Kampung Pengemis (Part 1) free instagram followermake up wisudamake up jogjamake up prewedding jogjamake up wedding jogjamake up pengantin jogjaprewedding jogjaprewedding yogyakartaberita indonesiayogyakarta wooden craftAku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semester-semester akhir masa kuliah. “Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya. “Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,” “Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku. “Kamu tahu dari mana?” “Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”. Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya. “Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?”
“Mengemis?” aku mencoba menebak. “Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu” “Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab pujiannya terdengar seperti mengejek. Dia lalu tertawa sebentar. Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas. “Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.” “Sangat tidak punya malu.” “Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata. “Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplopamplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampuskampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas.
“Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu menjelaskan dengan wajah serius. “Kamu yakin?” “Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu tidak pernah menghubungi untuk sekadar konfirmasi?” “Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.” Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau. Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis. “Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.” “Jangan!” “Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita
kampung pengemis itu. “Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.” “Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu. “Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.” “Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nantinanti saja.” “Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalamdalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.” “Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?” “Hah? Secepat itu kah?”
“Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya. “Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?” “Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.” “Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.” “Amin.” Sambutnya.
Bersambu Aku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semestersemester akhir masa kuliah. “Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya. “Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,” “Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku. “Kamu tahu dari mana?”
“Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”. Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya. “Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?” “Mengemis?” aku mencoba menebak. “Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu” “Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab pujiannya sebentar.
terdengar
seperti
mengejek.
Dia
lalu
tertawa
Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas. “Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.”
“Sangat tidak punya malu.” “Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata. “Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplopamplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampuskampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas. “Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu menjelaskan dengan wajah serius. “Kamu yakin?” “Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu menghubungi untuk sekadar konfirmasi?”
tidak
pernah
“Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.” Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau.
Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis. “Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.” “Jangan!” “Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu. “Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.” “Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu. “Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.” “Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nanti-
nanti saja.” “Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalamdalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.” “Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?” “Hah? Secepat itu kah?” “Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya. “Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?” “Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.” “Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.” “Amin.” Sambutnya.
Bersambung…. Aku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu
aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semestersemester akhir masa kuliah. “Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya. “Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,” “Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku. “Kamu tahu dari mana?” “Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”. Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya. “Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?” “Mengemis?” aku mencoba menebak. “Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu” “Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab
pujiannya sebentar.
terdengar
seperti
mengejek.
Dia
lalu
tertawa
Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas. “Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.” “Sangat tidak punya malu.” “Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata. “Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplopamplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampuskampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas. “Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu menjelaskan dengan wajah serius. “Kamu yakin?”
“Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu tidak pernah menghubungi untuk sekadar konfirmasi?” “Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.” Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau. Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis. “Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.” “Jangan!” “Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu. “Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau
itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.” “Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu. “Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.” “Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nantinanti saja.” “Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalamdalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.” “Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?” “Hah? Secepat itu kah?” “Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya. “Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?”
“Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.” “Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.” “Amin.” Sambutnya.
Bersambung…. Klik Kampung Pengemis (Part 2)
Peri-peri Kami
Mengambil
Nyawa
Di serambi masjid sebelah utara, aku duduk. Setelah berjamaah shalat ashar, aku memang biasa nongkrong sambil melamun di teras masjid. Kadang di sebelah utara, kadang selatan atau timur. Sesuai kenyamanan hati saja. Langit mendung. Kelabu pekat. Sejurus lagi, pasti hujan. Aku senang melihat langit. Apapun keadaannya, menurutku, langit selalu indah untuk ditatap. Tiba-tiba nampak di langit itu, gumpalan awan robek. Seperti ada sesuatu yang menembusnya dari angkasa. Sesuatu yang bercahaya tapi bukan cahaya menelusup dari awan menuju ke arahku. Sesuatu yang aneh, dengan kecepatan luar biasa meluncur ke hadapanku.
Dengan setengah takut, aku sudah berhadapan dengan barang yang ternyata adalah manusia, tapi bukan manusia. Perempuan, tapi bukan perempuan, bersayap, tapi pasti bukan siluman burung. Dalam beberapa literatur dikatakan bahwa malaikat itu bersayap, tapi sumpah mati, sedikitpun aku tak menganggap orang yang bukan orang di depanku ini adalah malaikat. Dia lebih mirip peri yang hanya kuanggap merupakan tokoh rekaan orang-orang berimajinasi tinggi. Peri-peri yang biasa muncul di berbagai penampakan dalam karya seni. Atau peri-peri yang didongengkan pujangga. Aku akui, angkat dua jempol, bahwa perempuan yang bukan perempuan di hadapanku ini indah, teramat indah. Dia bugil. Rambutnya panjang berwarna emas, dadanya besar berisi ranum gagah, kelaminnya tak berambut, badannya putih bersih, sayapnya dua helai kiri-kanan. Setiap helai terbagi atas dan bawah, yang bagian atas lebih lebar dua kali dari yang bawah, dengan warna emas keperakan. Kaki jenjang belalang, tubung langsing dan berhidung mancung nan
jelita.
”Ikut aku,” dia membuka percakapan dengan kurang sopan sebab tak memerkenalkan diri. ”Kamu siapa?” aku bertanya ramah. ”Aku adalah peri. Aku memimpin sepasukan peri-peri yang berjumlah ribuan. Kami turun ke bumi untuk menjemput orangorang sepertimu,” jawab dia. ”Ribuan?” aku hanya melihat dia sendirian, berdiri tapi bukan berdiri di hadapanku. Kakinya tidak menyentuh tanah. Sayapnya bergerak-gerak pelahan, nampaknya sayap itulah yang memertahankannya tetap mengambang di udara. ”Pasukanku tak kemari. Mereka menyebar ke pelosok bumi, mencari dan menjemput orang-orang sepertimu. Setiap peri menjemput seorang,” ”Orang-orang sepertiku?”
”Ya, kalian orang-orang berhati mulia akan kami jemput untuk kami antar ke surga. Sebab, bumi akan kiamat. Dunia akan dimusnahkan sebentar lagi,” ”Orang mulia? Aku orang mulia? Yang benar saja,” sahut ku. Meski sering mengumandangkan adzan, aku tetap tak merasa mulia. Kemarin di bioskop, aku beradu lumat lidah dengan seorang kawan perempuan. Seminggu yang lalu, hal yang sama kulakukan dengan kawan perempuan yang lain. Jadi, dari mana aku bisa dibilang mulia? Menggelikan. ”Siapa yang akan memusnahkan bumi?” aku bertanya dengan sedikit senyum geli. “Tuhan,” jawab dia. ”Dhuar!” guntur berbunyi mantap selepas kilat berkelebat. Gerimis turun. Seolah-olah, fenomena alam tersebut menjadi suara latar dari jawaban sosok yang mengaku peri: tuhan, sepersekian detik sebelumnya. ”Tuhan yang mana?” aku mencoba tetap tenang dan berwajah santai, meski jujur, aku mulai agak merinding. ”Tuhan ku dan Tuhan mu,” ”Dhuar!” guntur kembali bergemuruh. Kali ini lebih bergema. Rintik hujan lebih deras. ”Tapi, Tuhanku tak pernah sekalipun mengaku kalau punya makhluk sepertimu. Tuhanku tak pernah berkata bahwa orangorang mulia akan dijemput peri naik ke langit. Dan Tuhanku tak pernah bilang kalau akan mengirim ciptaan yang serupa perempuan bugil bersayap untuk menemui seorang lelaki di serambi masjid. Semua tidak ada di kitab suci,” Aku agak berdalil. Mendengar ucapanku sendiri, aku sedikit bangga. Tak disangka, aku bisa berucap sedemikian berani dan bijak. ”Kau banyak omong!”
