1
JURNAL KEPENDIDIKAN DAN KEGURUAN
DIDAKTIKA ISLAMIKA
2
DIDAKTIKA ISLAMIKA JURNAL KEPENDIDIKAN DAN KEGURUAN ISSN 1411-5913 Vol. XII, No. 2, Desember 2011
Penerbit: Jurusan Kependidikan Islam (KI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Penanggung Jawab: Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penyunting/Redaktur Ahli: Prof. Dr. Dede Rosyada, MA (UIN Jakarta) Prof. Dr. Abuddin Nata, MA (UIN Jakarta) Prof. Dr. Muhaimin, MA (UIN Malang) Prof. Dr. Sutrisno, MA (UIN Yogyakarta) Prof. Dr. Supiana, MA (UIN Bandung) Fuad Fachruddin, Ph.D. (UIN Jakarta
Pemimpin Redaksi: Rusydy Zakaria, M.Ed., M.Phill
Sekretaris Redaksi Fauzan, MA
Dewan Redaksi Dr. Faridal Arkam Drs. H. Muarrif SAM, M.Pd Dra. Eri Rosatria, M.Ag
Sekretariat: Mi’raj, S.Pd.I Iffah Zahrriani, S.Pd Design Grafis: Faza Design
Alamat: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl Ir. H. Juanda No 95 Ciputat Jakarta Selatan Tlp./Fax. 021-7443328
Didaktika Islamika, Vol. IX No. 1, Juni, 2011
3
Salam Redaksi
Sejalan dengan berbagai kebijakan peningkatan mutu akademik, keberadaan jurnal nampaknya semakin mendapat perhatian yang serius khususnya di kalangan dosen. Kondisi ini yang mendasari pengelola Jurnal Didaktika Islamika Jurusan Kependidikan Islam (KI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguran (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memperluas bahasan yang tidak hanya dalam lingkup kependidikan, tapi juga mencakup tema-tema keislaman dan kebudayaan, sebagaimana tergambar dalam edisi sekarang ini. Dalam edisi ini, pembahasan difokuskan pada tema tentang pendidikan holistik. Ada sembilan artikel, pembahasan dimulai dengan pembahasan tentang Menggagas Pendidikan Islam Holistik, satu kajian yang melihat pendidikan secara utuh, baik dari kurikulum, implementasi pembelajaran, bahkan keterlibatan pihak-pihak dalam pendidikan. Tema selanjutnya, holistika pemikiran pendidikan: upaya membangun manusia berkarakter. Tema kedua ini lebih menitikberatkan pada pemahaman bahwa pendidikan harus dipahami sebagai satu kesatuan utuh, sehingga menjadi sistem yang saling keberhantungan. Bahkan pada tema selanjutnya, Taufiqurrahman melihat bahwa pendidikan holistik harus dilakukan sejak usia dini (AUD). Pembahasan dirangkai dalam judul artikel: pendidikan holistik anak usia dini. Tema selanjutnya membahas tentang integrasi multidisipliner model twin tower: upaya pengembangan kurikulum IAIN menuju UIN Sunan Ampel. Tema lainnya tentang integrated curriculum coba dikaji oleh Fauzan. Pembahasan lebih difokuskan pada peranan kurikulum yang begitu sentral, keberadaannya sangat berpengaruh dalam menghadapi persoalan global. Tema lain yang masih terkait juga dibahas tentang nilai-nilai humanisme Islam. Edisi ini ditutup dengan tulisan Zahruddin tentang perlunya perguruan tinggi mengembangkan entrepreneurship. Akhirnya, semoga sajian tulisan edisi ini tetap menarik untuk disimak dan dibaca. Redaksi
4
Daftar Isi
135 152
169 185
199 214
MENGGAGAS PENDIDIKAN ISLAM HOLISTIK Oleh Abuddin Nata HOLISTIKA PEMIKIRAN PENDIDIKAN: Upaya Membangun Manusia Berkarakter Oleh Agus Zaenul Fitri PENDIDIKAN HOLISTIK ANAK USIA DINI Oleh Taufiqurrahman MODEL PEMBELAJARAN TERPADU; Alternatif Penerapan Pendidikan Holistik Oleh Adri Efferi MEMBUMIKAN PENDIDIKAN HOLISTIK Oleh Jejen Musfah INTEGRASI MULTIDISIPLINER MODEL TWIN TOWER: Upaya
Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel 230
Oleh Husniyatus Salamah Zainiyati INTEGRATED CURRICULUM: Upaya Alternatif Menghadapi
Problematika Masyarakat 240
Oleh Fauzan NILAI-NILAI HUMANISME ISLAM :IMPLIKASINYA DALAM
KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN 256
Oleh Musthofa PERLUNYA PERGURUAN TINGGI MENGEMBANGKAN ENTREPRENEURSHIP Oleh Zahruddin
Didaktika Islamika, Vol. IX No. 1, Juni, 2011
135
MENGGAGAS PENDIDIKAN ISLAM HOLISTIK Oleh Abuddin Nata
Abstracts Holistic education to develop around 1960-1970 as a result of widespread concern for the ecological crisis, the impact of nuclear, chemical and radiation pollution, destruction of families, loss of traditional society, the breakdown of traditional values and institutions. The development of a holistic educational ideas began to experience significant progress occurs when the first conference held national holistic education organized by the University of California in July 1979, and since it is a holistic education was introduced and practiced in various educational institutions in Indonesia, with a different title. Holistic Education-Comprehensive hopefully could be an alternative to solve the various problems of education, especially in Indonesia today. Key word: Holistic Education
Pendahuluan Terdapat sejumlah masalah yang melatar-belakangi perlunya menggagas pendidikan Islam Holistik-Komprehensif sebagai berikut. Pertama, sebagai dampak era globalisasi yang terjadi saat ini telah terjadi proses integrasi ekonomi, fragmentasi politik, high technology, interdependensi dan new colonization in culture. Kedua, sebagai dampak dari budaya masyarakat global dan masyarakat urban yang cenderung ingin serba cepat, instan, rasional, efisien, pragmatis, hedonis, materialistik, maka telah terjadi tingkat
Guru Besar pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) dan Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
136
Abuddin Nata
persaingan dalam memperebutkan berbagai kebuthan hidup yang makin tinggi. Ketiga, sebagai akibat dari proses pembangunan yang lebih menekankan segi-segi materi dan hal-hal yang bersifat kebutuhan jangka pendek telah mendorong lahirnya berbagai kegiatan usaha di bidang industri dan jasa yang meningkat. Keempat, sebagai akibat dari sulitnya mendapatkan berbagai kebutuhan hidup serta adanya budaya yang kurang sehat, yakni budaya hipokrit yang menghalalkan segala cara mengakibatkan manusia harus bersifat bohong atau bersikap mendua, yakni sebuah penampilan yang berbeda-beda dalam menyikapi sebuah masalah. Kelima, sebagai akibat dari suasana kehidupan yang makin individualistik dan banyaknya hal-hal pribadi yang bersifat rahasia dan berbahaya jika diketahui orang lain, menyebabkan timbulnya sikap hidup menyendiri dan perasaan terasing dan terisolir dari sebuah kehidupan. Keenam, munculnya gejala perasaan hidup yang kurang bermakna (loose of spiritual vision), sebagai akibat dari pandangan hidup yang terlampau menekankan aspek materi yang tidak pernah ada batas kepuasannya. Ketujuh, pelaksanaan pendidikan yang c enderung mengutamakan aspek kognitif dan meninggalkan aspek afektif dan psikomotorik; pendidikan yang terlampau mengutamakan kecerdasan intelektual, keterampilan dan pancaindera, dan kurang memperhatikan kecerdasan emosional, spiritual, sosial, dan berbagai kecerdasan lainnya. Kedelapan, bahwa dalam merancang dan merumuskan konsep pendidikan kurang melibatkan berbagai pendekatan yang bersifat holistik, terutama pendekatan agama dan filsafat. Dengan mengemukakan beberapa alasan tersebut di atas, maka gagasan pendidikan yang bersifat Holistik-Komprehensif yang berdasarkan pada pendekatan agama dan filsafat penting dilakukan. Hal yang demikian terjadi, karena hanya agama dan filsafatlah yang memiliki pandangan yang Holistik-Komprehensif. Untuk itu, tulisan ini akan diarahkan pada upaya menggagas pendidikan yang holistik dengan pendekatan agama dan filsafat dengan tidak mengabaikan pendekatan disiplin ilmu lainnya. Dengan demikian, tulisan ini selain akan mengemukakan pengertian pendidikan holistik dengan pendekatan agama dan filsafat, juga akan mengemukakan tentang sejarah pendidikan holistik dalam Islam, akar-akar yang menjadi landasan pendidikan holistik, dan selanjutnya dikemukakan tentang gagasan mengenai desain pendidikan holistik dengan pendekatan agama dan filsafat. Pengertian Pendidikan Holistik-Komprehensif Pendidikan yang Holistik-Komprehensif adalah pendidikan yang bertujuan memberikan kebebasan peserta didik untuk mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tetapi juga memfasilitasi pekembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa, mewujudkan manusia yang merdeka sebagaimana diungkapkan Ki Hadjar Dewantara, yaitu manusia utuh merdeka yang hidup lahir batinnya tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.1 Sedangkan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
137
pendidikan Holistik-Komprehensif adalah pendidikan holistik yang berbasis pada multi pendekatan, seperti pendekatan psikologi, pendekatan karakter, pendekatan sosial, emosional, spiritual, intelektual dan lain sebagainya. Pendidikan Holistik-Komprehensif juga pendidikan holistik yang terjadi pada seluruh aspek atau komponen pendidikan:visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, dan lain sebagainya. Sehubungan dengan itu, Indonesia Heritage Foundation di Jakarta misalnya mempelopori praktek model pendidikan holistik yang berbasis karakter untuk level Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD). Model pendidikan ini menerapkan teori-teori sosial, emosi, kognitif, fisik, moral dan spiritual. Model ini diharapkan dapat memampukan peserta didik berkembang sebagai individu yang terintegrasi dengan baik secara spiritual, intelektual, sosial, fisik, dan emosi yang berpikir kreatif secara manditi, dan bertanggung jawab. 2 Pendidikan holistik yang berbasis karakter ini bertujuan untuk membangun seluruh dimensi manusia dengan pendekatan pada pengamalan belajar yang menyenangkan dan inspiratif untuk peserta didik. Guru akan diperlengkaki dengan pengetahuan teoritis dan praktis mengenai pendidikan yang patut dan menyenangkan, pembelajaran yang ramah otak, kecerdasan emosi, komunikasi efektif, penerapan pendidikan sembilan pilar karakter secara eksplisit, yaitu mengetahui, merasakan, dan melakukan, kec erdasan majemuk, pembelajaran kooperatif, pembelajaran kontekstual, pembelajaran berbasis pertanyaan, manajemen kelas efektif, pembelajaran siswa aktif, whole language, aplikasi modul pendidikan holistik berbasis karakter, aplikasi modul karakter di ruang kelas, teknik bercerita, kreativitas dan lain sebagainya.3 Pendidikan Holistik-Komprehensif adalah pendidikan yang bertolak dari filsafat tentang Tuhan, manusia, masyarakat, alam jagat raya, ilmu pengetahuan dan akhlak mulia yang didasarkan pada nilai-nilai agama. Hasil kajian terhadap semua aspek ini selanjutnya digunakan untuk merumuskan berbagai komponen pendidikan, yakni visi, misi, tujuan, kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, peserta didik, proses belajar mengajar, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, lingkungan, kerjasama dan penilaian. Dengan demikian pendidikan HolistikKomprehensif memiliki ciri-ciri dan corak yang bersifat reflektif, integrasi kurikulum, mengutamakan pembelajaran yang menyenangkan, pengembangan sumber daya manusia(SDM), dan memanfaatkan seluruh pendekatan dan metode pembekajaran yang memadukan antara yang berbasis pada guru dengan yang berbasis pada peserta didik. Sejarah Pendidikan Holistik Pendidikan holistik lahir sebagai respon positif dan bijaksana atas krisis ekologi, budaya dan tantangan moral abad ini, yang bertujuan untuk mendorong kaum muda sebagai generasi penerus agar dapat hidup dengan bijaksana dan bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang saling pengertian dan secara berkelanjutan serta ikut berperan dalam pembangunan masyarakat. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
138
Abuddin Nata
Pendidikan holistik berkembang sekitar tahun 1960-1970 sebagai akibat dari keprihatinan merebaknya krisis ekologis, dampak nuklir, polusi kimia dan radiasi, kehancuran keluarga, hilangnya masyarakat tradisional, hancurnya nilai-nilai tradisional serta institusinya. Namun sampai saat ini banyak model pendidikan yang berdasarkan pandangan abad ke-19 yang menekankan pada reductionism (pembelajaran yang terkotak-kotak), linear thinking (pembelajaran non sistemik), dan positivism (pembelajaran di mana fisik yang diutamakan) yang membuat siswa sulit untuk memahami relevansi dan nilai (meaning relevance dan values) antara yang dipelajari di sekolah dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu sangat dibutuhkan adanya sistem pendidikan yang terpusat pada peserta didik yang dibangun berdasarkan asumsi komunikatif, menyeluruh dan demi pemenuhan jati diri peserta didik dan guru. Sistem pendidikan holistik inilah yang mampu memenuhi cita-cita pendidikan ini.4 Beberapa tokoh klasik yang dapat dianggap sebagai perintis pendidikan holistik, di antaranya: Jean Rousseau, Ralp Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Selain itu terdapat pula tokoh lain yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik, yaitu: Ridolf Steiner, Maria Montessori, Francis Farker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison, Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Khrisnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire.5 Gagasan dan pemikiran inti dari para perintis pendidikan holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Perkembangan gagasan pendidikan holistik mulai mengalami kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan holistik nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3 R’s, yaitu akronim dari relationship, responsibility dan reverence. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3 R’s ini lebih diartikan sebagai writing (menulis), reading (membaca), dan arithmetic (menghitung), yang selanjutnya di Indonesia dikenal dengan sebutan ’calistung” (membaca, menulis dan berhitung. Dari semenjak itu pendidikan holistik mulai diperkenalkan dan dipraktekkan di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia, dengan sebutan yang berbeda-beda. Namun telah seberapa jauh pendidikan holistik dikenal dan dilaksanakan di sekolah-sekolah tersebut belum ada data yang dapat dijadikan pegangan. Untuk sebuah penelitian dalam rangka untuk mengetahui seberapa jauh para pengelola lembaga pendidikan telah mengenal konsep pendidikan holistik, serta implementasinya, serta bagaimana perbedaannya dengan lembaga pendidikan yang belum Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
139
menerapkan konsep pendidikan holistik, serta apa saja faktor-faktor pendukung dan penghambatnya, nampaknya perlu dijadikan obyek penelitian tersebut. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditawarkan sebuah strategi yang efektif untuk mendukung pelaksanaan pendidikan holistik tersebut. Akar-akar Landasan Pendidikan Holistik Pendidikan Holistik-Komprehensif sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki landasan normatif, filosofis, psikologis, sosiologis, epistimologis dan historis. Beberapa landasan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, secara normatif pendidikan Holistik-Komprehensif dapat dijumpai dalam berbagai ajaran agama yang berdasarkan wahyu yang diturunkan Tuhan, serta penjelasannya yang diberikan para nabi. Di dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (Q.S. al-Baqarah [2]:208); Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (Q.S. Saba’ [34]:28). Di dalam ayat-ayat tersebut terdapat kata kaaffah yang diartikan seluruhnya, yang mengandung arti seluruh ajaran Islam, yakni dimensi akidah, ibadah, muamalah; atau dimensi iman, Islam dan Ihsan, atau dimensi teologi, ritual dan filosofis, dan juga memeluk Islam bukan hanya ucapan, tetapi juga keyakinan dan perbuatan. Selain itu, di dalam al-Qur ’an juga terdapat istilah insan6 yang mengacu kepada manusia selain pada dimensi proses kejadiannya, juga mengacu kepada manusia sebagai makhluk yang memiliki kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional; istilah al-naas7 yang mengacu kepada manusia sebagai makluk sosial; dan al-basyar8 yang mengacu kepada manusia sebagai makhluk biologis yang memiliki fisik dan pancaindera. Selanjutnya di dalam hadisnya, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah tidak (hanya) akan melihat rupamu, melainkan juga pada hati dan perbuatanmu (H.R. Baihaqi); Setiap anak yang dilahirkan memiliki fithrah (rasa ingin tahu (curiosity), rasa suka pada kebaikan (etika) dan rasa keindahan (estetika). Perpaduan antara ilmu, etika dan keindahan itulah yang akan membentuk manusia yang cerdas yang dilandasi dengan nilai akhlak dan kelembutan hati.9 Kedua, akar landasan pendidikan Holistik-Komprehensif secara filosofis dapat dijumpai pada penjelasan dari para filosof sejak zaman Yunani Kuno, Filosof Muslim hingga saat ini, yang mengemukakan tentang jiwa manusia secara utuh. Al-Farabi misalnya, mengatakan bahwa jiwa manusia memiliti tiga daya, yaitu daya al-muharrikah (makan, memelihara dan berkembang), daya al-mudrikah (merasa dan imaginasi), dan daya alnathiqah (akal praktis dan akal teoritis). Akal teoritis ini terbagi tiga, yaitu akal potensial yang baru mempunyai potensi berfikir dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk dari materinya; akal aktual yang telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
140
Abuddin Nata
mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk aktuil, dan akal mustafad yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata. Kalau akal aktual hanya dapat menangkap arti terlepas dari materi, maka akal mustafad telah sanggup menangkap bentuk semata-mata. Bentuk semata-mata ini berlainan dengan al-ma’qulat al-mujarrodah (arti yang terlepas dari materi), tidak pernah berada dalam materi untuk dapat melepaskan dari materi. Bentuk sematamata berada tanpa materi seperti akal yang sepuluh dan Tuhan.10 Informasi tentang keutuhan jiwa manusia dari al-Farabi lebih lanjut mencapai kesempurnaannya pada Ibn Sina. Menurut filosof yang disebut terakhir ini, bahwa jiwa terbagi tiga macam, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah) yang memiliki daya makan, tumbuh, dan berkembang biak; jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah), yang memiliki daya gerak dan menangkap, yang terdiri dari menangkap dari luar dengan pancaindera, dan menangkap dari luar yang mengggunakan indera bersama (commonsense), representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama, imajinasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi, estimasi yang dapat menangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, dan rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi; dan jiwa manusia (al-nafs al-nathiqah) yang memiliki dua daya, yaitu al-amilah yang hubungannya dengan badan; dan teoritis (al-’alimah) yang hubungannya dengan hal-hal abstrak yang memiliki tingkatan akal materi (al-ql al-hayulani) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit; al-aql bi almalakah yang telah dilatih untuk berfikir hal-hal abstrak; akal aktual (alaql bi al-fi’i) yang telah dapat beerfikir tentang hal-hal abstrak, dan akal mustafad (al-aql al-mustafad), yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya; akal yang telah terlatih begitu rupa, sehingga hal-hal yang abstrak selamanya terdapat dalam akal yang serupa ini, akal serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif.11 Uraian di atas memperlihatkan bahwa pada diri manusia terdapat potensi atau daya tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Jiwa tumbuhtumbuhan berkaitan dengan potensi yang bersifat jasmani dan kecenderungannya, jiwa binatang yang berkaitan dengan fisik dan hal-hal yang bersifat hedonistik, syahwat dan ghadab, dan jiwa manusia yang berkaitan dengan hal-hal yang abstrak dan nilai-nilai spiritual. Sifat seseorang tergantung pada jiwa manusia dari ketiga macam jiwa tersebut yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka manusia itu menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang tersebut dekat menyerupai malaikat dan dekat pada kesempurnaan. Dalam hal ini daya praktis mempunyai kedudukan penting. Daya inilah yang berusaha mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat dalam badan tidak menjadi halangan bagi daya teoritis untuk membawa manusia kepada tingkatan yang tinggi dalam usaha menc apai Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
141
kesempurnaan.12 Landasan psikologis ini juga dapat dijumpai pada teori multiple intelegence yang berasal dari Howard Gardner. Menurunya, bahwa manusia memiliki kecerdasan linguistik, logika matematika, spasial, musik, kinestetik jasmaniah, interpersonal, intrapersonal dan naturalis.13 Seluruh kecerdasan ini ada pada manusia dengan tingkat konfigurasi yang berbeda-beda. Jika yang menonjol kecerdasan linguistik, maka orang tersebut akan menjadi ahli bahasa, sastrawan atau penyair. Jika yang menonjol kecerdasan matematika, maka orang tersebut akan menjadi ahli akuntansi; jika yang menonjol kecerdasan spasial, maka orang tersebut akan menjadi ahli desain tata ruang; jika yang menonjol kecerdasan musik, maka orang tersebut akan menjadi seniman ahli musik; jika yang menonjol kecerdasan kinestetik jasmaniah, maka orang tersebut akan menjadi olahragawan profesional yang dapat menggerakan anggota fisiknya dengan mudah; jika yang menonjol kecerdasan interpersonal dan intrapersonal, maka orang tersebut akan menjadi orang yang mampu memenej dirinya dan orang lain, sehingga ia dapat menjadi orang yang ahli dalam membangun komunikasi. Pendidikan yang holistik harus mampu memberdayakan seluruh potensi ini dengan memberikan porsi yang lebih besar pada kecerdasan yang paling menonjol. Dewasa ini berbagai kecerdasan tersebut telah diteliti secara seksama hingga amat detail, dan hasil penelitian tersebut diteliti lagi aplikasinya dalam bentuk eksperimen (penelitian terapan), hingga menghasilkan konsep, desain dan kontruksi tentang cara-cara memberdayakan berbagai kecerdasan tersebut. Cara-cara tersebut dipadukan dengan bentuk teknologi atau alat-alat permainan, hingga lahirlah industri alat mainan anak-anak yang terkait dengan upaya pengembangan berbagai kecerdasan tersebut, misalnya ada alat mainan yang melatih kecerdasan matematika seperti mainan tentang hitungan; ada alat mainan yang melatih kecerdasan spasial, seperti mainan tentang menyusun balok; ada alat mainan yang melatih kecerdasan linguistik seperti mainan tentang nama-nama buah-buahan dalam bahasa Inggris, demikian seterusnya. Dengan demikian adanya berbagai kecerdasan tersebut telah membuka lapangan kerja yang luas, dan mendatangkan keuntungan yang luar biasa. Selanjutnya landasan psikologis bagi pendidikan HolistikKomprehensif juga dapat digali pada teori yang terdapat pada psikologi belajar. Dalam hubungan ini, Gagne, misalnya berkata: Learning is a change in human disposition or capability, which can be retrained, and which is not simply ascrible to the process of growth. Artinya belajar adalah merubah atau membina kemampuan manusia yang dapat dilatih yang proses pertumbuhannya tidak dapat digambarkan secara sederhana.14 Berkaitan dengan ini Morris L. Bigge dan Maurice P. Hunt mengatakan tentang adanya tiga rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme dan Cognitive Gestalt Field. Di dalam rumpun teori disiplin mental ini ada teori disiplin mental theistik, disiplin mental humanistik, naturalisme dan apresepsi. Selanjutnya dari rumpun teori belajar behaviorisme muncul teori Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
142
Abuddin Nata
S-R Bond (hubungan stimulus dan respon), conditioning (penciptaan kondisi), dan reinforcement (pemberian dorongan). Sedangkan dari rumpun teori Cognitive Gestalt Field lahir teori insight yang mengatakan, bahwa belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu mengubah cara baru dalam menggunakan unsur-unsur yang ada dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar merupakan perbuatan yang bertujuan, eksploratif, imajinatif dan kreatif. Pemahamn atau insight merupakan citra dari atau perasaan tentang pola-pola atau hubungan.15 Adanya berbagai teori belajar ini dapat digunakan sebagai landasan bagi perumusan konsep pendidikan Holistik-Komprehensif dari segi proses belajar mengajar. Yakni dalam mengajar tersebut seseorang dapat mengkombinasikan tentang berbagai teori tersebut sesuai dengan tujuan dan bahan pelajaran yang akan diajarkan, atau situasi dan pengalaman belajar yang akan dilahirkan. Berbagai metode mengajar dengan cara ceramah, bimbingan dan keteladanan misalnya dapat dikombinasikan dengan diskusi, pemecahan masalah, eksperimen, penugasan, kerjasama kelompok, belajar mengajar berbasis pada situasi riil yang dihadapi (contextual teaching and learning). Pendidikan Holistik-Komprehensif juga dapat dibangun dari tiga teori perilaku yang dikembangkan Benyamin S. Bloom dan kawan-kawannya dengan nama The Taxonomy of Educational Objectives, yaitu taksonomi tujuan pendidikan. Bloom dan kawan-kawan berpendapat bahwa tujuan pendidikan/pengajaran dapat diklasifikasi ke dalam tiga ranah (matra, domain, bidang), yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotorik. Di dalam ranah kognitif tersebut terdapat tingkatan kemampuan yang terdiri dari (1) mengetahui (to know), (2) memahami (to understand), (3) menerapkan (to aplicate), (4) menganalisa (to analysis), (5) menyimpulkan (to concluse), dan (6) mengevaluasi (to evaluate). Sedangkan ranah afektif terdiri dari kemampuan (1) kemauan menerima (receiving);(2) kemauan menanggapi (responding); (3) berkeyakinan (valuing); (4) penerapan karya (organisation), dan (5) ketekunan dan ketelitian (characterization by a value complex). Selanjutnya di dalam ranah psikomotorik terdapat kemampuan (1) persepsi (perception); (2) kesiapan melakukan sesuatu pekerjaan (set); (3) mekanisme (mechanisme); (4) respons terbimbing (guide response); (5) kemahiran (complekx overt response); (6) adaptasi; dan (7) originasi (origination).16 Di dalam pendidikan Holistik-Komprehensif, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik dengan berbagai tingkatan kemampuannya itu harus dikembangkan secara seimbang dan terpadu, sehingga tidak hanya melahirkan manusia yang dapat memahami sesuatu, melainkan juga dapat menghayati dan mengamalkannya secara baik. Hal yang demikian penting dilakukan, karena pada setiap mata pelajaran ketiga aspek tersebut terdapat di dalamnya. Pada pelajaran fikih ibadah misalnya, seorang anak bukan hanya diajarkan tentang dalil-dalil yang berkaitan dengan ibadah Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
143
tersebut, melainkan ada keinginan yang kuat untuk mengamalkannya, serta dapat mempraktekkannya dan memberi pengaruh bagi kehidupannya. Selanjutnya pendidikan yang holistik dan komprhensif juga didasarkan pada teori perilaku yang dikembangkan oleh Maslow, MacClelland, dan McGregor. Menurut Maslow bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh berbagai motivasi yang terdapat dalam dirinya, yaitu motivasi (1) aktualisasi diri; (2) penghargaan (status, titel, simbol-simbol, promosi), (3) pengakuan sosial (menjadi pimpinan); (4) keamanan (jaminan masa pensiun, jaminan kecelakaan dan sakit); dan (5) kebutuhan fisiologis (gaji, upah, tunjangan, honorarium, perumahan dan sebagainya. Selanjutnya dalam pandangan David McClelland, bahwa manusia memiliki kemampuan untuk beprestasi di atas kemampuan yang dimiliki orang lain yang selanjutnya dikenal dengan virus n-Ach (need for achievement). Sementara itu dalam teoi McGregor bahwa manusia terbagi ke dalam tipe X dan tipe Y. Pada tipe X dikatakan, bahwa sebagian besar manusia lebih suka diperintah; dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab dan menginginkan kesamaan atas segalanya, dan karenanya manusia yang demikian itu perlu diawasi. Sementara itu teori Y berpendapat, bahwa manusia memiliki kemampuan untuk berkreativitas, motivasinya tidak hanya yang bersifat fisiologis (materi), melainkan lebih tinggi dari itu. Manusia yang demikian itu akan memiliki kemauan dan inisiatif untuk bekerja secara produktif, dan karenanya tidak perlu diawasi.17 Adanya berbagai motivasi yang dimiliki manusia itu dapat digunakan sebagai pintu masuk dalam melakukan pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam kegiatan pendidikan, yakni dalam membina para tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, serta dalam memotivasi peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar, serta dalam meraih berbagai prestasi dalam kegiatan pertandingan, dan sebagainya. Berbagai motivasi tersebut dapat digunakan secara utuh, yakni tidak hanya menggunakan motivasi yang bersifat fisiologis, melainkan juga motivasi yang bersifat psikologis seperti aktualisasi diri, penghargaan, dan sebagainya. Dengan cara demikian, akan dapat dihasilkan sebuah metode dan pendekatan yang holistik dalam kegiatan belajar mengajar, dan karenanya tidak akan membosankan para peserta didik. Ketiga, pendidikan Holistik-Komprehensif dapat menggunakan landasan sosiologis, yaitu sebuah ilmu yang di dalamnya membahas tentang sekumpulan manusia yang berada di sebuah teritori tertentu yang memiliki tujuan dan cita-cita bersama, serta berinteraksi dan berkomunikasi antara satu dan lainnya. Selain itu di dalam sosiologi juga dibahas tentang adanya stratifikasi dan struktur sosial, nilai-nilai, tradisi, budaya, agama, tingkat pendidikan, ekonomi dan kesehatan masyarakat, kepemimpinan, integrasi dan konflik, pranata sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya, keadaan iklim cuaca, tingkat kesuburan tanah, keadaan geografis berupa daratan dan lautan, tingkat kepadatan penduduk, jalur transportasi, berbagai peralatan komunikasi, dan sebagainya. Berbagai informasi yang diberikan ilmu sosiologi yang demikian itu harus dipertimbangkan dalam merancang Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
144
Abuddin Nata
pendidikan yang Holistik-Komprehensif, terutama dalam merumuskan visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, sarana prasarana, pembiayaan, dan lingkungan pendidikan. Dengan cara demikian, maka pendidikan tidak akan kehilangan makna dan orientasinya dalam mengembangkan masyarakat.18 Keempat, pendidikan Holistik-Komprehensif juga dapat menggunakan landasan kultural, yaitu landasan yang melihat bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh sistem budaya yang dianutnya, yakni nilai-nilai yang dianggap luhur, teruji, dan ampuh, yang selanjutnya secara selektif dijadikan sebagai acuan, referensi, atau blue print dalam mengahapi dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Nilai-nilai tersebut ada di dalam mindset atau pola pikir seseorang yang tertanam kuat dan mempribadi dalam karakter hidupnya. Nilai-nilai budaya tersebut ada yang terkait dengan masalah komunikasi dan interaksi, hubungan orang tua dan anak, rakyat dan pimpinan, peribadatan, transaksi jual beli, hubungan kekeluargaan, perkawinan, bertutur kata, berpakaian, penghargaan terhadap orang lain, toleransi, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya tersebut ada yang bersifat seragam (homogeen) sebagaimana yang dijumpai pada masyarakat agraris di pedesaan dan ada pula yang bersifat aneka ragam (heterogeen) sebagaimana terlihat pada masyarakat perkotaan. Selan itu nilai-nilai budaya tersebut ada yang didominasi oleh keyakinan keagamaan tertentu, seperti nilai budaya yang berkembang di pesantren di pedesaan, atau nilai budaya yang berkembang di kalangan gereja; dan ada pula nilainilai budaya yang dipengaruhi oleh ideologi tertentu, seperti ideologi komunis dan kapitalis; dan ada pula nilai-nilai budaya yang dipengaruhi oleh filsafat hidup tertentu, seperti filsafat pragmatisme, kapitalisme, hedonisme, liberalisme, humanisme, egalitarianisme, dan sebagainya. 19 Selain itu nilai-nilai budaya tersebut juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi sebagaimana yang terjadi saat ini. Dengan adanya landasan kultural tersebut, maka pendidikan HolistikKomprehensif akan bersikap bijaksana, adil dan arif, yakni memperlakukan dan menghargai nilai-nilai budaya tersebut sebagai sebuah kekayaan yang dapat membangun kekuatan dan identitas masyarakat, serta akan menjamin stabilitas masyarakat yang dinamis. Dengan landasan kultural ini dapat dikembangkan konsep pendidikan yang berbasis multikultural, yaitu pendidikan yang menghargai adanya perbedaan budaya di masyarakat, dan menggunakannya sebagai dasar bagi pengembangan setiap anggota masyarakat. Dengan cara demikian, maka berbagai potensi yang ada di masyarakat akan dapat dibangun dan diberdayakan, yang pada gilirannya akan memperkuat ketahanan masyarakat dan negara. Kelima, pendidikan Holistik-Komprehensif dapat pula menggunakan landasan filsafat keilmuan, yaitu sebuah filsafat yang mengkaji tentang dimensi ontologi (sumber ilmu), epistimologi (cara dan metode dalam mengembangkan ilmu), serta aksiologi (cara memanfaatkan ilmu). Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
145
Ontologi Barat, memandang bahwa sumber ilmu terdiri dari akal, phenomena sosial dan fenomena alam. Sedangkan dalam Islam, sumber ilmu selain akal, phenomena sosial dan phenomena alam, juga wahyu dan intuisi. Selanjutnya epistimologi Barat memandang, bahwa yang dinamakan ilmu hanyalah yang dihasilkan berdasarkan riset empiris, eksperimen dan logika yang bebas, yang selanjutnya menghasilkan ilmu sosial, sains dan filsafat yang liberal. Dalam riset tersebut hanya menggunakan akal dan pancaindera, sehingga yang disebut ilmu adalah yang masuk akal, yang dapat dihitung, diprediksi, dan diobservasi dengan menggunakan pancaindera dan berbagai peralatan yang bersifat fisik. Epistimologi Barat tidak mengakui adanya hal-hal yang bersifat methaphisik, wahyu dan intuisi, dan tidak pula mengakui adanya hubungan di antara ilmu dengan wahyu. Ilmu dalam pandangan Barat terpisah dan tidak ada hubungannya dengan agama, dan karenanya bersifat dikhotomis. Ilmu di Barat bersifat empiris, positivisme dan berdasar pada pandangan antrhopo-centris. Hal ini berbeda dengan pandangan Islam yang melihat bahwa antara hal-hal yang bersifat fisik dan metafisik terdapat hubungan yang erat. Islam memandang bahwa yang ada (wujud) tidaklah mesti yang dapat dilihat oleh mata kepala, melainkan juga oleh mata hati, atau mata batin. Islam memandang, bahwa tanpa ada yang bersifat metaphisic (batin), maka yang bersifat physic (lahir) tidak dapat dijelaskan tentang asal usul dan akhir perjalanannya. Islam memandang bahwa yang disebut ilmu bukan hanya ilmu sosial, sains dan filsafat, melainkan juga ilmu agama dan ma’rifah. Berbagai ilmu tersebut saling berhubungan antara satu dan lainnya, karena seluruh ilmu tersebut menggunakan sumber yang diciptakan Allah SWT, dan karenanya semua itu pada hakikatnya berasal dari Tuhan. Aksiologi Barat memandang, bahwa semua itu adalah netral dan karenanya dapat dipergunakan sesuai dengan kehendak manusia. Ilmu dapat digunakan untuk kebaikan atau keburukan, terserah manusia. Sedangkan dalam pandangan Islam, bahwa ilmu pengetahuan (sains) bersifat netral dari segi ontologi dan epistimologinya, sedangkan dari segi penggunaannya harus didasarkan pada petunjuk Tuhan, sehingga ilmu tersebut tidak disalah-gunakan. Sedangkan ilmu sosial, filsafat, ilmu agama dan ma’rifat, baik pada dataran ontologi, epistimologi dan aksiologinya tidak netral, karena ilmu-ilmu yang disebutkan terakhir ini berkaitan erat dengan perilaku manusia dan keyakinan yang antara satu dan lainnya tidaklah sama. Dalam mengembangkan konsep pendidikan Holistik-Komprehensif pandangan keilmuan yang integrated dari ajaran Islam itulah yang harus dijadikan landasan, terutama dalam mengkontruksi dan mengembangkan kurikulum. Keenam, pendidikan yang Holistik-Komprehensif juga dapat menggunakan landasan manajemen mutu terpadu (Total Quality Management), yaitu manajemen yang melihat bahwa seluruh aspek yang terkait dengan fungsi manajemen, yakni planning, organizing, actuating, controling, Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
146
Abuddin Nata
supervising, evaluating, dan revicing sebagai suatu kesatuan yang saling berkaitan, antara strength, weakness, opportunity dan threat harus saling berkaitan dalam mendukung lahirnya sebuah rencana pengembangan. Selain itu dalam manajemen mutu ini juga harus melihat pelanggan sebagai titik sentral yang harus mendapatkan perhatian, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal. Penilaian terhadap sesuatu yang bermutu bukan hanya dari segi hasilnya saja, melainlan juga input, proses, kemasan, pemasaran, pelayanan, penyajian, pasc a penggunaan produk dan sebagainya. Berbagai kekurangan, kritik dan saran yang diajukan pelanggan harus dilihat sebagai masukan berharga untuk perbaikan di masa depan.20 Ketujuh, pendidikan yang Holistik-Komprehensif juga dapat menggunakan landasan ideologis, yaitu pandangan dan cita-cita yang mendalam, sistematik dan sistemik yang digunakan sebagai kerangka konseptual dalam melaksanakan suatu usaha. Pendidikan sebagai usaha besar dan strategis juga memiliki ideologi. Dalam kajian berbagai literatur terdapat ideologi-ideologi pendidikan konservatif yang terdiri dari fundamentalisme pendidikan, intelektual pendidikan dan konservatisme pendidikan; dan ideologi-ideologi pendidikan liberal, yajg terdiri dari liberalisme pendidikan, liberasionisme pendidikan, dan anarkhisme pendidikan.21 Ideologi pendidikan ini bersifat dikhotomis, karena hanya mendasarkan pada kehendak Tuhan semata-mata (theo-centris), dan mendasarkan pada manusia (anthropo-centris). Ideologi pendidikan Barat yang dikhotomis inilah yang mempengaruhi dunia pendidikan modern saat ini, sebagaimana terlihat pada pendidikan progressivisme dan pragmatisme yang hanya mengandalkan pembinaan intelektual dan keterampilan manusia semata, namun moralitas dan spiritualitasnya kosong. Dalam membangun pendidikan yang Holistik-Komprehensif, seharusnya yang dijadikan landasan adalah ideologi pendidikan Islam yang bercorak humanisme theo-centris, yakni keberhasilan pendidikan bukan hanya ditentukan oleh usaha manusia atau Tuhan semata-mata, melainkan ditentukan oleh usaha manusia dan Tuhan bersama. Pendidikan yang Holistik-Komprehensif tidak hanya mengandalkan potensi bawaan dari manusia sebagaimana dijumpai pada paham nativisme dengan tokohnya Arthur Schopenhaur; bukan pula mengandalkan pengaruh lingkungan yang mengitari manusia sebagamana dijumpai pada paham empirisme atau behaviorisme dengan tokohnya John Locke dengan teorinya Tabularasa(Lilin di Atas Meja); dan bukan pula mengandalkan pengaruh dari bawaan manusia dan lingkungan sebagaimana dijumpai pada paham konvergensi dengan tokohnya William Stern. Pendidikan yang Holistik-Komprehensif mengandalkan pada konvergensi yang disertai Tuhan atau convergensi plus. Dalam Islam pendidikan diibaratkan seperti bertani yang keberhasilannya bukan hanya ditentukan oleh keadaan bibit tanaman yang unggul (nativisme) dan tanah yang subur (empirisme) melainkan juga oleh kehendak Tuhan. Bibit yang unggul dan tanah yang subur masih belum dapat menjamin tanaman tersebut berbuah dan menghasilkan panen, melainkan juga atas kehendak Tuhan. Di dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
147
SWT berfirman: Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya? (Q.S. al-Waqi’ah, 56:63-64). Pandangan yang demikian itu dapat dilihat dari pendidikan yang dilaksanakan oleh Lukman al-Hakim kepada anaknya. Allah SWT memerintahkan kepada anaknya Lukman, agar terlebih dahulu berterima kasih kepada Allah, sebelum berterima kasih kepada Lukman, karena Allah-lah yang menjadikan dan memberikan kemampuan kepada Lukman untuk mendidik (Lihat Q.S. Luqman, [31]:12-14). Kedelapan, konsep pendidikan Holistik-Komprehensif dapat pula berlandaskan pada konsep insan kamil sebagaimana yang dijumpai pada paham tasawuf sebagaimana dijumpai pada pemikiran al-Jilli.22 Insan kamil adalah suatu tema yang berhubungan dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak. Tuhan Yang Maha Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Makin seseorang memiripkan diri kepada sifat sempurna dari yang Mutlak tersebut, makin sempurnalah dirinya. Selain itu konsep insan kamil juga memiliki anggapan atau keyakinan adanya yang Mutlak itu mencakup nama-Nya, sifat-Nya dan hakikat-Nya atau esensinya.23 Sifat-sifat Allah SWT sebagaimana terdapat dalam al-Asma al-Husna jika dipahami, dihayati dan diamalkan akan dapat melahirkan manusia yang sempurna. Konsep pendidikan yang HolistikKomprehensif dapat memanfaatkan pandangan insan kamil tersebut dalam membangun berbagai komponennya, sebagaimana akan dijelaskan kemudian. Disain Konsep Pendidikan Islam Holistik Disain konsep pendidikan Islam Holistik-Komprehensif pada dasarnya adalah upaya mengkontruksi seluruh komponen pendidikan: visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik dan tenaga kependidikan, lulusan, pengelolaan, sarana prrasarana, pembiayaan, lingkungan, kerjasama dan evaluasi dengan berdasarkan pada akar-akar landasan normatif, psikologis, sosiologis, kultural, filsafat keilmuan, manajemen, ideologi, dan tasawuf, sehingga konsep pendidikan tersebut mampu melahirkan manusia seutuhnya. Kajian yang bersifat akademis terhadap pendidikan HolistikKomprehensif ini sesungguhnya telah lama dilakukan di Barat. Sedangkan di Indonesia kajian tersebut secara akademik belum banyak dilakukan, walaupun dalam ucapan dan kebijakan sering disinggung. Di tengah-tengah dunia pendidikan yang nampaknya kurang berdaya dalam menjawab berbagai masalah yang ditimbulkan dampak dari era globalisasi sebagaimana tersebut di atas, kajian terhadap konsep pendidikan yang Holistik-Komprehensif ini mulai dilakukan para ahli. Pendidikan Holistik-Komprehensif inilah yang nampaknya menjadi salah satu alternatif yang amat diharapkan untuk memecahkan berbagai masalah pendidikan tersebut. Di antara masalah pendidikan tersebut misalnya, lulusan pendidikan yang hanya memiliki keunggulan dari segi intelektual Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
148
Abuddin Nata
dan keterampilan namun kurang dari segi moral, spiritual dan akhlak; pendidikan yang cenderung menjadi komoditas yang diperdagangkan dan dikelola dengan pendekatan bisnis, pendidikan yang selalu tertinggal dari perkembangan zaman, pendidikan yang kurang link and mach dengan kebutuhan masyarakat, pendidikan yang cenderung membonsai atau mengkerdilkan peserta didik, pendidikan yang membosankan, pendidikan yang belum mencerahkan, lingkungan pendidikan yang kurang kondusif dan berbagai masalah lainnya. Kajian terhadap konsep pendidikan Holistik-Komprehensif telah mencoba memaksimalkan aspek kreatif-inovatif pendidikan, seperti pada pembelajaran yang berbasis karakter, bercorak reflektif, mengintegrasikan kurikulum, mengutamakan pembelajaran yang menyenangkan, aktif dan mencerahkan, menyempurnakan proses transformasi pendidikan, memberdayakan interaksi keilmuan yang dinamis, memfokuskan tujuan demi pendidikan masa depan, memanfaatkan kemampuan dasariah (basic skill), mengolah pengalaman siswa, bercorak kontekstual, menumbuhkan spiritualitas anak, mewujudkan pribadi berintegritas, mengenalkan seni holistik untuk penggalian metodologi pembelajaran, menjawab tantangan pendidikan, menawarkan transformasi sebagai sarana problem solving pembelajaran holistik, mengkritisi penelitian tindakan kelas (PTK), pemberian hak otonomi penuh pada sekolah, pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai sarana pendidikan holistik, serta mencetak generasi berkualitas. 24 Berdasarkan paparan tersebut nampak bahwa dalam disain pendidikan Holistik-Komprehensif banyak agenda yang harus diselesaikan, yakni sebanyak komponen pendidikan dengan berbagai elemen lainnya yang terkait. Berbagai aspek tersebut masih perlu kajian dan pendalaman dengan menggunakan berbagai akar landasan sebagaimana tersebut di atas. Berbagai kajian tersebut mengharuskan adanya kerja keras dari para pakar pendidikan, yakni pakar pendidikan di bidang kurikulum, proses belajar mengajar, manajemen, sarana prasarana, dan seterusnya. Dilihat dari segi sifatnya yang holistik, komprehensif dan integralistik, agama dan filsafat nampaknya memiliki peran dan fungsi yang amat strategis dalam ikut serta membangun desain pendidikan HolistikKomprehensif. Untuk itu kajian secara lebih khusus terhadap agama dan filsafat dalam hubungannya dengan disain pendidikan holistik masih perlu dilakukan. Dalam kaitan inilah, maka posisi tulisan ini lebih merupakan pengantar yang berisi argumentasi dan alasan-alasan yang mendasari tentang perlunya mendesain pendidikan Holistik-Komprehensif dengan berdasarkan pada ajaran agama dan filsafat. Penutup Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, dapat dikemukakan beberapa catatan penutup sebagai berikut. Pertama, dilihat dari pengertiannya adalah pendidikan yang seluruh komponennya: visi, Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik
149
misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, lulusan, lingkungan, sarana prasarana dan lainnya, dibangun berdasarkan landasan yang kokoh dan utuh, sehingga mampu menghasilkan manusia yang utuh. Kedua, dilihat dari segi latar belakang dan alasannya, pendidikan Holistik-Komprehensif dibangun dalam rangka mengatasi berbagai masalah kemanusiaan yang ditimbulkan sebagai akibat dari dampak era globalisasi: integrasi ekonomi, fragmentasi politik, high technology, interdependensi, new colonization in culture. Dampak era globalisasi ini selanjutnya menimbulkan kemerosotan moral pada sebagian kalangan pelajar dan mahasiswa, penyakit jiwa (stress, cemas, miris, gelisah, tempramental, hilang ingatan), kurang menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki hak-hak asasi yang harus dihormati (dehumanisasi), dislokasi, munculnya gejala kepribadian yang terpecah (split personality), merasa terasing di tengah-tengah kemodernan, munculnya gejala hidup kurang bermakna, berorientasi pada hukum transaksional, pendidikan yang mengutamakan aspek kognitif, yakni wawasan dan keterampilan belaka, dan menganggap pendidikan sebagai investasi dan komoditas yang diperdagangkan. Ketiga, dilihat dari segi akar-akar landasannya, pendidikan HolistikKomprehensif dapat dibangun dari landasan normatif (agama), psikologi, sosiologi, kultural, filsafat, epistimologi, budaya, manajemen dan tasawuf. Berkaitan dengan ini berbagai literatur yang dibutuhkan cukup tersedia di berbagai perpustakaan, serta sumber-sumber lainnya. Keempat, agama Islam dengan sifatnya yang universal, mutlak, berisi ajaran tentang berbagai aspek kehidupan manusia, dan juga filsafat Islam dengan sifatnya yang berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, universal, komprehensif, holistik dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran agama memiliki posisi yang strategis serta menyediakan bahan-bahan yang kaya untuk membangun konsep pendidikan yang Holistik-Komprehensif. Kelima, kajian pendidikan Holistik-Komprehensif yang berdasarkan ajaran Islam dan filsafat Islam sebagaimana dikemukakan di atas, belum banyak dilakukan, bahkan nyaris belum ada yang melakukannya. Sementara itu berbagai masalah pendidikan yang harus dipercahkan dari waktu ke waktu demikian banyak dan beragam. Dengan demikian kajian pendidikan Holistik-Komprehensif dari sudut ajaran dan filsafat Islam ini perlu dilakukan.
Catatan: 1
2 3 4
Ninik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi (Jakarta:Prestasi Pustakarya, 2010), hal. 1. Ninik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi Ninik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi Ninik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pembelajaran Holistik di Sekolah, Pembelajaran Holistik..., hal. 45. Pembelajaran Holistik..., hal. 47. Pembelajaran Holistik..., hal. 31.
150 5 6
7
8
9
10
11 12 13 14
15 16
17
18
Abuddin Nata
Ninik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik...., hal. 32. Kata insan dalam al-Qur’an disebut sebanyak 65 kali dalam 63 ayat dan digunakan untuk menyatakan manusia sebagai manusia yang menerima pelajaran (Q.S. 96:15, dan 55:1-3); manusiayang mempunyai musuh yang nayata, yaitu syaitan (Q.S.12:5 dan 17:53: manusia yang memikul amanat dari Tuhan. (Q.S. 33:72: manusia yang dapat membagi waktu (Q.S. 103:1-3); manusia yang akan mendapatkan bagian dari apa yang telah dikerjakannnya. (Q.S. 53:39, dan 79:35), manusia mempunyai keterikatan dengan moral dan sopan santun (Q.S. 19:8. dan 31:14;46:15). Lihat Musa Asy’arie. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam AlQur’an, (Yogyakarta: LSFI, 1992), cet. I, hal. 23-25; Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, Terj. dari Major Themes of Themes of The Qur’an oleh Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1980), cet.I, hal. 26-41; Kata al-naas dalam al-Qur’an disebut sebanyak 241 kali dalam 225 ayat, dan digunakan untuk menyatakan: adanya kelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya. Berbagai kegiatan itu antara lain disebutkan: tentang peternakan. (Q.S. 28:23 dan 25:49); tentang perlunya mendayagunakan kekuatan besi (Q.S. 57:25); tentang pelayaran dan perlunya manusia memperhatikan perubahan alam. (Q.S. 2:164); tentang perubahan sosial (Q.S. 3:140 dan 8:26), tentang kepemimpinan (Q.S. 2:124). Lihat Musa Asy’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan..., hal. 25-28; Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an..., hal. 54. Kata basyar, yang tersebut dalam al-Qur’an dalam 36 ayat dipakai untuk menyebut manusia dalam pengertian lahiriyah. Di antaranya digunakan untuk menyebutkan kata basyar dalam pengertian kulit manusia. (Q.S. 74:27-29). Dalam 23 ayat, kata basyar dipakai al-Qur’an dalam kaitan dengan kenabian dan 11 di antara 23 ayat tersebut menyatakan, bahwa seorang nabi adalah basyar, yaitu manusia kebanyakan yang secara lahiriyah mempunyai ciri yang sama, yaitu makan dan minum dari bahan yang sama, (Q.S. 23:33-34; 3:79; 5:18; 6:91; 14:10-11; 16:104: 21:3: 23:24, 26:154;36:15; 41:6; 42:51: 64:6; 74:31: 11:27:12:31:17:93-94:23:34 dan 54:24). Dua ayat, kata basyar dipakai dalam kaitan dengan persentuhan laki-laki dengan perempuan atau persetubuhan. (Q.S. 19:20 dan 3:47. Empat ayat lainnya, kata basyar dipakai dalam pengertian manusia pada umumnya. (Q.S. 74:25; 19:26; 74:36, dan 19:17. Dan satu ayat lainnya, kata basyar digunakan untuk menyatakan manusia sebagai makhluk yang semuanya akan mati. (Q.S. 21:34-35). Lihat Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan..., hal. 320-35. Lihat H.M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi Al-Qur’an dalam Kehidupan, (Bandung: Mizan, 1994), cet. I, hal. 87-98. Lihat Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1983), cet. III, hal. 29-30. Lihat Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, op, cit, hal. 35-37. Lihat Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme ..., hal. 37. Lihat Joy. A. Palmer, 50 Pemikir Pendidikan, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. 487. Dikutip oleh Nana Syaodih Sukmadinata dalam Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), cet. I. hal. 52. Lihat Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum..., hal. 54-55. Lihat Sudirman, dkk., Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja Karya, 1989), cet. III, hal. 54-57. Lihat Abdul Aziz Wahab, Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2008), hal. 203-204. Lihat Abuddin Nata, Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), cet. I, hal. 187-190. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Menggagas Pendidikan Islam Holistik 19 20
21
22
23 24
151
Lihat Sutan Tadir Alisyahbana, Budaya Baru, (Jakarta:Gramedia, 1985), hal.87 Lihat Fandy Tjiptoni & Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2001), hal. 2-3. Lihat William F. O’Neil, Ideologi-ideologi Pendidikan, Terj. dari Educational Ideologies Contemporary Expression of Educational Philosophies oleh Imo Intan Naomi, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2008), cet. I, hal. 183-488. Nama al-Jilli atau Jilan (Gilani) berasal dari nama sebuah provinsi sebelah selatan Laut Kaspia di Asia Tengah. Nama tersebut agaknya mempunyai hubungan dengan nama pendiri tarekat Qadaiyah, yakni Abdul Qadir al-Jilli atau Gilani. (Di kalangan masyarakat kita tokoh ini dikenal dengan nama Abdul Kadir al-Jaelani). Lihat Hari Zamharir, “Insan Kami, Citra Sufistik al-Jilli tentang Manusia,” dalam, M. Dawam Rahardjo, (ed.), Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam, (Jakarta: Grafitipers, 1987), cet. II, hal. 110. Lihat Hari Zamharir, “Insan Kamil, Citra Sufistik al-Jilli...., hal. 110-11. Lihat Nanik Rubiyanto dan Dany Haryanto, Strategi Pembelajaran Holistik..., hal.45-114.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
152
HOLISTIKA PEMIKIRAN PENDIDIKAN: Upaya Membangun Manusia Berkarakter Oleh Agus Zaenul Fitri
Abstracts Education is a systematic process to enhance human dignity holistically, which allows the most elementary of human dimension can develop optimally. Thus, education should be a strategic vehicle to develop all of individual potentials, so the ideals of building human completely can be achieved. Holistic education according to Jeremy Henzell is an effort to build a comprehensive and balanced on each student in all aspects of learning, which includes spiritual, moral, imaginative, intellectual, cultural, aesthetic, emotional, and physical that directs all aspect towards achievement awareness of his relationship with God which is the ultimate goal of life on earth. Key word: Holistika, Pendidikan, Karakter.
Pendahuluan Manusia telah diciptakan Tuhan dengan segenap potensi yang ada agar menjadi pribadi-pribadi yang unggul, sehingga mampu mengemban tugas sebagai khalifatullah fil ardh. Istilah “Insan Kamil” merupakan gambaran idealis bagi sosok manusia yang memiliki kemampuan dan kematangan diri dari aspek intelegensi, emosi, kepribadian, sosial dan spiritual, sehingga mampu memahami realitas alam profan dan sakral dengan baik serta dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai wakil Tuhan di bumi.
Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah STAIN Tulungagung Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan 153
Agar dapat mewujudkan insan yang paripurna (kamil), maka proses pendidikan harus dilakukan secara utuh dan menyeluruh (kaffah). Utuh dan menyeluruh dalam mengapresiasi peserta didik sebagai subyek sekaligus obyek pendidikan. Peserta didik merupakan makhluk multi dimensi dengan beragam potensi kemampuan dan kelemahan. Potensi kemampuan dan kelemahan manusia terdapat baik pada dimensi fisik maupun psikisnya. Oleh sebab itu, perhatian yang berat sebelah tentang eksistensi peserta didik dari dimensi lahiriyah-nya saja, tidak dibenarkan dalam pendidikan. Peserta didik tidak cukup hanya memahami atau mengetahui nilai dan norma saja, yang merupakan kecerdasan intelegensinya, melainkan juga harus mampu mengembangkan kecerdasan yang lain sebagai aspek dari keutuhan manusia. Pada akhirnya peserta didik diharapkan mampu mengimplementasikan ilmu dan nilai-nilai yang didapat dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang dicita-citakan dalam tujuan pendidikan dan pembelajaran. Hakikat pendidikan menurut Krishnamurti ini dikemas Scott Forbes dalam tujuan pendidikan adalah untuk mendidikkan seluruh aspek yang dimiliki manusia (all part of the person), mendidik manusia sebagai kesatuan yang utuh (the person as the whole), mendidik manusia sebagai bagian dari keseluruhan (the person within the whole), yaitu sebagai bagian dari masyarakat, komunitas manusia, dan alam semesta. Oleh karena itu, pelayanan pendidikan mesti mampu mengubah paradigma dari yang terkotak-kotak (fragmented) menjadi pendekatan ekologis. Melihat anak hanya dalam aspek kognitif semata yang diselesaikan dengan tugas-tugas akademik yang steril dan memberikan mereka mata pelajaran yang tidak saling berhubungan dan relevan dalam konteks kehidupan nyata tidak akan mampu menumbuhkan kesadaran (consciousness). Transformasi kesadaran ini merupakan bagian dari proses pendidikan yang akan mampu meredam segala carut-marut kondisi yang terjadi dalam masyarakat modern, seperti kerusakan lingkungan, konflik antaretnis, dan peperangan atau keadaan chaos lainnya. Fitjrof Capra (1975), mengungkapkan bahwa betapa pengetahuan manusia tentang sains, masyarakat, dan kebudayaan, telah terkotak-kotak sehingga manusia tidak mampu lagi melihat gambar keseluruhan dari sebuah fenomena. Akibatnya banyak solusi dilakukan manusia didekati secara terpisah sehingga membuat masalah semakin terpuruk. Inti pemikiran dari Fitjrof adalah bagaimana upaya melihat segala sesuatu secara utuh dan menyeluruh yang diistilahkannya dengan “Multidisciplinary, Holistic Approach to Reality”. Kondisi ini diperkuat dengan pernyataan David Orr bahwa akar permasalahan yang ada saat sekarang dikarenakan pemikiran manusia dididik dengan sistem pendidikan yang terkotak-kotak yang kemudian membuat manusia berfikir secara parsial. Berdasarkan kajian di atas, maka jelas bahwa pendidikan bukan semata-mata menyiapkan manusia agar dapat berperan dalam salah satu dimensi kehidupan saja, melainkan agar siap menjalani seluruh dimensi kehidupan. Untuk itu potensi anak usia dini yang perlu dikembangkan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
154
Agus Zaenul Fitri
dalam proses pendidikannya sesuai dengan prinsip holistik hendaknya terkait dengan: (1) Aspek Fisik (terkait dengan perkembangan motorik halus, motorik kasar, termasuk menjaga stamina, gizi dan kesehatan); (2) Aspek Emosi (aspek kesehatan jiwa, mampu mengendalikan tekanan/stress, mampu mengontrol diri dari perbuatan negatif, memiliki rasa percaya diri, berani mengambil risiko, dan memiliki empati); (3) Aspek Sosial (menumbuhkan rasa senang melakukan pekerjaan, mampu bekerjasama, pintar bergaul, peduli dengan masalah sosial, berjiwa sosial dan dermawan, bertanggung jawab, menghormati orang lain, mengerti akan perbedaan dan keunikan, mematuhi peraturan yang berlaku); (4) Aspek Kreativitas (mendorong anak untuk mampu mengekspresikan diri dalam berbagai kegiatan produktif seperti dalam dunia seni, berbahasa, berkomunikasi, dan sebagainya); (5) Aspek Spiritual(mampu memaknai arti dan tujuan hidup dan bersikap taat terhadap ajaran agama yang diyakini melalui perbuatan baik yang konsisten); (6) Aspek Akademik(mampu berfikir logis, berbahasa, dan menulis dengan baik. Selain itu dapat mengemukakan pertanyaan kritis dan menarik kesimpulan dari berbagai informasi dengan cermat). Kesadaran akan terbentuknya manusia yang dapat berkembang dengan baik, utuh dan padu semakin jelas apabila melihat paradigma pendidikan internasional PBB yang cenderung semakin manusiawi, realistis, demokratis, dan religius. Paradigma pendidikan internasional tersebut adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Dalam konteks ini, teori Kec erdasan Ganda dari Howard Gadner (dalam Joe 2004: 9), yang kemudian dikembangkan oleh para tokoh yang lain dapat memperkuat akan terwujudnya hasil pendidikan yang dapat berkembang secara utuh dan padu. Kecerdasan Ganda yang dikenalkan oleh Gadner (1989) meliputi kecerdasan bahasa, logika, visual, kinestetik, musikal, interpersonal, naturalis, spiritual, dan kecerdasan eksistensial (Budiningsih, 2004: 128). Bila teori Gadner ini diikuti, maka pembelajaran harus mengembangkan seluruh kecerdasan tersebut. Karena boleh jadi seorang peserta didik tidak dapat memahami dengan baik Pendidikan Agama, tetapi ia mampu dengan baik memaknai ajaran agama dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, Budiningsih (2004: 128), mengungkapkan bahwa: “tidak ada manusia yang sangat cerdas dan tidak cerdas untuk seluruh aspek yang ada pada dirinya. Yang ada adalah manusia yang memiliki kecerdasan yang tinggi pada salah satu kecerdasan yang dimilikinya.” Upaya untuk membentuk pendidikan paripurna sebenarnya sudah digagas pada tahun 1960-an salah satunya adalah model pendidikan holistik. Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Pada era tahun 1960-an pendidikan holistik sempat ditinggalkan para pakarnya, namun pada tahun 1970-an mulai dikembangkan kembali sejak Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan 155
dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Internasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Model pendidikan holistik menggunakan tiga pendekatan, yaitu: (1) knowing the good, (2) feeling and the good, dan (3) acting the good. Pertama, knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Kedua, feeling and loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi mesin (penggerak) yang selalu bekerja membuat orang mau selalu berbuat sesuatu kebaikan. Orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Ketiga, acting the good berubah menjadi kebiasaan. Setiap anak untuk tiba pada perilaku berkarakater kuat membutuhkan proses luar biasa sulit, butuh perjuangan yang tidak mudah. Namun kalau anak sudah terbiasa berbuat baik, sekali dia berbuat tidak baik sudah tidak enak. Timbul budaya malu dalam dirinya jika melakukan perbuatan buruk. Termasuk menyontek pada saat ulangan. Dengan demikian, penting sekali untuk menghadirkan dan mewujudkan kembali pendidikan holistik agar tercipta pribadi-pribadi yang paripurna (insan kamil) yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan sosial saja, akan tetapi mereka juga dapat mengenal siapa Tuhan yang telah menciptakan dirinya dan seluruh jagad raya ini. Pendidikan Holistik Pendidikan holistik adalah filsafat pendidikan yang didasarkan pada anggapan bahwa setiap orang dapat menemukan identitas, makna, dan tujuan dalam hidup melalui hubungan dengan masyarakat, alam, dan untuk nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang dan perdamaian. Ini adalah definisi yang diberikan oleh Ron Miller, pendiri jurnal pendidikan holistik (sekarang berjudul: Education for Meaning and Social Justice). Istilah Pendidikan holistik ini sering digunakan pada model pendidikan yang lebih demokratis dan humanistik pendidikan. Robin Ann Martin (2003: 19) lebih lanjut menyatakan bahwa, “Pada tingkat yang paling umum, apa yang membedakan pendidikan holistik dari bentuk-bentuk lain dari pendidikan adalah tujuannya, yaitu perhatian untuk belajar dari pengalaman. Konsep holisme mengacu pada gagasan bahwa semua sifat-sifat sistem yang diberikan dalam bidang studi apa pun tidak dapat ditentukan atau dijelaskan dari jumlah bagian-bagian komponennya. Sebaliknya, sistem sebagai keseluruhan menentukan bagaimana bagian-bagiannya itu berperilaku. Sebuah cara berpikir yang holistik mencoba untuk mencakup dan mengintegrasikan beberapa lapisan makna dan pengalaman daripada mendefinisikan manusia secara sempit. Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
156
Agus Zaenul Fitri
dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Secara historis, pendidikan holistik sebetulnya bukan hal yang baru. Beberapa tokoh klasik perintis pendidikan holistik, di antaranya: Jean Rousseau, Ralph Waldo Emerson, Henry Thoreau, Bronson Alcott, Johann Pestalozzi, Friedrich Froebel dan Francisco Ferrer. Berikutnya, kita mencatat beberapa tokoh lainnya yang dianggap sebagai pendukung pendidikan holistik, yaitu: Rudolf Steiner, Maria Montessori, Francis Parker, John Dewey, John Caldwell Holt, George Dennison Kieran Egan, Howard Gardner, Jiddu Krishnamurti, Carl Jung, Abraham Maslow, Carl Rogers, Paul Goodman, Ivan Illich, dan Paulo Freire. (Martin, 2002: 33). Pemikiran dan gagasan inti dari para perintis pendidikan holistik sempat tenggelam sampai dengan terjadinya loncatan paradigma kultural pada tahun 1960-an. Memasuki tahun 1970-an mulai ada gerakan untuk menggali kembali gagasan dari kalangan penganut aliran holistik. Kemajuan yang signifikan terjadi ketika dilaksanakan konferensi pertama pendidikan Holistik Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas California pada bulan Juli 1979, dengan menghadirkan The Mandala Society dan The National Center for the Exploration of Human Potential. Enam tahun kemudian, para penganut pendidikan holistik mulai memperkenalkan tentang dasar pendidikan holistik dengan sebutan 3R yang merupakan akronim dari Relationship, Responsibility dan Reverence. Berbeda dengan pendidikan pada umumnya, dasar pendidikan 3R ini lebih diartikan sebagai writing, reading dan arithmetic atau di Indonesia dikenal dengan sebutan Calistung (membaca, menulis dan berhitung). Tujuan pendidikan holistik adalah membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demoktaris dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya. Tujuan Pendidikan Nasional menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003 bab II pasal 3 disebutkan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh karena itu, tujuan pendidikan mencakup dimensi nilai filosofis, psikologis, sosiologis, pribadi, dan budaya. Hal ini sebagaimana dijelaskan secara detail oleh Sukmadinata (2005: 27), bahwa tujuan pendidikan mencakup beberapa hal sebagai berikut: 1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia dengan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan 157
kualitas pribadi yang terintegrasi, bermoral dan berakhlak mulia, berbudi luhur dan berilmu. 2) mewujudkan peran aktif dalam pembangunan masyarakat yang religius, demokratis, adil dan makmur, cinta damai, cinta ilmu dan bermartabat dalam keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan upaya untuk mewujudkan manusia yang berakhlak (ta’dib) dalam diri manusia, mencakup upaya peningkatan pengajaran (ta’lim) dan pembinaan (tarbiyah). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mewujudkan manusia yang seutuhnya (paripurna). Pandangan lain juga dikemukakan oleh Al-Abrasyi (1997: 179), bahwa tujuan asasi pendidikan menurut Islam adalah mengembangkan potensi jasmani, akal dan akhlaq. Secara lebih rinci dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu: 1) untuk membentuk akhlak yang mulia. 2) persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat. 3) persiapan mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. 4) untuk menumbuhkan semangat ilmiah (scientific spirit) pada pelajar dan memuaskan keinginan arti untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu demi ilmu itu sendiri. 5) menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan ketrampilan tertentu agar ia dapat mencapai rizki dalam hidup di samping memelihara kerohanian. Makna dan tujuan pendidikan menurut Musthafa al-Maraghy terkandung dalam istilah al-tarbiyah, yang meliputi tarbiyah al- khalqiyah, yaitu penciptaan, pembinaan dan pengembangan jasmani peserta didik agar dapat dijadikan sarana bagi pengembangan jiwanya, tarbiyah aldiniyah al-tahdibiyah, yaitu pembinaan jiwa manusia dan kesempurnaannya melalui petunjuk wahyu ilahi. Dengan demikian pendidikan yang terkandung dalam al-tarbiyah mencakup berbagai kebutuhan manusia, baik kebutuhan dunia akhirat, serta kebutuhan terhadap kelestarian diri sendiri, sesamanya, alam lingkungan dan relasinya dengan Tuhan. Jika merujuk pada pemikiran Abraham Maslow, maka pendidikan harus dapat mengantarkan peserta didik agar mampu mengaktualisasikan diri (self-actualization) yang ditandai dengan adanya: (1) kesadaran; (2) kejujuran; (3) kebebasan atau kemandirian; dan (4) kepercayaan. Pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan strategi pembelajaran holistik, diantaranya: (1) menggunakan pendekatan pembelajaran transformatif; (2) prosedur Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
158
Agus Zaenul Fitri
pembelajaran yang fleksibel; (3) pemecahan masalah melalui lintas disiplin ilmu (interdisciplinary), (4) pembelajaran yang bermakna, dan (5) pembelajaran melibatkan komunitas di mana individu berada. Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Forbes (1996) mengibaratkan peran guru seperti seorang teman dalam perjalanan yang telah berpengalaman dan menyenangkan. Sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama dari pada kompetisi. Untuk mencapai tujuan pendidikan holistik, maka kurikulum yang dirancang juga harus diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan manusia utuh pula. Termasuk di dalamnya membentuk anak menjadi pembelajar sejati, yang senantiasa berpikir holistik, bahwa segala sesuatu adalah saling terkait atau berhubungan. Beberapa pendekatan pembelajaran yang dianggap efektif untuk menjadikan manusia pembelajar sejati di antaranya adalah pendekatan siswa belajar aktif, pendekatan yang merangsang daya minat anak atau rasa keingintahuan anak, pendekatan belajar bersama dalam kelompok, kurikulum terintegrasi, dan lain-lain. Pendidikan holistik juga dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran dengan beberapa cara, diantaranya dengan menerapkan Integrated Learning atau pembelajaran terintergrasi/ terpadu, yaitu suatu pembelajaran yang memadukan berbagai materi dalam satu sajian pembelajaran. Inti pembelajaran ini adalah agar siswa memahami keterkaitan antara satu materi dengan materi lainnya, antara saru mata pelajaran dengan mata pelajaran lain. Dari Integrated Learning inilah muncul istilah Integrated Curriculum (kurikulum terintegrasi/terpadu). Karakteristik kurikulum terintegrasi menurut Lake dalam Megawangi, et.al (2005) antara lain: Adanya keterkaitan antar mata pelajaran dengan tema sebagai pusat keterkaitan, menekankan pada aktivitas kongkret atau nyata, memberikan peluang bagi siswa untuk bekerja dalam kelompok. Selain memberikan pengalaman untuk memandang sesuatu dalam perspektif keseluruhan, juga memberikan motivasi kepada siswa untuk bertanya dan mengetahui lebih lanjut mengenai materi yang dipelajarinya. Kurikulum terintegrasi dalam pendidikan holistik membuat siswa belajar sesuai dengan gambaran yang sesungguhnya, hal ini karena kurikulum terintegrasi mengajarkan keterkaitan akan segala sesuatu sehingga terbiasa memandang segala sesuatu dalam gambaran yang utuh. Kurikulum terintegrasi dapat memberikan peluang kepada siswa untuk menarik kesimpulan dari berbagai sumber infomasi berbeda mengenai suatu tema, serta dapat memecahkan masalah dengan memperhatikan faktor-faktor berbeda (ditinjau dari berbagai aspek). Selain itu dengan kurikulum terintegrasi, proses belajar menjadi relevan dan kontekstual sehingga berarti bagi siswa dan membuat siswa dapat berpartsipasi aktif Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan
159
sehingga seluruh dimensi manusia terlibat aktif (fisik, sosial, emosi, dan akademik). Sembilan pilar karakter yang dikembangkan di dalam penyelenggaraan pendidikan holistik, yaitu: (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) Kemandirian dan tanggungjawab; (3) Kejujuran/amanah, diplomatis; (4) Hormat dan santun; (5) Suka tolong-menolong dan gotong royong/ kerjasama; (6) Percaya diri dan pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan keadilan; (8) Baik dan rendah hati; (9) Karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Selain model pembelajaran terintegrasi agar peserta didik dapat menemukan identitas dirinya, maka strategi pembelajaran kontekstual perlu didorong dan dikembangkan dalam sistem pendidikan. Contextual Teaching Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada keterlibatan siswa sec ara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong peserta didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya, 2007: 253). Oleh karena itu, pendidikan yang holistik haruslah mengembangkan semua potensi yang ada pada diri peserta didik sehingga tercipta pribadi-pribadi yang utuh (paripurna). Pendidikan Karakter secara Holistik Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “character”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Karakter dapat juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku yang baik. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
160
Agus Zaenul Fitri
merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik. Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah. Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas. Istilah “budaya” mula-mula datang dari disiplin ilmu Antropologi Sosial. Apa yang tercakup dalam definisi budaya sangatlah luas. Istilah budaya dapat diartikan sebagai totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan kondisi suatu masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama. (Kotter, 1992: 4). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, budaya (cultural) diartikan sebagai: pikiran; adat istiadat; sesuatu yang sudah berkembang; sesuatu yang menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Dalam pemakaian sehari-hari, orang biasanya mensinonimkan pengertian budaya dengan tradisi (tradition). Dalam hal ini, tradisi diartikan sebagai ide-ide umum, sikap dan kebiasaan dari masyarakat yang nampak dari perilaku sehari-hari yang Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan
161
menjadi kebiasaan dari kelompok dalam masyarakat tersebut. (Indrafachrudi, 1994: 29). Tylor mengartikan budaya sebagai “that complex whole which includes knowledge, beliefs, art, morals, laws, customs and other capabilities and habits acquired by man as a member of society”. Budaya merupakan suatu kesatuan yang unik dan bukan jumlah dari bagian-bagian suatu kemampuan kreasi manusia yang immaterial, berbentuk kemampuan psikologis seperti ilmu pengetahuan, teknologi, kepercayaan, keyakinan, seni dan sebagainya. (Budiningsih, 2004: 18). Koentjaraningrat mengelompokkan aspek-aspek budaya berdasarkan dimensi wujudnya, yaitu: (1) Kompleks gugusan atau ide seperti pikiran, pengetahuan, nilai, keyakinan, norma dan sikap. (2) Kompleks aktivis seperti, pola komunikasi, tari-tarian, upacara adat. (3) Material hasil benda seperti, seni, peralatan dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 1969: 17). Sedang menurut Robert K. Marton di antara segenap unsur-unsur budaya terdapat unsur yang terpenting yaitu kerangka aspirasi tersebut, dalam artian ada nilai budaya yang merupakan konsepsi abstrak yang hidup di dalam alam pikiran. (Fernandez, 1990: 28). Agar budaya tersebut menjadi nilai-nilai yang tahan lama, maka harus ada proses internalisasi budaya. Dalam bahasa Inggris, internalized berarti to incorporate in oneself. Jadi, internalisasi berarti proses menanamkan dan menumbuhkembangkan suatu nilai atau budaya menjadi bagian diri (self) orang yang bersangkutan. Penanaman dan penumbuhkembangan nilai tersebut dilakukan melalui berbagai didaktik metodik pendidikan dan pengajaran. Seperti pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain washing dan lain sebagainya (Dhara, 1997: 82). Selanjutnya adalah proses pembentukan budaya yang terdiri dari sub-proses yang saling berhubungan antara lain kontak budaya, penggalian budaya, seleksi budaya, pemantapan budaya, sosialisasi budaya, internalisasi budaya, perubahan budaya, pewarisan budaya yang terjadi dalam hubungannya dengan lingkungannya secara terus-menerus dan berkesinambungan. (Hofstede, 1980: 27). Koentjaraningrat (1989: 74), menyebutkan unsur-unsur universal dari kebudayaan adalah meliputi: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, dan (7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya dijelaskan bahwa budaya itu paling sedikit mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan sebagai: (1) suatu kompleks ideide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma; (2) suatu kompleks aktivitas kelakukan dari manusia dalam masyarakat; dan (3) sebagai benda-benda karya manusia. (Ekosusilo, 2003: 10). Tiga macam wujud budaya di atas, dalam konteks organisasi disebut dengan budaya organisasi (organizational culture). Dalam konteks perusahaan, diistilahkan dengan budaya perusahaan (corporate culture), dan pada lembaga pendidikan/sekolah disebut dengan budaya sekolah (school culture). Gagasan yang memandang bahwa Organisasi sebagai suatu budaya dimana ada suatu sistem dari makna yang dianut bersama di kalangan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
162
Agus Zaenul Fitri
para anggotanya merupakan fenomena yang relatif baru. Pemahaman umum yang selama ini berkembang, bahwa organisasi didefinisikan sebagai suatu alat yang rasional untuk mengkordinasikan dan mengendalikan sekelompok orang yang di dalamnya ada tingkatan jabatan, hubungan, wewenang, dan seterusnya. Namun organisasi sebenarnya lebih dari itu. Organisasi juga merupakan kepribadian, persis seperti individu; bisa tegar atau fleksibel, tidak ramah atau mendukung, inovatif atau konservatif. Para teoritisi organisasi, akhir-akhir ini telah mulai mengakui hal ini dengan menyadari pentingnya peran yang dimainkan budaya tersebut dalam kehidupan anggota-anggota organisasi. Meskipun demikian, menarik bahwa asal-usul budaya sebagai satu variabel independen yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang atau dapat dirunut baik sejak adanya ide pelembagaan. Budaya organisasi mengacu pada keyakinan bersama, sikap dan tata hubungan serta asumsi-asumsi yang secara eksplisit atau implisit diterima dan digunakan oleh seluruh anggota organisasi untuk mengahadapi lingkungan luar dalam mencapai tujun-tujuan organisasi. Dalam hal ini, budaya organisasi mempunyai pengaruh penting terhadap motivasi. (Bedford , 1992: 67). Budaya organisasi (organizatinoal culture) jika diaplikasikan pada lingkungan manajemen organisasi, lahirlah konsep budaya manajemen. Lebih spesifik lagi, jika budaya organisasi diaplikasikan pada lingkungan manajemen organisasi sekolah, maka lahirlah konsep budaya manajemen sekolah. (Dhara, 1997: 4). Dalam suatu organisasi (termasuk lembaga pendidikan), budaya diartikan sebagai berikut: Pertama, sistem nilai yaitu keyakinan dan tujuan yang dianut bersama yang dimiliki oleh anggota organisasi yang potensial membentuk perilaku mereka dan bertahan lama meskipun sudah terjadi pergantian anggota. Dalam lembaga pendidikan misalnya, budaya ini berupa semangat belajar, cinta kebersihan, mengutamakan kerjasama dan nilai-nilai luhur lainnya. Kedua, norma perilaku yaitu cara berperilaku yang sudah lazim digunakan dalam sebuah organisasi yang bertahan lama karena semua anggotanya mewariskan perilaku tersebut kepada anggota baru. Dalam lembaga pendidikan, perilaku ini antara lain berupa semangat untuk selalu giat belajar, selalu menjaga kebersihan, bertutur sapa santun dan berbagai perilaku mulia lainnya. (Kotter, 1997: 5). Dalam organisasi sekolah, pada hakikatnya terjadi interaksi antar individu sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing dalam rangka mencapai tujuan bersama. Tatanan nilai yang telah dirumuskan dengan baik berusaha diwujudkan dalam berbagai perilaku keseharian melalui proses interaksi yang efektif. Dalam rentang waktu yang panjang, perilaku tersebut akan membentuk suatu pola budaya tertentu yang unik antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi karakter khusus suatu lembaga pendidikan yang sekaligus menjadi pembeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan
163
Pendidikan Nilai dan Sikap Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan erat dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil dan sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, hanya dapat diketahui dari perilaku yang bersangkutan. Maka pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapanya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Graham (Gulo, 2002), melihat empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai-nilai tertentu, yaitu: a. Normativist. Biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat daam tiga bentuk, yaitu: (1) kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri; (2) kepatuhan pada proses tanpa mempedulikan normanya sendiri; (3) kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu. b. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan rasional. c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basabasi. d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan sendiri. Perubahan budaya dan informasi yang sangat cepat, berimplikasi terhadap perubahan nilai itu sendiri. Nilai bagai seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya saat itu. Oleh karena itu, sistem nilai yang dimiliki seseorang bisa dibina dan diarahkan. Apabila seseorang menganggap nilai agama adalah di atas segalanya, maka nilai-nilai yang lain akan bergantung kepada nilai-nilai itu. Dengan demikian, sikap seseorang akan bergantung pada sistem nilai yang dianggapnya paling benar, dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang tersebut. Pembelajaran merupakan bagian dari pendidikan. Pendidikan sering diartikan sebagai proses menyiapkan seorang individu menjadi kesatuan anggota masyarakat dan berperan penting dalam transfer budaya dari generasi ke generasi berikutnya, serta mengembangkan budaya itu sesuai dengan perubahan yang terjadi. (Dobbledum, 1995: 23) Dalam memenuhi logika jaman, pendidikan akan selalu berubah seiring perubahan masyarakat (Havighurst , 1952: 76). (As society changes, education changes, as education changes, society changes). Dengan demikian, hubungan antara masyarakat dengan pendidikan adalah timbal balik (reciprocal). Hubungan ini lebih jauh diharapkan mampu menghantarkan anak menjadi manusia dewasa yang sesuai dengan konteks zaman dan budayanya. Anak yang sudah dewasa ditunjukkan dengan terbentuknya pribadi yang bermoral Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
164
Agus Zaenul Fitri
atau moral character. (Montemayor, 1994: 11). Pribadi yang bermoral adalah memiliki kemampuan untuk mengelola hidupnya sesuai dengan zaman dan masyarakatnya yang dijiwai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan. Untuk bisa mencapai pribadi yang bermoral, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pembelajaran secara efektif, efisien, dan menarik atau dalam bahasa sekarang disebut dengan PAIKEM yang merupakan singkatan dari pembelajaran Praktis, Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif-Efisien, dan Menyenangkan. Pembelajaran nilai yang berkembang selama ini dibangun atas dasar dua pengertian dasar tersebut, yaitu pembelajaran dan nilai. Ketika kedua pengertian itu disatukan, arti keduanya menyatu dalam definisi pembelajaran nilai. Karena definisi pembelajaran dan nilai dapat dimaknai berbeda, maka definisi mengenai pembelajaran nilai dapat berbeda pula, tergantung pada penekanan dan rumusan yang dibangun atas dasar sintesa dua definisi tersebut. Dengan merujuk pada sintesa definisi nilai di atas, bahwa nilai adalah hakekat sesuatu yang baik yang pantas dilakukan oleh manusia menyangkut keyakinan, kepercayaan, norma, dan perilaku, maka definisi nilai ini apabila digabungkan dengan kata pembelajaran mempunyai makna dan arti yang berbeda dengan makna tekstualnya. Jika dilihat dari makna tekstualnya, maka arti pembelajaran nilai adalah upaya untuk membelajarkan siswa, agar mereka memahami hakekat sesuatu yang baik yang pantas dilakukan oleh manusia menyangkut keyakinan, kepercayaan, norma, dan perilaku. Definisi secara tekstual tersebut nampaknya perlu pengembangan, sehingga diperlukan sintesa kedua istilah itu secara lebih kontekstual. Dengan ini diharapkan akan lahir definisi pembelajaran nilai yang lebih komprehensif. Berangkat dari konsepsi nilai dan pembelajaran, maka dapat dirumuskan bahwa, pembelajaran nilai adalah upaya untuk membentuk pribadi yang bermoral yang memiliki kemampuan untuk mengelola hidupnya sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan. Secara singkat, pembelajaran nilai dapat didefinisikan sebagai penanaman dan pengembangan nilai-nilai (kemanusiaan dan ketuhanan) dalam diri seseorang. (Sastrapratedja, 2000: 3). Pembelajaran nilai tidak harus merupakan satu program atau pelajaran khusus, seperti mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan (PPKn) atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Ilmu Pengetahuan Sosial, dan sebagainya, tetapi lebih merupakan suatu dimensi dari seluruh usaha pendidikan, sehingga pembelajaran nilai dapat dimasukkan pada semua bidang mata pelajaran. Sebab pada dasarnya, pembelajaran yang dilakukan di sekolah yang tercermin pada berbagai mata pelajaran itu tidak hanya mengembangkan ilmu, ketrampilan, teknologi, dan seni, tetapi juga ingin mengembangkan aspek kepribadian, etik, moral, dan lainnya, yang kesemuanya dapat disebut pembelajaran nilai. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan
165
Pemikiran tersebut relevan dengan pendekatan integratif pada pendidikan karakter yang dinyatakan oleh Rusnak (1998: 4-5), bahwa: (1) pendidikan karakter bukan mata pelajaran tersendiri, tetapi masuk menjadi bagian dari semua mata pelajaran, (2) pendidikan karakter terintegrasi pada semua kegiatan pendidikan, (3) lingkungan sekolah yang positif membantu mengembangkan karakter, (4) pengembangan karakter harus didukung oleh kebijakan pimpinan, (5) memberdayakan guru mempromosikan pengembangan karakter, dan (6) sekolah dan masyarakat adalah vital bagi pengembangan karakter. Pemikiran tersebut menunjukkan bahwa, pendidikan karakter atau pembelajaran nilai bukan tipu daya pendidikan hari ini (today’s education gimmick), tetapi merupakan produk dari penelitian bertahun-tahun yang bersifat praktis dan berdasarkan pendekatan akal sehat untuk bahan mengajar guru. Pengenalan pendekatan yang fundamental ini penting untuk menghilangkan kekakuan akademik pada berbagai sekolah, dan inilah kekuatan nilai yang sesungguhnya. Karena ruang lingkup nilai yang diajarkan di sekolah demikian luas, maka proses penyadaran nilai-nilai dapat berlangsung secara integral dalam keseluruhan proses pendidikan. Artinya, nilai-nilai itu dapat masuk ke semua mata pelajaran, sehingga menjadi ruh dalam setiap kegiatan pembelajaran. Pada setiap pembelajaran seperti ini, pembelajaran nilai diperankan sebagai bagian dari keseluruhan dimensi pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Menurut Rachman, pembelajaran nilai mencakup kawasan budi pekerti, nilai, norma, dan moral. Budi pekerti adalah buah dari budi nurani. Budi nurani bersumber pada moral. Moral bersumber pada kesadaran hidup yang berpusat pada alam pikiran. Budi pekerti atau perbuatan manusia merupakan bahan tinjauan, tempat nilai etis diterapkan. Dia menjadi obyek, pada mana etika mencobakan teori-teori nilainya. (Ahmad, 1985: 22) Sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan yang bebas merdeka, dalam moral manusia mempunyai kemerdekaan untuk memilih nilai dan norma yang dijadikan pedoman berbuat, bertingkah laku dalam hidup bersama dengan manusia lain. Memperhatikan pernyataan tersebut, jelas sekali hubungan antara budi pekerti, nilai, norma, dan moral. Nilai yang diambil adalah nilai tinggi, luhur, mulia, suci, dan jujur. Norma yang diambil juga mendekatkan hidupnya kepada yang memberi hidup agar selamat. Moral memberikan petunjuk, pertimbangan, dan tuntunan untuk berbuat dengan tanggungjawab sesuai dengan nilai, norma yang dipilih. Dengan demikian, mempelajari budi pekerti tidak lepas dari mempelajari nilai, norma, dan moral. Menurut Winecoff, pembelajaran nilai berbeda dengan pembelajaran moral. Pembelajaran nilai berkaitan dengan keputusan moral dan nonmoral pada suatu obyek, meliputi estetis (gambaran nilai suatu obyek dari kebaikan dan kepribadian) dan etik (gambaran nilai dari baik dan buruk pada kehidupan antar pribadi). Tujuan pembelajaran nilai adalah proses Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
166
Agus Zaenul Fitri
membantu siswa untuk mendalami keberadaan nilai-nilai melalui ujian kritik dengan meningkatkan atau memperbaiki kualitas pemikiran dan perasaan mereka. Pembelajaran nilai meliputi sedikitnya empat dimensi pokok, yaitu: (1) mengidentifikasi suatu inti dari nilai personal dan sosial, (2) menemukan secara filosofis dan rasional menuju suatu inti, (3) respon afektif dan emosi menuju suatu inti, dan (4) membuat keputusan hubungannya dengan basis inti pada penemuan dan respon. Sedang pembelajaran moral adalah berkaitan dengan pertanyaan baik dan buruk pada kehidupan antar pribadi, mencakup konsep, seperti HAM, martabat kemanusiaan, nilai kemanusiaan, keadilan, pertimbangan, persamaan hak, dan hubungan timbal balik. Tujuan pembelajaran moral adalah membantu siswa untuk lebih bertanggungjawab, adil, dan pertimbangan matang tentang dirinya dan orang lain. Menurut Tamuri & Awang, pembelajaran nilai terdiri atas minimal 4 (empat) dimensi utama, yaitu: (1) identifikasi nilai-nilai inti individual dan sosial, (2) penemuan filosofis dan rasional pada nilai-nlai inti, (3) tanggapan afektif dan emosi terhadap nilai-nilai inti, dan (4) pengambilan keputusan yang berhubungan dengan nilai-nilai inti berdasarkan penemuan dan tanggapan. Nilai-nilai inti (core values) menurut Akin (1995: 3), meliputi: dapat dipercaya (trustworthines), kehormatan (respect), tanggungjawab (responsibility), keadilan dan kejujuran (justice and fairness), perhatian (caring), kepentingan umum dan kewarganegaraan (civic and citizenship). Nilai inti tersebut jika dikaitkan dengan konteks keindonesiaan, akan nampak kesamaannya. Nilai dapat dipercaya, tanggungjawab, kejujuran, simpati, empati, dsb, adalah nilai-nilai luhur yang sudah dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia sejak lama. Ini menunjukkan bahwa, ada nilai-nilai universal yang bisa diterapkan secara praktis pada semua negara di belahan muka bumi ini. Ada 18 nilai yang relevan untuk diterapkan di Sekolah Dasar sesuai dengan karakteristik siswa. Nilai dimaksud adalah (1) cinta & kasih sayang, (2) kepedulian dan empati, (3) kerjasama, (4) berani, (5) keteguhan hati & komitmen, (6) adil, (7) suka menolong, (8) kejujuran & integritas, (9) humor, (10) mandiri & percaya diri, (11) disiplin diri, (12) loyalitas, (13) sabar, (14) rasa bangga, (15) banyak akal, (16) sikap respek, (17) tanggungjawab, dan (18) toleransi. Penutup Membangun manusia yang utuh, paripurna (kaffah) atau insan kamil dapat dilakukan dengan model pendidikan yang teringtegrasi dan menyeluruh (holistik). Karena manusia tidak dapat dipahami sebagai dirinya sendiri, tetapi harus dilihat sebagai bagian dari kehidupan yang saling berhubungan antara satu dan lainnya. Dengan potensi yang dimilikinya manusia dapat melakukan apa saja, karena kurnia Allah SWT yang tidak terbatas baik dari aspek fisik, psikologis, sosial, dan religius. Dengan demikian maka tugas pendidikan adalah mengembangkan semua potensi yang ada agar dapat hidup sebagai pribadi yang seutuhnya dan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Holistika Pemikiran Pendidikan
167
berkarakter bukan pribadi yang terpecah (split personality) yang diakibatkan kesalahan sistem pendidikan yang hanya mengembangkan satu atau beberapa potensi (kemampuan) saja.
