KAJIAN EKOBIOLOGI IKAN KEPE-KEPE (Chaetodon octofasciatus, BLOCH 1787) DALAM MENDETEKSI KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU PETONDAN TIMUR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
HAWIS H. MADDUPPA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
KAJIAN EKOBIOLOGI IKAN KEPE-KEPE (Chaetodon octofasciatus, BLOCH 1787) DALAM MENDETEKSI KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI PULAU PETONDAN TIMUR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA
HAWIS H. MADDUPPA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis
:
Nama Mahasiswa NRP Program Studi
: : :
Kajian Ekobiologi Ikan Kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus, Bloch 1787) dalam Mendeteksi Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, Jakarta Hawis H. Madduppa C651040121 Ilmu Kelautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc Ketua
Dr. Unggul Aktani Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. John I. Pariwono
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 14 Juli 2006
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Ekobiologi Ikan Kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus, Bloch 1787) dalam Mendeteksi Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, Jakarta adalah karya Saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2006
Hawis H. Madduppa NRP. C651040121
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya.
ABSTRACT
HAWIS H.MADDUPPA. Bioecological Study of Eightband butterflyfish (Chaetodon octofasciatus, Bloch 1787) to Detect Condition of Coral Reef Ecosystem in East Petondan Island, Seribu Islands, Jakarta. Under the direction of NEVIATY P.ZAMANI and UNGGUL AKTANI
Monitoring the changes of coral reefs is an important task considering many of the world’s coral reefs have been destroyed or severely degraded. There are reliable ways to indirectly assess the changes of a coral reef and monitor it through time: certain members of an easily identifiable conspicuous family of fish, Chaetodontidae, have been considered to be reliable indicators of reef health. Data of Chaetodon octofasciatus are based on field observation using SCUBA set on the reef slope (3 and 10 meter) and food and feeding habit analysis conduct in the laboratory. The percent coverage of living corals was estimated on the reef slope (3 and 10 meter) at all sites. A 50 m line transect were laid at each site and depth. By using belt transect the abundance of C. octofasciatus and the occurrence of each coral genus were counted and recorded in data sheets. Feeding rates were calculated by observing randomly selected species at study area. Ivlev’s electivity index was used to measure feeding selectivity, comparing the utilization of food with respect to its availability. The feeding bites to be larger in rich reef corals with high percentage of live coral. The feeding rates in south, west and north site which have high percentage of live coral is highest comparing to east site which have low percentage of live coral. Based on food and feeding analysis, the fish stomach contain 94,1% coral nematocysts and 0,59% periphytic algae, which indicated C. octofasciatus as an obligate coralivores.
Keywords: Chaetodon octofasciatus, bioecological study, coral reef ecosystem, Seribu Islands, electivity index, nematocysts
RIWAYAT HIDUP
Hawis Madduppa dilahirkan di Watampone (Sulawesi Selatan) pada tanggal 26 Maret 1979 sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara dari ayah H. Madduppa (Alm) dan ibu H. Mennung (Alm). Pendidikan penulis diawali dengan bersekolah di TK Aisyah Watampone pada tahun 1984 dan kemudian dilanjutkan di SD Negeri 22 Macege Watampone (19861992). Pada tahun 1992-1995 penulis menempuh pendidikan lanjutan pertama di SMP Negeri 2 Watampone, dan pada tahun 1995-1998 dilanjutkan di SMU Negeri 2 Watampone. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada tahun 1998 dan memilih Program Studi Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan tamat pada tahun 2003. Selama di IPB, di bidang organisasi penulis aktif di himpunan profesi HIMITEKA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan), BEM-C (Badan Eksekutif Mahasiswa FPIK), klub selam ilmiah Mahasiswa Perikanan dan Kelautan FDC (Fisheries Diving Club), MBC (Marine Biology Club), Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan Indonesia (HIMITEKINDO). Di bidang akademis penulis menjadi Asisten Luar Biasa pada beberapa mata kuliah seperti Biologi Laut, Avertebrata Air, Ekologi Perairan, Ekologi Laut Tropis, Dasar-Dasar Akustik, Akustik Perikanan dan Dasar-Dasar Akustik Kelautan. Untuk menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Pendugaan Densitas Ikan Pelagis dengan Sistem Akustik Bim Terbagi (Split Beam Acoustic System) di Laut Sulawesi Pada Bulan Agustus – September 2001”. Penulis dinyatakan lulus ujian skripsi pada tanggal 17 Januari 2003.Setelah lulus S1, penulis mengikuti pelatihan Marine Science Special Training Course (MST) pada tahun 2003 dan mendapatkan research fellowship dari kegiatan ini selama satu tahun. Pada tahun 2004, penulis meneruskan pendidikan pascasarjana di IPB dengan program studi Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa Pascasarjana, penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan dan menjadi sekretaris umum pada Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan (WATERMASS). Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Kajian Ekobiologi Ikan Kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus, Bloch 1787) dalam Mendeteksi Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, Jakarta”.
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T, atas segala limpahan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “Kajian Ekobiologi Ikan Kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus, Bloch 1787) dalam Mendeteksi Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, Jakarta“. Penelitian dan proses penulisan tesis ini dapat berlangsung dengan baik atas prakarsa berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1.
Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Unggul Aktani, M.Sc. selaku komisi pembimbing yang telah membantu memberikan masukan dan saran dalam penyusunan tesis ini.
2.
Yayasan Terumbu Karang Indonesia [TERANGI] beserta seluruh stafnya yang telah memberikan kesempatan dan dukungan baik moril maupun materil dalam pelaksanaan penelitian ini.
3.
Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian thesis.
4.
Ibu Murniati Brodjo, Ibu Siti Nursiyamah (Laboratorium Biomikro Departemen MSP), dan adek-adek ITK-38 [Anti Yulianti, Rina Novianthy, Fakhrizal Setiawan dan Elok] yang telah sangat membantu dalam proses identifikasi di laboratorium dan menjadi teman diskusi.
5.
Bapak Mae dan nelayan Kepulauan Seribu yang telah membantu dalam penangkapan ikan di lapangan.
6.
Rekan-rekan kuliah Program Studi Ilmu Kelautan Angkatan 2004 [Riris Aryawati, Beginer Subhan, Adriani Sunuddin, Hanifah Mutia, Heron Surbakti, Iwan Setiabudi, La Ode Nurman Mbay, Meutia Samira Ismet, Ristiana Eryati, Roni Fitrianto, Yunita Ramili] yang telah memberikan inspirasi dan menjadi teman diskusi.
7.
Bapak Sutikno, yang telah membantu dalam pengembangan proposal dan memberikan pelajaran tentang pengolahan serta analisa statistika.
8.
Teman-teman satu kos [Ramadian Bachtiar, Dede Suhendra, dan M.Yadjid]
9.
Keluarga [Ayahanda H. Madduppa (Alm) dan Ibunda H. Mennung (Alm), Kakanda H.Hamdan, Kakanda H.Hamzah, Kakanda Hj.Hasniar, Kakanda Harman, Kakanda Haedar, Kakanda Hamka (Alm), Adinda Hasdar, tante Nakirah] yang senantiasa memberikan doa dan restu selama penulis menempuh pendidikan.
10. Serta orang-orang yang telah memberikan kontribusi dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis yang tidak dapat Saya sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih terdapat berbagai kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan tesis ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu kelautan di masa yang akan datang. Bogor, Juli 2006 Hawis H. Madduppa
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii
PENDAHULUAN ............................................................................................
1
Latar Belakang ............................................................................................
1
Permasalahan ...............................................................................................
3
Kerangka Pemikiran ..................................................................................
4
Hipotesis .....................................................................................................
6
Tujuan .........................................................................................................
6
Manfaat .......................................................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
7
Terumbu Karang .........................................................................................
7
Pengertian karang dan simbiotik alga .................................................
7
Struktur karang ....................................................................................
8
Nematokis ...........................................................................................
9
Pertumbuhan karang batu .................................................................... 11 Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang .......................... 12 Status ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu ....................... 13 Ikan Kepe-Kepe (Chaetodontidae) .............................................................. 15 Karakteristik dan Klasifikasi ............................................................... 15 Ekobiologi Chaetodontidae ................................................................. 16 Biogeografi Ikan Chaetodontidae di Dunia .......................................... 18 Konsep Chaetodontidae sebagai bioindikator ..................................... 19 Penelitian tentang Chaetodontidae ....................................................... 22
i
BAHAN & METODE ....................................................................................... 24 Lokasi dan waktu penelitian ........................................................................ 24 Alat dan bahan ............................................................................................ 26 Tahapan penelitian ...................................................................................... 26 Penentuan titik sampel ................................................................................ 27 Waktu pengambilan data ............................................................................. 27 Jenis data ..................................................................................................... 29 Metode pengambilan data ........................................................................... 29 Substrat dasar ...................................................................................... 29 Ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus) ......................................... 31 Analisis data ................................................................................................ 34 Substrat dasar ...................................................................................... 34 Ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus) .......................................... 35 Analisis statistika ................................................................................ 37 Struktur data ................................................................................................ 40
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 41 Kondisi lokasi penelitian............................................................................... 41 Penutupan substrat dasar ............................................................................. 42 Kepadatan genera karang skleraktinia ........................................................ 44 Indeks mortalitas karang ............................................................................. 46 Kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus ................................................. 47 Tingkat pemangsaan oleh ikan Chaetodon octofasciatus ........................... 48 Selektivitas pemangsaan .............................................................................. 53 Pola hubungan antara kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus dengan persentase penutupan karang batu ................................................... 58 Analisis makanan dan kebiasaan makan ...................................................... 61 Kajian ekobiologi .......................................................................................... 66
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 70 Kesimpulan ................................................................................................. 70 Saran ............................................................................................................ 71
ii
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 72 LAMPIRAN ...................................................................................................... 78
iii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Dampak negatif dari beberapa aktivitas manusia di daerah Terumbu Karang di Kepulauan Seribu Jakarta (Brown 1986) ..............................
14
Daftar beberapa spesies ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) beserta tipe kebiasaan makannya................................................................................
17
3
Posisi geografis stasiun penelitian ..........................................................
24
4
Peralatan dan metode untuk pengambilan data parameter perairan .......
26
5
Contoh struktur data penelitian ...............................................................
40
6
Kondisi perairan ......................................................................................... 41
7
Nilai indeks mortalitas karang pada lokasi penelitian ( x ± SE)............. ... 46
8
Rerata kelimpahan (individu/250m3) Chaetodon octofasciatus pada lokasi penelitian, data diambil dengan metode sensus visual ( x ± SE)................ 47
9
Tingkat pemangsaan dari Chaetodon octofasciatus pada masing-masing lokasi penelitian pada kedalaman 3 dan 10 meter....................................... 49
10
Uji taraf nyata tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus pada masingmasing kedalaman dan lokasi penelitian..................................................... 50
11
Indeks pilihan Ivlev Chaetodon octofasciatus pada masing-masing lokasi penelitian di Pulau Petondan Timur ................................................. 55
12
Uji taraf nyata pada masing-masing kedalaman dan lokasi penelitian terhadap jumlah individu dan % HC (*0.05, **0.01, ***0.10, t.n. tidak nyata)... 59
13
Persentase dan rerata kelimpahan (ind/20ml) kandungan perut ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus ( x ± SE) ................................................ 62
2
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran ................................................................................
5
2
Anatomi polip karang dan kerangka kapur (Veron 1986) ........................
8
3
Tipe nematokis ......................................................................................... 10
4
Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang (Castro & Huber 2000) ......................................................................................................... 12
5
Jenis ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus (Chaetodontidae) yang dijadikan spesies indikator dalam penelitian ini .............................. 15
6
Hubungan phylogenetik diantara genus dari famili Chaetodontidae (Blum 1989) ............................................................................................. 18
7
Distribusi dari spesies Chaetodon octofasciatus (Chaetodontidae) (modifikasi Blum 1989) ........................................................................... 19
8
Peta lokasi penelitian: Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ............................................................................................. 25
9
Tahapan penelitian .................................................................................. 28
10
Ilustrasi teknik pengumpulan data karang dengan menggunakan transek garis menyinggung .................................................................................... 30
11
Ilustrasi teknik pengumpulan data karang dengan menggunakan transek sabuk ......................................................................................................... 30
12
Ilustrasi teknik pengumpulan data karang dengan menggunakan transek fotografi..................................................................................................... 31
13
Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan dengan menggunakan transek sabuk dan metode sensus ikan stasioner ................................................... 31
14
Rerata persentase penutupan karang batu (hard coral) di perairan terumbu karang pada lokasi penelitian pada kedalaman 3 dan 10 meter .................. 42
15
Perbandingan penutupan substrat dasar di perairan terumbu karang pada lokasi penelitian selama periode penelitian di 3 meter ............................... 43
16
Perbandingan penutupan substrat dasar di perairan terumbu karang pada lokasi penelitian selama periode penelitian di 10 meter ............................. 44
v
17
Perbandingan 10 jenis karang batu (hard coral) yang mempunyai kepadatan dan persentase tertinggi di lokasi penelitian pada kedalaman 3 meter ...... 45
18
Perbandingan 10 jenis karang batu (hard coral) yang mempunyai kepadatan dan persentase tertinggi di lokasi penelitian pada kedalaman 10 meter .. 45
19
Beberapa genera karang batu (hard coral) di lokasi penelitian (1: Montipora, 2: Fungia, 3: Acropora, 4: Echinopora, 5: Pachyseris, 6: Pavona, 7: Porites, 8: Seriatopora, 9: Favites, 10: Lobophylia) ................ 46
20
Perbandingan tingkat pemangsaan (gigitan/5 menit) terhadap karang oleh C. octofasciatus di kedalaman 3 dan 10 meter pada masing- masing stasiun selama penelitian......................................................................................... 48
21
Perbandingan rerata jumlah gigitan (bites) per 5 menit pada karang oleh Chaetodon octofasciatus dengan % penutupan jenis karang yang dimangsa (% cover) di kedalaman 3 dan 10 meter di setiap stasiun (A: Barat, B: Timur, C: Selatan, D: Utara) pada bulan Juli 2005..................................... 51
22
Perbandingan rerata jumlah gigitan (bites) per 5 menit pada karang oleh Chaetodon octofasciatus dengan % penutupan jenis karang yang dimangsa (% cover) di kedalaman 3 dan 10 meter di setiap stasiun (A: Barat, B: Timur, C: Selatan, D: Utara) pada bulan Februari 2006 ............................. 52
23
Perbandingan rerata jumlah gigitan (bites) per 5 menit pada karang oleh Chaetodon octofasciatus dengan % penutupan jenis karang yang dimangsa (% cover) di kedalaman 3 dan 10 meter di setiap stasiun (A: Barat, B: Timur, C: Selatan, D: Utara) pada bulan April 2006 .................................. 53
24
Perbandingan rerata indeks elektivitas (E) pada bulan (I) Juli 2005, (II) Februari dan (III) April 2006 di semua kedalaman (3 dan 10 meter) ......... 56
25
Hubungan antara jumlah individu ikan indikator dengan persentase penutupan karang batu (hard coral) pada kedalaman 3 meter.................... 60
26
Hubungan antara jumlah individu ikan indikator dengan persentase penutupan karang batu (hard coral) pada kedalaman 10 meter.................. 60
27
Jenis-jenis nematokis dan alga perifitik yang ditemukan dalam isi perut ikan Chaetodon octofasciatus (bar = 10 µm)...................................................... 63
28
Kandungan zat kapur (A) dan alga uniselular Zooxanthellae (B) di dalam perut ikan Chaetodon octofasciatus (bar = 5 µm) ...................................... 64
29
Bentuk mulut ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus pada saat normal (A) dan saat disembulkan untuk melakukan pemangsaan (B) ................... 65
vi
30
Pemangsaan ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus terhadap beberapa jenis karang yang ada pada lokasi penelitian .............................................. 67
31
Hubungan antara rerata kepadatan genus Acropora dengan tingkat pemangsaan Chaetotodon octofasciatus pada lokasi penelitian.................. 68
32
Perbandingan antara rerata kepadatan karang genus Acropora dengan tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus pada lokasi penelitian ........ 68
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Gambaran lokasi penelitian di setiap stasiun penelitian .............................. 79 2 Beberapa jenis-jenis karang di Pulau Petondan Timur ................................. 83 3 Kepadatan Genus Karang.............................................................................. 85 4 Persentase Penutupan Genus Karang ............................................................ 88 5 Persentase Penutupan Substrat dasar ............................................................ 91 6 Hasil analisa makanan Ikan Chaetodon octofasciatus .................................. 92 7 Proses pengumpulan sampel ikan Chaetodon octofasciatus di lapangan...... 93 8 Contoh pengolahan hasil transek kuadrat dengan ImageJ ............................ 94 9 Jenis-jenis Nematokis.................................................................................... 95 10 Jenis-jenis alga perifitik ................................................................................ 97 11 Analisa statistik dengan Minitab v13............................................................ 98 12 Proses pengambilan data .............................................................................. 100
viii vi
PENDAHULUAN
Latar belakang Ekosistem terumbu karang terus terdegradasi di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di Kepulauan Seribu, Jakarta (Burke et al. 2002; Erdmann 1998). Hal ini terlihat dari hasil pemantauan kondisi terumbu karang Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPOLIPI) sampai dengan Desember 1999 diperoleh sekitar 6,69% terumbu karang yang statusnya sangat baik dan 26,59% yang berstatus baik, berstatus sedang mencapai 37,58% dan berstatus jelek mencapai 29,16% (Moosa 2001). Oleh karena itu, dibutuhkan suatu metode monitoring yang murah dan efektif dalam memprediksi dan mengamati perubahan kesehatan terumbu karang. Pengamatan kondisi ekosistem terumbu karang merupakan kegiatan yang sangat penting dilakukan mengingat banyaknya area terumbu karang dunia yang telah hancur atau terdegradasi. Terdapat beberapa metode yang telah dipakai untuk menduga komposisi bentik terumbu karang, misalnya menggunakan transek garis menyinggung (line intercept transects), namun metode-metode tersebut memakan banyak waktu dan membutuhkan keterampilan tertentu untuk mengaplikasikannya. Oleh karena itu, diperlukan cara lain yang bisa dipakai untuk melengkapi pengamatan dan menduga perubahan ekosistem terumbu karang menurut waktu yaitu dengan mengidentifikasi spesies indikator. Spesies indikator
dapat
digunakan
untuk
menduga
kesehatan,
keanekaragaman,
produktivitas dan integritas sistem terumbu karang (Smith 2004; Hourigan et al. 1988; Bozec et al. 2005).
