SKRIPSI
Analisis Bantuan Luar Negeri Bank Dunia (World Bank) Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Periode 2007-2009 (Studi Kasus PNPM Mandiri)
Oleh Julian Muhammad Hasan 106083003655
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2011
i
Lembar Persetujuan Skripsi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK HUBUNGAN INTERNASIONAL
Nama
:
Julian Muhammad Hasan
NIM
:
106083003655
Menyetujui untuk diajukan pada Ujian Sidang jenjang Sarjana Jakarta, 2010
Mengetahui, Dosen Pembimbing
Penasihat Akademik
(Arisman, M.Si.)
(Ali Munhanif, Ph.D) NIP:150253408
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Analisis Bantuan Luar Negeri Bank Dunia (World Bank) Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Periode 2007-2009 (Studi Kasus PNPM Mandiri” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 16 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial.
Jakarta, Maret 2011 Sidang Munaqasyah Ketua,
Sekretaris,
Agus Nilmada Azmi, S.Ag, M.Si NIP. 197808042009121002
Dina Afrianty, Ph.D
Penguji I
Penguji II
M.Adian Firnas, M.Si
Kiky Rizky, M.Si NIP. 197303212008011002
Pembimbing
Arisman, M.Si
iii
Lembar Pernyataan Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sangsi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2010
Julian Muhammad Hasan 106083003655
iv
ABSTRAK
Bank Dunia yang merupakan sebuah lembaga multilateral saat ini sedang menghadapi sebuah tantangan global yaitu kemiskinan. Kemiskinan itu sendiri datang tidak hanya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia melainkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Disamping itu, Indonesia yang mengalami sebuah kemiskinan berusaha untuk mengentaskannya dengan bantuan luar negeri Bank Dunia demi mengejar target MDGs yang telah disepakati sebelumnya di tahun 2000. Di dalam skripsi ini penulis menggunakan metode kualitatif dan membahas mengenai “Analisis Bantuan Luar Negeri Bank Dunia (World Bank) Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Periode 2007-2009 (Studi Kasus PNPM Mandiri)”. Penelitian ini juga menganalisis tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemiskinan di Indonesia beserta bantuan luar negeri Bank Dunia dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia dalam mengejar target MDGs. Kata kunci: Bank Dunia, kemiskinan di Indonesia, bantuan luar negeri
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai akhir zaman kelak. Alhamdulillah, penulis dapat menyusun skripsi ini dengan judul “Analisis Bantuan Luar Negeri Bank Dunia (World Bank) Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Periode 2007-2009 (Studi Kasus PNPM Mandiri)”. Penulis sebagai manusia biasa menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, masih sangat banyak kekurangan dan kelemahan. Tentunya tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah memberi bantuan baik secara moril maupun materil, skripsi ini tidak akan bisa selesai.
Karena itu, pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis untuk menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bpk Arisman, M.Si selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi yang dengan sabar dan ikhlas membimbing saya dalam penulisan skripsi ini; 2. Ibu Dina Afrianty, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta; 3. Bpk Adian Firnas, S.Sos, M.Si, selaku dosen mata kuliah seminar yang telah mengawali skripsi saya di mata kuliah seminar;
vi
4. Kepada kedua orang tua saya yang turut serta memberikan dorongan dalam penyusunan skripsi ini; 5. Kepada semua pihak yang ikut mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu tanpa mengurangi rasa hormat.
Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan alhamdu lillahi rabbil 'alamin, syukur tak terhingga hanya kepada Allah SWT, kepada-Nyalah bermuara segala keberkahan. Akhirnya tiada kata lain yang lebih berarti selain sebuah doa dan harapan semoga hasil penelitian ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnnya.
Jakarta, 22 September 2010
Julian Muhammad Hasan (106083003655)
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ................................................................. ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................................... iii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv ABSTRAK ........................................................................................................... v KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ..............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN I.1
Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
I.2
Identifikasi Masalah .................................................................. 8
I.3
Kerangka Pemikiran .................................................................. 8 I.3.1 Kemiskinan ...................................................................... 10 I.3.2 Bantuan Luar Negeri ........................................................ 12 I.3.3 Neoliberalisme ................................................................ 18
BAB II
I.4
Metoda Penelitian ..................................................................... 21
I.5
Tujuan Penelitian ...................................................................... 21
I.6
Sistematika Penulisan ............................................................... 22
KEMISKINAN DI INDONESIA II.1 Masalah Kemiskinan di Indonesia ............................................ 24
viii
II.2 Ukuran dan Kemiskinan di Indonesia Menurut Bank Dunia ..... 32 II.2.1 Ukuran Kemiskinan Menurut Bank Dunia Secara Umum ................................................................. 32 II.2.2 Kemiskinan di Indonesia Menurut Bank Dunia .............. 35 BAB III
BANTUAN LUAR NEGERI BANK DUNIA DI INDONESIA III.1 Bantuan Luar Negeri Bank Dunia Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia .......................... 44 III.1.1 PNPM Mandiri ............................................................... 47
BAB IV
ANALISIS BANTUAN LUAR NEGERI BANK DUNIA DALAM KEMISKINAN DI INDONESIA IV.1 Efektivitas PNPM Mandiri Dalam Bantuan Luar Negeri ......... 56 IV.2 Dampak Bantuan Luar Negeri Bank Dunia Terhadap Indonesia ................................................................... 72
BAB V
PENUTUP V.1 Kesimpulan ............................................................................. 96
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... xii
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Pada Tahun 1999-2009 ...................................................................... 29
Tabel 2.
Hasil Kegiatan PPK/PNPM-PPK Tahun 2007 ................................... 63
Tabel 3.
Indikator Kinerja PNPM-PPK 2007 .................................................. 65
Tabel 4.
Indikator Kinerja PNPM-Perdesaan 2008 .......................................... 66
Tabel 5.
Hasil Capaian Untuk Penilaian Parameter “Input” ............................ 69
Tabel 6.
Efektivitas dan Status Kemiskinan di Indonesia Pada Tahun 1999-2009 ...................................................................... 71
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 9 Gambar 2. Cakupan PNPM Mandiri .................................................................... 51 Gambar 3. Proses Pemberdayaan Masyarakat Dalam PNPM Mandiri ............... 52 Gambar 4. Presentase Hasil PNPM-PPK per Jenis Kegiatan Tahun 2007 .......... 64 Gambar 5. Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Pada Tahun 1999-2009 .................. 70 Gambar 6. Persentase Penduduk Miskin (Juta) Pada Tahun 1999-2009 ............. 70 Gambar 7. Kerangka Dampak Bantuan Luar Negeri ......................................... 94
xi
BAB I PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Masalah Bank Dunia didirikan pada tanggal 27 Desember 1945. Lembaga ini
berdiri setelah ratifikasi internasional mengenai perjanjian yang dicapai pada konferensi 1 Juli 1944 di Kota Bretton Woods di negara Amerika Serikat. Markas Bank Dunia berada di Washington DC, Amerika Serikat. Secara teknis dan struktural, Bank Dunia termasuk salah satu badan PBB. Namun, secara operasional sangat berbeda dari badan PBB lainnya.1 Bank pembangunan
Dunia penting
memandang seperti:
dan
memperlakukan
pengentasan
kemiskinan,
sasaran-sasaran keberkelanjutan
lingkungan, dan pemerintahan yang bersih. Usaha-usaha penting Bank Dunia yang bertujuan menjawab sasaran pembangunan berkelanjutan melalui kebijakankebijakan, program-program dan struktur baru. Kemajuan-kemajuan yang harus dibuat untuk menjamin operasi dan kebijakan Bank Dunia dengan tidak merusak sasaran-sasaran tersebut, karena kesenjangan yang terus-menerus antara komitmen retorik Bank Dunia dan kenyataan-kenyataan dari tindakannya.2 Bank Dunia yang didirikan di Bretton Woods tersebut sebagai bagian dari arsitektur keuangan internasional pasca Perang Dunia II. Sistem ini dimaksudkan untuk menghindari perang dunia di masa depan dengan memastikan sistem perdagangan terbuka internasional dan stabilitas keuangan global. Pakar ekonom 1
2010, 1945 Bank Dunia Berdiri, dilihat pada tanggal 18 Maret 2011 pukul 10:20 WIB.
. 2 Frances Seymour, 1999, Tinjauan Umum dan Ringkasan Argumentasi, dilihat pada tanggal 12 Mei 2010 pukul 10:15 WIB, .
1
Maynard Keynes, yang meminta sebuah lembaga fokus pada rekonstruksi pasca perang dunia satu dan kemudian melakukan pembangunan di negara-negara miskin. Oleh karena itu, Bank Dunia didirikan yang diawali percobaan pada saat pasca perang besar (Perang Dunia II) dengan menggunakan pinjaman publik untuk pembangunan ekonomi.
3
Bank Dunia lebih memusatkan terhadap
pengentasan kemiskinan. Untuk lebih jelas tujuan Bank Dunia itu sendiri penulis akan menguraikan tujuan Bank dunia sebagai berikut :
Untuk membantu rekonstruksi dan pembangunan di daerah anggota dengan cara memfasilitasi investasi modal untuk tujuan produktif, termasuk pemulihan kembali ekonomi yang hancur atau rusak karena perang, perubahan kembali fasilitas-fasilitas produktif yang dibutuhkan untuk usaha damai dan dorongan pembanunan untuk fasiltas produktif dan sumber-sumber di negara-negara miskin.
Untuk mendorong investasi swasta luar negeri lewat jaminan atau partisipasi dalam pemberian pinjaman dan investasi lainnya oleh investor swasta; dan ketika modal swasta tidak tersedia dalam syarat-syarat yang wajar,
sebagai
tambahan
investasi
swasta
dengan
menyediakan,
berdasarkan persyaratan yang cocok, membiayai untuk tujuan-tujuan produktif di luar dari modal mereka sendiri, pengumpulan dan oleh sumber-sumber sendiri maupun sumber lainnya.
Untuk
mendorong
keseimbangan
perkembangan
jangka
panjang
perdagangan internasional dan untuk mempertahankan keseimbangan
3
Jessica Einhorn, 2004, “The World Bank‟s Mission Creep”, dalam Essential Readings in World Politics, Karen A. Mingst dan Jack L. Snyder, W.W. Norton & Company, New York. Hal. 430431.
2
saldo pembayaran dengan mendorong investasi internasional untuk kemajuan sumber-sumber produktif para anggota, dengan cara membantu menaikkan produktivitas, standar kehidupan dan keadaan buruh di daerah mereka.
Untuk menyusun pinjaman-pinjaman yang dibuat atau dijamin olehnya dalam hubungannya dengan pinjaman internasional melalui sumber lainnya sehingga dapat lebih berguna dan proyek-proyek yang mendesak, besar ataupun kecil, dapat diatasi segera.
Untuk menjalankan kegiatannya dengan dasar untuk mempengaruhi investasi internasional dalam persyaratan bisnis di dalam daerah anggota dan, dalam tahun tahun setelah perang, untuk membantu membuat masa transisi dari suasana perang ke keadaan ekonomi yang damai.4 Bank Dunia telah aktif di Indonesia sejak 1967. Saat itu, Indonesia
membutuhkan uang yang cukup banyak untuk mendanai pembangunan.
5
Kebijakan Bank Dunia pada tahun 1968 telah mendukung secara berurutan dalam lima proyek KB (Keluarga Berencana), yang total bernilai US$ 211,8 juta. Empat pinjaman pertama yang keseluruhannya berjumlah US$ 107,8 juta adalah pinjaman “bricks and mortar”, yaitu: 40% dana dialokasikan pada prasarana gedung, 26% untuk peralatan, perabotan dan kendaraan. Pinjaman-pinjaman tersebut memudahkan untuk merancang bahan-bahan pendidikan kependudukan,
4
Anggaran Dasar Bank Dunia (Bank For Reconstruction and Development), 1989, dilihat pada tanggal 12 Mei 2010 pukul 18:09 WIB, . 5 Ade Hapsari Lestarini, 2008, Total Utang RI ke World Bank Rp243,7 Trilyun, dilihat pada tanggal 04 Juni 2010 pukul 21:44 WIB, .
3
baik formal maupun non-formal.6 Pinjaman tersebut adalah bantuan luar negeri pertama Bank Dunia di Indonesia dalam pengentasan kemiskinan melalui program Keluarga Berencana. Bank Dunia dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia melihat ada tiga cara untuk membantu penduduk mengangkat diri mereka sendiri dari kemiskinan yaitu pertumbuhan ekonomi, layanan sosial, dan belanja publik. Masing-masing dari cabang ini mengatasi satu atau lebih ciri-ciri pembentuk kemiskinan di Indonesia: kerentanan, multidimensi dan kesenjangan sosial. Dengan kata lain, strategi kemiskinan yang efektif untuk Indonesia memiliki tiga komponen: membuat pertumbuhan ekonomi berguna bagi masyarakat miskin, membuat layanan sosial berguna bagi masyarakat miskin, membuat belanja publik berguna bagi masyarakat miskin.7 Karena Bank Dunia telah melihat adanya cara untuk membantu penduduk mengangkat diri mereka sendiri dari kemiskinan, maka pada bulan Agustus 2006 pemerintah Indonesia mengumumkan sejumlah prakarsa besar yang baru untuk pengentasan kemiskinan dan meluncurkan program pengentasan kemiskinan nasional yang terdiri pilar: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri).8 Program PNPM Mandiri ini juga didukung oleh Bank Dunia yang berupa bantuan luar nageri. PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pengertian yang terkandung mengenai PNPM Mandiri adalah : 6
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ATAS NAMA PEMBANGUNAN: Bank Dunia dan Hak Asasi Manusia di Indonesia, 1995, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta. Hal. 138. 7 The World Bank, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group), Jakarta. Hal. 50. 8 Ibid, Investing in Indonesia‟s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development. Hal. 6162.
4
1. PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program,
penyediaan
pendampingan
dan
pendanaan
stimulan
untuk
mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. 2. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai. 9 Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals/MDGs), yang disepakati para anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sebuah KTT global yang kemudian melahirkan Millennium Declaration, adalah suatu inisiatif global untuk mengurangi jumlah orang miskin di dunia menjadi separuhnya pada tahun 2015. 10 MDGs dideklarasikan pada tahun 2000 dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin di dunia dan proyek kemanusiaan selama 15 tahun (2000-2015) ini yang disepakati oleh semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia. Dalam deklarasi tersebut, diharapkan
9
Pengertian dan Tujuan PNPM Mandiri, dilihat pada tanggal 08 Juli 2010 pukul 11:08 WIB, . 10 Fabby Tumiwa, MDGs Saja Tidak Cukup!, dilihat pada tanggal 07 Juli 2010 pukul 16:35 WIB, .
5
semua negara anggota PBB, melalui berbagai upaya serius, dapat mengurangi jumlah penduduk miskin dan menghentikan perusakan lingkungan.11 Pada awal milenium baru suatu lembaga yang mewakili masyarakat dunia mengakui kebutuhan mendesak yang tersisa setelah hampir 60 tahun dalam upaya bersama. Tujuan
Pembangunan
Milenium
merupakan
suatu
cara
untuk
mengidentifikasi prioritas yang paling mendesak. Tujuan Pembangunan Milenium memiliki delapan tujuan (goals) yang harus dicapai oleh negara-negara berkembang dan juga negara-negara maju. Tujuan tersebut antara lain; 1) Menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan, 2) Mencapai pendidikan dasar universal, 3) Mempromosikan kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan, 4) Mengurangi tingkat kematian anak, 5) Meningkatkan kesehatan ibu, 6) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya, 7) Menjamin kelestarian lingkungan, 8) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. 12 Dari delapan tujuan MDGs tersebut salah satunya adalah mengenai tingkat kemiskinan dan kelaparan dan hal ini yang menjadi sebuah acuan Bank Dunia untuk membantu dalam menghapuskan tingkat kemiskinan dan kelaparan di Negara penerima. Dengan adanya target MDGs, Indonesia turut memacu diri untuk segera mengurangi angka kemiskinan, seiring dengan seruan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Annan, agar dunia sesuai dengan target
11
Posman Sibuea, MDGs dan Pembangunan Berkelanjutan, dilihat pada tanggal 18 Maret 2011 pukul 10:40 WIB, . 12 John Fiend dan Phillip Hughes, 2007, “Education For The End Of Poverty: Three Ways Forward”, dalam Education For The End Of Poverty Implementing All The Millenium Development Goals, Matthew Clarke dan Simon Feeny, Nova Science, New York. Hal. 12.
6
MDGs pada tahun 2015 dapat mengurangi angka kemiskinan secara signifikan.13 Untuk mencapai tujuan MDGs tahun 2015 diperlukan koordinasi, kerjasama serta komitmen dari seluruh pemangku kepentingan, utamanya pemerintah (nasional dan lokal), masyarakat sipil, akademia, media, sektor swasta dan komunitas donor. Bersama-sama, kelompok ini akan memastikan kemajuan-kemajuan yang telah dicapai tersebar merata di seluruh Indonesia. Pemerintah Indonesia tetap memegang komitmennya untuk melaporkan kemajuan pencapaian MDGs.14 Disamping itu, Bank Dunia menilai baik kinerja Indonesia dalam upaya pencapaian Target Pembangunan Milenium (MDGs), namun masih ada perbaikan yang mendesak di sejumlah hal. Kinerja Indonesia dianggap cukup baik antara lain terkait dengan upaya pencapaian sasaran penghapusan kemiskinan yang ekstrem atau penduduk dengan pendapatan di bawah satu dolar AS per hari.15 Di tahun 2006, persentase penduduk yang hidup dengan kurang dari US$1 per hari jauh berada di bawah sasaran MDG yaitu 10,3 persen. Oleh karena itu, terdapat perbaikan-perbaikan yang menonjol dalam pencapaian pendidikan di tingkat dasar. Selain itu, Akses ke sarana air yang lebih baik telah meningkat drastis, meskipun masih cenderung rendah bagi masyarakat miskin.16 Maka, dalam hal ini Bank Dunia dapat disebut juga sebagai jembatan Indonesia menuju target MDGs di tahun 2015 untuk mengurangi kemiskinan.
13
Soetanto Hadinoto dan Djoko Retnadi, 2007, Micro Credit Challenge: Cara Efektif Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran Di Indonesia, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Hal. 279. 14 The Efforts to Achieve the MDGs in Indonesia, dilihat pada tanggal 07 Juli 2010 pukul 22:30 WIB . 15 Bank Dunia Puji RI dalam Pencapaian MDG, dilihat pada tanggal 07 Juli 2010 pukul 21:14 WIB, . 16 The World Bank, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group), Jakarta. Hal. 49.
7
I.2
Identifikasi Masalah Penulis membatasi rumusan masalah dengan mengajukan beberapa
pertanyaan diantaranya yaitu: 1. Sejauh mana efektivitas PNPM Mandiri dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia? 2. Bagaimana dampak bantuan luar negeri Bank Dunia terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia? I.3
Kerangka Pemikiran Sesuatu masalah bisa terjadi pasti ada faktor penyebabnya. Kejadian yang
tidak diinginkan/diharapkan tersebut bisa dinyatakan sebagai perubahan nilai suatu variabel dan variabel ini disebut variabel dependen/tak bebas (dependent variable). Suatu kejadian bisa berubah, pasti ada faktor penyebabnya. Faktor penyebab ini disebut variabel independen/bebas (Independent variable). Penentuan suatu faktor menjadi penyebab sebagai variabel independen/bebas didasarkan pada teori yang ada, hasil penelitian sebelumnya, atau berdasarkan pemikiran hipotesis baik berdasarkan harapan (expectation) atau hal-hal yang masuk akal (common-sense). Jadi masalah itu sebetulnya merupakan hubungan antarvariabel yaitu antara variabel independen/bebas (mempengaruhi) dan dependen/tak bebas (dipengaruhi).17 Mohtar Mas‟oed juga menjelaskan bahwa proses memilih tingkat analisa menetapkan “unit analisa” (sebuah kemiskinan di Indonesia), yaitu yang perilakunya hendak dideskripsikan, dijelaskan dan diramalkan (variabel 17
J. Supranto, 2004, Proposal Penelitian Dengan Contoh, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. Hal. 11-12.
8
dependen) dan “unit eksplanasi” (Bantuan Luar Negeri Bank Dunia di Indonesia), yaitu yang dampaknya terhadap unit analisa yang hendak diamati (variabel independen).18 Di dalam penelitian ini merupakan sebuah variabel-variabel yang telah dijelaskan diatas, adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini sebagai berikut: Gambar 1. Kerangka Pemikiran Kemiskinan Di Indonesia
Program PNPM Mandiri
Pencapaian Target MDGs
Bantuan Luar Negeri
Gambar 1 merupakan kerangka pemikiran yang akan diteliti yaitu, dengan adanya sebuah kemiskinan di Indonesia di tahun 1999-2009 dan program PNPM Mandiri, yang menimbulkan adanya bantuan luar negeri Bank Dunia di Indonesia. Disamping itu, Bank Dunia sendiri memiliki sebuah kebijakan-kebijakan yang sebagaimana telah ditetapkan oleh Bank Dunia. Dengan adanya bantuan luar negeri tersebut pemerintah dan Bank Dunia berusaha dan memanfaatkannya untuk mengentaskan kemiskinan yang terjadi di Indonesia menjadi sebuah program PNPM Mandiri pada tahun 2007-2009. Program PNPM Mandiri juga akan turut mensukseskan dalam pencapaian target MDGs di tahun 2015. Dengan adanya permasalahan tersebut penulis akan menganalisis dan meneliti lebih dalam.
