BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian Salah satu isu penting kota-kota besar di dunia saat ini adalah
perembetan daerah kekotaan ke arah pinggiran (urban sprawl). Perembetan daerah kekotaan (urban sprawl) adalah proses merembetnya kenampakan kekotaan (kenampakan morfologis dan kepadatan penduduk) daerah di luar wilayah kota yang terjadi secara tidak terkontrol (Kitchin and Thrift, 2009). Perembetan daerah kekotaan merupakan bagian dari proses perkembangan kota (urban development), yaitu proses kemunculan dominasi kota-kota dan nilai-nilai kekotaan (urban values) di seluruh dunia (Clark, 1982). Perembetan daerah kekotaan juga merupakan bagian dari pertumbuhan kota (urban growth), yaitu proses demografis dan spasial yang merujuk pada peningkatan pentingnya kotakota sebagai tempat terkonsentrasinya penduduk terkait dengan kondisi sosial ekonomi (Clark, 1982). Perembetan daerah kekotaan memiliki kemiripan proses dengan pemekaran kota, tetapi pemekaran dalam konteks fisik (morfologi) kota. Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan batas-batas administrasi kota atau pertambahan luas kota secara administratif. Secara fisikal proses perembetan daerah kekotaan secara spasial terjadi pada intensitas yang beragam di masing-masing kota, tetapi dampak keruangan yang muncul sebagai akibat dari proses tersebut hampir sama yaitu terjadinya pendesakan maupun konversi lahan kedesaan di pinggiran kota. Untuk memudahkan pemahaman tentang latar belakang penelitian ini maka penulis membagi sub bab latar belakang penelitian yang merupakan bagian awal dari Bab I ini ke dalam sub-sub bab latar belakang material dan latar belakang formal.
1
2
Latar belakang material menjelaskan tentang obyek kajian penelitian, sedangkan latar belakang formal menjelaskan tentang posisi akademis dan landasan filosofis penelitian ini.
1.1.1. Latar Belakang Material Laju perpindahan penduduk dari desa ke kota yang terjadi sebagai dampak industrialisasi mengakibatkan jumlah penduduk daerah perkotaan meningkat drastis. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan menyebabkan kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan tempat berusaha juga meningkat, sementara secara administratif luas lahan kota relatif tetap (Yunus, 2006; 2008). Konsekuensi dari fenomena tersebut adalah terjadinya invasi pemanfaatan lahan kekotaan pada lahan agraris (di antaranya sawah, tegalan, kebun campuran, perkebunan, dan hutan) di sekitar kota. Proses invasi ini bila berlanjut akan menyebabkan semakin meluasnya daerah urban ke perdesaan yang dikenal dengan istilah perembetan daerah kekotaan. Perkembangan ruang fisik kekotaan melampaui batas administrasi kota menimbulkan dampak konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan terbangun, menurunnya produksi pertanian, pemborosan energi, peningkatan polusi, dan problematika sosial di daerah pinggiran kota (Paterson, et al.; 2003). Konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan terbangun terjadi karena daya beli sektor perkotaan terhadap lahan lebih tinggi daripada sektor pertanian. Di sisi lain, marginalisasi petani dan sektor pertanian dalam pembangunan memberikan dampak kurang atraktifnya pekerjaan sektor pertanian bagi penduduk. Dampak dari dua fenomena tersebut adalah menurunnya produksi pertanian karena luas lahan pertanian berkurang dan kualitas sumberdaya
3
manusia pada sektor pertanian cenderung semakin menurun (Kahn, 2000; Hess, 2001), dan fenomena ini lebih besar dampak negatifnya pada negara-negara sedang berkembang yang masih mengandalkan sektor pertanian dalam ekonomi nasional. Pertumbuhan penduduk yang tinggi di perkotaan negara-negara sedang berkembang, baik karena pertumbuhan alamiah maupun migrasi, mengakibatkan tekanan penduduk terhadap lahan di perkotaan menjadi sangat tinggi. Konsekuensi dari fenomena tersebut adalah terjadinya aliran penduduk maupun fungsi kekotaan dari bagian dalam kota menuju pinggiran kota yang masih memungkinkan tersedianya lahan yang mudah dan murah diperoleh (Yunus, 2000). Aliran penduduk ini semakin meningkat sejalan dengan semakin membaiknya sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan pusat dan pinggiran kota. Perpindahan penduduk dari pusat kota ke arah pinggiran kota membawa konsekuensi bertambahnya tingkat penggunaan energi (terutama Bahan Bakar Minyak/BBM) karena semakin banyaknya pemanfaatan moda transportasi pribadi. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor (sepeda motor dan mobil pribadi) yang signifikan telah membawa dampak negatif berupa meningkatnya tingkat polusi, terutama polusi udara (Freeman, 2001; Kahn, 2000; Duncan, 1989; Burchell and Shad, 1999; Frank, 1989). Tingginya polusi udara ini semakin terasa pada pusat kota maupun selaput inti kota, karena semakin meningkatnya kecenderungan kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu lintas di pusat kota dan selaput inti kota tidak hanya berdampak kepada polusi udara, tetapi juga pemborosan waktu.
4
Secara
sosial,
para
pendatang
di
daerah
pinggiran
kota
telah
menimbulkan berbagai problem sosial pada tempat tinggalnya yang baru karena adanya kecenderungan kesenjangan sosial ekonomi dengan penduduk asli (Lackey, et al., 1987; Leyden, 2003; Putnam, 2000; Schweitzer, et al., 1999). Budaya modern kekotaan yang melekat pada penduduk pendatang seringkali tidak selaras dengan masih kuatnya budaya tradisional penduduk asli (Surjomihardjo, 2008). Demikian juga dengan strata ekonomi penduduk pendatang yang relatif lebih tinggi dari penduduk asli telah menyebabkan kecemburuan sosial (Yunus, 2005d; Squires, 2002). Kriminalitas yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan fenomena yang umum terjadi pada kota-kota besar di negara sedang berkembang. Maraknya perembetan daerah kekotaan ke arah pinggiran menyebabkan peran inti kota (inner city) cenderung menurun karena investasi dan sumberdaya manusia lebih banyak mengalir ke daerah pinggiran (Downs, 1998; Frank, 2000). Penurunan peran inti kota menjadikan tidak optimumnya (inefisiensi) ruang. Hal ini sangat kontradiktif dengan maraknya fenomena konversi lahan agraris menjadi lahan terbangun (built up areas) di daerah pinggiran kota. Beberapa kota di Eropa dan Amerika telah mengalami kondisi ini, dimana pusat kota hanya ramai, bahkan cenderung macet pada siang hari, tetapi pada malam hari seperti kota mati (Katz, et al., 2003; Squires, 2002). Proses pertumbuhan kota-kota di Indonesia pada umumnya meniru atau mengadopsi kota-kota di negara maju seperti kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat. Dengan melihat fenomena yang terjadi pada kota-kota di Eropa dan Amerika,
perencanaan
kota
di
Indonesia
sudah
sepantasnya
mulai
mengantisipasi dilema perembetan daerah kekotaan yang kemungkinan besar
5
akan terjadi juga di kota-kota di Indonesia. Hal ini penting mengingat konversi lahan pertanian subur menjadi daerah terbangun sangat mudah dilakukan dan tidak memerlukan waktu lama, sedangkan mengubah lahan terbangun menjadi daerah pertanian subur sulit dilakukan dan memerlukan waktu lama. Beberapa fakta empiris yang pernah diteliti diantaranya menurut laporan Natural Resource Defense Council tahun 2002, di Amerika Serikat antara tahun 1960 hingga 1990 telah muncul lahan terbangun seluas lebih dari dua kali lipat akibat proses perembetan kota metropolitan, sementara penduduknya hanya bertambah kurang dari setengahnya (Benfield, et al., 1999; Paterson, et al., 2003). Kushner, 2006, menyajikan fakta bahwa di Atlanta antara tahun 1975 sampai 1992 telah berkurang 1.540 kilometer persegi lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun sebagai dampak perembetan daerah kekotaan. Atlanta merupakan kota dengan penduduk paling jarang di antara kota-kota lain di Amerika (hanya seperempat dari kepadatan kota Los Angeles). Sierra Club (1999) merilis data bahwa Atlanta merupakan kota sprawl nomer satu di Amerika, dimana antara tahun 1990-1996 telah bertambah luas sekitar 47%. Perhitungan kasarnya menunjukkan bahwa 5% lahan pertanian dan hutan di Atlanta hilang setiap minggunya. Sementara itu, di Richmond antara tahun 1992 sampai 2001 telah terkonversi menjadi lahan kekotaan seluas kurang lebih 187 kilometer persegi, padahal jumlah penduduknya justru berkurang sebanyak 5.266 jiwa. US Census Bureau (2000) merilis bahwa selama 5 tahun antara 1992-1997, negara bagian Texas, Pennsylvania, dan Georgia mengalami konversi lahan pertanian menjadi lahan kekotaan sebagai akibat dari perembetan daerah kekotaan masing-masing seluas lebih dari 4.000 kilometer persegi.
