KEBERHASILAN INDONESIA MERAIH KEMBALI SWASEMBADA BERAS TAHUN 2008
KEBIJAKAN UMUM
A. Pengembangan Infrastruktur Salah satu faktor pendukung peningkatan produksi padi yang penting adalah pengembangan infrastruktur, terutama irigasi dan jalan usahatani. Pengembangan irigasi berkontribusi pada peningkatan luas tanam padi melalui pertambahan luas baku lahan beririgasi maupun peningkatan intensitas tanam, peningkatan produktivitas usahatani padi karena menginduksi aplikasi teknologi budidaya usahatani padi yang lebih intensif, dan berkurangnya risiko gagal panen yang diakibatkan oleh cekaman air. Pengembangan jalan usahatani berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung dalam peningkatan efisiensi pemasaran karena pengadaan dan aplikasi masukan usahatani menjadi lebih mudah dilakukan, penyaluran hasil panen menjadi lebih lancar, dan susut jumlah maupun susut mutu dalam pengangkutan berkurang.
A.1. Irigasi Pengembangan infrastruktur irigasi meliputi pembangunan sistem irigasi baru dan rehabilitasi irigasi. Sejak sepuluh tahun terakhir ini, pembangunan sistem irigasi baru (new construction) diprioritaskan di Luar Pulau Jawa. Selain terkait dengan potensi sumberdaya air dan lahan yang tersedia, hal itu juga terkait dengan upaya pengembangan sumber-sumber pertumbuhan baru di Luar Pulau Jawa. Untuk rehabilitasi irigasi, diprioritaskan pada sentra-sentra produksi padi yang jaringan irigasinya mengalami kerusakan sedang – berat. Investasi irigasi sangat mahal dan semakin mahal seiring dengan kenaikan harga lahan maupun harga bahan-bahan dan material yang dibutuhkan untuk membangun waduk, dam, dan jaringan irigasi. Meskipun demikian, manfaat investasi irigasi tidak hanya mencakup peningkatan produksi pangan dan pendapatan petani. Melalui kaitan ke belakang (backward linkage) maupun kaitan ke depan (backward linkage), investasi irigasi menginduksi pembentukan output, penciptaan kesempatan kerja, nilai tambah, dan pendapatan di sektor-sektor lain. Efek pengganda (multiplier effect) total investasi irigasi dalam pembentukan output, nilai tambah, dan pendapatan masing-masing adalah 2.4185, 2.9838, dan 2.2324. Artinya, untuk investasi irigasi senilai 1 triliun rupiah maka akan terbentuk output, nilai tambah, dan pendapatan total (seluruh sektor) masingmasing sebesar 2.42, 2.98, dan 2.23 triliun rupiah. Pada produksi padi, kontribusi irigasi terhadap laju kenaikan produksi adalah sebagai berikut. Pada kurun waktu 1972 – 1981 adalah sekitar 16.5 persen; dan bersama-sama dengan faktor-faktor input utama (varietas unggul, pupuk buatan, pestisida) secara simultan kontribusinya mencapai 75 persen. Namun seiring dengan degradasi sumberdaya lahan dan air, degradasi kinerja irigasi karena sangat terbatsanya anggaran operasi dan pemeliharaan irigasi, pencemaran (terkait dengan dampak negatif alih fungsi lahan sawah), dan gejala overintensifikasi maka sejak dua puluh tahun
10
terakhir ini kontribusi irigasi memang cenderung menurun sehingga hanya berkisar antara 10 – 15 persen; dan bersama-sama dengan faktor input utama (varietas unggul, pupuk buatan, dan pestisida) secara simultan kontribusinya berkisar antara 45 – 70 persen. Kontribusi irigasi terhadap peningkatan produksi padi ditentukan oleh efek sinergis kualitas irigasi dan aplikasi teknologi budidaya usahatani padi. Secara agregat (nasional jika luas lahan beririgasi teknis naik satu persen maka produksi padi naik sekitar 1.08 persen, bahkan di wilayah pesawahan di Pulau Jawa adalah sekitar 1.9 persen. Terkait dengan fakta seperti itu, Departemen Pertanian selalu berupaya agar pengembangan irigasi harus terpadu dengan perbaikan teknologi dan manajemen usahatani padi. Dari total total luas lahan irigasi fungsional yang ada jaringan utama 5,7 juta ha, sawah yang sudah optimal seluas 4,8 juta ha dan sawah yang belum optimal 0,36 juta ha. Jumlah jaringan irigasi dalam kondisi tidak berfungsi penuh adalah sekitar 70%. Sesuai dengan tugas dan fungsi pokoknya, sebagian besar pengembangan irigasi berada pada kewenangan Departemen Pekerjaan Umum. Pengembangan irigasi yang berada di bawah kewenangan Depertemen Pertanian adalah Jaringan Irigasi Tingkat Usahatani (JITUT) dan Jaringan Irigasi Desa (JIDES). Sasaran dan realisasi selama periode 2005-2008 adalah sebagai berikut : (1).
Terwujudnya optimasi pemanfaatan air irigasi melalui rehabilitasi Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani (JITUT) seluas 319.506 Ha. Realisasinya: 301.202 Ha (94,27%) yang tersebar di 31 propinsi. Dengan program ini, intensitas tanam di lahan sawah tersebut meningkat sekitar 30 persen (kisaran 10 – 60 persen), produktivitas meningkat sekitar 11 persen (dari rata-rata 4.51 Ton/Ha menjadi 4.98 Ton/Ha), dan pendapatan usahatani padi meningkat sekitar 15 persen.
