eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (4): 1133-1140 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
INTERVENSI BANK DUNIA (WORLD BANK) DALAM PRIVATISASI PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM (PDAM) DI INDONESIA STUDI KASUS : PRIVATISASI PAM JAYA (JAKARTA) INDAH SAKTI PRATIWI1 NIM. 0902045042
Abstrak: This research was aims to identify and describe the World Bank interventions in the privatization of The Regional Water Company (PDAM) in Indonesia in the case studies PAM Jaya’s privatization, and the impact on water shortages in Indonesia and get a solution in order to the availability of water in Indonesia can be fair and equitable. Based on the result of this research that the technical performance of PAM Jaya be better after privatization, although not yet reached cooperation agreement (PKS), as shown by the result of the production growth rate of tap water, the volume of water sold, UWF, and the scope of services that is smaller than after privatization. Keywords : Water, Privatization, World Bank. Pendahuluan Sekitar tahun 1997 terjadi krisis ekonomi melanda Asia yang berdampak pada kondisi ekonomi Indonesia yang melemah. Akibat dari krisis ekonomi stok utang luar negeri pemerintah Indonesia bertambah akibat fluktuasi mata uang. Sehingga menyebabkan pemerintah Indonesia mengikuti program IMF (International Monetary Fund) melaksanakan kerangka kerja dan kebijakan makro ekonomi yang tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial Policies dalam perjanjian Letter of Intent (LoI). Perjanjian tersebut berisi mengenai keharusan pemerintah melakukan agenda reformasi kebijakan dan institusional. Berdasarkan memorandum diatas dan perkembangannya pada bulan april 1998, Bank Dunia menawarkan pada pemerintah Indonesia suatu pinjaman sebesar 300 juta dollar untuk merestrukturisasi sektor sumber daya air yang disebut Water Resources Sector Structural Adjustment Loan (WATSAL) yang isinya tidak lain adalah keharusan pemerintah untuk segera melegalkan proses privatisasi PDAM di Indonesia dengan pinjaman dari Bank Dunia. Privatisasi PDAM di Indonesia berdampak pada pengelolaan air bersih disejumlah daerah termasuk Jakarta, dimana PAM Jaya yang merupakan PDAM di Jakarta yang pada bulan Juni 1998 melakukan kontrak konsesi selama 25 tahun, layanan air bersih di Jakarta resmi berpindah dari PAM Jaya kepdada dua operator swasta, yaitu PT. 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 4, 2013: 1133-1140
PAM Lyonaise Jaya (Palyja) dan PT. Thames PAM Jaya (TPJ) yang dalam perkembangannya PT.TPJ berganti kepemilikan dan berganti nama menjadi PT. Aetra pada tahun 2006. Sejak saat itu, seluruh aktivitas penyediaan layanan air di Jakarta mulai dari produksi air bersih sampai pendistribusian air kepada pelanggan, menjadi tanggung jawab kedua operator swasta. Privatisasi PDAM merupakan salah satu skema dari pemulihan ekonomi yang dirancang oleh Bank Dunia (World Bank) yang didasarkan atas rasionalitas bahwa dengan privatisasi akan mendorong munculnya struktur pasar yang kompetitif. Dengan demikian, privatisasi dianggap sebagai salah satu jalan untuk tercapainya efisiensi dan efektivitas usaha. Tetapi yang terjadi di Indonesia bukan merupakan Privatisasi yang ideal, sehingga menimbulkan masalah baru bagi kelangsungan pengelolaan sumber daya air di Indonesia terutama di Jakarta. Kerangka Konseptual 1. Konsep Neoliberalisme dan Privatisasi dalam Washington-Consensus Neoliberalisme memandang “rasionalisasi” sebagai sentral dari domainnya. Demikian pula dengan politik royalti dan hak paten yang terumuskan dalam property