f) Tanah milikadalah diperoleh melalui tukar guling tanah pribadi yang digunakan untuk kepentingan umum, seperti untuk pembangunan sekolah. Sebagai gambaran tipologi pengelolaan tanah di lahan Danau Tempe dapat dilihat sketsa pada Gambar 3.1.
11
Batas Wilayah Desa Tanah Ongko (KasDesa/Kecamatan)
Tanah Milik
Tanah Ex Ornament (setelah air surut )menjadi Tanah Koti Tanah wilayahbebas Tanah wilayahpatokBelanda (kawasanKonservasi)
Gambar 3.1 Sketsa Tipologi PengelolaanLahan Danau Tempe
Selain itu, di kawasan Danau Tempe juga dikenal sistem zona berdasarkan langga, yang terbagi atas langga 1, langga 2, dan langga 3 dst. Langga menunjukkan kedalaman, tetapi dalam beberapa hal terkait karakteristik pengelolaan. Langga merupakan zona lokasi/kategori tempat di mana masyarakat biasanya melakukan kegiatan bercocok tanam di danau pada saat air surut. Menurut tingkatan ketinggiannya dari dasar paling dalam adalah sebagai berikut: (a) Langga 1 (paling dangkal/tinggi): Juli sampai akhir April atau awal Mei tahun berikutnya (sekitar 10 bulan). (b) Langga 2: Agustus – Desember dan Februari – awal Mei (sekitar 8 bulan). (c) Langga 3 dst: September – Oktober (sekitar 2 bulan) Untuk mengetahui gambaran langga (tingkatan) di danau Tempe dapat dilihat pada sketsa Gambar 3.2 di bawah ini.
12
Gambar 3.2 Sketsa Tingkatan Penggunaan Lahan (Langga)
Permasalahan saat ini adalah meskipun tanah di kawasan Danau Tempe yang masih merupakan tanah negara penguasaannya oleh Pemerintah Daerah dan Desa, namun sebagian tanah sudah mendapatkan SPPT.Demikian pula meskipun pola pemanfaatan lahan tanah negara, ada dilakukan secara undian (koti), namun ada pula yang sudah dikuasai secara turun-temurun. 3.1.3 Regulasi terkait Pemanfaatan Tempat dan Ikan di Danau Tempe Kawasan Danau Tempe secara administratif masuk ke dalam tiga kabupaten, yakni Wajo, Sidrap, dan Soppeng. Oleh karena itu, warga dari ketiga kabupaten tersebut memanfaatkan kawasan danau sebagai lokasi mata pencaharian. Untuk mengatur pemanfaatan kawasan danau khususnya potensi perikanan, setiap kabupaten membuat Peraturan Daerahdan/atau Peraturan Bupati sebagai berikut: a. Peraturan Daerah Kabupaten Wajo Pemerintah Kabupaten Wajo membuat Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kabupaten Wajo.Perda ini disusun dengan maksud dan tujuan untuk mengatur tata kelola sumber daya perikanan 13
untuk dimanfaatkan secara optimal dengan mengusahakannya secara berdaya guna yang berkelanjutan serta memperhatikan kelestariannya.Dalam Perda tersebut disebutkan bahwa pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya yang bertujuan mengatur tata kelola sumber daya perikanan untuk dimanfaatkan secara optimal dengan mengusahakannya secara berdaya guna yang berkelanjutan serta memperhatikan kelestariannya. Pengelolaan sumber daya ikan dilakukan agar sumber daya ikan dimanfaatkan secara optimal.Pemanfaatan sumber daya ikan dilakukan dalam dua