BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Dusun Karangrejek atau yang kerap dijuluki sebagai “Kampung Pengemis” merupakan satu dari enam dusun yang terletak di Desa Karang Tengah, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Jarak yang harus tempuh untuk mencapai Dusun Karangrejek yaitu sejauh 17 KM dari pusat Ibukota Yogyakarta, 12 KM dari pusat Kabupaten Bantul, dan 1 KM dari pusat Kecamatan Imogiri. Waktu tempuh yang diperlukan untuk dapat mengakses daerah tersebut dengan menggunakan mobil atau sepeda motor adalah 45 menit dari pusat Ibukota Yogyakarta, 30 menit dari pusat Kabupaten Bantul, dan 10 menit pusat Kecamatan Imogiri. Menurut Bapak Pargiyanto selaku Kesra dusun Karangtengah, kampung Karangrejek dijuluki sebagai “Kampung Pengemis” disebabkan karena ulah seorang peneliti untuk kepentingannya sendiri yang mengatakan bahwa seluruh warga dusun Karangrejek berprofesi sebagai pengemis. Predikat itu semakin meluas dengan adanya berbagai proyek penelitian yang dilakukan sejumlah kampus di Yogyakarta dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang mengambil sampel di desa tersebut. Penelitian berbagai perguruan tinggi dan LIPI dinilainya kurang obyektif, karena banyak pertanyaan menjebak didalamnya. Salah satu contoh pertanyaan menjebak itu adalah, "Kenapa Anda selalu pergi ngalor (bahasa Jawa untuk "ke utara", yang dalam konteks ini bermakna "pergi mengemis ke Yogya". Pertanyaan semacam itu dinilai mengarahkan warga seolah-olah mereka selalu pergi ke "utara", yang notabene artinya pergi mengemis. 1
Akibatnya, kesimpulan penelitian pun jadi ikut rancu, Dusun Karangrejek berpredikat sebagai kampung pengemis (Wawancara dengan Bp. Prg, pada hari senin, tanggal 20 September 2015). Predikat Kampung Pengemis juga muncul disebabkan karena ulah 22 kepala keluarga dari 192 kepala keluarga Dusun Karangrejek berprofesi sebagai pengemis. Ibarat pepatah gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga, begitulah yang diyakini Bapak Pargiyanto. Selain itu, Dusun Karangrejek pernah dijadikan perkumpulan para pengemis. Sekitar tahun 1980-an, Kanwil Departemen Sosial DIY pernah mendata penduduk Imogiri yang berprofesi sebagai pengemis. Setelah dikumpul-kumpul, ternyata ada 90 kepala keluarga yang berprofesi sebagai pengemis. Umumnya mereka sudah lanjut usia dari jumlah itu, yang berasal dari Karangrejek cuma 22 kepala keluarga. Sebelumnya, pihak Depsos mengumpulkan mereka di kantor Kecamatan Imogiri namun karena kantor kecamatan sedang dipakai rapat pihak kecamatan, pertemuan para pengemis itu pun lalu dialihkan ke Dusun Karangrejek. Di dusun inilah Kanwil Depsos melakukan pembinaan kepada para pengemis tadi sehingga sejak itulah predikat kampung pengemis mulai menyebar kemana-mana (Wawancara dengan Bp. Prg pada hari senin, tanggal 20 September 2015). Selain itu, Dusun Karangrejek dijuluki sebagai Kampung Pengemis karena pada tahun 1980-an masyarakat dusun Karangrejek sebagian warganya mencukupi kebutuhan sehari-harinya dengan cara meninta-minta. Bahkan mengemis mereka lakukan secara terang-terangan tanpa rasa malu. Mereka biasa mengemis di pusat Kota Yogyakarta. Mereka menuju pusat kota dengan menumpangi becak. Akan tetapi, pada saat sudah ada transportasi umum bus, mereka berangkat secara bersama-sama naik bus umum. Bahkan 2
konon katanya sering terlihat bahwa didalam bus tersebut penumpangya dipenuhi oleh pengemis dari Dusun Karangrejek yang hendak pergi ke kota untuk mengemis. Mereka berangkat dengan mengenakan pakaian yang rapi namun, setelah sampai tempat yang dituju untuk kegiatan mengemis maka mereka segera berganti pakaian dengan mengenakan pakaian lusuh yang pantas untuk mengemis. Hal itulah yang menyebabkan mengapa Dusun Karangrejek mendapatkan stigma negatif. Padahal seperti yang kita semua ketahui, mengemis merupakan suatu pekerjaan yang tidak layak. Kegiatan mengemis sangat tidak terpuji, bahkan jika kegiatan itu dibiarkan maka bangsa ini akan menjadi bangsa pengemis atau bangsa meminta-minta yang sama sekali tidak sesuai dengan tuntutan bangsa. UU tentang larangan mengemis, Perda pelarangan memberi uang kepada para pengemis ataupun aturan lainnya belum dibutuhkan. Karena, kegiatan meminta-minta menyangkut perilaku orang sehingga yang terpenting adalah mengubah perilaku tersebut. Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh manusia. Permasalahan pengemis adalah kemiskinan. Supriatna (1997:90) menyatakan bahwa kemiskinan adalah situasi yang serba terbatas yang terjadi bukan atas kehendak orang yang bersangkutan. Suatu penduduk dikatakan miskin bila ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan dan gizi serta kesejahteraan hidupnya, yang menunjukkan lingkaran ketidakberdayaan. Kemiskinan bisa disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang ada, baik lewat jalur pendidikan formal maupun nonformal yang pada akhirnya menimbulkan konsekuensi terhadap rendahnya pendidikan informal.
