JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2 59
i
Jurnal Kesehatan dr. Soebandi Vol. 1 No. 2, April - September 2013 Terbit 2 kali setahun pada bulan Oktober dan April. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian analisis-kritis dibidang ilmu kesehatan. Susunan Redaksi Jurnal Kesehatan dr. Soebandi No. SK : 165/U.K/I/2012 Pelindung Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dr. Soebandi Jember Penasehat Ketua Lembaga Pengembangan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Penyunting Ketua Trisna Pangestuning Tyas, S.ST Sekretaris Diana Octania, SH Bendahara Arum Dwi Ningsih, S.Kep., Ns Penelaah Ahli DR. Ah. Yusuf, S.Kp. M.Kes (PPNI Jawa Timur) Penyunting pelaksana Ns. Sutaryanto., S.Kep Andi Eka Pranata., S.ST Fitria Jannatul Laili, S.Keb., Bd Asisten penyunting Ns. Mahmud Ady Yuwanto, S.Kep Elfira Nurul Aini, S.ST Dana dan Usaha Senan Nasution, SE Mussia, S.ST Kustin, SKM Marketing Drs. H. M. Fanani Riza Umami, S.ST Ranita Puspasari, Amd. Keb
Alamat Penyunting : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan dr. Soebandi Jember, JL. Dahlia No. 1 Jember. Telp (0331) 483536. Fax. (0331) 483536. Email :
[email protected]. Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik sesuai dengan format seperti tercantum pada petunjuk dibagian belakang jurnal ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
ii
Jurnal Kesehatan dr. Soebandi Vol. 1 No. 2, April - September 2013
DAFTAR ISI ( CONTENT) HALAMAN 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Dampak Relaksasi Progresif Pada Klien Yang Mengalami Kecemasan dan Masalah Tidur Sebelum Pelaksanaan Operasi Kolostomi Di Ruang 19 dan 17 RSU dr. Saiful Anwar Malang Andi Eka Pranata…………………………………………………………………………………………… Pengaruh Perlakuan Tawa Terhadap Tekanan Darah Pada Lansia Yang Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Sumbersari Kabupaten Jember Nuning Dwi Merina............................................................................................ Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Gizi Pada Balita BGM Di Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember Trisna Pangestuning Tyas……………………………………………………………………………… Efektivitas Terapi Musik Klasik Terhadap Perubahan Perilaku Agresif Pada Anak Dengan Autisme Di SLB-B Dan Autis TPA Bintoro Patrang Jember. Zidni Nuris Yuhbaba……………………………………………………………………………………… Hubungan Pelayanan Posyandu Lansia Dengan Tingkat Kepuasan Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukorambi Kabupaten Jember Dony Setiawan Hendyca Putra .………………………………………................................ Pengaruh Senam Tera Terhadap Kadar Gula Darah Lansia Dengan Diabetes Melitus Di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember Firdha Novitasari………………………………………………………...................................... Hubungan Ketepatan Pemberian MP-ASI Terhadap Status Gizi Bayi Usia 012 Bulan Di Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember. Kustin…………………..………………………………………………………………………………………..
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
01-09
10-16
17-23
24-33
34-40
41-49
50-59
iii
Dampak Relaksasi Progresif……………………………………………………………..Andi Eka Pranata, Hal. 01 - 09
DAMPAK RELAKSASI PROGRESIF PADA KLIEN YANG MENGALAMI KECEMASAN DAN MASALAH TIDUR SEBELUM PELAKSANAAN OPERASI KOLOSTOMI DI RUANG 19 DAN 17 RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG Andi Eka Pranata* *STIKES Bhakti Negara Jember ABSTRACT Anxiety is a bad condition or situation if looked of phsycological human. Every human always life by anxiety, although the good life. By anxiety, we will be strong human and will life is better than before. Pre operation condition make somebody are anxiety and have any problem to healths. Pshycological factor influence preparedness of operation patient. This condition will be make it condition as well as health. The blood pressure will be higher than normal condition, heart rate is tachicardia, peristaltic movement will be faster than before, and any abnormality vital sign exercise. Not only that, sleeping cycle patients are disturb. So, nursing must be thinking for problem solving this condition to perfect this wellness. Progressive relaxation is a method to make our body are relax. This methods have step by step to do it. This methods are combine between respiratory system and motor system. This research using case study system, so only looking for and using methods descriptive every moment and condition of patient. Case study not require analize, but looking for relevance beteween scientific and practice knowledge. So, this product of research will be technique to reduce anxiety effect. This research using colostomy pre operative patient and have anxiety and sleep cycle problem. For this research was know about anxiety and sleep of pre operative colostomy patient are anxiety and can’t sleep by good. This patient are 2 person and of twice patient is same conditions. After that, author doing progressive realxation and as long time do exercise about anxiety and sleep cycle. Is good product, anxiety and sleep cycle back to normal. Progressive relaxation will make fresh body, blood circulation by good and couple nervus is good. If oxygenation in the circulation nothing obstruction (oclusion, spasme, trombosis), so oxygen will normal transfer of tissue. The brain be fresh by good circulation and endorphin will not at circulation. If this condition really at patient, so pre operative conditions never by anxiety and sleep cycle will be normally. Keyword: Progressive Relaxation, Anxiety, Sleep, Pre Operative Colostomy Patient PENDAHULUAN Pre operatif adalah saat dimana keputusan untuk menjalani prosedur bedah sampai klien diantar ke kamar atau meja operasi (Brunner & Suddart, 2002: 462). Pada fase pre operatif banyak persiapan yang harus dilakukan. Salah satunya adalah persiapan psikologis. Baik pasien maupun keluarga perlu diberi kesiapan untuk membicarakan isi hati dan rasa takut terhadap operasi yang akan dilakukan. Hal ini penting karena yang akan menjalani operasi akan mengalami JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
stress fisiologis maupun patologis (Barbara C. Long, 1996: 14). Pembedahan merupakan tindakan yang dapat mendatangkan stress karena terdapat ancaman terhadap tubuh, integritas dan terhadap jiwa seseorang. Peningkatan kecemasan pre operasi tersebut karena keinginan untuk mengelak dan mungkin karena ketidaktahuannya, misalnya ketidaktahuan mengenai tujuan dan prosedur operasi, (Barbara C. Long, 1996: 5). Dengan adanya kecemasan, maka terjadi peningkatan saraf simpatis 1
Dampak Relaksasi Progresif……………………………………………………………..Andi Eka Pranata, Hal. 01 - 09
sehingga kewasapadaan meningkat dan mengurangi waktu tidur, (Barbara C. Long, 1996: 5). Colon adalah bagian intestinal yang paling besar, sekitar 1,5 meter panjangnya dari sekum sampai anus. Kolon merupakan organ yang berfungsi untuk mengabsorbsi air. Sedangkan kolostomi sendiri merupakan pembuatan lubang pada kolon dengan tindakan pembedahan (Taylor, 1997) Ansietas (kecemasan) adalah suatu keadaan dimana individu atau kelompok mengalami perasaan yang sulit (ketakutan) dan aktivasi system saraf otonom dalam berespons terhadap ketidakjelasan, ancaman tidak spesifik (Carpenito, 2000). Menurut Carpenito (2000) dampak dari kecemsan salah satunya adalah kurang tidur, bahkan sulit tidur. Kecemasan bisa dipicu oleh situasi lingkungan yang menyebabkan penekanan stress emosional seorang individu. Klien pre operasi memiliki status emosional yang berbeda-beda, sehingga kesiapan psikologis mempengaruhi tingkat kecemasan klien itu sendiri. Operasi kolostomi merupakan operasi mayor, karena dari segi resiko pengancaman jiwa sangat tinggi. Selain itum pasca operasi kolostomi klien akan mendapatkan dampak sisa yaitu adanya lubang defekasi pada abdomennya (perut) yang bisa permanen. Oleh karena itu, kecemasan pada klien pre operasi kolostomi sangatlah tinggi dan perlu diperhatikan untuk mencegah timbulnya dampak yang lebih berat. Tidur diartikan sebagai suatu keadaan relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa kegiatan yang meupakan urutan siklus yang berulangulang dan masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah berbeda (Tarwoto & Wartonah, 2006). Tidur dibutuhkan untuk kesehatan dan kebanyakan orang menghabiskan 1 : ½ dari hidup mereka untuk tidur. Hal ini mencerminkan bahwa meskipun JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
kebutuhan tidur merupakan hal yang sepele, tetapi harus dipenuhi. Tidur berfungsi untuk memajukan penyembuhan dari fisiologis, neurologis, dan psikologis. Tidur merupakan protektif bagi manusia untuk mencegah kelelahan dari tubuh dan otak yang dapat menurunkan kewaspadaan di siang hari saat orang tersebut beraktifitas (Stanhope, 1998). Menurut Tarwoto & Wartonah (2006), tidur bisa dipengaruhi salah satunya oleh kecemasan. Kecemasan akan mempengaruhi sistem kerja saraf simpatis dan respon hormonal, sehingga akan meningkatkan kewaspadaan dan waktu tidur pun akan mengalami penurunan. Istirahat dan tidur dibutuhkan untuk kesehatan dan kebanyakan orang menghabiskan 1 : ½ dari hidup mereka untuk tidur. Kebutuhan tidur dapat dikacaukan oleh jadwal kerja, perjalanan, sakit, stress, makanan, obat-obatan dan kurangnya latihan. Gangguan pola tidur menjadikan kantuk pada siang hari dan ketidakmampuan untuk berfungsi dengan baik. Kehilangan waktu tidur dari 72 jam menghasilkan pegal-pegal, iritasi, perasaan yang menyiksa, dan salah mengintepretasikan stimuli. Kehilangan waktu tidur dari 150 jam akam menghasilkan peristiwa kegilaan sesaat (Stanhope, 1998). Respon fisiologis pada operasi besar merupakan stressor kepada tubuh dan memicu respon neuroendofrine. Respon ini terdiri dari sistem saraf simpatis dan respon hormonal yang bertugas melindungi tubuh dari ancaman cedera. Dengan adanya peningkatan saraf simpatis ini, maka kewaspadaan individu juga meningkat yang berdampak pada berkurangnya waktu tidur (Barbara C. Long, 1996: 5). Pada intinya susah tidur atau berkurangnya waktu tidur dapat disebabkan oleh gangguan fisik seperti nyeri lokal ataupun badan yang kurang sehat, akan tetapi terdapat satu aspek yang juga dapat menjadi faktor paling 2
Dampak Relaksasi Progresif……………………………………………………………..Andi Eka Pranata, Hal. 01 - 09
hebat terjdinya gangguan tidur, yaitu faktor psikis karena kecemasan (http://servocenter.wordpress.com). Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar klien pre operatif mengalami kecemasan dan dengan munculnya kecemasan ini, dapat menimbulkan masalah baru bagi klien itu sendiri yaitu gangguan tidur, baik itu secara kualitas maupun kuantitas. Menurut Ignativicious (1995) relaksasi progresif adalah metode yang terdiri dari peregangan dan relaksasi sekelompok otot dan memfokuskan pada perasaan rileks. Hal ini dapat mengurangi ketegangan dan kejemuan otot yang biasanya menyertai nyeri. Menurut Edmund Jacobson (1929) dalam Zimbardo dijelaskan bahwa Relaksasi Otot Progresif (ROP) merupakan teknik relaksasi otot ke dalam yang tidak memerlukan imajinasi, ketekunan dan sugesti. Teknik ini didasarkan pada keyakinan bahwa tubuh berespons pada ansietas yang merangsang pikiran dan kejadian dengan ketegangan otot. Ketegangan fisiologis meningkatkan pengalaman subyektif terhadap stress (ansietas). Relaksasi otot yang dalam menurunkan ketegangan fisiologis yang berlawanan dengan ansietas. Relaksasi otot progresif akan menurunkan denyut nadi, tekanan darah, dan frekuensi yang merupakan otot ansietas yang baik untuk diterapkan. Dalam bukunya yang berjudul “The Healing Brains”, David Sobel dan Robert Orustein (1995) menyatakan bahwa pemeliharaan kesehatan adalah fungsi utama otak bukan berfikir rasional dan puisi. Bagian tengah otak mempercepat proses biokimia. Saat anda terancam, dapat diminta untuk menghambat. Respons relaksasi adalah kebalikan dari respons alarm dan respons tersebut akan mengembalikan tubuh dalam keadaan seimbang. Pupil, pendengaran, tekanan darah, denyut jantung, pernafasan dan sirkulasi kembali normal, dan otot-otot relaks. Respons relaksasi mempunyai JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
respons penyembuhan yang memberi anda kesempatan untuk beristirahat dari stress lingkungan eksternal dan internal dari pikiran anda. Relaksasi mengembalikan proses fisik, mental, dan emosi. Relaksasi yang dalam jika dikuasai dengan baik dapat digunakan sebagai obat ansietas (Davis, 1995). BAHAN DAN METODE Metode yang akan digunakan pada penelitian studi kasus ini adalah metode penelitian deskriptif observasi partisipatif. Pengamat (observer) benarbenar mengambil bagian dalam kegiatankegiatan yang dilakukan sasaran pengamat (observee). Dengan kata lain, pengamat ikut aktif berpartisipasi pada aktifitas dalam kontak sosial yang sedang di selidiki (Notoatmodjo, 2002). Subyek penelitian adalah responden atau orang yang diteliti baik sebagai individu, keluarga, atau masyarakat yang diamati secara mendalam. Subyek pada studi kasus ini adalah 2 orang klien pre operasi kolostomi dengan kecemasan dan gangguan pola tidur di IRNA II Rumah Sakit Saiful Anwar Malang Dalam studi kasus ini angket yang digunakan ada 2, yaitu tertutup dan terbuka. Untuk kecemasan angket yang digunakan adalah angket tertutup yaitu angket yang disajikan dengan cara responden memberikan jawaban sesuai dengan pilihan yang sudah disediakan. Sedangkan untuk gangguan pola tidur angket yang digunakan adalah angket terbuka, yaitu angket yang disajikan dengan cara responden memberikan jawaban sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya. Dengan angket ini akan terlihat gambaran kecemasan dan pola tidur klien pre operatif. Peneliti juga menggunakan suatu alat data kajian fisik sebagai data penunjang dalam proses pengumpulan data nantinya. Isinya berupa pemeriksaan fisik untuk mengukur tingkat kecemasan dan pola tidur. 3
Dampak Relaksasi Progresif……………………………………………………………..Andi Eka Pranata, Hal. 01 - 09
Pengambilan data dilakukan 2 kali yaitu pada waktu pre pelaksanaan relaksasi progresif dan post pelaksanaan relaksasi progresif. Sebelum pengambilan data, responden dipilih terlebih dahulu sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Kemudian, setelah didapatkan responden yang diinginkan, dilakukan pengukuran terhadap kecemasan dan pola tidur. Setelah itu, responden diajarkan mengenai teknik relaksasi progresif dan menganjurkan responden untuk menerapkannya terutama sebelum tidur atau di waktu luang dengan batasan waktu 3-5 menit tiap tindakan relaksasi progresif. Setelah 4 hari kemudian, peneliti melakukan evaluasi dengan mengukur kembali tingkat kecemasan dan pola tidur. Dengan demikian, akan diketahui dampak dari relaksasi progresif terhadap kecemasan dan pola tidur. Angket yang digunakan untuk konsep kecemasan adalah angket yang sudah baku yaitu DASS 42 (Depression Anxiety Stress Scale) menurut Lovibond (1995) Untuk tingkat kecemasan akan diolah dan diskoring berdasarkan DASS (Depression Anxiety Stress Scale) 42. Bila jawaban ya skornya adalah 1, dan jawaban tidak skornya adalah 0. Setelah itu, skor dijumlahkan keseluruhan dan diinterpretasikan: Tabel 1.1 Skoring Tingkat Kecemasan Berdasarkan DASS 4 Kecemasan Normal Ringan Sedang Berat Sangat berat (panic)
Skor 0–7 8–9 10 – 14 15 – 19 20 +
Untuk pola tidur dilakukan pengolahan dengan cara jawaban responden dimasukkan ke dalam tabel dengan kisi sebagai berikut:
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Tabel 1.2 Kisi-Kisi Pola Tidur No. 1. 2. 3. 4. 5.
Poin Gelisah dan khawatir saat akan tidur. Sering bangun karena takut dan cemas. Sulit tidur. Tidur terganggu karena masalah operasi. Jumlah waktu tidur efektif kurang dari 7-9 jam.
Ya
Tidak
Hasil dari angket atau kuesioner dan studi dokumentasi akan disajikan dalam bentuk tekstuler yaitu data hasil studi kasus berupa tulisan atau narasi dan berupa tabel (Notoatmodjo, 2002). HASIL Responden 1 (Tn. M) Untuk mengukur tingkat kecemasan dilakukan dengan menyebarkan lembar kuesioner dan observasi sebanyak 2 kali, yaitu pada tanggal 2 Juni 2007 jam 20.00 WIB dan tanggal 6 Juni 2007 jam 10.30 WIB. Adapun hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut: Tabel 1.3 Data Kuesioner Tn. M Kuesioner I Sebelum Dilakukan Relaksasi Progresif Poin Skor Fisik 2 Emosi 7 Kognitif 2 Total 11
Kuesioner II Setelah Dilakukan Relaksasi Progresif Poin Skor Fisik 1 Emosi 4 Kognitif 1 Total 6
Tabel 1.4 Data Observasi Tn. M TTV
TD Nadi RR
Observasi I Sebelum Dilakukan Relaksasi Progresif 100/70 mmHg 80 x/menit 20 x/menit
Observasi II Setelah Dilakukan Relaksasi Progresif 120/80 mmHg 86 x/menit 18 x/menit 4
Dampak Relaksasi Progresif……………………………………………………………..Andi Eka Pranata, Hal. 01 - 09
Berdasarkan dari data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Tn M pada tanggal 2 Juni 2007 (pengambilan data pertama) mengalami cemas sedang dengan skor kecemasan 11 yang ditandai oleh beberapa respon sebagai berikut: 1. Respon Fisik (Skor 2) : Tn M tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari saat menunggu rencana pembedahan, merasa kehilangan energi (tidak bersemangat). 2. Respon Emosi (Skor 7) : Tn M sulit bersantai setelah tahu tentang rencana operasi, merasa sedih dan tertekan karena adanya rencana pembedahan, tidak sabar saat menunggu hari operasi, merasa takut tanpa alasan, mudah tersinggung, merasa khawatir dengan keadaan diri saat di meja operasi, dan merasa berada dalam situasi yang membuat perasaan tidak enak saat menunggu hari operasi. 3. Respon Kognitif (Skor 2) : Tn M merasa masa depan tidak ada harapan terutama saat menunggu masa operasi, merasa hidup tanpa arti (selama masa menunggu pembedahan). Berdasarkan hasil dari observasi yang pertama didapatkan data yang menunjang yaitu tekanan darah Tn M mengalami penurunan (hipotensi). Setelah diketahui tingkat kecemasan dari Tn M, maka peneliti mengajarkan tentang teknik relaksasi progresif kepada Tn M sampai Tn M benar-benar paham dan mengerti serta menganjurkannya untuk melakukannya terutama setiap kali akan tidur atau di waktu luang. Pada tanggal 6 Juni 2007 dilakukan pengambilan data yang kedua untuk membandingkan dengan hasil pengambilan data yang pertama. Didapatkan bahwa tingkat kecemasan Tn M mengalami penurunan sampai batas normal yang ditandai dengan skor 6. Keadaan Tn M lebih baik daripada sebelumnya. Respon yang muncul pada Tn M berdasarkan angket kecemasan adalah sebagai berikut:
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
1. Respon Fisik (Skor 1) : Tn M berkeringat walaupun tidak panas dan tidak beraktifitas berat. 2. Respon Emosi (Skor 4) : Tn M merasa melakukan reaksi berlebihan terhadap situasi yang dialami, mudah marah terutama setelah tahu akan dilakukan operasi, merasa selalu ingin bergerak, dan Tn M merasa berada dalam situasi yang membuat perasaan tidak enak saat menunggu hari operasi. 3. Respon Kognitif (Skor 1) : Tn M tidak senang dengan campur tangan oramg lain saat melakukan atau memutuskan sesuatu. Kesimpulannya pada data yang kedua ini Tn M tidak mengalami kecemasan. Dan berdasarkan hasil observasinya didapatkan bahwa seluruh tanda-tanda vital dalam batas normal. Jadi, jika dibandingkan antara data yang pertama dengan data yang kedua, kecemasan Tn M mengalami penurunan sampai rentang normal setelah diberi tindakan relaksasi progresif. Pada tanggal 2 Juni 2007 dilakukan pengambilan data untuk mengetahui pola tidur, hasilnya sebagai berikut: Tabel 1.5 Data Pola Tidur Tn. M No. 1.
2.
3.
4.
5.
Poin Jawaban Responden Gelisah dan Tn M merasa gelisah khawatir saat akan dan khawatir saat akan tidur. tidur karena cemas akan operasi. Sering bangun Tn M tidak sering karena takut dan terbangun di malam cemas. hari. Sulit tidur. Tn M mengalami kesulitan ketika akan tidur karena merasa cemas. Tidur terganggu Tn M tidurnya karena masalah terganggu ketika operasi. mendengar penjelasan tentang tindakan operasi dari dokter. Tidur efektif Tn M Jumlah waktu tidur adalah 6 jam. efektif kurang dari 7-9 jam. 5
Dampak Relaksasi Progresif……………………………………………………………..Andi Eka Pranata, Hal. 01 - 09
Dari keterangan Tn M di atas diketahui bahwa Tn M mengalami gangguan tidur. Peneliti mengajarkan teknik relaksasi progresif sesuai dengan protap yang telah ditetapkan pada hari itu juga. Setelah diajari teknik relaksasi progresif pada tanggal 2 Juni 2007 dan Tn M menerapkannya setiap kali akan tidur dan di waktu senggang berdasarkan keterangan dari Tn M sendiri dan dari keluarganya, maka hasil dari pengambilan data yang kedua tanggal 6 Juni 2007 adalah sebagai berikut: Tabel 1.6 Data Pola Tidur Tn.M No. 1.
Poin Gelisah dan khawatir saat akan tidur.
2.
Sering bangun karena takut dan cemas.
3.
Sulit tidur.
4.
Tidur terganggu karena masalah operasi.
5.
Jumlah waktu tidur efektif kurang dari 7-9 jam.
Jawaban Responden Tn M tidak merasa gelisah dan khawatir setiap kali akan tidur dan merasa badannya tambah segar dan mudah untuk tidur. Tn M tidak sering terbangun di malam hari karena sudah lebih rileks dan enak. Tn M tidak mengalami kesulitan untuk tidur karena sudah terbiasa. Tn M sudah tidak terganggu dengan penjelasan dokter tentang tindakan operasi sehingga tidurnya tidak terganggu lagi. Jumlah tidur efektif Tn M adalah 7 jam.