bentuk, penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan.Akan tetapi, dalam kenyataannya pembudidayaan ikan di Danau Tempe tidak ada, sebaliknya penangkapan ikan justru yang dilakukan oleh masyarakat. Terkait dengan jenis dan syarat tempat penangkapan ikan, dalam Perda tersebut terdapat tujuh jenis tempat penangkapan ikan, yakni: (a) Bungka Toddo adalah kumpulan rumput-rumputan tempat ikan berlindung yang diperkuat dengan patok-patok bambo. Bungka toddo pada dasarnya terdapat dalam lingkup daerah yang bernama palawang (b) Palawang adalah bagian-bagian danau atau tempat-tempat yang tertentu pada pinggiran yang luasnya telah ditentukan untuk dikuasai belat sekelilingnya. (c) Cappiang adalah alat penangkap ikan yang terdiri dari belle/belat atau kere dengan bubu dan dipasang pada tempat-tempat dan waktu yang tertentu di mana ujung-ujungnya berpegang pada tempat-tempat tertentu. (d) Sungai atau salo-salo pengairan yang terdapat di dalam daerah danau atau yang terdapat di pinggirnya di mana airnya mengalir dari atau ke danau itu yang dipasangi dengan alat-alat penangkap ikan (jermal). (e) Kalobeng adalah sebagai alat pembantu penangkap ikan yang dibuat di pinggir-pinggir danau/rawa-rawa yang bernentuk kolam. (f) Balete ialah tempat-tempat yang dibuat untuk sebagai pembantu untuk menangkap ikan di pinggir-pinggir danau yang berbentuk seperti sawahsawah yang diberi tanggul. (g) Rawa-rawaialah daerah-daerah danau di luar Danau Tempe dan Lapompakka yang merupakan tempat-tempat penangkapan ikan dengan umum yang 14
dihubungkan dengan sungai-sungai di mana musim penghujan airnya meluap dan di musim kemaraunya airnya kering. b. Peraturan Bupati Soppeng Untuk mengatur pengelolaan kawasan danau, Bupati Soppeng mengeluarkan Peraturan Bupati Soppeng No. 13/Perbup/VI/2012 tentang Tata Cara Pengelolaan Perairan Umum dan Tappareng Salae yang Dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Soppeng. Terkait dengan eksistensi bungka toddo, diatur pada Pasal 6, yakni: (a) Masa pemasangan bungka toddo di daerah palawang yang dilelang mulai tanggal 1 Juli sampai dengan 31 Desember. (b) Terhadap palawang dan daerah yang dibebaskan (ongkoE, belle barue, dan daerah bebas taccipie dilarang memasang bungka toddo dan alat tangkap yang menetap lainnya, kecuali dalam wilayah konservasi (reservaat) dapat dipasangi bungka sebagai tempat berkembang biaknya ikan dan biota air lainnya oleh petugas yang ditunjuk dari instansi teknis yang menangani fungsi perikanan. (c) Bungka toddo yang hanyut dari daerah palawang yang dilelang, dapat diambil kembali oleh pemilik atau pengelolanya apabila tidak melanggar belle palawang. (d) Luas maksimal setiap unit bungka toddo 1.000 meter keliling (1.000 lembar belle) dan jarak antara bungka toddo satu dengan lainnya minimal 200 meter. (e) Setiap orang maksimal memiliki 4 unit bungka toddo. (f)
Hak pengelolaan bungka toddo bagi pemajak pallawang berakhir pada tanggal 31 Desember setiap tahun.