3
Emil Salim (dalam Supriatna, 1997: 82) mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin. Kelima karakterisktik penduduk miskin tersebut adalah tidak memiliki faktor produksi sendiri; Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri; Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, 4. Banyak di antara mereka yang tidak mempunyai fasilitas; Di antara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai. Kemiskinan timbul bisa disebabkan oleh beragam faktor bergantung pada tipenya; kemiskinan struktural, natural, kultural, dan mental. Kemiskinan struktural karena kekeliruan suatu kebijakan pemerintah yang cenderung tidak memihak pada kebutuhan dan kepentingan rakyat. Akibatnya terjadi ketimpangan dalam berusaha dan pendapatan. Akibat lainnya dari kebijakan yang menyimpang dicirikan oleh keterbatasan penguasaan aset produksi, rendahnya tingkat pengetahuan dan ketrampilan, lapangan kerja kurang, dan pendapatan masyarakat yang sangat rendah. Sementara itu kemiskinan natural disebabkan oleh miskinnya sumberdaya alam. Masyarakat tidak mampu mengolah lahannya karena memang unsur ekosistemnnya tidak mendukung; sementara di bidang ekonomi lain pun di daerah itu tidak berkembang. Sedangkan kemiskinan kultural berangkat dari persepsi, sistem nilai, dan perilaku sosial yang kurang mendukung perlunya pembangunan manusia yang bersinambung. Pandangan tentang tabu, rendahnya kepercayaan, dan tingginya resistensi akan modernisasi misalnya bisa menghambat masyarakat untuk maju. Hal ini secara gradual bisa menjadi cikal bakal timbulnya kemiskinan. Berbeda dengan kemiskinan materiil, tipe kemiskinan mental lebih didasarkan pada rendahnya motivasi atau spirit seseorang. Isu kemiskinan tipe seperti ini berangkat dari rendahnya mental masyarakat untuk maju. 4
Ciri-cirinya adalah sifat malas, kurangnya semangat kemandirian, kurang percaya diri, hidupnya terlalu mengandalkan pada orang lain, dan kurang bertanggung jawab. Kemiskinan yang dialami warga Dusun Karangrejek disebabkan karena keadaan alamnya yang sangat tandus dan berkapur. Lahan pertaniannya sangat tidak subur, sehingga hasil dari produksi lahan kurang baik. Hal tersebut menyebabkan warga Dusun Karangrejek yang menjadi buruh tani memperoleh penghasilan yang minim untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi yang semacam itu menyebabakan kemiskinan mendera masyarakat di Dusun Karangrejek. Keadaan yang miskin membuat mereka tidak mempunyai modal untuk membuka usaha untuk bekerja. Penyebab penduduk Dusun Karang Rejek menjadi pengemis juga didukung karena kurang memiliki ketrampilan, rendahnya tingkat pendidikan, terbatasnya lapangan kerja, dan adanya sikap fatalistik dan nrimo. Dengan ketrampilan dan pendidikan yang rendah, kecil kemungkinan bagi penduduk Dusun Karang Rejek untuk mendapat pekerjaan yang berpenghasilan besar. Lapangan pekerjaan yang terbatas juga cenderung tidak dapat menyerap mereka, sehingga penduduk Karang Rejek hanya terserap di sektorsektor informal dengan penghasilan yang tidak memadai sesuai dengan kemampuannya. Sikap fatalistik dan nrimo juga menjadi kendala bagi penduduk Karang Rejek dalam mengentaskan diri dari kemiskinan. Masyarakat Dusun Karang Rejek menjadi terkondisi tidak memiliki daya juang tinggi, mereka merasa tidak ada harapan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dan menerima hidup ini apa adanya sesuai dengan kehendak yang Maha Kuasa, sehingga kemiskinan tidak dapat lepas dari diri mereka dan akan tetap melekat,apabila sikap hidup tersebut tidak bisa dihilangkan. Hal tersebut tentunya sangat mendukung penduduk dusun itu menjadi pengemis. 5
Faktor penyebab terjadinya pengemis di Dusun Karangrejek terjadi seperti yang dikatakan oleh Artidjo Alkostar bahwa ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya pengemis yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern meliputi sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidak kuat, cacat fisik dan cacat jiwa (psikis), sedangkan faktor ekstern terdiri dari beberapa faktor yaitu: faktor ekonomi, factor geografi, faktor sosial, faktor pendidikan, faktor psikologis, faktor kultural, faktor lingkungan dan faktor agama (Artidjo Alkostar, 1993, “Gelandangan di Jakarta: Politik Pada Golongan Termiskin.” Dalam Parsudi Suparlan (ed.). Kemiskinan Di Perkotaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, halaman 176-196). Seiring dengan perkembangan zaman banyak pihak yang peduli dengan Dusun Karangrejek banyak pihak yang turut serta dalam menghilangkan stigma negatif Dusun tersebut. Multi stakeholder melakukan upaya untuk merubah masyarakat menuju kehidupan yang lebih layak dan berupaya untuk menunjukan pada masyarakat luas bahwa tidak semua masyarakat berprofesi sebagai pengemis. Keadaan alam Dusun Karangrejek sangat tandus hal itu tidak menutup kemungkinan adanya potensi alam yang dapat dimanfaatkan. Beberapa instansi dan akademisi berupaya untuk mencari sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk proses produksi. Salah satunya adalah ulat sutra, penduduk mengira bahwa ulat sutera yang hinggap di daun-daun pohon jambu mete adalah hama, sehingga dilakukan pembasmiann hama. Kemudian, setelah kaum akademisi masuk dan memberi informasi bahwa itu adalah ulat sutera dan kemudian memperkenalkan kegunaan dan peluang yang bisa dilakukan oleh penduduk setempat. Setelah itu, ulat sutera mulai dibudidayakan. Mereka mengajak ibu-ibu Dusun Karangrejek untuk memanfaatkan kepompong ulat sutra emas liar menjadi pernak-pernik 6