Berdasarkan data diatas diketahui bahwa Tn M tidak lagi mengalami gangguan tidur. Jumlah tidur efektif Tn M juga mengalami peningkatan. Responden 2 (Tn.H) Untuk mengukur tingkat kecemasan dilakukan dengan menyebarkan lembar kuesioner dan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
observasi sebanyak 2 kali, yaitu pada tanggal 18 Juni 2007 jam 17.00 WIB dan tanggal 22 Juni 2007 jam 18.00 WIB. Adapun hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut: Tabel 1.7 Data Kuesioner Tn. H Kuesioner I Kuesioner II Sebelum Dilakukan Setelah Dilakukan Relaksasi Progresif Relaksasi Progresif Poin Skor Poin Skor Fisik 1 Fisik 0 Emosi 10 Emosi 3 Kognitif 1 Kognitif 2 Total 12 Total 5 Tabel 1.8 Data Observasi Tn.H Observasi I Observasi II Sebelum Setelah TTV Dilakukan Dilakukan Relaksasi Relaksasi Progresif Progresif TD 130/80 120/80 Nadi mmHg mmHg RR 84 x/menit 80 x/menit 20 x/menit 18 x/menit Berdasarkan dari data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Tn H pada tanggal 18 Juni 2007 (pengambilan data pertama) mengalami cemas sedang yang ditandai dengan beberapa respon sebagai berikut: 1. Respon Fisik (Skor 1) : Tn H merasa mulut kering dan haus. 2. Respon Emosi (Skor 10) : Tn H merasa marah setelah diberitahu rencana operasi, merasa tidak terkendali (ingin pergi), merasa sedih dan tertekan karena adanya rencana pembedahan, merasa tidak sabar saat menunggu hari operasi, mudah tersinggung, merasa tidak nyaman dengan apa yang dilakukan saat ini, merasa khawatir dengan keadaan diri saat di meja operasi, merasa selalu ingin bergerak, khawatir dengan keadaan dan bertindak bodoh, dan merasa berada dalam situasi yang 6
Dampak Relaksasi Progresif……………………………………………………………..Andi Eka Pranata, Hal. 01 - 09
membuat perasaan tidak enak saat menunggu hari operasi. 3. Respon Kognitif (Skor 1) : Tn H sulit merasa tenang setelah diberi penjelasan tentang rencana operasi. Berdasarkan hasil observasi didapatkan data penunjang yang mendukung tingkat kecemasan sedang Tn H yaitu tekanan darah Tn H mengalami peningkatan (hipertensi). Setelah diketahui tingkat kecemasan Tn H, maka peneliti mengajarkan teknik relaksasi progresif kepada responden dan menganjurkannya untuk melakukannya terutama setiap kali akan tidur atau di waktu luang. Pada tanggal 22 Juni 2007 peneliti kembali mengambil data yang kedua untuk membandingkan hasil dengan data yang pertama dalam arti mengetahui dampak relaksasi progresif terhadap kecemasan. Didapatkan bahwa skor kecemasan Tn H mengalami penurunan yaitu skornya 5 yang ditandai dengan beberapa respon sebagai berikut: 1. Respon Fisik (Skor 0) : Tidak muncul. 2. Respon Emosi ( Skor 3) : Tn H merasa marah setelah diberitahu rencana operasi, sulit bersantai setelah tahu tentang rencana operasi, dan sering panik dan tidak terkendali. 3. Respon Kognitif (Skor 2) : Tn H merasa masa depan tidak ada harapan terutama saat menunggu masa operasi, dan Tn H merasa hidup tanpa arti (selama masa menunggu pembedahan). Berdasarkan data di atas diketahui bahwa Tn H sudah tidak merasa cemas lagi. Keadaan umum Tn H lebih baik daripada sebelumnya. Selain itu, berdasarkan hasil dari observasinya didapatkan bahwa seluruh TTV dalam batas normal. Jadi, disimpulkan bahwa tingkat kecemasan Tn H mengalami penurunan bahkan turun sampai ke rentang normal setelah diberi tindakan relaksasi progresif.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Berdasarkan data yang diambil pertama pada tanggal 18 Juni 2007 didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 1.9 Data Pola Tidur Tn. H No. Poin Jawaban Responden 1. Gelisah dan Tn H tidak merasa khawatir saat gelisah dan khawatir 2. akan tidur. setiap kali akan tidur. Sering bangun Tn H sering terbangun 3. karena takut dan di malam hari. cemas. Tn H mengalami Sulit tidur. kesulitan untuk tidur 4. karena perasaan yang tidak enak. Tidur terganggu Tn H tidak merasa karena masalah tidurnya terganggu 5. operasi. setelah diberi penjelasan oleh dokter tentang tindakan Jumlah waktu operasi. tidur efektif Jumlah tidur efektif Tn kurang dari 7-9 H adalah 1,5 jam. jam. Dari data di atas diketahui bahwa Tn H mengalami gangguan tidur. Kemudian peneliti mengajarkan teknik relaksasi progresif kepada responden sesuai dengan protap dan menganjurkan Tn H untuk menerapkannya terutama setiap kali akan tidur atau di waktu luang. Dan pada tanggal 22 Juni 2007 berdasarkan keterangan dari Tn H dan keluarganya tentang pelaksanaan relaksasi progresif maka dilakukan pengambilan data yang kedua dan hasilnya sebagai berikut: Tabel 1.10 Data Pola Tidur Tn. H No. 1.
Poin
3.
Gelisah dan khawatir saat akan tidur. Sering bangun karena takut dan cemas.
4.
Sulit tidur.
2.
Jawaban Responden Tn H tidak merasa gelisah dan khawatir lagi saat akan tidur. Tn H tidak lagi sering bangun di malam hari karena perasaan takut dan cemas. 7
Dampak Relaksasi Progresif……………………………………………………………..Andi Eka Pranata, Hal. 01 - 09
5.
Tidur terganggu karena masalah operasi. Jumlah waktu tidur efektif kurang dari 7-9 jam.
Tn H sulit tidur ketika di malam hari tiba-tiba bangun. Tn H merasa tidurnya terganggu ketika mendapat penjelasan tentang tindakan operasi. Jumlah tidur efektif Tn H adalah 8 jam.
Dari data di atas diketahui bahwa Tn H tidak lagi mengalami gangguan tidur. Dan data yang menunjang adalah jumlah waktu tidur efektifnya adalah 8 jam yang merupakan kebutuhan tidur normal. Sehingga dengan relaksasi progresif disimpulkan mampu meningkatkan waktu tidur Tn H. PEMBAHASAN Berdasarkan dari hasil pengambilan data didapatkan hasil yang bervariasi antara kedua responden untuk tingkat kecemasan, meskipun perbedaan tersebut tidak terlalu mencolok. Berdasarkan teori itu merupakan hal yang wajar karena kecemasan memiliki rentang respon yang selalu dinamis dan bergeser setiap saat sesuai respon individu. Respon tersebut dipengaruhi oleh stressor dan penilaian individu, saat stressor lebih dominan maka rentang respon bergeser ke arah maladaptif sedangkan jika stressor diantisipasi oleh penilaian individu maka rentang respon akan tetap bertahan pada posisi adaptif (Stuart & Sundeen, 1996). Selain itu, jumlah skor yang diperoleh oleh kedua responden berbeda. Itu merupakan hal yang normal karena setiap individu memiliki mekanisme pertahanan diri yang berbeda juga. Manifestasi kecemasan yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat pengetahuan tentang prosedur, pengalaman masa lalu, strategi koping, sistem pendukung informasi yang JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
diperoleh, lingkungan dan rohaniawan (Stuart & Sundeen, 1996). Akan tetapi, respon yang ditunjukkan oleh kedua responden setelah diberi tindakan relaksasi progresif relatif sama. Tingkat kecemasan kedua responden sama-sama menurun sampai dalam batas normal. Hal itu sesuai dengan teori yang ada bahwa setelah berlatih relaksasi progresif minimal 5 kali, kita dengan sendirinya merasakan penurunan kecemasan karena menurunnya ketegangan otot, yang bukan berarti menurunkan kesadaran (http://www.kompas.com/kesehatan/news Diakses tanggal 7 Februari 2007). Untuk pola tidur antara kedua responden didapatkan hasil yang sama yaitu sama mengalami gangguan tidur dan penyebab dari gangguan tidur tersebut adalah rasa cemas akan dilakukannya operasi. Menurut Tarwoto & Wartonah (2006) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tidur, antara lain penyakit dan kecemasan. Oleh karena itu, kedua dari responden tidak bisa menikmati dari tidur mereka. Akan tetapi setelah diberi perlakuan relaksasi progresif, respon dari kedua responden sama, yaitu mereka sama menyatakan bahwa tidurnya sudah lebih baik dari sebelumnya. Kedua responden sudah tidak sulit lagi untuk tidur dan tidur terasa lebih nyenyak. Menurut teori yang ada, relaksasi progresif mampu merilekskan seluruh tubuh sehingga ketegangan menurun dan tidur akan nyaman tanpa gangguan (http://www.kingfoto.com/articles.asp?id Diakses tanggal 7 Februari 2007). KESIMPULAN DAN SARAN Dari kedua responden didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Tn M (Responden I) Sebelum dilakukan teknik relaksasi progresif Tn M mengalami kecemasan sedang dengan skor kecemasan 11 dan Tn M mengalami gangguan tidur. Akan tetapi, setelah dilakukan relaksasi 8
Dampak Relaksasi Progresif……………………………………………………………..Andi Eka Pranata, Hal. 01 - 09
progresif Tn M tidak lagi mengalami kecemasan dengan skor kecemasan turun menjadi 6 (dalam batas normal) dan tidak lagi mengalami gangguan tidur. Hal ini berarti teknik relaksasi progresif mampu mengatasi kecemasan dan gangguan tidur yang dialami oleh Tn M. 2. Tn H (Responden II) Sebelum dilakukan relaksasi progresif Tn H mengalami kecemasan sedang dengan skor kecemasan 12 dan mengalami gangguan tidur. Akan tetapi, setelah dilakukan relaksasi progresif skor kecemasan mengalami penurunan sampai batas normal yaitu 5 dan Tn H tidak lagi mengalami gangguan tidur. Hal ini berarti bahwa relaksasi progresif mampu mengatasi kecemasan dan gangguan pola tidur pada Tn H. DAFTAR PUSTAKA Atkinson, dkk. 1983. Pengantar Psikologi Edisi 8 Jilid I. Jakarta: Erlangga. Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC. Carpenito, Lynda Juall. 2000. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC. Effendy, dkk. 2005. Kiat Sukses Menghadapi Operasi. Yogyakarta: Sahabat Setia. Ganong. 1995. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Guyton. 1987. Fisiologi Manusia Dan Mekanisme Penyakit Edisi III. Jakarta: EGC. Guyton. 1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 7 Bagian II. Jakarta: EGC. Hudak & Gallo. 1997. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC. Ignativicious, DD Workman & Mishlen, MA. 1995. Medical Surgical Nursing Process Approach. Philadelphia: WB Sander Company. Kozier. 1969. Fundamental Of Nursing. American: American Journal of Nursing. Long, Barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah I. Bandung: Yayasan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran. Lovibond, SH & Lovibond, PF. 1995. Manual For Depression Anxiety Stress Scales 2nd Edition. Sydney: Psycology Foundation. Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. Purbawati, Sustri Yunit. 2005. FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Kuantitas Tidur Pada Pasien Pre Operasi Di Ruang C RSU Lavalette Malang. KTI. Malang: Politeknik Kesehatan Malang,: 1-2 Ramaiah, Savitri. 2003. Kecemasan. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Rosdhal, CB. 1999. Client Comfort & Pain Management. Philadelphia: Lippincott Company. Stanhope, Marcia, dkk. 1998. Perawatan Kesehatan Masyarakat. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran. Stirling, Siobhan. 2003. Tidur. Jakarta: IKAPI. Suharto, dkk. 2004. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: ANDI. Tarwoto & Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia Dan Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Taylor. 1997. Fundamental Of Nursing 2A. Philadelphia: Lippincott. Wiramihardja, Sutardjo. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: PT REFIKA ADITAMA. Zimbardo, P. 1991. Essentials Of Psycology & Life 10th Edition. Philadelphia : Lippincott Company. http://www.kompas.com/kesehatan/news/ 0411/08/062921.htm. Diakses tanggal 5 Februari 2007. http://library.gunadarma.ac.id Diakses tanggal 5 Februari 2007. http://www.kompas.com/kesehatan/news Diakses tanggal 7 Februari 2007. http://www.kingfoto.com/articles.asp?id Diakses tanggal 7 Februari 2007. 9
Pengaruh Perlakuan Tawa……………………………………………………………..Nuning Dwi Merina, Hal. 10 - 16
PENGARUH PERLAKUAN TAWA TERHADAP TEKANAN DARAH PADA LANSIA YANG HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER Nuning Dwi Merina*, Emi Wuri**, Roymond*** Nuning Dwi Merina* *STIKES Bhakti Negara Jember, **, *** PSIK Universitas Jember ABSTRACT
Almost eldery have high blood pressure. The increase of artheriosclerosis and cortisol for eldery could be a condition that called hypertension. Sumbersari Public Health Center is one of region that have high value of hypertension and also eldery. A solution for handling this problem is laugh treatment. Laugh treatment could decrease cortisol and less the activity of symphatic. This research use time series-control design with 32 sampel and need time 4 weeks to finish this laugh treatment. The result of this research are thre is a different between blood pressure before and after laugh exercise. There is also a differences between blood pressure respondens that given and not given laugh exercise for a month. The manifestation of this result is p value for dependent and independent is p=0,001. It can be concluded that there are significant effect of laugh treatment in decrease of blood pressure in eldery with hypertension. Further studies should involve larger respondens,longer time, and better measurement tools to obtain more accurate result. Key words: Laugh treatment, Hypertension in eldery
PENDAHULUAN Proses penuaan adalah proses alamiah yang akan dialami oleh manusia. Jumlah penduduk di Indonesia meningkat cepat dengan rata-rata pertumbuhan 17% per 5 tahun dan pada tahun 2020 jumlah lansia akan mencapai 11,4% dari jumlah penduduk Indonesia (Gerontologi Abiyoso JATIM, 2009). Pada pertumbuhan usia, terjadi perubahan dalam berbagai fungsi yang berhubungan dengan proses penuaan secara total (Stevens et al., 1999). Lanjut usia (lansia) mengalami perubahan histologis secara menyeluruh, menyebabkan kemunduran fungsi anatomis dan fisiologis organorgan tubuh termasuk perubahan struktural pembuluh perifer yang berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah. Aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung sehingga menyebabkan peningkatan tahanan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
perifer (Smeltzer & Bare, 2002). Peningkatan kadar kortisol pada lansia merangsang peningkatan saraf simpatis yang dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah (Mubarak et al., 2007). Hal ini menyebabkan hipertensi pada lansia. Prevalensi hipertensi di dunia adalah 5-18%, sedangkan hipertensi di Indonesia mencapai 6-15% (Joewono et al., 2003). Data National Health and Nutrition Examination Survey (2004) dalam Black et al. (2008) menunjukkan bahwa individu yang berusia >60 tahun memiliki risiko menderita hipertensi 2 kali lebih besar daripada individu yang berusia <59 tahun. Seseorang yang berusia lebih dari 60 tahun memiliki risiko mengalami hipertensi sebesar 90% dan berisiko 3-4 kali mengalami Cardiovascular Disease dibandingkan dengan usia muda (Black et al., 2008). Penyakit hipertensi yang tidak terkendali dengan baik dapat 10
Pengaruh Perlakuan Tawa……………………………………………………………..Nuning Dwi Merina, Hal. 10 - 16
menyebabkan kerusakan pada organorgan penting di dalam tubuh (Bangun, 2005). Lansia dengan hipertensi memiliki risiko 3 kali lebih besar terkena penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, dan stroke. Jember menempati urutan kedua dari jumlah lansia tertinggi di Jawa Timur dengan jumlah lansia 258.351 jiwa (Gerontologi Abiyoso JATIM, 2009). Hipertensi menempati angka tertinggi untuk penyakit terbanyak yang terjadi pada lansia (Dinkes Kabupaten Jember, 2010). Sekitar 20% populasi dewasa dan lansia mengalami hipertensi, lebih dari 90% diantara mereka mengalami hipertensi primer (Smeltzer & Bare, 2002). Hipertensi merupakan penyakit yang memerlukan penanganan dalam mengatasi dampak yang ditimbulkan. Penanganan hipertensi dapat menggunakan metode farmakologi dan non farmakologi. Salah satu metode non farmakologi adalah tawa (Takeda et al., 2010). Tertawa dapat meningkatkan pasokan oksigen dalam darah dan menurunkan rangsang saraf simpatis (Allarcon & Aguirre, 2009). Hasil penelitian Hajime Kimata di Jepang (2004) dan Lee Berk di California (2001) dengan 26 responden dalam Journal of American Medical Association menyebutkan bahwa tertawa dapat menurunkan kadar hormon kortisol dan adrenalin/epinefrin (Simanungkalit, 2007). Penelitian Michael Miller di University of Maryland Medical School (2009) dalam McGhee (2010) menunjukkan bahwa dari 150 responden penderita hipertensi dan penyakit jantung, hanya <40% yang memiliki riwayat menyukai humor dan tawa sedangkan >60% tidak menyukai humor dan tawa. Tertawa lebih efektif saat dilakukan secara berkelompok (McGhee, 2010). Latihan tawa adalah salah satu latihan yang dapat menurunkan vasokonstriksi JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
pembuluh darah dan tekanan darah seseorang (O’Keefe et al., 2009). Latihan tawa merupakan latihan komplementer perawat yang dapat dilakukan secara mandiri (Snyder & Lindquist, 2002). Tawa yang digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan Indonesia telah dikenal pada akhir tahun 1990, tepatnya di Rumah Sakit Dharma Graha Jakarta. Setelah itu tawa banyak diaplikasikan (Simanungkalit, 2007). Namun berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan, metode tawa ini belum banyak dikenal di wilayah Kabupaten Jember. Kecamatan Sumbersari tercatat sebagai kecamatan dengan angka hipertensi cukup tinggi di Jember yaitu sebanyak 1.481 penderita. Sebanyak 30,2% dari penderita adalah lansia (Dinkes Kabupaten Jember, 2009). Karang Werdha Semeru Jaya merupakan salah satu Karang Werdha di Kecamatan Sumbersari yang memiliki anggota dengan penderita hipertensi terbanyak sebesar 92%. Pengobatan non farmakologi sangat dibutuhkan oleh lansia untuk mengatasi masalah kesehatan. Fakta ini sangat penting untuk orang tua yang tidak dapat melakukan banyak latihan fisik. Oleh karena itu, tertawa merupakan latihan ideal bagi mereka yang mempunyai keterbatasan fisik (Kataria, 2004). Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh tawa terhadap tekanan darah pada lansia yang hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Kabupaten Jember. METODE PENELITIAN Jenis penelitian pada penelitian ini adalah eksperimental dengan desain penelitian quasi eksperimental. Digunakan quasi eksperimen karena dalam penelitian ini menggunakan kelompok kontrol dan replikasi dalam perlakuan (Setiadi, 2007). Desain 11
Pengaruh Perlakuan Tawa……………………………………………………………..Nuning Dwi Merina, Hal. 10 - 16
penelitian ini menggunakan time series control design, dimana terdapat dua kelompok yang dipilih secara tidak random, kemudian kedua kelompok diberi pretest sampai tiga kali untuk mengetahui kestabilan keadaan kelompok sebelum diberi perlakuan. Setelah kestabilan kelompok diketahui dengan jelas melalui rata-rata, maka baru diberi treatment (Sugiyono, 2010). Kelompok eksperimen akan diberikan treatment atau stimulus sesuai dengan tujuan penelitian (Prasetyo & Jannah, 2005). Penelitian ini dilaksanakan di karang werdha Semeru Jaya Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2010 sampai dengan Februari 2011.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia penderita hipertensi yang berada di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Kabupaten Jember sebanyak 447 orang. Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling yang akan ditentukan kriteria inklusi dan eksklusinya. Sampel yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini berjumlah 16 orang untuk kelompok kontrol dan 16 orang untuk kelompok eksperimen. HASIL Hasil pengumpulan data pada sampel penelitian, adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Distribusi Tekanan Darah Kelompok Perlakuan Sebelum Perlakuan Tawa Lansia dengan Hipertensi di Karang Werdha Semeru Jaya Variabel Rata-rata Tekanan darah sistolik sebelum diberikan 145,06 perlakuan tawa Tekanan darah diastolik sebelum diberikan 92,06 perlakuan tawa Sumber : data primer, Januari 2011
Std. Deviasi
Min-Maks
95% CI
5.790
140-158
141,98-148,15
2.886
90-98
90,52-93,60
Tabel 2 Distribusi Tekanan Darah Kelompok Perlakuan Sesudah Perlakuan Tawa Lansia dengan Hipertensi di Karang Werdha Semeru Jaya Variabel Rata-rata Tekanan darah sistolik sesudah diberikan 127,06 perlakuan tawa Tekanan darah diastolik sesudah diberikan 86,25 perlakuan tawa Sumber : data primer, Januari 2011
Std. Deviasi
Min-Maks
95% CI
8.528
110-140
122,52-131,61
4.712
80-92
83,74-88,76
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
12
Pengaruh Perlakuan Tawa……………………………………………………………..Nuning Dwi Merina, Hal. 10 - 16
Tabel 3 Distribusi Perubahan Tekanan Darah Sistolik Lansia dengan Hipertensi Karang Werdha Semeru Jaya Sesudah Perlakuan Tawa Tekanan darah Kelompok sistolik naik yang diberi Jumlah (%) perlakuan -(0) Sumber : data primer, Januari 2011
Tekanan darah sistolik tetap Jumlah (%) 2(12,5)
Tekanan darah sistolik turun Jumlah (%) 14(87,5)
Total Jumlah (%) 16(100%)
Distribusi Perubahan Tekanan Darah Diastolik Lansia dengan Hipertensi Karang Werdha Semeru Jaya Sesudah Perlakuan Tawa Tekanan darah Kelompok diastolik naik yang diberi Jumlah (%) perlakuan 1(6,25) Sumber : data primer, Januari 2011
Tekanan darah diastolik tetap Jumlah (%) 3(18,75)
Tekanan darah diastolik turun Jumlah (%) 12(75)
Total Jumlah (%) 16(100%)
Tabel 4 Distribusi Tekanan Darah Sistolik Lansia Dengan Hipertensi Sebelum Dan Sesudah Perlakuan Tawa Karang Werdha Semeru Jaya Variabel Tekanan darah sistolik sebelum diberikan perlakuan tawa Tekanan darah sistolik sesudah diberikan perlakuan tawa Sumber : data primer, Januari 2011
Rata-rata
Std. Deviasi
Std. Eror
145,06
5.790
1.448
Nilai p
0,001 127,06
8.528
2.132
Distribusi Tekanan Darah Diastolik Lansia Dengan Hipertensi Sebelum Dan Sesudah Perlakuan Tawa Karang Werdha Semeru Jaya Variabel Tekanan darah diastolik sebelum diberikan perlakuan tawa Tekanan darah diastolik sesudah diberikan perlakuan tawa Sumber : data primer, Januari 2011
Rata-rata
Std. Deviasi
Std. Eror
92,06
2.886
,722
Nilai p
0,001 86,25
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
4.712
1.178
13
Pengaruh Perlakuan Tawa……………………………………………………………..Nuning Dwi Merina, Hal. 10 - 16
Tabel 5 Distribusi Rata-Rata Perbedaan Tekanan Darah Sistolik Lansia yang Diberi Perlakuan Tawa dan Tidak Diberi Perlakuan Tawa Karang Werdha Semeru Jaya Variabel Tekanan darah sistolik kelompok perlakuan Tekanan darah sistolik kelompok yang tidak diberi perlakuan Sumber : data primer, Januari 2011
Rata-rata
Std. Eror
127,06
Std. Deviasi 8.528
151,13
13.190
3.298
Nilai p
2.132 0,001
Distribusi Rata-Rata Perbedaan Tekanan Darah Diastolik Lansia yang Diberi Perlakuan Tawa dan Tidak Diberi Perlakuan Tawa Karang Werdha Semeru Jaya Variabel Tekanan darah diastolik kelompok perlakuan Tekanan darah diastolik kelompok yang tidak diberi perlakuan Sumber : data primer, Januari 2011
Rata-rata
Std. Eror
86,25
Std. Deviasi 4.712
93,13
7.719
1.930
Nilai p
1.178 0,005
PEMBAHASAN Berdasarkan The Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure dalam Black et al., (2008), seluruh responden dalam penelitian ini termasuk dalam hipertensi stadium pertama sebelum dilakukan perlakuan tawa yaitu responden dengan tekanan darah sistolik antara 140-159 mmHg dan tekanan darah diastolik antara 90-99 mmHg. Responden dalam penelitian ini termasuk dalam golongan usia yang sama yaitu eldery (60-74 tahun) (WHO dalam Mubarak et al., 2007). Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya tekanan darah pada lansia. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut antara lain genetis, perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi karena proses penuaan, gaya hidup yang tidak sehat, penyakit penyerta, dan stres. Penelitian ini mengambil responden yang tidak memiliki penyakit penyerta sebagai pencetus hipertensi (hipertensi sekunder). JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Beberapa lansia dalam penelitian ini mengatakan menyukai mengkonsumsi makanan yang memiliki rasa asin dengan alasan lebih enak dan menambah selera saat dimakan, contohnya: ikan asin dan sayur sawi yang telah diasinkan. Hal ini dikarenakan lansia mengalami penurunan sensitivitas rasa, sehingga makanan dengan rasa asin menjadi pilihan bagi lansia untuk dikonsumsi. Sesuai dengan pernyataan Steven (1999) bahwa lansia mengalami penurunan dalam indera pengecapan sehingga sensitivitas rasa lansia juga mengalami penurunan. Hasil analisis rata-rata tekanan darah sistolik lansia sebelum perlakuan tawa adalah 145,06 mmHg dan untuk tekanan darah diastolik sebesar 92,06 mmHg. Sedangkan untuk kelompok yang nantinya akan dijadikan pembanding memiliki rata-rata tekanan darah sistolik sebesar 149,25 dan tekanan darah diastolik sebesar 92,44 mmHg. Seluruh responden baik kelompok yang akan diberikan perlakuan maupun yang tidak 14
Pengaruh Perlakuan Tawa……………………………………………………………..Nuning Dwi Merina, Hal. 10 - 16
diberikan perlakuan,masih sama-sama tergolong hipertensi stadium 1. Hasil pengukuran tekanan darah kelompok perlakuan tawa menunjukkan bahwa 87,5% responden mengalami penurunan tekanan darah sistolik dan 12,5% responden tidak mngalami perubahan tekanan darah sistolik. Sedangkan untuk tekanan darah diastolik, terdapat 75% responden mengalami penurunan tekanan darah diastolik, 18,7% responden tidak mengalami perubahan, sedangkan 6,3% responden mengalami peningkatan tekanan darah diastolik. Hasil di atas menggambarkan adanya pengaruh berupa penurunan tekanan darah pada responden. Hasil penelitian tentang pengaruh tawa terhadap tekanan darah pada lansia ini menunjukkan perbedaan rerata tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik sebelum dan setelah dilakukan intervensi. Hasil penelitian sependapat dengan pernyataan Berk dalam Schor (2009), yang menyatakan bahwa tawa bisa menurunkan tekanan darah tinggi, karena tawa mengurangi pelepasan hormon kortisol yang berhubungan dengan stres. Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian Michael Miller di University of Maryland Medical School (2009) dalam McGhee (2010) menunjukkan bahwa dari 150 responden penderita hipertensi dan penyakit jantung, hanya <40% yang memiliki riwayat menyukai humor dan tawa sedangkan >60% tidak menyukai humor dan tawa. Seluruh responden mengikuti jadwal perlakuan yang diberikan oleh peneliti secara teratur. Berdasarkan uji statistik dependent t-test yang telah dilakukan pada masing-masing kelompok, didapatkan hasil bahwa p < 0,05 untuk kelompok yang diberikan perlakuan dan mengalami penurunan tekanan darah setelah diberikan intervensi. Pada kelompok perlakuan menunjukkan penurunan tekanan darah JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
sedangkan pada kelompok yang tidak diberikan perlakuan menunjukkan ratarata kenaikan tekanan darah. Hal ini berarti ada pengaruh intervensi pemberian tawa terhadap tekanan darah pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Kabupaten Jember. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan maka dalam penelitian ini terdapat beberapa kesimpulan sebagai berikut: Rata-rata tekanan darah responden sebelum dilakukan perlakuan tawa adalah 145/92 mmHg untuk kelompok yang diberi perlakuan dan 149/92 mmHg untuk kelompok yang tidak diberi perlakuan tawa. Rata-rata tekanan darah responden sesudah dilakukan perlakuan tawa adalah 127/86 mmHg untuk kelompok yang diberi perlakuan dan 151/93 mmHg untuk kelompok yang tidak diberi perlakuan tawa. jika dilakukan perlakuan tawa sebanyak 12 kali dengan frekuensi seminggu tiga kali, didapatkan hasil terdapat pengaruh dengan nilai analisis p = 0,001 terhadap tekanan darah pada lansia yang hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Kabupaten Jember. Nilai p < 0,05 menunjukkan Ho ditolak yang berarti ada pengaruh perlakuan tawa terhadap tekanan darah lansia yang hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Kabupaten Jember. DAFTAR PUSTAKA Bangun, I. 2005. Terapi Jus dan Ramuan Tradisional untuk Hipertensi. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Department of Health and Human Services, august 2004. The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and 15
Pengaruh Perlakuan Tawa……………………………………………………………..Nuning Dwi Merina, Hal. 10 - 16
Treatment of High Blood Pressure. New York: NIH Publisher. Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC. Higueras et al. 2006. Humor-Centered Activity on Disruptive Behavior. Espana: William & Wilkins. Houston, Mark. 2009. Handbook of Hypertension. USA: WileyBlackwell. Joewono & Prabowo. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University Pers. Kaplan, N.M. 2002. Kaplan Clinical Hypertension. Philadelphia: Lippincot. Karyadi, Elvina. 2002. Hidup Bersama Penyakit Hipertensi-Asam uratJantung koroner. Jakarta: PT Intisari Mediatama. Kataria, M. 2004. Laugh For No Reason (Terapi Tawa). Mumbai: Madhuri International. Kimura, et al. 2003. NOS3 Genotype Dependent Correlation Between Blood Pressure and Physical Activity. http://hyper.ahajounals.org. Tanggal 11 Oktober 2010. Marci et al. 2004. Physiologic Evidence For The Interpersonal Role of Laughter During Psychotherapy. Boston: William & Wilkins. McGhee, Paul. 2010. Humor and Nursing: Impact of Humor and Laughter on Physical Health. Bloomington: AuthorHouse. O’keefe et al. 2009. Primary and Secondary Prevention of Cardiovascular Disease: A Practical Evidence Based Approach. http://www.mayoclinicproceedings .com. Tanggal 10 Oktober 2010. Prasetyo & Jannah. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: RajaGrafindo Persada. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC. PSIK Universitas Jember. 2009. Pedoman Penyusunan Skripsi PSIK Universitas Jember. Jember: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember. Setiadi. 2007. Konsep Dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Simamora, Roymond. 2007. Mengukur Tanda-tanda Vital. Jember: Dasar Keperawatan Keperawatan Dasar Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember. Simanungkalit, B. 2007. Terapi Tawa. Jakarta: Papas Sinar Sinanti. Smeltzer and Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC. Snyder and Lindquist, 2002. Complementary/Alternative Therapies in Nursing 4th Edition. New York: Springer Publishing Company. Stevens, J. 1999. Ilmu Keperawatan. Jakarta: EGC. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Takeda et al. 2010. BMC Complementaray and Alternative Medicine. http://www. Biomedcentral.com. Tanggal 05 Oktober 2010. Yayasan Gerontologi Abiyoso Provinsi Jawa Timur. 2009. Dwi Windu Yayasan Gerontologi Abiyoso Provinsi Jawa Timur. Surabaya: Yayasan Gerontologi Abiyoso Provinsi Jawa Timur.
16
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Gizi……………….Trisna Pangestuning Tyas, Hal. 17 - 23
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLA ASUH GIZI PADA BALITA BGM DI KECAMATAN MUMBULSARI KABUPATEN JEMBER Trisna Pangestuning Tyas* *Dosen STIKES Bhakti Negara Jember ABSTRACT Nutritional status can be influenced by nutrition parenting practices performed in the household are realized with the availability of food and medical care and other resources for survival, growth and development of children. Nutrient deficiency in infancy and child - a child can lead to state of the BGM (Lower Red Line). The research objective was to determine factors - factors that influence parenting nutrition in children with BGM at Mumbulsari district Jember. The study design was observational analytic. Population of 56 mothers who have BGM children in District Mumbulsari Jember.Sampel of 56 mothers who have BGm children. Collecting data using questionnaires and KMS. Data were tabulated and presented in picture, also Ordinal Regression statistical tests. Results showed most respondents have less nutrition parenting is 29 respondents (52%). Based on Ordinal Regression statistical test results obtained on the variable P value of Age (0.398), Education (0.650), Employment (0.460) and parity (0.710), which means P> or Ho received. So there is no effect between age, education, employment, and parity with parenting nutrition. The conclusion is Age, Education, Employment, and Parity is not affecting Parenting Nutrition. Suggestions for improving nutritional quality of cares patern of nutritions is to giving love and care to the children also provide information about the nutrition issues by under 5th years old children. Key words: Nutrition, Cares patern of nutritions, Lower red line PENDAHULUAN Sejak tahun 1990-an, kata kunci pembangunan bangsa di negara berkembang, termasuk di Indonesia adalah Sumber Daya Manusia (SDM). Terciptanya keberhasilan pembangunan suatu bangsa berkaitan erat dengan kualitas SDM yang baik. Dalam menciptakan SDM yang bermutu, perlu ditata sejak dini yaitu dengan memperhatikan kesehatan anak-anak, khususnya anak balita. Derajat kesehatan yang tinggi dalam pembangunan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. Salah satu unsur penting dari kesehatan adalah masalah gizi. Gizi JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
sangat penting bagi kehidupan. Kekurangan gizi pada anak dapat menimbulkan beberapa efek negatif seperti lambatnya pertumbuhan badan, rawan terhadap penyakit, menurunnya tingkat kecerdasan, dan terganggunya mental anak. Kekurangan gizi yang serius dapat menyebabkan kematian anak (Santoso, 2004). Keadaan gizi meliputi proses penyediaan dan penggunaan gizi untuk pertumbuhan, perkembangan, pemeliharaan dan aktivitas. Masalah gizi yang merupakan masalah kesehatan masyarakat, dipengaruhi beberapa faktor antara lain: penyakit infeksi, konsumsi makanan, tingkat pendapatan keluarga, 17
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Gizi……………….Trisna Pangestuning Tyas, Hal. 17 - 23
jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi, pelayanan kesehatan, pendapatan keluarga, budaya pantang makanan, dan pola asuh gizi. Selain itu status gizi juga dapat dipengaruhi oleh praktek pola asuh gizi yang dilakukan dalam rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak. Menurut Marian (2000) yang dikutip oleh Prahesti (2001) mengatakan bahwa salah satu aspek kunci dalam pola asuh gizi adalah praktek penyusuan dan pemberian MP-ASI (Makanan Pendamping ASI). Lebih lanjut praktek penyusuan dapat meliputi pemberian makanan prelaktal, kolostrum, menyusui secara eksklusif dan praktek penyapihan. Praktek pola asuh gizi dalam rumah tangga biasanya berhubungan erat dengan faktor pendapatan keluarga, tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu. Menurut Suhardjo (1986) anak–anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga lainnya dan anak yang kecil biasanya paling terpengaruh oleh kurang pangan. Sebab dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anak balita perlu zat gizi yang relatif lebih banyak dari pada anak-anak yang lebih tua. Keadaan balita akan lebih buruk jika ibu balita memiliki perilaku pola asuh yang kurang baik dalam hal penyusuan, pemberian MP-ASI serta pembagian makanan dalam keluarga. Di dalam keluarga besar dengan keadaan ekonomi lemah, anak-anak dapat menderita disebabkan peghasilan keluarga harus digunakan oleh banyak orang. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, tentunya akan semakin JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
bervariasi aktivitas, pekerjaan dan seleranya. Jumlah anggota keluarga dapat mempunyai pengaruh terhadap kesakitan (seperti penyakit menular dan gizi) dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Suatu keluarga besar relative akan tinggal berdesak-desakan didalam rumah yang luasnya terbatas. Hal ini memudahkan penularan penyakit menular dikalangan anggota-anggotanya, karena persediaan uang harus digunakan untuk anggota keluarga yang jumlahnya besar, maka dapat dipastikan terjadi kekurangan makanan yang bernilai gizi dan juga tidak dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia (Notoatmodjo, 2003). Pola asuh yang berhubungan dengan perilaku kesehatan sehari-hari, mempunyai pengaruh terhadap kesakitan anak. Pada umumnya perilaku ini dipengaruhi oleh pendidikan dan pengetahuan gizi yang dimiliki ibu. Contohnya apabila keadaan anak sakit. Dalam keadaan tersebut tentunya reaksi ibu akan berbeda-beda. Hal ini dapat terjadi juga jika jarak antara anak pertama dengan anak kedua kurang dari 2 tahun, maka perhatian ibu terhadap pemeliharaan atau pengasuhan anak yang pertama akan dapat berkurang setelah kehadiran anak berikutnya (Sukarni, 1994). Sebagian besar masyarakat khususnya orang tua, banyak yang belum mengetahui kebutuhan gizi yang cukup untuk anak mereka. Data tahun 2007 memperlihatkan empat juta anak Indonesia kekurangan gizi, dan 700.000 diantaranya mengalami gizi buruk. Sedangkan yang mendapat program makanan tambahan hanya 39.000 anak. Dari total 3,1 juta balita di Jawa Timur, sekitar 16,5% atau 511.500 jiwa di antaranya menderita gizi kurang. Rendahnya kesadaran orang tua untuk memberikan asupan terbaik kepada anak merupakan penyebab utama (Priyadi, 2008). Pada pada juni 2010 terdapat 4634 18
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Gizi……………….Trisna Pangestuning Tyas, Hal. 17 - 23
balita, dan terdapat 61 balita yang menderita BGM. Dari studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 14 januari 2011 sampai dengan 17 januari 2011, dari 10 ibu (100%) yang diwawancarai, 7 ibu (70%) mengatakan belum mengetahui pola asuh gizi yang yang harus diperoleh oleh anaknya.
2 Karakteristik Pendidikan
PENDIDIKAN 4%
29%
37%
SD SMP
30%
SMA PT
BAHAN DAN METODE Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik karena peneliti bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi pola asuh gizi balita BGM Populasi pada penelitian ini adalah seluruh balita yang mengalami BGM di Kecamatan Mumbulsari Kabupaten Jember sebanyak 56 balita. Besar sampel adalah banyaknya anggota yang dijadikan sampel (Nursalam dan Pariani, 2001) Pada penelitian ini cara pengambilan sampel menggunakan total sampling, dimana seluruh populasi dipilih menjadi sampel penelitian. HASIL
Gambar 2 menjelaskan bahwa hampir setengah dari responden memiliki pendidikan SD sebanyak 27 responden (37%). 3 Karakteristik Pekerjaan
PEKERJAAN 3% 29%
PNS SWASTA
68%
IRT
Gambar 3 menjelaskan bahwa sebagian besar dari responden memiliki pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga sebanyak 38 responden (68%) 4. Karakteristik Paritas
PARITAS 4% 48% 48%
Data umum 1 Karakteristik Usia Gambar 1 menjelaskan bahwa sebagian besar dari responden berusia 20 – 35 tahun sebanyak 30 responden (54%).
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
PRIMIGRAVIDA MULTIGRAFIDA GRANDEMULTI
Gambar 4 menjelaskan bahwa setengah dari responden memiliki paritas primigravida dan multigravida sebanyak 27 responden (48%)
19
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Gizi……………….Trisna Pangestuning Tyas, Hal. 17 - 23
Data Khusus 1 Pola Asuh Gizi
Pola Asuh 27% 52% 21%
baik cukup kurang
Gambar diatas menjelaskan bahwa sebagian besar dari responden memiliki pola asuh gizi kurang sejumlah 29 responden (52%). Analisis Hasil Penelitian a. Dari hasil uji Regresi Ordinal pada variabel usia didapatkan nilai P=0,398 atau P>, Ho diterima. Jadi tidak ada pengaruh antara usia dan pola asuh gizi. b. Dari hasil uji Regresi Ordinal pada variabel pendidikan didapatkan nilai P= 0,650 atau P>, Ho diterima. Jadi tidak ada pengaruh antara pendidikan dan pola asuh gizi. c. Dari hasil uji Regresi Ordinal pada variabel pekerjaan didapatkan nilai P= 0,460 atau P>, Ho diterima. Jadi tidak ada pengaruh antara pekerjaan dan pola asuh gizi. d. Dari hasil uji Regresi Ordinal pada variabel paritas didapatkan nilai P= 0,710 atau P>, Ho diterima. Jadi tidak ada pengaruh antara paritas dan pola asuh gizi. PEMBAHASAN Karakteristik Usia Penelitian menunjukkan bahwa setengah dari ibu balita berusia 20 – 35 tahun (50%). Sedangkan berdasarkan uji Regresi Ordinal, diperoleh p= 0,398. Yang artinya p>,Ho diterima dan tidak ada pengaruh. Menurut Hucklok (1998) dikutip dalam buku Nursalam dan Siti Pariani (2001) bahwa semakin cukup JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
umur tingkat kematangan seeorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Steven (2005) dalam Mahlia (2009) bahwa umur ibu tidak ada hubungan dengan pertumbuhan bayi karena berusia muda (20-35 tahun) mampu memiliki bayi dengan pertumbuhan normal apabila ibu memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, karena dengan memiliki pendidikan yang tinggi maka akan semakin mudah seseorang menyerap dan memahami apabila mendapat informasi mengenai pertumbuhan bayi. Karakteristik Pendidikan Penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah dari ibu balita memiliki pendidikan SD sebanyak 27 ibu (45%). Sedangkan berdasarkan uji Regresi Ordinal, diperoleh p= 0,063. Yang artinya p>,Ho diterima dan tidak ada pengaruh. Dilapangan dijumpai kebanyakan ibu kurang dapat memahami apabila diberikan konseling mengenai masalah pertumbuhan bayi. Mereka lebih mendengar anjuran yang diberikan orang tuanya dari pada petugas kesehatan. Menurut Suhardjo (1986) dalam Mahlia (2009) bahwa tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami masalah pertumbuhan bayi yang diperoleh. Pendidikan formal ibu akan mempengaruhi pertumbuhan bayi. Semakin tinggi pendidikan ibu semakin tinggi kemampuan ibu untuk menyerap pengetahuan praktis dan pendidikan non formal terutama melalui televisi, surat kabar, radio dan lain-lain. Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Hurlock (1993) dalam Supadi (2002) bahwa orang yang berpendidikan rendah (dasar) pada umumnya juga berpengetahuan kurang sehingga dalam mengasuh anak cenderung menggunakan emosinya. 20
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Gizi……………….Trisna Pangestuning Tyas, Hal. 17 - 23
Karakteristik Pekerjaan Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh ibu balita memiliki pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga sebanyak 38 ibu (86%). Sedangkan berdasarkan uji Regresi Ordinal, diperoleh p= 0,46. Yang artinya p>,Ho diterima dan tidak ada pengaruh. Di masyarakat ditemukan kebanyakan ibu rumah tangga membantu suaminya untuk bekerja di sebagai petani. Dalam kondisi bekerja ibu seringkali melibatkan orang lain untuk mengurus anaknya selagi ibu bekerja di ladang. Anak yang diasuh oleh orang lain seringkali mengalami masalah, salah satunya pertumbuhan yang tidak normal karena orang lain kurang perduli mengenai pemberian makanan anak yang menyebabkan kebutuhan gizinya kurang memadai sehingga pertumbuhannya terganggu. Menurut Nasedul (1996), seorang wanita yang telah memasuki lapangan kerja, mereka dengan sendirinya mengurangi waktunya untuk mengurus rumah, anak, bahkan suaminya. Sehingga anak akan merasa kehilangan karena ketidak hadiran orangtuanya disaat anak membutuhkan kasih sayang dan hal tersebut dapat mempengaruhi perkembangan anak menjadi terganggu. Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Attiya Rahma (1998) dalam Supadi (2002), bahwa tidak didapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak baik yang diasuh oleh ibunya sendiri atau diasuh orang lain selain ibu, seperti nenek, saudara ibu, pembantu atau tetangga. Karakteristik Paritas Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa setengah dari ibu balita memiliki paritas multigravida sebanyak 28 ibu (50%). Sedangkan berdasarkan uji Regresi Ordinal, diperoleh p= 0,71. Yang JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
artinya p>,Ho diterima dan tidak ada pengaruh. Paritas diperkirakan ada kaitannya dengan arah pencarian informasi tentang pengetahuan ibu dalam memberikan pola asuh gizi. Hal ini dihubungkan dengan pengaruh pengalaman sendiri maupun orang lain terhadap pengetahuan yang dapat mempengaruhi perilaku saat ini atau kemudian (Notoatmodjo, 2003). Menurut Supadi (2002), jumlah anak bekan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi pola asuh gizi ibu, tetapi berkaitan dengan pendidikan dan pengetahuan ibu yang rendah. Pola Asuh Gizi Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah dari ibu balita memiliki pola asuh gizi cukup sejumlah 27 ibu (48%). Sedangkan berdasarkan uji Regresi Ordinal, diperoleh p= 0,653. Yang artinya p>,Ho diterima dan tidak ada pengaruh. Menurut Soekirman (2000) pola asuh gizi anak adalah sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan, merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya itu sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Pola asuh yang tidak memadai dapat menyebabkan anak tidak suka makan atau tidak diberikan makanan seimbang, dan juga dapat memudahkan terjadinya penyakit infeksi yang kemudian dapat berpengaruh terhadap status gizi anak. Pengetahuan masyarakat yang rendah tentang jenis dan cara mengolah makanan bayi akan mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi pada bayi karena asupan gizi yang masuk ke tubuh bayi tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh bayi, maka akan menyebabkan pertumbuhan anak tidak normal (Krisnatuti, 2006). Nursalam (2005) menyatakan bahwa perkembangan seorang anak tidak 21
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Gizi……………….Trisna Pangestuning Tyas, Hal. 17 - 23
dipengaruhi pengetahuan orang tua tetapi dipengaruhi oleh interaksi orang tua serta kasih sayang orang tua dengan anaknya didalam rumah tangga. Di sebagian masyarakat banyak di jumpai pengetahuan orang tua tentang pola asuh gizi dan perkembangan bayi kurang, tetapi interaksi orang tua serta kasih sayang dan perhatian yang diberikan kepada bayinya baik, sehingga tanpa disadari sebenarnya orang tua tersebut sudah memperhatikan tumbuh kembang bayinya dan dengan demikian tumbuh kembang bayinya menjadi baik. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pada karakteristik usia, sebagian besar ibu balita (54%) berusia 20 – 35. 2. Pada karakteristik pendidikan, setengah dari ibu balita (37%) memiliki pendidikan SD. 3. Pada karakteristik pekerjaan, sebagian besar dari ibu balita (68%) bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga. 4. Pada karakteristik paritas, setengah dari ibu balita (50%) memiliki paritas primigravida dan multigravida. 5. Pada sebagian besar dari ibu balita (52%) memiliki pola asuh gizi kurang. 6. Faktor usia, pendidikan, pekerjaan, dan paritas bukan merupakan faktor yang mempengaruhi pola asuh gizi pada balita BGM. Saran 1. Menerapkan ilmu dan pengalaman yang telah didapat khususnya mengenai penerapan gizi seimbang dalam pemberian makanan sesuai dengan usia anak. 2. Lebih meningkatkan dalam memberikan informasi mengenai masalah-masalah gizi balita. 3. Menganjurkan orang tua untuk memberikan perhatian dan kasih sayang pada anaknya.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, dr. Prof. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta Depkes RI. 2000. Makanan Pendamping ASI. Jakarta ________. 2005. Manajemen Laktasi. Jakarta ________. 1998. Buku Pedoman ASI Eksklusif Bagi Petugas. Semarang ________. 1992. Makanan sehat Balita dan Ibu Hamil. Jakarta Farida, Yayuk, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta : Penebar Swadaya Hardianto, 2001. Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Rumah Tangga dengan Perkembangan Anak Balita di Kelurahan Sekaran Kecamatan Gunung Pati Kota Semarang. Skripsi S-1. Universitas Negeri Semarang. Hidayat. Aziz Alimul. 2007. Riset Keperawatan dan Tehnik Penulisan Ilmiah edisi kedua. Jakarta: Salemba Medika Hurlock, E. B. (2002). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Erlangga Krisnatuti,Diyah, dkk. 2002. Menyiapkan Makanan Pendamping ASI. Jakarta : Puspa Swara, Anggota IKAPI Kristijono, Anton. 1999. Karakteristik Balita Kurang Energi Protein (KEP) yang dirawat Inap di RSU Dr. Pirngadi Medan. Aceh : Cermin Dunia Kedokteran. Departemen Kesehatan RI Mahlia, Yamnur. 2008. Pengaruh Karakteristik Ibu Dan Pola Asuh Makan Terhadap Pertumbuhan Dan Perkembangan Bayi Di Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat 2008. Tesis S-2 universitas Sumatra Utara Nasedul, H. 1996. Cara Sehat Mengasuh Anak. Jakarta : Puspa Swara
22
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Gizi……………….Trisna Pangestuning Tyas, Hal. 17 - 23
Notoatmodjo.2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat.Jakarta : Rineka Cipta. Notoatmodjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Nursalam. 2003. Konsep dan Perencanaan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Nursalam. 2008. Konsep dan Perencanaan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Pariani, dkk. 2001. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: CV Sagung Seto. Prahesti, Amy. 2001. Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Gangguan Pertumbuhan (Growth Faltering) pada Anak Usia 0-12 Bulan di Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang. Skripsi S1. Universitas Diponegoro Priyadi. Imam. 2008. gizi Buruk Ancam 4 juta Anak Indonesia. (http://www.kompas.com sitasi tanggan 11 Oktober 2008) Santoso, Soegeng. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Rineka Cipta Savage, King. 1991. Menolong Ibu Menyusui. Terjemahan Sukwan Handali.Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Sediaoetama. Achmad Djaelani. 1999. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta : Dian Rakyat Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC Steven. P. 2005. Perawatan Untuk Bayi Dan Balita. Jakarta : Arcan Sudiyanto, dkk. 2005. Manfaat Poster AKSI Kalender Bulanan Bayi Dan Balita Untuk Pemantauan Status Gizi. www.tempo.co.id/medika/arsip. diakses tanggal 20 Juli 2011 JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Suhardjo, dkk. 1986. Pangan Gizi dan pertanian. Jakarta : UI-Press Sukarni, Mariyati. 1994. Kesehatan Keluarga dan Lingkungan. Yogyakarta :Kanisius Supariasa. I Dewa Nyoman. 2001. Penelitian Status Gizi. Jakarta : EGC. Winarno. 1990. Gizi dan Makanan Bagi Bayi dan Anak Sapihan. Jakarta :Pustaka Sinar Harapan Zeitlin.et al. 1990. Positive Deviance In Child Nutrition United Nations University Press. Japan http://www.gizi.net/busunglapar/RANOK.doc. diakses tanggal 10 Januari 2011
23
Efektifitas Terapi Musik Klasik……………………………………………………...Zidni Nuris Yuhbaba, Hal. 24 - 33
EFEKTIVITAS TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU AGRESIF PADA ANAK DENGAN AUTISME DI SLB-B DAN AUTIS TPA BINTORO PATRANG JEMBER Zidni Nuris Yuhbaba*, Vika Surya**, Ratna Yulianti*** *STIKES Bhakti Negara Jember, **, *** Mahasiswa Program S1 Keperawatan STIKES Bhakti Negara Jember ABSTRACT Music therapy is the use of music as therapeutic tools to fix, maintain, develop physical, mental, emotional health in particular. This research is Quasi Experiment, without using a control group using the design of the study one group pretest posttest. Conducted a pretest (observation) to determine the level of aggression prior to treatment, then do posttest (observation) to determine the level of aggressiveness after treatment so that it can be seen the extent to which the effectiveness of classical music therapy against aggressive behavior in children with autism in SLB-B and Autism TPA Bintoro, Patrang, Jember. Overall study population was composed of 20 students of SLB-B and Autism TPA Bintoro, Patrang, Jember. Sampling by means of purposive sampling. The sampling is based on a certain considerations made by the researchers themselves, based on the characteristics or traits (goals / issues) population that has been previously known by the researchers. Sebanyk found 10 children with autism as the sample in this study. The data was collected by direct observation on the respondent is a child with autism in special schools Patrang Bintoro Jember. Observations made using the observation chart observation of aggressive behavior by using a check-list according to Delut who was adopted from the WHO. Based on the analysis of the data processed using the Wilcoxon shows there are significant effect between the level of aggressiveness of children with autism before and after therapy is given to classical music. This is indicated by the value of p = 0.005 (p <0.05). Thus, classical music therapy is effective against changes in aggressive behavior in children with autism. This study can be used as the basic foundation for SLB-B and Autism Bintoro Patrang TPA can socialize and continue the music therapy as one of the therapy given for their autistic students. Key words: Music Therapy, Autism, Aggressive Behavior PENDAHULUAN Proses penuaan adalah proses Autisme berasal dari kata Autos yang berarti “Aku”. Dalam penelitian non ilmiah dapat diinterpretasikan bahwa semua anak yang mengarah kepada dirinya sendiri disebut autisme (Monks et al dalam Yuwono, 2009). Priyatna (2010) menuliskan autisme merupakan tipe yang paling popular dari PDD (Pervasive Development Disorder), yang mengacu pada problem dengan interaksi sosial, JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
komunikasi dan bermain imajinatif yang mulai muncul sejak anak berusia dibawah 3 tahun. Autisme dipahami sebagai gangguan perkembangan neurobiologis yang berat sehingga gangguan tersebut mempengaruhi bagaimana anak belajar, berkomunikasi, keberadaan anak dalam lingkungan dan hubungan dengan orang lain. (The Association for Autistik Children in WA dalam Yuwono, 2009). Autisme diketemukan pada 4-5 dari 10.000 orang dengan rasio 24
Efektifitas Terapi Musik Klasik……………………………………………………...Zidni Nuris Yuhbaba, Hal. 24 - 33
perbandingan 3-4 anak laki-laki terhadap 1 anak wanita (Monks et al, 2006). Angka kejadian autisme di dunia meningkat tajam setelah tahun 1990, mencapai 1-2 per 500 hingga 1 per 100 anak-anak. The Centre Of Disease Control dalam Yuwono (2009) menyebutkan jumlah penderita autis mencapai 2-6 per 1000 anak. Selama tahun 2000-2001 terdapat lebih dari 15.000 anak-anak beerusia 3-5 tahun dan lebih dari 78.000 anak berusia 6-21 tahun di Amerika Serikat adalah autistik sebagaimana didefinisikan dalam Individual with Disabilities Education Act (IDEA). Di Indonesia, isu anak autis mulai dikenal secara luas sekitar tahun 2000-an. Data mengenai jumlah anak dengan gangguan autisme belum diketahui dengan pasti. Namun jumlah anak dengan gangguan autisme menunjukkan peningkatan yang mencolok. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah pusat terapi untuk penderita autisme. Pada tahun 1997 belum banyak pusat terapi yang memberikan layanan terapi untuk anak dengan gangguan autisme, tapi kini jumlah pusat terapi mencapai 102 pusat terapi dan 13 sekolah khusus anak autisme (Data Yayasan Autisma Indonesia/YAI, 2009). Padahal masih banyak pusat terapi yang tidak terdaftar di YAI. Hal ini menjadi bukti bahwa kebutuhan akan layanan anak utisme semakin meningkat bersamaan dengan jumlah anak autisme. Anak-anak dengan gangguan autisme biasanya kurang dapat merasakan kontak sosial. Mereka cenderung menyendiri dan menghindari kontak dengan orang lain. Orang dianggap sebagai objek (benda) bukan sebagai subjek yang dapat berinteraksi dan berkomunikasi (Yuwono, 2009). Penyandang autisme pada umumnya tidak mampu mengembangkan permainan yang kreatif dan imajinatif. Oleh karena itu mereka membutuhkan stimulasi agar JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
bisa mengembangkan daya kreativitas dan imajinasinya untuk dapat bersosialisasi dengan orang lain. Penatalaksanaan terapi pada anak autisme bersifat multidisiplin yang memerlukan banyak tim seperti perawat, psikolog, pekerja sosial, dokter dan sebagainya. Perawat sebagai tenaga kesehatan mempunyai peran penting untuk mengoptimalkan perkembangan anak penderita autisme. Peran perawat secara konkrit dalam penanganan anak penderita autisme meliputi peran sebagai terapis yang nantinya di dampingi oleh tim lain, konselor dan membantu dalam pengawasan dan penggunaan terapi medikamentosa. Terapi autisme menurut Tjin Wiguna (2002) yang ditulis oleh Astuti (2007) adalah penatalaksanaan anak dengan gangguan autisme secara terstruktur dan berkesinambungan untuk mengurangi masalah perilaku dan untuk meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan anak sesuai atau paling sedikit mendekati anak seusianya dan bersifat multi disiplin yang meliputi: (1) terapi perilaku berupa ABA (Applied Behaviour Analysis), (2) terapi biomedik (medikamentosa), (3) terapi tambahan lainnya yaitu, terapi wicara, terapi sensory integration, terapi musik, terapi diet, dll . Terapi musik sendiri merupakan penggunaan musik sebagai peralatan terapis untuk memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental, fisik dan kesehatan emosi (Djohan, 2009). Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa 8090% penderita autisme merespon musik secara positif sebagai sebuah motivator. Keterampilan merespon musik lebih bertahan lama dibandingkan dengan keterampilan lainnya (Djohan, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Aplikasi Musik di Iran mengenai fungsi terapan musik terhadap kesehatan fisik dan mental manusia menunjukkan bahwa terapi musik bisa menjadi metode penyembuhan baru bagi gangguan mental dikalangan anak-anak 25
Efektifitas Terapi Musik Klasik……………………………………………………...Zidni Nuris Yuhbaba, Hal. 24 - 33
cacat mental. Penelitian ini membuktikan, terapi musik dapat meningkatkan rasa percaya diri dan mengontrol tindakan hiperaktif dikalangan anak-anak cacat mental serta dapat menciptakan perubahan mental, dan perilaku yang signifikan. Penelitian lain membuktikan bahwa musik, terutama musik klasik sangat mempengaruhi perkembanngan IQ (Intelegent Quotient) dan EQ (Emotional Quotient). Seorang anak yang sejak kecil terbiasa mendengarkan musik akan lebih berkembang kecerdasan emosional dan intelegensinya dibandingkan dengan anak yang jarang mendengarkan musik (Rasyid, 2010). Pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan ahli saraf dari Universitas Harvard, Mark Tramo , (2006). Ia mengatakan, di dalam otak terdiri dari jutaan neuron yang menyebar di otak akan menjadi aktif saat mendengarkan musik. Rangsangan neuron itulah yang meningkatkan kecerdasan. Maka dari itu, diperlukan suatu kerjasama antara tenaga pendidik, tenaga medis, termasuk perawat serta psikiatri atau psikolog agar dapat mendeteksi dini dan untuk penanganan secara cepat dan tepat bagi para penderita autis . Pada tahun 1998, Don Campbell, seorang musisi sekaligus pendidik, bersama Dr. Alfred Tomatis seorang psikolog, mengadakan penelitian untuk melihat efek positif dari beberapa jenis musik. Hasilnya dituangkan dalam buku mereka yang di Indonesia diterbitkan dengan judul Efek Mozart, memanfaatkan kekuatan musik untuk mempertajam pikiran, meningkatkan Kreativitas dan menyehatkan Tubuh. Banyak fakta menarik yang diungkap Campbell dan Tomatis. Diantaranya, adanya hubungan yang menarik antara musik dan kecerdasan manusia. (¶1, http://imadeharyoga.com/2008/11/penelit ian-musik-klasik, diperoleh tanggal 13 April 2011). JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Sekolah Luar Biasa Bintoro Jember merupakan satu-satunya sekolah yang memberikan pendidikan khusus bagi anak autisme di kota Jember yang mempunyai program sekolah dasar bagi anak penderita autisme dan pusat terapi dengan menggunakan kurikulum sekolah dasar sebagai acuan dalam pemberian terapi. Dengan jumlah siswa autisme sebanyak 20 anak, mulai dari usia paling kecil 3 tahun hingga 12 tahun. Berdasarkan data yang peneliti peroleh bahwa semua terapi yang diberikan di SLB-B dan Autis TPA Bintoro Patrang menggunakan metode bermain sebagai sarana terapi, dimana salah satu kegiatan bermain yang dilakukan menggunakan media musik. Salah satu terapi yang ditekankan adalah pada terapi perilaku karena anak autisme mengalami gangguan perilaku seperti perilaku agresif atau menyakiti diri sendiri karena sebab yang tidak jelas, dan hal ini tentunya selain akan membahayakan dirinya sendiri juga akan membahayakan orang lain yang berada di sekitarnya. Gangguan perilaku agresif ini sebenarnya dapat diatasi dengan pemberian terapi musik klasik, namun karena berbagai faktor di SLB-B dan Autis TPA Bintoro Patrang Jember belum menggunakannnya. Berdasarkan hal di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang efektivitas terapi musik klasik terhadap perilaku agresif pada anak dengan autisme di SLB-B da Autis TPA Bintoro Patrang Jember. METODE PENELITIAN Design Penelitian ini adalah Quasi Eksperiment, karena penelitian ini tidak menggunakan kelompok kontrol dengan menggunakan desain penelitian one group pretest posttest. Dilakukan pretest (observasi) untuk mengetahui tingkat agresifitas sebelum dilakukan perlakuan, kemudian dilakukan posttest (observasi) untuk mengetahui tingkat 26
Efektifitas Terapi Musik Klasik……………………………………………………...Zidni Nuris Yuhbaba, Hal. 24 - 33
agresifitas setelah dilakukan perlakuan dengan Februari 2011. Sampel penelitian sehingga dapat diketahui sejauh mana ini adalah anak penyandang autisme yang efektifitas terapi musik klasik terhadap berperilaku agresif yang bersekolah di perilaku agresif pada anak penderita Sekolah Khusus Autisme SLB Bintoro autisme di SLB-B dan Autis TPA Bintoro Patrang Jember. Bintoro Patrang Jember. Tempat penelitian ini dilakukan Populasi pada penelitian ini di SLB-B dan Autis TPA Bintoro Patrang adalah keseluruhan anak penderita Jember, pada bulan Juli 2011 autisme yang bersekolah di Sekolah Khusus Autisme SLB Bintoro Patrang HASIL Jember.Penelitian ini dilaksanakan di Hasil pengumpulan data pada karang werdha Semeru Jaya Kecamatan sampel penelitian, adalah sebagai berikut: Sumbersari Kabupaten Jember. Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2010 sampai Tabel 1 Diskripsi hasil responden berdasarkan jenis kelamin responden di SLB-B dan Autis TPA Bintoro Patrang bulan Juli 2011 No. Jenis kelamin Jumlah 1.
Laki laki
9
2.
Perempuan
1
Tabel 2 Diskripsi hasil responden berdasarkan usia responden di SLB-B dan Autis TPA Bintoro Patrang bulan Juli 2011 No. Usia (Tahun) Jumlah 9 4 1. 10 3 2. 11 3 3.
Tabel 3 Diskripsi hasil tingkat agresifitas responden sebelum dan sesudah terapi selama 5 hari di SLB-B dan Autis TPA Bintoro Patrang bulan Juli 2011 No. Responden Tingkat agresifitas Sebelum terapi Sesudah terapi Ad 9,2 1,8 1. Ag 8,8 2,8 2. At 7,6 3,8 3. An 7 3,6 4. Dk 6,6 3,2 5. Vk 4,2 3 6. Ar 6,6 3,2 7. Dv 6,2 3,4 8. Dt 4,2 2,8 9. Fd 6,6 3,2 10. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
27
Efektifitas Terapi Musik Klasik……………………………………………………...Zidni Nuris Yuhbaba, Hal. 24 - 33
Tabel 4 Diskripsi hasil tingkat agresifitas anak sebelum dan sesudah terapi musik di SLBB dan Autis TPA Bintoro Patrang bulan Juli 2011 No. Observasi Jumlah ringan sedang Berat Sebelum terapi 2 8 0 1. Sesudah terapi 10 0 0 2. Tabel 5 Diskripsi Hasil Tingkat Agresifitas Sebelum Terapi Musik Diskripsi Subjek pada Pretest di SLB-B dan Autis TPA Bintoro Patrang bulan Juli 2011 Item-item
Agresifitas Tidak Melakukan melakukan f % f %
Total
f
%
A. Menimbulkan keributan Gaduh Berteriak-teriak
1 -
10 -
9 10
90 100
10 10
100 100
Meracau Memukul-mukul benda di sekitarnya B. Melukai diri sendiri
1
10
10 9
100 90
10 10
100 100
Memukul-mukul bagian anggota tubuh Membenturkan kepala
7
70
3
30
10
100
10
100
-
-
10
100
10
100
-
-
10
100
9 6
90 60
1 4
10 40
10 10
100 100
1
10
9
90
1
10
9
90
Memukul mainan/sesuatu kebagian tubuhnya Mencakar Menggigit C. Merusak barang yang ada di sekitarnya Melempar mainan/alat tulis/benda lain Menghamburkan barangbarang di sekitarnya D. Melukai orang lain
10 10
100 100
10
Menendang Memukul
7 2
70 20
3 8
30 80
10 10
100 100
Melempar benda Mencakar Mendorong Mencubit
1 10 5 4
10 100 50 40
9 0 5 6
90 50 60
10 10 10 10
100 100 100 100
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
28
Efektifitas Terapi Musik Klasik……………………………………………………...Zidni Nuris Yuhbaba, Hal. 24 - 33
Tabel 6 Diskripsi Hasil Tingkat Agresifitas Sesudah Terapi Musik Diskripsi Subyek Pada Post Test di SLB-B dan Autis TPA Bintoro Patrang bulan Juli 2011 Item-item
Agresifitas Tidak Melakukan Melakukan F % F %
Total
f
%
A. Menimbulkan keributan Gaduh Berteriak-teriak
7 1
70 10
3 9
30 90
10 10
100 100
Meracau Memukul-mukul benda di sekitarnya B. Melukai diri sendiri
-
-
10 10
100 100
10 10
100 100
Memukul-mukul bagian anggota tubuh Membenturkan kepala
9
90
1
10
10
100
10
100
-
-
10
100
10
100
-
-
10
100
10 9
100 90
1
10
10 10 10
100 100
6
60
4
40
10
100
10
100
-
-
10
100
Menendang Memukul
5 5
50 50
5 5
50 50
10 10
100 100
Melempar benda Mencakar Mendorong Mencubit
10 8 6 10
100 80 60 100
2 4 -
20 40 -
10 10 10 10
100 100 100 100
Memukul mainan/sesuatu kebagian tubuhnya Mencakar Menggigit C. Merusak barang yang ada di sekitarnya Melempar mainan/alat tulis/benda lain Menghamburkan barangbarang di sekitarnya D. Melukai orang lain
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
29
Efektifitas Terapi Musik Klasik……………………………………………………...Zidni Nuris Yuhbaba, Hal. 24 - 33
Tabel 7 Diskripsi hasil perilaku agresif yang masih terjadi setelah terapi musik di SLB-B dan Autis TPA Bintoro Patrang bulan Juli 2011 No.
1. 2. 3.
4.
