BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Yogyakarta sebagai salah satu kota besar di Indonesia ini dijuluki kota pendidikan dengan banyaknya instansi pendidikan yang menjadi tempat tujuan mahasiswa Indonesia dari luar Yogyakarta yang terdiri berbagai latar belakang etnis guna menempuh pendidikan tinggi. Berbagai kalangan masyarakat dari berbagai latar belakang daerah dan suku-bangsa dapat ditemui. Rata-rata masyarakat pendatang di Yogyakarta didominasi kalangan pelajar dan mahasiswa yang tinggal sementara. Salah satu kelompok mahasiswa luar Yogyakarta yang menarik perhatian adalah mahasiswa Melayu asal Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Mereka banyak tergabung dalam asosiasi kedaerahan dan kesukuan seperti asrama daerah, kelompok sanggar seni, dan ikatan mahasiswa daerah. Sebagai kelompok masyarakat pendatang, sebagian dari mereka membutuhkan sebuah organisasi yang seakan menjadi ‘rumah naungan’ selama berada di kota ini. Terdapat banyak asrama-asrama mahasiswa daerah dan organisasi kedaerahan dan kesukuan di daerah Yogyakarta. Contohnya adalah Asrama Putra Riau di kawasan Bintaran Tengah dan asrama mahasiswa Kepulauan Riau di kawasan Nitikan, kota Yogyakarta.
1
2
Selain itu pendatang mahasiswa dari kawasan Melayu Riau ini juga banyak yang tergabung dalam ikatan-ikatan mahasiswa. Contohnya adalah dari ikatan mahasiswa daerah Riau yang dimaksud adalah Ikatan Pelajar Riau-Yogyakarta (IPR-Y) dengan pembagian komisariat sesuai asal kabupaten/kota di Provinsi Riau, Ikatan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Riau-Yogyakarta (IPMKRY) dengan pembagian komisariat Tanjung Pinang, Bintan, Natuna, Anambas, Batam, dan Karimun. Adapun salah satu asramanya adalah Asrama Putra Riau. Berdasarkan pengamatan peneliti, mereka banyak melakukan kumpul bersama dengan mahasiswa sedaerahnya sekedar untuk bercakap-cakap dengan bahasa Melayu lokal, untuk melepas rindu, jalan-jalan wisata,
dan melakukan kegiatan seni
budaya. Mereka membawa seni budaya Melayu ke tanah rantau, mengekspresikan dan menikmatinya. Bahkan mereka juga membentuk kelompok-kelompok kesenian Melayu. Selama peneliti tinggal di Yogyakarta guna belajar ilmu antropologi di UGM, terdapat suatu lembaga yang menjadi tempat untuk mengkaji kebudayaan Melayu. Instansi yang dimaksud yaitu Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu atau disingkat BKPBM. Sebagai instansi kelimuan yang bersifat nongovernment (NGO), di sana sering diadakan kegiatan diskusi ilmiah seputar kebudayaan Melayu yang digelarkan di balai ini tiap bulannya. Balai kajian ini tidak hanya mengkaji berbagai ragam masyarakat Melayu dan kebudayaan Melayu di Indonesia saja tetapi juga di Asia Tenggara dan bahkan di seluruh dunia.
3
Terkait dengan mahasiswa Melayu Riau sebagai bagian masyarakat Melayu di Yogyakarta, mereka kerapkali mengadakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan budaya kedaerahan mereka di balai kajian tersebut. Peneliti pun sempat mengadakan Praktik Profesi Antropologi di balai kajian Melayu tersebut sebagai bagain mata kuliah wajib di jurusan Antropologi Budaya UGM 1. Selama melakukan praktik profesi antropologi di sana dan karena itu, peneliti sering diundang dalam kegiatan-kegiatan di balai kajian ini. Ada kegiatan diskusi budaya Melayu, rapat ikatan mahasiswa daerah, dan kegiatan-kegiatan kesenian Melayu. Mereka pun juga sering dilibatkan dan diundang dalam kegiatan yang diadakan oleh BKPBM seperti diskusi kebudayaan dan milad dari balai kajian Melayu. Acara milad atau perayaan hari jadi BKPBM mereka menyuguhkan berbagai macam kesenian Melayu Riau seperti menyanyi lagu Melayu, tari-tarian, berbalas pantun, dan syair. Balai kajian tersebut menjadi tempat bagi mahasiswa asal Riau dan Kepulauan Riau untuk mendukung kegiatan-kegiatan budaya mereka meskipun tidak hanya mahasiswa Melayu Riau saja tetapi mahasiswa Melayu dari daerah lain juga diperkenankan untuk mengadakan kegiatan kemelayuan di sana. Sepanjang pengamatan peneliti, balai kajian tersebut cenderung diramaikan oleh kegiatan mahasiswa asal Propinsi Riau dan Propinsi Kepulauan Riau. Kegiatan berbagai
1
Kegiatan Praktik Profesi Antropologi (PPA) ini dilaksanakan bulan April-Mei 2015
4
diskusi kemelayuan yang sempat saya hadiri banyak diramaikan oleh mahasiswa asal Melayu terutama yang berasal dari kedua propinsi tersebut. Mahasiswa sebagai kelompok intelektual tentu memiliki kesibukkan kegiatan yang padat di kampusnya seperti kuliah kelas, mengerjakan tugas, membaca buku-buku acuan kuliah, dan kegiatan-kegiatan akademis lainnya. Tetapi, mereka sebagai mahasiswa Melayu Riau ada yang lebih memilih untuk menghabiskan sebagian waktu luangnya untuk berkegiatan seni budaya daerah dan berkumpul bersama mahasiswa sedaerah lainnya, sekedar untuk bersenda-gurau dan membicarakan kondisi terkini di daerahnya. Kondisi kultural ini menarik untuk lebih diamati dan dikaji lebih lanjut guna memahami bagaimana mereka mengidentifikasikan diri sebagai orang Melayu, mempertahankan, dan mempelajari kebudayaan mereka ketika berada di perantauan. Persoalan identitas ini menjadi kian kompleks ketika mereka berinteraksi dengan masyarakat dari berbagai latar budaya suku-bangsa. Identitas budaya Melayu ini juga dapat merambah ke berbagai aspek-aspek identitas kesukubangsaan yang lain, seperti bahasa, agama, dan adat. Aspek-aspek budaya tadi akan mempengaruhi mereka dalam ikatan hubungan sosial budaya ketika di rantau dengan daerah asalnya. Alasan mengapa penulis merasa tergugah untuk meneliti dan menulis tentang identitas etnik Melayu di perantauan karena selama ini belum banyak tulisan-tulisan yang mengkaji tentang masyarakat budaya Melayu
5
perantauan di Indonesia terutama mengenai identitas Melayu yang penting dan perlu dibahas. 1.2 Rumusan Masalah Begitu luasnya wilayah budaya masyarakat Melayu, maka dipilih masyarakat dari wilayah budaya Melayu Riau sebagai pusat pengamatan dan pengkajian dalam skripsi ini. Hal tersebut atas pertimbangan wilayah Melayu Riau baik itu di Provinsi Riau maupun Provinsi Kepulauan Riau dianggap sebagai kelompok etnik Melayu yang dominan dan ciri identitas budaya provinsinya bercorak Melayu. Pada kasus di kota Yogyakarta ini, mereka membentuk lembaga dimana mereka dapat mengekspresikan budaya asal mereka yaitu ikatan-ikatan pelajar dan mahasiswa Riau dan Kepulauan Riau (IPRY dan IPKMRY). Tradisi merantau merupakan salah satu fenomena sosial dalam masyarakat Melayu. Menurut Tamrin dalam Abu Bakar (2001), tradisi merantau sangat besar perananannya dalam membina dan memajukan setiap individu, keluarga, dan masyarakat. Pertemuan dua sistem kebudayaan yang berbeda ketika berada di perantauan merupakan aspek yang cukup penting dalam memahami bagaimana kebudayaan Melayu ketika berhadapan dengan kebudayaan tempatan. Atas kondisi sosial-kultural seperti itu, penelitian ini dirasa perlu untuk mengkaji pertanyaan yaitu “Mengapa mahasiswa Melayu Riau di Yogyakarta mengidentifikasikan diri sebagai orang Melayu”. Berdasarkan pertanyaan pokok di atas, maka fokus penelitian ini mengambil rumusan pertanyaan-pertanyaan spesifik berikut:
6
1. Apa yang dimaksud identitas Melayu atau kemelayuan itu ? 2. Siapa mahasiswa Melayu Riau itu di Yogyakarta ? 3. Apa bentuk dan bagaimana cara identitas kemelayuan dan proses praktik budaya Melayu mereka ? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Umum
Secara umum penelitian bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala identitas budaya yang terjadi pada mahasiswa perantauan dalam bingkai budaya etnik. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memahami cara mereka memelihara dan mempertahankan jati diri kebudayaannya ketika berada di rantau. Tujuan Khusus Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan, tujuan khusus penelitian ini adalah mendeskripsikan secara ilmiah dan memahami variabel-variabel terpenting dari penelitian sebagai berikut 1. Identitas budaya Melayu pada mahasiswa Melayu Riau. 2. Untuk mengetahui pola-pola identifikasi, pembelajaran, dan ekspresi budaya Melayu Riau. 3. Alasan dan cara-cara yang dilakukan mahasiswa Melayu Riau untuk mempraktikkan budayanya di rantau.
7
Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan dan tujuan tersebut, penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara praktis maupun teoritis. Manfaat Teoritis 1. Secara khusus, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi deskripsi ilmiah dan akademis mengenai keberadaan suku-bangsa Melayu, khususnya Melayu Riau di Yogyakarta, dan bagaimana mereka memahami identitas ‘kemelayuan’ mereka. 2. Penelitian antropologi memiliki kekhasan berupa penggunaan teori, metode, dan analisisnya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan akan memberi tambahan data-data referensi tentang informasi mengenai kajian identitas etnik dan diaspora suatu suku bangsa terutama identitas Melayu. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi ilmiah bagi suku bangsa Melayu di daerah lain yang juga mengembangkan identitas kebudayaan di luar wilayah budayanya. Seperti telah diketahui bersama bahwa budaya Melayu sangat beragam varian budayanya dan memiliki kekhasannya masing-masing yang mencirikan sebagai puak Melayu sehingga dapat menjadi referensi dalam mengembangkan kebudayaan Melayu perantauan di daerah lain.
