KEANEKARAGAMAN SERANGGA DI HUTAN ALAM RESORT CIBODAS, GUNUNG GEDE PANGRANGO DAN HUTAN TANAMAN JATI DI KPH CEPU
DWI PRATIWI TOFANI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
KEANEKARAGAMAN SERANGGA DI HUTAN ALAM RESORT CIBODAS, GUNUNG GEDE PANGRANGO DAN HUTAN TANAMAN JATI DI KPH CEPU
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DWI PRATIWI TOFANI E14203074
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN DWI PRATIWI TOFANI. Keanekaragaman Serangga di Hutan Alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango dan Hutan Tanaman Jati di KPH Cepu. Dibimbing oleh Ir. Kasno, M.Sc dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si. Serangga adalah kelompok utama dari Arthropoda. Serangga merupakan kelompok binatang yang paling dominan dalam ekosistem darat. Serangga memiliki jumlah spesies dan individu yang begitu besar sehingga serangga memiliki peran penting dalam ekosistem hutan yaitu sebagai pemakan tanaman, pemangsa, parasit, pengurai dan sebagainya. Berdasarkan statusnya yang sangat penting, maka keragaman jenis dan kelimpahannya penting untuk dikaji dalam kaitannya dengan kebijakan pengelolaan hutan. Oleh karena itu dilakukan suatu studi keanekaragaman serangga di hutan alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango dan hutan tanaman jati di KPH Cepu. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai jenis-jenis serangga dan mengukur keanekaragaman serangga yang terdapat di hutan alam dan hutan tanaman serta kondisi lingkungan yang mempengaruhi kelimpahan serangga. Tahap pengumpulan data dimulai dengan penentuan petak pengamatan yang mengacu pada plot Forest Health Monitoring (FHM) yang telah ada. Dari tiap plot dilakukan inventarisasi serangga dengan cara meletakkan alat perangkap serangga berupa 3 perangkap nampan kuning (yellow-pan trap) dan 1 perangkap berbentuk tenda (malaise trap). Setelah 1 minggu, serangga tersebut diekstraksi. Serangga yang didapat diawetkan dalam alkohol, kemudian diidentifikasi, dihitung dan dianalisa keragaman dan kelimpahannya. Kelimpahan individu serangga pada hutan alam lebih tinggi dari kelimpahan individu serangga pada hutan tanaman jati. Kelimpahan individu serangga pada hutan tanaman jati umur muda lebih rendah dari kelimpahan serangga pada hutan tanaman jati umur lebih tua. Di hutan alam Gunung Gede Pangrango ditemukan 12 ordo, 99 famili dan 896 individu. Pada hutan jati (KU III) terdapat 10 ordo, 56 famili dan 363 individu, sedangkan pada plot hutan jati (KU VI) terdapat 10 ordo, 57 famili dan 618 individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis serangga yang ditemukan pada hutan alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango lebih banyak dari jumlah jenis serangga yang ditemukan pada hutan tanaman jati di Cepu. Pada hutan jati umur muda, jumlah jenis serangga yang ditemukan lebih sedikit dari jumlah jenis serangga pada hutan jati umur lebih tua. Hasil analisis regresi didapatkan bahwa faktor lingkungan berupa penutupan tajuk dan diversitas tumbuhan bawah merupakan faktor yang paling menentukan kelimpahan serangga di hutan (R2=0,594 untuk penutupan tajuk dan R2=0,803 untuk diversitas tumbuhan bawah).
Kata kunci : keanekaragaman, serangga, faktor lingkungan, hutan alam, hutan jati
BDH/ Insects Biodiversity At Cibodas Resort Natural Forest, Gede Pangrango Mountain and KPH Cepu Teak Forest Plantation. By : Dwi Pratiwi Tofani Leaded By: Ir. Kasno, M.Sc and Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si Background Insects are the main group of Arthropods. They are the most dominant living animals in the terrestrial ecosystems. They have a large amount of individuals and species diversity that makes them becoming an important role in the forests ecosystem, for example as phytophagus especially pests, predators, parasitoids, decomposer, etc. Based on their important role therefore, species diversity as well as their its abundance to be important factors in managing forest. Research Method The study on insect diversity was carried out in Cibodas resort of Gunung Gede Pangrango Natural Forest and teak plantation in KPH Cepu, Central Java. The objectives of this study were to measure insect diversity on both types of forest ecosystem and to identify any dominant environmental element determining the insect diversity and their abundance insects collection was done on the previously established Forest Health Monitoring plots in both forest types. Two types of insect traps namely yellow-pan and malaise traps were used to collect insect samples. All collected insects were then analyzed its diversity and abundance. Result and Conclusion The study showed the followings results. Insects abundance in the natural forests is higher than teak forest plantation. Young teak forest plantation had lower insect abundance than older one. In the Gede Pangrango Mountain Natural Forests, there were 12 insect orders consisted of 99 families and 896 individuals. Young teak plantation (3rd age class) there were 10 insect orders consisted of 56 families and 363 individuals while in the older one (6th age class) there were 10 insect orders consisted of 57 families and 618 individuals. Natural forest of Gede Pangrango had higher insect diversity than teak forest plantation. Young teak forest plantation had lower insect diversity than older one. Canopy closing as well as understory vegetation were identified to be the most dominant environmental elements determining the insect diversity and their abundance. Insect diversity maybe used as one of the bioindicator of stability of forest ecosystem or forest health.
Keywords : Biodiversity, insects, environmental factors, natural forests, teak forests plantation
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman Serangga di Hutan Alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango dan Hutan Tanaman Jati di KPH Cepu adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2008
Dwi Pratiwi Tofani NRP E14203074
Judul Skripsi
:
Keanekaragaman Serangga di Hutan Alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango dan Hutan Tanaman Jati di KPH Cepu
Nama
:
Dwi Pratiwi Tofani
NIM
:
E14203074
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Ketua,
Ir. Kasno, M.Sc NIP. 130 891 379
Anggota,
Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si NIP. 131 902 368
Mengetahui: Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP. 131 578 788
Tanggal lulus:
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat taufik dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini merupakan pemenuhan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 6NULSVL GHQJDQ MXGXO ³Keanekaragaman Serangga di Hutan Alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango dan Hutan Tanaman Jati di KPH Cepu´ LQL bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai jenis-jenis serangga yang terdapat di hutan alam Gunung Gede Pangrango dan hutan tanaman jati di KPH Cepu serta menentukan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kelimpahan serangga serta pelaksanaannya dilaksanakan di laboratorium Entomologi Fakultas Kehutanan, dibawah bimbingan Ir. Kasno, M.Sc dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si. Penelitian dilakukan pada areal Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Resort Cibodas; KPH Cepu, Perum Perhutani Unit 1, Jawa Tengah Petak 1039 dan Petak 4005 serta Laboratorium Entomologi Hutan dari bulan Juni hingga bulan Oktober tahun 2007 yang difasilitasi oleh penelitian program Hibah Bersaing DIKTI 2007 dengan judul ³Penilaian Kesehatan Hutan Produksi dengan Menggunakan Metode Forest Health Monitoring (FHM)´ Hasil penelitian tentang keanekaragaman serangga di hutan alam Resort Cibodas dan hutan tanaman jati di KPH Cepu ini, semoga dapat dimanfaatkan sebagai referensi bagi pihak pengelola dalam manajemen habitat hutan serta dapat digunakan sebagai alat indikator kondisi hutan. Semoga
skripsi
ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak
yang
menggunakannya.
Bogor, Agustus 2008 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 15 Januari 1986 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Drs. Mustofa dan Drh. Endang Sri Peni. Pada tahun 1990 penulis memasuki dunia pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) AsS\DIL¶L\DK -DWLZDULQJLQ %HNDVL .HPXGLDQ SDGD WDKXQ PHODQMXWNDQ NH tingkat Sekolah Dasar (SD) As-S\DIL¶L\DK-DWLZDULQJLQ%HNDVLGDQOXOXVSDGD tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negri (SLTPN) 51 Jakarta Timur. Setelah lulus, pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Umum Negri (SMUN) 26 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada program studi Budidaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menempuh pendidikan di perguruan tinggi, penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Agria Swara IPB tahun 2003-2005. Pada tahun 2005-2006 sebagai anggota paduan suara Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2006 penulis melakukan Praktek Umum Kehutanan (PUK) di Sancang-Kamojang, Kabupaten Garut dan Praktek Pengelolaan Hutan (PUPH) di KPH Ciamis. Pada bulan Februari-April 2007 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Desa Cikanyere, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur. 3HQXOLV PHQ\HOHVDLNDQ VNULSVL GHQJDQ MXGXO ³.HDQHNDUDJDPDQ Serangga di Hutan Alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango dan Hutan Tanaman Jati di KPH Cepu´ VHEDJDL V\DUDW XQWXN PHPSHUROHK JHODU 6DUMDQD .HKXWDQDQ ,3% dibawah bimbingan Ir. Kasno, M.Sc dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si.
UCAPAN TERIMA KASIH BismillaahirrahmaaQLUURKLLP $OKDPGXOLOODKLUREELO¶DODPLQ SXML GDQ syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberi dukungan dalam penelitian ini, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tua (Bapak dan Ibu), kakak (mas Eko) dan adik (Teddy) serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan, semangat, doa, dan motivasi pada penulis. 2. Ir. Kasno, M.Sc dan Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran kepada penulis. 3. Ir. Tarsicius Rio Mardikanto, MS dan Dr. Drh. Erna Suzanna, M.Sc.F selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan yang telah memberikan masukan berupa kritik dan saran serta ilmu kepada penulis. 4. Pak Dudi, Pak Fari, pak Dani, pak Zaky, bu Dhiya dan semua keluarga besar ³deE-nIne´ \DQJ WHODK EDQ\DN PHPEHULNDQ ELPELQJDQ DUDKDQ PRWLYDVL GDQ acuan dalam berkarya senantisa tidak dapat terlupakan. 5. Proyek Penelitian Hibah Bersaing FHM 2007, Dirjen DIKTI DEPDIKNAS atas dukungan finansial pada penelitian ini. 6. Pihak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP), Pihak Puslitbanghut Cepu dan KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah yang telah memberikan izin dan fasilitas untuk melakukan penelitian. 7. 3DN 6RIL\DQ 0RQWDQD¶V volunteer, pak Dhoso, pak Henky, pak Weda, pak Kamto, pak Bambang, pak Maryono, dan mas Paidi atas bantuannya selama penelitian. 8. FHM crew (Lukman, Mamat, Bagus, Sopa, Mita dan Novi), terima kasih untuk segala bantuan, dukungan dan semangatnya.
9. Bu Umi, pak Endang, bu Elly, bu Lailan seUWD NHOXDUJD EHVDU ³/DE /DQWDL 7LJD´DWDVVHPDQJDWGDQEDQWXDQQ\D 10. Rekan-UHNDQ%'+¶GDQµ\DQJWLGDNGDSDWGLVHEXWNDQVDWX-persatu, Bang Hendra, Stevano, Prabu, Laura, Buret, Kur-kur serta rekan-rekan Fahutan IPB lainnya, atas keceriaan yang telah diberikan. 11. Ery Herliana, Anva Novalia dan Chandra Imam Arianto yang selalu memberikan spirit yang tiada henti, dukungan dan kesabaran yang dilalui bersama. 12. Staf pengajar dan karyawan Departemen Silvikultur yang telah membantu dalam kelancaran studi. 13. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas bantuannya pada penulis. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................... .. i DAFTAR TABEL .............................................................................................. ii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... iv BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2 Tujuan ......................................................................................... 1 1.3 Manfaat ....................................................................................... 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4
Konsep Biodiversitas .................................................................. Keanekaragaman Serangga ........................................................ Hubungan antara Serangga dan Tanaman .................................. Faktor Lingkungan Serangga .....................................................
3 4 5 7
BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................... 9 3.2 Bahan dan Alat ........................................................................... 11 3.3 Prosedur Kerja ............................................................................ 11 BAB VI KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ................................ 19 4.2 KPH Cepu ................................................................................... 27 BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ............................................................................................ 31 5.2 Pembahasan ................................................................................ 41
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ................................................................................. 49 6.2 Saran ........................................................................................... 49 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 50 LAMPIRAN ..................................................................................................... 53
DAFTAR TABEL No. 1.
Halaman Hubungan serangga dengan pohon menyebabkan variasi besar terhadap keragaman jenis serangga ........................................................................... 6
2.
Kelas lereng kawasan TNGP ...................................................................... 20
3.
Kondisi iklim kawasan TNGP .................................................................... 21
4.
Keadaan hidrologi kawasan TNGP ............................................................. 21
5.
Jenis tanah kawasan TNGP ......................................................................... 22
6.
Jarak dan aksesibilitas kawasan TNGP ....................................................... 27
7.
Pembagian wilayah hutan KPH Cepu ......................................................... 28
8.
Keadaan lapangan bagian hutan di KPH Cepu ........................................... 28
9.
Pembagian wilayah kerja KPH Cepu .......................................................... 30
10. Nilai indeks keragaman, indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan serangga dengan metode yellow-pan trap ................................................... 33 11. Nilai indeks keragaman, indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan serangga dengan metode malaise trap ........................................................ 36 12. Nilai indeks keragaman, indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan dari jumlah total serangga yang ditemukan ................................................ 39 13. Kondisi rata-rata lingkungan pada lokasi Gunung Gede Pangrango serta KPH Cepu Petak 1039 dan Petak 4005 ....................................................... 40 14. Hasil regresi dengan metode stepwise antara kelimpahan serangga dengan metode yellow-pan trap dengan faktor lingkungan (penutupan WDMXNGDQ+¶WXPEXKDQEDZDK ................................................................... 41 15. Nilai indeks keragaman jenis serangga pada tiap tipe ekosistem ............... 45
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
Lokasi plot FHM Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango ..................... 9
2.
Lokasi plot FHM KPH Cepu KU III (Petak 1039) ..................................... 10
3.
Lokasi plot FHM KPH Cepu KU VI (Petak 4005) ..................................... 11
4.
Bentuk klaster Forest Health Monitoring (FHM) ...................................... 12
5.
Pengumpulan serangga dengan metode yellow-pan trap ............................ 15
6.
Pengumpulan serangga dengan metode malaise Trap ................................ 15
7.
Kelimpahan serangga berdasarkan ordo yang ditangkap dengan metode yellow-pan trap ........................................................................................... 31
8.
Rata-rata kelimpahan serangga pada tiga lokasi penelitian ........................ 32
9.
Kelimpahan serangga yang ditangkap dengan metode malaise trap .......... 34
10. Kelimpahan total serangga di hutan alam dan hutan tanaman jati .............. 37 11. Rata-rata kelimpahan serangga pada tiga lokasi penelitian ........................ 38
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1.
Data curah hujan Kecamatan Cabak Kabupaten Blora tahun 2003-2007 ... 54
2.
Kelimpahan serangga pada hutan alam dengan metode yellow-pan trap ... 55
3.
Kelimpahan serangga pada hutan tanaman jati dengan metode yellow-pan trap .............................................................................................................. 57
4.
Kelimpahan serangga dengan metode malaise trap ................................... 59
5.
Kelimpahan total serangga pada lokasi Gunung Gede Pangrango, KPH Cepu KU III (Petak 1039) dan KU VI (Petak 4005) .................................. 61
6.
Hasil analisis nilai indeks keanekaragaman serangga dengan program GW BASIC 3.20 ......................................................................................... 64
7.
Hasil analisis rata-rata nilai tengah kelimpahan serangga dengan metode Tukey .......................................................................................................... 67
8.
Hasil analisis regresi ................................................................................... 73
9.
Jenis-jenis pohon yang ditemukan pada lokasi penelitian .......................... 74
10. Jenis-jenis tumbuhan bawah yang ditemukan pada lokasi penelitian ......... 75 11. Hasil analisis nilai indeks keanekaragaman pohon dengan program GW BASIC 3.20 ................................................................................................. 76 12. Hasil analisis nilai indeks keanekaragaman tumbuhan bawah dengan program GW BASIC 3.20 .......................................................................... 77 13. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) ........... 78 14. Dokumentasi penelitian .............................................................................. 79
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sebagai negara tropis, Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi di dunia, sehingga mendapat julukan sebagai Megabiodiversity Country. Keanekaragaman hayati ini mencakup ekosistem, spesies dan genetik yang berada di darat, perairan tawar maupun dipesisir dan laut, padahal luas daratan Indonesia hanya 1,5% dari luas dunia (Bappenas 2003). Pada umumnya bahasan-bahasan keragaman hayati meliputi keragaman jenis, ekosistem dan genetik. Serangga merupakan kelompok organisme yang dominan di bagian biosfer yang berupa daratan. Serangga mempunyai peran penting dalam kelestarian ekosistem (Schowalter 1952). Serangga diyakini terdiri dari berjuta spesies tetapi baru sekitar sejutaan berhasil dideskripsikan. Masih begitu banyak jenis serangga yang memerlukan perhatian. Serangga menyusun sekitar 64% dari total spesies flora dan fauna yang ada di permukaan bumi. Dengan jumlah spesies dan individu yang begitu besar maka serangga memegang peranan yang sangat penting yaitu sebagai pemakan tanaman, pemangsa, parasit, pengurai, penyerbuk dan sebagainya. Dalam konteks ekosistem, keragaman spesies serangga diyakini bisa digunakan sebagai salah satu bioindikator kondisi suatu ekosistem mengingat peran pentingnya serangga dalam ekosistem proses produksi pertanian dan begitu banyak jenis serangga yang belum terungkap maka upaya untuk mengkaji keragaman jenis serangga dalam ekosistem hutan menjadi suatu objek yang layak untuk dilakukan. 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengukur keanekaragaman serangga di hutan alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango serta hutan tanaman jati di KPH Cepu KU III dan KU VI.