DAFTAR PUSTAKA Anthony-Darden-Bedford. Sistem Pengendalan manajemen, Jilid I, (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1992). Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004). Budiningsih, C. Asri. Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta : FIK UNY, 2004. Danah, Zohar dan Marshal Ian. SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung, Mizan. 2001). David, Kaiser. How the Hippies Saved Physics: Science, Counterculture and the Quantum Revival. W. W. (Norton & Company. 2011) F.M. Montemayor, Ethics: The Philosophy of Life (Manila: National Book Store, Inc, 1994) Forbes, Scott H. and Robin Ann Martin. What Holistic Education Claims About Itself: An Analysis of Holistic Schools’ Literature. Paper presented at the American Education Research Association Annual Conference (San Diego, California, April 2004). Geertz Hofstede, Corperate Culture of Organization, (London Francs Pub.1980). Goleman, Danel. Kecerdasan Emosi Untuk Meraih Puncak Prestasi, (Jakarta: Gramedia 2001). Herbert Larry Winecoff, Values Education: Conceps and Models (Bandung: FPS IKIP, 1987-1988). Howard Gardner. Schaler, Jeffrey A.. ed. ”A Blessing of Influences” in Howard Gardner Under Fire. (Illinois: Open Court. 2006). Howard Gardner. To Open Minds: Chinese Clues to the Dilemma of American Education. (New York: Basic Books, 1989). J.P. Kotter & J.L. Heskett, Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja. Terjemahan oleh Benyamin Molan, (Jakarta: Prenhallindo, 1992). John P. Kotter dan James L. Heskett, Corporate Culture an Performance, Alih Bahasa Dampak Budaya Perusahaan Terhadap Kinerja, (Jakarta: PT Perhallindo, 1997). Kincheloe, Joe L., ed (2004). Multiple Intelligences Reconsidered. Counterpoints v. 278. (New York: Peter Lang. 2004.) Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1989). Koentjaraningrat, Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia. (Jakarta: Lembaga Riset Kebudayaan Nasional Seni, No 2, 1969), Leo Dubbeldam, “The role of cultural identity in development”, Values and Value Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
168
Agus Zaenul Fitri
Education. ed. Ledo Dubbeldam (The Hague: CESO, 1995) M. Kornhaber, Palmer, Joy. ed. ”Howard Gardner” in Fifty Modern Thinkers in Education. (New York: Routledge, 2001). M. Sastrapratedja, Pendidikan Nilai, Dalam Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, Penyunting, Em. K. Kaswardi (Jakarta: Pendidikan KWI/MNPK & Gramedia Widiasarana, 1993). Madyo Ekosusilo, Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai (Studi Multi Kasus di SMA Negeri 1, SMA Regia Pacis, dan SMA Al Islam 01 Surakarta), Sukoharjo: Univet Bantara Press, 2003). Martin, Robin Ann. Alternatives in Education: An Exploration of Learner-Centered, Progressive, and Holistic Education. Paper presented at the Annual Meeting of the American Educational Research Association (New Orleans, LA, April 1-5, 2002). Michel Rokeach, The Nature of Human Values (New York: The Free Press, 1973) Moh. Noorsyam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1986) Mudhor Achmad, Etika Dalam Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1985) Muhajir, Noeng. 1993, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Suatu Teori Pendidikan, Yogyakarta : Reka Sarasin Robert .M. Gagne, The Conditions of Learning and Theory of Instruction (Japan: Holt, Rinehart and Winston Holt-Saunders, 1985). Robert J. Havighurst , “Social Foundations of General Education”, The FiftyFirst Yearbook of The National Society for The Study of Education, Part I: General Education, ed. Nelson B. Henry (Chicago 37, Illinois: The University of Chicago Press, 1952) Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: Alfabeta, 2004). Soekarto Indrafchrudi, Bagaimana Mengakrabkan Sekolah dengan Orangtua Murid dan Masyarakat, (Malang, IKIP Malang, 1994) Talizhidu Dhara, Budaya Organisasi, (Jakarta: Rineke Cipta, 1997). Tamuri Halim & Jaafary Awang, “Cabaran Pendidikan Nilai dalam Pembangunan Insan di Malaysia”, Dalam Ismail,, dkk (Penyunting). Permufakatan Pendidikan Ke Arah Kualiti Hidup Serantau. (Bangi, Selangor: Seri Penerbitan UKM, 2005). Terri Akin, et. al., Character Education in America’s Schools (Torrance, California: Innerchoice Publishing, 1995) Timothy Rusnak, (Ed.) An Integrated Approach to Character Education (California : A Sage Publications Company, 1998). Yvon Ambroise, “Pendidikan Nilai”, penyunting, Em. K. Kaswardi, (Jakarta: Pendidikan KWI/MNPK & Gramedia Widiasarana, 1993) Megawangi, R., Melly L.,Wahyu F.D. Pendidikan Holistik. Cimanggis: Indonesia (Heritage Foundation. 2005)
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
169
PENDIDIKAN HOLISTIK ANAK USIA DINI Oleh Taufiqurrahman
Abstracts: Early childhood is a critical period in human development. This period is a period of intensive change, which became the foundation for advanced stages in the cycle of his life. The holistic education, in the context of early childhood, is to facilitate children’s development in all its dimensions are intact and complete. Development of a holistic education into account environmental, cognitive processes and the formation of knowledge of children, and the values are believed to be. Amputate these aspects can reduce the whole meaning of education in early childhood. Preschool education is not only aims to prepare children to enter school, but also prepared him to live in the real world. Key word: Holistic Education, AUD
Pendahuluan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) seharusnya mengedepankan pertim-bangan pendidikan dan memandang anak sebagai anak. Penetapan standar untuk memasuki jenjang sekolah, memaksa lembaga prasekolah untuk mengejar standar tersebut. Namun hal tersebut dapat mereduksir makna anak dan pendidikan sekaligus. Oleh karena itu, dibutuhkan perspektif yang komprehensif untuk menjelaskan sekaligus mem-praktikkan PAUD. Pendidikan holistik yang mengedepankan keutuhan dimensidimensi yang berinteraksi dalam proses pendidikan serta menekankan pada nilai-nilai universal daripada kepentingan
Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
170
Taufiqurrahman
pragmatis. Meskipun pertimbangan psikologis merupakan aspek dominan dalam diskursus pendidikan di Indonesia, namun aspek lingkungan dan tata nilai, etika dan moral merupakan pertimbangan kritis dalam mempersiapkan anak untuk bersekolah dan hidup dalam kehidupan nyata. Mendefinisikan Pendidikan Anak Usia Dini Usia dini merupakan masa kritis dalam perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan intensif, yang menjadi landasan bagi tahaptahap lanjutan dalam siklus kehidupannya1. Masa perkembangan yang pesat ini perlu perlakuan yang berbeda dengan anak pada usia sekolah. Masa ini merupakan masa perkembangan fisik-motorik, bahasa, penilaiandiri, dan landasan moral. Masa ini mencakup masa emas (golden age). Menurut UNESCO ECCE (Early Childhood Care and Education), rentang masa usia dini adalah sejak lahir hingga berusia 8 tahun. Berbeda dengan US NAEYC (National Association for the Education for Young Children) yang membatasi pada usia sebelum 8 tahun. Para Ulama Islam pun bervariasi dalam menentukannya, Ibnu Hazm2 membatasi sampai usia lima tahun, sedangkah Ibn al-Jawzi3 pada usia enam tahun. Rentang anak usia dini di Indonesia mencakup usia nol hingga enam tahun. Pendidikan pada usia ini diklasifikasikan sebagai formal, yaitu: Taman Kanak-Kanak (TK)/ Raudlatul Athfal (RA); nonformal, yaitu Kelompok Bermain (KB), Tempat Penitipan Anak (TPA) atau yang sederajat; dan informal yang berlangsung di dalam keluarga. Klasifikasi tersebut secara kronologis dimulai pendidikan di rumah (masa menyusui hingga dua tahun, marhalah al-rodo’ah, arab), dilanjutkan dengan Kelompok Bermain (atau l’école maternelle, Prancis) dan memasuki pra-sekolah atau PAUD formal. Pembagian ini berimplikasi pada tingkat perhatian yang berbeda-beda antara pengasuhan, pengajaran dan pendidikan. Ketiga istilah tersebut, dalam Pendidikan Islam, selaras dengan tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Masa kelahiran hingga usia dua tahun menekankan pada aspek pengasuhan (tarbiyah atau childcare). Pengasuhan merupakan tindakan, keyakinan dan sikap dari lingkungan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dasar anak bagi pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal. Pengasuhan merupakan proses berkesinambungan. Pengasuhan anak dipengaruhi kerangka berpikir, merasa dan bertindak yang berlaku pada suatu budaya tertentu. Karakteristik pengasuhan ini membentuk habitus anak di masa depan4. Peran pengasuhan ini, pertama dan terutama dilakukan oleh ibu. Perhatian ibu merupakan sumber nutrisi dan rasa aman serta kenyamanan bagi anak. Hal ini menggambarkan faktor biologis sekaligus sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak. Mittal dan Saksena5 membagi pola pengasuhan menjadi otoritarian, demokratis dan permisif. Pola pengasuhan yang otoriter akan membentuk anak yang pendiam, berperilaku baik, tidak resisten, tidak agresif secara sosial namun memiliki rasa ingin tahu (curiosity), orisinalitas dan daya imajinasi yang rendah. Pola Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
171
perilaku ini dicirikan dengan penggunaan tata aturan dan regulasi yang memaksa anak untuk bertindak sesuai yang diinginkan pengasuhnya. Pola seperti ini mengontrol anak melalui kekuatan eksternal dalam bentuk sanksi. Pola pengasuhan otoriter menuntut anak perilaku anak sesuai dengan kebutuhan orang tuanya, dibandingkan dengan kebutuhan anak. Pelakuan yang ketat dan penyesuaian yang kaku pada anak usia dini berpotensi bagi tumbuh kembang kepribadian yang ‘authoritarian personality syndrome’. Pelakukan yang terlalu ketat tersebut dapat menyebabkan anak menjadi penurut, sehingga kurang kompetitif dan cenderung gagal secara sosial dibandingkan anak lain. Hal ini membuat mereka memiliki dorongan untuk tunduk secara penuh (pasif). Kondisi demikian merusak kepercayaan diri akan kemampuan untuk mandiri dan bertindak sesuai pilihannya. Orang tua yang terlalu membatasi dengan memaksakan banyak peraturan terhadap anak, mengawasi anaknya secara ketat, dan memancangkan standar perilaku tertentu yang harus diikuti oleh anak dan sering diikuti dengan hukuman yang tidak perlu. Orang yang sukses menerapkan peraturan yang ketat terhadap anak namun tidak terlalu banyak memberikan hukuman. Pola pengasuhan yang lebih demokratis menghasilkan anak yang lebih independen dalam berpikir, bertindak, lebih sehat secara mental, dan memiliki rasa percaya diri yang positif. Hal ini memudahkan anak untuk melakukan penyesuaian secara personal dan sosial serta menunjukkan perilaku yang ramah dan spontan. Anak yang dididik secara demokratis lebih aktif dalam pertemanan, lebih memiliki inisiatif, menghasilkan ideide kreatif dan cenderung menunjukkan sebagai pribadi yang bebas dalam mengungkapkan perasaannya dan tidak mementingkan diri sendiri. Anak yang dibesarkan melalui pola pengasuhan yang permisif, anak belajar dengan trials and errors daripada petunjuk dari orang tua atau pengasuhnya. Anak membentuk pola kepribadiannya tanpa pengarahan dan bantuan dari orang lain. Pola pengasuhan yang permisif memiliki sedikit aturan dan tuntutan terhadap anak, memandang tindakan agresif sebagai hal yang alami, pola pengasuhan demikian cenderung memberikan kebebasan kepada anak untuk bermain tanpa pengawasan dan intervensi dari orang dewasa. Kontrol terhadap anak yang terlalu sedikit dapat menyebabkan anak gelisah dan kebingungan. Anak merasa tidak siap untuk menghadapi masalah hidup. Anak seperti ini cenderung selfish, mementingkan diri sendiri dan kurang memiliki empati terhadap orang lain. Anak yang didik dengan membiarkan anak melakukan sesuatu yang disukainya cenderung menjadi pasif dan melarikan dari situasi sosial serta tergantung terhadap orang lain. Pendidikan anak usia dini merupakan proses pengasuhan, pendidikan dan (pengenalan) pengajaran yang ditujukan pada anak sejak lahir sampai dengan usia delapan tahun untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikologis secara maksimal. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
172
Taufiqurrahman
Perspektif Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan anak usia dini merupakan sebuah praktik sekaligus ilmu pengetahuan. Praktik PAUD telah berlangsung lebih awal daripada ilmu pengetahuan tentangnya. Pengasuhan secara alami telah diberikan orang tua, terutama ibu. Pelatihan juga terjadi dalam kehidupan nyata dan pengalaman hidup sehari-hari. Anak belajar dari lingkungan dan orang dewasa. Pendidikan diberikan orang tua tentang keyakinan, tata nilai dan tata krama di masyarakat. Anak belajar dengan meniru. Dasar-dasar pendidikan anak usia dini sebagai disiplin termaktub dalam ajaran-ajaran normatif agama, tata nilai dalam budaya dan praktikpraktik di masyarakat. Weigel6 memaparkan berbagai perspektif tentang PAUD menjadi empat kategori, yaitu: Pendidikan Anak Usia Dini sebagai (1) simbolisasi, (2) tindakan operatif, (3) penyesuaian dengan lingkungan, dan (4) sudut pandang etis dan moral. Pendidikan anak usia dini sebagai pembentukan simbol. Simbolisasi pendidikan anak usia dini dijelaskan dengan memperhatikan dimensi kehidupan dan personalitasnya, baik impresif maupun ekspresif. Lebih jauh, dimensi kehidupan tersebut dalam bidang psikologi dinamis 7 dijelaskan dengan menghadapkan anak pada dunia kehidupan sehari-hari (altagswelten) dan dunia kehidupan (lebenswelten). Penelusuran terhadap proses simbolisasi yang dilakukan anak dapat dikaji melalui dunia kehidupan dan kehidupan sehari-hari anak. Sudut pandang psikodimanis dalam menjelaskan pembentukan diri anak ini membutuhkan penjelasan lebih lanjut, namun tidak mudah untuk mengamati atau memperoleh penjelasan berdasarkan data-data empiris. Oleh karena ini, penekanan terhadap aspek-aspek perkembangan anak berpotensi untuk menjauhkan dari pembahasan tentang pendidikan anak usia dini. Pendidikan anak usia dini sebagai tindakan operatif. Tindakan operatif ini dipandang sebagai proses intelektual, kemampuan berpikir dan belajar. Proses tersebut, dalam konteks pendidikan anak usia dini merupakan hal yang penting, namun kecerdasan aktual anak sangat sulit untuk diamati secara langsung. Hal tersebut dapat ketahui melalui tindakan operasional. yang ditunjukkan dalam kapabilitas melakukan sesuatu serta dilakukan secara terencana, ketika anak mendapatkan rangsangan terstruktur dari guru dan/atau menghadapi situasi baru. Temuan Gardner tentang “kec erdasan manjemuk” memberikan informasi penting tentang kecerdasan anak. Respon anak dapat berbeda, berkaitan dengan dominasi kecenderungan kecerdasan anak. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa tindakan operatif anak dapat berbeda-beda dalam lingkungan yang berbeda pula. Pendidikan anak usia dini sebagai rujukan terhadap realitas (der Realitätsbezug). Pengetahuan sebagai reproduksi kognitif dalam peradaban dan budaya tergambar dalam pengetahuan yang ada di masyarakat dan dipandang sebagai given. Pengetahuan tidak berhubungan langsung dengan tujuan pendidikan. Pengetahuan anak dalam pengertian disiplin ilmu pengetahuan tidak dapat dikategorikan sahih atau valid, tetapi anak Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
173
menampilkan pengetahuan sebagaimana yang dipahami anak. Dengan demikian adalah penting untuk mengamati pengetahuan sebagaimana anak pahami tentang benda dan situasi (yaitu pengetahuan dalam pengertian yang lebih luas, mencakup pengenalan terhadap karakteristik obyek) dan mengarahkan pengetahuan ini terhadap realitas. Dengan demikian, menghadirkan pengetahuan sebagai hasil referensi terhadap realitas menjelaskan posisi teoritis tentang konsep Pendidikan Anak Usia Dini. Pendidikan anak usia dini dari sudut pandang etika-moral. Merujuk pada literatur tentang pendidikan-diri anak sering ditemukan bahwa “personalitas” merupakan medium untuk memahami fenomena anak yang belajar. Pendefinisian personalitas ini merujuk pada penjelasan Hentig8. Personalitas yang dibentuk merupakan representasi dari etika dan moral yang berkembang dalam budaya masyarakat sebagai kriteria kemanusiaan dan kebermaknaan hidup dan kehidupan. Tindakan yang dapat diobservasi tidak dapat menggambarkan personalitas anak karena ketidakjelasan dimensinya, personalitas lebih terlihat melalui sudut pandang etika dan moral. Posisi teoritis ini menyarankan untuk mengamati terhadap perilaku sehari-hari anak di taman kanak-kanak apakah dan sejauhmana sudut pandang etis dan moral ini diekspresikan dalam permainan anak, baik verbal maupun nonverbal. Konfigurasi perspektif tersebut memberikan wawasan tentang kebutuhan kajian yang lebih komprehensif tentang pendidikan anak usia dini sebagai praktik maupun disiplin ilmu pengetahuan. Perspektif tersebut juga memberikan gambaran tentang posisi praktik yang dilakukan pada suatu tempat tertentu serta penekanan pada dimensi-dimensi tertentu pendidikan anak usia dini. Aspek-Aspek Perkembangan Anak Usia Dini Perkembangan anak usia dini menunjukkan pada perubahan biologis, psikologis dan emosional pada diri manusia dari masa kelahiran dan berakhir pada usia anak (rentang usia yang umum adalah sejak lahir hingga enam tahun). Perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik dan lingkungan selama masa kandungan dan perkembangan kehamilan (pra-natal) dan lingkungan anak hidup dan kehidupan anak (pos-natal). Perkembangan anak yang optimal berpengaruh penting bagi kehidupan sosial. Oleh karena itu, adalah penting untuk memahami perkembangan sosial, kognitif, emosi dan pendidikan anak. Hasil penelitian Bloom menyatakan bahwa 50% perkembangan otak anak antara rentang usia nol hingga empat tahun9. Lalu 30% terbentuk pada usia empat hingga 8 tahun. Usia anak usia dini merupakan masa kritis perkembangan manusia. Bidang ini telah menarik perhatian banyak tokoh, terutama bidang psikologi untuk menjelaskan fenomena perkembangan anak ini. Dalam bagian ini akan disajikan secara kikir enam tokoh penting dalam menjelaskan masa perkembangan, yaitu Uri Bronfenbrenner, Jean Piaget, Lev Vygotsky, Mary Ainsworth, Erik Erikson dan John Watson. Uri Bronfenbrenner, psikolog yang lahir di Rusia 29 April 1917. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
174
Taufiqurrahman
Bronfenbrenner mengajukan teori sistem ekologis, yang menggambarkan empat sub-sistem, yaitu meso-sistem yaitu interaksi antara dua sistem mikro atau hubungan antar konteks, seperti hubungan antara pengalaman di rumah dan pengalaman di sekolah. Misalnya, anak yang mengalami penolakan dari orang tuanya akan menghadapi kesulitan dalam berinteraksi dengan gurunya; ekso-sistem, yaitu hubungan antara latar sosial dimana individu tidak memiliki peran aktif dengan konteks yang dihadapi anak. Misalnya, pengalaman ibu dan anak di rumah dapat mempengaruhi pengalaman bapak di kantor, misalnya mendapatkan tugas tambahan untuk melakukan perjalanan. Hal ini berpotensi menimbulkan ketegangan yang berpengaruh terhadap pola interaksi dengan anak; makro sistem, yaitu lingkungan sosial budaya masyarakat. Individu-individu dalam kelompok sosial budaya ini saling mempengaruhi dalam membentuk identitas, kebudayaan dan nilai-nilai. Sub-sistem ini selalu berkembang sepanjang waktu dan membentuk pengaruh yang unik pada anak10; Kronosistem, yaitu pembentukan dan transisi lingkungan yang terus menerus. Misalnya, kesempatan perempuan untuk berkarir semakin meningkat dari tahun ke tahun.11 Hal ini berimplikasi terhadap pola pengasuhan anak, baik di rumah, sekolah maupun masyarakat. Setiap sub-sistem tersebut memiliki peran, norma dan peraturan yang berpotensi membentuk perkembangan anak. Namun teori ini tidak menjelaskan tentang aspek internal anak. Teori ini lebih memfokuskan pada aspek-aspek makro sistem yang mempengaruhi. Teori ini memberikan kerangka kerja tentang klasifikasi lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan anak usia dini. Proses pendidikan pada masa kritis ini tidak hanya ditentukan oleh sekolah (TK/ RA), tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan rumah dan masyarakat. Jean Piaget, psikolog Swiss, menyatakan bahwa anak belajar secara aktif melalui bermain. Piaget menyatakan bahwa peran orang dewasa dalam membantu anak belajar adalah dengan mempersiapkan bahanbahan bagi anak untuk bermain dan berinteraksi. Setiap manusia butuh menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Proses penyesuaian diri (adaptasi) melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan proses menerima rangsangan dari lingkungan yang sesuai dengan struktur kognitif seseorang, tetapi proses perkembangan intelektual tidak akan terjadi apabila tidak sesuai dengan skemata yang dimiliki. Oleh karena itu dibutuhkan proses akomodasi, yaitu perubahan struktur kognitif, menyesuaikan dengan lingkungan. Proses ini menurut Piaget disamakan dengan belajar. Piaget mengembangkan tahap-tahap perkembangan manusia. Tahap-tahap perkembangan anak usia dini (usia 0 hingga 8 tahun) mencakup dua tahap perkembangan Piaget. Pertama, sensori-motorik (usia 0 hingga 2 tahun). Pada masa ini, anak belajar dari sensasi dan gerak. Anak belajar memisahkan dirinya dari lingkungan. Namun, aspek-aspek lingkungan –orang tua atau mainan– tetap ada meskipun tidak berpengaruh Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
175
terhadap sensori anak. Pada tahap ini, pengajaran terhadap anak diarahkan untuk mengembangkan system sensorimotoriknya. Anak menyesuaikan perilakunya dengan menggunakan sensori. Tahap selanjutnya, pra-operasional (mulai dari belajar bicara hingga hamper tujuh tahun). Anak mulai menggunakan simbol-simbol untuk menggambarkan obyek. Awal tahap ini, anak juga mempersonifikasi obyek. Anak telah lebih mampu berpikir tentang benda dan kejadian meskipun mereka tidak segera hadir. Anak mengalami kesulitan berkaitan dengan waktu, sebab pemikiran mereka dipengaruhi oleh fantasi –the way they’d like things to be- dan anak menganggap orang lain melihat situasi dari sudut pandangnya. Anak memperoleh informasi dan menyesuaikannya sesuai dengan ide-ide fantasinya. Pengajaran anak pada usia ini harus mempertimbangkan fantasi anak yang jernih dan ketidakberkembangan pemahaman tentang waktu. Pada tahap ini, anak dapat belajar dengan aktif, ketika guru menggunakan bahasa yang netral, garis-garis dan alat permainan edukatif. Lev Vygotsky memandang bahwa anak belajar melalui pengalaman langsung, sebagaimana pandangan Piaget. Namun berbeda dengan Piaget, Vygotsky menyatakan bahwa intervensi oleh orang dewasa secara peka dan tepat waktu ketika anak mempelajari tugas baru (disebut ZPD, the Zone of Proximal Development) dapat membantu anak dalam mempelajarinya. Teknik ini disebut “scaffolding”. Dikatakan demikian, karena anak membangun pengetahuan baru di atas pengetahuan yang telah dimilikinya melalui bantuan orang yang lebih tahu (more knowledgeable people). Vygotsky memfokuskan pada peran budaya dalam menentukan pola pengembangan anak. Dia menyatakan bahwa: “Every function in the child’s cultural development appears twice: first, on the social level, and later, on the individual level; first, between people (interpsychological) and then inside the child (intrapsychological). This applies equally to voluntary attention, to logical memory, and to the formation of concepts. All the higher functions originate as actual relationships between individuals.” 12
Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan merupakan proses sekaligus periode kritis anak selama masa transformasi kualitatif fungsi mental anak ini. Oleh karena itu, menempatkan anak pada lingkungan dan pendampingan yang tepat akan memberikan dampak positif bagi perkembangan fisik dan psikologis anak. Mary Ainsworth mengembangkan Attachment theory, yang diinspirasi dari karya John Bowlby. Teori ini memberikan kerangka deskriptif dan eksplanatif dalam memahami hubungan interpersonal antar manusia. Teori ini memandang bahwa anak membutuhkan hubungan dengan orang lain agar perkembangan social dan emosional berlangsung dengan normal. Hal tersebut merupakan prinsip terpenting dari teori ini. Anak usia dini menjadi sangat dekat dengan orang dewasa yang sensitif dan responsif dalam berinteraksi dengan anak, dan secara konsisten memberikan perhatian dari usia enam bulan hingga dua tahun. Ketika anak Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
176
Taufiqurrahman
mulai belajar merangkak dan berjalan, mereka mulai menggunakan figur yang dekat sebagai tempat berangkat dan kembali yang aman. Respon orang tua akan membentuk pola pengembangan kedekatan. Hal ini, pada gilirannya, akan membentuk model kerja internal yang akan membentuk persepsi, emosi, pemikiran dan harapan dalam hubungan selanjutnya13. Ketakutan akan perpisahan yang diikuti dengan kehilangan figur dipandang sebagai sesuatu yang normal dan merupakan proses adaptif bagi kedekatan anak. Perilaku ini berkembang karena mereka meningkatkan probabilitas kehidupan anak.14 Perilaku bayi berkaitan dengan kasih sayang terutama dalam menemukan kedekatan dengan figur kasih sayang. Erik Erikson mengklasifikasikan perkembangan manusia dalam delapan tahap (dalam tulisan ini dibatasi hingga tahap ketiga). Tahap pertama, dari lahir hingga 12 – 18 bulan. Pada tahap ini ditekankan pada kebutuhan dasar. Bayi sangat tergantung pada orang tuanya, terutama ibu untuk menyusu dan kenyamanan. Bayi ‘memahami’ dunia dan lingkungannya dari orang tua dalam interaksinya dengan bayi. Jika orang tua memberikan kehangatan, keteraturan dan kasih sayang, maka anak akan melihat dunia dengan kepercayaan. Sebaliknya jika orang gagal memenuhi kebutuhan dasar ini, akan menghasilkan anak yang tidak percaya terhadap dunia. Tugas utama perkembangan masa bayi, menurut Erikson apakah orang lain (orang tua atau pengasuh) dapat memberikan kepuasan terhadap kebutuhan dasar akan secara teratur. Tahap kedua (18 bulan hingga 3 tahun). Ketika anak telah dapat mengontrol kemampuan motoriknya, anak mulai mengeksplorasi lingkungannya. Orang tua harus memperhatikan keamanan dari tindakan anak yang berbahaya. Kesabaran dan dorongan orang tua dapat mempercepat otonomi anak. Pada usia ini, anak sangat meminati untuk mengeksplorasi dan belajar tentang lingkungannya. Pada tahap ini, anak mengembangkan minatnya. Tahap ketiga (3 hingga 6 tahun). Pada tahap ini anak semakin aktif bergerak. Anak belajar untuk menguasai dunia sekitarnya, mempelajari keterampilan dan prinsip dasar fisika. Benda jatuh, tidak naik, benda berputar. Anak belajar untuk melipat dan mengikat, menghitung dan berbic ara dengan semangat. Pada tahap ini anak memulai dan menyelesaikan tindakannya untuk tujuan tertentu. Anak akan merasa bersalah menghadapi sesuatu yang secara logis menurut anak tidak merupakan kesalahan, ketika usaha ini tidak memperoleh hasil yang diinginkan. Anak pada usia ini menghadapi pilihan antara berani bertindak atau perasaan takut salah. Anak belajar untuk berinisiatif dan merencanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Anak yang bersekolah lebih memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan cara mereka sendiri. Dengan perkembangan kemandirian, anak memiliki lebih banyak pilihan aktivitas yang dapat dilakukan. Anak, kadang-kadang membuat permainan yang pernah mereka lakukan, tetapi lain waktu, anak melakukan permainan yang lebih sulit atau meniru aktivitas orang lain. Adalah peran orang tua Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
177
untuk membantu anak untuk membuat pilihan yang sesuai dan realistis. Sebaliknya, orang tua yang tidak membiarkan anak untuk melakukan tindakan independen atau memperlakukan mereka dengan manja, anak akan mengembangkan sikap takut untuk mengungkapkan kebutuhan dan keinginannya. John Watson adalah behavioris banyak menulis dan meneliti tentang perkembangan anak. Watson menyatakan bahwa anak seharusnya diperlakukan sebagai orang dewasa muda. Watson juga mengingatkan bahaya yang tidak terhindarkan dari pemberian kasih sayang yang berlebihan dari orang tua. Kasih sayang, menurutnya adalah pembiasaan (conditioned). Hal ini ditunjukkannya bahwa masyarakat tidak sepenuhnya merasa nyaman dengan anak ketika mereka menjadi orang dewasa di dunia nyata, jadi orang tua tidak seharusnya berharap yang tidak realistis terhadap anak. Pengasuhan anak bukan insting, tetapi dibentuk oleh lingkungan. Jadi orang tua bertanggung jawab atas pemilihan lingkungan yang tepat buat anaknya. Kekerasan dalam Pendidikan Anak Usia Dini Kekerasan terhadap anak mencakup pengabaian, agresi fisik, pelecehan seksual dan kekerasan psikologis. Pengabaian terhadap anak ketika orang tua (atau yang bertanggung jawab tidak memberikan kebutuhan dasar yang dibutuhkan anak, yaitu kebutuhan fisik, emosional, pendidikan, bahkan kesehatan. Dampak negatif pengabaian ini, anak tidak mampu berinteraksi dengan anak-anak sebayanya. Penyerangan fisik yang dilakukan orang dewasa kepada anak merupakan sebuah kekerasan. Kekerasan fisik ini dapat terjadi dimana saja, bahkan kekerasan atas nama norma atau hukuman juga termasuk dalam kekerasan fisik. Kekerasan seksual adalah “a form of child abuse in which an adult or older adolescent abuses a child for sexual stimulation”15. Kekerasan psikologis merupakan bentuk kekerasan yang dicirikan oleh seseorang yang memaksa orang lain untuk bertindak yang dapat menimbulkan trauma psikologis16. Kekerasan tersebut umumnya berkaitan dengan situasi kekuasaan yang tidak seimbang, seperti hubungan yang kasar, bullying, dan kekerasan terhadap anak. Kekerasan psikologi ini dikategorikan menjadi tiga, yaitu agresi verbal, perilaku dominan dan kecemburuan17. Kekerasan terhadap anak di negara berkembang, menurut laporan Wolfe, menunjukkan peningkatan. Hal ini disebabkan oleh variabel kepribadian dan demografi, seperti pola kepribadian anak yang impulsif, pengabaian dalam pola pengasuhan, broken home, status sosio-ekonomi dan apati masyarakat terhadap ekspresi agresi terhadap anak. Kekerasan terhadap anak ini dapat mengakibatkan “compensatory determinant”. Anak yang mengalami kekerasan fisik atau psikologi dapat menjadi orang tua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak18. Kekerasan dan/atau pengabaian yang diterima anak berpotensi untuk berpengaruh di masa depan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor-faktor: usia Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
178
Taufiqurrahman
anak dan status perkembangan ketika kekerasan dan/atau pengabaian terjadi, jenis kekerasan (fisik, pengabaian, seksual, psikologis), frekuensi, durasi dan kualitas kekerasan, dan hubungan antara korban dan pelaku kekerasan19. Kekerasan atau pelecehan terhadap anak dapat mengakibatkan trauma, yang berpengaruh panjang dalam kehidupan anak. Anak sebagai korban pelec ehan dapat menginternalisasi perlakuan yang diterima dan menyalurkannya dalam berbagai tindakan agresif ataupun tindakan ekspresif lainnya. Pendidikan Holistik Anak Usia Dini Pendidikan holistik adalah sebuah filosofi pendidikan yang didasarkan pada premis bahwa setiap individu mencari identitas, makna, tujuan dalam hidup melalui hubungan dan interaksi dengan komunitas, alam semesta dan nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang dan perdamaian. Pendidikan holistik bertujuan untuk terus-menerus mendorong individu untuk menghargai hidup dan keinginan untuk terus belajar yang tumbuh dari dalam. Istilah pendidikan holistik ini sering kali merujuk pada bentuk pendidikan alternatif, seperti pendidikan demokratis dan humanistik. Lebih lanjut Robin Ann Martin menjelaskan bahwa “At its most general level, what distinguishes holistic education from other forms of education are its goals, its attention to experiential learning, and the significance that it places on relationships and primary human values within the learning environment.” 20 Pendidikan holistik bertujuan untuk membantu pembelajar menjadi insan paripurna. Abraham Maslow menyebutnya sebagai “aktualisasi-diri”. Forbes21 menemukan bahwa tujuan umum pendidikan holistik adalah untuk mencapai “highest extent thought possible for a human”. Pendidikan holistik menggambarkan pandangan kemanusiaan, apakah yang dimaksud manusia. Pendidikan dalam perspektif ini memfokuskan pada pengembangan potensi intelektual, emosional, sosial, fisik, artistik, kreativitas dan spiritualitas individu; mendorong pembelajar dalam proses belajar mengajar dan bertanggung jawab secara personal dan sosial. Martin dan Forbes, dalam menjelaskan filosofi umum pendidikan holistik, membaginya menjadi dua kategori, yaitu Ultimacy dan Sagacious Competence. Tingkat eksistensi paling tinggi manusia adalah “Ultimacy”, semakna dengan pencerahan atau aktualisasi diri. Untuk mencapai tingkat tersebut, seseorang harus mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan “kebijaksanaan” atau apa yang disebut sebagai “Sagacious Competence”22. Istilah ini menunjukkan bahwa kompetensi ini “cannot be construed as performance; cannot be learned through any combination of skills, facts, or concepts; and cannot be assessed through any single or series of performances”23 Sc hreiner bersama koleganya merumuskan delapan prinsip pendidikan holistik, yaitu: pertama, pendidikan holistik berpusat pada Tuhan yang menciptakan dan menjaga kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan holistik memberikan sumbangan bagi pencarian terhadap pemulihan alam semesta. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
179
Kedua, pendidikan holistik adalah pendidikan untuk transformasi. Pendidikan holistik membutuhkan berbagai piranti dan pendekatan untuk melakukan transformasi. Dibutuhkan kemampuan untuk mengembangkan kompetensi kritis untuk melakukan analisis terhadap konteks politik dan sosial yang memungkinkan keberpihakan pada tindakan praksis. Hal ini berbeda dengan pandangan mekanistik. Ketiga, pendidikan holistik berkaitan dengan pengembangan individu secara utuh di dalam masyarakat. Pendidikan konvensional menekankan pada dimensi kognitif, mengabaikan dimensi lain kehidupan manusia. Pendidikan holistik mendorong pencarian terhadap makna dengan cara mengajukan sudut pandang yang utuh (holistik) tentang dunia dan kehidupan. Strategi holistik ini memungkinkan individu untuk memahami berbagai konteks yang membentuk sekaligus memberikan makna terhadap kehidupan. Keempat, pendidikan holistik menghargai keunikan dan kreatifitas individu dan masyarakat yang didasarkan pada kesalinghubugannya (interconnectedness). Hal ini kecenderungan pandangan bahwa kemungkinan untuk mengembangan masyarakat belajar yang menghargai perbedaan antar individu, penilaian diri yang positif dan memberdayakan orang lain. Kelima, pendidikan holistik memungkinkan partisipasi aktif di masyarakat. Pendidikan holistik mengusulkan sebuah kesalingpahaman paham dan penghargaan terhadap perbedaan budaya dan agama. Oleh karena itu, penting untuk memandang keberagaman ini merupakan suatu yang kaya, sekaligus berpotensi menimbulkan konflik. Pendidikan holistik juga mencakup metode mengelola konflik untuk menciptakan perdamaian. Keenam, pendidikan holistik memperkokoh spiritualitas sebagai inti hidup dan sekaligus pusat pendidikan. Pendidikan holistik mencakup dimensi batin manusia yang mempertimbangkan landasan spritual realitas. Spritualitas merupakan kondisi keterkaitan semua aspek hidup dan kehidupan, menghargai perbedaan dalam kesatuan. Keserasian antara kehidupan lahir dan batin. Ketujuh, pendidikan holistik mengajukan sebuah praksis (refleksi dan aksi) mengetahui, mengajar dan belajar. Pendidikan holistik mempromosikan sudut pandang alternatif tentang pembelajar dan guru. Kontributor utama terhadap konsep tersebut diberikan oleh Paulo Freire. Kedelapan, pendidikan holistik berhubungan dan berinteraksi dengan pendekatan dan perspektif yang berbeda-beda.24 Pendidikah holistik, dalam konteks PAUD, adalah memfasilitasi perkembangan anak dalam segala dimensinya secara utuh dan paripurna. Pengembangan pendidikan holistik memperhitungkan lingkungan, proses kognitif dan pembentukan pengetahuan anak, serta nilai-nilai yang diyakini. Mengamputasi aspek-aspek tersebut dapat mereduksi makna pendidikan yang utuh pada anak usia dini. Pendidikan prasekolah bukan hanya bertujuan untuk mempersiapkan anak untuk memasuki sekolah, tetapi juga mempersiapkannya untuk hidup dalam dunia nyata. Kecenderungan manajerialisme dan serangan budaya bisnis, semakin Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
180
Taufiqurrahman
mereduksi tujuan pendidikan anak usia dini; persyaratan kompetensi akademik untuk memasuki sekolah dan fenomena bimbingan belajar bagi anak semakin menjauhkan anak dari dunianya, dan cenderung memandang anak sebagai orang dewasa, pun standar pencapaian anak usia dini semakin menjauhkan anak dari dunia dan perkembangan normalnya. Pranata Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan merupakan sebuah tindakan sadar yang memungkinkan manusia untuk pertumbuhan fisik, kemampuan intelektual dan mengembangkan rasa sosial, estetik dan moral.25 Untuk meningkatkan pencapaian tersebut dibutuhkan peran the More Knowledgeable People26 sebagai fasilitator proses. Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 Pasal 9 Ayat 1 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasarnya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Undangundang nomor 20 TAHUN 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1, Pasal 1, Butir 14 dinyatakan bahwa “Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Sedangkan pada pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini dinyatakan bahwa “(1) Pendidikan Anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau informal, (3) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal: TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat, (4) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non formal: KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat, (5) Pendidikan usia dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan, dan (6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.” Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
181
bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu: Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah. Tujuan pranata pendidikan anak usia dini, secara khusus adalah (1) Agar anak percaya akan adanya Tuhan dan mampu beribadah serta mencintai sesamanya; (2) Agar anak mampu mengelola keterampilan tubuhnya termasuk gerakan motorik kasar dan motorik halus, serta mampu menerima rangsangan sensorik; (3) Anak mampu menggunakan bahasa untuk pemahaman bahasa pasif dan dapat berkomunikasi secara efektif sehingga dapat bermanfaat untuk berpikir dan belajar; (4) Anak mampu berpikir logis, kritis, memberikan alasan, memecahkan masalah dan menemukan hubungan sebab akibat; (5) Anak mampu mengenal lingkungan alam, lingkungan social, peranan masyarakat dan menghargai keragaman social dan budaya serta mampu mngembangkan konsep diri yang positif dan control diri; dan (6) Anak memiliki kepekaan terhadap irama, nada, berbagai bunyi, serta menghargai karya kreatif27. Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun. Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini: Infant (01 tahun), Toddler (2-3 tahun), Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun), Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun). Praktik pendidikan anak usia dini, pada bagian ini dibatasi pada lingkup formal, yaitu TK atau RA. PAUD formal ini dilihat dari dua aspek: manajemen dan pendidikan. Aspek pertama menggambarkan pengelolaan terhadap dimensi manusia, kerja dan operasional. berikut akan dipaparkan sekilas tentang dua dimensi awal. Dimensi manusia mencakup administrator, guru dan terutama peserta didik. Perlakuan terhadap anak usia dini berbeda dengan anak yang lebih tua. Ketergantungan anak terhadap orang lain masih tinggi dan kedekatan emosional sangat berpengaruh. Pengelolaan terhadap lingkungan bermain, berlatih dan belajar menjadi penting diperhatikan berkaitan dengan keselamatan fisik dan ketenangan psikologis anak. Dimensi kerja lebih merupakan aspek teknis dan administratif pengelolaan PAUD, namun tidak mengesampingkan aspek esensial dan substantif pendidikan. Dimensi ini berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pengelolaan pendidikan, termasuk di dalamnya kurikulum. Perencanaan program maupun pendidikan seharusnya memperhatikan keragaman perkembangan anak, lingkungan di sekolah – kedekatan dengan orang tua/pengasuh, dan kapasitas pendidik. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
182
Taufiqurrahman
Pengelolaan PAUD mendahulukan pertimbangan nilai pendidikan daripada manajemen. Pendidikan seharusnya mempengaruhi orientasi kebudayaan, bukan sebaliknya. Namun, menurut catatan Morley, nilai-nilai pendidikan diarahkan oleh dunia industri dan bisnis. “...how values, as well as technologies and drive systems from the cultural world of business and commerce have been imported into education, bringing with them new meanings, priorities and truth”28. Kenyataan ini menantang dunia pendidikan untuk konsisten dengan nilai-nilai pendidikan yang melandasi pendidikan sebagai institusi sosial. Aspek pendidikan di PAUD mencakup pengasuhan, pembiasaan dan pengenalan belajar. Pengasuhan bertujuan untuk menjaga anak dari dampak negatif perbuatan anak, seperti tindakan berbahaya, maupun pelecehan dari orang yang lebih dewasa; baik fisik, oral bahkan psikologis. Pembiasaan merupakan perangkat adaptasi anak terhadap lingkungan sosialnya, lebih luas dengan hidup dan kehidupan. Pembiasaan mempelajari perilaku hidup sehat, tata krama dan nilai-nilai yang harus dipatuhi anak. Pengenalan belajar merupakan persiapan anak untuk belajar pada jenjang berikutnya, sekolah dasar. Pada lembaga ini sangat tidak dianjurkan untuk memaksa anak untuk belajar. Bermain anak telah digantikan oleh belajar. Hirsk-Pasek, dkk menulis “In an effort to give children a head start on academic skills such as reading and mathematics, play is discouraged and didactic learning is stressed”29. Lebih lanjut dijelaskan: “preschool classes have replaced playful learning with practice and drill. Blocks were replaced with worksheets. Both play and playful learning declined precipitously in US preschools, where they were sidelined as an expendable diversion in favour of early preparation for school test-taking...skills once deemed appropriate for first and second graders are being taught in kindergarten, while kindergarten skills have been bumped down to preschool”30
Pendidikan anak usia dini tidak dibatasi pada prestasi aspek akademik semata, tetapi pengembangan utuh seluruh potensi anak. Pengembangan kurikulum PAUD menggunakan pendekatan yang dapat mengembangkan “emotional maturity, social competence, cognition, language development, and physical well-being”31. Penerapan konsep kurikulum yang holistik tersebut dalam pembelajaran mencakup semua konsep yang dibingkai secara integrated, dan dilakukan melalui proses bermain. Kesimpulan Perspektif terhadap pendidikan anak usia dini mencakup proses pembentukan simbol, tindakan operatif sebagai gejala mental, realitas sebagai referensi yang sahih bagi pengetahuan anak dan pertimbangan etika dan moral yang menjadi landasan kehidupan anak. Berdasarkan hal tersebut perkembangan anak mencakup dimensi fisik, emosi dan spiritual anak. Pengabaian, kekerasan ataupun pelecehan terhadap dimensi tersebut berpotensi mengakibatkan trauma dan perilaku negatif anak. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Pendidikan Holistik Anak Usia Dini
183
Pengembangan pendidikan anak usia dini pada jalur formal harus mempertimbangkan aspek manajemen dan pendidikan. Aspek manajemen merupakan supporting system bagi upaya mencapai tujuan pendidikan. Dimensi sistem pendukung ini (manusia, kerja dan operasi) harus sinergi dengan karakteristik pendidikan anak. Ketidakpedulian terhadap karakteristik pendidikan anak akan menyempitkan makna pendidikan sebagai pengajaran. Pemahaman dan praktik yang holistik terhadap pendidikan anak merupakan kebutuhan kritis dalam membentuk kesiapan anak menghadapi hidup dan kehidupan.
Catatan: 1
2
3
4
5 6
7
8
9
10
11
12
Richard Cloutier dan Andreé Renaud dalam Micheline Lalonde-Graton, Fondements et pratiques de l’éducation à la petite enfancec, ( Presses de l’Universite du Quebéc, 2003 ), 5 ‘Ali bin Ahmad Ibn Hazm, Risalat Maratib al- ‘Ulum, dalam Rasa ’il Ibn Hazm al-Andalusy, editor: Ihsan Abbas, Beirut: al-Mu ’assasah al- ‘Arabiyah lil Dirasat wa al-Nasr, 1987, vol. 4, 65 Abu al-Farj Ibn al-Jawzi, Laftat al-Kabad ila Nasihat al-Walad, editor: Asyraf bin Abdul al-Maqsud bin Abdul al-Rohim, ( Mesir: Maktab al-Imam al-Bukhori, 1992 ), 36 Shalini Saxena Mittal dan Shalini Saksena, Child development of personality traits, (Delhi: Kalpaz Publications, 2006), 83. Shalini Saxena Mittal dan Shalini Saksena, Child development…, 84-86 Dietmar Weigel, Was ist frühkindliche Bildung?: Positionen und Befunde, (Lohmar -Koln, Joser Eul Verlag GmbH, 2010), 112-115 yaitu penelitian dan teori tentang kekuatan-kekuatan psikologis yang mendasari perilaku manusia, menekankan pada kesalinghubungan antara motivasi sadar dan tidak sadar serta fungsi signifikan emosi. (http://dictionary.webmd.com/terms/ psycho-dynamics). Kekuatan mental dalam psikologi dinamis dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (a) interaksi kekuatan emosi: interaksi kekuatan motivasi dan emosi yang mempengaruhi perilaku dan kondisi mental, terutama pada tingkat bawah sadar; (b) kekuatan batin yang mempengaruhi perilaku: studi tentang kekuatan emosi dan motivasi yang mempengaruhi perilaku dan kondisi mental (http://encarta.msn.com/-dictionary_1861736149/psychodynamics.html) Hans von Hentig (lahir 9 Juni 1887 di Berlin, meninggal 6 Juli 1974 di Bad Tölz) kriminolog Jerman yang mengemukakan teori Victimology menyatakan bahwa “the personality characteristics of some crime victims, and/or the community environment they inhabit, may actually contribute to their victimization“ Ann Wolbert Burgess, Cheryl Regehr, Albert R. Roberts, Victimoloty: theories and applications, (Sudbury, MA: Jones and Barlett Publishers, 2009), 38. Norman R. Ellis, International review of research in mental retardation, volume 6, (London: Academic Press, Inc., 1973), 2. Robert V. Kail dan John C. Cavanaugh, Human Development: A Life-span View, ed. 5. (Belmont, CA: Wadsworth Cengage Learning, 2010). John W. Santrock, A Topical Approach to Life-Span Development . ( New York, NY: McGraw-Hill , 2007 ) Lev Vygotsky, Mind in Society: The development of higher psychological processes , penerjemah Michael Cole), (Cambridge, MA: Harvard University Press,
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
184
13
14
15 16
17 18
19
20 21
22
23
24
25
26
27
28
29
30 31
Taufiqurrahman
1978); Anita E. Woolfolk, Educational Psychology, (Boston, MA: Allyn & Bacon, 2006), 39 Inge Bretherton dan Kristine A. Munholland, “Internal Working Models in Attachment Relationships: A Construct Revisited”. Dalam Jude Cassidy dan Phillip R. Shaver, Handbook of Attachment: Theory, Research and Clinical Applications. (New York: Guilford Press, 1999), 89–114 Vivien Prior dan Danya Glaser, Understanding Attachment and Attachment Disorders: Theory, Evidence and Practice. Child and Adolescent Mental Health, RCPRTU. (London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers, 2006), 17 http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/childsexualabuse.html Roland D. Maiuro dan K. Daniel O’Leary, Psychological Abuse in Violent Domestic Relations. (New York: Springer Publishing Company, 2000), 197 http://en.wikipedia.org/wiki/Emotional_abuse Carina Coulacoglou, Exploring the child’s personality: developmental, clinical, and cross-culture application of the Fairy Tale Test, (Illinois: Charles C. Thomas Publishier, Ltd., 2008), 277 Rosemary Chalk, Alison Gibbons, dan Harriet J. Scarupa, The multiple dimensions of child abuse and neglect: New insights into an old problem. (Washington, DC: Child Trends, 2002) diunduh: 27 Oktober 2011, alamat: www.childtrends.org/ Files/-ChildAbuseRB.pdf http://www.holistic-education.net/articles/research04.pdf Schott H. Forbes and Robin Ann Martin, What Holistic Education Claims About Itself: An Analysis of Holistic Schools’ Literature, Annual Conference, (American Education Research Association, 2004), 4. Louellyn White, Free to be Kanien’kehaka: A case study of educational self-determination the Akwesasne Freedom School, (ProQuest LLc., 2009), 114. Forbes sebagaimana dikutip Brenda Burton Grimes, Multidimensional classrooms: Developing a comprehensive research base for, (ProQuest, 2007), 174. Peter Schreiner, Esther Banev, Simon Oxley (eds), Holistic Education Resource Book: Learning and Teaching in an Ecumenical Context. (New York: Waxmann Munster, 2010), 20-22 Micheline Lalonde-Graton, Fondements et pratiques de l’éducation à la petite enfance, (Presses de l’Universite du Quebéc, 2003), 6. Children learn through direct instruction from more knowledgeable people around them. This ‘expert intervention’, Vygotsky argued, should be at a level beyond their current thinking, but not so far ahead that the instruction is beyond their comprehension (Nisha Dograh, Sarah Hogan, Sharon Leighton, Nursing in Child and Adolescent Mental Health, (New York: Open University Press, 2009), 23. Yuliani Nurani Sujiono, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. (Jakarta: PT Indeks, 2009), 42-43. Louise Morley, ‘Freedom to Manage’ Leadership, Excellence and the New Professionalism dalam Jim Graham (ed), Teacher professionalism and the challenge of change, (England: Trentham Books Limited, 1999), 71. Kathy Hirsh-Pasek, Roberta Michnick Golinkoff, Laura E. Berk dan Dorothy Singer, A mandate for palyful learning in preschool: Presenting the evidence. (Oxford: Oxford University Press., 2000), 3. Kathy Hirsh-Pasek, A mandate for..., hal. 9 Carol Gestwicki dan Jane Bertrand,, Essentials of Early Childhood Education, (Canada: Nelson Education, Ltd., 2011), 47
.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
185
MODEL PEMBELAJARAN TERPADU; Alternatif Penerapan Pendidikan Holistik Oleh Adri Efferi
Abstracts: integrated learning is a learning system that allows students, either individually or in groups actively seek out, explore and discover concepts and scientific principles in a holistic, meaningful and authentic. Integrated learning will occur if the events or the exploration of authentic topic / theme to be controlling in learning activities. By participating in the exploration of the theme / events, students learn about the process and content of several subjects simultaneously. Key word: integrated learning
Pendahuluan Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan. Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Pendidikan harus menyentuh potensi nurani maupun potensi kompetensi peserta didik. Konsep pendidikan tersebut terasa semakin penting ketika seseorang harus memasuki kehidupan di masyarakat dan dunia kerja, karena yang
Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
186
Adri Efferi
bersangkutan harus mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk menghadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini maupun yang akan datang. Agar ketiga dimensi kemanusiaan paling elementer di atas dapat berkembang secara optimal, menurut para pakar pendidikan modern harus didukung dengan model pendidikan yang dirancang secara sistematis dan bersifat menyeluruh (holistik). Dengan demikian, pendidikan akan menjadi wahana strategis bagi upaya pengembangan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun manusia Indonesia seutuhnya dapat tercapai. Pendidikan holistik dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran dengan beberapa cara, diantaranya dengan menerapkan pembelajaran terintergrasi/terpadu (integrated learning), yaitu suatu pembelajaran yang memadukan berbagai materi dalam satu sajian pembelajaran. Inti pembelajaran ini adalah agar siswa memahami keterkaitan antara satu materi dengan materi lainnya, antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lain. Disamping itu, model pembelajaran terpadu juga memungkinkan peserta didik, baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik dan otentik. Karena dengan model pembelajaran ini beberapa pokok bahasan dipadukan dalam satu tema tertentu. Sehingga diharapkan siswa lebih memiliki kedalaman wawasan materi dengan tingkat keterampilan dan pengetahuan yang beragam dan kompleks (multiple knowledge) serta tidak terpecahpecah. Konsep Dasar Model Pembelajaran Terpadu Pembelajaran terpadu mulai mendapat perhatian yang luas dari para menulis maupun para penyusun kurikulum, semenjak empat puluh tahun silam, khususnya dalam pembelajaran IPA (sains). Menurut Prihantoro (1986: 120), pada tahun 1968 diadakan Konferensi Internasional tentang Pembelajaran Terpadu untuk sains yang pertama di Varna (Bulgaria). Hingga tahun 1978, telah diadakan konferensi serupa sebanyak lima kali. Berbagai kurikulum pembelajaran terpadu dikembangkan di seluruh dunia, tetapi tampaknya pengertian pembelajaran terpadu masih banyak variasi. Menurut Joni, T.R (1996: 3), pembelajaran terpadu merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa, baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan otentik. Pembelajaran terpadu akan terjadi apabila peristiwa-peristiwa otentik atau eksplorasi topik/tema menjadi pengendali dalam kegiatan pembelajaran. Dengan berpartisipasi dalam eksplorasi tema/peristiwa, siswa belajar tentang proses dan isi beberapa mata pelajaran secara serempak. Senada dengan pendapat di atas, menurut Hadisubroto (2000: 9), pembelajaran terpadu adalah pembelajaran yang diawali dengan suatu pokok bahasan atau tema tertentu yang dikaitkan dengan pokok bahasan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Model Pembelajaran Terpadu
187
lain, konsep tertentu dikaitkan dengan konsep lain, yang dilakukan secara spontan atau direncanakan, baik dalam satu bidang studi atau lebih, dan dengan beragam pengalaman belajar anak, maka pembelajaran akan menjadi lebih bermakna. Menurut Collins, yang dikutip kembali oleh Trianto (2010: 56), mengatakan: Integrated learning occurs when an authentic event or exploration of a topics the driving force in the curriculum. By participating in the every topic exploration, student learn both the processes and content relating, to more then curriculum area at the same time.
Apabila dikaitkan dengan tingkat perkembangan anak, pembelajaran terpadu merupakan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan dan menyesuaikan pemberian konsep sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Pendekatan ini berangkat dari teori pembelajaran yang menolak drillsystem sebagai dasar pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual anak. Adapun menurut Ujang Sukandi, dkk. (2000) yang dikutip kembali oleh Trianto (2010: 57), pembelajaran terpadu pada dasarnya dimaksudkan sebagai kegiatan mengajar dengan memadukan materi beberapa mata pelajaran dalam satu tema. Dengan demikian kegiatan belajar mengajar dengan cara ini dapat dilakukan dengan mengajarkan beberapa materi pelajaran disajikan tiap pertemuan. Dari sejumlah teori pembelajaran terpadu yang ada, maka pengertiannya dapat diuraikan sebagai berikut: (1) pembelajaran terpadu beranjak dari suatu tema sebagai pusat perhatian yang digunakan untuk memahami gejala-gejala dan konsep lain, baik yang berasal dari bidang studi yang bersangkutan maupun dari bidang studi lain, (2) pembelajaran terpadu merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menghubungkan berbagai bidang studi yang mencerminkan dunia nyata di sekeliling dan dalam rentang kemampuan dan perkembangan anak, (3) pembelajaran terpadu merupakan suatu cara untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan secara simultan, dan (4) pembelajaran terpadu merakit dan menghubungkan sejumlah konsep dalam beberapa bidang studi yang berbeda, dengan harapan anak akan belajar dengan lebih baik dan bermakna. Pembelajaran terpadu akan terjadi jika kejadian yang wajar atau eksplorasi suatu topik merupakan inti dalam pengembangan kurikulum. Dengan berperan secara aktif dalam eksplorasi tersebut, siswa akan mempelajari materi ajar dan proses belajar beberapa bidang studi dalam waktu yang bersamaan. Dalam pernyataan tersebut jelas bahwa sebagai pemacu dalam pelaksanaan pembelajaran terpadu adalah melalui ekplorasi topik. Dalam eksplorasi topik diangkatlah suatu tema tertentu. Kegiatan pembelajaran berlangsung di seputar tema kemudian baru membahas masalah konsepkonsep pokok yang terkait dalam tema. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
188
Adri Efferi
Dari beberapa pemaknaan terhadap konsep pembelajaran terpadu, intinya terletak pada sejauh mana kemampuan seorang pendidik untuk dapat mengemas kurikulum pembelajarannya, sehingga terc ipta kesatupaduan antara satu tema/topik dengan tema/topik yang lain atau satu konsep dengan konsep yang lain pula. Model kurikulum seperti yang disebutkan tersebut, para pakar pendidikan menyebutnya dengan istilah kurikulum terintegrasi/terpadu (integrated curriculum). Karakteristik kurikulum terintegrasi menurut Lake dalam Megawangi, et.al (2005) antara lain: pertama, adanya keterkaitan antar mata pelajaran dengan tema sebagai pusat keterkaitan, kedua, menekankan pada aktivitas kongkret atau nyata, dan ketiga, memberikan peluang bagi siswa untuk bekerja dalam kelompok. Selain memberikan pengalaman untuk memandang sesuatu dalam perspektif keseluruhan, juga memberikan motivasi kepada siswa untuk bertanya dan mengetahui lebih lanjut mengenai materi yang dipelajarinya. Kurikulum terintegrasi (integrated curriculum), sering dikenal juga dengan istilah interdisciplinary teaching, thematically teaching dan synergetic teaching. Kurikulum terintegrasi dapat memberikan peluang kepada siswa untuk menarik kesimpulan dari berbagai sumber infomasi berbeda mengenai suatu tema, serta dapat memec ahkan masalah dengan memperhatikan faktor-faktor berbeda (ditinjau dari berbagai aspek). Tidak kalah pentingnya adalah dengan kurikulum terintegrasi, proses belajar menjadi relevan dan kontekstual sehingga berarti bagi siswa dan membuat siswa dapat berpartisipasi aktif sehingga seluruh dimensi manusia terlibat aktif (fisik, sosial, emosi, dan akademik). Prinsip Dasar Pembelajaran Terpadu Nielsen (1989) menyatakan bahwa pendekatan terpadu adalah suatu pendekatan pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan aspek-aspek intra dan inter-bidang studi, sehingga pembelajar memperoleh pengetahuan dan keterampilan secara utuh dan simultan dalam konteks yang bermakna. Karena itu, ukuran keterpaduan dalam pembelajaran terpadu adalah bahwa pembelajaran dilakukan secara sadar, sengaja, bertujuan, dan sistematis yang dapat membantu anak memahami topik tertentu atau ide umum dari berbagai sisi. Aktivitas pendidikan hendaknya menghilangkan jurang pemisah antara bidang-bidang studi dan agar memfokuskan arah pembelajaran kepada proses integratif, yang mengharuskan anak larut bila hendak mengorganisasi pengetahuan dan pengalaman mereka. Sementara itu, ahli pembelajaran terpadu seperti H. Jacobs dalam sebuah wawancara dengan Brandt (1991) mengatakan bahwa kebutuhan untuk melaksanakan pembelajaran terpadu didasari beberapa alasan, yaitu (1) bahwa sementara jam belajar di sekolah tetap, ilmu pengetahuan terus berkembang, (2) ada kecenderungan anak tidak betah di sekolah karena apa yang harus dipelajari tidak sesuai dengan kebutuhannya, dan (3) sudah jelas tidak logis mengajarkan konsep-konsep secara terpisah-pisah Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Model Pembelajaran Terpadu
189
sementara kehidupan anak tidak pernah menuntut pemisahan tersebut. Sebagai suatu pendekatan yang berorientasi proses, pembelajaran terpadu mempunyai ciri-ciri (1) berpusat pada siswa, (2) memberikan pengalaman langsung pada anak, (3) pemisahan antar bidang studi tidak begitu jelas, (4) menyajikan konsep dari berbagai bidang studi dalam satu proses pembelajaran, (5) bersifat luwes, dan (6) hasil pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak (Zuchdi, 1997). Model pembelajaran terpadu yang paling dikenal adalah model terhubung (connected model), model jaring laba-laba (webbed model), dan model terpadu (integrated model). Pembelajaran terpadu antar bidang studi dapat dilihat pada contoh di bawah ini:
B a h a sa In do n e sia 1 . m e n y im a k cerita N y i R o ro K id u l 2 . m e n y usun w a ca n a te n ta n g p en ce m a ra n la ut 3 . b e rce rita te n ta n g d a rm a w isa ta ke p a n ta i
IPA 1 . m en g en a l b erb a g a i jen is b in a ta n g la u t 2 . m em b e da k a n a ir la u t d a n a ir ta w a r 3 . m en era n g k an ek o sistem la ut
T e m a K e la u ta n
M a te m a tik a 1 . m e n g h itu n g lua s la u t b erd a sa rk an ska la p e ta 2 . m e n d e m o n stra sik an m e n g h itu n g b e ra t jen is a ir la ut 3 . m e n g h itu n g p ro se n ta se pe rb a n d in g a n d a ra tan da n la uta n
IPS 1 . m en je la ska n fu n g si la ut 2 . m e m b a ca p e ta te n ta n g k e d a la m an la ut 3 . m e n c erita k a n ten tan g k e k a y a an la ut
Pembelajaran terpadu perlu memilih materi beberapa mata pelajaran yang mungkin dan saling terkait. Dengan demikian, materi-materi yang dipilih dapat mengungkapkan tema secara bermakna. Mungkin terjadi ada materi pengayaan dalam bentuk contoh aplikasi yang tidak termuat dalam kurikulum. Tetapi satu hal yang perlu diingat, penyajian materi pengayaan seperti itu perlu dibatasi dengan mengacu pada tujuan pembelajaran. Pembelajaran terpadu tidak boleh bertentangan dengan tujuan pembelajaran yang berlaku, tetapi sebaliknya pembelajaran terpadu harus mendukung pencapaian tujuan pembelajaran yang termuat dalam kurikulum. Materi pembelajaran yang dapat dipadukan dalam satu tema perlu mempertimbangkan karakteristik siswa, seperti minat, kemampuan, kebutuhan dan pengetahuan awal. Materi pembelajaran yang dipadukan tidak perlu dipaksakan, artinya materi yang tidak mungkin dipadukan tidak usah dipadukan. Menurut Trianto (2010: 58-59), secara umum prinsip-prinsip pembelajaran terpadu dapat diklasifikasikan menjadi empat hal, yaitu: (1) prinsip penggalian tema, (2) prinsip pengelolaan pembelajaran, (3) prinsip evaluasi dan (4) prinsip reaksi. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
190
Adri Efferi
1. Prinsip Penggalian Tema Prinsip penggalian merupakan prinsip utama (fokus) dalam pembelajaran terpadu. Artinya, tema-tema yang saling tumpang tindih dan ada keterkaitan menjadi target utama dalam pembelajaran. Dengan demikian, dalam penggalian tema tersebut hendaklah memperhatikan beberapa persyaratan sebagai berikut: a. tema hendaknya tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat digunakan untuk memadukan banyak mata pelajaran. b. tema harus bermakna, maksudnya ialah tema yang dipilih untuk dikaji harus memberikan bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya. c. tema harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologis anak. d. tema dikembangkan harus mewadahi sebagian besar minat anak. e. tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan peristiwa-peristiwa otentik yang terjadi dalam rentang waktu belajar. f. tema yang dipilih hendaknya mempertimbangkan kurikulum yang berlaku serta harapan masyarakat (asas relevansi). g. tema yang dipilih hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar. 2. Prinsip Pengelolaan Pembelajaran Pengelolaan pembelajaran dapat optimal apabila guru mampu menempatkan dirinya dalam keseluruhan proses. Artinya, guru harus mampu menempatkan diri sebagai fasilitator dan mediator dalam proses pembelajaran. Karena itu, dalam pengelolaan pembelajaran hendaklah guru dapat berperan sebagai berikut: a. guru hendaknya jangan menjadi pemain tunggal (single actor) yang mendominasi pembicaraan dalam proses belajar mengajar. b. pemberian tanggung jawab individu dan kelompok harus jelas dalam setiap tugas yang menuntut adanya kerja sama kelompok. c. guru perlu mengakomodasi terhadap ide-ide yang terkadang sama sekali tidak terpikirkan dalam perencanaan. 3. Prinsip Evaluasi Evaluasi pada dasarnya menjadi fokus dalam setiap kegiatan. Bagaimana suatu kerja dapat diketahui hasilnya apabila tidak dilakukan evaluasi. Dalam hal ini ketika melaksanakan evaluasi dalam pembelajaran terpadu, perlu beberapa langkah positif antara lain: a. memberi desempatan kepada siswa untuk melakukan evaluasi diri (self evaluation/self assessment) disamping bentuk evaluasi lainnya. b. guru perlu mengajak para siswa untuk mengevaluasi perolehan belajar yang telah dicapai berdasarkan kriteria keberhasilan pencapaian tujuan yang akan dicapai. 4. Prinsip Reaksi Dampak pengiring (nurturant effect) yang penting bagi perilaku secara sadar belum tersentuh oleh guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Model Pembelajaran Terpadu
191
Karena itu, guru dituntut agar mampu merencanakan dan melaksanakan pembelajaran sehingga tercapai secara tuntas tujuan-tujuan pembelajaran. Guru harus bereaksi terhadap aksi siswa dalam semua peristiwa serta tidak mengarahkan aspek yang sempit ke suatu kesatuan yang utuh dan bermakna. Pembelajaran terpadu memungkinkan hal ini dan guru hendaknya menemukan kiat-kiat untuk memunculkan ke permukaan halhal yang dicapai melalui dampak pengiring. Arti Penting Pembelajaran Terpadu Pembelajaran terpadu memiliki arti penting dalam kegiatan belajar mengajar. Menurut Trianto (2010: 59-61), ada beberapa alasan yang mendasarinya, antara lain: 1. Dunia anak adalah dunia nyata Tingkat perkembangan mental anak selalu dimulai dengan tahap berpikir nyata. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak melihat mata pelajaran berdiri sendiri. Mereka melihat objek atau peristiwa yang di dalamnya memuat sejumlah konsep/materi beberapa mata pelajaran. Misalnya saat mereka berbelanja di pasar, mereka akan dihadapkan dengan suatu perhitungan (matematika), aneka ragam makanan sehat (IPA), dialog tawar menawar (Bahasa Indonesia), harga yang naik turun (IPS) dan beberapa materi pelajaran lain. 2. Proses pemahaman anak terhadap suatu konsep dalam suatu peristiwa objek lebih terorganisir Proses pemahaman anak terhadap suatu konsep dalam suatu objek sangat bergantung pada pengetahuan yang sudah dimiliki anak sebelumnya. Masing-masing anak selalu membangun sendiri pemahaman terhadap konsep baru. Anak menjadi “arsitek” pembangun gagasan baru. Guru dan orang tua hanya sebagai “fasilitator” atau mempermudah sehingga peristiwa belajar dapat berlangsung. Anak dapat gagasan baru jika pengetahuan yang disajikan selalu berkaitan dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. 3. Pembelajaran akan lebih bermakna Pembelajaran akan lebih bermakna kalau pelajaran yang sudah dipelajari siswa dapat dimanfaatkan untuk mempelajari materi berikutnya. Pembelajaran terpadu sangat berpeluang untuk memanfaatkan pengetahuan sebelumnya. 4. Memberi peluang siswa untuk mengembangkan kemampuan diri Pembelajaran terpadu memberi peluang siswa untuk mengembangkan tiga ranah sasaran pendidikan secara bersamaan. Ketiga ranah sasaran pendidikan itu meliputi: sikap (jujur, teliti, tekun, terbuka terhadap gagasan ilmiah), keterampilan (memperoleh, memanfaatkan dan memilih informasi, menggunakan alat, bekerja sama dan kepemimpinan), dan ranak kognitif (pengetahuan). Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
192
Adri Efferi
5. Memperkuat kemampuan yang diperoleh Kemampuan yang diperoleh dari satu mata pelajaran akan saling memperkuat kemampuan yang diperoleh dari mata pelajaran lain. 6. Efisiensi waktu Guru dapat lebih menghemat waktu dalam menyusun persiapan mengajar. Tidak hanya siswa, guru pun dapat belajar lebih bermakna terhadap konsep-konsep sulit yang akan diajarkan. Pembelajaran terpadu dalam kenyataannya memiliki beberapa kelebihan. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996), pembelajaran terpadu memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut: a. pengalaman dan kegiatan belajar anak relevan dengan tingkat perkembangannya. b. kegiatan yang dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan anak. c. kegiatan belajar bermakna bagi anak sehingga hasilnya dapat bertahan lama. d. keterampilan berpikir anak berkembang dalam proses pembelajaran terpadu. e. kegiatan belajar mengajar bersifat pragmatis sesuai lingkungan anak. f. keterampilan sosial anak berkembang dalam proses pembelajaran terpadu. Keterampilan sosial ini antara lain adalah: kerjasama, komunikasi dan mau mendengarkan pendapat orang lain. Disamping itu, pembelajaran terpadu menyajikan beberapa keterampilan dalam suatu proses pembelajaran. Selain mempunyai sifat luwes, pembelajaran terpadu memberikan hasil yang dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan anak. (Depdiknas, 2000: 2) Karakteristik Pembelajaran Terpadu Menurut Depdikbud (1996: 3), pembelajaran terpadu sebagai suatu proses mempunyai beberapa karakteristik atau ciri-ciri, yaitu: holistik, bermakna, otentik dan aktif. 1. Holistik Suatu gejala atau fenomena yang menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran terpadu diamati dan dikaji dari beberapa bidang kajian sekaligus, tidak dari sudut pandang yang terkotak-kotak. Pembelajaran terpadu memungkinkan siswa untuk memahami suatu fenomena dari segala sisi. Pada gilirannya nanti, hal itu akan membuat siswa menjadi lebih arif dan bijaksana di dalam menyikapi atau menghadapi kejadian yang ada di depan mereka. 2. Bermakna Pengkajian suatu fenomena dari berbagai macam aspek seperti yang dijelaskan di atas, memungkinkan terbentuknya semacam jalinan antar konsep-konsep yang berhubungan yang disebut skemata. Hal ini akan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Model Pembelajaran Terpadu
193
berdampak pada kebermaknaan dari materi yang dipelajari. Rujukan yang nyata dari segala konsep yang diperoleh dan keterkaitannya dengan konsep-konsep lainnya akan menambah kebermaknaan konsep yang akan dipelajari. Selanjutnya hal ini akan mengakibatkan pembelajaran yang fungsional. Siswa mampu menerapkan perolehan belajarnya untuk memecahkan masalah-masalah yang muncul didalam kehidupannya. 3. Otentik Pembelajaran terpadu memungkinkan siswa memahami secara langsung prinsip dan konsep yang ingin dipelajarinya melalui kegiatan belajar secara langsung. Mereka memahami dari hasil belajarnya sendiri, bukan sekedar pemberitahuan guru. Informasi dan pengetahuan yang diperoleh sifatnya menjadi lebih otentik. Misalnya, hukum pemantulan cahaya diperoleh siswa melalui kegiatan eksperimen. Guru lebih banyak bersifat sebagai fasilitator dan katalisator, sedang siswa bertindak sebagai aktor pencari informasi dan pengetahuan. Guru memberikan bimbingan ke arah mana yang dilalui dan memberikan fasilitas seoptimal mungkin untuk mencapai tujuan tersebut. 4. Aktif Pembelajaran terpadu menekankan keaktifan siswa dalam pembelajaran, baik secara fisik, mental, intelektual, maupun emosional guna tercapainya hasil belajar yang optimal dengan mempertimbangkan hasrat, minat dan kemampuan siswa sehingga mereka termotivasi untuk terus menerus belajar. Dengan demikian pembelajaran terpadu bukan sematamata merancang aktivitas-aktivitas dari masing-masing mata pelajaran yang saling terkait. Pembelajaran terpadu bisa saja dikembangkan dari suatu tema yang disepakati bersama dengan melirik aspek-aspek kurikulum yang bisa dipelajari secara bersama melalui pengembangan tema tersebut. Implikasi Pembelajaran Terpadu Sesuatu yang baru atau merupakan inovasi tentu tidak mudah untuk dilaksanakan, karena memerlukan penyesuaian diri dan kemauan untuk beradaptasi. Begitu pula dengan pembelajaran terpadu. Pembelajaran terpadu pada awalnya dan biasa diterapkan pada jenjang pendidikan usia dini, namun tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan di jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu jenjang SMP/MTs dan SMA/MA, bahkan tidak menutup kemungkinan juga bisa diujicobakan pada jenjang perguruan tinggi. Lebih lanjut akan coba diuraikan dampak atau implikasi pembelajaran terpadu dalam suatu proses pembelajaran. Implikasi pembelajaran terpadu tersebut dapat terjadi pada segenap komponen pembelajaran, namun pada makalah ini hanya akan dibatasi pada aspek guru, peserta didik, bahan ajar, dan sarana prasarana.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
194
Adri Efferi
1. Guru Dalam pelaksanaannya, pembelajaran dapat dilakukan oleh tim pengajar atau guru tunggal, tergantung pada kondisi sekolah. Kita ambil contoh guru yang mengampu mata pelajaran IPA. Bila di suatu sekolah guru IPA terdiri atas guru Fisika, Kimia, dan Biologi, maka dalam penyusunan silabus, perencanaan pembelajaran, penggunaan media, dan strategi mengajar sebaiknya dibuat bersama hingga penyusunan alat penilaiannya. Namun dalam pembelajarannya dapat dilakukan oleh guru tunggal atau dilakukan oleh guru mata pelajaran yang dominan. Misalnya bahan ajar tersebut dominan Biologi maka yang mengajar sebaiknya guru Biologi, atau bersama-sama. Bila di sekolah, seorang guru mengajar semua mata pelajaran IPA, dan mengalami kesulitan untuk memadukan kompetensi dasar, indikator, dan materi, maka sangat dianjurkan agar guru tersebut bekerja sama dalam kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) agar dapat terjadi diskusi tentang perencanaan strategi dan pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Indikator yang sudah dipadukan tidak perlu diajarkan dua kali karena tujuan pembelajaran terpadu adalah efisiensi dan efektivitas dalam pembelajaran. Bila hal ini dapat dilaksanakan, maka pembelajaran terpadu dapat meningkatkan kerja sama antar guru, baik yang ada di sekolah maupun dalam lingkup MGMP. Kerja sama ini meliputi saling mempelajari materi dari mata pelajaran yang lain. Selain meningkatkan kerja sama, pembelajaran terpadu juga meningkatkan keharusan bagi guru untuk memperluas wawasan pengetahuannya. Pembelajaran terpadu oleh guru tunggal dapat memperkecil masalah pelaksanaannya yang menyangkut jadwal pelajaran. Secara teknis, pengaturannya dapat dilakukan sejak awal semester atau awal tahun pelajaran. Hal yang perlu dihindarkan adalah pembahasan materi yang tidak seimbang karena wawasan pengetahuan tentang materi pelajaran yang lain kurang memadai. Hal utama yang harus dilakukan guru adalah memahami model pembelajaran terpadu secara konseptual maupun praktikal. Meskipun sekilas terlihat sederhana dan mudah untuk diterapkan, ternyata di lapangan pembelajaran terpadu masih terbentur pada masalahmasalah berikut ini: a) jadwal pelajaran yang sudah diatur sedemikian rupa dan tak dapat diubah begitu saja. b) masalah guru mata pelajaran yang cenderung terpisah-pisah. c) program semester yang telah memuat urutan materi yang akan diajarkan. d) penguasaan bahan ajar bagi setiap guru yang cukup bervariatif. e) keterpaduan kompetensi yang cenderung lintas kelas. 2. Peserta didik Bagi peserta didik, pembelajaran terpadu dapat mempertajam kemampuan analitis terhadap konsep-konsep yang dipadukan, karena dapat Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Model Pembelajaran Terpadu
195
mengembangkan kemampuan asosiasi konsep dan aplikasi konsep. Pembelajaran terpadu perlu dilakukan dengan variasi metode yang tidak membosankan. Aktivitas pembelajaran harus lebih banyak berpusat pada peserta didik agar dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya. 3. Bahan Ajar Bahan ajar yang digunakan tidak hanya buku mata pelajaran saja, tetapi dapat dari berbagai mata pelajaran yang direkatkan oleh tema. Peserta didik dapat juga mencari berbagai sumber belajar lainnya. Bahkan bila memungkinkan mereka dapat menggunakan teknologi informasi yang ada. Aktivitas peserta didik dalam penugasan dapat menjadi nilai tambah yang menguntungkan. Dalam pembelajaran terpadu, suatu bahan ajar dapat dibahas dari beberapa mata pelajaran sehingga wawasan peserta didik diharapkan akan lebih terbuka. Di samping itu karena konsep-konsep itu dipadukan dalam suatu pembelajaran, maka akan mengurangi kebosanan peserta didik terhadap pengulangan bahan ajar pada berbagai mata pelajaran. 4. Sarana dan Prasarana Dalam pembelajaran terpadu diperlukan berbagai alat dan media pembelajaran. Karena digunakan untuk pembelajaran konsep yang direkatkan oleh tema, maka penggunaan sarana pembelajaran dapat lebih efisien jika dibandingkan dengan pemisahan mata pelajaran. Memang tidak semua konsep dapat dipadukan. Konsep-konsep yang dipilih untuk direkat oleh tema dapat menghemat waktu dan ruang. Kekuatan dan Kelemahan Pembelajaran Terpadu 1. Kekuatan Kekuatan atau manfaat yang dapat dipetik melalui pelaksanaan pembelajaran terpadu antara lain sebagai berikut: a) dengan menggabungkan berbagai mata pelajaran akan terjadi penghematan waktu, seperti contoh yang dibahas terdahulu yakni pada Mata Pelajaran IPA. Ketiga disiplin ilmu yang masuk dalam wilayah IPA (Fisika, Kimia, dan Biologi) dapat dibelajarkan sekaligus. Tumpang tindih materi juga dapat dikurangi bahkan dihilangkan. b) peserta didik dapat melihat hubungan yang bermakna antar konsep. c) meningkatkan taraf kecakapan berpikir peserta didik, karena peserta didik dihadapkan pada gagasan atau pemikiran yang lebih luas dan lebih dalam ketika menghadapi situasi pembelajaran. d) pembelajaran terpadu menyajikan penerapan/aplikasi tentang dunia nyata yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memudahkan pemahaman konsep dan kepemilikan kompetensi. e) motivasi belajar peserta didik dapat diperbaiki dan ditingkatkan. f ) pembelajaran terpadu membantu menciptakan struktur kognitif yang dapat menjembatani antara pengetahuan awal peserta didik dengan pengalaman belajar yang terkait, sehingga pemahaman menjadi lebih Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
196
Adri Efferi
terorganisasi dan mendalam, juga memudahkan memahami hubungan materi dari satu konteks ke konteks lainnya. g) akan terjadi peningkatan kerja sama antar guru submata pelajaran terkait, guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik, peserta didik atau guru dengan narasumber; sehingga belajar lebih menyenangkan, belajar dalam situasi nyata, dan dalam konteks yang lebih bermakna. 2. Kelemahan Di samping kekuatan atau manfaat yang dikemukakan itu, model pembelajaran terpadu juga memiliki beberapa sisi kelemahan. Perlu disadari, bahwa sebenarnya tidak ada model pembelajaran yang cocok untuk semua konsep, oleh karena itu model pembelajaran harus disesuaikan dengan konsep yang akan diajarkan. Akan tetapi kelemahan tersebut seyogianya menjadi tantangan, untuk terus berupaya diatasi oleh pihak-pihak yang terlibat di sekolah. Beberapa kelemahan yang perlu diatasi, dapat diuraikan sebagai berikut: a) Aspek Guru: Guru harus berwawasan luas, memiliki kreativitas tinggi, keterampilan metodologis yang handal, rasa percaya diri yang tinggi, dan berani mengemas dan mengembangkan materi. Secara akademik, guru dituntut untuk terus menggali informasi ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan dan banyak membaca buku agar penguasaan bahan ajar tidak terfokus pada mata pelajaran tertentu saja. Tanpa kondisi ini, maka pembelajaran terpadu akan sulit terwujud. b) Aspek peserta didik: Pembelajaran terpadu menuntut kemampuan belajar peserta didik yang relatif “baik”, baik dalam kemampuan akademik maupun kreativitasnya. Hal ini terjadi karena model pembelajaran terpadu menekankan pada kemampuan analitik (mengurai), kemampuan asosiatif (menghubung-hubungkan), kemampuan eksploratif dan elaboratif (menemukan dan menggali). Bila kondisi ini tidak dimiliki, maka penerapan model pembelajaran terpadu ini sangat sulit dilaksanakan. c) Aspek sarana dan sumber pembelajaran: Pembelajaran terpadu memerlukan bahan bacaan atau sumber informasi yang cukup banyak dan bervariasi, mungkin juga fasilitas internet. Semua ini akan menunjang, memperkaya, dan mempermudah pengembangan wawasan. Bila sarana ini tidak dipenuhi, maka penerapan pembelajaran terpadu juga akan terhambat. d) Aspek kurikulum: Kurikulum harus luwes, berorientasi pada pencapaian ketuntasan pemahaman peserta didik (bukan pada pencapaian target penyampaian materi). Guru perlu diberi kewenangan dalam mengembangkan materi, metode, penilaian keberhasilan pembelajaran peserta didik. e) Aspek penilaian: Pembelajaran terpadu membutuhkan cara penilaian yang menyeluruh (komprehensif), yaitu menetapkan keberhasilan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Model Pembelajaran Terpadu
197
belajar peserta didik dari beberapa mata pelajaran terkait yang dipadukan. Dalam kaitan ini, guru selain dituntut untuk menyediakan teknik dan prosedur pelaksanaan penilaian dan pengukuran yang komprehensif, juga dituntut untuk berkoordinasi dengan guru lain, bila materi pelajaran berasal dari guru yang berbeda. f) Suasana pembelajaran: Pembelajaran terpadu berkecenderungan mengutamakan salah satu mata pelajaran dan ‘tenggelam’nya mata pelajaran lain. Dengan kata lain, pada saat mengajarkan sebuah TEMA, maka guru berkecenderungan menekankan atau mengutamakan substansi gabungan tersebut sesuai dengan pemahaman, selera, dan latar belakang pendidikan guru itu sendiri. Sekalipun pembelajaran terpadu mengandung beberapa kelemahan selain keunggulannya, sebagai sebuah bentuk inovasi dalam implementasi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar perlu dikembangkan lebih lanjut. Untuk mengurangi kelemahan-kelemahan di atas, perlu dibahas bersama antara guru mata pelajaran terkait dengan sikap terbuka. Kesemuanya ini ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pembelajaran. Penutup Pendidikan holistik merupakan suatu filsafat pendidikan yang berangkat dari pemikiran bahwa pada dasarnya seorang individu dapat menemukan identitas, makna dan tujuan hidup melalui hubungannya dengan masyarakat, lingkungan alam, dan nilai-nilai spiritual. Tujuan pendidikan ini membantu mengembangkan potensi individu dalam suasana pembelajaran yang lebih menyenangkan dan menggairahkan, demokratis dan humanis melalui pengalaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui pendidikan holistik, peserta didik diharapkan dapat menjadi dirinya sendiri (learning to be). Dalam arti dapat memperoleh kebebasan psikologis, mengambil keputusan yang baik, belajar melalui cara yang sesuai dengan dirinya, memperoleh kecakapan sosial, serta dapat mengembangkan karakter dan emosionalnya. Disamping itu, pendidikan holistik memperhatikan kebutuhan dan potensi yang dimiliki peserta didik, baik dalam aspek intelektual, emosional, fisik, artistik, kreatif, dan spiritual. Proses pembelajaran menjadi tanggung jawab personal sekaligus juga menjadi tanggung jawab kolektif, oleh karena itu strategi pembelajaran lebih diarahkan pada bagaimana mengajar dan bagaimana orang belajar. Dalam pendidikan holistik, peran dan otoritas guru untuk memimpin dan mengontrol kegiatan pembelajaran hanya sedikit dan guru lebih banyak berperan sebagai sahabat, mentor, dan fasilitator. Pendidikan holistik dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran dengan beberapa cara, diantaranya dengan menerapkan pembelajaran terintergrasi/terpadu (Integrated Learning). Model pembelajarn ini menempatkan siswa dalam posisi sentral, siswa sebagai peserta didik yang aktif, terutama dalam keterampilan berpikir. Beberapa keterampilan berpikir dikembangkan dalam pembelajaran ini, seperti: mengamati, Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
198
Adri Efferi
membedakan, mengurutkan, menduga dan mengukur, mengelompokan, bertanya, merumuskan hipotesis, membandingkan, menganalisis, memadukan, menggenarilasisikan, menilai, memperkirakan, menginterpretasikan, merencanakan, melakukan perc obaan, berkomunikasi, berpikir konvergen, berpikir divergen, berpikir induktif, berpikir deduktif, menyimpulkan, dan mengambil keputusan. Bentuk penerapan pembelajaran terpadu didasarkan pada pengaitan konseptual intra dan/atau antar bidang studi yang terjadi secara spontan, dengan program kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan secara sepenuhnya mengikuti kurikulum yang isinya masih terkotak-kotak berdasarkan bidang studi agar terorganisasi secara terstruktur, lebih eksplisit dan bertolak dari tema-tema. Akhirnya, sekolah hendaknya menjadi tempat peserta didik dan guru bekerja guna mencapai tujuan yang saling menguntungkan. Komunikasi yang terbuka dan jujur sangat penting, perbedaan individu dihargai dan kerjasama lebih utama daripada kompetisi. Cita-cita mulia ini, hanya mungkin diwujudkan dengan melaksanakan pendidikan yang bersifat menyeluruh (holistik) dan menyatu (integratif), baik antar komponen pendukung proses pembelajaran maupun dalam materi yang akan disampaikan.
DAFTAR PUSTAKA Badan Standar Nasional Pendidikan. (2005). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Bahasa Indonesia untuk SD/MI. Brandt, R. (1991). On Interdiciplinary Curriculum: a Convensation with Heidi Hayes Jacobs. Educational Leadership. Oktober. Depdiknas. (1996). Pembelajaran Terpadu D-II PGSD dan S-2 Pendidikan Dasar, Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. (2005). Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005 – 2009. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional. Joni, T.R, dkk. (1996). Pembelajaran Terpadu D-II PGSD dan S-2 Pendidikan Dasar, Jakarta: Depdiknas. Latifah, M. (2008). “Pendidikan Holistik”. Bahan Kuliah (tidak dipublikasikan). Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Megawangi, R., Melly L., Wahyu F.D. (2005). Pendidikan Holistik. Cimanggis: Indonesia Heritage Foundation. Nielsen, M.N. (1989). Integrative Learning for Young Children: Thematic Approach. Education Horizon. Fall. Prihantoro, dkk. (1986). IPA Terpadu. Jakarta: Depdikbud Universitas Terbuka. Trianto. (2010). Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi Aksara. Zuchdi, D. (1997). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah. Jakarta: Depdikbud.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
199
MEMBUMIKAN PENDIDIKAN HOLISTIK Oleh Jejen Musfah
Abstracts: Holistic education can be understood as an educational model that can provide an understanding of global issues such as human rights, social justice, multicultural, religious, and global warming, so that learners are able to create insightful and global character and able to provide solutions to the problems of humanity and peace. Implementation of this educational model, of course,have to see the most important elements in education, such as goals, curriculum, methods, educators, and evaluation. Key word: Objectives, curriculum, methods, educators, and evaluation
Pendahuluan Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan di setiap negara tidak menunjukkan perkembangan yang positif. Konflik horizontal dan kekerasan kerap menghiasi media. Kemajuan ekonomi dan Teknologi Informasi (TI) tidak berbanding lurus dengan terciptanya masyarakat beradab yang menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan, seperti bersikap jujur, adil, sederhana, toleran, disiplin, dan bertanggung jawab. Sebagai contoh, perilaku kekerasan dilakukan oleh banyak lapisan mulai dari siswa, mahasiswa, hingga masyarakat. Berdasarkan data dari Polda Metro Jaya, sejak Januari hingga awal Juli lalu terjadi 36 tawuran di lima wilayah kota di Jakarta dan Bekasi. Paling banyak terjadi di Jakarta Pusat, yaitu 24 kejadian, lalu Jakarta Selatan 5 kejadian, Jakarta Barat 3 kejadian, Bekasi 2 kejadian, serta Jakarta Utara dan Jakarta Timur masingmasing 1 kejadian (Kompas, 21 Juli 2011).
Makalah pernah dipresentasikan pada Seminar Internasional Education for Humanity: Redesigning Global Education towards Holistic Education” tanggal 23-24 Nopember 2011. Penulis adalah Dosen Program Studi Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
200
Jejen Musfah
Kekerasan terjadi di kalangan masyarakat akademik (academic society), dari pelajar hingga mahasiswa. Pemberitaan tentang pelajar dan mahasiswa memunculkan sederet diksi yang tidak relevan dengan kultur akademik (academic culture), seperti—pada level mahasiswa—parang, kampus rusuh, gedung terbakar, botol bom Molotov, pisau, pedang, mahasiswa luka, dan—pada level pelajar—gir sepeda motor, golok, tongkat bambu, dan celurit. Generasi saat ini merupakan hasil dari pendidikan masa lalu—10 hingga 15 tahun ke belakang. Pendidikan di mana pun sejatinya berorientasi pada pembentukan manusia seutuhnya yang mencakup penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap; manusia yang tidak hanya cerdas dan terampil, tetapi juga menjalankan keluhuran budi pekerti dalam menjalankan hidup ini—utamanya terhadap sesama. Tegasnya, pendidikan selalu berorientasi pada pembentukan manusia yang beradab dan terampil serta cerdas. Proses pendidikan perlu ditinjau ulang, karena dianggap belum berhasil melahirkan generasi yang holistik atau utuh sebagai pembawa kedamaian, ketentraman, dan ketenangan bagi sesama dan alam ini. Pendidikan tidak saja perlu merevisi kurikulum, meningkatkan mutu pendidik, mengembangkan sarana-prasana, akan tetapi harus juga memerhatikan bagaimana pengetahuan itu disampaikan, bagaimana budaya sekolah dan perguruan tinggi, dan bagaimana kepemimpinan lembaga pendidikan. Kecuali itu, penting juga mempertanyakan bagaimana kontribusi masyarakat dalam bidang pendidikan. Pendidikan harus mengenalkan peserta didik tentang isu-isu penting yang dihadapi oleh kemanusiaan, sekaligus harus mampu memberikan pemec ahan atas masalah-masalah kemanusiaan tersebut. Dengan demikian, peserta didik memiliki kesadaran tentang hakikat dirinya, yaitu: siapa, untuk apa, dan bagaimana. Kehidupan seorang manusia bermakna manakala ia mampu memberikan kedamaian, kebahagiaan, dan pencerahan bagi orang-orang di sekitarnya. Pendidikan dengan gambaran seperti itu dinamakan dengan pendidikan Holistik. Kecuali itu, agenda pendidikan bukan hanya terfokus pada level sekolah dan kampus, tetapi harus turun menyentuh lapisan masyarakat, seperti organisasi masyarakat, partai politik, kalangan pengusaha, dan masyarakat bawah (grass root) yang rawan konflik kekerasan. Tentu banyak variabel penting yang terkait dengan gagasan perlunya pendidikan holitik dirumuskan. Sebut saja misalnya dari visi dan misi, kurikulum, budaya, sumber belajar, pendidik dan tenaga kependidikan, metode, hingga pada kebijakan pemerintah. Ini dari segi praktik pendidikan, sedangkan dari segi sudut pandang yang lain, pendidikan holistik bisa dianalisis dari perspektif hukum, sejarah, ekonomi, sosiologi, dan antropologi—baik teoritis maupun praksis. Semua harus dirancang sedemikian rupa sehingga mewujud menjadi satu kesatuan utuh sebagai sebuah konsep yang dalam pelaksanaannya membutuhkan sinergi dan konsistensi, serta tentu saja evaluasi yang menyeluruh. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
201
Makalah ini berisi tinjauan selintas tentang pendidikan holistik dari sudut pandang teoritis (konsep [?]) pendidikan dan pelaku pendidikan— sebagai guru dan dosen. Karena itu, isi makalah ini lebih tepat disebut sebagai pengantar. Tidak juga semua aspek pendidikan dibahas, karena pertimbangan waktu dan kemampuan yang dimiliki penulis. Pembahasan 1. Beberapa Pengertian Berikut ini beberapa pengertian pendidikan holistik menurut tokoh. Menurut Ron Miller—pendiri Jurnal Holistic Education Review, “Holistic education is a philosophy of education based on the premise that each person finds identity, meaning, and purpose in life through connections to the community, to the natural world, and to humanitarian values such as compassion and peace. Holistic education aims to call forth from people an intrinsic reverence for life and a passionate love of learning,” (www.eng.wikipedia.com). Karena praktik pendidikan selama ini dianggap gagal menjawab tantangan dan kemelut zaman, maka pendidikan holistik sering dianggap sebagai pendidikan alternatif. Robin Ann Martin (2003) menjelaskan, “At its most general level, what distinguishes holistic education from other forms of education are its goals, its attention to experiential learning, and the significance that it places on relationships and primary human values within the learning environment,” (www.eng.wikipedia.com). Pendidikan holistik adalah pendidikan yang memberikan pemahaman terhadap permasalahan global seperti HAM, keadilan sosial, multikultural, agama, dan pemanasan global, sehingga mampu melahirkan peserta didik yang berwawasan dan berkarakter global serta mampu memberikan solusi terhadap permasalahan kemanusiaan dan perdamaian. Dengan demikian, pendidikan holistik bertujuan membentuk peserta didik yang setia memahami persoalan lingkungannya dan berusaha ikut terlibat langsung dalam upaya pemecahan masalah-masalah lokal dan global. Hal ini meniscayakan kompetensi dan militansi yang memadai dari setiap peserta didik tentang diri, lingkungan sosial, dan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK). Tanpa kata holistik di belakangnya, pendidikan—secara teoritis—sejak dulu sebenarnya telah komprehensif atau utuh. Utuh dalam pengertian bahwa ia bertujuan melahirkan murid yang memiliki kecerdasan pengetahuan, emosional, dan spiritual, serta terampil. Demikian juga dengan kurikulum, metode, media, dan evaluasinya. Ini terbaca misalnya dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 Poin 1, bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Hanya saja dalam praktiknya sering menyimpang, terutama di sekolah/ Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
202
Jejen Musfah
madrasah yang tanpa kepemimpinan yang kuat dan visi yang jelas. Bahkan, pendidikan, jika ingin berhasil, membutuhkan perencanaan, eksekusi, dan penilaian/evaluasi yang matang. Jadi bukan proses yang serba instan, asal jalan, apalagi dikelola dan dijalankan oleh tenaga-tenaga tidak profesional. Sebagai contoh, bagaimana menjamin mutu madrasah jika para gurunya tidak memenuhi standar semisal S1, dan tidak pernah mengikuti serangkaian pelatihan profesional. Sama dengan saat ramai ide pentingnya pendidikan anti korupsi dan pendidikan karakter, pendidikan holistik tidak harus menjadi tambahan mata pelajaran baru di sekolah/madrasah. Persoalannya bagaimana para pendidik mengintegrasikan pembelajaran di kelas dengan persoalanpersoalan sosial, keagamaan, ekonomi, dan hukum. Pendidikan holistik adalah pendidikan yang memahamkan peserta didik pada persoalanpersoalan yang terjadi di sekitarnya, plus menerampilkan mereka pemecahan masalah tersebut. Minimal, murid aware dengan persoalanpersoalan tersebut. Jadi pendidikan holistik tidak semata utuh dari segi tujuan pendidikan. Lebih dari itu, murid harus mampu memahami diri dan lingkungannya; kurikulum, metode, dan pendidik harus pula diarahkan sesuai karakter dan prinsip-prinsip, serta core pendidikan holistik. 2. Tujuan Pendidikan Di atas telah dijelaskan bahwa tujuan pendidikan harus mengembangkan potensi manuusia secara utuh, yaitu: kognitif, psikomor, dan afektif. Beberapa pemetaan dan istilah muncul dalam konteks pengembangan kompetensi manusia yang menjadi tanggung jawab dan atau tujuan pendidikan, mulai dari perspektif agama hingga psikologi (lihat bagan 1). Bagan 1, Tujuan Pendidikan No 1 2 3 4 5
Aspek Jasmani dan Ruhani Tubuh, Jiwa, Akal, Otak, dan Hati/Kalbu Kognitif, Psikomotorik, dan Afektif IQ, EQ, SQ, dan SQ (Kecerdasan Intelektual, Emosional, Sosial, dan Spiritual) Multiple Intelligence (Kecerdasan Kinestetik, Bahasa, Musik, Logika, Intrapersonal, Interpersonal, Naturalis, dan Visual)
Pertama, jasmani atau tubuh. Sistem pendidikan Indonesia menyadari pentingnya kesehatan jasmani bagi generasi muda. Dari Pendidikan Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK)/RA, Sekolah Dasar (SD)/MI, SLTP/ MTS, hingga SMA/MA ada mata pelajaran olahraga dan kesehatan, tentu berikut kewajiban membeli dan memakai seragam olahraga di hari Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
203
tertentu. Entah bagaimana sejarahnya, di perguruan tinggi, mahasiswa tidak diwajibkan berolahraga seperti di level atas, menengah, dan dasar tersebut. Olahraga atau olahtubuh penting untuk kesehatan fisik. Dalam tubuh yang sehat ada pikiran yang jernih. Keberhasilan pendidikan kesehatan harus mewujud dalam fakta masyarakat yang tidak saja menyadari pentingnya berolahraga secara rutin sesuai pilihan dan kemampuan ekonomi masing-masing, tetapi menghindari kebiasaan buruk yang mengganggu kesehatan tubuh dalam jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang, seperti kebiasaan merokok, mengkonsumsi narkoba, dan minuman keras. Sebaliknya, masyarakat sadar pentingnya mengkonsumsi makanan dan minuman yang seimbang kandungan gizi, nutrisi dan vitaminnya (dulu, apa yang disebut dengan empat sehat lima sempurna), seperti susu, nasi, tahu, tempe, daging, sayur-mayur, dan buah-buahan. Kadar makan tidak boleh berlebihan; berhenti sebelum kenyang. Minum air putih yang cukup dan istirahat atau tidur yang cukup. Apakah masyarakat kita sudah memilih hidup sehat atau sebaliknya? Di sinilah pentingnya pendidikan kesehatan. Pendidikan yang mampu menanamkan kesadaran kepada generasi muda, bahwa sampai kapan pun mereka harus meluangkan waktunya untuk kepentingan kesehatan tubuh. Mengejar karir dan bekerja penuh loyalitas dan dedikasi tinggi penting, tetapi tidak boleh sampai meninggalkan olahraga dan istirahat yang seimbang. Dengan demikian, usia panjang dan sehat bisa diraih. Kedua, akal dan atau otak. Pendidikan mengisi akal atau otak manusia dengan pengetahuan. Pengetahuan yang mendalam mengantar manusia pada kecerdasan dan keterampilan yang sangat bermanfaat untuk modal bekerja pada beragam bidang. Kecerdasan dan keterampilan mengantar manusia pada kesejahteraan ekonomi, sehingga ia mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia, seperti rumah, makanan, kendaraan, rasa aman, cinta, diakui, aktualisasi diri, dan seterusnya. Perubahan dunia yang tampak pada kemajuan pendidikan, peradaban, ekonomi, budaya, teknologi dan informasi, sains, menunjukkan kemajuan akal manusia yang mana pintu utamanya adalah pendidikan. Pendidikan lah—dalam bentuknya yang beragam—yang memungkinkan ide-ide kreatif dan inovatif muncul di tengah-tengah kehidupan kita. Kecerdasan dan kecemerlangan akal manusia memungkinkan hidup manusia menjadi lebih mudah dan simpel. Jarak yang jauh menjadi terasa dekat. Beban yang berat menjadi terasa ringan. Masalah yang sulit menjadi terasa mudah. Bahkan sesuatu yang mahal menjadi terasa murah. Contoh yang mudah diberikan adalah kehadiran internet dan telepon genggam, serta pesawat terbang. Untuk pergi keluar kota selama seminggu seseorang tidak harus membawa uang cash 5 hingga 10 juta, cukup dengan membawa kartu ATM. Demikian juga pada saat membeli tiket pesawat. Cukup memesan melalui telepon, satu jam kemudian tiket diantar ke kantora. Di bidang kesehatan ditemukan banyak cara atau metode penyembuhan penyakit, baik penyembuhan a la modern maupun tradisional (herbal). Di bidang agama, penghafal Al-Quran Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
204
Jejen Musfah
dan Hadis tidak sedikit. Tentu banyak contoh lainnya yang sangat dekat dengan kehidupan kita yang membuktikan pentingnya pendidikan akal atau otak manusia. Otak manusia menyimpan potensi yang tak terbatas untuk memecahkan beragam problem kehidupan di dunia ini. Kuncinya pendidikan. Kita memiliki beberapa tokoh cerdas seperti RA Kartini, Zakiyah Darajat, Buya Hamka, KH. Ahmad Dahlan, Ki Hajar Dewantara, Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, M. Quraish Shihab, Bj. Habibie, Abdurrahman Wahid, KH Hasyim As’ari, Goenawan Muhammad, Nurcholish Majid, Emha Ainun Najib, Harun Nasution, Haidar Baghir, Azyumardi Azra, Imam Suprayogo, Komaruddin Hidayat, Moeslim Abdurrahman, Jalaluddin Rahmat, dan seterusnya. Kepada penguasaan aspek apa sebuah generasi akan diarahkan tergantung pada political and good will pemimpin bangsa dan pendidikan saat ini. Ketiga, ruhani dan hati. Pendidikan menyentuh pula sisi terdalam dalam manusia, yaitu ruhani dan hatinya. Ini bertujuan melahirkan generasi yang mampu membuat pilihan yang terbaik dalam hidupnya. Baik untuk diri dan lingkungannya. Perbuatan yang membawa manfaat. Phenix menulis (1964: 215), “Esensi makna etik, atau pengetahuan moral, adalah perbuatan yang benar, yaitu, apa yang seharusnya seseorang lakukan”. Pintar dan cerdas intelektual seperti digambarkan di atas harus diimbangi kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual agar manusia menemukan makna hidupnya, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Desain gedung yang kokoh, tinggi, megah, dan indah; mobil mewah, rumah megah, pakaian yang necis, dan telepon genggam yang canggih, itulah yang dibanggakan oleh generasi sekarang, namun melupakan pentingnya pembangunan karakter. Menurut Husain dan Ashraf (1979: 107), “Dalam dunia kontemporer saat ini perhatian lebih ditujukan pada bangunan, peralatan, perlengkapan, dan materi, dibandingkan pada kepribadian dan karakter… “. Pendidikan berhasil jika mampu melahirkan murid yang mampu melakukan kebaikan di tengah pilihan yang sulit. Misalnya, ia mampu mencontek tetapi tidak melakukannya; ia mampu berbohong pada orang tua tetapi tidak melakukannya; kelak, ia mampu korupsi tapi tidak melakukannya; dan seterusnya. Phenix menulis (1964: 215), “The essence of ethical meanings, or of moral knowledge, is right deliberate action, that is, what a person ought voluntarily to do.” Berkenaan dengan pengembangan akhlak dalam pendidikan, Miller dan Seller (1985: 47), menjelaskan bahwa, “Education should teach children to restrain and control themselves.” Pendidikan bertujuan mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual peserta didik. Dalam diri manusia diharapkan muncul kesalehan spiritual sekaligus kesalehan sosial. Dengan demikian, wujud kehidupan masyarakat dan bangsa diwarnai dengan nilainilai kasih sayang, ketulusan, tanggung jawab, kejujuran, pengorbanan, kepatuhan, kedisiplinan, rasa malu, penghormatan, penghargaan, kemuliaan, rendah hati, cinta lingkungan, dan nasionalisme. Nilai-nilai Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
205
tersebut seharusnya menjadi budaya dan karakter bangsa. Whitehead (1957: 26) menulis, “The essence of education is that it be religious.” Menurut Muhammad Qutb (1967: 50), “Tujuan pendidikan Islam adalah membimbing manusia sedemikian rupa, sehingga ia selalu tetap berada dalam hubungan dengan Allah Swt.”. Merasa dekat dengan Allah akan membimbing manusia ke arah perilaku yang semata baik. Apakah pendidikan nasional dengan demikian bisa dikatakan gagal? Tidak sepenuhnya gagal. Di atas telah disebutkan sejumlah nama tokoh putra-putri bangsa hasil dari pendidikan nasional. Persoalannya, melahirkan generasi yang berkarakter sekelas Mahatma Ghandi, Nelson Mandela, Arif Rahman, Kak Seto Mulyadi, Ratna Megawangi, dan Munir, memerlukan tokoh teladan—untuk tidak mengatakan membutuhkan keajaiban atau takdir sejarah. Singkatnya, apakah tokoh berkarakter itu merupakan hasil dari proses pendidikan atau keharusan sejarah—karena dunia memerlukan tokoh-tokoh inspiratif untuk pembelajaran bagi penguasa lalim dan generasi mendatang. Jadi kalau kita percaya asumsi pertama, bahwa pendidikan karakter memerlukan teladan, apakah kita memilikinya? Presiden, menteri, wakil menteri, anggota legislatif, hakim, jaksa, polisi, pengusaha, politisi, guru besar, dosen, guru, kepala sekolah/madrasah, pegawai pemerintah, apakah merupakan sosok ideal yang layak ditiru sisi intelektual, emosional, sosial, dan spiritualnya oleh generasi muda? Dan kalau kita sudah menggeleng kepala tanda ragu, apakah bangsa kita memiliki sistem yang bisa membuat masyarakat menjadi hidup lebih teratur, disiplin, taat hukum, hidup bersih, mau sekolah, taat membayar pajak, tidak korupsi, tidak menyogok, dan tidak segan berobat ke rumah sakit? Kehadiran sistem yang memihak rakyat hanya akan lahir dari pemimpin-pemimpin yang tegas dan berjiwa besar. Pemimpin yang berkarakter. Pemimpin yang dalam bekerja dilandasi nurani dan hati bukan pertimbangan akal semata. Di sinilah peran pendidikan yang utama, yaitu melahirkan generasi pemimpin yang memiliki karakter yang kuat. Tegas dan siap menanggung resiko sepahit apa pun, karena yang diperjuangkannya adalah kebenaran, kemanusiaan, dan keadilan. Pengembangan moral peserta didik harus menjadi pijakan dasar pelaku pendidikan dalam menjalankan proses belajar mengajar. Menurut Henson (1995: 84), “Guru tidak dapat menolak mengajarkan etik. Alasan lain mengapa guru harus memperhatikan etik adalah bahwa, di setiap masyarakat, pendidikan menginisiasikan para pemuda ke dalam budayanya, dan kepercayaan moral merupakan bagian besar budaya”. Hadis Rasulullah yang diriwayatkan Thabrani dari Ibnu Amr menunjukkan bahwa, “seorang mukmin yang paling utama imannya adalah yang paling baik akhlaknya,” (Bek, t.th.: 30). Manusia lahir dengan membawa potensi jamak. Potensi dan atau kecerdasan yang mungkin muncul dalam diri manusia adalah Kinestetik, Bahasa, Musik, Logika, Intrapersonal, Interpersonal, Naturalis, dan Visual. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
206
Jejen Musfah
Dalam pribadi seseorang bisa muncul lebih dari satu kecerdasan. “Tujuan pendidikan harus menyentuh kecerdasan jamak yang ada pada setiap murid,” (Armstrong, 1994; Goleman, 2006). Sekolah harus menjadi tempat tumbuh kembangnya potensi peserta didik seraya mengapresiasi keragaman kecerdasan yang dimiliki anak. Dalam praktik, sekolah memberi penghargaan berdasarkan prestasi anak dalam ragam kecerdasan—seperti per bidang studi atau mata pelajaran, bukan akumulasi nilai akhir raport, semisal Juara I, II, III, dan seterusnya. 3. Kurikulum Kurikulum adalah materi pelajaran, praktik, kegiatan, dan seluruh pengalaman peserta didik di sekolah yang didesain secara matang agar peserta didik cerdas intelektual, emosional, dan spiritual. Kurikulum sekolah mencakup kebiasaan, tata tertib, ektra kurikuler, dan teladan dari pendidik, staf, dan kepala sekolah. Eisner (2002: 26) menjelaskan makna kurikulum, yaitu “all of the experience the child has under the aegis of the school.” Ia juga menjelaskan bahwa, “the curriculum of a school, or a course, or a classroom can be conceived of as a series of planned events that are intended to have educational consequences for one or more students.” Ronald C. Doll (1974: 22) menyatakan, “The commonly accepted definition of the curriculum has changed from content of course of study and list of subjects and courses to all the experiences which are offered to learners under the auspices or direction of the school…” Karena pendidikan bertujuan mengembangkan potensi manusia yang holistik, jasmani-ruhani, akal-hati, dan intelektual-emosional-sosial-spiritual, maka kurikulum pendidikan pun mestinya berisi materi, aturan, kegiatan, dan program yang dapat dan terkait dengan pencapaian tujuan beragam aspek tersebut. Kurikulum pendidikan harus berlandaskan norma agama, disamping budaya. Muhammad Qutb (Al-Attas, 1979: 48-9) dalam The Role of Religion in Education, tiga puluh tahun yang silam menulis, “Agama telah terisolasi dan teralienasi dari kehidupan dan perasaan kita karena kita tidak menjalankannya dalam kehidupan nyata…Hidup kita, dalam segala aspek, bukanlah contoh dari kurikulum Allah yang terdiri dari kepercayaan, tugastugas ibadah, bekerja, perasaan, tingkah-laku, politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya”. Budaya mutu sekolah sebagai hidden curriculum harus terpelihara dengan baik karena ia akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan intelektual dan keterampilan serta sikap murid. Bruner (1973: 52) menulis, “For the limits of growth depend on how a culture assist the individual to use such intellectual potential as he may posses.” Di era modern masih kokoh tiang penindasan terhadap yang lemah oleh pihak yang kuat dan berkuasa dan subur benih pembelaan terhadap yang jelas salah. Inilah yang harus diajarkan kepada para murid, bahwa realitas dunia ini penuh dengan hal-hal yang tidak semestinya. Oleh karena itu, kelak mereka harus menjadi penegak keadilan dan kebebasan—sesuai Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
207
dengan kapasitas masing-masing. Menurut Kohlberg, “Wanted to see people advance to the highest possible stage of moral thought. The best possible society would contain individuals who not only understand the need for social order, but can entertain visions of universal principles, such as justice and liberty,” (Crain, 2000: 165). Krisis ekonomi, lingkungan, politik, kekerasan, korupsi, suap, nepotisme, dan kolusi terjadi karena lemahnya etika dan karakter. Karena itu, pendidik perlu mendapat wawasan karakter yang mungkin bisa diajarkan dan dicontohkan kepada peserta didik, tanpa kecuali. Pendidikan karakter tidak harus menjadi mata pelajaran, karena inti pendidikan adalah pembentukan karakter dan setiap mata pelajaran yang sudah ada mengandung nilai-nilai utama. Persoalannya adalah para guru/pendidik telah kehilangan legitimasi sebagai teladan, karena sikap dan perbuatannya tidak sesuai dengan apa yang diucapkan. Henson (1995: 89) menulis, “Teachers cannot avoid teaching ethics. Teachers must be concerned with ethics is that, in any society, education serves to help initiate its young into its culture, and certainly moral beliefs are a large part of any culture.” Sulit mengembangkan karakter jika guru kehilangan kepercayaan diri, dan apalagi tidak sadar bahwa ia adalah harapan masyarakat dan bangsa. Guru adalah kurikulum bagi pembentukan karakter peserta didik. Kepala sekolah merupakan kurikulum bagi sikap guru. Pemimpin ialah kurikulum bagi peningkatan budaya bawahannya. Presiden adalah kurikulum bagi pengembangan karakter dan jiwa rakyatnya. Demikianlah, penegakkan karakter sebuah generasi akan sia-sia tanpa keteladanan dari guru, masyarakat, dan pemimpin. Kurikulum mencakup semua hal yang bisa mencerahkan dan memberi pelajaran kepada peserta didik, langsung maupun tak langsung. Kurikulum pendidikan adalah buku pelajaran, interaksi guru-murid, murid dengan murid, murid dengan karyawan, perpustakaan, kantin, taman, program, tata tertib, suasana dan kondisi kelas dan sekolah. Karena itu, semua hal tersebut harus dirancang (by design) dengan matang untuk pembelajaran. Program rutin sekolah bisa berupa workshop tentang tema-tema krusial seperti korupsi, anak jalanan, banjir, narkoba, tawuran, terorisme, krisis ekonomi, pemanasan global, perdagangan manusia, dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Di samping workshop, sekolah bisa membuat program yang langsung menyentuh komunitas-komunitas yang terkait masalahmasalah tersebut. Dengan demikian, peserta didik mengetahui akar persoalan, dan berkontribusi terhadap pemecahan masalah tertentu. Dari kegiatan semacam ini peserta didik diharapkan belajar tentang problem sosial, mengetahui posisinya di tengah persoalan tersebut, serta membuatnya semakin dewasa. 4. Metode Tujuan yang baik dan benar harus dilakukan dengan cara yang benar dan baik pula. Metode pendidikan memengaruhi keberhasilan pendidikan. Di antara metode pendidikan yang bisa digunakan adalah perumpamaan, Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
208
Jejen Musfah
kisah, targhib-tarhib, dialog, teladan, praktik, dan nasihat, (Musfah, 2009). Dalam metode praktik, peserta didik hendaknya dilatih untuk memecahkan masalah seputar kehidupan dan lingkungannya. Dengan demikian ia telah belajar bagaimana cara memecahkan masalah (problem solving) dan pembelajaran sesuai konteks (Contextual Teaching Learning [CTL]). Menurut Ibnu Khaldun, ilmu-ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan proses pendidikan, sangat tergantung pada guru dan bagaimana mereka mempergunakan berbagai metode yang tepat dan baik. Oleh karena itu, guru wajib mengetahui faidah dari metode yang digunakan (Ahmad, 1975: 300). Dalam mendidik guru harus pertama, sabar. Peltz (2007: xv) menyatakan, “Mengajarkan keterampilan merupakan kerja sulit; itu membutuhkan kesabaran yang besar, keuletan, dan kepekaan. Kita butuh kesadaran bahwa betapa sulit mengubah perilaku”. Kedua, menghindari hukuman fisik. Ketaatan yang lahir karena hukuman fisik hanya bersifat semu. Sebaliknya, kepatuhan harus lahir dari kesadaran diri pribadi (inner self) karena memahami kebaikan dan manfaat dari perbuatannya tersebut. Brumbaugh dan Lawrence (h. 114) menulis, “If we wish to establish morality, we must abolish punishment,” Ketiga, berusaha menjadi teladan. Ormord menulis, “Beberapa aspek pemikiran dan perilaku moral rupanya dipengaruhi oleh pengamatan dan teladan,” (2003: 136). Karena guru juga manusia, maka menjadi teladan baik di depan peserta didik dan masyarakat merupakan usaha tanpa henti dan penuh perjuangan serta rintangan. Pendidik harus menguasai metode pendidikan dan tidak boleh putus asa dalam mendidik. Tidak ada metode yang lebih baik dari metode yang lainnya. Setiap metode memiliki pengaruhnya masing-masing. Yang perlu diperhatikan pendidik adalah kemampuannya memilih metode yang sesuai dengan materi dan situasi saat pendidikan berlangsung, juga fasilitas yang tersedia. Pemilihan metode yang tepat akan menentukan keberhasilan pendidikan, menyenangkan dan tidaknya proses pendidikan. Penerapan metode yang kurang tepat membuat proses pembelajaran dan pendidikan akan terasa membosankan, sehingga siswa sulit menerima pelajaran. Bahkan materi yang mudah akan terasa sulit. Mendidik dengan cara salah sering menimbulkan penolakan. Sebaliknya, ketepatan memilih metode akan membuat transfer ilmu dan sikap terasa mudah dan menyenangkan (Musfah, 2009). Karena itu, seorang pendidik harus sering berlatih dan berlatih, praktik dan praktik, disamping menguasai metode pengajaran dan pendidikan secara teoritis. Keterbatasan fasilitas sekolah—yang sering terjadi—tidak boleh menghambat kreatifitas guru dalam menyampaikan metode tertentu yang menyenangkan. 5. Pendidik Tidak ada yang dapat menggantikan posisi guru dalam pendidikan. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
209
Keberhasilan pendidikan ada pada kompetensi guru. Seorang guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, profesional, kepemimpinan, dan spiritual. Menjadi guru harus menguasai materi yang akan disampaikan; memilih metode yang tepat; memahami peserta didik; dan mampu menyampaikan ide dengan baik, sehingga peserta didik benarbenar belajar dan mendapatkan sesuatu yang bermakna. Guru penting memahami peserta didik, karena ia harus membantu murid memahami jati dirinya, sehingga ia mampu menjadi orang yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat dan bangsanya. Henderson (1960: 114) menulis, “We can find the basis for morality in our own natures, in the conduct necessary to realize our best potentialities and the kind of society in which man could live as man.” Inti sosok guru ada pada kepribadian atau karakternya. Karena itu, tidak semua orang bisa menjadi guru. Menjadi guru sejati harus lahir dari panggilan jiwa. Guru harus berusaha baik agar menjadi teladan. Beberapa aspek penting pendidikan dalam teladan ditulis Ajami (2006: 131), “1) Manusia saling mempengaruhi satu sama lain melalui ucapan, perbuatan, pemikiran, dan keyakinan; 2) Perbuatan lebih besar pengaruhnya dibanding ucapan; 3) Metode teladan tidak membutuhkan penjelasan.” Menurut Husain dan Ashraf (1979: 106), “Jika disepakati bahwa pendidikan bukan hanya melatih manusia untuk hidup, maka karakter guru merupakan hal yang sangat penting”. Kompetensi guru paling tinggi adalah kepribadiannya. Artinya, ia harus menjadi teladan dalam segala aspek. Guru di sini diposisikan sebagai manusia sempurna (insan kamil). Tugas guru adalah membentuk dan memengaruhi kepribadian murid agar tumbuh dan cenderung pada kebaikan. Ormord menulis, “Many aspects of moral thinking and moral behavior are apparently influenced by observation and modeling,” (2003: 136). Karakter guru adalah pertama, pembelajar. Menurut Al-Zarnuji (Afandi, 1993: 92), “Seorang guru harus seorang pembelajar, saleh, dan berpengalaman”. Kedua, bijak. “Guru bukan hanya menjadi seorang manusia pembelajar tapi menjadi pribadi bijak, seorang saleh yang bisa memengaruhi pikiran generasi muda,” tulis Husain dan Ashraf (1979: 104). Ketiga, rela berkorban. Seorang guru harus sampai pada derajat—apa yang disebut Peck dan Havighurst (Cronbach, 1954: 578-587)—rational altruistic, bahwa ia mengembangkan sistem moral yang tinggi sehingga rela berkorban bagi kepentingan orang lain. Apakah mudah mencari guru teladan? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Hanya saja, ketika tawuran siswa dan mahasiswa masih terus terjadi dan tidak menunjukkan gejala akan berakhir, di manakah peran guru yang semestinya bisa digugu dan ditiru. Kekerasan yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa seolah menegaskan bahwa arahan dan bimbingan guru sudah tidak diindahkan oleh anak didiknya. Pertanyaannya, mengapa guru diabaikan? Bisa jadi peserta didik selama ini melihat sesuatu yang serba paradoks di dalam praktik Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
210
Jejen Musfah
pendidikan, seperti sekolah. Guru mengajarkan kejujuran tetapi saat Ujian Nasional memaklumi kecurangan; guru mengajarkan disiplin tetapi lingkungan sekolah tidak bersih; guru mengajarkan pentingnya kreatif tetapi buku-buku sumber yang dibaca murid bukan karya gurunya; dan seterusnya. Hadis yang diriwayatkan Thabrani dari Jundub menyatakan, “Perumpamaan seorang guru yang mengajarkan kebaikan pada manusia, namun melupakan dirinya, seperti lilin yang menyinari manusia, namun membakar dirinya,” (Bek, t.th.: 157). 6. Evaluasi Hal penting yang tidak boleh dilewatkan oleh lembaga pendidikan adalah evaluasi dan tindak lanjut. Evaluasi berguna untuk mengetahui seberapa besar tujuan sekolah tercapai, dan mengetahui kekurangannya untuk perbaikan di masa datang. Melalui hasil evaluasi juga pelaksana dapat menentukan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan di masa mendatang. Evaluasi adalah perbandingan hasil yang diharapkan dengan hasil yang nyata. Menurut Mike Scriven (Madaus, et al., 1985: 291), “Evaluasi adalah sebuah pengamatan nilai-nilai dibandingkan dengan beberapa standar”. Wand dan Brown (1957: 1) menulis, “Evaluasi adalah tindakan atau proses untuk menentukan nilai sesuatu.” Stone, et al. (1956: 3-4) berpendapat bahwa, “Evaluasi adalah penilaian yang lebih menitikberatkan pada perubahan kepribadian secara luas dan terhadap sasaran-sasaran umum program kependidikan, sedangkan pengukuran lebih menekankan pada aspek-aspek kemajuan bahan pelajaran atau keterampilan khusus dan kemampuan spesifik”. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah proses untuk menilai sesuatu, baik itu sebuah kegiatan atau pencapaian aspek kognitif, keterampilan, dan afektif seseorang atau kelompok, yang bertujuan untuk peningkatan mutu kegiatan atau orang di masa mendatang. Demikian pula penilaian tidak sama dengan umpan balik. “Umpan balik hanya dimaksudkan untuk mencari informasi sampai di mana murid mengerti bahan yang telah dibahas,” (Rooijakkers, 2003: 11). Caranya adalah dengan guru bertanya kepada murid atau melakukan ujian singkat, semacam kwis. Tujuan paling penting dari evaluasi program adalah bukan untuk membuktikan tapi untuk meningkatkan. Menurut Alex Astin dan Bob Panos, “Tujuan yang prinsip dari evaluasi adalah untuk menghasilkan informasi yang dapat menuntun keputusan mengenai adopsi atau modifikasi program pendidikan,” (Madaus, et al., 1985: 293). Lembaga pendidikan sering mengabaikan evaluasi, padahal evaluasi penting untuk mengetahui apakah kinerja lembaga sudah sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Evaluasi penting untuk memperbaiki kinerja, memperbaharui motivasi, dan mengatasi kekurangan dan kelemahan lembaga, baik aspek sarana-prasarana, tenaga pendidik dan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
211
kependidikan, kerjasama dengan pihak lain, kepemimpinan, dan lain sebagainya. Akhirnya, evaluasi harus dilakukan secara sadar, dan harus lahir dari keinginan yang tulus untuk meraih tujuan dan mewujudkannya menjadi kenyataan. Lembaga pendidikan yang mengabaikan evaluasi akan menuai keterbelakangan dan berjalan di tempat, karena meriah tujuan lembaga adalah kerja kolektif dan sistematis. Masalahnya, setiap unsur dalam lembaga pendidikan, baik SDM maupun pendukung lainnya, sering mengalami disorientasi karena bekerja sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Dalam hal ini dibutuhkan kepemimpinan yang sadar pentingnya melihat ke dalam tubuh lembaga, bukan ikut mengalamai disorientasi kepemimpinan. Penutup 1. Pendidikan holistik adalah pendidikan yang memberikan pemahaman terhadap permasalahan global seperti HAM, keadilan sosial, multikultural, agama, dan pemanasan global, sehingga mampu melahirkan peserta didik yang berwawasan dan berkarakter global serta mampu memberikan solusi terhadap permasalahan kemanusiaan dan perdamaian. 2. Pendidikan bertujuan mengembangkan kec erdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual peserta didik. 3. Kurikulum adalah materi pelajaran, praktik, kegiatan, dan seluruh pengalaman peserta didik di sekolah yang didesain secara matang agar peserta didik cerdas intelektual, emosional, dan spiritual. Kurikulum sekolah mencakup kebiasaan, tata tertib, ektra kurikuler, dan teladan dari pendidik, staf, dan kepala sekolah. 4. Metode pendidikan memengaruhi keberhasilan pendidikan. Di antara metode pendidikan yang bisa digunakan adalah perumpamaan, kisah, targhib-tarhib, dialog, teladan, praktik, dan nasihat. Dalam mendidik guru harus sabar, menghindari hukuman fisik, dan berusaha menjadi teladan. 5. Seorang guru harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, profesional, kepemimpinan, dan spiritual. Menjadi guru harus menguasai materi yang akan disampaikan; memilih metode yang tepat; memahami peserta didik; dan mampu menyampaikan ide dengan baik, sehingga peserta didik benar-benar belajar dan mendapatkan sesuatu yang bermakna. Karakter guru adalah pembelajar, bijak, dan rela berkorban. 6. Evaluasi adalah proses untuk menilai sesuatu, baik itu sebuah kegiatan atau pencapaian aspek kognitif, keterampilan, dan afektif seseorang atau kelompok, yang bertujuan untuk peningkatan mutu kegiatan atau orang di masa mendatang.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
212
Jejen Musfah
DAFTAR PUSTAKA Afandi, M. (1993). The Method of Muslim Learning as Illustrated in Al-Zarnuji’s Ta’lim Al-MUta’allim Tariq Al-Ta’allum. Thesis. Institute of Islamic Studies. McGill University. Ahmad, Sa’ad Mursa, Tathawwur Al-Fikry Al-Tarbawy, (Kairo: Matabi’ Sabjal Al-Arabi, 1975). Ajami, Al-, M.A. (2006). Al-Tarbiyah al-Islâmiyah: Al-Ushûl wa al-Tathbîqât. Riyadh: Dâr Al-Nâsyir Al-Daulî. Cet. I. Al-Attas, S.M.A. (Editor). (1979). Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdulaziz University. Armstrong, T., Multiple Intelligences in the Classroom, USA: Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD), 1994. Bek, A.H. (t.th.). Mukhtâr Al-Ahâdîts Al-Nabawiyyah wa Al-Hikam AlMuhammadiyyah. Indonesia: Maktabah Dâr Ihyâ’ Al-Kutub Al‘Arabiyyah. Cet. VI. Brumbaugh, R. S. dan Lawrence, N.M., Philosophers on Education: Six Essays on the Foundations of Western Thought, USA: Houghton Mifflin Company. Bruner, J.S., The Relevance of Education, New York: The Norton Library. Cronbach, L.J., Educational Psychology, USA: Harcourt, Brace, and Company, 1954. Doll, R. C., Curriculum Improvement, Decision Making and Process, Boston: Allyn & Bacon, Inc. 1974. Eisner, E. W., The Educational Imagination on the Design and Evaluation of School Program, Third Edition, New Jersey: Merril Prentice Hall, 2002. Goleman, D., Social Intelligence: The New Science of Human Relationship, New York: A Bantam Books, 2006. Husain, S.S. dan Ashraf, S.A. (1979). Crisis in Muslim Education. Jeddah: King Abdulaziz University. Madaus, G.F., et al. (Eds). (1985). Evaluation Models: Viewpoints on Education and Human Services Evaluation. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing. Phenix, P.H. (1964). Realm of Meaning: A Philosophy of the Curriculum for General Education. USA: McGraw-Hill. Henderson, S.V.P., Introduction to Philosophy of Education, Chicago: The University of Chicago Press, 1960. Henson, K.T. (1995). Curriculum Development for Education Reform. New York: Longman. Musfah, J. 2009. “Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam”, dalam Jurnal Tahdzib; Jurnal Pendidikan Agama Islam. Jurusan PAI FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ormrod, J.E. (2003). Human Learning. (Fourth Edition). New York: Pearson Prentice Hall. Peltz, W.H. (2007). Dear Teacher; Expert Advice for Effective Study Skills. California: Corwin Press. Stone, J.W. et al. (1956). Evaluation in Modern Education. New York: American Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Membumikan Pendidikan Holistik
213
Book Company. Qutb, M. (1967). Manhaj Al-Tarbiyyah Al-Islamiyah. Kairo: Dar Al-Qalam. Wand, E. dan Brown, G. W. (1957). Essential of Educational Evaluation. New York: Rincart and Winston. Whitehead, A.N. (1957). The Aims of Education and Other Essays. England: William and Norgate, Ltd. www.eng.wikipedia.com
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
214
INTEGRASI MULTIDISIPLINER MODEL TWIN TOWER: Upaya Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel Oleh Husniyatus Salamah Zainiyati
Abstracts The result of the study suggests that the scholarly structure of UIN Sunan Ampel Surabaya integrates the religious teaching with science using the integrated twin tower paradigm with three pillars. To support the program there are at least two strategies being developed (1) The new students have to stay in the provided dorm during the full 2 semesters (2) Strengthening the science spiritualism using the integrated scholarly principles (social-humanities, science and technology) and Islam. The curriculum design is based on the three pillars (1) the strengthening of the pure and rare Islamic knowledge (2) the integration of Islamic knowledge and the social-humanity science (3) the weighting of science and technology with the Islamic teaching. Furthermore, to integrate the religious teaching and science, the symbiosis-mutualism model can be utilized. Key word: The design of the curriculum development in UIN Sunan Ampel, dichotomy approach towards the integrative multidisciplinary
Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
215
Pendahuluan Perjalanan panjang cita-cita konversi IAIN Sunan Ampel ke Universitas Islam Negeri (UIN) seolah-olah hampir di depan mata, setelah Senat Institut menyetujui konversi tersebut pada tanggal 1-2 Juli 2010 di Hotel Wisata Bahari Lamongan. Meskipun sebelumnya, kehawatiran dan kecemasan dari civitas akademik tidak bisa ditutup-tutupi. Berbagai pertanyaan mulai muncul ke permukaan: bagaimana nasib Fakultas Adab, Dakwah, Syariah, Ushuluddin, dan Tarbiyah? Akankah fakultas-fakultas ini dipinggirkan dan dimarginalkan? Bernasib samakah fakultas-fakultas ini dengan fakultas agama di Universitas Islam Indonesia (UII). Mengapa harus berubah menjadi Universitas? Tidak cukupkah dengan nama Institut seperti yang disandangnya kurang lebih selama 48 tahun? Jika fakultas atau program studi umum dikembangkan, bagaimana nasib prodi yang selama ini telah berjalan? Akankah struktur keilmuan, kurikulum, dan silabusnya sama dan sebangun dengan sebelum dan sesudah UIN diresmikan? Begitu pula pertanyaan bagaimana struktur mata kuliah, kurikulum dan silabus pada prodi-prodi umum di UIN dan universitas umum yang lain?. Dan berbagai pertanyaan yang lain. Untuk merespon berbagai pertanyaan tersebut, yang perlu digaris bawahi adalah adanya catatan penting yang termaktub dalam surat Mendiknas yang ditujukan kepada Menteri Agama tanggal 23 Januari 2004 sebagai berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Malang, tugas pokoknya tetap sebagai institut pendidikan tinggi bidang Agama Islam, sedang penyelenggaraan program non-agama Islam (umum) merupakan tugas tambahan”. Dengan demikian, sebagai institut pendidikan tinggi, bidang agama Islam masih tetap menjadi tugas utama. Main mandate-nya tidak boleh dan tidak perlu digeser oleh wider mandate-nya. Hanya saja kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan, jaringan kelembagaan, pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta mentalitas keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik fokus penekanan yang lebih daripada sebelumnya sesuai dengan kultur akademik yang ada pada universitas. (Abdullah, 2005: 238-239). Di samping itu, menurut Dr.Afandi Muchtar, MA, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia, ada beberapa isu strategis yang ter terkait dengan pengembangan IAIN ke UIN. Diantara isu strategis itu adalah: pertama, integrasi ilmu keislaman dengan ilmu umum. Jika hanya menjadi institusi keagamaan saja, maka akan menemui kesulitan dalam program islamisasi ilmu atau merumuskan integrasi antara ilmu keislaman dengan ilmu umum. Dikhotomi keilmuan ini adalah peninggalan zaman Balanda yang tetap dilestarikan hingga sekarang. Ada pembagian dan batas yang tegas antara ilmu agama dan ilmu umum. Tugas UIN adalah melakukan integrai keilmuan dimaksud. Sudah ada beberapa model pengintegrasian ilmu agama dan umum yang dilakukan oleh beberapa UIN, misalnya UIN Sunan Kalijaga dengan model Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
216
Husniyatus Salamah Zainiyati
interkoneksi dan integrasi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan model pohon ilmu, UIN Syarif Hidayatullah dengan model integrasi dan IAIN Sunan Ampel dengan model twin tower. Ini adalah bagian dari kekayaan akademik yang ke depan harus dikembangkan baik dari sisi ontologis, epistemologis san aksiologisnya. Kedua, tantangan yang tidak kalah penting adalah pendidikan untuk bangsa. Yang menjadi tantangan di era sekarang adalah pendidikan untuk pendidikan atau pendidikan untuk kepentingan diri. Padahal pendidikan adalah investasi manusia dan sekaligus investasi masyarakat. Pendidikan adalah untuk bangsa. Pendidikan harus mencetak manusia menjadi agen perubahan. Pendidikan harus diarahkan agar dapat menghasilkan agenagen pengembangan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan yang lebih. Jadi, pendidikan tidak hanya menghasilkan manusia Indonesia yang pintar untuk kepentingan dirinya saja, akan tetapi juga untuk menjadi agen sosial. Ketiga, pendidikan harus diarahkan kepada dan menjawab tentang keindonesiaan. Dan secara khusus untuk pendidikan Islam adalah untuk menjawab keislaman dan keindonesiaan. Univesitas Islam harus memberi bukti bahwa keislaman tidak bertentangan secara diametral dengan keindonesiaan. (Syam, 9 Maret 2011). Kerena itulah, ke depan, yang diharapkan bisa menyelesaikan relasi pendidikan, keislaman dan keindonesiaan adalah insitusi yang memiliki seperangkat pengetahuan yang cukup untuk hal ini. Problem ini tidak bisa diselesaikan secara parsial, namun harus dilakukan melalui sistem integratif. Melalui UIN maka pemecahan sistemik integratif akan bisa dilaksanakan. Dalam konteks pendidikan, usaha integrasi ilmu agama dan ilmu umum pernah dilakukan oleh M.Natsir. Dia mengatakan bahwa pendidikan Islam yang integral tidak mengenal adanya pemisahan antara sains dan agama. Karena penyatuan antara sistem-sistem pendidikan Islam adalah tuntutan aqidah Islam. Usaha Natsir untuk mengintegrasikan sistem pendidikan Islam direalisasikan dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam, yang menyatukan dua kurikulum yaitu antara kurikulum sekolah-sekolah tradisional yang banyak memuat pelajaran agama dengan sekolah Barat yang memuat pelajaran umum. ( Nata, dkk., 2005: 149). Begitu juga pembaharuan sistem pendidikan Islam yang dilakukan oleh Mukti Ali dalam usahanya memformulasikan lembaga madarasah dan pesantren dengan cara memasukkan materi pelajaran umum ke dalam lembaga-lembaga yang pendiriannya diorientasikan untuk tafaqquh fi aldin. Sebagaimana gagasan Harun Nasution dalam upayanya menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di lembaga pendidikan tinggi Islam, khususnya IAIN Jakarta dengan cara pendekatan kelembagaan dan kurikulum. Pendekatan kelembagaan telah merubah status IAIN Jakarta menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) yang berimplikasi pada pengembangan kurikulum pendidikan. Namun pembaharuan pendidikan dengan menggunakan model Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
217
pendekatan di atas mempunyai kelemahan, yaitu; pertama, akar keilmuan yang berbeda antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Ilmu agama bersumber dari wahyu dan berorientasi ketuhanan, sedangkan ilmu-ilmu umum bersumber pada empirisme dan berorientasikan kemanusiaan. Kedua, modernisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan melalui kurikulum dan kelembagaan, walaupun dilakukan dengan tujuan terciptanya integralisme dan integrasi keilmuan Islam dan umum, sampai kapanpun akan menyisakan dikotomi keilmuan. Implementasi pembagian kurikulum dalam lembaga pendidikan yang dinyatakan telah melaksanakan integralisasi (UIN) yang tetap mengelompokkan mata pelajaran/mata kuliah ilmu-ilmu agama dan mata pelajaran/mata kuliah ilmu-ilmu umum “belum” bisa mewujudkan proses Islamisasi ilmu pengetahuan. Yang terjadi adalah proses Islamisasi kelembagaan dan proses Islamisasi kurikulum. (Nata, dkk., 2005: 150). Berkaitan dengan hal tersebut, Bilgrami menawarkan konsep Universitas Islam. Dia mengatakan, tujuan universitas Islam bukan sekedar menyelenggarakan “pendidikan tinggi”, tetapi universitas Islam harus mencetak sarjana-sarjana di bidang ilmu-ilmu keislaman dan bersedia menyebarkan ilmu tersebut ke dalam ilmu pengetahuan modern. Di samping itu, juga mencetak orang-orang yang mendalami ilmunya dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, yaitu teknik, sosial dan budaya, serta sains. (Bilgrami, tt: 60). Pola seperti ini bisa digunakan sebagai upaya untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Dalam rangka mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu umum, IAIN Sunan Ampel memakai “Pendekatan Multidisipliner dengan model Integrative Twin Tower”. Menurut Prof. Nur Syam, Rektor IAIN Sunan Ampel, bahwa menara kembar itu dihubungkan oleh jembatan yang saling bertemu. Jika tower yang satu berisi ilmu alam, ilmu social, ilmu budaya & humaniora, maka di tower yang satu berisi ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fiqh, ilmu tasawuf dan sebagainya. Dua pembidangan ilmu ini kemudian saling disapakan atau dihubungkan dengan jembatan pendekatan (approach) yang kemudian menghasilkan ilmu keislaman multidisipliner. Pendekatan, yang di dalam filsafat ilmu dinyatakan sebagai pendekatan antar bidang atau antar disiplin atau lintas bidang atau lintas disiplin. Satu bidang atau disiplin menjadi pendekatan dan lainnya menjadi obyek kajian. Al-Qur’an bisa didekati dengan berbagai pendekatan di dalam ilmu-ilmu modern. Demikian pula fiqh, hadits, tasawuf dan sebagainya. (Syam, 9 Maret 2011). Lebih jelasnya dalam era UIN, misalnya, Fakultas Syariah tidak boleh menolak untuk dimasuki mata kuliah baru yang mengandung muatan humanities kontemporer dan ilmu-ilmu sosial seperti, hermeneutik, cultural dan religious studies, HAM, filsafat ilmu, dan begitu seterusnya. Jika tidak, mahasiswa akan menderita ketika keluar kampus berhadapan dengan realitas sosial-kemasyarakatan dan realitas sosial-keagamaan yang begitu kompleks. Berdasarkan pemikiran tersebut, timbul pertanyaan, bagaimana pengembangan kurikulum integratif yang dapat menjawab tuntutan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
218
Husniyatus Salamah Zainiyati
masyarakat dan perkembangan IPTEK? Kebutuhan untuk mengembangkan kurikulum integratif pada pendidikan tinggi Islam disebabkan oleh adanya tuntutan kebutuhan masyarakat dan perkembanan IPTEK. Sumardi menyatakan dalam suasana yang semakin kompetetif khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan kemampuan-kemampuan intelektual lainnya, para sarjana IAIN adalah yang banyak menderita kekurangan. Karena pada umumnya pendekatan kurikuler di IAIN masih sangat doktriner dan dogmatis dan sarjana Agama itu belum banyak “ber-try-out” dalam berbagai kesempatan. Sedangkan Ma’arif (1993) mengungkapkan bahwa kaitan antara pendidikan Islam dan konsep Ilmu, setidak-tidaknya ada tiga persolan pokok yang saling berkaitan yang dapat dijabarkan menjadi; (i) sosok muslim yang menjadi luntang-lantung bila dihadapkan kepada persoalan-persoalan dunia yang selalu berubah dan menantang tampaknya disebabkan oleh idapan krisis identitas diri, sedangkan system pendidikan dan kurikulum pendidikan Islam yang sedang berlalu tidak dapat menolong keadaan, (ii) kegiatan pendidikan Islam di bumi haruslah berorientasi ke langit—suatu orientasi transcendental agar kegiatan itu punya makna spiritual yang mengatasi ruang dan waktu, dan (iii) perlunya dilakukan redefinisi ulama. (Ma’arif, 1993: 12). Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: (1) Bagaimana struktur keilmuan IAIN menuju UIN Sunan Ampel Surabaya dengan paradigma integratif-multidisipliner model twin towers? (2) Bagaimana strategi pengembangan kurikulum IAIN menuju UIN Sunan Ampel Surabaya dengan paradigma integratif-multidisipliner model twin towers?. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dihimpun dari library research. Teknik ini akan digunakan untuk mengkaji buku-buku, jurnal tentang integrasi-multidisipliner, maupun dokumen proposal pengembangan IAIN menjadi UIN Sunan Ampel Surabaya. Selanjutnya dalam analisis data peneliti menggunakan pola induktif dan deskriptif analitis. Pembahasan 1. Problem Akademik terhadap Rancang Bangun Keilmuan Keislaman yang Dikotomis-Atomistik Pada dasarnya, ilmu pengetahuan manusia secara umum hanya dapat dikategorikan menjadi tiga wilayah pokok: Natural Science, Sosial Science, dan Humanities. Oleh karenanya, untuk pendirian sebuah universitas, Departemen Pendidikan Nasional mensyaratkan dipenuhinya 6 program studi umum dan 4 program studi sosial. Persyaratan ini bagus, tetapi para ilmuwan sekarang mengeluh tentang output yang dihasilkn oleh model pendidikan unversitas yang berpola demikian. Sama halnya keluhan orang terhadap alumni perguruan tinggi agama yang hanya mengetahui soalsoal “normatifitas” agama, tetapi kesulitan memahami historisitas agama sendiri., lebih-lebih historisitas agama lain. Dalam hal ini, Amin Abdullah (2005: 241-253) mencermati terlebih dahulu pola dikotomis-atomistik dalam bangunan ilmu-ilmu agama (Islam) Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
219
yang biasa diajarkan di PTAIN. Dalam skema 1, yang diambil inspirasinya dari karya-karya Muhammad ‘Abid Al-Jabiri (1990) dengan modifikasi di sana-sini sesuai dengan perkembangan telaah epistemologi dalam ilmu pengetahuan, Amin Abdullah ingin memperlihatkan struktur fundamental ulumuddin dalam prespektif epistemologi ‘irfani dan burhani. Menurut Al Jabiri, corak Epistemologi bayani didukung oleh pola pikir fiqih dan kalam. Dalam tradisi keilmuan agama Islam di IAIN dan STAIN., besar kemungkinan juga pengajaran agama di sekolah-sekolah, perguruan tinggi umum negeri dan swasta, dan lebih bayani sangatlah mendominasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit berdialog dengan tradisi epistemologi ‘irfani dan burhani. Oleh karenanya, bagan skema 1 disebut sebagai corak atau model dikotomis-astomistik. Corak pemikiran ‘irfani (tasawuf; intuitif; al-‘atifi) kurang begitu disukai oleh tradisi berpikir keilmuan bayani (fiqih dan kalam) yang murni, lantaran bercampuraduknya bahkan dikaburkannya tradisi berpikir keilmuan ‘irfani dengan kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi tarekat dengan satahat-satahat nya serta memang kurang dipahaminya struktur fundamental epistemologi dan pola pikir ‘irfani berikut nilai manfaat yang terkandung di dalamnya. Menurut Amin Abdullah, pengembangan pola pikir bayani hanya dapat dilakukan jika ia mampu memahami, berdialog, dan mengambil manfaat dari sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh pola pikir ‘irfani maupun pola pikir burhani dan begitu pula sebaliknya. Jika saja masing-masing sistem kefilsafatan ilmu keagamaan dalam islamic studies ini berdiri sendiri, tidak bersentuhan antara satu dan lainnya sebagaimana tercermin dengan kukuhnya dinding-dinding pembatas fakultas di lingkungan IAIN dan STAIN, belum lagi tembok pembatas antara keilmuan umum dan keilmuan agama, agak sulit dibayangkan terjadi pengembangan ilmu-ilmu keislaman dalam menghadapi problem-problem komtemporer. Jika sumber (origin) ilmu dari corak epistemology bayani adalah teks, sedngkan ‘irfani adalah direct experience (pengalaman langsung), epistemology burhani bersumber pada realitas atau al-waqi’, baik realitas alam, social, humanitas, maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut-sebut sebagai al-’ilm al-hushuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematiskan lewat premis-premis logika atau al-mantiq dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat otoritas intuisi. Kalau saja tiga pendekatan keilmuan agama Islam, yaitu bayani, ‘irfani, dan burhani saling terkait, terjaring, dan terpatri dalam satu kesatuan yang utuh, corak dan model keberagaman Islam, kata Amin Abdullah, jauh lebih komprehensif, dan bukannya bercorak dikotomis-atomistis seperti yang dijumpai sekarang ini. Keilmuan tarbiyah dan juga dakwah mungkin juga ketiga fakultas yang lain belum tentu memahami basis filisofi keilmuan Islam yang fundamental ini dan implikasi dan konsekuensinya dalam dunia praktis kependidikan agama, dunia praktis kedakwaan, kesyariahan, keushuluddinan, dan begitu seterusnya.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
220
Husniyatus Salamah Zainiyati
Skema 1 Keilmuan IAIN: Pendekatan Dikotomik-Atomistik No
Gugus Paradigmati k
Metodologi (Process& Procedure)
Tipe Argumen
Tujuan Pembelajaran
Sifat Dasar Keilmuan
Pembidangan Ilmu
1
Sumbe r Ilmu Penget . Akal
Tajridiyyah (Abstraktif)
Bahtsiyyah
Demonstratif
Silogistik (AlManthiqiyyah)
Al-‘Ilm AlHushull
2
Wahyu
Istintajiyyah Ijtihadiyyah
Intuisi (Dhami r)
Jadaliyyah (Al‘Uqul AlMutanafisah) Al-La’aqlaniyyah (Preverbal)
UstifikatifRepetitif (AlTaqlidiyyah) Partisipatif
Al-‘Ilm AlTauqifi
3
Lughawiyyah (Kalam; Word) Dzauqiyyah
Idrak alsabab Wa alMusabbab Muqarabah AlNashsh Li AlWaqi’ Universal Reciprocy
TajribahBathiniyyah (experience)
Al-‘Ilm AlHudhuri
2. Kerangka Kurikulum Berdasarkan Paradigma Integrated Twin Towers Ada sejumlah persoalan krusial yang menimbulkan kekhawatiran di sejumlah komponen penting dari stakeholders, baik internal maupun eksternal, berpusar pada masa depan ilmu ilmu atau studi keislaman (Islamic studies) dalam kerangka kelembagaan UIN. Pertanyaan pertanyaan dimaksud di antaranya adalah apakah dengan menjadi UIN, ilmu ilmu keislaman yang selama ini dikembangkan di IAIN Sunan Ampel Surabaya akan terpinggirkan, ataukah justeru menjadi kekuatan khas? Bagaimanakah strategi kelembagaan dan akademik yang akan dikembangkan UIN Sunan Ampel Surabaya bisa menjamin bahwa ilmu ilmu keislaman tidak terpinggirkan, melainkan justeru mengalami penguatan melalui integrasi bersama keilmuan sosial himaniora serta sains dan teknologi? Sesuai dengan dasar filosofis dan epistemologis di atas, maka ada dua strategi yang dikembangkan oleh UIN Sunan Ampel Surabaya untuk merespon pertanyaan pertanyan mendasar di atas. Kedua strategi itu adalah (1) pengasramaan model pesantren selama 2 semester bagi mahasiswa baru di semua jurusan, dan (2) penguatan spiritualisasi keilmuan umum. Kedua strategi ini menunjuk kepada kerangka pengembangan praktik penyelenggaraan pendidikan di UIN Sunan Ampel Surabaya. Strategi pertama berdimensi kegiatan nonkurikuler (termasuk melalui skema pendampingan mahasiswa yang dikelola oleh Pusat Pendampingan Mahasiswa/Puspema), dan diselenggarakan semaksimal mungkin sesuai dengan tingkat kekuatan dan kapasitas kelembagaan UIN Sunan Ampel Surabaya. Adapun strategi kedua berdimensi kurikuler dengan menunjuk kepada prinsip integralisasi keilmuan sosial humaniora serta sains dan teknologi dengan keislaman. Masa pengasramaan model pesantren hingga 2 semester di atas dimaksudkan untuk menjamin pendalaman dan pengayaan pemahaman seluruh mahasiswa atas ajaran Islam dan sekaligus praktik implementatifnya. Untuk kepentingan ini, IAIN Sunan Ampel saat ini telah memiliki pesantren mahasiswa yang, meskipun belum sanggup Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
221
menampung semua mahasiswa baru, namun mampu menjadi penyedia layanan akademik dan sosial keagamaan melalui pengasramaan model pesantren. Selain keilmuan agama yang menjadi fokus materi akademiknya, penguatan keterampilan teknis bahasa asing, Arab dan Inggris, menjadi perhatian penting. Dengan begitu, ada standar minimal dari pembelajaran ilmu ilmu keislaman yang harus dimiliki oleh seluruh mahasiswa untuk kelak menunjang penguasaan kompetensi sebagai lulusan UIN Sunan Ampel Surabaya. Pada tataran operasional praktis, kerangka kurikulum digerakkan melalui penguatan tiga pilar program akademik. Ketiga pilar tersebut bermakna penting untuk memperkuat keilmuan keislaman di satu sisi dan spiritualisasi keilmuan umum di sisi lain. Ketiga pilar program akademik dimaksud adalah: (1) penguatan ilmu ilmu keislaman murni tapi langka, (2) integralisasi keilmuan keislaman pengembangan dengan keilmuan sosial humaniora, dan (3) pembobotan keilmuan sains dan teknologi dengan keilmuan keislaman. Atas kerangka akademik ini, maka model pengembangan keilmuan UIN Sunan Ampel Surabaya disebut dengan “integrated twin towers with three pillars”. Dengan pilar kerangka pengembangan kurikulum melalui pembobotan keilmuan sains dan teknologi dengan keilmuan keislaman ini, UIN Sunan Ampel Surabaya sama sekali bukan merupakan ancaman bagi berkembangnya ilmu ilmu keislaman, atau minimal meminggirkan ilmu ilmu keislaman dari kerangka penyelengaraan ragam pendidikan di dalamnya. Ketiga pilar program akademik dari kerangka kurikulum berdasarkan paradigma integrated twin towers di atas merupakan ciri khas pengembangan akademik keilmuan UIN Sunan Ampel Surabaya. Kekhasan akademik keilmuan dimaksud, di samping merupakan bentuk idealisasi dari pengembangan keilmuan di UIN Sunan Ampel Surabaya sendiri, juga merupakan respon atas berbagai kelemahan (untuk tidak menyebut kesalahan) yang banyak merebak dalam praktik penyelenggaraan pendidikan oleh institusi pendidikan tinggi lainnya, termasuk beberapa UIN yang lebih dulu beroperasi. Dengan ciri khas pengembangan akademik keilmuan dimaksud, maka semangat yang dikembangkan oleh semboyan UIN Sunan Ampel Surabaya “Smart (Cerdas)–Pious (Berbudi Luhur)–Honourable (Bermartabat)” . Dengan begitu, amanat ilahi berupa konsep Ulul Albab dengan relatif mudah bisa dibuka jalan realisasinya melalui pengembangan keilmuan model integrated twin towers . Di antara karakteristik Ulul Albab tersebut adalah terintegrasinya praktik dzikir dan fikir dan amal. Pengembangan keilmuan model integrated twin towers memfasilitas terciptanya kekayaan intelektual, kematangan spiritual, dan kearifan perilaku. Selanjutnya, kekayaan intelektual menghasilkan kepribadian smart (cerdas), kematangan spiritual menciptakan keribadian honourable (bermartabat), dan kearifan perilaku melahirkan kepribadian pious (berbudi Luhur), Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
222
Husniyatus Salamah Zainiyati
3. Strategi Pengembangan Kurikulum Berdasarkan Paradigma Integrated Twin Towers Strategi pengembangan kurikulum dimaksud mengambil rancang bangun yang meliputi pengembangan 4 ranah kompetensi, yakni dasar, utama, pendukung, dan lainnya. Pengembangan kompetensi dasar dirangkai ke dalam rumpun mata kuliah pengembangan kepribadaian (MPK). Pengembangan kompetensi utama disusun ke dalam rumpun mata kuliah keilmuan dan keterampilan (MKK), mata kuliah keahlian berkarya (MKB), mata kuliah perilaku berkarya (MPB), serta mata kuliah berkehidupan bermasyarakat (MBB). Pengembangan kompetensi pendukung tersebar di semua rumpun mata kuliah. Adapun pengembangan kompetensi lainnya berada di rumpun mata kuliah keahlianalternatif. Seluruh mata kuliah yang masuk ke dalam rumpun MPK berorientasi pada pengembangan kompetensi dasar, dan karena itu berlaku bagi semua mahasiswa di UIN Sunan Ampel Surabaya. Karena itu pula , maka struktur MPK didesain untuk sanggup merespon kebutuhan pengembangan kompetensi dasar bagi mahasiswa di seluruh jurusan dimaksud. Adapun struktur MPK sendiri meliputi 8 mata kuliah dengan total SKS sebanyak 14, sebagaimana berikut: 1. Pengantar Studi Islam (PSI) (3 SKS) 2. Studi al Qur’an (2 SKS) 3. Studi Hadits (2 SKS) 4. Bahasa Indonesia (3 SKS) 5. Basaha Arab (non SKS) 6. Bahasa Inggris (non SKS) 7. ISD/IAD/IBD (2 SKS) 8. Civic Education (2 SKS) Sejumlah poin perlu dijelaskan pada struktur MPK di atas. Poin pertama terkait dengan keberadaan atau jati diri mata kuliah. Beberapa mata kuliah dalam rumpun MPK merupakan hasil pengembangan atau peleburan. Mata kuliah Pengantar Studi Islam (PSI) merupakan contoh hasil pengembangan dari mata kuliah Ilmu Kalam dan PSI yang selama ini diajarkan dalam kerangka kelembagaan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dengan kata lain, mata kuliah PSI di UIN Sunan Ampel Surabaya merupakan mata kuliah ilmu kalam dan PSI yang diperluas dari yang selama ini ada.Perluasan itu meliputi kisi kisipembahasan seperti yang selama ini diajarkan dalam kelembagaan IAIN Sunan Ampel (misalnya sejarah Islam dan sejarah studi Islam), namun juga mencakup substansi studi Islam lainnya seperti dasar dasar pemahaman Islam, tauhid, fiqih , serta tasawuf . Seperti halnya PSI , Bahasa Indonesia juga merupkan mata kuliah Bahasa Indonesia yang diperluas dari mata kuliah Bahasa Indonesia dalam wadah IAIN dengan mengakomodasi materi penyusunan karya ilmiah. Adapun Civic Education merupakan hasil peleburan dari mata kuliah Pancasila. Adapun poin kedua berhubungan dengan status mata kuliah Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
223
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Penting untuk dicatat bahwa dalam struktur MPK UIN Sunan Ampel Surabaya, kedua mata kuliah (yang dalam penyelenggaraan pendidikan sebelumnya masing masing bernilai 6 SKS) akan dijadikan sebagai mata kuliah dalam rumpun MPK namun tidak berbobot SKS (non SKS) sama sekali. Perubahan status ini tanpa mengurangi kualitas pembelajaran Bahasa Arab dan Inggris. Pasalnya, UIN Sunan Ampel juga mengembangkan komponen strategi lain dari pengembangan kurikulum dengan tiga program kegiatan akademik utama, yakni: (1) menjadikan keterlibatan kedua mata kuliah (masing masing bernilai 6 SKS) melalui skema program pembelajaran intensif oleh Pusat Pengembangan Bahasa (P2B) sebagai prasyarat untuk mengikuti mata kuliah keislaman lainnya, (2) pengasramaan wajib model pesantren mahasiswa yang di dalamnya terdapat penguatan keterampilan kebahasaan secara intensif, Arab maupun Inggris, serta (3) skema pendampingan mahasiswa yang dikelola oleh Pusat Pendampingan Mahasiswa (Puspema). Poin ketiga yang perlu dijelaskan dalam kaitan ini berhubungan dengan content material mata kuliah Studi al Qur ’an dan Studi Hadits. Selain materi materi substansial yang berkaitan masing masing dengan kajian Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, Studi al Qur’an dan Studi Hadits mengakomodasi kepentingan praktis ibadah. Pada kemasan silabus Studi al Qur ’an, misalnya, akan dilakukan penguatan satu kompetensi dasar yang secara spesifik menyangkut keterampilan membaca al Qur’an. Keterampilan praktis ibadah lainnya dan lebih lanjut di antaranya diperkuat melalui skema pendampingan mahasiswa yang dikelola oleh Puspema. UIN Sunan Ampel Surabaya akan mengimplementasikan program akademik berupa penguatan penalaran keislaman mahasiswa yang berfungsi sebagai penguatan basis akademik keislaman mereka. Dengan menggunakan bahan ajar atau modul pendampingan penalaran keislaman yang diciptakan oleh Puspema, program ini, pada hakikatnya, adalah matrikulasi bagi mahasiswa yang berasal dari pendidikan non sekolah keislaman dengan tujuan untuk menstandarkan pemahaman materi keislaman mahasiswa. Minimal sebelum menempuh Kuliah Kerja Nyata (KKN), mahasiswa diharuskan untuk lulus dalam mengikuti program pendampingan melalui modul penalaran keislaman ini. Lebih dari itu, dalam kerangka strategi pengembangan kurikulum di atas, seluruh mata kuliah yang berkepentingan untuk penguatan kemampuan atau kompetensi utama mahasiswa akan diselenggarakan dalam desain kurikulum kompeteni utama dengan beberapa rumpun mata kuliahnya, dan bukan dalam desain kurikulum kompetensi dasar atau rumpun mata kuliah pengembangan kepribadaian (MPK). Rumpun mata kuliah bagi pengembangan kompetensi utama dimaksud meliputi MKK, MKB, MPB, serta MBB. Dengan strategi pengembangan kurikulum, maka pembelajaran Bahasa Inggris, antar jurusan akan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
224
Husniyatus Salamah Zainiyati
berbeda karena kompetensi utama masing masingnya berlainan. Contoh konkretnya, akan muncul English for Islamic Studies bagi mahasiswa jurusan Filsafat dan Pemikiran Islam di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran. Juga, akan lahir English for Soc ial Sciences bagi mahasiswa di FISIP, dan seterusnya. (Muzakki, dkk., 2010). Dalam pengembangan desain kurikulum keilmuan multidisipliner di atas, sebuah fakta tidak bisa dielakkan bahwa yang membedakan lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia seperti IAIN sunan Ampel dari perguruan tinggi umum, baik di Indonesia maupun apalagi di Barat, adalah beban sosial di samping beban akademik. Beban sosial ini lahir dari ekspektasi publik Muslim terhadap kelembagaan pendidikan tinggi Islam itu sendiri. Konsep beban sosial ini penting untuk diajukan di sini sebagai satu bahan pertimbangan dari pengembangan pendidikan dalam penyelenggaraan institusi pendidikan tinggi Islam. Poin penting dari hasil penelitian terkini ini semakin tampak signifikansinya bagi pengembangan keilmuan multidisipliner atau interdisipliner di lembaga pendidikan tinggi Islam, seperti IAIN (menuju UIN) Sunan Ampel. Pasalnya, keberadaan lembaga pendidikan tinggi Islam seperti IAIN diasumsikan oleh masyarakat luas sebagai tidak terlepas dari dua kepentingan sekaligus, yakni sebagai lembaga akademik dan lembaga keagamaan, seperti dijelaskan di atas. Sesuai dengan semangat dari hasil penelitian terkini dimaksud, maka pola pengembangan keilmuan multidisipliner di UIN Sunan Ampel harus dibangun dari kesadaran bahwa keberhasilan pendidikan yang diselenggarakan tidak saja dipengaruhi oleh pembelajaran di kampus akan tetapi pembelajaran lebih luas, yakni melalui interaksi kehidupan mahasiswanya dengan lingkungan di sekitarnya, baik langsung maupun tidak. Standar keberhasilan seperti ini memang juga berlaku di perguruan tinggi lainnya, namun tidak seberat yang harus ditunaikan oleh IAIN menyusul posisinya yang sudah dari awal dipersepsikan oleh masyarakat luas sebagai lembaga akademik dan dakwah. (Syam, 2010: 430-436). Oleh karena itu, pengembangan keilmuan multidisipliner di UIN Sunan Ampel Surabaya patut untuk melengkapi perkuliahan reguler, sebagaimana perguruan tinggi lainnya, dengan perkuliahan non-reguler model pengasramaan pesantren. Patut disemai di lingkungan pendidikan tinggi Islam tardisi penyelenggaraan pendidikan model pengasramaan pesantren di sela-sela pendidikan formal-reguler di perkuliahan. Kepentingan pengembangan keilmuan multidisipliner melalui skema perkuliahan reguler dan pengasraman di atas adalah bersifat komplemen., yakni untuk membantu menjamin terselenggaranya kurikulum pembelajaran yang bergerak di dua pendulum besar, keilmuan agama dan umum, melalui proses integrasi. Tentu, integrasi disini lebih dimaksudkan untuk membantu menjamin satu disiplin keilmuan sebagai obyek kajian dan lainnya sebagai pendekatan. Jika praktik penyelenggaraan pendidikan seperti ini bisa dijamin, maka proyek besar pengembangan keilmuan multidisipliner menjadi menemukan jalan realisasinya. Dengan model Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
225
pengelolaan pembelajaran seperti ini, maka upaya pencapaian kompetensi dasar, utama dan tambahan bisa mengalami sinergi, dan dengan demikian mempermudah jalan keberhasilan bagi pengembangan keilmuan multidisipliner di atas. Analisis Data 1. Struktur Keilmuan UIN Sunan Ampel dengan Paradigma Integrated Twin Towers Model Pentadik Integralisme Monistik Islam Mencermati model integrasi yang akan dikembangkan di UIN Sunan Ampel Surabaya. Barangkali inilah yang disebut zaman postmodern. Di era ini kita menyaksikan suatu bentuk realitas dunia yang mulai memperlihatkan suatu unitas, tapi sekaligus di dalamnya ada pluralitas. Misalnya, kecenderungan besar (mega trend) terjadinya globalisasi yang menjadikan dunia lain menjadi transparan. Dalam dunia kultural, kita menyaksikan saling mendekatnya antara wacana tradisional dan modern. Demikian juga dalam dunia pendidikan tampaknya tidak dapat lepas dari dua arus besar ini. Maka pola pendidikan lama, yaitu pendidikan yang bercorak tradisional di satu pihak, dan pendidikan yang bercorak modern di pihak lain, mulai banyak dikritik orang, kata Malik Fadjar pendidikan seperti itu hanya akan menghasilkan pribadi yang pincang (split personality). (Barizi, 2001: 225). Jika kita mencoba menguak kembali konsep ’ilm dalam al-Qur’an, maka akan nampak jelas cacat teologis dan filosofis pembidangan keilmuan yang bersifat dualisme-dikotomis itu. Sebagian besar ayat-ayat al-Qur ’an, menurut penjelasan Mahdi Ghulsyani, konsep ilmu secara mutlak muncul dalam maknanya yang masih umum (generik). Misalnya, QS. Al-Baqarah [2]: 31, QS Yusuf [12]: 76, dan An-Nahl [16]: 70. Bahkan kata Murtadha Muthahhari, akan menyebabkan kesalahan memandang bahwa ilmu “non agama” terpisah dari Islam. Karena itulah, dalam rangka pengembangan keilmuan IAIN menuju UIN Sunan Ampel Surabaya menekankan integrasi ilmu agama dan ilmu umum dalam kurikulum dan model pembelajaran yang dijalankan. Dengan demikian, Islamic knowledges (al-ulum al-Islamiyyah) yang akan dikembangkan oleh UIN Suan Ampel adalah ilmu pengetahuan yang dibangun berdasarkan ajaran Islam—sebagaimana tertuang dalam sumber ajarannya yang utama, yakni al-Qur ’an dan al-Sunnah—sekaligus pengetahuan yang sama dibangun berdasarkan hasil observasi, eksperimentasi, dan penalaran logis. Sedangkan model integrasi keilmuannya dapat menggunakan model pentadik integralisme monistik Islam yaitu sebuah paradigma unifikasi bagi ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu keagamaan. Akan tetapi, paradigma unifikasi itu bukan hanya menyatukan ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu keagamaan, melainkan juga merupakan paradigma ilmu-ilmu kemasyarakatan dan kemanusiaan. Dalam hal ini Islam tidak sekadar menjadi perspektif, atau sebagai pelengkap dari kajian ilmiah yang ada, dan apalagi kajian yang terpisah dari sains. Tetapi, justru Islam harus menjadi ‘pengawal’ dari setiap kerja sains oleh setiap para ilmuan (dosen). Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
226
Husniyatus SalamahZainiyati
Di samping tercermin dalam aspek kurikulum, integrasi ilmu agama dan ilmu umum juga teaktualisasikan dalam model pembelajaran yang dikembangkan, di mana UIN Sunan Ampel seharusnya mengembangkan keterpaduan tradisi intelektual perguruan tinggi dan tradisi kearifan pesantren. Tradisi intelektual perguruan tinggi dikembangkan melalui proses pembelajaran di ruang-ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, serta sumber-sumber belajar di pusat-pusat kajian UIN Sunan Ampel, seperti Pusat Informasi dan Kajian Islam (PIKI) dan Laboratorium Keagamaan, sedangkan pengembangan kearifan pesantren dijalankankan melalui pembinaan kearifan Islam di lembaga pesantren mahasiswadan berkoordinasi dengan Pusat Pendampingan Mahasiswa (Puspema), serta pengembangan kultur Islami yang melibatkan seluruh warga kampus melalui kegiatan-kegiatan bersama, seperti shalat berjamaah, dan Iain-lain. 2. Pengembangan Kurikulum UIN Sunan Ampel dengan Paradigma Integrated Twin Towers Model Simbiosis-Mutualism Berdasarkan pemaparan data di atas dan mencermati rencana visi dan misi UIN Sunan Ampel serta skema pengembangan keilmuan berdasarkan integrated twin towers, maka dalam rangka mengembangkan kurikulum UIN Sunan Ampel Surabaya dapat menggunakan model simbiosis-mutualism yaitu materi kurikulum disusun dan dikembangkan bersama-sama secara multidisipliner untuk mencapai standar kompetensi tertentu atau standar kompetensi lulusan lembaga pendidikan. Misalnya kompetensi dasar tertentu yang ada pada Prodi PGMI Fakultas Tarbiyah yaitu mata kuliah biologi dikaitkan dengan kompetensi dasar yang ada pada mata kuliah sosiologi, pendidikan agama, atau studi al-qur’an, studi al-hadits, fikih dan kemudian digabungkan dan/atau dilebur menjadi satu kompetensi dasar tertentu dan/atau suatu standar kompetensi untuk mencapai standar kompetensi lulusan dan misi-visi Prodi PGMI. Lebih jelasnya, mengenai implementasi kurikulum integratif model simbiosis-mutualism di tingkat kelembagaan, desain kegiatan pembelajaran dan proses pembelajarannya dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Kurikulum Prodi Umum Sistem Pend Pesantren Mahasiswa (Budaya dan Tradisinya)
Kur Program Studi (prodi) Agama Sistem Penyelenggaraan UIN Sunan Ampel Visi-misi
Aktivitas Pembelajaran
Pusat Studi
Visi-misi Lembaga Kajian
Gambar 7: kurikulum integratif Model simbiosis-mutualisme kelembagaan di UIN Sunan Ampel Surabaya
pada tingkat
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
Pendekatan
Integrated Teaching and Learning
Budaya dan Tradisi
227
Kontent
Sistem Pembelajaran
Gambar 8: kurikulum integratif Model simbiosis-mutualisme pada Desain kegiatan pembelajarannya
Mata kuliah Rumpun MIPA
Mata kuliah
Center Core
Rumpun Agama
Mata kuliah Rumpun Bahasa-Seni
Mata Kuliah Rumpun IPS
Gambar 9: kurikulum integratif Model simbiosis-mutualisme pada Proses pembelajarannya
Penutup Struktur keilmuan IAIN menuju UIN Sunan Ampel Surabaya adalah memadukan antara ilmu agama dan ilmu umum dengan menggunakan paradigma Integrated Twin Towers with 3 Pilars. Yaitu membangun struktur keilmuan yang memungkinkan ilmu keagamaan dan ilmu sosial/humaniora serta ilmu alam berkembang secara memadai dan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
228
Husniyatus SalamahZainiyati
wajar, sehingga keduanya tersambung dan bertemu dalam puncak yang saling menyapa, yang dikenal dengan konsep ilmu keislaman multidisipliner. Untuk mendukung program tersebut, ada dua strategi yang akan dikembangkan yaitu (1) pengasramaan selama 2 semester bagi semua mahasiswa baru di pesantren mahasiswa, dan (2) penguatan spiritualisasi keilmuan umum dengan prinsip integralisasi keilmuan umum (sosial humaniora, sains dan teknologi) dan keislaman. Desain pengembangan kurikulum berdasarkan paradigma integrated twin towers yang akan dikembangkan UIN Sunan Ampel Surabaya digerakkan melalui penguatan tiga pilar program akademik, yaitu (1) penguatan ilmu ilmu keislaman murni tapi langka, (2) integralisasi keilmuan keislaman pengembangan dengan keilmuan sosial humaniora, dan (3) pembobotan keilmuan sains dan teknologi dengan keilmuan keislaman. Sedangkan untuk mengintegrasikan kurikulum ilmu agama dan umum dapat menggunakan model simbiosis-mutualism
Daftar Pustaka Abdullah, Amin. 2005. “ Desin Pengembangan Akademik IAIN menuju UIN Sunan Kalijaga: dari Pola Pendekatan Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif Interdiciplinary, dalam Jarot Wahyudi dkk, Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi. Bandung Mizan. Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, 1990. Bunyah Al-‘Aql Al-Arabi: Dirasah tahliliyyah naqdiyyah li nuzhum al-ma’rifah fi al-tsaqafah al-‘arabiyyah, Beirut: Markaz Dirasah Al-Wihdah Al-Arabiyyah. Azra, Azyumardi. 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan. Mudzhar, M. Athok. 2002. Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, cet. IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Muhaimin. 2003. Arah Pengembangan Pendidikan Islam Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum Hingga Redifinisi Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Nuansa. Muzakki, Akh. 2010. “Perspektif Pendidikan tentang Pengembangan Keilmuan Multidisipliner”, dalam Nur Syam, ed., Integrated Twin Towers Arah Pengembangan Islamic Studies Multidisipliner. Surabaya, Sunan Ampel Press. Prayogo, Imam. 2006. “Pengembangan Ilmu Pengetahuan di PTAI”, Makalah pada Annual Conference Kajian Islam, Bandung 23-30 Nopember. Qomar, Mujamil. T.t. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi . Jakarta: Penerbit Erlangga. Syam, Nur. 2010. “Membangun Keilmuan Islam Multidisipliner: Memahami Proses Saling Menyapa Ilmu Agama dan Umum”, dalam Nur Syam, ed., Integrated Twin Towers Arah Pengembangan Islamic Studies Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Desain Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel
229
Multidisipliner. Surabaya, Sunan Ampel Press. Barizi, Ahmad, Imam Tholhah. 2004. Membuka Jendela Pendidikan Mengurai Akar Tradisi dan Intregasi Keilmuan Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGrasindo Persada.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
230
INTEGRATED CURRICULUM: Upaya Alternatif Menghadapi Problematika Masyarakat Oleh Fauzan
Abstracts: Globalization is loaded with the progress of science and technology has implications for the birth of various problems, such as: sedimentation of faith, science disintegration, split personality, abuse of science and technology, and so forth. In the context of education, the curriculum is considered as the most important component that will determine the direction of education. Curriculum integration is considered as an alternative attempt to answer the problems that arise. Integration of curriculum is a product of the effort of integrating learning materials from a variety of subjects. Integration was created by centered lessons on specific issues that require the solution to the material or materials from various disciplines or subjects. Key word: Integration of curriculum
Pendahuluan Sebagai suatu kelompok besar yang membentuk sistem, masyarakat sering dihadapkan pada persoalan yang terus membesar. Persoalan tersebut, di samping hadir karena adanya pragmatisme kehidupan, juga karena adanya faktor lain yang menyulut timbulnya “riak-riak” di tengah masyarakat. Progresivitas budaya sering dicap sebagai satu faktor yang ikut mendalangi lahirnya berbagai persoalan, seperti tradisi, akhlak/
Makalah pernah dipresentasikan pada Seminar Internasional Education for Humanity: Redesigning Global Education towards Holistic Education” tanggal 23-24 Nopember 2011. Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Integrated Curriculum
231
karakter, HAM, politik, nasionalisme, dan persoalan agama. Adanya berbagai persoalan tersebut, tentu saja hanya dapat dijawab melalui pendidikan. Pendidikan sebagai sebuah “proses” dan “kelembagaan” semestinya dapat memberikan alternatif solusi atas persoalan tersebut. Ada banyak problematika masyarakat yang harus dijawab oleh pendidikan. Di antara fakor terpenting dalam pendidikan adalah kurikulum. Kurikulum pendidikan harus dapat melihat/ mempertimbangkan kemajuan informasi, teknologi yang berkembang. Kurikulum diharapkan dapat memberikan jawaban/solusi alternatif secara holistik terhadap apa yang terjadi di masyarakat. Uraian di bawah ini akan menjelaskan pentingnya penerapan konsep integrasi kurikulum (integrited curicullum) dalam pendidikan, sebagai bahan pertimbangan proses dalam rangka menyelesaikan berbagai persoalan dalam masyarakat . Integrasi Kurikulum Kurikulum berasal dari bahasa latin, curriculum yang berarti bahan pengajaran. Ada juga yang mengatakan kata tersebut berasal dari bahasa Perancis couriar yang berarti berlari (Nasution, 1991: 9). Lewis dan Meil (Supandi, 1986: 52) mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat bahan pelajaran, rumusan hasil belajar, penyediaan kesempatan belajar, kewajiban dan pengalaman peserta didik. Sementara Taba (Beeby, 1998: 75) memandang kurikulum sebagai hal yang mengandung suatu kenyataan mengenai maksud dan tujuan tertentu; memberi petunjuk tentang beberapa pilihan dan susunan isinya; menyuratkan pada pola belajar dan mengajar tertentu, baik karena dikehendaki oleh tujuan maupun susunan isinya, akibatnya kurikulum memerlukan suatu program pengevaluasian hasilhasilnya. Ada juga yang berpendapat kalau secara bahasa kata “kurikulum”, berasal dari bahasa Perancis, ‘courier’ yang artinya to run: berlari (Nasution, 1990: 9). Kurikulum dalam bahasa Yunani, diartikan ‘jarak’ yang harus ditempuh oleh pelari. maka kurikulum dalam pendidikan diartikan sebagai ‘sejumlah’ mata pelajaran yang harus ditempuh/ diselesaikan anak didik untuk memperoleh ijazah (Sudjana, 1991: 4). Pengertian ini sejalan dengan pendapat, Crow dan Crow, bawa kurikulum adalah rancangan. Pengajaran yang isinya terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis dan sejalan dengan hal-hal yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu proses dalam kegiatan pendidikan tertentu. kurikulum pada hakekatnya adalah rancangan mata pelajaran bagi suatu kegiatan jenjang pendidikan tertentu dan dengan menguasainya seseorang dapat dinyatakan lulus dan berhak memperoleh ijazah (Nata, 1996: 123). Dengan demikian secara tradisional kurikulum diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan disekolah. namun dalam perkembangannya pengertian kurikulum mempunyai cakupan yang lebih luas seperti: pendapat Saylor dan Alexander bahwa kurikulum itu bukan hanya meliputi mata pelajaran atau mata kuliah, akan tetapi segala usaha lembaga Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
232
Fauzan
pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan baik yang dilakukan di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Dalam studi Kependidikan Islam, istilah kurikulum menggunakan kata “manhaj” yang diartikan jalan yang terang atau jalan yang dilalui oleh manuia pada berbagai bidang kehidupan. Jalan terang tersebut adalah jalan yang dilalui oleh pendidik dan guru latih dengan orang yang dididik atau dilatihnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka. Namun demikian, Muhammad Al Toumy Al Syaibani, melihat kurikulum Islam berbeda dengan kurikulum pada umumnya. Kurikulum Pendidikan Islam mengandung makna sebagai suatu rangkaian program yang mengarahkan kegiatan belajar mengajar yang terencana secara sistematis dan berarah tujuan yang mencerminkan cita-cita dari para pendidik sebagai norma drager (pembawa norma) Islami. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, cakupan bahan pengajaran yang terdapat dalam kurikulum semakin luas dan semakin bertambahnya beban yang harus dipikul oleh sekolah. Dalam hubungan ini S. Nasution ( : 10) mengatakan bahwa luasnya cakupan kurikulum ini antara lain disebabkan adanya tugas-tugas yang semula menjadi beban badan-badan lain kemudian dibebankan pada sekolah. Berdasarkan tuntutan zaman tersebut, para perancang kurikulum dewasa ini menetapkan struktur kurikulum ke dalam empat bagian: 1. Tujuan yang ingin dicapai oleh proses belajar mengajar
2. Isi atau mata pelajaran yaitu berisi pengetahuan, informasiinformasi, data, aktivitas-aktivitas, dan pengalaman-pengalaman yang merupakan bahan bagi penyusunan kurikulum yang isinya berupa mata pelajaran yang kemudian dimasukkan dalam silabus. 3. Metode atau cara menyampaikan mata pelajaran tersebut 4. Evaluasi yaitu metode atau cara melakukan penilaian dan pengukuran atas hasil pengajaran mata pelajaran tertentu. (Nata: 125) Olivia (1997) mengatakan bahwa kurikulum adalah: “we may think of the curriculum as a program, a plan, content, and learning experiences, whereas we may characterize instruction as methods, the teaching act, implementation, and presentation. Olivia termasuk orang yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai a plan or program for all the experiences that the learner encounters under the direction of the school”. Pendapat yang sedikit berbeda tentang kurikulum dikemukakan oleh Marsh (1997), dia mengemukakan bahwa kurikulum merupakan suatu hubungan antara perenc anaan-perencanaan dengan pengalamanpengalaman yang seorang siswa lengkapi di bawah bimbingan sekolah. Senada dengan Marsh, Schubert (1986) mengatakan the interpretation that teachers give to subject matter and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students actually experience. Dengan transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi suatu focus Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Integrated Curriculum
233
pendidikan yang ingin mengembangkan pada diri peserta didik apa yang sudah terjadi dan berkembang di masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta didik sebagai subjek yang mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa dating tetapi harus mengikuti berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan apa yang dialami oleh orang tua mereka. Dari beragam definisi kurikulum yang ditawarkan para tokoh di atas, kurikulum dapat dipahami sebagai sebuah rangkaian siklus yang di dalamnya harus mencerminkan sebuah perencanaan yang matang, pelaksanaan kegiatan atau implementasinya di lapangan, serta proses evalusi yang akan menjadi penentu berhasil atau tidaknya kurikulum diterapkan. Hal ini sebagaimana definisi kurikulum yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat (19) yang berbununyi: kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan kata lain, kurikulum harus dipahami sebagai sebuah rangkaian siklus yang di dalamnya harus mencerminkan sebuah perencanaan yang matang, pelaksanaan kegiatan atau implementasinya di lapangan, serta proses evalusi yang akan menjadi penentu berhasil atau tidaknya kurikulum diterapkan. Hal ini sebagaimana dikemukakan John Miller (1985) bahwa pengembangan kurikulum merupakan sebuah proses yang berjalan dari mulai orientasi, pengembangan, implementasi sampai pada evaluasi, Artinya, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU No. 20 tahun 2003). Ada 3 komponen penting yang harus diperhatikan dalam kurikulum, yakni: 1) perencanaan, 2) implementasi, dan 3) evaluasi kurikulum. Keberadaan Kurikulum harus dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1) Apa tujuan yang diinginkan pendidikan, 2) Apa metode yang diterapkan untuk mencapai tujuan pendidikan?, 3) Bagaimana pelaksanaan pendidikan, dan 4) Bagaimana hasil pelaksanaan pendidikan tersebut dilaksanakan?. Oleh karena itu, kurikulum semestinya dapat menjawab segala problem pendidikan yang muncul dan dapat memberikan alternative jawaban tentang keberhasilan pelaksanaan pendidikan yang telah dilakukan. Dalam UU No. 20 tahun 2003¸pasal 3 disebutkan bahwa tujuan dan fungsi pendidikan adalah “mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Jika tujuan pendidikan menjadi arah pelaksanaan kurikulum, tentu saja keberadaannya harus dapat menjawab segala problematika yang Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
234
Fauzan
muncul di tengah-tengah masyarakat, menyangkut persoalan kognitif, karakter, akhlak, nasionalisme, kemandirian, demokrasi, spiritual, dan lain sebagainya. Untuk mencapai tujuan tersebut, tentu saja keberadaan kurikulum yang ditawarkan seharusnya dapat menjawab segala persoalan tersebut. Kurikulum –sebagai sebuah konsep struktur kurikulum— sebaiknya berisi mata pelajaran yang pada akhirnya dapat menjawab segala persoalan tersebut. Model/jenis kurikulum tersebut dikenal sebagai model “integrated curriculum”. Model/jenis kurikulum integrated curriculum adalah jenis kurikulum yang di dalamnya berisi mata pelajaran dengan mengintegrasikan beberapa nilai (karakter) positif yang diinginkan serta bertujuan untuk memberikan “jawaban” atas permasalahan dimaksud. Integrated curriculum berarti multidisciplinary curriculum, correlated curriculum, dan correlated curriculum. Problematika Masyarakat Global Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata “masyarakat” sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Hal ini sebagaimana ditegaskan Syaikh Taqyuddin AnNabhani, sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan. (wikipedia//org//masyarakat) Menurut Alfin Toffler, sebagaimana dikemukakan oleh Jalaludin Rahmat, membagi masyarakat ke dalam tiga bagian. Yaitu masyarakat pertanian (Agricultural Society), masyarakat industri (Industrial Society), dan masyarakat infomasi (Informatical Society). Menurut Deliar Noer ada 5 ciri-ciri masyarakat modern sebagai berikut: 1) Bersifat rasional, 2) Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh, 3) Menghargai waktu, 4) Bersikap terbuka, dan 5) Berpikir objektf. Untuk bisa bertahan hidup, semua masyarakat harus bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu, yang kalangan fungsionalis menyebutnya dengan istilah prasyarat fungsional (functional prerequisites). Kebutuhan-kebutuhan itu diantaranya: 1. Kebutuhan subsistens. Kebutuhan subsistens adalah kebutuhan jasmaniyah, seperti kebutuhan akan udara, makanan, air, kehangatan, tempat untuk bernaung, dan tidur, yang kesemuanya harus dipenuhi agar bisa bertahan hidup. Manusia juga membutuhkan kebutuhan jasmaniyah yang lainnya seperti kebutuhan akan rasa sayang, menghindari stress, dan keikutsertaan dalam sebuah sistem keyakinan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Integrated Curriculum
2.
3.
4.
5.
6.
235
bersama. Pemenuhan kebutuhan subsistens ini biasanya memerlukan berbagai usaha kerja, seperi berburu, mengumpulkan buah-buahan, atau memproduksi makanan, dan memerlukan tempat untuk bernaung. Kebutuhan distribusi. Kepemilikan kekayaan subsistens itu perlu didistribusikan ke seluruh anggota masyarakat. Bayi dan anak kecil termasuk orang yang membutuhkan orang lain untuk memberi mereka suplai makanan yang cukup. Kebutuhan reproduksi biologis. Agar masyarakat tetap eksis dan survive maka diantara anggota masyarakatnya harus melakukan reproduksi biologis. Biasanya di kita dilakukan melalui pernikahan. Kebutuhan transmisi budaya. Masyarakat perlu mentransmisikan budaya mereka —kebiasaan, nilai-nilai, ide-ide dalam masyarakat— kepada anggota baru mereka agar kebudayaan bisa terus bertahan atau berlanjut. Kebutuhan perlindungan. Anggota masyarakat perlu menghindari tindakan yang merusak satu sama lain dan masyarakat secara keseluruhan membutuhkan perlindungan dari ancaman luar. Kebutuhan untuk komunikasi. Untuk memenuhi semua kebutuhan di atas, maka anggota masyarakat perlu mengkomunikasikannya dengan sesama anggota yang lainnya (Persell, 1987:48).
Dalam konteks masyarakat modern, kemajuan informasi, ilmu pengetahuan dan canggihnya teknologi menjadi “ciri” dari masyarakat yang ada di dalamnya. Kemajuan di bidang teknologi pada zaman modern ini telah membawa manusia ke dalam dua sisi, yaitu bisa memberi nilai tambah (positif), tapi pada sisi laian dapat mengurangi (negatif). Bahkan menurut Nashr sendiri, kondisi manusia modern sekarang sangat mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar dan bersifat spiritual, mereka lebih suka dengan keindahan materi dan harta benda, mereka telah gagal menemukan ketentraman batin, yang berarti tidak ada keseimbangan dalam diri. Hal ini akan semakin parah apabila tekanannya pada kebutuhan materi semakin meningkat sehingga keseimbangan semakin rusak. Dari sikap mental yang demikian itu kehadiran iptek telah melahirkan sejumlah problematika masyarakat modern, sebagai berikut: 1. Desintegrasi ilmu pengetahuan Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi. Dalam perspektif penulis, semua ilmu semua berasal dari Tuhan, baik ilmu pengatahuan alama (natural sciences), ilmu sosial (social sciences), maupun ilmu agama itu sendiri (religion sciences). Yang membedakan ketiganya hanya sumber atau objek pencarian ilmu tersebut. Semua ilmu seharusnya Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
236
Fauzan
menyatu (integrated), saling menguatkan satu dengan lainnya. Efek kemajuan IPTEK telah membawa perubahan pemahaman cukup besar, masyarakat –terutama Barat— menganggap bahwa keberadaan satu ilmu dengan ilmu lainnya adalah sesuatu yang berbeda. Ada “kesan” jika ilmu itu hanya berasal dari dua wilayah, Barat sebagai representasi ilmu pengetahuan umum dan Timur Tengah sebagai representasi ilmu-ilmu keagamaan. 2. Kepribadian yang Terpecah Karena kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak, maka manusianya menjadi pribadi yang terpecah, hilangnya kekayaan rohaniah karena jauhnya dari ajaran agama. 3. Penyalahgunaan Iptek Berbagai iptek disalahgunakan dengan segala efek negatifnya sebagaimana disebutkan di atas. 4. Pendangkalan Iman Manusia tidak tersentuh oleh informasi yang diberikan oleh wahyu, bahkan hal itu menjadi bahan tertawaan dan dianggap tidak ilmiah dan kampungan. 5. Kehilangan Harga Diri dan Masa Depannya Mereka menghabiskan masa mudanya dengan memperturutkan hawa nafsu dan menghalalkan segala cara. Namun ada suatu saat tiba waktunya mereka tua segala tenaga, fisik, fasilitas dan kemewahan hidup sudah tidak dapat mereka lakukan, mereka merasa kehilangan harga diri dan masa depannya. Berbagai permasalahan tersebut adalah efek dari kemajuan masyarakat yang sarat dengan informasi dan teknologi. Akan ada permasalahan lain yang terus mengiringi kemajuan masyarakat. Jika persoalan terus bertambah, lalu siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Pendidikan –baik dilihat sebagai proses maupun kelembagaan— dituding sebagai “oknum” yang paling bertang jawab atas problematika yann ada. Integrasi Kurikulum dan Tantangan Masyarakat Integrasi kurikulum berarti proses pembelajaran yang didasarkan pada keterkaitan ilmu pengetahuan (multdisipliner), mengajar sinergis dengan mengaitkan satu ilmu dengan ilmu lainnya. Dalam kerangka aplikatif, integrasi kurikulum dapat digambarkan oleh Palmer (1991, hal 59) dalam pelaksanaan pembelajaran sebagai berikut: · Mengembangkan kurikulum lintas-sub-sasaran dalam suatu diberikan panduan kurikulum · Pengembangan Model pelajaran yang mencakup lintas-kurikuler dan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Integrated Curriculum
237
penilaian Mengembangkan kegiatan pengayaan atau perangkat tambahan dengan fokus crosscurricular termasuk saran untuk cross-kurikuler “kontak” berikut masing-masing tujuan · Mengembangkan kegiatan penilaian yang lintas-kurikuler di alam · Termasuk roda perencanaan sampel di semua panduan kurikulum. Integrasi Kurikulum (integrated curriculum) merupakan suatu produk dari usaha pengintegrasian bahan pelajaran dari berbagai macam pelajaran. Integrasi diciptakan dengan memmusatkan pelajaran pada masalah tertentu yang memerlukan solusinya dengan materi atau bahan dari berbagai disiplin atau mata pelajaran (Idi, : 146). Lihat gambar berikut: ·
Pola Integrasi kurikulum
Sumber: google Bagi S. Nasution, kurikulum jenis ini membuka kesempatan yang lebih banyak mempertimbangkan perbedaan individual peserta didik dan bertujuan agar peserta didik memperoleh sejumlah pengetahuan secara fungsional dan mengutaman proses belajarnya. Oleh karena itu, dalam implementasinya integrasi kurikulum harus tetap memperhatikan hal-hal berikut: 1) child centered curriculum; satu konsep kurikulum yang mempertimbangkan kebutuhan peserta didik, 2) social functions curriculum, kurikulum yang mencoba mengeliminasi matapelajaran sekolah dari keterpisahan dengan fungsi-fungsi utama kehidupan sosial. dan 3) experinece curriculum. Kurikulum yang mempertimbangkan pengalaman yang muncul ketika proses pembelajaran berlangsung. Ada kesamaan karakter antara masyarakat dan kurikulum. Masyarakat sebagai komunitas terbesar manusia terus berubah seiring dengan tuntutan dan keinginan masyarakat itu sendiri. Eksistensinya terus berubah seiring dengan kemajuan informasi dan teknologi. Dalam konteks “kurikulum”, posisi masyarakat harus dijadikan sebagai acuan atau landasan yang tidak boleh dilepaskan. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
238
Fauzan
Hal ini karena setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya. Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat. Israel Scheffer dalam Nana Syaodih Sukmadinata (1997), mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang. Perkembangan masyarakat juga tidak lepas dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil kemampuan berfikir manusia. Terciptanya produk-produk teknologi informasi dan transformasi dengan segala kecanggihan dan efeknya merupakan bagian penting untuk dipetimbangkan dalam mengembangkan kurikulum. Perkembangan ekonomi seperti penggunakan transaksi perdagangan melalui perbangkan, pasar modal, asuransi juga merupakan bahan pertimbangan dalam pengembangan kurikulum. Di samping karena kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal. Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian. Hubungan antara sekolah dan masyarakat lebih khususnya dengan dunia industri merupakan karakteristik yang sangat penting dalam konteks pendidikan teknologi dan kejuruan. Peran masyarakat dan pemerintah dalam hal ini sama pentingnya. Masyarakat dan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan pendidikan teknologi dan kejuruan. Perwujudan hubungan timbal balik yang menunjang ini mencakup adanya dewan penasehat kurikulum kejuruan (curriculum advisory committee), kesediaan dunia usaha menampung siswa pendidikan teknologi dan kejuruan dalam program kerjasama yang memungkinkan kesempatan pengalaman lapangan, informasi kecenderungan ketenagakerjaan yang selalu dijabarkan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Integrated Curriculum
239
ke dalam perencanaan dan implementasi program pendidikan. Untuk menjawab keinginan tersebut, sangat terkait dengan tawaran konsep kurikulum pendidikan. Sebagai sebuah gagasan/ide, kurikulum harus dapat menawarkan solusi atas problematika yang muncul. Bahkan dalam pelaksanaannya, kurikulum juga harus dapat menyajikan kegiatan yang dapat mengakomodir potensi, minat, bakat siswa. Kondisi tersebut, tentu saja kurikulum harus dilihat sebagai konsep yang merepresentasikan berbagai ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Malik Fadjar, Modifikasi Kurikulum, Langkah Awal Pemberdayaan IAIN, PERTA, (Vol, 1 No. 1 September, 1997). Abdul Latif, Pendidikan Berbasis Nilai Kemasyarakatan, Bandung: Rifka Aditama, 2009. Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, (Yogyakarta: ArRuz Media, 2008). Asy’ari, Musa, Manusia Pembentuk kebudayaan dalam al-Qur’an, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat islam, cet. I, 1992. Beeby, C.F., Pendidikan di Indonesia, Penilaian dan Pedoman Perencanaan, LP3ES, Jakarta, 1998, Edisi III. E. Mulyasa (2004). Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Kesuma Karya Bandung. ——————. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. Kaber Achasius. 1988. Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti Proyek Pengembangan LPTK. Miller, John F and Seller Wayne (1985). Curriculum: Perspective and Practice; Logman, New York & London. Miller, John P dan Seller, Wayne (1985), Curriculum: Prespective and practis, New York: MacMillan Publishing Co. Nana Sudjana: Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Sinar Baru, Bandung. 1991. Nana Syaodih Sukmadinata. (2006). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Oliva F. Peter. 1991. Developing the Curriculum. New York: Harpercollins. S. Nasution, Pengembangan Kurikulum, Bandung: Citra Adirya Bakti, 1991, cet. IV, Schubert William H (1986). Curriculum: Perspective, paradigma and Possibility, New York: MacMillan Publishing Co. Wina Sanjaya, Kuriukulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik KTSP, (Jakarta: Prenada Media, 2007.
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
240
NILAI-NILAI HUMANISME ISLAM: Implikasinya dalam Konsep Tujuan Pendidikan
Oleh Musthofa
Abstracts: Islamic humanism is religious humanism derived from the teachings of Islam. This thinking comes from the human bond of a primordial covenant with God as the Ultimate Reality. The orientation of the divine made human living soul. Elements of this theoantroposentrism God made man as the caliph. Thought this humanism which departed from the doctrine of monotheism form values: freedom (liberty), brotherhood (fraternity), and equation (equality). In this perspective, Islamic education is intended to help students actualize their potential to become conscious of the human creative presence of God in him. It seeks to deliver education students to be human Rabbani. Key word: Theo-antroposentrism, freedom, brotherhood, equality, human Rabbani.
Pendahuluan Humanisme sebagai teori yang menempatkan manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri yang menjadi nilai tertinggi merupakan tema yang jarang dibahas dalam al-Qur’an. Humanisme sebagai sebuah aliran filsafat yang bertolak dari faham antropomorfisme sering dipandang bertentangan dengan ajaran Islam yang bertolak dari keimanan dan kepercayaan adanya Allah. Kalangan humanis memandang manusia sebagai penguasa alam semesta sehingga menolak eksistensi Tuhan. Mereka bahkan “menuhankan” manusia. Pandangan ini mengantarkan adanya penolakan pemikiran humanisme dalam al-Qur’an.
*) Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
241
Akan tetapi Islam sebagai ajaran suci sangat memperhatikan kearifan kemanusiaan sepanjang zaman.1. Ajaran Islam memberikan perlindungan dan jaminan nilai-nilai kemanusiaan kepada semua umat. Setiap muslim dituntut mengakui, memelihara, dan menetapkan kehormatan diri orang lain. Upaya pemanusiawian manusia dikembangkan menjadi pendidikan dengan pendekatan humanistik.2 Untuk itu, Islam dengan al-Qur’an sebagai sumber ajarannya dinyatakan Nasr sebagai pedoman dan realitas sentral kehidupan Islam yang merupakan dunia kehidupan setiap muslim.3 AlQur ’an memberi jawaban atas permasalahan hidup manusia. Sebagai pedoman hidup manusia, kitab suci ini banyak membahas tentang jati diri manusia. Teoantroposentrisme: Dasar Humanisme Islam Pembahasan mengenai humanisme dalam Alquran tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Barat yang memunculkan teori ini. Humanisme di dunia Barat muncul sebagai dasar gerakan Renaissance.4 Gerakan ini mencari tafsir baru tentang manusia dalam kehidupan dunia. Pada awal kemunculannya, humanisme merupakan gerakan filsafat dan sastra di Italia pada paruh kedua abad ke-14 yang menyebar ke negara-negara lain di Eropa sebagai satu di antara faktor peradaban modern. Sikap humanis terhadap kehidupan ini berlangsung sampai sekarang.5 Humanisme muncul karena adanya rasionalisme sehingga melahirkan Renaisans, yaitu gerakan kebangunan-kembali manusia dari keterkungkungan mitologi dan dogma.6 Bertolak dari mitologi tersebut, menjadi wajar dan logislah bila konsep humanismenya mengambil bentuk sebagai penentang kekuasaan para dewa yang menjadi Tuhan-Tuhan dan sembahan mereka. Meski demikian, Rene Descartes (1598-1650) yang dikenal sebagai bapak pendiri filsafat modern memandang rasionalisme tidak boleh mengingkari eksistensi Tuhan sebagai ide tentang ‘ada’ yang paling sempurna.7 Humanisme yang hanya didasarkan pada pemikiran akal tidak mampu mewujudkan jati diri manusia yang sesungguhnya. Seharusnya humanisme yang bertolak dari paham rasionalisme tidak menentang adanya Tuhan. Humanisme religius (humanisme teosentris) merupakan upaya untuk menyatukan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.8 Ajaran agama (keyakinan tentang Tuhan), menurut Boisard dalam L’Humanisme de l’Islam, mempengaruhi watak dan persepsi manusia yang selanjutnya menentukan kedudukan dirinya, prioritas kebutuhan dan pembentukan kaidah hubungan dengan manusia lainnya. 9 Agama bukan hanya sistem kepercayaan yang tidak berubah tapi juga nilai yang berorientasi kemanusiaan. Dalam pemikiran humanisme, mazhab agama lebih tua dan memiliki akar yang lebih dalam daripada ketiga aliran sebelumnya. Semua agama memiliki misi untuk memberikan petunjuk kepada manusia menuju kebahagiaan abadi. Humanisme agama adalah keyakinan dalam aksi. Amin Abdullah menyatakan, religion is not merely a set of metaphysical beliefs that never change. Religion is also an attitude and orientation towards huDidaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
242
Musthofa
manity, nature and human culture that shows respect and awe for the mystery of human life.”10 Kaum humanis-religius mengakui bahwa agama dalam budaya manusia berperan untuk membantu manusia dalam menyelesaikan keterpusatan diri yang membuat diri terasing dari orang lain. Agama tidak mengabaikan nilai kemanusiaan. Justru agama diturunkan kepada manusia untuk menjamin kebebasannya supaya terhindar dari perilaku tirani pihak lain. Humanisme Islam sebagai humanisme-religius bersumber dari ajaran Islam. 11 Dasar humanisme Islam yang semuanya bertolak dari ikatan manusia terhadap suatu perjanjian primordial dengan Tuhan yang menurut Iqbal disebut sebagai puncak realitas (the Ultimate Reality). 12 Pengakuan Allah sebagai pusat orientasi hidup manusia dilakukan sejak awal kehidupannya. Manusia mengakui Allah sebagai Tuhannya (Q.S. alA‘raf [7]: 172). Karena perjanjian itu, setiap manusia terlahir dalam fitrah, kesucian asal (Q.S. al-Ruum [30]: 30). Orientasi ketuhanan itulah yang menurut Syariati harus dimasukkan dalam jiwa hidup manusia, baik dalam tradisi, adat-istiadat dan tata krama masyarakat untuk diaplikasikan dalam ideologi materialisme, sosialisme, dan ekonomisme. Inilah yang membedakan konsep humanisme Islam dengan Barat. Konsep humanisme ini dalam pandangan Sarwar disebabkan oleh karena ajaran al-Qur’an didasarkan pada kemurnian jiwa manusia sebagai bagian dari jiwa yang Mahaagung.13 Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mendapatkan Ruh Ilahi (jiwa Tuhan) (Q.S. al-Hijr [15]: 29). Ruh ilahi sebagai penyebab manusia memiliki akal yang membedakannya dari makhluk lain. Ruh Ilahiah yang menyatu dengan jasad atau fisik manusia membentuk kesatuan manusia dinyatakan sebagai puncak segala makhluk Allah yang diciptakan oleh-Nya dalam bentuk sebaik-baiknya ciptaan (Q.S. al-Tin [95]: 4). Realitas manusia tersebut menjadi dasar pemikiran humanisme Islam yang bersifat religius-transendental. Transendensi Tuhan dalam Islam tidak menjauhkan rahmat dan inayah-Nya dari manusia. Tuhan dalam konsepsi Islam itu tidak terisolir, tapi justru bisa dihubungi. Allah selalu berbuat memenuhi kebutuhan manusia (Q.S. al-Rahman [55]: 29). Fitrah manusia menjadi esensi humanisme Islam. Nurcholish Madjid mengatakan, “... the Qur’an defines the true religion as none other than the primordial, pristine quality of humanity, express in the innate and the naturally unspoiled inclination of man to the sacred and the true, which is the essence of the universal humanism, the fitrah and the hanifiyah.”14 Nilai kemanusiaan seorang manusia itu secara alamiah dan sosial juga didasarkan pada kemampuannya menghargai kode etik dan sopan santun sebagai makhluk berbudaya yang tidak liar. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihargai bukan karena bangun tubuhnya yang indah, akan tetapi karena kualitas perbuatannya yang didasarkan pada kematangan pemikiran dan kesadaran yang membentuk sikap hidup yang bijak. Kapasitas akal manusia itulah yang menjadi ciri utama kemanusiaan (humanitas) manusia dan aktualitasnya dalam kehidupan kongkret. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
243
Nilai kemanusiaan manusia ditentukan jiwanya, yaitu penyucian diri sehingga tidak menuruti keinginan nafsu jahat (Q.S. al-Syams [91]: 9-10). Machasin menyatakan: “... for the philosophers, the humanity lies in the spirit. The body for them is only vehicle by which the human soul operates in this worldly life and it is not here that it should dwell. The soul must release itself out of the web of the body and go back to God.”15 Badan manusia sebagai tempat melaksanakan maksud jiwanya dalam kehidupan. Jiwa manusia harus mampu membebaskan badannya untuk bisa kembali kepada Tuhan. Hubungan kemanusiaan yang baik dapat terwujud manakala manusia mampu membebaskan dirinya dari tawanan orang lain dan bisa meniadakan perbudakan pada dirinya sendiri. Caranya adalah manusia disuruh berperilaku seperti akhlak yang dimiliki Allah, yaitu mengamalkan sifat-sifat-Nya yang terformulasi dalam al-asma’ alhusna (nama-nama yang bagus). Akhlak bukanlah sesuatu yang kita “pakaikan” pada diri kita. Akhlak adalah sifat Allah yang kita “serap” dan kemudian mengubah kita secara ontologis. Setiap kali kita menyerap asma (sifat) Allah, esensi kemanusiaan kita berubah sehingga mengalami tranformasi. Penyerapan sifat Allah akan mengantarkan manusia kepada kesucian jiwa sehingga memunculkan kebenaran dalam berpikir, keteguhan dalam bersikap, dan kebaikan dalam berperilaku (akhlak). Bertrand Russel memandang perlunya menyelaraskan aspek pribadi dan aspek kemasyarakatan dari perilaku individu.16 Reformasi sosial akan membawa reformasi individual, bukan sebaliknya. Unsur teosentrisme dalam humanisme Islam tersebut berupaya membentuk manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan menjadi khalifah Allah fi al-ardl (agen Tuhan di bumi) sebagai bukti kemuliaan manusia (Q.S. al-Isra’ [17]:70). Karena kemuliaan itu, Mutahhari menggambarkan manusia sebagai makhluk yang semi-samawi dan semi-duniawi. 17 Kemuliaan manusia dalam kajian Islam diwujudkan dengan nilai-nilai moral yang abadi dan asli tentang fitrah kebaikan yang suci dan asas manusia yang kreatif dan luhur. Menurut ‘Abd al-Gani ‘Abud, dasar penciptaan manusia adalah kebaikan, bukan kejahatan.18 Manusia harus dibela, diperjuangkan dan diberikan hak-haknya supaya menjadi manusia yang sesungguhnya sesuai keterbatasan potensi yang dimiliki. Dengan demikian, humanisme Islam memiliki dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Humanisme ini bertolak dari faham teoantroposentrisme. Dimensi vertikal (hablun min Allah) berupa hubungan baik kepada Allah dengan cara mengabdi pada kekuasaan tertinggi untuk membangun hati yang baik guna mencegah kesombongan. Dimensi vertikal dalam humanisme Islam mengharuskan manusia mengabdi kepada Allah sedangkan dimensi horizontal (hablun min al-nas) berupa hubungan baik kepada sesama manusia dan alam semesta sehingga muncul nilai keadilan, kasih sayang, dan nilai lain sebagai akhlak mulia. Itulah sebabnya akhlak menjadi inti ajaran humanisme Islam. Humanisme Islam adalah jalan tengah, yaitu harmonisasi antara dimensi material dan dimensi spiritual, dimensi fisik dan psikis, dimensi Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
244
Musthofa
dunia dan akhirat. Melupakan kehidupan duniawi itu tidak menonjolkan materi tetapi menghancurkan diri sehingga menjadi miskin dan bodoh. Hal ini merupakan tindakan dehumanis. Dimensi spiritual menjadi pengendali nafsu manusia untuk tidak berpikir, bersikap, dan berbuat yang menghancurkan harkat dan martabat manusia. Nilai-nilai Humanisme Islam Nilai-nilai kemanusiaan dalam humanisme Islam memiliki kesamaan dengan humanisme Barat karena sumbernya memang sama. Moussa mengatakan: “We may …declare that humanity is indebted for the principles of “liberty, fraternity and equality” to Islam and not to French Revolution as alleged by those who are ignorant of Islam and its history or those who are prejudiced against the religion perfected by the Lord of the worlds for all mankind.”19 Humanisme Barat itu berutang budi terhadap prinsip kebebasan (liberty), persudaraan (fraternity), dan persamaan (equality) dalam Islam. Lebih dari itu, Iqbal menyatakan ketiga prinsip tersebut merupakan inti ajaran Islam. Dalam bukunya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, dinyatakan bahwa intisari tauhid adalah persamaan, solidaritas, dan kebebasan. 20 Konsep tauhid berimplikasi kepada upaya mewujudkan persamaan. Adanya persamaan itu akan menumbuhkan solidaritas atau persaudaraan. Selanjutnya, solidaritas menuntut pemberian kebebasan kepada manusia dalam hidupnya. Kebebasan, persudaraan, dan persamaan inilah yang menjadi nilai humanisme Islam. 1. Kebebasan Kebebasan (hurriyyah, kemerdekaan) adalah jiwa ajaran Islam. Kebebasan sebagai nilai humanisme Islam ditujukan untuk menjamin hak manusia. Nilai kebebasan dalam humanisme Islam menurut pandangan Syari’ati bertolak dari asumsi bahwa manusia adalah makhluk mandiri yang mulia, berpikir, sadar akan dirinya sendiri, berkehendak bebas, bercita-cita dan merindukan ideal, bermoral. Kebebasan dalam Islam dibatasi oleh ketentuan moral.21 Menurut Khuri dalam Freedom, Modernity, and Islam, tanpa pengakuan moral dan spiritualitas, kebebasan akan menyebabkan kehancuran.22 Ketentuan moral itu pada hakikatnya berperan sebagai pengikat kebebasan. Islam memandang nilai hidup seorang manusia tergantung pada adanya kebebasan. Kebebasan menurut al-Siba‘i dalam Isytirakiyyah al-Islam tidak akan terwujud bila tidak didasarkan perasaan yang mendalam dalam pribadi seseorang, kebutuhan masyarakat, ketaatan kepada Allah, dan nilai kemanusiaan.23 Ketaatan merupakan ketentuan moral yang harus diikuti oleh semua manusia. Islam memberikan ketentuan moral dengan memberikan kewajiban kepada manusia berupa taklif (kewajiban keagamaan). Pada dasarnya, taklif adalah bimbingan Allah supaya manusia menuju jalan yang benar.24 Taklif atau ketentuan moral sebagai petunjuk bagi manusia tidak akan terlaksana bila manusia tidak memiliki kebebasan untuk mengikuti atau menolaknya. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
245
Petunjuk itu hanya akan berguna bila ada kemungkinan tersesat. Tanpa adanya kemungkinan tersesat, petunjuk akan kahilangan arti. Di sinilah letak kebebasan manusia yang dicita-citakan humanisme Islam untuk menjamin harkat dan martabat manusia sehingga relevan untuk segala tempat dan waktu. Islam memberikan legitimasi penuh tentang kebebasan. Pandangan tentang manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan inilah yang membedakan dasar pemikiran humanisme di Barat dengan pemikiran humanisme di Timur. Ada perbedaan yang sangat mendasar antara kedua konsep humanisme tersebut. Islam memberikan kebebasan yang sangat luas. Bahkan, dalam hal keimanan sebagai hak yang paling asasi dalam diri manusia pun diberikan kebebasan (seperti dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 256 dan al-Kahfi [18]: 29). Sebagai konsekuensinya, pemaksaan keyakinan merupakan tindakan yang tidak diperbolehkan. Islam juga mengajarkan kebebasan berpikir dan bertindak atau berusaha.25 Kebebasan berpikir dalam Islam dimaksudkan supaya manusia benar-benar mencapai kebebasan dan dapat menentukan pilihannya. Ajaran Islam itu rasional. Hasan Hanafi mengatakan, Revelation in Islam is a dictum of Reason. It is not anti-rational, irrational or superrational. Reason is the most common element shared by all human beings.26 Jalan yang benar untuk mendapatkan kebebasan bukan dengan meninggalkan agama, tetapi dengan menanamkan semangat membangun dan memperbaiki kondisi masyarakat yang membenci ketidakadilan. 27 Semangat inilah yang menjadi kebebasan muslim. Tidaklah logis apabila Islam menyerukan semangat berpikir, namun tidak memberikan kebebasan ilmiah agar akal dan ilmu pengetahuan menempati posisi yang seharusnya. Gaya bahasa al-Qur’an yang menggunakan model kalimat pertanyaan itu sering digunakan menjadi tanda bahwa manusia diberi kebebasan dalam berpikir yang berakhir untuk percaya atau tidak mengenai ajaran Islam. Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan atau tindakan terhadap ajaran itu. Kebebasan lain yang diberikan Islam adalah berusaha. Manusia memungkinkan memilih usaha yang baik dan mulia sesuai kemampuannya. Manusia bisa melakukan usaha atau pekerjaan yang tidak harus merugikan orang lain. Apa pun yang diusahakan manusia kelak akan dimintai pertanggungjawabannya (Q.S. al-Taubah [9]: 105). Kebebasan berusaha tidak boleh menyebabkan gangguan dan kehancuran bagi orang lain. Kebebasan itu didasarkan pada kebebasan orang lain. Karena itu, harus disadari bahwa kebebasan memunculkan perbedaan. Setiap perbedaan memiliki kekhususan dan manfaat tersendiri (Q.S. alNahl [16]: 13). Perbedaan menjadi ketentuan Allah. Dalam al-Qur ’an disebutkan: Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orangorang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan, untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi Neraka Jahannam dengan jin dan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
246
Musthofa
manusia (yang durhaka) semuanya (Q.S. Hud [11]: 118-119). Ayat ini menjamin adanya kebebasan yang menuntut manusia untuk bersikap terbuka, lapang dada, penuh pengertian, dan kesediaan menerima kenyataan seperti apa adanya secara wajar. Setiap orang memliki kebebasan sebagai haknya, tetapi mereka juga harus mempertanggungjawabkannya. Keserasian antara hak dan kewajiban sosial itu menurut Madjid menghasilkan ajaran tentang jalan tengah (wast), wajar dan fair (qist) serta adil (‘adl).28 Itulah sikap yang berulang-ulang ditekankan dalam al-Qur’an. Semua bentuk kebebasan atau kemerdekaan dan kehormatan manusia merupakan nilai-nilai sekunder yang selalu terjadi dalam kerangka hubungan pengabdian kepada Allah, Tuhan yang transenden. Kebebasan dalam humanisme Islam harus diikuti tanggung jawab sesuai hukum yang ditentukan oleh Allah. Dalam humanisme Islam tidak ada kebebasan tanpa tanggung jawab. Karena jaminan kebebasan itu juga Islam memberikan legalitas adanya pluralitas. Pluralitas pemikiran setiap manusia juga harus diterima. Kedamaian terjadi karena adanya sikap toleran di antara mereka. Mereka bersikap menerima pihak lain meski tidak menyetujuinya. Menerima yang tidak disetujui itulah toleransi. Dengan demikian, toleransi menjadi bagian yang terpisahkan dari konsep atau pemikiran pluralisme. Tanpa adanya sikap toleran, praktik atau kondisi plural akan selalu terjadi ketimpangan, kerusuhan, perpecahan, bahkan sampai peperangan. Pluralisme menjadi bagian dari kebebasan dalam humanisme Islam. Karena itu, Fazlur Rahman memandang manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kebebasan untuk menaati atau mengingkari perintah Tuhan.29 Al-Aqqad memberikan persyaratan kebebasan itu harus dibenarkan akal. 30 Akal yang sehat mampu menemukan kebenaran sehingga tidak bertentangan dengan nafsu yang mengajak berbuat jahat. Inilah yang menjadi keistimewaan manusia. Kebebasan menjadi cara mengangkat derajat manusia. Manusia yang bisa memilih dan melakukan perbuatan baik akan menjadikan manusia mulai; sebaliknya mereka yang salah memilih dan berbuat menjadikan mereka hina. Hati dan akal manusia diharapkan bisa mengantarkan pada pilihan yang membawa manusia kepada kemuliaan dirinya. Di sinilah manusia dituntut bertanggung jawab akan perbuatannya. Kebebasan dan tanggung jawab dalam Islam menjadi satu kesatuan karena dari tanggung jawab inilah muncul kebebasan. 2. Persamaan Nilai persamaan (al-musawah) antarmanusia dalam Islam didasarkan pada kesatuan jenisnya. Islam menegaskan bahwa kesamaan individu adalah dasar martabat manusia. Persamaan manusia dalam ajaran Islam tidak mengenal suku, ras, dan warna kulit (Q.S. al-Hujurat [49]: 13). Ayat ini menegaskan bahwa nilai manusia hanya dibedakan oleh kualitas ketakwaannya kepada Allah. Kekuasaan mutlak dan transendensi Allah memberikan kemerdekaan kepada manusia dan membentuk konsep persamaan total kepada setiap orang. Persamaan ini menjadi sumbangan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
247
Islam bagi kebudayaan universal. Ajaran Islam tentang persamaan ini dijelaskan Siddiqi dalam Islam and the Remaking of Humanity sebagai berikut: It was Islam which taught man for the first time that religion is neither ‘national’ nor ‘individual’ nor ‘private’, but purely ‘human’ and its objective is to weld and organize the entire mankind despite its natural diversity. Such a program cannot be framed on the basis of nationality or race, nor can was regard it as private. It can only means by which the feelings and thoughts of humanity can be integrated and harmonized and this is an essential task for the formation and survival of an ummah.31
Ajaran Islam itu bersifat murni kemanusiaan. Tujuannya adalah untuk menggalang dan mengatur seluruh umat manusia meskipun berbeda secara alami. Program ini hanya berarti bila perasaan dan ajaran kemanusiaan bisa disatukan dan diharmonisasikan. Penyatuan dan pengharmonisan merupakan tugas pokok dalam membentuk dan melangsungkan hidup umat manusia. Biosard menilai tak ada agama atau ideologi sebelum Islam yang menekankan dengan kuat tentang prinsip persamaan manusia sebagai dasar pola hubungan manusia. Humanisme Islam membela manusia dalam seluruh sistem dan sejarahnya didasarkan pada prinsip keadilan, kehormatan, hidayah, tanggung jawab, nilai moral, dan hakikat manusia guna membentuk ciri khusus budayanya. Karena petunjuk agama ini menyebabkan jiwa manusia tidak akan pernah damai kecuali dengan melaksanakan pola hidup sesuai petunjuk ajaran Islam. Penilaian objektif diberikan seorang pemikir Barat non-muslim, seperti ditulis Marcel A Boisard berikut ini: Peradaban Arab Islam telah memberikan iuran yang sangat besar kepada sistem yang menjamin penghormatan terhadap pribadi manusia dan mengatur hubungan antarbangsa. Pengingkaran Barat akan peran Islam dalam memperjuangkan nilainilai humaisme ... disebabkan oleh kesombongan Barat yang sejak semula telah menyatukan bangsa-bangsa Eropa untuk melawan Islam.32
Pengakuan ini menunjukkan konsep humanisme Islam relevan dengan sisi kemanusiaan hakiki yang berlaku sepanajang zaman. Keharusan sifat universal itu menjadikan humanisme sering diasosiakan dengan individualisme, liberalisme, egalitarianisme, dan kosmopolitanisme. Peradaban yang akan datang harus ramah yang menempatkan fitrah manusia dalam posisi yang wajar dan berdaya, bukan manusia congkak antroposentrik seperti yang dihasilkan peradaban Renaissance Eropa. Humanisme menemuan penghargaan di antara manusia yang berbeda-beda (suku, agama, warna kulit, dsb.). Universalitas konsep ini merupakan konsekuensi Islam sebagai ajaran suci terakhir sangat memperhatikan kearifan kemanusiaan sepanjang zaman. Moussa mengatakan, “Islam is the last of all the divine messages … The nature of this messages must be of a kind that makes it fit for all humanity in every age, generation and time.”33 Kenyataan ini memberikan legitimasi bahwa Islam memberikan jawaban atas problem sentral tentang arah perilaku Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
248
Musthofa
manusia dalam kehidupan kolektif sesuai nilai moralnya sepanjang masa. Nilai persamaan merupakan dasar dalam hubungan sosial. Atas dasar inilah Islam mengembangkan filsafat dan perundangundangan hak asasi manusia. Cara berpikir ini adalah logis. Islam membenarkan pemberontakan terhadap ketidakadilan politik dan sosial. Ajaran Islam tidak hanya berkenaan dengan masalah hubungan manusia dengan Tuhan atau penyucian jiwa semata, tapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dari pandangan filosofisnya tentang alam sampai pada pedoman hidup individual. Agama ini menekankan kepribadian, perkembangan, dan kemerdekaan manusia dalam persamaan. Persamaan ini selanjutnya memunculkan persaudaraan. 3. Persaudaraan Nilai persaudaraan (al-ikha’) dalam humanisme Islam didasarkan pada kebaikan (al-birr) dan kasih sayang (al-rahmah). Rasul dan para pengikutnya itu sangat sayang kepada sesamanya, meskipun sangat keras terhadap orang kafir yang memusuhi Islam (Q.S. al-Fath [48]: 29). Semua muslim adalah saudara. Allah berfirman, bahwa “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” (Q.S. al-Hujurat [49]: 10). Dengan nilai persaudaraan ini manusia mengetahui hak sesama manusia sehingga bisa menghindari perbuatan aniaya terhadap yang lain. Karena jalinan persaudaraan ini juga seorang manusia tidak akan bersikap egois dalam berinteraksi dengan sesamanya. Persaudaraan menuntut adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara. Perhatian ini bisa jadi muncul karena persamaan di antara pihak-pihak yang merasa bersaudara. Makna persaudaraan diartikan sebagai setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain. Makna ini bisa mencakup salah satu unsur, seperti suku, agama, profesi, dan perasaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus dikembangkan dalam sistem kehidupan masyarakat. Ajaran Islam tentang persaudaraan ini sangat luas cakupannya. Quraish Shihab mengidentifikasi jenis persaudaraan dalam Islam (ukhuwwah) menjadi tujuh macam, yaitu: saudara seketurunan, saudara ikatan keluarga, saudara sebangsa, saudara semasyarakat, saudara seagama, saudara sekemanusiaan, dan saudara semakhluk.34 Setiap muslim harus berbuat baik kepada semua pihak. Persaudaraan tidak hanya terhadap sesama manusia, tapi juga persaudaraan terhadap sesama makhluk yang diciptakan oleh Allah. Berlaku baik terhadap benda sesuai kondisi yang seharusnya, seperti mengalirkan air yang tergenang dan menutup kran air merupakan nilai kebaikan. Karena itu, berbuat yang sebaliknya merupakan kejahatan atau keburukan. Hal ini bisa berlaku bagi semua jenis benda dalam lingkungan setiap manusia berada. Kalau terhadap benda atau lingkungan saja manusia dituntut oleh ajaran Islam untuk memperlakukan sesuai kondisi yang harus terjadi, apalagi terhadap sesama manusia, terlebih lagi persaudaraan sesama Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
249
muslim. Jalinan terhadap sesama muslim ini terdapat kekhususan. Makna sesama mukmin adalah saudara (ikhwah) itu tidak semata-mata diikat oleh kesamaan iman, melainkan juga “seakan-akan” dijalin oleh persaudaraan seketurunan. Ada kewajiban ganda bagi umat beriman agar selalu menjalin hubungan yang harmonis di antara mereka, dan tidak satu pun dalih yang bisa dibenarkan untuk memunculkan keretakan hubungan, apalagi permusuhan dan peperangan. Manusia memiliki rasa guna merespon kenyataan hidup yang dialami. Karena itu, dalam kaitannya dengan tema persaudaraan sebagai bagian dari nilai kemanusiaan diilustrasikan oleh Mutahhari dengan satu kalimat, sebagaimana diungkapkan para sufi dan teolog modern, yakni “rasa perih”. Perih adalah sumber rasa tidak enak tetapi pada saat yang sama juga memberikan kesadaran dan kewaspadaan untuk menemukan penyebabnya.35 Betapa pun merugikan, rasa perih adalah rahmat. Semakin perih semakin waspada. Tidak merasa perih sama dengan tidak merasa dan tidak mengetahui. Itu sama halnya dengan menjadi jahil. Menjadi terpelajar dan bijaksana yang tidak mempunyai kesenangan lebih baik daripada menjadi orang tolol yang menikmati segala kesenangan. Tidak merasa perih bisa menjadikan orang lupa diri. Selanjutnya, lupa diri akan menyebabkan kehancuran umat manusia. Keruntuhan umat manusia di dunia Barat disebabkan oleh budaya duniawi yang menyimpang sehingga menjadi lupa diri. Mereka hanya mengenal dunia semata. Padahal semakin sadar akan aspek duniawi, orang semakin lupa diri. Masalah yang terjadi di dunia itu disebabkan oleh karena orang kurang memiliki rasa kemanusiaaan; Orang tidak mencintai manusia. Perilaku yang humanis itu saling mencintai manusia. Etika kemanusiaan menjadi pedoman dalam kehidupan manusia supaya tidak sewenang-wenang terhadap orang lain. Rasa perikemanusiaan diharapkan akan tumbuh dari pemahaman tentang nilai-nilai etik tersebut. Etika kemanusiaanberfungsi untuk menciptakan pola hubungan antarindividu, sosial, dan kenegaraan. Standar inilah yang menentukan tanggung jawab, amanat, dan janji bagi yang berhak sehingga terjauh dari tindakan yang mengarah kepada lenyapnya nilai-nilai kemanusiaan. Islam mengajarkan kepedulian kepada masalah kemanusiaan sama pentingnya dengan ritual (ibadah) kepada Allah. Kepedulian dan kemauan membela sesama manusia menjadi tanda kesalehan seorang muslim. Karenanya, keberadaan standar nilai-nilai kemanusiaan merupakan kepentingan bagi kehidupan manusia berdasarkan persamaan antarmanusia. Aktualisasi Nilai Humanisme Islam dalam Konsep Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan dimaksudkan sebagai perubahan yang akan dihasilkan dalam diri peserta didik akibat aktivitas pendidikan.36 Sebuah tujuan ditentukan oleh pandangan hidup (way of life) yang meliputi keyakinan agama dan realitas sosial dalam hidup keseharian. Nilai-nilai dalam pandangan hidup menjadi dasar dalam menggerakkan dan menyelenggarakan sistem pendidikan. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
250
Musthofa
Pendidikan dalam Islam bertolak dari paham teosentrisme dan antroposentrisme sekaligus. 37 Nilai-nilai spiritual dan kebaikan moral menjadi dasar dalam merumuskan tujuannya. Menurut Fahmi, tujuan kejiwaan dan tujuan keagamaan menjadi ciri khas pendidikan Islam ini memberikan nilai ideal yang tidak terdapat dalam pendidikan modern yang dikonsepkan Barat. Tujuan pendidikan humanistik di Barat yang hanya didasarkan pada paham antropomorfisme terbatas pada aktualisasi potensi secara penuh dan penjaminan hak dan nilai hidup manusia, yaitu kebebasan dan kemerdekaan manusia dalam mengaktualisasikan dirinya. 38 McNeil mengatakan, “To humanists, the goals of education are dynamic personal processes related to the ideals of personal growth, integrity, and autonomy.”39 Pendidikan humanistik bertujuan membentuk pribadi yang dinamis sesuai dengan pertumbuhan pribadi yang ideal, integritas dan otonominya. Tujuan ini ditandai dengan pengembangan kepribadian dan bakat individu secara menyeluruh. Aktualisasi diri hanya didasarkan pada tujuan material dan sosial yang bersifat sekuler ini terlepas dari upaya menghadirkan Tuhan dalam diri peserta didik. Lepasnya kesadaran ketuhanan akan memunculkan kesombongan intelektual, kezaliman, pengkhianatan, dan kejahatan lain yang ditentang oleh ajaran Islam sesuai nurani manusia. Semua itu disebut akhlak mulia yang bisa dicapai dengan mengembangkan kecerdasan emosional dan spiritual. Keduanya harus disinergikan. Kecerdasan emosional diperlukan untuk menjalin hubungan yang baik antarmanusia, sedangkan kecerdasan spiritual harus dimiliki untuk menjalin hubungan baik dengan Tuhan. Dalam Islam, aktualisasi potensi sebagai tujuan proses pemanusiawian manusia dalam pendidikan humanistik meliputi dimensi material dan spiritualnya. Dalam al-Qur’an dinyatakan: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 79).