Perilaku agresif
Bereriak Meracau Memukul mukul benda disekitarnya menendang
PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 5.7 menunjukkan bahwa terjadi perubahan perilaku agresif yang muncul pada anak autisme setelah dilakukan terapi musik klasik Mozart dimana terdapat perbedaan perilaku pada pretest dan posttest. Dengan perbedaan perilaku yang terjadi akan menimbulkan dampak yang positif bagi anak autisme dalam kehidupannya sehari-hari, dan dengan adanya kemajuan tersebut selain merupakan prestasi dari anak autisme juga merupakan prestasi bagi terapis yang telah berusaha meningkatkan kemajuan anak didiknya. Tidak dapat dipungkiri bahwa terapi musik klasik ini bukan satu-satunya terapi yang digunakan terapis dalam hal perkembangan kemajuan perilaku anak autisme kearah adaptif, tentunya banyak faktor yang mendukung seperti terapi medikamentosa, nutrisi, terapi bermain, dan lain-lain. Tingkat agresifitas anak sebelum diberikan terapi musik Mozart berkisar antara 4-9, sehingga 8 anak (80%) diantaranya tergolong memiliki agresifitas sedang dan 2 anak lainnya (20%) termasuk dalam klasifikasi agresifitas ringan. Sedangkan setelah terapi musik Mozart diberikan terjadi perubahan tingkat agresifitas pada seluruh anak. Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa terapi musik cukup JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Jumlah Sebelum terapi 10 10 9
Sesudah terapi 9 10 10
3
5
efektif dalam perubahan perilaku agresif pada anak autisme. Untuk membuktikan adanya efektifitas tersebut dilakukan melalui observasi pada subyek yang akan diteliti, sebelumnya dilakukan pretest untuk mengetahui perilaku agresifnya, setelah itu subyek diintervensi dengan diperdengarkan musik klasik Mozart selama 10-30 menit pada waktu ia belajar di ruang kelas, dan dilakukan posttest untuk melihat perubahan perilaku agresif subyek. Hal tersebut dilakukan selama 5 hari untuk kemudian hasilnya diakumulasi dan di ambil rata-rata. Data yang telah terkumpul kemudian di olah kemudian dilakukan pengujian dengan uji statistik wilcoxon, untuk mengetahui signifikansi hipotesis komparatif antara variabel independent dan dependen. Setelah dilakukan perhitungan dengan menggunakan wilcoxon, dengan menggunakan tingkat signifikan 95% ( = 0,05) didapatkan p-value = 0,005, maka nilai p-value < = 0,05, dengan demikian H1 diterima yang berarti terapi musik klasik efektif terhadap perubahan perilaku agresif pada anak penderita autisme di SLB-B dan Autis TPA Bintoro Patrang Jember Efektifitas terapi musik klasik sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu berat ringannya gangguan, waktu dan lamanya terapi, kompleksitas gejala, penyebab, kondisi perkembangan anak 30
Efektifitas Terapi Musik Klasik……………………………………………………...Zidni Nuris Yuhbaba, Hal. 24 - 33
(kesehatan fisik dan psikologis), kondisi keluarga (kepribadian orang tua, keadaan ekonomi, pengetahuan), kemampuan terapis (kemampuan, keterampilan, pengalaman), fasilitas yang memadai (alat permainan), system rujukan (terapi penunjang lainnya seperti terapi medikamentosa, terapi nutrisi). a. Berat ringannya gangguan pada setiap sampel Semakin berat derajat gangguan perilaku agresif semakin sulit untuk kembali ke normal, sehingga terapi musik klasik ini bukannya satusatunya terapi yang efektif akan tetapi membutuhkan terapi penunjang lainnya untuk memperbaiki kondisi anak. Namun, walaupun derajat gangguan yang terjadi sangat ringan tetap harus memperoleh terapi. b. Waktu dan lamanya terapi musik klasik Terapi musik akan lebih efektif apabila diperdengarkan dalam waktu ± 30 menit sehari dalam waktu 40 hari berturut-turut, sehingga selain di sekolah/pusat terapi juga bisa diperdengarkan di rumah. c. Penyebab autisme yang belum dapat diketahui secara tepat Penyebab terjadinya autisme yang belum diketahui akan mempersulit terapis dalam melakukan terapi, sehingga pemeriksaan dan pengkajian yang detail menjadi perhatian yang penting. Dengan demikian penyebab autisme yang diketahui akan mempermudah terapi dalam menangani hendaya yang muncul pada anak autisme. e. Kondisi anak autisme (status kesehatan fisik maupun psikologi) Kondisi fisik anak autisme dalam rentang sehat akan membantu dalam proses terapi musik klasik, sehingga semakin optimal kondisi fisik anak akan semakin membantu efektifitas terapi musik klasik. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Kondisi psikologis khususnya emosional anak yang stabil akan membantu dalam pelaksanaan terapi musik klasik semakin efektif bagi anak penderita autisme. Anak autisme menunjukan perilaku tempetantrum sehingga terapis harus sabar dalam melaksanakan terapi musik klasik sampai anak menunjukan emosional yang dapat dikendalikan. Kondisi belajar yang membosankan akan dapat menyebabkan anak untuk menimbulkan perilaku yang maladaptif. f. Kondisi lingkungan keluarga (keadaan sosial ekonomi keluarga, kepribadian orang tua, pendidikan orang tua) Menurut Faris (2008), bahwa kasih sayang dan kesabaran dari keluarga merupakan hal penting bagi penanganan anak autisme. Kepribadian orang tua yang keras dan kasar akan memperburuk keadaan anak karena anak akan trauma dan merasa disakiti. Pengetahuan orang tua tentang terapi musik akan membantu terapis dalam pelaksanaan di rumah. Sosial ekonomi orang tua yang mendukung akan mempercepat proses perbaikan pada anak karena terapi membutuhkan biaya yang mahal. g. Kemampuan terapis (pengalaman, kemampuan dan ketrampilan) Menurut Djohan (2009) bahwa terapis dapat mempercepat proses terapi khususnya terapi musik apabila terapis mampu mengembangkan hubungan yang hangat, erat dengan anak, terapis mampu menerima anak tepat seperti apa adanya, terapis bisa menunjukan penghargaan yang tinggi terhadap kemampuan anak pada waktu ia berhasil, terapis bisa memberikan batasan-batasan dari tujuan program terapinya.
31
Efektifitas Terapi Musik Klasik……………………………………………………...Zidni Nuris Yuhbaba, Hal. 24 - 33
h. Fasilitas yang memadai Fasilitas yang lengkap akan menunjang keberhasilan pelaksanaan terapi musik. Semakin banyak jenis atau variasi musik yang diperdengarkan maka akan semakin membantu proses terapi. Sistem rujukan (terapi penunjang seperti terapi medikamentosa, terapi nutrisi). Sistem rujukan yang semakin lengkap baik sistem rujukan dalam pemeriksaan anak maupun sistem rujukan dalam memberikan terapi akan membantu dalam perkembangan anak penderita autisme. Disamping itu efektifitas terapi, khususnya terapi musik klasik juga dipengaruhi oleh usia anak. Penatalaksanaan terapi akan berjalan baik apabila dilakukan sebelum usia 5 tahun, karena perkembangan otak manusia paling pesat terjadi pada usia kurang dari 5 tahun dan puncaknya pada usia 2 – 3 tahun. Di samping itu anak semakin dini dibawa ke pusat terapi akan lebih mudah mengatasi gejala atau hendaya yang muncul. Penatalaksanaan terapi pada usia lebih dari 5 tahun akan berjalan lambat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa efektifitas terapi musik klasik pada anak penderita autisme tidak sama untuk setiap individu karena dipengaruhi oleh banyak hal untuk keberhasilan terapi tersebut. SIMPULAN Berasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian yang telah dilkukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Tingkat agresifitas pada anak dengan autisme sebelum dilakukan terapi musik sebagian besar termasuk dalam kategori agresif sedang, yaitu sebanyak 80%. Tingkat agresifitas pada anak dengan autisme setelah dilakukan terapi musik JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
klasik termasuk kategori agresif ringan, yaitu sebanyak 100%. Terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat agresifitas anak dengan autisme sebelum dan sesudah diberikan terapi musk klasik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p=0,005 (p<0,05). Dengan demikian terapi musik klasik efektif terhadap perubahan perilaku agresif pada anak dengan autisme. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsini. (2006). Prosedur penelitian. Jakarta : Rineka Cipta Christie, et al. (2010). Langkah Awal Berinterksi dengan Anak Autis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Dhani, Musik Klasik, http://www.dhani.org/2003/09/ musik-klasik, diperoleh tanggal 20 April 2011). Djohan (2009). Psikologi Musik. Yogyakarta : Penerbit Best Publisher Faris (2008) Terapi Autisme, http://www.autis.info/index.php /terapi-autisme, diperoleh tanggal 02 April 2011 Handojo, Y (2003). .Autisme : Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi Untuk Mengajar Anak Normal, Autisme dan Perilaku Lain. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer Handojo, Y (2009). Autisme Pada Anak. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer Haryoga, (2008). Musik Klasik, http://imadeharyoga.com/2008/1 1/penelitian-musik-klasik/, diperoleh tanggal 13 April 2011) Hurlock, Elizabeth B (2004). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan , Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga 32
Efektifitas Terapi Musik Klasik……………………………………………………...Zidni Nuris Yuhbaba, Hal. 24 - 33
Kessick Rosemary (2009). Autisme Dan Pola Makan yang Penting Untuk Anda Ketahui. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama Monks, et al (2006). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Notoatmodjo, S (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Nursalam, (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika Peeters, T (2009). Panduan Autisme Terlengkap. Jakarta : PT. Dian Rakyat Priyatna, A. (2010). Amazing Autism! (Memahami, Mengasuh, dan Mendidik Anak Autis). Jakarta : PT Elex Media Komputindo Pusat Riset Terapi Musik & Gelombang Otak, http://www.terapimusik.com/ diperoleh tanggal 20 April 2011 Rasyid, F (2010). Cerdaskan Anakmu Dengan Musik!. Jogjakarta : Diva Press (IKAPI) Saefi, (2010) Perilaku Agresif, http://belajarpsikologi.com, diperoleh tanggal 02 April 2011 Santoso,S (2010). Statistik Nonparametrik.Jakarta : PT Media Elex Komputindo Sugiyono, (2010). Statistik Nonparametrik Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta Tjin Wiguna, (2002). Terapi Bermain Pada Anak Bermasalah. Dalam Astuti, (2007). Penatalaksanaan Holistik Autisme. Jakarta : Bagaian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Wijayakusuma, H. (2008). Psikoterapi Anak Autisma. Jakarta : Pustaka Populer Obor
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Smeltzer and Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC. Snyder and Lindquist, 2002. Complementary/Alternative Therapies in Nursing 4th Edition. New York: Springer Publishing Company. Stevens, J. 1999. Ilmu Keperawatan. Jakarta: EGC. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Takeda et al. 2010. BMC Complementaray and Alternative Medicine. http://www. Biomedcentral.com. Tanggal 05 Oktober 2010. Yayasan Gerontologi Abiyoso Provinsi Jawa Timur. 2009. Dwi Windu Yayasan Gerontologi Abiyoso Provinsi Jawa Timur. Surabaya: Yayasan Gerontologi Abiyoso Provinsi Jawa Timur.
33
Hubungan Pelayanan Posyandu Lansia………………………......................Dony Setiawan HP, Hal. 34 - 40
HUBUNGAN PELAYANAN POSYANDU LANSIA DENGAN TINGKAT KEPUASAN LANSIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKORAMBI KABUPATEN JEMBER Dony Setiawan Hendyca Putra*, Hairrudin**, Supriyadi*** *STIKES Bhakti Negara Jember, **, *** Mahasiswa Program S1 Keperawatan STIKES Bhakti Negara Jember ABSTRACT Elderly posyandu is an integrated service post for the community elderly in a certain areas that have been agreed, which is driven by the community where they can get health care. The design of this study using a descriptive cross-sectional correlative approach, with variable levels of service satisfaction posyandu elderly and elderly. The population in this study is the elderly who live in the Village I Village Sukorambi Krajan RW Sukorambi Jember District. Lansianya amount is 127 people. The sampling technique used was simple random sampling techniques (simple random sampling). The samples used were as many as 96 elderly people by using simple random sampling technique sampling. Retrieval of data using a questionnaire enclosed with the form of answers to a graduated scale, which is measured at the time of completion of the activity in the elderly posyandu elderly. Based on the analysis of the data processed using spearman rho showed a direct relationship between service satisfaction levels posyandu elderly by the elderly in Hamlet Krajan Work Area Health Center Sukorambi Jember with p-value 0.000. The conclusion of this study is that there is a relationship posyandu elderly with satisfaction levels in elderly Hamlet Village Krajan RW I Sukorambi Work Area Health Center Sukorambi Sukorambi Jember District. Recommendations of this study is posyandu seniors who routinely carried out 1 time a month, can be applied in elderly health care in posyandu elderly. Key words: Elderly Posyandu Services, Elderly, Elderly Satisfaction Levels
LATAR BELAKANG Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimuali dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendut, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, pengelihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figur tubuh tidak proporsional (Nugroho, 2008). JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Secara demografis, berdasarkan sensus penduduk tahun 1990, jumlah penduduk berusia 60 tahun ke atas sebesar 11,3 juta (6,4%) dari jumlah penduduk. Pada tahun 2000, diperkirakan meningkat sekitar 15,3 juta (7,4%) dari jumlah penduduk, dan pada tahun 2005, jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 18,3 juta (8,5%) (Nugroho, 2008). Sering kali keberadaan lanjut usia dipersepsikan secara negatif, dianggap sebagai beban kaluarga dan masyarakat sekitarnya. Kenyataan ini mendorong semakin berkembangnya anggapan bahwa menjadi tua itu identik dengan semakin banyaknya masalah kesehatan yang dialami oleh lanjut usia. Lanjut usia cenderung dipandang masyarakat tidak lebih dari sekelompok orang yang sakit sakitan. Kesehatan merupakan aspek sangat penting yang perlu diperhatikan 34
Hubungan Pelayanan Posyandu Lansia………………………......................Dony Setiawan HP, Hal. 34 - 40
pada kehidupan lanjut usia. Semakin tua seseorang, cenderung semakin berkurang daya tahan fisik mereka. Dalam kaitan ini kajian terhadap keperawatan lanjut usia perlu ditingkatkan (Nugroho, 2008). Berdasarkan paparan diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa ada beberapa masalah yang dihadapi oleh beberapa lansia tentang posyandu lansia, diantaranya adalah pengetahuan lansia yang rendah tentang manfaat posyandu, jarak rumah dengan lokasi posyandu yang jauh atau sulit dijangkau, kurangnya dukungan keluarga untuk mengantar maupun mengingatkan lansia untuk datang ke posyandu, sikap yang kurang baik terhadap petugas posyandu, sarana dan psarana penunjang pelaksanaan posyandu lansia. Maka untuk menangani masalah kesehatan lansia, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan/ program yang diterapkan oleh puskesmas. Program pelayanan lansia disebut juga posyandu lansia (Depkes RI, 2005). Posyandu lansia adalah pos pelayanan terpadu untuk masyarakat usia lanjut di suatu wilayah tertentu yang sudah disepakati, yang digerakkan oleh masyarakat dimana mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang meliputi pemeriksaan fisik, mental emosional yang dicatat dan dipantau dengan Kartu Menuju Sehat (KMS) sehingga dapat mengetahui lebih awal penyakit yang di derita (deteksi dini) atau ancaman masalah yang dihadapi. Kegiatan posyandu lansia yang berjalan dengan baik akan memberikan lansia kemudahan pelayanan kesehatan dasar, sehingga kualitas hidup masyarakat di usia lanjut tetap terjaga dengan baik dan optimal. Berbagai kegiatan dan program posyandu lansia tersebut sangat baik dan banyak memberikan manfaat bagi para orang tua di wilayahnya. Seharusnya para lansia berupaya memanfaatkan adanya posyandu tersebut sebaik mungkin, agar kesehatan para lansia dapat terpelihara JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
dan terpantau secara optimal. Sebaliknya, lansia yang tidak aktif dalam memanfaatkan posyandu lansia, maka kondisi kesehatannya tidak dapat terpantau dengan baik, sehingga apabila mengalami suatu resiko penyakit akibat penurunan kondisi tubuh dan proses penuaan dikhawatirkan dapat berakibat fatal dan mengancam jiwa mereka. Berdasarkan penelitian terkait, dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh mahasiswa Program S1 Keperawatan PSIK FK Universitas Sumatra Utara, disitu menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara pelayanan posyandu lansia dengan tingkat kepuasan lansia. Pelayananan yang diberikan petugas posyandu kepada lansia akan memberikan gambaran tentang kepuasan. Kepuasan baik apabila pelayanan yang diterima lebih besar dari harapan. Kepuasan cukup apabila pelayanan yang diterima sama dengan harapan. Kepuasan kurang apabila pelayanan yang diterima lebih kecil/ jauh dari harapan. Berdasarkan studi pendahuluan di Dusun Krajan Desa Sukorambi bahwa, 26 lansia mengatakan bahwa sangat membutuhkan sekali adanya pelayanan kesehatan bagi para lansia di posyandu lansia. Ada 26 lansia juga mengatakan bahwa banyak diantara mereka yang kesehatan fisiknya terganggu. Berdasarkan paparan di atas maka peneliti mengambil Dusun Krajan RW I Kecamatan Sukorambi sebagai lokasi penelitian, karena Desa Sukorambi adalah desa pengembangan FIKES UNMUH Jember. Jumlah lansia yang tercatat dalam daftar anggota posyandu lansia di RW I dengan jumlah lansia 127 orang. Dalam pelaksanaan posyandu bulan Maret, yang datang ke posyandu sejumlah 82 orang. Dari kehadiran lansia yang datang ke posyandu lansia hanya 82 orang. Berdasarkan paparan diatas peneliti menggambarkan bahwa ada 35
Hubungan Pelayanan Posyandu Lansia………………………......................Dony Setiawan HP, Hal. 34 - 40
permasalahan terkait dengan perhatian pada lansia. Bahwa terdapat 82 lansia yang datang dari 127 jumlah lansia yang tercatat di Dusun Krajan tersebut. Posyandu lansia ini diaktifkan kembali dan telah berjalan mulai bulan Maret 2011 sampai sekarang. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui seberapa tingkat kepuasan lansia tentang pelayanan kesehatan yang diberikan si posyandu lansia. METODE PENELITIAN Tujuan penelitian ini untuk Mengidentifikasi hubungan pelayanan posyandu lansia dengan tingkat kepuasan lansia di Dusun Krajan Wilayah Kerja Puskesmas Sukorambi Kabupaten Jembar. Desain yang digunakan adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional.
Penelitian dilakukan di Dusun Krajan Desa Sukorambi Wilayah Kerja Puskesmas Sukorambi Kabupaten Jember dengan jumlah sampel 96 responden. Tehnik pemilihan responden pada penelitian ini menggunakan tehnik Random Sampling dimana sampling ini menggunakan Simple Random Sampling. Etika penelitian dengan memberikan informed concent pada partisipan dengan menerapkan prinsip confidentially, anonymity serta informen consent. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner untuk pelayanan posyandu lansia dan kuesioner untuk kepuasan lansia. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji spearman rho dengan α = 0,05. HASIL Hasil pengumpulan data pada 96 responden didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 1 Deskripsi Hasil Wawancara Responden Berdasarkan Usia No Usia (tahun) Jumlah Persentase (%) 1. 60-64,5 66 68,75 2. 64,6-69 30 31,25 Total 96 100 Hasil wawancara responden dapat dilihat %), dan responden yang berusia 64,6 - 69 bahwa jumlah responden yang berusia 60 tahun sebanyak 30 orang (31,25%). - 64,5 tahun sebanyak 66 orang (68,75 Tabel 2 Deskripsi Hasil Wawancara Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Kriteria Pendidikan SD SMP SMA Perguruan Tinggi Jumlah Hasil wawancara responden didapatkan bahwa pendidikan dasar sebanyak 55 (57,29%), pendidikan menengah pertama
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Jumlah Persen (%) 55 57,29 25 26,04 16 16,67 0 0 96 100 sebanyak 25 (26,04%), pendidikan menengah atas sebanyak 16 (16,67%) dan yang perguruan tinggi 0 responden.
36
Hubungan Pelayanan Posyandu Lansia………………………......................Dony Setiawan HP, Hal. 34 - 40
Tabel 3 Deskripsi Hasil Wawancara Responden Berdasarkan Bekerja/ Tidak Kriteria Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja Jumlah Hasil wawancara responden didapatkan bahwa yang tidak bekerja sebanyak 26
Jumlah Persen (%) 26 27,08 70 72,92 96 100 responden (27,08%), yang bekerja sebanyak 70 responden (72,91%).
Tabel 4 Pelayanan Posyandu Lansia No. Baik Cukup Kurang Total
Jumlah 63 33 0 96
Deskripsi hasil pelayanan posyandu lansia menurut responden di dusun Krajan wilayah kerja Puskesmas Sukorambi kabupaten Jember adalah
Persentase (%) 65,62 34,38 0 100
dalam kategori baik yaitu sebanyak 63 responden (65,62%), kategori cukup sebanyak 33 responden (34,38%), dalam kategori kurang 0 responden.
Tabel 5 Tingkat Kepuasan Lansia No. Sangat Puas Puas Kurang Puas Total Deskripsi hasil tingkat kepuasan lansia menurut responden di dusun Krajan wilayah kerja Puskesmas Sukorambi kabupaten Jember adalah dalam kategori
Jumlah Persentase (%) 87 90,62 9 9,38 0 0 96 100 sangat puas yaitu sebanyak 87 responden (90,62%) dan kategori puas sebanyak 9 responden (9,37%).
Tabel 6 Hubungan Pelayanan Posyandu Lansia Dengan Tingkat Kepuasan Lansia Tingkat Kepuasan Lansia Puas Sangat Puas Total
Pelayanan Posyandu Lansia
Cukup
(%)
Baik
2 30 32
2,08% 31,25%
6 58 64
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Jumlah
(%) 6,25% 60,41%
8 88 96
37
Hubungan Pelayanan Posyandu Lansia………………………......................Dony Setiawan HP, Hal. 34 - 40
Pelayanan Posyandu Lansia yang cukup dengan Tingkat Kepuasan Lansia yang puas sebanyak 2 responden (2,08%), Pelayanan Posyandu Lansia yang baik dengan Tingkat Kepuasan Lansia yang puas sebanyak 6 responden (6,25%), Pelayanan Posyandu Lansia yang cukup dengan Tingkat Kepuasan Lansia yang sangat puas sebanyak 30 responden (31,25%), Pelayanan Posyandu Lansia yang baik dengan Tingkat Kepuasan Lansia yang sangat puas sebanyak 58 responden (60,41%). Berdasarkan uji statistik menggunakan metode spearman rho (α = 0,05) diperoleh hasil ρ = 0,000 lebih kecil dari α = 0,05 yang berarti ada hubungan antara pelayanan posyandu lansia dengan kepuasan lansia. PEMBAHASAN Setelah melakukan penelitian terhadap Hubungan Pelayanan Posyandu Lansia Dengan Tingkat Kepuasan Lansia Di Dusun Krajan Wilayah Kerja Puskesmas Sukorambi Kabupaten Jember bulan Mei - Juli 2011 terlihat pada tabel kontingensi (tabel 5.6) yang menunjukkan bahwa dari Pelayanan Posyandu Lansia yang cukup dengan Tingkat Kepuasan Lansia yang puas sebanyak 2 responden (2,08%), Pelayanan Posyandu Lansia yang baik dengan Tingkat Kepuasan Lansia yang puas sebanyak 6 responden (6,25%), Pelayanan Posyandu Lansia yang cukup dengan Tingkat Kepuasan Lansia yang sangat puas sebanyak 30 responden (31,25%), Pelayanan Posyandu Lansia yang baik dengan Tingkat Kepuasan Lansia yang sangat puas sebanyak 58 responden (60,41%). Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa kepuasan merupakan fungsi dari kesan harapan dan kinerja (Tjiptono, 2001). Diketahui bahwa ada dua variabel yang menentukan kepuasan pelanggan yaitu expectation dan performance. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Dari analisis data teknik Spearman Rho pada tabel 5.7 didapatkan nilai p ini 0,000 < (0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara Pelayanan Posyandu Lansia Dengan Tingkat Kepuasan Lansia Di Dusun Krajan Wilayah Kerja Puskesmas Sukorambi Kabupaten Jember, sedangkan untuk hasil perhitungan nilai Rho didapatkan hasil 0,602. Maka jika dihubungkan dengan nilai korelasi dapat diartikan bahwa antara Pelayanan Posyandu Lansia Dengan Tingkat Kepuasan Lansia di Dusun Krajan Wilayah Kerja Puskesmas Sukorambi Kabupaten Jember mempunyai hubungan yang kuat atau hubungan tidak dapat diabaikan (Nursalam, 2009). Dari penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa pelayanan posyandu lansia yang dilaksanakan dengan baik maka berdampak pada tingkat kepuasan lansia yang sangat puas terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan di posyandu lansia. Dari analisis data teknik Spearman Rho pada tabel 5.7 didapatkan nilai p ini 0,000 < (0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara Pelayanan Posyandu Lansia Dengan Tingkat Kepuasan Lansia Di Dusun Krajan Wilayah Kerja Puskesmas Sukorambi Kabupaten Jember, hal ini disebabkan karena hasil daripada pelayanan posyandu lansia dengan tingkat kepuasan lansia itu adalah sama. Artinya Pelayanan posyandu lansia yang baik akan memberikan kepuasan yang sangat puas pada pelanggannya dan itu terbukti di dusun Krajan wilayah kerja Puskesmas Sukorambi Kabupaten Jember. Adapun beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepuasan lansia di dusun Krajan wilayah kerja Puskesmas Sukorambi, diantaranya adalah umur, pendidikan, bekerja atau tidak, jarak posyandu ke rumah. Variabel inilah yang menyebabkan adanya Hubungan Pelayanan Posyandu Lansia Dengan 38
Hubungan Pelayanan Posyandu Lansia………………………......................Dony Setiawan HP, Hal. 34 - 40
Tingkat Kepuasan Lansia Di Dusun Krajan Wilayah Kerja Puskesmas Sukorambi Kabupaten Jember. Umur sangat berpengaruh terhadap kriteria untuk dijadikan responden dalam penelitian ini, sehingga sampel yang diambil tepat sasaran untuk dijadikan responden. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap apa yang ditangkap saat mendapatkan pelayanan di posyandu lansia, serta kecakapan dalam berkomunikasi dengan petugas posyandu lansia. Bekerja atau tidak responden ini juga berpengaruh terhadap adanya hubungan kedua variabel karena jika lansia di bekerja maka jelas bahwa lansia tersebut memiliki hubungan sosial yang lebih erat dengan orang lain daripada lansia yang tidak bekerja yang hanya dirumah. Jarak antara posyandu lansia dengan rumah lansia sangat penting sekali karena sangat berpengaruh terhadap kedua variabel penelitian ini. Jarak itu menentukan banyak tidaknya lansia yang datang ke posyandu lansia. KESIMPULAN Pelayanan posyandu lansia di Dusun Krajan Wilayah Kerja Puskesmas Sukorambi Kabupaten Jember yang terbanyak adalah dalam kategori baik, yaitu 63 responden (65,62%). Tingkat kepuasan lansia di Dusun Krajan Wilayah Kerja Puskesmas Sukorambi Kabupaten Jember yang terbanyak adalah dalam kategori sangat puas, yaitu 87 responden (90,62%). Ada Hubungan Pelayanan Posyandu Lansia Dengan Tingkat Kepuasan Lansia di Dusun Krajan RW I Desa Sukorambi Wilayah Kerja Puskesmas Sukorambi Kecamatan Sukorambi Kabupaten Jember. DAFTAR PUSTAKA Akira. (2010). Manusia Lanjut, Makasar: 2, http://akiralawlet.blogspot.com/, (di akses 2011/03/06). JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Anindya. 2007. Perkembangan Dewasa Lansia (Teori Tentang Proses Menjadi Tua). 1. http://ilmupsikologi.wordpress.com /2010/02/18/perkembangandewasa-lansia-teori-tentang-prosesmenjadi-tua/, (di akses 2011/03/06). Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta, PT Rineka Cipta. Asriwuria. (2009). Lansia Dalam Kependudukan, Malang: 4, http://stikeskabmalang.wordpress.c om/2009/10/03/lansia-dalamkependudukan-2/, (di akses 2011/03/06). Departemen Kesehatan RI. (2003). Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Departemen Kesehatan RI. (2005). Pedoman Umum Pengelolaan Posyandu. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Departemen Kesehatan RI. (2006). Saya Bangga Menjadi Kader Posyandu. Jakarta: Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan. Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Fitradjaja. (2010). Posyandu Lansia Perlu Dapat Perhatian.. http://politik.suarasurabaya.net/, (diakses 27 April 2010). Hastono. (2007). Basic Data Analysis for Health Research Training. Analisis Data Kesehatan. Depok: Tidak dipublikasikan. Hidayat. (2007). Metode Penelitian dan Teknik Analisis. Jakarta. Salemba Medika. Ismawati. (2010). Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) dan Desa Siaga, Yogyakarta: Nuha Medika. Kottler, P. (1997) Manajemen Pemasaran : Analisis, Perencanaan, Implementasi Dan Kontrol, Jilid 2, 39
Hubungan Pelayanan Posyandu Lansia………………………......................Dony Setiawan HP, Hal. 34 - 40
Alih Bahasa Hendar Teguh Dkk, Prenhallindo, Jakarta. Kushariyadi. (2010). Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia, Jakarta: Salemba Medika. Mustikasari. (2006). Komunikasi Dalam Pelayanan Keperawatan. 4, http://mustikanurse blogspot com. Notoatmodjo, S. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta. Nugroho, H. W. (2008). Keperawatan Gerontik & Geriatrik Edisi 3. Jakarta: EGC. Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian. Jakarta: Salendra Medika. Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Pohan. (2007). Jaminan Mutu Layanan Kesehatan. Jakarta EGC. Pro-Health. (2009). Aktivitas Pada Lansia,3, http://stikeskabmalang.wordpress.c om/2009/10/03/aktivitas-padalansia/ (diakses 2011/03/09). Sabarguna. 2004). Quality Assurance pelayanan Rumah Sakit, Konsorsium Rumah Sakit Islam Jateng – DIY, Yogyakarta. Santoso, S. (2010). Statistik Nonparametrik. Jakarta: Elexmedia Komputindo. Sarwono, S. (2004). Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Pers. Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawata / Setiadi. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Setiati, S., Harimurti, K., & Roosheroe, A. G. (2006). Proses Menua dan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Implikasi Kliniknya, dalam Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Atwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jil. III Ed. IV (hlm. 1335-1340). Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. Sulizwanto. 2010. Perkembangan Fisik dan Psikis pada Usia Lanjut Kajian Teoritis dan Apilkatif. 2-3. http://shulizwanto08.wordpress.co m/2010/01/12/ psikologiperkembangan-lansia/, (di akses 2011/03/09). Suparyanto. (2011). Konsep Lanjut Usia, 2, http://dr suparyanto. blogspot. Com/2011/ 02/ konsep-lanjutusia.html, (di akses 2011/03/09). Tjiptono. (2001). Kepuasan Layanan Kesehatan, 4, http://Tjiptono. blogspot. Com/2001/ 02/12 kepuasan layanan kesehatan. html, (di akses 2011/01/17)
40
Pengaruh Senam Tera Terhadap Kadar Gula Lansia.............................Firdha Novitasari, Hal. 41 - 49
PENGARUH SENAM TERA TERHADAP KADAR GULA DARAH LANSIA DENGAN DIABETES MELITUS DI KECAMATAN SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER Firdha Novitasari*, Baskoro Setioputro**, Roymond*** *STIKES Bhakti Negara Jember, **, *** Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember ABSTRACT
Diabetes mellitus is kind of diseases often suffered by elderly people and it marked by increase of glucose rate in blood. Many kind of therapy have been done to cure their hiperglikemia both farmacology and non farmacology. One of non farmacology therapy that can be their alternative is tera exercise. Tera exercise can decrease hiperglikemia by increasing glucose uptake in skeletal muscle and repairing of insulin sensitivity. This research aimed to find out the influence of tera exercise to blood glucose level. This research used Pra experiment desigh by one group pre-test and post-test design. The number of sample was 35 elderly people whom suffering diabetes mellitus. The blood glucose level of each sample is measured before and after tera exercise, then the different of them is analized to identify the influence of tera exercise. By using sample paired t-test, the result of this research is t count value 14,082, t table value 2,032. Regarding that t count > t-table so Ho is rejected. It can be conclude that tera exercise have influence to blood glukose level in elderly people with diabetes mellitus in Sumbersari Disctric Jember Recidance. Key words: Blood Glukose Level, Diabetes Mellitus, Tera Exercise.
LATAR BELAKANG Lanjut usia merupakan bagian dari tahap perjalanan hidup manusia yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia. Masa dewasa tua (lansia) ini dimulai setelah pensiun, biasanya antara usia 65 dan 75 tahun (Potter dan Perry, 2005). Penyakit degeneratif yang sering muncul yang berkaitan dengan proses menua adalah penyakit akibat gangguan metabolisme hormonal seperti diabetes melitus (Stieglitz, 1954 dalam Nugroho, 2008). Diabetes tipe 2 paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Pada usia di atas 65 tahun resistensi insulin cenderung meningkat (Smeltzer dan Bare, 2002). Pada diabetes melitus tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Akibat dari terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin diabetes melitus tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa pada jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan oleh pankreas. Pada penderita dengan gangguan sekresi insulin sel beta pankreas tidak mampu mengimbangi peningktan kebutuhan akan insulin sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa (Smeltzer dan Bare, 2002). Kadar glukosa yang tinggi dapat meracuni dan menyebabkan rasa lemah serta tidak sehat serta dapat menyebabkan 41
Pengaruh Senam Tera Terhadap Kadar Gula Lansia.............................Firdha Novitasari, Hal. 41 - 49
komplikasi dan gangguan metabolisme yang lain. Lansia kadang kala tidak menyadari kadar gula darahnya tinggi. Akibat dari tingginya kadar gula darah yang lama tidak terdeteksi ini timbul berbagai komplikasi jangka panjang seperti kelainan mata, neuropati perifer, dan kelainan vaskuler perifer yang sulit untuk ditangani. Penatalaksanaan diabetes melitus yang cukup menguntungkan bagi lansia adalah latihan fisik atau olahraga. Latihan fisik atau olahraga dapat membantu mengontol kadar gula darah, menurunkan berat badan, memperkuat jantung, dan mengurangi stres (Vitahealth, 2006). Stein (2001) menyatakan, pada pasien NIDDM (non insulin dependent diabetes melitus) berusia lanjut, yang kelebihan berat badan, dan yang terlalu banyak duduk, olahraga memainkan peran yang lebih lansung dan lebih penting dalam regiman terapi dengan meningkatkan pengeluaran kalori. Latihan fisik atau olahraga yang direkomendasikan untuk penderita diabetes melitus yaitu olahraga yang bersifat ringan hingga sedang. Intensitas olahraga yang direkomendasikan adalah 60-70 % denyut nadi maksimal (Vitahealth, 2006). Olahraga dengan intensitas ringan hingga sedang yang cocok untuk penderita diabetes adalah olahraga aerobik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan olah Shivananda Nayak pada tahun 2005 yang berjudul Pengaruh Olahraga Aerobik dengan Metode Treadmeal terhadap Homeostasis Gula Darah Pasien NIDDM setelah dilakukan olahraga treadmill selama 6 minggu pada pasien pendarita NIDDM mengalami penurunan kadar gula darah sebesar 44,4 Mg % (Nayak, 2005). Olahraga aerobik merupakan aktifitas fisik yang menggunakan oksigen secara teratur sehingga tidak membebani jantung dan paru bahkan melatih nafas paru dan detak jantung, mengangkut oksigen dari paru ke jantung, lalu ke pembuluh darah dan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
selanjutnya menuju otot untuk aktivitas. Jenis olahraga aerobik yaitu jalan kaki, berenang, bersepeda, jogging atau senam (Tandra, 2009). Senam tera merupakan salah satu olahraga aerobik (menggunakan oksigen) karena senam ini memiliki unsur olah nafas (melatih nafas). Senam tera terdiri dari 17 gerakan peregangan, 25 gerakan persendian, 20 gerakan pernafasan pokok (Muzakir, 2006). Senam ini berdurasi 35 menit dengan intensitas rendah hingga sedang (60-70 % nadi maksimum). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada lansia dengan usia 60-73 tahun di sanggar senam tera PTD di Kecamtan Patrang, 10 dari 11 lansia memiliki nadi antara 63-70 % dari nadi maksimumnya setelah melakukan senam tera. Berdasarkan survey WHO, jumlah penderita diabetes melitusdi Indonesia sekitar 17 juta orang (8,6 persen dari jumlah penduduk) atau menduduki urutan terbesar keempat setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Berdasarkan Survei WHO pada 2001 menyebutkan terjadi peningkatan jumlah diabetes melitus di Jakarta dari 1,7 persen pada tahun 1981 menjadi 5,7 persen pada tahun 1993. International Diabetic Federation (IDF) mengestimasikan bahwa jumlah penduduk Indonesia usia 20 tahun keatas menderita diabetes melitus sebanyak 5,6 juta orang pada tahun 2001 dan akan meningkat menjadi 8,2 juta pada 2020, sedang Survei Depkes 2001 terdapat 7,5 persen penduduk Jawa dan Bali menderita diabetes melitus (Ottopharm, 2005). Pada tahun 2009 di Kabupaten Jember jumlah penderita diabetes melitus mencapai 3467 orang dan 46 % (1595 orang) nya di derita oleh kelompok usia lanjut. Kecamatan Sumbersari merupakan salah satu daerah dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di Kabupaten Jember. Jumlah penderita diabetes melitus di Kecamatan Sumbersari mencapai 279 orang dengan 42
Pengaruh Senam Tera Terhadap Kadar Gula Lansia.............................Firdha Novitasari, Hal. 41 - 49
jumlah penderita lansia (>60 tahun) sebesar 98 orang (Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, 2009). Kecamatan Sumbersari sendiri memiliki proporsi penderita diabetes lansia terbanyak di Kabupaten Jember. Sasana senam tera yang terdapat di Kecamatan Sumbersari berjumlah 6 sasana yaitu sasana Kebonsari, sasana Sumbersari, sasana Puspitasari, sasana Bunga Teratai, sasana Bunga Melati dan sasana Nias. Bedasarkan hasil studi pendahuluan jumlah penderita diabetes melitus di 6 sasana tersebut mencapai 43 orang. Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh senam tera terhadap kadar gula darah lansia dengan penyakit diabetes melitus di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. METODE DAN BAHAN Penelitian ini menggunakan desain penelitian pra eksperimental dengan pendekatan yang digunakan adalah One Group Pre test-Post test. Rancangan One Group Pre test-Post test yaitu suatu metode dimana suatu kelompok diberikan perlakuan, tetapi sebelumnya diberikan pretest setelah itu diberikan posttest (Wasis, 2008). Pada penelitian ini peneliti melakukan pemeriksaan kadar gula darah yang
dilakukan sebelum senam tera (pretest) kemudian peneliti pelakukan pemeriksaan kembali setelah senam tera dilaksanakan (posttes). Populasi penelitian ini adalah semua penderita diabetes melitus di Kecamatan Sumbersari yang berusia lanjut sebesar 98 penderita dengan populasi target sebanyak 43 orang yang tersebar di 6 sasana di Kecamtan Sumbersari. Sampel pada penelitian ini adalah lansia dengan penyakit diabetes di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember yang terdaftar sebagai anggota sanggar senam tera di sasana Kebonsari, sasana Sumbersari, sasana Puspitasari, sasana Bunga Teratai, sasana Bunga Melati dan sasana Nias yang memenuhi kriteria penelitian. Lokasi penelitian adalah sanggar senam tera cabang Jember yang terletak di Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret 2010 sampai bulan Juni 2011. Waktu penelitian ini di hitung mulai dari pembuatan proposal sampai pembuatan laporan dan publikasi. HASIL Hasil pengumpulan data pada sampel penelitian, adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Distribusi Kadar Gula Sebelum Diberikan Senam Tera Pada Penderita Diabetes Melitus di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember Tahun 2011 Variabel Rata-rata Std. Deviasi Min-Maks 95% CI Pengukuran kadar gula 167,51 37,139 100-228 167,51 darah sebelum mg/dL diberikan perlakuan senam tera Sumber : data primer, (2011)
Tabel 2 Distribusi Kadar Gula Darah Setelah Diberikan Senam Tera Pada Penderita Diabetes Melitus di Kecamatan Sumbersari kabupaten Jember Tahun 2011 Variabel Rata-rata Std. Deviasi Min-Maks 95% CI Pengukuran kadar gula 163,03 35.650 98-221 163,03 darah setelah senam tera mg/dL Sumber : data primer, (2011) JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
43
Pengaruh Senam Tera Terhadap Kadar Gula Lansia.............................Firdha Novitasari, Hal. 41 - 49 Tabel 3 Distribusi Perubahan Kadar Gula Darah Setelah Diberikan Senam Tera Pada Penderita Diabetes Melitus di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember Tahun 2011 Perubahan KGD naik KGD tetap KGD turun Total KGD setelah Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%) senam tera 0 (0) 0(0) 35(100) 35(100) Sumber : data primer, (2011) Tabel 4 Distribusi Kadar Gula Darah Sebelum dan Setelah Diberikan senam tera pada penderita Diabetes Melitus di Keacamatan Sumbersari Kabupaten Jember Tahun 2011 Variabel Rata-rata Std deviasi Std eror P value 95% Cl N Kadar gula 4.486 1.884 0,319 0.000 3,83835 darah 5,133 Sebelum dan Sesudah senam tera Sumber : data primer, (2011)
PEMBAHASAN Pengaruh pemberian senam Tera terhadap kadar gula darah dilakukan dengan menggunakan uji paired-sample t-test. Dari uji tersebut diketahui p value dalam penelitian ini adalah 0,0005. Pengambilan keputusan uji t-dependen adalah jika p value<α maka H0 ditolak artinya terdapat perbedaan kadar gula darah antara sebelum dan sesudah dilakukan senam tera. Hasil tersebut dibuktikan dengan kadar gula darah ratarata responden sebelum diberikan senam tera sebesar 167,51 mg/dL. Sedangkan sesudah diberikan senam tera rata-rata kadar gula darah menjadi 163,03. Berdasarkan tabel 5.5 rata-rata perbedaan kadar gula darah sebelum dan setelah senam tera sebesar 4,486 mg/dL (perubahan kadar gula darah terendah sebesar 1 mg/dL dan yang tertinggi sebesar 8 mg/dL. Penurunan kadar gula darah setelah dilakukan senam tera terjadi karena latihan fisik dapat meningkatkan pemakaian glukosa oleh otot. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Devlin et al dalam Ross (2011) di dapatkan bahwa setelah pelaksanaan olahraga moderat uptake glukosa JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
meningkat setidaknya 40 %. Selama pelaksanaan senam tera kebutuhan akan energi jauh lebih besar dibandingkan saat kondisi istirahat sehingga pemakaian glukosa darah juga meningkat. Menurut Youngren (2001) otot rangka merupakan jaringan yang unik dimana selama proses kontraksi metabolismenya dapat meningkat sampai 200 kali lipat. Sumber utama energi untuk melakukan kontraksi otot adalah ATP (Guyton dan Hall, 1997). Jumlah ATP yang terdapat dalam otot bahkan dalam otot seorang atlet hanya cukup untuk mempertahankan daya otot yang maksimal selama 3 detik (Guyton dan Hall, 1997). Oleh sebab itu, ATP baru harus dibentuk kembali dalam jika olahraga yang dilakukan lebih dari 3 detik. ATP yang dibutuhkan untuk proses kontraksi dan relaksasi dapat dihasilkan melalui glikolisis, dengan menggunakan glukosa darah, glikogen otot, kreatinin fosfat (Murray et al, 2009). Sewaktu otot berkontraksi, ATP mengalami hidrolisis. Pada awalnya, sel otot menghindari penurunan kadar ATP yang bermakna dengan membentuk kembali ATP dari kreatin fosfat. Namun pada saat melakukan senam tera jumlah kreatin 44
Pengaruh Senam Tera Terhadap Kadar Gula Lansia.............................Firdha Novitasari, Hal. 41 - 49
fosfat dalam otot hanya dapat bertahan dalam beberapa milidetik. Oleh karena itu, simpanan glikogen otot juga terus mulai terurai, untuk memasok glukosa yang kemudian dioksidasi di dalam otot untuk menghasilkan ATP. Penguraian glikogen otot pada metabolisme aerobik (senam tera) jauh lebih lambat dari pada kondisi metabolisme anaerob sehingga konsentrasinya tidak cepat habis. Seiring dengan peningkatan aliran darah ke otot yang bekerja, suatu proses yang memerlukan waktu sekitar 5-10 menit, bahan bakar bergerak ke otot melalui darah. Pada pengukuran glukosa darah segera setelah latihan menunjukkan penurunan bermakna disebabkan karena glukosa masuk dalam otot dibakar dengan aktivitas fisik untuk energi sehingga glukosa dalam darah menurun (Marks et al, 2000; Murray et al, 2009). Glukosa dalam darah dapat masuk ke dalam sel otot melalui perantara zat pembawa (transporter). Menurut Guyton (1996) monosakarida tidak dapat berdifusi secara langsung melalui poripori membran sel, karena berat maksimum molekul yang dapat berdifusi ke dalam membran sel sekaitar 100 sedangakan berat molekul glukosa sekitar 180. Glukosa dan beberapa monosakarida lain dengan berat molekul yang besar dapat masuk ke membran sel dengan perantara zat pembawa (transporter) yang membuat monosakarida tersebut larut dalam membran, sehingga dapat berdifusi dengan mudah ke dalam membran sel. Transporter glukosa di membaran sel otot adalah GLUT-4 (Murray et al, 2009). GLUT-4 adalah protein intraseluler yang berpindah ke membran sel karena stimulus dari insulin atau noninsulin (kontraksi dan hipoksia). Pada penderita diabetes melitus stimulasi insulin terhadap GLUT-4 mengalami gangguan. Menurut Ryder JW et al, 2001; Zierath JR et al, 2000 dalam Henriksen (2002) resistensi insulin pada penderita diabetes JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
tipe 2 berhubungan dengan ketidakmampuan insulin untuk menstimulasi GLUT-4 di sitoplasma berpindah ke membran sel untuk membantu transportasi glukosa. Normalnya bila transporter GLUT-4 terpapar oleh insulin maka transporter tersebut bergerak dengan cepat menuju ke membran sel melelui proses endositosis. Bila stimulus dari insulin terhenti, transporter tersebut kembali ke sitoplasma melalui endositosis (Ganong, 1999). Individu yang paling banyak menderita resistensi insulin adalah lansia. Pendapat ini diperkuat oleh teori yang menyatakan pada usia di atas 65 tahun resistensi insulin cenderung meningkat (Smeltzer dan Bare, 2002). Resistensi insulin pada lansia umumnya terjadi pada otot rangka namun pengaturan glukosa dalam hati tidak terpengaruh olah penuaan. Meskipun jumlah insulin dan afinitas reseptor normal namun, beberapa bukti menunjukkan bahwa afinitas tirosin kinase mungkin rusak pada pasien lansia, yang dapat berkontribusi pada resistensi insulin (Scheen, 2010). Disfungsi mitokondria secara progresif sering terjadi pada proses penuaan yang fisiologis (Meneilly, 2010). Menurut Petersen, Kitt Falk et al (2003) penurunan fungsi mitokondria dapat menyebabkan resistensi insulin pada lansia. Senam tera dapat meningkatkan jumlah dan fungsi transporter GLUT-4 di membaran plasma. Menurut Wright et al (2001) olahraga dapat meningkatkan jumlah transporter GLUT-4 di membaran plasma dan meningkatkan aktivitasnya di membran sel. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cox et all pada tahun 1999 olahraga dapat meningkatkan konsentrasi GLUT-4 rata-rata sebesar 3,1 kali lipat baik pada lansia atau pada usia dewasa muda (Cox, 1999). Translokasi yang disebabkan oleh olahraga sampai saat ini belum jelas, tetapi dapat diterangkan melalui pelepasan ion 45
Pengaruh Senam Tera Terhadap Kadar Gula Lansia.............................Firdha Novitasari, Hal. 41 - 49
kalsium dari retikulum sarkoplasma yang menyebabkan proses kontraksi. Ion kalsium ini akan mengaktifkan PI3-K dan Protein Kinase C yang dalam hipotesis mengakibatkan translokasi GLUT-4 yang akan meningkatkan uptake glukosa (Youngren, 2003). Selain oleh kerja Ca2+ translokasi GLUT-4 di membran sel juga dapat distimulasi oleh AMP kinase yang diaktifkan saat ada penurunan suplai energi seluler seperti saat olahraga (Henriksen, 2002). Pada saat olahraga proses perubahan ATP menjadi ADP meningkat, jumlah kreatinin fosfat menurun dan kandungan glikogen menurun yang dapat menyebabkan aktivasi 5 AMP-activated protein kinase (AMP kinase) yang dapat meningkatkan translokasi GLUT-4 (Musi, 2001; Richter, 2001 dalam Fathoni et al, 2007). Peningkatan jumlah GLUT-4 di membran sel ini dapat membantu meningkatan kepekaan otot terhadap glukosa sehingga uptake glukosa dalam sel juga meningkat (Sakamoto 2002 dalam Fathoni et al, 2007). Selain itu menurut Ganong (1999) peningkatan kepekaan otot terhadap insulin disebabkan oleh peningkatan jumlah transporter GLUT-4 independen di membran sel otot. Berdasarkan penjelasan sebelumnya jumlah transporter GLUT-4 independen di membran sel otot meningkat sebesar 3 kali lipat selama olahraga. Peningkatan kepekaan ini menetap selama beberapa jam setelah senam tera, dan olahraga teratur dapat meningkatkan kepekaan insulin yang berkepenjangan. Menurut Masharani, (2007) peningkatan sensitivitas insulin pada olahraga jangka pendek dapat bertahan selama 24 jam setelah olahraga. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa penurunan kadar gula darah setelah senam tera dapat di jelaskan melalui dua mekanisme utama, yaitu latihan fisik dapat meningkatkan penggunaan glukosa oleh otot dan JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan fisik jangka pendek dapat meningkatkan jumlah dan fungsi dari transporter GLUT4. Peningktan jumlah transporter GLUT-4 ini dapat menyebabkan peningkatan uptake gluosa otot dan meningkatkan sensitivitas dari kerja otot dalam merespon insulin selama senam tera. KESIMPULAN Kadar gula darah lansia penderita diabetes melitus sebelum senam tera berkisar antara 100 mg/dL sampai 228 mg/dL dengan rata-rata kadar gula darah sebesar 167,51 mg/dL. Kadar gula darah lansia penderita diabetes melitus setelah senam berkisar antara 98 mg/dL sampai 221 mg/dL dengan rata-rata kadar gula sebesar 163,03. Senam tera dapat menurunkan kadar gula darah sebesar 4,486 mg/dL. Berdasarkan uji statistik paired-sample ttest diperoleh hasil t hitung > t tabel yaitu 14,082 > 2,032, dan didapatkan nilai p sebesar 0,0005 (p<0,05) maka, dapat dapat disimpulkan bahwa senam tera memiliki pengaruh terhadap kadar gula darah lansia dengan diabetes melitus di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Baron. 2000. Kapita Selekta Patologi Klinik. Jakarta: EGC. Canadian Society for Exercise Physiology. 2002. Physical Readiness Questionare – PAR-Q. (serial online). http://www.csep.ca [7 desember 2010] Clinical Research Facility Sheffield. 2010. Standard Operating Procedure Sheffield Clinical Research Facility Blood Glucose 46
Pengaruh Senam Tera Terhadap Kadar Gula Lansia.............................Firdha Novitasari, Hal. 41 - 49
Monitoring. (serial online). http://www.crf.dept.shef.ac.uk [15 Desember 2010]. Chau, Diane dan Steven V. Edelman. 2001. Clinical Managemen Of Dibetes Melitus In Ederly. (jurnal online). http://clinical.diabetesjournals.org [25 oktober 2010]. Dahlan, Sopiyudin. 2006. Statistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta: PT Arkans. Darmono, Suhartono T, et al. 2007. Naskah Lengkap Diabetes Melitus. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Ganong William. F. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Greenspans & Baxter. 2000. Endokrinologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC. Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Guyton, Arthur C. 1996. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Cox, Julie. H et al. 1999. The Effect of Exercise to GLUT-4 and Insulin Sensitivity in Aging People. (jurnal online). http://jap.physiology.org [19 Oktober 2010] Henriksen EJ, 2002. Exercise of Muscle Insulin Signalingand Action InvitedReview: Effects of acute exercise and exercise training on insulin resistance.(jurnal online). http://www.jap.org. [31 Oktober 2010]. 2011/03/09). Sabarguna. 2004). Quality Assurance pelayanan Rumah Sakit, Konsorsium Rumah Sakit Islam Jateng – DIY, Yogyakarta. Santoso, S. (2010). Statistik Nonparametrik. Jakarta: Elexmedia Komputindo. Sarwono, S. (2004). Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Pers. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawata / Setiadi. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Setiati, S., Harimurti, K., & Roosheroe, A. G. (2006). Proses Menua dan Implikasi Kliniknya, dalam Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Atwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jil. III Ed. IV (hlm. 1335-1340). Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI. Irawan, M Anwari. 2007. Nutrisi dan Olahraga. (jurnal online). http://www.pssplab.com/journal/0 6.pdf [3 Juni 2010]. Kariadi, Sri Hartini. 2009. diabetes? siapa takut!!! : Panduan Lengkap Untuk Diabetisi, Keluarga dan Profesional Medis. Bandung: Qanita. Masharani, Umesh. 2008. Diabetes Demystified. Mc Graw Hill: United States of America. Marks, Dawn. B et al. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta: EGC. Mayo Clinic. 2010. Diabetes Management: How Life Style, Daily Routine Affect Blood Sugar. (serial online). http://www.mayoclinic.com [3 Juli 2010]. Menellly, Graydon. 2010. Pathophysiology of Diabetes in the Elderly. (serial online). http://www.clinicalgeriatrics.com [25 Oktober 2010]. Menjaya, David. 1991. Buku Materi Pokok: Daya Penyembuh 82 Gerakan Senam Tera Indonesia. Jakarta: Yayasan Tera Inti. Mubarak, Wahid Iqbal dkk. 2006. Keperawatan Komunitas 2: Teori dan Aplikasi Dalam Praktik. Jakarta: CV. Sagung Seto. Murray, Robert. K et al. 2009. Biokimia Harper. Jakarta: EGC. Muzakir, Abd. Kahar. 2006. 47
Pengaruh Senam Tera Terhadap Kadar Gula Lansia.............................Firdha Novitasari, Hal. 41 - 49
Senam Tera Indonesia Cabang Jember Jatim. Jember. Nahdi, Sahqib. 2009. Pengaruh Aktivitas Fisik Submaksimal Selama 30 Menit terhadap Kadar Gula Sewaktu. (jurnal online). http://www.journal. unair.ac.id [3 Juni 2010]. Nathan, David M dan Linda M. Delahanty. 2009. Menaklukkan Diabetes. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Nayak, et al. 2005. Influence of Aerobic Treadmil Exercise on Blood Glukose Homeostasis In NIDDM Patien. (seial online). http://medmind.nic.in [3 juli 2010]. Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC. Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). 2008. Faktor Lingkungan Dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu Diabetes. (serial online) http://www.pdpersi.co.id [3 Juni 2010]. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2. (serial online). (http://penyakitdalam.files.wordpr ess.com [27 Mei 2010]. Price, A Sylvia dan Wilson Lorraine. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Rasni, Hanny dan Erti Iktiarini Dewi. 2009. Modul Praktikum Biostatistika. Jember: Universitas Jember. Ross, Robert. 2011. Does Exercise Without Loss Improve Insulin Sensititivity. (jurnal online). http://care.diabetesjournals.org/ [1 Maret 201]. Ruby, Brent C et al. 2001. Gender Differences in Glucose Kinetics and Substrate Oxidation During Exercise Near The Lactate JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Threshold, Jurnal Applied. Physiology. (jurnal online). http://jap.physiology.org [5 April 2011]. Scheen, AJ. 2010. Diabetes Melitus In The Elderly: Insulin Resisten And Impaired Insulin Secretion. (serial online). http://www.sciencedirect.com [25 Oktober 2010]. Slater, Anne. 2001. Dibetes In The Elderly: The Geriatrician`s Perspective. (serial online). http://www.diabetes.ca [30 Oktober 2010]. Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarata: Graha Ilmu. Smeltzer, Suzane C dan Bare Brenda G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah: Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC. Submariam, I dan J. Levine Danny Gold. 2005. Diabetes Melitus In Elderly – An Overview. (jurnal online). http://spectrum.diabetesjournals.o rg [30 Oktober 2010]. Sudoyo AW, Setiyohadi B, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Sugiyono. 2008. Statisti Nonparametrik untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta. Sukartini, Titin. 2006. Pengaruh Senam Tera terhadap Kebugaran Lansia. (serial online). http://www.adln.lib.unair.ac.id [14 Juni 2010]. Sumintarsih. 2006. Kebugaran Jasmani Untuk Lanjut Usia. (serial online). http://eprints.uny.ac.id [8 juli 2010]. Stein, Jay. H. 2001. Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam edisi 3. Jakarta: EGC. Syrarifudin, B. 2010. Panduan TA Keperawatan dan Kebidanan dengan SPSS. Yogyakarta: Grafindo Litera 48
Pengaruh Senam Tera Terhadap Kadar Gula Lansia.............................Firdha Novitasari, Hal. 41 - 49
Media. Tandra, Hans. 2009. Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Universitas Jember. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Jember. Jember: Jember University Press. Vitahelath. 2006. Diabetes. Jakarta: PT Garamedia Pustaka Utama. Wasis. 2008. Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Jakarta: EGC. Wright, David. C dan Swan Pamela. D. 2001. Optimal Exercise Intensity for Indivisual with Impaired Glukose Tolerance. (serial online). http://spectrum.diabetesjournals.o rg [31 Oktober 2010]. Youngren, J F.2003. Effects of Acute And Chronic Exercise on Skeletal Muscle Glucose Transport in Aged Rats. (serial online) http://jap.physiology.org [1 Maret 2011]
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
49
Hubungan Ketepatan Pemberian MP-ASI...............................................................Kustin, Hal. 50 - 59
HUBUNGAN KETEPATAN PEMBERIAN MP-ASI TERHADAP STATUS GIZI BAYI USIA 0-12 BULAN DI DESA KALIWINING KECAMATAN RAMBIPUJI KABUPATEN JEMBER Kustin* *Dosen STIKES Bhakti Negara Jember
ABSTRACT Breast milk supplement is food besides breast feeding for babies at 6 months years old or more (Sunaryo, 2008). When the age of the babies increase, the baby’s need for nutritions food also increases. The introduction and giving of the supplement should be suited with the age, ability to digest and to receive food and be also given gradually in term of texture, consistency, portion and frequency. According to data taken from monthly nutrition report at Pustu Kaliwining and Puskesmas Rambipuji, we know that 80 % babies get breast feeding supplement early and 6,4 % experiencing bad nutrition. This research was made in order to analysis the accuracy relation about giving food besides breast feeding and the nutrition status of the babies. This study was an analytic where the data were obtained through a cross sectional design and the population was 186 persons. The sample was 127 babies and their mothers. It was taken using a proporsional stratified random sampling and with Chi Square analysis. The results showed that the breast feeding supplement was given correctly (36 %) and incorrectly (64 %). And from the criteria of the nutrition status on the bais of body’s weight (Health Care Record), it was shown that there were 68 % babies with good nutrition status, 9 % with bad nutrition status and 23 % inadequate nutrition status. Based on the statistical test of Chi Square using SPSS For Windows, it is known that there is a conclusion between the accuracy in giving breast feeding supplement and the nutrition status of the babies in 0-12 months years old as shown by p cost is lower than α cost 0,05. It is suggested that midwives have to more active in order to give information about the importance giving breast feeding supplement exactly to mothers in the various meeting. Key word : MP-ASI, Nutrition Status PENDAHULUAN Pemberian makanan terbaik bagi bayi yang diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi makanan lain walaupun hanya air putih sampai bayi berumur 4-6 bulan merupakan pengertian dari ASI (Air Susu Ibu) Eksklusif (WHO, 2001). Tidak ada satupun makanan yang dapat menyamai ASI, baik dalam kandungan gizi, enzim, hormon maupun zat imunologik dan anti infeksi. Pemberian ASI Eksklusif sangat menguntungkan ditinjau dari berbagai segi, baik segi gizi, kesehatan, ekonomi maupun sosialpsikologis (Suhardjo, 2007). JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Namun, pemberian ASI Eksklusif hingga saat ini masih banyak menemui kendala. Upaya peningkatan perilaku menyusui pada ibu yang mempunyai bayi khususnya dalam pemberian ASI Eksklusif masih dirasa sangat kurang. Permasalahan yang utama adalah faktor sosial budaya, kesadaran akan pentingnya ASI, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung PP-ASI, gencarnya promosi susu formula dan ibu yang bekerja (Judarwanto, 2006). Berdasarkan survey Profil Kesehatan Kab/Kota dari Depkes RI 50
Hubungan Ketepatan Pemberian MP-ASI...............................................................Kustin, Hal. 50 - 59
tahun 2007, dinyatakan bahwa pemberian ASI Eksklusif di provinsi Jawa Timur mencapai 40,77 %. Hal ini mengalami peningkatan daripada pada tahun 2006 yang hanya mencapai 38,73 %. Namun, angka tersebut masih jauh dari apa yang diharapkan oleh pemerintah dimana pemerintah mengharapkan untuk cakupan ASI Eksklusif adalah sebesar 80%. Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, dengan mengambil data dari Puskesmas Pembantu Desa Kaliwining dan laporan bulanan pelayanan gizi Desa Kaliwining di Puskesmas Rambipuji Kabupaten Jember, didapatkan hasil bahwa pada bayi usia 0-12 bulan yang telah mendapatkan MP-ASI dini (pisang lumat/loteks) sebanyak 80% dan yang mendapat ASI Eksklusif sebanyak 20%. Sedangkan bayi yang cenderung BGM sebesar 6,4%. Berdasarkan data dan keterangan diatas, maka peneliti ingin mengetahui lebih jauh tentang hubungan ketepatan pemberian MP-ASI terhadap status gizi. Dengan harapan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menambah pengetahuan ibu, sehingga nantinya dapat melahirkan kepedulian ibu akan pentingya pemberian ASI Eksklusif dan MP-ASI secara tepat. BAHAN DAN METODE Desain penelitian ini menggunakan desain study analitik yang akan menghubungkan pengaruh ketepatan ibu dalam memberikan MPASI terhadap status gizi bayi. Metode ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional dimana pengumpulan data atau penelitiannya dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian adalah sebanyak 127 bayi dari 12 posyandu yang ada. Sedangkan teknik pengambilan sampel menggunakan teknik proporsional stratified random sampling pada subpopulasi sehingga mengakibatkan setiap subpopulasi dapat JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
terwakili. Kriteria Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: Ibu yang mempunyai bayi usia 0-12 bulan, Ibu yang bersedia menjadi responden dan Ibu yang memberikan MP-ASI pada bayi usia 0-12 bulan. Sebelum penelitian dilaksanakan, dilakukan studi pendahuluan dan uji validitas serta reabilitas oleh peneliti. Data primer diperoleh langsung dari responden dengan cara membagikan angket berupa checklist, wawancara serta penimbangan BB bayi. Sedangkan data sekunder diperoleh dari pustu Kaliwining Wilayah Rambipuji. Lokasi penelitian Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan 2 teknik. Teknik pengolahan data dilakukan dengan teknik pengolahan data secara manual dan dengan program SPSS. Setelah itu, analisis dilakukan dengan uji Chi Square. HASIL Dari hasil penelitian diperoleh data umum yang disajikan dalam penelitian ini, berupa data tentang gambaran umum dari tempat penelitian, karakteristik ibu responden berdasarkan pekerjaan terhadap status gizi dan umur bayi. Sedangkan data khusus yang disajikan antara lain data tentang ketepatan pemberian MP-ASI berdasarkan umur dan jenis makanan yang diberikan serta data yang diikuti dengan status gizi bayi\ berdasarkan berat badan (dengan indikator KMS).
51
Hubungan Ketepatan Pemberian MP-ASI...............................................................Kustin, Hal. 50 - 59
Tabel 4.1 Distribusi frekuensi pekerjaan ibu responden di Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember bulan Mei 2011 Status Gizi Karakter
Baik
Pekerjaan
Kurang gizi
Kurang gizi
berat/sedang
ringan
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
15
41
2
15
20
54
37
100
71
79
10
11
9
10
90
100
Bekerja Tidak bekerja
Dari tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu responden tidak bekerja yaitu sebanyak 90 responden dan cenderung memiliki status gizi baik yaitu sebesar 79%, sedangkan sebanyak 37 bekerja dan cenderung memiliki status kurang gizi ringan yaitu sebesar 54%. Tabel 4.2 Distribusi frekuensi umur bayi di Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember bulan Mei 2011 Kriteria Umur
Jumlah Frekuensi
Prosentase (%)
0-3
8
6
4-6
28
22
7-9
54
43
10-12
37
29
Jumlah
127
100
Dari tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar bayi berumur 7 – 9 bulan sebanyak 54 bayi (43%) dan sebagian kecil berumur 0 – 3 bulan sebanyak 8 bayi (6%). Tabel 4.3 Distribusi frekuensi ketepatan pemberian MP-ASI di Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember bulan Mei 2011 Pemberian MP-ASI
Jumlah Frekuensi
Frekuensi (%)
Tepat
46
36,2
Tidak tepat
81
63,8
Jumlah
127
100
Dari tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendapat MPASI tidak tepat yaitu sebanyak 81 bayi (63,8%), sedangkan yang mendapat MPASI tepat yaitu sebanyak 46 bayi (36,2%).
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
52
Hubungan Ketepatan Pemberian MP-ASI...............................................................Kustin, Hal. 50 - 59
Tabel 4.4 Distribusi frekuensi status gizi bayi di Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember bulan Mei 2011 Jumlah
Kriteria Status Gizi
Frekuensi
Prosentase (%)
Baik
86
67,6
Kurang gizi
12
9,4
Kurang gizi ringan
29
23
Jumlah
127
100
berat/sedang
Dari tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar bayi mempunyai status gizi baik yaitu sebanyak 86 bayi (67,6%) dan sebagian kecil yaitu 12 bayi mempunyai status kurang gizi berat/sedang (9,4%). Tabel 4.5 Hubungan ketepatan pemberian MP-ASI terhadap status gizi bayi di Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember bulan Mei 2011. Pemberian
Status Gizi
MP-ASI
Baik
Kurang gizi
Kurang gizi ringan
Jumlah
%
sedang/berat Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Tepat
46
100
-
-
-
-
46
100
Tidak tepat
40
49
12
15
29
36
81
100
Dari tabel 4.5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang mendapat MPASI tepat mempunyai status gizi baik sebanyak 46 bayi (100%), sedangkan yang mendapat MP-ASI tidak tepat mempunyai status gizi yang beragam diantaranya status gizi baik 40 bayi (49%), kurang gizi ringan 29 bayi (36%) dan status kurang gizi berat/sedang 12 bayi (15%). Tabel 4.6 Hasil analisa perhitungan Chi Square dengan menggunakan SPSS tentang ketepatan pemberian MP-ASI Terhadap Status Gizi Bayi Chi Square Tests Asymp. Sig.
Value
df
Pearson Chi-Square
34.384a
2
.000
Likelihood Ratio
47.485
2
.000
30.876
1
.000
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases a.
(2-sided)
127
1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.35.
Dari tabel 4.6 didapatkan hasil uji dengan Chi Square dengan harga X2 = 34,384 (lebih besar dari harga X2 tabel = 5,99) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara ketepatan pemberian MP-ASI terhadap status gizi bayi usia 0-12 bulan. JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
53
Hubungan Ketepatan Pemberian MP-ASI...............................................................Kustin, Hal. 50 - 59
PEMBAHASAN Ketepatan pemberian MP-ASI berdasarkan umur dan jenis makanan Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa mayoritas responden mendapat MP ASI secara tidak tepat yaitu sebanyak 63,8%. Ketidaktepatan ini sebagian besar disebabkan karena pemberian makanan selain ASI pada usia kurang dari 6 bulan. Hal ini terjadi karena masih ada suatu kebiasaan dalam memberikan pisang lumat (loteks) pada bayi yang masih berumur ± 1 – 2 bulan. Dan adanya anggapan bahwa jika bayi hanya diberi ASI saja, maka bayi tidak akan cukup kenyang (selalu merasa lapar) dan sering rewel sehingga menyebabkan tidak akan tidur dengan nyenyak. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh Anies Irawati (2004), bahwa tradisi turun-temurun akan menjadi salah satu faktor pendukung timbulnya anggapan bahwa ASI saja tidak cukup diberikan sebagai bahan makanan bagi bayi, sehingga akan mendorong ibu untuk memberikan makanan selain ASI saat bayinya masih berumur dibawah 6 bulan. Padahal pemberian ASI dalam jumlah yang cukup akan menjadi makanan yang terbaik untuk bayi dan dapat memenuhi kebutuhan gizinya sampai usia 6 bulan. Hal ini sesuai dengan apa yang telah diungkapkan oleh Anies Irawati (2004), bahwa tradisi turun-temurun akan menjadi salah satu faktor pendukung timbulnya anggapan bahwa ASI saja tidak cukup diberikan sebagai bahan makanan bagi bayi, sehingga akan mendorong ibu untuk memberikan makanan selain ASI saat bayinya masih berumur dibawah 6 bulan. Padahal pemberian ASI dalam jumlah yang cukup akan menjadi makanan yang terbaik untuk bayi dan dapat memenuhi kebutuhan gizinya sampai usia 6 bulan. Di daerah ini juga ada sebagian ibu-ibu yang bekerja yaitu sebanyak 30%. Akibatnya terkadang untuk JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
kebutuhan awal pemberian MP-ASI kurang begitu diperhatikan. Ini dapat dibuktikan pada ibu yang bekerja, bayinya cenderung mempunyai status kurang gizi ringan yaitu sebesar 20%. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Depkes RI (2000) bahwa pada ibu yang bekerja, frekuensi menyusui cenderung akan menurun dan terkadang ibu akan melakukan penyapihan dini sehingga menyebabkan konsumsi bayi terhadap ASI menurun. Akibatnya bayi tidak dapat memperoleh asupan zat gizi sebagaimana mestinya. Walaupun diberikan makanan lain selain ASI, tapi bila pemberiannya tidak sesuai maka juga bisa berpengaruh terhadap status gizi bayi. Ada juga yang sebagian kecil memberian MP-ASI secara tepat sesuai umur, tapi jenis makanannya tidak tepat. Berdasarkan data subyektif yang diperoleh peneliti, hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena pengaruh dari faktor ekonomi. Sehingga orang tua tidak dapat memberikan makanan yang seharusnya bisa didapatkan oleh bayi. Selain itu, kemungkinan juga karena ketidakpahaman ibu tentang pentingnya memberikan MP-ASI secara tepat dan bagaimana cara pengolahan makanan itu sendiri. Sunaryo (2004) menyatakan bahwa dalam memberikan MP-ASI harus disesuaikan dengan umur. Selain itu menurut Nestle Nutrition (2008) bahwa pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik dalam bentuk tekstur (halus hingga kasar), konsistensi (lunak hingga padat), porsi dan frekuensinya juga harus disesuaikan berdasarkan kemampuan dan perkembangan bayi. Serta juga perlu diperhatikan tentang cara pemilihan jenis bahan pangan yang akan digunakan, cara pembuatan dan cara pemberiannya. Dan juga memperhatikan bagaimana pemberian makanan tambahan saat bayi sedang sakit ataupun bila ibu bekerja di luar rumah. Selain itu, pemberian MP54
Hubungan Ketepatan Pemberian MP-ASI...............................................................Kustin, Hal. 50 - 59
ASI yang tepat diharapkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi saja, namun juga dapat merangsang keterampilan makan bayi (Depkes RI, 2000). Serta juga perlu diperhatikan tentang cara pemilihan jenis bahan pangan yang akan digunakan, cara pembuatan dan cara pemberiannya. Dan juga memperhatikan bagaimana pemberian makanan tambahan saat bayi sedang sakit ataupun bila ibu bekerja di luar rumah. Selain itu, pemberian MPASI yang tepat diharapkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi saja, namun juga dapat merangsang keterampilan makan bayi (Depkes RI, 2000). Status Gizi Berdasarkan BB (Indikator KMS) Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa mayoritas responden memiliki status gizi baik yaitu sebesar 67,6%. Walaupun pemberian makanan pada bayi ada yang tidak tepat, ternyata kriteria status gizi baik juga dapat dicapai. Ini bias terjadi mungkin karena pengaruh dari pola pemberian makan pada bayi baik berupa frekuensi, kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu, tambahan berupa susu formula juga dapat dikategorikan sebagai salah satu pendorong untuk membantu meningkatkan status gizi bayi. Yang mempunyai status kurang gizi ringan sebesar 23% dan status kurang gizi berat/sedang sebesar 9,4%. Hal ini terjadi karena masih adanya ibu yang cenderung memberi makanan hanya pada waktu tertentu saja atau saat bayi menginginkannya. Dan karena faktor ketidaktelatenan ibu sehingga berpengaruh terhadap pemberian makanan pada bayi. Selain itu, kemungkinan juga karena social ekonomi yang juga dapat berpengaruh terhadap jenis makanan yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Budi Purnomo (2006), bahwa terdapat JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
beberapa faktor penyebab status kurang gizi berat/sedang diantaranya yaitu faktor social ekonomi, keadaan kesehatan dan lingkungan. Dimana rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya makanan bergizi bagi tumbuh kembang bayi, menyebabkan bayi hanya diberi makanan seadanya saja asal kenyang. Begitu pula dengan keadaan kesehatan. Sebab penyakit bisa menurunkan nafsu makan dan jumlah makanan yang dikonsumsipun juga ikut berkurang. Maka dari itu, untuk asupan gizi saat atau setelah bayi sakit harus benar-benar diperhatikan. Sebab nantinya juga dapat berpengaruh terhadap status gizi bayi. Menurut Supariasa (2001) bahwa dalam keadaan normal dimana keadaan kesehatan baik dan terjadi keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi, serta seiring dengan bertambahnya umur, berat badan juga akan berkembang. Berat badan bayi akan berkurang atau sedikit menurun ketika nafsu makannya sedang turun. Dan bila ketika nafsu makan bayi baik maka berat badannya akan naik dengan cepat. Analisa hubungan ketepatan pemberian MP-ASI terhadap status gizi bayi. Berdasarkan dari hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan antara ketepatan pemberian MP-ASI terhadap status gizi bayi. Pada tabel 4.5 menunjukkan bahwa responden yang mendapat MP-ASI tepat, 100% mempunyai status gizi baik. Pada pemberian MP-ASI yang tidak tepat hanya 49% bayi yang mempunyai status gizi baik dan selebihnya mempunyai status kurang gizi berat/sedang dan status kurang gizi ringan Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Depkes RI (2000) bahwa pada pemberian MP-ASI yang tidak tepat dapat menyebabkan keadaan status gizi kurang pada bayi. Pemberian MPASI yang tepat, dimulai pada usia 6 bulan keatas (Sunaryo, 2008). 55
Hubungan Ketepatan Pemberian MP-ASI...............................................................Kustin, Hal. 50 - 59
Sehingga pada usia 0-6 bulan, bayi hanya cukup diberikan ASI saja. WHO (2008) menyatakan bahwa produksi ASI dinyatakan cukup sebagai makanan tunggal untuk pertumbuhan bayi sampai usia 6 bulan dan setelah usia 6 bulan, pemberian ASI hanya bisa mencukupi sekitar 60 - 70% dari kebutuhan bayi. Anne Ahira (2008) juga mengungkapkan bahwa seiring dengan bertambahnya umur, maka bertambah pula kebutuhan bayi akan zat gizi. Bayi memerlukan makanan padat untuk memperoleh energi, protein, vitamin A, vitamin D dan tambahan zat-zat lainnya. Disamping itu, pada usia 6 bulan keatas ini, sistem pencernaan bayi sudah matang, sehingga akan lebih siap menerima makanan yang dikonsumsi. Dan kemungkinannya sangat kecil untuk terjadinya alergi ataupun gangguan pencernaan. Sebab enzim-enzim pencernaan bayi relatif sudah sempurna sehingga apabila ASI diberikan selama 6 bulan berturut-turut, ditambah dengan pemberian MP-ASI yang tepat maka dapat meningkatkan tumbuh kembang bayi (Alifian.2009). Dan sebaliknya, untuk pemberian MP-ASI yang tidak tepat cenderung memiliki status kurang gizi berat/sedang ataupun status kurang gizi ringan. Hal ini terjadi sebab pada usia kurang dari 6 bulan, sistem pencernaan bayi masih belum sempurna. Sehingga enzim di sekitar usus belum siap untuk mengolah kandungan zat yang ada dalam makanan tersebut. Selain itu, sistem pencernaan bayi akan lebih keras untuk mengolah dan mencernanya. Akibatnya dapat menimbulkan suatu reaksi imun sehingga dapat terjadi alergi ataupun gangguan sistem pencernaan seperti diare, konstipasi dan lain sebagainya. Rasamala (2008) menyatakan bahwa pemberian MP-ASI pada usia kurang dari 6 bulan menyebabkan bayi merasa kenyang dan terlalu banyak tidur. Begitu pula dengan kandungan zat gizi JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
yang ada dalam ASI juga tidak akan bisa selalu mencukupi kebutuhan zat gizi bayi apalagi usia bayi dari waktu ke waktu makin meningkat. Sebab semakin bertambahnya umur maka semakin meningkat pula kebutuhan tubuh akan zat gizi. Dan bila pemberian MP-ASI dilakukan sebelum pemberian ASI maka dapat mengakibatkan konsumsi bayi terhadap ASI juga ikut berkurang dan dapat berpengaruh pada produksi ASI. Sehingga dampaknya zat-zatgizi yang seharusnya didapatkan juga akan berkurang. Kawan Pustaka (2007) menyatakan bahwa apabila pemberian MP-ASI tidak mencukupi takaran kalori dan kandungan gizi di dalamnya juga tidak lengkap, maka secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi tumbuh kembang bayi. Hal ini sesuai dengan Nazarina (2008) bahwa sistem pencernaan bayi baru mulai kuat saat bayi berumur 6 bulan. Bila MPASI diberikan pada usia kurang dari 6 bulan, dapat menurunkan konsumsi bayi terhadap ASI dan juga akan dapat mengalami gangguan sistem pencernaan seperti diare, sembelit dan lain-lain. Dan sebaliknya bila pada usia diatas 6 bulan, bayi belum mengenal MP-ASI (diberikan terlambat) maka juga akan mengakibatkan kekurangan gizi pada bayi. Sebab ASI hanya akan dapat mencukupi kebutuhan bayi sampai berusia 6 bulan saja. Setelah itu produksi ASI akan semakin berkurang, sedangkan semakin bertambah umur bayi, akan semakin bertambah pula kebutuhan bayi akan nutrisi dalam tubuhnya. Sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi yang dapat diketahui dengan melihat kondisi pertambahan BB tiap bulannya dengan indicator KMS. Bila BB bayi bertambah maka dapat dikatakan bahwa kebutuhan bayi akan energi dan nutrisi dapat terpenuhi dengan baik. Begitu pula sebaliknya. Nazarina (2008) bahwa sistem pencernaan bayi baru mulai kuat 56
Hubungan Ketepatan Pemberian MP-ASI...............................................................Kustin, Hal. 50 - 59
saat bayi berumur 6 bulan. Bila MP-ASI diberikan pada usia kurang dari 6 bulan, dapat menurunkan konsumsi bayi terhadap ASI dan juga akan dapat mengalami gangguan sistem pencernaan seperti diare, sembelit dan lain-lain. Dan sebaliknya bila pada usia diatas 6 bulan, bayi belum mengenal MP-ASI (diberikan terlambat) maka juga akan mengakibatkan kekurangan gizi pada bayi. Sebab ASI hanya akan dapat mencukupi kebutuhan bayi sampai berusia 6 bulan saja. Setelah itu produksi ASI akan semakin berkurang, sedangkan semakin bertambah umur bayi, akan semakin bertambah pula kebutuhan bayi akan nutrisi dalam tubuhnya. Sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi yang dapat diketahui dengan melihat kondisi pertambahan BB tiap bulannya dengan indikator KMS. Bila BB bayi bertambah maka dapat dikatakan bahwa kebutuhan bayi akan energi dan nutrisi dapat terpenuhi dengan baik. Begitu pula sebaliknya. KESIMPULAN a. Ketepatan pemberian MP-ASI Mayoritas responden memberikan MP-ASI secara tidak tepat yaitu sebesar 63,8%. Hal ini dapat terjadi karena masih adanya kebiasaan/budaya ibu untuk memberikan pisang loteks pada bayi yang masih berumur ± 1 – 2 bulan dan masih adanya anggapan bahwa bayi tidak akan cukup kenyang dan mudah rewel sehingga tidak akan nyenyak tidurnya apabila hanya mendapat ASI saja. b. Status gizi bayi Status gizi bayi di Desa Kaliwining Kecamatan Rambipuji Kabupaten Jember, mayoritas memiliki status gizi baik yaitu sebesar 67,6%. c. Hubungan ketepatan pemberian MPASI terhadap Status gizi bayi JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara ketepatan pemberian MP-ASI terhadap status gizi bayi. DAFTAR PUSTAKA Ade. 2006. Prasyarat Pemberian Makanan Pendamping ASI. http://2B betterlife/2006/Prasyarat_Pemberia n_Makanan_Pendamping_ASI/html . Diakses tanggal 8 Maret 2009 Alfian. 2009. Kurang Gizi Akibat ASI Tidak Diberikan dengan Baik. http://ASI_Junarhet_com_Bengkel informatif.mht. Diakses tangal 17 Juni 2009 Almatseir. 2002. Gizi Pertumbuhan dan Perkembangan. http://www.kidshealth.com. Diakses tanggal 24 Maret 2009 Anne Ahira. 2008. Bubur Bayi. http:// Bubur_Bayi.Pemberian Kebutuhan Gizi Bayi. mht. Diakses tanggal 17 Juni 2009 riani. 2008. Makanan Pendamping ASI. http://parentingislami.wordpress.co m. Diakses tanggal 9 Maret 2009 Aritonang. 1995. Air Susu Ibu (ASI). http://www.tugas.sekolah.onlineAir Susu Ibu (ASI) Eksklusif.mht. Diakses tanggal 22 Maret 2009 Asrining. 2003. Merawat Bayi. http://wyethnutrition.com. Diakses tanggal24 Maret 2009 Beck. 2000. Penilaian Status Gizi. http://andaish.com/link/prgi.html. Diakses tanggal 23 Maret 2009 Departemen Kesehatan RI. 1999. Kartu Menuju Sehat (KMS). Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2000. Pedoman Pemberian Makanan Pendamping ASI. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Pemberian Makanan Bayi dan Anak dalam Situasi Darurat. Jakarta Dewi, Yuliana. 2006. Kelebihan ASI Eksklusif 6 bulan. http://www.mailarchive.com/milis57
Hubungan Ketepatan Pemberian MP-ASI...............................................................Kustin, Hal. 50 - 59
[email protected]. Diakses tanggal 9 Maret 2009 Fajar, Ibnu dkk. 2008. Statistika Praktis Gizi, Kebidanan, Keperawatan. Malang: Poltekkes. Hartanti, Yekti. 2009. Superfood for Baby. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum. Hendrawan, Desy. 2009. Makan dan Tidur Bayi. Jakarta: Pustaka Phoenix. Hidayat, Alimul. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika. Indiarti. 2008. ASI, Susu Formula dan Makanan Bayi. Yogjakarta: Khasanah Ilmu-Ilmu Terapan. Irawati, Anies. 2004. Parenting. http://waktu yang tepat untuk MPASI_ bayi_forum diskusi_parenting.mht. diakses tanggal 17 Juni 2009 Judarwanto. 2006. Penghambat ASI Eksklusif.http://www.wartamedika. com. Diakses tanggal 22 Maret 2009 Koalisi. 2007. Pemberian Makanan Bayi. http://babiestoday.com. Diakses tanggal 23 Maret 2009 Krisnatuti, Diah Yenrina. 2000. Menyiapkan MP-ASI. Jakarta: Puspa Swara. Lilian. 2003. Kapan Mulai Makan. http://anakku messages Re kapan mulai maka.mht. Diakses tanggal 9 Maret 2009 Machfoedz, Ircham. 2007. Metodologi Penelitian. Yogjakarta: Fitramaya. Majalah Provisi Probolinggo. 2008. Pemberian Makanan pada Bayi. http://provisi.awardspace.com. Diakses tanggal 20 Maret 2009 Nadzira. 2008. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). http://tips4mom.wordpress.com/2008/07/ 26/makanan_pendamping_ASI. Diakses tanggal 9 Maret 2009 JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
Nazarina. 2008. Menu Sehat dan Aman untuk Bayi 6-12 bulan. Jakarta: Hikmah Newsroom. 2007. MP-ASI yang Tepat Bagi Anak. http://Kawan Pustaka_Kawan Generasi Cerdas_MP-ASI yang Tepat Bagi Anak.mht. Diakses tanggal 17 Juni 2009 Nestle Nutrition. 2008. Medutainment. Jakarta: PT. Nestle Indonesia. Rasamala. 2008. Mengenal MP-ASI. http://Mengenal MP-ASI_go nursing.mht. Diakses tanggal 17 Juni 2009 Rosita, Syarifah. 2008. ASI untuk Kecerdasan Bayi. Yogjakarta: Ayyana. Rozanna. 2001. Pemberian MP-ASI Dini. http://all about having family Resiko Pemberian MP-ASI Dini.mht. Diakses tanggal 9 Maret 2009 Soraya, Luluk. 2006. Resiko Pemberian MP-ASI terlalu Dini. http://4sehat5sempurna.blogspot.co m/2006/09/Resiko_Pemberian_MP _ASI_terlalu_Dini.html. Diakses tanggal 12 Maret 2009 Sunaryo. 2004. Persyaratan MP-ASI. http://mu study_persyaratan MPASI>mht. Diakses tanggal 4 April 2009 Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Suririnah. 2009. Buku Pintar Merawat Bayi 0-12 bulan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Tuti, Soenadi. 2004. Makanan Padat Pertama. Jakarta: Ayah Bunda. WHO, UNICEF, IDAI. 2005. Pemberian Makan Bayi pada Situasi Darurat. Jakarta. Wiryo, Hananto. 2002. Peningkatan Gizi Bayi, Anak, Ibu hamil dan Menyusui dengan Makanan Lokal. Jakarta: Sagung Seto. Notoatmojo. 58
Hubungan Ketepatan Pemberian MP-ASI...............................................................Kustin, Hal. 50 - 59
1999. Pemberian Makanan pada Bayi. http://www.portalmenegpp.go.id. Diakses tanggal 21 Maret 2009 Rasamala. 2008. Mengenal MP-ASI. http://Mengenal MP-ASI_go nursing.mht. Diakses tanggal 17 Juni 2009 Rosita, Syarifah. 2008. ASI untuk Kecerdasan Bayi. Yogjakarta: Ayyana. Rozanna. 2001. Pemberian MP-ASI Dini. http://all about having family Resiko Pemberian MP-ASI Dini.mht. Diakses tanggal 9 Maret 2009 Soeprijoyo. 2007. Mengenal MP-ASI. http://www.sahabatnestle.co.id. Diakses tanggal 28 Maret 2009 Suhardjo. 2007. ASI. Http://www.gizi.net. Diakses tanggal 22 Maret 2009 Sunaryo. 2004. Persyaratan MP-ASI. http://mu study_persyaratan MPASI>mht. Diakses tanggal 4 April 2009 Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Suryani. 2001. Perawatan Bayi Seharihari. http://anmumindonesia.com. Diakses tanggal 24 Maret 2009 Suririnah. 2009. Buku Pintar Merawat Bayi 0-12 bulan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Tuti, Soenadi. 2004. Makanan Padat Pertama. Jakarta: Ayah Bunda. WHO, UNICEF, IDAI. 2005. Pemberian Makan Bayi pada Situasi Darurat. Jakarta. Wiryo, Hananto. 2002. Peningkatan Gizi Bayi, Anak, Ibu hamil dan Menyusui dengan Makanan Lokal. Jakarta: Sagung Seto.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
59
PANDUAN UNTUK MENULIS NASKAH
Jurnal hanya menerima naskah asli yang belum diterbitkan di dalam maupun di luar negeri. Naskah dapat berupa hasil penelitian, konsep-konsep pemikiran inovatif hasil tinjauan pustaka yang bermanfaat untuk menunjang kemajuan ilmu, pendidikan dan praktik ilmu kesehatran secara profesional. Naskah ditulis dalam bahasa indonesia atau bahasa inggris dalam bentuk narasi dengan gaya bahasa yang efekfif dan akademis. Naskah hasil penelitian hendaknya disusun menurut sistematika sebagai berikut : 1. Judul, menggambarkan isi pokok tulisan secara ringkas dan jelas, ditulis dalam bahasa indonesia dan bahasa inggris. Penulis diharapkan mencantumkan judul ringkas dengan susunan 40 karakter/ketukan beserta nama penulis utama yang akan dituliskan sebagai judul pelari (running title). 2. Nama penulis, tanpa gelar disertai catatan kaki tentang instansi tempat penulis bekerja. Jumlah penulis yang tertera dalam artikel minimal 2 orang, maksimal 4 orang. 3. Alamat, berupa instansi tempat penulis bekerja dilengkapi dengan alamat pos lengkap dan alamat email (untuk penulis korespondensi) 4. Abstrak, ditulis dalam bahasa inggris, minimal 100 kata dan merupakan intisari seluruh tulisan, meliputi : masalah, tujuan, metode, hasil dan simpulan (IMRAD: introduction, mMethod, Result, Analysis, Discussion). An=bstrak ditulis dengankalimat penuh. Dibawah abstrak disertakan 3-5 kata-kata kunci (key words). 5. Pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah serta tujuan penelitian dan harapan untuk waktu yang akan datang. Panjang tidak akan lebih dari 2 halaman ketik. 6. Bahan dan metode, berisi penjelasan tentang bahan-bahan dan alat yang digunakan, waktu, tempat, tehnik dan rancangan percobaan. Metode harus dijelaskan selengkap mungkin agar peneliti lain dapat melakukan uji coba ulang. Acuan (kepustakaan) diberikan pada metode yang kurang jelas. 7. Hasil, dikemukakan dengan jelas dalam bentuk narasi dan data yang dimasukkan berkaitan dengan tujuan penelitian, bila perlu disertai dengan ilustrasi (lukisan, gambar, grafik, diagram), tabel atau foto yang mendukung data, sederhana dan tidak terlalu besar. Hasil yang telah dijelaskan dengan tabel atau ilustrasi tidak perlu dijelaskan panjang lebar dalam teks. 8. Pembahasan, minimal 800 kata yang menerangkan arti hasil penelitian yang meliputi : fakta, teori, dan opini. 9. Simpulan, berupa kesimpulan hasil penelitian dalam bentuk narasi yang mengacu pada tujuan penelitian. 10. Kepustakaan, referensi yang ditulis dalam teks harus diikuti nama penulis dan tahun penerbitan. Referensi yang digunakan 80% diantaranya diantaranya adalah artikelartikel ilmiah yang berasal dari jurnal. Kepustakaan disusun menurut Harvard System sebagai berikut : JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
60
a. Jurnal : Nursalam, Haryanto, & I Ketut Dira, 2006, “The Effect Of Kegel Management Of Urine Elimination Problems For Elderly”. Folia Medika Indonesiana, Vol. 42 No. 2 Hal. : 102-106 b. Buku : Smelzer & Suzane C, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner And Suddart. Edisi 8. EGC; Jakarta c. Tesis/desertasi : Yuwanto. Mahmud Ady, 2009. Pengaruh Masasse Plexus Sacralis Terhadap Penurunan Tingkat Nyeri Pasien Posr Partum Normal Di Ruang Nifas RSD dr. Soebandi Jember. Skripsi tidak diterbitkan. Jember: Universitas Jember d. Website : snowdon, CT, 1997. Significance Of Animal Behaviour Research, http://www.csun.edu/~vcpsy00h/valueofa.htm., Diakses tanggal 15 desemder 2009, Jam 18.30 WIB 11. Persamaan matematis, dikemukakan dengan jelas. Angka desimal ditandai dengan koma untuk bahasa indonesia dan titik untuk bahasa inggris. 12. Tabel, diberi nomor dan diacu berurutan dalam teks, judul harap dijelaskan pada catatan kaki. Garis-garis vertikal maupun horisontal dalam tabel dibuat seminimal mungkin untuk memudahkan penglihatan (tanpa garis bantu). 13. Ilustrasi, dapat berupoa lukisan, gambar, grafik, atau diagram diberi nomor dan diacu berurutan pada teks. Keterangan diberikan dengan singkat dan jelas dibawah ilustrasi (tidak didalam ilustrasinya). Pada ilustrasi atau foto dibuat tanpa menggunakan border. 14. Foto hitam putih/berwarna, harus kontras, tajam, jelas dan sebaiknya diambil dalam format JPEG, atau format digital lain yang bisa diedit. Naskah yang dikirim ke redaksi hendaknya diketik dalam CD, disertai cetakan sebanyak 2 eksemplar pada kertas HVS dengan program microsoft office word, ukuran A4 (210x279 mm) dengan jarak 1 spasi, font 12 pts, jenis huruf Times New Roman, panjang tulisan berkisar antara 15-20 halaman (1 kolom) atau 5-8 halaman (2 kolom), batas kertas 3 cm dari tepi kiri, 2,5 cm dari tepi bawah, kanan dan atas. Pengiriman file juga dapat dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat :
[email protected]. Naskah akan diedit oleh dewan redaksi tanpa mengubah isinya unttuk disesuaikan dengan format penulisan yang telah ditetapkan oleh Jurnal dr. Soebandi. Naskah yang telah diterima beserta semua ilustrasi yang menyertainya menjadi milik sah penerbit. Semua data, pendapat atau pertanyaan yang terdapat pada naskah merupakan tanggung jawab dari penulis. Penerbit, dewan redaksi dan seluruh staf Jurnal dr. Soebandi tidak bertanggung jawab atau tidak bersedia menerima kesulitan maupun masalah apapun sehubungan dengan plagiatisme, konsekuensi dari ketidakakuratan, kesalahan data, pendapat maupun pertanyaan tersebut.
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
61
Contoh outline artikel (2 kolom) sebagai berikut JUDUL Nama Pengarang/Peneliti Alamat Pengarang/Peneliti ABSTRACT Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx PENDAHULUAN Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxx BAHAN DAN METODE Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxx HASIL
KESIMPULAN DAN SARAN Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxx DAFTAR PUSTAKA
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxx (lihat tabel 1.1) Tabel 1.1 xxxxxxxxxxxxxxxxx No.
Pengetahuan Sikap Tindakan
Resp
(%)
(%)
(%)
1
25
30
45
2
40
25
70
dst Total
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxx (lihat gambar 1.1) Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Gambar 1.1 xxxxxxx PEMBAHASAN Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxx JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
62
JURNAL KESEHATAN dr. SOEBANDI Vol. 1 No. 2
63