6
Bagi negara yang mengandalkan industri sebagai basis perekonomian nasional seperti Amerika Serikat saja hal itu sangat merisaukan, apalagi bagi negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Departemen Pertanian Amerika Serikat merasa perlu untuk memerangi perembetan daerah kekotaan karena berdampak sangat signifikan terhadap produksi dan produktivitas pertanian (Paterson, et al., 2003). Untuk menjawab permasalahan tersebut, di Amerika Serikat maupun Eropa cukup banyak dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor, proses, maupun dampak yang ditimbulkan oleh fenomena perembetan daerah kekotaan. Pada kasus di Indonesia, beberapa penelitian juga telah dilakukan terkait dengan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun. Astuti dan kawan-kawan melakukan penelitian identifikasi urban sprawl di Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, menghasilkan gambaran tentang pertambahan luas lahan terbangun dari tahun 1983 seluas 145,8 hektar, meningkat menjadi 520,6 hektar pada tahun 1992, bertambah menjadi 1.279,3 hektar di tahun 2000, meningkat lagi menjadi 1.612,1 hektar di tahun 2005, dan bertambah lagi menjadi seluas 1.862,9 hektar di tahun 2010 (Astuti dan kawan-kawan, 2010). Hasil kalkulasi dari data perkembangan luas tersebut adalah rerata pertambahan luas lahan terbangun di Kecamatan Cimanggis adalah sebesar 63,6 hektar per tahun. Angka tersebut cukup tinggi untuk ukuran wilayah administrasi kecamatan. Nilayanti dan Brotosunaryo (2012) mengadakan penelitian di SWP III Kota Gresik dan memberikan informasi bahwa telah terjadi pertambahan luas lahan terbangun kekotaan seluas 315,8 hektar lahan industri dan 718,4 hektar permukiman yang mengkonversi lahan pertanian seluas 855,8 hektar, dan
7
sisanya berupa lahan kosong dari tahun 2004-2011. Hasil kalkulasi dari data tersebut menunjukkan angka rerata pertambahan lahan terbangun sebesar 147,7 hektar per tahun. Angka rerata tersebut kurang lebih sama dengan hasil kajian di Kecamatan Cimanggis. Dari dua contoh kasus di Kota Depok dan Gresik tersebut memberikan gambaran bahwa laju pertambahan luas lahan terbangun kekotaan di Indonesia juga cukup besar sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju. Yang menjadi pertanyaan adalah bahwa sebagian besar wilayah pinggiran kota di Indonesia merupakan lahan-lahan potensial produksi pangan, sehingga konversi terhadap lahan-lahan tersebut tentu berimplikasi pada penurunan produksi pangan. Perembetan
daerah
kekotaan
merupakan
istilah
yang
mudah
didefinisikan secara konseptual, tetapi tidak mudah diukur secara operasional. Perlu pendekatan kuantitatif untuk dapat menjelaskan proses pertumbuhan dan perembetan daerah kekotaan sehingga ada tolok ukur yang pasti. Penentuan indikator pertumbuhan dan perembetan daerah kekotaan akan memudahkan para perencana kota untuk menentukan arahan kebijakan penataan kota. Hal ini menjadi peluang bagi penelitian di bidang perkotaan di negara-negara sedang berkembang, terutama menyangkut faktor-faktor, proses spasial, maupun dampak keruangan, lingkungan, dan kewilayahan. Peluang ini menginspirasi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai perembetan daerah kekotaan di Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk relatif masih tinggi. Berdasarkan estimasi Durand, tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia masih
8
sebesar 2,4% per tahun (Yunus, 2000). Dari data Sensus Penduduk tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia adalah 205,8 juta jiwa (BPS, 2001), sedangkan data SUPAS 2005 menunjukkan penduduk Indonesia berjumlah 218,9 juta jiwa (BPS, 2006). Data terbaru hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 237,6 juta jiwa (BPS, 2011). Jika dihitung pertumbuhan penduduk dari tahun 2000 ke tahun 2010 menunjukkan bahwa pertumbuhan rerata penduduk Indonesia sebesar 1,49% per tahun (Tabel 1.1). Angka ini memang lebih kecil dari estimasi Durand, tetapi tetap saja merupakan angka yang relatif masih tinggi. Untuk daerah perkotaan tentu saja angka pertumbuhannya lebih tinggi dari angka pertumbuhan penduduk rerata nasional tersebut. Tabel 1.1 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Indonesia Tahun 1971 1980 1990 2000 2010 Jumlah Penduduk 119,2 147,5 179,4 205,1 237,6 (dalam juta jiwa) Laju Pertumbuhan (%) 2,30 1,97 1,49 1,49 Sumber: BPS 1972, 1981, 1991, 2001, 2011
Dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.641.326 jiwa pada tahun 2010, bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118.320.256 jiwa (49,79%) dan di daerah perdesaan sebanyak 119 321 070 jiwa (50,21%). Dibandingkan data tahun 2000 yang menunjukkan penduduk perkotaan baru sebanyak 85 juta jiwa (41,4%), maka telah terjadi peningkatan jumlah dan pertumbuhan penduduk perkotaan secara signifikan. Hal ini sejalan dengan prediksi PBB mengenai laju pertumbuhan penduduk perkotaan di dunia (Gambar 1.1). Berdasarkan prediksi PBB tersebut, sekitar tahun 2005 terjadi momentum
9
(c) pergeseran persentase penduduk yang semula lebih banyak penduduk perdesaan (a) menjadi lebih banyak penduduk perkotaan (b).
% Total Penduduk Dunia
a
b
c
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1950
1960
1970
1980
1990
2000
2010 2020* 2030* 2040* 2050*
Tahun * = Angka Prediksi
Perkotaan
Perdesaan
Gambar 1.1. Perkembangan Proporsi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di Dunia tahun 1950-2050 (disalin dari United Nation http://esa.un.org/unup/p2k0data.asp)
Publikasi tentang jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 1971 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan telah terjadi peningkatan proporsi penduduk perkotaan berturut-turut 17,5% (1970), 22,2% (1980), 28,8% (1990), 36,5% (2000), dan 44,5% (2010). Jika dibandingkan dengan
data
tingkat
urbanisasi
dunia,
terlihat
bahwa
momentum
(c’)
terlampauinya persentase penduduk perdesaan oleh penduduk perkotaan di Indonesia lebih lambat sekitar 15 tahun (Gambar 1.2). Namun demikian, laju tingkat urbanisasi di Indonesia sedikit lebih tinggi dibandingkan laju urbanisasi dunia.
10
% Total Penduduk Indonesia
a
c’
b
90 80 70 60
c
50 40 30 20 10 0 1970
1980
1990
* = Angka Prediksi
2000
2010
2020*
Tahun Perkotaan
2030* 2040* 2050* 2060*
Perdesaan
Gambar 1.2. Perkembangan Proporsi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia tahun 1970-2060 (sumber data: BPS 1971, 1980, 1990, 2000, 2010)
Menurut data sensus penduduk 2010, sebanyak 57,5% dari jumlah penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya 6,8% dari luas total wilayah Indonesia (BPS, 2011). Kondisi ini menjadikan Pulau Jawa menjadi sangat padat, yaitu mencapai 1.055 jiwa/Km2 yang berarti hampir 9 kali lipat dibandingkan kepadatan penduduk rerata nasional (124 jiwa/Km2). Kepadatan penduduk tersebut menjadikan akselerasi urbanisasi dalam konteks spasio-fisikal di Pulau Jawa cukup tinggi. Gambar 1.3 memberikan gambaran lebih jelas tentang laju tingkat urbanisasi di Jawa. Momentum terlampauinya persentase penduduk perdesaan oleh penduduk perkotaan di Jawa (c”) terjadi sekitar 5 tahun lebih awal dibandingkan momentum dunia (c) dan 20 tahun lebih awal dibandingkan momentum di Indonesia (c’).
11
Sampai dengan tahun 2010 dijumpai fakta bahwa laju tingkat urbanisasi di Jawa cenderung lebih tinggi dibandingkan data rerata nasional di Indonesia maupun data rerata global dunia. Jika dicermati data propinsi DIY, pada periode 1980-1990 terjadi peningkatan proporsi penduduk perkotaan dari 22,1% meningkat menjadi 44,4% atau dua kali lipat dan angka tersebut merupakan angka tertinggi di antara propinsi lain di Jawa.
a
b
c”
% Total Penduduk Jawa
90 80 70 60
c
50
c’
40 30 20 10 0 1970
1980
1990
2000
2010
2020*
2030*
2040*
2050*
2060*
Tahun * = Angka prediksi
Perkotaan
Perdesaan
Gambar 1.3. Perkembangan Proporsi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di Pulau Jawa tahun 1970-2060 (sumber data: BPS 1971, 1980, 1990, 2000, 2010)
Berdasarkan data sensus penduduk 2010, jumlah penduduk DIY sebesar 3,457.491 jiwa, 2.297.261 jiwa diantaranya (66,4%) tinggal di perkotaan dan selebihnya (33,6%) merupakan penduduk perdesaan. Secara lebih jelas gambaran tentang laju tingkat urbanisasi di DIY disajikan dalam Gambar 1.4. Momentum terlampauinya persentase penduduk perdesaan oleh penduduk
12
perkotaan di DIY (c*) terjadi hampir 5 tahun lebih awal dibandingkan momentum Pulau Jawa, 10 tahun lebih awal dibandingkan momentum dunia, (c) dan 25 tahun lebih awal dibandingkan momentum di Indonesia (c’).