18
Mohtar Mas‟oed, 1994, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, PT Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. Hal. 35
9
I.3.1
Kemiskinan Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi oleh
manusia. Masalah kemiskinan itu sama tuanya dengan usia kemanusiaan itu sendiri dan implikasi permasalahannya dapat melibatkan keseluruhan aspek kehidupan manusia; walaupun, seringkali tidak disadari kehadirannya sebagai masalah oleh manusia yang bersangkutan. Bagi mereka yang tergolong miskin, kemiskinan merupakan sesuatu yang nyata ada dalam kehidupan mereka seharihari; karena mereka itu merasakan dan menjalani sendiri bagaimana hidup dalam kemiskinan. Walaupun demikian belum tentu mereka itu sadar akan kemiskinan yang mereka jalani. Kesadaran akan kemiskinan yang mereka miliki itu, baru terasa pada waktu mereka membandingkan kehidupan yang mereka jalani dengan kehidupan orang lain yang tergolong mempunyai tingkat kehidupan sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Secara singkat, Parsudi Suparlan mendefinisikan kemiskinan sebagai: Suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.19 Menurut Muhammad Yunus, kemiskinan dapat dihapuskan karena kemiskinan bukan sifat alamiah manusia dan kemiskinan itu dipaksakan pada mereka. 20 Ruth Lister menguraikan bahwa kemiskinan itu adalah hal dalam ketidakmampuan seseorang untuk berpartisipasi dalam masyarakat, yang
19
Parsudi Suparlan, 1995, Kemiskinan di Perkotaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hal. x-xi. Muhammad Yunus, 2007, Creating a World Without Poverty: Social Business and The Future Of Capitalism, Public Affairs, New York. Hal. 247. 20
10
melibatkan seseorang itu baik berpenghasilan rendah maupun standar hidup yang rendah.21 Amartya Kumar Sen pun melihat kemiskinan berupa: Poverty must be seen as the deprivation of basic capabilities rather than merely as lowness of incomes, which is the standard criterion of identification of poverty. The perspective of capability-poverty does not involve any denial of the sensible view that low income is clearly one of the major causes of poverty, since lack of income can be a principal reason for a person's capability deprivation. Indeed, inadequate income is a strong predisposing condition for an impoverished life.22 Perspektif Amartya Kumar Sen bahwa berpenghasilan rendah yang sudah sangat jelas bahwa hal itu adalah salah satu penyebab utama kemiskinan terjadi. Karena kurangnya pendapatan bisa menjadi alasan utama dalam kekurangan kemampuan seseorang. Memang, pendapatan yang tidak memadai merupakan kondisi kehidupan yang cenderung kuat dalam kemiskinan. Di tahun 2009 Amartya Kumar Sen menambahkan bahwa hubungan sumber penghasilan dan kemiskinan adalah variabel yang saling berhubungan dan sangat bergantung pada karakteristik masing-masing seseorang dan lingkungan di mana mereka hidup, baik di alam maupun di ruang lingkup sosial. Distribusi sarana dan kesempatan dalam keluarga menimbulkan komplikasi lebih lanjut dalam pendekatan pendapatan terhadap kemiskinan. Tercatat bahwa penghasilan anggota keluarga cukup produktif, tetapi tidak semua setiap individu akan mendapatkannya karena terlepas dari usia, jenis kelamin dan kemampuan kerja.23 Konsep garis kemiskinan menurut Bank Dunia bisa dikelompokan dalam dua kategori, yaitu kemiskinan absolut (dengan penghasilan dibawah USD $1 per
21
Ruth Lister, 2004, Poverty, Polity Press, Cambridge. Hal. 15. Amartya Kumar Sen, 2001, Development As Freedom, Oxford University Press, New York. Hal. 87. 23 Amartya Kumar Sen, 2009, The Idea Of Justice, The Belknap Press Of Harvard University Press, Cambridge. Hal. 254-257. 22
11
hari) dan kemiskinan relatif.24 Kemiskinan absolut adalah ukuran (poverty band) yang digunakan untuk menentukan tingkat kemiskinan individu dengan menggunakan indikator seperti kapasitas untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, akses terhadap air bersih dan kesehatan. Individu yang tidak memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan dasar ini diasumsikan sebagai miskin dan hidup dalam garis kemiskinan. Sedangkan kemiskinan relatif, kategori ini cenderung bersifat subjektif karena lebih merupakan kemiskinan yang dirasakan sendiri secara subjektif oleh individu yang bersangkutan; dan terdapat unsur kecemburuan sosial serta dorongan untuk membandingkan dirinya dengan yang lain.25
I.3.2
Bantuan Luar Negeri Bantuan luar negeri merupakan salah satu instrumen kebijakan yang sering
digunakan dalam hubungan luar negeri. Secara umum bantuan luar negeri dapat didefinisikan sebagai transfer sumber daya dari satu pemerintah ke pemerintah lain yang dapat berbentuk barang atau dana. Ada empat teori mengenai bantuan luar negeri menurut Pearson dan Payasilian yang sebagaimana dikutip oleh Anak Agung dan Yanyan, yaitu:
Aliran realis menyatakan bahwa tujuan utama dari bantuan luar negeri adalah bukan untuk menunjukkan idealisme abstrak aspirasi kemanusiaan tetapi
24
The World Bank, 2000, Making Transition Work For Everyone Poverty and Inequality In Europe And Central Asia, The International Bank For Reconstruction and Development/The World Bank, Washington DC. Hal. 370. 25 Dewi Sinorita Sitepu, 2005, “Utang Luar Negeri dan Problem Kemiskinan Negara Berkembang”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. Hal. 4.
12
untuk proyeksi power nasional. Bantuan luar negeri merupakan komponen penting bagi kebijakan keamanan internasional.
Teori ketergantungan (dependensia) menyatakan bahwa bantuan luar negeri digunakan oleh negara kaya untuk mempengaruhi hubungan domestik dan luar negeri negara penerima bantuan, merangkul elit politik lokal di negara penerima bantuan untuk tujuan komersil dan keamanan nasional. Kemudian, melalui jaringan internasional, keuangan internasional dan struktur produksi, bantuan luar negeri ditujukan untuk mengeksploitasi sumber daya alam negara penerima bantuan. Sehingga, para penganut teori dependensia menganggap bahwa bantuan luar negeri dapat digunakan sebagai sebuah instrumen untuk perlindungan dan ekspansi negara kaya ke negara miskin, sebuah sistem untuk mengekalkan ketergantungan.
Aliran moralis/idealis menyatakan bahwa bantuan luar negeri secara esensial merupakan gerakan kemanusiaan yang menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan internasional. Menurut aliran idealis, negara yang lebih kaya memiliki tanggungjawab moral untuk mempererat kerjasama Utara-Selatan yang lebih besar dan merespon kebutuhan pembangunan ekonomi dan sosial di Selatan. Maka itu, moralis berpendapat bahwa bantuan luar negeri mendorong dukungan yang saling menguntungkan (mutual supportive) dan hubungan menguntungkan sejalan dengan pembangunan ekonomi dan hak asasi manusia, hukum dan ketertiban internasional.
Teori bureaucratic incrementalist menyatakan bahwa bantuan luar negeri sebagai kebijakan publik, produk dari politik domestik yang melibatkan opini publik, kelompok kepentingan, dan institusi pemerintah yang secara langsung
13
terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang mempromosikan kepentingan nasional melalui agenda politik. Teori ini juga menyatakan bahwa tujuan yang dikejar
negara
donor
dalam
lingkup
kepentingan
ekonomi
politik
internasional, antara lain kombinasi tujuan kemanusiaan, geopolitik, ideologi, kepentingan komersil, masalah lingkungan, dan berbagai faktor dalam politik domestik.26 Di dalam buku Ekonomi Politik Internasional 2 yang ditulis oleh Yanuar Ikbar bahwa pengertian bantuan luar negeri itu sendiri sesungguhnya bermacammacam, tergantung pada konteks dan tujuan analisisnya. Secara sederhana, bantuan luar negeri dapat didefinisikan sebagai: Segala sesuatu yang berurusan dengan pemindahan sumber-sumber kebendaan material dan jasa-jasa dari negara tertentu terhadap negara lainnya yang memerlukannya dalam suatu ikatan transaksi berbentuk pinjaman, pemberian, dan penanaman modal asing. Kemudian ada pula definisi atau pun pemahaman mengenai hal diatas menurut Michael Todaro yang sebagaimana dikutip oleh Yanuar Ikbar, bahwa bantuan luar negeri sebagai setiap arus modal yang mengalir ke negara Dunia Ketiga, intinya memenuhi kriteria: a. Dari segi negara donor (pemberi bantuan), tujuan-tujuan itu haruslah nonkomersial; dan b. Bantuan itu harus memenuhi syarat-syarat konsesional, dengan suku bunga dan jangka waktu pembayaran kembali modal yang dipinjamkan secara lunak atau tidak memberatkan negara peminjam.
26
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 81-82.
14
c. Sebaliknya dengan syarat-syarat pinjaman poin (b), ialah pinjaman komersial dengan suku bunga lunak dan jangka pengembalian berjangka pendek atau menengah.27 Carol Lancaster melihat bantuan luar negeri adalah sebuah konsep yang rumit. Kadang-kadang dianggap sebagai sebuah kebijakan. Hal ini bukanlah sebuah kebijakan tetapi sebagai alat kebijakan. Kadang-kadang bantuan luar negeri dianggap sebagai untuk kebutuhan perdagangan dan militer. Bantuan luar negeri juga dapat didefinisikan sebagai: Sebuah transfer sukarela untuk mengembangkan sumber daya masyarakat, dari sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau sebuah organisasi internasional (seperti Bank Dunia atau Program Pembangunan PBB) dengan setidaknya 25 persen unsur hibah, yang salah satu tujuannya untuk kondisi manusia dengan lebih baik di negara penerima bantuan. 28 Bantuan luar negeri umumnya tidak ditujukan untuk kepentingan politik jangka pendek melainkan untuk prinsip-prinsip kemanusiaan atau pembangunan ekonomi jangka panjang. Dalam jangka panjang bantuan luar negeri dimaksudkan untuk membantu menjamin beberapa tujuan politik negara donor yang tidak dapat dicapai hanya melalui diplomasi, propaganda atau kebijakan publik. Paling tidak ada dua syarat aliran modal dari luar negeri merupakan bantuan luar negeri, yaitu:
Aliran modal dari luar negeri tersebut bukan didorong untuk mencari keuntungan;
27
Yanuar Ikbar, 2007, Ekonomi Politik Internasional 2 (Implementasi Konsep dan Teori), PT Refika Aditama, Bandung. Hal. 188-189. 28 Carol Lancaster, 2007, Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics, The University Of Chicago Press, London. Hal. 9.
15
Aliran modal dari luar negeri atau dana tersebut diberikan kepada negara penerima atau dipinjamkan dengan syarat yang lebih ringan daripada yang berlaku dalam pasar internasional. Karena itu, aliran modal dari luar negeri yang tergolong sebagai bantuan
luar negeri dapat berupa pemberian (grant) dan pinjaman luar negeri (loan) yang diberikan oleh negara-negara donor atau badan-badan internasional yang khusus dibentuk untuk memberikan pinjaman luar negeri, seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank), Dana Moneter International (International Monetary Fund), dan sebagainya.29 Program bantuan luar negeri ini biasanya saling menguntungkan kedua pihak. Pihak penerima memperoleh pinjaman dana, perlengkapan, pengetahuan yang diharapkan mampu mengikuti dinamika ekonomi modern, stabilitas politik dan
keamanan
militer.
Sedangkan
pihak
pemberi
atau
donor
tanpa
memperhitungkan jenis-jenis persyaratannya selalu mengharapkan keuntungan politik dan ekonomi baik langsung maupun jangka panjang, yang tidak bisa diperoleh sepenuhnya melalui diplomasi, propaganda atau kebijakan militer. Hal itu dikarenakan sebagai instrumen kebijakan luar negeri, bantuan luar negeri merupakan tindakan ekonomi yang memiliki sifat dan efektivitas berbeda dibandingkan
diplomasi
dan
propaganda.
Diplomasi
dan
propaganda
mengandalkan personel untuk memanfaatkan situasi dan tatanan internasional yang ada. Sedangkan bantuan luar negeri lebih mengandalkan kapabilitas dalam bentuk modal, sumber daya serta kemampuan manajerial.
29
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 82-83.
16
Teknik pemberian bantuan luar negeri dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral. Dengan kata lain, pemberian bantuan luar negeri dapat dilakukan antar pemerintah (government to government) atau melalui lembaga keuangan internasional, seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank (Bank Dunia), Asian Development Bank (ADB), dan sebagainya. Namun, dikaji dari segi urgensinya bantuan luar negeri secara bilateral memiliki ikatan politik yang lebih kuat daripada bantuan luar negeri secara multilateral dan juga secara khusus lebih sensitif terhadap kondisi politik domestik. Sifat urgensi di atas tidak terlepas juga dari motivasi para pemberi bantuan luar negeri (negara donor). Terdapat empat kategori motivasi negara donor, yaitu:
Pertama, motif kemanusiaan yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan di negara dunia ketiga melalui dukungan kerjasama ekonomi.
Kedua, motif politik yang memusatkan tujuan untuk meningkatkan image negara donor. Peraihan pujian menjadi tujuan dari pemberian bantuan luar negeri baik dari politik domestik dan hubungan luar negeri donor.
Ketiga, motif keamanan nasional, yang mendasarkan pada asumsi bahwa bantuan luar negeri dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang akan mendorong stabilitas politik dan akan memberikan keuntungan pada kepentingan negara donor. Dengan kata lain, motif keamanan memiliki sisi ekonomi.
Keempat, motif yang berkaitan dengan kepentingan nasional negara donor. Dari keempat motivasi di atas terlihat bahwa pada hakikatnya bantuan luar
negeri (foreign aid) merupakan bantuan yang diberikan kepada suatu negara oleh pemerintah negara lainnya atau lembaga internasional berupa bantuan ekonomi,
17
sosial, dan militer yang diberikan secara bilateral atau multilateral oleh badan internasional. Tujuan pemberian bantuan luar negeri antara lain mendukung persekutuan, membangun ekonomi, meraih dukungan ideologis, memperoleh bahan baku strategis, kemanusiaan, serta menyelamatkan kehidupan bangsa dari bahaya keruntuhan ekonomi ataupun bencana alam.30
I.3.3
Neoliberalisme Neoliberalisme adalah pendekatan teoritis untuk hubungan internasional
yang mengacu pada konsep rasionalitas dan kontraktor, dan memfokuskan perhatian pada peran sentral dari lembaga-lembaga dan organisasi dalam politik internasional.31 Disamping itu, Adam Smith yang sebagaimana dikutip oleh David N. Balaam dan Michael Veseth yang berpandangan bahwa liberalisme itu berkenaan dengan sebuah pasar yang biasa disebut “invisible hand” atau tangantangan yang tidak nampak yang terbagi dari 2 bagian, yaitu: sebuah kepentingan diri sendiri dan sebuah persaingan dalam pasar.32 Revolusi neoliberalisme ini bermakna dalam bergantinya sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan. Sehingga menurut kaum neoliberal, sebuah perekonomian dengan inflasi rendah dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik.
30
Ibid. “Pengantar Ilmu Hubungan Internasional”. Hal. 83-84. Tim Dunne, Milja Kurki, Steve Smith, 2007, International Relations Theories (Discipline and Diversity), Oxford University Press, New York. Hal. 110. 32 David N. Balaam dan Michael Veseth, 2005, Introduction to International Political Economy, Pearson Education, New Jersey. Hal. 50 31
18
Dalam titik ini pemerintah menjalankan kebijakan-kebijakan memotong pengeluaran, memotong biaya-biaya publik seperti subsidi, sehingga fasilitasfasilitas untuk kesejahteraan publik harus dikurangi. Akhirnya logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik. Ini menjadi pondasi dasar neoliberalisme, menundukan kehidupan publik ke dalam logika pasar. Semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara harusnya menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggara bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi ekonomi bagi pemerintah. Pelayanan publik semata, seperti subsidi dianggap akan menjadi pemborosan dan inefisiensi. Neoliberalisme tidak mengistimewakan kualitas kesejahteraan umum. Dalam penyebaran neoliberalisme, penerapan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara mencolok dimotori oleh Inggris melalui pelaksanaan privatisasi seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mereka. Penyebarluasan agendaagenda ekonomi neoliberal ke seluruh penjuru dunia, menemukan momentum setelah dialaminya krisis moneter oleh beberapa Negara Amerika Latin pada penghujung 1980-an. Dalam rangka menanggulangi krisis moneter yang dialami oleh beberapa negara Amerika Latin, bekerja sama dengan Departemen Keuangan AS (Amerika Serikat) dan Bank Dunia (World Bank), IMF (International Monetary Fund) sepakat meluncurkan sebuah paket kebijakan ekonomi yang dikenal sebagai paket kebijakan Konsensus Washington (Washington Consensus). Agenda pokok paket kebijakan Konsensus Washington yang menjadi menu dasar program penyesuaian struktural IMF tersebut dalam garis besarnya meliputi : (1) pelaksanan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi negara dalam berbagai bentuknya,
19
(2) pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan, (3) pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN.33 Konsensus Washington yang mempunyai tiga pilar utama: deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi pasar. “Konsensus” tersebut kemudian diperinci atas sepuluh bagian. Elemen-elemennya adalah disiplin fiskal yang konservatif, prioritas pengeluaran publik dalam anggaran pemerintah, perluasan basis pemungutan
pajak,
liberalisasi
finansial,
kebijakan
nilai
tukar
yang
berkredibilitas, liberalisasi perdagangan melalui pengurangan restriksi-restriksi kualitatif, meningkatkan kompetisi perusahaan domestik dan asing berdasarkan efisiensi, privatisasi (termasuk terhadap BUMN), promosi deregulasi, dan perlindungan hak milik intelektual. Konsensus Washington juga merupakan tonggak yang penting artinya dalam hubungan ekonomi antara negara maju dan berkembang, karena kesepakatan tersebut kemudian digunakan sebagai prasyarat pemberian hutang dan bantuan ekonomi pada Negara-negara berkembang. Artinya, apabila sebelumnya hubungan ekonomi tidak mempunyai kandungan politik, maka setelah ini hubungan ekonomi diberi prasyarat dipenuhinya sejumlah kondisi ekonomi yang harus dipenuhi oleh negara dalam bentuk kebijakan, yang merupakan ranah politik. Persyaratan politik telah dimasukkan ke dalam hubungan ekonomi antara negara industri maju dan negara berkembang melalui
33
Riant Nugroho dan Randy R. Wrihatnolo,. 2008, Manajemen Privatisasi BUMN, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Hal. 53-54.
20
neoliberalisme, yang dimulai sejak akhir 1940an, dan terkristalisasi dalam Konsensus Washington pada dasawarsa 1980an.34 I.4
Metoda Penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang bertumpu pada beberapa aliran,
tradisi, atau teori yang kesemuanya menekankan pada pentingya pengembangan penyusunan teori yang ditandai dengan strategi induktif empiris.35 Sebagai contoh kualitatif adalah penelitian yang dikonseptualisasikan sebagai studi kasus dan berfokus pada interpretasi, hal ini yang melibatkan data kualitatif. Atau, sebagai contoh metode campuran, mungkin sebuah survei kuantitatif yang akan diikuti dengan data kualitatif.36 Penelitian ini akan menggunakan
data sekunder. Melalui studi
kepustakaan yang diharapkan dapat mempelajari “Analisis Bantuan Luar Negeri Bank Dunia (World Bank) Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Periode 2007-2009 (Studi Kasus PNPM Mandiri)” secara teoritis maupun empiris. Sumber-sumber data ini berupa buku, jurnal, internet, hasil penelitian dan penerbitan-penerbitan lainnya. I.5
Tujuan Penelitian Penelitian yang berjudul “Analisis Kebijakan Bantuan Luar Negeri Bank
Dunia (World Bank) Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Periode 20072009 (Studi Kasus PNPM Mandiri)” yang bertujuan untuk melihat sejauh mana
34
A. Irawan J.H., 2007, “Ekspansi Global Neo-Liberalisme”, dalam Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional (Aktor, Isu dan Metodologi), Yulius P. Hermawan, Graha Ilmu, Yogyakarta. Hal. 104-105. 35 Bagong Suyanto dan Sutinah ed., 2007, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Kencana, Jakarta. Hal. 177-179. 36 Keith F. Punch, 2000, Developing Effective Research Proposals, SAGE Publications, London. Hal. 51.
21
efektivitas bantuan luar negeri Bank Dunia terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia dan melihat bagaimana dampak yang terjadi dari bantuan luar negeri Bank Dunia di Indonesia. Disamping itu juga untuk melihat bagaimana pandangan Bank Dunia dalam pengentasan kemiskinan diikuti dengan penjelasan tentang strategi Bank Dunia dalam menurunkan angka kemiskinan. I.6
BAB I
Sistematika Penulisan
PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah I.2 Perumusan Masalah I.3 Kerangka Teori I.4 Metoda Penelitian I.5 Tujuan Penelitian I.6 Sistematika Penulisan
BAB II KEMISKINAN DI INDONESIA Membahas masalah kemiskinan yang terjadi di Indonesia (1999-2009) yang merupakan penyebab terjadinya bantuan luar negeri, seperti; menjelaskan kemiskinan yang terjadi di Indonesia dan disertai pula pandangan Bank Dunia dalam kemiskinan di Indonesia.
BAB III BANTUAN LUAR NEGERI BANK DUNIA DI INDONESIA Membahas tentang kebijakan bantuan luar negeri Bank Dunia dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia, seperti; menjelaskan sebuah bantuan luar
22
negeri Bank Dunia dan bentuk program pengentasan kemiskinan yaitu PNPM Mandiri.
BAB IV
ANALISIS BANTUAN LUAR NEGERI BANK DUNIA DALAM KEMISKINAN DI INDONESIA
Menganalisis masalah yang terjadi antara kemiskinan di Indonesia dan bantuan luar negeri Bank Dunia, seperti; sejauh mana efektivitas bantuan luar negeri/PNPM-Mandiri terhadap Indonesia (disertai tabel-tabel), relevansinya terhadap neoliberalisme dan dampaknya terhadap bantuan luar negeri Bank Dunia.
BAB V PENUTUP Kesimpulan
23
BAB II KEMISKINAN DI INDONESIA
II.1
Masalah Kemiskinan di Indonesia
Kemiskinan di Indonesia memang terjadi sangat rumit, pada pertengahan tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang cukup parah. Kontraksi ekonomi tersebut menimbulkan dampak sosial yang sangat besar dan membalikkan banyak kemajuan di sektor sosial yang telah dicapai dalam dekade sebelumnya. Dalam pasar tenaga kerja, tingkat pengangguran meningkat sedikit dari 4,7 persen pada tahun 1997 menjadi 5,5 persen pada tahun 1998, upah riil menurun sekitar sepertiga. Tingkat kemiskinan selama krisis, dari awal terjadinya krisis pada pertengahan tahun 1997 ke puncak krisis pada akhir tahun 1998 telah meningkat menjadi 164 persen. Jelas bahwa kemiskinan meningkat dengan cepat seiring dengan memburuknya krisis ekonomi, hal ini menyiratkan bahwa sejumlah besar mengalami kemiskinan dalam waktu singkat.37 Disamping itu, dalam mencari penyebab krisis ekonomi tersebut, hal ini menjadi pusat perhatian di dalam pemerintahan. Penyebab krisis ekonomi tersebut adalah bahwa ada terjadinya pemerintahan yang buruk (bad governance), yang biasa dikenal sebagai KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) di Indonesia yang telah melemahkan perekonomian Indonesia, sehingga menimbulkan penderitaan dari krisis periodik. Karena masalah tersebut, Indonesia menempati bagian atas dalam daftar negara-negara paling korup di dunia dalam waktu yang lama. 37
Asep Suryahadi dan Sudarno Sumarto, 2010, “Poverty and Vulnerability In Indonesia Before and After The Economic Crisis”, dalam Poverty and Social Protection In Indonesia, Joan Hardjono, Nuning Akhmadi dan Sudarno Sumarto, ISEAS Publishing, Pasir Panjang. Hal. 36-37.
