Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
KEAMANAN PRODUK PANGAN HEWANI DI INDONESIA Roy
SPARRINGA
Kementerian Negara Riset dan Teknologi Gedung BPPT II, Lantai 8, MH Thamrin No 8, Jakarta 10340 Tel: 0213169292, Fax : 0213102014 E mail:
[email protected]. id, r sparringa(a,)yahoo. co. uk
ABSTRACT The safety levels of foods of animal origin in Indonesia are briefly discussed and critically reviewed . The Government of Indonesia is improving the food safety system throughout the food chain . The ultimate goal is to strengthen the food safety. It seems that it is difficult to achieve this goal without knowing the baseline of the food safety measures in Indonesia. "We should know where we are going explicitly before we get moving" . The magnitude and the consequences of foodborne diseases (FBD) in Indonesia remain underestimated. Reliable statistics on food safety indicators, FBD including cases and outbreaks are lacking and their magnitude is therefore difficult to estimate and their importance as a health problem is often disregarded and resulting health economic consequences are not fully appreciated . The aims of this paper were to discuss food safety concerns in foods of animal origin and its situation in Indonesia including the importance of risk assessment as a management tool for food safety programme . The Government of Indonesia, such as National Agency for Drug and Food Control Republic of Indonesia (Badan POM) monitors food safety in production and distribution points on regular basis . Unfortunately, the major focus of the monitoring programme is hazard identification of illegal additives and some food additives in processed foods . Food contaminant data are lacking, whilst other agencies conduct fragmented surveys with limited sample number and consistency . Major data collected are for compliance purposes dominated by qualitative data . To manage the food safety risk, the prevalence and level of hazard should be monitored . In turn, the safety of food intakes can be estimated for general population and specific target group. It is concluded that lack or absence of important data in food safety is an indication of poor food safety management neglecting risk-based policy . It is recommended that the integrated food safety system (IFSS) in Indonesia throughout the whole food chain should be strengthened, developed, and implemented nationally, regionally, locally as a part of National Food Security Programmes . Indonesia should start to encourage implementing of IFSS consistently with serious commitment of all stakeholders . Given the lack of data in respect of many aspects of food safety concerns, a food safety risk assessment network should be established which will be supported by integrated surveillance units of stakeholders and related research institutions to characterize the risk . The outputs of the risk assessments are utilized to manage the food safety programme in Indonesia . The role of research institutions including universities on the food safety programme is lacking at the present time . State Ministry of Research and Technology, the Republic of Indonesia should take a lead to coordinate research activities and provide research policies in line with the national needs, such as strengthening risk assessment network . Keywords : Food safety, foods of animal origin, integrated food safety system, food monitoring data, risk assessment, risk assessment network
55
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
PENDAHULUAN Seberapa amankah produk pangan hewvani di indonesia? . Pangan hewani umumnya tergolong pangan berisiko, karena kandungan gizinya sangat baik bagi pertumbuhan patogen jika didukung oleh kondisi pangan/lingkungan yang sesuai, misalnya suhu, pH dan kadar air dan aw . Pemantauan keamanan pangan hewani di Indonesia masih sangat lemah dan jika dibandingkan dengan masalah keamanan global, hanya sebagian kecil saja yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga yang terkait dengan keamanan pangan . Misalnya untuk data mikrobiologi, informasi keamanan daging di Indonesia umumnya hanya terbatas pada angka lempeng total (ALT), Escherichia coli, coliform, Salmonella dan Staphylococcus aureus . Sedangkan ditingkat global banyak data-data keamanan pangan termasuk emerging pathogen seperti Aeromonas hydrophila, Campylobacter, Escherichia coli (Pathogenic), Listeria monocytogenes, dan Yersinia. Tidak ada suatu makanan yang mutlak aman terbebas dari semua bahaya . Suatu makanan dianggap aman jika tingkatan suatu bahaya masih dibawah karakteristik bahaya dari bahan tersebut menurut peruntukannya . Umumnya bahaya kimia bersifat kronis sedangkan bahaya biologis bersifat akut. Banyak makanan yang sebenarnya tidak aman karena melebih batas aman dari suatu kandungan bahan kimia berbahaya, misalnya melebihi ADI (Acceptable dietary intake) atau melebihi PTDI (Provisional tolerable daily intake) yang tidak diketahui oleh masyarakat . Dampaknya mungkin akan diketahui setelah beberapa tahun terpapar pangan yang terkontaminasi oleh pestisida, logam berat dan kontaminan lainnya . Terkadang bahan kimia berbahaya ini dapat saja menimbulkan reaksi akut, jika asupannya melebihi dosis akutnya (Acute reference dose) . Misalnya seseorang yang selalu mengkonsumsi ikan dengan kandungan endosulfan lebih dari 0 .006 mg/kg berat badan akan bermasalah setelah beberapa tahun, sedangkan jika orang tersebut mengkonsumsi 0 .02 mg/kg berat badan (CAC, 2004), maka akan ada reaksi keracunan akut . Agensia biologis misalnya patogen Campylobacter jejuni yang sering mengkontainasi produk unggas akan menimbulkan sakit setelah
56
seseorang mengkonsumsi 500 sel saja, sebaliknya Vibrio cholerae yang sering dilaporkan mengkontaminasi produk perikanan/air sebanyak satu juta sel barn menyebabkan sakit seseorang (FoRsYTHE, 2004) . Inspektur pangan (food inspector) selama ini umumnya melihat kesesuaian dengan peraturan yang berlaku, misalnya level maksimum suatu agensia (misalnya pestisida) tidak boleh lebih dari batas maksimum residu (BMR) . Jika peraturan ini dibuat dengan cermat, maka kegiatan inspeksi ini sangat besar manfaatnya . Asumsinya adalah level tersebut sudah memperhitungkan tingkat konsumsi pangan masyarakat tersebut, sehingga jika dikalkulasi, paparan bahan yang dikaji tersebut masih dibawah level amannya (ADI/PTDI). Selama ini Indonesia banyak mengadopsi Codex untuk diterapkan sebagai peraturan pangan nasional, misalnya BMR atau level maksimum kontaminan/ bahan tambahan pangan . Hal ini belum tentu sesuai dengan situasi di Indonesia, karena pola konsumsi penduduk Indonesia dapat berbeda, sehingga peraturan dalam Codex belum tentu cocok . Untuk membuat suatu standar keamanan pangan, suatu kajian risiko sangat diperlukan dengan dukungan program surveilan yang handal . Keamanan pangan merupakan bagian yang seharusnya tak terpisahkan dari program ketahanan pangan . Sayangnya banyak program ketahanan pangan yang tersedia saat ini masih menitikberatkan masalah ketersediaan, stabilitas, keterjangkauan dan penggunaan pangan, serta belum banyak mengkaitkan program keamanan pangan kedalam program ketahanan pangan nasional . Secara singkat dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tidak diketahui tingkat keamanan hewani di Indonesia. Informasi yang mungkin tersedia adalah apakah produk pangan hewani memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh peraturan . Informasi inipun juga masih terbatas serta sangat sulit diakses oleh publik. Tujuan tulisan ini adalah untuk mendiskusikan masalah keamanan pangan hewani dan situasinya di Indonesia termasuk tantangan untuk menggalang kerjasama dalam kajian risiko agar dapat digunakan oleh pemegang kebijakan dalam mengelola progam keamanan pangan di Indonesia .
