Judul Buku :
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia Penulis Disain sampul Tata Letak Foto ilustrasi Penerbit Tahun Terbit
: Ir. Triwisaksana, M.Sc. : Erwin Sinae : Farid : Dudi, Khoirudin : Lingkar Sejahtera Jakarta Gedung Sarinah Lt. 11 Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat : Juli, 2011
ii
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 : Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Kata Pengantar Bismillahirrahmanirrahim
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orangorang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah
iii
Dia ridhoi. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembahKu dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu maka mereka itulah orang-orang yang fasik (QS An-Nur, 55)
P
ada hakikatnya, tujuan setiap negara atau suatu pemerintahan dimanapun dia berada dan dalam sistem apapun yang dijalankan adalah sama.
Menciptakan keadilan dan menghasilkan kesejahteraan
Luthfi Hasan Ishaaq, MA
bagi penduduknya. Keadilan dan kesejahteraan yang
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Kata Pengantar
dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat akan terwujud dalam bentuk terpenuhinya kebutuhan hidup serta terjaminnya rasa aman dalam kehidupan. Secara eksplisit Allah SWT telah menjamin kedua hal tersebut sebagaimana disampaikan dalam firman-Nya di dalam Surat Al-Quraisy ayat ke 3-4 : “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ke takutan.” Tinggal persoalannya adalah bagaimana pihakpihak yang diberi amanah untuk mengelola suatu negeri atau wilayah itu mampu mewujudkannya. Rasa aman dan
iv
nyaman, suatu keadaan yang Allah janjikan sebagaimana kutipan ayat 55 Surat An-Nur diatas, menjadi amanah bagi orang-orang yang beriman, yang dijadikan oleh Allah sebagai penguasa di muka bumi ini. Nilai strategis yang dimiliki oleh Jakarta bukan hanya pada usianya semata. Sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi bangsa yang berpenduduk terbesar keempat di dunia, Jakarta merupakan amanat Allah yang tidak boleh disiasiakan. Berbagai bentuk “peradaban” (jika ingin disebut demikian) yang telah berlangsung di Jakarta semenjak jaman penjajahan hingga reformasi telah menghasilkan wajah Jakarta yang beragam. Namun dari seluruh periode tersebut, sepertinya ada satu bentuk kemiripan. Masingmasing era seakan-akan bertekad untuk memiliki prasasti yang menandai kemegahan sekaligus keberhasilan pembangunan. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Kata Pengantar
Namun setiap keberhasilan selalu memiliki ongkos yang harus dibayar. Ongkos itu bisa berupa beban sosial, ekonomi maupun moral. Di sinilah, saya berfikir, buku ini memiliki ‘angle’ yang menarik. Buku ini mencoba melawan arus tema-tema keseharian publik Jakarta. Di saat sebagian besar media dan publik sibuk berbicara tentang kemacetan yang mengerikan dan banjir yang tak jenuh berkunjung, Triwisaksana seakan ingin menarik perhatian publik pada problem yang lebih humanis dan mendasar. Kesejahteraan. Bagi Bang sani yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD DKI problem asasi dari Jakarta saat ini ialah keselarasan antara pembangunan -yang diwakili dengan kata modernitas- dan kesejahteraan. Bang Sani mampu menguraikan pemikiran-pemikiran dan gagasan tentang kesejahteraan secara runtut. Termasuk di dalamnya menyampaikan gagasan-gagasan baru dalam mewujudkan jaminan sosial bagi warga. Contoh, ide menjadikan urusan ketenagakerjaan dan perumahan yang selama ini menjadi domain bidang perekonomian dan pembangunan, menjadi bagian bidang kesejahteraan (sosial) merupakan tawaran yang
berani dan bukan
‘asal beda’. Argumen yang terangkum dalam kumpulan buah pemikiran ini menjelaskan bahwa
peningkatan
kesejahteraan dapat dilakukan melalui fokus peningkatan kesejahteraan para pekerja (upah, jaminan sosial pekerja), pengurangan angka pengangguran dan perumahan bagi kelompok miskin.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
v
Kata Pengantar
Kontribusi tulisan dari Selamat Nurdin yang memban dingkan kondisi “Jiwa dan Raga” di kota-kota besar lain di beberapa negara, serta tulusan dari Prof. Eko Prasodjo yang mengulas tentang Reformasi Birokrasi yang menjadi faktor penting kebijakan sosial turut memperkuat bobot buku ini meskipun disampaikan secara ringan. Saya yakin buku ini akan sangat memberikan manfaat bagi para pembacanya yang mencoba memahami pentingnya kebijakan sosial di Jakarta. Para penikmat buku ini juga akan memahami ragam aspek yang selama ini belum banyak tergali dari Jakarta. Lebih khusus bagi penulisnya, buku ini harus menjadi tonggak awal evaluasi terhadap
vi
keterlibatannya sebagai salah satu elemen strategis penentu kebijakan di Jakarta. Selamat berkarya lebih jauh... Semoga cita-cita Jakarta Sejahtera segera terwujud. Luthfi Hasan Ishaaq, MA Presiden PKS
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Pengantar
Penerbit
K
urang lebih empat dasawarsa yang lalu, Simon Kuznets, mengungkapkan kerisauannya atas temuan yang telah mengantarkannya meraih
hadiah nobel pada tahun 1971. Kuznets-lah yang pertama kali memperkenalkan kumpulan indikator aktivitas ekonomi yang dinamakan dengan neraca pendapatan nasional. Salah satu indikator utama yang termasuk di dalamnya, Pendapatan Domestik Bruto atau PDB.1
vii
Mengapa temuan ini begitu penting? Bayangkan sejenak! Coba posisikan diri Anda menjadi pemimpin sebuah negara pada masa sebelum Kuznets mengumumkan temuannya. Lalu Anda dirongrong oleh sebuah pertanyaan. Bagaimana cara menentukan bahwa negara yang Anda pimpin lebih makmur atau lebih kaya daripada negara lainnya? Sebelum Kuznets memperkenalkan ide brillian-nya, nyaris tidak ada jawaban yang seragam. Inilah lompatan besar yang dihasilkan oleh Kuznets. Namun, pakar ekonomi yang mengajar di Universitas Harvard itu rupanya cukup kuatir akan warisan intelektual yang dia miliki. Kuznetz kuatir bahwa serangkaian
Rico Marbun, M.Sc
indikator perekonomian yang dia formulasikan lantas 1
Lihat Buku Mengukur Kesejahteraan, Joseph E. Stiglitz, Amartya Sen and Jean-Paul Fitousi, penerbit Margin Kiri Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Pengantar Penerbit
disalah-artikan sebagai formulasi kesejahteraan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, PDB tinggi memang berarti semakin tinggi pula kekayaan yang dimiliki oleh sebuah negara. Namun, sejatinya itu tak lantas berujung dengan tingginya kesejahteraan warga. Kegelisahan itulah yang akan kita temukan dalam buku yang tersaji di hadapan Anda. Kumpulan ide yang dimiliki oleh Triwisaksana, dengan detail menghadirkan potret disharmoni pembangunan fisik dan pembangunan manusia di dalam kota yang telah berusia 484 tahun ini. Sebagai politisi yang pernah menjadi Ketua Partai Politik Islam terbesar di Jakarta dan kini menjabat sebagai
viii
Wakil Ketua DPRD, Bang Sani tentu paham benar segala kompleksitas yang terjadi di ibukota. Kegelisahan yang ditata dalam setiap sub-tema, sejatinya tidak tepat bila dibaca sebagai sekadar ungkapan ketidakpuasan, apalagi hanya kemarahan tanpa solusi. Sebagai orang yang berkecimpung secara langsung dalam pengelolaan Jakarta, Bang Sani seperti ingin menghentak para pembaca untuk memalingkan perhatiannya lebih dari sekadar himpitan hidup sehari-hari. Sebut saja masalah kemacetan dan banjir yang tidak asing lagi bagi penduduk Jakarta. Bukan berarti kader PKS itu tidak peduli. Namun jika dibaca dengan cermat, pria kelahiran asli Jakarta itu ingin menjabarkan bahwa ada satu tema yang tidak boleh ditinggalkan dalam setiap deru roda pembangunan di
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Pengantar Penerbit
Jakarta. Tema itu adalah Kesejahteraan dan Pembangunan Manusia. Karena narasi besar tentang humanisasi pembangunan, maka Lingkar Sejahtera Jakarta merasa beruntung menjadi pihak yang pertama kali menyusun, merapikan serta menghadirkan buku ini kepada khalayak Ibukota. Harapannya, semoga sedikit jerih payah yang tentu belum menghadirkan kesempurnaan ini, dapat membawa secercah kebaikan buat kita semua. Selamat Menikmati... Rico Marbun, M.Sc Direktur Lingkar Sejahtera Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
ix
Segores Tinta
dari Penulis
S
ejarah panjang Jakarta dengan pelabuhan besar Sunda Kelapa-nya, memang sudah menarik minat orang untuk datang sejak dahulu kala. Termasuk
di antaranya, kedatangan Portugis yang kemudian diikuti dengan Belanda. Pihak-pihak tersebut yang pernah menguasai Jakarta, sejak zaman Portugis hingga VOCBelanda, telah menjadikan Jakarta (Jayakarta) sebagai pusat kekuasaan. Demi menopang fungsi sebagai ‘power
x
epicentrum’, berbagai bangunan simbol kekuasaan, bendungan, stasiun kereta dan ruang publik dibangun. Dan hingga kini, sisa-sisa kemegahan itu
masih bisa
kita saksikan dalam jejak kota tua dan bangunan tua peninggalan Belanda yang bertebaran di Jakarta. Memasuki periode pasca kemerdekaan di era Bung Karno, pembangunan simbol-simbol kemegahan Jakarta juga terus berlanjut. Monumen Nasional, Mesjid Istiqlal, dan Kawasan Senayan, kerap dibanggakan sebagai simbol keberhasilan atas capaian kemerdekaan. Orde Baru juga tidak ketinggalan. Presiden Soeharto dengan gelarnya sebagai Bapak Pembangunan, merancang Jakarta sebagai daerah yang sangat menarik bagi investor. Hasilnya, pemodal asing berduyun-duyun memadati Jakarta. Dan sempurnalah Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi negara, dimana 70% uang nasional beredar di Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Segores Tinta dari Penulis
dalamnya. Bahkan era reformasi yang sering didengungkan sebagai antitesa Orde Baru juga tidak ingin kalah dalam ‘memegahkan’ ibukota. Supermall mewah, toko-toko cabang dari berbagai merek terkenal dunia, gedunggedung pencakar langit, apartemen, superblock dan lainnya, seakan bertumbuh bak jamur di musim hujan. Sesungguhnya, tidak ada yang salah dengan kemegahan Jakarta. Bukan pula hal yang tercela bila pembangunan fisik dan infrastruktur melaju dengan pesat di ibukota. Namun tantangan terbesar yang akan dihadapi oleh pembuat kebijakan di Jakarta adalah bagaimana mengelola perkembangan dan dinamika kota dengan segala beban berat yang ditanggung, plus tuntutan warganya yang
xi
sangat beragam. Dengan status sebagai kota berpenduduk terbesar, kompleksitas permasalahan kota yang berusia hampir lima abad ini, tentu membutuhkan penanganan yang serius dan kerja yang cerdas. Salah satu tantangan terbesar dalam mengelola Ja karta adalah bagaimana menciptakan keseimbangan pertumbuhan kota dan pembangunan manusia di dalamnya. Disamping tingginya pertumbuhan ekonomi dan pesatnya pembangunan fisik, Jakarta harus memiliki Indeks Pembangunan Manusia sebagaimana negara maju. Bukan hal yang berlebihan jika Indeks Gini Ratio di ibukota harus ditargetkan serendah mungkin. Sebab inilah yang menjadi indikator bahwa pesatnya pembangunan Jakarta dapat dinikmati oleh semua penduduk.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Ir. Triwisaksana, M.Sc
Segores Tinta dari Penulis
Bagaimanakah kita bisa menilai indikator kesejahteraan seperti indeks pembangunan manusia, indeks kualitas kesehatan dan indeks kualitas hidup. Tentu yang dimaksud bukanlah sekadar angka statistik semata. Secara riil, indikator ini bisa dicermati dari capaian pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua penduduk. Kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, perumahan dan sanitasi, haruslah telah terpenuhi dengan memadai. Buku ini mencoba merefleksikan sisi yang perlu mendapat perhatian kita semua. Jakarta tidak hanya terbangun secara fisik (raga), namun juga kesejahteraan semua penduduknya. Keterlibatan saya sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta
xii
dalam
proses
penyusunan
kebijakan,
penyerapan
aspirasi, serta pemantauan kondisi masyarakat, telah mengantarkan saya pada perenungan panjang tentang sisi Jakarta yang lain. Kesejahteraan penduduk adalah tanggungjawab kita semua, terlebih bagi para perancang kebijakan. Perjuangan menyejahterakan warga Jakarta harus menjadi kesungguhan dengan azas kesetaraan yang melingkari rasa kebersamaan bagi kesejahteraan untuk semua. Harapan Saya, melalui lahirnya gagasan dalam buku ini dibarengi dengan embrio Komunitas Lingkar Sejahtera Jakarta, akan memantapkan langkah segenap warga semakin giat bergegas dalam kesetaraan dan kebersamaan cita-cita menuju kesejahteraan. Dan tak lupa ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada keluarga tercinta, istri dan anak-
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Segores Tinta dari Penulis
anak saya, orang tua dan mertua yang telah mendukung penuh kerja dan pengabdian saya di DPRD DKI Jakarta, yang bersabar atas kesibukan saya sebagai wakil rakyat maupun kader partai. Terimakasih juga saya sampaikan kepada seluruh rekan dan kolega yang telah bekerja sama dan mendukung kerja saya selama ini dan tidak dapat saya sebutkan satu per satu. Juga kepada para sesepuh, tokoh masyarakat, pakar, LSM dan peneliti yang telah banyak memberikan nasehat, sumbangan pemikiran, diskusi dan masukan kepada saya dalam menjalankan amanah sebagai wakil rakyat. Secara khusus saya mengucapkan terimakasih kepada Sdr. Selamat Nurdin dan Prof. Eko Prasodjo yang bersedia menyumbangkan gagasan pemikirannya dalam bentuk tulisan untuk memperkuat wacana dalam buku ini, Ustadz. Lutfi Hasan Ishaaq, MA atas kesediaannya memberikan pengantar untuk buku ini ditengah kesibukan beliau memimpin salah satu partai terbesar di negeri ini, dan kepada Lingkar Sejahtera Jakarta (LSJ) yang telah menghimpun pemikiran saya dan menerbitkannya dalam bentuk buku. Terakhir, buku ini merupakan persembahan saya untuk seluruh warga Jakarta yang terus mendambakan kesejahteraan. Semoga memberikan manfaat dan kesejahteraan itu dapat terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama. Kebon Sirih, 22 Juni 2011.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
xiii
Daftar Isi Kata Pengantar___iii Pengantar Penerbit___vii Segores Tinta dari Penulis___x 1. Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia___1 2. Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN___22 I. Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?___33 1. Gagasan Besar Kesejahteraan___34 2. Menakar Visi Kesejahteraan Kepemimpinan Jakarta___39
xiv
3. Membangun Basis Politik, Menciptakan Kesejahteraan___44 4. Mimpi Ibukota Sejahtera___49 II. Menuju Jaminan Sosial di Ibukota___57 1. Paradoks Wajah Pembangunan Jakarta___58 2. Jamsosda ala Jakarta___65 III. Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga___75 1. Warga Miskin Dilarang Sakit?___76 2. Jamkesda Baru untuk Jakarta Baru___82 3. Model Pembiayaan Jamkesda Baru___89 IV. Semua Berhak Dapat Pendidikan Layak___97 1. Wajib Belajar 12 Tahun di Jakarta Mungkinkah?___98 2. Pendidikan Berkualitas untuk Semua Penduduk___103
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
V. Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota___109 1. Menggeliatkan UMKM di Jakarta___110 2. Menyelamatkan Pasar Tradisional___126 VI. Transportasi publik Nyaman untuk Warga___139 1. Transportasi Publik Handal sebagai Prioritas___140 2. Perlu Terobosan Kebijakan untuk Busway___151 3. Tantangan Implementasi ERP___156 VII. Birokrasi yang Bekerja dan Melayani___171 1. Mengubah Paradigma Pelayanan Birokrasi di Jakarta___172 2. Reformasi Birokrasi menuju Profesionalitas dan Moralitas Aparatur untuk Keadilan dan Kesejahteraan Masyarakat___179 3. Menuju Birokrasi yang Melayani___196 VIII. Bekerja untuk Ibukota___203 1. Menanggulangi Kemiskinan di Ibukota___204 2. Rumah untuk Warga Marjinal___214 3. Tanggungjawab Bekerja untuk Negeri___223
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
xv
Jakarta :
Modernitas &
Pembangunan Manusia
M
emasuki usianya yang menjelang lima abad, Jakarta berkembang semakin cantik dan megah. Gedung pencakar langit terus
bertambah, lengkap dengan cahaya yang gemerlapan di malam hari. Pusat-pusat perbelanjaan yang juga berfungsi sebagai ‘meeting point’ terus bertambah, diisi oleh geraigerai yang menjual produk fashion lokal hingga global. Demikian pula dengan apartemen yang terus menjamur. Keberadaannya kerap menarik orang untuk tinggal di Jakarta yang menawarkan segala pesona. Melting point juga berkembang di berbagai kawasan dalam bentuk kafe, resto yang didukung dengan fasilitas cyber yang memberikan akses tanpa batas. Namun pada saat yang sama, Jakarta juga terlihat semakin rapuh menanggung beratnya beban pembangunan. Pesatnya pertumbuhan kota, tidak diikuti dengan daya dukung alam dan keseimbangan ekologis. Permasalahan sampah, eksploitasi air tanah yang berlebihan, hilangnya ruang terbuka hijau hingga rusaknya daerah aliran sungai, tidak kunjung terselesaikan secara tuntas. Akibatnya, berbagai permasalahan lingkungan pun rutin mengunjungi Jakarta. Jakarta juga menghadapi meningkatnya segregasi fungsional antara daerah bisnis/perkantoran dan daerah pemukiman. Akibatnya terjadi pemborosan waktu Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
1
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
dan biaya transportasi, inefisiensi lahan dan kawasan, penurunan kualitas lingkungan terutama akibat polusi udara yang parah, serta kebutuhan yang besar terhadap sarana transportasi dan infrastruktur terkait lainnya. Di sisi lain, segregasi sosial juga nampak tidak semakin membaik. Kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan antar kelompok pendapatan, etnis, suku dan golongan, rawan menimbulkan konflik-konflik sosial. Hal ini semakin diperburuk dengan semakin tergerusnya ruang-ruang publik kota yang digantikan oleh pusat-pusat bisnis, perbelanjaan dan perumahan mewah. Akhirnya Jakarta seperti sumbu panas yang mudah sekali tersulut menjadi konflik horizontal antar etnik, antar kampung maupun
2
antar kelompok.
Jakarta yang Semakin Megah
P
erekonomian Jakarta yang digambarkan dengan PDRB dalam
lima tahun terakhir mengalami
peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari Rp.
501,8 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp. 862,02 triliun pada tahun 2010. Dominasi sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dalam perekonomian Jakarta belum tergoyahkan disamping sektor bangunan dan sektor jasa-jasa. Perekonomian Jakarta juga tumbuh pesat dengan pertumbuhan ekonomi diatas pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam periode 2006-2008, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
6,2%. Dengan pendapatan per kapita sebesar Rp. 73,3 juta Dengan pendapatan per per tahun, Jakarta menjadi daerah dengan pertumbuhan kapita sebesar Rp. 73,3 juta per tahun, Jakarta ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dari menjadi daerah dengan pertumbuhan dan pendapatan per kapita nasional. pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per Pertumbuhan ekonomi Jakarta disokong oleh sektor tersier kapita yang lebih tinggi yang menyumbang sebesar 70% terhadap total PDRB. dari pertumbuhan dan pendapatan per kapita Sektor tersier ini terutama adalah sektor perdagangan, nasional. hotel, dan restoran yang mempunyai kontribusi terhadap perekonomian daerah sekitar 20 persen; sektor jasa keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sekitar 28 persen; dan sisanya diberikan oleh sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa lainnya. Pada tahun 2009, pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor pengangkutan dan komunikasi yaitu sebesar 15,6 persen, kemudian diikuti oleh sektor jasa-jasa sebesar 6,5 persen, sektor bangunan sebesar 6,2 persen, sektor listrik, gas, dan air bersih sebesar 4,6 persen, sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 4 persen, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dengan pertumbuhan 4 persen, sektor industri pengolahan sebesar 0,14 persen, sektor pertanian dengan
pertumbuhan 0,3
persen, dan sektor pertambangan dan penggalian dengan pertumbuhan sebesar minus 4,34 persen. Pertumbuhan ekonomi secara sektoral memperlihatkan sektor-sektor seperti sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan; sektor jasa-jasa mengalami pertumbuhan yang relatif stabil. Sementara Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
3
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
sektor bangunan dalam lima tahun terakhir mengalami pertumbuhan relatif cepat dibandingkan sektor-sektor lainnya.
Menjamurnya
pembangunan
tower-tower
apartemen di hampir seluruh penjuru ibukota, pusatpusat perbelanjaan dari yang kelas menengah sampai yang super mewah menjadi simbol pertumbuhan dari sektor konstruksi. Belum lagi pembangunan yang berasal dari pengeluaran sektor pemerintah seperti Banjir Kanal Timur, jalan layang non tol dan rumah susun. Selain konstruksi, sektor pengangkutan dan komunikasi selama lima tahun juga mengalami pertumbuhan fe nomenal dengan kisaran sekitar 14 persen per tahun.
4
Pertumbuhan ini didorong oleh perkembangan penggunaan teknologi informasi khususnya internet dan komunikasi seluler. Jakarta pun memiliki peluang besar untuk menjadi sentra industri teknologi-informasi yang sangat bertumpu pada sumber daya manusia (SDM) unggul. Jakarta sebagai pusat pendidikan teknologi informasi dan telekomunikasi di Indonesia, memiliki potensi besar menjadi pusat industri teknologi-informasi karena memiliki infrastruktur dan SDM terlatih yang berlimpah. Jakarta ke depan bahkan dapat diposisikan sebagai electronic super sites yang fokus pada riset dan pengembangan teknologi (R&D), SDM, industri IT dan mikroelektronika. Kemegahan Jakarta juga ditandai dengan lalulintasnya yang semakin padat dan kemacetan yang semakin akut. Tahun 2010 jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 6,7 Juta unit, dengan kendaraan roda dua mencapai 4,3 Juta Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
unit dan sebanyak 2,4 Juta unit kendaraan roda empat. Setiap harinya pertumbuhannya mencapai 1.172 Unit dengan komposisi 986 kendaraan roda dua dan 186 roda empat. Kepadatan ini berdampak pada kondisi lalulintas yang tidak seimbang dimana sebagian besar waktu di jalan justru berada dalam kemacetan. Dari total waktu perjalanan pada beberapa ruas jalan, 40% merupakan waktu bergerak dan 60% merupakan waktu hambatan. Kecepatan rata-rata lalu lintas adalah 20,21 km/jam. Penanaman modal baik PMDN maupun PMA dalam kurun waktu 2006-2009 mengalami perkembangan yang fluktuatif. Investasi yang ditanamkan oleh pemodal asing di DKI Jakarta mengalami kinerja yang meningkat pada tahun 2008, namun menurun tajam pada tahun 2009. Sementara untuk PMDN,
investasi masih cenderung
mengalami peningkatan meskipun peningkatan yang relatif rendah. Berbagai faktor memberikan pengaruh terhadap fluktuasi investasi di Jakarta. Walau penurunan investasi asing pada tahun 2009 diduga dipengaruhi oleh krisis global yang berlangsung saat itu,
iklim
investasi di Jakarta saat ini juga belum sepenuhnya menunjukkan kondisi yang kondusif. Dalam survei Doing Business 2011 yang dilakukan oleh IFC-The World Bank, Indonesia yang direpresentasikan oleh Jakarta, masih menempati peringkat 121 dari 180 negara dalam hal kemudahan melakukan usaha. Peringkat ini lebih rendah dari peringkat negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam, yang menjadi kompetitor dalam
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
5
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
menarik investasi. Di Jakarta masih dibutuhkan waktu 43 hari untuk mengurus berbagai perijinan untuk investasi dengan 9 prosedur yang harus dilalui. Bandingkan dengan negara-negara maju yang hanya butuh 14 hari dan enam prosedur. Bahkan dibandingkan dengan kota-kota lain, dalam survei Sub National Doing Business 2010, Jakarta hanya menempati peringkat ke-7 dari 14 kota dalam kemudahan berusaha.
Potret Paradoks Jakarta 6
D
itengah kemegahan yang muncul, Jakarta juga masih menyimpan sejumlah kondisi yang paradoks dengan kemegahan, modernitas dan
gemerlap wajah kota. Secara ekonomi ini ditandai dengan angka koefisien Gini yang rendah. Dalam periode tahun 2006-2010, koefisien Gini di DKI Jakarta relatif stabil pada angka 0,36-0,38 yang menunjukkan masih cukup tingginya kesenjangan pendapatan diantara penduduk. Penilaian Bank Dunia menunjukkan bahwa 40% penduduk Jakarta hanya menikmati sekitar 17% kue ekonomi kota . Secara ekstrem, fenomena ketimpangan ini ditunjukkan dengan gedung-gedung perkantoran, apartemen mewah dan pusat perbelanjaan raksasa yang berdampingan dengan pemukiman padat dan kumuh. Potret lain adalah manusia gerobak yang berada di kolong-kolong flyover, atau bahkan di depan gedung perkantoran. Keberadaan kafekafe dan resto mewah yang hanya berjarak puluhan meter dengan warung-warung makan kecil yang tidak higienis.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Menumpuknya mobil-mobil mewah di samping bus kota non AC yang penuh sesak penumpang. Sementara, KRL ekonomi melaju dengan atap yang dipenuhi penumpang. Tidak berlebihan jika dikatakan Jakarta masih dipenuhi dengan berbagai permasalahan sosial dan persoalan kesejahteraan ditengah kemegahan yang dihadirkan. Tuntutan sebagian masyarakat kota khususnya kaum pekerja dan kelas menengah kota mungkin lebih banyak pada bagaimana menghadirkan kota yang nyaman dan modern. Hal ini pula yang menggiring visi pembangunan kota juga diarahkan pada membangun kenyamanan kota. Akibatnya pembangunan kota juga diarahkan pada upaya menciptakan kenyamanan kota seperti infrastruktur jalan (flyover, underpass, jalan layang non tol), infrastruktur pengendali banjir seperti kanal banjir, waduk, pompa pengendali dan sebagainya. Padahal pembangunan infrastruktur jalan ini seperti beradu cepat dengan pertumbuhan kendaran di Jakarta dan sayangnya selalu kalah sehingga kemacetan semakin tidak teratasi. Pembangunan fisik juga didukung oleh sektor swasta yang secara agresif membangun properti seperti gedung perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan, entertainment center, berbagai bentuk melting point, bahkan rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang megah. Gedung pendidikan, kesenian dan kebudayaan juga berdiri megah baik yang didirikan pemerintah maupun swasta untuk mendukung gaya hidup kota metropolitan internasional.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
7
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah apakah pembangunan infrastruktur dan fisik ini sudah seimbang dengan pembangunan “perangkat lunak”nya untuk menghasilkan kesejahteraan bagi semua penduduk Jakarta?
Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah apakah pembangunan infrastruktur dan fisik ini sudah seimbang dengan pembangunan “perangkat lunak”nya untuk menghasilkan kesejahteraan bagi semua penduduk Jakarta? Apakah pembangunan fisik ini juga sudah dirasakan manfaatnya oleh warga Jakarta khususnya 40% penduduk yang masih berpendapatan rendah? Apakah kebijakan yang diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat dan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk juga berjalan sama cepat dengan pembangunan fisik? Apakah peningkatan kualitas manusia yang ditunjukkan dengan indeks pembangunan manusia (IPM) penduduk Jakarta sudah sama tinggi dengan pertumbuhan ekonomi daerah?
8
Sementara, sebagai konsekuensi tumbuh sebagai kota metropolitan modern, Jakarta juga dihinggapi problema yang berasal dari modernitas. Penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, kenakalan remaja dan konflik yang terjadi di pusat-pusat hiburan dan kriminalitas yang lahir dari kesenjangan ekonomi, bukan sesuatu yang asing di Jakarta. Tentu saja pertanyaan-pertanyan ini tidak bermaksud mendikotomikan
atau
mempertentangkan
antara
perkembangan kota modern dengan kesejahteraan masyarakat, seolah keduanya tidak dapat berjalan beriringan. Bukankah wacana “growth with welfare” sudah lama didengungkan para ekonom dunia? Kita tidak harus memilih salah satu, apakah pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik atau pemenuhan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
kebutuhan dasar? Bahkan dalam konsep welfare state yang berkembang di dunia terutama di Eropa Utara, pertumbuhan ekonomi dan berkembangnya bisnis sektor swasta menjadi pilar pembentuk kebijakan dan penerapan negara kesejahteraan. Tentu saja yang ingin ditekankan disini, adalah sejauh mana kebijakan sosial dan komitmen pembangunan kesejahteraan rakyat sudah dijalankan dengan baik, dan apakah anggaran sudah secara efektif diarahkan pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Perbandingan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia dan Jakarta Tahun
Jakarta
Indonesia
1
No
2004
76.1
71.1
2
2005
76.0
72.8
3
2006
76.1
72.6
4
2007
76.3
73.4
5
2008
77.3
71.7
6
2009
77.2
73.4
D
9
ari sudut pandang ekonomi pembangunan, terdapat patut
beberapa
diperhatikan
kecenderungan bagi
kebijakan
yang dan
Tantangan Pembangunan Ibukota
strategi pembangunan perkotaan di Jakarta. Pertama,
korelasi positif antara pembangunan ekonomi dan tingkat urbanisasi. Tingkat urbanisasi akan semakin tinggi
karena Jakarta memiliki gemerlap dan posisi sebagai Pertama, korelasi positif antara pembangunan pusat kegiatan ekonomi, bisnis dan pemerintahan. ekonomi dan tingkat Pendatang dari berbagai strata sosial-ekonomi dan level urbanisasi. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
intelektualitas berduyun-duyun menuju Jakarta untuk “bertarung” meraih kesuksesan di ibukota. Padahal bagi Indonesia, Jakarta berperan sebagai “engine of development” dengan peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan Jakarta akan secara langsung berpengaruh pada pertumbuhan nasional. Dengan besarnya kontribusi Jakarta pada perekonomian nasional, maka setiap gangguan pada perekonomian Jakarta secara langsung akan berpengaruh pada perekonomian nasional. Karena itu menjadi penting untuk terus mempertahankan dan memastikan pertumbuhan Jakarta yang tinggi dan lestari (sustainable) ke depan.
10 Kedua, daerah-daerah metropolitan tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah perkotaan lainnya yang lebih kecil.
Kedua, daerah-daerah metropolitan tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah perkotaan lainnya yang lebih kecil. Karena memiliki ukuran lebih besar dari kota disekililingnya, Jakarta akan terus menghadapi masalah yang semakin meningkat
intensitasnya.
Masalah
yang
dimaksud
terutama terkait dengan penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur dan penyediaan jasa publik, serta perlindungan alam dan lingkungan hidup. Kegagalan dalam mengelola Jakarta, akan berimplikasi pada semakin meningkatnya derajat dan intensitas permasalahan sehingga berbagai permasalahan tersebut akan semakin sulit dipecahkan. Ketiga, dengan intensitas keterkaitan antara desa-kota yang masih tinggi, Jakarta masih akan terus menjadi sasaran bagi Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
datangnya pendatang dari desa-desa yang mulai mengalami Ketiga, dengan surplus tenaga kerja di sektor pertanian. Hal ini diperparah intensitas keterkaitan antara desa-kota yang dengan semakin mudahnya transportasi menuju kota, dan masih tinggi, Jakarta kesenjangan desa-kota yang semakin tinggi. masih akan terus menjadi sasaran bagi Selain itu, penting pula bagi para pengambil kebijakan datangnya pendatang untuk mengetahui dan memahami permasalahan Jakarta dari desa-desa yang mulai mengalami yang kompleks dan telah menahun. Pertama, semakin surplus tenaga kerja di meningkatnya segregasi sosial dan fungsional dari kelompok- sektor pertanian. kelompok pendapatan. Daerah bisnis/perkantoran dan daerah pemukiman yang semakin berjarak telah melahirkan masyarakat Jabodetabek yang sebagiannya “penglajo” dari pinggiran bahkan luar kota ke pusat kota dan membutuhkan mobilitas tinggi. Jakarta juga menjadi kota unik dimana “jumlah penduduk” pada siang hari bisa dua kali lipat dari jumlahnya pada malam hari. Pola “penglajo” ini telah menimbulkan masalah pemborosan dan inefisiensi yang muncul akibat kemacetan. Segregasi ini juga melahirkan Jakarta yang dipenuhi oleh perumahan dan apartemen mewah yang hanya mampu diakses oleh rumah tangga kaya. Sementara kelompok pekerja menengah-bawah yang merupakan kelompok terbesar di Jakarta terpaksa tinggal luar kota seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi atau memaksakan diri hidup di lingkungan padat dan kumuh, sebagian bahkan di kamar-kamar kontrakan atau kost sempit dengan fasilitas seadanya. Pada saat yang sama, Jakarta juga sayangnya belum memiliki sistem transportasi makro yang bersifat
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
11
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
massal, murah dan cepat. Akibatnya, ketidakseimbangan fungsional ini harus dibayar mahal oleh kota ini dalam bentuk munculnya kawasan-kawasan kumuh, penurunan kualitas lingkungan, rendahnya efisiensi lahan dan kawasan, serta jauhnya penduduk dengan tempat kerja. Variasi dari dampak yang muncul dalam mengatasi persoalan ini oleh masyarakat adalah, dipenuhinya jalan oleh sepeda motor sebagi pilihan sarana transportasi yang murah dan cepat. Sementara itu, segregasi sosial antara kelompok pendapatan bawah dan menengah-atas di Jakarta yang terus meningkat. Ini merupakan sumber potensial bagi konflik-konflik sosial.
12
Sistem kepemilikan pertanahan yang rumit dan tidak tersedianya rumah murah yang layak, telah menciptakan pemukiman kumuh perkotaan dan rusaknya daerah aliran sungai. Kelompok miskin kota yang tidak memiliki tempat tinggal, kemudian menciptakan permukiman kumuh dan padat serta permukiman liar di bantaran sungai, bawah jembatan, dan jalur hijau. Ditambah lagi dengan hilangnya ruang-ruang publik kota, taman kota, ruang interaksi masyarakat, termasuk lapangan olahraga yang digantikan oleh berbagai pusat bisnis dan perbelanjaan telah semakin meningkatkan kerawanan sosial. Kedua, masih tingginya jumlah penduduk miskin, pengangguran dan sektor informal kota. Kemiskinan terlihat semakin akut di Jakarta dan memiliki dampak sosial yang luas seperti kriminalitas, prostitusi, anak-anak jalanan, daerah-daerah kumuh, dan bahkan kerusuhan. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Sementara itu pengangguran masih terjadi dalam skala luas akibat rendahnya investasi dan masih terbatasnya lapangan kerja yang tersedia. Belanja pemerintah bahkan nyaris tidak memberi kontribusi terhadap pengurangan pengangguran. Penduduk yang sumber pendapatannya berasal dari usaha kecil dan mikro, umumnya sulit keluar dari tingkat pendapatan yang rendah. Mereka tumbuh hanya menjadi usaha yang subsisten, sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan penyerapan tenaga kerja yang terbatas. Ketiga, masalah Jakarta yang semakin rawan adalah masalah
lingkungan
yang
semakin
parah
akibat
pertumbuhan populasi dan pembangunan yang tidak
13
berwawasan lingkungan. Masalah banjir, sampah, air bersih, pencemaran air, udara, dan tanah, menyusutnya daerah resapan air dan kawasan hijau, dan rusaknya daerah aliran sungai, terlihat semakin parah. Tanpa usaha perbaikan yang serius dan berkesinambungan, bukan mustahil suatu saat nanti lingkungan tidak akan mampu lagi menampung pertumbuhan kota. Hingga saat ini saja, Jakarta sudah menjadi kota paling tercemar ke-tiga di dunia setelah Mexico City dan Bangkok.
J
akarta memang memiliki pendapatan per kapita yang jauh lebih tinggi daripada daerah-daerah lain. Namun itu semua bukanlah berarti Jakarta
tidak membutuhkan kebijakan sosial dan program yang
Kerangka Dasar Menuju Pembangunan Manusia Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan. Betul, kita memang bisa mengatakan biarkan pasar dan sektor swasta bekerja karena mereka relatif bisa menciptakan efisiensi.
Namun
kebijakan
yang
secara
khusus
diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan terpenuhinya kebutuhan dasar juga menjadi kebutuhan yang mendesak. Memberikan perhatian pada penciptaan kesejahteraan di ibukota memiliki banyak rasionalitas. Pertama, kesejahteraan adalah tujuan bernegara selain keadilan. Dalam konteks daerah, kesejahteraan adalah tujuan utama kebijakan dan pengelolaan daerah dalam bentuk
14
pemenuhan
kebutuhan
dasar
penduduk.
Bahkan
indikator keberhasilan sebuah daerah atau negara adalah kesejahteraan penduduknya dalam bentuk indeks pembangunan manusia. Secara politik, dukungan juga akan datang ketika sang pemimpin daerah bisa menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Kedua,
kesejahteraan
mempromosikan
efisiensi
ekonomi. Kesejahteraan yang lebih tinggi memiliki dampak eksternalitas positif baik dari sisi mikro maupun makro ekonomi sehingga akan mendorong peningkatan efisiensi ekonomi. Efisiensi inilah yang diharapkan akan dapat lebih memperbaiki alokasi sumber daya anggaran agar lebih mencapai sasaran. Sebagai kota modern, sudah selayaknya Jakarta menempatkan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya anggaran dan sumber daya ekonomi yang dimilikinya. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Ketiga, kesejahteraan akan menurunkan kemiskinan yang menjadi problem utama sekaligus musuh pembangunan. Tidak ada satupun negara atau daerah yang ingin dicap sebagai miskin atau dikatakan memiliki tingkat kemiskinan tinggi. Keempat, kesejahteraan mendorong kesamaan sosial dan menurunkan kesenjangan sosial. Persamaan hak-hak ekonomi, politik, sosial-budaya hingga kesamaan perlakuan di depan hukum dapat dipromosikan dengan penciptaan kesejahteraan secara merata. Kelima, kesejahteraan mempromosikan stabilitas sosialpolitik. Stabilitas yang sejati hanya akan tercapai ketika semua warga sejahtera lahir dan batin. Stabilitas yang bersumber dari tindakan represif-manipulatif negara, hanya akan menciptakan stabilitas artifisial yang semu. Keenam, kesejahteraan mendorong pemberdayaan ma syarakat yang dibutuhkan untuk melahirkan kemandirian. Dengan kemandirian ini diharapkan masyarakat semakin kreatif dan inovatif, serta semakin mengurangi keter gantungannya kepada pemerintah. Secara historis, penciptaan kesejahteraan bagi seluruh Secara historis, warga merupakan amanat perjuangan kemerdekaan. Para penciptaan kesejahteraan pendiri negeri telah menegaskan bahwa negara-bangsa bagi seluruh bernama Indonesia ini dibentuk untuk mengupayakan warga merupakan terciptanya kemakmuran lahir dan batin bagi segenap amanat perjuangan kemerdekaan. penduduknya. Sejak awal merdeka, pemerintahan Indonesia selalu mengupayakan penyelenggaraan sistem
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
15
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
kesejahteraan sosial, salah satunya dicetuskan Kabinet Hatta (1949-1950) dengan rumusan “jaminan sosial”. Pada prinsipnya, penciptaan kesejahteraan masyarakat membutuhkan tiga prasyarat dasar. Pertama, kehadiran pemerintahan yang memihak rakyat banyak (pro-poor government) dalam lingkungan politik yang stabil. Dalam alam demokrasi saat ini, stabilitas ini hanya dapat diraih melalui aliansi politik. Namun aliansi politik harus didasari oleh tujuan kesejahteraan publik (welfare-driven), bukan kepentingan pragmatis jangka pendek orang-perorang. Kedua, kehadiran institusi yang memihak rakyat banyak (pro-poor
16
institutions).
Penyediaan
kesejahteraan
membutuhkan institusi yang responsif, kompeten dan bersih untuk memberikan pelayanan publik secara optimal. Disinilah reformasi birokrasi menjadi kata kunci terpenting dalam penciptaan kesejahteraan di Jakarta. Ketiga, kehadiran kebijakan yang memihak rakyat banyak (pro-poor policy). Dalam dunia nyata, implementasi idealita adalah sulit dan sering menemui resistensi dari vested interest groups. Lebih jauh lagi, seringkali terjadi deviasi antara rencana dan realisasi. Disinilah dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk mendahulukan kepentingan sosial diatas kepentingan kelompok-kelompok status quo, dalam bentuk mempromosikan kebijakankebijakan pembangunan sosial yang luas. Hanya dengan komitmen yang kuat maka kesejahteraan untuk semua akan terwujud. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Kerangka Dasar Pembangunan Kesejahteraan di DKI Jakarta
DKI Jakarta “Welfare City”
Aliansi Politik “welfare-driven”
Reformasi Birokrasi dan Peran Stakeholders
Komitmen Pembangunan Sosial
Pro-poor government
Pro-poor institutions
Pro-poor policy
M
eskipun sebagian penduduk Jakarta su dah pada tahap pemenuhan kebutuhan tersier dan gaya hidup, namun tetap ada
kewajiban bagi pengelola pemerintahan dan pengambil
17 Pembangunan Manusia melalui Memenuhi Kebutuhan Dasar
kebijakan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Pemenuhan kebutuhan ini adalah bagian dari tanggungjawab negara/ daerah terhadap penduduknya. Bahkan jika melihat bahwa, masih lebih dari 300 ribu penduduk Jakarta yang hidup dibawah garis kemiskinan dan masih cukup banyak penduduk yang hidup dengan pendapatan kurang dari 1 juta per bulan, maka menjadi sangat penting bagi pemerintah untuk tetap menyediakan pelayanan publik yang menjadi kebutuhan dasar penduduk. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Kebutuhan dasar penduduk pertama yang harus dipenuhi adalah hak dasar bagi penduduk untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Kebutuhan dasar penduduk pertama yang harus dipenuhi adalah hak dasar bagi penduduk untuk memperoleh pendidikan yang layak. Bagi Jakarta sebagai kota inter nasional, paling tidak setiap penduduk bisa bersekolah sampai dengan SMU atau wajib belajar 12 tahun. Namun dari sisi anggaran, tentu saja target ini tidak mudah untuk dipenuhi. Partisipasi publik masih tetap diperlukan untuk dapat terpenuhinya pemenuhan kebutuhan pendidikan 12 tahun. Setidaknya pemerintah dapat menjamin penduduk yang masuk kategori tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dasar. Jakarta juga dapat berfokus pada peningkatan kualitas dan sarana pendidikan dan pemenuhan pada pendidikan khusus seperti pendidikan kejuruan dalam rangka penyiapan sumber daya manusia
18
siap kerja. Apalagi umumnya pendidikan kejuruan ini lebih diminati oleh siswa dari kelompok ekonomi menengah ke bawah, sehingga menjadi sangat wajar jika subsidi dialokasikan kepada pendidikan kejuruan ini untuk pemenuhan kebutuhan pendidikan 12 tahun. Pada urutan kedua kebutuhan dasar yang harus dipenuhi adalah kebutuhan akan pelayanan kesehatan.
Pada urutan kedua kebutuhan dasar yang harus dipenuhi adalah kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan ini umumnya diimplementasikan melalui jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Pada beberapa daerah, cakupan jaminan layanan kesehatan ini bahkan bisa mencakup seluruh penduduk. Hal ini bisa direalisasikan bila jumlah penduduk tidak banyak atau ada skema keterlibatan partisipasi masyarakat melalui premi. Jakarta memiliki
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
APBD yang cukup besar, namun juga memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih besar pula dibanding kabupaten/ kota lainnya di Indonesia. Sehingga di Jakarta mungkin saja diwujudkan jaminan pelayanan kesehatan yang mencakup seluruh penduduk, namun dekat residual, atau hanya diberikan bagi penduduk yang belum memiliki jaminan kesehatan dari sumber lain (Askes, Jamsostek, ASABRI dan asuransi swasta). Tentu saja jaminan ini memiliki batasan pelayanan kesehatan tingkat tiga, sebagaimana penggolongan dalam sistem kesehatan daerah. Namun yang juga sangat penting adalah memberikan jaminan layanan bagi ibu hamil dan balita, khususnya dalam memperoleh jaminan pelayanan pemeriksaan dan pemeliharaan gizi, mengingat mereka adalah kelompok yang rentan dan memerlukan perhatian khusus. Jaminan
Sosial menjadi kebutuhan ketiga yang harus Jaminan Sosial menjadi dipenuhi setelah kebutuhan penduduk. Jaminan sosial ini kebutuhan ketiga yang harus dipenuhi setelah mencakup jaminan sosial diluar pendidikan dan kesehatan. kebutuhan penduduk. Jaminan ini riilnya berupa jaminan khusus bagi kelompok masyarakat berkebutuhan khusus dan jaminan memperoleh pekerjaan/kesempatan berusaha. Jaminan sosial bagi pen duduk berkebutuhan khusus mencakup layanan maupun prioritas khusus dalam pelayanan publik , bahkan termasuk potongan harga khusus untuk jasa yang disediakan oleh pemerintah, termasuk dalam bidang pariwisata. Sehingga penduduk berkebutuhan khusus ini mendapat pelayanan yang juga istimewa sesuai kebutuhannya tanpa bermaksud memandangnya sebagai kelompok yang lemah.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
19
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
Jaminan penyediaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha adalah wujud dari pemenuhan kebutuhan ekonomi penduduk. Hal ini dapat diwujudkan melalui peraturan dan iklim usaha yang kondusif untuk tumbuhnya kegiatan ekonomi dan usaha, termasuk mendorong berkembangnya usaha-usaha baru melalui berbagai skema kebijakan baik sisi permodalan maupun keterampilan usaha dan kemitraan usaha. Di negaranegara Eropa Utara, penerapan welfare state sangat didukung oleh berkembangnya sektor swasta dan kegiatan bisnis yang memungkinkan didapatkan penerimaan pajak yang cukup tinggi untuk membiayai sektor-sektor dan program jaminan sosial.
20
Kebutuhan dasar keempat yang harus terpenuhi untuk pembangunan manusia di Jakarta adalah kebutuhan perumahan dan air bersih.
Kebutuhan dasar keempat yang harus terpenuhi untuk pembangunan manusia di Jakarta adalah kebutuhan perumahan dan air bersih. Pembangunan pemukiman yang dilakukan oleh pengembang swasta dengan mekanisme pasar tidak mampu dijangkau masyarakat berpenghasilan rendah yang justru membutuhkan pemukiman dan saat ini tinggal dalam pemukiman yang tidak layak. Oleh karena itu tetap dibutuhkan keterlibatan pemerintah dalam penyediaan pemukiman bagi kelompok masyarakat ini yang merupakan pekerja pada berbagai sektor ekonomi di Jakarta. Disisi lain, pembenahan dan penataan kawasan padat penduduk juga diperlukan agar masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut dapat lebih baik. Apalagi kita juga harus memenuhi target pencapaian MDGs yaitu tercapainya City Without Slums . Bagian dari
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta : Modernitas & Pembangunan Manusia
penataan pemukiman ini adalah pemenuhan kebutuhan air bersih dan sanitasi yang layak bagi penduduk, termasuk penduduk yang tinggal di kawasan padat dan kumuh. Mewujudkan kesejahteraan untuk meningkatkan kualitas Meningkatkan kualitas pembangunan manusia memang harus dilakukan pembangunan manusia memang harus secara menyeluruh dan terintegrasi. Oleh karena itu, dilakukan secara gagasan yang ditawarkan adalah menyatukan urusan- menyeluruh dan urusan yang terkait dengan kesejahteraan dalam suatu terintegrasi. koordinasi.
Penyatuan
urusan
kesejahteraan
yang
mencakup pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan layanan administrasi kependudukan, perumahan dan ketenagakerjaan bahkan bukan hanya di tingkat eksekutif pelaksana kebijakan, namun juga di legislatif sebagai perumus kebijakan. Sudah selayaknya urusan-urusan yang terkait dengan kesejahteraan penduduk ini berada dalam satu komisi tersendiri di legislatif di DKI Jakarta sehingga pembahasannya lebih komprehensif.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
21
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta
Bercermin kepada Negara ASEAN Selamat Nurdin Ketua DPW PKS DKI Jakarta
B
erbagai
indeks
dan
parameter
konsep
pembangunan dan kesejahteraan kini semakin berkembang sesuai dengan tahapan kualitas
kehidupan di era modern. Jika dahulu kesejahteraan
22
sebuah negara dilihat hanya pertumbuhan ekonomi kuantitatif semata (baca: raga), kini telah bergeser dengan memasukan unsur-unsur kualitatif seperti pendidikan, kesehatan, serta kualitas kehidupan lainnya (baca: jiwa). Sebagaimana sya’ir lagu kebangsaan Indonesia Raya, kita harus senantiasa ‘bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya!’. Hal pertama yang harus menjadi prioritas hakikatnya adalah membangun jiwa terlebih dahulu, baru kemudian membangun raga. Puluhan tahun lalu orang lebih melihat pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produk domestik bruto (PDB) ataupun peningkatan PDB dan pendapatan per kapita atau hanya aspek raga saja. Jika PDB meningkat dari tahun ke tahun dan bila pendapatan per kapita juga meningkat per tahun dalam periode
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
waktu tertentu, itu sudah dikatakan sebagai terjadinya pembangunan di negara yang bersangkutan. Perekonomian Jakarta yang digambarkan dengan PDRB atas dasar harga berlaku dalam
lima tahun terakhir
mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari Rp. 501,8 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp. 862,19 triliun pada tahun 2010. Perekonomian Jakarta juga tumbuh dengan pesat dengan pertumbuhan ekonomi diatas pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam periode 2006-2008, pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6% dengan tingkat inflasi di bawah 6%. Namun kemudian, kebanyakan wilayah yang mengalami pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita tidaklah menunjukkan perbaikan dalam kehidupan dan pembangunan manusia, karena masih melupakan sebagian besar rakyat yang masih hidup dalam kemiskinan. Peningkatan pendapatan per kapita tidaklah Para ahli dan banyak orang memandang pembangunan menunjukkan perbaikan yang terjadi hanya menciptakan ketimpangan distribusi dalam kehidupan pendapatan. Beberapa kelompok masyarakat memang dan pembangunan manusia, karena masih betul mengalami perbaikan raga atau badannya, namun melupakan sebagian secara kejiwaan mereka terancam derajatnya, aspek besar rakyat yang masih hidup dalam kemiskinan. ‘bangunlah jiwanya’ luput diperhatikan. Sasaran pembangunan milenium atau Milenium De velopment Goals telah dicanangkan oleh Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) yang meliputi delapan tujuan yang harus dicapai pada tahun 2015 yang meliputi sektor pemerataan pendidikan, pengentasan kemiskinan Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
23
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
dan kelaparan, peningkatan kualitas kesehatan dan lingkungan hidup, kesetaraan gender, serta pemberdayaan perempuan. Parameter yang masih belum dipenuhi itu relevan diukur dengan data UNDP yang selalu dirilis tahunan, yakni Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index yang kini lebih populer menjadi parameter standar kualitas kesejahteraan sumber daya manusia di dunia. Kualitas ini mencerminkan kemampuan SDM untuk berusaha dalam meningkatkan kesejahteraannya sehingga dapat keluar dari jerat kemiskinan. Berikut ini dapat ditampilkan bagaimana besaran dan
24
ketimpangan IPM antara Jakarta dan beberapa provinsi besar pilihan, yang relatif berkembang dari tahun ke tahun. DKI Jakarta senantiasa memimpin di ranking pertama. Peringkat
Provinsi
8 Provinsi Pilihan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
DKI Jakarta Sulawesi Utara Riau Yogyakarta Kalimantan Timur Kepulauan Riau Sumatera Utara Sumatera Barat
IPM 1996
1999
2002
2004
2005
2006
2007
2008
76,1 71,8 76,6 71,8 71,4 66,5 70,5 69,2
72,5 67,1 67,3 68,7 67,8 67,3 66,6 65,8
75,6 71,3 69,1 70,8 69,9 67,3 68,8 67,5
76,1 73,4 73,2 72,9 72,2 70,8 71,4 70,5
76,0 74,2 73,6 73,5 72,9 72,2 72,0 71,2
76,1 74,4 73,8 73,7 73,3 72,8 72,5 71,6
76,3 74,9 74,4 74,1 73,8 72,9 72,7 72,1
77,3 75,6 75,1 74,8 74,5 75,1 73,3 72,9
Sumber: BPS, BAPPENAS dan UNDP 2007
Sehingga dapat disimpulkan bahwa IPM DKI Jakarta selalu berada di atas rata-rata provinsi lainnya, bahkan melebihi capaian kinerja IPM Indonesia, seperti yang disajikan data berikut: Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
Kinerja dan Peringkat IPM Indonesia
IPM (%)
Peringkat Dunia
2004 2005 2006 2007 2008
71,1 72,8 72,6 73,4 71,7
108 107 109 108 107 Sumber: UNDP
Jika Jakarta ingin bercermin terkait dengan capaiannya selama ini, selayaknya dapat dibandingkan dengan kondisi yang terjadi di Kawasan Asia Tenggara atau negara tetangga di ASEAN. Negara-negara ASEAN kini banyak yang telah mampu mencapai beberapa target dalam Millenium Development Goals (MDG) seperti menurunkan angka kemiskinan, memberikan pendidikan dasar, menurunkan kematian bayi, dan kesejahteraan gender di bidang pendidikan sebagai indikator kualitatif. Namun untuk parameter lainnya seperti meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya serta memelihara kelestarian lingkungan hidup lainnya untuk beberapa negara seperti Laos, Vietnam dan Indonesia nampak masih sangat minim. Sebagai perbandingan yang lebih fair, mengingat Jakarta sudah harus bercermin kepada Negara di ASEAN maka berikut ini dikemukakan tentang IPM Indonesia, bahkan dalam hal ini Jakarta jika dibandingkan negara-negara Asia Tenggara yang termasuk dalam Kelompok IPM Menengah. IPM yang terdiri dari dimensi kesehatan, akses kepada pendidikan dan batasan standar hidup di Jakarta masih relatif tertinggal dibandingkan negara
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
25
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
tetangga, meski sudah masuk ke dalam IPM yang relatif tinggi diantara Kelompok HDI menengah. Jika saja Jakarta dalam hal ini mampu menembus angka psikologis IPM 80,0 maka ibukota republik ini sudah layak bersanding dengan Kelompok IPM Tinggi di ASEAN. Berdasarkan data-data serta penelitian ini, di ASEAN Indonesia hanya berada di atas Vietnam dan Kamboja, sedangkan Thailand, Singapura, Filipina dan Malaysia posisinya selalu berada di atas Indonesia. IPM Jakarta & Indonesia di ASEAN Masih Berada pada Kelompok Menengah
26
Indeks Pembangunan Manusia di ASEAN
Tahun 2002
Tahun 2007 *penyesuaian
Tahun 2005
Kelompok
Negara
IPM (%)
Peringkat
IPM (%)
Peringkat
IPM (%)
Peringkat
Kelompok IPM Tinggi (kisaran 80,0 – 100,0)
Singapura Brunei Dslm Malaysia
90,2 86,7 79,3
25 30 63
92,2 89,4 81,1
25 33 59
94,4 92,0 82,9
23 30 66
Thailand Filipina
76,3 75,3
78 90
78,1 77,1
76 83
78,3 75,1
86 105
Jakarta
75,6
-
76,0
-
76,3
-
Indonesia Vietnam Laos
69,2 69,1 53,4
107 105 130
72,8 77,3 60,1
111 112 135
73,4 72,5 62,9
108 116 133
Kelompok IPM Menengah (kisaran 53,0 – 79,9)
Sumber: UNDP, www.wikipedia.org
Sejak 2002, Singapura misalnya berada di ranking 25 (IPM 90,2), Brunei Darussalam ranking 33 (IPM 86,7), dan Malaysia ranking 59 (IPM 79,3). Sementara Thailand berada pada ranking 76 (IPM 76,3), dan Filipina ranking Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
83 (IPM 75,3). Ranking IPM Indonesia di level 111 IPM (69,2) masih lebih baik dari Vietnam dan Laos yang berada pada ranking 112 dan 135. Untuk Jakarta di tahun 2002 mengungguli Filipina namun di bawah Thailand dengan IPM 75,6. Lalu tahun 2005, Singapura tetap di ranking 25 (IPM 92,2), Brunei Darussalam naik di ranking 30 (IPM 89,4), dan Malaysia turun di ranking 63 sementara Thailand dan Filiphina masing-masing ranking 78 dan 90. Ranking IPM Indonesia sempat naik ke level 107 IPM (72,8) namun Vietnam menyalip ke ranking 105 sementara Laos di ranking 130. Jakarta di tahun 2005 turun di bawah Thailand dan Filipina dengan IPM 76,0 karena problem bencana banjir, rob dan sanitasi. Untuk kondisi 2007, Singapura sudah di level 23 (IPM 94,4), Brunei Darussalam ranking 30 (IPM 92,0), dan Malaysia ranking 66 (IPM 82,9). Sementara Thailand berada pada ranking 86 (IPM 78,3), dan Filipina ranking 105 (IPM 75,1). Ranking IPM Indonesia masih lebih baik dari Vietnam dan Laos yang berada pada ranking 116 dan 133. Di tahun 2007, IPM Indonesia 73,4 di ranking 108 merupakan angka indeks di bawah rata-rata untuk kawasan Asia Tenggara . Namun untuk kawasan Asia Pasifik, pencapaian itu sudah di atas rata-rata sebesar 68,6, sehingga IPM Indonesia masih dikategorikan pada posisi menengah. Sementara Jakarta di tahun 2007 kembali mengungguli Filipina meski tetap di bawah Thailand dengan IPM 76,3.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
27
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
Bagaimana dengan pemetaan IPM 2010? Masih tingginya angka kematian ibu menyebabkan Indonesia baik akibat minimnya tindakan preventif ataupun karena bencana alam, diprediksi akan memiliki IPM terendah di Asia Tenggara. Berdasarkan hasil penelitian World Bank pada 2008, angka kematian ibu di Indonesia kembali meningkat menjadi 420/100.000 kelahiran. Sementara pada 2007, angka kematian mencapai 302/100.000 kelahiran. Berdasarkan hasil survei UNDP 2010, IPM Indonesia diindikasikan akan turun ke level 71,1 atau merosot di ranking 111, jauh di bawah Singapura 91,6, Malaysia 80,5, Thailand 78,4, dan Filipina 76,3. Vietnam mungkin akan menyalip kembali Indonesia dari segi ranking IPMnya, tapi jika IPM Jakarta yang dibandingkan tentunya masih jauh
28
lebih baik dari Vietnam dan Laos. Nampaknya, upaya pencapaian sasaran pembangunan milenium (MDGs) Indonesia umumnya dan Jakarta khususnya masih terhambat oleh tingkat disparitas (kesenjangan) yang tinggi. Disparitas adalah masalah Sebuah pencapaian yang mungkin sangat diharapkan oleh negara-negara maju, namun masih perlu meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam hal tata kelola pemerintahan yang baik guna mengikis kesenjangan tersebut.
utama bagi Jakarta secara khusus dan di Indonesia secara keseluruhan, termasuk pula negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam mencapai Millenium Development Goals. Tingkat pertumbuhan ekonomi di Jakarta memang relatif selalu berada di atas 6%, bahkan kini mendekati angka psikologis 7%, sebuah pencapaian yang mungkin sangat diharapkan oleh negara-negara maju, namun masih perlu meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
hal tata kelola pemerintahan yang baik guna mengikis kesenjangan tersebut. Proses peningkatan kualitas sumber daya manusia membutuhkan waktu yang panjang sejak manusia itu dilahirkan, diisi oleh asupan gizi yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya, cara orang tua mengenalkan nilai dan pilihan pendidikan bagi si anak, serta keteladanan pemimpin menjadi faktor utama yang menentukan kualitas anak bangsa. Lebih jauh lagi, parameter Human Development Index dan Gender Development Index di hampir seluruh negara ASEAN masih menghadapi permasalahan. Permasalahan itu terkait rendahnya partisipasi perempuan di angkatan kerja sebagai salah satu parameter gender yang pergunakan untuk mengukur pembangunan ekonomi suatu negara. Unsur kesetaraan seperti akses, partisipasi dan tingkat kapabilitas untuk perempuan masih sangat lemah. Kesulitan Indonesia, khususnya Jakarta untuk menaikkan Di sisi lain pemerintah IPM-nya adalah karena faktor kesenjangan ekonomi daerah juga kurang berperan dalam yang sangat dalam diantara data demografi yang padat menyediakan layanan (densitas tinggi), sehingga nampak kesenjangan kualitas publik dan berbagai kehidupan yang digambarkan secara kontras dengan perangkat infrastruktur dalam mendukung adanya apartemen gedung mewah dengan latar belakang kualitas pendidikan dan pemukiman kumuh. Di sisi lain pemerintah daerah juga kesehatan masyarakat. kurang berperan dalam menyediakan layanan publik dan berbagai perangkat infrastruktur dalam mendukung kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat. Peran
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
29
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
pemerintah
daerah
dalam
menyediakan
layanan
publik dan infrastruktur untuk membangun manusia Indonesia masih sangat terbatas, oleh karena itu kita memerlukan peran proaktif dari anggota masyarakat untuk meningkatkan kualitas dan mengembangkan kemampuan dirinya sendiri. Ini hanya dapat dilakukan jika kita mempunyai kesadaran bahwa pembangunan manusia merupakan tanggung jawab diri kita sendiri, tanpa mengesampingkan peran pemerintah. Setiap anggota masyarakat perlu melakukan evaluasi, lebih bijak dalam gaya hidup dan pengeluaran, disiplin dalam menabung, serta mengalokasikan tabungan untuk investasi dalam pendidikan dan kesehatan. Masyarakat dan sektor swasta
30
juga perlu didorong proaktif dalam hal CSR dan kegiatan kedermawanan untuk mengangkat derajat sosial di lingkungannya. Singkatnya, belajar dari negara maju maka investasi dan orientasi jangka panjang berbagai pihak (pemerintah pusat dan daerah, swasta, kampus dan masyarakat secara umum) dengan fokus alokasi investasi di sektor kesehatan dan pendidikan merupakan determinan peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Pemerintah Daerah Jakarta juga harus mulai serius menggarap Sistem Jaminan Kesehatan Daerah, juga harus mulai mencoba menerapkan pola earmarking atau dedikasi khusus dalam pola pendapatan dan pengeluaran anggaran, untuk kesejahteraan rakyat sehingga anggaran kesejahteraan dapat terdorong lebih tepat sasaran. Hanya dengan kesadaran ini maka
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Bangun Jiwa dan Raga Jakarta Bercermin kepada Negara ASEAN
setiap anak bangsa dapat mengumpulkan bekal untuk meningkatkan kualitas dirinya, lebih mandiri dan dapat keluar dari jerat kemiskinan.
31
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Gagasan Besar
Kesejahteraan
S
ebuah periode kepemimpinan akan selalu dikenang dalam sejarah ketika ada gagasan-gagasan besar yang dimunculkan dan diwujudkan oleh sang
pemimpin. Sependek apapun periode kepemimpinan tersebut, ketika mampu menghasilkan suatu ide atau gagasan besar yang berujung pada manfaat riil, maka sang pemimpin akan selalu dikenang dan dijadikan teladan
bagi
generasi
kepemimpinan
berikutnya.
Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi seorang
34
pemimpin untuk meninggalkan jejak gagasan yang dapat diimplementasikan sekaligus memberi maslahat. Hukum ini berlaku tanpa kecuali. Contohnya, terlepas dari kekurangan yang ada, keber hasilan Ali Sadikin dalam proyek jalan MHT-nya Ketika seorang tokoh atau sebuah partai politik besar di Jakarta mencita-citakan untuk memimpin Jakarta pada periode mendatang, maka keinginan dan kesiapan tersebut juga harus didukung oleh sebuah gagasan besar tentang arah atau visi Jakarta ke depan.
menjadikannya sebagai gubernur yang paling diingat masyarakat. Bahkan nama beliau tetap lekat di hati mereka yang belum lahir pada masa kepemimpinannya. Sutiyoso sedikit banyak juga dikenang dengan gagasan Megapolitan dan busway-nya. . Ketika seorang tokoh atau sebuah partai politik besar di Jakarta mencita-citakan untuk memimpin Jakarta pada periode mendatang, maka keinginan dan kesiapan tersebut juga harus didukung oleh sebuah gagasan besar tentang
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Gagasan Besar Kesejahteraan
arah atau visi Jakarta ke depan. Terlebih lagi, bagi partai dengan label kesejahteraan. Gagasan tersebut haruslah sebuah visi yang jelas tentang ide besar pembangunan yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat banyak. Sehingga gagasan tersebut juga akan sejalan dengan visi dan idealisme partai tersebut yang mencita-citakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Dalam usianya yang mendekati lima abad, Jakarta tumbuh tanpa ciri dan tujuan yang jelas secara fisik maupun kondisi penduduknya. Tata ruang nyaris tanpa arah. Tidak ada ciri kota tua nan klasik dan serasi. Jakarta kini justru memiliki wajah lingkungan yang semrawut. Sungai yang kotor, pemukiman yang kumuh, belum lagi banjir yang selalu menyambangi ibukota ini setiap tahunnya. Penduduknya juga hidup dalam suasana ketimpangan yang sangat kontras. Diantara belantara gedung bertingkat yang modern, ratusan pemukiman kumuh dengan penduduk yang padat dan minim sarana masih menjadi wajah Jakarta kita. Lebih dari 90 ribu penduduk hidup di bantaran sungai dan ratusan ribu lagi tidak memiliki tempat tinggal tetap. Dari sisi sosial ekonomi masyarakat, masih banyak warga Jakarta yang hidup dalam kondisi tidak layak. Lebih dari setengah juta penduduk menganggur dan lebih dari 1,5 juta penduduk masuk dalam kategori miskin. Banyak penduduk sulit mendapatkan akses layanan kesehatan secara layak, dan lebih dari lima ribu kasus gizi buruk Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
35
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
masih terjadi setiap tahunnya. Sementara itu, penyakit menular dan musiman seperti DBD terus mengancam kehidupan masyarakat. Wajah pendidikan juga tak kalah kelam. Angka putus sekolah hampir mencapai 10 ribu, akibat biaya pendidikan yang masih tinggi dan banyaknya pungutan tak resmi di sana sini. Dengan kondisi Jakarta yang demikian, keinginan untuk menjadikan Jakarta sebagai tempat untuk penduduknya hidup sejahtera menjadi cita-cita sekaligus sebagai gagasan besar yang harus dibawa. Menjadikan Jakarta sebagai kota kesejahteraan yang berkelanjutan (welfare and sustainable city) adalah sebuah gagasan besar untuk memimpin Jakarta ke depan. Ia adalah gagasan
36
besar meskipun terkesan sederhana. Mengapa? Karena kepemimpinan Jakarta saat ini masih abai terhadap pemenuhan hak-hak penduduk dan kebutuhan dasar masyarakat. Ia adalah cita-cita besar yang asasi. Sebab pada hakikatnya, kesejahteraan adalah keinginan hidup semua manusia dan cita-cita semua bangsa. Kita tidak perlu melihat konsep welfare state yang mendasari gagasan welfare and sustainable city sebagai konsep yang berasal dari barat karena sesungguhnya tidak ada definisi yang baku tentang welfare city.
Kita tidak perlu melihat konsep welfare state yang mendasari gagasan welfare and sustainable city sebagai konsep yang berasal dari barat karena sesungguhnya tidak ada definisi yang baku tentang welfare city. Jangan pula melihat welfare city sebagai gagasan yang bercorak sosialis dan anti liberalisme karena sesungguhnya gaga san-gagasan dalam welfare city justru menjembatani kegagalan kedua pendekatan tersebut. Bahkan welfare
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Gagasan Besar Kesejahteraan
state sendiri bukanlah suatu konsep atau pendekatan baku. Ia lebih dikenali dari atribut-atribut kebijakan pelayanan dan transfer sosial yang diberikan oleh negara/ pemerintahan kepada warganya. Welfare
state
sebenarnya
merupakan
kumpulan
kebijakan sosial untuk kesejahteraan rakyat, dengan tetap mendorong peran masyarakat dan sektor swasta. Suatu welfare state dicirikan dengan empat pilar utama yaitu (i) social citizenship, (ii) full democracy, (iii) modern industrial relation systems, dan (iv) right to education and the expansion of modern mass education systems. Keempat pilar ini dimungkinkan karena negara memperlakukan kebijakan
sosial
sebagai
penganugerahan
hak-hak
sosial kepada warganya yang dijamin oleh pemerintah. Pemenuhan hak ini juga harus diimbangi oleh dua hal yang saling terkait . Pertumbuhan ekonomi tinggi (economic growth) dan kesempatan kerja (full employment) . Welfare state juga bukan suatu wujud berwajah tunggal karena bisa muncul dalam banyak bentuk (tipe kebijakan dan program). Luas cakupan dan ragam kebijakan kebijakan sosial yang diterapkan bervariasi. Variasi itu ditentukan oleh beberapa variabel seperti tingkatan peran masingmasing pihak (keluarga, pasar, pemerintah) dan bentuk ikatan yang dominan. Kembali pada cita-cita memberikan kesejahteraan kepada warga Jakarta, maka welfare and sustainable city menjadi gagasan besar yang akan dan perlu dibawa dalam
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
37
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
memimpin Jakarta. Jakarta adalah ibukota negara yang menjadi barometer bagi daerah lain dalam pembangunan dan keberhasilan didalamnya akan memberikan gaung yang luas pada skala internasional. Gagasan kesejahteraan juga sejalan dengan cita-cita yang tercermin dalam nama keadilan dan kesejahteraan yang didukung dengan prinsip bersih, peduli dan profesional. Integritas (bersih) adalah modal dasar untuk membangun birokrasi yang mengelola pemerintahan dan anggaran secara efektif. Kepedulian menjadi syarat dan daya dukung untuk lahirnya kebijakan yang mensejahterakan rakyat. Profesionalisme menjadi tuntutan untuk menjalankan keduanya yaitu birokrasi yang melayani dan kebijakan yang memberikan kesejahteraan.
38 *) Dimuat di Majalah Kaderisasi (Risalah Nukbawiah) PKS DKI Jakarta, Agustus 2008
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menakar Visi Kesejahteran
Kepemimpinan Jakarta
P
emilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta telah setengah tahun berlalu. Namun masih se gar dalam ingatan, bahwa kedua kandidat yang
maju dalam Pilkada tersebut mengusung visi yang sama. Jakarta yang sejahtera. Kini gubernur baru hasil Pilkada telah terpilih dan APBD 2008 pun telah disepakati. APBD inilah yang menjadi salah satu cerminan komitmen pembangunan yang pro-kesejahteraan sebagaimana yang menjadi visi gubernur. APBD 2008 DKI Jakarta yang telah diusulkan oleh gu bernur dan jajaran eksekutif dan disepakati oleh DPRD justru memperlihatkan kurangnya komitmen Gubernur untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Jakarta. Bukan hanya besaran APBD yang menurun, namun APBD 2008 bahkan tidak mencerminkan sense of urgency dari Pemprov DKI Jakarta untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Bahkan untuk pertama kalinya sejak 1997, APBD DKI Jakarta mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Namun penurunan ini juga tidak mencerminkan upaya efisiensi anggaran belanja daerah. Penerimaan daerah juga masih sangat mengandalkan pajak yang justru
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
39
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
diasumsikan tidak mengalami peningkatan dibanding tahun 2007. Disisi pengeluaran, APBD 2008 yang menurun ini juga tidak mencerminkan visi kesejahteraan oleh sebuah pengambil kebijakan di ibukota. Birokrasi masih menjadi beban terbesar APBD dibandingkan dengan pengeluaran bidang-bidang lainnya. Sekitar 27% dari total belanja dialokasikan untuk urusan yang terkait dengan birokrasi. Bahkan jika dilihat dari alokasi menurut SKPD, maka SKPD yang berada di komisi A memakan anggaran paling besar. Sementara alokasi anggaran untuk SKPD dibawah Komisi E yang menangani masalah kesejahteraan hanya kurang
40
dari 25% total anggaran yang dialokasikan untuk komisi yang menangani kesejahteraan tersebut. Jika ditelusuri lebih jauh, minim dan menurunnya anggaran-anggaran untuk kebutuhan dasar publik dan masyarakat miskin, semakin menunjukkan anggaran yang tidak pro rakyat miskin. Padahal alokasi anggaran yang lebih besar untuk program-program kesejahteraan inilah yang menunjukkan komitmen kesejahteraan pemimpin Jakarta. Kepemimpinan Jakarta bukan hanya dilihat dari sudut eksekutif sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan di Jakarta. Kepemimpinan Jakarta juga dapat dilihat dari kepemimpinan politik di Jakarta dimana PKS tampil sebagai pemenang Pemilu sekaligus pemilik kursi terbesar di DPRD DKI Jakarta. Artinya, ketika kepemimpinan gubernur tidak mampu mewujudkan visi kesejahteraannya secara
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menakar Visi Kesejahteran Kepemimpinan Jakarta
efektif, selayaknya PKS Jakarta mengambil peran dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Jakarta sesuai dengan nama yang melekat pada PKS yaitu keadilan dan kesejahteraan. Salah satu konsep besar yang ingin dibawa oleh PKS DKI Salah satu konsep besar Jakarta dalam menjalankan misi fraksi terbesar di Jakarta yang ingin dibawa oleh PKS DKI Jakarta dalam adalah mencanangkan pembangunan Jakarta ke depan menjalankan misi fraksi sebagai kota kesejahteraan yang berkelanjutan (welfare terbesar di Jakarta and sustainable city). Dalam konsep ini, Jakarta adalah adalah mencanangkan pembangunan Jakarta kota yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan dasar ke depan sebagai kota bagi seluruh warganya serta kebijakan yang diarahkan kesejahteraan yang untuk kesejahteraan penduduknya secara berkelanjutan. berkelanjutan (welfare and sustainable city). Seluruh penduduk mendapatkan jaminan pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar dan menengah secara penuh. Kelompok miskin dan pengangguran mendapatkan pelatihan untuk disiapkan menjadi tenaga kerja terampil dan tunjangan kehidupan yang layak serta didorong untuk mandiri melalui pengembangan kewirausahaan. Pilihan menjadikan Jakarta sebagai kota kesejahteraan bukan sekedar retorika. Ketika Negara kesejahteraan (welfare state) tidak dapat diwujudkan di Indonesia karena keterbatasan anggaran dan besarnya beban pemerintah, maka mewujudkannya dalam skala yang lebih kecil menjadi pilihan yang realistis. Jakarta memiliki kemampuan fiskal yang jauh lebih baik dibanding daerah lain dan rentang kendali yang relatif kecil. Artinya, Jakarta sangat mungkin untuk mewujudkan pemerintahan yang
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
41
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
memberikan kesejahteraan bagi warganya. Apalagi harus diakui kesejahteraan masyarakat di Jakarta masih jauh dari harapan dibandingkan dengan yang seharusnya bisa dicapai. Setidaknya ada tiga prasyarat penting untuk mewujudkan welfare and sustainable city yang semuanya dimiliki PKS DKI Jakarta. Dukungan politik, keinginan melakukan reformasi birokrasi dan komitmen social development. Sebagai pemilik kursi terbesar di DPRD DKI Jakarta, PKS DKI Jakarta akan menjadi lokomotif dalam mengajak partai-partai lain yang komitmen pada kesejahteraan masyarakat untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang
42
pro kesejahteraan. Momentum Pemilu 2009 juga akan digunakan untuk meningkatkan perolehan suara untuk mendapatkan basis dukungan politik yang lebih kuat menuju pemilihan gubernur 2012. Pada saat itulah kepemimpinan eksekutif yang ditargetkan dapat diraih oleh PKS Jakarta ditambah dukungan kuat legislatif akan semakin memperkuat upaya melahirkan kebijakankebijakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Reformasi birokrasi juga menjadi salah satu keinginan kuat untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan dan pengelolaan anggaran. Disadari bahwa upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan anggaran yang efisien serta birokrasi yang bersih, efektif, transparan dan melayani rakyat sepenuh
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menakar Visi Kesejahteran Kepemimpinan Jakarta
hati. Oleh karena itu, langkah strategis berikutnya Dengan dukungan yang harus dilakukan adalah memperkuat penerimaan politik yang kuat serta reformasi birokrasi daerah dari sumber-sumber penerimaan potensial yang dan anggaran yang wajar. Langkah ini perlu pula ditambah dengan usaha berjalan baik, maka mengurangi kebocoran potensi penerimaan, pengelolaan upaya mewujudkan anggaran yang pro anggaran yang transparan serta belanja anggaran yang kesejahteraan penduduk efisien melalui pelibatan partisipasi publik (participatory serta programbudgetting). Dengan dukungan politik yang kuat serta program pembangunan dengan fokus sosial reformasi birokrasi dan anggaran yang berjalan baik, maka kesejahteraan akan upaya mewujudkan anggaran yang pro kesejahteraan lebih mudah terwujud. penduduk serta program-program pembangunan dengan fokus sosial kesejahteraan akan lebih mudah terwujud. Apalagi melalui jargon bersih, peduli dan profesional, PKS selama ini banyak memunculkan inisiatif programprogram kepedulian sosial yang sudah banyak dirasakan masyarakat dan diikuti partai-partai lain. *) Dimuat di Harian Republika, 18 April 2008
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
43
Membangun Basis Politik,
Menciptakan Kesejahteraan
B
anyak orang mengatakan politik dan kekuasaan tak ubahnya pisau bermata dua. Oleh karena nya, banyak yang kemudian menghindar dan
menjauh dari politik. Mereka yang melihat dari sisi negatif memandang politik adalah perebutan kekuasaan. Politik adalah sikut menyikut. Dan politik adalah korupsi kekuasaan. Namun, sejatinya ketika kebanyakan orang
44
menghindar karena persepsi itu, politik justru akan semakin didominasi oleh orang-orang yang hanya mengambil keuntungan sesaat tanpa visi kesejahteraan. Artinya, pembiaran hanya akan membentuk politik yang sarat intimidasi dan korupsi kekuasaan. Namun sesungguhnya, politik juga merupakan instrumen dan bagian yang penting untuk menciptakan kesejahteraan. Basis politik yang kuat menjadi salah satu pilar penting dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state).
Bahkan basis politik yang kuat menjadi salah satu pilar penting dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state). Sejarah khulafaurrasyidin juga menunjukkan bagaimana kekuasaan kekhalifahan dapat melahirkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Perjalanan desen tralisasi di Indonesia juga menunjukkan bahwa ada daerah yang mampu melahirkan kebijakan sosial yang bagus dibawah kepemimpinan kepala daerah yang baru.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Membangun Basis Politik, Menciptakan Kesejahteraan
Namun tidak sedikit pula terjadi dominasi politik tanpa visi kesejahteraan. Akibatnya, rakyat tidak mendapat apapun dari desentralisasi. Gaventa (2005) menyatakan bahwa
hambatan-hambatan
kekuasaan,
pengucilan
sosial, kecilnya kemampuan individu dan kapasitas organisasional kolektif menyebabkan rakyat kecil hanya menikmati sangat sedikit manfaat desentralisasi. Dalam konteks politik dan kekuasaan, masih jauhnya citacita kesejahteraan ditengah sumber daya yang berlimpah bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama adalah kekuasaan yang tidak mampu dikelola dengan baik untuk menciptakan kesejahteraan dan cenderung disalahgunakan. Laporan World Development Report dari Bank Dunia menemukan bahwa sebagian besar rakyat miskin di berbagai belahan dunia memandang lembaga-lembaga pemerintahan sangat berjarak, tidak bertanggungjawab dan korup. Konsekuensinya,
kesejahteraan
bagi
rakyat
yang
seharusnya menjadi tanggungjawab para elit pemimpin tidak akan terwujud. Kemungkinan kedua adalah pemimpin atau kekuatan politik yang baik dan memiliki good will serta kemampuan namun tidak memiliki dukungan politik yang kuat untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan sosial yang pro rakyat. Lemahnya dukungan basis politik menyebabkan inisiatifinisiatif yang muncul dan komitmen pro rakyat tidak dapat diwujudkan melalui sistem politik yang ada. Meskipun semua kekuatan politik menjanjikan perbaikan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
45
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
dan harapan dalam kampanyenya, namun dalam ke nyataannya, tidak banyak yang memiliki kesungguhan mewujudkan kebijakan sosial yang baik dan pro rakyat. Makna strategis dari basis politik yang kuat dalam men ciptakan kesejahteraan memiliki cakupan yang luas. Pa ling utama tentu saja dalam memastikan dukungan untuk kebijakan-kebijakan sosial untuk kesejahteraan masyarakat. Sistem politik di Indonesia, termasuk di Jakarta menunjukkan bahwa dibutuhkan dukungan politik dan sinergi eksekutif dan legislatif untuk menjalankan kebijakan dan program-program yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Meraih kursi atau suara terbanyak di
46
parlemen belumlah memadai, karena praktik di lapangan menunjukkan bahwa penguasaan suara di bawah 30% tidak akan mampu menjamin lahirnya kebijakan pro rakyat. Selain itu, basis politik yang kuat dibutuhkan untuk melahirkan pemimpin yang juga memiliki visi kesejah teraan. Pemimpin itulah yang secara bersama-sama me wujudkan kebijakan dan program yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Arti penting basis politik yang kuat akan lebih mengemuka tatkala pemimpin yang ada tidak memiliki visi kesejahteraan. Basis politik yang kuatlah yang akan menjadi modal untuk mendesakkan kebijakan dan anggaran pro rakyat. Basis politik juga dibutuhkan untuk melakukan reformasi birokrasi dan lembaga-lembaga pemerintahan . Basis politik merupakan instrumen yang efektif untuk mengawasi Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Membangun Basis Politik, Menciptakan Kesejahteraan
kinerja birokrasi dan lembaga pemerintahan. Penelitian yang dilakukan Commonwealth Foundation (1999) di lebih dari 40 negara, sampai pada kesimpulan bahwa perhatian harus semakin diberikan untuk meningkatkan kualitas dan responsifitas lembaga-lembaga pemerintahan serta reformasi birokrasi menuju good governance. Di negara-negara yang ditandai dengan tingginya korupsi, rendahnya kontrol anggaran publik, lemahnya akuntabilitas dan banyaknya pelanggaran hak azasi manusia, ternyata pembangunan ekonomi maupun kesejahteraan sosialnya sangat rendah. Terdapat dua kata Terdapat dua kata kunci kunci untuk memperbaikinya melalui penciptaan good untuk memperbaikinya melalui penciptaan governance, yaitu legitimasi dan akuntabilitas. Legitimasi good governance, 47 merujuk pada kapasitas dan kompetensi lembaga yaitu legitimasi dan pemerintah dalam mengupayakan lingkungan politik akuntabilitas. dan kelembagaan untuk menciptakan kesejahteraan. Akuntabilitas berkaitan dengan kapasitas lembaga pemerintahan dalam mengelola sumber daya serta secara bertanggungjawab terhadap kebutuhan publik. Sebagai salah satu unsur politik di Jakarta dengan visi kesejahteraan, kita tentu saja menginginkan terwujudnya arah pengelolaan Jakarta yang sejahtera berkelanjutan melalui basis politik yang dimiliki. Namun tentu saja basis politik tersebut perlu diperbesar dan diperkuat melalui mekanisme yang ada (Pemilu). Kemenangan dalam Pemilu bukan sekedar kemenangan dalam pertarungan politik. Dalam perspektif pembangunan, kemenangan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
mutlak dalam pemilu adalah keniscayaan dalam rangka membangun basis politik yang kuat untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan. Dalam konteks ini, kita perlu mengingat pesan Khalifah Umar kepada salah seorang gubernurnya ”Sebaik-baiknya penguasa adalah yang dapat memakmurkan masyarakatnya.
Sebaliknya,
sejelek-jeleknya penguasa adalah yang menyengsarakan masyarakatnya” *) Dimuat di Majalah Kaderisasi (Risalah Nukbawiyah) PKS DKI Jakarta, Desember 2008
48
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Mimpi
Ibukota Sejahtera
R
abu, 22 Juni 2011 nanti Jakarta genap berusia 484 tahun. Jika diukur dari periode kemerdekaan, sudah lebih dari 60 tahun juga Jakarta menjadi
ibukota negara Indonesia. Dalam usianya yang mendekati 5 abad, Jakarta telah tumbuh demikian pesat sebagai pusat pemerintahan, menjadi gerbang Indonesia dan pusat kegiatan ekonomi. Pembangunan ekonomi dan fisik menjadi ciri yang menonjol dalam perkembangan. Secara ekonomi, Jakarta tumbuh menjadi pusat kegiatan ekonomi. Hal ini terlihat jelas dengan tumbuhnya kawasan bisnis dan unsur pendukungnya, seperti kawasan hiburan, pusat perbelanjaan dan hunian berupa apartemen. Namun laiknya pertumbuhan kota lainnya yang semakin pesat, perkembangan Jakarta bukannya steril dari masalah. Persoalan yang paling menonjol dari pembangunan Jakarta adalah kemacetan yang semakin menggurita dan banjir yang sudah menjadi agenda tahunan. Kedua masalah yang berakar dari penerapan tata ruang yang tidak konsisten, ini memang menjadi tema yang paling mendapat sorotan publik. Oleh karena itu, sumber daya termasuk anggaran juga banyak tersedot untuk mengatasi kedua masalah tersebut.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
49
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
Meskipun
fokus kebijakan mengatasi kemacetan dan
banjir ini dapat dipahami, namun Pemerintah propinsi DKI Jakarta tidak boleh melupakan masalah besar lain yang dihadapi Jakarta. Tingkat kesejahteraan masyarakat di ibukota. Di tengah kemodernan yang muncul dari pembangunan Jakarta, sejumlah masalah kesejahteraan sosial masih dihadapi masyarakat Jakarta. Kemiskinan, akses kesehatan, pendidikan, sanitasi dan pemukiman menjadi masalah yang tak dapat dipungkiri urgensinya. Angka kemiskinan yang lebih dari 300 ribu penduduk dilengkapi oleh hampir satu juta penduduk yang berstatus “Sadikin” atau rentan miskin. Ketika kelompok ini tertimpa
50
sakit dan harus mendapat perawatan di Rumah Sakit, maka terbayang jelas kesulitan di depan mata. Potret yang lain adalah belum seluruh penduduk mampu mengakses pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak. Untuk mewujudkan kesejahteraan bagi penduduk serta pembangunan yang seimbang, pengambil kebijakan di Jakarta perlu memberikan perhatian lebih pada pembangunan kesejahteraan penduduk. Hal ini tidak cukup hanya melalui program-program jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dan pendidikan gratis seperti yang sudah dilakukan. Namun harus ada langkah riil untuk menanggulangi
penyimpangan
dalam
pelaksanaan
kebijakan di lapangan. Oleh karena itu, setidaknya ada dua
langkah besar
yang harus diambil untuk mewujudkan kebijakan Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Mimpi Ibukota Sejahtera
pro kesejahteraan penduduk. Kedua langkah besar tersebut adalah pembenahan birokrasi dan komitmen pembangunan sosial.
P
embenahan birokrasi menjadi salah satu ele men penting dalam mewujudkan kebijakan pro kesejahteraan
dan
pembangunan
Perubahan Paradigma Birokrat
manusia.
Ada dua alasan penting mengapa reformasi birokrasi ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat Jakarta. Pertama, birokrasi yang gemuk di Jakarta akibat otonomi yang berada pada tingkat propinsi menyebabkan implementasi kebijakan dalam bentuk program pada level bawah (kecamatan/ kelurahan) yang bersentuhan langsung dengan masyarakat menjadi lamban. Belum lagi, birokrasi pada hampir semua level juga belum mengalami perubahan paradigma dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani. Hambatan birokrasi dalam mendukung pelayanan dan
Sementara pada saat upaya menciptakan kesejahteraan bagi warga juga diakui yang sama, programoleh mantan Gubernur Soerjadi Sudirja yang menyatakan program yang bersifat bahwa sebaik apapun kebijakan yang dilakukan gubernur pro-poor dilakukan dalam bentuk yang Jakarta, tidak akan berjalan jika sumber daya manusia cenderung seragam birokrasi tidak dibenahi. Kelambanan dan paradigma tanpa memperhatikan perbedaan kondisi dilayani menyebabkan Jakarta disandera birokrasi. antar wilayah, Sementara pada saat yang sama, program-program yang bentuk dan penyebab kemiskinan dan masalah bersifat pro-poor dilakukan dalam bentuk yang cenderung kesejahteraan yang seragam tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antar terjadi. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
51
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
wilayah, bentuk dan penyebab kemiskinan dan masalah kesejahteraan yang terjadi. Padahal dengan pola demikian, dibutuhkan birokrasi yang penuh inisiatif, kreatif, respon sif serta efisien dalam menjalankan program. Studi yang dilakukan Sintawaty (2008) menunjukkan bahwa meskipun alokasi anggaran dalam APBD DKI Jakarta sudah berusaha berorientasi kelompok masyarakat miskin, namun akibat program yang cenderung seragam menyebabkan program tersebut lebih banyak tidak efektif dan salah sasaran. Kedua, persoalan penyimpangan dan perilaku koruptif yang masih melekat kuat. Perilaku koruptif di jajaran birokrasi ibukota sebagaimana yang ditunjukkan dalam survei yang dilakukan Kementerian PAN (2006) dan jejak
52
pendapat harian Kompas (2007), menyebabkan anggaran untuk kesejahteraan tidak mencapai sasaran yang diinginkan.
Komitmen Pembangunan Kesejahteraan Sosial.
B
agian terpenting kedua dari upaya mewujudkan kesejahteraan warga ibukota adalah melalui komitmen pemerintah dalam pembangunan
kesejahteraan sosial. Setidaknya ada tiga bentuk kebijakan untuk mewujudkan komitmen pembangunan kesejahteraan masyarakat yaitu anggaran yang cukup memadai dan alokasinya yang cukup besar untuk kesejahteraan (pro poor budgeting policy), akses penduduk terhadap kebutuhan dasar secara mudah dan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Mimpi Ibukota Sejahtera
terbuka (sosial insurance) dan mendorong kesempatan kerja dan berusaha secara terbuka bagi penduduk. Sudah selayaknya Jakarta dengan kemampuan anggaran yang relatif besar dan infrastruktur yang lengkap mampu menjamin kebutuhan dasar bagi penduduknya secara layak, terutama akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, sanitasi dan pemukiman. Namun pada saat yang sama, pengambil kebijakan harus cukup kreatif dalam mengembangkan program pemberdayaan. Ini penting agar masyarakat dapat mandiri, sekaligus merangsang ketertarikan stakeholder lain dalam membangun ekonomi Jakarta. Sehingga komitmen kesejahteraan sosial yang dimaksud, bukan semata-mata program yang
berorientasi pada
penyediaan anggaran besar. Namun harus ada upaya yang selaras untuk mengurangi ketergantungan penduduk terhadap bantuan pemerintah. Hal yang harus dipahami adalah bahwa kebijakan Hal yang harus pembangunan kesejahteraan bukanlah bentuk dominasi dipahami adalah bahwa kebijakan pembangunan pemerintah secara penuh dalam kehidupan ekonomi kesejahteraan bukanlah masyarakat tanpa melibatkan peran swasta dan institusi bentuk dominasi keluarga. Kebijakan ini justru harus dilakukan juga dengan pemerintah secara penuh dalam kehidupan mendorong daya saing kota melalui iklim bisnis yang ekonomi masyarakat semakin kondusif dan infrastruktur yang mendukung. tanpa melibatkan peran Jaminan kesejahteraan sosial yang dibutuhkan mencakup swasta dan institusi juga jaminan kesempatan kerja dan berusaha yang keluarga. dengan keduanya, penduduk dapat hidup secara layak Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
53
Jakarta Sejahtera Berkelanjutan, Mengapa Tidak?
serta mampu membayar pajak untuk mendukung jaminan sosial yang dibuat pemerintah . Oleh karena itu untuk mewujudkannya , menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi dunia bisnis dan masuknya investasi menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Sudah saatnya Jakarta benar-benar menjadi kota bisnis khususnya jasa, yang mampu bersaing setidaknya dengan kota-kota besar di kawasan Asia melalui infrastruktur yang efisien dan mampu melayani kegiatan bisnis dengan baik. Jakarta tidak boleh berbangga hanya dengan menjadi kota yang tertinggi dalam hal arus masuk investasi asing dibanding kota lainnya. Mengapa? Karena ukuran
54
kompetitor Jakarta bukanlah dengan daerah-daerah tersebut . Kompetitor Jakarta ialah kota-kota besar di negara lain.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Mimpi Ibukota Sejahtera
55
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Paradoks Wajah
Pembangunan Jakarta
H
anya dalam waktu seminggu, Jakarta di kejutkan oleh tiga tragedi kemiskinan yag menimpa warganya. Tragedi pertama adalah
ditemukannya seorang remaja yang terpaksa dipasung orangtuanya di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan akibat ketidakmampuan untuk mengobati penyakit gang guan kejiwaan anaknya. Kedua adalah seorang bapak yang bunuh diri akibat tidak mampu berobat atas penyakit TBC
58
yang dideritanya di daerah Cakung, Jakarta Timur. Dan yang terakhir adalah seorang remaja yang gantung diri karena tidak diberi uang Rp. 5000 oleh ibunya yang hanya seorang pedagang rempeyek di Kampung Rawa, Kebun Jeruk Jakarta Barat. Peristiwa ini menjadi paradoks mengingat pembangunan yang terjadi di Jakarta terus mempertontonkan modernitas dengan lalu lalang jutaan kendaraan bermotor setiap harinya. Belum lagi ditambah dengan mall dan pusat perbelanjaan mewah yang bertebaran di penjuru kota. Pemangku kebijakan juga sibuk memodernisasi kota dengan mempersiapkan pembangunan MRT dengan bentuk kereta bawah tanah (subway), monorail, pembangunan tol dalam kota, jalan layang non tol, reklamasi pantai. Pada saat yang sama juga terus memberikan ijin untuk pembangunan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Paradoks Wajah Pembangunan Jakarta
gedung-gedung pencakar langit, apartemen, mal dan pusat hiburan yang sebagiannya bahkan tidak dapat terjangkau oleh sebagian masyarakat Jakarta. Tiga tragedi kemiskinan yang terjadi di tengah kota yang terus melakukan pembangunan fisik dan pendapatan perkapita Rp. 73 juta menyadarkan kita bahwa masih banyak persoalan kesejahteraan warga Jakarta yang belum teratasi. Seperti daerah lain di Indonesia, meskipun berstatus ibukota negara dan pusat kegiatan ekonomi, Jakarta sesungguhnya menghadapi persoalan kemiskinan dan kesejahteraan yang perlu mendapat perhatian. Tingkat kemiskinan di Jakarta sampai Maret 2010 masih mencapai 3,48% atau masih ada lebih dari 312 ribu penduduk Jakarta yang hidup di bawah garis kemiskinan. Inipun masih menggunakan garis kemiskinan setara Rp. 317 ribu perkapita per bulan. Padahal dengan pendapatan per kapita sebesar itu, sangat sulit untuk hidup layak di Jakarta. Sehingga jika menggunakan standar hidup yang layak, jumlah penduduk miskin Jakarta akan lebih besar lagi. Jumlah tersebut juga belum termasuk penduduk miskin yang tidak terdaftar sebagai penduduk resmi namun sehari-hari tinggal di Jakarta seperti para tunawisma, pemulung dan manusia gerobak yang bertebaran di sudut-sudut Jakarta. Tingkat pengangguran sampai Mei 2010 juga masih mencapai 11,5% atau masih hampir 1 juta orang yang menganggur di Jakarta, meskipun dengan ukuran bekerja 8 jam dalam seminggu. Jika yang digunakan adalah ukuran
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
59
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
bekerja pada sektor formal atau pada kegiatan usaha yang memiliki ijin, maka tingkat pengangguran di Jakarta lebih besar lagi. Kondisi pemukiman juga menunjukkan wajah yang masih buram dimana masih sekitar 20% rumah tangga yang belum memiliki fasilitas MCK yang layak dan hampir 25% rumah tangga yang mengandalkan sumur pompa dan sumur tak terlindung sebagai sumber air minum akibat ketidakmampuan mengakses air bersih yang layak. Jakarta juga masih dihiasi dengan pemukiman sangat padat seperti di daerah Johar Baru dan Kali Adem dimana untuk tidur sekalipun masih harus bergiliran. Pada bidang kesehatan, kualitas kesehatan masyarakat Jakarta juga masih tergolong buruk. Data SP2TP 2009
60
mencatat 5,3 juta kasus penyakit di Jakarta dengan tertinggi adalah kasus ISPA yang mencapai lebih dari 2 juta kasus. Bahkan untuk kasus penyakit kulit dan diare yang identik dengan masyarakat miskin masih ditemukan lebih dari 600 ribu kasus. Pada saat yang sama juga masih banyak ditemukan warga Jakarta kurang mampu yang tidak bisa mendapatkan pelayanan rumah sakit karena ketiadaan biaya atau berada dalam ambang kemiskinan ketika harus mengeluarkan biaya untuk berobat (menjadi miskin karena sakit dan harus membiayai pengobatannya).
Tuntutan Pencapaian MDGs
P
ada masa sekarang, setiap pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah tidak bisa memandang sepele persoalan pemenuhan kebutuhan dasar. Hal
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Paradoks Wajah Pembangunan Jakarta
ini karena semua pemerintahan dituntut pencapaian target pembangunan milenium (Millenium Development Goals/ MDGs) yang ditetapkan UNDP. Indikator pencapaian MDGs yang ditetapkan meliputi angka partisipasi murni pendidikan SD, angka kematian bayi, kelahiran dibantu tenaga kesehatan, kesehatan ibu, angka kemiskinan, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, memerangi HIV/ AIDS, akses air bersih dan sanitasi, kepemilikan rumah tinggal dan kualitas lingkungan hidup. Target pencapaian MDGs ini mengharuskan setiap pengambil kebijakan mengarahkan kebijakan pembangun annya pada pencapaian target MDGs untuk masingmasing daerah. Pemenuhan kebutuhan dasar penduduk bukan lagi sekedar memenuhi tuntutan hak akses penduduk terhadap kebutuhan dasarnya, namun menjadi program yang dipantau tingkat kemajuan pencapaiannya. Pencapaian target pemenuhan kebutuhan dasar ini memiliki kedudukan yang sama penting atau bahkan lebih penting dengan pembangunan infrastruktur perkotaan. Fakta dan data yang menunjukkan masih banyaknya problem kesejahteraan sosial di Jakarta menunjukkan bahwa pencapaian target MDGs masih belum mendapat porsi yang cukup besar. Bahkan diantara dedicated program dalam RPJMD 2007-2012, program pemenuhan kebutuhan dasar justru yang paling tidak terdengar gaungnya, apalagi dibandingkan program mengatasi kemacetan dan banjir. Padahal program ini menyangkut hajat hidup orang banyak.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
61
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
Pilar Kebutuhan Dasar Penduduk
P
emenuhan kebutuhan dasar yang mengangkut hajat hidup penduduk setidaknya mencakup empat pilar utama yaitu pendidikan, kesehatan,
jaminan sosial, dan kebutuhan pemukiman. Pada tingkat nasional perhatian terhadap pelayanan dan pemenuhan kebutuhan dasar ini bahkan telah mendapat tempat khusus dengan adanya Undang-Undang yang secara khusus mengatur keempat kebutuhan dasar tersebut, termasuk pemenuhannya.
62
Pemenuhan kebutuhan dasar yang mengangkut hajat hidup penduduk setidaknya mencakup empat pilar utama yaitu pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan kebutuhan pemukiman.
Dalam bidang pendidikan, pemenuhan kebutuhan ini seharusnya difokuskan pada jaminan akses pendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah (SD-SMP-SMU) untuk semua penduduk. Khusus untuk Jakarta, untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja, perlu diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan menengah kejuruan. Dalam bidang kesehatan, jaminan pemenuhan kebutuhan dasar ini mencakup jaminan pemeliharaan kesehatan untuk semua penduduk dengan perluasan target grup yang dikombinasikan dengan klasifikasi pelayanan yang dicakup dalam jaminan kesehatan masyarakat. Program ini juga harus diikuti dengan jaminan pemeliharaan khusus bagi ibu dan balita. Pilar ketiga adalah pemenuhan kebutuhan dasar untuk jaminan sosial. Belajar dari pengalaman negara lain, jaminan ini setidaknya meliputi tunjangan khusus bagi manula serta jaminan penyediaan lapangan kerja dan jaminan kesempatan berusaha. Program seperti ini bahkan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Paradoks Wajah Pembangunan Jakarta
bisa melibatkan partisipasi swasta dalam mewujudkan programnya terutama dalam mendorong berkembangnya kegiatan perekonomian di tingkat masyarakat. Namun untuk mewujudkan ini diperlukan beberapa prasyarat dasar seperti dukungan basis politik yang kuat, anggaran yang mencukupi dan komitmen dalam membuat dan menjalankan kebijakan sosial. Sektor swasta juga harus didukung untuk berkembang dan menjadi elemen penting dalam mendukung jaminan sosial ini melalui pajak yang dibayarkan. Pilar keempat adalah pemenuhan kebutuhan pemukiman yang layak yang meliputi akses terhadap air bersih, sanitasi dan tempat tinggal serta lingkungan tepat tempat tinggal untuk mendukung kualitas hidup sehat. DKI Jakarta dengan APBD yang mencapai lebih dari Rp. 25 triliun justru belum menunjukkan pioner dalam memberikan kebutuhan dasar bagi penduduk. Jakarta
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
63
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
tertinggal jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain seperti Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Musi Banyuasin. Walaupun daerah tersebut anggarannya lebih kecil, namun mampu memberikan pemenuhan kebutuhan dasar berupa jaminan pendidikan dan kesehatan bagi Jakarta juga harus memberikan perhatian lebih kepada pemenuhan kebutuhan dasar warganya.
penduduknya. Sudah saatnya Jakarta tidak hanya bicara MRT, monorail, reklamasi pantai dan jalan tol. Jakarta juga harus memberikan perhatian lebih kepada pemenuhan kebutuhan dasar warganya. *) Dimuat di Harian Seputar Indonesia, April 2011
64
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jamsosda ala Jakarta
K
emiskinan merupakan permasalahan sosial yang hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat
jumlah penduduk miskin di Indonesia pada triwulan pertama 2009 sebesar 32,53 juta orang, atau 14,15% dari total penduduk Indonesia. Tingginya jumlah penduduk miskin tersebut antara lain disebabkan oleh: 1) penyebaran pembangunan yang belum merata terutama di pedesaan; 2) terbatasnya akses terhadap layanan dasar (kesehatan, pendidikan, perumahan, permukiman, infrastruktur, permodalan/kredit, dan informasi) dan bantuan sosial bagi masyarakat miskin; serta 3) rendahnya kapasitas dan produktivitas usaha serta keterbatasan akses terhadap sumber-sumber pendanaan. Berbagai kebijakan pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan diarahkan ke dalam bentuk peningkatan kesejahteraan penduduk miskin. Upaya untuk mencapai sasaran tersebut diarahkan pada 4 fokus kebijakan pembangunan untuk menanggulangi kemiskinan, yaitu: 1) perluasan akses masyarakat miskin atas pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar; 2) perlindungan sosial; 3) penanganan masalah gizi kurang dan rawan pangan; serta 4) perluasan kesempatan berusaha.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
65
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
Sebagai miniatur Indonesia, DKI Jakarta mengalami masalah yang sama. Bahkan, warga Jakarta setiap harinya harus berhadapan dengan seabreg problematika. Dengan kondisi yang demikian, tentu saja warga jakarta sudah tidak ingin lagi direpotkan dengan pelbagai pemenuhan hak-hak dasar yang tersendat. Mulai dari soal pengurusan kelengkapan dokumen kependudukan hingga ke persoalan memastikan anak-anaknya dapat bangku di sekolah. Karena itu, sudah sewajarnya warga Jakarta mendapatkan pelayanan dasar dengan mudah, murah, dan dengan sistem yang cerdas. Mudah itu penting, karena ditengah kesibukan dan jam kerja yang padat, pengurusan yang bertele-tele menjadi emoh untuk dilakukan. Pelayanan
66
dasar yang murah? Ini yang ditunggu-tunggu. Kenapa? Karena kebutuhan dasar mestinya gratis alias ditanggung oleh pajak yang dikumpulkan oleh warga. Kebutuhan atas hak-hak dasar merupakan kebutuhan yang kalau tidak ada, ia bisa menyebabkan kehidupan seorang warga Jakarta menjadi tidak normal atau tidak layak. Kebutuhan dasar tersebut meliputi pengakuan negara terhadap eksistensi warga melalui kelengkapan dokumen kewarganegaraan seperti KTP, KK, Buku Nikah, Paspor dan lain-lain. Kebutuhan dasar yang juga tidak bisa ditawar-tawar adalah soal kesehatan. Tidak sehat artinya sakit. Kalau warga Jakarta sakit maka ia tidak bisa bekerja. Dan kalau tidak kerja, maka tidak dapat uang. Kalau tidak dapat uang, maka tidak bisa makan. Maka bayangkan kalau seorang warga Jakarta sudah tidak bisa makan?
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jamsosda ala Jakarta
Karena kesehatan warga merupakan urusan dasar, maka pemerintah wajib memastikan warganya bisa mengakses layanan kesehatan untuk supaya tetap sehat. Yang tidak kalah pentingnya adalah urusan pendidikan. Urusan yang satu ini, sangat asasi. Apa yang terjadi kalau warga Jakarta tidak cukup memiliki pengetahuan untuk membangun kampungnya sendiri? Pertama, sudah pasti tidak bisa mengurus kampungnya sendiri. Kedua, pasti kalah saing. Kalau sudah demikian maka persoalan demi persoalan akan terus menghadang. Karena itu, pendidikan menjadi kebutuhan warga Jakarta yang penting untuk dijamin pemerintah. Karena penting, ia harus ada. Ia harus prioritas! Apalagi UUD 1945 mengamanatkan begitu. Kalau warga Jakarta sudah punya KTP, sudah sehat dan sudah sekolah, tapi tidak kerja, maka hal itu akan tetap menjadi masalah, yaitu munculnya pengangguran. Dalam beberapa perspektif, pengangguran seringkali menjadi variabel yang mendorong terjadinya kejahatan. Karena Hak mendapat itu, hak memperoleh pekerjaan bagi warga Jakarta pekerjaan mesti ditempatkan sebagai harus menjadi bagian dari kewajiban pemerintah. Hak hak dasar warga. mendapat pekerjaan mesti ditempatkan sebagai hak dasar warga. Dengan begitu, kehidupan warga Jakarta bisa hidup normal. Yang terakhir, soal hak warga Jakarta untuk memiliki rumah. Persoalan ini agak pelik meski tetap harus dicari jalan keluarnya. Bagi siapapun, memiliki rumah bukan hanya soal impian tapi juga soal keharusan untuk Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
67
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
mendapatkan perlindungan dari ancaman alam, seperti dari kehujanan, keanginan atau kepanasan, bahkan untuk menjalani masa istirahat yang penting bagi kesehatan tubuh. Kegagalan memiliki rumah tidak hanya berakibat pada soal terancamnya jasmani warga, tetapi juga bisa merembet ke masalah psikis. Masalah kepemilikan rumah hingga bagaimana bentuk dan ukurannya telah menjadi ‘alat ukur’ untuk menilai siapa dia. Ilmu sosial menyebut orang yang tidak mempunyai rumah sebagai penyandang tunawisma. Begitu pula, cara pandang materialisme yang tumbuh-kembang di masyarakat telah menempatkan masalah kepemilikan rumah dan segala bentuknya sebagai ukuran status sosial. Fenomena sosial yang
68
melekat pada masalah kepemilikan rumah merupakan hal yang tidak bisa kita rubah dari sisi pembentukan persepsi masyarakat, tetapi harus kita tangani dari sisi penyediaan atau akses yang mudah untuk warga Jakarta untuk memiliki rumah. Karena itu, kepemilikan rumah menjadi masalah mendasar yang harus dipikirkan oleh kita semua sebagai warga Jakarta. Terlebih lagi oleh pemerintah. Lima hak dasar sebagaimana uraian di atas merupakan hak bagi setiap warga Jakarta. Untuk yang tidak memiliki kemampuan menjalani kehidupan secara normal, mesti ada hak dasar tambahan, yaitu hak asistensi sosial. Hak ini penting bagi kelompok Warga Berkebutuhan Khusus (WBK) seperti orang-orang yang cacat, orangtua jompo, anak-anak jalanan, anak-anak berkebutuhan khusus, bahkan anak-anak sekolah dari keluarga miskin.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jamsosda ala Jakarta
Dalam beberapa kategori, orang-orang yang kita kenal sebagai fakir-miskin dan kaum urban yang terbelakang, bisa dimasukan dalam kelompok WBK ini. Kelompok seperti ini tidak bisa ‘bertarung’ secara normal dalam kehidupan. Mereka perlu mendapatkan asistensi sosial. Dalam bahasa anak sekolahan, kemampuan mereka perlu dikatrol. Di beberapa negara, bahkan negara yang sangat liberal sekalipun, kelompok WBK ini mendapatkan fasilitas diskon 50% untuk pelbagai layanan publik seperti naik angkot, masuk ke tempat hiburan, ada lift khusus yang bisa bicara, dan ada jalur-jalur khusus atau tempattempat khusus yang diberikan pemerintah untuk mereka bergaul di tempat orang-orang normal.
69
W
arga Jakarta harus dijamin hak-hak dasarnya. Mulai dari hak atas kelengkapan
Jamsosda ala Jakarta
dokumen kependudukan, akses pelayanan
kesehatan, akses pendidikan, akses perumahan hingga ke asistensi sosial terhadap WBK. Jaminan atas hak-hak dasar tersebut, saya sebut sebagai Jaminan Sosial Daerah (Jamsosda) ala Jakarta. Profil terpenting dari Jamsosda ini adalah mudah, murah dan cerdas. Mudah diurus dan didapatkan pelayanan jasanya. Murah karena uang yang harus dikeluarkan warga hanya bersifat tanda retribusi, bukan bisnis. Dan cerdas karena untuk mendapatkan semua hak dasar tersebut cukup menunjukkan satu kartu identitas. Sebut saja nama Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
kartunya: Kartu Jamsosda. Jadi, kalau sebelumnya kita pernah mendengar konsep “layanan satu atap”, sekarang saya menawarkan “layanan satu kartu”. Dengan kartu ini, data dan record seorang warga Jakarta akan terketahui. Mulai dari informasi kependudukan, status pekerjaan, status kepemilikan rumah, profil kesehatan, dan profil pendidikannya. Bahkan sistem ini memungkinkan untuk diketahuinya profil warga Jakarta dan kaitannya dengan hak-hak dasar khusus seperti untuk WBK. Dengan demikian, mengakses pelbagai pelayanan dasar cukup menunjukan kartu tersebut. Contoh penerapan sistem tersebut di bidang kesehatan,
70
dimana Jakarta mempunyai Program JPK Gakin. Kartu Jamsosda cukup ditunjukkan kepada loket pendaftaran rumah sakit. Dengan kartu tersebut terketahui informasi tentang keterangan status ekonomi (seperti: mampu, tidak mampu, miskin, dll) dari Kelurahan/Kecamatan, Puskesmas atau dari BPS. Dengan begitu, seorang warga yang akan mendapat subsidi/jaminan pembayaran total atas pelayanan kesehatannya tidak perlu mengurus SKTM, menunggu verifikasi Puskesmas, dan mendapat persetujuan dari Suku Dinas Kesehatan. Dengan kartu ini, warga tidak perlu khawatir dipersulit pada saat mendaftar, tidak perlu khawatir apakah nanti bayar atau tidak. Dengan kartu ini juga, pihak RT/RW, Kelurahan, Puskesmas, Sudin dan DPRD DKI tidak harus repot-repot setiap kali ada warga yang mendapatkan kesulitan mengakses JPK Gakin.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jamsosda ala Jakarta
Dengan adanya layanan “Satu Kartu” untuk Jamsosda, maka masyarakat harus aktif menginput data dan perubahan datanya kepada pihak kelurahan. Atau, bagi warga yang tidak memungkinkan untuk melakukan pekerjaan input datanya sendiri, maka pihak kelurahan wajib a’in untuk membantunya. Tentu data-data tersebut harus diverifikasi secara berjenjang supaya ketahuan shohih-nya. Yang penting untuk dicatat adalah sistem ini harus ditopang dengan komputerisasi yang terintegrasi. Maksudnya, data yang sudah shohih akan dengan sendirinya tersebar di seluruh jaringan komputer pemberi layanan jasa masyarakat. Ini juga berarti bahwa seluruh unit pemerintah atau swasta yang terkait dengan layanan masyarakat harus terkoneksi. Ini pekerjaan yang memang
71
tidak simple. Tapi kalau ada kemauan, insya Allah bisa.
A
da empat komponen penting yang menentukan sukses-tidaknya Jamsosda ini. Pertama, masalah
Mungkinkah Terlaksana?
kelembagaan. Maksudnya, apakah Perdanya ada,
atau Perdanya kapan dibuat. Tahapan ini sangat tergantung pada Gubernur dan DPRD. Kedua, masalah keuangan. Hal
ini terkait dengan kemampuan APBD DKI menanggulangi pembayaran sejumlah warganya untuk mendapatkan pe layanan atas hak-hak dasar sebagaimana dimaksud dalam Jamsosda ala Jakarta tersebut. Ketiga, masalah aparatur birokrasi. Apakah birokrat kita punya semangat untuk memudahkan warganya? Apakah cara berpikirnya bisa
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menuju Jaminan Sosial di Ibukota
diajak maju untuk memahami apa yang diinginkan warga Jakarta? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan nasib Jamsosda. Keempat, terkait dengan dukungan waga Jakarta untuk berpartisipasi dalam meng input data secara jujur. Yang repot sebenarnya, kalau keinginan pingin maju tapi semuanya mau diurusan oleh orang lain alias ga mau repot. Warga yang begini masih mending. Yang parah, kalau sudah minta diuruskan oleh orang lain, data yang diberikannya ga jujur, dan ngakal pula. Sebagai Wakil Ketua DPRD, saya yakin bahwa DPRD dan Gubernur DKI mau melaksanakan Jamsosda ini. Masalah pembiayaan juga, insya Allah, bisa diusahakan. Apalagi
72
kalau didukung oleh warga Jakarta dengan membayar pajak yang maksimal. Soal mindset aparat, mudahmudahan bisa memahami keinginan warga dan mau terus belajar untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi warganya. Dan terakhir, soal dukungan warga Jakarta, saya yakin bahwa warga Jakarta sudah lama menghendaki pembenahan yang sistemik terhadap pelbagai pelayanan publik, termasuk untuk mendapatkan jaminan atas hakhak dasarnya. Implementasi
Jamsosda
ala
Jakarta
sebagaimana
dipaparkan di atas, bukanlah hal yang utopis karena peraturan perundang-undangannya sudah mendukung, bahkan di level lokal dengan keberadaan beberapa Perda seperti Perda Sistem Pendidikan (2006), Perda Sistem Kesehatan (2010), dan beberapa Perda yang
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jamsosda ala Jakarta
sudah diagendakan pembahasannya. Pada prakteknya, Jamsosda ala beberapa tawaran bidang yang dijamin dalam Jamsosda Jakarta mencoba mengintegrasikan ala Jakarta tersebut, telah diimplementasikan oleh parsialitas program Pemda DKI Jakarta secara parsial meski dengan kadar yang ada, meningkatkan jaminan yang belum maksimal. Jamsosda ala Jakarta kadar jaminan, dan mengefektifkan mencoba mengintegrasikan parsialitas program yang peraturan perundangada, meningkatkan kadar jaminan, dan mengefektifkan undangan yang ada. peraturan perundang-undangan yang ada seperti UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Kesejahteraan Sosial dan UU lainnya. Secara substansi, Jamsosda ala Jakarta ini memasukan dua bidang baru yang dijamin yaitu jaminan memperoleh pekerjaan dan jaminan aksesibilitas atas kepemilikan rumah. Selain itu, pengintegrasian jaminan sosial tersebut dilakukan dalam satu paket layanan. Di situlah menariknya. Wallahu ‘alam.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
73
Warga Miskin
Dilarang Sakit?
J
udul di atas adalah sebuah pertanyaan yang muncul dari sebuah realita. Sebagai anggota Dewan, saya sering menerima keluhan warga miskin bahwa untuk
berobat di Jakarta perlu dana yang tidak sedikit. Karena itu, bagi mereka yang nggak berduit, apalagi untuk makan saja susah, sakit menjadi suatu keadaan yang sepertinya harus dilarang hinggap di badan mereka. Pertanyaan di atas muncul, juga bukan karena soal biaya, karena
76
bagi warga Miskin di Jakarta ada jaminan kesehatan. Masalahnya adalah bahwa ada faktor-faktor lain yang membuat warga miskin merasa tidak nyaman kalau sudah masuk rumah sakit. Seperti penuturan seorang warga pada tahun 2009. Sebut saja namanya Pak Oyong. Warga senior yang jalannya sudah tertatih-tatih ini harus dioperasi karena mengalami kecelakaan. Ditengah kehidupannya yang sudah senja, ia tinggal seorang diri di rumah sepetak. Anak-anaknya sudah berkeluarga dan isterinya sudah meninggal puluhan tahun yang lalu. Ia juga tidak punya Kartu JPK Gakin atau Jamkesmas. Manakala ia sakit, ia kebingungan. Ia tak tahu darimana ia harus membayar biaya rumah sakit. Kalau untuk mendapatkan jaminan pembayaran melalui JPK Gakin, siapa yang akan uruskan SKTM-nya?
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Warga Miskin Dilarang Sakit?
Ia dan beberapa warga Jakarta lain mengalami kesan yang nggak enak ketika pertama kali masuk ke rumah sakit. Pertanyaan terpenting yang mengusik mereka adalah “siapa yang akan bayar?”. Beberapa oknum pelayanan kadang tidak memperhatikan kondisi ‘sekarat’ dan ‘melarat’nya calon pasien yang datang. Bagi siapapun, sakit merupakan kejadian yang tak pernah mereka undang untuk datang. Karena itu, ketika sakit itu datang secara tiba-tiba, ia tidak mungkin untuk ngurus dulu Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Nah, pada saat Darimana mereka harus mereka datang tanpa SKTM, mereka harus menaruh menyediakan dana tersebut? Sementara, deposit sejumlah uang tertentu. Darimana mereka harus rasa sakit dan segala menyediakan dana tersebut? Sementara, rasa sakit dan akibatnya tidak mungsegala akibatnya tidak mungkin menunggu waktu. Inilah kin menunggu waktu. 77 yang dikeluhkan Pak Oyong dan yang senasib dengannya.
Keadaan ditelantarkan, didiamkan, atau menerima sapaan yang tidak ramah, menjadi perkara yang biasa diterima oleh mereka. Anggaplah Pak Oyong sudah melewati masa tidak me nyenangkan pada saat pertama kali masuk rumah sakit. ‘Masa-masa berdebar’ berikutnya adalah soal obat yang diperlukan saat perawatan. Pak Oyong dan beberapa warga mengeluhkan soal ketiadaan obat yang dibutuhkan di bagian penyediaan obat atau apotek rumah sakit tersebut. Kalau sudah begitu, mereka tidak punya pilihan lain, kecuali harus beli di luar. Lalu darimana uang untuk beli obatnya? Hemmmh, Pak Oyong pening kepalanya memikirkan soal ini. Kasus soal obat juga sering terjadi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
manakala dokter yang nge-check pasien datangnya sore lalu ngasih resep yang segera dimakan obatnya. Manakala mau ditebus, bagian pengadaan obat atau apotek rumah sakit sudah tutup atau libur, sementara pasien tergantung dengan obat yang harus dimakan malam itu juga, atau di luar jam kantor seperti Sabtu dan Minggu. Pak Oyong mengeluh, “Bang Sani, emang sakit harus libur juga yah?”. Persoalan lain yang dihadapi warga miskin kalau lagi sakit adalah rasa berdebar pada saat mau keluar dari rumah sakit. Rasa berdebar karena mereka belum tahu pasti harus bayar berapa. Warga miskin yang hanya bermodal SKTM memang tidak mendapat jaminan pembayaran
78
100 persen dari Pemda DKI. Karena itu, mereka harus menyiapkan sejumlah uang untuk membayar sisanya. Pertanyaan bagi Pak Oyong adalah “darimana mereka harus bayar?” Saya mengusulkan program Sehat Milik Semua (SMS). Program ini intinya menjadikan sehat sebagai hak semua warga Jakarta, baik ia miskin maupun kaya.
Persoalan-persoalan
tersebut
menegaskan
bahwa
penanganan masalah kesehatan warga miskin di Jakarta belum tuntas. Kita belum mempunyai best practise yang merespon persoalan tersebut. Karena itu, saya mengusulkan program Sehat Milik Semua (SMS). Program ini intinya menjadikan sehat sebagai hak semua warga Jakarta, baik ia miskin maupun kaya. Apapun status ekonomi dan jabatan setiap orang, sehat merupakan hak semua warga. Pelanggaran atas hak tersebut adalah pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM). Harapannya, dengan asumsi ini, para pemberi layanan kesehatan akan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Warga Miskin Dilarang Sakit?
melihat pasien bukan karena status ekonominya tapi lebih karena penyakitnya. Program SMS (Sehat Milik Semua) dimulai dengan kampanye kesadaran publik untuk menyadari bahwa setiap warga harus saling menjaga kesehatan antar sesama dan menganggap kesehatan setiap warga adalah hal terpenting dalam pembangunan di Jakarta. Pada level warga, kampanye kesadaran tersebut bermaksud menggerakkan warga untuk melakukan usaha preventif dan partisipatif dalam program jaminan, baik atas biaya sendiri maupun biaya pemerintah. Bagi aparatur pemberi layanan, kampanye kesadaran ini bermaksud membangun mindset yang meminimalisir tindakan diskriminatif dalam hal pelayanan terhadap warga miskin atau siapapun yang membayar biaya kesehatan dengan jaminan dari asuransi atau dari model kapitasi pemerintah. Poin penting dari Program SMS ini adalah memberi jalan keluar dari masalah-masalah yang dipaparkan di atas, masalah-masalah yang selama ini dikeluhkan oleh warga miskin terkait implementasi pelayanan Program JPK Gakin sebagaimana dialami Pak Oyong dan yang semasib dengannya. Beberapa poin tersebut adalah: pertama, adanya lembaga asistensi baik yang disiapkan puskesmas maupun dari kelurahan untuk mengurus dokumen SKTM bagi warga jompo atau mereka yang sudah tidak punya sanak-saudara, sementara warga miskin tersebut sudah terbaring di rumah sakit; kedua, adanya peningkatan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
79
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
kesadaran untuk memuliakan warga miskin pada para petugas pelayanan JPK Gakin atau Jamkesmas. Setiap rumah sakit yang melakukan ikatan kerjasama (IKS) dengan Pemda DKI atau Kemenkes untuk menjamin warga miskin DKI, akan ada kordinatoriat JPK Gakin atau Jamkesmas. Mereka itulah garda terdepan pelayanan sekaligus pencitraan program. Karena itu, kekeliruan mindset dalam memandang warga miskin akan mempengaruhi pelayanan. Inilah yang harus dirubah. Ketiga, soal komitmen pelayanan obat bagi pasien yang dijamin JPK Gakin/Jamkesmas, dengan memberikan pelayanan 24 jam. Ini harus dilakukan karena sakit
80
tidak pernah libur. Orang sakit itu perlu pelayanan 24 jam; keempat, soal kepastian dan kemudahan dalam mendapatkan besaran prosentase biaya yang dijamin sehingga memungkinkan pasien atau pihak lain untuk mengukur biaya yang kurang atau biaya yang mesti dijamin oleh pihak lain yang berkepentingan; dan kelima, mesti ada lembaga yang care untuk menutup biaya sisa yang tidak bisa dijamin pemerintah. Dalam hal ini, Dinkes bisa menggandeng Dompet Dhuafa, PKPU, Bazis dan lembagalembaga lainnya. Pilihan yang bijak sebenarnya ada pada sikap pemerintah untuk membiaya secara penuh bagi mereka yang jelas-jelas tidak bisa membayar. Kebijakan ini sangat mungkin dilakukan karena dalam beberapa kasus bisa dilakukan.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Warga Miskin Dilarang Sakit?
Akhirnya, saya berpikir bahwa semua bisa kita lakukan secara bersama-sama saat kita memandang bahwa Sehat Untuk Semua (SMS) adalah hak kita semua. Dan pemerintah DKI Jakarta tentu sepakat bahwa warga miskin adalah tanggungjawab kita semua, juga tanggungjawab negara. Karena itu, menjamin biaya kesehatan warga miskin tidak hanya menyelamatkan nyawanya tetapi juga menunjukkan sikap pemuliaan pemerintah terhadap warga miskin. Dengan demikian, aparatur pelayanan kesehatan di tingkat teknis akan ter-drive untuk melakukan hal yang sama. Mudah-mudahan dengan memuliakan warga miskin, Jakarta menjadi dimuliakan di mata Yang Maha Kuasa. Amin.
81
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jamkesda Baru
Untuk Jakarta Baru
P
emberian jaminan kesehatan dan perluasan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan telah menjadi bagian dari strategi
nasional dalam penanggulangan kemiskinan. Karena itu, Kementerian Kesehatan telah menetapkan kebijakan untuk
memfokuskan
pada
pelayanan
kesehatan
masyarakat miskin. Kebijakan ini telah dimulai sejak tahun 2005 dimana pemerintah melaksanakan kebijakan
82
Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program ini diselenggarakan melalui penugasan kepada PT Askes (Persero) berdasarkan SK Nomor 1241/ Menkes/SK/XI/2004. Dalam perjalanannya, program ini terus mengalami perubahan-perubahan sampai dengan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) pada tahun 2008. Adanya kewenangan desentralitatif telah memunculkan program sejenis di tingkat daerah yang dikenal dengan program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Pada kenyataannya, implementasi Jamkesda dalam tujuh tahun terakhir pasca Orde Baru memperlihatkan tiga peta. Peta pertama menunjukkan bahwa sebagian besar daerah (kabupaten/kota) tidak melakukan atau gagal mengimplementasikan Jamkesda. Peta kedua, Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jamkesda Baru Untuk Jakarta Baru
menunjukkan beberapa daerah yang melakukan terobosan melalui penerapan kebijakan publik yang bernuansa perlindungan sosial, sehingga implementasi Jamkesda lebih baik dari apa yang dipraktekkan di tingkat pusat. Peta ketiga, menunjukkan daerah-daerah yang berada di antara dua peta tersebut, atau menjalankan Jamkesda dengan skema yang normatif (Eko 2006; Nurhadi 2009). Bila dilihat dari pemetaan tersebut, implementasi Jamkesda di Propinsi DKI Jakarta hingga awal tahun 2011, berada pada posisi peta ketiga. Jamkesda dikenal dengan nama JPK Gakin yang kepesertaannya dilakukan melalui dua skema, yaitu pemberian Kartu JPK Gakin dimana pesertanya berasal dari hasil survey BPS, dan melalui “legalisasi” SKTM yang diverifikasi melalui Puskesmas tempat tinggal pasien. Legalisasi Program JPK Gakin awalnya relatif sama dengan apa yang terjadi di Musi Banyuasin dimana program ini merupakan tindaklanjut kebijakan pusat yang implementasinya didukung oleh pengalokasian dananya di APBD, namun pada tahun 2010, program ini “terlegalkan” dalam Perda No. 4 Tahun 2010 tentang Sistem Kesehatan. DKI Jakarta memilih untuk berbeda dengan Kabupaten Jimbrana yang menegaskan program jaminan kesehatan daerahnya dalam sebuah Perda tersendiri. Beberapa pengamat masalah ini menegaskan bahwa bentuk dasar hukum dari jamkesda di setiap daerah biasanya memperlihatkan political will daerah tersebut terhadap program ini.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
83
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
Bila dibanding dua kabupaten yang disebut di atas, implementasi Jamkesda di DKI Jakarta relatif tertinggal jauh. Pertama, DKI Jakarta hanya memberikan jaminan pembebasan atau subsidi biaya pelayanan kesehatan kepada warga miskin saja, yang dilihat berdasarkan survey BPS atau berdasarkan keterangan Lurah melalui SKTM. Tentu ini berbeda dengan Jimbrana dan Musi Banyuasin yang memberikan jaminan kepada seluruh warganya. Kedua, DKI Jakarta membatasi jenis pelayanan yang diberikan kepada peserta JPK Gakin. Salah satu yang tidak dijamin adalah pelayanan persalinan. Sementara di Jimbrana dan Musi Banyuasin, persalinan di-cover oleh Jamkesda di masing-masing kabupaten tersebut. Ketiga,
84
meski ada persamaan antara DKI Jakarta dengan dua kabupaten tersebut dalam hal kelas pelayanan (kelas 3 saja) yang dijamin pembiayaannya, DKI Jakarta tidak memperkenalkan konsep “naik kelas” dimana warga penerima JPK Gakin tidak bisa pindah ke pelayanan kelas 2 atau kelas 1 dan si pasien hanya membayar selisih biaya yang diakibatkan perbedaan kelas pelayanan tersebut. Pada dua kabupaten yang disebut di atas, konsep “naik kelas”
dalam
pelayanan
Jamkesda
diperkenalkan.
Keempat, DKI Jakarta masih membatasi pihak-pihak yang diajak kerjasama dalam memberikan pelayanan kepada peserta Jamkesda, yaitu kepada rumah-rumah sakit yang menandatangani ikatan kerjasama dengan Pemda DKI Jakarta. Artinya, tidak semua rumah sakit bisa menerima pasien warga miskin. Hal ini berbeda dengan di
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jamkesda Baru Untuk Jakarta Baru
Musi Banyuasin dan Jembrana dimana di dua kabupaten tersebut, klinik-klinik kesehatan dan dokter-dokter pribadi bisa melayani peserta Jamkesda di wilayahnya masingmasing. Berdasarkan beberapa kekurangan dalam pelayanan Meski mungkin Jamkesda di DKI Jakarta itulah, saya menawarkan sebuah belum meng-cover semua warga tetapi profil baru dalam Jamkesda ke depan. Dalam model Jamkes memungkinkan untuk ini, meski mungkin belum meng-cover semua warga meng-cover pelayanan tetapi memungkinkan untuk meng-cover pelayanan lain lain seperti persalinan bagi warga miskin, seperti persalinan bagi warga miskin, perluasan jaringan perluasan jaringan penyedia layanan dan adanya konsep “naik kelas”. Selain penyedia layanan dan itu, pemberian subsidi yang lebih besar memungkinkan adanya konsep “naik kelas”. adanya pembebasan biaya bagi pasien miskin. Semangat untuk menyempurnakan Program Jamkesda di DKI Jakarta semata-mata karena keyakinan bahwa tidak ada orang yang menghendaki dirinya sakit. Karena kesehatan merupakan hak semua warga dan investasi bagi Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Saya memandang bahwa akses terhadap pelayanan kesehatan merupakan faktor penting bagi pembangunan ekonomi. Hal ini menjelaskan, mengapa selama ini saya mendukung alokasi anggaran kesehatan yang relatif besar dalam APBD. Karena sakit identik dengan kemiskinan. Warga yang tidak sehat dalam jumlah yang banyak menghambat pembangunan ekonomi, menurunkan produktivitas, dan memicu instabilitas dan konflik sosial. Banyak studi menunjukkan bahwa investasi di bidang kesehatan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
85
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
berkaitan dengan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (John, 2002; Shepherd et.al, 2004; Suharto et.al, 2006). WHO dan Bank Dunia memperkirakan bahwa 10 persen peningkatan angka harapan hidup mengarah pada peningkatan pertumbuhan ekonomi sekitar 0,4 persen. Sebaliknya, peningkatan per kapita sebesar 10 persen di negara-negara berkembang dapat menurunkan angka kematian anak sebesar 3,0 persen (Suharto, 2009; 60). Sistem jaminan kesehatan yang baik sangat menentukan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. WieczorekZeul (2055: 2) menegaskan bahwa ”...social health insurance systems are vital if economic growth is to actually
86
contribute to poverty reduction and equitable sharing out of resources rather than aggravating disparities.” Keyakinan tersebut juga didukung oleh Laporan United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2007/2008 yang menunjukkan adanya kemajuan dalam pembangunan manusia di Indonesia dari tahun ke tahun. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 1975 sebesar 0,472; tahun 1985 sebesar 0,585; tahun 1995 sebesar 0,670; dan tahun 2005 sebesar 0, 728. Namun kenaikan tersebut masih kalah dibandingkan dengan negara lain, setidaknya dengan sesama negara ASEAN. Peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura (peringkat 25), Brunei Darussalam (30), Malaysia (63), Thailand (78), dan Philipina (90); peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam (105) yang pada tahun 2006 berada di
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Jamkesda Baru Untuk Jakarta Baru
peringkat 109 (UNDP, 2007; Suharto, 2009). Banyak bukti menunjukkan bahwa rendahnya IPM Indonesia memiliki kaitan erat dengan rendahnya status kesehatan dan akses penduduk terhadap pelayanan kesehatan. Penyempurnaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin di Jakarta mempunyai tiga arti penting: Pertama, menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi masyarakat miskin, sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin mutlak, mengingat kematian bayi dan kematian balita 3 kali dan 5 kali lebih tinggi dibanding pada keluarga tidak miskin. Di sisi lain, penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat miskin, dapat mencegah angka kematian yang tinggi; Kedua, untuk kepentingan politis yakni menjaga kohesivitas sosial di Jakarta dengan meningkatkan upaya pembangunan (termasuk kesehatan) bagi warga miskin, dan untuk memenuhi komitmen nasional untuk menurunkan kemiskinan melalui upaya kesehatan bagi keluarga miskin; Tiga, beberapa hasil studi menunjukkan bahwa kesehatan penduduk yang baik, memberi akselerasi terhadap pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, yang dengan demikian mampu mengatasi masalah kemiskinan dengan lebih baik (Kemkes, 2009). Apakah implementasi “Jamkesda Baru” di Jakarta dapat terwujud? Menurut Eko (2006: 910) sedikitnya ada tiga faktor kunci yang dapat menjawabnya: Pertama, komitmen elite lokal (pemerintah, DPRD) yang kuat, reformis dan pro
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
87
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
kesejahteraan. Penelitian Leisher & Nachuk menunjukkan bahwa kepemimpinan lokal merupakan faktor kunci bagi reformasi pelayanan publik. Contohnya adalah kegigihan bupati dan walikota di Solok, Tanah Datar, Musi Banyuasin, Jembrana; Kedua, good governance. Solok dan Tanah Datar selama periode 2000-2005 telah menciptakan birokrasi yang lebih efisien, insentif yang lebih memadai, struktur birokrasi yang ramping, transparansi dan akuntabilitas. Reformasi ini berhasil memotong high cost bureaucracy sehingga anggaran bisa direlokasi untuk keperluan yang lebih produktif, termasuk membiayai pelayanan publik untuk rakyat; Ketiga, partisipasi masyarakat memberi kontribusi penting bagi upaya-upaya promosi kebijakan
88
kesejahteraan: desakan, keterlibatan dalam perencanaan kebijakan, dukungan atas kebijakan, aksi-aksi sukarela dalam implementasi di lapangan. Temuan Indonesian Rapid Desentralization Appraisal (IRDA) The Asia Foundation (2001-2005) memperlihatkan bahwa partisipasi komisikomisi ekstra negara mampu memberi desakan kepada pemerintah untuk memperbaiki pelayanan publik.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Model Pembiayaan
Jamkesda Baru
J
amkesda baru ala Jakarta berkata-kunci: pemuliaan warga miskin dan tidak mampu dalam mengakses jaminan kesehatan. “Pemuliaan” bermakna perluasan
covering pelayanan kesehatan, perluasan pemberi pelayanan, dan peningkatan pelayanan yang lebih cerdas dan profesional. Dengan demikian jamkesda baru memerlukan dukungan model pembiayaan yang lebih smart. Bagaimana model yang smart tersebut? Mari kita diskusikan masalah-masalah yang mungkin mengemuka! Permasalahan
pertama
adalah
soal
ketersediaan
anggaran. Jamkesda baru meng-cover warga miskin dan tidak mampu melalui mekanisme Kartu JPK Gakin, Jamkesmas dan SKTM. Dengan demikian, kita tidak dulu akan menerapkan model universal. Kita juga tidak ingin terjebak dalam model residual yang hanya meng-cover warga Jakarta yang tidak memiliki jaminan kesehatan melalui berbagai asuransi. Karena berdasarkan temuan lapangan terdapat warga yang punya jaminan dari asuransi tertentu memerlukan pembiayaan di awal, atau pembiayaan sekian persen, atau pembiayaan hanya untuk penyakit tertentu. Dengan demikian, jamkesda baru akan mampu meng-cover permasalahan yang muncul seperti
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
89 89
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
ini. Namun demikian, jamkesda baru tidak meng-cover semua warga. Dengan asumsi bahwa orang sakit ratarata 5 persen dari jumlah penduduk DKI, dan rencana alokasi dana untuk kesehatan bisa sampai 15 persen dari total APBD, maka ketersediaan anggaran untuk ini adalah dimungkinkan. Pada tahun 2009, anggaran untuk jamkesda hampir tembus pada angka 1 triliyun rupiah dengan total APBD sekitar 20 triliyun rupiah. Permasalahan kedua adalah soal kemana dan bagaimana anggaran
tersebut
disalurkan
sehingga
mampu
mewujudkan jamkesda baru ala Jakarta. Dengan target terciptanya perluasan cakupan penyakit atau pelayanan
90
yang diberikan kepada warga miskin, maka alokasi anggaran harus diberikan untuk menambah jumlah dana kapitasi dan peningkatan tarif INA-DRG. Penambahan dana kapitasi dilakukan karena diasumsikan perlu ada dukungan dana bagi jenis pelayanan baru yang akan diberikan seperti pelayanan wanita hamil dan melahirkan, serta pelayanan lainnya yang belum ditentukan sebelumnya. Peningkatan jumlah dana kapitasi “diwajibkan” karena Perda Sistem Kesehatan Daerah No. 4 Tahun 2010 masih menggunakan sistem kapitasi, dimana dana dialokasikan ke Dinkes dan para pemberi layanan mengajukan klaim ke Dinkes atas biaya yang telah dikeluarkan untuk menangani pasien JPK Gakin/SKTM. Semakin meluasnya jenis pelayanan maka semakin mungkin membesarnya jumlah dana yang harus dialokasikan untuk memback-up hal itu.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Model Pembiayaan Jamkesda Baru
Alokasi anggaran jamkesda juga penting untuk diperluas kepada para pemberi layanan jamkesda, seiring dengan diperluasnya jaringan penyedia jasa layanan. Jamkesda baru memungkinkan masyarakat untuk berobat di klinik terdekat, di dokter pribadi, klinik pengobatan alternatif, dan di seluruh jaringan rumah sakit yang ada di Jakarta. Penolakan rumah sakit atas tarif INA-DRG dari jamkesda akan dicarikan solusinya, karena yang terpenting semua Yang terpenting semua lembaga pemberi layanan kesehatan dilarang menolak lembaga pemberi layanan kesehatan warga miskin. Dengan perluasan penyedia layanan dilarang menolak warga kesehatan maka mekanisme pembayaran klaim harus miskin. lebih smart. Maksudnya, jangan terlalu panjang mata rantainya sehingga bertele-tele, dan jangan terlambat. Mekanisme pembayaran harus berangkat dari pandangan bahwa pembayaran klaim merupakan modal usaha penyedia layanan yang menopang operasi pemberian pelayanan kesehatan. Di sini political will pencairan APBD yang prioritas akan ditekankan. Sebuah hadits menyebutkan bahwa bayarlah upah seseorang sebelum keringatnya kering. Mekanisme pembayaran klaim yang cepat ini dapat menjadi stimulan bagi para penyedia jasa layanan kesehatan yang bermitra dengan Pemda DKI agar lebih sigap dalam melayani warga miskin di Jakarta. Mekanisme yang cepat ini diharapkan menjadi salah satu solusi dari persoalan yang kerap muncul antara rumah-rumah sakit pemberi layanan dengan Pemda DKI selama ini. Percepatan mekanisme ini, dengan tetap mempertimbangkan mekanisme verifikasi dokumen klaim yang memang sudah ada prosedurnya. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
91
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
Mekanisme pembayaran pemerintah kepada para penyedia jasa layanan kesehatan warga miskin juga bisa menggunakan model asuransi yang dimodifikasi. Kelebihan model asuransi adalah percepatan dan kefokusan pelayanan pembayaran klaim, dan pengurangan energi pemerintah dalam menangani klaim dengan seluruh jaringan penyedia layanan kesehatan di Jakarta. Kelebihan tersebut dengan asumsi bahwa perusahaan asuransinya adalah pihak yang profesional dan memahami permasalahan klaim pembayaran secara khusus. Namun kekurangannya adalah dana pembayaran premi yang diberikan pemerintah setiap tahun akan hilang meski tidak semua warga yang dijamin menggunakan jaminan tersebut. Artinya, ada kemungkinan hilangnya dana APBD
92
secara sia-sia. Dengan asumsi bahwa jumlah warga miskin akan terus meningkat maka biaya premi yang harus dibayar pun akan terus meningkat. Kelemahan lainnya adalah tidak kompatibelnya dengan karakteristik warga miskin di Jakarta. Warga urban seperti di Jakarta rentan jatuh miskin sehingga ada istilah “sadikin” alias sakit sedikit menjadi miskin. Model asuransi tidak menjamin mereka yang tidak dibayar preminya. Oleh karena itu, pemberlakukan model asuransi harus men-gcover masalah-masalah tersebut. Jamkesda baru juga harus mendorong terciptanya peningkatan pelayanan yang cerdas dan profesional.
Model pembiayaan jamkesda baru juga harus mendorong terciptanya peningkatan pelayanan yang cerdas dan profesional. Karena itu, pengalokasian anggaran juga harus dialokasikan untuk hal itu, dan mekanisme pembayaran kepada penyedia layanan jasa kesehatan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Model Pembiayaan Jamkesda Baru
harus mendorong terjadinya peningkatan yang smart. Pelayanan yang cerdas mengharuskan adanya sistem implementasi jamkesda yang berbasis IT yang kuat. Itu artinya, Dinkes dan mitra penyedia jasa layanan harus berada dalam sistem manajemen informasi jamkesda yang terintegrasi. Sistem ini memungkinkan para penyedia jasa mendapatkan informasi seketika tentang pasien yang datang, atau menginput data pasien miskin yang baru ke dalam sistem yang bisa diakses oleh seluruh jaringan penyedia jasa secara online. Sistem ini juga mengharuskan terintegrasinya data para penyedia jasa layanan kesehatan. Dengan demikian, pengalokasian anggaran pada pos pembiayaan ini dapat mencegah penolakan penyedia jasa layanan kesehatan di seluruh Jakarta kepada orang miskin yang datang. Sedangkan peningkatan pelayanan yang profesional dapat diciptakan dengan menggunakan mekanisme reward and punishment dalam hal pembayaran klaim atau perijinan para penyedia jasa layanan kesehatan. Pada saat yang sama, aparatur birokrasi yang terkait dengan implementasi program ini harus menjadi “birokrat kelas satu”, yaitu birokrat yang profesional, yang memahami siapa yang dilayaninya. Apakah model pembiayaan jamkesda baru mungkin dilaksanakan? Tentu fakta yang akan menjawabnya. Tapi kita bisa belajar dengan dua daerah yang sukses mengimplementasikan jamkesda secara cerdas, seperti di Kabupaten Jembrana dan Musi Banyuasin. Dua daerah tersebut melakukan improvisasi ketika pemerintah pusat
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
93
Sistem dan Jaminan Kesehatan bagi Warga
menggunakan sistem yang standar. Model pembiayaan pusat menerapkan covering penyakit yang terbatas dengan sistem referal, dan penyedia jasa layanan kesehatan yang juga terbatas. Pemerintah pusat juga menerapkan standar tarif INA-DRG yang meresahkan atau menimbulkan penolakan sebagian mitra penyedia layanan jasa karena dianggap terlalu murah. Dengan demikian, model pusat ini memiliki kelemahan, yaitu warga miskin masih punya beban, tidak leluasa, dan tidak memadai. Model ini juga tidak menyediakan anggaran paripurna untuk warga yang tidak punya kartu Jamkesmas, sementara penerbitan kartu tersebut tidak setiap saat.
94
Atas keterbatasan model pusat tersebut, Kabupaten Jembrana menggunakan dana APBD dengan pola kapitasi yang membayar seluruh klaim pembayaran yang diajukan penyedia jasa layanan yang diperluas. Jembrana juga menggunakan standar tarif INA-DRG yang diimprovisasi. Artinya, Pemkab Jembrana memberlakukan tarif di atas INA-DRG. Model Jembrana memiliki kelebihan, yaitu backuping dana dinamis karena semua warga dijamin, klaim tarif berbasis INA-DRG yang disempurnakan merangsang peningkatan pelayanan terhadap pengguna jamkesda. Hal yang hampir sama dilakukan oleh Kabupaten Musi Banyuasin, meski pemberlakuan tarif INA-DRG tidak diimprovisasi. Namun yang menarik adalah diberlakukannya konsep “naik kelas” yang bermaksud bahwa setiap warga mendapat pelayanan gratis untuk
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Model Pembiayaan Jamkesda Baru
kelas tiga, dan warga dapat pindah ke pelayanan kelas dua atau kelas tiga dengan membayar kelebihan tarifnya saja. Konsep “naik kelas” sebagaimana diberlakukan di Musi Banyuasin patut dipertimbangkan untuk diberlakukan di Jakarta karena ada beberapa pasien miskin yang penyakitnya tidak bisa dirawat di kelas tiga, seperti pasien miskin yang harus melakukan cuci darah. Konsep “naik kelas” juga penting karena pada faktanya banyak pasien Faktanya banyak pasien miskin yang harus dirawat di luar kamar perawatan karena miskin yang harus kamar pelayanan kelas tiga penuh. Dengan kenyataan di dirawat di luar kamar perawatan karena dua kabupaten tersebut, bukan mustahil bahwa kita bisa kamar pelayanan kelas implementasikan model pembiayaan jamkesda baru ala tiga penuh. Jakarta. Insya Allah.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
95
Wajib Belajar 12 Tahun di Jakarta
Mungkinkah?
M
enempuh masa belajar 12 tahun bagi warga Jakarta, tentu saja merupakan dambaan semua. Apalagi kalau semua biayanya
ditanggung pemerintah. Namun hingga kini, Pemprov DKI belum secara nyata melangkah ke sana. Masalahnya adalah klasik, yaitu soal ketersediaan dana. Kalau mendanai warga miskin saja, APBD Jakarta masih sanggup. Namun apabila harus membiayai semua warganya untuk menempuh
98
Wajib Belajar (Wajar) 12 tahun, itu bukan perkara mudah. Namun demikian, wacana untuk menggratiskan Wajar 12 tahun, khusus untuk SMK pernah mengemuka, meskipun belum terealisasi hingga sekarang. Pengimplementasian Wajar 12 tahun tidak hanya merupakan pelepasan beban moral sebagai ibukota negara.
Pengimplementasian Wajar 12 tahun tidak hanya me rupakan pelepasan beban moral sebagai ibukota negara, tetapi juga yang terpenting adalah karena kesadaran bahwa Jakarta menghadapi persaingan dengan kota-kota internasional lain termasuk dalam penyiapan sumber daya manusia unggul. Malah sebenarnya Perda No. 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan memberikan pesan tersirat akan keinginan tersebut meski terlihat ambigu. Dalam Bab IV Pasal 4 misalnya, menyebutkan bahwa (1) Setiap warga masyarakat berhak memperoleh pendidikan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Wajib Belajar 12 Tahun di Jakarta Mungkinkah?
yang bermutu; dan Pasal 5 ayat 1) Warga masyarakat yang berusia 7 (tujuh) sampai 18 (delapan belas) tahun wajib mengikuti pendidikan dasar dan menengah sampai tamat. Pasal tersebut menegaskan secara kuat bahwa pendidikan 12 tahun merupakan haknya warga Jakarta. Hanya saja, hak tersebut masih dibatasi bagi mereka yang tidak mampu. Pasal 16 menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban: (f). menyediakan dana guna terselenggaranya wajib belajar 12 tahun khususnya bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu dan anak terlantar. Pengaturan hak pendidikan warga untuk menempuh ma sa belajar 12 tahun tersebut, masih belum mendapatkan penguatan dasar hukum. Pengaturan sebagaimana ditunjukkan oleh dua pasal tersebut masih memperlihatkan semangat yang kontradiktif, yaitu antara mewajibkan warganya untuk menempuh 12 tahun wajib belajar, namun pada saat yang sama, pemerintah membatasi kewajibannya yang hanya mem-backup dana Wajar 12 tahun bagi mereka yang tidak mampu. Penyelenggaraan Wajar 12 tahun semestinya tidak lagi hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu, melainkan juga bagi semua warga Jakarta karena pen didikan adalah hak bagi semua warga, dan kewajiban bagi pemerintah, serta investasi penting bagi negara. Masalah klasik yang berkaitan dengan pendanaan sesungguhnya berpeluang untuk diatasi karena Perda 8/2006 juga
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
99
Semua Berhak Dapat Pendidikan Layak
membuka ruang untuk itu. Misalnya, Pasal 118 ayat (1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat; dan Pasal 119 ayat (1) Pendanaan atau pembiayaan penyelenggaraan
pendidikan
yang
diselenggarakan
Pemerintah Daerah bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, dan Masyarakat; serta Pasal 120 ayat (1) Pemerintah Daerah
wajib
menyediakan
anggaran
pendidikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undangundang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasalpasal tersebut memungkinkan Pemprov DKI Jakarta untuk mengambil porsi tanggungjawab yang lebih besar untuk
100
menopang pembiayaan Wajar 12 Tahun. Dengan pola ini, Wajar 12 Tahun dapat terlaksana meski tidak gratis sepenuhnya. Bahkan kalau merujuk pada Pasal 120 ayat 1 yang menetapkan kewajiban anggaran untuk urusan pendidikan sebesar minimal 20 persen dari APBD, maka nominal yang akan teralokasikan untuk pendidikan setiap tahunnya akan terus membesar. Belum lagi kalau dana yang bersumber dari APBN dapat membantu proyek percontohan dalam pengimplementasian Wajar 12 Tahun di Propinsi DKI Jakarta. Maka sebenarnya, peluang DKI Jakarta untuk menerapkan Pendidikan Wajar 12 Tahun terbuka lebar. Pendidikan Wajar 12 Tahun bagi warga Jakarta merupakan suatu kebutuhan mengingat persaingan yang terjadi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Wajib Belajar 12 Tahun di Jakarta Mungkinkah?
juga semakin tinggi. Persaingan tersebut tidak mungkin dimenangkan oleh warga Jakarta yang hanya lulusan SMP atau sederajat. Bahkan pada saat ini, para lulusan sarjana di Jakarta banyak yang menganggur karena jumlahnya yang semakin banyak. Oleh karena itu, penyelenggaraan Wajar 12 Tahun dapat dilihat sebagai upaya pemerintah untuk melakukan bridging bagi warganya dalam meraih pendidikan sarjana. Langkah bridging tersebut membantu secara psikologis bagi warga dalam menjalani masa belajar. Bagi mereka yang tidak mampu meneruskan ke SMA atau sederajat karena alasan biaya, dan tidak memiliki akses biaya untuk itu, lantas mereka bekerja, maka pada saat mereka mau melanjutkan sekolah SMA-nya, mereka akan mengalami hambatan psikologis sehubungan usianya yang sudah lewat. Contohnya, seorang pekerja berusia 35 tahun akan merasa risih kalau harus belajar kembali dengan anak-anak usia 17 tahun, meski di Program Paket C misalnya. Berbeda ceritanya kalau ada warga Jakarta yang sudah SMA, lalu kerja karena pemerintah membridgenya, dan manakala mau meneruskan sarjananya setelah bekerja, mereka tidak akan mengalami hambatan psikologis meski usianya sudah sangat lanjut. Di sinilah urgensi penyelenggaraan Wajar 12 Tahun terlihat, dan patut untuk dipertimbangkan. Keterbatasan anggaran untuk mendanai Wajar 12 Tahun Keterbatasan anggaran dapat ditempuh secara bertahap, diantaranya dengan untuk mendanai Wajar 12 Tahun dapat memberi prioritas pada sekolah-sekolah tertentu, seperti ditempuh secara SMK dan sejenisnya yang lebih banyak dipilih penduduk bertahap. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
101
Semua Berhak Dapat Pendidikan Layak
kelas menengah ke bawah dan juga sejalan dengan penyiapan tenaga kerja terampil. Upaya seleksi jenis sekolah yang gratis tersebut, dapat meminimalisir pembiayaan yang harus dikeluarkan pemerintah DKI Jakarta. Dan pada posisi siswanya pun dapat lebih menguntungkan karena sekolah kejuruan tersebut memberi bekal untuk bisa bekerja setelah lulus. Dengan demikian, tiga pihak dapat diuntungkan sekaligus, yaitu pemerintah yang akan berkurang bebannya dalam mengatasi pengangguran, lulusannya yang akan memiliki daya akseptabilitas di dunia kerja, dan dunia usaha yang mendapat tenaga kerja yang relatif murah namun memiliki keterampilan yang cukup.
102
Kebijakan untuk mendanai sekolah-sekolah tertentu dalam pengimplementasian Wajar 12 Tahun dapat ditempatkan sebagai kebijakan transisi. Karena pada saat yang sama, Perda yang menjadi dasar hukumnya dapat dipersiapkan bagi menyempurnakan pelaksanaan Wajar 12 Tahun. Untuk itu, DPRD DKI telah memasukkan rencana perubahan Perda Sistem Pendidikan pada tahun 2011 ini, dengan harapan bahwa gagasan tentang Wajib Belajar 12 Tahun berpeluang besar untuk dapat terimplementasi pada tahun 2012 nanti.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Pendidikan Berkualitas
untuk Semua Penduduk
S
udah menjadi hal yang lazim, bahwa pendidikan merupakan
pintu
gerbang
untuk
meraih
kesejahteraan dan memperbaiki derajat hidup.
Namun persoalan utamanya adalah tidak semua penduduk memiliki akses dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Bahkan Jakarta dengan pendapatan per kapita penduduk Rp. 73 juta, ternyata memiliki angka partisipasi sekolah (APS) untuk usia 16-18 tahun (SMU/SMK) yang belum mencapai 70%. Artinya masih lebih dari 30% penduduk Jakarta usia 16-18 tahun
103
yang tidak melanjutkan sekolah ke SMU/SMK. Sementara penyandang masalah kesejahteran sosial (PMKS) termasuk diantaranya gelandangan dan tunawisma, semakin melibatkan anak-anak, termasuk persoalan anak jalanan. Padahal masalah pendidikan juga bukan hanya masalah Masalah pendidikan juga akses untuk dapat bersekolah, namun juga kesempatan bukan hanya masalah akses untuk dapat untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Kesem bersekolah, namun patan ini menjadi langka ketika sebagian besar kesempatan juga kesempatan untuk itu diukur dengan materi (uang), termasuk di sekolah yang mendapatkan pendidikan dikelola oleh pemerintah (sekolah negeri) pada semua yang berkualitas. jenjang. Sehingga upaya pemerintah untuk meningkatkan kesempatan
belajar
melalui
peningkatan
anggaran
untuk pendidikan menghadapi rintangan ketika siswa dari keluarga tidak mampu, tidak dapat bersekolah pada Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Semua Berhak Dapat Pendidikan Layak
sekolah berkualitas meskipun negeri. Atau dalam situasi yang lain, siswa tidak mampu akan dibenturkan dengan berbagai label yang melekat seperti RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional), SNI dan sebagainya. Padahal dengan bersekolah pada sekolah yang baik sebuah keluarga membangun mimpi bahwa anaknya akan bisa meningkatkan derajat kehidupan dan kesejahteraan keluarga.
104
Pendidikan, Pembangunan Manusia dan Kesejahteraan
U
ntuk mengukur tingkat kemajuan pemba ngunan manusia yang sekaligus mencermin
kan kesejahteraannya, UNDP telah mengem
bangkan Human Development Index (HDI) yang mencakup tiga komponen dasar yang secara operasional dapat meng hasilkan suatu ukuran untuk merefleksikan upaya pem bangunan manusia. Salah satu komponen tersebut ada lah akses terhadap pengetahuan (knowledge) yang diukur berdasarkan prosentase kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat partisipasi bersekolah yang diperoleh dari rasio gabungan pendaftaran bersekolah dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas. Bahkan komponen pendidikan dalam HDI ini cukup peringkat pembangunan manusia suatu negara/wilayah. Apabila diperhatikan dengan seksama terhadap indeks pembangunan manusia di Indonesia tahun 2007, indeks HDI mengalami kenaikan dari 0.729 menjadi 0.734, namun tetap berada pada peringkat ke 111 dan berada dalam kategori Menengah seperti tahun sebelumnya. Kenaikan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Pendidikan Berkualitas untuk Semua Penduduk
indeks tersebut disebabkan oleh kenaikan indikator PDB per kapita (dari US$ 3,532 menjadi US$ 3,712) dan usia harapan hidup (dari 70,1 menjadi 70,5 tahun), sedangkan tingkat kemampuan baca-tulis orang dewasa dan rasio pendaftaran bersekolah tetap sama (yaitu 90% dan 68,2%). Jika kita membandingkan antara peringkat HDI dengan indikator pendidikan yang dicapai serta tingkat kesejah teraan ekonominya, negara dengan sumber daya alam yang tidak menonjol seperti minyak dan gas, memiliki kecenderungan korelasi antara komponen pendidikan de ngan tingkat kesejahteraan yang ditunjukkan dengan pen dapatan per kapita. Semakin tinggi tingkat partisipasi se kolah dan semakin lama masa bersekolah penduduk, maka
105
pendapatan per kapita penduduk semakin tinggi dan pe ringkat HDI juga semakin baik. Hal ini pula yang mungkin melatarbelakangi kenapa pendidikan menjadi indikatorindikator yang diletakkan diawal dalam komponen indeks pembangunan manusia. HDI Rank Indonesia Jepang Thailand Kanada Brazil Jerman
11 92 8 73 10
Combined Gross Enrolment Ratio
Years of Schooling
GDP per Capita (2008 PPP US$
68,2 86,6 78,0 99,3 87,2 88,1
5,7 11,5 6,6 11,5 7,2 12,2
4.394 33.649 8.328 39.035 10.847 34.743
Betapa pentingnya pendidikan sebagai jembatan meraih kesejahteraan, bisa tergambar dari respon yang diambil oleh pemerintah Jepang pasca kekalahan dalam Perang Dunia ke-2. Setelah kekalahan perang dari tentara sekutu Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Semua Berhak Dapat Pendidikan Layak
dengan dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Perdana Menteri Kuniaki Koiso menanyakan kepada para pejabatnya, berapa jumlah guru yang masih hidup? Dan hasilnya, hanya butuh 10 tahun bagi Jepang untuk bangkit dan menjadi negara besar ketika pendidikan menjadi prioritas untuk dikembangkan untuk mensejahterakan rakyatnya. Jepang juga tidak larut dalam kehancuran dan cepat untuk bangkit ketika tiga bencana sekaligus menghantam negeri tersebut dua bulan lalu yaitu gempa 9 skala richter, tsunami dan radiasi nuklir akibat meledaknya PLTN di Fukushima.
106
Kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal saja bagi semua penduduk tentu tidak mencukupi tanpa adanya upaya peningkatan kualitas pendidikan dan proses belajar-mengajar.
Kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal saja bagi semua penduduk tentu tidak mencukupi tanpa adanya upaya peningkatan kualitas pendidikan dan proses belajar-mengajar. Tuntutan perbaikan kualitas pendidikan ini mencakup perbaikan sarana dan prasana pendidikan, perbaikan sistem belajar-mengajar dan kesempatan yang sama untuk dapat bersekolah di sekolah unggulan tanpa diskriminasi, apalagi atas dasar materi. Setiap penduduk Jakarta seharusnya mendapat kesempatan yang sama untuk bersekolah khususnya di sekolah negeri berkualitas tanpa terkendala oleh ketiadaan biaya. Program BOS dan BOP pada dasarnya adalah untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga untuk menikmati pendidikan, termasuk pada sekolah berkualitas yang mendapat dana BOS dan BOP. Dana tersebut bukan hanya untuk membangun fasilitas sekolah untuk meningkatkan kualitas proses belajar-mengajarnya, namun menyebabkan terjadinya barrier bagi siswa tidak
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Pendidikan Berkualitas untuk Semua Penduduk
mampu untuk bersekolah di sekolah tersebut. Pendidikan berkualitas bagi semua penduduk juga merupakan upaya untuk memutus mata rantai pendidikan melalui pendidikan dan peningkatan kesejahteraan penduduk. Upaya mengatasi masalah pembangunan manusia tidak hanya persoalan bagaimana mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin, melainkan yang lebih penting adalah bagaimana meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin, diantaranya dengan memberikan kesempatan pendidikan berkualitas agar mereka dapat mengembangkan potensinya. Semua pihak termasuk kalangan industri dan sektor swasta perlu terlibat dalam membangun sistem dan sarana untuk memuwujudkan pendidikan berkualitas untuk semua. Saat ini indikator pendidikan di Jakarta juga masih belum memuaskan. Angka partisipasi sekolah (APS) untuk usia 16-18 tahun (SMU/SMK) belum mencapai 70%. Artinya masih lebih dari 30% penduduk Jakarta usia 16-18 tahun yang tidak melanjutkan sekolah ke SMU/SMK. Belum lagi persoalan yang selalu muncul seperti BOS yang tidak tepat sasaran dan kesulitan orang tua pada setiap masa pendaftaran siswa baru. Pendidikan bermutu untuk semua anak usia sekolah di Jakarta adalah keinginan yang harus menjadi kenyataan di Jakarta. Adalah kewajiban mutlak bagi ibukota negara untuk memiliki SDM berkualitas dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik dibanding daerah lain. *) Dimuat di Harian Republika, Mei 2011
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
107
Menggeliatkan UMKM
di Jakarta
B
erbicara tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Jakarta sekilas nampak bukan pada tempatnya. Betapa tidak, puluhan
bahkan ratusan perusahaan multinasional bahkan nasional berbasis di ibukota ini dari berbagai jenis dan bidang usaha. Dari pertanian (sawit, agroindustri) sampai perbankan. Dari pertambangan (migas, batubara) sampai teknologi informasi. Dari industri sampai perhotelan dan
110
jasa logistik. Semuanya memiliki kantor pusat di Jakarta, dan mengendalikan bisnis mereka di seluruh penjuru tanah air, bahkan mancanegara. Jakarta juga merupakan tempat pergerakan harga saham perusahaan-perusahaan go public ditentukan. Sehingga, tidak salah orang berpendapat bahwa UMKM hanya menjadi pelengkap saja. Dan hampir tidak dilirik dalam pengambilan kebijakan atau membangun daya tarik investasi di Jakarta. Benarkah demikian? Di Indonesia sendiri UMKM merupakan entitas usaha yang jumlahnya mencapai 99% dari total usaha yang ada dengan jumlah pada tahun 2006 mencapai 48,39 juta sebagian besarnya merupakan usaha mikro dan kecil. Peran strategis terpenting UMKM adalah dalam penyerapan tenaga kerja dimana lebih dari 95% penyerapan tenaga kerja yang ada adalah oleh UMKM.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
Bahkan data BPS tahun 2006 juga berbicara bahwa dari total tenaga kerja sebesar 88,8 juta pada 2006, sekitar 80,9 juta atau 90% adalah tenaga kerja yang berasal dari UMKM. Kontribusinya terhadap PDB juga tidak bisa dipandang sebelah mata karena terbukti memberi kontribusi sebesar 53% terhadap PDB pada tahun 2006. Skala Usaha
2003
2006
UMKM
1.013 triliun
57% dari PDB
1.779 triliun
53% dari PDB
Usaha skala Besar
0,764 triliun
43% dari PDB
1.559 triliun
47% dari PDB
Sumber: Menneg Koperasi dan UMKM, BPS2003, 2006
Skala Usaha
Tahun (angka tenaga kerja dalam ribuan)
Pertumbuhan
2005
2006
Jumlah
%
Usaha skala Mikro, Kecil
78,994
80,933
1,938
2.5
Usaha skala Menengah
4,238
4,483
244
5.8
Usaha skala Besar
3,212
3,388
176
5.5
Total Tenaga Kerja
86,445
88,804
2,359
2.7
Sumber: Menneg Koperasi dan UMKM, BPS 2006
Di Jakarta, kondisi dan perkembangan UMKM menun jukkan geliat yang semakin dinamis, meski data kuantitatif menunjukkan penurunan. Data Dinas Koperasi dan UKM menunjukkan jumlah usaha kaki lima Jakarta dari 2002 ke 2007 terus mengalami penyusutan cukup besar, yaitu menjadi 11,225 pada tahun 2007.
Ini dapat dibaca
bahwa Pemda DKI Jakarta semakin menata keberadaan kaki lima dan mendorongnya untuk memiliki usaha yang lebih permanen, baik di tempat lokasi usaha sementara Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
111
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
yang dibangun pemerintah ataupun secara mandiri mulai mampu menjadi usaha yang memiliki tempat permanen. Pada tahun 2007, jumlah lokasi usaha sementara untuk usaha mikro mencapai 239 dan jumlah ini juga menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tahun
Jumlah Usaha Kaki Lima
Lokasi Sementara Usaha Mikro
Jumlah Koperasi
Omset Koperasi (Triliun Rupiah)
SHU Koperasi (Juta Rupiah)
2002
141,073
302
6,484
4.23
135.53
2006
13,358
266
6,833
5.88
192.56
2007
11,255
239
6,847
6.47
330.64
Sumber: BPS DKI Jakarta 2007
Sementara jumlah koperasi di Jakarta mencapai 6847
112
unit dengan omset yang dimiliki mengalami peningkatan, setiap tahunnya dari Rp. 4,23 triliun pada 2003 menjadi Rp. 6,47 triliun rupiah pada tahun 2007. Kinerja koperasi yang ada di Jakarta juga menunjukkan kondisi yang menjanjikan yang ditunjukkan dengan sisa hasil usaha (SHU) yang meningkat dari Rp. 192,6 juta pada 2006 menjadi Rp. 330,6 juta pada tahun 2007 atau meningkat sebesar 71,7 %. Fakta menarik dari geliat keberadaan UMKM di ibukota adalah bahwa dia tumbuh dalam berbagai bentuk varian dan kondisi. Dari mulai yang berjualan di pinggir jalan secara rutin, memanfaatkan “pasar-pasar kaget” seperti “pasar jum’atan” di sekitar masjid-masjid besar setelah sholat jum’at, “pasar mingguan” di beberapa kawasan tertentu memanfaatkan warga yang berolahraga, “real street
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
vendor” yang berjualan di depan pasar tradisional, “pasar kantoran” yang berjualan disekitar kawasan perkantoran, pedagang yang memiliki kios di pasar tradisional maupun semi modern, sampai pedagang yang dibina dalam suatu lokasi khusus. Untuk kelompok yang terakhir ini, beberapa perusahaan swasta maupun BUMN bahkan terlibat khususnya untuk jenis “pasar kantoran”. Kesemua jenis varian ini bersama-sama memutar roda ekonomi ibukota dengan UMKM sebagai pelaku utama dengan turn over yang cukup tinggi. Belum lagi berbagai jenis usaha rumah tangga maupun industri mikro dan kecil yang banyak tersebar di kawasan pemukiman maupun lokasi khusus industri kecil seperti di Perkampungan Industri Kecil (PIK). Bahkan saat ini ada kelompok pedagang kecil yang menggelar pasar secara berpindah-pindah dari kampung ke kampung dan menimbulkan geliat ekonomi baru di kawasan pemukiman tersebut. Berkembangnya berbagai “trade center”, “pusat grosir”, “junction” “square” juga turut mendorong berkembangnya UMKM khususnya sektor perdagangan. UMKM juga bisa “menyombongkan diri” karena lokasi usahanya menggunakan nama-nama asing tersebut, tidak kalah dengan toko-toko besar dengan produk impor berharga mahal. Para pelaku UMKM mungkin berpikir bahwa usaha mereka dijalankan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Namun secara tidak disadari, geliat ini sangat penting bagi perekonomian makro daerah, bahkan penerimaan daerah (PAD). Secara makro,
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
113
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
geliat ini tentu saja ditunjukkan dengan perputaran omset dan uang yang tinggi dan penyerapan tenaga kerja. Data Dinas Tenaga Kerja DKI Jakarta menunjukan bahwa keberadaan UMKM tidak hanya mempunyai peranan penting dalam menstabilkan pertumbuhan ekonomi di Jakarta, melainkan juga turut berperan dalam mengurangi tingkat pengangguran. Setiap UMKM mampu menyerap 5 sampai 15 tenaga kerja. Pada sektor industri pengolahan atau usaha boga (katering, rumah makan) bahkan bisa menyerap sampai 50-70 tenaga kerja. Ditengah hampir tidak ada lagi tempat bagi industri besar di Jakarta (kecuali di kawasan industri), tingkat kesempatan kerja di DKI pada tahun 2008 mencapai 87,83 persen, meningkat di tahun 2009 mencapai 87,85 % dan meningkat kembali
114
di tahun 2010 menjadi 88,94 %. Kita semua harus selalu optimis tahun 2011 juga akan mengalami kenaikan bila keberadaan UMKM baru terus dilakukan melalui pembinaan di sisi pengemasan produk, pelatihan ekspor UMKM, serta pelatihan pemasaran beserta promosi produk melalui teknik hubungan masyarakat.
Kebijakan untuk Pengembangan UMKM
K
alau melihat fakta dan data bahwa UMKM di Jakarta telah memberi kontribusi dalam menggerakkan perekonomian penduduk dan
daerah serta menyerap tenaga kerja, apakah layak jika UMKM di ibukota masih diabaikan begitu saja? Tentu saja tidak. Pengembangan UMKM di ibukota tetap
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
harus didukung dengan kebijakan yang tepat tanpa perlu mengintervensi usaha yang dilakukan. Kita tentu harus berterimakasih kepada pelaku UMKM yang sudah membantu
menggerakkan
perekonomian
ibukota
terutama di tingkat akar rumput. Jakarta memang kota metropolitan dan kota internasional. Namun, ekonomi kerakyatan tetap harus dikembangkan karena
masih
jutaan penduduk Jakarta yang terlibat di dalamnya. Pengembangan UMKM di Jakarta paling tidak harus disertai strategi yang mencakup : 1) penciptaan iklim usaha dan investasi yang kondusif, 2) peningkatan kemampuan kewirausahaan, 3) pembiayaan perbankan dan dukungan penjaminan kredit, 4) Peningkatan Lembaga Keuangan Mikro dan Layanan KSP/USP Koperasi, 5) Pengembangan Multi Finance dan Modal Ventura Daerah. Iklim usaha yang tidak kondusif selama ini masih menjadi kendala bagi berkembangnya UMKM. Bentuk hambatan tersebut diantaranya adalah perijinan untuk formalisasi usaha yang masih rumit dan berbiaya tinggi, serta berbagai macam pungutan tidak resmi maupun retribusi yang kadang-kadang tidak tepat penerapannya. UMKM tetap memerlukan perijinan usaha karena dengan formalitas usaha yang dimilikinya, peluang untuk mengembangkan usaha sepert akses ke perbankan, kerjasama dengan eksportir, bermitra dengan perusahaan besar akan terbuka. Penelitian yang dilakukan CESS (2003) menunjukkan lebih dari 50% usaha kecil yang tidak dapat
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
115
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
“naik kelas” menjadi usaha menengah karena terbentur masalah formalitas usaha. Survei yang dilakukan oleh IFCThe World Bank pada tahun 2010 masih menempatkan Jakarta diurutan ke -7 dari 14 daerah dalam kemudahan berusaha. Salah satu bentuk solusi untuk kendala perijinan usaha adalah dengan mengembangkan layanan perijinan terpadu satu pintu (PTSP) dengan prinsip pelayanan yang mudah, cepat, transparan dan keadilan dalam pelayanan. Sat ini PTSP telah menjadi kebijakan nasional dalam memperbaiki iklim usaha dan investasi. Melalui PTSP, setiap usaha termasuk UMKM akan lebih mudah dalam
116
memperoleh ijin usaha karena birokrasi perijinan yang dipangkas, pelayanan yang lebih terpadu dalam satu lokasi untuk berbagai jenis perijinan yang terkait dengan kegiatan usaha, proses yang lebih disederhanakan dan ada kejelasan dan kepastian dalam biaya dan waktu penyelesaian ijin. Sejak tahun 2007 sebenarnya Jakarta juga sesudah mengembangkan PTSP yang dikembangkan di Badan Penanaman
Modal
dan
Promosi
(BPMP)
untuk
mempermudah dan mempercepat perizinan usaha. Bahkan PTSP juga sudah diresmikan Gubernur pada 22 September 2010. Namun sejak awal pengembangannya, kendala terbesar adalah mengintegrasikan perijinan yang selama ini masih di berbagai SKPD ke PTSP dalam pelayanannya khususnya dalam penerimaan permohonan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
ijin dan pemrosesan ijin. Bahkan jika mengacu pada kondisi idealnya, penandatanganan ijin seharusnya juga sudah dilimpahkan ke unit kerja yang mengelola PTSP. Masih kuatnya ego sektoral dalam pengelolaan ijin terkait, menjadi biang keladi utama berlarut-larutnya masalah ini. Untuk itu, kehadiran payung hukum berupa peraturan daerah diharapkan dapat memperkuat kelembagaan dan kewenangan-kewenangan PTSP. Oleh karena itu kami di Badan Legislasi Daerah DPRD DKI Jakarta sudah mengagendakan agar Peraturan Daerah tentang PTSP dapat diselesaikan pada tahun 2011 ini.
Oleh karena itu kami di Badan Legislasi Daerah DPRD DKI Jakarta sudah mengagendakan agar Peraturan Daerah tentang PTSP dapat diselesaikan pada tahun 2011 ini.
Strategi kedua dalam pengembangan UMKM di Jakarta adalah dengan peningkatan kemampuan kewirausahaan. Untuk dapat memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan bank maupun non bank yang mendasarkan pada kelayakan usaha, maka harus dilakukan pembenahan dan peningkatan kemampuan di pihak UMKM. Peningkatan kemampuan kewirausahaan, organisasi, manajemen, keterampilan teknis usaha yang digeluti, kemampuan inovasi, manajemen keuangan seperti perencanaan keuangan, maupun kemampuan menyusun proposal kelayakan usaha sangat dibutuhkan guna menjadikan UMKM ataupun wirausaha dengan produktivitas dan daya saing tinggi. Permasalahan yang kita hadapi saat ini adalah kurangnya jumlah wirausahawan dengan produktivitas dan daya saing tinggi. Upaya meningkatkan daya saing harus dimulai dari mengembangkan kewirausahaan dari para wirausahawan (pemilik dan pengelola unit usaha)
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
117
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
yang telah ada serta menumbuhkan wirausaha atau minimal unit-unit usaha baru pada sektor-sektor yang produktif sesuai dengan potensi daerah. Pengembangan kewirausahaan juga diharapkan akan meningkatkan daya tahan bangsa, memperluas kesempatan kerja dan menanggulangi masalah kemiskinan. Kemauan masyarakat untuk menggeluti wirausaha sebagai penopang utama kehidupannya ditentukan oleh pemahaman masyarakat mengenai kewirausahaan, faktor sosial-ekonomi, budaya masyarakat, dan terbukanya kesempatan usaha. Faktor penyebab ketidakinginan masyarakat menjadi wirausahawan
118
adalah
perasaan
ketiadaan
modal,
perasaan tidak berbakat, dan risiko bisnis terlalu besar. Upaya menyadarkan masyarakat (khususnya kelompok sasaran potensial, seperti: mahasiswa, generasi muda) perlu terus dilakukan, terutama mengenai: (1) modal bukan satu-satunya kunci sukses wirausaha, (2) kesuksesan wirausaha lebih ditentukan oleh kejelian dan keuletan wirausaha daripada bakatnya, dan (3) risiko usaha dapat diminimalisasi dengan cara membuat perencanaan bisnis yang baik. Kemampuan teknik dan kemampuan bisnis yang dimiliki masyarakat akan mampu mengubah peluang usaha menjadi usaha baru yang menguntungkan. Faktor yang harus dimiliki untuk menjadi wirausahawan adalah pengalaman dibidangnya, modal yang kuat dan bakat bawaan. Pengalaman (teknik dan bisnis) merupakan faktor utama untuk menjadi wirausaha. Penguasaan kemampuan teknik akan mendorong wirausahawan Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
untuk melakukan inovasi dan bekerja secara efisien. Pemberian informasi mengenai arah perkembangan produk, perkembangan teknologi produksi dan proses adopsi
teknologi
akan
membantu
meningkatkan
kemampuan teknik wirausahawan Indonesia. Upaya mengangkat, mentransformasikan dan memasyarakatkan teknologi pedesaan secara tepat akan sangat membantu kemampuan masyarakat pedesaan untuk berproduksi secara efisien dengan menggunakan peralatan yang sederhana, dan sekaligus akan merangsang daya inovatifnya. Hambatan utama masyarakat untuk menjadi wirausaha adalah rasa tidak memiliki modal. Pemberian informasi dan kemudahan akses ke sumber modal dapat menghilangkan hambatan ini. Oleh karena itu perlu didorong upaya perbaikan melalui pembinaan dan pelatihan terhadap pengusaha dan tenaga kerja untuk menciptakan produk UMKM yang tidak kalah bersaing dengan produk-produk yang dihasilkan perusahaan besar. Direncanakan hingga akhir periode RPJMD 2012, sekitar 5.000 UMKM akan mendapatkan pelatihan dan dibina untuk menjadi perusahaan mandiri. Melalui program ini, Dinas Koperasi dan UKM harus serius menyiapkan sumber daya manusia agar UMKM mampu menjadi perusahaan yang mandiri dan mampu bersaing dengan perusahaan besar lainnya dengan memprioritaskan peningkatan kemampuan manajerial dan keterampilan SDM para pengusaha UMKM. Ada tiga keterampilan yang harus diberikan, pelatihan pengemasan produk, pelatihan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
119
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
ekspor UMKM, serta pelatihan pemasaran beserta promosi produk melalui teknik hubungan masyarakat yang tepat dan baik. Dari sisi pendidikan formal, saya berpendapat sudah saatnya kita di Jakarta berfokus meningkatkan kualitas pendidikan dan sarana belajar di sekolah kejuruan, termasuk bahkan memberikan bantuan subsidi khusus untuk siswa di sekolah kejuruan sebagai bagian upaya mengembangkan calon wirausahawan dan tenaga kerja terampil. Kurikulum kewirausahaan juga harus sudah memulai diajarkan di sekolah menengah atas dan khususnya di sekolah kejuruan.
120
Akses ke Sumber Permodalan
S
trategi ketiga adalah dengan memperluas akses ke sumber pembiayaan perbankan dan dukungan penjaminan
kredit.
Problem
pembiayaan
perbankan yang selama ini harus dihadapi UMKM yaitu: 1) Prosedur dan persyaratan perbankan yang terlalu rumit sehingga pinjaman yang diperoleh tidak sesuai kebutuhan baik dalam hal jumlah maupun waktu; 2) Kebanyakan perbankan masih menempatkan aspek agunan material (colateral) sebagai salah satu persyaratan dan cenderung mengesampingkan kelayakan usaha; 3) Tingkat bunga yang dibebankan dirasakan masih tinggi oleh pelaku UMKM; 4) Kurangnya pembinaan, khususnya dalam manajemen keuangan, seperti perencanaan keuangan, penyusunan proposal dan lain sebagainya, sehingga meskipun dimasa lalu pemerintah telah memberikan berbagai skim kredit
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
bagi UMKM tetap saja skim-skim kredit tersebut tidak terjangkau. Telah pulihnya sektor perbankan, penguatan sektor keuangan khususnya perbankan dalam pemberian pembiayaan kepada UMKM perlu ditingkatkan agar mampu menyediakan pembiayaan kepada UMKM dengan jumlah yang lebih besar dan jenis yang lebih banyak dengan prosedur dan persyaratan yang lebih mudah. UMKM dengan bimbingan pemerintah daerah harus memanfatkan kelonggaran persyaratan kredit bagi UMKM dari Bank sebagaimana yang ditentukan oleh Bank Indonesia dalam hal neraca dan permasalahan akibat bencana alam. Karena kredit perbankan UMKM mendasarkan pada kelayakan usaha, maka UMKM harus melakukan pembenahan dan peningkatan kemampuannya karena hanya UMKM yang memiliki usaha layak dan memiliki manajemen dan administrasi rapi yang akan cepat bisa memanfaatkan kredit perbankan secara lebih leluasa. Dukungan terjadap akses kredit ke petbankan juga dapat dilakukan melalui penyediaan lembga penjamin kredit daerah yang bisa dikembangkan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta. Penjaminan keuangan adalah suatu perjanjian pihak ketiga untuk menutup sebagian dari potensi kerugian kepada pihak yang meminjamkan atas suatu pinjaman bila pinjaman tersebut tidak bisa dibayar penuh oleh peminjam. Beberapa daerah sudah memulai mengembangkan lembaga penjamin kredit daerah untuk mendukung pengembangan usaha di daerah seperti Jawa
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
121
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
Timur dan Jawa Barat yang didukung dengan Pemerintah Daerah. Mengandalkan PT. ASKRINDO, yang selama ini sudah cukup membantu perkreditan UMKM, namun karena keterbatasan
dana
dan
kemampuannya,
layanan
perusahaan penjaminan tersebut dirasakan masih sangat terbatas. Dengan dukungan lembaga penjamin kredit, maka terbuka kesempatan bagi perbankan swasta maupun nasional untuk memberikan pinjaman bagi UMKM. Salah satu Bank Swasta Nasional misalnya, akan meningkatkan portofolio kredit usaha kecil melalui berbagai kerjasama dengan sejumlah pihak terkait. Salah
122
satu kerjasama tersebut adalah program pengembangan UMKM melalui koperasi dengan Skim Kredit Primer untuk Anggota (KKPA), dilakukan bekerjasama dengan Koperasi Paguyuban Pedagang Mie & Bakso Megapolitan Indonesia (PPMII). Realisasi kredit UMKM antara lain dari pelaksanaan linkage program BPR untuk memudahkan menjangkau UMKM, terutama usaha kecil di daerah perbatasan Jakarta Strategi keempat adalah dengan penguatan Lembaga Keuangan Mikro dan Layanan KSP/USP Koperasi. Lembaga Keuangan Mikro (LKM atau microfinance) keberadaannya sangat dibutuhkan bagi masyarakat sekitarnya untuk keperluan konsumtif maupun UMKM
untuk usaha
produktif yang relatif tidak bisa menjangkau lembaga keuangan formal. Lembaga keuangan mikro jenisnya
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
bermacam-macam, ditinjau dari sisi kelembagaan, tujuan pendirian, budaya masyarakat, program pemerintah atau sasaran lainnya. Secara umum, lembaga keuangan mikro di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu formal dan informal. Namun pengembangan LKM termasuk KSP dan USP koperasi menghadapi beberapa permasalahan, baik permasalahan lain
seperti
internal
maupun
terbatasnya
eksternal,
kemampuan
antara
sumberdaya
manusia, manajemen, permodalan, masih kurangnya kepercayaan masyarakat, lemahnya jaringan dan inovasi dibidang pemasaran, terbatasnya teknologi informasi yang dimiliki, sistem dan prosedur operasional yang belum mapan, serta belum optimalnya pengawasan dan pembinaan dari otoritas yang berwenang. Oleh karena itu program perkuatan permodalan pola dana bergulir melalui lembaga keuangan mikro yang telah dilaksanakan Kementerian Koperasi dan UMKM masih harus dilanjutkan. Program ini harus diposisikan sebagai stimulan, dengan tujuan meningkatkan lembaga keuangan mikro, yaitu meningkatkan layanan KSP/USP koperasi, sehingga mampu melayani kebutuhan permodalan UMKM anggotanya secara mandiri. Disamping perkuatan permodalan pola dana bergulir, untuk meningkatkan usaha dan pelayanan KSP telah dilakukan kerjasama penyaluran kredit bank umum kepada UMKM melalui koperasi yang disebut linkage programe. Masuknya gerakan koperasi dalam linkage programe merupakan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
123
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
hal yang patut dibanggakan, karena hal ini menunjukkan meningkatnya kepercayaan pada koperasi, tentu saja hanya koperasi yang kinerjanya baik yang terpilih dalam program ini dan dalam pelaksanaannya koperasi harus benar-benar menjaga amanah. Strategi kelima adalah pengembangan pembiayaan Multifinance dan Modal Ventura Daerah. Beberapa sistem pembiayaan (multifinance) yang dapat dimanfaatkan UMKM, antara lain: modal ventura, anjak piutang (factoring), penyewaan (leasing), pegadaian, Program PKBL BUMN maupun CSR perusahaan multinasional dan sebagainya. Pemilihannya tergantung UMKM sendiri,
124
berdasarkan
kesesuaian,
kemampuan
pemenuhan
persyaratan dan prosedur yang ditetapkan masing-masing lembaga pembiayaan tersebut. Program PKBL BUMN dan CSR perusahaan multinasional; selama ini telah cukup mampu membantu pengembangan UMKM di beberapa sektor. Dengan pengalaman dalam mengembangan usaha induknya, BUMN dan perusahaan multinasional ini relatif cukup mampu mengembangkan UMKM binaannya dengan konsep UMKM binaan yang diberikan keterampilan dalam manajemen usaha dan terutama melakukan inovasi dalam usahanya. Sekali lagi, meskipun Jakarta dihuni oleh puluhan bahkan ratusan perusahaan besar nasional maupun mancanegara, fakta menunjukkan UMKM juga tumbuh subur di Jakarta dan layak untuk mendapat perhatian untuk
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menggeliatkan UMKM di Jakarta
pengembangannya. UMKM tetap menjadi katup pengaman bagi penyerapan tenaga kerja terutama di sektor informal maupun semi formal, termasuk di ibukota. Oleh karena itu tetap diperlukan kebijakan dan strategi yang tepat dalam pengembangan UKM di Jakarta sebagai bagian dari entitas ekonomi penting di Jakarta. Bahkan UMKM yang bergerak di sektor boga (kulinari) telah menjadi bagian tersendiri dalam pengembangan pariwisata dan gaya hidup masyarakat dengan berkembangnya berbagai model wisata kuliner.
125
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menyelamatkan
Pasar Tradisional
P
asar Tradisional merupakan infrastruktur ekonomi daerah. Walau berperan sebagai pusat kegiatan distribusi dan pemasaran, keberadaannya kian
menurun akibat kalah daya saing dengan perpasaran swasta modern. Ada beberapa faktor penyebab hal tersebut. Faktor internal antara lain adalah: buruknya pengelolaan, tata letak dan manajemen arus kas, serta pembiayaan yang membuat pasar tradisional kurang
126
mampu berkompetisi dengan perpasaran modern swasta; buruknya infrastruktur khususnya bangunan fisik yang tidak terawat, becek, kotor dan umumnya rusak berat; serta buruknya proses panjang birokrasi, perizinan, pungli serta akses kredit kepemilikan kios. Sementara faktor eksternal diantaranya; trend perilaku konsumen yang bergeser ke pasar modern akibat perubahan gaya hidup ala masyarakat perkotaan; tuntutan konsumen yang lebih memilih tingkat kepuasan, kenyamanan dan keamanan dalam berbelanja; menjamurnya mini market modern, retail dan convenience store sebagai pilihan tempat belanja masyarakat dengan sistem dan teknologi modern; melemahnya penegakan peraturan serta minimnya keberpihakan regulator dalam mengelola dan memberi perhatian kepada pasar tradisional.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menyelamatkan Pasar Tradisional
B
erbagai data yang terangkum di bawah ini merefleksikan kondisi pasar tradisional yang kian memprihatinkan, diantaranya survey AC Nielsen
di tahun 2004 mengenai pertumbuhan pasar modern
Pasar dan Pedagang Tradisional yang Makin Terpuruk
(termasuk hypermarket) sebesar 31,4%, sementara pertumbuhan pasar tradisional – (minus) 8,1%. Hasil penelitian AC Nielsen tahun berikutnya menyatakan bahwa penjualan produk kebutuhan sehari-hari di pasar tradisional kembali mengalami penurunan sebesar 2%, sehingga pangsa pasarnya pada 2005 menjadi hanya 67,6%. Survei AC Nielsen atas 51 kategori produk kebutuhan sehari-hari (consumer goods) juga menunjukkan bahwa pangsa pasar tradisional telah termakan oleh ritel modern berformat minimarket.
127
Survei Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Survei Asosiasi di Jakarta menunjukkan bahwa dari 11 pasar tradisional Pedagang Pasar Seluruh Indonesia yang disurvei, sekitar 90% kiosnya sudah tidak beroperasi. (APPSI) di Jakarta Pasar tersebut adalah Pasar Sinar, Pasar Kramat Jaya, Pasar menunjukkan bahwa Cilincing, Pasar Muncang, dan Pasar Prumpung Tengah dari 11 pasar tradisional yang disurvei, di Jakarta Utara. Lalu, Pasar Blora di Jakarta Pusat, Pasar sekitar 90% kiosnya Cipinang Besar dan Pasar Kelapa Gading di Jaktim, Pasar sudah tidak beroperasi. Sawah Besar di Jakarta Barat, Pasar Karet Pedurenan dan Pasar Cidodol di Jaksel. Hal yang agak mencengangkan adalah hasil verifikasi Biro Perekonomian Provinsi DKI Jakarta pada awal tahun 2011 yang mengindikasikan bahwa dari 112 minimarket yang ada di Jakarta Pusat saja, terdapat 94 mini market yang
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
tidak memiliki izin Sudin Koperasi alias illegal. Di Jakarta Barat tercatat 311 unit namun hanya 124 unit yang tercatat berizin dari Sudin. Artinya, lebih 60% minimarket di Jakarta Barat menyalahi aturan. Belum lagi di Jakarta Utara, Timur dan Selatan dengan cakupan wilayah paling luas serta cenderung memiliki densitas kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini menunjukan minimnya keberpihakan aparat terhadap pasar tradisional, akibat faktor rent-seeking dengan melakukan pembiaran atas menjamurnya pasar modern di luar aturan yang berlaku. Berdasarkan Data Komnas HAM per April 2010, pasar tradisional di Indonesia saat ini mencapai 13.450 pasar.
128
Secara keseluruhan, terdapat 12,62 juta pedagang pasar. Berdasarkan hasil riset pula, perkembangan pasar tradisional telah tumbuh secara negatif sebesar 8 %. Bahkan, ada pasar tradisional yang mengalami penurunan omzet penjulan hingga mencapai 75 %. Sedangkan, pasar modern tumbuh secara positif sekitar 31,4 %. Terkait dengan issue tenaga kerja secara nasional, data terakhir menunjukkan tenaga kerja sektor formal menurun hingga 1,4%. Sementara, sektor informal seperti wiraswasta ataupun pedagang kaki lima (PKL) tumbuh diatas 7%. Pengangguran di sektor formal ditampung ke sektor informal. Padahal, sektor informal ini rentan terhadap perlindungan sosial, bahkan kelak akan timbulkan risiko meningkatnya kemiskinan dan kriminalitas terutama di ibu kota. Oleh karena itu revitalisasi pasar tradisional menjadi penting, apalagi di DKI Jakarta .
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menyelamatkan Pasar Tradisional
A
dapun beberapa usulan konstruktif dan progresif yang harus segera diusung oleh Pimpinan Jakarta serta berbagai pihak dalam rangka melakukan
Usulan Revitalisasi Pasar Tradisional
revitalisasi pasar tradisional. Pertama, harus ada program
terpadu untuk pengelolaan pasar yang lebih profesional meliputi perubahan mindset dan karakter konvensional Harus ada program pedagang melalui program edukasi Pemda, meliputi terpadu untuk pengelolaan pasar yang ketrampilan tentang tata letak dan manajemen arus lebih profesional meliputi kas, akses pembiayaan, unsur kepuasan, kenyamanan perubahan mindset dan dan keamanan berbelanja. Peningkatan kualitas service karakter konvensional pedagang. excelence yang memberikan hasil peningkatan omzet dan kesejahteraan pedagang serta kepuasan pembeli. Tahap kedua, yang juga sangat urgen adalah kebijakan pengaturan pembagian area (Zoning) antara pasar tra disional dan pasar modern. Contoh yang baik sebagaimana dijelaskan dalam rilis publikasi KPPU, telah dilakukan di Thailand yang memberlakukan undang-undang ritel Royal Decree for Retail Act, berisi aturan zona, jam buka, harga barang, dan jenis ritel. Thailand memberlakukan UU ini setelah lima tahun keberlangsungan hypermarket disana mengklaim bahwa bisnisnya berhasil memberikan lapangan kerja bagi masyarakat setempat hingga 20.000 orang tenaga kerja. Tetapi pada periode yang sama, dari 20 pasar tradisional yang ada di Bangkok dan sekitarnya, kini hanya tersisa dua gerai karena nasibnya sama dengan sejumlah UKM yang tergilas oleh ritel raksasa dengan trade-off pengangguran yang ditimbulkan mencapai 300.000 orang.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
129
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
Dengan adanya UU tersebut maka Bangkok membagi zona perdagangan. Misalnya southwest zone [zona barat daya], southeast zone [zona tenggara], northeast zone [zona timur laut] sehingga dapat ditarik garis vertikal dan horizontal untuk menentukan zona satu, dua, tiga, empat dan lima. Setiap zona diperuntukkan bagi format ritel tradisional tertentu agar tidak terjadi ketimpangan. Salah satu isi dari UU ritel Thailand yakni penerapan zona atau tempat usaha satu jenis ritel modern, seperti hypermarket berada pada zona empat atau lima, sedangkan zona satu hingga tiga hanya diperuntukkan untuk warung tradisional dan toko ritel modern. Terdapat
130
pula aturan zona, juga melarang pusat perbelanjaan atau toko berskala besar pada daerah padat arus lalu lintas guna mengeliminasi potensi kemacetan. Model pemberdayaan usaha kecil ritel di Thailand dilakukan antara lain dengan mendirikan perusahaan negara non-profit Allied Retail Trade Co.(ART Co) dengan modal kerja sekitar US$9,1 juta. Perusahaan tersebut bertugas melakukan pembelian barang dari pabrikan dan kemudian disalurkan kepada jaringan toko-toko kecil dan warung tradisional lainnya. Bank di Thailand juga memberi kemudahan kredit bagi toko tradisional yang memodernisasi tokonya. Di Perancis, juga telah dibuat peraturan yang melarang lokasi hypermarket di tengah kota, untuk mengatasi semakin tergusurnya warung tradisional di negara itu karena keberadaan ritel yang besar. Begitu pula halnya dengan Malaysia yang
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menyelamatkan Pasar Tradisional
telah membuat peraturan distribution fair trade guna melindungi pasar tradisional. Tahap ketiga sebagai aplikasi yang konkrit dari sisi regulasi, Pemda DKI bersama-sama DPRD harus segera merevisi Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta. Dalam Perda Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan, mini swalayan maksimal memiliki luas 4 ribu meter persegi. Usaha perpasaran swasta dengan luas 100 hingga 200 meter persegi harus berjarak 500 meter dari pasar lingkungan atau pasar tradisional. Untuk waktu penyelenggaraan, juga dibatasi mulai pukul 9 pagi hingga 10 malam. Namun, pada kenyataannya saat ini tumbuh ribuan minimarket di Jakarta dan beberapa diizinkan beroperasi 24 jam. Bila dibiarkan, kondisi ini akan mengancam pasar tradisional dan usaha warung kecil di pemukiman. Dampak sosial akibat potensi usaha yang hilang di sektor informal tersebut adalah munculnya kriminalitas di lingkungan DKI Jakarta. Terdapat berbagai model perlindungan yang umumnya dikembangkan, misalnya dengan mengatur masalah pokok sebagaimana disebutkan sebelumnya yakni seperti zonasi, pembatasan luas penjualan ritel modern, penguatan jalur distribusi yang berdampak pada harga, dan waktu buka. Hal inilah yang harus diimplementasikan dengan sebaik-baiknya oleh Pemerintah Daerah. Dari berbagai keluhan yang muncul, sangat tampak justru permasalahan utama adalah lemahnya penegakan hukum terhadap berbagai
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
131
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
peraturan yang ditujukan bagi pengaturan ritel seperti aturan tentang zonasi (Rancangan Tata Ruang Wilayah), waktu penyelenggaraan dan sebagainya. Upaya progresif sudah mulai dilakukan, diantaranya terkait respon atas maraknya minimarket yang melanggar Perda Nomor 2 Tahun 2002 dan Instruksi Gubernur Nomor 115 tahun 2006 atas masukan dari DPRD, Pemerintah Daerah telah melakukan penyetopan perizinan minimarket di Wilayah Jakarta. Hal ini menunggu proses lagislasi tentang pengaturan jarak antar minimarket dan jarak antara minimarket dengan pasar tradisional serta pembatasan waktu penyelenggaraan yang harus dicantumkan dalam
132
revisi Perda Nomor 2 Tahun 2002 tersebut. Saat ini upaya ke Balegda akan memastikan bahwa pengaturan jarak dan zonasi pasar modern ini untuk memberikan keadilan bagi pengembangan pasar dan pedagang tradisional.
arah tersebut sudah dilakukan oleh legislatif melalui Badan Legislatif Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta yang sudah mengagendakan pembahasan revisi Perda perpasaran ini pada tahun 2011 ini. Balegda akan memastikan bahwa pengaturan jarak dan zonasi pasar modern ini untuk memberikan keadilan bagi pengembangan pasar dan pedagang tradisional. Beberapa pasal yang akan dibahas dalam agenda revisi Raperda Perpasaran misalnya tentang pengklasifikasian, pembagian wilayah operasi, serta pembatasan jam operasi yang mengakomodir kepentingan dan keberpihakan yang memprioritaskan pasar tradisional, lalu toko swalayan dari yang kecil, menengah, hingga besar, kemudian terakhir adalah penataan pusat perbelanjaan dan grosir besar.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menyelamatkan Pasar Tradisional
Secara khusus, toko swalayan dan pusat perbelanjaan akan dibatasi untuk tidak berada di kawasan pelayanan lokal atau lingkungan dalam kota.
K
eempat, Perlunya dilakukan monitoring terhadap penegakan aturan, keberpihakan dan kerjasama terintegrasi para aparat terkait dalam mengelola
pasar tradisional. Pengawasan ini dimulai dari Pemerintah
Pasar Tradisional dan Promosi Pariwisata
Daerah hingga Pemerintah Pusat, yang melibatkan beberapa kementerian terkait. Bahkan instansi pemerintah dibidang pariwisata mauoun bidang komunikasi dan informasi perlu ikut mendukyng pengembangan pasar tradisional ini dalam konteks menjadikannya sebagai bagian dari pengembangan pariwisata. Selama ini, upaya yang dilakukan berbaga komunitas di masyarakat melalui informasi di internet maupun jejaring sosial justru lebih menonjol dalam mempromosikan berbagai kawasan wisata kuliner di pasar tradisional. Kelima, adalah langkah dari sisi anggaran dengan menga lokasikan anggaran perbaikan infrastruktur, khususnya bangunan fisik serta sarana prasarana pasar tradisional yang baik meliputi lahan parkir, selasar, penerangan, kebersihan, sirkulasi udara, toilet, dll agar tampilannya mampu menarik dan membuat betah calon pembeli pasar tradisional. Program ini tidak melulu harus dilakukan oleh anggaran pemerintah sendiri melainkan dapat dibantu
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
133
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
oleh program inisiasi dan kerja sama dengan program sponsorship perusahaan ritel raksasa atau multinasional, atau melalui Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan tersebut. Keenam, Perlunya upaya untuk menciptakan dan memberikan insentif bagi terbentuknya ’brand-image’ pasar yang khas dan spesifik agar dapat tersebar lebih banyak lagi di lokasi-lokasi di Jakarta. Secara riil hal ini telah ada dan eksis sejak lama dan senantiasa menarik pembeli. Misalnya Pasar Rawa Bening Jatinegara sebagai ’Pusat Batu Aji’, Pasar Cikini Hias Rias sebagai ’Pasar Perdagangan Emas’, Pasar Tanah Abang dan Pasar Cipulir
134
sebagai ’Pusat Tekstil dan Garment’, Pasar Asem Reges sebagai ’Pusat Sparepart dan Onderdil Otomotif’, Pasar Induk Kramat Jati sebagai ’Pusat Sayuran dan BuahBuahan’, Pasar Pramuka sebagai ’Pusat Alat Medis dan Obat’, Pasar Sumenep sebagai ’Pusat Ikan Hias dan Aquascaping’, dan Pasar Barito sebagai ’Pusat Petshop’. Masih teramat banyak potensi pasar khas dan spesifik yang dapat dibentuk di berbagai wilayah Jakarta dengan kekayaan metropolitannya, misalnya; pasar kuliner dan jajanan khas daerah, Pasar Ramadhan dan Hari Raya, pasar kerajinan dan budaya, pasar barang bekas berkualitas, serta pasar khas lainnya sebagaimana praktek di luar negeri di Orchard Road Singapura, Lady’s market dekat Nathan Road, Causeway Bay, dan Wan Chai di Hongkong dan seterusnya.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menyelamatkan Pasar Tradisional
Ketujuh adalah program pendukung dengan kemudahan akses grosir dan kredit, meliputi akses kerja sama dengan grosir besar dalam hal pengadaan produk pada harga yang kompetitif serta program insentif dan akses lembaga keuangan mikro untuk pembiayaan/kredit pedagang pasar tradisonal. Kedelapan, adalah dukungan regional Megapolitan dengan membangun pasar induk untuk channel distribution buffer (penyangga) perbatasan luar Jabodetabek sebagai upaya memperlancar arus distribusi guna menjamin ketersediaan barang dan kestabilan harga. Kesembilan, membangun pola komunikasi dan senan tiasa bersinergi dengan asosiasi yang ada di pasar, se perti; Asparindo, Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Indonesia (APPTI), dll. Pemerintah Daerah harus dapat memberdayakan berbagai asosiasi serta kumpulan pelaku pasar tradisional dan senantiasa mengarahkan agar mampu bersaing dengan pasar modern. Berbagai pelatihan, tambahan permodalan, akses terhadap kredit, penguatan dalam pasokan distribusi, bimbingan manajemen, penataan lokasi tata letak berjualan yang menarik dan pola pikir yang berotientasi pada kepuasan pelanggan. Selama ini justru hal ini luput dilakukan Pemerintah, terungkap dari data yang dikumpulkan APPSI, saat ini sekitar 75% dari 13.650 pasar tradisional yang dihuni oleh 12 juta pedagang kecil kondisinya dinilai sudah tidak layak untuk berdagang. Agar pasar tradisional tidak ditinggalkan oleh konsumen, maka pasar tradisional harus mengikuti kaidah
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
135
Menempatkan Ekonomi Kerakyatan di Ibukota
pengelolaan
ritel
modern
meskipun cara berdagangnya tetap tradisional, yakni dengan mekanisme
pembentukan
harga yang kompetitif (melalui bargain, tawar-menawar ala tradisional) sebagai pola pasar persaingan sempurna yang sebenarnya. Gagasan turan
revitalisasi
perpasaran
ini
pera ha
rus disemangati oleh prinsip keseimbangan. Dalam menumbuhkan persaingan sehat antara kepentingan
136
pelaku usaha dengan kepentingan umum dengan adanya
Perlu adanya upaya untuk mengefektifkan pelaksanaan peraturan dan langkah-langkah kebijakan yang meliputi kebijakan lokasi dan tata ruang, perijinan, jam buka dan lingkungan sosial.
pembinaan dan pemberdayaan usaha kecil menengah agar memiliki daya saing yang tinggi dan dapat berusaha secara berdampingan dengan usaha menengah besar, serta
perlu
adanya
upaya
untuk
mengefektifkan
pelaksanaan peraturan dan langkah-langkah kebijakan yang meliputi kebijakan lokasi dan tata ruang, perijinan, jam buka dan lingkungan sosial. Prinsip Keseimbangan dilandasi oleh salah satu tujuan UU No 5 Tahun 1999, yang menyatakan “mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil”. Hal ini antara lain diwujudkan sekali lagi dalam bentuk penciptaan sejumlah entry
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menyelamatkan Pasar Tradisional
barrier bagi usaha ritel modern untuk secara fair bersaing dengan pasar tradisional seperti aturan zonasi, waktu buka toko, persyaratan perizinan yang dipersulit, kewajiban melakukan kemitraan, atau pola corporate social responsibility dan sebagainya.
137
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi Publik Handal
sebagai Prioritas
‘M
acet’ sebenarnya hanyalah sebuah kata, sama dengan kata-kata lainnya. Namun ‘macet’ kini bukan lagi sekedar kata yang
menggambarkan suatu kondisi insidental. Dia bahkan sudah menjelma menjadi gambaran sehari-hari kehidupan kota Jakarta. Dan karena terlalu sering mengalami, maka kita akhirnya terpaksa ‘akrab’ dengan kemacetan yang kian hari kian tidak tertahankan. Indikator kemacetan
140
yang kita rasakan adalah bahwa kini waktu tempuh dari rumah untuk menuju kantor atau pulang dari kantor menuju ke rumah semakin bertambah lama. Kecepatan kendaraan kita dalam menyusuri jalanan Ibukota semakin rendah, walau teknologi kendaraan semakin canggih dan kondisi jalan yang relatif baik. Dalam situs allworldcars. com ternyata Jakarta ditempatkan di urutan 14 sebagai kota termacet di dunia. Dari data yang dimiliki Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta diperoleh informasi bahwa luas jalan di Jakarta hanya mencapai 6,4 persen dari total luas wilayah, prosentasenya hanya separuh dari Singapura yang luas jalannya mencapai 12 persen dari total luas wilayah.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi Publik Handal sebagai Prioritas
L
alu-lintas di Jakarta didominasi oleh kendaraan pribadi. Jumlah angkutan umum (bus) hanya 4%, sepeda motor 67%, dan mobil pribadi 23%
(Polda Metro Jaya, 2006). Pertumbuhan kendaraan dalam
Lalu-lintas Eksisting dan Kemacetan yang Ditimbulkan
lima tahun terakhir mencapai 9.5% per tahun (paparan Dirjen Bina Marga ke KKPPI tanggal 18 Desember 2007). Proporsi volume lalu-lintas pada beberapa koridor utama adalah: sepeda motor 60%, sedan 32%. Angkutan umum (mobil penumpang umum-MPU, bus sedang, dan bus besar) 5% (Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007). Pada sisi lain, permintaan angkutan umum lebih besar dari permintaan angkutan pribadi. Pengguna angkutan umum sekitar 54.7%, dimana 52.7% menggunakan bus (bus besar, bus sedang, dan mikrobus) dan 2% menggunakan kereta
141
api (SITRAMP, 2004). Pengguna angkutan umum sebagian besar adalah masyarakat berpenghasilan rendah (64.5%) dan masyarakat berpenghasilan menengah (52.8%) (SITRAMP, 2004). Berdasarkan data Polda Metrojaya, sampai saat ini jumlah kendaraan di Jakarta mencapai 11.362.396 unit kendaraan. Rinciannya, 8.244.346 unit kendaraan roda dua dan 3.118.050 unit kendaraan roda empat. Jumlah kendaraan ini setiap tahunnya meningkat dengan pertumbuhan mencapai 15 persen per tahun, padahal pertumbuhan ruang jalannya hanya 0,01 persen 70 persen dari rumah tangga setidak-tidaknya per tahun. (Bataviase.co.id, 8 Desember 2010). memiliki satu sepeda motor. Per harinya total Berdasarkan data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tercatat komuter mencapai 70 persen dari rumah tangga setidak-tidaknya memiliki 20,7 juta.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
satu sepeda motor. Per harinya total komuter mencapai 20,7 juta. Dari total perjalanan tersebut 56,8 persennya merupakan perjalanan menggunakan motor dan mobil pribadi. Penambahan jumlah kendaraan di Jakarta per harinya, 1.000 unit untuk motor dan 200 unit untuk mobil. (Kompas, 22 Maret 2011) Data primer lalu-lintas yang dihimpun oleh sebuah konsultan pada Mei 2011 di jalan arteri Gatot Subroto arah dari Semanggi ke Pancoran dengan titik penghitungan di depan Graha BIP atau samping Gerbang Tol Semanggi 2, menunjukkan bahwa jumlah lalu-lintas pada hari Senin mencapai 176.304 kendaraan, dan didominasi oleh sepeda
142
motor 105.076 kph (59,6%) dan kendaraan roda empat angkutan penumpang (pribadi/dinas/taxi) sebesar 66.469 kph (37,7%), dan sisanya adalah kendaraan angkutan umum 2.497 kph (1,42%) dan kendaraan angkutan barang sebesar 2.262 kph (1,28%). Di sini taxi tidak dimasukkan sebagai angkutan umum karena tidak mempunyai trayek atau rute tetap. Karena data ini dihitung di arteri samping gerbang tol Semanggi 2, berarti angkutan umum (bus) yang masuk ke Gerbang tol tidak terhitung. Data ini juga tidak menghitung jumlah bus Transjakarta Koridor 9. Seandainya bus yang masuk di Gerbang Tol Semanggi 2 dan bus Tranjakarta koridor 9 tersebut dihitung, tetap saja proporsi angkutan umum tidak akan melonjak drastis. Data ini semakin menegaskan bahwa memang angkutan umum di Jakarta hanya di kisaran maksimal 2% saja terhadap keseluruhan kendaraan bermotor. Jika arus
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi Publik Handal sebagai Prioritas
lalu-lintas pada jam puncak adalah 8% terhadap volume lalu-lintas sehari, maka berarti lebar jalan yang hanya 10 meteran tersebut (3 lajur) dalam satu jam terpaksa harus bisa dilintasi oleh 14.104 kpj atau setara dengan 7.729 smppj. Padahal kapasitas jalan tersebut tak lebih dari 5000 smppj karena satu lajur digunakan khusus busway. Kesimpulannya adalah volume lalu-lintas jauh melebihi kapasitas jalannya. Dan ini adalah fakta tentang kemacetan yang ditimbulkan oleh ‘bertumpahannya’ kendaraan di jalanan ibukota.
P
ilihan yang ada adalah menambah luas jalan, menata prasarana lalu-lintas (supply management) dan atau mengurangi kendaraan yang melintas
Strategi dalam Mengurai Kemacetan
dan menata sarana lalu-lintas (demand management). Ibarat timbangan, saat ini demand jauh lebih berat dari supply. Untuk menyeimbangkan timbangan, bisa dengan menambah supply dan atau mengurangi demand. Untuk
kondisi Jakarta, dengan berbagai pertimbangan maka demand management harus didahulukan sehingga kendaraan yang melintasi jalan berkurang. Salah satu strateginya adalah memindahkan pilihan orang dari kendaraan pribadi (yang dari hasil survey tingkat okupansinya hanya 1,7 orang per kendaraan) ke kendaraan massal dan cepat yang kapasitasnya bisa mencapai ratusan orang per kendaraan agar jumlah kendaraan yang melintas berkurang.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
143
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
Kita sadar bahwa pembenahan transportasi adalah tugas seluruh anak bangsa, bukan hanya tugas pemerintah. Kita sadar bahwa masyarakat juga harus berpartisipasi. Kalau kita sebagai pengemudi angkot atau metromini misalnya, harus menyadari untuk tidak berhenti sembarangan menunggu penumpang seenaknya. Jika kita sebagai penyeberang jalan misalnya, harus menyadari untuk tidak hilir-mudik di jalanan sekitar mall dan menghambat arus kendaraan garagara menyeberang di sembarang tempat dan justru tidak menggunakan penyeberangan yang telah disediakan. Dari sisi pemerintah, kita ingat terobosan yang sudah dilakukan oleh Pemprov adalah dengan mengatur jam masuk
144
sekolah pada Januari 2009. Kalau mau jujur, sebenarnya bukan anak sekolahnya yang bikin macet, tapi para pengantarnya yang menggunakan kendaraan pribadi itulah yang bikin macet. Apakah aturan yang pada awal implementasi cukup memberatkan pelajar ini bermanfaat? program ini memang efisien tapi apakah cukup efektif? Apa kabar dengan program monorail yang sudah dimulai pembangunannya beberapa tahun yang lalu tapi kini terbengkalai? Lalu apa kabar dengan program ’waterway’ yang pernah diujicobakan? Apa kabar juga dengan program ’Three in One’ yang dalam kenyataan satu atau dua penumpangnya hanyalah joki? Sesungguhnya banyak cara dan banyak pilihan, namun harus pintar memilih dan memilah skala prioritas dengan melihat mana yang efektif dan efisien dalam mengurai kemacetan. Sebenarnya bila sarana dan fasilitas umum dipenuhi, kemacetan Jakarta ini akan terurai. Sarana dan fasilitas umum dimaksud antara
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi Publik Handal sebagai Prioritas
lain trotoar yang memadai, jalur sepeda, dan angkutan massal. Karena kemacetan Jakarta yang kian parah dan Pemprov DKI Jakarta belum memberi solusi yang memadai akhirnya ’memaksa’ Wakil Presiden menginstruksikan 17 langkah komprehensif yang bersifat lintas sektoral, lintas wilayah, dan lintas kementerian. Mulai dari langkah jangka pendek seperti penerapan electronic road pricing (ERP), sterilisasi jalur busway, harga gas khusus transportasi, penertiban kendaraan yang parkir di bahu jalan dan angkutan umum di titik tunggu penumpang, restrukturisasi angkutan umum yang tidak efisien, sampai langkah-langkah jangka menengah-panjang seperti pembatasan penggunaan kendaraan bermotor, mempercepat pembangunan mass rapid transit (MRT), mengoptimalkan KRL Jabodetabek, proyek double track jalur kereta api ke arah Cikarang, enam ruas jalan tol layang dalam kota, hingga revisi rencana induk transportasi terpadu dan pembentukan otoritas transportasi Jabodetabek (Koran Tempo, 3 September 2010). Langkah pemerintah pusat mengambil alih masalah kemacetan adalah hal yang positif. Namun berbagai kesalahan dan kegagalan yang telah dilakukan pemerintah provinsi tidak selayaknya diulang kembali. Jakarta membutuhkan kebijakan yang integral dan menyentuh akar permasalahan agar efektif mengurai kemacetan, sekaligus akan menjadi benchmark bagi kota-kota besar lain yang juga akan menghadapi ancaman yang sama Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
145
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
dalam 5-10 tahun ke depan, seperti Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, dan Semarang. Kalau demikian, pertanyaannya sekarang adalah apa yang sebaiknya harus menjadi prioritas?
Prioritas pada Peningkatan Pelayanan Busway, Revitalisasi KRL dan Pembangunan MRT
T
erkait dengan Instruksi Wakil Presiden tersebut di atas, ada masalah struktural menyangkut kemacetan yang luput dari perhatian. Pertama
adalah segregasi fungsional antara daerah bisnis/ perkantoran dengan daerah permukiman. Kelompok pekerja menengah-bawah yang merupakan kelompok terbesar di Jakarta, terpaksa bertempat tinggal menyingkir
146
jauh di luar kota seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi karena tidak sanggup mengakses kebanyakan hunian di Jakarta yang terlalu mewah dan otomatis tidak terjangkau kantong mereka. Segregasi fungsional ini harus dibayar mahal, diantaranya adalah jauhnya penduduk dari tempat kerja sehingga memunculkan kebutuhan yang sangat besar terhadap transportasi dan infrastrukturnya. Masalah
struktural
berikutnya
adalah
kebijakan
transportasi kota yang sejak awal telah salah karena menggantungkan diri pada transportasi berbasis jalan, dan bukannya menjadikan angkutan massal sebagai Jakarta tidak memiliki sistem transportasi makro yang bersifat cepat, massal, handal dan terjangkau.
prioritas andalan dalam pembangunan transportasi. Buruknya lagi adalah bahwa Jakarta tidak memiliki sistem transportasi makro yang bersifat cepat, massal, handal dan terjangkau. Kesan pertama dan umum yang muncul
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi Publik Handal sebagai Prioritas
terhadap angkutan umum di Jakarta (di luar Transjakarta) adalah kurang aman dan kurang nyaman. Masalah segregasi fungsional dan kesalahan dalam kebijakan transportasi ini berakibat pada membanjirnya kendaraan pribadi di jalan karena angkutan umum yang ada sangat minim dari sisi kuantitas. Dampak yang pasti dari kondisi demikian adalah timbulnya kemacetan dan polusi serta pemborosan energi. Meskipun menjadi yang terpanjang di dunia (172,4 km -red), Transjakarta Busway baru bisa dibanggakan dalam hal kuantitas. Sedangkan dalam kualitas, Transjakarta belum dapat dibanggakan sebagai angkutan massal cepat (mass rapid transit) berbasis bus. Kapasitas sistem jaringan yang hanya 4.000 penumpang per jam per arah (passenger per hour per direction/ pphpd) terlalu kecil jika dibandingkan dengan moda sejenis di kota-kota besar lain di dunia, apalagi dibandingkan dengan Bogota yang menjadi induk belajarnya. Kapasitas angkut di Bogota hingga 45.000 pphpd. (Instran, 15 Januari 2011) Kebijakan sterilisasi dan penertiban perparkiran di bahu jalan yang dilalui jalur busway adalah hal yang positif. Begitu pun langkah penetapan harga gas untuk transportasi. Langkah penting lainnya di sini adalah memperbaiki jarak antarbus (headway) dengan penambahan armada dan pengoperasian bus gandeng, penambahan rute (rute tidak identik dengan koridor), memperbaiki sistem pengumpan (feeder system) dan park & ride, perbaikan Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
147
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
fasilitas pejalan kaki dan sepeda, perluasan dan penyempurnaan halte, penyediaan control system & fleet management system, passenger information system, dan ticketing system yang saling terintegrasi. Langkah penting lainnya adalah membangun badan pengelola Transjakarta yang modern, transparan, berbasis pada pelayanan, dan berkesinambungan secara finansial. BLU Transjakarta lebih baik menjadi BUMD-PT sebagaimana hasil kajian Institute for Transportation & Development Policy (ITDP). Pada saatnya nanti perlu dilakukan langkah-langkah melebur kelembagaan MRT dan Busway. Instruksi Wapres seharusnya memberikan perhatian
148
penuh kepada KRL Jabodetabek atau Revitalisasi KRL, yang selama ini terbukti efektif sebagai kereta komuter (commuter rail) menghubungkan Jakarta dengan daerah sub-urban sekitarnya. Dengan revitalisasi yang memadai, kapasitas KRL Jabodetabek berpotensi ditingkatkan dari sekitar 500 ribu penumpang per hari saat ini menjadi 2 juta penumpang per hari. Dengan demikian, arus masuk kendaraan dari Bodetabek ke Jakarta dapat diminimalisasi dari yang saat ini sekitar 600 ribu kendaraan per hari. Revitalisasi KRL juga berpotensi akan menciptakan sinergi besar dengan busway. Sistem KRL Jabodetabek saat ini terdiri atas hampir seluruh circular route (jalur melingkar) daerah perkotaan Jakarta (jalur timur dan barat) maupun jalur melingkar yang menghubungkan ke daerah suburban (jalur Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Tanjung Priok).
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi Publik Handal sebagai Prioritas
Integrasi 15 jalur busway dan circular line rel KRL ini akan mampu menciptakan ratusan kilometer jalur rotasi (flow line) dan sekaligus secara efektif menciptakan jalur penghubung dari wilayah urban dan sub-urban ke pusat kota (Monas) dan pusat bisnis (Sudirman-Thamrin). Hal ini secara efektif dan signifikan akan mengurai kemacetan Jakarta, dengan biaya yang jauh lebih murah, dalam waktu yang relatif pendek, dan dalam cara yang merata dan berkeadilan. Kemacetan di Jakarta ini memang sudah demikian kompleks. Karenanya yang terpenting adalah penyadaran dan keberpihakan seluruh pemangku kebijakan terhadap pengembangan angkutan massal. Dan Mass Rapid Transit (MRT) hanyalah salah satu prioritas diantara beberapa prioritas, karena MRT saja tentu tidak akan bisa sendirian dalam menguraikan kemacetan di Jakarta. MRT harus menjangkau seluruh area dan selanjutnya harus dilakukan integrasi dengan moda lainnya. Perencanaan MRT sudah dimulai sejak 30 tahun lalu, dalam puncak perdebatan pasca krisis moneter ketika itu, pernah mengemuka pendapat seorang ekonom “langkahi mayat saya dulu, baru pendanaan MRT bisa ngocor”. Masa-masa seperti itu telah berlalu. Kita patut bersyukur, walaupun ritme tahapan MRT sungguh lambat sekarang persiapan tender pembangunan MRT tahap-1 segera dimulai. (Sumber: Harun al-Rasyid Lubis, detiknews.com 28 Februari 2011)
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
149
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
Persoalan Koordinasi dan Kelembagaan
K
oordinasi atau kerjasama antar Pemerintah Pusat, Pemda DKI, dan Bodetabek, termasuk keterlibatan korporasi (Swasta, BUMN, dan
BUMD) saat ini menjadi keharusan. Persoalannya adalah bentuk kerjasama dan lembaga yang bagaimana yang paling realistis dan efektif untuk kasus seperti DKI Jakarta Yang terpenting sekarang, fokus saja membangun protap perencanaan dan pengembangan kapasitas lembaga, sambil berusaha memecahkan masalah jangka pendek.
150
dan Bodetabek, inilah yang menjadi persoalan. Sebagai langkah awal paling mungkin dimulai dari pembentukan Badan Otorita Angkutan Umum, kemudian menjelma dalam
jangka
menengah
menjadi
Badan
Otorita
Transportasi Jabodetabek dengan Peraturan Presiden. Jadi yang terpenting sekarang, fokus saja membangun protap perencanaan dan pengembangan kapasitas lembaga, sambil berusaha memecahkan masalah jangka pendek. Saat ini mendahulukan kehadiran Otorita Angkutan Umum Jabodetabek sangat dibutuhkan, karena perang kecil lebih mudah dimenangkan daripada perang besar. Membentuk dan mengefektifkan otoritas angkutan umum dahulu lebih mudah daripada mengaktifkan BKSP (Badan Kerja Sama Pembangunan) Jabodetabek yang sudah ada.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Perlu Terobosan Kebijakan
untuk Busway
K
etika pertama kali diluncurkan pada 15 Januari 2004,
sebagai
moda
transportasi
massal
berbentuk bus yang memiliki jalur dan tempat
pemberhentian khusus, kehadiran busway memunculkan harapan besar. Kehadiran sarana transportasi publik dalam bentuk bus yang nyaman, bebas macet dengan waktu perjalanan terukur, diharapkan dapat mengurangi kemacetan jalan-jalan utama di Jakarta yang tidak cukup tertanggulangi dengan penerapan 3 in 1. Penyediaan sarana transportasi publik yang nyaman dan relatif terjangkau,
diharapkan
dapat
‘merayu’
pengguna
kendaran pribadi untuk beralih menggunakan sarana transportasi publik ini. Namun dalam perjalanannya, sejumlah persoalan mendera operasional busway. Walau bermaksud menambah serta
memperluas
jangkauan
pelayanan
busway,
pengembangan ini tidak diikuti dengan evaluasi atas operasional yang berjalan maupun perencanaan untuk peningkatan pelayanan. Sejumlah persoalan muncul mulai dari berkurangnya kenyamanan dalam menggunakan sarana transportasi ini, keluhan terhadap pelayanan yang buruk sampai tudingan bahwa pembangunan jalur busway hanya menimbulkan kemacetan baru.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
151
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
Terdapat beberapa persoalan krusial dalam pengembangan busway meskipun ide dasar dari pengembangan moda transportasi massal berbasis bus ini cukup baik. Mulai dari ketersediaan bis yang jauh dari cukup untuk memenuhi jalur-jalur yang ada, kapasitas angkut bus yang tidak dapat mengimbangi kebutuhan, ketepatan jarak dan waktu keberangkatan, jarak waktu kedatangan (headway) yang sangat lama, pengadaan bahan bakar untuk mendukung operasional, kapasitas halte yang terlalu kecil dan tidak nyaman, perusakan halte oleh tangan-tangan jahil, kecelakaan yang sering terjadi, sampai dengan belum digunakannya jalur-jalur dan sarana pelengkapnya yang sudah dibangun akibat ketidaksiapan operasional dan
152
sarana bus-nya. Headway 2009-2011 (menit:detik) Headway Rata-Rata
KORIDOR
Headway Terlama
2009
2009
2010
2011
2010
2011
1
2:31
2:31
1:56
8
7
14
2
3:05
3:05
2:05
10
12
25
3
9:12
9:12
7:32
13
15
13
4
9:34
9:34
9:24
13
12
14
5
7:32
7:32
8:00
24
27
12
6
6:23
6:23
5:42
23
24
15
7
9:17
9:17
8:47
20
18
20
8
13:29
13:29
12:24
42
38
20
Sumber: INSTRAN, 15 Januari 2011
Tiga Masalah Mendasar
J
ika ditelusuri lebih jauh, terdapat tiga masalah mendasar yang menjadi pangkal permasalahan carutmarut busway. Pertama adalah perencanaan moda
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Perlu Terobosan Kebijakan untuk Busway
dan sarana pendukung yang buruk. Perencanaan yang buruk menyebabkan belum seimbangnya antara jumlah armada dengan kapasitas infrastruktur yang dibuat guna melayani kebutuhan penumpang. Akibatnya penumpang menumpuk di halte pada jalur yang padat. Sementara jalur lain belum dimanfaatkan dan jalur yang sudah dibangun menjadi sumber kemacetan. Kedua adalah penunjukkan operator swasta dalam bentuk konsorsium yang diperparah dengan lemahnya posisi Badan Layanan Umum (BLU) yang dibentuk Pemprov DKI. Operator busway yang notabene adalah pemilik trayek lama pada jalur busway menginginkan penunjukkan langsung dalam penentuan pihak yang menjadi operator busway. Dalam posisi yang demikian, operator tersebut juga cenderung meminta pembayaran yang lebih mahal per kilometer operasi bus Transjakarta ini dibanding operator yang bukan pemilik trayek lama. Ketiga dan yang menjadi sumber masalah utama Masalah lemahnya busway adalah manajemen yang belum profesional, manajemen ini bukan hanya berdampak baik pada BLU maupun operator busway. Masalah pada operasional yang lemahnya manajemen ini bukan hanya berdampak pada buruk namun juga operasional yang buruk namun juga pada masalah yang pada masalah yang timbul dalam upaya timbul dalam upaya pengembangan menuju peningkatan pengembangan menuju kinerja dan pelayanan busway seperti penerapan peningkatan kinerja dan E-Ticketing dan ketepatan jarak waktu pemberangkatan pelayanan busway. melalui penambahan armada. Manajemen yang buruk menyebabkan audit biaya operasional belum jelas sehingga
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
153
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
beban subsidi dari APBD masih besar dan cenderung meningkat. Padahal perhitungan yang benar dari audit ini sangat diperlukan untuk peningkatan operasional terutama pengadaan armada tambahan. Manajemen dan perencanaan yang buruk juga yang menyebabkan mumculnya masalah dalam penyediaan bahan bakar gas yang dilakukan melalui kontrak kerjasama.
Terobosan Kebijakan
U
ntuk itu, diperlukan terobosan langkah dan kebijakan untuk memperbaiki kinerja busway sebelum permasalahan yang ada semakin
parah sehngga semakin jauhnya pencapaian tujuan
154
dikembangkannya moda transportasi publik. Pertama perlu mengkaji secara lebih optimal koridor yang ada dan tidak menambah koridor baru. BLU busway dan Pemprov lebih baik mengoptimalkan jalur yang ada terlebih dahulu, dengan mempercepat penambahan armada untuk memenuhi kebutuhan pelayanan pada koridor yang ada. Kedua, memberikan kebebasan terhadap operator swasta yang akan masuk sebagai operator busway dan menghilangkan monopoli oleh konsorsium operator pemilik trayek lama. Ini penting agar tercipta kompetisi yang sehat dalam penetapan harga dan kualitas pelayanan. Dalam konteks ini, operator baru nantinya juga harus dituntut untuk memiliki standar kinerja dan standar pelayanan yang jelas. Pergantian operator atau penetapan operator baru ini juga dapat dimanfaatkan Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Perlu Terobosan Kebijakan untuk Busway
untuk mengganti pola pengoperasian bus dari bus tunggal menjadi bus ganda untuk meningkatkan daya angkut penumpang. Ketiga, mendorong profesionalisme dalam manajemen BLU sebagai wakil Pemprov dalam operasionalisasi busway. BLU jangan berlaku seperti PDAM yang hanya membuat kontrak operasional dengan para operator dengan posisi yang lemah dan kewenangan yang terbatas. Ke depan, BLU Transjakarta pengelola busway bahkan perlu didorong menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menjadi operator busway dan mengelola operasional busway dengan kewenangan yang lebih besar dan manajemen yang profesional dan akuntabel. Peningkatan profesionalisme manajemen ini dituangkan
155
dalam tranformasi dan restrukturisasi pengelolaan. Didalamnya mencakup adanya kontrak kinerja antara operator dengan Pemprov DKI Jakarta, retsrukturisasi organisasi, penyempurnaan dokumen kontrol (melalui good corporate governance/GCG, service charter dsb), Salah satu performance assessment pegawai disertai proses lay- pemikiran yang perlu off plan, dan penerapan, monitoring serta evaluasi atas dipertimbangkan dalam rangka restrukturisasi standar pelayanan minimum. Salah satu pemikiran yang pengelolaan ini perlu dipertimbangkan dalam rangka restrukturisasi adalah korporatisasi pengelolaan ini adalah korporatisasi pengelolaan busway pengelolaan busway melalui sebuah melalui sebuah perusahaan yang dimiliki oleh daerah perusahaan yang dimiliki (BUMD) yang didukung oleh sumberdaya manusia oleh daerah (BUMD). pengelola yang profesional. *) Dimuat di Tabloid Kota Jakarta, April 2010
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Tantangan
Implementasi ERP
T
untutan untuk segera diimplementasikannya model
pengendalian
kepadatan
lalu-lintas
melalui penerapan penggunaan jalur jalan
berbayar (Electronic Road Pricing) di Jakarta semakin gencar dari berbagai pihak. Bahkan Wakil Presiden yang juga merekomendasikan untuk penerapan ERP dalam 17 rekomendasi mengatasi kemacetan Jakarta juga dituntut
156
untuk memberikan dukungan yang konkret terkait implementasi ERP ini. Hal ini terjadi karena sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi acuan penerapan ERP ini sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 22 Tahun 2009. Padahal PP ini diharapkan dapat memberikan panduan yang lebih jelas bagi daerah dalam menerapkan ERP, khususnya terkait mekanisme penarikan pembayaran dan besaran pungutan (congestion charging) yang dikenakan. Apalagi dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah juga belum disebutkan secara khusus bentuk pungutan (pajak atau retribusi) atas jalan berbayar ini dan Peraturan Pemerintah sebagai penerapan aplikatif dari UU No. 28 Tahun 2009 juga belum dikeluarkan.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Tantangan Implementasi ERP
K
ebutuhan untuk penerapan ERP dalam mengatas kemacetan sendiri sudah sangat mendesak. Ke macetan di Jakarta sudah dalam taraf akut dan
Fakta dan Data Kemacetan di Jakarta
menimbulkan kerugian yang sangat besar. Setidaknya ada empat persoalan utama dalam masalah transportasi dengan sejumlah anak permasalahan lainnya (Susantono, 2008) yaitu : a. Sistem
transportasi
belum
efisien
sehingga
menghambat aktifitas ekonomi. • Dari total waktu perjalanan pada beberapa ruas jalan, 40% merupakan waktu bergerak dan 60% merupakan waktu hambatan. Kecepatan rata-rata lalu-lintas adalah 20.21 km/jam (Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007). • Studi yang dilakukan USAID memperkirakan Kerugi an ekonomi akibat kemacetan yang mencapai 27,76 triliun b. Sistem transportasi belum menjamin pemerataan untuk seluruh anggota masyarakat • Lalu-lintas di Jakarta didominasi oleh kendaraan pribadi, jumlah angkutan umum (bus) hanya 4%, sepeda motor 67%, mobil pribadi 23% (Polda Metro Jaya, 2006). Pertumbuhan kendaraan dalam lima tahun terakhir mencapai 9.5% per tahun (paparan Dirjen Bina Marga ke KKPPI tanggal 18 Desember 2007). • Proporsi volume lalu-lintas pada beberapa koridor utama adalah: sepeda motor 60%, sedan 32%. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
157
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
Angkutan umum (mobil penumpang umum-MPU, bus sedang, dan bus besar) 5% (Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007). • Pada sisi lain, permintaan angkutan umum lebih besar dari permintaan angkutan pribadi. Pengguna angkutan umum sekitar 54.7%, dimana 52.7% menggunakan bus (bus besar, bus sedang, dan mikrobus) dan 2% menggunakan kereta api (SITRAMP, 2004). Pengguna angkutan umum sebagian besar adalah masyarakat berpenghasilan rendah (64.5%) dan masyarakat berpenghasilan menengah (52.8%) (SITRAMP, 2004)
158
c. Besarnya kontribusi sistem transportasi terhadap dampak lingkungan • 25 dari 33 stasiun pemantau kualitas udara menunjukkan kadar PM10 telah melebihi ambang batas, bahkan terdapat sepuluh stasiun yang menunjukkan kadar PM10 mencapai lebih dari 2 kali lipat dari ambang batas yang telah ditetapkan. Kerugian ekonomi akibat kualitas udara yang rendah diperkirakan mencapai 2.8 triliun pada tahun 2002 (SITRAMP, 2004). • Apabila kualitas dan kuantitas angkutan umum tidak diperbaiki, maka akan terjadi peningkatan penggunaan kendaraan pribadi. Dengan kondisi ini, diperkirakan akan terjadi peningkatan greenhouse gases (seperti CO2) dari tahun 2002 sampai dengan 2020 sebesar 2.35 kali (SITRAMP, 2004).
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Tantangan Implementasi ERP
d. Sistem
transportasi
belum
memenuhi
tingkat
keselamatan dan keamanan • Angka kecelakaan baik transportasi jalan maupun Kereta Api masih tinggi. Untuk Kereta Api, dari tahun 2000-2002 terjadi 174 kecelakaan. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding negara berkembang lain (SITRAM, 2004). • Jumlah korban kecelakaan di jalan tol dalam kota mengalami penurunan dari sekitar 380 pada tahun 1995 menjadi sekitar 200 pada tahun 2006. Akan tetapi proporsi jumlah korban dengan luka berat dan meninggal dunia relatif stabil (CMNP, http:// www.cmnp.co.id/).
159
D
i tengah berbagai upaya dan cara yang dila kukan untuk mengatasi persoalan kemacetan di Jakarta, penerapan ERP menjadi salah satu
Mengapa ERP menjadi Alternatif
alternatif karena dinilai sesuai dengan kondisi Jakarta. ERP tidak membutuhkan adanya penambahan infrastruktur ERP tidak membutuhkan khusus, lahan baru dan biaya besar. ERP sesuai dengan adanya penambahan infrastruktur khusus, kondisi Jakarta yang mengalami masalah dimana sangat lahan baru dan biaya sulit meningkatkan rasio jalan terhadap jumlah kendaraan besar. karena keterbatasan dan mahalnya harga lahan di Jakarta. Dengan kondisi demikian, strategi yang dapat dilakukan adalah mengendalikan perjalanan Transport Demand Management (TDM). TDM merupakan usaha untuk memperkecil kebutuhan akan transportasi sehingga
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
pergerakan yang ditimbulkannya masih berada dalam syarat batas kondisi sosial, lingkungan dan operasional Electronic Road Pricing (ERP) merupakan bagian dari TDM yang berupa usaha pembatasan kendaraan pada waktu dan lokasi tertentu dengan memperhitungkan kondisi lalu-lintas, ketersediaan angkutan umum dan kualitas lingkungan sehingga diharapkan terjadi keseimbangan antara demand (lalu-lintas) dengan supply (ruang jalan)”. Beberapa kebijakan umum yang dapat dilakukan untuk mengatasi persoalan kemacetan lalu-lintas melalui pendekatan TDM adalah seperti tabel dibawah ini KEBIJAKAN
160 Pergeseran Waktu
STRATEGI
TEKNIS
Strategi jam masuk/keluar kantor/ Mengarahkan agar kegiatan yang terjadi tidak bersamaan sekolah waktunya Batasan waktu pergerakan angkutan barang
Kendaraan berat pengangkut barang dapat bergerak pada waktu-waktu tertentu. Electronic Road Pricing
Road Pricing
Area Licensing System
Pergeseran Rute atau Lokasi
Busway Jalan Khusus Angkutan Umum
Truck Only Lane Bicycle Lane
Pergeseran Moda
Pembatasan Jumlah Keterisian kendaraan pribadi
“3 in 1”
Peningkatan pelayanan Angkutan umum
MRT (Subway)
Congestion
Car Pooling Monorail
pricing
(pungutan
biaya
kemacetan)
merupakan salah satu economic instruments yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Tantangan Implementasi ERP
satu sebutan untuk Congestion Pricing. Dengan congestion pricing, pengguna kendaraan pribadi akan dikenakan biaya jika mereka melewati satu area atau koridor yang macet pada periode waktu tertentu. Pengguna kendaraan pribadi, akhirnya, harus menentukan apakah akan meneruskan perjalanannya melalui area atau koridor tersebut dengan membayar sejumlah uang, mencari rute lain, mencari tujuan perjalanan lain, merubah waktu dalam melakukan perjalanan, tidak jadi melakukan perjalanan, atau berpindah menggunakan moda lain yang diijinkan untuk melewati area atau koridor tersebut. Terdapat beberapa tujuan utama dari road pricing, yaitu mengurangi kemacetan, menjadi sumber pendapatan daerah, mengurangi dampak lingkungan, mendorong penggunaan angkutan umum masal. Ada beberapa pengelompokan road pricing berdasarkan tujuan. Sebagai salah satu alternatif mengatasi persoalan kemacetan dengan pendekatan TDM, salah satu keunggulan dari ERP adalah didapatnya penerimaan dari pungutan jalan berbayar ini bagi kas daerah. Dengan dukungan kebijakan untuk penerapan earmarking dari penerimaan ini, maka dapat ditetapkan bahwa penerimaan dari pungutan jalan berbayar ini harus digunakan untuk perbaikan sistem transportasi kota, salah satunya dengan pengembangan transportasi massal yang baik dan ramah publik dan lingkungan. Untuk mendukung itu, maka penerimaan dari pungutan jalan berbayar ini (dengan mempertimbangkan biaya investasi yang sudah
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
161
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
dikeluarkan), maka penerimaan ini harus dibukukan dalam suatu rekening khusus dalam penerimaan daerah untuk pengontrolannya.
Tantangan Impelementasi ERP.
M
eskipun dinilai memiliki beberapa keung gulan sebagai alternatif mengatasi persoalan kemacetan dengan pendekatan Transport
Demand Management, namun implementasi ERP ha rus melihat beberapa tantangan yang akan dihadapi. Pertama, apakah memang ERP merupakan alternatif yang paling baik dari strategi TDM lainnya? Amerika Serikat menerapkan beberapa alternatif penerapan Congestion Charging untuk pengendalian kemacetan dengan strategi
162
TDM yaitu (i) pembedaan pajak kendaraan (differential fuel taxation), (ii) pajak karyawan (employee tax), (iii) pajak parkir (parking tax), (iv) tiket harian (daily licences), dan (v)
Kelebihan ERP adalah mendorong pengurangan penggunaan kendaraan pribadi pada jalur utama dan jam sibuk.
pembiayaan langsung (direct pricing). ERP sendiri sebagai TDM memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan ERP adalah mendorong pengurangan penggunaan kendaraan pribadi pada jalur utama dan jam sibuk dan ada/didapatinya penerimaan yang bisa digunakan untuk pembangunan transportasi publik. Kekurangan ERP adalah ada biaya yang harus dibayar publik pengguna jalan yang menjadi jalur ERP dan potensial terjadinya penumpukan lalu-lintas pada jalur non ERP. Sisi positif lanjutannya adalah, dana yang dikumpulkan dari publik dapat dikelola secara earmarking policy dengan mengalokasikannya secara khusus
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Tantangan Implementasi ERP
bagi pemeliharaan dan penambahan sarana transportasi massal. Kedua, Bagaimana tingkat keberhasilan dalam mengen dalikan lalu-lintas? Pengalaman penerapan ERP di Kota London, Inggris menunjukkan ERP berhasil menurunkan volume lalu-lintas kendaraan pada jalur utama yang diterapkan ERP sampai 15 %. ERP juga berhasil me nurunkan kemacetan di jalan sampai 30%.Dari sisi dam paknya terhadp kualitas udara, penetapan ERP yang mengurangi volume lalu-lintas juga berdampak pada penurunan polusi sampai 12% (NOx, PM10). Penerapan ERP di Stockholm, Swedia menunjukkan menurunnya prosentase lalu-lintas ke/dari pusat kota dari 20-25% menjadi 10-15% sejak diberlakukannya ERP pada ruas jalan utama. Sementara pengalaman penerapan ERP di Singapura sejak 1989 menunjukkan volume lalu-lintas yang masuk ke kawasan pembatasan turun sampai 20-24% dari 271.000 menjadi 206.000 per hari. Tingkat kecepatan kendaraan juga meningkat dari 30- 35 km/jam menjadi 40-45 km/jam. Terjadi peningkatan kecepatan kendaraan rata-rata sebesar 22%. Tantangan ketiga, bagaimana penentuan koridor yang akan dijadikan jalur penerapan ERP? Hak ini terkait dengan juga dengan pertanyaan bagaimana “relasinya” dengan koridor busway yang sudah ada? Bagaimana kaitannya dengan manajemen dan pengaturan perparkiran khususnya masih banyaknya parkir on street di ruas jalan di Jakarta?
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
163
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
Dari berbagai strategi Congestion Charging. asumsi dasar yang dijadikan sebagai acuan adalah Aksesibilitas dan mobilitas pusat kota harus tetap dipertahankan untuk menjaga pertumbuhan perekonomian. Dari sisi kebijakan pengaturannya kebijakan yang akan diterapkan mudah untuk dilaksanakan dan diawasi. Keempat, Apakah ERP perlu didukung sistem lain untuk mengurangi dampaknya? Salah satu bentuk kombinasi pengaturan ERP adalah dengan dikombinasi dengan pengaturan nomor kendaraan (ganjil/genap) pada koridor lain. Apakah kombinasi seperti ini akan atau bisa diterapkan? Pengalaman London : sistem pembiayaan
164
berbasiskan wilayah (di pusat kota London), waktu (jamjam kerja) dan penggunaan izin tambahan (supplementary licences). Di Singapura ERP dilakukan dengan sistem “entry licensing” atau “point based charge”. Aplikasi ERP juga didukung dengan kebijakan VQS (Vehicle Quota System) yang mengatur pertumbuhan jumlah kendaraan secara nasional sesuai kapasitas jaringan jalan melalui aturan fiskal dan izin pembelian kendaraan baru dilakukan dengan mekanisme tender. Kelima, Bagaimana kesiapan transportasi publik untuk mengantisipasi pengalihan moda? Hal ini terkait dengan kemungkinan alih penggunaan moda transportasi jika diberlakukan ERP pada ruas jalan utama. Pengalaman respon penerapan ERP di negara lain menunjukkan terjadinya beberapa alternatif pola perubahan perilaku penggunaan moda dengan diberlakukannya ERP yaitu Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Tantangan Implementasi ERP
(i) melalui jalur ERP dan membayar ERP, (ii) merubah waktu perjalanan, (iii) merubah rute perjalanan, (iv) menggunakan moda lain, (v) menggunakan fasilitas park-and-ride, (vi) meningkatkan keterisian penumpang didalam kendaraan atau (vii) membatalkan perjalanannya. Hasil Studi terhadap rencana penerapan pengendalian lalu-lintas berbayar (Nanang dan Ofyar) : 45% memilih menggunakan kendaraan umum dan 37,5% tetap bertahan menggunakan kendaraan pribadi. Keenam, tantangan menyangkut berapa besaran tarif ERP yang tepat untuk diberlakukan? Studi Nanang dan Ofyar (2005): lebih dari 70% responden menerimanya jika besaran charging berada pada level Rp. 3.000 ke bawah. Perlu dikaji juga perbandingannya dengan tarif parkir di jalan. Dalam implementasinya, penerapan Congestion Charging di berbagai kota di dunia ternyata tetap memerlukan adanya penegakan hukum untuk memonitor dan mengendalikan sistem pembayaran (charging) (London, 1995). Ketujuh, tantangan yang terkait dengan kesiapan penggunaan teknologinya. Teknologi diperlukan untuk mengintegrasikan sistem pengumpulan biaya (feecollection system) dengan penegakan hukum. Teknologinya harus menjamin diperoleh ketelitian dan keandalan yang tinggi (accuracy and reliability) dan menjaga kerahasiaan transaksi masing-masing pengendara, dan keamanan terhadap
pencolengan
(vandalisme).
Singapura
menggunakan transponder dengan sistem electronic cash dengan smart card.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
165
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
Tantangan kedelapan, bagaimana perbandingan antara cost dengan revenue yang akan didapat? Hal ini mengingat infrastruktur ERP tergolong cukup mahal. Infrastruktur ERP terdiri dari (i) Cash Card, yaitu peralatan yang terdapat di dalam kendaraan atau IU (in-vehicle unit) yang dilengkapi dengan smart card, (ii) Gerbang ERP, yaitu berupa control point yang berlokasi pada wilayah koridor dan ruas jalan sebagai pintu-pintu masuk ke wilayah pembatasan lalulintas, (iii) pusat pengendalian, merupakan alat pengendali yang sekaligus memantau setiap penjuru wilayah pembatasan lalu- lintas, (iv) Sistem Data Base, yang merupakan pendukung pengendalian data kendaraan sekaligus mendukung deteksi pada gerbang ERP.
166
Bagaimana mengantisipasi kemacetan pada daerah diluar area ERP? Pengalaman di London, tidak terjadi dampak lalu-lintas yang besar di daerah diluar area congestion charging.
Kesembilan, bagaimana mengantisipasi kemacetan pada daerah diluar area ERP? Pengalaman di London, tidak terjadi dampak lalu-lintas yang besar di daerah diluar area congestion charging. Pengalaman Stockholm (Swedia): meningkatnya
aksesibilitas
yang
ditandai
dengan
penurunan antrian di pusat kota dan daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-50%. Kesepuluh,
terkait
dengan
timeframe
untuk
implementasinya, apakah bisa diterapkan Januari 2012 mengingat kemacetan semakin akut? Terobosan payung hukum yang dapat dilakukan untuk mengatasi belum terbitnya PP? Bisakah dengan Pergub yang bersifat sementara? Bagaimana pengelolaan pungutannya dalam mekanisme keuangan daerah? Hal-hal ini harus dijawab
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Tantangan Implementasi ERP
oleh Pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam penerapan ERP di Jakarta. Dari sisi persiapan teknis, time frame ini menyangkut bagaimana hasil Studi Detail Engineering Design (DED) yang dilakukan? Bagai Studi Master Plannya? Kapan rencana akan dilakukan ujicoba untuk penerapan? Bagaimana mengantisipasi PP Operasional (turunan UU 22/2009) dan PP pungutan biaya (turunan UU 28/2009) yang belum keluar? Hal-hal tersebut juga harus terjawab dan harus jelas terlebih dahulu bagi publik sebelum melakukan implementasi ERP.
F
enomena kemacetan Jakarta mudah dituding penyebabnya, yakni kendaraan pribadi. Berdasar hasil survey, okupansi mobil adalah 1,7 penumpang
per kendaraan, okupasi sepeda motor saya perkirakan
ERP sebagai Instrumen Keadilan Transportasi
hanya 1,2 penumpang per kendaraan. Sedangkan okupasi angkutan umum tentu jauh lebih besar, bahkan fenomenanya adalah penumpang yang penuh berjubel hingga berdiri di dekat pintu bis. Retribusi kemacetan (Congestion Charging = CC) dite rapkan terhadap para pengguna jalan untuk mengen dalikan permintaan perjalanan (demand) pada saat terjadinya kemacetan pada jaringan jalan perkotaan. Dengan penerapan beban biaya melalui ERP ini diharapkan pengguna kendaraan pribadi lebih bijak dalam menggunakan kendaraannya sehingga tidak banyak memenuhi jalan-jalan ibukota. Dengan demikian, Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
167
Transportasi publik Nyaman untuk Warga
kendaraan umum yang banyak digunakan oleh penduduk berpendapatan rendah dapat menikmati ruas jalan dengan lebih nyaman dan lebih cepat tanpa perlu ikut terjebak kemacetan yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan pribadi yang tidak terkendali. Kalaupun masih tetap ingin menggunakan kendaraan pribadinya pada jalan-jalan utama yang ditetapkan ERP, maka harus ada kompensasi biaya yang ditanggung oleh pengguna kendaraan pribadi. Pendapatan dari pengenaan biaya Congestion Charging ini juga menjadi instrumen lain untuk mengalihkan manfaat transportasi dari pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Penerimaan dari ERP selain untuk membiayai operasional, harus dialokasikan secara khusus
168
untuk perbaikan dan pengembangan sarana transportasi publik. Untuk itu perlu ada kebijakan dan mekanisme khusus (earmarking) dalam alokasi penerimaan dari ERP ini dalam rangka penyediaan transportasi publik yang nyaman bagi masyarakat kebanyakan terutama yang berpendapatan rendah. Kemacetan terjadi karena penerapan pembiayaan yang kurang tepat (imperfect pricing), sehingga dengan penerapan CC diharapkan Adalah memenuhi asas keadilan jika kontributor terbesar kemacetan diminta berkontribusi lebih besar juga atas kemacetan yang ditimbulkan.
terjadi keseimbangan antara demand dengan supply. CC juga dilakukan untuk mengurangi intensitas dampak negatif perjalanan kendaraan bermotor yang akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang lebih parah. Adalah memenuhi asas keadilan jika kontributor terbesar kemacetan diminta berkontribusi lebih besar juga atas kemacetan yang ditimbulkan. Dan retribusi yang diambil
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Tantangan Implementasi ERP
lewat mekanisme ERP tersebut harus digunakan untuk peningkatan pelayanan angkutan umum, sebagaimana disebutkan pada UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan yang tertuang dalam pasal 133 ayat 3. *) Disampaikan dalam Seminar Implementasi ERP di Jakarta Media Center, 30 Maret 2011
169
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Mengubah Paradigma
Pelayanan Birokrasi di Jakarta
L
ayanan KTP keliling yang dilakukan diluar hari kerja oleh Pemda DKI Jakarta baru-baru ini merupakan terobosan pelayanan kepada masyarakat yang
patut diapresiasi meskipun masih terbatas untuk perpanjangan KTP. Dengan layanan ini, masyarakat yang kesulitan mengurus KTP karena kesibukan kerja atau lokasi kelurahan yang jauh dari tempat tinggal dapat terlayani
172
dengan baik dan cepat. Namun , Pemda DKI Jakarta tidak boleh cukup berbangga dan puas sampai disini. Karena terobosan ini relatif sedikit dibanding banyak langkah perbaikan yang seharusnya telah dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta. Masih banyak problem pelayanan publik yang harus dihadapi dan diterima masyarakat Jakarta yang menyebabkan kegiatan warga terhambat dan tidak memperoleh manfaat yang maksimal.
Pelayanan yang lambat, tidak pasti, adanya biaya tidak resmi menjadi wajah dari pelayanan publik oleh birokrasi di Jakarta.
Sudah umum diketahui bahwa pelayanan publik di Jakarta pada hampir semua sektor khususnya layanan administrasi masih jauh dari memuaskan. Pelayanan yang lambat, tidak pasti, adanya biaya tidak resmi menjadi wajah dari pelayanan publik oleh birokrasi di Jakarta. Survei yang dilakukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Mengubah Paradigma Pelayanan Birokrasi di Jakarta
Tahun 2006 terhadap 10 kota menunjukkan Jakarta sebagai kota peringkat kedua terburuk dalam kepuasan masyarakat atas pelayanan publik. Sementara survei Kompas pada 2007 menggambarkan bahwa birokrasi Jakarta gagal dalam menjalankan fungsi pelayanan umum. Sosiolog dari UI, Prof. Tamrin Amal Tamagola juga menyatakan bahwa ada lima penyakit birokrasi ibukota yaitu Incoherence, Inward looking, Inconsistence, Incompetenc dan, Impotence yang menyebabkannya tidak dapat melayani masyarakat dengan baik. Survei terbaru (2010) yang dilakukan IFC-World Bank tentang kemudahan berbisnis di dunia, menempatkan Indonesia yang diwakili Jakarta di peringkat ke 122, tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan terutama Singapura. Bahkan di dalam negeri, survei Sub National Doing Business yang dilakukan tahun 2009 juga menempatkan Jakarta diperingkat 7 diantara 14 kota lain dalam hal kemudahan memulai bisnis. Salah satu sumber penyebab peringkat yang buruk ini adalah birokrasi perijinan investasi yang masih sulit. Belum lagi dengan pelayanan publik lain yang banyak dikeluhkan masyarakat. Pelayanan oleh aparatur birokrasi masih identik dengan pelayanan yang kompleks, berbelit-belit dan menghambat akses warga untuk mendapat layanan publik yang diperlukannya secara wajar. Padahal pelayanan publik bukan hanya menjadi hak masyarakat namun juga menjadi pintu untuk masuknya investasi untuk kemajuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
173
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
Perilaku buruk dari birokrasi pemerintah terutama dalam pelayanan publik seringkali karena adanya paradigma (mindset) yang salah dalam menjalankan fungsinya sebagai aparatur pemerintahan. Birokrasi pada hampir semua level juga belum mengalami perubahan paradigma dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani. Penyelenggaraan Gaya manajemen yang terlalu berorientasi kepada tugas (task oriented) juga menyebabkan aparatur kurang termotivasi untuk lebih kreatif dalam menjalankan tugasnya.
174
pelayanan publik terlalu berorientasi kepada kegiatan dan pertanggungjawaban formal dan kurang berorientasi pada hasil berupa pelayanan yang prima kepada warga masyarakat. Birokrasi terjebak pada pola akivitas yang directly unproductive activities (Bhagwati, 1982). Gaya manajemen yang terlalu berorientasi kepada tugas (task oriented) juga menyebabkan aparatur kurang termotivasi untuk lebih kreatif dalam menjalankan tugasnya dan menghasilkan kualitas pelayanan publik yang prima. Kelambananan dan paradigma minta dilayani menyebab kan Jakarta disandera birokrasi. Infrastruktur yang lengkap dalam mendukung kegiatan bisnis dan aktivitas masyarakat serta daya dukung sektor swasta dalam kegiatan ekonomi yang baik di Jakarta menjadi tidak teroptimalkan
dalam
mendukung
kemajuan
dan
kesejahteraan masyarakat akibat hambatan pelayanan birokrasi. Bahkan pengembangan SDM berkualitas dapat mengalami hambatan akibat pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan juga masih buruk.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Mengubah Paradigma Pelayanan Birokrasi di Jakarta
P
erubahan mindset merupakan sebuah ke harusan jika ingin mewujudkan perilaku baru dalam birokrasi publik. Perubahan prosedur
Strategi Reformasi Pelayanan Publik
pelayanan dari pelayanan yang cenderung kompleks dan menghambat menjadi pelayanan yang cepat, pasti transparan dan responsif, hanya akan berhasil jika diikuti dengan perubahan misi dan budaya birokrasi. Selama misi utama birokrasi masih pada upaya untuk mengendalikan perilaku, maka akan sulit untuk mengembangkan praktik pelayanan publik yang baik. Kesulitan ini terjadi karena prosedur pelayanan birokrasi tidak dirancang untuk mempermudah warga dalam menggunakan pelayanan publik, namun lebih untuk mengontrol perilaku warga agar tidak menyalahgunakan pelayanan publik. Beberapa strategi pokok yang perlu dilakukan untuk mengubah paradigma pelayan yang dapat dilakukan dalam rangka pembenahan pelayanan publik di Jakarta adalah: Pertama, mengubah budaya paternalistik dalam pe layanan menjadi budaya egaliter. Ini penting agar posisi antara pejabat, pegawai pemerintahan dan pengguna jasa layanan publik adalah sama. Masyarakat sebagai pengguna jasa layanan publik bukanlah pihak yang meminta-minta pelayanan secara cuma-cuma, karena pada dasarnya mereka sudah membayar pelayanan itu melalui pajak dan retribusi yang dibayarkan. Sehingga sudah selayaknya mendapat pelayanan yang terbaik.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
175
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
Kedua, menegakkan kriteria efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan. Tidak semata-mata bahwa pelayanan kepada publik sudah dilakukan. Namun jugaharus memperhatikan apakah pelayanan tersebut sudah cukup cepat, mudah dan jelas bagi masyarakat, tidak menghabiskan banyak biaya terutama biaya yang tidak perlu (tidak resmi). Ketiga, mengembangkan renumerasi berdasarkan kinerja (merit system), sehingga mendorong aparatur lebih kreatif dan inovatif dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi warga masyarakat. Keempat, mau dan terbuka menerima kritik yang disampaikan publik (media, LSM dan masyarakat) dalam
176
rangka memperbaiki kinerja dan pelayanan. Birokrasi selayaknya tidak alergi terhadap kritik yang konstruktif dan justru menjadikan pihak yang memberikan kritik sebagai mitra dalam memperbaiki pelayanan. Pada saat yang sama, dikembangkan juga mekanisme evaluasi secara berkala atas pelayanan yang sudah dilakukan yang melibatkan pihak eksternal. Kelima, membudayakan delegasi kewenangan dan diskresi yang bertanggungjawab. Tidak boleh lagi ada pelayanan kepada masyarakat yang terhambat karena tidak adanya pimpinan dari instansi yang memberikan pelayanan karena tidak adanya delegasi kewenangan. Keenam, orientasi kepada pelayanan pengguna jasa. Tidak seperti pelayanan yang dikembangkan sektor swasta,
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Mengubah Paradigma Pelayanan Birokrasi di Jakarta
pelayanan yang dikembangkan oleh birokrasi selama ini cenderung kurang berorientasi kepada pengguna jasa. Padahal dalam sistem yang demokratis, masyarakat pengguna jasa justru yang memiliki kedaulatan. Reformasi birokrasi pelayanan publik hanya akan dapat berhasil jika diiringi dengan re-orientasi menyeluruh terhadap pola berpikir pegawai pemerintah agar lebih responsif terhadap keinginan dan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna jasa. Untuk menjalankan perubahan paradigma dalam pelayanan publik ini, dukungan penuh bukan hanya diperlukan dari pucuk pimpinan, melainkan juga dari seluruh lini dan strata organisasi pemerintahan. Saat ini pemerintah sudah mengeluarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UndangUndang ini memberi mandat kepada semua pihak khususnya aparatur birokrasi yang menyelenggarakan pelayanan publik untuk memberikan pelayanan prima dan menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pelayanan publik serta hak dan kewajiban masyarakat. Undang-Undang juga menetapkan keharusan adanya standar pelayanan minimum untuk penyelenggaraan pelayanan publik, bahkan sanksi terhadap
pelanggaran
ketentuan
penyelenggaraan
pelayanan publik. Dari momentum ini, sudah saatnya Jakarta melakukan pembenahan menyeluruh terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan khususnya oleh aparatur Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
177
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
Bahkan sudah saatnya pula Jakarta memiliki Peraturan Daerah tentang pelayanan publik serta standar pelayanan minimum untuk penyelenggaraan pelayanan publik di Jakarta.
Pemda DKI Jakarta. Bahkan sudah saatnya pula Jakarta memiliki Peraturan Daerah tentang pelayanan publik serta standar pelayanan minimum untuk penyelenggaraan pelayanan publik di Jakarta. Agar warga masyarakat Jakarta memperoleh haknya untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik. *) Dimuat di Harian Republika, 8 April 2010
178
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Reformasi Birokrasi menuju Profesionalitas dan Moralitas Aparatur
untuk Keadilan dan Kesejahteraan Masyarakat Oleh: Prof. Dr. Eko Prasojo1 1
Guru Besar dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI
P
elayanan publik dan penyelenggaraan peme
Pendahuluan
rintahan merupakan fungsi dari berbagai faktor. Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi pela
yanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan tersebut adalah kelembagaan, kepegawaian, proses, pengawasan dan akuntabilitas. Diantara faktor-faktor tersebut, maka faktor penting yang dapat menjadi pengungkit (leverage) dalam perbaikan pelayanan publik adalah persoalan
reformasi kepegawaian negara. Dapat dikatakan bahwa baik buruknya suatu birokrasi negara sangat dipengaruhi oleh kualitas kepegawaian negaranya. Di Indonesia sektor kepegawaian negara, yang merupakan sub sistem dari birokrasi secara keseluruhan, belum dijadikan sebagai fokus dari reformasi birokrasi. Pentingnya memberikan perhatian pada reformasi kepegawaian negara ini paling tidak didasarkan pada fakta: (1) keberhasilan pembangunan beberapa negara,
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
179
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
seperti Korea dan China terletak pada usaha sistematis dan
sungguh-sungguh
untuk
memperbaiki
sistem
kepegawaian negara, (2) kepegawaian negara merupakan faktor dinamis birokrasi yang memegang peranan penting dalam semua aspek pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan.
Situasi Problematik
A
kar permasalahan buruknya kepegawaian nega ra di Indonesia pada prinsipnya terdiri dari dua hal penting: (1) persoalan internal sistem
kepegawaian negara itu sendiri, (2) persoalan eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesiolisme kepegawaian
180
negara. Dan situasi problematis terkait dengan persoalan internal sistem kepegawaian dapat dianalisis dengan memperhatikan subsistem yang membentuk kepegawaian negara. Subsistem kepegawaian negara terdiri dari: (1) rekrutmen, (2) penggajian dan reward, (3) pengukuran kinerja, (4) promosi jabatan, (5) pengawasan. Kegagalan pemerintah untuk melakukan reformasi terkait dengan subsistem-subsistem tersebut telah melahirkan birokratbirokrat yang dicirikan oleh kerusakan moral (moral hazard) dan juga kesenjangan kemampuan untuk melakukan tugas dan tanggungjawabnya (lack of competencies) (lihat prasojo, 2006). Terkait dengan persoalan rekruitmen dapat disebutkan beberapa situasi problematis yang dihadapi oleh birokrasi di Indonesia. Proses rekruitmen masih belum dilakukan Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Reformasi Birokrasi
secara profesional dan masih terkait dengan hubunganhubungan kolusi, korupsi dan nepotisme. Rekruitmen pegawai
masih
dipandang
seakan-akan
menjadi
kebutuhan proyek tahunan dan bukan sebagai kebutuhan akan peningkatan kualitas pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Indikasi ini sangat nyata apabila dilihat bahwa job analisis sebagai persyaratan untuk menentukan job requirement masih belum dimiliki oleh pemerintah. Ketiadaan persyaratan jabatan telah menyebabkan rekruitmen dilakukan secara serampangan, dan tidak memperhatikan kualifikasi yang dibutuhkan. Itu sebabnya, meskipun dirasakan PNS di Indonesia tidak tahu apa yang dikerjakan, tetapi rekrutmen PNS tetap terus dilakukan. Untuk dapat melakukan dengan baik proses perekrutan, maka spesifikasi tugas dan jabatan harus diketahui secara baik. Ironisnya, banyak sekali PNS yang tidak mengetahui tugasnya, bahkan nama jabatannya. Jika perekrutan dilakukan tanpa mengetahui kebutuhan analisis jabatannya, SDM aparatur pada satuan organisasi menjadi berlebihan dan tidak sesuai dengan beban kerja yang ada. Rekrutmen yang demikian akan semakin memperbanyak pengangguran tidak kentara PNS (disguised unemployment). (lihat, Mujiyono, 2006). Selama
lima tahun terakhir (2004-2009), kebijakan
pengangkatan pegawai honorer juga telah menyebabkan proses
rekrutmen lebih
didasarkan
pada
prinsip
popularitas dari pada meritokrasi. Di sejumlah daerah, praktek pengangkatan pegawai honorer ini diwarnai
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
181
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
dengan hubungan afiliasi dan persaudaraan, dimana para pegawai honorer berasal dari kalangan keluarga dan kerabat. Hal ini menyebabkan kualitas sumber daya aparatur negara yang tidak kompeten dan dipenuhi dengan unsur nepotisme. Pada sisi lainnya, kepastian tentang jumlah PNS yang dibutuhkan terhadap jumlah penduduk (rasio beban kerja) masih belum dapat dihitung secara baik untuk menentukan jumlah pegawai yang harus direkruit setiap tahunnya. Dari sisi penyelenggaraannya, rekruitmen pegawai masih dilakukan dengan cara-cara yang tidak menjamin kesempatan dan terjaringnya calon-calon yang
182
potensial. Hal ini disebabkan karena rekrutmen masih dilakukan pemerintah, dan bukan oleh sebuah lembaga yang independen (seperti civil service commision). Dengan situasi birokrasi yang syarat dengan KKN, maka proses rekruitmen yang demikian tidak dapat menghasilkan calon-calon yang terbaik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses rekruitmen di Indonesia dilakukan dengan cara-cara penyuapan, pertemanan dan afiliasi. Budaya perekruten yang demikian hanya akan menghasilkan birokrat yang moralnya tidak terjaga dan kompetensinya yang tidak memadai. Problem perekrutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga tidak bebas dari masalah. Kuatnya egoisme daerah dan masih menonjolnya hubungan-hubungan persaudaraan dan afiliasi, juga telah menyebabkan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Reformasi Birokrasi
proses rekrutmen tidak menghasilkan PNS-PNS yang memenuhi syarat kualifikasi dan akhlak yang baik. Bahkan kecenderungan untuk mengutamakan putra daerah dalam perekrutan PNS saat ini semakin menonjol dengan dilakukannya perekrutan oleh PNS. Itu sebabnya beberapa waktu lalu proses perekrutan PNS di beberapa daerah telah menimbulkan demonstrasi dan situasi chaos (Layanan Publik, 2006) Situasi problematis lainnya dalam perekrutan PNS adalah Situasi problematis kekuatan eksternal yang mendorong terjadinya intervensi lainnya dalam perekrutan PNS adalah politik dalam proses rekrutmen. Hal ini disebabkan karena kekuatan eksternal yang birokrasi di Indonesia masih belum terpisah secara total mendorong terjadinya dengan politik. Keinginan pihak-pihak tertentu –misalnya intervensi politik dalam proses 183 partai politik- untuk menjadikan birokrasi sebagai mesin rekrutmen. politik, juga ikut mempengaruhi sukarnya melakukan reformasi rekrutmen PNS (lihat, Sunantara, 2006). Paling tidak, komitmen partai politik untuk mendorong terjadinya perubahan proses dan substansi rekrutmen akan membantu percepaten perbaikan rekrutmen PNS. Besarnya intervensi politik dalam birokrasi Indonesia saat ini juga ditandai oleh proses pengisian jabatan-jabatan dalam birokrasi yang dipenuhi dengan hubungan afiliasi. Persoalan kedua yang harus menjadi acuan dalam reformasi kepegawaian adalah sistem penggajian PNS. Tingkat kesejahteraan PNS yang rendah sangat mempengaruhi kinerja dan perilaku PNS. Persoalannya terletak pada tidak seimbangnya antara kebutuhan yang harus dikeluarkan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
oleh seorang PNS, dengan gaji yang diterima. Jika mengikuti logika kehidupan eksisten minimum, maka gaji seorang PNS hanya dapat hidup setengah bulan saja. Kenaikan gaji yang dilakukan secara bertahap dengan persentase 10-15% tidak merupakan solusi bagi kecukupan PNS untuk memenuhi kebutuhannya selama sebulan. Besaran gaji
184
Seringkali dikenal dalam kehidupan sehari-hari ungkapan yang mencerminkan ketidakjelasan besaran gaji yang diterima PNS Indonesia, misalnya “Gaji boleh kecil, tetapi take home pay tidak terbatas”.
yang tidak kompetitif dibandingkan dengan sektor swasta telah menyebabkan berbagai komplikasi masalah moral dan integritas sumber daya aparatur negara di Indonesia. Seringkali dikenal dalam kehidupan sehari-hari ungkapan yang mencerminkan ketidakjelasan besaran gaji yang diterima PNS Indonesia, misalnya “Gaji boleh kecil, tetapi take home pay tidak terbatas” atau “PNS tidak hidup dari gaji, melainkan dari penerimaan lain-lain”. Meskipun UU 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara pada prinsipnya menganut sistem merit, tetapi dalam pengaturan dan praktek penggajian PNS di Indonesia masih belum mencerminkan hal tersebut. Hal ini dapat dilihat antara lain dari berbagai persoalan yang menyangkut sistem penggajian di Indonesia. Gaji pokok masih tidak didasarkan standar kompetensi. Hal ini disebabkan bahwa klasifikasi jabatan masih belum didasarkan pada standar kompetensi seseorang. Disisi lainnya, jenis tunjangan sangat
banyak, tetapi belum memperhatikan tugas,
wewenang dan tanggungjawab serta prinsip-prinsip keadilan. Bahkan, total tunjangan yang diberikan lebih besar dari gaji yang diterima PNS. Banyaknya tunjangan dan jenis-jenis tunjangan yang beragam ini pada akhirnya
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Reformasi Birokrasi
menyulitkan pengukuran berapa besarnya take home pay seorang PNS. Jika ditambahkan dengan persoalan “pekerjaan proyek”, maka besarnya tunjangan yang diterima PNS semakin sulit diukur dan semakin tidak transparan. Sumber-sumber pembiayaan gaji pun sangat beragam, sehingga membuat income seseorang dalam jabatan negara tidak transparan. Bahkan, besarnya gaji yang diterima oleh PNS hanya berkisar 20-30% dari take home pay yang diterima oleh seorang PNS. Ini pula yang menyebabkan pemberian suap dan gratifikasi dalam pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Hal lain yang turut mewarnai carut-marutnya sistem peng gajian PNS di Indonesia adalah koneksi sistem penggajian dengan sistem penilaian kinerja. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa gaji PNS di Indonesia dibayarkan secara sama tanpa memperhatikan kinerja yang dilakukan. Dengan bahasa lugas, seringkali disebut “pinter goblok, penghasilan sama (PGPS)”. Tidak berlebihan untuk mengatakan hal tersebut. Bahkan seorang PNS yang tidak memiliki tugas pasti, juga mendapatkan gaji, seperti halnya PNS yang melaksanakan tugasnya dengan baik. Akhirnya, seringkali gaji yang diterima PNS tidak memberikan insentif bagi pelaksanaan kinerja yang semakin baik. Dalam pengertian lain, sistem penggajian PNS belum berdasar pengukuran kinerja. Hal ini pula yang mematikan kreativitas dan inovasi PNS dalam bekerja. Ketiaadaan analisis jabatan dan klasifikasi jabatan menyebabkan penggajian masih belum berbasis pada bobot pekerjaan.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
185
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
Selanjutnya, terkait erat dengan persoalan kepegawaian negara adalah sistem penilaian kinerja. Sangat sulit mencari ukuran untuk mengatakan bahwa PNS di Indonesia memiliki karakter profesionalisme dalam kinerja. Karena profesionalisme dalam kinerja memiliki ukuran-ukuran yang bisa secara kuantitatif terukur dan dapat diperbandingkan. Selama ukuran yang dijadikan sebagai indikator kinerja seorang PNS adalah Daftar Penilaian Prestasi Pegawai (DP3), maka sulit rasanya mengukur kinerja PNS. Hal ini karena ukuran-ukuran kinerja dalam DP3 sangat bersifat umum dan sangat memungkinkan memasukkan unsur-unsur like and dislike pimpinan kepada bawahan. Ketidakjelasan pengukuran
186
kinerja mempunyai dampak berupa ketidakjelasan standar promosi jabatan. Seseorang dipromosikan dalam jabatan tidak berdasarkan kinerjanya, tetapi lebih berdasarkan kesetiaannya dan kedekatannya dengan seorang atasan. Bahkan sampai saat ini kita tidak memiliki stok nama pejabat dan pegawai dengan kompetensi dan kinerja yang menjadi dasar promosi jabatan. Persoalan internal lainnya dalam sistem kepegawaian adalah lemahnya pengawasan terhadap perilaku dan disiplin pegawai. Sebagai suatu sistem, maka sub sistem kepegawaian saling terkait. Artinya ketidakjelasan sistem rekrutmen, penggajian, pengukuran kinerja dan promosi juga berdampak pada pengawasan terhadap perilaku dan disiplin pegawai. Keterkaitan ini ibarat lingkaran setan yang sulit ditentukan ujung pangkalnya. Lemahnya
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Reformasi Birokrasi
penegakkan pengawasan disebabkan oleh ketiadaan standar kinerja, rendahnya gaji, dan promosi yang kental dengan afiliasi. Dalam prakteknya yang terjadi adalah sulitnya mengawasi membengkaknya kekayaan dan harta pegawai, penerimaan hadiah dan gratifikasi menjadi hal yang lumrah, dan kehadiran pegawai menjadi tidak penting lagi. Secara eksternal, carut marutnya sistem kepegawaian di Indonesia juga diwarnai oleh kooptasi partai poli tik terhadap PNS. Ketidaknetralan PNS seringkali menyebabkan penyalahgunaan kewenangan oleh Pejabat dan PNS. Sulitnya membedakan antara tugas sebagai PNS dan keberpihakannya pada partai politik, menyebabkan sistem kepegawaian tidak lagi berdasarkan kepada sistem merit, tetapi kepada spoil system. Anggaran negara tidak digunakan semestinya, melainkan atas kepentingankepentingan afiliasi politik. Promosi jabatan juga dilakukan atas dasar kedekatan hubungan dengan kolega dan pertemanan politik. Baik problem internal sistem kepegawaian, maupun problem kooptasi politik terhadap birokrasi akan mempengaruhi kinerja birokrasi secara keseluruhan. Karena beberapa reformasi kepegawaian harus diarahkan untuk memujudkan PNS yang profesional, independen dan berbudaya melayani masyarakatnya.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
187
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
Arah Pertumbuhan dan Perubahan Sistem Kepegawaian yang Profesional
U
ntuk mengatasi berbagai persoalan di atas, perlu dilakukan berbagai perubahan sistem untuk menuju arah perubahan yang dikehendaki. Un
tuk menghasilkan calon-calon PNS yang baik, maka proses rekrutmen merupakan pengungkit utama. Karena itu ada beberapa rekomendasi arah perubahan sistem perekrutan. Dalam hal perekrutan, harus dilakukan terlebih dahulu job analisis setiap jabatan dan pekerjaan di semua sektor dan semua level pemerintahan. Hal ini untuk mengetahui job
Untuk menghasilkan calon-calon PNS yang baik, maka proses rekrutmen merupakan pengungkit utama.
188
requirement yang dibutuhkan dan harus dipenuhi oleh calon-calon PNS. Persyaratan jabatan dan pekerjaan ini diturunkan dalam materi eksaminasi yang mencerminkan kompetensi yang dimiliki oleh pelamar. Arah perubahan lainnya adalah perlunya dilakukan penghitungan secara pasti existing condition PNS yang ada pada saat ini. Existing condition ini mencerminkan tidak saja jumlah pegawai terhadap penduduk (rasio beban kerja), tetapi juga kualifikasi yang dimiliki oleh pegawai. Kebutuhan pemetaan ini memiliki relevansi terhadap jumlah dan kompetensi calon-calon PNS yang akan direkrut. Sehingga perekrutan PNS bukan hanya sekadar proyek tahunan karena adanya anggaran dan formasi bagi PNS di setiap sektor dan level pemerintahan. Perekrutan harus berdasarkan kepada needs assessment yang telah dilakukan secara cermat. Dalam hal pelaksanaannya, proses perekrutan harus dilakukan oleh lembaga profesional yang independen bukan oleh pemerintah (baik pusat maupun daerah).
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Reformasi Birokrasi
Pemerintah hanya menjadi regulator dan pengawasan, sedangkan pelaksanaan rekrutmen dilakukan oleh sebuah komisi kepegawaian negara yang anggotanya terdiri dari para profesional, seperti kalangan perguruan tinggi dan profesional swasta lainnya. Komisi Kepegawaian Negara menyiapkan desain materi eksaminasi, pelaksanaan perekrutan, sampai kepada penetapan calon PNS yang terpilih. Untuk menjaga independensi Komisi Kepegawaian Negara, para anggota direkrut secara profesional melalui fit and proper test seperti halnya komisi-komisi lain yang ada pada saat ini. Model-model substansi dan materi eksaminasi dapat dilaksanakan dengan metode patok banding yang digunakan oleh pihak swasta. Dalam hal ini termasuk
189
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi baik dalam pendaftaran sampai proses pengumuman. Proses rekrutmen yang transparan dan terbuka tidaklah Proses rekrutmen yang menjamin calon-calon PNS yang memiliki kompetensi transparan dan terbuka tidaklah menjamin dan moral yang baik, karena proses rekrutmen hanyalah calon-calon PNS yang satu dari subsistem dalam birokrasi. Karena itu, perbaikan memiliki kompetensi dan perekrutan PNS harus diikuti dengan perbaikan subsistem- moral yang baik, karena proses rekrutmen subsistem lainnya. hanyalah satu dari subsistem dalam Arah pertumbuhan dan perubahan sistem selanjutnya birokrasi. terkait dengan sistem penggajian. Dalam hal ini beberapa catatan yang dibuat oleh Bekke dkk. Reformasi penggajian menurut Bekke harus berdasarkan “individual worker based, training, competency, experience, productivity, or Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
some other attribute” (Bekke, Perry dan Toonen, 1996). Jenjang penggajian bagi PNS dengan demikian harus berdasarkan pada kinerja pekerjaan seseorang, training yang sudah diikuti, kompetensi yang dimiliki, pengalaman, produktivitas, dan beberapa atribut penting. Menaikkan gaji tanpa memperhatikan faktor-faktor tersebut tidak akan berdampak secara efektif bagi peningkatan kinerja birokrasi secara keseluruhan. Bahkan sebaliknya, gaji yang dinaikkan hanya akan menyebabkan inefisiensi. Pada sisi lainnya, Bekke dkk juga mengingatkan agar paritas antara gaji swasta dan negeri untuk beban kerja yang kurang lebih sama tidak boleh terlalu tinggi.
190
Karena hal ini akan menyebabkan interaksi ekonomi politik antara pegawai yang bekerja di sektor publik dengan pegawai di sektor private. Demikian juga, harus dimungkinkan perbedaan besarnya gaji antara individu dan kelompok-kelompo kerja di dalam satu instansi. Untuk mengefektifkan gaji yang diterima dengan kinerja yang diperoleh, maka perlu diatur secara rinci pengaruh reward terhadap kinerja. Dalam pengertian ini, harus dimungkinkannya disinsentif bagi penurunan kinerja. Terkait dengan jumlah besaran gaji yang harus dinaikkan, penulis berpandangan bahwa upaya yang dilakukan selama ini dengan cicilan kenaikan sebesar 10%-15%, tidak memiliki dampak yang besar bagi peningkatan kinerja. Hal ini karena, kenaikan dengan cicilan tersebut serta merta diikuti dengan kenaikan inflasi, disamping
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Reformasi Birokrasi
juga tidak memenuhi unsur kecukupan dan kebutuhan minimal. Dengan memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi tersebut, maka penulis berpandangan agar kenaikan gaji PNS dilakukan dengan menghitung jumlah besaran eksisten minimum kehidupan layak seorang PNS dengan memperhatikan jabatan, kompetensi, kinerja, jumlah keluarga tingkat kemahalan dan faktor-faktor lain. Sejauh ini persoalan menaikkan gaji sesuai dengan kebutuhan minimum sangat terganjal oleh komitmen pemerintah untuk menyediakan dana yang dibutuhkan. Arah pertumbuhan dan perubahan sistem lainnya yang harus dilakukan adalah pengukuran kinerja. Instrumen penting dalam hal ini adalah adanya kesepakatan kinerja antara seorang PNS dengan unitnya, dan antara satu unit dengan instansinya. Hal ini sejatinya sudah diwacanakan dengan konsep kontrak kinerja. Hanya saja implementasi kontrak kinerja ini belum optimal, disebabkan oleh konsep dan political will pemerintah yang masih rendah. Melihat apa yang dilakukan di beberapa negara, kontrak kinerja ini dilakukan dalam bentuk tim melalui apa yang disebut sebagai kontrak menajemen. Setiap tim (unit) membuat Setiap tim (unit) indikator-indikator kinerja yang akan dicapai dalam membuat indikatorindikator kinerja yang kurun waktu tertentu (satu bulan, tiga bulan, enam bulan akan dicapai dalam dan satu tahun). Dan setiap individu dalam tim, harus kurun waktu tertentu. melaksanakan sejumlah indikator yang telah ditetapkan. Indikator-indikator
yang
telah
disusun
dievaluasi
oleh kepala unit dan seterusnya oleh kepala instansi pemerintah. Tercapainya indikator akan menentukan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
191
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
juga reward dan punishment yang akan diberikan. Hal ini juga sekaligus menjadi catatan penting dalam kinerja dan promosi seseorang. Arah pertumbuhan lain yang dikehendaki untuk melakukan reformasi kepegawaian adalah penguatan pengawasan kode etik dan perilaku terhadap PNS. Dalam konteks ini ada dimensi yang harus diperhatikan. Pertama, terkait dengan lembaga yang akan melakukan pengawasan, kedua terkait dengan substansi pengawasan. Berkaca dari praktek di beberapa negara, pengawasan terhadap PNS dilakukan oleh lembaga-lembaga independen yang profesional (seperti civil service gift commission, civil service property
192
commission). Sedangkan menyangkut dimensi substansi dapat meliputi pengawasan terhadap harta dan kekayaan PNS, pengawasan terhadap kode etik, pengawasan penerimaan hadiah, dan pengawasan terhadap PNS yang sudah pensiun. Pengungkit penting untuk mencegah terjadinya kasus Gayus adalah pembuktian terbalik atas kekayaan PNS. Setiap PNS harus dapat membuktikan sumber dari kekayaan yang dimilikinya. Sedangkan
menyangkut
kooptasi
politik
terhadap
birokrasi, perlu kiranya dilakukan reformasi hubungan antara pejabat politik dan pejabat karir. Pemisahan antara pemilihan pejabat politik dan pejabat karir dalam suatu jabatan dimaksudkan untuk menjamin agar birokrasi tidak diisi oleh pejabat-pejabat politik, tetapi oleh pejabatpejabat karir yang telah meniti karir melalui jenjang karir
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Reformasi Birokrasi
dan merit yang jelas. Perlu kiranya memikirkan pemisahan antara kementrian (yang dipimpin oleh seorang menteri) dan birokrasi (dengan istilah baru penulis “Departemen”) yang dipimpin oleh seorang pejabat karir. Sedangkan untuk mengakomodasi kepentingan politik menteri, perlu ditunjuk pejabat politik sebagai staf khusus menteri. Pengungkit lainnya dalam menciptakan aparatur negara Pengungkit lainnya yang profesional dan bermoral baik adalah pengisian dalam menciptakan aparatur negara jabatan-jabatan birokrasi yang dilakukan secara terbuka yang profesional dan baik antar sektor maupun antar pusat dan daerah. Hal bermoral baik adalah ini akan mengurangi kooptasi politik terhadap birokrasi, pengisian jabatansekaligus menciptakan kompetisi internal dalam birokrasi. jabatan birokrasi yang dilakukan secara Setiap pejabat yang memenuhi syarat jabatan dan terbuka baik antar kompetensi dapat mengajukan diri secara terbuka untuk sektor maupun antar menduduki jabatan-jabatan dalam birokrasi. Jika tidak pusat dan daerah. semua jabatan, maka bisa diatur secara bertahap proses pengisian yang dilakukan secara terbuka. Disamping itu, untuk memperkuat dan menjadikan PNS sebagai perekat NKRI, perlu pula dipikirkan rotasi PNS antar daerah dan antara pusat dan daerah. Rotasi PNS disamping akan menjadi perekat NKRI juga akan mengurangi kooptasi politisi atas birokrat dalam pengisian jabatan.
R
eformasi kepegawaian merupakan salah satu sub sistem reformasi birokrasi. Keberhasilan
Penutup
reformasi birokrasi akan sangat ditentukan oleh
keberhasilan reformasi kepegawaian. Dalam reformasi Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
193
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
kepegawaian maka subsistem yang harus direformasi adalah sistem perekrutan, penggajian, pengukuran kinerja, promosi dan pengawasan terhadap etik dan perilaku PNS. Upaya yang tidak sistematis dan komprehensif, hanya akan menimbulkan persoalan baru dalam birokrasi di Indonesia.
194
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Reformasi Birokrasi
Prasojo, Eko, “Reformasi Birokrasi di Indonesia: Beberapa Catatan Kritis”, dalam: Jurnal Bisnis dan Birokrasi,
Daftar Kepustakaan
Vol. XIV/1/Januari 2006. Sunantara, I Gede Arya, “Rekiblatisasi Peran Strategis Korpri: Sebagai Garda Depan Birokrasi Indonesia”, dalam: Jurnal Bisnis dan Birokrasi, Vol. XIV/1/ Januari 2006. Layanan Publik, “Menpan Penuhi Janji”, Tahun II, Edisi XI, 2006. Mujiyono, “CPNS dan Pemberdayaan Aparatur”, dalam: Jurnal Layanan Publik, Tahun II, Edisi XI, 2006 Bekke, Hans; Perry James; Toonen,Theo, Civil Servive System in Comparative Perspective, Indiana University, 1996.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
195
Menuju Birokrasi
yang Melayani
S
etelah memenangkan Pemilu Legislatif pada Pemilu 2004 di Jakarta, dalam Musyawarah Wilayah, DPW PKS DKI Jakarta mencanangkan tagline
“Saatnya Memimpin dan Melayani Ibukota”. Terdapat dua kata kunci disini yaitu kepemimpinan dan pelayanan. Memimpin artinya PKS DKI Jakarta ingin melanjutkan kemenangan
Pemilu 2004 dalam Pilkada 2007. Dan
pelayanan menunjukkan komitmen bahwa jika Allah SWT menghendaki kepmimpinan ibukota kepada PKS,
196
maka pelayanan kepada publik harus menjadi orientasi dari amanah kepemimpinan tersebut. Dalam konteks ini, maka pemimpin tersebut harus mampu membawa atau jika perlu melakukan reformasi terhadap birokrasi untuk menjadikan birokrasi yang mampu melayani rakyatnya. Reformasi birokrasi tidak dapat dipisahkan dari usaha Birokrasi adalah alat untuk menyampaikan (delivery) kebijakankebijakan dan program yang dibuat bagi masyarakat.
mencapai kesejahteraan masyarakat, karena birokrasi adalah alat untuk menyampaikan (delivery) kebijakankebijakan dan program yang dibuat bagi masyarakat. Bahkan reformasi birokrasi menjadi salah satu dari tiga pilar dan prasyarat untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Disadari bahwa upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan anggaran yang efisien serta birokrasi
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menuju Birokrasi yang Melayani
yang bersih, efektif, transparan dan melayani rakyat sepenuh hati. Birokrasi di Jakarta sendiri saat ini menunjukkan wajah yang buram dan sangat sulit diharapkan. Iklim usaha yang tidak kondusif ditunjukkan dengan peringkat Indonesia (diwakili oleh Jakarta) yang masih diatas 100 diantara negara-negara lain dalam survey cost of doing business Bank Dunia. Hal ini tentu menjadi indikator buruknya pelayanan birokrasi dalam bidang ekonomi. Survei yang dilakukan Kementerian Pendayaguaan Aparatur Negara Tahun 2006 terhadap 10 kota menunjukkan Jakarta sebagai kota peringkat kedua terburuk dalam kepuasan
197
masyarakat atas pelayanan publik. Sementara survei Kompas pada 2007 menggambarkan bahwa birokrasi Jakarta gagal dalam menjalankan fungsi pelayanan umum. Sosiolog dari UI, Prof. Tamrin Amal Tamagola juga menyatakan bahwa ada lima penyakit birokrasi ibukota yaitu Incoherence, Inward looking, Inconsistence, Incompetence, Impotence yang menyebabkannya tidak dapat melayani masyarakat dengan baik.
A
da dua alasan penting mengapa reformasi biro krasi menjadi bagian yang tak terpisahkan da
Tuntutan Reformasi Birokrasi
lam mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Jakarta. Pertama, birokrasi yang gemuk di Jakarta akibat otonomi yang berada pada tingkat propinsi menyebabkan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
implementasi kebijakan dalam bentuk program pada level bawah (kecamatan/kelurahan) yang bersentuhan langsung dengan masyarakat menjadi lamban. Belum lagi, birokrasi pada hampir semua level juga masih belum mengalami perubahan paradigma dari budaya minta dilayani menjadi budaya melayani. Hambatan birokrasi dalam mendukung pelayanan dan upaya menciptakan kesejahteraan bagi warga juga diakui oleh seorang mantan gubernur yang menyatakan bahwa sebaik apapun kebijakan yang diambil gubernur Jakarta, tidak akan berjalan jika sumberdaya manusia birokrasi tidak dibenahi. Kelambananan dan paradigma dilayani menyebabkan Jakarta disandera birokrasi.
198
Sementara pada saat yang sama, program-program yang bersifat pro-poor dilakukan dalam bentuk yang cenderung seragam tanpa memperhatikan perbedaan kondisi antar wilayah, bentuk dan penyebab kemiskinan serta masalah kesejahteraan yang terjadi. Padahal dengan pola demikian, dibutuhkan birokrasi yang penuh inisiatif, kreatif dalam program dan efisien dalam menjalankan program. Kedua, persoalan penyimpangan dan perilaku koruptif yang masih melekat kuat. Perilaku koruptif di jajaran birokrasi ibukota sebagaimana yang ditunjukkan dalam survei yang dilakukan Kementerian PAN (2006) dan jejak pendapat harian Kompas (2007), menyebabkan anggaran untuk kesejahteraan tidak mencapai sasaran yang diinginkan. Hal ini terjadi diantaranya karena kecenderungan pejabat birokrasi untuk berusaha memperluas misi agar Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menuju Birokrasi yang Melayani
kekuasaan dan akses mereka terhadap anggaran menjadi semakin besar. Karena itu tidak mengherankan kalau banyak birokrasi pemerintah banyak melakukan kegiatan diluar misi utamanya sebagai pelayan publik. Apalagi ketika alokasi anggaran tidak didasarkan atas kinerja dan penilaiannya tidak didasarkan atas output dan capaian hasil, tapi lebih didasarkan atas volume kegiatan. Upaya mewujudkan kesejahteraan yang dirasakan seluruh warga Jakarta khususnya kelompok miskin, dibutuhkan peran pelayanan birokrasi untuk mendukung pelaksanaan program-program yang dilakukan. Program dan alokasi anggaran untuk kelompok miskin dan marjinal sudah seharusnya dirasakan manfaatnya oleh kelompok tersebut. Dari hal yang mendasar tersebut, secara bertahap, program-program yang menuju pemenuhan kebutuhan dasar dan jaminan sosial bagi seluruh warga Jakarta secara layak dapat terpenuhi. Langkah strategis berikutnya yang dilakukan adalah memperkuat penerimaan daerah dari sumber-sumber penerimaan potensial yang wajar, termasuk dengan Jakarta membutuhkan mengurangi kebocoran potensi penerimaan, pengelolaan strategi khusus dan komprehensif dalam anggaran yang transparan serta belanja anggaran yang melakukan reformasi efisien melalui pelibatan partisipasi publik (participatory birokrasi mengingat besarnya volume budgetting). anggaran yang dikelola, Jakarta membutuhkan strategi khusus dan komprehensif posisi Jakarta sebagai ibukota negara dan dalam melakukan reformasi birokrasi mengiongat etalase Indonesia di besarnya volume anggaran yang dikelola, posisi Jakarta mata dunia. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
199
Birokrasi yang Bekerja dan Melayani
sebagai ibukota negara dan etalase Indonesia di mata dunia serta kebutuhan untuk kesejahteraan warganya. PKS Jakarta dengan jargon Bersih, Peduli dan Profesional memiliki konsep yang jelas tentang arah reformasi birokrasi yang akan dilakukan, namun terlalu panjang untuk dijelaskan pada kesempatan ini. PKS Jakarta menyadari bahwa cita-cita mewujudkan welfare and sustainable city membutuhkan birokrasi yang komit pada pelayanan public dan kemampuan men-delivery program-progran yang pro publik. Bersih dan professional adalah cerminan intergitas dan kapabilitas (profesionalisme) yang menjadi modal dasar sekaligus tuntutan dalam membangun birokrasi yang melayani.
200
*) Dimuat di Tabloid Partai Keadilan Sejahtera DKI Jakarta, Agustus 2008
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menuju Birokrasi yang Melayani
201
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menanggulangi Kemiskinan
di Ibukota Potret dan Peta Kemiskinan di DKI Jakarta
P
otret kemiskinan di DKI Jakarta semakin buram. Terlepas dari berbagai program pengentasan kemiskinan, angka kemiskinan di DKI Jakarta
terus memperlihatkan trend meningkat dalam tahuntahun terakhir (lihat tabel 1). Berdasarkan data BPS DKI Jakarta pada tahun 2005, penduduk miskin di DKI Jakarta berjumlah 633.212 jiwa dengan 150.492 rumah tangga. Ini berarti ada kenaikan angka kemiskinan sebesar 70%
204
dibandingkan dengan kondisi tahun 2004. Kenaikan ini “jauh lebih buruk” bila dibandingkan dengan kenaikan angka kemiskinan tahun-tahun sebelumnya yang “hanya” sebesar 17% dan 8%, di tahun 2004 dan 2003. Di tahun 2006 dan 2007, angka kemiskinan di Jakarta diperkirakan masih akan meningkat mengingat buruknya kondisi makroekonomi nasional akibat kenaikan harga BBM hingga dua kali yaitu pada bulan Maret dan Oktober 2005. Secara umum, dalam lima tahun terakhir (2000-2005), penduduk miskin Jakarta rata-rata meningkat 20,53% per tahun. Angka kemiskinan-pun memburuk dari 4,06% pada 2000 menjadi 7% pada 2005, meningkat hampir dua kali lipat. Dengan penduduk Jakarta yang pada 2005 mencapai 9 juta jiwa, angka kemiskinan ini mungkin terlihat tidak terlalu besar, terlebih bila dibandingkan dengan angka kemiskinan nasional yang pada 2005 mencapai 15,97%. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menanggulangi Kemiskinan di Ibukota
Namun untuk sebuah kota metropolitan sebesar dan semakmur Jakarta, angka dan trend kemiskinan sebesar ini menjadi sangat memprihatinkan. Dilihat dari peta kemiskinan (poverty map), persebaran kemiskinan di Jakarta terjadi secara tidak merata. Kasus kemiskinan di Jakarta terlihat terkonsentrasi di Jakarta Utara (lihat tabel 2). Dari tahun ke tahun, Jakarta Utara secara konsisten menempati kasus tertinggi dalam kemiskinan. Urutan kedua ditempati oleh Jakarta timur. Kombinasi kedua wilayah ini secara agregat mendominasi sekitar 60% kasus kemiskinan di Jakarta. Sedangkan kasus kemiskinan terendah ditempati Kepulauan Seribu dan Jakarta Selatan.
205
D
iakui atau tidak, Jakarta ternyata tidak memiliki strategi penanggulangan kemiskinan secara khusus dan komprehensif. Dalam dokumen
pembangunan daerah terakhir yaitu Rencana Strategis
Pertumbuhan dengan Ketimpangan Sosial
Daerah (Renstrada) 2002-2007, tidak terdapat programprogram pengentasan kemiskinan yang spesifik dan ter arah. Dengan demikian, pengentasan kemiskinan lebih banyak didasarkan pada strategi makro yang berbasis pada pertumbuhan. Strategi pengentasan kemiskinan konvensional umumnya berbasis pada strategi pertumbuhan ekonomi. Hal ini merupakan implikasi dari pendefinisian kemiskinan hanya
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Bekerja untuk Ibukota
sebagai masalah ekonomi belaka, yaitu ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Namun strategi berbasis pertumbuhan ekonomi kini semakin tidak efektif untuk mengentaskan kemiskinan. Kemiskinan tetap persisten walau berada di tengah tingkat pertumbuhan yang meyakinkan1. Pertumbuhan ekonomi semakin dirasakan tidak mencukupi untuk mengentaskan kemiskinan2. Di Jakarta, pertumbuhan ekonomi juga terlihat semakin tidak efektif dalam mengentaskan kemiskinan. Setelah mengalami pertumbuhan ekonomi negatif pada 1998 dan 1999 masing-masing sebesar -17,6% dan -1,3% akibat krisis ekonomi, perekonomian DKI Jakarta mulai pulih pada tahun 2000, dan terus menguat pada tahun-tahun
206
berikutnya. Namun, herannya, di saat pertumbuhan ekonomi terus menguat, angka kemiskinan justru semakin meningkat secara signifikan.
Strategi Lima Pro
S
trategi pengentasan kemiskinan kota dapat di lakukan dalam lima kerangka kebijakan yang memihak orang miskin (pro-poor), kita sebut saja
ia dengan strategi 5-PRO (lihat tabel 6). Pro yang pertama, mendorong pertumbuhan ekonomi 1 Joseph E. Stiglitz. Globalization and Its Discontents. New York: W.W. Norton & Company, Inc., 2002, hal. 5. 2 Gerald M. Meier. “The Old Generation of Development Economists and the New”, in Gerald M. Meier and Joseph E. Stiglitz. eds., Frontiers of Development Economics: The Future in Perspective. Washington, D.C.: Oxford University Press, Inc., 2001, hal. 24.. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menanggulangi Kemiskinan di Ibukota
yang berbasis pada masyarakat secara luas (pro-poor growth). Pembangunan ekonomi harus berorientasi pada sektor riil. Fokus pembangunan pada sektor riil bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya de ngan tujuan akhir penurunan kemiskinan. Kebijakan disini dapat berfokus pada: (i) dukungan kebijakan dan institusi untuk sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja; (ii) revitalisasi program PPMK untuk pemberdayaan UKM dan ekonomi rakyat melalui penciptaan pasar kredit mikro yang fleksibel, membangun kemitraan, membuka jaringan pemasaran dan asistensi dalam manajemen dan teknologi produksi; (iii) revitalisasi Balai Latihan Kerja sebagai wadah pencetak tenaga trampil dan wirausahawan baru. Pro-poor growth juga dapat diraih melalui usaha pengem bangan ekonomi kerakyatan, sektor informal dan UKM. Pembangunan sektor informal dan UKM akan memiliki dampak yang besar pada pengentasan kemiskinan dan penurunan kesenjangan pendapatan. Kebijakan terkait disini antara lain: (i) Menghentikan penggusuran dan penghilangan hak berusaha secara paksa serta meng hormati hak-hak ekonomi rakyat miskin; (ii) mengatur dan menegakkan regulasi atas pasar dan ritel modern, termasuk ketentuan jarak dengan pasar tradisional dan penyediaan lahan untuk UKM; (iii) meningkatkan daya saing pasar tradisional, termasuk revitalisasi manajemen pengelola pasar; (iv) pembinaan terhadap pedagang kaki lima (PKL), termasuk pengembangan PKL potensial di lokasi yang kondusif.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
207
Bekerja untuk Ibukota
Selain itu pemerintah juga harus mendorong pembangunan daerah kumuh kota. Penduduk miskin banyak terkonsentrasi di daerah kumuh. Maka pengembangan ekonomi daerah kumuh akan memiliki banyak dampak pada pengentasan kemiskinan. Kebijakan yang dapat didorong disini antara lain: (i) mendukung secara aktif program pembangunan rusun; (ii) pembangunan infrastruktur di daerah kumuh, dan perbaikan dan rehabilitasi daerah tempat tinggal orang miskin. Pro yang kedua adalah mendorong penciptaan anggaran daerah yang memihak kepada kepentingan rakyat miskin (pro-poor budgeting). Langkah terpenting disini
208
adalah penghapusan pemborosan dan korupsi di APBD. Penghematan dan penghapusan korupsi dalam anggaran negara, akan memberi sumber dana yang signifikan bagi pembiayaan program pengentasan kemiskinan. Kebijakan penghematan APBD antara lain dengan penciptaan mekanisme anggaran yang dapat menjamin bahwa pengeluaran-pengeluaran pemerintah berada pada tingkat yang wajar, menghapus kegiatan-kegiatan pejabat publik yang tidak bermanfaat bagi rakyat miskin, serta menghapus duplikasi kegiatan yang dilakukan oleh berbagai instansi. Pada saat yang sama, pola belanja publik juga harus diperbaiki agar semakin berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Termasuk diantaranya ialah alokasi dana untuk pelayanan publik dasar (kesehatan dan
pendidikan),
pemberdayaan
ekonomi
rakyat,
serta pembiayaan UKM dan sektor informal. Kapasitas
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menanggulangi Kemiskinan di Ibukota
fiskal pemerintah kota juga dapat ditingkatkan melalui upaya-upaya yang serius untuk menyelamatkan dan menjaga aset-aset daerah serta pengelolaan BUMD yang profesional. Pro yang ketiga adalah mendorong pembangunan infrastruktur yang berpihak pada kepentingan orang miskin (Pro-poor infrastructure). Pengalaman di banyak negaranegara, dan juga dari pengalaman Indonesia sendiri, menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur adalah salah satu cara yang paling efektif untuk menurunkan kemiskinan. Untuk kasus DKI Jakarta, infrastruktur yang penting dan sangat mendesak pengadaannya
209
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Kota di DKI Jakarta Strategi
Kebijakan
1. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada: (i) penciptaan luas (pro-poor growth) lapangan kerja, (ii) mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat, (iii) serta pembangunan daerah kumuh. 2. Penciptaan anggaran negara yang (i) Penghapusan pemborosan dan korupsi anggaran; (ii) memperbaiki pola memihak rakyat miskin (pro-poor alokasi pengeluaran pemerintah; dan (iii) meningkatkan kapasitas fiskal budgeting) pemerintah kota. 3. Pembangunan infrastruktur yang (i) Investasi pada infrastruktur transportasi massal; (ii) infrastruktur memihak orang miskin (pro-poor pengendali banjir; dan (iii) investasi pada infrastruktur pengolahan sampah dan limbah infrastructure). 4. Pelayanan publik dasar yang memihak masyarakat luas (pro-poor services)
(i) melakukan reformasi birokrasi; (ii) mewujudkan layanan administrasi publik yang mudah, cepat dan pasti; (iii) memperbaiki pendidikan; dan (iv) memperbaiki kesehatan
5. Kebijakan pemerataan dan distribusi (i) Memperbaiki pentargetan dari program perlindungan sosial, (ii) pendapatan yang memihak rakyat memperbaiki akses pemilikan tanah dan perlindungan lingkungan hidup, miskin (pro-poor income distribution) dan (iii) membangun institusi keuangan mikro yang fleksibel Sumber: analisis penulis
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Bekerja untuk Ibukota
adalah infrastruktur transportasi dan pengendali banjir. Infrastruktur transportasi kota perlu diperbaiki dan ditingkatkan dengan caramembangun sistem transportasi massal kota yang murah, cepat dan nyaman (mass rapid transportation), yaitu dengan melanjutkan pembangunan busway dengan memperbaiki manajemen teknis dan operasional-nya, merevitalisasi dan meningkatkan cakupan angkutan kereta api, serta merintis pembangunan subway dan angkutan air kota; dan mengendalikan pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi dan infrastruktur pendukungnya, termasuk jalan tol dalam kota. Investasi infrastruktur kota yang penting juga adalah inves
210
tasi pada infrastruktur pengolahan sampah dan limbah. Pengolahan sampah dan limbah di DKI Jakarta adalah buruk yang memberi dampak buruk pada tingkat kesehatan orang miskin. Pemerintah kota harus aktif dalam mendorong pembiayaan pembangunan sistem pengelolaan sampah dan limbah secara terpadu, menghasilkan nilai tambah ekonomi, dan ramah lingkungan. Pro yang keempat adalah mendorong penyediaan pelayanan publik dasar yang berpihak pada kepentingan masyarakat secara luas (Pro-poor public services). Hal terpenting dilakukan disini adalah memperbaiki administrasi publik melalui Birokrasi yang bersih, efisien, dan murah, adalah bentuk keberpihakan yang paling nyata bagi rakyat miskin. Reformasi dilakukan dengan: (i) Merintis “Citizen Charter” untuk komitmen standar
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menanggulangi Kemiskinan di Ibukota
pelayanan minimum untuk pelayanan publik dan (ii) Menjadikan pelayanan publik sebagai wilayah bebas korupsi (“Pakta Integritas”. ) Selain itu memperbaiki pendidikan adalah penting bagi pengentasan kemiskinan. Perbaikan dalam pendidikan semestinya berfokus pada usaha mewujudkan jamin an pendidikan 12 tahun bagi seluruh masyarakat, me ningkatkan mutu pelayanan pendidikan termasuk dengan standarisasi penyelenggaraan pendidikan, peningkatan kesejahteraan guru dan meningkatkan kuantitas dan kualitas fasilitas pendidikan. Memperbaiki kesehatan juga krusial dalam pengentasan kemiskinan. Perbaikan tingkat kesehatan akan menurunkan jumlah penderita sakit dan menaikkan produktivitas orang miskin. Pembangunan sektor kesehatan semestinya difokuskan pada upaya mendorong usaha-usaha preventif daripada kuratif, mewujudkan jaminan kesehatan secara menyeluruh bagi masyarakat, serta meningkatkan mutu pelayanan kesehatan baik dalam aspek infrastruktur dan fasilitas kesehatan. Pro yang kelima adalah mendorong kebijakan pemerataan dan distribusi pendapatan yang memihak rakyat miskin (Pro-poor income distribution). Program terpenting disini adalah memperbaiki pentargetan dari program perlin dungan sosial seperti program gakin dan raskin. Program perlindungan sosial yang ada, seringkali gagal mencapai orang miskin. Dibutuhkan sistem identifikasi orang Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
211
Bekerja untuk Ibukota
miskin yang murah dan akurat. Selain itu perlu dilakukan pengembangan program perlindungan sosial yang bersifat community-based targeting dan self-targeting. Distribusi pendapatan dapat dilakukan dalam derajat yang lebih tinggi melalui perbaikan akses pada pemilikan lahan oleh orang miskin. Aset terpenting bagi penduduk miskin adalah tanah. Kepastian dalam kepemilikan tanah akan mendorong pengelolaan dan produktivitas dari tanah. Maka pemerintah kota harus memfasilitasi proses sertifikasi tanah yang murah dan mudah, menghentikan penggusuran-penggusuran yang tidak manusiawi dan tidak memberikan alternatif solusi, menyelesaikan sengketa
212
tanah terutama antara rakyat dan perusahaan besar secara adil, dan bahkan mendorong BUMD menghibahkan tanah tidur mereka kepada rakyat miskin. Selain itu, penting pula bagi pemerintah kota untuk membangun jasa keuangan mikro yang mudah dan fleksibel. Kesulitan yang sering mengemuka dari rakyat miskin bukanlah masalah cost of fund yang mahal, melainkan akses ke pembiayaan yang mudah dan fleksibel. Rakyat miskin umumnya lebih memilih pembiayaan dengan prosedur peminjaman yang sederhana walaupun harus membayar mahal. Hal ini merupakan cermin nyata bagaimana ketersediaan pasar kredit yang fleksibel sangat mendesak. Karena itu, implementasi kebijakan ini secara efektif terlihat menjadi lebih penting daripada kebijakannya itu sendiri. Revitalisasi program PPMK
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Menanggulangi Kemiskinan di Ibukota
sebagai program pembiayaan mikro yang mudah dan fleksibel namun tetap profesional, nampak menjadi pilihan yang menjanjikan. *) Disampaikan dalam diskusi bulanan The Jakarta Institute, Februari 2008
213
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Rumah Untuk
Warga Marjinal
P
embangunan perumahan untuk rakyat miskin kota yang layak, sehat dan nyaman, adalah salah satu cerita kelabu pembangunan di DKI Jakarta.
Data menunjukkan bahwa selama 15 tahun terakhir (19902005), hanya 21.878 unit rusun yang mampu dibangun di Jakarta. Bandingkan dengan pembangunan apartemen dan real estate, yang berturut-turut mencapai 26.205 dan 104.304 unit pada rentang waktu yang sama. Sementara
214
saat ini dibutuhkan sedikitnya 125.000 unit rusun untuk rumah tangga miskin di DKI Jakarta, yang pada 2005 berjumlah sebesar 150.492 rumah tangga. Rakyat miskin kota yang tidak memiliki tempat tinggal inilah yang menciptakan permukiman kumuh dan padat serta permukiman liar di bantaran sungai, bawah jembatan, dan jalur hijau. Selain rendahnya pasokan rumah murah, faktor lain penyebab permukiman liar dan kumuh, adalah tata ruang perkotaan yang tidak jelas dan nilai tanah yang tinggi. Sistem atas hak tanah yang kompleks, dimana terdapat tujuh macam hak atas tanah mulai dari hak milik sampai hak guna sementara, dan biaya sertifikasi tanah yang mahal, semakin menyulitkan warga miskin. Akibatnya mereka terpaksa tinggal di kawasan padat dan tanah-tanah ilegal. Hal ini diperburuk dengan lemahnya manajemen Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Rumah Untuk Warga Marjinal
perumahan. Akibatnya, permukiman kota tumbuh secara tidak terencana dan tingkat efisiensi kawasan menjadi sangat rendah.
S
ecara nasional, komitmen pembangunan rumah bagi rakyat miskin masih relatif rendah. Pada periode sebelum krisis (1993-1998), pembangunan
rumah sederhana sehat (RSH) per tahun rata-rata 136.000
Komitmen Pembangunan Rumah Rakyat
unit. Namun pada periode 2000-2004, pembangunan RSH anjlok menjadi hanya sekitar rata-rata 40.000 unit per tahun. Padahal, pertumbuhan kebutuhan rumah mencapai 800 ribu unit per tahun, dengan defisit pasokan perumahan (backlog) mencapai 5,93 juta unit. Pada era SBY-JK, perkembangan-nya juga tidak menggembirakan. Di tahun 2004, pembangunan RSH tercatat hanya 50.150 unit. Sedangkan di tahun 2005, hanya mencapai 78.287 unit, jauh dari target Kementrian Perumahan Rakyat yang mematok target 225.000 unit RSH. Program pembangunan RSH selama ini gagal mencapai target setidaknya karena 8 alasan utama: (i) terbatasnya ketersediaan dan tingginya harga lahan terutama di daerah perkotaan; (ii) lambatnya proses sertifikasi tanah, izin lokasi, dan izin mendirikan bangunan; (iii) terbatasnya penyediaan kredit oleh perbankan serta lambatnya sosialisasi tentang mekanisme dan prosedur penyaluran subsidi KPR RSH oleh cabang-cabang perbankan di daerah; (iv) lambatnya proses pengalihan hak atas tanah Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
215
Bekerja untuk Ibukota
pemerintah daerah untuk kolateral kredit konstruksi pembangunan perumahan PNS; (v) terbatasnya kapasitas peminjaman masyarakat untuk mendapatkan KPR RSH; (vi) bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang memberatkan konsumen; (vii) terbatasnya dukungan penyediaan listrik kapasitas 450-900 watt dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan air minum dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM); dan (viii) meningkatnya harga bahanbahan bangunan sehingga harga per unit RSH menjadi tidak terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.
216
Rusun dan Perumahan Rakyat Miskin Kota
P
ada pertengahan Agustus 2006, pemerintah mencanangkan program pembangunan 1.000 menara rumah susun (rusun) untuk rakyat miskin
selama tiga tahun ke depan. Rencananya program tersebut akan dilaksakanan di seluruh kota di Indonesia yang berpenduduk diatas dua juta orang. Pasca banjir besar Februari 2007 di Jakarta, rencana ini semakin menguat dengan fokus utama diarahkan pada pembangunan rusun di DKI Jakarta, khususnya bagi warga miskin yang tinggal di bantaran sungai. Program pembangunan rusun ini menjawab tuntutan akan besarnya permintaan rumah, khususnya untuk kalangan
bawah-menengah
perkotaan.
Selain
itu,
langlah ini juga akan membawa berbagai hasil positif. Termasuk di antaranya menghilangkan kawasan kumuh, menjaga lingkungan, meningkatkan efisiensi lahan dan Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Rumah Untuk Warga Marjinal
kawasan, mendekatkan penduduk dengan tempat kerja , mengurangi arus transportasi, kemacetan dan polusi, serta BBM. Dampak ekonomi dari program ini juga amat berarti di tengah kelesuan ekonomi. Sektor perumahan memiliki multiplier effect yang besar melalui dampaknya ke penyerapan tenaga kerja dan produksi industriindustri pendukung yang tersebar luas mulai dari industri kecil seperti pasir dan batu bata hingga industri besar seperti semen, keramik, besi-baja, listrik, dan air bersih. Dalam konteks politik luar negeri, program ini juga akan memberi citra positif bagi DKI Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya di mata dunia internasional terkait dengan usaha pemenuhan agenda global seperti agenda21/Habitat, cities without slums (CWS) initiatives, dan millenium development goals (MDGs). Untuk DKI Jakarta, pembangunan rusun ini akan menjadi titik balik dalam pembangunan perumahan kota, yang selama ini didominasi rumah horizontal (landed house). Hunian horizontal kota yang berorientasi komersial selama ini dibiarkan berkembang dan bahkan difasilitasi pemerintah. Sedangkan hunian vertikal (rusun) tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Dominasi pola hunian horizontal di Jakarta telah menyebabkan segregasi sosial dan fungsional beserta segenap implikasi yang ditimbulkannya. Akibatnya, perumahan kota hanya mampu diakses kelompok kaya, sedangkan kelompok menengah tergeser ke pinggiran kota mencari rumah dengan harga yang lebih terjangkau. Sementara itu,
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
217
Bekerja untuk Ibukota
kelompok miskin akan terkonsentrasi di pemukiman kumuh dan pemukiman liar, seperti di bantaran sungai dan bawah jembatan. Keberhasilan dari rencana pembangunan rusun ini membutuhkan banyak prasyarat penting.
Keberhasilan dari rencana pembangunan rusun ini mem butuhkan banyak prasyarat penting. Pertama, komitmen Pemprov DKI Jakarta. Komitmen pemprov harus terwujud dalam bentuk dukungan nyata seperti penyediaan tanah, sertifikasi tanah dan perizinan yang mudah dan murah, serta menghapus high-cost economy. Pembebasan lahan selama ini sering menjadi kendala utama dalam pembangunan infrastruktur di Jakarta, termasuk rusun. Kedua, dukungan dari pemerintah pusat dan DPR. Ren
218
dahnya daya beli masyarakat dan tingginya harga rumah di satu sisi, harus diimbangi dengan komitmen politik untuk mendorong kesejahteraan rakyat miskin melalui kebijakan subsidi, pembebasan pajak dan ketersediaan kredit untuk pengembang rusun. Ketiga, revitalisasi BUMN, khususnya Perumnas, PLN, dan PDAM. Perumnas kini tidak lagi berkontribusi da lam pembangunan RSH karena dituntut menghasilkan keuntungan, padahal mereka memiliki banyak cadangan tanah yang belum digunakan. Sedangkan dukungan PLN dan PDAM mutlak dibutuhkan untuk pasokan listrik 450900 watt dan air bersih. Komitmen pemerintah pusat dan DPR untuk pembangunan rusun nampak sudah cukup optimal. Pembebasan PPN,
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Rumah Untuk Warga Marjinal
subsidi selisih bunga, dan anggaran pembangunan rusun, sudah disiapkan pemerintah pusat dan DPR. Departemen PU dan Kementrian Perumahan Rakyat bahkan sudah siap untuk segera membangun 19 twin blok rusun untuk 70.000 keluarga di sepanjang bantaran sungai Ciliwung. Sayangnya, komitmen BUMN strategis belum terlihat. Pemprov DKI Jakarta juga belum melangkah jauh, seperti penyediaan lahan. Langkah penting lain yang juga perlu dilakukan Pemprov adalah mendapatkan komitmen pengembang besar sekaligus penegakan hukum untuk merealisasikan kewajiban
pembangunan
rusun
murah.
Konsep
pembangunan perumahan 1-3-6 bisa dipertimbangkan
219
untuk dihidupkan kembali dengan sejumlah catatan seperti pengawasan dan penegakan hukum, insentif dan penghargaan untuk pengembang yang patuh, dll.
E
valuasi terhadap pembangunan rusun di DKI Ja karta, memperlihatkan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pengambil kebijakan. Per
Menuju Kebijakan Perumahan bagi si Lemah
tama, masalah sosial-budaya. Memindahkan warga miskin dari pemukiman kumuh dan bantaran sungai ke rusun adalah tidak mudah. Rusun sudah ada di Jakarta sejak puluhan tahun yang lalu. Namun persepsi warga mis kin terhadap rusun cenderung tidak berubah positif. Hal ini terjadi karena berpindah dari landed house ke rusun membutuhkan berbagai pengorbanan yang tidak kecil. Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Bekerja untuk Ibukota
Akan ada perubahan gaya hidup, hilangnya kohesi dan modal sosial, bahkan hingga hilangnya mata pencaharian. Beberapa rusun mencoba membuat latihan ketrampilan dan menyediakan lantai dasar sebagai tempat usaha, namun tidak berhasil. Wacana membangun rusun di dekat lokasi asal warga juga tidak mudah dilakukan mengingat keterbatasan lahan. Rusun yang ideal membutuhkan lahan yang cukup luas untuk sarana dan prasana penunjang seperti taman, sekolah, balai kesehatan, serta arena bermain dan olahraga. Lokasi yang cocok untuk rusun ideal seperti ini seperti di Berland dan Manggarai, sangat terbatas di Jakarta.
220
Kedua, masalah rendahnya daya beli. Rusun yang telah dibangun untuk warga miskin kini kebanyakan telah beralih kepemilikan ke kelompok menengah. Karena hal ini kemudian pemerintah mengubah pola pembangunan rusun dari rusun hak milik (rusunami) menjadi rusun sewa (rusunawa). Namun hal ini juga belum mengubah situasi. Bagi warga miskin, biaya sewa Rp 100.000,- per bulan tetap dirasakan masih tinggi. Belum terhitung biaya listrik, air bersih, dan kebutuhan hidup lainnya. Namun pola subsidi untuk penghuni miskin rusunawa –seperti yang dilakukan Yayasan Tzu Chi di Cengkareng- jelas pilihan yang mahal dan sulit dipertahankan dalam jangka panjang. Rusunawa nampak lebih tepat untuk kelompok bawah yang memiliki penghasilan tetap seperti buruh, sehingga tetap ada cost recovery.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Rumah Untuk Warga Marjinal
Sedangkan
untuk
penataan
permukiman
kumuh,
dibutuhkan langkah-langkah yang lebih kompleks. Proyek penataan pemukiman kumuh di Jakarta yang paling ambisius adalah KIP (kampung improvement program) yang dilakukan pada 1969-1999 dengan bantuan dana Bank Dunia. Proyek ini berhasil meningkatkan kualitas perumahan dan infrastruktur warga miskin. Namun KIP belum mampu menjawab secara tuntas masalah permukiman kumuh di Jakarta untuk beberapa alasan. Pertama, infrastruktur yang dibangun KIP tidak terintegrasi dengan infrastruktur utama kota dan lemahnya perhatian terhadap pengoperasian dan perawatan (O&M). Kedua, manfaat KIP pada warga miskin kurang terlihat dalam jangka panjang. Kampung KIP yang telah berubah menjadi lebih baik dan nilainya meningkat, umumnya berpindah kepemilikan dan tergeser oleh pembangunanpembangunan baru seperti real-estate. Ke depan, Jakarta membutuhkan perubahan paradigma yang mendadsar dalam pengelolaan kota. Jakarta tidak lagi memutuhkan sekedar paradigma “integrated infrastructure”, namun sudah harus melangkah ke paradigma “sustainable urban development”. Peningkatan kualitas permukiman kumuh dalam jangka pendek, harus terintegrasi dengan pembangunan jaringan infrastruktur kota. Dalam jangka panjang, penghapusan permukiman kumuh dicapai dengan mendorong kemitraan, partisipasi masyarakat dan mencapai pembangunan berkelanjutan. Dalam konteks ini, program penghapusan kawasan kumuh
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
221
Bekerja untuk Ibukota
tidak hanya berpusat pada pembangunan infrastruktur seperti sanitasi, pengolahan sampah, listrik dan air bersih, namun juga mencakup pembangunan sosial, ekonomi, lingkungan dan pemerintahan seperti sertifikasi tanah, mitigasi bencana, relokasi ke pemukiman yang lebih baik dengan insentif dan asistensi, membangun keahlian komunitas dan dukungan kredit mikro, serta membangun ruang-ruang publik seperti taman, perpustakaan dan ruang bermain. *) Disampaikan dalam Diskusi bulanan The Jakarta Institute, November 2007
222
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Tanggungjawab Bekerja
untuk Negeri
“S
ebaik-baik
kalian
adalah
yang
paling
bermanfaat bagi orang lain”, begitu bunyi salah satu hadist atau ucapan dari Nabi Muhammad
SAW. Secara substantif, seruan ini memiliki dimensi sosial yang sangat luas dan tidak mengenal batasan agama. Artinya, seruan ini sangat relevan untuk semua agama dan semua kelompok jika ingin membentuk lingkungan yang lebih baik. Ketika semua kekuatan yang ada pada suatu lingkungan/wilayah bersinergi yang didasarkan atas seruan ini, maka dapat dibayangkan output yang dihasilkan untuk kebaikan lingkungan tersebut dan orang-orang yang berada didalamnya. Demikian pula jika dimensinya kita buat dalam wilayah yang lebih luas yaitu sebuah negeri. Dalam konteks ke-Indonesiaan, kemanfaatan bagi orang lain diwujudkan dalam tradisi gotong royong yang ada di masyarakat kita yang sayangnya kini semakin ditinggal seiring dengan berkembangnya masyarakat yang semakin individualis Ini pula yang sesungguhnya ingin dihadirkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari eksistensi dan aktivitasnya di bumi Indonesia, yaitu memberi manfaat bagi seluruh penduduk negeri ini. Manfaat yang tidak mengenal
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
223
Bekerja untuk Ibukota
batasan wilayah kepulauan, administratif, etnik maupun agama,yaitu menjadikan Indonesia yang adil, sejahtera dan bermartabat. Manfaat ini hanya bisa terwujud jika ada kerja-kerja yang nyata dari sebuah institusi partai beserta kader-kadernya. Kerja-kerja nyata dan memberikan manfaat bagi bangsa menjadi semakin dibutuhkan jika dikaitkan dengan kondisi bangsa saat ini yang carut marut dan menghadapi berbagai persoalan. Negeri ita kita saat ini menghadapi persoalan dan tantangan yang semakin berat dan kompleks. Kesejahteraan penduduk masih rendah yang ditunjukkan oleh berbagai indikator kesejahteraan maupun ketimpangan antar
224
wilayah dan antar kelompok masyarakat yang terlihat jelas secara kasat mata. Meskipun pendapatan per kapita sudah menunjukkan Indonesia masih kelompok negara menengah, namun produk dometik bruto (PDB) yang mencapai lebih dari Rp. 6400 triliun, sekitar 70%-nya hanya dinikmati oleh 20% penduduk. Indikator berupa Income Gini coefficient yang mencapai 0,37 , menunjukkan adanya realitas ketimpangan pendapatan di negeri ini. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) pada tahun 2010-pun masih berada pada urutan ke 108 dari 169 negara. Tingkat kemiskinan masih tinggi ,dan ada sekitar 30 juta penduduk yang hidup dengan pendapatan kurang dari 1,25 dollar per hari. Angka tingkat partisipasi sekolah baru mencapai 68,2%, dengan rata-rata bersekolah baru 5,7 tahun walaupun kita memiiliki program wajib belajar
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Tanggungjawab Bekerja untuk Negeri
9 tahun. Pada sektor kesehatan, kondisinya juga masih memprihatinkan. Angka kematian balita masih mencapai 41 per 1000 kelahiran ,dan pengeluaran penduduk untuk kesehatan baru mencapai 1,2% dari PDB. Negeri yang gemah ripah loh jinawi ini tiba-tiba menjadi sangat panik dengan kenaikan harga minyak bumi karena kita sudah menjadi negara pengimpor minyak. Repotnya lagi, BBM ini juga sangat dibutuhkan untuk pembangkit listrik yang sudah ada. karena minimnya pengembangan sumber energi alternatif dan terbarukan. Padahal listrik juga sangat dibutuhkan oleh industri, dunia bisnis dan rumah tangga . Artinya untuk setiap kenaikan harga minyak bumi, akan ada dampak berantai yang dahsyat terhadap perekonomian . Gas bumi yang menjadi alternatif andalan, justru dikelola dengan kebijakan yang tidak tepat. Sehingga, industri yang membutuhkan gas justru kolaps. Ini terjadi akibat gas bumi lebih banyak diekspor dengan nilai yang rendah karena tuntutan kontrak yang terlanjur disepakati. Demikian pula kita sebagai negara agraris menjadi sangat resah dengan kenaikan harga pangan dunia . Sumberdaya alam yang berlimpah tidak menjadikan Indonesia menjadi negara produsen dan pengeskpor komoditas yang unggul. Bahkan untuk bersaing secara ekonomi, Indonesia juga masih tertatih-tatih untuk bersaing dengan negara tetangga. Data World Competitiveness Index tahun 2009 ,menempatkan Indonesia masih pada peringkat ke
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
225
Bekerja untuk Ibukota
48, tertinggal dari negara sekitarnya. Sementara dalam bidang pertahanan, kita seakan tidak berdaya dengan pelanggaran batas wilayah yang dilakukan oleh negara lain ataupun menghadapi perompak dari negara Afrika yang menyandera kapal Indonesia.
Bekerja adalah Tanggungjawab
B
ekerja bagi negeri adalah sebagai wujud rasa syukur atas nikmat kemerdekaan dan kita dapat berdemokrasi dengan damai. Ketika
banyak negara yang gagal melakukan transisi demokrasi dengan mulus tanpa menimbulkan konflik horizontal yang berkepanjangan, perang sipil dan memakan
226
banyak korban, kita dapat menjalaninya dengan relatif mulus. Bekerja untuk negeri juga merupakan wujud tanggungjawab sebagai salah satu komponen bangsa untuk ikut memajukan negeri ini, menjadikannya bangsa yang besar, terhormat dan disegani oleh bangsa lain. Bukan sebaliknya, menjadi bangsa yang kerap direndahkan dan dilecehkan oleh bangsa lain yang lebih kecil dari kita. Terminologi bekerja dalam konteks ini adalah kerja yang bukan hanya melakukan sesuatu, tetapi kerja yang terstruktur dan terukur. Hasil kerja tersebut harus dapat dinilai hasilnya dalam bentuk manfaat yang diterima masyarakat. Sehingga kerja yang dilakukan bukan hanya dilihat dari sisi kuantitas yang dikerjakan, tetapi juga dilihat dari aspek kualitas kerja.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Tanggungjawab Bekerja untuk Negeri
PKS memandang bahwa semua aktivitas kepartaian yang dilakukan harus memberikan hasil yang nyata sepanjang waktu. Ini berarti, kerja-kerja yang dilakukan harus hadir setiap saat, bukan hanya menjelang pesta demokrasi. Secara sederhana , ukurannya adalah apakah aktivitas, kerja bahkan ucapan para kader, anggota legislatif dan pejabat publik dari PKS memberikan kontribusi bagi perbaikan negeri ini walau sekecil apapun. Bekerja untuk negeri tidak harus dilakukan setelah memegang tampuk posisi tertentu. Bekerja sebagai tanggungjawab harus dilakukan, dengan atau tanpa jabatan yang diemban. Bekerja untuk negeri harus dilakukan dimanapun posisi PKS dalam pemerintahan. Di dalam barisan koalisi ataupun diluar koalisi. Tidak boleh ada yang menghambat atau menghalangi keinginan PKS untuk bekerja bagi negeri. Karena sekali lagi, bagi PKS, bekerja untuk negeri adalah perwujudan rasa syukur atas negeri yang indah ini, serta bentuk tanggungjawab untuk menegakkan kebesaran Indonesia di mata dunia. Bekal label sebagai partai da’wah dan partai Islam, tidak lantas mempersempit ruanglingkup kinerja. PKS tidak hanya berda’wah dan bekerja untuk ummat Islam, sembari menomorduakan bekerja untuk negeri. Bagi PKS, tanggungjawab membangun negeri adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan tanggungjawab da’wah dan membangun ummat. Sebagaimana yang sudah dilakukan melalui peran PKS dalam berbagai aksi kemanusiaan dalam penanggulangan bencana di bumi Indonesia.
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
227
Bekerja untuk Ibukota
Buku Tanpa Judul
K
ini
terbukti,
banyak
pihak
yang
gagal
membuktikkan ucapan dan janji mereka saat mencapai posisi serta jabatan yang diidam-
idamkan. Tidak ada manfaat jabatan dan otoritas yang dimilikinya. Seperti sebuah buku yang memiliki judul yang dahsyat, namun tidak ada isi dari buku terebut yang layak menjadi pelajaran. Sebaliknya bagi PKS, jika diperlukan, menjadi sebuah buku tanpa judul, namun berisi ilmu dan pengetahuan akan jauh lebih terhormat . Semangat bekerja untuk negeri adalah keinginan untuk memiliki semangat
seperti para pejuang negeri ini
dalam meraih kemerdekaan. Tidak ada satupun pejuang
228
kemerdekaan yang merasa bahwa segala jerih payah dan pengorbanan mereka haruslah tercatat secara formal. Ini berarti, semangat untuk berperan dan menebar manfaat , haruslah atas dasar kecintaan pada Indonesia. Semangat berperan bukanlah semangat untuk mengejar, jabatan, posisi, akses dan sebagainya. Inilah mengapa,
ketika
gonjang-ganjing koalisi dihembuskan, PKS tetap tenang dan tidak terpengaruh. Karena, bagi PKS, bekerja untuk Indonesia harus dilakukan didalam atau diluar koalisi.. Melalui Milad ke-13 ini, PKS ingin menegaskan komitmen untuk bekerja untuk negeri. Komitmen ini digerakkan pada seluruh daerah dan level struktur partai di seluruh Indonesia. Reformasi yang sudah hampir 13 tahun belum memberikan perubahan berarti dan harus dikembalikan pada rel perbaikan melalui kerja dan
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia
Tanggungjawab Bekerja untuk Negeri
kontribusi yang nyata. Berbagai ujian dam terpaan dari berbagai sumber yang saat ini dihadapi oleh PKS justru menjadikan seluruh kader dan struktur semakin solid. Seperti pohon yang semakin besar, semakin besar pola terpaan angin yang menghantam, namun semakin kuat pula akarnya menghujam. Momentum inilah yang ingin dipakai oleh PKS untuk menggerakan struktur dan kader dalam mewujudkan komitmen bekerja untuk Indonesia.
*) Dimuat di Harian Republika 16 April 2011, untuk Milad PKS ke 13 di Jakarta
229
Jakarta: Modernitas dan Pembangunan Manusia