rights. Prinsip sentral dari neoliberalisme menekankan kepada pembentukan institusi yang mampu menjaga dan mengarahkan agar kepentingan pasar dapat tercapai. Institusi tersebut melahirkan kesepakatan yang lazim dikenal sebagai Washington Consensus, yang mengutamakan liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi dalam setiap kebijakan negara yang berkaitan dengan pasar. Lebih dari hanya sekedar mengatur pergeraka kapital dan juga kepentingan ekonomi pasar, neoliberalisme lebih menjadi suatu wadah untuk mengorganisasikan masyarakat sipil untuk lebih siap menerima ekspansi ekonomi pasar. Neoliberalisme berkembang dalam tatanan institusi, hubungan antara negara dan pasar semakin tidak bersinggungan, dan semakin banyak melepaskan berbagai tanggung jawab sosial ke ranah pasar. Leadership pasar juga diatur melalui regulasi yang mementingkan daya saing, bukannya distribusi kesejahteraan, sehingga banyak meminggirkan kepentingan nasional dan komunitas lokal. Hal tersebut juga diperjelas dengan disepakatinya Washington Consensus istilah yang dicetuskan oleh John Williamson pada 1989, di mana negara sebaiknya mengikuti ekonomi pasar untuk meningkatkan kinerja anggaran agar negara tidak terlalu menghabiskan sumber daya ekonominya bagi pengelolaan kepentingan publik, dan lebih berfokus ke pertumbuhan ekonomi serta peningkatan ekspor. 2. Konsep Privatisasi Sektor Publik Privatisasi adalah proses pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi milik pribadi. Privatisasi sering diasosiasikan dengan perusahaan berorientasi jasa atau industri, seperti pertambangan, manufaktur atau energi, meski dapat pula diterapkan pada aset apa saja, seperti tanah, jalan, atau bahkan air. Secara teori, privatisasi membantu terbentuknya pasar bebas, mengembangnya kompetisi kapitalis, yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga yang lebih kompetitif kepada publik. Sebaliknya, para sosialis menganggap privatisasi sebagai hal yang negatif, karena memberikan layanan penting untuk publik kepada sektor privat akan menghilangkan kontrol publik dan mengakibatkan kualitas layanan yang buruk, akibat penghematan-penghematan yang dilakukan oleh perusahaan dalam mendapatkan profit.
1134
Intervensi Bank Dunia dalam Privatisasi Air di Jakarta(Indah Sakti Pratiwi)
Konsep kebijakan privatisasi sebetulnya merupakan bagian dari kebijakan deregulasi secara umum dan kelanjutan proses deregulasi itu sendiri. Pada kasus privatisasi di Indonesia, kebijakan tersebut lahir dan berawal dari keterpurukan perekonomian Indonesia akibat krisis moneter yang telah berkembang menjadi krisis multidimensi dan mengakibatkan perusahaan pemerintah mengalami kesulitan untuk meneruskan usahanya, sehingga perlu adanya usaha untuk menyelamatkan usaha tersebut agar tetap eksis. Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini, saya menggunakan bersifat deskriptif case study. Dimana penelitian deskriptif itu sendiri berarti memberi gambaran secara sistematis mengenai pengaruh organisasi Internasional seperti Bank Dunia (World Bank) dalam privatisasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Indonesia dan case study untuk mendalami Intervensi Bank Dunia dalam Privatisasi PAM Jaya (Jakarta). Pembahasan Bentuk Intervensi Bank Dunia dalam Privatisasi PDAM di Indonesia dilihat dalam Keterlibatan Bank Dunia Pada Privatisasi Air PAM Jaya yang diawali Pada tahun 1997, Badan Perencanaan Pembangunana Nasional (Bappenas) telah meminta Bank Dunia untuk menyusun sebuah usulan tentang arah kebijaksanaan sektor air minum perkotaan Indonesia. Oleh Bank Dunia, permintaan tersebut telah dipenuhi dengan menunjuk Atain Locusol, konsultan Bank Dunia, guna menyusun sebuah laporan. Dalam melaksanakan tugasnya Alain Locusol mendapat bantuan dari Raja Lyer, Ride Johansen, Dong Liu, Jae So, Keiichi Tamaki, Risyana Sukarma. Dalam laporan yang diberi judul Indonesian Urban Water Supply Sector Policy Framework tersebut, salah satu rekomendasinya adalah untuk mengurangi beban bantuan pemerintah kepada PDAM di Indonesia, PDAM didorong mampu mandiri dengan melibatkan peran serta swasta dalam intervensinya. Berdasarkan rekomendasi Bank Dunia tersebut, akhirnya pemerintah membuat proyek percontohan dan PAM Jaya merupakan kelinci proyek percobaan pertama. Adapun total pinjaman Bank Dunia yang dikucurkan untuk PAM Jaya dari tahun 1978 hingga 2002 mencapai US$ 452,370 juta (atau Rp. 4,07 triliun) dengan asumsi US$ 1 = Rp. 9.000). dari total dana tersebut, yang masih menjadi tanggungan rakyat Indonesia (belum dikembalikan) diperkirakan mencapai Rp. 2,4 triliun. Seharusnya, jika memang pengambilalihan dianggap sah, beban utang PAM Jaya tersebut menjadi tanggung jawab pihak swasta bersamaan dengan diambilalihnya asset-aset hak pengelolaan air minum PAM Jaya. Namun yang terjadi, beban utang tersebut tetap menjadi beban pemerintah dan rakyat Indonesia. Bahkan, bila PAM Jaya mengalami defisit, pemerintah pusat yang harus menanggungnya. Dari kronologis privatisasi PAM Jaya dapat disimpulkan Pengambilalihan operasi dan administrasi PAM Jaya adalah tidak memiliki dasar hukum karena kontrak kerja sama PAM Jaya bukan dengan PT Palyja dan PT TPJ. Akan tetapi, dengan PT KATI dan PT GDS kedua perusahaan ini (PT KATI dan PT GDS) telah menyerahkan kembali operasi dan administrasi PAM Jaya setelah adanya kontrak batal tersebut. Serta Dua perusahaan swasta, PT Palyja dan PT TPJ, mitra PAM Jaya mendapat proyek dengan cara penunjukkan bukan melalui tender.
1135
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 4, 2013: 1133-1140
Dalam pelaksanaannya privatisasi di Indonesia Dampak Intervensi Bank Dunia dalam Privatisasi PAM Jaya (Jakarta) Privatisasi pada perusahaan air minum di Indonesia menimbulkan berbagai dampak baik terhadap pelanggan, pelayanan, maupun pemerintah Indonesia. Dalam kasus privatisasi PAM Jaya di Jakarta, berikut adalah dampak yang ditimbulkan ; Pelayanan Teknis Sebelum dan Sesudah Privatisasi Pelayanan teknis kinerja PAM Jaya ini dilihat dari beberapa kinerja teknis, yaitu produksi air bersih, jumlah air yang terjual, tingkat kehilangan air, jumlah pelanggan atau sambungan, serta cakupan pelayanan yang sudah dicapai PAM Jaya. Masingmasing data dilihat perkembangannya dari tahun ke tahun menurut laporan PAM Jaya, kemudian dianalisa untuk melihat laju pertumbuhan dan dibandingkan dengan target teknis yang tercantum pada Perjanjian Kerja Sama (PKS) 1997 maupun rebasing yang dilakukan setiap lima tahun. Produksi air bersih mengalami kenaikan setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan air bersih. Rata-rata jumlah air bersih yang diproduksi adalah sebesar 456,40 juta m³ per tahun dengan laju pertumbuhan sebesar 3,37% per tahun, sedangkan masa sebelum privatisasi dalam kurun tahun 1992 hingga tahun 1997 memiliki laju pertumbuhan sebesar 8,57%. Dibandingkan dengan masa setelah privatisasi, baik kurun waktu tahun 1998 hingga tahun 2008 atau tahun 2003 hingga tahun 2008, terdapat perbedaan yang cukup tajam, masing-masing 0,63% dan 0,72%. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat produksi air bersih PAM Jaya setelah privatisasi jauh lebih lambat dari tingkat produksi air bersih PAM Jaya sebelum privatisasi. Rata-rata volume air PAM yang terjual adalah sebesar 218,16 juta m³ per tahun dengan laju pertumbuhan sebesar 3,95%. Laju pertumbuhan setelah privatisasi kurun waktu tahun 1998 hingga tahun 2008, yakni 663,79%, terus menurun bahkan laju pertumbuhan mencapai angka negatif, yaitu sebesar - 1,11% dalam kurun waktu lima tahun. Laju pertumbuhan yang semakin melambat ini mengindikasikan bahwa penjualan air PAM Jaya terus mengalami penurunan dibandingkan dengan masa sebelum privatisasi. Jika dibandingkan dengan target teknis, maka dapat dilihat bahwa ratarata realisasi dicapai 96,25% dari target teknis tahunan yaitu sebesar 218,16 m³, laju pertumbuhan lima tahun 2003-2008 yang cenderung melambat dan semakin jauh dari Target Teknis dan Standard Pelayanan PKS pada akhir tahun ke 10, maka kinerja mitra swasta perlu ditingkatkan sebesar 192% agar pada akhir tahun ke 20 target kerjasama dapat dicapai. Sampai tahun 2009, rata-rata tingkat kehilangan air adalah sebesar 52,68% atau sebesar 237,91 juta m³. Artinya, tingkat kehilangan air ini masih besar untuk wilayah DKI Jakarta. Jika dilihat laju pertumbuhan antara sebelum privatisasi dan setelah privatisasi, maka terlihat bahwa laju pertumbuhan setelah privatisasi lebih kecil dan menunjukkan pertumbuhan yang negatif yaitu sebesar -2,05 dalam kurun waktu tahun 1998 hingga tahun 2008. Rata-rata jumlah pelanggan PAM Jaya adalah sebesar 563.236 sambungan dengan laju pertumbuhan pertambahan pelanggan sebesar 6,24%. Melihat laju pertumbuhan sebelum privatisasi sebesar 9,11% dan membandingkan dengan 4,84%, maka pertumbuhan jumlah pelanggan mengalami penurunan hampir setengah dari masa sebelum privatisasi. Terlebih lagi jika melihat lima tahun dari 2004-2009 yang terus berkurang hampir ¼ dari sebelum privatisasi, hanya sebesar 2,42%. Rata-rata
1136
Intervensi Bank Dunia dalam Privatisasi Air di Jakarta(Indah Sakti Pratiwi)
perubahan yang terjadi sebesar 99,85%, merupakan perkembangan yang positif, namun belum mencapai target. Rata-rata perkembangan cakupan pelayanan adalah sebesar 56,42% dengan laju pertumbuhan 3,69%. Dalam kurun waktu tahun 1998 hingga tahun 2008 terlihat bahwa laju pertumbuhan sebesar 1,54% dengan rata-rata perubahan dari target yang telah dicanangkan sebelumnya adalah sebesar 93,38%. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan cakupan pelayanan PAM Jaya terus mencapai jangkauan yang lebih luas. Cakupan pelayanan dilakukan terutama pada wilayah yang sudah tidak mempunyai air tanah atau sudah tercemar polutan atau intrusi air laut, seperti Jakarta bagian utara hingga pusat. Setelah privatisasi berjalan selama lebih dari 10 tahun, target memperluas cakupan pelayanan sebesar 98% tidak tercapai karena cakupan hanya mencapai 63,57%. Hal ini mengindikasikan bahwa mitra swasta harus terus meningkatkan cakupan pelayanannya dengan menambah jumlah jaringan dan pipa air terutama pada daerahdaerah dengan kondisi air tanah buruk agar terpenuhi target sebesar 98% pada akhir tahun ke-20. Ditinjau dari sisi kualitas air relatif tidak berubah sebelum dan sesudah privatisasi. Bahkan, setelah privatisasi untuk beberapa indikator seperti konsentrasi deterjen kualitas airnya justru menurun. Pada 1998 misalnya, konsentrasi deterjen mencapai 0,12 mg/l. demikian juga pada 1999 dengan konsentrasi deterjen sebesar 0,17 mg/l. padahal standar konsentrasi deterjen adalah 0,05 mg/l. Bandingkan dengan sebelum privatisasi, konsentrasi deterjen masih memenuhi standar seperti pada 1993 (0,031 mg/l) dan (0,016 mg/l). Setelah privatisasi berjalan menginjak tahun ke-11, maka dilakukan perbandingan perkembangan kinerja PAM Jaya, antara kondisi sebelum privatisasi dengan kondisi saat ini. Terdapat perkembangan yang cukup signifikan terutama peningkatan jumlah pelanggan sebesar 40,79%. Pada UFW, volume air terjual, dan cakupan pelayanan meningkat ⅛ hingga ¼ kali dari kondisi sebelum privatisasi, yaitu masing-masing sebesar 12,03%, 23,02%, dan 22,92%. Namun laju peningkatannya hanya sebesar kurang dari 2% per tahun padahal sudah hampir setengah periode perjanjian. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan ini tidak diikuti dengan peningkatan produksi air bersih yang hanya sebesar 9,95% dari kondisi semula atau 0,83% per tahun. Peningkatan yang tidak sebanding dengan peningkatan jumlah pelanggan sebesar 3,40% per tahun ini menyebabkan terjadinya kekurangan pasokan air dari sumber utama air PAM Jaya, diluar air pembelian lainnya. Sementara itu, pasokan air pembelian pun jumlahnya terbatas dan disesuaikan dengan kemampuan mitra swasta membayar air pembelian tersebut. Sesuai dengan PKS 1997 disebutkan bahwa tarif air akan mengalami kenaikan setiap enam bulan sekali, disesuaikan dengan produksi dan pelayanan mitra swasta kepada pelanggan. Kenaikan tarif harus diusulkan oleh kedua mitra asing kepada Pemerintah DKI. Apabila usul kenaikan tarif tidak disetujui pemerintah, maka kedua operator akan membebankan selisih water charge (imbalan air) dan tarif air kepada Pemerintah DKI sebagai utang. Misalnya tahun 2002, Pemerintah DKI justru memilih utang sekitar Rp. 900 miliar kepada operator asing karena tarif air tidak akan dinaikkan dalam periode 1998-2001. hingga tahun 2005, kenaikan tarif dari Rp. 1.721,00/m³ menjadi Rp. 5.430,00/m³, utang yang ditanggung PAM Jaya, sudah
1137
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 4, 2013: 1133-1140
mencapai Rp. 2,6 triliun yang berupa pembayaran kepada operator swasta sebesar Rp. 9,95 miliar dan 1,7 triliun kepada Departemen Keuangan. Utang kepada Departemen Keuangan tidak seluruhnya dibayar, baik bunga maupun utang pokonya karena PAM Jaya tidak memiliki pendapatan yang cukup. Hasil penjualan air habis dipakai untuk membayar imbalan kepada mitra swastanya. PAM Jaya seharusnya juga menyetor Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp. 10 miliar pertahun tetapi hanya mampu membayar Rp. 6 miliar pertahun. Penyelenggaran kerjasama dimaksudkan agar terdapat pihak asing yang menginvestasikan dana yang dimiliki untuk meningkatkan kinerja perusahaan agar lebih baik. Investasi yang ditanamkan mitra swasta dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan dan penyediaan air bersih sehingga pelayanan kepada masyarakat dapat dipenuhi. Besar investasi yang dilakukan kedua mitra swasta yang ditetapkan ketika PKS 1997 kemudian pada tahun-tahun berikutnya terus dilakukan revisi dan evaluasi berdasarkan investasi dan kinerja tahun sebelumnya dan ditetapkan pada rebasing lima tahunan. Data diatas merupakan besarnya investasi yang dibayarkan pada tahun tersebut oleh mitra swasta untuk keperluan pengembangan kapasitas pelayanan air. Investasi terbesar diberikan untuk pengembangan jaringan dan penambahan atau perbaikan mesin-mesin produksi air karena keduanya sangat penting dalam proses produksi dan distribusi air untuk meningkatkan kualitas kuantitas air dan cakupan pelayanan. Kenyataannya besar investasi tidak diikuti denga perkembangan pengelolaan air PAM Jaya. Perhitungan biaya imbalan air rebasing dapat dipengaruhi oleh berbagai kondisi seperti tarif berdasarkan tingkat kemampuan atau daya beli masyrakat, penetapan tarif oleh Pemda DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta, perbedaan persoalan di masingmasing wilayah kerja sama, pembekuan tarif air selama krisis moneter (1997-2001), biaya tenaga ahli, bantuan teknis, dan lainnya. Mitra swasta dibayar dari pendapatan air yang juga digunakan untuk kebutuhan biaya PAM Jaya, biaya Badan Regulator, dan Pemda DKI Jakarta. Pembayaran kepada mitra swasta diberikan dalam bentuk imbalan air (Rp/m³). Besaran imbalan air ditetapkan oleh volume air dikalikan volume air tertagih dalam bulan yang bersangkutan. Sesuai dengan PKS 1997, hasil pembayaran air oleh pelanggan tidak seluruhnya diterima PAM Jaya, tapi dibagi dengan mitra swasta yaitu Palyja dan TPJ/Aetra dengan persentase hasil yang telah disepakati sebelumnya. Pembagian ini bertujuan untuk menutupi seluruh biaya operasional mitra swasta, baik proses produksi maupun distribusi. Namun hasil yang diterima dari pembayaran air ini tidak dapat mengganti seluruh biaya pengelolaan air, karena air yang terjual masih lebih kecil dari air yang diproduksi keseluruhan. Adanya ketimpangan yang cukup besar antara jumlah pendapatan usaha PAM Jaya dengan biaya imbalan yang harus dibayarkan kepada mitra swasta menyebabkan terjadinya kerugian atau defisit pada penerimaan PAM Jaya. Privatisasi air ini pertama kali terjadi di Indonesia dimana Pemda DKI Jakarta harus mengganti sejumlah biaya produksi dan distribusi yang dilakukan oleh pihak swasta, sementara pihak swasta tetap menikmati hasil dari proses pengelolaan air yang mereka lakukan. Dengan kata lain, pemerintah membeli air dari swasta degan harga yang mahal kemudian pemerintah kembali menjual air tersebut kepada pelanggan dengan harga yang lebih murah karena harus disubsidi oleh pemerintah. Artinya, pihak swasta hampir tidak merugi karena seluruh biaya proses pengelolaan dan
1138
Intervensi Bank Dunia dalam Privatisasi Air di Jakarta(Indah Sakti Pratiwi)
penyediaan air ditanggung oleh Pemda DKI Jakarta. Hal ini jelas merugikan PAM Jaya dan Pemda DKI Jakarta karena mereka menanggung semua biaya. Kinerja dari pihak swasta pun belum maksimal sehingga PAM Jaya dan Pemda DKI Jakarta semakin menjadi pihak yang dirugikan dalam privatisasi ini. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2006 bab II pasal 2, penetapan tarif didasarkan pada enam prinsip yaitu : keterjangkauan dan keadilan, mutu pelayanan, pemulihan biaya, efisiensi pemakaian air, transparansi dan akuntabilitas, serta perlindungan air baku. Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa keenam prinsip tersebut belum dapat dicapai oleh mitra swasta maupun PAM Jaya, karena beberapa hal : Pertama, keterjangkauan dan keadilan mendapatkan air bersih belum tercapai oleh semua kalangan masyarakat yang membutuhkan. Hal ini ditunjukkan dengan persentase cakupan pelayanan PAM Jaya yang baru sebesar 63,57% dari penduduk DKI Jakarta. Kedua, mutu pelayanan baik PAM Jaya maupun mitra swasta belum maksimal atau memenuhi target dan dapat dibuktikan dengan analisis data produksi air dengan laju pertumbuhan 0,63% per tahun, yang berarti perkembangan kemampuan memproduksi air masih rendah. Ketiga, pemulihan biaya belum dapat dicapai oleh PAM Jaya karena dapat dilihat pada Laporan Keuangan PAM Jaya bahwa pihak mitra swasta belum mendapat seluruh pengembalian modal investasi sehingga PAM Jaya mempunyai kewajiban membayar denda tersebut. Keempat, tingkat UFW yang masih tinggi yaitu sebesar 50,01% menunjukkan bahwa efisiensi pemakaian air masih belum dicapai. UFW ini baik karena kesalahan teknis maupun non teknis menyebabkan hilangnya air yang bernilai ekonomis dan bermanfaat bagi khalayak serta hilangnya pendapatan PAM Jaya sebesar 50,01%. Kelima, transparansi dan akuntabilitas mitra swasta dapat dilihat pada Akuntan Publik Ernst & Young, sementara laporan keuangan PAM Jaya tidak dapat dipublikasikan pada publik karena laporan tersebut langsung masuk ke Gubernur. Terakhir, perlindungan air baku belum dapat dilakukan dengan baik. Salah satu contoh adalah Waduk Jatiluhur yang sekarang telah mengalami banyak aktivitas sehingga tercemar dan penurunan debet air hanya sekitar 27 m³ perdetik atau 60% dari keadaan normal sehingga mempengaruhi pasokan air ke DKI Jakarta. Untuk memperbaiki privatiasi ini, hal pertama yang bisa dilakukan tanpa menaikkan tarif adalah dengan memperbaiki kebocoran atau UFW yang terjadi saat ini. Ketika kebocoran sebesar 50,01% dapat ditekan semaksimal mungkin dengan jumlah produksi air PAM tetap dan jumlah pelanggan meningkat, maka tarif air PAM dapat diturunkan karena biaya produksinya menurun. Hal ini akan menyebabkan tingkat pendapatan baik Pemda DKI ataupun PAM Jaya akan meningkat minimal sebesar 50,01% dan dapat dikatakan privatisasi ini berhasil. Kesimpulan 1. Bentuk intervensi yang dilakukan oleh Bank Dunia; pertama, Bank Dunia menggunakan struktur keuangan untuk melakukan intervensi pembuatan Program-program pengelolaan Sumber daya air yang berujung pada pembuatan UU No.7 tahun 2004 tentang air. Kedua, Bank Dunia dan IMF memiliki informasi ataupun data tentang kondisi air di Indonesia yang sangat buruk sehingga sangat membutuhkan peranan sektor swasta, disinilah kemudian Bank
1139
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 4, 2013: 1133-1140
Dunia melakukan intervensi pembuatan UU No. 7 Tahun 2004, tentang pentingnya privatisasi air di Indonesia. Ketiga, terbukti penggunaan struktur keuangan melalui instrumen fasilitas kredit untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dan elit “aktor politik, peran ini yang kemudian dimainkan oleh Bank Dunia untuk menjalankan privatisasi air. 2. Kinerja teknis PAM Jaya sebelum privatisasi lebih baik daripada setelah privatisasi, hal ini ditunjukkan dengan hasil laju pertumbuhan produksi air PAM, volume air yang terjual, UFW, dan cakupan pelayanan yang lebih kecil daripada setelah privatisasi. Saran 1. Praktek privatisasi air PAM Jaya masih tersisa waktu sampai tahun 2022 sehingga diharapkan UFW dapat diminimalisir dan dilakukan peningkatan produksi serta perluasan cakupan pelayanan agar dapat mencapai kebutuhan air bersih warga Jakarta dan meningkatkan pendapatan Pemda DKI Jakarta. 2. Terhadap penetapan tarif yang cenderung meningkat dapat dilakukan pemotongan biaya yang tidak diperlukan, agar diterima masyarakat dapat diberlakukan transparansi, akuntabilitas perusahaan dan peningkatan pelayanan sehingga baik PAM Jaya maupun mitra swasta mendapat kepercayaan lebih dari masyarakat serta diiringi dengan peningkatan pengetahuan masyarakat. Daftar Pustaka Buku : Heyneardhi, Henry (eds.), 2004. Dagang Air – Perhihal Peran Bank Dunia dalam Komersialisasi dan Privatisasi Layanan atas Air di Indonesia, Surakarta; Widya Sari Press. Shiva, Vandana. 2003. Water Wars Pollution and Profit, Yogyakarta: Walhi. Strange, Susan. 1989. States and Market, Structures of Power in The World Economy. London: Printer Publisher. Suteki. 2010. Hak Atas Air Pro-Rakyat ; Rekonstruksi Politik Hukum. Malang : Surya Pena Gemilang. Jurnal Bob Jessop. “Liberalism, Neoliberalism, and Urban Governance. A State Theoretical Concept.” Jurnal Antipode. Oxford : Blackwell Publishers. Makalah John Williamson, “A Short History of The Washington Consensus”. Fundación CIDOB. Makalah dalam konferensi “From the Washington Consensus towards a new Global Governance,” Barcelona, 24–25 September 2004
1140