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
SISTEM KEAMANAN PANGAN DAN APLIKASINYA DI INDONESIA Ada tiga generasi sistem keamanan pangan yang telah dikembangkan dan diterima secara global selama ini yaitu (i) praktek higiene yang baik, (ii) HACCP (Hazard analysis and critical control points) yang mengidentifikasi dan mengendalian bahaya secara proaktif, serta (iii) analisis risiko yang memfokuskan konsekuensi yang akan timbul akibat praktek dan konsumsi bahan berbahaya (kimia, biologis dan fisika) dalam pangan disepanjang rantai pangan . Ketiga generasi sistem keamanan pangan ini telah terintegrasi dalam peraturan/regulasi keamanan pangan dunia . Sistem keamanan pangan tradisional Sistem keamanan pangan tradisional umumnya masih tergolong dalam sistem keamanan pangan generasi satu yang didasarkan pada metode jaminan keamanan pangan dengan dua macam tindakan, yaitu : (1) tindakan yang dilakukan selama pemerolehan bahan baku, penanganan, pengolahan, transportasi, dan distribusi, termasuk disain, tata letak, dan pembersihan tempat untuk mencegah kontaminasi ; dan (2) tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa pangan yang diproduksi benar-benar aman dikonsumsi . Langkah yang pertama biasanya diuraikan dalam pedoman, misalnya Cara produksi pangan yang baik (GMP) dan/atau Praktek higiene yang Baik. Untuk tindakan yang kedua, produsen/industri pangan menguji produk akhir untuk memastikan keamanannya. Petugas inspeksi yang berwenang memfokuskan pengamatan fisik, seperti kebersihan tempat, petugas yang menangani pangan, kesehatan lingkungan dan tidak mengidentifikasi kekurangan yang berkaitan dengan proses produksi . Metode jaminan keamanan pangan dan pengawasan pangan yang tradisional ini memiliki sejumlah kelemahan . Pengawasan tempat didasarkan pada inspeksi acak dan bukan pada apa yang terjadi selama selang waktu sebelum atau setelah inspeksi . Pengujian produk akhir yang dilakukan industri atau pengawas pangan juga terbukti mahal dan memakan waktu namun tidak cukup memberikan jaminan keamanan pangan secara memadai . Sebagian besar negara
berkembang telah memiliki semacam sistem pengawasan pangan yang baik, biasanya didasarkan pada higiene dan inspeksi (MoNT.a MI, 2002 ; CAC, 2003a ; dan FAO, 2006) . Namun perlu dicatat bahwa Indonesia belum sepenuhnya menerapkannya . Setiap pangan misalnya harus mempunyai GAP (Good agricultural practices) dan GMP (Good manufacturingpractices) tersendiri dan di Indonesia hal inibelum sepenuhnyatersedia . Petugas inspektur pangan juga tidak memadai dalam jumlah maupun kualifikasi yang dibutuhkan . Dengan keterbatasan pendekatan secara tradisional di atas, petugas berwenang dalam kesehatan masyarakat/pengawas pangan dan industri pangan perlu menerapkan suatu pendekatan jaminan keamanan pangan yang lebih bersifat pencegahan, ilmiah, dan hemat, yaitu sistem HACCP. Analisis bahaya dan titik-titik kendali kritis HACCP adalah singkatan dari Hazard analysis critical control points, yang berarti pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan bahaya yang penting untuk keamanan pangan . Hal ini berarti HACCP adalah alat mengkaji bahaya dan mengembangkan sistem pengendalian dimana keterlibatan pekerja di jalur produksi hingga manajer bekerja secara interaktif . Fokusnya adalah pencegahan masalah yang terjadi . Aplikasi sistem HACCP dapat lebih memperkuat keamanan pangan dengan menyediakan suatu mekanisme untuk menganalisis bahaya pada setiap pangan atau tahapan proses, mengembangkan rencana yang sesuai untuk menjamin keamanan pangan dengan penekanan pada pengendalian titiktitik kritis (CCPs), dan memastikan bahwa batas kritis pada titik-titik tersebut ini diketahui, dan sebagai hasilnya tingkat jaminan keamanan pangan meningkat . HACCP dapat diimplementasikan di sepanjang rantai pangan sejak produksi primer hingga konsumsi akhir. Sistem HACCP dapat mengakomodasi perubahan, seperti perubahan atau kemajuan dalam hal disain alat, konstruksi bangunan, prosedur proses atau pengembangan teknologi . Selain meningkatkan keamanan pangan, implementasi HACCP dapat memberi keuntungan
57
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
signifikan, seperti membantu inspeksi oleh petugas berwenang terhadap titik-titik kritis yang jika tidak dikendalikan akan menimbulkan dampak yang buruk terhadap kesehatan . Sehingga hal ini akan mempermudah pekerjaan inspektur pangan walaupun dengan sumberdaya yang mungkin terbatas (MoNT.vziEMi, 2002 ; CAC, 2003a; CAC, 2003b ; dan FAO, 2006) . Seperti halnya GMP, HACCP umumnya masih bersifat sukarela di Indonesia, kecuali untuk produk pangan berisiko tinggi dan untuk keperluan ekspor pangan tertentu misalnya produk perikanan . Industri pangan di Indonesia umumnya masih sulit menerapkan HACCP, karena prasyarat penerapan HACCP banyak yang belum terpenuhi . Analisis risiko Salah satu fungsi penting pemerintah adalah melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin pasokan pangan yang aman dan bergizi bagi masyarakat . Hal ini bukanlah perkara mudah, karena untuk pengembangan dan implementasi sistem pengawasan harus memenuhi persyaratan keamanan pangan . Jelas sekali bahwa pangan yang beredar harus dalam level aman, tapi kondisi sepanjang rantai pangan, misalnya mutu dan keamanan bahan pangan, pengolahan, kebiasaan makan, dan konsumen mungkin berbeda . Oleh karena itulah analisis risiko diperkenalkan sebagai alat untuk mengatasi kerumitan atas perbedaan tersebut . Konsepnya memang masih terus dikembangkan, tapi sementara ini direkomendasikan oleh WHO dan FAO untuk digunakan oleh Pemerintah dalam menghadapi isu keamanan pangan, memprioritaskan program keamanan pangan, dan untuk menciptakan kebijakan yang lebih terbuka untuk komunikasi dengan stakeholder (FORSYTHE, 2002 ; FAO-ICDWHO, 2006) . Analisis risiko menggambarkan suatu proses pengambilan keputusan terstruktur dengan tiga komponen berbeda tetapi berkaitan erat, yaitu (i) manajemen risiko, (ii) kajian risiko, dan (iii) komunikasi risiko (Gambar 1) . Tiga komponen utama analisis risiko seperti didefinisikan oleh Codex adalah sebagai berikut . Kajian risiko