(2).
Terwujudnya optimasi pemanfaatan air irigasi melalui rehabilitasi Jaringan Irigasi Tingkat Desa (JIDES) seluas 190.874 Ha. Realisasinya: 190.874 Ha (97,23%) yang tersebar di 30 propinsi. Dengan program ini indeks pertanaman padi di lahan sawah tersebut meningkat sekitar 25 – 30 persen, produktivitas usahatani padi meningkat sekitar 10 persen (dari semula sekitar 4.41 Ton/Ha menjadi 4.84 Ton/Ha), dan pendapatan usahatani padi meningkat sekitar 12 – 18 persen.
(3).
Terwujudnya perluasan cetak sawah seluas 57.980,5 Ha. Dalam periode 2005 – 2008 yang telah terealisasi adalah 39.087,5 Ha (67,51%) yang tersebar di 27 propinsi. Dengan adanya kegiatan perluasan areal sawah ini luas tanam meningkat sekitar 38.8 ribu hektar (masih ada sebagian kecil areal yang belum berfungsi optimal) dengan rata-rata indeks pertanaman sekitar 1.4 dan produktivitas berkisar antara 3.9 – 4.6 Ton/Ha/musim. Selama 4 tahun diperkirakan kontribusinya adalah sekitar 230 ribu ton.
A.2. Jalan Usahatani Kontribusi jalan usahatani dalam mendukung peningkatan produksi pangan tidaklah sebesar irigasi. Hal ini terkait dengan fakta bahwa bersamaan dengan pengembangan sistem irigasi skala besar, perbaikan jalan usahatani biasanya juga dilakukan. Selain itu, secara empiris/historis situasi kondisi dan kondisi awal infrastruktur
11
perhubungan di perdesaan sentra-sentra produksi pangan relatif lebih maju daripada di perdesaan non sentra produksi pangan. Jalan penghubung desa dengan pusat-pusat perekonomian/pemerintahan di perdesaan sentra-sentra produksi pangan dikembangkan lebih awal dan relatif lebih intensif dibandingkan dengan perdesaan lahan kering. Dengan kondisi seperti itu maka arus barang dan jasa, baik yang berkenaan langsung dengan sektor pertanian maupun secara keseluruhan tidaklah mengalami hambatan yang berarti. Manfaat yang dirasakan petani di lokasi pembangunan/rehabilitasi tersebut cukup nyata. Susut kuantitas maupun penurunan mutu hasil panen yang terkait masalah yang dihadapi dalam pengangkutan hasil panen dapat diatasi. Rata-rata biaya angkut sarana produksi ke hamparan usahatani dapat diturunkan antara 3 – 8 persen, sedangkan biaya angkut dari hamparan usahatani ke titik pertama tujuan pemasaran dapat ditekan tak kurang dari 10 persen. Pada saat yang sama, membaiknya akses lahan pertanian ke pasar masukan maupun pasar keluaran itu juga kondusif untuk posisi tawar petani.
B.
Peningkatan Kapasitas dan Pemberdayaan Kelembagaan
Peningkatan kinerja kelembagaan mencakup kebijakan penumbuhan, pemberdayaan, dan pengaturan kelembagaan koordinasi horizontal (kelompok tani) atau vertikal (antara petani dan aktor agribisnis lainnya), organisasi asosiasi pengusaha pertanian atau masyarakat pemangku kepentingan (masyarakat agribisnis), nilai-nilai kemasyarakatan dan tata kelola pemerintahan dalam pembangunan dan pengembangan ekonomi perberasan. Secara operasional fokusnya adalah peningkatan kapasitas teknis, ekonomi dan manajemen pelaku ekonomi tersebut dalam suatu wadah pemberdayaan riil di lapangan yaitu dalam suatu hamparan dan wilayah administrasi terkelola. Pengelolaan inovasi kelembagaan tidak dapat dilepaskan dengan inovasi teknologi, karena peningkatan kapasitas produktivitas merupakan prakondisi utama dalam peningkatan produksi melalui upaya perbaikan efisiensi dengan instrumen penguatan kelembagaan. Dalam konteks peningkatan produksi padi, model pengembangan Primatani berbasis usahatani padi dan SL-PTT padi merupakan representasi dari kebijakan peningkatan kapasitas dan pemberdayaan kelembagaan. Urgensi dan peran dari kelembagaan kelompok tani, Gabungan Kelompok Tani, pendampingan dari penyuluh, dan dukungan lintas sektoral (luar sektor pertanian) dalam peningkatan kinerja kelembagaan dan keberhasilan program Primatani dan SL-PTT padi adalah sangat menentukan. Revitalisasi pertanian yang dicanangkan Presiden RI pada 11 Juni 2005, dimana peningkatan produksi dan kesejahteraan petani padi menempati posisi strategis, membutuhkan dukungan kelembagaan kelompok tani yang kuat dan mandiri.. Pembinaan kelompok tani diarahkan pada penerapan sistem agribisnis padi, menggali potensi dan pemecahan masalah secara partisipatif, mampu mengakses informasi, pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya. Pembentukan kelompok tani mengacu pada prinsip dasar kebebasan, keterbukaan, partisipatif, keswadayaan, kesetaraan dan kemitraan. Peningkatan kemampuan kelompok tani yang kuat dan mandiri dimaksudkan agar dapat berfungsi sebagai kelas belajar dan wahana kerjasama dalam suatu unit agribisnis padi yang solid dan terpadu. Dalam pengembangan kelompok tani pemerintah berperan menciptakan iklim yang kondusif untuk berkembangnya