”Dhuar,” lagi-lagi suara latar berupa guntur dan kelap-kelipan kilat mewarnai serta mendramatiskan suasana. “Kau banyak bohong,” timpal ku. ”Buat apa kamu repot-repot mengantarkanku masuk surga. Aku orang kotor. Ke pesantren sana! Banyak pemuda dan orang-orang tua yang berilmu dan mulia,” ”Di pesantren lebih banyak orang munafik dan orang sombong. Orang-orang sok alim. Orang-orang yang merasa paling benar dan terpuji,” Kali ini dia mengatai orang pesantren lebih buruk akhlak adalah memiliki kelebihan
orang-orang pesantren. Memang, orangberpeluang angkuh. Sedangkan seburukangkuh. Maklumlah, orang pesantren ilmu. Dan hanya orang-orang yang
berkelebihan yang berpeluang angkuh. ”Persetanlah. Aku tak mau ikut. Kamu kira dengan tampilan ajaibmu, membuat aku takut? Tidak sedikitpun. Membuat aku takjub? Tidak sekejap pun. Aku tak percaya peri. Tuhan tak pernah menciptakan makhluk aneh sepertimu,” Perempuan yang bukan manusia perempuan itu kosong menatapku. Beberapa detik berselang. Lalu, kembali berbicara. ”Ikutlah. Kalau kau tidak mau, tetap akan kupaksa. Surga menunggumu. Cepat. Pasukanku telah naik semuanya. Membawa orang-orang pilihan serupa kamu. Dan tak ada satu pun dari orang-orang itu yang mengajak berdebat sepertimu,” Mungkin telah terjadi komunikasi telepati ketika dia hening sejurus tadi. Komunikasi antara dia dan pasukannya. Lantas dia dapat kabar, semua peri telah berangkat ke langit, kecuali dia. Ah, aku tak mau tahu. Yang jelas, aku mulai muak dengan makhluk sok hebat ini. ”Kalau kau memang utusan Tuhan, kau pasti bisa membawaku kemana pun kau pergi. Bahkan tanpa meminta izin padaku. Serupa
jibril yang bisa membawa para nabi kemanapun yang diperintahkan Tuhan. Ku tantang kau! Kalau kau hebat, seret aku! Ke manapun. Ke surga yang kau katakan itu juga tak mengapa! ” Dia lalu menggapai pergelangan tanganku. Dengan sigap ditariknya aku yang mulai meronta. Tak kusangka, dengan mudah dia membawaku menggelantung terbang. Sialan. Dia berhasil membawaku meninggalkan teras masjid. Kami menembus awan. Kopiahku terjatuh. Untung, aku memakai celana panjang, bukan memakai sarung. Jadi, aku tak perlu khawatir aurat bawahku terbuka kemana-mana. “Hei, kita ke mana?” aku bertanya basa-basi. Sejak awal dia sudah bilang kalau ingin membawaku ke surga. “Tutup mulutmu. Sebentar lagi kesenangan abadi akan kau dapatkan. Bumi yang kau cintai ini akan hancur lebur. Sebuah asteroid raksasa telah dikirim Tuhan untuk menghantamnya. Kau termasuk orang-orang yang beruntung,” Aku mulai ragu pada keyakinanku semula yang menganggap dia sekadar tukang bual. Sebab terbukti dia cukup sakti. Dia bisa membawaku menabrak berbagai lapisan bumi bagian atas. Ozon, atmosfer, dan akhirnya aku ke angkasa yang memerlihatkan bahwa langit tak lagi biru. Langit hitam pekat dengan entah berapa megatriliun bintang menaburinya. Maka nampaklah ribuan peri lain. Masing-masing membawa seseorang dengan berbagai macam cara. Ada yang menenteng orang serupa yang terjadi padaku, dipegang dipergelangan tangan. Ada yang memeluk. Ada yang membiarkan orang yang dibawanya berpegangan di kakinya. Ada pula yang diletakkan di punggungnya yang bersayap. Dan masih banyak pose lain. Terlihat pula bahwa peri-peri itu tak hanya berjenis perempuan yang bukan perempuan serupa peri yang datang menghadapku. Banyak juga yang lelaki namun bukan lelaki. Mereka pun berparas sama menawan dan gemilang. Yang lelaki tapi bukan
lelaki bertugas membawa orang perempuan. Dan yang perempuan tapi bukan perempuan, tentu membawa orang lelaki, seperti aku. Orang-orang yang sedang dibawa peri-peri terus naik ke langit entah di mana itu, jelas tergambar raut bahagia mereka. Ada yang tersenyum merekah seakan telah menghirup bau surga. Ada yang tertawa ringan dengan pandangan cemerlang seakan sudah bisa memandang halaman firdaus. Ada yang mulutnya komat-kamit mungkin sedang memuji-muji keagungan Tuhan. Intinya, mereka nampak sejahtera, kecuali aku. Meskipun aku mulai bimbang, tapi aku tetap yakin bahwa Tuhanku tak pernah memersiapkan strategi pengiriman manusia ke surga macam ini. Perihal Dia punya kuasa mengubah apa saja termasuk mengubah jalan-jalan atau cara-cara ke surga yang telah terukir di kitab suci dengan strategi baru sesuai keinginanNya, itu hal yang sah-sah saja dan mungkin-mungkin saja. Sebab, Dia memang punya hak super prerogatif. Dia Tuhan. Dia berkuasa. Namun, aku yakin seyakin-yakinnya dia tidak dan bukan zat yang zolim. Dia tak akan bertindak zolim dengan mengingkari janjijanjiNya yang termaktub di kitab suci. ”Aku ingin pulang ke bumi,” ucap ku lantang. ”Diamlah. Kita akan sampai sebentar lagi,” balas sang peri. ”Kirim aku kembali ke bumi. Persetan jika bumi akan hancur atau apapun, kembalikan aku ke bumi!” aku berontak. Lamat-lamat ku dengar suara adzan, shalawat, dan Tuhan dengan beraneka modelnya. Suara-suara terdengar bertumpuk-tumpuk, namun jelas lafalnya itu kuyakini bukan dari tempat yang kata peri tuju. Suara itu jelas datang dari bumi.
pujian pada itu, walau Suara-suara sedang kami
“Kembalikan aku! Kalian iblis! Kalian setan! Aku tak percaya kalian! Aku tak percaya dengan surga yang kalian janjikan!”
Selepas bersumpah serapah, aku menirukan suara-suara yang lamat-lamat kudengar tadi. Aku menirukan suara itu tidak dengan berbisik, namun dengan berteriak. Sekuat-kuatnya, sebisa-bisaku mengeluarkan suara. Mendengar itu, semua peri dan orang-orang yang mereka bawa menancapkan mata padaku. Lalu mereka tertawa. Tebahak dan menggelegar seakan menggoyang jagat. Seketika peri yang membawaku menghempaskanku ke arah bumi. Keras dia mementalkanku sehingga tubuhku terasa terlempar serupa kilat ketika hujan. Dalam kecepatan yang teramat sangat ketika aku tertolak keras dari angkasa menuju bumi, aku masih sempat melihat peri-peri yang pada awalnya begitu rupawan, berubah seketika. Menjadi makhluk menjijikan. Menjadi figur yang mirip dengan iblis atau monster yang gambaran kebengisan dan keburukrupaannya biasa tertancap dalam imajinasi semua orang. Bersayap api, bertaring panjang, berjenggot dan berkumis tak beraturan, bertanduk merah, berdaun telinga lincip, hidung babi, cakar di setiap jarinya dan tubuh berlendir memualkan. Sedangkan orang-orang yang dibawa oleh mereka, tak lagi berupa manusia. Melainkan berupa serupa dengan mereka. (*)
Kematian Terhormat Sebaik-baik nasihat adalah kematian Saya melihat kematian dengan tubuh berdarah. Penuh darah dan jijik bagi sebagian orang. Tapi saya tersenyum. Karena darah inilah yang menjadi saksi di hadapan tuhan. Bahwa saya mati dengan terhormat. Lalu orang-orang itu membawa raga saya ke sebuah kamar pemandian. Setelah lebih dulu dicongkeli batang tubuh ini.