58
adalah suatu proses ilmiah yang terdiri dari langkah-langkah berikut : i) identifikasi bahaya ; ii) karakterisasi bahaya ; iii) kajian paparan; and iv) karakterisasi risiko . Manajemen risiko adalah proses yang terpisah dari kajian risiko yang meliputi pembuatan kebijakan dengan mempertimbangkan alternatif kebijakan melalui konsultasi dengan pihak-pihak terkait, mengenai kajian risiko dan faktor lain yang relevan untuk melindungi kesehatan konsumen dan mempromosikan praktek perdagangan yang adil, dan, jika dibutuhkan, memilih opsi pencegahan dan pengendalian yang sesuai untuk menanggulangi risiko . Komunikasi risiko adalah pertukaran informasi dan opini secara interaktif dalam pelaksanaan proses analisis risiko mengenai risiko, faktor yang berkaitan dengan risiko, dan persepsi risiko, antara pengkaji risiko, manajer risiko, konsumen, industri, akademisi, dan pihak yang tertarik lainnya, termasuk penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian risiko dan landasan keputusan manajemen risiko . Fakta-fakta komunikasi risiko yang penting adalah sebagai berikut : (i) selalu ada dalam proses analisis risiko ; (ii) semua stakeholder terlibat dalam proses mi ; (iii) memberikan landasan yang baik untuk memahami dan mengimplementasikan keputusan manajemen risiko ; (iv) mengerti persepsi masyarakat akan risiko ; (v) memberikan informasi akurat pada saat yang tepat ; dan (vi) komunikasi tidak hanya mengkomunikasikan risiko, namun merupakan suatu proses selama krisis dan untuk menginformasikan keputusan manajemen . Ketiga komponen tersebut sangat penting, sebagai bagian yang saling melengkapi pada keseluruhan disiplin . Walaupun gambar tersebut menunjukkan ketiga komponen sebagai bagian yang terpisah, pada kenyataannya mereka sangat terintegrasi. Dalam proses analisis risiko keamanan pangan yang khas, hampir seluruh interaksi diantara manajer risiko dan pengkaji risiko terjadi terus menerus di dalam suatu lingkungan yang digolongkan dengan komunikasi risiko . Analisis risiko akan efektif ketika ketiga komponen tersebut terintegrasi dan terkoodinasi dengan baik oleh manajer risiko .
Seminar Nasional Hari Pangan SeduniaXXVII Dukungan Teknologi UntukMeningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
Gambar 1 . Kerangka analisis risiko komunikasi risiko kajian risiko manajemen risiko Di Indonesia konsep penerapaan analisis risiko telah dibuat dengan adanya Sistem keamanan terpadu (SKPT) dan telah dicanangkan oleh Menko Kesra Indonesia pada 13 Mei 2004 . Namun aplikasi dari sistem ini belum terlaksana dengan sepenuhnya . Pelaksanaan program keamanan pangan masih banyak yang belum terintegrasi . Ada tiga jejaring yang dikembangkan dalam SKPT ini yaitu Jejaring intelijen pangan (J1P) yang didasarkan konsep kajian risiko ; Jejaring pengawasan pangan (JPP) yang didasarkan manajemen risiko ; serta Jejaring promosi keamanan pangan (JPKP) yang didasarkan prinsip komunikasi risiko (Gambar 2) . SKPT didesain agar mampu memperbaiki komunikasi antar stakeholder, membagi pengetahuan dan meningkatkan keamanan pangan di tingkat lokal, regional dan nasional . Tiga program yang terdiri dari program Food watch, Piagam bintang, dan Respon cepat, dikembangkan untuk mensinergiskan dan memfokuskan aktivitas keamanan pangan dan mengimplementasikan kebijakan pada tingkat nasional, provinsi, dan lokal . Program Food watch adalah program monitoring pangan tingkat nasional . Program Piagam Bintang terdiri dari tiga tingkatan piagam bintang keamanan pangan secara sukarela yang mempromosikan pelatihan dari lahan pertanian sampai siap dikonsumsi . Program respon cepat merupakan program yang memungkinkan komunikasi efektif selama krisis nasional (BPOMAGAL, 2002) . Secara umum, kajian risiko yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang dalam keamanan pangan di Indonesia, misalnya Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Badan POM, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian dan
Pemerintah Daerah masih terbatas pada identifikasi bahaya tanpa memperhatikan karakteristik bahaya, kajian paparan dan karakteristik risiko, sehingga sulit mengelola risiko tersebut dan komunikasi antar stakeholder masih terbatas dan lemah . Berbagai program pilot telah dikembangkan oleh Badan POM dalam program kajian risiko dan sebenarnya sudah siap untuk diterapkan pada skala lebih luas yang membutuhkan komitmen pemerintah (SPARRINGA, 2004 ; SPARRINGA dan FARIMAZ, 2004; SPARRINGA dan RAHAYU, 2005 ; RAHAYU dan SPARRINGA, 2006 ; SPARRINGA dan RAHAYU, 2006; WHO, 2006; serta SPARRINGA dan FARDIAZ, 2007) .