8
1.3 Tinjauan Pustaka Untuk mengkaji mengenai identitas budaya Melayu, terdapat cukup banyak kepustakaan sebelumnya yang membahas sejarah bahasa dan budaya Melayu. Hampir di semua buku-buku kepustakaan tentang sejarah dan budaya Melayu menjelaskan pula tentang asal-usul orang Melayu yang kemudian dikaitkan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam di kalangan orang Melayu (misalnya Hamidy, 1991, 1999; Isjoni, 2007; Effendi, 2010; Suwardi, 1991, 2007, 2008; Asmuni, 1984; Mohammed, 1999). Ada beberapa tulisan yang dapat dikategorikan sebagai kajian yang menempatkan masyarakat Melayu sebagai fokus pembahasan identitas budaya secara khusus. Isjoni (2007) mengetengahkan etnis Melayu pada sisi ciri identitas bahwa ciri identitas mereka itu beragama Islam, berbahasa Melayu, dan beradat istiadat Melayu. Ketiga ciri identitas tersebut dianggap yang paling menonjol dalam kehidupan masyarakatnya. Sejak orang Melayu menganut Islam, terjadi perubahan besar dalam adat istiadat sehingga mucul sebuah filosofi adat Melayu, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan Kitabullah”. Sutrisno (2008) pun menyatakan hal yang sama yaitu keterkaitan hubungannya antara identitas Islam dan Melayu
Kepustakaan tentang sejarah, bahasa, dan budaya Melayu dituliskan oleh Suwardi Ms di dua bukunya (1991;2007). Suwardi menulis konsep Melayu melalui
9
pendekatan historis yang menelaah berbagai kepustakaan dan dokumen serta peninggalan purbakala prasejarah yang ada. Beliau menerangkan konsep kesejarahan Melayu dari masa prasejarah hingga Islam yang ditandai dengan berkembangnya
kerajaan-kerajaan
Melayu
Islam.
Selanjutnya,
Suwardi
menjelaskan secara ringkas mengenai sejarah, adat, nilai-nilai budaya, dan dinamika kehidupan orang Melayu dalam bentuk buku bahan ajar untuk kebutuhan mahasiswa di perguruan tinggi di Riau. Satu bahan etnografi klasik yang menarik tentang orang Melayu di Sumatera pernah ditulis oleh Marsden pada abad ke 17 yang kini diterbitkan dalam buku yang berjudul History of Sumatra atau yang dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia berjudul Sejarah Sumatra. Tulisan Marsden ini lebih bersifat deskriptif terhadap apa yang dilihat dan dirasakan olehnya pada masa itu ketika ia mengunjungi pulau Sumatera. Sumber pustaka tentang identitas Melayu yang lain dituliskan pula oleh Basyarsyah (2005) dalam Adat Budaya Melayu: Jati Diri dan Kepribadian. Beliau menjelaskan lebih luas bahwa seseorang disebut Melayu apabila ia beragama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu sejak pengislaman orang Melayu di abad ke 15 M seperti yang dikemukakan oleh pengusaha kolonial Belanda dan Inggris serta para sarjana asing di dalam bukunya. Beliau juga menambahkan bahwa ketika agama Islam mulai dikembangkan oleh pedagang Melayu ke sebagian wilayah Nusantara, pengertian “Melayu” merupakan suatu wadah orang Islam
10
dalam mengahadapi golongan non-Islam. Oleh karena itu, di Indonesia terdapat istilah “masuk Melayu” yang memiliki arti sebutan bagi orang yang masuk Islam. (Basyarsyah, 2005:29) Ada pula buku yang berisi hubungan antara agama Islam dengan budaya Melayu Riau secara khusus pernah ditulis oleh Hamidy (1991;1999). Dalam kedua buku tersebut, Hamidy menjelaskan bahwa orang Melayu Riau menempatkan agama Islam di atas tradisi, seni, dan adat. Khusus untuk bidang sejarah pendidikan daerah di Riau dibahas secara rinci oleh Asmuni, dkk (1984). Asmuni menyebutkan bahwa pendidikan di Riau mengalami perubahan dan perkembangan dari aspek pengaruh agama dan politik. Salah satu yang menarik adalah usaha tokoh Melayu asal Kepulauan Riau yaitu Raja Ali Haji untuk menjadikan bahasa Melayu Riau menjadi bahasa baku melalui kitab Bustanul Katibin. Mengenai kajian perantauan Melayu pernah dibahas oleh Suwardi (2013). Buku “Diaspora Melayu” yang ditulis oleh Suwardi merupakan hasil penelitiannya tentang perantauan Melayu Riau di Semenanjung Malaysia dan diaspora etnik2. Beliau menjelaskan sejak kapan para perantau Melayu mulai melakukan rantau dalam periodisasi fase masa sejarah dari masa pra sejarah hingga kemerdekan Indonesia. Suwardi menjelaskan bagaimana orang-orang Melayu dari wilayah Riau
2
Tulisan Suwardi (2013) ini lebih banyak menceritakan hubungan diaspora masyarakat Melayu Riau di Kuantan dan Kampar dengan perkembangan kebudayaan di semenanjung pada masa sejarah kesultanan/kerajan dan kolonial
11
khususnya merantau ke wilayah negara Malaysia. Suwardi menunjukkan bahwa perantauan orang-orang Melayu di kawasan Semenanjung Malaysia dan sekitarnya sudah terjadi sejak lama. Dampak-dampak kedatangan bangsa Eropa dan kolonialisasi yang dilakukannya terhadap dinamika diaspora orang Melayu Riau ke Semenanjung Malaysia dipaparkan olehnya. Tidak hanya itu, dijelaskan pula aktivitas perantauan Riau ke kawasan Semenanjung. Menurutnya, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perantauan berpangkal dari keinginan untuk membangun negeri supaya masyarakatnya memperoleh kesejahteraan yang wajar dan manusiawi. Alasan lainnya adalah aktivitas perantauan untuk mengembangkan dan menyebarkan budaya Melayu, mencari negeri baru, melakukan perdagangan, dan membangun negeri yang baru ditinggalinya bersama dengan penduduk tempatan. Tersebarnya budaya Melayu Riau ke segala penjuru oleh Al Mudra menjadi salah satu alasan untuk perlu memberikan sebuah solusi definisi baru bagi “Melayu” itu. Konsep dan definisi tersebut hendaknya tidak hanya memandang bahwa seseorang dapat disebut Melayu kalau ia tinggal di kawasannya saja. Pengertian makna Melayu ini dipandangnya secara luas, tanpa ada batasan adat, etnik atau agama. Pandangan ini bersifat terbuka dan tidak menemui akhir dalam membahas suatu fenomena, termasuk fenomena Melayu. Paradigma inklusif ini mencakup seluruh aspek Melayu sehingga memberikan gambaran holistik dan utuh tanpa mengesampingkan unsur-unsur apapun.
