BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia dalam kehidupan sehari-hari berinteraksi satu sama lain dipandu oleh nilai-nilai dan dibatasi oleh norma-norma dalam kehidupan sosial. Norma yang ada dalam masyarakat sekiranya mampu dijadikan pedoman masyarakat dalam memperoleh ketentraman, perdamaian dan kesejahteraan sebagai tujuan hidup
karena
norma
memberikan
batas-batas
pada
perilaku
individu,
mengidentifikasi individu dengan kelompoknya, menjaga solidaritas antar anggota masyarakat. Namun pada kenyataannya sangat sulit menerapkan norma yang ada dalam masyarakat mengingat tidak sedikit dari sebagian masyarakat itu melanggar norma dengan keserakahan, keangkuhan dan lebih mementingkan kepentingan pribadi1. Hal tersebut dapat memicu masyarakat untuk melakukan kejahatan karena menurut perspektif teori kontrol sosial bahwa pola-pola perilaku jahat merupakan masalah sosial (dan hukum) yang membawa masyarakat pada keadaan anomie, yakni keadaan kacau karena tidak adanya patokan tentang perbuatan-perbuatan apa yang baik dan yang tidak baik. Para ahli (misalnya para kriminolog) beranggapan bahwa setiap masyarakat mempunyai warga yang jahat, karena 1
Crayonpedia, Norma-Norma yang Berlaku dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, terdapat dalam http://www.crayonpedia.org/mw/NormaNorma_yang_Berlaku_dalam_kehidupan_Bermasyarakat%2C_Berbangsa_dan_Bernegara_7.1, tanggal 31 Maret 2010, pukul 08.15 WIB
masyarakat dan kebudayaan yang memberikan kesempatan atau peluang kepada seseorang untuk menjadi jahat. Akan tetapi, orang akan berpendapat bahwa perilakuan jahat adalah perbuatan-perbuatan yang menyeleweng dari kaidahkaidah yang berlaku menyeleweng dari perbuatan-perbuatan yang secara wajar dapat ditoleransikan oleh masyarakat.2 Kejahatan merupakan bagian dari masalah manusia dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Masalah kejahatan pada dasarnya bukan hal yang baru lagi karena tidak ada satu negarapun di dunia ini yang bebas dari kejahatan, baik itu negara maju maupun negara berkembang. Naik turunnya kejahatan sesuai kondisi sosial, ekonomi, budaya, pollitik, dan pertahanan keamanan suatu Negara. Tidak dapat dipungkiri jika suatu kejahatan selalu muncul di tengah-tengah masyarakat. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran dari masyarakat sendiri dalam mentaati segala peraturan yang ada serta kurangnya menjaga keamanan dalam lingkungan masyarakat itu sendiri. Aparat penegak hukum telah berusaha memberantas masalah kejahatan, salah satunya dengan memproses hukum terhadap pelaku kejahatan untuk diadili dan diberi sanksi pidana sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, namun sangat sulit bagi aparat untuk menanggulangi masalah kejahatan, hal ini dibuktikan dengan lemahnya penegakan hukum, terutama lemahnya aparat kepolisian dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Kesan atau citra masyarakat terhadap kepolisian hampir di semua Negara tetap masih belum membaik. Kegagalan dalam menanggulangi kejahatan akan merupakan sasaran kritik dan celaan 2
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Edisi Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 214.
masyarakat.3 Hal tersebut dapat menimbulkan krisis penegakan hukum dalam masyarakat. Orang dapat menganggap lain atas istilah krisis penegakan hukum itu dan memberi tekanan pada faktor-faktor yang telah menentukan isi sesungguhnya dari hukum. Namun untuk mencapai supremasi hukum yang kita harapkan bukan faktor hukumnya saja, namun faktor aparat penegak hukum juga sangat berpengaruh dalam mewujudkan supremasi hukum. Orang mulai tidak percaya terhadap hukum dan proses hukum ketika hukum itu sendiri masih belum dapat memberikan keadilan dan perlindungan bagi masyarakat. Pengadilan sebagai institusi pencari keadilan sampai saat ini belum dapat memberikan rasa puas bagi masyarakat bawah. Faktor terpenting yang berperan dalam upaya penegakan hukum yang terjadi dalam masyarakat adalah tegaknya para aparat penegak hukum dalam mengemban tugas dan amanahnya. Hal ini di sebabkan aparat penegak hukum merupakan subyek dan obyek dari hukum. Artinya selain sebagai aparat yang bertugas untuk memberikan perlindungan dan ketentraman serta rasa keadilan pada masyarakat ia juga sebagai masyarakat biasa yang tidak bisa lepas dari jangkauan hukum. Oleh sebab itu baik dan buruknya penegakan hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat sangatlah tergantung pada kejujuran dan kewibawaan dari para aparat penegak hukum dalam mengemban tugasnya. Dewasa ini penegakan hukum yang terjadi bisa kita katakan masih kurang dari rasa keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini tidak lain di sebabkan oleh prilaku dari aparat penegak hukum dalam mengemban tugasnya terjebak dalam 3
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 1992, hlm 117-118
praktek KKN yang hanya mementingkan urusan pribadi belaka. Dalam prakteknya seringkali kita temukan prilaku dari aparat hukum yang merugikan masyarakat. Seperti dalam proses penyidikan seringkali aparat dalam menjalankan tugasnya
untuk
memperoleh
informasi
dari
para
tersangka
seringkali