12
prakarsa dan insiatif para petani, memberikan fasilitasi, pelayanan informasi dan perlingdungan hukum. Dinamika peluang dan tantangan dalam pengembangan agribisnis padi, pemerintah menilai dan mendorong terbentuknya Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dengan sasaran untuk menggalang kepentingan bersama secara koorperatif, dan mendorong eksistensi kelompok tani agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam penyediaan sarana produksi pertanian, permodalan, peningkatan atau perluasan usahatani ke sektor hulu dan hilir, pemasaran, dan secara bersama-sama meningkatkan posisi tawar petani padi. Melalui pendekatan dan kebijakan pengembangan tersebut, Gapoktan yang kuat dan mandiri diharapkan mampu melakukan fungsi-fungsi berikut : (a) memenuhi kebutuhan pasar melalui pengembangan kesatuan unit produksi yang efektif dan efisien; (b) meningkatkan ketersediaan dan akses saprodi bagi para petani melalui kelompoknya; (c) mampu menyediakan dan menyalurkan modal usaha bagi para petani yang membutuhkan; (d) meningkatkan nilai tambah usahatani padi melalui kegiatan pengolahan dan pengembangan produk; dan (e) peningkatan akses dan perluasan pemasaran beras dan produk olahannya. Program SL-PTT padi dan Primatani berbasis usahatani padi merupakan perpaduan inovasi teknologi dan kelembagaan melalui pendekatan partisipatif dalam suatu kawasan pengembangan yang terkelola ditingkat pedesaan. Kedua program ini memiliki kontribusi signifikan dalam peningkatan produksi dan keberlanjutan pengembangannya dimasa yang akan datang. SL-PTT padi sebagai fokus kegiatan peningkatan produktivitas padi tahun 2007 dan 2008 berfungsi sebagai pusat belajar pengambilan keputusan para petani/kelompok tani, sekaligus tempat tukar-menukar informasi dan pengalaman lapang, peningkatan manajemen kelompok serta sebagai percontohan bagi kawasan lainnya. Pertanaman di areal SLPTT ditargetkan mampu menaikkan produksi sebesar 1.0 ton GKP/ha dan di areal LL (laboratorium lapang) meningkat sebesar 2.0 ton GKP/ha. Dalam periode 2007-2008 jumlah kelompok tani pelaksana SL-PTT padi non hibrida mencapai 186.630 kelompok dengan total luas areal mencapai 5,13 juta ha. Pengembangan SL-PTT padi ini, dari pengamatan lapang di dua kabupaten di Jawa Barat (Garut dan Cianjur), memiliki kontribusi signifikan dalam mendukung pencapaian target peningkatan produksi padi nasional tahun 2008 sebesar 5,1%, yang dicapai melalui kenaikan luas panen 1,26% dan produktivitas 3,66%. Program Primatani berbasis usahatani padi yang dalam periode 2005-2008 telah dilaksanakan di 209 desa (meliputi 200 kelompok) dinilai memberi kontribusi penting dalam peningkatan produksi padi tahun 2008 dan keberlanjutannya dimasa yang akan datang. Kenerja inovasi kelembagaan dan teknologi Primatani mencakup beberapa aspek sebagai berikut: (1) Pengembangan desain pembangunan pertanian yang berawal dari desa secara partisipatif berbasis agroekosistem menuju Sistem Usahatani Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID) dan Agribisnis Industrial Perdesaan (AIP); (2) Sinergi program pembangunan pertanian di lokasi Prima Tani dengan Pemda dan stakeholder pembangunan pertanian lainnya di lokasi PRIMA TANI;(e) Peningkatan adopsi inovasi teknologi pertanian melalui pengembangan laboratorium lapangan agribisnis, klinik agribisnis dan perbanyakan demplot sebagai percontohan nyata bagi petani; (4) Percepatan pengembangan pendekatan PRIMA TANI di sekitar lokasi Prima Tani melalui pelatihan bagi penyuluh dan petani maju tentang konsep dan implementasi PRIMA TANI, (5) Percepatan penumbuh-kembangan SUID-AIP dan kelembagaan
13
agribisnis serta peran serta masyarakat melalui pemberian insentif/pemicu kepada kelompok/gapoktan dan sinergi dengan PUAP.
C.