24
Disamping itu, pengurangan kemiskinan dan tata pemerintahan merupakan kedua hal yang saling terkait. Tata pemerintahan yang buruk telah melakukan upayaupaya penanggulangan kemiskinan yang tidak efektif, sementara proyek-proyek pengurangan kemiskinan malah menyediakan lahan subur bagi korupsi.38 Dengan adanya korupsi tersebut, secara tidak langsung hal ini juga merugikan masyarakat miskin, yaitu: 1. Peningkatan harga barang dan jasa yang harus dibayar oleh masyarakat miskin; 2. Mengurangi pendapatan oleh penduduk miskin dengan cara pajak semi-legal, ilegal dan retribusi; 3. Adanya tindakan dukungan untuk masyarakat miskin, padahal hal itu malah justru sebaliknya; 4. Menciptakan ketimpangan atau ketidaksamaan dalam kepemilikan aset, karena orang-orang kaya dapat mempengaruhi pemerintah untuk mengejar kebijakan yang akan meningkatkan kekayaan mereka sendiri (seperti perlakuan pajak yang menguntungkan dan nilai tukar mata uang) yang tidak tersedia bagi masyarakat miskin; dan 5. Mencegah orang miskin dalam melakukan investasi baru atau membuka bisnis baru, karena mereka tahu bahwa orang-orang yang berbisnis akan selalu menang dan terhubung dengan kontrak proyek-proyek pemerintah, karena adanya praktek korupsi. Akibatnya, mereka tidak dapat meningkatkan standar kehidupan mereka, dan menjadikan selalu tetap miskin.
38
Sudarno Sumarto, Asep Suryahadi, Alex Arifianto, 2003, “Governance and Poverty Reduction: Evidence From Newly Decentralized Indonesia”, dalam The Role Of Governance In Asia, Yasutami Shimomura, Japan Institute Of International Affairs and ASEAN Foundation, Singapore. Hal. 28.
25
Singkatnya, ada sebuah konsensus yang kuat bahwa tata kelola pemerintahan yang baik itu sangat diperlukan bagi upaya untuk pengurangan kemiskinan secara efektif dan untuk mengurangi adanya praktek korupsi. 39 Pada tahun 2000-2005 jumlah penduduk miskin malah cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005.40 Tetapi di awal tahun 2005, telah dindikasikan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia telah mencapai 51%, atau mencapai 114,64 juta jiwa. Diduga bahwa kenaikan jumlah penduduk miskin itu disebabkan oleh beberapa hal yang saling berkaitan. Hal-hal tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Gelombang Tsunami yang melanda Provinsi Aceh dan sebagian wilayah Sumatera Utara telah menyebabkan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat lenyap dari dua wilayah tersebut. Memang banyak juga mereka yang tinggal di wilayah itu selamat dari musibah tersebut. Tapi satu hal yang pasti bahwa hal ini akan berimplikasi terhadap penambahan jumlah pengangguran dan kemiskinan dari penduduknya. 2. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi beberapa kali hingga awal bulan Oktober di tahun 2005 ini tentu telah membebani biaya-biaya produksi. Ini tentu pada gilirannya mengakibatkan turunnya kemampuan daya beli, dan bahkan hanya untuk bertahan hidup pun, bagi masyarakat yang secara umum memang sudah sangat berat saat ini. Dampak ikutan berikutnya
39
Ibid. “Governance and Poverty Reduction: Evidence From Newly Decentralized Indonesia”. Hal. 32-33. 40 Berita Resmi Statistik, 2009, Badan Pusat Statistik, No. 43/07/Th. XII. Hal. 1.
26
yakni meningkatnya jumlah orang yang dikategorikan sebagai penduduk miskin. 3. Kenaikan harga minyak internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah tampaknya juga bisa dilihat sebagai penyebab yang berpengaruh terhadap melemahnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan produk-produk primer, apalagi sekunder, yang memang diperlukan selama ini dalam kehidupan mereka sehari-hari.41 Terkait dalam hal tersebut, faktor utama yang menyebabkan peningkatan angka kemiskinan di Indonesia secara signifikan bukanlah kenaikan harga BBM, melainkan kenaikan harga beras. Ada dua alasan dalam hal tersebut, yaitu; Pertama, kenaikan harga BBM, pada April dan Oktober 2005 yang secara kumulatif mencapai rata-rata 143 persen, hanya menurunkan kesejahteraan masyarakat miskin, karena telah dimbangi dengan program bantuan langsung tunai (BLT). Kedua, tiga per empat dari orang miskin merupakan konsumen bersih (net consumer) beras, sehingga kenaikan harga beras berpengaruh secara signifikan terhadap kenaikan angka kemiskinan.42 Dampak dari perubahan harga tersebut sudah bisa ditebak yakni akan makin membebani biaya hidup masyarakat secara umum. Secara sederhana, tapi memang terlihat sangat nyata, kita bisa mengidentifikasi beberapa hal di balik makin besarnya biaya hidup yang harus ditanggung oleh masyarakat. Beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut: 1. Ada kecenderungan kenaikan secara berkala dari harga-harga seperti air bersih, tarif angkutan, tarif komunikasi dan tarif dasar listrik; 41
Hari Susanto, 2006, Dinamika Penanggulangan Kemiskinan: Tinjauan Historis Era Orde Baru, Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Jakarta. Hal. 8-9. 42 Fahmy Radhi, 2008, Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat, Republika, Jakarta. Hal. 44.
27
2. Pada saat bersamaan harga kebutuhan pokok rumah tangga penduduk terus ikut-ikutan mengalami kenaikan meski pemerintah berulang kali dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa harga kebutuhan pokok tidak boleh membebani masyarakat. Pernyataan yang lebih bersifat himbauan ini dalam kenyataannya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di pasar. Faktanya hampir semua harga kebutuhan pokok rumah tangga bergerak naik; 3. Harga bahan bakar minyak yang terus cenderung naik beberapa kali dalam setahun memiliki kaitan dengan alasan beratnya beban subsidi yang ditanggung pemerintah selama ini sebagaimana terlihat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Kenaikan harga bahan bakar minyak tersebut tentunya mempunyai pengaruh terhadap kecenderungan naiknya inflasi yang konon, bagi banyak pengamat ekonomi, bergerak laksana sebuah spiral.43 Di bulan Februari pada tahun 2008 kondisi pengangguran mencapai 8,46% atau menunjukkan penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 9,75% akibat kenaikan BBM. Turunnya angka pengangguran sebesar 1,12 juta orang dalam setahun terakhir ini disebabkan oleh dua faktor: Pertama, seluruh sektor ekonomi menunjukkan peningkatan serapan tenaga kerja dan pertumbuhan tertinggi dialami oleh sektor keuangan yang mencapai 11,5%. Demikian pula sektor keuangan memiliki angka elastisitas serapan tenaga kerja yang paling tinggi, di mana untuk setiap I (satu) persen pertumbuhan sektor keuangan maka tenaga kerja di sektor tcisebut akan mengalami pertumbuhan 3,6%. Kedua, pertumbuhan kesempatan kerja mencapai 2.43% lebih besar dari pertumbuhan angkatan kerja yang mencapai 1.76%. Hal ini menandakan baik 43
Hari Susanto, 2006, Dinamika Penanggulangan Kemiskinan: Tinjauan Historis Era Orde Baru, Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Jakarta. Hal. 8.
28
tenaga kerja yang pertama kali bekerja maupun yang sebelumnya menganggur dapat bekerja. Apabila ditinjau dari status pekerjaan utama, sebagian besar tenaga kerja diserap oleh sektor informal. Berdasarkan data Februari 2003 jumlah pekerja informal mencapai 70,55 juta orang atau 69,1 % dari total penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja. Persentase pekerja informal ini hampir tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan data Februari 2006 yaitu sebesar 69,8%. Tingkat penghasilan pekerja informal ini relatif kecil dan tidak pasti. Artinya, meskipun pekerja informal ini tidak terhitung sebagai pengangguran, namun mereka sangat rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk kenaikan harga BBM. Misalnya para penjual gorengan, bubur, dan makanan kecil lainnya di pinggir jalan semakin tertekan akibat kenaikan harga dan kelangkaan minyak tanah.44 Untuk lebih rinci mengenai kemiskinan di Indonesia pada periode 19992009 bisa dilihat di tabel 1. Tabel 1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Pada Tahun 1999-2009 Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Tahun
Persentase Penduduk Miskin
Kota
Desa
Kota + Desa
Kota
Desa
Kota + Desa
1999
15,64
32,33
47,97
19,41
26,03
23,43
2000
12,30
26,40
38,70
14,60
22,38
19,14
2001
8,60
29,30
37,90
9,76
24,84
18,41
2002
13,30
25,10
38,40
14,46
21,10
18,20
44
Tim Jumpa Pers-Pusat Penelitian Ekonomi, 2008, “Problema Pengangguran dan Kemiskinan di Tengah Gejolak Harga BBM: Telaah Kritis Kebijakan dan Solusi Alternatif”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, vol. XVI, no. 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Hal. 82.
29
2003
12,20
25,10
37,30
13,57
20,23
17,42
2004
11,40
24,80
36,10
12,13
20,11
16,66
2005
12,40
22,70
35,10
11,68
19,98
15,97
2006
14,49
24,81
39,30
13,47
21,81
17,75
2007
13,56
23,61
37,17
12,52
20,37
16,58
2008
12,77
22,19
34,96
11,65
18,93
15,42
2009
11,91
20,62
32,53
10,72
17,35
14,15
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
45
Menurut Lembaga Penelitian SMERU, kemiskinan di Indonesia berwajah majemuk, berubah dari waktu ke waktu, atau dari satu tempat ke tempat lain, hal ini mengandung berbagai dimensi dan masalah yang kompleks, antara lain: 1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, papan); 2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi); 3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga); 4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal; 5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam; 6. Tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat; 7. Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan; 8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental;
45
Berita Resmi Statistik, 2009, Badan Pusat Statistik, No. 43/07/Th. XII. Hal. 2-5.
30
9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak-anak terlantar, Perempuan korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).46 Ada banyak penyebab terjadinya kemiskinan di Indonesia, dan tidak ada satu jawaban pun yang mampu menjelaskan semuanya sekaligus. Ini ditunjukkan oleh adanya berbagai pendapat mengenai penyebab kemiskinan sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat tertentu yang mencoba mencari penyebab kemiskinan. Tetapi Lembaga Penelitian SMERU menyimpulkan bahwa penyebab dasar kemiskinan antara lain: 1. Kegagalan kepemilikan, terutama tanah dan modal; 2. Terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; 3. Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; 4. Adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; 5. Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); 6. Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; 7. Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya; 8. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); 9. Pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.47
46
Paket Informasi: Dasar Penanggulangan Kemiskinan, Lembaga Penelitian SMERU untuk Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK). Hal. 2. 47 Ibid, Paket Informasi: Dasar Penanggulangan Kemiskinan. Hal. 4
31
II.2
Ukuran dan Kemiskinan di Indonesia Menurut Bank Dunia
II.2.1 Ukuran Kemiskinan Menurut Bank Dunia Secara Umum Pendekatan yang luas untuk suatu kesejahteraan (dan kemiskinan) berfokus pada kemampuan individu yang berfungsi di dalam masyarakat. Masyarakat miskin sering kali kekurangan dalam kemampuannya; dengan kemungkinan karena mereka memiliki pendapatan yang tidak memadai dalam pendidikan, memiliki kesehatan yang buruk, merasa tidak berdaya, atau bisa jadi karena kurangnya dalam kebebasan politik. Oleh karena itu, Bank Dunia menguraikan empat alasan untuk mengukur kemiskinan, yaitu: 1. Untuk menjaga orang miskin yang masuk di dalam agenda Bank Dunia. 2. Untuk dapat mengidentifikasi orang-orang yang miskin, sehingga dapat tepat sasaran dalam mengintervensi. 3. Untuk memonitor dan mengevaluasi proyek-proyek dan intervensi kebijakan yang diarahkan untuk masyarakat miskin. 4. Untuk mengevaluasi efektivitas lembaga-lembaga yang tujuannya adalah untuk membantu orang miskin.48 Langkah pertama dalam mengukur kemiskinan adalah mendefinisikan indikator kesejahteraan seperti pendapatan atau konsumsi per kapita. Informasi tentang kesejahteraan berasal dari data survei. Sebuah desain survei yang baik adalah suatu hal yang terpenting. Meskipun beberapa survei menggunakan sampel acak (random sampling) secara sederhana, hal ini juga kebanyakan menggunakan sampel acak secara bertingkat. Oleh sebab itu, Bank Dunia mengambil tiga langkah dalam mengukur kemiskinan, yaitu: 48
Jonathan Haughton dan Shahidur R. Khandker, 2009, Handbook On Poverty and Inequality, The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, Washington DC. Hal. 1.
32
1. Menentukan indikator kesejahteraan. 2. Menetapkan standar minimal yang dapat diterima oleh suatu indikator bahwa hal ini untuk memisahkan orang miskin dari orang yang tidak miskin (garis kemiskinan). 3. Menghasilkan sebuah ringkasan untuk mengumpulkan suatu informasi dari distribusi indikator kesejahteraan yang relatif terhadap garis kemiskinan.49 Adapun tindakan dan strategi Bank Dunia yang bertujuan untuk memerangi kemiskinan yaitu dalam beberapa dekade, pengalaman Bank Dunia telah mengakui beberapa faktor umum yang terkait dengan kemajuan dalam pembangunan secara keseluruhan. Faktor dasar inilah yang menjadi acuan dalam strategi Bank Dunia yaitu sebagai berikut: 1. Suatu negara yang aktif dengan tata pemerintahan yang baik (good governance) di sektor publik dan swasta yang mendorong ke arah lingkungan dimana kontraknya tersebut bersifat memaksa dan sebuah pasar yang dapat berfungsi sebagai; karya infrastruktur dasar, ada ketentuan yang memadai untuk kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial dan orang-orang dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. 2. Suatu pemberdayaan yang dapat memastikan bahwa semua orang akan memiliki kemampuan untuk membentuk kehidupan mereka sendiri, dengan memberikan kesempatan, keamanan dan dengan mendorong partisipasi dan inklusi sosial yang efektif.
49
Ibid, Handbook On Poverty and Inequality. Hal. 10.
33
3. Pertumbuhan ekonomi adalah hal yang sangat penting karena negara-negara yang telah mengurangi kemiskinan adalah hal yang paling efektif dan tumbuh paling cepat. Belum ada contoh pembangunan berkelanjutan yang berhasil tanpa periode pertumbuhan tinggi per kapita output. 4. Perlu ada sektor swasta karena hal ini sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dengan usaha kecil dan menengah dapat memainkan peran yang sangat penting dalam menghasilkan peluang kerja bagi masyarakat miskin. 5. Suatu kebijakan sektor keuangan yang rasional dan tepat untuk negara merupakan hal yang sangat penting, sebagai penghapusan hambatan dalam perdagangan internasional sehingga ekspor negara-negara berkembang dapat memberikan kontribusi untuk pertumbuhannya. 6. Suatu
negara
dan
masyarakat
harus
memiliki
kepemilikan
agenda
pembangunan untuk mencerminkan kondisi khusus dari suatu negara dan ekonomi politik. Bank Dunia memiliki dua pilar untuk menanggulangi kemiskinan dalam pembangunannya, dua pilar tersebut adalah membangun 1. Iklim investasi, pekerjaan dan pertumbuhan yang berkelanjutan, 2. Investasi pada orang yang miskin dan memberdayakan mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kedua pilar tersebut dalam kerangka kerja strategis Bank Dunia sangat penting untuk keberhasilan dalam mencapai pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan dan membantu negara-negara untuk mencapai tujuannya. Di setiap negara-negara memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Bekerja dengan Bank Dunia mengenai MDGs adalah prioritas di negara-negara yang sebagian besar berpenghasilan
34
rendah, sedangkan pendapatan yang relatif/menengah lebih sering bekerja untuk mencari lebih banyak nasabah dengan Bank Dunia pada pembangunan iklim investasi.50 II.2.2 Kemiskinan di Indonesia Menurut Bank Dunia
Untuk melihat kemiskinan di Indonesia, ternyata sebelumnya Bank Dunia belajar dari sejarah untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Sejarah Indonesia memberi banyak pelajaran tentang keberhasilan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan di masa lalu. Pelajaran ini dapat bermanfaat ketika mencari strategi penanggulangan kemiskinan yang efektif untuk masa mendatang. Bank Dunia membuat catatan-catatan tersebut, antara lain: Pertama, catatan Indonesia menunjukkan seperti apa kekuatan penggerak pertumbuhan dalam penanggulangan kemiskinan tatkala ia berdampak pada rakyat penduduk miskin. Kedua, catatan Indonesia menunjukkan bahwa penyaluran pengeluaran negara secara bijaksana ke dalam upaya-upaya dan program-program yang bermanfaat bagi penduduk miskin adalah kunci bagi penanggulangan kemiskinan. Ketiga, pengalaman Indonesia diterpa guncangan krisis ekonomi justru semakin menunjukkan perlunya mewujudkan perlindungan sosial bagi penduduk miskin. Keempat, pengalaman masa lalu Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia harus membangun pemerintahan yang dapat bermanfaat bagi penduduk miskin.51
50
Cathy L. Gagnet dan World Bank, World Bank Annual Report 2003, vol. 1 Year In Review, The International Bank for Reconstruction and Development/The World bank, Washington DC. Hal. 12-13. 51 The World Bank, 2006, Indonesia Making the New Indonesia Work For The Poor, Jakarta. Hal. 19-21.
35
Menurut Bank Dunia, Indonesia memiliki peluang emas untuk menurunkan kemiskinan dengan pesat. Pertama, dengan melihat sifat kemiskinan, memusatkan perhatian pada beberapa bidang unggulan dapat memberi beberapa kemenangan dengan cepat dalam perang melawan kemiskinan dan rendahnya hasil pengembangan manusia. Kedua, sebagai negara penghasil minyak dan gas, Indonesia berada di posisi untuk memperoleh keuntungan dalam beberapa tahun ke depan dari sumber-sumber daya keuangan. Hal ini disebabkan oleh harga minyak yang lebih tinggi dan penurunan subsidi bahan bakar. Ketiga, Indonesia masih dapat memperoleh keuntungan lebih jauh dari proses-proses demokratisasi dan desentralisasinya yang terus berlanjut. Kemiskinan di Indonesia memiliki tiga ciri yang menonjol: (i) Banyak rumah tangga terkonsentrasi di sekitar garis kemiskinan pendapatan nasional sejumlah
kurang
lebih
1,55
dolar
AS
perhari
PPP
(Public-Private
Partnerships/Kemitraan Publik dan Swasta), membuat bahkan banyak penduduk tidak miskin rentan terhadap kemiskinan; (ii) ukuran kemiskinan pendapatan tidak mencakup jangkauan kemiskinan sebenarnya di Indonesia; banyak dari mereka yang kemungkinan tidak miskin secara pendapatan dapat diklasifikasikan sebagai masyarakat miskin berdasarkan kekurangan akses ke layanan-layanan pokok dan hasil pengembangan manusia yang buruk; dan (iii) dengan melihat ukuran besar dan kondisi berbeda-beda kepulauan Indonesia, kesenjangan regional merupakan ciri pokok kemiskinan di negara ini.52 Adapun faktor-faktor penentu kemiskinan di Indonesia, Bank Dunia dalam bagian ini menggunakan analisis multivariat untuk mengungkap faktor-faktor 52
The World Bank, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group) Jakarta. Hal. 50.
36
penentu dan arti penting relatif dari karakteristik, aset dan akses utama pada rumah tangga sebagai faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan (correlates of poverty). Beberapa faktor kunci memang berpengaruh pada kemiskinan dan karena itu juga berperan bagi upaya dalam penanggulangan kemiskinan. Bank Dunia menguraikan lima korelasi faktor penentu dalam kemiskinan, antara lain: 1. Faktor Korelasi Dalam Pendidikan a. Kemiskinan memiliki kaitan yang sangat erat dengan pendidikan yang tidak memadai. b. Melampaui jenjang pendidikan sekolah dasar dengan meningkatkan kesejahteraan secara berarti. c. Meningkatkan capaian jenjang pendidikan di wilayah/area tertentu yang berkorelasi dengan pengurangan kemiskinan yang lebih besar. 2. Faktor Korelasi Dalam Pekerjaan Bekerja di sektor pertanian memiliki korelasi yang kuat dengan kemiskinan. Kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian memiliki tingkat konsumsi yang jauh lebih rendah (dan karena itu memiliki kemungkinan lebih besar untuk menjadi miskin) dibandingkan mereka yang bekerja di sektor lain. Dengan menggunakan kepala rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian informal sebagai dasar (base), faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan menunjukkan bahwa kepala rumah tangga di daerah pedesaan yang bekerja di sektor pertanian formal memiliki korelasi dengan kenaikan tingkat konsumsi dengan nilai koefisien korelasi sebesar 3,1 persen, sedangkan mereka yang bekerja di sektor industri informal dengan nilai koefisien sebesar 5,4 persen.
