1 PENGARUH NORMA INTERNAL DAN NORMA SOSIAL PADA DISTORSI ANGGARAN Tri Siwi Nugrahani ABSTRAKSI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah distorsi anggaran terjadi apabila bawahan memperhatikan rasa etis (norma internal), dan norma sosial dibawah kondisi asimetri informasi. Berdasar teori agensi, peneliti menguji pengaruh faktor personal berupa rasa etis (norma internal), dan norma sosial pada distorsi anggaran. Studi ini menggunakan metoda eksperimen dengan memanipulasi 3 kondisi asimetri informasi yaitu asimetri informasi rendah, sedang, dan tinggi. Studi ini melibatkan 101 mahasiswa S1 UPN Yogyakarta. Mahasiswa diproksikan sebagai bawahan, sedangkan peneliti sebagai atasan. Studi ini menggunakan desain faktorial 3x2 untuk menguji tingkat tinggi - rendah rasa etis (norma internal), dan norma sosial pada distorsi anggaran. Studi ini memprediksi bahwa bawahan yang mempunyai rasa etis (norma internal) dan norma sosial rendah cenderung lebih tinggi untuk melakukan distorsi anggaran. Hasil studi ini tidak berhasil mendukung prediksi tersebut, dan tidak konsisten dengan studi Steven (2002).
Kata kunci: Rasa Etis (Norma Internal), Norma Sosial, Asimetri Informasi, dan Distorsi Anggaran. A. PENDAHULUAN Kinerja bawahan akan meningkat apabila melibatkan mereka berpartisipasi dalam menyusun anggaran. Menurut Kenis (1979), anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk perencanaan pengeluaran dan pendapatan yang ingin dicapai oleh pusat pertanggungjawaban perusahaan. Menurut Chow dkk (1988), anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk proses perencanaan dan pemotivasi prestasi bawahan. Terdapat dua unsur penting dalam anggaran yaitu: (1) bagaimana anggaran dibuat yang berarti bagaimana mekanisme pembuatan anggaran, dan (2) bagaimana anggaran dimplementasikan sebagai rencana perusahaan, atau bagaimana bawahan bereaksi terhadap sistem anggaran (Hansen dan Mowen, 1997). Bawahan akan bereaksi secara positif atau negatif tergantung dari sistem anggaran. Perilaku positif terjadi bila tujuan bawahan sesuai dengan tujuan organisasi dan mereka memiliki dorongan untuk mencapainya. Perilaku negatif terjadi jika anggaran tidak diadministrasi dengan baik, bawahan dapat melakukan distorsi anggaran (Hansen dan Mowen, 1997). Distorsi anggaran adalah perbedaan antara jumlah anggaran yang diajukan oleh bawahan dengan jumlah estimasi terbaik dari perusahaan (Anthony dan Govindaradjan, 2001). Bawahan cenderung mengajukan anggaran dengan merendahkan pendapatan dan menaikkan biaya dibandingkan dengan estimasi terbaik dari yang diajukan, sehingga target akan lebih mudah tercapai. Menurut Kren dan Liao (1988), apabila kinerja bawahan diukur berdasar anggaran, maka bawahan cenderung melakukan distorsi
2 anggaran. Schiff dan Lewin (1970) menguji motivasi utama terjadinya distorsi anggaran karena berkaitan dengan penerimaan bonus. Brownell dan McIness (1986) mengemukakan bahwa partisipasi memberi upaya tawar menawar antara atasan dan bawahan dalam mencapai tujuan sehingga bawahan mengharapkan dapat menerima bonus yang lebih besar. Distorsi anggaran terjadi karena bawahan memberikan informasi yang bias kepada atasannya, dengan cara melebihkan biaya atau menambah pendapatan (Merchant 1985; dan Young 1985). Bawahan sering memiliki informasi yang lebih besar dibanding atasannya (Waller, 1988). Dalam menguji distorsi anggaran, selalu berkaitan dengan asimetri informasi. Steven (2000; 2002), Fisher dkk (2000;2002), dan Komalasari dkk (2003) menguji distorsi anggaran dengan membedakan 3 tingkat, yaitu tanpa asimetri informasi (None Information Asymmetry), asimetri informasi rendah (Low Information Asymmetry), dan asimetri informasi tinggi (High Information Asymmetry). Hasil studi Steven (2002) menunjukkan asimetri informasi berpengaruh terhadap distorsi anggaran. Semakin tinggi asimetri informasi maka semakin tinggi pula distorsi anggaran. Atasan dapat mengukur besarnya distorsi anggaran yang dilakukan oleh bawahan dengan menggunakan informasi yang tidak simetris. Beberapa penelitian yang bertema distorsi anggaran, sebagian besar menggunakan pendekatan teori agensi secara tradisional yaitu memakai faktor ekonomi dan insentif untuk mengukur besarnya distorsi anggaran yang dilakukan oleh Chow dkk (1988); Waller (1988); Fisher dkk (2000) dan Komalasari dkk (2003). Bawahan ternyata tidak selalu mementingkan faktor ekonomi saja, tetapi juga faktor lain misalnya kepuasan dalam melakukan pekerjaan atau penghargaan (Hansen dan Mowen, 1997). Hal ini menunjukkan ketidak sesuaian asumsi teori agensi yang berkaitan dengan sifat oportunistis dan rasionalitas ekonomi. Beberapa peneliti akuntansi telah menguji adanya ketidak sesuaian tersebut. Onsi (1973) menguji pengaruh faktor pribadi terhadap distorsi anggaran. Faktor pribadi—yang terdiri atas etika, integritas individu, dan kejujuran (Chow et al., 1988), serta self esteem (Belkaoui, 1989)—berpengaruh terhadap distorsi anggaran. Baiman dan Rajan (1995) mengemukakan bahwa reputasi seseorang dapat menggambarkan perilaku oportunis yang berkaitan dengan kontrol sosial dan kontrol ekonomi. Steven (2002) menguji perbedaan reputasi dan etika subordinat pada distorsi anggaran. Sepengetahuan peneliti, riset yang berkaitan dengan perbedaan faktor pribadi dan pengaruhnya terhadap distorsi anggaran relatif jarang dilakukan di Indonesia. Oleh karena latar belakang bawahan di Indonesia mungkin berbeda dari latar belakang bawahan di negara-negara maju, maka masalah penelitian yang muncul berdasarkan uraian di atas adalah sebagai berikut. Apakah faktor pribadi berupa norma internal dan norma sosial memiliki pengaruh terhadap distorsi anggaran?
