Outline: What’s matter with Water? Basis Teori: Privatisasi Air Kajian Kritis: Privatisasi Air di Berbagai Belahan Negara di Dunia Privatisasi Air di Indonesia Relasi Kuasa Penutup
What’s matter with Water?
Paradox: Diamond vs Water
Water Diamond
FAKTA: • Kebutuhan air dunia meningkat dua sampai tiga persen per tahun, sedangkan ketersediaan air senantiasa tetap, bahkan cenderung menurun, terutama apabila ditinjau dari segi kualitas (UNEP) • Di Indonesia diperkirakan total kebutuhan air akan meningkat lebih dari 200 persen pada kurun waktu 19902020. • Dengan kebutuhan yang ada saat ini, beberapa sungai di Pulau Jawa pada musim kemarau sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan tersebut.
FAKTA: • Salah satu upaya pemenuhan kebutuhan Air di Pulau Jawa telah ditempuh melalui pembangunan waduk. • Salah satu waduk yang ada di Pulau Jawa adalah Waduk Kedungombo yang terletak di perbatasan Kabupaten Grobogan, Sragen dan Boyolali, Jawa Tengah beberapa tahun terakhir telah menyusut. • Titik terendah volume air itu terjadi pada tahun 2003. Pada posisi Oktober 2005 volume air waduk tersisa 260.775 juta
kubik.
• Diperkirakan akan habis untuk irigasi apabila dialirkan dengan debit 50 meter kubik per detik. Hal ini menunjukkan bahwa waduk belum cukup mampu mengatasi permasalahan kekurangan air di musim kemarau.
Kajian Masalah: Privatisasi Air • Pengelolaan sumber daya air oleh negara sebagai sektor publik seringkali kali terkendala pada masalah pendanaan. • Untuk mengatasi masalah ini, kerjasama pemerintah dan swasta kerap menjadi alternatif solusi yang sering diambil. Berdasarkan public choice theory, sektor swasta merupakan sektor yang lebih efisien dibandingkan dengan sektor publik. Dengan demikian, privatisasi dianggap seringkali sebagai solusi untuk mengatasi masalah dalam penyediaan dan pengelolaan air bersih. • Namun benarkah pengelolaan penyediaan air bersih oleh sektor swasta merupakan solusi yang paling efektif dan efisien?
AKAR PEMIKIRIAN: PRIVATISASI AIR
Akar Pemikiran: Privatisasi Air • Privatisasi diterapkan sebagai instrumen kebijakan perekonomian sejak tahun 1979 ketika PM Margareth Thatcher mulai menerapkan paham neoliberal dalam praktik perekonomian Inggris. • Hal serupa juga dilakukan Ronald Reagan, Presiden Amerika Serikat, dalam periode yang hampir bersamaan. • Perkembangan ini kemudian memunculkan istilah “Reaganomics” dan “Thatcherism” berkenaan dengan kesamaan pola kebijakan di kedua negara tersebut yang berdasar pada paham neoliberal.
Akar Pemikiran: Privatisasi Air • Berbeda dengan pandangan penganut Keynesian yang menekankan pentingnya peran negara dalam ekonomi makro, paham neoliberal yang merupakan akar ideologi dari diterapkannya pelaksanaan privatisasi ini berasumsi bahwa keterlibatan entitas negara dalam aktivitas perekonomian dapat menimbulkan distorsi terhadap pasar (Wibowo dan Francis Wahono 2003: 275) • Berangkat dari asumsi ini, kontrol negara terhadap kinerja pasar domestik perlu dieliminasi secara menyeluruh. Minimalisasi peran negara dalam ekonomi yang dilakukan Thatcher, salah satunya terrefleksi dari diterapkannya kebijakan privatisasi perusahaan milik negara. Ketika direalisasikan, kebijakan ini dipandang berhasil diimplementasikan di Inggris. • Kesuksesan ini menjadi titik tolak diadopsi dan diterapkannya paham neoliberal sebagai pedoman kebijakan di negara-negara kapitalis tahun 1970-an.
Akar Pemikiran: Privatisasi Air • Dalam tahap perkembangannya, khususnya tahun 1980-an, bersamaan dengan krisis utang negara berkembang, neoliberal juga digunakan sebagai paradigma yang mendasari formulasi kebijakan badan-badan multilateral dunia seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan World Trade Organization (WTO). • Ide dasar yang dikembangkan oleh badan-badan multilateral dunia tersebut yaitu: 1. Diterapkannya pelaksanaan privatisasi dengan alasan efisiensi. 2. Pemotongan seluruh pengeluaran publik khususnya anggaran yang dialokasikan bagi pelayanan sosial. 3. Deregulasi, dengan menghapus peraturan pemerintah yang dapat menghambat aktivitas pasar. 4. Menerapkan aturan pasar dengan membebaskan swasta dari keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Kelima, menghapus konsep barang publik dengan mengalihkan fungsi tanggung jawab tersebut kepada pasar.
Akar Pemikiran: Privatisasi Air • Paham neoliberal ini menguat dengan dirumuskannya Washington Consensus untuk mengatasi krisis ekonomi di negara berkembang oleh IMF (Hayami, “From Washington Consensus to Post Washington Consensus: Retrispect and Prospect”, dalam Asian Development Review, Vol. 20, No. 2, Tahun 2003, hlm. 55).
• Washington Consensus muncul sebagai “kesepakatan” lembaga Bretton Woods, terutama IMF dan World Bank, dalam mengatasi problem pembangunan di berbagai negara dengan penekanan pada kebijakan pasar bebas, perdagangan bebas dan pengurangan peran sentral negara di sektor ekonomi dengan tujuan mengintegrasikan ekonomi domestik negara tersebut ke dalam sistem ekonomi global.
Berikut adalah fitur-fitur mendasar dari Washington Consensus menurut John Williamson: 1. 2.
Disiplin di bidang fiskal; Mengurangi segala alokasi dana pemerintah untuk publik, seperti kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur; dan dialihkan ke sektor yang lebih berorientasi profit; 3. Reformasi perpajakan; 4. Liberalisasi nilai suku bunga; 5. Penerapan nilai tukar yang kompetitif; 6. Liberalisasi perdagangan; 7. Liberalisasi PMA; 8. Privatisasi; 9. Deregulasi; 10. Jaminan kepemilikan publik.
Definisi Privatisasi: • Menurut Stephen Green (2003), privatisasi adalah praktik transfer hak kepemilikan dari negara kepada sektor swasta untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu: 1. Meningkatkan efisiensi perusahaan. 2. Menstimulasi akses terhadap pasar. 3. Meminimalisir pelaksanaan korupsi dalam tata kelola perusahaan. 4. Mengembalikan aset-aset negara yang disalahgunakan oleh oknum pejabat negara ketika mengelola aset tersebut.
Alasan dilakukannya Privatisasi: Neoliberal • Melengkapi argumen Green, terdapat enam alasan yang dikemukakan kaum neoliberal terhadap dilangsungkannya privatisasi (Setyanto P. Santosa, “Quo Vadis Privatisasi BUMN?” dalam http://www.pacific.net.id/pakar/setyanto/tulisan_02.html 1. Mengurangi beban keuangan pemerintah)
2. Meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan.; 3. Meningkatkan profesionalitas pengelolaan perusahaan; 4. Mengurangi campur tangan birokrasi/pemerintah terhadap pengelolaan perusahaan; 5. Mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri. 6. Sebagai flag-carrier (pembawa bendera) untuk go international.
BASIS TEORI: PRIVATISASI AIR
Teori Agensi (Principal Agent Theory) • Mengasumsikan semua individu bertindak atas kepentingannya sendiri. Para pemegang saham sebagai pemilik diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan atau investasi mereka di dalam perusahaan, sedangkan para agen atau manager diasumsikan menerima kepuasan atas kinerja mereka berupa kompensasi dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut (Wahyudiharto, 2009). • Dengan demikian, dalam sistem manajemen suatu perusahaan, tugas dari pemilik adalah mendesain suatu kontrak yang mendorong manajer melalui suatu insentif untuk memilih strategi yang dapat mengoptimalkan kesejahteraan pemilik perusahaan. • Dalam membandingkan kinerja sektor publik dan swasta, hal yang perlu diperhatikan adalah kemampuan masing-masing sektor untuk menyediakan insentif bagi manajer atau pengelola agar berusaha mencapai tujuan perusahaan.
Teori mengenai hak kepemilikan (Property Rights) • Berpendapat bahwa sektor swasta mempunyai insentif yang jelas untuk mendorong pengelola agar mengambil keputusan yang lebih efektif dan efisien. • Sebaliknya, politisi, birokrat, dan pembayar pajak mempunyai hak kepemilikan terhadap hasil terkait peningkatan kinerja sektor publik yang dapat mengurangi insentif untuk mendorong peningkatan kinerja tersebut (Renzetti dan Dupont, 2003). • Intinya, perusahaan swasta dimiliki individu-individu yang bebas untuk menggunakan, mengelola, dan memberdayakan aset-aset privatnya. • Konsekuensinya, mereka mendorong habis-habisan usahanya agar efisien.
Teori pilihan publik (public choice) • Berasal dari filsafat manusia ekonomi (economic man) dalam teori-teori ekonomi. • Inti ajaran teori ini menyatakan bahwa manusia adalah individu yang rasional yang selalu menginginkan terpenuhinya kebutuhan pribadinya (self-interested) dan memaksimalkan keuntungan pribadinya (own-utilities) dalam setiap pengambilan keputusan (Vincent dan Ostrom dalam Yudiatmaja, 2011). • Teori ini menjelaskan bahwa inefisiensi yang terjadi di sektor publik adalah akibat dari kerentanan terhadap intervensi kepentingan politik pihak tertentu yang merugikan perusahaan (Setiyowati, 2008).
Teori pilihan publik (public choice) • Dalam melakukan penilaian antara kinerja sektor publik dan swasta, perlu dipertimbangkan pula tingkat kompetisi yang dihadapi oleh masing-masing perusahaan. • Kinerja perusahaan dapat bergantung pada struktur pasar, selain pada kepemilikan dan tipe pengelolaannya. • Teori ini perlu dibenturkan kembali dengan fakta di lapangan dan kerangka teoritis lainnya.
Privatisasi Air di Berbagai Belahan Dunia
Sejarah Privatisasi Air: • Pemilihan antara pengelolaan air bersih oleh publik maupun swasta bukan merupakan hal yang permanen atau merupakan kebijakan yang sekali diputuskan. Oleh karena itu muncul istilah ‘privatisasi’ atau ‘deprivatisasi’. Privatisasi atau pedelegasian pengelolaan air bersih bahkan sudah dimulai sejak 200 tahun lalu.
Prancis • Prancis sejak awal (1782) sudah menyerahkan pengelolaan air bersih kepada sektor swasta. Mexico menyerahkan sebagaian pengelolaan air bersih kepada swasta sejak tahun 1855. • Namun diambil alih kembali oleh negara pada tahun 1940 dan pada tahun 1992 disahkan kembali undang-undang yang mengizinkan pengelolaan air bersih oleh swasta.
Inggris • Di Inggris, pengelolaan air bersih oleh swasta telah berlangsung selama ratusan tahun, namun pada tahun 1903 dilakukan nasionalisasi. • Pada era perdana menteri Margaret Thatcher, perusahaan publik yang menangani air bersih kembali diprivatisasi (Perard, 2009).
Malaysia • Sejak awal tahun 1990-an, banyak wilayah di Malaysia yang memperbolehkan adanya privatisasi maupun program kerjasama dengan pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelayanan penyediaan air bersih. • Penelitian ini menggunakan sampel 17 penyedia pelayanan air bersih di Malaysia, 11 diantaranya adalah perusahaan publik dan 6 perusahaan swasta. • Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, sektor swasta mempunyai efisiensi teknis sebesar 86% sementara efisiensi sektor publik sebesar 70%. • Sumber inefisiensi pada sektor swasta adalah pada skala pelayanannnya dimana sektor swasta cenderung memiliki skala pelayanan yang lebih kecil dibandingkan dengan sektor publik. Sementara sumber inefisiensi pada sektor publik adalah pada skala pelayanan dan inefisiensi teknis (Munisamy, 2009).
Privatisasi Air di Indonesia
Privatisasi Air di Indonesia • Di Indonesia, privatisasi sudah dimulai di masa pemerintahan Orde Baru, akhir 1980-an. • Privatisasi dimulai dengan memprivatisasi PT Telkom Indonesia, yang kemudian menjadi lebih masif ketika IMF masuk ke Indonesia tahun 1998. • Krisis ekonomi yang dialami Indonesia di tahun 1997 mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi karena minimnya anggaran yang tersedia untuk menyediakan layanan publik. • Proses pengalihan kepemilikan ini menjadi semacam “simple way out” bagi solusi krisis, padahal mempunyai dampak jangka panjang.
Privatisasi Air di Indonesia • Pengelolaan air bersih oleh swasta tidak hanya terjadi di permukiman yang dibangun oleh pengembang swasta, namun juga telah mengarah ke pengelolaan air bersih di kota besar. • Privatisasi di Indonesia semakin berkembang sejak disahkannya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. • Pasal 9 UU SDA menyebutkan (i) hak guna air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau Pemda sesuai dengan kewenangannya; (ii) pemegang hak guna usaha air dapat mengalirkan air di atas tanah orang lain berdasarkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan; (iii) persetujuan tersebut dapat berupa ganti rugi atau kompensasi.
Privatisasi Air di Indonesia • UU SDA tak hanya memberi peluang bagi hadirnya privatisasi sektor penyediaan air minum dan penguasaan sumber-sumber air (baik air tanah, air permukaan, maupun air sungai) secara komersial oleh badan usaha dan individu, namun juga penguasaan asing, seperti penyertaan modal Suez Lyonnaise Des Eux (Prancis) dan Thames Water (Inggris) pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di DKI Jakarta sejak tahun 1998, atas sumber daya strategis ini yang seharusnya berada di bawah pengelolaan negara. • Dampak turunannya, kini kian banyak pemerintah daerah (baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota) yang berlomba menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) terkait privatisasi dan komersialisasi air. • Akibatnya, hak rakyat atas air terancam dengan praktik privatisasi dan komersialisasi air yang kini berlangsung kian masif.
Privatisasi Air di Indonesia • Studi yang dilakukan oleh Ariestis (2004) yang melakukan analisis keekonomian pengelolaan sumber daya air pra dan pasca privatisasi dengan studi kasus di PAM Jakarta menyebutkan bahwa sejak diprivatisasi, biaya pengelolaan air PDAM DKI Jakarta mengalami peningkatan yang sangat tinggi hingga mencapai 75% pada awal pelaksanaannya (tahun 1998). • Peningkatan biaya pengelolaan air bersih ini telah menyebabkan tarif air bersih menjadi tinggi. • Selain itu, keinginan privatisasi pengelolaan air PDAM yang direncanakan untuk pengembangan pengelolaan perusahaan dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat belum terpenuhi secara maksimal.
Privatisasi Air di Indonesia • Hal ini didukung pula oleh data efisiensi produksi air setelah pelaksanaan privatisasi yang baru mencapai 50%. • Dengan demikian dalam penetapan tarif air bersih PDAM, terutama di wilayah DKI Jakarta diperlukan adanya campur tangan pemerintah, terutama dalam mempertahankan tarif air bersih yang berbeda-beda bagi masyarakat pelanggan. • Hal ini ditujukan agar tarif air bersih yang berlaku tidak terlalu memberatkan bagi masyarakat golongan menengah ke bawah.
Perbandingan Tarif Air Minum: ASEAN (USD/m3) in 2007 0.70
0.55
0.35 0.29 0.22
Singapore
Manila
Kuala Lumpur
Bangkok
Jakarta
Privatisasi Air di Indonesia • Privatisasi, sebagaimana dituliskan Stephen Green di sub bab terdahulu, mempunyai beberapa tujuan utama, yaitu: 1. Meningkatkan efisiensi perusahaan, 2. Meminimalisir pelaksanaan korupsi dalam tata kelola perusahaan, 3. Mengembalikan aset-aset negara yang disalahgunakan oleh oknum pejabat negara ketika mengelola aset tersebut, dan yang paling penting adalah memperbaiki layanan publik.
Privatisasi Air di Indonesia •
• • •
Pada kenyataannya, setelah dilakukan privatisasi air oleh PAM Thames Jaya dan PAM Lyonnaise Jaya, pelayanan air tidak meningkat secara signifikan, hanya daerah-daerah di pusat kota seperti Menteng dan Pondok Indah yang meningkat pelayanannya secara signifikan. Kenyataannya, tarif air di Jakarta justru mengalami kenaikan. PAM Jaya masih meminta diberikannya subsidi dari pemerintah terkait dengan perbaikan infrastruktur. Hal ini tentunya sangat aneh dan absurd secara teoritis, di mana privatisasi seharusnya dapat menekan harga lebih murah dan merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab negara ke swasta, namun pada kenyataannya dalam privatisasi air di Jakarta, pemerintah masih melakukan subsidi dan tarif air naik
RELASI KUASA
Relasi Kuasa • Hubungan antara discourse, power, dan knowledge dalam kasus ini membuat sebuah bentuk hubungan bisnis semata dengan sistem “patronklien”. • Padahal, dalam kasus ini, air merupakan komoditas strategis publik yang seharusnya tidak dikelola dengan logika bisnis. • Naiknya harga air dalam privatisasi di Indonesia membuat posisi kaum miskin menjadi termarjinalkan. • Mereka tidak bisa mengakses air bersih akibat mahalnya harga air. • Dengan kondisi yang seperti ini terus menerus, posisi rakyat miskin menjadi makin kritis. • Penduduk miskin Jakarta sepertinya mustahil untuk membayar air sebesar Rp.5000,- per kubik jika pendapatan mereka di bawah Rp.10.000,- atau Rp.20.000,- per harinya (standar dari Bank Dunia mengenai kategori extreme poverty dan poverty).