2
2. Mengidentifikasi
unsur
lingkungan
yang
berperan
dominan
dalam
menentukan keragaman dan kelimpahan jenis serangga. 1.3 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak pengelola hutan. Informasi yang dibutuhkan tentang jenis-jenis fauna terutama serangga untuk dijadikan alat indikator terhadap kondisi hutan.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Biodiversitas Biodiversitas mencakup keseluruhan ekosistem. Konsep tersebut mencoba untuk menekan variasi habitat yang diterapkan pada suatu area. Biodiversitas meliputi seluruh jenis variasi alam seperti tingkat molekular dan genetis hingga ke tingkat spesies dan bahkan subspesies (Daroz 1999). Menurut Myers (1996) dalam Daroz (1999) komponen spesies meliputi seluruh jenis tanaman, binatang dan mikroorganisme. Keanekaragaman adalah suatu perbedaan dalam bentuk atau sifat diantara anggota-anggota suatu kelompok. Keanekaragaman dalam level ekosistem terbagi menjadi tiga, yaitu keanekaragaman alpha, keanekaragaman gamma dan keanekaragaman beta (McNoughton dan Wolf 1990). Menurut Magguran (1988) terdapat pengertian dari semua level keragaman tersebut, yaitu: 1. Keanekaragaman titik (point diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu unit contoh yang diukur. 2. Keanekaragaman alpha (alpha diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu habitat yang homogen (gabungan keanekaragaman titik). 3. Keanekaragaman gamma (gamma diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu pulau atau landscape (gabungan keanekaragaman alpha). 4. Keanekaragaman epsilon (epsilon diversity), yaitu nilai keanekaragaman suatu wilayah biogeografi (gabungan keanekaragaman gamma). McNoughton dan Wolf (1990) menyatakan bahwa terdapat hubungan kondisi suatu populasi dengan komposisi suatu genetik. Suatu populasi mungkin beragam dalam struktur umum, fase perkembangan, atau komposisi genetik dari individu-individu penyusunnya. Dalam ekologi, umumnya keanekaragaman mengarah pada keanekaragaman spesies yang pengukurannya melalui jumlah spesies dalam komunitas dan kelimpahan relatifnya. Daroz (1999) menyatakan bahwa suatu keragaman spesies dapat memiliki pengertian yang tepat, yakni mempunyai nilai pasti untuk menentukan bukan
4
hanya jumlah spesies pada tempat tertentu, tetapi juga kelimpahan relatifnya, nilai kejarangannya dan kestabilan potensi populasi mereka. Menurut McNeely (1992) keanekaragaman jenis adalah konsep variabilitas makhluk-makhluk hidup yang diukur terhadap seluruh spesies yang ada atau di kawasan tertentu. Semakin besar ukuran populasi suatu spesies maka semakin besar pula keanekaragaman didalamnya. Keragaman spesies menggambarkan keberadaan spesies yang terdapat pada suatu wilayah/biotipe tertentu. Keragaman spesies juga dapat dievaluasi dengan cara menghitung indeks keragaman. Indeks keragaman menunjukkan ukuran jumlah ragam jenisnya. Keanekaragaman jenis terdiri atas dua komponen, yaitu jumlah spesies dan jumlah individu. Jumlah jenis merupakan kekayaan jenis (richness species) dan jumlah individu merupakan kemerataan jenis (eveness species). 2.2 Keanekaragaman Serangga Serangga adalah kelompok terbesar dari hewan beruas (Arthropoda) yang berkaki enam. Karena itulah mereka disebut pula Hexapoda. Arthropoda merupakan filum dengan jumlah anggota terbesar dibandingkan dengan filum lainnya. Filum ini mencapai sekitar 85% dari seluruh jumlah anggota kingdom Animalia yang ada. Sedangkan serangga merupakan hewan dengan jumlah anggota terbesar diantara kelas lainnya dalam filum arthropoda dan hewan lainnya di dunia (British Museum 1974). Menurut May (1992) dalam Speight et al. (1999) saat ini telah dideskripsikan lebih dari 1,5 x 106 total organism yang lebih dari 50%-nya adalah serangga. Banyaknya jumlah organisme terungkap dari perbandingan jumlah spesies serangga dengan vertebrata (sebagian besar sub filum dari cordata) sekitar 47000 spesies serangga telah diketahui jenisnya dibandingkan dengan 4000 lebih mamalia. Lebih lanjut, sepertinya sebagian besar vertebrata telah diketahui. Sementara itu spesies serangga masih sedikit yang sudah diketahui. Lebih dari 800.000 spesies insekta sudah ditemukan. Terdapat 5.000 spesies bangsa capung (Odonata), 20.000 spesies bangsa belalang (Orthoptera), 170.000 spesies bangsa kupu-kupu dan ngengat (Lepidoptera), 120.000 bangsa lalat dan kerabatnya (Diptera), 82.000 spesies bangsa kepik (Hemiptera), 360.000
5
spesies bangsa kumbang (Coleoptera) dan 110.000 spesies bangsa semut dan lebah (Hymenoptera) (Wikipedia 2008). 2.3 Hubungan antara Serangga dan Tanaman Perbedaan habitat dan cara hidup memungkinkan terjadinya perbedaan tiap spesies dalam satu kelompok yang hidup bersama dan mengeksploitasi sumber makanan yang sama, dalam hubungan ini serangga mengambil manfaat dari tanaman sebagai sumber makanan (Speight dan Wylie 2000). Hubungan ini dapat berpengaruh besar terhadap evolusi dan kelangsungan hidup serangga atau tumbuhan. Kebanyakan serangga fitofag cenderung untuk menyukai salah satu jenis tanaman. Setelah diuraikan secara kimiawi daun tumbuhan mempunyai isi hara yang hampir mirip. Banyak tanaman khusus yang merupakan bahan makanan suatu jenis tertentu menunjukkan adanya zat yang menarik serangga tersebut dan tidak adanya zat penolak. Satu jenis tanaman cocok sebagai bahan makanan bagi suatu jenis serangga bukan karena kandungan haranya tetapi karena adanya zat penarik. Adanya zat penarik dan penolak ini berkembang evolusi yang sangat panjang (Partosoedjono 1985). Serangga mempunyai jenis yang sangat banyak. Jenis-jenis dari serangga ini memiliki peranan yang berbeda-beda. Serangga memegang peranan yang sangat penting dalam jaringan makanan yaitu sebagai herbivor, karnivor, dan detritivor (Strong et al. 1984). Selain itu serangga juga berperan sebagai indikator kondisi hutan (Samways 1994). Banyaknya peran serangga dikarenakan serangga merupakan kelompok organsime yang sensitif dan dapat memperlihatkan gejala terpengaruh terhadap tekanan lingkungan akibat aktifitas manusia atau akibat kerusakan sistem biotik (oleh gangguan alam), maka Jolivet (1998) dalam Samways (2005) menyatakan bahwa terjadi hubungan timbal balik antara jenis serangga tertentu dan tumbuh-tumbuhan tertentu. Ada serangga yang berperan sebagai dekomposer, parasit, atau predator. Kelompok parasit memiliki kesamaan dengan predator yakni dalam hal memerlukan nutrisi. Perbedaannya predator langsung membunuh sedang parasit tidak membunuh spesies lain atau sumber nutrisi secara langsung. Secara khusus parasit yang selalu menyebabkan kematian inangnya dikenal sebagai parasitoid.
6
Kira-kira 10% dari total serangga merupakan parasitoid. Kebanyakan, sebanyak 75% berasal dari ordo Hymenoptera, sisanya merupakan anggota ordo Diptera dan Coleoptera (Speight et al. 1999). Springtail (Collembola) merupakan konsumen dari sisa tanaman atau hewan, kotoran, humus dan miselia jamur. Spesies ini menggunakan ekornya untuk melompat atau bergerak, melalui mekanisme kembang-kerut (seperti per) pada bagian ujung bawah posteriornya. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Inggris terdapat kehidupan interaksi antara pohon dengan serangga dalam kurun waktu yang panjang menunjukkan bahwa serangga berhubungan dengan berbagai pohon sehingga menimbulkan variasi besar terhadap jenis serangga dimana ordo Lepidoptera memiliki famili yang paling kaya, kemudian disusul oleh Coleoptera (Tabel 1). Tabel 1 Hubungan serangga dengan pohon menyebabkan variasi besar terhadap keragaman jenis serangga Pohon
Total
Quercus spp. 284 Betula spp. 229 Colylus avellana 73 Salix spp. 266 Alnus glutinosa 90 Crataegus spp. 149 Fraxinus excelsior 41 Pinus sylvestris 91 Ilex aquifolium 7 Taxus baccata 1 Prunus spinosa 109 Populus spp. 97 Ulmus spp. 84 Fagus sylvatica 64 Acer campestre 26 Carpinus betulus 28 Juniperus communis 20 Tilia spp. 31 Malus spp. 93 Sorbus aucuparia 28 Sumber: Speight dan Wylie (2000)
Heteroptera
Homoptera
37 12 16 22 14 17 10 15 0 0 4 8 11 4 2 1 6 7 18 0
10 4 2 20 8 1 2 3 0 0 2 11 4 3 2 0 0 2 3 1
Lepidoptera Makro Mikro 106 81 94 84 18 288 100 73 28 27 64 53 16 9 10 28 2 2 1 0 48 43 33 26 33 26 24 16 8 12 7 16 4 8 15 5 21 42 2 17
Coleoptera 50 35 9 51 13 14 4 35 3 0 12 19 10 17 2 4 2 2 9 8
Kekayaan fauna adalah suatu fungsi dari lamanya waktu suatu pohon yang telah tumbuh pada suatu wilayah. Semakin lama koeksistansi yang terjadi antara pohon dengan serangga, maka koevolusi yang kuat akan terjadi sehingga
7
memungkinkan terbentuknya jumlah spesies yang lebih banyak (Speight dan Wylie 2000). Adanya keragaman bentuk dan komposisi tanaman membuka peluang untuk serangga memanfaatkan tanaman. Pada gilirannya, keanekaragaman tanaman mengalami peningkatan yang disebabkan oleh hewan pemakan tanaman (herbivora) terutama serangga (Strong et al. 1984). Artinya apabila keragaman spesies vegetasi meningkat, jumlah spesies serangga juga ikut bertambah. Pada hutan relatif homogen, hutan tanaman jati memiliki variasi jenis vegetasi yang cenderung kecil dan determinasi jumlah panjang jalur per area unit (per m2), juga berpengaruh. Dengan tanaman semak alami akan membuat jumlah individu tanaman akan bervariasi yang merupakan inang serangga, per area unit dan umur mereka (Southwood 1971). 2.4 Faktor Lingkungan Serangga Semua jenis flora dan fauna telah berevolusi untuk menyesuaikan hidup dengan lingkungan. Kehidupan seranggapun sangat bergantung pada habitatnya. Keadaan lingkungan hidup mempengaruhi keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan
banyaknya
jenis
makhluk
hidup
(biodiversitas)
dan
sebaliknya
keanekaragaman dan banyaknya makhluk hidup juga menentukan keadaan lingkungan (Tarumingkeng 1992). Oleh karena itu faktor lingkungan sangat menentukan dan berpengaruh pada perkembangan serangga. Faktor lingkungan terdiri dari lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Faktor lingkungan fisik atau abiotik mencakup unsur-unsur litosfer (lithosphere) atau lapisan kerak bumi termasuk tanah yang mencakup tipe tanah, bahan induk, serta parameter-parameternya seperti struktur, tekstur, sifat-sifat fisik, kimia dan kesuburan), hidrosfer (hydrosphere), yang meliputi lautan dan perairan lainnya dengan parameter-parameter: arus, kedalaman, salinitas, keasaman (pH), kandungan bahan-bahan, suhu dll.) dan atmosfer (atmosphere, udara: iklim, cuaca, angin, suhu, dll.) (Tarumingkeng 2001). Faktor lingkungan abiotik sangat menentukan struktur komunitas fauna yang terdapat pada suatu habitat, yakni laju pengembangan serangga, kelangsungan hidup, kesehatan dan aktivitas individu, distribusi dan ukuran populasi. Sedangkan faktor lingkungan hayati atau biotik merupakan bagian dari
8
keseluruhan lingkungan yang terbentuk dari semua fungsi hayati makhlukmakhluk hidup yang satu dengan yang lainnya saling berinteraksi. Faktor biotik berpengaruh pada perkembangan populasi serangga hama adalah daya reproduksi dan kemampuan hidup serangga hama, kualitas dan kuantitas bahan makanan yang tersedia, parasit, pemangsa, dan penyakit serangga (Graham 1952). Dalam studi ekologi fauna, pengukuran faktor lingkungan abiotik penting dilakukan karena dapat mengetahui besarnya pengaruh faktor abiotik itu terhadap keberadaan dan kepadatan populasi kelompok fauna ini. Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor abiotik yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan populasi serangga. Tanaman memodifikasi lingkungan terbaru mereka dan memproduksi iklim mikro yang mungkin akan berbeda dengan iklim makro pada suatu wilayah, atau disebut mesoclimate. Intensitas cahaya, kecepatan angin, suhu dan kelembaban serta distribusi hujan dapat mengubah vegetasi yang ada (Edwards 1980). Serangga termasuk berdarah dingin sehingga pertumbuhannya banyak dipengaruhi
suhu
lingkungannya.
Di
daerah-daerah
beriklim
dingin
pertumbuhannya lambat, sedangkan di daerah tropik seperti Indonesia pertumbuhan serangga relatif cepat. Dengan demikian banyaknya generasi yang terjadi di daerah beriklim panas lebih banyak daripada di daerah dingin. Ruslan dan Noor (2007) memaparkan bahwa pada musim kemarau, famili Formicidae dan Nitidulidae akan banyak ditemukan pada permukaan tanah, sedangkan pada musim hujan, famili Formicidae dan Tenebrionidae yang akan lebih banyak ditemukan pada permukaan tanah.
9
BAB III METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga bulan Oktober tahun 2007 dengan mengambil lokasi di dua tempat, yaitu hutan alam (Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango) dan hutan tanaman jati (KPH Cepu KU III (Petak 1039) dan KU VI (Petak 4005)). Kegiatan ekstraksi dan identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Entomologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Lokasi plot pengamatan hutan alam Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango (GP) terletak pada lokasi plot Forest Health Monitoring (FHM) Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango yang telah dibuat pada tahun 1999. Plot tersebut terletak dekat dengan Kebun Raya Cibodas (Pal II B) dengan jarak datar 25,45 m dan azimuth 210° (Gambar 1).
Sumber: Supriyanto et al. (2001)
Gambar 1 Lokasi plot FHM Resort Cibodas, Gunung Gede Pangrango.
10
Plot pengamatan keragaman serangga di hutan tanaman jati yang ditempatkan pada plot FHM yakni di BKPH Pasarsore di Petak 1039 (C3) dan BKPH Cabak di Petak 4005 (C6). Pada Petak 1039, pengukuran pusat plot dimulai dari Pal D/DC pada azimuth 90° dengan jarak datar 120 m (Gambar 2). Petak 1039 merupakan perwakilan dari kelas umur (KU) III, sedangkan pada Petak 4005 merupakan perwakilan dari KU VI dengan pengukuran pusat plot dimulai dari Pal DX/DD pada azimuth 225° dengan jarak datar 100 m (Gambar 3).
Sumber: Pusbang-SDH (2001)
Gambar 2 Lokasi plot FHM KPH Cepu KU III (Petak 1039).