3 B. KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 1. Asimetri informasi dan Distorsi Anggaran Menurut Chow dkk (1988), anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi bawahan dan sebagai sarana untuk perencanaan sehingga atasan membutuhkan estimasi yang dapat dipercaya terhadap kondisi perusahaan di masa mendatang dengan cara melibatkan bawahan untuk ikut berpartisipasi. Kinerja bawahan dapat meningkat dengan anggaran secara partisipatif. Jika tujuan dirancang secara partisipatif, maka bawahan akan bersungguh-sungguh dalam mencapai tujuan yang ditetapkan (Milani, 1975). Menurut teori agensi, bawahan dan atasan cenderung memaksimalkan utility-nya. Masing-masing pihak cenderung melakukan trade off antara target yang diusulkan dengan potensi aktual yang semestinya sehingga menimbulkan distorsi anggaran. Gudono dan Sami (2003) mengartikan asimetri informasi sebagai informasi pasti dan hanya diketahui oleh agen. Asimetri informasi terjadi apabila informasi bawahan tidak sepenuhnya dikemukakan pada atasan (Kren dan Liao, 1988). Penelitian Steven (2000; 2002), Fisher dkk (2000;2002), dan Komalasari dkk (2003) membedakan asimetri informasi menjadi 3 tingkat, yaitu tanpa asimetri informasi (None Information Asymmetry), asimetri informasi rendah (Low Information Asymmetry), dan asimetri informasi tinggi (High Information Asymmetry). Asimetri Informasi (AI) secara operasional sebagai informasi privat dari bawahan atas hasil produksinya dan informasi privat dari atasan atas jumlah produksi yang ditentukan. AI terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu: a) tanpa AI, berarti bawahan menginformasikan hasil produksinya mulai tugas produksi 1-3, b) AI rendah, berarti bawahan hanya menginformasikan hasil produksi 1, dan c) AI tinggi, berarti bawahan tidak menginformasikan semua hasil produksinya, mulai tugas produksi 1-3. Bawahan atau atasan tidak selalu bersedia memberi informasi privatnya sehingga mendorong terjadinya distorsi anggaran yang berarti terdapat pengalokasian sumber melebihi kebutuhan (Young, 1985). Distorsi anggaran timbul karena keinginan dari bawahan dan atasan yang tidak sama (Luthan, 1998), terutama jika kinerja bawahan dinilai berdasar pencapaian anggaran. Bawahan merasa reward-nya tergantung pada pencapaian sasaran anggaran, maka mereka akan membuat distorsi anggaran melalui proses partisipasi (Schiff dan Lewin, 1980; Chow dkk, 1988). Beberapa peneliti akuntansi telah menguji insentif berupa pemberian reward untuk mengukur besarnya distorsi anggaran, yaitu Chow dkk (1988), Fisher dkk (2002) dan Steven (2002). Penelitian serupa di Indonesia dilakukan oleh Komalasari dkk (2003). Para peneliti tersebut melakukan studi distorsi anggaran dengan menggunakan insentif Fixed Pay Plus Bonus (FPB) atau Slack Inducing Pay Scheme. Metode FPB yaitu pembayaran bawahan dengan gaji tetap. Jika hasil produksinya melebihi dari yang ditargetkan, maka akan menerima bonus. Tetapi, jika hasil produksinya kurang atau sama dengan yang ditargetkan, maka bawahan hanya menerima gaji tetap dan tidak dikenai denda.
4 Penelitian ini menggunakan perhitungan kompensasi FPB sebagai metoda pembayaran pada tugas produksi. Rumus perhitungan kompensasi FPB berdasar penelitian Fisher dkk (2002) dan Steven (2002). P = Rp10000 + {Rp500 x (A- B)}, jika A > B P = Rp10000, jika A < B Keterangan: P = Total kompensasi yang diterima bawahan B = Budget atau target produksi yang diajukan A = Aktual produksi yang dihasilkan Rp10000 = Gaji tetap yang diterima Rp500 = Bonus tiap unit.