bernilai
ekonomis
(Jey,
Merangkai
Emas
di
Dusun
Karangrejek
(Online),
http://nuansa.persmahasiswa.org/2013/04/merangkai-emas-di-dusun-karang-rejek.html). Selain ulat sutra komoditas alam yang coba diolah adalah buah jambu mete, kayu mahoni, pohon pisang, dan pewarna alam dari tanaman-tanaman alam. Bantuan pinjaman modal juga turut dipinjamkan, sehingga mereka dapat bekerja dan berusaha. Beberapa instansi dan para ilmuan,
memberikan pelatihan kepada
penduduk dusun tersebut. Mereka diberikan pengetahuan dan pelatihan mengenai upaya menaikkan penghasilan melalui sektor industri. Para warga dusun tersebut dilatih bagaimana cara memproduksi hasil alam dan pemasaran hasil produksi tersebut. Dengan bantuan modal dan dorongan yang diberikan secara terus-menerus hal itu tentunya dapat merubah kepribadian para pengemis tersebut. Mata pencaharian penduduk di Dusun Karangrejek sangat beragam, pendapatan ekonomi dan mata pencaharian penduduk semakin berkembang banyak warganya yang menjadi pengusaha dan pengrajin (batik, bubut, kerajinan kepompong, kacang mete, ukir sarung keris, dll). Penduduk sudah memanfaatkan hasil alamnya. seperti pohon jambu mete, kayu mahoni, ulat sutera, pohon pisang, dll. Warga dusun Karangrejek mengolah komoditas alam menjadi kacang mete, sirup jambu mete dan kripik pisang. Bapak-bapak dusun Karangrejek menjadi pengrajin kayu, mengolah kayu mahoni menjadi perabot rumah tangga. Hal ini tentunya dapat merubah Dusun Karangrejek yang dulunya sebagai Kampung Pengemis telah berubah menjadi Kampung Sentra Industri. Tingkat pendidikan warga Dusun Karangrejek bersifat majemuk yaitu dari tingkat pendidikan SD sampai dengan Perguruan Tinggi namun, hanya sekitar 5% warganya
7
yang melanjutkan sampai keperguruan tinggi. Rata-rata pendidikan warga Dusun Karangrejek adalah tamatan SMA/SMK dan sederajad. Di Dusun Karngrejek sendiri tidak terdapat sarana pendidikan. Bahkan Taman Kanak-Kanak dusun tersebut masih jadi satu dengan Dusun Mojolegi. Sekolah Dasar juga tidak terletk di dusun tersebun namun terletak di Dusun Numpukan masih satu desa dengan Dusun Karangrejek. Mayoritas penduduk Dusun Karangrejek beragama Islam. Hanya ada satu kepala keluarga yang beragama nasrani. Disana terdapat dua tempat ibadah umat muslim yaitu satu mushola dan satu masjid.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat disimpulkan bahwa stigma “Kampung Pengemis” yang melekat pada Dusun Karangrejek, Karang tengah, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta tersebut bisa hilang karena adanya peran agensi dalam merubah stigma negatif itu, serta adanya potensi diri dari Dusun Karangrejek memungkinkan peluang untuk dapat mencipatakan lapangan kerja baru atau mengikuti pekerjaan baru. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui: 1. Mengapa muncul stigma negatif di Dusun Karangrejek Karantengah Imogiri? 2. Dari berbagai aktor penggerak, siapa yang lebih berperan? 3. Bagaimana perubahan mata pencaharian dan peluang usaha di Dusun Karangrejek sehingga menjadi kampung yang lebih berdaya?
8
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui munculnya stigma negatif di Dusun Karangrejek, Karangtengah, Imogiri, Bantul. 2. Untuk mengetahui siapa peran agensi dalam menghilangkam stigma “Kampung Pengemis” dan melihat upaya perubahannya. 3. Untuk mengetahui perubahan mata pencaharian dan peluang usaha yang dijalankan oleh masyarakat sehingga dapat merubah pola hidup masyarakat.
D. MANFAAT PENELITAN Dalam penelitian yang di lakukan di Dusun Karangrejek, Karangtengah, Imogiri, Bantul ini membahas tentang munculnya stigma “Kampung Pengemis”, yang pada Dusun Karangrejek dan siapa agensi penghilang stigma “Kampung Pengemis” dan melihat upaya perubahannya, serta melihat perubahan mata pencaharian dan peluang usaha yang dijalankan oleh masyarakat sehingga dapat merubah pola hidup masyarakat. Penelitian ini mempunyai manfaat untuk memperkuat karakteristik kehidupan dan keberadaan Dusun Karangrejek sehingga diharapkan masyarakat luar tidak salah dalam menilai Dusun Karangrejek. Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa mengangkat nama baik Dusun Karangrejek. Merubah stigma negatif “Kampung Pengemis” dan menunjukkan mata pencaharian yang ditekui di dusun tersebut. Bagi pemerintah agar bisa memberikan masukan dan pertimbangan untuk pengambilan tindakan atau keputusan pemerintah 9
daerah mengenai permasalahan yang ada di Dusun Karangrejek. Hasil penelitian ini semoga dapat digunakan sebagai referensi untuk melakukan penelitian serupa secara mendalam.
E. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian yang dilakukan oleh Baha’uddin dan Gayung Kasuma dari Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada dengan judul Pengemis Sebagai Profesi (Studi tentang Makna dan Etos Kerja di Kalangan Komunitas Pengemis Sirkuler di Kota Yogyakarta) tahun 2004. Penelitian ini menggunakan salah satu pendekatan antropologis yang disebut dengan metode etnosains. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa perilaku manusia mengemukakan semua pengalaman hidupnya, maka diketahui dunia mereka yang sesungguhnya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi latarbelakang sosial, cultural dan geografis para pengemis sirkuler. Mengungkapan pandangan hidup dan presepsi mereka tentang makna kerja serta posisinya dalam masyarakat luas. Menganalisa factor-faktor yang mempengaruhi perbedaan presepsi dan pandangan hidup mereka. Hasil yang yang didapatkan dalam penelitian ini adalah menunjukkan bahwa konstruksi nilai yang dibangun berangkat dari ketidakberdayaan ekonomi ditengah perubahan sosial masyarakat. Pengaruh perekonomian secara nasional yang diiringi oleh melonjaknya harga bahan kebutuhan pokok kenyataannya membuat pengemis tidak cukup untuk menjadi pengemis sirkuler Para pengemis menambah hari untuk mendapatkan hasil maksimal dalam bertahan hidup. Kerja memulung juga merupakan 10
alternatife sebagai tambahan penghasilan. Makna kerja bagi pengemis adalah untuk menyambung hidup, suatu alternatife untuk mendapatkan uang secara praktis, tidak memerlukan modal, tidak perlu pengalaman dan latarbelakang pendidikan serta yang lebih penting adalah dalam menentukan wilayah kerja (Baha’uddin dan Gayung Kasuma. Pengemis Sebagai Profesi: Studi tentang Makna dan Etos Kerja di Kalangan Komunitas Pengemis Sirkuler di Kota Yogyakarta. 2004. Yogyakarta: Lembaga Penelituan Universitas Gadjah Mada). Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan presepsi dan pandangan hidup para pengemis sirkuler adalah tergantung tingkat frekuensi kebutuhan masing-masing. Ada yang memang mencari tambahan penghasilan, merupakan mata pencaharian pokok, mengisi waktu kosong pada saat hasil pertanian tidak produktif, disebabkan tekanan pisikologis, tidak punya kemampuan dan keterampilan untuk bekerja. Disarankan pihak terkait membuat dan mengarahkan pengemis menjadi pemulung dengan pembinaan secara berkelanjutan. Mendidik spiritualitas mereka dengan menanamkan nilai spiritual terhadap pemahaman dan kerja melalui intervensi dinas dan lembaga sosial-keagamaan (Baha’uddin dan Gayung Kasuma. Pengemis Sebagai Profesi: Studi tentang Makna dan Etos Kerja di Kalangan Komunitas
Pengemis Sirkuler di Kota Yogyakarta. 2004.
Yogyakarta: Lembaga Penelituan Universitas Gadjah Mada). Penelitian kedua yaitu penelitian yang dilakukan di Dusun Karangrejek oleh Ariastuti Ambarsari dari Universitas Sebelas Maret dalam skripsinya yang berjudul Potret Pengemis (studi kasus penanggulangan pengemis di Pedukuhan Karangrejek, Desa Karangtengah, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1995-2001) tahun 2006 penelitian ini menggunakan menggunakan metode sejarah 11
yang melalui beberapa tahapan yaitu heuristik, kritik sumber, interprestasi dan historiografi yang dituangkan dalam bentuk penulisan diskriptif kualitatif. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini antara lain membahas tentang munculnya pengemis di Pedukuhan Karangrejek yang disebabkan karena kondisi daerah yang kering, gersang dan berkapur, keterbatasan tingkat pendidikan, ketrampilan kerja dan pengalaman kerja juga telah menciptakan masyarakat Pedukuhan Karangrejek menjadi pengemis. Terlebih didukung dengan kurangnya lapangan pekerjaan, tidak adanya modal usaha, tidak kuatnya mental, kurangnya dasar-dasar keagamaan, sikap malas serta sikap pasrah terhadap nasib membuat masyarakat Pedukuhan Karangrejek semakin terbelenggu dalam kemiskinan. Pemerintah Daerah Bantul dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah melakukan berbagai upaya dalam penanggulangan dan penanganan pengemis di Pedukuhan Karang Rejek, melalui Dinas Sosial bekerjasama dengan beberapa instansi. Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk penanggulangan pengemis di Pedukuhan Karang Rejek dilakukan melalui 2 usaha yaitu usaha preventif dan represif. Tindakan bersifat preventif diharapkan dapat mencegah agar pengemis tidak meluas di kota-kota besar, sedangkan tindakan yang bersifat represif meliputi rasia dan rehabilitasi atau penampungan sementara untuk diseleksi. Jerih payah pemerintah tersebut ada sebagian yang terwujud, tetapi ada beberapa yang tidak dapat terwujud karena beberapa faktor seperti kurangnya anggaran dan tenaga pembimbing, rendahnya kemauan para pengemis untuk mengubah pola hidup sehingga mereka dapat sejajar dengan masyarakat pada umumnya (Ambarsari, Ariastuti. 2006. Potret Pengemis (Studi Kasus Penanggulangan Pengemis di Pedukuhan KarangRejek, Desa Karangtengah,
12
Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1995 – 2001). Solo: Universitas Sebelas Maret). Penelitian yang peneliti lakukan ini berjudul judul Keluar dari Stigma “Kampung Pengemis” Menuju Kampung yang Berdaya (Studi Tentang: Perubahan Stigma Negatif Melalui Keberagaman Mata Pencaharian di Dusun Karangrejek, Karangtengah, Imogiri, Bantul) yang membahas mengenai peluang usaha yang dijalankan oleh masyarakat sehingga dapat merubah pola hidup masyarakat serta bagaimana peran agensi dalam mengubah cara pandang masyarakat dalam pekerjaan yang ditekuni saat ini. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ariastuti Ambarsari yang membahas tentang munculnya pengemis di Pedukuhan Karangrejek, Karakteristik dan tingkah laku pengemis di Pedukuhan Karangrejek, serta peran lembaga sosial dalam menangani pengemis di Pedukuhan Karangrejek.