(g) Pengelolaan bungka toddo di luar masa pallawang sebagaimana ayat (1) pasal ini yaitu pada tanggal 1 Januari sampai 30 Juni kembali ke Pemerintah Kabupaten Soppeng dan akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati. c. Peraturan Daerah dan Peruturan Bupati Sidenreng Rappang Untuk menjaga kelestarian ekosistem perikanan pada perairan umum dalam wilayah Kabupaten Sidenreng Rappang, maka disusun Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sumber Daya PerikananUmum dalam Wilayah 15
Kabupaten Sidenreng Rappang. Dalam Perda ini, bagian-bagaian danau dibagi ke dalam 4 bagian sebagaimana Pasal 6, yakni: (a) Palawang, yaitu tempat tertentu pada pinggir danau yang batasnya telah ditentukan untuk dikuasai oleh Pemerintah Daerah dengan dipasangi ornament berupa patok beton di bagian pinggir. (b) Ongko, yaitu palawang ex-ornament yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah. (c) Danau bebas, yaitubagian danau di luar palawang/ongko yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah (d) Reservat/pacok Belanda, yaitu tempat tertentu di kawasan danau yang tidak diperuntukkan sebagai wilayah penangkapan ikan untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan. Perda tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Bupati Nomor 10 tahun 2012 tentang Mekanisme Pemberian Hak Penangkapan Ikan pada Wilayah (Ongko) Danau Milik Pemerintah Kabupaten Sidenreng Rappang. Dari regulasi tiga kabupaten tersebut, dapat dikatakan bahwa terdapat hak pengelolaan di kawasan Danau Tempe yang sah menurut peraturan. Permasalahannya adalah jika dilakukan penegerukan saat ini sementara masih ada pihak mendapat penguasaan hak pengelolaan, tentu akan menimbulkan masalah karena terkait dengan sejumlah biaya yang telah dikeluarkan. 3.1.4 Tipologi Nelayan berdasarkan Jenis Alat Tangkap Terkait dengan perikanan, terdapat empat permasalahan yang dihadapi di Danau Tempe, yakni (a) erosi, sedimentasi, polusi air, dan berkurangnya volume air, (b) menurunnya produksi perikanan dan tidak berkesinambungannya restocking, (c) pengelolaan yang tidak terkoordinasi, dan (d) sudah mulai tidak dipatuhinya peraturan terkait kawasan perlindungan(patok Belanda) oleh nelayan setempat (Muliawan dan Fatriyandi, 2008). Dalam perkembangannya, belum ditemukan nelayan budidaya di Danau Tempe. Yang ada adalah nelayan tangkap. Secara tipologi, masyarakat nelayan di kawasan Danau Tempe dapat dibagi berdasarkan jenis alat tangkap: (a) Nelayan bungka toddo: nelayan yang mencari ikan dengan cara membuat gundukan tanaman air (terutama enceng gondok) sebagai tempat berlindung dan berkembang biaknya ikan dan menggunakan kerai (bambu) sebagai 16
perangkap yang mengelilingi tanaman air. Umumnya memerlukan elevasi air rendah ≤ 1,25 m dan berada di pinggiran danau. (b) Nelayan lanra: nelayan yang menggunakan jaring di perairan Danau Tempe. Umumnya memerlukan elevasi air yang tinggi > 1,25 m dan berada di tengah danau atau sekitar bungka toddo. (c) Nelayan jala: nelayan yang menggunakan jalan dalam menangkap ikan. Umumnya berada di pinggir sungai atau tengah danau dengan menggunakan perahu (d) Nelayan jabbatrawl: nelayan yang menggunakan perangkap berbentuk segi empat dalam jumlah rangkaian yang banyak. Umumnya memerlukan elevasi air yang rendah. (e) Nelayan jabba besi: nelayan yang menggunakan perangkap segi empat yang terbuat dari besi yang digunakan secara tunggal. (f)
Nelayan tongkang: nelayan yang menggunakan alat tangkap ikan dengan menggunakan jaring dengan gagang seperti gayung. Umumnya memerlukan areal genangan yang cukup tinggi.
