JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
i
Jurnal Kesehatan dr. Soebandi Vol. 2 No. 1, Oktober 2013 – Maret 2014 Terbit 2 kali setahun pada bulan Oktober dan April. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian analisis-kritis dibidang ilmu kesehatan. Susunan Redaksi Jurnal Kesehatan dr. Soebandi No. SK : 878/U.K/X/2013 Pelindung Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dr. Soebandi Jember Penasehat Ketua Lembaga Pengembangan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Penyunting Ketua Khofi Hadidi, S.Kep., Ns. Sekretaris Diana Octania, SH Bendahara Lailil Fatkuriyah, S.Kep., Ns Penelaah Ahli DR. Ah. Yusuf, S.Kp. M.Kes (PPNI Jawa Timur) Penyunting pelaksana Andi Eka Pranata., S.ST Fitria Jannatul Laili, S.Keb., Bd Firdha Novitasari, S.Kep., Ns., M.M Zidni Nuris Yuhbaba, S.Kep., Ns., M.M Dinar Perbawati, S.ST Ai Nurjannah, S.ST Dana dan Usaha Senan Nasution, SE Mussia, S.ST Kustin, SKM Marketing Drs. H. M. Fanani Ns. Akhmad Efrizal Amrullah., S.Kep. Putri Herlidian, S.ST., M.Kes Sultanah Zahariah, S.Keb.Bd Siti Mudawamah, S.ST Zaida Mauludiyah, S.Keb.Bd Alamat Penyunting : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dr. Soebandi Jember, JL. dr. Soebandi No. 99 Jember. Telp (0331) 483536. Fax. (0331) 483536. Email :
[email protected]. Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik sesuai dengan format seperti tercantum pada petunjuk dibagian belakang jurnal ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
ii
Jurnal Kesehatan dr. Soebandi Vol. 2 No. 1, Oktober 2013 – Maret 2014
DAFTAR ISI ( CONTENT) HALAMAN 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan Hipotensi Orthostatik Pada Penderita Diabetes Mellitus Dengan Hiperglikemi. Akhmad Efrizal Amrullah…………………………………………….. The Effect Of Rheumatic Exercise On Decreasing Joint Pain Among Elderly In Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo. Lailil Fatkuriya ....................................................................................... Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Perkembangan Anak Usia Prasekolah Di Tk ABA Kalisat Kabupaten Jember. Khofi Hadidi………………………………………………………….. Pendekatan Risiko Kehamilan Kartu Skor Poedji Rochjati (Kspr) Dengan Pola Rujukan Di RSD Dr. Soebandi Jember. Ai Nur Zannah…..…………………………………………………….. Hubungan Paritas, Usia Dan Lama Kala II Dengan Kejadian Perdarahan Post Partum Di Puskesmas Ambulu Kabupaten Jember Tahun 2012. Dinar Purwanti………………………………………………………… Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jaminan Persalinan Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Herlidian Putri…………………………………………………………. Hubungan Tingkat Nyeri Dengan Mobilisasi Dini Pada Ibu Post Sectio Caesarea (Studi di Ruang Melati BAPELKES RSD Jombang Siti Mudawamah……………………………………………………….
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
60-72
73-89
90-98
99-105
106-114
115-133
134-141
iii
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan…………………Akhmad Efrizal Amrullah, Hal. 60 - 72
PENGARUH MOBILISASI AKTIF TERHADAP PENCEGAHAN HIPOTENSI ORTHOSTATIK PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS DENGAN HIPERGLIKEMI Akhmad Efrizal Amrullah1, dr. Nurdiana Z, M.Kes.2, Ns. Moch. Nurudin, S. Kep.3 1
Student of Nursing Science Program of Medical Faculty of Brawijaya University 2 Department of Pharmacolgy of Medical Faculty of Brawijaya University 3 Department of Intensive Care Nursing of Syaiful Anwar State Hospital ABSTRACT
Study about Diabetes Mellitus has showen the increases of its prevalention. Approximately in year 2002 there are 150 million patients in the world, year 2003 are 194 million, and year 2005 are 330 million. Diabetes Mellitus is one disease that can causes complications in many bodies organ, one of them due to circulation system and manifestating as orthostatic hypotension. Diabetes Mellitus is an endocrine metabolic disease with the chronic hyperglicemic, its sign decrease or none of insulin production. The disorder manifestation to circulation system is orthostatic hypotension, was define to acute blood pressure decrease (systole > 20 mmHg and diastole > 10 mmHg). To prevent this condition, nursing intervention that can doing is active mobilization. The aim to this study to know the influence of active mobilization to prevent orthostatic hypotension to Diabetes Mellitus with hyperglicemic. Its design was Quasy-Experimental with pre and post test design. It was held on November 2005 and located in IRNA I Saiful Anwar General Hospital. Sample was taken by used purposive sampling with 20 persons to experiment group and 20 persons to control group. The data analyze using Chi-Square test. In significant level 95% X2 = 6,667, degree of freedom (df) = 1, got result p-value = 0,010. it means there is a significant influence active mobilization to prevent orthostatic hypotension to Diabetes Mellitus with hyperglicemic. The next study is needed to do the instrument test first to get the exactly active mobilization technique to prevent orthostatic hypotension to Diabetes Mellitus with hyperglicemic, because this condition is still happen in many patient. Key word : Diabetes Mellitus, hyperglicemic, orthostatic hypotension, active mobilization. angka kesakitan, dan keterbatasan fisik. PENDAHULUAN Diabetes Mellitus adalah suatu Penyakit ini dapat menyebabkan penyakit gangguan metabolik endokrin komplikasi berbagai organ yang saling kronis ditandai dengan hiperglikemi berkaitan, termasuk di dalamnya sistem kronik disertai berbagai kelainan kardiovaskuler, sistem perkemihan, metabolik yang disebabkan oleh karena sistem penglihatan, dan lain-lain dimana keturunan atau didapat, ditandai memerlukan biaya yang sangat besar kurangnya produksi hormon insulin oleh untuk menangani dan merawat penderita pankreas atau karena rendahnya kualitas dengan penyakit ini (Australian dari hormon insulin (Mansjoer, 1999, Government Initiative, 2004). Tantri, 2003). Penyakit Diabetes Mellitus Bila kita melihat angka kejadian dikenal sebagai penyakit yang Diabetes Mellitus dewasa ini, ternyata berkontribusi terhadap kematian dini, peradaban barat sangat mempengaruhi JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1 60
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan…………………Akhmad Efrizal Amrullah, Hal. 60 - 72
peningkatan kejadian Diabetes Mellitus (Zimmet, 1978). Di Samudra Pasifik, Diabetes Mellitus sangat jarang terjadi pada orang polinesia yang masih melakukan cara hidup tradisional, berbeda dengan daerah urban seperti Mikronesia, Guam, dan negara-negara Polinesia seperti Tonga, Hawai, Tahiti dimana penderita Diabetes Mellitus sangat tinggi (Sukaton, 1987). WHO memperkirakan pada tahun 2002 terdapat 150 juta jiwa penderita DM di dunia. Menurut Global Diabetes Statistic, pada tahun 2003 diperkirakan ada 194 juta jiwa penderita DM, dan pada tahun 2005 mencapai 330 juta jiwa penderita DM di dunia. Penelitian di Kodya Surabaya dan analisis dari poli diabet seluruh Indonesia pada tahun 1991 diperkirakan terdapat 1.350.000 penderita DM di Indonesia, 230.000 di Jawa Timur, dan 27.000 di Surabaya (Naniek, 2005). Askandar (2003) menyebutkan bahwa penderita Diabetes Mellitus saat ini semakin banyak jumlahnya, hal ini kemungkinan dipicu oleh perubahan pola dan gaya hidup. Sampai akhir 2002, penyakit Diabetes Mellitus tercatat menempati urutan pertama dari sepuluh macam penyakit terbesar penderita rawat jalan di RSUD Dr. Soetomo dengan jumlah penderita 25.331 orang. Jumlah tersebut meningkat drastis dimana pada tahun 1964 tercatat hanya 134 penderita. Sedangkan di wilayah Surabaya lebih banyak lagi, sekitar 60.000 - 70.000 penderita (Askandar, Pusat Diabetes dan Nutrisi RSUD dr. Soetomo, 2002). Di kabupaten Malang, menurut data dari dinas kesehatan kota Malang penyakit Diabetes Mellitus berada pada urutan ketiga belas dari daftar jenis penyakit terbesar di kota Malang, pada tahun 2004 tercatat sebanyak 9.969 penderita Diabetes Mellitus dari berbagai tingkat usia yang datang berobat ke tempat pelayanan kesehatan di wilayah kabupaten Malang (Dinas Kesehatan
Kabupaten Malang, 2005). Sedangkan di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang data insiden penderita Diabetes Mellitus dalam kurun waktu 2004 sampai bulan Mei 2005 sebanyak 393 penderita. Dengan rata-rata 23 penderita/bulan (Medical Record RSSA Malang, 2005). Penyakit Diabetes Mellitus merupakan penyakit endokrin yang banyak menimbulkan komplikasi metabolik, antara lain : kelemahan fisik, hiperglikemi, koma hipoglikemik, ketoasidosis, hiperglikemi hiperosmoler non ketotik, koma hiperosmoler non ketotik, gangguan pembuluh darah di jantung, otak dan organ lain, retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik, kaki diabetik, infeksi, serta terjadinya penurunan tekanan darah karena tirah baring atau hipotensi orthostatik (Chris E. Kauffman, 1996, Mansjoer, 1999, Timothy C. Hain, 2004). Salah satu komplikasi awal yang bisa terjadi pada penderita Diabetes Mellitus adalah terjadinya hipotensi orthosatstik, yang didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik sebesar > 20 mmHg atau lebih dan diastolik sebesar > 10 mmHg atau lebih ketika seseorang berubah posisi dari berbaring ke posisi berdiri. Hal ini disebabkan oleh karena penderita Diabetes Mellitus mengalami suatu keadaan yang disebut dengan hiperglikemi sehingga mengakibatkan kelemahan fisik. Pada akhirnya penderita lebih banyak tirah baring daripada beraktifitas. Selain pada penderita Diabetes Mellitus, hipotensi orthostatik ini juga dapat dialami oleh seseorang yang dalam kondisi normal. (John W. Engstorm, Michael J. Aminof, 1997, McGraw-Hill, 2002). Adapun salah satu tindakan keperawatan yang dilakukan selama ini untuk mencegah terjadinya hipotensi orthostatik yaitu menganjurkan penderita untuk melakukan mobilisasi aktif dan bertahap sebelum melakukan aktifitas (Kozier,1991). Pada penderita yang
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
61
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan…………………Akhmad Efrizal Amrullah, Hal. 60 - 72
bangun tidur pada pagi hari, sebelum melakukan kegiatan disarankan untuk latihan isometrik terlebih dahulu selama beberapa menit (Timothy C. Hain, 2004). Sampai saat ini belum ada yang mengevaluasi apakah tindakan mobilisasi aktif dan bertahap sebelum beraktifitas mempunyai pengaruh terhadap pencegahan hipotensi orthostatik pada penderita Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh mobilisasi aktif terhadap pencegahan hipotensi orthosatik pada penderita Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Penelitian ini menggunakan design yang digunakan adalah Quasy-Experimental design dengan teknik pre dan post test design. Populasi penelitian ini adalah penderita Diabetes Mellitus menjalani rawat inap lebih dari satu hari di Instalasi Rawat Inap I Rumah Sakit Syaiful Anwar Malang. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara Non-Probability Sample, dengan metode Purposive Sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 40 responden dengan pembagian 20 respoden kelompok eksperiment dan 20 responden kelompok kontrol. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengumpulan data pada sampel penelitian, adalah sebagai berikut: 1.
Mengalami pusing selama sakit Prosentase responden mengalami pusing selama sakit dapat dilihat pada gambar 5.1. dibawah ini :
Mengalami pusing selama sakit 20 15 10 5 0
90 % 80 %
75 %
Pre-Test
20 %
Post-Test
Kelompok Eksperiment
Kelompok Kontrol
Gambar 5.1. Prosentase responden terhadap seringnya mengalami rasa pusing selama sakit.
Hasil pengumpulan data pada gambar 5.1. diatas menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 75% responden mengalami pusing selama sakit dan pada post-test sebanyak 20%. Sedangkan kelompok kontrol pada pretest 90% responden dan pada post-test sebanyak 80%. 2.
Mengalami pusing setelah bangun tidur dan sebelum beraktifitas Prosentase responden mengalami pusing setelah bangun tidur dan sebelum beraktifitas dapat dilihat pada gambar 5.2. dibawah ini : Mengalami pusing sebelum beraktifitas 20 15 10 5 0
95 % 75 %
75 %
50 %
Pre-Test Post-Test
Kelompok Eksperiment
Kelompok Kontrol
Gambar 5.2. Prosentase responden terhadap seringnya rasa pusing dialami setelah bangun tidur dan sesaat sebelum beraktifitas selama sakit.
Hasil pengumpulan data pada gambar 5.2. diatas menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 95% responden mengalami rasa pusing setelah bangun tidur dan sesaat sebelum beraktifitas dan pada post-test sebanyak
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
62
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan…………………Akhmad Efrizal Amrullah, Hal. 60 - 72
50%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 75% responden dan pada posttest sebanyak 75%. 3. Mengalami pusing dari posisi berbaring ke berdiri Prosentase responden mengalami pusing dari posisi berbaring ke berdiri dapat dilihat pada gambar 5.3. dibawah ini : Pusing setelah berubah posisi 20 15 10 5 0
85 % Pre-Test Post-Test
Kelompok Kontrol
Gambar 5.3. Prosentase responden terhadap seringnya rasa pusing timbul secara tiba-tiba saat berubah posisi dari berbaring ke posisi berdiri.
Hasil pengumpulan data pada gambar 5.3. diatas menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 85% responden mengalami rasa pusing yang timbul secara tiba-tiba saat berubah posisi dari berbaring ke posisi berdiri dan pada post-test sebanyak 55%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 70% responden dan pada post-test sebanyak 65%. 4. Mengalami pusing disertai mata berkunang-kunang Prosentase responden mengalami pusing disertai mata berkunang-kunang dapat dilihat pada gambar 5.4. dibawah ini : Mata berkunang-kunang 20 10
Hasil pengumpulan data pada gambar 5.4. diatas menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 75% responden mengalami pusing disertai mata berkunang-kunang dan pada posttest sebanyak 20%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 55% responden dan pada post-test sebanyak 55%
70 % 65 % 55 %
Kelompok Eksperiment
15
Gambar 5.4. Prosentase responden terhadap terjadinya rasa pusing disertai mata berkunang-kunang.
5. Pandangan mata menjadi gelap saat mata berkunang-kunang Prosentase responden mengalami pandangan mata menjadi gelap saat mata berkunang-kunang dapat dilihat pada gambar 5.5. dibawah ini : Pandangan mata gelap 15
60 %
55 %
55 %
10 5
Pre-Test
20 %
Post-Test
0 Kelompok Eksperiment
Kelompok Kontrol
Gambar 5.5. Prosentase responden terhadap terjadinya rasa pusing disertai pandangan gelap saat mata berkunangkunang.
Hasil pengumpulan data pada gambar 5.5. diatas menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 55% responden mengalami pandangan gelap saat mata berkunang-kunang pusing dan pada post-test sebanyak 20%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 60% responden dan pada post-test sebanyak 55%.
75 % 20 %
55 % 55 %
Pre-Test Post-Test
5 0 Kelompok Eksperiment
Kelompok Kontrol
6. Berdiri sempoyongan saat terjadi pusing Prosentase responden berdiri sempoyongan saat terjadi pusing dapat dilihat pada gambar 5.6. dibawah ini :
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
63
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan…………………Akhmad Efrizal Amrullah, Hal. 60 - 72
Berdiri sempoyongan 70 % 65 %
15 55 % 10
Pre-Test
35 %
Post-Test
5
8. Dada terasa nyeri saat bedebardebar Prosentase responden mengalami dada terasa nyeri saat bedebar-debar dapat dilihat pada gambar 5.8. dibawah ini : Nyeri dada
0 Kelompok Eksperiment
Kelompok Kontrol
Gambar 5.6. Prosentase responden berdiri sempoyongan saat terjadi pusing.
Hasil pengumpulan data pada gambar 5.6. diatas menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 55% responden berdiri sempoyongan saat terjadi pusing.dan pada post-test sebanyak 35%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 70% responden dan pada post-test sebanyak 65%. 7. Dada berdebar-debar saat terjadi pusing Prosentase responden mengalami dada berdebar-debar saat terjadi pusing dapat dilihat pada gambar 5.7. dibawah ini : Dada berdebar-debar 15 10
55 % 60 %
50 % 30 %
5
Pre-Test
20 15 10 5 0
70 %
75 %
Pre-Test 25 %
15 %
Kelompok Eksperiment
Kelompok Kontrol
Gambar 5.8. Prosentase responden mengalami nyeri dada saat berdebardebar.
Hasil pengumpulan data pada gambar 5.8. diatas menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 70% responden mengalami nyeri dada saat berdebar-debar dan pada post-test sebanyak 15%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 75% responden dan pada post-test sebanyak 25%. 9. Mengalami pingsan Prosentase responden mengalami pingsan dapat dilihat pada gambar 5.9. dibawah ini :
Post-Test
Pingsan
0 Kelompok Eksperiment
Kelompok Kontrol
Gambar 5.7. Prosentase responden mengalami dada berdebar-debar saat terjadi pusing.
Hasil pengumpulan data pada gambar 5.7. diatas menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 50% responden mengalami dada berdebardebar saat terjadi pusing dan pada posttest sebanyak 30%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 55% responden dan pada post-test sebanyak 60%.
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
100 %
100 % Pre-Test Post-Test
0%
Kelompok Eksperiment
0%
Kelompok Kontrol
Gambar 5.9. Prosentase responden mengalami pingsan saat terjadi pusing.
Hasil pengumpulan data pada gambar 5.9. diatas menunjukkan baik dari kelompok eksperiment maupun kelompok kontrol pada pre-test dan posttest tidak ada yang mengalami pingsan . JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1 64
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan…………………Akhmad Efrizal Amrullah, Hal. 60 - 72
10. Keadaan wajah pucat saat terjadi pusing Prosentase responden tampak berwajah pucat saat terjadi pusing dapat dilihat pada gambar 5.10. dibawah ini : Muka pucat 20 15 10 5 0
85 %
85 % 80 %
Berdiri berpegangan
Post-Test
15
Kelompok Kontrol
5
Hasil pengumpulan data pada gambar 5.10. diatas menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 85% responden mengalami pucat muka saat terjadi pusing dan pada post-test sebanyak 40%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 80% responden dan pada post-test sebanyak 85%. 11. Berkeringat dingin saat terjadi pusing Prosentase responden berkeringat dingin saat terjadi pusing dapat dilihat pada gambar 5.11. dibawah ini : Berkeringat dingin 70 % 70 %
70 %
50 % 45 % 20 %
Pre-Test Post-Test
0 Kelompok Eksperiment
Kelompok Kontrol
Gambar 5.12. Prosentase responden yang berdiri berpegangan saat terjadi pusing.
Hasil pengumpulan data pada gambar 5.12. diatas menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 60% responden berdiri berpegangan saat terjadi pusing dan pada post-test sebanyak 20%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 50% responden dan pada post-test sebanyak 45%. 13. Hipotensi Orthostatik pada responden penelitian Prosentase responden yang mengalami hipotensi orthostatik pada kelompok eksperiment dan kelompok kontrol pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 5.13. dibawah ini :
Pre-Test
35 %
Post-Test
5 0 Kelompok Eksperiment
60 %
10
Gambar 5.10. Prosentase responden yang mengalami pucat muka saat terjadi pusing.
10
12. Berdiri berpegangan. Prosentase responden berdiri berpegangan saat terjadi pusing dapat dilihat pada gambar 5.12. dibawah ini :
Pre-Test
40 %
Kelompok Eksperiment
15
Sedangkan kelompok kontrol pada pretest 70% responden dan pada post-test sebanyak 70%.
Kelompok Kontrol
Gambar 5.11. Prosentase responden yang berkeringat dingin saat terjadi pusing.
20
Kesimpulan hipotensi orthostatik 12 (60
10 8 (40 0 Kelompok Eksperiment
16 (80 4 (20
Terjadi hipotensi orthostatik Tidak terjadi hipotensi orthostatik
Kelompok Kontrol
Hasil pengumpulan data pada gambar 5.11. diatas menunjukkan dari Gambar 5.13. Prosentase hipotensi kelompok eksperiment pada pre-test 70% orthosatik pada kelompok eksperiment dan kelompok kontrol. responden berkeringat dingin saat terjadi pusing dan pada post-test sebanyak 35%. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1 65
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan…………………Akhmad Efrizal Amrullah, Hal. 60 - 72
Hasil kesimpulan data pada gambar 5.13. diatas menunjukkan dari kelompok eksperiment, 8 responden (40 %) mengalami hipotensi orthostatik dan 12 responden (60 %) tidak mengalami. Sedangkan pada kelompok kontrol, 16 responden (80 %) mengalami hipotensi orthostatik dan 4 responden (20 %) tidak mengalami. Analisa Hasil Penelitian Analisa data penelitian dan hasil uji Chi-Square pengaruh mobilisasi aktif terhadap pencegahan hipotensi orthostatik dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1 Frekwensi distribusi dan analisa hasil penelitian dari kelompok eksperiment dan kelompok kontrol terhadap terjadinya hipotensi orthostatik. Hipotensi Orthostatik Tidak Terjadi Terjadi Kelompok Eksperime nt Kelompok Kontrol Jumlah Uji ChiSquare
Jumlah
8
12
20
16
4
20
24
16
40
df = 1, p-value = 0,010. Chisquare = 6,667.
Sumber : Data primer, November 2005. Hasil uji Chi-Square data mobilisasi aktif terhadap hipotensi orthostatik pada tingkat kepercayaan 95% X2 = 6,667 degree of freedom (df) = 1, dengan p-value = 0,010. X2 hitung (6,667) > X2 tabel (3,841) sehingga H0 ditolak dan H1 diterima, dengan demikian terdapat pengaruh yang bermakna dari mobilisasi aktif terhadap pencegahan hipotensi orthostatik.
PEMBAHASAN Dari hasil penelitian dan analisa data ditemukan bahwa pada penderita Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi yang mengalami tirah baring lebih lama dari aktifitasnya, tanda dan gejala hipotensi orthosatik lebih nyata. Hasil pengumpulan data menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 75% responden mengalami pusing selama sakit dan pada post-test sebanyak 20%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 90% responden dan pada post-test sebanyak 80%. Hal ini sesuai dengan teori yang ada, bahwa hipotensi orthostatik dapat menyebabkan rasa pusing karena terjadi penurunan suplai darah dan oksigen ke otak yang menyebabkan gangguan sirkulasi di otak sehingga sebagian jaringan otak mengalami iskemi yang merangsang terjadinya rasa pusing. Pada tirah baring yang lama dengan sedikt beraktifitas jika mengalami hipotensi orthostatik terjadinya rasa pusing lebih tinggi. Hasil pengumpulan data menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 95% responden mengalami rasa pusing setelah bangun tidur dan sesaat sebelum beraktifitas dan pada posttest sebanyak 50%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 75% responden dan pada post-test sebanyak 75%. Tidak jauh berbeda dengan keterangan (1) diatas bahwa rasa pusing terjadi karena adanya iskemi dari sebagian jaringan otak yang disebabkan oleh penurunan tekanan darah yang mengakibatkan berkurangnya suplai darah dan oksigenasi ke otak. Keadaan ini dapat terjadi pada keadaan setelah bangun tidur dan akan lebih berat jika penderita mengalami tirah baring yang lama (Darmojo & Martono, 2004). Dengan dilakukannya mobilisasi aktif sebelum beraktifitas maka diharapkan suplay darah dan oksigen ke otak dapat lebih adekuat dan terjadinya rasa pusing dapat lebih dihindari.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
66
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan…………………Akhmad Efrizal Amrullah, Hal. 60 - 72
Hasil pengumpulan data menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 85% responden mengalami rasa pusing yang timbul secara tiba-tiba saat berubah posisi dari berbaring ke posisi berdiri dan pada post-test sebanyak 55%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 70% responden dan pada posttest sebanyak 65%. Rasa pusing disini dicetuskan oleh karena darah banyak menuju ke tubuh bagian bawah sehingga aliran darah ke otak juga mengalami penurunan. Karena tirah baring yang lama maka respon tubuh untuk mempertahankan sirkulasi di otak juga akan menurun. Pada perubahan posisi dari berbaring ke berdiri ini, terjadi perpindahan hampir 700 cc darah meninggalkan rongga dada menuju ke pool cadangan vena di daerah perut dan kaki. Sehingga aliran darah dan oksigen ke otak akan menurun dan menyebabkan rasa pusing karena adanya iskemik dari sebagian jaringan otak (Darmojo & Martono, 2004). Dengan dilakukannya mobilisasi aktif maka tubuh dilatih untuk menjaga tonus pembuluh darah untuk mencegah penurunan volume darah ke tubuh bagian bawah, dengan harapan dapat mempertahankan sirkulasi darah terutama di otak dapat lebih stabil. Hasil pengumpulan data menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 75% responden mengalami pusing disertai mata berkunang-kunang dan pada post-test sebanyak 20%. Sedangkan kelompok kontrol pada pretest 55% responden dan pada post-test sebanyak 55%. Mata berkunang-kunang disebabkan karena oksigenasi di otak mengalami penurunan yang disebut hipoksia sehingga kondisi demikian juga akan mempengaruhi sistem neurologis, terutama pada nervus optikus yang dimanifestasikan dengan mata berkunang-kunang (Guyton, 1995). Pada saat dilakukan mobilisasi aktif, maka sirkulasi juga dapat lebih dipertahankan terutama ke organ otak sehingga resiko
hipoksia dapat ditekan dan fungsi otak dapat bekerja semaksimal mungkin. Hasil pengumpulan data menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 55% responden mengalami pandangan gelap saat mata berkunangkunang pusing dan pada post-test sebanyak 20%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 60% responden dan pada post-test sebanyak 55%. Mekanisme terjadinya hal ini hampir sama dengan kondisi diatas (5), yaitu pada keadaan hipoksia yang lebih lanjut, fungsi sistem neurologis akan lebih menurun dan manifestasi lanjut yang terjadi adalah pandangan mata menjadi gelap setelah sebelumnya berkunang-kunang (Guyton, 1995). Dengan dilakukan mobilisasi aktif maka fungsi sirkulasi ke organ vital terutama otak dapat lebih adekuat sehingga tidak menimbulkan gangguan pada sistem neurologis. Hasil pengumpulan data menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 55% responden berdiri sempoyongan saat terjadi pusing.dan pada post-test sebanyak 35%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 70% responden dan pada post-test sebanyak 65%. Karena adanya hipoksia yang menyebabkan gangguan pada sistem neurologis, maka dampak selanjutnya yang tampak adalah gangguan sistem keseimbangan tubuh yang terletak di organ vestibularis sebagai pengatur keseimbangan tubuh. (Guyton, 1995). Pada saat melakukan mobilisasi aktif tubuh akan berespon terhadap stimulus yang diberikan, terutama sistem sirkulasi dan sistem neurologi. Respon ini berupa penyesuaian tubuh terhadap reaksi yang timbul setelah adanya mobilisasi aktif yang kemudian berpengaruh terhadap kerja kedua sistem diatas untuk bekerja lebih maksimal sehingga tubuh dapat melakukan kompensasi terhadap perubahan yang terjadi, dalam hal ini adanya gangguan perfusi di otak dan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
67
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan…………………Akhmad Efrizal Amrullah, Hal. 60 - 72
mengganggu sistem keseimbangan tubuh yang berada di otak. Hasil pengumpulan data menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 50% responden mengalami dada berdebar-debar saat terjadi pusing dan pada post-test sebanyak 30%. Sedangkan kelompok kontrol pada pretest 55% responden dan pada post-test sebanyak 60%. Keadaan ini merupakan reaksi kompensasi terhadap vasodilatasi pemuluh darah dan penurunan tekanan darah yang berupa efek simpatis dengan terjadinya vasokonstriksi arteriol dan vena disertai dengan reaksi syaraf simpatis berupa percepatan denyut jantung untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi dan perfusi jaringan, terutama ke otak ( Anne & Kannayiram, 2004, Darmojo & Martono, 2004). Dengan dilakukan mobilisasi aktif maka akan terjadi respon terhadap reflek baroreceptor yang berperan terhadap tonus pembuluh darah dan pengaturan tekanan darah sehingga membantu mempertahankan tekanan darah dalam ambang batas normal sesuai kemampuan tubuh, diharapkan denyut nadi dapat stabil dan tidak menimbulkan rasa berdebar-debar. Hasil pengumpulan data menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 70% responden mengalami nyeri dada saat berdebar-debar dan pada post-test sebanyak 15%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 75% responden dan pada post-test sebanyak 25%. Rasa nyeri yang timbul diakibatkan oleh karena meningkatnya kontrakasi jantung sebagai reaksi syaraf simpatis berupa percepatan denyut jantung untuk memenuhi kebutuhan perfusi jaringan tubuh secara menyeluruh ( Anne & Kannayiram, 2004, Darmojo & Martono, 2004). Adanya mobilisasi aktif dapat mempertahankan reflek baroreceptor yang mengatur sirkulasi darah dan percepatan denyut nadi. Jika respon dari reflek baroreceptor ini dapat berfungsi
secara maksimal maka kerja dari sistem sirkulasi dapat berjalan dengan baik terutama dalam memenuhi perfusi jantung itu sendiri, jika perfusi terpenuhi maka kerja dari jantung tidak akan terlalu berat dan diharapkan jantung tidak mengalami gangguan sirkulasi yang dapat menyebabkan rasa sakit. Hasil pengumpulan data menunjukkan baik dari kelompok eksperiment maupun kelompok kontrol pada pre-test dan post-test tidak ada yang mengalami pingsan . Pada keadaan hipoksia yang berat dimana jika tubuh sudah tidak mampu lagi mempertahankan mekanisme kompensasi, maka akibat lanjut yang bisa terjadi adalah penurunan fungsi sistem neurologis secara drastis dan menyebabkan hilangnya kesadaran sehingga penderita akan jatuh pingsan (Guyton, 1995). Pada semua responden kondisi ini tidak terjadi dan diharapkan mekanisme tubuh masih berfungsi dengan baik, terutama saat terjadi penurunan tekanan darah dan penderita tidak sampai mengalami pingsan. Hasil pengumpulan data menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 85% responden mengalami pucat muka saat terjadi pusing dan pada post-test sebanyak 40%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 80% responden dan pada post-test sebanyak 85%. Muka yang pucat terlihat karena adanya penurunan aliran darah ke daerah kepala dan muka karena darah banyak yang mengalir ke tubuh daerah ekstremitas bawah (Rilantono, 1999). Setelah dilakukan mobilisasi aktif, reflek baroreceptor akan bekerja mempertahankan tonus pembuluh darah untuk mempertahankan suplai darah ke seluruh jaringan tubuh terutama di daerah kepala. Jika mekanisme ini berhasil maka perfusi ke semua jaringan tubuh dapat terpenuhi dan pada muka, penderita tidak menunjukkan wajah yang pucat. Hasil pengumpulan menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
68
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan…………………Akhmad Efrizal Amrullah, Hal. 60 - 72
70% responden berkeringat dingin saat terjadi pusing dan pada post-test sebanyak 35%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 70% responden dan pada post-test sebanyak 70%. Selama penderita tirah baring, tonus otot dan tonus pembuluh darah menurun lalu terjadi vasodilatasi arteriol dan kapiler sehingga permeabilitas cairan tubuh meningkat dan air lebih mudah mengalami osmosis, kemudian mengalir keluar dari dalam tubuh. Pada saat terjadi penurunan tekanan darah secara tiba-tiba, terjadi efek simpatis yaitu pelepasan katekolamin dengan efek vasokonstriksi arteriol dan vena, dengan demikian air yang sudah mengalami osmosis didorong keluar dari dalam tubuh sehingga penderita tampak berkeringat (Guyton, 1995). Dengan mobilisasi aktif kondisi ini dapat dicegah karena tindakan ini bisa mempengaruhi tubuh untuk merespon kondisi demikian dengan mengaktifkan reflek baroreceptor untuk mempertahankan aliran dan perfusi darah ke semua bagian tubuh sehingga air tidak akan mengalami osmosis yang berlebihan atau ke ruang yang bukan tempatnya. Hasil pengumpulan data menunjukkan dari kelompok eksperiment pada pre-test 60% responden berdiri berpegangan saat terjadi pusing dan pada post-test sebanyak 20%. Sedangkan kelompok kontrol pada pre-test 50% responden dan pada post-test sebanyak 45%. Kondisi ini dapat terjadi karena berkaitan dengan sistem keseimbangan yang mengalami gangguan, dan perilaku ini ditunjukkan penderita untuk mencegah cedera akibat jatuh karena tubuh tidak bias mempertahankan keseimbangan. Jika sebelum beraktifitas melakukan mobilisasi aktif maka tindakan ini merupakan suatu pencegahan karena tubuh telah dipersiapkan untuk menghadapi perubahan yang terjadi akibat dari adanya gangguan sistem keseimbangan yang bisa terjadi.