Penutup • Dunia mencoba menawarkan solusi atas permasalahan program-program IMF yang cenderung “one size fits for all”. • Salah satu karya yang menarik perhatian publik adalah buku Joseph Stiglitz “Globalization and Its Discontents” yang menawarkan solusi yang disebut Post-Washington Consensus. Stiglitz mencoba merumuskan perlunya modal sosial guna mengentaskan masalah kemiskinan dan mencoba menekankan pada aktivitas non-ekonomi yang tidak hanya menekankan pada permasalahan perekonomian. • Namun, pemikiran Post-Washington Consensus ini juga bukan solusi sempurna. Banyak kritik dialamatkan terhadap penganut Post-Washington Consensus seperti Stiglitz, Jeffey Sachs, atau Kanishka Jayasuriya. Dari sini, banyak analisis yang berkembang, dan muncul dialektika-dialektika tersendiri dalam ranah studi pembangunan, ekonomi, maupun hubungan internasional.
Penutup • Namun dalam rangka memahami wajah peradaban Barat melalui pemikiran-pemikiran kontemporer – terutama pemikiran yang berakar dari tulisan Adam Smith, sebuah kritik muncul berkenaan dengan relasi antara kuasa dan pengetahuan. • Pemikiran yang selama ini banyak ditularkan oleh pemikirpemikir Barat kemudian dapat membentuk sebuah hegemoni, terutama melalui segitiga :
serta institusi.
ide, kapabilitas material,
• Merujuk pada pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni, sebuah hegemoni dapat dilawan dengan adanya organic intellectual. Artinya, posisi kaum intelektual sangat strategis dalam mengkonstruksi pemikiran serta menularkan pemikiran-pemikirannya dalam level yang lebih luas. • Hegemoni Barat yang telah dibentuk melalui ide-ide neoliberalnya, institusi keuangan global, serta kekuatan ekonomi yang besar, salah satunya melalui perusahaan multinasional bukan tidak mungkin suatu saat akan bergeser. Kemudian ketika hegemoni itu bergeser, relasi kuasa dan pengetahuan pun akan bergeser kepada “penguasa” baru dunia; untuk kembali melanggengkan dan mereproduksi kekuasaannya.
Tugas Kelompok: • Cari studi kasus: Privatisasi Pengelolaan Sumberdaya di Indonesia • Paper Makalah, maksimal 3 Halaman+Cover • Format tulisan opini • Dikumpulkan Rabu Depan
Pustaka Anna K. Dickson, Development and International Relations: A Critical Introduction, (Cambridge: Polity Press, 1997), hlm. Herman Sojavo, “Water Privatization Fiascos: Broken Promises and Social Turmoil,” dalam http://www.citizen.org/documents/privatizationfiascos.pdf, Rita Abrahamsen, Disciplining Democracy: Good Government and Development Discourse in Africa. (New York: Zed Books, 1999), hlm. 1. Wibowo dan Francis Wahono (eds.), Neoliberalisme, (Yogyakarta: Cindelaras, 2003), hlm. 275. Bonnie Setiawan, Menggugat Globalisasi, (Jakarta: INFID, 2000), hlm 8-9. Yujiro Hayami, “From Washington Consensus to Post Washington Consensus: Retrispect and Prospect”, dalam Asian Development Review, Vol. 20, No. 2, Tahun 2003, hlm. 55. Stephen Green, “Privatization in The Former Soviet Bloc: Any Lesson for China?”, The Royal Institute of International Affairs Asia Program Working Paper, No. 10, November 2003. Setyanto P. Santosa, “Quo Vadis Privatisasi BUMN?” dalam http://www.pacific.net.id/pakar/setyanto/tulisan_02.html Bonnie Setiawan, “The IMF Burden: The IMF has enriched corrupt official while burdening ordinary Indonesian with debts,” dalam http://www.elsam.or.id/txt/asasi/2002_0506/11.html. Herman Sajavo, Loc.Cit. “Water and Politics in the Fall of Soeharto”, dalam http://[14] “Water and Politics in the Fall of Soeharto”, Loc.Cit.
You’ll never Miss the Water, till Your well Runs Dry ~ William Christopher Handy, Joe Turner’s Blues (1915)~