KEBERADAAN MIKORIZA PADA AREAL SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah)
LINDA MARDIA SARI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
KEBERADAAN MIKORIZA PADA AREAL SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIF (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah)
Skripsi Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
LINDA MARDIA SARI E14203021
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN LINDA MARDIA SARI. Keberadaan Mikoriza pada Areal Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh: PRIJANTO PAMOENGKAS dan SRI WILARSO BUDI R. Pertumbuhan tanaman meranti dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, pH tanah, unsur hara dan lain-lain. Selain itu, pertumbuhan tanaman dalam lingkungan ekosistem hutan juga dipengaruhi oleh keberadaan mikroorganisme tanah. Salah satu mikroorganisme yang dapat berperan spesifik dalam memacu pertumbuhan tanaman adalah mikoriza. Mikoriza berperan dalam meningkatkan kapasitas tanaman dalam menyerap unsur hara dan air, disamping itu juga berfungsi sebagai kontrol biologi dan meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan, sehingga bagi tanaman kehutanan yang berasosiasi dengan mikoriza pertumbuhannya jauh lebih cepat sebab mempunyai kemampuan menyerap hara dan air yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman kehutanan yang tidak berasosiasi dengan mikoriza. Keberadaan mikoriza tersebut belum banyak diketahui terutama di areal TPTII, oleh karena itu keberadaan mikoriza di areal TPTII tersebut perlu diteliti. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis mikoriza yang terdapat pada berbagai umur tanaman meranti, yaitu umur 1-5 tahun beserta jumlah spora dan persentase infeksinya. Penelitian ini merupakan studi kasus di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah. Pengambilan contoh tanah dan akar dilakukan dengan membuat jalur sepanjang 200 m pada jalur tanam kemudian di buat petak berukuran 2x2 m sebanyak 5 petak pada tiap jalur. Lokasi yang digunakan yaitu lokasi dengan umur tanaman 1-5 tahun dan pada masingmasing umur dibuat sebanyak 3 jalur pengamatan. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis dengan menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) software SPSS 13.0. Terdapat empat genus fungi pembentuk endomikoriza yang ditemukan pada lokasi pengamatan yaitu Glomus, Acaulospora, Gigaspora dan Entrospora. Genus Glomus dan Acaulospora merupakan genus yang paling luas daerah penyebarannya kemudian disusul oleh genus Entrospora dan yang paling sempit daerah penyebarannya adalah genus Gigaspora. Infeksi akar oleh endomikoriza dan ektomikoriza yang terbaik terdapat pada lokasi dengan umur tanaman 2 tahun dengan persentase rata-rata infeksi sebesar 26% dan 49%. Persentase infeksi mikoriza pada areal TPTII tersebut termasuk dalam kategori jelek sampai sedang. Kepadatan spora tertinggi terdapat pada lokasi dengan umur tanaman 2 tahun yaitu sebesar 24 spora/50 g tanah dan untuk kepadatan spora terendah terdapat pada lokasi dengan umur tanaman 5 tahun sebanyak 7 spora/50 g tanah. Dari hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa rata-rata jumlah spora pada lokasi dengan umur tanaman 2 tahun berbeda nyata dengan keempat lokasi umur tanaman lainnya.
Kata kunci: endomikoriza, ektomikoriza, TPTII, meranti, PT. Sari Bumi Kusuma
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keberadaan Mikoriza pada Areal Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2008 Linda Mardia Sari NRP E14203021
Judul Skripsi
: Keberadaan Mikoriza pada Areal Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah).
Nama
: Linda Mardia Sari
NRP
: E14203021
Menyetujui: Komisi Pembimbing Ketua,
Anggota,
Dr.Ir.Prijanto Pamoengkas, M.ScF.
Dr.Ir. Sri Wilarso Budi R., MS.
NIP. 131 849 394
NIP. 131 781 161
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr. NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus : ……………….
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul Keberadaan Mikoriza pada Areal Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah) yang dilaksanakan di PT. Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah dan Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada pihak PT. Sari Bumi Kusuma yang telah memberikan izin dan bantuan kepada penulis, serta keluarga dan pihakpihak lain yang telah memberikan dukungan pada penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bisa bermanfaat.
Bogor, Mei 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Curup, Bengkulu pada tanggal 26 Maret 1986, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Asril Aziz dan Zubidar. Pada tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Curup dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi seperti Dewan Keluarga Mushola Ibaadurrahmaan (2004-2006) dan Forest Management Student Club (FMSC) pada periode 2004-2005, selain itu penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Silvikultur (2006-2008). Penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di CilacapBaturaden, KPH Banyumas Timur dan Banyumas Barat Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, dan Getas, KPH Ngawi Timur Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Pada tahun 2007, penulis berkesempatan melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Keberadaan Mikoriza pada Areal Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah) di bawah bimbingan Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M. ScF dan Dr. Ir. Sri Wilarso Budi Raharjo, MS.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak dibantu oleh berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada 1. Yang tercinta ayahanda Asril Aziz dan Ibunda Zubidar, saudara-saudaraku yang tersayang Noprijal, Ardiansyah dan Meilini Ningsih serta seluruh keluarga besar yang telah menyemangati dan mendoakan penulis. 2. Dr. Ir. Prijanto Pamoengkas, M.ScF dan Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R., MS atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan. 3. Ir. Siswoyo, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, nasehat dan kritikan. 4. Seluruh Staf dan Karyawan PT. Alas Kusuma Group atas izin dan bantuannya. 5. Yayasan Supersernar, Taspen dan BBM atas beasiswa yang telah diberikan. 6. Keluarga Bapak Lilik dan Bapak Indun atas perhatiannya dan pengertiannya. 7. Saudari-saudariku tersayang di Kos Putri Hikari terima kasih atas persaudaraan yang telah diberikan. 8. Sahabat-sahabat terbaik penulis di Budidaya Hutan 40 terimakasih atas persahabatannya. 9. Seluruh civitas akademika Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua pihak dan mohon maaf atas segala kekurangannya.
Bogor , Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL..........................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
iii
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang........................................................................... 1 1.2 Tujuan........................................................................................ 2 1.3 Hipotesis .................................................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikoriza ................................................................................... 3 2.2 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif....... 8 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu ................................................................... 10 3.2 Alat dan Bahan ......................................................................... 10 3.3 Metode Penelitian ..................................................................... 11 3.4 Analisis Data............................................................................. 13 BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak, Luas dan Fungsi Hutan.................................................. 14 4.2 Topografi................................................................................... 14 4.3 Geologi dan Tanah ................................................................... 15 4.4 Hidrologi.................................................................................... 15 4.5 Kondisi Vegetasi ....................................................................... 15 4.6 Iklim .......................................................................................... 16 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil.......................................................................................... 18 5.2 Pembahasan............................................................................. 25 BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan ............................................................................... 30 6.2 Saran ........................................................................................ 30 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 31 LAMPIRAN .................................................................................................. 34
DAFTAR TABEL No. 1.
Halaman Gambaran kemiringan lapangan areal konsesi hutan PT. Sari Bumi Kusuma ............................................................................................... 15
2.
Data curah hujan, hari hujan, suhu dan kelembaban udara tahun 2007 di Areal PT. Sari Bumi Kusuma .................................................. 16
3.
Rata-rata persen infeksi akar berendomikoriza pada jenis vegetasi yang ditemukan di lokasi pengamatan ................................................ 18
4.
Rata-rata persen infeksi akar berektomikoriza pada jenis-jenis Shorea ................................................................................................. 20
5.
Penyebaran genus fungi pembentuk endomikoriza pada lokasi pengamatan......................................................................................... 24
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Skema pelaksanaan TPTI Intensif....................................................... 9
2.
Sketsa
pengambilan
sampel
tanah
dan
akar
pada
lokasi
pengamatan ......................................................................................... 11
3.
Grafik curah hujan bulanan di lokasi penelitian selama tahun 2007 di areal PT. Sari Bumi Kusuma ............................................................... 17
4.
Contoh akar yang terinfeksi oleh endomikoriza (a) Akar jambujambuan (Eugenia sp) (b) Akar Shorea parvifolia (perbesaran 100x). 20
5.
Akar Meranti Merah (Shorea leprosula) yang terinfeksi ektomikoriza . 21
6.
Grafik persentase infeksi akar berendomikoriza pada masing-masing lokasi pengamatan .............................................................................. 21
7.
Grafik persentase infeksi akar berektomikoriza pada masing-masing lokasi pengamatan .............................................................................. 22
8.
Rata-rata jumlah spora pada lokasi pengamatan................................ 23
9.
Penampakan spora pada genus yang berbeda (a = Glomus, b = Gigaspora, c = Acaulospora, d = Entrospora) ..................................... 24
DAFTAR LAMPIRAN No. 1.
Halaman Rata-rata jumlah spora dan persen infeksi endomikoriza dari tiga jalur pengamantan............................................................................... 35
2.
Rata-rata infeksi akar oleh ektomikoriza dari tiga jalur pengamantan. 37
3.
Hasil analisis ANOVA dengan menggunakan software SPSS versi 13.0 ..................................................................................................... 38
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu sistem silvikultur alternatif yang sedang dikembangkan dalam pengelolaan hutan alam bekas tebangan adalah TPTII. Sistem TPTII adalah regime silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, yaitu 20 m antar jalur dan 2,5 m dalam jalur tanaman, tanpa memperhatikan cukup tidaknya anakan alam yang tersedia dalam tegakan tinggal. Ruang diantara jalur bertujuan untuk memperkaya keanekaragaman hayati. Jalur bersih dibuat selebar 3 m untuk kegiatan penanaman dan jalur tersebut harus bersih dari tunggak dan dari pohon penaung, kecuali pohon buah-buahan, komersial dan pohon yang dilindungi. Seiring dengan pertambahan umur pohon yang ditanam, pada sistem silvikultur TPTII dilakukan pelebaran jalur tanam. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, pH tanah, unsur hara dan dalam
lingkungan
ekosistem
lain-lain. Selain itu, pertumbuhan tanaman
hutan
juga
dipengaruhi
oleh
keberadaan
mikroorganisme tanah. Salah satu mikroorganisme tanah yang dapat berperan spesifik dalam memacu pertumbuhan tanaman adalah mikoriza. Mikoriza berperan dalam meningkatkan kapasitas tanaman dalam menyerap unsur hara dan air, disamping itu juga berfungsi sebagai kontrol biologi dan meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan, sehingga bagi tanaman kehutanan yang berasosiasi
dengan
mikoriza
pertumbuhannya
jauh
lebih
cepat
sebab
mempunyai kemampuan menyerap hara dan air yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanaman kehutanan yang tidak berasosiasi dengan mikoriza. Fungi mikoriza merupakan komponen yang sangat penting di dalam ekosistem alam dan di dalam siklus nutrisi. Penyebaran dan terdapatnya mikoriza yang sangat luas di dalam ekosistem memainkan peranan yang sangat besar terhadap pertumbuhan tanaman dan keanekaragaman tumbuhan di alam (Gerdemann 1968). Namun keberadaan mikoriza tersebut belum banyak diketahui terutama di areal TPTII. Oleh karena itu keberadaan mikoriza di areal TPTII tersebut perlu diteliti.
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui jenis-jenis mikoriza yang terdapat pada berbagai umur tanaman meranti (1-5 tahun). 2. Mengetahui jumlah spora dan infeksi mikoriza pada berbagai umur tanaman meranti (1-5 tahun). 1.3 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Terdapat berbagai jenis mikoriza pada berbagai umur tanaman meranti (1-5 tahun). 2. Terjadi perubahan jumlah spora dan infeksi mikoriza pada berbagai umur tanaman meranti (1-5 tahun).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikoriza Mikoriza terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu Mykes (fungi) dan Rhiza (akar). Jadi mikoriza adalah suatu bentuk simbiosis yang saling menguntungkan antara akar tanaman dan fungi. Mikoriza untuk tumbuh dan berkembang memerlukan karbohidrat dari tanaman dan tanaman memerlukan unsur hara dan air dari dalam tanah melalui hifa selama hidupnya. Berdasarkan struktur tubuhnya dan cara infeksi terhadap tanaman inang, mikoriza dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan besar, yaitu ektomikoriza, endomikoriza atau Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan ektendomikoriza (Imas et al. 1989). Perbedaan antara ektomikoriza dan endomikoriza dapat dilihat dari jamur atau cendawan yang berasosiasi, tanaman inang, dan bentuk asosiasinya di akar. Jamur ektomikoriza berada pada klas yang lebih tinggi daripada jamur endomikoriza, dengan demikian jamur ektomikoriza mempunyai sporokarp yang lebih sempurna dan lebih besar dibanding jamur endomikoriza. Miselium jamur ektomikoriza bersepta dan seringkali dijumpai adanya clamp-connection. Jamur ektomikoriza mempunyai kisaran inang yang lebih sempit dibanding dengan jamur endomikoriza. Jamur ektomikoriza hanya dapat menginfeksi tumbuhan yang berkayu, tetapi tidak semua tumbuhan berkayu dapat terinfeksi oleh jamur ektomikoriza. Ada juga yang melaporkan bahwa jamur ektomikoriza dapat menginfeksi
rumput-rumputan,
sedangkan
jamur
endomikoriza
dapat
menginfeksi hampir semua jenis tanaman. Bentuk asosiasi ektomikoriza dapat dilihat langsung oleh mata, sedang bentuk asosiasi endomikoriza dapat dilihat jelas setelah melalui serangkaian prosedur perwarnaan dan dilihat dengan bantuan mikroskop. Jamur ektomikoriza menginfeksi akar di antara sel epidermis dan korteks, sedangkan jamur endomikoriza menginfeksi di dalam sel akar (Wulandari 2007). Endomikoriza (FMA = Fungi Mikoriza Arbuskula) termasuk ke dalam kelas Zygomycetes ordo Glomales yang terbagi dalam tiga famili yaitu Glomaceae, Acaulosporaceae dan Gigasporaceae. Fungi ini diklasifikasikan ke dalam 13 genus yaitu Glomus, Gigaspora, Scutellospora, Acaulospora, Entrophospora, Archaeospora, Paraglomus, Geosiphon, Intraspora, Kuklospora, Appendicispora, Diversispora dan Pacispora. Pada awalnya identifikasi endomikoriza hanya
didasarkan kepada morfologi spora dan dinding sporanya, namun sekarang telah menggunakan DNA (Mansur 2007). Lebih dari 90% jenis tanaman yang ada di alam dapat berasosiasi dengan simbion mikoriza, endomikoriza (FMA = Fungi Mikoriza Arbuskula) dan ektomikoriza. Dari 90% jenis tanaman tersebut, 97% jenis tanaman diantaranya dapat berasosiasi dengan endomikoriza dan hanya 3% jenis tanaman yang dapat berasosiasi dengan ektomikoriza. Tanaman yang dapat berasosiasi dengan jamur pembentuk ektomikoriza berasal dari famili Pinaceae, Salicaceae, Juglandaceae, Myrtaceae, Gnetaceae, Dipterocarpaceae, Betulaceae, Tiliaceae, Fagaceae dan Caesalpinodaceae (Hutchison 1990 dalam Wulandari 2007). Umumnya
ektomikoriza
dibentuk
dari
klas
Basidiomycetes
dan
Ascomycetes tetapi pada beberapa kasus bisa juga dibentuk dari klas Zygomycetes (species dari Endogone) (Trappe 1962; Harley dan Smith 1983 dalam Appanah dan Turnbull 1998) genusnya antara lain: Agricus, Amanita, Astraeus, Boletus, Calvatia, Cantharellus, Cenococcum, Cortinarius, Gautieria, Geastrum,
Hebeloma,
Hysterangium,
Lactarius,
Mycelium,
Pisolithus,
Rhizopogon, Russula, Scleroderma, dan Tricholoma. Jamur yang termasuk dalam kelas Ascomycetes dan Basidiomycetes biasanya mempunyai tubuh buah (sporokarp) yang besar dan dapat dilihat langsung tanpa bantuan mikroskop. Ektendomikoriza merupakan suatu bentuk intermediate antara ektomikoriza dan endomikoriza (Mikola 1965 dan Laitho 1967 dalam Imas et al. 1989) dengan ciri-ciri sebagai berikut : 1. Adanya selubung tipis berupa jaring Harting. 2. Terdapat hifa tebal intraseluler yang mengelembung. 3. Kadang-kadang selubung tersebut hilang. 4. Hifa dapat menginfeksi dinding sel korteks dan juga sel-sel korteksnya. Penyebaran dari jenis ektendomikoriza terbatas dalam tanah-tanah hutan yakni hanya dijumpai pada akar-akar pohon hutan yang secara normal berektomikoriza. Pengetahuan dari jenis-jenis ini masih terbatas, karena riset yang dilakukan masih sedikit. 2.1.1 Peranan mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman Tanaman yang bermikoriza biasanya tumbuh lebih baik daripada yang tidak bermikoriza. Hal ini terjadi karena mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur hara mikro, selain itu akar
yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia untuk tanaman (Serrano 1985 dalam Imas et al. 1989). Gunawan (1993) menyebutkan adanya simbiosis mutualistis antara endomikoriza dengan perakaran tanaman dapat membantu pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik, terutama pada tanah marjinal. Benson dan Iyer (1978) dalam Kwang (1987), menyatakan bahwa produksi mikoriza akar pendek lebih baik pada tanah dengan kesuburan yang rendah atau sedang. Persemaian dengan tingkat kesuburan yang tinggi (poshpor banyak tersedia) dapat menekan perkembangan mikoriza. Tanaman yang bermikoriza biasanya lebih tahan terhadap kekeringan dari pada yang tidak bermikoriza. Kekeringan yang menyebabkan rusaknya jaringan korteks dan matinya perakaran, pengaruhnya tidak akan permanen pada akar yang bermikoriza. Akar yang bermikoriza akan cepat kembali pulih setelah periode kekurangan air (water stress) berlalu. Hal ini disebabkan karena hifa fungi masih mampu untuk menyerap air pada pori-pori tanah, pada saat akar tanaman sudah kesulitan untuk menyerap air, selain itu penyerapan hifa di dalam tanah sangat luas sehingga dapat mengambil air relatif lebih banyak (Imas et al. 1989). Suhardi et al. (1995) dalam Hadi (2001) melaporkan bahwa di tempat terbuka bibit Dryobalanops sp. dapat tumbuh 10 kali lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak diinokulasi dengan fungi ektomikoriza. Di tempat terbuka tersebut fungi membantu membuat bibit lebih tahan terhadap kekeringan. Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi bagi terjadinya infeksi patogen akar (Zak 1967 dalam Imas et al. 1989). Mekanisme perlindungan tersebut bisa diterangkan sebagai berikut: 1. Adanya lapisan hifa (mantel) dapat berfungsi sebagai pelindung fisik untuk masuknya patogen. 2. Mikoriza menggunakan hampir semua kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta lingkungan yang tidak cocok bagi patogen. 3. Cendawan mikoriza dapat melepaskan antibiotik yang dapat mematikan. Cendawan mikoriza dapat memberikan hormon sepeti auxin, citokinin, dan gibberelin, juga zat pengatur tumbuh seperti vitamin kepada inangnya. Auxin dapat berfungsi untuk mencegah atau memperlambat proses penuaan dan suberisasi akar (feeder roots), dengan demikian fungsi akar sebagai penyerap unsur hara dan air diperpanjang.
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Mikoriza 1. Gangguan lahan Pengaruh persiapan lahan untuk penanaman Terminalia ivorensis terhadap jumlah spora endomikoriza atau FMA telah diteliti oleh Mosse et al. (1992) dalam Saidi (2006). Sebelum dilakukan persiapan lahan, jumlah spora cukup merata pada keempat lokasi yang diteliti dengan rata-rata 252 spora per 100 g tanah. Tiga bulan setelah persiapan lahan, jumlah spora menurun dengan drastis, akan tetapi 15 bulan kemudian atau 11 bulan setelah penanaman jumlah sporanya meningkat tajam. Hal ini dilaporkan juga oleh Wilson et al. (1992) dalam Saidi (2006) yang menunjukkan bahwa akibat gangguan ekosistem yang tidak terlalu berat dapat meningkatkan jumlah spora endomikoriza. Hafeel dan Gunatilleke (1990) dalam Saidi (2006) melaporkan bahwa spora endomikoriza jumlahnya secara nyata lebih besar pada hutan tanaman daripada di hutan alam dan hutan bekas ladang berpindah. Kolonsasi akar-akar baru oleh fungi endomikoriza terjadi sangat cepat pada tanah-tanah yang tidak terganggu (Jasper, Abbott dan Robson 1989 dalam Wilarso 1993). Lebih lanjut dinyatakan bahwa hifa beberapa tipe endomikoriza masih tetap infektif setelah terpisah dari akar-akar bermikoriza atau dari inokulum tanah, namun tingkat infektivitas hifa eksternal Acaulospora laevis dan Glomus sp. menurun setelah tanahnya terganggu. Mikoriza sangat dominan berada di lapisan bahan organik tanah, oleh karena itu kehilangan bahan organik karena gangguan ekosistem akan mempengaruhi mikoriza. Harvey et al. (1976) dalam Wilarso (1993) melaporkan bahwa lebih dari 95% ektomikoriza aktif terdapat di lapisan humus dan kayukayu yang busuk di hutan Pseudotsuga menziesii. 2. Intensitas cahaya Cahaya merupakan faktor lingkungan yang memegang peranan penting dalam perkembangan mikoriza. Bjorkman (1942) dalam Setiadi (1989) menyatakan bahwa jumlah mikoriza berkurang cukup besar seiring dengan menurunnya intensitas cahaya. Suhardi (1984) dalam Setiadi (1989) juga menyatakan intensitas cahaya yang tinggi dan kesuburan tanah yang rendah akan mempertinggi perkembangan mikoriza. 3. Suhu Sebagian besar cendawan pembentuk mikoriza membutuhkan suhu optimum untuk pembentukan dan kelangsungan hidup mikoriza (Riffle dan
Maronek 1982 dalam Setiadi 1989). Suhu optimum bagi pertumbuhan cendawan pembentuk mikoriza beragam menurut jenis dan strain. Pertumbuhan yang baik antara 20oC-30oC, suhu optimum di alam mungkin lebih rendah dari biakan murni. Suhu tanah 25o-30oC merupakan suhu optimum untuk perkembangan dan keefektifan endomikoriza. Pada suhu 12oC pertumbuhan akar terhenti yang diikuti oleh berhentinya pembentukkan mikoriza. Pada suhu 35oC kecepatan pertumbuhan akar akan menurun disertai proses penuaan dan meningkatnya suberisasi ujung-ujung akar. 4. pH tanah Menurut Slankis (1974) dalam Setiadi (1989), perkembangan mikoriza yang optimal berkisar pada pH 3,9-5,9. Spora Glomus mossae dan Gigaspora margarita tidak ditemukan pada tanah tropis alam dengan pH <5,5. 5. Aerasi dan Kelembaban tanah Pada tanah yang tergenang air, kekurangan oksigen menghambat perkembangan baik tumbuhan maupun simbiosis mikorizanya, cendawan mikoriza bersifat sangat aerobik (Harley and Smith 1993 dalam Saidi 2006). Menurut Bowen dan Theodore (1972) dalam Saidi (2006) fungi mikoriza mempunyai toleransi yang berbeda terhadap aerasi. Sieverding (1991) melaporkan bahwa kadar air 40-80% dari kapasitas cekapan maksimum merupakan kondisi yang optimal untuk perkembangan dan keefektifan endomikoriza. 2.2 Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) Sistem TPTII adalah regime silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan pada areal pasca penebangan secara jalur, yaitu 20 m antar jalur dan 2,5 m dalam jalur tanaman, tanpa memperhatikan cukup tidaknya anakan alam yang tersedia dalam tegakan tinggal, sebanyak 80 anakan meranti per hektar harus ditanam untuk menjamin kelestarian produksi pada rotasi berikutnya. Skema pelaksanaan TPTII dapat dilihat pada Gambar 1. Dalam program ini target jumlah pohon pada akhir jangka (30 tahun) adalah 160 pohon per hektar. Ruang diantara jalur bertujuan untuk memperkaya keanekaragaman hayati. Kelebihan sistem TPTII dari TPI maupun TPTI adalah bahwa dengan sistem TPTII kelestarian produksi akan dapat terjamin karena mekanisme kontrol dapat dilakukan dengan optimal. Mekanisme membangun hutan tanaman yang prospektif, sehat dan lestari jelas dapat dilakukan lewat TPTII yang terus
menerus akan disempurnakan menuju regime silvikultur intensif (Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan 2004). Oleh sebab itu, beberapa kriteria yang harus diperhatikan diantaranya: a. Jenis target yang diprioritaskan. b. Jumlah dan kualitas bibit yang harus ditanam per hektar. c. Ukuran lubang tanam. d. Jarak antara jalur tanam dan tanaman dalam jalur. e. Lebar jalur tanam yang dibersihkan. f.
Frekuensi dan lamanya pemeliharaan. Sistem TPTII ini merupakan sistem silvikultur yang dalam pengelolaan
hutan alam dapat mengakomodasi beberapa tuntutan sekaligus, yaitu tuntutan terhadap peningkatan produktivitas (kayu), kepastian usaha, kepastian kawasan dan tuntutan sosial ekonomi masyarakat setempat (Soekotjo 2005), Menurut Suparna (2005) sistem TPTII memiliki beberapa ciri-ciri mendasar yaitu : 1. Diterapkan system Reduce Impact Logging (RIL). 2. Ruang tumbuh tegakan “dibuka” mendekati tingkat optimal dengan fleksibilitas dalam menetapkan limit diameter pohon yang ditebang sedemikian
rupa
sehingga
kepentingan
pertumbuhan,
produksi
dan
lingkungan dapat cukup terakomodasi secara seimbang. 3. Dilakukan penanaman sistem jalur secara intensif dengan memasuki teknologi yang memadai, dengan jarak antar jalur tanam 20–25 m. 4. Dilakukan kegiatan bina pilih pada pohon-pohon inti tertentu pada tegakan alam yang terletak di antara jalur-jalur tanaman.
Jalur bersih a
Jalur bersih cb cC
3m Tegakan Alam
Ο 2,5 m
171 d
b
3m
Tegakan Alam 22 17 m
c
a
d
Tegakan Alam
Ο
Gambar 1 Skema pelaksanaan TPTII. Keterangan Ο
: : Titik tanaman, jarak tanaman dalam jalur 2,5 m dan jarak antar jalur 20 m.
a–b
: Jalur bersih dan bebas naungan dengan lebar 3 m.
c–d
: Jalur antara dengan lebar 17 m.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007-Januari 2008. Pengambilan contoh tanah dan akar tumbuhan dilakukan di PT. Sari Bumi Kusuma, sedangkan analisis contoh tanah dan akar tumbuhan dilakukan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah dan akar tumbuhan dari jalur tanam meranti umur 1-5 tahun, Alkohol 50%, KOH 2,5%, HCl 2%, Glukosa 60%, larutan Trypan Blue dan Aquades. Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan contoh tanah dan akar tumbuhan adalah cangkul, kantong plastik, spidol, tabung film dan kertas label, sedangkan untuk pengamatan di laboratorium adalah saringan spora (saringan bertingkat tiga 250 μm, 125 μm dan 63 μm), tabung sentrifuge, pinset spora, mikroskop stereo, kaca preparat, cover glass, petridish, timbangan, Melzer’s, PVLG, kamera dan gunting. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengambilan contoh tanah dan akar Pengambilan contoh tanah dan akar dilakukan di lima lokasi jalur tanam areal TPTII umur 1-5 tahun. Masing-masing umur dibuat tiga jalur pengamatan dengan panjang 200 m (Gambar 2). Pada tiap jalur dibuat petak contoh pengambilan tanah dan akar dengan ukuran 2x2 m dan jarak antar petak contoh adalah 40 m. Contoh tanah diambil sebanyak 200 g/jenis tumbuhan. Akar yang diambil adalah akar serabut yang telah dicuci bersih yang kemudian dimasukkan ke dalam tabung film yang berisi larutan alkohol 50%. Contoh tanah dan akar diambil pada daerah rizosfer dengan kedalaman kurang lebih 20 cm. Setiap jenis tumbuhan diambil satu contoh tanah dan akar. Tumbuhan yang diambil berupa anakan atau semai dari jenis pepohonan. Apabila pada suatu titik pengamatan mempunyai tumbuhan yang sama, maka hanya dipilih salah satu tumbuhan untuk diambil contoh tanah dan akarnya.
2x2 m
Tegakan alam
Tegakan alam
Tegakan alam
200m
Gambar 2
17 m Sketsa pengambilan sampel tanah dan akar pada lokasi pengamatan.
3.3.2 Analisis dan identifikasi spora mikoriza Teknik yang digunakan dalam mengekstraksi spora endomikoriza adalah teknik tuang-saring dari Pacioni (1992). Prosedur kerja teknik tuang-saring ini, pertama adalah mencampurkan tanah sampel sebanyak 50 g dengan 200-300 ml air dan diaduk sampai butiran-butiran tanahnya hancur. Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 250 μm, 125 μm dan 63 μm, secara berurutan dari atas ke bawah. Saringan bagian atas disemprot dengan air kran untuk memudahkan bahan saringan lolos. Kemudian saringan paling atas dilepas dan saringan kedua kembali disemprot dengan air kran. Setelah saringan kedua dilepas sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada saringan terbawah dipindahkan dalam tabung sentrifuse. Ekstraksi spora teknik tuang-saring ini kemudian diikuti dengan teknik sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Hasil saringan dalam tabung sentrifuse ditambahkan dengan glukosa 60% sampai 2/3 isi tabung. Tabung sentrifuse ditutup rapat dan disentrifuse dengan kecepatan 2 500 rpm selama 5 menit. Selanjutnya cairan yang bening dituang ke dalam saringan yang berukuran 63 μm, lalu cuci dengan air mengalir yang deras untuk menghilangkan gulanya. Setelah dicuci, pindahkan spora yang menempel ke dalam cawan petri. Spora yang telah dipindahkan ke dalam cawan petri dapat dilihat di bawah mikroskop untuk dihitung jumlah sporanya. Spora yang didapat dari contoh tanah yang
diambil, kemudian diidentifikasi jenisnya dengan menggunakan cara Scenck dan Perez (1990). 3.3.3 Persentase akar yang terinfeksi Akar-akar yang diambil dari lapang diamati infeksi mikorizanya dengan metode Phyllip dan Hayman (1970) dalam Santika (2006). Agar akar dapat diamati untuk menganalisis infeksi mikoriza, maka diperlukan beberapa perlakuan terhadap akar berupa pembersihan dan pewarnaan sehingga dapat dilihat melalui mikroskop untuk menentukan bentuk infeksinya. Tahapan perlakuan tersebut yaitu : 1. Akar yang diambil yaitu akar serabut dengan cara dipotong dan diambil pada bagian samping kanan, samping kiri, samping utara dan samping barat dari batang pokok. 2. Akar kemudian dibilas dengan air kemudian dimasukkan pada tabung foto dan direndam dengan alkohol 50%. 3. Akar dibilas dengan air hingga bersih sampai alkoholnya hilang. 4. Akar direndam dalam larutan KOH 2,5% selama 24 jam. 5. Akar dibilas dengan air bersih agar larutan KOH-nya hilang. 6. Akar direndam dalam larutan HCl 2% selama 24 jam. 7. Akar dibilas dengan air bersih agar larutan HCl-nya hilang. 8. Akar direndam dengan larutan staining blue selama 24 jam sampai akar berwarna biru. 9. Larutan staining dibuang dan diganti dengan larutan destaining selama 24 jam sampai warna akar tidak biru lagi. 3.4 Analisis Data 3.4.1 Pengamatan mikoriza Dari contoh tanah sebanyak 200 g diambil 50 g untuk dianalisis kemudian dihitung kepadatan sporanya : Kepadatan spora = jumlah spora/50 g tanah Perhitungan persentase infeksi akar oleh endomikoriza dilakukan dengan meletakkan 10 potongan akar dengan panjang masing-masing 1 cm pada kaca objek dan ditutup dengan cover glass, kemudian diamati di bawah mikroskop. Perhitungan infeksi akar dapat menggunakan rumus (Giovannety dan Mosse 1980 dalam Delvian 2003) :
∑contoh akar yang terinfeksi Akar terinfeksi (%) =
x100% ∑contoh seluruh akar yang diamati
The Institute of Mycorhizal Research and Development, USDA forest service, Athena, Georgia (Ahmad et al. 1992) telah membuat klasifikasi banyaknya infeksi oleh endomikoriza menjadi 5 kelas yaitu 0–5% = kelas 1, 6– 25% = kelas 2, 26–50% = kelas 3, 51–75% = kelas 4 dan 76–100% = kelas 5. Sedangkan untuk perhitungan infeksi akar oleh ektomikoriza menggunakan metode Marx dan Bryan (1969) dalam Wilarso (1993) dengan rumus jumlah akar berektomikoriza
dibagi
jumlah
akar
keseluruhan
dikalikan
100%,
dan
mengklasifikasikan 75-100% = sangat bagus, 50-74% = bagus, 25-49% = sedang dan 1-24% = jelek. 3.4.2 Analisis data statistik Data yang didapat adalah data rata-rata infeksi endomikoriza, rata-rata infeksi ektomikoriza dan kepadatan spora. Kemudian data-data tersebut di analisis dengan menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) software SPSS versi 13.0.
BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Letak, Luas dan Fungsi Hutan Areal konsesi hutan PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan terletak dikelompok hutan Sungai Seruyan Hulu. Secara geografis arealnya berada pada posisi
00036’00”–01010’00”
LS
111039’00”–112025’00”
BT.
Berdasarkan
administrasi pemerintahan, areal hutan ini sebagian besar berada dalam wilayah Kecamatan Katingan Hulu Kabupaten Katingan dan sebagian kecil termasuk wilayah Seruyan Hulu Kabupaten Seruyan, Propinsi Kalimantan Tengah. Batas-batas areal kerja dengan wilayah lain adalah seagai berikut : Seelah Utara
: Hutan Lindung.
Sebelah Timur
: Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya dan HPH Kayu Waja.
Sebelah Barat
: HPH PT. Erna Djuliawati.
Sebelah Selatan
: HPH PT. Erna Djuliawati dan PT. Meranti Mustika.
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 201/Kpts-II/1998 tanggal 28 Februari 1998, luas areal untuk Unit Seruyan adalah ± 147 600 ha. Melalui perhitungan ulang areal menggunakan fasilitas GIS diperoleh luas 151 020 ha. Atas dasar peta RTRWP Kalimantan Tengah skala 1 : 500 000 seluruh areal konsesi Hutan PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan berada dalam kawasan Budidaya Kehutanan dengan status Hutan Produksi Terbatas. 4.2 Topografi Sampai saat dilakukan penilaian lapangan belum diperoleh rujukan dan data yang menjelaskan sebaran kemiringan lapangan areal PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan. Untuk diskripsi topografi dipakai data untuk seluruh areal PT. Sari Bumi Kusuma (gabungan Blok Seruyan dan Blok Delang). Seluruh areal konsesi hutan PT. Sari Bumi Kusuma berupa tanah dataran kering dengan bentuk lapangan bervariasi dari landai sampai curam dengan ketinggian antara 100-1550 m dpl. Sebagian besar arealnya (47%) berada pada daerah dengan kemiringan lapangan agak curam (15-25%). Gambaran kemiringan lapangan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1
Gambaran kemiringan lapangan areal konsesi hutan PT. Sari Bumi Kusuma
Kondisi Lapangan Datar
Persen Lereng (%) 0-8
Luas (Ha) 4 029
Landai
9-15
61 818
29.43
Agak curam
16-25
98 674
46.99
Curam
26-40
44 342
21.12
Sangat curam
≥40
1 132
0.54
209 995
100.00
Jumlah
Persentase (%) 1.92
Sumber : RKPHTI PT. SBK 1998
Areal yang mempunyai ketinggian tempat di atas 500 m dengan keadaan lapangan bergelombang berat, terutama penyebarannya berada di bagian utara yang juga berfungsi sebagai Hutan Lindung dan berbatasan dengan wilayah Propinsi Kalimantan Barat. 4.3 Geologi dan Tanah Berdasarkan peta Geologi Kalimantan Tengah skala 1:1.000.000, formasi geologi yang mendominasi areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma adalah lonalit, granodiorit, granit, sedikit diorit kuarsa, diorit dan garbo. Jenis tanah pada areal IUPHHK berdasarkan peta Tanah Kalimantan Tengah skala 1:1.000.000 dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1983 terdiri atas Kambisol Distrik, Podsolik Kandik dan Oksisol Haplik yang menurut terminologi dalam SK Mentan No. 837/1980 seluruhnya adalah Podsolik (Anonimous 2004 dalam Pamoengkas 2006). 4.4 Hidrologi Berdasarkan posisinya dalam wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai), areal konsesi PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan berada di bagian hulu dari DAS Katingan dan hulu dari DAS Seruyan. Atas dasar cakupan wilayah dalam DAS, maka lebih dari dua per tiga wilayahnya berada di DAS Katingan. Sungai Katingan dan Sungai Seruyan adalah dua sungai besar di Kalimantan Tengah yang keduanya bermuara ke laut Jawa. Sungai-sungai tersebut masih memiliki beberapa anak sungai yang banyak terdapat di dalam areal konsesi ini. Anakanak Sungai Katingan yang mengalir di dalam areal kerja ini umumnya memiliki lebar rata-rata sekitar 20-30 m dan relatif dangkal. 4.5 Kondisi Vegetasi Tipe hutan pada areal kerja IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma termasuk tipe Hutan Hujan Tropika Basah yang didominasi oleh jenis-jenis Dipterocarpaceae
yaitu Shorea leprosula, Shore parvifolia, Shorea johorensis, Shorea stenoptera, Shorea
pinanga
dan
shorea
platyclados.
Sedangkan
jenis
lain
Non
Dipterocarpaceae antara lain Litsea firma, Macaranga hypoleuca, Eusideroxylon zwageri dan Peronema canescens. 4.6 Iklim Data iklim (curah hujan, hari hujan, suhu dan kelembaban udara) diperoleh dari Laporan Hasil Pemantauan Cuaca PT. Sari Bumi Kusuma. Data curah hujan yang diperoleh dari Laporan Hasil Pemantauan Cuaca PT. Sari Bumi Kusuma menunjukkan rata-rata curah hujan selama periode tahun 2007 disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Data curah hujan, hari hujan, suhu dan kelembaban udara tahun 2007 di Areal PT. Sari Bumi Kusuma No
Bulan
Curah hujan
Hari Hujan
Rata-rata suhu o
Kelembaban
(mm)
(hari)
( C)
(%)
1
Januari
395
15
31.68
79.19
2
Februari
395
12
31.49
76.83
3
Maret
388
15
31.52
77.41
4
April
433
19
31.44
76.95
5
Mei
303
15
31.46
79.71
6
Juni
454
15
31.12
81.28
7
Juli
442
14
31.23
82.04
8
Agustus
379
11
31.16
79.95
9
September
279
10
31.40
80.72
10
Oktober
477
17
30.93
81.04
11
November
278
16
30.96
81.52
12
Desember
538
22
30.95
82.30
Total
4762
179.50
375.34
958.95
Rata-rata
396.84
14.96
31.28
79.91
Sumber : Laporan Hasil Pemantauan Cuaca PT. Sari Bumi Kusuma
Areal konsesi hutan PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan termasuk wilayah yang memiliki curah hujan yang tinggi. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, areal konsesi PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan termasuk tipe iklim A (sangat basah, Q = 11,11%). Berdasarkan data curah hujan tersebut (Tabel 2), dapat diketahui bahwa curah hujan tahun 2007 di PT. Sari Bumi Kusuma unit Seruyan adalah 4762 mm dengan curah hujan bulanan ratarata adalah 396,84 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember dan
terendah pada bulan November. Grafik curah hujan bulanan disajikan pada Gambar 3. 600
Curah hujan (mm)
500 400 300 200 100 0 Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nop Des
Gambar 3 Grafik curah hujan bulanan di lokasi penelitian selama tahun 2007 di areal PT. Sari Bumi Kusuma.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasils 5.1.1 Persentase akar bermikoriza Perhitungan infeksi akar yang berendomikoriza dilakukan dengan melihat ada tidaknya struktur umum yang dimiliki endomikoriza (FMA = Fungi Mikoriza Arbuskula) dapat berupa hifa, arbuskula, vesikula dan spora. Struktur infeksi akar yang berendomikoriza dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil dari pengamatan infeksi endomikoriza memperlihatkan bahwa dari 33 jenis tumbuhan yang diamati, 31 jenis tumbuhan atau hampir 94% diantaranya berasosiasi dengan endomikoriza dan dua jenis tumbuhan tidak berasosiasi dengan
endomikoriza.