2. Norma internal, dan Norma Sosial Atasan dan bawahan dapat mengimplementasikan anggaran dengan cara bertanggung jawab dalam menetapkan tujuan perusahaan. Atasan meminta ide bawahan untuk membuat perubahan, penugasan, dan pembentukan kelompok kerja guna mencapai tujuan perusahaan, hal ini merupakan kekuatan etis yang penting (Gibson dan Donelly, 2000). Menurut teori keagenan, pertimbangan etis biasanya muncul dalam situasi adanya konflik self interest dan beban moral bagi pihak lain. Pertimbangan etis secara keseluruhan ditentukan oleh karakteristik situasi dan individual yang berkembang dari norma sosial internal. Agen yang termotivasi secara etis, melakukan self control yang efektif (Rutledge dan Karim 1999; Steven 2002). Apabila bawahan menerima sumber yang berbeda dari ekspektasinya, maka mereka sering merasa tidak adil. Persepsi yang tidak adil dapat menghasilkan konsekuensi negatif termasuk hasil kinerja yang rendah dan mengakibatkan kepercayaan pada atasan (Brockner et al., 1994; Libby, 1996). Perbedaan informasi mengenai besarnya income yang akan diterima dari atasan pada bawahan, menyebabkan persepsi ketidakadilan bagi bawahan yang tidak menerima informasi (Greenberg, 1993). Menurut Penno (1984), bawahan yang memiliki perilaku positif akan mengatakan sesuatu secara benar dan menyebutkan jumlah anggaran yang wajar (secara etis), walaupun dalam kondisi yang berbeda. Pengertian norma internal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), yaitu aturan atau kaidah yang diterima secara pribadi dan tidak melanggar masyarakat secara umum. Faktor internal merupakan budaya dalam perusahaan itu sendiri, keyakinan bersama, dan norma-norma perilaku serta asumsi-asumsi yang dianut yang secara terbuka dimanifestasikan pada perusahaan (Anthony dan Govindaradjan, 2001). Steven (2002) menguji kecenderungan bawahan melakukan hal yang benar dalam menentukan anggaran, karena secara internal bawahan mematuhi aturan yang diterima secara pribadi. Menurut Penno (1984), perilaku positif bawahan dapat dinilai pada pengungkapan informasi secara benar dari bawahan mengenai kinerjanya dengan menyebutkan jumlah anggaran yang wajar.
5 Berdasar beberapa hasil penelitian diatas yang menyatakan bahwa bawahan termotivasi secara etis untuk melakukan self interest, maka pengajuan hipotesis ke 1 sebagai berikut: H1: Bawahan dengan Norma Internal Rendah cenderung lebih tinggi dalam membuat distorsi anggaran dibawah kondisi Asimetri Informasi Tinggi. Secara umum atasan dan bawahan termotivasi berprestasi oleh insentif yang bersifat moneter, hal ini berdasar pada asumsi teori agensi. Maka, penilaian kinerja atasan dan bawahan dihubungkan dengan kenaikan gaji, bonus dan promosi. Namun, pandangan diatas merupakan pandangan yang terlalu sempit dalam mempelajari perilaku manusia. Secara praktik, atasan dan bawahan termotivasi tidak hanya oleh insentif bersifat moneter saja, tetapi juga faktor non ekonomi dan faktor sosial. Insentif moneter saja tidak cukup memuaskan bagi atasan dan bawahan. Insentif non-moneter termasuk perluasan pekerjaan, penambahan tanggung jawab, kebebasan (Hansen dan Mowen, 1997), penghargaan dan pengakuan dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja (Born dan Coster, 1969) . Pendapat di atas menunjukkan terdapat perubahan asumsi mendasar dari teori agensi. Penelitian Young (1985) memberikan bukti secara empiris bahwa kemampuan produktivitas bawahan akan berkurang jika bawahan menyatakan kemampuan anggaran secara benar. Dengan adanya tekanan sosial dapat mengurangi distorsi anggaran. Menurut Steven (2002), reputasi merupakan keinginan bawahan untuk berbuat jujur dan adil pada atasannya. Menurut Baiman dan Rajan (1995), reputasi seseorang dapat menggambarkan perilaku oportunis yang terkait dengan kontrol ekonomi dan kontrol sosial. Atasan berupaya tidak mengubah keputusannya walaupun kemungkinan usaha tersebut gagal (rugi). Atasan berpendapat tidak seorang pun menyukai keputusan yang buruk (rugi), sehingga atasan berupaya menyembunyikan informasi kerugian karena menjaga reputasinya (Kaplan dan Atkinson, 1998). Baik atasan maupun bawahan akan menjaga reputasinya dengan memperoleh return di atas rata-rata. Reputasi dapat diobservasi pada harapan bawahan atas kinerjanya yang dihubungkan dengan norma sosial termasuk kejujuran, keadilan, dan menghindari kegagalan dan perbuatan curang (Rutledge dan Karim, 1999; Steven, 2002). Norma sosial merupakan ketentuan yang mengikat warga kelompok di masyarakat, dipakai sebagai tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan berterima. Steven (2002), menghipotesiskan jika bawahan memperhatikan norma sosial, maka mereka akan mengurangi distorsi anggaran. Secara umum, bawahan melaporkan lebih rendah nilai usulan anggaran pada atasan dibandingkan potensi sesungguhnya. Bawahan menyimpan informasi privatnya, terutama jika reward kinerja berdasar pencapaian anggaran. Studi Steven (2002) tersebut tidak berhasil memberi bukti secara empiris bahwa norma sosial berpengaruh negatif terhadap distorsi anggaran. Menurut Young (1985), atasan mengharapkan pada bawahannya untuk memperhatikan norma sosial, termasuk dalam pengurangan distorsi anggaran. Berdasar
6 teori dan hasil penelitian Young (1985) dan Steven (2002) yang menghubungkan distorsi anggaran dengan norma sosial, maka hipotesis kedua yang diajukan sebagai berikut: H2:
Bawahan dengan Norma Sosial Rendah cenderung lebih tinggi dalam membuat distorsi anggaran dibawah kondisi Asimetri Informasi Tinggi.