F. KERANGKA TEORITIK Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan tentang bagaimana para agen melakukan pemberdayaaan yang dilakukan di Dusun Karangrejek. Dalam menganalisis peristiwa ini maka diperlukan kerangka teori yang relevan dengan peristiwa atau fenomena yang diteliti. Teori adalah suatu pandangan atau presepsi tentang apa yang terjadi. Berarti teori mendiskripsikan apa yang terjadi, menjelaskan mengapa itu terjadi, dan mungkin meramalkan kemungkinan berlangsungnya kejadian dimasa depan. Teori yang peneliti gunakan dalam menganalisis masalah ini adalah konsep pemberdayaan masyarakat, partisipasi dan kelembagaan dalam pembangunan. 13
a. Pemberdayaan Masyarakat a.1. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan
sebagai
proses
mengembangkan,
memandirikan,
menswadayakan, memperkat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekanan di segala bidang dan sektor kehidupan (Eko, 2002). Pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi”, bukan sebuah “proses instan” (Wrihatnolo dan Dwijowijoto, 2007:2) Pemberdayaan sebagai sebuah proses, mempunyai tiga tahapan yaitu penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. Pada tahap pertama yaitu penyadaran, pada tahap ini target pemberdayaan diberi pengarahan agar mereka sadar bahwa mereka mempunyai hak dan kapasitas untuk keluar dari kemiskinan yang dialami. Pada tahap ini target harus disadarkan bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan tersebut dimulai dari diri mereka, bukan dari paksaan orang luar. Setelah berada dalam tahap penyadaran, selanjutnya target berada pada tahap kedua yaitu pengkapasitasan. Proses pengkapasitasan terbagi menjadi tiga jenis yaitu manusia, organisasi, dan sistem nilai. Pada pengkapasitasan manusia yang harus dilakukan adalah memberikan kapasitas kepada individu atau kelompok sehingga nanpu menerima kekuasaan atau daya yang diberikan. Pengkapasitasan organisasi adalah melakukan restrukturisasi organisasi yang akan mendapatkan daya atau kapasitas tersebut. Terakhir yaitu sistem nilai, pada tahap ini target dibantu untuk membuat sistem nilai diantara mereka. Taha ketiga yaitu tahap pendayaan pada tahap 14
ini target diberikn kekuasaan, daya dan peluang sesuai dengan kualitas dn kecakapan yang dimiliki. Permendagri RI Nomor 7 Tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat, dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Pasal 1, ayat 8). Inti pengertian pemberdayaan masyarakat merupakan strategi untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu (Sumodiningrat, Gunawan, 2002) ; pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua,
memperkuat
potensi
atau
daya
yang
dimiliki
masyarakat
(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang membuat masyarakat menjadi berdaya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi
15
juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.
16
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan
masyarakat
harus
mengikuti
pendekatan
sebagai
berikut
(Sumodiningrat, Gunawan, 2002) ; pertama, upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer disebut pemihakan.Upaya ini ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya. Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendakdan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu, sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena
secara
sendiri-sendiri
masyarakat
miskin
sulit
dapat
memecahkan
masalahmasalah yang dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika penanganannya dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga lebih efisien. a.2. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Tujuan memandirikan
dari
pemberdayaan
masyarakat
terutama
17
masyarakat dari
adalah
kemiskinan
memampukan dan
dan
keterbelakangan.