KESIMPULAN Hasil pengumpulan data kelompok eksperiment menunjukkan bahwa 8 responden (40 %) dari 20 responden mengalami hipotensi orthostatik, sedangkan 12 responden (60 %) tidak mengalaminya. Melihat data hasil pengkajian ditemukan bahwa terjadinya hipotensi orthostatik pada kelompok eksperiment masih cukup tinggi dan hampir mencapai separuh dari total kelompok eksperiment. Masih tinggi terjadinya hipotensi orthostatik ini kemungkinan bisa disebabkan oleh karena penderita sudah mengalami gangguan sistem sirkulasi dan syaraf otonom yang lebih serius akibat dari penyakit yang dideritanya sudah cukup parah untuk menimbulkan kerusakan pada tubuhnya, sehingga tindakan mobilisasi aktif yang telah dilakukan tidak memberikan respon yang maksimal. Hasil pengumpulan dan tabulasi data kelompok kontrol menunjukkan bahwa 16 responden (80 %) dari 20 responden mengalami hipotensi orthostatik, sedangkan 4 responden (20 %) tidak mengalaminya. Kelompok ini tidak dilakukan tindakan mobilisasi aktif dengan tujuan sebagai pembanding, apakah kejadian hipotensi orthostatik lebih rendah, sama atau lebih tinggi dari kelompok eksperiment. Pada kelompok ini ditemukan bahwa kejadian hipotensi orthostatik ternyata cukup tinggi, yaitu dua kali lipat dari kelompok eksperiment. Dari hasil observasi ditemukan jika penderita langsung melakukan aktifitas tanpa melakukan mobilisasi dahulu sebagai proses adaptasi terhadap perubahan hemodinamika, resiko terjadinya hipotensi orthostatik semakin tinggi. Dari perlakuan yang diberikan pada kelompok eksperiment diperoleh data bahwa dari 20 responden, 8 orang (40 %) tetap terjadi hipotensi orthostatik dan 12 orang (60 %) tidak mengalami hipotensi orthostatik. Sedangkan pada
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
69
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan…………………Akhmad Efrizal Amrullah, Hal. 60 - 72
kelompok kontrol, dari 20 responden, 16 Orang (80 %) mengalami hipotensi orthostatik dan 4 orang (20 %) tidak mengalami hipotensi orthostatik. Hasil analisa data dan uji statistik didapatkan uji Chi-Square pada tingkat kepercayaan 95% X2 = 6,667, degree of freedom (df) = 1, dengan p-value = 0,010. X2 hitung (6,667) > X2 tabel (3,841), dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima, sehingga terdapat pengaruh yang bermakna dari mobilisasi aktif terhadap pencegahan hipotensi orthostatik. Semakin sering penderita melakukan mobilisasi aktif secara rutin (selama tidak ada kontraindikasi), maka resiko terjadinya hipotensi orthostatik dapat dicegah walaupun pada sebagian penderita tindakan ini tidak memberikan respon yang memuaskan dikarenakan berbagai sebab yang menjadi penyulit/komplikasi dari penyakitnya. Teknik mobilisasi aktif ini tidak hanya bisa dilakukan pada penderita Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi yang mengalami tirah baring yang lebih lama dari aktifitasnya, tetapi dapat pula diterapkan pada semua penderita lain dengan jenis penyakit yang berbeda asalkan tidak ada kontraindikasi terhadap penyakit yang dideritanya. Selain pada orang sakit, tindakan ini juga bisa dilakukan oleh orang normal atau sehat guna memelihara dan mempertahankan hemodinamika, tonus otot dan tonus pembuluh darah yang berpengaruh terhadap perubahan fungsi sistem sirkulasi dan reflek baroreceptor, terutama sebelum melakukan aktifitas baik dari posisi bangun tidur, duduk dan jongkok ke posisi berdiri (Kozier, 1991, Asbury, et. al, 1992, Carol, 1998). Dari pembahasan diatas dapat diambil keputusan bahwa mobilisasi aktif merupakan suatu tindakan yang sangat dianjurkan terutama pada penderita Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi selama tidak ada penyulit lain yang bisa menghambat penderita melakukan
mobilisasi aktif. Namun tindakan mobilisasi aktif ini tidak secara penuh berpengaruh pada pencegahan hipotensi orthostatik, tergantung dari kondisi penderita dan seberapa parah penyakit yang dideritanya serta komplikasi yang dialami. Masih cukup tinggi terjadinya hipotensi orthostatik ini kemungkinan penderita sudah mempunyai riwayat Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi yang cukup lama, sehingga gangguan pada sistem sirkulasi terjadi lebih berat dan lebih progresif. Sedangkan pada responden yang berespon baik terhadap mobilisasi aktif diharapkan fungsi dari sistem sirkulasi dan kardiovaskuler serta reflek baroreceptor masih bekerja dengan baik. Hal ini harus dipertahankan supaya kondisi penderita tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih parah, mengingat banyaknya komplikasi yang bisa terjadi pada penderita Diabetes Mellitus terutama yang sudah berlangsung menahun dan kurang atau tidak adanya kontrol yang ketat terhadap kondisinya. Dengan demikian mobilisasi merupakan salah satu tindakan keperawatan yang sangat dianjurkan dan bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya resiko hipotensi orthostatik selama tidak ada kontraindikasi. Karena masih tingginya kejadian hipotensi orthostatik, penelitian lanjutan sangat dianjurkan karena dalam penelitian ini banyak mengandung kelemahan-kelemahan, salah satunya adalah instrumen. Instrumen sebagai alat ukur tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu karena berbagai keterbatasan. Penderita Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi mempunyai kecenderungan lebih banyak berada di tempat tidur daripada beraktifitas, sehingga resiko terjadinya hipotensi orthostatik lebih tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, responden yang mengalami hipotensi orthostatik masih relatif tinggi.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
70
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan…………………Akhmad Efrizal Amrullah, Hal. 60 - 72
Salah satu tindakan keperawatan yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi orthostatik adalah teknik mobilisasi aktif yang dilakukan oleh penderita secara mandiri dengan instruksi dan bimbingan dari perawat. Dari analisa data dan uji statistik didapatkan pengaruh yang bermakna antara mobilisasi aktif terhadap pencegahan hipotensi orthostatik pada penderita Diabetes Mellitus dengan hiperglikemi pada tingkat kepercayaan 95% X2 = 6,667, degree of freedom (df) = 1, dengan p-value = 0,010. X2 hitung (6,667) > X2 tabel (3,841), dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima. DAFTAR PUSTAKA An Australian Government Initiative, Health Insite. (2004). Diabetes Statistic. http://www.healthinsite.gov.au/topi cs/Diabetes_Statistic. Diakses 19 April 2005. Arikunto, Suharsimi (2002, 87). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Jakarta : Rineka Cipta. Asbury, et. al. (1992, 216). Disease of the Nervous System-Clinical Neurobiology. Second edition. United States of America : Saunders Company Chris E. Kauffman, McKee Patrick A. (1996, 245). Essential of Pathophysiology. United states of America : Little, Brown and Company. Darmojo Budi R, Martono Hadi H. (2004, 148). Ilmu Kesehatan Usia Lanjut. Jakarta : FKUI. Engstorm, John W, Aminof, Michael J. (1997). Evaluation and Treatmnet of Orthostatic Hypotension. http://www.afp_files.com. Diakses 19 April 2005. Guillani Emilio R, et. al. (1991, 861). Cardiology : Fundamental and Practice. Second Edition vol. 1.
United States of America : Mayo Foundation. Guyton C. Arthur (1995, 195). Fisiologi Manusia Dan Mekanisme Penyakit. Jakarta : EGC. Hain, Timothy C. (2004). Orthostatic Hypotension. http://www.dynakids.org/index.jsp. Diakses 19 April 2005. Mansjoer, Arif. et. al. (1999, 580). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1, Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius, FKUI : 580. Mc Graw-Hill. (2002, 1234). Current Medical Diagnosis and Treatment, Forty-First Edition. United States of America : Medical Publishing Division. Nursalam dan Pariani, Siti. (2001, 41). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto. Nursalam. (2003, 47). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Perry, Potter. (2000, 136). Buku Saku Keterampilan dan Prosedur Dasar. Edisi 3. Jakarta : EGC. Porth, Carrol Matson. (1998, 379). Pathophysiology: Concepts of Altered Health States. Book 1, Fifth Edition. Philadelpia, New York : University of WisconsinMilwaukee. Polit, Denise F. Hungler Bernadette P. (1999,186). Nursing Research, Principles and Methodes. Sixth Edition. United States of America : Lippincott Company. Reeves Charlene J. et. al (2001, 36). Keperawatan Medikal Bedah. Jilid 1. Jakarta : Salemba Medika. Rilantono, Lily I. et. al. (1999, 95). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: FKUI. Sclater, Anne and Alagiakrishnan, Kanayiram. (2004). Cardio Vascular Disorder, Orthostatic Hypotension, a Primary Care for
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
71
Pengaruh Mobilisasi Aktif Terhadap Pencegahan…………………Akhmad Efrizal Amrullah, Hal. 60 - 72
Assesment and Treatment. http://www.geri.com. Diakses 19 april 2005. Sugiyono (2000, 62). Metode Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta. Tjokroprawiro, Askandar. (2003). New Insight Into The Pathogenesis and Treatment of Diabetes Mellitus. http://www.kompas.com/kompas. Diakses 19 April 2005. Yuliandini, Tantri. (2003). How Critical Diabetes in Indonesia, Really ?. http://www.thejakartapost.com/yest erdaydetail_asp?. Diakses 19 April 2005.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
72
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
THE EFFECT OF RHEUMATIC EXERCISE ON DECREASING JOINT PAIN AMONG ELDERLY IN DESA SUDIMORO KECAMATAN TULANGAN KABUPATEN SIDOARJO Lailil Fatkuriyah* *Dosen STIKES dr. Soebandi Jember Aging process causes decreasing musculoskeletal function such as degeneration, erosion, and calcification of cartilage and joint capsule that manifest in decreasing joint movement width. Aging process also causes decreasing cellular immune function such as increasing inflammation activity in joint. The causes are contributed to joint pain among elderly. Nurse is expected to give a safe and healthy solution to reduce joint pain in elderly. This study was aimed to identify the effect of rheumatic exercise on decreasing joint pain among elderly. Design used in this study was quasy experimental. The population was elderly whose age were 65-70 years old in Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo in June-July 2010. Total sample were 18 respondents taken according to inclusion criteria. The dependent variable was joint pain which was measured by Burbonais pain scale. Data were then analyzed using Wilcoxon Sign Rank Test and Mann Whitney Test with level of significance is ≤0,05. Result showed that there was effect of rheumatic exercise on decreasing joint pain among elderly after intervention in intervention group (p=0,014 Wilcoxon Sign Rank Test). But, there was no difference between intervention group and control group after Rheumatic Exercise (p= 0,297 Mann Whitney Test). It could be concluded that there was no effect of rheumatic exercise on decreasing joint pain among elderly. Many factors contributed to this result such as respondent dietary pattern and activity pattern during the research which were beyond control of researcher. Further studies should more control respondent’s dietary pattern, activity pattern, quantity and quality of the rheumatic exercise by respondents to obtain more accurate results. Keyword: rheumatic exercise, joint pain PENDAHULUAN Gangguan muskuloskeletal pada usia lanjut merupakan salah satu dari banyak kasus geriatri yang banyak dijumpai dalam praktik sehari-hari (Taslim, 2009). Semua gangguan pada daerah sendi, otot, dan tendon disebut rematik (Isbagio, 2004). Saat ini, telah dikenal lebih dari 110 jenis penyakit rematik yang sering menunjukkan gambaran klinik yang hampir sama. Keluhan tersebut umumnya merupakan gejala kaku, nyeri, bengkak sampai keterbatasan gerak sendi. Penyakit rematik merupakan salah satu penyebab utama terjadinya disabilitas pada usia lanjut, di samping stroke dan penyakit kardiovaskuler
(Darmojo&Martono, 2006). Nyeri adalah keluhan utama yang dirasakan penderita rematik (Daud, 2007). Nyeri sendi yang dibiarkan dapat semakin parah dan seringkali mengganggu aktivitas seharihari, seperti berjalan dan bekerja (Liana, 2008). Sebagian besar penderita rematik harus berobat jalan sehingga mereka harus mengunjungi dokter dan pengeluaran menjadi cukup banyak. Untuk menghindari hal tersebut, banyak dari mereka mencoba mengatasinya dengan mengobati diri sendiri. Pemakaian obat anti rematik tanpa kontrol dapat menyebabkan reaksi kemerahan sampai kelainan kulit dan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
73
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
rangsangan selaput lendir. Penderita akan merasa nyeri pada lambung, nafsu makan berkurang, merasa mual sampai muntah (Takasihaeng, 2000). Dengan demikian, perlu penanganan nyeri akibat gangguan muskuloskeletal yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi tubuh lansia sehingga lansia dapat mencapai kualitas hidup mereka meski dalam kondisi kekurangan dan kesakitan. Dampak rematik atau gejala nyeri sendi pada lansia dapat dikurangi dengan latihan yang melenturkan sendi dengan cara yang benar dan fokus, yaitu dengan senam rematik (Nuhonni, 2008). Namun, pengaruh latihan fisik senam rematik terhadap penurunan nyeri sendi belum dapat dijelaskan. Kejadian nyeri pada lanjut usia memang cukup tinggi, yaitu sekitar 2550% dari total lanjut usia (Widyatmoko, 2008). Orang usia di atas 60 tahun mempunyai kemungkinan menderita gejala nyeri 2 kali dibandingkan dengan usia di bawah usia di bawah 60 tahun karena kejadian nyeri makin meningkat sesuai dengan pertambahan usia (Widyatmoko, 2008). Hampir 8% orangorang berusia 50 tahun ke atas mempunyai keluhan pada sendi-sendinya. Biasanya yang terkena ialah persendian pada jari-jari, tulang punggung, sendisendi penahan berat tubuh (lutut dan panggul) (Nugroho, 2000). Pada studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Desa Sudimoro Kabupaten Sidoarjo, 36% lansia atau sejumlah 45 orang dari 125 lansia dengan rentang usia 55-70 tahun menderita masalah sendi. Angka lansia yang menderita masalah sendi dapat lebih besar dari angka di atas, namun karena tidak semua lansia di Desa Sudimoro aktif ke posyandu sehingga tidak semua kasus terlaporkan. Beberapa lansia mengeluhkan linu-linu di kaki dan tangan, kaku sendi saat bangun tidur dan berjalan serta lutut sakit saat menjalankan ibadah sholat. Sejumlah 7 lansia yang peneliti wawancarai hampir semua mengkonsumsi obat atau jamu yang
dipercaya mengurangi nyeri tersebut seperti jamu dan pil asam urat. Seorang lansia bahkan mengkonsumsi pil asam urat sehari dua kali yaitu pagi dan sore hari. Enam lansia lain tidak memiliki frekuensi pasti dalam mengkonsumsi pil atau jamu penghilang linu dan kaku sendi. Namun, dalam kurun waktu seminggu, enam lansia tersebut dipastikan pernah mengkonsumsi pil atau jamu penghilang linu dan kaku sendi. Sebagian besar lansia tersebut juga mempunyai kebiasaan berolah raga jalan kaki untuk mengurangi nyeri sendi, namun nyeri sendi tidak berkurang karena dimungkinkan olah raga jalan kaki belum dilaksanakan dengan benar. Nyeri pada lansia sangat berbeda dengan nyeri yang dijumpai pada dewasa muda, oleh karena itu tujuan utama dalam penanggulangan nyeri pada lansia adalah meredakan nyeri, mengoptimalkan aktifitas harian, dan mendapatkan dosis terendah dari obat yang digunakan (Davis dan Srivastava, 2003 dalam Aznan 2004). Obat-obatan yang digunakan bermanfaat untuk mengurangi rasa nyeri sendi juga sedikit mengurangi peradangan yang terjadi di sendi, misalnya obat-obat dari golongan anti inflamasi non steroid (AINS). Namun, penggunaan obat-obatan tersebut dapat menimbulkan banyak efek samping yang serius, mulai dari perdarahan lambung sampai risiko terkena serangan jantung dan stroke. Nyeri pada lansia selalu berlangsung kronis sehingga menuntut untuk memberikan AINS jangka lama. Di sisi lain, lansia sendiri sudah menjadi faktor risiko untuk terjadinya efek samping AINS seperti imunosupresan (Aznan, dkk, 2004). Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa teknik nonfarmakologi dapat mengurangi nyeri sendi. Pengalaman klinis menunjukkan bahwa program latihan aktif penting untuk mengembangkan dan mempertahankan fungsi normal dan menimbulkan rasa nyaman sendi serta otot-otot (Haq, dkk, 2008). Nyeri sendi
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
74
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
bukan menjadi alasan lansia harus istirahat total karena istirahat harus dikembangkan dengan latihan gerak untuk tetap menjaga kekuatan dan pergerakan sendi (Pramajati, 2009). Seperti halnya pada osteoartritis, osteoartritis dapat diperberat dengan keadaan inaktif, sebagai akibat stres berulang pada sendi yang disanggah oleh otot yang lemah dan tendon yang kaku (Darmojo&Martono, 2006). Penelitian prospektif lain juga menunjukkan bahwa kemungkinan ketergantungan fungsional pada lanjut usia yang inaktif atau sedenter akan meningkat sebanyak 40-60% dibanding lansia yang bugar dan aktif secara fisik (Reuben et al, 1996 dalam Pramajati, 2009) karena golongan lanjut usia tersebut mempunyai kelenturan, kekuatan otot, dan daya tahan yang kurang. Hal tersebut didasarkan oleh sebuah pengamatan yang menyatakan bahwa apabila tulang tertentu mengalami gaya mekanik secara periodik dan teratur maka massa tulang akan meningkat, sebaliknya apabila kemudian tidak mendapatkan gaya mekanik dalam waktu tertentu akan mengalami penurunan massa (Diandaru, 1998). Melakukan latihan fisik saat menderita nyeri sendi tampaknya kontradiktif, namun latihan fisik sebenarnya merupakan penghilang nyeri yang alami untuk sebagian masyarakat yang menderita arthritis atau rematik dengan mekanisme mempertahankan fleksibilitas sendi dan kekuatan otot (Proquets.com, 2008). Beberapa latihan fisik lain seperti berjalan kaki dan latihan gerak sendi ROM telah terbukti dalam mengurangi nyeri sendi pada lansia. Penelitian yang dilakukan oleh Adhitya (2007) kepada lansia dengan nyeri sendi dengan latihan fisik berjalan kaki menunjukkan bahwa 83% dari total responden 12 orang mengalami penurunan dari nyeri berat dan sedang menjadi nyeri sedang dan ringan. Sebanyak 8% responden justru mengalami peningkatan dari nyeri sedang menjadi nyeri berat, sedangkan 8%
lainnya tetap berada pada tingkat nyeri sebelum diberikan latihan fisik berjalan kaki. Penelitian yang dilakukan oleh Maharani (2008) kepada lansia dengan nyeri sendi dengan latihan gerak sendi ROM juga menunjukkan hasil yang cukup positif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari 10 responden yang diberikan latihan gerak sendi ROM secara rutin, 9 responden mengalami penurunan nyeri sendi dari tingkat nyeri sendi ringan, sedang, dan berat berubah menjadi tingkat nyeri ringan dan tidak nyeri. Seorang responden penelitian ini justru tidak mengalami perubahan tingkat nyeri setelah mendapat latihan gerak sendi ROM. Kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa latihan fisik berjalan kaki dan latihan gerak sendi ROM belum maksimal dalam mengurangi nyeri sendi pada lansia. Peneliti mencoba meneliti pengaruh senam rematik terhadap nyeri sendi pada lansia untuk mendapat solusi alternatif dari masalah ini dengan harapan senam rematik dapat memberikan hasil yang lebih maksimal dibanding latihan fisik berjalan kaki dan latihan gerak sendi ROM. Gerakan senam rematik yang mempunyai pengaruh dalam penurunan nyeri sendi yaitu terutama pada latihan inti 1 dan inti 2. Gerakan latihan inti 1 tersebut meliputi gerakan srengthening and balancing yang dapat memberikan kekuatan serta fleksibilitas otot (quadriceps dan hamstring) dan sendi ekstremitas bawah. Gerakan latihan inti 2 tersebut meliputi menggenggam, meregangakan, dan menekuk telapak tangan menggunakan bola kecil untuk melatih sendi jari-jari tangan dan pergelangan tangan serta menggunakan bola besar yang dipakai pada gerakan rotasi tubuh untuk melatih otot-otot dada, punggung, dan perut, dan lengan. Namun, pada gerakan latihan inti 2 ini masih terdapat beberapa gerakan yang ditujukan untuk melatih otot quadriceps dan hamstring. Berbagai gerakan senam rematik tersebut menyebabkan gerak sendi tidak terbatas lagi oleh nyeri atau
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
75
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
kekakuan, mencegah kerusakan tulang rawan sendi, dan memperkuat otot-otot di sekitar sendi. Dari proses inilah, senam rematik yang dapat mengurangi nyeri sendi pada lansia melalui mekanisme peningkatan fungsi muskuloskeletal. Mekanisme kedua dari senam rematik dalam mengurangi nyeri sendi pada lansia adalah peningkatan fungsi imun seluler. Senam rematik yang dilakukan secara teratur, kontinyu, dan benar dengan demikian diharapkan dapat mengurangi gejala penyakit rematik berupa kekakuan sendi dan nyeri pada penderita (Nuhonni, 2008). METODE PENELITIAN Penelitian ”Pengaruh Senam Rematik terhadap Penurunan Nyeri Sendi pada Lansia di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo” menggunakan desain Quasy Experiment. Penelitian ini dimulai dengan menilai tingkat nyeri sendi pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan menggunakan kuisioner dan observasi. Pengukuran tingkat nyeri sendi menggunakan skala nyeri Burbonais. Kelompok perlakuan diberikan perlakuan berupa senam rematik dengan frekuensi 3 kali dalam 1 minggu selama 4 minggu dengan durasi 45 menit setiap latihan. Kelompok perlakuan kembali dinilai dengan kuisioner dan observasi untuk mengetahui perbedaan tingkat nyeri sendi di akhir pertemuan kegiatan senam rematik. Tingkat nyeri sendi sendi pada kelompok kontrol juga kembali dinilai di 1. Jenis kelamin
0%
Perlakuan
akhir penelitian untuk mengetahui perbedaan tingkat nyeri sendi antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan yang diberikan senam rematik. Penelitian ini menggunakan salah satu teknik Non Probability Sampling, yaitu Purposive Sampling. Pengambilan sampel secara purposive didasarkan pada suatu pertimbangan: responden di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo yang memiliki minat untuk mengikuti kegiatan senam rematik, tempat tinggal responden yang relatif dekat dengan tempat nantinya akan diadakan senam rematik selama 1 bulan, serta responden tidak memiliki kegiatan lain dalam waktu yang bersamaan dengan jadwal pelaksanaan kegiatan senam rematik. Sampel penelitian ini adalah para kelompok lansia di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo yang berjumlah 18 orang yang terbagi atas kelompok perlakuan berjumlah 9 orang dan kelompok kontrol berjumlah 9 orang.Penelitian ini menggunakan Wilcoxon Sign Rank Test dan Mann Whitney Test dengan tingkat kemaknaan α ≤0,05. HASIL Data Umum Data umum mengenai karakteristik responden meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, aktivitas olahraga, riwayat diet, lokasi nyeri sendi, riwayat minum obat nyeri sendi, dan lama nyeri sendi.
Kontrol
Laki-laki
11%
Laki-laki 89%
100% Perempu an
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
Perempua n
76
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
Gambar 5.1
Distribusi karakteristik responden menurut jenis kelamin di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni 2010
2. Usia
Perlakuan
11% 11%
55-59 thn 60-64 thn
22%
Kontrol
56% 22%
34%
60-64 thn
22%
22%
65-69 thn
Gambar 5.2
55-59 thn
65-69 thn
Distribusi karakteristik responden menurut usia di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni 2010
3. Pekerjaan
Perlakuan
0%
11%
Kontrol IRT
IRT
100%
Lain-lain 89%
Lainlain
Gambar 5.3
Distribusi karakteristik responden menurut pekerjaan di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni 2010 4. Aktifitas Olahraga
Perlakuan
44%
0%
Kontrol
Jalan kaki
Jalan kaki
56%
100% 0%
Gambar 5.4
Berseped a
Berseped a
Distribusi karakteristik responden menurut aktifitas olahraga di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni 2010
5. Riwayat Diet
45%
Perlakuan
Kontrol 11%
22% Santan dan kacang
67%
33%
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
22% Santan dan kacang Kacang
77
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
Gambar 5.5
Distribusi karakteristik responden menurut riwayat diet di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni 2010 6. Lokasi nyeri sendi
Perlakuan 0%
11%
0%
Lutut Pergelangan dan jari tangan
89%
Panggul dan jari tangan Lutut dan jari tangan
Kontrol Lutut
11% 11%
67% 11%
Pergelangan dan jari tangan Panggul dan jari tangan Lutut dan jari tangan
Gambar 5.6
Distribusi karakteristik responden menurut lokasi nyeri sendi di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni 2010 7. Riwayat minum obat nyeri sendi
Perlakuan
0%
Kontrol Ada
22% Ada
100% Tidak ada
Gambar 5.7
Tidak ada 78%
Distribusi karakteristik responden menurut riwayat minum obat nyeri sendi di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni 2010
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
78
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
8. Lama menderita nyeri sendi
Perlakuan 22%
Kontrol
11% 34% 33%
0% 11% 33%
1-2 thn 2-3 thn
0%
Gambar 5.8
<1 thn
11%
45%
<1 thn 1-2 thn 2-3 thn
3-4 thn
3-4 thn
>4 thn
>4 thn
Distribusi karakteristik responden menurut lama menderita nyeri sendi di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni 2010
Data Khusus a. Hasil pengamatan nyeri sendi kelompok perlakuan di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo 5 4
nyeri ringan
3
nyeri sedang
2
nyeri berat
1
nyeri sangat berat
0 pre perlakuan
Gambar 5.9
post perlakuan
Distribusi kategori nyeri sendi kelompok perlakuan di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni-Juli 2010
Tabel 5.1
Hasil pengamatan intensitas nyeri sendi kelompok perlakuan di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni-Juli 2010
Kode Responden 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kelompok Perlakuan Pre Test Post Test Skor Kategori Skor Kategori 10 Sangat berat 10 Sangat berat 5 Sedang 5 Sedang 5 Sedang 4 Sedang 2 Ringan 1 Ringan 6 Sedang 4 Sedang 2 Ringan 1 Ringan 3 Ringan 2 Ringan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
∆ -1 -1 -2 -1 -1 79
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
8. 5 Sedang 9. 4 Sedang Mean 4,67 SD 2,449 Wilcoxon Sign Rank Test α=0,05 Keterangan: 1. 0 = Tidak nyeri 2. 1-3 = Nyeri ringan 3. 4-6 = Nyeri sedang 4. 7-9 = Nyeri berat 5. 10 = Nyeri sangat berat
4 2 3,67 2,783
Sedang Ringan
-1 -2 -1
p= 0,014
b. Hasil pengamatan intensitas nyeri sendi kelompok kontrol di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni-Juli 2010
4 Nyeri ringan
3
Nyeri sedang
2
Nyeri berat
1
Nyeri sangat berat
0 Pre Perlakuan
Gambar 5.10
Tabel 5.2
Kode Responden 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Post Perlakuan
Distribusi kategori nyeri sendi kelompok kontrol di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni-Juli 2010
Hasil pengamatan intensitas nyeri sendi kelompok kontrol di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni-Juli 2010
Pre Test Skor Kategori 3 Ringan 4 Sedang 5 Sedang 3 Ringan 8 Berat 6 Sedang 2 Ringan 3 Ringan
Kelompok Post Test Skor Kategori 7 Berat 2 Ringan 6 Sedang 2 Ringan 6 Sedang 6 Sedang 2 Ringan 3 Ringan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
∆ +4 -2 +1 -1 -2 80
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
18. 5 Sedang Mean 4,33 SD 1,870 Wilcoxon Sign Rank Test α=0,05 Keterangan: 1. 0 = Tidak nyeri 2. 1-3 = Nyeri ringan 3. 4-6 = Nyeri sedang 4. 7-9 = Nyeri berat 5. 10 = Nyeri sangat berat
5 4,33 2,061
Sedang
0
p= 0,785
c. Hasil pengamatan intensitas nyeri sendi sesudah perlakuan senam rematik kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni-Juli 2010 Tabel 5.3
Hasil pengamatan intensitas nyeri sendi sesudah senam rematik kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di Desa Sudimoro Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo pada bulan Juni-Juli 2010
Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol No. Post Test No. Post Test Responden Responden Skor Skor Kategori Kategori 1. 10 Sangat berat 10. 7 Berat 2. 5 Sedang 11. 2 Ringan 3. 4 Sedang 12. 6 Sedang 4. 1 Ringan 13. 2 Ringan 5. 4 Sedang 14. 6 Sedang 6. 1 Ringan 15. 6 Sedang 7. 2 Ringan 16. 2 Ringan 8. 4 Sedang 17. 3 Ringan 9. 2 Ringan 18. 5 Sedang Mean 3,67 Mean 4,33 SD 2,783 SD 2,061 Mann Whitney Test p = 0,297 α=0,05 Keterangan: 1. 0 2. 1-3 3. 4-6 4. 7-9 5. 10
= Tidak nyeri = Nyeri ringan = Nyeri sedang = Nyeri berat = Nyeri sangat berat
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
81
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 5.1 sebagian besar responden mempunyai nyeri sendi kategori nyeri sedang baik pada kelompok perlakuan (5 responden) maupun kelompok kontrol (4 responden) sebelum diberikan perlakuan senam rematik. Setelah diberikan perlakuan selama 4 minggu, hanya satu orang responden pada kelompok perlakuan yang mengalami perubahan kategori nyeri yaitu dari nyeri sedang turun menjadi nyeri ringan. Meskipun tidak terjadi penurunan nyeri secara kategori, namun sebagian besar responden (7 responden) kelompok perlakuan mengalami penurunan skor intensitas nyeri dari satu hingga dua tingkat. Ratarata skor intensitas nyeri pada kelompok perlakuan sesudah diberikan senam rematik mengalami penurunan sebesar 1 tingkat. Perbedaan hasil pada kelompok responden setelah diberikan perlakuan senam rematik selama 4 minggu ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti makanan yang dikonsumsi, pekerjaan sehari-hari, serta tepat tidaknya gerakan lansia saat melakukan senam rematik. Dari data demografi kelompok perlakuan dapat diketahui, 22% responden (2 responden) memiliki riwayat mengkonsumsi santan dan 33% responden (3 responden) memiliki riwayat mengkonsumsi kacang-kacangan dan santan. Konsumsi kacang-kacangan dan santan dapat memperparah nyeri sendi yang dirasakan responden. Hal ini disebabkan karena kacang merupakan bahan makanan yang mengandung kadar purin tinggi dimana purin sendiri adalah bahan dasar dari asam urat. Sedangkan, santan merupakan bahan makanan yang mengandung lemak tinggi dimana lemak bisa menghambat eksresi asam urat melalui urine (era baru, 2010). Penumpukan asam urat dalam sendi akan menyebabkan radang sendi dan menimbulkan nyeri (Health news, 2007).
Pekerjaan sehari-hari responden juga dapat mempengaruhi beratnya nyeri sendi. Sebagian besar responden memang merupakan ibu rumah tangga, kelompok perlakuan sebesar 100% (seluruh responden) dan kelompok kontrol sebesar 89%. Namun, 2 responden dari kelompok perlakuan dan 1 orang responden dari kelompok kontrol mempunyai pekerjaan seperti membuat kasur di rumah. Pekerjaan membuat kasur ini melibatkan otot-otot dan persendian tangan saja dengan gerakan yang monoton dan dilakukan sudah bertahun-tahun. Dua responden tersebut mengeluhkan nyeri sendinya terjadi karena pekerjaan membuat kasur tersebut. Gerakan yang monoton dan melibatkan otot-otot dan sendi tertentu saja dapat menimbulkan kelelahan yang pada akhirnya menimbulkan nyeri atau memperberat nyeri sendi yang sudah ada. Responden juga mengaku nyeri sendi berkurang ketika pekerjaan tersebut dikurangi. Posisi tubuh ketika membuat kasur juga tidak ergonomis, hanya duduk dengan posisi bersimpuh. Membuat satu kasur membutuhkan waktu kurang lebih 45 menit. Dengan demikian, tulang belakang menahan beban selama berjam-jam karena responden dalam sehari biasanya mampu membuat kasur 3 sampai 5 buah. Kondisi ini mempengaruhi kesehatan tulang belakang responden, dimana tulang belakang merupakan pusat syaraf tubuh manusia. Sebagian besar responden pada kelompok perlakuan adalah perempuan (100%) dan (89%) pada kelompok kontrol. Pada lansia wanita nyeri sendi diperberat oleh jenis kelamin. Jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat nyeri sendi seseorang, hal ini sesuai dengan teori bahwa penurunan hormon estrogen dapat mempengaruhi beratnya nyeri sendi. Estrogen merupakan salah satu hormon yang berfungsi menjaga keseimbangan antara proses pembentukan tulang oleh sel osteoclast
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
82
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
dan proses penyerapan kalsium dari tulang oleh sel osteoclast. Produksi hormon estrogen menurun akan menyebabkan aktifitas sel osteoclast dalam menyerap kalsium dari tulang meningkat, sedangkan fungsi sel osteoclast sebagai alat pembentuk tulang menurun sehingga tulang akan mengalami kekerasan kalsium dan makin lama makin keropos. Dampak tersebut juga terjadi pada tulang rawan, dimana tulang rawan juga ikut menjadi keropos dan bila bergesekan akan timbul nyeri (Hartono M, 2000). Tabel 5.2 menunjukkan bahwa terdapat 3 responden pada kelompok kontrol yang mengalami perubahan kategori nyeri setelah dilakukan post test. Dua responden mengalami penurunan nyeri dari sedang ke ringan dan dari berat ke sedang sedangkan 1 responden lainnya justru mengalami peningkatan kategori nyeri dari ringan ke berat. Namun, apabila diukur secara skor, terdapat 5 responden kontrol yang mengalami perubahan skor intensitas nyeri sendi. Dua responden mengalami peningkatan skor intensitas nyeri sendi berturut-turut sebanyak 1 dan 4 tingkat. Tiga responden lainnya mengalami penurunan skor intensitas nyeri sendi sebanyak 1 hingga 2 tingkat. Penurunan nyeri sendi pada kelompok kontrol kemungkinan disebabkan karena konsumsi obat-obatan dan jamu untuk mengurangi nyeri sendi tanpa sepengetahuan peneliti seperti jamu pegal linu, pil asam urat, pil flu tulang, pil lynucid, dan obat-obatan lainnya. Sedangkan, peningkatan skor intensitas nyeri pada kelompok yang telah dijabarkan di atas dapat dipengaruhi oleh aktivitas berlebihan yang dapat memperberat nyeri sendi. Dua responden kelompok kontrol mengaku nyeri bertambah parah setelah beraktivitas berat. Kegiatan yang berlebihan menyebabkan kontraksi otot yang berat dan kontak antar tulang yang sering sehingga menyebabkan krepitasi ketika
sendi digerakkan dengan kartilago yang mulai rusak (Soejono, 2000). Tabel 5.3 menunjukkan perbandingan hasil post test antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol, dimana hampir tidak ada perubahan secara kategori nyeri pada kelompok perlakuan. Hanya ada seorang responden yang memiliki nyeri sedang saat pre test dan menjadi nyeri ringan saat post test. Meskipun sebagian besar terjadi penurunan skor intensitas nyeri. Perubahan golongan nyeri justru lebih banyak tejadi pada kelompok kontrol. Dua orang responden pada kelompok kontrol yang mengalami penurunan golongan nyeri saat post test yaitu dari berat ke sedang dan dari sedang ke ringan. Sedangkan, seorang responden lainnya justru mengalami peningkatan golongan nyeri sendi yaitu dari nyeri ringan menjadi nyeri berat. Untuk menguji ada tidaknya perbedaan antara kelompok perlakuan yang diberikan senam rematik dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan senam rematik dilakukan uji analisa statistik Mann Whitney Test dengan signifikansi α≤ 0,05 didapatkan nilai p= 0,297. Sehingga, dapat disimpulkan tidak ada perbedaan antara kelompok perlakuan yang diberikan senam rematik dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan senam rematik. Hasil yang tidak signifikan pada uji Mann Whitney Test dapat disebabkan penurunan nyeri sendi sebesar 1 tingkat tidak terbaca karena sebesar 1 tingkat tidak mengubah kategori nyeri sendi setelah dibandingkan dengan hasil post test kelompok kontrol. Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.1 dan 5.2, mean pada saat pre test kelompok perlakuan= 4, 67 menjadi 3, 67 saat post test. Sedangkan, mean pada saat pre test kelompok kontrol= 4,33 dan tetap 4,33 saat post test. Terdapat penurunan yang jelas sebesar 1 tingkat pada kelompok perlakuan, namun angka mean post test 3,67 pada kelompok perlakuan cukup mendekati angka mean 4,33 kelompok
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
83
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
kontrol yang berarti sama-sama menunjukkan ketegori nyeri sedang. Senam rematik terdiri atas beberapa tahapan, dimulai dari pemanasan, inti 1, inti 2, dan diakhiri dengan pendinginan. Gerakan senam rematik yang mempunyai pengaruh dalam penurunan keluhan terhadap nyeri sendi yaitu terutama pada latihan inti 1 dan inti 2. Gerakan latihan inti 1 tersebut meliputi gerakan strengthening and baancing yang dapat memberikan kekuatan serta fleksibilitas otot (quadriceps dan hamstring) dan sendi ekstremitas bawah. Gerakan latihan inti 2 tersebut meliputi menggenggam, meregangkan, dan menekuk telapak tangan menggunakan bola kecil untuk melatih sendi jari-jari tangan dan pergelangan tangan serta menggunakan bola besar yang dipakai pada gerakan rotasi tubuh untuk melatih otot-otot dada, punggung, dan perut, dan lengan. Mekanisme penurunan nyeri sendi akibat latihan fisik senam rematik ditunjukkan melalui 2 mekanisme yaitu perbaikan sistem muskuloskeletal dan fungsi imun seluler. Lansia mengalami penurunan pada sistem muskuloskeletal, salah satunya yaitu penurunan fungsi sendi. Terjadi degenerasi, erosi, dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Hal ini menyebabkan sendi kehilangan fleksibilitasnya sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi. Kalsifikasi kartilago menyebabkan fungsinya sebagai peredam kejut tidak lagi efektif sehingga persendian menjadi rentan terhadap gesekan dan mengakibatkan rasa nyeri pada sendi. Dengan senam rematik, kepadatan tulang akan dipertahankan karana kepadatan tulang lansia tidak dapat bertambah lagi serta kekuatan otot skeletal akan meningkat sehingga terjadi peningkatan fleksibilitas sendi. Meningkatnya fleksibilitas sendi menyebabkan rangsangan mekanik pada nosiseptor sendi sehingga rangsangan ke serabut saraf delta A dan C tidak adekuat
sedangkan rangsangan ke serabut saraf beta A adekuat. Transmisi impuls saraf dari serat-serat aferen ke sel-sel transmisi (T) medula spinalis di kornu dorsalis dimodifikasi oleh suatu mekanisme gerbang di sel-sel substansia gelatinosa (Price&Wilson, 2006). Rangsangan ke serabut saraf beta A yang adekuat merangsang neuron-neuron substansia gelatinosa inhibitorik sehingga input ke sel T (sel transmisi) berkurang dan menyebabkan hambatan impuls nyeri ke otak. Blok impuls nyeri ke otak mengakibatkan penurunan persepsi nyeri. Fungsi imun manusia mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya usia. Penuaan juga menyebabkan penurunan fungsi imun seluler pada lansia, dimana terjadi peningkatan aktifitas inflamasi (Helle&Bente, 2000). Mekanisme yang mendasari sebenarnya belum banyak dimengerti, namun dimungkinkan terjadinya peningkatan aktifitas inflamasi tersebut disebabkan karena involusi timus, disregulasi sitokin, disregulasi apoptosis, dan kerusakan DNA akibat radikal bebas. Disregulasi sitokin proinflamatori menyebabkan autoreaksi sel imun TNF α, IL 6, NK Sel, dan CRP salah satunya pada yaitu sistem muskuloskeletal sehingga mengakibatkan peningkatan reaksi inflamasi di persendian. Pada penyakit seperti arthritis, nyeri sendi terjadi karena stimulus nosiseptor akibat pembebasan berbagai mediator biokimiawi selama proses inflamasi terjadi (Handono, dkk, 2006). Latihan fisik yang melibatkan kontraksi otot menurut Helle Bruunsgaard, 2005 dapat mengurangi aktifitas inflamasi. Penurunan aktifitas inflamasi ini disebabkan karena adanya regulasi sitokin proinflamatori. Penurunan skor intensitas nyeri yang relatif sedikit pada kelompok perlakuan ternyata juga diimbangi oleh penurunan skor intensitas nyeri pada kelompok kontrol. Penurunan nyeri sendi pada kelompok kontrol seperti yang telah
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
84
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
dijelaskan sebelumnya dapat disebabkan karena adanya kemungkinan responden kelompok kontrol mengkonsumsi jamu atau obat-obatan untuk mengurangi nyeri sendi tanpa sepengetahuan peneliti karena menjadi keterbatasan peneliti jika harus mengkontrol perilaku responden di rumah. Di sisi lain, peneliti juga tidak dapat mengkontrol pola konsumsi responden kelompok perlakuan yang masih mengkonsumsi makanan jenis kacang-kacangan dan makanan yang mengandung santan dimana keduanya dapat memperberat nyeri sendi yang sudah ada. Selain itu, beberapa responden kelompok perlakuan memiliki aktivitas berat seperti membuat kasur yang diakui responden dapat memperparah nyeri sendi yang dirasakan. Kualitas dan kuantitas gerakan senam rematik responden pada kelompok perlakuan juga mempengaruhi hasil senam rematik ini terhadap penurunan nyeri sendi. Kegiatan senam rematik berlangsung selama 12x pertemuan. Terdapat 5 responden yang pernah sekali tidak dapat mengikuti senam karena berhalangan. Keempat responden tersebut pada saat post test tidak mengalami perubahan nyeri sendi, namun 1 responden justru mengalami penurunan intensitas nyeri 2 tingkat (dari nyeri sedang menjadi nyeri ringan). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada saat pelaksanaan senam sendiri terdapat beberapa responden yang belum dapat melakukan gerakan senam rematik dengan benar atau belum sesuai yang dicontohkan oleh peneliti dengan berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: keterbatasan gerak yang diakibatkan oleh mulai berkurangnya koordinasi motorik responden, nyeri sendi yang dirasakan responden (terutama responden yang mempunyai nyeri sendi berat atau sangat berat) serta dapat disebabkan oleh jarik yang dipakai responden yang dapat mengurangi fleksibilitas dalam bergerak. Selain itu, masih terdapat beberapa responden yang
bercanda saat pelaksanaan senam yang menyebabkan mereka kehilangan konsentrasi dalam mengikuti senam dan menurunkan kualitas gerakan senam yang mereka lakukan. Berbagai faktor yang menyebabkan senam rematik tidak signifikan berpengaruh pada penurunan nyeri sendi pada lansia dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: responden pada kelompok perlakuan melakukan aktivitas yang tergolong berat dan mempunyai kemungkinan masih mengkonsumsi kacang-kacangan atau bahan makanan yang mengandung santan selama penelitian berlangsung yang dapat memperberat nyeri sendi. Responden kelompok kontrol melakukan aktivitas berat selama penelitian berlangsung yang menyebabkan adanya peningkatan intensitas/kategori nyeri sendi dan mempunyai kemungkinan mengkonsumsi jamu atau obat-obatan pereda nyeri sendi selama penelitian berlangsung tanpa sepengetahuan peneliti, kuantitas dan kualitas kelompok perlakuan selama mengikuti kegiatan senam rematik yang masih belum maksimal sehingga senam rematik tidak memberikan pengaruh yang berarti pada penurunan nyeri sendi. Peneliti juga mengukur tekanan darah dan frekuensi nadi responden dihubungkan dengan golongan nyeri masing-masing responden. Reaksi terhadap nyeri merupakan respon fisiologis yang terjadi setelah mempersepsikan nyeri, tekanan darah dan nadi merupakan respon fisiologis yang dapat mempersepsikan nyeri. Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang berupaya untuk tidak mengeluh atau mengakui ketidaknyamanan. Tidak ada suatu tingkatan atau ekstensi perubahan yang diperkirakan dalam kondisi klien yang mengindikasikan nyeri, individu yang mengalami nyeri tidak akan selalu memperlihatkan tanda-tanda fisik, hal ini disebabkan setiap individu mempunyai
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
85
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
tingkat adaptasi yang berbeda (Potter dan Perry, 2005). Tekanan darah dan frekuensi nadi merupakan manifestasi klinis dari nyeri seseorang, nyeri sendi dengan tingkat berat atau sangat berat dapat ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi. Data pemeriksaan tekanan darah responden yang dilampirkan menggambarkan perbandingan tekanan darah antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sesudah senam rematik. Peneliti menyimpulkan bahwa semakin berat nyeri tidak selalu semakin tinggi pula tekanan darah yang dimiliki responden baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Untuk perbandingan golongan nyeri dengan frekuensi nadi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol telah digambarkan pada data pemeriksaan nadi responden yang dilampirkan menunjukkan bahwa terdapat variasi nadi dalam golongan nyeri yang sama baik pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol sesudah pemberian senam rematik. Pada kelompok perlakuan sendiri responden yang memiliki golongan nyeri yang berbeda mempunyai frekuensi nadi yang sama dan pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa rata-rata responden yang memiliki nyeri sedang mempunyai frekuensi nadi yang lebih rendah dibandingkan responden pada golongan nyeri ringan. Dari data perbandingan tekanan darah dan frekuensi nadi kedua kelompok dapat disimpulkan bahwa peningkatan golongan nyeri responden tidak selalu diikuti dengan peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tekanan darah dan denyut nadi responden antara lain kondisi psikologis responden pada saat itu, aktivitas yang dilakukan, penyakit lain yang menyertai, pola makan sehari-hari serta kesalahan peneliti pada saat pengukuran. Mekanisme regulasi di dalam tubuh sangat kompleks dan terdiri
atas pengaruh saraf pusat, hormon, dan sirkulasi bahan kimia dan aktivitas independen dinding arteri. (Brunner dan Suddarth, 2001). Perubahan tekanan darah dan frekuensi nadi yang dipengaruhi oleh kondisi psikologis lansia melibatkan saraf simpatis yang mempersarafi semua pembuluh darah kecuali kapiler dan sfingter prekapiler yang diaktivasi sebagai respon terhadap berbagai stesor fisiologis dan psikologis, stimulasi saraf simpatis mengakibatkan vasokontriksi sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi (Brunner suddarth, 2001). Penyakit lain yang menyertai lansia juga sangat mempengaruhi perubahan tekanan darah dan frekuensi nadi, misalnya lansia yang menderita hipertensi yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi. Proses penuaan juga menghasilkan perubahan dinding pembuluh darah yang mempengaruhi transportasi oksigen dan nutrisi ke jaringan, sehingga menyebabkan kekakuan pembuluh darah dan mengakibatkan tekanan perifer. Kondisi psikologis responden saat pengukuran tekanan darah maupun teknik peneliti dalam mengukur tekanan darah juga sangat berpengaruh terhadap hasil keakuratan dari tekanan darah dan frekuensi nadi karena teknik pengukuran yang benar harus memperhatikan tahap tahap seperti ukuran manset, posisi pasien, posisi lengan harus setinggi jantung, palpasi tekanan sistolik sebelum auskultasi dan ketenangan pasien saat pengukuran tekanan darah dan frekuensi nadi. Banyak peneliti yang menemukan bahwa tekanan darah dan frekuensi nadi akan meningkat secara bermakana saat pasien berbicara. Aktivitas lansia yang berlebihan juga sangat mempengaruhi tekanan darah dan frekuensi nadi, hal ini sesuai dengan teori bahwa perubahan dalam sistem sirkulasi akibat aktivitas fisik merupakan bagian dari homeostatis tubuh, aliran darah otot rangka pada keadaan istirahat adalah rendah. Sewaktu
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
86
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
otot berkontraksi, maka terjadi kompresi pembuluh-pembuluh di dalamya. Apabila kontraksi mencapai lebih dari 10% tegangan maksimum. Pada otot yang aktif suhu meningkat dan hal ini menambah dilatasi pembuluh darah (Ganong, 1998). Berdasarkan penjelasan teori sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tingkat nyeri sendi pada lansia tidak selalu dapat dilihat dari peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi yang diukur karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi tekanan darah dan frekuensi nadi pada lansia. KESIMPULAN Kesimpulan pada penelitian ini adalah 1. Intensitas nyeri sendi lansia pada kelompok perlakuan mengalami penurunan setelah senam rematik. 2. Tidak ada perbedaan penurunan nyeri sendi antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol setelah kegiatan senam rematik 3. Tidak ada pengaruh senam rematik terhadap penurunan nyeri sendi pada lansia DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S, (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi VI. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm: 235-238. Aznan, dkk, 2004. Manfaat AINS terhadap Nyeri Gangguan Muskuloskeletal pada Usia Lanjut. http://library.usu.ac.id/download/f k/farmakologi. Tanggal akses 25 Desember 2009 pukul 14.32 WIB. Hlm: 10. Bruunsgaard, H, (2005). Physical activity and modulation of systemic lowlevel inflammation. http://www.jstor.org/pss. Tanggal akses 2 Mei 2010. Jam 10.18 WIB.
Corwin, E.J, (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Hlm: 223, 224-226. Daud, (2007). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hlm: 1082. Darmojo&Martono, (2006). Buku Ajar Geriatri Ilmu kesehatan Usia Lanjut Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hlm: 10, 12. 15, 21, 56 Diandaru, D, (1998). Pengaruh Latihan terhadap Massa Tulang Penderita Fraktur Tipe Colles yang Dilakukan Immobilisasi dengan Gips Sirkuler Bawah Siku. Perpustakaan Dr. Soetomo Surabaya. Seksi Orthopaedi Lab/UPF Ilmu Bedah FK. Hlm: 89. Edmund&Paul, (1998). Practice of Geriatrics Third Edition. Pennsylvania: W.B. Saunders Company. Hlm: 131, 135. Engram, B, (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Jakarta: EGC. Hlm: 695. Erfandi, (2009). Tentang Nyeri. http://www. prohealth.com. Tanggal akses 4 Mei 2010. Jam 20.09 WIB. Hlm: 2. Farhat, (2004). Pengaruh Latihan Fisik Renang terhadap Tebal Tulang Rawan pada Sendi pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus). Perpustakaan Dr. Soetomo Surabaya. Bagian/SMF Orthopaedi dan Traumatologi. Hlm: 16-17. Ganong, W.F, (1995). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Hlm: 565, 567. Hanafiah, H, 2008. Kelainan Muskuloskeletal pada Lanjut Usia. http://library.usu.ac.id/download/f k/kelainan muskuloskeletal pada lanjut usia.pdf. Tanggal akses 25 Desember 2009 pukul 14.20 WIB. Desember 2009 pukul 14.35 WIB. Hlm: 1.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
87
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
Haq, dkk, 2004. Program Pelatihan Fisik untuk Penanggulangan Kelainan Sendi Rahang dan Sindroma Nyeri Miofasial. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/09/program _pelatihan_fisik.pdf. Tanggal akses 25 Desember 2009 pukul 14.35 WIB. Hlm: 17. Hasan, I, (2002). Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm: 21, 22, 23, 24. Helle & Bente, (2000). Effects of Exercise on The Imune System in The Elderly Population. http://www.npg.com. Tanggal akses 12 April 2010. Jam 16.28. Hlm: 1. Hidayat, A.A, (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Salemba Medika: Jakarta. Hlm: 107-108. Irianto, (2004), Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis. Bandung: Yrama Widya.Hal 31-32. Isbagio, H, 2006. Osteoarthritis dan Osteoporosis sebagai Masalah Muskoskeletal Utama Warga Usia Lanjut di Abad 21. Tanggal akses 25 Desember 2009 pukul 13.40 WIB. Isnaini, dkk, 2004. Perbedaan Pengaruh Senam Otak dan Senam Lansia terhadap Keseimbangan pada Orang Lanjut Usia. infokes/download/2004/infokes/p erbedaan pengaruh senam otak terhadap keseimbangan pada orang lanjut usia/pdf. Tanggal akses 25 Desember 2009 pukul 14.40 WIB. Kushariyadi, (2010). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Hlm: 18-21. Maharani, (2008), Pengaruh Latihan Fisik Gerak Sendi (ROM) terhadap Penurunan Nyeri Sendi pada Lansia (Middle Age). Skripsi untuk mendapat gelar Sarjana
Keperawatan UNAIR. Hlm: 1, 2, 45, 46, 75. Melzack, (1975). The McGill Pain Questionnaire. https://www.cebp.nl/vault_public . Tanggal aksses 6 Mei 2010. Jam 14.12 WIB. Hlm:1. Mutiara, (2003). Karakteristik Penduduk Lanjut Usia di Propinsi Sumatera Utara Tahun 1990. http://library.usu.ac.id/download/ fkm/fkm-erna. Tanggal akses 1 Mei 2010. Jam 15.12 WIB. Hlm: 2. Nugroho, W, (2000). Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC. Hlm: 65.66. Potter&Perry, (2006). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC. Hlm: 1502, 1503, 1504, 1508, 1511. Price&Wilson, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Volume 2. Jakarta: EGC. Hlm: 1072- 1076. Notoatmojo, S, (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm: 8487. Nursalam, (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. Hlm: 92. Setiyohadi, dkk, (2007). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hlm: 1168. Smeltzer&Bare, (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner& Suddarth Volume 1. Jakarta: EGC. Hlm: 890- 893. Surya, (2007). Penelitian pengaruh Masase Punggung untuk Mengurangi Nyeri Kala I Persalinan Fisiologis. http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/ 182/jiptummpp-gdl-s1-2007suryainsaf-9064. Tanggal akses 3 Mei 2010. Jam 14.21 WIB. Hlm: 1.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
88
The Efffect of Rheumatic Exercise on Decreasing……………………………..Lailil Fatkhuriyah, Hal. 72 - 89
Takasihaeng, J, (2000). Hidup Sehat di Usia Lanjut. Jakarta: Kompas. 186, 187, 190, 191. Tim Penulis FKUI, (1999). Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi ke 2. Jakarta: Balai penerbit FKUI. Hlm: 132. Wahyu, A, (2007). Olahraga Berjalan Kaki dapat Menurunkan Keluhan Nyeri Sendi pada Manula (Middle Age) Kelurahan Ngipik Gresik. Skripsi untuk mendapat gelar Sarjana Keperawatan UNAIR. Hlm: 27-29 ------, (2010). Arthritis; Physical Activity is Natural Pain Killer for Arthritis. http://proquest.umi.com. Tanggal 12 April 2010. Jam 16.23 WIB. Hlm: 1.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
89
Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Perkembangan……………………….Khofi Hadidi, Hal. 90 - 98
PENGARUH TERAPI MUSIK TERHADAP TINGKAT PERKEMBANGAN ANAK USIA PRA SEKOLAH DI TK ABA KALISAT KABUPATEN JEMBER Khofi Hadidi*, Emi Wuri**, Latifa Aini*** *STIKES dr. Soebandi Jember, **, *** Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember Abstract Child development of the child can be influenced by some factor, there are genetic, parentingstyle, environtment, psychosocial and stimulation. One of the stimulation is music therapy with listening happy music and spirit to invite some child for sing together. Happy music and spirit will be produce positif emotion for child that can make system of respiratory, endocrine, immune, cardiovasculer, metabolic, motoric, pain, temperature system can give positif respont. This research use pre experimental method with one group pretest posttest design. The population of this research are all of student in TK ABA with 161 students. Sample of this research are preschool age that fullfil inclusion criteria, consist of 3 until 5 years old child as much as 12% of total population there are 20 students with used is sampling purposive. Result of statistical test wilcoxon got by value of p= 0,001 with α=0,01 meaning Ho rejected. Conclusion of statistical test that there is effect of music therapy to development of child with prescholl age in TK ABA Kalisat Kabupaten Jember. Keywords : child development, music therapy, preschool PENDAHULUAN Anak adalah individu yang unik dan bukanlah miniature orang dewasa. Anak memerlukan perhatian khusus untuk optimalisasi tumbuh kembang. Perkembangan anak dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor genetik, keluarga, lingkungan dan psikososial yang salah satunya berupa stimulasi Anak yang mendapat banyak stimulasi akan lebih cepat berkembang daripada anak yang kurang mendapatkan stimulasi (Yudhana, 2009). Stimulasi perkembangan telah mendapatkan perhatian khusus pemerintah, Dinas Kesehatan Kota Semarang menerapkan program Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK), yang merupakan program pembinaan tumbuh kembang anak secara komprehensif dan berkualitas melalui stimulasi, deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang pada masa 5 tahun pertama kehidupan. Namun program ini belum
terealisasi dengan baik. Selain program SDIDTK tersebut, stimulasi perkembangan dapat diberikan melaului alat permainan edukatif. Terdapat perbedaan dalam perkembangan keterampilan motorik pada kelompok taman penitipan anak yang di intervensi dengan alat permainan edukatif sebagai stimulasi perkembangan. Selain alat permainan edukatif, musik dapat juga digunakan sebagai salah satu terapi untuk menstimulasi perkembangan anak yaitu perkembangan otak anak, meningkatkan koordinasi fisik, menambah keterampilan bahasa, membantu meningkatkan kemampuan matematika dan sosial, melatih daya ingat, dan kreatifitas anak, khususnya usia prasekolah. Anak yang diberikan terapi musik oleh orang tuanya 92% akan mengalami peningkatan dalam hal konsentrasi, keterampilan serta menambah kepercayaan diri (Holmes, 2008).
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
90
Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Perkembangan……………………….Khofi Hadidi, Hal. 90 - 98
Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti menemukan bahwa telah terdapat alat permainan edukatif sebagai stimulasi perkembangan anak namun belum dilaksanakan secara optimal. Selain itu di TK ABA Kalisat belum menerapkan terapi musik sebagai stimulasi perkembangan. Terapi musik dilakukan dengan memperdengarkan anak musik bertema ceria dan semangat serta mengajak anak untuk ikut bernyanyi. Musik bertema ceria dan semangat akan menghasilkan emosi positif bagi anak yang dapat menyebabkan sistem pernafasan, endokrin, imun, kardiovaskuler, metabolik, motorik, nyeri, sistem temperatur, akan bereaksi positif (Musbikin,2009). Bernyanyi secara tidak langsung, akan mengasah kemampuan anak menyerap, mengingat, dan mengucapkan kata-kata pada lirik lagu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi musik terhadap tingkat perkembangan anak usia prasekolah di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian pre eksperimental dengan rancangan one group pretest posttest. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa TK ABA yaitu sebanyak 161 siswa. Sampel yang digunakan adalah anak usia prasekolah yang memenuhi kriteria inklusi. Terdiri dari anak yang berumur 3 hingga 5 tahun. Jumlah sampel yang digunakan adalah 12% dari total populasi yaitu sebanyak 20 siswa. Tekhnik Sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability sampling. Penelitian ini merupakan penelitian wilcoxon match pairs test dengan taraf kesalahan (p) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1%.
METODE PENELITIAN HASIL Data umum Data umum mengenai karakteristik responden yang terdiri dari umur anak, jenis kelamin anak, urutan anak dalam keluarga, jumlah saudara, umur ibu, pendidikan ibu serta pekerjaan ibu dapat dilihat pada tabel Tabel 5.1 Karakteristik Umum Responden Usia Prasekolah Di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember Tahun 2011 Data umum Umur 1. 4 tahun 2. 5 tahun Total b. Jenis kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan Total c. Urutan kelahiran anak 1. 1 2. 2 3. 3 Total d. Jumlah saudara kandung 1. 0 2. 1 3. 2
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
9 11 20
45 55 100
8 12 20
40 60 100
13 6 1 20
65 30 5 100
10 8 2
50 40 10
a.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
91
Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Perkembangan……………………….Khofi Hadidi, Hal. 90 - 98 e.
f.
g.
Total Umur ibu 1. Dewasa awal (19-40) 2. Dewasa madya (41-60) Total Pendidikan ibu 1. SD 2. SMP 3. SMA 4. Diploma 5. Sarjana Total Pekerjaan ibu 1. Wiraswata 2. Guru 3. Ibu rumah tangga 4. Perawat 5. Petani Total
20
100
17 3
85 15
20
100
2 2 8 2 6 20
10 10 40 10 30 100
7 5 6 1 1 20
35 25 30 5 5 100
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Aspek Perkembangan Anak Usia 4 Tahun Sebelum Terapi Musik Di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember Tahun 2011 Aspek Perkembangan 1. Personal Sosial a. Terlambat b. Peringatan c. Normal Total 2. Motorik Halus a. Terlambat b. Peringatan c. Normal Total 3. Motorik Kasar a. Terlambat b. Peringatan c. Normal Total 4. Bahasa a. Terlambat b. Peringatan c. Normal Total
Frekuensi (orang)
Persentase (%)
0 9 0 9
0 100 0 100
0 4 5 9
0 44,4 55,6 100
0 6 3 9
0 66,7 33,3 100
0 1 8 9
0 11,1 88,9 100
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Aspek Perkembangan Anak Usia 5 Tahun Sebelum Terapi Musik Di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember Tahun 2011 Aspek Perkembangan Frekuensi Persentase (orang) (%) 1. Personal Sosial a. Terlambat 0 0 b. Peringatan 11 100 JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
92
Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Perkembangan……………………….Khofi Hadidi, Hal. 90 - 98
c. Normal Total 2. Motorik Halus a. Terlambat b. Peringatan c. Normal Total 3. Motorik Kasar a. Terlambat b. Peringatan c. Normal Total 4. Bahasa a. Terlambat b. Peringatan c. Normal Total
0 11
0 100
0 2 9 11
0 18,2 81,8 100
0 1 10 11
0 9,1 90,9 100
0 11 0 11
0 100 0 100
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Perkembangan Anak Usia 4 Tahun Sebelum Terapi Musik Di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember Tahun 2011 Tingkat Perkembangan Frekuensi Persentase (orang) (%) a. Tidak dapat diuji 0 0 b. Suspek 7 77,8 c. Normal 2 22,2 Total 9 100 Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Tingkat Perkembangan Anak Usia 5 Tahun Sebelum Terapi Musik Di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember Tahun 2011 Tingkat Perkembangan Frekuensi Persentase (orang) (%) a. Tidak dapat diuji 0 0 b. Suspek 11 100 c. Normal 0 0 Total 11 100 Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Aspek Perkembangan Anak Usia 4 Tahun Setelah Terapi Musik Di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember Tahun 2011 Aspek Perkembangan Frekuensi Persentase (orang) (%) 1. Personal Sosial a. Terlambat 0 0 b. Peringatan 9 100 c. Normal 0 0 Total 9 100 2. Motorik Halus a. Terlambat 0 0 b. Peringatan 2 22,2 JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
93
Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Perkembangan……………………….Khofi Hadidi, Hal. 90 - 98
c. Normal Total 3. Motorik Kasar a. Terlambat b. Peringatan c. Normal Total 4. Bahasa a. Terlambat b. Peringatan c. Normal Total
7 9
77,8 100
0 4 5 9
0 44,4 55,6 100
0 0 9 9
0 0 100 100
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Aspek Perkembangan Anak Usia 5 Tahun Setelah Terapi Musik Di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember Tahun 2011 Aspek Perkembangan Frekuensi Persentase (orang) (%) 1. Personal Sosial a. Terlambat 0 0 b. Peringatan 10 90,9 c. Normal 1 9,1 Total 11 100 2. Motorik Halus a. Terlambat 0 0 b. Peringatan 0 0 c. Normal 11 100 Total 11 100 3. Motorik Kasar a. Terlambat 0 0 b. Peringatan 1 9,1 c. Normal 10 90,9 Total 11 100 4. Bahasa a. Terlambat 0 0 b. Peringatan 0 0 c. Normal 11 100 Total 11 100 Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Tingkat Perkembangan Anak Usia 4 Tahun Sebelum Terapi Musik Di TK ABA Kalisat Kalisat Kabupaten Jember Tahun 2011 Tingkat Perkembangan Frekuensi Persentase (orang) (%) a. Tidak dapat diuji 0 0 b. Suspek 5 55,6 c. Normal 4 44,4 Total 9 100
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
94
Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Perkembangan……………………….Khofi Hadidi, Hal. 90 - 98
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Tingkat Perkembangan Anak Usia 5 Tahun Sebelum Terapi Musik Di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember Tahun 2011 Tingkat Perkembangan Frekuensi Persentase (orang) (%) a) Tidak dapat diuji 0 0 b) Suspek 1 9,1 c) Normal 10 90,9 Total 11 100 c. Perbedaan tingkat perkembangan responden sebelum dan sesudah terapi musik Tabel 5.10 Perbedaan Tingkat Perkembangan Responden Sebelum Dan Sesudah Diberikan Terapi Musik Di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember Tahun 2011 Terapi Tingkat perkembangan Total P musik value Tidak dapat Suspek normal diuji N % n % N % N % Sebelum 0 0 18 90 2 10 20 100 0,001 Sesudah 0 0 6 30 14 70 20 100 Tabel 5.11 Perubahan Tingkat Perkembangan Responden Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Musik Di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember Tahun 2011 Tingkat perkembangan Jumlah (orang) Persentase (%) Menurun 0 0 Tetap Meningkat Total
8 12 20
40 60 100
Sumber : data primer, Januari 2011 PEMBAHASAN Hasil penelitian dari pengukuran tingkat perkembangan sebelum dan setelah dilakukan terapi musik didapatkan hasil terjadi peningkatan pada tingkat perkembangan anak. Sebelum dilakukan terapi musik, tingkat perkembangan anak sebanyak 90% dalam kategori suspek dan 10% responden termasuk dalam kategori normal. Setelah dilakukan terapi musik didapatkan hasil sebanyak 30% responden termasuk dalam kategori suspek dan kategori normal sebanyak 70% responden. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan uji wilcoxon didapatkan hasil nilai p=0,001 dengan tingkat kemaknaan 0,01. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh terapi musik terhadap tingkat perkembangan anak usia
prasekolah di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa musik dapat meningkatkan perkembangan motorik, meningkatkan kemampuan berbahasa, matematika, sekaligus kemampuan sosial dan membangun rasa percaya diri (Rasyid, 2010). Tingkat perkembangan terdiri dari aspek personal sosial, motorik halus, motorik kasar, serta bahasa. Pada aspek perkembangan personal sosial, tidak terdapat perubahan yang signifikan sebelum dan sesudah diberikan terapi musik. Peningkatan perkembangan pada aspek ini hanya terjadi pada 5% responden yaitu dari kategori peringtan berubah menjadi kategori normal, selebihnya sebanyak 95% responden
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
95
Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Perkembangan……………………….Khofi Hadidi, Hal. 90 - 98
tidak mengalami perubahan yaitu tetap pada kategori peringatan. Mayoritas responden mengalami kegagalan dalam aspek perkembangan ini. Kegagalan terjadi pada saat responden melaksanakan tugas perkembangan memakai pakaian tanpa bantuan. Anak cenderung mendapat bantuan penuh dari orang tua. Orang tua mayoritas tidak melatih anak untuk mandiri, karena orang tua tidak mengetahui bahwa berpakaian tanpa bantuan merupakan tugas perkembangan anak yang seharusnya dapat dilalui. Sesuai teori yang menyebutkan bahwa pada usia 4 dan 5 tahun anak sudah sangat mandiri (Wong, 2003). Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua akan mempengaruhi tingkat perkembangan anak (Soedjiningsih, 1995). Adanya ketidaktahuan orang tua terkait tugas perkembangan pada anak akan menentukan bagaimana pola asuh orang tua. Orang tua yang mengetahui tugas perkembangan yang seharusnya mampu dilakukan anak, maka akan senantiasa melatih anak dan memotivasi anak untuk melakukan tugas perkembangan yang seharusnya mampu dilalui anak secara mandiri. Pada aspek perkembangan motorik halus, didapatkan peningkatan kemampuan anak setelah diberikan terapi musik yaitu sebanyak 20% responden. Sebanyak 80% responden memiliki perkembangan tetap setelah diberi terapi musik. Sebelum dilakukan terapi musik sebanyak 30% responden termasuk dalam kategori peringatan, selebihnya dalam kategori normal. Setelah dilakukan terapi musik 10% responden termasuk dalam kategori peringatan sedangkan 18 lainnya termasuk dalam kategori normal. Perkembangan aspek motorik halus sangat pesat kemajuannya pada tahapan anak prasekolah. Anak usia 4 tahun dapat menjiplak kotak dan menyalin garis silang (Wong, 2003). Pada usia 4 dan 5 tahun anak sudah
mampu menggambar, baik menggambar binatang atau manusia (Rasyid, 2010). Sebelum diberikan terapi musik 30% responden termasuk dalam kategori peringatan, setelah diberi terapi musik sebanyak 4 responden termasuk kategori normal. Terapi musik mampu mempengaruhi sistem saraf di otak dalam meningkatkan fungsi motorik halus. Bidang neurologi menemukan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa musik merangsang bagian khusus dari otak yang bertanggung jawab terhadap pengaturan motorik (Musbikin, 2009). Terapi musik yang diberikan mampu menstimulasi saraf diotak untuk meningkatkan lonjatan transmisi impuls saraf. Neuron akan menjadi sirkuit jika ada rangsangan musik dan mengintegrasikan diri dalam sirkuit otak. Semakin banyak rangsangan musik diberikan akan semakin kompleks jalinan antar neuron tersebut (Musbikin, 2009). Adanya sirkuit pada neuron otak maka akan menstimulasi otak dalam menjalankan fungsinya, khususnya dalam fungsi pengaturan motorik anak, sehingga akan meningkatkan kemampuan anak dalam bidang motorik. Anak yang belum mengalami peningkatan kemampuan bidang motorik setelah diberikan terapi musik adalah anak yang mendapat pendampingan penuh oleh orang tua. Anak terus dibantu oleh orang tua dalam melaksanakan tugas disekolah khususnya saat menulis dan menggambar. Terkadang orang tua yang mengerjakan tugas anak di sekolah. Hal ini akan menyebabkan anak kurang terlatih dalam menggunakan fungsi motoriknya. Pola asuh orang tua yang tidak memandirikan anak akan mempengaruhi tingkat perkembangan anak. Motivasi belajar yang seharusnya diberikan orang tua pada anak berupa lingkungan kondusif untuk belajar, tidak didapatkan anak. Motivasi belajar tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi anak (Soedjiningsih, 1995).
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
96
Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Perkembangan……………………….Khofi Hadidi, Hal. 90 - 98
Pengaruh terapi musik terhadap aspek perkembangan motorik kasar secara fisiologis sama seperti pada aspek perkembangan motorik halus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan motorik kasar anak sebanyak 35% responden termasuk dalam kategori peringatan dan 65% responden termasuk dalam kategori normal. Setelah diberi terapi musik, hasil yang didapatkan sebanyak 25% responden termasuk dalam kategori peringatan dan selebihnya termasuk dalam kategori normal yaitu sebanyak 10% responden. Terapi musik mampu mempengaruhi pusat pengaturan motorik kasar pada anak. Melalui musik, perkembangan motorik anak akan mengalami peningkatan termasuk upaya anak saat belajar berjalan, melompat dan lainnnya (Rasyid,2010). Namun hal ini bertentangan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat 15% responden tetap pada kategori peringatan setelah diberikan terapi musik. Kegagalan anak untuk meningkatkan kemampuan dalam aspek perkembangan motorik kasar disebabkan anak memiliki proporsi tubuh yang tidak ideal dengan proporsi tubuh anak seusianya. Sebanyak 15% responden tersebut salah satunya memiliki berat badan diatas normal sedangkan 10% responden lainnya memilki tinggi badan dibawah nilai ideal. Hal ini mempengaruhi tingkat perkembangan anak. Sebagaimana teori menyebutkan status gizi mempengaruhi tingkat perkembangan pada anak (Soedjiningsih, 1995). Adanya berat badan serta tinggi badan yang tidak ideal akan mempengaruhi anak dalam mengontrol keseimbangan tubuhnya. Pada aspek bahasa, hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sebanyak 60% responden yang pada mulanya responden termasuk dalam kategori peringatan. Setelah diberi terapi musik menjadi kategori normal. Musik merangsang bagian khusus dari
otak yang bertanggung jawab terhadap bahasa (Musbikin,2009). Terapi musik yang diberikan berupa bernyanyi bersama. Nyanyian atau bernyanyi bersama dapat menyebabkan anak mendapatkan rangsangan verbal untuk perkembangan bahasanya. Cara efektif untuk memperluas perbendaharaan kata adalah menggunakan lagu melalui terapi musik yaitu bernyanyi. Secara tidak langsung, bernyanyi mengasah kemampuan anak menyerap, mengingat, dan mengucapkan kata-kata (Rasyid,2009). Hal ini dikarenakan jika anak belajar menyanyikan lagu, secara tidak sadar anak belajar membedakan bunyi huruf, kata dan kalimat; melafalkan huruf, kata dan kalimat dengan jelas; serta mengingat huruf, kata, dan kalimat. Menyanyikan satu lagu dalam waktu tertentu adalah merujuk pada proses mengenali dan mencerna banyaknya kata yang terdapat pada lirik lagu tersebut (Rasyid,2009). Menyanyikan lagu dapat meningkatkan penguasaan kata-kata atau menambah perbendaharaan kata, memaknai kata, serta dapat mengapresiasikan kata-kata. Dengan demikian terlihat bahwa perkembangan anak dalam mengeksplor kata-kata yang didapat dari lirik nyanyian tersebut. Terapi musik yang diberikan tidak hanya memberikan lagu pada anak tetapi mengajak anak tanya jawab untuk menjelaskan isi lagu setelah lagu diberikan. Anak diupayakan bisa menjawab dengan jawaban yang sesuai dan jelas. Sehingga anak bisa lebih mengembangkan bukan hanya dalam menguasai kosakata, akan tetapi bagaimana anak mengkondisikan dirinya dalam keadaan memaparkan. Anak akan lebih aktif bicara, menyimak dan merespon serta lebih kritis. Sehingga kemampuan berbicara anak juga akan ikut terstimulasi secara baik. Jika dalam satu hari dapat mengenalkan 1 lagu sederhana, maka setidaknya anak mampu
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
97
Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Perkembangan……………………….Khofi Hadidi, Hal. 90 - 98
menerima 5 sampai 8 kata baru (Rasyid, 2010). Sudah jelas bahwa kegiatan menyanyi bagi anak akan memperkaya kosakatanya. KESIMPULAN a. Tingkat perkembangan anak usia prasekolah di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember sebelum dilakukan terapi musik mayoritas termasuk dalam kategori suspek sebanyak 90% responden. b. Tingkat perkembangan anak usia prasekolah di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember setelah dilakukan terapi musik mayoritas termasuk dalam kategori normal sebanyak 70% responden. c. Terdapat pengaruh terapi musik terhadap tingkat perkembangan anak usia prasekolah di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember. DAFTAR PUSTAKA Holmes, David. 2010. The Benefits Of Music Therapy. British : British Association For Adoption & Fostering. http:// find.galegroup.com/ [15 desember 2010] Musbikin, Imam. 2009. Kehebatan Musik Untuk Mengasah Kecerdasan Anak. Jogjakarta : Power Books Rasyid, Father. Cerdaskan Anakmu Dengan Musik. 2010. Jogjakarta. Diva press Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta. EGC Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC Yudhana, Amarin. 2009. Pengaruh Stimulasi Music Klasik Terhadap Perkembangan Kognitif (Aspek Bahasa) Pada Anak Usia Prasekolah (3-5 Tahun) Di Play Group Dan Bina Insane Kediri. Abstrak tesis. Surakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
98
Pendekatan Resiko Kehamilan Kartu Skor Poedji Rochjati…………………..Ai Nur Zannah, Hal. 99 - 100
PENDEKATAN RESIKO KEHAMILAN KARTU SKOR POEDJI ROCHJATI (KSPR) DENGAN POLA RUJUKAN DI RSD dr. SOEBANDI JEMBER Ai Nur Zannah* * Dosen D III Kebidanan STIKES dr. Soebandi Jember ABSTRACT Approach to risk evaluation is an attempt to determine any possible risks in pregnancy can lead to maternal mortality and morbidity and premature babies. Hadijono in getting the results of his research on maternal mortality high risk pregnancy is 20 times higher than the low-risk pregnancies, perinatal mortality also obtained six times higher. The death of one of the problems caused due to late referral. The purpose of this study to determine the relationship approach to risk pregnancy Rochjati Poedji Score Card (KSPR) with referral patterns. Analytic design of this study is the correlation with the population of pregnant women who were referred in RSD dr. Soebandi Jember during month of April to June of 2013, as many as 320 samples taken randomly. Measuring instrument is secondary data medical records. The results of risk pregnancies and referral patterns indicate a low risk of pregnancy complications 12%, 62% of high risk pregnancies and pregnancies are very high risk 27%, 96% planned referral patterns and 4% referral fee. Chi-Square statistical test with significance level of 5% and df = 2 price obtained χ ² = 7.93 is greater than the table χ ² (7.93> 5.591) and the contingency coefficient obtained KK = 0.16 which means that there is a low relationship Among approach KSPR risk pregnancies with referral patterns. There are other factors that affect referral patterns, but with intensive approach to risk and maternal health services through a family-based problem-based pregnancy and safe delivery of the package, it will prevent the occurrence of late referral. Keywords: approach to risk pregnancy, KSPR, Referral Patterns PENDAHULUAN
Kehamilan dan persalinan merupakan proses alami yang menyimpan cerita suka dan duka. Situasi gembira berlangsung jika ibu dan bayi saat kehamilan dan persalinan dalam keadaan sehat. Namun hal tersebut bisa mengecewakan dan menyedihkan, bila terjadi kegagalan pertolongan saat kehamilan dan persalinan yang menyebabkan keadaan ibu dan bayi tidak baik bahkan terjadi kematian. Kegagalan pertolongan ataupun tidak optimalnya pertolongan baik saat kehamilan maupun persalinan sesungguhnya mempunyai peluang untuk dihindari yaitu dengan pendekatan risiko. Pendekatan risiko yaitu evaluasi untuk menentukan setiasp risiko yang mungkin dapat menimbulkan morbiditas dan
mortalitas secara dini. Perlu diketahui bahwa tidak ada kehamilan tanpa risiko. Mungkin saat hamil risiko tidak dijumpai, tetapi risiko dapat berkembang pada saat persalinan, dan atau masa nifas. Risiko dapat ringan sampai berat yang dapat menyebabkan terjadinya kesakitan, kecacatan, dan kematian pada ibu dan atau bayi. (Manuaba, 2007). Menurut Chalid, 2013 kematian ibu oleh karena kehamilan atau persalinan di Indonesia masih sangat tinggi, tertinggi di ASEAN. Perbandingan kematian ibu di Indonesia 262/100.000 kelahiran, dengan di Malaysia sekitar 39/100.000 kelahiran, atau Singapura yang hanya 6/100.000 kelahiran, bahkan lebih tinggi dari pada Vietnam yaitu 95/100.000 kelahiran yang sama-sama
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
99
Pendekatan Resiko Kehamilan Kartu Skor Poedji Rochjati…………………..Ai Nur Zannah, Hal. 99 - 100
merupakan negara yang sudah mengalami perang cukup lama. Sebuah studi kasus oleh Bob Berstein menyatakan risiko kematian bayi pada wanita dengan satu atau lebih faktor risiko kehamilan empat terlalu (terlalu muda, terlalus tua, terlalu banyak, dan terlalu dekat) adalah 1,74 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang tidak berisiko. (Rahmadewi, 2008). Hadijono, 1992, dalam penelitiannya mendapatkan hasil angka kematian ibu pada kehamilan risiko tinggi (KRT) adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kehamilan risiko rendah (KRR), didapat pula angka kematian perinatal pada KRT 6 kali lebih tinggi dibandingkan KRR. Data profil kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2007 dari 936 Puskesmas, jumlah ibu hamil 692.590 jiwa, ibu hamil yang risiko tinggi atau yang mengalami komplikasi 117.339 jiwa (84,71%), dan ibu hamil risiko tinggi yang ditangani 125.410 jiwa (90,54%). Dan data profil di Dinkes Jember tahun 2010 menyatakan terdapat ibu hamil sejumlah 40.531 jiwa dan yang mengalami risiko tinggi sejumlah 3.726. Masalah kematian ibu di Indonesia sangat kompleks, situasi geografis kita yang sulit, sistem rujukan, infrastruktur dan transportasi menyebabkan sulitnya akses mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, kasus yang dirujuk sering datang sudah terlambat. Distribusi dokter dan tenaga kesehatan yang tidak merata, terutama untuk daerah Indonesia Timur. Belum lagi tingkat pengetahuan masyarakat kita, kultur wanita Indonesia yang lebih banyak diam (pasrah), kultur keluarga yang paternalistik (sehingga pengambilan keputusan untuk merujuk sering terlambat), semua mempunyai kontribusi pada tingginya angka kematian ibu di negara kita. Ada tiga resiko keterlambatan yaitu terlambat mengambil keputusan untuk dirujuk, termasuk terlambat mengenali tanda bahaya,
terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat keadaan darurat, dan terlambat memperoleh pelayanan yang memadai oleh tenaga kesehatan. Dengan begitu, tidak heran angka morbiditas di Indonesia masih tinggi. (Chalid, 2013) Menurut Chalid, 2013, tugas media untuk turut membantu menekan angka kematian ibu sangat diperlukan, antara lain dengan penyebaran informasi seputar kesehatan ibu, sehingga ibu, keluarga, dan penolong, mempunyai tingkat kewaspadaan yang tinggi dalam menghadapi setiap kehamilan. Menurut Manuaba, 2007, upaya pendekatan risiko dapat menekan dan menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal dengan cara membangun sesuatu yang dapat digunakan sebagai standar pelayanan kesehatan reproduksi, menekan risiko sehingga secara khusus dapat diklasifikasikan untuk mendapatkan perhatian, dan menemukan secara dini berbagai faktor yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu dan kematian bayi, antara lain melalui penempatan bidan di desa, pemberdayaan keluarga dan masyarakat dengan menggunakan buku kesehatan ibu dan anak dan program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), serta penyediaan fasilitas kesehatan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED) di puskesmas perawatan dan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) di rumah sakit. Dengan adanya fasilitas kesehatan dari mulai tingkat dasar, diharapkan rujukan dapat dilaksanakan secara terencana dan tepat waktu tidak ada keterlambatan terutama bagi kehamilan risiko tinggi. (Zulhadi, 2013) Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang "Pendekatan Risiko Kehamilan Kartu Skor Poedji Rochjati
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
100
Pendekatan Resiko Kehamilan Kartu Skor Poedji Rochjati…………………..Ai Nur Zannah, Hal. 99 - 100
(KSPR) dengan Pola Rujukan di RSD dr. Soebandi Jember”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pendekatan risiko kehamilan Kartu Skor Poedji Rochjati (KSPR) dengan pola rujukan di RSD dr. Soebandi Jember pada bulan April-Juni tahun 2013 METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah analitik korelasi yaitu menganalisa hubungan pendekatan risiko kehamilan menurut KSPR dengan pola rujukan di RSD dr. Soebandi Jember. Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel independen adalah risiko kehamilan dan variabel dependennya adalah pola rujukan. Pengambilan sampel menggunakan Probability Sampling Simple Random Sampling yaitu setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel, tanpa memperhatikan strata yang ada dalam anggota populasi (Notoatmodjo, 2010). Dan didapatkan jumlah sampel sebanyak 320 yaitu ibu hamil yang dirujuk ke Ruang Bersalin dan Poli Hamil RSD dr. Soebandi Jember dari bulan April-Juni tahun 2013 serta ibu hamil risiko rendah yang ada komplikasi. Penelitian dilaksanakan di RSD dr. Soebandi Jember kurang lebih dua minggu dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2013 sampai 7 Juli 2013. Data dikumpulkan dengan menggunakan data sekunder, kemudian diolah dan dianalisis dengan uji ChiSquare kemudian dilanjutkan dengan Koefisien Kontingensi karena variabel independen dan variabel dependen merupakan data kategorik (data dengan skala nominal atau ordinal). HASIL a. Hasil univariat
Berdasarkan table di atas didapatkan data bahwa jumlah pola rujukan terencana dengan masing-masing klasifikasi risikonya adalah kehamilan risiko rendah (KRR) sebanyak 10%, kehamilan risiko tinggi (KRT) sebanyak 61%, dan kehamilan risiko sangat tinggi (KRST) sebanyak 26%. Sedangkan jumlah rujukan terlambat hampir sama besarnya dalam setiap klasifikasi risiko yaitu kehamilan risiko rendah (KRR) dan kehamilan risiko sangat tinggi (KRST) mempunyai jumlah yang sama sebanyak 2%, sedangkan kehamilan risiko tinggi sebanyak 1%. Pola Rujukan
Teren cana Tepat Waktu Terla mbat Total
Risiko Kehamilan
Jumlah
Kehamilan Risiko Rendah Kompilasi 0
Kehamilan Risiko Tinggi 124
Kehamil an Risiko Sangat Tinggi 54
32
70
26
128
5
4
5
14
37
198
85
320
178
b. Hasil Bivariat Berdasarkan uji Chi-Square perhitungan manual dengan taraf signifikan 5 % dan dk=2 didapatkan nilai Chi-Square hitung 7,93. Sedangkan hasil perhitungan menggunakan SPSS versi 17 dengan tingkat kesalahan (α= 0,05) didapatkan Chi-Square 10,47 dan p value 0,005. Dan besarnya koefisien kontingensi menurut perhitungan manual adalah 0,16. Sedangkan hasil hitung menggunakan SPSS didapatkan hasilnya sebesar 0,18. PEMBAHASAN Setelah menganalisis data, yang dihitung secara manual menggunakan teknik perhitungan Chi-Square, didapatkan χ² hitung lebih besar dari χ² tabel (7,93 > 5,591). Maka Ho ditolak dan Ha diterima yang artinya terdapat hubungan pendekatan risiko kehamilan menurut KSPR dengan pola rujukan.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
101
Pendekatan Resiko Kehamilan Kartu Skor Poedji Rochjati…………………..Ai Nur Zannah, Hal. 99 - 100
Kemudian dilakukan perhitungan untuk mengetahui kuat lemahnya hubungan dengan menggunakan rumus koefisien kontingensi didapatkan hasilnya sebesar 0,16 lalu disesuaikan dengan tabel korelasi menunjukkan adanya hubungan yang rendah antar variabel yaitu pendektan risiko kehamilan KSPR dengan pola rujukan. Pendekatan risiko merupakan salah satu cara untuk mengetahui ada tidaknya kehamilan risiko tinggi yang kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya bahaya atau komplikasi baik terhadap ibu maupun janin yang dikandungnya selama masa kehamilan, melahirkan ataupun nifas. Diharapkan melalui pendekatan risiko, ibu yang mengalami risiko tinggi bisa mendapatkan rujukan yang tepat dan sesuai tidak terlambat. Namun berdasarkan hasil penelitian, terdapat jumlah yang sama dari setiap klasifikasi risiko kehamilan untuk terjadinya rujukan terlambat, yaitu dengan rata-rata masing-masing kalsifikasi adalah 2%. Hal di atas terjadi karena pendekatan risiko yang diterapkan di lapangan mempunyai prediksi yang kurang baik dalam membedakan ibu yang akan mengalami komplikasi dengan ibu yang tidak, yaitu pendekatan risiko dilakukan tidak secara berkala sehingga ada anggapan bahwa ibu dengan kehamilan risiko rendah tidak memerlukan pengawasan berkala, baik selama kehamilan, persalinan, maupun nifas. Sebenarnya, lebih bijaksana bila kita menganggap bahwa setiap kehamilan mempunyai risiko. Sebab pada kehamilan yang dianggap tidak berisiko yaitu kehamilan risiko rendah, dalam perjalanannya dapat timbul risiko dan komplikasi. Atau pada kehamilan dengan risiko yaitu kehamilan risiko tinggi dan sangat tinggi, justru pada saat persalinannya berlangsung dengan baik, tanpa timbul risiko dan komplikasi yang diperkirakan. Menurut Manuaba, 2007
dan Rochjati, 2003 pendekatan risiko yang benar adalah dilakukan sejak awal kehamilan, selama kehamilan sampai mendekat ke persalinan yang secara tidak langsung merupakan aplikasi dari pelayanan antenatal / Antenatal Care (ANC). Pelayanan antenatal adalah pemeriksaan dan pengawasan kehamilan secara berkala untuk mengoptimalisasi kesehatan mental dan fisik ibu hamil, sehingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas secara normal baik fisik maupun mental. Seperti yang dijelaskan di atas pelayanan antenatal didalamnya mencakup pendekatan risiko sehingga dapat mengetahui berbagai risiko dan komplikasi kehamilan, dengan begitu ibu hamil dapat diarahkan untuk melakukan rujukan yang tepat tidak terlambat ke Rumah Sakit. Rujukan terlambat itu sendiri menurut buku MPS (Making Pregnancy Safer) disebutkan selain pendekatan risiko kehamilan juga terdapat tiga faktor lain yang mempengaruhi, yaitu pengambilan keputusan, fasilitas kesehatan, dan pertolongan di fasilitas kesehatan. Rujukan ini merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan bayidan permasalahannya di Indonesia sangat kompleks. Menurut Chalid, 2013 beberapa penyebab keterlambatan rujukan adalah situasi geografis yang sulit, transportasi ke tempat pelayanan kesehatan yang kurang memadai, dan distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata terutama di daerah Indonesia Timur, belum lagi tingkat pengetahuan masyarakat yang kurang dan sosial budaya wanita Indonesia yang lebih banyak pasrah dengan keputusan laki-laki (paternalistik) sehingga terlambat dalam mengambil keputusan. Namun, dengan permasalahan di atas pemerintah Indonesia tidak tinggal diam saja, terdapat beberapa solusi untuk mengatasinya yaitu dengan pendekatan holistik, dengan cara:
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
102
Pendekatan Resiko Kehamilan Kartu Skor Poedji Rochjati…………………..Ai Nur Zannah, Hal. 99 - 100
a. Mendekatkan pelayanan kesehatan di tengah masyarakat dengan mendirikan Puskesmas b. Meningkatkan peranan rumah sakit kabupaten dengan menempatkan empat dokter spesialis yaitu spesialis bedah, spesialis anak, spesialis obstetri ginekologi, dan spesialis penyakit dalam c. Menetapkan rumah sakit referal puncak yang lengkap di setiap provinsi bahkan sebagian besar telah menjadi rumah sakit pendidikan d. Menempatkan bidan di desa untuk secara langsung membantu masyarakat dalam bidang reproduksi yang pada gilirannya diharapkan dapat mengganti dukun atau dikembangkan kemitraan antara bidan di desa dan dukun, dimana persalinan ditolong oleh bidan, dukun hadir dalam memberikan perawatan pasca persalinan kepada ibu dan bayi baru lahir dengan kesepakatan fee antar mereka. Berdasarkan penjelasan di atas, membuktikan bahwa bukan hanya pendekatan risiko kehamilan saja yang mempengaruhi pola rujukan, namun terdapat faktor-faktor lainnya yang juga harus mendapatkan perhatian. Dengan pendekatan holistik diharapkan dapat menurunkan pola rujukan terlambat yang nantinya dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu dan atau bayi. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: a. Hasil penelitian risiko kehamilan menunjukkan bahwa terdapat kehamilan risiko rendah komplikasi 12%, kehamilan risiko tinggi 62% dan kehamilan risiko sangat tinggi 27% di RSD dr. Soebandi Jember. b. Hasil penelitian pola rujukan menunjukkan bahwa pola rujukan kehamilan di RSD dr. Soebandi sudah 96% terencana, dan 4% terlambat.
c. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pendekatan risiko kehamilan menurut KSPR dengan pola rujukan SARAN Adapun saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagi Masyarakat Setelah mengetahui hasil penelitian ini, diharapkan masyarakat khususnya ibu hamil untuk senantiasa memperhatikan kondisi diri dan bayinya dengan mengikuti pelayanan antenatal secara berkala sehingga tidak terjadi komplikasi dan ibu serta bayi sehat selamat. b. Bagi Tenaga Kesehatan Bagi tenaga kesehatan khususnya bidan, diharapkan meningkatkan pelayanan antenatal, yaitu membantu setiap ibu hamil dan keluarganya dalam: a) Membuat perencanaan persalinan, dengan memilih petugas kesehatan yang terampil, tempat bersalin, keuangan, nutrisi yang baik selama hamil, perlengkapan esensial untuk ibu dan bayi. b) Mempersiapkan diri menghadapi komplikasi, dengan deteksi dini, menentukan orang yang akan membuat keputusan, dana kegawatdaruratan, komunikasi, transportasi, dan donor darah. Dengan begitu, ibu yang sudah tahu kalau mempunyai kondisi yang memerlukan kelahiran di rumah sakit akan berada di rumah sakit pada saat yang tepat, sehingga kematian karena penundaan keputusan, keputusan yang kurang tepat, atau hambatan dalam hal jangkauan fasilitas kesehatan akan dapat dicegah. Tenaga kesehatan juga harus mampu meningkatkan kemampuan baik secara individu mapupun organisasi dalam
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
103
Pendekatan Resiko Kehamilan Kartu Skor Poedji Rochjati…………………..Ai Nur Zannah, Hal. 99 - 100
mendeteksi secara dini faktor risiko yang mungkin dapat terjadi pada ibu hamil, dengan rutin mengisi KSPR setiap pelayanan antenatal dan yang lebih penting adalah memberikan KIE serta penyuluhan sesuai klasifikasi risikonya. Bidan juga harus bisa mengarahkan keluarga untuk memberikan keputusan yang terbaik bagi ibu sehingga tidak ada istilahnya “terlambat”. Pemerintah juga harus ikut serta dalam mengembangkan sistem pelayanan salah satunya pendekatan holistik sistem pelyanan kesehatan dengan membangun tempat pelyanan kesehatan dari mulai tingkat dasar. c. Bagi Peneliti Lainnya Diharapkan penelitian ini dapat ditindaklanjuti dan dikembangkan untuk lebih baik, terutama dalam hal pendekatan risiko dan pola rujukan. DAFTAR PUSTAKA Amelia, Rizky. (2013) Rujukan Terlambat. http:// www.midwifescience. wordpress.com diakses tanggal 14 Juni 2013 Arikunto, Suharsimi. (2009) Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta Benson, Ralph C, dkk. (2009) Buku Saku Obstetri & Ginekologi Edisi 9. Jakarta: EGC Bobak, dkk. (2005) Keperawatan Maternitas edisi 4. Jakarta: EGC Chalid, Maisuri T. (2013) Kehamilan Risiko Tinggi (Prosiding). Makassar: FKUH Dahlan, M. Sopiyudin. (2009). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Depkes RI. (2007) Pedoman Pelayanan Antenatal. Jakarta : Depkes RI
Dian.
(2007) Risiko Tinggi. http:// www.info-wikipedia.com diakses tanggal 19 Februari 2013 Hadijono. (1992) Pola Kasus Kehamilan Risiko Tinggi (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro Hidayat, A Aziz A. (2007) Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Jakarta: Rineka Cipta Hidayati, Ratna. (2008) Asuhan Keperawatan pada Kehamilan Fisiologis dan Patologis. Jakarta: Salemba Medika Indrayani. (2011) Buku Ajar Asuhan Kehamilan. Jakarta: CV. Trans Info Media Manuaba, I.B.G, dkk. (2007) Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC Manuaba, Ida Ayu Candranita, dkk. (2010) Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan, dan KB. Jakarta : EGC Manuaba, Ida Ayu Candranita, dkk. (2009) Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita Edisi 2. Jakarta: EGC. Notoatmodjo, Soekidjo. (2003) Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. Jakarta: PT.Rineka Cipta Notoatmodjo, Soekidjo. (2010) Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam. (2008) Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Prawirohardjo, Sarwono. (2009). Ilmu Kebidanan Edisi Keempat Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Rahmadewi,dkk. (2008) Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kehamilan Berisiko Tinggi. Jakarta: Badan Pusat Statistik, BKKBN, DepKes RI dan Macro International Inc. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
104
Pendekatan Resiko Kehamilan Kartu Skor Poedji Rochjati…………………..Ai Nur Zannah, Hal. 99 - 100
Rochjati, Poedji. (2003) Skrining Antenatal Pada Ibu hamil. Surabaya: Airlangga University Press Saifuddin, Abdul Barie. (2006) Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sugiyono. (2010) Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta Suryandari. (2011) Risiko kehamilan denga kejadian persalinan di Wilayah Puskesmas Arjasa Tahun 2010 (KTI). Jember: Poltekkes Malang Prodi Kebidanan Jember. Syarifudin, B. (2010) Panduan TA Keperawatan dan Kebidanan dengan SPSS. Yogyakarta: Grafindo Litera Media Widyatamma, Tim. (2009) Kamus Kedokteran Edisi Terbaru. Jakarta: Penerbit Widyatamma Wijono. (1999) Manajemen Mutu Kesehatan. Surabaya: Airlangga Press Zulhadi. (2013) Evaluasi Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Ibu di Kabupaten Karimun Tahun 2012 (Tesis). Yogyakarta: UGM.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
105
Hubungan Paritas, Usia dan Lama Kala II……………………………………….Dinar Perbawati, Hal. 106 - 114
HUBUNGAN PARITAS, USIA DAN LAMA KALA II DENGAN KEJADIAN PERDARAHAN POST PARTUM DI PUSKESMAS AMBULU KABUPATEN JEMBER TAHUN 2012 Dinar Perbawati* *Dosen DIII Kebidanan STIKES dr. Soebandi Jember Abstract Postpartum hemorrhage is bleeding that occurs within 24 hours after the birth to go Parity, age and duration of the second stage are the factors that influence the occurrence of cases of postpartum hemorrhage. Obstetric hemorrhage is technically defined as blood loss of 500 ml or more immediately after delivery. The purpose of this study was to determine the relationship of parity, age and duration of the second stage with the incidence of postpartum hemorrhage in Jember Ambulu health center in 2012. This research design using correlation studies, the retrospective approach. Populations that are experiencing maternal postpartum hemorrhage in health center Ambulu in 2012 a number of 64, the sample used by 55 samples. The sampling technique used was simple random sampling. From the test results data using Chi Square analysis obtained count 0.47 x2 < x2 table 5.991, meaning that there is no relationship with the incidence of maternal parity postpartum hemorrhage. Count x2 obtained at age 0.02 < 3.841 x2 table, meaning there is an association with maternal age incidence of postpartum hemorrhage. Whereas the second stage of a long relationship count obtained 4.09 x2 < x2 table 3.841, which means that the second stage of a long relationship with the incidence of maternal postpartum hemorrhage in Jember Ambulu Health Center in 2012. This fits the theory that the second stage of abnormal causes muscle failure myometrium to contract after delivery. To handle the midwife needs to improve midwifery care to pregnant women so that complications can be detected early. Keywords: Parity, Age, Old Kala II, Genesis Post Partum Haemorrhage PENDAHULUAN Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir, dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri) (Manuaba, 2008). Tahapan persalinan yaitu kala I dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan serviks hingga mencapai pembukaan lengkap (10cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi, persalinan kala III dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban dan persalinan kala IV dimulai setelah lahirnya plasenta dan berakhir dua jam setelahnya (Saifuddin, 2004).
Pada kala III dapat terjadi gangguan atau kelainan patologis dalam bentuk perdarahan postpartum. Komplikasi obstetri yang menyebabkan tingginya kasus kesakitan dan kematian ibu di banyak negara berkembang yaitu perdarahan pasca persalinan, eklampsia, sepsis, keguguran dan hipotermia. Tujuan asuhan persalinan normal yaitu mengupayakan kelangsungan hidup dan mencapai derajat kesehatan yang tinggi bagi ibu dan bayinya serta intervensi minimal sehingga prinsip keamanan dan kualitas pelayanan dapat terjaga pada tingkat optimal (JNPK-KR, 2008). Tingginya angka kematian ibu (AKI) menempatkan Indonesia pada urutan ke 6 di ASEAN. Menurut data Survey Demografi Kesehatan Indonesia
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
106
Hubungan Paritas, Usia dan Lama Kala II……………………………………….Dinar Perbawati, Hal. 106 - 114
(SDKI) pada tahun 2011 AKI di Indonesia yaitu 228 per 100.000. Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh perdarahan (28%), preeklampsia (24%), infeksi (11%), komplikasi (8%) , partus lama (5%), trauma obstetrik (5%), dan emboli obstetrik (3%). Sedangkan penyebab tidak langsung kematian ibu pada ibu anemia sebesar 51%, terlalu muda sebesar 10,3%, terlalu tua 11%, terlalu banyak anak 19,3% terlalu rapat jaraknya <24 bulan sebesar 24% dan <36 bulan sebesar 36%. (Depkes, 2011). Di Jawa Timur tahun 2011 jumlah AKI yaitu 104,3 per 100.000 kelahiran hidup, penyebab kematian langsung ibu di Jawa Timur tahun 2011 perdarahan ( 29,35%), preeklamsi atau eklamsi (27,27%), jantung (15,47%), infeksi (6,06%) dan lain-lain (21,85%). Di Kabupaten Jember tahun 2011 AKI sejumlah 54, 3 penyebab kematian langsung yaitu perdarahan (24,07%), preeklamsi atau eklamsi (20,37%), dan jantung (25,93%). Dengan demikian perdarahan merupakan komplikasi tertinggi penyebab kematian ibu baik di nasional ataupun di Kabupaten Jember. Berdasarkan dari hasil studi pendahuluan di Puskesmas Ambulu tahun 2012 mulai bulan Januari sampai Desember terdapat komplikasi persalinan sebanyak 137 kasus yang mengalami perdarahan sebesar 64 orang (47%) (Data Puskesmas Ambulu, 2012). Perdarahan post partum adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam setelah persalinan berlangsung. Perdarahan postpartum dibagi menjadi 2 yaitu perdarahan postpartum primer terjadi dalam 24 jam pertamadan perdarahan postpartum sekunder terjadi setelah 24 jam pertama(Manuaba, 2008). Perdarahan obstetrik secara teknis didefinisikan sebagai kehilangan darah sebanyak 500 ml atau lebih segera setelah persalinan(Reeder, 2011). Persalinan kala dua dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi, lamanya untuk
primigravida 2 jam untuk multigravida 1 jam (JNPK-KR, 2008). Menurut Manuaba (2008) paritas, usia dan lamanya kala II merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya kasus perdarahan postpartum. Sedangkan Indonesia sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan populasi penduduknya yang masih tinggi, maka prevalensi ibu dengan paritas lebih dari 3 masih banyak sekali. Demikian pula dengan maraknya pernikahan dini di kalangan remaja yang menyebabkan ibu hamil di saat usia <16 tahun dimana organ reproduksi masih belum siap menerima kehamilan dan persalinan yang lama sering terjadi tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Tentunya resiko untuk terjadinya perdarahan post partum masih besar. Untuk mengatasi permasalahan di atas, upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menurunkan AKI akibat perdarahan adalah dengan melakukan penatalaksanaan persalinan berstandart dan berkualitas melalui asuhan persalinan normal. Di dalam asuhan persalinan normal telah terjadi pergeseran paradigma baru dari sikap menunggu dan menangani menjadi mencegah komplikasi yang mungkin terjadi, salah satunya adalah dengan dilakukan upaya preventif terhadap perdarahan pasca persalinan, diantaranya yaitu mengurangi manipulasi proses persalinan, penatalaksanaan manajemen aktif kala III, dan pengamatan kontraksi uterus pasca persalinan (JNPK-KR, 2008). Serta meningkatkan pemeriksaan kunjungan ibu hamil yang dianjurkan oleh pemerintah minimal empat kali kunjungan yaitu 1 kali pada trimester I, 1 kali pada trimester II, dan 2 kali pada trimester III. Upaya untuk petugas kesehatan dilakukan dengan persiapan rujukan dini terencana (Depkes, 2008). Dalam mengatasi masalah paritas sudah dilakukan banyak upaya penanganan baik oleh pemerintah maupun program puskesmas seperti penggalakan program
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
107
Hubungan Paritas, Usia dan Lama Kala II……………………………………….Dinar Perbawati, Hal. 106 - 114
KB gratis, penyuluhan–penyuluhan pentingnya pengaturan jarak kehamilan dan dampak dari paritas tinggi(Varney, 2007). Sedangkan upaya yang dilakukan dalam mengatasi perdarahan dengan usia kurang 16 tahun, pemerintah membatasi umur perkawinan yang telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat (1) UU No. I tahun 74, yaitu perkawian hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudak mencapai umur 16 tahun (Undang - Undang No.1 tentang Perkawinan, 1974). METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan korelasi analitik dengan pendekatan retrospektif, peneliti mencoba untuk menganalisa dinamika korelasi antara fenomena, baik antara faktor resiko dengan faktor efek (Budiarto, 2004). Dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui hubungan kejadian perdarahan post partum berdasarkan paritas, usia dan lama kala II di Puskesmas Ambulu Kabupaten Jember. Populasi seluruh ibu bersalin yang mengalami perdarahan post partum di Puskesmas Ambulu Jember tahun 2012 sejumlah 64. Kriteria Inklusi adalah karakteristik sampel yang dapat dimasukkan atau layak untuk diteliti yaitu ibu bersalin yang mengalami perdarahan post partum > 500 cc di Puskesmas Ambulu tahun 2012. Kriteria eksklusi adalah karakteristik sampel yang tidak dapat dimasukkan atau tidak layak untuk diteliti yaitu ibu bersalin yang mengalami perdarahan post partum < 500 cc di Puskesmas Ambulu tahun 2012 Pengambilan Sampel menggunakan tehnik Simple Random
Sampling dengan menggunakan rumus slovin Variabel independen adalah paritas, usia dan lama kala II dan variabel dependen adalah kejadian perdarahan post partum. Penelitian dilakukan di Puskesmas Ambulu pada bulan Juni 2013. Data yang diambil adalah ibu bersalin yang mengalami perdarahan yang ada di Puskesmas Ambulu tahun 2012. Jenis instrumen penelitian menggunakan lembar partograf untuk menilai paritas, usia, lama kala II dan jumlah perdarahan post partum. Setelah data terkumpul kemudian data dihitung dengan uji chi-square 1 sample dengan taraf signifikan 5% (0,05) untuk melihat hubungan antar variabel yaitu paritas dengan kejadian perdarahan post partum, usia dengan kejadian perdarahan post partum, dan lama kala II dengan kejadian perdarahan post partum. Dari uji chi-square 1 sample ditentukan hubungan signifikansi antara kedua variabel ditentukan dengan membandingkan harga x2hitung dengan tabel kritis x2. Apabila nilai / harga x2 pada tabel lebih kecil atau sama dengan nilai x2 pada tabel, maka hipotesa diterima yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan, demikian juga sebaliknya apabila nilai x2 lebih besar dari nilai x2 pada tabel maka hipotesa ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara variabel - variabel yang dimaksud (Sugiyono, 2009). Selanjutnya untuk mengetahui sejauh mana kedekatan hubungan antara variabel digunakan uji “Koefisien Kontingensi” (Nursalam, 2008)..
HASIL Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Paritas di Puskesmas Ambulu Kabupaten Jember pada Tahun 2012. Paritas Jumlah Persentase Primipara 16 29% JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
108
Hubungan Paritas, Usia dan Lama Kala II……………………………………….Dinar Perbawati, Hal. 106 - 114
Multipara Grandemultipara Jumlah
20 19 55
36% 35% 100%
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan paritas responden kategori primipara sejumlah 16 orang (29%), kategori multipara sejumlah 20 orang (36%) dan kategori grandemultipara sejumlah 19 orang (35%). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia di Puskesmas Ambulu Kabupaten Jember pada Tahun 2012. Usia Jumlah Persentase Tidak Beresiko 27 49% Beresiko 28 51% Jumlah 55 100% Berdasarkan tabel 2 diatas menunjukkan usia responden dengan kategori usia tidak beresiko sejumlah 27 orang (49%), kategori usia beresiko sejumlah 28 orang (51%). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Kala II di Puskesmas Ambulu Kabupaten Jember pada Tahun 2012. Lama Kala II Jumlah Persentase Normal 20 38% Abnormal 35 62% Jumlah 55 100% Berdasarkan tabel 3 menunjukkan lama kala II responden kategori normal sejumlah 21 orang (38%), kategori abnormal sejumlah 34 orang (62% Tabel 4. Hubungan Paritas Ibu Bersalin dengan Kejadian Perdarahan Post Partum di Puskesmas Ambulu Kabupaten Jember pada Tahun 2012. ( fo fh ) 2 2 Paritas Fo Fh fo- fh (fo- fh) fh Primipara 16 18,3 -2,33 5,44 0,297 Multipara 20 18,3 1,67 2,78 0,152 Grandemulti 19 18,3 0,67 0,44 0,024 Jumlah 55 0,47 Tabel 5. Distribusi hubungan usia ibu bersalin dengan kejadian perdarahan post partum di Puskesmas Ambulu Kabupaten Jember pada Tahun 2012. ( fo fh ) 2 2 Usia Fo Fh fo- fh (fo- fh) fh Tidak Beresiko 27 27,5 -0,50 0,25 0,009 Beresiko 28 27,5 0,50 0,25 0,009 Jumlah 55 0,02
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
109
Hubungan Paritas, Usia dan Lama Kala II……………………………………….Dinar Perbawati, Hal. 106 - 114
Tabel 6. Distribusi hubungan lama kala II ibu bersalin dengan kejadian perdarahan post partum di Puskesmas Ambulu Kabupaten Jember pada Tahun 2012. ( fo fh ) 2 Lama Kala II Fo Fh fo- fh (fo- fh)2 fh Normal 20 27,5 -7,50 56,25 2,045 Abnormal 35 27,5 7,50 56,25 2,045 Jumlah 55 4,09 PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 1 menunjukkan paritas kategori primipara sejumlah 16 orang (29%), kategori multipara sejumlah 20 orang (36%), kategori grandemultipara sejumlah 19 orang (35%). Paritas tinggi atau grandemultipara mempunyai komplikasi persalinan yang tinggi, karena semakin sering wanita mengalami persalinan, terjadi penurunan fungsi reproduksi otototot uterus lebih regang sehingga kontraksi uterus menjadi lemah dan vaskularisasi akan berkurang atau terjadi perubahan atrofi pada desidua akibat yang lalu sehingga akan merugikan kesehatan ibu dan perkembangan janin, lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal, resiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan dapat dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan (Wiknjosastro, 2002). Ibu-ibu dengan paritas tinggi (melahirkan lebih dari 3x) cenderung mengalami komplikasi dalam kehamilan yang akhirnya berpengaruh pada hasil persalinan terutama juga pada nulipara yang berumur belasan tahun. Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal dan neonatal. Sedangkan paritas 1 dan > 4 merupakan paritas yang memerlukan suatu pengawasan kehamilan dan proses persalinan yang memadai. Sesuai dengan pernyataan berdasarkan karakteristik untuk ibu paritas yang tinggi juga
kemungkinan mempunyai riwayat obstetri, seperti riwayat persalinan < bulan, riwayat abortus atau primi tua. Paritas tinggi kemungkinan yang lebih besar terjadi gangguan involusi karena kontraksi uterus yang kurang maksimal. Riwayat obstetri ini dapat meningkatkan angka kematian dan morbiditas ibu dan bayi (Rachmat, 2009). Hasil penelitian di atas tidak sesuai dengan teori yaitu kategori paritas terbanyak multipara. Hal ini dikarenakan pengetahuan masyarakat tentang hubungan paritas dengan kejadian perdarahan post partum masih kurang, keadaan gizi yang belum baik terbukti masih bnyak ibu hamil di Puskesmas Ambulu yang anemia dan kurangnya pemeriksaan ANC. Usia ibu bersalin yang mengalami perdarahan post partum di puskesmas ambulu jember pada tahun 2012 berdasarkan tabel 2 diatas menunjukkan usia responden dengan kategori usia tidak beresiko sejumlah 27 orang (49%), kategori usia beresiko sejumlah 28 orang (51%). Usia dibawah 16 tahun bukan masa yang baik untuk hamil karena organ-organ reproduksi belum sempurna, hal ini tentu akan menyulitkan proses kehamilan dan persalinan. Hal ini disebabkan karena pada usia kurang 16 tahun belum matangnya alat reproduksi untuk hamil sehingga dapat merugikan kesehatan. Menurut Wahyudi (2000) saat terbaik bagi seorang perempuan untuk hamil adalah saat berusia 20-35 tahun, sel telur telah diproduksi sejak lahir namun baru terjadi ovulasi ketika masa pubertas.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
110
Hubungan Paritas, Usia dan Lama Kala II……………………………………….Dinar Perbawati, Hal. 106 - 114
Sel telur yang berhasil keluar hanya satu setiap bulan, ini menunjukkan adanya unsur seleksi yang terjadi sehingga diasumsikan sel telur yang berhasil keluar adalah sel telur yang unggul. Oleh karena itu semakin lanjut usia maka kualitas sel telur sudah berkurang hingga berakibat juga menurunnya kualitas keturunan yang dihasilkan, sementara usia dibawah 20 tahun bukan masa yang baik untuk hamil karena organ-organ reproduksi belum sempurna yang tentu akan menyulitkan proses kehamilan dan persalinan. Sedangkan kehamilan pada usia diatas 35 tahun mempunyai resiko untuk mengalami komplikasi dalam kehamilan dan persalinan antara lain perdarahan, pre eklampsia, ketuban pecah dini, hipertensi dalam kehamilan, distosia dan partus lama. Hipertensi pada kehamilan paling sering mengenai wanita yang lebih tua, yaitu dengan bertambahnya usia menunjukkan peningkatan insiden hipertensi kronis mengahadapi resiko yang lebih besar untuk menderita hipertensi (Manuaba,2003). Usia ibu sangat mempengaruhi kesiapan ibu dalam menyiapkan kehamilan juga persalinan karena ibu perlu kesiapan fisik dan mental. Bila fisik juga mental telah siap, resiko terhadap masalah juga komplikasi dapat dihindari. Maka untuk setiap wanita bila ingin hamil harus bisa mempertimbangkan kapan waktu yang baik bagi seorang wanita itu perlu hamil dan melahirkan. LAMA KALA II IBU BERSALIN YANG MENGALAMI PERDARAHAN POST PARTUM DI PUSKESMAS AMBULU JEMBER PADA TAHUN 2012. Berdasarkan tabel 3 menunjukkan lama kala II responden kategori normal sejumlah 21 orang (38%), kategori abnormal sejumlah 34 orang (62%). Ibu Pada kala II memanjang yaitu pada primigravida lebih dari 2 jam dan
pada multigravida lebih dari 1 jam dapat menyebabkan kegagalan otot – otot miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah pada bekas implantasi plasenta yang lepas sebagian atau keseluruhan sehingga pembuluh darah pada bekas implantasi plasenta tetap terbuka (Cunningham, 2010). Melihat masih adanya kejadian perdarahan post partum pada ibu bersalin, oleh sebab itu bidan perlu meningkatkan asuhan kebidanan pada ibu hamil supaya komplikasi yang terjadi pada saat kehamilan dapat terdeteksi lebih dini dan melaksanakan sistem rujukan yang baik HUBUNGAN PARITAS IBU BERSALIN DENGAN KEJADIAN PERDARAHAN POST PARTUM DI PUSKESMAS AMBULU JEMBER PADA TAHUN 2012. Dari hasil uji data dengan menggunakan analisis Chi Square 1 sample didapatkan x2 hitung 0,47 pada taraf signifikan 0,05 dan dk 2 x2 tabel 5,991, maka χ2 hitung < χ2 tabel yaitu 0,47 < 5,991 Ho diterima yang artinya tidak adanya hubungan paritas ibu bersalin dengan kejadian perdarahan post partum di Puskesmas Ambulu Jember pada Tahun 2012. Berdasarkan teori bahwa paritas tinggi memungkinkan faktor predisposisi terjadinya perdarahan pasca persalinan karena fungsi reproduksi mengalami penurunan sehingga dimungkinkan uterus tidak segera berkontraksi dengan baik. Menurut Manuaba (2010) Seorang wanita yang telah mengalami kehamilan sebanyak 6 kali atau lebih, lebih mungkin mengalami: Kontraksi yang lemah pada saat persalinan (karena otot rahimnya lemah), Perdarahan setelah persalinan (karena otot rahimnya lemah), Plasenta previa (plasenta letak rendah),
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
111
Hubungan Paritas, Usia dan Lama Kala II……………………………………….Dinar Perbawati, Hal. 106 - 114
Pre-eklamsia dan Ketuban Pecah Dini (KPD) Berdasarkan hasil penelitian tidak adanya kesesuaian antara kondisi di lahan penelitian dengan teori yang ada bahwa paritas yang tinggi (grandemulti) memungkinkan terjadinya perdarahan pasca persalinan sehubungan dengan penurunan fungsi reproduksinya sehinga otot – otot miometrium tidak segera berkontraksi setelah bayi lahir dan tempat implantasi plasenta tetap terbuka. Perdarahan pasca persalinan karena paritas yang tinggi ini dapat diantisipasi melalui program KB yang telah dianjurkan oleh pemerintah. HUBUNGAN USIA IBU BERSALIN DENGAN KEJADIAN PERDARAHAN POST PARTUM DI PUSKESMAS AMBULU JEMBER PADA TAHUN 2012. Dari hasil uji data dengan menggunakan analisis Chi Square didapatkan x2 hitung 0,02, pada taraf signifikan 0,05 dan dk 1 x2 tabel 3,841, maka χ2 hitung < χ2 tabel yaitu 0,02 < 3,841 Ho diterima yang artinya tidak adanya hubungan usia ibu bersalin dengan kejadian perdarahan post partum di Puskesmas Ambulu Jember pada Tahun 2012. Menurut Rochjati (2003) resiko hamil dibawah usia ≤16 tahun memiliki resiko dikarenakan rahim dan panggul ibu seringkali belum tumbuh mencapai ukuran dewasa. Akibatnya diragukan keselamatan dan kesehatan janin dalam kandungan. Selain itu mental ibu belum cukup dewasa sehingga juga diragukan keterampilan perawatan diri dan bayinya. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa kehamilan ≤ 16 tahun beresiko karena belum adanya kesiapan fisik, psikis, dan sosial ekonomi (BKKBN, 2006). Sedangkan ibu yang hamil pertama pada usia ≥ 35 tahun juga memiliki resiko. Pada usia tersebut mudah terjadi penyakit pada ibu dan
organ kandungan menua dan jalan lahir juga bertambah kaku. Ada kemungkinan lebih besar terjadi persalinan macet dan perdarahan. Hal ini perlunya deteksi dini komplikasi dengan mencanangkan ANC pada trimester I satu kali, trimester II satu kali dan trimester II dua kali. HUBUNGAN LAMA KALA II IBU BERSALIN DENGAN KEJADIAN PERDARAHAN POST PARTUM DI PUSKESMAS AMBULU JEMBER PADA TAHUN 2012. Dari hasil uji data dengan menggunakan analisis Chi Square 1 sample didapatkan x2 hitung 4,09, pada taraf signifikan 0,05 dan dk 1 x2 tabel 3,841, maka χ2 hitung > χ2 tabel yaitu 4,09 > 3,841 Ho ditolak yang artinya adanya hubungan lama kala II ibu bersalin dengan kejadian perdarahan post partum di Puskesmas Ambulu Jember pada Tahun 2012. Kejadian perdarahan post partum dapat meningkat resikonya dimulai saat kehamilan, jika selama hamil rutin memeriksakan kehamilan ke tempat pelayanan kesehatan maka dapat terdeteksi secara dini apabila terjadi komplikasi kehamilan seperti ibu hamil dengan anemia, ibu hamil dengan pre eklampsia. Selain itu, nutrisi selama hamil juga erat kaitannya saat proses persalinan terjadi karena nutrisi yang baik dapat membuat otot-otot rahim berkontraksi dengan baik (Friedman, 2003). Perdarahan karena kontraksi rahim yang lemah setelah anak lahir meningkat insidennya pada kehamilan dengan pembesaran rahim yang berlebihan seperti pada kehamilan ganda, hidramnion, anak terlalu besar ataupun pada rahim yang melemah daya kontraksinya seperti pada grandemultipara, interval kehamilan yang pendek, atau pada kehamilan usia lanjut, dan his yang terlalu kuat sehingga anak dilahirkan terlalu cepat. Komplikasi yang
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
112
Hubungan Paritas, Usia dan Lama Kala II……………………………………….Dinar Perbawati, Hal. 106 - 114
terjadi saat kala II persalinan berlangsung seperti partus lama, partus kasep juga bisa memicu terjadinya perdarahan post partum (Prasetiyo, 2010). Melihat dari data di atas menunjukkan bahwa angka kejadian perdarahan post partum pada ibu bersalin cukup tinggi. Hal ini memerlukan perhatian dan penanganan yang lebih baik dari tenaga kesehatan yang ada, karena apabila penanganan tidak tepat dan manajemen dalam proses persalinan kurang baik maka tidak menutup kemungkinan AKI akan terus meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. KESIMPULAN Simpulan penelitian adalah : 1. Paritas ibu bersalin yang mengalami perdarahan di Puskesmas Ambulu Jember pada Tahun 2012 terbanyak kategori multipara sejumlah 36%. 2. Usia ibu bersalin yang mengalami perdarahan di Puskesmas Ambulu Jember pada Tahun 2012 terbanyak kategori usia beresiko sejumlah 51%. 3. Lama kala II ibu bersalin yang mengalami perdarahan di Puskesmas Ambulu Jember pada Tahun 2012 terbanyak kategori abnormal sejumlah 62%. 4. Dari hasil uji data dengan menggunakan analisis Chi Square 1 sample didapatkan tidak adanya hubungan paritas ibu bersalin dengan kejadian perdarahan post partum di Puskesmas Ambulu Jember pada Tahun 2012. 5. Dari hasil uji data dengan menggunakan analisis Chi Square 1 sample didapatkan tidak adanya hubungan usia ibu bersalin dengan kejadian perdarahan post partum di Puskesmas Ambulu Jember pada Tahun 2012. 6. Dari hasil uji data dengan menggunakan analisis Chi Square 1 sample didapatkan adanya hubungan lama kala II ibu bersalin dengan
kejadian perdarahan post partum di Puskesmas Ambulu Jember pada Tahun 2012 artinya ibu bersalin yang kala II abnormal atau lebih lama beresiko mengalami perdarahan post partum dan hasil uji KK didapatkan hasil 0,26 yang artinya hubungan lama kala II ibu bersalin dengan kejadian perdarahan post partum rendah atau lemah tapi pasti DAFTAR PUSTAKA Undang - Undang No.1 tentang Perkawinan. (1974). Arikunto, S. (2007). Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. BKKBN. (2006). Deteksi Dini Komplikasi Persalinan. Jakarta: BKKBN . Bobak. (2005). Buku Ajar Keperawatan Matenitas. Jakarta: EGC. Cunningham, F. (2010). Obstetri Williams. Jakarta: EGC. Depkes. (2008). Panduan Pelayanan Antenatal. Jakarta: Depkes RI. Dorland. (2011). Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC. Handayani, F. (2006). Agar Aman Hamil di Usia Rawan. http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg02562.html: diakses tanggal 5 April 2013. Hidayat, A. A. (2009). Metodelogi Penelitian Kebidanan dan Teknik Nalisis Data. Jakarta: Salemba Medika. JNPK-KR. (2008). Pelatihan Asuhan Persalinan Normal, Buku Acuan. Jakarta: JHPIEGO Corporation. Manuaba. (2008). Ilmu Kebidanan. Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. Jakarta: EGC. Mochtar, R. (2005). Sinopsis Obstetri, Edisi 2. Jakarta: EGC. Notoatmodjo. (2010). Metodologi penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
113
Hubungan Paritas, Usia dan Lama Kala II……………………………………….Dinar Perbawati, Hal. 106 - 114
Nugroho, S. (2007). Dasar Dasar Metode Statistika. Bengkulu: Grasindo. Nursalam. (2008). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Prawirohardjo, S. (2008). Ilmu Kebidanan, Cetakan 9. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Prasetiyo. (2010). Ilmu Kebidanan, Cetakan 9. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Rahmat, R. (2009). Ketuban Pecah Dini. http://www.ketubanpecahdini.html: diakses tanggal 17 Desember 2012. Reeder, M. K.-G. (2011). Keperawatan Maternitas : Kesehatan Wanita, Bayi dan Keluarga.Alih bahasa Yati Afiyati, dkk. Edisi 18. Jakarta: EGC. Rochjati, P. (2005). Skrining Antenatal Pada Ibu Hamil, Pengendalian Faktor Risiko, Deteksi Dini Ibu Hamil Resiko Tinggi. Surabaya: Airlangga University Press. Saifuddin, A. B. (2004). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Sugiyono. (2009). Statistik Non Parametrik. Jakarta: CV. Alfabeta. Unpad. (2000). Obstetri Fisiologi. Bandung: Eleman. Varney, H. (2007). Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Vol. 4. Jakarta: EGC. Wiknjosastro. (2008). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Yudhana, Amarin. 2009. Pengaruh Stimulasi Music Klasik Terhadap Perkembangan Kognitif (Aspek Bahasa) Pada Anak Usia Prasekolah (3-5 Tahun) Di Play Group Dan Bina Insane Kediri. Abstrak tesis. Surakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
114
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jaminan Persalinan Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Herlidian Putri* *Dosen D III Kebidanan STIKES dr. Soebandi Jember ABSTRAK KB pasca persalinan merupakan salah satu layanan atau syarat kepesertaan jampersal. Di Kabupaten Lumajang hanya 57,8% peserta jampersal yang mengikuti KB pasca persalinan. Selama ini Bidan cenderung tidak melakukan konseling KB secara mendalam, sehingga diasumsikan bahwa motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan rendah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi motivasi bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program jampersal. Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain crossectional. Pengambilan data dilakukan secara angket dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Populasi adalah semua Bidan yang wajib melaksanakan jampersal di Kabupaten Lumajang. Jumlah responden 164 Bidan yang dipilih secara clustered random sampling. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi square dan multivariat dengan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (78,7%) responden berpendidikan Diploma III, mempunyai masa kerja >10 tahun (57,9%) dan (54,9%) berusia >35 tahun. Sebagian besar responden (56,1%) mempunyai motivasi rendah. Persepsi responden terhadap pekerjaan, insentif, teknik supervisi, kebijakan administratif sebagian besar tergolong baik. Tanggung jawab dan kompetensi bidan sebagian besar baik. Ada hubungan positif antara tanggung jawab, persepsi tehnik supervisi, persepsi kebijakan administratif dan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan. Tidak ada hubungan antara persepsi terhadap pekerjaan, persepsi insentif, kompetensi dan motivasi dalam pelayanan KB pasca persalinan. Variabel yang paling dominan mempengaruhi motivasi bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal adalah tanggung jawab. Disarankan agar Dinas Kesehatan menyediakan format pelaporan KB pasca persalinan, adanya supervisi program jampersal dan mempermudah proses pengklaiman. Kata kunci: Motivasi, Bidan, KB pasca persalinan PENDAHULUAN Dalam upaya mendukung penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) sesuai target MDGs angka kematian ibu (AKI) di Indonesia sampai 2015 adalah 102 per 100.000 kelahiran hidup dan angka kematian bayi (AKB) 26 per 10.000. Dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional serta millennium development goals (MDGs), pada tahun 2011 kementerian kesehatan meluncurkan kebijakan
jaminan persalinan (jampersal).1-2 Sesuai juknis jampersal, berdasarkan peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia No 631/MENKES/PER/III/2011 pelayanan yang dijalani salah satunya yakni KB pasca persalinan.3 Salah satu sasaran MDGs kelima khususnya 5B dengan indikator yaitu meningkatkan CPR (Contraseption Prevalence Rate) modern menjadi 65%, menurunkan unmetneed KB menjadi 5%.4 Dengan adanya kebijakan jampersal yang terintegrasi tersebut, pelayanan KB lebih diarahkan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
115
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
kepada kontrasepsi jangka panjang (MKJP) IUD, AKBK/susuk KB, MOP dan MOW, mengingat selama ini jumlah akseptor KB MKJP lebih rendah dibandingkan non MKJP, salah satu faktor yang mempengaruhi adalah yaitu tingkat ekonomi/ keterbatasan dana untuk menggunakan KB MKJP karena memang lebih mahal dibandingkan KB non MKJP. Dari hasil laporan KB pasca persalinan di kabupaten Lumajang, sampai dengan tahun 2011 dari total 16.181 persalinan jampersal hanya 9359 orang yang mengikuti KB pasca persalinan (57,8%) dan yang mendominasi adalah metode kontrasepsi non jangka panjang (non MKJP) sebesar 7862 sedangkan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) sebesar 1497. Tentunya hal ini kurang sesuai dengan harapan dari kebijakan jampersal, dimana pelayanan KB pasca persalinan lebih diarahkan kepada metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP). BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik yang dilakukan untuk menjelaskan hubungan antara variabel bebas persepsi terhadap pekerjaan, tanggung jawab, persepsi insentif, persepsi teknis supervisi, persepsi kebijakan administratif,
kompetensi dan variabel terikat (motivasi bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program jampersal). Dalam penelitian ini pendekatan waktu yang digunakan adalah cross sectional. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh bidan yang melaksanakan tugas memberikan pelayanan KB pasca persalinan pada program jampersal baik yang bertugas di desa maupun di Puskesmas kabupaten Lumajang sebanyak 276 bidan. Sampel dalam penelitian ini adalah bidan yg melaksanakan tugas memberikan pelayanan KB pasca persalinan pada program jampersal di 25 puskesmas baik yang bertugas di Desa maupun di Puskesmas Kabupaten Lumajang sebanyak 164. Cara pengambilan sampel dari jumlah 164 responden dengan clustered random sampling. HASIL dan PEMBAHASAN Gambaran Karakteristik Responden Dalam penelitian ini karakteristik responden didasarkan pada usia, tingkat pendidikan dan masa kerja. Karakteristik secara lengkap mengenai tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan usia, pendidikan dan masa kerja (n=164) Karakteristik Usia 20-35 >35 Pendidikan P2B DIII DIV Masa Kerja < 5 tahun 5-10 tahun > 10 tahun
Frekuensi
Persen
74 90
45,1 54,9
32 129 3
19,5 78,7 1,8
31 38 95
18,9 23,2 57,9
Tabel 4.1. menunjukkan bahwa mayoritas Bidan berusia antara 31 – 40 tahun (42,1%) dengan tingkat pendidikan didominasi oleh DIII sebesar 129 (78,7%)
dan masa kerja mayoritas 10-20 tahun 72 (43,9%). Pendidikan profesi Bidan menurut KEPMENKES No. 369/MENKES/SK/III/2008 tentang
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
116
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
Standar Profesi Bidan yaitu lulusan pendidikan DIII Kebidanan, merupakan Bidan pelaksana yang memiliki kompetensi melaksanakan praktiknya di institusi pelayanan maupun praktik perorangan. Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa masih ada (19,5%) Bidan yang masih berpendidikan P2B, tentunya hal ini kurang sesuai dengan standar profesi Bidan yaitu minimal D III. Karakteristik responden berdasarkan lama kerja diketahui bahwa mayoritas responden mempunyai lama kerja 10-20 tahun yaitu sebesar 72 (43,9%). Menurut Nitisemito (1996) senioritas atau sering disebut dengan istilah “length of service” atau masa kerja adalah lamanya seorang karyawan menyumbangkan tenaganya pada
perusahaan tertentu. Masa kerja seseorang berkaitan dengan pengalaman kerjanya. Semakin lama bekerja semakin banyak pengalaman dan semakin banyak kasus yang ditangani akan membuat seorang Bidan akan mahir dan terampilan dalam penyelesaikan pekerjaan. Motivasi Motivasi merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh pihak terkait dalam hal ini adalah pemerintah apabila bila mereka menginginkan setiap Bidan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pelayanan KB pasca persalinan Jampersal, karena dengan motivasi, seorang Bidan akan memiliki semangat yang tinggi dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.
Tabel 4.2. Motivasi Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pernyataan Saya berusaha memberikan pemahaman tentang pentingnya KB pasca persalinan kepada masyarakat Bila ada masalah dalam pelayanan KB pasca persalinan dalam jampersal, saya berdiskusi dengan IBI untuk mencari solusinya * Saya menentukan target pencapaian pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal Saya melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pada masyarakat tentang pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal Saya berusaha menjaga kualitas pelayanan KB pasca persalinan pada peserta jampersal Saya memulai melakukan KIE pada pasien tentang KB pasca persalinan pada jampersal dimulai pada setelah persalinan * Saya memberikan kebebasan sepenuhnya pada klien untuk memilih kontrasepsi tanpa memberikan arahan * Hasil pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal saya catat dalam formulir laporan pencapaian secara harian
TP
KK N % 16 9,8
SR
SL
N 36
% 22,0
N 112
% 68,3
N 0
% 0
57
34,8
47
28,7
35
21,3
25
15,2
25
15,2
30
18,3
54
32,9
55
33,5
0
0
8
4,9
58
35,4
98
59,8
0
0
3
1,8
52
31,7
109
66,5
18
11,0
2
1,2
58
35,4
86
52,4
14
8,5
46
28,0
40
24,4
64
39,0
9
5,5
19
11,6
40
24,4
96
58,5
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
117
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133 pelaporan pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal saya buat per triwulan melakukan kemitraan dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan LSM dalam pelaksanaan pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal. Saya tidak mensosialisasikan hsil pendataan ibu hamil pada kepala puskesmas
41
25,0
41
25,0
38
23,2
44
26,8
25
15,2
86
52,4
25
15,2
28
17,1
12
7,3
16
9,8
36
22,0
100
61,0
Keterangan: TP = Tidak Pernah, KK = Kadang- kadang, SR = Sering, SL = Selalu, * = pernyataan negatif Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Motivasi Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Tahun 2012 (n = 164) Responden Motivasi N % Rendah 92 56,1 Tinggi 72 43,9 dalam Jampersal, supervisi juga belum Hasil tersebut menunjukkan bahwa berjalan sehingga hal ini dapat hasil analisis pada pernyataan mengenai mempengaruhi motivasi Bidan. Padahal motivasi Bidan dalam pelayanan KB dalam buku pedoman KB pasca pasca persalian pada program Jampersal persalinan pada program Jampersal diperoleh hasil bahwa Bidan sebagai menyebutkan bahwa pelayanan yang responden adalah rendah (56,1%). diberikan kepada masyarakat sesuai Motivasi Bidan dalam pelayanan KB dengan SOP. pasca persalinan Jampersal buruk, hal ini memang tidak terlepas dari tugas Bidan Deskripsi Responden Tentang Persepsi dalam membantu masyarakat khususnya Terhadap Pekerjaan di Bidang kesehatan ibu dan anak. Bidan Persepsi terhadap pekerjaan dalam mempunyai peranan dan tanggung jawab pelayanan KB pasca persalinan pada yang besar dalam bidang pelayanan. program Jampersal didefinisikan sebagai Dalam hal ini Bidan membutuhkan tanggapan Bidan mengenai pekerjaannya dukungan dari berbagai pihak dalam berdasarkan keinginan dan kebutuhan memberikan pelayanan KB pasca sehingga dapat mendorongnya untuk persalinan pada program Jampersal. memberikan pelayanan KB pasca Namun di Kabupaten Lumajang belum persalinan pada program Jampersal. ada SOP mengenai KB pasca persalinan Tabel 4.4. Persepsi Terhadap Pekerjaan Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan STS TS S SS Pernyataan N % N % N % N % Menjadi seorang Bidan sesuai 1 0,6 17 10,4 116 70,7 30 18,3 dengan harapan saya Saya menjadi bidan karena 6 3,7 44 26,8 95 57,9 19 11,6 memiliki prospek kerja yang bagus Bidan mempunyai tugas melayani 3 1,8 2 1,2 78 47,6 81 49,4 masyarakat JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
118
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
Bidan merupakan pekerjaan yang 1 0,6 22 membuat saya dikenal masyarakat Sebagai seorang bidan saya merasa 33 20,1 8 terbebani dengan banyaknya laporan yang harus saya buat * Bidan harus dapat berkomunikasi 3 1,8 2 dengan baik terhadap masyarakat Saya senang menjadi bidan karena 2 1,2 7 bekerjasama dengan berbagai pihak Pekerjaan sebagai bidan sangat 40 24,4 10 melelahkan * Saya merasa nyaman memberikan 2 1,2 17 pelayanan KB Pasca persalinan karena dapat menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat Saya senang bekerja sebagai bidan 5 3,0 1 karena dapat membantu orang lain Keterangan: STS= sangat Tidak Setuju, TS = sangat setuju, * = pernyataan negatif
13,4 130 79,3 11
6,7
4,9
33
20,1 90 54,9
1,2
86
52,4 73 44,5
4,3
114 69,5 41 25,0
6,1
88
53,7 26 15,9
10,4 113 68,9 32 19,5
0,6
91
55,5 67 40,9
Tidak Setuju, S = setuju, SS =
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Persepsi Terhadap Pekerjaan Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Tahun 2012 (n = 164) Responden Persepsi terhadap pekerjaan N % Buruk 69 42,1 Baik 95 57,9 karena ia menyadari akibat baik atau Tabel 4.5. menunjukkan bahwa hasil buruk perbuatannya itu, dan menyadari analisis pada pernyataan mengenai pula bahwa pihak lain memerlukan persepsi terhadap pekerjaan diperoleh pengorbanan. hasil bahwa mayoritas responden Tugas dan tanggung jawab sangat menyatakan baik (57,9%). Hal itu berarti penting dalam menentukan mutu kinerja bahwa persepsi Bidan terhadap KB pasca Bidan. Bidan harus waspada serta persalinan pada program Jampersal dapat meningkatkan kinerjanya mengingat mendukung program pemerintah bahwa tugas dan tanggung jawab berhubungan program Jampersal berupaya mendukung dengan kegiatan atau tindakan mereka. penurunan angka kematian ibu (AKI) dan Bidan perlu memonitor dan mengevaluasi angka kematian bayi (AKB) sesuai target semua hasil pekerjaan yang telah MDGs angka kematian ibu (AKI) di dilakukannya, dan selalu berupaya Indonesia sampai 2015 adalah 102 per meningkatkan serta menjaga mutu 100.000 kelahiran hidup dan angka pelayanannya. Bidan memiliki kematian bayi (AKB) 26 per 10.000 kewenangan untuk memberikan pelayanan keluarga berencana dan Tanggung Jawab Tanggung jawab merupakan kesehatan masyarakat. Berdasarkan hal kewajiban yang harus di pikul sebagai inilah Bidan memiliki tanggung jawab akibat dari perbuatan pihak yang berbuat, terhadap pelaksanaan program tersebut. manusia merasa bertanggung jawab JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
119
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
Tabel 4.6. Tanggung Jawab Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan TP KK SR SL Pernyataan N % N % N % N % Dalam memberikan pelayanan KB 1 0,6 3 1,8 52 31,7 108 65,9 pasca persalinan saya lakukan sesuai ketentuan yang berlaku Saya melakukan follow up pasca 1 0,6 22 13,4 40 24,4 101 61,6 pemasangan alkon pada klien jampersal Kepala Puskesmas memberikan 21 12,8 53 32,3 47 28,7 43 26,2 kewenangan sepenuhnya pada saya untuk memberikan pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal Saat ada acara pertemuan dengan 22 13,4 85 51,8 41 25,0 16 9,8 warga (pengajian/ arisan) saya sempatkan untuk memperkenalkan KB pasca persalinan pada jampersal Saya melaporkan hasil pencapaian 18 11,0 36 22,0 46 28,0 64 39,0 KB pasca persalinan pada jampersal pada kepala Puskesmas secara rutin Saya tidak pernah menganggapi 5 3,0 17 10,4 25 15,2 117 71,3 permasalahan KB pasca persalinan pada jampersal yang ada di wilayah kerja saya * Segera melakukan rujukan bila ada 5 3,0 17 10,4 21 12,8 121 73,8 komplikasi pasca pemasangan Melakukan konseling pasca 1 0,6 6 3,7 25 15,2 132 80,5 pemasangan alkon memberikan konseling pada klien 0 0 3 1,8 48 29,3 113 68,9 jampersal pada setiap ANC dan setelah persalinan Keterangan: TP = Tidak Pernah, KK = Kadang- kadang, SR = Sering, SL = Selalu, * = pernyataan negatif Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Tanggung Jawab Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Tahun 2012 (n = 164) Responden Tanggung jawab N % Buruk 74 45,1 Baik 90 54,9 Hasil tersebut menunjukkan bahwa hasil analisis pada pernyataan mengenai tanggung jawab diperoleh hasil bahwa mayoritas responden menyatakan baik (54,9%).
Hal ini berarti Bidan telah bertanggung jawab sesuai dengan peran dan fungsi Bidan itu sendiri dalam Bidang kesehatan, Bidan memiliki kewenangan untuk memberikan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
120
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
pelayanan keluarga berencana dan kesehatan masyarakat. Berdasarkan hal inilah, Bidan dituntut untuk selalu berusaha meningkatkan kemampuan sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas pelayanannya termasuk pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi. Karena hanya melalui pelayanan berkualitas pelayanan yang terbaik dan terjangkau yang diberikan oleh Bidan.
Harga untuk jasa- jasa yang telah diberikan pekerja dalam pekerjaannya, dengan kata lain persepsi insentif merupakan pengganti atas jasa yang telah diberikan pekerja dalam pekerjaannya. Persepsi insentif/ upah merupakan faktor yang sangat penting bagi pegawai/ pekerja karena merupakan sumber utama kelangsungan hidupnya. Persepsi insentif/ upah merupakan hal yang vital bagi pekerja, karena dengan adanya persepsi insentif karyawan mau bekerja.
Persepsi Persepsi insentif Tabel 4.8. Persepsi insentif Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan STS TS S SS Pernyataan N % N % N % N % Dana KB Pasca Persalinan yang 11 6,7 43 26,2 89 54,3 21 12,8 saya terima kurang sesuai dengan harapan * Perlu ada kenaikan dana untuk 11 6,7 16 9,8 102 62,2 35 21,3 bidan dalam pelayanan KB Pasca persalinan pada jampersal* Imbalan yang diterima oleh saya 32 19,5 87 53,0 40 24,4 5 3,0 seharusnya lebih besar dari petugas lain, karena saya merupakan ujung tombak terdepan dalam pelayanan KB pasca persalinan* Mendapatkan imbalan tinggi merupakan harapan saya dalam memberikan pelayanan pada masyarakat* Pengklaiman dana pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal melalui puskesmas terlalu berbelit * Saya berusaha meningkatkan pencapaian KB pasca persalinan pada jampersal untuk meningkatkan pendapatan * Pengklaiman dana pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal berlangsung lama * Persepsi insentif yang saya terima sesuai dengan hasil kerja saya Prosedur pengklaiman dana di dinas kesehatan cukup rumit *
11
9,1
65
44,5
73
39,6 15
6,7
10
6,1
52
31,7
90
54,9 12
7,3
6
3,7
61
37,2
81
49,4 16
9,8
32
19,5
98
59,8
29
17,7
5
3,0
7
4,3
60
36,6
89
54,3
8
4,9
31
18,9
94
57,3
33
20,1
6
3,7
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
121
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
Keterangan: STS= sangat Tidak Setuju, TS = Tidak Setuju, S = setuju, SS = sangat setuju, * = pernyataan negatif Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Persepsi insentif Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Tahun 2012 (n = 164) Responden Persepsi insentif N % Buruk 58 35,4 Baik 106 64,6 Hasil tersebut menunjukkan bahwa karena persepsi insentif merupakan hasil analisis pada pernyataan mengenai dorongan utama seseorang untuk bekerja. persepsi insentif diperoleh hasil bahwa mayoritas responden menyatakan baik Persepsi Teknis Supervisi (64,6%). Supervisi dimaksudkan sebagai Jampersal merupakan program berbagai tindakan yang dilakukan untuk pemerintah, dimana biaya paket memastikan sebagai berbagai tindakan Jampersal tersebut sudah ditetapkan pula yang dilakukan untuk memastikan bahwa besarnya oleh pemerintah. Oleh karena staf pelaksana melaksanakan kegiatan itu sistem persepsi insentif dalam secara efektif dan menjadi terampil Jampersal ini adalah berdasarkan ikatan bekerja. Bidan dalam memberikan kerja sama. Persepsi insentif/ upah pelayanan dalam mengimplementasikan merupakan hal yang vital bagi pekerja, program maka perlu dilakukan supervisi terhadap kinerja Bidan tersebut. Tabel 4.10 Persepsi Terhadap Tehnik Supervisi Persalinan TP Pernyataan N % Dinas Kesehatan memantau 2 2,2 pelaksanaan KB pasca persalinan pada jampersal IBI membantu memberikan solusi 45 27,4 pada permasalahan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal Laporan pelayanan KB pasca 49 29,9 persalinan pada jampersal tidak disupervisi oleh Dinas Kesehatan * Dinas Kesehatan memperhatikan 1 0,6 kelengkapan sarana dan prasarana untuk pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal Kepala BP KB tidak melakukan 54 32,9 pengawasan terhadap peningkatan akses dan kualitas KB pasca persalinan pada jampersal Adanya kunjungan/ survey 5 3,0 lapangan dari Dinas Kesehatan untuk mengevaluasi pelayanan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca KK N % 32 19,5
SR N 46
SL % N % 28,0 84 51,2
60
36,6
37
22,6 22 13,4
55
33,5
29
17,7 31 18,9
42
25,6
65
39,6 56 34,1
60
36,6
34
20,7 16
69
42,1
67
40,9 23 14,0
9,8
122
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
program KB pasca persalinan pada jampersal Kepala Puskesmas tidak 62 37,8 65 39,6 27 16,5 10 6,1 melakukan evaluasi pencapaian KB Pasca persalinan pada jampersal di wilayah kerjanya * Kepala Puskesmas melakukan 15 9,1 48 29,3 65 39,6 36 22,0 pembinaan terkait pelaksanaan program dan kegiatan KB pasca persalinan pada jampersal Bidan Koordinator mensupervisi 10 6,1 27 16,5 58 35,4 69 42,1 ketersediaan alat kontrasepsi di tempat pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal IBI melakukan evaluasi Kualitas 54 32,9 44 26,8 37 22,6 29 17,7 pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal yang dilakukan oleh Bidan Kepala Puskesmas memantau 16 9,8 42 25,6 64 39,0 42 25,6 pencapaian KB pasca persalinan pada jampersal yang berada diwilayah kerjanya Pada saat supervisi IBI 54 32,9 42 25,6 45 27,4 23 14,0 memberikan petunjuk pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal kepada Bidan Kepala Puskesmas mengupayakan 9 5,5 37 22,6 65 39,6 53 32,3 penyelesaian masalah yang ditemukan pada saat supervisi pencatatan dan pelaporan pelaksanaan KB pasca persalinan pada jampersal Ket: TP = Tidak Pernah, KK = Kadang- kadang, SR = Sering, SL = Selalu, * = pernyataan negatif Tabel 4.11. Distribusi Frekuensi Persepsi Tehnik Supervisi Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Tahun 2012 (n = 164) Responden Persepsi Teknis Supervisi N % Buruk 62 37,8 Baik 102 62,2 manajemen. Supervisi berbeda dengan Hasil tersebut menunjukkan bahwa inspeksi, dalam arti supervisi memberi hasil analisis pada pernyataan mengenai dukungan kepada staf yang sedang teknis supervisi diperoleh hasil bahwa disupervisi. Dukungan yang harus Bidan sebagai responden menyatakan diberikan apabila diperlukan dapat berupa baik sebesar (62,2%). Supervisi juga pemahaman tujuan dari program, cara merupakan jembatan antara kualitas melaksanakan tugas atau hubungan antar kepemimpinan dan teknik- teknik manusia. Kegitan supervisi bertujuan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
123
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
untuk melakukan evaluasi dari pelayanan yang dilakukan oleh Bidan. Hal ini sesuai dengan tujuan dari supervisi yaitu untuk memantau secara langsung dan mengikuti perkembangan setiap kegiatan dan sekaligus memberikan pembinaan dan bantuan teknis. Kegiatan supervisi yang dilaksanakan dimaksudkan agar pelaksanaan program KB pasca persalinan pada program Jampersal sesuai dengan rencana dan masalah di lapangan dapat dipecahkan serta mencapai tujuan dan sasaran. Persepsi Kebijakan Administratif
Administrasi dan kebijakan pelaksanaan KB pasca persalinan pada Jampersal adalah tanggapan Bidan mengenai program- program/ kebijakan pemerintah terhadap pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal untuk pencapaian sasaran atau tujuan, yang dibuat oleh pimpinan (dinkes dan BP KB kabupaten lumajang) yang dapat dilaksanakan dan diawasi yang, seperti: format laporan, aturan pendokumentasian, serta hal- hal lain yang ditetapkan baik secara formal atau informal yang dibuat sesuai dengan prosedur pelayanan KB pasca persalinan.
Tabel 4.12.
Persepsi Terhadap Kebijakan Administratif Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan TP KK SR SL Pernyataan N % N % N % N % BP KB melakukan kemitraan 6 3,7 46 28,0 60 36,6 52 31,7 strategis pelaksanaan KB pasca persalinan pada jampersal dengan Dinas Kesehatan Dinas Kesehatan menyusun 7 4,3 27 16,5 63 38,4 67 40,9 petunjuk pelaksanaan pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal Dinas Kesehatan menyusun SOP 7 4,3 27 16,5 64 39,0 66 40,2 (standar operasional prosedur) KB pasca persalinan pada jampersal Kepala Puskesmas membuat 11 6,7 44 26,8 64 39,0 45 27,4 penetapan waktu penyusunan pencatatan dan pelaporan pencapaian KB pasca persalinan pada jampersal* Dinas Kesehatan membuat 14 8,5 23 14,0 70 42,7 57 34,8 pedoman tata cara pelaksanaan pencatatan dan pelaporan pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal BP KB membuat pengembangan 27 16,5 54 32,9 51 31,1 32 19,5 materi KIE melalui berbagai media kepada masyarakat tentang pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal Dinas Kesehatan mensosialisasikan 5 3,0 26 15,9 72 43,9 61 37,2 Prosedur jaminan pembiayaan KB pasca persalinan pada jampersal BP KB membuat persiapan 33 20,1 64 39,0 32 19,5 35 21,3 pelaksanaan survilance pasca pemasangan (SPP)
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
124
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
Dinas Kesehatan menyediakan 14 8,5 25 15,2 61 37,2 63 38,4 register dan lembar persetujuan tindakan medis (informed consent) Kepala Puskesmas membuat target 19 11,6 44 26,8 55 33,5 46 28,0 pencapaian KB pasca persalinan pada jampersal di wilayah kerjanya Dinas Kesehatan melakukan kerja 7 4,3 22 13,4 69 42,1 66 40,2 sama dengan BP KB dalam pelaksanaan program KB pasca persalinan pada Jampersal Ket: TP = Tidak Pernah, KK = Kadang- kadang, SR = Sering, SL = Selalu, * = pernyataan negatif Tabel 4.13.
Distribusi Frekuensi Persepsi Kebijakan Administratif Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Tahun 2012 (n = 164) Responden Persepsi Kebijakan Administratif N % Buruk 54 32,9 Baik 110 67,1
Hasil tersebut menunjukkan bahwa hasil analisis pada pernyataan mengenai persepsi terhadap kebijakan administratif diperoleh hasil bahwa Bidan sebagai responden menyatakan baik (67,1%). Komisi pendidikan administrasi kesehatan AS (1974), pada administrasi kesehatan menyangkut: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan, pengordinasian, penilaian terhadap sumber, tata cara dan kesanggupan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan terhadap kesehatan, Perawatan, kedokteran, serta lingkungan yang sehat dengan jalan menyediakan dan menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan yang ditujukkan kepada perseorangan, keluarga, kelompok, ataupun masyarakat. Persepsi baik dalam kebijakan administratif karena memang belum ada kebijakan yang spesifik untuk KB pasca persalinan pada program Jampersal di Kabupaten Lumajang. Yang ada masih kebijakan tentang KB secara umum, tetapi responden menganggap bahwa kebijakan tersebut sama dengan kebijakan dalam pelayanan KB pasca
persalinan. Sehingga persepsi responden mengenai kebijakan administratif baik meskipun kenyataannya kebijakan administratif untuk KB pasca persalinan di Kabupaten Lumajang belum ada. Deskripsi Responden Tentang Kompetensi Kompetensi Bidan adalah kemampuan dan karakteristik yang dilandasi oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang harus dimiliki seorang Bidan dalam melaksanakan praktek kebidanan pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan, secara aman dan bertanggung jawab sesuai dengan standar sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
125
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
Tabel 4.14. Kompetensi Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pertanyaan KIE tentang KB pasca persalinan dimulai sejak ANC Waktu pemasangan KB pasca persalinan adalah segera setelah melahirkan – 42 hari setelah persalinan Pelatihan yang pernah saya ikuti diantaranya adalah CTU Tujuan KB pasca persalinan adalah meningkatkan pelayanan KB pasca persalinan KB pasca persalinan diarahkan pada penggunaan kontrasepsi jangka panjang Tindakan awal pada pemasangan alkon adalah anamnesa Penanganan komplikasi dan kegagalan akibat pemakaian alkon yaitu dengan merujuk pada pelayanan tingkat lanjutan Pokok- pokok pelaksanaan KB dalam Jampersal salah satunya adalah KIE kepada masyarakat tentang KB dalam Jampersal Pembuatan laporan KB pasca persalinan dalam Jampersal yaitu setiap triwulan Pelayanan KB pasca persalinan yang diberikan pada klien harus memenuhi SOP (standar operasional prosedur)
Benar N % 120 73,2 157 95,7 110 121
67,1 73,8
135
82,3
137 148
83,5 90,2
155
94,5
103
62,8
157
95,7
Tabel 4.15.
Distribusi Frekuensi Kompetensi Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Tahun 2012 (n = 164) Responden Kompetensi N % Buruk 47 28,7 Baik 117 71,3 sebagai ukuran maksimum dalam Hasil tersebut menunjukkan bahwa mengategorikan suatu pekerjaan atau hasil analisis pada pernyataan mengenai jabatan dilaksanakan secara efektif dan kompetensi Bidan diperoleh hasil bahwa efisien dengan kata lain pekerja dikatakan Bidan sebagai responden menyatakan kompeten apabila mampu melaksanakan baik (71,3%). proses kerja secara benar sesuai dengan Di dalam lingkup praktik kebidanan, kompetensi yang dipersyaratkan oleh kompetensi Bidan sebagaimana tertuang pekerjaan atau jabatannya. Dalam hal ini dalam buku kompetensi Bidan Indonesia kompetensi Bidan perlu terus meliputi pengetahuan,ketrampilan dan ditingkatkan baik melalui pendidikan sikap prilaku yang harus dimiliki oleh ataupun pelatihan sehingga dalam seorang Bidan dalam melaksanakan pemberian pelayanan KB pasca praktek pelayanan KB pasca persalinan persalinan pada Jampersal semakin baik. Jampersal. Kompetensi ini dianggap Analisis Bivariat 1. Hubungan persepsi terhadap pekerjaan itu sendiri dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal Tabel 4.16. Tabulasi Silang Persepsi Terhadap Pekerjaan Dengan Motivasi Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Tahun 2012 (n=164) JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
126
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
Persepsi terhadap Pekerjaan
Motivasi Bidan Tinggi Rendah N % N %
Baik 46 Buruk 26 X2= 1,872 nilai p= 1,171
48,4 37,7
Pada tabel 4.16 terlihat bahwa responden yang memiliki motivasi tinggi dan persepsi terhadap pekerjaan baik lebih besar (48,4%) dari pada yang memiliki motivasi tinggi dan persepsi terhadap pekerjaan buruk (37,7%). Berdasarkan hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai p = 0,171 (>0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan antara persepsi terhadap pekerjaan dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal. Bila dilihat dari arah hubungannya cenderung positif. Jampersal adalah jaminan pembiayaan pelayanan persalinan yang meliputi pemeriksaan kehamilan, petolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk pelayanan KB dan pelayanan bayi baru lahir. Dikeluarkannya Jampersal ini dilatarbelakangi bahwa untuk menjamin terpenuhinya hak hidup sehat bagi seluruh penduduk termasuk
49 43
52,6 62,3
Total n
%
95 69
100 100
penduduk miskin dan tidak mampu, pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di Bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggitingginya. Hezberg menyatakan pekerjaan yang diberikan kepada karyawan menetukan sikap karyawan tentang pekerjaan yang mereka lakukan. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa Jampersal merupakan program pemerintah sedangkan tugas Bidan adalah hanya sebagai pelaksana dalam memberikan pelayanan KB pasca persalinan pada Jampersal. Sehingga persepsi terhadap pekerjaan Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada Jampersal tidak mempunyai hubungan dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan. 2. Hubungan tanggung jawab dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal
Tabel 4.17.
Tabulasi Silang Tanggung Jawab Dengan Motivasi Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Tahun 2012 (n=164) Motivasi Bidan Total Tanggung Tinggi Rendah Jawab N % N % n %
Baik 48 Buruk 24 2 X = 7,203 nilai p= 0,007
53,3 32,4
Pada tabel 4.17 terlihat bahwa responden dengan motivasi tinggi dan tanggung jawab baik lebih besar (53,3%) dari yang memiliki motivasi tinggi dan tanggung jawab buruk (32,4%). Berdasarkan hasil uji statistik nilai p = 0.007 (<0.05) yang artinya terdapat
42 50
46,7 67,6
90 74
100 100
hubungan antara tanggung jawab dengan dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal. Bila dilihat dari arah hubungannya cenderung positif. Setiap Bidan mempunyai wewenang untuk melakukan pekerjaan dan setiap wewenang diikuti pertanggung
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
127
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
jawaban. Setiap pekerjaan harus dapat memberikan pertanggung jawaban yang sesuai dengan wewenang, makin kecil wewenang makin kecil pula pertanggung jawaban, begitu pula sebaliknya. Praktik kebidanan adalah serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Bidan kepada klien (individu, masyarakat dan keluarga) sesuai dengan kewenangan dan kemampuannya. Asuhan kebidanan adalah penerapan fungsi, kegiatan dan tanggung jawab Bidan dalam memberikan pelayanan kepada klien yang
mempunyai kebutuhan dan atau masalah kebidanan meliputi masa kehamilan, persalinan, nifas, bayi dan KB termasuk kesehatan reproduksi perempuan serta pelayanan kesehatan masyarakat, berdasarkan hal tersebut kegiatan pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal merupakan salah satu bentuk tanggung jawab Bidan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya di Bidang kesehatan, sehingga hal ini mampu mendorong motivasi Bidan untuk melaksanakan kegiatan pelayanan KB pasca persalinan.
3. Hubungan persepsi insentif dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal Tabel 4.18. Tabulasi Silang Persepsi insentif Dengan Motivasi Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Tahun 2012 (n=164) Motivasi Bidan Total Persepsi Tinggi Rendah Persepsi insentif N % N % N % Baik 47 44,3 Buruk 25 43,1 2 X = 0,023 nilai p= 0,879 Pada tabel 4.18 terlihat bahwa responden dengan motivasi tinggi dan persepsi insentif baik lebih besar (44,3%) dari yang bermotivasi tinggi dan persepsi insentif buruk (43,1%). Berdasarkan hasil uji statistik dimana nilai p = 0.879 (>0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan antara persepsi insentif dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal. Bila dilihat dari arah hubungannya cenderung positif. Pengelolaan persepsi insentif merupakan kegiatan yang sangat penting
59 33
55,7 56,9
106 58
100 100
dalam membuat karyawan merasa puas dalam pekerjaannya. Dengan kompensasi karyawan dapat menciptakan dan mempertahankan produktivitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi insentif tidak berhubungan dengan motivasi Bidan. berdasarkan jawaban responden yang sebagian besar setuju perlu ada kenaikan dana untuk Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan namun secara teknis sistem kebijakan tentang pendanaan KB pasca persalinan untuk Bidan, terangkum dalam paket pendanaan Jampersal.
4. Hubungan persespi teknis supervisi dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal Tabel 4.19. Tabulasi Silang Persepsi Teknis Supervisi Dengan Motivasi Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Tahun 2012 (n=164)
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
128
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
Persepsi Teknis Supervisi
Motivasi Bidan Tinggi Rendah N % N %
Baik 52 Buruk 20 X2= 5,488 nilai p= 0,019
51,0 32,3
Pada tabel 4.19 diketahui bahwa responden dengan motivasi tinggi dan persepsi tehnik supervisi baik lebih besar (51,0%) dari yang bermotivasi tinggi dan persepsi teknis supervisi buruk (32,3%). Berdasarkan hasil uji statistik dimana nilai p = 0.019 (<0,05) yang artinya terdapat hubungan antara persepsi teknis supervisi dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal. Bila dilihat dari arah hubungannya cenderung positif. Kegiatan supervisi berhubungan dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal, hal ini dikarenakan Kegiatan supervisi dilakukan dengan tujuan untuk memberi keterangan sebanyak-
50 42
49,0 67,7
Total n
%
102 62
100 100
banyaknya kepada bawahan, memenuhi keinginan bawahan, memberi ijin karyawan melakukan kegiatan dan mengambil keputusan sendiri sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan, memberi pendapat karyawan, melakukan peraturan tidak baku, memberi kesempatan kepada bawahan untuk menafsirkan dan melaksanakan perintahperintah yang diberikan, konsekuen dalam melaksanakan peraturan, memperjuangkan kepentingan karyawan dan tidak mendiskriminasi karyawan. 5. Hubungan persepsi kebijakan administratif dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal
Tabel 4.20. Tabulasi Silang Perspsi Kebijakan Administratif Dengan Motivasi Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Tahun 2012 (n=164) Motivasi Bidan Persepsi Total Tinggi Rendah Kebijakan N % N % n % Administratif Baik 55 Buruk 17 2 X = 5,043 nilai p= 0,025
50,0 31,5
Berdasarkan tabel 4.20 diperoleh bahwa responden dengan motivasi tinggi dan persepsi kebijakan administratif baik lebih besar (50,0%) dari yang bermotivasi tinggi dan persepsi kebijakan administratif buruk (31,5%). Berdasarkan hasil uji statistik dimana nilai p = 0.025 (<0,05) yang artinya terdapat hubungan antara persepsi kebijakan administratif dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal. Bila
55 37
50,0 68,5
110 54
100 100
dilihat dari arah hubungannya cenderung positif. Kebijakan administratif sebenarnya sangat penting bagi Bidan, dokumentasi kebidanan sangat penting bagi Bidan dalam memberikan asuhan kebidanan, karena asuhan kebidanan yang diberikan kepada klien membutuhkan pencatatan dan pelaporan yang dapat digunakan sebagai acuan untuk evaluasi program sehingga bisa dicari solusi untuk permasalahan yang ada, dalam penelitian ini kebijakan administratif mempunyai hubungan dengan motivasi Bidan, hal ini
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
129
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
disebabkan bahwa kebijakan administratif merupakan pedoman bagi 6.
Bidan dalam melaksanakan pelayanan KB pasca persalinan pada Jampersal.8-9
Hubungan kompetensi dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal Tabel 4.21. Tabulasi Silang Kompetensi Dengan Motivasi Bidan Dalam Pelayanan KB Pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas Kabupaten Lumajang Tahun 2012 (n=164) Motivasi Bidan Total Tinggi Rendah Kompetensi N % N % n % Baik 55 Buruk 17 X2= 1,599 nilai p= 0,206
47,0 36,2
Berdasarkan tabel 4.21 diketahui bahwa responden dengan motivasi tinggi dan kompetensi baik lebih besar (47,0%) dari yang bermotivasi tinggi dan berkompetensi buruk (36,2%). Berdasarkan hasil uji statistik dimana nilai p = 0.206 (>0,05) yang artinya tidak terdapat hubungan antara kompetensi dengan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal. Bila dilihat dari arah hubungannya cenderung positif. Mc Clelland (1993) menyatakan bahwa kompetensi adalah kemampuan untuk menjalankan aktivitas dalam sebuah pekerjaan menurut standar yang telah ditetapkan, dan merupakan karakteristik dasar personal yang menjadi faktor penentu sukses tidaknya seseorang dalam mengerjakan suatu pekerjaan atau situasi. Kompetensi ini dianggap sebagai ukuran maksimum dalam mengategorikan suatu pekerjaan atau jabatan dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan kata lain pekerja dikatakan kompeten apabila mampu melaksanakan proses kerja secara benar sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan oleh pekerjaan atau jabatannya. Salah satu unsur dalam kompetensi adalah pengetahuan. Kompetensi merupakan cerminan dari kemampuan profesionalisme petugas/ karyawan dalam
62 30
53,0 63,8
117 47
100 100
melaksanakan fungsinya.40 Kompetensi dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan motivasi kerja Bidan, hal ini didukung dengan data yang diperoleh bahwa pengalaman kerja ataupun masa kerja dalam penelitian ini sebagian besar adalah 10 – 20 tahun (43,9%) serta hampir seluruh responden dapat menjawab pertanyaan pada kuesioner dengan benar, hal ini berarti bahwa Bidan sudah mempunyai kompetensi yang baik dalam melaksanakan tugasnya sehingga dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal sudah tidak berpengaruh lagi terhadap motivasi kerja Bidan. Analisis Multivariat Berdasarkan hasil uji logistik bivariat yang mempunyai nilai p < 0,25 adalah variabel tanggung jawab (nilai p = 0,008), persepsi supervisi (nilai p = 0,020), persepsi kebijakan administratif (nilai p = 0,026). Langkah analisis berikutnya adalah uji pengaruh untuk mengetahui pengaruh bersama-sama (tanggung jawab, persepsi supervisi, persepsi kebijakan administratif) terhadap motivasi bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program jampersal Pada penelitian ini analisis data yang digunakan adalah dengan uji regresi logistik. Melalui uji tersebut diharapkan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
130
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
dapat diperoleh model regresi yang baik yang mampu menjelaskan variabel yang berpengaruh terhadap motivasi Bidan
dalam pelayanan KB pasca persalinan Jampersal.
Tabel 4.22. Hasil Analisis Multivariat Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan Dalam Pelayanan KB pasca Persalinan Pada Program Jampersal Di Puskesmas kabupaten Lumajang tahun 2012 Variabel Sig Keterangan Tanggung jawab 0,025 Berpengaruh Teknis supervise 0,098 Tidak Berpengaruh Kebijakan administrative 0,076 Tidak Berpengaruh secara baik semata belumlah cukup untuk Dari hasil uji multivariat pada tabel memotivasi mereka. 4.22 dapat diketahui bahwa terdapat satu Hal ini tentunya bila dapat diolah variabel bebas yaitu tanggung jawab yang dengan baik maka dapat memaksimalkan paling berpengaruh pada variabel terikat pencapaian KB pasca persalinan pada yaitu motivasi Bidan dalam pelayanan program Jampersal di Puskesmas KB pasca persalinan pada program Kabupaten Lumajang. Oleh karena itu Jampersal dibandingkan dengan variabel perlu dilakukan berbagai upaya kegiatan lainnya yaitu persepsi pekerjaan dan dalam pelaksanaan Jampersal sehingga teknis supervisi. dapat meningkatkan motivasi Bidan Berdasarkan teori dua faktor yang dalam pelaksanaan pelayanan KB pasca dikemukakan oleh Hezberg bahwa persalinan pada program Jampersal. Hal tanggung jawab merupakan salah satu itu diperkuat dari hasil penelitian bahwa faktor intrinsik dalam motivasi. terkait tanggung jawab sebagian besar Kontribusi utama pada teori ini adalah responden menyatakan selalu meningkatkan kepekaan pimpinan memberikan pelayanan KB pasca organisasi terhadap fakta bahwa persalinan sesuai ketentuan yang berlaku memperlakukan anggota organisasi dan selalu melakukan follow up pasca pemasangan alkon pada klien Jampersal. Pada penelitian ini terdapat beberapa menejemen. Kebijaksanaan merupakan variabel bebas yang tidak berpengaruh batas bagi keputusan, menentukan apa terhadap variabel terikat pada uji yang dapat dibuat dan menutup apa yang multivariat, yaitu persepsi tehnik tidak dapat dibuat. Dengan cara ini, supervisi, hal ini terkait dengan kondisi di kebijaksanaan menyalurkan pemikiran Kabupaten Lumajang belum para anggota organisasi agar konsisten dilaksanakan supervisi yang secara dengan tujuan organisasi. Tetapi pada khusus untuk pelaksanaan KB pasca persepsi kebijakan administratif sebagian persalinan dalam Jampersal, kegiatan besar responden menyatakan kadangsupervisi yang ada masih untu pelayanan kadang BP KB membuat persiapan KB secara umum. Padahal supervisi pelaksanaan survilance pasca merupakan suatu upaya pembinaan dan pemasangan. Di Kabupaten Lumajang pengarahan untuk meningkatkan gairah belum ada kebijakan yang mengatur dan prestasi kerja. mengenai hal- hal yang terkait dengan Variabel bebas yang juga tidak pelaksanaan pelayanan KB pasca berpengaruh adalah persepsi kebijakan persalinan seperti: format pencatatan dan administratif, Kebijakan administratif pelaporan serta supervisi. organisasi merupakan salah satu wujud Dengan demikian maka dapat umum rencana- rencana tetap dari fungsi disimpulkan bahwa baik tidaknya perencanaan (planning) dalam motivasi Bidan dalam pelayanan KB JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
131
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
pasca persalinan pada program Jampersal dipengaruhi oleh tanggung jawab yang dimiliki Bidan dalam memberikan pelayanan. Tanggung jawab pada keberhasilan program ini tidak hanya semata- mata menjadi beban Bidan. Perlu adanya dukungan dari stakeholder untuk menumbuhkan dukungan para penentu kebijakan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan bahwa: sebagian besar responden mempunyai usia 20 - 35 tahun (54,9%), pendidikan D III (78,7%), dan masa kerja > 10 tahun (57,9%). Pada penelitian ini terdapat beberapa variabel bebas yang berkategori baik diantaranya adalah: persepsi terhadap pekerjaan (57,9%), tanggung jawab (32,3%), persepsi insentif (64,6%), persepsi tehnik supervisi (62,2%), persepsi kebijakan administratif (67,1%), kompetensi (71,3%). Disamping itu terdapat satu variabel terikat yang berkategori rendah yaitu: motivasi (56,1%) Variabel yang berhubungan dengan motivasi adalah tangung jawab (nilai p = 0,007), persepsi teknis supervisi (nilai p = 0,019), dan persepsi kebijaka administratif (nilai p = 0,025). Sedangkan variabel yang tidak berhubungan motivasi Bidan dalam pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal adalah persepsi terhadap pekerjaan (nilai p = 1,171), persepsi insentif (nilai p = 0,879) dan kompetensi (nilai p = 0,206), serta hasil variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikat yaitu tanggung jawab nilai p = 0,025 (p < 0,05). Saran 1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Lumajang a. Menyediakan format pelaporan yang khusus mengenai KB pasca persalinan.
b. Pelaksanaan supervisi dan merencanakan pengadaan tenaga untuk melaksanakan supervisi tersebut. c. Mempermudah proses pengklaiman dana pelayanan KB pasca persalinan pada program Jampersal. d. Melakukan supervisi laporan pelayanan KB pasca persalinan pada Jampersal 2. Bagi Puskesmas di Kabupaten Lumajang a. Mengupayakan penyelesaian masalah yang ditemukan pada pelaksanaan KB pasca persalinan pada program Jampersal dengan melakukan pertemuan dalam forum diskusi dengan melibatkan Bidan yang ada dalam wilayah Puskesmas dan Bidan koordinator. b. Kepala Puskesmas membuat penetapan peraturan secara tertulis waktu penyusunan pelaporan pencapaian KB pasca persalinan pada program Jampersal per triwulan. c. Kepala puskesmas memberikan umpan balik hasil supervisi melalui rapat puskesmas dengan bidan di wilayah Puskesmas. d. Membuat rencana kebutuhan alat dan obat kontrasepsi yang diperlukan untuk pelayanan KB pasca persalinan pada jampersal di Puskesmas 3. Bagi BP KB a. Mengadakan pertemuan untuk sosialisasi pada bidan pemberi layanan KB pasca persalinan pada program jampersal mengenai, kebijakan administratif tentang KB pasca persalinan jampersal. b. Melakukan kunjungan/ survey lapangan ke tempat pemberi layanan KB pasca persalinan pada jampersal seperti Puskesmas, Pustu dan Poskesdes.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
132
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Bidan………………………..Herlidian Putri, Hal. 115 - 133
DAFTAR PUSTAKA Amalia. SDKI 2012. Samarinda: Bappeda Kota Samarinda; 2011. Andrian. Manusia dan Tanggung Jawab. Jakarta: Bagus Pemuda Indonesia; 2011. Arikunto. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta; 2005. Azwar. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2000. BKKBN. Cakupan KB Awal 2010. Jateng: BKKBN; 2010. BKKBN. Materi Dasar Promosi KB Pasca Persalinan dan Pasca Keguguran Jakarta: Direktorat Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi dan Anak; 2010. BKKBN. Pedoman Pelayanan Keluarga Berencana Dalam Jampersal. Jakarta: Direktorat Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi dan Anak; 2011. Kemenkes RI. Juknis Jampersal. jakarta; 2011. BKKBN. Peningkatan Akses Dan Kualitas Pelayanan KB Pasca Persalinan Dan Pasca Keguguran. Jakarta: Direktorat Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi dan Anak; 2010. Danim. Motivasi, Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok. Jakarta: Rineka Cipta; 2004. Dessler. Manajemen Sumber Daya Manusia. 7 ed. Jakarta: Prenhallindo; 1998. Fais. Mananjemen Pelayanan Kesehatan Serta Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika; 2009. Fuad. Human Resources Development. Jakarta: PT Grasindo; 2009. IBI. Program Bidan Delima. Jakarta: PP IBI; 2005. Kemenkes RI. Kesehatan Ibu. Jakarta: Kemenkes RI; 2011. Kemenkes RI. Buku saku Jaminan Persalinan (Jampersal). Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Ibu; 2011. Kusumaningrum. Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis Kontrasepsi Yang Digunakan Pada
Pasangan Usia Subur. Semarang: FK Undip; 2009. Mangkunegara. Evaluasi Kinerja SDM. Bandung: Refina Aditama; 2005. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Surabaya: Salemba Medika; 2003. Robbins. Perilaku Organisasi. 12 ed. Jakarta: Salemba Empat; 2008. Samsudin. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Pustaka Setia; 2006. Sastroasmoro. Dasar- dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: CV Sagung Setu 2006. Setiawan. Metodologi Penelitian Kebidanan D III, D IV, S1, dan S2. Nuha Medika. Yogyakarta: Nuha Medika; 2010. Siagian. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Refina Aditama; 2005. Sudarmanto. Kinerja dan Pengembangan SDM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2009. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung: Alfabeta; 2008. Sugiyono. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta; 2006. Suyanto. Riset Kebidanan Metodologi dan Aplikasi. Bandar Lampung: Mitra Cendekia; 2008. Syarief. Kebijakan BKKBN Dalam Peningkatan Kesertaan Masyarakat Ber- KB. Jakarta: BKKBN; 2010. Taufiqurrahman. Ibu Bersalin Dengan Biaya Jaminan Persalinan (jampersal) Wajib Ikut KB Pasca Persalinan. Jakarta: Tribun Lampung; 2011. Thoha. Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo; 2005. Wikipedia. Wewenang dan Tanggung Jawab. Jakarta: Media Wiki; 2011.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
133
Hubungan Tingkat Nyeri Dengan Mobilisasi Dini………………………....Siti Mudawamah, Hal. 134 - 141
HUBUNGAN TINGKAT NYERI DENGAN MOBILISASI DINI PADA IBU POST SECTIO CAESAREA (Studi di Ruang Melati BAPELKES RSD Jombang) Siti Mudawamah* *Dosen D III Kebidanan STIKES dr. Soebandi Jember Abstrak Nyeri yang dirasakan seseorang mempunyai rentang nyeri yang berbeda-beda dari orang satu ke orang lainnya. Rasa nyeri ini dapat timbul akibat trauma fisik yang disengaja atau tidak disengaja. Salah satu trauma fisik yang disengaja yaitu luka operasi sectio caesarea (SC). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan tingkat nyeri dengan mobilisasi dini pada ibu post SC di ruang nifas (Melati) Bapelkes RSD Jombang. Jenis penelitian ini adalah analitik – cross sectional. Populasi diambil dari semua ibu post sectio caesarea di Ruang Melati BAPELKES RSD Jombang dengan jumlah sampel 15 orang, dengan tehnik accidental sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar chek list, dengan menggunakan uji statistik Mann Whitney dengan tingkat kemaknaan 0,05 dan disajikan kedalam bentuk tabel. Berdasarkan hasil analisa melalui uji uji Mann Whitney dengan bantuan SPSS For Windows 13 dengan α 0,05 didapatkan bahwa α hitung = 0,017 < 0,05 yang artinya ada hubungan tingkat nyeri dengan mobilisasi dini pada ibu post sectio caesarea. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat nyeri ibu post SC adalah berat dan ibu tidak mau melakukan mobilisasi dini. Diharapkan ibu mau meningkatkan pengetahuan tentang mobilisasi dini dan ibu mau melakukan mobilisasi dini untuk mempercepat proses pemulihan alat kandungan baik melalui media massa maupun media elektronik dan bagi tenaga kesehatan diharapkan memberikan dukungan dan membantu ibu untuk melakukan mobilisasi dini. Kata Kunci : Tingkat Nyeri, Mobilisasi Dini, Sectio Caesarea PENDAHULUAN Nyeri adalah perasaan tidak nyaman yang betul-betul subyektif dan hanya orang yang menderitanya dapat menjelaskan dan mengevaluasi (Bruner dan Suddarth, 2001). Nyeri yang dirasakan seseorang mempunyai rentang nyeri yang berbedabeda dari orang satu ke orang lainnya. Rasa nyeri ini dapat timbul akibat trauma fisik yang disengaja atau tidak disengaja. Salah satu trauma fisik yang disengaja yaitu luka operasi sectio caesarea (SC), dimana dalam operasi SC dilakukan dengan insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh dan berat janin di atas 500 gram (Hanifa, 2002).
Di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta, menurut laporan tahunan bagian instalasi gawat darurat sepanjang tahun 2000, diantara 100 orang ibu melahirkan terdapat 30 ibu yang SC. Angka itu lebih rendah dibanding di Amerika Serikat (AS) dan Cina. Di Amerika Serikat menurut Martin dan Hamilton dkk pada bulan Juli 2001, persentase caesarea mencapai 22,9%. Di Shantou, bagian selatan Cina angka tersebut berkisar dari 11,05 – 29,9% dari 1990 – 1997 (Januadi, 2006). Berdasarkan data di Ruang PONEK Bapelkes RSD Jombang tahun 2007 didapatkan bahwa jumlah kematian ibu sebanyak 8 orang dari persalinan spontan
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
134
Hubungan Tingkat Nyeri Dengan Mobilisasi Dini………………………....Siti Mudawamah, Hal. 134 - 141
sebanyak 678 dan persalinan abnormal sebanyak 1.069 (persalinan sungsang 174, manual aid 86, vakum ekstraksi 352, forcep 1 dan persalinan dengan pemberian OD sebanyak 456) (Bapelkes RSD Jombang, 2007). Indikasi dilakukannya seksio sesarea antara lain, kegagalan progresi persalinan (distosia), mal prasentasi atau mal posisi, perdarahan antepatum dan keadaan janin (Llewellyn Derek, 2002). Di dalam journal of medicine tahun 2005 memuat tentang ibu yang pernah mengalami operasi caesarea dan berencana untuk menjalani persalinan pervaginam, sebaiknya mempertimbangkan beberapa faktor resiko yang mungkin timbul baik resiko bagi ibu ataupun janin. Ruptur uteri yang terjadi walaupun dapat diatasi, sering memerlukan operasi pengangkatan rahim. Hal ini dapat menyebabkan kematian atau kerusakan otak bagi sang bayi. Walaupun resiko tersebut tidak besar, hanya sekitar 1 dari 2000 partus percobaan (Januadi, 2006). Dr. Judi Januadi Endjun, SPOG, RS Gatot Subroto, 2006 mengatakan bahwa dalam proses penyembuhan tidak bisa dihindari terjadinya pembentukan jaringan perut. Jaringan perut inilah yang dapat menyebabkan nyeri saat melakukan aktifitas tertentu. Begitu juga aktifitas yang berlebihan maupun penekanan dibagian tersebut (Januadi, 2006). Proses pemulihan kesehatan pada masa nifas merupakan hal yang sangat penting bagi ibu setelah melahirkan, sebab selama masa kehamilan dan persalinan telah terjadi perubahan fisik dan psikis. Perubahan fisik meliputi ligamentligament yang bersifat membesar, postur tubuh berubah dengan kompensasi terhadap perubahan berat badan saat hamil. Pada persalinan dinding panggul selalu teregang dan mungkin terjadi kerusakan pada jalan lahir, serta setelah persalinan, otot-otot dasar panggul menjadi longgar karena diregang begitu
lama saat hamil maupun bersalin. Tidak jarang ligament fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi kendor mengakibatkan uterus jatuh ke belakang. Selain itu juga wanita sering mengeluh kandungannya turun setelah melahirkan oleh karena ligament fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi kendor (Prawirohardjo, 2002). Oleh karena itu, perlu dilakukan mobilisasi dini, dimana mobilisasi dini yaitu melakukan aktivitas atau usaha untuk berjalan (Manuaba 2002). Dan waktu yang dianjurkan pada pasien post op untuk melakukan mobilisasi dini yaitu 24 – 48 jam (Llewellyn Derek, 2002). Sebagian besar pasien dapat melakukan mobilisasi segera setelah efek obat – obatan yang diberikan saat melahirkan telah hilang. Aktifitas tersebut sangat berguna bagi semua sistem tubuh, terutama fungsi alat gastrointestinal, alat perkemihan dan kelancaran peredaran darah. Hal tersebut juga melancarkan pengeluaran lochea sehingga membantu mengurangi infeksi puerperium (Manuaba, 2002). Dapat dibayangkan apabila seorang pasien post op tidak melakukan mobilisasi dini, maka akan menimbulkan beberapa masalah seperti hipotensi ortostatik pada sistem kardiovaskuler, statis urine pada saluran perkemihan dan terjadi anoreksia diare atau konstipasi pada gastrointestinal (Sue.Hincliff, 2002). Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti ditemukan pasien post op melakukan mobilisasi dini diantaranya yaitu rasa nyeri yang dirasakan saat bergerak, kurang pengetahuan tentang mobilisasi dini, adanya kesalahan persepsi tentang mobilisasi dini. Upaya yang telah dilakukan oleh pihak RS yaitu memberikan pengertian, penjelasan dan penyuluhan tentang pentingnya mobilisasi setelah operasi, dan disetiap kesempatan petugas-petugas di ruangan membantu pasien dalam melakukan latihan mobilisasi.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
135
Hubungan Tingkat Nyeri Dengan Mobilisasi Dini………………………....Siti Mudawamah, Hal. 134 - 141
Namun walau upaya ini telah dilakukan tapi masih saja ada pasien yang enggan melakukan aktivitas tersebut. Mungkin salah satu penyebabnya adakah perasaan nyeri yang dirasakan pasien karena ambang nyeri yang berbeda sehingga pasien enggan untuk melakukannya. Maka dari itu dari berbagai permasalahan tersebut peneliti ingin meneliti lebih lanjut apakah ada hubungan tingkat nyeri dengan mobilisasi dini pada ibu post SC. METODE PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi musik terhadap tingkat perkembangan anak usia prasekolah di TK ABA Kalisat Kabupaten Jember. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian pre eksperimental dengan rancangan one group pretest posttest. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa TK ABA yaitu sebanyak 161 siswa. Sampel yang digunakan adalah anak usia prasekolah yang memenuhi kriteria inklusi. Terdiri dari anak yang berumur 3 hingga 5 tahun. Jumlah sampel yang digunakan adalah 12% dari total populasi yaitu sebanyak 20 siswa. Tekhnik Sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability sampling. Penelitian ini merupakan penelitian wilcoxon match pairs test dengan taraf kesalahan (p) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1%. Desain penelitian adalah sesuatu yang vital dalam penelitian yang
memungkinkan memaksimalkan suatu kontrol beberapa faktor yang bisa mempengaruhi validiti suatu hasil. Desain riset sebagai petunjuk peneliti dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian untuk mencapai suatu tujuan atau menjawab suatu pertanyaan (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik. Penelitian analitik adalah suatu studi untuk menemukan fakta dengan interpretasi yang tepat dan hasil penelitian diolah dengan menggunakan uji statistik. Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional yaitu rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan variabel independent (tingkat nyeri) dan variabel dependent (mobilisasi) pada saat bersamaan (sekali waktu) antara kedua variabel (Alimul, 2007). HASIL Data umum Bapelkes RSD Jombang yang terletak di Jl. KH. Wahid Hasyim 52 Kabupaten Jombang. sebelah utara berbatasan dengan Stadion Kabupaten Jombang, sebelah timur berbatasan dengan Desa Kwijanan dan Desa Jelak Ombo, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kaliwungu dan sebelah barat berbatasan dengan Jl. Gatot Subroto dan Jl. Dr. Soetomo. Jumlah tenaga kesehan sebanyak 213 orang.
a. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Tabel 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan di Ruang Melati Bapelkes RSD Jombang Tahun 2008. No Pendidikan Jumlah Persentase (%) 1. Tidak tamat sekolah 1 6,6 2. SD 6 40 3. SLTP 3 20 4. SMA 3 20 5. Akademi/PT 2 13,4 Total 15 100 Sumber : Data Primer, 2008 JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
136
Hubungan Tingkat Nyeri Dengan Mobilisasi Dini………………………....Siti Mudawamah, Hal. 134 - 141
b. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Ruang Melati Bapelkes RSD Jombang Tahun 2008. No Umur Jumlah Persentase (%) 1. 20-25 tahun 8 53,3 2. 26-30 tahun 4 26,7 3. 31-35 tahun 2 13,4 4. 36-40 tahun 1 6,6 5. > 40 tahun 0 0 Total 15 100 Sumber : Data Primer, 2008 Berdasarkan tabel 5.2 dapat menunjukkan bahwa sebagian besar responden berusia 20-25 tahun sebanyak 8 orang (53,3%). c. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Tabel 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan di Ruang Melati Bapelkes RSD Jombang Tahun 2008. No Pekerjaan Jumlah Persentase (%) 1. Petani 1 6,6 2. Swasta 3 20 3. PNS 2 13,4 4. IRT 9 60 Total 15 100 Sumber : Data Primer, 2008 Berdasarkan tabel 5.3 dapat menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak bekerja (IRT) sebanyak 9 orang (60%). d. Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas Tabel 5.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Paritas di Ruang Melati Bapelkes RSD Jombang Tahun 2008. No Paritas Jumlah Persentase (%) 1. Primipara 10 66,7 2. Multipara 5 33,3 Total 15 100 Sumber : Data Primer, 2008 Berdasarkan tabel 5.4 dapat menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah primipara sebanyak 10 orang (66,7%). 2.
Data Khusus a. Tingkat Nyeri Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Tingkat Nyeri di Ruang Melati Bapelkes RSD Jombang Tahun 2008. No Tingkat Nyeri Jumlah Persentase (%) 1. Ringan 2 13,3 2. Sedang 4 26,7 3. Berat 9 60 Total 15 100 Sumber : Data Observasi, 2008 Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa sebagian besar (60%) responden mengalami nyeri berat.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
137
Hubungan Tingkat Nyeri Dengan Mobilisasi Dini………………………....Siti Mudawamah, Hal. 134 - 141
b. Mobilisasi Dini Pada Ibu Post SC Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Mobilisasi Dini Pada Ibu Post SC di Ruang Melati Bapelkes RSD Jombang Tahun 2008. No Mobilisasi Dini Jumlah Persentase (%) 1. Melakukan 5 33,3 2. Tidak melakukan 10 66,7 Total 15 100 Sumber : Data Observasi, 2008 Berdasarkan tabel 5.6 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak melakukan mobilisasi dini sebanyak 10 orang (66,7%). c. Hubungan Tingkat Nyeri Dengan Mobilisasi Dini Pada Ibu Post Sectio Caesarea Tabel 5.7 Tabulasi Silang Tingkat Nyeri Dengan Mobilisasi Dini Pada Ibu Post Sectio Caesarea Tahun 2008. Tingkat Mobilisasi Dini Nyeri Melakukan Tidak Total melakukan Σ % Σ % Σ % Ringan 2 100 0 0 2 100 Sedang 2 50 2 50 4 100 Berat 1 11,1 8 88,9 9 100 Total 5 33,3 10 66,7 15 100 Sumber : Data Observasi, 2008 PEMBAHASAN 1. Tingkat Nyeri Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa bahwa sebagian besar (60%) responden mengalami nyeri berat. Nyeri yang dirasakan seseorang mempunyai rentang nyeri yang berbeda-beda dari orang satu ke orang lainnya. Rasa nyeri ini dapat timbul akibat trauma fisik yang disengaja atau tidak disengaja. Salah satu trauma fisik yang disengaja yaitu luka operasi sectio caesarea (SC), dimana dalam operasi SC dilakukan dengan insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh dan berat janin di atas 500 gram (Hanifa, 2001). Hal ini dikarenakan efek dari obat bius, dan juga pengalaman persalinan. ibu yang pernah melakukan operasi caesarea sebelumnya maka akan terbiasa merespon nyeri, sebaliknya ibu yang pertama kali melakukan operasi caesarea akan merespon nyeri seperti sesuatu kondisi yang menyakitkan.
Hal ini juga disebabkan oleh sebagian besar ibu adalah primipara sebanyak 10 responden (66,7%). Ibu yang belum mempunyai pengalaman ini akan merespon nyeri sebagai sesuatu yang menyakitkan dan luar biasa. Sebaliknya ibu yang sudah mempunyai anak lebih dari 1 akan merespon nyeri adalah sesuatu yang biasa dialami dalam persalinan baik normal maupun SC. Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannya yang tidak adekuat. Individu yang mengalami nyeri selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun dapat menjadi mudah marah, menarik diri dan depresi (Brunner and Suddarth, 2001). Tingkat nyeri juga dipengaruhi oleh pendidikan. Hal ini dikarenakan rendahnya pendidikan akan berpengaruh terhadap daya serap atau penerimaan informasi yang masuk apalagi informasi yang bersifat baru dikenal responden termasuk perihal nyeri setelah operasi
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
138
Hubungan Tingkat Nyeri Dengan Mobilisasi Dini………………………....Siti Mudawamah, Hal. 134 - 141
sectio caesarea. Orang yang mempunyai pendidikan tinggi dapat merespon nyeri dengan baik dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Sebagian besar ibu tidak bekerja, sehingga akan mempengaruhi bagaimana cara ibu dalam merespon dan mengurangi rasa nyeri. Ibu yang tidak bekerja akan mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki tentang persalinan sehingga pola pikir ibu post SC tidak maju atau bagus tentang sesuatu hal yang baru. Umur ibu rata-rata 20-25 tahun sebanyak 8 responden (53,3%). Biasanya umur ibu yang muda ini cenderung bersifat manja apalagi jika kehamilannya merupakan anak yang pertama. Ibu akan merasakan bahwa segala yang ia alami dalam proses persalinan adalah hal yang menyakitkan dan menakutkan. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan (Syamsu, 2006). Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri (Uliyah, 2006). Sebagian kecil responden yang mengalami nyeri ringan sebanyak 2 responden (13,3%). Nyeri ringan yang dialami responden ini dikarenakan 5 (33,3%) responden adalah multipara sehingga mempunya pengalaman dalam persalinan sebelumnya dan ibu dapat merespon nyeri dan mengatasi nyeri dengan baik.
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan perlindungan (Uliyah, 2006). Nyeri juga dipengaruhi oleh dukungan keluarga. Ibu post SC dapat merespon nyeri jika lingkungan sekitarnya mendukung. Ibu tidak akan mengeluh nyeri yang hebat karena rasa cemas atau ansietas dalam dirinya berkurang. Hal ini dikarenakan cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. 2. Mobilisasi dini Berdasarkan gambar tabel 5.2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak melakukan mobilisasi dini sebanyak 10 orang (66,7%). Hal ini dikarenakan sebagian ibu melahirkan anak yang pertama, dimana ibu belum memiliki pengalaman tentang mobilisasi dini dan ibu tidak mengetahui bagaimana cara melakukan mobilisasi dini jika tidak diberi penyuluhan oleh petugas kesehatan. Sebagian besar pasien dapat melakukan mobilisasi segera setelah efek obat – obatan yang diberikan saat melahirkan telah hilang. Aktifitas tersebut sangat berguna bagi semua sistem tubuh, terutama fungsi alat gastrointestinal, alat perkemihan dan kelancaran peredaran darah. Hal tersebut juga melancarkan pengeluaran lochea sehingga membantu mengurangi infeksi puerperium (Manuaba, 2002). Dari 9 responden yang tingkat nyerinya berat, 1 (11,1%) diantaranya mau melakukan mobilisasi dini. Hal ini dikarenakan motivasi ibu untuk melakukan mobilisasi dini tinggi, selain ibu memiliki motivasi yang tinggi, ibu juga melahirkan anak ke dua sehingga ibu belajar dari pengalamannya bahwa mobilisasi dini sangat penting dilakukan setelah melahirkan. Selain itu dukungan keluarga dan petugas kesehatan dapat
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
139
Hubungan Tingkat Nyeri Dengan Mobilisasi Dini………………………....Siti Mudawamah, Hal. 134 - 141
mempengaruhi ibu untuk melakukan mobilisasi dini. Selain itu tindakan mobilisasi dini dipengaruhi oleh sebagian besar responden berpendidikan SD sebanyak 6 responden (40%). dimana pendidikan yang rendah menyebabkan responden sulit dalam menerima informasi khusunya perihal tentang mobilisasi dini, sebaliknya pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi pengetahuan ibu sehingga responden mau melakukan mobilisasi dini. karena responden menganggap bahwa mobilisasi perlu dilakukan dalam rangka proses penyembuhan alat-alat kandungan. Proses pemulihan kesehatan pada masa nifas merupakan hal yang sangat penting bagi ibu setelah melahirkan, sebab selama masa kehamilan dan persalinan telah terjadi perubahan fisik dan psikis. Perubahan fisik meliputi ligament-ligament yang bersifat membesar, postur tubuh berubah dengan kompensasi terhadap perubahan berat badan saat hamil. Pada persalinan dinding panggul selalu teregang dan mungkin terjadi kerusakan pada jalan lahir, serta setelah persalinan, otot-otot dasar panggul menjadi longgar karena diregang begitu lama saat hamil maupun bersalin. Tidak jarang ligament fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi kendor mengakibatkan uterus jatuh ke belakang. Selain itu juga wanita sering mengeluh kandungannya turun setelah melahirkan oleh karena ligament fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi kendor (Prawirohardjo, 2002). Oleh karena itu, perlu dilakukan mobilisasi dini, dimana mobilisasi dini yaitu melakukan aktivitas atau usaha untuk berjalan (Manuaba 2002). Dan waktu yang dianjurkan pada pasien post op untuk melakukan mobilisasi dini yaitu 24 – 48 jam (Llewellyn Derek, 2002).
3. Hubungan Tingkat Nyeri Dengan Mobilisasi Dini Pada Ibu Post Sectio Caesarea Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa dari 9 ibu yang mengalami nyeri berat, 8 diantaranya tidak melakukan mobilisasi. Dan dari hasil analisa menggunakan uji Mann Whitney dengan bantuan SPSS For Windows 13 dengan ρ 0,05 didapatkan bahwa ρ hitung = 0,017 < 0,05 yang artinya ada hubungan tingkat nyeri dengan mobilisasi dini pada ibu post sectio caesarea. Ketidakmauan ibu melakukan mobilisasi dini dikarenakan oleh ambang nyeri yang diderita. Nyeri yang ringan pada pasien post SC dapat menyebabkan pasien melakukan mobilisasi dini, sebaliknya pasien yang mengalami nyeri yang berat akan menyebabkan responden tidak melakukan mobilisasi dini. Selain itu, mobilisasi juga dipengaruhi oleh perasaan takut akan lepasnya jahitan, trauma persalinan yang menyakitkan sehingga mendorong ibu untuk tidak melakukan mobilisasi dini. Menurut Manuaba (2002) salah satu alasan ibu yang baru saja melahirkan tidak melakukan banyak gerakan adalah karena takut sakit. Sebagian besar pasien dapat melakukan mobilisasi segera setelah efek obat – obatan yang diberikan saat melahirkan telah hilang. Aktifitas tersebut sangat berguna bagi semua sistem tubuh, terutama fungsi alat gastrointestinal, alat perkemihan dan kelancaran peredaran darah. Hal tersebut juga melancarkan pengeluaran lochea sehingga membantu mengurangi infeksi puerperium (Manuaba, 2002). Klien yang mengalami nyeri kurang mampu melakukan mobilisasi dini. Pengkajian ini menunjukkan sejauh mana kemampuan dan proses penyesuaian klien berpartisipasi dalam perawatan diri. Penting juga untuk mengkaji efek nyeri pada aktivitas sosial klien. anak tanya jawab untuk menjelaskan isi lagu setelah lagu diberikan. Anak diupayakan bisa
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
140
Hubungan Tingkat Nyeri Dengan Mobilisasi Dini………………………....Siti Mudawamah, Hal. 134 - 141
menjawab dengan jawaban yang sesuai dan jelas. Sehingga anak bisa lebih mengembangkan bukan hanya dalam menguasai kosakata, akan tetapi bagaimana anak mengkondisikan dirinya dalam keadaan memaparkan. Anak akan lebih aktif bicara, menyimak dan merespon serta lebih kritis. Sehingga kemampuan berbicara anak juga akan ikut terstimulasi secara baik. Jika dalam satu hari dapat mengenalkan 1 lagu sederhana, maka setidaknya anak mampu menerima 5 sampai 8 kata baru (Rasyid, 2010). Sudah jelas bahwa kegiatan menyanyi bagi anak akan memperkaya kosakatanya.
Yudhana, Amarin. 2009. Pengaruh Stimulasi Music Klasik Terhadap Perkembangan Kognitif (Aspek Bahasa) Pada Anak Usia Prasekolah (3-5 Tahun) Di Play Group Dan Bina Insane Kediri. Abstrak tesis. Surakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di Bapelkes RSD Jombang dapat disimpulkan bahwa : 1. Tingkat nyeri yang dialami oleh ibu post sectio caesarea di Bapelkes RSD Jombang adalah berat 2. Ibu post section caesarea di Bapelkes RSD Jombang tidak melakukan mobilisasi dini 3. Ada hubungan tingkat nyeri dengan mobilisasi dini pada ibu post sectio caesarea di Bapelkes RSD Jombang. DAFTAR PUSTAKA Holmes, David. 2010. The Benefits Of Music Therapy. British : British Association For Adoption & Fostering. http:// find.galegroup.com/ [15 desember 2010] Musbikin, Imam. 2009. Kehebatan Musik Untuk Mengasah Kecerdasan Anak. Jogjakarta : Power Books Rasyid, Father. Cerdaskan Anakmu Dengan Musik. 2010. Jogjakarta. Diva press Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta. EGC Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
141
PANDUAN UNTUK MENULIS NASKAH Jurnal hanya menerima naskah asli yang belum diterbitkan di dalam maupun di luar negeri. Naskah dapat berupa hasil penelitian, konsep-konsep pemikiran inovatif hasil tinjauan pustaka yang bermanfaat untuk menunjang kemajuan ilmu, pendidikan dan praktik ilmu kesehatran secara profesional. Naskah ditulis dalam bahasa indonesia atau bahasa inggris dalam bentuk narasi dengan gaya bahasa yang efekfif dan akademis. Naskah hasil penelitian hendaknya disusun menurut sistematika sebagai berikut : 1. Judul, menggambarkan isi pokok tulisan secara ringkas dan jelas, ditulis dalam bahasa indonesia dan bahasa inggris. Penulis diharapkan mencantumkan judul ringkas dengan susunan 40 karakter/ketukan beserta nama penulis utama yang akan dituliskan sebagai judul pelari (running title). 2. Nama penulis, tanpa gelar disertai catatan kaki tentang instansi tempat penulis bekerja. Jumlah penulis yang tertera dalam artikel minimal 2 orang, maksimal 4 orang. 3. Alamat, berupa instansi tempat penulis bekerja dilengkapi dengan alamat pos lengkap dan alamat email (untuk penulis korespondensi) 4. Abstrak, ditulis dalam bahasa inggris, minimal 100 kata dan merupakan intisari seluruh tulisan, meliputi : masalah, tujuan, metode, hasil dan simpulan (IMRAD: introduction, mMethod, Result, Analysis, Discussion). An=bstrak ditulis dengankalimat penuh. Dibawah abstrak disertakan 3-5 kata-kata kunci (key words). 5. Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah serta tujuan penelitian dan harapan untuk waktu yang akan datang. Panjang tidak akan lebih dari 2 halaman ketik. 6. Bahan dan metode, berisi penjelasan tentang bahan-bahan dan alat yang digunakan, waktu, tempat, tehnik dan rancangan percobaan. Metode harus dijelaskan selengkap mungkin agar peneliti lain dapat melakukan uji coba ulang. Acuan (kepustakaan) diberikan pada metode yang kurang jelas. 7. Hasil, dikemukakan dengan jelas dalam bentuk narasi dan data yang dimasukkan berkaitan dengan tujuan penelitian, bila perlu disertai dengan ilustrasi (lukisan, gambar, grafik, diagram), tabel atau foto yang mendukung data, sederhana dan tidak terlalu besar. Hasil yang telah dijelaskan dengan tabel atau ilustrasi tidak perlu dijelaskan panjang lebar dalam teks. 8. Pembahasan, minimal 800 kata yang menerangkan arti hasil penelitian yang meliputi : fakta, teori, dan opini. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
142
9. Simpulan, berupa kesimpulan hasil penelitian dalam bentuk narasi yang mengacu pada tujuan penelitian. 10. Kepustakaan, referensi yang ditulis dalam teks harus diikuti nama penulis dan tahun penerbitan. Referensi yang digunakan 80% diantaranya diantaranya adalah artikelartikel ilmiah yang berasal dari jurnal. Kepustakaan disusun menurut Harvard System sebagai berikut : a. Jurnal : Nursalam, Haryanto, & I Ketut Dira, 2006, “The Effect Of Kegel Management Of Urine Elimination Problems For Elderly”. Folia Medika Indonesiana, Vol. 42 No. 2 Hal. : 102-106 b. Buku : Smelzer & Suzane C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner And Suddart. Edisi 8. EGC; Jakarta c. Tesis/desertasi : Yuwanto. Mahmud Ady, 2009. Pengaruh Masasse Plexus Sacralis Terhadap Penurunan Tingkat Nyeri Pasien Posr Partum Normal Di Ruang Nifas RSD dr. Soebandi Jember. Skripsi tidak diterbitkan. Jember: Universitas Jember d. Website : snowdon, CT, 1997. Significance Of Animal Behaviour Research, http://www.csun.edu/~vcpsy00h/valueofa.htm., Diakses tanggal 15 desemder 2009, Jam 18.30 WIB 11. Persamaan matematis, dikemukakan dengan jelas. Angka desimal ditandai dengan koma untuk bahasa indonesia dan titik untuk bahasa inggris. 12. Tabel, diberi nomor dan diacu berurutan dalam teks, judul harap dijelaskan pada catatan kaki. Garis-garis vertikal maupun horisontal dalam tabel dibuat seminimal mungkin untuk memudahkan penglihatan (tanpa garis bantu). 13. Ilustrasi, dapat berupoa lukisan, gambar, grafik, atau diagram diberi nomor dan diacu berurutan pada teks. Keterangan diberikan dengan singkat dan jelas dibawah ilustrasi (tidak didalam ilustrasinya). Pada ilustrasi atau foto dibuat tanpa menggunakan border. 14. Foto hitam putih/berwarna, harus kontras, tajam, jelas dan sebaiknya diambil dalam format JPEG, atau format digital lain yang bisa diedit.
Naskah yang dikirim ke redaksi hendaknya diketik dalam CD, disertai cetakan sebanyak 2 eksemplar pada kertas HVS dengan program microsoft office word, ukuran A4 (210x279 mm) dengan jarak 1 spasi, font 12 pts, jenis huruf Times New Roman, panjang tulisan berkisar antara 15-20 halaman (1 kolom) atau 5-8 halaman (2 kolom), batas kertas 3 cm dari tepi kiri, 2,5 cm dari tepi bawah, kanan dan atas. Pengiriman file juga dapat dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat :
[email protected]. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
143
Naskah akan diedit oleh dewan redaksi tanpa mengubah isinya unttuk disesuaikan dengan format penulisan yang telah ditetapkan oleh Jurnal dr. Soebandi. Naskah yang telah diterima beserta semua ilustrasi yang menyertainya menjadi milik sah penerbit. Semua data, pendapat atau pertanyaan yang terdapat pada naskah merupakan tanggung jawab dari penulis. Penerbit, dewan redaksi dan seluruh staf Jurnal dr. Soebandi tidak bertanggung jawab atau tidak bersedia menerima kesulitan maupun masalah apapun sehubungan dengan plagiatisme, konsekuensi dari ketidakakuratan, kesalahan data, pendapat maupun pertanyaan tersebut.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
144
Contoh outline artikel (2 kolom) sebagai berikut JUDUL Nama Pengarang/Peneliti Alamat Pengarang/Peneliti ABSTRACT Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx PENDAHULUAN Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxx
KESIMPULAN DAN SARAN Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxx
BAHAN DAN METODE Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxx
DAFTAR PUSTAKA
HASIL Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxx (lihat tabel 1.1) Tabel 1.1 xxxxxxxxxxxxxxxxx No. Pengetahuan Sikap Tindakan Resp (%) (%) (%) 1 25 30 45 2 40 25 70 dst Total
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxx (lihat gambar 1.1) Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Gambar 1.1 xxxxxxx
PEMBAHASAN Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxx JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
145
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 2 No. 1
146