C. METODA PENELITIAN 1. Partisipan Eksperimen ini dilakukan dengan melibatkan 101 mahasiswa S-1 Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta. Partisipan diproksikan sebagai bawahan, dan peneliti sebagai atasan. Kriteria partisipan adalah telah menempuh mata kuliah Sistem Pengendalian Manajemen dan Penganggaran, dengan alasan mata kuliah tersebut berkaitan dengan proses pengambilan keputusan dan produksi, khususnya anggaran. 2. Prosedur Eksperimen Studi ini menggunakan instrumen eksperimen yang disusun oleh Steven (2002), dan telah dikembangkan oleh Nugrahani dan Sugiri (2004) dengan memodifikasi yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Nugrahani dan Sugiri (2004) telah melakukan pilot test untuk mengukur distorsi anggaran dengan menggunakan kode ASCII pada 13 mahasiswa Pasca Sarjana UGM- Akuntansi, namun hasilnya kurang direspon. Kemudian mereka mendisain ulang instrumen distorsi anggaran dengan menggunakan produksi berupa bentuk “mainan pesawat terbang” yang terbuat dari kertas lipat. Mereka melakukan pilot test pada 70 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Magelang, dengan hasil cukup responsif. Adapun prosedur eksperimen ini terdiri dari enam tahap, yaitu: Pada tahap pertama, peneliti memberi pengarahan tugas kepada partisipan selama 5 menit. Pada pengarahan ini, partisipan diberi informasi bahwa dalam eksperimen ini partisipan berperan sebagai bawahan, sedangkan peneliti berperan sebagai atasan. Partisipan diinformasikan mengenai jalannya eksperimen ini dari mengisi kuesioner sampai melakukan tugas produksi. Tugas produksi berupa membuat mainan pesawat terbang dari kertas. Tahap kedua, partisipan diminta untuk melakukan latihan tugas produksi atas bimbingan peneliti selama 2 menit. Latihan ini berguna untuk melakukan tugas produksi secara benar sehingga bentuk mainan pesawat terbang adalah seragam. Sedangkan tahap ketiga, partisipan diminta untuk melakukan tugas produksi 1 selama 2 menit. Hasil rata-rata dari tugas produksi 1 digunakan untuk menetapkan standar jumlah produksi yang diinginkan oleh atasan (peneliti). Kemudian tahap keempat, partisipan diminta untuk melakukan tugas produksi 2 selama 2 menit. Tujuan tugas pada tahap ini dan hasil tahap keempat digunakan untuk mengukur expected performance atau potensi produksi bawahan. Tahap kelima, partisipan diminta untuk melakukan tugas produksi 3 selama 2 menit. Hasil tugas produksi 3 ini digunakan untuk mengukur hasil produksi sesungguhnya sehingga dapat diperoleh distorsi anggaran. Pada tahap keenam, partisipan
7 diminta untuk mengisi daftar kuesioner yang berisi Norma Sosial dan Norma Internal serta manipulation cheks selama 5 menit. 3. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Distorsi anggaran adalah perbedaan antara jumlah anggaran yang diajukan oleh bawahan dengan jumlah estimasi yang terbaik dari perusahaan (Anthony dan Govindaradjan, 2001). Bawahan cenderung mengungkapkan target produksi yang lebih rendah dari potensi sesungguhnya berdasar keyakinan yang akan dicapai oleh bawahan tersebut. Sedangkan potensi bawahan sesungguhnya hanya dapat diketahui oleh bawahan yang bersangkutan. Pengukuran variabel distorsi anggaran yaitu dengan menghitung selisih hasil produksi 3 dengan expected performance. Karena potensi sesungguhnya tidak dapat diobservasi, maka studi ini menilai potensi sesungguhnya dari bawahan dengan menghitung expected performance (Steven, 2002). Adapun rumus perhitungan expected performance dan distorsi anggaran, yaitu: Hasil Produksi 1 + Hasil Produksi 2 . 2 Hasil Produksi 3 - Target Produksi Expected Performance
Expected Performance = Distorsi anggaran =
Norma internal adalah aturan atau kaidah yang diterima secara pribadi dan tidak melanggar masyarakat secara umum. Pertanyaan yang berkaitan dengan norma internal diambil dari instrumen Jackson (1994) dalam Steven (2002). Pertanyaan ini tidak menggunakan skala 1 sampai 20 (sensitif – tidak sensitif) tetapi disesuaikan dengan pilihan item pertanyaan pada variabel lain yaitu menggunakan skala likert 1 sampai 5, dengan pilihan sangat tidak setuju sampai sangat setuju. Pertanyaan tersebut adalah ”Merupakan kewajiban bagi saya untuk berbuat sesuatu yang benar, tanpa memperhatikan konsekuensi pribadi.” Norma Sosial adalah aturan yang diterima masyarakat secara umum. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), pengertian norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok di masyarakat, dipakai sebagai tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai dan berterima. Pertanyaan yang berkaitan dengan norma sosial diambil dari instrumen Jackson (1994) dalam Steven (2002). Pertanyaan ini tidak menggunakan skala 1 sampai 20 (sensitif – tidak sensitif) tetapi disesuaikan dengan pilihan item pertanyaan pada variabel lain yaitu menggunakan skala likert 1 sampai 5, dengan pilihan sangat tidak setuju sampai sangat setuju. Pertanyaan tersebut adalah ”Bekerjasama dapat diharapkan untuk mengakui keinginan orang lain dan menyetujui pandangan organisasi/kelompok khususnya berkaitan dengan masyarakat, tempat, dan peristiwa.”
