JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI Volume 9, Nomor 1, Januari 2014
Harsono
Pembentukan Karakter melalui Pembelajaran Sastra
1-5
M. Khoiri
Kesalahan Penanda Kohesi dalam Skripsi Mahasiswa
6-10
M. Tauhed Supratman
Korupsi dalam Cerpen Indonesia
Yanti Linarsih
Etika Tawar-Menawar di Pasar
15-21
Kusyairi
Motivasi Belajar Intrinsik dalam Novel
22-27
Sri Indriati Hasanah
Sumber Belajar Matematika dari Lingkungan Alam Sekitar Berbasis Pondok Pesantren
28-31
Moh. Zayyadi
Pengaruh Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir Terhadap Hasil Belajar
32-34
Hasan Basri
Kemampuan Siswa dalam Menyelesaikan Soal-Soal Pemahaman Konsep Pokok Bahasan Limit Fungsi Trigonometri Pada Siswa Kelas XII IPA SMAN 5 Malang
35-39
Ukhti Raudhatul Jannah
Strategi Pengajaran Terbalik (Reciprocal Teaching) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Bilangan Bulat
40-43
Wildona Zumam
Issues of Feminism in the Patriarchal Societies As Portrayed In The Life of Madurese Women
44-46
Tjitra Ramadhani
Laura’s Interpersonal Relationships with Men In “Goodnight & Goodbye” By Timothy Harris
47-54
R. Agus Budiharto
Moral Values Application in” Robinson Crusoe” by Daniel Defoe
Masyithah Maghfirah Rizam
Perubahan Sosial Etnik Madura dalam Lirik Lagu Kontemporer Berbahasa Madura
62-71
Rasyid Arafiq
Analisis Kesalahan Siswa SMA dalam Menyelesaikan Soal Matematika
72-75
11-14
55-61
PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA Harsono Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Madura Jalan raya Panglegur Km 3,5 Pamekasan email:
[email protected] Abstrak: Hal yang paling mendasar dalam pembelajaran sastra adalah pendidikan karakter. Pembelajaran apresisasi sastra diharapkan mampu memberikan pencerahan untuk memunculkan karakter pada peserta didik. Melalui metode penelitian deskriptif kualitatif dan menggunakan pendekatan hermeneutik diperoleh beberapa hasil. Pertama, secara hakiki sastra merupakan media pencerahan jiwa dan pola pikir yang menjadi bagian mendasar di dalam pendidikan karakter. Kedua, pembelajaran bersastra yang relevan untuk pengembangan karakter adalah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik tumbuh kesadaran untuk membaca dan menulis sebagai bagian terpenting dari prasyarat pembentukan karakter. Ketiga, karya sastra yang dipandang relevan untuk pembentukan karakter adalah bahasanya indah; mengharukan pembaca, membawakan nilai-nilai luhur kemanusiaan; serta mendorong pembaca untuk berbuat baik kepada sesama manusia dan makhluk lain. Ketiga hal tersebut digambarkan dalam novel Ranah 3 Warna Karya A.Fuadi. .Kata kunci: pendidikan karakter, pembelajaran sastra, ranah 3 warna
PENDAHULUAN Nilai pendidikan dalam sebuah karya sastra berkaitan dengan penanaman nilai pendidikan karakter. Pendidikan karakter yang tidak cukup hanya diperkenalkan oleh guru dalam mata pelajaran saja tetapi guru harus mengajarkan karakter dari segi pengetahuan, perasaan, dan perilaku. Pendidikan karakter membangun moral baik dari segi kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Karya sastra yang mengandung nilai pendidikan dan sarat pendidikan karakter akan mampu memperluas pemahaman, perasaan, dan sikap pembaca. Noor (2011, 64:65) menyatakan bahwa karya sastra mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangan tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan atau diamanatkan. Salah satu bentuk karya sastra yang mengupas kehidupan manusia dan masyarakat adalah novel. Salah satu novel yang menggambarkan nilai kehidupan berupa pendidikan karakter Ranah 3 Warna karya A. Fuadi. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif kualitatif dan menggunakan pendekatan hermeneutik. Teori hermeneutik yang dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah teori hermeneutik
Gadamer. Alasan yang mendukung digunakannya hermeneutik sebagai rancangan penelitian ini karena sumber data dalam penelitian ini berupa teks. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa katakata, paparan kebahasaan yang berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang bersumber dari novel Ranah 3 Warna Karya A. Fuadi. HASIL Dalam penelitian ditemukan nilai pendidikan karakter novel Ranah 3 Warna karya A. Fuadi antara lain: Pertama, secara hakiki novel Ranah 3 Warna merupakan media pencerahan jiwa dan pola pikir yang menjadi bagian terpenting di dalam pendidikan karakter. Hal ini didasarkan pada nilai pendidikan karakter yang dimiliki tokoh utama. Dengan kegiatan mengapresiasi tokoh utama, dapat digunakan untuk bertukar pikiran, perasaan, pendapat, imajinasi, dan sebagainya sehingga terjadi kegiatan sambutmenyambut antara penulis dan pembaca. Kedua, novel Ranah 3 Warna dapat dijadikan pembelajaran bersastra yang relevan untuk pengembangan karakter. Hal ini terungkap pada karakter tokoh utama berupa karakter relegius , jujur, tanggung jawab, percaya diri, berfikir logis, kritis, kreatif, inovatif, cerdas , tangguh, ingin tahu, 1
2 | INTERAKSI. Volume 9, No. 1, Januari 2014, hlm 1-5
peduli, santun, dan demokratis, peduli lingkungan dan nasionalis. Relevansi tersebut bisa dilakukan dengan kegiatan bersastra yang dilakukan serempak dengan kegiatan merasa, berpikir, berimajinasi, dan sebagainya. Kegiatan bersastra serta kegiatan berbuat itu terjadi dalam konteks, berupa tempat, waktu, dan suasana. Di dalamnya terdapat tanah, air, udara, cahaya, tumbuhan, binatang; manusia dengan masyarakat dan budayanya, serta Tuhan dan alam ciptan-Nya. Bagian-bagian yang ada di dalam pembelajaran bersastra itulah yang dimaksud dengan konteks-konteks belajar. Ketiga, novel Ranah 3 Warna adalah karya sastra yang dipandang relevan untuk pembentukan karakter karena bahasanya indah; mengharukan pembaca, membawakan nilai-nilai luhur kemanusiaan; serta mendorong pembaca untuk berbuat baik kepada sesama manusia dan makhluk lain. PEMBAHASAN Nilai Pendidikan Karakter dalam Hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa Dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, nilai karakter yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna karya A. Fuadi adalah relegius. Relegius adalah sikap yang berkaitan dengan nilai, pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan/atau ajaran agamanya (Kemendiknas, 2010:8). Tanda yang paling tampak bagi seseorang yang beragama dengan baik adalah mengamalkan ajaran agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu berupa hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan makhluk ciptaan lainnya. Dalam novel Ranah 3 Warna terdapat 35 data yang menunjukkan sikap religius, salah satunya dapat dilihat dalam data berikut. Ya Tuhan, aku berprasangka baik untuk semua keputusanMu. Lambat laun, hatiku menjadi sejuk dan tenteram. Aku menengadah ke langit Bandung yang kembali mendung sore itu. Gerumbul awan sore di mataku masih berbentuk benua Amerika.Hanya Tuhan yang tahu apa ini hanya akan jadi mimpi atau nanti menjadi nyata. Biarkan Tuhan yang
memutuskan mana yang terbaik untukku. Dia Maha Tahu, Dia Maha Mengerti, Dia Maha Adil. Insya Allah, Tuhan tahu yang terbaik buatku. Dan sungguh Dia selalu memberi yang terbaik (Fuadi, 2012:208). Perwujudan nilai karakter relegius tokoh utama adalah meyakini bahwa Allah Maha Tahu apa yang diinginkan dirinya dan tokoh utama meyakini bahwa Allah Maha Mengerti. Tokoh utama meyakini bahwa Allah Maha Adil. Dia menempatkan semua manusia pada posisi yang sama dan sederajat. Tidak ada yang ditinggikan hanya karena keturunan, kekayaan, atau karena jabatannya. Dekat jauhnya posisi seseorang dengan Allah hanya diukur dari seberapa besar mereka berusaha meningkatkan taqwanya. Semakin tinggi taqwanya, semakin tinggi pula posisinya, semakin mulia dan dimuliakan oleh Allah SWT. Sehingga tokoh utama berkeyakinan bahwa hanya Allah yang mengetui apa yang terbaik pada dirinya. Nilai Pendidikan Karakter dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri Dalam hubungannya dengan diri sendiri, nilai karakter yang terdapat dalam novel Ranah 3 Warna karya A. Fuadi adalah karakter jujur, tanggung jawab, percaya diri, berfikir logis, berfikir kritis, berfikir kreatif, berfikir inovatif, cerdas, tangguh, dan ingin tahu. Paparan berikut hanya dituliskan nilai karakter berfikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif ,dan cerdas. Karena kedua nilai karakter tersebut sering muncul pada diri tokoh utama. Berfikir Logis, Kritis, Kreatif, dan Inovatif Berfikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif adalah berfikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki (Kemendiknas, 2010:9). Dalam novel Ranah 3 Warna terdapat 23 data yang menunjukkan karakter berfikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, salah satunya dapat dilihat dalam data berikut. Kalau aku masih ingin kuliah di universitas negeri, aku harus mengambil keputusan besar. Aku akhirnya harus memilih dengan realistis. Kemampuan dan waktu yang
Harsono, Pembentukan Karakter Melalui | 3
aku punya saat ini tidak cocok dengan impianku. Dengan berat hati aku kuburkan impian tinggiku dan aku hadapi kenyataan bahwa aku harus mengambil jurusan IPS. Selamat jalan, ITB (Fuadi, 2012:10-11). Data tersebut menggambarkan tokoh utama yang mempunyai berfikir logis, kritis, kreatif, dan inovatifnya dengan mampu berfikir dan mengambil keputusan yang diperoleh melalui analisa kemampuan dirinya untuk masuk ke ITB. Tokoh utama mampu berfikir realistis bahwa dirinya dengan waktu yang sedikit tidak mungkin mengikuti ujian masuk ITB. Dengan karakter berfikir logis, kritis, kreatif, dan inovatifnya dia harus mengambil jurusan IPS daripada masuk jurusan teknik ITB. Cerdas Cerdas adalah memiliki perkembangan akal budi sempurna; dapat berpikir, mengerti, memahami, dan merasa segala sesuatu dengan sempurna serta dapat mewujudkannya dalam perkataan dan atau tindakan (Kemendiknas, 2010:9). Dalam novel Ranah 3 Warna terdapat 15 data yang menunjukkan karakter cerdas, salah satunya dapat dilihat dalam data berikut. Aku cepat-cepat memberi latar belakang, ‘’ Pak Danang, tulisan ini saya persiapkan dengan latar belakang teoritis yang kuat yang saya pelajari di kampus. Juga telah melalui sebuah diskusi kritis dengan senior saya. Intinya, saya punya argument ilmiah bahwa kalau Palestina didukung dengan tekanan diplomasi PBB dan negara Arab, dan tidak ada halangan dari Amerika Serikat, maka Palestina akan berhasil menjadi negara yang berdaulat(Fuadi, 2012:149). Data tersebut menggambaran tokoh tokoh utama mampu berargumentasi dan meyakinkan Pak Danang agar tulisannya dapat dimuat dengan menggunakan kata-kata yang efektif. Dalam data tersebut tokoh utama menggunakan Rational Persuasion: adalah siasat meyakinkan orang lain dengan menggunakan argumen yang logis dan rasional. Tokoh utama meyakinkan Pak Danang bahwa artikelnya layak dimuat dengan argumentasi bahwa Palestina akan menjadi
negara yang berdaulat jika didukung dengan diplomasi PBB dan negara dan tidak ada halangan dari Amerika Serikat. Kemampuan tokoh utama dengan rational persuasion merupakan nilai pendidikan karakter cerdas yang dimiliki tokoh utama. Nilai Pendidikan Karakter dalam Hubungannya dengan Sesama Data nilai pendidikan karakter dalam hubungannya dengan antar sesama berupa karakter peduli, santun, dan demokratis. Karakter santun dan demokratis merupakan nilai pendidikan karakter yang sering muncul. Santun Santun merupakan kebiasaan berperilaku sopan santun, berbudi bahasa halus sebagai perwujudan rasa hormat kepada orang lain (Gunawan, 2012:34). Dalam novel Ranah 3 Warna terdapat 18 data yang menunjukkan karakter santun, salah satunya dapat dilihat dalam data berikut. Maaf, Den Kasep, bulan ini belum belum dapat arisan. Mungkin bulan depan ya,Dik,’’ kata Ibu Tin, seorang istri jenderal dengan logat Sunda yang halus. Ibu Tin salah satu langganan terbaikku. Sebelumnya dia telah membeli kain bordir kerancang dan kapalo peniti, mukena, dan cairan pembersih serbaguna. ‘’Terima kasih Bu. Bulan depan saya kunjungi lagi, ‘’ kataku pamit (Fuadi, 2012:119). Data tersebut merupakan gambaran tokoh utama yang bertutur kata Ibu Tin menurut norma yang berlaku dengan mengucapkan terima kasih karena Ibu Tin adalah langganan terbaik tokoh utama. Tutur kata tokoh utama disampaikan dengan santun dan tidak menyalahi prinsip kesantunan berbahasa. Santun berbahasa merupakan salah satu dari nilai pendidikan karakter yang dimiliki tokoh utama. Demokratis Demokratis adalah cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain (Gunawan:2012:34). Dalam novel Ranah 3 Warna terdapat 18 data yang menunjukkan karakter demokratis, salah satunya dapat dilihat dalam data berikut. Aku mengeleng-geleng dan mengacungkan jari.
4 | INTERAKSI. Volume 9, No. 1, Januari 2014, hlm 1-5
‘’ Rus, itu terlalu biasa. Aku usul kita bikin sekalian yang benar-benar monumental. Bagaimana kalau di puncak tertinggi Saint-Raymond? Namanya Mont Laura. Baru kemarin aku meliput para atlet ski lokal yang meluncur di puncaknya. Ada dataran di puncak bukit itu yang sering dipakai untuk kegiatan pramuka, lengkap dengan tiang bendera. Dan ada jalan mobil sampai pinggang bukit sehingga tidak terlalu terjal untuuk mendaki, ‘’kataku (Fuadi, 2012:391). Karakter tokoh utama demokratis diwujudkan dengan mengusulkan keinginannya melalui musyawarah dengan teman-temannya dan tidak memaksakan kehendaknnya kepada orang lain. Tokoh utama mau menerima pendapat orang lain, tidak memaksakan kemauan sendiri, berusaha untuk memperoleh titik tengah bila terjadi perbedaan pendapat. Nilai Pendidikan Karakter dalam Hubungannya dengan Lingkungan Data nilai pendidikan karakter dalam hubungannya dengan lingkungan berupa karakter peduli lingkungan.. Peduli lingkungan merupakan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk meperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu member bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan (Gunawan, 2012:34). Karakter peduli lingkungan dalam Ranah 3 Warna ditampakkan pada sikap dan perilaku tokoh utama yang memperhatikan lingkungannya seperti data berikut, Sabtu pagi ini Ferdinand membangunkan kami lebih awal untuk bergotong royong. Dengan skop kami menggali salju yang menutupi jalan dari tangga rumah sampai ke jalan besar. Ferdinand dan Mado melambaikan tangan ke tetangga di kiri-kanan yang juga sibuk bekerja seperti kami (Fuadi, 2012:375). Data tersebut menggambaran tokoh utama yang peduli lingkungan dengan menunjukkan kepedulian dan membantu menggali salju. Banyanknya salju yang turunyang menutupi jalan dari tangga rumah
sampai ke jalan besa menggerakkan tokoh utama untuk membersihkannya. Sebagai wujud karakternya. ia mempunyai tanggung jawab terhadap lingkungannya . Nilai Pendidikan Karakter dalam Hubungannya dengan Kebangsaan Data nilai pendidikan karakter dalam hubungannya dengan kebangsaan berupa karakter nasionalis . Nasionalis adalah cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya (Gunawan, 2012:35). Acara ditutup dengan Raisa tampil ke depan. Seragam jas biru tua semakin melengkapi aura percaya dirinya yang besar. Dia mengayunkan kedua tangannya, memimpin kami semua melantunkan lagu Padamu Negeri. Bait terakhir, ‘’bagimu negeri jiwa raga kami…’’ kami nyanyikan panjang dengan sepenuh hati. Badanku rasanya ringan terbang melayang , meresapi sensasi yang sulit aku lukiskan. Bahkan ketika nyanyian telah berakhir, di dadaku masih terus bergaung lirik, ‘’bagimu negeri jiwa raga kami…’’. Rasanya aku bahkan siap mati demi bangsa ini (Fuadi, 2012:228). Lirik ‘’bagimu negeri jiwa raga kami’’ membangkitkan karakter dan jiwa nasionalis tokoh utama. Dia merasa siap mati demi bangsa Indonesia. Gambaran karakter nasionalis tokoh utama yang membumbung tinggi tentang arti cinta tanah air. Dia siap mengorbankan jiwa dan raganya untuk Indonesia. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa novel Ranah 3 Warna karya A. Fuadi merupakan novel yang bagus karena tidak hanya bersifat menghibur saja tetapi juga memiliki nilai pendidikan karakter yang tinggi.Hal ini didasarkan pada tiga hal. Pertama, secara hakiki novel Ranah 3 Warna merupakan media pencerahan jiwa dan pola pikir yang menjadi bagian terpenting di dalam pendidikan karakter. Karena tema utama yang diusung dalam
Harsono, Pembentukan Karakter Melalui | 5
novel tersebut adalah perjuangan Alif Fikri dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada sehingga memunculkan nilai karakter pada dirinya. Kedua, novel Ranah 3 Warna dapat dijadikan media pembelajaran bersastra yang relevan untuk pengembangan karakter yang dengan sesuai dengan tiga kriteria pemilihan bahan ajar sastra yaitu, aspek bahasa, psikologis, dan latar belakang budaya siswa. Ketiga, novel Ranah 3 Warna adalah karya sastra yang dipandang relevan untuk pembentukan karakter karena bahasanya indah; mengharukan pembaca, membawakan nilainilai luhur kemanusiaan; serta mendorong pembaca untuk berbuat baik kepada sesama manusia dan makhluk lain. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disajikan pada bagian terdahulu, dapat disarankan bahwa novel Ranah 3 Warna karya A. Fuadi merupakan salah satu novel yang mengandung nilai pendidikan karakter.
DAFTAR RUJUKAN Fuadi,A. 2012. Ranah 3 Warna. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Gunawan, Heri, 2012. Pendidikan Karakter, Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta. Muhlas, Samani dan Hariyanto, 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung : Remaja Rosdakar
Namun, di sisi lain, di dalam novel tersebut terdapat nilai-nilai karakter yang juga penting untuk dikembangkan dalam diri peserta didik yang masih sedikit dimunculkan dalam novel, seperti karakter gemar membaca. Karena karakter tersebut merupakan karakter yang penting untuk dikembangkan pada diri seseorang. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya untuk memunculkan lebih banyak tentang karakterkarakter yang perlu dikembangkan tersebut di dalam novel.
Noor, Rohinah M.2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra, Solusi Pendidikan Moral yang Efektif. Yokyakarta: Ar Ruz Media. Surachmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah:Dasar Metode dan Teknik. Bandung:Tarsito.
KESALAHAN PENANDA KOHESI DALAM SKRIPSI MAHASISWA M. Khoiri Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Madura Jalan raya Panglegur Km 3,5 Pamekasan
Abstrak; Penanda kohesi paragraf dalam skripsi mahasiswa sebagai karya ilmiah ternyata kesalahannya masih ditemukan. Oleh karena itu diperlukan metode deskripsi untuk mengungkapkan kesalahan-kesalahannya. Sehingga setelah dianalisis ditemukan (1) kesalahan pengulangan disebabkan pemilihan kosa kata tidak tepat, (2) kesalahan penggantian disebabkan penulis skripsi kurang teliti dan kurang cermat menggunakan kata ganti ataupun kata tunjuk, dan (3) kesalahan kata/frase karena pengaruh bahasa percakapan yang tidak baku dan juga penulis tidak cermat merangkai frase-frasenya. Kata kunci: kesalahan, penanda kohesi, skripsi
PENDAHULUAN Selanjutnya, hal yang dilakukan penulis adalah menyatukan kalimat-kalimat yang baik menjadi satu kesatuan pikiran yang disebut paragraf. Yakni, himpunan dari kalimat-kalimat yang bertalian dalam suatu rangkaian untuk membentuk sebuah gagasan. Hal ini dilakukan karena pembentukan paragraf sekurang-kurangnya mempunyai tujuan; memudahkan pengertian dan pemahaman dengan menceraikan suatu tema dan tema yang lain, dan (2) memisahkan dan menegaskan perhentian secara wajar dan formal, untuk memungkinkan kita berhenti lebih lama daripada perhentian pada akhir kalimat (Keraf, 2004:69-70). Meskipun demikian, paragraf yang baik harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya adalah kepaduan bentuk (kohesif) dan kepaduan makna (koheren). Paragraf yang baik adalah paragraf yang semua unsur kebahasaannya menjamin kepaduan bentuk bagi keberadaan paragraf itu. Kalimat-kalimat dan unsur-unsur kebahasaan lainnya menjamin keberadaan paragraf itu. Adapun kepaduan makna di dalam sebuah paragraf ditunjukkan dengan kehadiran ide dan pikiran yang satu dan yang tidak terpecah-pecah di dalam paragraf itu (Rahardi, 2009:117). Berkaitan dengan uraian di atas, penulis telah melakukan penelitian di kampus Universitas Madura Pamekasan. Penelitian ini berkaitan dengan dua hal, yakni paragraf dan skripsi. Tentang paragraf, hal-hal yang akan
Skripsi sebagai salah satu karya ilmiah yang idealnya merupakan karya hasil keterampilan menulis terbaik mahasiswa. Penyusunannya harus mengikuti langkahlangkah untuk mengorganisasi dan mengatur gagasan melalui garis pemikiran yang konseptual dan prosedural yang disepakati oleh para ilmuwan. Dengan demikian, secara kualitas baik isi maupun sistematikannya akan menjadi cerminan intelektual mereka. Skripsi adalah karya seorang ilmuwan (yang berupa hasil penelitian) yang ingin mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang diperolehnya melalui kepustakaan, kumpulan pengalaman, penelitian, dan pengetahuan orang lain sebelumnya. Sehingga bukan sekedar pertanggungjawaban peneliti dalam penggunaan sumber daya (uang, alat, dan bahan) yang digunakan dalam penelitian (Dwiloka, 2005:2). Selain itu, penulis karya ilmiah juga harus memerhatikan penguasaan bahasa. Aspek-aspek penguasaan bahasa meliputi: pertama, penguasaan secara aktif sejumlah besar perbendaharaan kata (kosa kata) bahasa. Kedua, penguasaan kaidah-kaidah sintaksis bahasa itu secara aktif. Ketiga, kemampuan menemukan gaya yang paling cocok untuk menyampaikan gagasan-gagasan. Keempat, tingkat penalaran (logika) yang dimiliki seseorang. 6
7 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 6 - 10
dikaji adalah tentang beberapa penanda kohesi paragraf. Adapun tentang skripsi, salah satu bagian yang akan diteliti adalah bagian latar belakang pada bab pendahuluan. Sehingga penelitian ini difokuskan pada permasalahan tentang penggunaan penanda kohesi paragraf dalam skripsi mahasiswa nonbahasa di Universitas Madura Pamekasan, baik kesalahan pengulangan, kesalahan penggantian, maupun kesalahan kata atau frase transisinya. Berdasarkan permasalahan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara obyektif tentang kesalahan penanda kohesi paragraf dalam skripsi mahasiswa nonbahasa Universitas Madura Pamekasan, baik kesalahan pengulangan, kesalahan penggantian, maupun kesalahan kata atau frase transisinya. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan baik secara teoritis (bagi pengembangan ilmu linguistik (untuk mendukung teori tentang menulis skripsi)) maupun praktis, yakni untuk (1) peserta didik yakni dalam pengajaran bahasa Indonesia, khususnya penulisan karya ilmiah (skripsi), (2) pendidik dalam memberikan pemahaman bagi peserta didik bahwa menulis skripsi harus mematuhi kaidah penulisan bahasa secara baik dan benar, (3) bagi mahasiswa sebagai tambahan wawasan dalam mendalami ilmu linguistik, dan (4) bagi lembaga pendidikan sebagai tambahan bahan bacaan atau referensi perpustakaan dan pengembangan bahan ajar. METODE Pendekatan penelitian dilaksanakan berdasarkan teknik sampling yakni, merupakan penelitian dengan pendekatan sampel. Dengan pendekatan ini peneliti akan menajamkan pembahasan pada sampel yang akan diteliti, yakni skripsi mahasiswa nonbahasa di Universitas Madura Pamekasan; khususnya pada subjudul latar belakang. Selain itu, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Sehingga peneliti melakukan analisis dokumen (documentary analysis) yakni, peneliti bekerja secara objektif dan sistematis untuk mendeskripsikan data yang berupa kesalahankesalahan penanda kohesi pada latar belakang
dalam skripsi mahasiswa nonbahasa di Universitas Madura Pamekasan. Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Madura Pamekasan. Hal ini disebabkan perguruan tinggi ini dapat dijangkau oleh peneliti baik dari segi jarak, biaya, waktu dan ketersediaan data. Adapun waktu yang ditempuh untuk melakukan penelitian adalah semester genap tahun akademik 2012/2013. Sedangkan sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah skripsi mahasiswa nonbahasa di Universitas Madura Pamekasan tahun akademik 2011/2012. Teknik pengambilan sampel dilakukan peneliti dengan sampel bertujuan (purposive sample). Peneliti mengambil sampel skripsi mahasiswa nonbahasa sebanyak 16 buah dengan rincian: Fakultas Hukum sebanyak 2 buah, Fakultas Ekonomi sebanyak 4 buah (Jurusan Manajemen dan Jurusan Akuntansi), Fakultas Ilmu Administrasi sebanyak 2 buah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan sebanyak 2 buah (Jurusan Matematika), Fakultas Pertanian sebanyak 2 buah, dan Fakultas Teknik sebanyak 4 buah (Jurusan Teknik Sipil dan Jurusan Informatika). Adapun Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yakni persiapan dan pelaksanaannya. Dalam tahap persiapan, peneliti mempersiapkan instrumen penelitian yang digunakan. Sedangkan dalam tahap pelaksanaannya, peneliti menggunakan atau mengoperasionalkan instrumen pengumpulan data yang telah dipersiapkan sebelumnya. HASIL PENELITIAN Sesuai dengan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini, yakni 16 buah skripsi. Skripsi ini diambil dari masing-masing program studi sebanyak 2 buah. Selain itu, yang menjadi kriteria untuk kelayakan skripsi ini untuk diteliti adalah skripsi yang ditulis oleh mahasiswa terbaik pertama dan kedua di masing-masing program studi pada tahun kelulusan/wisuda tanggal 9 Pebruari 2013. Dalam penelitian ini peneliti menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan kesalahan penanda kohesi. Pertama, kesalahan penanda kohesi pengulangan, misalnya ‘Gerakan KB Nasional’ sebagaimana
Khoiri, Kesalahan Penanda Kohesi Dalam Skripsi | 8
dalam kutipan “Gerakan KB Nasional” telah mempunyai landasan hukum yang kokoh berupa Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera.” Penanda ini digunakan untuk menyatakan hubungan dengan kalimat/paragraf sebelumnya. Namun, yang diulang bukan kata ‘gerakan’ tetapi ‘program’. Oleh karena itu, agar tampak kohesif lebih baik kata’gerakan’ diubah dengan kata ‘program’. Sehingga penulisannya menjadi “Program KB Nasional telah mempunyai landasan hukum yang kokoh berupa Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera.” Kedua, kesalahan penanda kohesi penggantian, baik berupa kata tunjuk maupun kata ganti, berupa “kita, tersebut, di mana, di tengah, pada awalnya sepenuhnya, di masa lalu, angka ini, mengubah arah, semua, di mana, -nya, selama ini, di antaranya, -nya, pimpinan, mereka, fungsi tersebut, pimpinan atau manajer, mereka para karyawannya, tersebut, output pengeluaran, itu dengan, keempat kelompok, empat, di samping, maka dari ini, kelompok yang pertama, pada, standar akuntansi ini, pemerintah ini, keduanya, semua aspek, balita ini. Sebagai contoh dalam kutipan “Hal tersebut yang mendasari penulis dalam menyusun tugas akhir pembuatan aplikasi sistem pendukung keputusan gizi pada balita ini.” Kata ‘ini’ dalam kalimat tersebut tidak tepat dikarenakan tidak ada referensi atau rujukan secara langsung pada anak atau benda yang sesuai untuk menyatakan hubungan dengan kata ‘ini’. Sehingga kata ini lebih baik dihilangkan. Dalam hal ini penulisannya “Hal tersebut yang mendasari penulis dalam menyusun tugas akhir pembuatan aplikasi sistem pendukung keputusan gizi pada balita.” Ketiga, kesalahan penanda kohesi kata atau frase transisi, berupa dan, juga, yang, baik ... dan, tidak lagi ... melainkan, yang, jika, antara lain adalah, ikut, selama ini, sampai dengan saat ini, tidak dapat dipungkiri lagi, sedangkan, meskipun, berkaitan pula, sejak, seperti, namun, disebabkan karena, padahal, tetapi, daripada, bila, dari, menyebutkan, kemudian, antara, dan, baik itu ... dan juga, kembali, sebenarnya, namun dari ... melainkan, sebagai, dan, menyangkut, sebenarnya, apabila ... berarti, mungkin,
adalah, oleh, apabila...justru, diperlukan, kemudian, atau dan, oleh, sementara, tidak semata-mata, dari, sehingga, yang sudah, agar mampu, meski ... sekalipun, semakin meningkat pula, yang, khususnya..., apabila...berarti, sebagai, jika..berarti, yang, maupun, sebagai, selanjutnya, apabila...maka, baik...sampai, dari, adalah...ternyata, hingga, sampai-sampai, kalau, yang, dari, sudah barang tentu. Sebagai contoh dalam kutipan “Perubahan itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, baik kualitas dalam materi pelajaran, pendidik dan peserta didik.” Penanda ini kurang tepat penggunaannya jika yang dimaksudkan untuk menyatakan perbandingan. Oleh karena itu lebih baik digandengkan dengan yang lain, yakni ‘maupun’. Sehingga penulisannya menjadi “Perubahan itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, baik kualitas dalam materi pelajaran, pendidik maupun peserta didik”. PEMBAHASAN Pembahasan tentang kesalahan penggunaan penanda kohesi yang terdapat pada latar belakang skripsi mahasiswa nonbahasa Universitas Madura Pamekasan meliputi: (1) kesalahan penggunaan penanda kohesi pengulangan (repetisi), (2) kesalahan penggunaan penanda kohesi penggantian (substitusi), dan (3) kesalahan penggunaan penanda kohesi kata atau frase transisi (konjungsi). Berikut ini adalah penjelasan masing-masing. Kesalahan Penggunaan Penanda Kohesi Pengulangan Penanda kohesi pengulangan (repetisi) dapat berupa pengulangan bentuk dasar utuh, sebagian, dan sinonim (Rani, 2007:25). Berdasarkan pada hasil temuan penelitian, hanya terdapat sebuah pengulangan sebagian, yaitu ‘gerakan KB nasional’. Bentuk ini merupakan pengulangan dari bentuk dalam paragraf sebelumnya yaitu ‘program KB nasional’. Bentuk kesalahan seperti ini dapat terjadi dikarenakan misalnya penulis skripsi cenderung menyamakan antara kata ‘gerakan’ dan ‘program’ yang dalam hal ini jelas keduanya berbeda. Ada kemungkinan bahwa penguasaan kosa kata yang dimiliki penulis skripsi masih terbatas.