11
Sumber: Pusbang-SDH (2001)
Gambar 3 Lokasi plot FHM KPH Cepu KU VI (Petak 4005). 3.2 Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air deterjen dan alkohol 70 %. Alat-alat yang digunakan adalah yellow-pan trap, malaise trap, mikroskop, kaca pembesar, pinset, termo-hygrometer, baskom kuning, tali raffia, kompas, tabung film, kain kasa, penggaris, meteran, kertas label, alat tulis dan kamera. 3.3 Prosedur Kerja Prosedur kerja yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari lima tahapan. Kelima tahapan tersebut yakni penentuan petak pengamatan, pengukuran faktor lingkungan serangga, ekstraksi serangga, identifikasi serangga dan analisis data.
12
3.3.1 Penentuan Petak Pengamatan Penentuan petak pengamatan menggunakan acuan plot pengamatan Forest Health Monitoring (FHM) yang telah ada. Dalam FHM, penentuan petak pengamatan dilakukan dengan membuat desain plot sampling. Desain plot sampling yang digunakan dalam INDO-FHM disebut dengan desain Cluster Plot. Satu klaster dalam plot sampling terdiri dari empat buah plot annular dan subplot. Plot annular dan subplot masing-masing memiliki jari-jari 17,95 m dan 7,32 m (Gambar 4). Dengan demikian luasan yang tercakup dalam satu buah klaster-plot adalah seluas 4048,93 m2, sedangkan luasan hutan yang diwakili oleh satu buah klaster-plot adalah seluas 1 ha. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4. Azimuth 1-2 3600 Azimuth 1-3 1200 Azimuth 1-4 2400
Subplot Jari-MDUL¶ (7.32 m)
Titik sampling tanah 1
Titik sampling tanah 3
4
Sumber Keterangan
: :
Annular Plot Jari-MDUL¶ (17.95 m)
2
Jarak antara tiap titik pusat plot : ¶P
1
Microplot Jari-MDUL¶P azimuth 900 dari titik pusat subplot (3.66 m)
Titik sampling tanah 2
3
Alexander (1997) = plot trapping serangga
Gambar 4 Bentuk klaster Forest Health Monitoring (FHM).
13
Titik pusat pada subplot 1 merupakan titik pusat bagi keseluruhan plot. Titik pusat subplot 2 terletak pada arah 3600 dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36,6 m. Titik pusat subplot 3 terletak pada arah 1200 dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36,6 m. Titik pusat subplot 4 terletak pada arah 2400 dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36,6 m. Sampel tanah diambil dari tiga buah titik berbentuk lingkaran yang terletak diantara subplot 1-2, 2-3 dan 1-4, dengan ukuran diameter lubang 16 cm. Sedangkan untuk serangga, pengamatan dilakukan pada plot trapping yang terletak disebelah sampel plot tanah (Gambar 4). Petak pengamatan serangga menggunakan metode malaise trap merupakan alat perangkap serangga berbentuk seperti tenda jaring dan menggunakan metode yellow-pan trap. Serangga yang terjebak dalam perangkap dimasukkan ke dalam tabung-tabung film yang telah berisi alkohol 70% dan diberi label berdasarkan petak pengamatan. 3.3.2 Pengukuran Faktor Lingkungan Serangga Semua jenis serangga dan vegetasi telah berevolusi untuk menyesuaikan hidup dengan lingkungannya. Oleh karena itu faktor lingkungan yang terdiri dari faktor abiotik (faktor fisik seperti cuaca dan iklim) dan faktor biotik (pengaruh dari organisme lain) menjadi seleksi alam dan adaptasi serangga dengan kehidupannnya. Kemampuan suatu spesies atau populasi untuk bertambah jumlahnya, untuk menyebar ke sumber makanan yang baru, atau memproduksi dan mengeksploitasi sumber makanan, semuanya dipengaruhi oleh salah satu atau kedua faktor tersebut (Daroz 1999) Menurut Varley et al. (1973) dalam Daroz (1999) mendeskripsikan dengan sederhana bagaimana faktor biotik dan abiotik dapat mempengaruhi populasi serangga. Pengukuran faktor lingkungan serangga dilakukan dengan cara menghitung besarnya kelimpahan dan nilai diversitas dari pohon dan tumbuhan bawah, suhu dan kelembaban udara. Kelimpahan pohon diukur hanya untuk pohon-pohon yang berada dalam subplot yang diasumsikan dapat mewakili kondisi vegetasinya (Gambar 4) dan nilai diversitasnya diukur dengan menggunakan indeks keragaman ShannonWiener, sedangkan kelimpahan tumbuhan bawah diukur pada plot trapping
14
(Gambar 4) dan nilai diversitasnya diukur dengan menggunakan indeks keragaman
Shannon-Wiener.
Pengukuran
lingkungan
berupa
suhu
dan
kelembaban udara dilakukan pada pusat plot annular 1 (Gambar 4) dengan menggunakan termo-hygrometer. 3.3.3 Ekstraksi Serangga Menurut British Museum (1974) Terdapat dua jenis metode trapping yaitu: 1. Perangkap aktif : perangkap yang digunakan dengan cara menarik perhatian dari serangga, seperti cahaya, warna, umpan alami, dan kimia. 2. Perangkap pasif : perangkap yang memanfaatkan karakteristik alam. Agar dapat mengetahui keanekaragaman jenis serangga yang terdapat dalam suatu ekosistem diperlukan pengumpulan beberapa serangga yang mewakili jenis-jenis serangga pada lokasi yang ingin diamati. Ekstraksi serangga dilakukan dengan menggunakan metode perangkap aktif yaitu yellow-pan trap yang dapat menjadikan warna sebagai penarik perhatian dari serangga dan menggunakan metode perangkap pasif yaitu malaise trap yang memanfaatkan jaring tendanya untuk menjebak serangga. Perangkap ini mengambil keuntungan dari tingkah laku serangga yang memiliki kecenderungan untuk selalu terbang menuju ke tempat terang. 3.3.3.1 Metode Yellow-pan trap Umumnya serangga memiliki ketertarikan terhadap cahaya. Warna memiliki hubungan dengan panjang gelombang cahaya. Masing-masing serangga seringkali menunjukkan ketertarikan terhadap warna cahaya, oleh karena itu metode yellow-pan trap tepat digunakan dalam pengambilan serangga. Metode yellow-pan trap berupa wadah berwarna kuning yang merupakan suatu cara cepat dan mudah untuk menangkap serangga-serangga seperti Diptera dan Hymenoptera denikian juga Coleoptera dan Staphylinidae (Carlton 1999, dalam Haneda 2004). Agar mencegah serangga yang telah terjebak tidak membusuk, bahan pengawet kimia yang berbeda dapat digunakan untuk metoda ini yakni air sabun/deterjen untuk mencegah serangga yang telah terjebak tidak terbang
15
kembali (Evans dan Medler, 1966; Obrycki dan Mahr, 2000). Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Pengumpulan serangga dengan metode yellow-pan trap. 3.3.3.1 Metode Malaise trap Malaise trap (Gambar 6) merupakan suatu perangkap besar seperti tenda (berbentuk prisma) yang terbuat dari jaring atau net berwarna hitam pada bagian bawah tenda dan berwarna putih tembus pandang pada bagian atasnya serta terdapat tabung kecil yang telah berisi alkohol 70% pada ujung atas tenda (Longino 2004). Perangkap ini mengambil keuntungan dari fakta bahwa ketika sebagian besar serangga terbang bertemu dengan halangan, maka akan berusaha untuk terbang tinggi dan mengitarinya daripada merubah arah terbang (British Museum 1974). Ketika memasuki perangkap, serangga masuk ke bagian pusat perangkap dan akan mencoba untuk terbang keatas mencari jalan keluar cahaya terang, yang akhirnya akan terjebak pada tabung yang telah berisi alkohol 70%. Perangkap diambil setelah satu minggu dipasang (Gambar 6).
(A)
(B)
Gambar 6 Pengumpulan serangga dengan metode malaise trap. Ket: (A) Malaise trap; (B) Tabung perangkap berisi alkohol 70%.
16
3.3.4 Identifikasi Serangga Serangga yang ditemukan diidentifikasi sampai taraf famili dengan melihat morfologi dari masing-masing individu serangga lalu dibandingkan dengan gambar-gambar dan uraian-uraian dari buku referensi. Adapun referensi yang dipakai dalam identifikasi adalah: a. Pengenalan Pelajaran Serangga, tahun 1996, karya Donald J.Borror, Charles A. Triplehorn dan Norman F. Johnson yang diterjemahkan oleh S. Partosoedjono. b. Kunci Determinasi Serangga, tahun 1991, karya Christina Lilies. c. The Insect of Australia (A Textbook for Student and Research Workers), tahun 1970, oleh Division of Entomology Commonwealth. d. Hymenoptera of the World: an Identification Guide to Families, tahun 1993, karya Henry Goulet dan John T. Huber. e. Australasian Chalcidoidea (Hymenoptera): A Biossystematic Revision of Genera of Fourteen Families, with a Reclassification of Species, tahun 1988, karya Zdenek Boucek. f. Manual of Nearctic Diptera, tahun 1981, karya Sharon M. Rudnitski. g. A Field Guide in Colour to Beetles, tahun 1998, karya K. W. Harde. 3.3.5 Analisis Data Keragaman dapat diukur dengan mengetahui kekayaan spesies yaitu jumlah jenis spesies disuatu ekosistem, kelimpahan spesies, atau kombinasi kekayaan spesies dan dominasi spesies (Magurran 1988). Untuk itu perlu dilakukan analisis terhadap nilai keragaman jenis, nilai kekayaan jenis, dan nilai kemerataan jenis guna mengetahui hubungan antar serangga dan faktor lingkungan. Perhitungan nilai-nilai indeks keragaman serangga dilakukan dengan menggunakan program Species Richness Biodiversity dan program GW-BASIC 3.20, sedangkan untuk menguji perbedaan kelimpahan serangga dari masingmasing lokasi (GP, C3 dan C6) digunakan uji ANOVA dan hubungan kelimpahan serangga dengan lingkungan digunakan regresi dengan program SPSS 12.0.
17
3.3.5.1 Nilai Keragaman Jenis (Diversity Index) Nilai keragaman yang umum digunakan adalah indeks keragaman spesies Shannon-Wiener yaitu untuk menghitung keragaman berdasarkan hitungan gabungan antara jumlah dan kelimpahan spesies (Ludwig dan Reynold 1988). Indeks keragaman spesies Shannon-Wiener dirumuskan dengan:
H ' ¦ Pi ln Pi
Pi
; dimana
ni N
Keterangan : H¶ = Indeks Keragaman Jenis Shannon-Weiner ni = Jumlah individu jenis ke-i N = Jumlah individu seluruh jenis +XEXQJDQ DQWDUD QLODL +¶ GHQJDQ MXPODK VSHVLHV EHUEDQGLQJ OXUXV LWX PHQDQGDNDQEDKZDQLODL+¶DNDQPHQLQJNDWDSDELODMXPODKVSHVLHVGDODPVXDWX habitat/lokasi juga meningkat, begitupun sebaliknya. Sehingga semakin tinggi QLODL+¶PDNDVHPDNLQWLQJJLSXODNHUDJDPDQMHQLVVHUDQJJDGLGDODPQ\D 3.3.5.2 Nilai Kekayaan Jenis Margalef (Richness Index) Nilai
kekayaan
jenis
(DMg)
digunakan
untuk
menghitung
keanekaragaman jenis berdasarkan jumlah jenis pada suatu ekosistem (Ludwig dan Reynolds 1988). Indeks kekayaan jenis Margalef dirumuskan dengan:
DMg
( S 1) ln N
Keterangan : DMg = Indeks Kekayaan jenis Margalef S = Jumlah jenis yang ditemukan N = Jumlah individu seluruh jenis 3.3.5.3 Nilai Kemerataan Jenis (Evenness Index) Nilai kemerataan jenis menunjukkan derajat kemerataan keragaman individu antar jenis. Rumus yang digunakan adalah nilai evenness modifikasi dari +LOO¶VUDVLR (Ludwig dan Reynold 1988):
E5
N 2 1 N1 1
N1
; dimana
1
O
Keterangan : E5 = Indeks kemerataan jenis N2 = Nilai dari kelimpahan, N2 = e+¶ N1 = Ukuran nilai dari kelimpahan spesies pada sampel s
Ȝ
= 6LPSVRQ¶VLQGH[, O
¦p i 1
2 i
18
Nilai E berkisar antara 0 dan 1. Alatalo (1981) diacu dalam Ludwig dan Reynolds (1988) mengatakan bahwa apabila E5 mendekati nol berarti satu spesies menjadi lebih dominan dalam komunitas. Sedangkan apabila nilai E5 sama dengan satu berarti seluruh spesies berada pada tingkat kemerataan yang sama. 3.3.5.4 Hubungan Kelimpahan Serangga dengan Faktor Lingkungan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga habitat yang berbeda, yaitu hutan alam, hutan tanaman jati kelas umur (KU) III dan hutan tanaman jati KU VI. Rumus yang digunakan adalah:
Yij
u W i ij
Keterangan : Yij = nilai kelimpahan serangga dari lokasi ke-i pada pengamatan ke-j u = nilai tengah umum (rata-rata populasi) kelimpahan serangga W i = pengaruh habitat ke-i terhadap kelimpahan serangga ij = pengaruh galat percobaan dari lokasi ke-i pada pengamatan ke-j Hubungan antara kelimpahan dengan faktor lingkungan dianalisis dengan metode regresi. Data kelimpahan serangga meliputi seluruh jenis serangga yang didapatkan baik dengan metode yellow-pan trap maupun dengan malaise trap. Dalam melakukan uji regresi, digunakan program SPSS 12.0 dengan nilai uji nyata Fhitung>Ftabel dan tidak nyata Fhitung
19
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) 4.1.1 Sejarah Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki satu atau lebih ekosistem alam utuh tidak terganggu yang dikelola dengan sistem zonasi yang berperan sebagai penyedia air bagi beberapa kota besar di Jawa Barat. Selain itu, didalamnya terdapat jenis tumbuhan atau satwa beserta habitatnya, juga tempat-tempat yang secara geomorfologis bernilai untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, penelitian, budaya, rekreasi dan pariwisata. Tidak hanya itu, perkembangan lebih jauh memperlihatkan bahwa Taman Nasional dapat menjadi penyedia alternatif pendapatan bagi masyarakat di sekitarnya. Tingginya nilai keanekaragaman hayati di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) yang mendorong UNESCO untuk menetapkan kawasan ini sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1977, jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional. Kemudian pada tahun 1980, kawasan TNGP menjadi salah satu dari 5 kawasan konservasi pertama yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai Taman Nasional Tugas dan fungsi utama TNGP yakni untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, pengawetan keragaman hayati dan menyediakan sumberdaya alam hayati untuk pemanfaatan secara berkelanjutan. Kawasan ini memiliki sumberdaya hutan yang relatif masih terjaga dengan baik.
4.1.2 Letak dan Luas Kawasan Luas kawasan TNGP mencapai 15.196 Ha dan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003, kawasan TNGP mengalami perluasan dari Perum Perhutani menjadi 21.975 Ha. Perluasan kawasan TNGP dapat dilihat pada Lampiran 13.
20
Secara geografis TNGP terletak antara 106o¶-107o¶ %7 GDQ o¶6o¶ /6 GDQ VHFDUD DGPLQLVWUDWLI SHPHULQWDKDQ ZLOD\DK 71*3 PHQFDNXS (tiga) Kabupaten, yaitu: Sebelah Utara
: Wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor.
Sebelah Barat
: Wilayah Kabupaten Sukabumi dan Bogor.
Sebelah Selatan
: Wilayah Kabupaten Sukabumi.
Sebelah Timur
: Wilayah Kabupaten Cianjur.