Jenis
tumbuhan
yang
tidak
berasosiasi
dengan
endomikoriza tersebut adalah Shorea laevis dan Shorea smithiana (Tabel 3). Tabel 3 Rata-rata persen infeksi akar berendomikoriza pada jenis vegetasi yang ditemukan di lokasi pengamatan Persen infeksi akar berendomikoriza pada masingNo
Nama jenis
masing umur tanaman (%) 1 tahun 35
2 tahun 28
3 tahun -
4 tahun -
5 tahun -
Rata-rata 32
25
67
-
-
-
46
Cratoxylon arborescens
-
16
11
23
-
17
4
Cratoxylon sumatranum
76
53
40
-
-
56
5
Dacryodes rostrata
-
-
-
-
4
4
6
Dillenia eximia
-
69
-
-
-
69
7
Dillenia sp
-
39
-
-
-
39
8
Elaterospermum tapos
-
-
-
21
-
21
1
Aglaia sp
2
Alstonia scolaris
3
9
Eugenia sp1
13
51
15
17
-
24
10
Eugenia sp2
40
54
-
-
-
47
11
Glochidion sp
35
27
39
-
-
34
12
Kelamunting
-
62
-
-
37
50
13
Litsea firma
28
5
25
7
-
16
14
Macaranga hypoleuca
34
28
19
23
28
26
15
Myristica sp
-
-
0
10
7
6
16
Nauclea sp
-
33
-
-
8
21
17
Nephelium sp
10
10
19
7
-
12
18
Peronema canescens
71
-
-
-
-
71
19
Polyalthia hypoleuca
-
28
-
0
-
14
20
Randia sp
-
-
28
-
-
28
Tabel 3 Lanjutan Persen infeksi akar berendomikoriza pada No
Nama jenis
masing-masing umur tanaman (%) 1 tahun
2 tahun
3 tahun
4 tahun
5 tahun
21
Shorea dasyphylla
-
0
-
-
8
Rata-rata 4
22
Shorea johorensis
-
6
-
0
2
3
23
Shorea laevifolia
-
-
-
3
0
2
24
Shorea laevis
-
-
-
-
0
0
25
Shorea leprosula
2
3
6
1
1
3
26
Shorea ovalis
-
-
-
-
2
2
27
Shorea parvifolia
-
-
2
-
-
2
28
Shorea platyclados
-
2
2
2
2
29
Shorea smithiana
-
-
-
-
0
0
30
Shorea sp
-
-
-
-
1
1
31
Vatica sp
-
-
-
-
6
6
32
Vitex pubescens
-
-
-
7
-
7
Xanthophyllum excelsum
-
57
-
-
-
57
33
-
Ket : - = tanaman tidak diketemukan pada lokasi pengamatan
Berdasarkan The Institute of Mycorhizal Research and Development, USDA forest service, Athena, Georgia (Ahmad et al. 1992), hasil rata-rata persentase infeksi endomikoriza pada tiap jenis tumbuhan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelas. Untuk jenis Shorea sp., Shorea smithiana, Shorea platyclados, Shorea parvifolia, Shorea ovalis, Shorea leprosula, Shorea laevis, Shorea laevifolia, Shorea johorensis, Shorea dasyphylla dan Dacryodes rostrata termasuk ke dalam kelas 1 atau sangat jelek. Vitex pubescens, Vatica sp., Polyalthia hypoleuca, Nephelium sp., Nauclea sp., Myristica sp., Litsea firma, Eugenia sp1., Elaterospermum tapos dan Cratoxylon arborescens termasuk kelas 2 atau jelek. Randia sp., Macaranga hypoleuca, Kelamunting, Glochidion sp., Eugenia sp2., Dillenia sp., Alstonia scolaris dan Aglaia sp. termasuk kelas 3 atau sedang. Xanthophyllum excelsum, Dillenia eximia, Cratoxylon sumatranum dan Peronema canescens termasuk kelas 4 atau baik. Pada beberapa jenis tumbuhan Shorea juga ditemukan adanya infeksi akar oleh endomikoriza, yaitu Shorea dasyphylla, Shorea johorensis, Shorea laevifolia, Shorea leprosula, Shorea ovalis, Shorea parvifolia, Shorea platyclados dan Shorea sp. Adapun besarnya nilai infeksi akar oleh endomikoriza pada beberapa jenis Shorea adalah 1–8%. Struktur endomikoriza yang ditemukan pada akar Shorea berupa hifa internal.
Hifa internal
Hifa internal
Vesikula
(a) Gambar 4
(b)
Contoh akar yang terinfeksi oleh endomikoriza (a) Akar jambujambuan (Eugenia sp) (b) Akar Shorea parvifolia (perbesaran 100x).
Persentase akar yang berektomikoriza dihitung dengan cara melihat ada tidaknya mantel pada permukaan akar Shorea. Bentuk dari mantel dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa dari semua jenis Shorea yang ditemukan, semuanya mempunyai asosiasi dengan fungi ektomikoriza dengan nilai infeksi mulai berkisar antara 6–61% per jenis tumbuhan. Jenis-jenis Shorea yang ditemukan di lokasi pengamatan adalah Shorea dasyphylla, Shorea johorensis, Shorea laevifolia, Shorea leprosula, Shorea ovalis, Shorea parvifolia, Shorea platyclados, Shorea sp., Shorea laevis dan Shorea smithiana. Tabel 4 Rata-rata persen infeksi akar berektomikoriza pada jenis-jenis Shorea Persen infeksi akar berektomikoriza pada masingNo
Nama jenis
masing umur tanaman (%) 1 tahun
2 tahun
3 tahun
4 tahun
5 tahun
Rata-rata
1
Shorea dasyphylla
-
61
-
-
6
34
2
Shorea johorensis
-
37
-
8
27
24
3
Shorea laevifolia
-
-
-
38
17
28
4
Shorea laevis
-
-
-
-
36
36
5
Shorea leprosula
38
50
33
18
41
36
6
Shorea ovalis
-
-
-
-
15
15
7
Shorea platyclados
-
-
14
8
22
15
8
Shorea smithiana
-
-
-
-
44
44
9
Shorea sp.
-
-
-
-
34
34
10
Shorea parvifolia
-
-
27
-
-
27
Ket : - = tanaman tidak diketemukan pada lokasi pengamatan
Rata-rata persentase berektomikoriza untuk jenis Shorea platyclados, Shorea ovalis dan Shorea johorensis termasuk dalam kategori jelek, sedangkan untuk Shorea dasyphylla, Shorea laevifolia, Shorea laevis, Shorea leprosula, Shorea smithiana, Shorea sp. dan Shorea parvifolia termasuk dalam katagori sedang berdasarkan metode Marx dan Bryan (1969) dalam Wilarso (1993). Mantel
Gambar 5 Akar Meranti Merah (Shorea leprosula) yang terinfeksi ektomikoriza (perbesaran 12x). Hasil dari ketiga jalur pada masing-masing umur tanaman kemudian dirataratakan sehingga dapat diketahui besarnya infeksi pada tiap umur tanaman, baik untuk endomikoriza maupun ektomikoriza. Grafik rata-rata persentase infeksi oleh endomikoriza dan ektomikoriza dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7.
c
% infeksi endomikoriza
30 c
25 20 15
b 22
26
10
ab a
15
5
7
10
0 1
2
3
4
5
Um ur tanam an (thn)
Keterangan:
nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada grafik batang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% dengan uji lanjut Duncan.
Gambar 6 Grafik persentase infeksi akar berendomikoriza pada masing-masing lokasi pengamatan.
% infeksi ektomikoriza
a 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
ab
49
b b
c
22
19
3
4
38
1
2
26
5
Um ur tanam an (thn)
Keterangan:
nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada grafik batang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% dengan uji lanjut Duncan.
Gambar 7 Grafik persentase infeksi akar berektomikoriza pada masing-masing lokasi pengamatan. Berdasarkan Gambar 6 dan Gambar 7 dapat diketahui bahwa pada lokasi dengan umur tanaman 2 tahun memiliki nilai tertinggi dari keempat lokasi lainnya, baik dari nilai persentase infeksi endomikoriza dan nilai persentase infeksi ektomikoriza, adapun besar nilainya berturut-turut adalah 26% dan 49%. Sementara itu nilai persentase infeksi endomikoriza dan ektomikoriza yang terendah berada pada lokasi dengan umur tanaman 4 tahun dengan nilai secara berurutan adalah 7% dan 19%. Rata-rata persentase infeksi endomikoriza pada umur tanaman 1, 3, 4 dan 5 tahun termasuk kelas 2 atau jelek dan untuk umur tanaman 2 tahun termasuk kelas 3 atau sedang, berdasarkan klasifikasi dari The Institute of Mycorhizal Research and Development, USDA forest service, Athena, Georgia (Ahmad et al. 1992). Rata-rata persentase infeksi oleh ektomikoriza pada umur tanaman 3 dan 4 tahun termasuk katagori jelek dan untuk umur tanaman 1, 2 dan 5 tahun termasuk katagori sedang berdasarkan metode Marx dan Bryan (1969) dalam Wilarso (1993).
5.1.2 Kepadatan spora endomikoriza Hasil perhitungan rata-rata kepadatan spora per 50 g tanah pada masingmasing lokasi pengamatan disajikan pada Gambar 8. a
Jumlah spora (spora/50 g tanah)
25 20 b 15 10
14
b
b
24
12
b
14
5
7
0 1
2
3
4
5
Um ur tanam an (thn)
Keterangan:
nilai-nilai yang diikuti huruf yang sama pada grafik batang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% dengan uji lanjut Duncan.
Gambar 8
Rata-rata jumlah spora pada masing-masing umur tanaman.
Gambar 8 memperlihatkan bahwa kepadatan spora tertinggi terdapat pada lokasi dengan umur tanaman 2 tahun dengan jumlah spora sebanyak 24 spora/50 g tanah dan kepadatan spora terendah terdapat pada lokasi dengan umur tanaman 5 tahun dengan jumlah spora sebanyak 7 spora/50 g tanah. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kepadatan spora pada lokasi dengan umur tanaman 2 tahun berbeda nyata dengan keempat lokasi tanaman lainnya pada selang kepercayaan 95%.
5.1.3 Genus fungi pembentuk endomikoriza Terdapat empat genus fungi pembentuk endomikoiza yang teridentifikasi yaitu Glomus, Gigaspora, Acaulospora, dan Entrosphospora. Identifikasi yang dilakukan adalah berdasarkan morfologi dan dinding sporanya. Penyebaran dari masing-masing genus dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Penyebaran genus fungi pembentuk endomikoriza pada lokasi pengamatan Lokasi tanaman
Glomus
Acaulospora
Gigaspora
Entrospora
Σ Spora
1 tahun
√
√
−
√
519
2 tahun
√
√
−
√
880
3 tahun
√
√
−
√
420
4 tahun
√
√
√
√
562
5 tahun
√
√
−
−
298
umur-
Keterangan : √ = di temukan pada lokasi pengamatan - = tidak ditemukan pada lokasi pengamatan
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa genus Glomus dan Acaulospora terdapat pada seluruh lokasi pengamatan, sedangkan genus Gigaspora hanya terdapat pada satu lokasi saja yaitu pada lokasi tanaman meranti umur 4 tahun. Gambar genus spora yang teridentifikasi dapat dilihat pada Gambar 9.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 9 Penampakan spora pada genus yang berbeda (a = Glomus, b = Gigaspora, c = Acaulospora, d = Entrospora. Perbesaran 100x).
5.2 Pembahasan Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan mikoriza pada perakaran
tumbuhan.
Faktor-faktor
lingkungan
yang
mempengaruhi
perkembangan mikoriza diantaranya adalah gangguan ekosistem, intensitas cahaya, suhu tanah, pH tanah, aerasi dan kelembaban, serta kandungan hara dalam tanah. Brundrett et al. (1996) menyatakan keberhasilan pembentukan mikoriza tergantung dari interaksi tiga faktor antara tanah, fungi dan tanaman inang. Hetrick (1984) dalam Yassir (2005) menyatakan bahwa kolonisasi akar dan produksi spora dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu fungi dan lingkungan. Faktor jenis fungi dibedakan menjadi faktor kerapatan inokulum dan persaingan antar jenis fungi, sedangkan faktor lingkungan yaitu suhu, cahaya dan kesuburan tanah. Kabir et al. (1998) dalam Yassir (2005) melaporkan ada kecenderungan beberapa genus bahkan jenis endomikoriza atau FMA hanya membentuk sporokarp pada waktu tertentu. Hasil dari pengamatan infeksi endomikoriza memperlihatkan bahwa dari 33 jenis tumbuhan yang diamati, 31 jenis tumbuhan atau hampir 94% diantaranya berasosiasi dengan endomikoriza dan dua jenis tumbuhan tidak berasosiasi dengan endomikoriza yaitu Shorea laevis dan Shorea smithiana. Berdasarkan The Institute of Mycorhizal Research and Development, USDA forest service, Athena, Georgia (Ahmad et al. 1992), dapat diketahui bahwa persentase infeksi berendomikoriza pada masing-masing jenis tumbuhan termasuk kelas 1 sampai kelas 4 atau dari sangat jelek sampai baik. Untuk persentase infeksi ektomikoriza termasuk dalam kategori jelek sampai sedang berdasarkan metode Marx dan Bryan (1969) dalam Wilarso (1993). Bervariasinya
nilai
infeksi
endomikoriza
dapat
disebabkan
karena
bervariasinya tumbuhan yang dapat menjadi inang untuk fungi endomikoriza. Fungi pembentuk endomikoriza mempunyai kisaran inang yang lebih luas dibandingkan dengan fungi pembentuk ektomikoriza, mulai dari rumputrumputan, herba sampai ke pohon tingkat tinggi. Bagyaraj (1991) memperkirakan hampir 90% tanaman berasosiasi dengan endomikoriza. Dari hasil pengamatan yang diperoleh hampir semua jenis tumbuhan yang diamati dapat berasosiasi dengan fungi endomikoriza diantaranya adalah Aglaia sp., Alstonia scholaris, Cratoxylon arborescens, Cratoxylon sumatranum, Dacryodes rostrata, Dillenia eximia, Dillenia sp., Elaterospermum tapos, Eugenia sp1., Eugenia sp2., Glochidion sp., Kelamunting, Litsea firma, Macaranga hypoleuca, Myristica sp.,
Nauclea sp., Nephelium sp., Peronema canescens, Polyalthia hypoleuca, Randia sp., Shorea dasyphylla, Shorea johorensis, Shorea laevifolia, Shorea leprosula, Shorea ovalis, Shorea parvifolia, Shorea platyclados, Shorea sp., Vatica sp., Vitex pubescens dan Xanthophyllum excelsum. Tidak terdapatnya infeksi endomikoriza pada akar suatu tumbuhan sangat dipengaruhi oleh tumbuhan tersebut, endomikoriza dan lingkungan. Kecocokan fungsional pada asosiasi mikoriza tidak hanya dipengaruhi oleh tanaman inang dan fungi yang terkait tapi juga dipengaruhi oleh faktor luar yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan hubungan simbiosis satu sama lain (Gianinazzi-Pearson 1984 dalam Santika 2006). Infeksi endomikoriza pada akar tumbuhan Shorea seperti pada tumbuhan Shorea dasyphylla, Shorea johorensis, Shorea laevifolia, Shorea leprosula, Shorea ovalis, Shorea parvifolia, Shorea platyclados dan Shorea sp. bisa saja terjadi, walaupun lazimnya jenis-jenis Dipterocarpaceae berasosiasi dengan ektomikoriza tetapi ada beberapa spesies yang dilaporkan dibentuk oleh ektomikoriza dan endomikoriza (Appanah dan Turnbull 1998). Sudiana et al. (1994) dari studi keanekaragaman jasad renik lahan gambut melaporkan pada semua contoh akar pengamatan terdapat infeksi endomikoriza. Tingkat infeksi rendah sampai tinggi pada tegakan hutan primer dan sedang sampai tinggi pada tanaman budidaya. Bahkan pada famili Dipterocarpaceae juga ditemukan infeksi fungi endomikoriza. Bentuk kolonisasi yang paling banyak dijumpai pada pengamatan infeksi akar oleh endomikoriza berupa hifa internal dan pada beberapa contoh akar ditemukan struktur hifa dengan vesikula. Struktur infeksi yang terdapat pada akar secara lengkap terdiri dari hifa eksternal, hifa gelung, arbuskula, hifa interseluler dan kadang-kadang vesikula. Hifa internal berfungsi sebagai alat translokasi unsur hara dari fungi ke tanaman atau sebaliknya, vesikula sebagai tempat cadangan makanan terutama lipid serta hifa eksternal berfungsi menyerap unsur hara dan air. Untuk struktur arbuskula sangat jarang ditemukan karena masa hidupnya yang pendek di dalam sel korteks dan setelah beberapa hari struktur ini akan mengalami lisis, hal ini yang mungkin menyebabkan struktur arbuskula jarang sekali ditemukan. Secara keseluruhan nilai persentase infeksi pada akar tumbuhan baik oleh fungi endomikoriza maupun fungi ektomikoriza mengalami kenaikan pada lokasi tanaman meranti umur 2 tahun dan mengalami penurunan pada lokasi tanaman
meranti umur 3 dan 4 tahun. Namun nilai infeksinya meningkat kembali pada lokasi tanaman meranti umur 5 tahun. Adanya peningkatan persentase infeksi pada umur 2 tahun baik pada endomikoriza dan ektomikoriza dapat disebabkan oleh faktor kesesuaian antara mikoriza dengan eksudat akar dari tanaman. Mikoriza cenderung memilih tempat yang memiliki jumlah dan jenis eksudat akar yang sesuai dengannya, bahan organik yang tinggi dan ketersediaan oksigen tinggi dalam tanah (Salim 2003). Selain itu menurut Setiadi (1989) komposisi eksudat tergantung sejumlah faktor seperti tipe dan umur tanaman. Pada lokasi dengan umur tanaman satu tahun kondisi jalur tanam relatif bersih sehingga bahan organik yang tersedia pun lebih rendah, sehingga persentase infeksi akarnya juga rendah. Wilarso (1993) menyatakan penurunan persentase akar bermikoriza pada hutan bekas tebangan diakibatkan oleh perubahan-perubahan faktor lingkungan yang meliputi kandungan bahan organik tanah serta kelembaban. Menurut Mirchink (1962) dalam Wilarso (1993) anakan pinus tidak membentuk mikoriza bila kandungan humus di dalam tanah kurang dari 2%, tetapi bila kandungan humusnya sebesar 2,7% dan 4% membentuk mikoriza sebesar berturut-turut 60% dan 81%. Menurunnya kolonisasi fungi pada akar ini karena fungi termasuk dalam kemoheterotrof, yaitu menggunakan sumber energi dan sumber karbonnya berasal dari bahan organik (Richards 1974 dalam Wilarso 1993). Namun jumlah bahan organik pada jalur tanam terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Akumulasi bahan organik pada tanah membuat tanah semakin subur, hal ini dapat mengakibatkan perkembangan mikoriza menjadi terhambat dengan semakin meningkatnya kesuburan tanah. Perbedaan persentase infeksi oleh mikoriza pada masing-masing lokasi pengamatan dapat disebabkan juga oleh adanya gangguan lahan pada jalur tanam. Gangguan tersebut terjadi pada saat kegiatan penyiapan lahan, pembersihan dan pemeliharaan pada sistem TPTII. Kegiatan pemeliharaan sendiri dilakukan sampai umur tanaman 4 tahun. Adanya kegiatan pembebasan vertikal pada jalur tanam mengakibatkan tejadinya pembukaan tajuk sehingga meningkatkan intensitas cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan. Kikuchi (1994) diacu dalam Hadi (2001) menyatakan bahwa dalam hutan alam yang sudah dibalak, perkembangan ektomikoriza pada anakan Dipterocarpaceae yang tumbuh di tapak bekas pembalakan yang terbuka sama tidak baiknya dengan di tapak yang relatif gelap, yang kurang intensitas cahayanya. Adapun tapak yang
memperoleh intensitas cahaya sedang, perkembangan ektomikoriza adalah paling baik. Juga terlihat bahwa di tapak yang memperoleh intensitas cahaya tinggi, perkembangan ektomikoriza masih lebih baik bila dibandingkan dengan di tempat yang relatif gelap. Dalam hubungan antara mikoriza dan intensitas cahaya Yasman (1995) dalam Hadi (2001) menyebutkan bahwa paling banyak anakan Dipterocarpaceae membentuk ektomikoriza bila intensitas cahaya berkisar 40-60% dari intensitas di tempat terbuka. Terlalu banyak cahaya juga merugikan karena tanah menjadi lebih panas, sedang terlalu sedikit cahaya dapat megurangi jumlah perakaran yang berektomikoriza karena kurangnya pasokan karbohidrat hasil fotosintesis. Itulah sebabnya mengapa anakan Dipterocarpaceae akan dapat berkembang dengan optimal bila memperoleh cahaya berkisar 30-79% (Seibert 1990 dalam Hadi 2001). Perbedaan persentase infeksi akar juga disebabkan oleh keragaman dari jenis-jenis tumbuhan Shorea yang diamati yaitu Shorea dasyphylla, Shorea johorensis, Shorea laevifolia, Shorea leprosula, Shorea ovalis, Shorea parvifolia, Shorea platyclados, Shorea sp., Shorea laevis dan Shorea smithiana. Dalam kaitannya dengan intensitas cahaya ini, jenis pohon juga menentukan apakah ektomikoriza dapat berkembang dengan baik atau tidak. Suhardi (1997) dalam Hadi (2001) menyatakan bahwa pada awal pertumbuhan Shorea leprosula dan Hopea gregaria, mikoriza dapat berkembang dengan baik pada tempat terbuka, sedang pada pada Shorea bracteolate, Shorea acuminatisima dan Shorea smithiana berkembang baik pada tempat teduh. Perhitungan persentase akar yang terinfeksi oleh ektomikoriza pada beberapa jenis Shorea menunjukkan bahwa Shorea leprosula memiliki nilai persentase infeksi yang lebih besar yaitu 36% dibandingkan dengan Shorea parvifolia yang hanya 27%. Wati (2008) yang mengkaji Pertumbuhan Shorea leprosula Miq dan Shorea parvifolia Dyer dalam sistem silvikultur TPTII menyatakan bahwa secara umum pertumbuhan tanaman Shorea leprosula lebih baik dibandingkan dengan Shorea parvifolia. Pertumbuhan Shorea leprosula yang lebih baik ini diduga salah satunya disebabkan oleh mikoriza. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah spora/50 g tanah di lokasi pengamatan berkisar dari 1-91 spora/50 g tanah. Nilai ini cukup rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian lainnya. Ervayenri (1998) yang meneliti keanekaragaman dan potensi endomikoriza di lahan gambut di Kabupaten Bengkalis menemukan pada lahan HTI dan pertanian potensi endomikoriza
relatif tinggi, bahkan pada tegakan karet jumlah spora mencapai 6 000 spora/50 g tanah. Delvian (2003) yang menghitung spora di hutan pantai menemukan jumlah spora yang bervariasi pula antara 31-134 spora/50 g tanah. Begitu pula dengan hasil penelitian Yassir (2005) menunjukkan hasil perhitungan spora yang cukup bervariasi yaitu 755-3813 spora/ 50 g tanah. Waktu pengambilan sampel tanah juga mempengaruhi jumlah spora yang didapat. Menurut Gunawan (1993) menjelaskan bahwa pada musim kemarau ditemukan jumlah spora yang lebih banyak dibandingkan dengan musim hujan, hal ini disebabkan pada musim kemarau untuk mengatasi lingkungan yang kering, endomikoriza membentuk spora untuk bertahan hidup, sedangkan air yang cukup banyak dimusim hujan akan merangsang spora untuk berkecambah. Namun demikian spora endomikoriza hampir terdapat pada seluruh rizosfer tumbuhan tak terkecuali pada jenis-jenis Dipterocarpaceae. Hal ini dapat disebabkan oleh penutupan jalur tanam oleh tumbuhan bawah yang juga dapat mempengaruhi jumlah spora bagi endomikoriza karena sebagian besar tumbuhan bawah berasosiasi dengan endomikoriza. Terdapat empat marga fungi pembentuk endomikoiza yang teridentifikasi yaitu Glomus, Gigaspora, Acaulospora dan Entrosphospora. Identifikasi yang dilakukan adalah berdasarkan bentuk morfologi dan dinding sporanya. Gunawan (1993) mengemukakan ciri-ciri penting untuk identifikasi spora endomikoriza ialah sporokarp, dimensi spora, selubung hifa, hiasan spora, isi spora, hifa pembawa, sel pelengkap, perkecambahan spora, reaksi histokimia dan dinding spora. Genus Glomus dan Acaulospora terdapat pada seluruh lokasi pengamatan, genus Entrospora terdapat pada empat lokasi pengamatan, sedangkan genus Gigaspora hanya terdapat pada satu lokasi saja yaitu pada lokasi tanaman meranti umur 4 tahun. Bagyaraj (1991) melaporkan bahwa genus Glomus memiliki penyebaran yang lebih luas daripada genus yang lain. Sedangkan genus Gigaspora dan Scelerocystis lebih umum ditemukan di tanah tropis dan genus Acaulospora lebih beradaptasi pada kondisi tanah masam dengan pH<5. Secara lebih khusus dinyatakan beberapa endomikoriza mempunyai hubungan spesifik dengan tanah, seperti Glomus mosseae dengan tekstur yang halus dan pH tanah tinggi, Acaulospora leavis dengan tekstur tanah kasar dan tanah asam sedangkan genus Gigaspora dengan tekstur tanah berpasir.
BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan 1. Terdapat empat genus fungi pembentuk endomikoriza yang ditemukan pada lokasi pengamatan yaitu Glomus, Acaulospora, Gigaspora, dan Entrospora. 2. Genus Glomus dan Acaulospora merupakan genus yang paling luas daerah penyebarannya kemudian disusul oleh genus Entrospora dan yang paling sempit daerah penyebarannya adalah genus Gigaspora. 3. Infeksi akar oleh endomikoriza dan ektomikoriza yang terbaik terdapat pada lokasi dengan umur tanaman 2 tahun dengan persentase rata-rata infeksi sebesar 26% dan 49%. 4. Kepadatan spora tertinggi terdapat pada lokasi dengan umur tanaman 2 tahun yaitu sebesar 24 spora/50 g tanah dan untuk kepadatan spora terendah terdapat pada lokasi tanaman umur 5 tahun sebanyak 7 spora/50 g tanah.
6.2 Saran 1. Sebaiknya dilakukan pengujian atau inokulasi terhadap tanaman meranti untuk mengetahui pengaruh mikoriza terhadap pertumbuhan tanaman meranti. 2.
Perlu diadakan kegiatan eksplorasi terhadap jenis-jenis mikoriza sehingga dapat digunakan sebagai sumber inokulum.
DAFTAR PUSTAKA Appanah S and Turnbull. 1998. A Review of Dipterocarps Taxonomy, ecology and silviculture. Bogor. Center for International Forestry Research. Achmad, Wilarso S, Mansur I, dan Setiadi Y. 1992. Petunjuk Laboratorium Mikrobiologi Tanah Hutan. Bogor. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB Bagyaraj DJ. 1991. Ecology of vesicular-arbuscular mycorrhizae; In. Dilip KA et al. 1991. editor. Mycorrhizae and endophytic fungi. Soil and plants handbook of applied mycology. New York : Marcell Dekker Inc. Brundrett MC, Baugher N, Dell B, Grove T, dan Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Canberra. Australian Centre for International Agricultural Research. Delvian. 2003. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai dan Potensi Pemanfaatannya (Studi Kasus di Hutan Cagar Alam Leuweung Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2004. Petunjuk Teknis Pembangunan Hutan Alam Prospektif Melalui Pendekatan Silvikultur Intensif. Jakarta. Dephut. Ervayenri. 1998. Studi Keanekaragaman dan Potensi Inokulum Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Lahan Gambut (Studi Kasus di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Gerdemann JW. 1968. Vesicular-arbuscular Mychorrhizae and Plant Growth. Annual Review of Phytopathology 6 : 397 – 418. Gunawan AW. 1993. Mikoriza Arbuskula. Bogor : IPB, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Hadi S. 2001. Patologi Hutan Perkembangannya di Indonesia. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Imas T, Hadioetomo R.S, Gunawan A.W, dan Setiadi Y. 1989. Mikrobiologi Tanah II. Bogor. Pusat Antar Universitas, Studi Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Kwang IO. 1987. On Ectomycorrhizal Development and Physiological Variation of Container-Grown Quercus acutissima Seedlings Inoculated with Pisolithus tinctorius. [disertasi] . Departement of Forestry. Graduate school, Cheonbug National University. Mansur I. 2007. Prospek dan Potensi Pemanfaatan Simbiosis Mikoriza. Di dalam: Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza untuk Mendukung Revitalisasi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan. Prosiding Kongres Nasional Mikoriza II. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Pacioni G. 1993. Wet Sieving and Decanting Techniques for the Extraction of Spores of VA Mycorrhizal Fungi. Di dalam: Methods in Microbiology. San Diego. Academic Press Inc. Pamoengkas P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasus di Areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma, kalimantan Tengah) [disertasi]. Bogor: Program Pascasaejana, Institut Pertanian Bogor. Saidi AB. 2006. Status Mikoriza Hutan Pantai dan Hutan Mangrove Pasca Tsunami Studi Kasus di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Salim MA dan Hidayat C. 2004. Studi Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula di bawah Tegakan Hutan Tanaman Industri Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti. Prosiding Seminar Mikoriza Bandung. Bandung. Asosiasi Mikoriza Indonesia Jabar dan Unpad. hlm 41-48. Santika H. 2006. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula di Hutan Pegunungan Kamojang Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Schenk NC dan Perez Y. 1990. Manual for The Identification of VA Mychorrhizal Fungi. Florida. University of Florida. Setiadi Y. 1989. Mikrobiologi Tanah. Bogor. Pusat Antar Universitas, Studi Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Sieverding E. 1991. Vesicular Arbuskular Mycorrhizal Management in Tropical Agrosystems (GTZ). Federal Republic of Germany. Soekotjo. 2005. Evaluasi Tebang Pilih Indonesia. Prosiding Seminar Kehutanan Peningkatan Produktivitas Hutan. Editor Eko B. Hardiyanto. ITTO, Yogyakarta. Suparna N. 2005. Meningkatkan Produktivitas Kayu dari Hutan Alam dengan Penerapan Silvikultur Intensif di PT. Sari Bumi Kusuma Unit SeruyanKalteng. Balikpapan : PT. Sari Bumi Kusuma. Sudiana IM, I Antonius, dan Suharjono. 1994. Keanekaragaman Jasad Renik Lahan Gambut. Di dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Hayati. Puslitbang-LIPI. hlm 331-343. Wati NH. 2008. PertumbuhanShorea leprosula Miq dan Shorea parvifolia Dyer Dalam Sistem Silvikultur TPTI Intensif (Studi Kasus di Areal PT. Sari Bumi Kusuma Unit Sungai Seruyan Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Wilarso S. 1993. Pengaruh Pembalakan Hutan Terhadap Mikoriza Dipterocarpaceae [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Wulandari AS. 2007. Uji Kompatibilitas antar Melinjo (Gnetum gnemon L.) dengan Scleroderma spp. Prosiding Kongres Nasional Mikoriza II. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Yassir I. 2005. Keanekaragaman Tumbuhan Bawah, Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) dan Sifat-Sifat Tanah pada Lahan Kritis di Samboja, Kalimantan Timur [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1 Rata-rata jumlah spora dan persen infeksi endomikoriza dari tiga jalur pengamantan Lokasi umur tanaman 1 tahun No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama jenis Aglaia sp Alstonia scolaris Cratoxylon sumatranum Eugenia sp1. Eugenia sp2. Glochidion sp. Litsea firma Macaranga hypoleuca Nephelium sp. Peronema canescens Shorea leprosula
Jumlah spora
% infeksi endomikoriza
8 6 0 23 10 19 14 14 17 1 13
35.42 25.49 75.56 12.56 40.00 35.14 27.76 33.68 10.26 70.59 2.00
Lokasi umur tanaman 2 tahun No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Nama jenis Aglaia sp. Alstonia scolaris Cratoxylon arborescens Cratoxylon sumatranum Dillenia eximia Dillenia sp. Eugenia sp2. Eugenia sp1. Glochidion sp. Kelamunting Litsea firma Macaranga hypoleuca Nauclea sp. Nephelium sp. Polyalthia hypoleuca Shorea dasyphylla Shorea johorensis Shorea leprosula Xanthophyllum excelsum
Jumlah spora 34 4 8 30 17 13 21 13 14 2 16 44 8 6 9 30 27 31 20
% infeksi endomikoriza 28.21 66.67 16.00 53.41 68.63 38.64 53.82 51.02 27.38 62.22 5.41 28.22 32.61 10.00 27.91 0.00 5.66 2.84 56.52
Lampiran 1 (Lanjutan). Lokasi umur tanaman 3 tahun No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama jenis Cratoxylon arborescens Cratoxylon sumatranum Diospyros borneensis Eugenia sp. Glochidion sp. Litsea firma Macaranga hypoleuca Myristica sp. Nephelium sp. Randia sp. Shorea leprosula Shorea parvifolia Shorea platyclados
Jumlah spora 15 2 25 25 11 6 11 18 23 25 10 4 6
% infeksi endomikoriza 11.32 39.62 35.22 15.11 38.78 25.00 19.02 0.00 19.15 28.00 5.71 2.00 2.00
Jumlah spora 4 3 8 10 9 13 11 12 23 18 21 15 4
% infeksi endomikoriza 22.86 21.43 16.95 6.86 23.08 9.80 7.04 0.00 0.00 3.20 1.11 2.29 6.67
Jumlah spora 5 7 8 8 9 7 8 5 4 14 1 5 4 4 0
% infeksi endomikoriza 4.00 36.74 28.21 6.65 8.16 8.16 2.00 0.00 0.00 1.33 2.13 2.36 0.00 1.47 6.25
Lokasi umur tanaman 4 tahun No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama jenis Cratoxylon arborescens Elaterospermum tapos Eugenia sp1. Litsea firma Macaranga hypoleuca Myristica sp. Nephelium sp. Polyalthia hypoleuca Shorea johorensis Shorea laevifolia Shorea leprosula Shorea platyclados Vitex pubescens
Lokasi umur tanaman 5 tahun No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama jenis Dacryodes rostrata Kelamunting Macaranga hypoleuca Myristica sp. Nauclea sp. Shorea dasiphylla Shorea johorensis Shorea laevifolia Shorea laevis Shorea leprosula Shorea ovalis Shorea platyclados Shorea smithiana Shorea sp. Vatica sp.
Lampiran 2 Rata-rata infeksi akar oleh ektomikoriza dari tiga jalur pengamantan Lokasi umur tanaman 1 tahun No 1
Nama jenis Shorea leprosula
% infeksi ektomikoriza 38.40
Lokasi umur tanaman 2 tahun No 1 2 3
Nama jenis Shorea dasyphylla Shorea johorensis Shorea leprosula
% infeksi ektomikoriza 61.19 36.98 50.34
Lokasi umur tanaman 3 tahun No 1 2 3
Nama jenis Shorea leprosula Shorea platyclados Sorea parvifolia
% infeksi ektomikoriza 32.63 14.26 26.83
Lokasi umur tanaman 4 tahun No 1 2 3 4
Nama jenis Shorea johorensis Shorea laevifolia Shorea leprosula Shorea platyclados
% infeksi ektomikoriza 8.33 38.36 18.16 8.34
Lokasi umur tanaman 5 tahun No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama jenis Shorea dasyphylla Shorea johorensis Shorea laevifolia Shorea laevis Shorea leprosula Shorea ovalis Shorea platyclados Shorea smithiana Shorea sp.
% infeksi ektomikoriza 5.88 26.87 17.14 36.02 41.28 15.38 21.50 44.44 33.81
Lampiran 3 Hasil analisis ANOVA dengan menggunakan software SPSS versi 13.0
Oneway Descriptives
N Spora/50 g tanah
persen akar berendomikoriza
Persen akar berektomikoriza
1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Total 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Total 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Total
3 3 3 3 3 15 3 3 3 3 3 15 3 3 3 3 3 15
Mean 13,6667 23,6667 11,6667 13,6667 7,0000 13,9333 22,0333 26,2733 14,6167 6,5767 10,2367 15,9473 38,1667 48,9000 22,4467 19,3300 25,6433 30,8973
Std. Deviation 4,93288 7,37111 2,30940 2,51661 1,73205 6,71317 3,96288 1,17747 5,87773 1,77475 3,45373 8,15478 3,44912 4,09649 14,35310 9,88912 5,75761 13,52392
Std. Error 2,84800 4,25572 1,33333 1,45297 1,00000 1,73333 2,28797 ,67981 3,39351 1,02465 1,99401 2,10555 1,99135 2,36511 8,28677 5,70949 3,32416 3,49186
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 1,4127 25,9206 5,3558 41,9775 5,9298 17,4035 7,4151 19,9183 2,6973 11,3027 10,2157 17,6510 12,1890 31,8777 23,3483 29,1983 ,0156 29,2178 2,1679 10,9854 1,6571 18,8162 11,4314 20,4633 29,5986 46,7348 38,7238 59,0762 -13,2084 58,1017 -5,2359 43,8959 11,3406 39,9460 23,4080 38,3866
Minimum 8,00 18,00 9,00 11,00 5,00 5,00 18,56 25,23 7,87 4,53 7,04 4,53 34,39 44,36 14,09 8,44 19,49 8,44
Maximum 17,00 32,00 13,00 16,00 8,00 32,00 26,35 27,55 18,63 7,69 13,90 27,55 41,15 52,32 39,02 27,75 30,90 52,32
Test of Homogeneity of Variances
Spora/50 g tanah persen akar berendomikoriza Persen akar berektomikoriza
Levene Statistic 3,555
df1 4
df2 10
Sig. ,047
2,731
4
10
,090
3,467
4
10
,050
ANOVA
Spora/50 g tanah
persen akar berendomikoriza Persen akar berektomikoriza
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 444,267 186,667 630,933 797,572 133,433 931,005 1829,282 731,268 2560,550
df 4 10 14 4 10 14 4 10 14
Mean Square 111,067 18,667
F 5,950
Sig. ,010
199,393 13,343
14,943
,000
457,321 73,127
6,254
,009
Lampiran 3 (Lanjutan)
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Spora/50 g tanah a
Duncan Lokasi 5,00 3,00 1,00 4,00 2,00 Sig.
N 3 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 7,0000 11,6667 13,6667 13,6667 23,6667 ,108 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. persen akar berendomikoriza a
Duncan Lokasi 4,00 5,00 3,00 1,00 2,00 Sig.
N 3 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3 6,5767 10,2367 10,2367 14,6167 22,0333 26,2733 ,248 ,173 ,186
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. Persen akar berektomikoriza a
Duncan Lokasi 4,00 3,00 5,00 1,00 2,00 Sig.
N 3 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 3 19,3300 22,4467 22,4467 25,6433 25,6433 38,1667 38,1667 48,9000 ,408 ,057 ,155
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.