KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005)
SRI HELEOSI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala penyataan dalam tesis saya yang berjudul KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005) adalah gagasan hasil penelitian saya sendiri dengan dibimbing oleh Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar apapun di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan diperiksa kebenarannya.
Bogor, September 2006
Sri Heleosi P.052040331
ii
RINGKASAN
SRI HELEOSI. Kajian Lingkungan Strategik Kebijakan Pembangunan Daerah (Studi Kasus: Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005). Di bawah bimbingan: HADI S. ALIKODRA dan AWAL SUBANDAR. Deforestasi telah menimbulkan dampak lingkungan yang nyata, seperti banjir, erosi tanah, krisis air dan pemanansan global. Laju deforestasi era tahun 19851997 mencapai 1,6 juta hektar per tahun dan meningkat menjadi 2,83 juta hektar per tahun pada 1997-2000. Tingginya laju deforestasi diduga karean pengelolaan hutan yang tidak tepat, over cutting, dan pembalakan liar. Penelitian ini bertujuan: (i) mengevaluasi prakiraan kerusakan lingkungan akibat kebijakan Pemerintah daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005, (ii) menghitung nilai ekonomi manfaat dan kerusakan lingkungan yang diperkirakan timbul akibat kebijakan Pemda Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005, dan (iii) melakukan analisis kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutnan thaun 2001-2005. Lokasi penelitian di Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian dilakukan pad abulan Mei 2006. Pendekatan penelitian pada level kebijakan ini menggunakan Kajian Lingkungan Strategik (KLS) dengan metode analisis yang digunakan adalah evaluasi dampak, valuasi ekonomi, analisis biaya manfaat, dan analisis kebijakan. Dari hasil penelitian terungkap prakiraan dampak dari kebijakan sektor kehutanan, khususnya penebangan hutan menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak positif berupa pertumbuhan ekonomi daerah dalam bentuk penerimaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Sedangkan dampak negatif yang diprakirakan timbul adalah gangguan fungsi hidrologi, peningkatan erosi tanah, penurunan kesuburan tanah, sedimentasi yang berdampak pada kualitas air sungai, penurunan keakearagaman hayati dan perubahan iklim mikro. Estimasi nilai penebangan hutan selama lima tahun sebesar Rp 14,023 trilyun, sedangkan manfaat yang diperoleh hanya sebesar Rp 6,516 trilyun. Hasil anaisis biaya manfaat kebijakan penebangan hutan menggunakan perhitungan Benefit Cost Ratio diperoleh nilai sebesar 0,46. Nilai ini menunjukkan bahwa kebijakan penebangan hutan di Kabupaten Kutai Kartenegara tahun 2001-2005 tidak layak secara ekonomi. Prioritas alternatif kebijakan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara adalah: (i) Pengelolaan Hutan Produksi berbasis Ekosistem (nilai bobot 0,424), (ii) Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi (nilai bobot 0,344), dan (iii) Moratorium Penebangan Hutan (nilai bobot 0,232). Kata kunci: kajian lingkungan strategik, kebijakan, penebangan hutan, dampak penebangan, valuasi ekonomi
iii
ABSTRACT SRI HELEOSI. Strategic Environmental Assessment of The Regional Development Policy (Case Study: Forestry Sector Development Policy of Kutai Kartanegara 2001-2005). Supervised by HADI S. ALIKODRA and AWAL SUBANDAR. Forest degradation has generated environmental disaster, such as floods, land slide, water crisis, and global warming. The rate of Indonesian deforestation from 1985 to 1997 is 1.6 million hectare per year. This rate increased to 2.84 million hectare per year from 1997 to 2000. This increasing deforestation rate was influenced by unmanaged forests, over cutting, and illegal logging. This study evaluated forestry sector using strategic environmental assessment in Kutai Kartanegara District between 2001 and 2005. The aim of study is to predict environmental degradation and its impact of harvesting policy in the Strategic Environmental Assessment of The Regional Development Policy of Kutai Kartanegara 2001-2005 . This evaluation produced positive and negative impacts. Positive impact was the increasing of regional income, while the negative impacts were as follows: decreasing of water, sedimentation, and biodiversity depletion. The disadvantage of economic value was higher than the advantage that received by the local government. Quantitative result shows that harvesting policy is not feasible. Consequently, it needs alternative strategies as follows: (i) ecosystem based forest management, (ii) empowerment of institutional building of production forests, and (iii) moratorium of logging.
Key words: strategic environmental assessment, regional policy, harvesting, impact logging, valuation.
iv
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya
v
KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005)
SRI HELEOSI
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
vi
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis
: KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kebijakan Pembangunan Sektor Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005)
Nama
: Sri Heleosi
NIM
: P052040331
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS Ketua
Dr. Ir. Awal Subandar, MSc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S
Tanggal ujian : 26 September 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal lulus :
vii
PRAKATA Bissmillahirromanirrahim, Alhamdulillah dengan rahmat Allah SWT yang tak pernah putus, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul KAJIAN LINGKUNGAN STRATEGIK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH
KABUPATEN
KUTAI KARTANEGARA TAHUN 2001-2005 (Studi Kasus Sektor Kehutanan). Untuk itu dari lubuk hati yang paling dalam ijinkanlah saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, MS dan Ir. Awal Subandar, MSc. PhD sebagai Komisi Pembimbing yang dengan tekun dan sabar memberikan arahan bagi penyempurnaan penelitian ini. 2. Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS sebagai penguji luar komisi atas segala masukan dan pemikiran guna penyempurnaan penelitian ini. 3. Kepada Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS, selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, serta jajaran staf yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam kelancaran studi. 4. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, beserta staf. 5. Jajaran staf Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Dinas Kehutanan, Bappeda, dan Bapedalda. 6. Ibunda tercinta, Malmazuhud (kakak) dan Fuadi Indra (adik) yang telah memberikan dukungan baik secara moril dan materil kepada penulis. Serta Ayahanda Fadhil (alm) yang semasa hidupnya sangat peduli pada pendidikan anak-anaknya. 7. Sahabat seperjuangan Chana, Kartini, Tata dan rekan-rekan satu angkatan atas segala dukungan dan bantuannya.
Bogor, September 2006
Sri Heleosi
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR............................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... vii PENDAHULUAN Latar Belakang .............................................................................................. 1 Kerangka Pemikiran....................................................................................... 4 Perumusan Masalah ....................................................................................... 5 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 7 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 7 TINJAUAN PUSTAKA Kajian Lingkungan Strategik ........................................................................ 8 Kebijakan .................................................................................................... 12 Daerah Aliran Sungai.................................................................................. 14 Dampak Penebangan Hutan ........................................................................ 15 Pengelolaan Hutan Produksi....................................................................... 17 Konsep Valuasi Ekonomi............................................................................ 19 Analisis Biaya Manfaat ............................................................................... 22 Proses Hirarki Analitik................................................................................ 22 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 26 Teknik Penentuan Responden ..................................................................... 26 Jenis dan Sumber Data ................................................................................ 28 Analisa Data ................................................................................................ 29 KONDISI UMUM Kondisi Geografis ....................................................................................... 35 Demografi dan Sosial.................................................................................. 37 Perekonomian.............................................................................................. 39 Kebijakan Sektor Kehutanan........................................................................40 HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Kerusakan Lingkungan................................................................. 40 Valuasi Nilai Kerusakan Lingkungan ......................................................... 44 Estimasi Analisis Biaya dan Manfaat ......................................................... 51 Analisis Kebijakan Sektor Kehutanan..........................................................54
ix
KESIMPULAN Kesimpulan ................................................................................................. 59 Saran............................................................................................................ 59 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Skala banding secara berpasangan Model Saaty (1993) ................................. 25
2
Responden untuk analisis kebijakan sektor kehutanan ................................... 27
3
Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ............................... 28
4
Penyebaran dan luas masing-masing kelas ketinggian Kabupaten Kutai Kartanegara......................................................................................................35
5
Banyaknya hari hujan dan curah hujan wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara selama 5 tahun (tahun 1997 s/d tahun 2001)................................................... 37
6
Jumlah komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001..................................................................................38
7
Produksi dan nilai ikan perikanan umum tahun 2000-2004........................... 40
8
Estimasi nilai dampak terhadap fungsi hidrologi....................................... ....48
9
Estimasi nilai dampak erosi tanah....................................................................49
10 Estimasi nilai dampak hilangnya zat hara........................................................49 11 Pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan tahun 2006..................................51 12 Pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan tahun 2001..................................51 13 Estimasi nilai dampak sedimentasi terhadap kehilangan pendapatan nelayan..........................................................................................52 14 Estimasi nilai dampak penurunan hasil hutan non kayu..................................53 15 Perbandingan estimasi nilai manfaat dan biaya kerusakan lingkungan dari kebijakan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2001-2005...............................................................................................55 16 Nilai pembobotan pada aspek (level 3) masing-masing kelompok aktor.......58 17 Nilai gabungan pembobotan pada level aspek..... ...........................................58 18 Bobot masing-masing aspek/kriteria untuk alternatif pengelolaan hutan berbasis ekosistem .................................................................................60
xi
19 Bobot masing-masing aspek/kriteria untuk alternatif penguatan peran Kelembagaan hutan sistem TPTI.....................................................................61 20 Bobot masing-masing aspek/kriteria untuk alternatif moratorium Penebangan hutan............................................................................................61 21 Nilai bobot akhir masing-masing aspek/kriteria untuk alternatif kebijakan penebangan hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005..........62 22 Nilai bobot dan prioritas pendapat gabungan stakeholders terhadap Kebijakan pembangunan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005.............................................................................................65 23 Keragaan nilai bobot dan prioritas kebijakan pembangunan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005 pada stakeholders...............65
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran............................................. ............................................ . 5 2 Tahapan proses SEA ........................................................................................ 11 3 Kategori nilai ekonomi lingkungan hutan tropis.............................................. 21 4 Lokasi penelitian .............................................................................................. 27 5 Perkiraan jumlah tanah yang tererosi selama tahun 2001-2005........................45 6 Persentase perbandingan nilai manfaat dan biaya lingkungan..........................56 7 Grafik hubungan aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya...........................59 8 Grafik hubungan kriteria kelestarian usaha, produksi maksimum dan pertumbuhan ekonomi................................................................................63 9 Grafik hubungan kriteria kelestarian usaha, produksi maksimum dan pertumbuhan ekonomi................................................................................63 10 Grafik hubungan kriteria akses terhadap sumberdaya hutan, kesejahteraan masyarakat dan integrasi sosial budaya....................................64
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hierarki kebijakan sektor kehutanan.................................................................76 2 Hasil analisis AHP gabungan kelompok aktor terhadap alternatif prioritas.....77 3 Hasil analisis AHP masing-masing kelompok aktor terhadap alternatif prioritas................................................................................. ............78 4 Pendapatan rata-rata nelayan Desa Sungai Meriam dan Desa Kutai Lama tahun 2006....................................................................................................... .80
xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan hujan tropis Indonesia memiliki sumberdaya alam penting dengan kekayaan keanekaragaman hayati baik spesies maupun genetik yang tinggi. Tak kurang dari 10 persen spesies tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12 persen binatang menyusui, 16 persen reptilia dan amphibia, 17 persen burung, 25 persen ikan dan 15 persen serangga, terdapat di hutan Indonesia (Bappenas 2003). Dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya, Indonesia termasuk salah satu dari tiga negara di dunia yang mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi, berada pada peringkat kedua setelah Brasil. Hutan
berperan
sebagai
mesin
pemroses
alami,
gudang
raksasa
penyimpanan karbon serta stabilisator iklim dunia. Dalam skala lokal, hutan berfungsi sebagai penyedia air bersih, pemelihara kesuburan tanah, penahan erosi tanah, pencegah banjir dan pencegah intrusi air laut (Supriadi 2003). Hutan mempunyai peranan penting dalam menunjang pembangunan, karena hutan dapat memberikan manfaat besar bagi kemakmuran dan kesejahteraan manusia. Hutan memberikan manfaat secara langsung dan tidak langsung bagi kehidupan (Salim 2003). Manfaat langsung merupakan manfaat yang dapat dirasakan secara langsung, seperti hasil hutan kayu dan hasil hutan non kayu. Sedangkan manfaat tidak langsung, seperti pengatur tata air, pencegah terjadinya erosi tanah, pemanfaatan untuk ekowisata, estetika, penghasil oksigen, dan pengatur iklim mikro. Hutan memberikan manfaat ekonomi melalui produksi kayu, dimana terdapat sekitar 120 famili kayu berkualitas yang mendominasi perdagangan kayu internasional serta manfaat ekonomi dari hasil hutan non kayu (Sangat et al 2000). Selain manfaat ekonomi dan ekologi, hutan juga memberikan manfaat sosial dan budaya bagi kelompok masyarakat adat serta masyarakat lokal. Komunitas masyarakat lokal yang bertempat tinggal di sekitar kawasan hutan
di dunia
diperkirakan mencapai 70 juta jiwa (Lynch 1999). Hasil hutan kayu bersumber dari hutan produksi, yang mempunyai fungsi utama sebagai penghasil kayu. Hutan produksi sebagai sumber utama penghasil
kayu memberikan devisa yang besar bagi negara dalam menopang perekonomian nasional. Sumbangan industri perkayuan terhadap penerimaan devisa selama sepuluh tahun terakhir rata-tata 20% per tahun (Kartodihardjo 1999). Di Kabupaten Kutai Kartanegara dengan luas hutan total 2.637.957 ha, memiliki 806.128 ha areal hutan produksi tetap dan 519.070 ha areal hutan produksi terbatas (Anonim 2001). Pengelolaan seluruh hutan produksi diberikan kepada perusahaan-perusahaan dalam bentuk konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kontribusi sektor kehutanan terhadap penerimaan daerah Kabupaten Kutai Kartanegera dalam bentuk Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 5,58% (BPS 2003). Namun di sisi lain laju deforestasi sumberdaya hutan terus meningkat selama periode 1985-1997 pada tiga pulau besar meliputi Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mencapai ± 1,6 juta hektar per tahun (Baplan 2003) dan meningkat tajam menjadi 2,84 juta hektar per tahun pada periode 1997-2000 (Baplan 2005). Selama periode tiga tahun tersebut laju deforestasi mencapai ± 8,5 juta hektar. Kerusakan hutan tersebut disinyalir disebabkan antara lain oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat, over cutting, dan illegal logging. Laju deforestasi berpengaruh signifikan terhadap penurunan jumlah HPH yang aktif di seluruh Indonesia. Hal yang sama juga yang terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara, dimana pada tahun 2001 terdapat lima belas perusahaan HPH yang masih aktif dan pada tahun 2005 hanya tersisa lima HPH. Kerusakan hutan telah menimbulkan dampak yang sangat nyata, yaitu fenomena banjir yang terjadi merata setiap tahunnya di seluruh tanah air dalam sepuluh tahun terakhir telah melumpuhkan perekonomian lokal, regional bahkan nasional yang menyebabkan kerugian trilyunan rupiah. Sebagai contoh, di Provinsi Riau luas hutan menyusut 80% dalam dua tahun sejak diberlakukan otonomi daerah yang mengakibatkan banjir yang sangat parah dengan kerugian Rp. 1,12 trilyun (Subandar 2004). Melihat
fenomena
kondisi
kehutanan
tersebut
maka
perencanaan
pembangunan daerah khususnya di sektor kehutanan harus mampu menjamin pemanfaatan sumberdaya yang optimal sesuai potensi, ketersediaan dan daya dukung, dan sustainability sehingga resiko pemanfaatan dapat ditekan seminimal
2
mungkin. Pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan daerah yang tidak tepat telah mengakibatkan kemunduran lingkungan. Mensinergikan aspek ekonomi dan lingkungan terutama pada tahap kebijakan mendesak untuk dilakukan, sehingga dapat mengeliminir dampak negatif dari suatu kebijakan atau perencanaan terhadap lingkungan. Dilihat dari kebijakan global (Agenda 21) hasil deklarasi Rio tahun 1992 telah direkomendasikan pengintegrasian aspek ekonomi dan lingkungan dalam perumusan kebijakan. Sebagai salah satu negara yang telah menandatangani deklarasi tersebut sudah seharusnya pemerintah mengakomodir kedua aspek tersebut dalam setiap kebijakan pembangunan. Dari berbagai gambaran di atas, penelitian pada level kebijakan pembangunan daerah di sektor kehutanan yang mengintegrasikan aspek ekonomi dan lingkungan penting untuk dilakukan. Pendekatan metode Strategic Environment Assessment (SEA) dapat diterapkan dalam penelitian ini, yang dapat memprediksi kerusakan (dampak negatif) lingkungan akibat implementasi dari suatu kebijakan, rencana dan program secara komprehensif dan terintegratif. Metode ini telah digunakan oleh banyak negara di dunia, seperti di Taiwan pada sektor pariwisata (Kuo et al 2005) dan di Swedia pada sektor energi (Nilsson et al 2005) yang merupakan alat yang cukup efektif dalam mengidentifkasi dampak dari
suatu
kebijakan,
karena
dalam
pengambilan
keputusan
telah
mengintegrasikan aspek lingkungan. Di Indonesia SEA diadopsi dengan nama Kajian Lingkungan Strategik (KLS). Definisi KLS adalah suatu perumusan proses yang sistematis dan komprehensif dalam evaluasi dampak lingkungan yang diprakirakan timbul dari sebuah kebijakan, perencanaan atau program dan alternatif-alternatifnya,
termasuk persiapan laporan secara tertulis terhadap
temuan-temuan yang berguna untuk membuat keputusan publik yang bertanggung jawab (Therivel 1996). Disamping dilakukan evaluasi dampak, pada metode KLS juga dilakukan penilaian analisis biaya manfaat dan perumusan alternatif-alternatif dari suatu kebijakan, rencana dan program. Secara umum pakar ekonomi sumberdaya menggunakan pendekatan konsep nilai ekonomi total suatu sumberdaya untuk penilaian analisis biaya manfaat. Penentuan nilai ekonomi sumberdaya alam merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam
3
mengalokasikan sumberdaya alam yang makin langka, sekaligus bermanfaat dalam menciptakan penilaian yang tepat dalam menentukan keberlanjutan sumberdaya itu sendiri (Suparmoko 2002). Untuk perumusan alternatif-alternatif kebijakan, rencana dan program dalam KLS melibatkan seluruh stakeholders. Dengan demikian studi KLS terhadap Rencana Strategis Pembangunan Daerah di sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara sangat relevan dilakukan. Kerangka Pemikiran Pendekatan
metode
KLS
digunakan
untuk
menginventarisasi
dan
mengidentifikasi program pembangunan yang berdampak negatif terhadap lingkungan
akibat pelaksanaan kebijakan
pembangunan suatu daerah pada
periode tertentu. Karena dalam setiap kebijakan selalu timbul biaya dan manfaat sebagai akibat implementasi kebijakan tersebut, maka untuk mengetahui apakah suatu kebijakan, rencana atau program layak untuk diimplementasikan diperlukan suatu perbandingan yang menghasilkan suatu nilai atau rasio. Untuk itu selanjutnya dapat dilakukan Cost Benefit Analysis (Analisis Biaya Manfaat), sehingga keputusan yang diambil adalah yang terbaik. Kerangka pemikiran pendekatan masalah dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
4
UU No. 41/1999 “ Kehutanan”
UU No. 32 Tahun 2004
Hutan
1. Ekonomi 2. Ekologis 3. Sosial Budaya
Stakeholders
Valuasi Dampak
Dokumen Perencanaan Daerah - Renstra - Propeda - Tata ruang
Sektor Kehutanan
Dampak/Kerusakan Lingkungan PDRB
Cost Benefit Analysis
Analisis Kebijakan di Sektor Kehutanan Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian (dikembangkan dari konsep valuasi dampak lingkungan, Askary 2001 dan KLS, KLH 2004) Perumusan Masalah Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan kabupaten yang kaya akan sumberdaya alam, baik yang renewable (bisa diperbarui) maupun non renewable (tidak bisa diperbarui). Sumberdaya hutan yang bersifat renewable merupakan salah satu yang menjadi potensi unggulan sektor pembangunan Kab. Kutai Kartanegara tahun 2001-2005. Sebagai kabupaten yang relatif masih baru, Kutai Kartanegara sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan yang tertuang dalam Program Pembangunan Daerah (Propeda) dan Rencana Strategis (Renstra) tahun 2001-2005. Pogram-program pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif pada sumberdaya alam dan lingkungan, apabila tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan. Untuk mengantisipasi hal tersebut,
5
maka perlu dilakukan suatu kajian dampak pada level perencanaan agar dampak lingkungan yang ditimbulkan dapat diminimalisasi. Dari perspektif ekosistem DAS (Daerah Aliran Sungai) yang secara umum terdiri atas hulu, tengah, dan hilir dimana dalam ekosistem tersebut terjadi interaksi antara faktor-faktor biotik (vegetasi) dan faktor-faktor fisik (tanah dan iklim) serta manusia dengan segala aktivitasnya. Interaksi tersebut dinyatakan dalam bentuk keseimbangan hidrologis. Kerusakan hutan di daerah hulu akan mengganggu keseimbangan eksosistem DAS yang berdampak pada daerah hilir seperti terjadinya banjir, sedimentasi, dan pencemaran air. Kebijakan di sektor kehutanan berupa eksploitasi hutan untuk keperluan industri kayu secara berlebih di hulu akan berdampak pada membesarnya kerugian ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat hilir. Pemerintah sudah selayaknya memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap kondisi lokal tentang siapa yang menanggung biaya dan siapa yang menikmati manfaat agar tercipta distribusi pemanfaatan sumberdaya hutan yang lebih adil serta memperhatikan permasalahan hak masyarakat setempat. Selain itu pemilikan sumberdaya hutan masih banyak menjadi pemicu konflik sehingga merupakan syarat penting dalam merumuskan kebijakan yang efektif untuk melindungi dan mempertahankan fungsi hutan dalam kerangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Agar pemanfaatan sumberdaya hutan lestari, penting melakukan pendekatan kajian lingkungan strategik pada level kebijakan, yang mengevaluasi prakiraan kerusakan lingkungan sampai penilaian ekonomi dengan menggunakan valuasi ekonomi dan analisis biaya manfaat serta melibatkan partisipasi stakeholders. Estimasi nilai dampak
kerusakan
lingkungan
melibatkan
penilaian
moneter
untuk
menggambarkan nilai sosial dari perbaikan kondisi lingkungan atau biaya sosial dari kerusakan lingkungan. Berdasarkan uraian diatas maka, permasalahan pokok yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Seberapa besar kerusakan lingkungan sebagai akibat kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005.
6
2. Berapa estimasi nilai ekonomi manfaat dan kerusakan lingkungan yang diperkirakan timbul dari kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005. 3. Apa alternatif kebijakan Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005. Tujuan Penelitian Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi prakiraan dampak lingkungan baik secara fisik dan ekonomi yang diakibatkan oleh kebijakan perencanaan pembangunan suatu daerah di sektor kehutanan khususnya penebangan hutan, secara rinci tujuan adalah sebagai berikut : 1. Mengevaluasi kerusakan lingkungan
akibat kebijakan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005. 2. Mengestimasi nilai ekonomi manfaat dan kerusakan lingkungan yang diperkirakan timbul akibat kebijakan Pemda Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan tahun 2001-2005. 3. Menentukan alternatif kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Kutai Kartanegera di sektor kehutanan tahun 2001-2005. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai : 1. Rekomendasi bagi acuan kebijakan pemerintah baik pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Kalimantan Timur maupun pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan. 2. Dasar untuk penelitian lanjutan dalam berbagai aspek yang relevan, pada sektor kehutanan di Kabupaten Kutai Kartanegara maupun di kawasankawasan hutan lainnya. 3. Pengkayaan kajian studi pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
7
TINJAUAN PUSTAKA Kajian Lingkungan Strategik Menurut Therivel (1996) SEA adalah suatu proses yang sistematis dan komprehensif dalam evaluasi dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program dan alternatif-alternatifnya, temuan-temuan digunakan dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya Sadler and Verheem (1996) dalam Chaker et al (2005) menyatakan SEA merupakan proses sistematis untuk mengevaluasi resiko lingkungan dari kebijakan, rencana dan program dan memastikan resiko lingkungan menjadi pertimbangan sejak awal dalam pengambilan keputusan, setara dengan pertimbangan ekonomi dan sosial. Sedangkan definisi menurut goverment UK, SEA adalah suatu bentuk proses identifikasi, penilaian dan partisipasi publik untuk memastikan bahwa resiko-resiko lingkungan yang timbul dari perencanaan dan program menjadi pertimbangan oleh pengambil keputusan dan monitoring (www.environment-agency.gov.) Dalam beberapa definisi SEA tersebut tergambar bahwa konsep SEA digunakan pada level policy (kebijakan), plan (rencana), dan programme (program) atau PPP dan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan. Studi dampak lingkungan atas PPP dengan pendekatan SEA memasukkan aspek lingkungan hidup dalam proses perencanaan pada tahap awal sehingga dapat sepenuhnya memprakirakan dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif jangka panjang dan sinergistik, baik pada tingkat lokal, regional, nasional maupun global. Di Indonesia, SEA diadopsi menjadi Kajian Lingkungan Strategik (KLS) oleh Kementerian Lingkungan Hidup, yang selanjutnya didefinisikan sebagai proses sistematis dan komprehensif dalam evaluasi dampak lingkungan yang diprakirakan akan muncul akibat pelaksanaan kebijakan, rencana atau program (KRP) yang dilakukan pada tahap awal dari proses pengambilan keputusan kegiatan pembangunan selain pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan sosial. Kementerian Lingkungan Hidup (2004), menyatakan manfaat pelaksanaan KLS pada level kebijakan, perencanaan dan program adalah : (1) memberikan kemungkinan
yang
lebih
besar
untuk
tercapainya
pembangunan
yang
8
berkelanjutan, (2) meningkatkan efektivitas pelaksanaan AMDAL dan atau pengelolaan lingkungan hidup, dan (3) memungkinkan dilakukan identifikasi terjadinya dampak lingkungan potensial, termasuk yang bersifat kumulatif dan sinergistik, pada tahap awal proses pembangunan. Selanjutnya KLS diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya dampak lingkungan yang bersifat lintas batas (cross boundary environment effects). Prinsip-prinsip pokok yang harus menjadi pertimbangan dalam melakukan Kajian Lingkungan Strategik, menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2004) : 1. Menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan proses dan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. 2. Dilakukan terhadap kebijakan, rencana atau program (KRP) secara terpisah atau
kombinasi
dari
ketiganya.
Analisis
pertimbangan-pertimbangan
lingkungan harus diintegrasikan secara penuh dan pada tahap awal dari proses perumusan KRP. 3. Diaplikasikan pada tingkat konsep dan bukan pada aktivitas fisik (lokasi dan rancang bangun) tertentu yang lazimnya menjadi domain studi AMDAL. 4. Salah satu aspek kajian dalam melaksanakan KLS adalah melakukan evaluasi dan membandingkan dampak lingkungan dari berbagai alternatif pilihan KRP yang menjadi kajian. 5. Dalam suatu proses pengambilan keputusan pembangunan, KLS seharusnya menjadi bagian dari pertanggungjawaban publik. 6. Pendekatan pelaksanaan ekosistemik yang berlandaskan pada prinsip-prinsip eko-efisiensi dan pembangunan berwawasan lingkungan. 7. Pelibatan seluruh stakeholders yang meliputi instansi pemerintah terkait, legislatif, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat termasuk lembaga adat, dan sektor swasta terkait. Teknis pelaksanaannya dilakukan secara partisipatif, antara lain, melalui focused group discussion (FGD) dan multi criteria decision making (contoh: metode Proses Hirarki Analitik). 8. Tidak menghambat pelaksanaan investasi di daerah. 9. Fokus pada dampak tidak langsung, dampak kumulatif, dan dampak sinergistik, baik pada tingkat lokal, regional, nasional, dan global.
9
Pendekatan KLS pada kajiannya berbeda pada setiap negara, baik dari metodologi maupun implikasinya, beberapa pendekatan menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2004) adalah sebagai berikut : 1. Pendekatan KLS secara formal (formal SEA), menyerupai metodologi AMDAL dengan memasukkan pertimbangan dan disusun dalam sebuah laporan untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Bahkan pada beberapa negara diimplementasi dalam peraturan, seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Selandia Baru 2. Penilaian Lingkungan (Environmental Appraisal), umumnya dibatasi isu-isu yang berkaitan dengan badan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan, tidak dilengkapi laporan implikasi lingkungan, kurang sistematis, dan umumnya tidak disertai diskusi dengan instansi lain maupun masyarakat. 3. Penilaian Analisis Biaya Manfaat (Cost benefit Appraisal), difokuskan untuk mengurangi biaya (ekonomi dan lingkungan) dan meningkatkan keuntungan atas kegiatan-kegiatan yang strategik, dilakukan secara komprehensif dan dapat digunakan sebagai bahan dalam penyusunan formal SEA. 4. Pendekatan Proyek yang dimodifikasi (Modified Project SEA), menggunakan metodologi AMDAL dan digunakan untuk kajian terhadap program sebagai dasar penyusunan rencana proyek. 5. Pendekatan yang lebih mengarah pada rasionalisasi KRP, dimana prinsipprinsip kajian lingkungan cenderung dirancang dalam bentuk kebijakankebijakan dan rencana-rencana melalui identifikasi kebutuhan dan pilihan untuk pembangunan yang berkelanjutan. 6. Pendekatan ekosistemik, menekankan pentingnya penempatkan obyek kajian dalam konteks keterkaitan dengan sistem lain yang lebih besar. Pendekatan kajian dengan menggunakan metode KLS dalam tahapan proses akan menggunakan beberapa tools, untuk evaluasi dampak ekologi metode dapat diadopsi dari hasil proyek AMDAL (Wathern 1999 dalam Finnveden et al 2003), nilai (value) dampak secara monetasi menggunakan metode valuasi ekonomi, dan partisipasi stakeholders dengan multi-attribute analysis (MAA) termasuk didalamnya multi-criteria dan multi-objective. Metode MMA yang banyak digunakan adalah ‘Analytical Hierarchy Process’ (Saaty and Vargas 1994 dalam
10
Finnveden et al 2003 ) dan ‘Value-Focused Thinking’ (Keeney 1992 dalam Finnveden et al 2003). Adapun tahapan proses SEA dan berbagai metode yang dapat digunakan dalam analisis dapat dilihat pada Gambar 2. Metode dan Alat Analisis
Tahapan proses SEA Definisi tujuan
Backcasting
Perumusan Alternatif
Studi lanjutan
Analisis skenario
Inventarisasi analisis jaringan kehidupan (LCA inventory analysis) Environmental extended IOA Ceklist Analisis resiko kecelakaan (Risk assessment accident) Karakteristik jaringan kehidupan Karakteristik lokasi jaringan kehidupan Analisis resiko dasar (risk assessment substances) Pemodelan kualitas udara Penilaian lingkungan Muti kriteria analisis Valuasi ekonomi Survei Valuasi massa, energi, atau kawasan
Analisis Lingkungan Deskripsi sistem studi Identifikasi dan kuantifikasi beban lingkungan (emisi, pengerukan sumberdaya, penggunaan lahan) Analisis perubahan lingkungan
Valuasi
Kesimpulan, review, tindak lanjut pengukuran/pemantauan
Gambar 2. Tahapan Proses SEA dan Metode yang digunakan 2003)
(Finnveden et al
Dari berbagai metode yang digunakan, tergambar bahwa tiga prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu aspek ekonomi, sosial dan ekologi telah terintegrasi
dalam
konsep
KLS.
Konsep
pembangunan
berkelanjutan
mengintegrasikan tiga pilar kehidupan yaitu ekonomi, sosial dan ekologi dalam satu hubungan yang sinergis, oleh karena itu makna keberlanjutan didefinisikan sebagai keberlanjutan ekonomi, sistem sosial dan keberlanjutan ekologis. Menurut Serageldin (1993) dalam konsep pembangunan berkelanjutan memungkinkan generasi sekarang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi
11
kesempatan generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya pula. Kebijakan Kebijakan (policy) menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Kebijakan dalam makna tersebut merupakan suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana. Pedoman tersebut dapat berbentuk sangat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit dan sebagainya. Kebijakan mengandung makna rasional, sebuah manifestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan serta juga harus dipahami dalam konteks historis. Parsons (2005) menyebutkan sesuai konsep publik yang bersifat dinamis, makna kebijakan senantiasa berubah karena adanya perubahan-perubahan dalam praktik kebijakan. Analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Disebutkan juga bahwa analisis kebijakan tidak hanya membatasi diri pada pengujian-pengujian deskriptif umum maupun teori-teori ekonomi karena masalah-masalah kebijakan yang kompleks, dimana teori-teori semacam ini seringkali gagal untuk memberikan informasi yang memungkinkan para pengambil kebijakan mengendalikan dan memanipulasi proses-proses kebijakan. Akan tetapi analisis kebijakan menghasilkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah, juga menghasilkan informasi mengenai nilai-nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Jadi analisis kebijakan meliputi baik evaluasi maupun anjuran kebijakan (Dunn 2003). Selanjutnya Dunn (2003) menyatakan bahwa masalah-masalah kebijakan (policy problem) merupakan nilai, kebutuhan atau kesempatan yang belum terpenuhi, yang dapat diidentifikasi untuk kemudian diperbaiki atau dicapai melalui tindakan publik. Pengetahuan mengenai masalah apa yang memerlukan
12
pemecahan membutuhkan informasi tentang nilai yang pencapaian nilai-nilai dan merupakan penyelesaian terhadap suatu masalah. Informasi mengenai kondisi yang menimbulkan masalah adalah sangat penting dalam mengidentifikasi masa depan kebijakan. Proses penetapan suatu kebijakan dapat dikaji dari aspek input dan output. Faktor-faktor input terdiri dari persepsi, organisasi, tuntutan, dukungan, dan keluhan. Sedangkan unsur kebijakan antara lain adalah regulasi, distribusi, redistribusi, kapitalisasi dan nilai-nilai etika. Outputnya antara lain adalah aplikasi, penegakan hukum, interpretasi, evaluasi, legitimasi, penyesuaian, dan penarikan diri atau pengingkaran (Parsons 2005). Mulai tahun 2001 pembangunan ekonomi daerah di Indonesia memasuki babak baru. Secara formal ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 pada tahun 2001. Intinya kedua UU tersebut memuat pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Tahun 2004 kedua UU tersebut telah direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004. Secara substansial yuridis, kedua UU tersebut
merubah sistem kebijakan
pembangunan daerah yang selama ini sentralistik menjadi desentralistik. Begitu pula dengan Kabupaten Kutai Kartanegara, implikasi UU tersebut munculnya kewenangan yang cukup besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah. Kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara dengan konsep GERBANG DAYAKU, meletakkan pemberdayaan masyarakat sebagai komponen utama dalam pembangunan. Secara yuridis formal dijabarkan dalam Perencanaan Pembangunan Lima Tahunan dalam bentuk Program Pembangunan Daerah (Propeda) yang menjadi program makro pembangunan Kabupaten Kutai Kartanegara. Program pembangunan yang tertuang dalam Propeda tersebut selanjutnya dijabarkan kedalam Perencanaan Strategis (Renstra). Melalui program GERBANG DAYAKU kebijakan pembangunan kehutanan salah satunya diarahkan untuk menjamin kelangsungan penyediaan dan perluasan keanekaragaman hasil hutan bagi pembangunan industri. Dalam hal ini kebijakan sektor kehutanan khususnya penebangan hutan adalah satu program untuk
13
penyediaan bahan baku industri kayu, yang diharapkan dipenuhi dari hutan alam produksi seluas 2.474.674 ha di Kabupaten Kutai Kartanegara (Anonim 2001). Pengelolaan areal hutan produksi seluas tersebut dikelola oleh perusahaan yang diberikan hak konsesi pengelolaan hutan berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH), yang pada tahun 2001 berjumlah sebanyak 20 HPH.
Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya tanah, air, dan vegetasi serta manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam dengan segala interaksinya yang berfungsi untuk menampung dan menyimpan air hujan kemudian menyalurkan ke laut melalui suangai utama. Interaksi tersebut digambarkan dalam bentuk keseimbangan masukan dan keluaran yang mencirikan keadaan hidrologis DAS. Kualitas ekosistem DAS dapat dilihat dari output ekosistem tersebut dan secara fisik antara lain dapat diukur dari besarnya erosi, sedimentasi, aliran permukaan, fluktuasi debit dan produktivitas lahan. Secara umum DAS dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase tinggi, kemiringan lereng yang tinggi (>15%) dengan jenis vegetasi tegakan hutan (Asdak 2002). Bagian hilir DAS dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase kecil, kemiringan lereng kecil (<8%), sebagian diantaranya merupakan daerah banjir, dan didominasi jenis vegetasi tanaman pertanian. Bagian tengah DAS merupakan daerah transisi di antara DAS hulu dan DAS hilir. Ketiga bagian DAS ini mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain. Ekosistem DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS (Asdak 2002). Bagian DAS hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi. Hubungan antara masukan dan keluaran dari DAS yang bersangkutan dapat digunakan untuk menganalisis dampak suatu kegiatan pada lingkungan, terutama pengaruhnya di daerah hilir. Secara tidak langsung DAS dapat dipandang sebagai suatu ekosistem yang menghasilkan produk berupa barang dan jasa. Barang yang dihasilkan oleh komponen DAS yaitu yang dapat diukur berupa produktivitas, sedangkan jasa
14
merupakan produk ekonomis dari DAS yang tidak dapat diukur. Oleh karenanya dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya keseimbangan antara kepentingan ekosistem dengan kepentingan ekonomi sehingga bisa memberikan manfaat secara berkelanjutan
Dampak Penebangan Hutan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya dalam penjabaran UU tersebut hutan dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan fungsinya, yaitu (i) hutan produksi, (ii) hutan konservasi, dan (iii) hutan lindung. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok dalam memproduksi hasil hutan. Sedangkan hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Salah satu bentuk pemanfaatan fungsi hutan produksi secara langsung adalah pemungutan hasil hutan berupa kayu. Pemungutan hasil hutan berupa kayu pada hutan alam produksi di Indonesia telah mulai pada awal tahun 1970-an, dan menjadi primadona sumber devisa negara kedua setelah migas era tahun 1980 hingga tahun 1990-an akhir. Namun disisi lain kegiatan penebangan hutan ini juga berdampak
terhadap
deforestasi
yang
akhirnya
menimbulkan
degradasi
lingkungan secara luas. Soerianegara (1990) menyebutkan bahwa penebangan hutan alam akan berdampak terhadap enam hal yaitu, (i) iklim, (ii) geomorfologi, (iii) keadaan tanah, (iv) kondisi perairan (sungai), (v) keanekaragaman flora dan fauna, dan (vi) sosial ekonomi. Eksploitasi hutan menyebabkan perubahanperubahan dari komposisi jenis, spesies-spesies dominan, dan perubahan pada ekosistem hutan yang bersangkutan (Prastowo dan Kusnaryono 1992, Retnowati 1995). Pemanenan kayu dari hutan tropis telah memberikan keuntungan sosial ekonomi bagi manusia, tapi pada saat yang sama menimbulkan masalah. Penebangan hutan akan mengakibatkan perubahan kondisi biologis dan habitat
15
dari hutan awal yang tidak dapat dihindarkan. Berbagai macam spesies yang secara ekonomi mungkin lebih penting daripada kayu dapat hilang. Perubahan habitat dapat menghasilkan perubahan populasi fauna, gulma, kecepatan pertumbuhan yang lambat dari pohon-pohon yang secara ekonomis penting pada tegakan sisa, perubahan mikro fauna dan mikro flora dalam tanah (Kartawinata 1977). Dampak yang sama akibat penebangan hutan dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) juga ditemukan pada hasil penelitian Retnowati (1995), dimana terjadi perubahan struktur vegetasi, komposisi jenis, dan perubahan iklim mikro. Lebih spesifik dampak penebangan terhadap vegetasi, menunjukkan terjadi penurunan jumlah regenerasi vegetasi jenis meranti merah dan keruing serta ukuran pola penyebaran setelah 34 tahun penebangan pada hutan dipterocarpaceae dataran rendah di Malaysia (Manokaram 1998). Dampak yang sangat penting terhadap satwa liar adalah disebabkan karena perubahan penyetaraan dan kelimpahan makanan, terjadi perubahan fungsi komunitas vegetasi, berubahnya iklim mikro, dan berkurangnya tempat berkembangbiak atau tempat berlindung (Retnowati 1995). Kegiatan TPTI pada hutan alam produksi telah mengubah fungsi komunitas vegetasi yang merupakan habitat Primata (Retnowati 1995, Laidlaw 1998). Pengaruh eksploitasi hutan terhadap primata dapat disebabkan 3 hal (Marsh et al. 1987); pertama, suara yang ditimbulkan alat-alat berat (traktor, truk, gergaji mesin) dan rusaknya habitat dapat menimbulkan stress dan mengubah perilaku. Kedua, rusaknya pohon-pohon penghasil buah dan rusaknya pohon atau cabang yang dipergunakan untuk berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Ketiga, setelah penebangan, regenerasi pohon sangat lambat, seringkali kondisi semula tidak dapat terbentuk. Rusa dan babi hutan dapat beradaptasi dengan kegiatan penebangan hutan, karena di daerah bekas tebangan banyak ditemui tembusan rumput hijau, banyak pohonpohon yang tumbang kemudian dihancurkan mikroorganisme. Akibatnya, binatang buas seperti harimau loreng Sumatera banyak berkeliaran di daerah pengusahaan hutan untuk mencari makanannya (Alikodra 1992). Keberadaan hutan pada suatu DAS dapat mengurangi terjadinya erosi dan sedimentasi, sehingga dapat menghasilkan kualitas air yang tinggi. Luas hutan dan perlakuan pengelolaannya, secara langsung akan mempengaruhi kuantitas dan
16
kualitas air yang dihasilkan (Manan 1995). Penebangan hutan menyebabkan hilangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air, karena hilangnya tajuk pohon dan serasah. Terbukanya permukaaan tanah pada areal tebangan mengakibatkan tetesan air hujan yang besar langsung jatuh ke permukaan tanah dan menyebabkan tanah tererosi. Tingginya aliran permukaan membawa butiran-butiran tanah yang tererosi mengalir ke aliran sungai dan menjadi sedimen. Sedimen meliputi tanah dan pasir, bersifat tersuspensi yang masuk ke badan perairan. Keberadaan sedimen pada badan air mengakibatkan peningkatan kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya dan transfer oksigen dari atmosfer ke perairan, juga menghambat daya lihat organisme perairan. Sedimen juga menyebabkan hilangnya tempat memijah yang sesuai bagi ikan, karena sedimen menutupi substrat, sehingga organisme yang membutuhkan substrat sebagai tempat hidupnya dan sebagai tempat berlindung menjadi terganggu (Effendi 2000). Pada umumnya pengaruh dari kegiatan penebangan hutan terhadap tanah adalah tanah menjadi kurus dan berkurangnya daya menahan air
(sehingga
limpasan permukaaan dan erosi meningkat), lebih sering terjadi banjir, dan kekeringan (Soerianegara 1990). Peralatan berat yang melintasi sekitar 50% areal tebangan menyebabkan kenaikan kerapatan isi tanah, penurunan kecepatan infiltrasi, kenaikan limpasan permukaan dan kandungan lempung. Memburuknya sifat-sifat fisik tanah, berpengaruh buruk pula pada fungsi hidrologis. Alat-alat berat menyebabkan tanah menjadi padat, struktur tanah memburuk dan aerasi tanah menurun (Hamzah 1975, Elias 2002). Banjir besar yang terjadi di Sumatera Utara di penghujung 2001 dan awal 2002 dengan kerugian ratusan milyar rupiah disebabkan oleh pengrusakan hutan yang besar-besaran karena pemberian Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu oleh Pemda di Era Otda (Alikodra dan Syaukani 2004). Pengelolaan Hutan Produksi Prinsip kelestarian hutan diindikasikan oleh 3 (tiga) fungsi pokok yang saling terkait dan tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lainnya, yaitu:
17
1. Fungsi ekologis, sebagai suatu sistem penyangga kehidupan antara lain pengatur tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan iklim mikro, penghasil udara bersih, menjaga siklus makanan serta sebagai tempat pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. 2. Fungsi ekonomis, sebagai sumber yang menghasilkan barang dan jasa baik yang terukur seperti hasil hutan berupa kayu dan non kayu, maupun yang tidak terukur seperti jasa ekoturisme. 3. Fungsi sosial, sebagai sumber penghidupan dan lapangan kerja serta kesempatan berusaha bagi sebagian masyarakat terutama yang hidup di dalam dan sekitar hutan, serta untuk kepentingan pendidikan dan penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sistem TPTI adalah salah satu sistem silvikultur yang merupakan subsistem dari sistem pengelolaan hutan lestari yang diterapkan pada hutan alam daratan. Praktik pengusahaan hutan secara komersial yang mulai marak tahun 1980-an dengan sistem TPTI mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan yang mengatur tidak cukup memadai dalam pelaksanaan pengelolaan hutan secara lestari (Reksosudarmo 2003), sehingga menyebabkan kerusakan hutan alam produksi. Kegagalan kebijakan tersebut, dibedakan atas dua, yaitu: (i) kebijakan yang mengabaikan kelestarian sumberdaya hutan dan (ii) kebijakan yang ditujukan untuk pengelolaan hutan lestari tidak diterapkan dengan baik, bahkan tidak diterapkan sama sekali. Pengabaian peran kelembagaan dalam pengelolaan hutan alam produksi, termasuk institusi dan organisasi yang bertanggung jawab merupakan salah satu penyebab kerusakan alam produksi (Kartodihardjo 2003). Selanjutnya disebutkan bahwa penguatan peran kelembagaan pengelolaan hutan yang mampu mengidentifikasi permasalahan spesifik wilayah adalah faktor penting untuk mewujudkan
peningkatan
kinerja
penyelenggaraan
kehutanan,
termasuk
pengelolaan hutan alam poduksi. Kelembagaan atau institusi adalah aturan main, norma-norma, laranganlarangan, kontrak, dan sebagainya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat (Douglass North 1990 dan Garry Rodgers 1994 dalam Nugroho 2006). Selanjutnya Kasper dan Streit (1998) menyatakan bahwa
18
kelembagaan merupakan aturan main yang mengatur hubungan antar manusia untuk menghambat munculnya perilaku oportunistik dan saling merugikan, sehingga perilaku manusia dalam memaksimumkan kesejahteraan individualnya lebih dapat diprediksi. Kelembagaan berperan sebagai berikut: (i) menentukan kesempatankesempatan ekonomi individu dan hasil akhir interaksi antar individu/organisasi terhadap kinerja ekonomi dan pengelolaan sumberdaya agar tidak saling merugikan melalui aksi bersama (collective action), dan (ii) mengatur interdependensi antar manusia terhadap sesuatu, kondisi atau situasi melalui inovasi hak kepemilikan (proverty rights), batas yurisdiksi (jurisdiction boundary) dan aturan representasi (rules of representation). Dalam kelembagaan selalu disertai sanksi-sanksi baik formal dan informal yang disepakati dan penegakannya (Kasper dan Streit 1998). Konsep Valuasi Ekonomi Dalam setiap kegiatan pembangunan sebagai implementasi suatu kebijakan pembangunan selalu timbulnya biaya dan manfaat yang merupakan dampak negatif dan positif
akibat dari kegiatan atau kebijakan tersebut.
Untuk
menyatakan bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak atau tidak layak diperlukan suatu perbandingan yang menghasilkan suatu nilai atau suatu rasio yang dinyatakan dalam rupiah. Tanpa pemberian nilai dalam rupiah akan sulit untuk menyatakan bahwa suatu kegiatan atau kebijakan itu layak dilaksanakan (Suparmoko 2002). Nilai (value) merupakan persepsi seseorang; yaitu harga yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu pada tempat dan waktu tertentu. Kegunaan, kepuasaan, dan kesenangan merupakan istilah lainnya yang dapat diterima dan berkonotasi nilai atau harga. Ukuran harga ditentukan oleh waktu, barang, atau uang yang akan dikorbankan seseorang untuk memiliki atau menggunakan barang atau jasa yang diinginkannya. Penilaian adalah kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan konsep dan metodologi untuk nilai barang dan jasa (Davis dan Johnson 1987).
19
Nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan dan kesenangan yang diperoleh oleh individu atau masyarakat, tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh dari jual beli, tetapi semua barang dan jasa yang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia. Baik barang publik maupun privat akan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian manfaat fungsi ekologis pada hakekatnya juga mempunyai nilai ekonomi, karena jika fungsi ekologis tersebut terganggu maka akan menimbulkan kerugian berupa bencana atau kerusakan. Valuasi ekonomi dengan menggunakan nilai uang sebagai indikasi penerimaan dan kehilangan manfaat atau kesejahteraan akibat kerusakan lingkungan (Pearce dan Turner 1993). Dalam hal ini diperlukan pemahaman nilai macam apa saja yang dapat diberikan kepada suatu sumberdaya alam dan lingkungan sebelum pemberian nilai dalam bentuk moneter. Konsep nilai bermacam-macam, sebab menyangkut berbagai macam tujuan yang berkaitan dengan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan itu sendiri. Dalam berbagai literatur pada dasarnya nilai lingkungan terdiri atas: (1) nilai atas dasar penggunaan (use value), dan (2) nilai yang terkandung di dalamnya atau tanpa penggunaan (non-use value). Nilai atas dasar penggunaan menunjukkan kemampuan lingkungan apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan, sedangkan nilai yang terkandung dalam lingkungan adalah nilai yang menempel pada lingkungan tersebut. Berdasarkan penggunaannya nilai tersebut dibedakan lagi atas nilai penggunaan langsung (direct use value), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value), dan nilai atas dasar pilihan penggunaan (option use value). Selanjutnya nilai atas dasar tanpa penggunaan dibedakan menjadi nilai warisan (bequest value) dan nilai karena keberadaannya (existence value). Komponen-komponen nilai penggunaan tersebut disajikan pada Gambar 3. Secara matematis untuk menentukan nilai lingkungan secara keseluruhan atau nilai total (Total Economic Value = TEV) merupakan penjumlahan nilai dari penggunaan langsung, nilai penggunaan tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaannya (Suparmoko 2002). Persamaannya adalah sebagai berikut : NET = NP + NNP = (NPL + NPTL + NP) + (NK + NW)
20
Dimana : NET NP NNP NPL NPTL NP NK NW
= = = = = = = =
nilai ekonomi total (total economic value) nilai penggunaan (use value) nilai non-penggunaan (non-use value) nilai penggunaan langsung (direct use value) nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) nilai pilihan masa depan (option value) nilai keberadaan (existence value) nilai warisan (bequest value)
Nilai Ekonomi Total (NET)
Nilai Penggunaan
Nilai Penggunaan Langsung
Hasil yang dapat dikonsumsi secara langsung
• • • •
Makanan Biomassa Rekreasi Kesehatan
Nilai Penggunaan Tidak Langsung
Keuntungan yang bersifat fungsional
• Fungsi ekologis • Pengendali banjir • Perlindungan badai
Nilai Non-penggunaan
Nilai Pilihan
Nilai Keberadaan
Nilai Lain-lain
Nilai masa depan langsung maupun tidak langsung
Nilai pengetahuan dari keadaan yang lestari
• Biodiversity • Konservasi habitat
• Habitat • Spesies langka
Gambar 3. Komponen-komponen Nilai Ekonomi Total (Askary 2004 diadaptasi dari The United Nations University & The World Bank 1995)
21
Analisis Biaya Manfaat Analisis biaya manfaat atau Cost Benefit Analysis adalah suatu alat untuk menyusun suatu kebijakan yang memungkinkan pengambilan keputusan memilih diantara berbagai alternatif dalam pengelolaan atau pemanfaatan suatu sumberdaya, dengan mempertimbangkan semua biaya dan manfaat yang timbul dalam masyarakat baik yang memiliki hubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan kebijakan tersebut, baik internal maupun eksternal dan baik terukur secara langsung atau tidak. Metode analisis biaya manfaat sebagai suatu metode dalam analisis publik memiliki beberapa keunggulan dan keterbatasan (Dunn 2003). Keunggulannya adalah meliputi : 1. Biaya maupun manfaat dinyatakan dalam satuan ukuran yang sama (uang) 2. Memungkinkan untuk melihat manfaat dan biaya pada masyarakat secara keseluruhan. 3. Memungkinkan analisis yang dapat membandingkan program secara luas dalam lapangan yang berbeda. Sedangkan keterbatasannya adalah : 1. Tekanan yang terlalu eksklusif pada efisiensi ekonomi yang dapat berarti bahwa kriteria keadilan menjadi tidak berarti atau tidak dapat diterapkan. 2. Nilai uang tidak cukup untuk mengukur daya tanggap (responsiveness), karena adanya variasi pendapatan antar masyarakat. 3. Saat harga pasar tidak tersedia bagi suatu barang yang cukup dianggap penting, analisis ini sering menggunakan harga bayangan berdasarkan pendekatan kesediaan untuk membayar (willingness to pay) yang terkadang bersifat sangat subyektif.
Proses Hirarki Analitik Proses Hirarki Analitik merupakan salah satu metode dalam sistem pengambilan keputusan. Menurut Eriyatno (2003), sistem pengambilan keputusan dimaksudkan untuk memaparkan secara terinci elemen-elemen sistem sehingga dapat menunjang manajer dalam pengambilan keputusannya. Marimin (2004) menyebutkan terdapat empat karakteristik utama dalam sistem pengambilan
keputusan , yaitu: (1) menggabungkan data dan model menjadi satu bagian, (2) dirancang untuk membantu para manager (pengambil keputusan dari masalah yang bersifat semi terstruktur atau tidak terstruktur), (3) lebih cenderung dipandang sebagai penunjang penilai manager dan sama sekali bukan untuk menggantikannya, dan (4) tehnik yang dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas dari pengambil keputusan. Proses Hirarki Analitik (PHA) atau Analytical Hierarchy Process (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L., Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an (Saaty 1993). Proses hirarki analitis pada dasarnya dirancang untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur untuk sampai pada satu skala preferensi diantara berbagai alternative. Analisis ini diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah yang memerlukan pendapat (judgement), atau pada situasi yang kompleks atau tidak berkerangka, pada situasi yang kompleks atau tidak berkerangka, pada situasi data atau informasi statistik sangat minim atau tidak sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasarkan oleh persepsi, pengalaman dan instuisi. Proses hirarki analitis adalah sebuah hirarki dengan input utamanya adalah persepsi manusia. Suatu masalah yang tidak terstruktur dipecahkan ke dalam kelompok-kelompok manusia yang kemudian diatur menjadi hirarki. Dalam penerapannya suatu tujuan yang bersifat umum dijabarkan kedalam sub-sub tujuan, dilakukan dalam beberapa tahap sehingga diperoleh tujuan operasional. Proses hirarki analitis dikembangkan untuk memecahkan masalah kompleks dengan aspek atau criteria yang diambil cukup banyak. Kompleksitas disebabkan oleh struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian persepsi pengambilan keputusan serta ketidakpastian tersedianya data statistik yang akurat. Proses hirarki analitis mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi obyektif dan multi criteria, berdasarkan perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki (Saaty 1993). Tahapan dalam penerapan PHA adalah sebagai berikut (Ma’arif dan Tanjung 2003) ; (1) Identifikasi sistem, (2) Penyusunan hirarki , (3) Penilaian
23
kriteria dan alternatif, (4) Penentuan prioritas relatif, (5) Pengujian konsistensi, dan (6) Sintesa prioritas alternatif. Pengujian konsistensi dapat memiliki dua makna, yaitu: (a) obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansinya, (b) tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Tahap paling penting dari PHA adalah tahap penilaian pasangan (judgement) antar faktor pada suatu tingkat hirarki. Penilaian ini dilakukan dengan memberikan bobot numerik atau verbal berdasarkan perbandingan berpasangan antar faktor yang satu dengan faktor yang lainnya. Selanjutnya melakukan analisis untuk menentukan faktor mana yang paling tinggi atau paling rendah peranannya terhadap level atas di mana faktor tersebut berada. Penilaian diperoleh melalui partisipan yang akan mengevaluasi setiap himpunan faktor secara berpasangan satu dengan yang menyatakan kepentingan faktor tersebut pada tingkat yang lebih tinggi pada hirarki yang dibentuk. Keberhasilan penggunaan PHA tergantung pada bagaimana penggunaan hirarki yang tepat dan problema yang tidak teratur untuk sampai pada pengambilan keputusan, karena PHA mampu menkonversi faktor-faktor yang tak dapat diukur (intangible) ke dalam aturan yang biasa dibandingkan. Untuk menilai perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lain, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala PHA yang disarankan oleh Saaty (1993) pada Tabel 1. Menurut Saaty (1993), ada beberapa konsep dari PHA dalam kerangka manfaat dan biaya, yaitu : 1. PHA berbeda dengan BCA yang konvensional, karena PHA mampu mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur ke dalam aturan yang biasa yang memungkinkan untuk perbandingan dan evaluasi. 2. PHA dapat juga digunakan untuk memecahkan masalah dalam pengambilan keputusan manfaat biaya yang kompleks dan pengalokasian yang melibatkan sumberdaya. 3. Tujuan PHA dalam pengalokasian sumberdaya adalah untuk menangani kriteria yang berkaitan dengan evaluasi manfaat dari berbagai alternatif, dan untuk menangani kriteria yang berkaitan dengan biaya.
24
Tabel 1. Skala Banding Secara Berpasangan Model Saaty (1993) Tingkat Kepentingan
Definisi
1
Kedua elemennya sama pentingnya
3
5
7
9
2,4,6,8 Nilai Kebalikan
Penjelasan
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar pada sifat itu Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan petimbangan penting dari pada elemen yang lain sedikit menyokong satu elemen atas lainnya Elemen yang satu esensial atau sifat Pengalaman dan pertimbangan lebih pentingnya menonjol dengan kuat menyokong satu dibanding elemen yang lainnya elemen atas elemen yang lainnya Satu elemen jelas lebih penting dari Satu elemen dengan kuat elemen lainnya (sifat sangat penting sokong, dominansinya memiliki yang menonjol) tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Satu elemen mutlak lebih penting Bukti yang menyokong elemen dibanding elemen lainnya yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Nilai-nilai antara di antara dua Kompromi diperlukan antara pertimbangan yang berdekatan dua pertimbangan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan nilai i
25
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di DAS Mahakam bagian hilir, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian di DAS Mahakam bagian hilir dilakukan di Sub DAS Mahakam Hilir, Desa Sungai Meriam dan Desa Kutai Lama, Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur . Sedangkan untuk daerah hulu DAS (Sub DAS Mahakam Hulu dan DAS Belayan) hanya berdasarkan data sekunder jumlah HPH yang melakukan eskploitasi hutan di daerah hulu. DAS bagian hulu dan bagian hilir dijadikan lokasi penelitian dengan asumsi bahwa : 1. Aktivitas di daerah hulu akan berdampak terhadap daerah hilir (Asdak 2002). 2. Desa Sungai Meriam dan Desa Kutai Lama merupakan desa yang berada di daerah hilir Sungai Mahakam. 3. Nelayan di Desa Sungai Meriam dan Desa Kutai Lama adalah nelayan melakukan penangkapan ikan di muara Sungai Mahakam yang terkena dampak negatif akibat sedimentasi yang mengurangi jumlah tangkapan. Penelitian lapang dilakukan selama bulan Mei 2006. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Teknik Penentuan Responden Unit responden dalam penelitian ini adalah nelayan Desa Sungai Meriam dan Desa Kutai Lama yang terkena dampak sedimentasi di daerah hilir akibat penebangan hutan di daerah hulu. Pengambilan sample nelayan dilakukan secara sengaja (purposive sampling) sebanyak 30 responden berdasarkan kelompok petani nelayan yang berada di kedua desa tersebut. Sedangkan untuk analisis kebijakan sektor kehutanan dalam penelitian ini adalah semua stakeholders yang berkepentingan terhadap kebijakan Pemda Kabupaten Kutai Kartanegara. Responden ditentukan secara sengaja (purposive sampling) sebanyak 10 orang pakar yang terdiri atas pemerintah daerah (Bappeda, Dinas Kehutanan, dan Bapedalda) , tokoh masyarakat, swasta, perguruan tinggi dan LSM. Jumlah responden selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
26
Kab. KUTAI TIMUR
SAMARINDA Kec. Anggana
Kab. KUTAI BARAT
Kab. PASIR
BALIKPAPAN
Gambar 4. Lokasi Penelitian Tabel 2. Responden untuk analisis kebijakan sektor kehutanan No. Responden Jumlah Keterangan 1. Pemerintah Daerah : - Bappeda 1 Kasubdit. Lingkungan Hidup dan SDA - Bapedalda 1 Kabid. Pemantauan dan Pemulihan - Dinas Kehutanan 1 Kasi. Perencanaan 2. Swasta 3 Perusahaan HPH 3. Masyarakat 1 Tokoh masyarakat 4. LSM 2 WALHI dan JARI 5. Perguruan Tinggi 1 Dosen Universitas Kutai Kartanegara Jumlah 10
27
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder dan data primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari obyek yang diteliti atau pengukuran langsung di lapangan, sedangkan data sekunder adalah data yang sudah dalam bentuk jadi, misalnya data dalam bentuk dokumen dan publikasi. Data primer diperoleh melalui pendekatan
wawancara terstruktur
(menggunakan kuesioner) dan melalui wawancara dengan responden. Data sekunder diinventarisasi dan ditelusuri dari Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, Badan Planologi Departemen Kehutanan, Dinas Kehutanan Kab. Kutai Kartanegara, Bappeda, hasil penelitian terdahulu dan Biro Pusat statistik serta dinas/instansi terkait lainnya. Jenis dan sumber data pada penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian No.
Metode Pengambilan Data (Jenis Data)
Issu Penting
Parameter
Sumber Data
1.
Manfaat ekonomi sektor kehutanan
- PDRB Kab. Kukar dari sektor kehutanan
- BPS Kab. Kutai Kartanegara
- Data sekunder
2.
Kerusakan Daerah Hulu DAS Mahakam dan DAS Belayan
- Dinas Kehutanan Kutai Kartanegara
- Data sekunder
3.
Nilai kerusakan daerah hulu DAS Mahakam dan DAS Belayan
- Dinas Kehutanan Kutai Kartanegara
- Data sekunder - Penelusuruan literatur
4.
Nilai Kerusakan Sub DAS Mahakam Hilir akibat sedimentasi Kelayakan Kebijakan Publik (Analisis Kebijakan)
- Luas hutan yang rusak (ha) - Fungsi hidrologi - Erosi tanah - Keanekaragaman hayati - Fungsi hidrologi - Erosi tanah - Unsur hara tanah - Keanekaragaman hayati - Hasil hutan non kayu - Pengurangan hasil tangkapan nelayan (Rp)
- Responden
- Wawancara (Data primer)
- Pendapat pakar swasta, birokrat, masyarakat, PT, dan LSM
- Responden
- Wawancara (Data primer)
5.
28
Analisis Data Data yang terkumpul, baik yang berupa data primer dan data sekunder kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan yang ditetapkan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kuantitatif dilakukan untuk menghitung nilai kerusakan di daerah hulu DAS Mahakam dan DAS Belayan serta hilir Sub DAS Mahakam Hilir dan analisis kebijakan dengan menggunakan metode Proses Hirarki
Analitik.
Analisis
deskriptif
dilakukan
untuk
menjelaskan
dampak/kerusakan lingkungan di hulu dan hilir yang tidak bisa dikuantifikasi secara moneter. 1. Evaluasi Dampak Evaluasi dampak dilakukan dengan mengidentifikasi kerusakan yang terjadi. Prosedur dalam menentukan kerusakan lingkungan/dampak lingkungan mengacu pada Keputusan Kepala Bapedal No. 056 Tahun 1994 tentang kriteria penentuan dampak penting. Berdasarkan Kepka Bapedal No 056 tersebut, suatu dampak terhadap lingkungan dikatakan penting mengacu pada : (1) Jumlah manusia yang terkena dampak, (2)
Luas wilayah persebaran dampak, (3)
Lamanya dampak
berlangsung, (4) Intensitas dampak, (5) Banyak komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak, (6) Sifat kumulatif dampak, dan (7) Berbalik atau tidak berbaliknya dampak. Kriteria tersebut dapat dijelaskan lagi sebagai berikut : (1) Jumlah manusia yang terkena dampak : manusia di wilayah studi yang terkena dampak lingkungan tetapi tidak menikmati mafat dari usaha atau kegiatan, jumlahnya sama atau lebih besar dari jumlah manusia yang menikmati manfaat dari usaha atau kegiatan di wilayah studi. (2) Luas wilayah persebaran dampak : kegiatan mengakibatkan adanya wilayah yang mengalami perubahan mendasar dari segi intensitas dampak, atau tidak berbaliknya dampak, atau segi kumulatif dampak. (3) Lamanya dampak berlangsung : karena kegiatan menimbulkan perubahan mendasar dari segi intensitas dampak atau tidak berbaliknya dampak, atau segi
29
kumulatif dampak yang berlangsung hanya pada satu atau lebih tahapan kegiatan. (4) Intensitas dampak : melebihi baku mutu lingkungan, melampaui kriteria yang diakui secara ilmiah, species langka atau endemik terancam, menimbulkan kerusakan kawasan lindung, memusnahkan benda-benda atau bangunan bersejarah, mengakibatkan konflik atau kontroversi, mengubah areal yang mempunyai keindahan. (5) Banyaknya komponen lingkungan yang terkena dampak : menimbulkan dampak sekunder dan dampak lanjutan lainnya yang jumlah komponennya lebih atau sama dengan komponen lingkungan yang terkena dampak primer. (6) Sifat kumulatif dampak : berlangsung berulangkali dan terus-menerus, dampak bertumpuk pada suatu ruang tertentu sehinga tidak dapat diasimilasi, menimbulkan efek saling memperkuat. (7) Berbalik atau tidaknya dampak : perubahan tidak dapat dipulihkan kembali walaupun dengan intervensi manusia. Pengukuran dampak dalam penelitian ini tidak dilakukan secara langsung, tetapi menggunakan data sekunder dan penelusuran kajian ilmiah dampak penebangan hutan terhadap hidrologi, tanah, erosi, sedimentasi, keanekaragaman hayati dan iklim mikro. Dengan mengasumsikan kondisi kajian dampak penebangan hutan tersebut serupa dengan kondisi di Kabupaten Kutai Kartanegera, maka kerusakan hutan akibat penebangan hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara dapat diprediksi. Berdasarkan data sekunder jumlah volume kayu rata-rata yang ditebang setiap tahun di Kabupaten Kutai Kartanegara, dengan menggunakan asumsi produktivitas hutan produksi 30 m3 per hektar, maka luas kerusakan hutan akibat penebangan setiap tahun dapat dihitung. Selanjutnya dilakukan evaluasi dampak penebangan berdasarkan asumsi-asumsi kajian ilmiah. 2. Valuasi Ekonomi Kebijakan eksploitasi hutan akan berdampak positif (benefits) dan negatif (cost). Dampak positif yang ditimbulkan adalah meningkatnya perekonomian, penghitungan komponen dampak positif dilakukan secara sederhana yaitu dalam bentuk penambahan PDRB. Dampak negatif akibat eksploitasi hutan yang akan
30
terjadi diperkirakan terdiri atas erosi tanah, penurunan kesuburan tanah, sedimentasi, peningkatan aliran permukaan dan debit sungai/terganggunya fungsi hidrologi, penurunan kualitas air sungai, penurunan keanekaragaman hayati (vegetasi dan satwaliar), dan perubahan iklim mikro. Valuasi ekonomi terhadap dampak/kerusakan lingkungan yang diperkirakan timbul dari eksploitasi hutan yang berada dalam ekosistem DAS Mahakam dilakukan setelah identifikasi dan evaluasi dampak (Askary 2001). Nilai ekonomi total (NET) adalah konsep yang digunakan untuk mengestimasi biaya atau nilai kerusakan atau dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan. Dalam penelitian ini, nilai ekonomi kerusakan di hulu dibatasi nilai kerusakan kawasan hutan akibat eksploitasi hutan yaitu nilai fungsi hidrologi, nilai erosi tanah, nilai penurunan kesuburan tanah, dan nilai keanekaragaman hayati (penurunan jenis vegetasi dan satwaliar). Sedangkan nilai kerusakan di daerah hilir dibatasi pada nilai kerusakan akibat sedimentasi pada perairan di muara Sungai Mahakam. Secara matematis nilai lingkungan secara keseluruhan atau nilai ekonomi total (NET) merupakan penjumlahan nilai dari penggunaan langsung, nilai penggunaan tidak langsung, nilai pilihan dan nilai keberadaannya (Suparmoko 2002). Rumus NET secara matematis adalah sebagai berikut :
NET = NP + NNP = (NPL + NPTL + NP) + (NK + NW)
Dimana : NET NP NNP NPL NPTL NP NA NW
= = = = = = = =
nilai ekonomi total (total economic value) nilai penggunaan (use value) nilai non-penggunaan (non-use value) nilai penggunaan langsung (direct use value) nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value) nilai pilihan masa depan (option value) nilai keberadaan (existence value) nilai warisan (bequest value)
Untuk pengukuran nilai kerusakan yang tidak dilakukan secara langsung, valuasi ekonomi dampak menggunakan hasil perhitungan berdasarkan referensi atau dengan metode benefit transfer (Askary 2001).
31
Valuasi Dampak Erosi Tanah Valuasi kerusakan lingkungan karena terjadinya erosi tanah dilakukan dengan pendekatan tidak langsung yaitu pendekatan biaya pengganti (replacement cost). Pendekatan ini menggunakan pengeluaran (expenditure) untuk mengganti suatu sumberdaya lingkungan atau barang-jasa buatan manusia atau aset.
Valuasi Dampak Penurunan Kesuburan Tanah Terjadinya erosi yang mengikis lapisan permukaan tanah atas yang merupakan bagian tanah yang subur atau kaya akan unsur hara. Valuasi hilangnya unsur hara tanah pada kawasan hutan sebagai akibat dampak dari kegiatan pemamenan kayu/eskploitasi hutan didekati dengan metode pendekatan biaya pengganti (replacement cost). Unsur hara tanah yang hilang jika diasumsikan tanah subur umumnya terdiri atas unsur N, P, dan K, maka nilai kesuburan tanah akan didekati dengan menggunakan harga pupuk di pasar pada tahun 2001. Valuasi Dampak Terhadap Fungsi Hidrologi Fungsi hidrologi atau pengatur tata air pada ekosistem adalah menjaga keseimbangan masukan dan keluaran air pada musim hujan dan musim kemarau. Eksploitasi hutan menyebabkan fungsi hidrologi terganggu karena berkurangnya penutupan vegetasi pohon. Efeknya disaat musim hujan terjadi peningkatan aliran permukaan dan debit sungai. Teknik valuasi yang digunakan pada dampak terganggunya fungsi hidrologi menggunakan metode benefit transfer. Valuasi Dampak Sedimentasi Transpor sedimen yang terus masuk ke muara Sungai Mahakam menyebabkan rusaknya habitat ikan. Teknik valuasi kerusakan lingkungan karena sedimentasi ini dilakukan berdasarkan Perubahan Pendapatan Nelayan (Change in Income Technique). Pada kondisi adanya kaitan langsung antara dampak lingkungan dan pendapatan, maka dampak lingkungan dapat dihitung sebagai perubahan pendapatan. Dalam penelitian ini sedimentasi berpengaruh pada penurunan hasil
32
tangkapan nelayan. Secara matematis rumus untuk menghitung perubahan pendapatan adalah sebagai berikut : P = x-y Dimana : P = Perubahan pendapatan nelayan x = Pendapatan Nelayan dari hasil tangkapan ikan sebelum terjadi sedimentasi separah kondisi saat ini (lima tahun yang lalu/tahun 2000) y =
Pendapatan dari hasil tangkapan ikan setelah terjadi sedimentasi (tahun 2006)
Valuasi Dampak Terhadap Keanekaragaman Hayati Kegiatan penebangan hutan berdampak terhadap penurunan keanekaragaman hayati. Aktivitas pemanenan kayu berdampak terhadap vegetasi dan satwa liar (keanekaragaman hayati). Teknik valuasi yang digunakan pada dampak penurunan keanekaragaman hayati dalam penelitian ini menggunakan metode benefit transfer. 3. Analisis Biaya dan Manfaat Untuk mengetahui biaya dan manfaat dari eksploitasi hutan dilakukan analisis biaya manfaat. Menurut Bann (1998) digambarkan dalam formulasi sebagai berikut : T
T
BCR = (∑ Bt / (1 + r ) / ∑ Ct / (1 + r ) t =1
dimana : Bt Ct t r BCR B
= = = = =
t
r
t =1
Manfaat yang diperoleh dari proyek (Rp) Biaya kerugian akibat eksploitasi hutan (Rp) Kurun waktu penilaian (5 tahun) Faktor diskonto (discount rate) Rasio manfaat biaya (Benefit cost Ratio)
Kriteria penilaian yang digunakan adalah bila BCR lebih besar dari satu maka keputusan eksploitasi hutan layak untuk dikembangkan dari segi ekonomi.
33
4. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan dilakukan untuk menganalisis kebijakan sektor kehutanan, khususnya penebangan hutan. Metode analisis yang digunakan adalah Proses Hirarki Analitik (PHA) yang dikembangkan oleh Thomas L.Saaty. Metode PHA didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu, melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi di antara berbagai set alternatif. Responden terdiri atas 10 orang pakar yang berasal dari Bappeda, Dinas Kehutanan, Bapedalda, tokoh masyarakat, swasta, perguruan tinggi, dan LSM. Proses hirarki analitis melalui tahapan sebagai berikut : (1) identifikasi masalah, (2) penyusunan hierarki, (3) penyusunan matrik gabungan, (4) pengolahan vertikal, (5) penghitungan vektor prioritas. Hirarki kebijakan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005 disajikan pada Lampiran 1. Data hasil wawancara kemudian diolah menggunakan software Expert Choice.
34
KONDISI UMUM WILAYAH Kondisi Geografis Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki luas wilayah 27.263,10 km2 terletak pada garis dasar bujur antara 115026’ Bujur Timur sampai dengan 117036’ Bujur Timur dan 1028’ Lintang Utara sampai dengan 1008’ Lintang Selatan. Pasca pemekaran wilayah Kabupaten kutai Kartanegara terbagi menjadi 18 kecamatan. Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Bulungan, Kabupaten Kutai Timur dan Kota Bontang pada bagian Utara, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makasar, pada sisi sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat. Topografi
wilayah
Kabupaten
Kutai
Kartanegara
sebagian
besar
bergelombang dan berbukit dengan kemiringan landai sampai curam. Daerah dengan kemiringan datar sampai landai dengan ketinggian 7-25 m dpl terdapat di beberapa bagian yaitu pada kawasan pantai dan sebagian besar Daerah Aliran Sungai Mahakam. Berdasarkan ketinggian wilayah dpl Kabupaten Kutai Kartanegara dibagi menjadi 6 kelas wilayah, dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Penyebaran dan Luas Masing-Masing Kelas Ketinggian Kabupaten Kutai Kartanegara Kelas Ketinggian (m) Luas (km2) Persentase 0–7 2.933,48 10,98 7 – 25 7.898,12 19,06 25 – 100 8.448,83 30,20 100 – 500 4.375,75 24,86 500 – 1000 3.546,82 14,70 Jumlah 27.546,82 100,00 Sumber : Propeda Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2001-2005 No 1 2 3 4 5
Wilayah dengan ketinggian 0-7 m dpl, merupakan daerah pesisir yang selalu tergenang, tanah bersifat organik kadang-kadang asam, daerah endapan sungai dengan kelembaban udara dan suhu yang tinggi. Wilayah yang mempunyai ketinggian 7-25 m dpl dengan kondisi permukaan tanah datar sampai landai, kondisi air tanah yang baik dan mudah dicapai, tanah cukup dalam dan subur, dan sangat cocok untuk persawahan. Ketinggian 25-100 m dpl dengan sifat-siat fisik
35
antara lain mempunyai permukaan tanah yang cekung, lereng, landai sampai bergelombang, permukaan tanah kasar, cocok untuk perkebunan terutama tanaman keras, erosi mudah terjadi. Pada wilayah ketinggian 100-500 m dpl dengan kondisi fisik permukaan tanah bergelombang sampai berbukit, sangat rentan terjadi erosi karena kelerengan yang tinggi sedangkan wilayah pada ketinggian 500-1000 m dpl permukaan tanah berbukit sampai bergunung, dengan curah hujan tinggi dengan kelerengan diatas 40%, mudah terjadi erosi, sesuai untuk hutan lindung. Kabupaten Kutai Kartanegara tergolong kelompok tipe iklim tropika humaida, dengan jenis tanah bereaksi asam. Menurut Soil Taxonomi USDA jenis tanah di Kabupaten Kutai Kartanegara tergolong ke dalam jenis tanah : Ultisol, Entisol, Histosol, Incepticol dan Molisol atau bila menurut Lembaga Penelitian Tanah Bogor terdiri dari jenis tanah : Podsolik, Andosol, Renzina dan Alluvial. Jenis Podsolik merupakan jenis tanah yang mendominasi lahan di Kabupaten Kutai Kartanegara dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai daerah pertanian. Ditunjang curah hujan yang tinggi maka persediaan air di daerah ini cukup untuk mengairi lahan pertanian. Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara sangat dipengaruhi oleh iklim tropis basah yang bercirikan curah hujan cukup tinggi dengan penyebaran merata sepanjang tahun sehingga tidak terdapat pergantian musim yang jelas. Curah hujan terendah dai 0 – 2000 mm/th tesebar di wilayah pantai dan semakin meningkat ke wilayah pedalaman. Curah hujan di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegaradapat dibagai 6 (enam) klasifikasi curah hujan dengan penyebarn sebagai berikut : 1. Curah hujan antara 1500 – 2000 mm/th meliputi luas 13.515,50 km2 atau 14,22 % dari luas wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara tersebar di bagian Timur sepanjang pantai. Bulan lembab yaitu pada Agustus dan September. 2. Curah hujan antara 2000 – 2500 mm/th dengan luas penyebaran 22.264,67 km2 atau 23,42 % sebagain besar terdapat di Kecamatan Kota Bangun, bulan lembab pada bulan Juli dan Agustus. 3. Curah hujan antara 2500 – 3000 mm/th dengan luas penyebaran mencapai 13.464,80 km2 atau 14,17 % dari luas wilayah kawasan dengan curah hujan ini
36
terletak di bagian tengah wilayah Kabupaten membujur dari utara ke selatan, dengan kondisi yang selalu lembab. 4. Curah hujan antara 3000 – 4000 mm/th meliputi luas 9.565,32 km2 atau 10,06 % dai luas wilayah terletak pada ujung Barat. Kawasan ini mempunyai bulan lembab dan bulan kering. 5. Curah hujan antara 3500 – 4000 mm/th meliputi luas 10.277,00 km2 atau 10,81 % dari luas wilayah. Kawasan ini terdapat sebagian bulan lembab dan bulan kering. 6. Curah hujan lebih dari 4000 mm/th meliputi luas 29.953,71 km2 atau 27,30 % dari luas wilayah terletak pada ujung Barat Kabupaten Kutai Kartanegara. Pada kawasan ini tidak terdapat bulan lembab dan kering. Secara rinci data curah hujan di Kabupaten Kutai Kartanegara per bulan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Banyaknya hari hujan dan curah hujan di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara selama 5 tahun ( Tahun 1997 s/d Tahun 2001) No
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember T o t al
1997 CH HH 316 14 237 13 170 12 168 11 113 8 69 5 65 3 99 7 65 3 99 7 135 8 218 11 1754 102
1998 CH HH 32 2 150 2 4 1 81 5 349 12 421 15 281 12 426 14 281 12 426 14 395 14 557 25 3403 128
1999 CH HH 408 15 391 18 517 16 447 14 288 14 243 12 218 10 209 10 418 10 329 16 497 15 230 13 4195 163
2000 CH HH 328 14 351 14 359 14 387 13 364 13 388 14 294 11 250 9 172 8 293 15 367 15 187 11 3740 151
2001 CH HH 89 13 107 13 129 11 295 12 218 10 101 8 80 7 33 3 137 8 53 9 49 11 111 24 1402 129
Sumber : Kutai Kartanegara Dalam Angka Tahun 2001 Demografi dan Sosial Penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara dari tahun ke tahun mencatat kenaikan yang cukup berarti. Jumlah penduduk pada tahun 1990 sebesar 340.069 jiwa, tahun 2000 meningkat menjadi 427.791 jiwa, berarti pertumbuhan dalam sepuluh tahun sebesar 2,40 persen per tahunnya. Pada tahun 2003 jumlah penduduk mencapai 487.297 jiwa. Pola persebaran penduduk Kabupaten Kutai
37
Kartanegara menurut luas wilayah sangat timpang. Sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat kepadatan penduduk antara wilayah kecamatan sangat mencolok. Dengan luas wilayah 27.263,10 km2 pada tahun 2003 di huni oleh 487.297 jiwa, berarti tiap-tiap 1 km2 di huni sekitar 17 jiwa. Kepadatan penduduk terbesar berada di Kecamatan Tenggarong sekitar 171 jiwa per km2. Dari komposisi penduduk menurut jenis kelamin menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki di Kabupaten Kutai Kartanegara masih lebih banyak dibanding perempuan. Ini terlihat dari rasio jenis kelamin yang lebih besar dari 100, selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kabupaten Kutai Kartanegara Kecamatan Samboja Muara Jawa Sanga-Sanga Loa Janan Loa Kulu Muara Muntai Muara Wis Kota Bangun Tenggarong Sebulu Tenggarong Seberang Anggana Muara Badak Marang Kayu Muara Kaman Kenohan Kembang Janggut Tabang Total 2001
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Rasio Jenis Kelamin
18.701 10.681 5.975 19.970 14.979 7.683 3.526 12.948 31.787 15.442 21.546 9.792 14.313 10.250 13.912 5.001 5.752 4.968 227.211
17.148 9.632 5.518 19.925 13.552 7.113 3.382 11.739 29.056 13.852 19.173 8.874 12.531 9.489 12.579 4.585 5.200 4230 207.548
35.849 20.313 11.493 39.895 28.531 14.796 6.908 24.687 60.843 29.294 40.719 18.666 26.844 19.739 26.491 9.586 10.952 9.198 434.759
109,06 110,89 108,28 100,23 110,53 108,01 104,26 110,30 109,40 111,48 112,38 110,34 114,22 108,02 110,60 109,07 110,62 117,45 109,47
Sumber : BPS Kabupaten Kutai Kartanegara (2001) Dilihat dari aspek pendidikan, rata-rata penduduk yang berumur 10 tahun keatas yang tamat SD pada tahun 2002 sebesar 25,25 persen penduduk. Yang berpendidikan setingkat SLTA sebesar 16,73 persen penduduk, sedangkan yang berpendidikan SLTA kebawah sekitar 72,53 persen.
38
Perekonomian Implementasi kebijakan otonomi daerah yang bermodalkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang kemudian juga direvisi melalui Undang-undang No 33 tahun 2004 telah memberi ruang gerak yang leluasa bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan seluruh bidang kewenangan pemerintah daerah. Kewenangan tersebut salah satunya mengelola sumberdaya alam di daerah. Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki sumberdaya alam yang berlimpah seperti batubara, minyak mentah, gas bumi, hasil pertanian dan hasil hutan. Sumber perekonomian Kabupaten Kutai Kartanegara berasal dari sumberdaya alam tersebut yang dapat dibedakan menjadi dua, yakni sumberdaya alam yang terpulihkan (renewable resource) dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resource). Untuk sumberdaya alam yang terpulihkan Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki empat jenis sumberdaya yang dominan, yaitu kehutanan, perkebunan, perikanan dan pertanian. Sedangkan batubara, minyak mentah, dan gas bumi merupakan kelompok sumberdaya alam yang tidak bisa pulih. Seluruh sumberdaya alam tersebut adalah aset potensial untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal jika dikelola secara bijak. Untuk mencapai sasaran, kehandalan dan peranan para perencana pembangunan dan pengambil keputusan di daerah menjadi sangat penting karena akan menentukan arah dan prioritas pembangunan daerah hingga mencapai hasil yang optimal. Dari segi ekonomi keberhasilan pembangunan daerah merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan hasil-hasil kegiatan ekonomi. Secara statistik hasil pembangunan regional dapat diukur dengan besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dari hasil penghitungan PDRB lima tahun terakhir diketahui bahwa perekonomian Kabupaten Kutai Kartanegara sangat didomonasi sektor pertambangan, dimana lebih dari 78 persen dari nilai PDRB berasal dari sektor pertambangan, terutama dari batubara, minyak dan gas bumi. Kemudian disusul sektor kehutanan dan perikanan.
39
Menangkap ikan (nelayan) dan bertani sangat mewarnai kehidupan masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara. Subsektor perikanan, berperan sangat besar terhadap pendapatan masyarakat secara langsung, terutama bagi kalangan menengah ke bawah. Mata pencaharian ini ditunjang oleh keberadaan Sungai Mahakam. Hasil subsektor perikanan berupa produksi dan nilai ikan dari perairan umum lima tahun terakhir disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Produksi dan nilai ikan perikanan umum tahun 2000-2004 Tahun Produksi (Ton) 2000 23.638,50 2001 16.079,00 2002 4.378,30 2003 19.814,40 2004 6.817.40 Sumber : BPS Kabupaten Kutai Kartanegara 2000-2004
Nilai (Rp) 111.696.800.000 51.848.150.000 156.905.650.000 -
Kebijakan Sektor Kehutanan Luas hutan produksi yang meliputi hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah 1,01 juta hektar. Hingga tahun 2001 tercatat sebanyak 15 HPH yang masih aktif dan jumlah ini terus menurun hingga tahun 2005 hanya tersisa 5 HPH yang melakukan eksploitasi hutan. Total produksi kayu bulat pada tahun 2001 sebesar 89.885,15 m3 dengan perincian 13.701,28 m3 dari TPTI dan 76.183,87 m3 dari IPK. Sektor pertanian menyumbang PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara sebesar Rp 2,19 trilyun pada tahun 2001. Dalam Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kab. Kutai Kartanegara, bidang kehutanan masuk dalam Wilayah Pengembangan Terpadu II (Wilayah Tengah) yang mencakup 6 (enam) Kecamatan, yaitu : Kecamatan Tenggarong, Tenggarong Seberang, Sebulu, Muara Kaman, Loa Kulu dan Loa Janan. Wilayah Tengah ini berada pada ketinggian 7 – 25 m dpl dengan kelerengan landai (8155%) sampai agak curam (15-25%). Wilayah ini merupakan daerah kantong pangan dengan potensi lahan basah 35.296 ha dan lahan kering 116.943 ha. Produksi pada sawah pada 6 (enam) kecamatan ini mencapai 115.736,16 ton dan padi ladang 10.737,36 ton (BPS 2001).
40
Pembangunan
kehutanan
diarahkan
untuk
menjamin
kelangsungan
penyediaan dan perluasan keanekaragaman hasil hutan bagi pembangunan industri, perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, sumber pendapatan negara, memacu pembangunan daerah serta menjaga fungsinya sebagai penentu ekosistem untuk memelihara tata air, plasma nutfah, kesuburan tanah dan iklim. Areal hutan produksi di Kabupaten Kutai Kartanegara dikelola oleh 20 HPH dan 10 HPHTI, dengan kebijakan di bidang kehutanan yang menyangkut pengusahaan hutan, yaitu “Pemanfaatan kawasan hutan tetap, peningkatan mutu dan produktivitas hutan negara dan hutan rakyat sekaligus efisiensi dan produktivitas pengelolaan hutan dan hasil hutan.”
41
HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Kerusakan Lingkungan Kebijakan sektor kehutanan yang dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada program penebangan hutan. Dalam Program Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005 kegiatan eksploitasi hutan ditetapkan pada Wilayah Pembangunan Terpadu III (Wilayah Hulu) yang berada dalam ekosistem DAS Belayan dan DAS Mahakam. Hasil evaluasi prakiraan dampak lingkungan kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005 di sektor kehutanan dilakukan dengan menggunakan data sekunder (pendekatan AMDAL) dibedakan atas dampak positif dan negatif. Evaluasi dampak positif dari kebijakan sektor kehutanan adalah pertumbuhan ekonomi lokal, kesempatan kerja dan kesempatan berusaha. Pertumbuhan ekonomi lokal sebagai dampak positif diasumsikan terwakili oleh PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara dari sektor kehutanan. Evaluasi dampak negatif dari eksploitasi hutan adalah peningkatan aliran permukaaan dan debit sungai yang berdampak terjadinya banjir (terganggunya fungsi hidrologi), peningkatan erosi tanah, penurunan kesuburan tanah, sedimentasi yang berdampak pada kualitas air sungai, penurunan keanekaragaman hayati (vegetasi dan satwa liar) dan perubahan iklim mikro. Kegiatan eksploitasi hutan yang paling dominan mengakibatkan kerusakan lingkungan menurut skala besarnya berturut-turut adalah kegiatan pembukaan wilayah hutan, pengangkutan, penyaradan, dan penebangan (Elias 2002), yang berdampak penting negatif terhadap kerusakan lingkungan seperti hidrologi, erosi, kesuburan tanah, dan vegetasi. Penggunaan alat-alat berat seperti traktor pada sistem penyaradan dapat mempercepat terjadinya kerusakan permudaan, tegakan sisa dan erosi permukaan tanah (Alikodra 1990). Dari data Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara dan BPS terungkap volume kayu hasil penebangan dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) sebesar 1.103.812,50 m3 selama periode tahun 2001-2005. Dengan asumsi produktivitas hutan produksi 30 m3/ha (FAO dan GOI 1990, Dephutbun 1999 dalam Kartodihardjo 2003), volume tebangan selama 5 tahun tersebut kalau dikonversi ke dalam luas hutan menjadi sekitar 36.793,75 ha
42
atau 7.358,75 ha/tahun. Luasan ini diasumsikan sebagai lahan hutan yang terdegradasi akibat penebangan kayu selama periode tersebut, dan menyebabkan dampak negatif sebagai berikut: (i) terganggunya fungsi hidrologis, (ii) peningkatan erosi tanah, (iii) penurunan kesuburan tanah, (iv) sedimentasi yang berdampak pada kualitas air sungai, (v) penurunan keanekaragaman hayati, dan (vi) perubahan iklim mikro. (i) Terganggunya Fungsi Hidrologi Gangguan pada fungsi hidrologi hutan adalah kemampuan mengatur tata air dimana akan mengurangi laju aliran permukaan di musim hujan, menyimpan dalam bentuk air tanah dan mengalirkan ke sungai-sungai, mata air di musim kemarau sehingga tidak terjadi krisis air di musim kemarau. Dampak penebangan hutan terdapat hidrologi adalah meningkat aliran permukaan dan debit sungai. Meningkatnya aliran permukaan pada saat musim hujan karena kondisi lahan yang terbuka sebagai akibat kegiatan penebangan, terutama pada kegiatan pembukaan wilayah hutan (PWH). Beberapa kajian ilmiah menunjukkan kenaikan hasil air sebagai reaksi terhadap eksploitasi hutan dan pada umumnya sebanding dengan jumlah tajuk yang hilang (Bosch dan Hewlett 1982, Hibbert 1967, Lin 1981, Nakano 1967, Pearce 1980, O’loughlin 1981 dalam Hamilton dan King 1992). Hasil penelitian serupa di Pulau Laut Kalimantan Selatan oleh Fakultas Kehutanan IPB (1985) menunjukkan bahwa kegiatan PWH mengakibatkan peningkatan aliran permukaan sebesar 31 kali akibat hujan sebesar 17 mm, dengan aliran permukaan sebesar 3 m3 per hektar dan di areal PWH sebesar 94 m3 per hektar. Dalam skala DAS dampak peningkatan aliran permukaan berakumulasi dengan kegiatan penebangan dan penyaradan akan berdampak lanjutan terhadap fluktuasi debit sungai. Secara keseluruhan selain tergantung dari faktor iklim, juga ditentukan oleh faktor biofisik DAS yang meliputi faktor tanah, topografi dan penutupan vegetasi lahan. Peningkatan debit sungai akan menyebabkan banjir pada daerah-daerah yang bercurah hujan tinggi tetapi pengaruhnya lebih pendek karena pertumbuhan kembali yang cepat.
43
(ii) Peningkatan Erosi Tanah Erosi merupakan peristiwa terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari dari suatu tempat lain oleh media alami. Pada eksploitasi hutan, mengacu pada konsep DAS, erosi tanah akan menyebabkan terkikisnya lapisan tanah dan terangkut oleh arus air pada saat hujan ke bagian hilir DAS yang kemudian diendapkan disana. Hutan bermanfaat secara tidak langsung sebagai pencegah erosi. Penggunaan alat-alat berat seperti traktor pada sistem penyaradan dapat mempercepat erosi permukaan tanah (Alikodra 1990) Lai (1993) menyatakan bahwa pada hutan yang sudah dilakukan penebangan besarnya erosi yang terjadi adalah sekitar 27,31 m3 per hektar per tahun. Hasil penelitian Ruslan dan Manan (1980) dalam Elias (2002) pada jalan sarad HPH di Kalimantan Selatan menunjukkan besaran erosi pada jalan sarad yang belum dilakukan penyaradan 129,57 ton per hektar per tahun dan jalan sarad yang telah dilakukan penyaradan 154,77 ton per hektar per tahun. Hasil penelitian Solihin (1995) dalam Elias (2002) pada jalan sarad areal HPH di Kalimantan Tengah menunjukkan laju erosi jalan sarad yang telah tiga bulan ditinggalkan mencapai 107,64 ton per hektar per tahun. Dengan demikian, besaran erosi akibat penebangan hutan adalah penjumlahan dari besarnya erosi pada hutan yang sudah ditebang dan laju erosi pada jalan sarad. Mengacu pada berbagai penelitian tersebut, maka dengan luas hutan yang ditebang rata-rata 7.358,75 ha/tahun dapat diperkirakan besarnya erosi tanah pada areal terbuka penebangan adalah 200.967,46 m3/tahun 1 . Sedangkan erosi tanah pada areal penyaradan berdasarkan beberapa hasil penelitian (Ruslan dan Manan 1980, Elias 2002, Solihin dalam Elias 2002) adalah sebesar 2.884.482,82 ton/tahun. Selanjut total tanah yang tererosi karena dampak kegiatan penebangan hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah 3.232.156,53 ton per tahun atau 439,23 ton per hektar. Besaran erosi akibat dampak penebangan hutan ini termasuk kelas erosi sangat berat (Suripin 2002), yang menyatakan bahwa tingkat laju erosi yang nilainya > 250 ton/ha termasuk kelas erosi sangat berat. Perkiraan jumlah tanah yang tererosi selama tahun disajikan pada Gambar 5. Jumlah tahun 1
Berat jenis lumpur (mud, fluid) 1 m3 = 1,73 ton (http://www.csgnetwork.com/specificgravmattable.html [20 September 2006])
44
berikutnya adalah penjumlahan dari tahun sebelumnya, jadi tahun terakhir pada gambar adalah menunjukkan jumlah total tanah yang tererosi dari tahun 20012005. (iii) Penurunan Kesuburan Tanah Hutan berfungsi juga dalam menjaga kesuburan tanah. Kegiatan penebangan kayu berdampak terhadap tanah, yang pada akhirnya mengakibatkan penurunan kesuburan tanah. Kegiatan eskploitasi hutan yang berdampak pada tanah (Elias 2002) disebabkan (1) pemadatan tanah disebabkan penggunaan alat-alat berat dalam penebangan kayu, (2) terbukanya permukaan tanah akibat penebangan, pembuatan jalan sarad, tempat pengumpulan kayu, jalan angkutan dan penyaradan. Keterbukaan lahan atau tanah akibat penebangan dan penyaradan per satuan luas sangat tergantung dari intensitas penebangan. Hasil penelitian Elias (2002) menunjukkan keterbukaan lahan/tanah akibat penebangan kayu sebesar 2.780 m2 per hektar.
18.000.000
16.160.782,65
16.000.000 12.928.626,12
14.000.000 12.000.000
9.696.469,59
10.000.000 Jumlah tanah tererosi
6.464.313,06
8.000.000 6.000.000
3.232.156,53 4.000.000 2.000.000 0
2001
2002
2003
2004
2005
Gambar 5. Prakiraan jumlah tanah yang tererosi (iv) Sedimentasi Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut karena proses erosi adalah berupa sedimen. Sedimen yang terbawa oleh limpasan atau aliran air akan terendap pada suatu tempat karena kecepatan airnya melambat atau terhenti pada
45
saluran sungai, waduk, danau maupun kawasan tepi teluk/laut yang disebut sedimentasi (Arsyad 1989). Erosi dapat mempengaruhi produktivitas lahan yang biasanya mendominasi DAS bagian hulu dan dapat memberikan dampak negatif pada DAS bagian hilir (sekitar muara sungai) yang berupa hasil sedimen. Dampak penebangan hutan dari segi hidrologi akan meningkatkan sedimentasi dan perubahan pola aliran sungai. Pengaruh negatifnya terhadap DAS mengakibatkan sedimentasi dan turbiditas di sungai yang akan berdampak pada daerah hilir. Sumber utama endapan berasal dari jalan angkutan, jalan sarad, tempat pengumpulan kayu, tempat penimbunan kayu dan tempat-tempat penyeberangan yang tertimbun tanah. Hasil kajian ilmiah di Kalimantan Timur menunjukkan terjadinya peningkatan kandungan lumpur pada bagian sungai yang letaknya dekat dengan daerah eksploitasi kayu (Hamzah 1978 dalam Hamilton dan King 1992). Peningkatan jumlah sedimen dalam aliran sungai mencapai 33 kali lipat pada sejumlah kawasan penebangan di Kalimantan (Tarrant dkk 1987). (v) Penurunan Keanekaragaman Hayati Hutan Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati bernilai tinggi, selain memberikan manfaat langsung berupa kayu juga memberikan manfaat hasil hutan non kayu seperti rotan, bambu, getah, madu, tanaman obat-obatan, buah dan lainnya. Manfaat dari hasil hutan non kayu ini telah memberikan kontribusi terhadap pendapatan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan (local people). Dari kekayaan hayati hasil hutan non kayu ini, Indonesia memasok sekitar 80% kebutuhan rotan dunia di pasar internasional (Setyawati dan Kalima 1996). Kegiatan eksplotasi hutan juga akan berdampak pada keanekaragaman hayati baik vegetasi maupun satwa liar. Kerusakan pada vegetasi, dimana akan terjadi perubahan komposisi tegakan, struktur tegakan, penyebaran jenis pohon, kesamaan komunitas, kerusakan permudaan, dan keragaman jenis (Alikodra 1990, Prastowo dan Kusnaryono 1992, Retnowati 1995, Elias 2002). Kerusakan yang terlalu berat pada vegetasi, berdampak sulitnya pemulihan kembali dan menyebabkan kualitas dan produktivitas hutan menurun. Pemanenan kayu (baca: penebangan) dari hutan tropis telah memberikan keuntungan sosial ekonomi bagi manusia, tapi pada saat yang sama menimbulkan masalah. Penebangan hutan akan mengakibatkan perubahan kondisi bilologis dan habitat dari kondisi hutan awal
46
yang tidak dapat dihindarkan. Berbagai macam species yang secara ekonomi mungkin lebih penting daripada kayu akan hilang atau punah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan dampak eksploitasi hutan terhadap penurunan keanekaragaman satwa liar (Alikodra 1992, Retnowati 1995). Terjadinya penurunan keanekaragaman satwa liar ini disebabkan berubahnya iklim
mikro,
berkurangnya
kelimpahan
makan,
berkurangnya
tempat
berkembangbiak (MacKinnon 1975, Retnowati 1995). Valuasi Ekonomi Kerusakan Lingkungan Pada dasarnya penilaian (valuasi) ekonomi terhadap barang dan jasa sumberdaya alam adalah memperhitungkan manfaat yang diperoleh dan biaya yang ditimbulkan jika sumberdaya alam tersebut rusak atau biaya-biaya lainnya untuk memperoleh manfaat sumberdaya alam tersebut. Valuasi Ekonomi Dampak Hidrologi Penilaian nilai ekonomi hidrologi atau tata air dalam penelitian ini diestimasi dengan menggunakan metode benefit transfer. Untuk mengestimasi nilai hidrologi dalam penelitian ini menggunakan perkiraan nilai menurut Constanza (1997) dalam NRM (2001) yang menyatakan bahwa nilai persediaan air atau pengaturan air hutan tropis diperkirakan 21 US$ per hektar per tahun. Berdasarkan nilai koefisien tersebut maka estimasi nilai ekonomi pengaturan air (tata air) pada hutan yang dieksploitasi adalah Rp 189.000 per hektar per tahun, dengan asumsi (1 US$ = Rp 9.000). Mengingat luas hutan produksi yang rusak akibat penebangan pada tahun 2001 adalah 7.358,75 hektar, maka estimasi nilai ekonomi
hilangnya
fungsi
hutan
sebagai
pengaturan
air
sebesar
Rp
1.390.803.750,00 per tahun. Dengan demikian total discounted cost dari dampak terganggunya fungsi hidrologi adalah Rp 5.268 milyar (discount rate = 10% selama lima tahun). Nilai discount rate 10% yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan tingkat suku bunga 17% = SBI (Sertifikat Bank Indonesia) atau bunga antar bank; 13% (deposito perorangan) pada tahun 2001. Penggunaan nilai SBI tahun 2001 untuk estimasi nilai ekonomi dampak, dengan mengasumsikan tahun ke-0 adalah tahun 2001. Untuk mendapatkan tingkat bunga riil, tingkat
47
bunga harus dikurangi tingkat inflasi. Inflasi pada awal tahun 2001 berkisar 2-3%. Dengan demikian tingkat suku bunga konsumen pada tahun 2001 adalah 13% dikurangi tingkat inflasi tertinggi tahun 2001, yaitu sebesar 3%, maka diperoleh tingkat suku bunga konsumen sebesar 10% per tahun. Data selengkapnya disajikan pada tabel berikut. Tabel 8. Estimasi nilai dampak terhadap fungsi hidrologi Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
Rp (miyar) 1,390 1,390 1,390 1,390 1,390 Total
Discount Rate (10%) 0,909 0,826 0,751 0,683 0,621
Rp (milyar) 1,264 1,148 1,044 0,949 0,863 5,268
Valuasi Ekonomi Dampak Erosi Tanah Menggunakan pendekatan biaya pengganti (replacement cost) estimasi nilai dampak erosi tanah akibat penebangan kayu dapat dihitung secara moneter. Darusman (2003) menyatakan bahwa biaya pengganti didasarkan pada biaya penggantian atau pemulihan aset yang mengalami kerusakan. Jadi untuk memulihkan kondisi lingkungan di hulu, tanah yang tererosi sebanyak 3.232.156,53 ton/tahun diasumsikan dikembalikan ke tempat semula
dengan
menggunakan armada truk. Jika diasumsikan satu truk mampu mengangkut 5 ton tanah, maka diperlukan sekitar 646.431 truk. Kalau masing-masing truk diperkirakan disewa selama 300 hari kerja, maka akan diperlukan sebanyak 2.155 truk. Perkiraan nilai sewa truk pada daerah penelitian sebesar Rp 400.000 per hari, maka estimasi biaya yang diperlukan untuk mengembalikan tanah ke daerah hulu agar kondisi tanah kembali seperti semula adalah sebesar Rp 862.000.000,00 per tahun. Nilai total discounted cost dari dampak terjadinya erosi tanah diestimasi sebesar Rp. 3,267 milyar (discount rate = 10% selama 5 tahun), data disajikan Tabel 9.
48
Tabel 9. Estimasi nilai dampak erosi tanah Tahun
Rp (milyar)
2001 2002 2003 2004 2005
0,862 0,862 0,862 0,862 0,862 Total
Discount Rate (10%) 0,909 0,826 0,751 0,683 0,621
Rp (milyar) 0,784 0,712 0,647 0,589 0,535 3,267
Valuasi Ekonomi Dampak Kesuburan Tanah Berdasarkan besarnya tanah yang tererosi akibat penebangan hutan sebesar 3.232.156,53 ton per tahun, untuk menghitung nilai dampak penurunan kesuburan tanah dalam penelitian ini diestimasi dengan pendekatan biaya pengganti. Karena umumnya tanah terdiri atas unsur N 70%, unsur P 20% dan unsur K 10%. Selanjutnya tanah yang hilang didekati dari ketiga harga pupuk tersebut di pasaran. Berdasarkan harga pupuk pada tahun 2001, harga pupuk N Rp 1.100 per kg, harga pupuk P Rp 1.300 per kg, dan harga pupuk K Rp 1.500 per kg, maka estimasi biaya dampak
kehilangan unsur hara (nutrisi) adalah sebesar Rp
3.813,945 milyar per tahun. Nilai total discounted cost dari dampak penurunan kesuburan tanah atau hilangnya zat hara tanah selama lima tahun diperkirakan sebesar Rp 14,455 triliun, data selengkapnya disajikan pada tabel berikut. Tabel 10. Estimasi nilai dampak hilangnya zat hara Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
Rp (milyar) 3.813,945 3.813,945 3.813,945 3.813,945 3.813,945 Total
Discount Rate (10%) 0,909 0,826 0,751 0,683 0,621
Rp (milyar) 3.466,876 3.150.319 2.864,273 2.604,924 2.368,460 14.454,852
Valuasi Ekonomi Dampak Sedimentasi Pada ekosistem DAS kerusakan daerah hulu (erosi daerah hulu) akan berdampak sedimentasi pada daerah hilir. Daerah hilir merupakan penerima dampak semua aktivitas dari daerah hulu, tengah maupun hilir sendiri. Jika kondisi daerah hulu baik, maka daerah hilir akan menerima dampak positifnya,
49
begitu juga sebaliknya. Kecamatan Anggana termasuk daerah hilir Sungai Mahakam yang menerima dampak negatif dari kerusakan daerah hulu, tengah dan hilir sendiri. Valuasi dampak negatif di daerah hilir akibat kerusakan pada daerah hulu didekati dengan penurunan pendapatan nelayan. Sedangkan untuk metode penilaian dampak sedimentasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Teknik Perubahan Pendapatan (change in income technique). Polusi sedimen pada perairan sebagai dampak lanjutan terjadinya erosi tanah dapat menyebabkan pendangkalan sungai sehingga kapasitas sungai menurun yang dapat mengakibatkan banjir dan mengganggu transportasi sungai, meningkatnya kekeruhan air sungai dan mengurangi fotosintesa oleh tanaman air (Hardjowigeno 2003). Pencemaran sungai Mahakam baik karena sedimentasi maupun pencemaran limbah industri akan berdampak pada penurunan produksi biomassa ikan. St-Onge dan Magnan (2000) menyatakan kegiatan penebangan hutan berdampak signifikan terhadap penurunan kelimpahan, pertumbuhan dan struktur populasi ikan. Rendahnya proporsi ikan kecil pada danau yang terkena dampak pada kondisi yang cukup parah akan menimbulkan kematian. Sedimentasi yang terus mengalir dari hulu menyebabkan kondisi perairan Sungai Mahakam menurun, terus menyusut, mempersempit ruang gerak biota air. Sedimen berperan dalam mengurangi kelimpahan jumlah dan jenis ikan (Effendi 2000). Hal ini didukung oleh pernyataan 100 persen responden yang menyatakan bahwa kelimpahan jumlah dan jenis ikan di muara Sungai Mahakam terus menurun dari waktu ke waktu. Nelayan Desa Sungai. Meriam dan Kutai Lama berpendapat bahwa semakin menurunnya pendapatan mereka karena kondisi Sungai Mahakam yang tercemar baik oleh sedimentasi, limbah tambang batubara maupun limbah rumah tangga. Responden dalam penentuan penurunan hasil tangkapan nelayan adalah nelayan dengan kriteria yang telah melakukan pekerjaan sebagai nelayan penangkap ikan minimal 10 tahun sehingga mengetahui kondisi nelayan sebelum terjadinya pendangkalan seperti saat ini (tahun 2006). Keseluruhan responden masing-masing memiliki sendiri sarana dan prasarana penangkapan seperti perahu yang menggunakan mesin (ketinting), jaring, bubu dan sebagainya. Hari kerja efektif rata-rata nelayan di kedua desa penelitian adalah sembilan belas hari, dimana empat kali melakukan penangkapan
50
di muara sungai Mahkam saat terjadi waktu surut (nelayan Kutai menyebut waktu nyorong) dengan waktu rata-rata selama tiga hari satu kali penangkapan. Sedangkan selama tujuh hari pada saat pasang (konda) nelayan hanya melakukan penangkapan di pinggir Sungai Mahakam. Biasanya hasil tangkapan nelayan pada saat pasang hanya ikan teri, dengan perolehan rata-rata 10 kg per hari, dan dijual kepada pengumpul dengan harga Rp 6.000,00 per kg. Penghasilan rata-rata nelayan per penangkapan di muara adalah sebesar Rp 450.000,00 (kotor) dengan, biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar dan makan sebesar Rp.237.500,00. Sedangkan biaya lain-lain (perahu dan peralatan lain) adalah sebesar Rp 33.574,53. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Pendapatan rata-rata nelayan per bulan tahun 2006 Lokasi Frekuensi Penangkapan Per Bulan Muara 4 kali Sungai 7 kali
Pendapatan Kotor (Rp) 450.000,00 60.000,00
Biaya Penangkapan (Rp) 271.074,53 15.989,76
Pendapatan Bersih (Rp) 178.925,47 41.260,24
Total
Pendapatan Total Per Bulan (Rp) 715.701,88 288.821,68 1.004.523,56
Hasil wawancara dengan responden diperoleh data pendapatan nelayan pada tahun 2001 saat melakukan penangkapan di muara sungai rata-rata sebesar Rp 900.000,00 per sekali penangkapan dengan waktu selama tiga hari di muara sungai. Sedangkan hasil penangkapan di sungai Mahakam saat pasang (hanya menangkap ikan teri di sekitar tempat tinggal mereka) perolehan tangkapan ikan teri rata-rata tahun 2001 sebanyak 65 kg per hari. Prakiraan pendapatan nelayan pada tahun 2001 disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Pendapatan rata-rata nelayan per bulan tahun 2001 Lokasi Frekuensi Pendapatan Biaya Pendapatan Penangkapan Per Kotor/sekali Penangkapan/ Bersih Bulan (Rp) sekali (Rp) (Rp) Muara 4 kali 900.000,00 271.074,53 628.925,47 Sungai 7 kali 390.000,00 15.989,75 374.010,00
Pendapatan Total Per Bulan (Rp) 2.515.701,88 2.618.071,75
Total
5.133.773,63
Berdasarkan hasil olahan data pada kedua tabel 11 dan tabel 12 di atas, pendapatan rata-rata rumah tangga nelayan dari penangkapan ikan di Sungai Mahakam dan di muara sungai pada tahun 2001 rata-rata adalah Rp 5.133.773,63
51
per bulan (dinilai dengan nilai uang 2006) atau Rp 61.605.283,56 per tahun. Sedangkan pendapatan nelayan setelah terjadinya kerusakan atau pendangkalan dan pencemaran Sungai Mahakam (saat penelitian ini dilakukan) adalah sebesar Rp 1.004.523,56 per bulan
atau Rp 12.054.282,72 per tahun. Menggunakan
rumus matematika yang dapat dilihat pada Bab Metode Penelitian, maka perubahan pendapatan nelayan adalah sebagai berikut: P = Rp 5.133.773,63/bulan – Rp 1.004.523,56/bulan = Rp 4.129.250,07/bulan Jumlah tersebut menggambarkan bahwa telah terjadi penurunan kesejahteraan ekonomi rumah tangga nelayan yang signifikan bila dibandingkan pendapatan tahun 2000 dengan pendapatan 2006. Penurunan pendapatan nelayan di bagian hilir DAS Mahakam ini mencapai Rp 4.129.250,07 per bulan. Jika diasumsikan penduduk di kawasan hilir Sub DAS Mahakam Hilir yang menggantungkan hidupnya sebagai nelayan adalah 1.140 orang 2 , dan setiap nelayan berkurang pendapatannya sebesar Rp 4.129.250,07 per bulan atau Rp 49.511.000,84 per tahun maka kehilangan pendapatan dari 1.140 orang nelayan adalah Rp 4.707.345.080,00 per bulan atau sekitar Rp 56,49 milyar per tahun. Nilai total discounted cost dari dampak sedimentasi adalah Rp 214,097 milyar selama lima tahun. Data disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Estimasi nilai dampak sedimentasi terhadap kehilangan pendapatan nelayan Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
Rp (milyar) 56,49 56,49 56,49 56,49 56,49 Total
Discount Rate (10%) 0,909 0,826 0,751 0,683 0,621
Rp (milyar) 51,349 46,661 42,424 38,583 35,080 214,097
Penuturan Syafei Sidik (Dekan FPIK Unmul) pada Kaltim Post (www.kaltimpost.online) tentang kondisi sungai dan perairan di Kalimantan Timur telah mengalami degradasi yang sangat parah, kerusakan hutan manggrove
2
BPS Kecamatan Anggana Dalam Angka 2000
52
dan kerusakan hutan merupakan salah satu kendala serius dalam pengembangan perikanan di provinsi tersebut. Valuasi Ekonomi Dampak Penurunan Keanekaragaman Hayati Hutan alam produksi Indonesia merupakan bagian dari hutan tropis dunia yang kaya akan keanekaragaman hayati. Di samping menghasilkan kayu bulat juga menghasilkan hasil hutan non kayu seperti rotan, makanan, obat-obatan, bahan kosmetik, dan bahan kimia. Hasil penelitian Kim (2002) di Kalimantan Timur memperkirakan nilai hasil hutan non-kayu dari hutan primer sebesar US$44 per ha per tahun, sedangkan dari hutan bekas tebangan sebesar US$35 per ha per tahun. Eksploitasi hutan menimbulkan dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati (vegetasi dan satwa liar) terutama pada kegiatan penebangan dan penyaradan. Penilaian ekonomi dampak penurunan keanekaragaman hayati dalam penelitian ini menggunakan metode benefit transfer pendekatan nilai hasil hutan non kayu. Valuasi nilai dampak penurunan hasil hutan non-kayu dalam penelitian ini menggunakan perkiraan nilai menurut Kim (2002), dengan memperhitungkan penurunan dari hutan primer dan hutan bekas tebangan maka nilai dampak penurunan hasil hutan non-kayu adalah sebesar Rp US$9 per ha per tahun. Berdasarkan nilai koefisien tersebut maka valuasi ekonomi dampak penurunan hasil hutan non-kayu adalah sebesar Rp 596.058.750,00 per tahun dengan asumsi nilai 1US$ adalah Rp 9.000,00. Dengan demikian nilai total discounted cost dari dampak penurunan hasil hutan nir kayu selama lima tahun diperkirakan sebesar Rp. 2,259 milyar. Data selengkapnya disajikan pada tabel berikut. Tabel 14. Estimasi nilai dampak penurunan keanekaragaman hayati Tahun 2001 2002 2003 2004 2005
Rp (milyar) 0,596 0,596 0,596 0,596 0,596 Total
Discount Rate (10%) 0,909 0,826 0,751 0,683 0,621
Rp (milyar) 0,542 0,492 0,448 0,407 0,370 2,259
53
Estimasi Analisis Biaya dan Manfaat Untuk mengetahui perbandingan biaya dan manfaat dari kebijakan sektor kehutanan, dalam hal ini penebangan kayu di Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2001-2005 dilakukan analisis biaya manfaat ekonomi. Manfaat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi total yang diperoleh pemerintah daerah Kabupaten Kutai Kartanegara dalam bentuk Produk Domestik Regional Bruto kurun waktu 2001-2005. Sedangkan biaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi dampak kerusakan lingkungan yang pada akhirnya menimbulkan biaya lingkungan dan biaya sosial. Nilai ekonomi dampak kerusakan lingkungan yang dihitung secara moneter dalam kajian ini meliputi: (i) terganggunya fungsi hidrologi, (ii) erosi tanah, (iii) penurunan kesuburan tanah/hilangnya zat hara, (iv) sedimentasi, dan (v) penurunan keanekaragaman hayati, sebagai akibat eskploitasi hutan selama kurun waktu di atas. Nilai total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kutai Kartanegara dari sektor kehutanan selama lima tahun terakhir sebesar Rp 6,520 trilyun. Sedangkan nilai total kerugian/biaya lingkungan yang mesti ditanggung oleh masyarakat sebagai dampak implementasi kebijakan penebangan hutan diperkirakan mencapai Rp 14,680 trilyun selama lima tahun. Data lengkapnya disajikan pada Tabel 15. Hasil analisis biaya manfaat kebijakan penebangan hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2001-2005 diperoleh nilai Benefit Cost Ratio (BCR) sebesar 0,44. Menurut Bann (1998) apabila nilai BCR kurang dari satu atau sama dengan satu maka kebijakan penebangan hutan tidak layak secara ekonomi. Dari tabel 15 terungkap bahwa implementasi kebijakan pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara di sektor kehutanan periode tahun 2001-2005, khususnya eskploitasi hutan tidak menguntungkan secara ekonomi. Hasil perhitungan dengan menggunakan pendekatan konsep nilai ekonomi total (NET) hutan, menunjukkan bahwa nilai ekonomi yang mesti ditanggung karena kerusakan lingkungan yang disebabkan eksploitasi hutan lebih besar dari nilai manfaat yang diperoleh Kabupaten Kutai Kartanegara.
54
Tabel 15. Perbandingan estimasi nilai manfaat dan biaya kerusakan lingkungan dari kebijakan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2001-2005 Manfaat dan Biaya Manfaat Langsung : - PDRB (kayu) Total manfaat (1) Manfaat Tidak Langsung (Biaya Lingkungan/Sosial*) : - Dampak terhadap fungsi hidrologi - Dampak erosi tanah - Dampak penurunan kesuburan tanah (hilangnya zat hara) - Dampak terjadinya sedimentasi - Dampak terhadap penurunan keanekaragaman hayati Total Manfaat (2) Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Hutan (1 + 2)
Estimasi Nilai dalam milyar rupiah
Keterangan
6.519,930 Lokal, regional, nasional 6.519,930
5,270 Lokal, regional 3,267 Lokal, regional 14.454,852 Lokal 214,097 Lokal, regional 2,259 Lokal, regional 14.679,745 21.199,675
* Manfaat tidak langsung yang hilang akibat eksploitasi hutan, yang pada akhirnya menjadi biaya lingkungan
Manfaat PDRB memberikan kontribusi terhadap perekonomian lokal, regional dan nasional dalam bentuk penerimaan pajak, kesempatan kerja dan berusaha masyarakat lokal. Dalam skala luasnya dampak yang ditimbulkan kegiatan penebangan hutan tidak saja akan berdampak lokal dan regional, tapi juga nasional bahkan global. Terganggunya fungsi hidrologi yang dapat berefek lanjutan terjadinya bencana banjir pada musim hujan dan krisis air di musim kemarau akan menimbulkan dampak pada skala lokal dan regional. Peningkatan erosi tanah karena penebangan hutan akan berdampak secara lokal dan regional. Pada skala lokal akan mempengaruhi kesuburan tanah, karena umumnya tanah yang tererosi adalah tanah lapisan atas yang kaya akan zat hara. Sedimentasi sebagai dampak lanjutan dari erosi tanah berdampak lokal dan regional, pada skala lokal dan regional mempengaruhi pendapatan nelayan yang bergantung pada sungai. Di samping itu pendangkalan sungai akibat sedimentasi telah mengganggu kelancaran sistem transportasi sungai. Penurunan hasil hutan non-kayu berdampak pada skala lokal, dimana terjadi penurunan pendapatan masyarakat sekitar hutan dari hasil hutan non kayu, seperti rotan, madu, buah-buahan dan getah.
55
Valuasi ekonomi yang diperoleh dalam hasil penelitian ini belum menggambarkan secara keseluruhan nilai ekonomi total hutan produksi secara keseluruhan, karena ada beberapa nilai ekonomi yang belum diperhitungkan dalam penelitian ini, seperti kontribusi terhadap pendapatan masyarakat sekitar hutan karena adanya kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi lokal, dan dampak perubahan iklim mikro. Persentase perbandingan antara nilai ekonomi manfaat dan biaya lingkungan yang timbul sebagai efek dari implementasi kebijakan penebangan hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005 menunjukkan manfaat ekonomi yang diterima lebih rendah. Seperti yang disajikan dalam Gambar 6, persentase nilai manfaat ekonomi yang diterima daerah sebesar 31 persen, sedangkan biaya dampak atau nilai ekonomi kerugian yang harus ditanggung terutama oleh masyarakat sebesar 69 persen.
Manfaat 31% Biaya Lingkungan 69%
Gambar 6. Persentase perbandingan nilai manfaat dan biaya lingkungan
Analisis Kebijakan Sektor Kehutanan Analisis Tingkat Kepentingan Suatu kebijakan bersifat dinamis, diperlukan perubahan atau alternatifalternatif lain dalam implementasi kebijakan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan juga analisis kebijakan eskploitasi hutan dengan memperhatikan partisipasi stakeholder yang terkait dengan menggunakan metode PHA. Pelibatan
56
seluruh stakeholder dalam perumusan kebijakan sebelum diimplementasikan adalah salah satu syarat yang harus dilakukan dalam pendekatan metode SEA atau Kajian Lingkungan Strategik. Penentuan prioritas alternatif kebijakan sektor kehutanan khususnya penebangan hutan menggunakan metode PHA melalui wawancara dengan stakeholders. Dalam PHA dilakukan pembobotan (weighting) nilai yang paling berpengaruh terhadap pemilihan kriteria, berdasarkan faktor-faktor yang meliputi faktor ekonomi, terdiri atas produksi maksimum, kelestarian usaha dan pertumbuhan ekonomi; faktor ekologi yang meliputi keanekaragaman hayati, kesuburan tanah dan fungsi hidrologi, dan faktor sosial/budaya yang meliputi akses terhadap sumberdaya hutan, integrasi sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat. Pembobotan setiap level didasarkan pada hasil wawancara dengan stakeholders yang terlibat dalam penentuan alternatif kebijakan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2001-2005. Stakeholders yang terkait adalah kelompok aktor meliputi Pemda, Swasta, Masyarakat, LSM dan Perguruan Tinggi. Hasil analisis data penilaian tingkat kepentingan masing-masing kelompok aktor (level 2) terhadap aspek (level 3) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 16. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 16, terlihat bahwa kelompok aktor pemda, swasta, dan masyarakat memilih aspek ekonomi sebagai prioritas pertama dalam penentuan alternatif kebijakan pembangunan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara. Adapun bobot kepentingan dari masing-masing aktor tersebut adalah sebagai berikut; pemda mempunyai tingkat kepentingan paling tinggi dengan bobot 0,627, kemudian diikuti oleh kelompok aktor swasta dengan bobot sebesar 0,594, dan terakhir kelompok aktor masyarakat dengan bobot 0,528. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa kelompok aktor pemda adalah aktor yang mempunyai tingkat kepentingan paling tinggi dalam penentuan alternatif kebijakan pembangunan sektor kehutanan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Sedangkan kelompok aktor LSM dan perguruan tinggi memilih aspek ekologi sebagai prioritas pertama, dengan bobot kepentingan berturut-turut adalah 0,694 dan 0,674.
57
Tabel 16. Nilai pembobotan pada aspek (level 3) masing-masing kelompok aktor No. Aktor (level 2) 1 Pemda
Aspek (level 3) Ekonomi Ekologi Sosial Budaya
2
Swasta
Ekonomi Ekologi Sosial Budaya
3
Masyarakat
Ekonomi Ekologi Sosial Budaya
4
LSM
Ekonomi Ekologi Sosial Budaya
5
Perguruan Tinggi
Ekonomi Ekologi Sosial Budaya
Bobot (nilai) 0,627 0,280 0,093 1,000 0,594 0,249 0,157 1,000 0,528 0,140 0,333 1,000 0,132 0,694 0,174 1,000 0,266 0,674 0,101 1,000
Selanjutnya dilakukan analisis gabungan pendapat seluruh stakeholders pada level aspek, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 17. Tingkat kepentingan ekonomi merupakan prioritas pertama dalam penentuan alternatif kebijakan, kemudian aspek ekologi sebagai prioritas kedua, dan aspek sosial budaya sebagai prioritas ketiga. Tabel 17. Nilai gabungan pembobotan pada level aspek No. Aspek (level 3) 1 Ekonomi 2 Ekologi 3 Sosial Budaya
Bobot (nilai) 0,421 0,407 0,172
Prioritas 1 2 3
Untuk melihat hubungan antara aspek ekonomi, ekologi, dan sosial budaya, maka dibuat diagram layang hasil penilaian gabungan (Gambar 7). Pada grafik hubungan aspek ekonomi, ekologi dan sosial berdasarkan penilaian stakeholders, bahwa penebangan hutan dengan berbagai alternatif kebijakan, menunjukkan bahwa aspek ekonomi menempati urutan pertama dengan bobot 0,421, urutan kedua aspek ekologi dengan bobot 0,407 dan yang terakhir aspek sosial budaya
58
dengan bobot 0,172 untuk pengambilan keputusan. Berdasarkan hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan, khususnya hutan produksi untuk penebangan di Kabupaten Kutai Kartanegara cenderung mementingkan aspek ekonomi untuk peningkatan pendapatan daerah, tanpa mengabaikan aspek ekologi. Namun aspek sosial budaya terlihat diabaikan dari hasil analisis, dengan nilai bobot terkecil. Ekonomi 0.500 0.421 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000
Sosial Budaya
Ekologis
0.172
0.407
Gambar 7. Grafik hubungan aspek ekonomi, ekologi dan sosial budaya
Analisis Alternatif Kebijakan Alternatif kebijakan sektor kehutanan, khususnya penebangan hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara ditentukan tiga alternatif kebijakan yaitu; (i) pengelolaan hutan produksi berbasis ekosistem, (ii) penguatan peran kelembagaan pengelolaan hutan produksi sistem TPTI, dan (iii) moratorium penebangan hutan. Penjabaran lebih rinci adalah sebagai berikut; (i) Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem Desentralisasi pemerintahan telah membawa perubahan sistem pengelolaan sumberdaya hutan di daerah, dimana daerah mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumberdaya alam di daerah masing-masing. Implikasinya pada kebijakan pembangunan sektor kehutanan adalah diberlakukanya desentralisasi sistem pengelolaan hutan kepada pemerintah daerah dan masyarakat luas.
59
Secara konseptual desentralisasi pengelolaan hutan akan menghasilkan sistem pengelolaan hutan yang bersifat demokratis, partispatif dan terbuka (Robian 2002). Hal ini juga berdampak pergeseran paradigma pengelolaan hutan dari semula yang berbasis komoditas (timber extraction) menuju sistem pengelolaan hutan berbasis ekosistem (ecosystem base forest management). Perubahan tersebut akan merubah orientasi kelestarian yang semula lebih mementingkan aspek ekonomi atau produksi kayu, menjadi keseimbangan antara fungsi ekonomi, ekologi dan fungsi sosial, sesuai konsep pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian hutan dapat memberikan manfaat secara lestari atau berkelanjutan bagi umat manusia. Pembobotan hasil penilaian stakeholders terhadap alternatif pengelolaan hutan produksi berbasis ekosistem, dari aspek/kriteria dapat dilihat pada Tabel 18. Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada Tabel 18, prioritas pertama dari kriteria masing-masing aspek adalah sebagai berikut; (i) kelestarian usaha (ii) keanekaragaman hayati, dan (iii) kesejahteraan masyarakat. Tabel 18. Bobot masing-masing aspek/kriteria untuk alternatif pengelolaan hutan produksi berbasis ekosistem No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Aspek/Kriteria Ekonomi Produksi maksimum Kelestarian usaha Pertumbuhan ekonomi Ekologi Keanekaragaman hayati Kesuburan tanah Fungsi hidrologi Sosial Budaya Akses terhadap sumberdaya hutan Integrasi sosial budaya Kesejahteraan masyarakat
Bobot (nilai)
Prioritas
0.028 0.126 0.068
3 1 2
0.060 0.030 0.036
1 3 2
0.024 0.020 0.034
2 3 1
(ii) Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi Sistem TPTI Pembobotan hasil penilaian stakeholders terhadap alternatif penguatan peran kelembagaan hutan produksi sistem TPTI, dari aspek/kriteria dapat dilihat pada Tabel 19. Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada Tabel 19, prioritas
60
pertama dari kriteria masing-masing aspek adalah sebagai berikut; (i) kelestarian usaha, (ii) kesuburan tanah, dan (iii) kesejahteraan masyarakat. Tabel 19. Bobot masing-masing aspek/kriteria untuk alternatif penguatan peran kelembagaan pengelolaan produksi sistem TPTI No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Aspek/Kriteria Ekonomi Produksi maksimum Kelestarian usaha Pertumbuhan ekonomi Ekologi Keanekaragaman hayati Kesuburan tanah Fungsi hidrologi Sosial Budaya Akses terhadap sumberdaya hutan Integrasi sosial budaya Kesejahteraan masyarakat
Bobot (nilai)
Prioritas
0.022 0.086 0.037
3 1 2
0.025 0.067 0.066
3 1 2
0.011 0.017 0.021
2 3 1
(iii) Moratorium Penebangan Hutan Pembobotan hasil penilaian stakeholders terhadap alternatif moratorium penebangan hutan, dari aspek/kriteria dapat dilihat pada Tabel 20. Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada Tabel 20, prioritas pertama dari kriteria masingmasing aspek adalah sebagai berikut; (i) kelestarian usaha, (ii) fungsi hidrologi, dan (iii) akses terhadap sumberdaya hutan. Tabel 20.Bobot masing-masing aspek/kriteria untuk alternatif moratorium penebangan hutan No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Aspek/Kriteria Ekonomi Produksi maksimum Kelestarian usaha Pertumbuhan ekonomi Ekologi Keanekaragaman hayati Kesuburan tanah Fungsi hidrologi Sosial Budaya Akses terhadap sumberdaya hutan Integrasi sosial budaya Kesejahteraan masyarakat
Bobot (nilai)
Prioritas
0.006 0.034 0.013
3 1 2
0.032 0.045 0.053
3 2 1
0.018 0.012 0.008
1 2 3
61
Pembobotan
gabungan
aspek/kriteria
terhadap
alternatif
kebijakan
pembangunan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005, khususnya penebangan hutan, disajikan pada Tabel 21. Hasil analisis gabungan alternatif kebijakan terhadap kriteria pada Tabel 21 menunjukkan bahwa prioritas pertama dari masing-masing kriteria adalah kelestarian usaha, fungsi hidrologi, dan kesejahteraan masyarakat. Tabel 21. Nilai bobot akhir masing-masing kriteria untuk alternatif kebijakan penebangan hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2001-2005 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Aspek/Kriteria Ekonomi Produksi maksimum Kelestarian usaha Pertumbuhan ekonomi Ekologi Keanekaragaman hayati Kesuburan tanah Fungsi hidrologi Sosial Budaya Akses terhadap sumberdaya hutan Integrasi sosial budaya Kesejahteraan masyarakat Hasil
Bobot (nilai)
Prioritas
0.057 0.246 0.006
2 1 3
0.087 0.148 0.179
3 2 1
0.053 0.049 0.063 1.000
2 3 1
Untuk melihat hubungan antara kriteria kelestarian usaha, produksi maksimum dan pertumbuhan ekonomi, maka dibuat diagram layang hasil penilaian gabungan (Gambar 8). Pada grafik hubungan kelestarian usaha, produksi maksimum dan pertumbuhan ekonomi berdasarkan penilaian stakeholders, bahwa penebangan hutan dengan berbagai alternatif kebijakan, menunjukkan bahwa kriteria kelestarian usaha menempati urutan pertama dengan bobot 0,246, urutan kedua kriteria produksi maksimum dengan bobot 0,057 dan yang terakhir kriteria pertumbuhan ekonomi dengan bobot 0,006 untuk pengambilan keputusan. Berdasarkan hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan, khususnya hutan produksi untuk penebangan di Kabupaten Kutai Kartanegara mementingkan kriteria kelestarian usaha untuk peningkatan pendapatan daerah. Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa kriteria kelestarian usaha adalah prioritas pertama dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan pembangunan sektor kehutanan.
62
Kelestarian Usaha 0.25
0.246
0.2 0.15 0.1 0.05 0
Produksi Maksimum 0.007
Pertumbuhan Ekonomi 0.118
Gambar 8. Grafik hubungan kriteria kelestarian usaha, produksi maksimum dan pertumbuhan ekonomi Untuk melihat hubungan antara kriteria fungsi hidrologi, keanekaragaman hayati dan kesuburan tanah, juga dilakukan penilaian gabungan yang dapat dilihat pada Gambar 9. Fungsi Hidrologi 0.2 0.179 0.15 0.1 0.05 0
Keanekaragaman Hayati 0.087
Kesuburan Tanah 0.148
Gambar 9. Grafik hubungan kriteria fungsi hidrologi, keanekaragaman hayati dan kesuburan tanah Grafik pada Gambar 9 menunjukkan bahwa kriteria fungsi hidrologi menempati urutan pertama dengan bobot 0,179, urutan kedua kriteria kesuburan tanah dengan bobot 0,148 dan yang terakhir kriteria keanekaragaman hayati dengan bobot 0,087. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan kriteria fungsi hidrologi adalah prioritas pertama dalam pengambilan kebijakan.
63
Untuk melihat hubungan antara kriteria akses terhadap sumberdaya hutan, kesejahteraan masyarakat dan integrasi sosial budaya, tergambar dalam diagram layang hasil penilaian gabungan (Gambar 10). Pada grafik hubungan akses terhadap sumberdaya hutan, kesejahteraan masyarakat dan integrasi sosial budaya berdasarkan penilaian stakeholders, bahwa penebangan hutan dengan berbagai alternatif kebijakan, menunjukkan bahwa kriteria kesejahteraan masyarakat menempati urutan pertama dengan bobot 0,063, urutan kedua kriteria akses terhadap sumberdaya hutan dengan bobot 0,057 dan yang terakhir kriteria integrasi sosial budaya dengan bobot 0,049 untuk pengambilan keputusan. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan masyarakat adalah prioritas pertama dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan pembangunan sektor kehutanan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Akses Terhadap Sumberdaya Hutan 0.08 0.053 0.06 0.04 0.02 0
Kesejahteraan Masyarakat 0.063
Integrasi Sosial Budaya 0.049
Gambar 10. Grafik hubungan kriteria akses terhadap sumberdaya hutan, kesejahteran masyarakat dan integrasi sosial budaya Selanjutnya dilakukan analisis akhir gabungan pendapat stakeholders untuk memperoleh alternatif kebijakan yang akan diambil. Hasil analisis gabungan pendapat dari semua kelompok aktor diperoleh prioritas pertama alternatif kebijakan sektor kehutanan adalah pengelolaan hutan produksi berbasis ekosistem dengan nilai bobot 0,424. Prioritas kedua yang menjadi alternatif dari preferensi semua aktor adalah penguatan peran kelembagaan pengelolaan hutan produksi sistem TPTI dengan nilai bobot 0,344 dan prioritas terakhir adalah moratorium penebangan hutan dengan nilai bobot 0,232. Secara rinci nilai bobot masing-
64
masing prioritas dalam menentukan alternatif yang mendukung kebijakan pembangunan sektor kehutanan (penebangan hutan) di Kabupaten Kutai Kartanegara seluruh stakeholders disajikan pada Tabel 22, sedangkan pendapat masing-masing stakeholders dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 22. Nilai bobot dan prioritas pendapat gabungan stakeholder terhadap kebijakan pembangunan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2001-2005 No Kebijakan 1 Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem 2 Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi Sistem TPTI 3 Moratorium Penebangan Hutan
Bobot 0,424
Prioritas 1
0.344
2
0,232
3
Tabel 22. Keragaan nilai bobot dan prioritas kebijakan pembangunan sektor kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005 pada stakeholders Alternatif Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem
Pemda Bobot P
Swasta Bobot P
Aktor Masyarakat Bobot P
LSM Bobot P
PT Bobot
P
0,455
0.674
0,614
1
0,258
2
0,156
3
2
0,637
1
0,185
2
3
0,105
3
0,659
1
1
1
Penguatan Peran Kelembagaan 0,454 2 0,226 2 0,268 Pengelolaan Hutan Produksi Sistem TPTI Moratorium 0,091 3 0,101 3 0,117 Penebangan Hutan Keterangan : (P = prioritas, PT = perguruan tinggi)
Alternatif pengelolaan hutan produksi berbasis ekosistem sebagai prioritas pertama dipilih oleh tiga kelompok aktor berturut-turut berdasarkan urutan tertinggi nilai bobot kepentingan yaitu swasta (0,674), masyarakat (0,614), dan pemerintah daerah yang mempunyai nilai bobot 0,455. Ketiga kelompok aktor ini berpendapat bahwa keberlangsungan ekosistem hutan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan penting dalam penentuan kebijakan sektor kehutanan
65
khususnya penebangan hutan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Hal ini mengindikasikan bahwa adanya pemahaman ketiga kelompok aktor terhadap dampak kerusakan lingkungan yang terjadi akibat penebangan hutan yang tidak memperhatikan prinsip ekologi dan sosial, dengan bencana alam yang terjadi akibat ulah manusia dalam penggundulan hutan, seperti banjir, longsor dan kekeringan. Dampak yang terjadi bukan hanya bersifat lokal namun regional dan nasional bahkan pada tingkat global. Fungsi hutan sebagai paru-paru dunia semakin berkurang yang berdampak pemanasan global. Kelompok aktor perguruan tinggi merupakan faktor penentu dalam prioritas alternatif kedua, yaitu penguatan peran kelembagaan pengelolaan hutan produksi dengan bobot kepentingan 0,637. Kelembagaan atau intitusi adalah aturan main, norma-norma, larangan-larangan, kontrak, dan sebagainya dalam mengatur dan mengendalikan perilaku individu dalam masyarakat atau organisasi (Douglass 1990 dan Garry Rodgers 1994 dalam Nugroho 2006). Kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya (Kartodihardjo 2006). Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang membungkus aturan main tersebut seperti pemerintah, bank, koperasi, HPH dan sebagainya. Preferensi kelompok aktor Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan faktor penentu utama dalam alternatif prioritas ketiga, yaitu moratorium penebangan hutan dengan nilai bobot kepentingan 0,659. Untuk prioritas kedua, kelompok ini memilih penguatan peran kelembagaan pengelolaan hutan produksi sebagai alternatif yang menunjang kebijakan sektor kehutanan dengan nilai bobot kepentingan 0,185. Moratorium atau jeda penebangan hutan didengungkan beberapa LSM terutama WALHI, yang tujuannya untuk memulihkan kondisi kerusakan hutan alam yang sangat parah. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 2,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000
66
terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut 2003). Melihat kondisi tersebut WALHI mendesak agar pemerintah melakukan jeda pembalakan hutan (www.walhi.co.id). Jeda pembalakan hutan (moratorium of logging) adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktifitas penebangan hutan skala besar (skala industri) untuk sementara waktu tertentu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Keuntungan yang diharapkan tercapai dengan moratorium of logging ini antara lain: menahan laju kehancuran hutan tropis di Indonesia, dapat memonitor dan menyergap penebangan liar, kesempatan menata industri kehutanan, mengatur hak tenurial sumber daya hutan, meningkatkan hasil sumber daya hutan non-kayu, mengkoreksi distorsi pasar kayu domestik, restrukturisasi dan rasionalisasi industri olah kayu, mengkoreksi over kapasitas industri dan memaksa industri meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku dan membangun hutan-hutan tanamannya.
67
KESIMPULAN Kesimpulan 1. Evaluasi prakiraan dampak lingkungan sebagai efek dari kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Kutai Kartanegera tahun 2001-2005 di sektor kehutanan
khususnya
penebangan
hutan
disamping
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah, juga terjadi kerusakan lingkungan berupa terganggunya fungsi hidrologi, peningkatan erosi tanah, penurunan kesuburan tanah, sedimentasi yang berdampak pada kualitas air sungai, penurunan keanekaragaman hayati dan perubahan iklim mikro. 2. Estimasi nilai ekonomi kerusakan lingkungan yang diprakirakan timbul dari kebijakan penebangan hutan selama lima tahun sebesar Rp 14,679 trilyun, sedangkan manfaat yang diperoleh hanya sebesar Rp 6,519 trilyun. Hasil analisis biaya manfaat kebijakan penebangan hutan secara kuantitatif menunjukkan nilai kerugian ekonomi karena kerusakan lingkungan lebih besar daripada manfaat ekonomi yang diperoleh pemerintah daerah. 3. Kebijakan pembangunan sector kehutanan, khususnya penebangan hutan Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2001-2005 tidak layak secara ekonomi, sehingga diperlukan alternatif-alternatif kebijakan dengan prioritas: (1) Pengelolaan Hutan Produksi berbasis Ekosistem, (2) Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi Sistem TPTI dan (3) Moratorium Penebangan Hutan. Saran 1. Besarnya dampak kerusakan lingkungan akibat penebangan hutan dari hasil kajian ini, maka pemerintah daerah perlu menjadikan akuntansi sumberdaya alam
dan
lingkungan
sebagai
instrumen
pengendali
pembangunan
berkelanjutan dalam menyusun kebijakan dan perencanaan pembangunan daerah agar kerusakan lingkungan sebagai dampak implementasi kebijakan dan perencanaan dapat ditekan sekecil mungkin.
68
2. Untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan akibat penebangan hutan pemerintah daerah diharapkan menerapkan teknik-teknik pemanenan kayu yang ramah lingkungan terhadap perusahaan-perusahaan HPH 3. Peningkatan kapasitas SDM di daerah untuk penguatan peran kelembagaan dalam implementasi alternatif-alternatif prioritas kebijakan sektor kehutanan khususnya penebangan hutan.
69
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S. 1990. Erosi Keanekaragaman Jenis. Jakarta, Kongres Kehutanan Indonesia II. . Alikodra, H.S. dan H.R. Syaukani. 2004. Bumi Makin Panas Banjir Makin Meluas. Nuansa. Bandung Anonim. 2001. Program Pembangunan Daerah (Propeda) Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2001-2005. Kutai Kartanegara Anwar, E. 2000. Pengertian dan Kerangka Fundamental Ekonomi Dalam Menghadapi Masalah Pengelolaan Sumberdaya Alam. Bahan Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Askary, M. 2001. Panduan Umum Valuasi Dampak Lingkungan Untuk Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup. editor. L. Wijayanti. Asisten Deputi Urusan Kajian Dampak Lingkungan. KLH. Jakarta Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Edisi ke-2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Bann, C. 1998. The Economic Valuation of Tropical Forest Land Use Options A Mannual for Researchers. Kanada: Economic and Environment Programme for Southeast Asia. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara 2000. Kutai Kartanegara Dalam Angka Tahun 2000. Jakarta: BPS ____________ 2003. PDRB Kutai Kartanegara Tahun 1993-2003. Jakarta: BPS Baplan. Buku Rekalkulasi Sumberdaya Hutan Indonesia Tahun 2003. http:/www.dephut.go.id.html [26 Mei 2006] Baplan. Buku Rekalkulasi Sumberdaya Hutan Indonesia Tahun 2005. http:/www.dephut.go.id.html [26 Mei 2006] Chaker, A., K. El-Fadl, L. Chamas, and B. Hatjian 2005. A Review of Strategic Environmental Assessment in 12 selected Countries. J. Environmental Impact Assessment Review. 25:2, 8-9, 32-38 Davis, L. S. dan K.N. Johnson. 1987. Forest Management. Di dalam: Ramdan H, Yusran, Darusman, editor. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Cakrawala Baru Dunia Buku. Bandung:
70
Dunn, W.N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Wibawa, S., D. Asitadani, A.H. Hadna, E.A. Purwanto, penerjemah; Darwin, M, editor. Ed ke-5. Gadjahmada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: Public Policy Analysis: An Introduction. Effendi, H. 2000. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelola Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor Elias. 2002. Reduced Impact Logging. Buku 1. IPB Press. Bogor Environment Agency Goverment Website. What is Strategic Environmental Assessment?, http://www.environment-agency.gov.uk. [download 16 Juni 2005] Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen Jilid 1. Ed ke-3. IPB Press. Bogor FAO. 1990. Situation and Outlook of The Forestry Sector in Indonesia. FAO of The United Nation. Jakarta Finnveden, G., M. Nillson, J. Johansoon, A. Persson, A. Moberg, and T. Carlsson. 2003. Strategic environmental assessment methodologies-applications within energy sector. J. Environmental Impact Assessment Review. 23:97113 Islamy, M.I. 1997. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Bumi Aksara. Jakarta Ismail, Z . 2001. Pembangunan Daerah dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berwawasan Lingkungan. LIPI. Jakarta Kartawinata, K. 1977. Biological Change After Logging in Lowland and Dipterocarp Forest. LIPI Buletin 3(1):29-34 Kartodihardjo, H. 2006. Bahan Kuliah Ekonomi Kelembagaan [tidak dipublikasikan]. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor Kartodihardjo, H. 2004. Pertambangan di Hutan Lindung: Kerancuan Berpikir dan Bukti Tidak Adanya Implementasi Pembangunan Berkelanjutan. Bogor, 15 April 2004. Diskusi Dunia Kehutanan. BEM Fahutan IPB. Bogor Kartodihardjo, H. 2003. Masalah Struktural dalam Implementasi Kebijakan Baru Kehutanan. Didalam: Resosudarmo, I.A.P dan C.J.P.Colfer, editor. Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta. Terjemahan dari: Which Way Forward? People, Forest, and Policy Making in Indonesia
71
Kartodihardjo, H. 1999. Hambatan Struktural Pembangunan Kebijakan Kehutanan di Indonesia: Intervensi IMF dan World Bank dalam Reformasi Kebijakan Pembangunan Kehutanan.World Resources Institute. Washington DC Kasper, W. dan M.E. Streit. 1998. Institutional Economics: Social Order and Public Policy. Edward Elgar Publishing. UK Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Kajian Lingkungan Strategik. KLH. Jakarta Kim, Y.C. 2002. A Tropical forest manegement model based on concept of total economic value. Unpublished dissertation. Gajah Mada University. Yogyakarta Kuo, N .W., T-Y. Hsiao, and Y-H. Yu 2005. A Delphi–matrix approach to SEA and its application within the tourism sector in Taiwan. J. Environmental Impact Assessment Review. 25:2-9 Hamilton, L.S. dan P.N. King . 1992. Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika.. Suryanata, K., penerjemah. Ed ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Tropical Forested Watersheds, Hydrologic and Soils Response to Major Uses or Conversions. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta Hamzah, Z. 1975. Some Observations on The Effects of Mechanical Logging on Regeneration, Soil and Hydrological Conditions in East Kalimantan. Proceeding Simposium on The Long-Term Effect of Logging in Southeast Asia. Biotrop, Bogor. hlm 73-87 Laidlaw, R.K.1998. A Comparison Between Populations of Primates, Squirrels, Tree Shrews and Other Mammals Inhabiting Virgin, Logged, Fragmented and Plantation Forest in Malaysia. Di Dalam: See, L.S., D.Y. May, I.D. Gauld, and J. Bishop, editor.Conservation, Management and Development of Forest Resources. Malaysia. Proceedings of the Malaysia-United Kingdom Programme Workshop; Malaysia , 21-24 Oktober 1996. Malaysia. Forest Research Institute Malaysia. hlm 141-159 Lynch, J.O. 1999. Promoting Legal Recognition of Community-Based Property Rights, Including the Commons: Some Theoretical Considerations. Paper Presented at a Symposium of the International Association for the Study of Common Property and the Workshop in Political Theory and Policy Analysis. Indiana University. USA Ma’arif, M.S dan H. Tanjung. 2003. Teknik-teknik Kuantitatif Untuk Manajemen. Grasindo. Jakarta
72
MacKinnon, J. 1975. The Private Life of Orang Utan Borneau. Time Life Initernational. Amsterdam Marsh, C. W., A.D. Johns, dan J.M. Ayres. 1987. Effects of Habitat Disturbance on Rain Forest Primates. Hal 83-107. Di dalam: Marsh, C.W dan Mittermeier,R.A., editor. Primate Conservation in The Tropical Rain Forest. Alan R. Liss Inc. New York, USA Manokaran, N. 1998. Effect, 34 Years Later, Of Selective Logging In The Lowland Dipterocarp Forest At Pasoh, Peninsular Malaysia, And Implications On Present-Day Logging in teh Hill Forest. Di Dalam: See, L.S., D.Y. May, I.D. Gauld, and J. Bishop, editor.Conservation, Management and Development of Forest Resources. Malaysia. Proceedings of the Malaysia-United Kingdom Programme Workshop; Malaysia , 21-24 Oktober 1996. Malaysia. Forest Research Institute Malaysia. hlm 41-60 Nilsson, M., A. Bjorklund., G. Finnveden., dan J. Johansson. 2005. Testing a SEA methodology for the energy sector: a waste incineration tax proposal, Journal Environmental Impact Assessment Review. 25:1-32 Natural Resources Management Program. 2001. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam. Jakarta: Natural Resources Management Program. Nugroho, B. 2006. Bahan Kuliah Ekonomi Kelembagaan [tidak dipublikasikan]. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor Parsons, W. 2005. Public Policy; Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Santoso, T.W.B., penerjemah. Prenada Media. Jakarta. Terjemahan dari: Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis. Pearce, DW. and RK. Turner. 1993. Economics of Natural Resources and The Environment. Harvester Wheatsheaf. New York Prastowo, H. dan B. Kusnaryono. 1992. Pelaksanaan Konservasi di Hutan Alam Produksi.Lokakarya Konservasi Biodiversity di Hutan Produksi. Bogor. Fahutan IPB Ramdan, H., Yusran, dan D. Darusman . 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Cakrawala Baru Dunia Buku. Bandung Reksosudarmo, I.A.P. 2003. Tinjauan atas Kebijakan Sektor Perkayuan dan Kebijakan Terkait Lainnya. Didalam: Resosudarmo, I.A.P dan C.J.P.Colfer, editor. Kemana Harus Melangkah? Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia. Yayasan Obor. Jakarta. Terjemahan dari: Which Way Forward? People, Forest, and Policy Making in Indonesia
73
Retnowati, E. 1995. Dampak Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) Terhadap Keanekaragaman Tumbuhan, Iklim Mikro, Dan Sifat-Sifat Tanah di Hutan Alam Produksi. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Robian. 2002. Kondisi Faktual, Masalah dan Harapan dalam Optimalisasi Pelaksanaan Desentralisasi Kehutanan Menuju Pengelolaan Hutan Lestari. Di dalam: Redhahari dan Sumaryono, editor. Pengaturan Hasil Hutan Produksi pada Era Desentralisasi di Kalimantan Timur. Prosiding Lokakarya Pengelolaan Hutan Produksi di Kalimantan Timur [Buku II]. Samarinda 13-14 Februari 2002. Fahutan Unmul. Samarinda. hlm:1-7 Saaty, T. L. 1993. Pengambilan Keputusan – Bagi Para Pemimpin. Liana S, penerjemah; Kirti P, editor. Ed ke-2. PT Pustaka Binawan Pressindo. Jakarta. Terjemahan dari: Decision Making for Leaders The Analytical Hierarchy Process for Decisions Salam, D.S. 2003. Otonomi Daerah ; Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumberdaya. Djambatan. Jakarta Sangat, H.M., E.A.M. Zuhud dan E.K. Damayanti. 2000. Kamus Penyakit dan Tumbuhan Obat Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta SEA Info Website. What is SEA?. http://www.sea-info.net .html [16 Juni 2005] Serageldin, I. 1993. Making Development Sustainable : From Concept to Action. The International Bank for Reconstruction and Development/ The World Bank Washington D.C. USA Setyawati, T. dan T. Kalima. 1996. Studi Potensi Rotan di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun. Buletin Penelitian Hutan. Vol. 602: 9-16 Soerianegara, I. 1990. Kepentingan Konservasi Ekosistem Penyangga Kehidupan Sehubungan Dengan Terjadinya Deforestasi Hutan Tropisnya Khususnya di Indonesia. Kongres Kehutanan II. Jakarta Soerianegara, I. 1992. Penyempurnaan Sistem Silvikultur TPTI Untuk Mendukung Biodiversity di Hutan Alam Produksi. Fahutan IPB. Bogor St-Onge, I. dan P, Magnan. 2000. Impact of logging and natural fires on fish communities of Laurentian Shield lakes. Can J Fish Aquat Sci 75;167-173 Subandar, A. 2004. Urgensi dan Arah Pengembangan Natural Resources and Environmental Accounting di Indonesia. J.Ekonomi Lingkungan. 14: 81-84 Suparmoko, M dan H. Waluyo. 2004. Valuasi Ekonomi Degradasi Lingkungan di Sektor Kehutanan. Di Dalam: Proceeding Natural Resources and
74
Environmental Accounting. Buku I. Purwokerto, 12-14 Desember 2003. BPFE. Yogyakarta. Hlm 152-170 Suparmoko, M. 2002. Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam & Lingkungan (Konsep dan Metode Penghitungan). BPFE. Yogyakarta Supriadi, D. 2003. “Good Mining Practice” Konsep Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Daerah Jawa Barat. Alqaprint Jatinangor. Bandung Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Andi. Yogyakarta Tarrant, J., E. Barbier, R.J. Greenberg, M.L. Higgins, S.F. Lintner, C. Mackie, L. Murphy, dan H. Van Velduizen. 1987. Natural Resources and Environmental Management in Indonesia: An Overview. Jakarta, Indonesia. US. Agency for International Development Therivel, R. 1996. SEA Methodology in Practice. Di dalam: Therivel, R. Dan M. Partidario, editor. The Practice of Strategic Environmental Assessment. Earthscan Publications Ltd. London UK
75
Lampiran 1. Hirarki Kebijakan Sektor Kehutanan
Kebijakan Sektor Kehutanan Kab. Kutai Kartanegara Tahun 2001 - 2005
Tujuan
Aktor
Swasta
Aspek
Kriteria
Alternatif
PEMDA
Masyarakat
Ekonomi
Produksi Maksimum
Kelestarian usaha
LSM
Perguruan Tinggi
Sosial Budaya
Ekologis
Pertumbuhan ekonomi
Keanekaragaman hayati
Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem
Kesuburan Tanah
Fungsi Hidrologis
Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi Sistem TPTI
Akses Terhadap SDH
Integrasi Sosial/Budaya
Kesejahteraan Masyarakat
Moratorium Penebangan Hutan
66
67
Lampiran 2. Hasil Analisis AHP Kelompok Gabungan Aktor Swasta, PEMDA, Masyarakat, LSM, dan Perguruan Tinggi Terhadap Alternatif Prioritas Synthesis of Leaf Nodes with respect to GOAL Distributive Mode OVERALL INCONSISTENCY INDEX = 0.03
PHE
.424
PKPH
.344
MPH
.232
Abbreviation PHE PKPH MPH
Definition Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi TPTI Moratorium Penebangan Hutan
68
Lampiran 3. Hasil Analisis AHP Masing-Masing Kelompok Aktor Terhadap Alternatif Prioritas Synthesis of Leaf Nodes with respect to SWASTA Distributive Mode PHE
.674
PKPH
.226
MPH
.101
Abbreviation
Definition
PHE
Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem
PKPH
Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi TPTI
MPH
Moratorium Penebangan Hutan
Synthesis of Leaf Nodes with respect to PEMDA Distributive Mode PHE
.455
PKPH
.454
MPH
.091
Abbreviation PHE PKPH MPH
Definition Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi TPTI Moratorium Penebangan Hutan
Synthesis of Leaf Nodes with respect to MASYARAKAT Distributive Mode PHE
.614
PKPH
.268
MPH
.117
Abbreviation PHE PKPH MPH
Lampiran 3. (lanjutan)
Definition Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi TPTI Moratorium Penebangan Hutan
69
Synthesis of Leaf Nodes with respect to LSM Distributive Mode MPH
.659
PKPH
.185
PHE
.156
Abbreviation MPH PKPH PHE
Definition Moratorium Penebangan Hutan Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi TPTI Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem
Synthesis of Leaf Nodes with respect to PERGURUAN TINGGI Distributive Mode PKPH
.637
PHE
.258
MPH
.105
Abbreviation PKPH PHE MPH
Definition Penguatan Peran Kelembagaan Pengelolaan Hutan Produksi TPTI Pengelolaan Hutan Produksi Berbasis Ekosistem Moratorium Penebangan Hutan
Lampiran 3. Pendapatan Rata-rata Nelayan di Desa Sei. Meriam dan Desa Kutai Lama No Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
L. P
Bair Muara Hasan Muara Nanang Muara Masran Muara Anas Muara Kendeng Muara Dumi Muara Mahdi Muara Umar Muara Soleh Muara Dani Muara Bahrudin Muara Iwan Muara Hasan Muara Bahri Muara Jamaludin Muara Arnayan Muara Jumri Muara Arbain Muara Bahrudin Muara Khairil A. Muara Mukding Muara Basri Muara Muksin Muara Jumran Muara Ridwan Muara Hasan Muara Aliansyah Muara Ahmad Muara Wandi Muara Total Rata-rata
F.P 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Biaya 1
Biaya 2
Pendapatan
Pendapatan
Pendapatan
(Rp) 225,000.00 225,000.00 200,000.00 250,000.00 225,000.00 250,000.00 250,000.00 250,000.00 225,000.00 225,000.00 225,000.00 250,000.00 250,000.00 225,000.00 225,000.00 300,000.00 250,000.00 250,000.00 225,000.00 225,000.00 250,000.00 250,000.00 225,000.00 225,000.00 225,000.00 250,000.00 225,000.00 250,000.00 225,000.00 250,000.00 7,125,000.00 237,500.00
(Rp) 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 1,007,235.90 33,574.53
Kotor (Rp) 500,000.00 500,000.00 500,000.00 400,000.00 400,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 400,000.00 400,000.00 500,000.00 500,000.00 400,000.00 500,000.00 500,000.00 600,000.00 400,000.00 400,000.00 500,000.00 400,000.00 400,000.00 400,000.00 400,000.00 400,000.00 400,000.00 500,000.00 400,000.00 400,000.00 400,000.00 500,000.00 13,500,000.00 450,000.00
Bersih (Rp) 241,425.47 241,425.47 266,425.47 116,425.47 141,425.47 216,425.47 216,425.47 216,425.47 141,425.47 141,425.47 241,425.47 216,425.47 116,425.47 241,425.47 241,425.47 266,425.47 116,425.47 116,425.47 241,425.47 141,425.47 116,425.47 116,425.47 141,425.47 141,425.47 141,425.47 216,425.47 141,425.47 116,425.47 141,425.47 216,425.47 5,367,764.10 178,925.47
Bersih/bln 965,701.88 965,701.88 1,065,701.88 465,701.88 565,701.88 865,701.88 865,701.88 865,701.88 565,701.88 565,701.88 965,701.88 865,701.88 465,701.88 965,701.88 965,701.88 1,065,701.88 465,701.88 465,701.88 965,701.88 565,701.88 465,701.88 465,701.88 565,701.88 565,701.88 565,701.88 865,701.88 565,701.88 465,701.88 565,701.88 865,701.88 21,471,056.40 715,701.88
Sumber : Diolah dari data primer (2006) Keterangan : LP = Lokasi Penangkapan FP = Frekuensi Penangkapan Per Bulan Rata-rata pendapatan nelayan per bulan di muara sungai Mahakam : Rp 715.701,88
66
Lampiran 3 (lanjutan) No Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
L. P
Bair Sungai Hasan Sungai Nanang Sungai Masran Sungai Anas Sungai Kendeng Sungai Dumi Sungai Mahdi Sungai Umar Sungai Soleh Sungai Dani Sungai Bahrudin Sungai Iwan Sungai Hasan Sungai Bahri Sungai Jamaludin Sungai Arnayan Sungai Jumri Sungai Arbain Sungai Bahrudin Sungai Khairil A. Sungai Mukding Sungai Basri Sungai Muksin Sungai Jumran Sungai Ridwan Sungai Hasan Sungai Aliansyah Sungai Ahmad Sungai Wandi Sungai Total Rata-rata
F.P 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Biaya 1
Biaya 2
Pendapatan
Pendapatan
(Rp) 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 247,500.00 8,250.00
(Rp) 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 314,692.80 10,489.76
Kotor (Rp) 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 1,800,000.00 60,000.00
Bersih (Rp) 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 1,237,807.20 41,260.24
Pendapatan Bersih/bln 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 8,664,650.40 288,821.68
Sumber : Diolah dari data primer (2006) Keterangan : Biaya (1) : Bahan bakar. Biaya (2) : Perahu (ketinting), mesin, dan alat tangkap . Rata-rata Pendapatan Nelayan Per bulan di Sungai Mahakam selama air pasang : Rp 288.821,68 Rata-rata pendapatan nelayan per bulan
= pendapatan di muara + pendapatan di sungai = Rp 715.701,88 + Rp 288.821,68 = Rp 1.004.523,56
66
Lampiran 4. Pendapatan Rata-rata Nelayan di Desa Sei. Meriam dan Desa Kutai Lama No
Responden
L. P
1 Bair
Muara Sungai
2 Hasan
Muara Sungai
F.P
Biaya 1
Biaya 2
Pendapatan
Pendapatan
Pendapatan
per bulan
(Rp)
(Rp)
Kotor (Rp)
Bersih (Rp)
Bersih/bln
225,000.00
33,574.53
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
4
225,000.00
33,574.53
500,000.00
241,425.47
965,701.88
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
Muara
4
200,000.00
33,574.53
500,000.00
266,425.47
1,065,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
4 Masran
Muara
4
250,000.00
33,574.53
300,000.00
16,425.47
65,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
5 Anas
Muara
4
225,000.00
33,574.53
400,000.00
141,425.47
565,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
Muara
4
250,000.00
33,574.53
500,000.00
216,425.47
865,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
7 Dumi
Muara
4
250,000.00
33,574.53
500,000.00
216,425.47
865,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
8 Mahdi
Muara
4
250,000.00
33,574.53
500,000.00
216,425.47
865,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
Muara
4
225,000.00
33,574.53
300,000.00
41,425.47
165,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
10 Soleh
Muara
4
225,000.00
33,574.53
300,000.00
41,425.47
165,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
11 Dani
Muara
4
225,000.00
33,574.53
400,000.00
141,425.47
565,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
Muara
4
250,000.00
33,574.53
500,000.00
216,425.47
865,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
13 Iwan
Muara
4
250,000.00
33,574.53
400,000.00
116,425.47
465,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
14 Hasan
Muara
4
225,000.00
33,574.53
500,000.00
241,425.47
965,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
Muara
4
225,000.00
33,574.53
500,000.00
241,425.47
965,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
Sub Total (1)
3,623,750.00
660,964.35
7,600,000.00
3,315,285.65
15,117,853.40
Rata-rata (1)
241,583.33
44,064.29
506,666.67
221,019.04
1,007,856.89
3 Nanang
6 Kendeng
9 Umar
12 Bahrudin
15 Bahri
Lampiran 4 (Lanjutan)
4
600,000.00
341,425.47
1,365,701.88
No
Responden
16 Jamaludin
L. P
F.P
Biaya 1
Biaya 2
Pendapatan
Pendapatan
Pendapatan
per bulan
(Rp)
(Rp)
Kotor (Rp)
Bersih (Rp)
Bersih/bln
Muara
4
300,000.00
33,574.53
600,000.00
266,425.47
1,065,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
17 Arnayan
Muara
4
250,000.00
33,574.53
400,000.00
116,425.47
465,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
18 Jumri
Muara
4
250,000.00
33,574.53
400,000.00
116,425.47
465,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
Muara
4
225,000.00
33,574.53
300,000.00
41,425.47
165,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
Muara
4
225,000.00
33,574.53
300,000.00
41,425.47
165,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
Muara
4
250,000.00
33,574.53
400,000.00
116,425.47
465,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
22 Mukding
Muara
4
250,000.00
33,574.53
400,000.00
116,425.47
465,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
23 Basri
Muara
4
225,000.00
33,574.53
400,000.00
141,425.47
565,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
Muara
4
225,000.00
33,574.53
400,000.00
141,425.47
565,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
Muara
4
225,000.00
33,574.53
400,000.00
141,425.47
565,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
26 Ridwan
Muara
4
250,000.00
33,574.53
400,000.00
116,425.47
465,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
27 Hasan
Muara
4
225,000.00
33,574.53
400,000.00
141,425.47
565,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
Muara
4
250,000.00
33,574.53
500,000.00
216,425.47
865,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
29 Ahmad
Muara
4
225,000.00
33,574.53
400,000.00
141,425.47
565,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
30 Wandi
Muara
4
250,000.00
33,574.53
500,000.00
216,425.47
865,701.88
Sungai
7
8,250.00
10,489.76
60,000.00
41,260.24
288,821.68
Sub Total (2)
3,748,750.00
660,964.35
7,100,000.00
2,690,285.65
12,617,853.40
Rata-rata (2)
249,916.67
44,064.29
473,333.33
179,352.38
841,190.23
19 Arbain 20 Bahrudin 21 Khairil A.
24 Muksin 25 Jumran
28 Aliansyah
Keterangan : Biaya (1) : Bahan bakar, es . Biaya (2) : Perahu (ketinting), mesin, dan alat tangkap . Rata-rata Pendapatan Nelayan Per bulan = Rata-rata (1) + Rata-rata (2) / 2 = Rp 924.523,56
71
Lampiran 4. Pendapatan Rata-rata Nelayan di Desa Sei. Meriam dan Desa Kutai Lama No Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
L. P
Bair Muara Hasan Muara Nanang Muara Masran Muara Anas Muara Kendeng Muara Dumi Muara Mahdi Muara Umar Muara Soleh Muara Dani Muara Bahrudin Muara Iwan Muara Hasan Muara Bahri Muara Jamaludin Muara Arnayan Muara Jumri Muara Arbain Muara Bahrudin Muara Khairil A. Muara Mukding Muara Basri Muara Muksin Muara Jumran Muara Ridwan Muara Hasan Muara Aliansyah Muara Ahmad Muara Wandi Muara Total Rata-rata
F.P 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Biaya 1
Biaya 2
Pendapatan
Pendapatan
Pendapatan
(Rp) 225,000.00 225,000.00 200,000.00 250,000.00 225,000.00 250,000.00 250,000.00 250,000.00 225,000.00 225,000.00 225,000.00 250,000.00 250,000.00 225,000.00 225,000.00 300,000.00 250,000.00 250,000.00 225,000.00 225,000.00 250,000.00 250,000.00 225,000.00 225,000.00 225,000.00 250,000.00 225,000.00 250,000.00 225,000.00 250,000.00 7,125,000.00 237,500.00
(Rp) 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 33,574.53 1,007,235.90 33,574.53
Kotor (Rp) 500,000.00 500,000.00 500,000.00 400,000.00 400,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 400,000.00 400,000.00 500,000.00 500,000.00 400,000.00 500,000.00 500,000.00 600,000.00 400,000.00 400,000.00 500,000.00 400,000.00 400,000.00 400,000.00 400,000.00 400,000.00 400,000.00 500,000.00 400,000.00 400,000.00 400,000.00 500,000.00 13,500,000.00 450,000.00
Bersih (Rp) 241,425.47 241,425.47 266,425.47 116,425.47 141,425.47 216,425.47 216,425.47 216,425.47 141,425.47 141,425.47 241,425.47 216,425.47 116,425.47 241,425.47 241,425.47 266,425.47 116,425.47 116,425.47 241,425.47 141,425.47 116,425.47 116,425.47 141,425.47 141,425.47 141,425.47 216,425.47 141,425.47 116,425.47 141,425.47 216,425.47 5,367,764.10 178,925.47
Bersih/bln 965,701.88 965,701.88 1,065,701.88 465,701.88 565,701.88 865,701.88 865,701.88 865,701.88 565,701.88 565,701.88 965,701.88 865,701.88 465,701.88 965,701.88 965,701.88 1,065,701.88 465,701.88 465,701.88 965,701.88 565,701.88 465,701.88 465,701.88 565,701.88 565,701.88 565,701.88 865,701.88 565,701.88 465,701.88 565,701.88 865,701.88 21,471,056.40 715,701.88
Sumber : Diolah dari data primer (2006) Keterangan : LP = Lokasi Penangkapan FP = Frekuensi Penangkapan Per Bulan Rata-rata pendapatan nelayan per bulan di muara sungai Mahakam : Rp 715.701,88
Lampiran 4 (lanjutan)
71
No Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
L. P
Bair Sungai Hasan Sungai Nanang Sungai Masran Sungai Anas Sungai Kendeng Sungai Dumi Sungai Mahdi Sungai Umar Sungai Soleh Sungai Dani Sungai Bahrudin Sungai Iwan Sungai Hasan Sungai Bahri Sungai Jamaludin Sungai Arnayan Sungai Jumri Sungai Arbain Sungai Bahrudin Sungai Khairil A. Sungai Mukding Sungai Basri Sungai Muksin Sungai Jumran Sungai Ridwan Sungai Hasan Sungai Aliansyah Sungai Ahmad Sungai Wandi Sungai Total Rata-rata
F.P 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Biaya 1
Biaya 2
Pendapatan
Pendapatan
(Rp) 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 8,250.00 247,500.00 8,250.00
(Rp) 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 10,489.76 314,692.80 10,489.76
Kotor (Rp) 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 1,800,000.00 60,000.00
Bersih (Rp) 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 41,260.24 1,237,807.20 41,260.24
Pendapatan
Sumber : Diolah dari data primer (2006) Keterangan : Biaya (1) : Bahan bakar. Biaya (2) : Perahu (ketinting), mesin, dan alat tangkap . Rata-rata Pendapatan Nelayan Per bulan di Sungai Mahakam selama air pasang : Rp 288.821,68 Rata-rata pendapatan nelayan per bulan
= pendapatan di muara + pendapatan di sungai = Rp 715.701,88 + Rp 288.821,68 = Rp 1.004.523,56
Bersih/bln 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 288,821.68 8,664,650.40 288,821.68