37
Koefisien korelasi yang lebih tinggi terdapat pada kepala rumah tangga yang bekerja di sektor industri formal (11,7 persen). Koefisien korelasi yang tertinggi terdapat di sektor jasa: sektor jasa informal sebesar 14 persen, sedangkan sektor jasa formal sebesar 22 persen, yang berlaku untuk daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. Mengingat sedikitnya porsi penduduk miskin yang bekerja di sektor formal dan sektor nonpertanian, di samping kenyataan bahwa bekerja di sektor-sektor yang lebih menguntungkan tersebut memiliki korelasi dengan pengurangan kemiskinan, maka perpindahan tenaga kerja ke sektor pertanian formal, atau ke sektor nonpertanian formal maupun informal, akan membuka jalan keluar dari kemiskinan. 3. Faktor Korelasi Dalam Gender Meskipun tingkat kemiskinan terlihat sedikit lebih rendah pada rumah tangga dengan kepala keluarga perempuan, namun pada kenyataannya tidaklah demikian: rumah tangga yang dengan kepala keluarga laki-laki masih jauh lebih beruntung dibandingkan rumah tangga dengan kepala keluarga perempuan. Pada tahun 1999, dengan menganggap karakteristik-karakteristik yang lain bersifat tetap, rumah tangga di daerah perkotaan yang dikepalai laki-laki memiliki tingkat pengeluaran 14,4 persen lebih tinggi daripada rumah tangga yang dipimpin perempuan. Kesenjangan gender ini bahkan lebih mencolok di daerah pedesaan, di mana terdapat perbedaan tingkat pengeluaran sebesar 28,4 persen. Pada tahun 2002, kesenjangan gender ini semakin melebar menjadi 15,8 persen di daerah perkotaan dan 31,1 persen di daerah pedesaan. Hasil
yang
tampak
berlawanan
antara
analisis
regresi
(yang
mengindikasikan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga perempuan jauh
38
lebih miskin) dan analisis deskriptif sederhana (yang menunjukkan bahwa rumah tangga dengan kepala keluarga perempuan sedikit kurang miskin), hanya dapat dijelaskan
oleh
karakteristik-karakteristik
yang
tak
teramati,
seperti
kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami goncangan dan rendahnya akses kepada instrumen-instrumen untuk meredam dan menghadapi goncangan, yang mungkin berkorelasi dengan aspek gender kepala rumah tangga. Penilaian terhadap risiko dan kerentanan di antara beberapa tipe rumah tangga dan tahaptahap siklus hidup yang berbeda mengindikasikan bahwa rumah tangga miskin dengan kepala keluarga perempuan memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami guncanganguncangan negatif akibat konflik, masalah kesehatan dan risiko ekonomi. 4. Faktor Korelasi Dalam Akses Terhadap Pelayanan dan Infrastruktur Dasar a. Kemiskinan jelas berkaitan dengan rendahnya akses terhadap fasilitas dan infrastruktur dasar. b. Rumah tangga di daerah pedesaan yang memiliki lebih banyak akses kepada pendidikan sekolah menengah jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menjadi miskin. c. Akses kursus informal dapat menjadi faktor kunci dalam mobilitas ekonomi ke atas, khususnya di daerah perkotaan. d. Akses lembaga perkreditan setempat juga menaikkan secara berarti tingkat pengeluaran dan mengurangi kemungkinan rumah tangga untuk menjadi miskin. e. Akses jalan memiliki korelasi dengan tingkat konsumsi yang lebih tinggi.
39
f. Akses telekomunikasi memiliki kaitan yang tidak signifikan dengan konsumsi pada tingkat nasional, tetapi cukup signifikan pada sebagian wilayah. 5. Faktor Korelasi Dalam Lokasi Geografis Dengan adanya ketimpangan antarwilayah, tidaklah mengherankan bila lokasi geografis juga berkorelasi dengan kemiskinan. Dewasa ini, di samping wilayah yang sangat luas yang dimiliki Indonesia, dimungkinkan untuk menggunakan teknik disagregasi geografis yang lebih baik untuk mengonfirmasi ketimpangan-ketimpangan tersebut dan memfokuskan upaya penanggulangan kemiskinan pada tingkat yang terendah. Indonesia terdiri dari 33 provinsi; 440 kabupaten atau kota; 5.850 kecamatan dan 73.219 desa/kelurahan. Namun, sejalan dengan tujuan penilaian atas kemiskinan nasional ini, meskipun penting untuk menangkap berbagai gambaran yang terpisah sebanyak mungkin, penilaian ini diputuskan untuk secara khusus difokuskan pada perbedaan-perbedaan geografis dan temuan-temuan di enam wilayah pengelompokan kepulauan yang luas: Sumatera, Jawa/Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara/Maluku dan Papua.53 Sebuah analisis akan kemiskinan, faktor-faktor penentunya, dan sejarah Indonesia dalam menurunkan kemiskinan menunjuk pada tiga cara untuk memerangi kemiskinan. Tiga cara untuk membantu penduduk mengangkat diri mereka sendiri dari kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi, layanan sosial, dan belanja publik. Masing-masing dari cabang ini mengatasi satu atau lebih ciri-ciri pembentuk kemiskinan di Indonesia: kerentanan, multidimensi dan kesenjangan
53
The World Bank, 2006, Indonesia Making the New Indonesia Work For The Poor, Jakarta. Hal. 46-50.
40
sosial. Dengan kata lain, strategi kemiskinan yang efektif untuk Indonesia memiliki tiga komponen: 1. Membuat Pertumbuhan Ekonomi Berguna bagi Masyarakat Miskin. Pertumbuhan ekonomi telah dan akan terus menjadi hal penting dalam menurunkan kemiskinan. Membuat pertumbuhan berguna bagi masyarakat miskin sekaligus merupakan kunci menghubungkan masyarakat miskin di seluruh bagian-bagian kepulauan Indonesia yang berbeda-beda dengan proses pertumbuhan, baik antara daerah pedalaman dan perkotaan maupun antara kelompok-kelompok regional dan kepulauan yang beragam. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengatasi masalah kesenjangan regional. Untuk mengatasi karakteristik kerawanan kemiskinan yang dikaitkan dengan padatnya konsentrasi distribusi pendapatan di Indonesia, apa pun yang dapat mengalihkan distribusi ini ke sayap kanan akan dengan cepat menurunkan insidensi dari dan kerentanan terhadap kemiskinan pendapatan. 2. Membuat Layanan Sosial Berguna bagi Masyarakat Miskin. Pemberian layanan sosial pada masyarakat miskin, baik oleh sektor publik maupun swasta, penting untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal ini merupakan kunci dalam mengatasi dimensi nonpendapatan dari kemiskinan. Indikator pengembangan manusia yang tertinggal, seperti angka kematian ibu yang tinggi, harus ditanggulangi dengan meningkatkan kualitas layanan yang disediakan untuk orang miskin. Hal ini melampaui tingkat-tingkat belanja publik: hal tersebut mengenai meningkatkan sistem pertanggungjawaban, mekanisme pemberian layanan, dan bahkan proses-proses pemerintah. Kedua, sifat kesenjangan regional melampaui kesenjangan pendapatan dan sebagian
41
besar tecermin pada kesenjangan dalam akses ke layanan yang, pada gilirannya, menghasilkan kesenjangan dalam hasil pengembangan manusia di seluruh wilayah. Karena itu, membuat layanan berguna bagi masyarakat miskin merupakan kunci untuk mengatasi masalah kesenjangan regional dalam kemiskinan. 3. Membuat Belanja Publik Berguna bagi Masyarakat Miskin. Selain pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, pemerintah (dengan menargetkan belanja publik pada masyarakat miskin) dapat membantu mereka dalam melawan kemiskinan pendapatan dan nonpendapatan. Belanja publik dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan pendapatan melalui sistem modern perlindungan sosial yang menggandakan usaha-usaha mereka dalam menangani ketidakpastian ekonomi. Selain itu, belanja
publik
dapat
digunakan
untuk
meningkatkan
hasil-hasil
pengembangan manusia dan karenanya, mengatasi aspek multidimensi nonpendapatan dari kemiskinan. Membuat belanja berguna bagi masyarakat miskin sangat berkaitan menimbang ruang keuangan yang makin bertambah yang ada di Indonesia saat ini.54 Tiga transformasi yang sedang berlangsung di Indonesia, setiap transformasi dapat kurang lebih memihak masyarakat miskin. Langkah-langkah kebijakan yang dapat membuat perubahan-perubahan ini menurunkan kemiskinan dengan pesat termasuk: 1. Selama Indonesia bertumbuh, ekonominya diubah dari ekonomi pertanian sebagai andalannya menjadi ekonomi yang akan lebih bergantung pada jasa 54
The World Bank, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group), Jakarta. Hal. 50-51.
42
dan industri. Prioritas untuk membuat pertumbuhan ini berguna bagi masyarakat miskin adalah iklim investasi pedesaan yang lebih bersahabat, terutama lewat jalan-jalan desa yang lebih baik. 2. Sementara demokrasi mengambil alih, pemerintah ditransformasi dari keadaan di mana layanan sosial diberikan dari pusat menuju ke pemberian layanan yang lebih bergantung pada pemerintah daerah. Prioritas untuk membuat layanan berguna bagi masyarakat miskin adalah kapasitas pemerintah daerah yang lebih kuat dan insentif yang lebih baik untuk penyedia jasa. Sementara
Indonesia
menyatu
secara
internasional,
sistem-sistem
perlindungan sosialnya dimodernisasi sehingga Indonesia merata secara sosial dan kompetitif secara ekonomi. Prioritas untuk membuat belanja publik berguna bagi masyarakat miskin adalah dengan beralih dari intervensi pasar untuk komoditas yang dikonsumsi masyarakat miskin (seperti bahan bakar dan beras) ke penyediaan dukungan pendapatan yang ditargetkan padarumah-rumah tangga yang miskin, dan menggunakan ruang keuangan untuk meningkatkan layananlayanan kritis seperti pendidikan, kesehatan, air bersih dan sanitasi.55
55
Ibid, Investing in Indonesia‟s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development. Hal. 51.
43
BAB III BANTUAN LUAR NEGERI BANK DUNIA DI INDONESIA
III.1
Bantuan Luar Negeri Bank Dunia Dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia Bank Dunia di Indonesia dalam penyelesaian CAS yang mengkaji
pelaksanaan dan efektivitas Strategi Bantuan Negara (Country Assistance Strategy/CAS) dari Kelompok Bank Dunia (World Bank Group/WBG) dan untuk menanggapi kebutuhan darurat Pemerintah. Dalam tujuan strategis jangka panjang Indonesia, pada saat persiapan CAS, Indonesia sedang dalam proses transisi dari suatu negara otokratis, dengan ekonomi tersentralisasi menjadi suatu negara demokratis dengan ekonomi terdesentralisasi.
Pemerintah telah berhasil
memulihkan stabilitas makroekonomi dan mengurangi kemiskinan hingga ke tingkat sebelum krisis. Kendati demikian, jumlah masyarakat miskin di Indonesia masih tetap tinggi dan banyak di antaranya yang tetap rawan terhadap kemungkinan untuk masuk dalam kategori di bawah garis kemiskinan sebagai akibat dari guncangan yang merugikan. Pertemuan yang membahas tetang hasil MDGs juga tidak mengalami kemajuan yang berarti. Penyediaan layanan dasar bagi publik dalam kerangka terdesentralisasi merupakan suatu peluang sekaligus juga merupakan tantangan. Walaupun Indonesia telah memulai upaya untuk mengatasi isu-isu
44
pemerintahan dan korupsi, upaya reformasi tersebut terhambat oleh lambatnya pelaksanaan akibat kapasitas kelembagaan yang lemah. Agenda jangka pendek pemerintah Indonesia terjebak oleh keputusan pemerintah untuk tidak memperbarui program IMF setelah selesainya program tersebut pada bulan Desember 2003. Alih-alih, pemerintah mempersiapkan suatu paket ekonomi komprehensif berupa tindakan kebijakan yang terikat dengan waktu (time-bound) untuk dilaksanakan dalam jangka pendek (18 bulan). Paket ekonomi tersebut atau “buku putih” (panduan otorisasi) mencakup bidang-bidang inti manajemen makroekonomi, reformasi sektor keuangan, dan kebijakan untuk memulihkan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Paket tersebut cukup komprehensif tetapi ambisius, terutama untuk dilaksanakan selama periode penyelenggaraan pemilihan umum. Kerangka kerja jangka menengah Pemerintah untuk mengurangi kemiskinan dijabarkan dalam RPJM (Rencana Jangka Menengah), yang mencerminkan visi pembangunan negara selama jangka waktu 2004-2009 dan dalam Dokumen Strategi Penurunan Angka Kemiskinan Sementara (I-PRSP). Ketiga tujuan pembangunan nasional selama tahun 2004-2009 tersebut diuraikan dalam RPJM berupa menciptakan Indonesia yang aman dan damai, Indonesia yang adil dan demokratis, dan Indonesia sejahtera.56 Tujuan CAS tersebut dirancang guna mendukung agenda jangka pendek dan jangka menengah Pemerintah. Melalui pencapaian tujuan tersebut, dua hambatan utama dapat diidentifikasi, yaitu: (i) iklim investasi yang lemah dan (ii) rendahnya kualitas penyediaan layanan bagi masyarakat miskin. Kemajuan dalam 56
The World Bank, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group), Jakarta. Hal. 57.
45
kedua bidang tersebut selanjutnya terhambat oleh masalah mendasar berupa kepemerintahan yang lemah. Bank Dunia menerapkan strategi berupa dukungan kepada Indonesia dalam upayanya memperkuat iklim investasi dan meningkatkan penyediaan layanan dasar sambil mengatasi masalah inti pemerintahan. Bank Dunia juga menghadapi tantangan tambahan dalam menanggapi serangkaian bencana alam yang belum pernah terjadi sebelumnya (gempa bumi dan tsunami di Aceh pada bulan Desember 2004, gempa bumi di Nias pada bulan Maret 2005, gempa bumi di Jogyakarta pada bulan Mei 2006) dan keprihatinan yang meningkat sehubungan dengan merebaknya virus Flu Burung (Avian Human Influenza/AHI). Dengan demikian, keempat bidang fokus dalam pengelolaan risiko bencana yang meningkat tercakup dalam CASPR. Keempat fokus tersebut menjadi pilar dalam CAS. Pilar 1: Mengatasi Isu Mendasar dalam kepemerintahan, Pilar 2: Meningkatkan iklim investasi berkualitas tinggi, Pilar 3: Menjadikan pemberian layanan tanggap terhadap masyarakat miskin, Pilar 4: Pengelolaan risiko bencana. Dalam keempat pilar tersebut yang terfokus untuk mengatasi kemiskinan adalah pilar ketiga yang berupa upaya Bank Dunia diarahakan pada percepatan pencapaian MDGs dalam bidang pendidikan dan kesehatan, serta meningkatkan hasil pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat miskin. 57 Kemajuan dalam pencapaian MDG tersebut dengan desentralisasi, pemerintah daerah telah menjadi pemain dominan dalam pemberian layanan dan kini memiliki anggaran belanja yang jumlahnya hampir sama dengan pemerintah pusat. Angka kemiskinan telah menurun dari sebesar 16,6 persen pada bulan September 2007 setelah mencapai 57
Ibid, Investing in Indonesia‟s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development. Hal. 5758.
46
angka tertinggi sebesar lebih dari 23 persen pada tahun 1999 sebagai akibat dari krisis keuangan (17,4 persen pada tahun 2003). Pemerintah Indonesia mengumumkan sejumlah prakarsa besar yang baru untuk pengentasan kemiskinan dan pada bulan Agustus 2006 pemerintah Indonesia meluncurkan program pengentasan kemiskinan nasional yang terdiri dari pilar: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Program PNPM Mandiri ini juga didukung oleh Bank Dunia berupa bantuan luar negeri.58 Sesuai dengan Keppres No. 124/2001 jo. No. 8/2002 jo. No. 34/2002 tentang Komite Penanggulangan Kemiskinan (Keanggotaan terdiri dari 11 Menteri dan 1 Kepala Badan serta anggota non Pemerintah lainnya) dan disempurnakan
melalui
Perpres
No.
54/2005
tentang
Tim
Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan (Keanggotaan terdiri dari 19 Menteri dan 3 Kepala Badan serta anggota non Pemerintah lainnya).59
III.1.1 PNPM Mandiri Dalam dititikberatkan
upaya pada
menanggulangi pemberdayaan
permasalahan masyarakat,
kemiskinan
pemerintah
yang
Indonesia
meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang dikoordinasikan Kesejahteraan
oleh Rakyat).
Menko
Kesra
(Kementerian
Pada
tahap
awal
di
Koordinator
tahun
2007
Bidang
pemerintah
mengalokasikan sekitar Rp 3,6 triliun dari APBN, Rp 0,8 triliun dari APBD, dan sekitar Rp 100 miliar yang berasal dari kontribusi masyarakat. PNPM pada tahun 58
Ibid, Investing in Indonesia‟s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development. Hal. 6162. 59 Sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dilihat pada tanggal 26 Maret 2011 pukul 09:20 WIB. .
47
2007 yang lalu mencakup 2.992 kecamatan di perdesaan dan perkotaan (sekitar lebh dari 41.000 desa/kelurahan). Ada dua program besar yang diintegrasikan dalam PNPM Mandiri tahun 2007 yakni Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Dalam PNPM ini juga dialokasikan sekitar Rp 0,5-1,5 miliar per kecamatan/tahun
dalam
bentuk
Bantuan
Langsung
Masyarakat
(BLM),
Sedangkan pada tahun 2008 program-program yag diintegrasikan dalam PNPM bertambah yakni adanya PNPM-Perdesaan yang dikelola oleh Depdagri dan P2KP atau PNPM-Perkotaan yang dikelola oleh Departemen Pekerjaan Umum (DPU), Program Pengembangan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) dari Kementerian
Pembangunan
Daerah
Tertinggal.
Program
Pembangunan
Infrastruktur Perdesaan (PPIP) dari Departemen PU dan program-program lainnya dari berbagai kementerian dan lembaga. Anggaran yang dialokasikan adalah sebesar 13 triliun rupiah. Sementara itu, alokasi anggaran untuk penaggulangan kemiskinan sendiri termasuk subsidi untuk masyarakat miskin pada tahun 2008 ini mencapai 80 triliun rupiah yang tersebar di 22 kementerian/Lembaga.60 PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pengertian yang terkandung mengenai PNPM Mandiri adalah : 1. PNPM Mandiri adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur 60
Tim Jumpa Pers-Pusat Penelitian Ekonomi, 2008, “Problema Pengangguran dan Kemiskinan di Tengah Gejolak Harga BBM: Telaah Kritis Kebijakan dan Solusi Alternatif”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, vol. XVI, no. 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Hal. 80-81.
48
program,
penyediaan
pendampingan
dan
pendanaan
stimulan
untuk
mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. 2. Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan Program PNPM Mandiri ini adalah : 1. Tujuan Umum a. Meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. 2. Tujuan Khusus b. Meningkatnya partisipasi seluruh masyarakat, termasuk masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil dan kelompok masyarakat lainnya yang rentan dan sering terpinggirkan ke dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. c. Meningkatnya kapasitas kelembagaan masyarakat yang mengakar, representatif dan akuntabel.
49
d. Meningkatnya kapasitas pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin melalui kebijakan, program dan penganggaran yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor). e. Meningkatnya sinergi masyarakat, pemerintah daerah, swasta, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat dan kelompok perduli lainnya untuk mengefektifkan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. f. Meningkatnya keberadaan dan kemandirian masyarakat serta kapasitas pemerintah daerah dan kelompok perduli setempat dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya. g. Meningkatnya modal sosial masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi sosial dan budaya serta untuk melestarikan kearifan lokal. h. Meningkatnya inovasi dan pemanfaatan teknologi tepat guna, informasi dan komunikasi dalam pemberdayaan masyarakat.61 Pada dasarnya, PNPM Mandiri merupakan harmonisasi dan sinergi berbagai program penanggulangan kemiskinan yang bersifat pemberdayaan. PNPM Mandiri terbagi atas dua kategori utama, yaitu PNPM-Inti dan PNPMPenguatan. PNPM-Inti adalah program pemberdayaan masyarakat berbasis kewilayahan yang mencakup PPK, P2KP, Program Pengembangan Infrastruktur Perdesaan (PPIP), Program Pengembangan Infrastruktur Sosial-Ekonomi Wilayah (PISEW), dan Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK).
61
Pengertian dan Tujuan PNPM Mandiri, dilihat pada tanggal 08 Juli 2010 pukul 11:08 WIB, .
50
PNPM-Penguatan adalah program pemberdayaan masyarakat berbasis sektoral
dan
kewilayahan
yang
khusus
ditujukan
untuk
mendukung
penanggulangan kemiskinan yang pelaksanaannya terkait pencapaian target tertentu. PNPM-Penguatan, antara lain, terdiri atas PNPM Generasi Sehat dan Cerdas (PNPM Generasi), PNPM Hijau, Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas), dan Bantuan Langsung Masyarakat untuk Keringanan Investasi Pertanian (BLM-KIP). Secara garis besar, cakupan PNPM Mandiri dapat dilihat pada Gambar 2.62 Gambar 2. Cakupan PNPM Mandiri PNPM Mandiri
PNPM-Inti PNPM Perdesaan (PPK) PNPM Perkotaan (P2KP) PNPM Infrastruktur Perdesaan (PPIP) PNPM Infrastruktur Sosial-Ekonomi Wilayah (PISEW) 5. PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) 1. 2. 3. 4.
PNPM-Penguatan 1. PNPM Generasi Sehat dan Cerdas (PNPM Generasi) 2. PNPM Hijau 3. Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) 4. Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) 5. Bantuan Langsung Masyarakat untuk Keringanan Investasi Pertanian (BLM-KIP) 6. Program PNPM lainnya
Prinsip utama dalam PNPM Mandiri adalah 1.) Partisipasi/keikutsertaan: Partisipasi masyarakat ditekankan, terutama masyarakat miskin dan Perempuan. Partisipasi harus luas, melalui pengambilan keputusan yang dilakukan oleh semua warga desa. 2.) Transparansi: PPK menekankan transparansi dan berbagi
62
Hastuti, 2010, Laporan Penelitian: Peran Program Perlindungan Sosial Dalam Meredam Dampak Krisis Keuangan Global 2008/09, Lembaga Penelitian SMERU Research Institute, Jakarta. Hal. 12-13.
51
informasi di seluruh siklus proyek. Pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan harus terbuka dan dibagikan dengan masyarakat. 3.) Daftar kegiatan yang terbuka: Warga desa dapat mengusulkan kegiatan apa pun, kecuali yang tertulis dalam daftar negatif. 4.) Persaingan untuk dana: Harus ada persaingan terbuka
yang sehat
antar warga untuk
mendapatkan dana PPK.
5.)
Terdesentralisasi: Pengambilan keputusan dan pengelolaandilakukan di tingkat daerah. 6.) Sederhana: Tidak ada aturan yang rumit, hanya strategi dan metode sederhana. Untuk proses pemberdayaan masyarakat dalam PNPM Mandiri bisa dilihat pada gambar 3 di bawah ini.63 Gambar 3. Proses Pemberdayaan Masyarakat Dalam PNPM Mandiri
Pemetaan Swadaya
Pengorganisasian Masyarakat
Penyusunan Rencana
Mengenali Kemiskinan
Pelaksanaan Kegiatan
Sosialisasi Awal dan Musyawarah Masyarakat
Pemanfaatan dan Pemeliharaan Hasil Kegiatan
63
The World Bank, 2010, National Program For Community Empowerment Mandiri-PNPM Mandiri For Rural Area (2008-2011), dilihat pada tanggal 10 Juli 2010 pukul 19.04 WIB. .