4.1.3 Kondisi Fisik 4.1.3.1 Topografi Kawasan TNGP merupakan kawasan gunung berapi yang terbagi menjadi dua kawasan, yakni Gunung Gede (2.958 mdpl) dan Gunung Pangrango (3.019 mdpl). Topografi kawasan bervariasi mulai dari dataran landai hingga bergunung. Kisaran ketinggiannya berkisar antara 700 mdpl dan 3000 mdpl. Sebagian besar kawasan TNGP merupakan dataran tinggi tanah kering dan sebagaian kecil lagi merupakan daerah rawa, terutama di daerah sekitar Cibeureum yaitu rawa Gayonggong. Pada bagian Selatan kawasan yaitu daerah Situgunung. Daerah tersebut memiliki kondisi lapangan yang berat karena terdapatnya bukit-bukit (seperti Bukit Masigit) dengan kelerengan 20-80%. Kawasan Gunung Gede yang terletak di bagian Timur dihubungkan Gunung Pangrango oleh punggung bukit yang berbentuk tapal kuda, sepanjang ± 2.500 meter dengan sisi-sisinya yang membentuk lereng-lereng curam berlembah menuju dataran Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Data kelas lereng kawasan TNGP seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Kelas lereng kawasan TNGP Simbol A B C D E F
Kelas Lereng (%) 0-3 % 3-8 % 8-15 %
15-25 % 25-40 % > 40 % JUMLAH Sumber: Statistik Balai TNGP 2006
Luas (Ha) 227,94 531,86 759,8
Prosentase (%) 1,5 3,5 5
Keterangan Datar Landai Berombak
2127,44 4102,92 7446,04 15,196
14 27 49 100
Bergelombang Berbukit Bergunung Luas Total TNGP
21
4.1.3.2 Iklim dan Hidrologi Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, TNGP termasuk dalam tipe iklim A dengan curah hujan yang tinggi. Oleh karena itu TNGP merupakan salah satu daerah terbasah di pulau Jawa. TNGP memiliki curah hujan yang tinggi antara 3000-4000 mm. Berikut data kondisi iklim kawasan TNGP sebagaimana pada Tabel 3. Tabel 3 Kondisi iklim kawasan TNGP Iklim (Klasifikasi Schmidt-Ferguson) Curah Hujan
Tipe A Nilai Q = 5-9 % Tinggi Rata-rata 3000-4000 mm
Suhu
10OC (siang hari) dan 5OC (malam hari)
Kelembaban udara
80-90% Kelembaban tinggi menyebabkan terbentuk tanah \DQJNKDV³SHDW\VRLO´ Muson Bulan Desember-Maret (Penghujan); angin bertiup dari arah barat daya dengan kecepatan tinggi Musim kemarau, angin bertiup dari arah timur laut dengan kecepatan rendah.
Angin
Sumber: Statistik Balai TNGP 2006
Kawasan TNGP merupakan hulu dari DAS Citarum (Cianjur) dan DAS Citanduy (Bogor). Data keadaan hidrologi kawasan TNGP seperti pada Tabel 4. Tabel 4 Keadaan hidrologi kawasan TNGP Peta Hidro-Geologi Skala 1:250.000 (Direktorat Geologi Tata Lingkungan 1986) Daerah produktif kandungan sumber air tanah
Sebagian besar akuifer daerah air tanah langka Sebagian kecil akuifer produktif sedang. Debit air tanah kurang dari 5 liter per detik Kaki Gunung Gede, Cibadak-Sukabumi, mutu memenuhi persyaratan air minum disamping untuk irigasi
Hidrologi
58 sungai dan anak sungai: Bogor: 17 sungai dan anak sungai (Diantaranya Cisadane, Cisarua, Cimande, Cibogo dan Ciliwung) Cianjur: 20 sungai dan anak sungai (Diantaranya Cikundul, Cimacan, Cibodas, Ciguntur, Cisarua dan Cibeleng) Sukabumi: 23 sungai dan anak sungai (Diantaranya Cibeureum, Cipelang, Cipada, Cisagaranten, Cigunung, Cimahi, Ciheulang dan Cipanyairan) Baik, sumber air utama bagi kota-kota sekitarnya Hulu 1-2 meter ; Hilir 3-5 meter Sempit, dan berbatu besar pada tepi sungai bagian hilir
Kualitas air Lebar Sungai Fisik Sungai Sumber: Statistik Balai TNGP 2006
22
4.1.3.3 Tanah Merujuk peta tanah tinjau provinsi Jawa Barat skala 1:250.000 (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1966), jenis-jenis tanah yang mendominasi kawasan TNGP adalah latosol coklat, asosiasi andosol, coklat dan regosol coklat, kompleks regosol kelabu dan litosol, abu pasir, tuf, dan batuan vulkan intermedier sampai dengan basis. Data tanah kawasan TNGP seperti pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis tanah kawasan TNGP No 1
Jenis Tanah Latosol coklat tuf volkan intermedier.
Lokasi Lereng paling bawah G. Gede Pangrango (Dataran Rendah).
2
Asosiasi andosol coklat dan regosol coklat.
Lereng-lereng gunung lebih tinggi.
3
Kompleks regosol kelabu dan litosol, abu pasir, tuf dan batuan volkan intermedier sampai dengan basis.
Kawasan G.Gede dan Pangrango berasal dari hasil kegiatan gunung api.
Deskripsi Jenis Mengandung tanah liat dan tidak lekat serta lapisan sub soilnya gembur yang mudah ditembus akar dan lapisan dibawahnya tidak lapuk, juga merupakan tanah subur dan dominan. Tanah latosol mempunyai perkembangan profil dengan solum tebal (2 m), coklat hingga merah dengan perbedaan antara horizon A dan B tidak jelas, tingkat keasamaannya sekitar 5,5 -6,5. Tanahnya mengalami pelapukan lebih lanjut. Warna gelap, porositas tinggi, struktur lepas-lepas dan kapasitas menyimpan air tinggi. Di kawah G. Gede ditemukan jenis litosol yang belum lapuk, juga dipunggung G. Gemuruh bagian tenggara tempat pencucian pada permukaan tanah telah menghasilkan tanah regosol berpasir.
Sumber: Statistik Balai TNGP 2006
4.1.4 Kondisi Biologi 4.1.4.1 Tipe Ekosistem Secara umum tipe-tipe ekosistem kawasan TNGP dibedakan menurut ketinggiannya yaitu ekosisitem sub mRQWDQDPGSO ekosistem montana (1.500-2.400 mdpl) dan ekosistem sub alpin (>2.400 mdpl). Ekosistem hutan sub montana dan montana memiliki keanekaragaman hayati vegetasi yang tinggi dengan pohon-pohon besar, tinggi dan memiliki 3 strata tajuk. Strata paling tinggi (30-40 m) didominasi oleh jenis Litsea spp. Pada ekosistem sub alpin memiliki strata tajuk sederhana dan pendek yang disusun oleh jenis-jenis pohon kecil (kerdil), dengan tumbuhan bawah yang tidak terlalu rapat. Tinggi pohon tidak
23
lebih dari 10 m, hanya memiliki satu lapisan kanopi yang berkisar antara 4 sampai 10 m. Pepohonan di hutan ini berdiameter kecil dan pada batangnya diselimuti dengan lumut Usnea sp. yang tebal. Keanekaragaman jenis jauh lebih rendah dibanding dengan tipe hutan lain. 4.1.4.2 Potensi Flora Kawasan TNGP memiliki potensi kekayaan flora yang tinggi dan keunikan dalam ekosistemnya. Karena potensi keanekaragaman hayati yang terdapat didalamnya, Gunung Gede dan Gunung Pangrango sering dijadikan salah satu laboratorium alam yang menarik minat para peneliti sejak lama. Lebih kurang 1.000 jenis flora dengan 57 famili ditemukan di kawasan ini, yang tergolong tumbuhan berbunga (Spermatophyta) 925 jenis, tumbuhan paku 250 jenis, lumut 123 jenis dan jenis ganggang, jamur dan jenis-jenis Thalophyta lainnya. Salah satu ciri TNGP yakni memiliki pohon rasamala terbesar dengan diameter batang 150 cm dan tinggi 40 m yang dapat ditemukan di sekitar jalur pendidikan wilayah Resort Cibodas. Jenis puspa terbesar dengan diameter 149 cm ditemukan di jalur pendakian Selabintana-Gunung Gede, dan pohon jamuju terbesar di wilayah pos Bodogol. Kawasan ini juga memiliki jenis-jenis flora unik dan menarik, diantaranya kantong semar (Nepenthes gymnamphora ³VDXGDUDVLEXQJDEDQJNDL´Rafflesia rochusseni ³VL EXQJD VHPELODQ WDKXQ´ Strobilanthus cernua). Tercatat sekitar 199 jenis anggrek di kawasan ini. Saat ini telah dilakukan pemetaan sebaran beberapa jenis flora yang ada di kawasan TNGP. Kawasan TNGP terbagi ke dalam beberapa zona dengan berbagai tipe vegetasi, yaitu : a. Zona Sub Montana Zona ini mempunyai keanekaragaman jenis yang cukup tinggi baik pada tingkat pohon besar, pohon kecil, semak belukar maupun tumbuhan bawah. Jenis pohon besar yang paling dominan yaitu puspa (Schima wallichii). Jenis tumbuhan lainnya yang ada adalah walen (Ficus ribes), Syzygium spp, saninten (Castanopsis argantea), pasang (Quercus sp.), rasamala (Altingia excelsa) dan sebagainya. Jenis perdu yang terdapat pada zona ini adalah Ardisia fuliginbia, Pandanus sp., Pinanga sp. dan Laportea stimulans.
24
Sedangkan jenis tumbuhan bawah pada zona sub montana adalah Begonia sp., Cyrtandra picta dan Curculigo latifolia. b. Zona Montana Keadaan vegetasi di zona montana dalam hal keanekaragaman jenis dan kerapatannya tidak jauh berbeda dengan keadaan zona sub montana. Jenisjenis pohon yang dominan adalah jamuju (Podocarpus imbricatus), pasang (Quercus sp.), kiputri (P. neriifolius), Castanopsis spp. dan rasamala (Altingia excelsa). Sedangkan jenis tumbuhan bawah yang terdapat pada zona montana adalah Strobilanthes cermuis, Begonia spp. dan Melastoma spp. Pada ketinggian antara 2100-2400 mdpl banyak dijumpai jenis paku-pakuan atau kelompok tanaman epifit, yaitu Cythea tomentosa, paku sarang burung (Asplenium nidus) dan Plagiogria glauca. Sedangkan jenis-jenis anggrek, antara lain adalah Dendrobium sp., Arundina sp., Cymbiddium sp., Eriates sp., Chynanthus radicans dan Calanthe sp. c. Zona Sub Alpin Keadaan vegetasi di zona sub alpin berbeda dengan keadaan zona sub montana dan zona montana. Pada umumnya keadaan pohon di zona ini relatif pendek dan kerdil, semak belukar relatif jarang, tumbuhan bawah jarang ditemukan dan miskin akan jenis, hanya merupakan satu lapisan tajuk. Jenis pohon yang mendominasi zona sub alpin adalah edelweis (Anaphalis javanica), jirak (Symplocos javanica), ki Merak (Eurya acuminata), cantigi (Vaccinium varingifolium) dan ki tanduk (Leptospernium flanescens). Selain tiga tipe ekosistem utama tersebut ditemukan beberapa tipe ekosistem khas lainnya yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat, ekosistem tersebut adalah ekosistem rawa, ekosistem kawah, ekosistem alun-alun, ekosistem danau dan ekosistem hutan tanaman. 4.1.4.3 Potensi Fauna Selain flora, kawasan TNGP menyediakan habitat bagi beranekaragam fauna, antara lain mamalia, reptilia, amfibia, aves, insekta dan kelompok satwa tidak bertulang belakang. Terdapat insekta lebih dari 300 spesies, reptilia 75 spesies, mamalia lebih dari 110 spesies, burung (Aves) 251 jenis atau lebih dari 50% dari jenis burung yang hidup di Jawa. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)
25
GLWHWDSNDQVHEDJDL³6DWZD'LUJDQWDUD´PHODOXL Keputusan Presiden No.4 tanggal 9 Januari 1993. Kawasan TNGP juga merupakan habitat bagi 110 jenis mamalia, diantaranya owa jawa (Hylobates molochi) yang langka, endemik dan unik; anjing hutan (Cuon alpinus) yang sudah semakin langka dan kijang (Muntiacus muntjak). Untuk amfibi di kawasan ini, terdapat tiga jenis katak yang dikategorikan sebagai jenis yang jarang (rare species), masing-masing adalah kodok bertanduk, katak asia, dan katak merah. Sedangkan serangga yang paling menarik dan banyak ditemukan di kawasan ini adalah kupu-kupu. Selain itu masih banyak juga yang dijumpai adanya kumbang, tawon/lebah, kunang-kunang, dan lain sebagainya. 4.1.5 Potensi Wisata Kawasan Taman Nasional Gede Pangrango juga merupakan objek wisata alam yang menarik dan banyak dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun internasional. Beberapa lokasi atau obyek yang menarik untuk dikunjungi yaitu telaga biru yakni sebuah danau kecil yang selalu tampak biru diterpa sinar matahari, air terjun cibereum, air panas, kandang batu untuk kegiatan perkemahan dan pengamatan satwa, puncak dan kawah gunung gede, serta alun-alun surya kencana. 4.1.6 Kelembagaan Pengelolaan TNGP dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 6186/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang organisasi Balai Taman Nasional, yang diperbaharui dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.29/Menhut-II/2006. Berdasarkan tipologinya balai TNGP termasuk kedalam Tipe B setingkat eselon II, dibantu oleh 4 pejabat eselon IV meliputi Kepala Sub Bagian Tata Usaha berkedudukan di Kantor Balai, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I di Sukabumi, Kepala Seksi Konservasi Wilayah II di Bogor dan Seksi Konservasi Wilayah III di Cianjur (Lampiran 3). Selaku UPT Pusat, Kepala Balai bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan. Dalam menjabarkan tugas dan fungsinya untuk mewujudkan konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, Balai TNGP melalui Kepala Balai
26
menerbitkan Surat Keputusan No.28/IV-T.12/2005 tanggal 26 Juli 2006 tentang jabatan dan tugas pegawai lingkup Balai TNGP yang mengatur penempatan petugas sesuai jabatannya baik yang berada di Kantor Balai maupun ke-3 Seksi Konservasi Wilayah. Hal ini mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.355/Kpts-II/2004 buku V tentang uraian tugas dan jabatan dari setiap personil Balai Taman Nasional. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan kawasan serta mengoptimalkan tenaga fungsional yang berada di Balai TNGP, telah diambil kebijakan kelembagaan melalui Surat Keputusan Kepala Balai No. 09/IV-T.12/2005 tentang organisasi, Wilayah Kerja dan Tata Hubungan Kerja, yang memasukkan unsur Resort Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) sebagai satuan terdepan di dalam pengelolaan kawasan. Resort yang telah ditetapkan sebanyak 13 satuan dengan personil sebanyak 4-8 orang yang disesuaikan dengan tingkat permasalahannya. Setiap resort memiliki 2 tugas utama yang harus diemban yaitu tugas kedalam kawasan untuk melakukan patroli rutin, fungsional, gabungan (tugas pengamanan) dan tugas keluar kawasan untuk pembinaan masyarakat, penyuluhan, penggalian permasalahan dan potensi desa sesuai wilayah kerjanya. 4.1.7 Aksesibilitas Aksesibilitas Gunung Gede Pangrango mencakup keseluruhan resort Cibodas. Aksesibilitas seluruh resort disajikan pada Tabel 6.
27
Tabel 6 Jarak dan aksesibilitas kawasan TNGP No
Resort
Lokasi Administratif
Keterangan
1. 2.
Cibodas Gn. Putri
Kabupaten Cianjur Cianjur
Kecamatan Pacet Pacet
Desa Cimacan Sukatani
Jalan Kab. 3/Hotmix 11/Hotmix
3.
Sarongge
Cianjur
Pacet
Ciputri
5/Hotmix
4. 5. 6.
Gedeh Goalpara Selabintana
Cianjur Sukabumi Sukabumi
Wr.Kondang Sukaraja Sukabumi
7/Aspal 10/Aspal 11/Hotmix
7.
Situgunung
Sukabumi
Kadu Dampit
8. 9. 10.
Cimungkat Nagrak Bodogol
Sukabumi Sukabumi Bogor
Kadu Dampit Caringin Cicurug
Bunikasih Langensari Sudajaya Girang Gede Pangrango Cikahuripan Kalaparea Benda Pancawati Citapen Sukagalih
9/Aspal 10/Aspal 11/Aspal
11. Cimande Bogor Caringin 12. Tapos Bogor Ciawi 13. Cisarua Bogor Megamendung Sumber: Statistik Balai TNGP 2006
10/Aspal
Lapangan Golf Masyarakat/ Perhutani Masyarakat/ Perhutani PTP. Gedeh PTP. Gedeh PTP. Goalpara Perhutani
6,5/Aspal 9/Aspal -
PT. Ciguha Perhutani PT. PAP dan Perhutani Masyarakat Masyarakat PTP.Gn.Mas
4.2 KPH Cepu 4.2.1 Letak dan Luas Kawasan Berdasarkan peta geografis, KPH &HSX WHUOHWDN DQWDUD ´-´ BT GDQ ´-´ /S. Secara administratif wilayah KPH Cepu meliputi Kabupaten Blora dan Kebupaten Bojonegoro, dengan luas kawasan sebesar 33.047,3 Ha yang terdiri atas Kabupaten Blora sebesar 27.098,2 Ha dan Kabupaten Bojonegoro sebesar 5.949,1 Ha (keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Tanggal 16 Juni 1952 No.73/Um/52). Secara umum, kawasan hutan Cepu di bagian utara terletak pada pegunungan Kendeng, di bagian barat termasuk ke dalam DAS Lusi, sedangkan di bagian selatan merupakan kawasan penyangga aliran Sungai Bengawan Solo. Adapun batas-batas wilayah KPH Cepu ialah : a. Sebelah Utara
: KPH Kebonharjo, Perum Perhutani Unit I Jateng
b. Sebelah Timur
: KPH Parengan, Perum Perhutani Unit II Jatim
c. Sebelah Selatan
: Sungai Bengawan Solo
d. Sebelah Barat
: KPH Randublatung, Perum Perhutani Unit I Jateng
28
Guna
kegiatan
perencanaan
hutan,
maka
wilayah
hutan
KPH
Cepu
dikelompokkan kedalam 7 (tujuh) bagian hutan (BH) beserta luas arealnya yang tercantum pada Tabel 7. Tabel 7 Pembagian wilayah hutan KPH Cepu No.
Bagian Hutan
Luas areal (Ha)
1.
BH Payaman
3.376,3
2.
BH Cabak
4.506,8
3.
BH Nanas
4.979,7
4.
BH Ledok
4.453,3
5.
BH Kedewan
5.949,1
6.
BH Kedinding
5.007,2
7.
BH Blungun
4.792,9
JUMLAH
33.047,3
Sumber: Sekilas Mengenal KPH Cepu, Perum Perhutani KPH Cepu (2005)
4.2.2 Kondisi Fisik 4.2.2.1 Topografi Keadaan lapangan wilayah KPH Cepu sebagian besar berkonfigurasi datar sampai bergelombang, dan sebagian kecil berbukit yang disela-selanya terdapat mata air yang menjadi sumber air bagi masyarakat sekitar lokasi tersebut, seperti sumber air Kedung Pupur Petak 74 dan Petak 75 BKPH Ledok, sumber air Sendang Jambe petak 78 RPH Nglobo, BKPH Nglobo dan sumber air Banyu Urip yang terdapat di Petak 42 RPH Pasarsore. Adapun ketinggian lokasi dari permukaan laut berkisar 30-250 m dpl. Kondisi lapangan kawasan hutan khususnya bagian hutan KPH Cepu dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Keadaan lapangan bagian hutan di KPH Cepu No
Bagian Hutan
Konfigurasi Lapangan
1.
Payaman
Miring, bergelombang, sedikit berbukit
2.
Cabak
Miring, bergelombang
3.
Nanas
Miring, berbukit, sangat bergelombang
4.
Kedewan
Miring, landai, datar sangat bergelombang
5.
Ledok
Miring, bergelombang sedikit curam di tepi sungai
6.
Kedinding
Miring, landai, sangat bergelombang
7.
Blungun
Datar, sangat berbukit, bergelombang
Sumber: RPKH KPH Cepu Jangka 2003-2012 diacu dalam Aprilia (2006)
29
4.2.2.2 Iklim dan Curah Hujan Iklim wilayah hutan KPH Cepu dan sekitarnya beriklim tropis yang ditandai oleh adanya musim hujan yang bergantian sepanjang tahun. KPH Cepu terletak pada ketinggian 30-250 m dpl, beriklim tipe C dan D menurut Ferguson dan Schmidt. Lingkungan dengan tipe iklim ini sangat cocok untuk ditanami tegakan jenis Jati (Tectona grandis). Temperatur rata-rata yaitu 26ºC dan curah hujan rata-rata sebesar 1.636 mm/tahun. Iklim dan curah hujan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kelembaban udara, dimana kelembaban menentukan perkembangan serangga dalam satu atau lebih fase hidupnya. Data curah hujan dan hari hujan di wilayah hutan Cepu pada tahun 2003-2007 dapat dilihat pada Lampiran 1. 4.2.2.3 Tanah Kawasan hutan KPH Cepu sebagian besar berbatu (kapur) dengan empat jenis tanah, yaitu Litosol, Grumosol, Mediteran dan Aluvial. Jenis tanah yang mendominasi berupa jenis tanah Grumosol kelabu tua dan asosiasi Grumosol coklat keabuan serta kelabu kekuningan. 4.2.3 Kelembagaan KPH Cepu dipimpin oleh seorang Administratur (ADM), dengan dibantu oleh 5 Ajun Administratur. Tiap-tiap Ajun Administratur membawahi bagianbagian yang dikepalai oleh Kepala Sub Seksi dan Kepala Urusan. Struktur pelaksanaan pengelolaan di lapangan, Perum Perhutani KPH Cepu dibagi menjadi 12 BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang dikepalai oleh seorang Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan hutan (KBKPH/Asper) dan 34 orang Kepala setingkat KBKPH/Asper, yaitu 3 orang Kepala TPK dan Kepala Bangun-bangunan (bangunan asset Perhutani). Adapun satuan terkecil unit kerja KPH adalah Resort Pemangkuan Hutan (RPH) yang dipimpin oleh seorang Kepala RPH (KRPH/Mantri), sedangkan terkait kegiatan pengelolaan hutan, KPH Cepu menerapkan pembagian wilayah-wilayah kerja. KPH Cepu terbagi ke dalam 2 Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan (SKPH), yaitu SKPH Cepu Utara dan SKPH Cepu Selatan. Masing-masing SKPH terbagi kedalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH), dengan keseluruhan
30
jumlahnya yaitu 12 BKPH. Jumlah BKPH di KPH Cepu dan luas masing-masing BKPH tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Pembagian wilayah kerja KPH Cepu Sub KPH Cepu Utara BKPH 1.Wonogadung
RPH 1. Nglamping 2. Ketringan 3. Kedungprahu 4. Kemuning 5. Cabak 6. Pengkok 7. Talun 8. Nanas 9. Bleboh 11. Bulak 12. Nglebur 13. Sumberjo
Sub KPH Cepu Selatan Luas BKPH (Ha) 2.410,0
BKPH 7. Ledok
RPH
21. Gianti 22.Gagakan 23. Kejalen 2.Cabak 2.650,5 8. Kendilan 24. Gerdusapi 25. Ngasahan 26. Mejurang 3.Nanas 2.576,9 9. Pasarsore 27. Ngawenan 28. Pasarsore 29.Temengeng 4.Nglebur 2.643,1 10. Nglobo 30. Nglobo 31. Dulang 32. Kaliklampok 33. Jomblang 34. Klopoduwur 5.Kedewan 14. Beji 2.739,8 11. Blungun 35. Payaman 15. Kedewan 36. Ngodo 16. Dandangilo 37. Blungun 6.Sekaran 17. Kawengan 3.208,5 12. Pucung 38. Galuk 18. Ngelo 39. Pucung 19. Sekaran 40. Wadung 20. Kasiman 41. Klompok Luas Sub KPH Cepu Utara 16.239,8 Luas Sub KPH Cepu Selatan Luas total area KPH Cepu = 16.239,8 ha + 16.807,7 ha = 33.407,3 Ha Sumber: Sekilas Mengenal KPH Cepu, Perum Perhutani KPH Cepu (2005)
Luas BKPH (Ha) 2.938,2
2.922,1
2.993,5
2.911,5
2.360,0
2.681,9
16.807,2
31
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil 5.1.1 Metode Yellow-pan Trap 5.1.1.1 Komposisi dan Kelimpahan Serangga pada Habitat Berbeda Data kelimpahan jenis serangga hasil ekstraksi dengan menggunakan metode yellow-pan trap dari tiga tipe habitat yakni hutan alam Gede Pangrango (GP), hutan tanaman jati KU III (C3) dan KU VI (C6) di KPH Cepu tersaji pada Gambar 7. Dari tiga tipe habitat tersebut diperoleh 1326 individu serangga yang terdiri dari 12 ordo dan 106 famili. Komposisi dan kelimpahan serangga terbesar terdapat pada hutan alam (GP) sebanyak 688 individu. Pada hutan tanaman jati kelas umur tua (C6) komposisi dan kelimpahan serangga lebih besar dari hutan tanaman jati kelas umur yang lebih muda (C3) masing-masing 441 individu dan 197 individu.
Kelimpahan (individu)
350
317
300
269
263
GP C3 C6
250 200 150 100 50 0
76
67 102
1710 18 10
2029
23 130 81111
58 26
3242 14 4 100 110 00
Ordo Sumber : Lampiran 2 dan Lampiran 3 Keterangan : GP=Lokasi Gunung Gede Pangrango, C3=Lokasi KU III, C6=Lokasi KU VI
Gambar 7 Kelimpahan serangga berdasarkan ordo yang ditangkap dengan metode yellow-pan trap. Gambar 7 memperlihatkan bahwa komposisi dan kelimpahan total serangga dengan metode yellow-pan trap menunjukkan perbedaan diantara tiga
32
tipe habitat. Di plot GP jumlah individu serangga ada 688 terdiri dari 12 ordo dan 84 famili. Famili Ichneumonidae dari ordo Hymenoptera mendominasi diantara jenis yang lain (Lampiran 2). Gambar famili Ichneumonidae dapat dilihat pada Lampiran 14. Plot hutan tanaman jati kelas umur muda (C3) menunjukkan komposisi dan kelimpahan serangga lebih kecil daripada hutan tanaman jati kelas umur yang lebih tua (C6). Jumlah individu serangga pada C3 sebanyak 197 terdiri dari 9 ordo dan 32 famili. Sedangkan pada C6, jumlah individu jenis serangga sebanyak 441 terdiri dari 40 famili dari 7 ordo. Famili Cicadellidae dari ordo Homoptera mendominasi diantara jenis yang lain (Lampiran 3) gambar famili Cicadellidae dapat dilihat pada Lampiran 14. Hasil uji analisis nilai tengah kelimpahan serangga pada taraf 5% tersaji pada Gambar 8. Dari Gambar 8 memperlihatkan bahwa rata-rata kelimpahan serangga pada lokasi hutan alam GP, hutan tanaman jati C3 dan C6 sama-sama menunjukkan hasil berbeda nyata pada taraf 5%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada
Rata-rata Kelimpahan
lampiran 7. 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
a b c
GP Sumber Keterangan
: :
C3 Lokasi
C6
Lampiran 7 GP=Lokasi Gunung Gede Pangrango, C3=Lokasi KU III, C6=Lokasi KU VI Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%
Gambar 8 Rata-rata kelimpahan serangga pada tiga lokasi penelitian. Pada GP, komposisi jenis serangga disusun oleh ordo Hymenoptera (39%) sebanyak 269 individu; ordo Diptera (38%) sebanyak 263 individu; dan ordo Coleoptera (10%) sebanyak 67 individu. Pada C3, komposisi jenis serangga disusun oleh ordo Homoptera (39%) sebanyak 76 individu; ordo Orthoptera
33
(21%) sebanyak 42 individu; dan ordo Hymenoptera (13%) sebanyak 26 individu, sedangkan pada C6, komposisi jenis serangga disusun oleh ordo Homoptera (72%) sebanyak 317 individu; ordo Hymenoptera (13%) sebanyak 58 individu; dan ordo Diptera (7%) sebanyak 29 individu. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Gambar jenis-jenis serangga dapat dilihat pada Lampiran 14. 5.1.1.2 Keanekaragaman Serangga pada Habitat Berbeda Hasil analisis data kelimpahan indeks keragaman dan kemerataan serangga pada tiga tipe habitat yang diperoleh tersaji pada Tabel 10. Nilai kelimpahan dari indeks keragaman pada plot GP paling tinggi daripada plot yang lain. Tabel 10 Nilai indeks keragaman, indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan serangga dengan metode yellow-pan trap Lokasi Hutan alam Hutan tanaman jati GP C3 C6 +¶ 3,523 2,501 1,443 DMg 12,703 5,868 6,405 0,469 0,434 0,286 E5 Sumber : Lampiran 6 Keterangan : GP=Lokasi Gunung Gede Pangrango, C3=Lokasi KU III, C6=Lokasi KU VI, +¶ LQGHNVNHUDJDman Shannon-Wiener, DMg=indeks kekayaan jenis Margalef dan E5=indeks kemerataan modifikasi +LOO¶VUDWLR Keterangan
a. Indeks Keragaman (Diversity Index) Serangga Hasil analisis pada Tabel 10 diketahui bahwa serangga yang diperoleh pada hutan alam dan hutan jati dengan metode yellow-pan trap mempunyai keanekaragaman jenis serangga yang berbeda. Jumlah individu jenis tertinggi adalah pada hutan alam (GP) dengan nilai keragaman rata-UDWD+¶ VHEHVDU3,523. Nilai keragaman rata-UDWD+¶ SDGDKXWDQ jati kelas umur muda (C3) lebih tinggi GDULQLODL+¶SDGDKXWDQ jati yang lebih tua (C6 GHQJDQQLODL+¶PDVLQJ-masing lokasi adalah sebesar 2,501 (C3) dan 1,443 (C6). b. Indeks Kekayaan (Richness Index) Serangga Tabel 10 memperlihatkan bahwa pada hutan alam dan hutan jati mempunyai kekayaan jenis serangga yang berbeda. Jumlah jenis tertinggi adalah pada hutan alam (GP) dengan nilai kekayaan jenis Margalef (DMg) sebesar 12,703. Jumlah jenis pada hutan jati kelas umur muda (C3) lebih kecil dari jumlah
34
jenis pada hutan jati yang lebih tua (C6), dengan nilai DMg masing-masing lokasi adalah sebesar 5,868 (C3) dan 6,405 (C6). c. Indeks Kemerataan (Evenness Index) Serangga Tidak ada dominasi spesies serangga pada hutan alam (GP) serta hutan jati kelas umur muda (C3) dan hutan jati kelas umur tua (C6), dengan besarnya nilai evenness index (E5) dari masing-masing lokasi yang tidak bernilai nol, yaitu E5=0,469 (GP); E5=0,434 (C3) dan E5=0,286 (C6). Namun, pada C6 cenderung mendekati nol (Tabel 10), artinya ada kelompok serangga yang lebih mendominasi yaitu famili Cicadellidae (Lampiran 3). 5.1.2 Metode Malaise Trap 5.1.2.1 Komposisi dan Kelimpahan Serangga pada Habitat Berbeda Data kelimpahan jenis serangga hasil ekstraksi dengan menggunakan metode malaise trap dari tiga tipe habitat yakni hutan alam Gede Pangrango (GP), hutan jati KU III (C3) dan KU VI (C6) di KPH Cepu tersaji pada Gambar 9. Dari tiga tipe habitat tersebut diperoleh 551 individu serangga yang terdiri dari 9 ordo dan 61 famili. Komposisi dan kelimpahan serangga terbesar terdapat pada hutan alam (GP) sebanyak 208 individu. Pada hutan jati kelas umur tua (C6) komposisi dan kelimpahan serangga lebih besar dari hutan jati kelas umur yang lebih muda
Kelimpahan (individu)
(C3) masing-masing 177 individu dan 166 individu. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
93
64 4745 33
63
22 14 0
2120
12 41 2
39
41 33
GP C3
16 15 20
8
10 00
Ordo Sumber : Lampiran 4 Keterangan : GP=Lokasi Gunung Gede Pangrango, C3=Lokasi KU III, C6=Lokasi KU VI
Gambar 9 Kelimpahan serangga yang ditangkap dengan metode malaise trap.
35
Gambar 9 memperlihatkan bahwa komposisi dan kelimpahan total serangga dengan metode malaise trap menunjukkan perbedaan diantara tiga tipe habitat. Di plot GP jumlah individu serangga ada 208 terdiri dari 8 ordo dan 41 famili. Famili Ichneumonidae dari ordo Hymenoptera mendominasi diantara jenis yang lain (Lampiran 4). Plot hutan tanaman jati kelas umur muda (C3) menunjukkan komposisi dan kelimpahan serangga lebih kecil daripada hutan tanaman jati kelas umur yang lebih tua (C6). Jumlah individu serangga pada C3 sebanyak 166 terdiri dari 7 ordo dan 32 famili. Sedangkan pada C6, jumlah individu jenis serangga sebanyak 177 terdiri dari 28 famili dari 8 ordo. Famili Cicadellidae dari ordo Homoptera mendominasi diantara jenis yang lain (Lampiran 4). Pada GP, komposisi jenis serangga disusun oleh ordo Hymenoptera (45%) sebanyak 93 individu; ordo Diptera (31%) sebanyak 64 individu; dan ordo Collembola (10%) sebanyak 22 individu.. Pada C3, komposisi jenis serangga disusun oleh ordo Homoptera (28%) sebanyak 47 individu; ordo Lepidoptera (25%) sebanyak 41 individu; dan ordo Hymenoptera (23%) sebanyak 39 individu, sedangkan pada C6, komposisi jenis serangga disusun oleh oleh ordo Homoptera (25%) sebanyak 45 individu; ordo Lepidoptera (19%) sebanyak 33 individu; dan ordo Collembola (19%) sebanyak 33 individu. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Sama halnya dengan metode yellow-pan trap pada hutan alam (GP) didominasi oleh serangga famili Ichneumonidae dari ordo Hymenoptera, begitupun pada hutan tanaman jati baik hutan tanaman jati kelas umur muda (C3) maupun kelas umur tua (C6) didominasi oleh serangga famili Cicadellidae dari ordo Homoptera. 5.1.2.2 Keanekaragaman Serangga pada Habitat Berbeda Hasil analisis data kelimpahan indeks keragaman dan kemerataan serangga pada tiga tipe habitat yang diperoleh tersaji pada Tabel 11. Nilai kelimpahan dari indeks keragaman pada plot GP paling tinggi daripada plot yang lain.