Gambar 2 . Sistem keamanan pangan terpadu Indonesia (BPOM-AGAL, 2002)
KEAMANAN PRODUK PANGAN HEWANI INDONESIA berupaya terus memperkuat Indonesia keamanan pangannya. Namun hal ini program sulit diwujudkan jika tidak diketahui situasi keamanan pangan yang terukur. Untuk mengetahui keberhasilan program keamanan pangan disetiap negara harus diketahui baseline indikator keamanan pangannya dan terus dipantau perkembangannya . Apakah prioritas kemanan pangan hewani saat ini di Indonesia? Maka harus dijawab secara jujur bahwa Indonesia belum mengetahui prioritas keamanan pangan yang semestinya, karena tidak tersedianya instrumen yang memadai dalam mendukung keputusan pelaksanaan pengawasan pangannya . Informasi yang tersedia saat ini adalah identifikasi bahaya beberapa agensia yang
59
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
diduga sering mengkontaminasi pangan atau penyalah-gunaan bahan tambahan ilegal, misalnya penambahan formalin pada karkas ayam, pewarna tekstil untuk kerang dan sebagainya . Prioritas program keamanan pangan di Indonesia harus didasarkan kajian risiko dan informasi kelayakan terkait yang disesuaikan dengan kondisi sumber daya, teknis, sosial, keresahan masyarakat dan sebagainya . Berikut ini akan dipaparkan beberapa data keamanan pangan hewani yang terkait dengan masalah kesehatan manusia berdasarkan data kejadian luar biasa (KLB) yang diduga pangan hewani sebagai penyebabnya . Data hasil monitoring produk perikanan, peternakan serta produk olahannya juga disajikan dibawah ini . Kejadian luar biasa keracunan pangan Dari hasil analisis KLB (Kejadian Luar Biasa) Keracunan Pangan di Indonesia yang dilaporkan Badan POM dari tahun 2003 hingga 2007*, ternyata pangan hewani yang diduga sering menyebabkan KLB adalah produk perikanan dan kelautan . Tercatat sebanyak 66 KLB (52 .4%) disebabkan oleh produk perikanan dan kelautan dari 126 KLB yang diduga karena pangan hewani . Sedangkan pangan hewani lain yang diduga sebagai penyebab KLB adalah daging unggas (19 .1 %), susu (19 .1 %), daging sapi (7 .1%), dan telur (2 .38%) . Total KLB yang dilaporkan pada kurun waktu 2003 hingga 2006 sebanyak 541 KLB dan hanya berkisar 24-36% saja yang dapat diduga penyebabnya, sedangkan sisanya tidak diketahui karena sampel tidak tersedia/ habis dan tidak layak uji . Dari dugaan yang ada ternyata hanya sebagian kecil yang terkonfirmasi penyebabnya (sekitar 5%) . Histamin pada ikan tuna/tongkol dan tetradotoksin pada ikan buntal terkonfirmasi sebagai penyebab utama KLB yang disebabkan oleh produk ikan. Sedangkan produk hewani lainnya diduga disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Salmonella, Bacillus cereus dan Escherichia coli patogen . Lokasi keracunan ini banyak terjadi pada sekolah dan rumah pribadi . Sedangkan pangan tersebut terutama dalam kategori pangan rumah tangga dan jasa boga . Angka KLB yang dilaporkan sebenarnya masih
60
jauh dari angka sebenarnya . Sehingga besarnya masalah sebenarnya tidak diketahui sehingga masalah kesehatan yang sebenarnya terabaikan dan konsekuensi ekonomi dianggap tidak terlalu penting . Keamanan produk perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan terus berbenah untuk memperbaiki sistem pemantauan kontaminan dan residu antibiotik pada budidaya perikanan terutama untuk tujuan ekspor . Sayangnya Indonesia masih diskriminatif dan belum banyak memantau tingkat keamanan produk perikanan untuk pasar lokal . Saat ini yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia antara lain untuk memenuhi persyaratan pasar luar negeri . Misalnya untuk Uni Eropa dilakukan pemantauan chloramphenicol, nitrofurans dan derifatnya, antibakteri (sulfadiazine, sulfamerazine, sulfanilamide and oxytetracycline), malachite green, leuco-malachite green, logam berat (Hg, Cd, Pb), hormon dan senyawa organochlorine terutama untuk udang dan sebagian kecil untuk nila, milkfish, dan catfish. Pemantauan ini dilaksanakan oleh National centre for quality control Jakarta yang didukung oleh 10 laboratorium provinsi dan empat Unit Pelayan Teknis dibawah Dirjen Perikanan Budidaya (DKP, 2007) . Uni Eropa melalui RASFF (Rapid alert system for food andfeed) mengeluarkan notifikasi terhadap produk perikanan Indonesia yang diekspor ke pasar eropa . Dalam tahun 2004-2007 ada beberapa produk perikanan yang disebut antara lain udang, catfish, chanus, chanos, eel, milkfish, tilapia, tuna, swordfish, tuna, cuttlefish, lobster, shark, butterfish, marlin, goa fish, lobster tails untuk beberapa masalah keamanan pangan, misalnya veterinary drugs, histamin, logam berat, CO, organochlorine dan mikrobiologi . Untuk mikrobiologi mencakup angka lempeng total, Salmonella sp, Vibrio parahaemolyticus, Vibrio cholerae, Plesiomonas dan Shigelloides . Kewaspadaan produk perikanan global saat ini, terutama di negara maju adalah terhadap toksin dan patogen yang berasal pada air yang tercemar oleh agensia biologis misalnya feses dan polutan industri . Beberapa patogen yang sering dilaporkan
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
adalah Vibrio spp, Listeria spp, Salmonella spp, Aeromonas spp, dan Clostridia spp . Namun' juga dilaporkan produk perikanan dapat tercemar mikroba yang sering mengkontaminasi unggas misalnya Campylobacter jejuni . Virus yang dapat dipindahkan melalui pangan banyak dilaporkan mengkontaminasi beberapa produk perikanan, khususnya kerang-kerangan . Virus Norwalk banyak dilaporkan menyebabkan KLB serta tiram dan remis sering dilaporkan sebagai penyebabnya . Beberapa bakteri, protozoa, virus, helminthes dan biotoksin banyak berkontribusi pada penyakitpenyakit manusia yang dihantarkan oleh pangan basil laut . Cemaran pestisida, logam berat,- serta residu antimikrobalantibiotika juga menjadi perhatian dunia perikanan saat ini (LEVINE, 2003) . Keamanan produk peternakan Fokus utama pengawasan keamanan pangan oleh Direktorat Jenderal Peternakan terhadap produk hewani adalah cemaran mikroba Escherichia coli, coliform, Salmonella, Staphylococcus aureus dan angka lempeng total (ALT) . Sedangkan residu antibiotika yang dipantau adalah penisilin, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida, dan sulfa . Dari basil monitoring yang dilakukan Tahun 2007 oleh delapan UPT Pusat dari Ditjen Peternakan menunjukkan bahwa umumnya produk hewani tergolong TMS yaitu ALT (88%), E. coli (16%), coliform (12%), S. aureus (7%), dan TMS dibawah 0,5% untuk penisilin, tetrasiklin, aminoglikosida, dan makrolida . Diluar Program monitoring dan Surveilans residu dan cemaran mikroba di atas, Departemen Pertanian juga melakukan pengawasan penggunaan bahan kimia berbahaya formalin dan yellow methylen pada daging ayam ; peroksida pada susu segar ; p er untuk mengeringkan permukaan daging glonggongan yang sangat basah . Juga beberapa kali ditemukan kasus kasus pemalsuan seperti pemalsuan dengan daging celeng, ayam suntik, sapi glonggongan, ayam liren yang banyak dilaporkan oleh Dinas Petemakan/laboratorium daerah maupun di media massa dan belum tersedia data resminya .