Otopsi. Dan meski disayat seribu gores. Ditusuk sekian dalam. Tak ada perasaan perih. Saya tetap tersenyum. Karena semakin banyak lubang di badan. Semakin banyak saksi yang akan berbicara pada tuhan. “Kami bersaksi bahwa dia mati dengan luka yang membanggakan,” Sudah tak ada medan laga. Tapi bukankah kita masih bisa mati dengan berdarah? Dengan peluh. Dengan sikap ksatria. Bukan mati di ranjang bertilam empuk. Didampingi anak istri yang menangis atau membaca ayat-ayat tuhan. Ah, betapa itu cara mati orang sakit. Cara mati orang lemah. Kalau selama ini kau ingin hidup kuat dan sehat, kenapa pula kau membayangkan mati tergeletak di tempat tidur dengan kondisi berpenyakitan? Atau kau tidak pernah membayangkan ingin mati seperti apa? Betapa aneh! Kau mungkin sering membayangkan akan menghabiskan masa tua dengan anak dan cucu di rumah asri dekat sawah. Atau bercitacita menjadi orang kaya dan terkenal di seantero negeri. Berkeinginan menjadi artis atau pemikir nomor wahid. Hidup berbahagia dengan banyak uang. Tapi ternyata kau tidak pernah sekalipun membayangkan ingin mati seperti apa? Hai, bukankah kematian adalah lebih pasti dari semua angan muluk-mulukmu itu? Sekali lagi, betapa aneh! Keluarga yang saya cintai tetap meneteskan air mata. Tapi tidak meratap atau meraung. Sebab, sudah sejak lama saya katakan: saya akan mati muda dengan tubuh penuh darah. Tak hanya sudah sejak lama. Saya juga sudah mengatakan itu berkali-kali, sesering matahari terbit. Sehingga saat saya mati, mereka tidak terkejut. Mereka merasa kematian adalah dongeng yang tertunda kejadiannya. Kemudian menjadi realitas yang sudah disangka-sangka sebelumnya. bukankah kematian lebih pasti dari hari esok?
Mungkin burung-burung di langit ikut mendoakan arwah saya yang penuh darah. Tidak, bukan penuh darah. Sudah tidak ada darah di alam baqa tempat arwah bersemayam. Darah hanya ada di dunia fana yang kemunculannya disisipi oleh berbagai interpretasi tak adil. Darah adalah sesuatu yang menjijikkan. Darah adalah penyakit. Darah adalah zat yang mesti dibuang. Namun, bagi saya lain. Sejak remaja, saya ingin mati dengan bersimbah darah. Itulah kematian yang elegan. Tentu bukan dengan bunuh diri. Juga bukan karena ditabrak truk saat menerobos lampu merah. Saya ingin mati dengan darah bersimbah seusai menolong orang. Seusai membela keluarga dari tindak kejahatan. Atau setelah bersitegang dengan jambret yang ingin merampas tas gadis perawan di perempatan seperti tadi siang. Lalu parangnya menembus daging perut. Memburaikan isi badan. Menyimbahkan darah. Tidak, sekali lagi itu tidak menjijikkan. Itu adalah kematian yang pahlawan. Bayangkan, bagaimana rupa pahlawan yang dulu berjuang di sepanjang jalanan Surabaya dan mati dimangsa peluru musuh? Tak jauh beda dengan kondisi Saya waktu itu. Kami sama-sama mati sebagai pemberani. hidup kadang sependek sebatang rokok Entah berapa banyak orang yang mendoakan saya. Bahkan para wartawan yang berkepentingan meliput heroisme yang saya lakukan pun ikut mensucikan diri. Lantas, berdoa khusyuk. Memohon pada tuhan agar dosa-dosa saya diampuni. Hutang-hutang dilunasi. Oh, betapa kerennya mati seperti ini. Tapi seperti biasa, tetap saja ada yang menaruh sinis. Mereka berdesas-desus dan mengasihani saya yang mati muda ini. “Kasihan dia baru 25 tahun. Belum menikah. Masih muda sudah mati. Tragis, lagi,” ujar salah seorang Ibu yang melihat ambulan mengantarkan jenazah saya ke rumah. Beberapa kawannya, sesama Ibu-Ibu, mengangguk-angguk tanda setuju.
Wahai, mengapa mereka begitu mengasihani saya yang berbahagia ini? Tidakkah lebih baik mereka mengasihani diri mereka sendiri yang suka menggunjing dengan tubuh bau kompor? Bagaimana kalau saat tubuh masih bau sambal terasi, berdaster putih bunga-bunga, lagi membicarakan orang lain, tiba-tiba malaikat maut mencabut nyawa mereka semua? Betapa memalukannya mati dengan cara seperti itu. Tidak. Ternyata tak hanya Ibu-Ibu. Beberapa kelompok bapakbapak yang masih sempat tertawa-tertawa—entah karena topik apa—juga sempat mengasihani kematian saya. Ternyata, orangorang yang suka salah sasaran dalam mengasihani orang, tidak terpaku pada satu jenis kelamin. Ibu-Ibu atau bapak-bapak sama saja. Lihatlah mereka yang menyuruh keluarga Saya untuk bersikap sabar. Berkali-kali bilang kalau semua yang bernyawa pasti mati. Semua akan kembali pada pencipta. Duhai, ucapan itu sudah kerap saya tuturkan pada keluarga. Sekerap pergantian malam dan siang. Mereka terlambat. Tapi sok berdakwah. Apalah lagi istilah yang cocok bagi mereka kalau bukan pahlawan kesiangan? Ah, tidak. Saya sudah mati. Tidak boleh menghardik. Walaupun kalau sudah mati, tindakan seperti apapun tidak diperhitungkan lagi. Tapi setidaknya, bersyukur dengan tidak bersikap buruk.
Saya
harus
Aneh memang melihat bapak-bapak itu masih sempat tertawatawa—meski tidak terbahak-bahak—di momentum takziah seperti ini. Sama anehnya saat melihat sekelompok pemuda dan pemudi yang tersenyum-senyum di sudut lain. Seharusnya di masa sekarang mereka merenung. Dasar, kaum yang hanya bersilaturahmi saat ada orang meninggal atau hajatan! Orang lagi meninggal, dijadikan acara temu kangen. Betapa mereka semua juga bisa mati mendadak. Seperti Saya yang setelah subuh masih sempat lari pagi. Membersihkan taman. Mencuci pakaian dan memasak telur mata sapi untuk adik.