menggunakan kekerasan. Selain itu, pada saat penggeledahan aparat juga seringkali tidak memenuhi rambu-rambu yang berlaku yang ditetapkan dalam UU. Seperti harus mengembalikan barang-barang yang dalam proses penggeledahan ke tempat semula. Padahal dalam UU di jelaskan bahwa setelah pengeledahan barang-barang yang di pindahkan harus di kembalikan seperti sebelum penggeledahan. Menyikapi hal tersebut sebenarnya UU sudah mengaturnya seperti yang di atur dalam pasal 95 KUHAP tentang rehabilitasi dan ganti rugi. Namun dalam kenyataannya hal tersebut tidak di jalankan oleh aparat penegak hukum. Dari produk hukumnya sendiri, kebanyakan belum bisa mewujudkan dan mengayomi rasa keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain hukumhukum yang ada sekarang kebanyakan bersifat reaksioner, artinya UU tersebut di ciptakan ketika ada sebuah peristiwa atau kejadian. Kelemahan dari UU yang lahir dari adanya peristiwa adalah apabila ada kejadian yang lain maka UU tersebut tidak bisa di gunakan. Selama ini tataran konsep hukum kita bisa di katakan sudah cukup baik walaupun sebagian besar hukum yang ada sekarang merupakan produk warisan dari para penjajah yang di adakan tambal sulam di sana-sini. Akan tetapi pada tataran aplikatifnya hukum yang ada sekarang ini bisa kita katakan masih kurang bisa memenuhi rasa keadilan dari masyarakat hal ini tidak lain disebabkan oleh prilaku dari aparat penegak hukum itu sendiri. Melihat kenyataan
yang demikian itu masyarakat menjadi kecewa terhadap aparat penegak hukum yang berujung pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada yang di tandai dengan makin banyaknya aksi main hakim sendiri.4 Tumbuh dan meningkatnya masalah kejahatan ini memunculkan anggapan dari masyarakat bahwa aparat penegak hukum gagal dalam menanggulangi masalah kejahatan dan dianggap lamban dalam menjalankan tugasnya serta adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Adanya anggapan yang demikian memicu sebagian masyarakat yang merasa keamanan dan ketentramannya terganggu untuk melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan tanpa mengikuti proses hukum yang berlaku. Padahal perbuatan main hakim sendiri itu bukan merupakan penghukuman yang benar karena proses penghukuman terhadap pelaku kejahatan tergantung kepada sistem hukum. Sistem hukum itu sendiri terbagi menjadi dua, yang pertama yaitu sistem hukum refrensif artinya sistem hukum yang dikaitkan dengan masyarakat homogen yang didasarkan atas solidaritas. Sedangkan yang kedua yaitu sistem hukum restutif yaitu sistem hukum yang ditandai adanya kelompok-kelompok dengan nilai-nilai dan fungsi-fungsi yang utama untuk membentuk kembali integritas masyarakat yang kompleks.5
Sistem hukum yang pertama tidak
terdapat pengkhususan. Warga masyarakat mempunyai pandangan hidup yang sama dan nilai-nilai hampir bersamaan. Penyimpangan ini akan menimbulkan 4
Muhammad Hambali, Pelaksanaan Hukum Dalam Masyarakat, terdapat dalam http://marx83.wordpress.com/hukum/, tanggal 6 April 2010, pukul 12.33 WIB 5 Soeryono Soekanto, Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Remaja Karya, Bandung,1986, hlm 31.
reaksi sosial dan kemarahan yang serta merta. Hukum segera dijatuhkan agar orang lain takut untuk melakukan pelanggaran atau hal yang sama. Penghukuman sebagai upaya penegak hukum yang berwenang dan mendapatkan wewenang itu dari Negara sebagai satu-satunya hak menghukum, hal ini berdasarkan Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Kasus main hakim sendiri ini tidak sedikit ditemui dalam masyarakat luas, masih banyak kasus-kasus tindakan main hakim sendiri yang terjadi di wilayah Indonesia sebagai contoh kasus pengeroyokan yang menewaskan anggota Polres Humbang Sumatera Utara yang berawal dari tersangka yang akan ditangkap oleh polisi memprovokasi warga dan karena ketakutan tersangka meneriaki petugas yang akan menangkapnya sehingga memancing kemarahan warga yang berada di sekitar tempat tinggalnya, kejadian itu terjadi pada hari Kamis 4 Maret 2010 yang lalu. Selain itu di Sragen, Selasa 23 Maret 2010 lalu, seorang warga Dusun Gandu RT 05, Sambirejo, Ngrambe, Ngawi, Jatim, babak belur dihajar massa setelah tepergok maling di rumah warga Dusun Pohjaring, Desa Newung, Kecamatan Sukodono.6 Tidak hanya itu di Wonosari seorang warga bernama Sri Mulyono babak belur dihajar massa karena mencuri pompa air hari Rabu tanggal 7 April 2010 yang lalu.7 Maraknya tindakan main hakim sendiri di Indonesia sebagian besar disebabkan dalam penanganannya kasus seperti ini banyak yang tidak 6
Koran Merapi Online Kolom Kriminal dan Hukum,”Dihakimi Warga,Maling Kritis di RS”, terdapat dalamhttp://harianjoglosemar.com/berita/dihakimi-warga-maling-kritis-di-rs-11954.html, 13 April 2010,pukul 21.30WIB. 7 Solopos, “Tak Percaya Aparat,Warga Main Hakim Sendiri”,terdapat dalam http://edisicetak.solopos.co.id/zindex_menu.asp?kodehalaman=h32&id=65816,26 April 2010, pukul 00.15 WIB
terselesaikan, dalam artian banyak kasus yang dibiarkan dan tidak ditindak lanjuti oleh aparat penegak hukum dan sering kali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat sehingga timbul pemicu yang menyebabkan suatu ledakan kemarahan masyarakat. Dengan adanya kenyataan yang demikian ini maka masyarakat merasa main hakim sendiri merupakan tindakan tegas dalam memberikan sanksi kepada pelaku kejahatan. Masyarakat merasa semakin mudah menumpahkan kemarahannya kepada pelaku kejahatan dengan melakukan pengeroyokan secara beramai-ramai dengan tindakan fisik, mulai dari pemukulan ringan hingga menyebabkan meninggalnya si korban atau pelaku tindak pidana. Tindakan main hakim sendiri ini secara teknis disebut dengan istilah eigenrichting. Tindakan main hakim sendiri yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini sering diberitakan baik dalam media cetak maupun televisi, karena tidak dapat dipungkiri selain di Kota-kota besar, tindakan main hakim sendiri juga sering terjadi di berbagai daerah. Kabupaten Sragen misalnya, ternyata juga tidak luput dari kasus tindakan main hakim sendiri. Kasus-kasus seperti ini banyak yang di proses secara hukum sesuai ketentuan yang berlaku tetapi tidak sedikit juga yang dilepas begitu saja, tetapi pada umumnya di Kabupaten Sragen masih sering dijumpai tindak pidana main hakim sendiri. Kondisi masyarakat di Sragen sebagian besar sangatlah emosional dalam menghadapi pelaku kasus kriminal secara langsung terutama golongan masyarakat yang ekonominya menengah kebawah, hal itu dikarenakan rendahnya pengetahuan hukum, masih adanya perilaku masyarakat yang negative seperti suka mabuk-mabukan sehingga mudah
memicu kemarahan dan lebih suka melakukan penghukuman sendiri pada pelaku kejahatan karena bagi masyarakat penghukuman seperti itu lebih efektif. Kepercayaan masyarakat bahwa Negara dapat menegakkan keadilan hukum di tengah masyarakat sangat rendah disamping rasa perikemanusiaan sebagian anggota masyarakat sudah mulai tumpul. Hal ini akibat proses panjang dari sistem peradilan yang kurang mendidik dimana sering kali terjadi tersangka pelaku kejahatan dan merugikan masyarakat dilepas oleh penegak hukum dengan alasan kurang kuatnya bukti yang ada dan kalaupun kemudian diproses sampai ke pengadilan, hukumnya yang dijatuhkan tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Penegakan hukum kasus main hakim sendiri ini perlu diupayakan secara serius karena bila tanpa penanganan yang sungguh-sungguh, tindakan main hakim sendiri akan menjadi budaya dalam masyarakat dan menjadi noda dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila suatu negara dalam kehidupan masyarakatnya lebih dominan berlaku hukum rimba ketimbang hukum normatif yang legal formal maka masyarakat tersebut akan cenderung tunduk kepada kelompok-kelompok atau perorangan yang mempunyai kekuatan phisik, seperti kelompok tertentu yang mempunyai basis massa yang kuat atau kelompokkelompok premanisme yang menunjukkan bahwa kelompok masyarakat kita cenderung menyiapkan kekuatan phisik sebagai langkah antisipasi dalam menyelesaikan setiap masalahnya ketimbang menggunakan jalur hukum yang mereka nilai tidak efektif. Budaya main hakim sendiri pada perkembangannya akan melahirkan cara-cara lain seperti teror baik dengan sasaran psikologis maupun phisik, atau yang lebih halus seperti intimidasi, pembunuhan karakter dan
lain sebagainya. Maka dalam membangun masyarakat yang sadar dan patuh pada hukum Pemerintah harus secepatnya membangun moral force (kekuatan moral) yang dimulai dari para Penegak Hukum dengan mensosialisasikan hakikat perlunya hukum dipatuhi oleh masyarakat dibarengi dengan menindak secara tegas setiap anggota atau kelompok masyarakat yang melakukan cara main hakim sendiri dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang mereka hadapi. Selain itu pencegahannya dapat diupayakan baik dari segi masyarakat sendiri, pemerintah, maupun perangkat peraturan hukum pidana yang berlaku.8 Dengan melihat bahwa banyak kasus main hakim sendiri yang tidak terselesaikan dan adanya pendapat bahwa penerapan hukum tidak objektif, ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum serta tidak tercipta keadilan dalam menjatuhkan hukuman pada pelaku maka karena berbagai alasan itulah, penulis tertarik memilih judul “PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI (Eigenrichting) PADA PELAKU TINDAK PIDANA”
8
Andra, main hakim sendiri sebuah mega trend, terdapat dalam httpedyandra.blogspot.com200903main-hakim-sendiri-sebuah-mega-trend.html ,tanggal 01 April 2010, pukul 00.10 WIB
B. RUMUSAN MASALAH 1. Pada kasus tindak pidana apa saja yang pelakunya sering mengalami eigenrichting dari masyarakat? 2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat melakukan eigenrichting terhadap pelaku tindak pidana? 3. Bagaimana penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana eigenrichting? 4. Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus eigenrichting?
C. TUJUAN PENELITIAN 1.
Untuk mengetahui pada kasus apa saja yang pelakunya sering mengalami eigenrichting dari masyarakat.
2.
Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat melakukan eigenrichting terhadap pelaku tindak pidana.
3.
Untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana eigenrichting.
4.
Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus eigenrichting.
D. TINJAUAN PUSTAKA D.1. Substansi Hukum Pidana D.1.1. Pengertian Hukum Pidana Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk: 1. Menentukan
perbuatan-perbuatan
mana
yang
tidak
boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.9 D.1.2. Perbuatan Pidana Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 10 Tindak pidana adalah menentukan perbuatan yang
9
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Keenam, Rineka Cipta, 2000, hlm 1. ,Ibid. hlm 54.
10
dilarang dan sikap batin, menggabungkan perbuatan pidana (sikap lahiriah) dengan kesalahan (sikap batin).
Unsur-unsur perbuatan pidana yaitu: 1. Ada kelakuan dan akibat dari perbuatan tersebut 2. Hal ikhwal tertentu yang menyertai perbuatan 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana 4. Unsur melawan hukum yang obyektif (unsur keadaan diluar pelaku) 5. Unsur melawan hukum yang subyektif (unsur yang ada di dalam pelaku)11 D.1.3. Peranan Hukum Pidana dalam Menghadapi Masalah Kejahatan Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum ini pun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan, tidak ada kemutlakan dalam kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan
11
Ibid . hlm 63
pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternative.12
Roeslan Saleh mengemukakan tiga alasan pentingnya pidana dan hukum pidana, inti alasannya sebagai berikut: 1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuantujuan yang hendak dicapai, tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan. Persoalan bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam perimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing. 2. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja. 3. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempenggaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.13 Setiap perbuatan negatif dalam masyarakat akan diatasi oleh msyarakat dengan berbagai macam cara, manakala cara-cara tersebut tidak dapat juga mengendalikan perbuatan negatif itu maka baru digunakan “pidana” untuk menanggulanginya. Hal inilah yang dikatakan bahwa hukum pidana itu sebagai “ultimum remedium” ( obat yang terakhir atau senjata yang terakhir).14 D.2. Penegakan Hukum
12 13
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,Alumni, Bandung,1997, hlm 61 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Cetakan 1, Nusamedia Bandung,2010,
hlm 22-23 14
Ibid. hlm 26
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam prakteknya tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut.15 Untuk mengatur masyarakat agar taat terhadap hukum maka diperlukan efektivitas hukum secara optimal. Membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektivitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat yaitu kaidah hukum, penegak hukum, sarana atau fasilitas yang digunakan oleh penegak hukum dan kesadaran masyarakat.16 D.3. Pengertian Main Hakim Sendiri 15 16
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta,2005, hlm 160-161 Zainuddin Ali,Sosiologi Hukum, Sinar Grafika,Jakarta,2006, hlm 62.
Penghakiman berasal dari kata hakim yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti orang yang mengadili perkara, sedangkan main hakim sendiri adalah berbuat sewenang-wenang terhadap orang yang dianggap bersalah. 17 Perbuatan main hakim sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu “Eigenrichting” yang berarti cara main hakim sendiri, mengambil hak tanpa mengindahkan hukum, tanpa sepengetahuan pemerintah dan tanpa penggunaan alat kekuasaan pemerintah. Perbuatan main hakim sendiri hampir selalu berjalan sejajar dengan pelanggaran hak-hak orang lain, dan oleh karena itu tidak diperbolehkan perbuatan ini menunjukkan nahwa adanya indikasi rendahnya kesadaran terhadap hukum.18 D.4. Kriminologi Kriminologi adalah ilmu yang membahas tentang etiologi kriminal (sebabsebab terjadinya kejahatan) untuk menganalisis mengapa si pelaku melakukan perbuatan yang menyimpang. Hubungannya dengan hukum pidana adalah dengan mengetahui sebab-sebab terjadinya suatu kejahatan melalui kajian kriminologi maka dapat ditentukan cara yang tepat kapan hukum pidana harus digunakan. Dalam ilmu kriminologi dikenal beberapa teori tentang sebab-sebab kejahatan, antara lain: 1. Teori Labelling Pada tahun 1962, Howard Becker dalam bukunya Outsiders, mengajukan teori labelling. Dia menyatakan bahwa kejahatn sebagai hal yang 17
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm 99. 18 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm 167
problematik dan merupakan hasil dari balasan masyarakat, sebab ukuranukuran atau norma-norma yang dilanggar tidak bersifat universal dan tidak dapat berubah. Penyimpangan terjadi melalui putusan sosial terhadap individu oleh orang-orang yang hadir disitu. Dinyatakan oleh Becker, bahwa kelompok sosiallah yang menciptakan dengan membuat aturanaturan. Pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut adalah penyimpangan. Dan dengan mengenakannya peraturan tersebut kepada orang-orang tertentu serta dengan memberikan label kepada mereka sebagai orangorang yang menyimpang (outsiders). Ada 2 dalil yang diajukan dalam teorinya, yaitu: a. Kelompok sosial menciptakan penyimpangan dengan membuat peraturan, bahwa barang siapa melanggarnya akan menghasilkan penyimpangan. b. Perilaku menyimpang adalah perilaku yang oleh orang-orang diberi cap demikian. Dengan demikian maka kejahatan bukanlah kualitas perbuatan yang telah dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannya peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang “pelanggar”. Penjahat adalah seseorang terhadap siapa cap (label) tersebut telah dikenakan, perilaku kejahatan adalah perbuatan yang oleh orang-orang diberikan label demikian.19 2. Teori Konflik 19
Susanto, Modul Kuliah Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm 76-77.
Teori konflik mempertanyakan hubungan antara kekuasaan dalam pembuatan undang-undang (pidana) dengan kejahatan. Hal ini terutama sebagai akibat tersebarnya dan banyaknya pola dari tindak-tindak konflik serta fenomena masyarakat yang bersifat pluralistik seperti dalam ras, etnik, agama dan kelas sosial. Keadaan itu semua akan mempertajam persaingan dalam bidang ekonomi dan politik, konflik dalamgaya hidup serta orientasi nilai diantara sub-sub budaya yang berbeda-beda. Teori ini menganggap bahwa orang-orang memiliki perbedaan tingkatan kekuasaan dalam mempengaruhi pembuatan dan bekerjanya undang-undang. Secara umum, mereka yang memiliki tingkat yang lebih besar, memiliki kesempatan yang lebih untuk menunjuk perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan (tindak pidana).20 3. Teori Differential Association Sebelum teori Differential Association diajukan oleh E. Sutherland, pergaulan sudah sering ditunjuk sebagai faktor yang dapat menimbulkan kejahatan. Teori ini berlandaskan pada proses belajar, yaitu bahwa perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Untuk beberapa kejadian memang benar, akan tetapi tentunya tidak benar untuk semua kasus. Teori Sutherland mendasarkan pada postulat bahwa kejahatan berasal dari organisasi sosial dan merupakan pernyataan dari organisasi tersebut. Menurut Sutherland perilaku kejahatan adalah perilaku manusia
20
Ibid ,hlm 78
yang sama dengan perilaku manusia pada umumnya yang bukan kejahatan.21
4. Teori Anomie Dalam bukunya The Division of Labor in Society (1893) Emile Durkheim mempergunakan konsep dari istilah anomi yang diartikannya sebagai “a condition of deregulation” yang terjadi di masyarakat. Keadaan tersebut sering pula diartikan sebagai keadaan masyarakat tanpa norma. Keadaan demikian sangat mempermudah untuk terjadinya penyimpangan tingkah laku.22 Dengan kata lain, orang yang sedang dalam keadaan anomi sedikit banyak mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindak kejahatan. Pandangan kriminologi terhadap asal muasal kekerasan memang beragam. Di satu sisi dapat dilihat secara individual, di sisi lain dapat pula dilihat dalam konteks kolektif. Seseorang yang melakukan kekerasan, seperti penganiayaan dan pembunuhan, dapat dilihat sebagai individu yang terprovokasi. Ada peran korban dalam munculnya kekerasan. Sementara kekerasan secara kolektif lebih merupakan larutnya individu dalam kerumunan, sehingga menjadi tidak lagi memiliki kesadaran individual atau hilang rasionalitas. D.5. Pengertian dan Ruang Lingkup Kriminalitas Kriminalitas berasal dari kata crime yang artinya kejahatan. Pengertian kriminalitas dapat dilihat dari beberapa aspek, di antaranya sebagai berikut: 21
Sri Suhartati Astoto, KRIMINOLOGI, Yuda Mandiri, Semarang, 2002, hlm 65 M.Abdul Kholiq , Teori Anomi, Bahan Kuliah Kriminologi, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia. 22
1. Kriminalitas ditinjau dari aspek yuridis ialah jika seseorang melanggar
peraturan
atau
undang-undang
pidana
dan
ia
dinyatakan bersalah oleh pengadilan serta dijatuhi hukuman. Dalam hal ini, jika seseorang belum dijatuhi hukuman, berarti orang tersebut belum dianggap sebagai penjahat. 2. Kriminalitas ditinjau dari aspek sosial ialah jika seseorang mengalami kegagalan dalam menyesuaikan diri atau berbuat menyimpang dengan sadar dari norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat sehingga perbuatannya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat yang bersangkutan. 3. Kriminalitas ditinjau dari aspek ekonomi ialah jika seseorang (atau lebih) dianggap merugikan orang lain dengan membebankan kepentingan
ekonominya
kepada
masyarakat
sekelilingnya
sehingga ia dianggap sebagai penghambat atas kebahagiaan pihak lain.23 Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undangundang tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Penyebab timbulnya kejahatan beraneka ragam, untuk menentukan sebab-sebab timbulnya
kejahatan perlu dipertimbangkan hubungan antara
perbuatan kejahatan dengan beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebabnya. Ada beberapa fase penyebab timbulnya suatu perbuatan jahat, antara lain:
23
Abdul Syani, Sosiologi Kriminalitas, Remaja Karya, Bandung, 1987, hlm 11
1. Sebab-sebab kejahatan yang timbul dari hubungan antara sifat keserakahan (sifat manusia yang tidak pernah cukup dan tidak pernah puas) terhadap barang-barang atau kebutuhan akan bendabenda mewah. 2. Sebab-sebab kejahatan yang timbul dari sifat-sifat jahat yang datangnya dari luar diri manusia itu sendiri, artinya tindakan kejahatan di luar kehendak sadar pelakunya. Dalam hal ini, seseorang atau pelaku kejahatan dianggap tidak bersalah, sebab tindakan yang dilakukan bukan atas kemauan yang bersangkutan. 3. Sebab-sebab kejahatan yang timbul dari pengaruh iklim. Mengenai hal ini banyak yang menganggap kurang rasional, namun hal ini perlu juga dipertimbangkan, sebab factor iklim seperti cuaca panas disertai faktor-faktor lain seperti kurangnya pendidikan, moral, tersinggung perasaan, dan sebagainya, maka iklim dapat mempengaruhi seseorang untuk mempertinggi kecenderungan untuk berbuat jahat. 4. Sebab-sebab kejahatan yang timbul dari sudut pandang yang sifatnya individualistis dan intelektualistis. Jika seseorang melakukan kejahatan demi kesenangannya sendiri dan kemudian tertangkap karena dianggap merugikan orang lain, maka berarti apa yang dilakukan tersebut dapat menimbulkan penderitaan pula bagi dirinya sendiri. Penderitaan yang diterimanya itu oleh
masyarakat dianggap pilihannya sendiri sehingga ia tak perlu dikasihani. 5. Sebab-sebab kejahatan yang timbul dari garis keturunan. Timbulnya perbuatan jahat karena adanya bakat yang terdapat dalam diri manusia. 6. Sebab-sebab kejahatan yang timbul dari kemiskinan atau kekurangan
akan
kebutuhan
hidup.
Hal
tersebut
dapat
menggambarkan awal timbulnya kehendak jahat dalam diri seseorang atas dorongan dari keinginan untuk mendapat apa yang tak dimilikinya atau menambah apa yang telah dimilikinya 7. Sebab-sebab kejahatan yang timbul dari pengaruh lingkungan. Faktor lingkungan memungkinkan mendorong manusia untuk dapat mengembangkan diri dan kemampuannya, terutama dengan adanya kesempatan-kesempatan peniruan (immitatif) terhadap masyarakat.24 Ketujuh fase sebab-sebab yang memungkinkan timbulnya kejahatan (kriminalitas) tersebut di atas merupakan proses perkembangan sosial, yang bisa ditambah dengan teknologi dan ilmu pengetahuan, yang menunjukkan pengaruh terhadap banyaknya perilaku menyimpang atau kriminalitas. Penyimpanganpenyimpangan itu juga dapat disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang keliru,
24
Ibid. hlm 21-23
penerapan hukum yang tidak objektif, sikap oknum pejabat yang sok berkuasa, dan sebagainya sehingga menimbulkan reaksi masyarakat.25 Kasus main hakim sendiri merupakan salah satu bentuk reaksi masyarakat karena adanya pelanggaran norma yang berlaku di masyarakat. Reaksi ini biasanya berupa reaksi formal maupun reaksi informal. Dalam reaksi yang formal akan menjadi bahan studi bagaimana bekerjanya hukum pidana itu dalam masyarakat, artinya dalam masalah ini akan ditelaah proses bekerjanya hukum pidana manakala terjadi pelanggaran terhadap hukum pidana tersebut. Proses ini berjalan sesuai dengan mekanisme sistem peradilan pidana yakni proses dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan sampai pelaksanaan putusan pengadilan di penjara (lembaga pemasyarakatan). Studi terhadap reaksi informal atau reaksi masyarakat umum terhadap kejahatan itu berkaitan bukan saja terhadap kejahatan yang sudah diatur dalam hukum pidana (pelanggarannya menimbulkan reaksi formal) yang dapat menyebabkan tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat, juga reaksi terhadap kejahatan yang belum diatur oleh hukum pidana. Artinya, masyarakat menganggap perbuatan itu jahat tetapi pperbuatan itu belum diatur oleh hukum pidana. Beberapa studi reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini ternyata menunjukkan hubungan yang signifikan antara reaksi masyarakat dengan terjadinya kejahatan. Seperti sintesa yang mengatakan bahwa “semakin besar reaksi masyarakat terhadap kejahatan, maka semakin kecil terjadinya kejahatan”,
25
Ibid. hlm 24
begitu pula sebaliknya,” semakin kecil reaksi masyarakat terhadap kejahatan, maka semakin tumbuh suburlah kejahatan”.26 Mulyana Waluya Kusuma merumuskan tingkat reaksi masyarakat terhadap beberapa jenis kejahatan antara lain: 1. Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentukbentuk perbuatan kriminal seperti pembunuhan dan perkosaan. Terhadap kejahatan ini terdapat reaksi sosial yang kuat. 2. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu termasuk di dalamnya pencurian kendaraan bermotor. Terhadap kejahatan ini terdapat dukungan kecil dari kelompok dan bersifat pelanggaran terhadap nilai-nilai pribadi. 3. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Karena sifat pelanggaran hukum yang dijalankan rumit dan tidak kelihatan secara nyata juga karena status sosial ekonomi pelaku, hanya sedikit reaksi terhadap perbuatan ini. Kejahatan politik yang meliputi penghianatan, sabotase dan lain sebagainya. Perbuatan ini meskipun terdapat dukungan dari kelompoknya tetapi masyarakat secara keseluruhan melakukan reaksi sosial yang kuat apabila perbuatan itu dipandang ancaman bagi masyarakat yang bersangkutan. 4. Kejahatan terhadap ketertiban umum seperti pelacuran yang kadang dikehendaki oleh sebagian masyarakat dan pengemisan yang dipandang semata-mata sebagai kegagalan ekonomi dan mendapatkan reaksi sosial yang informal dan terbatas masyarakat. 5. Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan pelanggar hukum melakukan sebagai part time career dalam hal ini reaksi masyarakat kuat karena nilai kepemilikan pribadi telah dilanggar. 6. Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran, perjudian terorganisasi yang kadangkadang dikehendaki oleh masyarakat terhadap kejahatan ini ditentukan oleh sejauh mana pelayanan yang diberikan memang dikehendaki dan karena sulitnya menanggulangi kejahatan ini. 7. Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai cara hidup seseorang reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini tidak selalu keras.27 26 27
Teguh Prasetya, Kriminalisasi…op.cit.,hlm 13 Mulyana Waluya Kusuma, Kejahatan dan Reaksi Sosial, Alumni, Bandung 1992, hlm 92
Reaksi masyarakat, ditinjau dari sudut sosiologis, dapat dibedakan menjadi dua aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif. Aspek positif ialah jika memenuhi syarat sebagai berikut: 1.
Reaksi masyarakat terhadap kejahatan melalui pendekatanpendekatan kemasyarakatan sesuai dengan latar belakang terjadinya suatu tindakan kejahatan.
2.
Reaksi masyarakat didasarkan atas kerja sama dengan aparat keamanan atau penegak hukum secara resmi.
3.
Tujuan penghukuman adalah pembinaan dan penyadaran atas pelaku kejahatan.
4.
Mempertimbangkan
dan
memperhitungkan
sebab-sebab
dilakukannya suatu tindakan kejahatan. Sedangkan aspek negatif jika: 1.
Reaksi masyarakat adalah serta merta, yaitu dilakukan dengan dasar luapan emosional.
2.
Reaksi masyarakat didasarkan atas ketentuan lokal yang berlaku didalam masyarakat yang bersangkutan (tak resmi).
3.
Tujuan penghukuman cenderung lebih bersifat pembalasan, penderaan, paksaan, dan pelampiasan dendam.
4.
Relatif lebih sedikit mempertimbangkan dan memperhitungkan latar belakang mengapa dilakukan suatu tindakan kejahatan.28
28
Abdul Syani, Sosiologi ...op.cit., hlm 100-101
Reaksi sosial dalam ilmu sosiologi kriminalitas merupakan proses penghukuman sebagai suatu rangkaian pembalasan atas perbuatan si pelanggar hukum. Hukuman yang dilakukan oleh Negara mempunyai tujuan-tujuan positif serta harus mempunyai tiga landasan yaitu landasan perspektif hukum,sosiologis, dan psikologis. D.4. Ketentuan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Main Hakim Sendiri Pada kasus main hakim sendiri masyarakat melakukan penghukuman dengan sadis dan di luar batas perikemanusiaan. Masyarakat melampiaskan perasaan tidak suka kepada siapa saja yang dianggap telah melakukan kejahatan dalam bentuk penganiayaan. Karena menyangkut masyarakat, tindakan main hakim sendiri ini lebih sering dilakukan secara massal untuk menghindari tanggung jawab pribadi serta menghindari pembalasan dari teman atau keluarga korban. Tindak kekerasan yang diambil masyarakat dianggap sebagai langkah tepat untuk menyelesaikan suatu masalah yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Sedangkan menurut Simon, suatu perbuatan dikategorikan sebagai suatu delik, jika: 1. Diancam pidana oleh hukum 2. Bertentangan dengan hukum 3. Dilakukan oleh orang yang bersalah 4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas semua perbuatannya.29
29
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 1996, hlm 29
Pengaturan delik sendiri telah diatur dalam KUHP penggolongannya terdiri dari kejahatan dan pelanggaran. Adapun elemen dasar dari penggolongan tersebut, yaitu; 1. Bagian / elemen obyektif Yaitu menunjuk kepada delik itu sendiri dan perbuatannya yang dilakukan dan akibat yang merupakan kejadian yang bertentangan dengan hukum positif sebagai anasir yang melawan hukum dan diancam pidana. 2. Bagian/ elemen subyektif Yaitu menunjuk pada anasir kesalahan, meliputi kelakuan/perbuatan, akibat dari perbuatan, obyekyif dan melawan hukum. Melihat dari rumusan tersebut, maka seseorang dapat dipidana jika: 1. Melakukan perbuatan pidana 2. Mampu bertanggung jawab 3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang disengaja/ kealpaan 4. Adanya alasan pemaaf30 Pelaku kasus main hakim sendiri yang telah terbukti bersalah dapat diancam dengan beberapa Pasal dari Kitab UU Hukum Pidana yaitu: 1. Pasal 170 KUHP ayat (1) dan (2) yaitu dengan terang-terang dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang 2. Penganiayaan a. Mengakibatkan luka-luka ringan dikenakan Pasal 352 KUHP.
30
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,Jakarta 1985, hlm 91
b. Menyebabkan luka berat atau parah diancam dengan Pasal 351 KUHP ayat (1). c. Berakibat kepada matinya korban maka dapat dikenakan Pasal 351 KUHP ayat (2). d. Penganiayaan yang direncanakan dikenakan Pasal 353 KUHP. e. Penganiayaan berat dikenakan Pasal 354 KUHP. f. Penganiayaan berat yang direncanakan dapat dikenakan Pasal 355 KUHP. 3. Apabila yang menjadi korban adalah aparat penegak hukum dapat dikenakan Pasal 211 dan 212 KUHP. 4. Pembunuhan a. Sengaja menghilangkan nyawa orang lain dikenakan Pasal 338 KUHP b. Pembunuhan yang diikuti,disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana dikenakan Pasal 339 KUHP c. Pembunuhan dengan sengaja dan dengan rencana dikenakan Pasal 340 KUHP 5. Pasal 409 KUHP tentang perusakan barang (perusakan gedung atau perahu) dan apabila dilakukan oleh dua orang atau lebih diancam Pasal 412 KUHP. D.5. Delik Penyertaan Seseorang yang melakukan suatu perbuatan tindak pidana harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Pertanggungjawaban terhadap
suatu perbuatan pidana mengacu pada perorangan atau individu tertentu. Dalam kasus tindak pidana main hakim sendiri sering dilakukan oleh beberapa orang dengan bagian dari tiap-tiap orang dalam melakukan perbuatan pidana itu sifatnya berlainan maka disebut penyertaan. Bentuk-bentuk delik penyertaan berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP meliputi: 1. Plegen (dader) yaitu orang yang melakukan perbuatan atau pelaku langsung. 2. Doen plegen (middellijke dader) yaitu orang yang menyuruh melakukan perbuatan atau pelaku tidak langsung. 3. Medeplegen (mederdader) yaitu orang yang turut melakukan perbuatan. 4. Uitlokken (uitlokker) yaitu orang yang membujuk supaya perbuatan itu dilakukan. 5. Medeplichtige (medeplichtige) yaitu orang yang membantu perbuatan.31 E. DEFINISI OPERASIONAL Sebelum mengkaji lebih lanjut mengenai Tindak Pidana Main Hakim Sendiri, disini penulis akan membahas tentang batasan dari Penegakan Hukum dari Tindak Pidana Main Hakim Sendiri sehingga jelas batasan-batasan Tindak Pidana Main Hakim Sendiri yang akan penulis bahas disini. Penegakan hukum terdiri dari penegakan hukum formulatif, penegakan hukum aplikatif dan penegakan hukum eksekutif. Sedangkan penegakan hukum yang dimaksud disini adalah penegakan hukum aplikatif, yaitu proses penegakan 31
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hlm 49.
hukum yang dilakukan oleh institusi yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan peraturan tersebut melalui prosedur kelembagaan yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara formal. Penegakan hukum aplikatif ini dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan nilai dan prinsip Hak Asasi Manusia, keadilan, moralitas serta mampu memberikan perlindungan dan pencerahan masyarakat. Penulis dalam hal ini akan membatasi penelitiannya dengan mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan di Kepolisian dan di Lembaga Pemasyarakatan karena mengingat pencarian data mengenai tindak pidana main hakim sendiri di Kejaksaan dan Pengadilan sulit diperoleh. Tindak pidana main hakim sendiri memiliki hubungan erat dengan sifat melanggar hukum dari setiap tindakan pidana. Biasanya dengan suatu tindak pidana seseorang menderita kerugian. Ada kalanya si korban berusaha sendiri untuk meniadakan kerugian yang ia derita dengan tidak menunggu tindakan alatalat Negara seperti polisi dan jaksa.32 Usaha seseorang untuk melakukan tindakan main hakim sendiri tidak dilarang selama dalam usahanya itu tidak melakukan perbuatan yang masuk perumusan tindak pidana lain. Misalnya, seseorang dicopet dompetnya, dan dia meminta kembali dompetnya itu dari si pencopet, dan permintaan ini dituruti, maka tindakan “menghakimi sendiri‟ ini tidak dilarang. Sedangkan tindakan main hakim sendiri yang dimaksud disini adalah tindakan main hakim sendiri yang
32
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Aditama, Bandung, 2003, Hlm 3
melanggar hukum, diluar batas kewajaran seperti melakukan penganiayaan, dan merupakan suatu tindak pidana. F. METODE PENELITIAN 1. Objek Penelitian 1. Kasus-kasus yang pelakunya sering mengalami eigenrichting dari masyarakat. 2. Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat melakukan eigenrichting terhadap pelaku tindak pidana. 3. Penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana eigenrichting. 4. Hambatan-hambatan yang dihadapi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus eigenrichting. 2. Lokasi Penelitian Penelitian akan dilakukan di wilayah Hukum Kabupaten Sragen yaitu di POLRES Sragen dan di Lembaga Pemasyarakatan Sragen. 3. Narasumber 1) Polisi di POLRES Sragen yang sedang atau pernah menangani kasus tindak pidana main hakim sendiri, yaitu: -Bripka Siswanto.Spd, SH -Brigadir Muhadi.SH -Brigadir Sunaryo.SH -Brigadir Yanto.SH -Aipda Bambang Siswanto 2) 1 orang petugas Lembaga Pemasyarakatan Sragen yaitu Bapak Sunarno
3) 3 orang pelaku yang pernah melakukan tindak pidana main hakim sendiri. - Ali munawar - Eko setyawan - Yusuf arifin 4. Sumber Data a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subjek penelitian yang dapat berupa hasil wawancara. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui kepustakaan dan dokumen. Adapun data sekunder terdiri dari: 1. Bahan hukum primer, berupa Peraturan Perundang-undangan yang terdiri dari: a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana. b) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Acara Pidana. c) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 2. Bahan hukum sekunder Berupa buku-buku hukum, hasil penelitian, dokumendokumen, makalah-makalah, putusan pengadilan, artikel-artikel,
media massa, dan website yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. 5. Teknik Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan Yakni melakukan penelitian yang dilakukan dengan mengkaji pada pustaka, Perundang-undangan, buku hukum
dan literatur
pendukung yang berkaitan dengan materi penelitian. b. Studi Dokumen Yakni pengumpulan data dari dokumen-dokumen yang ada dan berkaitan dengan obyek penelitian. c. Wawancara Yakni dengan mengajukan pertanyaan kepada narasumber baik secara bebas maupun terpimpin. 6. Metode Pendekatan Penelitian a.
Yuridis Normatif Yuridis Normatif ialah pendekatan dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku
b.
Yuridis Sosiologis Yuridis Sosiologis yaitu pendekatan dengan tidak hanya dari segi yuridisnya saja, tetapi juga dari keberadaan serta keberlakuan hukum, dengan melihat masalah hukum dari realita yang terjadi dalam masyarakat.
c. Pendekatan Kriminologis
Pendekatan kriminologis yaitu pendekatan dari sudut pandang ilmu kriminologi, yakni memahami persoalan yang diteliti terutama teerkait rumusan masalah yang kedua mengenai pencarian faktor-faktor penyebab eigenrichting dengan analisis berdasarkan teori kausa kejahatan. 7. Metode Analisa Data Data yang diperoleh akan diolah secara kualitatif yaitu proses pengolahan data dapat meliputi kegiatan editing, coding dan penyajian dalam bentuk narasi serta data yang diperoleh di analisis melalui kegiatan
menguraikan,
membahas,
menafsirkan
temuan-temuan
penelitian dengan perspektif atau sudut pandang tertentu yang disajikan dalam bentuk narasi. Kegiatan analisis ini merupakan proses untuk merumuskan kesimpulan atau generalisasi dari pertanyaan penelitian yang diajukan.33
BAB II
33
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Pedoman Penyusunan Akhir, Yogyakarta,2008,hlm.15