Revitalisasi Penyuluhan
Penyuluhan memegang peranan strategis dalam mensukseskan program pembangunan pertanian dalam merekonsiliasi dan mensinergiskan inovasi teknologi dan kelembagaan. Pendampingan penyuluhan memegang peranan sentral dalam memfasilitasi akses dan adopsi teknologi serta memperbaiki efisiensi teknologi melalui perbaikan manajemen petani. Dalam upaya peningkatan produksi, ketersediaan teknologi dengan tingkat produktivitas potensial yang lebih tinggi merupakan syarat keharusan, tetapi dinilai belum cukup tanpa kehadiran penyuluh sebagai fasilitator pengembangan pertanian. Eksistensi penyuluh menjadi semakin penting dengan semakin dikembangkannya program pemberdayaan usahatani tanaman pangan (padi) seperti Primatani, SL-PTT, PUAP, LM3 serta program pendukung lainnya seperti P3A, JITUT/JIDES, dan DPMLUEP. Pelaksanaan penyuluhan melalui pendekatan kelembagaan Kelompok Tani dan Gapoktan, yang akan semakin ditingkatkan jumlah dan kapasitasnya menuntut kehadiran penyuluh dengan jumlah dan kapasitas yang semakin tinggi. Dalam konteks pengembangan agribisnis padi, peran penyuluh bukan saja terkait dengan aktivitas usahatani dan peningkatan produksi, tetapi juga membangun jejaring agribisnis internal dan dengan aktor agribisnis dan institusi di luar kawasan pengembangan. Bahasan ini juga akan mengungkap program revitalisasi penyuluhan pertanian, rencana strategis dan kebijakan bidang penyuluhan pertanian yang memiliki kontribusi penting dalam peningkatan kapasitas penyuluhan dan peningkatan produksi padi. Progam revitalisasi penyuluhan pertanian mencakup tiga tahapan yaitu : Tahap Peletakan Landasan (2005-2006); Tahap Pemantapan (2007-2008); dan Tahap Kondisi Ideal (2009). Matra revitalisasi mencakup empat aspek yaitu aspek hukum dan perundang-undangan (harus dirampungkan pada tahap peletakan landasan); penataan kelembagaan penyuluhan pertanian; pengembangan ketenagaan penyuluhan pertanian; dan peningkatan mutu penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Tiga matra terakhir, secara dinamis diberikan penekanan yang berbeda, yaitu penataan, pengembangan, dan pembinaan, sejalan dengan dinamika pentahapan revitalisasi penyuluh pertanian. Recana strategis bidang penyuluhan pertanian 2005-2009 mencakup beberapaa aspek penting yaitu pengembangan kelembagaan, pemberdayaan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), pengembangan programa penyuluhan, pengembangan forum koordinasi, peningkatan kwantitas dan kwalitas penyuluhan, peningkatan koordinasi integrasi dan sinkronisasi penyelenggaraan penyuluhan, dan penataan jenjang karier serta reward dan punishment bagi penyuluhan pertanian. Di lain pihak kebijakan bidang penyuluhan memberikan penekanan kerjasama pemerintah (pusat dan daerah), petani dan swasta dalam penyelenggaraan penyuluhan, penyusunan programa penyuluh, dan pembiayaan terkait dengan operasional penyuluhan. Dalam peningkatan kinerja penyuluhan, pemerintah akan melakukan pengangkatan tenaga hororer penyuluh pertanian dengan masa kerja lebih dari 10 tahun, melakukan pendirian BPP ditingkat kecamatan, pengalokasian bantuan dana operasional, dan penerapan kebijakan satu desa – satu komoditas – satu penyuluh. Kebijakan terakhir diharapkan akan
14
mempercepat terwujudkan pertanian (agribisnis padi) modern yang ditangani secara profesional dengan mengedapankan kepentingan petani untuk memperoleh tingkat kesejahteraan yang semakin baik. Keberhasilan pencapaian swasembada beras tahun 2008 tidak terlepas dari dinamika program pemberdayaan, Poktan/Gapoktan, dan eksistensi serta perkembangan penyuluh pertanian di lapangan. Sebagai ilustrasi pada tahun 2008, total LM3 penerima bantuan dari Deptan mencapai 1493, desa Primatani mencapai 209 desa; areal SL-PTT (2007-2008) mencapai 5.13 juta ha (186.630 kelompok tani), desa sasaran PUAP mencapai 10.000 desa. Jumlah Poktan dan Gapoktan 2008, masing-masing mencapai 270.817 dan 28.215 buah. Sementara itu jumlah penyuluh mengalami peningkatan dari 28.879 orang (2007) menjadi 29.065 orang (2008), dan jumlah THL-TB penyuluh pertanian Angkatan I dan Angkatan II mencapai 5.606 orang dan 9.559 orang. Penyuluh THL ini akan selesai masa tugasnya dalam waktu tiga tahun, dengan antisipasi akan menjadi pelaku agribisnis potensial di pedesaan. Kesemuanya ini memberikan sumbangan nyata terhadap pencapaian swasembada beras tahun 2008, serta menjamin keberlanjutannya di masa yang akan datang.
D. Kebijakan Pembiayaan Pertanian Salah satu kendala yang dihadapi petani dalam usahatani adalah lemahnya permodalan. Oleh karena itu, diperlukan suatu system dan kelembagaan pembiayaan formal yang mudah diakses. Ironinya, Bank yang dapat menyediakan kredit di perdesaan (seperti halnya BRI Unit Desa atau Bank Pertanian) tidak ada di perdesaan. Umumnya Bank (milik pemerintah maupun swasta) berada di daerah perkotaan yang sulit diakses oleh petani. Kredit yang disediakan untuk pertanian juga sangat rendah. Berbagai syarat yang merupakan kendala bagi petani antara lain adalah: agunan, syarat bankable dari usahatani yang sulit dipenuhi, tingginya biaya administrasi karena skala kredit yang kecil-kecil, dan berbagai prosedur yang bagi petani cukup rumit. Kondisi ini menyebabkan petani lebih banyak meminjam modal kerja pada pelepas uang tidak resmi (kredit informal), seperti pedagang, kios saprotan, tetangga, dan sebagainya. Bentuk pinjaman tersebut sangat mudah, tanpa agunan, tanpa prosedur administrasi, hanya berdasarkan kepercayaan. Namun demikian, tidak jarang penjaman tersebut berbunga sangat tinggi. Sebagai contoh, petani mengutang 1 zak (50 kg) pupuk Urea di kios saprotan dengan sistem yarnen (dibayar setelah panen). Setelah panen, petani harus membayar dengan 50 kg gabah, bahkan ada yang 100 kg gabah. Dapat dibayangkan, kalau harga gabah Rp 2000/kg GKP dan harga pupuk Urea Rp 1.200/kg, tingginya bunga yang harus dibayar oleh petani (mencapai 66%-230% dalam waktu 3-4 bulan). Kredit Usahatani (KUT) yang diluncurkan dalam era Orde Baru sejak tahun 2000 sudah tidak ada lagi. Dana KUT mencapai puncaknya pada tahun 1998/1999, yaitu sebesar Rp 7,8 triliun, meningkat 20 kali lipat dibandingkan tahun 1997/1998 yang hanya Rp 374 milliar. Namun sayang, upaya pemerintah menyediakan dana yang besar untuk petani disalah gunakan oleh banyak pihak yang ikut mengelola KUT. Banyak pihak yang tergiur oleh dana yang begitu besar sehingga terjadi penyimpangan, dimana ditengarai banyak petani dan areal tanam fiktif sehingga tunggakan KUT sangat tinggi. Pada musim tanam 1999/2000 petani tidak memperoleh kredit formal dari pemerintah.