Apalagi mereka yang sudah tua-tua itu. Bernapas saja sudah sulit. Masih sempat cekikikan di depan mayit. Bagaimana kalau malaikat yang kebetulan lewat merasa sumpek dengan tingkahnya dan berinisiatif langsung mencabut nyawanya yang ringkih itu? Kematian seharusnya menjadi nasihat bagi mereka. Kematian lebih pasti dari hari esok. Lihatlah orang yang banyak memiliki rencana hari esok dan mati sebelum hari esok. Alamak, betapa malang kalau dia mati sambil memikirkan rencana yang remeh temeh itu. Ajal kadang lebih pendek dari sebatang rokok. Sesaat sebelum mati, Saya masih sempat menelepon abang kalau malam ini saya tidak pulang. Dengan alasan, ada perlu di rumah teman. Saya tahu, dia saat itu sedang merokok. Dan Saya yakin, sebelum rokoknya habis, nyawa saya sudah lebih dulu dihabisi penjahat jalanan itu. Penjahat yang dengan parangnya mengantarkan saya, bersama simbahan darah, terbang ke surga. dunia tak lebih dari persinggahan Tubuh saya sudah bersih dan dibungkus kain kafan sederhana. Kain kafan murahan. Karena seberapapun mahalnya kain kafan untuk orang meninggal, toh dikubur juga. Toh tidak bisa membuat mayat kebal gigitan ulat. Toh tidak bisa mengusir dingin dan angkernya perut bumi. Orang-orang menutup wajah saya dengan kapas halus. Wajah pucat ini tidak terlihat ketika dimasukkan ke ambulan untuk kali kedua dan diantar menuju pekuburan. Amboi, teduhnya awan di langit. Mega-mega seperti memberi hormat pada mayat yang mati terhormat ini. Mati dengan darah. Mati dengan keinginan sendiri untuk membela seorang gadis yang mau dijahati. Mati dengan arwah yang tersenyum di awang-awang. Mati dengan tak ada sambutan tangis menderu-deru dari keluarga. “Kami sudah tahu dia akan mati. Kami hanya tidak tahu kapan tepatnya
dia mati. Tapi kami sudah menyiapkan diri kalau dia mati di hari atau usia berapapun juga,” ayah berbicara tenang di depan para kerabat. Duh, ayah. Aku masih ingin menelan kebijaksanaanmu. Seperti kebijaksanaanmu yang ogah kawin lagi saat ditinggal Ibu mati lebih dulu. Mungkin saat ini malaikat tengah memberi hormat pada keluarga saya yang tegar. Pada adik perempuan saya yang sejak jenazah sampai rumah hingga menjelang ke liang lahat tak putus mendoakan. Adik, betapa saya tak bisa lagi membuatkanmu telor ceplok kesukaan. Lubang kubur tampak sederhana. Lebih sederhana dari rumah orang termiskin di dunia. Tubuh yang sudah benar-benar bangkai dimasukkan. Diiringi doa-doa yang naik ke langit. (*)
Alifia atau Alisa (1) Dia sendirian sejak kecil, orang tuanya lengkap, namun goresan-goresan tulisannya selalu mengesankan dia dalam kesepiannya. Segalanya yang serba ada justru menjauhkan dirinya dari kesenangan. Seolah tanpa teman, suara teriakkannya hanya disaksikan oleh dinding-dinding bisu, tetesan air matanya hanya sebagai pembasah lantai yang bisa di buat untuk berkaca tamu-tamunya. Dia bukan anak tunggal, saudaranya empat, dan dirinya adalah si bungsu tanpa perhatian. Mungkin apa yang dirasakannya hanya sedikit kisah kengerian rumah itu yang dikiaskan dalam puisinya sebagai istana para mumi. Benarkah begitu malang nasibnya hingga karya-karyanya begitu menusuk para pembacanya, bahkan beberapa bernada kritikan dan gugatan atas takdir yang harus ditanggungnya. Namun apakah pantas aku menyebut karyanya sebagai ungkapan seorang yang sedang menangis sejadi-jadinya,
dan ku sebut dia adalah perempuan cengeng yang mengharap uluran kasih sayang dari pembacanya. Dan aku tidak hendak mengkritiknya. Sore itu, aku menyempatkan diri untuk mengenalnya lebih jauh melalui dua sahabatnya. Aku memang mendekat pada penulis berwajah datar itu, namun suratku yang sudah ku kirim berulang-ulang lagi-lagi hanya mendapatkan balasan “maaf”, sepertinya dia memang hendak menyembunyikan identitasnya. Namun hingga sore ini banyak tanya di lubuk sanubariku, benarkah orang yang dipuja tulisan-tulisannya itu, sesungguhnya sedang menanggung beban deritanya. Dan hipotesaku masih coba kupegang. Bagiku, aku tak setuju orang-orang menisbatkan tulisan-tulisannya itu sebagai bagian dari kisah nyata dalam hidupnya. Mungkin orang hebat memang mesti misterius atau memang jalan hidupnya adalah untuk disalah pahami banyak orang. “Apa gunanya menjadi orang terkenal, jika toh hanya akan menenggelamkan sisi nyata pribadiku. Dan kemudian banyak orang mencoba memanipulasi kebenaran pribadiku.” begitulah tuturnya dalam peluncuran buku barunya yang berjudul Aku Telah Pulang. Buku yang diluncurkan itu memang seperti buku-buku sebelumnya, selalu laris, namun setiap kali orang memuji tulisantulisannya, mengagung-agungkan karyanya, menyebut-nyebut bukunya sebagai karya “best seller”, justru dari situlah terbersit angannya untuk sesegera mungkin mengakhiri aktivitas tulis menulisnya. Lagi-lagi, dia mengucapkan kata-kata yang sulit dimengerti “Aku tidak lebih penting dari kumpulan tulisanku ini, biarkan kalian mengenangku dalam tulisan itu saja dan tidak untuk mengenalku apalagi memujiku.” Kesempatan demi kesempatan saat peluncuran buku-buku karyanya benar-benar momen misterius yang terus kurekam baik-baik. Kata demi kata coba ku telaah, dan dua orang sahabatnya Dea dan Andro sore ini ku ajak bersantai di taman ini. Akhir pekan yang indah dan waktu yang luang, mungkin telah membuat
sepasang kekasih ini rela menyempatkan waktunya sekadar berbincang denganku tentang sahabatnya itu. “Dia bukan misterius, dia orang cerdas yang tidak percaya atas kehebatannya itu” begitu kata mahasiswa sastra semester akhir itu, Dea. Aku jadi tertarik dengan pengatar yang diberikan Dea, kutanyakan sisi-sisi keistimewaan dari penulis terkenal itu. Namun Dea sepertinya enggan terlalu jujur bercerita, Dea nampak merasa dalam bebannya jika harus berbicara lebih detail tentang sahabatnya itu. Satu yang menarik menurutnya adalah sahabatnya itu orang sederhana dan sangat romantis. Ketika ku kejar soal kehidupannya di rumah, dia banyak menjawab “Aku takut salah menjawab.” Dan pacarnya Andro juga seirama “saya kurang tahu”. “Orang mengenal Alifia melalui tulisannya, dan kami mengerti apa yang dikehendakinya. Dia resah bukan atas dirinya sendiri. Dia menggugat seolah-olah atas realitas diri pribadinya namun sesungguhnya dia bebas dari beban-beban yang disangkakan padanya.” tukas Andro. Perbincangan menarik itu memang tidak bisa membuatku puas, semua berjalan mengalir, dan dari dua orang sahabatnya nampak terdapat hal yang keduanya tak bisa buka untuk orang yang barangkali hanya sebatas pengagum gelap si Alifia. Aku sendiri ragu, jangan-jangan aku tak tulus untuk menggali tentang penulis ini. Aku malah merasa aktivitasku sebenarnya sia-sia. Siapa Alifia ? Pentingkah buatku ? Untuk apa aku ingin mengenalnya ? Dan stop sejubel pertanyaan itu harus ku tanggalkan dan malah ku ingat penggalan kata-katanya “Aku menulis tanpa alasan, dan jangan tanyakan alasan, percaya atau tidak kalian mengejarku agar berpamrih, maka aku perlu mengungkapkan alasan.” Aku sedikit tersenyum dalam hati, “alasan, haruskah ada”, begitu justru aku mempertanyakan diriku sendiri.
Alifia, perempuan itu barangkali menggoda fikiranku sejenak, tapi perlukah aku mengendurkan niatku untuk bertemu dengannya. Baiklah akhirnya akupun terpaksa menyusun alasan, alasan itu adalah aku ingin menulis tentang penulis kondang itu. Terlepas alasan itu benar atau palsu, yang penting aku punya alasan untuk sesuatu yang aku kerjakan. Begitulah mungkin cukup untuk meyakinkanku, agar sisi lain suara hatiku tak selalu menggodaku untuk berkata tidak. Bersambung ….
Sepotong Setia Kursi yang kududuki terasa berguncang. Lalu kurasakan sepetak gambar di jendela mulai berganti seperti layar televisi. Pandanganku menerawang ke luar. Hanya punggung rumah yang saling berhimpitan yang akan kulihat hingga stasiun Sepanjang. “Bapak sakit.” Pesan dari Ibu hanya dua kata, tetapi lebih dari cukup untuk memanggilku pulang. Bapak memang mengidap diabetes. Penyakit turunan dari Eyang itu akan kambuh ketika Bapak terlalu banyak berpikir. Sudah tiga bulan lamanya kami tak bertatap muka. Kesibukan kampus selalu kujadikan senjata. “Terserah kamu saja. Semoga sehat dan sukses selalu.” Ucap Ibu ketika aku menolak pulang entah kali keberapa. Kalimat itu awalnya kupahami sebagai pengertian dari Ibu. “Aku pulang.” Kalimat itu kukirimkan sebagai pesan balasan.
Klakson masinis bersiul panjang. Kabar bahwa kereta akan berhenti di stasiun selanjutnya: Wonokromo. Ketika ia benar-benar berhenti, penumpang yang jumlahnya puluhan merangsek masuk tak sabaran. Berimpitan, dan saling sikut mencari nomor kursi yang telah ditentukan. *** Wajah tua Bapak terbayang. Dan segala ingatan tentangnya hadir bagai kolase yang ditampilkan acak. Sekarang, misi Bapak dan misiku tak lagi sama. Segalanya mulai berubah ketika aku masuk kuliah. Organisasi eksekutif kampus mengajakku membaur dengan banyak orang, pun menyublim di berbagai aksi sosial. Organisasi yang justru merusak, kata Bapak. “Kamu berubah, Nduk! Jadi liar dan urakan.” Kritis dan frontal yang disebut Bapak sebagai keliaran. Berani dan terbuka yang disalah artikan sebagai urakan. “Bapak ndak suka?” Balasku. Semua bermula dari keinginanku ikut serta demo kenaikan BBM dua tahun lalu. Aku yang saat itu berstatus mahasiswa baru meminta izin Bapak-Ibu. “Mau jadi apa kamu, Nduk berani ikut-ikut demo?” Akupun mengulas jawaban panjang yang sudah tentu tidak Bapak dengar. “Tak usahlah kau ikut-ikut demo. Tugasmu hanya belajar biar jadi akuntan yang benar!” Tentangan Bapak tidak kudengar. Selain solidaritas dengan teman-teman angkatan, akupun sudah terikat janji dengan Mas
Damar. “Kembalikan harga BBM! Jangan sengsarakan rakyat yang kadung melarat!” Tak kuhiraukan peluh membasahi tubuh yang terpanggang di bawah terik matahari. Meminta Pertamina mengkaji ulang kenaikan harga BBM. “Berlindung, Ranai!” Mas Damar menarikku dalam pelukannya ketika massa di belakang kami merangsek maju. Setelah menutup Jalan Jagir, kini sebagian mereka membakar ban bekas lalu merusak pagar pembatas berkawat. “Kau harus siap, apapun yang akan terjadi nanti.” Bisik Mas Damar. “Apapun yang terjadi nanti, aku akan selalu ada untukmu…” Aku memalingkan muka. Peluh membasahi pelipis. Panas yang kurasakan jelas tak sebanding dengan yang sekarang dirasakan Mas Damar. Hari ini ia bersama BEM SI menggelar aksi demonstrasi dua tahun kepemimpinan presiden di depan gedung Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Di barisan paling depan ia berdiri membawa spanduk bertuliskan ‘tagih janji 2 tahun Jokowi-JK untuk negeri’. Harusnya aku juga di sana. Ikut serta membawa lima tuntutan reformasi mahasiswa[1]. Dan unjuk rasalah langkah tepat penyuara kepentingan rakyat. “Rakyat yang mana?” Tanya Bapak pekan lalu saat aku pamit izin demo lagi. Rakyat serupa nenek renta yang duduk di atas rinjing bersandar dinding toilet di ujung gerbong. Memangku sebuah tas plastik
beranyam yang terlihat kosong. “Wong cilik dong, Pak!” Bapak lalu tersenyum mencibir. “Reformasi sekarang ini kan ya karena mahasiswa, Pak.” Selorohku membela diri. Aku ingin mengingatkan Bapak akan peristiwa besar delapan belas tahun lalu. Peluit masinis melenguh panjang. Papan bertuliskan Stasiun Kertosono terpampang besar-besar. “Mari saya bantu” Jarak pintu kereta cukup tinggi dari peron. Nenek yang tadi naik dari Stasiun Sepanjang mengulur senyum. “Boleh.” Aku kemudian memondong tas jinjingnya. “Mbah kenapa tadi duduk di dekat toilet?” Tanyaku. Semenjak kereta melewati stasiun Mojokerto, penumpang banyak yang turun. Menyisakan hampir seperempat kursi kosong. Tetapi kulihat ia tetap duduk bersandar dinding toilet di atas rinjing yang sekarang digendongnya. “Ning, petugas loket tadi bilang Mbah ndak dapat tempat duduk karena belinya mepet. Mbah ndak berhak duduk di kursi.” Senyum di wajahku memudar. Aku meremas kertas di genggaman. Membentuknya menjadi bulatan paling kecil lalu membuangnya sembarangan. Sepotong pelajaran berharga dari seorang nenek renta akan kursi di kereta. Hanya sepotong, tetapi itu adalah hak penumpang. Bukan masalah besar atau sepele, namun kesetiannya
akan prinsip luhur. Menjaga kejujuran pada selembar tiket miliknya. Pantang seseorang mengambil hak orang lain, kecuali berdasarkan kerelaan. Dan sang nenek memilih duduk di atas rinjingnya, bersandar pada dinding toilet yang bau. Lidahku kelu. Wajahku kebas karena malu. Malu karena tiket yang kupunya, nomor tempat dudukpun tak tertera. *** *Penulis adalah mahasiswi semester 6 prodi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi[1] Disingkat literasi mahasiswa. Tindak tegas mafia kasus kebakaran hutan dan lahan; tolak reklamasi Teluk Benoa dan Teluk Jakarta; tolak tax amnesty yang tidak pro rakyat; tolak perpanjangan izin ekspor konsentrat setelah Januari 2017 dan komitmen terhadap usaha hilirisasi minerba; dan cabut hokum kebiri, selesaikan akar permasalahan kejahatan seksual pada pempuan dan anak.
MAYA Malam itu kamu datang, merangkak dari kegelapan menghampiriku. Untuk pertama kalinya kamu memperkenalkan diri padaku, namun kamu belum mau menyebutkan nama. Di antara bunyi jejeritan Mama dan teriakan pria yang memintaku memanggilnya Papa, kamu menemaniku, memelukku, dan berbisik semua akan baik-baik saja. Aku mengangguk patuh. Dalam pelukanmu yang hangat, suara-suara pertengkaran di kamar sebelah mulai samar di kupingku. Entah berapa lama suara-suara berisik itu berlangsung. Mulai dari kaca yang dipecahkan, keramik yang dibanting, meja yang digulingkan, sampai teriakan melengking perempuan.
Kamu berkata padaku untuk tetap tenang. Kamu bilang suarasuara itu semacam kidung pengantar tidur. Makin lama suara seperti itu makin terdengar biasa di kupingku. Di antara bunyi-bunyi riuh di ruang sebelah dan keremangan kamarku, kamu menggandengku, mengajakku beranjak dari kasur. Tunduk patuh, hanya itu yang bisa kulakukan. Aku ikuti kemauanmu, melenggang menguntitmu, membiarkan tanganmu menggandeng tanganku dan kamu berbisik segalanya akan baik-baik saja. Mulai saat ini segalanya akan membaik, begitu janjimu. Kita berhenti di tempat keriuhan. Aku lihat pria itu menempeleng Mama sampai terjerembab di atas kasur. Namaku disebut-sebut lagi. Telunjuknya teracung di depan wajah Mama dengan mata nanar dan wajah memerah seolah darah mendidih dalam tubuhnya. “Harusnya
kau
bersyukur
aku
bersedia
mengawini
pelacur
sepertimu!” Mama menengadah. Matanya berkaca-kaca. Barangkali ia masih belum bisa menerima perlakuan pria itu yang berbeda dari awal pertemuan mereka. “Aku tak memaksamu mengawiniku! Kau yang merajuk dan merayu, berkata mau menerima aku apa adanya, termasuk menerima keberadaan anakku!” “Kalau aku tahu bapakmu bisa bangkrut dan kere seperti sekarang, mana sudi!” Aku diam. Menggigil. Bergeming dalam ketidaktahuanku tentang persoalan yang mereka hadapi. Usiaku baru sembilan tahun. Cukup belia sekadar memahami permasalahan orang dewasa. Kamu berlari kesetanan menghampiri pria itu, namun aku tetap bergeming. Pecahan beling dari cermin rias yang berserakan di lantai menjadi sorot utamamu. Dengan nanar dan liar kamu memungut salah satu pecahan itu, menggenggam hingga telapak tanganmu mengucurkan darah. Aku terus bergeming dan menggigil. Kakiku seperti terbelenggu tak dapat berpindah. Tanpa sepatah
kata, kamu dengar makian pria itu menyebutmu anak pelacur, anak haram, anak setan, dan kamu berhasil membungkam mulutnya begitu beling yang berada di genggamanmu menancap pada dadanya. Tanpa ampun, kamu mengulang hal serupa. Terus begitu sampai terdengar suara rintihan dan dengking kesakitan pria itu, mirip anjing. Kamu seakan menampakkan rasa sakitmu padanya, juga padaku, hingga aku bisa merasakannya sampai di tulang-tulangku yang dingin. Mama memelukku kemudian, menyentakku dari kesadaran. Aku rasai gigilan, dingin merajam tubuhku yang berkeringat, dan sesuatu berbau anyir meleleh di telapak tanganku. Suasana hening, hanya kudengar isak tangis Mama, gemelatuk gigiku, dan desis angin menerpa kelambu kamar. Beberapa waktu kemudian suara sirine mengesampingkan kesenyapan. Saat itu aku sudah dimandikan Mama. Tengah malam ia menyisir rambutku dan mengganti pakaianku hingga aroma esensial mawar meruap di penciumanku. Dan saat itu segerombolan polisi mengaitkan borgol di tangan Mama, membawa wanita itu pergi dari hadapanku. Pria yang pernah memintaku memanggilnya Papa dibaringkan di atas bangkar dengan selimut putih bebercak darah. Ia dibawa menuju ambulan. Kulihat kepergian Mama yang dikawal polisi tanpa kata. Ia tersenyum dan melambai padaku, melayangkan ciuman jauh dan berkata melalui bibirnya yang bergerak-gerak membentuk kalimat “Kamu akan baik-baik saja”. Di belakangku, kamu memelukku lagi. Berbisik di kupingku, “Ya, kamu akan baik-baik saja. Kita baik-baik saja.”(*)
Piramida Warna (Part 1) free instagram followermake up wisudamake up jogjamake up prewedding jogjamake up wedding jogjamake up pengantin jogjaprewedding jogjaprewedding yogyakartaberita indonesiayogyakarta wooden craft
Lebaran di Atas Nampan Khusus untuk pagi hari ini. Aku buka pintu rumah ini. Sebenarnya tak wajar karena belum pernah aku yang membuka pintu sepagi ini. Bukan karena aku malas, namun karena ini titah baru. Kubuka sedikit lebih lebar agar angin mau bermain bersamaku lagi, kembali berdesus bersama hawa dan suara kicau dan kokok ayam. Telah cukup lama pintu ini menjadi kering dari suaranya yang nyaring menderu. Tawa kami dan ocehanku sering menggurui adik kecilku. Ibu bangun, juga terbiasa lalulalang lewat pintu belakang-samping rumah ini. Yang katanya lebih baik dan tak meramaikan yang lain. Hari ini. Semoga pintu ini bisa berdering riang saat angin itu datang, membawa tanganku yang dingin, membawa peputih, bukan jingga. Lebaran. Pintu-pintu lain tampaknya telah terbuka, memanggil para tetangga untuk datang berlangganan jajanan. Meja penuh toples dan isinya menyuguhkan berbagai hal tentang kenangan; roti yang manis kulitnya; gelas cantik yang indah rautnya; teh cokelat yang melilit lidah; serta jingkrakan anak kecil meramaikan suasana. Semuanya terasa begitu nyata, bukan semu dari kemunduran seperti tentang demokrasi, seperti tentang dunia para elit. Kursi kami tampak rapi, bersih, dan hasil jahitan khas masa lalu. Kembalikan ke titik nol. Titik pengembalian hati Emak, juga. Masih adakah kesan untuk ditinggali? Adakah naskah yang
bisa diulangi untuk diputarkan? adakah tawa yang bisa disengaja untuk diciptakan? Inilah drama yang bermain tanpa sengaja ada lakon dan tragedi. Ruangan ini masih kosong dan bolong. Sedang di seberang sana rantaian mulut mungil berbicara runtut mulai anak-anak mereka yang lulus sampai anak mereka yang siap untuk diikat dalam perjanjian akad, “Rat, tolong bersihkan foto-foto ini ya ..”, ujar Mak Imah. Aku hanya mantuk. Foto itu telah tua, seperti jimat milik khas keluarga kami. Ah bukan, jimat hanyalah istilah masa lalu. Di sana ada bajunya yang tampak lusuh namun tampak gagah dipakai di kala muda mencampurinya. Aku usapusap; aku elus-elus hingga debu berucap jadi asap; dan asap lalu terbang sedikit terseok, kemudian mengembang bersama banyangan angan-angan. “Nak, kira-kira apa dia datang ya?”, Ujar Mak Imah lagi. Adikku yang kecil menangis teriris, ruang tamu nampak landai bersama kekhawatiranku akan foto-foto di dinding itu akan jatuh kemudian pecah berserakan. Aku redam tangisnya, dia tetap menangis. Tampak dengan jelas, di sudut binar mata Emak ada wajah Bang Hilman. Ada rindu yang tak biasa. *** Nasi kuning sudah dibuat panas sejak subuh. Menjadi hangat dan dimakan bersama-sama. Ketika masih ada Abang, aku-Emak-Adikku si kecil memakannya di atas nampan bulat plastik buatan lokal. Itu dulu, sebelum Abang pernah duduk di kursi empuk. Karena jabatan, karena cita-citanya. “Ah, lebih tepatnya karena do’ado’a kami!” Ujarku dalam hati. “Juga do’a Bapak, yang telah mendahului kami, tentunya.” “Aku paha ayam bawah yah Bang!” Ucapku sedikit manja. “Hallah, aku juga mau Mas!” Rebut adikku yang kecil.
“Sudah, jangan ribut sendiri Nak!. Kasihkan Emak saja kalau begitu caranya!” Emak tersenyum, lalu kami tersenyum, kemudian tertawa. Nasi masih tampak banyak; tidak terlalu lembek; aromanya begitu kuat, nikmat sepertinya ada campuran kayu manis di dalam nasi ini. Harum, mungkin juga karena daun pandan, entahlah. Gadis saat ini mulai banyak tak mengerti. Pagi itu, tetangga sudah sepi. Berangkat ke pemakaman untuk memberikan bunga ke makam nenek moyang. Mengharap puasa sebulan penuh diterima Yang punya Maha dan yang telah tiada menjadi kekal di SurgaNya. Sehabis itu, barulah mereka pergi ke Masjid untuk menuntaskan ibadah sholat Ied. Itulah kebanyakkan yang tetangga lakukan. Sedang bagi keluarga kami, ialah pagi waktu lebaran lebih hitmat jika menghabiskan nasi kuning hangat setampan, bersama sekeluarga terlebih dulu baru ke masjid untuk menyusul. “Nahkan! Ayamnya hidup!” ujar Bang Hilman ketika melihat Adik kecilku menjatuhkan ayam goreng di atas nasi yang kami santap. Kami tertawa terbahak-bahak. Nampan pun ikut senang. Abang kami itu, Abang satu-satunya. Abang kami yang disayang Emak. Abang kami yang menginspirasi hingga membawa banyak piala dan medali ke atas almari di ruang tamu kami. Dia ahli menulis dan ahli berpidato. Mungkin keahliannya yang terakhir itu yang membuat banyak orang sibuk membawanya ke sana-ke mari. Mungkin karena itu, keluarga kami tak lagi dipandang sebelah mata. Kabar terakhir didengar kalau dia sedang berada di Medan, menangani masalah pertambangan. Lalu kami hanya bisa diam tidak bisa menghubunginya, mungkin benar. Zaman semakin canggih, zaman telah mengubah tabiat Abang, serta teknologi membuat alih fungsi telepon menjadi wahana bermain jaringan internet. Tanpa itu, tidak bisa. Di luar terdengar takbir syahdu dengan alunan kotek’an bambu
oleh tangan-tangan kecil. “Abangku, pulanglah besok!” aku, Emak, Adikmu Rindu. Bagaimana kabarmu sekarang?” Aku berharap satu malam penuh cemas sebelum benar kejadian Lebaran. Bagi kami, tradisi ini yang membuat beda dengan yang lain. Membuat iri dan tampak sungkan mengganggu kemesraan kami. Hanyalah dulu, bukan seperti tangan dingin saat ini. Angin berdesir, angan mengambang di atas atap. Melambai dan mendayung masa itu. Terakhir memang didengar kabar Medan tempat hidup Abangku. Namun selebihnya, kami menahu suatu informasi yang kami dapatkan dari koran pagi itu. “Itu muka Abangmu Nak? Kenapa bisa muncul di situ?” tanya Mak Imah tak tahan. Aku tercengang tak terpacaya. Semua orang menghinanya, korupsi penyebabnya. Dulu banyak yang bilang, itulah kurang didikan. Namun apalah artinya dulu, sedang sekarang sebenarnya Abangku itu telah lepas. Lepas dari jeruji besi yang telah mengurungnya. Namun sayang, Abangku tak mengindahkan permintaan Ibu, Entah, padahal rindu. Waktu terus berjalan, aspal jalanan sepertinya telah capek bercumbu dengan ban-ban yang mengantarkan pada salam-menyalam seluruh umat. Saling memaafkan dan saling bertukar uang. Berisik bisingan itu telah hilang dalam geguritan yang semakin malam. Dia belum datang. Ibu diam. Teh yang tadinya hangat, menjadi dingin. Sepertinya, angin sengaja bermain hanya seperti itu, aku juga gagal membawa tanganku yang dingin. Mendinginkan hati Mak; mendinginkan kenangan; serta membawakan Abangku pulang. Di atas nampan ini, aku-Ibu-dan Adik kecilku yang mulai tumbuh besar berdo’a sambil menata nasi kuning ke piring masingmasing, “Tidaklah harus dia datang, kumpulan burung pun tak harus selalu pulang ke rumahnya yang sama, kita do’akan, semoga rumahnya menjadi alas tidurnya yang baik.” Ucapnya terakhir. (*)
Terbuailah Ripah Ripah gempar. Kasak-kusuk yang beredar, Presiden akan datang ke Ripah bertepatan dengan pembukaan musim tanam sepekan lagi. Jarang-jarang ada orang besar dari Jakarta mengunjungi Ripah, apalagi ini orang nomor satu di Republik. Ripah jauh dari pusat negara, jumlah penduduknya pun tidak besar. Kalaulah sekarang ada orang besar datang ke Ripah, pastilah orang yang datang itu orang yang tulus hati dan tidak peduli dengan berapa banyak suara yang akan ia dapat di pemilu nanti. Begitu pikir banyak orang Ripah. Salah satunya adalah Manjo. “Prisiden datang ke Ripah, di Lapangan Pasir Himpit. Bapidato dia di sana ahad, Mak..,” semangat betul Manjo bercerita pada Mak Husin. “Prisiden apa, Jo?” sela Mak Husin. “Eeeh Mak, yang sering kita itu lihat ada di tipi. Kabarnya, bagi-bagi dia traktor ke kita orang Ripah. Jadi bisa pensiunkan itu Arong dan Aring dari bajak Mak punya sawah,” Manjo menggebu. “Panas Kau Jo, berapapun Prisiden itu kasih krator, Arong Aring tidak akan pensiun,” ujar Mak Husin belepotan. Manjo menggerutu, menjual kerbau hari-hari ini harganya mahal tapi apa daya dirinya jikalau Mak Husin sudah paten dengan kerbaukerbaunya. *** Ahad, Lapangan Pasir Himpit dipadati manusia. Banyak polisi dan laki-laki tegap berbaju hitam siaga berjaga. Presiden akan meyampaikan sepatah dua patah kata menyambut musim tanam yang baru di Ripah. Kabar bahwa Presiden akan membagikan traktor-
traktor kepada orang Ripah ternyata juga bukan isapan jempol. Sejak dua hari lalu, ratusan traktor merah sudah berjajar rapi di sepanjang jalan Ripah. Sejak hari itu pula, perdagangan kerbau di Ongen, pusat niaga hewan ternak mulai meningkat dari biasanya. Banyak orang Ripah mulai ancang-ancang menjual kerbau-kerbaunya. Beberapa sudah benar-benar menjual kerbaukerbaunya. Mumpung harga masih mahal, jika nanti banyak yang berbondong-bondong menjual harga pasti akan perlahan turun. Begitu pikir mereka. Sorak-sorai menyeruak ketika rombongan Presiden tiba. Nama Presiden dielu-elukan oleh mereka yang memadati Lapangan Pasir Himpit. Banyak yang ingin mendekat ke podium utama, melihat wajah presidennya dari jarak dekat. Apalah daya, pasrahlah ketika barisan berbadan tegap dengan seragam hitam-hitamnya sudah menghadang. Manjo yang begitu antusias dengan kedatangan Presiden dari awal justru telat bangun. Ia pulang lewat tengah malam setelah membantu Mak Saleh, pamannya yang lain yang tidak lain adalah adik dari Mak Husin untuk mempersiapkan sawah yang akan digunakan Presiden untuk penanaman benih Padi secara simbolis hari ini. “Waaaaah, Mak tidak bangunkan saya awal-awal, telat Maaak lihat Presiden bapidato,” ujar Manjo panik sambil bersiap-siap seadanya. Mak Husin yang sedari awal memang tidak begitu antusias nampak cuek dan tersenyum kecut memperhatikan Manjo yang sedang kalang kabut. “Mak ini memang tak peka, aih…,” ujar Manjo sambil menggerutu. “Mak tak dengar kata-kata aku dulu. Traktor sudah lihat, datang sudah itu. Elok bukan? Kapan hari Mak Saleh sudah jual dia punya kerbau, masih mahal waktu itu. Sekarang, kalo Mak pengen itu traktor dan jual Arong dan Aring, sudah murah itu. Menyesal Mak sekarang…”, ujar Manjo meninggalkan Mak Husin
menuju Lapangan Pasir Himpit. “Siapa mau krator…,” Mak Husin tersenyum sinis. *** Traktor-traktor secara simbolis sudah diserahkan ke Bupati untuk dibagi ke penduduk Ripah. Dengan sepatu booth Presiden turun ke sawah menanam benih padi sebagai pertanda dimulainya musim tanam di Ripah. Kilatan kamera mengabadikan momen-momen merakyat Presiden di Ripah. Ripah kembali sunyi setelah Presiden dan rombongannya pergi. Traktor-traktor yang akan dibagi masih berderet di jalanan Ripah, di sampingnya terdapat truk-truk yang beberapa hari lalu membawa traktor-traktor itu ke Ripah. “Kapan ini dibagi, Njo..,” tanya Mak Saleh pada Manjo. Manjo menggeleng sambil meminta pamannya sabar. Menjelang sore, traktor-traktor itu diangkut kembali oleh truk-truk. Instruksi Dinas Pertanian, katanya. Sontak banyak orang Ripah yang sudah berharap kecewa bukan kepalang. “Apa-apaan Njo, kerbauku sudah kau jual. Tak dapat aku traktor gratis,” Mak Saleh sedikit murka. Raut muka Manjo pucat pasi. “Makanya Njo Leh, sabarlah sekejap. Tak usah tergesa. Makmu ini tak buta politik, lebih banyak ingkar dari tepatnya.” Mak Husin tersenyum menang. (*)
Alifia atau Alisa (2) Dari suratku yang satu ke surat yang lainnya, dari pesan melalui media yang terhubung kepadanya semua sia-sia. Hingga
lebih dua bulan aku menanti, tapi sepertinya perempuan ini bagaikan batu karang yang tak goyah di hempas ombak. Kesibukanku untuk kuliah memang tidak memberi peluang bagiku untuk menungguinya di depan ruang kelas tatkala dia kuliah. Namun, karena saking jengkelnya mungkin. Hari ini yang konon adalah tepat hari ulang tahunnya, aku akan mencoba memberi kejutan padanya. Kejutan itu adalah akan kusempatkan waktuku untuk memaksanya wawancara, aku memilih bolos kuliah, dan ku dapati jadwal kuliahnya. Bermenit-menit aku tunggu, hingga akhirnyapun dia masuk ruang kuliahnya. Hatiku sedikit lega, dia tak mengenalku, namun sorot matanya yang bening membuatku begitu merasa tenang, dan seakan-akan ada kerinduan yang begitu dalam seolah-olah antara aku dan dirinya ibarat keluarga jauh yang berpisah cukup lama dan inilah waktu yang ditentukan atas penantian lama tersebut. Alifia, Oh… Alifia, semisterius apa kau gerangan ? Sudah hampir satu setengah jam aku menunggu, waktu yang kuharap itu mulai mendekat. Satu persatu mahasiswa dari ruangan itu keluar, ku amati dengan cermat hingga ruangan kosong. Dan Alifia itu tidak ku dapati, ketika aku bertanya pada temantemannya, mereka tidak melihat Alifia masuk kelas. Bahkan di absennya nampak tidak ada tanda tangannya. Di tidak masuk, dan lantas siapa yang aku lihat seperti Alifia itu. Mana mungkin mataku rabun, dan ku tepuk wajahku berkali-kali. Aku merasa masih sangat waras. Ini kali pertama aku merasa aneh. Hapeku berdering, ada pesan yang masuk dan tertulis pengirimnya bernama Alifia. Aku malah agak melongo dibuatnya. Isi pesannya, dia siap ku wawancarai esok hari. Ku hirup nafas pelan-pelan, seolah aku tidak percaya, aku merasa senang kegirangan. Tapi diriku justru makin bertanya, siapa Alifia ini, kenapa dia bisa menggoda lewat halusinasi pagi ini. Dan sudahlah aku harus melupakan kejadian tadi. Seorang temannya, tiba-tiba menghampiriku dan bertanya “Kau mencari Alifia ? Dia tidak ada. Yang masuk tadi adalah
kakaknya, dia kembarannya.” Syukurlah, ternyata orang yang aku kira Alifia tadi memang benar ada. Waktu aku bertanya, dimana dia sekarang, si teman itu menjawab “Tidak tahu” lanjutnya “Alisa sangat misterius.” Aku malah berpraduga, jangan-jangan kakak Alifia yang dikisahkan dalam gores-gores penanya. Namun rasa-rasanya Alifia sendiri juga tak lepas dari kemisteriusannya. Tak jarang buku-buku Alifia menyelipkan kalimat-kalimat yang kadang mengandung pesan mistik, katanya dalam buku Lilin Padamnya “Aku tak punya kesempatan untuk miskin, karena orang tuaku dilahirkan kaya. Aku takut memilih miskin sementara kalian yang dilahirkan untuk keluar dari kemiskinan, kalian sungguh perkasa. Di kenyataan ini kita tak bisa bertukar nasib, disinilah tiada gunanya aku iri. Toh kalian dan aku juga hanya dalam pilihan kepastian masa depan, bahwa yang miskin dan kaya kelak semua akan mati.” — Sebagaimana yang dijanjikannya, dia akan datang di danau ini. Aku akan menyambut penantianku selama ini. Dan benar dia menepati janjinya, perempuan dengan kerlip mata yang indah itu mengenakan kemewahannya, seolah menantangku untuk beradu siapa yang paling kaya antara dia dan diriku. Namun berbeda dari kebiasaan, ternyata dia bisa tersenyum juga, senyumnya manis, dan menghampiriku dengan gaya lembut yang biasa ia juga tampilkan dalam kesempatan peluncuran-peluncuran buku barunya. “Hai” sapaku dengan sedikit kikuk. Aku bukan terpesona atas rona wajah tampilan atau kecantikannya. Aku hanya sedang kagum, benarkah dia adalah orang yang ditabsihkan sebagai penulis misterius itu ? Entahlah. Di balas sapaku dengan hemat pula, ku sembunyikan raut wajahku yang agak terkagum-kagum itu. Namun dia seperti bisa membaca pikiranku “Kau seperti orang-orang kebanyakan, menganggapku seperti hantu.” “Tidak” balasku datar dan agak gugup.
“Aku manusia sepertimu, lihat sepatuku masih mengijak tanah.” Suasana yang kugambarkan indah itu berubah tegang, dia mendekat dan duduk di sampingku. Penulis idolaku ini terus menghujaniku dengan keraguanku. “Biasa saja, nggak usah tegang-tegang. Anggap saja saya teman lama yang sudah kamu kenal akrab.” Belum sempat aku menjawab, “Aku bukan monster ya !”, sambil tersenyum menatapku. Baiklah, aku sudah membuktikan, dia ternyata tidak seangker yang kubayangkan. Dia renyah seperti krupuk, dia juga periang seperti bunga mawar yang merekah, dia bergaya mewah namun tidak membangun sekat pemisah. Dia cerdas, tapi bukan licik sebagaimana kancil. Dia tetap misterius untuk hal ini, “Kau kemarin mencarikukan ?” tanyanya Aku hanya mengangguk saja. Topik itu ku kira tak penting, namun justru inilah yang menguatkan kemisteriusannya. “Aku kemarin masuk ke ruang kelas, aku melihatmu, dan aku memilih keluar lebih dulu. Aku tidak absen, dan waktu keluar aku berniat menemuimu, namun kamu tak ada. Karena terlanjur keluar akupun tak masuk lagi. Aku tak punya kembaran, di kelas namaku Alisa, dan itu nama asliku, Alifia adalah nama samaranku, sekaligus nama seorang temanku yang mirip wajahnya sepertiku.” Penjelasannya ini membuatku agak tersentak heran. Memang waktu aku menungguinya, aku ingat bahwa diriku pergi ke kamar kecil sejenak. Barangkali waktu itu dia keluar, dan aku tidak didapatinya. “Aku sebenarnya tidak begitu suka dipanggil dengan nama bekenku, Alifia. Itulah sebabnya, lama sekali aku menolak ajakan wawancaramu. Kalau kamu pengaggum Alifia, sungguh bukan aku yang kau kagumi. Aku tidak mau dikenal orang sebagai
penulis hebat, sementara diriku sebenarnya adalah orang lemah di banyak hal.” “Apakah Alifia itu bayangan dari dirimu” tanyaku “Mungkin benar, tapi apa artinya bayangan itu di ketahui orang. Sementara pemilik bayangan itu hanyalah lilin yang mudah leleh dan tak seberapa nyalanya menerangi. Buat apa kalian kagum pada lilin yang tak berdaya bertahan untuk dirinya sendiri.” “Kau memang filsuf
Alifia. Eh… maksudku Alisa.” pujiku.
“Aku justru senang kalau hanya dirimu yang memujiku.” Dia memperlihatkan jawaban-jawabannya yang mencoba mengajakku untuk merenung. Sewaktu aku bertanya soal buku yang dipersiapkannya dia menjawab “Aku menunggu buku yang kau persiapkan saja, barangkali itu berbicara tentang sesuatu yang kau kagumi itu.” Aku menyambut pertanyaannya itu dengan rasa hormatku padanya. “Aku siap menjadi narasumber atau jadi editornya. Barangkali kau juga butuh pengakuan sebagai penulis buku-buku best seller seperti Alifia itu.” “Apa perlu sebuah pengakuan itu Alisa ?” “Jawabnya ada pada dirimu sendiri. Tanyalah dan berdebatlah dengan dirimu untuk mendapatkan jawabannya. Dan aku selalu mengawali setiap tulisanku melalui perdebatan panjang atas apa-apa yang ada dalam diriku.” Kalimat terakhirnya ini kurasa begitu indah, dan kuresapi. Ku coba bertanya pada diriku sendiri, inikah dia yang menulis buku itu ? Tidak, dan aku menatap Alisa dalam tatapan penuh debar kekaguman. Alisa atau Alifia dia memang gambaran yang memikat.
Sebelum kami berpisah, dia berjanji akan banyak meluangkan waktunya untukku. Dan katanya “berbosan hatilah memandangku, tapi jangan berbosan hati untuk bertemu dalam jalinan persahabatan untuk sama-sama saling berbagi pengalaman dan ilmu. Aku bisa menjadi mentormu dalam menulis, dan kau kini juga ku akui sebagai seorang teman dan sekaligus kalau kau mau, jadilah mentorku di hal-hal yang kau mampu.” Sekian