12
Unsur-unsur kultural dunia Melayu inilah yang sedang dimatangkan guna mewujudkan sebuah keserumpunan, seperti yang digagas oleh Rahman (2009) dan kawan-kawan dalam Alam Melayu: Sejumlah Gagasan Menjemput Keagungan. Pada buku tersebut menghimpun berbagai macam tulisan artikel yang ditulis oleh para ilmuwan dari berbagai negara, seperti Inggris, Filipina, Malaysia dan Indonesia. Berbagai kebudayaan Melayu yang tersebar ke penjuru dunia berusaha untuk dikaji dan dikembangkan supaya dapat memberikan manfaat pembangunan bagi orang Melayu itu. Sifat keterbukaaan dan kedinamisan budaya Melayu menjadikannya dapat bertahan untuk menghadapi arus kemajuan zaman tanpa menghilangkan jati diri kemelayuannya. Isjoni (2007) dalam bukunya Orang Melayu Di Zaman Yang Berubah, banyak membicarakan permasalahan orang Melayu Riau dalam menghadapi perubahan zaman sesuai dengan adat resam yang dipegang secara turun-temurun. Salah satu contohnya adalah pandangan subjektif atau stereotipe terhadap sifat perangai orang Melayu bahwa mereka itu “pribumi malas”. Isjoni menilai kondisi orang Melayu dalam menghadapi perubahan zaman pun terkesan kurang tanggap dan luwes. Padahal menurutnya, mereka mempunyai potensi yang luar biasa, terutama dari dalam dirinya. Terdapat ajaran-ajaran adat yang tertuang dalam pantun, syair, dan gurindam yang berisi ideal culture yang mencerminkan etos kerja orang Melayu yang ulet, rajin, dan siap mengambil kesempatan.
13
Dari berbagai acuan pustaka yang dipilih, terdapat sebab-sebab kultural yang menjadi faktor pendorong orang Melayu untuk melakukan aktivitas budaya seperti merantau atau keinginan mereka untuk pergi keluar kampungnya dengan berbagai tujuan. Di samping upaya pelestarian dan pengembangan budaya, identitas Melayu perlu untuk didefinisi dalam pengertian yang luas sehingga tidak terjadi pemaknaan sempit dan cenderung untuk kelompok-kelompok tertentu. Orang Melayu Riau ini memiliki karakter dan potensi yang khas dalam menghadapi perubahan zaman yang kian cepat. Hal ini menuntut mereka untuk bersikap bijak dan arif sesuai dengan adat resam yang dimilikinya. 1.5 Kerangka Teori Sesuai dengan tema utama penelitian ini dibicarakan yaitu identitas kemelayuan, maka landasan yang digunakan adalah konsep dan teori yang berhubungan dengan ketiga hal tersebut. Eriksen (2004) mengatakan bahwa identifikasi sosial (social identification) yang dalam ilmu antropologi identifikasi atau identitas ini sudah menjadi spesialisasi yang menarik perhatian banyak. Peran kajian antropologi begitu besar dalam meneliti dan membahas isu-isu etnisitas, nasionalisme, kelompok minoritas, dan komplektisitas budaya. Dalam ranah sosial identifikasi sosial ini memberi rasa memiliki (sense of belonging) kehidupan suatu individu dalam suatu masyarakat yang kompleks. Eriksen menyebutkan bahasa, lokalitas, kekerabatan, nasionalitas, anggota etnis, keluarga, umur, pendidikan,
14
pandangan politik, orientasi seksual, kelas, bahasa, dan gender sebagai kemungkinan-kemungkinan munculnya identifikasi sosial tadi. Selain Eriksen (2004; 1993),
Fredrik Barth (1988) adalah antropolog
kenamaan yang mengkaji etnisitas dan menjadi bahan diskusi para antropolog selanjutnya. Lalu, Vermeulen dan Govers (1994) cukup banyak mengkritisi dan melengkapi kajian etnografi dan teori etnisitas dari Barth. Vermeulen dan Govers banyak memberikan masukan terhadap kajian etnisitas Barth bahwa identitas etnis merupakan bentuk dari ideologi dan sistem kognitif selain merupakan tatanan sosial yang terbentuk bila seseorang menggunakan identitas etnik dalam mengkategorikan dirinya dan orang lain untuk tujuan interaksi sebagaimana yang dinyatakan Barth (1988). “Ethnic identities are products of clasification, ascription, and self-ascription and bound up with ideologies of descent. From this point of view the study of ethnicity is related to the study of ideology and of cognitive systems” (Vermeulen, 1994: 4) Dalam mengkritisi dan melengkapi kajian etnisitas Barth, Vermeulen menambahkan bahwa konsep etnisitas ini merupakan sebuah elemen organisasi sosial dari interaksi yang beratur dan kesadaran perbedaan (consciousness of difference). Menurut Erikson dalam Warni (2007) pembentukan identitas merupakan suatu proses dalam inti dari pribadi dan juga di tengah-tengah kelompok atau masyarakat, sehingga identitas itu dikatakan juga sebagai kedirian seseorang.