Identifikasi masalah keamanan pangan hewani global yang acap kali dilaporkan saat ini sebagian besar merupakan foordborne zoonoses dan sebagian adalah akibat kontaminasi silang dari pekerja atau lingkungan Patogen-patogen berikut teridentifikasi sebagai agensia biologis berbahaya dan perlu mendapat perhatian (MCCLURE, 2000), namun harus disesuaikan dengan informasi epidemiologi di negara bersangkutan . Patogen-patogen tersebut antara lain Salmonella Typhimurium, S. Typhimurium, S. Enteritidis, S. Heidelberg, S. Typhi; E. coli (EPEC), E. Coli (ETEC), E. coli (EIEC), E. coli (EHEC) ; Campylobacter jejuni ; Yersinia enterocolitica ; Staphylococcus aureus ; Listeria monocytogenes ; Clostridium perfringens ; Clostridium botulinum, Brucella melitensis, Bacillus anthracis ; B. Cereus ; Corynebacterium pseudotuberculosis ; Mycobacterium paratuber-culosis dan Pasteurella spp. Parasit yang mendapat perhatian adalah Giardia duodenalis and G. Lamblia; Cryptosporidium parvum; Toxoplasma gondii; Trichinella spirali; Cyclospora spp .dan Echinococcus granulosus. Transmissible spongiform encephalopathies (TSEs) yang terkait dengan sapi gila, bovine spongiform encephalopathy (BSE) dan Creutzfeldt-Jakob disease (vCJD) manjadi isu sentral di negara yang terkena masalah ini, khususnya Inggris . Untuk susu sapi yang sering dilaporkan akhirakhir ini oleh Food safety network Canada sebagai penyebab KLB keracunan global disebabkan oleh Campylobacter jejuni, Cryptosporidium parvum, Salmonella (non typhoid), E coli 0157, dan Listeria mono-cytogenes . Sedangkan agensia biologis yang pernah terdokumentasi sebagai penyebab kearacunan susu pada tingkat global adalah Bacillus cereus, Brucella spp, Campylobacter jejuni, Escherichia EHEC/verotoxin producing E coli (VTEC), Listeria monocytogenes, Salmonella (non typhoid), Shigella dysenteriae, S flexneri, S boydii, S. Sonnei, Staphylococcus aureus, Salmonella typhi, S . paratphi types A-C, Yersinia Poliovirus, Cryptospo-ridium enterocolitica, parvum dan Toxoplasma gondii (WHO, 2000) . Asosiasi industri telur Australia mengeluarkan pedoman untuk memperkuat biosekuriti pada industri telur (AUSTRALIAN EGG INDUSTRY ASSOCIATION . 2001) . Bahaya potensial telur unggas
61
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Unluk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
yang perlu dipertimbangkan di Australia antara lain Virulent newcastle disease (ND) Virus ; Avian Influenza (AI) Virus ; Very virulent infectious bursal disease (VV IBD) Virus ; infectious laryngotracheitis virus (ILT) ; Mareks disease (MD) Virus ; Pasteurella multocida, penyebab Fowl cholera (FC) dan Salmonella pullorum (SP)/ S . Enteritidis (SE) . Walaupun sedikit disinggung kemungkinan penyebaran Virus Flu Burung H5N1 melalui pangan, sebaiknya tidak mengesampingkan sama sekali kemungkinan bahwa pangan dapat menyebarkan virus flu burung . Kenapa demikian? Alasan pertama adalah Virus H5N 1 dapat menyebar pada seluruh tubuh unggas terinfeksi termasuk daging dan dapat mengkontaminasi bagian dalam dan luar telur unggas . Menurut penelitian, virus ini dalam kotoran unggas dapat bertahan pada suhu rendah (4 °C) selama 35 hari atau pada suhu 37°C selama 6 hari (INFOSAN, 2005) . Sehingga pemasaran dan distribusi daging yang terkontaminasi dengan penyimpanan suhu beku dan lemari es tidak menurunkan viabilitas virus secara signifikan . Alasan kedua, belajar dari pengalaman yang ada bahwa banyak kasus penyakit yang disebarkan melalui pangan disebabkan oleh kontaminasi silang . Patogen seperti Virus H5N 1 akan mati pada suhu 70 °C dan masyarakat aman mengkonsumsi daging ayam tersebut, asalkan tidak terjadi kontaminasi silang. Keamanan pangan olahan yang berasal dari pangan hewani Badan POM secara berkala juga melakukan inspeksi dan pemantauan keamanan pangan dan gizi khususnya produk olahan pada jalur produksi maupun distribusi . Hasil pemantauan produk pangan olahan hewani sepanjang 2006, masih banyak yang tidak memenuhi syarat (TMS) antara lain bakso sebanyak 47,4% (boraks, formalin, angka lempeng total/ALT), Staphylococcus aureus dan koliform) ; abon 46,7% (kadar protein) ; dendeng 31,6% (koliform) ; sosis 29 .9% (ALT, enterococci) ; nuget 34% (ALT) ; beef burger 15,2% (formalin dan ALT) . Bakso termasuk produk olahan yang sering TMS, baik pada pemantauan rutin yang bersifat
62
cross section, serial survey, maupun survei khusus pada pangan jajanan anak sekolah . Hasil survei bakso pada jajanan anak sekolah menunjukkan hasil mirip yaitu 47 .9% TMS (227 TMS dari 474 sampel yang diuji) . Badan POM rata-rata melakukan analisis 30 .000 sampel pangan/tahun . Umumnya untuk uji terhadap bahan tambahan pangan, bahan tambahan ilegal pada pangan olahan . Data kontaminan masih sangat terbatas, sedangkan lembaga lain umumnya melaksanakan inspeksi dan monitoring pada pangan non olahan secara terfragmentasi dengan jumlah sangat terbatas, karena rendahnya inspektur pangan yang ada serta ketersediaan sumber dayanya . Dari beberapa diskusi, seminar dan lokakarya, nampaknya kegiatan surveilan belum terintegrasi dengan kegiatan monitoring pangan di semua lembaga yang berwenang dalam keamanan pangan . Monitoring pangan masih mengutamakan kesesuaian peraturan (compliance) yang umumnya berupa data kualitatifdan belum mempertimbangkan kerangka sampel agar mewakili populasi yang dikaji . Data yang terkumpul kurang dianalisis dan tidak banyak berarti untuk kajian risiko (SINTAWATIE, 2006) . Badan POM saat ini telah mengupayakan penarikan sampel yang mempertimbangkan kerangka sampelnya . Umumnya Indonesia juga belum mengikuti pedoman yang disarankan oleh WHO dalam memantau kontaminan yang menjadi prioritas kesehatan masyarakat secara global (SPARRINGA dan RAIAYU, 2006) . Kontaminan utama yang harus dipantau dan dikaji risikonya WHO melalui program GEMS/Food (environmental monitoring system/Food contamination monitoring and assessment programme) merekomendasikan program Total diet study (TDS) yang sangat berguna bagi kajian risiko keamanan pangan dan gizi di setiap negara . Beberapa kontaminan yang dianjurkan untuk dikaji dalam pangan hewani dan produknya yang tertera dalam daftar kontaminan utama untuk dimonitor adalah aldrin, dieldrin, DDT (p,p'- and op'-), TDE (p,p'-), DDE (pp'- and p, o'-), endosulfan (a, b and sulfate), endrin, hexachlorocyclohexane (a and 13
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
and y), hexachlorobenzene, heptachlor, heptachlor epoxide dan polychlorinated biphenyls untuk susu, butter, lemak dan minyak yang berasal dari hewan, Min, serta air susu ibu . Logam berat timbal untuk susu, daging dalam kaleng maupun daging segar ; Cadmium untuk ginjal, moluska, udangudangan ; serta merkuri untuk ikan (WHO, 2002). Sedangkan WHO (2006) menambahkan persistent organic pollutants (POP) seperti PCBs, dioksin dan dibenzofurans ; logam berat beracun seperti Cr; dan bahan kimia spesifik seperti senyawa organotin, methylmercury, nitrate, nitrite dan nitrosamines perlu diikursertakan . Zat gizi yang juga dianjurkan dalam kajian ini adalah vitamin, mineral dan asam lemak esensial . Indonesia saat ini sedang mempersiapakan pelaksanaan TDS . Departemen Kesehatan sedang mempersiapkan pelaksanaannya dengan dukungan stakeholders, seperti Badan POM, Departemen Pertanian serta Departemen Kelautan dan Pertanian . Selama ini Badan POM telah melakukan kajian pilot TDS termasuk survei konsumsi individu untuk kepentingan TDS (SPARRiNGA, 2004 ; SPARRINGA dan RAHAYU, 2006) . Makna data monitoring pangan hewani Bermaknakah data yang Indonesia miliki selama ini? Tentu saja data inspeksi dan monitoring yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah sangat bermanfaat. Kelemahannyaadalah program inspeksi dan monitoring merupakan program rutin yang kurang dianalisis untuk tindak lanjut/intervensinya . Informasi ini bisa diteruskan untuk perencanaan program surveilan yang dapat digunakan untuk kajian risiko . WHO telah memberikan pedoman untuk memantau bahan-bahan berbahaya prioritas dalam pangan hewani tertentu (WHO, 2002 dan 2006) . Keluaran dari kajian risiko ini dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan keamanan pangan, program gizi, standar dan regulasi, serta Indonesia dapat ikut aktif berkontribusi dalam menentukan standar Codex yang menguntungkan posisi Indonesia untuk kepentingan kesehatan masyarakat serta perdagangan global . Dari hasil studi kasus kajian risiko Salmonella
pada produk unggas dan hibrio parahaemolyticus pada udang di Indonesia dan beberapa negara ASEAN atas kerjasama Australia dan ASEAN menunjukkan bahwa banyaknya data yang tidak tersedia, misalnya data konsumsi, data kasus atau KLB yang berhubungan dengan kedua penyakit, informasi jalur pengolahan dan produksi produk pangan tersebut, pertumbuhan patogen selama penyimpanan, pengolahan dan penanganan, sifat dari produk pangan tersebut, prevalensi dan level kontaminan sepanjang rantai pangan (MURTM INGSIH, 2007) . BAGAIMANA MELAKUKAN PENGAWASAN YANG EFEKTIF? Dalam upaya pengawasan keamanan pangan yang efektif, Indonesia yang dimotori oleh Badan POM dan beberapa stakeholder telah mengadopsi pedoman yang dikeluarkan oleh FAO-WHO, (2003) . Lima komponen penting dalam panduan ini adalah pembenahan : (i) regulasi pangan, (ii) manajemen pengawasan pangan ; (iii) pelayananan inspeksi ; (iv) pelayanan laboratorium untuk memperoleh data pemantauan pangan dan epidemiologi ; serta (v) program informasi, edukasi, komunikasi dan pelatihan . Beberapa regulasi utama telah tersedia di Indonesia antara lain Undang-Undang No . 7/ 1996 tentang Pangan, PP. No . 69/1999 tentang Label dan Man Pangan, PP. No . 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan . Sedangkan dalam manajemen pengawasan pangan, Indonesia menganut pengawasan yang terintegrasi seperti yang tertuang dalam SKPT (BPoM-AGAL, 2002) yang kemudian dicanangkan oleh Menko Kesra pada 13 Mei 2004. Bagaimana meng-implemantasikan regulasi dan SKPT ini merupakan tantangan, termasuk meng-integrasikan kegiatan rutin inspeksi Jan pelayanan laboratorium pada lintas sektoral, serta peningkatan kapasitas SDM melalui informasi, edukasi, komunikasi dan pelatihan yang terencana . Setiap institusi pengawasan pangan hares mempunyai program inspeksi, monitoring dan surveilan yang terintegrasi dengan baik . Inspeksi difokuskan pada pengamatan visual terhadap
63
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
produk yang dicurigai. Inspektur pangan akan menyimpulkan produk yang memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS) sesuai dengan .peraturan yang berlaku dengan metode inspeksi atribut. Jika TMS, maka dapat dilanjutkan pada kegiatan monitoring dengan metode inspeksi variabel . Jika hasilnya tidak sesuai dengan kaidah keamanan pangan/peraturan keamanan pangan yang
ada, maka dilakukan intervensi berupa kebijakan keamanan pangan . Untuk mengetahui efektivitas intervensi ini perlu dilakukan kegiatan monitoring lagi . Monitoring yang berulang ini disebut kegiatan surveilan (Gambar 3) . Surveilan adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data untuk disebarkan pada pihak terkait agar dapat ditindaklanjuti (SPARRINGA, 2002) .
st(ftvn Abn orn1l
(t~tttlt .'f.r,h7!/lilk"
t49i1~t1
1.
I 0
Abnormal (una p&t#e)
I
Gam bar 3 . Denah Alur Kegiatan Surveilan .
64
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
PERANAN RISET DALAM KAMAN RISIKO KEAMANAN PANGAN Monitoring produk pangan hewani secara efektif memerlukan pendekatan multi disiplin dengan partisipasi stakeholder disepanjang rantai pangan . Data monitoring pangan hewani ini hares terintegrasi pula dengan data penyakit yang diderita manusia . Untuk memfasilitasi komunikasi dan koordinasi ini diperlukan suatu jejaring . Jejaring yang telah berdiri adalah Jejaring Intelijen Pangan . Jejaring ini merupakan sistem komunikasi yang didesain untuk para profesional dalam kajian risiko keamanan pangan, dan menjadi sarana untuk saling berbagi keahlian dan pengalaman kerja . Dengan salingmembagi informasi dan pengetahuan, anggota JIP dapat meng-alokasikan sumber daya yang mereka miliki untuk bersama-sama menyelesaikan per-masalahan keamanan pangan yang terjadi di sepanjang rantai pangan (BPOM-AGAL, 2002) . Hingga saat ini kegiatan yang dilakukan JIP adalah melaksanakan lokakarya berkala dua hingga empat kali dalam setahun, pertemuan teknis, pembuatan direktori keamanan pangan, gagasan riset bersama, penyebaran informasi keamanan pangan global, misalnya newsletter dari International Food Safety Authority Network (Infosan, 2005) . JIP sebaiknya dilengkapi dengan Komite Kajian Risiko Nasional (SPARRINGA, 2007) . Data surveilan pada setiap tahapan penting dalam rantai pangan, baik data yang terkait pada kasus penyakit yang diderita manusia maupun pada pangannya sendiri harus secara terus menerus dikumpulkan, dianalisis dan dievaluasi kecenderungan dan sumber cemarannya . Kerangka kerja yang sistematis yang melibatkan unit surveilan yang multidisiplin antara lain microbiologist, epidemiologist, veterinarian, food scientist, food toxicologist diperlukan untuk menganalisis data dan umpan baliknya . Lembaga riset yang melibatkan multidisiplin keilmuan sangat diperlukan, terutama untuk melakukan interpretasi data yang sangat kompleks . Komite kajian risiko nasional hares tersedia untuk mengkoordinasikan pelaksanaan kajian risiko yang didukung lintas unit surveilan dan beberapa lembaga penelitian terkait lainnya (Gambar 4) .
r
Sumeitan
Komtte Kajian isikw Nas4CnaI
Man* man Risiko
I
Riset
Gam bar 4 . Rekomendasi jejaring kajian risiko nasional (SPARRINGA, 2007)
Untuk memulai Program Komite Kajian Risiko Keamanan Pangan Nasional ini, diperlukan suatu Gugus Tugas kecil yang akan melaksanakan tugas sebagai berikut : 1 . Mengidentifikasi masalah keamanan pangan di Indonesia . 2 . Mengidentifikasi lembaga/unit surveilan yang terkait dengan masalah keamanan pangan tersebut . 3 . Mengidentifikasi perguruan tinggi/ lembaga penelitian yang punya kapasitas melakukan penelitian dalam bidang masalah keamanan pangan tersebut . 4 . Mengidentifikasi pusat-pusat keunggulan/centre of excellence dalam masalah keamanan pangan tersebut (surveillan dan riset) . 5 . Menggalang kerjasama sinergis antar pusatpusat keunggulan tersebut . 6 . Mempersiapkan Kerangka Kerja Logis Jejaring Kajian Risiko Keamanan Pangan Indonesia. 7 . Melakukan advokasi kepada pemegang kebijakan dalam penguatan jejaring (pengembangan kapasitas laboratorium, SDM, dana penelitian/surveilan/kajian risiko) . 8 . Melaksanakan agenda jejaring kajian risiko keamanan pangan di Indonesia secara konsisten . Komite Kajian Risiko Nasional Surveilan Manajemen Risiko Riset . Kementerian Negara Riset dan Teknologi (Kemmeneg Ristek) diharapkan dapat memperkuat jejaring kajian risiko keamanan pangan di Indonesia, terutama dalam mengkoordinasikan kebijakan riset keamanan pangan termasuk
65
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
pemberian insentf penelitian sesuai dengan topik
dalam hal ini dapat berkontribusi dalam melakukan
yang direkomendasikan oleh Komite Kajian Risiko
interpretasi
Nasional . Peranan lembaga riset dan perguruan
metode deteksi identifikasi bahaya pada pangan,
tinggi selain melakukan interpretasi data surveilan
mengembang-kan
juga
mengkaji keamanan mikrobiologis/kimia pangan .
dapat
diarahkan
pada
pengembangan
data
surveilan, teknik/metode
pengembangan analisis,
dan
metode deteksi identifikasi bahaya pada pangan, mengembangkan teknik/metode analisis, mengkaji
DAFTAR PUSTAKA
keamanan mikrobiologis/kimia pangan dan lainlain .
INDUSTRY ASSOCIATION . 2001 . Code of practice for biosecurity in the egg industry. Kensington : Rural Industries Research and Development Corporation .
AUSTRALIAN EGG
PENUTUP DAN SARAN Tingkat keamanan pangan hewani di Indonesia saat ini belum diketahui secara pasti . Informasi yang tersedia masih terbatas pada identifikasi masalah keamanan pangan yang datanya tersebar di lembaga/unit yang terkait dengan keamanan pangan dalam rangka penegakan hukum atau memenuhi permintaan
negara pengimpor.
Data
dimanfaatkan dalam kajian risiko . Tidak tersedianya indikasi tingkat keamanan pangan hewani ini program
masih
buruknya
pengelolaan
keamanan pangan nasional . Hal ini
membuktikan pengabaian kebijakan keamanan pangan yang berbasis risiko . Indonesia telah memiliki konsep sistem keamanan pangan terpadu yang cukup baik, namun implementasinya masih jauh dari harapan . Untuk itu diharapkan SKPT terus diperkuat, dikembangkan dan diimplementasi-kan secara konsisten dengan komitmen yang kuat dari seluruh stakeholder dan terkait dengan Program Ketahanan Pangan di tingkat nasional, regional dan lokal . Jejaring kajian risiko nasional yang terintegrasi sebaiknya
segera
diwujudkan .
Jejaring
ini
memfasilitasipendayagunaanprogram surveilan dan program riset yang terintegrasi untuk kepentingan kajan risiko . Keluaran kajian risiko ini berupa estimasi risiko yang
CAC. 2003 8 . Food Hygiene Basic Text . CAC/RCP 11969, Rev. 4 2003 . Rome : CAC .
tersebut
tidak dapat atau sangat kecil kontribusinya untuk
mencerminkan
BPOM-AGAL . 2002. An Integrated Food Safety System- a model for Indonesia . An AusAid funded Government Sector Linkages Programme . Jakarta : BPOM-AGAL .
memerlukan pengelolaan
CAC . 2003b . Hazard Analysis and Critical Control Point System and Guidelines for its Application. In the Annex II. CAC/RCP-1 1969, Rev 4 (2003) . Rome : FAO . CAC . 2004 . Codex Committee on pesticide residues . New Delhi : CAC . DKP. 2007 . Report of monitoring on residues in aquaculture products during the year of 2006 . Jakarta : Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Directorate General ofAquaculture . FAO . 2006 . FAO/WHO Guidance to governments on the Application of HACCP in small and/or less-developed food businesses . FAO Food and Nutrition Paper No . 86 . Rome : FAO . FAO-ICD-WHO. 2006 . Microbiological risk assessment : Principles and concept . In FAO/IcD/WIlo. Basic Awareness Course on Microbiological Risk Assessment. Rome : FAO. FAO-WHO. 2003 . Assuring foodsafety and quality : Guidelines for strengthening national food control systems . Rome : FAO-WHO .
secara holistik dari pemegang kebijakan keamanan pangan di Indonesia . Saat ini peranan lembaga riset masih sangat kecil bagi kepentingan kajian risiko di
S .J . 2002 . The microbiological risk assessment of food . Oxford : Blackwell Science Ltd .
FORSYTHE,
Indonesia . Sehingga diharapkan Kemenneg Ristek
INFOSAN . 2005 . Highly pathogenic H5NI avian influenza
dapat berkontribusi untuk mengko-ordinasikan
outbreaks in poultry and in humans : Food safety implications . INFOSAN Information Note No . 7/2005 (Rev 1 . 5 Dec) - Avian Influenza . Geneva : WHO .
kebijakan riset keamanan pangan yang mendukung progam keamanan pangan dan pengkajian risiko termasuk pemberian insentif penelitian yang telah direkomendasikan oleh Komite Kajian Risiko Nasional. Lembaga riset termasuk perguruan tinggi
66
J .F. 2003 . Aquaculture and pre-harvest food safety. In Microbial food safety in animal
LEVINE,
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII Dukungan Teknologi Untuk Meningkatkan Produk Pangan Hewani Dalam Rangka Pemenuhan Gizi Masyarakat
agriculture . ToRRENCE, M .E. dan IsAAcsoN (eds) . Iowa: Blackwell Publishing Company . MCCLURE, P.J . 2000 . Microbiological hazard identification in the meat industry. In HACCP in the meat industry. BRwoN, M (Ed) . Cambridge : Woodhead Publishing Ltd . MoTARJEMi, Y. 2002 . An introduction to the Hazard analysis and critical control point (HACCP) system and its application to fermented foods . In ADAMS, M .R . and NoUT, M.J .R . (eds) Fermentation and Food Safety . Maryland : An Aspen Publication . MURT1NnvGSIH. 2007 . Risk assessment programs to support improvements in food safety in the ASEAN Regions. Lokakarya JIP: Pusat Kewaspadaan dan Penanggulangan Keamanan Pangan Nasional, 9 November 2007 . Jakarta: Jejaring Intelijen Pangan . RAHAYU, W.P. and SPARRINGA, R.A. 2006 . Exposure assessment of elementary school childen to benzoate with total diet approach . Presented at 13 1h World Congress of Food Science and Technology . Nantes, France, 17-21 September 2006. SINTAWATIE, I . 2006 . Pengembangan database kontaminan pangan dan bahan tambahan pangan untuk kajian risiko . Skripsi IPB Bogor . SPARRINGA, R.A, and FARDwz, D . 2004 . Exposure assessment in national dietary surveys : Maximizing the data. Presented at 4'h ASEAN Food Safety Standards Harmonization Workshop . Manila : ILSI SEA . SPARRINGA, R .A . 2002 . Pengantar surveilan keamanan pangan dalam Surveilan keamanan pangan. RAHAYu et al . (eds) . Jakarta : Badan POM . p 1-27 .
SPARRnNGA, R .A . 2004 . Country progress report : Pilot programs and the preparation for national total diet sudy in Indonesia . Presented at 3 1 International TDS Workshop, Paris 17-21 May 2004 . Paris : INRA-WHO. SPARRINGA, R.A. 2007 . Kontribusi riset dalam penguatan jejaring kajian risiko keamanan pangan di Indonesia . Lokakarya JIP : Pusat Kewaspadaan dan Penanggulangan Keamanan Pangan Nasional, 9 November 2007 . Jakarta: Jejaring Intelijen Pangan . SPARK NGA, R.A. and FARDIAZ, D . 2007 . Using of exposure assessment data in food safety risk assessment. Presented at 61 ASEAN Food Safety Standards Harmonization Workshop . Hanoi : ILSI SEA. SPARRINGA, R.A. and RAHAYU, W.P. 2005 . Exposure assessment of elementary school children to cyclamate and saccharin : a total diet study. The 9t° SEAN Food Conference 2005 . LIPI, Jakarta. SPARRINGA, R .A . and RAHAYU, W.P. 2006 . Food contamination monitoring programme and preparation of total diet study in Indonesia . Presented at 4th International TDS Workshop, Beijing 23-27 October 2006 . Beijing : WHOChinese CDC . WHO . 2000 . Foodborne disease : a focus for health education . WHO : Geneva . WHO . 2002 . GEMS/Food total diet study. Report of the 2' International Workshop on Total Diet Studies Brisbane, Australia. Geneva : WHO . WHO . 2006 . GEMS/Food total diet study. Report of the 4 ih International Workshop on Total Diet Studies Beijing, China. Geneva : WHO .
67