36
Tabel 11 Nilai indeks keragaman, indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan serangga dengan metode malaise trap Lokasi Hutan alam Hutan tanaman jati GP C3 C6 +¶ 2,904 2,699 2,673 DMg 7,494 6,064 5,216 E5 0,657 0,532 0,644 Sumber : Lampiran 6 Keterangan : GP=Lokasi Gunung Gede Pangrango, C3=Lokasi KU III, C6=Lokasi KU VI, +¶ LQGHNVNHUDJDPDQ Shannon-Wiener, DMg=indeks kekayaan jenis Margalef dan E5=indeks kemerataan modifikasi +LOO¶Vratio Keterangan
a. Indeks Keragaman (Diversity Index) Serangga Hasil analisis pada Tabel 11 diketahui bahwa serangga yang diperoleh pada hutan alam dan hutan tanaman jati dengan metode malaise trap mempunyai keanekaragaman jenis serangga yang berbeda. Jumlah individu jenis tertinggi adalah pada hutan alam (GP) dengan nilai keragaman rata-UDWD+¶ VHEHVDU2,904. Nilai keragaman rata-UDWD +¶ SDGD KXWDQ tanaman jati kelas umur muda (C3) OHELK UHQGDK GDUL QLODL +¶ SDGD hutan tanaman jati yang lebih tua (C6), dengan niODL+¶PDVLQJ-masing lokasi adalah sebesar 2,699 (C3) dan 2,673 (C6). b. Indeks Kekayaan (Richness Index) Serangga Tabel 11 memperlihatkan bahwa pada hutan alam dan hutan tanaman jati mempunyai kekayaan jenis serangga yang berbeda. Jumlah jenis tertinggi adalah pada hutan alam (GP) dengan nilai kekayaan jenis Margalef (DMg) sebesar 7,494. Jumlah jenis pada hutan tanaman jati kelas umur muda (C3) lebih besar dari jumlah jenis pada hutan tanaman jati yang lebih tua (C6), dengan nilai DMg masing-masing lokasi adalah sebesar 6,064 (C3) dan 5,216 (C6). c. Indeks Kemerataan (Evenness Index) Serangga Tabel 11 menunjukkan bahwa tidak ada dominasi spesies serangga pada hutan alam (GP) serta hutan tanaman jati C3 dan C6, dengan besarnya nilai evenness index (E5) dari masing-masing lokasi yang tidak bernilai nol, yaitu E5=0,657 (GP); E5=0,532 (C3) dan E5=0,644 (C6). 5.1.3 Total Serangga Total serangga yang dimaksud adalah banyaknya serangga yang diperoleh dengan menggunakan metode yellow-pan trap dan malaise trap. Jumlah individu
37
jenis serangga gabungan dari kedua metode tersebut merupakan jumlah individu total serangga. 5.1.3.1 Komposisi dan Kelimpahan Serangga pada Habitat Berbeda Data kelimpahan jenis serangga hasil ekstraksi dengan menggunakan metode yellow-pan trap dan malaise trap dari tiga tipe habitat yakni hutan alam Gede Pangrango (GP), hutan tanaman jati KU III (C3) dan KU VI (C6) di KPH Cepu tersaji pada Gambar 10. Dari tiga tipe habitat tersebut diperoleh 1877 individu serangga yang terdiri dari 12 ordo dan 133 famili. Komposisi dan kelimpahan serangga terbesar terdapat pada hutan alam (GP) sebanyak 896 individu. Pada hutan tanaman jati kelas umur tua (C6) komposisi dan kelimpahan serangga lebih besar dari hutan tanaman jati kelas umur yang lebih muda (C3) masing-masing 618 individu dan 363 individu.
Kelimpahan (individu)
400
362 362 327
350 300
GP C3 C6
250 200 150
123
100 50 0
73 102
40 33 2010 15
6574
4149 130
121223
25
4133 16
110
3442 22
4 010
Ordo Sumber Keterangan
: Lampiran 5 : GP=Lokasi Gunung Gede Pangrango, C3=Lokasi KU III, C6=Lokasi KU VI
Gambar 10 Kelimpahan total serangga di hutan alam dan hutan tanaman jati. Gambar 10 memperlihatkan bahwa komposisi dan kelimpahan total serangga dengan metode yellow-pan trap dan malaise trap menunjukkan perbedaan diantara tiga tipe habitat. Di plot GP jumlah individu serangga ada 896 terdiri dari 12 ordo dan 99 famili. Famili Ichneumonidae dari ordo Hymenoptera mendominasi diantara jenis yang lain (Lampiran 5).
38
Plot hutan tanaman jati kelas umur muda (C3) menunjukkan komposisi dan kelimpahan serangga lebih kecil daripada hutan tanaman jati kelas umur yang lebih tua (C6). Jumlah individu serangga pada C3 sebanyak 363 terdiri dari 10 ordo dan 56 famili. Sedangkan pada C6, jumlah individu jenis serangga sebanyak 618 terdiri dari 57 famili dari 10 ordo. Famili Cicadellidae dari ordo Homoptera mendominasi diantara jenis yang lain (Lampiran 5). Hasil uji analisis nilai tengah kelimpahan serangga pada taraf 5% tersaji pada Gambar 11. Gambar 11 memperlihatkan bahwa rata-rata kelimpahan serangga pada lokasi hutan alam (GP) berbeda dengan kelimpahan serangga pada lokasi hutan tanaman jati C3 dengan hasil nyata pada taraf 5%, sedangkan hubungannya dengan kelimpahan serangga pada lokasi hutan tanaman jati C6 dengan hasilnya tidak nyata pada taraf 5%. Pada lokasi hutan tanaman jati C3 berbeda dengan kelimpahan serangga hutan tanaman jati C6 dengan hasil tidak
Rata-rata Kelimpahan
nyata pada taraf 5%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 7. 350.00 300.00 250.00 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00
a a b b
GP
C3
C6
Lokasi Sumber : Lampiran 7 Keterangan : GP=Lokasi Gunung Gede Pangrango, C3=Lokasi KU III, C6=Lokasi KU VI Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
Gambar 11 Rata-rata kelimpahan serangga pada tiga lokasi penelitian. Pada GP, komposisi jenis serangga disusun oleh ordo Hymenoptera (40%) sebanyak 362 individu; ordo Diptera (37%) sebanyak 327 individu; dan ordo Coleoptera (8%) sebanyak 73 individu. Pada C3, komposisi jenis serangga disusun oleh ordo Homoptera (34%) sebanyak 123 individu; ordo Hymenoptera (18%) sebanyak 65 individu; dan ordo Orthoptera (12%) sebanyak 42 individu, sedangkan pada C6, komposisi jenis serangga disusun oleh ordo Homoptera (59%) sebanyak 362 individu; ordo Hymenoptera (12%) sebanyak 74 individu;
39
dan ordo Diptera (8%) sebanyak 49 individu. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 5. 5.1.3.2 Keanekaragaman Serangga pada Habitat Berbeda Hasil analisis data kelimpahan indeks keragaman dan kemerataan serangga pada tiga tipe habitat yang diperoleh tersaji pada Tabel 12. Nilai kelimpahan dari indeks keragaman pada plot GP paling tinggi daripada plot yang lain. Tabel 12 Nilai indeks keragaman, indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan dari jumlah total serangga yang ditemukan Lokasi Hutan alam Hutan tanaman jati GP C3 C6 +¶ 3,595 2,927 2,085 DMg 14,419 9,331 8,714 0,469 0,363 0,264 E5 Sumber : Lampiran 7 Keterangan : GP=Lokasi Gunung Gede Pangrango, C3=Lokasi KU III, C6=Lokasi KU VI, +¶ LQGeks keragaman Shannon-Wiener, DMg=indeks kekayaan jenis Margalef dan E5=indeks kemerataan modifikasi +LOO¶VUDWLR Keterangan
a. Indeks Keragaman (Diversity Index) Serangga Hasil analisisi pada Tabel 12 diketahui bahwa lokasi jumlah individu jenis serangga pada hutan alam dan hutan tanaman jati adalah berbeda. Hutan alam (GP) mempunyai jumlah individu jenis serangga tertinggi dengan nilai keragaman +¶ VHEHVDU3DGDKXWDQ tanaman jati umur muda (C3) mempunyai jumlah individu jenis serangga lebih tinggi dari jumlah individu jenis serangga pada hutan tanaman jati kelas umur yang lebih tua (C6), dengan nilai keragaman untuk masing-masing lokasi adalah sebesar 2,927 (C3) dan 2,085 (C6). b. Indeks Kekayaan (Richness Index) Serangga Tabel 12 memperlihatkan bahwa jumlah jenis serangga tertinggi adalah pada GP dengan nilai kekayaan jenis Margalef (DMg) sebesar 14,419. Pada hutan tanaman jati C3 mempunyai jumlah jenis serangga lebih tinggi dari jumlah jenis serangga pada hutan tanaman jati C6, nilai DMg masing-masing lokasi adalah sebesar 9,331 (C3) dan 8,714 (C6). c. Indeks Kemerataan (Evenness Index) Serangga Hasil analisis pada Tabel 12 diketahui bahwa dari lokasi GP serta C3 dan C6, serangga yang ditemukan menyebar merata, dengan nilai evenness index yang tidak bernilai nol, yaitu E5=0,469 (GP); E5=0,363 (C3) dan E5=0,264 (C6).
40
5.1.4 Faktor Lingkungan Serangga Keragaman dan kelimpahan serangga secara umum akan ditentukan pula oleh faktor lingkungan. Setiap jenis serangga mempunyai kesesuaian terhadap lingkungan tertentu. Oleh karena itu faktor fisik sangat mempengaruhi. Pengukuran faktor lingkungan yang dilakukan adalah suhu dan kelembaban udara, penutupan tajuk, jumlah pohon, jumlah tumbuhan bawah, keragaman jenis vegetasi baik pohon maupun tumbuhan bawah. Hasil pengukuran faktor lingkungan pada hutan alam (GP) serta hutan tanaman jati C3 dan C6 didapatkan data yang tersaji pada Tabel 13. Tabel 13 Kondisi rata-rata lingkungan pada lokasi Gunung Gede Pangrango serta KPH Cepu Petak 1039 dan Petak 4005 Kondisi lingkungan
Lokasi Hutan tanaman jati C3 C6 28,40 28,40 70,30 71,80 93,40 92,90 39 15 37 120 0,00 0,22 1,93 1,20
Hutan alam GP Suhu (ºC) 21,30 RH (%) 85,90 Penutupan tajuk (canopy closing) (%) 95,00 19 ¦ Pohon (individu) 55 ¦ Tumbuhan bawah (individu) Kelimpahan Jenis Vegetasi: +¶3RKRQ 2,86 +¶WXPEXKDQEDZDK 3,07 Sumber : Lampiran 9, Lampiran 10, Lampiran 11, dan Lampiran 12 Keterangan : GP=Lokasi Gunung Gede Pangrango, C3=Lokasi KU III, C6=Lokasi KU VI, RH=kelembaban udara, ¦ MXPODKGDQ+¶ QLODL indeks keragaman Shannon-Wiener
Tabel 13 menunjukkan bahwa faktor suhu dan kelembaban udara, penutupan tajuk, jumlah pohon, jumlah tumbuhan bawah, diversitas pohon, serta diversitas tumbuhan bawah pada masing-masing lokasi berbeda. Suhu udara pada hutan alam GP lebih rendah daripada hutan tanaman jati C3 dan C6, tajuk pada hutan alam GP lebih tertutup daripada hutan tanaman jati C3 dan C6, sedangkan kelembaban udara, nLODLLQGHNVNHND\DDQ+¶ SRKRQdan bawah tumbuhan hutan alam GP lebih tinggi dari kelembDEDQXGDUD+¶SRKRQGDQWXPEXKDQEDZDKSDGD hutan tanaman jati C3 dan C6. Kondisi lingkungan yang berbeda menyebabkan kelimpahan serangga tiap lokasi juga berbeda. Hasil regresi antara kelimpahan serangga dengan faktor lingkungan, tersaji pada Tabel 14.