(g) Nelayan tombak: nelayan menggunukan tombak sebagai alat tangkap yang umumnya dilakukan pada malam hari dengan menggunakan alat penerangan. (h) Nelayan strom aki: nelayan yang mengunakan aki sebagai alat tangkap. Umumnya menggunakan areal danau yang dangkal. Dari sejumlah alat tangkap tersebut, sebenarnya ada yang termasuk dilarang oleh Pemda, yakni strom aki, tongkang, jabba trowl, dan jabba besi.Jenis-jenis alat tangkap ini dilarang karena ikan-ikan kecil pun turut terambil sehingga dikhawatirkan produksi ikan Danau Tempe semakin menurun, bahkan terancam punah. 3.1.5 Sikap dan Persepsi terhadap Revitalisasi Kawasan Danau Tempe Saat ini, informasi yang hangat dan sedang berkembang, baik di kalangan aparat Pemda maupun masyarakat adalah adanya rencana revitalisasi kawasan Danau Tempe yang inti kegiatannya adalah pengerukan dan pembuatan danau.Secara umum, sikap Pemda sangat mendukung.Demikian pula masyarakat sekitar Danau Tempe sudah sangat lama menantikan program ini dapat 17
terealisasi.Hal ini dikarenakan hampir setiap tahun masyarakat mengalami banjir yang bukan hanya merendam areal pertanian warga, melainkan juga merusak rumah dan harta benda masyarakat.Oleh karena itu, Pemda dan masyarakat mengharapkan melalui kegiatan pokok ini diharapkan kondisi Danau Tempe dapat berfungsi kembali seperti dahulu kala. Namun, kegiatan tersebut berimplikasi terhadap elevasi air danau yang akan berdampak pada aktivitas terutama para nelayan dan petani. Pada konteks elevasi air ini, terdapat polarisasi persepsi, yang dapat dipilah ke dalam dua kategori: (a) Kelompok masyarakat yang menginginkan elevasi air Danau Tempe tinggi. Kelompok masyarakat tersebut adalah nelayan kecil seperti lanra, tongkang, dan jala. (b) Kelompok masyarakat yang menginginkan elevasi air Danau Tempe rendah. Kelompok masyarakat tersebut adalah nelayan bungka toddo, jabba trowl, dan jabba besi; dan kelompok petani yang memanfaatkan lahan danau ketika air surut.
3.1.6 Norma dan Pranata Sosial Selama ini, jika terjadi konflik di kawasan Danau Tempe, maka ada pihak yang menjadi mediator untuk menyelesaikan masalah.Pihak yang mengatur berbagai aktivitas di kawasan danau adalah macoa tappareng (tetua danau).Hampir semua desa yang di kawasan Danau Tempe memiliki macoa tappareng.Perannya adalah menegakkan aturan dan menghukum bagi yang melanggar.Ada beberapa jenis larangan yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat ketika berada di atas Danau Tempe: (a) Tidak boleh menangkap ikan (malam Jumat – setelah salat Jumat); (b) Tidak boleh membawa 2 jenis alat tangkap; (b) Tidak boleh bertengkar/berkelahi di atas danau; (c) Tidak boleh membawa perempuan (isteri) menangkap ikan; (d) Tidak boleh menyanyi di atas danau.
18
Jika ada masyarakat melanggar, adasanksi (istilah lokal: didosa) yang akandiberikanolehmacoa tappareng, yakni: (a) denda 8 liter ketan (beras pulut) (b) denda 8 sisir pisang (c) denda 8 telur ayam (d) perahu disita (e) namanya diumumkan di Masjid (f) denda sejumlah uang (g) perahu ditahan 3 bulan (kalau tidak melunasi) 3.2 Aspek Ekonomi Masyarakat di Danau Tempe Masyarakat di sekitar Danau Tempe sejak dulu telah menjadikan kawasan danau sebagai tumpuan mata pencaharian.Selain mencari nafkah dengan mengangkap ikan juga bercocok tanam terutama jika air danau surut.Masyarakat petani di kawasan Danau Tempe melakukan budidaya beberapa jenis tanaman, yakni jagung, kedelai, kacang hijau, labu, semangka, dan padi.Tingkat pendapatan masyarakat dapat per ha dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut ini. Tabel 3.1 Tingkat Pendapatan Petani di Kawasan Danau Tempe
No.
Jenis Tanaman
Produksi/Ha
1.
Padi
6- 7 ton
2.
Jagung
5 ton
3.