52
Disamping itu, adapun dukungan Bank Dunia dalam pemberian pinjaman (loan) untuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) tersebut. Kelompok Bank Dunia (World Bank Group/WBG) akan ikut mendanai bagian dari PNPM Mandiri, mendukung perluasan program dengan taksiran investasi tahunan sebesar US$ 2 miliar. Dengan berlangsungnya PNPMPerdesaan dan PNPM-Perkotaan, proyek-proyek pengulang diharapkan akan memperluas program PNPM hingga menjangkau 70.000 masyarakat di seluruh Indonesia pada tahun 2009/2010 tahap awal periode Strategi Kemitraan Negara (CPS/Country Partnership Strategy). WBG memberikan dukungan kepada pemerintah yang berupaya membawa prakarsa di sektor kesehatan, pendidikan, pengembangan desa, dan sektor-sektor lainnya di bawah payung PNPM untuk memaksimalkan upaya-upaya pelengkap pengentasan kemiskinan. Selain itu, melalui dana perwalian WBG, mitra-mitra pengembangan lainnya menunjang sejumlah layanan analitis dan konsultasi untuk menggalakkan reformasi kelembagaan yang lebih luas. Sasarannya adalah memperkuat akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan proses perencanaan di tingkat masyarakat pada lembaga-lembaga dan sistem-sistem utama, seperti penyelesaian perselisihan dan hal-hal yang terkait dengan hak kebendaan.64 Program ini dimulai menyusul pengalaman sukses 10 tahun sebelumnya dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Bank Dunia dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Untuk tahun 2008-2009, program tersebut meliputi dua WBG SILS (World Bank Group Specific Investment Loans), (Pinjaman ini diperuntukan guna menciptakan asset-aset baru 64
The World Bank, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group), Jakarta. Hal. 21.
53
yang produktif dan pemulihan institusi-institusi infrastruktur lainnya sehingga dapat berfungsi maksimal) dengan total US$ 409 juta serta pendanaan nasional dan mitra pemerintah lokal dan program pengembangan masyarakat lainnya yang bernilai setara dengan kurang lebih US$ 1,8 juta. Program penanggulangan kemiskinan yang lebih kecil lainnya dikemas menjadi PNPM Mandiri guna membuat program penanggulangan kemiskinan di tingkat masyarakat lebih sederhana dan terkoordinasi. Saat ini PNPM Mandiri mencakup hampir 70 persen kelurahan (sub-districts) dan kota. Program ini direncanakan akan berlanjut hingga tahun 2015, dan WBG serta donor lainnya akan mendukung upaya-upaya tersebut melalui pinjaman bergulir (repeater loans).65 Sekilas, komitmen pemerintah untuk memerangi kemiskinan memang cukup positif. Namun demikian, sebagaimana yang disadari oleh pemerintah sendiri, salah satu permasalahan yang cukup problematik adalah masalah koordinasi antar kementerian/lembaga dalam menjalankan program-program yang ditujukan untuk memerangi kemiskinan. Dengan alokasi anggaran yang tampaknya cukup besar tetapi melewati banyak saringan dalam mekanisme penyampaiannya, dampak positif yang diharapkan dari PNPM belum bisa begitu terlihat dan dirasakan oleh kaum miskin. Perlu disadari bahwa untuk mengentaskan kemiskinan, tak hanya aspek anggaran tetapi juga kesiapan dari masyarakat itu sendiri serta terbukanya akses yang menjembatani antara masyarakat sebagai aktor dan pemerintah sebagai fasilitator untuk secara bersama aktif dalam program pengentasan kemiskinan tersebut.
65
Ibid, Investing in Indonesia‟s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development. Hal. 37.
54
Untuk itu, ada baiknya pemerintah lebih memfokuskan aktivitas pengentasan kemiskinan secara lebih terarah dalam institusi yang lebih efektif di mana peran dari berbagai kementerian lembaga lebih kepada fasilitator dan monitoring. Program besar pemberdayaan ini juga sebaiknya dilaksanakan secara bertahap dan konsisten (piece of meal and consistent) ketimbang all grabing hand, dengan menitikberatkan pada sektor-sektor yang mendesak dan terkait secara langsung kepada masyarakat.66
66
Tim Jumpa Pers-Pusat Penelitian Ekonomi, 2008, “Problema Pengangguran dan Kemiskinan di Tengah Gejolak Harga BBM: Telaah Kritis Kebijakan dan Solusi Alternatif”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, vol. XVI, no. 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Hal. 81.
55
BAB IV ANALISIS BANTUAN LUAR NEGERI BANK DUNIA DALAM KEMISKINAN DI INDONESIA
IV.1
Efektivitas PNPM Mandiri Dalam Bantuan Luar Negeri
Bantuan Luar Negeri yang dilakukan Bank Dunia merupakan salah satu kategori motivasi negara donor, yaitu motif kemanusiaan yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan di negara dunia ketiga melalui dukungan kerjasama ekonomi. Adapun teori bureaucratic incrementalist yang menyatakan bahwa tujuan yang dikejar negara donor dalam lingkup kepentingan ekonomi politik internasional, antara lain kombinasi tujuan kemanusiaan dan berbagai faktor dalam politik domestik.67 Maka terkait dengan hal itu, program PNPM Mandiri yang diluncurkan oleh pemerintah yang dibantu oleh Bank Dunia merupakan tujuan kemanusiaan untuk pengentasan kemiskinan di Indonesia agar bisa mencapai dalam target MDGs. Untuk mengetahui efektivitas PNPM Mandiri dalam upaya pengurangan kemiskinan, PNPM Mandiri dilengkapi dengan pedoman pelaksanaan pemantauan dan evaluasi. Pedoman Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi PNPM Mandiri berisi kerangka kerja pemantauan dan evaluasi yang berbasis hasil. Dalam pemantauan dan evaluasi yang berbasis hasil, selain masukan, dan keluaran, pemantauan dan evaluasi PNPM Mandiri menekankan pada hasil/keluaran
67
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 82-84.
56
(outcome) dan dampak (impact).68 Menurut Handoko yang sebagaimana dikutip oleh Dodik Ariyanto, efektivitas adalah kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, menyangkut bagaimana melakukan pekerjaan yang benar.69 Kerangka kerja pemantauan dan evaluasi yang berbasis hasil ini akan sangat penting untuk melihat efektivitas PNPM Mandiri. Penulis akan memaparkan beberapa poin dalam pentingnya pemantauan dan evaluasi, antara lain:
Pemantauan penting karena memungkinkan para pemangku kepentingan dari program sektor mengetahui kemajuan yang telah dicapai. Adanya sistem pemantauan kegiatan/proyek memungkinkan pemantauan status pelaksanaan proyek secara terus menerus dan identifikasi permasalahan yang mungkin timbul. Secara keseluruhan hasil pemantauan dapat menunjukkan apakah proyek telah dilaksanakan sesuai dengan rencana atau tidak.
Pemantauan dan evaluasi adalah alat pengelolaan yang berguna untuk pengambilan keputusan dan memastikan bahwa tindakan perbaikan dapat segera diambil secara cepat dan tepat.
Pemantauan dan evaluasi penting karena merekam pengalaman proyek dan pelajaran yang dapat dipetik. Pemantauan dan evaluasi memungkinkan pengelola proyek dan pihak-pihak lain mengetahui apa yang terjadi di lapangan.70
68
Pedoman dan Evaluasi, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM Mandiri. Hal. 4. Dodik Ariyanto, Pengaruh Efektivitas Penggunaan dan Kepercayaan Teknologi Sistem Informasi Terhadap Kinerja Individual, dilihat pada tanggal 26 Maret 2011 pukul 08:15 WIB <ejournal.unud.ac.id/abstrak/ok_dodik.pdf>. 70 Pedoman dan Evaluasi, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM Mandiri. Hal. 1011. 69
57
Cakupan dalam pemantauan dilakukan oleh berbagai pihak, yakni: Pemantauan dengan Partisipasi Masyarakat, Pemantauan oleh Pemerintah, Pemantauan oleh Konsultan dan Fasilitator, Sistem Pengelolaan Informasi (SPI), Pemantauan oleh LSM, Pemeriksaan Keuangan. 71 Evaluasi difokuskan pada keluaran dan dampak proyek apakah sesuai dengan tujuan dan rencana yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan pada pertengahan pelaksanaan PNPM Mandiri dan setelah keseluruhnya program selesai (tahunan). Beberapa jenis evaluasi yang dapat dilakukan antara lain:
Evaluasi Keluaran (Output) Dilakukan untuk melihat sejauh mana perubahan kesejahteraan yang
terjadi dengan membandingkan kondisi saat ini dari warga miskin dan kelompok sasaran lainnya dengan setelah berjalannya program (tahunan). Dasar pengukuran dan evaluasi ini dari hasil survey dasar yang dilakukan oleh para konsultan program sektor. Evaluasi ini dapat dilakukan berbagai pihak, baik penangung jawab program maupun pihak-pihak lain secara independen. Masukan evaluasi program dapat disampaikan kepada penanggung jawab program di wilayahnya masing-masing dan atau kepada PNPM Mandiri nasional.
Evaluasi Dampak (Impact) PNPM Mandiri merencanakan beberapa evaluasi dampak dengan fokus
utama pada dampak dalam kaitan dengan penanggulangan kemiskinan, perkembangan modal sosial, tata kelola pemerintahan (good governence), dan pengembangan kapasitas (pemberdayaan). Untuk maksud tersebut dipergunakan metode campuran, baik menggunakan teknik kuantitatif maupun kualitatif.
71
Ibid. Pedoman dan Evaluasi. Hal. 28-32
58
Sejumlah survei akan dilakukan untuk mengukur dampak program, dengan menggunakan survei rumah tangga, Susenas (survey sosial ekonomi nasional), dan studi kualitatif.
Studi Khusus/Tematik Untuk mempertajam hasil pemantauan dan berbagai evaluasi reguler
diatas, sejumlah studi tematik atau studi khusus dengan tema tertentu juga akan dilakukan selama kurun waktu mulai pelaksanaan program (2007) hingga beberapa tahun ke depan. Studi-studi tersebut mencakup antara lain sebagai berikut: Kaji cepat prasarana fisik, untuk mengevaluasi mutu infrastruktur yang dibangun dengan standar PNPM Mandiri. Pengkajian operasional dan perawatan, untuk mengevaluasi tata cara operasional dan perawatan infrastruktur dan mengevaluasi struktur ongkos yang dibayar pengguna dan kemampuan warga desa dan pemerintah setempat membiayai operasional dan perawatan tersebut. Pengkajian dampak ekonomi dan tingkat pengembalian, untuk mengukur tingkat pengembalian dan dampak ekonomi program-program PNPM Mandiri. Pengkajian ulang gender, untuk mengkaji ulang strategi program dan pelaksanaan program dari aspek kesetaraan gender. Pengkajian pengembangan kredit mikro dan usaha masyarakat, untuk mengevaluasi strategi kredit mikro dan pengembangan usaha di bawah PNPM Mandiri, guna mengetahui bagaimana komponen-komponen ini
59
dapat ditingkatkan agar menghasilkan manfaat ekonomi yang lebih besar dan keberlanjutan. Pengkajian perencanaan pembangunan, mengevalusi perencanaan mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga nasional dan bagaimana meningkatkan koordinasi antar berbagai tingkatan. Pengkajian pengembangan kapasitas kelembagaan. Pengembangan kapasitas kelembagaan adalah salah satu komponen penting PNPM Mandiri. Komponen program ini memberikan berbagai pelatihan bagi warga desa/kelurahan, kelompok masyarakat pelaksana program, dan aparat
pemerintah
daerah
setempat.
Perkembangan
komponen
pengembangan kapasitas ini perlu dipantau dan dampaknya terhadap penguatan kemandirian masyarakat perlu dinilai sebagai salah satu keberhasilan pelaksanaan PNPM Mandiri. Pengkajian pencapaian MDGs. Pelaksanaan PNPM Mandiri diharapkan juga akan berdampak pada percepatan pencapaian MDGs. Melalui berbagai evaluasi sektor terkait kegiatan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan pelayanan dasar masyarakat miskin. Evaluasi terkait dengan aspek ini difokuskan pada mutu investasi, kesinambungan, kepuasan warga, efektivitas biaya, dan hubungan dengan pemerintah setempat dan sektor swasta.72 Dalam hasil laporan kegiatan PNPM-Mandiri tahun 2007, PNPM-PPK mendanai sebanyak 25.835 kegiatan yang diusulkan masyarakat di 14.688 desa
72
Ibid. Pedoman dan Evaluasi. Hal. 34-36.
60
dalam 1.864 kecamatan. Kegiatan tersebut menyerap dana BLM senilai Rp 1,53 triliun (171 juta dolar AS, dimana US$1 = Rp 9.000). Angka itu lebih sedikit dibanding jumlah kegiatan yang didanai program pada 2006, yang mencapai 27.849 kegiatan, karena pada tahun tersebut, sejumlah kegiatan yang didanai PPK II dan PPK III masih berjalan. Sebagai catatan, masih terdapat lebih dari 35 persen lokasi yang belum menuntaskan kegiatan dan melaporkannya, sehingga jumlah kegiatan yang didanai PNPM-PPK 2007 dipastikan akan lebih besar dari angka tersebut. Adanya dukungan pendanaan yang besar dari sejumlah lembaga/negara donor pada pelaksanaan PPK paska-bencana di NAD, Kepulauan Nias, dan lokasi bencana lain, memberi kontribusi yang sangat besar pada jumlah kegiatan masyarakat yang didanai program pada 2006. Secara akumulatif, sejak PPK dilaksanakan pada 1998 hingga 2007, program ini telah mendanai 181.835 kegiatan yang diusulkan, dikerjakan dan dikelola sendiri oleh masyarakat. Angka tersebut diluar kegiatan pemberian beasiswa dan paket pendidikan (lihat Tabel 2). Pada pelaksanaan PNPM-PPK 2007, persentase bidang kegiatan yang diusulkan, dilaksanakan dan dikelola oleh masyarakat di desa-desa adalah: prasarana/sarana dasar perdesaan 35,4 persen; pendanaan simpan pinjam kelompok perempuan (SPP) 48,5 persen; kegiatan di bidang pendidikan 10,4 persen; dan kegiatan di bidang kesehatan termasuk kegiatan sanitasi sebesar 5,3 persen (lihat Gambar 4). Dilihat dari presentase jumlah kegiatan, pada 2007, bidang kegiatan pendanaan SPP merupakan yang tertinggi. Hal ini terjadi karena alokasi dana SPP yang dapat diakses kaum perempuan pada PNPM-PPK diperbesar menjadi maksimal 25 persen dari BLM
61
per kecamatan, dari sebelumnya maksimal hanya 10 persen. Sebagai gambaran, pada 2006, persentase per bidang kegiatan yang didanai program adalah prasarana/ sarana 53 persen; pendanaan SPP masih 35 persen; kegiatan di bidang pendidikan 7 persen; dan kegiatan di bidang kesehatan termasuk kegiatan sanitasi sebesar 5 persen. Sementara itu, peningkatan persentase kegiatan di bidang pendidikan yang terjadi pada 2007, lebih disebabkan oleh adanya upaya untuk mendorong kegiatan di bidang pendidikan, salah satunya melalui program Pilot Pendidikan dalam PPK 2007. Perlu dicatat, jumlah penerima manfaat (Pemanfaat) pada bagian kegiatan „Ekonomi (UEP & SPP)‟ dalam Tabel 2, didasarkan pada nama anggota kelompok yang mengajukan usulan pendanaan dari hasil Musyawarah Desa (MD) Perencanaan dan MDKP yang diajukan ke tingkat kecamatan. Meski perkembangan dan tingkat pengembalian pinjaman dipantau secara rutin, namun jumlah aktual pemanfaat yang kembali mendapatkan pinjaman tidak tercatat di tingkat nasional. Demikian pula dengan penambahan anggota baru dalam kelompok setelah usulan diajukan.73
73
Laporan Tahunan 2007, Program Pengembangan Kecamatan PNPM Mandiri. Hal. 17-20.
62
Tabel 2 Hasil Kegiatan PPK/PNPM-PPK Tahun 2007 Jenis Kegiatan
PNPM-PPK 2007
Prasarana/Sarana Jalan (unit) Panjang Jalan (kilometer) Jembatan (unit) Sarana Air Bersih (unit) MCK (unit) Irigasi Pasar (unit) Rehab Pasar (unit) Listrik Desa (Jumlah Desa) Lain-lain Prasarana/sarana (unit) Tenaga Kerja Hari Orang Kerja (HOK) Ekonomi (UEP & SPP) UEP SPP Pemanfaat Kesehatan Posyandu Rehab Posyandu Lain-lain Kesehatan Pendidikan Sekolah Rehab Sekolah Beasiswa (Paket) Penerima Beasiswa Lain-lain Pendidikan TOTAL
2.522 2.684 616 1.206 532 1.311 92 23 130 2.730 685.883 9.188.973 12.104 340.123 843 20 532 1.302 298 121 17.305 966 25.835
63
Gambar 4. Presentase Hasil PNPM-PPK per Jenis Kegiatan Tahun 2007
64
Tabel 3 Indikator Kinerja PNPM-PPK 200774 Indikator Target Realisasi Tahun 2007 Program Jan-Des MASUKAN Jumlah Kecamatan yang menjadi lokasi program Jumlah desa dengan kegiatan % perempuan dalam musyawarah desa
750
1.842
12.000 40%
14.688 44%Av (Average/ratarata) 86% 100% NA (Not Available/Tidak tersedia) 100%
% BLM yang disalurkan % desa yang memiliki Tim Pemelihara % desa yang memiliki 3 peraturan desa (Perdes)
80% 85% 85%
% UPK yang mendapatkan pelatihan KELUARAN IRS atas investasi pembangunan % kegiatan selesai dan diserahterimakan (berdasarkan tipe, nilai, dsb) % kecamatan yang dikunjungi oleh konsultan % angka masalah secara nasional % desa yang membentuk Perdes % Musyawarah Antar Desa yang diatur Perda DAMPAK 1. Kemiskinan Jumlah Pemanfaatan % perempuan sebagai pemanfaat % orang miskin sebagai pemanfaat Jumlah Sekolah Dasar yang direhabilitasi 2. Ketatapemerintahan Jumlah masalah secara provinsi dan nasional yang dipublikasikan 3. Keberlanjutan % sarana prasarana yang dinilai “baik” dan “sangat baik” Jumlah UPK yang mengelola dana perguliran > Rp 100 juta Kajian terhadap pemeliharaan jangka panjang Kajian terhadap pilihan-pilihan untuk pembiayaan yang berkelanjutan
75%
74
>30 85% 50%
53% Kegiatan masih berlangsung 100%
50% 65% 65%
55% NA NA
12.000.000 40% 65% 700%
14.951.052 50% 63% 1.560
50
0
70%
65% 65%
200
2.788
1
0
1
0
Ibid, Program Pengembangan Kecamatan PNPM Mandiri. Hal. 69.
65
Dalam hasil laporan kegiatan PNPM-Mandiri tahun 2008, Programprogram telah menanamkan investasi besar di setiap kecamatan lokasi sasaran, terutama dalam bentuk aset-aset berupa: 1. Model Kelembagaan & Sistem Pembangunan Partisipatif 2. Aset berupa Sumberdaya Manusia 3. Aset berupa Unit Pengelola Kegiatan (UPK) 4. Aset berupa Infrastruktur Perdesaan 5. Aset berupa Kelompok Usaha Mikro75 Tabel 4 Indikator Kinerja PNPM-Perdesaan 200876 Indikator Target Realisasi Proyek 2007 2008 MASUKAN Jumlah kecamatan lokasi program Jumlah desa dengan kegiatan % perempuan dalam musyawarah desa % BLM yang disalurkan % desa dengan Tim Pemelihara % desa dengan 3 (tiga) Peratruan Desa (Perdes) % UPK yang mendapat pelatihan KELUARAN EIRR terhadap investasi pembangunan % kegiatan selesai dan diserahterimakan (berdasarkan tipe, nilai, dll) % kecamatan yang dikunjungi oleh konsultan % pengaduan yang diselesaikan, berdasarkan database % desa dengan Perdes % Musyawarah Antar Desa yang diatur Perda DAMPAK 1. Kemiskinan Jumlah penerima manfaat % perempuan penerima manfaat 75 76
750 12.000 40% 80% 85% 85%
1.842 14.688 44%Av. 86% 100% NA
2.408 22.629 49%Av. 95% 100% NA
75%
100%
100%
>30% 85%
53% 97%
53% 85%
50%
100%
100%
50%
55%
49.5%
65% 65%
NA NA
NA NA
12.000.000 40%
14.951.052 50%
22.825.930 51%
Laporan Tahunan 2008, PNPM-Mandiri Pedesaan. Hal. 22-26. Ibid, PNPM-Mandiri Pedesaan. Hal. 58.
66
% kelompok miskin penerima manfaat Jumlah Sekolah Dasar (SD) yang direhabilitasi 2. Ketatapemerintahan Jumlah masalah secara provinsi dan nasional yang dipublikasikan 3. Keberlanjutan % sarana prasarana yang dinilai “baik” dan “sangat baik” Jumlah UPK yang mengelola dana perguliran > Rp 100 juta Kajian terhadap pemeliharaan jangka panjang Kajian terhadap pilihan-pilihan untuk pembiayaan yang berkelanjutan
65% 700
63% 1.560
48% 3.015
50
NA
NA
70%
65%
65%
200
2.788
3.413
1
NA
NA
1
NA
NA
Di tahun 2009 capaian dan evaluasi indikator kinerja PNPM Mandiri Perdesaan dalam laporan PNPM Mandiri di tahun 2009 sebagai berikut: PNPM Mandiri Perdesaan adalah program untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan, yang ditangani oleh Direktorat Jenderal PMD (Pemberdayaan Masyarakat dan Desa), Kementrian Dalam Negeri. Program ini membutuhkan sumber dana yang cukup besar, sehingga salah satu sumber dana yang digunakan oleh Pemerintah untuk pendanaan program adalah berasal dari pinjaman (Loan) IBRD/World Bank. Salah satu persyaratan, agar program terlaksana sesuai dengan tujuan yang diharapkan, pihak pemberi pinjaman menetapkan indikator kinerja bagi keberhasilan program; sesuai yang tercantum dalam dokumen “Loan Agreement” IBRD No. 04711/IDA 4385-IND. Indikator kinerja yang ditetapkan, ditinjau dan dipantau atas dasar 3 (tiga) aspek yang mempengaruhi berikut ini: 1. Input (Masukan); dengan parameter yang terdiri dari: jumlah lokasi (kecamatan dan desa), prosentase partisipasi perempuan dalam Musyawarah
67
Desa, jumlah desa yang memiliki tim pemelihara, dan jumlah BLM yang dicairkan. 2. Output (Keluaran); dengan parameter yang terdiri dari: jumlah desa yang terdanai dan jumlah Prasarana-Sarana (P/S) yang selesai dibangun terutama jalan, pasar, air bersih, dan sekolah. 3. Impact (Dampak); dengan parameter yang terdiri dari: proporsi penerima bantuan (orang miskin, perempuan, orang miskin) dan jumlah sarana dan prasarana yang dibangun/direhabilitasi. Khusus untuk indikator lain yang belum tercantum dalam laporan PNPM Mandiri tahun 2009 (tahunan), akan dijelaskan secara terpisah. Indikator-indikator yang dimaksud adalah terkait dengan: a) Kepemerintahan/Governance; dengan parameter yang terdiri dari: jumlah masalah yang dipublikasikan, banyaknya kecamatan yang diaudit FMS (Forum Masyarakat Statistik) dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan), dan jumlah kasus korupsi maupun mis-prosedur (prosedur yang terlewatkan) yang diselesaikan. b) Pelestarian; dengan parameter yang terdiri dari: prosentase pengembalian SPP (Simpan Pinjam untuk Perempuan)/UEP (Usaha Ekonomi Produktif) serta perkembangan aset ekonomi lainnya, perkembangan kelembagaan (BKAD), dan prosentase P/S yang dibangun dan dinilai baik/berkualitas. Penilaian kinerja berlandaskan atas data dan informasi, dan diperoleh melalui laporan dari provinsi serta terekam dalam basis data MIS KM-Nasional untuk kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan Tahun 2009. Secara umum dan menyeluruh, target parameter kinerja telah dapat dicapai. Namun ada beberapa
68
indikator yang belum tercapai secara optimal, yaitu: pada aspek input, dimana Tim Pemelihara baru terbentuk kurang lebih 29%. Hal ini juga terjadi pada aspek output, dimana prosentase pekerjaan fisik baru mencapai sekitar 48%; karena proses pencairan dana baru bisa dilakukan dan berlangsung pada bulan November 2009. Di samping itu, juga terdapatnya sisa anggaran yang diluncurkan pada tahun 2010, dengan besaran sekitar 20%, dan baru bisa dicairkan pada sekitar bulan Maret s/d April 2010.77
No. 1
2
3
4 5
6
7
Tabel 5 Hasil Capaian Untuk Penilaian Parameter “Input”78 Parameter Input Target Realisasi TA 2009 Jumlah Kabupaten yang 350 342 berpartisipasi Jumlah Kecamatan yang 2.600 3.905 berpartisipasi Jumlah Desa yang berpartisipasi 51.113 50.201 Jumlah Desa yang terdanai 21.505 40.704 Prosentase minimum jumlah 40% 49.42% perempuan dalam musyawarah (%) Persentase Penyelesaian 85% On Progress Kegiatan sesuai SPC Persentase kegiatan >70% On Progress Infrastruktur yang berkualitas baik sesuai jumlah sample yang dievaluasi Persentase Penempatan >70% 80.67% Konsultan lapangan (Fas-Kab dan Fas-Kec) yang telah dilatih Persentasi hasil studi dan >70% On Progress evaluasi yang digunakan sebagai bahan untuk peningkatan kinerja proyek
Selisih (8) 1.305 (912) 19.199 9.42%
-
10.67%
-
Program PNPM Mandiri yang merupakan salah satu program kemiskinan di Indonesia pada tahun 2007 sampai tahun 2009 yang sejauh ini cukup efektif 77 78
Laporan Tahunan 2009, PNPM-Mandiri Perdesaan. Hal. 77-78. Ibid, PNPM-Mandiri Perdesaan. Hal. 78.
69
walaupun dalam penurunan kemiskinan masih belum turun drastis. Kita bisa melihat dari indikator kinerja tahunan (2007-2009) diatas yang merupakan parameter untuk melihat efektivitas PNPM Mandiri. Program PNPM Mandiri yang didukung Bank Dunia tersebut kemungkinan dapat tercapai dalam target MDGs di tahun 2015. Dilihat dari tahun ke tahun angka jumlah dan presentase penduduk miskin menurun. Di bawah ini merupakan data jumlah dan presentase penduduk miskin di Indonesia. Gambar 5. Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Pada Tahun 1999-2009 60 50 40
Pedesaan
30
Perkotaan
20
Pedesaan + Perkotaan
10 0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gambar 6. Persentase Penduduk Miskin (Juta) Pada Tahun 1999-200979 30
25
20 Pedesa a n
15
Perkota a n Pedesa a n + Perkota a n
10
5
0 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
79
Berita Resmi Statistik, 2009, Badan Pusat Statistik, No. 43/07/Th. XII. Hal. 2-5.
70
Tabel 6 Efektivitas dan Status Kemiskinan di Indonesia Pada Tahun 1999-2009 Tahun
Efektivitas
Status Kemiskinan
Keterangan
1999
-
Meningkat
Krisis ekonomi dan KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme)
2000-2004
√
Menurun
Program-program pengentasan kemiskinan
2005-2006
-
Meningkat
Bencana Alam, Kenaikan BBM
2007-2009
√
Menurun
PNPM-Mandiri dan program-program pengentasan kemiskinan lainnya
Dalam gambar 5 dan gambar 6 diatas menunjukkan bahwa di tahun 2005 terjadinya kemiskinan yang diduga bahwa kenaikan jumlah penduduk miskin itu disebabkan oleh beberapa hal yang saling berkaitan. Hal-hal tersebut antara lain Gelombang Tsunami yang melanda Provinsi Aceh dan sebagian wilayah Sumatera Utara telah menyebabkan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat lenyap dari dua wilayah tersebut. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi beberapa kali hingga awal bulan Oktober di tahun 2005 ini yang tentunya telah membebani biaya-biaya produksi. Kenaikan harga minyak internasional dan melemahnya nilai tukar rupiah tampaknya juga bisa dilihat sebagai penyebab yang berpengaruh terhadap melemahnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan produk-produk primer dan sekunder seperti yang telah dijelaskan di pembahasan sebelumnya.80 Lalu di tahun 2006 menaik pesat dalam jumlah dan presentase penduduk miskin. Maka, di tahun 2007, PNPM Mandiri disertai dukungan Bank Dunia yang berjalan cukup efektif 80
Hari Susanto, 2006, Dinamika Penanggulangan Kemiskinan: Tinjauan Historis Era Orde Baru, Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Jakarta. Hal. 8-9.
71
karena di tahun 2007-2009 angka jumlah dan presentase penduduk miskin menurun dengan diiringi program-program pengentasan kemiskinan lainnya. Dengan demikian, penjelasan di atas merupakan sebuah laporan tahunan dari PNPM Mandiri untuk dapat melihat sejauh mana efektivitas bantuan luar negeri Bank Dunia dalam pengentasan kemiskinan dengan parameter dari efektivitas PNPM Mandiri.
IV.2
Dampak Bantuan Luar Negeri Bank Dunia Terhadap Indonesia Program PNPM Mandiri yang diawali pada tahun 2007 cukup dapat
menurunkan angka kemiskinan. Lalu, di tahun 2008-2009 Bank Dunia menambahkan pinjamannya sekitar US$ 409 juta untuk Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Utang ini harus dikembalikan pada 2030, sesuai Loan Agreement Nomor 7504-ID yang diteken 6 Juni 2008.81 Maka, dampak bantuan luar negeri tersebut berupa utang luar negeri. Dilihat dari struktur pinjaman yang diberikan, utang luar negeri yang dialokasikan bagi negara Indonesia ini, Michael Hendri Bouchet yang sebagaimana dikutip oleh Dewi membedakan atas dua bentuk: (1) official debt yaitu pinjaman yang dilakukan antar pemerintah melalui lembaga-lembaga pinjaman internasional (international lending institution) Bank Dunia, (2) private sector yaitu pinjaman yang dilakukan kelompok swasta di negara berkembang terhadap perbankan di negara maju.82
81
2010, Mandiri Dengan Zakat dan SDA, dilihat pada tanggal 11 Juli 2010 pukul 15:01 WIB. . 82 Dewi Sinorita Sitepu, 2005, “Utang Luar Negeri dan Problem Kemiskinan Negara Berkembang”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. Hal. 6.
72
Beberapa dilema yang dihadapi negara Indonesia atau negara berkembang ini sebagai konsekuensi logis menerima bentuk pinjaman yang diberikan Bank Dunia tersebut yaitu: 1. Tuntutan-tuntutan yang diberlakukan terhadap negara berkembang ketika menerapkan kebijakan structural adjustment merupakan bentuk baru dari imperialisme kapitalis. Ini disebabkan negara berkembang berada pada posisi yang lemah terhadap negara maju akibat kebutuhan mendesak akan bantuan finansial. Negara berkembang dalam hal ini tidak memiliki posisi tawar atas ketentuan kondisionalitas yang ditetapkan bersamaan dengan dikucurkannya bantuan yang diberikan. Ini dikarenakan negara kreditor memiliki kesatuan lebih kuat dibandingkan negara debitor dalam melakukan tekanan-tekanan; dan di tingkat internasional pun belum terdapat kesatuan antar negara debitor untuk memperjuangkan posisi tawarnya karena alasan perbedaan kepentingan dan tingkat ketergantungan terhadap kreditor. 2. Keharusan bagi negara berkembang untuk melakukan deregulasi dan privatisasi ekonomi dari strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi industri substitusi impor menjadi strategi pembangunan ekonomi yang berorientasi ekspor; termasuk melakukan langkah prudent atas fiskal dan kebijakan moneter untuk menghindari inflasi seringkali mengabaikan karakteristik pembangunan ekonomi lokal dan justru melemahkan proses reformasi ekonomi. Akan tetapi, kelompok di tingkat domestik yang kuat secara ekonomi tetap berupaya mempengaruhi kebijakan pemerintahnya untuk mempertahankan utang dan menganggap tidak ada masalah dengan utang luar
73
negeri karena umumnya kelompok inilah yang memperoleh akses dan diuntungkan dengan kucuran utang. 3. Tuntutan dari kreditor atas negara debitor untuk menciptakan pemerintahan yang transparan dan bebas dari masalah korupsi lebih merupakan wacana daripada implementasi pada dataran praksis dan kebijakan. Faktanya Bank Dunia cenderung tetap mengucurkan dananya meskipun suatu negara diindikasikan sebagai negara dengan tingkat korupsi tinggi ataupun terjadi malpractice atas alokasi dana dan pengerjaan program yang didukung oleh pendanaan mereka.83 Selama 30 tahun (1969-1999) jumlah pinjaman Indonesia dari Bank Dunia hampir mencapai 27 milyar dolar AS, atau rata-rata mencapai 900 juta dolar AS per tahunnya. Sebelum krisis moneter dan ekonomi melanda Indonesia dan Asia tahun 1997, dengan cadangan devisa sekitar 18 miliar dolar AS dan defisit transaksi berjalan yang semakin membengkak Indonesia mulai mengalami kesulitan likuiditas dalam melakukan pembayaran bunga dan cicilan utangnya. Setelah dilanda krisis ekonomi, kesulitan likuiditas menjadi nyata, baik bagi pihak swasta maupun pemerintah. Akibatnya, bukannya mengurangi utang justru pemerintah Indonesia terpaksa menambah utangnya dari IMF (International Monetery Fund/Dana Moneter Internasional). Total komitmen pinjaman baru adalah sebesar 43 milyar dolar AS. Peran Bank Dunia sebagai fasilitator negara-negara kreditor dalam memberikan pinjaman ke Indonesia memiliki peranan yang sangat penting. Oleh karena itu perilaku lembaga multilateral ini perlu dikaji lebih dalam lagi. Perilaku
83
Ibid, Utang Luar Negeri dan Problem Kemiskinan Negara Berkembang. Hal. 8
74
Bank Dunia dalam menjalankan misinya dipengaruhi peran gandanya di mana kedua peran itu sesungguhnya saling bertolak belakang. Pertama, peran Bank Dunia merupakan agen pembangunan bagi negara-negara peminjam. Kedua, peran Bank Dunia sebagai bank komersil dan profesional atas dana yang diterima dan dana yang disalurkannya. Peran kedua inilah yang lebih berkaitan dengan kelangsungan hidup dari Bank Dunia sendiri, karena dari keuntungan selisih bunga pinjaman dan bunga simpanan Bank Dunia memperoleh penghasilannya, yang digunakan untuk membayar (dengan mahal) para pegawainya dan deviden bagi para negara pemegang saham. Posisi yang berlawanan dari kedua peran itu adalah, bahwa sebagai agen pembangunan, Bank Dunia wajib mengawasi pelaksanaan proyek mulai dari proses identifikasi sampai dengan pelaksanaan akhir proyek tersebut. Dengan posisi dan wibawanya, Bank Dunia berhak dan wajib menghentikan pelaksanaan dan pembiayaan suatu proyek apabila pelaksanaan proyek itu dianggap menyimpang dari ketentuan Bank Dunia sebagai agen pembangunan. Akan tetapi bila hal itu dilakukan akan menimbulkan ketegangan hubungan antara Bank Dunia dengan pemerintah Indonesia, dan bisa menyebabkan si penguasa enggan meminjam kembali dari Bank Dunia. Berkurangnya nasabah bagi Bank Dunia merupakan suatu kerugian karena ada beban bunga yang harus dibayarkannya atas dana yang disimpan (dipinjamkan) oleh negara maju kepada Bank Dunia, di samping hilangnya nafkah atas dirinya. Pemilihan peran pertama mengurangi peran kedua dan sebaliknya, pemilihan peran kedua mengurangi peran pertama. Oleh sebab itu, karena peran
75
kedua lebih berfungsi terhadap kepentingannya maka kecenderungan yang dilakukan Bank Dunia adalah bersikap sebagai bank komersil.84 Sebaliknya, penekanan yang berlebihan pada peran pertamanya, yakni sebagai agen pembangunan yang memberikan kewajiban pada Bank Dunia untuk mengawasi secara ketat keseluruhan proses pelaksanaan proyek-proyek yang didanainya, justru dikhawatirkan akan menimbulkan ketegangan hubungan antara Bank Dunia dengan pemerintah negara yang bersangkutan dan menyebabkan keengganan untuk meminjam kembali dari Bank Dunia. Bila ini terjadi maka logikanya adalah kerugian bagi Bank Dunia karena kewajiban beban bunga atas simpanan dana negara maju yang dititipkan kepadanya tidak diimbangi dengan pemasukan pembayaran bunga pinjaman dari negara berkembang. Dengan demikian, bukanlah sebuah persoalan bila pelaksanaan proyek dari bantuan luar negeri Bank Dunia yakni PNPM Mandiri, yang justru mengembangkan praktek KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) ataupun menyebabkan kerugian yang harus ditanggung masyarakat banyak di negara peminjam selama negara yang bersangkutan masih dapat mengembalikan pinjamannya (bunga dan cicilan utang pokok), karena selama itu pula Bank Dunia akan terus “menghujani” negara yang bersangkutan dengan berbagai program bantuan pinjaman. Indonesia adalah salah satu “goodboy” yang selalu mendapat sanjungan Bank Dunia.85 Hal ini seperti dalam kasus Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Kelautan dan Perikanan di Manado yang diduga korupsi dan 84
Faisal H. Basri dan Dendi Ramdani, 2001, “Utang Luar Negeri: Mengayuh Di Antara Kebutuhan Dana Bagi Pemulihan Ekonomi dan Beban Pembayaran Cicilan dan Bunga”, Global Jurnal Politik Internasional, Kerjasama Jurusan Ilmu HI FISIP-UI Dengan S2 HI Pasca-Sarjana Ilmu Politik FISIP-UI dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hal. 9-10. 85 Nurul Isnaeni, 2001, “Bank Dunia, Indonesia dan Politik Lingkungan Global (Mencermati Agenda Pembangunan Berkelanjutan)”, Global Jurnal Politik Internasional, Kerjasama Jurusan Ilmu HI FISIP-UI Dengan S2 HI Pasca-Sarjana Ilmu Politik FISIP-UI dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hal. 52.
76
diperkirakan kerugiannya mencapai sekitar Rp 25 juta. Padahal, dana program itu bertujuan antara lain untuk penanggulangan kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan pesisir yang ada di kota tersebut.86 Penjelasan di atas merupakan kasus korupsi, seperti yang diungkapkan oleh Jeffrey Winters bahwa pada akhir tahun 1990-an, Bank Dunia mulai mengakui secara terbuka bahwa korupsi terhadap bantuan pembangunan adalah masalah serius, dan yang lebih merisaukan dana pinjamannya sendiri termasuk di dalamnya. Namun, Bank Dunia telah salah mendiagnosa mengapa dan bagaimana korupsi terjadi. Inilah antara lain penyebab kecilnya kemungkinan Bank Dunia berhasil dalam responsnya memerangi korupsi. Adapun masalah tanggung jawab, dapat disebutkan kasus Indonesia sebagai contoh yang menunjukkan bahwa para pejabat Bank Dunia menyadari sejak awal pemerintahan Suharto pada 1960-an bahwa korupsi berskala besar merupakan masalah. Mereka juga tahu bahwa pinjaman Bank Dunia sama rentannya terhadap penyelewengan seperti juga sumber-sumber lain dalam sistem yang ada. Meskipun demikian, Bank Dunia tidak mengambil langkah yang berarti selama tiga dasawarsa untuk mengamankan uang yang dipinjamkannya. Pemerintahan Suharto, yang ditumbangkan pada 1998, meminjam hampir 30 miliar dolar AS dari Bank Dunia. Menurut perkiraan terbaik yang ada, sekitar satu pertiganya ($10 miliar) dijarah secara sistematis atas pengetahuan Bank Dunia, dan oleh sebab itu merupakan utang kriminal.
86
2010, Poltabes Manado Dalami Kasus Korupsi PNPM, dilihat pada tanggal 15 Juli 2010 pukul 20.00. .
77
Bank Dunia terikat oleh hukum internasional untuk ikut menanggung beban utang jarahan ini, tidak saja untuk Indonesia tetapi semua negara klien di mana ditemukan pola-pola korupsi yang mirip atau bahkan lebih buruk.87 Tetapi, Bank Dunia sangat peduli terhadap tata kelola dan reformasi institusional. Bank Dunia telah menegaskan bahwa “tidak ada yang lebih penting” daripada memerangi korupsi. 88 Dalam hal ini pemerintah harus bisa menganalisa lebih cermat lagi untuk kasus tersebut dan harus belajar dari pengalaman sebelumnya agar program pengentasan kemiskinan berjalan dengan baik. Kembali dalam masalah utang luar negeri, Indonesia saat ini tercatat sebagai salah satu negara pengutang (utang luar negeri) terbesar di dunia. Ada pula usul supaya Indonesia mengajukan proposal untuk menjadi anggota Highly Indebted Poor Countries guna mendapat debt relief (pengurangan utang) seperti pada tahun 2007 negara Uganda mendapatkan debt relief sebesar 700 juta dollar AS, negara Bolivia mendapatkan debt relief senilai 600 juta dollar AS, negara Guyana mendapatkan debt relief sebesar 500 juta dollar AS.89 Menurut Serkan Arslanalp dan Peter Blair Henry menyatakan bahwa ada beberapa catatan yang menarik yaitu, dalam debt relief akan berjalan efektif di negara-negara berkembang. Keenam negara tersebut adalah Indonesia, Pakistan, Kolombia, Jamaika, Malaysia, dan Turki. 90 Karena debt relief tersebut membuat negara-
87
Jeffrey A. Winters, 2004, “Utang Kriminal”, dalam Membongkar Bank Dunia, Jonathan R. Princus dan Jeffrey A. Winters, Djambatan, Jakarta. Hal. 139-140. 88 Mushtaq H. Khan, 2004, “Korupsi dan Tata Kelola Pada Awal Kapitalisme: Strategi Bank Dunia dan Keterbatasnnya”, dalam Membongkar Bank Dunia, Jonathan R. Princus dan Jeffrey A. Winters, Djambatan, Jakarta. Hal. 222. 89 Marwan Ja‟far, 2007, Infrastruktur Pro Rakyat: Strategi Investasi Infrastrukutr Indonesia Abad 21, Pustaka Tokoh Bangsa, Jogjakarta. Hal. 290. 90 Serkan Arslanalp dan Peter Blair Henry, 2006, “Helping The Poor To Help Themselves: Debt Relief Or Aid?”, dalam Sovereign Debt At The Crossroads: Challanges and Proposals For Resolving The Third World Debt Crisis, Chris Jochnick dan Fraser A. Preston, Oxford University Press, New York. Hal. 184-185.
78
negara berkembang agak ringan dalam beban hutang yang diraihnya. Maka, negara-negara berkembang tersebut akan dapat melanjutkan program-program dan rencana proyek dengan lebih baik yang salah satunya adalah pengentasan kemiskinan. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan di negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia dalam melakukan pinjaman atau utang luar negeri, antara lain: Pertama, perlunya itikad baik (good will) dari negara berkembang terhadap negara kreditor, baik di forum negosiasi maupun diplomasi dalam menyelesaikan utang negaranya dan dilema yang dihadapi melalui sarana saluran komunikasi yang terbuka. Kedua, menyadari bahwa setiap kreditor (official dan private sector) memiliki kepentingan, tujuan dan kebijakan yang berbeda-beda. Negara debitor dituntut untuk jeli dan cermat mengetahui apa yang menjadi target of net transfer negaranya juga pihak kreditor, sehingga dapat melakukan negosiasi yang terpisah terhadap beragam tipe kreditor tersebut dan dapat dicari solusi pemecahannya. Mencermati masalah utang di negara berkembang dan relevansinya dengan kemiskinan; patut dipertimbangkan negara berkembang bahwa utang luar negeri yang digunakan sebagai sarana untuk mendanai program pembangunan di tingkat domestik hanya dapat berjalan jika ada dana dampingan dari anggaran negara. Ketersediaan cadangan devisa negara merupakan kemutlakan bagi proses pembangunan ekonomi suatu negara untuk meminimalisir tingkat ketergantungan atas utang luar negeri dan berjalannya proyek-proyek pembangunan yang mendapat sokongan dana dari utang.
79
Utang bukan merupakan solusi tunggal untuk menjawab tantangan ketertinggalan dan kemandekan proses pembangunan ekonomi di negara berkembang. Utang tidak selalu berkorelasi positif dengan proses dan harapan pemerintah negara berkembang untuk mengurangi kemiskinan. Ini dapat diperhatikan bahwa pada praktiknya agenda yang disertakan oleh kreditor ketika memberikan utang cenderung tidak memasukkan kemiskinan sebagai persoalan substansi yang ingin ditanggulangi di tingkat domestik negara berkembang. Kecenderungan yang ada program yang disertakan dalam utang yang diberikan lebih menekankan pada pembangunan ekonomi berorientasi pasar dengan tujuan mengintegrasikan ekonomi domestik kelompok negara ini ke dalam tatanan ekonomi global.91 Dalam penghapusan utang ini terdapat beberapa argumen yang dapat dikemukakan yaitu: Pertama, atas dasar argumen belas kasihan karena negara debitor terpuruk ke dalam lembah kemiskinan sebagai akibat krisis ekonomi yang dalam. Kedua, bila sebagian dari utang tersebut adalah utang ilegal atau najis (odious debt). Utang najis adalah utang yang diberikan negara peminjam atau lembaga multilateral yang tidak digunakan untuk keperluan pembangunan atau dengan kata lain utang-utang tersebut tidak sampai ke tangan rakyat, tetapi dikorupsi oleh penguasa-penguasa di negara penerima. Dengan argumentasi semacam ini, adalah sah jika utang ini tidak diakui sebagai utang suatu pemerintahan.
91
Dewi Sinorita Sitepu, 2005, “Utang Luar Negeri dan Problem Kemiskinan Negara Berkembang”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. Hal. 12.
80
Ketiga, penghapusan utang karena kesalahan prilaku kreditor khususnya lembaga multilateral seperti Bank Dunia. Salah satu penyebab mengapa proyekproyek yang dibangun tidak memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat negara debitor adalah karena kesalahan staf-staf Bank Dunia yang melakukan studi kelayakan proyek, merekomendasikan dan menyetujuinya. Selain itu, kebocoran dana-dana juga tidak terlepas dari sikap Bank Dunia yang hanya mementingkan kepentingannya yaitu pembayaran cicilan dan bunga utang lancar tanpa memperhatikan kesuksesan proyek dan tanpa pengawasan yang berarti. Cara yang lebih radikal lagi adalah dengan pembatasan pembayaran utang dan cicilan dalam jumlah tertentu. Misalnya ditetapkan Indonesia hanya akan membayar utang dan bunganya sebesar 20% dari pendapatan ekspor. Dengan pembatasan ini maka pelunasan utang tidak membebani perekonomian secara keseluruhan baik neraca transaksi berjalan maupun APBN.92 Adapun catatan yang dapat diberikan bagi pemerintah Indonesia. Pertama, patut diingat bahwa utang hanya merupakan alternatif pendanaan untuk mengatasi krisis neraca pembayaran negara dalam hal ini (capital account). Berangkat dari pernyataan ini, tidak seharusnya utang diagendakan sebagai sumber pendanaan utama bagi anggaran pembangunan dan menambah kas negara. Kebutuhan dana „segar‟ untuk menambah kas negara sepatutnya dioptimalkan melalui aktivitas ekonomi domestik yang ditandai dengan pertumbuhan investasi, peningkatan produksi dan perdagangan.
92
Faisal H. Basri dan Dendi Ramdani, 2001, “Utang Luar Negeri: Mengayuh Di Antara Kebutuhan Dana Bagi Pemulihan Ekonomi dan Beban Pembayaran Cicilan dan Bunga”, Global Jurnal Politik Internasional, Kerjasama Jurusan Ilmu HI FISIP-UI Dengan S2 HI Pasca-Sarjana Ilmu Politik FISIP-UI dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hal. 12-13.
81
Kedua, jika utang merupakan agenda nasional yang tidak terelakkan bagi sumber pendanaan aktivitas pembangunan domestik; perlu diketahui secara pasti karakteristik kreditor pemberi pinjaman. Pemahaman akan beragam kepentingan, tujuan dan kebijakan dari setiap kreditor akan lebih memudahkan dalam proses negosiasi dan kompromi atas target of net transfer dari kreditor-debitor. Ketiga, perlu dicari peluang sumber pendanaan alternatif dari negara atau kawasan tertentu yang secara potensial memiliki alokasi anggaran bantuan pembangunan; dengan karakteristik tingkat suku bunga rendah dan tanpa persyaratan kondisional yang patut dijalankan di tingkat struktural domestik debitor. Potensi ini dapat dijumpai dibeberapa negara maju di kawasan TimurTengah seperti Kuwait dan Saudi Arabia yang memang menganggarkan dana bantuan pembangunan bagi negara berkembang di kawasan Asia dan Afrika khususnya bantuan pengembangan sektor pertanian, irigasi, permodalan kelompok industri kecil-menengah dan infrastruktur. Keempat, perlu ditinjau kembali apa yang menjadi tujuan kebijakan anggaran negara. Kecenderungan yang terjadi pemerintah relatif gagal dalam menselaraskan antara dimensi bisnis dan pelayanan sosial. Tingginya rasio pembayaran utang Indonesia yang mencapai 40-50% APBN sudah melampaui ambang batas „wajar-sehat‟ yang dipersyaratkan Bank Dunia sendiri. Hal ini menjadi persoalan karena dampak utang luar negeri pada praksisnya lebih menyengsarakan rakyat, karena beban utang dan kewajiban membayar beban utang memperlambat proses recovery sosial-ekonomi. Meninjau kembali tujuan yang ingin dicapai dari kebijakan anggaran negara adalah langkah strategis dalam alokasi pembelanjaan utang luar negeri. Ini dikarenakan dalam proses berjalan nyata
82
terasa bahwa terpuruknya pembangunan nasional dan dikuranginya alokasi anggaran bagi fokus sosial lebih disebabkan karena inefektivitas pembelanjaan utang luar negeri oleh pemerintah.93 Terlepas dari itu, bantuan luar negeri Bank Dunia ternyata membawa sebuah paket neoliberal untuk Indonesia, karena apabila mereka telah masuk ke negara penerima maka kebijakan Bank Dunia pun akan ikut terbawa dengan paket neoliberal tersebut. Indonesia sendiri pernah menghadapi pelaksanaan agendaagenda ekonomi neoliberal secara massif setelah Indonesia mengalami krisis pada tahun 1997. Dengan dimandori oleh IMF, pemerintah Indonesia secara resmi menjalankan sebagian besar paket kebijakan ekonomi neoliberal. Ingat bahwa LoI (Letter of Intent) adalah surat resmi dari pemerintah Indonesia kepada IMF, yang berisi komitmen untuk menjalankan suatu paket kebijakan ekonomi. LoI selalu diperbaharui mengikuti assessment (analisa penilaian) dan review (penilaian dan rekomendasi) IMF. Ada 24 LoI selama periode akhir tahun 1997 sampai dengan tahun 2003 (rata-rata satu LoI setiap tiga bulan). Nota Keuangan RAPBN dan pernyataan resmi lainnya dari pemerintah pun tak begitu menutupi adanya agenda tersebut, meski tidak menyatakan secara terbuka sebagai paket kebijakan Konsensus Washington atau neoliberalisme. Yang jelas pula, ada upaya sosialisasinya sebagai satu-satunya alternatif untuk keluar dari krisis. Paket program IMF, yang resminya adalah surat komitmen dari pemerintah Indonesia kepada IMF, dikenal pula dengan sebutan Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program/SAP). SAP yang
93
Dewi Sinorita Sitepu, 2005, “Utang Luar Negeri dan Problem Kemiskinan Negara Berkembang”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. Hal. 13.
83
berisikan agenda di atas bemaksud “menyesuaikan” struktur ekonomi Indonesia agar bisa lebih terintegrasi dengan perdagangan internasional, tepatnya dengan kapitalisme internasional. Pengertian struktur di sini berbeda dengan dalam analisa politik. Struktur dimaksud berkenaan dengan segala hal yang menunjang liberalisasi perdagangan dan lembaga keuangan, serta menjamin akuntabilitas penggunaan keuangan negara. Cakupannya antara lain: peraturan perundang-undangan, pembenahan lembaga-lembaga keuangan, mekanisme keuangan dan devisa, serta kebijakan publik.94 Dalam penanganan hutang melalui kebijakan Structural Adjustment Programmes (SAPs) yang dirancang untuk menstabilkan dan merestrukturisasi perekonomian negara-negara miskin. Dengan mengikuti mekanisme yang disarankan IMF, negara-negara miskin diharapkan dapat mendorong roda perekonomian mereka kembali sehingga dapat memastikan kemampuan mereka untuk membayar hutang. Program ini diluncurkan dengan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mendorong negara miskin untuk bebas dari kemiskinannya. Strukturusasi ekonomi akan membantu negara miskin menciptakan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Strukturisasi yang dimaksudkan adalah dengan mengikuti program-program penyesuaian struktural demi terciptanya stabilitas ekonomi makro.95
94
Awalil Rizky dan Nasyith Masjidi, 2008, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia, E Publishing Company, Jakarta. Hal. 282-284. 95 Nurul Rochayati dan Suzanne Maria A, 2005, “Debt Relief Melalui HIPC Initiatives dan Tantangan Mengatasi Kemiskinan Dunia”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. Hal. 24.
84
Dengan menggunakan kalimat sederhana, maka seluruh paket SAP mengarah kepada pengecilan peran negara, sekaligus meningkatkan peran mekanisme pasar dalam perekonomian. Negara lebih terfokus sebagai penjamin keamanan, memberlakukan hukum untuk ketertiban, dan hanya dalam keadaan terpaksa memberi bantuan “darurat”. Pasar lah yang dianggap paling berkompeten memutuskan tentang: apa saja yang akan diproduksi dan seberapa banyak jumlahnya; seberapa banyak orang yang bisa bekerja (berarti seberapa yang menganggur), berapa upahnya; siapa saja yang akan lebih menikmati pertumbuhan ekonomi; dan sebagainya. Yang dijanjikan, sebagaimana semua konsep kapitalisme yang terdahulu, jika dilaksanakan dengan konsisten maka akhirnya semua orang akan sejahtera, meskipun dengan tingkatan yang berbeda. Bukankah sejak awal telah dikatakan oleh ajaran kapitalisme, bahwa: “jika setiap individu mengejar kepentingan ekonominya sendiri dengan sungguh-sungguh, maka hasil keseluruhannya bagi kesejahteraan orang banyak akan lebih baik daripada jika mereka bersama-sama merencanakan dan berusaha untuk itu.”96 Menurut Bank Dunia, tujuan dari program SAP itu sendiri adalah untuk menciptakan terjadinya pertumbuhan ekonomi dan juga secara simultan mendukung stabilitas finansial internal dan eksternal. Program ini mempunyai aspek makroekonomi dan mikroekonomi. Tujuan makro utama adalah memperbaiki keseimbangan fiskal eksternal dan domestik. Program SAP biasanya mencakup kombinasi: (1) kebijakan fiskal dan moneter untuk mengurangi permintaan dan; (2) kebijakan perdagangan (terutama exchange rate dan pajak
96
Awalil Rizky dan Nasyith Masjidi, 2008, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia, E Publishing Company, Jakarta. Hal. 284.
85
ekspor/impor dan subsidi untuk menyesuaikan insentif relatif antara barangbarang tradable (diperdagangkan) dan nontradable (tidak diperdagangkan). Dalam sisi mikro, tujuan utamanya adalah memperbaiki efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber dengan mengeliminasi distorsi harga, membuka kompetisi, dan mengurangi kontrol administratif (deregulasi). Program-program tersebut meliputi pengeluaran pemerintah dan manajemen perusahaan umum, termasuk mengurangi kehadiran perusahaan pemerintah di sektor-sektor di mana swasta bisa melakukannya dengan lebih efisien. Dengan kata lain, SAP berarti less government (pemerintah yang tidak penuh dalam mengintervensi), free trade (perdagangan bebas), dan lebih banyak lagi perusahaan swasta.97 Program-program strukturisasi ekonomi yang tercantum dalam SAP didasari pada pemahaman nilai-nilai neoliberalisme atau lebih dikenal dengan “Konsensus Washington” (Washington Consensus). Konsensus Washington sendiri diciptakan dan dilaksanakan oleh para ahli ekonomi yang bekerja di dua institusi ekonomi dunia yaitu IMF dan Bank Dunia yang bermarkas di Washington. Dengan mengikuti SAPs, pemerintah diharuskan untuk mengurangi belanja pemerintah, khususnya dalam bentuk subsidi, untuk pelayanan umum seperti pendidikan, kesehatan, energi. Dengan pengurangan ini, pemerintah akan bisa mengalokasikan dana secara lebih efektif baik untuk pembayaran hutang maupun untuk menyokong kebijakan makro ekonomi lainnya. Kebijakan makro ekonomi yang harus diikuti adalah melakukan liberalisasi perdagangan, privatisasi, investasi asing dan pengetatan fiskal.
97
Syamsul Hadi, dkk, 2004, Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF, Granit, Jakarta. Hal. 191-192.
86
Bagi negara yang telah mematuhi SAPs, Bank Dunia akan melakukan penjadwalan hutang dari negara tersebut. Di Indonesia penjadwalan Utang PNPM Mandiri harus dikembalikan pada 2030, sesuai Loan Agreement Nomor 7504-ID yang diteken 6 Juni 2008. Bank Dunia selalu mengkampanyekan bahwa dengan mengikuti SAPs, akan dapat mengurangi tingkat kemiskinannya. Pendapat Bank Dunia ini mendapat tentangan dari berbagai pihak, khususnya LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan pemerhati masalah krisis hutang. Kritik mereka pada umumnya adalah bahwa tidak ada korelasi antara SAPs dan pengurangan kemiskinan. SAPs justru memberikan kontribusi bagi peningkatan kemiskinan. Kenyataan memberikan gambaran tidak adanya komitmen dari negara maju maupun badan keuangan internasional seperti Bank Dunia untuk benar-benar menangani kemiskinan.98 Adapun pernyataan pakar ekonom Joseph Stiglitz yaitu, bahwa dalam tujuan dari Konsensus Washington adalah menyediakan formula untuk menciptakan sektor swasta (privatisasi) yang antusias dan membangkitkan pertumbuhan ekonomi. Dengan meninjau kembali sebelumnya, rekomendasi kebijakan itu untuk menghindari risiko mereka yang didasarkan pada keinginan untuk menghindari adanya bencana yang buruk. Meskipun konsensus Washington yang diberikan oleh beberapa lembaga untuk sebuah pasar yang berfungsi dengan baik, malah hal itu sebaliknya atau tidak sempurna dalam pelaksanaannya dan kadang-kadang bahkan menyesatkan.99
98
Nurul Rochayati dan Suzanne Maria A, 2005, “Debt Relief Melalui HIPC Initiatives dan Tantangan Mengatasi Kemiskinan Dunia”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. Hal. 24-25. 99 Joseph E. Stiglitz dan Ha-Joon Chang, 2001, Joseph Stiglitz and The World Bank: The Rebel Within, ANTHEM PRESS, London. Hal. 48.
87
Disamping itu, perubahan paradigma pembangunan yang terjadi di Indonesia menjadi lebih liberal juga harus dilihat dalam tatanan sistem internasional yang sedang terjadi. Menurut Konsensus Washington pasar diidentifikasi sebagai mekanisme universal yang efisien untuk mengalokasikan sumber daya yang langka dan mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang dipengaruhi oleh peran institusi-institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia yang mendorong pemerintah suatu negara untuk tidak ikut campur tangan dalam mekanisme pasar.100 Terkait dengan hal tersebut di atas, bahkan Bank Dunia pun mengakui bahwa investasi asing dan privatisasi yang dicurahkannya “cenderung menggantikan aliran modal” di Amerika Latin, mengalihkan kontrol dan menyalurkan keuntungan ke luar negeri. Bank Dunia juga menyadari bahwa harga-harga di Jepang, Korea, dan Taiwan lebih banyak berbeda dengan harga pasar dibandingkan dengan di India, Brasil, Meksiko, Venezuela, dan negara lain yang diketahui melakukan intervensi. Ini terjadi saat Cina, pemerintahan yang paling banyak melakukan intervensi dan penyimpangan harga, menjadi favorit Bank Dunia dan merupakan negara pengutang yang paling cepat berkembang. Contoh lain, studi-studi yang dilakukan Bank Dunia mengenai negara Cili yang telah melewatkan fakta bahwa perusahaan tembaga yang dinasionalisasi adalah sumber utama penerimaan ekspor Cili.101 Adapun pengaruh privatisasi yang berguna untuk negara di bidang pertanian, yaitu keuangan swasta yang memiliki peran dalam pendanaan program-
100
Syamsul Hadi, dkk, 2004, Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF, Granit, Jakarta. Hal. 31. 101 Noam Chomsky, 1999, Provit Over People: Neoliberalism and Global Order, Seven Stories Press, New York. Hal. 33.
88
program untuk tanaman perkebunan, proyek-proyek irigasi yang besar dan kegiatan lain untuk memberikan sebuah masukan, pengolahan dan pemasaran yang biasanya dapat berjalan lebih efisien dan lebih fleksibel daripada lembaga yang dikelola oleh pemerintah. Bank Dunia pun bahkan mendukung penggunaan lembaga-lembaga sektor swasta untuk melakukan penelitian dan menyampaikan informasi dengan cara yang lebih responsif terhadap tuntutan petani. Namun, catatan ini adalah bahwa investasi swasta sangat selektif, terutama di Cina dan beberapa pusat pertumbuhan lainnya di Asia dan Amerika Latin, dan seringkali memerlukan tambahan investasi sektor publik untuk menciptakan peluang yang tepat.102 Jeffrey Sachs menilai bahwa negara-negara yang mengalami kemiskinan untuk meningkatkan sebuah pertumbuhan ekonomi adalah dengan menggunakan sebuah paket neoliberal yang perekonomiannya lebih terbuka. Misal, di Afrika dalam bidang pertanian akan mendapatkan sebuah keuntungan dari liberalisasi dengan perdagangan produk-produk tropis (misalnya, kapas, gula, pisang). Dengan adanya privatisasi dan liberalisasi tersebut, hal ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan dengan perekonomian yang lebih terbuka juga akan memiliki pertumbuhan yang lebih baik.103 Di Indonesia itu sendiri adapun sebuah agenda neoliberalisme dan Bank Dunia yang merupakan salah satu instrumen dalam membawa neoliberalisme tersebut. Agenda tersebut antara lain :
102
Alan Matthews, 1999, “International Development Assistance and Food Security”, dalam Foreign Aid: New Perspectives, Kanhaya L. Gupta, Kluwer Academic Publisher, Norwell. Hal. 72. 103 Jeffrey D. Sachs, 2005, The End Of Poverty: Economic Possibilities For Our Time, The Penguin Press, New York. Hal. 281-282.
89
Liberalisasi keuangan; antara lain: kurs bebas, devisa bebas, pengembangan BEJ. Liberalisasi perdagangan; meratifikasi keputusan WTO.
Pengetatan prioritas APBN, termasuk pencabutan subsidi.
Privatisasi BUMN.
Penjualan korporasi domestik kepada modal internasional.
Perlindungan maksimal bagi hak milik pribadi (swasta).
Penerapan harga pasar bagi energi.
Mekanisme harga bagi pasar tenaga kerja; minimalkan perlindungan buruh.
Bank Indonesia sepenuhnya mengikuti BasselI dan BasselII dari BIS.104 Pendanaan PNPM Mandiri yang dilakukan Bank Dunia memang menjadi
salah satu faktor penting dalam rangka menyukseskan MDGs tetapi yang harus juga mendapat perhatian adalah pengimplementasian program-program yang telah dibuat.
Dana
akan
terbuang
percuma
jika
pemerintah
tidak
dapat
mengimplementasikan perencanaan investasi tersebut. Oleh karena itu, Jeffrey D.Sachs menjelaskan bahwa dibutuhkan strategi manajemen publik yang harus mencakup enam komponen, yaitu: 1. Desentralisasi, hal ini berarti bahwa investasi yang dibutuhkan di beberapa desa dan kota akan ditetapkan oleh pemerintah daerah dibanding oleh pemerintah pusat; 2. Pelatihan, sektor publik di semua level kurang memiliki kemampuan untuk mengawasi proses pengoperasian strategi, oleh karena itu pelatihan harus menjadi bagian dari program; 3. Teknologi informasi, jika saluran bantuan akan memberikan bantuan yang besar setiap tahunnya maka akan dibutuhkan teknologi informasi yang akan 104
Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, 2008, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia, E Publishing Company, Jakarta. Hal. 285.
90
selalu memungkinkan masyarakat pada semua level untuk mengetahui dan mengawasi; 4. Target yang jelas, target yang ingin dicapai harus jelas dan jumlahnya harus sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan data nasional yang tersedia; 5. Audit, negara penerima harus dapat mengaudit bantuan yang diberikan untuk mendapatkan bantuan yang lebih besar; 6. Pengawasan dan evaluasi, dana dan mekanisme program yang dijalankan harus diawasi dan diberikan evaluasi.105 Disamping itu, banyak yang menganggap bahwa Bank Dunia telah dianggap gagal dalam mencapai misinya, bahkan sudah ada beberapa seruan untuk menutup Bank Dunia.106 Jonathan R. Pincus dan Jeffrey A. Winters juga menyatakan bahwa seandainya sekarang Bank Dunia tidak ada, maka akan ada kebutuhan mendesak untuk mendirikannya. Masalahnya bukanlah (kebutuhan akan) adanya sebuah Bank Dunia, tetapi Bank Dunia yang kini kita miliki suatu hal yang sangat diabaikan oleh mereka yang menyikapi disfungsi Bank Dunia dengan menuntut agar lembaga ini dibubarkan saja. Dan disiplin yang diperlukan untuk merancang ulang Bank Dunia haruslah didesakkan dari luar dan tidak mungkin timbul dari dalam.107 Tetapi, Muhammad Yunus menentang seruan-seruan yang menyatakan bahwa Bank Dunia harus ditutup. Karena, Bank Dunia merupakan institusi global yang penting yang didirikan dengan tujuan yang mulia. Untuk itu, hanya perlu 105
Jeffrey D.Sachs, 2005, The End Of Poverty: Economic Possibilities For Our Time, The Penguin Press, New York. Hal. 278-279. 106 Muhammad Yunus, 2007, Creating a World Without Poverty: Social Business and The Future Of Capitalism, Public Affairs, New York. Hal. 14. 107 Jonathan R. Pincus dan Jeffrey A. Winters, 2004, “Merancang Ulang Bank Dunia”, dalam Membongkar Bank Dunia, Jonathan R. Princus dan Jeffrey A. Winters, Djambatan, Jakarta. Hal. 5-6.
91
melakukan perbaikan menyeluruh terhadap keduanya. Dunia sudah jauh berubah dari ketika pertama kali keduanya didirikan, sudah waktunya untuk meninjau kembali keduanya. Bank Dunia pun dianggap struktur dan prosedur kerja yang digunakan saat ini sudah tidak tepat lagi untuk melakukan tugas-tugasnya. Adapun ide-ide yang diutarakan oleh Muhammad Yunus yang akan menekankan hal-hal berikut ini:
Sebuah Bank Dunia yang baru harus terbuka bagi pemerintah maupun sektor swasta, dengan investasi swasta yang mengikuti model bisnis sosial.
Bank itu harus bekerja melalui pemerintah, LSM, dan jenis organisasi baru.
Alih-alih menjadi Korporasi Keuangan Internasional, Bank Dunia harus memiliki jendela lain, yaitu bisnis sosial.
Presiden Bank Dunia harus dipilih oleh Komisi Pencari yang akan mempertimbangkan kandidat-kandidat yang masuk kualifikasi dari seluruh dunia.
Bank Dunia harus bekerja melalui cabang-cabang nasional yang semi-otonom, masing-masing dengan dewan penasehatnya sendiri, dan bukan kantor-kantor perwakilan di tiap negara yang tidak punya kekuasaan.
Evaluasi terhadap stafnya harus diakaitkan dengan kualitas kerjanya dan dampak yang dihasilkan oleh pekerjaan itu, bukan besarnya volume pinjaman yang berhasil dinegosiasikan. Jika suatu proyek gagal atau berkinerja buruk, staff Bank Dunia yang terlibat dalam perancangannya harus dimintai pertanggungjawaban.
92
Bank Dunia harus membuat peringkat seluruh proyek tiap tahun berdasarkan pada dampaknya pada pengurangan kemiskinan, dan setiap kantor perwakilan negara harus dibuat peringkatnya dengan dasar yang sama.108 Sementara itu, kita kembali lagi ke masalah dampak bantuan luar negeri
Bank Dunia di Indonesia. Utang luar negeri yang merupakan kesepakatan antara Indonesia dan Bank Dunia bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dalam pnegentasan kemiskinan melalui PNPM Mandiri. Hal ini yang berdampak adanya pasar bebas dan liberalisasi melalui paket neoliberalisme Bank Dunia, pemerintah dapat mengharapkan rakyat Indonesia dapat menerimanya seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi saat ini. Di samping itu pula, pemerintah juga harus bisa mengembalikan utang luar negeri tersebut sesuai dengan kesepakatan sebelumnya oleh Bank Dunia. Dan dengan seiringnya proses pengembalian utang luar negeri tersebut, dengan adanya korupsi yang telah membuat program pengentasan kemiskinan tidak berjalan efektif harus segera diselesaikan dengan baik agar bantuan luar negeri tersebut tidak terbuang percuma seperti yang telah dijelaskan di atas.
108
Muhammad Yunus, 2007, Creating a World Without Poverty: Social Business and The Future Of Capitalism, Public Affairs, New York. Hal. 14-15.
93
Gambar 7. Kerangka Dampak Bantuan Luar Negeri
Pengentasan Kemiskinan
Target MDGs Bantuan Luar Negeri
Utang Luar Negeri
Paket Neoliberalisme
Dikhawatirkan Terjadi Tindakan Korupsi
Dengan demikian, bila kita simak dari penjelasan di atas bisa dapat kita simpulkan bahwa dampak yang terjadi dari bantuan luar negeri adalah berupa utang luar negeri dan neoliberalisme di Indonesia. Bila utang luar negeri tersebut tidak bisa lunas hingga jatuh tempo maka kemungkinan akan terjadi pengurangan utang (debt relief) seperti yang telah dijelaskan diatas. Hal ini dapat terjadi bila praktek korupsi semakin berkembang dan akan mempengaruhi jalannya kinerja program PNPM Mandiri dalam pengentasan kemiskinan. Disamping itu juga ada sebuah paket neoliberalisme yaitu SAP dan beberapa agenda neoliberalisme di Indonesia seperti yang telah dijelaskan diatas. Sebagai lembaga multilateral seperti Bank Dunia sebenarnya tujuan utama mereka adalah pengentasan kemiskinan, tujuan mereka bukanlah sebagai
94
pengrusak sistem di setiap negara yang membutuhkannya atau negara penerima. Pendekatan neoliberalisme yang di bawa oleh Bank Dunia berupa sebuah privatisasi dan liberalisasi pasar yang sebenarnya merupakan itikad baik dari Bank Dunia itu sendiri, mereka melakukan hal tersebut agar kontrol dan pengawasannya lebih leluasa dan ketat karena mereka merasa mempunyai tanggung jawab yang besar dari para pendonor dana yang menginvestasikannya ke negara-negara yang membutuhkannya. Hal ini juga dilakukan agar Bank Dunia memiliki sebuah kepercayaan dari para pendonornya. Maka, pemerintah Indonesia harus siap menerima konsekuensi paket neoliberal dari Bank Dunia dan pemerintah pun berharap akan tercapainya target MDGs dari kemiskinan. Gambar 7 diatas juga menunjukkan bahwa bantuan luar negeri menimbulkan sebuah utang luar negeri yang dimana di dalam proses tersebut dikhawatirkan terjadi tindakan korupsi sebagaimana telah dijelaskan di atas dalam kasus korupsi di tahun 1999, karena bila terjadi tindakan korupsi tersebut maka sebuah program pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak akan berjalan efektif dan target menuju MDGs pun tidak akan terpenuhi. Oleh karena itu, Indonesia harus bisa mencegah dari tindakan korupsi tersebut dari pengalaman sebelumnya agar program pengentasan kemiskinan dapat berjalan dengan efektif.
95
BAB V PENUTUP
Kesimpulan
Penulis disini akan mencoba untuk menyimpulkan apa yang terjadi dari hasil penelitian ini. Dengan adanya perumusan masalah yang berfungsi untuk membatasi sebuah permasalahan agar di dalam penelitian ini tidak melebar melainkan lebih spesifik dan menggunakan data kualitatif. Dengan menggunakan data tersebut kita dapat melihat mengapa Indonesia membutuhkan bantuan luar negeri Bank Dunia untuk mengentaskan kemiskinan, sebagaimana hal tersebut telah dijelaskan di bab-bab sebelumnya. Di dalam Bab II, telah dijelaskan apa saja faktor-faktor terjadinya kemiskinan di Indonesia pada tahun 1999-2009. Hal ini yang telah menyebabkan timbulnya bantuan luar negeri Bank Dunia, disamping itu terjadinya kemiskinan sebenarnya tidak terjadi di negara-negara berkembang saja seperti Indonesia tetapi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dapat terjadi kemiskinan, sebagaimana yang telah di jelaskan di Bab I. Setelah kita melihat faktor-faktor penyebab kemiskinan di Indonesia maka pemerintah Indonesia pun harus siap menjawab tantangan tersebut dengan program-program pengentasan kemiskinan. Salah satu program pemerintah yaitu PNPM-Mandiri yang membutuhkan sebuah anggaran yang besar karena hal ini terbagi menjadi dua kemiskinan perdesaan dan kemiskinan di perkotaan. Oleh sebab itu, karena anggarannya cukup besar maka pemerintah menerima bantuan
96
luar negeri Bank Dunia untuk mendukung dan membantu program pengentasan kemiskinan. Di dalam Bab III, menjelaskan bahwa terjadinya akibat karena adanya sebuah kemiskinan. Akibatnya adalah adanya bantuan luar negeri Bank Dunia sebesar US$ 2 miliar di tahun 2007 dan dengan berlangsungnya PNPM Perdesaan dan PNPM Perkotaan, proyek-proyek pengulang diharapkan akan memperluas program PNPM hingga menjangkau 70.000 masyarakat di seluruh Indonesia pada tahun 2009/2010 tahap awal periode Strategi Kemitraan Negara (CPS/Country Partnership Strategy). WBG memberikan dukungan kepada pemerintah yang berupaya membawa prakarsa di sektor kesehatan, pendidikan, pengembangan desa, dan sektor-sektor lainnya di bawah payung PNPM untuk memaksimalkan upaya-upaya pelengkap pengentasan kemiskinan. Program ini dimulai menyusul pengalaman sukses 10 tahun sebelumnya dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Bank Dunia dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Untuk tahun 2008-2009, program tersebut meliputi dua WBG SILS (World Bank Group Specific Investment Loans) dengan total US$ 409 juta serta pendanaan nasional dan mitra pemerintah lokal dan program pengembangan masyarakat lainnya yang bernilai setara dengan kurang lebih US$ 1,8 juta. Program penanggulangan kemiskinan yang lebih kecil lainnya dikemas menjadi PNPM Mandiri guna membuat program penanggulangan kemiskinan di tingkat masyarakat lebih sederhana dan terkoordinasi. Saat ini PNPM Mandiri mencakup hampir 70 persen kelurahan (sub-districts) dan kota. Program ini direncanakan akan berlanjut hingga tahun
97
2015, dan WBG serta donor lainnya akan mendukung upaya-upaya tersebut melalui pinjaman bergulir (repeater loans). Disamping itu, Indonesia juga turut memacu diri untuk segera mengurangi angka kemiskinan, seiring dengan seruan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa (PBB) Kofi Annan, agar dunia sesuai dengan target MDGs pada tahun 2015
dapat
mengurangi
angka
kemiskinan
secara
signifikan.
Tujuan
Pembangunan Milenium berisikan tujuan kuantitatif yang musti dicapai dalam jangka waktu tertentu, terutama persoalan penanggulangan kemiskinan pada tahun 2015. Tujuan yang dirumuskan dari “Deklarasi Milennium” tersebut, dan Indonesia merupakan salah satu dari 189 negara penandatangan pada September 2000. Delapan Tujuan Pembangunan Milenium tersebut juga menjelaskan mengenai tujuan pembangunan manusia, yang secara langsung juga dapat memberikan dampak bagi penanggulangan kemiskinan ekstrim. Masing-masing tujuan MDGs terdiri dari target-target yang memiliki batas pencapaian minimum yang harus dicapai Indonesia pada 2015. Bantuan luar negeri Bank Dunia merupakan tujuan kemanusiaan untuk mengentaskan kemiskinan dan Bank Dunia merupakan lembaga multilateral. Dana yang di dapat dari Bank Dunia adalah dari negara-negara pendonor yang telah membantu untuk pengentasan kemiskinan seperti di Indonesia yang telah dijelaskan diatas. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai teori bureaucratic incrementalist yang menyatakan bahwa tujuan yang dikejar negara donor dalam lingkup kepentingan ekonomi politik internasional, antara lain kombinasi tujuan kemanusiaan dan berbagai faktor dalam politik domestik.
98
Di dalam Bab IV, menganalisis sebuah temuan-temuan dari adanya kemiskinan dan bantuan luar negeri Bank Dunia. Temuan tersebut berupa sebuah efektivitas kemiskinan dan dampak bantuan luar negeri. Untuk menentukan sebuah efektivitas dari program pengentasan kemiskinan tersebut sangatlah bersifat relatif. Sejauh ini data yang diperoleh penulis dari BPS bahwa dari tahun 2006-2009 menurun hingga 1% dari tahun ke tahun (Kemiskinan Perdesaan dan Perkotaan) dan di tahun 2009 kemiskinan di Indonesia mencapai 14,15%. Menurut hemat penulis, bila hal ini terjadi terus-menerus hingga 2015 (tahun yang ditargetkan oleh MDGs) maka dapat diperkirakan kemiskinan di Indonesia menurun hingga 6%. Dan di tahun 2030 bisa mencapai 21%. Bila hal ini tidak terjadi adanya hambatan-hambatan yang dapat terjadi kemiskinan seperti di tahun 1999-2006. Dampak yang terjadi dari bantuan luar negeri adalah berupa utang luar negeri, dimana utang tersebut harus dikembalikan pada 2030, sesuai Loan Agreement Nomor 7504-ID yang diteken 6 Juni 2008. Bila kita melihat efektivitas dari program kemiskinan diatas, pada tahun 2030 telah menurun hingga 21%. Hal tersebut juga apabila tidak adanya hambatan-hambatan yang dapat terjadi kemiskinan. Kita bisa melihat krisis yang melanda di Indonesia di tahun 1997 yang merupakan sebuah utang luar negeri dan terjadi tindakan korupsi. Maka, hal ini yang dikhawatirkan karena dapat mengganggu jalannya sebuah program pengentasan kemiskinan. Dengan demikian, kita telah melihat jauh di dalam penelitian ini. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa, sebuah kemiskinan menimbulkan adanya bantuan luar negeri dan utang luar negeri yang dimana proses dari kedua itu dikhawatirkan
99
terjadi tindakan korupsi yang dapat merugikan program-program pengentasan kemiskinan yang sedang berjalan sehingga target MDGs di tahun 2015 dan utang luar negeri yang harus dikembalikan pada 2030 sesuai dengan Loan Agreement Nomor 7504-ID yang diteken 6 Juni 2008 tidak dapat berjalan efektif, disamping itu pula Indonesia harus siap menghadapi tantangan-tantangan global dalam paket neoliberalisme yang sebagaimana Bank Dunia telah membawanya pada saat terjadinya bantuan luar negeri. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat Indonesia harus bisa mengontrol diri agar terciptanya sebuah tujuan yang berjalan dengan lancar dan baik.
100
DAFTAR PUSTAKA
Buku Arslanalp, Serkan dan Peter Blair Henry, 2006, “Helping The Poor To Help Themselves: Debt Relief Or Aid?”, dalam Sovereign Debt At The Crossroads: Challanges and Proposals For Resolving The Third World Debt Crisis, Chris Jochnick dan Fraser A. Preston, Oxford University Press, New York. Berita Resmi Statistik, 2009, Badan Pusat Statistik, No. 43/07/Th. XII. Balaam, David N. dan Michael Veseth, 2005, Introduction to International Political Economy, Pearson Education, New Jersey. Chomsky, Noam, 1999, Provit Over People: Neoliberalism and Global Order, Seven Stories Press, New York. Dunne, Tim, Milja Kurki, Steve Smith, 2007, International Relations Theories (Discipline and Diversity), Oxford University Press, New York. Einhorn, Jessica, 2004, “The World Bank‟s Mission Creep”, dalam Essential Readings in World Politics, Karen A. Mingst dan Jack L. Snyder, W.W. Norton & Company, New York. Fiend, John dan Phillip Hughes, 2007, “Education For The End Of Poverty: Three Ways Forward”, dalam Education For The End Of Poverty Implementing All The Millenium Development Goals, Matthew Clarke dan Simon Feeny, Nova Science, New York. Gagnet, Cathy L. dan World Bank, World Bank Annual Report 2003, vol. 1 Year In Review, The International Bank for Reconstruction and Development/The World bank, Washington DC. H., A. Irawan J., 2007, “Ekspansi Global Neo-Liberalisme”, dalam Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional (Aktor, Isu dan Metodologi), Yulius P. Hermawan, Graha Ilmu, Yogyakarta. Hadi, Syamsul, dkk, 2004, Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF, Granit, Jakarta. Hadinoto, Soetanto dan Djoko Retnadi, 2007, Micro Credit Challenge: Cara Efektif Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran Di Indonesia, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Hastuti, 2010, Laporan Penelitian: Peran Program Perlindungan Sosial Dalam Meredam Dampak Krisis Keuangan Global 2008/09, Lembaga Penelitian SMERU Research Institute, Jakarta. Haughton, Jonathan dan Shahidur R. Khandker, 2009, Handbook On Poverty and Inequality, The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, Washington DC. Ikbar, Yanuar, 2007, Ekonomi Politik Internasional 2 (Implementasi Konsep dan Teori), PT Refika Aditama, Bandung. Ja‟far, Marwan, 2007, Infrastruktur Pro Rakyat: Strategi Investasi Infrastrukutr Indonesia Abad 21, Pustaka Tokoh Bangsa, Jogjakarta.
101
Khan, Mushtaq H., 2004, “Korupsi dan Tata Kelola Pada Awal Kapitalisme: Strategi Bank Dunia dan Keterbatasnnya”, dalam Membongkar Bank Dunia, Jonathan R. Princus dan Jeffrey A. Winters, Djambatan, Jakarta. Lancaster, Carol, 2007, Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics, The University Of Chicago Press, London. Laporan Tahunan 2007, Program Pengembangan Kecamatan PNPM Mandiri. Laporan Tahunan 2008, PNPM-Mandiri Pedesaan. Laporan Tahunan 2009, PNPM-Mandiri Perdesaan. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ATAS NAMA PEMBANGUNAN: Bank Dunia dan Hak Asasi Manusia di Indonesia, 1995, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta. Lister, Ruth, 2004, Poverty, Polity Press, Cambridge. Mas‟oed, Mohtar, 1994, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, PT Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta. Matthews, Alan, 1999, “International Development Assistance and Food Security”, dalam Foreign Aid: New Perspectives, Kanhaya L. Gupta, Kluwer Academic Publisher, Norwell. Nugroho, Riant dan Randy R. Wrihatnolo,. 2008, Manajemen Privatisasi BUMN, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Paket Informasi: Dasar Penanggulangan Kemiskinan, Lembaga Penelitian SMERU untuk Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK). Pedoman dan Evaluasi, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat PNPM Mandiri. Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Pincus, Jonathan R. dan Jeffrey A. Winters, 2004, “Merancang Ulang Bank Dunia”, dalam Membongkar Bank Dunia, Jonathan R. Princus dan Jeffrey A. Winters, Djambatan, Jakarta. Punch, Keith F., 2000, Developing Effective Research Proposals, SAGE Publications, London. Radhi, Fahmy, 2008, Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat, Republika, Jakarta. Rizky, Awalil dan Nasyith Masjidi, 2008, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia, E Publishing Company, Jakarta. Sachs, Jeffrey D., 2005, The End Of Poverty: Economic Possibilities For Our Time, The Penguin Press, New York. Sen, Amartya Kumar, 2001, Development As Freedom, Oxford University Press, New York. ____________________, 2009, The Idea Of Justice, The Belknap Press Of Harvard University Press, Cambridge. Stiglitz, Joseph E. dan Ha-Joon Chang, 2001, Joseph Stiglitz and The World Bank: The Rebel Within, ANTHEM PRESS, London. Sumarto, Sudarno, Asep Suryahadi, Alex Arifianto, 2003, “Governance and Poverty Reduction: Evidence From Newly Decentralized Indonesia”, dalam The Role Of Governance In Asia, Yasutami Shimomura, Japan Institute Of International Affairs and ASEAN Foundation, Singapore.
102
Suparlan, Parsudi, 1995, Kemiskinan di Perkotaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Supranto, J., 2004, Proposal Penelitian Dengan Contoh, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. Suryahadi, Asep dan Sudarno Sumarto, 2010, “Poverty and Vulnerability In Indonesia Before and After The Economic Crisis”, dalam Poverty and Social Protection In Indonesia, Joan Hardjono, Nuning Akhmadi dan Sudarno Sumarto, ISEAS Publishing, Pasir Panjang. Susanto, Hari, 2006, Dinamika Penanggulangan Kemiskinan: Tinjauan Historis Era Orde Baru, Khanata-Pustaka LP3ES Indonesia dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Jakarta. Suyanto, Bagong dan Sutinah ed., 2007, Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Kencana, Jakarta. The World Bank, 2000, Making Transition Work For Everyone Poverty and Inequality In Europe And Central Asia, The International Bank For Reconstruction and Development/The World Bank, Washington DC. ______________, 2006, Indonesia Making the New Indonesia Work For The Poor, Jakarta. ______________, 2008, Investing in Indonesia’s Institutions: For Inclusive and Sustainable Development, IFC (International Finance Corporation: World Bank Group), Jakarta. Winters, Jeffrey A., 2004, “Utang Kriminal”, dalam Membongkar Bank Dunia, Jonathan R. Princus dan Jeffrey A. Winters, Djambatan, Jakarta. Yunus, Muhammad, 2007, Creating a World Without Poverty: Social Business and The Future Of Capitalism, Public Affairs, New York.
Jurnal Basri, Faisal H. dan Dendi Ramdani, 2001, “Utang Luar Negeri: Mengayuh Di Antara Kebutuhan Dana Bagi Pemulihan Ekonomi dan Beban Pembayaran Cicilan dan Bunga”, Global Jurnal Politik Internasional, Kerjasama Jurusan Ilmu HI FISIP-UI Dengan S2 HI Pasca-Sarjana Ilmu Politik FISIP-UI dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Isnaeni, Nurul Isnaeni, 2001, “Bank Dunia, Indonesia dan Politik Lingkungan Global (Mencermati Agenda Pembangunan Berkelanjutan)”, Global Jurnal Politik Internasional, Kerjasama Jurusan Ilmu HI FISIP-UI Dengan S2 HI Pasca-Sarjana Ilmu Politik FISIP-UI dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Rochayati, Nurul dan Suzanne Maria A, 2005, “Debt Relief Melalui HIPC Initiatives dan Tantangan Mengatasi Kemiskinan Dunia”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok.
103
Sitepu, Dewi Sinorita, 2005, “Utang Luar Negeri dan Problem Kemiskinan Negara Berkembang”, Global: Jurnal Politik Internasional (Kompleksitas Kemiskinan: Tanggung Jawab Komunitas Global, vol. 8, no. 1, Departemen Ilmu hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok. Tim Jumpa Pers-Pusat Penelitian Ekonomi, 2008, “Problema Pengangguran dan Kemiskinan di Tengah Gejolak Harga BBM: Telaah Kritis Kebijakan dan Solusi Alternatif”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, vol. XVI, no. 1, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Internet 2010, 1945 Bank Dunia Berdiri, dilihat pada tanggal 18 Maret 2011 pukul 10:20 WIB. . 2010, Mandiri Dengan Zakat dan SDA, dilihat pada tanggal 11 Juli 2010 pukul 15:01 WIB. . 2010, Poltabes Manado Dalami Kasus Korupsi PNPM, dilihat pada tanggal 15 Juli 2010 pukul 20.00. . Anggaran Dasar Bank Dunia (Bank For Reconstruction and Development), 1989, dilihat pada tanggal 12 Mei 2010 pukul 18:09 WIB, . Ariyanto, Dodik, Pengaruh Efektivitas Penggunaan dan Kepercayaan Teknologi Sistem Informasi Terhadap Kinerja Individual, dilihat pada tanggal 26 Maret 2011 pukul 08:15 WIB <ejournal.unud.ac.id/abstrak/ok_dodik.pdf>. Bank Dunia Puji RI dalam Pencapaian MDG, dilihat pada tanggal 07 Juli 2010 pukul 21:14 WIB, . Lestarini, Ade Hapsari, 2008, Total Utang RI ke World Bank Rp243,7 Trilyun, dilihat pada tanggal 04 Juni 2010 pukul 21:44 WIB, . Pengertian dan Tujuan PNPM Mandiri, dilihat pada tanggal 08 Juli 2010 pukul 11:08 WIB, . Seymour, Frances, 1999, Tinjauan Umum dan Ringkasan Argumentasi, dilihat pada tanggal 12 Mei 2010 pukul 10:15 WIB, . Sibuea, Posman, MDGs dan Pembangunan Berkelanjutan, dilihat pada tanggal 18 Maret 2011 pukul 10:40 WIB,
104
. Sosialisasi Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dilihat pada tanggal 26 Maret 2011 pukul 09:20 WIB. . The Efforts to Achieve the MDGs in Indonesia, dilihat pada tanggal 07 Juli 2010 pukul 22:30 WIB . The World Bank, 2010, National Program For Community Empowerment Mandiri-PNPM Mandiri For Rural Area (2008-2011), dilihat pada tanggal 10 Juli 2010 pukul 19.04 WIB. . Tumiwa, Fabby, MDGs Saja Tidak Cukup!, dilihat pada tanggal 07 Juli 2010 pukul 16:35 WIB, .
105
106