Volume 10, Nomor 1, Januari 2009
ISSN 1411 - 3384
Didaktika Jurnal Pendidikan Pengembangan Kurikulum dan Teknologi Pembelajaran Terbit tiga kali setahun pada bulan Januari, Mei, dan September. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian kritis di bidang pendidikan, pengembangan kurikulum dan teknologi pembelajaran
Ketua Penyunting Owi Nugroho Hidayanto
Wakil Ketua Penyunting Suriaty
Penyunting Pelaksana Lambang Subagiyo
Penyunting Ahli Z.A. Imam Supardi (Universitas Negeri Surabaya) C.Rudy Prihantoro (Universitas Negeri Jakarta) Abdul Wahab (Universitas Nageri Malang) D. Hari Sutrisno (Universitas Negeri Yogyakarta) Lambang Subagiyo (Universitas Mulawarman) Owi Nugroho Hidayanto (Universitas Mulawarman) Sapto Haryoko (Universitas Negeri Makassar) Kir Haryono (Universitas Negeri Yogyakarta) Ari Wahyudi (Universitas Negeri Surabaya) Suhartono (Universitas Negeri Surabaya) Ichrar Asbar (Universitas Mulawarman) Basrowi (Universitas lampung)
Pelaksana Tata Usaha Rusdiana Safrudiannur
Jurnal Didaktika diterbitkan kali pertama Januari 2000 (Vol. 1 No.1 Januari 2000) oleh FKIP Universitas Mulawarman Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik dalam kertas ukuran A4 spasi satu lebih kurang 9 halaman dengan format seperti tercantum pada halaman kulit dalam belakang. Harga langganan 3 nomor setahun Rp. 75.000,00 (termasuk ongkos kirim). Uang langganan dapat dlkirim dengan wesel ke alamat Penerbit/Redaksi atau melalui Bank Mandiri Nomor Rekening: 14801-0004738574 atas nama Jurnal ilmiah Didaktika A1amat Penerbit/Redaksi: Sekretariat FKlP Universitas Mulawarman, JI. Muara Pahu Gunung Kelua, Samarinda 75123, Telp. (0541) 7076455.
Email:
[email protected]
Didaktika, Volume 10, Nomor 1, Januari 2009
ISSN 1411-3384
Proses Berpikir Siswa Climber Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika
1-9
Sudarman
Peningkatan Kemampuan Mengapresiasi Cerpen Siswa Kelas II SMP Negeri 2 Sangatta Melalui Strategi Belajar Kooperatif Jigsaw II
10 - 20
Sugiri
Pembelajaran Kooperatif Untuk Membangkitkan Multiple Intelligences dan Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Pokok Bahasan Bilangan Bulat Di Kelas VII Semester I SMP Negeri 3 Samarinda
21 - 29
Suriaty
Pengaruh Kualitas Pelayanan Jasa Terhadap Kepuasan Konsumen Pada Siswa Bimbingan dan Konsultasi Belajar AI Qolam Bandarlampung
30 - 40
Syamsi
Model Penyelenggaraan Pendidikan Nonformal di Pesantren
41 - 51
Ikka Kartika A. Fauzi
Penggunaan Model Quantum Teaching dalam Meningkatkan Kemampuan Menulis Fiksi Mahasiswa
52 - 59
Pudawari
Peranan Perguruan Tinggi dalam Membangun Peradaban Bangsa H. M. Entang
60-69
The Application of Psycholinguistics and Schemata Approach in Reading Comprehension
70-76
Agus Gerrad Senduk
Efisiensi Waktu Belajar dengan Memadukan Keterampilan Berbahasa yang Relevan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII
77-87
Ranem
Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik Terhadap Prestasi Belajar Matematika Pada SD Negeri di Kota Samarinda Rusdiana
88-98
MODEL PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN NON FORMAL 01 PESANTREN
Ikka Kartika A. Fauzi
Abstract. Various formal, non-formal, and informal educations can be
developed in the religion boarding schools (pesantren). In developing the nonformal education, religion boarding schools can teach their students as well as their surrounding people who need it. The level of openness to changes and the independence in carrying out the education since 15 Be, however, have made it impossible to carry out the same kind of education. Yet, the diversity is not a barrier, it does encourage the school to improve their quantities and qualities of nonformal education in their surrounding area. Key words:society development, the strategy of the religion boarding schools
Jauh sebelum pendidikan formal berkembang di Indonesia, masyarakat muslim telah mengenal pesantren sebagai pusat pendidikan Islam. Ciri-ciri pesantren yang unik, misalnya independensi yang kuat dan konsekuen tampak dari aturan - aturan dan kurikulum yang ditentukan oleh pesantren itu sendiri sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat serta kepemimpinan pesantren. Namun, independensi ini pada akhirnya tidak bisa selalu dipertahankan karena tantangan perkembangan jaman mendorong pesantren untuk lebih membuka diri terhadap sistem pendidikan yang lain. Hingga saat ini banyak pesantren yang telah mengadopsi pendidikan modern dan menempatkan diri dalam sistem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan. Jalur pendidikan nonformal merupakan salah satu yang diadopsi pesantren di samping jalur formal. Langkah ini memiliki nilai strategis karena pesantren dapat tetap melaksanakan tradisi pembelajarannya seperti biasa, sementara santri juga memiliki tambahan pengetahuan umum yang setara dengan pendidikan formal yang akan diperlukan santri bila ingin mengikuti jenjang pendidikan formal berikutnya atau keterampilan kecakapan hidup untuk memahami perkembangan masyarakat secara lebih luas ketika kelak mereka akan melaksanakan tugas-tugas keagamaan. Dengan demikian kehadiran program-program pendidikan nonformal dapat memperkuat sistem pendidikan di pesantren. Sebaliknya, pesantren juga memiliki nilai strategis untuk pengembangan pendidikan non formal, misalnya bagi penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, peningkatan keterampilan kerja, atau penghapusan buta aksara latin. Alasannya, karena secara kuantitas jumlah pesantren di Indonesia sebanyak 14.656 dengan jumlah santri sebanyak 3.364.180 orang (Oepag, 2004). Mereka dipandang sebagai calon potensial karena memiliki sikap yang dibutuhkan untuk proses pembelajaran yang kondusif, seperti kedisiplinan belajar, entrepreneurship, serta kemampuan untuk menularkan kemampuan yang telah dimilikinya kepada masyarakat di sekitarnya. Ikka Kartika A. Fauzi adalah dosen di PLS FKIP Uninus Bandung
42 Didaktika, Volume 10, Nomor 1, Januari 2009
Namun, karena masing-masing pesantren memiliki ciri khas, maka penyelenggaraan pendidikan nonformal pun sangat beragam tergantung pada ciri khas tersebut. Keberagaman inilah justru yang mengantarkan beberapa pesantren menjadi penyelenggara pendidikan nonformal yang berhasil. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN NON FORMAL Pesantren diperkirakan telah tumbuh di tengah-tengah masyarakat sejak abad ke 15. Menurut Dhofier (1982) pesantren dianggap sebagai bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di Indonesia. Dengan karakternya yang khas, yaitu "religius oriented", pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali pemahaman tentang ajaran Islam, tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan dan mempertahankan Islam. Dalam perkembangan berikutnya, istilah pondok pesantren juga diartikan sebagai " suatu lembaga pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kompleks) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang Kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal (Arifin, 1991: 240). Sebagai lembaga pendidikan, pesantren memiliki unsur-unsur yang diperlukan untuk terjadinya suatu proses belajar-mengajar. Unsur-unsur yang dimaksud terdiri dari: Pertama, Kyai, yang mendidik dan mengajar dan juga pemegang kendali manajerial pesantren; Kedua, santri, merupakan peserta didik pesantren ; Ketiga, kurikulum yang mengacu pada Kitab Kuning ; Keempat, metoda khas pesantren, antara lain Wetonan/bandongan, sorogan, Hapalan (Tahfidz, Kelima, mesjid, memiliki fungsi ganda, yaitu tempat shalat dan ibadah lainnya serta tempat pengajian; Keenam, pengajian sebagai bentuk pengajaran dan; Ketujuh, pond ok sebagai asrama atau tempat tinggal santri selama mengikuti pendidikan di pesantren. Dalam kaitannya dengan pendidikan, pesantren sering dikategorikan menjadi dua, yaitu pesantren salafi, pesantren yang tetap mengajarkan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikannya, tanpa mengajarkan pengetahuan umum, dan pesantren khalafi, pesantren yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya atau membuka tipe-tipe sekolah umum di lingkungan pesantren. Jika dibahas lebih jauh, kontribusi pondok pesantren terhadap pendidikan nonformal (Depag RI, 2003), terdiri atas pelayanan pondok pesantren terhadap: pengelolaan pengajian pasaran; pengelolaan pengajian swalayan; penyelenggaraan pesantren kilat; pengelolaan dan penyelenggaraan Majelis Ta'lim; pengelolaan dan penyelenggaraan TKA/TPA; pengelolaan dan penyelenggaraan TQA/LTQ; pengelolaan dan penyelenggaraan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM); pengelolaan dan penyelenggaraan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, Paket A, Paket B dan Paket C; serta pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan keterampilan. Penyelenggaraan Pendidikan nonformal di pesantren dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal, yang prosesnya berlangsung sejak abad ke-15 hingga saat ini. Faktorfaktor yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Ikka Kartika A. F.,Model Penyelenggaraan Pendidikan Nonformal 43
Perkembangan Pendidikan Islam Perkembangan pendidikan Islam memberikan perubahan mendasar terhadap penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Menurut Daulay (2004: 5), perubahan ini terbagi ke dalam tiga fase sebagai berikut ini. Fase pertama dimulai dengan munculnya pendidikan informal yang mementingkan pengenalan nilai-nilai Islami, disusul dengan munculnya lembaga-Iembaga pendidikan Islam yang diawali dengan munculnya mesjid dan pesantren. Materi pelajaran terkonsentrasi pada pengembangan dan pendalaman ilmu-ilmu agama melalui pembahasan kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Sistemnya non klasikal dan keluarannya diarahkan untuk menjadi ulama, Kyai, ustadz, atau guru agama. Fase kedua, yaitu ketika masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam ke Indonesia yang dibawa oleh pelajar dan mahasiswa Indonesia yang telah selesai menuntut ilmu di Timur Tengah. Inti gerakan pembaharuan itu adalah berupaya untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran modern yang berkembang di dunia pendidikan. Di Indonesia pembaharuan ini dilatarbelakangi pula oleh kondisi masyarakat muslim Indonesia yang terjajah dan terbelakang dalam dunia pendidikan. Ada empat sasaran pokok yang diperbaharui, yaitu: pertama, materi pembelajaran tidak lagi hanya sekedar pemahaman ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum dan bahasa asing; Kedua, metode lebih dikembangkan kepada metode-metode pembelajaran lainnya; Ketiga, sistemnya klasikal, peserta didik dibagi ke dalam kelas-kelas berdasarkan urutan tahun masuk dan lamanya belajar; Keempat, diterapkannya prinsip-prinsip dasar manajemen pendidikan. Salah satu lembaga pendidikan yang lahir sebagai hasil pembaharuan adalah madrasah yang merupakan perpaduan antara pesantren dan sekolah. Fase ketiga yaitu sejak diundangkannya Undang-Undang No.2 Tahun 1989 yang selanjutnya diikuti pula dengan lahirnya Undang-Undang No.20 Tahun 2003. Dalam Undang-undang terakhir setidaknya ada tiga hal yang berkaitan dengan pendidikan Islam. Pertama, jalur pendidikan terdiri dari jalur formal, nonformal dan informal. Madrasah digolongkan sebagai lembaga pendidikan formal dan diakui keberadaannya dengan pendidikan sekolah. Majlis Taklim diakui sebagai lembaga pendidikan nonformal dan Raudhatul Athfal sebagai lembaga pendidikan anak usia dini; Kedua, dikokohkannya mata pelajaran agama sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diberikan kepada peserta didik di semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan; Ketiga, terdapat seperangkat nilai-nilai Islami dalam sistem pendidikan nasional. Tidak semua pesantren memiliki kecepatan yang sama untuk melakukan pembaharuan karena adanya berbagai faktor yang berkaitan dengan kondisi internal dan eksternal yang ada di lingkungan pesantren, misalnya kepemimpinan Kyai dan perkembangan kebutuhan masyarakat. Akibatnya, muncul keberagaman penyelenggaraan pesantren. Oleh Daulay (2004: 149) keberagaman dipolakan atas dasar kurikulum dan sistem pendidikan yang digunakan di pesantren sebagai berikut: Pola I, materi pelajaran yang dikembangkan adalah mata pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik, sistemnya non klasikal, santri diukur tinggi rendah ilmunya adalah dari kitab yang dipelajarinya. Tidak mengharapkan ijazah sebagai alat untuk mencari pekerjaan. Pola II hampir sama dengan pola I, hanya saja pada pola II proses belajar mengajar diadakan secara klasikal dan non klasikal dan diberikan pengetahuan umum. Pola III, mata pelajaran telah
44 Didaktika, Volume 10, Nomor 1, Januari 2009
dilengkapi dengan mata pelajaran umum dan sebagian besar santri mengikuti Ujian Negara. Dalam mata pelajaran tertentu mengikuti kurikulum Departemen Agama yang dimodifikasi oleh pesantren yang bersangkutan sebagai ciri kepesantrenan. Pola IV, menitikberatkan pelajaran keterampilan disamping pelajaran agama. Pelajaran keterampilan ditujukan untuk menjadi bekal kehidupan bagi seorang santri setelah tamat dari pesantren tersebut. Pola V, adalah pesantren serbaguna. Di dalamnya diasuh berbagai jenis dan jenjang pendidikan seperti: pengkajian kitab-kitab klasik, madrasah, sekolah, perguruan tinggi. Kepemimpinan Pesantren Selama ini Kyai selaku pimpinan pesantren, dikenal memiliki kekuasaan mutlak. Peran Kyai yang menonjol adalah sebagai pendidik dan pengajar bagi santri-santrinya serta selaku pemimpin spiritual sekaligus juga pemimpin informal yang posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa. Sesuai perkembangan jaman, kepemimpinan di pesantren juga turut berkembang menjadi kepemimpinan individual dan kepemimpinan kolektif (Qomar, 2005). Kepemimpinan individual terdapat pada pesantren yang masih menempatkan Kyai sebagai pemimpin tunggal, pemegang wewenang hampir mutlak yang mengendalikan seluruh sektor kehidupan pesantren. Inovasi pendidikan hanya akan berjalan bila didukung Kyai. Dalam hal ini Kyai memiliki kedudukan ganda, yaitu sebagai pengasuh sekaligus pemilik atau ahli waris pesantren. Kaderisasi memang hanya terbatas pada keturunannya, yaitu anak - cucu. Bila tidak memungkinkan, maka ahli waris diberikan pada menantu, dan bila masih tidak memungkinkan baru dilanjutkan kepada santri senior. Kepemimpinan Kolektif terjadi bila pesantren menjadi organisasi impersonal, adanya pembagian wewenang dalam tata laksana kepengurusan secara fungsional, ada distribusi tugas yang jelas. Bentuk kepemimpinan ini tumbuh karena kesadaran sebagian pengasuh pesantren, Departemen Agama dan masyarakat muslim sekitar terhadap akibat fatal dari kepemimpinan individual. Dalam bentuk kepemimpinan kolektif beban Kyai ditangani bersama sesuai tugas masing-masing. Kaderisasi tidak lagi berdasarkan garis keturunan, tapi berdasarkan profesionalisme. Semua itu diwadahi dan digerakkan menurut tata aturan manajemen modern yang dipayungi badan hukum seperti yayasan. Namun, pembentukan badan hukum cenderung hanya diminati pesantren - pesantren yang tergolong modern dimana kyainya relatif demokrat dan toleran terhadap perubahanperubahan pembaharuan. Pesantren tradisional yang jumlahnya lebih banyak dari pesantren modern, menganggap keberadaan yayasan merupakan upaya menggoyah kepemimpinan Kyai. Disamping itu bentuk yayasan juga tidak secara otomatis merubah pengurus yayasan dan pimpinan pesantren berada pada dua orang yang berbeda, karena hingga saat ini masih ban yak terjadi, ketua yayasan dan pengurus pesantren berada di tangan orang yang sama. Dampak pergeseran kepemimpinan pesantren cenderung mengakibatkan pula terjadinya pergeseran otoritas dan berpengaruh terhadap pola penyelenggaraan pendidikan.
Ikka Kartika A. F., Model Penyelenggaraan Pendidikan Nonformal 45
1. Pengembangan Fungsi, Peran dan Orientasi Pesantren Perubahan pesantren dari fungsi religius bertambah dengan fungsi pendidikan dan fungsi sosial, berdampak terhadap perubahan peran dan orientasi pesantren. Pesantren tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa, sebagai penggalang kekuatan rakyat untuk berjuang memperoleh kemerdekaan. Beberapa tokoh yang berasal dari kalangan pesantren dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, seperti Fatahillah, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro dan lain - lain. Perang melawan Belanda pada awal abad ke-19 dimobilisasi atau sekurangkurangnya didukung oleh pesantren. Dampaknya, sejak tahun 1905 hingga tahun 1932 pemerintah Belanda mengeluarkan berbagai aturan yang membatasi gerak langkah pesantren, kyai dan santri. Pada masa kemerdekaan, pesantren terlibat dalam mengisi pembangunan melalui program pendidikan bangsa dan mendukung berbagai program pembangunan pemerintah yang bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya keikutsertaan pesantren dalam menyebarluaskan program Keluarga Berencana dan lingkungan hidup. Pada era informasi dan globalisasi, pesantren dipandang masyarakat sebagai alternatif terbaik untuk melindungi anak-anaknya dari pengaruh globalisasi, karena anak-anak dapat memperoleh pendidikan formal sekaligus pendidikan agama. Walaupun perubahan orientasi telah menyerap unsur-unsur baru, namun pesantren masih tetap mempertahankan tradisinya yang lama yang mengkaji Bahasa Arab, fiqih dan tauhid. Untuk memenuhi fungsi dan perannya itu, pesantren terdorong untuk terus menerus mengembangkan diri mencari berbagai bentuk pendidikan di luar bentuk yang sudah ada, yang sesuai dengan kebutuhan dan perubahan - perubahan jaman saat ini maupun di waktu yang akan datang, tanpa meninggalkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam. 2. Tuntutan Perubahan Menurut Haedari ( 2006) beberapa orang yang memiliki pandangan sempit memandang skeptis terhadap peran lulusan pesantren. Mereka dianggap warga negara yang tidak memiliki keterampilan dan signifikan untuk menambah pengangguran di negeri ini dan dianggap gagal untuk menolong dirinya sendiri. Ini akan mempengaruhi pertimbangan orang tua untuk mengirim putra-putrinya ke pesantren karena dianggap akan mengorbankan masa depan mereka. Kenyataannya saat ini berbeda. Banyak pesantren yang tidak hanya mengajarkan materi keagamaan, tapi juga keterampilan yang dapat dijadikan lahan usaha, seperti perikanan, agribisnis, pembuatan pakaian jadi dan lain-lain. Pesantren telah mengembangkan potensi ekonominya sehingga para santri mampu mandiri secara ekonomi. Oisamping itu beberapa pesantren juga mengembangkan lembaga pendidikan formal agar para santrinya memiliki kompetensi seperti halnya siswa di sekolah umum. Zubaedi (2007: 205) dalam hasil penelitiannya merujuk kepada ucapan kyai Sahal M. yang menyatakan bahwa: " .... pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang hidup dan ingin hidup sepanjang masa harus selalu mengembangkan dan meningkatkan peran dirinya demi kepentingan masyarakat". 3. Figur Kyai Kyai merupakan figur karismatik dan sangat dihormati tidak hanya oleh warga pesantren, namun juga masyarakat Islam secara luas. Walaupun terjadi pergeseran nilai kepemimpinan dari kepemimpinan individual menjadi
46 Didaktika, Volume 10, Nomor 1, Januari 2009
kepemimpinan kolektif, namun kharisma Kyai secara personal masih menunjukkan pengaruhnya bagi keberadaan pesantren. Menurut Halim, dkk. (2005: 79), dalam kaitannya dengan perubahan sosial, kyai memiliki tiga fungsi, yaitu: Pertama, sebagai agen budaya, yaitu memerankan diri sebagai penyaring budaya yang datang ke masyarakat; Kedua, sebagai mediator, yaitu dapat menjadi penghubung di antara kepentingan berbagai segmen masyarakat, terutama kelompok elit dengan masyarakat; Ketiga, sebagai makelar budaya dan mediator, kyai menjadi penyaring budaya sekaligus sebagai penghubung berbagai kepentingan masyarakat. Fungsi-fungsi ini memudahkan kyai untuk menggalang massa, baik secara terorganisasi maupun secara tidak terorganisasi. Kepemimpinan tunggalnya serta kewenangannya yang begitu besar, merupakan potensi Kyai untuk melakukan perubahan.
MODEL PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN NON FORMAL
Penyelenggaraan pendidikan non formal di pesantren dapat dikategorikan paling sedikit menjadi enam model penyelenggaraan yang penulis beri nama sebagai berikut: Model Integrasi pada (1) pesantren modern dan (2) pesantren salafiyah; Model Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) pada (3) pesantren modern dan (4) tradisional; (5) Model Binaan Pesantren; dan (6) model Kemitraan. Masing-masing model penyelenggaraan akan dijelaskan dalam uraian berikut ini. 1. Model Integrasi Model ini cenderung terdapat pada pesantren modern, dimana berbagai bentuk pendidikan yang memperkuat pendidikan pesantren diadopsi, serta pada beberapa pesantren tradisional yang sudah mulai membuka peluang untuk memasukkan pengetahuan umum dalam kurikulumnya. Kedua bentuk pesantren ini memiliki kesamaan penyelenggaraan, yaitu: Pertama, program pendidikan nonformal diselenggarakan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan kepada santri yang ingin memperoleh ijazah setara pendidikan formal (program kesetaraan Paket A, B dan C), atau meningkatkan pendidikan di jalur formal atau ingin mengembangkan usaha ekonomi produktif; Kedua, seluruh kegiatan pendidikan dilaksanakan di lingkungan pesantren dan menggunakan sarana prasarana milik pesantren. Sebagian tenaga pendidik terdiri dari ustadz atau guru madrasah pesantren itu sendiri, sebagian lagi terdiri dari guru madrasah Tsanawiyah dan Aliyah dari pesantren lain yang telah terakreditasi. Kegiatan pendidikan nonformal dilaksanakan sesudah kegiatan pesantren salafiyah maupun khalafiyah. Prioritas peserta didik adalah santri pesantren yang bersangkutan. Namun, bila kapasitas masih memungkinkan, ditawarkan kepada warga masyarakat sekeliling pesantren. Persyaratannya, usia calon santri di atas usia sekolah pendidikan dasar (15 tahun) dan berasal dari keluarga kurang mampu. Perbedaannya terletak pad a struktur penyelenggara. Pada pesantren modern struktur penyelenggaranya dapat dilihat pad a Gambar I berikut ini.
Ikka Kartika A. F., Model Penyelenggaraan Pendidikan Nonformal 47
Gambar 1. Struktur Penyelenggara Modellntegrasi pada Pesantren Modern Struktur ini menggunakan tipe kepemimpinan kolektif, di mana yayasan dan pesantren dipimpin oleh dua orang yang berbeda. Keduanya tidak langsung berhubungan dengan pengelolalpembina program, tapi melalui koordinator bidang yang berperan sebagai pengawas dan pembina penyelenggaraan program-program yang ada di bawah koordinasinya. Pesantren tradisional masih menggunakan tipe kepemimpinan individual, dimana pimpinan pesantren langsung berperan sebagai pengawas dan pembina program-program yang ada di pesantren. Struktur penyelenggaraannya dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Struktur Penyelenggara Modellntegrasi pada Pesantren Tradisional 2. Model Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Model PKBM cenderung ditemukan di pesantren modern yang sudah mengadopsi berbagai bentuk pendidikan dan pada beberapa pesantren tradisional yang sudah mulai terbuka. Model PKBM menawarkan paling sedikit tiga program pendidikan nonformal yang bisa dipilih dari program- program berikut ini, yaitu: pendidikan kesetaraan Program Paket A, B dan C, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pendidikan keterampilan (menjahit, bordir, perbengkelan, pertanian, komputer dan lain-lain), pendidikan keaksaraan, pendidikan wanita, dan lain-lain. Persamaannya, baik pesantren modern maupun tradisional pada umumnya
48 Didaktika, Volume 10, Nomor 1, Januari 2009
menyelenggarakan tiga sampai empat program pendidikan nonformal. Pesertanya terdiri dari santri pesantren dan warga masyarakat sekitar pesantren. Bagi santri pesantren kegiatan dilaksanakan sesudah kegiatan pendidikan pesantren salafiyah atau khalafiyah, yaitu pada sore hari. Bagi warga masyarakat sekitar, waktu kegiatan ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara peserta didik dengan tutor. Tenaga pendidik terdiri dari ustadz dan guru madrasah yang berada di lingkungan pesantren atau meminjam tenaga pendidik dari madrasah di luar pesantren. Perbedaannya terletak pada struktur penyelenggara model. Pada pesantren modern, dimana ketua yayasan merangkap sebagai pimpinan pesantren, pengawasan dan pembinaan terhadap pengelolalpembina programprogram yang ada di pesantren berada di bawah tanggung jawabnya. Struktur penyelenggara model pada pesantren modern dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 3. Struktur Penyelenggara Model PKBM pada Pesantren Modern Selanjutnya, struktur penyelenggara model PKBM pada pesantren tradisional adalah sebagai berikut:
Gambar 4. Struktur Penyelenggara Model PKBM pada Pesantren Tradisional Pada pesantren tradisional, PKBM maupun program-program lainnya langsung ditangani pimpinan pesantren yang dibantu oleh ustadz dan alumni pesantren.
3. Model Binaan Pesantren Pada model ini pesantren tidak berperan selaku penyelenggara, namun sebagai pembinalpembimbing bagi lembagal kelompok-kelompok masyarakat di
Ikka Kartika A. F., Model Penyelenggaraan Pendidikan Nonformal 49
luar pesantren yang berperan sebagai penyelenggara pendidikan nonformal. Pada masingmasing lingkungan terdapat program pendidikan nonformal yang sama, namun penyelenggaraan dan pengelolaannya dilakukan sendiri-sendiri serta masing-masing memiliki sarana prasarana sendiri. Masing-masing mendapat pembinaan serta bimbingan dari lembaga pemerintah terkait. Struktur model ini agak berbeda dengan model-model sebelumnya seperti terlihat pada gambar sebagai berikut:
Lingkungan Pesantren
Di Luar Lingkungan Pesantren
Gambar 5. Struktur Penyelenggara Model Binaan Pesantren Peserta didik pada umumnya berasal dari masyarakat dan beberapa santri pesantren pembina yang berminat untuk mengikuti program yang ada di lembaga! kelompok masyarakat binaan tersebut. Persyaratan peserta didik sama dengan persyaratan di pesantren penyelenggara program pendidikan nonformal lainnya. Tenaga pendidik berasal dari guru madrasah yang berada di pesantren atau meminjam dari madrasah yang bertetangga dengan pesantren, atau direkrut dari masyarakat sekitar. Model seperti ini ditemukan di pesantren modern yang menyediakan diri sebagai “bapak asuh”' bagi kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh para alumni atau ustadz pesantren tersebut di masyarakat. Karena fungsi pesantren hanya sebagai pembina! pembimbing, maka aktivitas yang dilakukan hanya berkisar pada aspek bimbingan dan konsultasi. 4. Model Kemitraan Model ini pada umumnya ditemukan pada pesantren tradisional yang hanya menyelenggarakan kurikulum salafiyah, atau ada juga yang menambahnya dengan program Wajar Dikdas melalui Pola Salafiyah. Model ini berkembang karena adanya kebutuhan pesantren salafiyah untuk membekali santrinya dengan pendidikan nonformal, misalnya program kesetaraan. Namun, karena berbagai alasan, pesantren tersebut belum mampu menyelenggarakan sendiri. Kondisi ini mendorong anggota keluarga pimpinan pesantren yang menginginkan adanya perubahan, dibantu oleh alumni maupun ustadz pesantren, mendirikan jalur pendidikan lain, formal maupun nonformal di luar struktur pesantren.
50 Didaktika, Volume 10, Nomor 1, Januari 2009
Struktur model kemitraan ini bila digambarkan akan berbentuk sebagai berikut:
Lingkungan Pesantren
Di Luar Lingkungan Pesantren
Gambar 6. Struktur Penyelenggara Model Kemitraan Pada gambar di atas tampak ada dua kondisi, yaitu lingkungan pesantren dan lingkungan di luar pesantren. Masing-masing lingkungan memiliki lembaga pendidikan yang dibinaldibimbing oleh dinas terkait. Namun, program pembelajaran yang dilaksanakan pada masing-masing lembaga pendidikan ini berbeda. Perbedaan inilah yang menumbuhkan kerjasama di antara pesantren dengan lembaga-Iembaga di luar pesantren tersebut dalam upaya membekali santri dengan pendidikan formal atau pendidikan nonformal. Kemitraan ini sudah dijalin sejak awal didirikannya lembaga-Iembaga di luar pesantren tersebut, yang berkisar pada kerjasama dalam membelajarkan santri-santri pesantren, bantuan tenaga pendidik dan sarana prasarana pesantren. Peserta Didik berasal dari pesantren mitra atau dari warga masyarakat, dengan persayaratan yang tidak jauh berbeda dengan persyaratan pada model-model lain
PENUTUP Kemampuan pesantren, terutama pesantren tradisional, untuk menyelenggarakan pendidikan nonformal patut dihargai mengingat tidak sedikit tantangan yang dihadapi, baik dari kalangan internal maupun eksternal pesantren. Tantangan internal terutama datang dari kalangan keluarga Kyai yang kurang menyetujui penyelenggaraan pendidikan kesetaraan di lingkungan pesantren karena dianggap tidak sesuai dengan pola pendidikan pesantren. Tantangan eksternal terutama datang dari kalangan pesantren tradisional yang menentang penyelenggaraan pendidikan nonformal karena dianggap bukan
Ikka Kartika A. F., Model Penyelenggaraan Pendidikan Nonformal 51
garapan pesantren dan bila santri diikutsertakan dalam program tersebut akan mengurangi waktu untuk mendalami pengetahuan keagamaan. Hal ini dipandang akan mempengaruhi citra pesantren sebagai pusat pendidikan keagamaan di mata masyarakat, padahal pesantren memiliki kedudukan dan potensi yang sangat strategis untuk memperluas jangkauan program pendidikan nonformal, terutama dalam mempercepat penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, buta aksara atau pengangguran. Agar pesantren yang sudah menyelenggarakan pendidikan nonformal dapat melaksanakan secara berkelanjutan dan dapat mempengaruhi pesantrenpesantren tradisional lainnya yang masih tetap menolak menyelenggarakan pendidikan nonformal, perlu kiranya dipikirkan pendekatan-pendekatan strategis yang sesuai dengan kondisi pesantren. Pendekatan strategis tersebut paling tidak bias melibatkan tiga unsur, yaitu: pertama, unsur birokrasi, terdiri dari Dinas Pendidikan dan Kantor Departemen Agama setempat, pemerintah daerah dan lembaga-Iembaga pernerlntah lainnya yang peduli dengan peningkatan sumberdaya manusia; kedua, unsur praktisi yaitu pimpinan pesantren tradisional maupun modern serta paguyuban atau asosiasi pesantren atau Kyai, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI); dan ketiga, unsur akademisi, yaitu perguruan tinggi agama Islam, Lembaga Pendidikan T enaga Kependidikan (LPTK) yang peduli terhadap pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan nonformal. Bila akan dikaitkan dengan pengembangan pendidikan keterampilan melalui kegiatan usaha produktif, dapat diikutsertakan unsur dunia usaha atau pelaku bisnis yang sesuai dengan program pengembangan. Melalui pembahasan oleh unsur-unsur tersebut, diharapkan dapat dihasilkan pendekatan yang bersifat komprehensif, yaitu tidak menyalahi kaidah agama dan keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, sesuai dengan berbagai peraturan pemerintah yang berlaku terutama yang berkaitan dengan kompetensi pendidikan, serta dapat memenuhi kaidah-kaidah penyelenggaraan suatu lembaga pendidikan. KEPUSTAKAAN Arifin, HM., 1995, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Jakarta: Penerbit Bumi Aksara Daulay, Haidar Putra, 2007, Pendidikan Islam (Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia), Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Departemen Agama RI, 2003, Petunjuk Teknis Pondok Pesantren, Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Direktorat Keagamaan Dhofier, Zamakhsyari, 1982, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES Haedari, Amin, H., 2006, Transformasi Pesantren, Jakarta: Media Karya LeKDIS Halim, A, dkk., 2005, Manajemen Pesantren, Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara. Qomar, Mujamil, 2005, Pesantren, dari Transformasi Metod%gi Menuju Oemokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga. Zubaedi,2007, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren (Kontribusi Fiqh Sosia/ Kiai Sahal Mahfudh dalam Perubahan Nilai-Nilai Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.