Kacang Hijau
1 - 2 ton
4.
Kedelai
2 - 3 ton
5.
Labu
Borongan
6.
Semangka
Borongan
(Sumber: Hasil FGD, 2015)
19
Selain budidaya tanaman tananam, masyarakt juga mendapat penghasilan dari aktivitas menangkap ikan.Tingkat pendapatan nelayan berdasarkan alat tangkap dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Tingkat Pendapatan Berdasarkan Alat Tangkap
No.
Jenis Alat Tangkap
Kisaran Pendapatan (Rp)
1.
Tombak
100..000 - 300.000/hr
2.
Jala
100.000 – 150..000/hr
3.
Jaring/lanra
200.000 - 300.000/hr
4.
Tongkang
50.000 - 200.000/hr
5.
Jabba trawl
400.000 - 450.000/hr
6.
Jabba kawat/besi
400.000 - 450.000/hr
7.
Bungka toddo
25.000.000 – 100.000.000 /thn
(Sumber: Hasil FGD, 2015)
3.3 Aspek Lingkungan Danau Tempe Persepsi masyarakat terhadap lingkungan di kawasan Danau Tempe saat ini sudah banyak mengalami perubahan.Menurut cerita rakyat yang berkembang bahwa pada masa lalu, sebenarnya Danau Tempe dan Danau Sidenreng menyatu.Bahkan, beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa Danau Tempe termasuk danau yang dalam.Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya jangkar yang membuktikan bahwa Danau Tempe dapat dilalui oleh perahu-perahu besar. Namun demikian, seiring dengan perubahan zaman, penggundulan hutan di daerah hulu, serta pertumbuhan penduduk 20
yang semakin pesat, maka Danau Tempe semakin hari semakin sempit terutama karena besarnya sedimentasi dan perilaku warga pemanfaatan kawasan danau yang kurang ramah lingkungan.Secara umum nelayan merasakan adanya penurunan produksi/hasil tangkap dari tahun ke tahun. Mereka juga umumnya menyadari penurunan produksi sebagai akibat proses pendangkalan danau. Sebagai ilustrasi, berikut disajikan perubahan pemanfatan lahan di DAS Bila, salah satu dari 2 (dua) DAS yang menuju ke Danau Tempe. Semakin mendekat ke Danau Tempe, semakin luas areal DAS yang terkonversi dari vegetasi menjadi pertanian, yaitu seluas 63,2 km2 sejak tahun 2000 s/d 2015. Hal ini menunjukkan semakin tingginya aktivitas masyarakat, terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonominya. 3.4 Potensi Konflik Saat ini, informasi yang hangat dan sedang berkembang, baik di kalangan aparat Pemda maupun masyarakat adalah adanya rencana revitalisasi kawasan Danau Tempe yang inti kegiatannya adalah pengerukan dan pembuatan pulau.Secara umum, sikap Pemda sangat mendukung.Demikian pula sebagian masyarakat sekitar Danau Tempe (terutama yang sering terkena banjir) sudah sangat lama menantikan program ini dapat terealisasi.Hal ini dikarenakan hampir setiap tahun masyarakat mengalami banjir yang bukan hanya merendam areal pertanian warga, melainkan juga merusak rumah dan harta benda masyarakat.Oleh karena itu, Pemda dan masyarakat mengharapkan melalui kegiatan pengerukan, kondisi Danau Tempe dapat berfungsi kembali seperti dahulu kala. Pada konteks elevasi air ini, terdapat polarisasi persepsi, yang dapat dipilah ke dalam dua kategori: (a) Kelompok nelayan yang menginginkan elevasi air Danau Tempe tinggi. Kelompok nelayan tersebut adalah lanra, tongkang, jabbatrawl/kawat dan jala. (b) Kelompok nelayan yang menginginkan elevasi air Danau Tempe rendah. Kelompok nelayan tersebut adalah bungka toddo,belle, dan strom aki. Selain itu, terdapat kelompok petani yang tentu sangat menginginkan air danau rendah/surut.Hal ini terkait dengan sulitnya mereka melakukan aktivitas pertanian jika air danau masih tinggi. Demikian pula, jika lahan danau sudah
21
dikeruk, maka kemungkinan lahan garapan mereka akan semakin dalam dan senantiasa akan tergenang air. Selain itu, terkait dengan pemanfaatan lahan, dapat pula diprediksi potensi konflik kemungkinan akan terjadi. Secara tipologi potensi konflik dapat dibagi ke dalam lima tingkatan, yakni sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Indikator untuk menentukan tingkatakan berdasarkan penguasaan lahan dan jarak wilayah pengerukan ke wilayah permukiman. Berdasarkan indikator tersebut, dapat dibuat peta prediksi potensi konflik jika rencana pengerukan Danau Tempe dilakukan sebagaimana pada Gambar berikut ini.
