Tradisionalitas …
TRADISIONALITAS DAN MODERNITAS PENDIDIKAN ISLAM Jaya, S.Ag.,M.Pd A. Pendahuluan Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang sangat panjang. Pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, di mana Islam lahir dan pertama kali berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan merupakan sebuah transformasi besar. Sebab, masyarakat Arab pra-Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem pendidikan formal. Pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara. Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan umumnya bersifat informal; dan inipun lebih berkaitan dengan upaya-upaya dakwah Islamiyah atau penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan serta ibadah Islam. Dalam kaitan itulah bisa dipahami kenapa proses pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah sahabat tertentu; yang paling terkenal adalah Dar al-Arqam. Tetapi ketika masyarakat Islam sudah terbentuk, maka pendidikan diselenggarakan di masjid-masjid atau surau. Pendidikan formal Islam baru muncul pada masa lebih belakangan, yakni dengan kebangkitan madrasah. Secara tradisional sejarawan pendidikan Islam, seperti Munir ud-Din Ahmed, George Maksidi, Ahmad Syalabi dan Michael Stanton menganggap, bahwa madrasah pertama dirikan oleh Wazir Nizaham al-Mulk pada 1064. Madrasah ini kemudian terkenal sebagai Madrasah Nizaham al-Mulk. Sepanjang sejarah Islam, baik madrasah maupun al-jami’ah diabdikan terutama kepada al-uluym al-Islamiyyah atau tepatnya alulum al-diniyyah ilmu-ilmu agama dengan penekanan khusus pada bidang fiqh, tafsir dan hadits. Meski ilmu-ilmu seperti ini juga memberikan gerakan kepada akal untuk melakukan ijtihad, setidaknya pada masa-masa klasik, jelas ijtihad di situ bukan dimaksudkan berfikir sebebas-bebasnya. Ijtihad di sini bahkan lebih bermakna, atau pada prakteknya, sekedar memberikan penafsiran “baru” atau pemikiran “independent” yang tetap berada atau berangkat dari prinsif-prinsif doktrin yang mapan dan disepakati. Karena itu, tak heran kalau Stanton tidak berhasil membuktikan kaitan yang jelas antara lembaga pendidikan tinggi Islam dengan kemajuan berbagai cabang sains dalam peradaban Islam. Bahkan Makdisi yang menghabiskan penelitiannya tidak 41
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
menemukan tentang kaitan antara madrasah yang disejajarkan dengan “college” (strata 1 dalam system pendidikan Indonesia sekarang)- dengan kemajuan sains di masa Dinasti Abbasiyah. Ini tidak aneh, karena kurikulum seluruh madrasah yang ditelitinya sepenuhnya bermuatan ilmu-ilmu agama, yang dalam klasifikasi ilmu sekarang ini termasuk ke dalam humaniora (humanities) sama dengan Makdisi, Seyyed Hosein Nasr dalam Islamic Science: An Illustrated Study, yang merupakan salah satu magnum-opus-nya juga gagal menjelaskan peranan madrasah dalam kemajuaan sains Islam. Hanya terdapat beberapa madrasah-madrasah saja, khususnya di Persia, yang mengajarkan beberapa bidang ilmu-ilmu yang diharamkan pada madrasah-madrasah Sunni, seperti filsafat dan ilmu pasti sampai pada masa-masa lebih belakangan (Azyumardi, 2000:01). Perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indoensia, tentunya tidak lepas dari para tokoh pemikir Islam yang Lebih banyak mengembangkan pendidikan Islam pada lembaga-lembaga formal maupun in-formal seperti madrasah, pesantren, masjid dan lain sebagainya. B. Pendidikan Islam yang Tradisional dan Modern 1. Sejarah Pendidikan Islam Pendidikan saat ini telah banyak didefinisikan secara berbedabeda oleh berbagai kalangan, yang banyak dipengaruhi pandangan dunia masing-masing. Bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Pendidikan lebih daripada sekedar pengajaran, yang terakhir ini dapat dikatakan sebagai suatu proses transfer ilmu belaka, bukan transformasi nilai dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya. Pengertian pendidikan adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidkan amal. Dan karena ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat, menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat (Zakiah, 1992:28). Sementara M. Yusuf al-Qardhawi dalam Azyumardi Azra (2000:9) memberikan pengertian bahwa; “Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan ketrampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya manis dan pahitnya.
42
Tradisionalitas …
Sedangkan kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarih yang menurut bahasa berarti ketentuan masa. Sedang menurut istilah berarti “keterangan yang telah terjadi di kalangannya pada masa yang telah lampau atau pada masa yang masih ada”. Kata tarih juga dipakai dalam arti perhitungan tahun seperti keterangan mengenai tahun sebelum atau sesudah Masehi dipakai sebutan sebelum atau sesudah tarih Masehi. Dengan demikian sejarah pendidikan Islam dapat diberikan makna sebagai suatu peristiwa dari aktivitas manusia dalam usahanya membentuk kepribadian pada masa lampau lalu bersifat obyektif dan vertivikatif serta diceritakan kembali secara sistematis (Khaerul Wahidin,1997:2). Melihat dari pengertian yang ada bahwa sejarah merupakan kejadian atau peristiwa masa lalu yang dapat diceritakam kembali dengan berbagai penelitian dan penyelidikan secara menyeluruh dan dapat diceritakan kembali. Sementara itu membicarakan sejarah pendidikan Islam, Mahmud Yunus (1979:10), Sejarah pendidikan Islam dimulai sejak agama Islam masuknya ke Indonesia, yaitu kira-kira pada abad kedua belas (12) Masehi. Umunya ahli sejarah memastikan masuk Islam ke daerah Aceh itu dengan perjalanan Marco Polo. Dalam perjalananya Pulang dari Tiongkok, ia singgah di Aceh pada tahun 1292 Masehi. 2. Pendidikan Islam Tradisional dan Modern Setelah warisan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam diterima oleh bangsa Eropa dan umat Islam sudah tidak memperhatikannya lagi maka secara berangsung-angsur telah membangkitkan kekuatan Eropa dan menimbulkan kelemahan di kalangan umat Islam. Secara berangsur-angsur tetapi pasti kekuasaan umat Islam ditundukkan oleh kekuasaan bangsa Eropa dan terjadilah penjajahan dimana-mana di seluruh wilayah yang pernah dikuasai Islam. Eksploitasi kekayaan dunia Islam oleh bangsa-bangsa Eropa semakin memperlemah kedudukan kaum muslimin dalam segala segi kehidupan. Pola pembaharuan pendidikan Islam yang terjadi karena diakibatkan kelemahan dan ketinggalan kaum muslimin dari bangsabangsa Eropa, maka pada tahun 1727 M. di Istamnbul Turki mulai mencetak berbagai macam buku ilmu pengetahuan yang diterjemahkan dari buku-buku ilmu pengetahuan Barat. Di sampaing itu diadakan pencetakan al-Qur’an dan ilmu-ilmu pengetahuan agama lainnya. Tetapi rupanya tantangan dari pihak ulama dan golongan tentara yang sudah ada sebelumnya yang
43
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
disebut pasukan Yaniseri terlalu kuat sehingga pembaharuan tersebut tidak berkembang (Harun, 1982:17). Kemudian pembaharuan pendidikan sudah dirintis sebelum oleh Muhammad bin Abd al Wahab, yang kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaluddin Al- Afgani dan Muhammad Abduh (akhir abad 19 M) Menurut Jamaluddin Al-Afgani, pemurniaan ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur’an dan Hadits dalam artian yang sebenarnya, tidaklah mungkin. Ia berkeyakinan bahwa Islam adalah sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Harun Nasution, menjelaskan pemikiran Muhammad Abduh dalam pembaharuan pendidikan di Mesir menyatakan bahwa Ia juga memikirkan sekolah-sekolah pemerintah yang telah didirikan untuk mendidik tenaga-tenaga yang perlu bagi Mesir dalam lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, pendidikan dan sebagainya. Ke dalam sekolah-sekolah ini, ia berpendapat perlu dimasukan didikan agama yang lebih kuat, termassuk di dalamnya sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam. Atas usaha didirikan Majelis Pendidikan Tinggi. Muhammad Abduh melihat bahya yang akan timbul adalah system dualisme dalam pendidikan. System madrasah lama akan mengeluarkan ulama-ulama yang tak ada pengertahuannya tentang ilmu-ilmu modern, sedang sekolah-sekolah pemerintah akan mengeluarkan ahli-ahli yang sedikit pengetahuan agama. Dengan memasukan ilmu pengetahuan modern ke dalam Al-Azhar dan dengan memperkuat didikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, jurang yang memisahkan golongan ulama dari golongan ahli ilmu modern akan dapat diperkecil (Zuharini, 1985:122). Usaha pembaharuan pendidikan yang berorientasi pada nasionalisme, rasa nasionalisme timbul bersamaan dengan berkembangnya pola kehidupan modern yang dimulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat mengalami kemajuan rasa nasonalisme yang kemudian menimbulkan kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut mendorong pada umumnya bangsabangsa Timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme masing-masing. Sementara itu, Azyumardi Azra, (2000:31) gagasan modernisasi pendidikan Islam mempunyai akar-akarnya dalam gagasan “modernisme” pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan modernisme Islam. Kerangka dasar yang berada di balik “modernisme” Islam secara keseluruhan adalah bahwa “modernisme “ pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat bagi kebangkitan kaum Muslim di masa modern. Karena itu pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan haruslah modernisasi, sederhananya pemikiran 44
Tradisionalitas …
kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum Muslim dalam berhadapan dengan kemajuan dunia modern. Don Adams menjelaskan dalam Azyumardi Azra, kajian pendidikan dan modernisasi menemukan variabel yang relevan bagi transformasi pendidikan. Variabel ini dapat diterapkan dalam agenda modernisasi pendidikan Islam dalam kontes Indonesia secara keseluruhan. 1. Ideologi-normatif: Orientasi-orientasi ideologis tertentu yang diekspresikan dalam norma-norma nasional (pancasila, misalnya) menuntut sistem pendidikan untuk memperluas dan memperkuat wawasan nasional anak didik. 2. Mobilisasi politik: Kebutuhan bagi modernisasio dan pembangunan menuntut system pendidikan untuk mendidik, mempersiapkan dan menghasilkan kepemimpinan modernitas dan innovator yang dapat memelihara dan bahkan meningkatkan momentum pembangunan. 3. Mobilisasi ekonomi: Kebutuhan akan tenaga kerja yang handal menuntut system pendidikan untuk mempersiapkan anak didik menjadi SDM yang unggul dan mampu mengisi berbagai lapangan kerja yang tercipta dalam proses pembangunan. 4. Mobilisasi sosial: Peningkatan harapan bagi mobilitas sosial dalam modernisasi menuntut pendidikan untuk memberikan akses dan venue ke arah tersebut. Pendidikan Islam dengan demikian, tidak cukup lagi sekedar pemenuhan kewajiban menuntut ilmu belaka; tetapi harus juga memberikan modal dan dengan kemungkinan akses bagi peningkatan sosial. Di antara ciri-ciri gerakan modern Islam di Indonesia seperti; Pertama Mencontoh dan berorganisasi dalam sistem pendidikan (seperti adanya kelas, kurikulum dan batas waktu) serta pemikiran Barat selama hal-hal itu tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam. Kedua, Menganggap perlu pendidikan sains dan bahasa asing lain di samping bahasa Arab seperti bahasa Belanda, Inggris, Perancis dan Jerman. Gerakan ini ada yang bergerak di bidang politik seperti Serikat Islam, Persatuan Muslim Indonesia (yang pada mulanya adalah gerakan pendidikan) dan Partai Islam Indonesia. Di samping itu ada pula yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial dari sekolah Adabiyah, Surau Jembatan Besi, Sumatera Thalwalib Persatuan Muslimin Indonesia, al-Madrasah Diniyah di daerah Minangkabau, Jamiatul al-Khair, al-Irsyad, Perserikatan Ulama, Muhammadiyah dan Persartuan Islam di Jawa (Deliar Noer, 1982:37).
45
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
Pendidikan Islam yang tradisionalis adalah pendidikan yang hanya memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan. Pendidikan tradisional lebih banyak terimplementasikan dipondok pesantren yang masih menggunakan kurikulum dan metode pengajaran yang tradisional, hal ini terlihat seperti Kitab Kuning merupakan salah satu materi keagamaan yang masih bersifat tradisional. Kitab Kuning (KK) pada umumnya dipahami sebagai kitabkitab keagamaan berbahasa Arab, meggunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan pemikir Muslim lainnya di masa lampau, khususnya yang berasal dari Timur Tengah. Tetapi dalam pembahasan yang sedikit ini, saya ingin memperluas pengertian KK sebagai “kitab-kitab keagaman berbahasa Arab, Melayu atau jawa atau bahasa-bahasa lokal lain di Indonesia dengan menggunakan aksara Arab, yang lainnya ditulis oleh ulama di Timur Tengah, yang ditulis oleh ulama Indonesia sendiri”. Melihat momentum pembentukan tradisi KK di Indonesia, sejak awal abad 19, yakni ketika pesantren-pesantren, surau-surau dan pondok-pondok mulai berkembang sebagai institusi pendidikan Islam tradional diberbagai daerah Nusantara. Perkembangan dramatis institusi-institusi pendidikan Islam tradisional itu sendiri didorong semangat perlawanan secara diam-diam terhadap kolonialisme Eropa, setelah perlawanan bersenjata yang dilancarkan oleh masyarakat Muslim dilumpuhkan kaum kolonialis. Para ulama dan santri kini memusatkan perhatiannya kepada pengembangan pendidikan Islam. Dengan pembentukan, penyebaran dan pemapanan pesantren, surau dan pondok, kebutuhan kitab kuning semakin meningkat. Sampai menjelang akhir abad 19, kebutuhan kitab kuning itu terpenuhi dengan penyalinan secara manual. Inilah yang kemudian menghasilkan begitu banyak naskah-naskah KK yang kini tersimpan diberbagai museum baik di dalam maupun luar negeri, atau dipelihara individuindividu (Azyumardi, 2000:114). Pendidikan Islam tradisional hanya kita dapat temukan pada pondok pesantren sampai saat ini masih sepenuhnya hanya menggunakan kitab kuning, walaupun jika ada perubahan dalam pondok pesantren hanya pada materi kitab kuning tersebut (Mahmud Yunus, 1979:30). Istilah “pesantren” sebagai lembaga pendidikan Islam yang khas, setidak-tidaknya baru memasyarakat dan digunakan oleh sejumlah lembaga pendidikan Islam di Sumatera Barat dalam beberapa dasawarsa terakhir. Kelihatannya dimasa dulu fenomena pesantren yang demikian berkembang di pulau Jawa, tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan lembaga 46
Tradisionalitas …
pendidikan Islam semacam ini di Minangkabau, sedikitnya samapai terjadi modernisasi pesantren belakangan ini. C. Organisasi, Tokoh Pendidikan Islam Modernis Dan Tradisionalis Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak karena dorongan oleh mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai respon terhadap kepincangankepincangan yang ada di kalangan masyarakat Indonesia pada akhir abad 19 yang mengalami kemunduran total sebagai akibat politik pemerintah Belanda. Langkah pertama diwujudkan dalam bentuk kesadaran berorganisasi. Dengan kesadaran berorganisasi yang dijiwai oleh perasaan nasionalisme yang tinggi menimbulkan perkembangan dan era baru dilapangan pendidikan dan pengajar. Suatu kecederungan kuat juga terdapat dalam kajian kependidikan Islam di Indoensia, yang secara sederhana dapat kita sebut sebagai pola pemikiran dan teori kependidikan. Pola kajian ini muncul jauh lebih belakangan dikemukakan diatas. Ini terlihat dari lebih banyakanya literature yang telah dtulis oleh para tokoh dan ahli pendidikan Indonesia sendiri maupun dari luar negeri. Para pemimipin pergerakan nasional dengan kesadaran penuh ingin mengubah keterbelakangan rakyat Indonesia. Mereka mendirikan pendidikan yang bersifat nasional harus dimasukkan ke dalam agenda perjuangannya. Maka lahirlah sekolah-sekolah pertikelir (swasta) atas usaha para perintis kemerdekaan. Di antara organisasi-organisasi yang berdasarkan sosial keagamaan dan banyak melakukan kegiatan kependidikan Islam yaitu : 1. Al-Jami’ah Al-Khairiyah Organisai yang lebih dikenal dengan nama Jami’ah Khair ini didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 1905. Anggota organisasi mayoritas orang Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk setiap Muslim menjadi anggota tanpa diskriminasi asal usul. Dua bidang kegiatan yang sangat diperhatikan oleh organisasi ini ialah (1) pendiri dan pembinaan satu sekolah pada tingkat dasar, (2) pengiriman anak-anak muda ke Turki untuk melanjutkan studi, bidang yang kedua ini sering terhambat karena kekurang biaya dan juga karena kemunduran khilafat, dengan pertain tidak seorangpun dari mereka yang dikirim ke Timur Tengah melainkan peranan yang penting setelah mereka kembali ke Indonesia (Zuhairimi, 1997:159). Tokoh pendiri organisasi ini Sayyid Muhammad Fachir bin Abdurahman al Mashur, Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Sihab, Sayyid Idris bin Ahmad bin Sihab dan Sayyid Sjehan bin Sihab Dalam pernyataan lain bahwa Jami’ah Khair termasuk organisasi 47
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
yang lamban berkembang sehingga 1920-an keberadannya semakin kritis. Melihat keadaan organisasi tersebut seperti, beberapa masyarakat keturunan Arab yang ada di Indonesia mendirikan Jami’ah baru yaitu “al-Rabithah al- Alawiyah, sebelumnya, Mohamnmad Sorkati telah mendorokan organisasi alIslah wal Irsyad. Walaupun demikian proses pendidikan Islam modern di Jami’ah Khair berjalan dengan baik (Khaeruldan Taqiyudin, 1997:65). Meskipun tujuan asalnya hanya mengenai pendidikan agama tetapi usaha Jami’ah Khair kemudian meluas sampai kepada mengurus penyiaran Islam. Perpustakaan dan surat kabar (26 Januari 1913) dan mendirikan atas bantuan S. Muhammad bin Saleh bin Agil dan S. Abdullah bin Alawi Alatas percetakan bahasa Arab Setia Usaha, yang dipimpin oleh Said Tjokroaminoto dan kemudian menerbitkan surat kabar harian Urusan Hindia (31 Maret 1913). 2. Al-Islah Wal Irsyad Syeikh Ahmad Surkati, yang sampai di Jakarta dalam bulan Pebruari, seorang alim yang terkenal dalam agama Islam, beberapa lama kemudian meninggalkan Jami’ah Khair dan mendirikan gerakan agama sendiri bersama Al-Islah Wal Irsyad, dengan haluan mengadakan pembaharuan dalam Islam (reformisme). Pada tahun 1914 berdirilah perkumpulan Al-Islah wal Irsyad, kemudian terkenal dengan sebutan Al-Irsyad yang terdiri dari golongan Arab bukan Alawi. Tahun 1915 berdirilah sekolah AlIrsyasd yang pertama di Jakarta, yang kemudian disusul oleh beberapa sekolah dan pengajian lain yang sehaluan dengan itu. AlIrsyad sendiri menjuruskan perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat Arab, walaupun orang-orang Indonesia Islam bukan Arab ada yang menjadi anggotanya. Lambat laun dengan bekerjasama dengan organisasi Islam yang lain, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam, organisasi Al-Irsyad meluaskan pusat perhatian mereka kepada persoalan-persoalan yang lebih luas, yang mencakup persoalan Islam umumnya di Indonesia. 3. Perserikatan Ulama Perserikatan Ulama merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka Jawa Barat yang dimulai pada tahun 1911 atau inisiatif Kiyai haji Abdul Halim, lahir pada tahun 1887 di Ciberelang Majalengka. Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang taat beragama.
48
Tradisionalitas …
KH. Abdul Halim memperoleh pelajaran agama pada masa kanak-kanak sampai umur 22 tahun diberbagai pesantren di daerah majalengka. Kemudian ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan pelajarannya. Selama tiga tahun berada di Makkah ia mengenal tulisan-tulisan Muhammad Abduh dan Jamalauddin al-Afgani yang merupakan pokok pembicaraan bersama kawan-kawannya yang banyak berasal dari Sumatera. Di Makkah ia mengenal KH. Mas Mansur yang kemudian menjadi Ketua Umum Muhammadiyah. Tetapi KH. Abdul Halim tidak terasa bahwa ia banyak dipengaruhi oleh Abduh ataupun oleh Al-Afgani. Dan memang sampai ia meninggal tahun 1962 tetap berpegang pada mazhab Syafi’i. Dalam bidang pendidikan KH. Abdul Halim mulanya menyelenggarakan pelajaramn agama sekali seminggu untuk orangorang dewasa, yang dikuti empat puluh orang. Umumnya pelajaran yang ia berikan pelajaran-pelajaran Fiqh dan Hadits. Ketika itu Halim tidak semata-mata mengajar saja tetapi juga bergerak di bidang perdagangan untuk memenuhi nafkah hidup. Pada tahun 1916 dirasakan perlu oleh kalangan masyarakat setempat, terutama tokoh-tokoh seperti penghulu dan para pembantunya mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat modern. Demikian sebuah sekolah dengan nama Jam’iyat I’anat alMuata’alimin didirikan dengan mendapat sambutan yang amat baik dari guru-guru lain di daerah tersebut. Tetapi dalam system berkelas dan system edukasi yang diintrodusir oleh KH. Abdul Halim dengan bantuan yang diperolehnya dari penghulu dan juga oleh karena mundurnya pesantren di daerahnya, dapat mengubah ketidak senangan ini, Usahnya mulai disambut baik untuk memperbaiki mutu sekolahnya KH. Abdul Halim berhubungan dengan Jam’iah Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Ia juga mewajibkan kepada muridmuridnya pada tingkat yang lebih tinggi untuk memahami bahasa Arab yang kemudian menjadi pengantar pada kelas-kelas lanjutan. 4. Muhammadiyah Salah satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II dan mungkin juga sampai saat sekarang ini adalah Muhammadiyah. Organisasi ini dirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu pendidikan yang bersifat permanen. Dari organisasi ini yang bertujuan untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Usaha untuk mecapai 49
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
tujuan tersebut, dengan mengedepankan dan memajukan pendidikan dan pengajaran. Nyatalah bahwa Muhammadiyah mementingkan pendidikan dan pengajaran yang berdasarkan Islam, baik pendidikan di sekolah/madrasah ataupun pendidikan dalam masyarakat. Oleh sebab itu tidak heran, bahwa Muhammadiyah sejak awal berdirinya membangun sekolah/madrasah-madrasah dan mengadakan tablig-tablig, bahkan juga menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah yang berdasarkan Islam (Mahmud Yunus, 1979:268). Sementara itu, menurut Khaerul dan Taqiyudin (1997:68) lembaga pendidikan yang terus dikembangkan oleh Muhammadiyah sebelum merdeka yaitu: 1. Kweekschool Muhammadiyah, Yogyakarta 2. Mu’allimin Muhammadiyah, Solo dan Jakarta 3. Mu’alimat Muhammadiyah, Yogyakarta 4. Zu’ama/Za’imat, Yogyakarta 5. Kulliyah Mubalig/Mubalighat, Padang Panjang (Sumatera Barat) 6. Tabligschool, Yogyakarta 7. HIK Muhammadiyah, Yogyakarta Sedangkan lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan Muhammadiyah setelah merdeka yaitu: 1. Madrasah Ibtidaiyah 2. Madrasah Tsanawiyah 3. Madrasah Diniyah 4. Madrasah Mu’alimin 5. Madrasah Pendidikan Guru Menurut Zuhairini (1997:176) Lain daripada itu banyak sekolah-sekolah umum Muahmmadiyah yang terbilang modern seperti: 1. Sekolah Rakyat 2. SMP 3. SMA 4. Sekolah Taman Kanak-Kanak 5. SGB 6. SGA 7. Sekolah Kepandaian Putri 8. Sekolah menengah Ekonomi Pertama 9. Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak 10. Sekolah Menegah Ekonomi Atas 11. Sekolah Kepandaian Putri 12. Sekolah Guru Pendidikan Jasmani 13. Sekolah Pendidikan Kemasyarakatan 50
Tradisionalitas …
14. Seklah Putri Aisyiyah 15. Fakultas Hukum dan Filsafat 16. Perguruan Tinggi Pendidikan Guru 5. Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama didirikan pada tahun 1926 di Surabaya Jawa Timur oleh sejumlah tokoh ulama faqih dari Jawa Timur dan Madura. Akan tetapi yang paling terkenal sebagai pendiri NU yaitu ulama KH. Hasyim Asy’ari (Kakeknya KH. Abdurrahman Wahid). Di bidang pendidikan dan pengajaran formal, Nahdlatul Ulama membentuk satu bagian khusus yang mengelola kegiatan bidang ini dengan Al-Ma’arif yang bertugas untuk membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan/sekolahsekolah yang berada di bawah naungan NU. Dalam salah satu keputusan dari suatu Konferensi Besar al-Ma’arif NU seluruh Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 23-26 Pebruari 1954, ditetapkan susunan sekolah/madrasah Nahdlatul Ulama sebagai berikut: 1. Raudatul Atfal (Taman Kanak) 2. SR (Sekolah rakyat/SD 3. SMP NU 4. SMA NU 5. SGB NU 6. SGA (SPG-sekarang) 7. MMP NU (Madrasah Menegah Pertama) 8. MMA (Madrasah Mengeah Atas) 9. Mua’allimin/Mu’allimat Organisai Nahdlatul Ulama ini, terutama dalam bidang pendidikan terlihat lamban dalam perkembangannya jika dibandingkan organisasi seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad dan yang lainnya. 6. Persatuan Islam Persatuan Islam atau lebih dikenal dengan sebutan Persis, berdiri di Bandung pada tahun 1920-an oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad yunus. Kedua-duanya adalah keturun Padang yang menetap di Bandung sebagai pedagang. Tokoh penting dalam pengembangan Persis adalah Mohammad Natsir yang lahir pada tanggal 17 Juli 1908 di Alahan Panjang Sumatera Barat. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah. Pada tahun 1927 ia pergi ke Bandung untuk melanjutkan Studi pada Algeme Middelbare School (AMS, setingkat SMA sekarang). Pendidikan yang ia tempuh sebelumnya adalah HIS 51
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
dan Mulo (setingkat dasar dan menegah pertama) di Minangkabau. Selain itu ia belajar pada sekolah agama di Solok yang dipimpin oleh tuan Mudo amin dan aktif mengikuti pelajaran agama yang diberikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang. Sebagaimana perhatiannya dengan organisasi Islam lainnya, Persis memberikan perhatian yang besr pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tablig dan publikasi. Dalam bidang pendidikan Persis mendirikan sebuah madrasah yang mulanya di maksudkan untuk anak-anak dari anggota Persis. Tetapi kemudian madrasah ini diluaskan untuk dapat menerima anak-anak lain. Kursus-kursus dalam masalah agama untuk orang-orang dewasa mulanya juga dibatasi pada anggotanya, Zamzam mengajarkan pada kursuskursus ini yang terutama membahas soal-soal iman serta ibadah dengan menolak segala kebiasaan bid’ah. Masalah-masalah yang menarik masyarakat pada waktu itu seperti poligami dan nasionalisme juga dibicarakan. Dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia tokoh dan lembaga yang tradisonal hanya dapat ditemukan di pondok pesantren, surau, masjid yang hanya benar-benar menggunakan materi agama dan referensinya dari kitab kuning yang dikarang para ulama masa lampau. Pondok pesantren yang bersifat salaf (tradisional) dalam perkembanganya sudah mulai ada pembaharuan sistem pendidikannya dalam pondok pesantren, tentunya hal ini karena desakan perkembangan modern menuntut pondok pesantren saat ini harus menerima realitas sosial yang dihadapinya kedepan. D. Kesimpulan 1. Pendidikan Islam (agama) di Indonesia di awali dalam sejarah yang panjang yang disebut dengan sejarah pendidikan Islam, yang dibawa oleh para ulama Timur Tengah yang sedang berdagang sambil berdakwah dalam misi penyebaran Islam di Indonesia. 2. Pendidikan Islam di Indonesia mengalami pembaharuan begitu cepat, hal ini karena pengaruh para tokoh Islam yang memiliki pemikiran yang maju (modern) seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afgani. Tokoh ini dapat mempengaruhi para tokoh Islam di Indonesia yang banyak membaca karya-karyanya seperti KH. Dahlan, KH. Abdul Halim, KH. Hasyim Asy’ari, Zamzam dan masih banyak lagi tokoh yang sudah berpandangan modern pada bidang pendidikan. 3. Tokoh Islam seperti tersebut diatas, banyak peranannya dalam bidang pendidikan, terbukti dengan mendirikan lembaga (organisasi) masing-masing mereka dirikan semuanya bergerak 52
Tradisionalitas …
dibidang pendidikan. Hingga saat ini sudah banyak lembaga pendidikan modern yang mereka dirikan.
DAFTAR PUSTAKA Azyumardi Azra, (2000) “Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Mileninum Baru”. Jakarta: Logos. Deliar Noer, (1989) “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942” Jakarta: LP3ES. Harun Nasution, (1992). “Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan”. Jakarta : Bulan Bintang. Khaerul Wahidin, (1997). “Sejarah Pendidikan Islam : Umum dan Indonesia” Cirebon : Fakultas Tarbiyan IAIN SGD. Mahmud Yunus, (1979). “Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia”. Jakarta: Mutiara. Tim Redaksi, (1995). “Literatur DARS dalam Tradisi Pendidikan Klasik” Cirebon: Jurnal Lektur Seri Perdana. Zakiah Darajat, (1992). “Ilmu Pendidikan Islam”. Jakarta: Bumi Aksara. Zuhairini, (1997). “Sejarah Pendidikan Islam”. Jakarta: Bumi Aksara.
53