15
Setelah tahun 2000, pemerintah kembali berupaya mengalokasikan sebagian anggaran pembangunan pertanian untuk membantu penguatan modal petani. Anggaran pembangunan pertanian sendiri tidak hanya dialokasikan di departemen Pertanian, tetapi juga terdapat di berbagai departemen dan instansi pemerintah lainnya. Sebagai contoh, pada tahun 2002, dari Rp 12,19 trilliun anggaran pembangunan pertanian, sebesar Rp 2,62 trilliun (21,47%) dialokasikan ke Departemen Pertanian. Pada 2007, dari Rp 23,2 trilyun angaran pembangunan pertanian, Rp 8,79 trilyun (37,89%) dikelola oleh Departemen Pertanian (Dept Keu RI. 2007 dalam Pasaribu et.al. 2007). Tiga skim pembiayaan/kredit utama yang diluncurkan oleh Departemen Pertanian adalah Kredit Ketahanan Pangan (KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), dan Lembaga Mandiri dan Mengakar di Masyarakat (LM3) Kredit Ketahanan Pangan (KKP) diluncurkan sejak tahun 2001. KKP diselenggarakan dengan tujuan untuk peningkatan ketahanan pangan nasional dan sekaligus peningkatan pendapatan petani/peternak melalui penyediaan kredit investasi atau modal kerja dengan suku bunga yang terjangkau. Kelompok sasaran utama KKP petani padi, selain petani palawija, peternak sapi dan ayam serta nelayan. Besarnya KKP yang disalurkan terus meningkat dari Rp 469 juta pada tahun 2001, menjadi Rp 2,08 milliar tahun 2004 dan 7,07 milliar pada tahun 2008. Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3) diluncurkan pada bulan Oktober 2006, dengan bantuan jaminan pemerintah 20 persen sebesar Rp 255 milyar. Dengan dana jaminan pemerintah tersebut, bank pelaksana diharapkan mampu menyalurkan total kredit SP3 sebesar Rp 1,275 trilyun. SP3 adalah skim pembiayaan pertanian untuk mendorong pembiayaan/kredit pada usaha pertanian skala mikro dan kecil melalui bank pelaksana dengan cara penyediaan fasilitas jasa penjaminan dan resiko kredit. Tujuan SP3 adalah: (1) memberikan kepastian setiap usaha sektor pertanian mikro dan kecil untuk mendapatkan pelayanan kredit/pembiayaan; (2) mendorong penyaluran kredit/pembiayaan dari bank pelaksana kepada sektor pertanian melalui mekanisme penjaminan dan bagi resiko; (3) meningkatkan portfolio kredt/pembiayaan dari perbankan ke sektor pertanian. Akumulasi pinjaman malalui skim kredit ini sampai tahun 2008 mencapai Rp. 539,05 milliar. Lembaga Mandiri dan Mengakar di Masyarakat (LM3) adalah lembaga yang tumbuh dan berkembang di masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan gerakan moral melalui kegiatan pendidikan keagamaan, sosial, pembekalan keterampilan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari. LM3 berbasis keagamaan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia antara lain: pondok pesantren, seminari, paroki, pasraman, subak, dan lainnya. Dalam rangka memberdayakan masyarakat, Departemen Pertanian RI telah mengembangkan strategi pembangunan pertanian pada LM3 berbasis keagamaan. Lembaga ini mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan menjadi agen pembangunan agribisnis khususnya agroindustri di pedesaan, yang menyampaikan pesan pembangunan melalui kegiatan pendidikan moral dan sosial di dalam masyarakat (Departemen Pertanian, 2006 dalam Pasaribu et al. 2007). Jumlah penerima dan dana LM3 terus meningkat dari 430 lembaga dengan dana Rp 85,10 milliar pada tahun 2006, menjadi 1493 lembaga dengan dana 218,67 milliar pada tahun 2008. Meningkatnya angaran untuk LM3 mencerminkan makin tingginya perhatian pemerintah terhadap kelembagaan ini guna meningkatkan kapasitas masyarakat tani dalam menjalankan agribisnis.
16
E. Pemasaran Pemasaran merupakan salah satu sub sistem yang sangat penting dalam sistem rantai pasok gabah/beras, selain sub sistem produksi. Sebagian besar gabah dan beras di Indonesia dipasarkan secara bebas oleh pelaku pasar. Secara umum, rantai pemasaran gabah/beras adalah seperti disajikan pada Gambar 3.e.1.
Pedagang Pengumpul Desa
Produsen gabah sekaligus konsumen beras (Petani)
Pedagang Pengumpul Antardesa
BULOG
Pedagang Besar (Grosir) Beras
Pedagang Pengecer Beras PENGGILINGAN PADI
KONSUMEN = Aliran gabah
= Aliran beras
Gambar 3.e.1. Alur rantai pemasaran gabah/beras di Indonesia
Permasalahan yang dihadapi di lapangan ialah bahwa : (1) pada musim panen, harga gabah di tingkat petani hampir selalu jatuh, bahkan sampai di bawah biaya produksi; (2) pada musim paceklik, harga beras di tingkat konsumen (desa dan kota) melambung tinggi, sehingga memberatkan konsumen; (3) pasar beras tidak simetris, artinya bahwa kenaikan harga beras di tingkat konsumen tidak diikuti oleh kenaikan harga gabah di tingkat produsen (petani), sebaliknya, penurunan harga gabah di tingkat produsen tidak diikuti oleh turunnya harga beras di tingkat konsumen. Permasalahan tersebut telah mendorong pemerintah, sejak era Orde Baru hingga Kabinet Bersatu saat ini selalu campur tangan dalam pemasaran gabah/ beras. Kebijakan tersebut ditujukan untuk melindungi petani dari jatuhnya harga pada musim panen serta melindungi konsumen dari melonjaknya harga beras pada musim paceklik. Kebijakan pemasaran ini diharapkan mampu memberi insentif harga gabah yang memadai bagi petani serta mampu menjamin ketersediaan, akses, dan keterjangkauan beras sebagai pangan pokok bagi masyarakat Indonesia, guna mendukung Ketahanan Pangan. Kebijakan tersebut dibutuhkan, karena beras selain sebagai bahan pangan
17
pokok, juga merupakan komditas strategis yang sangat berpengaruh terhadap stabilitas sosial, ekonomi, dan politik bangsa ini. Saat ini pemerintah mengeluarkan kebijakan perberasan nasional yang tertuang dalam Inpres No.8 tahun 2008. Dalam Inpres tersebut, pemasaran gabah/beras masih merupakan aspek yang sangat vital, baik dalam melindungi kepentingan produsen (petani) maupun kepentingan konsumen. Filisopi kebijakan perberasan dalam Inpres No. 8 adalah sebagai berikut (Ditjen PPHP, 2009): •
Mendorong peningkatan produksi beras nasional dengan dukungan komprehensif (sumberdaya, prasarana, sarana, pemasaran, dll). Harga adalah salah satu komponen.
•
Mengupayakan stabilisasi harga gabah dan beras untuk menjamin pendapatan petani dan akses konsumen terhadap pangan
•
Mengatur perdagangan beras untuk melindungi kepentingan petani dan konsumen
•
Penyediaan cadangan untuk penyaluran pangan bagi masyarakat berpendapatan rendah, keadaan darurat, korban bencana, dan stabilisasi harga
Peningkatan produksi beras nasional ditempuh melalui upaya perluasan areal panen dan peningkatan produktivitas, serta peningkatan rendemen penggilingan padi. Stabilisasi harga gabah dan beras ditempuh melalui instrument kebijakan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) yang merupakan perbaikan dari harga dasar gabah dan beras. Dalam setahun terakhir, pemerintah mengeluarkan dua Inpres sebagai upaya memperbaiki HPP untuk melindungi petani, (Tabel 3.e.1).
Tabel 3.e.1. Harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras berdasarkan Inpres No.1/2008 dan No.8/2008
Jenis Harga Gabah di Tingkat 1. GKP Petani 2. GKP Penggilingan 3. GKG Penggilingan
No
Inpres No.1/2008 Inpres No.8/2008 (Rp/kg) (Rp/kg) 2.200 2.400 2.240 2.440 2.800 3.000
4. GKG
Gudang (Bulog)
2.840
3.040
5. Beras
Di Gudang Bulog
4.300
4.600
Kenaikan (%) 9,1 7,2 7
Sumber: Ditjen PPHP, 2009.
Tabel 3.e.1. memperlihatkan bahwa terdapat perbaikan HPP dari Inpres No.1 ke Inpres No.8 tahun 2008. Upaya ini ditujukan untuk memberi stimulus bagi petani untuk meningkatkan produksi padi. Dalam upaya menjaga stabilitas harga, pemerintah memberi mandat sepenuhnya kepada Bulog. Meskipun kapasitas Bulog untuk membeli padi/beras dalam negeri belum pernah mencapai 10%, namun peran Bulog dalam stabilisasi harga cukup signifikan. Tugas publik yang diemban oleh Bulog antara lain adalah (Abubakar, 2009) : (1) melakukan pengadaan gabah/beras dalam negeri sebagai bentuk pengamanan HPP; (2) menyalurkan beras bersubsidi kepaka kelompok masyarakat tertentu (Raskin); (3)
18
melakukan pengelolaan cadangan beras pemerintah (CBP); dan (4) melakukan stabilitas harga (pembelian gabah/beras DN dan operasi pasar). Dalam mengimplementasikan HPP, selama 8 tahun terakhir pembelian gabah/ beras dalam negeri oleh Bulog berfluktuasi, yaitu 2,17 juta ton setara beras (6,63% dari produksi DN) pada tahun 2000, turun menjadi 1,53 juta ton (4,47% dari produksi DN) pada tahun 2005 dan naik lagi menjadi 3,20 juta ton (8,42% dari produksi DN) pada tahun 2008. Selain pengadaan DN, Bulog juga mempunyai mandat mengimpor beras. Impor beras dilakukan jika cadangan beras nasional tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Beras impor digunakan oleh Bulog untuk keperluan stabilisasi harga, penanggulangan keadaan darurat, untuk masyarakat miskin (raskin), dan mengatasi kerawanan pangan. Penyaluran raskin tiap tahun terus meningkat dari 1,62 juta ton untuk 13,88 juta rumah tangga miskin (RTM) pada tahun 2006, menjadi berturut-turut 1,73 juta ton untuk 16,74 RTM tahun 2007 dan 3,24 juta ton untuk 19,09 juta RTM pada tahun 2008 (Abubakar, 2009). Upaya pembelian gabah/beras DN pada musim panen yang disertai impor pada saat cadangan beras nasional tidak mencukupi telah berhasil menjaga stabilitas harga gabah dan beras. Hal ini tercermin dari perkembangan harga beras, relative terhadap komoditas lain dan harga beras dalam negeri dengan harga beras di Thailand dan Vietnam selama tahun 2007 sampai April 2009 (Gambar 3.e.2.)
Gambar 3.e.2. Perbandingan harga beras DN dengan komoditas lain dan dengan harga beras di Thailand dan Vietnam.
Dalam tahun 2009, pemerintah Indonesia juga membuka peluang ekspor beras, dengan tetap mempertimbangkan stabilitas stok dan harga beras dalam negeri. Dasar hukum pelaksanaan ekspor beras adalah Permendag No. 13/M-DAG/Per/3/2009. Sedangkan pelaksana ekspor adalah BUMN, BUMD, dan Perusahaan Swasta (Ditjen PPHP, 2009).
19
DPM LUEP Th. 2003 Th. 2004 Th. 2005 Th. 2006 Th. 2007
Plafon Realisasi 162.19 m 159.54 m 161.55 m 157.51 m 99.92 m 89.79 m 238.99 m 208.92 m (s/d agustus 2006) 232.43 m 226.59 m (khusus padi)
F. Kebijakan Insentif dan Subsidi Peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional sangat vital antara lain, penyedia lapangan kerja, penyedia pangan, pemasok devisa dan pengentas kemiskinan. Dengan peran sektor pertanian yang demikian besar, maka sudah selayaknya pemerintah mempertahankan eksistensi dan mengembangkan kapasitas sektor pertanian ke depan melalui berbagai kebijakan promosi maupun proteksi. Penyediaan insentif dan perlindungan bagi petani yang dilaksanakan oleh pemerintah dimaksudkan untuk merangsang peningkatan produksi, investasi dan efisiensi usaha pertanian. Instrumen kebijakan pemerintah dalam meningkatkan dan mengembangkan sektor pertanian tidak hanya berupa insentif terhadap harga output, namun juga terhadap input produksinya. Kebijakan insentif mencakup dukungan dan pemberian jaminan harga jual produk (price support), subsidi sarana produksi, kredit bersubsidi dan keringanan pajak. Perlindungan bagi petani juga mencakup praktek perdagangan yang tidak adil dan gagal panen akibat anomali iklim. Argumentasi yang melandasi pentingnya pemerintah memberikan bantuan kepada petani: Pertama, suatu kewajiban pemerintah membantu petani yang sebagian besar merupakan masyarakat miskin yang tidak mempunyai kapasitas yang memadai untuk mengembangkan kapasitas produksi pertanian sementara eksistensi produksi pertanian ke depan masih sangat diperlukan; dan Kedua, melindungi petani miskin dari ancaman eksternal akibat ketidakadilan perdagangan dalam rangka memberdayakan mereka menjadi masyarakat yang mandiri mampu menghidupi dirinya dan juga menjaga eksistensi sektor pertanian ke depan. Pemberian insentif kepada petani yang diarahkan untuk pemberdayaan petani dan meningkatkan kapasitas produksinya, antara lain : (a) pemberian modal kerja usahatani yang menguasai dan menggarap lahan, (b) subsidi tidak langsung dalam bentuk perbaikan dan pembangunan aset/ sumberdaya pertanian, misalnya saluran irigasi (jaringan irigasi tingkat usahatani/JITUT, dan jaringan irigasi desa/JIDES), (c) jalan usahatani, (d) memperbaiki mekanisme pasar input dan output melalui penyediaan lembaga informasi pasar dan pembangunan/perbaikan infrastruktur ekonomi pedesaan, (e) dukungan penelitian dan pengembangan komoditas pertanian, dan (f) mengembangkan sistem perbenihan dengan melibatkan lebih banyak peran swasta, koperasi dan kelompok tani agar benih tersedia dalam jumlah dan waktu yang tepat. Pemberian subsidi kepada petani merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan pemerintah dengan cakupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Instrumen kebijakan subsidi dan dukungan harga bagi petani harus dirancang dan dilaksanakan secara terpadu, koheren dan konsisten satu sama lainnya. Kesesuaian rancang-bangun dan pelaksanaan setiap jenis subsidi dan dukungan harga serta keterpaduan relasi antar instrumen kebijakan adalah
20
syarat mutlak agar kebijakan tersebut efektif, baik dari segi ouput maupun dari segi biaya. Dalam upaya membantu petani, pemerintah selama kurun waktu 2004-2009 secara konsisten menerapkan kebijakan subsidi pertanian terpadu. Subsidi pertanian terpadu pada intinya ialah penyatuan semua instrumen kebijakan subsidi dalam satu paket, baik dalam rancang-bangun maupun dalam pelaksanaannya. Yang dimaksud dengan subsidi dalam hal ini adalah subsidi harga input dan modal kerja serta dukungan harga output. Dukungan harga output, seperti kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan harga dasar untuk gula, memang tidak termasuk kategori subsidi dalam arti bakunya. Dari segi fungsi dan pelaksanaannya, kebijakan dukungan harga output dipadukan dengan kebijakan subsidi input dan modal kerja usahatani. Dukungan harga output dan subsidi input maupun modal kerja berfungsi sebagai insentif produksi bagi petani. Tujuannya juga sama yaitu meningkatkan produksi dan laba usahatani. Keterpaduan dalam menetapkan besaran subsidi dan dukungan harga merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk mewujudkan sinergi guna meningkatkan efektifitas dan menekan ongkos kebijakan. Kebijakan subsidi pertanian terpadu dapat dijustifikasi karena sesungguhnya manfaat ekonominya tidak saja secara langsung, yakni pada usahatani pengguna, tetapi juga secara tidak langsung melalui dampak positifnya terhadap perbaikan penerapan teknologi yang lebih efisien oleh petani dan dampak pengganda (multiplier effect) peningkatan produksi pangan terhadap sektor-sektor lain dalam perekonomian. Manfaat yang dinilai lebih besar adalah dampak terhadap ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan pemantapan stabilitas sosial-politik. Subsidi terpadu mempunyai keunggulan sebagai berikut : (1) Tepat sasaran, kebocoran karena disparitas harga dapat ditekan; (2) Menggerakkan secara sinergis kemampuan petani dengan kemampuan pemerintah, sehingga subsidi yang diberikan bisa lebih rendah; (3) Mampu mengatasi faktor pembatas produksi; (4) Menghindari subsidi ganda; (5) Mencegah over intensification; (5) Mendorong profesionalisme produsen saprodi. Komponen subsidi terpadu meliputi : (1) Sarana produksi : Benih dan pupuk serta pestisida; (2) Modal Kerja untuk membayar upah. Komponen subsidi terpadu tersebut akan diberikan secara terpadu dalam satu paket sesuai dengan kebutuhan lahan bukan kebutuhan petani dan diikuti oleh kebijakan dukungan harga output. Modus subsidi terpadu diberikan dalam bentuk subsidi input secara tidak langsung yaitu melalui selisih harga dalam bentuk natura. Ada dua modus subsidi secara tidak langsung : yaitu (1) subsidi diberikan kepada petani sebesar volume dikali selisih harga pasar dengan harga subsidi; (2) subsidi diberikan kepada produsen sarana produksi sebesar volume dikali selisih harga pasar dengan harga subsidi. Dengan modus ini petani membeli harga subsidi di kios resmi. Jenis pupuk bersubsidi yaitu, pupuk anorganik (Urea, SP-36/Superphose, ZA, NPK) dan pupuk organik. Kebijakan subsidi pupuk kepada petani sasaran meliputi : petani tanaman pangan, hortikultura, pekebun rakyat, peternak rakyat.
21
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, M. 2009. Peran Bulog dalam Pengadaan Gabah dan Beras Nasional. Makalah disampaikan pada Workshop Revitalisasi Penggilingan Padi di Jakarta, 7-9 Mei 2009. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP). 2009. Kebijakan Penanganan Pasca Panen, Perberasan Nasional, Penerapan Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan Serta Pemasaran Gabah/Beras. Makalah disajikan pada Lokakarya “Peningkatan Produksi Beras melalui Revitalisasi Penggilingan Padi” di Jakarta 7-9 Mei 2009. Pasaribu, S., B. Sayaka, W.K. Sejati, A. Setiyanto, J. Hestina dan J. Situmorang. 2007. Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian. Laporan Hasil penelitian. PSEKP. Bogor. PSEKP. 2005. Kebijakan Subsidi Pupuk. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Setjen Depatan. 2006. Argumentasi dan Skema Bantuan Pemerintah Bagi Petani Indonesia. Sekretariat Jenderal, Departemen Pertanian. PSEKP. 2006. Subsidi Pertanian Terpadu. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan SDM. 2009. Badan Pengembangan SDM Pertanian Dalam Angka 2008. Deptan, Jakarta. Ditjen
Tanaman Pangan. 2008. Pedoman Umum Peningkatan Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung, dan Kedelai Melalui Pelaksanaan SL-PTT. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Deptan, Jakarta.
Deptan. 2007. Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani. Peraturan Menteri Pertanian No. 273/Kpts/OT.160/4/2007. Departemen Pertanian, Jakarta. PSEKP, 2009. Rencana Strategis Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian 2010-2014. PSEKP, Bogor (Draft I) PSEKP, 2009. Kinerja Program/Kegiatan Strategis Departemen Pertanian. Laporan Analisis Kebijakan. PSEKP, Bogor Pasaribu, S., B. Sayaka, W. K. Sejati, A. Setiyanto, J. Hestina, dan J. Situmorang. 2007. Analisis Kebijakan Pembiayaan Sektor Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. PSEKP. Bogor.
22