Gambar 3.3 Prediksi Potensi Konflik
22
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan data dan hasil pemetaan yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (a) Dari sisi aspek sosial, kawasan Danau Tempe secara umum dimanfaatkan oleh dua kelompok masyarakat, yakni nelayan dan petani. Dalam pengelolaan lahannya, terdapat tipologi pemanfaatan lahan, baik untuk pertanian, perikanan, maupun konservasi. Untuk menata pola pemanfaatan tersebut diterbitkan peraturan daerah dan/atau peraturan bupati di tiga kabupaten. Selain itu, terdapat norma dan pranata sosial yang mengatur tata cara pemanfaatan danau dan mekanisme penerapan sanksi oleh macoa tappareng (tetua danau). (b) Dari sisi aspek ekonomi, masyarakat di kawasan Danau Tempe telah menjadikan sebagai tumpuan mata pencaharian, yakni untuk pertanian: padi 6-7 ton/ha, jagung 5 ton/ha, kacang hijau 1-2 ton/ha, kedelai 2-3 ton/ha serta labu dan semangka (sistem borongan); dan untuk perikanan dengan pendapatan/keuntungan: nelayan tombak (100.000 – 300.000/hari), nelayan jalan (100.000 – 150.000/hari), nelayan jaring/lanra (200.000 – 300.000/hari), nelayan jabba trwal (400.000 – 450.000/hari), jabba kawat/besi (400.000 – 450.000/hari), dan nelayan bungka toddo (25.000.000 – 100.000.000/tahun). (c) Dari aspek lingkungan kondisi kawasan Danau Tempe sudah sangat memprihantinkan yang ditandai dengan semakin tingginya sedimentasi dan semakin luasnya areal DAS yang terkonversi dari vegetasi menjadi pertanian, yakni 63,2 km2 sejak tahun 2000 s/d 2015. Kondisi ini juga diperkuat oleh persepsi masyarakat terhadap perubahan kondisi lingkungan di kawasan Danau Tempe. (d) Persepsi masyarakat terhadap rencana revitalisasi (terutama pengerukan) yang berimplikasi terhadap elevasi air danau, yakni ada yangmenginginkan elevasi air Danau Tempe tinggi yakni nelayan kecil seperti lanra, tongkang, dan jala. Sedangkan kelompok masyarakat yang menginginkan elevasi air Danau Tempe rendah adalah nelayan bungka toddo, jabba trowl, dan jabba besi; dan kelompok petani yang memanfaatkan lahan danau ketika air surut. (e) Potensi konflik yang kemungkinan akan terjadi dalam pelaksanaan revitalisasi kawasan Danau Tempe adalah adanya perbedaan persepsi terhadap ketinggian air, kekhawatiran menurunnya tingkat pendapatan, baik nelayan 23
maupun petani serta kekhawatiran kehilangan penguasaan/pemanfaatan lahan. Untuk mendukung dan menghindari terjadinya konflik dalam proses revitalisasi, maka dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut: (a) Pada level kebijakan, mendorong Pemerintah Daerah tiga kabupaten (Wajo, Soppeng, dan Sidenreng Rappang) untuk menghentikan sementara pelelangan kawasan Danau Tempe sebelum dan selama pengerukan berlangsung. Hal ini sangat penting karena jika tetap dilakukan pelelangan, maka masyarakat akan merasa berhak untuk menguasai danau dan tidak boleh diganggu selama masa penguasaan tersebut berlangsung. Besarnya dana yang dibutuhkan untuk memenangkan lelang akan berimplikasi pada kuatnya resistensi masyarakat terhadap program pengerukan. (b) Mendorong Pemda dan Badan Pertanahan Nasional untuk mengidentifikasi tanah danau yang sudah mendapat SPPT dan sertifikat sehingga dapat dilakukan zonasi yang lebih rinci terkait dengan pemanfaatan dan kepemilikan lahan di danau. Hal ini sangat penting karena dalam beberapa puluh tahun pendangkalan terus berlangsung sehingga batas-batas danau dengan “daratan” sudah semakin kabur yang memungkinkan terjadinya klaim terhadap tanah. (c) Pada saat dilakukan pengerukan sebaiknya, proses dan tahapan pengerukan menggunakan pola sentrifugal, yakni mulai dari bagian dalam dan secara perlahan ke bagian luar.memprioritaskan pengerukan di areal/zona patok balanda terlebih dahulu, tanah wilayah bebas, kemudian ex-ornament dan tanah ongko.Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan konflik. (a) Perlu adanya kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran berbagai lapisan masyarakat melalui: media elektonik dan media cetak serta mengubah persepsi terutama nelayan bungka toddo bahwa semakin dalam air Danau Tempe akan semakin banyak ikan berkembang biak, bukan sebaliknya. (b) Melakukan kompensasi tanah terutama tanah kas desa atau tanah masyarakat dengan membuat pulau di tengah danau yang merupakan hasil kerukan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian dan tempat wisata. (c) Tanah hasil kerukan dalam volume yang besar juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bata merahterutama banyak ditekuni oleh 24
masyarakat di Kecamatan Panca Lautang Kabupaten Sidenreng Rappang serta untuk meninggikan lokasi kawasan permukiman terutama di Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo. (d) Membuat tanggul di sekeliling danau sebagai garis batas danau sehingga tidak ada lagi okupasi lahan yang dilakukan warga secara tidak sah. (e) Untuk memperkuat masyarakat kawasan Danau Tempe sebagai masyarakat nelayan, perlu didukung oleh sarana dan prasarana seperti pendidikan (misalnya mendirikan sekolah perikanan). Selain berfungsi jangka panjang, juga secara jangka pendek, program ini dapat mendorong tingkat akseptabilitas masyarakat terhadap rencana revitalisasi menjadi semakin tinggi.
25
DAFTAR PUSTAKA Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Makalah ini disajikan dalam Studium General Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) di Yogyakarta, 1 September 2003) Kane, Mary dan William M.K. Trochim. 2007. Concept Mapping for Planning and Evaluation. London: Sage Publication. Prayogo, Dody. 2003. “Pemetaan Sosial Mengenai Hubungan KorporasiKomunitas Lokal” Dalam Masyarakat Jurnal Sosiologi. Edisi No 12. 2003. Depok: Labsosio FISIP-UI. ____________. 2011. Socially Responsible Corporation: Peta Masalah, Tanggung Jawab Sosial dan Pembangunan Komunitas pada Industri Tambang dan Migas. Jakarta: UI Press. Rudito, Bambang dan Melia Famiola. 2008. Social Mapping: Metode Pemetaan Sosial Teknik Memahami Suatu Masyarakat atau Komuniti. Bandung Rekayasa Sains. Sirait, Jones Hendra M.. 2009. Wahana Hijau Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah, Vol.4, No.3, April 2009. Suharto, Edy. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.
****
26