Kemiskinan dapat dilihat dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum tercukupi/layak. Kebutuhan dasar itu mencakup pangan, pakaian, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Sementara keterbelakangan, misalnya produktivitas yang rendah, sumberdaya manusia yang lemah, terbatasnya akses pada tanah padahal ketergantungan pada sektor pertanian masih sangat kuat, melemahnya pasar-pasar lokal/tradisional karena dipergunakan untuk memasok kebutuhan perdagangan internasional. Dengan perkataan lain masalah keterbelakangan menyangkut struktural (kebijakan) dan kultural (Usman, 2004). Tujuan lain yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Kemandirian masyarakat adalah merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang terdiri atas kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif, dengan mengerahkan sumberdaya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut. Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (afektif, kognitif dan psikomotorik)
dapat
memberikan
kontribusi
pada
terciptanya
kemandirian
masyarakat yang dicita-citakan, dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan-keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhan tersebut. (Ambar Teguh S, 2004:80-81) 18
b. Partisipasi Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemadirian dan proses pemberdayaan (Craig dan May, 1995 dalam Hikmat, 2004). Lebih lanjut Hikmat (2004) menjelaskan pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini, pada akhirnya dapat menciptakan pembangunan yang berpusat pada rakyat. Prinsip dalam partisipasi adalah melibatkan atau peran serta masyarakat secara langsung, dan hanya mungkin dicapai jika masyarakat sendiri ikut ambil bagian, sejak dari awal, proses dan perumusan hasil. Keterlibatan masyarakat menjadi penjamin bagi suatu proses yang baik dan benar. Dengan demikian, Abe (2005) mengasumsikan bahwa hal ini menyebabkan masyarakat telah terlatih secara baik. Tanpa adanya pra kondisi, dalam arti mengembangkan pendidikan politik maka keterlibatan masyarakat secara langsung tidak memberikan banyak arti. Lebih lanjut Abe (2005) mengemukakan, melibatkan masyarakat secara langsung akan membawa dampak penting, yaitu : (1) Terhindar dari peluang terjadinya manipulasi. Keterlibatan masyarakat akan memperjelas apa yang sebenarnya dikehendaki oleh masyarakat; (2) Memberikan nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan karena semakin banyak jumlah mereka yang terlibat akan semakin baik; dan (3) Meningkatkan kesadaran dan keterampilan politik masyarakat. c. Kelembagaan/Kelompok Dalam perspektif pembangunan, kelompok dianggap sangat strategis dalam meningkatkan partisipasi sosial, memfasilitasi proses belajar, dan bahkan sebagai wadah 19
bersama dalam penyaluran aspirasi. Sejalan dengan pandangan ini, kenyataan menunjukkan bahwa di setiap desa terdapat banyak jenis dan jumlah kelompok, seperti kelompok tani, kelompencapir, kelompok masyarakat – Inpres Desa Tertinggal (pokmas IDT), dan perkumpulan petani pemakai air (P3A). Selain itu ada lagi yang disebut sebagai kelompok petani kecil yang terbentuk melalui Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) dan lain-lainnya. Kelompok tidak sekedar instrumen untuk implementasi kebijakan, tetapi merupakan wadah pemberdayaan masyarakat pedesaan. Menilik pada konsep Ife (1995) dimana pemberdayaan sebagai suatu proses untuk meningkatkan kekuatan pihak-pihak yang kurang beruntung, hanya dapat dilakukan melalui pendekatanpendekatan yang mampu melibatkan mereka dalam proses pengembangan kebijakan, perencanaan, aksi sosial politik, dan proses pendidikan. Esensi proses pemberdayaan yang digarikan oleh Ife (1995) tersebut menjadi argumentasi bahwa upaya revitalisasi peran kelompok hanya dapat dilakukan melalui proses-proses yang partisipatif, dari tahap pembentukan atau inisiasi, perencanaan, aksi, pengawasan atau evaluasi, hingga pada berbagi hasil yang diperoleh kelompok. Aktivitas pemberdayaan masyarakat diidentifikasi melalui kegiatan apa saja yang dilakukan masyarakat desa yang berkaitan dengan kegiatan desa wisata. Kegiatan pemberdayaan seyogyanya tidak bertentangan dengan norma-norma yang dipercaya oleh penduduk desa dan tidak ada konflik yang berarti sejak dilaksanakannya. Kegiatan pemberdayaan melalui desa wisata seharusnya memberikan keuntungan secara relatif terhadap penduduk desa, termasuk kesempatan untuk dapat mengungkapkan modal sosialnya. Pemberdayaan masyarakat juga berarti peningkatan kemampuan penduduk 20
lokal, sehingga pada penelitian ini akan dikaji adanya peningkatan kemampuan masyarakat terkait
pengembangan desa wisata, dalam hal ini melalui pendidikan,
pelatihan, dan berbagai program pengembangan SDM lainnya. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya peningkatan kemampuan SDM saja, tetapi juga bagaimana masyarakat mengelola kekayaan alam dan social capital lainnya. Misalnya saja bagaimana masyarkat dapat membuat kerajinan tangan atau makanan tradisional yang dapat dijual, sehingga terdapat value added atau hasil tanah/perkebunan yang dimilikinya. Konsep tersebut digunakan untuk menganalisis proses pemberdayaan yang terjadi dalam masyarakat Dusun Karangrejek. Seperti yang dijelaskan dalam konsep tersebut bawasanya bahwa pemberdayaan harus melibatkan seluruh aspek masyarakat dan kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Sebagaimana profesi pengemis, bagi mereka profesi tersebut dianggap sebagai hal yang bisa padahal anggapan masyarakat luas di luar kampung tersebut menganggap profesi mengemis sebagai hal yang negatif. Penelitian ini melihat proses bagaimana pemberdayaan yang dilakukan dengan cara bottom up, yang dilakukan oleh perangkat desa dalam mensosialisasikan dan membina masyarakat agar melakukan pekerjaan yang yang tidak merugikan. d. Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah proses dimana terjadi perubahan struktur dan fungsisuatu system sosial.Perubahan tersebut terjadi sebagai akibat masuknya ide-ide pembaruan yang diadopsi oleh para anggota system sosial yang bersngkutan. Menurut Sztompka (2004) perubahan social dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau
21
mencakup sistem sosial.
Lebih tepatnya terdapat perbedaan antara keadaan system
tertentu dalam jangka waktu berlainan. Menurut Strasser dan Randall dalam Sztompka, 2004 diketahui bahwa sebuah perubahan dapat dibayangkan sebagai ssuatu yang terjadi setelah jangka waktu tertentu. Kita berurusan dengan perbedaan perbedaan keadaan yang diamati antara sebelum dan sesudah dan jangka waktu perbedaanya. Menurut Marcionis (1987) bahwa perubahan sosial adalah transformasi dalam oranisasi masyarakat dalam pola berfikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu. Menurut Farley (1990) bahwa perubahan sosial adalah pola perlaku, hubungan sosial, lembaga, struktur sosial pada waktu tertentu. Perubahan sosial yang terjadi pada suatu lembaga akan berakibat perubahan dilembaga lain untuk mencapai keseimbangan baru. Dengan demikian masyarakat suatu yang statis, tapi dinamis sekalipun perubahan itu amat teratur dan selalu menuju kepada keseimbangan baru. Perubahan sosial dalam masyarakat bukan merupakan sebuah hasil atau produk tetapi merupakan sebuah proses. Perubahan sosial merupakan sebuah keputusan bersama uang diambil oleh anggota masyarakat. Konsep dinamika kelompok menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk membahas perubahan sosial. Kunt Lewin dikenal sebagai bapak manajemen perubahan, karena ia dianggap sebagai orang pertama dalam ilmu sosial yang secara khusus melakukan studi tentang perubahan sosial secara ilmiah. Konsepnya dikenal dengan modal force-field yang diklasifikasi sebagai model powerbased kareba menekankan kekuatan dan penekanan. Menurutnya perubahan terjadi karena, munculnya tekanan-tekanan terhadap kelmpok, individu atau organisasi. Ia
22
berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (diving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat diving forces melemahkan resistences to change. Lippit (1958) mencoba mengembangkan teori yang disampaikan oleh Lewin dan menjabarkannya dalam tahap-tahap yang harus dilalui dalam perubahan berencana. Terdapat lima tahap perubahan yang disampaikan olehnya, tiga tahap merupakan ide dasar Lewin. Tahap-tahap peerubahan adalah sebagai berikut: (1) Tahap inisiasi keinginan untuk berubah; (2) Penyusunan perubahan pola relasi yang ada; (3) Melaksanakan perubahan; (4) Perumusan dan stabilisasi perubahan; (5) Pencapaian kondisi akhir yang dicita-citakan. Konsep pokok yang disampaikan oleh Lippit diturunkan dari Lewin tentang perubahan sosial dalam mekanisme interaksional. Prubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap kelmpok, individu atau organisasi. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (diving forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Perubahan dapat terjadi dengan memperkuat diving forces melemahkan resistences to change. Bila dilihat definisi perubahan sosial tersebut, terlihat berbagai pakar meletakkan tekanan pada jenis perubahan yang berbeda. Perubahan sosial terjadi ketika ada kesediaan anggota masyarakat untuk meninggalkan unsur-unsur budaya dan sistem sosial lama dan mulai beralih menggunakan unsur-unsur budaya dan sistem sosial baru. Perubahan social dipandang sebagi konsep yang serba mencakup seluruh kehidupan masyarakat baik pada tingkat individual, kelompok, masyarakt, negara, dan dunia yang mengalami perubahan.
23
G. METODE PENELITIAN 1. Metode Penelitian Permasalahan yang dikaji dalam penelitian di atas merupakan suatu permasalahan sosial dan bersifat dinamis. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk menentukan cara mencari, mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data hasil penelitian tersebut. Penelitian kualitatif ini dapat digunakan untuk melihat peluang usaha yang dijalankan oleh masyarakat Dusun Karangrejek sehingga dapat merubah pola hidup masyarakat serta peran para agensi dalam mengubah cara pandang masyarakat dalam pekerjaan yang ditekuni saat ini. Metode penelitian kualitatif ini menggunakan metode penelitian yang bersifat fenomenologi. Penelitian fenomenologi ini dapat digunakan untuk
mempelajari
bagaimana kehidupan sosial di Dusun Karangrejek berlangsung dan melihat tingkah laku masyarakat dusun tersebut. Langkah-langkah operasional yang dilakukan dalam penelitian ini anatara lain dengan melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview). Wawancara tersebut dengan informan inti seperti Kepala Dusun dan orang yang mengetahui perjalanan masyarakat Dusun Karangrejek sehingga mendapatkan polapola yang jelas. Selain itu juga melakukan pengamatan berdasarkan informasi yang telah disampaikan oleh informan. 2. Lokasi Penelitian
24
Penelitian ini mengambil lokasi di Dusun Karangrejek, Karangtengah, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Pemilihan lokasi tersebut dipilih dengan alasan Dusun Karangrejek mendapatkan stigma negatif dari masyarakat luar. Masyarakat menilai bahwa pada zaman dulu mayoritas warganya bermata pencaharian sebagai pengemis bahkan sampai turuntemurun maka Dusun Karangrejek dijuluki sebagai “Kampung Pengemis” namun seperti yang diketahui olaeh penulis, mata pencaharian dusun Karangrejek bukan sebagai pengemis, tapi berada pada sektor industri. Dengan pemilihan lokasi tersebut, diharapkan dapat memperbaiki citra Dusun Karangrejek yang mendapatkan stigma negatif sebagai “Kampung Pengemis”. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Untuk memperoleh data yang akurat dan mempunyai validitas tinggi perlu memperhatikan darimana sumber data diperoleh dang dengan metode pengumpulan data yang tepat. Data penelitian ini dikumpulkan dengan melakukan observasi, wawancara mendalam (indepth interview), studi pustaka, dan dilengkapi dengan dokumetasi. a. Observasi Observasi atu pengamatan merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung (Syaodih, Nana 2005: 220). Observasi ada dua macam yaitu observasi partisipasi dan observasi non partisipasi. Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi (Observation Partisipation). Penggunaan partisipasi tersebut dimaksudkan agar dapat 25
melihat fakta yang terjadi di daerah tersebut. Dalam observasi ini bersifat terbuka, peneliti sudah terlebih dahulu menjelaskan kepada informan apa yang diteliti. Jadi informan telah mengetahui apa yang menjadi tujuan oleh penelti. Sehingga di haraapkan informan dapat bekerja sama dan dapat membantu peneliti. Observasi ini bertujuan untuk mengamati peluang usaha yang dijalankan oleh masyarakat Dusun Karangrejek sehingga dapat merubah pola hidup masyarakat serta peran agensi dalam mengubah cara pandang masyarakat dalam pekerjaan yang ditekuni saat ini. Hasil pengamatan tersebut dituangkan dalam lembar observasi yang selanjutnya dijadikan data lapangan. b. Wawancara (indepth interview) Wawancara secara mendalam (indepth interview) dilakukan agar memperoleh data informasi yang luas dan mendalam. Wawancara yang dilakukan harus menggunakan pedoman wawancara (interview guide) agar apa yang di tanyakan dapat terstruktur dan jelas. Pedoman wawancara yang dibuat harus sesuai dengan apa yang menjadi kajian dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, pokok pertanyaan yang ingin ditanyakan adalah bagaimana peluang usaha yang dijalankan oleh masyarakat Dusun Karangrejek sehingga dapat merubah pola hidup masyarakat serta peran agensi dalam mengubah cara pandang masyarakat dalam pekerjaan yang ditekuni saat ini. Wawancara secara medalam ini tidak hanya dilakukan satu kali tetapi dilakukan secara beruang-ulang agar mendapatkan data yang valid dan detail. Wawancara tersebut dilakukan secara langsung baik ditempat kerja maupun mendatang rumahnya agar lebih jelas dan mendalam.
26
c. Data Sekunder Data sekunder digunakan untuk memperkuat data atau untuk mempermudah mengenali data. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh melalui dokumen baik literatur, laporan-laporan, arsip, data dari penelitian terdahulu dan berbagai data yang berkenaan dengan penelitian ini. Untuk penelitian ini sumber data sekunder antara lain bersumber dari Kantor Desa Karangtengah, Imogiri, buku-buku literatur, jurnal-jurnal penelitian dan skripsi, tesis, disertasi serta laporan penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Informan Dalam penelitian ini untuk melakukan pemilihan informan, peneliti menggunakan teknik pemilihan informan yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Rencana awal peneliti mengambil informal warga Dusun Karangrejek yang mempunyai usaha industi, seperti industri keripik pisang, industri batik, industri kacang mete, industri bubut, industri bakpia, servis sound system. Keenam informan tersebut merupakan informan yang menekuni usaha baru dalam penelitian ini. Satu anggota dinas sosial Kabupaten Bantul sebagai informan pokok dalam penelitian ini karena mereka pernah mengurusi masalah pengemis. Stakeholder yang berperan dalam perubahan Dusun Karangrejek karena merka dirasa lebih mengetahui bagaimana proses dalam perubahan Dusun Karangrejek seperti Bapak Kepala Dusun Karangrejek, Bapak Pargianto Selaku Kesra Desa Karangtengah, Bapak Lurah Desa Karangtengah, Bapak Supriyatna, serta Bapak 27
Giyatna sebagai informan kunci dalam penelitian ini yang dirasa mempunyai informasi yang cukup mendalam.
5. Instrumen Penelitian Dalam penelitian yang peneliti lakukan membutuhkan instrumen penelitian untuk mengumpulkan data dari para informan yaitu dengan menggunakan panduan wawancara (interview guide), catatan lapangan, dokumen, kamera digital.
6. Teknik Analisis Data Teknik analisis data dilakukan sejak awal pengumpulan data dilapangan dan secara berkelanjutan sampai pada penulisan laporan. Dalam melakukan analisis data menurut Miles dan Huberman terdiri dari tiga alur yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. a. Reduksi Data Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Setelah dibaca, dipelajari, serta ditelaah maka langkah berikutnya yaitu mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi, yaitu usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya.
28
b. Penyajian Data Penyajian data, yaitu sebagai sekumpulan informasi tersusun yang member kemungkinan adanya penarikan kemungkinan adanya penariakan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Melalui data yang disajikan, kita melihat
c. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi Setelah display data, langkah selanjutnya adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi dengan pencarian arti, pola-pola penjelasan konfigurasi alur sebab-akibat dari proposisi. Kesimpulan dapat dituangkan dalam kalimat yang ringkas dan kaya makna sehingga pembaca menjadi mudah untuk menangkap apa yang menjadi hasil dari sebuah penelitian. Dalam analisa data ini, peneliti dituntut ketajaman, kedalaman, dan keluasan wawasan peneliti agar dapat menyentuh pada akar kebenaran sesungguhnya. Artinya, selain harus mampu mengungkapkan melalui pisau analisisnya pada permukaan luar dari suatu perilaku atau setting social subyek, juga mampu mengungkap aspek permukaan dalam lapisan kemengapa-an sesuatu itu terjadi.
29