8 D. ANALISIS DATA Penelitian ini berhasil mengumpulkan 101 mahasiswa yang dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu kelompok None, Low, dan High Information Asymmetry . Masing-masing terdiri dari 33, 34, dan 34 mahasiswa. Tabel 1. Data Partisipan Berdasar Jenis Kelamin Asimetri informasi Gender
L P
Total
Rendah 9 24 33
Sedang 9 25 34
Total
Tinggi 12 22 34
30 71 101
Tabel 1 menunjukkan partisipan terdiri dari 30 (71) mahasiswa berjenis kelamin laki-laki (perempuan). Partisipan laki-laki terbagi dalam kelompok None, Low, dan High Information Asymmetry, masing-masing terdiri dari 9, 9, dan 12 mahasiswa. Sedangkan partisipan perempuan terbagi dalam kelompok yang sama, masing-masing terdiri dari 24, 25, dan 22 mahasiswi. Tabel 2. Statistik Deskriptif (n = 101) Produksi 1 Produksi 2 Produksi 3 Expected Performance Target Produksi Distorsi anggaran Asimetri Informasi Norma Internal Norma Sosial
Minimum Maximum Mean Std. Dev 4,00 7,00 5,7921 0,9830 4,00 7,00 5,7921 0,9830 4,00 9,00 6,2574 1,7009 4,00 9,00 5,8317 1,0302 4,00 9,00 5,4455 1,2608 -0,833 0,833 0,2118 0,3825 1,00 3,00 2,0099 0,8185 1,00 5,00 2,8416 1,5921 1,00 5,00 2,6832 1,4962
Tabel 2 menyajikan statistik deskriptif variabel distorsi anggaran, asimetri informasi, norma internal, dan norma sosial. Nilai minimum masing-masing variabel berturut-turut adalah -0,833; 1; 1; dan 1. Adapun nilai maksimumnya berturut-turut adalah 0,833; 3; 5; dan 5. Rata-rata (deviasi standar) variabel-variabel tersebut masingmasing berturut-turut adalah 0,2118 (0,3825); 2,0099 (0,8185); 2,8416 (1,5921); dan 2,6832 (1,4962). Data variabel distorsi anggaran berkisar antara -0,833 sampai 0,833. Rata-rata kemampuan produksi 1 dan 2 yaitu sebesar 5,7921 unit mainan, dengan rata-rata target yang diusulkan lebih kecil yaitu sebesar 5,4455 unit. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan awal bahwa terdapat distorsi anggaran dengan target yang lebih kecil daripada hasil produksinya. Distorsi anggaran terbesar adalah 0,833, hal ini menunjukkan bahwa partisipan dalam menentukan target sebesar 9 unit tetapi menghasilkan produksi sebesar 4 unit. Sebaliknya, distorsi anggaran terkecil sebesar -0,833, hal ini berarti partisipan dalam menentukan target 4 unit, tetapi dapat berproduksi sebesar 9 unit.
9 Tabel 2 menunjukkan data variabel norma internal berkisar antara 1 sampai 5. Pertanyaan norma internal terdapat dalam daftar kuesioner ke 2 (exit questionnaire) dengan menggunakan skala likert 1 sampai 5. Adapun pertanyaan norma internal yaitu ”Merupakan kewajiban bagi saya untuk berbuat sesuatu yang benar, tanpa memperhatikan konsekuensi pribadi.” Statistik deskriptif menunjukkan nilai rata-rata norma internal sebesar 2,8416. Ini berarti partisipan dalam menjawab pertanyaan rata-rata memilih antara 2 (tidak setuju) dan 3 (netral). Tampak adanya keraguan dalam menjawab pertanyaan tersebut. Kemungkinan hal ini terjadi karena adanya partisipan yang kurang paham dari pertanyaan tersebut, atau mungkin karena partisipan belum berpengalaman dalam membuat anggaran sehingga tidak memperhatikan masalah etis secara internal. Data variabel norma sosial berkisar antara 1 sampai 5. Pertanyaan norma sosial terdapat dalam exit questionnaire dengan menggunakan skala likert 1 sampai 5. Adapun pertanyaan norma sosial yaitu: ”Bekerjasama dapat diharapkan untuk mengakui keinginan orang lain dan menyetujui pandangan organisasi/kelompok, khususnya berkaitan dengan masyarakat, tempat, dan peristiwa.” Dari data statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata norma sosial sebesar 2,6832. Ini berarti partisipan dalam menjawab pertanyaan rata-rata memilih antara 2 (tidak setuju) dan 3 (netral). Tampak adanya keraguan dalam menjawab pertanyaan tersebuti. Kemungkinan hal ini terjadi karena adanya partisipan yang kurang paham dari pertanyaan tersebut atau mungkin karena partisipan belum berpengalaman dalam membuat anggaran sehingga partisipan tidak memperhatikan masalah reputasi dan norma sosial yang ada.
E. PENGUJIAN HIPOTESIS Bagian ini akan menjelaskan pengujian hipotesis yang berkaitan dengan analisis Anova. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. 1. Teknik Pengujian Hipotesis Teknik pengujian hipotesis dibantu dengan menggunakan fasilitas komputer program SPSS versi 11.50. Sedangkan alat analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis disesuaikan dengan model hipotesis yang diajukan. Pengujian Hipotesis menggunakan analisis Anova (Analysis of Variance) bertujuan untuk menguji perbedaan tingkat norma internal dan norma sosial antar kelompok yang berpartisipasi dalam eksperimen ini. Pengujian hipotesis akan dilakukan dengan ketentuan alpha 5 persen. Hipotesis 1 dan 2 akan didukung jika pengujian Anova menunjukkan uji F signifikan pada alpha 5 persen. 2. Korelasi Korelasi antarvariabel menggunakan korelasi bivariat pearson. Tabel 3 menampilkan hasil korelasi antarvariabel secara pearson. Korelasi antara asimetri informasi dan distorsi anggaran, sebesar -12,7 persen dengan p value 0,205 yang berarti asimetri informasi tidak berhubungan dengan distorsi anggaran karena tidak signifikan pada tingkat 5 persen dua sisi. Hasil ini tidak mendukung penelitian Steven (2002).
10 Korelasi antara asimetri informasi dengan norma sosial sebesar 25,7 persen dengan p value sebesar 0,009. Dengan demikian norma sosial berhubungan dengan asimetri informasi. Hasil ini konsisten dengan penelitian Steven (2002). Korelasi norma internal dan asimetri informasi -28,1 persen dengan p value sebesar 0,004. Hal ini menunjukkan norma internal berhubungan dengan asimetri informasi. Hasil ini mendukung penelitian Steven (2002). Korelasi (p value) antara distorsi anggaran dengan norma internal dan norma sosial, masing-masing menunjukkan 15,7 (0,117); dan -11,4 (0,256). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara distorsi anggaran dengan norma internal, dan norma sosial karena secara statistik menunjukkan p value lebih dari 5 persen. Tabel 3. Korelasi Matrix Bivariate Pearson (n=101) Distorsi Anggaran
Distorsi Anggaran 1,000
Asimetri
-0,127 (0,205) Norma Sosial 0,157 (0,117) Norma Internal -0,114 (0,256) * signifikan pada alpha 5 persen satu sisi ** signifikan pada alpha 1 persen dua sisi
Asimetri -0,127 (0,205) 1,000 0,257** (0,009) -0,281** (0,004)
Norma Sosial 0,157 (0,117) 0,257** (0,009) 1,000 -0,223* (0,025)
N.Internal -0,114 (0,256) -0,281** (0,004) -0,223* (0,025) 1,000
3. Pengujian Hipotesis Uji F dalam Tabel 4 menunjukkan Norma Internal sebesar 4,615 dengan p value 0,001. Hasil uji tersebut berarti terdapat perbedaan statistis rata-rata pada keenam kelompok tersebut. Lebih lanjut, rata-rata (standar deviasi) distorsi anggaran dari Norma Internal Tinggi, yaitu sebesar 0,2511 (0,4579); 05062 (0,3225); 0,0093 (0,2347) sedangkan rata-rata (standar deviasi) distorsi anggaran dari Norma Internal Rendah yaitu sebesar 0,1278 (0,4086); 0,3509 (0,3830); -0,0300 (0,2951), berturut-turut pada kelompok Asimetri Informasi, Rendah. Sedang, dan Tinggi. Uji t test (p value) tingkat Norma Internal Rendah pada kelompok Asimetri Informasi Rendah, Sedang, dan Tinggi masing-masing sebesar 1,500 (0,148); 3,994 (0,001); dan -0,3500 (0,733) dan hanya pada kelompok Asimetri Informasi Sedang yang signifikan pada alpha 5 persen. Demikian pula pada Uji t test tingkat Norma Internal Tinggi, hanya pada kelompok Asimetri Informasi Sedang yang signifikan pada alpha 5 persen yaitu dengan t=6,079 (0,000). Hasil ini menunjukkan secara empiris tidak mendukung hipotesis 1. Hipotesis 1 yang berbunyi “bawahan yang mempunyai norma internal rendah cenderung lebih tinggi dalam membuat distorsi anggaran, dibawah kondisi asimetri informasi tinggi”, tidak berhasill didukung, karena bawahan cenderung melakukan distorsi anggaran pada kondisi asimetri informasi sedang.
11 Hasil penelitian ini konsisten dengan studi Steven (2000) bahwa norma internal tidak berpengaruh pada distorsi anggaran. Signifikansi terdapat pada kelompok Asimetri Informasi Sedang, baik pada Norma Internal rendah maupun tinggi, kemungkinan karena secara internal bawahan merasa dapat menyembunyikan informasi privatnya mengenai kemampuan hasil produksi, sedangkan mereka sendiri merasa perlu menjaga rasa etisnya secara intern. Tabel 4. Uji F Anova Perbedaan Tingkat Norma Internal Asimetri Informasi
Norma Internal
Asimetri Informasi Sedang
Rendah Tinggi
Rendah
Asimetri Informasi Tinggi
Uji F (sig)
N
10
15
22
4,615
Mean (st.dev)
0,2511 (0,4579)
0,5062 (0,3225)
0,0093 (0,2347)
(0,001)
T test (sig)
1,734 (0,117)
6,079* (0,000)
1,850 (0,078)
N
23
19
12
Mean (st.dev)
0,1278 (0,4086)
0,3509 (0,3830)
-0,0030 (0,2951)
T test (sig)
1,500 (0,148)
3,994* (0,001)
-0,350 (0,733)
Uji F dalam Tabel 5 menunjukkan nilai Norma Sosial sebesar 5,844 dengan p value 0,000. Hasil uji tersebut berarti terdapat perbedaan statistis rata-rata pada keenam kelompok tersebut. Lebih lanjut, rata-rata (standar deviasi) distorsi anggaran dari Norma Sosial Tinggi, yaitu sebesar 0,0057 (0,4297); 0,3709 (0,4297); 0,0022 (0,3469) sedangkan rata-rata (standar deviasi) distorsi anggaran dari Norma Sosial Rendah yaitu sebesar 0,4141 (0,2816); 0,4808 (0,2595); 0,0066 (0,2112), berturut-turut pada kelompok Asimetri Informasi, Rendah, Sedang, dan Tinggi. Uji t test (p value) tingkat Norma Sosial Rendah pada kelompok Asimetri Informasi Rendah, Sedang, dan Tinggi masing-masing sebesar 4,651 (0,001); 7,433 (0,000); dan 1,552 (0,136), hanya pada kelompok Asimetri Informasi Tinggi yang tidak signifikan pada alpha 5 persen. Sedangkan pada Uji t test tingkat Norma Sosial Tinggi, hanya pada kelompok Asimetri Informasi Sedang yang signifikan pada alpha 5 persen yaitu dengan t=3,766 (0,001). Hal ini menunjukan bahwa secara empiris, studi ini tidak mendukung hipotesis 2 yang berbunyi bawahan yang mempunyai Norma Sosial Rendah cenderung lebih tinggi dalam membuat distorsi anggaran, dibawah kondisi asimetri informasi tinggi. Secara empiris terbukti pada bawahan yang mempunyai tingkat Norma Sosial Tinggi dan Rendah yang signifikan dan keduanya dibawah kondisi asimetri informasi sedang. Seperti dalam Norma Internal, studi ini secara statistik tidak mendukung hipotesis penelitian dan konsisten dengan studi Steven (2000). Kemungkinan terjadinya penolakan hipotesis ini disebabkan pengukuran norma sosial yang kurang tepat. Atau dapat pula karena ada tekanan sosial, sehingga akan berpengaruh terhadap kinerja produksi. Bawahan yang merasa tertekan dengan hasil produksi dari atasan dan merasa pengawasan yang terlalu ketat dalam berproduksi, justru
12 mengabaikan ketentuan yang ada, sehingga bawahan cenderung melakukan penyimpangan atau melakukan distorsi anggaran, semakin bertambahnya aturan/norma sosial yang ada semakin bertambah pula distorsi anggaran. Atau dapat pula terjadi karena kultur yang berbeda dibandingkan di negara maju, sehingga norma sosial yang dilakukan di Indonesia berpengaruh secara positif. Tabel 5. Uji F Anova Perbedaan Tingkat Norma Sosial Asimetri Informasi
Norma Sosial
Asimetri Informasi Sedang
Rendah Tinggi
Rendah
Asimetri Informasi Tinggi
Uji F (sig)
N
23
19
13
5,844
Mean (st.dev)
0,0057 (0,4297)
0,3709 (0,4294)
0,0022 (0,3469)
(0,000)
T test (sig)
0,636 (0,532)
3,766* (0,001)
0,226 (0,825)
N
10
15
21
Mean (st.dev)
0,4141 (0,2816)
0,4808 (0,2595)
0,0066 (0,2112)
T test (sig)
4,651* (0,001)
7,433* (0,000)
1,552 (0,136)
F. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasar pengujian hipotesis dengan menggunakan Anova, maka dapat disimpulkan bahwa Asimetri Informasi berpengaruh terhadap Distorsi Anggaran. Apabila Asimetri Informasi dibedakan menjadi 3 (tiga) kondisi, maka dapat dikatakan bahwa Asimetri Informasi Rendah dan Sedang yang signifikan berpengaruh pada distorsi anggaran, sedangkan Asimetri Informasi Tinggi tidak berpengaruh pada Distorsi Anggaran karena nilai p value kurang dari 5 persen. Apabila dilihat berdasar Norma Internal, maka hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa antara bawahan yang mempunyai Norma Internal Tinggi dan Rendah, tidak berbeda dalam melakukan distorsi anggaran. Studi ini tidak berhasil membuktikan secara empiris bahwa Norma Internal berpengaruh terhadap distorsi anggaran, karena p value kurang dari 5 (lima) persen. Namun secara statistik, studi ini konsisten dengan studi Steven (2002), Begitu pula ditinjau dari faktor personal “Norma Sosial.” Berdasar pengujian hipotesis menunjukkan tidak terdapat perbedaan nilai distorsi angaran pada bawahan, baik yang mempunyai tingkat Norma Sosial Tinggi maupun Rendah. Bawahan dengan Norma Sosial Rendah dan dalam kondisi Asimetri Informasi Tinggi tidak berpengaruh dalam melakukan distorsi anggaran. Sedangkan Bawahan dengan Norma Sosial Sedang dan dalam kondisi Asimetri informasi Tinggi cenderung lebih tinggi dalam melakukan distorsi anggaran. Hal ini berlawanan arah dengan pengajuan hipotesis, sehingga studi ini tidak berhasil membuktikan secara empiris bahwa Norma sosial tidak berpengaruh terhadap distorsi anggaran. Namun, secara statistik studi ini konsisten dengan studi Steven (2002).
13 Kemungkinan terjadinya arah yang berlawanan dengan arah hipotesis disebabkan pengukuran norma sosial yang kurang tepat, atau bawahan merasa tertekan, atau dapat pula terjadi karena kultur yang berbeda dibandingkan di negara maju, sehingga norma sosial yang dilakukan di Indonesia berpengaruh secara positif. 2. Keterbatasan dan Saran Penelitian ini tidak dapat digeneralisir karena menggunakan sampel yang bukan bawahan sesungguhnya, sehingga masih terdapat kemungkinan perbedaan hasil distorsi anggaran apabila menggunakan sampel bawahan yang sesungguhnya. Kemungkinan terjadi bias pada jenis kelamin, karena 70 persen partisipan perempuan, dan 30 persen laki-laki Hasil studi dapat berbeda apabila perbandingan partisipan antara laki-laki dan perempuan seimbang. Perlunya memasukkan kompensasi metoda Truth Inducing selain metoda Fixed Pay Plus Bonus pada penelitian berikutnya, sehingga dapat dibedakan tingkat distorsi anggaran dari kedua metode kompensasi tersebut. Kemungkinan diperlukan instrumen norma internal, dan norma sosial yang lebih tepat apabila akan melakukan penelitian selanjutnya sehingga hasil penelitian lebih sempurna. G. DAFTAR PUSTAKA Anthony, R. J., dan Govindaradjan, 2000, “Management Control Systems”, Tenth Edition, New York, Ny: Irwin. Azwar, Saifuddin, 2003, “Penyusunan Skala Psikologi”, Edisi IV, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Baiman, dan Rajan, V.M, 1995, “The Informational Advantages of Discretionary BonusSchemes”, The Accounting Review, October. Balai Pustaka, 2002, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Edisi Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. Brons, Jr. dan Coster,D. T, 1969, “Accounting and Its Behavioral Implications”, Mc.Graw Hill-Book Company. Brownell, Peter and Mc. Innes, 1986, “Budgetary Participation, Motivation, and Managerial Performance”, The Accounting Review, Vol.LXI, No.4, October Chow, C., J. Cooper, and W. Waller,1988, “Participative Budgeting: Effects of a TruthInducing Pay Scheme and Information Asymmetry on Slack and Performance”, The Accounting Review, Vol. 63, pp. 111-122 Cooper, Donald R dan Schindler, S. Pamela, 2001, “Business Research Methods”, Sevent Edition, McGraw-Hill Irwin. Dunk, A.S, 1993, “The Effect of Budget Emphasis And Information Asymmetry On The Relation Between Budgetary Participation And Slack”, The Accounting Review, Vol. 68, pp. 400-410. Fisher, Joseph G., Frederickson, James R., dan Sean A Peffer, 2000, “Budgeting: An Experimental Investigation Of The Effects Of Negotiation”, Accounting Review, Vol 75. Fisher, Maines, Peffer, dan Sprinkle, 2002, “Using Budgets for Performance Evaluation: Effects of Resource Allocation and Horizontal Information Asymmetry on Budget
14 Proposals, Budget Slack, and Performance”, The Accounting Review, Vol. 77, No.4, October. Gibson, James. L, dan Donelly, 2000, “Organizations Behavior Structure Processes”, Tenth Edition, Irwin, McGraw-Hill. Gudono, M. dan Sami, 2003, “Managers’ Adverse Selection In Resource Allocation: A Laboratory Experiment”, Advances in Management Accounting, Vol. 11, pp. 225249. Hansen, D.R, dan Mowen. M, 1997, “Management Accounting”, Fourth Edition, McGraw-Hill International Editions. Kaplan dan Atkinson, 1998, “Advanced Management Accounting”, Prentice Hall International. Inc. Kenis, I, 1979, “Effect Of Budgetary Goals Characteristic On Managerial Attitudes And Performance”, The Accounting Review, pp.707-721. Komalasari, Rizal dan Nashih, 2003, “Pengaruh Negosiasi dan Asimetri Terhadap Budget Outcomes: Sebuah Eksperimen”, Proceeding Simposium Nasional Akuntansi VI, Surabaya, 16-17 Oktober. Kren, R. L. dan Liao, W.M, 1988, “The Role of Accounting Information in the control of organizations: A Review of The Evidence”, Journal of Accounting Literature, pp. 280-309. Luthans, F. 1995, “Organizational Behavior”, McGrow-Hill, Inc. Merchant, K.A, 1985, “Budgeting and The Propensity To Create Slack”, Accounting, Organization and Society, Vol. 10, pp.201-210. Nugrahani, dan Sugiri, 2004, “Pengaruh Reputasi, Etika, dan Self Esteem Subordinat terhadap Budgetary Slack dibawah Kondisi Asimetri Informasi, JEBI, Vol.19, No.4, Oktober. Onsi, M, 1973, “Factor Analysis Of Behavioral Variables Affecting Budgetary Slack”, The Accounting Review, (48): 535-548. Rutledge, W. Robert dan Karim, E. Khondkar, 1999, “The Influence Of Self-Interest And Ethical Considerations On Managers’ Evaluation Judgments”, Accounting, Organizations and Society, Vol. 24, pp.173-184. Schiff dan Lewin, 1970, “The Impact of People on Budgets”, The Accounting Review, April. Steven, D.E, 2002, “The Effects Of Reputation And Ethics On Budgetary Slack”, Journal of Management Accounting Research, Vol.14, pp.153-171. ______, 2000, “Determinants of Budgetary Slack in the Laboratory: An Investigation of Controls for Self-Interested Behavior”, Woorking Paper, Syracuse University. Waller, W, 1988, “Slack In Participative Budgeting: The Joint Effect Of A Truth Inducing Pay Scheme And Risk Preferences”, Accounting, Organizations and Society, Vol. 13, pp. 87-98. Young, Mark S, 1985, “Participative Budgeting: The Effects of Risk Aversion and Asymmetric Information on Budgetary Slack”, Journal of Accounting Research, Vol. 23, No.2.