Spesies di ekosistem terumbu karang yang bisa dipakai sebagai bioindikator adalah ikan (Tanner et al. 1994; Markert et al. 2003) karena keberadaan ikan-ikan terumbu sangat tergantung pada kesehatan terumbu karang yang salah satunya ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup (Hourigan et al. 1988; Ohman 1998; Lowe-McConnell 1987). Selain itu, ikan terumbu hidup berasosiasi dengan aneka bentuk dan jenis karang sebagai tempat tinggal, perlindungan dan mencari makanan (Nybakken 1993; Barnes 1980; Sale 1991). Salah satu bentuk asosiasi antara ikan dan terumbu yang dapat dilihat adalah ikan pemakan koral (koralivor) seperti dari famili Chaetodontidae, Balistidae, dan Tetraodontidae (Reese 1981; Soule & Kleppel 1988; Birkeland 1997; Ohman 1998) dengan karang terumbu yang menjadi makanannya. Populasi ikan koralivor sangat tergantung pada ketersediaan karang hidup yang dapat dilihat dari penutupannya (Berumen et al. 2005; Fishbase 2004; Nontji 1993; Burges 1978). Ikan kepe-kepe dari famili Chaetodontidae merupakan penghuni habitat terumbu karang yang mudah untuk diamati, umum dijumpai dan diidentifikasi secara langsung (Nybakken 1993; Barnes 1980). Beberapa spesies yang sudah diteliti adalah Chaetodon multicinctus, C. ornatissimus, C. trifasciatus, C. unimaculatus (Hourigan et al. 1988; Ohman et al. 1998), C. lunulatus, C. baronessa (Berumen et al. 2005), C. austriatus, dan C. trifascialis (Alwany et al. 2003). Berdasarkan penelitian Bawole et al. (1999) dikemukakan bahwa kehadiran yang dominan dari Chaetodon octofasciatus mengindikasikan bahwa terumbu karang sudah mengalami perubahan. Dari penelitian tersebut disarankan perlu adanya penelitian yang lebih lanjut tentang kebiasaan makan dan tingkah laku ikan Chaetodontidae, dengan perhatian khusus pada jenis
Chaetodon
2
octofasciatus, Chaetodon trifasciatus, Chaetodon trifascialis dan Chaetodon ornatissimus. Karena kelimpahan Chaetodon octofasciatus di Kepulauan seribu sangat tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya. Maka penelitian ini memfokuskan kajian pada Chaetodon octofasciatus yang ditinjau dari aspek ekologis dan biologis.
Permasalahan Beberapa permasalahan yang telah teridentifikasi berdasarkan hasil studi pustaka dalam penelitian ini, yaitu: 1. Belum adanya metode yang murah, mudah dan efektif untuk diaplikasikan di lapangan dalam mendeteksi perubahan ekosistem terumbu karang mengingat cepatnya degradasi ekosistem tersebut 2. Belum ada penelitian tentang pola makan ikan koralivor kaitannya dengan perubahan ekosistem terumbu karang di Pulau Petondan Timur Kepulauan Seribu, Jakarta. 3. Belum adanya penelitian tentang efektivitas ikan koralivor untuk dapat dijadikan indikator untuk kerusakan terumbu karang di Pulau Petondan Timur Kepulauan Seribu, Jakarta 4. Belum adanya informasi perbedaan jumlah ikan indikator pada masing-masing kategori kerusakan terumbu karang 5. Masih kurangnya informasi tentang hubungan antara persentase penutupan karang hidup terhadap keberadaan ikan indikator 6. Belum ada studi mendalam tentang ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus baik secara ekologi maupun biologis seperti kajian makanan dan kebiasaan makan
3
Dari permasalahan yang ada maka muncul beberapa pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut dengan penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana pola makan ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus berdasarkan analisa makanan dan kebiasaan makan serta tingkat pemangsaan ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus terhadap karang? 2. Apakah ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus merupakan indikator untuk ekosistem terumbu karang yang sehat, rusak atau yang sedang mengalami perubahan? 3. Bagaimana pola hubungan antara persentase penutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan kepe-kepe jenis Chaetodon octofasciatus?
Kerangka pemikiran Untuk mencapai berbagai tujuan penelitian yang telah ditetapkan yang didasari dari permasalahan yang ada maka disusun suatu kerangka pemikiran seperti disajikan pada Gambar 1.
4
Ekosistem Terumbu Karang
Tekanan Antropogenis
Tekanan Alami
Perubahan Ekosistem
Biologi Ekologi
Terumbu karang: - Persentase penutupan karang hidup - Struktur komunitas karang - Indeks Mortalitas Karang (IMK) - Komposisi substrat dasar
Ikan Kepe-kepe: - Jenis - Kelimpahan ikan - Tingkat pemangsaan - Makanan & kebiasan makan
Kajian Ekobiologi
Barat
Ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus belum dapat dipakai sebagai bioindikator dalam endeteksi kondisi pada ekosistem terumbu karang
tidak
Timur Selatan
Stasiun
Metode terumbu karang: a. Transek sabuk b. Transek garis menyinggung c. Transek kuadrat Metode ikan kepe-kepe: a. Sensus ikan stasioner b. Analisa makanan dan kebiasaan makan
Utara
Ada perbedaan ?
ya
Ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus dapat dipakai sebagai bioindikator dalam endeteksi kondisi pada ekosistem terumbu karang
Gambar 1 Kerangka pemikiran
5
Hipotesis Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah: Kelimpahan ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus) ditentukan oleh besarnya persentase penutupan karang hidup.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui makanan dan kebiasaan makan Chaetodon octofasciatus melalui analisa isi perut; 2. Mengetahui perbedaan tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus terhadap jenis koral yang dikonsumsi; 3. Didapatkannya pola hubungan antara kelimpahan Chaetodon octofasciatus dengan persentase penutupan karang hidup;
Manfaat Penelitian ini diharapkan mempunyai berbagai manfaat, yaitu: 1. Mendapatkan indikator kerusakan terumbu karang berdasarkan jumlah Chaetodon octofasciatus yang sangat murah, mudah dan efektif untuk diimplementasikan di lapangan khususnya di Pulau Petondan Timur Kepulauan Seribu, Jakarta; 2. Memberikan tambahan informasi mengenai ekobiologi dari ikan indikator ini, maka memberikan informasi kerusakan terumbu karang yang lebih dini dan akurat.
6
TINJAUAN PUSTAKA Terumbu Karang Pengertian Karang dan Simbiotik Alga Karang merupakan nama lain dari ordo Scleractinia yang memiliki jaringan batu kapur yang keras. Ordo Scleractinia dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok karang pembentuk terumbu (reef building) dan kelompok karang bukan pembentuk terumbu (non reef building). Karang pembentuk terumbu merupakan karang hermatipik yang memerlukan cahaya matahari untuk hidup, sedangkan kelompok bukan pembentuk terumbu adalah karang ahermatipik yang hidup tanpa cahaya matahari di dasar laut (Veron 1993; Nybakken 1993; Tomascik et al. 1997). Karang hermatipik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatipik tersebar luas di seluruh dunia.
Perbedaan utama antara karang
hermatipik dan karang ahermatipik adalah terdapatnya simbiose mutualisma dengan zooxanthellae, tumbuhan alga bersel tunggal (dinoflagellata uniselular) Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di dalam jaringan karang. Karang hermatipik bersimbiose dengan alga tersebut sedangkan hampir semua karang ahermatipik tidak bersimbiose (Ditlev 1980; Nybakken 1993). Menurut Barnes (1980) terdapat lebih dari 60 genera karang yang bersimbiose dengan zooxanthellae. Asosiasi simbiotik antara zooxanthellae dengan karang sedemikian eratnya hingga sangat menentukan proses metabolisme, kemampuan untuk membentuk kerangka dan sebaran vertikalnya hewan tersebut. Selain itu zooxanthellae juga terdapat dalam berbagai jenis invertebrata di daerah terumbu karang sehingga
memberikan petunjuk bahwa peranan alga tersebut sangat penting dalam ekosistem terumbu karang (Nybakken 1993; Nontji 1984). Oleh karena itu karang hermatipik mempunyai sifat yang unik, yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan, sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototropik positif. Kebutuhan akan cahaya matahari adalah untuk kepentingan zooxanthellae (Nybakken 1993).
Struktur Karang Karang dapat hidup berkoloni maupun soliter. Individu karang terdiri dari polip (bagian yang lunak) dan kerangka kapur (bagian yang keras). Polip karang (Gambar 2), mulutnya terletak di bagian atas dan sekaligus berfungsi sebagai anus. Makanan yang masuk dicerna oleh filamen mesentary dan sisa makanan dikeluarkan melalui mulut. Jaringan tubuh karang terdiri dari ektoderm, mesoglea dan endoderm (Veron 1986).
Gambar 2 Anatomi polip Karang dan kerangka kapur (Veron 1986)
8
Ektoderm merupakan jaringan terluar yang mempunyai cilia, kantung lendir (mucussac) dan sejumlah nematokis (nematocyst).
Mesoglea adalah jaringan
yang terletak antara ektoderm dan endoderm, bentuknya seperti agar-agar (jelly). Endoderm merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi zooxanthellae (Nybakken 1993), tetapi menurut Barnes (1980) zooxanthellae yang bersimbiose juga berada di dalam jaringan gastroderm. Ukuran diameter polip karang yang berbentuk koloni umumnya adalah 1- 3 mm, sedangkan jenis yang soliter ada yang mencapai 25 cm (Barnes 1980). Rangka karang terdiri dari kristal kalsium karbonat dan disekresikan oleh epidermis yang berada di pertengahan bawah polip.
Proses sekresi ini
meghasilkan rangka cawan (skeletal cup), dimana polip Karang menetap. Cawan tersebut dinamakan calyx, dinding yang mengelilingi cawan disebut theca dan lantai cawan disebut lempeng basal (basal plate). Pada bagian lantai terdapat dinding septa yang terbuat dari kapur tipis (radiating calcareous septa) (Gambar 4). Disamping memberikan tempat hidup bagi polip karang, cangkang (terutama sklerosepta/septa) juga memberikan perlindungan. Bila berkontraksi, polip menjadi kecil dan berada dalam cangkang sehingga menyulitkan predator yang akan memangsanya (Barnes 1980).
Nematokis Filum Coelenterata disebut juga Cnidaria yang dalam bahasa Yunani adalah sengat. Anggota dari filum ini adalah hydra, ubur-ubur, anemone laut dan koral. Coelenterata mempunyai rongga pencernaan dan mulut, tetapi tidak ada anus. Anatomi dari filum ini adalah mempunyai dinding tubuh yang terdiri dari 3
9
lapisan, yaitu epidermis (lapisan paling luar), gastrodermis (lapisan paling dalam dan membatasi rongga pencernaan), dan mesoglea (lapisan yang terletak di antara epidermis dan gastrodermis) (Suwignyo et al. 2005). Pada lapisan epidermis terdiri dari lima macam sel yaitu sel epitel otot, sel interstisial, sel cnidocyte, sel kelenjar lender, dan sel saraf indera. Di dalam cnidocyte terdapat nematokis, yaitu suatu struktur seperti kapsul bulat atau lonjong. Di dalam nematokis terdapat semacam benang atau pipa halus atau duri melingkar-lingkar, dan pangkalnya menempel pada dasar nematokis. Bila ada rangsangan dari luar, benang dalam nematokis ditembakkan keluar. Nematokis paling banyak terdapat di tentakel dan ujung oral (Suwignyo et al. 2005).
C
A
B
Gambar 3 Tipe nematokis: (A) Perekat; (B) Penggulung; (C) Penusuk (Suwignyo et al. 2005)
Terdapat tiga macam tipe nematokis berdasarkan fungsinya yaitu (Suwignyo et al. 2005): a. Perekat (glutinant, isorhiza): mempunyai pipa halus yang ujungnya terbuka dan menghasilkan bahan perekat sebagai pertahanan diri dan untuk melekatkan diri ke substrat.
10
b. Penggulung (volvent, demoneme): berukuran kecil dan berfungsi untuk menggulung mangsa, berbentuk seperti tali lasso. c. Penusuk (penetrant, stenotele): berukuran besar agak bulat mengandung 3 buah duri besar dan 3 deret duri-duri kecil, dan berfungsi untuk menyuntikkan racun ke dalam tubuh mangsa
Sedangkan berdasarkan bentuknya terdapat 9 tipe nematokis yaitu: 1. Atrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang bulat tanpa dasar (basal shaft) atau senapan (barbs). 2. Basitrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang bulat tetapi sudah mempunyai senapan (barbs) pada dasar. 3. Holotrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh non-differensial basal shaft dan sebuah senapan (barb) disepanjang tubuhnya. 4. Macrobasic amastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang bulat memanjang dan terdapat senapan di ujungnya. 5. Microbasic amastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang membulat panjang namun kecil dan hanya terdapat senapan di ujungnya. 6. Microbasic b-mastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang membulat dan berongga, tetapi pemisah antara rongga dan tabung tubule tidak ada tanda yang jelas. 7. Microbasic p-mastigophore: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuknya yang membulat dan mempunyai sebuah rongga dan tabung, pemisah antara rongga senapan dan tabung terlihat dengan jelas.
11
8. Spirocyst: tipe cnidae yang didefinisikan oleh bentuknya yang panjang, spriral, tidak menyengat dan membulat. 9. Heterotrich: tipe nematokis yang didefinisikan oleh bentuk tubuhnya yang panjang membulat dengan garis-garis melintang ditubuhnya.
Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keragaman dan produktivitas biologinya. Banyaknya lubang dan celah di terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembangan biak bagi ikan dan invertebrata yang ada di perairan terumbu karang maupun yang berasal dari lingkungan sekitarnya (Nybakken 1993).
Gambar 4 Organisme yang berasosiasi dengan terumbu karang (Castro & Huber 2000)
Biota yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkat trophik (Gambar 4). Masing-masing komponen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat satu dengan yang lain (Nybakken 1993).
12
Status Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu Kondisi ekosistem terumbu karang di daerah tropis khususnya di Indonesia saat ini sangat dipengaruhi oleh peningkatan populasi penduduk. Hal ini sesuai yang dinyatakan oleh Wilkinson et al. (1993) bahwa pada tahun 1993 bahwa 10 sampai 20 tahun mendatang, 30% terumbu karang di dunia akan hancur dan rusak. Pada tahun 1998, World Resources Institute di Washington mengestimasi bahwa 50% dari terumbu karang di dunia sangat terancam, dan 10% telah hancur dan rusak (Bryant et al. 1998). Terumbu karang di Indonesia bagian barat mendapatkan lebih banyak tekanan dibandingkan dengan terumbu karang di bagian timur Indonesia (Chou 1998). Khususnya di Kepulauan Seribu yang selama 25 tahun terakhir menanggung beban limbah dari Jakarta (Cesar 1996). Limbah domestik, limbah industri, dan penangkapan ikan yang merusak (termasuk bom sianida) merupakan faktor utama yang membuat terumbu karang di Kepulauan Seribu semakin riskan (Bryant et al. 1998; Chou 1998; Erdmann 1996). Dampak negatif dari beberapa aktivitas manusia dan alam di daerah terumbu karang di Kepulauan Seribu Jakarta disajikan pada Tabel 1. Pemboman (blast fishing), suatu teknik yang menggunakan ledakan untuk membunuh ikan dan hal ini sangat merusak ekosistem secara ekstrim. Terlebih lagi kegiatan pemboman ini membunuh ikan target dan non-target serta hewan invertebrate dari segala jenis kelas dan ukuran, dan juga ledakan merusak dan menghancurkan struktur terumbu. Kegiatan pemboman ini menghasilkan hancurnya karang-karang batu (massive) dan juga patahan-patahan karang bercabang. Pemulihan terumbu dalam situasi seperti ini sangat kecil
13
kemungkinannya sehubungan dengan hancurnya struktur terumbu dan substrat dasar (Erdmann 1996). Tabel 1 Dampak negatif dari beberapa aktivitas manusia dan alam di daerah Terumbu Karang di Kepulauan Seribu Jakarta Faktor Manusia
Alam
Kategori dampak Kegiatan manusia dan alam Perikanan: Pemboman (blast fishing) Sianida Muroami
Dampak negatif
Referensi
Patahan karang Karang mati Pengumpul ikan menginjak-injak karang
Sukarno et al. (1983), Sukarno (1996), Erdmann (1996), Bryant et al. (1998), Chou (1998)
Pariwisata: Jangkar kapal Berjalan diatas terumbu
Patahan karang Karang rusak
Sukarno et al. (1983), Sukarno (1996), Erdmann (1996), Supriharyono (2000)
Penambangan: Penambangan karang Penambangan Kima Penambangan pasir laut
Karang rusak Banyak bongkahan karang Pulau-pulau hilang
Sukarno et al. (1983), Sukarno (1996), Erdmann (1996), de Vantier et al. (1998), Ongkosongo & Natsir (1994)
Pencemaran: Eksplorasi minyak Sedimentasi Sampah
Mematikan karang Mematikan karang Mematikan karang
Sukarno (1996), Supriharyono (2000), Cesar (1996)
Memangsa karang secara berlebihan karena tidak predatornya Memutihkan karang dan kematian karang secara massal
de Vantier (1996)
Bulu seribu (Acanthaster planci)
El-nino
Brown & Suharsono 1990
Kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu juga ditegaskan oleh de Vantier (1996) bahwa penurunan penutupan karang dan kekayaan jenis disebabkan oleh serangan populasi bintang laut berduri (Acanthaster planci), suhu tinggi akibat el-nino pada tahun 1991 dan 1993 (Brown & Suharsono 1990), kualitas air yang tidak baik dan praktek perikanan tangkap yang merusak (racun sianida dan muro-ami). Selain itu, stress terumbu karang di Kepulauan Seribu
14
juga disebabkan oleh aktivitas reklamasi, jetty, dan bagan (liftnet) (Ongkosongo & Natsir 1994)
Ikan Kepe-Kepe (Chaetodontidae) Karakteristik dan Klasifikasi Ikan kepe-kepe (Butterflyfishes) merupakan salah satu ikan terumbu yang mudah dikenali diperairan terumbu karang (Gambar 5). Kebanyakan ikan kepekepe ditemukan di perairan tropis, dangkal, disekitar terumbu karang pada kedalaman kurang dari 60 feet (18 m). Tetapi, beberapa penemuan terakhir telah ditemukan spesies baru yang berada pada kedalaman 600 feet (180 m) (Fishbase 2005).
Gambar 5 Jenis ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus (Chaetodontidae) yang dijadikan spesies indikator dalam penelitian ini (bar = 1 cm)
Para ahli ikhtiologi mengklasifikasikan ikan kepe-kepe kedalam Famili Chaetodontidae berdasarkan desain gigi mereka. Semuanya mempunyai gigi yang mirip sisir. Umumnya mulutnya lancip dan rahangnya dilengkapi dengan gigi-gigi kecil dan tajam untuk mencari makanannya di celah-celah karang batu. Pergerakan yang cepat dan bentuk warna yang jelas juga merupakan salah satu alasan pemberian nama pada grup ikan ini. Para peneliti juga mengusulkan
15
beberapa kemungkinan fungsi dari warna-warna dramatis dan bentuk pewarnaan yang umumnya didominasi oleh kuning, hitam dan putih. Untuk beberapa ikan kepe-kepe, khususnya spesies yang mempunyai hubungan yang dekat dengan habitat yang sama, pengenalan spesies mungkin penting pada saat identifikasi pasangan. Beberapa spesies hidup berpasangan dan mempunyai wilayah teritori tertentu yang sesuai dengan pewarnaanya yang berguna untuk menyamar dari pemangsaan. Beberapa lainnya, pewarnaan penting untuk perlindungan dari predator. ikan kepe-kepe umumnya aktif pada siang hari (diurnal), dan mencari tempat perlindungan di habitat terumbu pada malam hari (Fishbase 2005; Nontji 1993). Berikut Klasifikasi dari ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Osteichthyes Ordo : Perciformes Famili : Chaetodontidae Genus : Chaetodon Spesies : Chaetodon octofasciatus
Ekobiologi Chaetodontidae Ikan kepe-kepe mempunyai variasi makanan mulai dari karang, plankton, invertebrata, alga, spons, dan beberapa tumbuhan laut lainnya (Fishbase 2005). Namun, untuk mengetahui perannya sebagai bioindikator kesehatan karang maka variasi makanan ikan kepe-kepe difokuskan pada pemakan karang (Tabel 2).
16
Tabel 2
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Daftar beberapa spesies ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) beserta tipe kebiasaan makannya (OC=Obligate corralivores, FC=Facultative corralivores)
Spesies Ikan Chaetodon andamanensis Chaetodon auriga Chaetodon baronessa Chaetodon bennetti Chaetodon citrinellus Chaetodon collare Chaetodon decussatus Chaetodon ephippium Chaetodon kleinii Chaetodon lunula Chaetodon paucifasciatus Chaetodon plebeius Chaetodon rafflesii Chaetodon striatus Chaetodon trifascialis Chaetodon trifasciatus Chaetodon aureofasciatus Chaetodon austriacus Chaetodon lineolatus Chaetodon melannotus Chaetodon multicinctus Chaetodon octofasciatus Chaetodon ornatissimus Chaetodon punctatofasciatus Chaetodon quadrimaculatus Chaetodon reticulatus Chaetodon triangulum Chaetodon unimaculatus Chaetodon vagabundus Chelmon rostratum Coradian altivelis Coradion chrysozonus Heniochus acuminatus Heniochus plurotaenia Heniochus singularis Megaprotodon striangulus
OC +
FC +
+ + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
Referensi Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Fishbase (2005) Fishbase (2005) Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Fishbase (2005) Fishbase (2005) Fishbase (2005) Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Reese (1977), Fishbase (2005) Fishbase (2005) Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Fishbase (2005) Reese (1977), Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Reese (1977), Fishbase (2005) Reese (1977), Fishbase (2005) Reese (1977), Fishbase (2005) Reese (1977), Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Reese (1977) Reese (1977), Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Yusuf & Ali (2004), Fishbase (2005) Reese (1977), Fishbase (2005)
Chaetodontidae hidup dekat dengan substrat dan makan secara diurnal. Terdapat lima kategori pemangsaan ikan kepe-kepe yaitu pemangsa karang batu (hard coral feeder), invertebrata sesil termasuk polip karang (invertebrate sesile feeder), invertebrata bentik, omnivor, dan planktivor (umumnya zooplankton)
17
(Nontji 1993; Fishbase 2005). Kebiasaan makan ikan kepe-kepe bervariasi sesuai dengan wilayah geografis. Di Great Barrier Reef sekitar 80% bersifat koralivor, Samudera Hindia bagian barat 72% sedangkan di Hawaii kurang dari 60% bersifat koralivor (Fishbase 2005). Ikan kepe-kepe biasanya ditemukan secara individual, berpasangan, atau dalam kelompok kecil (Nontji 1993). Sumber makanan merupakan faktor penentu utama yang membedakan kehidupan sosial dan sistem pertemanan diantara ikan kepe-kepe. Ikan koralivor umumnya ditemukan berpasangan sedangkan ikan planktivor biasanya ditemukan berkelompok (Fishbase 2005; Nontji 1993).
Biogeografi Ikan Kepe-kepe (Chaetodontidae) di Dunia Ikan kepe-kepe mempunyai pola distribusi yang tertutup dalam suatu grup dan pola variasi geografi yang berulang. Spesies ikan ini tersebar di sepanjang wilayah Indo-Pasifik sebanyak 116 species dan 45 jenis berada di Indonesia (Allen & Adrim 2003; Fishbase 2005; Nontji 1993; Burges 1978).
Gambar 6 Hubungan kekerabatan (phylogenetick) diantara genus dari famili Chaetodontidae (Blum 1989)
18
Hubungan kekerabatan diantara genus dari famili Chaetodontidae telah dijabarkan oleh Blum (1989). Hubungan tersebut diperoleh dari analisa cladistik dari 34 atribut karakteristik osteologi dan anatomi dalam ikan Chaetotontidae. Hubungan phylogentik tersebut ditunjukan pada Gambar 6. Distribusi dari spesies Chaetodontidae telah dilakukan oleh Allen (1980). Penyebaran
spesies
phylogenetiknya.
Chaetodontidae
sangat
dipengaruhi
hubungan
Ikan Chaetodontidae tersebar di seluruh dunia dengan
penyebaran tertinggi di Indo-Pasifik. Khusus untuk jenis Chaetodon octofasciatus hanya tersebar di wilayah Sri Langka, India, Great Barrier Reef Australia, Malaysia, Indonesia, New Guinea, Filipina, Rykyu Islands, Selatan Jepang, Taiwan, dan Thailand (Blum 1988). Distribusi dari spesies Chaetodontidae diperlihatkan pada Gambar 7.
Gambar 7 Distribusi dari spesies Chaetodon octofasciatus (Chaetodontidae) (modifikasi Blum 1989).
Konsep Chaetodontidae sebagai bioindikator Menurut Markert et al. (2003), terdapat tiga tipe utama bioindikator yaitu (1) compliance indicator, yang dipilih untuk menduga ekosistem terumbu karang yang berhubungan dengan restorasi dan menjaga kualitas lingkungan, (2) diagnostic indicator, selain tipe pertama, dan (3) early warning indicator, yang
19
memberikan tanda kepada manajer untuk melakukan aksi sebelum kondisi lingkungan menjadi parah. Konsep penggunaan spesies kunci tertentu sebagai indikator kondisi ekologis sekarang telah banyak dipakai untuk mendeteksi suatu kondisi lingkungan (Soule & Kleppel 1988). Ikan kepe-kepe sangat mungkin untuk menjadi indikator lingkungan terumbu karang karena hubungannya sangat erat dengan substrat karang hidup (Hourigan et al. 1988). Reese (1981) merupakan peneliti pertama yang mengusulkan butterflyfishes yang bersifat koralivor untuk dijadikan sebagai organisme indikator. Namun, ada dua hal yang harus diperhatikan adalah (1) biotik indikator yang sensitif lebih berguna untuk mendeteksi polusi pada level rendah seperti polusi kimia level rendah atau perubahan kecil temperatur atau tingkat nutrien, (2) tidak semua jenis Chaetodontidae dapat dijadikan spesies indikator. Misalnya yang bersifat planktivor tidak sensitif terhadap perubahan terumbu karang, atau omnivor memakan invertebrata selain karang dan alga sehingga sangat susah untuk mendeteksi kebiasaan makannya yang selalu berubah dan oportunis (Reese 1995). Berbagai macam pertanyaan dan keraguan yang timbul terhadap penggunaan ikan kepe-kepe (butterflyfishes) sebagai biomonitor dan bioindikator. Jawaban dari
pertanyaan
tersebut
adalah
terdapat
banyak
spesies
dari
famili
Chaetodontidae yang mempunyai hubungan kuat dengan karang dan mereka banyak bersifat obligate corralivores (pemangsa karang) (Reese 1981; HarmelinVivien & Bouchon-Navaro 1983). Selain itu, metabolisme atau kebutuhan energi dari ikan kepe-kepe sangat berhubungan dengan kesehatan karang sehingga jenis
20
pemangsa karang tersebut merupakan calon potensial sebagai indikator perubahan terhadap terumbu karang (Crosby & Reese 1996). Crosby & Reese (1996) menyatakan empat alasan penting mengapa Chaetodontidae merupakan indikator bagus yang sangat potensial: (1) Nama ilmiah dari karang dan ikan bukan merupakan persyaratan utama yang harus diketahui oleh pengambil data; (2) Pengumpulan data dapat dilakukan bertahap, misalnya langkah pertama dapat menghitung jumlah ikan Chaetodontidae di sepanjang transek dan kemudian langkah selanjutnya dapat menghitung jumlah koloni karang. Metode ini sangat seseuai apabila kurangnya sumberdaya manusia yang tersedia; (3) Chaetodontidae merupakan indikator terbaik yang digunakan dimana ada perubahan secara waktu (gradual), gangguan kronis yang mana sulit untuk dihitung atau dilakukan oleh alternative metode lainnya, misalnya pengumpulan data jaringan dan analisis kualitas air. (4) Metode bioindikator ini sangat ramah lingkungan (environmentally friendly), relatif murah, tidak merusak dan tidak membutuhkan teknisi ilmiah yang sangat terampil. Oleh karena itu, Chaetodontidae yang pemangsa karang merupakan indikator ideal karena ikan ini memangsa karang secara langsung. Lebih lanjut, ikan kepekepe menunjukkan tingkat kesukaan pada spesies karang tertentu sehingga akan sangat sensitif apabila terjadi perubahan suatu sistem terumbu karang. Selain itu, karena ikan kepe-kepe sangat teritorial maka akan sangat mudah memantaunya secara periodik.
21
Ukuran teritori dari ikan kepe-kepe ditentukan oleh jumlah makanan karang yang tersedia. Jika ketersediaan makanan karang sedikit di suatu area terumbu karang maka ikan tersebut akan memperluas daerah teritorinya (Crosby & Reese 1996). Perubahan tingkah laku sosial tersebut menyediakan indikasi dini yang sensitif bahwa terjadi ketidakstabilan dan perubahan di dalam ekosistem tersebut.
Penelitian tentang Chaetodontidae Terdapat beberapa penelitian yang menggunakan ikan kepe-kepe sebagai indikator keanekaragaman terumbu karang di Indonesia dan Filipina menunjukkan hasil yang sangat bagus (Crosby et al. 1996). Beberapa jenis ikan kepe-kepe yang sudah diteliti sebagai indikator perubahan lingkungan adalah Chaetodon multicinctus, C. ornatissimus, C. trifasciatus, dan C. unimaculatus (Hourigan et al. 1988).
White (1988) menyatakan jumlah total spesies Chaetodontidae
menunjukkan korelasi yang signifikan terhadap penutupan karang keras (hard coral). Sedangkan di Kepulauan Seribu, Adrim et al. (1991) menyebutkan bahwa Chaetodon octofasciatus memungkinkan untuk dijadikan indikator degradasi terumbu karang akibat tekanan lingkungan. Namun, tidak semua ikan Chaetodontidae sebagai pemakan karang keras (scleractinian coral), ada juga memakan octocoral (karang lunak) misalnya Chaetodon melannotus (Alino et al. 1988). Berdasarkan penelitian Bawole et al. (1999) dikemukakan bahwa variasi ikan Chaetodontidae ditentukan oleh bentuk pertumbuhan Acropora bercabang, nonacropora bercabang, non-acropora massive, non-acropora encrusting dan habitat yang beragam. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa kehadiran yang dominan dari
22
Chaetodon octofasciatus mengindikasikan bahwa terumbu karang sudah mengalami perubahan, sedangkan kehadiran Chaetodon trifasciatus, Chaetodon trifascialis dan Chaetodon ornatissimus mengindikasikan bahwa kondisi karang belum mendapatkan gangguan yang berarti atau masih relatif baik. Dari penelitian tersebut disarankan perlu adanya penelitian yang lebih lanjut tentang kebiasaan makan dan tingkah laku ikan Chaetodontidae, dengan perhatian khusus pada jenis Chaetodon octofasciatus, Chaetodon trifasciatus, Chaetodon trifascialis dan Chaetodon ornatissimus. Dari penelitian Yusuf dan Ali (2004) menyatakan bahwa ditemukan kelimpahan yang tinggi dari Chaetodon octofasciatus dan Chaetodon collare di Pulau Mayar, Malaysia, meskipun penutupan karang di di daerah ini kurang beragam dan sehat. Adrim dan Hutomo (1989) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara ketiga yang mempunyai keanekaragaman ikan kepe-kepe (butterflyfishes) setelah Great Barrier Reef, Australia (50 spesies), dan Filipina (45 spesies). Namun, kajian biologis dan ekologis dari kelompok ikan ini masih sangat jarang dan biasanya hanya merupakan bagian kecil dari berbagai penelitian. Lebih lanjut Adrim dan Hutomo (1989) menemukan adanya hubungan positif antara persen penutupan karang hidup dengan jumlah dan jenis ikan Chaetodontidae di Laut Flores.
23
BAHAN & METODE
Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Petodan Timur, di dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 8). Pulau ini mempunyai luas 7,38 ha dan berada di zonasi Rekreasi dan Pariwisata. Secara administratif berada dalam Kelurahan Pulau Harapan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Stasiun pengambilan data ditetapkan di empat lokasi seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Posisi geografis stasiun penelitian Posisi Geografis Stasiun Bujur Timur (BT)
Lintang Selatan (LS)
Barat
106° 35.536”
05° 34.754”
Selatan
106° 35.747”
05° 34.937”
Utara
106° 35.701”
05° 34.730”
Timur
106° 35.101”
05° 34.977”
Penelitian ini berlangsung pada tanggal 25 – 29 Juli 2005, 4 – 8 Februari dan 17 – 22 April 2006. Analisa makanan dan kebiasaan makan ikan Chaetodon octofasciatus dilakukan di Laboratorium Biomikro I Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP). Identifikasi berlangsung dari tanggal 9 Maret sampai dengan 3 Mei 2006.
25
Gambar 8.
Peta lokasi penelitian: Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
Alat dan bahan Peralatan yang digunakan dalam peneltian ini adalah alat selam Self Contained Underwater Buoyancy Apparatus (SCUBA), Global Positioning System (GPS), kapal, rollmeter 50 m, sabak dan pensil, kamera bawah air, buku identifikasi karang (Suharsono 2004) dan buku identifikasi ikan (Allen 2000). Peralatan dan metode untuk pengamatan kondisi perairan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Peralatan dan metode untuk pengambilan data parameter perairan Parameter
Unit
Metode/Alat
Keterangan
Kecepatan arus
m/dt
Current-meter
in situ
Suhu
°C
Thermometer Hg
in situ
Kedalaman
m
Deep Gauge
in situ
Kecerahan
m
Secchi disc
in situ
Salinitas
ppt
Refraktometer
in situ
Alat dan bahan yang digunakan untuk identifikasi makanan dan kebiasaan makan adalah sampel usus ikan Chaetodon octofasciatus yang sudah diawetkan di lapangan, bahan pengawet (alkohol 95%), mikroskop, gelas objek, gelas penutup, tissue/lap dan buku identifikasi.
Tahapan penelitian Secara umum, dalam penelitian ini terdapat tiga tahap yaitu: (1) mengidentifikasi jenis dan kelimpahan ikan indikator koralivor serta memilih yang paling dominan, (2) mengukur tingkat pemangsaan ikan indikator terhadap jenis karang dan mengetahui hubungan antara kelimpahan ikan indikator dan
26
persentase penutupan karang hidup, (3) mengkaji pola hubungan antara kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang hidup terhadap keberadaan dan kelimpahan ikan indikator berdasarkan studi ekobiologinya, seperti disajikan pada Gambar 9.
Penentuan titik sampel Kondisi komunitas ikan indikator dan terumbu karang diamati pada empat stasiun di sekitar perairan penelitian. Pada empat stasiun tersebut diletakkan transek sepanjang 50 meter sejajar dengan garis pantai di daerah reef crest (3 m) dan reef slope (10 m). Penempatan transek ini dilakukan setelah adanya pemantauan terumbu karang dengan metode manta tow/snorkeling. Setiap lokasi mempunyai titik koordinat yang diambil dengan alat GPS. Titik koordinat ini yang menjadi patokan pengambilan data selain patok-patok yang telah dipancangkan.
Waktu pengambilan data Pengambilan data dilakukan antara pukul 07.00-17.00. Waktu ini di ambil sesuai dengan waktu aktif mencari makan ikan Chaetodontidae yakni pada siang hari (diurnal).
27
Mulai
TAHAP I Ekosistem Terumbu Karang: Mencari lokasi berdasarkan penutupan karang hidup
Dipilih jenis ikan kepe-kepe koralivor yang paling dominan
Identifikasi jenis dan kelimpahan ikan karang termasuk ikan kepe-kepe pada masing-masing kategori terumbu karang
TAHAP II
Analisa isi perut terhadap ikan C. octofasciatus
Analisis Deskriptif
Analisis Ragam
Mengetahui karakteristik habitat terhadap jenis ikan C. octofasciatus pada masing-masing stasiun
Mengetahui perbedaan kelimpahan ikan C. octofasciatus dan persentase penutupan karang hidup
Mengukur tingkat pemangsaan ikan C. octofasciatus yang paling dominan terhadap jenis koral
Analisis Korelasi
Analisis Ragam Mengetahui hubungan antara kelimpahan ikan C. octofasciatus dan persentase penutupan karang hidup
Mengetahui perbedaan tingkat pemangsaan terhadap koral pada masing-masing kategori terumbu karang
TAHAP III
ada
Mengkaji pola hubungan antara kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang hidup terhadap keberadaan dan kelimpahan ikan C. octofasciatus berdasarkan studi bioekologinya
Hubungan?
tidak ada
Membuat pengelompokan kelimpahan ikan C. octofasciatus berdasarkan kategori terumbu karang Gomez & Yap (1998)
Selesai
Gambar 9. Tahapan penelitian
28
Jenis data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Dalam pengambilan data primer dibagi menjadi dua yaitu data ikan indikator dan data terumbu karang. Data primer yang akan diambil adalah: 1. Kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus (x1) 2. Tingkat pemangsaan ikan Chaetodon octofasciatus pada jenis koral tertentu (x2) 3. Jenis karang batu yang dimangsa ikan Chaetodon octofasciatus (x3) 4. Persentase penutupan karang batu atau hard coral (x4) 5. Jenis makanan dari ikan Chaetodon octofasciatus berdasarkan analisa isi usus (x5)
Metode pengambilan data Substrat dasar Metode pengambilan data yang digunakan dalam pengamatan substrat dasar adalah transek garis menyinggung (line intercept transect) dan transek sabuk (belt transect) dan transek kuadrat (Quadrat transect) (Stoddart & Johannes 1978; English et al. 1997; Rogers et al. 1994). Ketiga metode pengambalian data tersebut diletakkan pada transek permanen yang menggunakan pancang pada titik 0 meter sampai 50 meter yang dihubungkan dengan tali nylon. a. Transek Garis Menyinggung (Line Intercept Transect) Pengambilan data persen penutupan terumbu karang dengan transek garis menyinggung dengan membentangkan rollmeter sepanjang 50 meter. Transek garis sepanjang 50 meter diletakkan sejajar dengan garis pantai di daerah reef
29
crest (3 m) dan reef slope (10 m). Data diambil oleh satu orang penyelam (Gambar 10). Data yang diambil berupa transisi panjang koral yang menyinggung transek, jenis dan bentuk pertumbuhan koral.
Gambar 10 Ilustrasi teknik pengumpulan data substrat menggunakan transek garis menyinggung
dasar
dengan
b. Transek Sabuk (Belt Transect) Transek sabuk digunakan untuk mengetahui kelimpahan genus koral disepanjang 50 meter dengan lebar 50 cm meter kiri dan kanan transek. Transek sabuk ini juga diletakkan sejajar dengan garis pantai di daerah reef crest (3 m) dan reef slope (10 m). Pengambilan data dilakukan oleh dua orang penyelam yang masing-masing mengapit transek (Gambar 11).
50 cm
50 cm
Gambar 11 Ilustrasi teknik pengumpulan data karang dengan menggunakan transek sabuk
c. Transek Kuadrat Transek kuadrat (1 x 1 meter2) digunakan untuk mengetahui data persen penutupan terumbu karang. Transek kuadrat yang digunakan dibagi-bagi lagi menjadi 100 grid dimana setiap grid mewakili 10% penutupan. Transek kuadrat ini juga diletakkan sejajar dengan garis pantai di daerah reef crest (3 m) dan reef
30
slope (10 m). Sebanyak 3 transek kuadrat yang diletakkan pada masing-masing kedalaman (3 dan 10 m). Transek kuadrat diletakkan pada meter ke 0, 30, dan 50. Pengambilan data dilakukan oleh satu orang penyelam. (Gambar 12). Data yang diambil berupa jenis dan bentuk pertumbuhan koral yang diolah menggunakan program ImageJ (2003).
Gambar 12 Ilustrasi teknik pengumpulan menggunakan transek kuadrat
data
substrat
dasar
dengan
Ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus a. Menghitung kelimpahan Pengambilan data ikan Chaetodon octofasciatus berupa jenis (spesies) dan jumlah (kelimpahan) digunakan metode sensus transek sabuk (Belt Transect Census) (Brock 1982; English et al. 1997), yang dikombinasikan dengan metode sensus ikan stasioner (the Stationary Fish Census method) (Rogers et al. 1994). Dalam pendataan ini akan digunakan penomoran yang dicatat dalam lembar data. Data diambil di sepanjang transek dengan lebar 2,5 m kanan dan kiri transek garis.
Gambar 13 Ilustrasi teknik pengumpulan data ikan dengan menggunakan transek sabuk dan metode sensus ikan stasioner
31
b. Mengukur tingkah laku pemangsaan Untuk menguji tingkah laku pemangsaan (feeding behaviour) setiap individu diidentifikasi dan diamati selama 30 menit setiap transek. Pendataan tingkah laku makan dibagi dua bagian: (1) tingkat pemangsaan (feeding rates) dan (2) pilihan jenis karang yang menjadi makanan (food choice), dan pendataan dibagi setiap interval 5 menit. Untuk setiap interval 5 menit dilakukan pendataan jumlah total gigitan (bites) ikan dan jenis koral yang dikonsumsi (Crosby & Reese 1996).
c. Analisis makanan dan kebiasaan makan Untuk menguji tingkah laku pemangsaan (feeding behaviour) maka perlu dilakukan analisa makanan dan kebiasaan makan (food and feeding habit) yang menjadi target uji coba yaitu Chaetodon octofasciatus. Sehingga dari hasil analisa ini akan didapatkan data biologi berupa jenis makanan yang dimangsa oleh ikan indikator ini. Analisa makanan dan kebiasaan makan ikan dilakukan melalui pengamatan isi usus ikan tersebut. Dengan mempelajari kebiasaan makanan ikan atau tabiat makanan ikan pada dasarnya adalah untuk mengetahui kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan. Sehingga dapat menentukan nilai gizi alamiah ikan serta melihat juga hubungan ekologis dalam tropic level. Prinsip yang kemudian dikembangkan adalah dengan mengidentifikasi pencernaan (makanan yang telah dimakan oleh ikan). Dengan mengetahui jenis dan jumlah makanan ikan, maka dapat disusun urutan kebiasaan makanan ikan.
Urutan
makanan tersebut adalah makanan utama (makanan yang dimanfaatkan dalam jumlah besar), makanan pelengkap (makanan yang ditemukan dalam pencernaan dalam jumlah sedikit), makanan tambahan (jenis makanan dalam jumlah yang
32
sangat sedikit), dan makanan pengganti (makanan yang dikonsumsi jika makanan utama tidak ada). Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah: (1) Persiapan ikan kepe strip delapan (Chaetodon octofasciatus) Kegiatan ini meliputi pengambilan/penangkapan ikan ini di lapangan dengan mengikuti nelayan. Kegiatan persiapan ini sangat penting artinya karena berkaitan dengan sampel usus yang akan diidentifikasi.
Setelah ikan ini
tertangkap oleh jaring nelayan, maka langsung dilakukan pembedahan terhadap ikan tersebut kemudian ususnya diambil dan diawetkan. Tindakan ini diambil agar ikan ini tidak melakukan proses pencernaan, sehingga sampel makanan yang diidentifikasi dapat lebih akurat. Usus ikan ini ditempatkan pada botol sampel. (2) Proses identifikasi Untuk proses identifikasi mengikuti prosedur berikut (Andi et al. 2005): -
sampel usus ikan dibersihkan dari bahan pengawet
-
Isi usus dikerik
-
Usus dipisahkan dengan daging usus
-
Isi usus diencerkan sekitar 20 ml
-
Proses pengamatan di bawah mikroskop dengan mengambil satu tetes dari usus yang sudah diencerkan tersebut
-
Pengamatan dilakakukan dengan 3 x ulangan dengan 3 strip lapang pandang
-
Jenis makanan diidentifikasi dan jumlah organisme dicatat.
Untuk metode analisa data makanan dan kebiasaan makan menggunakan: •
Metode Jumlah: metode ini dilakukan dengan cara menghitung organisme yang ada di usus satu per satu, kemudian individu/organisme yang
33
ditemukan dibandingkan dengan lainnya. Jumlah individu yang relatif kecil dengan ukuran besar belum tentu merupakan makanan utama. Metode Frekuensi Kejadian: metode ini dilakukan dengan cara mencatat jumlah ikan yang ususnya kososng dan mencatat keberadaan organisme pada masingmasing ikan yang ususnya berisi. Metode ini tidak bisa memperlihatkan kuantitas makanan yang dimakan serta makanan yang tidak dicerna sehingga metode ini hanya dipakai untuk melihat makanan secara fisik saja.
Analisis data Substrat dasar A. Persentase penutupan Persen penutupan substrat dasar menggunakan rumus dibawah ini (English et al. 1997):
% penutupan = Keterangan :
A x100% B
% penutupan = persentase penutupan karang hidup A
= Panjang total kategori substrat dasar (cm)
B
= Panjang transek garis (cm)
B. Kepadatan karang
Kepadatan karang berdasarkan pendataan dengan transek sabuk dihitung sepanjang transek 50 meter dengan lebar kiri dan kanan sejauh 1 meter, dengan mengikuti rumus di bawah ini: N=
Keterangan :
ni A
N = Kepadatan jenis karang (koloni/50m2)
34
ni = jumlah ditemukannya jenis karang i A = luas area (50 m2)
C. Indeks mortalitas karang (IMK)
Nilai indeks mortalitas karang didapatkan dari persentase penutupan karang mati dan patahan karang dibagi dengan persentase karang hidup (modifikasi dari Gomez and Yap, 1988): MI =
A A+ B
Keterangan : MI = Indeks kematian A = Persentase karang mati dan patahan karang B = Persentase karang hidup
Ikan kepe-kepe Chaetodon octofasciatus A. Kelimpahan
Kelimpahan ikan kepe-kepe berdasarkan pendataan dengan visual sensus dihitung sepanjang transek 50 meter, lebar 5 meter dan tinggi 1 meter (50 x 5 x 1 = 250 m3), dengan mengikuti rumus dibawah ini: N=
Keterangan :
ni A
N = Kelimpahan (individu/250m3) n
= jumlah individu ikan spesies i
A = luas area sensus ikan (250 m3)
35
B. Tingkat pemangsaan (feeding rates)
Tingkat pemangsaan dihitung dengan mengobservasi secara acak pada ikan kepe-kepe terpilih pada area penelitian. Tingkat pemangsaan dari ikan kepe-kepe dihitung berdasarkan aksi gigitan ikan per satuan waktu. Rumus dari tingkat pemangsaan sebagai berikut: FR = Keterangan :
n a
FR = Tingkat pemangsaan (feeding rates) n
= jumlah aksi gigitan
a
= waktu (5 menit)
C. Selektivitas pemangsaan
Untuk menghitung selektivitas pemangsaan digunakan Indeks Pilihan Ivlev dengan membandingkan pemanfaatan makanan dengan ketersediaannya. Indeks ini telah berhasil digunakan untuk menentukan selektivitas mangsa dalam kisaran yang lebar untuk ikan-ikan air laut dan tawar dan juga invertebrata (Smith 2004; Alwany et al. 2003). Berikut adalah rumus indeks pilihan Ivlev (Smith 2004): Ei =
Keterangan :
(ri − pi ) (ri + pi )
Ei = indeks pilihan Ivlev ri = proporsi tipe makanan i yang dikonsumsi pi = proporsi tipe makanan yang tersedia di lingkungan tersebut.
Nilai indeks pilihan Ivlev berkisar antara -1 dan +1. Selanjutnya nilai indeks pilihan Ivlev berdasarkan Alwany et al. (2003) dikategorikan sebagai berikut:
36
> 0.5
: kesukaan tinggi (highly preferred)
0.5 – 0
: ada kesukaan (weak preference)
<0
: ada penghindaran (avoidence)
D. Makanan dan kebiasaan makan
Untuk analisa data makanan dan kebiasaan makan dengan menghitung kelimpahan jenis makanan dengan rumus: N=
Keterangan : N
Vs Lcg x xn Vcg Ls
= Jumlah total dugaan individu jenis ke-i dari ikan ke-i
n
= jumlah individu jenis ke-i yang ditemukan pada contoh
Vs
= Volume pengenceran sampel (20 ml)
Vcg
= volume tetes pada cover glass (1 tetes ~ 0,06 ml)
Lcg
= Luas cover glass (18 x 18 mm)
Ls
= Luas strip (1,8 x 22 mm)
Analisis statistika
Untuk pengujian hasil penelitian maka digunakan analisa statistika. Hal yang akan diuji adalah: Ho = µ1 - µ = 0 I. Ho = Tidak terdapat perbedaan kelimpahan ikan antara lokasi penelitian H1 = Terdapat perbedaan kelimpahan ikan antara lokasi penelitian II. Ho = Tidak terdapat perbedaan persentase penutupan karang batu antara lokasi penelitian H1 = Terdapat perbedaan persentase penutupan karang batu antara lokasi penelitian
37
-
Menghitung Mean (rerata) dari suatu sampel: n
x=
Dimana:
∑x
i
i =1
n
x = mean dari suatu sampel
xi = nilai data ke-i n = jumlah data dari sampel - standar deviasi dari sampel: N
s= Dimana:
∑ (x
i
i =1
− x) 2
n −1
s = standar deviasi dari sampel x = rerata dari suatu sampel
xi = skor data ke-i dari sampel n = jumlah data dari sampel
-
Tingkat signifikan (level of significance): Dalam penelitian ini digunakan tingkat signifikan sebesar 0,05 (5%) dan 0,01 (1%).
-
Besaran nilai r: Nilai r berkisar antara -1 sampai dengan +1. Nilai r yang sama dengan nol (0) menunjukkan tidak ada hubungan, sedangkan semakin besar dari nol (positif) atau semakin kecil dari nol (negatif) menunjukkan ada hubungan. Nilai r yang positif menunjukkan bahwa hubungannya adalah positif, sedangkan nilai r yang negatif menunjukkan bahwa hubungannya adalah negatif. Berikut adalah kondisinya: -0,5 ≤ r ≤ 0,5 : hubungan lemah r=0
: tidak ada hubungan
r > 0,5
: hubungan kuat
38
-
Koefisien determinasi (r2) : merupakan cara yang paling baik digunakan untuk menginterpretasi nilai dari r. Koefisien determinasi menunjukkan seberapa besar variasi dari salah satu variabel yang dijelaskan oleh variabel lainnya. Dalam penelitian digunakan tiga analisis statistika (Ludwig & Reynolds 1988;
Walpole 1990), dimana analisa ini dilakukan pada software Minitab v13, yaitu: a. Analisis ragam (Analysis of variance – ANOVA) digunakan untuk melihat perbedaan jumlah ikan indikator dan persentase penutupan karang hidup pada masing-masing lokasi penelitian. b. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat karakteristik ikan indikator pada masing-masing lokasi penelitian. c. Analisa regresi digunakan untuk mengetahui hubungan antara jumlah ikan indikator dengan persentase penutupan karang hidup pada masing-masing kategori terumbu karang. Keterkaitan antara jumlah ikan indikator dengan persentase penutupan karang hidup dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2) dari regresinya. Secara matematis plot regresi dapat ditulis sebagai berikut (Ludwig and Reynolds 1988; Walpole 1990) :
y = f (x) +ε y = a + bx + cx2 dimana : y x
= Kelimpahan ikan Chaetodon octofascatus (peubah bebas) = Persentase penutupan karang hidup (peubah tak bebas)
a, b, c = Koefisien regresi
39
Struktur Data Data yang didapatkan akan disusun berdasarkan Tabel 5 untuk mendapatkan perbandingan antara titik sampel selama penelitian.
Tabel 5. Contoh struktur data penelitian No 1 2 3 4 5 6 . . 19 20 21 22 23 24
Jumlah individu (n) N1 N2 N3 N4 N5 N6 . . N19 N20 N21 N22 N23 N24
% Penutupan Karang Batu Z1 Z2 Z3 Z4 Z5 Z6 . . Z19 Z20 Z21 Z22 Z23 Z24
Kedalaman
Lokasi
3 3 3 10 10 10 . . 3 3 3 10 10 10
Barat Barat Barat Barat Barat Barat . . Utara Utara Utara Utara Utara Utara
40
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi lokasi penelitian Secara administratif Pulau Petondan Timur berada dalam Kelurahan Pulau Harapan Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Pulau ini berada dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu yang mempunyai seluas 108.000 ha. Pulau Petondan Timur mempunyai luas 7,38 ha dan berada di zonasi rekreasi dan pariwisata. Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu yang terletak ± 45-47 km sebelah utara Jakarta. Wilayah ini terletak di antara 5°24´ - 5°45´ LS dan 106°25´ - 106°40´ BT. Tabel 6. Kondisi perairan Parameter
Barat
Unit
Timur
Selatan
Utara
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
Suhu Salinitas
◦C psu
25,0 34,0
26,7 30,0
27,0 -
26,5 35,5
26,7 30,7
28,0 -
30,0 33,5
28,0 30,0
30 -
28,5 30,4
26,3 30,0
31,5 -
Arus
m/s
0,25
0,30
2,15
0,20
0,10
3,30
0,05
0,03
0,00
0,21
5,10
0,00
m
9
-
8
8
-
13
6
-
14
8
-
16
Kecerahan
Keterangan: 1: Juli 2005, 2: Februari 2006, 3: April 2006
Parameter lingkungan di perairan Pulau Petondan Timur yang diamati dalam penelitian ini adalah suhu, salinitas, arus dan kecerahan (Tabel 6). Kawasan ini beriklim tropis dengan suhu rata-rata 27°C. Suhu maksimum rata-rata 31,5°C dan suhu minimum rata-rata 25°C. Musim barat terjadi pada bulan DesemberFebruari, musim timur terjadi pada bulan Juni- Agustus, musim peralihan terjadi pada bulan Maret-Mei dan bulan September-November. Curah hujan terbesar terjadi pada bulan November- Maret. Antara bulan Desember – Maret keadaan laut berombak besar dan kekuatan arus laut sangat kuat.
Penutupan substrat dasar Tipe terumbu pada pulau Petondan timur adalah tipe terumbu tepi (fringing reef). Dari arah pantai menuju tubiran membentuk paparan terumbu (reef flat). Kondisi terumbu karang di Pulau Petondan Timur pada masing-masing lokasi penelitian dianalisa berdasarkan persentase penutupan substrat dasar terutama penutupan karang batu (hard coral). Persentase penutupan substrat dasar di perairan terumbu karang Pulau Petondan Timur selama masa penelitian (Juli 2005, Februari dan April 2006), menujukkan pada kedalaman 3 meter, penutupan karang tertinggi pada stasiun Barat (77.8 ± 2.9%), sedangkan stasiun timur mempunyai persentase penutupan karang keras terendah (27.8 ± 8.7%). Sedangkan di kedalaman 10 meter, stasiun utara tertinggi (48.8 ± 1.6%) dan stasiun Timur terendah (33.6 ± 1.8%).
% penutupan HC
100 80 60 40 20 0
Barat
Timur
Selatan
Utara
3 meter
77,8
27,8
74,7
64,0
10 meter
47,1
33,6
36,6
48,8
Gambar 14
Rerata persentase penutupan karang batu (hard coral) di perairan terumbu karang pada lokasi penelitian pada kedalaman 3 dan 10 meter ( x ± SE).
Di stasiun timur memperlihatkan persentase penutupan karang keras yang rendah baik di kedalaman 3 meter maupun 10 meter. Pada Gambar 14 diberikan
42
gambaran mengenai persentase penutupan karang batu (hard coral) di perairan terumbu karang pada lokasi penelitian pada kedalaman 3 dan 10 meter. Hal ini sangat memungkinkan karena lokasi timur Pulau Petondan Timur hampir sepanjang tahun terkena angin dan gelombang (windward). Dari struktur pulau sudah dapat terlihat bahwa daerah tubiran (reef edge) lebih menjorok ke arah timur.
% Penutupan
100% 75% 50% 25% 0%
HC
SC
DC
RB
OT
AB
Utara
64,0
0,8
15,0
18,3
1,8
3,1
Selatan
74,7
0,0
11,2
7,8
1,6
8,6
Timur
27,8
0,2
26,2
27,4
1,1
22,6
Barat
77,8
0,2
13,8
3,8
1,0
6,6
Gambar 15
Perbandingan penutupan substrat dasar di perairan terumbu karang pada lokasi penelitian selama periode penelitian di 3 meter (HC: Hard Coral; SC: Soft Coral; DC: Dead Coral; RB: Rubble; OT: Others; AB: Abiotik)
Perbandingan
kategori
substrat
dasar
dari
semua
lokasi
penelitian
memperlihatkan tingginya karang mati (DC), patahan karang (RB) dan abiotik (AB) di stasiun Timur kedalaman 3 meter. Hal tersebut dapat dilihat dari tingginya persentase penutupan patahan karang (rubble), abiotik dan karang mati di daerah ini pada kedalaman 3 meter. (Gambar 15). tingginya tekanan terhadap lokasi ini.
Hal ini menegaskan
Di kedalaman 10 meter juga
memperlihatkan hal yang tidak jauh berbeda yakni di stasiun Timur dipenuhi penutupan karang mati dan patahan karang (Gambar 16).
43
% Penutupan
100% 75% 50% 25% 0%
HC
SC
DC
RB
OT
AB
Utara
48,8
5,5
35,3
0,4
1,5
3,8
Selatan
36,6
0,2
12,0
2,7
3,8
42,8
Timur
33,6
1,9
48,5
3,7
2,6
7,3
Barat
47,1
1,1
24,8
0,0
7,1
16,9
Gambar 16
Perbandingan persentase penutupan substrat dasar di perairan terumbu karang pada lokasi penelitian selama periode penelitian di 10 meter (HC: Hard Coral; SC: Soft Coral; DC: Dead Coral; RB: Rubble; OT: Others; AB: Abiotik)
Kepadatan genera karang skleraktinia Terdapat sebanyak 64 genera karang skleraktinia di lokasi penelitian, dan 24 diantaranya menjadi makanan bagi ikan Chaetodon octofasciatus.
Dari data
kedua kedalaman memperlihatkan bahwa keberadaan karang genus Acropora hanya melimpah di kedalaman 3 meter (40 koloni/50m2). Sedangkan Fungia dan Montipora menduduki kepadatan tertinggi yaitu masing 45 koloni/50m2 dan 41 koloni/50m2 di kedalaman 3 meter, dan masing-masing 38 koloni/50m2
di
kedalaman 10 meter (Gambar 17 dan 18). Sedangkan pada Gambar 19 diperlihatkan foto beberapa genera karang batu (hard coral) di lokasi penelitian.
44
39
Genera lainnya Favites Hydnopora Pachyseris Pavona Porites Seriatopora Echinopora Acropora Montipora Fungia
2
149
9
3
11
3
12
4
15
4
17
5
18
7
28
10
40
11
41
12
45
0
50
100
Kepadatan (Koloni/50m2)
Gambar 17
200
250
Persentase (%)
Perbandingan 10 genera karang batu (hard coral) dengan kepadatan dan persentase tertinggi di lokasi penelitian pada kedalaman 3 meter (Genera lainnya merupakan gabungan genera karang yang terdata dibawah 2%)
49
Genera lainnya Acropora Millepora Lobophylia Favites Porites Pectinia Pavona Pachyseris Fungia Montipora
3
225
16
4
17
4
17
4
18
4
19
4
20
5
24
6 8 8
0
28 38 38
50
100
Kepadatan (Koloni/50m2)
Gambar 18
150
150
200
250
Persentase (%)
Perbandingan 10 genera karang batu (hard coral) dengan kepadatan dan persentase tertinggi di lokasi penelitian pada kedalaman 10 meter (Genera lainnya merupakan gabungan genera karang yang terdata dibawah 2%)
45
1
2
3
6
7
8
Gambar 19
4
5
9
10
Beberapa genera karang batu (hard coral) di lokasi penelitian (1: Montipora, 2: Fungia, 3: Acropora, 4: Echinopora, 5: Pachyseris, 6: Pavona, 7: Porites, 8: Seriatopora, 9: Favites, 10: Lobophylia)
Indeks mortalitas karang Nilai indeks mortalitas karang (IMK) yang paling tinggi ditemukan pada stasiun timur untuk kedua kedalaman sampling yaitu 0.633 ± 0.163 (3 meter) dan 0.604 ± 0.003 (10 meter). Indeks mortalitas terumbu karang menunjukkan besaran resiko kematian karang yang diperlihatkan dari persentase karang mati dan patahan karang (rubble) (Tabel 7).
Tabel 7. Nilai indeks mortalitas karang pada lokasi penelitian ( x ± SE) Stasiun Kedalaman Barat Timur Selatan Utara
3 10 3 10 3 10 3 10
1 0,123 0,497 0,804 0,606 0,148 0,170 0,302 0,465
IMK 2 0,184 0,351 0,633 0,604 0,192 0,252 0,342 0,416
3 0,224 0,277 0,616 0,601 0,232 0,252 0,380 0,341
( x ± SE) 0,204 0,278 0,480 0,605 0,196 0,334 0,343 0,443
± ± ± ± ± ± ± ±
0,054 0,127 0,163 0,003 0,042 0,082 0,039 0,066
Keterangan: 1: Juli 2005, 2: Februari 2006, 3: April 2006
46
Kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus Dari persentase penutupan karang keras ini ternyata berhubungan positif dengan kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus. Sebanyak 420 individu ikan
Chaetodon octofasciatus yang terdata selama penelitian pada semua kedalaman. Stasiun barat dan selatan mempunyai kelimpahan tertinggi dengan jumlah 34 individu/250 m3. Sedangkan stasiun timur mempunyai kelimpahan terkecil yaitu 7 individu/250 m3 (Tabel 8).
Tabel 8.
Rerata kelimpahan (individu/250m3) Chaetodon octofasciatus pada lokasi penelitian, data diambil dengan metode sensus visual ( x ± SE)
Stasiun Barat Timur Selatan Utara
Kedalaman 3 10 3 10 3 10 3 10
Kelimpahan Chaetodon octofasciatus 1 2 3 31 29 42 9 15 11 2 8 12 7 7 8 28 24 51 7 5 10 21 18 38 12 13 12
( x ± SE) 34 12 7 7 34 7 26 12
± ± ± ± ± ± ± ±
7 3 5 1 14 3 11 1
Keterangan: 1: Juli 2005, 2: Februari 2006, 3: April 2006
Berdasarkan penelitian Adrim dan Hutomo (1989) juga menemukan adanya hubungan positif antara persen penutupan karang hidup dengan jumlah dan jenis ikan Chaetodontidae di Laut Flores. Adrim et al. (1991) menyatakan bahwa di Kepulauan Seribu, Chaetodon octofasciatus yang dikenal dengan nama lokal Ikan Strip Delapan mempunyai kelimpahan yang cukup tinggi dibandingkan dengan jenis lain dari famili Chaetodontidae.
47
Tingkat pemangsaan oleh ikan Chaetodon octofasciatus Dari sumberdaya karang yang tersedia pada lokasi tersebut, terlihat tingkat pemangsaan oleh ikan Chaetodon octofasciatus pada stasiun Selatan pada kedalaman 3 meter menunjukkan nilai tertinggi untuk jumlah pemangsaan total (48 ± 12 gigitan per 5 menit) dan stasiun Timur menunjukkan nilai terendah (14 ± 10,4 gigitan per 5 menit). Namun, secara keseluruhan stasiun Utara menunjukkan yang tinggi untuk kedua kedalaman (3 dan 10 meter ) yaitu 44 ± 36,8 dan 36 ± 20,3 gigitan per 5 menit (Gambar 20).
Jumlah pemangsaan (gigitan/5 menit)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Barat
Timur
Selatan
Utara
3 meter
41
14
48
44
10 meter
17
15
26
36
Gambar 20
Perbandingan rerata tingkat pemangsaan (gigitan/5 menit) terhadap karang oleh C. octofasciatus di kedalaman 3 dan 10 meter pada masing-masing stasiun selama penelitian ( x ± SE).
Pada Tabel 9 diperlihatkan tingkat pemangsaan pada jenis karang tertentu dari Chaetodon octofasciatus pada masing-masing lokasi penelitian pada kedalaman 3 dan 10 meter. Pada Gambar 21-23 ditunjukkan perbandingan rerata jumlah gigitan (bites) per 5 menit pada karang oleh Chaetodon octofasciatus dengan % penutupan jenis karang yang dimangsa (% cover) di kedalaman 3 dan 10 meter di setiap stasiun selama penelitian berlangsung.
48
49
Tabel 9. Tingkat pemangsaan dari Chaetodon octofasciatus pada masing-masing lokasi penelitian pada kedalaman 3 dan 10 meter
Untuk membuktikan perbedaan Tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus pada masing-masing kedalaman dan lokasi penelitian maka digunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan melihat tingkat signifikannya (taraf beda nyata) (Tabel 10). Pada kedalaman 3 meter antara Stasiun Barat dan Timur memperlihatkan tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus yang berbeda nyata dengan tingkat signifikan 95%. Sedangkan antara stasiun timur dan selatan serta stasiun timur dan utara memperlihatkan perbedaaan pada taraf nyata 90%. Tabel 10. Uji taraf nyata tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus pada masing-masing kedalaman dan lokasi penelitian (* P<0.05, ** P<0.01, *** P<0.10, t.n. P>0,05 tidak nyata) Lokasi
3m
B vs T B vs S B vs U T vs S T vs U S vs U
0,042 0,358 0,396 0,081 0,077 0,356
Tingkat signifikan * tn tn *** *** tn
10 m 0,344 0,199 0,111 0,099 0,067 0,141
Tingkat signifikan tn tn tn *** *** tn
Keterangan: B: Barat, T: Timur, S: Selatan, U:Utara
50
3 meter
A
60
60
40
40
20
20
0
0
Fav
Fun
Mon
Por
Ser
0,7
0,7
1,8
1,0
1,3
1,5
1,0
2,5
0,3
Jumlah gigitan
1,17
0,83
2,33
3,33
0,33
% penutupan 19,3 4,9
9,8
0,6
3,7 23,9 1,8
2,8
0,9
7,4
5,2
% penutupan
2,86
1,33
3,67
4,68
0,82
Acr Ech Fun Hyd Mer Mon Pac Pav Poc Por
Jumlah gigitan 8,2
B
60
40
40
20
20 0
Acr
Ech
Fun
Mon
Por
Acr
Fun
Mon
Por
Jumlah gigitan
1,17
0,17
0,33
0,33
0,50
Jumlah gigitan
0,83
0,33
0,33
0,17
% penutupan
2,40
0,80
12,80
35,20
4,80
% penutupan
51,10
6,30
13,10
4,00
60
60
40
40
20
20
0
D
4,2
Ser
60
0
C
10 meter
0
Acr
Ech
Fun
Hyd
Mon
Por
Acr
Fun
Mon
Por
Jumlah gigitan
3,17
0,33
0,83
0,17
0,33
0,50
Jumlah gigitan
1,00
0,33
0,17
0,17
% penutupan
3,50
16,70
14,60
6,30
5,90
3,80
% penutupan
2,10
5,40
13,20
3,60
Mon
60
60
40
40
20
20
0
0 Acr
Ech
Fun
Hyd
Mon
Por
Ser
Acr
Fav
Fun
Jumlah gigitan
7,00
0,50
0,33
0,33
0,50
0,50
0,33
Jumlah gigitan
13,83
0,67
2,17
0,50
% penutupan
13,10
7,20
19,30
3,80
18,10
3,80
7,70
% penutupan
5,40
0,10
10,50
9,00
Gambar 21 Perbandingan rerata jumlah gigitan per 5 menit pada karang oleh Chaetodon octofasciatus dengan % penutupan jenis karang yang dimangsa di kedalaman 3 dan 10 meter di setiap stasiun (A: Barat, B: Timur, C: Selatan, D: Utara) pada bulan Juli 2005
51
3 meter
A
60
60
40
40
20
20
0
B
Acr Ech Fas Fun Gal Gon Mer Mon Pac Pav Poc Por
Ser
Acr
Ech
Fav
Fun
Gal
Mer
Mon
Pac
Por
Jumlah gigitan
3,75
3,20
1,50
6,25
2,00
1,67
3,00
2,50
1,33
% penutupan 42,9 5,8
% penutupan
2,2
10,1
6,0
9,8
2,8
6,6
7,9
6,3
5,4
1,6
6,8
2,1
2,1
3,1
4,7
4,2
5,2
0,5
1,6
5,2
60
60
40
40
20
20 0
Acr
Ech
Gal
Hyd
Mot
Mon
Pac
Por
Acr
Fav
Fas
Fun
Gal
Lob
Mon
Pac
Pav
Jumlah gigitan
3,40
1,75
2,20
2,83
1,20
2,75
1,20
5,33
Jumlah gigitan
2,40
5,00
2,20
5,20
1,75
1,25
1,83
1,80
2,00
% penutupan
2,3
4,7
9,4
12,7
4,7
3,3
6,6
3,3
% penutupan
1,6
6,2
3,6
13,0
4,9
3,6
16,3
18,9
4,7
60
60
40
40
20
20
0
Acr Ech Fav Fun Gal Gon Hyd Lob Mon Pac Pav Por Ser
Jumlah gigitan 9,67 8,33 1,50 4,67 2,50 2,00 1,33 1,50 8,00 1,50 14,00 16,00 1,25 % penutupan
D
0
Jumlah gigitan 16,83 1,33 2,00 2,00 1,75 1,50 1,33 2,20 1,25 3,00 1,33 1,33 1,33
0
C
10 meter
8,8 18,4 1,0 12,3 1,0
1,0
5,1
3,1 13,1 2,7
9,8
3,3
8,6
0
% penutupan
60
60
40
40
20
20
0
Acr Ech Fav Fun Gal Gon Hyd Lob Mon Pac Pav Por Ser
Acr
Fun
Jumlah gigitan 3,50 4,00
0
1,1
Acr
0,8
Lob
Mer Mon
Pac
Pav
Ser
2,00 10,60 1,75 1,33
Gal
2,00 3,00
1,50
4,75
1,33
1,9
9,3
8,5
8,3
2,4
Ech Fav
Gon
Hyd
19,7
Fas
4,0
Fun
10,4
Gal
3,5
Gon Lob Mon Pac
Pav
Ser
Jumlah gigitan 20,67 1,20 2,00 2,50 7,00 1,20 1,25 2,33 3,83 3,17 1,17 1,80 1,17
Jumlah gigitan 4,83 2,00 1,50 1,40 8,83 1,67 1,75 3,00 1,67 2,40 1,60 1,50
% penutupan 21,5 1,7
% penutupan
2,3
1,7
2,8
5,5
1,9
3,0 15,5 7,4
2,3
2,1
5,5
2,1
4,3
4,3
5,2
28,5 2,1
3,1
4,3
8,6
6,7
4,3
3,7
Gambar 22 Perbandingan rerata jumlah gigitan per 5 menit pada karang oleh Chaetodon octofasciatus dengan % penutupan jenis karang yang dimangsa di kedalaman 3 dan 10 meter di setiap stasiun (A: Barat, B: Timur, C: Selatan, D: Utara) pada bulan Februari 2006
52
3 meter
A
10 meter
60
60
40
40
20
20
0 Acr Ech Fav Fas Fun Hyd Mil Mon Pac Pav Poc Por Ser Sym
B
Acr
Fas
Fun
Lob
Mon
Pav
Pla
Por
Jumlah gigitan
3,80
1,20
2,40
2,00
2,00
2,33
2,00
1,50
% Penutupan 9,7 8,2 0,4 2,6 20,5 1,1 5,6 8,2 2,6 2,2 0,4 7,1 6,7 0,7
% Penutupan
1,3
8,9
5,3
8,0
12,4
20,9
0,4
4,9
60
60
40
40
20
20
0
C
0
Acr
Fav
Fas
Hyd
Mon
Por
Sty
Fun
Lob
Mon
Pac
Por
Jumlah gigitan
6,50
1,50
1,33
2,33
2,25
5,00
1,33
Jumlah gigitan
9,33
1,50
3,40
2,20
4,75
% Penutupan
13,7
4,3
2,2
5,0
10,1
29,5
1,4
% Penutupan
14,5
6,5
15,1
8,1
4,6
60
60
40
40
20
20
0
Acr
Cyp
Jumlah gigitan 15,67 1,33 5,3
% Penutupan
D
0
Jumlah gigitan 17,1 1,50 1,50 4,75 8,50 1,67 2,00 9,33 3,80 2,80 1,33 5,00 2,25 1,67
3,0
0
Fun
Hyd Mon
Pac
Por
Ser
Acr
Fav
Fas
Fun
Lob
Mon
Pav
Por
1,75 3,00 9,40
1,50 2,50
2,50 18,67 5,67
3,50
Jumlah gigitan
9,00
1,33
1,50
5,00
3,00
6,20
8,40
5,00
3,0
1,1
2,6
3,0
% Penutupan
2,4
5,1
4,8
4,8
3,4
15,6
11,2
11,2
Ech
Fas 0,8
34,7
3,4
Pav 12,5
9,8
60
60
40
40
20
20
0 Acr Ech Fav Fas Fun Gon Hyd Iso Lob Mer
Mo Pac Pav Pla Por Ser n
0
Acr
Jumlah gigitan 20,0 2,25 1,50 1,67 5,20 1,50 1,25 1,33 1,33 1,33 17,8 1,33 2,75 1,67 8,25 3,00
Jumlah gigitan 11,33
% Penutupan 14,2 6,3 1,1 3,0 6,7 1,9 3,0 0,4 0,7 0,4 17,2 1,9 0,7 1,1 4,9 11,6
% Penutupan
Gambar 23
3,4
Dip
Ech
Fav
Fun
Lob
Mon
Pac
Pav
1,67
3,00
4,00
11,80
2,75
12,20
2,25
8,33
0,3
2,0
1,7
23,1
5,8
15,0
8,8
2,0
Perbandingan rerata jumlah gigitan per 5 menit pada karang oleh Chaetodon octofasciatus dengan % penutupan jenis karang yang dimangsa di kedalaman 3 dan 10 meter di setiap stasiun (A: Barat, B: Timur, C: Selatan, D: Utara) pada bulan April 2006
Selektivitas pemangsaan Terdata sebanyak 76 jenis karang batu (scleractinian coral) di lokasi penelitian. Untuk seluruh lokasi penelitian, terdapat 24 jenis karang batu (scleractinian coral) yang menjadi makanan bagi ikan Chaetodon octofasciatus selama masa penelitian. Pada Tabel 10 diberikan nilai Indeks Pilihan (E)
Chaetodon octofasciatus pada masing-masing lokasi penelitian. Ikan Chaetodon octofasciatus menyukai beberapa jenis karang dan keinginan untuk menghindari
53
jenis karang lainnya. Dari 24 genus karang yang menjadi makanan yang terdata selama penelitian, terdapat 18 genus yang memberikan karakteristik khusus terhadap pemangsaan yang dilakukan oleh Chaetodon octofasciatus (Gambar 24). Kategori selektivitas pemangsaan dapat dibagi menjadi tiga yaitu: (1)
Kategori I (E> 0,5) : merupakan kategori yang menunjukkan jenis karang yang menjadi pilihan utama bagi ikan Chaetodon octofasciatus, yaitu
Acropora dan Pocillopora. Sedangkan untuk genus karang Diploastrea, Isopora, Platygyra, Stylophora, dan Symphyllia, meskipun nilai indeksnya lebih dari 0.5 namun hanya ditemukan pada sampling ketiga.
(2)
Kategori II (0 ≤ E ≤ 0,5) : merupakan kategori yang menunjukkan jenis karang yang kurang disukai oleh ikan Chaetodon octofasciatus, yaitu
Fungia, Pavona, Porites, Favia, Galaxea, Goniopora, Montastrea, dan Goniopora (3)
Kategori III (E< 0) : merupakan kategori yang menunjukkan jenis karang yang dihindari oleh ikan Chaetodon octofasciatus, yaitu Seriatopora,
Cypastrea, dan Millepora. Ikan Chaetodon octofasciatus tidak menyukai jenis Seriatopora karena bentuknya yang runcing dan tipis, sedangkan
Millepora merupakan jenis karang api yang sangat menyengat.
54
Tabel 11.
Indeks pilihan (E) Chaetodon octofasciatus pada masing-masing lokasi penelitian di Pulau Petondan Timur
55
0.5 0.0 -0.5 -1.0 Acropora Cypastrea Diploastrea Echinopora Favia Favites Fungia Galaxea Goniopora Hydnopora Isopora Lobophylia Merulina Millepora Montastrea Montipora Pachyseris Pavona Platygyra Pocillopora Porites Seriatopora Stylophora Symphyllia
Indeks pilihan (E)
Juli 2005 1.0
1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0
Acropora Cypastrea Diploastrea Echinopora Favia Favites Fungia Galaxea Goniopora Hydnopora Isopora Lobophylia Merulina Millepora Montastrea Montipora Pachyseris Pavona Platygyra Pocillopora Porites Seriatopora Stylophora Symphyllia
Indeks pilihan (E)
Februari 2006
1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0
Acropora Cypastrea Diploastrea Echinopora Favia Favites Fungia Galaxea Goniopora Hydnopora Isopora Lobophylia Merulina Millepora Montastrea Montipora Pachyseris Pavona Platygyra Pocillopora Porites Seriatopora Stylophora Symphyllia
Indeks pilihan (E)
April 2006
Gambar 24
Perbandingan rerata indeks pilihan (E) selama penelitian di semua kedalaman (3 dan 10 meter)
Chaetodon octofasciatus menempati karang Acropora sebagai tempat tinggal, reproduksi dan juga untuk makanan (Bouchon-Navaro et al. 1985). Ikan
Chaetodon octofasciatus ditemukan dengan kelimpahan yang tinggi di perairan yang agak keruh dan kelimpahan jenis Chaetodontidae lain sangat rendah (Manthacitra et al. 1991, Adrim et al. 1991). Hal ini sangat terkait dengan penelitian ini bahwa ikan Chaetodon octofasciatus sangat dominan pada lokasi penelitian. Hasil penelitian Harmelin-Vivien & Bouchon-Navaro (1981) juga menemukan bahwa pada jenis Chaetodon trifascialis memakan Acropora di perairan karang Jordanian Coast. Penurunan persentase penutupan Acroporidae dan Pocilloporidae akibat pemangsaan Acanthaster planci di Moorea, French
56
Polynesia menyebabkan penurunan jumlah individual dari C.trifacialis, C.
trifasciatus dan C. cintrilnellus (Bouchon-Navaro et al. 1985). Laju pemangsaan ikan Chaetodontidae terhadap karang telah banyak dilakukan, misalnya di Pulau Virginia (Neudecker 1985) dan di Hawai (Tricas 1985). Dari dua penelitian ini berkesimpulan bahwa laju pemangsaan ikan berkorelasi dengan nilai kalori karang. Pemangsaan terhadap karang oleh ikan Chaetodontidae, karena karang menyediakan protein yang terkandung dalam polip dan karbohidrat yang terkandung dalam alga simbion dalam jaringan (Reese 1977). Coles dan Strathman (1973) dalam Alwany et al. (2003) menambahkan bahwa lendir karang merupakan sumber energi dan nutrien. Benson & Muscatine (1974) melaporkan bahwa lendir dari Acropora mempunyai kandungan karbon yang lebih kaya di bandingkan dengan Porites. Hal ini yang mungkin mempengaruhi di penelitian ini, bahwa meskipun Porites mempunyai kepadatan yang tinggi (17,17 ind/50m2) akan tetapi pemangsaannya cenderung dihindari oleh ikan Chaetodon octofasciatus. Tricas (1985) menyatakan bahwa berdasarkan analisa kalorimetrik diindikasikan jaringan Porites spp mengandung energi yang relatif rendah, sedangkan Pocillopora mempunyai nilai kalori yang lebih tinggi. Hal inilah yang mungkin menyebabkan meskipun kepadatan Pocillopora rendah akan tetapi tetap menjadi pilihan utama (E>5) bagi ikan Chaetodon octofasciatus dan banyak menghabiskan waktunya untuk memangsa karang yang mempunyai kandungan energi yang tinggi. Pemangsaan terhadap karang juga dipengaruhi oleh fenomena alam seperti ElNino. Penelitian dari Glynn (1985) menyatakan bahwa akibat kejadian El-Nino pada tahun 1982-1983 di Panama mengakibatkan ukuran populasi dan
57
pemangsaan biota koralivor menjadi berkurang. Hal ini disebabkan oleh dari peristiwa ini banyak koloni karang memutih dan akhirnya mati akibat suhu yang tinggi (30 dan 31ºC). Oleh karena itu, Chaetodontidae yang pemangsa karang merupakan indikator ideal karena mereka memangsa karang secara langsung. Lebih lanjut, mereka menunjukkan tingkat kesukaan pada spesies karang tertentu sehingga mereka akan sangat sensitif apabila terjadi perubahan suatu sistem terumbu karang. Selain itu, karena mereka sangat teritorial maka akan sangat mudah memantaunya secara periodik. Ukuran teritori dari ikan kepe-kepe ditentukan oleh jumlah makanan karang yang tersedia. Jika ketersediaan makanan karang sedikit di suatu area terumbu karang maka ikan tersebut akan memperluas daerah teritorinya (Crosby & Reese 1996). Perubahan tingkah laku sosial tersebut menyediakan indikasi dini yang sensitif bahwa terjadi ketidakstabilan dan perubahan di dalam ekosistem tersebut.
Pola hubungan antara kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus dengan persentase penutupan karang batu Untuk
membuktikan
perbedaan
antara
kelimpahan
ikan
Chaetodon
octofasciatus dengan kedalaman dan lokasi, serta perbedaan antara lokasi penelitian maka digunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan melihat tingkat signifikannya (taraf beda nyata) (Tabel 12). Dari uji taraf nyata ini didapatkan bahwa antara kedalaman 3 dan 10 meter berbeda nyata baik dari segi jumlah individu ikan (n) maupun persentase penutupan karang batu (%HC). Antara lokasi penelitian, stasiun timur sangat berbeda nyata dengan stasiun penelitian lainnya (barat, utara dan selatan).
58
Tabel 12. Uji taraf nyata pada masing-masing kedalaman dan lokasi penelitian terhadap jumlah individu dan % penutupan karang batu (P<*0.05, P<**0.01, P<***0.10, P>0,10 t.n. tidak nyata) Kedalaman
Lokasi
B vs T
B vs S
B vs U
T vs S
T vs U
S vs U
Jumlah individu (n) Tingkat signifikan
0 **
0,025 *
0,028 *
0,979 tn
0,900 tn
0,063 ***
0,111 tn
0,991 tn
% Karang Batu (HC) Tingkat signifikan
0,001 **
0,001 **
0,001 **
0,762 tn
0,823 tn
0,010 *
0,008 **
0,999 tn
Keterangan: B: Barat, T: Timur, S: Selatan, U:Utara
Hal ini membuktikan bahwa ada hubungan yang positif antara persentase penutupan karang keras (scleractinian coral) dengan kelimpahan ikan Chaetodon
octofasciatus. Hubungan ini dibuktikan lebih lanjut dengan analisa melalui plot regresi. Pola hubungan antara kelimpahan ikan dan persentase penutupan karang batu adalah kuadratik. Pada kedalaman 3 meter menunjukkan hubungan yang sangat positif dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,711 atau 71.1% (Gambar 25), dan pada kedalaman 10 meter dengan nilai R2 sebesar 0,568 atau 56.8% (Gambar 26). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Soekarno (1989), hubungan antara persentase penutupan karang hidup dengan jumlah ikan Chaetodontidae di Laut Flores menunjukkan nilai koefisien determinasi sebesar 0,72. Namun, bentuk hubungannya berupa pola linier.
Secara umum, dari
penelitian tersebut juga menemukan hubungan regresi linier yang positif antara persentase penutupan karang hidup dengan jumlah jenis ikan di Kepulauan Seribu, yaitu dengan nilai r sebesar 0,82, sedangkan di French Polynesia oleh Bell & Galzin (1984) sebesar 0,88.
59
y = 0,005x 2 + 0,0532x + 1,3192 R2 = 0,7113
60
Jumlah individu C. octofasciatus
50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
Pe nutupan karang batu (%)
Gambar 25 Hubungan antara jumlah individu ikan indikator dengan persentase penutupan karang batu (hard coral) pada kedalaman 3 meter y = 0,004x 2 - 0,1418x + 8,2056 R2 = 0,5688
16 14
Jumlah individu C. octofasciatus
12 10 8 6 4 2 0 0
20
40
60
80
100
Penutupan karang batu (%)
Gambar 26 Hubungan antara jumlah individu ikan indikator dengan persentase penutupan karang batu (hard coral) pada kedalaman 10 meter Hal ini sejalan dengan penelitian White (1988) menyatakan jumlah total spesies Chaetodontidae menunjukkan korelasi yang signifikan terhadap penutupan karang keras (hard coral). Bell dan Galzin (1984) juga menemukan hubungan yang positif antara persentase karang hidup dengan kelimpahan jenis dan individu dari famili Chaetodontidae. Selanjutnya hal yang sama juga ditemukan oleh
60
Chabanet et al. (1997) dan Bouchon-Navaro dan Bouchon (1989) bahwa ada hubungan positif antara persentase substrat terumbu karang dengan kehadiran ikan Chaetodontidae. Adanya hubungan antara kelimpahan ikan Chaetodontidae dengan persentase karang hidup, sehingga banyak peneliti merumuskan bahwa beberapa anggota dari famili ini dapat bertindak sebagai bio-indikator struktur habitat dan gangguan terumbu karang. Seperti hasil penelitian Ohman et al. (1998) menyatakan hal yang sama di daerah terumbu karang Sri Lanka. Akan tetapi masih sangat perlu untuk melakukan penelitian tentang hal ini, karena hipotesa ikan kepe-kepe sebagai bioindikator sangat tergantung kompleksitas ekosistem terumbu karang dan struktur komunitas ikan terumbu, sehingga penggunaannya secara global masih dipertanyakan.
Analisis makanan dan kebiasaan makan Sebanyak 36 ekor ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus di analisa isi perutnya di laboratorium untuk mengetahui makanan dan kebiasaan makannya. Didapatkan kandungan nematokis sebesar 99,41% dan 0,59% alga perifitik. Kandungan alga perifitik dalam perut ini dimungkinkan terjadi pada saat terjadi pemangsaan terhadap koral, misalnya jenis ini melekat pada tubuh karang atau jenis plankton tersebut mengendap, sehingga pada saat terjadi pemangsaan terhadap karang jenis tersebut ikut termakan. Dari hasil pengamatan didapatkan 9 tipe nematokis dan 5 jenis alga perifitik dari diatom (Fragilaria, Navicula,
Nitzchia, dan Amphora) dan Cyanophyceae (Trichodesmium).
Dari tipe
nematokis, Holotrich mempunyai persentase kelimpahan paling tinggi yaitu sebesar 26,87%. Dari penelitian Mariscal (1974) menemukan tipe nematokis
61
yang paling sering ditemukan dan kelimpahannya tertinggi adalah Holotrich, microbasic p-mastigophore dan spirocyst dalam karang yang ditelitinya. Pada Tabel 13 ditampilkan hasil analisa kuantitatif kandungan perut ikan strip delapan
Chaetodon octofasciatus. Tabel 13. Persentase dan rerata kelimpahan (ind/20ml) kandungan perut ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus ( x ± SE) Jenis Isi Perut Holotrich Microbasic p-mastigophore Basitrich Microbasic amastigophore Spirocyst Atrich Heterotrich Microbasic b-mastigophore Macrobasic amastigophore Alga perifitik (Fragilaria) Alga perifitik (Trichodesmium) Alga perifitik (Nitzschia) Alga perifitik (Amphora) Alga perifitik (Navicula)
Rerata kelimpahan* ( x ± SE) 18922.56 ± 7692.8 14158.25 ± 13396.2 8181.82 ± 8852.4 7491.58 ± 33594.6 7373.74 ± 3161.3 5656.57 ± 18846.7 3661.62 ± 7570.8 3569.02 ± 26146.5 993.27 ± 10589.1 168.35 ± 153.7 126.26 ± 147.6 50.51 ± 84.9 42.09 ± 629.2 25.25 ± 607.7
% 26.87 20.11 11.62 10.64 10.47 8.03 5.20 5.07 1.41 0.24 0.18 0.07 0.06 0.04
* Total ikan yang diidentifikasi sebanyak 36 ekor
Pada Gambar 27, diperlihatkan foto untuk beberapa jenis nematokis yang ditemukan dalam isi perut ikan Chaetodon octofasciatus, sedangkan untuk semua jenis nematokis yang ditemukan dapat dilihat pada Lampiran 9. Namun, dari jenis nematokis yang ditemukan di dalam perut ikan belum bisa dipastikan jenis karang apa yang dimakan, karena di dalam satu jenis karang akan terdapat banyak jenis nematokis.
Untuk itu, dilakukan perbandingan jenis-jenis nematokis antara
anggota dari filum Cnidaria seperti anemon, karang dan ubur-ubur. Serta
62
dilakukan juga perbandingan dengan spons, dimana sebenarnya untuk spons disebut spikul. A
1 B C
2
H 3
4
5 D E
F
G I
Gambar 27
Jenis-jenis nematokis (A: Microbasic p-mastigophore, B: Macrobasic amastigophore, C: Atrichs, D: Holotrich, E: spirocyst, F: Microbasic amastigophore, G: basitrichs, H: Heterotrichs, I: Microbasic b-mastigophore) dab alga perifitik (1: Navicula, 2: Fragilaria, 3: Nitzschia, 4: Trichodesmium, 5: Amphora): yang ditemukan dalam isi perut ikan Chaetodon octofasciatus (bar = 10 µm)
Pada saat melakukan identifikasi isi perut ikan, ada beberapa kandungan dari perut ikan ini misalnya kapur dan zooxanthellae (Gambar 28). Namun kedua jenis kandungan ini tidak dihitung persentasenya karena kelimpahannya sangat banyak. Kedua jenis kandungan ini hanya dipakai sebagai petunjuk besar bahwa ikan
Chaetodon octofasciatus memang benar memakan karang. Zat kapur dan zooxanthellae yang terkandung dalam perut dipakai sebagai petunjuk bahwa ikan Chaetodon octofasciatus memang benar memakan karang. Namun, dari jenis nematokis yang ditemukan di dalam perut ikan belum bisa
63
dipastikan jenis karang apa yang dimakan, karena di dalam satu jenis karang akan terdapat banyak jenis nematokis. Untuk itu, dilakukan perbandingan jenis-jenis nematokis antara anggota dari filum Cnidaria seperti anemon, karang dan uburubur. Serta dilakukan juga perbandingan dengan spikula dari spons.
A Gambar 28
B Kandungan zat kapur (A) dan alga uniselular Zooxanthellae (B) di dalam perut ikan Chaetodon octofasciatus (bar = 5 µm)
Dari penelitian Mariscal dan Bigger (1977) menemukan adanya perbedaan nematocyst antara octocorals (gorgonia) dan karang (scleractinian corals) berdasarkan uji coba SEM (Scanning Electron Microscopy) yaitu adanya perbedaan di struktur permukaannya, serta kelimpahan nematocyst di karang lebih tinggi dibandingkan dengan octocoralia. Selanjutnya dari penelitian den Hartog (1977) bahwa didapatkan sebesar 83% secara kuantitatif tipe nematokis Spirocyst di dalam karang Montastrea cavernosa. Berbagai macam pertanyaan dan keraguan yang timbul terhadap penggunaan ikan kepe-kepe (butterflyfishes) sebagai biomonitor dan bioindikator. Jawaban dari
pertanyaan
tersebut
adalah
terdapat
banyak
spesies
dari
famili
Chaetodontidae yang mempunyai hubungan kuat dengan karang dan mereka banyak bersifat obligate corralivores (pemangsa karang) (Reese 1991; HarmelinVivien & Bouchon-Navaro 1983). Dari penelitian ini juga menemukan bahwa
64
ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus sangat dapat dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai indikator khususnya di Kepulauan Seribu. Berdasarkan analisa makanan dan kebiasaan makan ditemukan bahwa yang menjadi makanan utama dari ikan ini adalah karang yang diidentifikasi dari kandungan nematokis sebesar 99,41% dan sebagai makanan tambahan (insidentil) adalah alga perifitik sebesar 0,59%. Dari 36 ekor ikan yang diidentifikasi, hanya 12 ikan yang teridentifikasi adanya alga perifitik dalam jumlah yang sangat kecil. Namun, adanya alga perifitik sebanyak 0,59% yang ditemukan dalam usus ikan ini juga dimungkinkan dapat dijadikan sebagai pertanda bahwa ikan Chaetodon
octofasciatus dapat mengubah pola makannya disesuaikan dengan ketersediaan makanan di daerahnya.
A Gambar 29
B
Bentuk mulut ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus pada saat normal (A) dan saat disembulkan untuk melakukan pemangsaan (B)
Pola makan dari ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus sangat didukung oleh bentuk mulutnya. Bibir atas dan bawah sangat keras dan bentuknya yang membulat sesuai dengan ukuran polip. Pada Gambar 29 diperlihatkaan bentuk mulut ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus pada saat normal dan saat disembulkan untuk melakukan pemangsaan. Bentuk rahang dan struktur mulut
65
ikan Chaetodon octofasciatus menunjukkan bahwa ikan ini merupakan spesialis pemakan karang, dimana bibir atas dan bawah sangat keras dan bentuknya yang membulat sesuai dengan ukuran polip. Dari Effendie (1997) menyatakan bahwa kebiasaan makan dan jenis makanan sangat ditentukan dari morfologi tengkorak, rahang, alat pencernaan dan struktur mulut. Tingkat kesukaan ikan terhadap makanannya sangat relatif dan terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan yaitu faktor penyebaran organisme sebagai makanan ikan, faktor ketersediaan makanan, faktor pilihan dari ikan itu sendiri serta faktor-faktor fisik yang mempengaruhi perairan (Effendie 1997, Righton et al. 1998). Aktifitas mencari makan pada ikan dalam alam bebas meruapak pekerjaan harian yang rutin, dimana makanan tadi tidak diketahui oleh ikan dengan cara penglihatan, perabaan dan pembauan. Makanan yang tersedia di alam dan dimanfaatkan oleh ikan biasanya dapat diketahui dengan menganbil contoh makanan yang ada pada lambung dan ususnya.
Kajian ekobiologi Berdasarkan kajian ekologi dan biologi dari ikan Chaetodon octofasciatus maka dapat dikatakan bahwa ikan ini sangat potensial menjadi bioindikator di daerah penelitian. Hal ini menegaskan dari penelitian Adrim et al. (1991) bahwa
Chaetodon octofasciatus di Kepulauan Seribu memungkinkan untuk dijadikan indikator degradasi terumbu karang akibat tekanan lingkungan, karena dilihat kelimpahannya yang tinggi pada area ini. Dari segi analisa makanan dan kebiasaan makan juga menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Bawole et al. (1999) dikemukakan bahwa kehadiran yang
66
dominan dari Chaetodon octofasciatus mengindikasikan bahwa terumbu karang sudah mengalami perubahan. Dari penelitian tersebut disarankan perlu adanya penelitian yang lebih lanjut tentang kebiasaan makan dan tingkah laku ikan Chaetodontidae. Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa ikan inimerupakan pemakan karang sejati (obligate coralivor).
Gambar 30
Pemangsaan ikan strip delapan Chaetodon octofasciatus terhadap beberapa jenis karang yang ada pada lokasi penelitian
Dari data tingkat pemangsaan terlihat bahwa meskipun ikan C.octofasciatus memangsa berbagai jenis karang-karang yang ada di sekitar areanya, tapi telihat bahwa ikan ini sangat menyukai karang Acropora, yang artinya C.octofasciatus kemungkinan besar dapat dijadikan indikator bagi area terumbu karang yang kaya akan keberadaan karang Acropora. Hal ini ditunjukkan dari hubungan antara kepadatan karang Acropora dan pemangsaannya memberikan nilai koefisien determinasi sebesar 0,98 artinya hubungannya sangat kuat (Gambar 31). Semakin
67
padat karang Acropora maka setinggi pula pemangsaan yang dilakukan oleh ikan
C.octofasciatus (Gambar 32). y = -0,0032x 2 + 0,4334x + 0,5331 R2 = 0,9767
Tingkat Pemangsaan (gigitan/5 menit)
20
15
10
5
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Kepadatan Karang (koloni/50 m2)
Gambar 31
Hubungan antara rerata kepadatan karang genus Acropora dengan tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus pada lokasi penelitian
80 70 60 50 40 30 20 10 0 Barat
Timur
T ingkat pemangsaan (gigitan/5 menit)
Gambar 32
Selatan
Utara
Kepadatan (koloni/50m2)
Perbandingan antara rerata kepadatan karang genus Acropora dengan tingkat pemangsaan Chaetodon octofasciatus pada lokasi penelitian
68
Hubungan antara Chaetodontidae dengan persentase penutupan karang keras menunjukkan hubungan yang positif (Bell & Galzin 1984). Namun, pencarian hubungan antara kehadiran ikan Chaetodontidae dengan kepadatan jenis karang masih terus dicari. Hubungan antara ikan ini juga banyak dipengaruhi oleh bentuk pertumbuhan karang, misalnya Chaetodon austriacus banyak ditemukan di area yang mempunyai karang bercabang dari genus Acropora yang kelimpahannya tinggi (Bouchon-Navaro & Bouchon 1989). Hal ini yang sama ditemukan pada penelitian ini, bahwa ikan C. octofasciatus banyak ditemukan pada daerah yang mempunyai kepadatan Acropora yang tinggi seperti di Stasiun Barat dan Utara. Hal ini mungkin disebabkan oleh genus Acropora dengan bentuk pertumbuhan becabang selain menyediakan tempat yang aman dan makanan.
69
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: 1. Berdasarkan hasil analisa makanan dan kebiasaan makan bahwa ikan kepekepe (Chaetodon octofasciatus) merupakan obligate corralivores; 2. Tingkat pemangsaan ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus) ditentukan oleh ketersediaan karang sebagai makanan yaitu tingkat pemangsaan tertinggi pada Stasiun Selatan yang mempunyai kepadatan karang tinggi dan tingkat pemangsaan terendah di Stasiun Timur yang kepadatan karangnya rendah; 3. Genus karang yang paling disukai oleh ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus) berdasarkan nilai indeks pilihan Ivlev adalah Acropora; 4. Kelimpahan ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus) dipengaruhi oleh besarnya persentase penutupan karang hidup diindikasikan oleh pola hubungannya yang positif kuadratik (polynomial) di kedalaman 3 meter dan 10 meter; 5. Adanya perbedaan tingkat pemangsaan terhadap karang dan hubungan positif antara kelimpahan ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus) dengan persentase karang hidup serta didukung oleh analisa makanan dan kebiasaan makan, maka ikan kepe-kepe ini sangat potensial sebagai bioindikator ekosistem terumbu karang di Pulau Petondan Timur, Kepulauan Seribu.
Saran Berdasarkan hasil yang didapatkan selama penelitian maka masih sangat perlu untuk melakukan beberapa penelitian lainnya untuk mendukung ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus) sebagai bioindikator, yaitu: 1.
Adanya penelitian tentang kandungan nematokis pada jenis-jenis karang yang menjadi konsumsi ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus);
2.
Penelitian lebih lanjut tentang hubungan ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus) dengan beberapa kondisi karang di daerah lainnya di Indonesia;
3.
Adanya penelitian skala laboratorium tentang pemangsaan ikan kepe-kepe (Chaetodon octofasciatus) terhadap jenis karang batu (Scleratinian coral);
71
DAFTAR PUSTAKA Adrim M, Hutomo M, Suharti SR. 1991. Chaetodontid fish community structure and its relation to reef degradation at the Seribu Islands reefs, Indonesia. Proceeding of the regional symposium on living resources in coastal areas: 163-174. Adrim M, Hutomo M. 1989. Species composition, distribution and abundance of Chaetodontidae along reef transects in the Flores Sea. Netherlands Journal of Sea Research, 23(2): 85-93 Alino PM, Sammarco PW, Coll JC. 1988. Studies of the feeding preferences of Chaetodon melannotus (Pisces) for soft corals (Coelenterata: Octocorallia). Procedings of the 6th International Coral Reef Symposium, Australia (3) 3136 Allen GR. 1980. Butterfly and angelfishes of the world. Volume 2. New York: Wiley-Interscience. 145-352pp. Allen GR. 2000. Marine Fishes of South-East Asia. Singapore: Periplus Editions (HK) Ltd. 292 pp. Allen GR, Adrim M. 2003. Coral Reef Fishes of Indonesia. Zoological Studies 42 (1): 1-72. Alwany M, Thaler E, Stachowitsch M. 2003. Food selection in two coralivorous butterflyfishes, Chaetodon austricus and C. trifascialis, in the Northern Red Sea. Marine Ecology, 24 (3): 165-167 Andi IS, Sukimin S, Yonvitner, Zairion, Ernawati Y. 2005. Modul Praktikum Biologi Perikanan. Departemen Manajemen Sumber Daya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Barnes DR. 1980. Invertebrate zoology (4th ed.). International Editions. 1089p.
Tokyo: Holt-Saunders
Bawole R, Eidman M, Bengen DG, Suharsono. 1999. Distribusi spasial ikan Chaetodontidae dan peranannya sebagai indikator kondisi terumbu karang di perairan Teluk Ambon. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, VI(1):1-13. Bell JD, Galzin R. 1984. Influence of live coral cover on coral reef fish communities. Marine Ecology Progress Series (15): 265-274 Benson AA, Mucatine L. 1974. Wax in coral mucus: energy transfer from corals to reef fishes. Limnology Oceanography (19): 810-814 Berumen ML, Pratchett MS, McCormick MI. 2005. Within-reef differences in diet and body condition of coral-feeding butterflyfishes (Chaetodontidae). Marine Ecology Progress Series (287): 217-227. Birkeland C. 1997. Life and death of coral reefs. Australia: Chapman and Hall publishers.
Blum SD. 1989. Biogeography of the Chaetodontidae: an analysis of allopatry among closely related spesies. Environmental Biology of Fishes, 25(1-3):931. Brock RE. 1982. A critique of the visual census method for assessing coral reef fish populations. Bulletin of Marine Science, 32(1): 269-276 Bouchon-Navaro Y, Bouchon C, Harmelin-Vivien ML. 1985. Impact of coral degradation on a Chaetodontid fish assemblage. Proceedings of the 5th International Coral Reef Congress, Tahiti (5): 427-432 Bouchon-Navaro Y, Bouchon C. 1989. Correlations between chaetodontid fishes and coral communities of the Gulf of Aqaba (Red Sea). Environmental Biology of Fishes (25): 47-60 Bozec YM, Doledec S, Kulbicki M. 2005. An analysis of fish-habitat associations on disturbed coral reefs: chaetodontid fishes in New Caledonia. Journal of Fish Biology (66): 966-982. Brown BE, Suharsono. 1990. Damage and recovery of coral reefs affected by El Nino related seawater warming in the Thousand Islands, Indonesia. Coral Reefs (8): 163-170 Bryant D, Burke L, McManus J, Spalding M. 1998. Reefs at risk. ICLARM and UNEP. Pp.56. Burges WE. 1978. Butterflyfishes of the World. Nepture City: T.F.H. Publication. Burke L, Selig E, Spalding M. 2002. Terumbu Karang Yang Terancam di Asia Tenggara. World Resources Institute. Castro P, Huber ME. 2000. Marine Biology (3rd Edition). Sydney: The MacGraw Hill companies. Cesar H. 1996. The economic value of Indonesian coral reefs. The World Bank. July 1996. pp:1-9. Chabanet P, Ralambondrainy H, Amanieu M, Faure G, Galzin R. 1997. Relationships between coral reef subtrata and fish. Coral Reefs (16): 93-102 Chou LM. 2000. Southeast Asian Reefs - Status Update: Cambodia, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, Thailand and Vietnam. In: C. Wilkinson, editor. 2000. Status of Coral Reefs of the World: 2000. AIMS Cape Ferguson, Queensland, and Dampier, Western Australia. pp.117- 129. Crosby MP, Gibson GR, Potts KW, editor. 1996. A coral reef symposium on practical reliable, low cost monitoring methods for assessing the biota and habitat conditions of coral reefs. January 26-27 1995. Office of Ocean and Coastal Resource Management, National Oceanic and Atmospheric Administration. Silver Spring. MD. Crosby MP, Reese ES. 1996. A manual for monitoring coral reefs with indicator species: Butterflyfishes as indicator of change on Indo Pacific reefs. Office of Ocean and Coastal Resource Management, National Oceanic and Atmospheric Atmospheric, Silver Spring, MD. 45 pp.
73
den Hartog JC. 1977. The marginal tentacles of Rhodactis sanctithomae (Corallimorpharia) and the sweeper tentacles of Montastrea cavernosa (Scleractinia) their cnidom and possible function. in: D.L. Taylor (ed.). Proceedings of Third International Coral Reef Symposium: Biology. Rosenstiel School of Marine and Atmospheric Science, Miami, Florida. (1): 463-470 de Vantier LM, Suharsono, Budiyanto A, Tuti Y, Imanto P, Ledesma R. 1998. Status of coral communities of Pulau Seribu, 1985-1995. In: Soemodihardjo S, editor. 1998. Proc. Coral Reef Evaluation Workshop Pulau Seribu, Jakarta, Indonesia. Oct. 1998. UNESCO, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Research and Development Center for Oceanology. Pp.1-24. de Vantier LM. 1996. Decadal regional decline of coral reefs of the Thousand Islands, Indonesia: A case study in human impact. Report on the Coral reef management workshop for Pulau Seribu. No.12: 95. Ditlev H. 1980. A Field Guide to the Reef Building Coral of the Indo Pasific. Kalampenborg: Scandinavian Science Press Ltd. Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Pustaka Nusatama. Erdmann MV. 1996. Destructive fishing practices in the Pulau Seribu Archipelago. Report on the coral reef management workshop for Pulau Seribu. No.10 English S, Wilkinson C, Baker VJ. 1997. 2nd ed. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australia: ASEAN-Australia Marine Science Project. 368+xii pp. FishBase. 2005. www.fishbase.org Glynn PW. 1985. Corralivore population sizes and feeding effects following ElNino (1982-1983) associated coral mortality in Panama. Proceedings of the 5th International Coral Reef Congress, Tahiti (4): 183-188 Gomez ED, Yap HY. 1988. Monitoring Reef Condition. In: Kenchington RA, Hudson BET, editor. Coral Reef management handbook. Jakarta: UNESCO Regional office science and technology for southeast asia. Pp 187-195 Harmelin-Vivien ML, Bouchon-Navaro Y. 1981. Trophic relationships among Chaetodontid fishes in the Gulf of Aqaba (Red Sea). Proceedings of the 4th International Coral Reef Symposium, Manila (2): 537-544 Hourigan TF, Tricas TC, Reese ES. 1988. Coral reef fishes as indicators of environmental stress in coral reefs, pp. 107-135. In: Soule DF, Kleppel GS, editor. Marine Organisms as Indicators. New York: Springer Verlag. ImageJ. 2003. Image Processing and Analysis in Java. http://rsb.info.nih.gov Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. New York: John Wiley and Sons, Inc. 337+xviii pp. Lowe-McConnel RH. 1987. Ecological Studies in Tropical Fish Communities. New York: Cambridge University Press. xii+382pp.
74
Manthacitra VS, Sudara S, Satumanatpan S. 1991. Chaetodon octofasciatus as indicator species for reef condition. Proceedings of the 5th regional Symposium in Coastal Areas, Manila. Pp:135-138 Mariscal RN. 1974. Scanning electron microscopy on the sensory ephitelia and nematocysts of coral and a corallimorpharian sea anemone. Cameron, A.M., B.M. Cambell, A.B. Cribb, R.Endean, J.S. Jell, O.A. Jones, P. Mather and F.H. Talbot (eds.). Proceedings of the Second International Coral Reef Symposium. The Great Barrier Reef Committee, Brisbane, Australia. (1): 519-532 Mariscal RN and Bigger CH. 1977. Possible ecological significance of octocoral epithelial ultrastructure. In: D.L. Taylor (ed.) Proceedings of Third International Coral Reef Symposium Biology. Rosenstiel School of Marine and Atmospheric Science, Miami, Florida. (1): 127-134. Markert BA, Breure AM, Zechmeister HG, editor. 2003. Bioindicators & Biomonitors: Principles, Concepts, and Applications. Amsterdam: Elsevier. xviii+997pp Moosa MK. 2001. Terumbu Karang Indonesia dan permasalahan yang dihadapi. Makalah Seminar Nasional Terumbu Karang Indonesia. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta Neudecker S. 1985. Foraging patterns of Chaetodontid and Pomacanthid fishes at St. Croix (US Virgin Islands). Proceedings of the 5th International Coral Reef Congress, Tahiti (5): 415-420. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit Djambatan. vii+367pp Nontji A. 1984. Peranan zooxanthellae dalam ekosistem terumbu karang. Oceana IX (3): 74-87. Nybakken JW. 1993. Marine Biology: An Ecological Approach. Third Edition. USA: HarperCollinsCollegePublishers. x+462pp Ohman MC. 1998. Aspects of Habitat and Disturbance Effects on Tropical Reef Fish Communities. Doctoral Dissertation. Department of Zoology. Stockholm University. Ohman MC, Rajasuriya A, Svensson S. 1998. The use of butterflyfishes (Chaetodontidae) as bio-indicator of habitat structure and human disturbance. Ambio (27): 708-716 Ongkosongo OSR, Natsir SM. 1994. Stresses to the Seribu coral reefs, Indonesia. Proceeding, Third ASEAN-Australia symposium on living coastal resources. (2): 93-101 Reese ES. 1981. Predation on corals by fishes of the family Chaetodontidae: Implication for conservation and management of coral reef ecosystems. Bulletin of Marine Science (31): 594-604. Reese ES. 1995. The use of indicator species to detect change on coral reefs: butterflyfishes of the Family Chaetodontidae as indicators for Indo-Pacific
75
coral reefs. Coral Reef Symposium on Monitoring methods, Annapolis, Maryland, pp. 19-23. Reese ES. 1977. Coevolution of corals and coral feeding fishes of the family Chaetodontidae. Proceedings, Third International Coral Reef Symposium, Univ. Miami, 1:267-274. Righton D, Miller M, Ormond R. 1998. Correlates of territory size in the butterflyfish Chaetodon austriacus (Ruppell). Journal of Experimental Marine Biology and Ecology (226): 183-193 Rogers CS, Garrison G, Grober R, Hillis ZM, Franke MA. 1994. Coral Reef Monitoring Manual for the Carribean and Western Atlantic. St.John: National Park Service, Virgin Islands National Park. 106 pp. Sale PF. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. New York: Academic Press, Inc. xviii+754 pp Smith DJ. 2004. Interim Marine Field Report. Operation Wallacea. UK: Coral Reef Research Unit University of Essex. Soule DF, Kleppel GS, editor. 1988. Marine Organisms as Indicators. New York: Springer Verlag. 342pp. Soekarno R. 1989. Comparative studies on the status of Indonesian coral reefs. Netherlands Journal of Sea Research 23(2): 215-222 Stoddart DR, Johannes RE. 1978. Coral Reefs: Research Methods. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). United Kingdom: Page Brothers (Norwich) Ltd. xv+581pp. Suharsono. 2004. Jenis-jenis karang di Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi Jakarta: LIPI. Sukarno M, Hutomo M, Moosa MK, Darsono P. 1983. Terumbu Karang di Indonesia : Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Studi Potensi Sumberdaya Hayati Ikan. Jakarta: LON-LIPI. Sukarno. 1996. The problem of coral reef damage in Pulau Seribu. Report on the coral reef management workshop for Pulau Seribu. (12):33-40 Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta: Penerbit Djambatan. Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y, Krisanti M. 2005. Avertebrata Air Jilid I. Jakarta: Penebar Swadaya. Tanner JE, Hughes TP, Connell JH. 1994. Species coexistence, keystone species, and succession - A sensitivity analysis. Ecology (75):2204-2219. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas Part Two. Singapore: Periplus Edition. 1388+vi pp. Tricas TC. 1985. The ecomics of foraging in coral feeding butterflyfishes of Hawaii. Dalam: Delesalle B, R Galzin, Salvat B (editor). Proceeding 5th International Coral Reef Congress, Tahiti, 5:409-414.
76
Veron JEN. 1993. Corals of Australia and the Indo-Pacific. Honolulu: University of Hawaii Press, Pp 644. Walpole RE. 1990. Pengantar Statistika (3rd ed). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. xv+510 pp. White AT. 1988. Chaeotodon occurence relative to coral reef habitats in the Phipippines with implications for reef assessment. Proceedings of the 6th International Coral Reef Symposium, Australia, Vol.2. Wilkinson CR, Chou LM, Gomez E, Ridzwan AR, Soekarno S, Sudara S. 1993. Status of Coral Reefs in Southeast Asia: Threats and Responses. In: Ginsburg, Robert N, editor. 1993. Proceeding of the Colloquium on Global Aspects of the Coral Reefs: Health, Hazards and History. Rosenstiel School of Marine and Atmospheric Science, University of Miami, pp.304-310. Yusuf Y, Ali AB. 2004. The use of butterflyfishes (Chaetodontidae) as bioindicator in coral reef ecosystems. P 175-183 in Phang SM and Brown MT (eds). Biomonitoring of tropical coastal ecosystems. Kuala Lumpur: University of Malaya Maritime Research Center (UMMReC).
77
LAMPIRAN
78
Lampiran 1a. Gambaran lokasi penelitian di stasiun barat Pulau Petondan Timur
79
Lampiran 1b. Gambaran lokasi penelitian di stasiun timur Pulau Petondan Timur
80
Lampiran 1c. Gambaran lokasi penelitian di stasiun selatan Pulau Petondan Timur
81
Lampiran 1d. Gambaran lokasi penelitian di stasiun utara Pulau Petondan Timur
82
Lampiran 2. Beberapa jenis-jenis karang di Pulau Petondan Timur
Favites
Diploastrea
Favites
Symphylia
Favia
Porites
Goniastrea
Platygyra
Symphylia
Porites
Favites
Favites
Lobophylia
Platygyra
Favites
Favites
Favites
Fungia
Polyphyllia
Pocillopora
Millepora
Pavona
Seriatopora
Montipora
83
Acropora
Acropora
Acropora
Acropora
Acropora
Acropora
Acropora
Acropora
Acropora
Acropora
Acropora
Acropora
Acropora
Acropora
Acropora
Montipora
Tubastrea
Isopora
Psammocora
Porites
Pavona
Pachyseris
Echinopora
Montipora
84
85
Lampiran 3. Kepadatan Genus Karang
86
Lanjutan (Lampiran 3)
87
Lanjutan (Lampiran 3)
88
Lampiran 4. Persentase Penutupan Genus Karang
89
Lanjutan (Lampiran 4)
90
Lanjutan (Lampiran 4)
91
Lampiran 5. Persentase penutupan substrat dasar
Lampiran 6. Hasil analisa Makanan Ikan Chaetodon octofasciatus
95
Lampiran 7. Proses pengumpulan sampel ikan Chaetodon octofasciatus di lapangan
93
Lampiran 8. Contoh pengolahan hasil transek kuadrat dengan ImageJ
94
Lampiran 9. Jenis-jenis Nematokis
B
A
E
C D
F M
J
K H
G
L I
T
N
O P
Q R
U
S
V
10 µm
W
X
Y
95
A
B
C
E
D
F
G
H
I
N
L
J
K
O
P
M
T
Q
R
10 µm
S
96
Lampiran 10. Jenis-jenis Alga Perifitik
10 µm
F
A
B C
G
D
E
H
Keterangan: A: Navicula (Diatom) B: Amphora (Diatom) C: Trichodesmium (Cyanophyceae) D: Fragilaria (Diatom) E: Nitzschia (Diatom) F: Nitzschia (Diatom) G: Trichodesmium (Cyanophyceae) H: Fragilaria (Diatom)
97
Lampiran 11. Analisa statistik dengan Minitab v13 Two-way ANOVA: n versus Kedalaman, Lokasi Analysis of Variance for n Source DF SS Kedalaman 1 1457.0 Lokasi 3 898.1 Error 19 1464.8 Total 23 3820.0
Kedalaman 3 10
Mean 25.3 9.8
Lokasi B S T U
Mean 22.8 20.8 7.2 19.3
MS 1457.0 299.4 77.1
F 18.90 3.88
P 0.000 0.025
Individual 95% CI ----+---------+---------+---------+------(------*-------) (-------*-------) ----+---------+---------+---------+------7.0 14.0 21.0 28.0 Individual 95% CI -+---------+---------+---------+---------+ (---------*--------) (--------*--------) (--------*--------) (--------*---------) -+---------+---------+---------+---------+ 0.0 8.0 16.0 24.0 32.0
Two-Sample T-Test and CI: n; Kedalaman
Two-sample T for n Kedalama 3 10
N 12 12
Mean 25.3 9.75
StDev 14.3 3.25
SE Mean 4.1 0.94
Difference = mu ( 3) - mu (10) Estimate for difference: 15.58 95% CI for difference: (6.81; 24.36) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 3.68 Both use Pooled StDev = 10.4
P-Value = 0.001
DF = 22
Descriptive Statistics: n by Lokasi1
Variable n
Lokasi1 B S T U
N 6 6 6 6
Mean 22.83 20.83 7.17 19.33
Median 22.00 17.00 7.00 16.00
TrMean 22.83 20.83 7.17 19.33
StDev 13.15 17.50 3.19 9.75
Variable n
Lokasi1 B S T U
SE Mean 5.37 7.14 1.30 3.98
Minimum 9.00 5.00 2.00 12.00
Maximum 42.00 51.00 12.00 38.00
Q1 10.50 6.50 5.75 12.75
Q3 33.75 33.75 9.00 25.25
98
Descriptive Statistics: n by Kedalaman Variable n
Kedalama 3 10
N 12 12
Mean 25.33 9.750
Median 26.00 9.500
TrMean 25.10 9.700
StDev 14.29 3.251
Variable n
Kedalama 3 10
SE Mean 4.13 0.938
Minimum 2.00 5.000
Maximum 51.00 15.000
Q1 13.50 7.000
Q3 36.25 12.750
Two-way ANOVA: %HC versus Kedalaman; Lokasi
Analysis of Variance for %HC Source DF SS Kedalama 1 2293 Lokasi 3 3567 Error 19 2778 Total 23 8638
Kedalama 3 10
Mean 61.1 41.5
Lokasi 1 2 3 4
Mean 62.5 30.7 55.6 56.4
MS 2293 1189 146
F 15.68 8.13
P 0.001 0.001
Individual 95% CI ------+---------+---------+---------+----(------*------) (-------*------) ------+---------+---------+---------+----40.0 50.0 60.0 70.0 Individual 95% CI -------+---------+---------+---------+---(------*------) (-----*------) (------*------) (------*------) -------+---------+---------+---------+---30.0 45.0 60.0 75.0
99
Lampiran 12. Proses pengambilan data
100