Dari Teknis ke Transformatif: Perkembangan Aspirasi Pustakawan tentang Literasi Informasi di Sekolah Indonesia pada Masa Awal Pengenalannya Putu Laxman Pendit Pegiat Literasi Informasi Abstrak Konsep dan praktik ―literasi informasi‖ mulai dikenal meluas di kalangan pustakawan Indonesia, khususnya pustakawan yang berkecimpung di bidang pendidikan, di dekade pertama tahun 2000-an. Selain itu, ada dua fenomena umum yang saling berkaitan dan ikut mendorong popularitas literasi informasi di kalangan pustakawan, yaitu perkembangan perpustakaan digital yang sudah menyentuh hampir semua jenis perpustakaan dan konsekuensinya terhadap profesi pustakawan ketika harus berhadapan dengan perubahan pesat dalam teknologi informasi di bidang mereka. Pada masa awal pengenalannya di Indonesia, hakikat literasi informasi adalah serangkaian ―praktik yang disesuaikan dengan situasi‖ (situated practices), yakni situasi belajar mengajar di dalam konteks sosial-budaya tertentu yang mencakup di dalamnya tatanan sosial sekolah dan pengembangan kurikulum. Di mana pun literasi informasi akan ditetapkan, diperlukan integrasi kepustakawanan sekolah dengan kegiatan belajarmengajar, dan harus sejalan dengan perubahan paradigma pengajaran dari yang semula mengandalkan belajar pasif menjadi belajar partisipatif. Semula literasi hanya dilihat dari sisi pandang perangkat teknologi, sebelum akhirnya berubah ketika literasi mulai terlihat sebagai sebuah praktik sosial yang khas. Dengan demikian, literasi informasi perlu diterima bersama oleh semua pihak yang terlibat di masyarakat pada umumnya, dan di bidang pendidikan pada khususnya. Selain itu, perubahan paradigma dalam berliterasi ini tak sepenuhnya diterima atau dianggap cocok dengan sistem pendidikan yang sedang berlangsung, apalagi pada saat yang sama sistem dan pelaku pendidikan itu sendiri sedang menghadapi berbagai masalah dalam hal kualitas sumberdaya manusia maupun fasilitas. Dalam pada itu, perkembangan teknologi informasi secara umum dan teknologi media pada khusunya telah secara mendasar memengaruhi cara pandang masyarakat tentang kehidupan mereka dan tentang kebebasan berkomunikasi pada khususnya. Jelaslah bahwa baik literasi informasi maupun literasi media merupakan fenomena sosio-budaya yang dipengaruhi perkembangan teknologi media dan sikap serta respon para pustakawan sekolah terhadap fenomena ini akan menentukan bagaimana mereka berpartisipasi. Kata kunci: literasi Informasi, sosial budaya, pustakawan dikatakan, pemrakarsanya adalah para
A. PENDAHULUAN Konsep
―literasi
pustakawan akademik dan akademisi
informasi‖ mulai dikenal meluas di
bidang perpustakaan, khususnya mereka
kalangan
yang
khususnya
dan
praktik
pustakawan pustakawan
Indonesia,
kemudian
mengikuti
dan
yang
mengapresasi Alexandria Proclamation
berkecimpung di bidang pendidikan, di
on Information Literacy & Lifelong
dekade pertama tahun 2000-an. Dapat
Learning (Tuazon, 2013).
Selain itu, ada dua fenomena
informasi di negara-negara yang sudah
umum yang saling berkaitan dan ikut
menerapkannya terlebih dahulu.Sejalan
mendorong popularitas literasi informasi
dengan
ini,
dimulai
pula
di
mengapresiasi
kembali
(re-appraise)
kalangan
pustakawan,
yaitu
perkembangan perpustakaan digital yang
peran
sudah menyentuh hampir semua jenis
pustakawan
perpustakaandan
pembelajaran.
konsekuensinya
terhadap profesi pustakawan ketika harus
perpustakaan dalam
upaya
dan
posisi
pendidikan
dan
Sampai dengan akhir satu dekade
pesat
tahun 2000-an, ada beberapa ―model‖
dalam teknologi informasi di bidang
yang diperkenalkan ke Indonesia melalui
mereka.Dengan kata lain, konsep dan
seminar internasional, lokakarya, maupun
praktik literasi informasi di Indonesia
lewat bantuan-bantuan pelatihan dari
seringkali dilihat sebagai bagian tak
negara lain yang sudah lebih dahulu
terpisahkan dari perkembangan teknologi
menerapkan program literasi informasi.
dan dampaknya terhadap pengembangan
Namun, tidak berarti Indonesia hanya
jasa perpustakaan dan informasi, tidak
menerima dan meniru begitu saja, sebab
hanya di kalangan pendidikan tinggi
ada pula upaya membuat model yang
tetapi
lebih cocok untuk kondisi lokal.Salah
berhadapan
juga
dengan
perubahan
pendidikan
dasar
dan
menengah. Dua
satu pelopornya adalah Ai Lin et al badan
IFLAdanUNESCO,
dunia, ikut
yaitu
mendorong
(2010) yang mencoba membuat buku panduan
literasi
informasi
untuk
popularitas literasi informasi di kalangan
Indonesia.Sebelumnya, ada pula buku
pustakawan Indonesia, khususnya dengan
panduan yang diterbitkan di tahun 2008
mempromosikan berbagai model dan
oleh
teknik pengembangan literasi informasi
Indonesia.Namun penerbitan standar dan
kepada
maupun
berbagai panduan literasi informasi tidak
pendidikan dasar dan menengah. Kedua
otomatis mempercepat penyelenggaraan
lembaga ini juga banyak membantu
program-program literasi informasi di
pustakawan Indonesia memahami kaitan
sekolah-sekolah
antara literasi informasi dengan kebijakan
tinggi.Panduan-panduan
informasi (information policies) secara
tidak segera memperjelas fungsi dan
umum dan kurikulum pendidikan pada
kedudukan pustakawan, khususnya di
khususnya.Kedua hal ini memang sudah
tingkat pendidikan dasar dan menengah.
kalangan
akademik
menjadi bagian dari wacana literasi
Perpustakaan
atau
Nasional
perguruan tersebut
juga
Sementara itu patut juga kita sadari
bahwa
ini
mencoba
melihat
pustakawan
berbagai isu di atas dan mengaitkannya
melihat praktik literasi informasi sebagai
dengan kondisi di tingkat sekolah dasar
kelanjutan
dan menengah pada masa-masa awal
praktik
sebagian
Artikel
atau serupa
perkembangan
dari
sebelumnya;
yaitu
popularitas
literasi
informasi
di
―pendidikan pemakai‖ (user education)
Indonesia.Secara umum, tantangannya
atau ―petunjuk penggunaan bibliografi‖
waktu itu adalah bagaimana menerapkan
(bibliographic instruction).Sebagaimana
konsep dan praktik literasi informasi
diuraikan oleh Spiranec dan Zorica
yang sudah berkembang pesat di negara-
(2010), perkembangan literasi informasi
negara maju agar sesuai dengan kondisi
diwarnai
Indonesia.
oleh
beberapa
perubahan
penting, yaitu sebagai berikut:
Tantangan
1. Fokusnya kini lebih pada konsep
bagaimana
khususnya
praktik
dapat
dan metode. Wacana tentang
terpisahkan
literasi informasi meluas ke hal-
pembelajaran
dalam
hal yang tidak melulu berkaitan
spesifik
tidak
dengan teknis penyelenggaraan
sebagai serangkaian keterampilan yang
layanan perpustakaan, atau teknis
perlu dipelajari siswa.
mulai
dari
bagian
keseluruhan
terlihat
pustakawan
dan
tak
sistem
konteks
yang
dianggap
hanya
Dalam banyak hal,
2. Sejalan dengan perubahan fokus itu,
dan
sebagai
informasi
dan problem, bukan lagi pada alat
mengajar saja.
diterima
literasi
adalah
pegiat
semangat literasi
di
bentuk
Indonesia di masa-masa awal tersebut
kemitraan baru antara guru dan
belum ditimpali secara sama oleh guru
pustakawan.
dan manajer sekolah. Hal ini sudah
3. Akibat dua hal di atas, literasi informasi
kemudian
sebagai
lebih
kompetensi
dianggap merupakan
katimbang
dikuatirkan
oleh
beberapa
penulis,
misalnya Dorner dan Gorman (2006) yang
mempersoalkan
pengembangan
semata
model literasi informasi yang cocok dan
keterampilan, dan kompetensi ini
sesuai dengan kondisi sosial budaya serta
akan lebih bermanfaat bagi anak
infrastruktur
didik dalam mengadapi berbagai
pendidikan suatu negeri.
situasi yang berubah cepat akibat perkembangan informasi.
teknologi
yang
ada
di
sistem
Pembahasan di artikel ini akan dimulai dengan identifikasi masalahmasalah awal ketika literasi informasi
diperkenalkan oleh para pustakawan ke
mulai diperkenalkan oleh pustakawan
kalangan sekolah. Patut digarisbawahi,
dan
pada masa permulaan ini, konsep literasi
khususnya setelah mereka mengikuti
informasi
lokakarya tahun 2004 di
umumnya
yang
kita
perpustakaan,
National
Institute of Library and Information
umumnya
Sciences (NILIS), University of Colombo,
merupakan translasi atau terjemahan dari
Sri Lanka. Banyak pustakawan sekolah
model yang sudah digunakan di negara-
segera mengadopsi model ini karena
negara lain.
dianggap
dan
berupa
pada
ilmu
model
operasional;
sudah
―impor‖
akademisi
pada
cocok
dengan
kondisi
Indonesia, khususnya karena Sri Lanka B. PEMBAHASAN
adalah negara berkembang yang juga
1. Aspek Generic dan Operasional dalam Literasi Informasi Model formal literasi informasi yang pertama-tama popular di Indonesia adalah BIG 6 dan Empowering 8.Model
sudah menerapkannya. Namun kemudian Dorner, Gorman, dan menyatakan
sekolah
yang
tergolong
sekolah asing atau sekolah ―nasional plus‖ sebab sesuai dengan kurikulum yang berbasis bahasa Inggris1. Kemudian sejak 2006 model Empowering 8 (E8) 1
Sekolah “national plus” menggabungkan kurikulum wajib nasional dengan kurikulum luar negeri dan melaksanakan pengajaran dengan bahasa Inggris atau campuran bahasa Inggris dan Indonesia.Kebijakan ini kemudian dihapus.Sebagian sekolah yang semula menggunakan kurikulum itu kemudian kembali menjadi sekolah internasional yang sepenuhnya menggunakan kurikulum dan bahasa asing. Persoalan dan kebingunguan yang ditimbulkan oleh kebijakan ini bukanlah bagian dari pembahasan, namun patut dicatat bahwa sekolah-sekolah internasional tentu saja tidak mengalami kesulitan dalam mengadopsi modelmodel literasi informasi yang “diimpor” dari negara-negara berbahasa Inggris.
sebenarnya
Empowering 8 serupa dengan BIG 6 dan Seven Pillars yang dibuat SCONUL2.
BIG 6 sejak awal popular di kalangan pustakawan
bahwa
Gaston (2012)
Belum ada dokumentasi yang lengkap dan kredibel tentang seberapa banyak sebenarnya sekolah-sekolah di Indonesiasudah
menerapkan
model-
model tersebut di atas.Di masa awal pengenalan model-model itu, organisasi semacam
APISI
Informasi
Sekolah
melaporkan
(Asosiasi Indonesia)
bahwa
masih
Pekerja sudah ada
kekurangpahaman tentang model-model 2
Model “seven pillars” diperkenalkan oleh SCONUL (Society of College, National and University Libraries, sebuah asosiasi pustakawan Inggris dan Irlandia) pada tahun 1999 sebagai model literasi informasi yang dapat dimodifikasi untuk berbagai keperluan, termasuk untuk sekolah. Penjelasan selengkapnya tentang model ini dapat dilihat di http://www.sconul.ac.uk/page/seven-pillars-ofinformation-literacy
tersebut sehingga pustakawan pun ragu-
proses pembelajaran secara keseluruhan.
ragu menerapkannya. Beberapa sekolah
Sebaliknya, dari sisi pandang guru,
di kota besar lebih tertarik untuk segera
belum ada pandangan bahwa penggunaan
mengintegrasikan
literasi
informasi merupakan apa yang oleh
informasi dengan program perpustakaan
banyak ahli disebut sebagai ―dimensi
digital
para
terpenting dalam literasi informasi‖ (lihat
pustakawan lebih memfokuskan diri pada
misalnya Lupton, 2008b, h.89) sehingga
aspek pencarian informasi(information-
literasi informasi pada awalnya seringkali
seeking) sambil menghindari persoalan
tidak masuk dalam kurikulum.
model
mereka.
Khususnya,
yang lebih fundamental yang berkaitan dengan
pembelajaran
secara
Perpustakaan
Nasional
pernah
seminar
dan
menyelenggarakan
keseluruhan.Banyak
pustakawan
lokakarya tahun 2005 dan 2006, selain
menganggap
bahwa
kemampuan
menyelenggarakan lokakarya nasional
menggunakan
katalog
untuk
dengan dukungan UNESCO bekerja
menemukan buku di perpustakaan sudah
sama dengan PDII-LIPI dan Menristek.
dapat dianggap sebagai literasi informasi
Demikian pula APISI menyelenggarakan
(lihat
Indonesia Workshop for Information
misalnya
online
hasil
penelitian
George,2012).
Literacy (I-WIL), dibiayai International
Penerapan model-model literasi informasi
di
Indonesia
memang
Federation of Library Association (IFLA) untuk
membantu
pengembangan
mencerminkan persoalan utama yang
kompetensi dasar literasi nformasi di
dialami pustakawan pada umumnya,
kalangan guru dan pusakawan sekolah.
yaitu kemampuan siswa, khususnya di
Sementara
masa awal perguruan tinggi, tetapi juga
informasi sebagai tema Kongres X
di sekolah dasar, dalam menggunakan
mereka
fasilitas
2008.Sebelumnya
perpustakaan.Isu
utamanya
IPI
menjadikan
bulan di
literasi
November tahun
seringkali berkaitan dengan penggunaan
Departemen
perangkat komputer di perpustakaan oleh
menerbitkan
siswa, khususnya yang berkaitan dengan
mengakui literasi informasi sebagai salah
Internet. Walaupun isu ini memang
satu kompetensi untuk diajarkan di
berkaitan dengan perubahan besar dalam
semua
pendidikan yang menerapkan teknologi
Kompetensi untuk Pustakawan Sekolah,
informasi,
bagian
banyak
pustakawan
tidak
mengaitkan literasi informasi dengan
Pendidikan
2007
sebuah
tingkat
dari
No.25/2008).
Nasional
standar
pendidikan
Peraturan
yang
(Standar
Menteri
Dalam beberapa
perkembangannya,
faktor
penerapan
yang
literasi
memengaruhi
informasi
mulai
tampak sebagai berikut: a.
informasi ini, pendidikan dan pelatihan
yang
diperoleh
selama
pustakawan
ini tidak
mengandung cukup pengetahuan
Belum ada kesepakatan
dan keterampilan tentang literasi
antara pustakawan sekolah dan
informasi.
staf
perpustakaan, terutama di UI dan
lain
di
sekolah
tentang
bagaimana model-model tersebut
UNPAD
sebaiknya
kurikulum
diterapkan
di
Beberapa
mulai
sekolah
memasukkan
khusus
literasi
Indonesia. Perpustakaan Nasional
informasi ke dalam perkuliahan
RI memang sudah mengeluarkan
mereka.
panduan
Informasi
c.
Literacy):
sekolah di Indonesia sebenarnya
Pengantar Untuk Perpustakaan
juga tidak punya tradisi yang kuat
Sekolahtahun 2007. Panduan ini
dalam
masih bersifat umum dan perlu
perpustakaan
dilengkapi
semacam
―juklak‖.
instructions)
Penerapan
literasi
informasi
pemakai
Literasi
(Information
Sebagian
pustakawan
bimbingan
pemakai
(bibliographic atau
pendidikan
(user
education)
secara lebih meluas dalam bentuk
sebagaimana
―kerangka kerja‖ (frameworks)
rekan-rekan mereka di perguruan
mulai terpikirkandan dua model
tinggi sehingga literasi informasi
yang
tak
popular
untuk
konteks
yang
dapat
dilakukan
dikembangkan
di
Indonesia adalah Australian and
sekolah dengan berangkat dari
New
pendidikan
Zealand
Information
pemakai.
Sebelum
Literacy Framework dan The 21st
literasi
Century Learner terbitan AASL
pustakawan sekolah lebih akrab
(the American Association of
dengan hal yang sangat teknis
School Librarians).
seperti ―tata cara penggunaan
b.
Kebutuhan
pelatihan
informasi
perpustakaan‖
literasi informasi khusus untuk
instruction).
pustakawan
sekolah
mulai
terasa
mendesak. Walaupun sudah ada
pendidikan
standar
program
menyebut
kompetensi masalah
yang literasi
popular,
(library Kalaupun
yang
menerapkan
pemakai wajib,
ada
sebagai praktiknya
berlangsung hanya di sekolah
berfasilitas
memadai
sekolah-sekolah
asing
seperti dan
belakangan,
di
informasi
setelah
literasi
popular,
kampus
orientasi
kurikulum
kota-kota besar. Kegiatannya pun
mengubah
lebih
mereka agar menambah fokus ke
bersifat
sporadis
dan
tergantung pada fokus sekolah
pemakai dan perilaku mereka.
yang bersangkutan. Belum ada
d.
praktik
memengaruhi penerapan literasi
yang
meluas
dan
Faktor
lain
yang
terintegrasi di kalangan pengelola
informasi
di
perpustakaan sekolah di Indonesia
ketiadaan
landasan
sehingga
kolaborasi
dengan
menyulitkan
pengembangan
model
atau
kerjasama
cocok
untuk
yang
profesi
sekolah
lainnya
terutama
ikut
adalah
(platform) guru
di
dan
sekolah,
karena
profesi
situasi Indonesia. Pada umumnya
pustakawan selama ini mengambil
pun, pustakawan di Indonesia
peran sekunder atau ―pendukung‖,
melihat layanan ke pemakai ini
bahkan ―pelengkap‖ saja dari
dengan fokus pada aspek teknis
keseluruhan sistem pendidikan.
bibliografi
Di tingkat profesional, hubungan
untuk
menjelaskan
fungsi katalog dalam pencarian
antara
bahan pustaka. Keadaannya amat
kurang
berbeda dengan, misalnya, yang
ditambah dengan isu
terjadi di Amerika Serikat yang
tentang kualitas atau kemampuan
menurut sebuah studi panjang dari
mengajar
1974
sehingga ketika upaya penerapan
sampai
1996
memperlihatkan
pustakawan terbina,
guru
dan
guru
apalagi
juga
internal
itu
sendiri;
adanya
literasi
informasi
perubahan secara bertahap dalam
sebuah
sekolah,
konsep
praktik
muncul pada umumnya bersifat
instruction,
skeptis atau bahkan juga tidak
maupun
bibliographic information
literacy,
danuser
Indonesia, pendidikan
perpustakaan pelajaran pemakai
diarahkan
untuk
teknis
bibliogafi.
di
tentang lebih
pengetahuan Baru
reaksi
di
yang
simpatik.
education (Westbrook, 1999). Di kuliah-kuliah
bergulir
Keempat hal di atas lah yang dapat
diperiksa
sebagai
konteks
sesungguhnya dari penerapan literasi informasi,
sehingga
kita
perlu
membahasnya lagi secara lebih meluas di bagian berikut.
2. Konteks
sosial
dan
budaya
luas ini tentu saja merupakan bagian dari
literasi informasi
cara
Menurut Lloyd dan Williamson
information literacy as literacy‖ (Lupton,
(2008),―konteks‖
(context)
sangat
pandang
2008),
yang
sementara
melihat
konsep
―...
literasi
berperan dalam upaya memahami literasi
informasi sebagai praktik tekstual banyak
informasi, terutama jika literasi informasi
dipengaruhi
dianggap
terutama sejak Scribner dan Cole (1981)
sebagai
sebuah
―praktik
oleh
tekstual‖ (textual practice). Di dalam
memperkenalkan
konteks ini terdapat apa yang disebut
practice‖.
kajian
linguistik,
konsep
―literacy
Istilah ―practice‖di sini diartikan
pengalaman sosial dan pengalaman fisik (social and physical experience) dalam
sebagai
serangkaian
menggunakan informasi sebagai bagian
diulang-ulang
dari upaya belajar.
menggunakan
dan
aktivitas bertujuan
dan
yang untuk
menerapkan
Beberapa peneliti lain, misalnya
seperangkat pengetahuan dan teknologi
Hoyer (2011) juga menempatkan literasi
tertentu di dalam satu bidang kehidupan
informasi dalam konteks yang lebih luas,
yang spesifik. Dengan pengertian seperti
yaitu
ini maka ―literacy practice‖tidak hanya
dengan
mengaitkannya
ke
lingkungan dan aktivitas informasi dalam
melibatkan
kegiatan
membaca
belajar
siswa.
Pandangan
penggunaan dan
menulis
ketrampilan tetapi
juga
tentang literasi informasi sebagai ―isu
pengetahuan
sosial‖ juga dikemukakan Bruce (2008)
mencapai tujuan kehidupan seseorang
yang
dengan memanfaatkan bahasa tulisan.
menegaskan
bahwa
literasi
informasi bukanlah sekadar seperangkat
tertentu
dalam
rangka
Pengaruh teori literasi, khususnya
keahlian atau keterampilan melainkan
dari
juga sebuah pengalaman sosial atau
nampak jelas kalau kita membandingkan
pengalaman
dengan
3D Literacy Model (Green & Bervis,
manusia lain. Sementara Lloyd (2006)
2012 ) dan GeST Model dalam literasi
maupun Lupton & Bruce (2010) selalu
informasi (Lupton, 2008, 23-25). Kedua
melihat
sebagai
model ini sama-sama menggunakan tiga
tergantung situasi di masyarakat di mana
kategori sebagaimana terlihat di tabel
literasi
berikut ini.
berhubungan
literasi
informasi
informasi
itu
dipraktikkan
(situated). Cara
sisi
pandang
sosio-linguistik,
Tabel 1.Perbandingan Model Literasi menempatkan
literasi
informasi di dalam konteks yang lebih
dan Literasi Informasi
literasi.
aran.
Cultur
Disebut
Serangka Situated
al
juga
ian
model
aspek
praktik-
GeST
makna
praktik
rut 3D
dari
informas
Theor
literasi.
i
y
Aktivitas tergantun
Kateg
Pengerti
Pengerti
Kategor
ori
an
an
i literasi
literas
“literacy
“inform
menurut
i
”
ation literacy”
menu
yang
Operat
Cara
Sekumpu Generic
dan
ional
seseoran
lan
peristiwa konteksn
g
keteramp
literasi
ya.
menggu
ilan dan
tak
Seseoran
nakan
proses
hanya
g
bahasa
untuk
context-
memakn
dalam
menemu
specifict
ai
kegiatan
kan dan
etapi
sesuatu
literasi,
mengelol
juga
dengan
supaya
a
berisi
melibatk
orang
informas
kandung
an
tersebut
i;aspek
an yang dengan
dapat
―apa‖
spesifik.
informas
berperan
dalam
Hal
i;
secara
pemelaja
iniberdas merupak
efektif
ran,
arkan
an aspek
dalam
bukan
konsep
―what‖
konteks
―how‖;
Halliday
dan
tertentu;
merupak
bahwa
―how‖
disebut
an
belajar
dari
juga
dari
bahasa
pembelaj
sebagai
pembelaj
berarti
aran.
aspek
aran dan
juga
bahasa
hasil
belajar
dari
pembelaj
budaya.
―isi‖
g
diri
Critica Pengem
Serangka Transfor
budaya
tetapi
l
ian
itu.
juga
bangan
mative
pengetah praktik
proses
uan
informas
dalam
sebagai
i
keseluru
kegiatan
digunaka
han
sosial,
n
tindakan
dan
seseoran
belajar.
konsep
g
―schooli
menguba
Jelas lah bahwa di ketiga model
as h dirinya
tersebut ―literacy‖ tidak melulu menyoal
ng
yang
untuk
socialisa
dan
keterampilan baca-tulis, melainkan juga
tion‖.
masyara
keseluruhan
Dimensi
katnya;
berkomunikasi dan menggunakan bahasa
kritis
pemberd
tulisan
memung
ayaan
hidup.Dalam model linguistik, misalnya,
kinkan
pembelaj
kemampuan baca-tulis dapat dianggap
seseoran
ar untuk
sebagai bagian dari upaya seseorang
g
tak melihat
kemampuan
untuk
berbagai
seseorang
keperluan
berpartisipasi secara kritis (critical), alih-
hanya
informas
alih hanya sebagai pihak penerima
berpartis
i
(recipient) tulisan yang pasif. Inilah yang
ipasi
kritis
di dalam model literasi informasi Lupton
dalam
agar
dikategorikan sebagai ―transformatif‖,
sebuah
dapat
dalam
budaya
menanta
memiliki kemampuan literasi tidak hanya
tetapi
ng status
pandai
juga
quo;
berkemampuan (berdaya, empowered)
secara
arti
bahwa
baca-tulis
seseorang
yang
tetapi
juga
menguba merupak
dalam
h
maupun kehidupan lingkungannya.
dan an
isi
mengubah
kehidupan
dirinya
secara
dan hasil
aktif
dari
pada umumnya dan literasi informasi
mempro
pembelaj
pada khususnya, Lloyd (2010) telah pula
duksi
aran,
menyatakan bahwa literasi informasi
Khusus untuk bidang informasi
pada akhirnya bukan hanya keterampilan
melainkan juga ―produk sosial‖. Literasi
bahwa praktik-praktik literasi informasi
informasi
dipengaruhi
dianggap
sebagai
sebuah
oleh
tujuan-tujuan
―praktik informasi inti‖ (core information
pendidikan
practice) yang mencerminkan bagaimana
masyarakat di suatu negara. Hal ini
sebuah
komunitas
kemudian juga dikaitkan dengan konteks
membentuk pengetahuan tentang dunia
budaya literasi informasi di negara
sekeliling dan diri mereka. Hal ini
berkembang, khususnya dengan sistem
memiliki aspek sejarah, politik, dan
makna (meaning system) yang digunakan
bahkan
bisa
oleh sebuah masyarakat (mereka meneliti
atau
Kamboja dan Laos) untuk mengartikan
masyarakat
ekonomi
dilepaskan
atau
yang
dari
tidak
masyarakat
komunitas yang bersangkutan.
literasi
Jelas pula bahwa praktik literasi informasi di dalam sebuah konteks
dan
informasi
kesadaran
budaya
berdasarkan
adat
istiadat mereka sendiri (Dorner, Gorman, dan Gaston, 2012)3.
tertentu akan menyebabkan perbedaan
Pendekatan seperti
ini
sesuai
dalam penyelenggaraan dan dampaknya,
dengan apa yang dimaksud Green (2012)
bergantung kepada di masyarakat mana
ketika membahas pembelajaran budaya
literasi informasi tersebut diterapkan.
(cultural
Untuk itulah, kita perlu meninjau aspek
dengan teori 3D Literacy yang sesuai
sosial budaya dalam konteks penerapan
dengan
literasi informasi tersebut di bagian
pembelajaran
berikut ini.
3
3.
Literasi
Informasi
Sebagai
Praktik Sosial-Budaya Ketika literasi
membahas
informasi
di
penerapan
negara-negara
berkembang, Dorner dan Gorman (2006) mengartikan ―budaya‖ secara umum sebagai
serangkaian
nilai
yang
memengaruhi semua aspek kehidupan. Mereka juga memakai definisi yang lebih sempit sebagaimana yang digunakan Geert
Hofstede
dimensi-dimensi
ketika
membahas
budaya
(cultural
dimensions).Kesimpulannya
adalah
learning)dalam
konsep dan
Halliday upaya
kaitannya
tentang pendidikan
Di dalam kajian budaya, “sistem makna” atau “sistem pemaknaan” merupakan serangkaian cara dan aturan yang digunakan dan disepakai oleh sekelompok orang di suatu budaya tertentu untuk menginterpretasi, memaknai, dan memahami sesuatu. Dalam pengertian ini maka kebudayaan selalu dapat dilihat sebagai keanekaragaman sistem makna (variable systems of meanings) yang kemudian dipelajari dan diwarisi oleh sekelompok orang (lihat misalnya Rohner, 1984, hal. 119-120). Akibat perbedaan dalam sistem makna ini maka orang dari latar belakang budaya yang berbeda akan memandang atau memaknai suatu peristiwa atau keadaan dengan cara yang berbeda. Antropolog seperti Clifford Geertz banyak menggunakan konsep ini dalam pembahasan mereka; demikian pula para pengamat psikologi sosial seperti Harry C. Truandis dengan konsep “subjective culture”-nya.
sebagai bagian dari berkebudayaan, dan
cara ini pula kita dapat memahami apa
hal ini paling jelas terlihat dalam belajar
yang disebut Lupton sebagai ―praktik-
berbahasa. Jadi, semua bentuk literasi,
praktik informasi yang sesuai dengan
termasuk
konteks
literasi
informasi,
secara
setempat‖
(contextualised
inheren adalah kegiatan budaya dan
information practices). Praktik-praktik
semua praktik-praktiknya tidak hanya
inilah
berkonteks
juga
bagaimana para siswa belajar, dalam
memerlukan kandungan budaya yang
pengertian membentuk makna dengan
spesifik.
memanfaatkan
khusus
Pendapat
Green
tetapi
ini
yang
akan
memengaruhi
informasi.Jadi,
literasi
dapat
informasi tidak melulu berkaitan dengan
digunakan untuk mengulas pemaknaan
teknis menemukan informasi, tetapi juga
literasi informasi dalam konteks sosial
memaknai dan menggunakan makna
budaya Indonesia.Terlebih lagi karena
tersebut dalam kegiatan belajar.Mari kita
―konteks‖ lalu dioperasionalkan dengan
bahas persoalan tatanan sosial sekolah ini
dua indikator yanga lebih spesifik, yaitu
secara lebih rinci di bagian berikut.
tatanan sosial(social setting)dari sebuah
a. Tatanan Sosial Sekolah Dan
sekolah dan subject areayang dipelajari di
kurikulum4.Sebagaimana
Profesi Pustakawan
anjuran
Dari pengamatan sepintas saja,
Green, jika kita mengamati tatanan-sosial
ketika
sebuah
sekolah
dan kurikulum di sebuah sekolah, kita
menerapkan
dapat memahami bagaimana konteks dan
tatanan
situasi di sekolah tersebut memengaruhi
memengaruhi
praktik-praktik literasi informasi.Dengan
hubungan kerja(working relationships)
literasi
sosial
mencoba
informasi
yang
segera
keberhasilannya
maka akan adalah
antara guru dan pustakawan. Setiap kali 4
Tatanan sosial (social setting) sering dibicarakan dalam kaitannya dengan lingkungan sosial (social environment), konteks sosial (social context), atau milieu; merujuk ke tatanan fisik dan hubungan antar-manusia di suatu tempat yang tercipta dan terbangun secara bertahap, melibatkan pula sistem dan institusi budaya yang menentukan keseluruhan tata-cara berkehidupan dan berhubungan antar-manusia di tempat tersebut. Tatanan sosial sekolah (school social setting) merujuk ke tata-cara berhubungan antar-manusia, atau antar semua pihak, yang terlibat di suatu sekolah sesuai dengan norma dan budaya setempat.
sebuah
program
diterapkan
di
literasi
sekolah,
informasi
maka
wajar
muncul kebutuhan untuk menciptakan kolaborasi
guru
dan
pustakawan.Kolaborasiini membutuhkan ―insentif untuk bekerjasama‖ di kedua belah
pihak.Artinya,
baik
pihak
pustakawan maupun guru perlu merasa bahwa kolaborasi itu akan membantu atau menguntungkan kedua belah pihak.
Tentu saja, insentif seperti ini hanya
Standar tersebut, perpustakaan sebaiknya
dapat muncul jika hubungan antara kedua
diintegrasikan ke dalam keseluruhan
belah pihak sudah terbina dalam bentuk
kegiatan sekolah di bawah pimpinan
tatanan sosial yang baku.
kepala
Dalam hal inilah nampaknya kita
sekolahsehingga
perlu
dikembangkan secara setara bersama
menghadapi berbagai persoalan, yang
perangkat
intinya
laboratorium dan lainnya.Perpusakaan
mungkin
dapat
dilacak
ke
sekolah
bagaimana penyelenggara sekolah pada
juga
khususnya,
wewenang
dan
pendidikan posisi
pada
dan
umumnya,
fungsi
perpustakaan telah
penyelenggara
di
melihat
pustakawan
dan
sekolah.Sebagaimana
disinggung
sepintas
di
atas,
sangat
lainnya
dianjurkan untuk
seperti
memiliki
mengadakan,
mengelola, dan memanfaatkan bahanbahan
ajar
maupun
pendukungnya.
Namun dalam praktiknya, perpustakaan jarang
diikutsertakan
atau
dianggap
perpustakaan dan pustakawan di sekolah
sebagai bagian integral dari proses
seringkali
sekadar
belajar mengajar, dan di banyak tempat
fungsi ―tambahan‖.Ini merupakan salah
bahkan tidak punya peran sama sekali
satu
karena
dianggap
masalah
akut
sebagai
yang
dihadapi
ketiadaan
kebijakan,
dana,
pustakawan Indonesia di bidang sekolah
maupun sarana. Jumlah perpustakaan
dasar dan menengah. Padahal sudah ada
sekolah di Indonesia yang sangat besar
reformasi pendidikan di Indonesia sejak
juga menjadi tantangan yang sangat besar
1990 yang terfokus pada pengembangan
dalam pengembangan literasi informasi
kurikulum, pelatihan guru, penyediaan
(lihat tabel), dan ketiadaan koordinasi
buku teks, dan ―... berbagai kegiatan
antar berbagai institusi akan menambah
untuk
inefisiensi di tingkat nasonal5. Secara
memperbaiki
kualitas
belajar-
mengajar di sekolah‖ (diskusi yang cukup komprehensif tentang hal ini ada di tulisan Yeom, Acedo dan Utomo, 2002). Penerbitan Standar Perpustakaan Sekolah (SNI 7329-2009) oleh Badan Standardisasi Nasional Indonesia tidak selalu keadaan
dapat dan
membantu persepsi
mengubah penyelengara
sekolah tentang perpustakaan.Menurut
5
Patut kiranya dicatat bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan maka Departeen Pendidikan lebih bertanggungjawab pada pengembangan sarana, termasuk sarana fisik dan infrastruktur teknologi informasi dan pengembangan koleksi serta kepegawaian.Sementara Perpustakaan Nasional bertanggunajawab terhadap pengembangan layanan dan profesionalisme.Seringkali batasbatas wewenang ini terlihat tumpang-tindih sementara koordinasi juga tidak mudah dilakukan.
lebih
luas,
kemungkinan
kerjasama
Seko 2,8
5,08
7,9
dengan institusi lain yang seyogyanya
lah
97
3
80
ikut terlibat dalam pendidikan, misalnya
Men
pihak perpustakaan umum di tingkat
enga
wilayah sampai desajuga kurang dapat
h
dipertimbangkan
sudah
Atas
dicanangkan di Australia (Bundy, 2001)
Tota
15
25,4
17
113,7
63,
untuk
l
2,2
02
7,6
75
89
seperti
meningkatkan
yang
efisiensi
dan
integrasi kebijakan.
63
Table 2. Jumlah Sekolah dan Perpustakaannya Jeni
Ne
Swa
s
ger sta
Sek
i
2,8 38
65
Komponen
6
5,142
0
lain
di
Standar
Perpustakaan Sekolah, yaitu akreditasi
To
Puny
Ti
sekolah yang salah satunya berkaitan
tal
a
da
dengan
olah
―layanan
perpustakaan‖
Perpu k
mewajibkan setiap sekolah melakukan
staka
pu
pendidikan
an
ny
penelitian oleh George (2012) ditemukan
a
bahwa proses akreditasi telah memaksa
pemakai.
Di
salah
satu
Seko 13
10,2
14
93,41
55,
sekolah melakukan semacam program
lah
13
8,9
9
54
literasi informasi yang testruktur, yang
5
pada intinya merupakan cara sekolah
8,7
Dasa 51
64
r
membantu siswa dalam menyelesaikan
Seko 10,
10,1
20,
15,21
5,5
tugas-tugas mereka. Dalam hal ini,
lah
61
06
72
4
07
perpustakaan
Men
5
1
menjadi
lokasi
dan
penyedia fasilitas, berkoordiasi dengan
enga
guru kelas.Kegiatan seperti ini biasa
h
dijalankan oleh sekolah-sekolah yang
Pert
memiliki
ama
memadai, namun menjadi beban bagi
fasilitas
dan
dukungan
sebagian besar perpustakaan di sekolah 6
Sumber http://www.psp.kemdiknas.go.id/?page=statistik , dan http://www.koranpendidikan.com/view/1987/ad a-anggaran-tiada-perpustakaan.html
negeri yang koleksinya sebagaian besar tidak selalu dianggap memadai atau berkaitan dengan pelajaran di kelas. Buku-buku yang diadakan lewat jalur
Departemen Pendidikan seringkali adalah
sekretaris
buku teks, dan bukan buku atau bahan
sekolah dan anggota satuan pengaman
pustaka lain (di luar buku teks) yang
(satpam). Akibat kekurangjelasan dalam
dapat mendukung tugas-tugas di kelas.
kebijakan tentang profesi pustakawan
Seringkali pemahaman kepala sekolah
sekolah ini, maka potensi penunjukan
sebagai penentu kebijakan pengadaan
pegawai
buku tentang ―bahan pendukung‖ ini
belakang pendidikan ilmu perpustakaan
tidaklah sungguh-sungguh sesuai dengan
menjadi semakin besar.Ditambah lagi
kebutuhan guru dan siswa.
dengan ketiadaan pengertian yang benar
Dua
kasus
di
petugas
tanpa
administrasi
pertimbangan
latar
sedikit
tentang profesi pustakawan di kalangan
banyaknya telah menggambarkan peran
para penyelengara pendidikan, maka
pustakawan dalam tatanan sosial sekolah,
muncullah berbagai kasus di lapangan
namun akan lebih jelas lagi jika kita
yang mewarnai upaya penerapan literasi
memeriksa persoalan yang timbul akibat
informasi di sekolah. Dua di antara kasus
ketidakjelasan
berikut ini merupakan contohnya:
dalam
atas
atau
posisi
profesi
pustakawan di sekolah pada khususnya,
1)
dan di bidang pendidikan pada umumnya.
Tempo (19/01) memuat berita
Dalam Standar, misalnya, setiap sekolah
tentang
dianjurkan
ditunjuk
sebagai
pustakawan
sekolah
setelah
melakukan
pustakawan
mengangat dengan
seorang
―pendidikan
di
Pada tahun 2009, Koran
seorang
guru
yang
bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi‖
pemukulan
sebagai pengelola perpustakaan, namun
Penempatannya
sebagai
pada saat yang sama juga memberikan
pustakawan
sebagai
hak
hukuman
kepada
Kepala
Sekolah
sepentuhnya
menetapkan
menjadi
pustakawan
pertimbangan
untuk
siapa
―mampu‖
saja
dengan serta
terhadap
dianggap
murid.
(http://tinyurl.com/7y9snpt). 2)
HarianSuara
Merdekatahun
2012
memuat
berlatarbelakan ―pelatihan yang memadai
berita serupa di mana seorang
di bidang perpustakaan‖. Di peraturan
guru ditunjuk sebagai pustakawan
yang lebih tinggi, misalnya di Undang-
sebagai bagian dari ―sanksi yang
Undang Sistem Pendidikan Nasional,
sesuai‖
pengertian pustakawan menjadi agak
yang dianggap melanggar etika
kabur karena dianggap sebagai ―pegawai
pendidikan(http://tinyurl.com/85k
pendukung‖
akgb).
yang
setara
dengan
terhadap
tindakannya
Beberapa bermunculan
kasus
di
menyulitkan
serupa
lapangan
dan
pembentukan
b. Kurikulum
ikut
dan
Literasi
Informasi
konsep
Dengan
kondisi
hubungan
kerja
―pustakawan guru‖ yang lebih cocok
pustakawan dan guru seperti di atas,
untuk mengembangkan literasi informasi,
maka memasukkan literasi informasi ke
sementara
Departemen
dalam
bersikeras
hanya
Pendidikan
bertanggungjawab
kurikulum
sekolah
seringkali
menimbulkan
persoalan
mempekerjakanteknisi perpustakaanyang
pelik.Pengembangan
pada dasarnya tidak harus dilibatkan
sendiri di Indonesia mengalami pasang
dalam proses pengajaran. Di lain pihak,
surut, dan di masa-masa awal pengenalan
Perpustakaan Nasional terus melakukan
literasi informasi hal ini menimbulkan
pengembangan
dinamika sendiri.Secara umum Indonesia
keterampilan
literasi
selalu
seorang
perubahan atau pergantian kurikulum
yang
sudah
dalam
mendapat pendidikan literasi informasi
dalam
dipekerjakan
pendidikan nasional7.Hal ini perlu kita
di
sebuah
sekolah,
ia
rangka
masalah
itu
informasi pada para pustakawan. Jika pustakawan
menghadapi
kurikulum
berpotensi menghadapi skeptisme selain
bahas
ketidakjelasan
latarbelakang.
tentang
peran
dan
tugasnya. Kalangan pendidikan mungkin saja
mempunyai
interpretasi
memajukan
secara
ringkas
sistem
sebagai
Sejak kemerdekaan pendidikan dasar
yang
dan menengah di Indonesia mengalami
berbeda tentang tugas pustakawan dan
beberapa perubahan kurikulum; yang satu
berpendapat bahwa sebagai ―teknisi‖,
selalu berupaya menyempurnakan yang
pustakawan tersebut tak perlu terlibat
sebelumnya.
dalam kegiatan belajar mengajar.
(2008),perkembangan
Demikianlah tentang
tatanan
Indonesia
gambaran sosial
yang
dapat
umum
sekolah
di
memengaruhi
Menurut dan
Herlanti perubahan
kurikulum sampai dengan dekade awal tahun 2000an dapat dibagi dalam empat kategori
menurut
kandungan
dan
upaya penerapan literasi informasi, dan juga
akan
memengaruhi
upaya
mengintegrasikan literasi informasi ke dalam
kurikulum
sekolah.
Masalah
kurikulum ini akan dibahas di bagian berikut.
7
Dalam konteks yang lebih luas, patut pula dicatat bahwa walaupun Indonesia sudah cukup berhasil memajukan dan memperluas cakupan pendidikan dasar, masih ada banyak anak-anak yang putus sekolah dan kualitas pendidikan pun masih memerlukan perbaikan. Menurut Jones dan Hagul (2002), krisis ekonomi dan program jaring pengaman sosial yang diterapkan di tengah krisis sangat mempengaruhi upaya wajib belajar sembilan tahun.
tujuannya.
Pertama,
kurikulum
sertifikasi
(lihat
tulisan
adalahKurikulum Sederhana, berlaku dari
Johnston,
2006,
yang
1947
membahas
sampai
Pembaharuan
1964, Kurikulum
lalu
ada
dari
1968
sampai 1975, diikuti dengan Kurikulum
bagaimana
Saud
dan
antara
lain
reformasi
ini
memengaruhi pembentukan kurikulum terintegrasi di Indonesia8).
Berbasis Keterampilan Prosesdari 1984
Asosiasi APISI
Berbasis Kompetensi dari 2004 sampai
integrasi literasi informasi ke dalam
2006. Patut juga dicatat bahwa Undang-
kurikulum sekolah, dan tantangan yang
Undang Pendidikan mengalami revisi
dihadapi cukup berat sebab dalam sejarah
tahun 1989 sewaktu masa belajar dasar
perkembangan kurikulum di Indonesia
diperpanjang dari 6 tahun menjadi 9
institusi
tahun.
sekolah-sekolah
ilmu
belum
dilibatkan.Dari
tantangan
revisi
finansial
inilah untuk
muncul mendanai
awal
seperti
sampai 1994, dan akhirnya Kurikulum
Sejak
sejak
pustakawan
mengupayakan
kepustakawanan
pernah
(termasuk
perpustakaan) sisi
pembangunan dan pemeliharaan ribuan
pandang pustakawan, kurikulum sekolah
sekolah
sebuah
di Indonesia dianggap belum memberi
tantangan yang sampai sekarang masih
ruang yang cukup untuk mendorong
belum sepenuhnya teratasi.
siswa secara aktif mencari informasi
di
seantero
negeri;
Di akhir tahun 1990-an ada dua perkembangan
secara
keinginan mencari informasi, kurikulum
sektor
di
adalah
mengandalkan kandungan buku teks saja
diberlakukannya kebijakan desentralisasi
dan mengejar target untuk lulus ujian
dalam pemerintahan yang secara dramatis
nasional. Beberapa sekolah --terutama
mengurangi kekuasaan pemerintah pusat
sekolah swasta—mencoba menjadi pionir
dan menambah wewenang pemerintah
dalam membuat kurikulum terintegrasi
daerah
yang mendorong siswa menjadi lebih
mendasar
penting
yang
dalam kerangka belajar.Alih-alih memicu
memengaruhi
pendidikan.Pertama
(pembahasan
komprehensif
Indonesia
dianggap
lebih
tentang ini dapat dilihat di Kristiansen dan
Praktino,
2006).Kedua
adalah
reformasi nasional dalam pendidikan guru,
antara
peningkatan
lain kemampuan
menyangkut mengajar
sekitar 1,2juta orang guru sekolah dasar yang sejak 1990-an menjalani program
8
Menurut Saud dan Johnston (2006) program kurikulum terpadu ini menyangkut proses dan prosedur untuk mengintegrasikan berbagai mata ajaran dengan cara sedemikian rupa sehingga terkait dengan pengalaman hidup peserta didik, termasuk di dalamnya upaya mengaitkan satu subjek dengan subjek lainnya berdasarkan suatu tema tertentu.
aktif. Sudah barang tentu, sekolah-
terhadap perkembangan anak. Kondisi ini
sekolah seperti ini memberi peluang
membuka peluang bagi pustakawan di
(selain tantangan) kepada pustakawan
sekolah untuk lebih berperan, dan akan
agar mengubah diri menjadi lebih kreatif
dibahas secara lebih rinci di bagian
dalam
berikut.
melayani
kebutuhan
peserta
didik.Harus diakui, tantangan ini menjadi
4. Peran Transformatif dan Isu
bagian dari upaya menghapus citra
Literasi Media
pustakawan
Di akhir periode 1990an, Ahmad
sebagai
semata-mata
―administrator‖ perpustakaan. Sekaligus,
Syafi’i
ini
Muhammadiyah,
juga
merupakan
peluang
bagi
Ma’arif,
pimpinan
organisasi di
Islam
pustakawan Indonesia di tingkat sekolah
terbesar
dasar dan menengah untuk mengubah
memiliki jaringan sekolah muslim penah
citra dan kebiasaan mereka agar dapat
mencanangkan
menjadi bagian dari apa yang disebut
―Pendidikan islami sebagai paradigma
―budaya riset‖ di sekolah (lihat Badke,
pembebasan‖ sebagai upaya menjadikan
2005).
peserta didik sebagai subyek, alih-alih
Terlepas dari semua masalah di atas,
sebagai objek atau target perubahan
perkembangan kepustakawanan sekolah
sosial. Pandangan Ma’arif ini menjadi
di
Indonesia
kedua
seorang
apa
Indonesia
yang
ia
yang
sebut
sebenarnya
cukup
salah satu contoh dari apa yang disebut
terutama
karena
pedagogi kritis atau critical pedagogy
mulai
terbuka
yang sudah mulai diterima di Indonesia,
mereka
tentang
walaupun negeri ini masih tetap dianggap
perlunya menyesuaikan pendidikan dasar
konservatif (lihat Nuryatno, 2005 untuk
maupun menengah dengan kemajuan dan
pembahasan secara ringkas tentang ide
perubahan zaman. Kemajuan teknologi
Ma’arif dan kaitannya dengan pandangan
informasi
Freire tentang critical pedagogy)9.
menggembirakan, masyarakat
pun
menyatakan
aspirasi
telah
secara
fundamental
mengubah tatanan sosial budaya, dan masyarakat Indonesia telah mengenyam berbagai kebebasan yang dimungkinkan oleh berbagai fasilitas media komunikasi masa
kini,
menyebabkan
sekaligus
kesadaran akan perlunya pendidikan dasar yang memadai, dan ketakutan akan dampak
buruk
teknologi
informasi
9
Pedagogi kritis secara umum dapat dikatakan sebagai cara mendidik siswa yang keluar dari kukungan pandangan konservatif tentang tujuan pendidikan. Alih-alih menjadikan siswa sebagai penerima transfer pengetahuan yang pasif, pedagogi kritis menganggap bahwa siswa punya kemampuan memilah dan memilih pengetahuan mana yang perlu dan tidak perlu untuk mereka. Penjelasan lebih rinci tentang hal ini dapat dibaca di laman salah seorang pendukung pedagogi
Ide Ma’arif dikutip di artikel ini
(untuk
pembahasan
yang
ekstensif
bukan hanya untuk menunjukkan contoh
tentang hal ini, lihat misalnya Bangay,
aspek kritis dari pedagogi, namun juga
2005).
untuk membahas transformasi sistem
Tanpa
harus
masuk
ke
persekolahan di Indonesia yang pada
pembahasan yang rinci dan rumit tentang
gilirannya memengaruhi aspirasi dan
manajemen
implementasi literasi informasi.Perlu juga
swasta, kita tetap perlu menyadari bahwa
kita ingat bahwa jaringan sekolah Islam
keragaman
di Indonesia merupakan hal yang khas di
swasta serta
negeri ini, karena persekolahan swasta di
swasta
dan
sekolah
Indonesia mengenal dua jenis sekolah,
memengaruhi
tatanan
yaitu
atau
sebagai mana kita bahas sebelumnya.
madrasah, dan sekolah swasta lainnya
Keragaman dan perbedaan tersebut juga
yang
akan
sekolah-sekolah
dikelola
Islam
yayasan
dan
yang
dan
pendanaan
dalam
sekolah
karakter
sekolah
perbedaan antara sekolah
berpengaruh
umum, sosial
akan sekolah
terhadap
aspirasi
sebagiannya juga berorientasi ke agama
masyarakat tentang aspek kritis dari
tertentu selain Islam. Kontribusi sekolah-
pedagogi sebagaimana yang diungkap
sekolah
Ma’arif di atas. Biar bagaimana pun,
swasta
terhadap
upaya
pendidikan di Indonesia sebenarnya amat
sekolah-sekolah
penting dalam meringankan beban negara
dapat beroperasi secara lebih independen
mengurus
namun
dibandingkan sekolah negeri, termasuk
pengertian ―sekolah swasta‖ di Indonesia
lebih independen dalam menginterpretasi
agak berbeda dari pengertian di negara-
dan menerapkan kurikulum. Jika kita
negara lain. Pada umumnya, sekolah
ingin menganggap pendidikan sebagai
swasta di negara lain merupakan sekolah
bagian dari transfer budaya dan jika
―kaya‖ karena mengelola dana sendiri
literasi
yang besar berkat donasi orang tua murid
bagian dari transformasi peserta didik,
yang kebanyakan adalah kelas menengah
maka
ke atas. Di Indonesia, masih banyak
sekolah-sekolah swasta akan lebih leluasa
sekolah swasta yang justru ―miskin‖ dan
melakukan perubahan dan penerapan
bergantung pada bantuan pemerintah
kurikulum yang sesuai dengan aspirasi
persekolahan,
swasta
informasi
kita
boleh
di
Indonesia
dianggap
berasumsi
sebagai
bahwa
masyarakat tentang aspek kritis dari kritis, Henry Giroux, di http://www.perfectfit.org/CT/giroux2.html.
pedagogi. Namun tentu saja asumsi ini harus disertai dengan kesadaran tentang
berbagai kemungkinan hambatan dan
sekolah
tantangan.
kepustakawanan sekolah pada khususnya,
Dana
penyelenggaraan
terjadi
pada
di
umumnya
masa
transisi
dan
yang
merupakan salah satu faktor yang amat
memungkinkan perubahan dalam tujuan
memengaruhi
di
pendidikan.
Indonesia.Sejarah telah memperlihatkan
melahirkan
bahwa
pustakawan semacam APISI yang ikut
sistem
lewat
pendidikan
pendanaan
inilah
Masa
ini
pula
yang
organisasi-organisasi
pemerintah mengejawantahkan kontrol
mempopularkan
yang terpusat dan menegaskan faham
―petunjuk penggunaan bibliografi‖ atau
yang konservatif dalam pendidikan. Di
―pendidikan pemakai‖ yang konservatif
lain pihak, perkembangan pandangan-
menjadi ―literasi informasi‖ yang lebih
pandangan kritis dalam pendidikan dan
bersifat
literasi
justru
prosedur dan tata aturan yang terlalu
menegaskan perlunya para peserta didik
kaku. Apalagi kemudian, tidak lama
―melakukan refleksi terhadap apa yang
setelah literasi informasi mulai popular di
mereka
hanya
sekolah-sekolah Indonesia, masyarakat
menerima secara pasif apa pun yang
pada umumnya dan para pendidik pada
diajarkan guru di kelas (Green, 2012). Di
khususnya, menghadapi isu baru yang
awal Era Reformasi, khususnya ketika
muncul
Presiden Suharto baru saja digulingkan,
penggunaan Internet di kalangan anak
tuntutan terhadap desentralisasi politik
dan siswa.Isu
sangat
nyaris
maraknya penggunaan media sosial, dan
bersamaan pemerintahan yang baru juga
kemudian dikemas menjadi satu konsep
memulai reformasi pendidikan yang salah
yang disebut ―literasi media‖ (media
satu aspeknya adalah penciptaan suasana
literacy).
pada
pelajari‖
kuat
dan
umumnya
dan
pada
bukan
saat
belajar dan suasana kelas yang kondusif bagi
perkembangan
siswa-siswa
transformasi
―membebaskan‖
dari
semakin
ini
siswa
dari
dari
meluasnya
dikaitkan dengan
Dalam sebuah makalah, George dan Mulkan (2012) menggambarkan
berpikiran kritis. Tidaklah mengherankan
inisiatif
jika awal reformasi ini dapat dilihat pula
pelatihan Media and Information Literacy
sebagai semacam ―perkenalan‖ dunia
(MIL) sebagai semacam ―pemicu‖ bagi
pendidikan Indonesia terhadap pedagogi
perluasan perhatian pustakawan sekolah
kritis.
yang sudah mulai sadar bahwa literasi Dengan kata lain pula, introduksi
literasi informasi ke dalam pendidikan
UNESCO
untuk
melakukan
informasi mencakup aspek yang lebih luas
daripada
sekadar
penggunaan
perpustakaan.
Pelatihan
itu
sendiri
meningkat sampai akhirnya diadakan
ditujukan untuk guru dan pustakawan dan
seminar
tentang
mengandung pengetahuan dasar serta
terhadap
anak-anak
beberapa
praktis
Kesejahteraan Anak Indonesia [YKAI])
literasi
pada
petunjuk
mengembangkan
program
tahun
pengaruh oleh
1991,
televisi Yayasan
bekerjasama
informasi & media.Dalam kesimpulan
denganAsian Media Information and
mereka,
Communication Centre (AMIC). Pada
kedua
perlunya
penulis
program
menekankan
literasi
informasi
seminar itu antara lain dibahas tentang
diberikan sebagai bagian dari kurikulm
strategi
sekolah.Selain
pengaruh
itu
mereka
juga
menyatakan bahwa literasi media dapat dilihat
sebagai
media,
dari
terutama
televisi. Kajian ilmiah tentang hubungan
mengingat
antara media dan masyarakat selama ini
bahwa keduanya sama-sama berurusan
memang mengenali gejala ―proteksionis‖
dengan
pencarian
masyarakat dan orang tua ini. Gejala
informasi.Kedua jenis literasi ini juga
tersebut merupakan bagian dari apa yang
menggarisbawahi perlunya kemampuan
disebut Len Masterman sebagai
memilah dan memilih sumber-sumber
three stages of media education‖ (lihat
informasi agar dapat digunakan secara
Tobias, 2008), yaitu sebagai berikut:
secara
akses
dari
negatif
anak-anak
literasi
informasi
bagian
mengindari
umum,
dan
bertanggungjawab.
a.
―the
Gejala diskriminasi atau
Program-program literasi media
inoculation,
yaitu
sebenarnya juga sudah memiliki latar
masyarakat
menekankan
belakang dan preseden yang cukup kuat,
efek/dampak dari media yang
dan sudah diperkenalkan sebelumnya ke
cenderung
dunia pendidikan di Indonesia dengan
bidang pendidikan, gejala ini
berbagai
―pendidikan
muncul dalam bentuk sikap guru
media‖ atau ―kajian media‖.Menurut
yang cenderung bersifat protektif
Hendriyani
dan
judul,
dan
seperti
Guntarto
(2011),
negatif.
ketika
Di
menganjurkan
dalam
siswa
masyarakat pada umumnya dan pendidik
mengurangi
Indonesia pada khususnya sudah lama
terutama televisi.
kuatir tentang dampak media terhadap
b.
anak-anak.Media yang paling dikuatirkan
kandungan media, memisahkan
pada awalnya adalah televisi. Sudah sejak
mana yang dianggap baik dan
akhir tahun 1980-an kepedulian ini
mana yang buruk. Pihak pendidik
Gejala
konsumsi
segi
media,
memilah
tetap bersifat protektif, namun
mereka.Kelompok ini juga lebih senang
dengan alasan berbeda. Program-
membantu para siswa memanfaatkan
program media kali ini lebih
kelebihan
ditujukan
mereka mengerjakan tugas-tugas sekolah,
untuk
kemampuan
meningkatkan
Internet
untuk
membantu
siswa
menilai
daripada memfokuskan diri ke bahaya-
media
(misalnya
bahayanya.Kelompok inilah yang besar
siaran televisi) dengan harapan
kemungkinannya lebih menarik bagi para
mereka akan menjauhi isi yang
pustakawan,
yang
―buruk‖.
memandang
semua
c.
sesuatu yang ―netral‖ saja.
kualitas
isi
Setelah dua perkembangan
di atas, pihak pendidik biasanya akan
mulai
lebih
kritis
secara
Perbedaan memandang
tradisional
media
sebagai
dalam
pengaruh
cara
media
memandang media dan mulai
pendekatannya
merinci berbagai aspek khusus
masyarakat umum maupun persekolahan,
yang
dengan
telah melahirkan beberapa kelompok
penggunaan bahasa, ideologi, dan
―aliran‖ yang berbeda. Istilah yang
representasi media. Dengan kata
digunakan pun beragam, mulai dari
lain, aspek kritis dalam cara
―media watch‖, kesadaran bermedia,
memandang
mulai
cerdas bermedia, dan sebagainya.Pada
diperkenalkan melalui pendidikan
Januari 2011, kelompok-kelompok ini
sekolah.
berusaha melakukan konsolidasi dengan
Hendriyani dan Guntarto juga
mengadakan konperensi pertama tentang
berkaitan
media
mencatat bahwa ada kelompok di dalam
dalam
dan
konteks
literasi media di Indonesia.
masyarakat yang tidak sepenuhnya setuju
Perkembangan di Indonesia ini
dengan sikap proteksionis.Kelompok ini
mirip dengan yang terjadi di sebagian
cenderung
menekankan
segi
besar negara Asia. Berdasarkan sebuah
pemberdayaan
(empowering)pengguna
survei, Cheung (2009) menyimpulkan
media agar dapat memanfaatkan media
bahwa para guru yang peduli tentang
demi
pengaruh media memang melalui tiga
kepentingan
mereka
sendiri.Misalnya, kelompok ini mengajak
proses
para petani memanfaatkan teknologi
diteorikan oleh Masterman di atas. Patut
media
juga
untuk
menggunakan
memahami aplikasi
pasar
Internet
dan yang
dapat membantu pemasaran produksi
atau
dicatat
gejala
bahwa
sebagaimana
sebagian
besar
gerakan literasi media nampak sangat terkait
dengan
paradigma
pendidikan.Misalnya sebagaimana yang
lainnya,
terjadi
ada
Indonesia pada umumnya digerakkan
perubahan kurikulum yang menekankan
oleh aktivis tingkat akar rumput di tengah
kemampuan
dan
suasana perubahan paradigma sosial
independen, maka dengan cepat pula
menyangkut kebebasan komunikasi dan
literasi media menjadi popular untuk
informasi. Di Indonesia khususnya hal ini
diintegrasikan ke kurikulum (Chu, 2009).
terjadi sejalan dengan kemunculan dan
di
Hongkong
ketika
berpikir
Salah
satu
kritis
komponen
media
promosi
aspirasi
literasi
reformasi
di
media
di
bidang-bidang
literasi yang segera popular di Indonesia
komunikasi dan media, sesaat sebelum
adalah upaya mengajak para peserta didik
kejatuhan Orde Baru dan satu dekade
untuk secara aktif berurusan dengan
setelah itu. Baik di Indonesia maupun di
produksi
media.
Asia, gerakan akar rumput ini pada
oleh
awalnya direspon secara hati-hati oleh
pesan
Sebagaimana
lewat dilaporkan
Hendriyani, Armando, dan Atmonobudi
Pemerintah
(no date), salah satu yayasan besar di
kebijakan
Indonesia, yaitu Yasasan Kesejahteraan
tersebar secara meluas di masyarakat
Anak
menyelenggarakan
dalam bentuk kesadaran baru dalam
pendidikan literasi media untuk sekolah
komunikasi bermedia. Setelah popular di
dasar negeri sebagai proyek awal mereka,
masyarakat, literasi media ini perlahan
khususnya dengan mengajak para guru
tapi pasti mulai ―masuk‖ ke bidang
sebagai pihak yang paling berperan
pendidikan.
Indonesia
dalam pendidikan di
publik,
para
pembuat
sebelum
akhirnya
dasar.
Pada satu dekade perkembangan
Beberapa pelatihan dilaksanakan untuk
literasi informasi di Indonesia, kita belum
para guru, diikuti dengan seminar yang
dapat mengatakan secara pasti apakah
dihadiri para orang tua murid. Sampai
gerakan
sekarang Yayasan ini termasuk paling
pustakawan akhirnya berintegrasi atau
aktif mempopularkan literasi media, tidak
bahkan menyatu dengan gerakan literasi
hanya
media
untuk
tingkat
maupun
mendukung
―proteksionis‖
namun
pandangan
juga
untuk
literasi
para
lokakarya
informasi
aktivis
para
media.Namun
yang dilakukan UNESCO
memberdayakan masyarakat agar dapat
sebagaimana disebut sepintas di atas,
aktif
telah menjadi semacam ajang penting
berperan
dalam
komunikasi
bermedia. Harus pula kita catat bahwa sama halnya dengan di negara-negara Asia
bagi pertemuan kedua gerakan tersebut. Salah satu contoh kolaborasi adalah antaraGeorge
dan
Mulkan
yang
mengusulkan sebuah model umum untuk
dengan literasi informasi yang juga masih
Literasi
mencari
Media
dan
Informasi
sebagaimana terlihat di gambar berikut.
bentuk.
Namun
desakan
masyarakat dan kemunculan dampak atau konsekuensi
negatif
dari
kehadiran
Internet dan berbagai perkembangan terbaru di bidang Teknologi Informasi, telah menjadi peluang bagi aktivis media maupun
pustakawan
berkolaborasi
sekolah
untuk
bersama
pihak
penyelenggara sekolah (guru dan kepala sekolah). C. PENUTUP Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejak masa awal Gambar 1. Model Umum Literasi Media dan Informasi Terlalu mengatakan
dini apakah
juga
untuk
model
tersebut
merupakan rujukan untuk praktik literasi informasi
dan
literasi
media.
Sebagaimana dikatakan Tobias (2008) gerakan literasi media memang akan selalu memiliki ragam pendekatan yang berbeda dan akan menjadi pilihan bagi sebuah sekolah, tergantung dari orientasi sekolah
tersebut.
Kita
juga
perlu
mencatat bahwa literasi media itu sendiri sebagaimana dikatakan Provençal (2004) ―tidak mudah untuk diajarkan di kelas‖, sehingga baik guru maupun pustakawan juga akan berpikir panjang sebelum berani mereka,
menerapkannya apalagi
di
sekolah
menggabungkannya
pengenalannya di Indonesia, hakikat literasi informasi adalah serangkaian ―praktik yang disesuaikan dengan situasi‖ (situated practices), yakni situasi belajar mengajar di dalam konteks sosial-budaya tertentu yang mencakup di dalamnya tatanan sosial sekolah dan pengembangan kurikulum.
Di
mana
pun
literasi
informasi akan ditetapkan, diperlukan integrasi kepustakawanan sekolah dengan kegiatan belajar-mengajar, dan harus sejalan dengan perubahan paradigma pengajaran
dari
mengandalkan belajar
yang
belajar
partisipatif.
semula
pasif Hal
menjadi ini
pada
gilirannya ikut dipengaruhi oleh adanya reformasi
menyeluruh
di
sektor
pendidikan di Indonesia yang selama ini belum
pula
lepas
dari
persoalan-
persoalan logistik dan birokratik.
Di sisi lain, literasi informasi itu
berlangsung, apalagi pada saat yang sama
sendiri sebenarnya merupakan praktik
sistem dan pelaku pendidikan itu sendiri
tekstual
dari
sedang menghadapi berbagai masalah
perubahan paradigma dalam memandang
dalam hal kualitas sumberdaya manusia
literasi, dan ini terjadi di masa-masa awal
maupun fasilitas.
yang
Reformasi
adalah
yang
produk
amat
memengaruhi
Dalam pada itu, perkembangan
popularitas literasi informasi di dekade
Teknologi Informasi secara umum dan
pertama tahun 2000-an. Semula literasi
teknologi media pada khusunya telah
hanya dilihat dari sisi pandang perangkat
secara
teknologi, sebelum akhirnya berubah
pandang masyarakat tentang kehidupan
ketika
mereka
literasi mulai terlihat sebagai
mendasar
dan
memengaruhi
tentang
cara
kebebasan
sebuah praktik sosial yang khas. Dengan
berkomunikasi pada khususnya. Setiap
demikian,
perlu
perkembangan baru dalam teknologi dan
diterima bersama oleh semua pihak yang
media dengan segera menimbulkan pula
terlibat di masyarakat pada umumnya,
isu tentang akses dan kendali informasi di
dan
masyarakat.Hal
di
literasi
bidang
informasi
pendidikan
pada
ini
sebenarnya
ikut
khususnya.Di
Indonesia
perubahan
mendorong perubahan paradigma literasi
paradigma
seringkali
merupakan
sebagaimana disinggung di atas. Jelaslah
elemen-elemen
bahwa baik literasi informasi maupun
bagian
ini
dari
aspirasi
masyarakat sipil (civil society) dalam
literasi
rangka membentuk masyarakat yang
sosio-budaya
lebih demokratik, terbuka, dan egaliter,
perkembangan teknologi media dan sikap
selain juga untuk menjamin pemerintahan
serta respon para pustakawan sekolah
yang transparan dengan tata kelola yang
terhadap fenomena ini akan menentukan
baik. Aspirasi ini tidak selamanya sejalan
bagaimana
dan dipahami sama di semua komponen kepustakawanan Indonesia, apalagi oleh institusi-institusi pemerintah perpustakaan
pada
perpustakaan umumnya,
sekolah
negeri
dan pada
khususnya. Dengan demikian perubahan paradigma dalam berliterasi ini tak sepenuhnya diterima atau dianggap cocok dengan sistem pendidikan yang sedang
media
merupakan yang
mereka
fenomena dipengaruhi
berpartisipasi.
D.
DAFTAR BACAAN
Ai Lien, D. et al. (2010).Literasi Informasi: Tujuh Langkah Knowledge Management. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya.
Badan Standardisasi Nasional (2009), Standar Nasional Indonesia : Perpustakaan Sekolah 7329 – 2009, Jakarta : BSNI.
Badke, W.B (2005), Cant get no respect : helping faculty to understand educational power of IL. Relationships Between Teaching Faculty
And Teaching Librarians, editor Susan B
Kraat, Binghamton NY : Haworth Information Press, pp. 63-80.
Bangay C. (2005). Private education: relevant or redundant? Private education, decentralisation and national provision in Indonesia.Compare, 35(2), pp. 167-179.
Bruce, C. (2008). Informed Learning. Chicago: Association of College and Research Libraries.
Bundy, A. (2001). Essential connections: school and public libraries for lifelong learning. Paper presented at Forging future directions - the Seventeenth conference of the Australian School Library Association, Twin Waters Resort, Sunshine Coast, Queensland, 30 September - 4 October 2001.
Cheung, C. (2009). Media education across four Asian Societies: issues and themes. International Review of Education, 55(1) pp.39-58.
Chu, Donna (2009). Experiential model of media education: primary school reporters in Hong Kong. Simile. 9 (1), pp. 4-17. Dorner, D.G. & Gorman, G.E. (2006).―Information Literacy Education in Asian developing countries: cultural factors affecting curriculum development and programme delivery‖ in IFLA Journal 2006 32(4), pp. 281–293.
George, H. C. (2012). Literasi Informasi Perpustakaan Sekolah : Studi KasusPenerapan Program Literasi Informasi di Perpustakaan Sekolah Santa Angela Bandung. Bandung : Universitas Padjadjaran, pp. 135-160.
George, H. C., M.l. Eko Wiyanti, and Dwi Retno Widaty (2011). Peran Tenaga Perpustakaan Sekolah dalam Implementasi Literasi Informasi di Indonesia: kajian terhadap tenaga perpustakaan sekolah yang telah mengikuti pelatihan literasi informasi, Jakarta : Pusat Pengembangan Perpustakaan & Pengkajian Minat Baca, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Perpustakaan Nasional RI.
George, H.C. & Mulkan, D. (2012) Developing a Media and Information Literacy program: a MIL program guide for teachers and librarians in Elementary School in Indonesia. Hendriyani & Guntarto, B. (2011). Defining Media Literacy in Indonesia.Paper presented at the International Association of Media Communication Research, Istanbul, Turkey.
Hendriyani, Armando, N.M., & Atmonobudi, B.K.S (no date). School Based Media Education in Indonesia.http://www.unicef.org/indonesia/School_based_media_education_in_Indonesia .pdf. Downloaded 12 July 2013.
Herlanti, Y. (2008).
Kurikulum Pendidikan Indonesia dari Zaman ke Zaman. [on line]
http://yherlanti.wordpress.com/2010/08/12/kurikulum-indonesia-dari-zaman-ke-zaman/. Hoyer, J. (2011). ―Information is social: information literacy in context‖. in Reference Services Review Vol. 39 No. 1, 2011 pp. 10-23.
Jones, G.W. and Hagul, P (2001). Schooling In Indonesia: Crisis-Related And Longer-Term Issues, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 37 (2), pp. 207-231.
Kristiansen, S. and Pratikno (2006).Decentralising education in Indonesia.International Journal of Educational Development 26 (1), pp. 513–531
Lloyd, A. (2010) Framing information literacy as information practice: site ontology and practice theory. Journal of Documentation, 66 (2), hal.245-258. Lloyd, A. and Williamson, K. (2008). ―Towards an understanding of information literacy in context : Implications for research‖ in Journal of Librarianship and Information Science, vol. 40 no. 1, p. 3-12. Lupton, M. (2008a). Information Literacy and Learning, Adelaide : AUSLIB Press.
Lupton, M. (2008b). The Learning Connection : information literacy and the student experience, Adelaide : AUSLIB Press. Lupton, M., & Bruce, C. S. (2010). ―Windows on information literacy worlds: Generic, situated and transformative perspectives‖ in Practising information literacy: Bringing theories of learning, practice and information literacy together (pp. 4–27). Wagga Wagga, NSW: Centre for Information Studies, Charles Sturt University.
Nuryatno, M.A. (2005). In Search Of Paulo Freire's Reception In Indonesia. Convergence 38(1), pp. 50-68. Provençal, J. (2004). Plato’s Dilemma and the Media Literacy Movement. Studies in Media & Information Literacy Educationi, 4(3), pp. 1–10.
Rohner, R. P. (1984). Toward a conception of culture for cross-cultural psychology.Journal of Cross-Cultural Psychology, 15, hal. 111-138.
Saud, U. & Johnston, M. (2006). Cross-cultural influences on teacher education reform: reflections on implementing the integrated curriculum in Indonesia. Journal of Education for Teaching, 32(1) , pp. 3–20.
Scribner, S. & Cole, M. (1981).The Psychology of Literacy. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Secker, J. & Coonan, E. (2012). Rethinking Information Literacy : A practical framework for learning, e-book, London : Facet Publishing, accessed 09 June 2013.
Spiranec, S. dan Zorica, M.B. (2010), Information Literacy 2.0: hype or discourse refinement? Journal of Documentation 66 (1), hal.140-153.
Tobias, J.A. (2008). Culturally relevant media studies: a review of approaches and pedagogies. Simile. 8(4), pp. 1-17. Tuazon, R. (2013). ―MIL in Indonesia‖ in Media and Information Literacy and Intercultural Dialogue, Ed: Ulla Carlsson & Sherri Hope Culver, Göteborg
: The International
Clearinghouse on Children, Youth and Media, University of Gothenburg , pp. 281 – 285. Westbrook, L. (1999). ―Passing the halfway mark us curricula: incorporating user education courses‖, Journal of Education for Library and Information Science, 40 (2), pp. 92-98.
Yeom, M., Acedo, C., & Utomo, E. (2002). The Reform of Secondary Education in Indonesia During the 1990s: basic education expansion and quality improvement through curriculum decentralization. Asia Pacific Education Review. 3 (1) pp. 56-68.