JURNAL KEPENDIDIKAN INTERAKSI Volume 9, Nomor 2, Juli 2014
Seger
Penerapan Teknik X-Pector untuk Meningkatkan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris
76-83
Sri Irawati
Perbedaaan Prestasi Belajar Matematika Siswa yang Diajari Menggunakan Strategi Inkuiri dengan Strategi Ekspositori pada Materi Pokok Turunan Fungsi Siswa Kelas IPA SMAN I Galis
84-87
Upaya Peningkatan Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas VIII SMPN I Waru melalui Pendekatan Learning Community Tahun Pelajaran 2013-2014
88-92
Agus Subaidi dan Sri Indriati Hasanah
Prestasi Belajar Matematika antara Siswa yang Diajar Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT dengan Model Pengajaran Langsung
93-96
Maswiyanto
Peningkatan Kreativitas dan Hasil Belajar Kimia Pokok Materi Sistem Koloid dengan Model Pembelajaran NHT di Kelas XI Semester 2 SMAN I Sumenep
97-104
Hasan Basri
Kesuitan Mahasiswa Calon Guru Matematika dalam Menyelesaikan Soal Geometri Non Rutin Berdasarkan Perbedaan Gender
105-110
Mohammad Sahril
Penggunaan Metode Demontrasi dalam Upaya Meningkatkan Pemahaman tentang Otonomi Daerah Pada siswa Kelas IXD Semester I SMPN 2 Pamekasan
111-118
Rohmah Indahwati
Profil Penalaran Mahasiswa calon Guru SD dalam Membuktikan Rumus Luas Bangun datar Ditinjau dari Perbedaan Gaya Belajar Visualiser dan Verbaliser
119-129
M. Tauhed Supratman
Kemiskinan dalam Novel Indonesia
Sri Indriati Hasanah dan Yuni Hidayati
Pembelajaran Matematika Realistik Bernuansa Islami pada Pokok Bahasan Bangun Sisi Datar Kelas VIII MTs
Moh. Zayyadi
Perbandingan Prestasi Belajar antara Siswa yang Diajar Menggunakan Metode Penemuan Terbimbing dengan Metode 139-142 Tugas dan Resitasi
Ukhti Raudhatul Jannah
Hubungan Limit Fungsi dan Limit Barisan Pada Topologi Real
Shamrah
130-133
134-138
143-149
PENERAPAN TEKNIK ”X-PECTOR” UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERBICARA BAHASA INGGRIS Seger Guru Bahasa Inggris SMP Negeri 2 Pamekasan Email: Abstract : Speaking is one of the most important skills to gain in learning language. The crusial problem of the teaching is that the students are not dare to sepak English. Mpst of them ara afraid to fall into mistake in speaking. The most dominat faktor is that they do not have enough chance to practice spekaing English. Most of the time in the class they use to do paper-exercises. It is important to overcome this problem by implementing a teaching technique which gives the students more chances to practice spekaing English. X-Pector is one technique which is considered effective to fulfill what the sdtudents need in learning English. This technique is addopted from one of the TV program with a litle modification so that it will be suitable with the class condition. The implementation of the stechnique is expected; 1) the students get enough chance to practice speaking, 2) it persuasively motivate the students to speak English, 3) the students get joyful learning in the class. To reach the goals, this technique is implemented in the following procedures; 1) make a group of four; 2) each group prepare a song and a singer; Each group present one song by a singer and the other three members give a comments after the song; dan 4) The next comments comments come from all audiens of other groups. The conclussion of implementng htis tcechnique is that ; 1) This technique is simple and practice to apply so the calss to be more active; 2) This technique also persuasively motivate students to practice speaking English; and 3) It creates a joyful leraning for the stuents in the class. Key words : X-Pector
PENDAHULUAN Kemampuan berbicara bahasa Inggris merupakan salah satu kompetensi dari empat kompetensi penting, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, yang menjadi target pencapaian dalam pembelajaran bahasa Inggris. Pencapaian kompetensi berbicara memberikan kesan yang sangat kuat terhadap kemampuan berbahasa Inggris seseorang. Dibanding dengan tiga kemampuan lainnya, kemampuan berbicara sangat dominan dalam mewakili penguasaan kecakapan berbahasa Inggris. Kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan pembelajaran bahasa Inggris di kelas cenderung lebih banyak didominasi dengan kegiatan tulis menulis. Disamping itu dominasi guru dalam berbicara selalu mewarnai kelas sehingga peserta didik belum mendapat kesempatan yang cukup untuk berlatih berbicara. Situasi kelas yang terlalu formal, kurang rileks, menjadi bagian yang menghambat perkembangan bahasa peserta didik. Ketakutan membuat kesalahan menyebabkan perkembangan bahasa
terhambat, padahal perkembangan bahasa akan berkembang cepat jika anak terbebas dari rasa takut. Temuan peneliti sebagai guru membuktikan bahwa dari waktu ke waktu ketika proses pembelajaran belum memberikan porsi berlatih berbicara yang cukup kepada peserta didik. Suasana kelas juga terlalu formal sehingga anak kurang mendapatkan rasa senang dalam pembelajaran. Tidak lebih dari enam peserta didik yang merespon pertanyaan-pertanyaan guru dengan menggunakan bahasa Inggris secara lisan ketika pembelajaran berlangsung. Peserta didik hanya menjawab pertanyaan dan belum menunjukkan kemampuan menjelaskan jawabannya. Kegiatan berbicara bahasa Inggris didominasi oleh guru dengan memberikan penjelasan dan contoh. Peserta didik kurang mendapat kesempatan untuk berekspresi dengan mengungkapkan ide-idenya. Kegiatan peserta didik lebih banyak diisi dengan menyelesaikan latihan-latihan dalam bentuk tulis, seperti: menjawab pertanyaan
76
77 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 76-83
dan mengisi lembar kerja dsb. Padahal kemampuan berkomunikasi lisan sangat diperlukan, selain mengatasi kejenuhan, komunikasi lisan memberikan pengalaman berharga untuk memngembangkan potensi bahasa Inggris seseorang. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat tiga masalah dalam pembelajaran: 1) penerapan teknik pembelajaran secara praktis belum dapat menciptakan aktivitas berbicara bahasa Inggris; 2) teknik pembelajaran belum secara persuasif memotivasi untuk berani berbicara agar dapat meningkatkan kecakapan bicaranya; dan 3) kegiatan pembelajaran berlangsung terlalu formal yang tidak menyenangkan. Peneliti berasumsi bahwa penerapan teknik X-Pector merupakan salah satu teknik yang diharapakan dapat memotivasi peserta didik untuk berlatih berbicara, memberi kesempatan peserta didik seluas-luasya untuk menyampaikan pendapatnya dan mereka mendapatkan rasa senang dalam pembelajaran. Penampilan sesama teman sebaya diharap juga dapat memotivasi peserta didik untuk lebih santai berbicara. Akan tetapi melalui lagu, dalam pembelajaran mereka mendapatkan rasa senang. Dari latar belakang tersebut, rumusan masalah disusun sebagai sebrikut; 1) bagaimana menerapkan teknik X-Pector dalam pembelajaran bahasa Inggris?; 2) bagaimana teknik X-Pector secara persuasif dapat memotivasi peserta didik untuk berbicarar sehingga dapat meningkatkan kecakapan bicaranya?; dan 3) bagaimana respon peserta didik terhadap penerapan teknik X-Pector dalam pembelajaran? Sedangkan tujuan penerapan teknik X-Pector pada materi teks fungsional berbentuk lagu adalah sebagai berikut; 1) mendiskripsikan penerapan teknik promosi dalam pembelajaran bahasa Inggris, 2) mendiskripsikan peningkatan kecakapan berbicara bahasa Inggris peserta didik, dan 3) mendiskripsikan respon peserta didik terhadap penerapan teknik X-Pector dalam pembelajaran.
METODE Secara garis besar, penerapan teknik X-Pector untuk meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Inggris dilakukan dengan membagi kelas menjadi 6 kelompok dengan 4 orang anggota dan satu kelompok beranggota 3 orang.. Pembagian kelompok bersifat hiterogen. Artinya setiap kelompok memiliki anggota dengan tingkat kemampuan beragam dari yang rendah sampai yang tinggi. Setiap kelompok menyiapkan seorang penyanyi untuk menyanyikan sebuah lagu bahasa Inggris dan 3 orang lainnya menjadi komentator. Masing-masing kelompok tampil boleh dengan iringan musik atau alat lainnya. Setelah satu orang menyanyi, kesempatan berkomentar pertama diberikan kepada anggota dalam satu kelompok. Komentar selanjutnya diberikan kepada audiens dari anggota kelompok lain. Penampilan kelompok dilakukan secara acak dengan undian. Setelah selesai tampilan, masing-masing komentar kelompok lain dirangkum dalam laporan komentar tertulis sebagai laporan masingmasing kelompok. Disediakan waktu 15 menit kepada setiap anggota keompok untuk tampil menyanyi dan memberikan komentar, termasuk tanya jawab serta refleksi. Anggota kelompok lain dapat memberikan saran dan pertanyaan menyangkut lagu yang ditampilkan termasuk gaya dan cara menyanyikan lagu. Penilaian terhadap penampilan kelompok dilakukan oleh guru peneliti pada aspek: kemampuan penampilan kelompok mengajak kelas mengikuti lagu bahasa Inggris dan banyaknya komentar. Sedang penilaian pada komentar dilakukan dengan banyak ide dan tepat sasaran aspek yang dikomentari. Kegiatan penilitan sejak persiapan sampai dengan penyusunan laporan ini dilakukan pada kelas VIIIH SMP Negeri 2 Pamekasan, semester 1, yaitu sejak 25 Oktober s.d 12 Nopember 2013. Kelas ini terdiri dari 23 peserta didik. Materi pembahasan pada penelitian ini adalah teks fungsional berbentuk lagu.
Seger, Penerapan Teknik “X-Pector” | 78
Kriteria Keberhasilan Penelitian ini berlangsung satu siklus. Penerapan satu siklus ini karena hasil penelitian telah menunjukkan tercapainya kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut: 1) keberhasilan rumusan masalah pertama, yaitu menyangkut penerapan teknik X-Pector, yang praktis atau mudah diterapkan dan mampu membuat proses pembelajaran berpusat pada peserta didik (bukan pada guru). Disamping praktis, teknik ini juga tidak memerlukan biaya mahal. 2) keberhasilan rumusan masalah ke dua, yaitu menyangkut peningkatan kemampuan berbicara diukur dari dua hal; yaitu banyak peserta didik yang berbicara bahasa Inggris dan kegiatan berbicara bahasa Inggris didominasi oleh peserta didik, bukan oleh guru. Jumlah peserta didik yang berbicara lebih banyak dari jumlah siswa sebelum teknik ini diterapkan yang hanya enam orang (26%); dan 3) rumusan masalah ke tiga, yaitu menyangkut respon peserta didik terhadap penerapan teknik ini, yaitu sebanyak 80% peserta didik mendapatkan rasa senang dalam belajar. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertemuan 1 Pada Selasa, 29 Oktober 2013, guru peneliti memberikan penjelasan materi bahasan teks fungsional. Penjelasan dimulai dengan pengertian (definisi) teks fungsional, termasuk lagu. Kemudian dilanjutkan dengan struktur teks dan contoh-contohnya. Kegiatan selanjutnya diteruskan dengan mengamati sebuah lagu lewat slide projector. Pada tahap ini lagu yang ditampilkan berjudul “Love of MY Life” oleh Clauseman, Grup Slowrock Scorpion. Setelah ditampilkan, peserta didik diminta untuk memberikan komentar dan hasil komentar selanjutnya ditulis sebagai laporan. Kegiatan dilanjutkan dengan membagi kelas menjadi enam kelompok dengan satu kelompok empat anggota. Diskusi oleh masing-masing kelompok untuk membagi tugas dan merencanakan jadwal pertemuan yang
dilakukan di luar jam sekolah. Pertemuan dilakukan untuk; 1) membagi tugas siapa yang mennaynyi dan siapa yang menjadi komentator. 2) menentukan judul lagu yang akan dinyanyikan. dan 3) pesrsiapan tampil menyanyi. B. Pertemuan ke 2, 3, dan 4 Pertemuan ke 2 (31 Oktober 2013) Pada pertemuan ini kegiatan diawali dengan menyampaikan aturan main penampilan kelompok. Kemudian diambil 3 kelompok secara acak. Hasil undi, kelompok C, D, dan F tampil lebih dahulu. Sesuai dengan aturan main, kegiatan tampil bernyanyi dibagi menjadi dua bagian, 1) salah seorang anggota kelompok menyanyikan satu lagu bahasa Inggris; dan 2) selesai satu lagu, kesempatan berkomentar diberikan kepada anggota dalam satu kelompok dan diteruskan komentar yang berasal dari audiens dari kelompok lain. Pada penampilan kelompok C, dengan lagu berjudul “I’m yours” peserta antusias untuk mendengar dan ikut manyanyikan lagu.. Pada bagian ini muncul 4 pertanyaan dan 6 komentar. Pada penampilan kelompok D dengan judul lagu “Just Give Me a Reason” muncul 4 dan 8 komentar. Penampilan selanjutnya yaitu kelompok F, dengan judul lagu “You Raise Me Up”. Pada penampilan kelompok ini muncul 4 pertanyaan dan 9 komentar. Setelah diinventarisisr dan dianalisa, pertanyaan-pertanyaan yang muncul masih berkisar pada alasan pemilihan lagu dan pesan lagu yang ditampilkan. Komentar selanjuynya menyangkut gaya menyanyi, dan alas an memilih lagu. Setelah masing-masing satu anggota kelompok menyanyikan lagu, selalau diringi dengan pertanyaan dan komentar. Kegiatan dilanjutkan dengan refleksi kelas untuk memberikan kritik dan masukan. Setelah diinventarisir, jenis komentar ditujukan pada tiga hal, yaitu 1) gaya menjanyi kurang rileks, 2) komunikasi emosional dengan audiens, dan 3) kemampuan mengajak audiens ikut terlibat dalam menyanyikan lagu
79 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 76-83
Pertemuan ke 3, 5 Nopember 2013 Pada pertemuan promosi ke 3, guru peneliti mengawali pertemuan dengan mereviw kembali hasil refleksi dari kegiatan X-Pector pertemuan sebelumnya. yaitu , gaya menjanyi kurang rileks, 2) komunikasi emosional dengan audiens, dan 3) kemampuan mengajak audiens ikut terlibat dalam menyanyikan lagu .Pada kegiatan X-Pector kali ini, undian jatuh pada; kelompok A, E dan B. Pada penampilan kelompok A penampilan dengan membawakan lagu berjudul “Lucky” sudah ada perbaikan pada aspek gaya menyanyi yang sudah rileks, sedikit ada peningkatan pada komunikasi emosional, hanya masih belum secara optimal dapat membawa audiens ikut bersama-sama menyanyi. Perubahan gaya menyanyi yang rileks dan kominikasi emosional telah menunjukkan adanya peningkatan. Pada bagian ini muncul 5 pertanyaan dan 8 komentar. Pertanyaan masih banyak berkisar pada alasan pemilihan lagu dan pesan lagu yang ditampilkan. Pada penampilan kelompok E dengan lagu berjudul: A Thousand Years: terdapat perubahan yang cukup menonol, dimana penyanyi yang bernama Ati’, dengan gaya yang menarik semua anggota kelompok di kelas untuk ikut bernyanyi dan begembira. Kemampuan emosional dalam benyanyi membuat suasana kelas semakin hidup. Pada bagian ini muncul 4 pertanyaan dan 14 komentar. Pertanyaan masih banyak berkisar pada alasan pemilihan lagu dan pesan lagu yang ditampilkan. Komentar selanjuynya menyangkut gayabernyanyi, dan lagu yang dinyanyikan. Pada penampilan kelompok B dengan lagu berjudul “Fly to Your Heart”, sedikit agak berbeda dengan kelompok E, dimana ditinjau dari kemampuan emosional, penampilan penyanyi dari kelompo B masih dibawah penampilan kelompok E. Pada penampilan kelompok ini muncul 5 pertanyaan dan 8 komentar. Karena pertimbangan waktu, maka kegiatan refleksi dilakukan untuk pertemuan berikutnya, yaitu pada pertemuan ke 4, tanggal 7 Nopember 2013
Pertemuan ke 4, 7 Nopember 2013 Suasana pembelajaran menjadi semakin menarik saat masing-masing peserta menyampaikan komentar pada kegiatan refleksi. Arus komunikasi multi arah semakin membuat suasana komunikasi bahasa Inggris di kelas semakin hidup. Peserta didik sering terlibat saling komentar memberikan pendapat masing-masing. ide-ide semakin beragam. Walaupun disampaikan dengan bahasa yang berbeda, dan bahasa yang belum sempurna tetapi ide-ide yang mereka bisa pahami. Jika dikelompokkan, komentar audiens masih berputar pada tiga hal, yaitu; 1) gaya menjanyi kurang rileks, 2) komunikasi emosional dengan audiens, dan 3) kemampuan mengajak audiens ikut terlibat dalam menyanyikan lagu. Adapun hasil secara keseluruhan kegiatan pembelajaran dengan teknik XPector adalah sebagai berikut: 1. Penerapan Teknik Promosi dan Peningkatan Kemampuan Berbicara Bahasa Inggris Teknik ini mudah diterapkan dalam pembelajaran di kelas khususnya untuk meningkatkan aktivitas berbicara bahasa Inggris. Dari 23 orang peserta didik, semuanya mendapat kesempatan untuk berbicara bahasa Inggris. Secara klasikal, total waktu kegiatan pembelajaran 1 kali pertemuan 80 menit, dimana 10 menit untuk pengantar dan 5 menit untuk kegiatan penutup sehingga proses kegiatan inti berlangsung 65 menit. Dibanding pembelajaran biasa yang sebelumnya hanya 6 orang (26%) yang tampil berbicara bahasa Inggris, pada penerapan tekhnik ini, dapat kita rinci sebagai berikut:
Seger, Penerapan Teknik “X-Pector” | 80
Tabel 1 Judul Lagu “Love of MyLife”
No
Komentar Lisan
Komentar Tertulis
1
11
23
Prosentase (%) Lisan Tulis 100% 47%
Keterangan Naik 21%
Catatan: Prosentase kenaikan hanya dihitung pada kemampuan berkomentar lisan Tabel 2: Judul Lagu
1
Komentar Lisan 6
Pertanyaan Lisan 4
Komentar Tertulis Kelompok
Prosentase (%) Lisan Tulis 6 (100%) 43%
2
8
4
Kelompok
52%
6 (100%)
Naik 26%
3
9
4
Kelompok
56%
6 (100%)
Naik 30%
No
Rata-rata kenaikan
Keterangan Naik 17%
Naik 24%
Keterangan: 1. I’m Yours, 2. Just Give Me a Reason, dan 3. You Raise Me Up. Tabel 3: Judul Lagu
1
Komentar Lisan 8
Pertanyaan Lisan 5
Komentar Tertulis Kelompok
Prosentase (%) Lisan Tulis 6 (100%) 56%
2
14
4
Kelompok
78%
6 (100%)
Naik 52%
3
8
5
Kelompok
56%
6 (100%)
Naik 30%
No
Rata-rata kenaikan
Keterangan Naik 30%
Naik 37%
Keterangan: 1. Lucky, 2. A Thousand Years, dan 3. Fly to Your Heart
a. Pertemuan I, 29 Oktober 2013 (perhatikan tabel 1) Terjadinya kenaikan 21% disebabkan oleh beberapa hal: 1) Lagu merupakan topik yang disenangi oleh peserta didik, 2) Lagunya sederhana dan diserta dengan teks lagu yang tampil pada layar sehingga mudah diikuti; 3) Kelompok pembawa sangat popular, yaitu scorpion, 4) langkah pembelajaran sangat sederhana, 5) proses pembelajaran relatif tidak membutuhkan biaya mahal karena peserta didik melihat tayangan lagu melalui projector dan memberikan komentar lewat lisan yang dibuktikan dengan laporan tertulis pada selembar kertas.
b.
Pertemuan II, 31 Oktober 2013 (perhatikan tabel 2) Terjadinya kenaikan 24% disebabkan oleh beberapa hal: 1) Lagu merupakan topik yang disenangi oleh peserta didik, 2) Lagunya merupakan lagu pilihan peserta didik yang pada umumnya anak usia sebaya menyukainya, 3) Penyanyinya adalah teman kelas, jadi peserta didik lebih berani berkomentar, 4) langkah pembelajaran sangat sederhana.
c. Pertemuan III, 5 Nopember 2013(perhatikan tabel 3) Terjadinya kenaikan 37% disebabkan oleh beberapa hal: 1) Lagu merupakan topik yang disenangi oleh peserta didik, 2) Lagu A Tahosand Years” merupakan lagu yang sangt popular untuk
81 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 76-83
anak-anak. 3) Kemampuan penyanyi (Ati’) berkomunikasi secara emosional dengan audiens sangat baik sehingga mereka ikut bernyanyi bersama sambil tepuk tangan, dan 5) langkah pembelajaran relative sederhana dan mudah dilakukan, yaitu : mendengar lagu (bisa sambil ikut bernyanyai), emberikn pertanyaan atau komentar, dan terakhir merangkum hasil komentar sebagai bukti laporan tertulis. d. Pertemuan 4, 7 Nopember 2013 Pada pertemuan ke empat, kegiatan hanya diisi dengan kegiatan refleksi untuk memberikan catan dan masukan. Pada kegiatan ini dilakukan melalui tiga tahap’ 1) pengarahan oleh guru peneliti terkait temuan, 2) refleksi diri kelompok, dan 3) komentar dari kelompok lain. Selanjutnya kegiatan diteruskan dengan penyebaran angket peserta didik yang diberikan oleh guru peneliti untuk mengetahui sejauh mana respon peserta didik terhadap penerapan tekhnik ini. Berikut disampaikan pula hasil angket peserat didik menyangkut penerapan tekhnik X-Pector: Point angket dapat dikategorikan menjadi tiga; 1) tingkat kepraktisan teinik X-Pector, 2) Tekhnik X-Pector secara memotivasi peserta didik untuk berbicara bahasa Inggris, dan 3) dengan teknik X-Pector pembelajaran memberikan rasa senang. Sesuai dengan bagian sub bahasan, maka pada bagian ini hanya dipaparkan respon peserta didik hasil angket menyangkut pertanyaan nomor satu dan dua saja. Semua responden yang berjumlah 23 orang peserta didik (100%) menyatakan bahwa tekhnik ini mudah diterapkan. Sedang respon peserta didik menyangkut tekhnik ini memotivasi untuk berani berbicara bahasa Innggris sebesar 21 orang (91%) sedang 2 orang (9%) menyatakan tidak. Ini artinya teknik ini belum tuntas membawa peserta didik berani berbicara bahasa Inggris 2. Respon peserta didik terhadap penerapan tekhnik X-Pector Hasil rekam tanggapan peserta didik terhadap penerapan teknik XPector adalah sebagai berikut; terdapat 22 dari 23 orang peserta didik atau 95,6% orang menyatakan bahwa
pembelajaran dengan menggunakan teknik X-Pector menarik dan menyenagkan. Hanya ada 1 orang atau 3,4% menyatakan tidak menarik. Hal ini berarti bahwa ketika tekhnik XPector ini diterapkan dalam pembelajaran, peserta didik mendapatkan rasa senang dalam belajar. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan pembahasan, hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut; 1) Teknik X-Pector merupakan teknik pembelajaran yang sangat praktis (mudah dilaksanakan) dalam meningkatkan aktivitas pembelajaran di kelas, karena kegiatan ini hamier seluruhnya diisi oleh kegiatan peserta didik dalam bentuk bernyanyi, berkomentar, dan bertanya.. Dengan aktifnya peserta didik berbicara, kegiatan menjadi berpusat pada peserta didik. Meningkatnya aktivitas belajar juga tidak lepas dari sederhananya teknik ini serta tidak perlu biaya banyak unyuk implementasinya. Ada faktor lain yang sangat menentukan yaitu, keterlibatan peserta didik mepersiapkan pembelajaran sebelum kegiatan duimulai; 2) Menyangkut peningkatan kemampuan berbicara, kalau pada pembelajaran biasa, kegiatan beribacara abahasa Inggris didominasi oleh guru, tetapi dengan diterapkannya teknik ini, kegiatan berbicara di kelas didominasi oleh peserta didik. Sebelum teknik ini diterapkan, hanya terdapat 6 orang peserta didik berbicara bahasa Inggris, tetapi sejak teknik promosi ini diterapkan, dari pertemuan 1 s.d 4, jumlah peserta didik yang berbicara bahasa Inggris terus mengalami peningkatakan. Hal ini juga ditunjukkan oleh hasil angket peserta didik yang 91% menyatakan bahwa teknik ini memotivasi utuk berani berbicara bahasa Inggris. 3) Hasil angket peserta didik menunjukkan bahwa, terdapat 22 dari 23 orang peserta didik atau 95,6% orang menyatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan teknik X-Pector ini menyenangkan.
Seger, Penerapan Teknik “X-Pector” | 82
B. Saran Dari hasil penelitian, disarankan kepada guru bahasa Inggris agar menggunakan teknik X-Pector sebagai salah satu alternatif teknik pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Inggris. Hal ini karena beberapa alasan; 1) teknik ini sangt praktis dan tidak membutuhkan biaya mahal; 2) teknik ini mampu secara peseruasif memotivasi peserta didik untuk melakukan praktik bebribacara bahasa Inggris, 3) teknik ini juga mudah menciptakan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (bukan pada guru), 4) karena sifatnya yang persuasif dan menyenangkan, maka teknik ini sangat mudah untuk meningkatakan kemampuan berbicara; 5) Dari sisi komunikasi, terjadi komunikasi multi arah, yaitu komunikasi dengan lagu yang dinyanyikan, komunikasi dengan penyanyi dalam kondisi gembira sehingga kegembiraan ini menambah suasana menjadi menarik dan menyenangkan.
Ada satu hal penting sebagai temuan dalam pembelajaran ini, yaitu keberhasilan teknik ini ditunjang oleh keikutsertaan semua peserta didik secara aktif untuk ikut serta mempersiapkan pembelajaran sebelum dimulai. Persiapan dimaksud adalah menyiapkan penampilamn masing-masing kelompok bersama dengan komentarnya. Oleh sebab itu, point baru dalam penerapan teknik ini, yaitu keikutsertaan peserta didik dalam mempersiapkan pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting untuk menunjang keberhasilan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA Ardiana, Leo Idra. 2003. Penelitian Tindakan Kelas: Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Reviewer oleh Bambang Yulianto, dkk. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles (2nd Ed). New York: San Francisco State University Latief, Adnan Mohammad. Ph.D. 2004. Pembelajaran, Penilaian, dan Penelitian Bahasa Inggris. (Kumpulan Artikel Ilmiah). Malang. Universitas Negeri Malang. ……….., 2003. Jurnal Ilmu Pendidikan, Juni 2003, Jilid 10, nomor 2. Kisyani-Laksono.2007. Bahan Pendidikan dan pelatihan Penelitian Tindakan Kelas dan karya Ilmiah. Surabaya: Universitas Surabaya
McNiff, Jean. 1988. Action Research. New York: Macmillan Education Ltd. Soedarsono, FX. 1997. Rencana, Desain, dan Implementasi dalam Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: BP3SD, Dirjen Dikti. Sumarno. 1997. Pemantauan dan Evaluasi dalam Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: BP3SD, Dirjen Dikti, Depdikbud. Susanto. 2002. Developing a Research Proposal, a practical Guidline. Surabaya, Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan bahas Inggris, Universitas Surabaya. -------------2010. Konsep Penelitian Tindakan kelas dan Penerapannya. Surabaya. Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan bahas Inggris, Universitas Surabaya.
83 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 76-83
Suyanto. 1997. Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Jakarta: BP3SD, Dirjen Dikti, Depdikbud.
Tim Pelatih Proyek PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
PERBEDAAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA YANG DIAJARI MENGGUNAKAN STRATEGI INKUIRI DENGAN STRATEGI EKSPOSITORI PADA MATERI POKOK TURUNAN FUNGSI SISWA KELAS XI IPA SMA NEGERI 1 GALIS Sri Irawati Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Alamat : Jalan Raya Panglegur 3,5 KM Pamekasan
[email protected] Abstrak : Seiring perkembangan zaman banyak strategi yang mulai bermunculan, diantaranya adalah strategi inkuiri dan strategi ekspositori. Strategi inkuiri merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered approaches) sedangkan strategi ekspositori merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered approaches. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang diajar menggunakan strategi inkuiri dengan strategi ekspositori pada materi pokok turunan fungsi siswa kelas XI IPA SMA NEGERI 1 Galis. Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif jenis komparatif dengan menggunakan dua kelas yaitu kelas eksperimen yang diajar menggunakan strategi inkuiri dan kelas kontrol yang diajar menggunakan strategi ekspositori. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tes dengan tekhnik analisis data menggunakan uji-t. Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang diajari menggunakan strategi inkuiri dengan strategi ekspositori pada materi pokok turunan fungsi siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Galis. Kata kunci : prestasi belajar matematika, strategi inkuiri, strategi ekspositori,
PENDAHULUAN Matematika selama ini dianggap sebagai salah satu mata pelajaran yang sulit bagi sebagian siswa karena dalam pembelajaran matematika sangat kental hubungannya dengan angka-angka, rumusrumus serta simbol-simbol. Dalam keadaan sulit tersebut kebanyakan siswa sangat minim pemahamannya terhadap pelajaran matematika sehinga mengakibatkan siswa tidak dapat menyelesaikan masalah-maslah matematika. Sehingga hal ini menjadi masalah bagi seorang guru untuk kemudian harus dicarikan solusinya. Untuk membantu siswa memahami konsep dan memudahkan guru dalam mengajarkan konsep tersebut diperlukan suatu pemdekatan pembelajaran yang mengaitkan materi konteks pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran ada dua pendekatan, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centered approaches) contohnya pembelajaran menggunakan strategi ekspositori dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered approaches) contohnya pembelajaran menggunakan strategi inkuiri. (sanjaya, 2008)
Dalam kegiatan pembelajaran sangat dituntut keaktifan siswa. Oleh karena itu guru matematika dituntut menjadi seorang pengajar profesional yang memiliki kemampuan (skill) dan bisa menerapkan strategi pembelajaran yang tepat sesuai materi secara aktif, kreatif dan inovatif dalam setiap proses pembelajaran. Hal ini bertujuan untuk mencapai hasil belajar yang optimal dan dapat meningkatkan motivasi pada diri siswa. Selain itu dimaksudkan untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sehingga siswa tidak merasa jenuh dan semakin tekun belajar matematika. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang diajar menggunakan strategi inkuiri dengan strategi ekspositori pada materi pokok turunan fungsi siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Galis METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif jenis komparatif, sebab data yang diperoleh berupa angka dari hasil tes dan dari hasil tes tersebut diteliti tentang perbedaannya. Dalam penelitian ini digunakan dua kelas yaitu
84
85 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 84-87
kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen diajari menggunakan strategi inkuiri sedangkan kelas kontol diajari menggunakan strategi ekspositori. Pemilihan kedua kelas ini dilakukan dengan melihat ratarata dari nilai matematika, dimana rata-rata dari kedua kelas haruslah relatif sama. Berdasarkan rata-rata nilai matematika, terpilihlah kelas XI IPA 2 sebanyak 35 siswa sebagai kelas eksperimen dan kelas XI IPA 1 sebanyak 35 siswa sebagai kelas kontrol. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tes yang berupa uraian (essay) sebanyak 4 soal. Namun sebelum digunakan, tes terlebih dahulu diujicobakan yang bertujuan untuk mengetahui kelayakan dari soal tes yang dibuat. Uji coba tes diberikan kepada 10 siswa SMA Negeri 1 Pademawu. Hasil uji coba instrumen ini kemudian dianalisis untuk mengetahui layak tidaknya dengan menggunakan validitas, reliabilitas, daya beda, dan tingkat kesukaran. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dengan menghitung uji t dengan taraf singnifikan 5%. PEMBAHASAN DAN HASIL 1. Prestasi Belajar Menurut Yasa (http://ipotes.wordpress.com/2008/05/24/prest asi-belajar/) Prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai oleh individu setelah mengalami suatu proses belajar dalam jangka waktu tertentu. Prestasi belajar juga diartikan sebagai kemampuan maksimal yang dicapai seseorang dalam suatu usaha yang menghasilkan pengetahuan atau nilai – nilai kecakapan. Lebih lanjut dalam situs yang sama Nurkancana dan Sunartana (1992) mengatakan bahwa prestasi belajar bisa juga disebut kecakapan aktual (actual ability) yang diperoleh seseorang setelah belajar, suatu kecakapan potensial (potensial ability) yaitu kemampuan dasar yang berupa disposisi yang dimiliki oleh individu untuk memcapai prestasi. Kecakapan aktual dan kecakapan potensial ini dapat dimasukkan kedalam suatu istilah yang lebih umum yaitu kemampuan (ability). Benjamin S. Bloom mengklasifikasikan prestasi belajar menjadi 3 ranah yaitu (1) ranah kognitif: berkaitan dengan pengetahuan,pemahaman, penerapan, analisis,
sintesis, dan evaluasi (2) ranah afektif : berkaitan dengan sikap (3) ranah psikomotorik: berkenaan dengan keterampilana dan kemampuan bertindak. 2. Strategi Inkuiri Inkuiry yang dalam bahasa Inggris Inquiry berarti pertanyaan, atau pemeriksaan, penyelidikan. trategi inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. (Gulo, 2002). Sedangkan menurut Sanjaya (2008) inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analisis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Menurut Sanjaya (2008) Prinsip penggunaan strategi inkuiri adalah : (1) berorientasi pada pengembangan intelektual (2) prinsip interaksi (3) prinsip bertanya (4) prinsip bertanya untuk berpikir (5) prinsip keterbukaan. Sedangkan langkah-langkah strategi inkuiri adalah : 1) Orientasi. Beberapa hal yang dapat guru lakukan dalam tahap ini adalah menjelaskan topik, tujuan, hasil belajar yang dapat dicapai siswa, langkahlangkah inkuiri serta memberikan motivasi pada siswa 2) Merumuskan masalah. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tahap ini adalah masalah dirumuskan sendiri oleh siswa, masalah yang dikaji adalah masalah yang mengandung jawaban yang pasti dan Konsep-konsep dalam masalah adalah konsep-konsep yang sudah diketahui terlebih dahulu oleh siswa 3) Merumuskan hipotesis. Dalam langkah ini, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan permasalahan yang telah diberikan. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memberikan hipotesis adalah dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk dapat mengajukan jawaban sementara.
Irawati, Perbedaan Prestasi Belajar Matematika Siswa | 86
4) Mengumpulkan data. Mengumpulkan data adalah aktifitas menjaring informasi yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan 5) Menguji hipotesis. Menguji hipotesis adalah proses menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data 6) Merumuskan kesimpulan. Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Menurut Sanjaya (2008) Kelebihan dari strategi inkuiri adalah : (1) strategi inkuiri merupakan metode pembelajaran yang menekankan kepada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, secara seimbang sehingga pembelajaran akan lebih bermakna. (2) memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar meraka. (3) merupakan metode yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perudahan tingkah laku berkat adanya perubahan. (4) metode pembelajaran ini dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Sedangkan kelemahan dari strategi inkuiri adalah : (1) sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa. (2) sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar. (3) memerlukan waktu yang panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan (4) Selama kriteria keberhasilan ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pelajaran, maka strategi inkuiri akan sulit diimplemintasikan oleh setiap guru. Cara mengatasi kelemahan strategi inkuiri adalah (1) guru sebaiknya merencanakan pembelajaran lebih matang agar tujuan pembelajaran dapat tercapai (2) guru hendaknya memperhatikan dan menggunakan waktu seefisien mungkin (3) guru diharapkan lebih aktif untuk memperhatikan aktifitas siswa secara keseluruhan. 3. Strategi Ekspositori Strategi ekspositori adalah strategi pembelajaran yang menekankan pada penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan
maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal (sanjaya, 2008). Menurut Sanjaya (2008) prinsip strategi ekspositori adalah : (1) Berorientasi pada tujuan (2) Prinsip komunikasi (3) Prinsip kesiapan (4) Prinsip berkelanjutan Sedangkan langkah-langkah strategi ekspositori meliputi : 1) Persiapan. Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran. 2) Penyajian. Penyampaian materi pelajaran sesuai dengan persiapan yang telah dilakukan. 3) Korelasi. Menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan hal-hal lain yang memungkinkan siswa dapat menangkap keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang dimilikinya 4) Menyimpulkan. Memahami inti (core) dari materi pelajaran yang telah disajikan. 5) Mengaplikasikan. Dalam langkah ini guru akan dapat mengumpulkan informasi tentang penguasaan dan pemahaman materi pelajaran oleh siswa. Adapun kelebihan dari strategi ekspositori, yaitu: (1) Guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran, dengan demikian ia dapat mengetahui sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan. (2) Strategi pembelajaran ekspositori dianggap sangat efektif apabila materi pelajaran yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara itu waktu yang dimiliki untuk belajar terbatas. (3) Siswa dapat mendengar melalui penuturan (kuliah) tentang suatu materi pelajaran juga sekaligus siswa bisa melihat atau mengobservasi (melalui pelaksanaan demonstrasi). (4) Strategi pembelajaran ini bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar. Sedangkan kelemahan dari strategi ekspositori, yaitu: (1) Strategi pembelajaran ini hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik (2) Strategi ini tidak mungkin dapat melayani perbedaan setiap individu baik perbedaan kemampuan, pengetahuan, minat, dan bakat, serta perbedaan gaya belajar. (3) Kemampuan sosialisasi, hubungan interpersonal, serta kemampuan berpikir kritis akan kurang. (4) Keberhasilan strategi pembelajaran ekspositori sangat tergantung kepada apa yang
87 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 84-87
dimiliki guru (5) kesempatan untuk mengontrol pemahaman siswa sangat terbatas pula. Di samping itu, komunikasi satu arah bisa mengakibatkan pengetahuan yang dimiliki siswa akan terbatas pada apa yang diberikan guru. Cara mengatasi kelemahan pada strategi ekspositori adalah sebaiknya guru mempersiapkan materi yang akan disampaikan maupun mengenai hal-hal yang dapat mempengaruhi kelancaran proses belajar mengajar. 4. Turunan Fungsi Kajian turunan fungsi yang menjadi fokus penelitian iniadalah turunan fungsi sub pokok materi model matematika yang berkaitan dengan ekstrim fungsi. Langkah-langkah yangg diperlukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan ekstrim fungsi adalah : (1) merumuskan fungsi yang akan dimaksimumkan/minimumkan dalam satu variabel (2) menentukan maksimum/minimum dari fungsi yang diperoleh pada langkah sebelumnya (3) menafsirkan penyelesaian yang diperoleh.
DAFTAR PUSTAKA Gulo, W. 2004. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : PT.Grasindo Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Berdasarkan analisis data diperoleh = 6,75, selanjutnya dikonsultasikan dengan dengan taraf singnifikan 5% dan db=34, maka . Dari dua nilai tersebut tampak bahwa 6,75 > 2,032 atau . Sehingga disimpulkan bahwa ada perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang diajari menggunakan strategi inkuiri dengan strategi ekspositori pada materi pokok turunan fungsi siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Galis. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan penelitian yang dilakukan di kelas XI IPA SMA Negeri 1 Galis maka disimpulakan bahwa ada perbedaan prestasi belajar matematika siswa yang diajari menggunakan strategi inkuiri dengan strategi ekspositori pada materi pokok turunan fungsi dengan taraf singnifikan sebesar 6,75 dan berdasarkan hasil perhitungan pada analisis data perbedaan hasil belajar matematika yang menggunakan strategi inkuiri dan ekspositori sebesar 4,718.
http://ipotes.wordpress.com/2008/05/24/presta si-belajar/
UPAYA PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR IPS SISWA KELAS VIII SMPN 1 WARU PAMEKASAN MELALUI PENDEKATAN LEARNING COMMUNITY TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Shamrah Dinas Pendidikan, SMP Negeri 1 Waru Jalan Raya Tamberu Waru Telp (0324) 510263 Pamekasan Email:
Abstrak: Dalam pelaksanaan menilai pembelajaran IPS sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat monoton dan ekspositoris sehingga siswa kurang antusias dan mengakibatkan pelajaran kurang menarik padahal guru IPS wajib berusaha secara optimum merebut minat siswa karena minat merupakan modal utama untuk keberhasilan pembelajaran IPS. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil ulangan harian IPS yang pertama di kelas VIII SMPN 1 Waru Pamekasan pada kompetensi dasar mendeskripsikan keragaman bentuk muka bumi, proses pembentukan dan dampaknya terhadap kehidupan mencapai rata – rata 57,8 dan hanya 50 % siswa mencapai nilai 70 atau > 70. Untuk itu, penelitian ini melalui pendekatan learning communityuntuk meningkatkan prestasi belajar IPS siswa kelas VIII SMPN 1 Waru. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) dan dilakukan selama dua siklus. Instrumen dalam penelitian berupa angket, observasi dan wawancara. Hasil penelitian ini adalah prestasi belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran melalui pendekatan learning communitymengalami peningkatan di setiap siklusnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran learning community sangat cocok digunakan dalam pembelajaran IPS. Kata kunci:Learning community, IPS
PENDAHULUAN Pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas merupakan salah satu tugas utama guru, dan pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa. Dalam proses pembelajaran masih sering ditemui adanya kecenderungan meminimalkan keterlibatan siswa. Dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabkan kecenderungan siswa lebih bersifat pasif sehingga mereka lebih banyak menunggu sajian guru dari pada mencari dan menemukan sendiri pengetahuan, ketrampilan atau sikap yang mereka butuhkan. Dalam implementasi materi, menemukan IPS lebih menekankan aspek pengetahuan, berpusat pada guru, mengarahkan bahan berupa informasi yang tidak mengembangkan berpikir nilai serta hanya membentuk budaya menghafal dan bukan berpikir kritis. Dalam pelaksanaan menilai pembelajaran IPS sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat monoton dan ekspositoris sehingga siswa kurang antusias dan mengakibatkan pelajaran kurang menarik padahal guru IPS wajib berusaha secara optimum merebut minat siswa karena minat
merupakan modal utama untuk keberhasilan pembelajaran IPS. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil ulangan harian IPS yang pertama di kelas VIII SMPN 1 Waru Pamekasan pada kompetensi dasar mendeskripsikan keragaman bentuk muka bumi, proses pembentukan dan dampaknya terhadap kehidupan mencapai rata – rata 57,8 dan hanya 50 % siswa mencapai nilai 70 atau > 70. Padahal idealnya minimal harus mencapai 100% siswa mendapat 70 atau > 70. Diduga bahwa yang menjadi kendala yang dirasakan adalah masalah proses pembelajaran yang kurang variasi dan kurang melibatkan siswa secara aktif. Guru menggunakanmodel pembelajaran yang terkesan monoton sehingga siswa menjadi kurang aktif. Setelah memperhatikan situasi kelas yang seperti itu, maka perlu dipikirkan cara penyajian dan suasana pembelajaran IPS yang cocok untuk siswa, sehingga siswa dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Saat ini pemerintah sudah sering mensosialisasikan berbagai model pembelajaran. Salah satu model pembelajaran
88
89 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 88-92
yang disosialisasikan adalah model pembelajaran learning community. Learning community merupakan suatu konsep terciptanya masyarakat belajar di sekolah, yakni proses belajar membelajarkan antara guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa, dan bahkan antara masyarakat sekolah dengan masyarakat di luar sekolah, agar prestasi belajar siswa dapat ditingkatkan.Learning community berusaha menggeser pembelajaran yang bersifat individual menjadi pembelajaran yang bersifat sosial. Ini berarti iklim kompetitif dalam kelas harus diubah menjadi iklim sosial, sehingga tidak terjadi kesenjangan intelektual dan pengalaman di antara siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan prestasi belajar IPS siswakelas VIII SMPN 1 Waru Pamekasan melalui pendekatan learning community tahun pelajaran 2013/2014. METODE Penelitian ini menggunakan rancangan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi meningkat (Wardani, 2005). Penelitian Tindakan Kelas sebagaimana dinyatakan oleh Kemmis dan Mc Taggart (dalam Yatim Riyanto, 2001) merupakan penelitian yang bersiklus, yang terdiri dari perencanaan,pelaksanaan,observasi, dan refleksi yang dilakukan secara berulang, hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Obyek Tindakan Proses penelitian tindakan kelas ditik beratkan pada prestasi belajar siswa dalam proses pembelajaran melalui pendekatan learning community, melalui strategi ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam meraih prestasi belajar. 2. Tempat, waktu dan subyek penelitian Penelitian dilaksanakan di SMPN 1 Waru Pamekasan Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan mulai dari minggu ke 2 bulan Juli 2013 sampai dengan minggu ke 2 bulan September 2013. Subyek penelitian adalah siswa kelas VIII A SMPN 1 Waru Pamekasan dengan jumlah siswa di
kelas ini adalah 30 orang yang terdiri dari 14 orang laki – laki dan 16 orang perempuan. 3. Sumber Data Sumber data penelitian adalah data primer yang diperoleh melalui angket, wawancara dan observasi pada siswa kelas VIII A SMPN 1 Waru Pamekasan pada tahun ajaran 2013/2014 4. Teknik dan alat pengumpulan data Dalam PTK ini pengumpulan data dilakukan dengan teknik yaitu : a. Angket, yaitu untuk memperoleh data secara cepat dari responden dalam waktu singkat. b. Observasi, yaitu untuk cross check data yang dikumpulkan dari angket, tentang sikap dan perilaku guru selama kegiatan sehingga diharapkan mendapatkan data yang akurat. c. Wawancara, yaitu melengkapi data yang diperoleh melalui angket dan observasi. 5. Validasi Data Untuk memperoleh data yang valid peneliti melalukan validasi data yang diperoleh dari angket, observasi dan wawancara. 6. Analisis data a. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah : Analisis kuantitatif, yaitu adalah analisis data yang dinyatakan dengan angka. b. Analisis kualitatif adalah analisis data yang dinyatakan dengan kualita atau keterangan yang dilakukan pada data hasil angket, observasi, dan wawancara. c. Analisis digunakan terhadap data hasil penelitian tahap pra siklus, siklus pertama, dan siklus ke dua. Teknik analisis dilakukan dengan membandingkan seberapa besar selisih nilai yang diperoleh siswa dalam mengikuti ulangan harian dan aktifitas siswa selama proses pembelajaran pada setiap tahap.
Shamrah, Upaya Peningkatan Prestasi Belajar IPS | 90
HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kondisi Awal 1. Deskripsi Hasil Belajar Prasiklus Hasil pembelajaran kondisi awal IPS Kompetensi Dasar mendeskripsikan keragaman bentuk muka bumi, proses pembentukan dan dampaknya terhadap kehidupan melalui pendekatan learning community diperoleh data dimana pada masa pra siklus mencapai rata – rata 63,33 dan hanya 50 % siswa mencapai nilai 70 atau > 70. Padahal idealnya minimal harus mencapai 100% siswa mendapat 70 atau > 70. 2. Deskripsi Proses pembelajaran Proses pembelajaran kondisi awal siswa kelas VIII SMPN 1 Waru Pamekasan pada mata pelajaran IPS tentang keragaman bentuk muka bumi , proses pembentukan dan dampaknya terhadap kehidupan kurang berhasil karena rata – rata kelas mencapai 63,33 dan hanya 50% siswa mencapai ketuntasan atau nilainya lebih dari 70.Padahal idealnya ketuntasan klasikal adalah 85% dan KKM harus 70. Deskripsi Hasil Siklus I 1. Perencanaan Tindakan Pelaksanaan pembelajaran Penelitian Tindakan Kelas (PTK) siklus I dilaksanakan dalam tiga kali pertemuan. Pertemuan pertama dilaksanakan tanggal 26 Nopember 2013 , pertemuan kedua tanggal 28 Nopember 2013 dan pertemuan ketiga tanggal 30 Nopember 2013. Sebelum melaksanakan tindakan pembelajaran, dilakukan persiapan terakhir. Langkah awal dalam perencanaan adalah peneliti memeriksa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah disusun, dibaca ulang, mencermati setiap butir yang akan direncanakan. Peneliti memeriksa skenario pembelajaran yang terdapat dalam RPP yang akan diimplementasikan melalui kegiatan pembelajaran dari kegiatan awal sampai kegiatan akhir.
a. Kegiatan Awal Pertemuan pertama dilaksanakan tanggal 26 Nopember 2013. Kegiatan awal dilaksanakan kurang lebih 10 menit, yaitu memberikan salam, memeriksa kehadiran siswa, mengkondisikan siswa agar siap menerima pelajaran, memotivasi siswa, memberikan apersepsi untuk memusatkan perhatian siswa pada materi pembelajaran.Peneliti menyampaikan materi dan tujuan pembelajaran yang akan dilaksanakan. b. Kegiatan Inti Kegiatan inti siklus I pertemuan pertama dilaksanakan selama 40 menit. Guru membentuk kelompok diskusi berdasarkanlokasi tempat duduk siswa, untuk melaksanakan diskusi sesuai permaslahan yang ada.Ketua kelompok mengambil lembar kerja siswa yang telah disiapkan untuk di diskusikan secara bersama – sama di dalam kelompok. Guru mengawasi siswa yang sedang melakukan diskusi. Setelah kerja kelompok selesai, dilanjutkan dengan diskusi kelas untuk saling mencocokkan hasil kerjanya. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil diskusi dan kelompok lain memberikan tanggapan. Setelah semua kelompok selesai presentasi, guru mengulas materi dan hasil kerja siswa. Dengan bimbingan guru, siswa membuat kesimpulan dari kegiatan yang telah dilaksanakan. c. Kegiatan Akhir Guru memberikan saran dan tindak lanjut untuk pelajaran berikutnya. Guru memberi tugas pekerjaan rumah pada siswa untuk menyelasaikan yang akan dibahas pada pertemuan selanjutnya. 2. Pelaksanaan Tindakan Siswa dengan bimbingan guru mengkaji dan menelaah masalah yang ada pada materi tentang keragaman bentuk – bentuk muka bumi, kemudian dilanjutkan dengan menjawab pertanyaan pada lembar kerjasiswa.Siswa mengerjakan LKS, beberapa siswa melaporkan hasil kerjanya di depan kelas bergantian dan siswa lain yang belum maju memberikan tanggapan, sanggahan,
91 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 88-92
pertanyaan dan pendapat yang berbeda kepada siswa yang sedang melaporkan hasil kerjanya. Selama kegiatan pembelajaran yang berlangsung selama 3 kali pertemuan, semua kegiatan berjalan lancar dan tidak ada kendala yang menganggu proses belajar mengajar.
siswa agar siap menerima pelajaran, memotivasi siswa, memberikan apersepsi untuk memusatkan perhatian siswa pada materi pembelajaran.Peneliti menyampaikan materi dan tujuan pembelajaran yang akan dilaksanakan.
3. Hasil Pengamatan a. Hasil Belajar Hasil belajar pada siklus I terdapat kenaikan prestasi belajar berupa rata – rata kelas menjadi 69,89 dan sebanyak 65 % siswa memperoleh nilai tuntas. Nilai terendah adalah 50 dan nilai tertinggi adalah 90.
b. Kegiatan Inti Kegiatan inti siklus II pertemuan pertama dilaksanakan selama 40 menit. Guru membentuk kelompok diskusi berdasarkan lokasi tempat duduk siswa, untuk melaksanakan diskusi sesuai permaslahan yang ada.Ketua kelompok mengambil lembar kerja siswa yang telah disiapkan untuk di diskusikan secara bersama – sama di dalam kelompok. Guru mengawasi siswa yang sedang melakukan diskusi. Setelah kerja kelompok selesai, dilanjutkan dengan diskusi kelas untuk saling mencocokkan hasil kerjanya. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil diskusi dan kelompok lain memberikan tanggapan. Setelah semua kelompok selesai presentasi, guru mengulas materi dan hasil kerja siswa. Dengan bimbingan guru, siswa membuat kesimpulan dari kegiatan yang telah dilaksanakan.
b. Proses Pembelajaran Dalam pembelajaran IPS siswa mulai tertarik untuk mengikuti diskusi walaupun masih ada yang bermain – main, pasif dalam diskusi.Dengan model pembelajaran learning community mulai ada perubahan prestasi belajar siswa kea rah peningkatan. 4. Refleksi Dengan memperhatikan hasil pengamatan terhadap siswa diperoleh hal-hal sebagai berikut: a. Dalam proses pembelajaran IPS di Kelas VIII A terdapat peningkatan prestasi belajar dari nilai rata – rata 63,33 menjadi 69,89 dan jumlah siswa yang tuntas dari 50% menjadi 75%. b. Tetap meningkatkan prestasi belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran learning community. Deskripsi Hasil Siklus II 1. Perencanaan Tindakan Pelaksanaan kegiatan dilaksanakan pada tanggal 3, 5, dan 7 Desember 2013 Sebelum melaksanakan tindakan perbaikan, dilakukan persiapan terakhir. Langkah awal dalam perencanaan adalah peneliti memeriksa RPP yang telah disusun, dibaca ulang, mencermati setiap butirnya.Yang tidak kalah pentingnya adalah semua perencanaan harus dimatangkan dan saran prasarana dipersiapkan dengan baik agar kegiatan PBM tidak menemukan hambatan yang dapat menganggu proses penyusunan PTK ini. a. Kegiatan Awal Kegiatan awal dilaksanakan kurang lebih 10 menit, yaitu memberikan salam, memeriksa kehadiran siswa, mengkondisikan
c. Kegiatan Akhir Guru memberikan saran dan tindak lanjut untuk pelajaran berikutnya. Guru memberi tugas pekerjaan rumah pada siswa untuk menyelasaikan yang akan dibahas pada pertemuan selanjutnya. 2. Pelaksanaan Tindakan Siswa dengan bimbingan guru mengkaji dan menelaah masalah yang ada pada materi tentang keragaman bentuk-bentuk muka bumi, kemudian dilanjutkan dengan menjawab pertanyaan pada lembar kerjasiswa.Siswa mengerjakan LKS, beberapa siswa melaporkan hasil kerjanya di depan kelas bergantian dan siswa lain yang belum maju memberikan tanggapan, sanggahan, pertanyaan dan pendapat yang berbeda kepada siswa yang sedang melaporkan hasil kerjanya. Selama kegiatan pembelajaran yang berlangsung selama 3 kali pertemuan, semua kegiatan berjalan lancar dan tidak ada kendala yang menganggu proses belajar mengajar.
Shamrah, Upaya Peningkatan Prestasi Belajar IPS | 92
3. Hasil Pengamatan a. Hasil Belajar Hasil belajar pada siklus II terdapat kenaikan prestasi belajar berupa rata – rata kelas menjadi 83.3 dan sebanyak 90 % siswa memperoleh nilai tuntas. Nilai terendah adalah 70 dan nilai tertinggi adalah 100 b. Proses Pembelajaran Dalam pembelajaran IPS siswa sangat tertarik untuk mengikuti diskusi, siswa yang suka bermain – main tidak ada, siswa sangat aktif dalam diskusi.Dengan model pembelajaran learning community perubahan prestasi belajar siswa kea rah peningkatan sangat dirasakan.
2.
3.
4. 4. Refleksi Dengan memperhatikan hasil pengamatan terhadap siswa diperoleh halhal sebagai berikut: a. Dalam proses pembelajaran IPS di Kelas VIII A terdapat peningkatan prestasi belajar dari nilai rata – rata 69,89 menjadi 83,3 dan jumlah siswa yang tuntas dari 75% menjadi 90%. b. Tetap meningkatkan prestasi belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran learning community. KESIMPULAN 1. Hasil pembelajaran kondisi awal IPS Kompetensi Dasar mendeskripsikan keragaman bentuk muka bumi, proses pembentukan dan dampaknya terhadap kehidupan melalui pendekatan learning community diperoleh data dimana pada
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi,dkk. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Bumi Aksara
masa prasiklus mencapai rata – rata 63,33 dan hanya 50 % siswa mencapai nilai 70 atau > 70. Padahal idealnya minimal harus mencapai 100% siswa mendapat 70 atau > 70. Hasil belajar pada siklus I terdapat kenaikan prestasi belajar berupa rata – rata kelas menjadi 69,89dan sebanyak 65 % siswa memperoleh nilai tuntas. Nilai terendah adalah 50 dan nilai tertinggi adalah 90. Hasil belajar pada siklus II terdapat kenaikan prestasi belajar berupa rata – rata kelas menjadi 83.3 dan sebanyak 90 % siswa memperoleh nilai tuntas. Nilai terendah adalah 70 dan nilai tertinggi adalah 100 Karena dalam penelitian ini terjadi peningkatan prestasi belajar siswa , maka peneliti berkesimpulan bahwa model pembelajaran learning community sangat cocok digunakan dalam pembelajaran IPS.
SARAN 1. Guru hendaknya selalu mencari dan menyesuaikan model pembelajaran dengan materi yang disampaikan, guru sebagai pendidik hendaklah juga memahami karakteristik dan kemampuan siswa, karena masing-masing siswa pada dasarnya mempunyai karakter dan kemampuan yang berbeda-beda. 2. Karena kegiatan ini sangat bermanfaat khususnya bagi guru dan siswa, maka diharapkan kegiatan ini dapat dilakukan secara berkesinambungan dalam pembelajaran IPS.
Menyenangkan. Bandung: RemajaRosdakarya Offset.
PT
Hisyam Zaini, Bermawy Munthe, Sekar Ayu Aryani. 2004. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: CTSD.
Saiful Rachman, Yoto, Syarif Suhartadi, Suparti. 2006. Penelitian Tindakan Kelas dan Penulisan Karya Ilmiah. Surabaya: SIC Bekerjasama Dengan Dinas P dan K Provinsi Jawa Timur.
Mulyasa, E.. 2005. Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Sumadi. 2002. Prestasi dalam Pustaka Widyamara :
Belajar. Jakarta
PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA ANTARA SISWA YANG DIAJAR MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEAD TOGETHER (NHT) DENGAN MODEL PENGAJARAN LANGSUNG Agus Subaidi Sri Indriati Hasanah Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Alamat Jalan Raya Panglegur 3,5 KM Pamekasan
Abstract: cooperative learning model of Numbered Head Together (NHT) or numbering think with the type of cooperative learning is designed to influence the pattern of student interaction and as an alternative to the traditional classroom structure. While the direct instruction model is one approach to teaching that is designed specifically to support students' learning process related to declarative knowledge and procedural knowledge are well structured that can be taught with the pattern of activity gradually, step by step. Both models have a different syntax that needs to be investigated whether there are differences of learning achievement when used in learning. Apparently after research showed that there was no difference in math achievement between students taught using cooperative learning model of Numbered Head Together (NHT) is taught by using the model of Direct Instruction. Keywords: cooperative learning model of Numbered Head Together (NHT), direct instruction model, achievement.
belajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar dan tujuan pendidikan (Mulyasa, 2007). Sedangkan tujuan pendidikan tersebut dapat dicapai melalui prestasi belajar dalam proses pembelajaran. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa, guru mempunyai peranan yang penting. Guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang luas. Selain sebagai pengajar, guru dituntut berlaku sebagai pembimbing dan pendidik siswa. Kemampuan penguasaan materi yang dimiliki oleh guru, kemampuan dalam memilih dan menggunakan model pembelajaran serta ketrampilan dalam menyampaikan materi pelajaran sangat berpengaruh terhadap keberhasilan belajar. Berbagai model pembelajaran dapat guru gunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Namun tidak semua dari model pembelajaran tersebut dapat digunakan. Guru perlu menyeleksi model pembelajaran yang mana yang paling baik untuk mengajarkan suatu materi tertentu khususnya mata pelajaran matematika sehingga diperoleh prestasi belajar yang lebih baik. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model pembelajaran
PENDAHULUAN Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, pembangunan di bidang pendidikan merupakan sarana dan wahana yang sangat penting dan menentukan dalam pembinaan sumber daya manusia. Maka dari itu bidang pendidikan memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah, masyarakat pada umumnya dan para pengelola pendidikan pada khususnya. Sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini pendidikan banyak mengalami berbagai tantangan. Salah satu tantangan yang sangat menarik adalah berkenaan dengan peningkatan mutu pendidikan. Upaya Peningkatan mutu pendidikan dilakukan dikarenakan masih rendahnya prestasi belajar. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pengelola pendidikan dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa, salah satunya dengan melakukan perubahan kurikulum sekolah. Langkah ini merupakan langkah awal untuk meningkatkan mutu pendidikan. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar dan hasil
93
Subaidi dan Hasanah, Prestasi Belajar Matematika | 94
kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT). Numbered Head Together (NHT) atau penomoran berfikir bersama adalah jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Numbered Head Together (NHT) pertama kali dikembangkan oleh Spenser Kagen (1993) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut (Trianto, 2007: 62). Sedangkan model pengajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang terstruktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah (Trianto, 2007: 41). Singkatnya dengan model pengajaran langsung ini guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran. Dengan demikian guru bisa mengetahui sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan. Dari uraian tersebut model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dan model pengajaran langsung tentunya memiliki perbedaan sebab model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) lebih menempatkan siswa sebagai subjek belajar yang aktif dalam proses pembelajaran, sedangkan model pengajaran langsung lebih menempatkan siswa sebagai objek belajar yang menerima apa yang disampaikan guru. Namun, peneliti ingin mengetahui apakah ada perbandingan jika diterapkan pada pembelajaran matematika sub pokok bahasan sifat-sifat turunan fungsi. Pemilihan pokok bahasan turunan fungsi pada sub pokok bahasan sifat-sifat turunan fungsi dalam penelitian ini dikarenakan berdasarkan kenyataan menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menurunkan suatu fungsi, misalkan suatu fungsi yang berbentuk perkalian atau pembagian. Sementara itu sifatsifat turunan fungsi tersebut juga menjadi prasyarat terhadap sub pokok bahasan
berikutnya sehingga siswa perlu memahami lebih intensif. Sementara itu di lokasi penelitian yakni di SMA Negeri 1 Pamekasan sebagian tenaga pendidik masih ada yang menggunakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa atau model pengajaran langsung sehingga siswa merasa jenuh dan ini bisa berakibat pada prestasi belajar siswa yang rendah. Untuk itu peneliti ingin mencoba menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dan model pengajaran langsung. Dan diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat diketahui model pembelajaran mana yang lebih baik untuk diterapkan di SMA Negeri 1 Pamekasan sehingga siswa mampu berpikir kritis dan ilmiah serta dapat meningkatkan prestasi belajar yang sudah baik menjadi lebih baik dari sebelumnya, khususnya pada pokok bahasan turunan fungsi. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dan komparatif sebab data yang diperoleh berupa angka dari hasil tes dan dari hasil tes tersebut diteliti tentang perbedaannya. Penelitian ini yang dijadikan populasi adalah semua siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Pamekasan sebanyak 6 kelas, dengan teknik pengambilan sampel menggunakan random sampling terpilih kelas XI IPA-E sebagai kelas eksperimen yang diberi model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dan kelas XI IPA-C sebagai kelas kontrol yang menggunakan model Pengajaran Langsung. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan tes. Tes ini digunakan untuk memperoleh data prestasi belajar matematika siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dengan model pembelajaran langsung kelas XI-IPA. Bentuk soal dalam teknik tes ini adalah soal uraian. Sebelum dilakukan penelitian, diperlukan uji coba terhadap instrumen penelitian dimana uji coba instrumen dilaksanakan di SMA Negeri 3 Pamekasan yang bertujuan untuk mengetahui layak tidaknya tes di berikan. Setelah data
95 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 93-96
terkumpul maka dilakukan pengolahan data atau analisis data. Selanjutnya, untuk memperoleh data hasil tes tersebut menggunakan uji parametrik yaitu uji statistik. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan prestasi belajar matematika siswa di kelas eksperimen dengan prestasi belajar matematika siswa di kelas kontrol berdasarkan hasil tes yang telah dilakukan, sehingga dapat menunjukkan apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak. HASIL Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data hasil tes akhir kedua kelas, diperoleh rata-rata prestasi belajar matematika siswa kelas XI IPA E sebagai kelas eksperimen sebesar 84,48 dan rata-rata prestasi belajar matematika siswa kelas XI IPA C sebagai kelas kontrol sebesar 82,91. Dari data tersebut dapat diketahui harga thitung = 0,39 dan berdasarkan tabel dengan dk = (34 + 33 – 2) = 65, pada taraf signifikan 5% diperoleh harga tkritik = 2,00. Artinya thitung < tkritik, maka hipotesis nol (H0) diterima dan hipotesis kerja (H1) ditolak. PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis yang diharapkan peneliti tidak diterima. Dari hasil penelitian diperoleh ratarata prestasi belajar yang hampir sama. Hal itu mempengaruhi terhadap hipotesis yang
diharapkan agar diterima. Jika selisih rata-rata yang dihasilkan cukup besar maka kemungkinan hipotesis yang diharapkan diterima. Dengan demikian tidak ada perbedaan prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dengan model Pengajaran Langsung. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu prestasi belajar matematika antara siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dengan model Pengajaran Langsung tidak ada perbedaan. Proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dan model Pengajaran Langsung yang diterapkan dalam penelitian ini nantinya diharapkan akan memberi manfaat. Untuk itu peneliti memberikan saran sebagai berikut: Dengan mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan peneliti menganjurkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dan model Pengajaran Langsung diterapkan dalam proses belajar dan pengajaran matematika.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Prestasi Belajar, (Online). (http://www.sarjanaku.com/2011/02/ prestasi-belajar.html, diakses 10 Maret 2012). Anonim. ______. Tingkat Kesukaran, (Online). (http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._P END._FISIKA/196406061990031MUSLIM/BAHAN_AJAR__MINGGU_KE_13_ _ANALISIS_INSTRUMEN__TK-DPANALISIS_PENGECOH__Muslim.pdfLUCKY BLOG, diakses 10 April 2012). Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta.
_______. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. _______.
1992. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Djamarah, Syaiful Bahri 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional. Hudoyo,
H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Isjoni,
2010. Cooperatif Learning Mengembangkan Kemampuan
Subaidi dan Hasanah, Prestasi Belajar Matematika | 96
Belajar Berkelompok. Alfabeta.
Bandung:
Kartini. dkk. 2005. Matematika Program Studi Ilmu Alam. Klaten: PT Intan Pariwara. Mulyasa, E. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
kualitatif dan R&D). Alfabeta
Bandung:
________. 2007. Statistika Untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. ________. 2006. Metode penelitian pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung. Alfabeta.
Priatna, Nanang dan Darhim. 2003. Problem Posing dan Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika. Bandung: Pustaka Ramadhan.
Suherman, Erman. dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung: JICAUniversitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Ratumanan, Tanwey Gerson. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press.
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito Bandung
Winataputra, Udin S, dkk. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan kuantitatif
PENINGKATAN KREATIVITAS DAN HASIL BELAJAR KIMIA POKOK MATERI SISTEM KOLOID DENGAN MODEL PEMBELAJARAN NHT DI KELAS XI SEMESTER 2 SMA NEGERI 1 SUMENEP Maswiyanto Guru Kimia SMAN 1 Sumenep e-mail :
[email protected] Abstrak : Siswa SMA Negeri 1 Sumenep khususnya kelas XI IA4, pada ulangan blok I banyak yang tidak mencapai ketuntasan belajar kimia. Sehingga tujuan penulisan PTK ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar dan kreativitas siswa SMA Negeri 1 Sumenep setelah menggunakan model Pembelajaran NHT. Model Pembelajaran NHT adalah model pembelajaran yang merupakan suatu tipe model pembelajaran kooperatif yang merupakan struktur sederhana dan terdiri atas beberapa tahapan yang digunakan untuk mereview faktafakta dan informasi dasar yang berfungsi untuk mengatur interaksi diantara para siswa. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang terdiri 3 siklus. Masing-masing siklus meliputi kegiatan perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Adapun fokus dalam penelitian adalah hasil belajar dan kreativitas siswa kelas XI IA4 SMA Negeri 1 Sumenep tahun ajaran 2010/2011. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, tes akhir siklus dan angket. Berdasarkan analisis data hasil penelitian, rata-rata hasil belajar siswa pada siklus I adalah 75, pada siklus II menjadi 82 dan pada siklus III meningkat menjadi 86. Sedangkan dalam persentase ketuntasan hasil belajar pada siklus I adalah 44 %, pada siklus II menjadi 83% dan meningkat lagi pada siklus III menjadi 100%. Sedangkan kreativitas siswa juga mengalami peningkatan dari 68,5% pada siklus I menjadi 75 % pada siklus II dan meningkat lagi pada siklus III menjadi 79 %. Berdasarkan pembahasan hasil penelitian tersebut, disimpulkan bahwa model Pembelajaran NHT dapat meningkatkan hasil belajar dan kreativitas siswa. Saran yang diajukan adalah model Pembelajaran NHT dapat digunakan oleh guru dalam pembelajaran. Kata kunci : kreativitas, hasil belajar, model Pembelajaran NHT
PENDAHULUAN Dari observasi dan pengamatan peneliti selama melaksanakan kegiatan belajar mengajar menunjukan bahwa siswa lebih banyak mendengarkan informasi guru, bahkan cenderung pasif, siswa kurang antusias dalam menyampaikan pendapat/ide, kurang bisa menanggapi pendapat yang disampaikan guru atau siswa lain, kurang serius dalam mengerjakan tugas, tidak bisa mendengarkan secara aktif dalam proses belajar mengajar, dan hampir tidak pernah mengajukan pertanyaan dalam proses belajar mengajar. Pada hal keterampilan tersebut sangat penting diperlukan dalam proses belajar mengajar, agar suasana kelas menjadi hidup dan terjadi komunikasi dua arah dari guru kepada siswa, dan siswa kepada guru. Hasil belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam (internal) maupun faktor dari luar (eksternal).
Menurut Suryabrata (2002:27) yang termasuk faktor internal adalah faktor fisiologis dan psikologis (misalnya kecerdasan motivasi berprestasi dan kemampuan kognitif), sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah faktor lingkungan dan instrumental (misalnya guru, kurikulum, dan model pembelajaran). Bloom (1982:11) mengemukakan tiga faktor utama yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu kemampuan kognitif, motivasi berprestasi dan kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran adalah kualitas kegiatan pembelajaran yang dilakukan dan ini menyangkut model pembelajaran yang digunakan. Menurut Arends (1997:111), pembelajaran kooperatif memiliki karakteristik yakni (a) siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis, (b) anggota-anggota kelompok diatur terdiri dari siswa dengan kemampuan tinggi, sedang dan rendah, (c) jika mungkin
97
Maswiyanto,Peningkatan Kreativitas dan Hasil Belajar Kimia | 98
anggota kelompok kooperatif sebaiknya berbeda suku, budaya, dan jenis kelamin dan (d) sistem penghargaan lebih berorientasi pada kelompok dari pada individu. Pendapat ini menggambarkan bahwa pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mengembangkan kerjasama dan kolaborasi serta penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, kelas. Salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang dapat membangun kerjasama antar siswa dan mendorong partisipasi mereka dalam kelas adalah model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Model pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan oleh Kagan (1993). NHT memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ideide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu juga dapat mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerjasama mereka (Arends, 2001: 325). Model pembelajaran ini dipilih karena berpendekatan struktural. Dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT siswa diharapkan tidak hanya mampu dalam kecakapan akademik saja, akan tetapi juga dalam kecakapan sosial sehingga proses pembelajaran yang berlangsung dapat memenuhi tuntutan kurikulum, serta potensi siswa yang terpendam dapat berkembang secara optimal dan tujuan pendidikan yang dicita-citakan dapat tercapai. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang, dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut: Apakah pembelajaran melalui model pembelajaran NHT dapat meningkatkan kreativitas dan hasil belajar kimia pokok materi sistem sistem koloid pada siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sumenep tahun ajaran 2010/2011?. Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah: Untuk mengetahui peningkatan kreativitas dna hasil belajar siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sumenep setelah menggunakan model pembelajaran NHT. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Sumenep. Penelitian ini akan menggunakan seluruh siswa yang ada di kelas XI-IA4 sebagai subjek penelitian. Sedangkan
sebagai observer adalah salah satu guru mata pelajaran kimia. Prosedur kerja dalam penelitian ini merupakan siklus kegiatan yang minimal terdiri dari tiga siklus. Masing–masing siklus meliputi perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi (Binadja, 2002 :3). Prosedur kerja tersebut secara garis besar dapat dijelaskan dengan deskripsi umum penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan secara bertahap, yaitu melalui siklus 1, 2 dan 3. Bila setelah diberi perlakuan belum ada peningkatan hasil, maka akan diadakan perbaikan pada siklus berikutnya. Penjabaran pelaksanaan kegiatan yang dilakukan setiap siklus adalah sebagai berikut: 1. Menentukan permasalahan Sebelum dilakukan perlakuan terhadap siswa, penulis melakukan observasi situasi dan kondisi siswa dan proses pembelajaran agar mengetahui akar permasalahan dan bentuk perlakuan yang cocok untuk dilaksanakan. 2. Perencanaan tindakan a) dokumentasi kondisi awal meliputi nilai mata pelajaran kimia sebelum siklus serta wawancara sesame guru kimia dan siswa guna member gambaran permasalahan yang mendasar dalam penguasaan materi, yang akan digunakan dalam merumuskan tindakan yang akan dilaksanakan b) merumuskan tindakan sebagai alternatif solusi yaitu melalui model Pembelajaran NHT c) membuat media panduan sebagai alat bantu siswa dengan pokok materi sistem koloid d) membuat rencana pembelajaran yang berisi ketentuan pembelajaran dengan model Pembelajaran NHT e) menyusun rancangan percobaan untuk mengetahui ciri-ciri larutan sistem koloid dan membuat larutan sistem koloid f) menyusun evaluasi dan kisi-kisi soal g) menyusun daftar nilai kognitif dan psikomotorik h) menyusun lembar observasi kreativitas dan kinerja guru yang akan digunakan pada saat pembelajaran
99 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 97-104
i)
3.
4.
5.
6.
menyusun kuisioner tanggapan siswa terhadap pembelajaran kimia melalui model Pembelajaran NHT. Pelaksanaan tindakan a) sebelum mengajar, penulis dan siswa mengadakan kontrak pembelajaran yang dilakukan pada pertemuan pertama yang penulis menjelaskan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan b) pembelajaran dilakukan sesuai dengan ketentuan yang direncanakan dalam rencana pembelajaran untuk setiap pertemuan c) materi yang diajarkan pada siklus I adalah komponen dan pengelompokan sistem koloid d) pelaksanaan proses pembelajaran melalui model Pembelajaran NHT e) evaluasi sub pokok materi yang dilaksanakan di akhir pertemuan siklus. Observasi a) observasi di lakukan oleh obsever, yaitu mengamati proses pembelajaran b) observasi pelaksanaan pembelajaran dengan model Pembelajaran NHT, memperhatikan bagaimana tanggapan siswa terhadap tindakan tersebut serta mengenali kesulitan-kesulitan yang dialami siswa c) observasi kreativitas siswa selama pembelajaran berlangsung d) observasi psikomotorik siswa saat melakukan percobaan e) observasi hasil tes pada akhir siklus untuk menilai segi kognitif dengan memperhatikan reaksi dan tindakan siswa selama pelaksanaan tes. Refleksi Mendiskusikan hasil pengamatan untuk perbaikan pada pelaksanaan siklus berikutnya, demikian seterusnya. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan berulang-ulang sampai diperoleh hasil yang memuaskan. Refleksi ini dilakukan oleh guru dan obsever. Analisis data Hasil yang diperoleh pada tahap pemantauan dikumpulkan, dianalisis dan dievaluasi oleh peneliti sehingga dapat diketahui apakah ada peningkatan hasil belajar dan kreativitas saat siklus pertama. Jika tidak ada peningkatan, maka
diadakan siklus 2, dan siklus 3 dengan mengadakan perbaikan-perbaikan kualitas pembelajarannya. Sehingga dapat tercapai tujuan pembelajaran yaitu ditandai dengan peningkatan kreativitas dan hasil belajar siswa Seorang siswa dipandang tuntas belajar jika ia mampu menyelesaikan, menguasai, atau mencapai tujuan pembelajaran minimal 76% dari seluruh tujuan pembelajaran. Sedangkan keberhasilan kelas dilihat dari sekurang-kurangnya 85% dari seluruh siswa tuntas belajar, yaitu memperoleh nilai lebih besar atau sama dengan 76, sedangkan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran sekurang-kurangnya 75% siswa memiliki kriteria kreativitas sedang, yaitu dengan persentase skor 76 selama proses pembelajaran. Metode ini dilakukan dengan mengambil dokumen atau data yang mendukung penelitian meliputi nama-nama siswa yang menjadi subyek penelitian dan data nilai ulangan studi kimia diambil dari daftar nilai kimia SMA Negeri 1 Sumenep. 1. Metode pemberian tugas rumah Tugas terstruktur diberikan kepada siswa untuk mempelajari dan membaca materi pelajaran sebelum guru menjelaskan tentang materi pelajaran. 2. Metode tes Metode tes ini digunkan untuk mengukur hasil belajar siswa dikaitkan dengan penggunaan model Pembelajaran NHT. Metode tes ini diberikan setelah siswa diberi perlakuan. Sebelum tes digunakan untuk memperoleh data siswa sebagai subjek penelitian, terlebih dahulu diadakan uji coba tes pada kelas diluar kelas penelitian. 3. Metode lembar pengamatan Lembar pengamatan digunakan untuk mengetahui mengenai kreativitas dan kemampuan segi psikomotorik siswa selama proses pembelajaran. Indikator-indikator yang dapat dijadikan acuan untuk mengamati kreativitas dan kemampuan siswa dari segi psikomotorik selama pembelajaran berlangsung dicantumkan dalam lembar pengamatan, sehingga dapat diketahui apakah dari segi kreativitas dan psikomotorik siswa juga terangsang dalam aktivitas pembelajaran. 4. Metode observasi Observasi berfungsi untuk mengetahui pengaruh penggunaan model
Maswiyanto,Peningkatan Kreativitas dan Hasil Belajar Kimia | 100
Pembelajaran NHT terhadap kreativitas siswa. Lembar observasi digunakan sebagai upaya untuk mengamati pengaruh perlakuan. 5. Metode kuisioner Kuisioner berfungsi untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh penggunaan model Pembelajaran NHT ini diserap oleh siswa dan sebagai umpan balik dari proses pembelajaran yang yang telah dilaksanakan. Penyebaran kuisioner dilakukan pada akhir pertemuan dan selanjutnya data dianalisis. Daftar nilai kognitif digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa. Selanjutnya dari hasil data yang diperoleh pada setiap siklus kemudian dianalisis secara diskriptif kualitatif dengan menghitung persentase ketuntasan belajarnya.
Keterangan : P = nilai ketuntasan belajar Σ n1 = jumlah siswa tuntas belajar individual (persentase > 76%) Σ n = jumlah total siswa HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian tindakan kelas ini meliputi tiga siklus. Setiap siklus terdiri atas tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Data hasil penelitian ini diperoleh dari hasil observasi yang dilakukan penulis dan guru mitra (observer) selama proses pembelajaran berlangsung baik pada siklus I, II maupun III. 1. Data hasil belajar siswa Nilai tes hasil belajar diperoleh setelah siswa menjawab soal-soal yang diberikan. Siswa dikatakan menguasai materi atau tuntas jika siswa mampu menjawab dengan benar 76% dari jumlah soal yangdiberikan. Ketuntasan belajar klasikal dinilai sudah berhasil apabila 85% dari jumlah siswa telah tuntas atau menguasai materi. Pada siklus I, soal yang diberikan sebanyak 15 soal pilihan ganda dengan materi membedakan antara larutan sejati, sistem koloid dan suspensi kasar serta penggolongan sistem sistem koloid.
Sedangkan pada siklus II soal yang diberikan sebanyak 15 soal pilihan ganda dengan materi sifat-sifat sistem koloid. Dan pada siklus III soal yang diberikan sebanyak 15 soal pilihan ganda dengan materi pembuatan sistem koloid. Data hasil belajar siswa setelah diberikan model Pembelajaran NHT untuk setiap siklus dapat dilihat pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Nilai hasil belajar siswa siklus I, II, dan III pada pokok materi sistem sistem koloid dengan model Pembelajaran NHT pada siswa kelas XI.IA4 SMA Negeri 1 Sumenep Siklus No Pencapaian I II III 1 Nilai Terrendah 60 66 70 2 Nilai Tertinggi 96 90 98 3 Rata-rata nilai 75 82 86 Ketuntasan 4 44% 83% 100 % belajar (%) Berdasarkan tabel 1, pada siklus I rata-rata nilai yang diperoleh adalah 75 sehingga secara rata-rata individu belum berhasil dan secara klasikal daya serapnya masih rendah. Ketuntasan pada siklus I belum mencapai 85 % sehingga penelitian tindakan kelas pada siklus I belum berhasil. Hasil belajar pada siklus II mengalami peningkatan yaitu dengan naiknya rata-rata kelas menjadi 82 sedangkan ketuntasan belajar mencapai 83 %. Daya serap secara individu maupun klasikal telah memenuhi kriteria yang ditentukan. Sehingga penelitian tindakan kelas pada siklus II ini telah berhasil. Hasil belajar pada siklus III juga ada peningkatan rata-rata kelas yaitu menjadi 86. Ketuntasan belajar secara klasikal mencapai 100 %. Sehingga daya serap baik secara individu maupun klasikal telah mencapai kriteria yaitu ketuntasan belajar > 85%. Sehingga penelitian tindakan kelas pada siklus III ini telah berhasil. Ditinjau dari aspek psikomotorik yang telah dilakukan diperoleh nilai yang dapat dilihat pada tabel 2.
101 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 97-104
N o 1 2 3
Tabel 2. Nilai psikomotorik siswa ke-1 dan ke-2 pada pokok materi sistem sistem koloid dengan model Pembelajaran NHT pada siswa kelas XI.IA4 SMA Negeri 1 Sumenep Praktikum I Praktikum II Pencapaian Kriteri Nilai Nilai Kriteria a Nilai 40 Cukup 57 Cukup terendah Nilai 77 Baik 77 Baik tertinggi Rata-rata 58 Cukup 67 Baik nilai Berdasarkan pengamatan dan hasil penilaian diperoleh bahwa dengan menggunakan model Pembelajaran NHT siswa semakin aktif dan semangat dalam praktikum karena siswa membuat produk yang ada dalam kehidupan sehari-hari. 2. Data observasi tindakan guru Selama penulis melakukan penelitian atau dalam tindakan kelas, penulis diobservasi oleh guru mata pelajaran. Observasi yang dilakukan meliputi 13 item yang diamati yang berkaitan dengan pelaksanaan tindakan kelas dalam proses pembelajaran dengan model Pembelajaran NHT. Penilaian yang dilakukan berdasarkan kesesuaian antara rencana pembelajaran dengan pembelajaran yang dilakukan, yang dikelompokkan dengan lima kriteria yaitu sangat baik, baik, cukup, kurang dan sangat kurang. Data yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Hasil observasi pelaksanaan tindakan guru siklus I, II dan III pada pokok materi sistem sistem koloid dengan model Pembelajaran NHT pada siswa kelas XI.IA4 SMA Negeri 1 Sumenep No Kegiatan Persentase Kriteria 1 Siklus I 74 % Baik 2 Siklus II 79 % Baik 3 Siklus III 97 % Sangat Baik 3. Data observasi kreativitas siswa Dalam pembelajaran dengan model Pembelajaran NHT ini juga dilakukan observasi tentang kreativitas yang terdiri dari 10 indikator. Secara garis besar nilai observasi kreativitas siswa dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil observasi kreativitas siswa siklus I, II, dan III pada pokok materi sistem sistem koloid dengan model Pembelajaran NHT pada siswa kelas XI.IA4 SMA Negeri 1 Sumenep
No Keterangan 1 2 3 4 5 6 7
Siklus I siswa -
Kreativitas sangat rendah Kreativitas siswa rendah Kreativitas siswa sedang Kreativitas siswa tinggi Kreativitas siswa sangat tinggi Rata-rata skor kreativitas siswa Rata-rata persentase kreativitas
Siklus II -
Siklus III -
8,3 %
5,6%
-
80,6%
63,8%
44 %
11,1%
30,6 %
56 %
-
-
-
27
30,00
32
68,5%
75%
79%
Pada siklus I, kreativitas siswa dengan kriteria rendah mencapai 8,3 %, sedang 80,66 % dan tinggi 11,1%. Dengan demikian kreativitas siswa secara individu dan keseluruhan belum mencapai target. Pada siklus II, kreativitas siswa dengan kriteria rendah sebesar 5,6%, sedang 63,8 %, dan tinggi sebesar 30,6 %, sedangkan persentase kreativitas siswa adalah 75 % dengan demikian kreativitas siswa secara individu telah berhasil namun secara keseluruhan belum, sehingga perlu diadakan siklus III. Pada siklus III, kreativitas siswa dengan kriteria rendah sudah tidak ada, kriteria sedang sebesar 44%, tingggi sebesar 56%, sedangkan rata-rata persentase kreativitas siswa adalah 79%, sehingga secara individual maupun keseluruhan kreativitas siswa telah mencapai target penulis. 4. Data hasil kuesioner siswa Untuk mengetahui tanggapan dan ketertarikan siswa terhadap model Pembelajaran NHT, maka penulis membuat kuesioner tanggapan siswa yang terdiri dari 10 indikator. Hasil analisis kuesioner tanggapan siswa dapat dirangkum pada tabel 5
Maswiyanto,Peningkatan Kreativitas dan Hasil Belajar Kimia | 102
Tabel 5.
N o 1 2
3
4
5
6
7
8 9 1 0
Hasil kuesioner tentang tanggapan siswa siklus I, II dan III pada pokok materi sistem sistem koloid dengan model Pembelajaran NHT pada siswa kelas XI IA4 SMA Negeri 1 Sumenep S T S Indikator S S S S Tujuan pembalajaran 3 2 2 2 diungkap dengan jelas 9 Pembelajaran diangkat 3 dari benda/fenomena 4 6 5 disekitar kita Konsep-konsep yang dikaji bertalian dengan 3 3 5 3 benda/fenomena 4 disekitar kita Proses kimia yang dipelajari berkaitan 3 dengan 2 5 3 5 benda/fenomena di sekitar kita Pembelajaran melibatkan semua 3 factor yang 3 8 4 0 mempengaruhi proses pembuatan sabun Kesimpulan yang 4 diperoleh berguna bagi 3 2 0 Masyarakat Pembelajaran memotivasi anda 3 untuk meningkatkan 6 3 6 kemampuan ilmu kimia Pembelajaran 3 mengundang rasa 2 3 5 5 ingin tahu Anda Pembelajaran melatih 3 1 3 3 anda untuk Berinovasi 8 Pembelajaran melatih 3 3 2 4 anda untuk berkreasi 6
Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui bahwa dengan model Pembelajaran NHT dapat meningkatkan hasil belajar dan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran. Hal ini dapat terjadi karena dalam model Pembelajaran NHT siswa memanfaatkan semua potensi yang ada. Pengalaman belajar dengan model Pembelajaran NHT siswa akan lebih mudah dan lebih banyak menyerap
pelajaran. Dalam model Pembelajaran NHT siswa dikondisikan sudah siap mengikuti pembelajaran karena siswa siswa membaca terlebih dahulu sebelum pelajaran dimulai. Dalam model Pembelajaran NHT proses pembelajaran tidak satu arah dari guru saja, yaitu dengan adanya diskusi siswa akan lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran, sehingga akan memunculkan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan menjawab pertanyaan. Sehingga dengan diskusi siswa akan lebih mudah mengingat materi yang didiskusikan. Selain itu siswa diajak praktikum tentang materi pelajaran sehingga siswa mudah mengingat konsep yang diajarkan. Siswa juga diajak praktikum tentang pembuatan produk yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa lebih semangat dalam proses pembelajaran. Penelitian ini dilakukan dalam tiga siklus. Pembahasan tiap siklusnya adalah sebagai berikut: 1. Siklus I Dari tabel 1 rata-rata hasil belajar siswa sebesar 75. Ketuntasan belajar klasikal sebesar 44% atau sebanyak 16 anak tuntas belajar dengan mendapatkan nilai ≥ 76. Hal ini dikarenakan adanya keterlibatan siswa selama proses pembelajaran terutama dalam melakukan diskusi untuk mengerjakan tugas LKS. Sesuai dengan pendapat Slavin (1995) bahwa pembelajaran akan berkesan bila siswa terlibat langsung di dalamnya. Dengan demikian hasil belajar belum tercapai secara optimal, oleh karena itu diadakan upaya perbaikan pada siklus 2 dengan memotivasi pada siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran. Hal ini didukung pernyataan yang dikemukakan oleh Hamalik (2001), bahwa motivasi menentukan tingkat keberhasilan dan kegagalan dalam belajar. Berdasarkan hasil observasi seperti yang diuraikan di atas, maka di akhir siklus diadakan refleksi oleh penulis dan guru mitra terhadap pelaksanaan pembelajaran selama siklus I berlangsung. Hasil refleksi yang dilangsungkan adalah sebagai berikut : a. perlu meningkatkan motivasi siswa agar lebih semangat dalam mengikuti pelajaran dengan memberi poin kepada siswa yang bertanya atau memberikan pendapat b. perlu diberi tugas awal yaitu meresum materi yang akan dipelajari sehingga
103 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 97-104
siswa lebih siap dalam mengikuti pelajaran c. dalam pengelolaan kelas perlu ketegasan, yaitu dengan menegur siswa yang ramai sehingga tidak mengganggu proses pembelajaran Hasil refleksi tersebut menjadi masukan untuk perbaikan kondisi pembelajaran yang akan dilaksanakan pada siklus II. 2. Siklus II Dari hasil tes pada siklus 2 terdapat peningkatan. Hal ini dapat terlihat dari tabel 1 diperoleh rata-rata hasil tes yang diberikan kepada siswa pada siklus 2 adalah sebesar 82. Ketuntasan belajar secara klasikal sebesar 83% atau sebanyak 30 siswa memperoleh nilai ≥ 76. Dengan demikian hasil belajar pada siklus 2 ini sudah sesuai dengan indikator keberhasilan yang ditetapkan, tetapi untuk memastikan bahwa model pembelajaran NHT dapat meningkatkan hasil belajar sehingga perlu dilakukan siklus selanjutnya. Setelah melakukan pengamatan dan analisis data pada siklus II, diadakan refleksi atas proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Hasil refleksinya adalah sebagai berikut : a. perlu dipertahankan kondisi pembelajaran yang telah baik dan kalau bisa ditingkatkan lagi b. lebih memotivasi siswa yang belum aktif agar lebih aktif dengan memberikan tambahan nilai kepada siswa yang bertanya atau memberikan jawaban c. lebih tegas terhadap siswa yang ramai d. meningkatkan kemampuan praktikum siswa Walaupun pada siklus II ini hasil belajar kognitif siswa sudah berhasil, akan tetapi kreativitas dan psikomotorik siswa belum sesuai dengan target penulis, sehingga perlu diadakan siklus yang ketiga. 3. Siklus III Dari hasil tes pada siklus 3 terdapat peningkatan. Hal ini dapat terlihat dari tabel 1 diperoleh rata-rata hasil tes yang diberikan kepada siswa pada siklus 3 adalah sebesar 86. Ketuntasan belajar secara klasikal sebesar 100% atau sebanyak 36 siswa memperoleh nilai ≥ 76. Dengan demikian hasil belajar pada siklus 3 ini sudah sesuai dengan indikator keberhasilan yang ditetapkan,
sehingga tidak perlu dilakukan siklus selanjutnya. Hasil refleksi siklus III adalah sebagai berikut : a. sebagian besar siswa mempunyai kreativitas yang tinggi selama pembelajaran yaitu, dengan rata-rata kreativitas sebesar 79% b. tanggapan siswa terhadap pembelajaran sudah baik c. penggunaan model Pembelajaran NHT dapat membantu siswa memahami materi pelajaran d. siswa yang tuntas belajar mencapai 100 % sehingga telah mencapai target penulis. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulan sebagai berikut : 1. Pembelajaran dengan model Pembelajaran NHT yang telah dilaksanakan di kelas XI IA 4 SMA Negeri 1 Sumenep, dapat meningkatkan kreativitas siswa. Hal ini terlihat dari kreativitas siswa mengalami peningkatan dari 68,5% pada siklus I menjadi 75 % pada siklus II dan meningkat lagi pada siklus III menjadi 79 %. 2. Pembelajaran dengan model Pembelajaran NHT yang telah dilaksanakan di kelas XI IA 4 SMA Negeri 1 Sumenep, dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini terlihat dari rata-rata siswa pada siklus I adalah 75, pada siklus II menjadi 82 dan pada siklus III meningkat menjadi 86. Secara klasikal, ketuntasan hasil belajar yang dicapai pada siklus I adalah 44 %, pada siklus II menjadi 83% dan meningkat lagi pada siklus III menjadi 100%. Berdasarkan pengalaman penulis selama melakukan penelitian tindakan kelas pada kelas XI IA4 SMA Negeri 1 Sumenep, penulis dapat memberi saran sebagai berikut : Pembelajaran kimia dengan model Pembelajaran NHT, perlu dilaksanakan oleh guru sebagai salah satu variasi dalam pembelajaran. Dengan model Pembelajaran NHT, siswa akan lebih aktif dalam proses pembelajaran, meningkatkan kreativitas siswa dan membuat pelajaran lebih menarik dan mudah dipahami siswa.
Maswiyanto,Peningkatan Kreativitas dan Hasil Belajar Kimia | 104
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. , 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Binadja, Ahmad. 2002. Penelitian Bervisi SETS, makalah disampaikan dalam seminar Nasional Berorientasi ketrampilan Hidup dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Semarang: UNNES. Bobbi de Potter dan Miecke Hernacki. 2003. Quantum Learning. Bandung : Mizan Pustaka Catharina, Tri Anni. 2004. Psikologi Belajar. Semarang : UPT MKK UNNES Hamalik, Oemar. 2001. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Jakarta: Bumi Aksara. Ibrahim, M, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : University Press. Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia Widiasarana. Nugroho, LP Ario, Nathan Hindarto, Supartono. 2005. Pembelajara Fisika Untuk Meningkatkan Kreativitas
Siswa SMP Dengan Model Pembelajaran NHT. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia Vol. 3 No. 1 Maret 2005 Purba, Michael. 2006. Kimia untuk SMA XI B. Jakarta : Erlangga Munandar, Utami. 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : Rineka Cipta Munandar, Utami. 1999. Kreativitas dan Keberbakatan (Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat). Jakarta : PT Gramedia Putaka Utama Pusat Bahasa Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta : Balai Pustaka Semiawan, Conny. 1997. Prespektif Pandangan Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia Sudijono, Anas. 2006. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Sudjana. 1989. Metode Statistika. Bandung : Tarsito. Suriasumantri. J, S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapa
KESULITAN MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA DALAM MENYELESAIKAN SOAL GEOMETRI NON RUTIN BERDASARKAN PERBEDAAN GENDER Hasan Basri Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Alamat Jalan Raya Panglegur 3,5 KM Pamekasan Abstrak : Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kesulitan-kesulitan mahasiswa calon guru dalam menyelesaikan soal geometri non rutin berdasarkan perbedaan gender. Gender. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tes geometri non rutin dan wawancara. Subjek penelitian adalah dua orang laki-laki dan dua orang perempuan yang memiliki kemampuan setara. Peneliti melakukan wawancara untuk mengetahui kesulitan yang dialami oleh subjek penelitian, adapun tahapan kesulitan dilihat berdasarkan tahapan Newmann yaitu tahap membaca, tahap pemahaman, tahap strategi know-how, tahap transformasi, tahap keterampilan proses dan tahap solusi.Subjek laki-laki kesulitan pada tahap pemahaman yaitu tidak dapat menjelaskan informasi-informasi yang diketahui dalam soal dan pertanyaan dalam soal dengan tepat serta tidak dapat menjelaskan apa yang ditanyakan dalam soal dengan tepat serta tidak dapat menjelaskan konsep yang terkait dengan soal dengan benar, tahap strategi know-how yaitu tidak dapat menentukan strategi yang tepat dalam menyelesaikan soal dan tidak dapat menentukan aturan atau rumus yang digunakan dalam menyelesaikan soal, tahap transformasi tidak dapat membuat model matematika dari soal, tahap keterampilan proses kesulitan dalam menggunakan strategi yang dipilih dan menjelaskannya, tahap solusi tidak dapat menuliskan jawaban dengan benar. Adapun faktor penyebab kesulitan yang dialami adalah kurangnya pengetahuan linguistik, pengetahuan konsep, salah menginterpretasikan kondisi dari soal, ketidaksempurnaan pengetahuan matematika, sulit memodelkan dalam bentuk matematika, faktor kontrol dan salah mengadopsi strategi dalam menyelesaikan soal. Subjek perempuan kesulitan pada tahap pemahaman yaitu tidak tepat dalam menjelaskan informasi-informasi dalam soal dan tidak dapat menjelaskan konsep yang terkait dengan soal yang diberikan, tahap strategi know-how yaitu menggunakan pendekatan atau strategi yang kurang tepat dalam menyelesaikan soal dan tidak dapat menentukan aturan atau rumus yang digunakan dalam menyelesaikan soal, tahap tahap transformasi tidak dapat membuat model matematika dari soal, tahap keterampilan proses kesulitan dalam menjelaskan langkah-langkah berdasarkan strategi yang dipilih, tahap solusi tidak dapat menuliskan jawaban dengan benar. Adapun faktor penyebab kesulitan yang dialami adalah kurangnya pengetahuan linguistik, pengetahuan konsep, sulit memodelkan soal dalam bentuk matematika, ketidaksempurnaan pengetahuan matematika serta mengadopsi strategi yang salah dalam menemukan solusi. Kata Kunci : Kesulitan, Mahasiswa Calon Guru, Non Rutin, Gender
PENDAHULUAN Mahasiswa calon guru yang nantinya akan menjadi guru harus terbiasa dalam mengerjakan pertanyaan atau soal matematika. Soal matematika sendiri dibagi menjadi dua yaitu soal rutin dan soal non rutin, menurut Polya (dalam Yeo, 2004:3) menyelesaikan soal rutin tidak memberikan kontribusi pada perkembangan siswa. Lebih lanjut Polya menjelaskan bahwa untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa calon guru dalam mengembangkan pemikiran tingkat tinggi dalam proses pemahaman, analisis, eksplorasi dan penerapan konsep-konsep matematika, soal non-rutin harus diberikan. Dari beberapa
pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemberian soal non rutin sangat perlu dilakukan oleh seorang pendidik guna melatih peserta didiknya dalam berpikir tingkat tinggi. Mahasiswa calon guru matematika sebagai generasi penerus dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia tentunya harus dibiasakan dalam menyelesaikan persoalan non rutin serta harus meluangkan banyak waktu dalam menyelesaikan soal non rutin sehingga mampu menjadi fasilitator yang baik bagi peserta didiknya. Dengan memahami soalsoal non rutin dan strategi-strategi dalam
105
Basri, Kesulitan Mahasiswa Calon Guru Matematika | 106
menyelesaikan masalah non rutin maka tidak sulit bagi guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Namun pada kenyataannya masih banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah geometri. Kesulitan-kesulitan tersebut terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Marchis (2012:38) masih banyak mahasiswa calon guru matematika, yang kemampuannya dalam pengetahuan geometri masih kurang seperti tidak mengenali bentuk-bentuk dalam geometri; tidak tahu sifat-sifat dari bentuk-bentuk geometri; mereka tahu sifat-sifat dari bentuk geometri tetapi mereka mengulangi beberapa sifat dalam definisi; mereka tahu sifat-sifat bentuk, tetapi mereka kehilangan beberapa sifat dari definisi. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Demir dan Park (2009:1155) mahasiswa calon guru Sekolah Dasar banyak mengalami kesulitan dalam membandingkan luas dari dua buah segitiga yang diberikan, hal ini terlihat dari hasil pre-tes yang diberikan oleh peneliti, dimana dari 450 mahasiswa calon guru matematika yang diteliti hanya 1% saja yang bisa menjawab dan memberikan alasan dengan tepat. Kesulitan mahasiswa calon guru dapat juga didasarkan pada perbedaan jenis kelamin (gender). Beberapa ahli berpendapat bahwa pada umumnya terdapat perbedaan kemampuan matematika antara siswa lakilaki. Cara berpikir laki-laki dan perempuan berbeda, laki-laki lebih analitis dan fleksibel daripada perempuan. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kesulitan yang dialami oleh subjek laki-laki dan perempuan dalam menyelesaikan soal geometri non rutin berdasarkan langkah-langkah Newmann. METODE Berdasarkan rumusan pertanyaan, maka jenis penelitian ini tergolong jenis penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Bersifat eksploratif karena salah satu instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri yang akan menggali data sebanyak-banyaknya dari setiap subjek yang dipilih. Menggunakan pendekatan kualitatif didasarkan atas pertimbangan bahwa kesulitan-kesulitan mahasiswa calon guru matematika dalam menyelesaikan soal
geometri non rutin berdasarkan perbedaan gender yang diamati melalui langkahlangkah menyelesaikan soal , yaitu membaca soal, memahami soal, mengetahui dan menggunakan strategi, mentransformasi, keterampilan proses dan solusi dari soal matematika khususnya pada materi segitiga dan data hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk deskripsi. Penelitian ini dilakukan di UNIRA (Universitas Madura), tepatnya pada mahasiswa calon guru matematika yang telah menempuh semua mata kuliah geometri. Adapun kriteria yang digunakan dalam pemilihan subjek penelitian adalah dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut: 1. Mahasiswa tersebut melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal geometri non rutin yang terdiri dari: 1) Tidak dapat menentukan informasi apa yang diketahui dalam soal dengan tepat, meliputi: a. Salah dalam menuliskan informasi yang diketahui dari soal. b. Tidak lengkap dalam menuliskan informasi-informasi yang diketahui. 2) Tidak dapat menentukan apa yang diperintahkan dalam soal dengan tepat a. Salah dalam menuliskan yang ditanyakan dalam soal. b. Tidak lengkap dalam menuliskan apa yang ditanyakan dalam soal. 3) Tidak dapat menentukan rumus/operasi a. Tidak menuliskan aturan atau rumus yang digunakan. b. Salah dalam menuliskan aturan atau rumus yang digunakan 4) Tidak dapat menemukan jawaban secara lengkap atau jawaban yang diperoleh salah, meliputi: a. Salah dalam menuliskan jawaban b. Tidak lengkap dalam menuliskan jawaban 2. Selanjutnya dipilih masing-masing dua mahasiswa calon guru laki-laki dan perempuan yang melakukan kesalahan paling banyak serta mempunyai kemampuan geometri yang setara, dikatakan setara jika selisih nilai tes kemampuan geometrinya tidak lebih dari 10. 3. mahasiswa tersebut mengerjakan soal geometri non rutin sampai selesai.
107 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 105-110
4. Variasi kesalahan yang berbeda. 5. Keterbukaan dan kelancaran berkomunikasi dari calon subjek penelitian (misalnya tidak mempunyai karakter pemalu, pendiam). Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, yaitu peneliti sebagai penentu dalam proses penelitian, yaitu sebagai perancang, penyampai rancangan penelitian dan pemberi tindakan penelitian. Selain itu peneliti juga bertindak sebagai pengumpul data yang bersentuhan langsung dengan lapangan, misalnya mengamati (observasi) dan wawancara mendalam. Instrumen pendukung dalam penelitian ini adalah tes kemampuan geometri dan tes geometri non rutin. Analisis data mengikuti alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles dan Huberman, 1994). HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kesulitan Subjek Laki-laki 1. Tahap Pemahaman Subjek laki-laki tidak dapat menjelaskan informasi-informasi yang diketahui dalam soal dan pertanyaan dalam soal dengan tepat serta tidak dapat menjelaskan apa yang ditanyakan dalam soal dengan tepat serta tidak dapat menjelaskan konsep yang terkait dengan soal dengan benar. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Newmann bahwa kesulitan dapat terjadi pada tahap membaca, pemahaman, strategi, transformasi, keterampilan proses dan solusi. Adapun penyebab dari kesulitan yang dialami oleh subjek laki-laki adalah kurangnya pengetahuan linguistik dan pengetahuan konsep, hal ini sesuai dengan pendapat Kroll dan Miller yang mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam menyelesaikan soal adalah pengetahuan yang terdiri dari pengetahuan algoritmik, pengetahuan linguistik, pengetahuan konsep, pengetahuan skematik dan pengetahuan strategi. 2. Tahap Strategi Know How Subjek laki-laki tidak dapat menentukan strategi yang tepat dalam menyelesaikan soal dan tidak dapat menentukan aturan
atau rumus yang digunakan dalam menyelesaikan soal. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Newmann bahwa kesulitan dapat terjadi pada tahap membaca, pemahaman, strategi, transformasi, keterampilan proses dan solusi. Adapun penyebab dari kesulitan yang dialami oleh subjek laki-laki adalah salah menginterpretasi kondisi dari soal yang diberikan dalam soal dan ketidaksempurnaan tentang pengetahuan matematika yang, hal ini sesuai dengan pendapat Kaur. 3. Tahap Transformasi Subjek laki-laki tidak dapat membuat model matematika dari soal yang diberikan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Newmann bahwa kesulitan dapat terjadi pada tahap membaca, pemahaman, strategi, transformasi, keterampilan proses dan solusi. Adapun penyebab dari kesulitan yang dialami oleh subjek laki-laki adalah ketidaksempurnaan tentang pengetahuan matematika dan sulit memodelkan dalam bentuk matematika, hal ini sesuai dengan pendapat Kaur. 4. Tahap Keterampilan Proses Subjek laki-laki kesulitan pada tahap keterampilan proses yaitu tidak dapat menjelaskan langkah-langkah dalam menyelesaikan soal. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Newmann bahwa kesulitan dapat terjadi pada tahap membaca, pemahaman, strategi, transformasi, keterampilan proses dan solusi. Adapun penyebab dari kesulitan yang dialami oleh subjek laki-laki adalah tidak memahami tentang prinsip ketaksamaan segitiga dan faktor kontrol yang kurang hal ini sesuai dengan pendapat Kroll dan Miller yang mengatakan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam menyelesaikan soal yaitu faktor pengetahuan, faktor kontrol, faktor afektif dan kepercayaan. 5. Tahap Solusi Subjek laki-laki salah dalam menentukan solusi dari soal yang diberikan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Newmann bahwa kesulitan dapat terjadi pada tahap membaca, pemahaman, strategi, transformasi, keterampilan proses
Basri, Kesulitan Mahasiswa Calon Guru Matematika | 108
dan solusi. Adapun penyebab dari kesulitan yang dialami oleh subjek lakilaki adalah mengadopsi strategi yang salah dalam menemukan solusi, hal ini sesuai dengan pendapat Kaur. B. Kesulitan Subjek Perempuan 1. Tahap Pemahaman Subjek perempuan tidak tepat dalam menjelaskan informasi-informasi dalam soal, selain itu subjek tidak dapat menjelaskan konsep yang terkait dengan soal dengan benar. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Newmann bahwa kesulitan dapat terjadi pada tahap membaca, pemahaman, strategi, transformasi, keterampilan proses dan solusi. Adapun penyebab dari kesulitan yang dialami oleh subjek perempuan adalah kurangnya pengetahuan linguistik dan pengetahuan konsep, hal ini sesuai dengan pendapat Kroll dan Miller yang mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam menyelesaikan soal adalah pengetahuan yang terdiri dari pengetahuan algoritmik, pengetahuan linguistik, pengetahuan konseptual, pengetahuan skematik dan pengetahuan strategi. 2. Tahap Strategi Know How Subjek perempuan tidak dapat menjelaskan strategi yang digunakan dengan tepat selain tidak dapat menentukan aturan atau rumus yang digunaka dalam menyelesaikan soal. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Newmann bahwa kesulitan dapat terjadi pada tahap membaca, pemahaman, strategi, transformasi, keterampilan proses dan solusi. Adapun penyebab dari kesulitan yang dialami oleh subjek perempuan adalah kurangnya pengetahuan mengenai ketaksamaan segitiga dan kurangnya pengetahuan konsep, hal ini sesuai dengan pendapat Kroll dan Miller yang mengatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam menyelesaikan soal adalah pengetahuan yang terdiri dari pengetahuan algoritmik, pengetahuan linguistik, pengetahuan konseptual, pengetahuan skematik dan pengetahuan strategi.
3. Tahap Transformasi Subjek perempuan tidak dapat membuat model matematika dari soal yang diberikan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Newmann bahwa kesulitan dapat terjadi pada tahap membaca, pemahaman, strategi, transformasi, keterampilan proses dan solusi. Adapun penyebab dari topik yang diberikan merupakan suatu hal yang baru bagi subjek selain itu sulit memodelkan kesulitan yang dialami oleh subjek perempuan adalah kurangnya pengetahuan konsep dan topik dari soal yang diberikan serta sulit memodelkan dalam bentuk matematika, hal ini sesuai dengan pendapat Kaur. 4. Tahap Keterampilan Proses Subjek perempuan kesulitan dalam menjelaskan langkah-langkah menyelesaikan soal dengan tepat. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Newmann bahwa kesulitan dapat terjadi pada tahap membaca, pemahaman, strategi, transformasi, keterampilan proses dan solusi. Adapun penyebab dari kesulitan yang dialami oleh subjek perempuan adalah tidak memahami aturan ketaksamaan segitiga serta ketidaksempurnaan tentang pengetahuan matematika yang dimiliki, hal ini sesuai dengan pendapat Kaur. 5. Tahap Solusi Subjek perempuan salah dalam menentukan solusi dari soal yang diberikan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Newmann bahwa kesulitan dapat terjadi pada tahap membaca, pemahaman, strategi, transformasi, keterampilan proses dan solusi. Adapun penyebab dari kesulitan yang dialami oleh subjek perempuan adalah mengadopsi strategi yang salah dalam menemukan solusi, hal ini sesuai dengan pendapat Kaur KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa subjek laki-laki kesulitan pada tahap pemahaman yaitu tidak dapat menjelaskan informasi-informasi yang diketahui dalam soal dan pertanyaan dalam soal dengan tepat serta tidak dapat menjelaskan apa yang ditanyakan dalam soal
109 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 105-110
dengan tepat serta tidak dapat menjelaskan konsep yang terkait dengan soal dengan benar, tahap strategi know-how yaitu tidak dapat menentukan strategi yang tepat dalam menyelesaikan soal dan tidak dapat menentukan aturan atau rumus yang digunakan dalam menyelesaikan soal, tahap transformasi tidak dapat membuat model matematika dari soal, tahap keterampilan proses kesulitan dalam menggunakan strategi yang dipilih dan menjelaskannya, tahap solusi tidak dapat menuliskan jawaban dengan benar. Adapun faktor penyebab kesulitan yang dialami adalah kurangnya pengetahuan linguistik, pengetahuan konsep, salah menginterpretasikan kondisi dari soal, ketidaksempurnaan pengetahuan matematika, sulit memodelkan dalam bentuk matematika, faktor kontrol dan salah mengadopsi strategi dalam menyelesaikan soal. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi bahwa subjek perempuan kesulitan pada tahap pemahaman yaitu tidak tepat dalam menjelaskan informasi-informasi dalam soal dan tidak dapat menjelaskan konsep yang terkait dengan soal yang diberikan, tahap strategi know-how yaitu menggunakan pendekatan atau strategi yang kurang tepat dalam menyelesaikan soal dan tidak dapat menentukan aturan atau rumus yang digunakan dalam menyelesaikan soal, tahap tahap transformasi tidak dapat
membuat model matematika dari soal, tahap keterampilan proses kesulitan dalam menjelaskan langkah-langkah berdasarkan strategi yang dipilih, tahap solusi tidak dapat menuliskan jawaban dengan benar. Adapun faktor penyebab kesulitan yang dialami adalah kurangnya pengetahuan linguistik, pengetahuan konsep, sulit memodelkan soal dalam bentuk matematika, ketidaksempurnaan pengetahuan matematika serta mengadopsi strategi yang salah dalam menemukan solusi. SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikemukakan saran sebagai berikut : 1. Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara umum baik subjek laki-laki maupun perempuan mengalami kesulitan pada tahap transformasi. Oleh karena itu peneliti menyarankan agar para pendidik untuk lebih meningkatkan pengetahuan peserta didik dalam membuat model matematika dari suatu permasalahan matematika. 2. Kajian yang diamati dalam penelitian ini hanya terbatas pada gender. Oleh karena itu, diharapkan bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian tentang kesulitan untuk memperluas kajian penelitian misalnya ditinjau dari gaya belajar, atau gaya kognitif mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA Avcu, Ramazan and Avcu, Seher. (2010). “Pre-service elementary mathematics teachers’ use strategies in mathematical problem solving”. Procedia Social and Behavioral Sciences. Vol 9 pp.1282-1286.
Budiarto,
Bahaudin, Taufik. (2000). Brainware Management: Generasi Kelima Managemen Manusia. Jakarta: Elexmedia Komputindo
Daane . C. J dan Lowry, Patricia. (2004). “Non-Routine Problem Solving Activities”. Alabama Journal of Mathematics Activities.
Bell, F.H (1981). Teaching and Learning Mathematics in Secondary Schools. Lowa: Wm.C. Brown Company Publishers.
Demir, Mustafa and Park, Jungeun. (2009). “Pre-Service Elementary Teachers’ Knowledge Of Geometry And Measurement”. Proceedings of the 31st annual meeting of the North American Chapter of the International Group for the
M.T. (2000). Pembelajaran Geometri dan Berfikir Geometri. Dalam Prosiding seminar Nasional Matematika “Peran Matematika Memasuki Milineum III”. Jurusan Matematika FMIPA ITS Surabaya. Surabaya, 2 Nopember.
Basri, Kesulitan Mahasiswa Calon Guru Matematika | 110
Psychology of Mathematics Education. Vol 5 pp 1153-1161. Dryden, Cordan dan Jeannite Vos. (2000). Revolusi Cara Belajar: Belajar akan efektif kalau anda dalam keadaan fun. Terj. Word Translation Service, Bandung: Kaifa
Krutetskii, V. A (1976). The Psychology of Mathematics Abilities in School Children. Chicago: The University of Chicago Press Marchis, Iuliana. (2012). “Preservice primary school teachers’Elementary geometry knowledge”. Acta Didactica Napocensia. Volume 5 no 2, pp 33-40. Marshal, Sandra. P. (1984). “Sex Difference in Mathematical Error. An analysis of Distractor Choice”. Journal for Reserch in Mathematics Education. Volume 17, No 4. Fall-1984. Murdanu. (2004). Analisis Kesulitan SiswaSiswa SLTP Dalam Menyelesaikan Persoalan Geometri. (Tesis magister pendidikan tidak dipublikasikan). Universitas Negeri Surabaya
Panjaitan, Marajohan. (2002). analisis kesulitan mahasiswa jurusan matematika FMIPA UNESA dalam memahami materi sifat kelengkapan bilangan real, interval tersarang dan titik timbun (Tesis magister pendidikan tidak dipublikasikan). Universitas Negeri Surabaya Polya, G. (1973). How To Solve It. New Jersey : Princeton University Press. Suherman, Erman. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung. Soedjadi,
R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Yeo, Kai, Yoseph. (2004). “Secondary 2 Students’ Difficulties in Solving Non-Routine Problems”. National Institute of Education Nanyang Technological University. pp 1-30. Zhikia, Y. (2003). “Gender Differences in Mathematics Learning”. School Science in Mathematics. 110 (3): 115-117
PENGGUNAAN METODE DEMONSTRASI DALAM UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN TENTANG OTONOMI DAERAH PADA SISWA KELAS IXD SEMESTER I SMP NEGERI 2 PAMEKASAN TAHUN PELAJARAN 2012/2013 Mohammad Sahril Pemerinkah Kabupaten Pamekasan, Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan SMP Negeri 2 Pamekasan Email: Abstrak: Metode demonstrasi adalah salah satu cara mengajar, di mana guru melakukan suatu percobaan tentang sesuatu hal, mengamati prosesnya serta menuliskan hasil percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan ke kelas dan dievaluasi oleh guru. Tujuan dalam dalam penelitian ini adalah meningkatkan prestasi belajar siswa dan mengetahui pengaruh motivasi belajar setelah diterapkannya metode pembelajaran demonstrasi. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan (action research), karena penelitian dilakukan untuk memecahkan suatu masalah pembelajaran di dalam kelas. Penelitian ini juga termasuk penelitian deskriptif, sebab menggambarkan bagaimana suatu teknik pembelajaran diterapkan dan bagaimana hasil yang diinginkan dapat dicapai. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kegiatan siswa, lembar observasi kegiatan belajar mengajar, dan tes tulis. Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh dengan tujuan untuk mengetahui prestasi belajar yang dicapai siswa juga untuk memperoleh respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran serta aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Hasil penelitian ini adalah Pembelajaran dengan demonstrasi memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa yang ditandai dengan peningkatan ketuntasan belajar siswa dalam setiap siklus, yaitu siklus I (66,67%), siklus II (81,48%), siklus III (92,59%), Penerapan metode – metode pembelajaran demonstrasi mempunyai pengaruh positif bagi siswa. Kata Kunci : Metode Demontrasi, Otonomi Daerah
PENDAHULUAN Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah seharusnya membuahkan hasil belajar berupa perubahan pengetahuan, dan keterampilan yang sejalan dengan tujuan kelembagaan Sekolah. Dikaitkan dengan konteks pendidikan dasar sembilan tahun, maka fungsi dan tujuan pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah harus pula mendukung pemilikan kompetensi tamatan Sekolah, yaitu pengetahuan, nilai, sikap, dan kemampuan melaksanakan tugas atau mempunyai kemampuan untuk mendekatkan dirinya dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah. Sementara itu, kondisi pendidikan Kewarganegaraan di negara kita dewasa ini, lebih diwarnai oleh pendekatan yang menitikberatkan pada model belajar konvensional seperti ceramah sehingga kurang mampu merangsang siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar (Suwarma, 1191; Jarolimek, 1967). Suasana belajar seperti itu, semakin menjauhkan peran
pendidikan kewarganegaraan dalam upaya mempersiapkan warga negara yang baik dan memasyarakat (Djahiri, 1993). Di sekolah saat ini, pendidikan kewarganegaraan menunjukkan indikasi bahwa pola pembelajarannya makin bersifat teacher centered. Kecenderungan pembelajaran demikian, mengakibatkan lemahnya pengembangan potensi diri siswa dalam pembelajaran sehingga prestasi belajar yang dicapai tidak optimal. Kesan menonjolnya verbalisme dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas masih terlalu kuat. Hasil penelitian Yoyok (1999) tentang interaksi kelas di Sekolah menunjukkan bahwa 95% interaksi kelas dikuasai oleh guru. Pertanyaanpertanyaan yang digunakan oleh guru dalam interaksi kelas berupa pertanyaan-pertanyaan dalam kategori kognisi rendah. Salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat dikembangkan untuk memenuhi tuntutan tersebut adalah model metode
111
Sahril, Pemahaman tentang Otonomi Daerah | 112
pembelajaran demonstrasi. Yang dimaksud metode demonstrasi adalah salah satu cara mengajar, di mana guru melakukan suatu percobaan tentang sesuatu hal, mengamati prosesnya serta menuliskan hasil percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan ke kelas dan dievaluasi oleh guru. Tujuan dalam dalam penelitian ini adalah meningkatkan prestasi belajar siswa setelah diterapkannya metode pembelajaran demonstrasi dan Ingin mengetahui pengaruh motivasi belajar siswa setelah diterapkannya metode pembelajaran demonstrasi. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan (action research), karena penelitian dilakukan untuk memecahkan suatu masalah pembelajaran di dalam kelas. Penelitian ini juga termasuk penelitian deskriptif, sebab menggambarkan bagaimana suatu teknik pembelajaran diterapkan dan bagaimana hasil yang diinginkan dapat dicapai. Dalam penelitian tindakan ini menggunakan bentuk guru sebagai peneliti, penanggungjawab penuh penelitian tindakan adalah praktisi (guru). Tujuan utama dari penelitian tindakan ini adalah meningkatkan hasil pembelajaran di kelas dimana guru secara penuh terlibat dalam penelitian mulai dari perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Dalam penelitian ini peneliti tidak bekerjasama dengan siapapun, kehadiran peneliti sebagai guru di kelas sebagai pengajar tetap dan dilakukan seperti biasa, sehingga siswa tidak tahu kalau diteliti. Dengan cara ini diharapkan didapatkan data yang seobjektif mungkin demi kevalidan data yang diperlukan. Penelitian ini akan dihentikan apabila ketuntasan belajar secara klasikal telah mencapai 85,00% atau lebih. Jadi dalam penelitian ini, peneliti tidak tergantung pada jumlah siklus yang harus dilalui. Sesuai dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Sugiarti, 1997:6), yaitu berbentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Setiap siklus meliputi planning (rencana), action (tindakan), observation (pengamatan), dan reflection (refleksi).
Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus 1 dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan. Siklus spiral dari tahap-tahap penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada gambar berikut :
Putaran 1 Refleksi Tindakan / Refleksi Tindakan / Refleksi Tindakan /
Rencana awal/
Putaran 2
Rencana direvisi Putaran 3
Rencana direvisi
Gambar: Alur PTK Penjelasan alur di atas adalah : 1. rancangan/rencana awal, sebelum mengadakan penelitian peneliti menyusun rumusan masalah, tujuan dan membuat rencana tindakan, termasuk di dalamnya instrumen penelitian dan perangkat pembelajaran. 2. Kegiatan dan pengamatan, meliputi tindakan yang dilakukan oleh peneliti sebagai upaya membangun pemahaman konsep siswa serta mengamati hasil atau dampak dari diterapkannya metode pembelajaran model demonstrasi. 3. Refleksi, peneliti mengkaji, melihat dan mempertimbangkan hasil atau dampak dari tindakan yang dilakukan berdasarkan lembar pengamatan yang diisi oleh pengamat. 4. Rancangan/rencana yang direvisi, berdasarkan hasil refleksi dari pengamat membuat rancangan yang direvisi untuk dilaksanakan pada siklus berikutnya. Observasi dibagi dalam tiga putaran, yaitu putaran 1, 2, dan 3, dimana masing-masing putaran dikenai perlakuan yang sama (alur kegiatan yang sama) dan membahas satu sub pokok bahasan yang diakhiri dengan tes tulis di akhir masing-masing putaran. Dibuat dalam tiga putaran dimaksudkan untuk memperbaiki sistem pengajaran yang telah dilaksanakan.
113 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 111-118
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kegiatan siswa, lembar observasi kegiatan belajar mengajar, dan tes tulis. Untuk mengetahui keefektifan suatu metode dalam kegiatan pembelajaran perlu diadakan analisa data. Pada penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau fakta sesuai dengan data yang diperoleh dengan tujuan untuk mengetahui prestasi belajar yang dicapai siswa juga untuk memperoleh respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran serta aktivitas siswa dalam proses pembelajaran. Untuk menganalisis tingkat keberhasilan atau persentase keberhasilan siswa setelah proses belajar mengajar setiap putarannya dilakukan dengan cara memberikan evaluasi berupa soal tes tertulis pada setiap akhir putaran. PEMBAHASAN DAN HASIL Data penelitian yang diperoleh berupa hasil uji coba item butir soal, data observasi berupa pengamatan pengelolaan metode pembelajaran demonstrasi dan pengamatan aktivitas siswa dan guru pada akhir pembelajaran, dan data tes tulis siswa pada setiap siklus. Data hasil uji coba item butir soal digunakan untuk mendapatkan tes yang betulbetul mewakili apa yang diinginkan. Data ini selanjutnya dianalisis tingkat validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda. Data lembar observasi diambil dari dua pengamatan yaitu data pengamatan pengelolaan metode pembelajaran demonstrasi dalam meningkatkan prestasi. Data tes tulis untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkan metode pembelajaran demonstrasi. A. Analisis Item Butir Soal Sebelum melaksanakan pengambilan data melalui instrumen penelitian berupa tes dan mendapatkan tes yang baik, maka data tes tersebut diuji dan dianalisis.
B. Analisis Data Penelitian Persiklus 1. Siklus 1 a. Tahap Perencanaan Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 1, LKS 1, soal tes tulis 1, dan alat-alat pengajaran yang mendukung. b. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus 1 dilaksanakan pada tanggal 4 Oktober 2012 dengan jumlah siswa 39 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran yang telah dipersiapkan. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar. Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes tulis 1 dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Adapun data hasil penelitian pada siklus 1 adalah sebagai berikut :
Sahril, Pemahaman tentang Otonomi Daerah | 114
Tabel 1. Hasil Tes Tulis Siswa pada Siklus I Keterangan T TT 1.Achmad Saifullah 60 √ 2. Achmad Firdaus J 70 √ 3. Ade Iqbal P 70 √ 4. Ade Irma M 50 √ 5.Ade Sitoersmi P 50 √ 6.Atika Oktaviani R 80 √ 7.Achmad Rifqi R 80 √ 8. Aldania D 70 √ 9.Anesia Maulida D 70 √ 10. Arista Faradina 60 √ 11. Atika Ayu L 80 √ 12. Awwibi S. B 50 √ 13.Deo Maulidio S 70 √ 14. Devi H 60 √ 15. Ema Siva D 70 √ 16. Fahdat M 80 √ 17. Fahrur Rozi A 80 √ 18. Fathor Rozi 80 √ 19. Felta Nosa 80 √ 20. Firmansyah R 80 √ Jumlah 14 6 Jumlah Skor Tuntas 26 siswa (66,67%) Jumlah Skor Tidak Tuntas 13 siswa (33,33%) No/Nama
Nilai
No/Nama
Nilai
21.Handoko S 22. Hanif A 23. Ibnu Abbas 24. Isfi R 25. Masrurotul A 26. Moh Hasbi 27. Moh Ismail 28. Moh Fahri 29. Moh Iqbal 30.Nanda Dwi A 31. Nurlia N 32.Rahmad H 33. Ramdi Arisal 34.Riyan Renaldo 35. Sabilah M 39. Yusril Ihza M 37. Zulliana S 38. Firda Nuri H 39. Wahyu Eko S
30 80 70 80 50 70 90 60 50 70 70 60 70 80 80 80 80 60 60
Keterangan: T : Tuntas TT : Tidak Tuntas Jumlah Siswa yang tuntas : 26 Jumlah siswa yang belum : 13 Tuntas Klasikal : Belum tuntas Tabel 2: Rekapitulasi Hasil Tes Siklus I No 1. 2. 3.
Uraian Hasil Siklus I Nilai rata-rata tes tulis 70,26 Jumlah siswa yang tuntas belajar 26 Persentase ketuntasan belajar 66,67 Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan metode-metode pembelajaran demonstrasi diperoleh nilai ratarata prestasi belajar siswa adalah 70,26 dan ketuntasan belajar mencapai 66,67% atau ada 26 siswa dari 39 siswa sudah tuntas belajar.
Jumlah
Keterangan T TT √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 14
7
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada siklus pertama secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena siswa yang memperoleh nilai > 65 hanya sebesar 66,67% lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki yaitu sebesar 85,00%. Hal ini disebabkan karena siswa masih merasa baru dan belum mengerti apa yang dimaksudkan dan digunakan guru dengan menerapkan metode – metode pembelajaran demonstrasi. 2. Siklus II a. Tahap Perencanaan Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 2, LKS 2, soal tes tulis II, dan alat-alat pengajaran yang mendukung. b. Tahap Kegiatan dan Pelaksanaan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus II dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober 2012 di Kelas 9D dengan jumlah siswa 39 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai guru.
115 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 111-118
Dari tabel di atas diperoleh nilai rata – rata prestasi belajar siswa adalah 74,36 dan ketuntasan belajar mencapai 81,48% atau ada 32 siswa dari 39 siswa sudah tuntas belajar. Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus II ini ketuntasan belajar secara klasikal telah mengalami peningkatan sedikit lebih baik dari siklus I. Adanya peningkatan hasil belajar siswa ini karena setelah guru menginformasikan bahwa setiap akhir pelajaran akan selalu diadakan tes sehingga pada pertemuan berikutnya siswa lebih termotivasi untuk belajar. Selain itu siswa juga sudah mulai mengerti apa yang dimaksudkan dan diinginkan guru dengan menerapkan metode-metode pembelajaran demonstrasi.
Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran dengan memperhatikan revisi pada siklus I, sehingga kesalahan atau kekurangan pada siklus I tidak terulang lagi pada siklus II. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar. Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes tulis II dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa selama proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah tes tulis II. Adapun data hasil penelitian pada siklus II adalah sebagai berikut. Tabel 3: Hasil Tes Tulis Siswa pada Siklus II No/Nama
Nilai
Keterangan
T 1.Achmad Saifullah 80 √ 2. Achmad Firdaus J 70 √ 3. Ade Iqbal P 70 √ 4. Ade Irma M 80 √ 5.Ade Sitoersmi P 80 √ 6.Atika Oktaviani R 80 √ 7.Achmad Rifqi R 80 √ 8. Aldania D 70 √ 9.Anesia Maulida D 70 √ 10. Arista Faradina 60 11. Atika Ayu L 80 √ 12. Awwibi S. B 50 13.Deo Maulidio S 70 √ 14. Devi H 60 15. Ema Siva D 70 √ 16. Fahdat M 80 √ 17. Fahrur Rozi A 80 √ 18. Fathor Rozi 80 √ 19. Felta Nosa 80 √ 20. Firmansyah R 80 √ Jumlah 17 Jumlah Skor Tuntas 32 siswa (81,48%) Jumlah Skor Tidak Tuntas 7 siswa (18,52%)
Keterangan : T : Tuntas TT : Tidak Tuntas Jumlah Siswa yang tuntas Jumlah siswa yang belum Tuntas Klasikal
No/Nama
TT
√ √ √
21.Handoko S 22. Hanif A 23. Ibnu Abbas 24. Isfi R 25.Masrurotul A 26. Moh Hasbi 27. Moh Ismail 28. Moh Fahri 29. Moh Iqbal 30.NandaDwi A 31. Nurlia N 32.Rahmad H 33.Ramdi Arisal 34.Riyan Renaldo 35. Sabilah M 36. Yusril Ihza M 37. Zulliana S 38. Firda Nuri H 39. Wahyu Eko S
3
: 32 : 7 : tuntas
Tabel 4: Rekapitulasi Hasil Tes Siklus II No 1. 2. 3.
Uraian Nilai rata-rata tes tulis Jumlah siswa yang tuntas belajar Persentase ketuntasan belajar
Nilai
Hasil Siklus II 74,36 32 81,48%
Jumlah
80 80 70 80 50 70 90 60 50 70 70 60 70 80 80 80 80 80 80
Keteranga n T TT √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 15
4
3. Siklus III a. Tahap Perencanaan Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana pelajaran 3, LKS 3, soal tes tulis 3, dan alat-alat pengajaran yang mendukung. b. Tahap Kegiatan dan Pengamatan Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus III dilaksanakan pada tanggal 25 Oktober 2012 di Kelas 9D dengan jumlah siwa 39 siswa. Dalam hal ini
Sahril, Pemahaman tentang Otonomi Daerah | 116
peneliti bertindak sebagai guru. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran dengan memperhatikan revisi pada siklus II, sehingga kesalahan atau kekurangan pada siklus II tidak terulang lagi pada siklus III. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar. Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes tulis III dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah tes tulis III. Adapun data hasil penelitian pada siklus III adalah sebagai berikut : Tabel 5: Hasil Tes Tulis Siswa pada Siklus III
Keterangan T TT 1.Achmad Saifullah 80 √ 2.Achmad Firdaus J 70 √ 3. Ade Iqbal P 70 √ 4. Ade Irma M 80 √ 5.Ade Sitoersmi P 80 √ 6.Atika Oktaviani R 80 √ 7.Achmad Rifqi R 80 √ 8. Aldania D 70 √ 9.Anesia Maulida D 70 √ 10. Arista Faradina 60 √ 11. Atika Ayu L 80 √ 12. Awwibi S. B 80 √ 13.Deo Maulidio S 70 √ 14. Devi H 60 √ 15. Ema Siva D 70 √ 16. Fahdat M 80 √ 17. Fahrur Rozi A 80 √ 18. Fathor Rozi 80 √ 19. Felta Nosa 80 √ 20. Firmansyah R 80 √ Jumlah 18 2 Jumlah Skor Tuntas 36 siswa (92,59%) Jumlah Skor Tidak Tuntas 3 siswa (7,41%) Keterangan : T : Tuntas TT : Tidak Tuntas Jumlah Siswa yang tuntas : 36 Jumlah siswa yang belum : 3 Tuntas Klasikal : tuntas No/Nama
Nilai
Tabel 6:. Rekapitulasi Hasil Tes Siklus III No Uraian Hasil Siklus III 1. Nilai rata-rata tes tulis 77,18 2. Jumlah siswa yang tuntas belajar 36 3. Persentase ketuntasan belajar 95,59% Dari tabel di atas diperoleh nilai rata – rata tes tulis sebesar 77,18 dan dari 39 siswa yang telah tuntas sebanyak 36 siswa dan 3 siswa belum mencapai ketuntasan belajar. Maka secara klasikal 3 siswa belum mencapai ketuntasan belajar. Maka secara klasikal ketuntasan belajar yang telah tercapai sebesar 92,59% (termasuk kategori tuntas). Hasil pada siklus III ini mengalami peningkatan lebih baik dari siklus II. Adanya peningkatan hasil belajar pada siklus III No/Nama 21.Handoko S 22. Hanif A 23. Ibnu Abbas 24. Isfi R 25. Masrurotul A 26. Moh Hasbi 27. Moh Ismail 28. Moh Fahri 29. Moh Iqbal 30.Nanda Dwi A 31. Nurlia N 32.Rahmad H 33. Ramdi Arisal 34.Riyan Renaldo 35. Sabilah M 36. Yusril Ihza M 37. Zulliana S 38. Firda Nuri H 39. Wahyu Eko S Jumlah
Nilai 80 80 70 80 50 70 90 80 80 70 70 80 70 80 80 80 80 80 80
Keterangan T TT √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 18
1
ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan kemampuan guru dalam menerapkan metode pembelajaran demonstrasi sehingga siswa menjadi lebih terbiasa dengan pembelajaran seperti ini sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi yang telah diberikan. Pada siklus III ini ketuntasan secara klasikal telah tercapai, sehingga penelitian ini hanya sampai pada siklus III.
117 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 111-118
c. Refleksi Pada tahap ini akan dikaji apa yang telah terlaksana dengan baik maupun yang masih kurang baik dalam proses belajar dengan penerapan metode pembelajaran demonstrasi. Dari data-data yang telah diperoleh dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Selama proses belajar mengajar guru telah melaksanakan semua pembelajaran dengan baik. Meskipun ada beberapa aspek yang belum sempurna, tetapi persentase pelaksa-naannya untuk masing-masing aspek cukup besar. 2) Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa siswa aktif selama proses belajar berlangsung. 3) Kekurangan pada siklus-siklus sebelumnya sudah mengalami perbaikan dan peningkatan sehingga menjadi lebih baik. 4) Hasil belajar siswa pada siklus III mencapai ketuntasan. d. Revisi Pelaksanaan Pada siklus III guru telah menerapkan metode pembelajaran demonstrasi dengan baik dan dilihat dari aktivitas siswa serta hasil belajar siswa pelaksanaan proses belajar mengajar sudah berjalan dengan baik. Maka tidak diperlukan revisi terlalu banyak, tetapi yang perlu diperhatikan untuk tindakan selanjutnya adalah memaksimalkan dan mempertahankan apa yang telah ada dengan tujuan agar pada pelaksanaan proses belajar mengajar selanjutnya penerapan metode pembelajaran demonstrasi dapat meningkatkan proses belajar mengajar sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Pembahasan 1. Ketuntasan Hasil Belajar Siswa Melalui hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metode pembelajaran demonstrasi memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan guru (ketuntasan belajar meningkat dari siklus I, II, dan III) yaitu masing-masing 66,67%, 81,48%, dan 92,59%. Pada siklus III ketuntasan belajar siswa secara klasikal telah tercapai.
2. Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam proses metode pembelajaran demonstrasi dalam setiap siklus mengalami peningkatan. Hal ini berdampak positif terhadap prestasi belajar siswa yaitu dapat ditunjukkan dengan meningkatnya nilai rata-rata siswa pada setiap siklus yang terus mengalami peningkatan. 3. Aktivitas Guru dan Siswa Dalam Pembelajaran Berdasarkan analisis data, diperoleh aktivitas siswa dalam proses pembelajaran Kewarganegaraan pada pokok bahasan Padan Kata yang paling dominan adalah bekerja dengan menggunakan alat/media, mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru, dan diskusi antar siswa/antara siswa dengan guru. Jadi dapat dikatakan bahwa aktivitas siswa dapat dikategorikan aktif. Sedangkan untuk aktivitas guru selama pembelajaran telah melaksanakan langkah-langkah metode pembelajaran demonstrasi dengan baik. Hal ini terlihat dari aktivitas guru yang muncul diantaranya aktivitas membimbing dan mengamati siswa dalam mengerjakan kegiatan LKS/ menemukan konsep, menjelaskan/ melatih menggunakan alat, memberi umpan balik/evaluasi/tanya jawab dimana persentase untuk aktivitas di atas cukup besar. SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Dari hasil kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan selama tiga siklus, dan berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Pembelajaran dengan demonstrasi memiliki dampak positif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa yang ditandai dengan peningkatan ketuntasan belajar siswa dalam setiap siklus, yaitu siklus I (66,67%), siklus II (81,48%), siklus III (92,59%); 2. Penerapan metode – metode pembelajaran demonstrasi mempunyai pengaruh positif, yaitu dapat meningkatkan motivasi belajar siswa
Sahril, Pemahaman tentang Otonomi Daerah | 118
yang ditujukan dengan hasil wawancara dengan sebagian siswa, rata-rata jawaban siswa menyatakan bahwa siswa tertarik dan berminat dengan metode – metode pembelajaran demonstrasi sehingga mereka menjadi termotivasi untuk belajar. SARAN Dari hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya agar proses belajar mengajar Kewarganegaraan lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang optimal bagi siswa, maka disampaikan saran sebagai berikut: 1. Untuk melaksanakan model demonstrasi memerlukan persiapan yang cukup matang, sehingga guru harus mampu menentukan atau memilih topik yang benar-benar bisa diterapkan dengan model demonstrasi dalam proses belajar DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1997. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. Berg,
Euwe Vd. (1991). Miskonsepsi Kewarganegaraan dan Remidi Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana.
Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algesindo. Joyce, Bruce dan Weil, Marsh. 1972. Models of Teaching Model. Boston : A Liyn dan Bacon. Masriyah. 1999. Analisis Butir Tes. Surabaya : Universitas Press. Mukhlis, Abdul. (Ed). 2000. Penelitian Tindakan Kelas. Makalah Panitia
mengajar sehingga diperoleh hasil yang optimal; 2. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa, guru hendaknya lebih sering melatih siswa dengan berbagai metode pembelajaran, walau dalam taraf yang sederhana, dimana siswa nantinya dapat menemukan pengetahuan baru, memperoleh konsep dan keterampilan, sehingga siswa berhasil atau mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya; 3. Perlu adanya penelitian yang lebih lanjut, karena hasil penelitian ini hanya dilakukan di Kelas 9D semester I SMP Negeri 2 Pamekasan Kabupaten Pamekasan Tahun Pelajaran 2012\2013.
Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah untuk Guru-Guru se Kabupaten Pamekasan Nur, Moh. 2001. Pemotivasian Siswa untuk Belajar. Surabaya : University Press. Universitas Negeri Surabaya. Soedjadi, dkk. 2000. Pedoman Penulisan dan Ujian Skripsi. Surabaya : Unesa Universitas Press. Suryosubroto, B. 1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta : PT. Rineksa Cipta. Usman, Uzer. 2000. Menjadi Guru Profesional. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Widoko, 2002. Metode Pembelajaran Konsep. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
PROFIL PENALARAN MAHASISWA CALON GURU SD DALAM MEMBUKTIKAN RUMUS LUAS BANGUN DATAR DITINJAU DARI PERBEDAAN GAYA KOGNITIF VISUALISER DAN VERBALISER Rohmah Indahwati Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Alamat Jalan Raya Panglegur 3,5 KM Pamekasan e-mail:
[email protected] Abstrak: Penalaran matematika merupakan pusat dalam mempelajari matematika. Penalaran seseorang dapat dikembangkan melalui pendidikan, baik dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Penalaran sangat penting untuk dilatih dan ditingkatkan secara optimal dalam pembelajaran agar peserta didik dapat membuat keputusan secara tepat dan rasional. Perbedaan penalaran mahasiswa kemungkinan besar dipengaruhi oleh gaya kognitif mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara lengkap profil penalaran mahasiswa PGSD UNESA dalam membuktikan rumus luas bangun datar ditinjau dari perbedaan gaya kognitif visualiserverbaliser. Perbedaan gaya kognitif Visualiser-verbaliser dilihat dengan menggunakan Tes Gaya Kognitif (TGK) yang dikembangkan oleh Mendelson & Thorson. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan pemberian tes berupa pembuktian luas bangun datar dan wawancara. Dalam penelitian ini digunakan dua mahasiswa PGSD UNESA jurusan matematika yang memiliki gaya kognitif visualiser dan verbaliser dengan kemampuan matematika setara. Pada tahap memahami masalah maupun tahap merencanakan penyelesaian berupa pembuktian rumus luas segitiga maupun trapesium, mahasiswa dengan gaya kognitif visualiser menerapkan logika. Begitu pula dalam melaksanakan rencana untuk membuktikan luas segitiga, subjek menggunakan logika dalam setiap langkahnya. Pada tahap membuat rencana penyelesaian pembuktian luas segitiga, mahasiswa dengan gaya kognitif verbaliser mengumpulkan fakta-fakta untuk menetukan langkah dalam perencanaan penyelesaian masalah, namun untuk argumentasinya bahwa segitiga ABC adalah segitiga siku-siku tidak valid, karena segitiga ABC bukan merupakan segitiga siku-siku. Sehingga langkah penyelesaiannya salah. Sedangkan untuk tahap membuat rencana penyelesaian pembuktian luas trapesium, subjek menerapkan logika. Disini terlihat pada saat subjek menggunakan strategi membagi trapesium menjadi segitiga-segitiga dan jajargenjang untuk membuktikan luas trapesium yang diminta dengan memberikan alasan yang valid sesuai dengan kaidah logika. Kata Kunci: Penalaran, Pembuktian Rumus Luas Bangun Datar, Gaya Kognitif
PENDAHULUAN Ditinjau dari objek yang dikaji, matematika termasuk dalam ilmu abstrak. Abstrak disini, karena terkait dengan polapola, bentuk, ukuran-ukuran, serta cara berpikir yang tidak bisa dilihat langsung, dipegang, diraba, atau ditangkap oleh panca indera lainnya. Penalaran adalah alat untuk memahami abstraksi. Oleh karena itu, penalaran matematika merupakan pusat dalam mempelajari matematika. Reid (2000) mengungkapkan “Developing mathematical reasoning is central to mathematics education, it is one of the five process standarts in the Principles and Standarts for School Mathmatics (NCTM, 2000)”. Jika dikaitkan dengan berpikir, maka penalaran matematika merupakan komponen utama
dari berpikir yang melibatkan pembentukan generalisasi dan menggambarkan konklusi yang valid tentang ide dan bagaimana ide-ide itu dikaitkan (Artzt, 1999). Penalaran adalah proses berpikir dalam pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Menurut Stancey (2010), reasoning in mathematics is a cognitive process of looking for reasons and looking for conclusion. Berdasarkan definisi tersebut jelas bahwa penalaran dalam matematika adalah suatu proses kognitif dalam mencari alasan dan mencari kesimpulan. Dengan demikian daya nalar seseorang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam hidupnya, sehingga
119
Indahwati, Profil Penalaran Mahasiswa Calon Guru SD | 120
penalaran sangat penting dalam kehidupan manusia. Penalaran seseorang dapat dikembangkan melalui pendidikan, baik dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Penalaran sangat penting untuk dilatih dan ditingkatkan secara optimal dalam pembelajaran agar peserta didik dapat membuat keputusan secara tepat dan rasional. Untuk dapat memecahkan suatu permasalahan dalam matematika diperlukan kemampuan bernalar, baik untuk memahami konsep matematikanya maupun strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah tersebut. Kemampuan bernalar dalam matematika adalah salah satu kemampuan yang diharapkan dimiliki peserta didik dalam mempelajari matematika. Polya (1973) mengungkapkan dua macam masalah, yaitu (a) masalah untuk menemukan, dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret termasuk teka-teki, dan (b) masalah untuk membuktikan, adalah untuk menunjukkan bahwa suatu pernyataan itu benar atau salah (tidak keduanya). Masalah berupa pembuktian dalam matematika adalah cara ampuh mengembangkan wawasan serta daya bernalar matematika seseorang. Dalam membuktikan suatu permasalahan matematika, seorang siswa dituntut untuk memberikan alasan-alasan logis yang mendukung argumennya dan saat itulah siswa akan berpikir, beranalisis, dan bernalar menggunakan pengalaman serta pengetahuannya yang terkait dengan permasalahan yang diberikan. Oleh karena itu, peneliti melihat profil penalaran subjek penelitian pada pemecahan masalah yang berupa pemecahan masalah pembuktian dimana penelitian ini menggunakan langkahlangkah pemecahan masalah polya yaitu memahami masalah, membuat rencana, melaksanakan recana, dan memeriksa kembali. Peneliti memilih mahasiswa calon guru SD sebagai subjek penelitian, karena subjek penelitian tersebut kelak akan menjadi guru SD yang tentunya akan berpengaruh terhadap penalaran matematika siswanya. Setiap individu, tidak terkecuali mahasiswa mempunyai karakteristik yang berbeda-beda khususnya dalam memperoleh, menyimpan, maupun menggunakan informasi yang
diterimanya. Cara seseorang dalam memproses, menyimpan, maupun menggunakan informasi untuk menanggapi suatu tugas atau menanggapi berbagai jenis situasi lingkungannya disebut gaya kognitif. Tiap orang memiliki gaya kognitif yang berbeda-beda, dengan demikian perbedaan tersebut akan mempengaruhi kuantitas serta kualitas dari kegiatan yang dilakukan, termasuk kegiatan yang dilakukan siswa di sekolah, tidak terkecuali dalam memecahkan masalah. Berbagai gaya kognitif tersebut merupakan suatu sifat kepribadian yang relatif menetap sehingga dapat dipakai untuk menjelaskan prilaku seseorang dalam menghadapi berbagai situasi. Sesuai dengan pendapat Susan (2005) bahwa general problem soving strategies such as these are further influenced by cognitive style. Strategi penyelesaian masalah yang digunakan seseorang dipengaruhi oleh gaya kognitifnya. Jadi, ketika mahasiswa memiliki gaya kognitif yang berbeda, maka cara menyelesaikan suatu masalahnya juga berbeda, sehingga hal ini juga memicu pada perbedaan penalaran mereka. Gaya kognitif yang berkaitan dengan kebiasaan siswa menggunakan alat inderanya dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu visualiser dan verbaliser (McEwan, 2007). Seseorang dengan gaya kognitif visualiser cenderung memiliki kemampuan melihat, sehingga lebih mudah menerima, memproses, menyimpan maupun menggunakan informasi dalam bentuk gambar. Sedangkan pada gaya kognitif verbaliser cenderung memiliki kemampuan mendengar, sehingga lebih mudah menerima, memproses, menyimpan, maupun menggunakan informasi dalam bentuk teks. Adanya perbedaan antara gaya kognitif visualiser dan verbaliser diakibatkan oleh perbedaan pandangan seseorang dalam menggambarkan sesuatu. Ada seseorang yang kuat dalam penggambaran visual tetapi ada juga yang kuat dalam penggambaran dalam bentuk kata-kata (Skemp,1987). Lebih jauh Skemp menjelaskan bahwa ada juga seseorang yang memiliki kedua kemampuan tersebut, akan tetapi biasanya hanya salah satu saja yang menonjol. Peneliti memfokuskan pada masalah yang berkaitan dengan pembuktian rumus luas bangun datar. Alasan pertama, bangun
121 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 119-129
datar merupakan objek kajian dalam geometri, dan mata kuliah geometri dan pengukuran merupakan mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh subjek penelitian. Selesai mengikuti perkuliahan tersebut mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan diantaranya satuan pengukuran dan estimasi pada pengukuran, jarak antara dua titik pada garis, sudut antara dua buah garis, garis-garis sejajar, garis-garis berpotongan, sudut dan diagonal bangun datar, keliling dan luas daerah bangun datar. Kedua, geometri penting dalam perkembangan daya nalar seseorang (Budiarto, 2000). Menurut Budiarto, tujuan perkuliahan geometri adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis, mengembangkan intuisi keruangan, menanamkan pengetahuan untuk menunjang materi lain, dan dapat membaca serta menginterpretasikan argumen-argumen matematis. Alasan ketiga, karena konsep bangun datar diperkenalkan kepada siswa sejak SD mulai dari kelas 2 sampai kelas 6, jelaslah sangat penting dikuasai oleh mahasiswa calon guru SD yang nantinya akan mengajar di SD. Penalaran dalam penelitian ini adalah penerapan logika dalam mengambil kesimpulan atau membuat pernyataanpernyataan berdasarkan sejumlah premis. Penerapan logika ini didasarkan pada kaidah logika. Menurut Zarkasy (2013) kaidahkaidah berpikir dalam logika dimaksudkan untuk menentukan apakah suatu pemikiran itu disebut valid atau tidak menurut logika. Menurut Zarkasy terdapat 2 jenis validitas, yaitu validitas formal dan validitas material. Validitas formal maksudnya tidak kontradiktif dengan premis sebelumnya dan validitas material sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Sedangkan pada proses penarikan kesimpulan didasarkan pada modus ponnens, tollens, dan silogisme. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa atau kejadian pada saat dilakukan penelitian. Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana profil penalaran mahasiswa calon guru SD dalam membuktikan rumus luas bangun datar
ditinjau dari perbedaan gaya kognitif visualiser dan verbaliser. Untuk memperoleh gambaran tersebut, peneliti menggunakan tugas berupa masalah pembuktian rumus dan wawancara, sehingga data yang dianalisis adalah tulisan hasil tes dan hasil wawancara. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa jurusan PGSD Universitas Negeri Surabaya angkatan 2011. Penelitian ditentukan dengan berpedoman pada hasil tes penggolongan gaya kognitif visualiserverbaliser (TGK). Penentuan gaya kognitif mahasiswa dilakukan dengan menggunakan Visualizer And Verbalizer Questions (Mendelson,2004) Dalam penelitian ini siswa dikelompokkan ke dalam 2 kategori gaya kognitif, yaitu visualiser dan verbaliser. Kemudian setelah diperoleh kedua kelompok mahasiswa tersebut masing-masing kategori diambil masing-masing 1 siswa yang dapat berkomunikasi dengan baik dan berkemampuan matematika yang cenderung setara. Hal ini dapat diperoleh dari informasi dosen pengajarnya. Selanjutnya mahasiswa yang terpilih tersebut ditetapkan sebagai subjek penelitian. Teknik Analisis Data Dalam penelitian Kualitatif, analisis data dimaksudkan sebagai proses mencari dan menyusun secara sistematis data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Selanjutnya dikatakan bahwa analisis data dilakukan dengan mengorganisasi data, menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang dapat dicerikan kepada orang lain. Dalam penelitian ini digunakan triangulasi waktu sebagai analisis data TPR dan wawancara, yaitu pengecekan data yang dilakukan dengan memberikan soal yang mirip pada waktu yang berbeda. Analisis tersebut mengacu pada indikator penalaran dalam setiap tahapan pemecahan masalah Polya. Selanjutnya analisis seluruh data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
Indahwati, Profil Penalaran Mahasiswa Calon Guru SD | 122
1. Reduksi data Reduksi data adalah bentuk analisis yang bertujuan untuk menajamkan, menyeleksi, memfokuskan, mengabstraksi, dan mentransformasikan data mentah yang diperoleh di lapangan menjadi data bermakna. Dalam penelitian ini data mentah yang diperoleh dari hasil penelitian direduksi untuk mendapatkan data yang benar-benar diperlukan dalam mendeskripsikan profil penalaran mahasiswa dalam membuktikan rumus luas bangun datar ditinjau dari perbedaan gaya kognitif visualiser-verbaliser. a. Mengumpulkan hasil pekerjaan mahasiswa calon guru dalam membuktikan rumus luas bangun datar ditinjau dari perbedaan gaya kognitif visualiser-verbaliser; b. Menstranskripkan semua ucapan yang disampaikan mahasiswa calon guru; c. Memutar hasil rekaman berulang-ulang agar peneliti dapat menuliskan dengan tepat apa yang telah diungkapkan subjek dalam wawancara; d. Membuat transkrip hasil wawancara dengan subjek; e. Memeriksa kembali hasil transkrip tersebut dengan mendengarkan kembali hasil wawancara dengan subjek terkait; 2. Pemaparan data Pemaparan data meliputi pengklasifikasian dan identifikasi data yaitu menuliskan kumpulan data yang terorganisir sehingga memungkinkan untuk dilakukan penarikan kesimpulan dari data tersebut. Jadi, dari tada yang sudah direduksi diklasifikasi, diidentifikasi sehingga sehingga memungkinkan peneliti untuk menarik kesimpulan mengenai profil penalaran mahasiswa dalam membuktikan rumus luas bangun datar ditinjau dari perbedaan gaya kognitif visualiser-verbaliser. 3. Penarikan Kesimpulan Dari data yang diperoleh, selanjutnya akan dilakukan penarikan kesimpulan dan melakukan verifikasi kesimpulan tersebut. Jadi setelah menarik kesimpulan mengenai profil yang dimaksud dalam penelitian ini, selanjutnya peneliti melakukan verifikasi untuk mengecek kembali kesimpulan
tersebut dengan hasil analisis. Sehingga diperoleh profil penalaran mahasiswa dalam membuktikan rumus luas bangun datar ditinjau dari perbedaan gaya kognitif visualiser-verbaliser. Prosedur Penelitian Secara garis besar prosedur penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Menyiapakan instrumen berupa tes gaya kognitif visualiser-verbaliser dan merancang tes pembuktian rumus bangun datar (TPR) dan pedoman wawancara. 2. Melakukan validasi instrumen kepada beberapa validator dengan menggunakan lembar validasi. 3. Penentuan subjek penelitian dilakukan dengan pemberian tes gaya kognitif visualiser-verbaliser 4. Menentukan subjek penelitian yang memenuhi kriteria sesuai penjelasan pada bagian B bab ini. 5. Pengumpulan data penelitian dengan memberikan TPR kepada subjek penelitian. Sebelum TPR dikerjakan oleh subjek penelitian, peneliti terlebih dahulu memberikan pengarahan untuk menghindari kesalahpahaman dan selanjutnya dilakukan wawancara. 6. Analisis data dilakukan dengan menggabungkan data tes dan data wawancara sebagai proses triangulasi untuk selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan dan penulisan laporan. 7. Menyusun profil penalaran mahasiswa dalam membuktikan rumus bangun datar, sehingga memperoleh deskripsi lengkap tentang penalaran mahasiswa calon guru SD dalam membuktikan rumus bangun datar ditinjau dari perbedaan gaya kognitif visualiser dan verbaliser HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini data yang dianalisis terdiri dari hasil wawancara. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data tentang penalaran mahasiswa secara langsung. Pemilihan Subjek Penelitian Tes gaya kognitif pada awalnya disebarkan pada 3 kelas penelitian, yaitu mahasiswa angkatan 2011-A yang berjumlah 55 mahasiswa, 2011-B yang terdiri dari 51
123 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 119-129
mahasiswa, dan 2011-C yang berjumlah 48 mahasiswa. Berdasarkan hasil tes yang disebarkan dan hasil diskusi dengan dosen matematika yang mengajar, maka peneliti memutuskan untuk memakai kelas 2011-A, karena berdasarkan informasi dari dosen tersebut, diperoleh dua mahasiswa yang berkemampuan setara dengan gaya kognitif berbeda, yaitu visualiser dan yang satunya verbaliser. Hasil tes gaya kognitif siswa untuk 55 mahasiswa amgkatan 2011-A Universitas Negeri Surabaya tahun ajaran 2012/2013 adalah sebagai berikut, dari 55 siswa yang mengikuti tes VVQ, terdapat 6 orang (10,91%) mahasiswa yang memiliki gaya kognitif visualiser dan 2 orang (3,64%) mahasiswa yang memiliki gaya kognitif verbaliser dan ada 47 mahasiswa (85,45%) dengan gaya kognitif negligible (diabaikan).
Dari kelompok mahasiswa yang mempunyai gaya kognitif visualiser (VS) ini dipilih seorang mahasiswa yang mempunyai kemampuan matematika sedang dan dapat berkomunikasi dengan baik, dan dari kelompok mahasiswa yang mempunyai gaya kognitif verbaliser (VB) dipilih seorang mahasiswa yang mempunyai kemampuan setara dengan mahasiswa yang dipilih dari kelompok visualiser, yaitu berkemampuan sedang dan dapat berkomunikasi dengan baik. Selanjutnya untuk memudahkan pengkodean, mahasiswa yang terpilih wakil dari kelompok VS ini disebut SV, sedangkan wakil dari kelompok VB disebut SB. Kedua subjek berada dalam satu kelas yaitu kelas 2011A, dimana keduanya memiliki kemampuan matematika yang setara
Jadwal Kegiatan Jenis Kegiatan Pemberian TGK Pemberian TPR 1 dan wawancara Pemberian TPR 2 dan wawancara
Waktu 27 Februari 2013
Tempat PGSD UNESA
6 Maret 2013
PGSD UNESA
13 Maret 2013
PGSD UNESA
Pembahasan Berdasarkan data dan simpulan yang diperoleh serta temuan-temuan penelitian yang telah diuraikan di bab II, maka diperoleh hal-hal sebagai berikut: 1. Profil Penalaran Mahasiswa Dengan Gaya Kognitif Visualiser Dalam Membuktikan Rumus Luas Segitiga Pada tahap memahami masalah berupa pembuktian rumus luas segitiga, subjek menerapkan logika. Disini dideskripsikan bahwa SV mengidentifikasi hal-hal yang diketahui dengan mengkomunikasikan masalah melalui gambar, menunjukkan elemen yang diketahui dan yang ditanyakan, serta memberikan alasan sesuai dengan aturan kaidah logika. Dimana SV memberikan argumentasi yang valid berdasarkan validitas formal karena konklusinya tidak bertentangan dengan premis yang
diberikan sebelumnya dan juga sesuai dengan validitas material, yaitu sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Pada tahap merencanakan penyelesaian pembuktian rumus luas segitiga SV juga menerapkan logika. Disini dideskripsikan bahwa SV menggunakan strategi teori kekongruenan pada segitiga untuk membuktikan luas segitiga yang diminta dengan memberikan alasan yang valid sesuai dengan kaidah logika. SV memberikan argumentasi yang valid berdasarkan validitas formal karena konklusinya tidak bertentangan dengan premis yang diberikan sebelumnya dan juga sesuai dengan validitas material, yaitu sesuai dengan realitas yang sebenarnya saat menentukan strategi serta memberikan argumentasi secara garis besar strateginya valid sesuai dengan realitas sebenarnya di tiap langkah yang akan ditempuhnya Dalam melaksanakan rencana untuk membuktikan rumus luas segitiga, SV menggunakan logika dalam setiap langkahnya. Disini terlihat bahwa SV membentuk sebuah persegipanjang dengan bantuan garis-garis tegak lurus yang dia tarik dari masing-masing titik sudut segitiga ABC , kemudian menggunakan strategi teori kekongruenan
Indahwati, Profil Penalaran Mahasiswa Calon Guru SD | 124
pada segitiga seperti yang telah subjek rencanakan sebelumnya untuk membuktikan rumus luas segitiga yang diminta dengan memberikan alasan yang valid sesuai dengan kaidah logika. Dimana SV memberikan argumentasi yang valid berdasarkan validitas formal karena konklusinya tidak bertentangan dengan premis yang diberikan sebelumnya dan juga sesuai dengan validitas material, yaitu sesuai dengan realitas yang sebenarnya saat menentukan strategi dan subjek memberikan argumentasi secara garis besar strateginya valid sesuai dengan realitas sebenarnya di tiap langkah yang ditempuhnya. SV merasa yakin bahwa pembuktiannya sudah benar karena permintaan soal telah terpenuhi dan memberikan argumentasi yang valid mengenai hasil pekerjannya. Dalam memeriksa kembali solusi yang diperoleh, Subjek mengecek kembali soal dan permintaan soal serta memeriksa setiap langkahnya. Argumentasi yang diberikan valid atas keyakinan dari pembuktiannya. Dikatakan valid, karena sesuai dengan kaidah logika, yaitu valid berdasarkan validitas formal, karena konklusinya tidak bertentangan dengan premis sebelumnya. 2. Profil Penalaran Mahasiswa Dengan Gaya Kognitif Visualiser Dalam Membuktikan Rumus Luas Trapesium Subjek yang bergaya kognitif visualiser dalam memahami masalah untuk membuktikan rumus luas trapesium menerapkan logika. Disini dideskripsikan bahwa SV mengidentifikasi hal-hal yang diketahui dengan mengkomunikasikan masalah melalui gambar, menunjukkan elemen yang diketahui dan yang ditanyakan, serta memberikan alasan sesuai dengan aturan kaidah logika. SV memberikan argumentasi yang valid berdasarkan validitas formal karena konklusinya tidak bertentangan dengan premis yang diberikan sebelumnya dan juga sesuai dengan validitas material, yaitu sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Pada tahap membuat rencana untuk membuktikan rumus luas trapesium, subjek juga menerapkan logika. Hal ini terlihat saat SV menggunakan strategi
teori kekongruenan pada segitiga untuk membuktikan luas trapesium yang diminta dengan memberikan alasan yang valid sesuai dengan kaidah logika. SV memberikan argumentasi yang valid berdasarkan validitas formal karena konklusinya tidak bertentangan dengan premis yang diberikan sebelumnya dan juga sesuai dengan validitas material, yaitu sesuai dengan realitas yang sebenarnya saat menentukan strategi dan subjek memberikan argumentasi secara garis besar strateginya valid sesuai dengan realitas sebenarnya di tiap langkah yang ditempuhnya Dalam melaksanakan rencana untuk membuktikan rumus luas trapesium, SV menggunakan logika dalam setiap langkah pembuktiannya. Disini dideskripsikan bahwa SV menggunakan strategi teori kekongruenan pada segitiga seperti yang telah subjek rencanakan sebelumnya untuk membuktikan luas trapesium yang diminta dengan memberikan alasan yang valid sesuai dengan kaidah logika. SV memberikan alasan dan bukti logis dalam membuat suatu garis tegak lurus terhadap suatu sisi dari bangun datar yang bertujan untuk membuat sebuah persegipanjang yang dibentuk dari trapesium ABCD dan bantuan bangun-bangun segitiga. Secara garis besar strateginya valid sesuai dengan validitas formal dan material SV merasa yakin bahwa pembuktiannya sudah benar karena permintaan soal telah terpenuhi dan memberikan argumentasi yang valid mengenai hasil pekerjannya. Dalam memeriksa kembali solusi yang diperoleh, Subjek memeriksa kembali jawaban dengan mengecek kembali soal dan permintaan soal serta memeriksa setiap langkahnya. Argumentasi yang diberikan valid atas keyakinan dari pembuktiannya. Dikatakan valid, karena sesuai dengan kaidah logika, yaitu valid berdasarkan validitas formal, karena konklusinya tidak bertentangan dengan premis sebelumnya 3. Profil Penalaran Mahasiswa Dengan Gaya Kognitif Verbaliser Dalam Membuktikan Rumus Luas Segitiga Dalam memahami masalah pembuktian tentang rumus luas segitiga
125 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 119-129
SB menerapkan logika. Disini dideskripsikan bahwa SB mengidentifikasi hal-hal yang diketahui dan yang ditanyakan, serta memberikan alasan sesuai dengan aturan kaidah logika. Dimana SB memberikan argumentasi yang valid berdasarkan validitas formal karena konklusinya tidak bertentangan dengan premis yang diberikan sebelumnya dan juga sesuai dengan validitas material, yaitu sesuai dengan realitas yang sebenarnya. SB mengumpulkan fakta-fakta untuk menetukan langkah dalam perencanaan penyelesaian masalah, yaitu 1) Segitiga pada soal merupakan segitiga siku-siku, 2) Persegipanjang dapat dibentuk oleh dua buah segitiga siku-siku yang kongruen. Untuk argumentasi pertama tidak valid, karena tidak sesuai dengan realitas yang ada, karena segitiga ABC bukan merupakan segitiga siku-siku. Sedangkan argumentasi kedua valid menurut validitas material, karena sesuai dengan realitas yang sebenarnya, yairu segitiga siku-siku yang kongruen dapat membentuk sebuah persegipanjang. Subjek menjelaskan bahwa segitiga sikusiku merupakan segitiga yang besar sudutnya 900. Argumentasi tersebut valid menurut validitas material, karena sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Namun segitiga yang ada pada soal bukan merupakan segitiga siku-siku. Subjek memilih langkah untuk membuat persegipanjang yang memuat dua segitiga seperti pada soal. Argumentasi tersebut tidak valid karena segitiga pada soal bukan merupakan segitiga siku-siku Pada tahap melaksanakan rencana pemecahan masalah pembuktian luas segitiga, SB memulai dengan membuat sebuah persegipanjang yang dibentuk dari dua buah segitiga yang kongruen. Argumentasi ini tidak valid berdasarkan validitas formal karena premis sebelumnya salah yaitu segitiga di soal bukan segitiga siku-siku. Selain itu juga tidak valid berdasarkan validitas material, karena memang tidak sesuai dengan realitas yang ada. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh subjek adalah menyamakan alas dari segitiga ABC dengan panjang dari persegipanjang dan
tingginya sebagai lebar dari persegipanjang. Cara yang subjek pakai salah karena segitiga yang ada pada soal bukan merupakan segitiga siku-siku SB merasa yakin bahwa pembuktiannya sudah benar karena permintaan soal telah terpenuhi dan memberikan argumentasi yang valid mengenai hasil pekerjannya. Subjek memeriksa kembali jawaban dengan mengecek kembali soal dan permintaan soal serta memeriksa setiap langkahnya. Mengecek setiap operasi aljabar yang dikerjakannya. Memberikan penjelasan, mengapa subjek yakin bahwa jawabannya benar. Argumentasi yang diberikan valid atas keyakinan dari pembuktiannya. Dikatakan valid, karena sesuai dengan kaidah logika, yaitu valid berdasarkan validitas formal. Karena konklusinya tidak bertentangan dengan premis sebelumnya 4. Profil Penalaran Mahasiswa Dengan Gaya Kognitif Verbaliser Dalam Membuktikan Rumus Luas Trapesium Pada tahap memahami masalah pembuktian rumus luas trapesium, subjek menerapkan logika. Disini dideskripsikan bahwa SB mengidentifikasi hal-hal yang diketahui dengan mengkomunikasikan masalah melalui gambar, menunjukkan elemen yang diketahui dan yang ditanyakan, serta memberikan alasan sesuai dengan aturan kaidah logika. Dimana SB memberikan argumentasi yang valid berdasarkan validitas formal karena konklusinya tidak bertentangan dengan premis yang diberikan sebelumnya dan juga sesuai dengan validitas material, yaitu sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Pada saat membuat rencana untuk membuktikan rumus luas trapesium, SB juga menerapkan logika. Disini terlihat pada saat SB menggunakan strategi membagi trapesium menjadi segitigasegitiga dan persegipanjang untuk membuktikan luas trapesium yang diminta dengan memberikan alasan yang valid sesuai dengan kaidah logika. SB memberikan argumentasi yang valid berdasarkan validitas formal karena konklusinya tidak bertentangan dengan premis yang diberikan sebelumnya dan
Indahwati, Profil Penalaran Mahasiswa Calon Guru SD | 126
juga sesuai dengan validitas material, yaitu sesuai dengan realitas yang sebenarnya saat menentukan strategi dan subjek memberikan argumentasi secara garis besar strateginya valid sesuai dengan realitas sebenarnya di tiap langkah yang ditempuhnya SB dalam melaksanakan rencana untuk membuktikan rumus luas trapesium, subjek menggunakan logika dalam setiap langkah untuk membuktikan luas segitiga. Disini dideskripsikan bahwa SB menggunakan strategi dengan membagi trapesium ABCD menjadi jajar genjang dan segitiga BOC. Argumentasi valid berdasarkan validitas material, karena memang sesuai dengan realitas yang ada, yaitu trapesium bisa dibentuk dari jajar genjang dan segitiga yg dihimpitkan dengan catatan salah satu sisi jajar genjang kongruen dengan salah satu sisi segitiga. Memberikan alasan dan bukti logis mengenai langkah yang dia pilih. Argumentasinya valid berdasarkan validitas formal dan material. Hal ini karena sesuai dengan premis dan sesuai dengan realitas yang ada namun tidak sesuai dengan permintaan soal yang menghendaki penyelesaiannya menggunakan pendekatan luas pesrsegipanjang. Dalam memeriksa kembali solusi yang diperoleh, subjek memeriksa kembali jawaban dengan mengecek kembali soal dan permintaan soal serta memeriksa setiap langkahnya. SB merasa yakin bahwa pembuktiannya sudah benar karena permintaan soal telah terpenuhi dan memberikan argumentasi yang valid mengenai hasil pekerjannya. Argumentasi yang diberikan valid atas keyakinan dari pembuktiannya. Dikatakan valid, karena sesuai dengan kaidah logika, yaitu valid berdasarkan validitas formal, karena konklusinya tidak bertentangan dengan premis sebelumnya dan valid berdasarkan validitas material karena sesuai dengan realitas yang ada. Ada beberapa hal menarik untuk didiskusikan pada penelitian ini. Pada saat mengerjakan soal pembuktian kedua subjek penelitian memiliki perbedaan yang mendasar yaitu untuk subjek visualiser lebih cenderung untuk
membuktikan dengan membuat puzzle bangun untuk melengkapi gambar persegipanjang. Sedangkan subjek verbaliser membagi suatu bangun yang diketahui menjadi beberapa bangun datar. Hal ini sesuai dengan pendapat Mandelson (2004) bahwa individu yang memiliki gaya kognitif visualiser lebih berorientasi pada gambar dan lebih menyukai game visual, seperti puzzle. Selain itu subjek visualiser tidak konsisten dalam penggunaan nama sisi atau sudut dari suatu bangun. Berikut tabel hasil temuan dari hasil pekerjaan kedua subjek penelitian Subjek Visualiser Lebih teliti dalam setiap detail gambar dan lebih condong untuk menjelaskan pemahamnnya menggunakan gambar Lebih mudah menyelesaikan masalah dengan cara melengkapi puzzle gambar Lebih cepat dalam menemukan strategi dalam menyelesaikan masalah berupa gambar Tidak konsisten dalam menyebutkan nama-nama elemen bangun
Subjek Verbaliser Kurang teliti dalam memperhatikan gambar
Lebih mudah menyelesaikan masalah dengan cara mempartisi gambar yang diberikan Sedikit lebih lambat dalam menemukan strategi dalam menyelesaikan msaalah berupa gambar Penggunaan namanama elemen bangun ataupun sudut lebih sedikit namun konsisten
Berbeda dengan subjek yang bergaya kognitif visualiser, subjek verbaliser (VB) lebih lama ketika mengemukakan idenya itu cenderung lebih lambat karena subjek kurang menyukai informasi yang bergambar. Selain itu subjek verbaliser menyelesaikan pembuktian tidak sesuai dengan permintaan pada soal. Di soal diminta untuk menggunakan luas persegipanjang, tetapi subjek
127 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 119-129
menggunakan jajar genjang dan segitiga. Pada soal tipe A, subjek mengalami kesalahan dalam menafsirkan segitiga yang diberikan yang dianggapnya segitiga siku-siku, sehingga mengakibatkan langkah pemecahan yang tidak valid. Hal ini sesuai dengan pendapat McEwan (2007) yang mengatakan bahwa, mereka yang memiliki gaya kognitif verbaliser kurang menyukai informasi berupa gambar. Berdasarkan hasil temuan tersebut kita ketahui bahwa dalam membuktikan suatu permasalahan matematika tidak hanya membutuhkan penguasaan konsep, tetapi juga memerlukan keterampilan dalam merepresentasikan permasalahan ke dalam model matematika. SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Pada tahap memahami masalah berupa pembuktian rumus luas segitiga maupun trapesium, mahasiswa dengan gaya kognitif visualiser menerapkan logika. Disini dideskripsikan saat subjek mengidentifikasi hal-hal yang diketahui dengan mengkomunikasikan masalah melalui gambar, menunjukkan elemen yang diketahui dan yang ditanyakan, serta memberikan alasan sesuai dengan aturan kaidah logika. Pada tahap merencanakan penyelesaian pembuktian baik luas segitiga maupun luas trapesium subjek juga menerapkan logika. Hal ini terlihat saat subjek menggunakan strategi teori kekongruenan pada segitiga untuk membuktikan luas segitiga dan luas trapesium yang diminta dengan memberikan alasan yang valid sesuai dengan kaidah logika. Begitu pula dalam melaksanakan rencana untuk membuktikan luas segitiga, subjek menggunakan logika dalam setiap langkahnya. Subjek merasa yakin bahwa pembuktiannya benar, baik untuk pembuktian luas segitiga maupun luas trapesium, karena permintaan soal telah terpenuhi dan subjek juga memberikan argumentasi yang valid mengenai hasil pekerjannya. Dalam memeriksa kembali solusi yang diperoleh, subjek mengecek kembali soal dan permintaan soal serta memeriksa setiap langkahnya.
2. Pada tahap memahami masalah berupa pembuktian luas segitiga maupun trapesium, mahasiswa dengan gaya kognitif visualiser menerapkan logika. Hal tersebut terlihat pada saat subjek mengidentifikasi hal-hal yang diketahui dan yang ditanyakan, serta memberikan alasan sesuai dengan aturan kaidah logika. Pada tahap membuat rencana penyelesaian pembuktian luas segitiga, subjek mengumpulkan fakta-fakta untuk menetukan langkah dalam perencanaan penyelesaian masalah, namun untuk argumentasinya bahwa segitiga ABC adalah segitiga siku-siku tidak valid, karena segitiga ABC bukan merupakan segitiga siku-siku. Sehingga langkah penyelesaiannya salah. Sedangkan untuk tahap membuat rencana penyelesaian pembuktian luas trapesium, subjek menerapkan logika. Disini terlihat pada saat subjek menggunakan strategi membagi trapesium menjadi segitigasegitiga dan jajargenjang untuk membuktikan luas trapesium yang diminta dengan memberikan alasan yang valid sesuai dengan kaidah logika, namun tidak sesuai dengan permintaan soal yang menghendaki penyelesaiannya menggunakan pendekatan luas pesrsegipanjang. Subjek memeriksa kembali jawaban dengan mengecek kembali soal dan permintaan soal serta memeriksa setiap langkahnya dan argumentasi yang diberikan valid berdasarkan validitas formal dan material Saran 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan penalaran mahasiswa yang bergaya kognitif visualiser dan verbaliser dalam pemecahan masalah berupa pembuktian, yaitu mahasiswa verbaliser lebih teliti dalam setiap detail gambar dan lebih condong untuk menjelaskan pemahamnnya menggunakan gambar sedangkan mahasiswa verbaliser sedikit lebih lambat dalam menemukan strategi dalam menyelesaikan masalah berupa gambar. Oleh karena itu, direkomendasikan kepada dosen agar dalam memberikan penjelasan mengenai suatu pembuktian tentang bangun datar disertai dengan ilustarsi gambar yang
Indahwati, Profil Penalaran Mahasiswa Calon Guru SD | 128
jelas dan rincian langkah pembuktian yang jelas dan tepat 2. Subjek verbaliser, tidak tepat dalam memberikan pembuktian pada permasalahan bagian B, karena penalarannya tidak valid. Hal ini menunjukkan masih lemahnya penalaran DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zaenal. 2010. Membangun Kompetensi Pedagogis Guru Matematika. Surabaya : Lentera Cendekia. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Artz, Alice. F dan Yalos-Femia, S. 1999. Mathematical Reasoning during small group problem solving. Dalam lee V. Stiff dan Frances R. Curcio. Developing Mathematical Reasoning in Grade K-12, 115-126. The National Council of Teacher of mathematics, Inc Budiarto, M.T. 2000. Pembelajaran Geometri dan berpikir geometri. Dalam Prosiding seminar Nasional Matematika “ Peran Matematika memasuki Milenium III” Jurusan Matematika FMIPA ITS Surabaya. Surabaya, 2 Nopember. Clements, D.H. & Battista, M.T.. 1992. Geometry and Spatial Reasoning. Dalam Grouws, D.A. (Rds). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: MacMillan Publishing Company. Copi, Irving M. 1978. Introduction to Logic. Mcmillan Publishing Co, Inc. New York Depdiknas, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas. English, Lyn D. 2004. Mathematical And Logical Reasoning of Young Learners. London: Lawrence Erlbaum Assosiates, Publisher.
mahasiswa dalam membuktikan permasalahan matematika. Oleh karena itu diharapakan dosen secara rutin memberikan permasalahan yang dapat mengembangkan penalaran mahasiswanya.
http:/www2.edc.org/makingmath. pada 25 Oktober 2012
Diakses
http://www.Proof.tf/sites/files/fileattachment s/Michael2001. Diakses pada 25 Oktober 2012 Hudojo, Herman. 2003. Pengembangan Kurikulum dan pembelajaran matematika. Malang : Universitas Negeri Malang Mayer, Richard. E., Massa, Laura J. 2003. Three Facets of Visual and Verbal Learners: Cognitive Ability, Cognitive Style, and Learning Preference. Journal of Educational Psychology, Vol. 95, No. 4, 833– 846. McEwan, R. C., Reynolds, S. 2007. Verbaliser and Visualiser: Cognitive Styles Are Less than Equal. http://www.fansa.ca/sites/default/file s/file_attachments/mcewan2007.pdf. Download 25 Oktober 2012. Diakses pada 25 Oktober 2012 Mendelson, Andrew.L. 2004. For whoognitif Style and Attention on Processing of News Photos. Philadelpia: Journal of Literacy Volume 24. Moleong, Lexy, L. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Reamaja rosdakarya. NCTM.
2000. Lerning and Teaching Geometry, K-12. Rseton, Virginia: National Council of Teachers of mathematic
129 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 119-129
Panjaitan, Binur. 2012. Profil Proses Kognitif Siswa SMP dalam Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan Perbedaan Gaya Kognitif dan Gender. Disertasi. Surabaya: UNESA. Polya, G. 1973. How to solve it. Second edition. New Jersey: Princeton University Press. Putri,
Hafizani.Eka. 2011. Kemampuan Penalaran matematika dalam Pembelajaran Matematika di SD. Jurnal Vol 6 No. 1 Juli 2011. Universitas Pendidikan Indonesia
Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan masalah, Penalaran, dan komunikasi. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Matematika : Yogyakarta. Diakses pada 12 November, 2012 Siswono, Tatag Yuli Eko. 2008. Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya: Unesa University Press. Slavin,
Reid, david. A. 2002. Conjectures and refutations in Grade 5 Mathematics. Journal for research in Mathematocs Education. Vol 33, No. 1, 5-29 Senk., S.I. 1989. Van Hiele Levels and Achievementin Writing Geometry Proof. Journal for research in mathematics Eduction.
E. Robert. 2008. Psikologi Pendidikan teori dan Praktik. Jakarta : PT, Indeks.
Skemp, R. Richard. 1987. The Psychology of Learning Mathematics. New Jersey : University of Warwick. Stancey, Kaye. 2010. Mathematics Teaching and Learning to reach
KEMISKINAN DALAM NOVEL INDONESIA M. Tauhed Supratman Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Alamat Jalan Raya Panglegur 3,5 KM Pamekasan e-mail:
[email protected] Abstrak: Sastra dan kehidupan tidak dapat dipisahkan. Sastrawan seringkali mengangkat masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan. Kemiskinan yang terjadi di negeri ini menjadi sumber inspirasi penciptaan bagi novelis Indonesia periode 2000-an. Kehadiran tema kemiskinan dalam novel Indonesia sangat mernarik untuk dikaji. Metode yang digunakan adalah metode kualitatuf. Hasil penelitian menggambarkan kemiskinan masyarakat Belitong, dan dapat menciptakan kesenjangan sosial di masyarakat. Kata kunci: kemiskinan, dan novel Indonesia.
PENDAHULUAN Kehadiran sastra di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan sesuatu yang bermakna. Sastra dalam fenomenanya memberikan pemahaman mendalam terhadap beragam masalah kehidupan manusia serta menawarkan interpretasi yang luas. Hampir semua karya sastra Indonesia sejak awal pertumbuhan Indonesia hingga dewasa ini mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan tingkat intensitas yang berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik bermacam-macam seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata adalah salah satu novel yang menampilkan potret kehidupan masyarakat yang terpencil. Novel ini menampilkan kesenjangan si miskin dan si kaya baik di bidang ekonomi maupun di bidang pendidikan. Novel Laskar Pelangi yang berlatar di sebuah daerah Belitong, sebuah wilayah kaya akan tambang timah, namun masyarakatnya masih berada dalam kemiskinan. Fenomena tersebut memberikan motivasi tersendiri bagi penulis untuk meneliti lebih dalam novel laskar pelangi dari sudut kritik sosialnya.
HASIL Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ini menggambarkan kehidupan masyarakat miskin di desa. Orang-orang miskin selalu tersisihkan dari kehidupan, terhina batinnya akibat ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat, sehingga membuat mereka tidak berharga di atas dunia. Novel tersebut, menggambarkan masyarakat Belitong yang miskin dan dimiskinkan oleh sebuah sistem, sehingga tercipta jurang pemisah antara staf PN Timah dan warga pribumi. Rakyat miskin yang sakit hati terhadap ulah PN Timah tersebut pada akhirnya menjarah semua yang dimiliki oleh PN Timah. Pemerintah seharusnya tanggap dan peduli terhadap nasib rakyat miskin agar tidak terjadi kesenjangan sosial diantara masyarakat. PEMBAHASAN Kehidupan rakyat miskin selalu menderita, selain susahnya dalam menghidupi keluarga, mereka juga kesulitan untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah yang lebih bermutu. Mereka hanya mampu mencarikan sekolah yang murah atau gratis bagi anak-anak mereka. Pilihan hidup bagi masyarakat miskin, menyekolahkan anaknya di sekolah miskin fasilitas atau mempekerjakan anaknya., seperti yang diungkapkan Andrea Hirata, “Para orang tua mungkin akan menganggap kekurangan satu murid baru sebagai pertanda bagi anakanaknya bahwa mereka memang sebaiknya didaftarkan pada para juragan saja”. (Hirata,
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan prosedur atau cara pemecahan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan objek yang diteliti sebagaimana adanya, berdasarkan fakta-fakta yang terjadi (Surackhmad, 1990:139).
130
131 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 130-133
2008: 5). Umumnya, orang-orang miskin menginginkan anaknya dapat hidup lebih baik dari kedua orangtuanya, karena itu mereka bertekad bahwa dengan pendidikan, dapat membuat anaknya cerdas dan memperbaiki nasib keluarganya kelak. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga menyekolahkan anak-anaknya walaupun harus berbenturan dengan masalah ekonomi keluarga. Orang tua Lintang merupakan salah satu contoh orang miskin yang menginginkan anaknya hidup lebih baik, walaupun ia tahu bahwa dengan menyekolahkan anaknya, ia harus menyisihkan penghasilannya yang paspasan itu demi anaknya, seperti yang digambarkan Hirata berikut: “….Pria yang tak tahu tanggal dan bulan lahirnya itu gamang membayangkan kehancuran hati anaknya jika sampai droup out saat kelas dua atau tiga SMP nanti karena alasan klasik biaya atau tuntutan nafkah” (2008: 13). Nasib orang-orang miskin, rakyat kecil pada umumnya selalu termarginalkan, walaupun mereka pemilik sah republik ini pribumi. memilki tanah kaya akan bahan tambang seperti Belitong. Kekayaan alam tidak menjamin kehidupan mereka lebih baik, karena selalu muncul kapitalis seperti PN Timah yang membuat kehidupan masyarakat sekitarnya menderita. Kehadiran PN Timah menjadi jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. “Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekonomi, PN tidak hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok feodalistis Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi di manapun yang sumber daya alamnya di ekplositasi habis-habisan, sebagian komunitas di Belitong juga termarginalkan dalam ketidakadilan kompensasi tanah ulayah, persamaan kesempatan, dan trickle down effect.” (Hirata, 2008: 40) Tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh PN Timah terhadap penduduk pribumi yang miskin semakin mencolok. Penduduk pribumi yang miskin tidak boleh menggunakan sarana umum, baik rumah sakit maupun sekolah, karena PN Timah hanya membangun fasilitas umum hanya
bagi para stafnya saja. Kebijakan tersebut membuat rakyat miskin Belitong tambah sengsara, karena penduduk asli tidak mendapatkan keadilan dalam kompensasi tanah, persamaan kesempatan kerja dan lainnya. Penduduk asli Belitong hanya mendapat kesempatan untuk menjadi buruh kasar, penjahit karung atau pekerjaan kasar lainnya dengan upah yang minim. Ternyata bunyi Undang-Undang Dasar 1945 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyatnya” hanya isapan jempol belaka, tidak direalisasikan dalam rangkaian cerita novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tersebut. PN Timah membangun kota yang megah dan mewah, hanya diperuntukkan bagi para stafnya sendiri, di luar itu masyarakat umum dilarang untuk memasuki kawaasan elit tersebut. Sehingga diluar batas tembok pembatas sangat jelas perbedaan antara orang-orang kaya staf PN Timah dan orang-orang miskin Belitong, penduduk asli pulau tersebut. “Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak era revolusi indutri” (Hirata, 2008: 50) Kehidupan di luar tembok batas gedong yang disebut tempat perumahan staf PN timah berada, terdapat pemandangan yang kontras, karena di luar batas tanah milik PN Timah tersebut hanya terdapat perkampungan orang-orang miskin belitong, orang-orang miskin yang tidak mendapatkan apa-apa dari kejayaan PN Timah, walaupun sebenarnya merekalah pemilik tanah yang dikeruk tambangnya. Masyarakatnya tetap miskin dan dimiskinkan oleh sistem yang dibuat oleh PN Timah. “Di luar tembok feudal tadi berdirilah rumah-rumah kami, beberapa sekolah negeri, dan satu sekolah kampung Muhammadiyah. Tak ada orang kaya di sana, yang ada hanya kerumunan toko miskin di pasar tradisional dan rumah panggung yang renta berbagai ukuran.” (Hirata, 2008: 50)
Supratman, Kemiskinan dalam Novel Indonesia | 132
Kehidupan orang miskin untuk mendapatkan pendidikan begitu memperihatinkan, mereka tidak dapat menikmati akses pendidikan yang layak hanya karena status ekonomi dan sosialnya yang rendah seperti halnya para staf PN Timah. Orang-orang miskin Belitong mendapatkan pendidikan seadanya, dengan keiklhasan para pengajarnya yang mendapatkan upah rendah hal ini menambah kesenjangan yang terdapat di pulau tersebut, “Lalu aku memandangi Bu Mus, seseorang yang bersedia menerima kami apa adanya denga sepenuh hatinya, segenap jiwanya. Ia paham betul kemiskinan dan posisi kami yang rentan sehingga ia tak pernah membuat kebijakan apa pun yang mengandung implikasi biaya.” (Hirata, 2008: 83) Anak-anak Belitong hanya mampu sekolah di sekolah kampung sederhana, anak-anak miskin tersebut merasa bahwa apa yang mereka dapatkan begitu berbeda dengan apa yang ada di PN Timah, kesenjangan inilah yang membuat mereka semakin menderita karena perbedaan status sosial dan ekonomi mereka. “Di sini ada sekolahku yang sederhana, para sahabtku yang melarat, orang melayu yang terabaikan, juga ada staf PN Timah yang gemah ripah dengan gedong, tembok feodalistisnya…”(Hirata, 2008: 84) Kehancuran PN Timah benar-benar terjadi, harga timah anjlok dan perusahaan menjadi bangkrut, disaat itulah orang-orang miskin Belitong yang puluhan tahun menahan sakit karena kesenjangan yang diciptakan PN Timah mengamuk, mereka menjarah apa yang ada di dalam pabrik dan perumahan milik staf PN Timah, mereka mengambil apapun yang bisa diambil untuk mengobati luka hatinya, akibat disengsarakan oleh sistem yang dibuat oleh PN Timah. “Dalam waktu singkat gedong berada dalam status quo. Warga pribumi yang menahan sakit hati karena kesenjangan selama puluhan DAFTAR BACAAN Amal, Syafi’I. 1998. Kegalauan Ekonomi Politik ORBA. Bandung: Forum Komunikasi Masyarakat .
tahun, dan yang agak sedikit picik, menyerbu gedong. Para polsus kocar-kacir ketika warga menjarah rumah-rumah Victoria mewah di kawasan prestisus yang tidak bertuan itu .“(Hirata, 2008: 482) Kehancuran PN Timah merupakan kemenangan bagi rakyat miskin Belitong, karena dengan kencuran tersebut maka hilanglah jurang pemisah yang dibuat oleh PN Timah. Tidak ada lagi dominasi terhadap penambangan timah di Belitong, semua warga memiliki hak untuk menambang di tanah nenek moyangnya tersebut. Dengan kehancuran PN Timah, kehidupan rakyat Belitong yang miskin bisa menjadi lebih baik. “Kehancuran PN Timah adalah kehancuran agen kapitalis yang membawa berkah bagi kaum yang selama ini terpinggirkan, yakni penduduk pribumi Belitong. Blessing in disguise, berkah tersamar. Sekarang mereka bebas menggali di mana pun mereka suka di tanah nenek moyangnya dan menjualnya seperti menjual ubin jalar. “(Hirata, 2008: 486) PENUTUP Simpulan Kemiskinan terjadi karena kurang kepedulian dari masyarakat dan pemerintah. Kemiskinan tidak akan terjadi jika tidak ada diskriminasi seperti digambarkan dalam novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Kemiskinan bukanlah suatu aib, namun kemiskinan dapat menjadi sesuatu yang menjadikan mereka yang mengalaminya terhina, tersisihkan bahkan tidak dihargai sebagai seorang manusia. Saran Karya sastra (baca: cerpen) sebagai hasil kristalisasi dan kontemplasi pengarang merupakan cermin masyarakat di mana pengarang tinggal dan pengarang sendiri yang ditulis dengan medium bahasa sesuai dengan genre sastra kegemaran pengarang. Sebagai hasil kristalisasi perenungan seseorang karya satra memiliki makna bias atau multi tafsir.
Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo diakses pada tanggal 01 Mei 2011)
133 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 130-133
Hirata, Andrea. 2007. Laskar Pelangi. Jogjakarta: Bentang Pustaka Mas’oed, Mohtar. 1999. Krtitik Sosial. Yogjakarta: UII Press Yogjakarta Prasetyo, Eko. 2004. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogjakarta: Insist
Rahmadi, Muhammad. 2009. Sebuah Kritik Terhadap Pendidikan Nasional. http baham\my sElf » pendidikan di indonesia dan hukum.htm.20 Oktober. Suyanto,
Bagong dan Karnaji. 2005. Kemiskinan dan Kesenjangan sosial : Ketika Pembangunan Tak Berpihak Kepada Rakyat Miskin. Surabaya: Universitas Airlangga Press
PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK BERNUANSA ISLAMI PADA POKOK BAHASAN BANGUN RUANG SISI DATAR KELAS VIII MTs Sri Indriati Hasanah Yuni Hidayati Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Alamat Jalan Raya Panglegur 3,5 KM Pamekasan
Abstrak: Guru sebagai orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik harus mempunyai kemampuan menggunakan strategi atau pendekatan pembelajaran yang baik, sehingga dapat mengkomunikasikan bahan pelajaran guna terciptanya proses belajar mengajar yang efektif. Terutama pada siswa yang sekolah dalam lingkungan pondok pesantren. Salah satu alternatif yang dapat digunakan yaitu dengan menerapkan pembelajaran matematika realistik (PMR) bernuansa islami. Dimana pembelajaran matematika realistik (PMR) bernuansa islami, merupakan salah satu pendekatan yang menekankan pada masalah kontekstual (contextual problem) siswa dilingkungan pondok pesantren, melalui pemahaman masalah yang bernuansa islami, penyelesaian masalah, membandingkan dan mendiskusikan jawaban, dan menarik kesimpulan diharapkan dapat membuat siswa lebih aktif. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas VIII MTs Matsaratul Huda pamekasan.. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran matematika realistik bernuansa islami lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran matematika realistik pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar kelas VIII MTs Matsaratul Huda Pamekasan Tahun Pelajaran 2013/2014. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dan komparatif.Dari hasil analisis yang diperoleh dengan menggunakan analisis ujit, diperoleh thitung = . dk= 46, pada taraf signifikan 5% diperoleh harga ttabel = 2,014 sehingga thitung > ttabel . Hal ini berarti bahwa H1 diterima dan H0 ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran matematika realistik bernuansa islami lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran matematika realistik pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar kelas VIII MTs Matsaratul Huda Pamekasan Tahun Pelajaran 2013-2014. Kata Kunci: Hasil Belajar, Pembelajaran Matematika Realistik Bernuansa Islami, Bangun
PENDAHULUAN Faktor penyebab rendahnya hasil belajar siswa terutama pada siswa dilingkungan pondok pesantren diantaranya adalah kurangnya sarana prasarana belajar siswa baik di sekolah maupun dipondok, rendahnya minat belajar siswa yang lebih cendrung menyukai pelajaran agama daripada pelajaran umum, dan pendekatan pembelajaran yang digunakan. Guru sebagai orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik harus mempunyai kemampuan menggunakan strategi atau pendekatan pembelajaran yang baik, sehingga dapat mengkomunikasikan bahan pelajaran guna terciptanya proses belajar mengajar yang efektif. Terutama pada siswa yang sekolah dalam lingkungan pondok pesantren.
Salah satu alternatif yang dapat digunakan yaitu dengan menerapkan pembelajaran matematika realistik (PMR) bernuansa islami. Dimana pembelajaran matematika realistik (PMR) bernuansa islami, merupakan salah satu pendekatan yang menekankan pada masalah kontekstual (contextual problem) siswa dilingkungan pondok pesantren, melalui pemahaman masalah yang bernuansa islami, penyelesaian masalah, membandingkan dan mendiskusikan jawaban, dan menarik kesimpulan diharapkan dapat membuat siswa lebih aktif. Contextual problem (masalah kontekstual) merupakan inti dari pelajaran matematika. Pentingnya masalah kontekstual ini didasarkan akan pentingnya paradigma pembelajaran yang
134
135 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 134-138
berpusat pada siswa. Pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa mampu menghubungkan pelajaran disekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengetahui makna apa yang dipelajari. Salah satu materi materi yang dipelajari pada mata pelajaran matematika adalah bangun ruang sisi datar sub pokok bahasan kubus dan balok. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran matematika realistik bernuansa islami lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran matematika realistik pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar kelas VIII MTsMatsaratul Huda Pamekasan Tahun Pelajaran 2013/2014. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif sebab data yang diperoleh berupa angka dari hasil tes dan dari hasil tes tersebut diteliti tentang perbandingannya. Pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembelajaran matematika realistik bernuansa islami dan pembelajaran matematika realistik. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan teknik tes. Tes yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes subjektif sebanyak 4 butir soal. Sebelum soal tes yang dibuat dijadikan sebagai alat penelitian, maka peneliti melakukan uji coba instrument tes di kelas VIII MTs Nahdlatun Nasyiin IV Pagentenan. Hasil uji coba instrumen ini kemudian dianalisis dan diuraikan untuk mengetahui kelayakan instrumen tes dengan menggunakan validitas, reliabilitas, daya beda, dan tingkat kesukaran. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif dengan menghitung uji t dengan taraf singnifikan 5%. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui hasil belajar matematika siswa yang diajar menggunakan pembelajaran matematika realistik bernuansa islami lebih baik dibandingkan dengan siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran matematika realistik pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar di kelas VIIIMTs Matsaratul Huda Pamekasan tahun pelajaran 2013/2014.
PEMBAHASAN DAN HASIL Pembelajaran matematika realistik Soejadi (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika, sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik daripada yang lalu. Yang dimaksud dengan realitas dalam hal ini adalah hal-hal yang nyata atau konkrit yang dapat diamati atau dipahami lewat membayangkan. Sedangkan lingkungan yang dimaksudkan yakni lingkungan anak atau tempat peserta didik atau siswa berada, mungkin lingkungan sekolah, lingkungan keluarga ataupun lingkungan masyarakat yang dapat dipahami siswa. Pembelajaran matematika realistik memanfaatkan permasalahan konstektual sebagai titik awal pembelajaran.Dalam hal ini siswa melakukan aktivitas matematisasi horizontal, yakni mengorganisasikan masalah dan mencoba mengidentifikasi aspek matematika yang termuat dalam masalah tersebut.Siswa secara mandiri, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah berdasarkan pengetahuan awal yang dimilikinya, kemudian siswa dengan atau tanpa bantuan guru menggunakan matematisasi vertikal tiba pada tahap pembentukan konsep. PMR merupakan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang mengungkapkan pengalaman dan kejadian yang dekat dengan siswa sebagai sarana untuk memahamkan persoalan matematika. Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik a. Penemuan kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif ( guided reinvention and progressive mathematizing). Berdasarkan prinsip reveintion, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan saat konsep-konsep matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. b. Fenomena yang bersifat mendidik (didactical phenomenology) Bedasarkan prinsip ini penentuan situasi yang mengandung penerapan topik matematika didasarkan pada dua
Hasanah dan Hidayati, Pembelajaran Matematika Realistik Bernuansa Islami | 136
pertimbangan, yaitu untuk mengungkapkan jenis aplikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran, dan mempertimbangkan pantas tidaknya konteks itu sebagai hal yang berpengaruh dalam proses matematika yang progresif. c. Mengembangkan sendiri model–model (self developed model) Pada prinsip ini dinyatakan bahwa model yang dikembangkan sendiri oleh siswa berperan menjembatani perbedaan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) Dengan mengacu pada prinsip dan karakteristik PMR, maka menurut Hadi (2005) langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik sebagai berikut: a. Memahami masalah kontekstual Guru memberikan masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dibelajari siswa. Kemudian meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Jika terdapat hal-hal yang kurang dipahami oleh siswa, guru menjelaskan atau memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagianbagian yang belum dipahami siswa. Karakteristik PMR yang yang muncul pada langkah ini adalah menggunakan masalah kontekstual yang diangkat sebagai masalah awal dalam pelajaran. b. Menyelesaikan masalah kontekstual Siswa secara individu, diminta untuk menyelesaikan masalah kontekstual pada LKS, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan prosedur penyelesaian. Selama siswa menyelesaikan masalah, guru mengamati dan mengontrol aktivitas siswa.Pada langkah ini karakteristik PMR yang muncul adalah menggunakan model dan keterkaitan dengan topik lainnya.
c.
d.
Membandingkan dan mendiskusikan jawaban Guru memberikan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban dari masalah dengan mendiskusikan pada diskusi kelas. Karateristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah penggunaan kontribusi siswa dan terdapat interaksi antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Menyimpulkan Guru mengarahkan siswa untuk mengambil kesimpulan dari hasil diskusi kelas sehingga diperoleh suatu rumusan konsep atau prinsip atau prosedur karakteristik PMR yang muncul pada langkah ini adalah terdapat intraksi antara siswa dengan guru.
Pembelajaran Matematika Realistik Nuansa Islami Pembelajaran matematika realistik bernuansa islami adalah suatu pendekatan pembelajaran yang mengajak peserta didik didalam lingkungan pondok pesantren untuk bisa menyelesaikan masalah kontekstual yang terkait dengan nilai-nilai keislaman yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari siswa dilingkungan pondok pesantren. Karakteristik pembelajaran matematika realistik bernuansa islami. Penulis akan mengkolaborasikan pembelajaran matematika realistik ini dengan konsteks siswa yang berada dilingkungan pondok pesantren dalam hal ini penulis menyebutnya menjadi “pembelajaran matematika realistik bernuansa islami”. Karena masalah kontekstual yang diberikan guru kepada siswamengambil benda-benda dan masalah kontekstual bernuansa islami yang berada disekitar siswa dilingkungan pondok pesantren. Pembelajaran matematika realistik bernuansa islami memiliki karakteristik yang
137 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 134-138
lebih khusus yaitu keterlibatan siswa secara intelektual dan emosional, sehingga siswa terlatih belajar mandiri, aktif, dan kreatif.Disamping itu peserta didik juga dilatih untuk menyelesaikan masalah kontekstual yang terkait dengan nilai-nilai keislaman yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari siswa dilingkungan Pondok Pesantren. Hal itu akan menjadikan suasana belajar matematika terasa lebih religius. Penggunaan pendekatan realistik dengan menggunakan konteks keislaman dalam pembelajaran matematika dilingkungan madrasah diharapkan dapat mengubah siswa terhadap citra pelajaran matematika sebagai mata pelajaran yang tidak esensial dimadrasah lebih menyenangkan, menyebabkan hasil belajar matematika siswa meningkat (Abdusysyakir, 2006:27). Hasil Belajar Djamarah (2002:141) menyatakan bahwa hasil belajar adalah perubahan yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan belajar yang telah dilakukan oleh individu. Menurut Ratumanan (dalam Hamzah, 2007:132) “belajar dapat diartikan sebagai suatu tahapan aktivitas yang menghasilkan perubahan perilaku dan mental yang relatif sebagai bentuk respon terhadap situasi atau sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan”. Sedangkan menurut Fontana dalam JICA (2001:8) belajar adalah proses perubahan tingkah laku individu yang relative tetap sebagai hasil dari penalaman. Hasil belajar matematika dalam penelitian ini adalah perolehan nilai pendidikan tentang kemajuan siswa dalam segala hal yang berkaitan dengan matematika menyangkut pengetahuan/keterampilan yang dinyatakan sesudah hasil penilaian di sekolah. HASIL Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data hasil tes akhir kedua kelas sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, diperoleh rata-rata hasil belajar
matematika siswa kelas VIII A sebesar 70.88 dan rata-rata hasil belajar matematika siswa kelas VIII B sebesar 63,17. Dari data tersebut dapat diketahui harga thitung = dan berdasarkan tabel dengan dk = (25 + 23 – 2) = 46, pada taraf signifikan 5% diperoleh harga 2,014 dan artinya thitung ttabel, maka hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis kerja (H1) diterima.. Sehingga Hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran matematika realistik bernuansa islami lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran matematika realistik pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar kelas VIII MTs Matsaratul Huda Pamekasan Tahun Pelajaran 2013-2014” SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Dari hasil analisis yang diperoleh dengan menggunakan analisis uji-t, diperoleh thitung = . dk= 46, pada taraf signifikan 5% diperoleh harga ttabel = 2,014 sehingga thitung > ttabel . Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran matematika realistik bernuansa islami lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran matematika realistik pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar kelas VIII MTs Matsaratul Huda Pamekasan Tahun Pelajaran 2013-2014. SARAN Proses pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran matematika realistik bernuansa islami yang diterapkan akan memberi manfaat. Untuk itu peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1. Dengan mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan peneliti menganjurkan pembelajaran matematika realistik bernuansa islami diterapkan pada proses pembelajaran matematika khususnya pada sekolah yang berada didalam lingkungan pondok pesantren. 2. Bagi semua pihak yang ingin menerapkan pembelajaran matematika realistik bernuansa islami, hendaknya dipahami
Hasanah dan Hidayati, Pembelajaran Matematika Realistik Bernuansa Islami | 138
terlebih dahulu langkah-langkah dan materi apa yang sesuai dengan pembelajaran matematika realistik bernuansa islami tersebut.
3. Bagi pembaca dirasa perlu untuk mengadakan penelitian lebih lanjut untuk memperkuat teori yang telah ada.
DAFTAR PUSTAKA Abdusysyakir. (2006). Ada Matematika dalam Al Qur’an. Malang: UIN Malang Press.
“Wacana” FKIP Unsyiah, ISSN 1412 - 0607, Vol.7 No. 1 Tahun 2006, halaman 9-15
Arikunto, Suharsimi. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Riyanto.
Arikunto,
Sanjaya,Wina. (2010). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan jakarta: Pena.
Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Aviva. (2012). Panduan Aktif Belajar. Klaten: Candi Sari Farida,
Tatik. (2008). Rahasia Pintar Matematika. Solo: Delima.
(2009). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sembiring. (2010). Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) Perkembangan dan Tantangan. Palembang: Editorial
Hadi, Sutarto. (2005). Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Tulip Banjarmasin.
Sugiono.
(2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Hamzah.
Suprijono.
(2012). Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
(2007). Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar Yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara
Marsigit. (2008). Mathematics For Junior High School. Bogor ; Yudhistira. Johar, Rahmah (2001) Konstruktivisme atau Realistik? Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Realistic Mathematics Education (RME)” Jurusan Matematika FMIPA UNESA tanggal 24 Februari 2001 ______
(2006) Pendidikan Matematika Realistik: Pendekatan Baru dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal
Tim MKPBM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA Trianto. (2007). Model-model pembelajaran inovatif berorientasi kontruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Trianto.
(2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
PERBANDINGAN PRESTASI BELAJAR ANTARA SISWA YANG DIAJAR MENGGUNAKAN METODE PENEMUAN TERBIMBING DENGAN METODE PEMBERIAN TUGAS DAN RESITASI Moh. Zayyadi Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Alamat Jalan Raya Panglegur 3,5 KM Pamekasan
Email:
[email protected] Abstrak : Pelajaran matematika sangat erat hubungannya dengan konsep-konsep, kaidah-kaidah serta simbol-simbol yang mempunyai kesan sulit dan menakutkan bagi siswa. Dalam hal ini diperlukan sebuah sistem mengajar yang menekankan pada peran aktif siswa, yang salah satunya dengan metode penemuan terbimbing. Metode ini bertolak dari pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam belajar, mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Pelajaran matematika sangat erat hubungannya dengan konsep-konsep, kaidah-kaidah serta simbol-simbol yang mempunyai kesan sulit dan menakutkan bagi siswa. Dalam hal ini diperlukan sebuah sistem mengajar yang menekankan pada peran aktif siswa, yang salah satunya dengan metode penemuan terbimbing. Metode ini bertolak dari pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam belajar, mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan metode penemuan terbimbing lebih baik dibandingkan dengan prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan metode pemberian tugas dan resitasi. penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dan komparatif sebab data yang diperoleh berupa angka-angka dari hasil tes dan dari hasil tes tersebut diteliti tentang perbandingannya. Dari hasil analisis diperoleh thitung > tkritik yaitu 6,96 > 2,02 dengan db = 46 dan taraf signifikan 5%, maka hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis kerja ( H1) diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan metode penemuan terbimbing lebih baik dibandingkan dengan prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan metode pemberian tugas dan resitasi pada pokok bahasan lingkaran kelas VIII MTs Az - Zubair tahun pelajaran 2010/2011. Kata Kunci : Penemuan Terbimbing, Pemberian Tugas dan Resitasi
PENDAHULUAN Pelajaran matematika sangat erat hubungannya dengan konsep-konsep, kaidahkaidah serta simbol-simbol yang mempunyai kesan sulit dan menakutkan bagi siswa. Dalam hal ini diperlukan sebuah sistem mengajar yang menekankan pada peran aktif siswa, yang salah satunya dengan metode penemuan terbimbing. Metode ini bertolak dari pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam belajar, mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Proses pembelajaran harus dipandang sebagai stimulus yang dapat menantang siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Peranan guru lebih banyak menempatkan diri sebagai pembimbing atau fasilitator belajar. Dengan demikian siswa lebih banyak melakukan permasalahan dengan bimbingan guru.
Selain metode penemuan terbimbing terdapat pula metode pemberian tugas dan resitasi. Metode pemberian tugas dan resitasi adalah metode pembelajaran yang menekankan pada pemberian tugas kepada siswa. Tugas yang diberikan oleh guru dapat memperdalam bahan pelajaran, dan dapat pula mengecek bahan yang telah dipelajari. Dari uraian di atas, upaya yang dapat dilakukan untuk memilih metode pembelajaran yang lebih baik digunakan dalam pembelajaran matematika adalah membandingkan prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan metode penemuan terbimbing dengan metode pemberian tugas dan resitasi. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan metode penemuan terbimbing lebih baik dibandingkan dengan prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan metode pemberian tugas dan resitasi.
139
Zayyadi, Perbandingan Metode Penemuan Terbimbing | 140
METODE penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dan komparatif sebab data yang diperoleh berupa angka-angka dari hasil tes dan dari hasil tes tersebut diteliti tentang perbandingannya. Pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan metode penemuan terbimbing dan metode pemberian tugas dan resitasi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan dokumentasi dan teknik tes. Sebelum soal tes yang dibuat dijadikan sebagai alat penelitian, maka peneliti melakukan uji coba instrument tes di kelas VIII MTs AL-FALAH. Hasil uji coba instrumen ini kemudian dianalisis dan diuraikan untuk mengetahui kelayakan instrumen tes dengan menggunakan validitas, reliabilitas, daya beda, dan tingkat kesukaran. Teknik yang dipakai dalam mengolah data pada penelitian ini menggunakan uji parametrik, yaitu suatu uji statistik yang modelnya mengharuskan adanya persyaratanpersyaratan tertentu tentang parameter populasi yang merupakan sumber penelitian. PEMBAHASAN DAN HASIL Prestasi Belajar Prestasi merupakan hasil yang dicapai seseorang ketika mengerjakan tugas atau kegiatan tertentu. Prestasi akademik adalah hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran di sekolah atau di perguruan tinggi yang bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian (Tu’u, 2004:75). Prestasi belajar merupakan tingkat kemanusiaan yang dimiliki siswa dalam menerima, menolak dan menilai informasi-informasi yang diperoleh dalam proses belajar mengajar. Prestasi belajar seseorang sesuai dengan tingkat keberhasilan sesuatu dalam mempelajari materi pelajaran yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau raport setiap bidang studi setelah mengalami proses belajar mengajar. Penemuan Terbimbing Suryosubroto (2002:192) metode penemuan diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, memanipulasi objek dan lainlain sebelum sampai pada generalisasi.
penemuan terbimbing adalah suatu metode dimana dalam proses belajar mengajar guru memperkenankan siswanya menemukan sendiri prinsip-prinsip atau konsep-konsep melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran dan guru berperan sebagai pembimbing atau pengarah. Menurut Rohani (2004:39), ada lima langkah yang harus ditempuh dalam metode penemuan (Discovery) yaitu : a. Perumusan masalah untuk dipecahkan peserta didik b. Penetapan jawaban sementara atau pengajuan hipotesis c. Peserta didik mencari informasi, data, fakta yang diperlukan untuk menjawab atau memecahkan masalah dan menguji hipotesis d. Menarik kesimpulan dari jawaban (generalisasi) e. Aplikasi kesimpulan atau generalisasi dalam situasi baru. Langkah-langkah pembelajaran penemuan terbimbing dalam penelitian ini sebagai berikut: a. Pendahuluan Menyiapkan masalah yang akan dipecahkan oleh siswa b. Kegiatan Inti Tahap I :Menghadapkan siswa pada masalah atau problem (Perumusan masalah untuk dipecahkan oleh siswa) Tahap II :Mengarahkan siswa untuk menyelidiki masalah atau problem dengan kelompoknya (Penetapan jawaban sementara atau pengajuan hipotesis) Tahap III :Membimbing siswa memecahkan masalah dengan menggunakan pengetahuan, fenomena-fenomena, menghubungkan dengan pengetahuan sebelumnya (Pengumpulan data, dan pengujian hipotesis) Tahap IV :Menarik kesimpulan (Menggeneralisasi) Tahap V :Menyatakan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dimana generalisasi itu disandarkan (Aplikasi kesimpulan atau generalisasi dalam situasi baru)
141 | INTERAKSI , Volume 9, N0 2. Juli 2014, hlm 139-142
c. Penutup Memberikan pembelajaran
PR
dan
menutup
Hal yang harus dikerjakan pada fase ini: - Laporan siswa baik lisan/tertulis dari apa yang telah dikerjakannya. - Ada tanya jawab/diskusi kelas. - Penilaian hasil pekerjaan siswa baik dengan tes maupun non-tes atau cara lainnya. Fase mempertanggungjawabkan tugas inilah yang disebut “resitasi”.
Resitasi dan Pemberian Tugas Metode pemberian tugas dan resitasi adalah cara penyajian bahan pelajaran di mana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar, kemudian harus dipertanggungjawabkannya (Sagala, Tabel Perbandingan Metode 2009:19). Masalah tugas dilaksanakan oleh PenemuanTerbimbing Dengan siswa dapat dilakukan di dalam kelas, di Metode Pemberian Tugas Dan Resitasi halaman sekolah, di labolatorium, di perpustakaan, di bengkel, METODE PENEMUAN METODE PEMBERIAN TUGAS di rumah siswa, atau di TERBIMBING DAN RESITASI mana saja asal tugas itu dikerjakan tanpa terikat 1. Menempatkan peserta didik sebagai 1. Peserta didik ditempatkan sebagai subjek belajar, artinya peserta didik objek belajar namun dilanjutkan dengan tempat. berperan aktif dalam setiap proses dengan pengerjaan tugas untuk Menurut (Syaiful pembelajaran dengan cara menggali mengecek pemahaman siswa bahri, 2006:86) langkahpengalamannya sendiri. terhadap bahan yang sudah langkah yang harus dipelajari. diikuti dalam 2. Pembelajaran dikaitkan dengan 2. Pembelajaran bersifat teoritis dan penggunaan metode kehidupan nyata melalui penggalian abstrak pemberian tugas dan pengalaman setiap siswa. 3. Kemampuan didasarkan atas 3. Kemampuan diperoleh melalui resitasi yaitu: penggalian pengalaman. latihan. a. Fase Pemberian 4. Tujuan akhir dari proses pembelajaran 4. Tujuan akhir adalah penguasaan Tugas adalah kemampuan berpikir dan materi pembelajaran. Tugas yang pemahaman materi melalui diberikan kepada keterlibatan secara aktif dalam proses siswa hendaknya pembelajaran mempertimbangkan: 5. Tindakan atau prilaku dibangun atas 5. Tindakan atau prilaku individu - Tujuan yang kesadaran diri sendiri didasarkan oleh faktor dari luar akan dicapai. dirinya. - Jenis tugas yang 6. Pengetahuan yang dimiliki setiap 6. Pengetahuan dikonstruksi oleh orang individu selalu berkembang sesuai lain jelas dan tepat dengan pengalaman yang dialaminya. sehingga anak mengerti apa yang ditugaskan Hasil Penelitian tersebut. Berdasarkan analisis data hasil tes akhir - Sesuai dengan kemampuan siswa. kedua kelas sebagaimana yang telah - Ada petunjuk/sumber yang dapat diuraikan pada bab sebelumnya, diperoleh membantu pekerjaan siswa. rata-rata prestasi belajar siswa kelas VIII A - Sediakan waktu yang cukup untuk sebesar 35,45 dan rata-rata prestasi belajar mengerjakan tugas tersebut. siswa kelas VIII B sebesar 50,78. Dari data b. Fase Pelaksanaan Tugas. tersebut dapat diketahui harga thitung = 6,96 - Diberikan bimbingan/pengawasan dan berdasarkan tabel dengan db = 46 oleh guru. diperoleh harga tkritik = 2,02. Artinya thitung - Diberikan dorongan sehingga anak tkritik, maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis mau bekerja. kerja diterima. Sehingga dapat penulis - Diusahakan/dikerjakan oleh siswa simpulkan bahwa Prestasi belajar siswa yang sendiri, tidak menyuruh orang lain diajar menggunakan metode penemuan - Dianjurkan agar siswa mencatat terbimbing lebih baik dibandingkan dengan hasil-hasil yang ia peroleh dengan prestasi belajar siswa yang diajar baik dan sistematik. menggunakan metode pemberian tugas dan c. Fase mempertanggungjawabkan tugas
Zayyadi, Perbandingan Metode Penemuan Terbimbing | 142
resitasi pada pokok bahasan lingkaran kelas VIII MTs Az – Zubair Tlanakan tahun pelajaran 2010/ 2011. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari data tersebut dapat diketahui harga thitung = 6,96 dan berdasarkan tabel dengan db = 46 diperoleh harga tkritik = 2,02. Artinya thitung tkritik, maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis kerja diterima. Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa Prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan metode penemuan terbimbing lebih baik dibandingkan dengan prestasi belajar siswa yang diajar menggunakan metode pemberian tugas dan resitasi pada pokok bahasan lingkaran kelas VIII MTs Az – Zubair Tlanakan tahun pelajaran 2010/ 2011.
Saran Proses pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan terbimbing dan metode resitasi yang diterapkan dalam penelitian ini nantinya diharapkan akan memberikan manfaat. Untuk itu peneliti memberikan saran sebagai berikut : 1. Bagi guru mata pelajaran, ada baiknya guru memilih terlebih dahulu pendekatan ataupun metode pengajaran yang tepat dan sesuai dengan materi pelajaran dan kondisi siswa, sehingga siswa dapat lebih giat dan aktif dalam proses belajar mengajar. 2. Bagi peserta didik, hendaknya lebih aktif lagi dalam mengikuti proses pembelajaran sehingga mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri serta mampu mengkomunikasikannya
DAFTAR PUSTAKA Djamarah, Syaiful Bahri. 2003. Strategi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta Rohani,
Ahmad. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta : Rineka Cipta
Sagala, Syaiful. 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta.
Suryosubroto, B. 1997. Proses Belajar Mengajar Di Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta. Tu’u, Tulus. 2004. Peran Disiplin Pada Prilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta: PT. GramediaWidiasarana Indonesia
1