a
b
c*
% Total Penduduk DIY
90 80 70 60
c”
50
c
c’
40 30 20 10 0 1970
1980
1990
2000
2010
2020*
2030*
2040*
2050*
2060*
Tahun * = Angka prediksi
Perkotaan
Perdesaan
Gambar 1.4. Perkembangan Proporsi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di DIY tahun 1970-2060 (sumber data: BPS 1971, 1980, 1990, 2000, 2010)
Sebagaimana kerisauan mengenai dampak perembetan daerah kekotaan yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, Indonesia juga menghadapi problem serupa. Pulau Jawa memiliki kesuburan tanah paling baik diantara pulau lain (Yunus, 2000), sehingga produktivitas pertaniannya sangat potensial. Namun, dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, invasi permukiman dan fungsi kekotaan sangat mengancam keberadaan lahan pertanian subur di pulau ini. Untuk mengantisipasi hal ini, diperlukan upaya kebijakan keruangan yang
13
komprehensif untuk mengontrol laju perembetan daerah kekotaan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan ukuran kuantitatif fenomena perembetan daerah kekotaan dalam bentuk indeks pemekaran kota yang diharapkan dapat membantu menakar tingkat perembetan daerah kekotaan yang masih dapat ditoleransi di Indonesia. Pemahaman mengenai indeks pemekaran kota penting terutama bagi pengambil kebijakan tata ruang dan perencanaan kota, maupun semua pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung terhadap pembangunan kota. Selama ini kebijakan tata ruang kota seringkali mengabaikan kemunculan aktivitas kekotaan yang berada di luar wilayah administrasi kota dan menyebabkan konflik kewenangan antara pemerintah kota dengan pemerintah kabupaten yang berbatasan dengan kota terkait dengan pengelolaan aktivitas kekotaan tersebut. Perencanaan kota yang disusun oleh pemerintah kota juga banyak mengabaikan dampak dari maraknya perkembangan aktivitas kekotaan di daerah perbatasan antara wilayah administrasi kota dan kabupaten. Kedua fenomena tersebut salah satunya disebabkan oleh ketiadaan tolok ukur yang jelas dan akurat yang dapat dijadikan sebagai rujukan bersama antara pemerintah kota dan kabupaten. Semua kota memiliki keterbatasan daya dukung dan daya tampung bagi kegiatan penduduknya yang senantiasa semakin meningkat. Kebutuhan sumberdaya, terutama sumberdaya lahan untuk permukiman dan bangunan infrastuktur, tidak mungkin dipenuhi tanpa proses ekstensifikasi lahan kekotaan ke pinggiran kota maupun perdesaan. Perluasan lahan kekotaan merupakan suatu keniscayaan bagi kota-kota yang pertumbuhan penduduknya masih tinggi seperti di Pulau Jawa, namun tentu saja harus ada ukuran kuantitatif sebagai
14
ambang batas (threshold) seberapa jauh perluasan kekotaan bagi masingmasing ukuran kota yang berkembang. Salah satu ukuran yang dimaksud adalah indeks pemekaran kota. Dengan mendasarkan pada indeks pemekaran kota, akan diketahui apakah kota tersebut secara spasial berkembang di bawah ataukah di atas ambang batas yang ditentukan sesuai dengan ukuran kotanya, sehingga dapat ditentukan kebijakan untuk memperlambat ataukah membiarkan kota mengalami ekstensifikasi ke wilayah perdesaan di sekitarnya. Kota merupakan suatu daerah tertentu di dalam suatu negara yang umumnya ditandai dengan jumlah dan kepadatan penduduk lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan (Hall, 2006; Herbert and Thomas, 1982; Johnston, 1984; Yunus, 2005a). Besarnya jumlah dan kepadatan penduduk ini terutama disebabkan oleh kedudukan kota sebagai pusat kegiatan politik, pemerintahan, sosial, ekonomi, dan kultural sehingga menjadi daya tarik sebagian besar orang untuk menetap dan bermatapencaharian di kota (Yunus, 2005d). Dengan kedudukannya yang strategis tersebut menjadikan kota memiliki potensi sumberdaya tinggi sekaligus potensi masalah juga besar. Hal ini menyebabkan kota menjadi obyek kajian penting bagi banyak ilmu pengetahuan. Salah satu ilmu yang mengkaji kota secara khusus dalam cabang keilmuannya adalah geografi.
1.1.2. Latar Belakang Formal Di dalam penelitian untuk disertasi, peneliti dituntut untuk dapat menjelaskan secara akurat posisi akademis peneliti dan landasan filosofis keilmuan dari penelitiannya. Pada sub sub-bab ini akan diuraikan mengenai posisi akademis dari subjek ilmu dalam penelitian ini. Sebagaimana telah
15
dijelaskan dalam Sub sub-bab 1.1.1 bahwa penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang ilmu geografi perkotaan yang merupakan salah satu cabang ilmu geografi yang termasuk dalam rumpun ilmu geografi manusia (human geography). Geografi merupakan ilmu yang mengkaji mengenai lokasi dan keteraturan dari fenomena di permukaan bumi dan hubungan timbal baliknya dengan aktivitas manusia (Hagget, 1983, Bintarto, 1991, Yunus, 2005b). Hagget (1983) menjelaskan bahwa geografi mengkaji lokasi dan susunan sistematis dari fenomena di permukaan bumi beserta proses-proses yang membentuk persebaran fenomena tersebut melalui pendekatan keruangan, kelingkungan, dan kompleks wilayah. Fenomena di permukaan bumi tersebut adalah litosfer, pedosfer, hidrosfer, biosfer, atmosfer, dan antroposfer. Salah satu ciri pendekatan dalam penelitian bidang geografi adalah pendekatan keruangan. Di dalam pendekatan keruangan dapat dikaji berbagai aspek keruangan, diantaranya pola keruangan (spatial patern), struktur keruangan (spatial structure), proses keruangan (spatial process), interaksi keruangan (spatial interaction), asosiasi keruangan (spatial association), organisasi keruangan (spatial organization), kecenderungan keruangan (spatial tendency/trend), perbandingan keruangan (spatial comparison), dan sinergisme keruangan (spatial synergism) (Yunus, 2005b). Kesembilan pendekatan analisis tersebut dapat diaplikasikan secara individual maupun gabungan dua atau lebih dari aspek keruangannya. Geografi manusia merupakan bagian utama dari disiplin ilmu geografi sejajar dengan geografi fisik. Geografi manusia adalah ilmu yang memayungi
16
cabang-cabang ilmu geografi yang lebih menitikberatkan kajiannya pada anthropogeography (Johnston, 1984; Kitchin and Thrift, 2009). Geografi manusia lebih fokus pada kajian mengenai antarhubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya dalam dimensi vertikal, dan dalam dimensi horisontal mengkaji hubungan antar tempat hidup manusia dalam konteks aliran manusia dan hasil kegiatan manusia di atas permukaan bumi (Johnston, 1984). Daerah perkotaan merupakan bagian dari geosfer, dimana antroposfer lebih dominan perannya dibandingkan fenomena permukaan bumi yang lain. Suatu kota atau daerah perkotaan terbentuk dari interaksi berbagai sphere dan membentuk ruang spesifik yang menempatkan manusia (anthropo) sebagai pusat kajian dan dikelilingi oleh biosfer, hidrosfer, litosfer, pedosfer, maupun atmosfer. Secara spesifik, kajian mengenai kota dalam lingkup ilmu geografi dikenal dengan Geografi Perkotaan (Urban Geography). Ciri kajian geografi perkotaan sebagaimana ditulis oleh Pacione (2005) adalah mengidentifikasi dan menjelaskan distribusi kota-kota dalam hal kemiripan sosio spasial maupun perbedaan-perbedaannya yang ada di dalam maupun antar kota tersebut. Dengan demikian penekanan kajian geografi perkotaan adalah mengidentifikasi dan menjelaskan agihan kota-kota beserta kesamaan dan perbedaan sosiospasialnya. Pada hakikatnya obyek kajian mengenai kota lebih banyak membahas mengenai urban settlement, dan cabang ilmu yang mengkaji hal itu adalah Settlement Geography. Geografi perkotaan merupakan cabang ilmu geografi yang mengkaji lokasi dan susunan keruangan dari kota-kota, menjelaskan sebaran daerah perkotaan, dan menguraikan kesamaan dan perbedaan (terutama dalam dimensi sosial dan ekonomi) antar kota, terutama melalui kajian pola dan proses
17
keruangan dari waktu ke waktu. Merujuk pada kesepakatan beberapa ahli geografi perkotaan, terdapat tiga objek kajian penting dalam geografi perkotaan (Short, 1984), yaitu (1) struktur internal daerah perkotaan dan proses-proses yang berjalan di dalamnya; (2) keragaman cara manusia dalam memahami dan merespon pola-pola dan proses-proses yang terjadi di daerah perkotaan, termasuk di dalamnya hubungan antar kota; dan (3) asal-usul terbentuknya pola dan proses keruangan kota sebagai hasil dari proses interaksi sosial dan kondisi lokal. Dewasa ini perkembangan studi Geografi Permukiman sudah sangat maju, baik dari aspek konsep dan teori, metodologi, sampai dengan aplikasinya. Kemajuan ini tentu saja tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui tahapan perkembangan keilmuan yang panjang. Perkembangan sejarah keilmuan bidang Geografi Perkotaan terkait erat dengan perkembangan sejarah peradaban manusia dan perkembangan ekonomi, sosial, dan teknologi, baik dalam lingkup lokal maupun global. Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal bahwa penelitian ini bertujuan mengkaji fenomena perembetan daerah kekotaan untuk pengembangan indeks pemekaran kota sebagai ukuran kuantitatif dalam mengontrol perkembangan spasial kota, maka pendekatan keruangan merupakan perangkat penelitian yang sesuai. Mengingat bahwa ruang merupakan bagian integral dari suatu kota yang menjadi wadah bagi berbagai aktivitas dan fungsi kekotaan, maka kajian mengenai kota yang berbasis pada pendekatan spasial akan sangat relevan. Penelitian ini juga
gayut dengan cita-cita “sustainable city” yang telah
dicanangkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara di dunia (Yunus, 2004). Kajian yang dilakukan dalam rencana penelitian ini lebih
18
menekankan pada aspek keruangan (spatial aspect), khususnya analisis proses keruangan, analisis pola keruangan, dan analisis kecenderungan keruangan, serta dampaknya terhadap ruang fisik dan sosial. Pacione (2005) menyebutkan ada 7 faktor yang memicu perubahan global, terutama terkait dengan perkembangan kota-kota di dunia, yaitu: (1) perubahan ekonomi; (2) perubahan teknologi; (3) perubahan demografi; (4) perubahan politik; (5) perubahan sosial; (6) perubahan budaya; dan (7) perubahan lingkungan. Perubahan ekonomi merupakan salah satu faktor penting dalam mengubah wajah kota-kota di dunia. Diawali dengan era ekonomi kapitalisme yang mengutamakan kompetisi ekonomi lokal pada periode akhir abad ke-16 hingga akhir abad ke-19 yang memunculkan kota-kota yang tumbuh di bawah kebijakan laissez-faire. Era tersebut mulai mengalami perubahan sampai dengan awal abad ke-20 dengan munculnya era Fordism, yang mengubah kota-kota besar di dunia menjadi kota mega (megacity) dengan dukungan kegiatan ekonomi skala trans-nasional. Saat ini perkembangan kota-kota di dunia ditandai dengan munculnya sistem kota sebagai dampak ikutan dari perubahan ekonomi dunia ke arah globalisasi ekonomi. Kota-kota banyak yang bergeser dari kota yang berbasis industri menjadi kota berbasis jasa (khususnya jasa finansial). Pergeseran paradigma ekonomi tersebut ternyata diikuti dengan perubahan dalam bidang teknologi. Loncatan teknologi yang terjadi pada era revolusi industri dan revolusi pertanian yang muncul bersamaan dengan merebaknya ekonomi kapitalis telah menghasilkan kota-kota besar yang berbasis industri manufaktur. Era industri berat tersebut dewasa ini telah mulai digantikan dengan perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi telekomunikasi dan informasi. Fenomena
19
perkembangan kota pun mulai bergeser dari kota metropolitan yang terbentuk sebagai akibat tingginya tingkat urbanisasi, menjadi mega-urban yang terbentuk sebagai dampak desentralisasi dan sub-urbanisasi. Disamping perubahan ekonomi dan teknologi, perubahan demografi juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan kota-kota di dunia. Pertumbuhan penduduk yang tinggi di kota-kota besar yang merupakan produk dari pertumbuhan alamiah dan migrasi desa-kota, telah memicu kota tumbuh secara fisikal dengan sangat cepat. Permasalahan yang sekarang banyak dihadapi oleh kota-kota besar di dunia terkait dengan perubahan demografis ini adalah fenomena overurbanisasi. Kota merefleksikan ideologi politik masyarakatnya (Pacione, 2005), sehingga perubahan politik yang terjadi di suatu negara atau masyarakat akan memberikan pengaruh terhadap perubahan kota. Perubahan politik dan ideologi masyarakat
juga
perkembangan
berkaitan
kota
juga
erat pasti
dengan
perubahan
terpengaruh
oleh
sosial,
sehingga
perubahan
sosial
masyarakatnya. Kota yang berkembang dalam lingkungan politik demokratis pada kondisi sosial masyarakat liberal akan sangat berbeda dengan kota yang berkembang dalam lingkungan politik diktatorian pada kondisi masyarakat sosialis. Merebaknya gentrifikasi ataupun merebaknya urbanisme postmodern yang menghasilkan kota-kota industri kreatif adalah hasil dari perubahan sosial dalam masyarakat di suatu negara. Faktor perubahan global yang saat ini paling banyak didiskusikan oleh para ahli di dunia adalah perubahan lingkungan. Dampak perubahan lingkungan terhadap perubahan kota dapat diamati dalam berbagai skala geografis, baik global, regional, nasional, maupun lokal. Kebijakan antisipasi kenaikan muka air
20
laut yang dilakukan di hampir semua kota pantai (khususnya delta cities) merupakan contoh dalam skala global, dan menjamurnya permukiman kumuh dan liar di berbagai kota sebagai dampak bencana banjir dan gempabumi merupakan contoh pada skala lokal. Perubahan yang terjadi pada kota-kota tentu saja menggiring terjadinya pergeseran paradigma kajian tentang perkotaan, termasuk geografi perkotaan. Sampai saat ini sudah sangat banyak publikasi yang membahas tentang studi geografi perkotaan. Beberapa kajian dalam sepuluh tahun terakhir banyak yang mengangkat
tema
megapolitan
dan
daerah
peri-urban.
Kajian
tentang
perembetan daerah kekotaan juga banyak dilakukan oleh para ahli geografi perkotaan.
1.2.
Permasalahan Penelitian Perembetan daerah kekotaan merupakan permasalahan dilematis yang
banyak dihadapi oleh para perencana kota, baik di negara-negara maju (developed countries),
countries), bahkan
negara-negara
negara-negara
sedang
belum
berkembang
berkembang
(developing
(underdeveloped
countries) sekalipun. Kontradiksi pemenuhan dua kebutuhan primer manusia, yaitu kebutuhan pangan (food) dengan kebutuhan papan (housing) terjadi, bahkan saling berkompetisi satu sama lain. Di satu sisi, untuk pemenuhan kebutuhan pangan dibutuhkan lahan pertanian yang produktif sehingga mampu menopang kelangsungan hidup manusia secara aman, di sisi lain untuk memenuhi kebutuhan papan terpaksa penduduk kota menyerbu lahan pertanian subur untuk dijadikan permukiman.
21
Kenyataan yang terjadi selama ini adalah lemahnya posisi tawar (bargaining position) aktivitas pertanian terhadap harga lahan (land price). Revolusi industri yang diawali di Inggris pada abad ke-18 telah mengubah orientasi hampir semua negara di dunia untuk mendudukkan industri sebagai sektor unggulan perekonomian nasional. Kondisi ini semakin diperparah dengan dampak ikutan dari revolusi industri berupa mekanisasi pertanian pada akhir abad ke-18. Mekanisasi pertanian telah mengubah struktur ketenagakerjaan secara global, dimana sektor pertanian telah kehilangan fleksibilitas penyerapan tenagakerja (involution) sehingga banyak pekerja sektor pertanian beralih ke sektor industri (McGee, et al., 1991). Lebih tingginya upah terhadap pekerja pada sektor industri dibandingkan pada sektor pertanian semakin memperburuk daya tawar sektor pertanian bagi angkatan kerja. Akibat langsung dari kondisi tersebut adalah tingginya laju urbanisasi di hampir semua negara di dunia, meskipun pada kurun waktu yang tidak bersamaan. Pembangunan industri-industri primer dan sekunder pada skala menengah dan besar di kota-kota prima di setiap negara telah menyebabkan membanjirnya tenaga kerja dari daerah perdesaan (rural areas) ke perkotaan. Industrialisasi telah mengubah wajah kota dari kota kecil dan menengah menjadi kota besar (metropolitan city dan megacity). Beban kota besar semakin berat dalam menampung aktivitas penduduknya sehingga memicu terjadinya invasi yang lebih besar ke daerah pinggiran kota. Secara historis, kota-kota besar di dunia umumnya berada pada pusat kegiatan aktivitas pertanian dengan tingkat kesuburan lahan tertinggi. Oleh karenanya, invasi aktivitas kekotaan ke lahan di daerah pinggiran pada umumnya juga merupakan penyerbuan terhadap lahan pertanian subur.
22
Fenomena ini sangat mengkhawatirkan bagi kelestarian pangan secara nasional, karena pertambahan penduduk yang masih relatif tinggi pada negaranegara sedang berkembang termasuk Indonesia tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas pertanian yang memadai. Justru produksi pertanian semakin menurun akibat lahan pertanian yang sangat produktif diubah menjadi lahan terbangun. Pembatasan konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan terbangun sudah saatnya dilakukan secara tegas, namun pembatasan itu harus dilandasi dengan alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Banyak peneliti telah menyoroti mengenai ancaman pemekaran kota terhadap kelestarian sumber pangan, termasuk juga alternatif pemecahannya. Namun demikian, konsep pembatasan konversi lahan, baik bersifat legal formal maupun melalui pendekatan sosiokultur, seringkali tidak dapat berjalan efektif karena tidak adanya titik temu dalam mengidentifikasi seberapa luas pemekaran kota dapat ditoleransi, khususnya di negara sedang berkembang. Penelitianpenelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa tidak serta-merta dapat diaplikasikan di Indonesia, karena latar belakang sosio-kultur dan tingkat perekonomian yang berbeda. Salah satu wilayah yang sangat berbeda dengan kondisi di Eropa dan Amerika adalah Pulau Jawa, karena dilema kesuburan tanah pertanian yang tinggi di satu sisi, dan di sisi lain tekanan penduduk perkotaan terhadap lahan pertanian juga tinggi. Keunikan aspek fisik dan sosio-kultural Pulau Jawa ini dapat diwakili salah satunya oleh Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta secara hirarkis merupakan kota menengah yang tengah mengalami pemekaran dalam intensitas yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan menggejalanya pertumbuhan permukiman dan lahan terbangun lainnya di kecamatan-kecamatan
23
di Kabupaten Sleman dan Bantul yang berbatasan langsung dengan wilayah administrasi Kota Yogyakarta. Sebagai bukti dari statemen tersebut adalah hasil penelitian yang pernah penulis lakukan mengenai perkembangan spasial Kota Yogyakarta dari tahun 1990-2000. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun Kota Yogyakarta telah mengalami perembetan fisik seluas 18,7 kilometer persegi (1870 hektar) yang mengkonversi lahan sawah produktif menjadi permukiman dan bentuk penggunaan lahan kekotaan lain (Marwasta, 2007). Apabila dihitung rerata kasar dari angka tersebut, maka diperoleh fakta bahwa setengah hektar sawah terkonversi menjadi lahan terbangun setiap hari. Angka ini cukup mencengangkan apabila dibandingkan dengan rerata luas kepemilikan lahan sawah petani DIY. Menurut data statistik, rerata luas kepemilikan lahan pertanian di Propinsi DIY tahun 2005 seluas 0,35 hektar (BPS, 2005). Berdasarkan angka tersebut, secara kasar dapat disimpulkan bahwa setiap hari seorang petani kehilangan sawah di daerah pinggiran Kota Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan rentang waktu dari tahun 1985 (data sebelum tahun 1985 adalah data prediktif karena keterbatasan sumber data) sampai dengan tahun 2010 dengan pertimbangan historis bahwa sebelum tahun 1985-an merupakan era pemerintahan orde baru tahap awal, 1985-2000 merupakan tahap akhir era pemerintahan orde baru, dan 2000-2010 adalah era pemerintahan reformasi. Dengan menggunakan rentang waktu kajian tersebut diharapkan dapat diperoleh hasil yang lebih komprehensif dibandingkan penelitian Marwasta (2007) tersebut. Kondisi perekonomian nasional dan regional di era awal orde baru, akhir era orde baru, dan pada era reformasi bervariasi dan memiliki implikasi terhadap perkembangan kota yang bervariasi.
24
Secara geomorfologis, Kota Yogyakarta terletak pada dataran kaki vulkan Merapi yang merupakan salah satu vulkan teraktif di Jawa. Aktivitas vulkan Merapi memungkinkan tersedianya mineral dalam jumlah yang cukup bagi tanahtanah di daerah bawahnya (low land), termasuk Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Dengan kondisi tersebut, lahan pertanian di sekitar Kota Yogyakarta merupakan lahan pertanian subur dan menjadi andalan bagi penyediaan kebutuhan pangan di DIY, khususnya di Kota Yogyakarta. Ancaman alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan terbangun sebagai daerah perembetan daerah kekotaan Yogyakarta merupakan ancaman bagi penyediaan kebutuhan pangan di DIY. Disamping itu, Kota Yogyakarta merupakan kota pendidikan dan pariwisata. Fungsi sebagai kota pendidikan dan pariwisata menjadikan kota ini sangat heterogen dalam hal demografi maupun kegiatan kekotaannya. Aktivitas pendidikan memberikan rona kota yang berbeda dengan aktivitas wisata, terlebih lagi tipologi wisata di Yogyakarta adalah wisata internasional. Wajah kota pada akhir-akhir ini ternyata tidak hanya didominasi dua aktivitas tersebut, tetapi juga dalam aktivitas ekonomi dengan maraknya pembangunan berbagai pusat perbelanjaan dan grosir-grosir dalam skala besar. Heterogenitas fungsi kekotaan tersebut memberi dampak banyaknya konflik kepentingan (conflict of interest) di dalam memanfaatkan ruang-ruang di dalam kota. Ekstensifikasi fungsi kekotaan ke arah pinggiran kota merupakan alternatif yang sering dilakukan oleh fungsi yang daya tawarnya tidak cukup tinggi. Ekstensifikasi fungsi kekotaan ke pinggiran kota tentu saja akan berbenturan dengan lahan pertanian. Di satu sisi kota memerlukan lahan untuk menampung pertumbuhan fungsi kekotaan, di sisi lain lahan pertanian produktif harus dipertahankan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan penduduk.
25
Dalam kondisi seperti ini, diperlukan tolok ukur kuantitatif yang bersifat komprehensif untuk menentukan apakah tingkat perembetan daerah kekotaan masih bisa ditoleransi. Sampai saat ini belum ada tolok ukur kuantitatif untuk kepentingan itu, terutama untuk kota-kota menengah di negara berkembang seperti di Indonesia. Dari uraian di atas, terdapat dua jenis permasalahan yang dihadapi di daerah penelitian, yaitu: (1) permasalahan penelitian berupa tidak adanya tolok ukur/ambang batas (threshold) untuk menentukan tingkat perembetan daerah kekotaan yang masih dapat ditoleransi, dan (2) permasalahan wilayah berupa proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta yang mengkonversi lahan pertanian subur di luar wilayah perkotaan, dalam hal ini lahan di Kabupaten Sleman dan Bantul. Perembetan ini memunculkan masalah fisik berupa penurunan luas lahan pertanian subur secara signifikan. Sebagai dampaknya adalah menurunnya produksi pertanian di Kabupaten Sleman dan Bantul yang merupakan daerah produktif penghasil komoditas pertanian selama ini. Fenomena perembetan ini juga memunculkan masalah ekonomi berupa menyempitnya peluang kerja dan menurunnya pendapatan penduduk di sektor pertanian. Dampak yang muncul dari fenomena tersebut adalah hilangnya kesempatan kerja dan menurunnya pendapatan bagi penduduk yang awalnya bermatapencaharian
sebagai
petani,
sedangkan
mereka
tidak
memiliki
kemampuan yang memadai untuk bekerja di sektor lain. Dampak sosial yang terjadi
adalah
semakin
menurunnya
komitmen
petani
untuk
tetap
mempertahankan lahan pertanian dan pekerjaan mereka di sektor pertanian, serta semakin maraknya kegiatan spekulasi tanah di daerah pinggiran kota.
26
Penelitian ini menekankan pada empat substansi, yaitu: 1.
proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara spasial;
2.
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara spasial;
3.
dampak perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara spasial terhadap kondisi fisik, sosio-ekonomi dan kultural masyarakat daerah perembetan; dan
4.
1.3.
formulasi indeks spasial perembetan daerah kekotaan.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan formula
indeks spasial perembetan daerah kekotaan, dengan mengambil daerah kajian di daerah kekotaan Yogyakarta. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, penelitian ini diformulasikan ke dalam beberapa tujuan khusus, meliputi: 1.
mengidentifikasi proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara spasial dari tahun 1985 sampai dengan 2010;
2.
mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap proses perembetan daerah kekotaan secara spasial;
3.
mengkaji dampak perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara spasial terhadap kondisi sosio-ekonomi dan kultural masyarakat daerah perembetan
4.
memformulasikan indeks spasial perembetan daerah kekotaan berdasarkan proses dan dampak perembetan daerah kekotaan.
27
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara ilmiah maupun praktis. Dari
sisi keilmuan, hasil penelitian ini merupakan temuan baru dalam metode kuantitatif menggunakan pendekatan spasial, khususnya dalam studi geografi perkotaan (urban geography). Seringkali para peneliti kurang puas dengan analisis deskriptif kualitatif karena tidak jelasnya ukuran-ukuran yang digunakan sehingga penggunaan metode kuantitatif banyak dikembangkan bahkan oleh ilmu-ilmu sosial. Dari sisi praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat diterapkan oleh para perencana kota di Indonesia khususnya dalam menentukan kebijakan tata ruang kota. Banyaknya konflik pemanfaatan lahan antar wilayah, khususnya antara kota dengan kabupaten di sekitar kota, seringkali disebabkan oleh ketiadaan ukuran yang dapat disepakati bersama. Pemerintah kota dengan beban penduduk yang besar cenderung memiliki interes untuk memperluas lahan kekotaannya
agar
mampu
menampung
kegiatan
penduduknya
dengan
menginvasi lahan pertanian di luar wilayah administrasi kota, sementara pemerintah kabupaten berkepentingan untuk mempertahankan lahan pertanian subur agar tidak terkonversi menjadi lahan terbangun untuk mengamankan produksi pertanian dan kesempatan kerja di bidang pertanian bagi penduduk di wilayahnya. Masuknya spekulan lahan dalam konflik di level pengambil kebijakan ini menjadikan permasalahan semakin rumit. Konflik kepentingan ini membutuhkan jalan keluar, dan salah satunya adalah adanya ukuran kuantitatif yang disepakati bersama oleh semua pihak mengenai toleransi gejala perembetan daerah kekotaan yang memberikan
28
kemanfaatan bagi semua wilayah yang berkepentingan maupun meminimalkan eksternalitas negatif yang kemungkinan terjadi. Kondisi ini memberi peluang bagi peneliti untuk mengembangkan ukuran kuantitatif berupa indeks pemekaran kota yang dapat bermanfaat ganda, baik secara ilmiah maupun prkatis. Secara ilmiah, indeks pemekaran kota merupakan ukuran kuantitatif yang penting bagi disiplin ilmu geografi perkotaan, terutama untuk mengembangkan teknik perencanaan spasial kota, pengembangan metode penentuan daya dukung dan daya tampung kota, serta kajian urbanisasi. Indeks pemekaran kota dapat digunakan sebagai salah satu formula dalam teknik perencanaan spasial kota, juga sekaligus sebagai formula untuk menentukan daya dukung dan daya tampung suatu kota untuk mengakomodasi aktivitas penduduk dan antisipasi terhadap pertumbuhan penduduk di masa depan. Indeks pemekaran kota juga dapat dijadikan sebagai ukuran kuantitatif untuk kajian urbanisasi, dimana selama
ini
urbanisasi
lebih
banyak
mendasarkan
pada
ukuran-ukuran
demografis. Secara praktis, indeks pemekaran kota penting terutama bagi pemerintah kota dan kabupaten untuk memiliki ukuran yang sama dalam rangka pembangunan kota dan wilayah. Sebagai sesuatu yang pasti terjadi, perluasan lahan kekotaan haruslah didasarkan pada sisi kemanfaatan yang luas bagi kota maupun bagi daerah perluasannya, dan meminimalkan dampak negatifnya. Karena didasarkan pada kajian proses dan dampak, maka indeks pemekaran kota merupakan ukuran kuantitatif sebagai ambang batas (threshold) seberapa jauh perluasan lahan kekotaan tidak menimbulkan dampak besar bagi pinggiran kota dan perdesaan. Apabila ukuran kuantitatif ini dapat disepakati oleh pemerintah kota dan kabupaten, maka siapapun yang mengukur akan
29
mendapatkan hasil yang kurang lebih sama, sehingga tidak muncul kecurigaan di antara pihak-pihak yang berkepentingan yang menimbulkan konflik kepentingan.
1.5.
Keaslian Penelitian Beberapa penelitian sejenis dengan penelitian ini ditunjukkan pada Tabel
1.2. Penelitian-penelitian tersebut sebagian besar dilakukan di negara-negara maju, sebagaimana dilakukan oleh Bianchin and Bravin (2003), Klinec (2002), Wilson, et al., (2002), Roca, et al., (2004), dan Moeller (2004). Tiga penelitian yang dilakukan pada daerah yang sama tetapi topik penelitiannya berbeda dengan penelitian ini dilakukan oleh Yunus (2000), Suryantoro (2002), dan Suharyadi (2011). Dalam hal metode, penelitian ini menggunakan metode atau gabungan metode dari beberapa peneliti yang melakukan studi pertumbuhan kota dengan lebih menekankan pada penggunaan pendekatan analisis spasial. Variabel yang digunakan merupakan gabungan variabel-variabel penelitian yang dilakukan oleh Foster-Bey (2002) dan Hasse (2002), ditambah dengan beberapa variabel lain hasil modifikasi beberapa penelitian eksperimental. Demikian juga metode analisis yang digunakan merupakan gabungan dari metode yang dilakukan oleh Foster-Bey (2002) dan Hasse (2002) ditambah dengan hasil modifikasi model analisis spasial menggunakan perangkat SIG yang dilakukan oleh Klinec, (2002), Lee (2002), Moeller (2004) dan Yang and Lo (2003). Perbedaan utamanya adalah bahwa penelitian-penelitian tersebut tidak satupun yang dilakukan di negara sedang berkembang, sehingga secara tegas akan berbeda dalam hal latar belakang sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Tabel 1.2. Penelitian-penelitian Sejenis yang Pernah Dilakukan Peneliti
Judul penelitian
Tujuan penelitian
Metode
Hasil
Bianchin and Bravin, 2003
Defining And Detecting Changes In Urban Areas
Mendeteksi perubahan penggunaan lahan daerah kekotaan di Veneto Region
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Perubahan penggunaan lahan terjadi dalam intensitas tinggi di Veneto
Foster-Bey, 2002
Sprawl, Smart Growth and Economic Opportunity
Mengkaji hubungan antara social equity dengan urban sprawl di Amerika
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Semakin baik social equity, semakin tinggi derajat urban sprawl
Hasse, 2002
Geospatial Indices Of Urban Sprawl In New Jersey
Mengukur tingkat sprawl dan dampaknya terhadap ekologi dan sosio-ekonomi masyarakat
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Exurban sprawl berdampak pada penngkatan polusi dan kesenjangan sosio-ekonomi penduduk
Moeller, 2004
Remote Sensing For The Monitoring Of Urban Growth Patterns
Aplikasi penginderaan jauh untuk monitoring pola pertumbuhan kota
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Citra satelit sangat handal dalam identifikasi indikator-indikator urban growth
Roca, et al., 2004
Monitoring Urban Sprawl Around Barcelona’s Metro Area With The Aid Of Satellite Imagery
Memantau proses urban sprawl di sekitar Kota Barcelona menggunakan citra satelit
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Proses urban sprawl mengkonsumsi lahan pinggiran kota secara signifikan
Suharyadi, 2011
Interpretasi Hibrida Citra Satelit untuk Kajian Densifikasi Bangunan
Pengembangan teknik hibrida, pemetaan kepadatan bangunan, karakterisasi densifikasi
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Teknik hibrida menghasilkan peta kepadatan dan karakterisasi densifikasi bangunan dengan baik
Suryantoro, 2002
Perubahan Penggunaan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 1959-1996
Mengkaji perubahan luas, jenis, frekuensi, dan kecepatan perubahan penggunaan lahan
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Terjadi perubahan luas sebesar 6330 hektar karena faktor pemusatan penduduk dan fasilitas sosial ekonomi
Wang, et al., 2003
Economic Globalization and A Case Study Of The Urban Land Use Growth Of Wuhan, China
Mengkaji Faktor-faktor Perkembangan Penggunaan Lahan Kota Wuhan
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Lahan Industri dan transportasi sangat menentukan bentuk ekspansi lahan kota
1
31
Lanjutan Tabel 1.2. Penelitian-penelitian Sejenis yang Pernah Dilakukan Peneliti
Judul penelitian
Tujuan penelitian
Metode
Hasil
Wilson, 2002
Development Of A Model To Quantify and Map Urban Growth
Membandingkan berbagai tipe pertumbuhan kota dan derajat pemekaran kota
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Perbedaan tipe pertumbuhan kota menyebabkan perbedaan derajat pemekaran kota
Yang and Lo, 2003
Modelling urban growth and landscape changes in the Atlanta metropolitan area
Memprediksi urban growth melalui data penginderaan jauh dan pemodelan spasial dinamik
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Model spasial dinamik memiliki akurasi tinggi dalam memprediksi urban growth
Yunus, 2000
Perubahan Penggunaan Lahan di Daerah Pinggiran Kota: Kasus di Pinggiran Kota Yogyakarta
Mengkaji pola, proses, dan dampak perubahan pemanfaatan lahan pinggiran kota
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Perubahan pemanfaatan lahan berpengaruh terhadap menurunnya komitmen petani
Marwasta, 2013
Proses, Dampak, dan Formulasi Indeks Spasial Perembetan Daerah KeKotaan Yogyakarta
Kajian proses dan dampak perembetan daerah kekotaan, pengembangan Indeks perembetan kota
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Analisis faktor dari kajian proses dan dampak menghasilkan formula indeks perembetan daerah kekotaan
Sumber: Bianchin and Bravin, 2003; Foster-Bey, 2002; Hasse, 2002; Moeller, 2004; Roca, et al., 2004; Suharyadi, 2011; Suryantoro, 2002; Wang, et al., 2003; Wilson, 2002; Yang and Lo, 2003; Yunus, 2000.
32
Bianchin and Bravin (2003) pernah mengadakan penelitian mengenai deteksi perubahan penutup lahan di daerah perkotaan menggunakan berbagai data
citra
satelit dengan resolusi yang berbeda-beda. Pendekatan yang
digunakan adalah statistikal ekologi bentang lahan. Hasil utama yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa meskipun resolusi spasial antara citra IKONOS (1 meter) SPOT (10 dan 20 meter) dan Landsat ETM (30 meter) cukup jauh perbedaannya, tetapi untuk mendeteksi penutup lahan di daerah
perkotaan
dapat digabungkan dengan hasil yang baik melalui pendekatan ekologi bentang lahan (Bianchin and Bravin, 2003). Berdasarkan penelitian ini, peneliti terinspirasi untuk memanfaatkan berbagai citra penginderaan jauh yang pernah merekam Kota Yogyakarta dari tahun 1970 (Landsat MSS), 1980 (Landsat MSS), 1990 (Landsat TM), tahun 2000 (Landsat ETM), dan tahun 2010 (Landsat ETM). Dengan teknik yang dikembangkan oleh Bianchin dan Bravin, maka perbedaan resolusi spasial dari berbagai citra satelit tersebut tidak menjadi kendala untuk memperoleh data dan informasi penggunaan lahan dari tahun ke tahun. Roca, et al. (2004), Yang and Lo (2003), dan Moeller (2004) secara terpisah pernah mengadakan penelitian mengenai aplikasi citra penginderaan jauh untuk memantau perkembangan kota. Metode yang digunakan adalah analisis citra digital. Roca, et al. (2004) menggunakan Citra SPOT 3 dengan resolusi spasial 20 meter dan Citra SPOT 5 dengan resolusi spasial 2,5 meter untuk mengkaji perembetan daerah
kekotaan Barcelona. Penelitian
ini
menyimpulkan bahwa meskipun terdapat perbedaan resolusi spasial antara SPOT 3 dan SPOT 5, tetapi memberikan hasil cukup baik untuk memantau perembetan daerah kekotaan.
33
Peneliti lain, Yang and Lo (2003) menggunakan citra Landsat multi waktu untuk pemodelan pertumbuhan Kota Atlanta tahun 1973-1999. Citra Landsat MSS, TM dan ETM dijadikan sebagai sumber data utama penggunaan lahan Kota Atlanta. Yang dan Lo menyimpulkan bahwa penggunaan citra Landsat multi waktu, cellular modelling, dan penggunaan SIG sangat bermanfaat dalam perencanaan penggunaan lahan kota.
Moeller (2004) meneliti tentang pola
perkembangan Kota Phoenix Metropolitan Area menggunakan citra satelit multi waktu, yaitu Landsat MSS tahun 1973 dan 1979, Landsat TM tahun 1985, 1991, dan 1995, Landsat ETM tahun 2000, dan ASTER tahun 2003. Salah satu kesimpulan dari Moeller adalah bahwa penggunaan berbagai citra satelit sangat membantu dalam analisis pola perkembangan kota jangka panjang, namun perlu teknik khusus untuk menyelaraskan perbedaan resolusi spasialnya. Hasil utama yang diperoleh dari tiga penelitian tersebut adalah bahwa citra satelit mampu menyajikan informasi lahan terbangun di daerah perkotaan dengan cukup baik sehingga
dengan
memanfaatkan
citra
multiwaktu
sangat
dimungkinkan
melakukan pemantauan perkembangan kota dengan baik (Roca, et al., 2004; Yang and Lo, 2003; Moeller, 2004). Penelitian ini semakin memantapkan peneliti 37 untuk mengkaji pemanfaatan ruang kota menggunakan citra satelit, sehingga informasi serial waktu dari ruang kota dapat diperoleh dengan lebih baik. Wilson pada tahun 2002 juga meneliti tentang perkembangan dan pemekaran kota dengan mengambil lokasi penelitian di Kota Boston dan sekitarnya. Metode yang digunakan adalah pemodelan spasial. Wilson menggunakan sumber data citra Landsat TM dan IKONOS sebagai referensi uji ketelitian hasil. Hasil penelitian menemukan ada lima tipe pertumbuhan kota, yaitu in-fill, expansion, isolated, linear branching, dan clustered branching. Hasil
34
penelitian ini juga menunjukkan bahwa masing-masing tipe pertumbuhan kota menyebabkan derajat perembetan daerah kekotaan berbeda-beda (Wilson, 2002). Berdasarkan penelitian ini, peneliti mengadopsi metode pembandingan untuk dikembangkan menjadi indikator yang lebih terukur. Wang, et al., meneliti mengenai hubungan antara perkembangan transportasi kota dan industri terhadap perkembangan dan pemekaran kota. Pendekatan yang digunakan adalah pemodelan spasial dan analisis statistikal. Dari penelitian ini diperoleh hasil berupa fakta bahwa transportasi dan indutri merupakan determinan bagi perkembangan dan pemekaran kota (Wang, et al., 2003). Penelitian ini mengarahkan peneliti untuk mempertimbangkan transportasi dan industri sebagai faktor penting di dalam mengidentifikasi proses perembetan daerah kekotaan. Daerah Kekotaan Yogyakarta pernah diteliti oleh Yunus (2000) dalam disertasinya berjudul Perubahan Pemanfaatan Lahan di Daerah Pinggiran Kota: Kasus di Pinggiran Kota Yogyakarta. Tujuan dari penelitian tersebut adalah mengkaji pola, proses, dan dampak perubahan pemanfaatan lahan. Sebagai sampel area penelitian dipilih 20 daerah sampel dari 14 desa. Metode penelitian survai digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Penelitian ini memperoleh hasil antara lain bahwa pola perubahan pemanfaatan lahan berasosiasi dengan jalur jalan utama, proses perubahan lebih didominasi oleh kekuatan penarik gerakan sentrifugal berupa spatial forces dan kekuatan penarik gerakan sentripetal berupa urban functional forces, serta perubahan pemanfaatan lahan pinggiran
kota
berdampak
mempertahankan menginspirasi
lahan
peneliti
pada
pertanian untuk
menurunnya (Yunus,
melakukan
komitmen
2000). kajian
petani
Penelitian lebih
lanjut
untuk
Yunus
ini
mengenai
35
pengembangan indeks pemekaran kota, dengan mengadopsi daerah penelitian dan metode untuk mengkaji proses dan dampak. Suryantoro (2002) juga melakukan penelitian di Kota Yogyakarta, yaitu meneliti tentang Perubahan Penggunaan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 19591996, menggunakan metode interpretasi foto udara. Secara umum hal yang dikaji adalah perubahan luas, jenis, frekuensi, dan kecepatan perubahan penggunaan lahan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam temuannya disebutkan bahwa sejak 1756 hingga 1996 Kota Yogyakarta secara berangsurangsur mengalami pemekaran luas wilayah kota dari 359,55 hektar menjadi 6687,99 hektar. Faktor penyebab perubahan penggunaan lahan tersebut adalah faktor konsentrasi penduduk (kepadatan penduduk per kecamatan) dan faktor kebutuhan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi (permukiman, transportasi, perdagangan, pendidikan, kesehatan, peribadatan, perkantoran, dan hiburan). Dari penelitian ini penulis terinspirasi mengembangkan model penilaian perembetan daerah kekotaan secara kuantitatif untuk menjawab permasalahan perembetan daerah kekotaan. Peneliti lain yang melakukan penelitian di Kota Yogyakarta adalah Suharyadi dengan judul Interpretasi Hibrida Citra Satelit Resolusi Spasial Menengah untuk Kajian Densifikasi Bangunan. Tujuan penelitian ini adalah pengembangan teknik hibrida, pemetaan kepadatan, dan mengkaji karakteristik densifikasi. Dengan metode interpretasi hibrida (visual dan digital), data Landsat TM dan ETM, serta citra ASTER multi waktu dapat menghasilkan peta kepadatan bangunan dan karakteristik bangunan dengan baik. Secara terpisah Foster-Bey (2002) dan Hasse (2002) melakukan penelitian mengenai dampak proses perembetan daerah kekotaan terhadap
36
kondisi sosial ekonomi penduduk. Metode yang digunakan sedikit berbeda. Foster-Bey melakukan analisis data sekunder, sedangkan Hasse menggunakan analisis spasial. Hasil penelitian Foster-Bey menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi di kota menyebabkan pertumbuhan lapangan kerja yang berdampak pada membaiknya social equity sekaligus meningkatkan proses sprawling (Foster-Bey, 2002). Penelitian Hasse menghasilkan 12 variabel untuk mengukur proses pemekaran kota. Hasse mengaplikasikan variabel tersebut untuk mengkaji kasus di New Jersey, dan ditemukan berbagai tipe sprawl di daerah penelitian. Penelitian ini juga menemukan fakta bahwa exurban sprawl memberi dampak tertinggi terhadap integritas sosial-ekonomi dan ekologis bentanglahan (Hasse, 2002). Dua penelitian ini menjadi dasar pengembangan metode pengukuran proses dan dampak perembetan daerah kekotaan yang akan dilakukan oleh peneliti. Variabel yang digunakan oleh Hasse dijadikan sebagai faktor-faktor yang terindikasi berpengaruh terhadap proses perembetan daerah kekotaan.
1.6.
Batasan Operasional Penelitian Penelitian untuk disertasi adalah sebuah proses panjang yang dimulai
dari studi literatur untuk menemukan masalah yang layak diangkat sebagai sebuah disertasi, penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, sampai dengan penulisan disertasi. Dalam proses yang panjang tersebut, terlibat berbagai objek penelitian yang seringkali memiliki berbagai makna dalam berbagai sudut pandang. Perkembangan keilmuan telah menghasilkan berbagai definisi dari banyak objek kajian yang seringkali memiliki perbedaan-perbedaan, mulai dari
37
rentang yang tidak terlalu berbeda sampai dengan sangat berbeda satu sama lain. Untuk menghindari kesalahan pemahaman antara peneliti dengan pengguna hasil penelitian, perlu dirumuskan suatu kesamaan persepsi tentang berbagai definisi peristilahan yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan definisi tersebut tentu saja sangat tergantung pada bidang ilmu yang digeluti oleh peneliti, sehingga perlu dijabarkan batasan operasional yang digunakan di dalam penelitian. Berikut diuraikan mengenai batasan-batasan operasional yang dipakai dalam penelitian ini. 1.
Kota adalah suatu wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai kota, memiliki wilayah administrasi tertentu, dan dipimpin oleh seorang walikota (Yunus, 2000; 2005a).
2.
Daerah perkotaan adalah bagian dari wilayah administratif kota yang memiliki sifat-sifat kekotaan (Yunus, 2000; 2005d).
3.
Daerah kekotaan adalah daerah di dalam dan di luar wilayah administrasi kota, tetapi telah memiliki sifat-sifat kekotaan. Sifat-sifat kekotaan yang dimaksud dalam batasan operasional ini adalah ciri-ciri fisik dan demografis suatu daerah (desa dan atau kecamatan di luar wilayah adminstrasi kota) berupa dominasi lahan terbangun, kepadatan penduduk tinggi, dan aktivitas penduduk yang lebih dominan di bidang bukan pertanian (Yunus, 2000; 2005d).
4.
Perembetan daerah kekotaan (urban sprawl) adalah proses merembetnya kenampakan kekotaan ke daerah di luar wilayah kota yang terjadi secara tidak terkontrol (Clark, 1982; Domouchel, 1975; Northam, 1975). Proses perembetan tersebut dapat secara terkontrol, maupun terjadi secara tidak
38
terkontrol (Kitchin and Thrift, 2009). Dalam penelitian ini lebih difokuskan pada proses perembetan yang tidak terkontrol. Kenampakan kekotaan yang dimaksud adalah kenampakan morfologis (lahan terbangun kekotaan). 5.
Perkembangan kota (urban development) adalah proses kemunculan dominasi kota-kota dan nilai-nilai kekotaan (urban values) di seluruh dunia (Clark, 1982).
6.
Ruang kota eksisting adalah ruang-ruang di dalam kota maupun di luar kota yang secara demografis dan morfologis telah menunjukkan sifat-sifat kekotaan (Clark, 1982).
7.
Kepadatan bangunan adalah rerata tutupan bangunan per satuan luas pada lahan yang memungkinkan untuk dibangun (developable land) di daerah kekotaan (urbanizing area). Yang dimaksud dengan lahan yang memungkinkan untuk dibangun adalah lahan yang bukan wilayah lindung alamiah, sempadan sungai, dan area publik (Galster, et al., 2000).
8.
Perkembangan
linier
adalah
perkembangan
fisik
kekotaan
yang
membentuk garis linier, umumnya terjadi karena pengaruh jaringan jalan utama (Yunus, 2008). 9.
Perkembangan lompat katak (leapfrog) adalah bentuk perkembangan fisik kekotaan yang menyerupai jejak menyerupai lompatan katak, dimana perkembangan area terbangun fungsi kekotaannya agak jauh dari batas fisik kota yang telah ada dan berada di tengah-tengah penggunaan lahan perdesaan (Yunus, 2008).
10. Perkembangan organik (infilling) adalah tipe perkembangan fisik kekotaan yang terjadi dengan cara mengisi lahan kekotaan yang telah terbentuk (Galster, et al., 2000).
39
11. Perkembangan konsentris (ekspansif) adalah tipe perkembangan fisik kekotaan yang terjadi ke segala arah secara sinambung (Yunus, 2008). 12. Analisis
faktor
adalah
analisis
untuk
menemukan
hubungan
(interrelationship) antar sejumlah variabel yang saling independen sehingga menghasilkan beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dan masingmasing kumpulan variabel menjadi faktor (Grotenhuis and Weegen, 2009). 13. Proses perembetan daerah kekotaan adalah rangkaian kejadian dalam tata waktu tertentu untuk memahami fenomena pertambahan luas daerah kekotaan, dalam penelitian ini lebih ditekankan pada proses keruangan yang biasanya divisualisasikan pada perubahan ruang (Yunus, 2000) 14. Analisis proses spasial adalah suatu analisis yang dilakukan terhadap suatu rangkaian kejadian dalam tata waktu tertentu untuk memahami fenomena keruangan (Yunus, 2000). 15. Dampak perembetan daerah kekotaan adalah fenomena yang dihasilkan dari suatu perubahan terhadap ruang atau lingkungan karena terjadinya proses perembetan daerah kekotaan (Soerjani, 1987). 16. Analisis dampak spasial adalah analisis terhadap fenomena yang dihasilkan dari suatu perubahan terhadap ruang karena aktivitas yang terutama dilakukan oleh manusia (Soerjani, 1987). Dalam penelitian ini analisis dampak lebih difokuskan pada pendekatan “sebelum dan sesudah” (“before and after”) kejadian atau kegiatan berlangsung. Yang dimaksud dengan kejadian di dalam penelitian ini adalah perubahan luas lahan terbangun di luar daerah perkotaan. Kejadian perubahan tersebut dipantau dalam rentang waktu yang panjang.
40
17. Indeks Spasial Perembetan Kekotaan adalah angka (harkat) yang menunjukkan besarnya intensitas perembetan/penjalaran kenampakan sifat kekotaan ke arah pinggiran kota. Indeks Perembetan daerah kekotaan dalam penelitian ini digunakan untuk menunjukkan besaran intensitas perembetan daerah kekotaan. Istilah ini memang belum baku karena belum pernah ada penelitian yang dilakukan, sehingga peneliti menggunakan istilah ini dengan mengadopsi dari istilah pada bidang-bidang keilmuan yang lain. Brueckner (1990), Antoni (2001), Barnes (2001), Ewing, et al., (2002), Hasse (2002), Burchell, et al., (2005), Angel, et al., (2007), dan Fang, et al., (2007).
1.7.
Sistematika Penulisan Disertasi ini disusun dalam sembilan bab dan masing-masing bab terdiri
dari beberapa sub bab. Bab I memaparkan tentang latar belakang penelitian yang menunjukkan mengapa penelitian ini penting dan bermanfaat untuk dilakukan. Secara kronologis di dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, permasalahan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, batasan operasional penelitian, deskripsi daerah penelitian, dan keaslian penelitian. Sub bab 1 berisi latar belakang penelitian yang menjelaskan tentang latar belakang material maupun latar belakang formal dari penelitian ini. Latar belakang material memaparkan mengenai objek kajian yang menjadi substansi penelitian, sedangkan latar belakang formal mendeskripsikan posisi dan dasar filosofis keilmuan peneliti sebagai pijakan untuk mengkaji permasalahan penelitian. Sub bab ini dilanjutkan dengan Sub bab 2 berisi uraian tentang pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
41
Tujuan dan manfaat penelitian diuraikan pada Sub bab 3 dan 4, didalamnya menjelaskan mengenai tujuan umum penelitian ini, yang pada hakikatnya adalah penjelasan secara runtut mengenai rumusan substansi penelitian, dan manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, baik secara teoritis maupun praktis. Sub bab 5 membahas mengenai keaslian (novelty) dari penelitian
ini.
Sub
bab
6
memuat
batasan-batasan
istilah
yang
dioperasionalisasikan di dalam penelitian ini. Bab II berisi tentang kajian pustaka dan kerangka teoritis. Di dalam bab ini diuraikan secara komprehensif mengenai berbagai teori yang mendasari peneliti sehingga menuntun ke arah penelitian ini, sampai dengan uraian tentang kerangka teori yang dibangun oleh peneliti dan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Di dalam sub bab-sub bab awal diuraikan tentang landasan teoritis mengenai kota, perkotaan dan kekotaan, dilanjutkan dengan determinan dan dampak proses perkembangan kota. Bab III menguraikan tentang metode penelitian yang dilaksanakan di dalam penelitian ini. Bab ini juga disusun dalam beberapa sub bab, dimulai dari penjelasan mengenai pemilihan daerah penelitian, pendekatan dan langkahlangkah penelitian, alat dan bahan penelitian, dilanjutkan dengan deskripsi tentang data dan variabel yang terlibat dalam penelitian, dan uraian tentang analisis data yang dilakukan. Pada beberapa sub bab akan dirinci lagi menjadi beberapa anak sub bab yang memuat mengenai uraian lebih detil tentang metode yang ditempuh. Bab ini ditutup dengan sub bab yang memuat tentang hasil uji ketelitian interpretasi dan akurasi pemetaan dari data olahan secara digital terhadap citra satelit Landsat ETM.
42
Dalam Bab IV diuraikan tentang deskripsi daerah penelitian. Bab ini diawali dengan sub bab yang mendeskripsikan tentang letak, luas dan batasbatas administraitf daerah penelitian. Sub bab tersebut dilanjutkan dengan uraian mengenai kondisi fisik daerah penelitian (kondisi fisiografis, kondisi lahan, penggunaan lahan, dan kondisi iklim). Sub bab berikutnya berisi uraian tentang kondisi kependudukan dan sosial ekonomi daerah penelitian. Bab ini ditutup dengan sub bab tentang deskripsi mengenai karakteristik responden. Bab V, VI, VII dan VIII memuat tentang uraian hasil-hasil penelitian dan disusun secara runtut menyesuaikan tata urutan dari tujuan penelitian. Bab V menguraikan tentang perkembangan Kota dan Daerah Kekotaan Yogyakarta, Bab VI menjelaskan tentang faktor-faktor yang terlibat dan memiliki peran dalam mempengaruhi proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta, Bab VII menguraikan tentang dampak yang ditimbulkan dari proses perembetan tersebut. Bab VIII merupakan bab terakhir tentang hasil dan pembahasan hasil penelitian, memuat tentang penjelasan mengenai formulasi indeks perembetan daerah kekotaan yang merupakan luaran utama dari penelitian ini. Bab IX merupakan bab terakhir dari disertasi ini yang memuat tentang kesimpulan, rekomendasi, dan temuan baru dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Sub bab kesimpulan memuat tentang temuan penting hasil penelitian yang disesuaikan dengan tujuan dan pertanyaan penelitian. Sub bab rekomendasi menjabarkan tentang rekomendasi, masukan, dan usulan terkait temuan-temuan penting tersebut, baik dalam bentuk rekomendasi bagi penelitian ilmiah lebih lanjut maupun rekomendasi kebijakan yang perlu ditempuh untuk kepentingan pembangunan. Sub bab temuan baru menjelaskan implikasi teoritis dan praktis berbagai temuan baru yang dihasilkan dalam penelitian ini.