Manusia rabbani sebagai hasil atau tujuan proses pendidikan menurut al-Tabariy adalah orang yang memiliki kemampuan berbagai disiplin ilmu sehingga bisa berperan dalam kehidupan bermasyarakat untuk kebaikan hidup manusia, baik urusan keduniaan maupun urusan keagamaan. Mereka adalah orang ahli ilmu, ahli ibadah dan ahli takwa.40 Profil manusia ini menjadi tujuan pendidikan. Kesatuan ilmu dan takwa sebagai kesempurnaan diri menjadikan manusia sebagai orang yang baik secara sosial dan spiritual membentuk manusia sebagai hamba Allah (‘abdullah) sedangkan kemampuannya menciptakan kebaikan hidup manusia di dunia menjadikan manusia sebagai khalifah Allah. Tujuan mengaktualisasikan potensi manusia (peserta didik) menjadi ‘abdullah merupakan tujuan pendidikan humanistik dalam Islam sesuai Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
251
tujuan penciptaan manusia. Allah menciptakan manusia hanyalah untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. al-Zariyat: 56). Tugas manusia sebagai tujuan umum pendidikan Islam adalah mengabdi kepada Allah. Pengembangan potensi yang disertai dengan penyucian jiwa dan pengajaran al-Qur’an akan menumbuhkan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam diri manusia sebagai ciri religiusitasnya. Hal ini akan memunculkan kepekaan untuk berbuat baik kepada masyarakat sekitarnya. Menurut Husain dan Ashraf, penyadaran supaya tumbuh keimanan dan kesalehan dalam diri seseorang merupakan tujuan fundamental yang sekaligus menjadi ciri khusus pendidikan Islam.41 Tujuan ini menjadi bukti bahwa pendidikan dalam Islam tidak mengejar objektivitas dan manfaat material seperti teknologi Barat. Pendidikan Islam mencari sesuatu yang bermanfaat bagi makhluk untuk mengagungkan Tuhan. Karena itu, semua aktivitas harus didasarkan pada nilai spiritual (Q.S. al-‘Alaq: 1-4). Perintah membaca (iqra’) sebagai aktivitas pendidikan atau pengajaran (ta‘lim) dalam Islam harus disertai bi-ismi rabbik (membaca berdasarkan nilai atau ajaran ketuhanan). Landasan spiritual yang sekaligus mengantarkan tujuan pendidikan itu dijelaskan Ali Yafie sebagai berikut: Melalui kata iqra’ itu, al-Qur’an juga mengingatkan bahwa pemikiran dan perenungan, sehubungan dengan rahasia penciptaan dan makna kehidupan, teramat penting untuk diinsyafi sebelum memulai segala perbuatan. Tanpa itu, manusia tak dapat mengembangkan pengetahuan yang sangat asasi bagi terwujudnya manusia dan peningkatan martabatnya sebagai makhluk pilihan. Namun tentu saja, al-Qur’an mengingatkan bahwa pikir saja tidaklah cukup. Pikir harus dilengkapi dengan dzikir (mengingat Allah), sebab Dialah—melalui kasih sayangnya—tempat memancarnya sumber kehidupan dan pengetahuan.42
Dimensi zikir (mengingat Allah) menjadi syarat aktivitas pendidikan dalam menjamin nilai kemanusiaan manusia. Menurut Ibn Taimiyah, ilmu yang lepas dari nilai-nilai spiritual itu jauh dari kebenaran dan kebaikan.43 Penguasaan ilmu harus menjaga potensi spiritualitas peserta didik agar tetap menjadi manusia muslim yang taat kepada Allah. Pendidikan Islam mengembangkan kepribadian manusia secara keseluruhan, yang meliputi intelektual, spiritual, emosi, dan fisik sehingga seorang muslim akan menyiapkan diri dengan baik untuk melaksanakan tujuan kehadirannya di sisi Tuhan. Pendidikan harus mengantarkan peserta didik menjadi hamba Allah (‘abdullah), bukannya hamba harta serta bukan hamba ilmu dan kemajuan teknologi yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan. Adapun aktualisasi potensi dalam pendidikan humanistik-Islami yang membentuk manusia (peserta didik) sebagai khalifah Allah di muka bumi merupakan bekal dalam merealisasikan kelestarian dan daya guna alam semesta (Q.S. al-Baqarah [2]: 30-31). Khalifah adalah jabatan yang lebih bersifat kreatif daripada sekadar status. Eksistensi manusia terletak pada daya kreatif untuk memakmurkan bumi.44 Manusia memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia itu bersifat kreatif yang memungkinkan manusia Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
252
Musthofa
mengolah serta mendayagunakan alam semesta untuk kepentingan hidupnya. Untuk keperluan ini manusia disuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat (amar ma‘ruf nahy munkar). Karena itu, pengembangan potensi dalam pendidikan humanistikIslami harus mengantarkan terwujudnya manusia kreatif yang dapat memberikan kebaikan hidup manusia lain. Dengan bekal ilmunya, mereka harus mampu mengolah serta mendayagunakan bahan baku di bumi menjadi produk teknologi untuk kepentingan hidupnya. Karena kemampuan lebih yang tidak dimiliki makhluk lain inilah manusia diangkat sebagai khalifah Allah di muka bumi. Akan tetapi, status khalifah mengharuskan manusia selalu menyeru kepada kebaikan dan mencegah keburukan. Tugas sosial bagi setiap manusia adalah saling menasihati sesama supaya selamat hidupnya. Tanggung jawab sosial dalam upaya memelihara nilai kemanusiaan sebagai tugas ke-khilafah-an manusia menjadi tujuan pendidikan. Bangunan masyarakat yang terbentuk dari individu-individu hasil pendidikan ini juga merupakan sasaran dari c ita-c ita pemikiran humanisme Islam. Pendidikan memiliki kontribusi dalam mewujudkan masyarakat humanis. Nilai-nilai akhlak harus menyatu dalam menjamin dan memberikan perlindungan nilai, harkat, dan martabat manusia sebagai peserta didik. Predikat manusia sempurna (insan kamil), manusia teladan, unggul, dan luhur ditandai dengan kepemilikan akhlak mulia. Uraian tersebut menunjukkan bahwa tujuan pendidikan humanistik dalam Islam adalah membantu, menolong, dan memberikan kesempatan peserta didik untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi manusia rabbani. Pendidikan ini akan mengembangkan potensinya menjadi hamba Allah (‘abdullah) dan wakil Tuhan (khalifatullah) yang bertugas membangun kemakmuran, keadilan, kedamaian, persamaan, dan persaudaraan dalam masyarakat secara luas sebagai pengabdian kepada-Nya. Pendidikan humanistik dalam Islam berupaya memahami kebenaran, kebaikan universal, dan aktualisasi diri lebih jauh kepada kehidupan spiritual (dimensi vertikal) di samping memahami realitas dan permasalahan manusia (dimensi horizontal) dalam kehidupan bersama. Hasil pendidikan ini adalah manusia sempurna karena kemampuannya mengembangkan potensi positif dan menghilangkan potensi negatif sehingga mencapai hakikat kemanusiaan sesuai fitrahnya. Pendidikan humanistik-Islami membangun masyarakat yang bertakwa kepada Allah atas dasar kasih sayang, keutamaan, cinta kebaikan, toleransi, rasa persaudaraan, kebebasan berpikir yang bertanggung jawab, dan demokratis. Karena itu, pendidikan ini harus memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai hidup, harkat, dan martabat manusia guna menjamin potensi anak didik supaya bisa teraktualisasi secara maksimal. Tujuan dan nilai-nilai ini merupakan dasar dalam merumuskan materi pendidikan. Penutup Humanisme Islam yang bertolak dari teoantroposentrisme akan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
253
mampu membangkitkan semangat dan berhasil meraih cita-cita dalam melindungi nilai-nilai hidup, harkat, dan martabat manusia sebagai kemenangannya. Pemikiran humanisme ini bertolak dari ajaran tawhid yang yang berupa nilai: kebebasan (liberty), persudaraan (fraternity), dan persamaan (equality). Ajaran Islam menumbuhkan kebebasan jati diri manusia yang mandiri dan luhur dalam wujudnya yang bersifat ilahiah dan ideal. Ajaran ini sesuai dengan kondisi riil dunia yang terformulasi dalam humanisme Islam karena mengedepankan akhlak dan kebaikan untuk semua (rahmah li al-‘alamin). Pemikiran humanisme inilah yang harus dijadikan dasar dalam melaksanakan sistem pendidikan Islam. Sistem nilai dalam Islam berperan juga dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi. Dalam kaitan inilah pendidikan berperan penting dalam proses humanisasi. Tujuan pendidikan humanistik-Islami adalah membantu peserta didik mengaktualisasikan potensinya supaya menjadi manusia kreatif yang sadar akan kehadiran Allah dalam dirinya. Pendidikan ini berupaya mengantarkan peserta didik menjadi manusia Rabbani. Dia adalah hamba Allah (‘abdullah) dan khalifah Allah yang kreatif yang memakmurkan dunia untuk kebaikan manusia sepanjang masa.
Catatan: 1
2
3
4
5 6
7
8
9
10
11
12
Muhammad Youseef Moussa, Islam and Humanity’s Need of It, (Cairo: The Supreme Council for Islamic Affairs, 1379 H), h. 60 Nicola Abbagnano, “Humanism” dalam Paul Edward. (eds). The Encyclopedia of Philosophy. Jilid III. (New York: Macmillan, 1972), h. 70 Lihat Sayed Hosen Nasr, Idelas and Realities of Islam (London: George Allen Unwin Ltd, 1996). Bertrand Russel, History of Western Philosphy. (London: Unwin University Press, t.t), h. 488 Nicola Abbagnano, “Humanism...., h. 69-70 Ali Syari’ati, Humanisme: antara Islam dan Mazhab Barat. terj. Afif Muhammad. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h.42 Roger Scruton, Sejarah Singkat Filsafat Modern: dari Descartes sampai Wittgenstein. Terj. Zainal Arifin Tandjung. (Jakarta: Pantja Simpati, 1984), h. 31 dan 37. Abdurrahman Mas’ud, “Pengantar”. dalam Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. x Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam. Terj. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 148 M. Amin Abdullah, “Religious Humanism versus Secular Humanism: towards a New Spiritual Humanism” makalah dalam International Seminar on Islam and Humanism: Universal Crisis of Humanity and the Future of Religiosity di IAIN Walisongo Semarang pada 5-8 November 2000, h. 3 Joel L. Kraemer, Humanism in the Renaissance of Islam: The Cultural Revival during the Buyid Age, (Leiden: E.J. Brill, 1986), h. 10 M.M. Sharif. (ed.), A History of Muslim Philosophy: With Short Accounts of Other Disciplines and the Modern Renaissnce in Muslims Lands, (Germany: Otto Harraso
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
254
Musthofa
witz-Wiesbaden, 1966), 162 Al-Haj Hafiz Ghulam Sarwar, Filsafat Qur’an, Terj. Tim Penerjamah Pustaka Firdaus (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 180-1 14 Nuscholish Madjid, “Kedaulatan Rakyat: Prinsip Kemanusiaan dan Musyawaah dalam Masyarakat Madani” dalam Widodo Usman (ed.). Membongkar Mitos Masyarakat Madani. Yogykarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 4 15 Machasin, “The Concept of Human Being in Islam” makalah dalam International Seminar on Islam and Humanism: Universal Crisis of Humanity and the Future of Religiosity pada IAIN Walisongo Semarang, 5-8 November 2000, h. 3. 16 Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama. Terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1984), h. 23 17 Murtadha Muthahhari, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia...., h. 121 18 ‘Abd al-Gani ‘Abud, al-Insan fi al-Islam wa al-Insan al-Mu’asir, (t.tp.: Dar al-Fikr al‘Arabi, 1978), h. 123 19 Muhammad Youseef Moussa, Islam and Humanity’s Need of It..., h. 55 20 Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam. (Lahore: Asyraf Publication, 1971), h. 154 21 Ali Syari’ati, Humanisme: antara Islam dan Mazhab Barat..., h. 47-9 22 Richard K. Khuri, Freedom. Modernity. and Islam: Toward a Creative Synthesis, (USA: Syracuse University Press, 1998), h. 338 23 Musthafa al-Sibai, Isytirakiyyah al-Islam, (t.tp.: al-Nasyirun al-‘Arab, 1977), h. 71 24 Ali Khalil Abu al-Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyyah fi al-Qur’an al-Karim, (t.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1980), h. 96 25 Aisyah bint Syati, Manusia dalam Perspektif al-Qur’an. terj. Ali Zawawi. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 58-9 26 Hassan Hanafi, “Global Ethics and Human Solidarity” makalah dalam International Seminar on Islam and Humanism: Universal Crisis of Humanity and the Future of Religiosity pada IAIN Walisongo Semarang, 5-8 November 2000, h. 4 27 Muhammad Quthub, Islam Agama Pembebas. Terj. Fungky Kusnaedi Timur, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), h. 338-9 28 Nuscholish Madjid, “Kedaulatan Rakyat: Prinsip Kemanusiaan..., h. 97 29 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, Terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka 1996), h. 36 30 Abbas Mahmud al-Aqqad, Manusia Diungkap Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 57-64 31 (Siddiqi, 1978: 227). 32 Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam..., h. 20 33 Muhammad Youseef Moussa, Islam and Humanity’s Need of It..., h. 60 34 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996), h. 487-9 35 Manusia Sempurna: Pandangan Islam tentang Hakekat Manusia. Terj. M. Hashem, (Jakarta: Lentera, 1994), h. 22-3 36 Majid ‘Irsan al- Kailani, Ahdaf al-Tarbiyah al-Islamiyyah fi Tarbiyah al-Fard wa Ikhraj al-Ummah wa Tanmiyah al-Ikhwah al-Insaniyyah. (Henrdon Virginia: alMa’had al-‘Alami li al-Fikri al-Islami, 1996), h. 27 37 Mastuhu, Memperdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h. 15 38 George R. Knight, Issues and Alternatives in Educational Philosophy. Michigan: Andews University Press-Berrien Spring, 1982), h. 87 39 John D. McNeil, Curriculum: A Comprehensive Introduction, (London: Brown Higher Education, 1972), h. 6 13
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Nilai-nilai Humanisme Islam
40
41
42
43
44
255
Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid al-Tabriy. (1999). Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an. Juz 3. dalam Maktabah al-Tafsir wa-‘Ulum al-Qur’an. CD Program Versi 1.5. (Urdun: al-Khatib, 1999), h. 327 Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Krisis Pendidikan Islam. Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Risalah, 1986), h. 121 Ali Yafie, “Al-Qur’an Memperkenalkan Diri” dalam Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan. No. 1 Vol. I. 1989, h. 3 Ahmad ibn ‘Abd al-Halim ibn Taimiyah al-Hiraniy, Kutub wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Tafsir. dalam Maktabah al-Tafsir wa-‘Ulum al-Qur’an. CD Program Versi 1.5. (Urdun: al-Khatib, 1999), h. 297 A.M. Saefuddin, (et. all.) Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. (Bandung: Mizan, 1998), h. 87
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
256
PERLUNYA PERGURUAN TINGGI MENGEMBANGKAN ENTREPRENEURSHIP Oleh Zahruddin
Abstracts The policy of state and local government to decrease support for public higher education occours almost all over the world. This is in consequence of the increasing pressures on state and local government to address greater demands for expanded societal services such as crime prevention, health care, social security and including primary and secondary education. Therefore there is no choice for public higher educations in terms of that case except taking a new approach that tends toward a more entrepreneurial manner. The questions are: what approaches should be taken by a university to be entrepreneurial, what new sources or revenue opportunities can be sought by a university to be entrepreneurial, what are the characteristics of entrepreneurial university, etc. Key word: entrepreneurship
Pendahuluan Perguruan tinggi dewasa ini menghadapi tantangan dan tuntutan yang luar biasa seiring dengan gelombang perubahan yang melingkupi dunia ini seperti kecenderungan perubahan masa depan yang sulit diprediksi, kompetisi yang semakin ketat, kemajuan teknologi yang begitu cepat, globalisasi yang bertambah luas dan sebagainya. Oleh karena itu, perubahan sudah menjadi keharusan dan merupakan karakteristik sebagaimana juga yang terjadi pada organisasi-organisasi lain seperti pemerintahan, perusahaan dan
Penulis adalah Dosen Prodi Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Perlunya Perguruan Tinggi Mengembangkan Entrepreneurship
257
lain-lain yangmana masing-masing menggunakan bahasa atau istilah yang berbeda sesuai dengan usaha yang dilakukannya seperti transform, restructure atau reinvent. Duderstadt (2000:269) mengungkapan tentang hal itu: The major paradigm shift that will likely characterize higher education in the years ahead will require a more strategic approach to transformation, capable of staying the course until the desired changes have occured. Many institutions already have embarked on transformation agendas similar to those characterizing the private sector. Some even use similar language as they refer to their effort to ‘transform’, ‘restructure’ or even ‘reinvent’ their institution.
Lebih lanjut Duderstadt mengungkapkan faktor-faktor yang mendorong perguruan tinggi perlunya melakukan perubahan, yaitu : (1) financial imperatives; di satu sisi tuntutan terhadap pelayanan pendidikan meningkat dan biaya operasional untuk menyediakan pelayanan tersebut juga naik, sedangkan di sisi lain bantuan publik bagi perguruan tinggi bergerak lurus dan menurun yang sudah terjadi lebih dari dua dekade yang lalu, (2) societal needs; kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh universitas akan terus berkembang. Ekspansi yang signifikan akan menjadi penting untuk merespon kebutuhan akan populasi yang meningkat yang akan menciptakan 30 persen pertumbuhan jumlah mahasiswa umur kuliah lebih dua dekade yang akan datang, (3) technology drivers; sebagai organisasi yang digerakkan oleh pengetahuan, universitas sangat dipengaruhi oleh kemajuan yang pesat dalam teknologi informasikomputer, telekomunikasi, jaringan, (4) market forces; kita umumnya berpikir tentang pendidikan tinggi umum seperti public enterprise, yang dibentuk oleh kebijakan dan aksi publik untuk melayani tujuan warganegara. Perubahan Arah Kebijakan Perguruan Tinggi di Indonesia Perubahaan yang terjadi pada perguruan tinggi di berbagai negara dikarenakan faktor-faktor yang disebutkan diatas terjadi juga di Indonesia. Dalam merespon tantangan sebagaimana yang disinggung diatas, Pemerintah Indonesia dengan kebijakannya memberikan otonomi yang lebih luas agar perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi negeri (public higher education) dapat dengan cepat bergerak dan berkembang. Pemberian otonomi kepada perguruan tinggi umunya menyangkut beberapa aspek (Hasbullah, 2006:132) : (1) otonomi eksternal, dalam bentuk pemberian status sebagai badan hukum, (2) otonomi organisasi, perguruan tinggi memiliki kebebasan untuk menetapkan struktur organisasi, termasuk menerapkan struktur program studi dan kegiatan akademik serta merencanakan sumber daya, (3) otonomi kelembagaan, dimana perguruan tinggi mempunyai kebebasan untuk menetapkan bagaimana fungsi dan kontribusi mereka dalam mengembangkan, melanggengkan, mentransmisikan dan menggunakan ilmu pengetahuan, dan kebebasan untuk memutuskan riset apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya, serta dengan pihak siapa saja bekerja sama dalam melakukan penelitian & pelatihan penelitian. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
258
Zahruddin
Pemberian otonomi tersebut lebih dikenal dengan istilah BHMN (Badan Hukum Miliki Negara) dan BLU (Badan Layanan Umum) untuk perguruan tinggi negeri dan BHP (Badan Hukum Pendidikan) untuk perguruan tinggi swasta. Perguruan tinggi negeri yang memilih BHMN sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum (BHMN) adalah badan hukum yang mandiri dan berhak melakukan semua perbuatan hukum sebagaimana layaknya suatu badan hukum pada umumnya dan walaupun bersifat nirlaba, perguruan tinggi tersebut dapat menyelenggarakan kegiatan lain dan mendirikan unit usaha yang hasilnya digunakan untuk mendukung penyelenggaraan fungsi utama perguruan tinggi. Sedangkan perguruan tinggi negeri yang memilih BLU sebagaimana yang diatur dalam UU No. I tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU adalah Instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas dan diberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Peluang besar yang diberikan oleh pemerintah berupa kebebasan dalam mengembangkan praktek-praktek bisnis atau ventura-ventura perlu direspon dengan baik oleh perguruan tinggi dengan membangun dan mengembangkan entreprenuerial culture and manner. Universitas dan Entrepreneurship a. Pengertian enterpreneurship Istilah entrepreneurship dalam bahasa Indonesia biasanya diterjemahkan dengan kewirausahaan atau kewiraswastaan. Asal kedua kata tersebut adalah wirausaha dan wiraswasta yang mendapat imbuhan ke-an. Namun kedua kata tersebut sedikit membingungkan bagi sebagian orang karena adanya perbedaan kata pada kedua istilah tersebut. Untuk itu, perlu dibahas sehingga menjadi jelas. Kata wirausaha atau wiraswasta adalah padanan kata bahasa perancis enterpreneur, yang sudah dikenal paling kurang sejak abad 17. Kata entrepreneur diturunkan dari kata kerja entreprende yang dalam The Coincise Oxford French Dictionary diartikan sebagai to undertake (menjalankan, melakukan, berusaha), to set about (memulai), to begin (memulai), to attempt (mencoba, berusaha) (Riyanti, 2003:21). Secara etiomolgis, kata wirausaha merupakan gabungan kata wira artinya gagah berani, perkasa dan usaha (Riyanti, 2003:21). Sedangkan kata wiraswasta sebenarnya terdiri dari tiga kata : wira, swa, dan sta, masingmasing berarti; wira adalah manusia unggul, teladan, berbudi luhur, berjiwa besar, berani, pahlawan kemajuan, dan memiliki keagungan watak; swa Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Perlunya Perguruan Tinggi Mengembangkan Entrepreneurship
259
artinya sendiri; dan sta artinya berdiri (Alma, 2005:31). Bertolak dari ungkapan etimologis di atas, maka kata wirausaha dan wiraswasta tidak memiliki perbedaan yang berarti. Perbedaannya hanya terletak pada kata saja, sedangkan makna dan pengertiannya secara substansial adalah sama. Sedangkan para pakar memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang entrepreneur dan entrepreneurship. Berikut adalah beberapa pengertian entrepreneur yang dirangkum oleh Coleman & Anderson (2004:42-43): 1. Someone who specialises in taking judgmental decisions about the coordination of scarce resources (Cason, 1982) 2. Exploiting innovation (Drucker, 1985) Sedangkan untuk pengertian entrepreneurship, berikut pendapat yang diutarakan oleh para pakar: 1. The esssence of entrepreneuralism/entrepreneurship is to perceive worthwile opportunities and to act upon them (Binks dan Vale, 1989) 2. The active search for possibilities unrestricted by resources (Roberts dan Grousbeck, 1993) Berdasarkan beberapa pendapat para pakar yang disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa entrepreneurship berarti penemuan atau penciptaan peluang, pencarian aktif dan pengambilan resiko. Adapun pelakunya atau entrepreneur memiliki ciri-ciri: memiliki kemampuan khusus dalam koordinasi sumberdaya, memiliki sifat inovatif, memiliki kemampuan menemukan gap yang ada, memiliki kemampuan membaca peluang. b. Pengertian Universitas Menelusuri sejarah perkembangan universitas di dunia sangat berkaitan erat dengan dinamika masyarakat pada masa lalu. Universitas berkembang dalam kurun waktu yang amat panjang. Di setiap perkembangannya, universitas diwarnai oleh dinamika masyarakat, tidak terlepas dari pengaruh pranata sosial, budaya, agama dan sekaligus konflik politik yang sedang berkembang pada zamannya. Kesemua ini memberi warna dan karakter dari tumbuhnya suatu universitas dimana universitas nerupakan wadah pengelolaan pendidikan tinggi. Menurut Harold (dalam Somad, 2006:159) asal muasal kata universitas adalah “meant no more than a society or guild, like contemporary guild of craftsmen or merchants in most mediaeval town”. Ini dapat dikatakan pengertian universitas yang paling sederhana dan paling umum karena tidak menunjukkan karakteristiknya sedikit pun yang membedakannya dari yang lain yang hanya berupa kumpulan orang. Sedangkan menurut The Oxford English Dictionary (dalam Warner & Palfreyman, 1996:16) memberikan pengertian: university is a educational institution designed for instruction or examination or both Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
260
Zahruddin
of students in all or many of the more important branches of learning, conferrring degrees in various faculties and often embodying colleges and similar institutions
Dalam pengertian di atas tampak sangat jelas perbedaan atau karakteristik antara institusi pendidikan dengan non-pendidikan dan antara institusi pendidikan tinggi dengan pendidikan dasar dan menengah. Sedangkan pengertian universitas yang lebih universal dalam konteks globalisasi sekarang ini diutarakan oleh Duderstadt (2000:38): “university is a place of light, of liberty and of learning” or “a place of instruction where universal knowledge is professed”. Pengertian ini menggambarkan tentang peran penting universitas dalam evolusi sebuah peradaban dengan menekankan berpikir empiris secara luas atas dogma dan ortodoksi dan menyampaikan nilai-nilai fundamental yang menopang kebebasan individu dan demokrasi institusi. c. Taksonomi pendidikan tinggi Duderstadt (2000: 44-52) dalam karyanya “A university for the 21 st century”, mengklasifikasikan pendidikan tinggi kedalam tiga jenis: 1. Universitas Umum Istilah “universitas umum” digunakan untuk merujuk kepada universitas yang misinya masih bersifat tradisional yaitu sebatas mengembangkan dan menyebarkan pengetahuan kepada mahasiswa dan itu dipandang sebagai mekanisme yang pokok dalam menyebarkan pengetahuan kepada masyarakat. Disamping itu, aktivitas-aktivitas lain yang menonjol dan merupakan karakteristiknya adalah seperti memberikan kesempatan pendidikan yang terbuka lebar bagi siapa saja, memajukan penelitian dan memperkaya budaya. Karakteristik lain yang tidak kalah pentingnya adalah universitas umum terkait erat dengan masyarakat karena dibentuk oleh masyarakat sehingga bertanggung jawab juga kepada masyarakat. Istilah “universitas umum” biasanya juga untuk merujuk kepada institusi yang dibiayai sepenuhnya dari pendapatan pajak pemerintah atau lebih dikenal di Indonesia dengan universitas negeri. Namun pengertian ini dapat menimbulkan kontraproduktif karena dalam realitasnya disamping ada universitas negeri, juga ada universitas swasta. Membedakan universitas negeri dengan universitas swasta yang didasarkan pada sumber dana (funding sources), ukuran (size) dan misi (mission), atau tanggung jawab (resposibility) kepada masyarakat dapat menyesatkan. Sebagai contoh dari sisi sumber dana (funding sources), sekarang ini banyak universitas negeri mendapat dukungan dari sumber non-negara seperti biaya iuran siswa dan pendapatan, penelitian hibah dan kontrak, hadiah swasta, dan pendapatan dari kegiatan tambahan seperti perawatan kesehatan atau atletik antar perguruan tinggi. Kebanyakan universitas negeri sekarang ini sering terlibat dalam penggalangan dana swasta yangmana beberapa diantaranya sukses melunc urkan kampanye Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Perlunya Perguruan Tinggi Mengembangkan Entrepreneurship
261
penggalangan dana miliaran dolar menyaingi universitas swasta terkemuka. Baik universitas negeri maupun swasta sama-sama semakin tergantung pada pendapatan yang diperoleh melalui kegiatan seperti kesehatan dan pendidikan lanjutan. Ada juga yang membedakan universitas negeri dengan universitas swasta dari sisi tingkat tanggung jawab dan akuntabilitas publik. Namun, pembedaan ini juga kurang tepat karena terdapat lebih banyak kesamaan daripada perbedaan. Kedua jenis lembaga ini sama-sama melaksanakan kewajiban yang bersifat sosial dan signifikan berupa pelayanan publik dan konstituen yang luas dan beragam. Karena mendapat dukungan masyarakat, maka layanan yang diberikan oleh keduanya harus tersedia bagi semua orang yang memenuhi syarat, tanpa memandang ras, agama, status sosial ekonomi. Singkatnya, keduanya memerlukan dukungan akuntabilitas publik, tanggung jawab pelayanan kepada semua tanpa diskriminasi, dan dedikasi untuk kepentingan publik. Barangkali perbedaan yang penting antara lembaga negeri dan swasta adalah keterlibatan pemerintah. Universitas negeri atau umum adalah milik negara, jadi jelas dimiliki dan diatur oleh masyarakat. Universitas negeri terikat erat dengan berbagai peraturan dan undang-undang negara. Hal ini tercermin dalam aturan-aturan dan peraturan yang mengatur operasi universitas. Dan hal ini juga diwujudkan dalam lapisan demi lapisan struktur negara dan badan-badan yang mengkoordinasikan dan yang mendanai pendidikan tinggi, seperti mulai dari komite legislative, lembagalembaga yang mengkoordinir hingga sistem pendidikan tinggi negeri secara luas. Karena perbedaan sebagaimana yang disebutkan diatas itu, maka universitas swasta disebut juga dengan universitas “independen”. Perbedaan penting yang lain adalah Dewan pengurus yang mengelola universitas swasta umumnya mengabadikan diri, dan anggota atau pengurusnya dipandang selalu bertindak untuk kepentingan terbaik institusi yang mereka layani. Sebaliknya, dewan yang mengatur universitas publik umumnya bersifat politis, sering dipilih melalui mekanisme politik partisan seperti penunjukan gubernur. Lebih jauh lagi, universitas publik cenderung memiliki misi jauh lebih luas dan lebih beragam untuk melayani konstituen. Kegiatan instruksionalnya berkisar dari pendidikan lanjutan yang paling canggih hingga program pelatihan dan pengayaan yang paling praktis. Kegiatan penelitiannya berkisar dari penyelidikan dasar hingga layanan ilmu terapan seperti penyuluhan pertanian dan pembangunan ekonomi. 2. Universitas Riset Pada puncak tangga evolusioner dalam ekosistem pendidikan tinggi setidaknya dalam kaitanya dengan kemakmuran dan prestise- adalah universitas riset. Universitas riset adalah universitas yang menawarkan seluruh rangkaian mulai dari program prasarjana, berkomitmen pada pendidikan sarjana hingga doktor, dan memberikan prioritas tinggi untuk riset. Universitas riset -jika disesuaikan dengan Pola klasifikasi CarnegieDidaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
262
Zahruddin
maka ada 2 jenis yaitu institusi riset I dengan karakteristik: meluluskan setidaknya 50 doktor pertahun dan menghabiskan diatas 40 juta dolar dalam riset per tahun; dan institusi riset II dengan karakteristik 25 juta dolar per tahun. Disamping itu, ada ukuran lain yang dijadikan patokan dalam menentukan universitas riset yaitu dalam bentuk keanggotaan dalam Asosiasi Universitas Amerika yang terdiri dari 60 universitas riset yang sangat prestisius seperti Harvard, Yale, Princeton, Stanford, MIT, UC-Berkeley, Michigan, Wisconsin, dan Virginia. Kriteria yang digunakan untuk menggolongkan sebuah universitas sebagai universitas riset atau memilihnya untuk keanggotaan di AAU tidak hanya diukur dari faktor-faktor seperti jumlah riset, jumlah tingkat lulusan, reputasi fakultas seperti dosen-dosen, tapi juga juga diukur dari keterlibatan universitas yang sangat signifikan dalam pendidikan prasarjana dan pelayanan publik. Meskipun nama “universitas riset” memberi kesan bagi sebagian orang terkait dengan menghabiskan waktu fakultasnya dan uang pembayar pajak pada riset tak karuan pada biaya pengajaran sarjana, namun dalam realitasnya, institusi ini telah berkembang disebabkan oleh kebijakan publik yang disengaja dan strategis. Sebagian besar sebagai hasil dari peran universitas dalam mendukung usaha Sekutu selama Perang Dunia II, sebuah kontrak sosial berkembang yang mengarah kepada kemitraan antara pemerintah federal dan universitas Amerika yang dimaksudkan untuk mendukung dan melaksanakan riset dasar di kampus. Pemerintah federal memutuskan untuk mendukung para peneliti universitas untuk terlibat dalam riset pilihan mereka sendiri dengan harapan bahwa keuntungan-keuntungan signifikan akan mengalir kembali ke masyarakat Amerika dalam bentuk keamanan militer, kesehatan publik, dan kemakmuran ekonomi. Universitas riset Amerika memiliki pengaruh besar pada negara. Pengetahuan yang dihasilkan di kampus secara mutlak penting bagi keamanan nasional kami, kesehatan publik dan kekuatan ekonomi. Institusiinstitusi menghasilkan para ilmuan, insinyur, dan profesional yang begitu penting bagi masyarakat, sambil menyediakan banyak kepemimpinan bagi negara. Universitas riset telah menentukan bentuk dan karakter masyarakat dan ekonomi yang digerakkan oleh pengetahuan. Tentunya sebagai sumber pengetahuan dasar yang utama dan generasi para sarjana dan profesional yang akan datang, universitas riset akan tetap aset bernilai tinggi. Pada saat ketika industri dan pemerintah bergeser lebih kearah riset terapan dan pengembangan, universitas riset menjadi lebih penting sebagai kekuatan intelektual dalam masyarakat. Sekarang ini anggota fakultas riset di institusi-institusi ini menjadi keduanya pemimpin dan wasit sains dan keilmuan bagi dunia. Kelompok ini tidak hanya memimpin dalam produksi dan distribusi ilmu, tapi mereka telah menjadi penjaga pintu dan pemegang standar, yang memimpin sebuah sistem pengetahuan yang kompleks yang keduanyan menggerakan dan menopang pendidikan dan pembelajaran dunia. Lebih jauh, sebagaimana para sarjana Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Perlunya Perguruan Tinggi Mengembangkan Entrepreneurship
263
dan profesional yang sangat terdidik terus dicari sebagai pemimpin di dunia yang digerakkan oleh pengethauan, institusi-isnstitusi ini seharusnya melanjutkan perannya yang penting. 3. Universitas Entrepreneurial Universitas kontemporer dan kekuatan-kekuatan penggerak evolusinya bersifat kompleks dan sering disalahpahami. Publik masih berpikir tentang universitas dalam cara yang sangat tradisional, dengan gambaran para mahasiswa duduk di ruang kelas yang besar, mendengarkan kuliah tentang matakuliah-matakuliah seperti literatur atau sejarah. Kalau dilihat selintas dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh universitas, maka yang tampak adalah hal-hal yang pokok saja seperti pengajaran, riset dan pelayanan. Tapi kalau diamati lebih jauh dan mendalam, dari ketiga hal tadi lahir dan muncul cabang-cabang berbagai macam aktivitas lain yang terkait. Sebagai contoh dari pengajaran, muncul cabang-cabang seperti diploma, sarjana, profesional dan pendidikan lanjutan. Jaringan yang bercabang tersebut memperlihatkan gambaran tentang universitas riset modern, yang beda dari pandangan mahasiswa, fakultas dan masyarakat secara umum yaitu; sangat kompleks, kumpulan bisnis internasional yang sangat beragam. Sebagai contoh, jaringan bisnis “universitas Michigan, Inc” milik universitas Michigan dengan budget tahunan 3 miliar dolar dan 3 miliar dolar tambahan dari aset investasi dibawah manajemen aktif, Universitas Michigan, Inc. menduduki ranking ke 470 pada daftar The 500 Fortune. Universitas Michigan mendidik kurang lebih 50 ribu pada beberapa kampus-sebuah bisnis pendidikan yang bernilai hingga 1 miliar dolar pertahun. Universitas juga merupakan sebuah laboran R & D, melakukan riset yang bernilai lebih 500 juta dolar setahun yang disponsori, didukung terutama oleh kontrak-kontrak dan pemberian (grant). Universitas mengoperasikan perusahaan perawatan kesehatan yang besar-besaran. Rumah sakit dan klinik yang dimiliki universitas merawat hampir 1 juta pasien setahun, dengan total pendapatan medis kira-kira 1.2 miliar dolar. Universitas juga membentuk korporasi non-profit, The Michigan Health Corporation, dengan tujuan sebagai investasi keadilan dalam joint ventures (usaha bersama/kongsi) untuk membangun sebuah sistem perawatan kesehatan yang terintegrasi seluruh negeri yang kasarnya 1,5 juta pelanggan. Universitas memiliki perusahaan asuransi yang menarik, Veritas, perusahan terbatas di New Hampshire. Universitas aktif terlibat dalam memberikan pelayanan pengetahuan yang luas mulai dari program gelar yang ditawarkan di Hongkong, Seoul, dan Paris, hingga produk yang didasarkan pada cyberspace seperti institut otomotive vitual Michigan. Universitas terlibat dalam entertainmen pubik, Michigan Wolverines, yang aktivitas komersilnya bernilai kira-kira 259 juta dolar setahun. Sedangkan budget operasi departemen atletik Michigan hanya kira-kira 50 juta dolar pertahun. Lebih dari itu, universitas memegang lisensi dan pemasaran aktivitas olahraga sehingga nilai enterprisenya jauh lebih besar. Organisasi korporasi ini sebanding dengan korporasi global yang besar Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
264
Zahruddin
dalam hal skala dan kompleksitas. Faktanya, universitas saat ini telah menjadi satu institusi yang paling kompleks di masyarakat modern-jauh lebih kompleks, contohnya daripada korporasi dan pemerintahan kebanyakan. Kita terdiri dari banyak aktivitas, beberapa nonprofit, beberapa diatur secara terbuka, beberapa yang beroperasi di pasar yang sangat kompetitif. Universitas melakukan pengajaran kepada mahasiswa, melakukan riset untuk klien yang berbeda-beda, memberikan perawatan kesehatan, terlibat pengembangan ekonomi, mendorong perubahan sosial, dan kami menyediakan entertaimen masal (atletik). Dalam terminologi sistem, universitas modern adalah “sistem yang adaptif, yang bergandengan secara longgar” dengan kompleksitas yang tumbuh, seperti berbagai macam komponen merespon perubahan di lingkungannya. Universitas modern sudah menjadi kesatuan ilmu yang sangat adaptif dikarenakan kepentingan-kepentingan dan usaha-usaha fakultas. Fakultas dilengkapi dengan kebebasan, pengobaran semangat, dan insentif untuk bergerak menuju tujuan-tujuan pribadinya dalam cara yang sangat fleksibel. Uuniversitas saat ini dipandang sebagai federasi yang longgar dari para entrepreneur fakultas yang menggerakan evolusi universitas untuk menyelesaikan tujuan-tujuan perseorangannya. Kami telah mengembangkan budaya tranaksional yang mana segala sesuatu sudah waktunya dinegosiaiskan. Administrasi universitas mengelola universitas sebagai sebuah federasi yang menetapkan beberapa kaidah dan regulasi, bertindak sebagai juru pisah, mengumpulkan uang untuk enterprise, dan mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas terus-menerus. Selanjutnya, meningkatnya tekanan terhadap dosen, tidak hanya untuk menghasilkan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung kegiatan mereka, tetapi juga untuk mengelola batasan antara akademi dan dunia luar. Misalnya, anggota dosen kedokteran: bertanggung jawab untuk mengajar mahasiswa kedokteran dan penduduk; memberikan pendapatan yang memadai untuk mendukung klinis tidak hanya gajinya tapi juga biaya overhead pusat medis; mengamankan hibah penelitian yang memadai untuk mendukung laboratorium, mahasiswa pascasarjana, dan doktoral; menjajaki kesempatan untuk transfer teknologi dan memulai bisnis, dan membangun momentum dan reputasi ilmiah untuk mencapai masa jabatan. Bayangkan juga konflik yang tak dapat dielakan munc ul diantara tanggungjawab bagi mahasiswa, pasien, kesarjanaan, kolega profesional. Universitas entrepreneurial telah mengembangkan struktur yang memungkinkannya untuk berinteraksi dengan masyarakat lebih baik dan mengejar kesempatan-kesempatan yang menarik. Ini telah membentuk pusat dan institusi penelitian yang bermultidisiplin dalam universitas tersebut yang membolehkannya untuk mencari pendanaan penelitian yang berfokus pada proyek. Ini telah menciptakan unit-unit administratif yang mengembangkan keahlian dalam kontrak, lisensi, dan transfer teknologi. Hal ini juga menelurkan sebuah organisasi eksternal seperti yayasan, korporasi nirlaba, dan cabang-cabang untuk mendapatkan profit untuk menangani kegiatan-kegiatan utama mulai dari penyediaan layanan Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
Perlunya Perguruan Tinggi Mengembangkan Entrepreneurship
265
kesehatan hingga penggalangan dana untuk atletik antar perguruan tinggi Kesimpulan Mengutip ungkapan Michael Shattock dalam karyanya, Managing Successful University bahwa entrepreneurial university sekarang ini menjadi iconic status diantara universitas-universitas di abad 21 dan menandai bahwa revolusi dalam manajemen universitas sedang berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA Alma, Buchari. (2005). Kewirausahaan untuk Umum dan Mahasiswa. Bandung: Alfabeta. Coleman, Marianne & Lesley, Anderson, (2004). Managing Finance And Resources In Education. London: Paul Chapman Publishing Ltd. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional. (2004). Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003-2010 (HELTS)Menuju Sinergi Kebijakan Nasional. Jakarta : Kemendiknas. Duderstadt, J.J. (2000). A university for the 21 st century. USA: The university of Michigan Press. Dwi Riyanti B.P. (2003). Kewirausahaan Dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Hasbullah (2006). Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta : Rajagrafindo Perkasa. Higgins, J.M. (1994). Innovate or Evaporate, Test and Improve Your Organization’s IQ. New York: New Management Publishing Company, Inc. Indrajit, R. Eko dan Djokopranoto, R. (2006). Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta: Penerbit Andi. Johnson, Sandra L. & Rush, Sean C. (1995). Reinventing The University: Managing And Financing Institutions Of Higher Education. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Johnson, Sandra L. & Rush, Sean C.”(1995). Reinventing The University: Managing And Financing Institutions Of Higher Eductaion. Canada: John Wiley & sons, Inc. Karol, Nathaniel H. & Ginsburg, Sigmund G. (1980). Managing Higher Education Enterprise. New York: John Wiley & Sons. Marginson, Simon & Considine, Mark (2000). The Enterprise University: Power, Governance And Reinvention In Australia. UK: Cambridge University Press. Mintzberg, H. (1989). Mintzberg on Management: Inside Our Strange World of Organizationa. New York: The free Press A Division of Macmillan, Inc. Mintzberg, H. (1993). Structure in Five: Designing Effective Organizations. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Slaughter, Sheila and Leslie, Larry L.(1997). Academic Capitalism: Politic, Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
266
Zahruddin
Policies and Entrepreneurial University. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press. Somad, Kemas A., (2007). “Universitas Dalam Perspektif Sejarah”, dalam Tantangan Kontemporer Perguruan Tinggi. Jakarta: Forum HEDS Suyanto, (2006). Dinamika Pendidikan Nasional. Jakarta: PSAP (Pusat Studi Agama & Peradaban) Muhammadiyah. Winardi, (2005). Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Organisasi Dan Manajemen. Jakarta: RajaGrapindo Persada
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
267
INDEKS
Volume XII, No. 1, Juni 2011 1. KAJIAN PENDIDIKAN ISLAM DI IAIN Oleh Ahmad Tafsir 2. PERANAN PERGURUAN TINGGI DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER (Konsep, Kebijakan, dan Kerangka Programatik) Oleh Udin Saripudin Winataputra 3. PENINGKATKAN PERAN STRATEGIS PENDIDIK DALAM MEMBENTUK NILAI-NILAI KARAKTER BANGSA Oleh Azis Mahfuddin 4. KONSEP DIRI SEBAGAI UNSUR PENCAPAIAN PRESTASI BELAJAR YANG OPTIMAL Oleh Eni Rosda Syarbaini 5. PELUANG, TANTANGAN, DAN PROSPEK LULUSAN JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM Oleh M. Mujab 6. MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE DAN INTERACTIVE LEARNING DI PESANTREN Oleh Fauzan 7. EFEKTIFITAS MUTU MADRASAH: Studi Evaluatif Penyelenggaraan Pendidikan Pada MAN 2 Model Padang Sidimpuan Sumatera Utara Oleh Rusydy Zakaria 8. PROFESIONALISME GURU DALAM PENILAIAN PENDIDIKAN Oleh Dudi Taufik Rahman 9. MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS WEB: Upaya Pengembangan Sikap Belajar Efektif Memanfaatkan Internet MAN 1 Kendari Oleh Ratna 10. PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR): Upaya Meningkatkan Kemampuan Berfikir Siswa di Tingkat Sekolah Dasar Oleh Evi Soviawati Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
268
Volume XII, No. 2, Desember 2011 1. MENGGAGAS PENDIDIKAN ISLAM HOLISTIK Oleh Abuddin Nata 2. HOLISTIKA PEMIKIRAN PENDIDIKAN: Upaya Membangun Manusia Berkarakter Oleh Agus Zaenul Fitri 3. PENDIDIKAN HOLISTIK ANAK USIA DINI Oleh Tufiqurrahman 4. MODEL PEMBELAJARAN TERPADU; Alternatif Penerapan Pendidikan Holistik Oleh Adri Efferi 5. MEMBUMIKAN PENDIDIKAN HOLISTIK Oleh Jejen Musfah 6. INTEGRASI MULTIDISIPLINER MODEL TWIN TOWER: Upaya
Pengembangan Kurikulum IAIN Menuju UIN Sunan Ampel Oleh Husniyatus Salamah Zainiyati 7. INTEGRATED CURRICULUM: Upaya Alternatif Menghadapi
Problematika Masyarakat Oleh Fauzan 8. NILAI-NILAI HUMANISME ISLAM :IMPLIKASINYA DALAM
KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN Oleh Musthofa 9. PERLUNYA PERGURUAN TINGGI MENGEMBANGKAN ENTREPRENEURSHIP Oleh Zahruddin
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
269
Pedoman Penulisan
1. Penyunting menerima tiga jenis artikel, yaitu artikel hasil penelitian, artikel konseptual, dan resensi buku baru. 2. Artikel berisi naskah ilmiah yang berisi teori, konsep, konsensus, yang terkait dengan pendidikan (maksimal 150 kata). 3. Artikel Konseptual berstruktur: JUDUL, ABSTRAK & dan Kata Kunci (maksimal 150 kata), PENDAHULUAN, ISI (SUB-JUDUL) disesuaikan keperluan), KESIMPULAN, dan REFERENSI. 4. Artikel yang diketik dengan menggunakan MS Word, dapat dikirimkan melalui e-mail ke alamat:
[email protected] .id atau
[email protected]. Mohon untuk menyertakan biodata penulis (Nama, Universitas/Instansi, alamat lengkap, No. Telp./HP, dan alamat email). Panjang artikel termasuk daftar pustaka adalah 20-25 halaman Kuarto (A4), dengan satu setengah spasi. 5. Artikel disertai dengan abstrak sekitar 150-200 kata dan diletakkan setelah judul artikel dan afiliasi penulis. Abstrak untuk artikel dalam bahasa Indonesia ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Arab; abstrak untuk artikel bahasa Inggris atau bahasa Arab ditulis dalam bahasa Indonesia. 6. Kutipan hendaknya dipadukan dalam kalimat penulis tanpa tanda petik, kecuali bila panjangnya lebih dari tiga baris. Dalam hal ini, kutipan diketik dengan satu spasi, diberi indensi sepuluh huruf, centered, dan tanpa tanda petik. Untuk buku: (1) nama akhir, (2) koma, (3) inisial nama depan, (4) titik, (5) tahun penerbitan dalam kurung, (6) titik, (7) judul buku dalam huruf miring, (8) titik, (9) kota penerbitan, (10) titik dua/kolon, (11) nama penerbit, dan (12) titik. Contoh: Crain, W. (2000). Theories of Development; Concepts and Applications. New Jersey: Prentice Hall. Hall, C.S. dan Lindzey, G. (1985). Introduction to Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons. Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011
270
Hesselbein, F, et al. (Editors). (1996). The Leader of The Future. San Francisco: Jossey-Bass. 7. Untuk artikel: (1) nama akhir, (2) koma, (3) inisial nama depan, (4) titik, (5) tahun penerbitan dalam kurung, (6) titik, (7) tanda petik buka, (8) judul artikel, (9) titik, (10) tanda petik tutup, (11) nama jurnal dalam huruf miring, (12) volume, (13) nomor, dan (14) titik. Bila artikel diterbitkan di sebuah buku, berilah kata “dalam” atau “in” sebelum nama editor dari buku tersebut. Buku ini harus pula dirujuk secara lengkap dalam referensi tersendiri. Contoh: Furqon. (2007). “Assesment of Learning for Continuous Quality Improvement in Education (The Case of Indonesia).” Dalam International Journal of Education. Vol. 1, No. 2. H. 125-138. Darling-Hammond, et al. “The Design of Teacher Education Programs”, dalam Darling-Hammond, L. dan Bransford, J. (Eds). (2005). Preparing Teacher for A Changing World: What Teacher Should Learn and Be Able To Do. San Francisco: JosseyBass. 8.
Pengiriman artikel: Artikel bisa dikirim lewat Pos maupun e-mail ke: Sekretariat Jurnal DIDAKTIKA ISLAMIKA Jurusan Kependidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Gedung FITK Lt 5, Jl. Ir. H Juanda No.95 Ciputat 15412, Tel/Fax (021) 744 3328 atau email:
[email protected].
Didaktika Islamika, Vol. XII No. 2, Desember, 2011