41
Tabel 14 Hasil regresi dengan metode stepwise antara kelimpahan serangga dengan metode yellow-pan trap dengan faktor lingkungan (penutupan WDMXNGDQ+¶WXPEXKDQEDZDK
Model Penutupan Regression tajuk Residual Total +¶ Regression tumbuhan Residual bawah Total Sumber : Lampiran 8
df 1 25 26 2 24 26
Fhitung 36,548
48,975
Ftabel (F0,01) F0,01(1,25) = 7,77
Ftabel (F0,05) F0,05(1,25) = 4,24
F0,01(2,24) = 5,61
F0,05(2,24) = 3,40
Sig 0,00
R 0,771
R Square 0,594
0,00
0,896
0,803
Tabel 14 menunjukkan bahwa SHQXWXSDQ WDMXN GDQ +¶ WXPEXKDQ EDZDK merupakan faktor lingkungan yang paling menentukan nilai kelimpahan serangga dibandingkan faktor-faktor lingkungan lain yang di indikasikan oleh nilai Fhitung>Ftabel, yaitu : a. Hubungan kelimpahan serangga dengan penutupan tajuk hubungan yang nyata karena nilai Fhitung = 36,55 > F0,05
menunjukkan
(1,25)
= 4,24 dan
sebesar 59,4% (R Square = 0,594) banyaknya kelimpahan serangga dapat dijelaskan faktor penutupan tajuk, sisanya 40,6% ditentukan oleh faktor-faktor lain yang tidak diperhitungkan. b. Hubungan kelimpahan serangga dengan diversitas tumbuhan bawah menunjukkan hubungan yang nyata karena nilai Fhitung = 48,98 > F0,05 (2,24) = 3,40 dan sebesar 80,3% (R Square = 0,03) banyaknya kelimpahan serangga dapat dijelaskan faktor diversitas tumbuhan bawah, sisanya 19,7% ditentukan oleh faktor-faktor lain yang tidak diperhitungkan. Dari hasil tersebut, diketahui bahwa faktor variasi makanan dan kualitas makanan sangat mempengaruhi keberadaan dari serangga. 5.2 Pembahasan 5.2.1 Komposisi Serangga Komposisi serangga merupakan keseluruhan jenis serangga yang diperoleh pada lokasi penelitian, yaitu pada hutan alam GP serta hutan tanaman jati C3 dan C6. Hasil analisis menunjukkan bahwa komposisi serangga pada hutan alam dan hutan tanaman jati adalah berbeda. Hutan alam memiliki komposisi serangga lebih
42
besar daripada hutan tanaman jati. Perbedaan komposisi jenis serangga antara hutan alam dan hutan tanaman jati disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah sifat serangga itu sendiri (misalnya cara hidup, makan dan berkembang biak) dan faktor lingkungan dari masing-masing habitat. Berdasarkan fakta diantara parameter yang diukur, adanya kelimpahan jenis dipengaruhi oleh kelimpahan jenis vegetasi baik pohon maupun tumbuhan dan iklim mikro. Pada hutan alam kelimpahan jenis vegetasi jauh lebih tinggi daripada hutan tanaman jati, sedangkan suhu paha dutan alam jauh lebih rendah daripada suhu pada hutan tanaman jati. Perbedaan komposisi jenis vegetasi memiliki arti penting dalam penyediaan makanan (serasah) yang jatuh ke lantai hutan. Sehingga semakin melimpah serasah maka semakin melimpah pula individu jenis serangga. Posisi ketinggian dapat menentukan suhu. Terdapat pola penyebaran serangga berdasarkan letak ketinggian sehingga serangga memiliki toleransi terhadap kondisi lingkungan. Perbedaan suhu memiliki arti penting, adanya tajuk dapat memberikan iklim mikro yang lebih nyaman bagi kehidupan serangga sehingga dapat berkembangbiak. Adanya mekanisme penyediaan makanan dan iklim mikro yang menjadikan asumsi bahwa keragaman jenis tumbuhan mempengaruhi keragaman serangga didalamnya. Timbulnya asumsi ini dipertegas pula oleh Strong et al. (1984) yang menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara serangga yang memanfaatkan tanaman sebagai sumber pakan untuk kehidupannya, sehingga semakin tinggi keanekaragaman tumbuhan maka akan semakin tinggi pula hewan pemakan tanaman (herbivora), terutama serangga. Serangga ini memanfaatkan tanaman untuk kelangsungan hidupnya (Borror et al. 1992). Pada hutan jati memiliki jumlah jenis makanan yang ada sangat rendah, dimana didominasi oleh satu jenis pohon jati (Tectona grandis) tetapi jumlah jenis tumbuhan bahwa cukup banyak, walaupun demikian secara keseluruhan ragam jenis vegetasi hutan alam jauh lebih banyak daripada hutan tanaman jati sehingga serangga yang ada pada hutan tanaman jati tidak memiliki banyak pilihan jenis makanan dan hanya serangga tertentu yang dapat bertahan hidup. Keanekaragaman jenis vegetasi menentukan banyaknya penyediaan makanan yang dibutuhkan oleh serangga. Pada hutan alam Gunung Gede
43
Pangrango, kelimpahan serangga tertinggi didominasi oleh ordo Hymenoptera terutama famili Ichneumonidae (Gambar disajikan pada Lampiran 14). Famili Ichneumonidae merupakan sejenis tawon parasitoid larva pada berbagai serangga. Beberapa jenis Ichneumonidae menyerang inang dengan cara memakannya dari luar (ektoparasitoid), jenis lain memakan dari dalam (endoparasitoid). Sebagian besar ordo Hymenoptera merupakan parasitoid yakni serangga yang hidup di dalam atau pada tubuh serangga lain, dan membunuhnya secara pelan-pelan. Parasitoid berguna karena membunuh serangga hama, sedangkan parasit tidak membunuh inangnya, hanya melemahkan (Schowalter 1952). Serangga parasitoid merupakan salah satu indikator yang kuat untuk menjaga kestabilan kelimpahan serangga pada umumnya, karena serangga parasitoid merupakan pengendali populasi. Selain famili Ichneumonidae yang menjadi parasit larva adalah famili Braconidae dan Chalcidoidae. Selain Hymenoptera yang berperan sebagai serangga musuh alami adalah ordo Diptera, Coleoptera dan Hemiptera (Speight 1999). Urutan kedua setelah Hymenoptera adalah ordo Diptera (Gambar disajikan pada Lampiran 14). Kebanyakan Diptera makan berbagai tumbuhan atau cairancairan hewan, seperti nektar, cairan tumbuhan dan darah (Borror et al. 1996). Cara makan dan hidup dari masing-masing jenis ini sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada pada habitat Gunung Gede Pangrango (tersedia sumber pakan). Pada hutan tanaman jati, kelimpahan serangga tertinggi didominasi oleh serangga fitofag yang cenderung akan berfungsi sebagai hama. Banyaknya serangga fitofag mengindikasikan sebagai ekosistem yang labil karena faktor pengendali populasi yang berupa parasit dan predator dalam keadaan minimal. Ketika kelimpahan makanan tersedia maka yang paling cepat mengingkat adalah kelimpahan serangga fitofag. Apabila metode dalam pengekstraksi serangga berbeda maka habitat dan stratanya pun berbeda. Metode yellow-pan trap merupakan metode yang dapat menjaring serangga pada daerah permukaan serasah tanah, sedangkan metode malaise trap dapat menjaring serangga yang letaknya pada permukaan sampaitajuk bagian bawah. Serangga fitofag yang mendominasi pada hutan tanaman jati adalah famili Cicadellidae dari ordo Homoptera dan famili Formicidae. Famili Cicadellidae
44
merupakan serangga herbivor pemakan tanaman lantai hutan. Famili ini dapat menyerang pucuk tanaman, dengan menusuk dan menghisap cairan daun tumbuhan bawah. Jika pucuk sudah habis, serangannya dapat berlanjut ke daun muda dan tua. Kondisi ini sesuai dengan lokasi hutan tanaman jati KPH Cepu yang memiliki banyak tumbuhan bawah sesuai dengan hidupnya serangga Cicadellidae. Famili Cicadellidae lebih banyak ditangkap dengan menggunakan metode yellow-pan trap yakni sebanyak 76 individu (C3) dan 316 individu (C6) dibandingkan dengan menggunakan metode malaise trap yakni sebanyak 46 individu (C3) dan 45 individu (C6). Perbedaan kelimpahan serangga Cicadellidae sesuai dengan penempatan trapping, semakin dekat dengan tumbuhan bawah maka serangga Cicadellidae akan semakin banyak. Maka apabila tumbuhan bawah semakin banyak maka kelimpahan serangga akan semakin tinggi (Lampiran 8). Menurut Suratmo (1974) keragaman jenis serangga dipengaruhi oleh faktor kualitas dan kuantitas makanan, antara lain banyaknya tanaman inang yang cocok, kerapatan tanaman inang, umur tanaman inang dan komposisi tegakan. Atkins (1980) melaporkan bahwa populasi Formicidae tertinggi ditemukan pada daerah hutan hujan tropik. Hutan tanaman jati KPH Cepu merupakan hutan daerah hutan hujan tropik, tingginya populasi famili Formicidae yang ditemukan didaerah ini berarti sesuai dengan temuan Atkins (1980). Selain itu, famili Formicidae (semut) merupakan kelompok Hymenoptera yang umum ditemukan dan menyebar luas (Borror et al. 1996). Ordo lain yang mendominasi kelimpahan serangga pada hutan tanaman jati, antara lain adalah ordo Orthoptera. Ordo Orthoptera merupakan kumpulan serangga yang sangat bervariasi, banyak dari serangga tersebut adalah pemakan tumbuh-tumbuhan dan beberapa adalah hama. Orthoptera ini beberapa ada yang bersifat pemangsa, sedikit pemakan bahan organik yang membusuk dan beberapa sebagai serangga omnivora. Komposisi dan kelimpahan pada hutan tanaman jati kelas umur tua lebih tinggi dari pada hutan tanaman jati kelas umur muda. Tingginya jumlah serangga diduga kondisi hutan tanaman jati kelas umur tua memiliki penutupan tajuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan tanaman jati kelas umur muda. Hasil
45
analisis regresi pada metode yellow-pan trap diperoleh hasil bahwa kelimpahan VHUDQJJD GLSHQJDUXKL ROHK IDNWRU SHQXWXSDQ WDMXN GDQ +¶ WXPEXKDQ EDZDK dengan nilai koefisien korelasi positif (+) (Lampiran 8) artinya apabila tajuk semakin tertutup maka kelimpahan serangga semakin tinggi atau semakin banyak. Penutupan tajuk ini menentukan suhu dan kelembaban udara pada suatu habitat sehingga secara tidak langsung suhu dan kelembaban udara juga berpengaruh terhadap kelimpahan serangga. Pada hutan alam memiliki suhu yang lebih rendah dan lebih lembab dibandingkan dengan hutan tanaman jati sehingga hutan alam memiliki keanekarangan serangga yang lebih tinggi sesuai dengan tempat hidup yang dibutuhkan serangga. Berdasarkan penelitian Wardana (1995) yang dilakukan pada arboretum fahutan, tegakan Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen (Sengon), tegakan Acacia mangium WILLD (Akasia) dan semak-semak. Areal arboretum fahutan ditanami banyak jenis tanaman sehingga dapat dikatakan sebagai ekosistem polikultur, sedangkan areal tegakan sengon dan akasia merupakan ekosistem oligokultur bahkan dapat dikatakan ekosistem monokultur. Dari hasil penelitian diperoleh nilai indeks keragaman jenis serangga pada tiap tipe ekosistem yang tersaji pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai indeks keragaman jenis serangga pada tiap tipe ekosistem Lokasi
Keragaman serangga
Arboretum fahutan
2,934
Tegakan Paraserianthes falcataria
2,921
Tegakan Acacia mangium
2,847
Semak-semak Sumber : Wardana (1995)
2,533
Pada tegakan sejenis (tegakan akasia dan tegakan sengon) keragaman jenis serangga akan kecil meskipun makanan yang tersedia untuk serangga hanya cocok untuk jenis serangga tertentu, sedangkan apabila makanan yang tersedia bermacam jenis, maka keanekaragaman serangga juga semakin besar. Komposisi tanaman yang menjadikan keragaman jenis serangga berbeda. Yang dimaksud disini adalah komposisi umur tegakan yang bervariasi seperti pada arboretum fahutan, maka akan menyebabkan keragaman yang cukup besar. Keragaman yang tinggi disebabkan serangga mempunyai kekhususan pada jenis dan umur tanaman
46
tertentu. Kelimpahan serangga tertinggi adalah ordo Orthoptera karena serangga ini merupakan serangga polifag yang dapat memakan jenis tanaman apa saja, sedangkan kelimpahan serangga terendah adalah ordo Neuroptera. 5.2.2 Kelimpahan, Kekayaan dan Keanekaragaman Serangga Kelimpahan serangga merupakan jumlah total serangga yang diperoleh pada lokasi penelitian digambarkan dengan menggunakan nilai total individu dari masing-masing jenis serangga. Menurut Ludwig dan Reynols (1988) kekayaan jenis (Richness) serangga mengacu pada banyaknya spesies yang ditemukan pada suatu ekosistem. Kekayaan jenis ini dapat diukur dengan menggunakan Richness Index, dimana indeks yang dipakai tidak tergantung pada ukuran sampel melainkan berdasarkan pada hubungan antara jumlah total spesies dalam suatu komunitas (S) dan jumlah total individu yang diamati (N) yang meningkat dengan meningkatkan ukuran sampel, sedangkan menurut Speight dan Wylie (2000) keragaman spesies menggambarkan keberadaan spesies yang terdapat pada suatu wilayah/biotipe tertentu. Keragaman spesies juga dapat dievaluasi dengan cara menghitung index keragaman, yang memiliki keuntungan mengetahui jumlah jenis yang ada, tetapi juga kelimpahan spesies yang berbeda pada suatu populasi. Keanekaragaman jenis terdiri atas dua komponen, yaitu jumlah spesies yang ada, umumnya mengarah kepada kekayaan kepada kekayaan jenis (richness species) dan kelimpahan jenis yang mengarah kepada kesamaan jenis (eveness species). Indeks kekayaan yang digunakan dalam menganalisa kekayaan jenis serangga pada penelitian ini adalah Margalef index. Cara ini digunakan karena perhitungannya lebih mudah dilakukan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada hutan alam Gunung Gede Pangrango mempunyai jumlah jenis serangga tertinggi (DMg=14,419). Kondisi ini didukung oleh faktor-faktor lingkungan yang ada pada habitat hutan alam Gunung Gede Pangrango yang mempunyai jumlah jenis pohon paling tinggi sehingga tersedia berbagai sumber makanan. Indeks keragaman merupakan penyatuan dari spesies richness dan evenness menjadi satu nilai. Indeks keragaman yang dipakai dalam analisis data adalah indeks keragaman Shannon-Wiener +¶ ,QGHNV LQL PHPLOLNL GXD VLIDW yang membuat indeks ini banyak digunakan untuk mengukur keragaman spesies,
47
\DLWX +¶ MLND GDQ KDQ\D MLND DGD VDWX VSHVLHV GL GDODP VDPSHO +¶ maksimum hanya saat semua S (jumlah total spesies dalam komunitas) spesies diwakili oleh jumlah individu yang sama, yang merupakan distribusi kelimpahan yang sempurna (Ludwig dan Reynolds 1988). Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaman jenis serangga tertinggi adalah pada hutan alam Gunung Gede Pangrango. Kondisi ini dipengaruhi oleh banyaknya jumlah individu dari masing-masing jenis serangga yang ditemukan, dimana jumlah individu dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor lingkungan. Indeks kemerataan yang digunakan dalam menganalisa kekayaan jenis serangga pada penelitian ini adalah evenness index. Cara ini digunakan untuk mengetahui apakah penyebaran serangga merata sehingga tidak ada yang mendominasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa spesies serangga yang ditemukan pada hutan alam Gunung Gede Pangrango serta hutan jati C3 dan C6 mempunyai penyebaran serangga yang merata. Penyebarannya ditunjukkan dengan besarnya nilai evenness index dari masing-masing lokasi yang tidak bernilai nol. Kemerataan jenis ini didukung oleh kondisi dari masing-masing habitat (tersedia sumber makanan untuk hidup serangga) dan kondisi serangga itu sendiri (misalnya cara makan dan hidup). Di hutan alam memiliki nilai indeks kemerataan yang lebih tinggi dari hutan tanaman jati, sedangkan nilai indeks kemerataan di hutan jati kelas umur muda memiliki nilai lebih tinggi dari nilai indeks kemerataan di hutan jati kelas umur lebih tua. Perbedaan nilai penyebaran serangga disebabkan pada hutan alam memiliki vegetasi heterogen sehingga serangga juga memiliki kemerataan yang tinggi. Berbeda dengan hutan homogen dengan adanya vegetasi yang mendominasi sehingga terdapat beberapa jenis serangga yang lebih mendominasi. 5.2.3 Faktor Lingkungan Serangga Kehidupan seranggapun sangat bergantung pada habitatnya.
Keadaan
lingkungan hidup mempengaruhi keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis makhluk hidup (biodiversitas) dan sebaliknya keanekaragaman
48
dan
banyaknya
makhluk
hidup
juga
menentukan
keadaan
lingkungan
(Tarumingkeng 1992). Oleh karena itu faktor lingkungan sangat menentukan dan berpengaruh pada perkembangan serangga. Faktor-faktor lingkungan pada suatu habitat memiliki pengaruh yang berbeda pada setiap jenis serangga. Faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara, penutupan tajuk, jumlah pohon, jumlah tumbuhan bawah, diversitas pohon serta diversitas tumbuhan bawah pada masing-masing lokasi berbeda. Faktor suhu dan kelembaban udara diasumsikan berada pada kondisi optimal, sehingga faktor-faktor tersebut tidak diperhitungkan, sedangkan faktor penutupan tajuk, jumlah pohon, jumlah tumbuhan bawah, diversitas pohon serta diversitas tumbuhan bawah diasumsikan berada pada kondisi yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup serangga sehingga dijadikan faktor penentu keberadaan serangga. Dari faktor penutupan tajuk, jumlah pohon, jumlah tumbuhan bawah, diversitas pohon dan diversitas tumbuhan bawah, kemudian dianalisis sehingga diketahui faktor mana yang paling menentukan keberadaan serangga dari faktor-faktor lainnya. Hasil analisis memperlihatkan bahwa dari faktor penutupan tajuk, keanekaragaman jenis vegetasi baik pohon maupun tumbuhan bawah merupakan faktor yang paling menentukan kelimpahan serangga jika dibandingkan dengan faktor jumlah pohon dan jumlah tumbuhan bawah. Keadaan ini menyatakan bahwa faktor makanan adalah faktor penentu kelimpahan serangga. Faktor penentu kelimpahan jenis serangga sesuai dengan yang dikatakan oleh Speight dan Wylie (2000) kekayaan fauna adalah suatu fungsi dari lamanya waktu suatu pohon yang telah tumbuh pada suatu wilayah. Semakin lama koeksistansi yang terjadi antara pohon dengan serangga, maka koevolusi yang kuat akan terjadi yang memungkinkan terbentuknya jumlah spesies yang lebih banyak. Keanekaragaman jenis serangga dapat digunakan sebagai bioindikator kondisi lingkungan hutan atau ekosistem hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman jati. Yang menentukan kelimpahan serangga adalah penutupan tajuk dan keragaman jenis vegetasi.
49
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Nilai keragaman jenis serangga di hutan alam Gunung Gede Pangrango, Resort Cibodas sebesar 3,595 lebih besar daripada di hutan tanaman jati KU III dan KU VI, KPH Cepu sebesar 2,927 dan 2,085. Nilai kekayaan jenis serangga di hutan alam sebesar 14,419 lebih besar daripada di hutan tanaman jati KU III dan KU VI sebesar 9,331 dan 8,714. Nilai kemerataan jenis serangga di hutan alam sebesar 0,469 lebih merata daripada di hutan tanaman jati KU III dan KU VI sebesar 0,363 dan 0,264. 2. Tingkat penutupan tajuk dan keragaman jenis vegetasi lantai hutan merupakan unsur lingkungan yang paling menentukan keragaman dan kelimpahan jenis serangga pada permukaan tanah sampai tajuk bagian bawah. 3. Serangga dapat digunakan sebagai bioindikator kestabilan habitat serangga (kesehatan hutan). 6.2 Saran Hasil penelitian tentang keanekaragaman serangga ini dapat dijadikan sebagai data awal guna mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada keberadaan dan kelimpahan serangga yang ada di hutan terutama pada hutan alam Gunung Gede Pangrango, Resort Cibodas serta hutan tanaman jati KU III dan KU VI sehingga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bioindikator kondisi hutan.
50
DAFTAR PUSTAKA [Bappenas] Badan Pendidikan Nasional. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020. Jakarta: Bappenas. [DEC] Division of Entomology Commonwealth. 1970. The Insect of Australia (A Textbook for Student and Research Workers). Melbourne: Melbourne University Press. [KPH Cepu] Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu. 2005. Sekilas Mengenal KPH Cepu. Jawa Tengah: KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. . 2007. Divisi Hutan: KPH Cepu, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.
Keamanan
[Pusbang-SDH] Pusat Pengembangan Sumberdaya Hutan. 2001. Penetapan Plot Forest Health Monitoring di Wilayah PT. Perhutani: Plot Demo di KPH Cepu. Buletin Pusbanghut Vol. III (3): 191-206. [TNGP] Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. 2004. Perluasan Kawasan TN Gunung Gede Pangrango [peta]. Cianjur: Dephut Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai TN Gunung Gede Pangrango. Skala 1: 2500. . 2006. Statistik Tahun 2006. Cibodas: Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Alexander XA. 1997. Forest Health Monitoring Field Methods Guide (International 1995). USDA Forest Service Research Triangle Park. Aprillia Y. 2006. Evaluasi pengelolaan hutan jati di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Atkins MD. 1980. Introduction to Insect Behavior. New York: MacMillan. Borror DJ, Charles AT, Norman FJ. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect. Boucek Z. 1988. Australasian Chalcidoidea (Hymenoptera): A Biossystematic Revision of Genera of Fourteen Families, with a Reclassification of Species. CAB International Institute of Entomology. British Museum (Natural History). 1974. Insect: Intructions for Collectors No.4a. London: Trustees of the British Museum (Natural History). Daroz R. 1999. Insect and Forest: The Role and Diversity of Insects in The Forest Environtment. Paris: Intercept Ltd.
51
Edwards PJ, Wrotten SD. 1980. Ecology of Insect: Plant Interactions. London: Edward Arnold Evans DA, Medler JT. 1966. Improved method of using yellow-pan trap Aphid traps. Journal of Economic Entomology 59: 1525-1527. Goulet H, John TH. 1993. Hymenoptera of the World: an Identification Guide to Families. Canada: Agriculture Canada. Graham SA. 1952. Forest Entomology. New York: Mc Graw Hill Book Company. Haneda NF. 2004. Insect communities in The Three Different Forest Habitats of Sungai Lalang Forest Reserve with Emphasis on Selected Orders of Insects [tesis]. Malaysia: Doctor of Philosophy, Universiti Putra Malaysia. Harde KW. 1998. A Field Guide in Colour to Beetles. English: Blitz Edition, an Imprint of Bookmart Ltd. Lilies C. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Yogyakarta: Kanisius. Longino JT. 2004. Malaise Samples. /malaise00.html. [25 Desember 2007].
http://viceroy.eeb.uconn.edu/ALAS
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A primer methods and computing. New York: John Wilwy & Sons. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Croom Helm Ltd. Marfuah NT. 2008. Keanekaragaman Arthropoda Tanah di Hutan Alam dan Hutan Tanaman [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. McNaughton SJ, Wolf LL. 1990. Ekologi Umum. Pringgoseputro S, B Srigandono, penerjemah; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: General Ecology. McNeely JA. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati: Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Kusdiyantinah S. Satiyati D, penerjemah; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Economics and Biological Diversity: Developing and Using Economic Incentives to Conserve Biological Resources. Obrycki J, Mahr S. 2000. Insect notes #37. http://www.entomology. wisc.edu/mbcn/fea204.html [25 Desember 2007]. Partosoedjono S. 1985. Mengenal Serangga. Bogor: Agromedia.
52
Rudnitski SM. 1981. Manual of Nearctic Diptera. Canada: Minister of Supply and Service. Ruslan H, Noor FH. 2007. Fluktuasi Kelimpahan dan Keragaman Serangga Permukaan Tanah di Pinggir Sungai Ciliwung, Jakarta [abstrak]. Di dalam: Kongres VII dan Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI); Denpasar 25-27 Jul 2007. Denpasar: PEI. Samways MJ. 1994. Insect Conservation Biology. New York: Chapman and Hall. __________. 2005. Insect Conservation Biology. Cambridge: The Press Syndicate of The University of Cambridge. Schowalter TD. 1952. Insect Ecology: An Ecosystem Approach. Canada: Academic Press. Southwood TRE. 1971. Ecological Methods: With Particular Reference to The Study of Insect Populations. London: Chapman and Hall Ltd. Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 1999. Ecology of Insect: Concept and Applications. Oxford: Blackweel Science. Speight MR, Wylie FR. 2000. Insect Pest in Tropical Forestry. CABI. Strong DR, Lawton JH, Southwood R. 1984. Insect and Plant. Boston: Harvard University Press. Supriyanto, Kenneth S, Soekotjo, Gintings AN. 2001. Forest Health Monitoring Plot Establishment. Volume ke-1, Forest Health Monitoring to Monitor the Suatainability of Indonesian ropical Rain Forest. Bogor: SEAMEO BIOTROP. Suratmo FG. 1974. Hama Hutan di Indonesia. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. Bogor: Fakultas Kehutanan, IPB. Tarumingkeng RC. 1992. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor: Pusat Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. ______________. 2001. Serangga dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. http://tumoutou.net/SERANGGA_LINGK.htm [10 Mei 2008]. Wage J, Greathead D. 1986. Insect Parasitoid. London: Academic Press. Wardana EA. 1995. Inventarisasi dan Deskripsi Jenis-jenis Serangga Di Kampus IPB Darmaga (Arboretum Fahutan, Tegakan Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen, Tegakan Acacia mangium WILLD dan Semak-semak) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Wikipedia. 2008. Serangga. http://id.wikipedia.org/wiki/Serangga.htm [15 Maret 2008].
53
LAMPIRAN
2004
Tahun 2005 Hari hujan 7 13 13 13 1 5 2 2 10 6 18 90
CH Hari CH Hari CH CH (mm) hujan (mm) hujan (mm) (mm) Januari 105 5 195 10 160 250 Februari 360 16 175 13 190 365 Maret 120 11 395 19 260 170 April 230 10 90 6 225 125 Mei 185 7 155 9 5 170 Juni 5 1 35 1 125 45 Juli 80 1 Agustus 10 1 25 September 10 1 10 1 25 10 Oktober 80 6 20 2 325 20 November 385 15 175 8 170 15 Desember 295 15 185 9 455 235 Jumlah 1785 88 1515 79 1965 1405 Catatan : Bulan Juli-Desember tahun 2007 belum terukur Sumber : Statsiun Pengukuran Curah Hujan Kecamatan Cabak Kabupaten Blora Keterangan : CH= Curah hujan
Bulan
2003 Hari hujan 13 18 10 9 8 2 1 2 3 6 72
2006
Lampiran 1 Data curah hujan Kecamatan Cabak Kabupaten Blora tahun 2003-2007
CH (mm) 155 204 168 358 40 159 1084
Hari hujan 7 11 10 17 4 9 58
2007
Hari hujan rata-rata 8 14 13 11 6 4 0 1 1 4 6 10 78
CH Ratarata/Thn (mm) 173 259 223 206 111 74 16 7 11 89 149 234 1551
54
55
Lampiran 2 Kelimpahan serangga pada hutan alam dengan metode yellow-pan trap Taksa Ordo
Famili
Blattaria Coleoptera
Blattidae Anthicidae Chrysomelidae Elateridae Hydrophilidae Issidae Mordelidae Nitidulidae Scarabaeidae Scirtidae Staphylinidae Entomobryidae Paronellidae Agromyzidae Anisopodidae Aphidadae Calliphoridae Cecidomyiidae Ceratopogonidae Chamaemyiidae Coleopidae Culicidae Curtonotidae Diastricidae Dolichopodidae Drosophilidae Empididae Heleomyzidae Hippoboscidae Milichiidae Mycetophilidae Otitidae Phoridae Psychodidae Sarcophagidae Sciaridae Sciomyzidae Sphaeroceridae Statiomyidae Tachinidae Tephritidae Tipulidae Trichoceridae D.sp Grylloblattidae Aphrophoridae Cydnidae Lygaeidae Cercopidae Cicadellidae Cicadidae Cixiidae Typlocybinae
Collembola Diptera
Grylloblattaria Hemiptera
Homoptera
GP1.1 1 1 5 3 1 1 1 1 1 3 1 5 1 5 13 4 1 1 -
GP1.2 1 6 1 2 8 2 2 4 1 1 2 11 2 4 1 1 1 -
GP1.3 1 3 1 1 5 2 7 2 1 1 10 1 1 1 -
GP2.1 2 1 1 2 3 1 8 1 6 1 2 4 1 1 2 1 2 2
Kelimpahan GP- GP- GP2.2 2.3 3.1 1 3 1 1 1 1 1 1 1 3 1 1 1 3 6 1 2 2 3 2 3 1 2 1 2 1 1 1 1 5 4 2 2 4 2 1 2 2 1 3 3 4 1 4 5 3 1 2 11 2 1 1 2 1 4 2 2 -
GP3.2 1 2 5 1 1 1 3 5 1 3 4 5 1 1 1 1 4 1 -
GP3.3 1 1 1 11 5 1 1 3 1 3 4 2 1 2 -
GPT 1 1 5 1 1 2 6 2 18 2 29 15 3 9 1 2 4 1 1 1 1 8 12 2 32 10 12 26 3 1 4 3 32 3 7 33 1 42 2 1 2 4 2 1 1 4 1 3 3 16 1 1 2
56
Lampiran 2 (Lanjutan) Taksa
Kelimpahan GP- GP- GP- GP- GP- GP- GP- GP- GP- GPOrdo Famili T 1.1 1.2 1.3 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3 Hymenoptera Aphelinidae 1 1 Braconidae 3 2 1 3 9 7 3 1 12 Branchinidae 1 Chalcidoidae 2 2 2 2 3 11 Diapriidae 1 1 2 Eucharitidae 1 1 Eulophidae 1 1 2 1 2 1 1 10 Evaniidae 3 Figitidae 1 3 4 8 Formicidae 2 4 4 2 1 5 1 2 1 22 Halictidae 1 1 Ichneumonidae 31 12 18 4 12 10 21 9 23 140 Muscidae 1 2 6 9 5 Mymaridae 2 3 Mymarommatidae 2 2 3 7 Pompilidae 3 1 4 Roganidae 1 1 Scelionidae 3 1 4 1 1 2 12 Sphecidae 4 4 1 1 Tetracampidae Therevidae 1 1 Tiphiidae 3 1 3 7 Lepidoptera Phyralidae 1 1 Neuroptera Sisyridae 1 1 Orthoptera Gryllacrididae 2 4 6 10 1 3 1 19 Gryllidae 4 Tetrigidae 1 1 Tridactylidae 2 1 3 6 Psocoptera Psyllidae 1 1 2 P1 1 1 1 1 P3 Total 108 72 81 59 83 58 85 71 71 688 Keterangan: GP = lokasi hutan alam Gunung Gede Pangrango; T=Total individu; 1.2 artinya yellow-pan trap pada hole 1, ulangan ke-2, dst
Blattidae Carabidae Chrysomelidae Coccinelidae Dermestidae Dytiscidae Scolytidae Staphylinidae Paronellidae Calliphoridae Chamaemyiidae Chloropidae Coleopidae Culicidae Dolichopodidae Drosophilidae Micropezidae Phoridae Sarcophagidae Sciaridae Statiomyidae Syrphidae Tachinidae Tephritidae Grylloblattidae Alydidae Delphaeidae Dictyopharidae
Blattaria Coleoptera
Grylloblattaria Hemiptera
Collembola Diptera
Famili
Ordo
Taksa C31.1 1 1 1 1 -
C31.2 1 1 1 3 -
C31.3 1 -
C32.1 2 -
C32.2 1 1 2 -
C32.3 2 1 1 1 5 -
C33.1 1 1 1 1 1 1 1 -
C33.2 1 1 1 1 2 1 -
C33.3 1 3 1 -
Kelimpahan C3- C6- C61.1 1.2 T 6 1 1 6 3 1 1 1 1 1 3 1 1 10 1 2 1 1 3 2 3 -
Lampiran 3 Kelimpahan serangga pada hutan tanaman jati dengan metode yellow-pan trap C61.3 1 2 3 -
C62.1 1 3 1 -
C62.2 1 2 1 1 1
C62.3 1 1 1 -
C63.1 5 1 1 1 -
C63.2 1 1 1 1 1 1 -
1 1 -
C63.3 1 3 -
57
C6T 2 2 2 1 5 15 1 1 1 3 1 1 2 1 1 1 1 1 1
C3Ordo Famili 1.1 Hemiptera Lygaeidae Membracidae Nogodinidae Reduviidae Ricaniidae Homoptera Cicadellidae 17 Fulgoridae Hymenoptera Aphidae Braconidae Diapriidae Evaniidae Figitidae Formicidae 2 Ichneumonidae Mutilidae Muscidae Scelionidae 1 Sphecidae Neuroptera Coniopterygidae Orthoptera Acridiidae 2 Gryllidae Rhaphidophoridae Tetrigidae 1 Tettigonidae Tridactylidae 1 Total 28 Keterangan : C3=lokasi KPH Cepu KU III ulangan ke-2, dst
Taksa
Lampiran 3 (Lanjutan) C3- C3- C3- C31.2 1.3 2.1 2.2 2 1 4 9 8 8 4 1 1 4 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 7 1 1 2 4 14 21 20 27 (Petak 1039); C6=lokasi
C32.3 1 15 3 1 30 KPH
C33.1 4 1 1 1 1 2 2 1 20 Cepu
Kelimpahan C3- C3- C3- C6- C61.1 1.2 3.2 3.3 T 1 4 1 1 1 1 1 6 5 76 19 20 2 6 1 1 3 1 12 2 4 2 1 2 2 1 2 1 1 1 9 1 2 2 14 3 3 17 22 15 197 25 35 KU VI (Petak 4005); T=Total
C6- C6- C6- C6- C6- C6- C6- C61.3 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3 T 1 1 1 3 1 1 3 1 1 1 31 27 50 28 63 37 41 316 1 1 1 2 1 1 1 1 2 2 3 5 2 4 2 5 27 1 1 1 1 5 1 1 2 6 3 3 2 1 17 1 2 3 1 6 1 2 3 1 1 2 1 1 50 44 63 41 82 48 53 441 individu; 1.2 artinya yellow-pan trap pada hole 1,
58
59
Lampiran 4 Kelimpahan serangga dengan metode malaise trap Taksa Ordo
Famili
Coleoptera
Anthicidae Buprestidae Curculionidae Dermestidae Nitidulidae Scaphidiidae Scarabaeidae Entomobryidae Paronellidae Apioceridae Asilidae Calliphoridae Cecidomyiidae Chamaemyiidae Conopidae Culicidae Dolichopodidae Ephydridae Empididae Muscidae Mycetophilidae Phoridae Sciaridae Statiomyidae Tachinidae Tipulidae Issidae Lygaeidae Miridae Nogodinidae Cicadellidae Ho.sp Aphidae Braconidae Diapriidae Evaniidae Figitidae Formicidae Ichneumonidae Pompilidae Scelionidae Flatidae Lycaenidae Lymantridae Nymphalidae Phyralidae Satyridae L1* L2* L3* L4* L5*
Collembola Diptera
Hemiptera
Homoptera Hymenoptera
Lepidoptera
Hutan alam GP- GP- GP1 2 3 1 1 1 1 1 1 14 2 6 1 1 2 1 1 10 6 2 1 2 17 10 3 1 2 2 2 2 1 1 1 1 18 2 1 1 1 1 4 1 12 10 3 24 3 4 2 6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
GPT 2 1 1 1 1 16 6 1 1 2 1 1 18 3 30 1 2 4 2 1 1 2 21 2 1 5 25 31 2 6 3 1 1 2 2 1 2
Kelimpahan Hutan tanaman jati C3- C3- C3- C3- C6- C63 T 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 9 9 9 4 5 5 12 2 1 2 1 1 2 3 2 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 3 5 1 4 4 13 1 1 1 1 1 11 1 1 11 9 26 46 19 15 1 1 7 7 1 8 22 30 1 1 1 2 1 1 1 1 6 6 2 2 1 3 3 3 1 1 1 5 6 7 7 6 2 5 5 3 3 3 2 4 4 6 -
C63 6 1 1 1 1 11 1 13 3 2 -
C6T 19 14 1 1 1 1 15 1 1 11 45 1 1 14 2 3 10 3 2 6