9 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 6 - 10
Kesalahan Penggunaan Penanda Kohesi Penggantian Penanda kohesi penggantian biasanya berupa kata ganti (orang dan milik) dan kata tunjuk (Rani, 2007:26). Berdasarkan pada temuan penelitian terdapat beberapa kesalahan penanda kohesi kedua bentuk ini. Pertama, kesalahan penanda kohesi kata ganti (orang dan milik) misalnya ‘kita’. Kata ini biasanya digunakan untuk menyatakan yang berbicara bersama dengan orang lain termasuk yang diajak bicara, namun dalam hal ini penulis tidak menjelaskan siapa yang diajak bicara. Sehingga kata ini tidak jelas rujukannya. Menurut hemat peneliti bahwa bentuk kata ganti pertama jamak ini ditunjukan untuk guru. Adapun kesalahan kata ganti milik orang ketiga misalnya ‘-nya’ terjadi karena penulis tidak cermat bahwa sebelum kata ini digunakan terdapat beberapa pihak yang berkaitan yakni ‘masyarakat, perorangan, atau badan usaha’. Sehingga yang digunakan seharusnya berbentuk jamak dan tidak berbentuk tunggal. Kedua, kesalahan penanda kohesi penggantian berupa kata tunjuk misalnya, kata ‘pembelajaran tersebut’. Kata ini biasanya digunakan untuk menyatakan hal yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, peneliti tidak menemukan hal yang dapat dijadikan rujukan pada sebuah proses pembelajaran atau jenis pembelajaran dalam kalimat atau paragraf sebelumnya. Kesalahan Penggunaan Penanda Kohesi Kata atau Frase Transisi Menurut Rani (2007:26-32), penanda kohesi yang berupa kata atau frase transisi ini dapat dikelompokkan menjadi bentuk tambahan (aditif), pertentangan (kontras), perbandingan (komparatif), sebab-akibat (efek), waktu (kronologis), ringkasan dan simpulan, urutan proses dan rincian, misalan atau contoh, dan keragu-raguan (dubitatif). Berdasarkan temuan penelitian, pertama, kesalahan berupa tambahan (aditif) ini misalnya ‘dan’. Kata ‘dan’ biasanya digunakan untuk penghubung satuan bahasa (kata, frasa, klausa, dan kalimat) yang setara. Namun dalam kalimatnya penanda ini tidak tepat karena antara klausa pertama dan kedua tidak setara.
Kedua, kesalahan penanda kohesi kata atau frase yang berupa pertentangan misalnya ‘tetapi’. Kata ‘tetapi’ biasanya digunakan untuk menyatakan hal yang bertentangan atau tidak selaras. Namun, penanda ini penggunaannya tidak tepat karena tidak ada rujukan atau hal yang dapat dihubungkan secara pertentangan dengan penanda ini baik dalam kalimat maupun paragraf sebelumnya. Ketiga, kesalahan penanda kohesi kata atau frase berupa perbandingan (komparatif) misalnya ‘daripada’. Penanda ‘daripada’ biasanya digunakan untuk membandingkan antara satu hal dengan hal yang lain. Namun, kesalahan yang terjadi dalam kalimatnya ialah ternyata peneliti tidak menemukan hal-hal yang diperbandingkan baik dalam kalimat maupun paragraf sebelumnya. Keempat, kesalahan penanda kohesi kata atau frase berupa efek (sebab-akibat) misalnya ‘disebabkan karena’. Penanda ini tidak tepat karena antara kata ‘disebabkan’ dan ‘karena’ memiliki arti yang sama. Adapun dalam penulisannya tidak boleh dituliskan secara bersama karena akan akan merusak struktur kalimat dan terjadi pemborosan kata. Selain penggunaan kata atau frase di atas, kesalahan penggunaan penanda kohesi yang berupa bentuk persyaratan juga sering ditemukan. Misalnya ‘apabila...berarti’. Bentuk frase ini tidak tepat karena kedua kata ini memiliki makna yang tidak cocok untuk dipadukan. Ketidakcocokannya adalah kata ‘apabila’ berarti jika atau kalau, sedangkan ‘berarti’ dapat dipahami sebagai ‘sama halnya atau mengandung maksud. Berdasarkan pembahasan di atas, peneliti dapat mendeskripsikankan secara umum bahwa kesalahan bentuk-bentuk penanda kohesi dalam skripsi mahasiswa nonbahasa Universitas Madura Pamekasan dapat berupa dalam kalimat (intrakalimat), antarkalimat, korelatif (bentuk frase), preposisi, maupun pengacuan. Pertama, kesalahan yang berupa intrakalimat seperti: hingga, sejak, jika, dan sebagainya. Kedua, kesalahan berupa antarkalimat seperti: selanjutnya, selain itu, kemudian, dan sebagainya. Ketiga, kesalahan yang berupa korelatif seperti: bukan hanya, .melainkan juga, demikian, sehingga, dan sebagainya. Keempat, kesalahan penanda kohesi berupa preposisi seperti: pada, di tengah, di samping,
Khoiri, Kesalahan Penanda Kohesi Dalam Skripsi | 10
oleh, sampai, dan sebagainya. Kelima, kesalahan penanda kohesi berupa teknik pengacuan seperti: itu, begitu, tersebut, -nya, dan sebagainya. SIMPULAN Kesimpulan penelitian ini adalah (1) kesalahan penanda kohesi pengulangan (repetisi) terjadi karena pemilihan kosa kata tidak tepat dalam merangkai penanda kohesi dan jenis pengulangan yang salah. (2) kesalahan penanda kohesi penggantian (substitusi) terjadi karena penulis skripsi kurang teliti dan kurang cermat dalam memahami penggunaan kata ganti ataupun kata tunjuk. (3) kesalahan penanda kohesi kata atau frase (konjungsi) sar terjadi karena
pengaruh bahasa percakapan sehingga banyak kata/frase yang tidak tepat penggunaannya sehingga menjadikan kosa kata tidak baku dalam karya ilmiah (skripsi) dan juga disebabkan penulis tidak cermat dalam merangkai frase-frasenya dan cenderung tidak memperhatikan makna dan fungsi kata/frase yang digunakan.
DAFTAR RUJUKAN Andriani, Durri, dkk.. 2011. Materi Pokok Metodologi Penelitian 1-6. Jakarta: Universitas Terbuka. Arikunto, Suharsimi. 2003. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik). Jakarta: Rineka Cipta. Busri, Hasan. 2007. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Karya Ilmiah; Bahan Pengayaan untk Matakuliah Bahasa Indonesia Keilmuan. Malang: Universitas Islam Malang. Djajasudarma. 2006. Bahasa Indonesia Perguruan Tinggi. Jakarta: Gramedia. Dwiloka, Bambang dan Rati Riana. 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, dan Laporan Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi PenelitianKualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mistar, Junaidi. 2010. Pedoman Penulisan Tesis. Malang: Program Pascasarjana Universitas Islam Malang. Panduan Administrasi Akademik. 2012. Universitas Madura Pamekasan. Rahardi, R. Kunjana. 2009. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Rani,
Abdul. 2007. Menulis Surabaya: Bimantara Sejahtera.
Paragraf. Aluuguda
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Tim Penulis Bahasa Indonesia UNEJ. 2007. Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Andi Offset.
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi: Sebuah pengantar Kemahiran Berbahasa. Ende: Nusa Indah.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Mahsun. 2006. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Tim Penyusun Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. 2005. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Artikel, Makalah, dan Skripsi). Pamekasan: STAIN Pamekasan.
KORUPSI DALAM CERPEN INDONESIA M. Tauhed Supratman Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Madura Jalan raya Panglegur Km 3,5 Pamekasan e-mail:
[email protected]
Abstrak: Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan. Sastrawan seringkali mengangkat masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan. Perilaku korupsi yang terjadi di negeri ini menjadi sumber inspirasi penciptaan bagi cerpenis Indonesia periode 1980-2000-an. Kehadiran tema korupsi dalam cerpen Indonesia sangat tertarik untuk dikaji. Metode yang digunakan adalah metode kualitatuf. Hasil penelitian menggambarkan perilaku korupsi dalam cerpencerpen Indonesia periode 1980-2000-an. Kata kunci: Korupsi, Cerpen Indonesia.
PENDAHULUAN
HASIL Korupsi dalam Cerpen Indonesia Kehadiran cerpen Indonesia dalam dekade 1980-2000 lebih banyak mengambil sumber inspirasi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan segala bentuk perilaku dan sepak terjang penguasa. Maraknya pembangunan masa Orde Baru, ternyata telah menyuburkan prilaku korupsi di negeri ini. Korupsi juga menjadi tema dalam cerpen Indonesia, dengan mengambil sumber inspirasi keberadaan Soeharto. Korupsi menjadi penyakit yang kronis di negeri kita tercinta Indonesia ini. Merebaknya prilaku korupsi di negeri ini digambarkan dalam cerpen “Negeri Angin” karya M. Fudoli Zaini. Fudoli menggunakan istilah “maling” untuk mendeskripsikan bahwa korupsi telah merata di segala birokrasi, dari struktur pemerintahan yang paling atas sampai paling bawah, dari pejabat tertinggi sampai paling bawah. Korupsi sebanarnya merupakan penyakit sosial yang parah, dan kejahatan tersebut dianggap biasa. Korupsi ternyata tidak dilakukan sendiri-sendiri. Korupsi terjadi secara “berjemaah. Mereka yang terlibat umumnya sudah sama-sama mengetahui. Cerpen Bapak Presiden yang Terhormat”, menggambarkan tindak korupsi menghabiskan dana yang tersedia sehingga pembangunan mandek dan tidak dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Mengapa korupsi itu terjadi? Korupsi terjadi berawal dari lemahnya sistem
Tugas utama seorang sastrawan adalah menjadi saksi zaman dan menjadi hati nurani masyarakat dan bangsanya. Sastrawan sebagai saksi zaman menyerap segala yang terjadi dalam masyarakat, dan mengabadikannya dalam kata-kata, sehingga semangat dan situasi batin maupun fisik dapat diteruskan pada kalangan yang lebih luas, baik sekarang maupun pada masa-masa yang akan datang. Bukti sastrawan sebagai saksi zaman dan menjadi hati nurani bangsanya, khususnya tema korupsi, dapat kita lihat dalam novel “Korupsi” karya Parmudya Antatoer, “ Maut dan Cinta” karya Mochtar Lubis. Pada dua dekade terakhir ini (l980-2000), karya sastra Indonesia (baca: cerpen) menjadi sangat akrab dengan tema korupsi. Salah satu kumpulan cerpen yang memotret denyut nadi kehidupan bangsanya, terutama tentang perilaku korupsi dikalangan pemimpin kita adalah kumpulan cerpen “Suharto dalam Cerpen Indonesia” editor M. Shoim Anwar. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan prosedur atau cara pemecahan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan objek yang diteliti sebagaimana adanya, berdasarkan fakta-fakta yang terjadi (Surackhmad, 1990:139). 11
12 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 11 - 14
manajemen dan pengawasan. Lemahnya sistem manajeman dan pengawasan tersebut memungkinkan terciptanya kesempatan berkorupsi. Terjadinya korupsi tidak sematamata karena adanya niat dari pelakunya, tetapi yang paling dominan untuk melakukan korupsi tersebut karena terbentangnya kesempatan untuk melakukan korupsi tersebut. Korupsi tidak akan terjadi jika tidak ada peluang untuk melakukannya, seperti digambarkan dalam cerpen “Monolog Kesunyian” karya Indra Tranggono. Indra Tranggono menggambarkan prilaku korupsi yang disebabkan lemahnya sistem manajemen dan pengawasan melalui simbol kebangkrutan kelompok ketoprak. Akibat lemahnya sistem manajemen dan pengawasan sebagaimana digambarkan di atas, telah menyuburkan monopoli dibidang ekonomi. Penguasaan sektor ekonomi hanya dijalankan oleh sekelompok orang tertentu yang dekat dengan pemegang kekuasaan. Penguasaan sektor ekonomi oleh kelompok tertentu menyebabkan penumpukan kekayaan yang tidak wajar. Cerpenis kita dengan kritis menggambarkan sektor ekonomi pribadi yang mengarah pada figur Soeharto. PEMBAHASAN Mengkaji fenomena fiktif seperti Kumpulan Cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia tampaknya diperlukan tambahan pemahaman tentang pelanggarang yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Ada halhal yang mungkin terjadi di dunia nyata diungkapkan secara fiktif dalam karya sastra (baca-cerpen). Kenyataanya, karya sastra berkaitan erat dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Karya sastra sebagai sebuah teks yang dijabarkan dengan media bahasa, keberadaannya dapat ditampilkan dengan menggunakan simbol yang memiliki berbagai kemungkinan untuk diinterpretasikan. Karya sastra merupakan sesuatu yang kompleks dan memiliki kaitan dengan kehidupan nyata. Keterkaitan antara peristiwa nyata dan imajinasi, menurut Junus (1985:5) dapat diformulasikan sebagai berikut: (1) karya sastra lebih melaporkan atau menyuguhkan suatu peristiwa tertentu; (2) karya yang berusaha menghubungkan ceritanya dengan suatu peristiwa tertentu; (3) karya yang lebih memindahkan suatu peristiwa kepada suatu
peristiwa yang fiktif (memfiktifkan suatu peristiwa); (4) karya yang lebih memberikan reaksi terhadap suatu keadaan sehingga penulisnya boleh menentukan sendiri arahnya; dan (5) karya sastra yang dihasilkan melalui suatu proses imajinasi (yang tinggi atau kuat) sehingga yang lahir adalah peristiwa yang seakan-akan tak berhubungan dengan peristiwa yang menjadi sumber ceritanya. Ratna (2007:307) mengatakan bahwa (1) karya sastra dikonstruksi atas dasar kenyataan, (2) dalam karya sastra terkandung unsur-unsur tertentu yang memana merupakan fakta objektif, (3) karya sastra yang secara keseluruhan merupakan imajinasi justru tidak dapat dianalisis, tidak dapat dipahami secara benar sebab tidak memiliki relevansi sosial. Pembangunan pada masa Orde Baru, ternyata telah menyuburkan prilaku korupsi di negeri ini. Korupsi juga menjadi tema dalam cerpen Indonesia, dengan mengambil sumber inspirasi kepemimpinan Soeharto. Korupsi menjadi penyakit yang kronis di negeri kita tercinta Indonesia ini. Merebaknya prilaku korupsi di negeri ini digambarkan dalam cerpen “Negeri Angin” karya M. Fudoli Zaini. Fudoli menggunakan istilah “maling” untuk mendeskripsikan bahwa korupsi telah merata di segala birokrasi, dari struktur pemerintahan yang paling atas sampai paling bawah, dari presiden sampai ketua RT. Korupsi merupakan penyakit sosial yang parah dan kronis. Koropsi merupakan kejahatan yang dianggap biasa. Korupsi ternya tidak dilakukan sendiri-sendiri. Korupsi terjadi secara “berjemaah.” Mereka yang terlibat umumnya sudah sama-sama mengetahui. Akibat korupsi itulah Negeri Angin (yang sebenarnya adalah simbol Indonesia) menjadi negeri yang paling terpuruk kehidupannya di dunia. Rakyat menderita ditimpa krisis yang berkepanjangan. Korupsi yang terjadi di Negeri Angin telah menghancurkan masa depan generasi mudanya. Sungguh sangat ironis korupsi yang terjadi di Negeri Angin, karena pejabat yang melakukan korupsi adalah mereka yang telah menunaikan ibadah haji. Pejabat di Negeri Angin sangat bangga mencantumkan gelar H di depan namanya, tetapi maling-maling malah bertambat banyak dan KKN merajalela. Cerpen “Bapak Presiden yang Terhormat”, menggambarka perilaku korupsi dengan cara menghabiskan dana yang
Supratman, Korupsi dalam Cerpen Indonesia | 13
tersedia sehingga pembangunan mandek dan tidak dapat dilaksanakan dengan sebaikbaiknya. Dana pembangunan bukan untuk rakyat tetapi untuk pejabat. Tindak korupsi terjadi berawal dari lemahnya sistem manajemen dan pengawasan. Lemahnya sistem manajeman dan pengawasan tersebut memungkinkan terciptanya kesempatan berkorupsi. Terjadinya korupsi tidak semata-mata karena adanya niat dari pelakunya, tetapi yang paling dominan untuk melakukan korupsi tersebut karena terbentangnya kesempatan untuk melakukan korupsi tersebut. Korupsi tidak akan terjadi jika tidak ada peluang untuk melakukannya, seperti digambarkan dalam cerpen “Monolog Kesunyian” karya Indra Tranggono. Indra Tranggono menggambarkan prilaku korupsi yang disebabkan lemahnya sistem manajemen dan pengawasan melalui simbol kebangkrutan kelompok ketoprak, berikut ini. Kesuntukan Jawad mengolah lakon, membuat ia lupa mengurusi manajemen. Longgarnya kontrol keuangan merangsang tikus-tikus untuk berpesta pora. Salah satu tikus besar itu adalah Karto Marmo. Kasir itu begitu pintar membuat angka-angka siluman tentang hasil penjualan tiket. Permainannya yang begitu rapi didukung oleh tikus-tikus lain yang menduduki pos-pos penting: penjualan tiket, portir, penyetor pajak tontonan, pengatur penonton dan lainnya. Darmo, petugas portir tak pernah menyobek tiket. Tiket itu dijual kembali. Darmo jua menerima suap penonton yang masuk tanpa tiket.(dalam Anwar, 2001:88) Akibat lemahnya sistem manajemen dan pengawasan sebagaimana digambarkan di atas, telah menyuburkan monopoli dibidang ekonomi. Penguasaan sektor ekonomi hanya dijalankan oleh sekelompok orang tertentu yang dekat dengan pemegang kekuasaan. Penguasaan sektor ekonomi oleh kelompok tertentu menyebabkan penumpukan kekayaan yang yang tidak wajar. Cerpenis kita dengan kritis menggambarkan sektor ekonomi pribadi yang mengarah pada figur Soeharto. Karena kayanya tokoh Paman Gober seperti digambarkan dalam penggalan cerpen Seno Gumira Ajidarma di atas sampai lupa bahwa dirinya memiliki sejumlah pabrik atau
perusahaan. Lupanya Paman Gober terhadap harta kekayaan karena ia terlalu lama berkuasa dan dipilih seakan-akan sudah sangat demokratis. Tidak hanya mengurus kekayaan saja yang dilakukan Paman Gober (yang sebenarnya merupakan simbol dari Soeharto), tetapi menurut deskripsi Taufik Ikram Jamil dalam cerpen yang berjudul Tembok Pak Rambo, tokoh dalam cerpen tersebut selalu menghambur-hamburkan kekayaannya dengan berjudi, main golf, dan main perempuan di luar negeri. Kebiasaan jelek semacam itu tergambar dalam penggalan berikut. “Sekali seminggu aku ke Australia, main golf, berjudi di Las Vegas, dan pacaran di Hongkong. Jangan bicara soal makan denganku, itu sangat memalukan. Kau tak tahu berapa banyak depositoku di berbagai bank asing dan kebudayaan lainnya. Kautahu dari mana aku dapat itu semua, dari mana,” kata Pak Rambo sambil menarik nafas. .(dalam Anwar, 2001:37) Gambaran pelanggaran tindak korupsi dalam cerpen-cerpen di atas sebenarnya merupakan bentuk reaksi pengarang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Pelanggaran seperti di atas tergolong tindak pelanggaran HAM karena merugikan orang banyak. Pelanggaran tindak korupsi misalnya seperti yang diungkapkan Awaluddin merupakan: ”Ada baiknya pemerintahan kita kini, sudah memulai langkah maju, dengan cara, mengaitkan atau memasukkan praktik korupsi sebagai bagian pelanggaran HAM. Ini bisa dilakukan dengan cara mengusulkan revisi UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi, atau segera menggolkan rancangan Undang-Undang Komisi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana praktik korupsi dikategorikan sebagai bagian pelanggaran HAM.” (http://els.bappenas.go.id/upload/other/Korups i%20sebagai%20Pelanggaran%20HAM.htm) Pelanggaran seperti tindak korupsi, penggusuran, dan tidak demokratis dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM karena prilaku tersebut telah merugikan berbagai kalangan masyarakat. Tindakan pelanggaran seperti diuraikan di atas sebenarnya merupakan pelanggaran HAM institusi. Karena praktek penyelanggaran HAM itu
14 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 11 - 14
terjadi saat seseorang berada di institusi tertentu seperti disimbolkan dalam kumpulan cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia. Gambaran tindak Korupsi seperti yang digambarkan dalam kumpulan cerpen Soeharto dalam Cerpen Indonesia, yang sebenarnya menggambarkan keadaan korupsi di Indonesia perlu segera diberantas. Karena korupsi menurut Pramodhawardani telah ”merampok masa depan dan membunuh anakanak kita. Hal itu dapat dicegah bersama-sama, kita bisa mengalahkan itu. Perlu didorong pendekatan HAM sebagai agenda pusat bagi pemenuhan dan penghormatan hak-hak sosial dan ekonomi warga, terutama orang miskin yang termarjinalisasi. Juga menawarkan reformasi ”konstitusional” dan institusional. Selamat Hari Antikorupsi Internasional dan Hari HAM Internasional, menuju Indonesia yang bersih dan bermartabat.” (http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/09 /04461157/korupsi pelanggaran.ham)
Korupsi tidak akan terjadi jika tidak ada peluang seperti digambarkan dalam cerpen ”Monolog Kesunyian”, akibatnya, banyak pejabat pemerintah yang memperkaya diri dari hasil korupsi seperti yang digambarkan lewat tokoh ”Papa Hartanaga” dalam cerpen ”Senotopium”. Saran Karya sastra (baca: cerpen) sebagai hasil kristalisasi kontemplasi pengarang merupakan cermin masyarakat di mana pengarang tinggal dan pengarang sendiri yang ditulis dengan medium bahasa sesuai dengan genre sastra kegemaran pengarang. Sebagai hasil kristalisasi perenungan seseorang karya satra memiliki makna bias atau multi tafsir.
PENUTUP Simpulan Korupsi merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang digambarkan oleh cerpenis muda kita dalam dekade 1980-200-an. Cerpen “Negeri Angin”, menggambarkan yang terjadi di negeri kita.”, DAFTAR RUJUKAN Anwar, M. Shoim dan Tengsoe Tjajono. 2002. Apa Kabar Sastra(Kumpulan Pemikiran Tantang Sastra). Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur. Anwar, M. Shoim. 2001. Soharto Dalam Cerpen Indonesia. Yogyakarta: Banteng. Awaludino, Hamid. 2010. Korupsi sebagai Pelanggaran HAM. (http://els.bappenas.go.id/upload/other /Korupsi%20sebagai%20Pelanggaran %20HAM.htm, diakses tanggal 14 Juni 2010) Bagun, Rikard. 1997. Hak Asasi Dalam Tajuk. Jakarta: Institut Ecata-INPI-Pact. Betham, David dan Kevin Boyle, 2000. Demokrasi 80 Tanya Jawab. Jogyakarta: Kanisius
Brahmana, Pertampilan S. 2008. Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia: Pelaksanaan antara Hak dan Kewajiban tidak Seiring Sejalan?. (http://koalisiham.org/index2.php?option=com_cont ent&do pdf=1&id=214, diakses tanggal 8 Mei 2010) Pramodhawardani, Jaleswari. 2009. Korupsi = Pelanggaran HAM. (http://cetak.kompas.com/read/xml/20 09/12/09/04461157/korupsi..pelanggar an.ham, di akses tanggal 8 Mei 2010) Surachmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode dan Teknik. Bandung: Tarsito.
ETIKA TAWAR-MENAWAR DI PASAR Yanti Linarsih Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Madura Jalan Raya Panglegur Km. 3,5 Pamekasan e-mail:
[email protected] ABSTRAK: Dalam artikel ini dikaji wacana percakapan tawar-menawar ikan di pasar tradisional Kabupaten Pamekasan. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan dan pelanggaran maksim etika tawar-menawar ikan yang berwujud maksim kearifan, kedermawanan, pujian, kerendahan hati, kesepakatan, dan simpati. Data berupa percakapan tawar-menawar antara penjual dan pembeli yang diperoleh dengan teknik rekam dan catatan lapangan. Hasilnya dianalisis secara kualitatif dan disimpulkan bahwa penjual dan pembeli selain menerapkan juga melanggar etika dalam berkomunikasi. Penerapan dibuktikan dengan mematuhi maksim etika. Pelanggaran ditunjukkan dengan tidak adanya pujian, kesepakatan, simpati, dan kerendahan hati di antara mereka. Pelanggaran ini diperjelas dengan perilaku nonverbal mereka,misalnya muka cemberut, menoleh tidak menghiraukan pembeli, dan muka sinis. Kata kunci: maksim, etika, dan tawar-menawar
PENDAHULUAN Dalam berinteraksi ada kecenderungan bahwa penutur dan mitra tutur ingin saling menghargai atau menghormati. Salah satu perwujudannya adalah etika berbahasa. Di dalam bertutur, penutur dan petutur atau mitra tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidahkaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasiinterpretasi terhadap tindakan dan tuturan petutur. Setiap peserta tutur bertanggung jawab atas penggunaan kaidah-kaidah tersebut (I Dewa Putu Wijana, 1996:45). Untuk itu penutur harus menyusun tuturannya sedemikian rupa agar mitra tutur merasa diperlakukan secara santun. Demikian halnya interaksi pada tawar menawar antara penjual dan pembeli yang terjadi di pasar di antaranya ingin diperlakukan secara santun. Sebenarnya tawar-menawar, selain terjadi pada penjual dan pembeli ikan juga banyak terjadi pada penjual dan pembeli sesuatu yang lain, misalnya sayur, buahbuahan, dan baju. Tawar-menawar ikan bentuk tuturannya mempunyai keunikan tersendiri. Tuturannya bernada keras dan kasar (tingkat tuturnya). Harga ikan sangat fluktuatif dibandingkan dengan harga kebutuhan pokok yang lain. Untuk mendapatkan harga yang layak, pembeli harus bisa menjajaki dengan cara menawar. Dengan demikian, tawar-
menawar akan sering dilakukan.. Ketika tawar-menawar ini berlangsung, penutur atau mitra tutur kadang-kadang tidak menerapkan kaidah bertutur. Ada dua permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini, (a) bagaimanakah penerapan maksim kesantunan tawar-menawar ikan di pasar Tradisional Kabupaten Pamekasan?, dan (b) bagaimanakah pelanggarannya? Untuk menganalisis data percakapan dalam penelitian ini, digunakan konsep percakapan, maksim analisis wacana, dan maksim etika (kesantunan) yang dikemukakan oleh Leech (1993). Dalam interaksi percakapan digunakan bahasa yang bersifat khusus. Bahasa percakapan adalah bahasa lisan yang diujarkan penutur. Bahasa lisan (percakapan) yang diujarkan cenderung bersifat nonformal. Kalimat-kalimat yang digunakan cenderung pendek-pendek. Bagian-bagian lain yang harus ada dalam bahasa tulis, seperti subjek, predikat, objek (pelengkap), atau pun keterangan, kadang-kadang dihilangkan. Hanya salah satu bagian saja dari unsur-unsur yang ada dalam bahasa tulis yang muncul. Namun, bahasa lisan yang hanya terdiri atas 15
16 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 15 - 21
satu unsur tersebut, tetap dapat dipahami oleh mitra tutur dengan baik. Penafsiran makna percakapan atau tuturan dalam kegiatan berbahasa hanya dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis wacana. Stubbs dalam Suparno, dkk (1997:19) mengatakan; analisis wacana merupakan suatu kajian ynag meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Penggunaan bahasa secara alamiah ini berarti penggunaan bahasa seperti dalam komunikasi sehari-hari. Selanjutnya Stubbs menjelaskan bahwa analisis wacana itu menekankan kajian penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam interaksi antar penutur. Analisis wacana pada umumnya bertujuan untuk mencari keteraturan, bukan kaidah. Keteraturan itu berkaitan dengan keberterimaan di masyarakat. Dalam kaitan ini keteraturan yang akan dianalisis adalah penerapan percakapan dalam kalimat-kalimat tawar-menawar penjual-pembeli di pasar. Penerapan percakapan itu menggunakan maksim etika. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa analisis wacana itu menekankan kajian penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam interaksi antar penutur. Hymes (dalam Supriyadi 1995:94) mengemukakan berbagai jenis konteks yang dapat mempengaruhi makna di dalam interaksi antar penutur atau percakapan. Kontekskonteks situasional itu antara lain partisipan, tempat dan waktu, topik, medium, kode, bentuk pesan beserta isinya, dan nada pembicaraan. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsurunsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tida sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu,
masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi (Muslich, 2007). Untuk menjaga keberlangsungan komunikasi, perlu adanya kaidah agar tidak merugikan mitra tutur yang disebut maksim etika. Maksim etika yang dikemukakan oleh Leech , terdiri atas enam macam maksim. Keenam macam maksim tersebut adalah (1) maksim kearifan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim pujian, (4) maksim kerendahan hati, (5) maksim kesepakatan, dan (6) maksim simpati (Leech, 1993) (1) Maksim Kearifan (Tact Maxim) (a) Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin; (b) Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin (2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim) (a) Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin; (b) Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin (3) Maksim Pujian (Approxy mation Maxim) (a) Kecamlah orang lain sesedikit mungkin; (b) Pujilah orang lain sebanyak mungkin. (4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim) (a) Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin; (b) Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. (5) Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim) (a) Usahakan agar ketidaksepakatan antara diri dan lain terjadi sesedikit mungkin; (b) Usahakan antara agar kesepakatan antara diri dengan lain terjadi sebanyak mungkin. (6) Maksim Simpati (Simpaty Maxim) (a) Kurangilah rasa antipati antara diri dengan lain hingga sekecil mungkin; (b) Tingkatkan rasa simpati sebanyak mungkin antara diri dan lain.
Linarsih, Etika Tawar-Menawar di Pasar | 17
Maksim kesantunan (etika) memiliki dua kutub, yaitu kutub negatif “gunakanlah sesedikit mungkin tuturan yang mengungkapkan hal yang tidak sopan” dan kutub positif,”gunakanlah sebanyak mungkin tuturan yang mengungkapkan hal yang sopan. Maksim Etika negatif berfungsi mengurangi ketidaksopanan ilokusi-ilokusi yang tidak sopan. Sebaliknya, maksim etika positif berfungsi membuat ilokusi yang sopan menjadi sesopan mungkin (Leech, 1983) dan (Searle, 2001) METODE Subjek penelitian ini adalah penjual dan pembeli ikan di pasar Tradisional Kabupaten Pamekasan. Penelitian ini dilakukan di pasar Tradisional Kabupaten Pamekasan. Pasar yang berada di tengah kota Pamekasan adalah pasar Kolpajung, pasar Gurem dan pasar Tujuh belas Agustus. Sebagian besar pembeli di pasar Kolpajung berasal dari kota dari etnis yang beragam, misalnya etnis Madura, Jawa, Cina, dan Arab. Bahasa yang digunakan untuk berinteraksi tawar-menawar adalah bahasa Madura, mengingat penjual ikan rata-rata hanya bisa berbahasa Madura, dan berpendidikan rendah. Pembeli berusaha menggunakan bahasa Madura walaupun pembeli dari etnis yang tidak menguasai bahasa Madura. Data dalam penelitian ini adalah tuturan penjual dan pembeli ikan pada saat terjadi tawar menawar yang berupa kata-kata, kalimat-kalimat, serta kutipan-kutipan yang sengaja dikumpulkan untuk mengambil kesimpulan yang diperkirakan mengandung semua gejala penerapan dan pelanggaran maksim etika yang menjadi variabel penelitian. Data tersebut ditranskripkan melalui transkrisi ortografis bahasa Madura dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Sebagai pendukung diperlukan data nonverbal yang berupa gerakan anggota tubuh atau ekspresi. HASIL DAN PEMBAHASAN Penerapan Maksim Etika Tawar Menawar di Pasar Tradisional Kabupaten Pamekasan Penutur atau mitra tutur yang dalam hal ini penjual dan pembeli dikatakan santun
apabila mereka dapat menyesuaikan atau menaati maksim-maksim etika. Mereka dianggap bisa saling menghargai antar sesama, sehingga komunikasi akan berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang dimaksudkan. Penerapan Maksim Kearifan Gagasan dasar maksim kearifan ditandai para peserta tutur hendaknya berpegang pada maksim untuk selalu membuat kerugian orang lain (petutur/pihak lain) sekecil mungkin dan membuat keuntungan orang lain (petutur/pihak lain) sebesar mungkin. Setelah diidentifikasi dan diklasifikasi menurut jenis data, dalam penelitian ini ada beberapa tuturan yang menerapkan maksim kearifan. Penerapan maksim tersebut dapat dilihat pada data sebagai berikut: Penjual: “Mellè juko’, Na’?” Pembeli: “Sanapa Bu’?” Penjual: “7000 na’ tong-settonga.” Pembeli: “Ta’ ollè korang Bu’?” Penjual: “Ollè, Na’ sakonè’.” Di dalam tuturan di atas tampak jelas bahwa penjual menuturkan / menawarkan ikannya dengan cara yang ramah “Mellè juko’, Na’?” (“Beli ikan, Nak?”) dengan maksud agar membeli. Pembeli pun menawar dengan cara yang ramah “Sanapa Bu’?” (“Berapa, Bu?” ) bahkan menggunakan bahasa yang halus dengan harapan diperbolehkan untuk menawar. Kata senapa merupakan bahasa halus. Bahasa kasarnya bârâmpa. Ternyata penjual memperbolehkan,“Ollè, Na’ sakonè’.” ( “Boleh, Nak sedikit!”). Dengan diperbolehkannya menawar, pembeli merasa senang. Penjual menurunkan harga penawaran. Pembeli semakin senang karena merasa masih diberi kesempatan untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Percakapan ini menunjukkan bahwa penjual mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan pada pembeli. Dengan demikian maksim etika yamg berupa maksim kearifan ini diterapkan oleh masing-masing peserta tutur. Penerapan Maksim Kedermawanan Gagasan dasar maksim kedermawanan dalam maksim etika ditandai dengan membuat
18 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 15 - 21
keuntungan diri (penutur) sekecil mungkin dan membuat kerugian diri (petutur) sebesar mungkin. Berdasarkan data yang telah diidentifikasi, dalam penelitian ini ada beberapa percakapan atau tuturan yang menunjukkan penerapan maksim kedermawanan. Pembeli: “Mon dhuwèbu lèma’ ollè ghi? Mon ta’ ollè ta’ napa, kaulâ mellè juko’ laènna bai.” Penjual: “Iyâ, ta’ rapa dhuwèbu lèma, la kala’ ta’ rapa maskè rogi!” Dalam percakapan di atas pembeli menawar ikan dua ribu lima ratus rupiah “Mon dhuwèbu lèma’ ollè ghi? Mon ta’ ollè ta’ napa, kaulâ mellè juko’ laènna bai.” (”Kalau dua ribu limaratus boleh ya? Kalau tidak boleh tidak apa-apa, beli ikan ke lainnya saja.”) Pembeli mengancam, kalau tidak diberikan dia akan membeli ke yang lain saja. Ternyata penjual memberikan. Penjual mengatakan “Iyâ, ta’ rapa dhuwèbu lèma, la kala’ ta’ rapa maskè rogi!”(Iya, tidak apa-apa dua ribu lima ratus, sudah ambil tidak apa-apa meskipun rugi.”) Tuturan “meskipun rugi” inilah yang menunjukkan bahwa penjual membuat keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan membuat kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Walaupun sebenarnya penjual itu tidak rugi, pembeli tetap merasa diuntungkan. Cara bertutur seperti inilah yang menunjukkan maksim kedermawanan diterapkan. Penerapan Maksim Pujian Gagasan dasar maksim pujian dalam maksim etika ditandai dengan mengurangi kecaman pada orang lain (petutur/pihak lain) sekecil mungkin dan memuji orang lain (petutur/pihak) lain sebanyak mungkin. Berdasarkan data yang telah diidentifikasi, di bawah ini akan dianalisis tuturan yang mengandung penerapan maksim pujian. Pembeli : “Sabellâs?” Penjual :” Enggi, sabellâs.” Pembeli :” Ta’ iyâ, nem satengnga!” Penjual :” Kala’, Bu. Polana èbâlli rèng radhin.” Dalam percakapan di atas, peserta tutur saling menawar. Pembeli bertanya dan
menawar yang diperlihatkan pada kalimat “Sabellâs?” (“Sebelas?”) Dengan sabar penjual menjawab dengan menggunakan bahasa halus:” Enggi(bahasa kasarnya “iyâ”), sabellâs.”(Iya, sebelas). ” Ta’ iyâ, nem satengnga!” (Enam setengah!”) Akhirnya penjual memberikan ikan yang telah ditawar dengan cara yang santun. Kala’, Bu. Polana èbâlli rèng radhin.”( “Ambil, Bu. Karena yang beli orang cantik.” ) Penjual sudah memberikan dengan harga yang lebih murah, jauh dengan harga yang telah ditawarkan dan penjual masih memberikan pujian “yang beli orang cantik”. Tuturan ini menunjukkan bahwa dengan memberikan pujian kepada pembeli berarti penjual telah menerapkan maksim sesuai dengan maksim etika yaitu maksim pujian. Penerapan Maksim Kesepakatan Dalam penelitian ini ditemukan percakapan yang mengandung maksim etika yang berupa maksim kesepakatan. Penjual: “Ta’ poko’. Tambâi, Ning!” Pembeli: “Enten pon dhuèbu mon èbâgi.” Penjual: “Ghi, nèka kala’ dhuwâ’ satengnga pon!” Pembeli: “Enten dhuèbu ghi pon mon èbâgi.” Penjual: “Ghi pon nèka, Ning la kala’.” Dalam percakapan di atas terdapat maksim etika yang berupa maksim kesepakatan. Akan tetapi untuk mencapai kesepakatan itu melalui ketidaksepakatan. Penjual minta tambahan harga, namun pembeli tidak mau. Ini terlihat dalam dialog “Ta’ poko’. Tambâi, Ning!”(”Tidak sesuai, tambah, Ning!”). Dijawab oleh Pembeli “Enten pon dhuèbu mon èbâghiya.” (“Tidak sudah, dua ribu kalau diberikan.” ) Pembeli tetap menawar Rp2.000,00. Penjual meminta menambah penawarannya tetapi pembeli tetap tidak mau. Penjual akan memberikan tetapi masih ditawarkan lagi dengan jalan pembeli disuruh menambah sedikit lagi. Hal ini ditunjukkan pada tuturan Ghi, nèka kala’ dhuwâ’ satengnga pon!” (Ya, ambil ini, Rp2.500,00. ) Pembeli tetap tidak mau dan masih tetap pada penawaran semula Rp2.000,00. “Enten dhuèbu ghi pon mon èbâgi.”(Tidak, dua ribu sudah kalau
Linarsih, Etika Tawar-Menawar di Pasar | 19
diberikan!”) Karena Pembeli tetap pada penawarannya, akhirnya penjual menyepakati harga dua ribu. Penerapan Maksim Simpati Dalam penelitian ini ditemukan percakapan yang mengandung maksim etika yang berupa maksim simpati. Pembeli:
Pembeli: Penjual: Pembeli: Penjual:
“Lèma èbu ghi, Bu?” Penjual: “Iyâ la ta’ arapa, kala’ lè’. Kèng polana ègâbâyyâ rus-gârus.” “Kalangkong.” ”Iyâ.” “Sajina bâi, Bu’! Napa ta’ ollè korang?” “Yâ… olle, Na’. Mara bâ’ân nabârra bârâmpa?”
Rasa simpati penjual pada data diatas dapat dibuktikan pada tuturan “Iyâ la ta’ arapa, kala’ lè’. Kèng polana ègâbâyyâ rusgârus.” (“Iya, sudahlah tidak apa-apa, ambil, dik! Hanya karena untuk penglaris!”) Kalimat ini diungkapkan penjual kepada pembeli dengan penuh kesimpatian dengan rela memberikan harga sesuai dengan tawaran pembeli. Pelanggaran Maksim Etika Tawar Menawar di Pasar Tradisional Kabupaten Pamekasan Apabila penutur atau mitra tutur tidak menaati maksim-maksim etika dikatakan tidak santun. Setelah diidentifikasi, dalam penelitian ini tidak ditemukan data yang berkaitan dengan pelanggaran maksim kearifan dan maksim kedermawanan. Di bawah ini akan dianalisis kegiatan tutur tawar-menawar yang melanggar maksim etika tutur. Pelanggaran Maksim Pujian Dalam penelitian ini percakapan yang tidak sesuai dengan maksim pujian dapat dilihat pada data di bawah ini. Pembeli : “Cèplâ’ bârâmpa sakèlo?” Penjual : “Dhupolo, Bu!” Pembeli : “Abâ! Dhubellâs satengnga ya?”
Penjual : “Dhubellâs satengnga? Juko’ cèplâ’, Nya! Juko’en nyonya!” Pembeli : “Jâ’ gun nabâr. Mon ta’ olle la, ta’ ma’saa” Penjual : “Mellè pendheng bâi, nya. Olle bânya’.” Penjual dan pembeli saling mengejek dan merendahkan. Kata Penjual “Dhubellâs satengnga? Juko’ cèplâ’, Nya! Juko’en nyonya!” (“Dua belas setengah? Ikan dorang, Nya! Ikannya nyonya!). Pada tuturan ini penjual marah. Masa ikan dorang ditawar Rp12.500,00/kg. Pada hal pada umumnya per kg ikan dorang Rp20.000,-. Pembeli direndahkan dengan tuturan “Ikannya nyonya”. Maksudnya yang bisa membeli hanya nyonya, orang cina saja. Pembeli disuruh membeli ikan pindang saja, dapat banyak “Mellè pendheng bâi, nya. Olle bânya’.” (“Beli pindang saja dapat banyak!”). Pada tuturan ini penjual mengejek kalau pembeli itu tidak punya uang. Harga ikan pindang memang jauh lebih murah dibandingkan ikan dorang. Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati Dalam penelitian ini pelanggaran cara bertutur dilakukan karena terbukti melanggar kaidah-kaidah yang terdapat pada maksim kerendahan hati. Pelanggaran itu dapat dilihat pada data di bawah ini. Penjual :” Lèmabellas èbu.” Pembeli :” Abo! Cè’ larangnga!” Penjual : “Ollè etabâr, Bu.” Pembeli : “Sapolo èbu, Bu’!” Penjual : “Agu, bânynya’ ollèna rèng majâng. Ollè bânya’. Mon bâdâ sunami, ancor dunnya!” Pelanggaran maksim kerendahan hati pada data di atas ditunjukkan pada tuturan “Agu, bânynya’ ollèna rèng majâng. Ollè bânya’. Mon bâdâ sunami, ancor dunnya!” (“Aduh, banyak hasilnya orang menangkap ikan. Dapat banyak. Kalau ada sunami, hancur dunia”). Maksudnya, memang banyak hasil tangkapan ikan. Tetapi kalau ada bencana tetap akan menimpa dirinya. Tuturan ini menunjukkan kekesalann penjual. Itu tidak sesuai dengan apa yang ditawar oleh pembeli. Oleh karena itu, penjual marah, sehingga melontarkan tuturan yang mengunggulkan
20 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 15 - 21
dirinya. Dengan demikian, tuturan ini tidak sesuai dengan maksim kerendahan hati.
penelitian ini ada tuturan yang justru melanggar kaidah tutur yang berupa pelanggaran maksim simpati.
Pelanggaran Maksim Kesepakatan
Berdasarkan hasil identifikasi dan klasifikasi data, tuturan yang mengandung pelanggaran maksim simpati antara lain seperti di bawah ini.
Apabila di dalam kegiatan bertutur peserta tutur saling membina dan memaksimalkan kesepakatan maka mereka dikatakan bersikap santun. Akan tetapi pada kenyataannya di dalam tuturan tawar-menawar ikan di pasar tradisional Kabupaten Pamekasan ini untuk mencapai kesepakatan sering bersikap tidak santun. Ketidaksepakatan diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan yang tidak santun. Hal ini dapat dilihat pada tuturan penjual dan pembeli yang terdapat pada data penelitian ini. Pembeli:
”Bârâmpa tello’ ya’ bu’ Tur?”(Sambil memegangmegang kepala ikan tengiri) Penjual: ”Pa’ satengnga.” Pembeli: ” Telloèbu bu’ Tur.” Penjual: (Tidak menghiraukan, sambil menata dagangannya) Pembeli: ”Tello èbu ya’, yâ.” Penjual: (Menoleh tak menghiraukan) Pembeli: “Ya’ tello’ satengnga!” Penjual: “Kala’, kala’!” Ketika pembeli menanyakan harga kepala ikan tengiri, penjual memberikan harga empat setengah, maksudnya Rp4.500,00. ”Bârâmpa tello’ ya’ bu’ Tur?” (Berapa tiga ini Buk Tur?”) Pembeli menawar Rp3.000,00 ” Telloèbu bu’ Tur.” (”Tiga ribu Buk Tur!”) Tidak ada jawaban apapun dari penjual.. Malahan ditinggal menata dagangannya tanpa menghiraukan pembeli. Ini menunjukkan bahwa belum ada kesepakatan harga antara penjual dan pembeli. Ketidaksepakatan itu terjadi lagi ketika pembeli mengulang menawar lagi dengan penawaran tetap. Pembeli tambah menoleh tak menghiraukan dan tetap tidak ada jawaban. Percakapan ini menunjukkan adanya ketidaksepakatan antara penjual dan pembeli. Pelanggaran Maksim Simpati Seperti telah dijelaskan di depan, para peserta tutur hendaknya memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Akan tetapi kenyataannya pada
Pembeli: “Telloèbu bu’ Tur.” Penjual: (Tidak menghiraukan, sambil menata dagangannya) Pembeli: ”Tello èbu ya’, yâ.” Penjual: (Menoleh tak menghiraukan) Pembeli: ”Teloebu bu’ Tur.” Penjual: (Tidak menghiraukan, sambil menata dagangannya) Berdasarkan data di atas, pelanggaran maksim simpati ditunjukkan dengan lambang nonverbal misalnya, menoleh, menata ikan,ekspresi wajah cemberut. Ikan ditawar pembeli, memang tidak diberikan, entah penawaran terlalu rendah atau tidak boleh ditawar Pembeli tidak tahu. Penjual tidak menjawab bahkan menoleh ditinggal menata dagangannya. Beberapa kali pembeli menawar tetap tidak dihiraukan oleh penjual dengan ekspresi wajah cemberut. Penjual tidak menunjukkan sikap yang simpati kepada pembeli. Sikap seperti ini menunjukkan sikap yang tidak dikehendaki di dalam kaidah bertutur. Oleh karena itu percakapan ini melanggar maksim simpati. SIMPULAN Ada dua cakupan hasil penelitian ini yaitu penerapan dan pelanggaran etika tawar menawar yang meliputi maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim simpati. Penerapan etika tawar menawar sering dilakukan oleh penjual dengan maksud agar jualannya laku. Maksim kearifan diterapkan sesuai dengan maksim-maksim yang berlaku dalam maksim ini. Penjual mengurangi keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan keuntungan pada pembeli. Penjual selalu menurunkan harga penawaran. Penjual menawarkan dengan cara tuturan yang arif, membuat kerugian pembeli sekecil mungkin dan membuat keuntungan pembeli
Linarsih, Etika Tawar-Menawar di Pasar | 21
sebesar mungkin. Selain itu penjual membuat keuntungan diri sekecil mungkin dan kerugian diri sendiri sebesar mungkin (maksim kedermawanan). Maksim pujian ditunjukkan oleh penjual dalam memberikan penghargaan kepada pembeli dengan cara memberikan pujian. Dengan pujian ini penjual bermaksud agar pembeli kembali lagi pada waktu lain. Dalam penelitian ini, maksim pujian sangat jarang diterapkan. Demikian juga maksim simpati dan kerendahan hati jarang diterapkan. Penerapan maksim kesepakatan dilakukan melalui ketidaksepakatan, karena tawar menawar tidak harus sekali jadi. Pelanggaran etika tawar menawar sering dilakukan oleh penjual dan pembeli. Pelanggaran-pelanggaran maksim yang dilakukan tidak akan mempengaruhi tujuan tindak tutur. Pada umumnya untuk mencapai kesepakatan dalam tawar-menawar ikan di pasar harus melalui ketidaksepakatan. Maksim ketidaksepakatan sering diungkapkan dengan cara yang tidak simpati. Biasanya ketidaksimpatian itu diwujudkan dalam ungkapan yang sifatnya saling mengejek, mencaci, ataupun merendahkan pihak lain.
Perwujudan tidak simpati selain dilakukan dengan tindakan verbal disertai juga tindakan nonverbal, misalnya dengan wajah cemberut, mengangkat ikan sambil mengomel, dan menoleh. Jarang penjual melakukan pujian kepada pembeli. Yang ada penjual memuji dagangannya sendiri dengan maksud agar pembelil lebih tertarik dengan ikan yang ditawarkan. Pembeli sering menjelekkan atau merendahkan dagangan penjual. Jadi, penjual dan pembeli sering melanggar maksim kesepakatan, simpati, pujian dan kerendahan hati. Pelanggaran maksim kerendahan hati dibuktikan dengan selalu memuji dirinya sendiri atau selalu mengunggulkan dagangannya. Kegiatan tutur yang berkaitan dengan pelanggaran maksim ini jarang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Leech,
Geoffrey. 1983. Maksim-Maksim Pragmatik. Terjemahan dari Judul Asli The Princples of Pragmatics oleh D.D . Oka. 1993. Jakarta :UI- Press.
Muslich, Masnur. 2004. Kesantunan Berbahasa: Sebuah Kajian Sosiolinguistik.Online. (muslich.m.com/2007/04/kesantunan_ sebuah_kajian.html) Searle, John R.1979. Speech Act An Eassay in The Philosophy of Language America: Cambridge University Pres
Suparno dan Martutik. 1997. Wacana Bahasa Indonesia. Jakarta : Depdikbud. Supriyadi. 1995. Penerapan Maksim Tutur dalam Tindak Tutur Percakapan Berbahasa Indonesia Tidak Resmi Masyarakat Kotamadya Malang. Tesis Tidak Dipublikasikan. Malang : IKIP Malang. Tarigan, H.G . 1996. Pengajaran Pragmatik. Bandung : Angkasa. Wijana, I. Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yokyakarta : Penerbit Adi.
MOTIVASI BELAJAR INTRINSIK DALAM NOVEL Kusyairi Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Madura Jalan Raya Panglegur Km 3,5 Pamekasan
Abstrak: Motivasi intrinsik belajar berasal dari diri seseorang itu sendiri, dan motivasi ini diantaranya ditimbulkan oleh faktor-faktor yang muncul dari pribadi seseorang terutama kesadaran akan memfaat apa yang dia inginkan dan yang dipelajari, Novel merupakan salah satu novel yang menggunakan tema pendidikan sehingga mudah menemukan kutipan yang berkaitan dengan motivasi intrinsik. Novel Nak,Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmuini sarat dengan motivasi, khususnya motivasi belajar intrinsik yang di gambarkan malalui tokoh-tokohnya. Dalam novel Novel Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu sarat dengan motivasi, khususnya motivasi belajar intrinsik yang di gambarkan malalui tokoh-tokohnya. Motivasi intrinsik yang ditemukan di antaranya yaitu. Tekun menghadapi tugas, tidak mudah putus asa, menunjukkan minat terhadap bermacammacam masalah, lebih senang bekerja mandiri, tidak cepat bosan dengan tugas-tugas yang rutin, dapat mempertahankan pendapat, tidak mudah melepaskan yang diyakini, senang mencari dan memecahkan masalah. Adapun prosedur yang dilakukan membaca dan memahami novel, mengumpulkan setiap data tentang motivasi intrinsik belajar, mengaklasifiksikan data sesuai dengan permasalahan dan memberikan kodifikasi data temuan. Kata kunci: motivasi,novel
PENDAHULUAN Salah satu unsur nilai yang hendak disampaikan oleh pengarang adalah motivasi. Motivasi dalam kehidupan sangat penting karena mampu membangkitkan gairah untuk melakukan sesuatu. Motivasi merupakan motor penggerak aktivitas yang dilakukan seseorang, sehingga tinggi rendahnya motivasi tersebut akan berpengaruhterhadap aktivitas yang hendak ataupun yang sedang dilakukan. Hal ini di karenakan motivasi merupakan pengontrol tingkah laku. Setiap orang pasti mempunyai motivasi tersendiri yang ada dalam dirinya sendiri kerena segala sesuatu yang dilakukan pasti didasari oleh motivasi. Motivasi tidak dapat diketahui secara langsung kecuali dengan melihat dari tingkah lakunya. Luasnya cakupan motivasi mengakibatkan adanya variasi pada motivasi tersebut. Beberapa diantara motivasi tersebut misalnya; motivasi jasmani, motivasi rohani, dan motivasi belajar. Motivasi dalam belajar sangat penting, karena motivasi dapat mendorong seseorang untuk belajar lebih giat. Motivasi dapat muncul dari dalam diri sendiri.
METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, data yang diambil berdasarkan apa yang dikatakan orang yang meliputi kata-kata, dan gambar untuk menjelaskan permasalahan yang ada. Menurut Surackhmad (1990:139), metode deskriptif merupakan prosedur atau cara pemecahan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan objek yang diteliti sebagaimana adanya, berdasarkan fakta-fakta yang terjadi. Penelitian yang dilakukan tanpa menggunakan angka-angka tetapi menggunakan ke dalam penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang dikaji secara empiris. Data penelitian ini adalah kalimatkalimat, baik yang berbentuk dialog, monolog, atau narasi yang berhubungan dengan aspek kepribadian yang terdapat dalam novel Nak, Maafkan ibu tak mampu menyekolahkanmu karya Wiwid Prasetyo. Sumber data penelitian ini adalah novel Nak, Maafkan ibu tak mampu 22
23 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 22- 27
menyekolahkanmu karya Wiwid Prasetyo yang diterbitkan tahun 2010. Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan teknik obsevasi dan dokumentasi . Tehnik observasi berupa pengamatan secara mendalam terhadap novel Nak, Maafkan ibu tak mampu menyekolahkanmu karya Wiwid Prasetyo. Teknik dokumentasi berupa pendokumenan atau penulisan temuan data. Adapun prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini dengan cara: (1) membaca dan memahami novel, (2) mengumpulkan setiap data tentang motivasi intrinsik belajar dan ektrinsik belajar, (3) mengaklasifiksikan data sesuai dengan permasalahan dan (4) memberikan kodifikasi data temuan. Analisis dimulai (1) identifikasi data sesuai dengan rumusan masalah, (2) data diklasifikasikan sesuai dengan kelompok yang sejenis berdasarkan indikator permasalahan dan tujuan peneilitian, (3) data yang sudah siap diinterpretasikan dengan memberikan makna, (4) mendeskripsikan hasil analisis, dan (5) menarik kesimpulan dan mengujinya. HASIL PENELITIAN Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa novel Nak, maafkan ibu tak mampu menyekolahkanmu karya Wiwid Prasetyo mengandung motivasi belajar . Sardiman (2007:83) mambagi kriteria motivasi intrinsik menjadi delapan bagian. Data motivasi intrinsik tersebut ditemukan data motivasi intrinsic, a) tekun menghadapi tugas. b) tidak mudah putus asa. c) menunjukan minat terhadap bermacammacam masalah. d) lebih senang bekerja mandiri. e) tidak cepat bosan terhadap tugastugas yang rutin. f) dapat mempertahankan pendapat. g) tidak mudah melepaskan hal-hal yang diyakini. h) senang mencari dan memecahkan masalah-masalah soal-soal Sardiman (2007:83) mambagi kriteria motivasi intrinsik menjadi delapan bagian. Pertama, Tekun menghadapi tugas, ketekunan menghadapi tugas merupakan salah satu yang utama dari kriteria motivasi intrinsik. Penjabarannya dapat dijelaskan dengan dapat bekerja dalam waktu yang lama dan tidak pernah berhenti sebelum selesai. Kriteria ini mensyaratkan keteguhan hati
peserta didik dalam menyelesaikan tugas yang dihadapinya. Apa salahnya itu semua, sebab yang dibutuhkan di sini hanya kemauan untuk bekerja keras tanpa kenal lelah dan pantang menyerah, meski kerja keras tak mampu imbang lurus dengan kemakmuran. (WP. 27. TMT/01.1.02) Kedua, Tidak mudah putus asa. Putus asa adalah godaan setan. Setan mencoba memengaruhi orang-orang beriman dengan membuat mereka bingung dan kemudian menjerumuskan mereka untuk berbuat kesalahan yang lebih serius. Tujuannya adalah agar orang-orang beriman tidak merasa yakin dengan keimanan dan keikhlasan mereka, membuat mereka merasa “tertipu”. Jika seseorang jatuh ke dalam perangkap ini, ia akan kehilangan keyakinan dan akibatnya akan mengulangi kesalahan yang sama. Dalam motivasi belajar intrinsik, tidak putus asa merupakan sikap untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Aku tidak takut, aku sudah biasa menderita, kemarin menderita sekarangpun menderita. Penderitaan adalah temanku sehari-hari. (WP. 79. TMP/01.2.02) Ketiga: Menunjukan minat terhadap bermacam-macam masalah, anak yang mempunyai motivasi yang tinggi ditunjukkan dengan adanya minat terhadap bermacammacam masalah untuk dijadikan bahan perenungan dan belajarnya. (Turunkan bencanamu yang lebih besar lagi! Akan ku tantang dengan gagah berani.! ”Badai kali ini tak seseru badai sebelumnya yang nyaris meneggelamkan tubuhku! WP. 07. MBM/01.3.02) Keempat: Lebih senang bekerja mandiri, motivasi yang tinggi tumbuh dan menjadikan anak didik lebih senang bekerja sendiri tanpa terikat dengan ketergantungan dengan orang lain. (Susahpun aku tak ingin meminta-minta dari orang lain, aku tak ingin bergantung pada orang lain, aku tak butuh belas kasihan selama aku masih diberi kemampuan berupa raga yang sehat dan anggota utuh yang masih utuh. WP. 36. LSBM/01.4.01)
Kusyairi, Motivasi Belajar Intrinsik | 24
Kelima: Cepat bosan dengan tugastugas yang rutin, tugas-tugas rutin senantiasa dikerjakan dan dijalani tanpa adanya kebosanan, sehinigga tugas-tugas tersebut selesai tepat waktu. “Tak pernah merasa puas dengan keadaan, tidak pernah bisa menerima nasib dan menginginkan kepuasan yang lebih dari apa yang saat ini kumiliki”. WP. 264. CBTR/01.5.02) Keenam: Dapat mempertahankan pendapat, pendapat anak didik yang mempunyai motivasi yang tinggi akan dipertahankan dengan alasan yang logis serta mengedepankan kejujuran ilmiah. (Huss! Hentikan pembicaraan kalian. Semua masih belum jelas dan perlu diteliti lagi dilaboratorium,” ”Tetapi memang begitulah kenyataannya!” WP. 16. DMP/01.6.04) Ketujuh : Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini, keyakinan bagi anak didik yang mempunyai motivasi tinggi merupakan wujud keteguhan hati untuk mencapai hal yang telah ditempuh dan diperjuangkannya. (Kita tidak perlu lagi Tuhan, sebab dengan kemampuan manusia telah berhasil memajukan peradaban. ”WP. 18. TMHD/01.7.02) Kedelapan : Senang mancari dan memecahkan masalah soal-soal, masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Bagi anak didik yang mempunyai motivasi yang tinggi akan menjadi hal yang menyenangkan jika mampu memecahkan masalah tersebut. (Ini penemuan penting yang akan mengubah kebijakan pemerintah Jepang terhadap lingkungan.” WP. 19. SMS/01.8.03) PEMBAHASAN Pembahasan hasil apresiasi terhadap novel “Nak, Maafkan Ibu tak Mampu Menyekolahkanmu” karya Wiwid Prasetyo dapat dipaparkan bahwa tokoh yang ada didalamnya salah satunya Wenas mempunyai cita-cita yang tinggi untuk bisa merasakan bangku sekolah seperti yang dialami temanteman sebayanya, Wenas adalah bocah miskin. Walau untuk makanpun kesulitan cita-citanya untuk bersekolah tidak pernah pupus!
Wenas sangat mengerti bahwa hidup adalah perjuangan, perubahan tidak akan turujud bila berpangku tangan. Ketika semua kita percaya bahwa pndidikan merupakan cara memutus mata rantai kemiskinan, justru tak semua anak tidak bisa mendapatkannya. Diluar sana banyak anak-anak menantang panas matahari dengan senyum mengembang, berharap bisa mengumpulkan uang untuk bersekolah. Motivasi intrinsik belajar dalam novel “Nak, Maafkan Ibu tak Mampu Menyekolahkanmu” karya Wiwid Prasetyo terdiri dari motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik. Motivasi Intrinsik Belajar Tokoh dalam Novel “Nak, Maafkan Ibu tak Mampu Menyekolahkanmu” karya Wiwid Prasetyo. Motivasi intrinsik adalah motivasi untuk belajar yang berasal dari dalam diri seseorang itu sendiri. Motivasi intrinsik diantaranya ditimbulkan oleh faktor-faktor yang muncul dari pribadi seseorang. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang tidak membutukan rangsangan ataupun paksaan dari orang lain, karena motivasi ini berasal dari dalam diri anak didik. Pernyataan tersebut sesuai dengan definisi tentang motivasi intrinsik yang di kemukakan Djamarah bahwa motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Kreteria motivasi intrisik belajar tokoh dalam novel “Nak, Maafkan Ibu tak Mampu Menyekolahkanmu” karya Wiwid Prasetyo dimiliki oleh Wenas, Ibunya, serta seorang Profesor. Motivasi intrinsik belajar yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut didorong oleh keinginan yang tinggi untuk bisa mengenyam pendidikan dan bisa mempelajari suatu ilmu yang ingin diketahui, seperti ilmu pengatahuan yang dipelajari di sekolah, tentang agama, seni, dan sebagainya. Kreteria motivasi intrinsic yang terdapat dalam novel “Nak, Maafkan Ibu tak Mampu Menyekolahkanmu” karya Wiwid Prasetyo adalah tekun menghadapi tugas, tidak mudah putus asa, tidak mudah melapaskan hal-hal yang diyakini, senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.
25 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 22- 27
Tekun menghadapi tugas. Ketekunan menghadapi tugas merupakan salah satu yang utama dari kriteria motivasi intrinsik. Penjabarannya dapat dijelaskan dengan dapat bekerja dalam waktu yang lama dan tidak pernah berhenti sebelum selesai. Kriteria ini mensyaratkan keteguhan hati peserta didik dalam menyelesaikan tugas yang dihadapinya. Tidak mudah putus asa. Putus asa adalah godaan setan. Setan mencoba memengaruhi orang-orang beriman dengan membuat mereka bingung dan kemudian menjerumuskan mereka untuk berbuat kesalahan yang lebih serius. Tujuannya adalah agar orang-orang beriman tidak merasa yakin dengan keimanan dan keikhlasan mereka, membuat mereka merasa “tertipu”. Jika seseorang jatuh ke dalam perangkap ini, ia akan kehilangan keyakinan dan akibatnya akan mengulangi kesalahan yang sama. Dalam motivasi belajar intrinsik, tidak putus asa merupakan sikap untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Menunjukan minat terhadap bermacam-macam masalah. Anak yang mempunyai motivasi yang tinggi ditunjukkan dengan adanya minat terhadap bermacammacam masalah untuk dijadikan bahan perenungan dan belajarnya. Lebih senang bekerja mandiri. Motivasi yang tinggi tumbuh dan menjadikan anak didik lebih senang bekerja sendiri tanpa terikat dengan ketergantungan dengan orang lain. Cepat bosan dengan tugas-tugas yang rutin. Tugas-tugas rutin senantiasa dikerjakan dan dijalani tanpa adanya kebosanan, sehinigga tugas-tugas tersebut selesai tepat waktu. Dapat mempertahankan pendapat. Pendapat anak didik yang mempunyai motivasi yang tinggi akan dipertahankan dengan alasan yang logis serta mengedepankan kejujuran ilmiah. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini. Keyakinan bagi anak didik yang mempunyai motivasi tinggi merupakan wujud keteguhan hati untuk mencapai hal yang telah ditempuh dan diperjuangkannya. Senang mancari dan memecahkan masalah soal-soal. Masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Bagi anak didik yang mempunyai motivasi yang
tinggi akan menjadi hal yang menyenangkan jika mampu memecahkan masalah tersebut. PEMBAHASAN Pembahasan hasil apresiasi terhadap novel “Nak, Maafkan Ibu tak Mampu Menyekolahkanmu” karya Wiwid Prasetyo dapat dipaparkan bahwa tokoh yang ada di dalamnya salah satunya Wenas mempunyai cita-cita yang tinggi untuk bisa merasakan bangku sekolah seperti yang dialami temanteman sebayanya, Wenas adalah bocah miskin. Walau untuk makanpun kesulitan cita-citanya untuk bersekolah tidak pernah pupus! Wenas sangat mengerti bahwa hidup adalah perjuangan, perubahan tidak akan turujud bila berpangku tangan. Ketika semua kita percaya bahwa pndidikan merupakan cara memutus mata rantai kemiskinan, justru tak semua anak tidak bisa mendapatkannya. Diluar sana banyak anak-anak menantang panas matahari dengan senyum mengembang, berharap bisa mengumpulkan uang untuk bersekolah. Motivasi intrinsik belajar dalam novel “Nak, Maafkan Ibu tak Mampu Menyekolahkanmu” karya Wiwid Prasetyo terdiri dari motivasi intrinsik dan motivasi ektrinsik. Motivasi Intrinsik Belajar Tokoh dalam Novel “Nak, Maafkan Ibu tak Mampu Menyekolahkanmu” karya Wiwid Prasetyo. Motivasi intrinsik adalah motivasi untuk belajar yang berasal dari dalam diri seseorang itu sendiri. Motivasi intrinsik ditimbulkan oleh faktor-faktor yang muncul dari pribadi seseorang. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang tidak membutukan rangsangan ataupun paksaan dari orang lain, karena motivasi ini berasal dari dalam diri anak didik. Pernyataan tersebut sesuai dengan definisi tentang motivasi intrinsik yang dikemukakan Djamarah bahwa motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Kreteria motivasi intrisik belajar tokoh dalam novel “Nak, Maafkan Ibu tak Mampu Menyekolahkanmu” karya Wiwid Prasetyo dimiliki oleh Wenas, Ibunya, serta seorang Profesor. Motivasi intrinsik belajar yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut didorong oleh
Kusyairi, Motivasi Belajar Intrinsik | 26
keinginan yang tinggi untuk bisa mengenyam pendidikan dan bisa mempelajari suatu ilmu yang ingin diketahui, seperti ilmu pengatahuan yang dipelajari di sekolah, tentang agama, seni, dan sebagainya. Kreteria motivasi intrinsic yang terdapat dalam novel “Nak, Maafkan Ibu tak Mampu Menyekolahkanmu” karya Wiwid Prasetyo adalah tekun menghadapi tugas, tidak mudah putus asa, tidak mudah melapaskan hal-hal yang diyakini, senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal. Tekun menghadapi tugas. Ketekunan menghadapi tugas merupakan salah satu yang utama dari kriteria motivasi intrinsik. Penjabarannya dapat dijelaskan dengan dapat bekerja dalam waktu yang lama dan tidak pernah berhenti sebelum selesai. Kriteria ini mensyaratkan keteguhan hati peserta didik dalam menyelesaikan tugas yang dihadapinya. Tidak mudah putus asa. Putus asa adalah godaan setan. Setan mencoba memengaruhi orang-orang beriman dengan membuat mereka bingung dan kemudian menjerumuskan mereka untuk berbuat kesalahan yang lebih serius. Tujuannya adalah agar orang-orang beriman tidak merasa yakin dengan keimanan dan keikhlasan mereka, membuat mereka merasa “tertipu”. Jika seseorang jatuh ke dalam perangkap ini, ia akan kehilangan keyakinan dan akibatnya akan mengulangi kesalahan yang sama. Dalam motivasi belajar intrinsik, tidak putus asa merupakan sikap untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Menunjukan minat terhadap bermacam-macam masalah. Anak yang mempunyai motivasi yang tinggi ditunjukkan dengan adanya minat terhadap bermacammacam masalah untuk dijadikan bahan perenungan dan belajarnya. Lebih senang bekerja mandiri. Motivasi yang tinggi tumbuh dan menjadikan anak didik lebih senang bekerja sendiri tanpa terikat dengan ketergantungan dengan orang lain. Cepat bosan dengan tugas-tugas yang rutin. Tugas-tugas rutin senantiasa dikerjakan dan dijalani tanpa adanya kebosanan, sehinigga tugas-tugas tersebut selesai tepat waktu. Dapat mempertahankan pendapat. Pendapat anak didik yang mempunyai
motivasi yang tinggi akan dipertahankan dengan alasan yang logis serta mengedepankan kejujuran ilmiah. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini. Keyakinan bagi anak didik yang mempunyai motivasi tinggi merupakan wujud keteguhan hati untuk mencapai hal yang telah ditempuh dan diperjuangkannya. Senang mancari dan memecahkan masalah soal-soal. Masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Bagi anak didik yang mempunyai motivasi yang tinggi akan menjadi hal yang menyenangkan jika mampu memecahkan masalah tersebut. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan dan data penelitian terhadap novel Nak, Maafkan Ibu tak Mampu Menyekolahkanmu karya Wiwid Prasetyo dapat dipaparkan bahwa tokoh-tokoh seperti Wenas, dan tokoh yang lain memiliki kemauan yang besar untuk mengenyam pendidikan sama dengan orang lain, aspek ini melekat pada diri Wenas, yang meliputi motivasi intrinsik belajar dan motivasi ektrinsik belajar. Motivasi intrinsik sangat penting dalam belajar karena motivasi yang berasal dari dalam diri anak didik tersebut akan mempermudah dalam melakukan aktivitas belajar dan tidak membutuhkan paksaan dari orang lain agar anak didik punya kemauan untuk belajar. Dalam aktivitas belajar, motivasi intrinsik sangat diperlukan, terutama belajar sendiri. Seseorang yang tidak memiliki motivasi intrinsik sulit sekali melakukan aktivitas belajar terus menerus. Kriteria motivasi intrinsik menjadi delapan. 1)Tekun menghadapi tugas Ketekunan menghadapi tugas merupakan salah satu yang utama dari kriteria motivasi intrinsik. Penjabarannya dapat dijelaskan dengan dapat bekerja dalam waktu yang lama dan tidak pernah berhenti sebelum selesai. Kriteria ini mensyaratkan keteguhan hati peserta didik dalam menyelesaikan tugas yang dihadapinya. 2) Tidak mudah putus asa. Putus asa adalah godaan setan. Setan mencoba memengaruhi orang-orang beriman dengan membuat mereka bingung dan kemudian menjerumuskan mereka untuk berbuat kesalahan yang lebih
27 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 22- 27
serius. Tujuannya adalah agar orang-orang beriman tidak merasa yakin dengan keimanan dan keikhlasan mereka, membuat mereka merasa “tertipu”. Jika seseorang jatuh ke dalam perangkap ini, ia akan kehilangan keyakinan dan akibatnya akan mengulangi kesalahan yang sama. Dalam motivasi belajar intrinsik, tidak putus asa merupakan sikap untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. 3). Menunjukan minat terhadap bermacammacam masalah. Anak yang mempunyai motivasi yang tinggi ditunjukkan dengan adanya minat terhadap bermacam-macam masalah untuk dijadikan bahan perenungan dan belajarnya. 4). Lebih senang bekerja mandiri. Motivasi yang tinggi tumbuh dan menjadikan anak didik lebih senang bekerja sendiri tanpa terikat dengan ketergantungan dengan orang lain. 5). Cepat bosan dengan tugas-tugas yang rutin. Tugas-tugas rutin senantiasa dikerjakan dan dijalani tanpa adanya kebosanan, sehinigga tugas-tugas tersebut selesai tepat waktu. 6). Dapat mempertahankan pendapat anak didik yang mempunyai motivasi yang tinggi akan dipertahankan dengan alasan yang logis serta mengedepankan kejujuran ilmiah. 7). Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini. Keyakinan bagi anak didik yang mempunyai motivasi tinggi merupakan wujud keteguhan hati untuk mencapai hal yang telah ditempuh DAFTAR PUSTAKA Aminuddin, 1995. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sianar baru Aminuddin, 2011. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sianar baru Arikonto, Suharsimi 2006. Prosedur penelitian satuan pengantar praktik. Jakarta: Renika cipta Asrori,
Muhammad. 2008 Psikologi Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima
Depdikbud, 1990. Kamu Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. Dimyati dan Mudjiono, 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta rineka cipta
dan diperjuangkannya. 8). Senang mancari dan memecahkan masalah soal-soal. Masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Bagi anak didik yang mempunyai motivasi yang tinggi akan menjadi hal yang menyenangkan jika mampu memecahkan masalah tersebut. SARAN Karya sastra seperti novel sebagai imaji pengarang dan merupakan cerminan pengarang dalam gaya penceritaannya. Latar belakang religi, domilsili, dan pendidikan akan mempengaruhi pengarang dalam menampilkan watak-watak tokoh. Bagi penikmat sastra diharapkan dibaca oleh pembaca dan peminat sastra sebagai hiburan yang bermanfaat serta diharapkan mampu menumbuhkan ketajaman berfikir kritis melihat fenomena kehidupan sosial khususnya dalam pendidikan.
Djaali, H. 2009 Psikologi Pendidikan Jakarta : Bumi Aksara Djamarah, Syaiful Bahri. 2008 Psikologi Belajar. Jakarta : Asdi Mahasatya. Moleong, Lexi J. 2009 Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya Nurgiyantoro, Burhan. 1995, Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Prasetyo, Wiwid. 2010. Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu. Jokjakarta : Diva Pres.
SUMBER BELAJAR MATEMATIKA DARI LINGKUNGAN ALAM SEKITAR BERBASIS PONDOK PESANTREN Sri Indriati Hasanah Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Alamat: Jalan Raya Panglegur 3,5 KM Pamekasan
[email protected] Saat ini sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat, pondok pesantren yang merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berciri khas agama Islam tidak hanya berkosentrasi pada bidang agama (kitab kuning) namun santri (peserta didik) juga diwajibkan untuk belajar di lembaga formal (madrasah) yang ada di dalam pondok pesantren. Pembelajaran matematika sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran di madrasah masih menghadapi kendala yang sangat serius, mata pelajaran matematika dianggap hal yang tidak esensial di lembaga madrasah. Konteks pembelajaran matematika yang jauh dari realita agama sering membuat santri tidak ada motivasi untuk belajar matematika. Guru madrasah di dalam pondok pesantren diharapkan dapat mengembangkan materi matematika dan meningkatkan kemampuannya menggunakan sumber belajar dari lingkungan alam sekitar pondok pesantren (konteks keislaman) yang secara konkret dapat dipahami siswa. Kata Kunci : Pondok Pesantren, Sumber Belajar, Matematika
“image” bahwa matematika itu dibutuhkan, matematika itu mengasyikkan, terkait dengan agama, sosial dan budaya.
PENDAHULUAN Keabstrakan objek matematika dan pendekatan pembelajaran yang kurang tepat, menjadi faktor penyebab sulitnya matematika bagi para siswa terutama siswa madrasah. Kurikulum yang digunakan di Madrasah sama dengan di sekolah umum yang ditambah kurikulum agama sebagai karakteristik lembaga yang berciri khas agama Islam. Pembelajaran matematika sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran di madrasah masih menghadapi kendala yang sangat serius, anggapan para siswa bahwa matematika identik dengan pelajaran dunia tidak ada hubungannya dengan akhirat mengakibatkan matematika semakin tidak mendapatkan tempat di hati para siswa. Konteks pembelajaran matematika yang jauh dari realita sering membuat siswa tidak dapat menarik korelasinya dengan kehidupan sehari-hari, terlalu abstrak sehingga membuat siswa sulit membuat visualisasinya. Integrasi matematika dengan ilmu lain yang lebih realistik menurut pandangan siswa sangatlah di perlukan untuk membangun
Pembelajaran yang selama ini mendominasi kelas-kelas matematika di Indonesia umumnya berbasis pada behaviorisme dengan penekanan pada transfer pengetahuan dan latihan (Ratumanan, 2003: 2). Guru mendominasi kelas dan berfungsi sebagai sumber belajar utama. Guru menyajikan pengetahuan matematika kepada siswa, siswa memperhatikan penjelasan dan contoh yang diberikan oleh guru, kemudian siswa menyelesaikan soal-soal sejenis yang diberikan guru. Pembelajaran semacam ini kurang memperhatikan aktivitas siswa, interaksi siswa, dan pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa, sehingga timbul kesan siswa terhadap matematika antara lain : matematika dianggap sulit, abstrak dan tak bermakna, pembelajaran matematika membuat stres, tidak terkait dengan kehidupan seharihari , jauh dari realita lingkungan sekitar dan bahan yang dipelajari terlalu banyak dsb. 28
29 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 28 - 31
Pendekatan dan strategi pembelajaran matematika hendaklah diawali dari konkret ke abstrak, dari sederhana ke kompleks dan dari mudah ke sulit, dengan menggunakan berbagai sumber belajar. Hendaknya para siswa aktif dengan berbagai cara untuk mengontruksi atau membangun sendiri pengetahuannya. Suatu rumus, konsep atau prinsip dalam matematika, seyogyanya ditemukan sendiri oleh siswa di bawah bimbingan guru (guided re-invention), sehingga membuat mereka terbiasa melakukan penyelidikan dan menemukan sesuatu (Depdiknas, 2003: 4). Sumber-sumber belajar tidak hanya berbentuk buku semata dan guru sebagai sumber belajar utama. Sumber belajar bisa berupa alam yang ada di seputar lingkungan sekolah atau madrasah, lingkungan santri (sebutan peserta didik di pondok pesantren) sangat tepat digunakan sebagai sumber belajar misalnya halaman madrasah, masjid, tanaman, koperasi pondok pesantren, kebun pondok pesantren dsb. Tulisan ini akan mengemukakan bagaimana guru dalam menyampaikan materi atau menanamkan konsep matematika menggunakan lingkungan pondok pesantren yang berciri khas agama Islam sebagai sumber belajar utama bagi peserta didik (santri) Lingkungan Alam Sebagai Sumber Belajar Konsep belajar memanfaatkan alam sekitar sekolah adalah mengamati fenomena yang terjadi secara nyata di lingkungan dan memanfaatkan apa yang tersedia di alam sebagai media belajar. Belajar melalui pengalaman dan fenomena alam akan membuat kemampuan berpikir anak semakin terangsang. Pengalaman-pengalaman yang ada di lingkungan alam sekitar tidak akan bermakna bagi peserta didik dan tidak dapat di peroleh peserta didik jika guru hanya bercerita di kelas sementara wujud atau fenomenanya tidak nampak oleh peserta didik. Lingkungan alam sekitar sekolah juga sangat penting bagi perkembangan kepribadian peserta didik yaitu kemandirian, penyayang, rasa memiliki dsb. Pendidikan mengenal dan mencintai lingkungan alam sekitar dan lingkungan hidup
dan lainnya dimulai dari hati guru dan diberikan ke hati anak didik. Situasi belajar harus menyentuh perasaan peserta didik. Perasaan atau emosi pada anak sering berbeda denngan orang dewasa. Jika anak-anak diajak bicara, maka akan tumbuh motivasinya. Perasaan yang tersentuh akan menggerakkan organ-organ lain pada tubuh untuk mengerjakan sesuatu yang menjadi kata hatinya. Metode pembelajaran pendidikan lingkungan alam sekitar dan lingkungan hidup lainnya yaitu belajar berbasis pengalaman. Belajar berbasis pengalaman akan menggerakkan rasa secara seimbang. Pengalaman yang berkesan mudah diingat termasuk pesan atau info yang disampaikan dalam pesan tersebut. Informasi dari pengalaman akan menyentuh rasa, rasio dan gerak yang berimbang menjadi intuisi. Keseimbangan rasa dan pikiran dapat menggugah hati dan perasaan peserta didik dan pesan yang disampaikan akan lebih lama diingat dan suatu waktu akan muncul kembali. Pendekatan pembelajaran pendidikan lingkungan yang dipakai yaitu pendekatan pedagogik. Pendekatan ini harus meyakini bahwa peserta didik sebenarnya sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan di dalam pikiran mereka walaupun sangat sedikit. Dalam pendidikan lingkungan alam sekitar dan lingkungan hidup lainnya tidak menekankan pemahaman dan pengertian yang kaku, tapi dapat ditinjau dari berbagai arah. Dengan pendekatan ini, peserta didik dapat lebih mudah memahami benar tidaknya tindakan dari pengalaman mereka. (Marisa dkk. 2011.6.12-6.14) Banyak teknik yang bisa digunakan guru untuk memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik. Diantaranya belajar menghargai alam, belajar sambil bermain, pemanfaatan alat bantu dan pendekatan agama sebagaimana yang telah disediakan di lingkungan madrasah yang ada di lingkungan Pondok Pesantren.
Hasanah, Sumber Belajar dari Lingkungan Alam | 30
Lingkungan Pondok Pesantren sebagai Sumber Belajar Matematika Saat ini sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat, pondok pesantren yang merupakan salah satu lembaga pendidikan yang berciri khas agama Islam tidak hanya berkosentrasi pada bidang agama (kitab kuning) namun santri (peserta didik) juga diwajibkan untuk belajar di lembaga formal (madrasah) yang ada di dalam pondok pesantren. Pondok pesantren juga mewajibkan para santri untuk tinggal didalam pondok sehingga segala aktivitas peserta didik (santri) penuh ada didalam lingkungan pondok pesantren. Pembelajaran matematika sebagai bagian dari kegiatan pembelajaran di madrasah masih menghadapi kendala, mata pelajaran matematika dianggap hal yang tidak esensial di lembaga madrasah. Padahal kalau dipandang lebih mendalam, banyak sekali peranan matematika dalam syariat Islam diantaranya sholat, zakat, haji, puasa, warisan dsb. Seandainya hal ini disosialisasikan sejak dini oleh guru sebagai fasilitator niscaya anggapan para peserta didik atau santri bahwa matematika identik dengan pelajaran dunia tidak ada hubungannya dengan akherat tidak akan ada lagi, peserta didik akan tertanam rasa senang, tidak takut, berani menghadapi kesulitan hidup dengan ilmu matematika yang didasari pada nilai-nilai keislaman. Pembelajaran matematika dengan memanfaatkan lingkungan Pondok pesantren yang merupakan tempat tinggal utama para santri atau peserta didik, mengharuskan guru madrasah dapat mengembangkan materi matematika dengan menggunakan bendabenda konkret maupun tempat-tempat yang ada di sekeliling pondok pesantren terutama yang selalu di jumpai oleh peserta didik atau santri .seperti masjid, bilangan sholat, koperasi masjid, waktu pembagian zakat, tempat praktek haji, Al-quran sehingga santri merasa Islam benar-benar berada dalam segala aspek kehidupan dan segala aspek keilmuan.
Dengan pembelajaran matematika yang memanfaatkan lingkungan pondok pesantren yang akrab dengan peserta didik terutama segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia keislaman diharapkan dapat mengakrabkan matematika dengan lingkungan peserta didik atau santri dan pengalaman kehidupan sehari-hari mereka. Melalui pengaitan konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika dengan pengalaman siswa seharihari, dapat menyebabkan siswa tidak mudah lupa terhadap konsep-konsep/prinsip-prinsip matematika yang ia pelajari. Bahkan ia juga akan lebih mudah mengaplikasikan konsep atau prinsip matematika tersebut, untuk menyelesaikan soal maupun untuk menyelesaikan permasalahan hidup mereka sehari-hari. Sebagaimana Panhuizen (dalam Fauzi, 2002: 2), menyatakan bahwa bila siswa belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari, maka siswa akan cepat lupa dan tidak akan dapat mengaplikasikan matematika.
PENUTUP Pembelajaran matematika dengan memanfaatkan lingkungan pondok pesantren yang sangat kental dengan dunia keislaman diharapkan dapat mengubah peserta didik atau santri terhadap citra pelajaran matematika sebagai mata pelajaran yang tidak esensial di madrasah, lebih menyenangkan, menarik, menambah motivasi untuk belajar matematika dan prestasi belajar matematika peserta didik atau santri meningkat. Contoh : Lingkungan Pondok Pesantren sebagai Sumber Belajar Matematika MASJID Masjid adalah tempat pusat kegiatan yang dilakukan oleh santri mulai sholat, mendengarkan tauziyah kyai, mengaji Alquran dan mengaji Kitab kuning. Di dalam masjid sangat kaya dengan pengetahuan terutama tantang konsep matematika. Guru bisa merancang suatu pembelajaran sesuai dengan materi yang akan disampaikan
31 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 28 - 31
misalnya Konsep tentang bangun datar dan bangun ruang. Guru mengajak peserta didik untuk ke masjid tentunya dengan membawa alat tulis kemudian guru menyuruh siswa untuk membuat laporan bangunan apa saja yang peserta didik kenal atau membuat tabel seperti berikut Nama Benda di Masjid Lantai Jendela Daun Pintu dsb
Nama Bangun Sesuai dengan Konsep Matematika Segi empat Persegi panjang Persegi panjang
Isi tabel dapat bisa dikembangkan sampai dengan berapa rusuk, sisi, simetri putar, simetri lipat, rumus keliling, rumus luas dsb. Masih di seputar kegiatan masjid : Setelah sholat berjamaah atau siswa di suruh praktek sholat berjamaah, dengan sholat berjamaah guru dapat merancang pembelajaran sesuai dengan materi baris, kolom, penjumlahan, pembagian, perkalian dsb.
Lingkungan Madrasah“ Makalah disampaikan pada seminar Nasional, KOPERASI PONDOK Koperasi Pondok adalah salah satu tempat yang selalu di kunjungi oleh santri, karena di sinilah satu-satunya tempat untuk memenuhi keperluan sehari-hari santri. Kita bawa mereka ke koperasi pondok kemudian guru merancang belajar misalnya : 1. Mengecek harga benda 2. Mencari harga termurah dan termahal, membandingkan, menjumlahkan dan perkalian. 3. Mencari sebuah benda sesuai dengan kategori (konsep himpunan, logika) Dari sinilah interaksi guru dengan peserta didik atau santri akan muncul, berbagai pertanyaan bisa guru sampaikan kepada peserta didik atau santri. MASIH BANYAK LAGI CONTOHCONTOH PEMANFAATAN LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN SEBAGAI SUMBER BELAJAR.
DAFTAR PUSTAKA Fauzan, A., 2001. “Pengembangan Dan Implementasi Prototipe I & II Perangkat Pembelajaran Geometri Untuk Siswa Kelas 4 SD Menggunakan Pendekatan RME.” Makalah disampaikan pada seminar Nasional di FMIPA UNESA tanggal 24 Pebruari 2001. Fauzi, K.M.S. 2002. “Pembelajaran Matematika Realistik pada Pokok Bahasan Pembagian di SD.” Tesis magister Pendidikan. Universitas Negeri Surabaya. Gravemeijer, K. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute. Hasanah, Indriati. 2006 “Pendekatan Realistik Dalam Pembelajaran Matematika di
Jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang. Marisa dkk. 2011 “Komputer dan Media Pembelajaran”. Universitas Terbuka Soedjadi,
R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, (konstatasi keadaan masa kini menuju harapan masa depan). Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Depdiknas.
-----------, 2001a. “Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan dalam Pembelajaran Matematika.” Makalah disampaikan pada seminar Nasional di FMIPA UNESA tanggal 24 Februari 2001.
PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR TERHADAP HASIL BELAJAR Moh. Zayyadi Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Alamat: Jalan Raya Panglegur 3,5 KM Pamekasan
[email protected] Abstrak: Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dan korelatif karena data yang diperoleh berupa angka dari hasil tes dan dari hasil tes tersebut diteliti tentang pengaruhnya. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas VII SMPN 1 Pamekasan yang terdiri dari 9 kelas dengan jumlah keseluruhan 258 siswa. Dalam penelitian ini sampel dipilih dengan menggunakan teknik cluster purposive sampling, berdasarkan wawancara dan nilai raport matematika, terpilih kelas VII-E sebanyak 29 siswa sebagai kelas eksperimen dan kelas VII-F sebanyak 28 siswa sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes esai subjektif (uraian). Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis inferensial. Hasil penelitian ini adalah ada pengaruh penerapan strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir terhadap hasil belajar matematika. Kata kunci : kemampuan berpikir, hasil belajar matematika, analisis inferensial
PENDAHULUAN Dalam proses pembelajaran, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berfikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu menghubungkan dengan kehidupan seharihari. Akibatnya, ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, akan tetapi mereka miskin aplikasi. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam proses belajar mengajar, diantaranya adalah tujuan materi pelajaran, metode atau strategi pembelajaran, media dan evaluasi (Sanjaya, 2011). Dari beberapa komponen tersebut, ada satu komponen yang sangat menentukan dalam proses belajar mengajar yaitu strategi pembelajaran.. Seperti yang dikatakan oleh Roestiyah (1989) bahwa seorang guru harus memiliki strategi mengajar yang tepat dalam mengajar agar anak didik dapat belajar secara efektif dan efisien sesuai dengan yang diharapkan. Dengan strategi yang tepat dapat dimungkinkan keberhasilan terhadap hasil belajar akan meningkat.
Keberhasilan proses belajar mengajar matematika tidak terlepas dari persiapan siswa dan persiapan guru. Siswa yang siap belajar matematika akan merasa senang dan dengan penuh perhatian mengikuti pembelajaran tersebut. Oleh karena itu, setiap guru perlu memahami secara baik peran dan fungsi strategi dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh penerapan strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir (SPPKB) terhadap hasil belajar matematika pada pokok bahasan segitiga siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan Tahun Pelajaran 2012/2013. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dan korelatif sebab data yang diperoleh berupa angka dari hasil tes dan dari hasil tes tersebut diteliti tentang pengaruhnya. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen yang dilaksanakan pada dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dalam penelitian ini sampel dipilih 32
33 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 32 - 34
dengan menggunakan teknik cluster purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu, berdasarkan wawancara dan nilai raport matematika, terpilih kelas VII-E sebanyak 29 siswa sebagai kelas eksperimen dan kelas VIIF sebanyak 28 siswa sebagai kelas kontrol yang diajar dengan menggunakan strategi pembelajaran konvensional yang diberikan oleh guru. Sebelum instrumen digunakan sebagai alat pengumpulan data, instrumen tes perlu diujicobakan terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan dari soal-soal tes yang dibuat sehingga dapat diketahui tingkat validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan daya beda. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif dan analisis inferensial menggunakan uji t. Pengujian hipotesis dilakukan dengan taraf signifikansi = 0,05. PEMBAHASAN DAN HASIL 1. Kemampuan Berpikir Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berfikir (SPPKB) adalah Strategi pembelajaran yang bertumpu kepada pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui telaah fakta-fakta atau pengalaman anak sebagai bahan untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi (Sanjaya,2011). Proses berpikir akan selalu berhubungan dengan daya ingat, berpikir tidak mungkin terjadi tanpa adanya memori. Bila seseorang kurang memiliki daya ingat (working memory), maka orang tersebut tidak mungkin sanggup menyimpan masalah dan informasi yang cukup lama. Bila seseorang kurang memiliki daya ingat jangka panjang (long tern memory), maka orang tersebut dipastikan tidak akan memiliki catatan masa lalu untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi pada masa sekarang. Dengan demikian, berpikir sebagai kegiatan yang melibatkan proses mental memerlukan kemampuan mengingat dan memahami, sebaliknya untuk dapat mengingat dan memahami diperlukan proses mental yang disebut berpikir.
2. Hasil Belajar Matematika Menurut Djamarah (2006) menyatakan bahwa hasil belajar adalah adanya perubahan yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan belajar yang telah dilakukan oleh seseorang atau kelompok. Hasil belajar matematika adalah suatu proses perubahan dalam perolehan nilai dari ide-ide (gagasan-gagasan), struktur-struktur, konsep-konsep atau prinsipprinsip matematika tentang kemajuan siswa dalam segala hal yang dipelajari di sekolah yang menyangkut pengetahuan/keterampilan matematika yang dinyatakan sesudah hasil penilaian. Kemampuan Berpikir dengan Hasil Belajar Matematika Penerapan strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir (SPPKB) pada bidang studi matematika khususnya pada pokok bahasan segitiga siswa akan lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir (SPPKB) sangatlah baik diterapkan, karena strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir (SPPKB) menempatkan peserta didik/siswa sebagai subjek belajar. Artinya peserta didik berperan aktif dalam setiap proses pembelajaran dengan cara menggali pengalamannya sendiri, pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata. Siswa pun akan merasa senang dalam proses belajar mengajar, karena mereka diberi kebebasan dalam berfikir dan mengungkapkan ide-ide / gagasan-gasannnya sehingga pengetahuan yang dimilikinya selalu berkembang dengan pengalaman yang dialaminya. Oleh sebab itu, dalam penerapan SPPKB kriteria keberhasilan ditentukan oleh proses dan hasil belajar. Berdasarkan analisis data yang diperoleh harga thitung sebesar 6,39 selanjutnya peneliti konsultasikan dengan ttabel. Dengan menggunakan uji dua pihak taraf signifikan = 0,05 dan =(
) = 55, maka diperoleh harga ttabel sebesar 2,00. Dari nilai tersebut tampak bahwa harga thitung > harga ttabel, yaitu 6,39 > 2,00. Sehingga disimpulkan bahwa ada pengaruh Strategi Pembelajaran Peningkatan Kemampuan Berpikir (SPPKB) terhadap hasil belajar
Zayyadi, Pengaruh SPPKB terhadap hasil belajar | 34
matematika siswa kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan temuan selama penelitian, dapat disimpulkan ada pengaruh strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir (SPPKB) terhadap hasil belajar matematika pada pokok
bahasan segitiga siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Pamekasan Tahun Pelajaran 2012/2013. Dengan db = 55, t hitung = 6,39 dan t tabel = 2,00 dari dua nilai tersebut tampak bahwa harga thitung > harga ttabel yaitu 6,39 > 2,00.
DAFTAR PUSTAKA Djamarah, S. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta Roestiyah N.K. 1989. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : Rineka Cipta.
Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
KEMAMPUAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL PEMAHAMAN KONSEP POKOK BAHASAN LIMIT FUNGSI TRIGONOMETRI PADA SISWA KELAS XII IPA SMAN 5 MALANG
Hasan Basri Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Alamat: Jalan Raya Panglegur 3,5 KM Pamekasan
[email protected]
Abstrak Limit fungsi merupakan bagian dari mata pelajaran matematika yang diberikan pada siswa SMA kelas XII. Pokok bahasan ini merupakan pokok bahasan yang belum pernah diajarkan di tingkat pendidikan sebelumnya (SD maupun SLTP). Akan tetapi pengetahuan prasyaratnya yaitu fungsi sudah dimiliki siswa. Berdasarkan pengalaman penulis selama melaksanakan PPL di SMAN 5 Malang, sebagian besar siswa mengalami kesulitan pada saat mengerjakan soal-soal pemahaman konsep limit fungsi trigonometri. Penelitian ini dilaksanakan dengan subjek penelitian adalah siswa kelas XII IPA 2 SMAN 5 Malang. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendiskripsikan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal pemahaman konsep limit fungsi trigonometri, (2) mengetahui bentuk-bentuk kesalahan yang dilakukan oleh siswa. Data yang diperoleh dari hasil tes tertulis siswa. Data yang diperoleh pada penelitian ini berasal dari hasil tes tertulis siswa. Ada dua bentuk kesalahan yang dilakukan oleh siswa yaitu kesalahan konseptual dan kesalahan prosedural. Kesalahankesalahan siswa yang didiskripsikan pada penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dalam memberikan pembelajaran yang lebih baik kepada siswa.
Kata Kunci: kemampuan, menyelesaikan soal, limit fungsi trigonometri.
PENDAHULUAN Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, teori peluang dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini (Depdiknas, 2006:345) Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar. Pembelajaran matematika dapat membekali peserta didik dengan kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi. Hal ini nantinya
akan digunakan untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif (Depdiknas, 2006:345) Limit fungsi merupakan bagian dari mata pelajaran matematika yang diberikan di jenjang SMA. Pokok bahasan ini belum pernah diajarkan di tingkat pendidikan sebelumnya (SD maupun SMP). Akan tetapi pengetahuan prasyaratnya yaitu fungsi sudah dimiliki oleh siswa. Berdasarkan pengalaman penulis selama melaksanakan PPL di SMAN 5 malang, sebagian besar siswa tidak mengalami kesulitan pada saat mengerjakan limit fungsi aljabar namun siswa mengalami kesulitan pada saat mengerjakan soal-soal limit fungsi trigonometri. Ada beberapa metode yang dapat diterapkan dalam mengerjakan soal limit fungsi trigonometri. Sartono (2004:48) mengatakan bahwa ada 2 metode yang dapat 35
36 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 35 - 39
diterapkan dalam mengerjakan limit fungsi trigonometri yaitu metode substitusi dan metode faktorisasi, sedangkan Sulistiyono (2004:229) menyebutkan ada 3 metode yang dapat digunakan yaitu metode subtitusi, faktorisasi dan metode perkalian dengan akar sekawan. Pemahaman siswa tentang limit fungsi trigonometri sangatlah perlu, untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal limit fungsi trigonometri. Penulis telah memberikan soalsoal limit fungsi trigonometri kepada beberapa siswa SMA. Dari jawaban siswa ditemukan beberapa kesalahan yang dilakukan oleh siswa, misalnya menyimpulkan bahwa
sin 7 x 7 . Hal ini terjadi karena 7 x 0 7 x sin x 1 pemahaman siswa terhadap lim x 0 x lim
masih kurang. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Kemampuan Siswa dalam Menyelesaikan Soal-Soal Pemahaman Konsep Pokok Bahasan Limit Fungsi Trigonometri Pada Siswa Kelas XII IPA SMAN 5 Malang” METODE PENELITIAN jenis penelitian ini tergolong jenis penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Bersifat eksploratif karena salah satu instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri yang akan menggali data sebanyak-banyaknya dari setiap subjek yang dipilih. Penelitian ini akan dilaksanakan pada siswa kelas XII IPA SMAN 5 malang. Siswa kelas XII dipilih, karena siswa pada kelas tersebut telah mendapat materi kombinatorial pada semester 1. Untuk membagi subjek yang akan di teliti ke dalam tiga golongan yaitu tinggi, sedang dan rendah berdasarkan nilai dari siswa yang diperoleh dari hasil ulanganulangan siswa. Penelitian ini instrumen utamanya adalah peneliti sendiri, karena segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti, masalah fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil yang diharapkan itu semua tidak dapat
ditentukan secara pasti dan jelas sebelumnya. Oleh karena itu, peneliti berperan aktif selama proses penelitian dan mengikuti secara aktif kegiatan subjek penelitian di lapangan. Kemudian dilanjutkan dengan melihat hasil pekerjaan siswa untuk melihat bentuk-bentuk kesalahan yang dilakukan oleh siswa. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara memberikan masalah matematika kepada siswa berkaitan dengan materi limit fungsi trigonometri. Dari hasil pekerjaan siswa tersebut kemudian dilakukan analisa secara mendalam guna mengetahui lebih mendalam mengenai kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal pemahaman konsep untuk materi limit fungsi trigonometri. Selain itu akan dilihat juga bentuk-bentuk kesalahan yang dilakukan oleh siswa baik itu kesalahan konseptual maupun kesalahan prosedural. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal pemahaman konsep limit fungsi trigonometri 1. Kelompok siswa dengan kemampuan tinggi Sebanyak 13 dari 35 siswa tergolong dalam kelompok ini, karena memperoleh skor di atas 75% dari total skor. Berdasarkan analisis yang dilakukan didapat bahwa siswa pada kelompok ini memperoleh rata-rata 84,307 dari skor total untuk soal yang dikerjakan dengan metode subtitusi, 86,59 untuk soal yang dikerjakan menggunakan metode pemfaktoran dan 87,03 untuk soal yang dikerjakan menggunakan metode perkalian dengan akar sekawan. Dari ketiga metode tersebut terlihat bahwa siswa pada kelompok ini memperoleh skor paling rendah pada soal yang diselesaikan dengan menggunakan metode subtitusi, sebenarnya ketidakmampuan siswa dalam mengerjakan soal ini bukan pada masalah dalam mensubstitusikan melainkan lebih kedalam proses dalam menginterpretasikan bahasa. Untuk soal yang dikerjakan dengan metode pemfaktoran masih ada siswa yang salah dalam memfaktorkan bentuk 2 2 Sedangkan dalam cos x sin x . menentukan akar sekawan siswa pada kelompok ini tidak mengalami kesulitan, terlihat dari tidak ada satupun siswa pada
Basri, Kemampuan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Pemahaman Konsep | 37
kelompok ini yang salah dalam menentukan akar sekawan. Secara umum siswa pada kelompok ini sangat baik dalam menggunakan ketiga metode tersebut dalam menyelesaikan soalsoal limit fungsi trigonometri. 2. Kelompok siswa dengan kemampuan sedang Sebanyak 16 dari 35 siswa tergolong dalam kelompok ini, karena memperoleh skor di antara 55%-75% dari total skor. Berdasarkan analisis yang dilakukan didapat bahwa siswa pada kelompok ini memperoleh rata-rata 85 dari skor total untuk soal yang dikerjakan dengan metode subtitusi, 67,78 untuk soal yang dikerjakan menggunakan metode pemfaktoran dan 60,535 untuk soal yang dikerjakan menggunakan metode perkalian dengan akar sekawan. Dari ketiga metode tersebut terlihat bahwa siswa pada kelompok ini memperoleh skor paling rendah pada soal yang diselesaikan dengan menggunakan metode perkalian dengan akar sekawan, hal ini terjadi karena siswa pada kelompok ini masih banyak melakukan kesalahan dalam menentukan akar sekawan . Untuk soal yang dikerjakan dengan metode pemfaktoran masih ada siswa yang salah dalam memfaktorkan bentuk 2 2 cos x sin x . Secara umum siswa pada kelompok ini sudah cukup baik dalam menggunakan ketiga metode tersebut dalam menyelesaikan soalsoal limit fungsi trigonometri. 3. Kelompok siswa dengan kemampuan rendah Sebanyak 6 dari 35 siswa tergolong dalam kelompok ini, karena memperoleh skor kurang dari 55% dari total skor. Berdasarkan analisis yang dilakukan didapat bahwa siswa pada kelompok ini memperoleh rata-rata 72 dari skor total untuk soal yang dikerjakan dengan metode subtitusi, 66,285 untuk soal yang dikerjakan menggunakan metode pemfaktoran dan 57,714 untuk soal yang dikerjakan menggunakan metode perkalian dengan akar sekawan. Dari rata-rata skor yang diperoleh dari tiap metode di atas siswa pada kelompok ini memperoleh skor di atas 70 dari skor total hanya pada soal yang penyelesaiannya menggunakan metode substitusi, sedangkan
untuk metode pemfaktoran dan perkalian dengan akar sekawan siswa hanya mendapat skor di bawah 70 dari skor total. Siswa pada kelompok ini masih banyak melakukan kesalahan dalam memfaktorkan dan menentukan akar sekawan. Bahkan ada siswa yang tidak memberikan jawaban untuk soal yang diselesaikan dengan menggunakan metode pemfaktoran dan perkalian akar sekawan. Secara umum siswa pada kelompok ini masih kurang baik dalam menggunakan ketiga metode tersebut dalam menyelesaikan soalsoal limit fungsi trigonometri. B. Bentuk-Bentuk Kesalahan Siswa 1. Kesalahan konseptual Kesalahan siswa dalam mengartikan “limit” Kesalahan dalam menerjemahkan bahasa ke dalam kaliamat matematika Kesalahan siswa menuliskan lambang limit Kesalahan siswa dalam menuliskan limit kiri dan kanan Kesalahan siswa dalam menerapkan teorema limit 2. Kesalahan prosedural Kesalahan dalam melakukan pemfaktoran Kesalahan dalam melakukan perhitungan Kesalahan dalam memilih akar sekawan Kesalahan dalam memanipulasi langkah-langkah dalam menyelesaikan soal KESIMPULAN 1. Siswa pada kelompok tinggi dalam menyelesaikan soal-soal pemahaman konsep limit fungsi trigonometri sangat baik. Hal ini terlihat dari presentase pekerjaan siswa dalam menggunakan/menerapkan ketiga metode penyelesaian yaitu metode substitusi sebesar 84,31%, pemfaktoran 86,59% dan perkalian dengan akar sekawan 87,03%. Namun demikian masih ada siswa yang pada kelompok ini yang melakukan kesalahan dalam memfaktorkan dan menggunakan sifat distributif perkalian terhadap penjumlahan.
38 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 35 - 39
2. Siswa pada kelompok sedang dalam menyelesaikan soal-soal pemahaman konsep limit fungsi trigonometri metode menggunakan metode substitusi sudah baik yaitu sebesar 85% dari skor total, namun untuk metode pemfaktoran hanya 61%, dan 60% untuk metode perkalian dengan akar sekawan. 3. Siswa pada kelompok rendah dalam menyelesaikan soal-soal pemahaman konsep limit fungsi trigonometri masih kurang. Hal ini terlihat dari 9 soal yang diberikan, hanya pada soal no 4 siswa memperoleh skor 78% dari skor total. Sisanyan hanya memperoleh skor di bawah 70%. Kemampuan siswa dalam menggunakan metode substitusi sudah cukup baik yaitu sebesar 72% namun dalam menggunakan metode pemfaktoran dan perkalian akar sekawan masih kurang berturut-turut 66,28% dan 57,71% dari skor total. 4. Adapun bentuk-bentuk kesalahan yang dilakukan oleh siswa berdasarkan analisis yang dilakukan adalah: a. Kesalahan konseptual antara lain: Kesalahan siswa dalam mengartikan “limit” Kesalahan dalam menerjemahkan bahasa ke dalam kaliamat matematika Kesalahan siswa menuliskan lambang limit Kesalahan siswa dalam menuliskan limit kiri dan kanan Kesalahan siswa dalam menerapkan teorema limit
b. Kesalahan prosedural antara lain: Kesalahan dalam melakukan pemfaktoran Kesalahan dalam melakukan perhitungan Kesalahan dalam memilih akar sekawan Kesalahan dalam memanipulasi langkah-langkah dalam menyelesaikan soal SARAN Penelitian ini dilakukan dengan usaha yang keras dalam pembuatan instrumen penelitian berupa tes. Namun karena keterbatasan penulis, maka kekurangan dimungkinkan ada, diantaranya adalah ketidakcocokan antara perintah yang ada pada soal no 1, selain itu masih ada beberapa soal seperti pada no 9 yang kurang sesuai dengan indikator pemahaman konsepnya. Oleh karena itu, bagi para peneliti momen ini merupakan kesempatan untuk mengkritisi beberapa kekurangan yang ada sehingga di dapat hasil yang lebih baik pada penelitian-penelitian selanjutnya. Selain itu berdasarkan analisis yang dilakukan siswa pada kelompok tinggi, sedang, maupun rendah dalam menyelesaikan soal-soal pemahaman konsep limit fungsi trigonometri masih banyak melakukan kesalahan terutama pada saat menyelesaikan soal dengan menggunakan metode perkalian dengan akar sekawan masih kurang, oleh karenanya bagi para pendidik sebelum memberikan pembelajaran materi limit fungsi, alangkah baiknya untuk mereview mengenai bentuk akar sekawan kepada siswa.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto. S. 1990 . Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
Depdiknas. 2006. Kurikulum 2006. Jakarta : Departemen Pendidikan Indonesia
_________ 2001. Dasar Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta : Bumi Aksara
Hudojo,
_________ 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta Dedi, Endang. 2006. Kalkulus I. Bandung : UM PRESS.
Herman. 2003. Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran Matematika. Malang: Jica Purcell, Edwin. 1987. Kalkulus dan Geometri Analitis. Gelora Aksara Pratama : Bandung
Basri, Kemampuan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Pemahaman Konsep | 39
Soedjadi. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Salim. 2000. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta : Modern English Press. Kastolan, dkk. 1992. Identifikasi Jenis-Jenis Kesalahan Menyelesaikan Soal-Soal Matematika yang dilakukan Peserta Didik kelas II Program AI SMA Negeri
Se-Kodya Malang
Malang.
Malang:
IKIP
Moleong.J.L. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rodaskarya Sartono. 2004. Matematika SMA Untuk Kelas XI. Jakarta : Erlangga Sulistiyono. 2004. Matematika SMA untuk Kelas XI. Jakarta : Esis
STRATEGI PENGAJARAN TERBALIK (RECIPROCAL TEACHING) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI BILANGAN BULAT Ukhti Raudhatul Jannah Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Jl. Raya Panglegur Km 3,5 Pamekasan Email:
[email protected]
Abstrak: Kesulitan yang dialami siswa dalam memahami materi bilangan bulat terutama pada pengoperasian nya, siswa bingung dalam menentukan mana yang akan dikerjakan terlebih dahulu dan seringkali kesulitan dalam menentukan hasil akhirnya. Hal ini berdampak pada hasil belajar siswa yang masih rendah, yang ditunjukkan dengan hasil pre-test siswa tentang bilangan bulat masih banyak di bawah KKM. Untuk itu, penelitian ini menerapkan strategi pengajaran terbalik (reciprocal teaching) untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi bilangan bulat di kelas VII SMP Negeri 1 Larangan. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) dan dilakukan selama dua siklus. Kesimpulan dari penelitian adalah hasil belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran dengan penggunaan strategi reciprocal teaching semakin baik dan meningkat pada tiap siklusnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan strategi reciprocal teaching dapat membantu siswa dalam memahami materi tersebut dan dapat diimplementasikan dalam pembelajaran matematika. Kata kunci : Bilangan Bulat, Reciprocal Teaching
PENDAHULUAN monoton, kurangnya motivasi, maupun pembelajaran matematika yang kurang menarik. Siswa kurang menanggapi apa yang telah diberikan oleh guru. Hanya satu atau dua orang siswa yang berani bertanya kepada guru baik di dalam maupun di luar kelas. Hal tersebut menyebabkan hasil belajar matematika siswa tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh sekolah. Oleh karena itu, guru perlu memilih strategi pembelajaran yang tepat dan dapat lebih mengaktifkan siswa.. Sedangkan hasil temuan peneliti di SMPN 1 Larangan pada kelas VII, siswa kesulitan dalam memahami materi bilangan bulat. Hasil wawancara dengan guru matematika, siswa seringkali mengalami kesulitan pada soal-soal cerita dan pengoperasian bilangan bulat. Alasan umum yang disampaikan siswa antara lain adalah sulit memahami pada operasi bilangan bulat, siswa bingung untuk menentukan mana yang akan dikerjakan terlebih dahulu pada pengoperasian bilangan bulat itu dan siswa sering kali kesulitan dalam menentukan hasilnya yang mengakibatkan hasil belajar siswa rendah. Untuk itu, perlu adanya suatu perubahan baru agar hasil belajar meningkat.
Pemilihan dan penggunaan strategi pembelajaran merupakan hal penting dan berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran. Penggunaan strategi pembelajaran yang tepat memungkinkan terjadinya kegiatan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun sendiri pengetahuannya serta kegiatan pembelajaran yang mendorong siswa untuk bertanya dan berdiskusi yang berarti adanya interaksi timbal balik, baik antar sesama siswa maupun antara siswa dengan guru. Namun hal ini sepertinya kurang diperhatikan oleh guru karena pada kenyataannya, khususnya pada pelajaran matematika, guru hampir selalu mengajar dengan ceramah dan pemberian tugas. Seringkali ditemui siswa yang mengobrol sendiri di dalam kelas, bermain telepon genggam, atau menggambar ketika pembelajaran matematika berlangsung. Siswa cenderung tidak terampil untuk menemukan cara sendiri dalam memecahkan masalah dan interaksi siswa kurang optimal, baik dengan sesama siswa maupun dengan guru. Hal ini disebabkan karena strategi mengajar yang 40
41 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 40- 43
Salah satunya dengan menggunakan strategi pembelajaran reciprocal teaching yang akan menjadikan siswa aktif untuk belajar dan memahami konsep bilangan bulat dengan baik. Reciprocal teaching adalah pendekatan konstruktivis yang didasarkan pada prinsip-prinsip membuat pertanyaan, mengajarkan ketrampilan metakognitif melalui pengajaran, dan pemodelan oleh guru untuk meningkatkan ketrampilan membaca pada siswa yang berkemampuan rendah. Dengan pengajaran terbalik (reciprocal teaching), guru mengajarkan siswa keterampilan-keterampilan kognitif penting dengan menciptakan pengalaman belajar, melalui pemodelan perilaku tertentu dan kemudian membantu siswa mengembangkan keterampilan tersebut atas usaha mereka sendiri dengan pemberian semangat dan dukungan (Trianto, 2007). Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pembelajaran matematika dan hasil belajar siswa kelas VII7 SMPN 1 Larangan melalui strategi reciprocal teaching pada materi bilangan bulat tahun ajaran 2013/2014.
matematika yang berperan sebagai pengamat guru (peneliti) dalam melakukan tindakan kelas. Kolaborator kedua, dua teman sejawat berperan sebagai pengamat aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar. Tindakan yang dilakukan oleh peneliti bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang dirumuskan dalam bentuk siklus-siklusnya yang direncanakan. Dalam penerapan pembelajaran ini ada dua siklus. Tujuan pembelajaran pada siklus I adalah memahami konsep operasi hitung pada bilangan bulat (penjumlahan dan pengurangan) menggunakan strategi reciprocal teaching. Sedangkan Tujuan pembelajaran pada siklus II adalah memahami konsep operasi hitung pada bilangan bulat (perkalian dan pembagian) menggunakan strategi reciprocal teaching. Secara garis besar model spiral dari penelitian ini disajikan pada Gambar di bawah ini
METODE Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas ini merupakan penelitian tindakan partisipan, karena peneliti terlibat langsung dalam penelitian mulai dari awal sampai pada akhir proses penelitian, yaitu sebagai guru atau pelaksana pembelajaran. Di
dalam penelitian tindakan partisipan, orang yang akan melakukan tindakan haruslah terlibat dalam proses penelitian dari awal (As’ari, 2000:14). Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang mendalam dan terperinci dari fenomena yang terjadi pada objek penelitian mengenai cara menggunakan strategi reciprocal teaching dalam pembelajaran matematika pada materi bilangan bulat. Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII7 SMP Negeri 1 Larangan karena dari hasil wawancara dan observasi ditemukan permasalahan di kelas tersebut. Dalam hal ini peneliti berperan sebagai pelaku tindakan di dalam kelas. Peneliti dibantu oleh tiga kolaborator. Kolaborator pertama yaitu guru
Gambar 1. (Skema diadaptasi dari Kemmis dan Mc.Taggart) Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini melalui empat tahap yaitu: 1. Perencanaan, 2. Perlakuan atau pelaksanaan, 3. Pengamatan, dan 4. Refleksi. Sedangkan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: (1) tes, (2) wawancara, dan (3) Pengamatan (observasi).
Jannah, Strategi pengajaran Terbalik (Reciprocal Theaching)| 42
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Observasi awal sebelum tindakan menunjukkan bahwa hasil belajar siswa kelas VII SMPN 1 Larangan masih belum mencapai target ketuntasan. Rendahnya hasil belajar siswa juga diikuti rendahnya pula sikap positif dalam belajar Setelah mengkaji dari hasil wawancara dengan guru kelas sebelum tindakan tersebut, peneliti dan guru mengadakan tindakan pada siklus I dan siklus II yaitu dengan menerapkan strategi reciprocal teaching. Upaya peningkatan hasil belajar siswa yang dilakukan peneliti pada mata pelajaran matematika pada materi bilangan bulat dikelas VII7 SMPN 1 Larangan pada akhirnya berjalan dengan lancardan berhasil setelah dilaksanakan tindakan pada siklus I dan siklus II, meskipun pada awal pembelajaran suasana kelas masih dalam taraf penyesuaian siswa mengikuti pembelajaran yang peneliti terapkan. Para siswa belum terbiasa belajar dengan strategi reciprocal teaching. Dengan adanya kerja sama dan bimbingan yang diberikan guru dan peneliti, hal ini dapat diselesaikan dengan baik. Secara umum guru telah berhasil dalam pengelolaan kelas dengan menggunakan strategi reciprocal teaching sesuai dengan teori Slavin (1995) bahwa siswa bekerja sama dalam suatu kelompok saling membantu untuk mempelajari suatu materi (Ratumanan, 2002 : 107).
Secara klasikal dari hasil ulangan pada materi sebelumnya mendapatkan nilai rata-rata 45,34% dan siklus I dan siklus II terdapat peningkatan nilai ketuntasan belajar siswa yaitu ketuntasan kelas pada masing-masing siklus sebesar 69,38% dan 82,5% sehingga dapat dikatakan bahwa pembelajaran dengan strategi reciprocal teaching dalam upaya meningkatkan hasil belajar siswa pada materi pokok bilangan bulat berhasil. Keberhasilan guru dalam pembelajaran dengan strategi reciprocal teaching menunjukkan bahwa guru mampu membimbing siswa untuk aktif dalam kegiatan belajar mengajar sehingga dapat dikatakan bahwa guru sebagai fasilitator. Hal ini sesuai dengan teori kontruktivisme bahwa suatu kondisi dimana guru membantu siswa untuk membangun pengetahuan dengan kemampuannya sendiri melalui konsep internalisasi sehingga pengetahuan itu dapat terkonstruksi kembali (Ratumanan, 2002 : 97). Berikut diagram peningkatan hasil belajar siswa tiap siklus:
Berdasarkan hasil analisis data pengelolaan pembelajaran dengan menerapkan strategi reciprocal teaching, pengelolaan pembelajaran ini ternyata relevan dengan kinerja siswa pada saat melakukan tes, dimana kinerja siswa yang diperoleh semakin baik dari siklus I sampai siklus II bahkan dari hasil ulangan pada materi sebelumnya. Hasil dari siklus I dan siklus II
43 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 40- 43
KESIMPULAN Peningkatan hasil belajar siswa setelah menggunakan strategi reciprocal teaching pada materi pokok bilangan bulat kelas VII7 SMPN 1 Larangan tahun pelajaran 2013/2014 dapat dikatakan berhasil. Hal ini dapat dilihat dari hasil Observasi yaitu pada siklus I dengan rata-rata 35 sedangkan pada siklus II dengan rata-rata 39, dari hasil angket respon siswa bernilai positif yaitu dengan memperoleh ratarata pada siklus I 60, 42 dan pada siklus II 88, 54. Kemudian berdasarkan hasil tes juga mengalami peningkatan yaitu pada siklus I 69, 38 dan siklus II 82, 5.
b.
Bagi guru Bagi guru dan calon guru untuk dapat mengembangkan pembelajaran dengan reciprocal teaching pada materi bilangan bulat dan hendaknya menggunakan strategi, metode atau pendekatan dalam menyampaikan materi pelajaran, sehingga siswa tidak merasa bosan dan takut akan pelajaran Matematika. Serta mencoba membuat modifikasi sendiri rencana pembelajaran dan lembar kerja siswa (LKS) sesuai dengan materi yang akan diajarkan.
SARAN Sesuai dengan kesimpulan di atas, maka disarankan : a. Bagi siswa Sebagai seorang siswa harus berperan aktif dalam pembelajaran tidak hanya selalu mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh guru tetapi harus mandiri dalam memahami sebuah konsep dan memecahkan masalah. DAFTAR PUSTAKA As’ari, 2000. Mengapa Perlu Penelitian Tindakan. Makalah disampaikan dalam Penelitian Action Research Tingkat Nasional bagi para instruktur inti, Cipete, Jakarta. Ratumanan, Tanwey Gerson. 2002. Belajar Dan Pembelajaran: Surabaya: Unesa University Press
Trianto.
2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktuvistik. Jakarta: Balai Pustaka.
ISSUES OF FEMINISM IN THE PATRIARCHAL SOCIETIES AS PORTRAYED IN THE LIFE OF MADURESE WOMEN Wildona Zumam Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Madura Jalan Raya Panglegur KM 3,5 Pamekasan Email Abstract: This article focused on the issue of feminism in the live of Madurese women amidst the patriarchal societies in Madura. It is interesting to analyze issues of feminism because it have been leading issue in many societies in this ever-changing world since the turn of the century. This study is aimed to answer the problem which faced on Madurese women. The theory about feminism were put into use to understand about feminism. After analyzing about issues feminism in Madurese women, there are problem solving to face about patriarchal societies. Definition of key terms: Patriarchal,Feminism.
INTRODUCTION Feminism is always an interesting subject of discussion by many people in this world because this subject has a long and interesting history, and the changes on it involve many efforts from so many people in this world. From an etymological perspective, the word feminism comes from the French word femme (woman).Maggie Humm (1995) suggested that the definition of feminism incorporates both a doctrine of equal rights for women an ideology of social transformation aiming to create a world for women beyond simple social equality .in this respect, one feminist after another would have slightly different ways to define feminism, depending on their personal experience, education, ideology, or race. Paradigm of feminism develops into the mission of how women are able to take over a language that has belonged to patriarchy, and how women are able to use that language to construct a world of their own. Patriarchal is a social system in which the father or eldest male is head of the household. Men has authority over women and children, patriarchy also refers to system of government by males, and to the dominance of men in social or cultural systems. We live in a patriarchal society which has defined as a society organized and run by men. Men make the rules and dominate in business and government. It is said to be a “man’s world”, men make the rules and
dominate in all forums outside the home. Typical attitudes of men which they consider to be superior qualities include-strength of will, dominance, forcing other to back down , bullying, psychological game playing to unnerve the enemy, secrecy, clubs, the old boy’s network, letting actions speak stronger than words, not needing to explain themselves, assuming superiority over others (race, sex, outlook) brute force. Madura strong pillar tradition inseparable from the principle “lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata” it’s mean much better if we die covered with sail than bear the shame. This expression applies in order to maintain the dignity, rights and dignity of Madura’s people. And usually the onset of the dispute cannot be separated from the environment and women’s issues. The role of women as compared with men in Madura it has been as extensive as the role of women in big cities, although Madurese women have equal rights and obligations. On the other hand we can call a kind of natural instinct emancipation. Women nowadays have their own freedom and life. They may pursue any career they want to have. Women, now, may make their own decision for their life, and even they deserve the same appreciation and respects as man have. This is why the researcher of this article is interested to discuss issues of feminism as portrayed in Madurese women. 44
45 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 44 - 46
REALITY ISSUE OF FEMINISM Before we are discuss about issue of feminism in Madurese women, we have to know about what is feminism. Maggie Humm in The Dictionary of Feminist Theory defines feminism is the ideology of women’s liberation since intrinsic in all its approaches is the belief that women suffer injustice because of our sex.Where the culture is very strong in Madura society, that is the way of thinking very patriarchal. There are several reasons that make patriarchal societies in Madurese women is strong: 1) Patriarchal culture that puts men as the superior, while the women are seen as inferior. 2) Imitation (modeling) due to based witnessed the social communication pattern gender, which contains many forms violence against women. 3) Led to this second point, that is all about understanding and misinterpretation of texts and teachings in the religion itself. On the equal right, according to tradition in Madura , women must live under the rule of men, it means women should be submissive, docile, obedient and surrender with the men. And also there are many rule of tradition in Madura about women. I will give the example of issue feminism depicted in Madurese women: The rule of wife in Madura Traditionally in Madura, the pattern of patriarchal family puts the wife as the part of maintain in domestic jobs. The patriarchal system in the history of gender is a system that puts the power of men over women in all aspects of life. For example when a wife cannot give generation, usually her husband take initiative to remarry in order to get generation, otherwise the husband would not approve if the wife wishes to divorce. Except the husband release with voluntarily. But it is rare and difficult case, because it involves the prestige and self esteem as a man who must be maintained. In the family, a woman contributes her whole potencies to her husband, children, and the other family. On the other hand, a man takes control and limit the public role of woman. The role of woman has been
measured up by domestic jobs , it goes around bathroom, cooking room, and bedroom. These roles are considered ideal for woman. This paradigm is deep-rooted in certain community, however, at the present time this has been resisted by human emancipation movement. Education of Madurese women Madurese women are not required to continue their education to a higher level because in tradition Madura, the women are part of men, she is rib of man so that in the relationship between men and women is unbalanced. Men more superior than women, in his article Prof. Dr. Nur Syam,M.Si says the view refers to text of Islam religion, that who can be leader is men while women could not. The position of Madurese women in many ways at home, more in domestic matter than public matter so women are not need highly education. Stereotype Madurese women about participation Madurese women in education still law especially in village, many women are not continue in their study. When graduated from elementary school they are stop it, the importantly they can read. even some of them directly to get marriage. HOW TO SOLVE From the explanation above we can know about issues feminism in patriarchal societies depicted in Madurese women consequently should be side with women. There are several things that must be done by women. Women have to go through a lot of oppressions. However they should have courage to find their own dignity and overcome their fears in facing those oppressions and also defense their right as women. I hope the women will open their mind to see that men and women are equal. I also expect that the women will know further about the life of women in a patriarchal society, where they were taught that they were inferior since they were very young.
Zumam, Issues of feminis in the partiarchal societies | 46
CONCLUSION From the various Issue feminism on the discussion, the existence of discrimination against to women is an attempt to bring up the cultural stereotype that discredited the woman on force of oppression which a widely recognized by the legitimacy in religious, cultural, or local beliefs in the span of a long history.
Of course, this projection has the consequence to be paid handsomely by women, they are suffer either in psychology, sociology or historical. The position of them is weak by a system that it is not at all a goalless draw to complete. Foucault says that every authority or ideology in the end will get rival. There is no victory for a woman who struggles against a patriarchal oppression, except she was willing to leave her life behind.
REFERENCE : Anwar, Ahyar.2009. Geneologi Feminis: Dinamika Pemikiran Feminis. Jakarta: Tamaprinter Indonesia. Bandel, Katrin.2009. Sastra,Perempuan dan sex. Yogyakarta: Jala Sutra.
Faqih,Mansour.2008. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Humm,Maggie. 1989. The Dictionary of Feminist Theory. Columbus: Ohio State University Press.
LAURA’S INTERPERSONAL RELATIONSHIPS WITH MEN IN “GOODNIGHT & GOODBYE” BY TIMOTHY HARRIS Tjitra Ramadhani Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Madura Jalan Raya Panglegur Km. 3,5 Pamekasan e-mail address:
[email protected] Abstract: Relationship is state of being connected. Relationship with others are inescapable part of everyday life. People have relationships with family members, peers, employers, friends, colleagues, and authority figures. Interpersonal Relationships are social associations, connections, or affiliations between two or more people. The objectives of the research are to describe: (1) the interpersonal relationships between Laura Cassidy with her men; (2) the factors supports and the results of her relationships; and (3) the effects of relationships on her character. The data to be analyzed in this research is a novel entitled “Goodnight & Goodbye” written by Timothy Harris. The results of the research are: (1) types of Interpersonal Relationships Laura does are Formalized intimate relationship, Non-formalized intimate relationship, Casual relationship, Brotherhood, and Partners; (2) there are an internal factor and external factor supports her relationships, the results of her relationships are she could get her needs and be more prosperous, she could found new experience, and she could be safely for her true identity; (3) the effects of relationships on her character are her behaviors make people around her knows she is a pathological liar and a junkie. Key words: Relationship, Interpersonal Relationships.
INTRODUCTION Literature is the expression of life through language (Hardjana, 1994: 10). The authors of the literature commonly expose what they have seen in life. What people perceive about life, what people have experienced, and even what authors have felt and experienced are all manipulated and arranged in such a way that good literary works are in the end result. Moreover, values, customs, cultures, and principles people uphold in the society also constitute the main ingredients for the author to make their own literary works. One way which the authors can embody and express what they have seen, felt, and experienced in literature, is prose that written in novel. Novel is different from short story in that novel is longer than short story. Furthermore, while the plot of the short story usually means on a single incident, the plot of the novel contains more complicated incidents. Unlike short story, novel allows readers to
watch the development of character (Kenney, 1966: 104). Novel commonly elaborates a story in complex plots. Long narration combined with short dialogues among characters physically characterizes novel. In novel, there are visible relationships and communication among characters' feelings, principles, behaviors, attitudes, and environment. Novel consists of two elements, intrinsic and extrinsic elements. The intrinsic elements consist of plot, setting, character, and characterization. And the extrinsic element is concerned with the world out of the literature system (the subjectivity of the authors in their attitudes, religious, and ways of life). Based on what has been mentioned above, relationships is another phenomenon that exists in both the authors inner world and outer one, means that the relationships exists not only in society, but also within the authors' soul and principles indeed. From the author's 47
48 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 47 - 54
background, in this development, relationships subject to the authors' subjectivity. People live in a world filled with other people. They live with others in families. They see people at school and at work. Shopping and most recreation involve being with others. These contacts are known as relationships. (Sasse, 1981: 108). Relationships with others are an inescapable part of everyday life. People have relationships with family members, peers, employers, friends, colleagues, and authority figures. Satisfaction with the life often depends on the quality of persons relationships with others. Frequently, people tolerate situations which could be changed and improved with some skill and knowledge in the art of relating to others. The choice on Timothy Harris' Goodnight & Goodbye is not of course without reasonable reason. This novel first published on 1981. This novel is the interesting and breathtaking quality of the story. Greed, intrigue, and passion are all found throughout the story. Thomas Kyd is a private investigator was had a serious problem in his investigation. He meets a woman named Laura Cassidy. The first time he saw her she was driving out of an underground garage with a naked man spreadeagled on the front of the car, Morris Fieldman. Somewhat less than a typical damsel in distress, but Kyd helped out. Laura Cassidy was irresistible. She was also a pathological liar and a junkie. She had married with more than one man and has more than one identity, too. The Types of Interpersonal Relationship There are 10 (ten) types of Interpersonal Relationships: 1. Kinship relationships, including family relationships, being related to someone else by blood (consanguity), e.g. fatherhood, motherhood; or through marriage (affinity), e.g. father-in-law, mother-in-law, uncle by marriage, aunt by marriage. 2. Formalized intimate relationships or long term relationships through law and public ceremony, e.g. marriage and civil union.
3. Non-formalized intimate relationships or long term relationships such as loving relationships or romantic relationships with or without living together; the other person is often called lover. If the partners live together, the relationship may be similar to marriage, and the other person may be called husband or wife. Over a certain length of time they are so regarded by common law. Mistress is a somewhat old fashioned term for a female lover of a man who is married to another woman, or of an unmarried man. She may even be an official mistress (in French maitresse en titre); an example is Madame de Pompadour . 4. Soulmates, individuals who are intimately drawn to one another through a favorable meeting of the minds and who find mutual acceptance and understanding with one another. 5. Casual relationships, a relationships extending beyond one night stands that exclusively consist of sexual behavior. 6. Platonic love is an affectionate relationship into which the sexual element does not enter, especially in cases where one might easily assume otherwise. 7. Friendship, which consists of mutual love, trust, respect, and unconditional acceptance, and usually implies the discovery or establishment of common ground between the individuals involved. 8. Brotherhood and sisterhood, individuals united in a common cause or having a common interest which may involve formal membership in a club, organization, society, lodge, sorority, fraternity. This type of interpersonal relationship also includes the comradeship of fellow soldiers in peace or war. 9. Partners or coworkers in a profession, business, or a common workplace. 10. Association, simply being introduced to someone or knowing who they are be interaction. RESEARCH Research Problems Based on above introduction, the research problems are: 1) What relationships does Laura Cassidy have with her men?
Ramadhani, Laura’s Interpersonal Relationships with a Men | 49
2) What factors support and results does she get from her relationships? 3) What the effects she gets from relationships on her character? Research Aim This research is intended to achieve the aim as formulated below: 1) to describe the relationships between Laura Cassidy with her Man 2) to describe the factors support and the results of her relationships 3) to describe the effects of relationships on her character METHOD 1 Data Source The data source of the study is the novel entitled Goodnight & Goodbye written by Timothy Harris with the specific character on Laura Cassidy. This novel first published by Pan Books Ltd, in 1981. It consists of 35 (thirty five) chapters and 219 pages. 2. Data Collection 1. The research analysis each page of the novel to find: a) The relationships between Laura Cassidy with her Man b) The factors support and the results of her relationships c) The effects she gets from relationships on her character 2. The writer makes conclusion based on the data analysis to describe: a) The relationships between Laura Cassidy with her Man b) The factors support and the results of her relationships c) The effects she gets from relationships on her character RESULTS Based on the problems, this research covering three matters, namely: the types of interpersonal relationships Laura have with her men, the factor supports, the results, and the effects she get on her character from a novel “Goodnight & Goodbye” written by Timothy Harris. 1. Types of Interpersonal Relationship Laura does are: (1) Formalized intimate relationship; (2) Non-formalized intimate
relationship; (3) Casual relationship; (4) Brotherhood; and (5) Partners. 2. There are an internal factor and external factor supports her relationships. The results of her relationships are: she’ll get all that she wants. 3. The effects of relationships on her character are: her behaviors make people around her like Dix Landau knows she is a pathological liar and a junkie. Besides, Laura had gone with considerable trouble with Thomas life, because he loves her very much. THE INTERPERSONAL RELATIONSHIPS LAURA DOES ARE: 1. Formalized intimate relationship. It was supported from the dialogue in page 64: “What’s your husband think of all this?” I said. “Does he know where you are?” “My husband is asleep in the arms of some actress. There’s a big party going on out at Malibu. I’m sure they’re all too drunk or stoned to have even noticed I’m not there.” According to the dialogue between Laura Cassidy and Thomas Kyd, it does prove that Laura have a Formalized Intimate Relationship; she is Sassari’s wife. 2. Non-formalized intimate relationship. It was supported from the dialogue in page 90: “I had an affair with Laura Cassidy. My interest in this drawing is about that affair, really. Someone gives you something and you want to know if they had the right to do it. I want to know how on the level she was. About certain things she wasn’t entirely honest.” When Thomas Kyd arrived at the head of the European Painting Department’s office, Miss Wykham-Tenent’s at Sotheby Parke-Bernet, he states Laura Cassidy is his affair, although he knows who Laura Cassidy is. This affair is a Non-formalized Intimate Relationship, one type of the interpersonal relationships Laura Cassidy does. 3. Casual Relationships. It was supported from Laura’s statement in page 62:
50 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 47 - 54
“…We got very loaded that night on smack. He wanted to have sex. He started to touch me and I didn’t stop it - I was wasted and if I closed my eyes, and pretended he was someone else, it was all right. He made me come. Morris…not very romantic, not exactly an advertisement for my taste in men, but he did. Then, of course, he wanted me to do something to him – go down on him, to be perfectly graphic.” Laura Cassidy does another interpersonal relationship with another man in the novel. He is Sassari’s friend, named Morris Fieldman. She does a Casual Relationship with Fieldman. Laura was admitted it by herself. Brotherhood 4. It was supported from Laura’s statement in page 63: “I came here to tell you the truth. You don’t have to tell me anything. That night on Hollywood Boulevard – I was scoring some smack. When my connection saw you and then the cops, he took off. I said I wasn’t using then but I was. I am clean now.” The statement from Laura Cassidy was show she’s lucky on that night at Hollywood Boulevard. Thomas helps her out of jam from the cops. Her Arab-looking pimp is her friend in PussyMania Club; their connection is involved to Brotherhood & Sisterhood as one types of interpersonal relationship. 5. Partners It was supported from the dialogues in page 26: “I have a friend in San Francisco,” she told me the following afternoon over breakfast. “An ex-business partner. I was thinking of going up there.” “Someone who can help you?” I asked. He’ll put me back in business.” She gave me a flat, level stare and her mouth hardened defensively. “They’re not quite the same thing,” she added with a shrug. “There’s no rush. Maybe you should call him first.”
Laura Cassidy tells to Thomas Kyd she had an ex-business partner in San Francisco. She has a Partner in business working at San Francisco; it is one of the types of interpersonal relationship. THE FACTOR SUPPORTS AND RESULTS OF LAURA’S RELATIONSHIP 1. The Factor Supports 1.1 The Internal Factor The internal factor is everything which has been owned by a man since he was born, it concerns with the psychological and physical characteristics (Sujanto, 1982:3-5). The psychological characteristic includes thought, feeling, willingness, and memory, which have been owned by a man since he was born. The physical characteristics include such things as the length of the neck, the skull, nerve, bloodvessel formation, muscles, formation, and station of bones. Those all also influence human personality. It can be seen from Laura’s statement in page 64: “I married Paul because he’s a rich and famous writer. He is a cult. I wanted to be close to someone creative. I thought some of it might rub off on me. I married him for who he is in the world, not what he is. I suppose I was attracted to him because he’s a son of bitch. He knows what he wants and nothing stops him from getting it. I thought that was strength when, in fact, it’s just ugliness on a big scale.” The Internal Factor support is: she wants to make her life more prosperous than before. She thought that married Paul Sassari would make her life change, and people would accept where they are. She married him for who he is in the world; he is a famous writer which can create a great of money from his works. 1.2 The External Factor The external factor is everything outside human beings, life and death, flora, fauna, human beings, family, work, friendship, culture, and result of culture which have material and spiritual characteristics (Sujanto, 1982:3-5). It can be seen from Laura’s statement in page 63:
Ramadhani, Laura’s Interpersonal Relationships with a Men | 51
“I know I gave you that line about this detective following me on my parents’ orders. Well, that is an unfortunate habit of mine. I make up stories. I have no parents who are rich and spend all their time searching for me. Do you know what I’m talking about? It’s very common. Standard practice for orphanage brats.” She twisted her lips into a self-contemptuous smile. The external factor support why Laura Cassidy lies is: she is an orphan. She wants to make sure people she has a good familyportrait in her life. She hire a detective to locate her for her parents’ order to prove her parents are loved her very much. That’s why she makes up stories to Thomas. He is too late to know the truth. All human behavior is motivated by needs. Maslow (1954) classified our basic needs into a rank of five categories as follow: 1) Physiological needs (hunger, thirst, etc.) She was too hungry to talk and by the time she’d demolished her food she could barely keep her head up. (Page 26) Thomas and Laura have doing little conversation in their dinner time. Laura was very hungry. That’s why she could barely keep her head up. The psychological needs: hunger. 2) Safety needs (protection from harm or injury) …Also the kind of sophistication and nerve required to hire some professional muscle like Tony to follow her in case I tried to hand her to the police. (Page 219) Laura was hiring a professional muscle named Tony to follow her in case Thomas tried to hand her to the police. The safety needs: She needs a protection to keep her survive from Thomas that tried to hand her to the police. 3) Love needs (affection, warmth, sense of belonging) “I’m Laura’s fiancé,” he said. “You didn’t know that.” “No.” (Page 45) … “Now I could be mad,” he said, taking my arm. “I could be jealous. I don’t even know how you met Laura. Some jam you get her out of. Laura’s beautiful lady, right? She spent the night at your place.
Now don’t I have the right to be concerned?” (Page 46) Paul Sassari introduced himself as Laura’s fiancé. He knows Thomas and Laura were met, and she spent the night at Thomas’ apartment. The love needs: As a Laura’s fiancé, Paul has a sense of belonging with Laura. 4) Esteem needs (self-respect, social approval, etc.) I let him ramble on it that vein for a while longer: he had been duped, exploited, lied to, and betrayed. He had suffered greatly; even his drug habit was Sassari’s fault. And now he was owed something for his pains. They owed him, whoever they were. He was full of bravado and dark threats about the revenge he would exact. It was an obsession: his selfrespect demanded compensation. (Page 105) Morris Fieldman was lying to Thomas; his drug habit was Sassari’s fault. Sassari’s family was owed him. The esteem needs: he has an obsession to reach his self-respect from anyone who gives a bad treatment to him, especially to Sassari’s family. 5) Self-actualization (achieving maximum development of one’s potentialities) “I know I gave you that line about this detective following me on my parents’ orders. Well, that is an unfortunate habit of mine. I make up stories. I have no parents. Correction. I don’t know who my parents are so I make up parents who are rich and spend all their time searching for me. Do you know what I’m talking about? It’s very common. Standard practice for orphanage brats.” (Page 63) Laura was making up stories to make people around her believe she has parents that love her very much. She hires a detective to make sure that her parents want her to found. The self-actualization: She said it’s very common for an orphan like her to make up a story like that. She wants to show to the other she has families that love her.
52 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 47 - 54
2. The Results of Laura’s Relationships All human being s have basic emotional needs to love and be loved, to be needed and wanted. These emotional needs are met through the kinds of relationships that built with others. The wish to be accepted by others is another need people have. To seek acceptance is to want people to understand and support us. Acceptance needs can be met in any relationship area (family, friends, acquaintances, or dating partners). It can be seen from the dialogue in page 66: “Money is the last big illusion, money and marriage. I didn’t think they were going to solve my problems. It was more like trading the old ones in for a new set.” Laura married Paul is not because of she love him. Laura was an orphanage materialistic woman who needs to be accepted by others who she is. Paul is a famous writer, a successful man, and off course he is rich. She’ll get all that she wants. She wants to be more prosperous. With married Paul, she could reach her want. THE EFFECTS LAURA GETS FROM RELATIONSHIPS ON HER CHARACTER Every relationships we’ve done off course bring some effects in our life. Laura’s relationships with men also bring some effects on her character, too. It also supported from the two dialogues below: Dialogue 1 “Can I tell you something?” he said. “I admired what you did back at the house. I admire your position now, but I think you’re wrong. Laura Cassidy may not end up with Paul, but she’ll gravitate to a man like him, a successful man, a man who wields power. I don’t think you’re right for the part. She’s not suitable for you.” “Are you her agent, too?” “I’ve offended you. I’m sorry,” he said. “The girl is a pathological liar and has a drug problem. I can’t imagine a reasonable man wanting to have anything to do with her.” (Page 53) Laura Cassidy’s behaviors make people around her like Dix Landau knows she is a
pathological liar and a junkie. He makes up stories with a lot of men which make her interested, especially for a rich, successful, and powerful man like Paul Sassari. Dialogue 2 ...She had gone to considerable trouble. It was what you might do if you loved someone. But was that love? And if she loved me, why didn’t she trust me? But then I could see her asking the same question of me. Why had I instead on calling her bluff? Why couldn’t I have trusted her and driven to the airport and broken the pattern of my life? God knows, I’d wanted to. She had still promised the richest kind of excitement. She was still the only woman whose name mentioned in a room brought me to a standstill. So why hadn’t I taken that ride? They say any day now Los Angeles is going to slide into the ocean. But it will never happen: Southern California is at least twenty miles thick and the Pacific is the only two miles deep. It was for some such reason that I didn’t go with Laura, though she would have been good company for any apocalypse. (Page 219) Thomas Kyd loves Laura Cassidy very much. He always helps her from some jam before. It could happen when we love someone. Thomas was too late to regret from his pattern. She didn’t trust him, and he did not trust her. Laura had gone with considerable trouble with his life. CONCLUSION AND RECOMMENDATION 1. Conclusion Paying attention to the results of analysis as well as the research problems, it can be concluded as follows: 1. Types of Interpersonal Relationship Laura does are: (1) Formalized intimate relationship with Carl Bomberg and Paul Sassari; (2) Non-formalized intimate relationship with Thomas Kyd; (3) Casual relationship with Morris Fieldman; (4) Brotherhood with her connection in the same club (PussyMania Club); (5) Partners with her ex-business partner in San Francisco, Eric.
Ramadhani, Laura’s Interpersonal Relationships with a Men | 53
2. There are an internal factor and external factor supports her relationships. The Internal factor is: she wants to make her life more prosperous than before. She thought that married Paul Sassari would make her life change, and people would accept where they are. The External factor is: she is an orphan. She wants to make sure people she has a good family-portrait in her life. The results of her relationships are: she’ll get all that she wants. With married Paul, she could get her needs and be more prosperous. With Morris Fieldman, she could found new experience, and with Thomas Kyd, she could be safely for her true identity. In passport, her name was Mary Thompson; then she married with Carl Bomberg, then change to Eva Louise Bomberg; after her divorce, she change her name to Laura Megan Cassidy; after her marriage with Paul Sassari, her name become Laura Sassari. 3. The effects of relationships on her character are: her behaviors make people around her like Dix Landau knows she is a pathological liar and a junkie. Besides, Laura had gone with considerable trouble with Thomas life, because he loves her very much
Recommendation After analyzing the entire novel, the researcher can make some suggestions for the author, educational institution, and for further researcher as follows 1. Author It is suggested that Laura’s relationships with men is may occur in different situation, according to Laura’s needs. It would be interesting and completely fascinating to the reader to experience what the author had experienced in interpersonal relationships. 2. Educational purposes In literary research, it is suggested that educational institution or department that connected to relationships to use this study as additional material, especially in studying interpersonal relationships. For the students, who like to learn about relationships, this study could be an example and additional material to write their relationships. 3. Further research This study could be used as references or additional material for others who want to research about the relationships, especially interpersonal relationships. Since, the researcher used a detective novel as a theme, it is suggested that the others would study another novel with another themes.
REFERENCES Hardjana, Andre. 1994. Kritik Sastra (Sebuah Pengantar). Jakarta: PT.Gramedia. Pustaka Utama.
Johnson, David W. 1981. Reaching Out. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Gillin&Gillin 1954. Cultural Sociology, A Revision of an Introduction to Sociology. New York: the Mackmillan Company.
Kartono, K. 1990. Teori Kepribadian. Bandung: CV. Mandar Maju.
Gerungan, W.A. 2002. Psikologi Sosial, Cetakan 15. Bandung: Refika Aditama. Harris, Timothy. 1981. A Thomas Kyd Thriller’s Goodnight & Goodbye. London: Pan Books Ltd.
Maslow, A.H. 1954. Motivation and Personality. New York: Harper and Row Publisher. Roekhan. 1990. Kajian Tekstual Dalam Psikologi Sastra. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh.
54 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 47 - 54
Sasse, Corrie.R. 1981. Person to Person. Lubbock, Texas: Bennett Publishing Company, Texas Teach University. Selo Soemardjan – Soelaeman Soemardi (eds). 1964. Setangkai Bunga Sosiologi, Edisi I. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Soerjono Soekanto. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar, Cetakan VIII. Jakarta: UI Press.
http://www.britannica.com/eb/article-68504 http://www.plotinus.com/human relationships/42569 http://www.wikipedia.org/relationships/interpe rsonal relationship/30218 Vander Zanden, James W., Social Psychology, Random House, Inc., United States of America, 1984
MORAL VALUES APPLICATION IN” ROBINSON CRUSOE” BY DANIEL DEFOE R. Agus Budiharto
[email protected] Daniel Defoe is one of the greatest English novelists. His novel Robinson Crusoe constitutes an exciting and remarkable story about an Englishman who is shipwrecked on uninhabited island, which reflects moral values that is how Crusoe appreciates himself toward nature and how he saves himself on his own on uninhabited island. Therefore this study is concerned primarily moral values application of” Robinson Crusoe”, in the light of Thiroux’s theory. According to Thiroux (1995: 11-12) that there are two moral values application: individual moral values and social moral values. The analysis is only focused on individual moral values. The finding shows that in novel Robinson Crusoe, the narrator describes the main character as a person who has courage, certainty, discipline, carefulness, effort and patience to go through a period of his life. Keywords: literature, Moral Values Applications, Robinson Crusoe
I. Introduction By the existing of literary work which is talking about social life problems, between literature and human being possess of strong relationship is not able to be separated. Literature with wholly expression is a reflection of human life. Human problem is one of author's inspirations to express himself with literary work media. In this case, literature without human being is nonsense. Its indeed, literature cannot be released from human being, whether human as man of letters or the literary lovers. Those show that human plays role as determining supporter of the literature life. Hudson in Hartiningsih (2001: 3) says that literature is vital record of what man have seen in life, what they have experience in daily life, what they though and feel about those aspects of it. It is also useful for the lovers in adding internal or spiritual experience. Talking about imaginative characteristics on literary work, we are faced of the three literary genres, which are prose, poem and drama. One of the various prose is novel. Novel is one of various prose besides short story and romance or poem and drama. The novel is an extended prose narrative. Novel as one of the result of author's expression, ideas and imagination has something valuable on it. Aminuddin (2000: 10), novel is fictional
narratives representing a way of life or an experience. It range from slight recollections of a small part of life or an experience to the most complete and detailed accounts imaginable; and they vary from the lightest to the most serious experiences and events faced by man. In this case the researcher believes that the author delivers messages such as moral to the readers whether explicitly or implicitly. And it means that moral value is an important part of novel as author's messages to the readers. Talking about moral, it is very interesting topic because moral is identical with human act, and human act always relates to social life. Moral is one of determining factor of harmony, peaceful and comfortable human living. Moral value is "the standards of good and evil, which accepted public about the individual's behaviors, attitude, obligation, character and nature" (Moeliono, 1990: 592). It means that moral value presents to lead human act in human living in order to create comfortable life. And how moral is very valuable in social life all over the world. Robinson Crusoe novel is chosen to be analyzed because it has some strength from the content perspective. This novel tells about a brave man who is shipwrecked on an uninhabited island and has to learn how to survive on his own. 55
56 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 55- 61 Besides, the author presents how social interaction in different races and those show how the main character's behavior and what moral values that exist among them. II.
DISCUSSION
1. Individual Moral Individual moral refers to individuals in relation to themselves and to an individual code of morality that may or may not be sanctioned by any society or religion (Thiroux, 1995: 33). a. Courage Courage means possessing or displaying courage: ability to face danger, pain without showing fear. It is ability to face danger or pain without showing fear. Dealing with this case Robinson Crusoe was a brave man, he wanted to be a sailor that had many risk. My father who was very ancient, had given me a competence share of learning,……………….and design me for the law but I would be satisfied with nothing but going to sea.(P.06 / C.1 / Pr.4) The word "going to sea" can be interpreted as to be a Sailor or a merchant of the sea, and the only a brave man who wants to be a Sailor because this profession has many challenges, dangers, and obstacles so without strong bravery someone can not to be or will not to be a Sailor or a merchant of the sea. The word," I would be satisfied with nothing but going to sea" shows implicitly that Robinson Crusoe was a brave man; he really wanted to be a Sailor, it means he was someone who had courage to face the risk in voyages, someone who had bravery to take the consequences of a Sailor or a merchant of the sea. When, giving the boy the helm, I stepped forward to where the Moor was, and making as if I stooped for something behind him, I took him by surprise with my arm under his waist, and tossed him clear overboard into the sea. (P.14 -15 / C.11/ Pr. 6) The sentence " I took him by surprise with my arm under his waist, and tossed him clear
overboard into the sea" means that Robinson Crusoe had no fear to lose Moor for arising his freedom. He was never tremble to face his enemies or anything which disturbed him. He had no doubt to fight with his enemy event though it threaten his soul. ………………….we heard one of these mighty creatures come swimming towards our boat; we could not see him, but we might hear him by his blowing to be a monstrous huge and furious beast. Xury said it was a lion……………………however, I immediately stepped to the cabin door, and taking up my gun, fired at him; upon which he immediately turned about and swam towards the shore again. (P.15-16/ C.II / Pr .6). The word "creature" means something dangerous such a wild sea animal which threaten Crusoe and Xury. The sentence" I immediately stepped to the cabin door, and taking up my gun, fired at him; upon which he immediately turned about and swam towards the shore again" means Crusoe with his courage tried to face the dangerous creature, he used his gun without any fear to shoot at it, and he was success to make the creature turned to the shore up again. Robinson Crusoe was really a brave man especially when he faced danger, not only that, he also taught Xury to be a brave man. ……………….."Well, Xury," said I, "we will both go and if the wild mans come, we will kill them, and they shall eat neither of us. (P.16/ C.II/ Pr. 3). …………" I looked where he pointed, and saw a dreadful monster indeed, for it was a terrible, great lion that lay on the side of the shore, under the shade of a piece of the hill that hung as it were a little over him. "Xury," says I, "you shall on shore and kill him. (P.17/ C.II/ Pr.2) The sentences "We will both go and if the wild mans come, we will kill them". And also ""Xury," says I, "you shall on shore and kill him" can be interpreted that Crusoe not only a brave man but he tried to teach Xury how to be brave man, how to face danger with his own
Budiharto,Moral values Application | 57
courage such as killing whatever creatures those were so dangerous for them. b. Certainty Based on the theory, Courage means possessing or displaying courage: ability to face danger, pain without showing fear. It means as state of being sure: having no doubt. Robinson Crusoe as the main character was a man who had certainty. It was supported by the sentences: I was now eighteen years old, which was too late to go apprentice to a trade or clerk to an attorney; that I was sure if I did I should never serve out my time, but I should certainly run away from my master before my time was out, and go to sea.(P.7/C.I/Pr.4) The sentence" I was now eighteen years old" can be interpreted at the time Robinson Crusoe was a Boy in eighteen years old, in this age someone was in age of puberty, he had strong will, strong motivation and dead certainty to do what the things he wanted. And did to Crusoe, he was really in certainty to do what he will. The sentence "but I should certainly run away from my master before my time was out, and go to sea" means that Robinson Crusoe had no doubt for going to sea before his time was out. Robinson was a man who had strong will and he had certainty with his will. ………………., without asking God's blessing or my father's, without any consideration of circumstances or consequences and in an ill hour, God knows, on the 1st of September 1651, I went on board a ship bound for London. (P.8/C.I/Pr.I) The sentences " without asking God's blessing or my father's, without any consideration of circumstances or consequences and in an ill hour, God knows, on the 1st of September 1651, I went on board a ship bound for London". Means that Crusoe really escaped from his house for going to sea and as his first
voyage to London although without any permission to his parents, in this case he had never doubtfully to be a Sailor, he had the real certainty to sail through ocean of the world, and his dreams came true. This condition showed that Crusoe had certainty in his live and life. He had strong will toward decision of his live, and this case was influenced by his certainty in going through a period of his life. Robinson Crusoe's certainty brought him to a new world, he was the real sailor. So as one day, it was as his most misfortune in his life. The terrible storm brought him to uninhabited island. This analysis related to the sentence: "the wave that came upon me again buried me at once twenty or thirty feet deep……………….I was now landed and safe on shore"(P.25/C.III/Pr.3) During Robinson was on uninhabited island, he was certain that everyone could make something what they wanted. His certainty gave the positive effect for himself. I believe few people have thought much upon the strange multitude of little things necessary in the providing, producing, curing, dressing, making, and finishing this one article of bread. (P.61/ C.VIII/Pr.4) "Believe" means trust, there was something convinced or something certain in heart. While the sentence" I believe few people have thought much upon the strange multitude of little things necessary in the providing, producing, curing, dressing, making, and finishing this one article of bread " can be interpreted that Crusoe believed that everyone in this world could do anything that they needed, could have multi talented especially related to things necessary of daily life such as providing, producing, dressing, and something like that. It means Crusoe had certain that he was self could do what he needed. I improved myself in this time in all the mechanic exercises which my necessities put me upon applying myself to; and I believe I should, upon occasion, have made a very good
58 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 55- 61 carpenter, especially considering how few tools I had. (P.73/ C.X/ Pr.5)
morning continually. He did not let his times wasted
The sentence" I improved myself in this time" can be interpreted that a man who wanted to improve, to increase or to be advance of the quality of his life, it means, he had well certain toward himself, he had a good confident toward his future life. While the sentence" and I believe I should, upon occasion, have made a very good carpenter, especially considering how few tools I had." This showed that the Author put Crusoe as the character who had certain toward himself, there was no doubt for him to survive and fulfill his daily need with his own hand in uninhabited island. I made no doubt but that, if there were twenty, I should kill them all. (P.85)
useless without doing something useful for his life. In these cases showed that Crusoe was a discipline man. While the sentence “and from twelve to two I lay down to sleep, the weather being excessively hot; and then, in the evening, to work again” can be interpreted that Crusoe was really a good manager for his times, from morning to evening he could manage his times for doing something which was his needs. Even though he wasted his times with working and working but he never forgot to take a rest. His way in managing his times during uninhabited island was a proof that Crusoe was a good personal of discipline. Crusoe was a man who could manage his time well; he could divide his times to do something useful for his survival.
The sentence" I made no doubt but that, if there were twenty, I should kill them all" can be interpreted that he was certain in killing the savages in mount of numbers. c. Discipline It is defined as ability to control behaviors, way of life or work. Robinson Crusoe had a good discipline of his work. He was a good manager of himself especially to manage his time during he was wrecked in not inhabited island. ………………………every morning I walked out with my gun for two or three hours, if it did not rain; then employed myself to work till about eleven o'clock; then eat what I had to live on; and from twelve to two I lay down to sleep, the weather being excessively hot; and then, in the evening, to work again. (P.39). I mean always accepting my morning walk with my gun, which I seldom failed, and very seldom failed also bringing home something fit to eat. (P.40/C.5/Pr.2) “Every morning” showed that the times in the morning running continually. If this interpretation was related to the sentence “I walked out with my gun for two or three hours, if it did not rain; then employed myself to work till about eleven o'clock “can be interpreted that the main character “Robinson Crusoe” had something which was done in the
……………but having regularly divided my time according to the several daily employments that were before me, such as: first, my duty to God, and the reading the Scriptures, which I constantly set apart some time for thrice every day; secondly, the going abroad with my gun for food, which generally took me up three hours in every morning, when it did not rain; thirdly, the ordering, cutting, preserving, and cooking what I had killed or caught for my supply; these took up great part of the day. (P.59/C.VIII/Pr.5). I continually made my tour every morning to the top of the hill, which was from my castle, as I called it, about three miles or more, to see if I could observe any boats upon the sea, coming near the island, or standing over towards it;……………….(P.86/C.XII/Pr.2) “……………but having regularly divided my time according to the several daily employments………..” can be interpreted that Robinson Crusoe could divided his times regularly, and everything what he did were positive toward his life and survival. For instance: he divided his times for: first, his duty to God, second going with his gun for looking food, third production for his supply
Budiharto,Moral values Application | 59 etc. these interpretation related to sentences ”first, my duty to God, and the reading the Scriptures, which I constantly set apart some time for thrice every day; secondly, the going abroad with my gun for food, which generally took me up three hours in every morning, when it did not rain; thirdly, the ordering, cutting, preserving, and cooking what I had killed or caught for my supply; these took up great part of the day.” While the sentence “I continually made my tour every morning to the top of the hill, which was from my castle, as I called it, about three miles or more, to see if I could observe any boats upon the sea, coming near the island, or standing over towards it;……” can be interpreted that Crusoe wasted his time not only to fulfill his daily needs during he was uninhabited island, but he also wasted his time to go to the top of the hill, he did it to find some way to escape from that island. d. Carefulness Carefulness is defined as the quality of being careful and painstaking. It is the trait of being cautious: being attentive to possible danger. Crusoe was a man who has carefulness in his every step. Another trick I tried upon him, which he innocently came into also: his name was Ismael, which they call Muley, or Moely; so I called to him "Moely,"…………………….. (P.14/ C.11/Pr.5) The sentence "Another trick I tried upon him…………." Means Crusoe used his trick in order to be careful towards his escape in carrying anything what he needed. He was so careful toward “Moely” a man from Moor who always controlled Crusoe. Robinson was a man whose carefulness towards anything he had; when he was shipwrecked on uninhabited island he had powder for about two hundred and forty pound weight. He had been careful towards his powder; he saved it from danger, rain, wet or other thing that made it broken. It was supported by the sentences: I think my powder, which in all was about two hundred and forty pounds weight, was divided in not less than a hundred parcels. As to the barrel that
had been wet, I did not apprehend any danger from that; so I placed it in my new cave, which, in my fancy, I called my kitchen; and the rest I hid up and down in holes among the rocks, so that no wet might come to it, marking very carefully where I laid it. (P.3233/C.IV/ Pr.10) “I think my powder…….” can be interpreted that Robinson Crusoe was attentive, careful, and think over toward his powder. While the sentence “so I placed it in my new cave, which, in my fancy, I called my kitchen; and the rest I hid up and down in holes among the rocks, so that no wet might come to it” can be interpreted that Crusoe really saved his powder from danger, he put his powder in the saved place as his concrete way of Crusoe’s carefulness toward anything he had."………..marking very carefully where I laid it" means that Crusoe was so careful towards his powder. e. Effort Effort means earnest and conscientious activity intended to do or accomplish something. Dealing with this moral value Crusoe had many effort on his life, during on his voyage he faced many risk, one day was really his great misfortune when he arrived on between Canary Islands and African shore. He was surprised by Turkish rover of Salle and finally Crusoe became their slave. During he was slave; he had so many efforts to escape from the slavery. Here I meditated nothing but my escape, and what method I might take to effect it ……………………………….and as he always took me and young Maresco with him to row the boat, we made him very merry, and I proved very dexterous in catching fish; insomuch that sometimes he would send me with a Moor, one of his kinsmen, and the youth -the Maresco, as they called him - to catch a dish of fish for him.(P.13/C.II/Pr.4-5) The sentence "Here I meditated nothing but my escape, and what method I might take to effect it" means Robinson Crusoe had think over about
60 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 55- 61 his escape, he still think of about the tricks that he should used. Thinking of trick was one of effort that he would try to reach the freedom. And the sentences " and I proved very dexterous in catching fish; insomuch that sometimes he would send me with a Moor, one of his kinsmen, and the youth -the Maresco, as they called him - to catch a dish of fish for him" means that he began to do his effort, he began to do something perfect especially in catching fish in order to make his patron trusted to him and one day he would sent him with the Moor. His effort was successful to make his patron trusted to him, one day he was sent to catch the fish with the Moor. This situation was used to get his freedom. It was supported by the sentences: ……………- for when I had fish on my hook I would not pull them up, that he might not see them - ………………….I took him by surprise with my arm under his waist, and tossed him clear overboard into the sea. He rose immediately, for he swam like a cork, and called to me, begged to be taken in, told me he would go all over the world with me. (P.14-15/C.II/Pr.6) f. Patience Patience is defined as ability to stay calm and accept delay or annoyance without complaining. Robinson Crusoe as the main character was a man whose forbearance towards his condition. His patience was really existed when he was in uninhabited island. He was lonely, no one friend, going bed in the tree, bad weather and everything was so bad, but a man as Crusoe no complaining towards his condition, he could stay calm. It was supported by the sentences: I HAD now been in this unhappy island above ten months. All possibility of deliverance from this condition seemed to be entirely taken from me; and I firmly believe that no human shape had ever set foot upon that place. Having now secured my habitation, as I thought, fully to my mind, I had a great desire to make a more perfect discovery of the island, and to see what other productions I might find, which I yet knew nothing of. (P.52/C.VII/1)
The sentence “I HAD now been in this unhappy island above ten months” can be interpreted that a man who lived lonely without someone else to accompany or to communicate in uninhabited and unhappy island was a difficult thing to express. The word “ten month” was not short in time for a man who must survive in that island; he needed strong effort and patience. While the sentence "…… as I thought, fully to my mind, I had a great desire to make a more perfect discovery of the island" can be interpreted that Robinson Crusoe was in miserable condition, but he tried to accept whatever he faced by made something new in that island, he made his life felt comfort. His patience to walk on his live made him survive. In his loneliness, Crusoe tried to accept the whole condition what he faced. ……….and how I was a prisoner, locked up with the eternal bars and bolts of the ocean, in an uninhabited wilderness, without redemption. From this moment I began to conclude in my mind that it was possible for me to be happier in this forsaken, solitary condition than it was probable I should ever have been in any other particular state in the world.................. (P.59/C.VIII/Pr.2) “How I was a prisoner” can be interpreted that Crusoe felt he was a prisoner in uninhabited island, everyone who lived alone in uninhabited island would feel as same as Crusoe felt. But he tried to accept whatever the condition, because without much patience he would not be surviving. In this case Robinson Crusoe was still optimist of his live and life, this interpretation was related to the sentence “From this moment I began to conclude in my mind that it was possible for me to be happier in this forsaken, solitary condition than it was probable I should ever have been in any other particular state in the world.................. “. Robinson Crusoe could make anything what he wanted not only because of his effort, but it caused by his patience. It supported by the sentences:
Budiharto,Moral values Application | 61 Any one may judge the labour of my hands in such a piece of work; but labour and patience carried me through that, and many other things. …………….with patience and labour I got through everything that my circumstances made necessary to me to do, as will appear by what follows. (P.60/C.VIII/Pr.2) The sentence “Any one may judge the labour of my hands in such a piece of work; but labour and patience carried me through that, and many other things. …………….with patience and labour I got through everything that my circumstances made necessary to me to do, as will appear by what follows.” Can be interpreted that everything he did, it would never give the best result, and it would never be success without patience. Event though he gave his all labors in accomplishing something or to face the difficulties, it would never complete without patience. So, he believed that he can survive and producing anything he wanted because of his labors and patience.
III. Conclusion Robinson Crusoe is a brave man because he will not be a sailor if he is not brave. Because of this his courage, he could survive his living. He never gives up toward the difficult things he faced. His courage brings him to be stronger in whatever condition Xury is also flat character who has good courage; he accompanied Crusoe to face the Moor. Other flat character who is brave is Friday; he could kill many cannibals with Crusoe. He has certainty in his life, his certainty makes him not easy to be influenced by others, and he has strong dependability. He has own principality and it brings him to have trusty and confidence. He also has a good discipline, during he is in uninhabited island he never waste his times useless. He really manage his times well, time is work for him in order to survive. His discipline brings him to be a good manager of himself and others. Furthermore he has carefulness, good effort in his survival, and patience which brings him in a better life and to be calmer in facing his problem.
References Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru . Hartiningsih, Sri, 2001. Introduction to Literature. Malang: Univesitas Muhammadiyah Malang
Moeliono, Anton, dkk. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Thiroux, Jacques. 1995. Ethics Theory and Practice. New York: Warner Books,
PERUBAHAN SOSIAL ETNIK MADURA DALAM LIRIK LAGU KONTEMPORER BERBAHASA MADURA Masyithah Maghfirah Rizam Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Madura Jalan raya Panglegur Km. 3,5 Pamekasan Email: …….. Abstract: This research focused on social change of the Madurese ethnic in Madurese contemporary song lyric, involves: (1) the change of the view of live (2) the change of behavior of Madurese ethnic. This study used a qualitative research approach and is chategorized as anthropology. The research findings are two social changes. First, the change of view of life includes the change towards individual self which consists of keeping the mouth, hedonism, not respecting self, and not act up to norm.The change towards the other selves consists of the consideration to be fruitful one to the others and not burdening the others. Second, the behavior change in Madurese contemporary song lyrics consists of the behavior change towards our own selves which includes the consideration to be aware of something, to be realist, and to be responsible. The behavior change towards the other selves consists of the changes of obeying, the friendship, and the neigborhood behavior. The change of obeying, such as the children obey the parents and the wife obeys her husband. Keywords: Madurese ethnic, views of life, social change, Madurese literary, comtemporary song lyrics.
PENDAHULUAN Pembangunan Jembatan Suramadu ditengarai sebagai awal dari suatu perubahan sosial budaya yang sedang bergerak cepat di Pulau Madura. Potret masyarakat Madura yang semula agraris tradisional dalam waktu singkat berubah menjadi masyarakat industri yang modern. Selama ini, masyarakat Madura membangun harmoni sosial melalui tradisi dan solidaritas sosial yang tinggi. Beberapa faktornya antara lain masyarakat Madura relatif homogen dan sederhana, hubungan antarsesama warga cukup erat dan hangat, serta belum banyak ragam pekerjaan yang menuntut profesionalitas sehingga solidaritas di tengah-tengah masyarakat dengan mudah tercipta secara mekanik (Mahfud: 2009). Selama ini, etnik Madura juga seringkali digambarkan dengan stereotip negatif. Etnik Madura dikenal sebagai etnik yang keras, pendendam, mudah tersinggung, kurang toleransi dengan orang lain, dan sangat fanatik dengan agamanya. Akan tetapi, ada pula stereotip positif, seperti ulet bekerja, pemberani, dan mudah beradaptasi. Munculnya stereotip ini karena identitas suku Madura di-bentuk oleh suku lain sehingga citra
diri mereka sendiri seolah tersembunyi oleh stereotip itu (Kusumah, 2003:1). Susanto (1979:178) mengemukakan bahwa perubahan masyarakat mempunyai arti yang luas, yaitu dapat diartikan sebagai perubahan, perkembangan dalam arti positif maupun negatif. Perubahan masyarakat dapat berarti kemunduran atau regress dan kemajuan atau progress. Dalam perubahan yang serba multikompleks ini, dengan sendirinya ada dua kemungkinan yaitu (1) manusia menemukan sistem penilaian dan filsafat hidup yang baru, dan (2) manusia tenggelam di dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tidak dapat mengambil sikap atau keputusan terhadap keadaan baru. Perubahan sosial dalam intinya adalah perubahan norma-normanya. Norma-norma dan proses pembentukan norma-norma merupakan inti dari mempertahankan persatuan kehidupan berkelompok, maka dengan sendirinya bahwa proses perubahan sosial adalah proses desintegrasi dalam banyak bidang sehingga demi progres, maka harus diusahakan adanya reintegrasi kembali, yaitu penampungan dalam suatu kehidupan bermasyarakat yang lebih cocok dengan ke62
63 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 62- 71 butuhan masyarakat yang baru, di mana norma-norma yang lebih cocok inilah yang akan merupakan ikatan dari masyarakat yang lebih baru atau lebih luas. Salah satu contoh perubahan masyarakat di Indonesia adalah bahwa ikatan kesukuan mulai renggang dan diganti oleh ikatan masyarakat yang luas, yang secara politis sudah merupakan suatu kesatuan (Susanto, 1979:182). Perubahan sosial merupakan perubahan dalam segi struktur sosial dan hubungan sosial. Perubahan sosial antara lain meliputi perubahan dalam segi distribusi kelompok usia, tingkat pendidikan rata-rata, tingkat kelahiran penduduk, penurunan kadar rasa kekeluargaan, dan informalitas antartetangga karena adanya perpindahan orang dari desa ke kota, dan perubahan peran suami sebagai atasan yang kemudian menjadi mitra (partner) istri dalam keluarga demokratis dewasa ini (Horton & Hunt, 1984:208). Fokus penelitian ini tidak mencakup keseluruhan dari segi struktur sosial dan hubungan sosial tersebut. Fokus penelitian ini adalah perubahan dalam segi hubungan sosial. Dalam hubungan sosial tersebut, perubahan sosial antara lain penurunan rasa kekeluargaan, informalitas antartetangga, dan perubahan peran suami sebagai atasan yang kemudian menjadi mitra (partner) istri dalam keluarga demokratis dewasa ini. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan sosial etnik Madura dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura. Secara khusus, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan perubahan pandangan hidup etnik Madura dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura, perubahan pandangan hidup etnik Madura terhadap diri sendiri dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura, perubahan pandangan hidup etnik Madura terhadap orang lain dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura, perubahan perilaku etnik Madura dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura, perubahan perilaku etnik Madura terhadap diri sendiri dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura, perubahan perilaku etnik Madura terhadap orang lain dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura.
METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Ditinjau dari aspek metodologis kajiannya, penelitian ini juga merupakan kajian antropolinguistik. Peneliti bertindak sebagai instrumen kunci. Sumber data penelitian ini adalah lirik lagu kontemporer berbahasa Madura yang diperoleh dari rekaman audio visual sedangkan data penelitian ini adalah kata, frasa, klausa, dan kalimat dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura yang mengandung perubahan sosial etnik Madura. Langkah-langkah pengumpulan data adalah (1) menyimak secara intensif lirik lagu kontemporer berbahasa Madura, (2) menranskrip data terekam (lirik lagu kontemporer berbahasa Madura) menjadi data tertulis, (3) menerjemahkan lirik lagu kontemporer berbahasa Madura ke bahasa Indonesia, (4) mengodekan bagian-bagian lirik lagu yang diangkat menjadi data, dan (5) menganalisis dan menafsirkan data untuk menemukan perubahan sosial etnik Madura. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis etnografi Spradley. Pengecekan keabsahan temuan dilakukan dengan teknik triangulasi dan pemeriksaan sejawat melalui diskusi HASIL DAN PEMBAHASAN Sesuai dengan tujuan penelitian ini, hasil penelitian dan pembahasannya disajikan dengan urutan (1) perubahan pandangan hidup etnik Madura dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura dan (2) perubahan perilaku etnik Madura dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura. Perubahan Pandangan Hidup Etnik Madura dalam Lirik Lagu Kontemporer Berbahasa Madura Perubahan pandangan hidup etnik Madura dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura meliputi (1) perubahan pandangan hidup etnik Madura terhadap diri sendiri dan (2) perubahan pandangan hidup etnik Madura terhadap orang lain. Pembahasan terkait perubahan pandangan hidup etnik Madura dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura tersebut secara lebih rinci sebagai berikut.
Rizam,Perubahan Sosial Etnik Madura | 64 Perubahan Pandangan Hidup Madura Terhadap Diri Sendiri
Etnik
Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian diindentifikasi adanya perubahan pandangan hidup terhadap diri sendiri dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura meliputi (1) tidak menjaga alat ucap, (2) hedonisme, (3) tidak menjaga kehormatan, dan (4) tidak taat aturan. Gejala tidak menjaga alat ucap menunjukkan mulai tergesernya normanorma tradisional khususnya tatakrama atau yang disebut dengan andhâp ashor. Otokritik tanpa dasar yang kuat terhadap etnik Madura yang ditemukan dalam lirik lagu Reng Madhurâ Ghâ-oghâ seperti penggunaan istilah ghâ-oghâ itu sendiri berpotensi memunculkan konflik. Konflik dapat terjadi karena etnik Madura dapat tersinggung dengan sebutan ghâ-oghâ yang artinya berpendirian tidak tetap atau sering berubah-ubah. Kutipan berikut ini juga berpotensi untuk menimbulkan konflik. (1) [Bait 6] Kèng sayang bahasana rèng Madhurâ nyamana Bilu’ ta’ ètemmo konco’ bhungkana Hanya sayang cara berbahasanya, orang Madura namanya Bengkok tak jelas ujung pangkalnya (LRK.01.06) Bilu’ ta’ ètemmo konco’ bhungkana atau bengkok tak jelas ujung pangkalnya dalam kutipan tersebut juga merupakan otokritik atau kritikan individual penulisnya. Mengemukakan pendapat terhadap suatu etnik dengan menggunakan ungkapan bilu’ ta’ ètemmo konco’ bhungkana berpotensi menimbulkan konflik. Kritikan ini dapat menyebabkan etnik Madura tersinggung sebagai etnik yang menjunjung martabat dan harga diri. Mereka tersinggung dengan otokritik sebagai etnik dengan bahasa yang tidak jelas. Kritikan tersebut adalah bentuk ketidakhati-hatian pengritiknya dalam memelihara lisan. Kebebasan membahas berbagai persoalan di muka publik seperti dalam lirik lagu menunjukkan perubahan pandangan hidup tradisional terkait adanya hal-hal yang dianggap tabu untuk dibicarakan. Urusan seksualitas, hal-hal yang terkait seksual, apalagi aktivitas seksual suami istri
biasanya tidak dibicarakan di muka umum. Lirik lagu Binè membahas urusan seksualitas seperti pada kutipan berikut. (2) [Bait 6]…. Molè maso’ kamar pas matè’è lampu Se binè’ è ranjang akobâ’ mènta tabbhu …. Pulang masuk kamar memadamkan lampu Perempuan di ranjang melambai minta ditabuh (LRK.02.06) (3) [Bait 9]….
Mon korang jhâmona clèkker gi’ ri’-bâri’ Sè ngoda pas ngambhul auèng la bâjhi’ Polana sè lakè’ lèca’ ta’ lem odi’ …. Kalau jamunya kurang, si pria sudah lemas terlebih dahulu Istri muda kecewa sambil menggelenggeleng sudah benci Karena si pria loyo (LRK.02.09) Mengemukakan aktivitas seksual suami istri seperti di ruang publik seperti halnya pada kutipan (2) dan (3) lirik lagu Binè menunjukkan adanya perubahan pandangan hidup terkait kebebasan berbicara khususnya bahasan apa yang boleh dan tidak boleh dibahas di muka publik. Penggambaran aktivitas seksual dengan maso’ kamar pas matè’è lampu/sè binè’ è ranjang akobâ’ mènta tabbhu yang artinya masuk kamar kemudian memadamkan lampu/si perempuan di ranjang melambai minta ditabuh. Penggunaan kata kamar, memadamkan lampu, dan ranjang dalam lirik lagu tersebut menggiring pemikiran akan aktivitas seksual suami istri. Menjaga harga diri atau kehormatan bagi masyarakat Madura merupakan salah satu bentuk menjalankan tugas agama (Islam), bahwa seseorang itu wajib menjaga dirinya dan segala yang menjadi haknya sebagai perwujudan syukur kepada Tuhan. Bagi masyarakat Madura menjaga diri dan menjaga kehormatan merupakan simbol kehormatan (harga diri) masyarakat Madura (Busri, 2010: 226). Masyarakat Madura sebagai masyarakat yang bersifat konservatif menunjukkan naluri yang kuat untuk menjaga harga dirinya (Busri, 2010: 417). Menjaga harga diri dan kehormatan keluarga adalah tugas setiap anggota keluarga. Dalam peribahasa Madura telah disebutkan
65 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 62- 71 bahwa anggota keluarga yang berperilaku buruk bukan hanya merusak nama baik diri secara pribadi tetapi juga keluarganya atau komunitas genetisnya. Hal itu terungkapkan dalam peribahasa -karong sèttong ‘seperti segerombolan ikan bandeng yang dimakan satu ikan pemangsa ‘rong-karong’ yang artinya nama baik sekeluarga dirusak salah satu anggota yang berperilaku buruk. Segerombolan ikan bandeng dalam peribahasa itu dianggap lebih berharga daripada satu ikan pemangsa ‘rong-karong’ seperti halnya keluarga besar yang seharusnya lebih diutamakan dijaga nama baiknya dengan cara menjaga nama baik diri agar tidak berimbas pada nama keluarga besar yang berharga. Perubahan Pandangan Hidup Etnik Madura Terhadap Orang Lain dalam Lirik Lagu Kontemporer Berbahasa Madura Perubahan pandangan hidup terhadap orang lain meliputi (1) perubahan pandangan hidup tentang kebermanfaatan diri bagi orang lain dan (2) perubahan pandangan hidup tentang tidak menyusahkan orang lain. Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian diindentifikasi bahwa ada perubahan terkait tolong-menolong baik dalam lingkungan keluarga maupun bertetangga. Diidentifikasi pula adanya anak-anak yang menyusahkan orang tua serta suami yang menyusahkan istri. Lirik lagu Ta’ Bhajjrâ menunjukkan tergerusnya solidaritas baik dalam keluarga maupun bertetangga. Disebutkan dalam lirik lagu tersebut bahwa keluarga tidak membantu anggota keluarga yang mengalami kesusahan, tetangga pun demikian, tidak membantu tetangganya yang kesusahan. (4) [Bait 1] Onggu ngennessâ nasib bulâ Maskè andi’ bhâlâ sakèng ta’ bhajjrâ Bhingong bân sossana pada bâdâ Mèkkèrè ana’ tadâ’ sè èbâghiya …. Sungguh menyedihkan nasib saya Meskipun memiliki sanak keluarga saking tidak beruntungnya Bingung dan susah campur aduk Memikirkan anak tak ada yang bisa diberikan …. (LRK.04.01)
(5) [Bait
2] Bulâ alèlèng nèyat ka tatangghâ Nyarè otangan tadâ’ sè abherri’â …. Seddheng tatangghâ tadâ’ sè parcajâ Saya berkeliling ke tetangga Mencari pinjaman tak ada yang memberi …. Sedangkan tetangga tak ada yang percaya (LRK.04.02) Kondisi seperti yang ditunjukkan melalui kutipan (4) dan (5) tersebut membuktikan bahwa solidaritas baik dalam keluarga maupun bertetangga mulai renggang. Ketika yang dibicarakan adalah masalah ekonomi, maka individualisme dan egoisme nampak lebih menonjol daripada keinginan untuk bermanfaat bagi yang lainnya dengan meringankan beban sesama. Ketidakacuhan kepada anggota keluarga yang ditimpa kemalangan dan tetangga yang acuh tak acuh terhadap tetangganya yang ditemukan dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura ini merupakan gejala perubahan dari pandangan hidup masyarakat etnik Madura itu sendiri. Perubahan pandangan hidup terhadap orang lain selain mencakup perubahan pandangan hidup tentang kebermanfaatan diri bagi orang lain juga mencakup tidak menyusahkan orang lain. Ketika seseorang misalnya tidak bisa membantu orang lain sehingga dari segi manfaat tidak bermanfaat bagi orang lain, setidaknya tidak menyusahkan orang lain. Akan tetapi, yang dihasilkan dalam paparan data dan temuan penelitian justru terdapat orang-orang yang tidak bermanfaat bagi orang lain dan justru menyusahkan yang lainnya. Seperti halnya anak yang menyusahkan orang tuanya. Anak yang tidak patuh pada orang tuanya dengan banyak melakukan perbuatan dosa membuat orang tuanya kesusahan. Suami yang menduakan istrinya dengan perempuan lain serta melakukan kekerasan dalam rumah tangga menyusahkan istrinya. Fenomena-fenomena ini menunjukkan adanya perubahan pandangan hidup terhadap orang lain, apabila tidak bisa bermanfaat seharusnya minimal tidak menyusahkan.
Rizam,Perubahan Sosial Etnik Madura | 66 Perubahan Perilaku Etnik Madura dalam Lirik Lagu Kontemporer Berbahasa Madura Perubahan perilaku etnik Madura dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura meliputi (1) perubahan perilaku terhadap diri sendiri dan (2) perubahan perilaku terhadap orang lain. Perilaku tersebut diuraikan secara lebih rinci sebagai berikut. Perubahan Perilaku Etnik Madura Terhadap Diri Sendiri dalam Lirik Lagu Kontemporer Berbahasa Madura Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian, perubahan perilaku etnik Madura terhadap diri sendiri meliputi (1) perubahan perilaku waspada, (2) perubahan perilaku realistis, dan (3) perubahan perilaku bertanggung jawab. Menurut Busri (2010:408), keutamaan masyarakat Madura hakikatnya terdapat pada sikap pribadinya (diri sendiri). Masyarakat Madura yang utama adalah masyarakat yang selalu waspada (hati-hati), realistik, dan bertanggung jawab. Ketidakwaspadaan yang ditemukan dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura yakni ketidakwaspadaan dalam menghadapi perkembangan teknologi khususnya handphone. Dampak negatif dari handphone tidak dikelola dengan baik dan justru menjerumuskan penggunanya dalam perilaku yang merugikan diri sendiri. Perilaku tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. (6) [Bait 4] …. Rèng salèngko gara-gara HP …. …. Orang selingkuh gara-gara HP …. (LRK.11.04) Ketidakbijakan dalam pengelolaan teknologi merupakan salah satu penyebab maraknya perselingkuhan seperti yang ditunjukkan pada kutipan (6) tersebut. Kemudahan berkomunikasi dapat mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Berbagai aplikasi maupun layanan yang menghubungkan orang yang satu dengan yang lainnya, berkenalan dengan orang-orang baru dapat memungkinkan terbentuknya relasirelasi baru. Jejaring sosial yang memungkinkan terjalinnya relasi-relasi baru dalam dunia maya berpotensi untuk
menyebabkan renggangnya relasi dalam dunia nyata. Relasi dalam dunia maya ini juga berpotensi untuk dilanjutkan di dunia nyata sehingga terjadilah perselingkuhan dengan diperantarai teknologi tersebut. Kecanduan teknologi juga menjadi dampak negatif lainnya dari kemajuan teknologi. Ketika seseorang dimanjakan dengan teknologi yang tentu saja tidak gratis maka orang yang tidak bijak dalam mengelola keuangan tidak dapat menghindari dorongan untuk memenuhi kebutuhan akan teknologinya yang berlebihan itu. Tidak dapat membedakan mana yang primer, sekunder, maupun tersier sehingga tidak dapat membuat prioritas bagi kebutuhannya sendiri. Karena telah tenggelam dalam artian kecanduan dengan teknologi sehingga tidak dapat sikap terhadap keadaan tersebut. Seseorang yang tidak bijak dalam menghadapi perkembangan teknologi tidak dapat memilah dan memilih mana yang baik atau tidak untuk dirinya seperti pada kutipan tersebut. Gaya hidup atau life style televisi yang sebenarnya merupakan norma baru yang diperkenalkan melalui televisi mereka terima begitu saja tanpa mempertimbangkan kesesuaiannya dengan diri seklaigus normanorma sosial budayanya. Gaya hidup ala artis ibu kota tentu saja tidak sesuai diterapkan dalam kehidupan masyarakat di pedesaan. Karena hal itu belum tentu berterima oleh masyarakatnya jika dilihat dari aspek sosial budayanya. Belum lagi jika gaya hidup ala artis ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit misalnya dari apa yang dikenakan dari ujung kaki sampai ujung rambut, maka dimungkinkan lebih besar pasak daripada tiang. Dorongan untuk bergaya hidup layaknya artis ibu kota yang disaksikan dalam sinetron di televisi tidak diimbangi dengan kemampuan ekonomi sehingga dapat menyebabkan permasalahan kompleks bagi mereka di kemudian hari. Berdasarkan penelitian, ditemukan pula bahwa ada gejala boros. Misalnya, anak muda yang hidup berfoya-foya sehingga memaksa orang tuanya menjual sawah untuk memenuhi gaya hidupnya. Contoh lain, orang yang kecanduan teknologi (handphone) sehingga uang belanjanya dihabiskan untuk membeli pulsa. Menurut Busri (2010: 416), etnik Madura memiliki ungkapan nabâng kèdhâng buru ‘memburu kijang melesat’ untuk
67 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 62- 71 orang yang berangan-angan tinggi tapi sulit dicapai. Sikap yang demikian ini hanya akan menjadikan manusia serakah dan tamak. Oleh karena itu, bekerja mencari harta kekayaan menurut orang Madura wajib dilakukan tentunya tidak dengan membabi buta atau menghalalkan segala cara. Mencari harta menurut pandangan hidup masyarakat Madura harus dilakukan dengan hati-hati, sedikit demi sedikit, tetapi pasti. Perubahan perilaku bertanggung jawab yang ditemukan dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura seperti suami yang tidak bertanggung jawab kepada istrinya. Suami menelantarkan istri bahkan melakukan kekerasan rumah tangga kepada istrinya. Suami yang tidak lagi memahami status dan peranan yang melekat pada status tersebut menunjukkan perubahan perilaku bertanggung jawab. Perubahan Perilaku Etnik Madura Terhadap Orang Lain dalam Lirik Lagu Kontemporer Berbahasa Madura Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian, perubahan perilaku terhadap orang lain meliputi (1) perubahan perilaku kepatuhan, (2) perubahan perilaku kekerabatan/kekeluargaan, dan (3) perubahan perilaku bertetangga. Perubahan perilaku terhadap orang lain tersebut diuraikan secara lebih rinci sebagai berikut. Perubahan perilaku kepatuhan misalnya perubahan kepatuhan anak kepada orang tua dan perubahan kepatuhan istri kepada suami. Busri (2010: 351) mengemukakan bahwa kepatuhan masyarakat Madura berkenaan ketaatan, ketundukan, dan atau kepasrahan kepada empat figur utama dalam kehidupan sosial budaya, yaitu orang tua (bapak dan ibu), guru, dan ratu/raja/pemerintah. Masyarakat Madura dalam bersikap dan berperilaku terhadap sesama manusia mempunyai kekhasan yang disimbolkan dalam filsafat Madura bhuppa’, bhabbu’, ghuru, rato yang artinya bapak, ibu, guru, dan pemerintah. Kepatuhan ini berlaku secara hierarkis (berurutan), yaitu ayah dan ibu, kemudian guru, dan kemudian pemerintah. Tidak ada kosa kata yang tepat untuk menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan, ketaatan, dan kepasrahan kepada keempat fungsi tersebut.
Perubahan kepatuhan anak kepada orang tua menunjukkan adanya gejala anak mulai tidak terikat dengan filsafat Madura bhuppa’, bhabbu’, ghuru, rato yang artinya bapak, ibu, guru, dan pemerintah. Perilaku kepatuhan anak seperti tampak pada kutipan berikut. (7) [Bait 1] Jhâman samangkèn pon bânnya’ oreng se ngoca’ Na’-kana’ ngodâ pon bânnya’ ta’ atoro’ oca’ …. Zaman sekarang banyak orang yang mengatakan Anak muda banyak yang tidak mengikuti perkataan …. (LRK.08.01) (8)
[Bait 2] Bânnya’ rèng towa samangkèn èsabâ’ budi Mon èsoro du na’-kana’ pas karo ajhelling Na’-kana’ ngodâ samangkèn ta’ endâ’ alako Mon èsoro alako pas karo tèdung Banyak orang tua sekarang diabaikan Kalau diminta bantuan anak hanya melihat Anak muda sekarang tak mau bekerja Kalau disuruh bekerja malah tidur (LRK.08.02)
Kutipan (7) dan (8) tersebut menunjukkan bahwa anak masa kini mengalami perubahan perilaku dan tidak lagi terikat dengan filsafat bhuppa’, bhabbu’ artinya bapak, ibu. Anak sudah tidak menuruti perkataan orang tuanya. Ketika diminta membantu orang tuanya anak tidak menurut dan bahkan memilih tidur daripada membantu orang tuanya. Bahkan ada perilaku anak yang ketika diminta membantu orang tuanya hanya melihat atau karo ajhelling, perilaku ini merupakan perilaku cangkolang atau kurang ajar anak kepada orang tua. Dengan adanya fenomena perubahan sosial terkait berubahanya kepatuhan anak kepada orang tua di masa dibandingkan dengan peribahasa etnik Madura dan penelitian terdahulu menunjukkan gejala perubahan sosial. Ada gejala berubahnya perilaku dulu dan sekarang. Ada gejala
Rizam,Perubahan Sosial Etnik Madura | 68 perubahan perilaku yang senantiasa patuh kepada bhuppa’ bhabbu’ guru rato di masa kini. Anak mulai berani, tidak patuh, bahkan mampu mengancam secara tidak langsung kepada orang tuanya seperti halnya ketika orang tuanya meminta bantuan anaknya hanya melihat orang tuanya tanpa berkata apapun. Tatapan anak itu suatu bentuk penolakan yang kasar sekaligus ancaman bahwa mereka tidak ingin membantu. Selain ketidakpatuhan anak kepada orang tuanya, dalam perubahan perilaku kepatuhan ditemukan pula perubahan kepatuhan istri terhadap suaminya. Seperti dalam lirik lagu Bângal ka Lakèna dan Binè Dhuson. Istri digambarkan sebagai sosok yang tidak menjalankan perannya sebagai istri dengan baik karena istri hanya baik kepada suaminya jika suaminya memiliki banyak uang sedangkan jika sedang tidak memiliki uang maka istri akan marah-marah kepada suaminya. Dalam hubungan suami istri secara kultural, seorang istri etnik Madura menghargai status suaminya dan memperlakukannya sebagai orang yang lebih dipentingkan dan lebih dihormati. Hal ini tampak dalam penggunaan bahasa yang biasa ia gunakan kepada sang suami dalam kehidupan sehari-hari. Jika suami dan istri bertukar pikiran yang dapat menyebabkan terjadinya kesalahpahaman atau ketidaksamaan pendapat antara mereka, terutama yang berkaitan dengan masalah keluarga, istri biasanya berani mengemukakan pendapatnya atau menolak pendapat suami jika itu dianggap kurang benar (Sidiq, 2003:37). Dalam mengungkapkan pendapatnya, istri tetap menghargai suaminya. Hal itu tercermin dalam pola bahasa yang biasa digunakannya, namun cara dan ke-inginan menolak jika dianggap kurang baik biasanya diwujudkan dalam bahasa isyarat atau sikap pasif misalnya diam dan sebagainya. Sekalipun demikian, ia berhak mengambil keputusan sehingga keputusan adakalanya diambil oleh suami beserta istri (Sidiq, 2003:37-38). Perubahan perilaku istri terhadap suami dalam lingkungan sosial budaya kontemporer ini sesuai dengan pendapat Horton & Hunt (1984: 208). Menurut Horton & Hunt, perubahan sosial antara lain
penurunan kadar rasa kekeluargaan dan perubahan peran suami sebagai atasan yang kemudian menjadi mitra (partner) istri dalam keluarga demokratis dewasa ini. Dengan demikian, tidaklah mengejutkan jika kemudian istri mengusung kesetaraan derajat atas dirinya dengan suaminya. Karena hal itu biasa terjadi sebagai perubahan sosial dalam kontemporerisasi. Selain itu, dikemukakan oleh Susanto (1979: 185-186) bahwa fakta di seluruh dunia sebagai akibat dari perubahan sosial. Fakta tersebut yakni bertambahnya aneka ragam kebutuhan dan tuntutan serta bertambahnya tuntutan akan kebebasan dengan akibatnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kemarahan istri ketika suaminya tidak memiliki uang yang cukup karena didasarkan atas penyesuaian kondisi dengan tuntutan dan kebutuhan masa kini. Masalah seperti ini seperti yang dimaksudkan oleh Susanto (1979). Susanto (1979:178-179) mengemukakan bahwa dalam perubahan yang serba multikompleks ini, dengan sendirinya ada dua kemungkinan. Pertama, manusia menemukan sistem penilaian dan filsafat hidup yang baru. Kedua, manusia tenggelam di dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tidak dapat mengambil sikap atau keputusan terhadap keadaan baru. Akibat yang kedua inilah yang menyebabkan manusia mengalami frustasi bahkan apathy. Sebaliknya, keadaan di mana manusia berhasil menemukan sistem-penilaian, dan filsafat hidup baru adalah keadaan bahwa manusia berhasil mengatasi krisis, yaitu berhasil mengambil keputusan. Perilaku istri yang kemudian tidak patuh kepada suaminya karena suaminya dianggap tidak dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan hidupnya merupakan bentuk frustasi bahkan apathy karena tidak dapat mengambil sikap atau keputusan terhadap keadaan baru. Berdasarkan paparan data dan temuan penelitian perubahan perilaku kekeluargaan diketahui bahwa memudarnya solidaritas dalam keluarga besar. Hal itu dibuktikan dalam lirik lagu Ta’ Bhajjrâ. Anggota keluarga yang mengalami permasalahan tidak dibantu oleh anggota keluarga lainnya. Apalagi jika permasalahan tersebut merupakan permasalahan ekonomi. Bahkan ketika ada pembagian warisan seperti yang dibuktikan
69 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 62- 71 pada paparan data dan temuan penelitian dalam lirik lagu Amarghâ Dhunnya, dapat terjadi pertengkaran bahkan berujung carok dengan sesama anggota keluarga. Hilangnya semangat kekeluargaan yang ditemukan dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura ini nampak bertolak belakang dengan solidaritas kekeluargaaan dalam budaya etnik Madura tradisional. Menurut Wiyata (2003) seperti dikutip oleh Busri (2010:357), simbol kekerabatan dan kekeluargaan masyarakat Madura berkenaan dengan kebersatuan, keberkumpulan, kebersaudaraan, dan kesalingterikatan. Linton seperti dikutip oleh Schoorl (1982: 278-279) me-ngemukakan bahwa semakin besar kemungkinan bagi individu di dalam suatu situasi sosio-budaya untuk mendapat keuntungan ekonomi bagi dirinya sendiri, semakin lemah ikatan kelompok kekerabatan besar. Ini dipandang sebagai suatu pendirian, yang persentase berlakunya tinggi sekali. Terjadinya kontemporerisasi kebudayaan yang tadinya tidak mengenal mekanisasi, dengan kemungkinankemungkinannya yang tiada tara bagi individu yang cerdas dan berinisiatif, sudah pasti akan menghancurkan pola keluarga (organisasi) besar. Ini kemudian akan menimbulkan serentetan masalah bagi masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat itu harus mengembangkan mekanisme-mekanisme baru untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan psikologi, yang sebelumnya tertampung oleh organisasi keluarga. Dalam perubahan perilaku terhadap orang lain, selain perubahan perilaku kekeluargaan juga terdapat perubahan perilaku bertetangga yang ditemukan dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura. Hal itu dibuktikan oleh kutipan berikut. (9) [Bait 2] Bulâ alèlèng nèyat ka tatangghâ Nyarè otangan tadâ’ sè abherri’â …. Seddheng tatangghâ tadâ’ sè parcajâ Saya berkeliling ke tetangga Mencari pinjaman tak ada yang memberi …. Sedangkan tetangga tak ada yang percaya (LRK.04.02)
Fenomena yang ditemukan dalam kutipan (9) tersebut nampak tidak sesuai dengan perilaku bertetangga dalam kehidupan etnik Madura tradisional. Dalam kehidupan etnik Madura tradisional, selain mementingkan solidaritas dalam keluarga juga mementingkan solidaritas dalam bertetangga. Menurut Kusumah (2003:10-11), orang Madura menganggap kehidupannya dilandasi oleh kerja sama atau song-osong lombhung, bukan saja sebatas keluarga tetapi juga termasuk tetangga. Kerja sama dan gotong royong merupakan ciri kehidupan sosial masyarakat Madura, terutama di daerah pedesaan. Kerja sama etnik Madura didasari oleh ajaran yang mewajibkan mereka untuk selalu saling membantu dan tolong-menolong agar selamat. Jika tidak, hidupnya tidak diberi kebahagiaan oleh Tuhan. Etnik Madura meyakini bahwa selama masih hidup harus tolong-menolong dan rukun agar hidup selamat. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan rumusan masalah disimpulkan adanya perubahan sosial etnik Madura dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura. Perubahan sosial etnik Madura dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura meliputi (1) perubahan pandangan hidup etnik Madura dan (2) perubahan perilaku etnik Madura. Pertama, perubahan pandangan hidup etnik Madura dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura meliputi (1) perubahan pandangan hidup terhadap diri sendiri dan (2) perubahan pandangan hidup terhadap orang lain. Perubahan pandangan hidup etnik Madura terhadap diri sendiri meliputi (a) tidak menjaga alat ucap, (b) hedonisme, (c) tidak menjaga kehormatan, dan (d) tidak taat aturan. Perubahan pandangan hidup terhadap orang lain meliputi (a) perubahan pandangan hidup tentang kebermanfaatan diri bagi orang lain dan (b) perubahan pandangan hidup tentang tidak menyusahkan orang lain. Kedua, perubahan perilaku etnik Madura dalam lirik lagu kontemporer berbahasa Madura meliputi (1) perubahan perilaku terhadap diri sendiri dan (2) perubahan perilaku terhadap orang lain. Perubahan perilaku terhadap diri sendiri meliputi (a) perubahan perilaku waspada, (b) perubahan perilaku realistis, dan (c) perubahan
Rizam,Perubahan Sosial Etnik Madura | 70 perilaku bertanggung jawab. Perubahan perilaku terhadap orang lain meliputi (a) perubahan perilaku kepatuhan, (b) perubahan perilaku kekerabatan/kekeluargaan, dan (c) perubahan perilaku bertetangga. Penelitian ini perlu ditindaklanjuti oleh berbagai pihak agar perubahan sosial etnik Madura dapat diteliti secara tuntas dan digunakan untuk kepentingan di berbagai bidang, baik kebahasaan, kesusastraan, dan pendidikan. Masih ter-dapat banyak aspek yang bisa diteliti dalam perubahan sosial etnik Madura melalui berbagai manifestasi budaya Madura. Peneliti lanjutan sejenis dapat memperkaya pemahaman terhadap kondisi sosial budaya Madura masa kini misalnya penelitian terhadap cerita kontemporer maupun puisi kontemporer berbahasa Madura. Guru bahasa Indonesia dan muatan lokal bahasa dan sastra Madura dapat menggunakan temuan penelitian ini untuk dikembangkan
menjadi bahan ajar yang memuat nilai-nilai budaya serta karakter bangsa. Siswa dan mahasiswa diharapkan membaca dan mempelajari hasil penelitian ini. Dengan memahami hal-hal positif dan negatif dari perubahan sosial etnik Madura dalam lirik lagu kontemporer, mereka dapat menentukan halhal yang bisa mereka teladani dan tidak. Alim ulama (kiai) di Madura diharapkan dapat membantu masyarakat untuk membentengi diri dari pengaruh negatif dengan meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Pemerintah diharapkan dapat mengadakan lembaga sensor lagu di daerah yang akan menyaring lagu-lagu sebelum beredar di pasaran. Dengan dibentuknya lembaga sensor lagu di daerah diharapkan masyarakat dapat menikmati lagu yang mengandung pesan-pesan positif sehingga memberikan dampak positif pula.
DAFTAR RUJUKAN Al-Abror. 2011. Reng Madhureh, (video compact disc). Sampang: Mulya Abadi Record.
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Al-Mukhtashar. 2010. Syi’ar dan Sya’ir bersama Al-Mukhtashar, (video compact disc). Sampang:Fitria Record.
El-Wail. 2010. Dakwah Madura Vol.1, (video compact disc). Bangkalan:Elwali Record.
Anton,
Syaf. 2012. Problematika dan Perkembangan Bahasa Sastra Madura, (Online), (http://www.infodiknas.net/), diakses 3 Oktober 2012.
Azhar,
Iqbal Nurul. 2011. Karakter Masyarakat Madura dalam Syairsyair Lagu Daerah Madura, (Online), (http://budayamadura.blog.com), diakses 11 Maret 2012.
Bukat. 2011. Mak Kaeh, (video compact disc). Sampang: Diva Nada Record. Busri, Hasan. 2010. Simbol Budaya Madura dalam Cerita Rakyat Madura. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPs UM.
Hariyadi. dkk. 1981. Sastra Madura Modern: Cerkan dan Puisi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Horton, Paul B. & Hunt, Chester L. 1984. Sosiologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga Katubi. 2006. Linguistik Antropologi: Disiplin Ilmu yang Termarjinalisasi Pada Program Studi Linguistik. Jurnal Antropologi, (Online), VII (11):17–30, (hhtp://www.simpopdf.com, diakses 11 Maret 2012). Kusumah, Maulana Surya. 2003. Sopan, Hormat, dan Islam Ciri-ciri Orang Madura. Dalam Soegianto (Ed.), Kepercayaan, Magi,dan Tradisi dalam Masyarakat Madura. Jember: Tapal Kuda.
71 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 62- 71 Koentjaraningrat. 2000a. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Koentjaraningrat. 2000b. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Mahfud, Moh. 2009. Menyongsong Percepatan Pembangunan Madura. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Bersama Membangun Madura di Bangkalan, Pemerintah Kabupaten Bangkalan, 31 Oktober 2009. Maryaeni. 2005. Kebudayaan. Aksara.
Metode Jakarta:
Penelitian PT Bumi
Marzali, 2007. Antropologi & Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Moleong, Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sidiq, Mahfudz. 2003. Kekerabatan dan Kekeluargaan Masyarakat Madura Kecamatan Pasongsongan. Dalam Soegianto (Ed.), Kepercayaan, Magi,dan Tradisi dalam Masyarakat Madura. Jember: Tapal Kuda. Soekanto, Soerjono. 1983. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia. Suharto. 2006. Permasalahan Musikal dan Lingual dalam Penerjemahan Lirik Lagu. Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, VII (2): 30- 42. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sumarsono. 2008. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Susanto, Astrid S. 1979. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: Binacipta.
Ningrum, Widarti Cahya. 2008. Nilai-nilai Pendidikan dalam Lagu-lagu Anak Madura. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Sastra UM Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Suwardi. 2005. Cultural Studies: Budaya Pop dalam Ideologi Kejawen dalam Wayang. Makalah disajikan pada Seminar Internasional Cultural Studies di Cine Clup, FBS UNY, 14-15 September 2005.
Retnowati, Tjut Etty. 2006. Musik Kontemporer sebagai Media Pembelajaran Musik. Harmoni: Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni. VII (2): 94-100. Sajogyo & Sajogyo, Pudjiwati. 1992. Sosiologi Pedesaan (Kumpulan Bacaan) Jilid II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Schoorl, J.W. 1982. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negaranegara Sedang Berkembang. Terjemahan Soekadijo, R.G. Jakarta: PT. Gramedia.
Wellek, Rene & Warren, Austin. Teori Kesusastraan. Terjemahan Budianta, Melani. 1990. Jakarta: PT Gramedia. Wiyata, A. Latief. 2002. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKis. Zein, Bahier. 2011. Nada dan Dakwah Vokalis Akherat, (video compact disc). Sumenep:Diazz Record.
ANALISIS KESALAHAN SISWA SMA DALAM MENYELESAIKAN SOAL MATEMATIKA Rasyid Arafiq Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas madura Alamat: Jalan Raya Panglegur KM 3,5 Pamekasan
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas tentang bentuk-bentuk kesalahan siswa dan besarnya prosentase dari masing-masing bentuk kesalahan yang dilakukan siswa dalam mengerjakan soal matematika pada pokok bahasan turunan fungsi kelas XI IPA SMAN 1 Pamekasan tahun pelajaran 2012/2013. Penelitian ini dapat digolongkan dalam penelitian deskriptif. Sedangkan teknik pengumpulan data yang dipakai adalah metode tes. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMAN 1 Pamekasan tahun pelajaran 2012/2013 sebanyak 218, yaitu; kelas XI IPA A sebanyak 31 siswa, XI IPA B sebanyak 32 siswa, kelas XI IPA C sebanyak 31 siswa, kelas XI IPA D sebanyak 31 siswa, kelas XI IPA E sebanyak 31 siswa, kelas XI IPA F sebanyak 32 siswa, dan kelas XI IPA G sebanyak 30 siswa. Sedangkan sampel dalam penelitian adalah seluruh siswa kelas XI IPA-B yang berjumlah 32 siswa. Hasil yang diperoleh, ditemukan sebanyak 200 kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal matematika pada pokok bahasan turunan fungsi kelas XI IPA SMAN 1 Pamekasan tahun pelajaran 2012/2013. Adapun kesalahan-kesalahan tersebut diklasifikasikan dalam tiga bentuk kesalahan dengan rincian dan besarnya prosentase yaitu: kesalahan konsep dengan prosentase sebesar 41,5%, kesalahan prosedur dengan prosentase sebesar 34,5%, dan kesalahan algoritma dengan prosentase sebesar 24%. Kata kunci: Kesalahan siswa, TIMMS 2011, konsep matematika
PENDAHULUAN Dari hasil PISA matematika tahun 2009, bahwa hampir setengah dari siswa Indonesia (yaitu 43,5%) melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal PISA yang paling sederhana. Untuk mengukur kemampuan siswa dalam menerapkan pengetahuan yang sudah dipelajari, PISA juga menggunakan soal – soal yang berkaitan dengan kehidupan nyata. Sekitar 33,1 % dari siswa Indonesia hanya bisa mengerjakan soal jika pertanyaan dari soal kontekstual itu diberikan secara eksplisit serta semua data yang dibutuhkan untuk mengerjakan soal diberikan secara tepat. Dari hasil TIMSS tahun 2011 capain rata – rata siswa Indonesia adalah 386 di bawah rata – rata internasional atau berada pada level terendah yang artinya mengalami penurunan dibandingkan tahun 2007 yaitu 397. Di lihat dari butir – butir soal yang disajikan oleh TIMSS tampak bahwa 75% atau lebih merupakan soal tipe pemecahan masalah, dan dari soal –soal pemecahan masalah itu terdapat 46% beerupa soal – soal cerita, yang bersifat
kontekstual. Lebih dari 50% siswa – siswa Indonesia yang melakukan kesalahan dalam menjawab soal cerita tersebut. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Solikah, ditemukan 251 kejadian kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soalsoal turunan fungsi, sehingga menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa pada pokok bahasan turunan fungsi.Berdasakan pengalaman peneliti ketika terjun langsung kesekolah ternyata banyak kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal matematika.Oleh sebab itu peneliti tertarik untuk meneliti tentang kesalahan yang dibuat siswa dalam menyelesaikan soal matematika. Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah :1.Untuk mengetahui bentuk-bentuk kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal matematika pada pokok bahasan turunan fungsi kelas XI IPA SMAN 1 Pamekasan tahun pelajaran 2012/2013.2.Untuk mengetahui besarnya prosentase dari masing-masing bentuk 72
73 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 72- 75
kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal matematika pada pokok bahasan turunan fungsi kelas XI IPA SMAN 1 Pamekasan tahun pelajaran 2012/2013. HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Rajasa (2003), kesalahan adalah kekeliruan atau kealpaan. Sedangkan menurut Poerwadarminta (1984), kesalahan adalah kekeliruan, kekhilafan atau sesuatu yang salah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kesalahan adalah segala sesuatu yang keliru atau melenceng dari sesuatu yang benar. Sentral dari pembelajaran matematika adalah pemecahan masalah atau bisa dikatakan lebih mengutamakan proses daripada hasil akhir. Dalam menyelesaikan soal matematika peserta didik dikatakan membuat kesalahan dalam mengerjakan soal matematika apabila ia mengerjakan soal dengan proses yang tidak benar atau tidak sesuai dengan alternatif kunci jawaban. Kesalahan di sini bisa terjadi pada awal, pertengahan atau juga bisa terjadi pada akhir penyelesaian soal. Jenis-jenis Kesalahan Siswa Menyelesaikan Soal Matematika
Dalam
Menurut Nurkancana (1983), penyusunan kategori-kategori kesalahan dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu penyusunan kategori-kategori kesalahan berdasarkan kesalahan-kesalahan materiil dan penyusunan kategori-kategori kesalahan berdasarkan kesalahan-kesalahan formal. Penggolongan kesalahan berdasarkan kesalahan-kesalahan materiil artinya penggolongan yang didasarkan atas jenis materi bahan pelajaran. Sedangkan penggolongan kesalahan berdasarkan kesalahan-kesalahan formal artinya penggolongan yang didasarkan atas jenis pengetahuan tentang pelajaran tersebut.Menurut Widdiharto (2008), jenisjenis kesalahan yang sering dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal matematika diantaranya; salah dalam menggunakan kaidah komputasi atau salah pemahaman konsep, kesalahan penggunaan operasi hitung, algoritma yang tidak sempurna, serta mengerjakan dengan serampangan.
Menurut Nurkancana dalam Fahroni (2008), kesalahan dalam menyelesaikan soal matematika dapat dibedakan menjadi beberapa kategori, antara lain: a. Kesalahan konsep, meliputi kesalahan dalam menentukan atau menerapkan definisi, sifat atau teorema yang ada pada pokok bahasan yang diteliti dan konsep persyaratan yang diperoleh dalam jawaban masalah. b. Kesalahan menggunakan data, meliputi kesalahan memasukkan data dalam variabel dan tidak menggunakan yang seharusnya digunakan. c. Kesalahan interpretasi bahasa, meliputi kesalahan menyatakan model matematika, kesalahan menginterpretasikan simbol yang digunakan. d. Kesalahan prodedur, meliputi ketidakhirarkian atau ketidaksesuaian langkah yang digunakan dalam menyelesaikan soal serta kesalahan dalam memanipulasi langkah menjawab soal. e. Kesalahan teknis, meliputi kesalahan dalam melakukan perhitungan dalam menyelesaikan setiap soal. f. Kesalahan acak, meliputi kasalahan dalam menuliskan soal matematika. Sesuai dengan batasan masalah pada penelitian ini, maka kategori kesalahan yang dipakai hanya terdiri dari tiga kategori, antara lain: a. Kesalahan konsep, meliputi: 1) Kesalahan dalam menentukan atau menerapkan definisi, sifat, rumus atau teorema yang ada pada pokok bahasan 2) Penggunaan rumus tidak sesuai dengan prasyarat berlakunya rumus tersebut atau tidak menuliskan rumus. b. Kesalahan prosedur, meliputi: 1) Ketidakhirarkian atau ketidaksesuaian langkah yang digunakan dalam menyelesaikan soal 2) Kesalahan dalam memanipulasi langkah menjawab soal 3) Terpotongnya langkah dalam mengerjakan soal c. Kesalahan algoritma, meliputi kesalahan operasi hitung dalam matematika. Menurut Rajasa (2003:42), analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Arafiq, Analisis Kesalahan Siswa | 74
Sedangkan menurut Poerwadarminta (1984:20), analisis adalah penyelidikan sesuatu peristiwa untuk mengetahui apa sebabsebabnya atau bagaimana duduk perkaranya dan sebagainya. Dengan demikian, analisis kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal matematika pada pokok bahasan turunan fungsi mengandung pengertian melakukan
Kategori Kesalahan 1. Kesalahan konsep
2. Kesalahan prosedur
3. Kesalahan algoritma
baik, maka hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang guru (peneliti), antara lain: 1. Mempersiapkan soal beserta alternatif kunci jawaban 2. Mencocokkan jawaban siswa dengan alternatif kunci jawaban 3. Memberi tanda pada bagian-bagian yang salah 4. Mengklasifikasikan bentuk-bentuk kesalahan ke dalam kategori kesalahan 5. Menarik kesimpulan Indikator Kesalahan
Kesalahan menentukan rumus atau konsep dalam menjawab soal, meliputi: 1.1. Tidak menjawab soal turunan fungsi 1.2. Kesalahan dalam mengartikan atau menentukan konsep/definisi dalam menjawab soal turunan fungsi 1.3. Kesalahan dalam memfaktorkan suatu fungsi atau mengubah bentuk fungsi 1.4. Penulisan konsep suatu definisi kurang jelas maksudnya 1.5. Gagal atau salah menggunakan konsep dalam menentukan daerah yang memenuhi nilai x 1.6. Kesalahan dalam menulis titik koordinat atau salah menggambarkan titik koordinat pada grafik fungsi 1.7. Kesalahan dalam menggambarkan grafik fungsi. Kesalahan dalam prosedur/langkah-langkah pengerjaan soal, meliputi: 2.1. Salah/tidak menulis tanda “=” dan hasil dari suatu persamaan fungsi atau turunan fungsi 2.2. Tidak dapat menyelesaikan soal turunan fungsi sampai tuntas/selesai 2.3. Salah/tidak lengkap langkah-langkah mengerjakan soal turunan fungsi 2.4. Tidak menggunakan langkah-langkah dan langsung pada hasil 2.5. Salah/tidak menuliskan persamaan fungsi 2.6. Tidak menuliskan rumus pada pengerjaan soal turunan fungsi Kesalahan dalam menghitung, meliputi: 3.1. Salah/tidak menulis hasil dari suatu operasi aljabar dalam menjawab soal turunan fungsi, termasuk juga salah dalam menghitung nilai akar dari suatu fungsi dan sebagainya 3.2. Salah/tidak menulis hasil akhir dari soal, bisa berupa salah menulis bilangan ataupun salah dalam menulis tanda “+” dan “-“ pada bilangan tersebut 3.3. Salah/tidak menulis tanda “=” dalam langkah-langkah pengerjaan atau salah meletakkannya 3.4. Salah/tidak menyimpulkan hasil jawaban
Tabel 1. Indikator Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Matematika Pada Pokok Bahasan Turunan fungsi suatu penyelidikan terhadap letak dan bentuk Kesalahan siswa dalam menyelesaikan soalsoal matematika pada pokok bahasan turunan fungsi untuk mengetahui bentuk kesalahankesalahan tersebut. Untuk dapat menganalisis kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal matematika pada pokok bahasan turunan fungsi dengan
Hasil penelitian, ditemukan sebanyak 200 kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal matematika pada pokok bahasan turunan fungsi kelas XI IPA SMAN 1 Pamekasan tahun pelajaran 2012/2013. Adapun kesalahan-kesalahan tersebut diklasifikasikan dalam tiga bentuk kesalahan dengan rincian dan besarnya prosentase yaitu:
75 | INTERAKSI, Volume 9, Nomor 1, Januari 2014, Hlm 72- 75
kesalahan konsep dengan prosentase sebesar 41,5%, kesalahan prosedur sebesar 34,5%, dan kesalahan algoritma sebesar 24% METODE Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya (Best dalam Sukardi,2004:157). populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas XI IPA SMAN 1 Pamekasan tahun pelajaran 2012/2013 sebanyak 218, yaitu; kelas XI IPA A sebanyak 31 siswa, XI IPA B sebanyak 32 siswa, kelas XI IPA C sebanyak 31 siswa, kelas XI IPA D sebanyak 31 siswa, kelas XI IPA E sebanyak 31 siswa, kelas XI IPA F sebanyak 32 siswa, dan kelas XI IPA G sebanyak 30 siswa. Dalam penelitian ini penetapan sampel menggunakan teknik random sampling (sampling acakan), karena seluruh populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih. Setelah dilakukan pengundian diperoleh kelas XI IPA B sebagai sampel yang terdiri dari 32 siswa..
Karena subjek yang akan diteliti mencakup sebagian dari populasi, maka dalam hal ini peneliti menggunakan istilah sampel. Sehingga penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian sampel. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan keseluruhan pembahasan yang dikaji sebelumnya baik secara teoritis maupun empiris, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Bentuk-bentuk kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal matematika terdiri dari tiga kategori, yaitu: a. Kesalahan konsep sebesar 41,5% a. Kesalahan prosedur sebesar 34,5% b. Kesalahan algoritma sebesar 24% 2. Guru hendaknya menganalisis dan mengetahui apa yang perlu ditekankan atau difokuskan dalam pembelajaran, agar siswa tidak kesulitan dalam belajar dan dapat meminimalisir terjadinya kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal matematika khususnya pokok bahasan turunan fungsi sesuai dengan kategori kesalahannya.
DAFTAR PUSTAKA Mudjiono, dkk, 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta Poerwadarminta, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Rajasa, Sutan. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Mitra Cendikia Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Sukardi.
2004. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: PT. Bumi Aksara
Widdiharto, Rachmadi. 2008. Diagnasis Kesulitan Belajar Siswa Matematika SMP dan Alternatif Proses Remidinya. Yogyakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Pendidik dan Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
PETUNJUK BAGI PENULIS 1. Artikel belum pernah dipublikasikan dalam media cetak lain, diketik dengan spasi ganda pada kertas A4, panjang 10-20 halaman dan diserahkan paling lambat 3 bulan sebelum penerbitan dalam bentuk ketikan sebanyak 2 eksemplar dan pada file. Artikel yang masuk akan dievaluasi oleh Penyunting Ahli dan atau Pakar. 2. Artikel yang dimuat meliputi tulisan tentang karya sastra, pembelajaran baik SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi dalam bentuk: Temuan Penelitian, pembelajaran matematika, pengalaman praktis, hasil karya sastra, kajian kepustakaan, gagasan konseptual. 3. Semua artikel ditulis dalam bentuk esai, disertai judul sub bab (heading) masing-masing bagian, kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul sub bab. Peringkat judul sub bab dinyatakan dengan huruf jenis berbeda (semua huruf dicetak tebal), cetak miring dan letaknya pada tepi kiri halaman, dan bukan dengan angka. 4. Hasil penelitian disajikan dengan sistematika berikut: a) judul, b) identitas pengarang (tanpa gelar akademik), c) abstrak (50-100 kata), d) kata-kata kunci, e) pendahuluan (tanpa judul sub bab) yang berisi pembahasan kepustakaan dan tujuan penelitian, f) metode penelitian, g) hasil, h) pembahasan, i) simpulan dan saran, dan j) daftar pustaka. 5. Daftar pustaka disajikan mengikuti cara penulisan seperti contoh berikut dan diurutkan secara alfabet dan kronologis. Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
6. Tatacara pnyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman penulisan Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Madura. Artikel diketik dengan memperhatikan aturan tentang penggunaan tanda baca dan ejaan yang dimuat dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. 7. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah.