JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
Oksidentalisme: Telaah atas Pandangan Orientalisme terhadap Pendidikan Islam Sunhaji *)
*)
Penulis adalah Magister Agama, menjadi dosen tetap di Jurusan Pendikan (Tarbiyah) STAIN Purwokerto.
Abstract: Ideologically, Occidentalism created as a means to face the West that having major effect to our civilization awareness, namely westernization. Besides, Occidentalism approach aimed to break West’s hegemony as East’s investigator that has generated certain stereotype, among others were West superiority and East inferiority. Orientalist viewing West as rational, progressive, humane, and superior, while East (Islam) completely pervert, irrational, undeveloped, and inferior. These are bring the impact in the education domain namely dichotomy and dualism which thrive until now, that finally differentiate the [common/ public] education in one side and religion education at others. This is impact of West imperialism caused by the existence of orientalism view. This dualism and dichotomy were not only concerning institute, but also at subject matter in society level. Keywords: Occidentalism, Orientalism, and Islamic Education.
Pendahuluan
S
ebagai istilah yang independen, oksidentalisme amat jarang di jumpai dalam literatur keislaman modern, bahkan juga dalam wacana dunia yang berkembang. Oksidentalisme merupakan suatu ide yang khusus mengkaji Barat dan ke-Baratan dari sudut pandang non-Barat. Hal ini merupakan gejala baru yang muncul pada dekade akhir abad ini. Namun demikian, semua itu hanya sebuah ide yang belum diaplikasikan dalam bentuk ilmu yang mapan dan benar. Studi tentang keBaratan sudah dimulai sejak awal era kebangkitan Islam atau dunia ketiga. Akan tetapi, studi tersebut masih sarat dengan analisis deskriptif yang sumber utamanya adalah Barat sendiri. Hasilnya, kajiankajian Barat semacam itu tidak lebih dari sekadar promosi atau propaganda buat superioritas Barat. Model seperti ini belum merepresentasikan apa yang dimaksud dengan format oksidentalisme, yaitu wacana yang melihat dan mengkaji Barat seperti para orientalis yang mengkaji Timur dari perspektif mereka. Istilah orientalisme memiliki konotasi negatif karena dinilai mengandung agenda tersembunyi dari para intelektual Barat non-muslim yang sengaja mempelajari Islam dan dunia Islam, tetapi didasari niat yang tidak tulus atau bahkan sengaja untuk mencari kelemahan Islam dalam rangka penaklukan.1 Kajian tentang orientalisme sudah memiliki akar tradisi yang cukup panjang di dunia akademik Barat. Namun demikian, orientalisme yang sudah berkembang berpuluh-puluh tahun, bahkan ratusan tahun cenderung dijadikan sebagai alat ideologis Barat untuk melakukan hegemoni dan imperialisme baru terhadap dunia Timur terutama dunia Islam. Hal ini menimbulkan stigma di kalangan umat Islam bahwa apapun yang dikatakan sarjana Barat tentang Islam lalu dicurigai. Hal inilah yang mendorong sarjana Timur untuk mendekonstruksi ideologi negatif tersebut yang kemudian muncul oksidentalisme. INSANIA|Vol. 11|No. 3|Sep-Des 2006|380-388
1
P3M STAIN Purwokerto | Sunhaji
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
Selanjutnya, apa itu oksidentalisme dan orientalisme? (sejarah kemunculannya), bagaimana pandangan kaum orientalisme terhadap pendidikan, khususnya pendidikan Islam, hal ini akan dibahas dalam makalah ini.
Lahirnya Oksidentalisme dan Orientalisme Secara harfiah, oksidentalisme berarti hal-hal yang berhubungan dengan Barat, baik itu budaya, ilmu, dan aspek sosial lainnya. Dalam bahasa Arab, Hanafi menggunakan kalimat Istighrab, dari akar kata al-gharb (the west). Timbulnya sebuah ilmu yang mengkaji tentang ke-Baratan dengan model diskursus baru, menurut Hanafi, memang sudah seharusnya diwujudkan. Oleh karena sebenarnya setelah matinya orientalisme Barat, alternatif balik buat proses transformasi sejarah bisa ditemukan lewat oksidentalisme.2 Oksidentalisme lahir tanpa ada yang membidani. Pada mulanya ini hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi daripada proyek peradaban yang mempunyai tujuan tertentu. Dalam kaitan ini, ada indikasi ketidakpuasan dari kajian-kajian Barat dan ke-Baratan yang sudah ada. Pertama, karena kajiankajian semacam itu merupakan produk Barat yang notabene tidak bisa lepas dari bias dan subjektivitas. Kedua, kajian semacam itu tidak lebih dari promosi peradaban orang lain yang kurang kritis, dan tampaknya kelahiran oksidentalisme lebih didorong oleh faktor emosional atas kekalahan dari Barat yang dialami oleh dunia Timur pada umumnya dan dunia Islam pada khususnya, bahkan dikatakan bahwa Timur adalah “karir buat orang Barat”. Hegemoni dan penguasaan Barat atas Timur menciptakan kebencian rasial yang semakin memuncak. Kebencian tersebut tidak hanya diekpresikan sebatas sikap pasif, tetapi juga usaha-usaha menjawab dan membongkar kepalsuan Barat, terutama dalam kritik mereka terhadap orientalisme, di dunia Islam khususnya. A.L. Tibawi, misalnya, limabelas tahun sebelum Edward Said menerbitkan buku orientalisme, sudah sangat gencar “menelanjangi” niat busuk Barat yang diwakili kaum orientalis. Menurutnya, orientalisme memang diciptakan sebagai lahan “penghancuran” Islam, di samping usaha misionaris Kristen.3 Buat orang Barat lewat orientalisme, Islam adalah “the work of the devil,” al-Qur’an adalah “a tissue of absurdities”, dan Nabi Muhammad sebagai “a false Prophet, an impostor” atau “anticrist”.4 Hal ini jelas bahwa propaganda yang dilakukan oleh para orientalis semacam ini telah sukses memberikan image buruk tentang Islam di dunia Barat, dan kesan itu masih terasa sampai sekarang. Ada tiga tahapan penting dalam sejarah terbentuknya orientalisme. Pertama, tahapan dialog antara bangsa Barat dengan bangsa Timur (Arab-Islam, India, dan Parsi), baik secara langsung atau tidak. Dalam level penerjemahan karya-karya kaum muslim, buku-buku filsafat dan kedokteran merupakan karya yang paling diminati dan terus diselidiki. Buku tentang optik karya Ibnu Kaitham merupakan buku pertama ilmuwan muslim yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Kedua, era pascaperang INSANIA|Vol. 11|No. 3|Sep-Des 2006|380-388
2
P3M STAIN Purwokerto | Sunhaji
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
Salib. Kalau pada tahap pertama para penyelidik Barat masih mempunyai jarak dengan kaum Muslim di belahan Timur, maka pada tahapan kedua ini setelah beberapa gelombang perang Salib di jantung kota Arab-Islam, ilmuwan-ilmuwan, dan sarjana-sarjana Barat yang menyertai misi suci tersebut dengan leluasa berkenalan lebih dekat dengan sumber asli peradaban Islam. Pada abad ke-15 dan 16 mulailah muncul orientalisme yang sebenarnya. Setelah tahapan kedua ini, datang era kolonialisme dan imperialisme Eropa ke hampir seluruh negeri dan bangsa non-Barat, dunia Islam khususnya. Orientalisme pada tahap ketiga merupakan ajudan para kolonialis dan alat yang paling ampuh buat mendalami kondisi sosio-historis negeri-negeri jajahan baru. Dalam tahapan ini, orientalisme telah bertukar peran, kalau sebelumnya sebagai pengkaji dan peneliti Timur dengan sedikit banyak ada unsur objektifnya atau nilai ilmiah, namun selanjutnya menjadi penguasaan yang merampas hak azasi Timur lewat legitimasi kolonialisme. Tentu saja tidak semuanya seperti ini, ada juga yang murni untuk mempelajari Islam dan ketimuran.5
Pandangan Orientalisme tentang Pendidikan Islam Pemikiran orientalisme terhadap Islam sebagaimana diuraikan di atas, mengindikasikan ke arah imperialisme atau tujuan-tujuan lain dengan sejumlah dogma-dogma orientalisme. Hal ini jelas-jelas tidak bisa dipertahankan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dewasa ini dan menimbulkan pengertian yang menyesatkan. Asumsi negatif ini misalnya analisis Montgomery Watt tentang orientalisme terhadap Islam adalah sebagai berikut; (1) Islam adalah agama palsu dan tidak benar, (2) Islam disiarkan dengan kekerasan dan pedang, (3) Muhammad adalah musuh kristus, (4) Islam adalah agama yang memanjakan diri, dan seterusnya.6 Selain asumsi dan peryataan negatif orientalisme di atas, masih banyak juga dogma-dogma orientalis yang lain yang menyudutkan dan merendahkan kaum muslimin seperti anggapan bahwa Barat serba rasional, maju, manusiawi, superior, sedangkan Timur serba sesat, irasional, terbelakang, dan inferior. Menurut anggapan mereka hanya orang Eropa dan Amerika saja yang merupakan manusia penuh, sedangkan orang-orang Asia-Afrika lainnya bertaraf setengah manusia, bahkan dishuman. Timur dianggap begitu lestari, seragam, dan tidak sanggup mendefinisikan diri sehingga Barat-lah yang berhak mendefinisikan Timur secara objektif dan seterusnya.7 Demikian beberapa pandangan orientalis tentang Islam yang tipikal dan sering digunakan untuk tujuan imperialisme, baik itu bersifat fisik maupun budaya atau pemikiran (gazwah al-fikr), yang secara sosiologis maupun psikologis tentunya masih mempunyai pengaruh hingga saat ini. Oleh karena tujuan orientalisme pada masa lalu di antaranya memang jelas-jelas untuk kepentingan imperialisme, seperti dilakukan oleh Snouck Hurgronje, sewaktu bertugas di wilayah Hindia Belanda, yang dilakukan oleh Lutherian Jerman C.H. Becker yang banyak terlibat dalam politik kolonial Jerman sebelum perang dunia I, atau yang dilakukan oleh L. Masignon, yang bertugas sebagai penasihat departemen urusan INSANIA|Vol. 11|No. 3|Sep-Des 2006|380-388
3
P3M STAIN Purwokerto | Sunhaji
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
kolonial dalam pemerintahan Prancis. Pada umumnya para orientalis yang bertugas seperti itu berada di Belanda, Inggris, Jerman, Prancis yang pada abad ke-19 dan ke- 20 memiliki tanah jajahan yang luas sekali.8 Oleh karena itu, tidak mengherankan bila bias dari tujuan imperialisme di atas mempunyai pengaruh yang dalam pada masyarakat Muslim sehingga banyaknya kajian akademis yang bersifat ilmiah pun pada saat itu masih dilihat dan dinilai negatif oleh sebagian besar kaum muslimin. Hal ini bisa dipahami karena berbagai pengalaman traumatis di masa lalu masih menimbulkan berbagai prasangka historis, antara lain, adalah akibat dari perang Salib, prasangka kristenisasi, dan prasangka superioritas.9 Selanjutnya, akar-akar itulah yang berdampak dalam berbagai bidang termasuk di dalamnya masalah pendidikan, di mana dalam hal ini menimbulkan dualisme dalam dunia pendidikan. Sebagaimana Dr. Mochtar Naim, yang mengatakan bahwa dualisme dan dikotomi pendidikan dari sestem pendidikan warisan jaman kolonial yang membedakan antara pendidikan “umum” di satu pihak dan pendidikan “agama” di pihak lain. Hal ini merupakan penyebab utama dari kerancuan dan kesenjangan pendidikan di Indonesia dengan segala akibat yang ditimbulkannya.10 Di antara akibat dan dampak negatif dari sistem pendidikan yang dualistis itu adalah sebagai berikut; (1) arti agama telah dipersempit, yaitu sejauh yang berkaitan dengan aspek teologi Islam, seperti yang diajarkan di sekolahsekolah agama selama ini, (2) sekolah agama telah terkotak-kotak dalam kubu tersendiri dan menjadi eksklusif, (3) sumber masukan sekolah agama dan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) rata-rata berIQ rendah dan dari kelompok residual.11 Sebenarnya masalah dualisme ini telah memiliki akar sejarah panjang yang di dalamnya mengandung dimensi politik dan dimensi agama (seperti politik diskriminasi pemerintahan kolonial Belanda yang anti Islam dan sikap perlawanan dari golongan Islam). Selanjutnya, berbicara tentang pendidikan Islam, maka ada dua hal, pertama, membicarakan pendidikan agama sebagai isi atau program yang dimasukkan ke dalam kurikulum sebagai subject matter. Kedua, pendidikan agama sebagai lembaga pendidikan atau perguruan agama dari mulai TK/RA sampai ke IAIN.12 Pendidikan agama dalam arti subject matter adalah sebagaimana diamanatkan GBHN bahwa pendidikan agama dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri.13 Dalam rangka melaksanakan amanat GBHN itu, maka di sekolah-sekolah umum diberikan pendidikan agama dalam bentuk mata pelajaran. Sementara itu, pendidikan agama dalam pengertian kedua adalah lembaga-lembaga pendidikan agama yang wujud kongkritnya adalah madrasah dan pondok pesantren. Pendidikan Islam sebenarnya telah lahir seiring dengan lahirnya Islam, namun dalam bentuk yang formal belum ada. Pendidikan Islam dapat berlangsung di rumah-rumah seperti di Dar-al-Arqam, dan ini pun lebih berkaitan dengan upaya-upaya dakwah Islamiah, penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan serta ibadah Islam. Akan tetapi, setelah masyarakat Islam terbentuk, maka pendidikan diselenggarakan di lembaga semacam masjid, surau, dan sebagainya. Proses pendidikan pada kedua tempat ini dilakukan dalam halaqoh, lingkaran belajar. Kemudian pendidikan formal Islam baru muncul dengan munculnya INSANIA|Vol. 11|No. 3|Sep-Des 2006|380-388
4
P3M STAIN Purwokerto | Sunhaji
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
Madrasah.14 Untuk kasus Indonesia, dengan munculnya madrasah atau pendidikan Islam tidak bisa lepas dengan peristiwa kolonialisme. Berkaitan dengan kemunculan lembaga Madrasah ini, maka ada tiga kelompok masyarakat dalam menilai madrasah, antara lain sebagai berikut. 1. Kelompok pertama; menganggap dan mempertahankan madrasah sebagai lembaga tafaqqohu fiddien (murni). Kelompok ini berpendirian bahwa sebagai lembaga tafaqqohu fiddien madrasah diharapkan tetap berfungsi sebagai tempat menyiapkan kader-kader Islam yang mampu dan terampil sebagai pembimbing dan praktisi keagamaan masyarakat. Alasan utama orangtua untuk mengirimkan atau memasukkan anak-anak mereka ke madrasah adalah untuk belajar dan mendalami agama. Kelompok ini juga berpendapat bahwa secara historis, madrasah adalah identitas umat Islam Indonesia. Tatkala Indonesia ditindas oleh kaum penjajah, melalui lembaga pendidikan bernama pesantren dan madrasah, umat Islam telah membuktikan diri mampu mempertahankan harga diri martabat dan akidahnya. 2. Kelompok kedua; berpendapat bahwa pendidikan atau keberadaan Madrasah telah menyebabkan terjadinya dualisme dan dikotomis pendidikan agama dan umum. Kelompok ini menangkap bahwa madrasah cenderung mencetak warga negara yang eksklusif. Oleh karena itu, keberadaan sistem pendidikan madrasah perlu dipertanyakan lagi. Pada dasarnya kelompok ini tidak jauh berbeda dengan pandangan kaum penjajah kolonial yang penuh dengan prasangka dan diskriminatif. 3. Kelompok ketiga; berpandangan bahwa madrasah perlu dipertahankan sebagai suatu lembaga pendidikan alternatif bagi umat Islam. Sebagai salah satu input yang nantinya akan memasuki IAIN, sulit dibayangkan seandainya calon mahasiswa IAIN itu bukan atau semuanya dari lulusan sekolah umum.15 Terlepas dari tiga kelompok tersebut, sebagai lembaga pendidikan Islam, madrasah tetap eksis hingga saat ini. Kemudian, untuk mendamaikan ketiga kelompok di atas pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yang intinya menyejajarkan ijasah pendidikan madrasah dengan pendidikan umum lainnya, perlu untuk terus dikembangkan dan disempurnakan; dan terakhir dengan adanya Keputusan Menteri Agama RI No. 372 Tahun 1993, maka madrasah menjadi lembaga pendidikan dasar berciri khas Islam.16
Penutup Demikian uraian singkat tentang oksidentalisme, sikap orientalisme terhadap pendidikan Islam. Sejauh ini, oksidentalisme yang dibicarakan di sini tampak lebih dekat dengan obsesi dan harapan daripada sebagai ilmu. Terlepas sebagai ilmu atau ideologi, ide-ide dalam oksidentalisme sebagai jawaban balik kaum orientalis harus kita tegakkan. INSANIA|Vol. 11|No. 3|Sep-Des 2006|380-388
5
P3M STAIN Purwokerto | Sunhaji
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
Mencermati ide-ide orientalisme tampaknya memiliki dampak yang jauh dan luas, khususnya ketika ide oreintalisme sudah berubah menjadi imperialisme dan kolonialisme. Berkaitan dengan itu, pendidikan pun banyak menerima pengaruh dari kolonialisme tersebut sehingga berdampak pada apa yang disebut sebagai dualisme dan dikotomi ilmu di Indonesia. Akhirnya, ada pendidikan umum dan madrasah sebagai dua lembaga yang saling berbeda ideologi. Namun demikian, akhir akhir ini ada usaha mensintesiskan kedua lembaga tersebut dengan lahirnya SKB Tiga Menteri dan lahirnya UUSPN No. 2 Tahun 1999.
Endnote Dr. Komarudin Hidayat, “Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat”, dalam Kata Pengantar, dalam Hassan Hanafi, Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat (Terj. Najib Buchori) (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. xiv. 2 Hasan Hanafi, Oksidentalisme, hal. 25. 3 A. L. Tibawi, “English Speaking Orientalist”, dalam The Islamic Quarterly, vol. VIII, no 1 dan 2, January-June, 1964, hal. 24-45. 4 A. Luthfi Assyaukanie, “Oksidentalisme Kajian Barat Setelah Kritik Orientalisme”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an: Edisi Khusus, No 5 & 6, vol V, Tahun 1994, hal. 119. 5 Edward Said W, Orientalisme (New York: Penguins Book, 1978), hal. 155. 6 Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hal,198-200. 7 Amin Rais, Runtuhnya Sendi-sendi Orientalisme dalam Cakrawala Islam (Bandung: Mizan, 1987), hal, 238-239, Artikel ini sebagai dukungan terhadap karya Edward Said, Orientalisme, hal. 6. 8 A. Muin Umar, Orientalisme (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 56. 9 Moh. Natsir Mahmud, “Studi al-Qur’an dengan Pendekatan Historisme dan Fenomenologi: Evaluasi terhadap Pandangan Barat tentang al-Qur’an”, dalam Disertasi (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1992), hal. 106; Lihat juga Karel Steenbrink dalam tulisan pengantar, Menuju Kajian terhadap Karya-karya Orientalis, pada jurnal Ulumul Qur’an, (1992). 10 Dr. Mochtar Naim, “Sekitar Masalah Dualisme Pendidikan dan Islamisasi Ilmu”, dalam Dawam Raharja, Bunga Rampai Pendidikan Islam (Jakarta: CV Amisco, 1996), hal. 21. 11 Ibid. 12 Marwan Saridjo, “Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam”, dalam kata pengantar Prof. Dr. Azyumardi Azra (Jakarta: CV Amisco, 1996). 13 Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan Pendidikan Agama wajib dilaksanakan pada setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan negeri dan swasta. 14 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), hal. vii. 15 Marwan Sarijo, Bunga Rampai, hal. 161-165. 16 Maksum, Madrasah Sejarah & Perkembangannya (Jakarta: Logos, 1999), hal. 155; Lihat juga Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hal. 66. 1
Daftar Pustaka INSANIA|Vol. 11|No. 3|Sep-Des 2006|380-388
6
P3M STAIN Purwokerto | Sunhaji
JURNAL PEMIKIRAN ALTERNATIF KEPENDIDIKAN
Assyaukanie, Luthfi A. 1994. Oksidentalisme Kajian Barat Setelah Kritik Orientalisme, Jurnal Ulumul Qur’an No 5 & 6. Azra, Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina. . 1999. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos. Hanafi, Hassan. 2000. Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat (Terj. Najib Buchori). Jakarta: Paramadina. Hasbullah. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo. Hidayat, Komarudin. “Oksidentalisme: Dekontruksi terhadap Barat”, kata Pengantar dalam Hassan Hanafi. Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina. Mahmud, Natsir Moh. 1992. “Studi al-Qur’an dengan Pendekatan Historisme dan Fenomenologi: Evaluasi terhadap Pandangan Barat tentang al-Qur’an”, dalam Disertasi. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga. Maksum. 1999. Madrasah Sejarah & Perkembanganya. Jakarta: Logos. Naim, Muchtar. TT. “Sekitar Masalah Dualisme Pendidikan dan Islamisasi Ilmu”, dalam Dawam Rahardja. Bunga Rampai Pendidikan Islam. Jakarta: CV. Amisco. Rais, Amin. M. 1987. Runtuhnya Sendi-sendi Orientalisme dalam Cakrawala Islam. Bandung: Mizan. Saridjo, Marwan. 1996. “Bunga Rampai Pendidikan Islam”, dalam Kata Pengantar. Dr. Azyumardi Azra. Jakarta: CV Amissco. Said W, Edward. 1978. Orientalisme. New York: Penguins Book. Tibawi, A.L. 1964. “English Speaking Orientalist”, dalam The Islamic Quarterly, Vol VIII No. 1 & 2.
Umar, Muin.1987. Orientalisme. Jakarta: Bulan Bintang.
INSANIA|Vol. 11|No. 3|Sep-Des 2006|380-388
7
P3M STAIN Purwokerto | Sunhaji