Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah HUBUNGAN ANTARA SELF – EFFICACY DANADVERSITY QUOTIENTDENGAN MOTIVASI BERPRESTASI PADA SISWA SMA DARUL ULUM 2 BPP-TEKNOLOGI JOMBANG Oleh: Liyana Rakhmawati
ABSTRACT CORRELATION BETWEEN SELF EFFICACY, ADVERSITY QUOTIENT AND THE HIGH-ACHIEVING MOTIVATION TO THE STUDENT THE SENIOR HIGH SCHOOL OF UNGGULAN DARUL ULUM JOMBANG
This research aimed at knowing relations between self efficacy, adversity quotient and the studying motivation to the student the Senior High School of Darul Ulum 2 BPP- Teknologi Jombang. The subject of the research was the students totalling 62 students. In the taking of the sample used the Purposive Sampling Technique. The hypothesis that was put forward in this research had relations between self efficacy, adversity quotient and the high-achieving motivation. The independent variables are self efficacy, and adversity quotient whereas the variable depended him the motivation was high-achieving. The self efficacy was measured with the Scale self efficacy, adversity quotient was measured with the Scale adversity quotient, and the high-achieving motivation was measured with the scale of the high-achieving motivation. From results of the analysis of the data by using the Series computer of the Statistik Program (SPS-2000) the Analysis module of Regression, Edisi Sutrisno Hadi and Yuni Pamardiningsih, the University Gadjah Mada, Yogyakarta, the IBM/IN, Copyright 2001, with results was received by the value F = 19,496, and p = 0.000 (p p<0,01). Then this showed had the positif correlation that was very significant between Self Efficacy and Adversity Quotient and the high-achieving motivation the student. Meaning that if Self Efficacy was increased whereas Adversity Quotient continue to then the high-achieving motivation will increase, likewise if Adversity Quotient was increased whereas Self Efficacy continue to then the high-achieving motivation will also increase, but if Self Efficacy was dropped off whereas Adversity Quotient continue to then the high-achieving motivation will also descend or if Adversity Quotient was dropped off now Self Efficacy continue to, then the high-achieving motivation will descend. So the hypothesis that was put forward was accepted. Key word: self efficacy, adversity quotient, the high-achieving motivation
Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
21
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah LATAR BELAKANG MASALAH Perlu mendapatkan perhatian bahwa faktor prestasi belajar tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur dalam menilai kemampuan dan keberhasilan siswa yang sesungguhnya, ada pengaruh dari variabel lain yaitu aspek non kognitif; bersifat memotivasi, yang dapat mempengaruhi keberhasilan prestasi akademis siswa (Burns, 1993). Motivasiberprestasi adalah elemen yang penting dalam mencapai prestasi (Hurlock, 1991). Dalam hal ini lingkungan mempunyai peranan dalam menumbuhkan motivasi seseorang untuk mengarahkan perilakunyamencapai tujuan. Semakin jelas tujuan belajar individu, semakin besar untuk mencapai hasil belajar yang optimal (Walgito, 1990). Motivasi berprestasi yang dimiliki subyek diharapkan mampu mengarahkan perilakunya untuk lebih bersifat realistik dalam menghadapi tantangan yang dihadapi dalam belajar, sehingga mereka yang memiliki motivasi berprestasi tidak mengalami hambatan dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Motivasi berprestasi bagi remaja merupakan hal yang perlu untuk dikembangkan guna memacu semangat belajarnya. Untuk mengatasi setiap tantangan yang ada sangat tergantung dari faktor yang ada dalam diri individu yang bersangkutan.Salah satu faktor dalam diri individu yang mempengaruhi sikapnya dalam menghadapi tantangan adalah tergantung dari keyakinan diri atau disebut juga self efficacy. Seseorang yang merasa yakin dapat melakukan tugasnya dengan berhasil maka orang tersebut dikatakan mempunyai self-efficacy tinggi, sebaliknya jika orang tersebut ragu terhadap kemampuannya dalam melakukan tugas, maka orang tersebut dikatakan mempunyai self - efficacy rendah. Jika seseorang memiliki self efficacy rendah, maka akan menganggap dirinya tidak mampu melakukan sesuatu dengan baik sehingga dapat menghalangi motivasinya untuk berprestasi, memiliki self efficacy tinggi akan selalu merasa bahwa apa yang dihadapi akan mampu untuk diselesaikan sehingga mampu mengoptimalkan motivasi berprestasi yang ada dalam dirinya. Dalam hal ini akan menjadi penentu keberhasilan seorang pelajar dalam menjalankan tugas. Mereka lebih mempunyai kesiapan mental untuk belajar, lebih punya dorongan kuat untuk bekerja giat, lebih tahan dalam mengatasi kesulitan dan lebih mampu mencapai level prestasi yang lebih tinggi (Pajares & Schunk, 2002). Selain faktor self-efficacy, ternyata faktor kecerdasan juga dapat mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang. Pada mulanya peran Inteligensi dianggap sesuatu yang sangat penting dalam mencapai kesuksesan seseorang, hingga teori tersebut dipatahkan dengan munculnya teori dari Golleman yang mengatakan bahwa 80% kesuksesan seseorang ditentukan oleh kecerdasan emosional, dan saat ini yang berkembang pula
22
| Vol 04 No 01 Pebruari 2016
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah teori dari Paul G. Stoltz (2007), yang mengatakan bahwa faktor paling penting dalam meraih sukses adalah Adversity Quotient. Individu yang ingin sukses memiliki dorongan untuk berkembang dan tumbuh, serta ingin maju menuju ke arah keberhasilan, tetapi tidak semua individu tahu dan mengerti bahwa peluang ada dihadapannya sehingga peluang yang ada tidak dimanfaatkan, akibatnya prestasi yang semestinya diraih di tangan menjadi pergi. Dimilikinya AQ yang tinggi akan menyebabkan individu tersebut lebih dapat membaca peluang karena daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, ketekunan, keuletan, dan vitalitasnya akan mendorongnya ke arah keberhasilan. Beberapa kasus yang diamati peneliti selama menjalani tugas di sekolah bahwasannyasiswa yang memiliki motivasi berprestasi rendah dikarenakan tingkat keyakinannya pada kemampuan dirinya yang kurang menunjang (efikasi dirinya rendah), sehingga tidak dapat mengoptimalkan potensi yang ada dalam dirinya. Siswa dengan motivasi berprestasi yang rendah di karenakan siswa tersebut kurang memiliki keyakinan diri serta daya juang yang tinggi untuk mencapai prestasi, sebagian dari mereka juga merasa sudah cukup puas dengan prestasinya saat ini dan tidak berhasrat untuk meningkatkan lebih tinggi lagi (keyakinan diri & adversity yang rendah). Dari latar belakang diatas, maka penting untuk mengetahui adakah hubungan antara self-efficacy dan adversity quotient dengan motivasi berprestasi pada siswa SMA DARUL ULUM 2 BPP-Teknologi Jombang. LANDASAN TEORI DAN DASAR TEORI 1. Pengertian Motivasi Berprestasi Konsep motivasi berprestasi mula-mula dikemukakan oleh Murray (dalam Irwanto,dkk.,1989). Kebutuhan berprestasi menurut Murray (dalam Masiswanta,1992), adalah kebutuhan untuk mengatasi rintangan, untuk melatih kemampuan, untuk menyelesaikan sesuatu yang sukar sebaik dan secepat mungkin. Menurut Edward (dalam Sugiyanto,dkk.,1984), ialah kebutuhan untuk berbuat sebaik mungkin, untuk menyelesaikan tugastugas yang sukar dan menarik dan merupakan motif yang mengarahkan tingkah lakunya dengan titik berat pada tercapainya suatu prestasi tertentu. Motivasi berprestasi berhubungan dengan kemampuan mengatasi rintangan dan memelihara semangat kerja yang tinggi, bersaing melalui usaha keras untuk mengungguli hasil yang dicapai sebelumnya dan mengungguli orang lain. Menurut Mc Clelland dan Burnham (dalam Mulyani,2001), motivasi berprestasi adalah dorongan untuk mengerjakan sesuatu lebih baik atau lebih efisien daripada yang dikerjakan sebelumnya serta berorientasi pada pekerjaan atau tugas. Sedang Dwivedi dan Herbert mengartikan motif berprestasi sebagai dorongan untuk sukses dalam situasi kompetisi yang didasarkan pada ukuran keunggulan dibanding standarnya sendiri maupun orang lain, yang menurut Davis adalah dorongan untuk Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
23
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah mengatasi rintangan dan mencapai keberhasilan, individu bekerja lebih baik dan maju (dalam Mulyani,2001).
sehingga
menyebabkan
Karakteristik Motivasi Berprestasi Mc Clelland (1987) menyusun teori motivasi berprestasinya dengan sebuah model yang terperinci dan analitik. Selanjutnya ia mengatakan bahwa motivasi berprestasi adalah dorongan untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik atau lebih efisien daripada yang dikerjakan sebelumnya serta ingin berorientasi pada pekerjaan atau tugas. Menurut Gibson, et.al (1992) Mc Clelland dan Aldelfer mencoba mengukur kontribusi beberapa faktor pada aktivitas yang beracuan pada prestasi. Menurut mereka motivasi berprestasi bukanlah suatu karakteristik dan aktivitas yang sederhana saja, tetapi merupakan kombinasi faktor yang kompleks. Dari hasil penelitiannya, Mc Clelland (1987) mengemukakan bahwa mereka yang memiliki motivasi berprestasi tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1). Mampu melakukan tugas lebih baik dan lebih giat dari sebelumnya, 2). Berorientasi pada pekerjaan di dalam mencapai sukses. (3). Menyukai tantangan dan mampu mengatasi rintangan. 4). Mampu memelihara semangat kerja yang tinggi. 5). Mampu menyelesaikan pekerjaan yang kompleks. 6). Lebih kreatif dan berinisiatif. 7). Tidak menyukai pekerjaan yang bersifat monoton, dan relatif mudah. 8). Bersaing melalui usaha keras, berusaha mencapai hasil kerja yang lebih baik dari sebelumnya, termasuk mengunguli hasil kerja orang lain. 9). Menyukai umpan balik yang langsung dan nyata terhadap prestasi kerja yang telah dihasilkan. 10). Percaya diri dan yakin akan kemampuan dalam mencpaai kesuksesan. 11). Lebih memilih seorang ahli daripada sekedar teman biasa sebagai mitra kerjanya. 12). Menetapkan tujuan yang cukup sulit, tetapi masih mungkin dicapai oleh dirinya. 13). Melakukan pendekatan yang realistis terhadap resiko, tidak menyukai pendekatan Trail and Error, tetapi lebih suka melakukan analisa dan menilai masalah yang dihadapi. 14). Lebih suka memikul tanggung jawab secara pribadi di dalam menyelesaikan pekerjaan. 2.Pengertian Self - Efficacy Menurut Bandura (1997), efikasi-diri merupakan proses kognitif yang mempengaruhi motivasi seseorang untuk berperilaku. Sumber penting motivasi diri yang bersifat kognitif tergantung pada proses perantara dalam penetapan tujuan dan reaksi evaluatif terhadap perilaku sendiri. Pembentukan motivasi diri ini memerlukan standar pribadi guna mengevaluasi performansi yang dicapai. Tujuan pribadi dapat berlaku sebagai standar. Tujuan yang eksplisit lebih mungkin melibatkan pengaruh reaksi diri dalam aktivitas tertentu daripada tujuan yang tidak jelas. Tujuan jangka pendek sangat penting karena semakin dekat standar acuan dengan perilaku yang terjadi akan semakin besar kemungkinan pengaruh diri 24
| Vol 04 No 01 Pebruari 2016
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah diaktifkan selama proses perilaku itu berlangsung. Untuk memutuskan apakah perilaku tertentu akan dilakukan atau tidak, orang akan menilai informasi atau keyakinan tentang risiko atau keuntungan yang memungkinkan. Individu juga akan mempertimbangkan sampai sejauh mana dapat mengatur perilaku tersebut. Sebenarnya orang membuat dua penilaian, yaitu (1) pengharapan seandainya ia mampu melakukan perilaku sebagaimana mestinya (efficacy expectancy) dan (2) pengharapan tentang hasil perilaku yang memungkinkan (outcome expectancy). Dalam hal ini efikasi-diri bertindak sebagai mediator antara tujuan yang diharapkan dengan usaha yang diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. Hubungan kondisional antara keyakinan efikasi dengan pengharapan hasil dapat dilihat pada gambar-1. Individu
Perilaku
Keyakinan Efikasi-diri
Hasil
Pengharapan Hasil
Gambar 1. Hubungan kondisional pengharapan hasil. (Sumber: Bandura, 1997).
antara
keyakinan
efikasi
dengan
Dari gambar-1, terlihat bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh pertimbangan keyakinan efikasi-dirinya, yaitu; level atau tingkat kesulitan , strength atau kemantapan keyakinan, dan generality atau luas bidang perilaku, selanjutnya perilaku tersebut akan menentukan hasil akhir setelah melewati proses pertimbangan pengharapan hasil yang memungkinkannya. Pengharapan-pengharapan hasil tersebut, dapat dikelompokkan dalam tiga aspek meliputi; (1) fisik, (2) sosial, dan (3) evaluasi-diri, setiap aspek memiliki dua kemungkinan konsekuensi yaitu; (a) pendorong bila pengharapan hasil positif, dan (b) penghambat bila pengharapan hasil negatif. Aspek pertama, perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi fisiknya. Dalam kondisi fisik yang sehat, nyaman dan pengalaman sensoris mendukmg, maka penerapan hasil cenderung positif. Sebaliknya dalam kondisi fisik yang sakit, luka, dan tidak bergairah maka pengharapan hasil cenderung negatif. Aspek kedua, perilaku manusia sebagian juga dipengaruhi oleh reaksi sosial yang akan ditimbulkannya. Pengharapan hasil akan positif ketika ada pengakuan sosial, penghargaan, pemberian status/ kekuasaan, dan kompensasi. Sebaliknya, pengharapan hasil cenderung negatif manakala lingkungan sosial menolak, mencibir, mencaci-maki dan sejenisnya. Aspek ketiga, perilaku manusia tidak semata-mata ditentukan oleh kondisi eksternal seperti hadiah/hukuman melainkan oleh pertimbangan kepuasan diri. Seseorang cenderung akan melakukan hal-hal yang bisa memberikan rasa kepuasan diri, perasaan Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
25
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah bangga, dan harga diri. Sebaliknya, seseorang cenderung akan menahan diri atau bahkan menghindarkan diri dari perilaku yang bisa mendatangkan rasa ketidakpuasan diri, dan kecaman diri.Tingginya efikasi-diri yang dipersepsikan akan memotivasi individu secara kognitif untuk bertindak lebih persisten dan terarah terutama apabila tujuan yang hendak dicapai merupakan tujuan yang jelas. Menurut Bandura (1997), prediksi yang paling baik untuk melihat perilaku manusia dan kondisi afektifnya adalah dengan cara menggabungkan keyakinan efikasi dengan bentuk-bentuk hasil kinerja yang diharapkan dalam sistem sosial yang ada. Keutamaan struktural sistem sosial terutama berkaitan dengan peluang-peluang maupun tantangan-tantangan yang mereka hadapi. Perbedaan pola keyakinan diri dan pengharapan hasil memiliki pengaruh psikososial dan emosional yang berbeda-beda pula sebagaimana terlihat pada gambar-2.
+ KEYAKI NAN EFIKASI -
PENGHARAPAN HASIL + Protes Etos Mengeluh Produktif Aktivitas Aspirasi Sosial Kepuasan Perubahan personal Lingkungan Pasrah/ Menyalahka Mengundurk n Diri an diri Patah Apatis Semangat
Gambar 2. Perbedaan pengaruh antara pola efikasi dan pengharapan hasil performansi pada perilaku dan kondisi afektif. Tanda plus dan minus menunjukkan kualitas positif dan negatif dari keyakinan efikasi dan pengharapan hasil (Sumber:Bandura, 1997.p.20) Dimensi-Dimensi Self - Efficacy Menurut Bandura (1982), efikasi-diri seseorang berbeda atas dasar beberapa dimensi yang memiliki implikasi penting terhadap kinerja. Dimensi-dimensi efikasi diri antara lain : a. Tingkat kesulitan tugas (magnitude), yaitu yang berhubungan dengan tingkat kesulitan suatu tugas. Hal ini akan berimplikasi pada pemilihan perilaku yang akan dicoba atau dihindari berdasarkan pengharapan efikasi pada kesulitan tugas tersebut. Dalam hal ini individu akan mencoba berperilaku sekiranya ia merasa mampu, sebaliknya ia akan menghindari situasi dan perilaku yang dirasa di luar batas 26
| Vol 04 No 01 Pebruari 2016
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah kemampuannya. Individu akan menunjukkan perilaku penerimaan atau menghindar dari lingkungan dan aktivitas positif yang ada di lingkungannya, tergantung bagaimana individu tersebut menaksir kemampuan dirinya dengan aktivitas yang akan dilakukannya. Individu yang efikasi-dirinya tinggi akan semakin bersemangat dan tekun berusaha ketika menghadapi kesulitan dan tantangan, sebaliknya mereka yang rendah efikasi-dirinya akan terganggu oleh perasaanperasaan ragu terhadap kemampuan, dan mengurangi usaha dalam mencapai tujuan atau bahkan menyerah. b. Kemantapan keyakinan (strength), yaitu merefleksikan derajat kepercayaan seseorang bahwa ia dapat melakukan tingkat (level) keyakinan atau pengharapannya tersebut. Pengharapan yang lemah akan mudah goyah oleh pengalaman-pengalaman yang kurang mendukung. Sebaliknya bila penerapannya mantap, maka individu akan tetap bertahan dalam usahanya meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang kurang menunjang. Penilaian individu tentang kemampuannya mempengaruhi pola pikir dan reaksi-reaksi emosinya selama melakukan sesuatu dan dalam berhubungan dengan lingkungannya. Individu yang efikasi-dirinya tinggi akan melakukan atribusi terhadap kesalahankesalahannya karena ia kurang berusaha dalam mencari pemecahan masalah, sebaliknya yang rendah menyatakan bahwa kegagalannya disebabkan oleh kurangnya kemampuan atau bakat. c. Luas bidang perilaku (generality), yaitu tingkat efikasi diri dalam satu situasi dapat diperluas pada situasi yang lain. Beberapa pengharapan mungkin terbatas pada bidang tingkah laku yang khusus, dan beberapa pengharapan mungkin menyebar meliputi berbagai bidang tingkah laku. Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa tingkat efikasi diri seseorang sangat tergantung pada tingkat kesulitan tugas, kemantapan keyakinan serta luas bidang perilakunya. 3. Pengertian Adversity Quotient Stoltz (2002), mendefinisikan AQ sebagai suatu yang mempengaruhi semua segi usaha manusia, dapat diukur secara sah dan dapat diandalkan, memberi tahu seseorang seberapa baik dia bertahan dalam kesulitan dan mengukur kemampuannya untuk mengatasi krisis apa pun, dapat diubah polanya dan diperbaiki secara permanen. Menurut Markman (2005) memberikan pengertian tentang kecerdasan mengatasi kesulitan sebagai berikut: Adversity intelligence (AI) is the science of human resilience, people who successfully apply AU perform optimally in the face of adversity the challenges, big and small, that confront us each day. In fact, they not only learn from these challenges, but they also respond to them better and faster. (Peaklearning.com.2005) Adversity intelligence (AI) adalah pengetahuan tentang ketahanan individu, individu yang secara maksimal menggunakan kecerdasan ini akan Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
27
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah menghasilkan kesuksesan dalam menghadapi tantangan, besar kecil dalam kehidupan sehari – hari. Kenyataannya mereka tidak hanya belajar dari tantangan, tetapi mereka juga meresponnya secara lebih baik dan lebih cepat. Adversity quotient meramalkan seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya, meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur, dan meramalkan siapa yang akan gagal, serta meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan, Stoltz (2005). Adversity quotient adalah kemampuan seseorang dalam menghadapi dan bertahan terhadap kesulitan hidup dan tantangan yang dialami serta perubahan-perubahan yang terus menghadang dan menghadapi semua kesulitan tersebut sebagai suatu proses untuk mengembangkan diri, potensi-potensinya, dan mencapai suatu tujuan tertentu. Konsep baru ini menurut Lasmono (2001), menawarkan manfaat yang dapat diperoleh, yaitu ; a. AQ menyatakan seberapa tegar seseorang menghadapi kemalangan, b. AQ memprakirakan siapa yang mampu mengatasi kemalangan tersebut dan siapa yang akan terlibas/gagal, c. AQ memprakirakan siapa yang dapat melampaui harapan kinerja dan potensinya dan siapa yang tidak, d. AQ memprakirakan siapa yang putus asa dan siapa yang bertahan. Penggolongan Tipe Manusia Stoltz beranggapan bahwa IQ dan EQ tidaklah cukup dalam meramalkan keseksesan seseorang.Untuk mendukung teorinya, Stoltz (2000), membagi manusia menjadi tiga tipe, yaitu : Tipe quitter (mereka yang berhenti) Orang jenis ini berhenti di tengah proses pendakian, gampang putus asa dan menyerah. Cenderung menolak perubahan, kesempatan setiap peluang keberhasilan atau menghindari dan secara aktif menjahuinya. Mereka dengan cepat menemukan cara-cara yang menyatakan bahwa sesuatu tidak bisa berjalan atau dilaksanakan. Quitters mempunyai kemampuan yang kecil atau bahkan tidak mempunyai sama sekali kemampuan dalam menghadapi kesulitan. Itulah yang menyebabkan mereka untuk berhenti. Tipe campers (pekemah). Tidak mencapai puncak, sudah puas dengan apa yang telah dicapai. Orang-orang model ini sudah selangkah lebih maju dibanding quitter, sekurang-kurangnya dapat melihat dan merasakan tantangan. Banyak orang masuk tipe ini, pendakian yang tidak selesai itu sudah mereka anggap sebagai kesuksesan akhir. Padahal sebenarnya tidak, sebab masih banyak potensi mereka yang belum teraktualisasikan dan menjadi sia-sia. Mereka berbeda dengan quitters, campers masih menunjukkan sejumlah inisiatif, sedikit semangat, dan beberapa usaha. Mereka 28
| Vol 04 No 01 Pebruari 2016
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah akan bekerja keras dalam hal apa pun yang bisa membuat mereka merasa lebih aman dibandingkan dengan yang telah mereka miliki. Mereka masih mengerjakan apa yang perlu dikerjakan. Campers tidak memanfaatkan potensi mereka sepenuhnya sehingga mereka kurang berhasil dalam berprestasi. Motivasi mereka adalah rasa takut dan kenyamanan, sehingga campers mempunyai kemampuan terbatas terhadap perubahan terutama perubahan yang besar Tipe climber (pendaki). Sebutan Stoltz untuk orang yang selalu optimistik,Climbers bersedia mengambil resiko, menghadapi tantangan, mengatasi rasa takut, mempertahankan visi, memimpin, dan bekerja keras sampai pekerjaannya selesai. Climbers tidak merasa asing terhadap situasi sulit. Mereka memahami bahwa kesulitan adalah bagian dari hidup, bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup. Climbers cenderung membuat segala sesuatunya terwujud. Climbers adalah jenis orang yang bisa diandalkan untuk memwujudkan perubahan karena tantangan yang ditawarkan oleh perubahan membuat mereka berkembang pesat. Mereka juga menyambut baik kesempatan untuk bergerak maju dan ke atas dalam setiap usaha. Stoltz membagi tiga kelompok manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung yaitu pertama, high-AQ dinamakan Climbers, kelompok yang suka mencari tantangan . Yang kedua, low-AQ dinamakan Quitters, kelompok yang melarikan diri dari tantangan, dan yang ketiga AQ sedang/moderat (campers) (Maragoni, 2001). Dari ketiga jenis individu tersebut, menurut Stoltz (2000), hanya climber yang menjadikan hidupnya secara lengkap, mereka mengetahui perasaan gembira yang sesungguhnya. Dimensi Advesity Quotient Stoltz (2002), membagi dimensi AQ menjadi 4 dimensi yaitu CORE yang meliputi Control, Ownership, Reach dan Endurence. VII. Control (kendali) Dimensi ini mempertanyakan seberapa besar kendali yang seseorang rasakan pada suatu peristiwa sulit. Kata kuncinya adalah merasakan, karena kontrol tehadap suatu peristiwa sendiri sangat sulit diukur. Kontrol atau kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, dapat dilakukan. Pengendalian adalah mengenai (1) anggapan kemampuan untuk mengubah suatu situasi dan (2) kemampuan menanggapi yang merupakan kemampuan untuk mengendalikan tanggapan sendiri terhadap apa pun yang mungkin timbul. VIII. Ownership (pengakuan) Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
29
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah seseorang mengakui akibat-akibat dari kesulitan. Pengakuan membantu dalam menetapkan ulang tanggung jawab dalam arti yang konstruktif dan praktis, dimana aspek dari AQ ini menilai saat awal seseorang mengandalkan diri sendiri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi, tanpa mempedulikan penyebab kesulitan dan tidak langsung mempersalahkan diri sendiri tetapi belajar memperbaiki tingkah lakunya sehingga cenderung mengakui akibatakibatnya, menganggap diri sendiri yang bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu tentang akibat yang ditimbulkan. IX. Reach (jangkauan) Dimensi ini mempertanyakan sejauhmana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu. Jangkauan menjajaki sejauh mana seseorang membiarkan kesulitan masuk ke dalam bidang kerja dan kehidupan yang lain. X. Endurance (daya tahan) Daya tahan merupakan ketahanan akan berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dimensi Adversity Quotient terdiri dari kontrol, pengakuan, jangkauan, dan daya tahan. Di mana dari keempat dimensi itu akan berpengaruh dalam kehidupan, terutama dalam menghadapi kesulitan. METODOLOGI A. Subyek Penelitian 1. Populasi: Populasi yang menjadi obyek Ulum 2 BPP-Teknologi Jombang. 2. Sampel
penelitian
ini
adalah
siswa
SMA
Darul
Self Efficacy Motivasi Berprestasi
Adversity Quotient( Dalam penelitian ini sampel ditetapkan sebanyak 62 siswa kelas XII. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling yaitu menetapkan sampel berdasarkan ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri sample ditetapkan sebagai berikut : a. Siswa kelas XII SMA Darul Ulum 2 BPP-Teknologi Jombang yang tercatat dalam tahun pelajaran 2009-2010. b. Berusia antara 16-18 tahun
30
| Vol 04 No 01 Pebruari 2016
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah B. Variabel Penelitian dan Pengukurannya Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut variabel bebas self – efficacy(X1) dan adversity quotient ajar (X2), variabel tergantung Motivasi Berprestasi (Y). Hubungan dari variabel bebas dan variabel tergantung tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini. C. Analisis Data Jenis penelitian ini adalah tipe korelasi, dengan tujuan untuk mencari hubungan atau signifikansi korelasi antara Self Efficacy dan Adversity Qoutientdengan Motivasi Berprestasi SMA Darul Ulum 2 BPPTeknologi Jombang, maka analisis statistik yang dipakai dalam penelitian ini adalah Analisis Regresi yang perhitungannya akan menggunakan komputer program SPS 2000 edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Regresi Umum (2 Prediktor) Sumb Kesimpu Signifika F R2 p er lan nsi Sangat X1X2 19.4 0.39 0,00 P<0,01 Signifik Y 96 8 0 an Tabel 12 Hasil Korelasi Parsial Antar Variabel Sumb r er x1y-2 x2y-1
Tabel 13 Sumbangan Variabel Bebas Sumber X1 X2
0,33 2 0, 254
p
Kesimp ulan
0,0 09 0,0 46
< 0,01 < 0,05
Relatif 58,437% 41,653%
Signifik ansi Sangat Signifik an Signifik an
Efektif 23,252 % 16,538%
Keterangan : X1 = Self Efficacy Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
31
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah X2 = Adversity Quotient Y = Motivasi Berprestasi Interpretasi c. Hasil Analisis Regresi Umum (2 Prediktor) didapatkan F = 19.496, dan p = 0,000 (p<0,01), maka hal ini menunjukkan ada korelasi positif yang sangat signifikan antara Self Efficacy dan Adversity Quotient dengan Motivasi Berprestasi siswa atau dengan kata lain secara bersama-sama Self Efficacy dan Adversity Quotient mempengaruhi Motivasi Berprestasi Siswa. Artinya jika Self Efficacy dan Adversity Quotientnyatinggi maka Motivasi Berprestasi pada siswa akan tinggi, demikian juga sebaliknya jika Self Efficacy dan Adversity Quotientnya rendah maka Motivasi Berprestasi pada siswa akan rendah. d. Secara Parsial diperoleh hasil rx1y-2 = 0,332 dengan p = 0,009 (p<0,01), artinya ada hubungan positif yang sangat signifikan antara Self Efficacy dengan Motivasi Berprestasi setelah mengendalikan Adversity Quotient. e. Secara Parsial diperoleh hasil rx2y-1 = 0,254 dengan p = 0,046 (p<0,05), artinya ada hubungan positif yang signifikan antara Adversity Quotient dengan Motivasi Berprestasi setelah mengendalikan Self Efficacy. f. Dilihat dari Sumbangan Efektif yang ada diketahui bahwa Self Efficacy memiliki pengaruh terhadap Motivasi Berprestasi sebesar 23,252% sedangkan Adversity Quotient memberikan sumbangan sebesar 16,538% kepada Motivasi Berprestasi. Jadi Self Efficacy dan Adversity Quotient mempengaruhi Motivasi Berprestasi sebesar 39,790%, sedangkan sisanya sebesar 60,210% dipengaruhi faktor / variabel lain yang tidak diteliti.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Secara bersama-sama ada korelasi positif yang sangat signifikan antara Self Efficacy dan Adversity Quotient dengan Motivasi Berprestasi siswa atau dengan kata lain secara bersama-sama Self Efficacy dan Adversity Quotient mempengaruhi Motivasi Berprestasi Siswa. Artinya jika Self Efficacy dan Adversity Quotientnya tinggi maka Motivasi Berprestasi pada siswa akan tinggi, demikian juga sebaliknya jika Self Efficacy dan Adversity Quotientnya rendah maka Motivasi Berprestasi pada siswa akan rendah. 2. Secara parsial Self Efficacy mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan Motivasi Berprestasi siswa, sedangkan Adversity Quotient mempunyai hubungan yang signifikan dengan Motivasi Berprestasi Siswa. 32
| Vol 04 No 01 Pebruari 2016
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah 3. Sumbangan Efektif Self Efficacy berpengaruh terhadap Motivasi Berprestasi sebesar 23,252% sedangkan Adversity Quotient sumbangannya sebesar 16,538%. Secara keseluruhan Self Efficacy dan Adversity Quotient mempengaruhi Motivasi Berprestasi sebesar 39,790%, sedangkan sisanya sebesar 60,210% dipengaruhi faktor / variabel lain yang tidak diteliti. Berdasarkan hasil penelitian yang ada maka beberapa saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut : 4. Bagi siswa, untuk dapat meningkatkan motivasi berprestasinya yaitu dengan mengikuti atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan ekstra seperti kegiatan pramuka, pecinta alam, karya ilmiah remaja maupun kegiatan palang merah Remaja. Sebab dengan mengikuti kegiatan tersebut melibatkan kerja tim sehingga melatih siswa untuk mengambil keputusan, negosiasi, kepemimpinan serta penyelesaian konflik sehingga efikasi diri dan kecerdasan adversitynya dapat dikembangkan. 5. Bagi guru, hendaknya merangsang siswa untuk membuat tugas proyek-proyek sekolah yang berkaitan dengan bidang studi yang diajarkan seperti masalah komposting, penghijauan, maupun pembuatan tenaga surya dimana siswa dilibatkan dari mulai merancang, mengumpulkan referensi hingga membuat presentasinya. Siswa juga dibuatkan kegiatan outbond, yang dari kesemuanya itu siswa berusaha mencoba untuk berpikir dan memahami situasi yang ditampilkan, mengembangkan strategi untuk mengatasi hambatan-hambatan yang ditemui dan menguji tingkat keberhasilannya sehingga dapat merangsang pengembangan efikasi diri dan kecerdasan adversity siswa lebih optimal. 6. Bagi peneliti pelanjut, disarankan untuk menambah variabel yang lain yang belum diteliti seperti masalah kecemasan. Kecemasan dapat mempengaruhi aktivitas seseorang dalam mencapai tujuannya (langgulung, 1986). Karena motivasi berprestasi merupakan dorongan yang ada dalam diri individu untuk berprestasi, maka jika individu tersebut mengalami kecemasan maka akan menghambat seseorang untuk berprestasi.
Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
33
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah DAFTAR PUSTAKA Ardhana, I Wayan. 1990. Atribusi Terhadap Sebab – Sebab Keberhasilan Dan Kegagalan Serta Kaitannya Dengan Motivasi Untuk Berprestasi. Malang: IKIP Malang Press. As‘ad, Moh. 1991. Psikologi Industri. Yogyakarta : Liberty. Bandura, A. 1977a. Self-Efficacy: Toward A Unifying Theory Of Behavioral Change. Psychological Review, 84 (2), 191-215. ------------. 1977b. Social Learning Theory. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs. New Jersey ------------.& Schunk, D.H. 1981. Cultivating Competence, Self-Efficacy, and Intrinsic Interest Through Proximal Self-Motivation. Journal of Personality and Social Psychology. 41,(3) 586-598.
------------. 1982. Microanalisys Of Action And Fear Arousal As A Function Of Differential Levels Of Perceived Self-Efficacy. Journal Of Personality And Social Psychology. 43 (1), 5-2 1. ------------. 1986. Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. Prentice Hall. Englewood Cliffs, New Jersey. ------------. 1997. Self Efficacy. The exercise of control. Freeman And Company. New York. Burns, RB. 1993. Konsep Diri: Teori Perkembangan Dan Perilaku. Jakarta: Arcan. Hadi, Sutrisno. 1991. Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta : Andi Offset. Hartanti. 2002. Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang Dalam Makalah (disampaikan tanggal 14 Juli 2002 pada pertemuan HIMPSI Jawa Timur di Surabaya). Hartini, Sri. 2007. Efikasi Diri, Motivasi Intrinsik, Dan Kecemasan Studi Siswa. Tesis (tidak diterbitkan). Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus. Hurlock, E.B. 1991. PsikologiPerkembanganSuatuPendekatanSepanjang RentangKehidupan. Jakarta : Erlangga. Irwanto, dkk. 1991. Psikologi Umum : Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Langgulung, Hasan. (1986). Teori-teoriKesehatanMental, Jakarta : Pustaka Alam. Marliah. 2003. Peran Kecerdasan Emosi Dan Adversity Quotient Terhadap Peningkatan Prestasi Kerja. Tesis (tidak diterbitkan). Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus. Monks, F.J. dkk. 1988. Psikologi Perkembangan, Pengantar Dalam Berbagai Bagian. Yogyakarta : Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Pajares, & Schunk. 2002. The Development Of Achievement Motivation. San Diego: Academic press.
34
| Vol 04 No 01 Pebruari 2016
Al-Hikmah Jurnal Kependidikan dan Syariah Reta,
I Wayan. 2008. Kecemasan Studi, Motivasi Berprestasi Dan Konsep Diri Pada Siswa Kelas Akselerasi Dan Siswa Kelas Reguler. Tesis (tidak diterbitkan). Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus. Romly, Amir. 2003. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pengajar Dan Efikasi diri Dengan Motivasi belajar Pada Mahasiswa. Tesis (tidak diterbitkan). Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus. Stoltz, PG. 2007. Adversity QuotientFaktor Yang Paling Penting Dalam Meraih Sukses. Jakarta: Grasindo. Suryabrata, Sumadi. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press. Walgito, Bimo. 1990. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset. Winkell. 1986. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: PT. Gramedia.
Vol 04 No 01 Pebruari 2016 |
35