15
Kemudian, Liliweri (Warni, 2007) menambahkan bahwa umumnya dalam masyarakat yang disebut Indonesia, ada anggapan setiap orang seharusnya memiliki pandangan tentang hakikat asal mula tradisinya. Walaupun mereka merasa modern, dalam arti mereka masih punya anggapan asal-usul. Mengutip pendekatan Lasmi Warni (Skripsi, 2007) yang menjelaskan bahwa ada tiga karakeristik identitas budaya. Tiga karakteristik
budaya ini
merupakan rumusan dari tiga pendekatan identitas dari Erikson (1989), Martin dan Nakayama dan Liliweri (2002). “Karakteristik identitas budaya yaitu (1) identitas budaya merupakan pusat penampilan kepribadian, seseorang akan menjadi lebih sadar tentang identitas budaya sendiri manakala hidup di dalam kebudayaan orang lain, berinteraksi dengan beberapa orang dari kebudayaan yang berbeda; (2) identitas budaya kadang-kadang bisa bertahan dalam konteks sosial yang selalu berubah; (3) identitas budaya merupakan sesuatu yang bermuka banyak. Karakter yang terakhir inilah cenderung dialami oleh manusia dan sesuai dengan perkembangan zaman, dimana sulit untuk ditebak identitas apa yang sebenarnya mereka pegang.” Identitas budaya yang diterapkan oleh Warni merupakan penelitiannya terhadap identitas budaya keturunan perantau Minangkabau di Yogyakarta. Pada kasus identitas keturunan Minangkabau tempat atau kondisi mempengaruhi identitas Minangkabau yang mereka pegang sehingga apabila berada pada tempat atau kondisi lain identitas mereka akan berbeda lagi. Benedict (1966) menunjukkan ada pola identitas etnik yang menentukan ciri dari sebuah individu, yaitu adat kebiasaan. Riwayat hidup individu terutama
16
ditentukan oleh penyesuaian diri kepada pola-pola dan ukuran-ukuran yang turun temurun ada dalam masyarakatnya. Sejak saat ia dilahirkan, adat kebiasaan lingkungan tempat ia dilahirkan menentukan pengalaman dan kelakuannya. Menjelang waktu ia berbicara, ia telah mendapat bagian kecil dari kebudayaannya dan bila sudah dewasa dan sudah dapat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan masyarakatnya, maka adat kebiasaan kelompok itu. Setiap anak yang lahir di kelompoknya akan mempunyai adat kebiasaan yang sama dengan adat kebiasaan kelompoknya Konsep-konsep identitas dipandang sebagai akibat dari adanya sebuah interaksi yang dinamis antara konteks dan sejarah dengan konstruksi (construct). Pembahasan mengenai identitas etnik pernah diterangkan dalam contoh kasus (lihat Eriksen, 1993: Maunati, 2006; Barker, 2015; Buchari, 2014;). Weeks dalam Barker (2015) menjelaskan bahwa identitas adalah soal kesamaan dan perbedaan yang terkait aspek personal dan sosial. Kesamaan yang melekat pada diri dengan sejumlah orang lain dan apa yang membedakannya dari orang lain. Bahasa dalam kaitannya dengan identitas lebih merupakan penanda meskipun tidak stabil dan tetap pada identitas. Bahasa mengandung sejumlah konsekwensi penting bagi pemahaman diri dan identitas. Hall dalam Barker (2015) menyatakan bahwa dalam esensialis identitas dipandang sebagai nama dari “satu diri sejati” kolektif dan dipandang terbentuk diluar sejarah, keturunan, dan serangkaian sumber simbolis umum. Lebih lanjut, identitas kultural menekankan
17
soal kemiripan, identitas diatur di sekitar sejunlah titik perbedaan. Identitas kultural dilihat bukan sebagai refleksi atas kondisi suatu hal yang tetap dan alamiah, melainan sebagai proses menjadi. Identitas kultural terus-menerus diproduksi di dalam vektor kemiripan dan perbedaan. Salah satu trik perbedaannya adalah kelas, seksualitas, gender, umur, etnisitas, kebangsaan, posisi politik, moralitas, agama dan lain sebagainya. Mengupas hal identitas etnis bagi Barker dan Galansinski (2001), etnisitas bukan berdasarkan pada ikatan primordial atau karakter budaya universal yang dimiliki oleh sekelompok grup. Etnisitas adalah konsep rasional yang berhubungan dengan kategori identitas diri dan sosial. Kajian mengenai etnisitas sering dikaitkan dengan derajat konformitas dari anggota suatu suku-bangsa untuk menerima norma-norma tertentu dalam suatu proses interakasi sosial. Oleh karena itu, para antropolog seperti Mitchell (1956), Epstein (1958), Gluckman (1961), dan Barth (1969) kerap mengaitkan kajian mengenai etnisitas dengan perbedaan latar belakang kebudayaan dari suatu kolektiva tertentu. Terutama yang merujuk pada hal yang mendasar seperti primordial.
Hal
ini
dikarenakan
ada
kecenderungan
seseorang
untuk
mengidentifikasikan dirinya dengan etnik tertentu, sementara itu pihak lain juga kerap mengidentifikasikan bahwa perilaku seseorang adalah terkait dengan latar belakang kesukubangsaannya (Poerwanto, dkk, 2001).
18
Guna memahami bagaimana posisi dan hubungan seorang individu dalam kelompok suku-bangsanya, Herbert M. Balock (1976:2) dalam Poerwanto, dkk (2001) pernah mengusulkan dua macam pendekatan ialah secara mikro dan makro. Beliau mengatakan bahwa secara makro individu dipakai sebagai pusat penelitian terutama yang berkaitan dengan pelbagai latar belakang timbulnya macam-macam bentuk praduga (prejudice) maupun stereotipe etnik. Selanjutnya, dalam pendekatan secara makro, lebih dipusatkan terhadap studi masalah diskriminasi dan kepemimpinan pada kasus tertentu. Bentuk-bentuk diskriminasi, status, dan peran merupakan unit analisis yang penting. Etnisitas merupakan suatu persoalan konsep sosial kultural (misalnya Barth, 1988; Sutirto, 2000; dan Barker, 2015). Menurut Barth dalam Sutirto (2000) definisi tentang kelompok etnik mengemukakan ciri-ciri suatu populasi yang 1) secara biologis mampu berkembang dan bertahan, 2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, 3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, 4) menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain. Barth mengemukakan bahwa konsep kelompok etnik sebagai tatanan sosial akan menentukan ciri khasnya sendiri yang dapat dilihat oleh kelompok lain. Ciri asal yang bersifat kategoris (categories ascription) adalah ciri khas yang mendasar dan secara umum menentukan seseorang termasuk kelompok etnik mana dan ini dapat diperkirakan dari latar belakang asal-usulnya.
19
Etnisitas bagi Barker (2015) merupakan konsep kultural yang terpusat pada kesamaan norma, nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik kultural. Terbentuknya ‘suku bangsa’ bersandar pada penanda kultural yang dimiliki secara bersama yang telah berkembang dalam konteks historis, sosial, dan politis tertentu dan yang mendorong rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan pada nenek moyang mitologis yang sama. Terkait dengan merantau yang dilakukan oleh mahasiswa Melayu Riau di Yogyakarta, Naim (1979) mendefinisikan istilah rantau dari sudut sosiologi yang mengandung enam unsur pokok. Keenam unsur itu yaitu (1) meninggalkan kampung halaman; (2) dengan kemauan sendiri; (3) untuk jangka waktu lama atau tidak; (4) dengan tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu atau mencari pengalaman; (5) biasanya dengan maksud kembali pulang; dan (6) merantau ialah lembaga sosial yang membudaya. Dengan merantau setidak-tidaknya dalam konsepsi idealnya, identifikasi maupun pengasosiasian dengan budaya yang lama adalah merupakan ciri tetap, sedangkan bermukim di rantau hanyalah cara untuk mencapai tujuan (merantau). Pada kasus penelitian ini, masyarakat Melayu perantauan ini ditandai dengan keluarnya anggota etnis Melayu dari wilayah budayanya ke wilayah budaya lain. Masyarakat Melayu tidak lagi melihat batasan-batasan wilayah baik itu dalam konsep politik administratif, sosial dan budaya. Batasan-batasan fisik dan budaya ini menjadi kabur dan oleh Appadurai disebut “deteritorialisasi” sehingga
20
menciptakan dunia baru denhan batas-batas wilayah dan nilai menjadi relatif. Proses deteritorialisasi ini merupakan suatu proses penting karena ia menjadi titik balik peradaban kontemporer yang memiliki implikasi yang luas dalam berbagai proses sosial budaya (Abdullah, 2010). Berbicara mengenai budaya asal yang dibawa oleh kelompok perantauan dari suatu etnik ke wilayah budaya lain akan menyinggung persoalan terhadap identitas budaya yang melekat pada diri perantau itu. Brah (1996) menjelaskan identitas pada diri seseorang merupakan hal yang cukup dinamis, dengan kata lain, dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan berubah dari hari ke hari. Kemudian ia juga menjelaskan bahwa identitas merupakan hal yang subjektif dan sosial secara simultan. Budaya dan identitas merupakan dua konsep yang berhubungan. Howard (1993) menjelaskan bahwa identitas etnis ini merupakan dasar utama bagi masyarakat yang mendeskripsikan bahwa diantara kita-mereka terdapat perbedaan di kota-kota besar melalui aktivitas budaya sehari-hari seperti saat bekerja, berbelanja, dan kegiatan sehari-hari, orang itu dapat melihat perbedaannya. Oleh karena itu, identitas ini digunakan kelompok etnik untuk dijadikan pembeda antara kelompok-kelompok etnik dalam interaksi kegiatan sehari. Sesuai dengan kajian berbagai teori diatas, hakikat masyarakat perantau yang keluar dari daerah asalnya sengan tujuan masing-masing cenderung masih memperlihatkan aspek-aspek budaya asalnya. Batas-batas daerah budaya tidak lagi dipandang sebagai hambatan untuk mempraktikan kebudayaannya. Sebagai bagian
21
komunitas etnik, mereka sadar akan keterikatan hubungan budaya dengan anggota masyarakat lain yang satu etnis di wilayah perantauan. Hal ini menyebabkan praktik-praktik budaya cenderung dilakukan secara bersama-sama untuk membayangkan tanah asalnya (homeland). 1.6 Sumber dan Metode Penelitian 1.6.1 Rancangan Penelitian Sebagai bentuk penelitian sosial humaniora, penelitian ini dirancang dengan menggunakan paradigma antropologis. Penelitian bersifat terbuka, perubahan dianggap sebagai nilai tambah, bukan kegagalan. Oleh karena itu, penelitian tidak menggunakan hipotesis dan variabel penelitian yang dirinci secara eksplisit. Teoriteori yang digunakan adalah teori yang sudah ada dan disesuaikan dengan objek penelitian. 1.6.2 Pendekatan Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan etnografis dengan deskripsi dan analisisnya. Secara lebih rinci pendekatan yang digunakan adalah pendekan yang dianggap sebagai ciri khas ilmu antropologi yang mengkaji tentang manusia. Sesuai dengan hakikat metode kualitatif, penelitian dengan memberikan data intensitas data secara alamiah, pendekatan lain dalam antropologi yang dianggap tepat adalah emik (Ratna, 2010). 1.6.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data penelitian adalah kualitatif, data yang dikumpulkan terdiri atas kajian pustaka, hasil-hasil wawancara dengan para informan, pengamatan atau
22
observasi. Data juga dikumpulkan melalui observasi dan kajian-kajian pustaka yang diperlukan dan relevan dengan tema penelitian. Untuk memperoleh data tersebut, penelitian ini menggunakan dua macam sumber data, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah para informan melalui wawancara dan hasil pengamatan di lapangan. 1.6.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Secara garis besar, metode pengumpulan data lapangan ini menggunakan tiga teknik etnografis yaitu, a) studi pustaka, b) wawancara mendalam, dan c) observasi. Studi pustaka dilakukan terlebih dahulu untuk menambah referensi penelitian. Studi pustaka juga dilakukan pada tahap awal untuk menggali teori-teori yang sesuai dengan topik penelitian. Sumber pustaka yang digunakan adalah berbagai pustaka mengenai identitas etnik, bahasa, sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di wilayah Riau dari berbagai buku dan jurnal ilmiah. Sebelum wawancara mendalam dilakukan, ditentukan terlebih dahulu sejumlah informan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dan mempertimbangkan
kompetensi
masing-masing
dalam
kaitannya
dengan
pengumpulan data. Wawancara kemudian dilaksanakan dengan memanfaatkan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan secara perorangan. Wawancara perorangan ini dimaksudkan untuk melacak data yang berupa keteranganketerangan yang berkaitan dengan soal-soal pribadi maupun umum terkait topik penelitian. Penelitian wawancara secara perseorangan dilakukan pada saat mereka
23
tidak sibuk. Tempat pertemuan wawancara dan observasi dilakukan di asrama atau tempat tinggal informan. Wawancara dilakukan dalam suasana yang tidak formal sehingga wawancara bersifat di antara sahabat sehingga informan relatif bebas mengeluarkan pikiran dan menyatakan pendapat tanpa tekanan atau pengaruh dari peneliti sebagai pewawancara. Oleh karena itu, sebelum wawancara atau pengamatan dilakukan, terlebih dahulu dijelaskan tujuan dan cara peneliti mempelajari perilaku dan kehidupan kelompok etniknya. Kepada informan diminta agar kehadiran peneliti tidak menggangu kegiatan-kegiatan mereka baik yang sedang dilakukan maupun telah direncanakan hendak dilakukan3. Informan-informan yang dipilih adalah mahasiswa bersukubangsa Melayu asal provinsi Riau dan Kepulauan Riau berjumlah empat orang yang mewakili dua provinsi tersebut. Mereka dipilih karena keaktifannya dalam melakukan aktivitas kebudayaan Melayu di Yogyakarta. Peneliti mengelompokkan informan lebih rinci lagi yaitu berdasarkan jenis kelamin, lamanya tinggal di Yogyakarta, dan intensitas aktivitas kemelayuan yang dilakukan. Dalam penulisan skripsi ini, penyajian hasil wawancara terhadap informan dikelompokan berdasarkan asal daerah provinsi masing-masing. Nama-nama informan lainnya sengaja tidak disebutkan guna menjaga privasinya sesuai yang diamanatkan oleh mereka.
3
Sutirto, Tundjung W. Perwujudan Kesukubangsaan Kelompok Etnik Pendatang (Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra, 2000), hal. 25-26
24
Peneliti menggunakan tipe wawancara secara berkelompok dengan jumlah empat sampai lima orang di antara mahasiswa Riau dan Kepulauan Riau di asrama. Peneliti mengajak mereka berdiskusi bersama dengan mengangkat tema topik penelitian untuk mendapatkan data yang lebih luas. Peneliti menggunakan tahap wawancara ini sebagai proses membuka diri dan perkenalan dengan kelompok yang akan diteliti sehingga timbul hubungan yang erat di antara peneliti dan mahasiswa Melayu Riau serta memudahkan tahap metode pengumpulan data selanjutnya yaitu observasi partisipasi. Observasi dalam ilmu antropologi adalah suatu metode proses pengamatan dalam memahami budaya dan masyarakat yang diteliti. Metode ini cocok untuk penelitian kualitatif antara lain studi-studi eksploratif dan studi yang mengarah pada pendekatan interpretatif teoritikal. Metode partisipasi observasi ini amat tepat diterapkan untuk (1) masalah-masalah penelitian berkenaan dengan makna-makna yang berlaku dan bahasa jargon dan interaksi sosial yang dilihat dari perspektif pelaku (insider), (2) gejala yang diteliti dapat diobservasi dalam kehidupan seharihari, (3) peneliti dapat masuk ke dalam unit-unit yang diteliti, (4) gejala-gejala itu adalah dalam ukuran terbatas dan dapat dijangkau oleh seorang peneliti, dan (5) masalah penelitian dapat diperlakukan sebagai studi kasus (Poerwanto, dkk., 2001). Oleh karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggali gejala budaya yaitu identitas etnik Melayu dengan studi kasus mahasiswa Melayu Riau, maka pemilihan metode ini sangat tepat. Peneliti turut mengamati dan berbaur
25
dengan mahasiswa etnik Melayu Riau baik yang tinggal di asrama maupun di tempat kost supaya benar-benar melihat langsung dan memahami aktivitas budaya Melayu yang dilakukan oleh mereka. Strategi penempatan posisi peneliti ditentukan oleh sifat dari kelompok sosial yang akan diobservasi (Poerwanto, dkk., 2001). Selain observasi di asrama mahasiswa Riau-Kepulauan Riau dan indekos mahasiswa Melayu Riau, observasi juga dilakukan di Balai Kajian Melayu sebagai instansi tempat digunakannya diskusi kebudayaan Melayu yang sering dihadiri oleh mahasiswa Melayu Riau. Metode dan teknik pengumpulan data ditunjang dengan sejumlah instrumen yang diperlukan, seperti pedoman wawancara, alat rekam (recorder), kamera foto, alat-alat untuk mencatat, dan sebagainya. Oleh karena itu, dilakukan dokumentasi melalui foto mengenai kegiatan-kegiatan kemelayuan yang dilakukan oleh mereka sebagai bahan pendukung observasi. Instrumen terpenting dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan pemahaman akan penelitian yang dilakukannya. (Ratna, 2010). 1.6.5 Metode Analisis dan Penyajian Hasil Analisis Data Analisis adalah memilah-milahkan dan memisahkan data ke dalam bagianbagian, elemen-elemen, atau unit-unit. Proses dari proses analisis ini adalah dengan memilah-milah data menjadi managable untuk mencari kesatuan-kesatuan yang sama, menentukan urutan prosesi, menemukan pola-pola hubungan bekerjanya suatu sistem. Tujuan dari analisis ini adalah untuk merekonstruksi data ke dalam
26
struktur yang bermakna atau sistem yang dapat dipahami4. Metode analisis data dilakukan secara elektik, baik terhadap teori, metode, teknik, instrumen, dan data. Analisis dilakukan sejak tahap studi pustaka di lapangan, pengumpulan data, dan dilanjutkan dengan analisis data itu sendiri. Data-data yang dimaksud adalah yang berkenaan dengan penelitian yaitu identitas Melayu, etnisitas, dan kemelayuan. Penggunaan teori dalam penelitian ini didasarkan atas data bukan sebaliknya (Ratna, 2010). Hasil analisis dilakukan secara deskriptif-analisis etnografis yaitu melalui bentuk kata-kata, kalimat, dan bentuk-bentuk deskriptif lainnya. Secara keseluruhan, hasil penelitian disajikan dalam sejumlah bab yang dilengkapi dengan lampiran yang diperlukan yaitu daftar pedoman wawancara. 1.7 Sistematika Penulisan Pada bab ini, sudah saya paparkan tema-tema utama dan pembahasanpembahasan teoritis dalam tulisan ini. Pembahasan saya terutama berfokus pada kajian-kajian dari literatur identitas kebudayaan. Berbagai kajian mengenai identitas masyarakat dan budaya Melayu kerap kali menyinggung tiga unsur budaya yang menjadi penanda ciri khas budayanya. Tidak hanya sumber pustaka yang ditulis oleh orang Melayu sendiri melainkan pula oleh orang asing yang mengkaji tentang Melayu. Saya akan mendeskripsikan lebih jauh bagaimana bahasa, agama,
4
Diambil dari Laporan Pengabdian Masyarakat, Poerwanto, dkk. (2001).
27
dan adat Melayu masih terus diamalkan oleh mahasiswa ketika mereka berada di rantau. Hal tersebut dijadikan pembahasan utama bab-bab berikutnya. Bab 2, “Siapakah Melayu”, berisi kajian singkat mengenai kepustakaan tentang masyarakat dan budaya Melayu yang umum dan yang khusus Melayu Riau. Penulis-penulis asing cenderung lebih dalam menganalisis ketika membicarakan budaya Melayu seperti bahasa, adat resam, sistem ekonomi, dan religi. Kendatipun demikian, saya menyadari bahwa jumlah kepustakaan yang ditulis oleh peneliti Melayu hampir sama dengan peneliti non Melayu dalam dan luar negeri sehingga perlu proses pemilihan sehingga diperoleh kepustakan yang berkualitas. Kajian pada bab ini dimaksudkan untuk memberi latar belakang pemahaman tentang konteks kemelayuan bagi bab-bab berikutnnya yang sifatnya lebih empiris. Bab 3 dan 4 lebih memfokuskan pada muatan empiris penelitian ini. Bab 3 berisi hasil kajian wawancara terhadap informan terpilih yaitu mahasiswa Melayu Riau yang mewakili mahasiswa Riau dan Kepulauan Riau di Yogyakarta. Isi daripada bab 3 ini pula dijadikan analisa data pada bab 4. Sebagaimana yang terdapat pada berbagai kepustakaan etnografi Melayu yang banyak membahas tiga unsur identitas budaya Melayu. Pada bab ini, saya arahkan untuk memfokuskan pada bahasa Melayu, agama Islam, dan adat Melayu yang dipraktikkan oleh mayoritas mahasiswa Melayu Riau sehari-hari. Ketika berinteraksi dengan masyarakat budaya lain, mereka ada yang tetap menggunakan identitas budaya
28
Melayu sebagai referensi diri mereka dan ada pula yang membaur dengan masyarakat mahasiswa yang plural di Yogyakarta. Bab 4 membahas tentang bagaimana proses-proses identitas Melayu dibentuk kemudian dipraktikkan oleh mahasiswa Riau dalam berinteraksi dengan sesama masyarakat Riau di Yogyakarta dan masyarakat lain. Bab ini mengupas identitas dan etnisitas Melayu pada mahasiswa Riau secara lebih mendalam dan teoritis. Selain itu, saya akan membahas pula mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan dari proses-proses praktik identitas Melayu. Akhirnya, bab 5 menyajikan ulasan singkat dan kesimpulan dari hasil tulisan ini. Pada bab ini disajikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini.