BANTUAN BANK DUNIA DALAM PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA (STUDI KASUS: UNIVERSITAS HASANUDDIN)
OLEH: HASRUL EKA PUTRA E13107055 Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012
KATA PENGANTAR
Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa, Pada suatu ketika yang lama tlah kita ketahui. [Gie]
Rasanya baru kemarin saya menonton film “Gie” untuk pertama kali saat masih cepak-cepak tai cicak. Di bagian terakhir film nihilist-romantik itu, bait di atas terdengar sederhana namun begitu pas untuk menjadi semacam ayat penutup yang membuka kata pengantar ini. Bagian yang ketika menulisnya membuat saya sadar bahwa bahwa penjelajahan kehidupan mahasiswa saya telah ‘resmi’ berakhir. Selamat tinggal kampus. Adios skripsi.
Dan seperti lazimnya sebuah pengantar, saya ingin menuliskan beberapa ucapan buat mereka yang membuat saya mencintai kehidupan—sembari mempersiapkan kematian.
: Kepada dua malaikat, Frenis Kau dan Ningsih Nasadie, yang selalu berhasil menghujani saya dengan pertanyaan “kapan ujian, nak?”. Demi mereka gelarku ku berikan. Bercerita lebih banyak tentang mereka hanya akan membuat tangan dan mata saya tak henti bergetar. Sadar bahwa saya belum melakukan apa-apa untuk Kedua Pintu Surga itu. Penuh takzim buat kalian.
i
Kakek dan Nenek yang membuat ku tidak pernah kehilangan panutan. Tidak pernah kehilangan keikhlasan dan rasa rindu. Kalian adalah pencipta masa kecil. Mungkin dengan karya ini kalian bisa melihat bahwa cucu mu ini telah tumbuh dewasa.
Buat sahabat-sahabat dengan mimpinya masing-masing. Buat Willy, Agil, Gina, Ika, Noe, Gadis, Debon, dan Indri. Kalian selalu menjadi tempat pulang yang penuh dengan kegilaan masa remaja.
Buat rumah kecil HIMAHI FISIP Unhas yang mengajariku segala hal. Seniorsenior keren dan junior-junior yang selalu memaksaku untuk terus mencintai tempat ini. Hidupku akan sangat berbeda tanpa rumah ini. Saya sering tertawa mengingat diriku yang dulu: seorang maba jabe yang sering lari-lari dari pengkaderan. Sungguh merugi mereka yang tidak menjadi besar dengan rumah ini. Sungguh menyia-nyiakan diri menjadi (seperti selalu dibangga-banggakan para senior): anak HI. “Salam kreativitas” untuk semua angkatan yang pernah bersua dengan saya di rumah kecil ini.
Terkhusus untuk Pengurus periode 2009-2010, buat sekretaris, dua bendahara, para koordinator yang heboh-heboh, anggota kepengurusan, dan UKH-UKH yang membantu saya dengan segala cara untuk menunaikan amanah itu. Saya selalu merasa berhutang buat kalian. Entah harus membayarnya dengan cara bagaimana.
ii
Juga teruntuk teman-teman Empire 07 yang tidak perlu ku sebut namanamanya.Saya tahu saya bukan ketua angkatan yang baik, maka melalui tulisan ini saya mengajukan pengunduran diri. Atau, jika kalian masih mau saya menjadi ketua angkatan. Saya ingin mengajukan usulan kenaikan tunjangan. Sudah lima tahun tunjangan saya tidak naik-naik. Meski begitu, terima kasih untuk kenangankenangan dan ketenangan-ketenangannya. Saya tetap mencintai kalian meski banyak dari kalian yang sudah mendahului saya untuk skripsi dan menikah.
Untuk sahabat-sahabat angkatan yang selalu membuatku merasa memiliki segalanya. Persahabatan, kesediaan menerima, keikhlasan dicalla, kesabaran mencurhat dan dicurhati, segala jenis traktiran, dan bonceng-boncengnya. Saya tidak perlu menyebut siapa kalian. Saya ingin menguji apakah kalian merasa menjadi sahabat ku juga.
Buat yang selalu menjadi penggemar setia ku: Atika. Dia selalu mengatakan bahwa saya pria paling tampan dan itu berhasil membuat saya mengizinkannya menonton film Korea. Bagiku dia adalah Su In Lee dalam versi berjilbab. Segalanya akan terasa mungkin setiap kali dia mengatakan “bisa jiki itu..”. Skripsi ini bisa dikhatamkan pun gara-gara mantra sederhana itu.
Buat adik-adik angkatan, kalian selalu membuat kampus tidak pernah membosankan. Selalu ada cerita baru. Calla’an-calla’an baru. Kisah odo’-odo’
iii
baru. Ada diantara kalian yang akan selalu saya nantikan cerita dan sambutan hangatnya. Sampai ketemu di momen-momen keren selanjutnya.
Sebagai orang-orang yang menemani setahun belakang kehidupan kampusku, saya harus mengucapkan terima kasih tanpa hingga buat teman-teman LAW Unhas. Gara-gara kalianlah saya harus menunda skripsi dan wisuda. Tapi sungguh, saya tidak pernah menyesalinya. Menghidupi organisasi yang baru belajar merangkak ini menjadi cara terbaik untuk “mengakhiri” status sebagai mahasiswa. Saya menemukan teman-teman se-pikiran, orang-orang gokil, dan manusia-manusia nekat disini. Panjang umur. Panjang umur.
Buat semua warga Sospol. Teman-teman 07 FISIP yang meski tidak pernah dikader sama-sama tapi sangat piwai dalam mengelola kebersamaan. Juga untuk Mace Hanifa dan Alm. Pace yang menjadi “kakek dan nenek” ku di kampus. Cium tangan dan doa buat kalian.
Tak lupa kepada Kak Gego dan Pak Adi Suryadi Culla, pembimbing sekaligus guru. Para dosen dan staff yang membantu saya merasakan bahwa dalam sistem birokrasi kita yang ribet, selalu ada jalan keluar (ini terdengar begitu endonesia! hahaha).
iv
Akhirnya di antara semua mahluk, saya harus berterima kasih atas petunjuk “jalan pulang” yang begitu sempurna diajarkan Rasulullah SAW. Segala puji bagi Allah SWT: sebaik-baik Pembimbing, sebaik-baik Penyempurna, sebaik-baik Penolong.
Semoga karya ini bermanfaat untuk siapapun yang merasa bahwa pendidikan kita hari ini sudah terlalu jauh dari apa yang seharusnya kita rasakan dari proses mendidik dan memanusiakan. Skripsi ini hanya serpihan kegelisahan yang mencoba diilmiahkan. Selamat bergelisah!
Makassar, penghujung Maret 2013
Hasrul Eka Putra
v
ABSTRAKSI
Hasrul Eka Putra Kau, E13107055. Dengan judul Skripsi: “Bantuan Bank Dunia dalam Pendidikan Tinggi di Indonesia (Studi Kasus: Universitas Hasanuddin)”. Dibawah bimbingan H. Adi Suryadi Culla, sebagai pembimbing I dan Muh. Ashary Sallatu, sebagai pembimbing II. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memahami bagaimana bantuan bank dunia dalam bidang pendidikan tinggi diimplementasikan dalam struktur kebijakan di Indonesia, khususnya di Universitas Hasanuddin. Penelitian ini juga untuk menganalisa akibat dari implementasi proyek (Improvement of Management and Higher Education Reform) IMHERE yang didanai oleh Bank Dunia terhadap penentuan arah kebijakan dan operasionalisasi pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya di Universitas Hasanuddin (Unhas). Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptifanalisis dengan Unhas dan proyek IMHERE sebagai studi kasus. Metode penelitian deskriptif digunakan untuk menggambarkan bagaimana implementasi proyek IMHERE dijalankan di Universitas Hasanuddin dan kemudian menganalisis bagaimana dampak dari implementasi proyek tersebut terhadap perubahan kebijakan pendidikan di Unhas. Penelitian ini menggunakan data-data berupa kepustakaan, dokumen-dokumen resmi, dan wawancara yang kemudian diolah teknik analisa kualitatif. IMHERE sebagai proyek reformasi pendidikan tinggi di Indonesia yang dibiayai oleh Bank Dunia memiliki dampak yang signifikan dalam perubahan-perubahan yang
vi
terjadi pada sektor pendidikan tinggi di Indonesia. Melalui pendekatan ekonomi politik, penelitian ini menggunakan model klasifikasi Martin Carnoy tentang bagaimana dampak globalisasi-neoliberal di sektor pendidikan yang dibawa melalui bantuan luar negeri. Dari analisa pada konteks Unhas, penelitian ini menyimpulkan bahwa model “reformasi berbasis kompetisi” (competition-based reforms); “reformasi berbasis financial” (reform based on financial imperatives) dan “reformasi berorientasi kesetaraan” (equity-driven reforms) juga terjadi di Universitas Hasanuddin. Kata Kunci: Bantuan Luar Negeri, Bank Dunia, Pendidikan Tinggi Indonesia
vii
ABSTRACT Hasrul Eka Putra Kau, E13107055, in “World Bank Aid in Indonesia Higher Education (Case Study: Hasanuddin University). With H. Adi Suryadi Culla as First Advisor and Muh. Ashary Sallatu as Second Advisor. This thesis aim to discern the implementation of World Bank financial aid in Indonesia Higher Education policy structure, particularly in Hasanuddin University. This research also head to analize the ramifications and consequences of (Improvement of Management and Higher Education Reform) IMHERE project towards the policy making orientation and it’s implementation in Indonesia and, in particular, Unhas. This thesis exercises the analytical-descriptive method of research. Which is Unhas and IMHERE project as the single case sampling. The descriptive method engaged to describe the implementation of IMHERE project in Unhas and analyze it’s consequences. This research utilize various datum from literature, books, official document, official reports, and interview which are organized by qualitative method. IMHERE as a higher education sector reform project which is financially funded by World Bank has a great impact in the shifting and changing of Indonesia higher education. Thorough the political-economic approach, this research apply Martin Carnoy model of classifications of reform that happened as a impact of neoliberal-globalization carried through foreign aid. This research found that this model of competition-based reforms, reform based on financial imperatives, and equity-driven reforms occur in Unhas with its own context and characteristics. Keyword: Foreign Aid, World Bank, Indonesia Higher Education
viii
DAFTAR ISI Hal
Halaman Judul...................................................................................... i Halaman Pengesahan............................................................................ii Halaman Penerimaan Tim Evaluasi................................................. iii Kata Pengantar.................................................................................... iv Abstraksi...............................................................................................ix Abstract.................................................................................................xi Daftar Isi..............................................................................................xii Daftar Tabel........................................................................................ xv Daftar Gambar..................................................................................xvii Daftar Lampiran..............................................................................xviii Daftar Singkatan................................................................................xix BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang............................................................................ 1 2. Batasan Masalah........................................................................... 7 3. Pertanyaan Penelitian................................................................. 10 4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................................ 11 4.1 Tujuan penelitian.................................................................. 11 4.2 Kegunaan Penelitian............................................................. 11 5. Kerangka Konseptual................................................................. 12 ix
5.1 Neoliberalisme...................................................................... 12 5.2 Konsep Bantuan Luar Negeri............................................... 20 5.2.1 Definisi dan Motif ...................................................... 21 5.2.2 Pengelompokan Bantuan Luar Negeri........................ 25 6. Metode Penelitian...................................................................... 29 6.1 Tipe Penelitian.................................................................... 29 6.2 Jenis dan Sumber Data ...................................................... 30 6.3 Teknik Pengumpulan Data................................................. 31 6.4 Teknik Analisa................................................................... 31
BAB II Tinjauan Pustaka 1. Globalisasi dan Reformasi Pendidikan Tinggi .......................... 32 2. Bantuan Luar Negeri dalam Pendidikan Tinggi......................... 46
BAB III Bank Dunia Dan Pendidikan Tinggi Di Indonesia 1. Selayang Pandang Bantuan Luar Negeri untuk Pendidikan Tinggi Indonesia.......................................................................................... 52 1.1 Masa Orde Baru.......................................................................... 52 1.1 Masa Reformasi.......................................................................... 63 2. Kiprah Bank Dunia dalam Pendidikan Tinggi Indonesia................. 71 2.1 Mekanisme dan Jenis Bantuan Bank Dunia............................... 71
x
2.2 Sejarah Bantuan Bank Dunia untuk Pendidikan Tinggi di Indonesia .................................................................... 76 3. Implementasi Proyek IMHERE di Indonesia................................... 92 4. Bantuan Luar Negeri di Universitas Hasanuddin .......................... 109
BAB IV Implementasi Dan Dampak Bantuan Bank Dunia Di Indonesia 1. Implementasi Proyek IMHERE di Universitas Hasanuddin.......... 117 2. Dampak Bantuan Luar Negeri terhadap Kebijakan Pendidikan di Universitas Hasanuddin ................................................................................... 127
BAB V Penutup 1. Kesimpulan.................................................................................... 162 2. Saran .............................................................................................. 164 Daftar Pustaka ................................................................................. 166 Lampiran-Lampiran........................................................................ 174
xi
DAFTAR TABEL Hal Tabel 1 : Perkembangan jumlah hutang luar negeri selama Orde Baru 1966-1998 (dalam milyar Dollar AS) ................................................................................................................. ................................................................................................................. 52 Tabel 2 : Jumlah Hutang Luar Negeri untuk Bidang Pendidikan 1974/75-1988/89 ................................................................................................................. ................................................................................................................. 56 Tabel 3 : Persyaratan pinjaman luar negeri negara-negara donor dan lembaga multilateral untuk bidang pendidikan. ................................................................................................................. ................................................................................................................. 57 Tabel 4 : Pendanaan Donor Multilateral untuk Pendidikan Tinggi di Indonesia (1975–1997). ................................................................................................................. ................................................................................................................. 62 Tabel 5 : Jumlah PT untuk masing-masing bentuk perguruan tinggi ................................................................................................................. ................................................................................................................. 72 Tabel 6 : Distribusi sektor pendanaan Bank Dunia, Tahun Fiskal 1969-1998.
xii
................................................................................................................. ................................................................................................................. 79 Tabel 7 : Strategi Bank Dunia dalam Pendidikan Tinggi Indonesia dan pengaruhnya terhadap hubungan antara Negara dan universitas. ................................................................................................................. ................................................................................................................. 81 Tabel 8 : Skema pendanaan kompetitif dari tahun 1996. ................................................................................................................. ................................................................................................................. 87 Tabel 9 : Skema pendanaan kompetitif sejak tahun 2006. ................................................................................................................. ................................................................................................................. 89 Tabel 10: Data Pendanaan Proyek ................................................................................................................. 93 Tabel 11: Perencanaan Pembiayaan Proyek (Tahun Fiskal Bank Dunia/Dalam Juta Dolar AS) ................................................................................................................. ................................................................................................................. 94 Tabel 12: Sasaran penerima proyek hibah ................................................................................................................. ................................................................................................................. 95 Tabel
13:
Pemenang
hibah
kompetisi
B.1
xiii
................................................................................................................. ................................................................................................................. 105 Tabel 14: Penerima hibah kompetisi komponen B.2.a.. ................................................................................................................. ................................................................................................................. 107 Tabel 15: Penerima bantuan luar negeri tertinggi / Performa pemasukan mandiri ................................................................................................................. ................................................................................................................. 113
xiv
DAFTAR GAMBAR Hal Gambar 1: Tren tingkat partisipasi tersier kasar di institusi-institusi pendidikan publik dan swasta, 2001-2008. ................................................................................................................. ................................................................................................................. 72 Gambar 2: Peta Universitas Hasanuddin, Kampus Tamalanrea. ................................................................................................................. ................................................................................................................. 111 Gambar 3: Komposisi anggaran tahun 2009 untuk DIKTI dengan total 18,5 Triliun. ................................................................................................................. ................................................................................................................. 149
xv
DAFTAR LAMPIRAN Hal Lampiran 1: Program Studi Dan Nilai Akreditasi Badan Akreditasi Nasional (BAN) Universitas Hasanuddin Tahun 2010/2011 ................................................................................................................. ................................................................................................................. 173 Lampiran 2: Simpulan eveluasi internal dan program yang diajukan untuk Unhas menuju BHP, 2006 ................................................................................................................. .........................................................................................................................
175
xvi
DAFTAR SINGKATAN ADB
: Asian Development Bank – Bank Pembangunan Asia
APBN
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
AS
: Amerika Serikat
AusAID
: Australian Agency for International Development
BAN
: Badan Akreditasi Nasional
BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BDP FKIP
: Budi Daya Perairan Fakultas Kelautan dan Perikanan
BHMN
: Badan Hukum Milik Negara
BHP
: Badan Hukum Pendidikan
BLU
: Badan Layanan Umum
BUMN
: Badan Usaha Milik Negara
CAS
: Country Assistance Strategy
Depdikbud
: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Dikti
: Direktorat Pendidikan Tinggi
Ditjen
: Direktorat Jendral
DPT
: Dewan Pendidikan Tinggi
DUE
: Development of Undergraduate Education
EFA
: Education for All
FAO
: Food and Agricultural Organization
GATS
: General Agreement on Trade and Service
HELTS
: Higher Education Long Term Strategy – Strategi Jangka Penjang Pendidikan Tinggi xvii
HI
: Hubungan Internasional
IBRD
: International Bank for Reconstruction and Development
ICT
: Information Communication and Technology
IDA
: International Development Agency
IGGI
: Inter-Governmental Group on Indonesia
IMF
: International Monetery Fund
IMHERE
: Improvement of Management and Higher Education Reform
ISO
: International Standard Organization
IT
: Informasi Teknologi
JIPD
: Japan Bank for International Development
JNS
: Jalur Non-Subsidi
JPPB
: Jalur Pemanduan Potensi Belalar
KBK
: Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kemendikbud : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Kemendiknas : Kementrian Pendidikan Nasional Kepmen
: Keputusan Menteri
KPPT-JP
: Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang
KTI
: Kawasan Timur Indonesia
LMS
: Learning Management System
MBS
: Manajemen Berbasis Sekolah
MK
: Mahkamah Konstitusi
MPS
: Marginal Propensity to Save
ODA
: Overseas Development Assistance
xviii
OECD
: Organization for Economic Co-operation and Development
OPM
: Operational Procedure Manual
PBB
: Perserikatan Bangsa-Bangsa
PHK
: Proyek Hibah Kompetisi
PIP
: Pola Ilmiah Pokok
PMA
: Penanaman Modal Asing
PNS
: Pegawai Negeri Sipil
POSK
: jalur Prestasi Olahraga Seni, dan Keilmuan
PP
: Peraturan Pemerintah
PRSP
: The Poverty Reduction Strategy Paper
PTN
: Perguruan Tinggi Negeri
PTS
: Perguruan Tinggi Swasta
PUO
: Program for University Development Cooperation
QUE
: Quality of Undergraduate Education
Renstra
: Rencana Strategis
REPELITA
: Rencana Pembangunan Lima Tahun
Rp.
: Rupiah
RSBI
: Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
S1
: Strata Satu
S2
: Strata Dua
S3
: Starta 3
SBI
: Sekolah Bertaraf Internasional
SCL
: Student Center Learning
xix
SDM
: Sumber Daya Manusia
SIAKAD
: Sistem Informasi Akademik
SIM
: Sistem Informasi dan Manajemen
SINPT
: Sistem Informasi Nasional Pendidikan Tinggi
Sisdiknas
: Sistem Pendidikan Nasional
SK
: Surat Keputusan
SKS
: Sistem Kredit Semester
SNMPTN
: Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
SP4
: Sistem Pendanaan dan Perencanaan Program
SPP
: Sumbangan Pembinaan Pendidikan
TNS
: Transnasional State Aparatus
TPSDP
: Technological and Professional Skills Development Sectors Project
TRIPS
: Trade Related Intellectual Property Rights
UMB
: Ujian Masuk Bersama
UNESCO
: United Nation Educational, Scientific, Cultural Organization
Unhas
: Universitas Hasanuddin
UPT
: Unit Pelaksana Teknis
URGE
: University Research for Graduate Education
US$
: U.S. Dollar /Dolar AS
USAID
: U.S. Agency for International Development
UT
: Universitas Terbuka
UU
: Undang-Undang
xx
WHO
: World Health Organization
WTO
: World Trade Organization
xxi
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bantuan luar negeri merupakan inovasi politik di abad dua puluh. Belum pernah ada sebelumnya dimana negara-negara kaya menyalurkan sumber daya finansial mereka ke negara-negara miskin, secara unilateral dan tanpa saling balas. Pasca Perang Dunia II, bantuan luar negeri telah menjadi alat yang digunakan oleh aktor negara dalam menjalankan hubungan luar negerinya. Tercatat sejak akhir 1940-an, alokasi dana dari negara-negara maju untuk kerjasama-kerjasama pembangunan telah mencapai sekitar 1 triliun Dollar. 1 Jika dikalkulasikan jumlah bantuan dari berbagai pemerintah donor ke pemerintah penerima, dari lembaga internasional dan lembaga-lembaga non-pemerintah di seluruh dunia, tercatat total bantuan yang tersalurkan selama tahun 2004 saja sudah bernilai 100 milyar Dolar AS dan sejak tahun 1960 sampai 2004 telah mencapai 1,6 triliun Dolar AS.2 Tentu saja, distribusi modal tersebut tidak disalurkan tanpa maksud dan syarat apa-apa. Menurut Steven Radelet dan Ruth Levine, pasca perang dingin, bantuan luar negeri digunakan sebagai raison d’ếtre dan dukungan politis untuk negara-negara pendonor.3 Dalam terminologi ekonomi-politik internasional pun, bantuan luar negeri telah begitu mengakar sebagai pilar hubungan negara utara-
1
Jean-Philipe Therien, Debating Foreign Aid: Right versus Left, 2002, Third World Quartly, Vol, 23, No.2, hal. 449. 2 Alain Noel Pratt dan Jean-Philippe Therein melalui Lancaster, Carol, Foreign Aid : Diplomacy, Development, Domestic Politics, 2007, London: The University Chichago Press, hal 2. 3 William Easterly (ed), Reinventing Foreign Aid, 2008, Cambridge: The MIT Press, hal. 431.
1
selatan yang telah dianggap lazim sebagai bagian integral dalam hukum internasional.4 Negosiasi dan transaksi bantuan luar negeri ini melibatkan berbagai aktor dan lembaga serta mengambil tempat secara bersamaan pada berbagai tingkatan dari bilateral, multilateral, dan platform non-pemerintah. Pada tingkat multilateral, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) merupakan lembaga donor yang paling penting.5 Negara-negara maju menggunakan organisasi-organisai multilateral tersebut sebagai “jembatan” dalam menyalurkan modal dengan banyak bentuk (seperti bantuan, hutang, dan hibah) ke negara-negara miskin dan berkembang. Dalam pelaksanaannya, IMF dan Bank Dunia tidak hanya bertindak sebagai jembatan dalam mekanisme transfer pendanaan, lembaga-lembaga internasional ini juga aktif terlibat dalam pengambilan keputusan baik bagi negara donor maupun recipient atau penerima.6 Lembaga-lembaga ini juga bertindak sebagai “pengawas” dan “pendorong” globalisasi yang didominasi oleh korporasi-korporasi di mana terdapat “penurunan kekuatan politik nasional” atau melemahnya negara atas pasar.7 Di Indonesia, kiprah bantuan luar negeri dalam pendanaan pembangunan tidak dapat dilepaskan begitu saja. Saat-saat awal Orde Baru berkuasa, sepertiga pendapatan negara diperoleh dari dana hibah dan pinjaman luar negeri negara4
Lihat Stephen Zamora, 'Economic Development', dalam Christopher C. Joyner (ed), The United Nation and International Law, 1997, Cambridge: Cambridge University Press, hal. 264. 5 Lihat penjelasan mendalam tentang Official Development Assistance (ODA) dan perannya dalam pembangunan, penanggulangan kemiskinan, dan kondisi regional dalam Christian Schabbel, The Value Chain of Foreign Aid, 2007, New York: Physica-Verlag Heidelberg, hal. 14 6 Lihat William Easterly (ed), Reinventing Foreign Aid, 2008, Cambridge: The MIT Press, hal. 286 7 Teeple, Gary, “What is Globalization?” dalam Stephen McBride dan John Wiseman, (eds.), Globalization and its Discontents, 2002, Basingstoke: Macmillan, hal. 17.
2
negara Barat dan Jepang. Pada dekade 1990-an terjadi peningkatan yang sangat tajam dalam hutang luar negeri Indonesia. Di penghujung kekuasaannya pada 1998, jumlah hutang pemerintah Indonesia mencapai 150 Miliyar Dollar AS.8 Setelah Orde Baru tumbang, arus reformasi yang terjadi di Indonesia tidak hanya mengubah orientasi sistem perekonomian dan tata negara. Perubahan terjadi di hampir segala bidang dalam negara. Sistem politik, sistem pemerintahan, kebebasan pers, hingga menyentuh sektor strategis yang merupakan public needs seperti air, listrik, kesehatan dan pendidikan. Terkhusus dibidang pendidikan, reformasi besar-besaran dilakukan oleh pemerintah pascaOrde Baru. Reformasi tersebut mencakup dua hal utama yakni: reformasi paradigma pendidikan tinggi nasional dan desentralisasi sistem pendidikan nasional dalam rangka relevansi dan perbaikan kualitas. Refomasi ini secara legal akhirnya disahkan ke dalam bentuk undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). UU Sisdiknas (Pasal 53) ini kemudian diturunkan ke dalam Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) sebagai lex specialis yang menjadi pijakan untuk proyek privatisasi pendidikan di Indonesia. Dalam konteks perumusan konsep BHP ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) cara pandang yang digunakan oleh pemerintah. Pertama, pendidikan berbasis masyarakat, dalam arti bahwa peran negara dalam penyelenggaraan pendidikan ditekan seminim mungkin dan muncul peran lebih dari masyarakat atau pihak 8
Laporan International Crisis Group Asia No. 15 Jakarta/Brussel dalam International Crisis Group, “Kredit Macet: Politik Reformasi Keuangan Indonesia”, 13 Maret 2001.
3
swasta dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Kedua, lembaga penyelenggara pendidikan bersifat nirlaba dimana kampus diberi keleluasaan melakukan pencarian dana dengan prinsip-prinsip ekonomi layaknya korporasi. Akhirnya, ketiga, sedikit demi sedikit negara berlepas tangan dari kewajibannya untuk “mencerdaskan bangsa”. Paradigma ini menggeser peran pemerintah dari perannya sebagai operator pendidikan menjadi sekedar fasilitator pendidikan saja. Penolakan dan kritik begitu masif dilakukan oleh masyarakat. Puncak penolakan itu adalah dianulirnya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa materi dan substansi UU BHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Sejak Maret 2010, UU BHP tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hingga penelitian ini dilakukan, polemik perundangan sistem pendidikan nasional tidak pernah sepi dari diskursus akademis, praktisi, dan para pengambil kebijakan. Apalagi jika dibenturkan dengan kualitas pendidikan nasional, biaya pendidikan, dan daya jangkau masyarakat yang semakin senjang, maka masalah pendidikan dengan semua kebijakan yang melingkupinya menjadi sangat relevan dan urgen untuk diangkat. Terkait kondisi faktual pendidikan Indonesia, walaupun anggaran pendidikan pada tahun 2010 mencapai Rp. 195,6 triliun, namun kualitas pendidikan Indonesia masih sangat jauh tertinggal dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya.9
Dalam
laporan
Education
for
All
(EFA)
Global
Monitroring Report 2011 yang dikeluarkan UNESCO dan diluncurkan di New 9
Muhammad Rifai, Politik Pendidikan Nasional, 2011, Yogykarta : Ar-Ruzz Media, hal. 88.
4
York pada Maret 2011, indeks pembangunan pendidikan Indonesia hanya berada pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei. Posisi ini berada dibawah Malayasia (65), Brunai Darussalam (34), atau Kuba yang berada di posisi 14. 10 Fakta lain dari data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa Angka Partisipasi Sekolah (APS) Indonesia untuk penduduk dengan umur 19-24 tahun hanya berkisar di 12.72 pada tahun 2009 dan 13.77 di tahun 2010.11 Angka partisipasi sekolah yang rendah ini merepresentasikan tingkat keterjangkuan masyarakat Indonesia terhadap pendidikan yang sangat rendah. Salah satu penyebabnya karena biaya masuk pendidikan tinggi yang semakin hari semakin tidak terjangkau. Kebutuhan akan perbaikan sistem pendidikan ini harus berhadapan dengan ketersedian dana APBN untuk pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) yang sangat terbatas. Padalah, secara internasional, sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang paling diminati oleh negara-negara pemberi hutang (kreditur). Negara-negara kreditor seperti AS, Belgia, Belanda, Jepang, Jerman, Perancis, dan Swiss adalah negara-negara yang paling banyak mengivestasikan dananya untuk sektor pendidikan di Indonesia. Kreditor hutang untuk pendidikan ini masuk melalui mekanisme, persyaratan, dan tenggat pengembalian hutang yang bervariasi.
10
UNESCO, The Education for All Development Index 2011 diunduh melalui http://www.unesco.org/new/en/education/themes/leading-the-internationalagenda/efareport/reports/2011-conflict/ pada 23 Desember 2011. 11 “Indikator Pendidikan Tahun 1994 – 2010” dalam http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php? tabel=1&daftar=1&id_subyek=28¬ab=1 diakses pada 12 Desember 2011.
5
Di titik ini, bantuan luar negeri menjadi jalan keluar yang dilematis. Pada satu pihak, kita dihadapkan pada fakta bahwa selama sejarah Indonesia modern bantuan luar negeri memiliki peran yang besar dalam membangun sistem pendidikan Indonesia, khususnya pendidikan tinggi. Selama ini institusi-institusi multilateral dan bantuan-bantuan yang sifatnya bilateral telah banyak memberikan investasi jumlah besar dan konsisten dalam mendorong pendidikan Indonesia, sebut saja ADB, USAID, AusAID, dan Bank Dunia. 12 Kiprah lembaga-lemabaga tersebut, khususnya Bank Dunia sangatlah signifikan dalam perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia. Bank Dunia dalam peran globalnya sebagai “Bank of Knowledge” telah mengambil posisi strategisnya dalam membentuk arah pendidikan Indonesia. Pada tahun 2005, melalui proyek Improvement of Management and Higher Education Reform (IMHERE) menggelontorkan dana 80 juta dolar untuk reformasi sistem pendidikan Indonesia. Jumlah ini merupakan jumlah yang tidak sedikit untuk sebuah proyek Bank Dunia. Di pihak lain, bantuan luar negeri yang diberikan oleh institusi-institusi semisal Bank Dunia tentu saja membawa agenda-agenda ekonomi-politik yang membawa
perubahan-perubahan
arah
pendidikan
Indonesia,
khususnya
pendidikan tinggi. Di sinilah masalah bantuan luar negeri khususnya pada sektor pendidikan tinggi perlu dilihat secara kritis. Bantuan luar negeri menjadi sebuah instrumen yang “bermata dua” dengan segala konsekuensi motif ekonomi politiknya.
12
Lihat introduksi Jo Bastiaens, International Assistance and State-University Relations, 2008, New York: Routledge, hal. 2.
6
Untuk keperluan fokus penelitian, penulis memfokuskan penelitian pada Universitas Hasanuddin, yang merupakan salah satu PTN terbesar di Indonesia yang saat ini telah menerima dan sedang/telah menjalankan proyek-proyek bantuan luar negeri dari Bank Dunia. Atas penjelasan dan alas berfikir diatas, maka penelitian ini mengangkat judul “Bantuan Bank Dunia dalam Pendidikan Tinggi Indonesia, Studi Kasus: Universitas Hasanuddin”. 2. Batasan Masalah Sebagai institusi yang memiliki pengaruh global, tidak hanya sekedar memberi pinjaman, aktivitas Bank Dunia juga mempengaruhi undang-undang dan peraturan, anggaran pemerintah, serta keputusan-keputusan investasi sektor swasta di negara-negara di seluruh dunia.13 Di Indonesia, kiprah Bank Dunia telah dimulai sejak akhir 1960an dengan dibukanya cabang Bank Dunia di Jakarta pada tahun 1968. Pada tahun 1975, Bank Dunia mulai bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia untuk berinvestasi dalam pengembangan manpower Indonesia melalui program pendirian politeknik-politeknik dan peningkatan manajemen Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti). Hubungan ini terus berlanjut dengan hubungan kerjasama dengan berbagai macam bentuk bantuan Bank Dunia. Di periode 1980an hingga 1995, Bank Dunia mengambil peran strategis dalam kebijakan pendidikan nasional dengan mendorong internal capacity building institusiinstitusi pendidikan Indonesia. Setelah penguatan institusi dilakukan, maka selama periode 1996 hingga 2004, Bank Dunia dan Dikti melakukan reformasi 13
Dokumen Bank Information Center, Toolkit for Activist, hal. 1-2 diakses melalui http://www.bicusa.org/toolkit
7
sistem pendanaan dan pengelolaan dengan menerapkan mekanisme hibah kompetisi ke dalam enam proyek besar untuk pendidikan tinggi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi institusi (proyek DUE, QUE, DUElike, TPSDP) serta untuk menciptakan peningkatan kapasitas internal (seperti pada proyek Semi-QUE dan SP4). Di tahun 2004, Bank Dunia mengelontorkan dananya untuk mendanai program Improvement of Management and Higher Education Reform (IMHERE) dan Program Hibah Kompetisi (PHK) bagi departemen atau program studi sesuai dengan “level” institusinya. Proyek IMHERE ini berisi program-program yang berdampak langsung pada perubahan dan perombakan sistem pendidikan tinggi nasional dan tata kelola pendidikan tinggi di universitas. Oleh karenanya proyek IMHERE inilah yang akan menjadi titik fokus dari penelitian ini. Penelitian ini bermaksud meninjau secara deskriptif-analistis untuk menganalisis mekanisme implementasi bantuan tersebut pada institusi pendidikan tinggi, khususnya Universitas Hasanuddin. Dari pelaksanaan program yang dijalankan, penelitian ini akan menganalisis dampak dari bantuan Bank Dunia ini terhadap kebijakan pendidikan di Indonesia secara dan Universitas Hasanuddin secara khusus. Dari 85 perguruan tinggi di Indonesia, melalui studi kasus penelitian ini mengambil Universitas Hasanuddin yang berlokasi di Makassar, Sulawesi Selatan sebagai kasus dan fokus analisa. Universitas Hasanuddin (Unhas) dipilih dengan beberapa alasan dan pertimbangan, yakni: 1. Unhas merupakan universitas yang termasuk dalam jajaran universitas terbesar di Indonesia. Dari sekitar 48 juta orang mahasiswa di
8
Indonesia, Unhas menampung sejumlah 25.949 orang mahasiswa dalam segala tingkatan strata.14 Dengan kapasitas ini membuat Unhas sering dijuluki dengan “kampus terbesar di Kawasan Indonesia Timur (KTI)”. 2. Unhas mewakili karakteristik pendidikan timur karena secara geografis Unhas berlokasi di provinsi terbesar di wilayah timur Indonesia. Unhas juga merupakan Univesitas terbesar di Kawasan Timur Indonesia baik secara jumlah mahasiswa maupun sarana dan fasilitasnya. Faktanya saat ini Unhas telah menjalankan proyek bantuan luar negeri baik baik secara University to University, University to Government, maupun melalui mekanisme hubungan kerjasama multilateral melalui lembagalembaga seperti Bank Dunia. Hingga tahun 2011, tercatat kerjasama internasional Unhas diseluruh dunia mencapai
79 kerjasama
internasional.15 3. Unhas merupakan Universitas yang menjadi proyek awal pengelolaan pendidikan pasca-UU BHP, yakni BLU. Unhas termasuk dalam 43 Pendidikan Tinggi yang dipilih oleh direktorat pembinaan dan pengelolaan keuangan BLU pada tahun 2009. Model pengelolaan ini menjadi salah satu model pengelolaan yang belum banyak diterapkan di Indonesia.
14
Data dan Informasi Unhas Tahun 2010 diunduh melalui http://unhas.ac.id/dataunhas/Ixan/Data %20dan%20Informasi%20Unhas%20Tahun%202010/b.%20AKADEMIK/ pada 12 Desember 2011. 15 Kerjasama Internasional Universitas Hasanuddin, slide presentasi Dwia Aries Tina P., 2012.
9
4. Unhas merupakan salah satu universitas di Indonesia yang berhasil menerima bantuan program IMHERE yakni IMHERE Komponen B.1 (Improvement of Social Quality and Social Responsibilty) untuk jurusan Farmasi dan Budidaya Perikanan serta Komponen
B.2.a
(Strengthening
Institutional
program IMHERE Management
in
Autonomous Public Education Institution) digunakan untuk perbaikan manajemen mutu yang sehat bagi universitas. Untuk keperluan fokus analisis, penelitian ini juga mengambil fokus periodeisasi data untuk dianalisis yakni tahun 2006 hingga tahun 2010. Tenggat periode ini diambil sehubungan dengan periodeisasi rencana strategis Unhas 2006-2010 dalam kepemimpinan rektor Idrus A. Patturusi. Dalam periode ini pula, terjadi beberapa perubahan-perubahan fundamental dalam kebijakan nasional pendidikan tinggi di Indonesia karena dalam tenggat masa ini, GATS (General Agreement on Trade and Service) yang termaktub dalam PP no. 77 tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka sudah mulai diberlakukan secara efektif. Adapun data lain yang diambil sebelum tahun 2006 merupakan data suplemen sebagai bahan komparasi dan referensi dalam menganalisa. 3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian permasalahan dan batasan yang telah dijelaskan di atas, maka karya ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dirumuskan sebagai berikut:
10
1. Bagaimana implementasi bantuan Bank Dunia di Indonesia khususnya di
Universitas Hasanuddin? 2. Bagaimana dampak dari bantuan Bank Dunia terhadap kebijakan
pendidikan di Universitas Hasanuddin? 4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 4.1. Tujuan penelitian Sebagai sebuah karya akademik penelitian ini memiliki tujuan-tujuan yang hendak dicapai, yakni: 1. Untuk memahami bagaimana bantuan luar negeri dalam bidang pendidikan tinggi diimpelementasikan dalam struktur kebijakan di Indonesia secara khusus di Universitas Hasanuddin. 2. Untuk memahami apa akibat dari implementasi proyek IMHERE yang didanai oleh Bank Dunia terhadap penentuan arah kebijakan dan operasionalisasi pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya di Universitas Hasanuddin. 4.2.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini memilki manfaat praktis dan kegunaan akademis: 1. Penelitian ini dapat menjadi rujukan akademis atas evaluasi implementasi bantuan luar negeri Bank Dunia dalam pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya di Universitas Hasanuddin 2. Penelitian ini memberikan gambaran yang lebih konperhensif dan paradigmatik secara keilmuan HI tentang permasalahan pendidikan
11
tinggi yang mana hal ini bersentuhan secara langsung dengan civitas akademika 3. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengevaluasi dan meninjauarah kebijakan pendidikan tinggi Indonesia dengan memberikan dimensi analisis nilai. 5. Kerangka Konseptual Dalam menganalisis permasalahan tentang bantuan Bank Dunia di Unhas ini maka penelitian ini menggunakan kerangka berpikir strukturalis yang melihat hubungan variable ini sebagai pola hubungan struktural dimana perilaku aktor (dalam hal ini pemerintah dan pengambil kebijakan di Unhas) dipengaruhi oleh struktur ekonomi-politik global yang membawa agenda-agenda tertentu. Untuk menjelaskan agenda-agenda tersebut, maka penelitian ini menggunakan beberapa konsep dalam kajian Hubungan Internasional, yakni: 5.1.
Neoliberalisme Studi Hubungan Internasional kontemporer mengakui keterkaitan yang
antara politik dan ekonomi. Di samping itu, diakui pula bahwa perilaku internasional bertolak dari politik domestik, dorongan ekonomi domestik, dan tujuan internasional dari elit ekonomi dominan di negara yang bersangkutan. Itu sebabnya sejak satu dasawarsa lalu para ahli mulai menelaah konsep ekonomi politik global sebagai sebagai salah satu unsur hubungan internasional yang paling mendasar.16
16
Walter S. Jones, Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan, Ekonomi Politik Internasional dan Tatanan Dunia, 1993, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 248.
12
Suatu negara bisa saja mengabaikan motif keuntungan dan menggunakan kebutuhan ekonomi atau ketergantungan ekonomi negara lain untuk memperluas pengaruh politiknya, baik melalui perdagangan yang dilakukan langsung oleh pemerintah ataupun melalui peraturan yang ditetapkan pada hubungan dagang swasta internasional. Holsti, dalam bukunya International Politics: A Framework for Analysis, membuat suatu kerangka analisis instrumen perdagangan dalam kerangka politik luar negeri yang biasanya dilakukan dengan tiga maksud, yaitu : a) Mencapai sasaran luar negeri dengan mengeksploitasi kebutuhan dan ketergantungan ekonomi dan mengajukan imbalan ekonomi, atau melakukan ancaman menerapkan sanksi ekonomi; b) Meningkatkan kapabilitas negara, atau meniadakan potensi kapabilitas negara lawan; dan c) Menciptakan satelit ekonomi (yaitu, dengan jaminan pemasaran dan sumber persediaan) atau membantu mempertahankan ketaatan politik negara-negara satelit atau menciptakan “ruang pengaruh” dengan membentuk hubungan ketergantungan ekonomi. 17 Disini Holsti melihat bahwa motif ekonomi menjadi faktor yang determinan dalam hubungan antar-negara. Lebih jauh, dalam kajian ekonomi-politik, pertarungan klasik antara kekuatan negara dan pasar terus mengalami gesekan beserta perubahanperubahannya yang fundamental dalam masyarakat dan dunia. Terakhir, pasca dianggap gagalnya model developmental state, model neoliberal menemukan momentumnya.18
Neoliberalisme
hadir
sebagai
koreksi
terhadap
sistem
17
Holsti, Politik Internasional Suatu Analisis, Bandung: Bina Cipta, 1987, hal. 303. David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, 2005, New York: oxford University Press, hal. 71-72 18
13
developmentalism ala Keynes yang dianggap gagal menyelamatkan negara-negara industri maju dari krisis, inflasi tinggi, dan pertumbuhan ekonomi rendah di era 1970an.19 Neoliberalimse membawa ekspektasi yang tinggi dan sangat optimistik terhadap kebebasan individu. Ekspektasi dan optimism tersebut tercermin dalam doktrin neoliberalisme yang percaya bahwa 1) pengembangan kebebasan individu harus dimaksimalkan untuk bersaing di pasar; 2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui dan diutamakan; 3) penertiban agar mekanisme pasar berjalan baik tanpa campur tangan pemerintah.20 Neoliberalisme melihat pasar dan negara merupakan dua entitas yang saling berlawanan secara diametral. Neoliberalisme tidak percaya pada kemampuan negara karena menanggap pasa lebih serba bisa dan effisien dibandingkan dengan birokrasi negara dalam banyak alasan. Pasar dianggap memiliki respon lebih cepat terhadap perubahan-perubahan teknologi dan permintaan-permintaan (demands) dalam masyarakat. Pasar juga dilihat lebih efisien dan efektif dibanding sektor-sektor publik dalam penyediaan layanan. Pada akhirnya neoliberalisme percaya bahwa kompetisi pasar akan menghasilkan akuntabilitas lebih untuk investasi masyarakat dibanding negara dengan kebijakan-kebijakan yang cenderung birokratik.21 Tidak hanya sebagai prinsip, paham dan ideologi ekonomi, dalam tulisannya tentang neolibralisme Manfred B. Steger dan Ravy K. Roy 19
Manfred B Steger dan Ravy K. Roy, Neoliberalism: A Very Short Introduction, 2010, New York: Oxford University Press, hal. 10. 20 Awalil Rizki dan Nasyith Majidi. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia., 2008, Jakarta: EPublishing, hal. 245. 21 Carlos Alberto Torres, Education and Neoliberal Globalization, 2009, New York: Routledge, hal. 31.
14
menjelaskan bahwa neoliberalisme juga termanifestasikan menjadi sebuah bentuk pemerintahan (a mode of govermenance) dan seperangkat kebijakan (a policy package).22 Sebagai ideologi, neoliberalisme hadir dengan prinsip yang meletakan kebebasan dan kepemilikan individu sebagai syarat utama terciptanya masyarakat sejahtera. Para pendukung neoliberalisme percaya bahwa campur tangan negara harus dikurangi untuk menjamin berjalannya mekanisme pasar ala kapitalisme. Filsafat kebebasan, individualisme dan rasionalitas merupakan basis pemikiran dalam khasanah filosofis neoliberalisme. Ide ini diterima sebagai kebenaran dan keyakinan bagi para neoliberalis dan disebarkan keseluruh dunia. Dimensi kedua dari neoliberalisme terwujud sebagai bentuk pemerintahan. Seperti dalam istilah seorang pemikir sosial asal Perancis, Michel Foucault, yang mengistilahkan sebagai “governmentalities” yakni model tertentu dari sebuah pemerintahan yang berdasar pada seperangkat premis, logika, dan relasi kekuasaaan. Foucault memberikan perhatian pada bagaimana tubuh, perbuatan, dan diri ditata (pemerintah bagi diri sendiri), pemerintah bagi orang lain, dan pemerintah negara. Dalam pengertian yang paling umum, bagi Foucault pemerintah mengurusi “panduan perbuatan”.23 Foucault menegaskan bahwa “governmentality” neoliberal bukan tentang kemunduran negara, melainkan restrukturisasi hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Restrukturisasi ini meliputi pergeseran kekuasaan negara-sentris ke dalam unit-unit yang lebih kecil.
22
Op cit, hal. 11. Lihat George Ritzer dan Douglass J. Goodman, terjemahan oleh Nurhadi, Teori Sosiologi, 2004. Bantul: Kreasi Kencana, hal. 662 23
15
Sebuah pemerintahan yang bercorak neoliberal berakar pada nilai-nilai enterpreneurial (yaitu kemampuan untuk berusaha secara pribadi) dan otonomi. Neoliberalisme percaya bahwa model pemerintahan yang self-regulating dimana masyarakat diberikan otonomi untuk mengurusi dirinya sendiri dan memilih pilihan-pilihan yang rasional dalam pasar. Untuk itu, model pemerintahan neoliberal menjadikan otonomi sebagai konsep dasar dalam melihat hubungan antar institusi atau kekuasaan dalam negara. Untuk mendukung struktur tersebut, neoliberal percaya bahwa sistem ekonomi juga harus dijalankan dengan rasionalitas pasar sebagai sandarannya. Ketiga, neoliberalisme memanifestasikan dirinya kedalam seperangkat kebijakan publik yang kongkrit yang dapat diringkas ke dalamm formula “D-LP”, yakni deregulasi (ekonomi), liberalisasi (sektor perdagangan dan industri), dan privatisasi (BUMN). Kebijakan-kebijakan terkait yang diturunkan dari formula tersebut adalah pemotongan pajak (khususnya untuk kalangan atas), pengurangan subsidi untuk layanan sosial dan program-program kesejahteraan, penggunaan suku bunga oleh bank sentral yang independen untuk menjaga tingkat inflasi (walaupun
harus
mengorbankan
tingkat
penggangguran),
pengentatan
pemerintahan, anti organisasi-organisasi buruh atau serikat pekerja, penghapusan kontrol tehadap finansial global dan arus perdagangan, pendorongan terhadap integrasi perdagangan regional maupun global, dan pembentukan institusi-institusi politik baru, dan sebagainya. Kebijakan-kebijakan tersebut terus diusung dan disebarkan ke seluruh dunia melalui berbagai bentuk dan instrumen.
16
Dalam prakteknya, neoliberalisme tidak hanya dibawa melalui negaranegara yang menjadi lokomotif neoliberalisme seperti AS dan Inggris. David Harvey dalam “A Brief History of Neoliberalism” menyatakan bahwa organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Dunia (World Bank) turut menjadi pilar-pilar utama penyangga yang menjaga agar tujuan dan program-program ekonomi-politik neoliberalis negara-negara maju dapat berjalan dengan baik dan efektif. 24 IMF dan Bank Dunia menjustifikasi program perombakan stuktural mereka ke negara-negara miskin dan negara berkembang dengan terminologi “pengurangan kemiskininan”. Lembaga-lembaga tersebut kemudian merumuskan strategi kebijakannya ke dalam sebuah konsep dan program yang dikenal dengan Wahington Konsensus (The Washington Consensus).25 Inti dari konsensus ini adalah formula D-L-P yang dimana telah dijelaskan sebelumnya, telah memaksa negara-negara berkembang untuk melakukan restrukturisasi sistemik dalam rangka memuluskan aliran modal dari negara-negara donatur. Perombakan tersebut meliputi usaha-usaha privatisasi, deregulasi semua peraturan dan perundangan yang dianggap terlalu membatasi aktivitas pasar dan state-centric, liberalisasi sektor-sektor industri dan keuangan, dan penghapusan pengeluaran publik (subsidi) dari sektor-sektor publik. Washington Konsesnsus pada dasarnya mendorong
mekanisme pasar yang
berbasis permintaan. 24
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, 2005, New York: Oxford University Press, hal.
3. 25
Istilah ini dipopulerkan oleh John Williamson pada 1980an yang merujuk pada pengurangan maksimal peran pemerintah dalam ekonomi (kebanyakan terjadi di Amerika Latin) yang didesak oleh IMF, Bank Dunia, dan institusi ekonomi internasional dan think-tanks yang berbasis di Washington DC, AS. Lihat Manfred B Steger dan Ravy K. Roy, Neoliberalism: A Very Short Introduction, 2010, New York: Oxford University Press, hal. 19.
17
Sebagai pendekatan dalam penelitian tentang dampak bantuan Bank Dunia di sektor publik seperti pendidikan, menurut Antonio Teodoro, berdasarkan karya penelitian dari Roger Dale dan Boaventura de Saouza Santos, menyatakan bahwa terdapat proses neoliberalisasi yang dibawa melalui globalisasi pendidikan yang terjadi di Eropa dengan OECD sebagai arsitek dari proses tersebut. Menurut Teodoro perubahan dan perombakan yang terjadi dalam sistem pendidikan Eropa merupakan agenda besar yang telah terstruktur secara global. Agenda global ini merupakan pendorong utama dari proyek-proyek internasional. Seperti pernyataan Teodoro dalam konteks penelitiannya berikut: The globally structured agenda is defined above all having as nerve center the great international statistic projects and, in particular, the INES project of the Center for Educational Research and Inovation (CERI) of the OECD.26 Agenda ini mencakup usaha-usaha menuju proses privatisasi dan desentralisasi sektor pendidikan negeri (public education), usaha untuk membangun standar pendidikan, dan sertifikasi akademik untuk menentukan kualitas pendidikan pada level siswa, guru, maupun sekolah. Akuntabiltas juga merupakan salah satu prinsip kunci dalam model ini. Usaha-usaha ini merupakan gelombang reformasi pendidikan yang dipengaruhi oleh proses globalisasi yang membawa prinsipprinsip neoliberalisme. Berdasarkan penjelasan-penjelasan konseptual diatas, sebagai alat analisa untuk menguji implikasi bantuan Bank Dunia yang membawa agenda-agenda 26
Lihat Antonio Teodoro, “Educational Policies and New Ways of Governance in a Transnationalization Period.” Dalam Carlos Alberto Tores dan Ari Antikainen (editor), The Internatinal Handbook on The Sociology of Education. 2003. Lanham, MD: Rowman and Littlefield, hal. 198.
18
globalnya, maka penelitian ini memakai model konseptual yang menjadi dijelaskan Martin Carnoy dalam bukunya “Globalization and Educational Reform”. Carnoy memberikan sebuah model klasifikasi reformasi yang terjadi akibat dari proses globalisasi-neoliberal di negara-negara anggota OECD.27 telah mengklasifikasikan proses reformasi ini ke dalam tiga tipe reformasi. Reformasi tipe pertama adalah desakan perubahan yang merespon evolusi permintaan tenaga kerja dengan kualitas yang lebih baik dalam pasar tenaga kerja domestik maupun internasional. Reformasi jenis ini berangkat dari ide baru untuk bagaimana mengelola kembali sekolah-sekolah (dalam semua level) dan meningkatkan kompetensi
professional
untuk
kesuksesan
dunia
kerja.
Carnoy
mengklasifikasikan perubahan ini sebagai “reformasi berbasis kompetisi” (competition-based reforms). Selanjutnya, reformasi jenis kedua yang hadir untuk merespon pengurangan anggaran dalam sektor publik maupun swasta yang diistilahkan sebagai “reformasi berbasis financial” (reform based on financia imperatives). Tipe reformasi ketiga adalah reformasi yang berusaha untuk meningkatkan peran politis pendidikan sebagai faktor utama dari mobilitas dan kesetaraan sosial. Carnoy mengklasifikasikan reformasi ini sebagai “reformasi berorientasi kesetaraan” (equity-driven reforms).28 Ketiga jenis klasifikasi reformasi ini menjadi model untuk menganalisis dampak dari perubahan-perubahan sistemik dan tata kelola pendidikan tinggi di 27
Negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yaitu: Australia, Austria, Belgia, Kanada, Chili, Republik Ceko, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Irlandia, Israel, Jepang, Korea, Luksemburg, Meksiko, Negeri Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugis, Republik Slowakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris dan Amerika Serikat. 28 Lihat Martin Carnoy. Globalization and Educational Reform: What Planners Need to Know. 1999. UN: Unesco, hal. 37-46
19
Indonesia sebagai tuntutan dari persyaratan bantuan luar negeri Bank Dunia dalam program IMHERE. Konsep reformasi yang “bernuansa” neoliberal ini akan menjadi kerangka analisis dalam melihat apakah model ini juga terjadi di Indonesia dengan konteks hubungan dan kebutuhan aktor yang berbeda dan untuk menguji hipotesa bahwa bantuan luar negeri merupakan alat yang digunakan oleh Bank Dunia untuk menyebarkan prinsip-prinsip neoliberal dalam sektor-sektor vital sebuah negara-bangsa. 5.2.
Konsep Bantuan Luar Negeri Dalam konteks penelitian ini, untuk menganalisa implementasi bantuan
Bank Dunia di sektor pendidikan tinggi perlu kiranya menggunakan konsep bantuan luar negeri. Konsep bantuan luar negeri ini juga akan dipakai dalam melihat pola hubungan antara bantuan Bank Dunia dan agenda globalisasineoliberal yang dibawanya.
5.2.1 Definisi dan Motif Secara sederhana, menurut Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), bantuan luar negeri (atau biasa juga disebut ‘Overseas Development Assistance’ atau ODA) merujuk pada “pinjaman” (loan) dan “hibah” (grant) yang diberikan kepada negara-negara berkembang yang memenuhi tiga kriteria utama, yakni 1) pinjaman dan hibah harus berkaitan dengan sektor-sektor publik, 2) tujuan dari pinjaman dan hibah tersebut haruslah berorientasi pada pemeliharaan dan pembangunan ekonomi, 3) pinjaman dan
20
hibah yang berikan harus jelas, konsensional, dan mengandung unsur hibah sedikitnya 25%.29 Oleh Stephen D. Krasner, istilah bantuan luar negeri (foreign aid) diartikan sebagai tindakan-tindakan negara, masyarakat (penduduk), atau lembaga-lembaga masyarakat atau lembaga-lembaga lainnya yang berada pada suatu negara tertentu ataupun pasar tertentu di luar negeri, memberikan bantuan berupa pinjaman, memberi hibah atau penanaman modal mereka kepada pihak tertentu di negara lainnya. 30 Dalam prakteknya, bantuan luar negeri ini merupakan jalinan konsep dan juga sebagai suatu teori yang berhubungan langsung dengan mengalirnya modal atau nilai kebendaan atau jasa-jasa kepada pihak di luar negeri dengan tujuan membantu atau motif-motif ekonomi politik tertentu. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa aspek ekonomi politik tidak dapat dipisahkan dari hubungan antar aktor yang salah satunya terjalin melalui mekanisme bantuan luar negeri ini. Keterkaitan antara ekonomi politik dan bantuan luar negeri sukar terpisahkan karena berkaitan dengan agendaagenda ekonomi dan politik yang saling berkaitan di antara keduanya. Kesalingketerkaitan kepentingan antara pemberi dan penerima itu meliputi: 1. Keinginan pihak pemberi dapat dilandasi oleh berbagai kepentingan biasanya ekonomis dan politis. Pihak penerima pun menggunakan pikiran-
29
OECD, Twenty-five Yesrs of Development Co-operation: A Review, 1985, Paris: OECD, hal. 171-173 30 Stephen D. Krasner dalam Yanuar Ikbar. Ekonomi Politik Internasional 2, 2007, Bandung: Refika Aditama, hal. 188.
21
pikiran yang serupa ekonomis dan politis ketika menerima bantuan tersebut. 2. Faktor-faktor yang bersifat politik dapat sama pentingnya dengan faktorfaktor yang bersifat ekonomi dalam hubungan dengan kontribusi yang diperoleh oleh pihak pemberi maupun penerima bantuan. Namun ini tergantung pemerintah pemberi atau pemerintah penerima bantuan. 3. Jarang sekali dijumpai kasus bantuan luar negeri yang bercorak murni ekonomi dan politis atau aspek lainnya semata. Kebanyakan orang membicangkan proses bantuan itu berupa hubungan ekonomi dan politik maupun lainnya secara timbal balik. Secara spesifik, untuk memiliki kacamata analisis dalam melihat topik yang diangkat dalam penelitian ini, perlu untuk memahami bagaimana peran yang dimainkan oleh lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia dalam menyalurkan dana bantuan luar negerinya. Dalam Organisations
buku And
“Delegation
Under
Principal-Agent
Anarchy:
Theory”
States,
dijelaskan
International
bahwa
bantuan
multilateral merupakan delegasi bersama oleh negara-negara donor dengan kepentingan yang berbeda melalui sebuah lembaga internasional yang tunggal. Lembaga tersebut menyediakan pengaturan kelembagaan untuk merespon
22
“permintaan” dari donor serta penerima. Terdapat dua faktor utama terkait permintaan negara-negara donor ini:31 1. Faktor yang bertujuan untuk memperoleh aksi kolektif dengan preferensi yang heterogen antara donor, atau antara donor dan penerima. Para negara donor dapat bersaing untuk mempromosikan proyek-proyek pilihan mereka di negara-negara berkembang tanpa mengurangi keuntungan mereka sendiri atau menimbulkan biaya tambahan untuk negara penerima. Namun, ketika output yang dimaksudkan dalam suatu proyek adalah barang atau sektor publik, aksi kolektif di kalangan donor diperlukan. Misalnya, identifikasi program reformasi ekonomi, perjanjian penjadwalan kembali utang atau mengisi kesenjangan pembiayaan eksternal negara, memerlukan tindakan kolektif dari negara-negara donor, bukan kompetisi. Selain itu, seperti dijelaskan di atas, lembaga bilateral mungkin tidak pandai melaksanakan program yang memerlukan persyaratan kuat karena preferensi kepentingan yang berbeda antara donor dan penerima, atau bisa juga disebabkan oleh pilihan-pilihan yang bertentangan di negara donor itu sendiri. Sementara, badan multilateral cenderung menghindari “tindakan berlebihan” kepada donor terkait perbedaan preferensi dan kepentingan ini (yang mungkin lebih memilih untuk menjaga hubungan istimewa dengan penerima) dan mencegah kesalahan jatuh pada donor dalam kasus 31
Hawkins, D., Lake, D., Nielson, D., Tierney, M., “Delegation Under Anarchy: States, International Organisations And Principal-Agent Theory”, 2003, Cambridge: Cambridge University Press, hal: 10-35
23
gagalnya
pelaksanaan
program-program
beresiko
tinggi.
Dengan
pendekatan multilateral, dengan didukung oleh semua donor dan penerima, juga dapat memperkuat legitimasi dan kredibilitas program yang tidak populer (misalnya, stabilisasi ekonomi dan program reformasi). Dalam semua kasus ini, lembaga multilateral bertindak sebagai perantara antara para pihak. Lembaga multilateral ini menjadi irisan antara kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dan menggunakannya untuk merancang sebuah program yang mungkin tidak didukung oleh semua pihak. 2. Faktor kedua sangat terkait dengan ruang lingkup ekonomi, terutama dalam pengumpulan informasi dan analisis (produksi pengetahuan). Akivitas domestik yang dilaksanakan oleh negara-negara donor secara individu (ke negara penerima ) dapat bersifat “berlebihan”, misalnya untuk duplikasi proyek di domain yang sama. Pendekatan multilateral dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan secara individu serta dapat meningkatkan kredibilitas informasi. Namun perlu dicatat bahwa skema multilateral tidak selalu menaruh semua informasi yang dikumpulkan dalam
domain
menggunakan
publik.32
Lembaga-lembaga
informasi-informasi
tersebut
multilateral untuk
dapat
membangun
keunggulan-komparatif informasi atas negara-negara anggota. Keunggulan informasi tersebut dapat digunakan oleh lembaga multilateral untuk secara selektif mempromosikan proposal kebijakan mereka sendiri. Biasanya, 32
Maksudnya adalah tidak semua informasi dapat diakses oleh negara-negara donor. Kepemilikan informasi tetap menjadi milik dan otoritas dari lembaga multilateral tersebut.
24
lembaga-lembaga tersebut mengkhususkan diri dalam isu-isu spesifik dimana mereka adalah sumber utama informasi di seluruh dunia (IMF pada keseimbangan fiskal, moneter dan informasi pembayaran, Bank Dunia tentang kebijakan reformasi; WHO pada isu-isu kebijakan kesehatan, FAO di pertanian dan makanan masalah, dll). Keuntungan ini membuat informasi analisis kebijakan dan proposal yang lebih kredibel, dan akhirnya membuat negara-negara anggota lebih sulit untuk merumuskan usulan alternatif secara individu. 5.2.2 Pengelompokan Bantuan Luar Negeri Sebagai sebuah instrument kepentingan, bantuan luar negeri dapat dikategorikan ke dalam berbagai jenis bantuan. Sebelumnya, kita perlu membedakan dulu secara mendasar antara pinjaman bilateral dan multilateral dalam kelompok pinjaman luar negeri33. Pinjaman bilateral adalah pinjaman yang diberikan secara langsung dari suatu pemerintah (umumnya negara maju) kepada suatu pemerintah negara berkembang, sehingga sering juga disebut G to G (Government to Government Aid). Sedangkan pinjaman multilateral adalah pinjaman yang diberikan oleh lembaga-lembaga internasional, seperti: Kelompok Bank Dunia (World Bank Group), International Monetary Fund (IMF), PBB, dan lain-lain. Dari segi jenis bantuan luar negeri, menurut Michael Todaro, bantuan luar negeri dapat dibagi menjadi: 34 33
Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., Tanggung Jawab bank Dunia dan IMF sebagai Subjek Hukum Internasional. 2009, Sofmedia: Jakarta, hlm. 2 34 Michael. P. Todaro, Ilmu Ekonomi Bagi Negara Sedang Berkembang, Buku I-II Terjemahan. 1987, Jakarta: Akademi Presindo, hal 90-91.
25
1. Bantuan berupa pinjaman atau hibah (grant); 2. Bantuan pinjaman (utang luar negeri); 3. Investasi (penanaman modal) asing. Sementara menurut K. J. Holsti, ada empat tipe utama bantuan luar negeri35, yaitu technical assistance/bantuan teknis, hibah/grants (ada juga program impor komoditi), pinjaman pembangunan, dan bantuan kemanusiaan yang bersifat darurat. Selain itu, ada juga pengelompokan bantuan dari negara-negara kaya kepada negara-negara miskin yang dikenal dengan istilah pemindahan sumber daya (flow of resources). Pengelompokannya bantuan tersebut antara lain: a.
Pemindahan sumber-sumber resmi (flow of official resources), berupa: i)
Pemindahan secara bilateral, yaitu grants (pemberian), sumbangan yang menyerupai grants, dan modal pemerintahan jangka panjang.
ii) Pemindahan secara multilateral, yaitu grants dan iuran modal kepada badan-badan pembangunan internasional dan pemberian hutang kepada badan-badan tersebut termasuk pembelian obligasi.
b.
Pemindahan sumber-sumber swasta (flow of private resources), berupa: Investasi langsung swasta (foreign direct investment), investasi portofolio (portfolio investment), pinjaman bank komersial (commercial bank lending), dan kredit ekspor (exports credit). Bantuan luar negeri jika dilihat dari sifat persyaratan pinjaman, maka
pinjaman luar negeri dapat diklasifikasikan atas:36 35
K. J. Holsti. Politik Internasional: Kerangka Analisa. 1995. New Jersey: Prentice Hall, hlm. 182 36 Op.Cit., Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., hal. 2.
26
a.
Pinjaman Lunak (Concessional Loan) Pinjaman ini berasal dari lembaga multilateral maupun lembaga bilateral. Pinjaman ini bercirikan tingkat bunga yang rendah (sekitar 3,5%), jangka waktu pengembalian yang panjang (sekitar 25 tahun), dan masa tenggang (grace period) cukup panjang, yakni 7 tahun. Tipe pinjaman ini seringkali diterapkan Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) yang seringkali memberikan pinjaman untuk jangka waktu 25-40 tahun.
b.
Pinjaman Setengah Lunak (Semi Concessional Loan) Pinjaman ini adalah pinjaman yang memiliki persyaratan pinjaman sebagian komersil namun dijamin oleh suatu lembaga pengembangan ekspor. Biasanya bentuknya berupa fasilitas kredit ekspor, misalnya suatu negara yang ingin memajukan ekspor di negaranya akan menyediakan pembiayaan bagi suppliernya untuk menjual barangnya kepada debitor. Dulu dikenal juga dengan istilah purchase and installment sales agreement, contohnya dari Leasing Company di Jepang.
c.
Pinjaman Komersial (Commercial Loan) Pinjaman ini adalah pinjaman yang berasal dari bank atau lembaga keuangan dengan persyaratan yang berlaku di pasar internasional pada umumnya. Berdasarkan sifatnya lagi, terdapat lagi pembedaan seperti: i) Pinjaman Bilateral, yaitu pinjaman dengan jumlah kecil yang berasal dari satu bank.
27
ii) Pinjaman Multilateral, yaitu pinjaman dalam jumlah besar yang berbentuk sindikasi. Sedangkan berdasarkan bentuknya, terdapat juga pembedaan bantuan luar negeri, seperti: i) Bentuk surat utang (notes) dengan bunga mengambang, atau obligasi (bonds) dengan bunga yang tetap. Keduanya sama-sama berasal dari pasar modal (capital market). ii) Pinjaman dari perbankan internasional yang berbentuk sindikasi dengan jumlah pinjaman yang besar. Dari jenis hubungan yang diatur, pinjaman luar negeri masih memiliki banyak jenis berbeda37, diantaranya: a.
Pinjaman Terikat (tied aid), yaitu pinjaman yang terbatas hanya bisa digunakan unutk membeli barang dan jasa dari negara donor.
b.
Pinjaman Tidak Terikat (untied aid), yaitu pinjaman yang bebas digunakan oleh negara penerima pinjaman. Dalam artian, penggunaan pinjaman tersebut tidak terikat kepada negara donor yang bersangkutan.
c.
Pinjaman Proyek (Project Aid), yaitu pinjaman yang ditujukan khusus untuk suatu proyek pembangunan tertentu.
d.
Pinjaman Program (Programme Aid), yaitu pinjaman yang pemanfaatan pinjamannya dapat ditujukan untuk tujuan umum. Di Bab selanjutnya, kita akan menggunakan kategorisasi di atas dalam
menganalisis implementasi bantuan multilateral yang digulirkan oleh Bank Dunia 37
Rustian Kamaluddin, Perdagangan dan Pinjaman Luar Negeri, 1988, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta, hlm. 33-34.
28
ke sektor pendidikan tinggi Indonesia, dengan studi kasus di Universitas Hasanuddin dalam program IMHERE.
6. Metode Penelitian 6.1. Tipe Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian deskriptifanalisis dengan studi kasus. Adapun penelitian studi kasus dapat dipahami sebagai kajian intensif dari sebuah kasus tunggal (single case) dimana tujuan dari kajian tersebut adalah, sekurang-kurangnya, untuk memberikan penjelasan bagi pengamatan dalam fenomena yang lebih luas (populasi).38 Dengan menggunakan tipe penelitian studi kasus, penulis akan mencoba memfokuskan kajian pada salah satu objek dalam hal ini Universitas Hasanuddin. Selanjutnya penulis akan mencoba mengamati perubahan-perubahan fundamental yang terjadi dalam pola pengambilan kebijakan di Universitas Hasanuddin yang tentunya dihubungkan dengan proyek bantuan IMHERE oleh Bank Dunia. Perubahan-perubahan tersebut dapat meliputi hubungan negara-universitas, kurikulum, biaya pendidikan yang semakin tinggi, dan semakin menurunnya daya jangkau masyarakat terhadap pendidikan tinggi. Sejanjutnya melalui peneilitian ini akan menelaah apakah bantuan luar negeri menjadi faktor determinan dalam reformasi pendidikan tinggi Indonesia secara umum dan Unhas secara khusus. 6.2.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperoleh merupakan data sekunder dan primer. Data
sekunder berasal dari berbagai literatur baik berupa buku, buletin, jurnal, artikel, 38
John Gerring. Case Study Reserch, Principles and Practices. 2007. Cambridge : Cambridge University Press, hal : 20.
29
surat kabar, website resmi, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedangkan data primer berasal dari wawancara-wawancara penelitian dengan tokoh-tokoh yang dianggap memiliki korelasi, proximitas, dan kompetensi dengan topik penelitian. Untuk kebutuhan literatur dan informasi, penulis mengunjungi tempattempat berikut: a. Perwakilan Bank Dunia di Jakarta b. Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) di Jakarta c. Wakil Rektor IV Universitas Hasanuddin di Makassar d. Perpustakaan Universitas Hasanuddin di Makassar e. Ruang Baca Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNHAS
di
Makassar f. Perpustakaan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) di Makassar g. Perpustakaan HIMAHI FISIP Unhas di Makassar
6.3.
Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data penelitian, penulis melakukan library
research, wawancara dengan pihak-pihak dalam lingkaran pengambil maupun pelaksana kebijakan, akademisi, dan mahasiswa; penelaahan dokumen-dokumen dan laporan-laporan resmi, serta observasi langsung terhadap kebijakan dan kondisi riil perguruan tinggi yang diteliti.
30
6.4.
Teknik Analisa Penelitian ini menggunakan teknik analisa data kualitatif yakni
permasalahan digambarkan berdasar fakta-fakta yang ada kemudian dihubungkan antara fakta yang satu dengan yang lainnya, kemudian ditarik sebuah simpulan. Ada pun data berupa angka merupakan data penunjang dalam mengkaji faktafakta utama. Dengan menggunakan teknik ini, maka teknik analisa menggunakan pola induktif yakni dari hal-hal yang sifatnya khusus (sampel) kemudian menarikanya pada hal yang bersifat umum. Dalam hal ini Universitas Hasanuddin yang diambil sebagai studi kasus menjadi cerminan realita perguruan tinggi di Indonesia secara real dan spesifik. Kesimpulan dari kasus yang diangkat dalam penelitian ini dapat dapat dijadikan sebagai parameter implementasi dan dampak dari bantuan luar negeri tersebut terhadap kondisi pendidikan tinggi Indonesia.
31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berdasarkan
penelusuran
kepustakaan
dalam
penelitian,
penulis
menemukan hasil-hasil penelitian, buku, maupun karya-karya ilmiah lain yang berkaitan dengan topik yang diangkat. Topik-topik ini secara langsung berhubungan erat dengan bantuan luar negeri dalam bidang pendidikan. Karena bantuan luar negeri dan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari aspek internasionalnya yang sangat determinan maka dalam bagian ini, penulis akan memberikan beberapa komparasi literatur, penelitian, dan pemikiran yang memiliki korelasi langsung dengan bantuan luar negeri dalam pendidikan tinggi di Indonesia yang dikategorikan dalam dua topik literature yaitu (1) globalisasi dan reformasi pendidikan tinggi; (2) bantuan luar negeri dalam pendidikan tinggi. 1. Globalisasi dan Reformasi Pendidikan Tinggi
Hingga saat ini, globalisasi tidak memiliki makna yang tunggal. Para ahli dan praktisi terus berdebat masalah definisi, asal-usul, cakupan, dan dampak yang ditimbulkan dari fenomena ini.39 Perdebatan sangat tajam karena para pendukung globalisasi (atau biasa disebut kaum globalis) memberikan klaim-klaim kemakmuran dan kemajuan ekonomi sebagai “doktrin” yang terus digaunggaungkan ke seluruh dunia. Klaim-klaim tersebut dibantah oleh para penentang globalisasi yang melihat bahwa globalisasi hanya menguntungkan korporasi39
Perdebatan ini seperti yang dijelaskan oleh Manfred Steger. Ia menjelaskan dengan sangat detail bagaimana pandangan tentang globalisasi berserta klaim-klaim para pendukung dan penentangnya dalam Manfred B. Steger, Globalization: A Very Short Introduction. 2003, New York: Oxford University, hal 97-111.
32
korporasi besar yang dilindungi negara.40 Perdebatan-perdebatan tersebut yang sering kali mengaburkan makna sebenarnya dari globalisasi. Namun demikian, untuk mempermudah pengertian dan pembahasan dalam penelitian ini, globalisasi dapat diidentifikasi dari prinsip-prinsip utama yang dibawanya. Darmaningtyas memberikan definisi sederhana soal globalisasi, bahwa: Globalisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses multidimensional dalam aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, yang bergerak secara ekstensif dan intensif dalam kehidupan masyarakat dunia yang mengubah cara berfikir dan bertindak mereka.41 Sementara Agung Perwita dan Yani secara singkat mendefinisikan globalisasi sebagai “the extention of social relations over the globe” 42 yang dilihat telah memunculkan kecenderungan similiritas dan uniformitas dari pada individu, kelompok, dan sistem sosial yang melewati atau bahkan menghapus batas tradisional negara (vanishing traditional borders). Dari dua definisi tersebut dapat kita lihat bahwa globalisasi merupakan sebuah proses yang merubah tatanan sosial masyarakat dari tingkatan terkecil (individu) hingga hubungan antar negara. Perubahan ini tentu tidak hadir begitu saja. Setiap transformasi kehidupan masyarakat selalu didahului oleh seperangkat ideology, kebijakan ekonomi-politik dan infrastruktur ideologisnya, begitu pun globalisasi. Sejarah globalisasi, menurut Ha-Joon Chang dan Ilene Grabel,
40
Lihat, Ha-joon Chang & Ilene Grabel. Membongkar Mitos Neolib. 2004, Yogyakarta: INSISTPress, hal. 14-15 41 Ekstensif berarti bahwa proses perubahan cara befikir masyarakat tersebut menjangkau wilayah geografis yang tidak terbatas dan intesif berarti bahwa perubahan tersebut juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Lihat Darmaningtyas, dkk. Tirani Kapital dalam Pendidikan. 2009, Jakarta: Damar Press, hal. 18. 42 Lihat Anak Agung Banyu Perwita dan Yayan Mochamad Yani, Pengantar Hubungan Internasional. 2005, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 136.
33
merupakan produk dari berbagai kebijakan yang dipilih secara sadar dari inisiatif pemerintah negara-negara industri maju maupun negara-negara berkembang sejak tahun 1970an hingga awal tahun 1980an. Lembaga-lembaga internasional, seperti IMF dan WTO, juga memiliki besar dalam mendorong kebijakan yang memungkinkan berkembangnya percepatan dan globalisasi kapitalisme-neoliberal di negara-negara berkembang dewasa ini.43 Hal ini senada dengan yang diulas oleh Stephen Germic dalam The Neoliberal University: theory and practice. Dalam karya itu, Gemic menganalisis dampak dari neoliberalisme, globalisasi, dan pendidikan tinggi di Dubai. Mengenai Globalisasi dan Neoliberalisme, Germic menulis: “It’s principally in relation to governing “rules” that globalization and neoliberalism intersect. The institutions that make the rules which increasingly govern the global economy are committed to the economic models and attendant ideology of neoliberalism.” Sementara Bill Robinson dalam tulisannya “The Crisis of Global Capitalism: how it Looks from Latin America” melihat bahwa sistem kapitalisme telah melewati sebuah “epochal shift” (pergeseran era) dalam evolusinya. Epochal shift yang membawa perubahan ide-ide dalam struktur sosial yang merubah banyak hal dalam fungsi sosial tersebut. Kapitalisme telah melalui merkantilisme, kompetisi industrial, dan sistem monopoli dalam “pergeseran era”nya. Sementara itu, globalisasi merupakan pergeseran keempat dari kapitalisme yang ditandai dengan beberapa pergeseran yang fundamental dalam sistem ini. Lebih jauh, Ia menjelaskan bahwa pada tahun 1970an akumulasi kapital telah 43
Ha-joon Chang & Ilene Grabel. Membongkar Mitos Neolib. 2004, Yogyakarta: INSISTPress, hal. 26.
34
memasuki krisis yang tak terhindarkan. Sebuah krisis yang hanya bisa diatasi dengan
“going
global”
melalui
“aparatus
negara
yang
transnasional”
(Transnasional State Aparatus-TNS). Yakni sebuah jaringan kekuatan ekonomipolitik supranasional dan aparatus negara yang telah dipenetrasi serta ditransformasi oleh kekuatan lintas-negara. Robinson menambahkan bahwa karena adanya tekanan transnasional ini maka sistem negara-bangsa “tidak lagi merupakan prinsi utama pengelolaan kapitalisme”. Negara telah berperan sebagai komponen dari struktur yang lebih besar dan melayani kepentingan global melalui proses akumulasi kapital secara nasional. TNS ini yang kemudian mendorong model globalisasi neoliberal pada negara maju dan berkembang.44 Implikasi kebijakan neoliberal yang diglobalkan tercermin dari perubahanperubahan mendasar pada sistem ekonomi-politik dan sosial pada masyarakat Negara-negara berkembang. Dalam ideologi kapitalisme-neoliberal, ditemukan bahwa: relasi antara negara dan pasar bersifat asimetris karena bisnis pada akhirnya korporasi lebih mendominasi kekuasaan oleh negara dan dapat menentukan keputusan-keputusan strategis dalam negara.45 Adapun fungsi negara direduksi hingga hanya sebatas regulator dan fasilitator dari seluruh sistem ekonomi. Oleh Mandel dalam Late Capitalism merincikan bahwa fungsi negara dalam sistem kapitalisme, yaitu: a) menjamin kegiatan swasta dan anggota kelas dominan, b) negara bertindak tegas pada setiap ancaman terhadap mode of
44
Bill Robinson, “The Crisis of Global Capitalism: how it Looks from Latin America”, dalam Alan Freeman dan Boris Kagarlitsky (ed), The Politics of Empire: Globalisation in Crisis. 2004, London: Pluto Press, hal. 156. 45 Coleman (1974, 1990) dalam A. Habibullah, Kebijakan Privatisasi BUMN: Relasi State, Market, dan Civil Society. 2009, Malang: Averoes Press, hal.53.
35
production melalui tentara, polisi, kehakiman dan sistem penjara, dan terakhir c) negara menyatukan kelas dominan.46 Dalam kaitannya dengan globalisasi, Martin Khor (2003) menarik dua ciri utama dari globalisasi, yakni: pertama, peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai sumber daya dan kekuatan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan transnasional maupun oleh perusahaan-perusahaan dan dana global. Kedua, terciptanya ‘globalisasi’ (pengglobalan) dalam kebijakan dan mekanisme pembuatan kebijakan nasional.47 Kebijakan nasional yang sekarang ini berada dalam yurisdiksi suatu pemerintah dan masyarakat dalam suatu wilayah negara bangsa bergeser menjadi di bawah pengaruh atau proses institusi-istitusi global atau pelaku ekonomi dan keuangan internasional. Dalam kondisi tersebut negara dihadapkan pada dua pilihan yang berlawanan antara tekanan global untuk meminimalisir peran layanan publiknya (liberalisasi) dan upayanya memenuhi tanggungjawab filosofisnya untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar, termasuk pendidikan, bagi warganya yang sekaligus menjaga basis legitimasi kekuasaannya. Selain karena adanya kekuatan politik transnasional, globalisasi-neoliberal ini juga didukung oleh modal serta intensifikasi teknologi informasi yang sangat pesat. Modal dari cadangan emas dan kemenangan dalam Perang Dunia II menempatkan Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang memimpin arus globalisasi dunia. Kepemimpinan AS dalam politik dan ekonomi dunia terus 46
Ibid, hal 54. Martin Khor, Globalization Perangkap Negara-Negara Selatan (terjemahan), 2003, Yogyakarta: Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas, hal. 68-70. 47
36
mengekspansi negara-negara berkembang untuk turut dalam kebijakan-kebijakan ekonomi-politiknya.
Kebutuhan
industrial,
intensifikasi
produksi,
serta
kepemimpinan politik AS membuat hubungan internasional AS dalam struktur ekonomi-politik menjadi dominan. Salah satu cara paksa AS ke negara-negara berkembang adalah dengan memaksa negara-negara miskin dan berkembang (baik secara halus maupun tekanan) untuk menerapkan free market economy atau ekonomi pasar. Pasar bebas memungkinkan negara-negara industri maju dapat memasarkan produknya ke negara-negara miskin dan berkembang tanpa proteksi dan bea masuk. Begitu pun sebaliknya. Pasar bebas memungkinan setiap negara melakukan jual-beli barang dan jasa secara bebas, zero tax, tanpa proteksi dari negara, dan hambatan birokratis. Globalisasi-neoliberal dengan pasar bebasnya masih pecaya pada doktrin klasik kapitalisme bahwa setiap negara memiliki keunggulan komparatif (comparative advantages) dan spesialisasi produk yang dapat dijadikan sebagai produk unggulan dan perdagangan bebas. Proteksi negara dilihat sebagai penghambat aktivitas ekonomi karena sifatnya yang birokratis dan sarat akan kepentingan politik pemerintah. Ekonomi pasar bebas adalah liberalisasi disegala bidang termasuk perdagangan (barang dan jasa) yang berbasis keunggulan komparatif dan sektor keuangan/finansial. Para globalis sangat percaya pada mekanisme pasar bebas merupakan mekanisme sempurna untuk mendorong produksi dan memaksimalkan pertumbuhan. Friedman (1970) dan Clement (1997) berkeyakinan bahwa sistem pasar bebas merupakan satu-satunya jalan yang cocok dengan kebebasan politik
37
dan demokrasi.48 Liberalisasi pasar dan moneter yang dibawa globalisasi inilah yang merombak struktur dasar hubungan sosio-politik dan sosio-ekonomi masyarakat dan negara. Oleh Francis Fukuyama (2004), perubahan dratis ini dilihat sebagai sebuah “konsensus besar” dalam sejarah yang menempatkan demokrasi liberal dengan pasar bebasnya sebagai kemenangan di “ujung sejarah” (end of history). “Kemenangan” tersebut terjadi di segala sektor kehidupan. 49 Dalam kondisi seperti ini dunia mengarah pada proses integrasi dan homogenisasi budaya. Integrasi perdagangan, moneter, hingga politik-keamanan serta homogenisasi budaya yang sering diistilahkan dengan westernisasi atau baratisasi. Namun, dari sekian banyak aspek yang menjadi dampak dan kajian globalisasi, penelitian ini memfokuskan diri dalam melihat globalisasi sebagai (1) perdagangan internasional barang dan jasa serta (2) perpindahan kapital (capital flow) yang melintasi batas negara, termasuk investasi luar negeri, hutang dan bantuan luar negeri. Pada perkembangannya, arus perdagangan dan perpindahan yang begitu massif akhirnya menyentuh sektor yang pada era liberalisme klasik masih dianggap “tabu” karena menyangkut public needs atau menyangkut hajat hidup orang banyak. Sektor tersebut seperti pendidikan dan kesehatan. Dalam kaitannya antara globalisasi dan pendidikan, menurut Giddens koneksitasnya terletak di dalam lahirnya suatu masyarakat baru yaitu “knowledge-
48
Ibid. “Ujung sejarah” dan “kemenangan” yang dimaksud bukan berarti bahwa tidak ada lagi peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah, namun menurut Fukuyama, semua peristiwa besar seperti perang hanya akan memodifikasi modernitas, rasionalitas, dan liberalisme Barat. Lihat Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man. 2004, Yogyakarta: Penerbit Qalam, hal 4. 49
38
based-society” yang merupakan anak kandung dari proses globalisasi.50 Karena globalisasi, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat yang mana hal ini secara bersamaan merupakan infrastruktur dan produk dari globalisasi ekonomi dan politik di dunia ini. Namun demikian suatu “knowledge-based society” yang didasarkan kepada ilmu pengetahuan akan terus-menerus berubah dan merupakan subyek untuk terus direvisi. Hal ini memerlukan apa yang disebutnya sikap refleksif dari manusia yaitu kemampuan untuk merenungkan mengenai kehidupannya berdasarkan rasio. Pengetahuan menjadi kunci keterhubungan manusia secara global. Perlahan-lahan terjadi pergeseran dalam paradigma pendidikan global. Pendidikan mulai diarahkan untuk memikirkan masalah-masalah global dengan asumsi bahwa masalah pada tingkat lokal maupun global memiliki keterkaitan yang diametral. Jadi sikap dan tindakan manusia memiliki dampak yang juga dirasakan oleh manusia lain baik dalam skala lokal maupun global. Menurut Eve Coxon dan Karen Munce (2008), “education is therefore seen as critical mechanism for adressing both poverity reduction and conflict prevention.”51 Pengurangan kemiskinan dan pencegahan konflik yang dimaksud oleh Coxon dan Munce adalah proses pendidikan yang mencetak peserta didik sehingga mereka memiliki skill dan pengetahuan untuk menggerakan ekonomi dan struktur produksi masyarakat. Hal ini berkorelasi dengan agenda besar internasional yang melihat
50
J. Soedjati Djiwandono. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, 2000. Yogyakarta: Kanisius, hal 103. 51 Eve Coxon dan Karen Munce, The Global Education Agenda and the Delivery of Aid to Pasific Education. 2008. Oxford: Comparative Education, Edisi 2 Mei 2008, Volume IV.
39
pendidikan sebagai investasi non-kapital yang dapat menjadi human resource bagi peningkatan ekonomi negara dan korporasi. Akibatnya, pergeseran paradigma pendidikan sampai pada perubahan sistemik dan operasional pendidikan menjadi sebuah kebijakan yang “diharuskan” untuk mengimbangi perubahan-perubahan global. Di Indonesia, perubahan tersebut berupa perubahan sistem pendidikan nasional yang menitikberatkan pada dua hal, yakni: otonomi kelembagaan dan internasionalisasi pendidikan. Otonomi kelembagaan berupa restrukturisasi organisasi, pengelolaan, ketenagakerjaan, dan desentralisasi pendidikan. Sedangkan internasionalisasi pendidikan mencakup pendidikan berbasis teknologi informasi, standarisasi intenasional, progamprogram kerjasama dan kemitaraan antar negara, hingga pembukaan cabang sekolah dan perguruan tinggi asing. Hal ini seperti yang dibahas oleh Sudarwan Danim (2003) dalam “Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan” yang membahas beberapa tema utama dalam agenda pembaharuan sistem pendidikan dalam merespon perubahan yang dibawa oleh globalisasi. Tema tersebut menyangkut pembahasan filosofis mengenai pendidikan sebagai proses kemanusiaan dan pemanusiaan, agenda pendidikan dalam pembentukan moral, mutu, fenomena keguruan, masalah-masalah pendidikan juga dibahas mengenai bagaimana permiabilitas pendidikan, pembelajaran bebasis tekonolgi, privatisasi sekolah pada masa otonomi, komoditifikasi pembelajaran, reformasi sekolah pada global village, dan aplikasi proses fabrikasi dalam reformasi sekolah. Literatur ini mencoba menjawab tantangan-tantangan filosofis dan operasional yang dihadapi oleh sistem pendidikan Indonesia. Danim melihat “ancaman” dalam karakter
40
manusia, kebudayaan, dan sistem pendidikan Indonesia namun titik kritiknya tidak pada “apa sebabnya?” melainkan “bagaimana menghadapi?” sehingga buku ini hanya berisi saran-saran metodologis tanpa menjawab persoalan paling mendasar atas permasalahan-permasalahan tersebut. Dalam literatur lain mengenai globalisasi dan pendidikan, Arif Rohman memberikan perspektif lain dalam melihat pendidikan dalam medium interaksi antar bangsa. Dalam bukunya “Pendidikan Komparatif” Arif Rohman melihat bahwa masalah utama dari ketertinggalan pendidikan Indonesia dalam era dan skala global adalah kemandegkan dalam praktek penyelenggaraan pendidikan. Sedangkan penyebab kemandegkan dalam praktek penyelenggaraan pendidikan antara lain adalah rendahnya tingkat inovasi pendidikan yang bermula dari kekurangan dalam sistem pendidikan kita untuk membandingkan diri dengan praktek pendidikan negara-bangsa lain. Oleh karenanya, Arif Rohman mengambil sample pendidikan di Eropa dan beberapa negara di Asia Tenggara sebagai perbandingan sistem penyelenggaraan pendidikan. Dalam penelitian komparasi ini, Arif Rohman cukup komperhensif mengkaji praktek penyelenggaraan pendidikan di negara-negara sampel dan menemukan bahwa dalam dalam setiap negara-negara tersebut, anggaran dan kebijakan politik pemerintah terhadap pendidikan sangat besar. Sementara di Indonesia, “justru bersifat stagnan bahkan terkesan mengalami kemunduran dalam mengalokasikan anggaran nasionalnya untuk pendidikan”.52 Secara umum, buku ini memaparkan pemaparan yang cukup
52
Lihat Arif Rohman, Pendidikan Komparatif. 2010. Yogyakarta: Laksbang Grafika, hal.271
41
komperhensif soal hubungan pendidikan dan kebijakan negara negaranegara/kawasan di dunia. Dalam lingkup yang lebih spesifik terkait hubungan globalisasi dan reformasi pendidikan tinggi, kumpulan tulisan “Globalization and Reform in Higher Education” memaparkan beberapa isu utama dalam reformasi pendidikan dalam merespon tantangan dan ancaman global. Buku ini merupakan kumpulan tulisan para peneliti pendidikan dari Afrika, Amerika Utara, Australia, dan Eropa. Studi dalam buku ini juga memakai studi komparasi kebijakan pendidikan dalam membahas topik-topik utama dalam reformasi pendidikan tinggi seperti reformasi pendanaan dan pengelolaan pendidikan, akreditasi dan penjaminan mutu, penggunaan indikator pencapaian, dan restrukturisasi peraturan fakultas. Tulisantulisan dalam buku ini memaparkan agenda-agenda besar internasional dalam upaya reformasi pendidikan dunia menuju sistem pendidikan yang globalis. Dalam buku ini ditekankan bahwa pendidikan tinggi telah bertranformasi dari pinggiran (peripheral) menuju posisi inti dalam reponsifitas pemerintah terhadap globalisasi.53 Dari dasar itulah Heather Eggins (ed) memberikan kesimpulannya menyikapi globalisasi dalam pendidikan tinggi yang harus terjebak di antara kompleksitas globalisasi, “On the one hand is the pull towards cooperation, social cohesion, social harmony, transparency, equity and to enabling greater numbers to participate in higher education. On the other hand are the financial issues, the neo-liberal agenda that calls for competition, free trade, the dominance of the market”.54 53
Heather Eggins, Globalization and Reform in Higher Education. 2008, Glasgow: Society for Research into Higher Education & Open University Press, hal. 3. 54 Ibid, hal. 8.
42
Kesimpulan Eggins ini mencerminkan kekhawatiran terhadap globalisasi, khususnya dalam pendidikan tinggi. Kekhawatiran itu muncul dari agenda-agenda globalisasi-neoliberal yang menempatkan pendidikan tinggi sebagai bagian dari perdagangan internasional yang penuh dengan kompetisi, pasar bebas, dan dominasi pasar dalam pengambilan-pengambilan keputusan. Corak dan sistem penyelenggaraan pendidikan ala korporasi yang oleh Heru Nugroho (2002) diistilahkan dengan “McDonaldisasi Pendidikan Tinggi”. Sebuah jebakan pendangkalan pendidikan yang timbul karena berbagai metode operasi industri (bisnis) diterapkan pada dunia pendidikan tanpa reserve. Sehingga semakin menjauhkan pendidikan dari ruh-nya, yakni sebuah upaya untuk memanusiakan manusia.55 Lebih lanjut, dalam banyak literatur mengenai globalisasi dan pendidikan kritisme dan penolakan secara akademis maupun politik juga ada dalam porsi yang besar. Selain pendapat Nugroho di atas, buku-buku Darmaningtyas seperti “Tirani Kapital dalam Pendidikan” dan “Utang dan Korupsi Racun Pendidikan” memaparkan kritik yang besar dalam melihat globalisasi, hutang, bantuan luar negeri, dan kebijakan pendidikan nasional. Dalam “Tirani Kapital dalam Pendidikan” menyebutkan bahwa dampak nyata dari globalisasi di bidang pendidikan adalah upaya pemerintah Indonesia dalam menyusun UU Badan hukum Pendidikan (UU BHP).56 UU ini menurut Darmaningtyas merupakan usaha swastanisasi pendidikan. Oleh karenanya menurutnya globalisasi tidak 55
Lihat dalam Heru Nugroho (Ed), McDonalisasi Pendidikan Tinggi. 2002, Yogyakarta: Kanisius. 56 Buku ini ditulis sebagai naskah akademik saat UU BHP belum dianulir oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2009. Lihat Darmaningtyas, dkk, Tirani Kapital dalam Pendidikan. 2009, Yogyakarta: Pustaka Yashiba, hal.19-20.
43
dapat dipisahkan dari ideologi yang kini menjadi arus utama, yakni neoliberalisme.57 Dari telaah literatur di atas, penelitian ini melihat proses globalisasi seperti dalam pandangan Giddens dan Heater Eagins yang melihat globalisasi sebagai proses yang tidak hanya memberikan kemudahan-kemudahan. Namun dibalik itu, terdapat skenario ekonomi-politik yang lebih besar. Terkhusus pada pendidikan tinggi, globalisasi-neoliberal hadir dengan membawa agenda-agenda reformasi pendidikan. Pada tingkatan domestik, Penyelenggara Pendidikan Tinggi di Indonesia kini “berlomba-lomba” melakukan reformasi untuk memungkinkan institusinya mampu berkompetisi dalam level internasional. Secara jelas, reformasi besar dapat dilihat terjadi pada learning format yang mengutamakan kemajuan teknologi-komunikasi untuk mendukung proses pembelajaran. Format pembelajaran on-line mulai menggeser tipe pembelajaran konvensional tatap muka dan terikat dalam sistem kredit semester dengan konstitusi pembelajaran formal. Hal lain yang juga juga mengalami reformasi adalah ditempatkannya interdisciplinary sebagai core-bussiness ilmu pengetahuan yang ditawarkan mengikuti kebutuhan analisis kehidupan global yang anti-isolasi. Dalam pemilihan interdisciplinary ini, tantangan utama bagi perguruan tinggi adalah mampu memiliki keunikan pengetahuan yang ditawarkan sehingga luaran yang dihasilkan memiliki keunggulan spesifik yang unggul dalam berkompetisi. Pergeseran lain yang dihadapi adalah menyeimbangkan antara kecenderungan berkembangnya techno-science dan ilmu humaniora. Techno-science menjadi 57
Ibid.
44
lebih diminati karena memberi kontribusi materil langsung terhadap pertumbuhan ekonomi global dibandingkan ilmu-ilmu humaniora yang sifatnya immateril. Globalisasi dalam penyelenggraan pendidikan tinggi juga berdampak pada internasionalisasi pendidikan tinggi. Secara praktis, gejala internasionalisasi dapat dilihat dalam empat fenomena ini, yaitu (i) dibukanya cabang-cabang perguruan tinggi di negara lain, seperti terlihat beberapa perguruan tinggi Amerika membuka cabang di Asia, termasuk juga di Indonesia; (ii) kerjasama antara perguruan tinggi dari suatu negara dengan perguruan tinggi di negara lainnya yang menawarkan program gelar dalam bentuk double-degree atau twinning program: (iii) kuliah jarak jauh baik melalui media cetak maupun secara virtual melalui internet. Sejumlah perguruan tinggi terkemuka di Amerika, Eropa, dan Australia menawarkan program gelar melalui model ini; dan (iv) terposisikannya institusi penyelenggara pendidikan tinggi pada peringkat tertentu dalam rangking world class university. Sebagai konsekuensi dari internasionalisasi ini, setiap institusi pendidikan tinggi segera mengkondisikan dirinya menjadi World Class University yang ditandai dengan terakomodasinya standard internasional dalam hal karaktersitik institusi pendidikan tinggi tersebut, kualitas pembelajaran, kualitas riset yang dihasilkan, kualitas mahasiswa, dan prestasi para alumni yang dihasilkan. Tolok ukur dari indikator ini dilihat dari beberapa hal antara lain kuantitas jumlah mahasiswa asing yang ada di Perguruan Tinggi tersebut, jumlah staf pengajar asing dan kualifikasi staf pengajar, rasio dosen dan mahasiswa, student selectivity,
45
besarnya akses ke internet, publikasi ilmiah di jurnal internasional dan publikasi yang dirujuk (citation), prestasi penghargaan internasional yang diraih staf pengajar, serta penghargaan dunia yang diperoleh oleh para alumni. Terkait globalisasi dan pergeseran pendidikan ini, penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar dari proses yang tengah berlangsung ini. Penelitian ini melihat globalisasi tidak pada kacamata “by nature” seperti pendapat Fukuyama maupun Friedman. Namun lebih melihat globalisasi di segala bidang sebagai bagian tak terpisahkan dari kebijakan pemerintah dan apparatus negara transnasional yang didukung oleh lembaga-lembaga keuangan global. Dari titik itu kemudian akan dilihat apa motif dan “pintu masuk” dari globalisasi dalam pendidikan tinggi di Indonesia secara lebih spesifik pada sampel yang diambil dalam penelitian ini. 2. Bantuan Luar Negeri dalam Pendidikan Tinggi
Secara umum, studi mengenai bantuan luar negeri dan implikasinya secara spesifik dalam pendidikan tinggi masih sangat sedikit ditemui. Salah satu karya yang cukup komperhensif dan menjadi rujukan dalam membahas masalah bantuan luar negeri pasca Perang Dingin adalah karya David Dollar dan Alberto Alesina, Who Gives Foreign aid to Whom and Why (2000). Dalam karyanya ini, Alesina dan Dollar mengemukakan bahwa pola-pola pemberian bantuan asing lebih ditentukan oleh pertimbangan politik dan strategis di kedua sisi, baik oleh pendonor maupun resipien (penerima bantuan).
46
Lebih jauh, Alesina dan Dollar menjelaskan bahwa inefisiensi, ketertutupan ekonomi, dan ketidakmampuan mengelola bantuan dari Negara bekas koloninya merupakan beberapa penyebab mengapa sebagian besar bantuan yang diberikan kepada Negara resipien gagal dalam merangsang pertumbuhan ekonomi dan hanya meningkatkan komsumsi public yang tidak produktif. Sementara, dari sisi donor, terutama Negara-negara yang berasal dari kawasan Nordic, bantuan luar negeri yang mereka berikan kepada Negara lain justru menghasilkan intensif yang tepat. Dampaknya misalnya, tingkat pendapatan yang meningkat dan semakin terbukannya sistem ekonomi pada negara penerima bantuan.
58
Karya Alesina dan Dollar ini tidak secara khusus membahas dalam
sektor-sektor tertentu. Studi ini hanya memberikan gambaran umum atas motifmotif yang menjadi sebab pemberian bantuan. Literatur lainnya yang secara khusus mengkaji dampak bantuan luar negeri yang membawa dan mempercepat proses globalisasi neoliberal dalam bidang pendidikan adalah karya Martin Carnoy dalam bukunya “Globalization and Educational Reform”. Dalam karya ini, Carnoy memberikan sebuah model klasifikasi reformasi yang terjadi akibat dari proses globalisasi-neoliberal di negara-negara anggota OECD.59 Carnoy kemudian mengklasifikasikan proses reformasi ini ke dalam tiga tipe reformasi. Reformasi tipe pertama adalah desakan perubahan yang merespon evolusi permintaan tenaga kerja dengan kualitas yang 58
Alberto Alesina dan David dollar, Who Gives foreign Aid to Whom and Why, Journal of Economic Growth, Volume 5, No.1 (Mar, 2000). Hal. 33-63 59 Negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yaitu: Australia, Austria, Belgia, Kanada, Chili, Republik Ceko, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Irlandia, Israel, Jepang, Korea, Luksemburg, Meksiko, Negeri Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugis, Republik Slowakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Inggris dan Amerika Serikat.
47
lebih baik dalam pasar tenaga kerja domestik maupun internasional. Reformasi jenis ini berangkat dari ide baru untuk bagaimana mengelola kembali sekolahsekolah (dalam semua level) dan meningkatkan kompetensi professional untuk kesuksesan dunia kerja. Carnoy mengklasifikasikan perubahan ini sebagai “reformasi berbasis kompetisi” (competition-based reforms). Selanjutnya, reformasi jenis kedua yang hadir untuk merespon pengurangan anggaran dalam sektor publik maupun swasta yang diistilahkan sebagai “reformasi berbasis financial” (reform based on financia imperatives). Tipe reformasi ketiga adalah reformasi yang berusaha untuk meningkatkan peran politis pendidikan sebagai faktor utama dari mobilitas dan kesetaraan sosial. Carnoy mengklasifikasikan reformasi ini sebagai “reformasi berorientasi kesetaraan” (equity-driven reforms).60 Buku ini merupakan sebuah karya yang komperhensif dan teoritik dan menjadi pegangan bagi para pengambil kebijakan pendidikan di negara-negara OECD. Dalam karya ini pun, teori Carnoy ini digunakan untuk menjelaskan bentuk reformasi yang terjadi dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam studi yang lebih spesifik, Philip W. Jones dalam World Bank Financing of Education mengurai bagaimana kekuatan financial dan pengaruh yang dimiliki Bank Dunia membentuk kebijakan-kebijakan pendidikan di seluruh dunia. Karya yang berdasarkan analisis mendetail atas ratusan dokumen konfidensial Bank Dunia dan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh kunci Bank Dunia ini membeberkan evolusi kebijakan, proyek, dan program pendidikan Bank Dunia dari masa ke masa. Karya ini menggunakan aktor dalam melihat arah 60
Lihat Martin Carnoy. Globalization and Educational Reform: What Planners Need to Know. 1999. UN: Unesco, hal. 37-46
48
kebijakan pendidikan negara-negara yang dibawa oleh Bank Dunia. Jones membagi arah dan karakter kebijakan pendidikan Bank Dunia ke dalam beberapa periode, yakni (1) periode mendapatkan legalitas dan pengaruh yang dimuali dari tahun 1940an hingga 1950an, (2) periode dimana Bank Dunia mulai memasukan pendidikan dalam pembiyaan pinjamannya ditahun 1960-1963, (3) Periode percobaan pertama dalam proyek pendidikan pada tahun 1963-1968, (4) kebijakan pendidikan di masa McNamara (tahun 1968-1980), (5) pergeseran kebijakan pendidikan di tahun 1980an dari development ke reform, (6) periode kemenangan dari fundamentalisme pendidikan, dan periode terakhir yang diistilahkan sebagai periode ‘Dari Wolfensohn ke Wolfowitz”. Dalam karya ini pula Jones menemukan bahwa dalam rangka mendapatkan pengaruh kepada negara-negara peminjam, Bank Dunia (melalui dual elemennya: aktivitas proyek dan ‘nasehat’ kebijakan) menggelontorkan lebih banyak dana untuk masuk dan mengusai “world of idea”. Tidak terkecuali dalam pendidikan, Bank Dunia berinvestasi sangat besar untuk membentuk opini global tentang ekonomi, pembangunan, dan kebijakan-kebijakan sosial. Daripada memaksakan pandangan lewat negosiasi pinjaman yang spesifik, Bank Dunia lebih memilih untuk membiarkan para pemimpin negara-negara peminjam dalam cara berfikir mereka. Sementara, disis lain, kekuatan dan pengaruh iklim global terkait kebijakan pendidikan dan pembangunan yang telah “dibentuk” oleh Bank Dunia terlalu keras untuk dilawan.61 Literatur ini menjadi salah satu kerangka berfikir dalam penelitian ini yang mana dilihat bahwa struktur internasional 61
Philip W. Jones, World Bank Financing of Education: Lending, learning, and Development. 2007. New York: Routledge, hal 258-259.
49
memaksa aktor untuk berperilaku sesuai dengan tatanan atau, dalam bahasa Jones, iklim global. Secara lebih spesifik, hubungan antara bantuan luar negeri dan dampaknya terhadap pola pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia dijelaskan dengan cukup detail oleh Jo Bastianes dalam penelitianya tentang “International Assistance and State-University Relations”. Karya ini mengeksplorasi tujuan, upaya dan hasil dari bantuan internasional untuk pendidikan tinggi selama tiga dekade terakhir dan menyelidiki bagaimana bantuan tersebut telah mempengaruhi perubahan hubungan antara negara dan universitas. Penelitian Bastianes ini berfokus pada studi kasus Indonesia dan Bank Dunia. Bastiaens menunjukkan bagaimana bantuan internasional memfasilitasi dan secara aktif mendorong perubahan pola hubungan negara-universitas hubungan dari kontrol penuh negara menuju otonomi kelembagaan yang lebih besar. Melalui penggunaan sampel dari beberapa universitas di Indonesia dan analisis kritis terhadap hubungan antara donor internasional (Dutch Asistance dan Bank Dunia) dengan reformasi dalam negeri Indonesia, Bastiaens menunjukkan bagaimana sistem pendidikan Indonesia mampu melakukan diversifikasi sumber daya, menghasilkan pendapatan, dan menjadi semakin otonom dari pemerintah. Kemampuan tersebut menurut Bastianes tidak mungkin terjadi tanpa jalinan hubungan dengan bantuan internasional. Menurut Bastianes, “Tanpa dinamika dan, oleh karenanya, tanpa hubungan dengan bantuan internasional, sistem Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia secara umum akan tetap jauh tertinggal, kurang terdiferensiasi,
50
kurang fasilitas dan tenaga akademis ahli, tidak terdesentralisasi, dan kurang otonom dari pemerintah dan birokrasi negara.”62 Bastianes menemukan bahwa dalam kasus bantuan pendidikan oleh Bank Dunia, tujuan-tujuan kerjasama secara ekspilisit termasuk dukungan untuk memperkenalkan reformasi kebijakan dalam bentuk dan mekanisme yang lebih inovatif. Reformasi kebijakan tersebut secara spesifik didesain untuk merombak tata kelola perguruan tinggi secara serentak dengan istilah “Paradigma Baru Pendidikan”.63 Dalam komparasi sampel donor bantuan luar negeri Indonesia, Bastianes juga menyimpulkan bahwa Pinjaman pendidikan dari Pemerintah Belanda berhasil dalam menciptakan sinkronisasi akademik, namun gagal dalam usaha peningkatan manajemen perguruann tinggi. Sedangkan, disisi lain, Bank Dunia bermain dengan peran yang berbeda yaitu pada perombakan tata kelola dan pembangunan sistem pendidikan yang terdesentralisasi dan otonom. Hal ini merujuk pada perluasan core business Bank Dunia dalam menjadi “global knowledge sharing”. Karya Bastianes ini memiliki signifikansi dan relevansi yang sangat dekat dengan apa yang dibahas dalam penelitian ini. Pendekatan aktor yang dipakai untuk menganalisa pergeseran-pergeseran struktural pendidikan tinggi di Indonesia ini memberikan sebuah posisi literatur yang terang tentang bagaimana Bank Dunia berpengaruh pada pergeseran tujuan dan tata kelola pendidikan tinggi di Indonesia secara makro. Adapun penelitian yang penulis angkat, akan melihat
62
Jo Bastianes, International Assistance and State-University Relations, 2009. New York: Routledg, hal. 147. 63 Ibid, hal. 148.
51
relasi tersebut secara mikro dengan tetap berfokus pada fakta bahwa sistem pendidikan tinggi Indonesia adalah sebuah sistem integral. Di lingkup yang lebih kecil, penelitian ini merujuk pada penelitian tesis Arif Wicaksono dengan judul “Aktor Lokal dan Oda Jepang (analisis tentang interaksi dan tindakan politik aktor yang terkait dengan ODA Jepang dalam kasus relokasi dan pembangunan infrastruktur kampus Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin di Provinsi Sulawesi Selatan)”. Dalam penelitian ini, Wicaksono menemukan bahwa desentralisasi sangat mempengaruhi dan menentukan terbentuknya kepentingan, melalui sebuah jaringan koalisi strategis yang menciptakan interaksi yang khas dan mempengaruhi pembuatan kebijakan, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Dengan menggunakan pendekatan tindakan aktor, Wicaksono melihat bahwa dalam kasus relokasi dan pembangunan infrastruktur kampus Fakultas Teknik Unhas oleh ODA Jepang, “sangat sarat dengan berbagai kepentingan bisnis dan industry yang ada di Jepang, dan tidak dapat dilepaskan dari peran dan kepentingan aktor-aktor nasional Indonesia yang ikut memuluskan rencana dan kepentingan Jepang tersebut.”64 Sehingga jelas bahwa perubahan struktural berupa desentralisasi tidak pernah terlepas dari kepentingan dan keuntungan donator internasional. Hal ini yang juga akan menjadi pertanyaan penelitian yang akan diuraikan dalam penelitian ini. Studi-studi literatur ini memberikan pijakan dan posisi pemikiran sebagai kerangka dalam melihat bantuan luar negeri dan pengaruhnya terhadap pendidikan tinggi di Indonesia. 64
Arif Wicaksono. Aktor Lokal dan Oda Jepang. 2011. Yogyakarta: UGM. Thesis.
52
BAB III BANK DUNIA DAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA 1. Selayang Pandang Bantuan Luar Negeri untuk Pendidikan Tinggi Indonesia 1.1. Masa Orde Baru Dalam banyak kasus negara berkembang, tidak tersedianya sumber daya modal seringkali menjadi kendala utama pembangunan. Walaupun banyak negara berkembang yang sebenarnya memiliki sumberdaya alam potensial namun karena rendahnya tingkat pemobilisasian modal di dalam negeri maka potensi tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Terapat banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Diantara beberapa penyebabnya antara lain: (1) pendapatan per kapita penduduk yang umumnya relatif rendah, menyebabkan tingkat MPS (marginal propensity to save) rendah, dan pendapatan pemerintah dari sektor pajak, khususnya penghasilan, juga rendah; (2) lemahnya sektor perbankan nasional menyebabkan
dana
masyarakat, yang memang terbatas itu, tidak dapat didayagunakan secara produktif dan efisien untuk menunjang pengembangan usaha yang produktif; dan (3) kurang berkembangnya pasar modal, menyebabkan tingkat kapitalisasi pasar yang rendah, sehingga banyak perusahaan yang kesulitan mendapatkan tambahan dana murah dalam berekspansi.65 Dengan kondisi sumberdaya modal domestik yang sangat terbatas seperti itu, maka pemerintah negara-negara berkembang mencari sumber-sumber 65
Adwin Surya Atmadja, Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia: Perkembangan dan Dampaknya, Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No. 1, Mei 2000, hal. 86.
53
pendanaan lain yang dianggap mudah dan cepat. Solusi yang dianggap bisa diandalkan untuk mengatasi kendala rendahnya mobilisasi modal domestik adalah dengan mendatangkan modal dari luar negeri, yang umumnya dalam bentuk hibah (grant), bantuan pembangunan (official development assistance), kredit ekspor, dan arus modal swasta, seperti bantuan bilateral dan multilateral; investasi swasta langsung (PMA); portfolio invesment; pinjaman bank dan pinjaman komersial lainnya; dan kredit perdagangan (ekspor/impor). Modal asing ini dapat diberikan baik kepada pemerintah maupun kepada pihak swasta. Untuk kasus Indonesia, sepanjang sejarah perkembangan pendidikan dan pembangunan Indonesia sejak tahun 1970an, dana dari luar negeri baik berupa dana yang sifatnya bantuan ataupun hutang telah menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan. Saat-saat awal Orde Baru berkuasa, sepertiga pendapatan negara diperoleh dari dana hibah dan pinjaman luar negeri negara-negara barat dan Jepang. Hanya dalam kurun waktu 10 tahun di awal kekuasaan Orde Baru, hutang luar negeri Indonesia telah meningkat sepuluh kali lipat dari 2,4 miliyar Dollar AS pada 1967 menjadi 11,529 miliar pada 1977. Pada dekade selanjutnya hutang Indonesia menunjukan gejala peningkatan yang berarti dan pada dekade 1990-an terjadi peningkatan yang sangat tajam dalam hutang luar negeri Indonesia. Di penghujung kekuasaannya pada 1998, jumlah hutang pemerintah Indonesia mencapai 150 Miliyar Dollar AS.66 Perkembangan jumlah hutang luar negeri Indonesia ini secara rinci dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 1 : Perkembangan jumlah hutang luar negeri selama Orde Baru 19661998 (dalam milyar Dollar AS). 66
Laporan Interntional Crisis Group Asia No. 15 Jakarta/Brussel dalam International Crisis Group, “Kredit Macet: Politik Reformasi Keuangan Indonesia”, 13 Maret 2001.
54
1966
Jumlah Hutang -
1977
Jumlah Hutang 11.529
1988
Jumlah Hutang 50.720
1967
-
1978
13.038
1989
52.400
1968
-
1979
13.568
1990
63.953
1969
2.437
1980
14.870
1991
65.697
1970
2.778
1981
18.847
1992
73.359
1971
3.255
1982
23.438
1993
80.592
1972
3.617
1983
27.257
1994
96.500
1973
4.426
1984
30.265
1995
107.832
1974
8.443
1985
35.157
1996
110.171
1975
10.304
1986
41.592
1997
136.087
Tahun
Tahun
Tahun
1976 11.529 1987 49.529 1998 150.886 Sumber: Darmaningtyas, Utang dan Korupsi Racun Pendidikan, 2008, Jakarta: Pustaka Yashiba, hal.17 Pada zaman Orde Baru ini, kebijakan ekonomi nasional masih sangat berorientasi pada kestabilan makro ekonomi dan kestabilan politik. Pada masa ini perumusan arah kebijakan pendidikan nasional semata-mata diarahkan pada reproduksi dominasi paham pembangunan dan asas tunggal pancasila. 67 Segala kebijakan publik diatur dengan skenario besar dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Untuk merumuskan garis besar pendidikan nasional maka digelar Konferensi Cipayung yang bertugas untuk megidentifikasi masalah67
Dominasi ini mulai dari sistem perekrutan guru dan dosen, penunjukan pejabat hingga guru besar, kurikulum, sampai pada kultur riset dalam universitas. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Heru Nugroho dalam Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi: Universitas Sebagai Arena Perebutan Kekuasaan. Lihat Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakie (ed), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. 2006. Jakarta:
55
masalah pendidikan, menyusun prioritas kebijakan dan merancang alternatif pemecahan dalam strategi pendidikan nasional. Dari hasil konferensi itu maka dihasilkan kesimpulan identifikasi masalah pendidikan nasional yakni: 1. Pendidikan luar sekolah 2. Kurikulum sekolah dasar 3. Kurikulum sekolah menengah 4. Kurikulum pendidikan tinggi 5. Pembiayaan pendidikan 6. Sarana pendidikan Identifikasi ini akhrinya melahirkan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan pada 1 Mei 1969 melalui SK Mendikbud tanggal 26 Mei 1969 Nomor 033/1969 yang berisi amanat untuk segera dalam jangka waktu dua tahun harus sudah berhasil menyusun strategi pendidikan nasional.68 Langkah ini merupakan langkah yang sangat menentukan orientasi kebijakan pendidikan nasional Orde Baru. Program-program pendidikan jangka panjang, pendek, dan menengah dirancang untuk menaikan kualitas pembangunan Indonesia. Akan tetapi, proyek-proyek pendidikan dan kebudayaan ini ternyata tidak lepas dari campur tangan pendanaan luar negeri. Dari total pinjaman luar negeri sebesar 195,9 Miliar Dollar AS pada 1974/1975, alokasi dana untuk sektor pendidikan sebesar 7,8 juta Dolaar AS atau sekitar 4% dari total hutang. Dalam karyanya, “Pinjaman Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan di Indonesia”,
68
Muhammad Rifai’i, Sejarah Pendidikan Nasional, 2011, Yogyakarta: Ar-ruz Media, hal. 196197.
56
Siregar Muchtarudin mengemukakan data jumlah pinjaman luar negeri untuk sektor pendidikan, sebagai berikut: Tabel 2 : Jumlah Hutang Luar Negeri untuk Bidang Pendidikan 1974/751988/89.
1974/75
Jumlah Pinjaman 195,9
Pinjaman Untuk Pendidikan 7,8
Persentase Pendidikan 4,00
1979/80
1.316,3
42,8
3,25
1984/85
3.408,7
179,7
5,20
1986/87
3.794,7
345,6
9,10
Tahun
1988/89 5.997,6 779,5 13,00 Sumber: Siregar, Muchtarudin, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiyaan Pembangunan Indonesia. Dari data diatas ditemukan bahwa jumlah hutang untuk pendidikan pada masa Orde Baru terus mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. kenaikan drastis terjadi pada periode 1979/1980 dan 1988/89. Rasio antara jumlah hutang dan dana yang dialokasikan untuk pendidikan pun terlihat meningkat dari tahun ke tahun, kecuali pada tahun 1979/80 dengan persentase 3,25 untuk dana pendidikan. Selain itu dapat dilihat pula bahwa sektor pendidikan merupakan salah satu sektor yang paling diminati oleh para kreditor. Negara-negara kreditor seperti AS, Belgia, Belanda, Jepang, Jerman, Perancis, dan Swiss adalah negara-negara yang paling banyak mengivestasikan dananya untuk sektor pendidikan di Indonesia. Masa pengembalian hutang untuk pendidikan bervariasi antara 20 sampai 40 tahun dengan beban bungan antara 0 hingga 11%. Kreditor hutang
57
untuk pendidikan ini masuk melalui persyaratan hutang yang bervariasi seperti dapat dilihat dalam table dibawah ini: Tabel 3 : Persyaratan pinjaman luar negeri negara-negara donor dan lembaga multilateral untuk bidang pendidikan.
Jenis Pinjaman
Masa Pengembalian (Maturity-Tahun)
Masa Bebas Bunga
Suku Bunga
ODA
40
10
2-3%
EXIM BANK
25
7
3–5%
Belanda
ODA
30
8
2,5 %
Belgia
ODA
30
10
0%
Jepang
ODA
30
10
3%
Jerman
ODA
30
10
2%
Perancis
Campuran
20
5
5,5 %
ODA
50
10
1%
ADB
20-25
3-7
7 – 11 %
IBRD
20
5
8, 9,5 %
Sumber Bilateral AS
Swiss Multilateral
IDA 50 10 0 – 0,75 % Sumber: Muchtarudin Siregar, Pinjaman Luar Negeri dan Pembiyaan Pembangunan Indonesia melalui Darmaningtyas, Utang dan Korupsi Racun Pendidikan, 2008, Jakarta: Pustaka Yashiba, hal.27 Peningkatan hutang luar negeri ini memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan sektor pendidikan. Perkembangan ini diikuti dengan disahkannya UU Pendidikan pertama yakni UU No. 15 tahun 1961. Undangundang ini mendefinisikan misi Pendidikan Tinggi dan rincian Tri Dharma Perguruan Tinggi (Tiga Pilar Perguruan Tinggi Nasional): pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. UU ini juga mendorong diversifikasi program
58
pendidikan tinggi. Sebelum pengesahan UU ini, Perguruan Tinggi swasta tidak diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Dengan adanya pertauran ini maka Perguruan Tinggi swasta bersama dengan PTN distandarisasi dan masukan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Hal ini kemudian berdampak pada melonjaknya pendaftaran mahasiswa di Perguruan Tinggi yang memuncak selama 1970-an dan 1980-an. 69 Nizam (2006) mencatat bahwa populasi mahasiswa di lembaga pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi) meningkat dari sekitar 200.000 mahasiswa di tahun 1975 menjadi 2,5 juta orang mahasiswa pada tahun 1995.70 Perkembangan yang signifikan ini kemudian mendorong pembentukan lembaga-lembaga pendidikan tinggi baru oleh pihak swasta yang sebagian besar tanpa kemampuan yang cukup untuk menjalankan pendidikan yang berkualitas. Sebagian besar lembaga pendidikan tinggi swasta hanya menguntungkan kesempatan untuk merespon permintaan pendidikan tinggi. Sebagian besar mahasiswa masuk ke perguruan tinggi swasta setelah gagal untuk mengakses perguruan tinggi negeri. Ini menjelaskan mengapa terjadi peningkatan yang pesatnya dalam perkembangan perguruan tinggi swasta di Indonesia. Lebih dari 95 persen lembaga pendidikan tinggi di Indonesia adalah lembaga swasta. Sementara itu, perguruan tinggi swasta cenderung untuk membuka fakultas sosial dan humaniora karena dukungan keuangan mereka yang terbatas. Oleh pemerintah Orde Baru, kecenderungan ini dianggap tidak sesuai dengan prioritas
69
Singgih Tri Sulistiyono, Higher Education Reform In Indonesia At Crossroad melalui http://Dikti.go.id/files/atur/bhp/HEReform-Singgih.doc diakses pada 12 Juni 2012. 70 Nizam, ‘Indonesia: the need for higher education reform’, dalam Higher Education in SouthEast Asia, UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education. 2006. Bangkok: Unesco, Hal. 35–68.
59
kebijakan untuk mengembangkan perekonomian Indonesia khususnya sektor industri.71 Untuk memecahkan masalah ini, Depdiknas (pada waktu itu adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) melalui Dikti meluncurkan Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang I (HELTS) untuk periode 1975-1985. Pada HELTS I ini terdapat beberapa masalah yang akan menjadi prioritas program yakni, pertama, pendidikan tinggi (baik negeri maupun swasta) harus menekankan pada aspek relevansi dengan mengakui kebutuhan untuk membangun hubungan yang kuat dengan pembangunan daerah dan nasional. Sebagai akibat dari paradigma ini, pada periode ini pertumbuhan pendidikan teknik di perguruan tinggi dalam bentuk pendidikan politeknik meningkat begitu pesat. Pertumbuhan pesat politeknik ini tidak lepas dari dukungan pinjaman luar negeri seperti dari Jerman, Swiss, International Development Agency (IDA), Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD), Bank Pembangunan Asia (ADB). Lembaga-lembaga tersebut memberikan kredit kepada pemerintah Indonesia.72 Sekitar dua puluh tiga politeknik didirikan dan semuanya melekat pada perguruan tinggi negeri yang ada. Relevansi yang masih lemah dari pendidikan tinggi juga dicoba untuk dipecahkan dengan mengembangkan PIP (Pola Ilmiah Pokok / Pola Ilmiah Primer) sebagai pendekatan baru universitas dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dan pembangunan.
71
Buchori & Malik, “The Evolution of Higher Education in Indonesia”, dalam: Altbach & Umakoshi (ed), Asian Universities, hal. 265. 72 Singgih Tri Sulistiyono , Higher Education Reform In Indonesia At Crossroad melalui http://Dikti.go.id/files/atur/bhp/HEReform-Singgih.doc diakses pada 12 Juni 2012.
60
Prioritas kedua yakni Departemen Pendidikan melalui Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi
(Ditjen
Dikti)
menetapkan
kerangka
kerja
untuk
pengembangan pendidikan tinggi. Kerangka kerja ini bekerja sebagai panduan dasar untuk membakukan sistem pendidikan nasional yang lebih tinggi. Ini meliputi struktur program akademik (sarjana dan pascasarjana), pemerintahan, dan peran dan tanggung jawab anggota fakultas. Sebuah sistem dual-akademik dan kejuruan juga dimulai pada periode yang sama. Menurut kerangka kerja ini, program akademik terdiri dari gelar empat tahun sarjana (strata 1-S1), tingkat dua tahun Guru (strata 2-S2) dan tiga tahun program doktor (Strata 3-S3). Program kejuruan menawarkan satu sampai empat tahun non-gelar tempat pelatihan. Dapat dikatakan bahwa perubahan mendasar yang diambil oleh Dikti ini menampilkan akhir dari pengaruh Eropa continental dalam sistem pendidikan Indonesia. Pada akhir tahun 1970-an, pemerintah mengadopsi sistem bergaya AS termasuk sistem, akumulasi kredit poin dalam kurikulum. Seorang mahasiswa dari program diploma tiga tahun disyaratkan untuk menyelesaikan 110 hingga 120 unit kredit. Seorang mahasiswa gelar sarjana (S1) harus menyelesaikan 144-160 unit kredit. Perubahan signifikan bisa ini bisa dikaitkan dengan sejumlah besar anggota fakultas dan birokrat yang belajar di Amerika Serikat. Selai itu, sistem kredit juga lebih diinginkan karena memonitor kinerja siswa dengan mudah dan mengurangi masa studi.73 Pergeseran dalam sistem pendidikan ini menjadi 73
Teguh Yudo Wicaksono dan Deni Friawan , Recent Developments in Higher Education in Indonesia: Issues and challenges dalam Shiro Armstrong dan Bruce Chapman (ed) Financing Higher Education and Economic Development in East Asia, 2011, Australia: ANU E Press, hal 160
61
pertanda bahwa pemerintah mulai mereorientasi peran Pendidikan Tinggi ke dalam penciptaan pekerja terampil dan menanggapi perubahan pasar tenaga kerja. Namun pada kenyataannya, program peningkatkan kualitas dan efisiensi ini bukan tugas yang mudah. Untuk meneruskan tuntutan pasar dan donatur yang menginginkan reformasi pendidikan tinggi di Indonesia, Dikti menyusun rencana sepuluh tahun yang baru (1986-1995). Isi dari HELTS II ini secara umum hanya meneruskan penyelesaian masalah yang belum selesai dilaksanakan melalui HELTS I. Hal ini dapat dilihat studi yang dilakukan oleh Dikti dan JBID (Japan Bank for International Development) pada tahun 2003 menunjukkan sejumlah perguruan tinggi negeri terkemuka baru dapat mencapai 25 persen efisiensi internal pada tahun 2000. Sedangkan pada tahun 1980, belum ada universitas di Indonesia yang bisa mencapai 20 persen efisiensi internal.74 Dalam selang waktu waktu pelaksanaan HELTS I dan HELTS II ini, pemerintah didanai secara besar-besaran oleh lembaga-lembaga internasional. Dengan total dana sebesar 1.091.941.000 Dollar AS, pendidikan tinggi benarbenar diarahakan untuk menjawab kebutuhan tenaga kerja pada era Orde Baru. Lembaga keuangan multilateral tersebut memberikan hutang untuk melaksanakan proses diferensiasi internal yang, di satu sisi, memunculkan penelitian akademis yang terfokus dan spesialisasi mengajar di beberapa bidang dan pada beberapa jurusan/departemen, tetapi di sisi lain, juga meninggalkan disiplin lain dan departemen sebagian besar belum terjamah. Secara keseluruhan, ilmu-ilmu pasti dan/atau ilmu-ilmu terapan (misalnya penelitian pertanian, bioteknologi, bisnis, 74
Lihat Buchori & Malik, “The Evolution of Higher Education in Indonesia”, dalam: Altbach & Umakoshi (ed), Asian Universities, hal. 259.
62
dan ilmu komputer) mendapat perhatian dan sokongan dana yang lebih dari donor dibanding disiplin ilmu sosial atau humaniora (seperti filologi, filsafat, ilmu sosial, seni, dan lain-lain). Perubahan akademik di program studi serta restrukturisasi program studi dan departemen internal menjadi fokus utama pendanaan internsional. Secara umum, bantuan luar negeri dalam pendidikan tinggi di Indonesia dalam kurun waktu 1975-1997 yang diberikan oleh lembag-lembaga donor multilateral dapat dilihat dalam tabel ini:
Table 4 : Pendanaan Donor Multilateral untuk Pendidikan Tinggi di Indonesia (1975–1997). Tahun Nama Proyek
Donor
Jumlah Yang
1975
Institute Teknologi Surabaya
ADB
Dicairkan 14.500.000
1978
Politeknik
IIDA
4.900.000
1979
Universitas Hasannuddin
ADB
25.000.000
1981
University Development I
IBRD
43.060.000
1981
Universitas Sumatera Utara
ADB
26.000.000
1983
Politeknik II
IBRD
106.000.000
1985
Universitas Sriwijaya
ADB
37.900.000
1985
University Development II
IBRD
147.000.000
1988
HEDP I
IBRD
133.317.000
1988
Pendidikan Ilmu Kelautan
ADB
37.900.000
1990-6 Universities Development Program
ADB
114.000.000
1991
HEDP II
IBRD
150.000.000
1993
Higher Education Project
ADB
102.584.000
1994
University Research Graduate Educ.
IBRD
38.300.000
63
1996
Development of Undergraduate Education
IBRD
55.750.000
1997
Quality of Undergraduate Education
IBRD
55.730.000
Total:
1.091.941.000,-
Sumber: Jo Bastianes, International Assistance and State-University Relations, 2009. New York: Routledge, hal. 165 1.2 Masa Reformasi Jatuhnya pemerintahan Orde Baru memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Dikti untuk mempercepat agenda reformasi pendidikan manajemen yang lebih tinggi atau otonomi kampus. Otonomisasi kampus yang sebelumnya telah didesak untuk dilaksanakan sejak tahun 1994 namun terhambat oleh program sebelumnya yang masih didasarkan pada paradigma sentralistik. Indonesia yang sejak 1995 telah menjadi anggota WTO dengan diratifikasinya semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No, 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata-perdagangan barang, jasa dan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Maka disaat-saat reformasi ini, lembaga donor asing (terutama IMF) cenderung memanfaatkan euforia reformasi setelah jatuhnya Suharto dan memburuknya perekonomian Indonesia dengan menerapkan paket reformasi yang lebih luas termasuk deregulasi dan privatisasi.75 Perlindungan ekonomi dan subsidi pemerintah dipaksa untuk dihapuskan. Program Privatisasi juga harus diterapkan
75
kepada
BUMN
monopoli
dalam
perbankan,
pertambangan,
Revrisond Baswir, Bahaya Neoliberalisme, 2009, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 72.
64
transportasi, pertanian, listrik, dll.76 Terkhusus untuk reformasi pendidikan tinggi, Konferensi Dunia tentang Pendidikan Tinggi yang digelar di Markas UNESCO di Paris pada bulan Oktober 1998, misalnya, mendesak kepada semua negara di dunia, termasuk pemerintah mereka, parlemen dan para pengambil keputusan lainnya untuk membangun kerangka kerja legislatif, politik dan keuangan untuk reformasi pengembangan pendidikan tinggi.77 Tuntutan perdagangan bebas untuk sektor pendidikan juga sedang begitu masif untuk diterapkan ke negara-negara Dunia Ketiga. Bergesernya paradigma ekonomi dari ekonomi berbasis bahan baku menjadi
ekonomi berbasis ilmu
pengetahuan (knowledge based economy)78 membuat negara-negara berkembang didesak untuk membuka sektor-sektor jasanya. Tuntutan ini juga didukung oleh enam negara lainnya yang telah meminta Pemerintah Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Adapun sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan sumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. Cina bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran cina. Pada tahun 2000, melalui WTO Indonesia telah mengikat diri dan terlibat dalam perundingan liberalisasi perdagangan tersebut dalam kerangka Putaran Doha. Pada putaran tersebut telah diputuskan bahwa GATS mencakup 12 bidang 76
Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang. 2006, Yogyakarta: Resist Book hal. 31. “World Conference on Higher Education in the Twenty-first Century: Vision and Action” dokumen lengkap dapat diakses melalui http://unesdoc.unesco.org/images/0011/001164/116428e.pdf 78 Simon Marginson dalam Global Comparisons and the Univesity Knowledge Economy menjelaskan bahwa untuk menjadi Universitas yang kompetitif di dunia global, Universitas harus mentrasformasi dirinya menjadi universitas riset yang memadukan dua nilai utama yaitu economic value dan status value. Menurut Marginson, kedua nilai ini dapat menjadi daya saing utama dalam pasar global. Lihat, Laura M. Portnoi dkk (Ed), Higher Education, Policy, And Global Competition The Phenomenon, 2010, New York: Palgrave Macmillan, hal. 29. 77
65
jasa, termasuk pendidikan. Selanjutnya pada Putaran Hong Kong (2005) dibahas langkah-langkah untuk meningkatkan komitmen untuk melaksanakan keputusan Doha dengan meminta kepada masing-masing negara anggota untuk menawarkan atau melakukan “offering” sektor-sektor yang akan diliberalisasi. Walaupun ditentang oleh banyak pihak termasuk Forum Rektor Indonesia79, Indonesia tetap menawarkan 5 sektor jasa, yaitu konstruksi, telekomunikasi, bisnis, angkutan laut, pariwisata, dan keuangan. Pada Putaran Hong Kong, Indonesia telah memasukkan lagi sektor jasa pendidikan dan menawarkan liberalisasi jasa-jasa pendidikan berikut:80 1. jasa pendidikan menengah teknikal dan vokasional; 2. jasa pendidikan tinggi teknikal dan vokasional; 3. jasa pendidikan tinggi; 4. jasa pelatihan dan kursus bahasa; 5. jasa pendidkan dan pelatihan sepakbola dan catur. Akhirnya, Melalui ratifikasi itu akhirnya Indonesia harus meliberalisasi sektor pendidikannya dengan melakukan perubahan-perubahan sistemik dalam sistem pendidikan nasional. Perombakan itu meliputi model penyediaan jasa (termasuk pendidikan) yang telah diidentifikasikan oleh WTO, sebagai berikut81:
79
“Forum Rektor Tolak Liberalisasi Pendidikan” Kliping Koran Suara Pembaharuan tanggal 1 Desember 2005 diakses melalui http://www.ui.ac.id/download/kliping/021205/Forum_Rektor_Tolak_Liberalisasi_Pe ndidikan.pdf 80 Prof. Dr. Sofian Effendi dalam “GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi” diakases melalui http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/Strategi-Menghadapi-Liberalisasi-Pendidikan-Tinggi.pdf pada 13 Juli 2012 81 N.V Varghese, Higher Education Aid: Setting Priorities and Improving effectiveness, 2010, Journal of International Cooperation in Education, Vol. 13 No. 2, hal. 190.
66
1. Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan
kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree program, atau Mode 1. 2. Consumption abroad adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi
yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri atau Mode 2. 3. Commercial presence atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan
membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal, atau Mode 3. 4. Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada
lembaga pendidikan lokal, atau Mode 4. Oleh pemerintah, program peningkatkan otonomi universitas sebagai langkah awal untuk menerapkan privatisasi pendidikan tinggi ini dianggap sejalan semangat reformasi. Dikti sendiri melihat tuntutan privatisasi dan deregulasi pendidikan tinggi ini sejalan program sebelumnya yakni untuk melaksanakan reformasi dengan menerapkan paradigma baru (New Paradigm) dimana otonomi kelembagaan dan akuntabilitas menjadi isu strategis dalam arah baru pendidikan ini. Paradigma Baru Pengelolaan Pendidikan Tinggi ini diperkenalkan oleh Dikti sebagai bagian dari tema utama KPPT-JP III [1996-2005]. Paradigma ini menghendaki agar seluruh kegiatan yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan tinggi harus menjadikan kualitas berkelanjutan sebagai ‘icon’- nya. Untuk mewujudkan icon ini, terdapat empat pilar utama yang harus dibangun dalam suatu institusi pendidikan tinggi, yaitu: sistem evaluasi (termasuk evaluasi diri), otonomi, akuntabilitas, dan akreditasi.
67
Menurut paradigma baru ini, otonomi perguruan tinggi harus senafas dengan
akuntabilitas/pertanggungjawaban.
Namun
demikian,
akuntabilitas
internal belum dianggap memadai kecuali hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang handal dan terpercaya mengenai penyelenggaraan, kinerja dan hasil perguruan tinggi, diaktualisasi melalui proses akreditasi baik oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) maupun lembaga eksternal lainnya yang relevan. Paling tidak terdapat tiga konsekuensi utama dari penerapan Paradigma Baru di atas, yaitu perubahan sistem akreditasi yang dilakukan BAN, pola penganggaraan pendidikan tinggi negeri, dan perubahan pola perencanaan kerja pada institusi pendidikan tinggi. Jika sebelumnya di dalam proses akreditasi, BAN hanya mendasarkan penilaiannya pada Borang Akreditasi selain hasil verifikasi
dengan kunjungan
lapangan,
kini
program
studi
yang
akan
diakreditasi diwajibkan untuk menyampaikan laporan hasil evaluasi diri dan portfolio
lembaga
sebagai
prasyarat untuk dapat dinyatakan layak untuk
dievaluasi dalam rangka proses akreditasi. Dalam hal penganggaran, pola lama yang nuansanya lebih banyak ke pola alokasi berangsur-angsur digeser oleh pola kompetisi. Contoh pola penganggaran kompetisi semacam ini adalah QUE, DUE, TPSDP, DUE-Like, Semi- QUE, SP4, Program A1, Program A2, Program A3, Program B dan IMHERE. Pola penganggaran semacam ini semuanya menempatkan Laporan Hasil Evaluasi Diri sebagai landasan program-program yang akan diajukan untuk didanai. Sistem akuntabilatasnya pun berubah dari sekedar pertanggung jawaban legal formal keuangan menjadi pertanggungjawaban kinerja. Tujuan
68
akhir dari program penganggaran semacam ini adalah pendanaan dengan sistem block grant kepada institusi pendidikan tinggi. Walaupun demikian, sampai saat ini sistem block grant ini belum sepenuhnya dapat diwujudkan oleh Dikti karena masih dibutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan tambahan. Untuk mencapai tujuan itu, dasar hukum reformasi pendidikan tinggi telah dikeluarkan sebelumnya oleh pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 61/1999 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN). Pada tahun 2003, dilakukan revisi UU sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). UU Siskdinas sebelumnya (UU Nomor 2 tahun 1989) dinilai tidak sesuai lagi dengan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Tuntutan otonomi daerah dan tuntutan reformasi pendidikan itu kemudian melahirkan UU Nomor 23 tahun 2003 tentang sistem pandidikan nasional. Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini merinci arah kebijakan pendidikan nasional. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa: (i) Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan (ii) Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Acuan lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam PP ini disebutkan bahwa perguruan tinggi diharapkan memainkan peran sebagai pusat penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tinggi serta pemeliharaan pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi
69
dan/atau kesenian sebagai suatu masyarakat ilmiah yang penuh cita-cita luhur, masyarakat berpendidikan yang gemar belajar dan mengabdi kepada masyarakat serta melaksanakan penelitian yang menghasilkan manfaat yang meningkatkan mutu kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dan bernegara. Atas dasar UU Sisdiknas yang baru inilah, terkhusus untuk pendidikan tinggi, kemudian dijabarkan ke dalam sebuah Rencana Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (2003–2010) atau
Higher Education Long Term Strategy
(HELTS) disusun oleh Dikti. HELTS 2003-2010 ini difokuskan pada penguatan kualitas, akses yang adil, dan otonomi dengan mengkonsolidasikan Paradigma Baru dan bergerak menuju sistem pendanaan berbasis kinerja. Secara singkat tujuan utama dari HELTS adalah:82 1. Meningkatkan daya saing bangsa 2. Universitas otonomi dan desentralisasi 3. Meningkatkan kesehatan organisasi universitas Seperti telah diuraikan di atas, dalam paradigma baru pendidikan ini, pendekatan yang dilakukan untuk pengembangan kapasitas perguruan tinggi telah pula mengalami pergeseran dari pendekatan investment based program menjadi pendekatan outcome based program yang dirancang dalam suatu competitive funding mechanism.
Permasalahan disparitas kualitas perguruan tinggi yang
cukup besar sebagai akibat dari pendekatan sentralistik di masa Orde Lama, juga telah dipertimbangkan dalam mekanisme pendanaan kompetitif tersebut dengan sistem tiered competition. Adapun jumlah perguruan tinggi di era reformasi ini 82
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Strategi Pendidikan Tinggi Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003 – 2010: Mewujudkan perguruan tinggi berkualitas, 2004. Jakarta: Dikti
70
terus meningkat. Hingga tahun 2004, jumlah perguruan tinggi di Indonesia telah mencapai angka 2235 perguruan tinggi dengan berbagai bentuknya.
Tabel 5 : Jumlah PT untuk masing-masing bentuk perguruan tinggi No. 1. 2. 3. 4. 5.
Bentuk Perguruan Tinggi Politeknik Akademi Sekolah Tinggi Institut Universitas Jumlah
PTN
PTS
25 --10 46 81
89 715 1043 43 345 2235
Sumber: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Strategi Pendidikan Tinggi Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003 – 2010: Mewujudkan perguruan tinggi berkualitas, 2004. Jakarta: Dikti, hal. 13 Akan tetapi, peningkatan kuantitas perguruan tinggi ini tidak berbanding lurus dengan angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia. Tahun 2001 hingga tahun 2005 angka partisipasi hanya berkisar antara 14,9 % hingga 16,9 %. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 1: Tren tingkat partisipasi tersier kasar di institusi-institusi pendidikan publik dan swasta, 2001-2008.
Sumber: Modul Inti SUSENAS 2001-2008 dalam Naskah Kebijakan Bank Dunia, Indonesia: Pembiayaan Pendidikan Tinggi. 2010. Jakarta: Bank Dunia, hal. 1 71
Kesenjangan akses, kuantitas, dan kualitas inilah yang menjadi fokus utama Untuk mengatasi tantangan dan masalah-masalah pendidikan tersebut, pemerintah banyak melakukan kerjasama bantuan dan kebijakan dengan Bank Dunia. Baik dalam hal reformasi sistem pendidikan maupun pelaksanaan operasional dalam bentuk technical assistance. Bank dunia memiliki pengaruh dan andil besar dalam mendorong restrukturisasi pendidikan Indonesia. Adapun hal ini akan dibahas lebih dalam pada bagian selanjutnya.
2. Kiprah Bank Dunia dalam Pendidikan Tinggi Indonesia 2.1 Mekanisme dan Jenis Bantuan Bank Dunia
Bank Dunia merupakan badan publik internasional yang dimiliki dan diatur oleh negara-negara anggotanya. Walaupun sering hanya disebut sebagai “Bank Dunia”, sebenarnya Bank Dunia bukanlah sebuah organisasi keuangan tunggal yang berdiri sendiri, melainkan terdiri lima perpanjangan tangan yang terpisah yang disebut Kelompok Bank Dunia atau The World Bank Group. Dua dari tangan tersebut, The International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) - Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan; serta The International
Development
Association
(IDA)-
Asosiasi
Pembangunan
Internasional – bekerja dengan pemerintah negara-negara. Kedua bank inilah yang secara umum dikenal sebagai “the World Bank” atau “Bank Dunia”. Kedua tangan lainnya - the International Finance Corporation (IFC)- Kerjasama
72
Keuangan Internasional; dan the Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA)- Lembaga Penjamin Investasi Multilateral – yang secara langsung memberikan dukungan terhadap bisnis swasta yang ada di negara-negara berkembang dan negara transisi. Sementara, tangan kelima adalah the International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) – Pusat Penyelesaian Sengketa Investasi Internasional-, yang menjadi ajang arbitrase jika terjadi sengketa antara investor asing dan pemerintah. Kelompok Bank Dunia ini setiap tahunnya menyediakan milyaran dolar AS untuk pinjaman, hibah, dan macam-macam bantuan keuangan dan teknis kepada pemerintah dan perusahaanperusahaan swasta di Afrika, Asia, Timur Tengah, Amerika Latin, serta Eropa Timur. Aktivitas Kelompok Bank Dunia ini mempengaruhi undang-undang dan peraturan, anggaran pemerintah, serta keputusan-keputusan investasi sektor swasta di negara-negara diseluruh dunia83 karena pada prinsipnya, Bank Dunia adalah agen regulasi ekonomi global berbentuk bank dan memberikan pinjaman (dengan berbagai syarat), bukan pemberi donor.84 Sejak berdirinya pada tahun 1946, Bank Dunia telah menjadi “sebuah lembaga konservatif yang mendanai infrastruktur dan investasi dasar lainnya di negara-negara kurang berkembang."85 Sejak 1968, ketika Robert McNamara menjadi Bank Presiden, telah tertarik dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi modal. Investasi pendidikan bukanlah wilayah investasi yang 83
Bank Information Center toolkit for activist, hal. 1-2 diakses melalui http://www.bicusa.org/toolkit 84 Peran Bank Dunia sebagai Bank dan agen kapitalisme global dijelaskan dalam Carlos Torres, Education and Neoliberal Globalization, 2009, New York: Routledge, hal. 30-33. 85 James Bovard, “The World Bank and the Impoverishment of Nations” dalam Doug Bandow dan Ian Vásquez (editors) melalui Carlos Torres, Education and Neoliberal Globalization, 2009, New York: Routledge, hal. 30.
73
paling penting dari Bank Dunia, khususnya jika dibandingkan dengan, misalnya, investasi di bidang infrastruktur.86 Dalam menjalankan kerjasama bantuan, biasanya negara peminjam mengajukan proposal bantuan Bank dunia yang berisi usulan proyek-proyek. Di sisi lain, Bank Dunia mempunyai prioritas sendiri, yang dapat terlihat dari strategi-strategi sektor, negara dan regional. Kertas Strategi Pengurangan Kemiskinan/The Poverty Reduction Strategy Paper (PRSP), disiapkan oleh pemerintah dari miskin atau berkembang dengan inisiatif dari Bank Dunia, yang menggambarkan target jangka pendek pengurangan angka kemiskinan negara terkait. Strategi Bantuan Bank Dunia (Bank’s Country Assistance Strategy (CAS)) atau yang setara dengannya, menggambarkan rencana aktifitasnya di negaranegara tertentu selama lebih dari 3-5 tahun. Negara pemberi pinjaman yang tergabung dalam Dewan Direktur Bank Dunia harus memiliki jaminan bahwa kepentingan mereka dapat tercapai melalui kerja-kerja Bank Dunia. Apa yang terjadi di negara-negara peminjam (recipient) adalah hasil dari interaksi berbagai kepentingan ini. Bank Dunia selalu menyatakan bahwa semua proyek yang didukungnya di sebuah negara selalu diminta oleh pemerintah yang bersangkutan atau dihasilkan dari visi pembangunan negara tersebut. Namun kenyataannya, pemerintah negara peminjam dan/atau publik seringkali tidak memiliki pengaruh yang cukup atas penyusunan dokumen kunci strategis yang menjadi pedoman Bank Dunia di 86
Perubahan dramatis terjadi pada periode Robert McNamara sebagai presiden Bank Dunia khususnya terkait pada kebijakan sektor pendidikan. McNamara membuka pinjaman yang lebih untuk sektor pendidikan. McNamara melihat pendidikan sebagai faktor yang harus diperhatikan dalam pembangunan, lihat bab “Education in the McNamara years 1968-80” dalam Phillip W. Jones, World Bank Financing of Education, 2007, New York: Routledge, hal. 78-122
74
negaranya. Begitupun, pengaruh masyarakat sipil pada substansi dokumendokumen kebijakan seperi PRSP dan CAS sangat terbatas. Padahal implementasi kebijakan strategis Bank Dunia, melalui riset dan analisa, investasi proyek, serta pinjaman untuk perubahan kebijakan, sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah serta agenda dari donor lain.87 Dalam kerja-kerjanya Bank Dunia memberikan bantuan dalam berbagai jenis pinjaman. Secara sederhana, Bank Dunia memakai bentuk-bentuk formal pinjaman, seperti:88 a.
Perjanjian Pinjaman (Loan Agreement) Perjanjian ini diadakan antara dua pihak debitur (peminjam) dengan pihak kreditur (Bank Dunia) dimana Bank Dunia telah menyetujui pinjamannya.
b.
Perjanjian Jaminan (Guarantee Agreement) Perjanjian ini diadakan oleh Bank dengan negara anggota dimana negara anggota tersebut telah menyetujui untuk memberikan jamin atas pinjaman dari Bank Dunia.
c.
Perjanjian Proyek (Project Agreement) Perjanjian ini diadakan antara Bank Dunia dengan pelaksana dariproyek yang dibiayai oleh Bank Dunia dimana si pelaksana tadi bukanlah si peminjam.
d.
Perjanjian Penerusan Pinjaman (Subsidiary Loan Agreement)
87
Ibid, hal. 12. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., Tanggung Jawab bank Dunia dan IMF sebagai Subjek Hukum Internasional. 2009, Jakarta: Sofmedia, hal. 172. 88
75
Perjanjian ini diadakan apabila negara peminjam meminjamkan lagi pinjamannya tersebut kepada pihak lain, misalnya Pemerintah Pusat meminjamkan dana pinjaman yang diperoleh dari Bank Dunia kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha milik Negara, untuk melaksanakan proyek yang telah dibiayai oleh Bank Dunia. e.
Surat Penjelasan (Suplementary Letters) Surat penjelasan ini kadang-kadang diperlukan untuk melengkapi perjanjian-perjanjian di atas, sehingga karena sifatnya merupakan penjelasan pelengkap bagi perjanjian.
f.
Pengaturan Kontrak Tambahan (Additional Contractual Agreement) Kadang-kadang dibutuhkan suatu pengaturan tambahan yang diperlukan untuk
mengatur
masalah-masalah
khusus,
misalnya:
pengaturan
pinjaman, seperti pembuatan akte notaris dan cara pembayaran. g.
Dalam hal tertentu, mungkin adanya suatu kontrak yang sangat kompleks antara pemerintah dan pihak swasta sebagai pelaksana proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia. Bank Dunia di sini akan ikut mengawasi, walaupun bukan sebagai pihak dalam kontrak yang demikian, namun Bank Dunia berkepentingan dalam hubungannya dengan pinjaman yang diberikan. Bank Dunia perlu memberikan persetujuan atas kontrak yang sedemikian ini.
76
2.2 Sejarah Bantuan Bank Dunia untuk Pendidikan Tinggi di Indonesia Pada bulan Februari 1967 di Amsterdam sejumlah negara dan lembaga donor sepakat membentuk Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) dibawah pimpinan Belanda. Forum
inilah yang selama lebih dari 30 tahun
kemudian menjadi tumpuan utama bantuan luar negeri Pemerintah Indonesia untuk menutup defisit anggaran. Selain itu, seiring dengan bergabungnya kembali Indonesia ke PBB, Indonesia juga bergabung ke IBRD, IDA, IMF dan ADB. Pada awal 1968, Bank Dunia telah membuka perwakilannya di Jakarta. Dengan pembukaan perwakilan ini, Bank telah memposisikan dirinya secara strategis untuk memfasilitasi dialog kebijakan makroekonomi yang luas dengan pemerintah Indonesia, yang akan segera ditindaklanjuti di berbagai sektor dan sub sektor kegiatan Bank. Di awal kerjasama ini, dimulai dialog tentang perencanaan pendidikan nasional (selanjutnya membahas tentang perencanaan pendidikan tinggi) dan peluang pinjaman serta bantuan yang dapat dilakukan oleh kedua pihak. Dalam perkembangannya, tercapai kesepakatan yang lebih luas antara officer senior dialog di Bank dan di birokrasi Indonesia (yaitu BAPPENAS, Departemen Keuangan, dan Depdikbud), bahwa pendidikan merupakan sektor kunci dalam pembangunan negara ekonomi dan sosial. Kemudian kegiatan hulu di tingkat sub-sektor (misalnya dalam pendidikan tinggi) pada dasarnya akan membangun konsensus dasar yang disepakati ini. Selanjutnya, dialog dilanjutkan dengan pemahaman awal bersama pemerintah tentang apa peran dan ambisi Bank Dunia terhadap kondisi pendidikan
77
di Indonesia.89 Bahkan sebelum bantuan pendidikan dari negara-begara donor lain masuk ke Indonesia, Bank Dunia telah menyatakan bahwa fokus Bank Dunia tidak hanya pada investasi atau “perpindahan uang”, tetapi juga akan berusaha untuk memainkan peran utama dalam bidang-bidang yang lebih spesifik seperti manajemen pendidikan, bantuan teknis, dan analisis sektor pendidikan. Keterlibatan lebih Bank Dunia dalam bidang pendidikan ini di dasarkan pada pemikiran tentang masalah-masalah mendasar dalam pendidikan, misalnya pendanaan publik (yaitu argumen kurangnya alokasi dana untuk pendidikan), akses pendidikan (ketidakadilan dan ketidakmerataan pembangunan) dan perlunya perencanaan, manajemen, dan koordinasi yang lebih baik (peningkatan efisiensi). Keterlibatan dan kepentingan Bank Dunia dalam sektor pendidikan ini terlihat dari alokasi dana bantuan untuk sektor pendidikan yang menempati posisi ketiga setelah investasi dalam di sektor infrastruktur dan pertanian seperti yang nampak pada table berikut:
Tabel 6 : Distribusi sektor pendanaan Bank Dunia, Tahun Fiskal 1969-1998 Sektor Infrastruktur Pertanian Pendidikan/Kesehatan, Nutrisi & Populasi Urban/Sanitasi suplai air bersih Sektor Keuangan Program
US $ M 1969-98
% 1969-98
% % % 1969-79 1980-89 1990-98
10,196 4,880 3,301
40,2 19,2 13
36,9 34,8 7,3
34,3 24,7 1,6
46,9 9,5 16
2,624
10,4
6,1
6,6
15,1
1,818 1,200
7,2 4,7
6,6 --
10,4 8,7
4,2 2,2
89
Jo Bastianes, International Assistance and State-University Relations, 2009. New York: Routledg, hal. 46.
78
Perubahan/Adjusment Lainnya Total
1,351 25,370
5,3 100
8,3 100
3,7 100
6,1 100
Sumber : World Bank Brief on Indonesia, www.worldbank.org/eap dalam Kurnya Roesad, ODA in Indonesia: A Preliminary Assessment, 2001, Economics Working Paper Series. Bank Dunia kemudian menyelenggarakan survei pendidikan pertama pada tahun 1973, pada saat pemerintah Indonesia mengantisipasi ekspansi yang signifikan dari investasi pemerintah di sektor sosial. Laporan yang juga memberikan penilaian yang komprehensif dari sistem pendidikan, dan menyarankan garis besar program investasi sebagi masukan bagi REPELITA II, (1974-1979). Dalam laporan tersebut, Bank Dunia mendiagnosa inefisiensi yang ada (tingkat drop out yang tinggi, duplikasi program dan fasilitas, kurangnya koordinasi antar fakultas dan lembaga induk) hingga sampai pada kesimpulan bahwa "banyak sumber daya yang dihabiskan untuk pendidikan tinggi yang terbuang".90 Dengan pendekatan itu kemudian, Bank Dunia mulai menjalankan strategi dan proyek pendidikannya dalam pendidikan tinggi Indonesia. Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga memiliki agenda dan tujuan pendidikannya. Hasil dari pertemuan kepentingan ini akhirnya mempengaruhi hubungan struktural antara negara dan universitas. Sejalan dengan semakin kuatnya tuntutan untuk reformasi dan otonomisasi (yang dapat dilihat dari arus otonomi daerah pasca reformasi), hubungan antara sentraliasasi negara dan universitas mencapai titik perubahan yang ekstrim ketika diterapkannya “Paradigma Baru” pendidikan tinggi. Dimana 90
World Bank, Indonesia Education Sector Survey Report. 1975. Washington D.C ; World Bank, hal. 60.
79
kontrol negara telah digeser menjadi mekanisme pengambilan keputusan yang terdesentralisasi. Secara lebih jelas, kronologi tarik menarik kebijakan antara pemerintah dan Bank Dunia dalam hubungannya dengan hubungan kontrol negara pada pendidikan tinggi dapat dilihat dalam tabel kronologi berikut: Tabel 7 : Strategi Bank Dunia dalam Pendidikan Tinggi Indonesia dan pengaruhnya terhadap hubungan antara Negara dan universitas. Agenda dan Tujuan Pemerintah 1975-84 Manpower Planning Perluasan untuk pemerataan - Untuk mendirikan - Perluasaan - Pembangunan politeknik baru atau keterjangkauan institusi baru perluasan fasilitas pendidikan (termasuk pendidikan tinggi (membuka lembagaUniversitas bagi institusilembaga baru) Terbuka) institusi terpilih - Meningkatkan - Ketersediaan (Proyek anggaran pendidikan sumberdaya Pengembangan (pemasukan dari - Menstadarisasi Universitas) minyak) koordinasi dan regulasi Perencanaan - Untuk sentralistik (sistem Berusaha untuk meningkatkan kebijakan tunggal) mensentralisasi perencanaan dan - REPELITA II perencanaan dan manejemen antara pengambilan dan III pusat (Dikti) dan keputusan di tingkat - Rencana tingkat institusi universitas Pengembangan Pendidikan Tinggi (Higher Education Development Plan) pertama (1975-85) Periode
1985-94
Strategi dan Proyek Bank Dunia
Institutional Capacity Building
Pengaruh Terhadap Hubungan Negara dan Universitas Kontrol negara:
Kontrol langsung negara yang kurang:
Standarisasi di tingkat institusi - Peraturan No. 5 tahun 1980 Consolidation (investasi pada 80
kualitas input) - Meningkatnya - investasi - stabilisasi Sumber daya pengembangan terdiversifikasi populasi kapasitas nasional mahasiswa di - Pengurangan biaya untuk dosen dan universitas pendidikan secara penelitian di negeri dan nyata sektor-sektor pertumbuhan - Pemisahanstrategis (UDP II) universitas pemisahan institusi -investasi dalam swasta yang Peran baru negara: peningkatan pesat - Menumbuhkan kualitas input - dukungan untuk kompetisi dan (HEDP) penelitian dan selektifitas - diversifikasi teknologi - Mendorong sumber daya Rencana pendapatan (HEDP) Pengembangan - Mendukung - perencanaan dan Pendidikan pembangunan manajemen Tinggi (Higher sektor swasta capacity building Education - Manajemen dan di tingkat pusat Development sistem informasi dan daerah (HEDP, Plan) kedua UDP, Politeknik) (1968-1995) Di tingkat institusi - kebutuhan untuk - dekosentrasi tenaga kerja Pengetatan anggaran terlatih (S & T - Pengurangan Project) anggaran pendidikan
199598+
Strategi desentralisasi - Peningkatan otonomi lembaga sebagai cara untuk mengembangkan kualitas dan relevansi - Peningkatan respon lembaga secara eksternal
Pengawasan negara: - Pembentukan badan perantara yang bersifat semiotonom untuk akreditasi, evaluasi, seleksi, dan kebijakan - Selektifitas melalui kompetisi, hibah,
Pelegitimasian otonomi financial institusi (HED) - Undang-Undang pendidikan dasar - Peraturan No. 30 tentang otonomi financial “Paradigma Baru” (reformasi manajemen) Menyarankan peningkatan otonomi dengan tujuan berikut: - Meningkatkan kualitas 81
(akuntabilitas) dan internal (partisipasi dan kepemilikan) - Peningkatan selektifitas dalam keterjangkauan dan pendanaan publik melalui mekanisme kompetisi dan pendanaan alternatif - Untuk menfasilitasi rencana desentralisasi universitas - Untuk menfasilitasi mekanisme penjamin mutu yang independen dan transparan
dan pendanaan yang sesuai - Otonomi ‘dalam sistem hirarkis’ (Rencana Jangka Panjang) - Mendayagunakan kerangka kerja peraturan
(performance yang lebih baik) - Membuat universitas lebih akuntabel - Meningkatkan efisiensi - Memperkuat manejemen institusi Di tingkatan institusi: - Keseimbangan - Perencanaan yang yang lebih baik tersentralisasi antara - Ketegangan antara universitas lokal keinginan untuk dan global desentralisasi dan - Rencana sentralisasi Pengembangan Pendidikan Tinggi (Higher Education Development Plan) ketiga (1996-2005) - Memperkenalka n proyek ‘DUEProyek kunci: like’ dan ‘QUEURGE/DUE/QUE like’. Sumber: Jo Bastianes, International Assistance and State-University Relations, 2009. New York: Routledg, hal.50. Pada periode HEDP ketiga, Bank Dunia mulai mendorong strategi desentralisasi institusi pendidikan tinggi. Dengan strategi peningkatan otonomi lembaga sebagai cara untuk mengembangkan kualitas dan relevansi juga mulai mengusulkan penerapan mekanisme pembiayaan yang berbeda dari sebelumnya. Mekanisme yang sebelumnya didasarkan pada investment sementara dalam mekanisme yang baru ini, memakai mekanisme hibah kompetisi. Dalam artian bahwa setiap perguruan tinggi hanya akan diberikan bantuan sesuai dengan
82
pencapaian prestasi dan output yang dihasilkannya. Mekanisme ini kemudian dikenal dengan mekanisme pendanaan kompetitif. Secara historis, mekanisme pendanaan kompetitif untuk perguruan tinggi ini pertama kali diterapkan di Amerika Serikat pada tahun 1980 oleh National Science Foundation dan di Inggris pada tahun 1990 oleh Dewan Pendanaan Universitas. Maka melalui program University Research for Graduate Education (URGE) Bank Dunia memperkenalkan mekanisme hibah kompetisi ini pada tahun 1994. Proyek ini diterapkan pada perguruan tinggi yang melaksanakan program pascasarjana. Meskipun proyek bantuan URGE memiliki dampak pada penguatan kapasitas individu atau riset, namun oleh Bank Dunia proyek ini dilihat tidak memiliki efek pada pengembangan sumber daya manusia dan relevansi program studi. Oleh karenannya pada tahun 1996, diluncurkan proyek hibah kompetitif khusus untuk program studi melalui proyek Development of Undergraduate Education (DUE). Mekanisme kompetitif ini dijalankan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:91 1. Persaingan Prinsi utama dari skema pendanaan yang kompetitif adalah persaingan. Untuk itu maka Bank Dunia dan Pemerintah menawarkan jumlah hibah yang jauh lebih kecil dari jumlah institusi yang bersaing dalam kompetisi. Adapun umlah hibah yang ditawarkan tidak boleh melebihi 20% dari jumlah peserta. Jumlah pelamar yang memenuhi syarat harus kurang dari 91
M. K. Tadjudin, Competitive funding as a tool of improving higher education management, diakses melalui http://portal.unesco.org/pv_obj_cache/pv_obj_id_666A6A45E155BC829D491155D515A81B4E9 90100/filename/M_K_Tadjudin.pdf pada 7 Juli 2012.
83
jumlah hibah yang ditawarkan. Jumlah hibah yang lolos juga harus dikurangi kemudian jumlah sisa dana dapat ditambahkan ke tahun berikutnya. 2. Memiliki tujuan yang spesifik Dalam skema hibah kompetitif ini, setiap program harus memiliki tujuan tertentu yang harus dijelaskan dalam pedoman pengajuan proposal. Tujuan ini juga harus dijelaskan dalam indikator kinerja yang harus dicapai oleh penerima hibah di akhir proyek. 3. Otonomi dan desentralisasi Penerima hibah dituntut untuk bertanggung jawab dan akuntabel dalam melaksanakan proyek. Untuk tujuan ini maka strategi otonomi dan desentralisasi dalam pendidikan tinggi dianggap menjadi sebuah keharusan untuk arah kebijakan nasional. 4. Konsistensi dalam pelaksanakan kebijakan Untuk menjaga nuansa persaingan, maka ketika dana kompetitif dipilih sebagai kebijakan, maka kebijakan ini dilakukan secara konsisten. Konsistensi ini diharuskan agar penerima calon tidak kehilangan minat dan motivasi untuk mengajukan permohonan hibah kompetitif. Jika penerima calon yang menulis proposal untuk 500 juta rupiah pada saat yang sama juga mendapat alokasi 1 milyar rupiah tanpa harus menulis proposal dan akan melalui proses kompetitif yang sulit, ia akan kehilangan minat dan motivasi untuk selanjutnya. 5. Kompetisi berjenjang
84
Motivasi untuk berpartisipasi dalam kompetisi dapat dipertahankan jika ada kesempatan yang wajar untuk menang. Karena tingkat variasi dalam pengembangan Perguruan Tinggi di Indonesia cukup tinggi, perguruan tinggi yang sebanding harus ditempatkan dalam satu kelompok atau tier. Hal ini dilakukan untuk menciptakan kompetisi yang dianggap “setara” antara lembaga-lembaga sejenis, dan lembaga lemah tidak merasa “kalah sebelum berperang”. 6. Proses seleksi yang objektif Integritas pelaksana dalam proses seleksi sangat penting dalam skema pendanaan yang kompetitif. Proses seleksi dituntut untuk dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Proses seleksi harus menjadi proses peer review. Informasi tentang “penilai” harus dirahasiakan sampai periode kunjungan lapangan. Setiap proposal yang ikutkan dalam hibah kompetisi harus mendapatkan komentar “penilai” sehingga peserta tahu ada kelemahan dan mampu untuk melakukan perbaikan. 7. Evaluasi dan monitoring Setelah pemenang kompetisi diumumkan evaluasi periodik dan proses pemantauan harus ditetapkan. Evaluasi berkala merupakan mekanisme umpan balik jangka pendek digunakan untuk menentukan apakah proyek tersebut dapat dilanjutkan atau harus dihentikan atau perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja proyek.
85
8. Insentif dan disinsentif Penerima hibah diberikan insentif untuk dapat mengambil bagian dalam skema pemberian hibah yang lebih bergengsi dan penempatan kategori ke tingkat yang lebih tinggi. Selain insentif, mekanisme hukuman atau disentif juga diberikan jika proyek tidak berjalan dengan baik. Dalam tingkatan tertentu, hukuman ini dapat berupa mengakhiri hibah. Prinsip-prinsip inilah yang kemudian mendasari mekanisme pemberian hibah. Pada prakteknya, mulai tahun 1996 hingga sekarang Dikti dan Bank Dunia telah menggunakan mekanisme ini dalam proyek-proyek pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia. Selama periode 1996 hingga 2004, Bank Dunia dan Dikti menerapkan mekanisme hibah kompetisi ini ke dalam enam proyek besar untuk pendidikan tinggi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi institusi (proyek DUE, QUE, DUE-like, TPSDP) serta untuk menciptakan peningkatan kapasitas internal (seperti pada proyek Semi-QUE dan SP4). Tabel dibawah ini menjelaskan secara detail tujuan, pelaksana, dan besar pendanaan dari kelima proyek tersebut. Tabel 8 : Skema pendanaan kompetitif dari tahun 1996.
Proyek
DUE
QUE
Tahun
19962002
19972003
Tujuan
Penerima Hibah
Kualitas lulusan, efisiensi
Perguruan Tinggi/Pro gram Studi
Kualitas lulusan, efisiensi
Program Studi
Institusi yang berpatisipasi Cenderung diikuti oleh Pendidikan Tinggi Indonesia yang lemah Kompetisi bebas
Dana Maksimal
Sumber Dana
10 Juta Dollar AS / 5 tahun
Bank Dunia & Dikti
1,8 Juta Dollar AS/ 5
Bank Dunia & Dikti
86
Kualitas lulusan, efisiensi
Perguruan Tinggi/Pro gram Studi
Semi-QUE
19992005
Kapasitas internal
Perguruan Tinggi/Pro gram Studi
TPSDP
20012007
Kualitas lulusan, efisiensi
Program Studi
Sistem Pendanaan dan Perencanaan Program (SP4)
20032006
Kapasitas internal, manajemen
Perguruan Tinggi/Dep artemen
DUE-like
19992005
Institusi setingkat Perguruan tinggi negeri dan swasta yang setingkat Perguruan tinggi negeri dan swasta yang setingkat
Perguruan Tinggi negeri
tahun Rp. 15 Miliyar / 5 tahun
Dikti
Rp. 500 juta / 2 tahun
Dikti
1,3 Juta Dollar / 4 tahun
Bank Dunia & Dikti
Rp. 500 juta / 2 tahun
Dikti
Sumber: M.K. Tadjudin, "Competitive funding as a tool of improving higher education management" diakses melalui http://portal.unesco.org/pv_obj_cache/pv_obj_id_666A6A45E155BC829D49115 5D515A81B4E990100/filename/M_K_Tadjudin.pdf Di tahun 2004, ketika evaluasi Bank Dunia terkait kapastitas internal telah menunjukan hasil yang cukup relevan, maka skema pendanaan kompetitif dan tujuan pendanaan diarahkan pada penciptaan peningkatan kualitas, efisiensi eksternal, dan persaingan universitas dalam skala global. Dikti menerapkan skema Hibah Kompetisi dengan program-program studi dan departemen sebagai target pendanaan. Total dana Rp. 9,5 Milyar digelontorkan oleh Dikti yang dikompetisikan kepada universitas negeri dan swasta yang “selevel”. Sesuai dengan prinsip kompetisi yang telah dijabarkan sebelumnya, untuk menciptakan sistim persaingan yang “setara” maka program ini pun dibagi beberapa level. Terdapat level kompetisi A-1 (untuk peningkatan kapasitas
87
internal, otonomi, dan kesehatan organisasi), A-2 (untuk peningkatan efisiensi kualitas lulusan), A-3 (untuk peningkatan efisiensi eksternal departemen/program studi), dan tipe B (untuk departemen/program studi yang sudah siap untuk bersaing di pasar global). Selanjutnya sejak tahun 2006, Dikti dan Bank Dunia menggelontorkan program IMHERE (Improvement of Management and Higher Education Reform) sebagai instrument finansial dalam proses transisi ke otonomi universitas yang sepenuhnya. IMHERE ini yang kemudian melahirkan perubahan sangat fundamental dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia termasuk arah dan pola penyelenggaraan. Secara singkat skema pendanaan kompetitif dalam pendidikan tinggi di Indonesia yang dijalankan oleh Dikti dan Bank Dunia sejak tahun 2006 dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 9 : Skema pendanaan kompetitif sejak tahun 2006 Proyek
Institusi yang berpatisipasi
Dana Maksimal
Sumber Dana
Social Responsibili ty & Institutional strategic Plan
PT/Progra m Studi
Berjenjang untuk PTN dan PTS
$2 M / 3 tahun
Bank Dunia /Dikti
Transisi menuju universitas yang otonom Membangun sistem pendanaan berbasis prestasi Efisiensi internal &
Perguruan Tinggi
PT yang telah otonom (BHMN)
$0.5 M / 23 tahun
Bank Dunia /Dikti
PT/Progra m Studi
PT yang telah otonom (BHMN)
0.75 M / 12 tahun
Bank Dunia /Dikti
Perguruan Tinggi
Berjenjang untuk PTN dan
Rp 308 / 3 tahun
Dikti
Prog
Tujuan
Sejak 2006
B-1
B-2A
IMHERE (Improvem ent of Manageme nt and Higer Education Reform)
B-2B
PHK-I (Program
Penerima Hibah
Tahun
Sejak 2007/
88
2008 Hibah Kompetisi)
external, kualitas lulusan, performa institusi
PTS
Sumber: M.K. Tadjudin, "Competitive funding as a tool of improving higher education management" diakses melalui http://portal.unesco.org/pv_obj_cache/pv_obj_id_666A6A45E155BC829D49115 5D515A81B4E990100/filename/M_K_Tadjudin.pdf Sesuai dengan fokus penelitian ini, seperti disebutkan dalam Operasional Procedure Management (OPM) IMHERE dengan kode Development Credit Agreement No: 4077-IND and Loan Agreement No: 4789-IND, bahwa program IMHERE ini bertujuan untuk “menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan perguruan tinggi negeri yang otonom dan akuntabel, dan mengembangkan mekanisme pendukung yang efektif untuk meningkatkan kualitas, relevansi, efisiensi dan kesetaraan pendidikan tinggi”. Proyek IMHERE ini sebelumnya bernama Higher Education for Competitiveness Project (HECP). IMHERE merupakan program Dikti yang pendanaannya sebagian dibiayai melalui pinjaman (Loan) dari Bank Dunia baik dari dana IBRD maupun dana dari IDA. Sesuai dengan Loan Agreement (IBRD) no. 4789-IND dan Develeopment Credit Agreement (IDA) no. 4077-IND schedule 4. Secara struktural, Direktur Jenderal Dikti bertanggungjawab penuh terhadap seluruh implementasi proyek di lingkungan Direktorat Jenderal Dikti, Departemen Pendidikan Nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut program IMHERE dijalankan melalui lima kegiatan proyek dengan lima indikator utama. Indikator ini sebagai parameter utama dalam mengukur keberhasilan misi bantuan Bank Dunia yang digulirkan melalui proyek ini, yakni:
89
1. Rancangan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan (BHP) disetujui pada tahun 2010; hal ini ditujukan untuk memberikan landasan yang kuat bagi peletakan struktur legal fundamental dan kerangka peraturan yang menyeluruh untuk mendukung pelaksanaan otonomi institusi pendidikan tinggi. 2. Pada tahun 2010, Sistem Informasi Nasional Pendidikan Tinggi (SINPT) dapat melaksanakan dan melaporkan secara regular tracer study terhadap lulusan; SINPT ini bertujuan untuk mengumpulkan, menganalisa, dan mendiseminasikan data yang menjangkau semua lulusan perguruan tinggi. 3. Pada tahun 2010, akreditasi institusi harus sudah dapat diberikan kepada 5 persen dari keseluruhan perguruan tinggi (negeri dan swasta); ini menunjukkan pengembangan dan penerapan standar dan prosedur baru bagi akreditasi institusi oleh BAN-PT telah berhasil di bangun. 4. Pada tahun 2010 terdapat 5 PT BHMN yang memperoleh unqualified opinion terhadap laporan keuangannya dari akuntan publik. Indikator ini akan digunakan sebagai bukti bahwa PT BHMN telah berhasil memperkuat kemampuan pengelolaan keuangan yang sangat diperlukan untuk melaksanakan otonomi. 5. Evaluasi yang komprehensif terhadap mekanisme pendanaan berdasarkan line item, hibah kompetisi, dan kontrak berbasis kinerja dapat diselesaikan pada tahun 2010. Melalui sistem evaluasi ini pemerintah diharapkan dapat menetapkan kebijakan pendanaan pendidikan tinggi berdasarkan fakta yang solid.
90
Indikator-indikator ini kemudian dipecah menjadi dua komponen utama, yaitu: (1) Reformasi sistem pendidikan tinggi dan (2) Hibah untuk meningkatkan kualitas akademik dan kinerja perguruan tinggi. Dengan total dana US$ 98,267.000, investasi dan kegiatan yang dilakukan dalam proyek ini tentunya membawa perubahan yang lebih komprehensif dan mendasar dibandingkan dengan yang pernah diusulkan sebelumnya.
3. Implementasi Proyek IMHERE di Indonesia Bantuan luar negeri dalam proyek IMHERE ini tergolong Pinjaman Program (Programme Aid), karena dana pinjaman ini ditujukan untuk tujuan umum pendidikan yang menyangkut 2 tujuan utama yakni: 1. Reformasi sistem pendidikan tinggi, 2. Hibah untuk meningkatkan kualitas akademik dan kinerja perguruan tinggi
Dana IMHERE berasal dari dana IBRD (dengan Loan Agreement (IBRD) no. 4789-IND) dan dana IDA melalui Develeopment Credit Agreement no. 4077-IND schedule 4. IBRD menanggung 50 Juta Dollar AS sementara IDA memberikan kredit pembangunan sebanyak 30 juta Dollar AS dengan perincian sebagai berikut:
Tabel 10: Data Pendanaan Proyek
91
Sumber: Bank Dunia. Project Aprasial Document for IMHERE. 2005 Berdasarkan tujuan proyek dan alokasi dana dari Bank Dunia, proyek IMHERE ini termasuk Pinjaman Lunak (Concessional Loan) dengan tingkat bunga yang rendah (sekitar 3,5%), jangka waktu pengembalian yang panjang (sekitar 25 tahun), dan masa tenggang (grace period) cukup panjang, yakni 7 tahun. Tipe pinjaman ini memang merupakan tipikal pinjaman yang seringkali diterapkan Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB).92 Proyek ini akan digulirkan secara bertahap selama 5 tahun anggaran dengan effective date mulai tanggal 20 Desember 2005 hingga closing date93 pada 31 Desember 2012.
92
Op.Cit., Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., hlm. 2. Closing Date adalah batas terakhir pembayaran dana pinjaman luar negeri oleh pihak Pemberi Pinjaman Luar Negeri (PPLN) dalam rangka pengisian Rekening Khusus atau pengganti dana telangan yang dikeluarkan pemrintah. 93
92
Tabel 11 : Perencanaan Pembiayaan Proyek (Tahun Fiskal Bank Dunia/Dalam Juta Dolar AS) Estimasi Pembiayaan (Tahun Fiskal/US$m) Thn Fiskal 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahunan 5.05 15.24 21.10 20.31 13.99 3.31 Kumulatif 5.05 20.29 41.39 61.70 75.69 79.00 Sumber: Bank Dunia. Project Aprasial Document for IMHERE. 2005
2012 1.00 80.00
Mekanisme penganggaran yang dipakai dalam pelaksaan proyek IMHERE ini mengikuti mekanisme umum penganggaran nasional. Menurut undang-undang keuangan baru,94 lembaga-lembaga Pemerintah Indonesia telah memiliki anggaran yang lebih terpadu dibanding pola penganggaran sebelumnya yang membedakan antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Secara tradisional, anggaran untuk proyek-proyek Bank Dunia berada di bawah anggaran pembangunan dari departemen/kementerian keuangan di negara bersangkutan. Untuk sektor pendidikan, Biro Perencanaan dalam Depdiknas/Kemendiknas di tingkat pusat menyiapkan anggaran untuk memperoleh indikasi awal dari apa dan berapa besar pengeluaran yang mungkin diperlukan pada tahun berikutnya. Penyusunan anggaran dimulai pada bulan Februari dan berlanjut sampai Juni dan mempertimbangkan sirkulasi anggaran dari Departemen/Kementrian Keuangan Dirjen Anggaran, yang berisi pedoman yang harus digunakan untuk penganggaran biaya-biaya operasional. Proposal
anggaran
kemudian
disampaikan
kepada
Departemen/Kementerian Keuangan Dirjen Anggaran pada bulan Juni dari usulan
94
Yakni Undang-Undang No 17/2003tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
93
anggaran tahun sebelumnya. Setelah menerima proposal anggaran, negosiasi untuk isu-isu pembiayaan kemudian dilakukan antara Departemen/Kementerian Keuangan dalam hal ini Dirjen Anggaran dan Pihak Depdiknas/Kemendiknas. Dirjen Anggaran Departemen Keuangan lalu menetapkan plafon anggaran pada bulan September. Depdiknas kemudian menyiapkan anggaran secara rinci, dengan pertimbangan khusus dari anggaran yang diperlukan oleh perguruan-perguruan tinggi. Setiap PT mengajukan usulan anggaran ke Dikti, yang kemudian diperiksa dan disetujui/tidak disetujui, termasuk alokasi untuk penyerahan hibah dalam proyek IMHERE ini. Institusi PT juga dikategorisasi oleh Dikti berdasarkan kemampuan dan daya saingnya. Adapun institusi yang memiliki kesempatan dan menjadi sasaran untuk mendapatkan dana proyek ini, baik dari PTN maupun PTS dapat dilihat dalam tabel dibawah ini: Tabel 12: Sasaran penerima proyek hibah Perkiraan Kelompok jumlah paket Institusi yang berhak hibah Sub-Komponen B.1 Hibah Kompetisi untuk PTN dan PTS I
4
25 Politeknik Negeri
II
2
III
10
IV
12
ISI Yogya, ISI Denpasar, STSI Bandung, STSI Solo PTN dan PTS yang mempunyai program pendidikan keguruan PTN lainnya (kecuali BHMN)
Sub-total 28 Sub-komponen B.2.b Hibah berbasis proposal untuk mengembangkan good governance di PTN I 3 25 Politeknik Negeri II 2 ISI Yogya, ISI Denpasar, STSI Bandung, STSI Solo III 7 UNSYIAH, UNJA, UNRI, UNAND, UNSRI, UNIB, UNILA. UNPAD, UNSOED, UNEJ, UNDIP, UNS.
94
IV
2
UNIBRAW, ITS, UNAIR, UNHAS, UNUD, UNTAN, UNLAM, UNSRAT, UNHALU, UNRAM, UNTAD, UNMUL, UNPAR, UNDANA, UNCEN, UNY, UNJ, UNES, UNIMED, UNP, UNESA, UNM, UM, UNIMA U. Tirtayasa, U. Khairun, I. Trujoyo, U. Malikulsaleh, UNPATTI, UNIPA, U. Gorontalo, IKIP Singaraja
Sub-total 14 Sub-komponen B.2.b Hibah berbasis proposal untuk memperkuat manajemen institusi PT otonomi bertaraf internasional I 6 Perguruan Tinggi Otonomi bertaraf Internasional Sub-komponen B.2.c Kontrak berbasis kinerja I
4
Total
52
Perguruan Tinggi Otonomi bertaraf Internasional
Sumber: Diolah berdasarkan Dokumen Dikti, Workshop Sosialisasi IMHERE Program B.1 , Slide presentasi. 2008 Keputusan anggaran Dikti untuk setiap PT kemudian diserahkan kepada Departemen/Kementerian Keuangan Dirjen Anggaran, dan ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) untuk di clearance oleh kedua lembaga tersebut. Dirjen Anggaran kemudian mengusulkan jumlah anggaran maksimum ke BAPPENAS untuk anggaran pembangunan. Selanjutnya, Dirjen Anggaran Departemen Keuangan dan Depdiknas mengfinalisasi alokasi anggaran ini untuk diserahkan kepada Bank Dunia sebagai Rencana Kerja Tahunan (annual work plan) dari proyek ini. Unit pelaksana Dikti kemudian memonitor anggaran proyek ini melalui Laporan Konsolidasi Monitoring Keuangan atau Financial Monitoring Report dan supervisi dari proyek yang disepakati. Dikti secara periodik melakukan kunjungan pengawasan ke unit pelaksana di masing-masing PT untuk memastikan bahwa
95
Laporan Konsolidasi Monitoring Keuangan dapat diandalkan untuk proses pengawasan anggaran. Proses panjang mekanisme penganggaran yang dijelaskan di atas lalu bermuara pada pembagian komponen realisasi proyek. Sebelum mengetahui bagaimana implementasi proyek IMHERE di Unhas, terlebih dahulu perlu diketahui rencana pelaksanaan proyek IMHERE secara nasional. Sebagai panduan, perlu kiranya sistematika analisa untuk bagian ini ditinjau seperti yang tertulis pada dokumen resmi rencana proyek IMHERE. Berdasarkan Panduan Prosedur dan Operational atau Operational Procedure Manual (OPM) proyek (IMHERE) konsep dan mekanisme implementasi proyek dijelaskan sebagai berikut: a. Komponen Proyek-A - (US$ 7,779,000) untuk Reformasi Sistem
Pendidikan Tinggi Komponen IMHERE ini dimaksudkan untuk memberikan dukungan kepada Ditjen Dikti untuk mengimplementasikan Strategi Pengembangan Jangka Panjang Pendidikan Tinggi (HELTS) melalui penataan aspek legal perundangan, untuk
pengembangan
kapasitas
pengelolaan
Ditjen
Dikti,
peningkatan
kemampuan BAN untuk melaksanakan akreditasi institusi, dan pengembangan strategi untuk merevitalisasi Universitas Terbuka yang merupakan suatu institusi belajaran berkelanjutan terbesar di Indonesia. Komponen ini kemudian diturunkan ke dalam sub-sub komponen yaitu:
96
Sub-komponen proyek-A.1 – Modernisasi sektor pendidikan tinggi senilai 4,001,000 Dollar AS Misi utama komponen ini adalah untuk menangani kendala utama manajemen yang dihadapi oleh sistem pendidikan tinggi nasional. Komponen ini dijalankan karena Bank Dunia memandang bahwa implementasi
HELTS
memerlukan faktor pendorong yang memungkinkan Dikti menerapkan “budaya produktif” untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi seluruh perguruan tinggi. Moderenisasi yang dimaksud dalam komponen ini adalah reformasi kebijakan sentralistik menjadi desentralisasi dalam bentuk otonomisasi institusi. Untuk menjadikan proses otonomi lebih efektif, perubahan pengaturan dan perkuatan manajemen perlu dilaksanakan yang mencakup: a) pengembangan aspek legal pengelolaan pendidikan tinggi, b) pengembangan kapasitas manajemen finansial di Ditjen Dikti dan di perguruan tinggi, c) pengembangan kapasitas pengelolaan data dan informasi SINPT, d) pengembangan strategi untuk melakukan perubahan kebijakan berdasarkan data informasi kinerja yang nyata, terutama dalam hal pendanaan pendidikan tinggi. Melalui program komponen ini, dilahirkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang disahkan pada Desember 2008. UU BHP ini terdiri dari 69 pasal. BHP sendiri lahir dari pemikiran bahwa penyelenggaraan pendidikan bukan hanya tanggungjawab pemerintah melainkan tanggungjawab semua warga negara seperti yang tertulis dalam Pasal 6 ayat (2) UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa “setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan
97
penyelenggaraan
pendidikan”.
Frasa
“bertanggungjawab”
dalam
penyelenggaraan pendidikan ini kemudian diteruskan pada Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan bahwa ”penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”. Pasal 53 UU Sisdiknas lalu diturunkan menjadi UU BHP yang mengalami penolakan skala besar dari masyarakat karena dianggap sarat akan komersialisasi pendidikan.95 Selain itu, poin-poin yang menjadi titik kritisme masyarakat dalam UU BHP diantaranya adalah adanya tafsir yang berbeda tentang BHP dalam UU Sisdiknas dengan UU BHP, kebebasan lembaga pendidikan asing untuk mendirikan BHP, aset BHP yang berasal dari hutang, perangkat BHP, penggabungan dan akuisisi BHP, kurang jelasnya pendanaan BHP dan banyak hal lainnya. Melihat subtansi yang terkandung dalam UU BHP, banyak kalangan yang memprediksikan tak kurang dari 60% satuan pendidikan yang akan mengalami kebangkrutan dikarenakan tidak dapat memenuhi syarat formal sebagai BHP.96 Kritik itu kemudian berujung pada penganuliran UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa materi dan substansi UU BHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Sejak Maret 2010, UU BHP tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dari penolakan juga tercermin bagaimana masyarakat dan institusi negara seperti MK
95
“Mendiknas Bantah UU BHP Komersialisasi Pendidikan” diakses melalui
http://www.antaranews.com/view/?i=1231933034&c=NAS&s= pada 12 Juli 2012. Danang Kurniadi. RUU BHP Dalam Jeratan Privatisasi. Jurnal Mahasiswa UGM, November 2007.
96
98
menyadari bahwa UU yang diusulkan atas “desakan” Bank Dunia ini membawa agenda-agenda yang tidak akan memperbaiki, malah akan makin menciptakan pendidikan yang semakin tidak terjangkau oleh masyarakat luas, khususnya golongan ekonomi lemah. Alasannya jelas, karena dalam UU BHP ini subsidi untuk
sektor
pendidikan
dikurangi
perlahan-lahan
atas
nama
otonomi
penyelenggaraan dan pendanaan pendidikan. Namun tidak hanya tentang aspek legal perundangan dalam UU BHP, subkomponen A lainnya adalah: Sub-komponen proyek-A.2 – Transisi sistem penjaminan mutu kepada akreditasi institusi pendidikan tinggi dan integrasi sistem sertifikasi profesi (448,000 Dollar AS) Bank Dunia menilai bahwa sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi nasional telah berfungsi dengan baik, namun beban kerja dirasakan sangat berat karena akreditasi diberikan kepada program studi. Hal ini dikarenakan lingkup kerja setiap tahunnya mencakup hampir 2.000 PTN dan PTS. Jumlah program studi dan perguruan tinggi yang begitu besar ini tidak sesuai dengan kemampuan akreditasi BAN-PT yang terbatas. Dengan bantuan ADB, BAN-PT dan Ditjen Dikti telah melakukan kajian untuk merestrukturisasi sistem akreditasi, yang dirancang untuk dapat mengoptimalkan beban manajemen dan diharapkan agar dapat sejalan dengan prinsip otonomi perguruan tinggi serta mampu memberikan infomasi yang berguna untuk menerapkan sistem pendanaan berbasis kinerja. Tujuan utama dari sub-komponen ini adalah untuk memperkuat sistem
99
penjaminan mutu pendidikan tinggi dan mempersiapkan transisi sistem akreditasi dari akreditasi program studi menjadi akreditasi institusi.dan akreditasi asosiasi profesi (seperti arsitek, insinyur, atau dokter). Melalui kerja sama dengan Ditjen Dikti, ADB menggulirkan pinjaman sebesar US$ 880.000 untuk memulai kajian transisi yang akan berlangsung dari tahun 2005 sampai tahun 2007. Program IMHERE dalam sub-komponen ini dirancang untuk melengkapi kegiatan yang telah direncanakan dan kemudian mendukung pendanaan setelah program ADB selesai. Bagian yang perlu dicermati dalam kegiatan ini adalah integrasi akreditasi profesi ke dalam sistem akreditasi BAN-PT. Sub-komponen ini juga bertujuan untuk meningkatkan kredibilitas dan kepemilikan (ownership) sistem jaminan mutu melalui partisipasi stakeholders dan peningkatan transparansi dan akuntabilitas proses akreditasi. Penyesuaian sistem akreditasi ini diharapkan memberikan dampak langsung kepada keseluruhan sektor pendidikan tinggi, karena BAN-PT mengakreditasi bukan saja PTN tetapi juga PTS. Setelah proyek ini berjalan, BAN-PT diharuskan menjamin “kemandirian” institusinya sendiri. BAN-PT juga diharuskan untuk menemukan cara menjadi lebih independen dari pemerintah, termasuk mengusahakan dana untuk mendukung pelaksanaan misinya. Pola “memandirikan” ini merupakan ciri utama dari syarat proyek IMHERE ini. Tidak terkecuali BAN-PT yang melalui subkomopnen ini dituntut agar dapat otonom dalam hal pendanaan.
100
Sub-komponen proyek-A.3 – Revitalisasi Universitas Terbuka (US$ 3,330,000) Untuk program reformasi ini, Bank Dunia juga mengincar Universitas Terbuka. Universitas Terbuka (UT) merupakan perguruan tinggi terbesar di Indonesia, yang melaksanakan program diploma dan sarjana melalui pembelajaran jarak jauh. Dalam laporan program ini disebutkan bahwa UT melayani 225.000 mahasiswa, hampir 90% di antaranya adalah pekerja (working adult), di mana sebagian besar dari pekerja ini merupakan guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Program yang ditawarkan melalui revitalisasi ini lebih bersifat supply driven dibandingkan demand driven. Dalam artian bahwa UT dirancang untuk tetap menyediakan dan membuka pendidikannya seberapa besar atau kecil pun peminatnya. Hal ini dikarenakan
cakupan UT menjangkau hingga daerah
terpencil di mana opsi untuk pendidikan tinggi sangat terbatas. Sub-komponen ini akan membiayai studi dan technical assistance untuk mengkaji beberapa opsi revitalisasi yang mungkin dilakukan. Sub-komponen ini dipakai untuk mendanai keperluan technical assistance, training staff, dan komponen fisik lain untuk meningkatkan kapasitas akademik dan pengelolaan UT sesuai dengan strategi dan arah yang disepakati.
101
b. Komponen Proyek-B – (US$ 87.338.000) Hibah untuk meningkatkan
mutu akademik dan kinerja institusi Komponen proyek ini berangkat dari pemikiran bahwa pada umumnya pendanaan dan investasi sektor pendidikan tinggi di Indonesia masih tergolong rendah, dan sebagian besar pengeluaran saat ini dilaksanakan berdasarkan line item yang tersentralisasi dan dilakukan oleh Ditjen Dikti. Praktek pendanaan tradisional seperti itu, oleh Bank Dunia dan Dikti dinilai telah menghambat insentif penggunaan dana publik yang rasional, yaitu insentif yang dapat memusatkan perhatian Perguruan Tinggi untuk memprioritaskan pada mutu dan efisiensi. Sementara, yang menjadi sasaran HELTS adalah untuk mengembangkan dan menyebarluaskan mekanisme pendanaan yang dapat memberikan insentif bagi peningkatan mutu akademik dan kinerja institusi. Oleh karena itu, menurut Bank Dunia dan Dikti, kebijakan pemerintah memberikan otonomi kepada PTN dipercaya dapat meningkatkan fleksibilitas pengelolaan institusi dengan asumsi bahwa keleluasaan pengelolaan yang diberikan akan “memungkinkan munculnya inovasi pendanaan yang dapat memberikan insentif kepada institusi untuk memperoleh hasil yang lebih baik.” Komponen ini digulirkan dengan memperluas program hibah kompetisi (competitive based program) yang sudah dilakukan melalui program-program sebelumnya, memperkenalkan program baru hibah kinerja (performance based program) untuk memperkuat manajemen institusi, dan program kontrak berbasis
102
kinerja (performance based contracting) untuk PT BHMN. Untuk selanjutnya, komponen B ini dibagi lagi kedalam beberapa sub komponen yakni: Sub-komponen proyek-B.1 – Program Hibah kompetisi untuk PTN dan PTS (US $60,816,000) Melalui mekanisme hibah kompetisi ini, Ditjen. Dikti memberikan insentif finansial kepada Perguruan Tinggi untuk meningkatkan mutu institusi dan program mereka sesuai dengan kerangka HELTS. Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) menginisiasi proses pemberian hibah dengan undangan untuk menyusun proposal. Perguruan Tinggi dapat menyerahkan proposal untuk satu atau dua jenis hibah yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan atau untuk meningkatkan kesempatan kerja bagi lulusan Perguruan Tinggi. Di dalam setiap kerangka hibah, kompetisi dijenjangkan menurut tingkat-tingkat kemampuan Perguruan
Tinggi
untuk
mencegah
kemungkinan
bahwa
hibah
hanya
menguntungkan institusi yang terkuat. Tingkat-tingkat ini disesuaikan dengan ukuran, misi, dan kemampuan manajemen Perguruan Tinggi. DPT mengawasi seleksi proposal yang akan memenangkan hibah. Proses review proposal dilaksankan secara transparan dengan menerapkan prinsip external peer review dan dengan melibatkan sejumlah reviewer proposal lintas Perguruan Tinggi dan dari luar negeri. Reviewer diatur dalam suatu code of conduct yang ketat yang diharapkan menjamin, antara lain, bahwa reviewer wajib menghindar dari konflik kepentingan dengan jalan tidak melibatkan dirinya di dalam review terhadap institusi atau programnya sendiri. Panel review ini terdiri
103
dari dosen, administrator, dan mahasiswa. Proposal harus menyatakan kesanggupan Perguruan Tinggi untuk menyediakan dana pendamping sebesar 8% sebagai tanda komitmen institusi. Untuk meningkatkan kesetaraan di antara seluruh institusi pemenang hibah, seluruh proposal hibah harus mencakup rencana untuk mengembangkan program outreach untuk meningkatkan kesempatan memperoleh pendidikan bagi mahasiswa yang tidak beruntung (disadvantaged). Perguruan Tinggi yang mengusulkan program hibah harus menyetujui dan bekerja sama di dalam proses pemantauan dan evaluasi program-program yang diusulkannya. PTS hanya dapat mengikuti program hibah yang ditujukan untuk meningkatkan program pelatihan guru. Setelah proses seleksi yang cukup panjang, akhirnya Dikti melalui persetujuan No Objection Letter dari Bank Dunia memutuskan 25 institusi sebagai pemenang hibah kompetisi komponen B.1 ini. Pemenang-pemenang tersebut adalah: Tabel 13: Pemenang hibah kompetisi B.1
104
1
Jumlah Target 4
Jumlah Pemenang 3
2
2
1
ISI Denpasar
3
10
8
UNDIKSHA, UNISMA, UKWMS, UNP, UNG, UNJ, UM, UNY
4
12
13
UNRI, UNPAD, UNCEN, UNLAM, UNPAR, UNIMAL, UNSYAH
Jumlah
28
25
Kelompok
Nama PT/PTS Politeknik Manufaktur Negeri Bandung, Politeknik Jember, Politeknik Pertanian Negeri Pangkep
Sumber: Diolah berdasarkan Dokumen Dikti, Workshop Sosialisasi IMHERE Program B.1 , Slide presentasi. 2008
Sub-komponen proyek-B.2 - Hibah untuk mengembangkan good governance di PTN dan inisiasi Kontrak Berbasis Kinerja pada PT-BHMN (US $26,522,000) Dijelaskan bahwa melalui program ini, Ditjen Dikti berusaha untuk mengembangkan suatu sistem pengelolaan Perguruan Tinggi yang otonom dengan praktek good governance dan budaya organisasi yang fokus meningkatkan mutu pendidikan, efisiensi manajemen. Terkait dengan hal ini, pada tahun 2000, enam PTN telah memperoleh status badan hukum. Pemerintah ingin menerapkan pendanaan berbasis kinerja pada institusi-institusi ini untuk meningkatkan akuntabilitas mereka di dalam mutu, efisiensi, dan kesempatan. Walaupun Perguruan Tinggi ini secara hukum otonom, Bank Dunia menilai mereka masih kurang memiliki kemampuan untuk mengelola dana, sumber daya manusia, dan pengadaan barang secara efektif. 75 PTN lainnya yang belum memperoleh status
105
otonom didesak untuk mulai meningkatkan kemampuan manajemen mereka untuk mengantisipasi peralihan status tersebut pada masa-masa selanjutnya. Komponen ini difokuskan pada penguatan manajemen dan pada peningkatan kinerja institusi PTN, dengan tujuan menyiapkan PTN-PTN tersebut untuk menerima pendanaan berbasis kinerja pada saatnya nanti. Setelah PT BHMN
memiliki
kemampuan
manajemen
yang
cukup,
mereka
dapat
berpartisipasi di dalam inisiasi sistem pendanaan berbasis kinerja. Dimana dalam mekanisme ini, Bank Dunia dan Dikti akan memberikan dana hibah dengan syarat bahwa mereka memenuhi sasaran kinerja yang telah disepakati. Komponen hibah ini terdiri atas: a. Hibah kompetisi untuk memperkuat manajemen institusi PTN yang belum berstatus otonom. Hibah ini merupakan pendorong bagi institusi PT agar mereformasi
manajemen
institusinya
dengan
tata
kelola
yang
dipersayaratkan oleh Bank Dunia. Adapun institusi yang mendapatkan hibah untuk komponen ini adalah: Tabel 14: Penerima hibah kompetisi komponen B.2.a Kelompok 1
Jumlah Target 3
2 3
2 7
4 Jumlah
2 14
Jumlah Nama PT / PTS Pemenang 2 Politeknik Negeri Bali, Politeknik Negeri Jakarta 0 -8 UNIB, ITS, UNIBRAW, UNHAS, UNSOED, UNILA, UM, UNS 1 UNIPA 11
106
b. Hibah berbasis proposal untuk memperkuat manajemen institusi PT BHMN. Pada kategori B.2.b ini semua perguruan tinggi yang telah otonom (PT BHMN) masing-masing mendapat alokasi anggaran yang sama yaitu 750.000 Dollar AS dan harus diselesaikan dalam 2 tahun sebagai prasayarat keikutsertaan dalam proyek IMHERE komponen B.2.c. terdapat 7 PT yang mendapat hibah komponen ini, yaitu: ITB, UI, UGM, IPB, UPI, dan USU. Ketujuh PT yang telah mendapatkan status otonom ini dituntut untuk meningkatkan kemampuan sumber daya dan manajemennya agar bisa meningkatkan “nilai jual”-nya secara domestik maupun internasional. c. Hibah Kontrak Berbasis Kinerja untuk PT BHMN yang telah memenuhi kriteria tertentu. Untuk proyek komponen ini, tujuh PT BHMN bersaing untuk mendapatkan dana hibah pengembangan lanjutan. Pada awalnya, Fakultas Farmasi bersama-sama dengan FE (Akuntansi) dan FKH UNAIR merupakan 1 diantara 5 PT BHMN awal yang meraih dana proyek komponen B.2c dengan tema “Development of Enterpreneurship University Based On Research and Quality Assurance Capacity” dimana tema FF UNAIR adalah “Revitalization of Pharmapreneurship for Sustainable Institutional Development” dengan dana sebesar Rp 31 Milyar untuk tiga tahun dari Bank Dunia. 97 Selanjutnya UGM juga memenangkan komponen B2c ini dengan nilai proyek sebesar 30 miliar rupiah dan minimal 8% dari dana pendamping untuk memperkuat tiga pusat unggulan 97
UNAIR, Borang Akreditasi Program Studi Sarjana Farmasi FF Unair, 2010.
107
(Center of Excellence, CoE) yang telah ada.98 Kemudian IPB dengan tema proyek “Agriculture Adaptation in Response to Global Climate Change toward Food Security and Sovereignty”.99 Disini terlihat bahwa implementasi dari komponen ini mengincar PT yang telah “matang” dan memiliki nilai jual serta nilai lebih dibanding PT lain. Mencermati tema yang diangkat oleh masing-masing universitas pemenang ini, terlihat bahwa visi untuk menciptakan universitas yang berorientasi industrial merupakan visi besar yang didorong oleh Bank Dunia. Tema “Enterpreneurship”, “Pharmapreneurship”, dan “Agriculture Adaptation” merupakan wujud nyata dari reorientasi visi PT sebagai konsekuensi logis dari implementasi proyek IMHERE ini. 4. Bantuan Luar Negeri di Universitas Hasanuddin
Dalam situs resminya dijelaskan bahwa sebelum Universitas Hasanuddin resmi berdiri, telah berdiri Fakultas Ekonomi yang merupakan cabang Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Jakarta berdasarkan keputusan Letnan Jenderal Gubernur Pemerintah Hindia Belanda Nomor 127 tanggal 23 Juli 1947. Namun karena adanya ketidakpastian yang berlarut-larut dan kekacauan di Makassar dan sekitarnya maka fakultas yang dipimpin oleh Drs L.A. Enthoven (sebagai Direktur) ini dibekukan dan baru dibuka kembali sebagai cabang Fakultas Ekonomi UI pada 7 Oktober 1953 di bawah pimpinan Prof. Drs. G.H.M. 98
“UGM Menangkan Hibah IMHERE B2c” diakses melalui http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2369 pada 7 Juli 2012. 99 Penjelasan program IMHERE B.2.c oleh IPB ini dapat dilihat di http://imhere.ipb.ac.id diakses pada 12 Juli 2012.
108
Riekerk. Universitas Hasanuddin resmi berdiri pada tanggal 10 September 1956 dengan Prof. Drs. Wolhoff acting ketua dan Drs. Muhammad Baga sebagai sekretaris. Setelah fakultas ekonomi berdiri pada tahun 1947, maka satu persatu fakultas menyusul didirikan oleh pihak Unhas, yakni Fakultas Hukum tahun 1952, Fakultas Kedokteran tahun 1956, Fakultas Sastra tahun 1960, Fakultas Teknik tahun 1960, Fakultas Ilmu Sosial Politik tahun 1961, Fakultas Pertanian tahun 1962, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan tahun 1964, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan alam (masih bergabung dengan Fakultas Teknik dalam payung Fakultas Sains dan Teknologi) pada tahun 1976, Fakultas Kesehatan Masyarakat tahun 1982, Fakultas Kedokteran Gigi tahun 1983, hingga Fakultas Kelautan dan Perikanan yang didirikan pada tahun 1988. Pada 17 September 1981 Presiden RI Soeharto meresmikan Kampus Tamalanrea di atas tanah seluas 220 Ha. Sebelumnya, Unhas berlokasi di Kampus Barayya yang terletak dekat dengan pusat kota Makassar dengan letak fakultas yang terpisah-pisah. Dengan kampus baru di Tamalanrea ini, maka lokasi fakultas-fakultas telah disatukan ke dalam sebuah komplek yang berbentuk seperti huruf “U”. Kampus Tamalanrea ini dirancang oleh Paddock Inc., Massachustts, AS dan dibangun oleh OD 205, Belanda yang bekerjasama dengan PT. Sangkuriang Bandung.
109
Gambar 2: Peta Universitas Hasanuddin, Kampus Tamalanrea
Sejak dikeluarkannya SK Menteri PP dan K No. 3369/S Tanggal 1 1 Juni 1956 terhitung mulai 1 September 1956 dan dengan PP No. 23 Tanggal 8 September 1956, Lembaran Negara No. 39 Tahun 1956 yang secara resmi dibuka oleh Wakil Presiden RI Drs. Moh. Hatta pada tangggal 10 September 1956, UNHAS pernah dipimpin oleh sejumlah Rektor yaitu: 1. Prof. Mr.A.G. Pringgodigdo 1956 - 1957 2. Prof. Mr. K.R.M.T. Djokomarsaid 1957 - 1960 3. Prof. Arnold Mononutu 1960 - 1965 4. Let. Kol. Dr. M. Natsir Said, S.H. 1965 - 1969 5. Prof. Dr. A. Hafid 1969 - 1973 6. Prof. Dr. Ahmad Amiruddin 1973 - 1982 7. Prof. Dr. A. Hasan Walinono 1982 - 1984
110
8. Prof. Dr. Ir. Fachruddin 1984 - 1989 9. Prof. Dr. Basri Hasanuddin, M.A 1989 - 1997 10. Prof. Dr.Ir. Radi A. Gany 1997 - 2006 11. Prof. Dr.dr. Idrus A. Paturusi, Sp.BO 2006 – Sekarang (akan berakhir tahun 2014) Sampai dengan periode wisuda Maret 2007, Unhas telah meluluskan 110.189 alumni dari semua tingkat strata dan fakultas. Alumni ini terdiri dari 391 S3, 9670 S2, 22.856 Diploma, 6.129 S1 Ekstensi (regular sore), dan 71.243 orang untuk S1 dengan lama masa studi untuk seluruh program dan strata bervariasi. Pada tahun 2007, untuk program S1, lama masa studi umumnya masih di atas 4,5 tahun.
100
Dalam perkembangannya, Unhas telah memiliki 14 fakultas dan satu
sekolah pascasarjana. Dengan 46 Jurusan dan 60 program studi untuk S1 (dari semua fakultas), 38 program studi untuk S2, dan delapan program studi untuk S3. 101
Hingga tahun 2010, tercatat ada 22.431 mahasiswa aktif untuk program S1.
Sementara untuk program magister terdapat 1917 mahasiwa, untuk program doktoral 609 mahasiswa, dan program spesialis 992 mahasiswa. Sehingga total kapasitas mahasiswa pada tahun 2010 adalah 25.949 orang dengan 12.565 lakilaki dan 13.384 perempuan.102 Dengan kapasitas ini membuat Unhas sering dijuluki dengan “kampus terbesar di Kawasan Indonesia Timur (KTI)”. Dalam kaitannya dengan bantuan luar negeri, Unhas merupakan satusatunya universitas di KTI yang termasuk dalam 10 universitas penerima bantuan 100
Laporan Tahunan Rektor Universitas Hasanuddin tahun 2007, hal. 10. Data bidang Pendidikan Unhas tahun 2010/2011. 102 Data bidang Pendidikan Unhas tahun 2010/2011 tabel 4.1.14. Jumlah mahasiswa aktif menurut fakultas, jurusan, program studi strata pendidikan dan jenis kelamin semester akhir tahun 2009/2010 101
111
luar negeri tertinggi di Indonesia dalam kurun waktu 1980 hingga 1995. Unhas berada diperingkat tujuh untuk kategori tersebut. Sedangkan untuk 10 universitas dengan performa pemasukan mandiri, Unhas menempati posisi ke sepuluh pada tahun 1999. Hal ini memberikan gambaran kiprah Unhas dalam mengelola institusi dan membentuk dirinya menjadi universitas yang memiliki “nilai jual” untuk bantuan luar negeri. Tabel berikut menggambarkan posisi Unhas untuk kategori tersebut. Tabel 15: Penerima bantuan luar negeri tertinggi / Performa pemasukan mandiri. 10 teratas penerima bantuan luar negeri 1980-1995
10 teratas performa pemasukan mandiri 1999
Institut Pertanian Bogor (IPB)
Institut Teknologi Bandung (ITB)
Politeknik (3)
Universitas Indonesia (UI)
Institut Teknologi Bandung (ITB)
Institut Pertanian Bogor (IPB)
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Universitas Padjajaran (UNPAD)
Universitas Indonesia (UI)
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Institut Teknologi Sepuluh
Universitas Brawijaya (UNIBRAW)
November (ITS) Universitas Hasanuddin (UNHAS)
Universitas Sumatera Utara (USU)
Universitas Syah Kuala (UNSYIAH)
Institut Teknologi Sepuluh November (ITS)
Universitas Sumatera Utara (USU)
Universitas Diponegoro (UNDIP)
Universitas Diponegoro (UNDIP)
Universitas Hasanuddin (UNHAS)
Sumber: Jo Bastianes, International Assistance and State-University Relations, 2009. New York: Routledge, hal. 140 Pada tahun 1986 dan 1987 Unhas mendapat bantuan luar negeri melalui Program for University Development Cooperation (PUO) dari pemerintah Belanda untuk meningkatkan kesehatan organisasi. Program ini bertujuan untuk
112
mengupgrade pembelajaran dan pelatihan Pra- dan Para-klinik (termasuk dukungan untuk mendirikan Central Workshop Unhas pada tahun 1987). Program ini pula yang mendorong didirikannya Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi. 103 Unhas merupakan universitas pertama di luar pulau jawa yang terpilih untuk mendapatkan program tersebut. Dalam proses seleksi PUO II, organisasi internal dikategorikan sebagai "berbeda dari yang biasanya di Indonesia" 104 karena Unhas telah dipilih oleh Departemen Pendidikan sebagai proyek percontohan untuk mencari sebuah divisi baru terkait tanggung jawab antara fakultas (yaitu kontrol sumber daya) dan program studi (yaitu pemrograman akademik) sesuai dengan struktur matriks. Kerjasama awal dalam program ini diarahkan secara eksklusif untuk peningkatan pengajaran dan penelitian medis. Di masa kepemimpinan Rektor Idrus A. Patturusi, Unhas mengambil visi yang lebih bernuansa “lokalitas”. Visi Unhas yang tertulis dalam Rencana Strategis Unhas 2006-2012 adalah “Pusat Pengembangan Budaya Bahari”. Seperti yang tertulis dalam renstra tersebut, visi
ini
diangkat sebagai penegasan
pandangan Unhas sebagai communiversity, “perguruan tinggi yang menyatu dengan masyarakatnya, yang berperan untuk memperkaya khasanah budaya dengan
melakukan
aktualisasi
dan
revitalisasi
nilai-nilai
bahari
agar
senantiasa sesuai dengan spirit zaman (zeitgeist)”.105 Dengan posisi seperti ini, Unhas diharapkan dapat berevolusi
bersama
lingkungannya
membentuk
103
Jo Bastianes, International Assistance and State-University Relations, 2009. New York: Routledg, hal. 34 104 Van Olden, J. F., & Serpenti, L. M. (1983). Evaluation Report on the inter-university cooperation between the Universitas Hasanuddin (Ujung Pandang/Indonesia) and Erasmus University Rotterdam, 1979–1982. (Evaluation Report). The Hague: NUFFIC, hal. 8 105 Renstra Unhas 2006-2010 hal. 1
113
masyarakat
bahari
Indonesia
yang mampu memanfaatkan secara optimal
sumber daya dan lingkungan kelautan yang memang merupakan habitatnya. Untuk mencapai visi itu Unhas menjabarkannya ke dalam misi universitas dengan targetnya masing-masing. Adapun yang menjadi misi Unhas untuk tahun 2006-2010 adalah106: a. Menghasilkan alumni yang mandiri, berahlak dan berwawasan global. Misi ini diterjemahkan dalam bentuk disain kurikulum yang diarahkan untuk menghasilkan alumni yang selain sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional, yaitu memiliki landasan keimanan dan ketaqwaan serta berjiwa Pancasilais (personal skills), juga memiliki kompetensi yang memadai di bidang disiplin ilmu yang dipilihnya (professional skills). Di samping itu, memiliki kompetensi intelektual dalam wujud kesadaran, kepekaan, kearifan
dan
kemampuan
memecahkan
masalah yang
dihadapi masyarakat beserta lingkungannya (interdiciplinary skills), komitmen terhadap pengembangan budaya bahari, serta kemampuan beradaptasi dalam proses pengembangan diri agar senantiasa mampu memelihara interkoneksitas dengan lingkungannya (adaptability skills) b. Mengembangkan Ipteks yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya. Unhas memberikan prioritas tinggi kepada penelitian yang berkaitan dengan peningkatan nilai tambah dan pangsa pasar mataniaga dan jasa yang dihasilkan oleh masyarakat Sulsel dan Kawasan Timur Indonesia, di samping tetap membuka peluang bagi penelitian yang diarahkan untuk pengembangan ipteks. c. Mempromosikan dan mendorong terwujudnya nilai-nilai bahari dalam 106
Renstra Unhas 2006-2010
114
masyarakat. Misi pemberdayaan masyarakat dilakonkan Unhas dalam bentuk upaya berkesinambungan dalam melakukan aktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai bahari, yang kemudiaan dipromosikan dan diimbaskan kepada masyarakat agar khasanah budaya bangsa dapat terus diperkaya dan senantiasa sesuai dengan spirit zaman. Sebelum periode Rektor Idrus A. Patturusi, Unhas pernah mendapatkan proyek dana hibah kompetisi seperti TPSDP, DUE-Like, PHK, dan SP4. Sampai tahun 2006, hampir 90% atau 40 dari 46 departemen program studi/ISS di Unhas telah mendapatkan dana hibah kompetitif tersebut termasuk TPSDP (program studi 5 dan 1 ISS), DUE-Like (2 program studi), QUE Semi (6 departemen) PHK A1 dan A2 (6 departemen), dan Persaingan SP4 (18 departemen, termasuk Program Studi Ilmu Kelautan, Program Studi Budidaya dan 4 ISS) dengan nilai total hibah hampir Rp. 80 milyar.107 Unhas juga telah berpartisipasi dalam kompetisi proyek IMHERE sejak IMHERE Batch I diluncurkan. Selama Batch I kompetisi, Unhas bersama dengan UNAIR, UNIB, dan UNSUD telah berhasil lolos sampai ke tahap visitasi. Namun, hanya UNAIR dan UNIB berhasil lolos hingga tahap akhir. Dikesempatan berikutnya, Unhas ikut berpartisipasi lagi dalam kompetisi IMEHERE Batch II dan akhirnya memenangkan dana hibah kompetisi tersebut.
107
BOOK I: Self Evaluation Report: Hasanuddin University dikeluarkan oleh DIKTI, 15 Juni 2006, hal. 39.
115
BAB IV IMPLEMENTASI DAN DAMPAK BANTUAN BANK DUNIA DI INDONESIA 1. Implementasi Proyek IMHERE di Universitas Hasanuddin Untuk mememenangkan proyek IMHERE, Unhas telah berpartisipasi dalam kompetisi proyek IMHERE sejak IMHERE Batch I diluncurkan pada awal 2005. Pada waktu itu, Unhas melibatkan Prodi Kelautan dan Perkapalan. Namun, proposal tersebut gugur sejak tahap pertama. Kali kedua, Unhas memilih Budidaya Perairan dan Jurusan Kelautan sebagai prodi yang diusulkan. Dalam proses seleksi tersebut Unhas bersama dengan UNAIR, UNIB, dan UNSUD telah berhasil lolos hingga ke tahap visitasi institusi. Namun, hanya UNAIR dan UNIB berhasil lolos hingga tahap akhir. Dikesempatan berikutnya, Unhas ikut berpartisipasi
lagi
dalam
kompetisi
IMHERE
Batch
II dan akhirnya
memenangkan dana hibah kompetisi tersebut. Unhas termasuk 1 dari 7 universitas yang memenangkan sub komponen proyek IMHERE B.1 dan B.2.a. Ketujuh institusi tersebut adalah: 1. Universitas Hasanuddin 2. Universitas Jendral Sudirman 3. Institut Teknologi Sepuluh November 4. Universitas Brawijaya 5. Universitas Negeri Malang 6. Universitas Lampung
116
Unhas memenangkan proyek IMHERE B.1 (Improvement of Social Quality and Social Responsibilty) sebesar 10 Milyar. Program IMHERE B.1 ini diperuntukkan untuk peningkatan relevansi dan social responsibility Universitas melalui penguatan jurusan. Sedang untuk Program IMHERE B.2.a (Strengthening Institutional Management in Autonomous Public Education Institution) digunakan untuk perbaikan manajemen mutu yang sehat bagi universitas. Dana untuk B.2.a senilai Rp.3,9 Milyar dicairkan mulai Oktober 2007 dalam jangka 2 tahun.108 Dalam proposal proyek B1, Unhas memilih Jurusan Farmasi109 dan Program Studi Budi Daya Perairan Fakultas Kelautan dan Perikanan (BDP FKIP) sebagai icon unggulan. Kedua jurusan ini dipilih oleh Unhas karena telah berakreditasi A serta cakap dan jelas orientasi program kerjanya. 110 Selain itu, kedua jurusan ini merupakan jurusan dan program studi yang paling sesuai dengan visi Unhas 2006-2012 sebagai “Pusat Pengembangan Budaya Bahari”. Dalam proyek ini, Unhas mendapatkan sebesar Rp. 10 milyar dalam jangka 3,5 tahun dengan surat penerimaan hibah bertanggal 27 Maret 2007. Sebagai Direktur Eksekutif Program IMHERE di Unhas, ditunjuk Dr. Ir. H. Rusnadi Padjung, M.Sc.
108
Terkait tanggal pencairan dana ini terdapat perbedaan pendapat antara Direktur Eksekutif Program IMHERE Unhas dan pihak jurusan Farmasi dan BDP. Perbedaan ini dapat dibaca di “Mismanagement, I-MHERE Macet” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2007/11/no673tahun-xxxiiiawal-november-2007.html pada 12 Juli 2012. 109 Saat memenangkan proyek ini Farmasi masih berbentuk jurusan dibawah Fakultas MIPA Unhas. Jurusan Farmasi berubah menjadi Fakultas Farmasi pada 14 november 2007 dengan SK Rektor Unhas Nomor : 441/H4/O/2007 tertanggal 14 Maret 2007. Diakses melalui http://www.unhas.ac.id/content/fakultas-farmasi pada 12 Juli 2012. 110 “Umpan Tak Dilirik, Kuota Tak Terpenuhi” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2007/06/identitas-no-663-edisi-xxxiii-edisi.html pada 2 Juli 2012.
117
Sementara, untuk proyek IMHERE B.2.a digunakan untuk menciptakan praktek good governance dan budaya organisasi yang fokus untuk meningkatkan mutu pendidikan dan efisiensi manajemen. Seperti yang tertulis dalam Unhas Self Evaluation Report IMHERE Batch 2, melalui IMHERE, Unhas melakukan revitalisasi fungsi organisasi melalui peningkatan kinerja manajemen.111 Hal ini pun tertuang dalam Renstra Unhas 2003-2008 dimana dalam salah satu program strategis untuk Citra Unhas 2013 adalah “memiliki struktur organisasi dan manajemen sumberdaya yang efektif.” Program strategis ini terbagi ke dalam lima program utama, yakni: (i) pergeseran dari organisasi struktural ke organisasi pembelajaran; (ii) meletakan kelompok kepentingan yang setara dan/atau laboratorium sebagai garis depan dalam pengurusan akademik; (iii) membangun manajemen berbasis ICT; (iv) meningkatkan pemasukan mandiri; dan (v) melengkapi persyaratan administratif dan teknis untuk menjadi perguruan tinggi negeri yang otonom. Dari program strategis dalam Renstra Unhas di atas, Unhas menekankan program ketiga (membangun manajemen berbasis ICT) sebagai program yang paling berkaitan dengan tujuan proyek IMHERE komponen 2.2. Sejalan dengan itu, maka proyek IMHERE untuk Unhas ini diarahkan untuk 4 program utama, yakni: 1. implementasi sistem keuangan terpadu; 2. pengembangan sistem sumber daya manusia yang kredibel dan dapat diandalkan; 3. peningkatan sistem manajemen asset total universitas, dan; 111
Lihat dalam Dikti. Book I: Self Evaluation Report: Hasanuddin University. 2006. Jakarta: Dikti
118
4. revitalisasi sistem informasi manajemen akademik untuk mendukung sistem penjaminan mutu. Dalam rangka penguatan manajemen universitas ini, pada tahun 2007 Unhas telah mengirim sejumlah staf administrasi (PNS) untuk mengikuti pelatihan/training dalam bidang: Pengelolaan Keuangan, Pengelolaan Sumber Daya Manusia, Pengelolaan Asset dan Fasilitas, Pengelolaan ICT, serta Pengelolaan Akademik. Mereka yang telah mengikuti pelatihan kemudian mendapat tugas tambahan dengan bergabung dalam suatu tim (Taskforce) yang menyusun Sistem dan Prosedur Pengelolaan Sumber Daya pada aspek tersebut serta menjadi Pelatih in house training bagi pelaksana manajemen di lingkup Unhas. Sesuai dengan aspek yang dipelajari, peserta pelatihan terseleksi kemudian dikirim ke University of Tasmania (Australia), University of Sydney (Australia), University of South Caroline (USA), Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, atau Pusat Pengembangan Manajemen Jakarta.112 Untuk pengembangan manajemen berbasis IT, Unhas melakuakn perombakan sistem informasi manajemen akademik, sumberdaya, dan monitoring dan evaluasi (monev). Design perubahan itu dituangkan dalam tiga langkah implementasi yaitu:113 1. Membangun kebijakan ICT (ICT Policy) universitas
2. Integrasi data akademik dari seluruh unit-unit akademik 112
“Overseas Non Degree Training (ONDT) dan Domestic Non Degree Training (DNDT)” diakses melalui http://unhas.ac.id/peternakan/pengum.php? 57868104af3c0225183046a9307de888d03767b309bde91ed2773746e295d9fa pada 5 Agustus 2012. 113 Lihat Dokumen ICT-IMHERE Unhas, Program 4: Revitalization of Academic Management Information System to Support the Quality Assurance System. 2007. Makassar: Unhas
119
3. Meningkatkan kapasitas jaringan dan akses pengguna Unhas telah meluncurkan program ICT Policy Studies sejak tahun 2007. ICT Policy tersebut mencakup kebijakan pengembangan, pengelolaan dan pemanfaatan system informasi di Unhas. Kebijakan ICT ini juga mencakup sistem pendukung pengambilan keputusan (decision support system) yang berfungsi untuk membantu pimpinan dalam melakukan perencanaan dan analisa evaluasi diri yang lebih baik serta pengambilan keputusan yang berbasis data. Harapannya, keputusan-keputusan terkait kebijakan pendidikan yang diambil akan lebih obyektif.114 Langkah-langkah operasional pengembangan Sistem Informasi dan Manajemen (SIM) Unhas ini sebenarnya telah dilakukan sebelum proyek IMHERE bergulir, SIM Akdemik yang dipakai Unhas saat ini merupakan hasil pengembangan dari Sistem Informasi (SI) akademik sebelumnya yang telah dikembangkan dalam 4 periode.
Periode pertama, periode tahun 80-an
dikembangkan oleh tim Unhas. Periode kedua, dikembangkan oleh tim Dikti dengan nama Sistem Informasi Akademik (SIAKAD) pada tahun 90-an. Periode ketiga, dikembangkan melalui PHK TPSDP-Batch I pada tahun 2002 dengan nama Academic Information System (AIS). Periode keempat, dikembangkan melalui PHK INHERENT 2006 yang dikenal dengan Academic Information Management System (AIMS). Selanjutnya SI Akademik yang hanya berupa
114
Ibid.
120
pangkalan data sedang dan dikembangkan menjadi informasi akademik melalui PHK IMHERE Unhas 2007 dan 2008.115 Hasil dari perpaduan sistem yang dibangun dari program-program ini akhirnya diterapkan pada proses belajar dengan dukungan teknologi dalam Sistem Aplikasi Belajar Mengajar yang meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
e-Learning (Learning Management System - LMS) Registrasi online (Sistem Informasi Akademik) Pengisian formulir rencana studi (Sistem Informasi Akademik) Daftar nilai online (Sistem Informasi Akademik) Jadwal kuliah online (Sistem Informasi Akademik) Absensi online (Sistem Informasi Akademik dan Learning Management
System - LMS) 7. Proxy Library116 Melalui program IMHERE ini pengolahan data menjadi informasi pada masingmasing SIM saling diterintegrasikan. Hal ini dilakukan untuk mendukung Sistem Analisis Pengambilan Keputusan yang merupakan misi utama dari komponen ini. Namun, dalam pengaplikasian di lapangan, masih belum menunjukan perubahan komperhensif dari sistem informasi ini. Masih terdapat beberapa fakultas yang belum memiliki infrastruktur jaringan (baik kabel maupun wireless) sehingga pengajaran dan pelayanan berbasis online yang ingin dicapai dalam program ini tidak berjalan. Pada prakteknya, beberapa fakultas seperti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta Fakultas Sastra (Sekarang menjadi Fakultas Ilmu Budaya) belum dapat menggunakan daftar nilai online dan absensi online
115
Unhas, Draft Sitem Informasi Universitas Hasanuddin Standar 11 (PTIK dan I-MHERE). Dokumen tidak diterbitkan. Makassar: Unhas 116 Dapat diakses melalui URL: http://10.0.1.7/proxylib/public_html/index.php?menu=home
121
dalam proses pembelajarannya. Masih sangat jarang juga ditemukan dosen yang memaksimalkan sistem informasi akademik untuk keperluan pembelajaran. Dari pengamatan penulis, ketersediaan jaringan internet di Unhas lebih banyak digunakan untuk fungsi-fungsi non-akademik (seperti untuk media sosial dan download film) dibanding untuk fingsi-fungsi yang sifatnya akademis. Untuk sistem pengisian KRS online, dalam pelaksaannya sebenarnya belum sepenuhnya “online”. Dalam artian, mahasiswa yang mau mengurus KRS pada kenyataannya masih harus mengurus administrasi dan bimbingan bersama Pembimbing Akademik (PA) secara “off-line” atau manual. Hal ini menimbulkan kerancuan manajemen karena misi untuk “memudahkan” pada akhirnya tidak tercapai karena ketidaksiapan prasarana dan sumber daya. Selain peningkatan manajemen berbasis IT, Unhas mengelola program B.1 untuk social quality dan social responsibility. Unhas mengangkat fokus untuk memecahkan persoalan udang dan rumput laut di Sulawesi Selatan melalui community
development. Unhas mencoba memberi solusi kepada
masyarakat khususnya petani tambak, bagaimana cara menggenjot produksi rumput laut dan udang yang sempat terpuruk.117 Tema ini dipilih sebagai bentuk keprihatinan Unhas melihat produksi udang Sul-Sel yang jauh di bawah standar nasional yakni 2 ton/tahun. Sul-Sel pertahunnya hanya menghasilkan 26 ribu ton dengan luasan sekitar 98 ribu hektar lebih. Jumlah tersebut tertinggal jauh dari Thailand yang dalam setahun bisa memproduksi 310 ton dengan luasan yang hampir sama. Begitupun, Indonesia yang dikenal sebagai penghasil rumput laut 117
“BDP
dan
Farmasi
Menggaet
I-MHERE”
diakses
melalui
http://www.identitasonline.net/2007/05/bdp-dan-farmasi-menggaet-i-mhere.html pada 2 Juli 2012.
122
terbesar kedua di dunia118, tapi tidak bisa menunjang kesejahtraan hidup penduduknya. Untuk mencapai target tersebut, BDP dan Farmasi menjalin sinergitas program untuk pengembangan masyarakat. BDP berperan dalam mengupayakan teknologi budidaya dan pengolahan, sedangkan Farmasi menyiapkan probiotik yang efektif untuk menuntaskan permasalahan pada udang dan rumput laut, terutama masalah penyakit, pelestarian lingkungan tambak, dan diversifikasi produk tambak.119 Untuk hasil yang lebih optimal Unhas bekerjasama dengan Dinas Provinsi Sulawesi Selatan, Pemda Pinrang, PT. Bantimurung Indah serta Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Sulawesi Barat di Mamuju. Selain program pengembangan masyarakat, dana IMHERE B.2.a Unhas digulirkan untuk “program outreach”-nya dimana dana IMHERE digunakan untuk memberi akses bagi pelajar dari keluarga miskin yang secara akademik tergolong mampu, khususnya di daerah pesisir. Mahasiswa yang dipilih adalah anak petani tambak, petani rumput laut yang bermukim didaerah pesisir seperti Takalar, Jenneponto, Pangkep, Pinrang yang merupakan wilayah Sulawesi Selatan serta daerah di Sulawesi Barat.120 Program ini melalui jalur penelusuran minat dan 118
“Indonesia Penghasil Rumput Laut Terbesar” diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2007/11/28/056112513/Indonesia-Penghasil-Rumput-LautTerbesar pada 1 agustus 2012. 119 Dalam pelaksanaan proyek penelitian farmasi ini mengalami hambatan yang signifikan yaitu kasus terbakarnya gedung lantai lima dan enam fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin, di kawasan Tamalanrea Makassar, Minggu pagi (5/7/2009) yang menghanguskan sedikitnya 20 proyek penelitian IMHERE yang hampi rampung. Diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2009/07/05/058185301/Kebakaran-Unhas-Ludeskan-20-ProyekPenelitian-Farmasi pada 1 agustus 2012.
120
“Unhas Mencari Mahasiswa Asal Pesisir” diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2008/01/04/058114768/Unhas-Mencari-Mahasiswa-AsalPesisir pada 12 Juli 2012.
123
bakat, mahasiswa yang terpilih menentukan program pilihannya namun tetap diarahkan untuk mengisi program studi yang peminatnya berkurang. Untuk uang SPP, Unhas akan menanggungnya, selain itu bagi yang berprestasi IMHERE menyiapkan beasiswa untuk para mahasiswa tersebut. IMHERE di Unhas juga dipergunakan untuk dana 5 juta kepada mahasiswa dari semua fakultas yang ingin mengadakan penelitian atau penyusunan skripsi dengan syarat topiknya tetap pada tema besar yang diangkat oleh Unhas. Sebagai “kompensasi” BDP mendapat “jatah” tiga mahasiswa dari BDP serta Farmasi sedangkan empat beasiswa lainnya untuk fakultas-fakultas lain.121 Pendaftaran grand-beasiswa penelitian ini dibuka pada bulan April 2008. Pada tahap awal, mahasiswa yang mendaftarkan diri ada 15 orang. Ke 15 orang mahasiswa ini kemudian berkompetisi yang akhirnya menghasilkan lima besar proposal penelitian yang dianggap terbaik oleh Tim IMHERE. Namun dalam pelaksanaan program ini terdapat kekecewaan dari pihak mahasiswa yakni kurangnya sosialisasi dan informasi seputar beasiswa ini. Kekecewaan lain adalah tentang ketidakkonsistennya para penyeleksi proposal terhadap penentuan pemenang grand beasiswa. Sebab, pada awal sosialisasi selalu ditekankan bahwa dana hibah IMHERE ini harus berkaitan dengan rumput laut dan udang (sebagaimana target proyek). Namun setelah pengumuman pemenang keluar pada bulan Agustus 2008, terdapat dua pemenang yang penelitiannya sama sekali tak berkaitan dengan dua komoditas budidaya tersebut.122 Hal ini tentu menjadi 121
“BDP dan Farmasi Menggaet I-MHERE” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2007/05/bdp-dan-farmasi-menggaet-i-mhere.html pada 2 Juli 2012. 122 Idham Malik, “Anomali Grand Beasiswa Penelitian I-MHERE BDP” diakses melalui http://akuakulturunhas.blogspot.com/2008/10/anomali-grand-beasiswa-penelitian-i.html pada 11 Juli 2012.
124
perhatian tersendiri bagi pelaksanaan proyek IMHERE di Unhas. Dari kejadian ini nampak bahwa kultur akademik yang mengedepankan nilai-nilai objektivitas dan konsistensi belum dipahami dan dijalankan dengan sepenuhnya oleh pelaksana kebijakan. Bahkan, antara pelaksana program IMHERE sendiri mengakui bahwa manajemen dan koordinasi yang buruk membuat proyek ini berjalan lambat. 123 Untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan proyek maka program dan strategi implementasi proyek IMHERE ini diawasi dan dievaluasi secara ketat melalui mekanisme monitoring dan evaluasi internal dan eksternal. Mekanisme ini dijalankan agar pelaksanaan dilapangan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemberi dana, dalam hal ini Dikti dan Bank Dunia. Sistem monitoring dan evaluasi berbasis ICT ini telah diterapkan Unhas melalui sistem monev dalam jaringan (http://monev.ictsolusi.com) yang dapat diakses oleh pihak-pihak yang memiliki tanggungjawab dan kewenangan atas pelaksaan proyek dan rencana strategi Unhas. Mekanisme ini memungkinkan monitoring dan evaluasi dilakukan secara detail berdasarkan indikator-indikator pencapaian yang terukur. Sistem ini merupakan sistem yang dibuat untuk mempermudah pengambilan keputusan (decision support system). Dimana sistem ini juga berfungsi untuk membantu pimpinan dalam melakukan perencanaan dan analisa evaluasi diri yang terukur serta pengambilan keputusan yang berbasis data. 2. Dampak Bantuan Luar Negeri terhadap Kebijakan Pendidikan di Universitas Hasanuddin 123
“Mismanagement, I-MHERE Macet” diakses melalui
http://www.identitasonline.net/2007/11/no-673tahun-xxxiiiawal-november-2007.html pada 12 Juli 2012.
125
Implementasi proyek IMHERE di Unhas senilai Rp. 12 Miliyar ini tentu memiliki dampak yang besar terhadap kebijakan pendidikan yang dijalankan oleh penyelengara pendidikan di Unhas. Proyek ini tidak hanya berdampak pada halhal yang sifatnya teknis saja, akan tetapi juga berdampak secara sistemik pada paradigma pendidikan, arah kebijakan, dan pola penyelenggaraan pendidikan di Unhas dan Indonesia secara umum. Pergeseran ini tidak terjadi begitu saja atas kemauan dari aktor penerima bantuan luar negeri. Namun, seperti yang ditulis Yanuar Ikbar dalam buku “Ekonomi Politik Internasional 2” bahwa keinginan pihak pemberi dapat dilandasi oleh berbagai kepentingan biasanya ekonomis dan politis. Pihak penerima pun menggunakan pikiran-pikiran yang serupa ekonomis dan politis ketika menerima bantuan tersebut. Dalam konteks penelitian ini, apa dampak dari bertemunya kepentingan pihak pemberi dan pihak penerima proyek IMHERE? IMHERE sebagai proyek yang digelontorkan oleh Bank Dunia pastilah tidak lepas dari kepentingan ekonomi-politik Bank Dunia untuk sektor pendidikan. Hal ini sebagaimana pendapat Carlos Alberto Tores dalam “Education and Neoliberal Globalization” tentang peran Bank Dunia sebagai agen regulasi dari kapitalisme global. Argumen dasar Tores tentang peran Bank Dunia adalah: sebagai bank, Bank Dunia adalah tempat pinjam-meminjam, bukan sebuah lembaga donor. Oleh karenanya, seperti yang telah dijelaskan pada bab II dan III, Bank Dunia sebagai institusi penyedia modal internasional tidak bisa terlepas dari kepentingan negara-negara donatur yang mengumpulkan dananya pada lembaga internasional ini.
126
Pada bagian bab ini kita akan menganalisis guliran dana IMHERE dengan total dana 98,267.000 Dolar AS ini dengan menggunakan pendekatan model klasifikasi Martin Carnoy seperti yang telah dijelaskan pada Bab I. Carnoy telah mengklasifikasikan proses reformasi ini ke dalam tiga tipe reformasi. Reformasi tipe pertama adalah “reformasi berbasis kompetisi” (competition-based reforms); selanjutnya, reformasi yang hadir untuk merespon pengurangan anggaran dalam sektor publik maupun swasta yang diistilahkan sebagai “reformasi berbasis financial” (reform based on financial imperative). Dan ketiga, reformasi yang berusaha untuk meningkatkan peran politis pendidikan sebagai faktor utama dari mobilitas dan kesetaraan sosial atau disebut “reformasi berorientasi kesetaraan” (equity-driven reforms).124 Pada bagian ini kita akan menganalisis apakah model Carnoy ini juga terjadi pada konteks implikasi bantuan Bank Dunia dalam program IMHERE di Unhas? 2.1.
Competition-Based Reform Berdasarkan penjelasan Carnoy tentang kategorisasi reformasi pendidikan
tinggi yang terjadi atas tuntutan globalisasi dan bantuan luar negeri (Carnoy mengangkat OECD sebagai aktornya), untuk reformasi jenis pertama, competition-based reform, tercirikan dari empat strategi konvensional yaitu dorongan
untuk
menerapkan
desentralisasi
pengelolaan
pendidikan
dan
administrasi sekolah, penerapan standard dan norma pendidikan yang baru yang biasanya diukur melalui test yang ketat (perubahan ke arah akuntabilitas dan 124
Lihat Martin Carnoy. Globalization and Educational Reform: What Planners Need to Know. 1999. UN: Unesco, hal. 37-46 dan Carlos Alberto Torres, Education and Neoliberal Globalization, 2009, New York: Routledge, hal. 16
127
standard baru), pengenalan metode belajar mengajar baru yang diarahkan untuk mendapatkan kualitas yang baik dengan pengeluaran dana yang sedikit (low-cost), dan peningkatan proses seleksi dan pelatihan bagi guru dan dosen. Reformasi bebasis kompetisi ini terlihat jelas dalam implementasi IMHERE di Indonesia, Panduan Prosedur dan Operational atau Operational Procedure Manual (OPM) proyek (IMHERE) menyebutkan bahwa tujuan dari IMHERE komponen proyek A senilai US$ 7,779,000 adalah untuk memberikan dukungan
kepada
Ditjen
Dikti
untuk
mengimplementasikan
Strategi
Pengembangan Jangka Panjang Pendidikan Tinggi (HELTS) melalui penataan aspek legal perundangan, untuk pengembangan kapasitas pengelolaan Ditjen Dikti, peningkatan kemampuan BAN untuk melaksanakan akreditasi institusi, dan pengembangan strategi untuk merevitalisasi Universitas Terbuka yang merupakan suatu institusi pembelajaran berkelanjutan terbesar di Indonesia. Komponen ini mengangkat “Reformasi Sistem Pendidikan Tinggi” sebagai tema besar komponen proyek. Dalam dokumen resmi IMHERE Project Information Document (Pid) Appraisal Stage Report No.: Ab1414 disebutkan bahwa permasalah utama sektor pendidikan tinggi Indonesia diantaranya adalah jangkauan (coverage) dan kualitas (quality). Sejumlah 81 PTN di Indonesia menampung sekitar 40% dari keseluruhan populasi mahasiswa Indonesia. 60% sisanya ditampung oleh sekitar 200 PTS yang tersebar diseluruh Indonesia dengan berbagai macam jenis institusi.
128
Selain jangkauan, masalah kualitas merupakan masalah utama yang diangkat dalam tujuan utama dan indikator keberhasilan proyek. Bank Dunia meluncurkan program peningkatan mutu akademik dan kinerja institusi untuk menjawab permasalah-permasalahan kualitas seperti yang diangkat dalam dokumen resmi IMHERE. Permasalahan itu di antaranya adalah sedikitnya jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang bersaing di tingkat Internasional. Universitas terbaik di Indonesia hanya menempati posisi 61 dari 77 universitas terbaik berdasarkan survey Asia Week. Berdasarkan standar dari Badan Akreditasi Nasional, pada tahun 2000 hanya 9,1% dari 4.295 program sarjana yang mendapatkan predikat “sempurna”, 44,8% predikat “baik”, 38,9% berpredikat “memuaskan”, dan sisanya 7,2% dinyatakan “gagal”.125 Alasan-alasan ketertinggalan daya jangkau dan kualitas ini juga dipakai oleh Bank Dunia untuk mempromosikan program reformasi perguruan tinggi. Melaui program komponen A (reformasi sistem) dan B (penciptaan mutu dan kinerja institusi) pergeseran-pergeseran dan reformasi yang telah dijalankan sebelumnya oleh Bank Dunia melalui program-program bantuan luar negeri, semakin dikukuhkan untuk membangun sistem dan tata kelola yang mendukung usaha untuk menyiapkan sektor pendidikan tinggi siap menghadapai liberalisasi sektor jasa pendidikan dan menyediakan tenaga kerja murah. Sejak Indonesia meratifikasi untuk memasukan sektor pendidikan tinggi ke dalam sektor jasa yang dapat diliberalisasi, Bank Dunia secara aktif menawarkan pinjaman untuk sektor pendidikan Indonesia. Dimana syarat pemberian pinjaman tersebut adalah 125
Bank Dunia. IMHERE Project Information Document (Pid) Appraisal Stage Report No.: Ab1414. 2005
129
Indonesia haruslah mereformasi dan memoderenisasi sektor pendidikan tingginya agar dapat bersaing dalam kacah perdagangan jasa pendidikan global. Jelaslah bahwa alasan untuk menerapkan reformasi yang berbasis kompetisi terbaca jelas dari tujuan dan indikator program IMHERE ini. Di tingkat implementasi, empat strategi konvensional yang dikatkan Carnoy sebagai pilar utama competition-based reform juga terjadi, dapat kita lihat antara lain pada: 1. Dorongan untuk menerapkan desentralisasi pengelolaan pendidikan dan administrasi Hal ini terlihat jelas pada bagaimana usaha Bank Dunia untuk mendesak disahkannya UU BHP pada tahun 2010. Melalui Sub-komponen proyek-A.1 UU BHP lahir. UU yang disahkan pada Desember 2008 ini terdiri dari 69 pasal. UU BHP ini menjadi pijakan hukum untuk pengalihan status dari PTN menjadi PT BHMN. UU BHP ini merupakan turunan dari UU Sisdiknas Pasal 53 yang mengharuskan setiap penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat untuk berbentuk badan hukum pendidikan.
Bentuk
penyelenggaraan
BHP
ini
mengharuskan
setiap
penyelenggaraan pendidikan tinggi berbentuk otonom (PT BHMN) dengan prinsip kompetisi nir-laba. UU BHP ini juga mengubah pola penyelenggaraan pendidikan dari yang semulanya terpusat menjadi terdesentralisasi. Pemerintah berubah fungsi dari semulanya sebagai operator pendidikan menjadi sekedar fasilitator saja. Universitas diberikan kebebasan secara akademik dan non-
130
akademik institusinya. Hal ini membuka pintu bagi praktek penyelewengan otonomi kampus dengan menaikan ongkos pendidikan, mengingat dengan UU BHP tanggungjawab pembiayaan untuk penyelenggaraan pendidikan tidak lagi sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Tidak hanya itu, UU BHP juga melegalkan praktek bisnis di lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah dan kampus) karena mengizinkan BHP untuk melakukan investasi dalam bentuk portofolio maupun mendirikan badan usaha komersial.126 Unhas sejak Juli 2005 telah mengirimkan proposal persiapan BHP-nya ke Dikti dan pada tahun 2006 gagal mendapatkan hibah kompetisi IMHERE untuk pendanaan persiapan BHP. Unhas perlu memenangkan IMHERE untuk “naik status” dari PTN biasa menjadi BHMN. Karena kegagalan itu, maka Unhas merevisi kembali dokumen BHP-nya untuk kemudian diserahkan ke Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) Dikti pada Januari 2006.127 Perubahan status ini diperlukan agar Unhas bisa naik level ke tingkat Universitas BHMN. Pada level ini, besar dana hibah yang akan didapat lebih besar dari level untuk PT yang belum otonom. Unhas baru mendapatkan kompetisi hibah IMHERE itu di kesempatan kedua. Sebagai langkah awal untuk merubah pola pikir tentang otonomisasi kampus, maka dengan menggunakan dana program tersebut, pada tanggal 4-19 Agustus 2008, David Williams dari "Kurtis Paige Initiatives Consultant" (Sydney) diundang untuk memberikan bimbingan teknis kepada tim pembuatan 126
Darmaningtyas, dkk. Tirani Kapital dalam Pendidikan. 2009. Jakarta: Damar Press, hal. 274 “Apa Kabar BHP ?” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2006/10/apa-kabarbhp_116101835749941858.html pada 12 Juli 2012. 127
131
sistem dan prosedur manajemen SDM universitas. Pembahasan Davis Williams pada waktu itu difokuskan pada otonomi universitas dan peran pimpinan dalam menghela sebuah perubahan.128 Ini merupakan upaya pihak Unhas untuk memberi dorongan kepada personilnya dengan pengetahuan dan ketrampilan untuk menjadi universitas yang otonom. Disini nampak bahwa dana IMHERE sangat berperan dalam membentuk paradigm baru para pelaksana lapangan dan pengambil kebijakan di lingkungan Unhas. Diskusi oleh David Williams ini menjadi menarik untuk dicermati karena dihadiri oleh stake-owner rektorat yang bertanggungjawab untuk menjalankan program IMHERE di Unhas. Hal lain yang menarik adalah, dalam pembahasan tersebut terbahasakan bahwa “change” yang harus diambil oleh Unhas merupakan akumulasi dari faktor-faktor determinan yang menjadi kondisi strategis Unhas yakni: “pressure of change”, “clear shared vision””, “capacity for change”, dan actionable first step”. Dari sini jelas bahwa perubahan dan reformasi yang harus dilakukan oleh Unhas juga disebabkan oleh “pressure for change” atau dorongan untuk berubah. Adapun perubahan yang dimaksud adalah perubahan-perubahan sistemik yang dituntut oleh UU BHP, maupun UU lain yang menyangkut keharusan untuk desentralisasi pengelolaan. Perubahan itu juga mencakup perubahan mekanisme pendanaan dan paradigma pendidikan. Momen diskusi ini merupakan internalisasi paradigm reformasi dalam lingkup Unhas.
128
“Diskusi Filosofi Otonomi” diakses melalui http://lantai6rektorat.blogspot.com/2008/08/diskusi-filosofi-otonomi.html pada 1 Agustus 2012
132
Saat UU BHP dibatalkan oleh MK sehingga tidak memiliki kekuatan hukum tetap, Unhas tetap melaksanakan perubahan pengelolan sebagai usahanya untuk “naik level”. Unhas menerapkan sistem pengelolaan Badan Layanan Umum (BLU) mulai tahun 2008. Sistem BLU sebenarnya diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2005 telah disahkan dan diterapkan melalui koordinasi Kementrian Keuangan. Sistem BLU ini dapat diterapkan oleh semua badan pemerintah dengan menerapkan sistem pengelolaan asset dan keuangan secara otonom, termasuk untuk institusi pendidikan tinggi.129 Melalui sistem ini Unhas mulai mengelola keuangan dan assetnya. Konsekuensinya adalah Unhas harus menata kembali asset dan sumber pemasukannya. Asset-asset yang dulu terbengkalai seperti hutan Unhas, marine station, tanah Unhas di beberapa kabupaten, dan asset-asset lainnya didata kembali untuk dijadikan sebagai sumber penghasilan yang baru. Arus protes sempat mencuat saat Unhas mulai memberlakukan tarif pakai untuk gedung-gedung dan fasilitas kampus lainnya seperti Baruga AP. Pettarani, Gedung IPTEKS, Gedung PKP, dan bus Unhas. Diberlakukannya tarif ini adalah konsekuensi dari berkurangnya subsidi pemerintah untuk universitas sehingga Unhas harus membuka pundi-pundi penerimaan dari asset-asset yang ada. Sementara oleh mahasiswa, hal ini dinilai sebagai praktek komersialisasi fasilitas kampus.
130
Logika sederhana yang dipakai oleh mahasiswa adalah “mengapa kita
harus menyewa kamar di rumah kita sendiri?”. Jika Unhas dianggap sebagai 129
Pengelolaan tersebut mencakup: pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, pengelolaan piutang dan utang, investasi, pengelolaan barang, akuntansi, remunerasi, surplus/deficit, status kepegawaian pns dan non pns, dan nomenklatur kelembagaan dan pimpinan. Presentasi Direktorat Pembinaan PK BLU Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan RI, Implementasi Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Surakarta, 16 Februari 2009. 130 “Komersialisasi Terjadi, Mahasiswa Unhas Tolak BHP“ diakses melalui
http://news.okezone.com/read/2007/12/03/1/65385/komersialisasi-terjadi-mahasiswaunhas-tolak-bhp pada 12 Juli 2012 133
“rumah”, maka menggunakan fasilitas-fasilitas kampus sudah selayaknya menjadi hak yang tidak perlu dibebani biaya. 2. Penerapan standar dan norma pendidikan yang baru yang biasanya diukur melalui test yang ketat (perubahan ke arah akuntabilitas dan standard baru) Indikasi ini jelas terdapat pada sub-komponen A.2 yang bertujuan untuk memperkuat sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi dan mempersiapkan transisi sistem akreditasi dari akreditasi program studi menjadi akreditasi institusi.dan akreditasi asosiasi profesi (seperti arsitek, insinyur, atau dokter). Program senilai 448,000 Dollar AS juga digunakan untuk technical assistance, training, dan komponen fisik lain yang diperlukan juga dilaksanakan melalui subkomponen ini. Atas dorongan reformasi yang dibawa oleh program IMHERE, maka standar-standar baru dalam penyelengaraan pendidikan tinggi. Di Unhas standarstandar itu diterapkan dalam wujud meningkatkan parameter kualitas akademik yang terukur. Dalam Renstra Unhas 2006-2010 disebutkan misalnya bahwa untuk memperbaiki kualitas maka Unhas meningkatkan standarnya dengan parameter ratio dosen-mahasiswa dari 1:17 pada tahun 2002 ditingkatkan menjadi 1:10; ratio dosen berpendidikan lanjut dari 6.61% (2002) menjadi 90%; tingkat pemanfaatan internet 0,5 Kbps / mahasiswa; jumlah mahasiswa dengan IPK < 2.75 kurang dari 25%; persentase mahasiswa yang lulus tepat waktu minimal 60%.131 Standar-standar ini dipakai sebagai usaha untuk level mahasiswa Unhas 131
Rencana Strategi Unhas 2006-2010, hal. 53
134
dalam merespon tuntutan global dan nasional tentang kualitas lulusan. Untuk pengakuan di tingkat internasional, Unhas juga mulai membuka menaikan mengembangkan kelas
internasional.
Program
kelas
internasional akan
diarahkan pada fakultas yang memiliki program studi berakreditasi A, misalnya untuk Program Pendidikan Dokter pada Fakultas Kedokteran. Standar baru ini diterapkan sebagai jawaban atas rendahnya kualitas lulusan juga menjawab tuntutan dunia kerja dan struktur industrial yang membutuhkan ketersedian tenaga kerja murah namun memiliki kualifikasi akademis dan soft skill yang diperlukan. Namun satu hal yang menjadi perhatian adalah bahwa standar-standar yang dipakai ini sangatlah mekanistik dan positifistik misalnya dengan menerapkan standar-standar minimal IPK rata-rata dan durasi masa kuliah sesingkat mungkin (14 semester maksimal dengan ukuran “normal” 3,5 tahun/7 semester). Standar-standar ini akhirnya berdampak pada pola pikir dosen dan mahasiswa yang hanya berlomba-lomba untuk mencetak mahasiswa dengan IPK tinggi dan masa kuliah tercepat. Setiap wisuda, para mahasiswa dengan nilai IPK dan masa kuliah tercepat diberikan “award” berupa wisudawan/wisudawati terbaik dan diberi kesempatan untuk berpidato. Standar ini pada akhirnya menciptakan mental-mental mahasiswa yang hanya mengejar IPK dan selesai secepatnya tanpa memperdalam ilmu pengetahuan, kemampuankemampuan dasar, serta melaksanakan fungsi-fungsi intelektualnya dalam kampus maupun dalam masyarakat. Pada ranah manajemen dan tata kelola, karena dana IMHERE menekankan pada syarat dan indikator peningkatan mutu dan tata kelola maka setiap unit
135
pendidikan tinggi dituntut untuk memiliki standar pelayanan yang diukur dalam standar-standar industrial seperti layaknya korporasi. Perguruan tinggi yang telah memenuhi standar tertentu dalam memberikan kepuasan kepada “pelanggan” ditandai dengan pemberian sertifikasi ISO (International Standard Organization). ISO ini merupakan standar penjamin mutu yang memuat ukuran-ukuran dan perangkat teknis administratif untuk menjami kepuasan pelanggan. Unhas sendiri saat ini telah mulai menggunakan sistem penjamin mutu ini sejak 2009. Melalui perusahaan penjamin mutu SAI Global, pertama-tama Prog Pascasarjana Universitas Hasanuddin mendapatkan lisensi ISO untuk pelayanan akademik pada 1 Sep 2008. Kemudian Rektorat Unhas mendapatkan sertifikat ISO 9001:2008 dalam juga hal penyediaan pelayanan administrasi akademik (No. Lisensi: QEC26865). Sementara untuk fakultas, hingga saat ini baru dimiliki oleh Fakultas Farmasi. Lebih jauh, standar-standar baru juga didorong untuk diterapkan pada level program studi, jurusan, dan universitas melalui program IMHERE komponen A.2. Standar-standar ini mencakup standar tentang komitmen perguruan tinggi terhadap kapasitas institusional (institutional capacity) dan komitmen terhadap efektivitas program pendidikan (educational effectiveness), yang dikemas dalam tujuh standar akreditasi, yaitu: 132 1) Visi dan Misi; 2) Tatapamong dan Kepemimpinan; 3) Kemahasiswaan dan Lulusan; 4) Sumber daya manusia; 5) Pembelajaran, Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat dan
132
Dokumen BAN-PT, Naskah Akademik Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi. 2008. Jakarta: BAN PT, hal. 6-7
136
Kerjasama; 6) Pendanaan, Sarana, dan Prasarana; dan 7) Sistem Penjaminan Mutu dan Manajemen Informasi. Seperti halnya standar kualifikasi mahasiswa di atas, standar-standar ini juga merupakan standar yang digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam transfer kredit perguruan tinggi, pemberian bantuan dan alokasi dana, serta pengakuan dari badan atau instansi yang lain. Oleh karenannya, Unhas mendorong setiap program studi, jurusan, dan fakultas untuk meningkatkan standar akreditasnya. Hingga tahun 2011 telah ada 52 program studi yang telah terakreditasi oleh BAN-PT dari total sebanyak 60 program studi di Unhas. 133 Program-program
studi
dan
fakultas-fakultas
“berlomba-lomba”
untuk
mendapatkan nilai akreditasi yang memadai. Hal ini terjadi karena nilai akreditasi akan mempengaruhi besar alokasi pendanaan baik dari universitas maupun dari skema-skema pendanaan lainnya. Selain itu, akreditas juga mempengaruhi “nilai jual” lulusan di bursa kerja. Sehingga menjadi tanggungjawab moral-struktural bagi setiap program studi/jurusan/fakultas untuk mendapatkan akreditas yang baik. Akan tetapi, sistem akreditasi yang digunakan sebagai standar penjaminan mutu ini memiliki kelemahan mendasar yakni kondisi riil di lapangan bahwa kondisi kemampuan fasilitas maupun sumber daya yang tidak sama. Dimana terdapat program studi maupun fakultas yang lebih maju dibanding yang lainnya. Seharusnya program studi atau fakultas yang masih “tertinggal” secara fasilitas 133
Dokumen KBK Dan Status Akreditasi Prodi Di Universitas Hasanuddin, diakses melalui
http://unhas.ac.id/lkpp/index.php?option=com_content&task=view&id=221&Itemid=108 pada 11 Juli 2012.
137
dan sumber daya (yang nilai akreditasnya rendah) mendapatkan porsi anggaran yang lebih atau minimal sama dengan program studi yang telah “maju”, karena program studi atau fakultas tersebut memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk mengembangkan dirinya. Akibatnya standar baru ini menciptakan klasifikasiklasifikasi kelas di antara mahasiswa maupun antar program studi/fakultas. Lahir kemudian prodi dan fakultas unggulan (seperti Pendidikan Dokter, Fakultas Hukum,
Ilmu
Akuntansi
dan
Ilmu
Hubungan
Internasional)
dan
prodi/jurusan/fakultas yang mengalami kekurangan peminat (misalnya Jurusan Sastra Daerah dan jurusan-jurusan di Fakultas Pertanian). Perbedaan klasifikasi ini berakibat pada semakin lebar kesenjangan antar fakultas atau jurusan. Pada jangka panjang, kesenjangan ini berujung pada ditutup atau dileburnya jurusanjurusan atau program studi yang minim peminat. 3. Pengenalan metode belajar mengajar baru yang diarahkan untuk mendapatkan kualitas yang baik dengan pengeluaran dana yang sedikit (low-cost) Untuk mendukung perubahan standar-standar baru yang diterapkan dalam skala nasional, secara mendasar juga terjadi perubahan kurikulum nasional dari yang sebelumnya menggunakan content-based (Kemendikbud No. 056/U/1994) menjadi competence-based atau kurikulum berbasis kompetensi (Kepmendiknas No. 232/2000). Dengan terbitnya Kepmen No. 232/U/2000 dan Kepmen No. 045/U/2002 maka kurikulum Unhas juga diarahkan ke KBK. Adapun kompetensi dimaknai sebagai kapasitas seseorang untuk melakukan tindakan cerdas dan bertanggung-jawab sesuai dengan bidang keahliannya. 134 134
Presentasi Prof. Dadang Sumihardja, Bidang Akademik Unhas, Makassar, Juni 2012.
138
Pada konteks Unhas, telah disebutkan dalam Renstra Unhas 2006-2010, Unhas telah menerapkan transformasi pemberlajaran untuk merespon demand lingkungan strategis yang melingkupinya. Transformasi dimaksud meliputi: a) Substansi pembelajaran, yaitu Unhas memperkenalkan wawasan holism dan inter-koneksitas sebagai pelengkap dari pendekatan reduksionismedeterministik yang menjadi acuan pembelajaran pada saat ini. Di samping itu, Unhas memberikan perhatian untuk transformasi pembelajaran yang berkaitan dengan budaya, termasuk budaya bangsa lain yang akan menjadi ketrampilan lunak (soft-skills) yang dirancang untuk menunjang keberhasilan setiap profesi; b) Metoda pembelajaran, Unhas telah memperkenalkan pemanfaatan TIK di dalam kampus (campus-based university), serta mengembangkan sistem pembelajaran
on-line.
Metoda
pembelajaran
berbasis
instruksi
(instructional-based teaching) perlahan-lahan telah digantikan dengan metoda pembelajaran yang berorientasi kepada kebutuhan pelajar (student-center learning). Transformasi metode belajar ke Student Center Learning (SCL) menuntut peremajaan bahan ajar secara terus menerus karena mahasiswa juga dituntut untuk lebih proaktif mencari ilmu pengetahuan. Dari 26 laporan evaluasi diri program studi dalam lingkungan Unhas yang mengikuti program hibah kompetisi sejak tahun 2004 hingga 2007, menunjukan bahwa presentase mata kuliah yang memiliki bahan ajar terstruktur dan terbaharui pada setiap program studi kurang
139
dari 30%.135 Hal ini mencerminkan bahwa penerapan reformasi ini di Unhas belum berjalan secara maksimal. Untuk mentaktisi hal ini, Unhas melaksanakan program intensif bagi para dosen yang tingkat kehadirannya di kelas lebih dari 80% dan menyerahkan hasil ujian mahasiswanya tidak lebih dari batas waktu yang ditentukan. Besar intensif itu adalah Rp. 25.000,-per SKS pertatap muka. Untuk mendukung proses transfomasi pembelajaran ini, Unhas menggunakan dana program IMHERE 2.2.a untuk memperkaya sistem informasi yang ada, terutama dari sisi kebijakan. Walaupun pada penerapannya, metode SCL dan pembelajaran berbasis TIK tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Hal ini dikarenakan masih banyaknya dosen yang belum bisa mengadaptasi metoda belajar SCL dan masih belum meratanya kapasitas TIK yang ada di setiap fakultas. Infrastruktur yang dibangun melalui proyek IMHERE masih belum dimaksimalkan untuk metode pembelajaran e-learning. Selain itu, secara substansi, metode belajar berbasis IT ini mengurangi interaksi sosial antara mahasiswa dengan mahasiswa serta mahasiswa dan dosen. Pada tingkat tertentu, metode belajar low-cost ini dapat menciptakan mahasiswa-mahasiswa yang semakin individualis karena kurangnya interaksi sosial face to face dan kematangan emosi yang terjalin dari relasi sosial yang bersifat fisikiah. 4. Peningkatan proses seleksi dan pelatihan bagi guru dan dosen Reformasi kebijakan dan tata kelola yang diterapkan memerlukan 135
Laporan Tahunan Rektor Unhas 2007, hal. 8.
140
ketersediaan sumber daya manusia yang cakap dan mampu menjalankan sistem tersebut. Pada tahun 2006, dari keseluruhan staf pengajar yang telah berjumlah 1.781 orang, telah terdapat 459 orang (25,77%) yang telah berkualifikasi S3, 941 (52,84%) berkualifikasi S2 dan sisanya, 381 orang (21.39%) masih berkualifikasi S1. Dari data yang tertulis dalam Rencana Strategi Unhas 2006-2010 disebutkan bahwa ratio dosen berpendidikan lanjutan (S2 dan S3) terhadap jumlah dosen seluruhnya semakin baik, yaitu meningkat dari 66,61% (2003) menjadi 78,61% (2007). Ratio ini bervariasi antar fakultas, yaitu berkisar 65–90%. 136 Untuk meningkatkan kemampuan dosen, pada tahun 2007, Unhas mengalokasikan dana untuk melatih sejumlah staf dengan mengirim mereka dalam mengikuti pelatihan/training dalam bidang: Pengelolaan Keuangan, Pengelolaan Sumber Daya Manusia, Pengelolaan Asset dan Fasilitas, Pengelolaan ICT, serta Pengelolaan Akademik. Program ini juga dibiayai oleh pengalokasian dana dari IMHERE yang dimenangkan Unhas. Pada Agustus 2007, jumlah dosen yang telah di training tentang learning telah mencapai 140 orang.137 Untuk meningkatkan tingkat jenjang pendidikan para dosen, Unhas mendorong agar dosen-dosen melanjutkan jenjang pendidikan mereka. Tahun 2008, jumlah dosen yang melanjutkan jenjang pendidikan S2 dan S3 di dalam dan luar negeri masing-masing 15 dan 29 orang.138 Jumlah itu meningkat menjadi 16 orang (S2) dan 43 (S3) pada tahun 2009.139
136
Rencana Strategi Unhas 2006-2010, hal. 21 Dikti. Book I: Self Evaluation Report: Hasanuddin University. 2006. Jakarta: Dikti 138 Data Bag. Kerjasama Unhas. Jumlah Dosen Unhas yang Menyelesaikan Pendidikan S2,S3 Dalam Negeri dan Luar Negeri Tahun 2008. Makassar: Unhas 139 Data Bag. Kerjasama Unhas. Jumlah Dosen Unhas yang Menyelesaikan Pendidikan S2,S3 Dalam Negeri dan Luar Negeri Tahun 2009. Makassar: Unhas 137
141
Pada kebijakan skala nasional, UU Guru dan Dosen dan Permen Nomor 42 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Dosen mengharuskan setiap dosen harus tersersertifikasi sebagai parameter kemampuan dan profesionalitasnya. 140 Adapun proyek IMHERE hadir sebagai suplemen untuk memastikan standar baru untuk dosen ini berjalan dengan efektif. Di Unhas, jumlah dosen yang tersertifikasi meningkat dari tahun 2008 hanya 159 dosen yang lulus sertifikasi, jumlah itu meningkat menjadi 318 (pada 2009) dan pada tahun 2010 telah ada 837 dosen yang telah ikut sertifikasi (807 lulus dan 30 orang belum lulus). 141 Sesuai dengan prinsip kompetisi, sertifikasi ini berpengaruh pada besaran insentif yang diterima oleh dosen. Peningkatan proses seleksi dan pelatihan ini merupakan konsekuensi logis dari dibutuhkannya kualitas mahasiswa yang dapat bersaing di dunia kerja dan berkurangnya anggaran untuk menggaji dosen. Oleh karenanya, daripada memperbanyak jumlah dosen yang ada, pilihan yang dilakukan adalah dosendosen tersebut dipacu untuk meningkatkan kualitasnya dengan sistem insentif sebagai motivasi ekonomisnya. Secara umum, dari proses reformasi dan transfomasi yang dilakukan oleh Unhas dan pola kebijakan yang telah dijelaskan diatas, reformasi berbasis kompetisi ini menciptakan pola kompetisi dari level atas hingga level bawah. Pola kompetisi itu adalah:
140
Kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Lihat dalam Kemendiknas. Naskah Akademik Program Sertifikasi Dosen 2007. 2007. Jakarta: Dikti 141 Data Bag. Kepegawaian Unhas. 4.2.10 : Data Dosen Universitas Hasanuddin yang Telah Mengikuti Sertifikasi Keadaan 31 Oktober 2010. Makassar: Unhas
142
1. Kompetisi antar perguruan tinggi di dalam negeri (yang terbagi menjadi kompetisi antar PT yang “se-level” dan PT yang berbeda level) 2. Kompetisi antara perguruan tinggi dalam negeri dengan perguruan tinggi asing/di luar negeri (dalam hal penelitian, mahasiswa internasional, hingga peringkat internasional semisal Webometric142) 3. Kompetisi antar fakultas/jurusan/program studi (dalam hal akreditasi dan kompetisi pendanaan) 4. Kompetisi individual sebagai akibat dari struktur kompetitif yang berubah, misalnya kompetisi beasiswa dan kompetisi dana penelitian. Jadi pola kompetisi yang didesak melalui proyek IMHERE, tidak hanya mengubah paradigma tentang tata kelola yang terdesentralisasi dan akuntabel. Namun lebih jauh, basis kompetitif ini mengarah pada usaha-usaha untuk menjawab pergeseran paradigma ekonomi dari ekonomi berbasis bahan baku menjadi (resource-based economy) ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based economy).143 Dalam ekonomi yang berbasis pengetahuan, pendidikan tinggi dilihat sebagai komoditas jasa yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan merupakan infrastruktur utama bagi penciptaan tenaga kerja global. Pendidikan tinggi dianggap sebagai industri jasa yang harus dikelola sebagaimana sektor industri lainnya. Sebagaimana yang dinyatakan Kerr, bahwa “… the
142
Webometric adalah suatu sistem yang memberikan penilaian terhadap seluruh universitas terbaik di dunia melalui website universitas tersebut. Webometric melakukan pemeringkatan terhadap lebih dari 20 ribu Perguruan Tinggi diseluruh dunia. Pada Januari 2010 Unhas menduduki peringkat 3223 dunia dan 23 nasional. Sementara pada Juli 2010, Unhas pada peringkat 3092 dan 27 secara nasional. Lihat Ady Wahyudi Paundu, Laporan Webometric Unhas 2010. 2010. Makassar: PTIK Unhas 143 Lihat, Laura M. Portnoi dkk (Ed), Higher Education, Policy, And Global Competition The Phenomenon, 2010, New York: Palgrave Macmillan, hal. 29.
143
university as producer, wholesaler and retailer of knowledge cannot escape service. Knowledge, today is for everybody’s sake”.144 Oleh karenanya, pendidikan tinggi haruslah dikelola dengan prinsipprinsip ekonomi dan harus dapat menghasilkan luaran yang bernilai ekonomi pula. Seperti analisis diatas, terlihat bahwa melalui proyek IMHERE dalam lingkup nasional maupun Unhas secara spesifik dituntut untuk dapat menghasilkan tenaga kerja terdidik dengan biaya minimum (low cost) untuk merepon kebutuhan pasar (market based). Ketersedian tenaga kerja terdidik dengan harga murah ini sering diperbenturkan dengan kondisi pengangguran yang masih sangat tinggi di Indonesia, yakni sekitar 7,41% (2010) dengan jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2010 mencapai 116 juta orang.145 Untuk meningkatkan daya serap lulusan Unhas di dunia kerja, Unhas telah membentuk UPT Job placement Center (JPC)146 dan sejak 2007 selalu mengadakan job fair secara regular. UPT ini berfungsi sebagai wadah dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas mahasiswa dan alumni universitas serta menjadi informasi lapangan kerja dan/atau wiraswasta. Pembentukan UPT ini untuk menjawab kebutuhan kompetitif lulusan Unhas yang harus bersaing di dunia kerja. Pada Job Fair / Bursa Kerja yang dilaksanakan pada 30-31 Maret 2011 jumlah alumni yang ikut dalam seleksi selama Job Fair berlangsung mencapai 3000 alumni. 147 144
Clark Kerr, “The Uses of The University” dalam Buchari Alma dan Ratih Hurriyati (ed). Manajemen Corporate dan Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan.2008. Bandung: Alfabeta, hal. 35 145 “BPS: Jumlah Pengangguran di Indonesia Berkurang” diakses malalui
http://www.tribunnews.com/2010/05/11/bps-jumlah-pengangguran-di-indonesiaberkurang pada 10 Juli 2012. 146
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor No. 427/H4/O/2007 tentang Pendirian UPT Job Placement Centre sebagai organ yang secara teknis mengelola JPC 147 Prof.Dr.Hj.Farida Patittingi. UPT Job Placement Centre (JPC). Slide Presentasi. 2012. Makassar: Unhas
144
Jumlah yang cukup besar ini merupakan cerminan bahwa faktor eksternal (market) menjadi faktor yang sangat determinstik dalam reformasi berbasis kompetisi yang terjadi di Unhas. Reformasi berbasis kompetisi yang terjadi di Unhas ini, secara substansial akhirnya perlahan menggeser paradigma “pendidikan untuk semua” menjadi “korporatisasi pendidikan” dimana pengelolaan dengan cara-cara korporasi yang dipercaya dapat meningkatkan mutu luaran pendidikan. Korporatisasi pendidikan adalah praktek penyelenggaraan pendidikan yang lebih menonjolkan masalah tata kelola pendidikan yang dikelola secara professional guna memberikan kepuasan kepada pelanggan (mahasiswa).148 Praktek standarisasi industrial seperti ini merupakan wujud nyata dari implikasi masuknya paradigma dan tata kelola ala korporasi. Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, model korporasi seperti ini merupakan bentuk manifestasi model neoliberalisme yakni model selfregulating dengan tata kelola entrepreneurial (korporatif). Proyek IMHERE dan semua syaratnya telah mengakibatkan perubahan dan reformasi yang sangat mendasar dalam hal paradigma, kultur, kebijakan, dan tata kelola pendidikannya. 2.2.
Reform Based on Financial Imperatives Proyek bantuan Bank Dunia melalui IMHERE tidak hanya melahirkan
reformasi berbasis kompetisi namun juga reformasi jenis kedua yang hadir untuk merespon pengurangan anggaran dalam sektor publik maupun swasta yang 148
Istilah korporatisasi diinspirasikan oleh Prof. Dr. H.A.R. Tilaar. Lihat Tilaar H.A.R, “Badan Hukum Pendidikan: Korporatisasi Pendidikan, Suatu Tinjauan Pedagogis,” makalah diskusi, tidak dipublikasikan. Tentang manajemen pendidikan ala korporasi ini dijelaskan dengan sangat jelas dan rinci dalam Buchari Alma dan Ratih Hurriyati (ed). Manajemen Corporate dan Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan.2008. Bandung: Alfabeta, hal. 11-54.
145
diistilahkan sebagai “reformasi berbasis financial” (reform based on financial imperatives). Reformasi jenis ini biasanya didesak oleh IMF dan Bank Dunia sebagai prakondisi dan prasyarat sebelum digulirkannya bantuan pendidikan bagi suatu negara.149 Masalah penganggaran fiskal Indonesia untuk pendidikan juga tidak lepas dari alasan mengapa Bank Dunia menggelontorkan dana IMHERE. Dalam dokumen resmi IMHERE, disebutkan bahwa faktor utama rendahnya tingkat partisipasi dan kualitas adalah rendahnya tingkat pengeluaran publik untuk pendidikan tinggi. Pengeluaran publik pada semua tingkatan pendidikan di Indonesia hanya 1,3 persen dari PDB, dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran publik sebesar 3,2 persen di negara-negara Asia Timur. 21 persen dari anggaran pendidikan nasional negara dihabiskan untuk pendidikan tinggi. Ini berarti pengeluaran yang sangat rendah per siswa untuk pendidikan tinggi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan.150 Sebagian besar anggaran Dikti digunakan untuk membiayai lembaga-lembaga pendidikan publik. Pada tahun 2009, anggaran pemerintah untuk pendidikan tinggi adalah sebesar 18,5 triliun Rupiah atau sekitar US$ 1,8 miliar. Sekitar 85 persen dari anggaran tersebut dialokasikan untuk PTN: 69 persen dialokasikan untuk PTN 76 non-otonom, 11 persen untuk tujuh PT yang telah BHMN, dan 6 persen lainnya digunakan untuk mendanai lembaga koordinasi dari PTS-PTS di Indonesia.
149
Lihat Carlos Alberto Torres, Education and Neoliberal Globalization, 2009, New York: Routledge, hal. 16. 150 Bank Dunia. IMHERE Project Information Document (Pid) Appraisal Stage Report No.: Ab1414. 2005.
146
Dalam APBN 2009, sekitar Rp 4,7 triliun atau US$ 470 juta berasal dari pendapatan sendiri dari 76 institusi publik tersebut. Gambar berikut menjelaskan persentase anggaran tersebut:
Gambar 3: Komposisi anggaran tahun 2009 untuk Dikti dengan total 18,5 Triliun
Sumber: Dokumen World Bank. Human Development East Asia and Pasific Region. Indonesia : Higher Education Financing, 17 April 2012
Anggaran 18,5 triliun ini dianggap terlalu besar dan membebani kas negara karena menghabiskan hampir seperempat dari total APBN.151 Oleh karena itu, pola-pola bantuan seperti IMHERE ini menjadikan pengurangan subsidi sebagai syarat dan alas am untuk menerapkan otonomisasi kampus. Pengetatan pengeluaran fiskal untuk pendidikan tinggi ini juga disebabkan oleh tuntutan pembayaran utang luar negeri yang harus dibayarkan setiap 151
Dokumen World Bank. Human Development East Asia and Pasific Region. Indonesia : Higher Education Financing, 17 April 2012.
147
tahunnya. Pada tahun 2001 total pengeluaran kas negara untuk membayar bunga dan cicilan pokok luar negeri mencapai Rp. 103,027 triliun, pada 2002 mencapai Rp. 102,126 triliun, dan 2003 turun menjadi 99,293 triliun. Sementara pada kurun waktu yang sama anggaran pendidikan hanya Rp. 9,339 triliun (2001), Rp. 10,513 (2002), dan Rp. 14,138 triliun (2003).152 Jadi memang terlihat bahwa penganggaran untuk dana pendidikan dan pembayaran hutang luar negeri sangat tidak imbang. Lebih jauh lagi, secara internasional Indonesia ternyata menjadi incaran negara-negara ekportir jasa pendidikan dan pelatihan. Oleh karena perhatian pemerintah terhadap bidang pendidikan masih rendah, maka menjadi alasan untuk “mengundang” masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan ekspor jasa pendidikan tinggi ke negaranegara berkembang ini, intervensi pemerintah dalam sektor jasa tersebut harus dihilangkan. Negara-negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru merupakan negara-negara yang paling mendesak Indonesia untuk meliberalisasi sektor pendidikannya.153 Proyek Bank Dunia dalam IMHERE kemudian menjadikan syarat finansial ini sebagai keharusan yang harus diterapkan dari tingkat pusat hingga ke unit-unit kerja PT. Untuk memfokuskan analisa, reformasi finansial ini dapat kita
152
Lihat Darmaningtyas. Utang dan Korupsi Racun Pendidikan. 2008. Jakarta: Pustaka yashiba, hal. 225. 153 Dijelaskan oleh Prof. Dr. Sofian Effendi, "GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi" pada Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan” diselenggarakan oleh BEM-KM UGM, Yogayakarta, 22 September 2005.
148
pahami dengan pendekatan Carnoy. Menurut Carnoy, terdapat 3 strategi utama dalam reformasi jenis ini, yakni: a. Mentransfer pembiayaan pendidikan dari pendidikan tinggi ke tingkat pendidikan yang lebih rendah dengan anggapan bahwa subsidi untuk pendidikan tinggi adalah subsidi untuk orang kaya saja karena mayoritas dari mahasiswa yang mendaftar tergolong mahasiswa yang berasal dari keluarga kelas menengah dan/atau kelas elit; dan privatisasi sektor pendidikan dasar dan menengah dengan anggapan bahwa peningkatan biaya pengguna dan kontribusi keluarga dalam pendidikan anak didik pada gilirannya akan mengurangi beban fiskal dalam pembiayaan sektor-sektor publik. Dalam konteks kebijakan ini di Indoneisa, “pengalihan” subsidi ini dijalankan melalui konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Konsep MBS ini dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi
lebih
besar
kepada
pihak
sekolah;
memberikan
fleksibilitas/keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumber daya sekolah; dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan mutu sekolah. 154 Tujuan MBS sebenarnya ingin membuat sekolah lebih otonom dan partisipatif, tapi tujuan ini tidak tercapai karena pada prakteknya pihak sekolah dan komite lebih fokus untuk mengurus masalah pendanaan. Akhirnya MBS menjadi konsep yang membuka kesempatan bagi sekolah untuk menaikan biaya pendidikannya. Mengingat subsidi pemerintah untuk sekolah-sekolah bertaraf internasional (SBI) dan Rintisan Sekolah 154
Hasbullah. Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. 2010. Jakarta: Rajawali Press, hal.75.
149
Bertaraf Internasional (RSBI) dihapuskan sehingga sekolah-sekolah itupun harus menggunakan model MBS untuk mencari sumber-sumber pemasukan. Hal ini diperparah karena konsep MBS ini memang bukan gagasan dan kehendak asli dari penentu kebijakan pendidikan, tapi dari dorongan Asian Development Bank (ADB), Bank Dunia, Unicef, Unesco, dan beberapa negara seperti Inggris, Selandia Baru, dan Belanda.155 b. Strategi pengurangan biaya dengan meningkatkan jumlah mahasiswa per dosen untuk mengatasi defisit anggaran dan menambah angka pendaftaran mahasiswa. Di Unhas, untuk menambah angka pendaftaran mahasiswa maka pada tahun 2008, Unhas membuka 7 jalur masuk, khususnya dengan membuka mekanisme untuk Ujian Masuk Bersama (UMB) yang juga diikuti oleh Universitas Indonesia (UI), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan 7 jalur masuk ini, Unhas menerima 5.785 orang mahasiswa baru. Masing-masing jalur berjumlah: JPPB 710, JNS 384, UMB 1.885, SNMPTN 1.503, PMS 976, POSK 33, lainnya 324 orang. 156 Sangat jelas bahwa mekanisme UMB menjadi cara yang ditempuh oleh Unhas untuk menambah pemasukan dengan menaikan jumlah mahasiswa yang masuk. Karena dalam UMB ini, biaya pendaftaran peserta dikelola langsung oleh panitia UMB yang berasal dari universitas-universitas yang bergabung, bukan oleh panitia pusat SNMPTN. Secara ekonomi, UMB lebih menguntungkan dari jalur SNMPTN. 155
Darmaningtyas, dkk. Tirani Kapital dalam Pendidikan. 2009. Jakarta: Damar Press, hal. 176 Data Bag. Akademik Unhas. Rekapitulasi Jumlah Mahasiswa Baru Program S1 Univ. Hasanuddin Menurut Fakultas Dan Jalur Penerimaan Tahun 2008/2009. Makassar: Unhas 156
150
Pada tahun 2009, jumlah mahasiswa S1 yang masuk berjumlah total 4.971 orang dengan pembagian Jalur JPPB 697, JNS 428, SNMPTN 2.977, POSK 55, dan lainnya 81 orang.157 Sementara pada tahun 2010 jumlah totoal mahasiswa yang diterima adalah 4.554 orang dengan pembagian jalur JPPB sebanyak 527 orang, POSK 322, SNMPTN 2.711, JNS 685, dan lainnya 309 orang mahasiswa.158 Hal yang menarik dari data penerimaan 2008-2010 ini adalah bahwa jumlah mahasiswa yang diterima melalui jalur JPBB (Jalur Penelusuran Potensi Belajar) sedangkan jumlah mahasiswa yang lolos dari jalur JNS (Jalur Non Subsidi) terus meningkat. Jika ditinjau dengan pendekatan yang sama, maka hal ini merupakan akibat dari usaha Unhas untuk memaksimalkan pemasukan melalui dana masyarakat. JNS yang pada awalnya dibuka untuk menampung mahasiswa yang dibiayai oleh sponsor dan tidak disubsidi oleh pemerintah, dari data ini telah menjadi jalur yang digunakan oleh masyarakat (khususnya golongan menengah ke atas). Pada tahun 2006 saja, JNS telah memberikan kontribusi 7,9 M pada penerimaan Unhas.159 c. Dikurangi dan dihapuskannya subsidi membuat PT harus melakukan segala cara untuk menarik dana dari sumber-sumber pendapatan lainnya seperti dari mahasiswa dan usaha-usaha komersil. Untuk merespon beban finansial ini, pada tingkat pusat, pemerintah perlahan-lahan telah mendorong institusi-institusi pendidikan negeri untuk mengubah statusnya menjadi BHP atau BLU. BHP untuk perguruan-perguruan 157
Data Bag. Akademik Unhas. Rekapitulasi Jumlah Mahasiswa Baru Program S1 Univ. Hasanuddin Menurut Fakultas Dan Jalur Penerimaan Tahun 2009/2010. Makassar: Unhas 158 Data Bag. Akademik Unhas. Jumlah Mahasiswa Baru Universitas Hasanuddin Menurut Fakultas, Program Studi, Jalur Penerimaan Yang Diterima Dan Mendaftar Ulang Tahun 2010/ 2011. Makassar: Unhas 159 Laporan Tahunan Rektor Unhas Tahun 2007, hal 19
151
tinggi yang otonom penuh sementara BLU untuk perguruan tinggi yang masih menggunakan mekanisme cost-sharing dengan pemerintah, seperti Unhas. Sebenarnya, di dalam UU BHP yang menjadi tujuan instrument legal utama dari proyek IMHERE, juga diatur tentang pembiayaan pendidikan tinggi dimana terdapat beberapa klausul yang mengarah pada praktek korporatisasi kampus, misalnya: (a) tuntutan untuk dilakukannya pemisahan kekayaan antara kekayaan negara dan kekayaan universitas (badan hukum atau badan layanan umum). Unhas telah menerapkan sistem pendataan dan pengelolan asset yang dikelola oleh Wakil Rektor II dan Bagian Perlengkapan. Pengelolaan asset ini dapat diakses melalui alamat online yang berisi laporan neraca dan pengelolaan asset160. Sistem pengelolaan ini dibangun dengan menggunakan dana dari INHERENT dan IMHERE; (b) pembukaan unit-unit usaha yaitu unit usaha akademik, unit usaha penunjang, dan unit usaha komersial. Adapun unit usaha komersial ini dapat berbentuk perseroan terbatas atau jenis usaha komersial lainnya yang sepenuhnya atau sebagaian sahamnya dimiliki universitas; (c) outsourcing dosen dan karyawan untuk PT BHMN. Masalah ketenagakerjaan ini akan berangsur-angsur diterapkan ke semua PT di Indonesia sesuai dengan status PT tersebut. Hingga penelitian ini ditulis, pola ketenagakerjaan yang baru ini belum diberlakukan di Unhas. ; (d) transparansi dan akuntabilitas yang mengharuskan universitas memiliki auditor internal. Sementara untuk pengawasan penyelenggaraan universitas dilakukan oleh Menteri yang dapat didelegasikan kepada Majelis Wali Amanat. Sumber dari reformasi pendanaan dan tata kelola 160
Sistem Pengelolaan ini dapat dikunjungi di alamat: http://www.unhas.ac.id/perlengkapan/index.php? option=com_weblinks&view=category&id=2&Itemid=50
152
keuangan ini adalah pengurangan pengurangan bahkan penghapusan subsidi pemerintah untuk pendidikan tinggi. Sebagai universitas yang belum berstatus otonom penuh, struktur penerimaan kas Unhas sangat bergantung pada alokasi dana dari pemerintah walaupun persentasinya semakin diperkecil dari tahun ke tahun. Oleh Unhas, hal itu dilihat sebagai akibat dari meningkatnya kemampuan Unhas menggalang penerimaan dari swasta (baik dari penerimaan SPP maupun dalam bentuk kerjasama kemitraan). Pada tahun 2003, 69,2% dari total anggaran Unhas berasal dari pemerintah yaitu berupa dana Anggaran Rutin sekitar 48,3% dan Anggaran Pembangunan sekitar 20,9%. Anggaran yang berasal dari masyarakat relatif kecil, yaitu hanya 30,8% dari total penerimaan Rp. 150,7 Miliyar. Dalam kurun waktu 2004-2006, total penerimaan meningkat berturut-turut menjadi Rp. 170,4 M, Rp. 178,9 M, dan Rp. 213,5 M. Pada tahun 2007, dana PNBP Unhas telah mencapai Rp. 104 M.161 Di tahun 2009, jumlah pendapatan Unhas dari pendaftaran mahasiswa Rp. 23,270 Milyar sementara penerimaan dari pemerintah berjumlah Rp. 316,8 Milyar dengan biaya pengeluaran operasional Rp. 165,4 Miliyar. Untuk memaksimalkan penerimaan dana, Unhas menjadikan dana hibah yang ditawarkan oleh pemerintah sebagai salah satu sumber pendanaan utama. Pada tahun 2006 Unhas memperoleh komitmen dana sebesar Rp. 91,623 milyar, dengan realisasi Rp. 83,942 milyar.162 Program hibah seperti INHERENT dan IMHERE juga menjadi salah satu penerimaan kas Unhas yang sangat signifikan. 161 162
Laporan Tahunan Rektor Unhas 2007, hal.19 Renstra Unhas 2006-2010, hal. 39
153
Maka tidak heran jika persyaratan yang dibawa oleh proyek ini berusaha untuk dipenuhi. Secara ekonomi, ini menjadi pilihan rasional yang dimiliki oleh pengambil kebijakan Unhas untuk memaksimalkan penerimaan kas. Fakta-fakta ini menjelaskan bahwa reformasi berbasis tekanan finansial merupakan prasyarat sekaligus implikasi dari diterapkannya proyek IMHERE di Indonesia. IMHERE tidak saja berdampak pada bergesernya paradigma “pendidikan untuk semua” menjadi “korporatisasi pendidikan”, namun juga berdampak pada standar pembiayaan perguruan tinggi yang dituntut untuk semakin otonom sehingga universitas harus berhadapan dengan pilihan ”kualitas pendidikan” versus ”komodifikasi pendidikan”. Komodifikasi pendidikan ini juga disadari oleh stakeholder Unhas sehingga mereka memasukan ”kerisauan” ini dalam Renstra Unhas 2006-2010. Unhas harus berupaya untuk terus memperbaiki standar dan kualitas pendidikannya sementara subsidi dan anggaran dari pemerintah semakin tahun terus mengalami pengurangan. Sehingga Unhas harus men-komodifikasi arah pendidikan dan penelitiannya untuk mendapatkan danadana pembiayaan universitas. Dipilihnya Farmasi dan Budidaya Perairan sebagai dua prodi yang paling memiliki ”nilai jual” baik untuk pendidikan maupun hasilhasil penelitiannya adalah bukti bahwa dalam universitas harus mengarahkan orientasi pendidikan dan penelitiannya pada bidang-bidang yang memiliki nilai jual produksi dan nilai lebih komoditas. Dalam hal ini, BDP berperan untuk mengupayakan teknologi budidaya dan pengolahan, sedangkan Farmasi menyiapkan probiotik yang efektif untuk menuntaskan permasalahan pada udang dan rumput laut, terutama masalah penyakit, pelestarian lingkungan tambak, dan
154
diversifikasi produk tambak. Dua upaya ini dinilai sebagai icon produksi yang memiliki nilai lebih dibanding yang lainnya. Jika tidak seperti itu, sebagai konsekuensi dari skema pendanaan kompetitif, maka Unhas tidak akan mendapatkan dana IMHERE. 2.3.
Equity-dirven Reforms Selain berimplikasi pada dua jenis perubahan yang telah dijelaskan di atas,
globalisasi-neoliberal yang dibawa melalui proyek IMHERE Bank Dunia juga berdampak pada reformsi yang berorientasi keadilan. Tujuan utama dari reformasi jensi ini adalah meningkatkan keadilan untuk meningkatkan peluang ekonomi. Dalam penjelasannya Carnoy menyebutkan bahwa globalisasi telah memaksa pemerintah untuk tidak menekankan pada reformasi yang berorientasi pada kesamaan perlakuan dengan argument bahwa pembiayaan yang lebih untuk memberikan keadilan bagi orang miskin hanya akan mengurangi pertumbuhan ekonomi. Sementara di sisi lain, pembiayaan untuk membuka akses yang lebih luas untuk pendidikan bagi keluarga berpenghasilan rendah/miskin akan menghasilkan potensi pengembalian yang lebih tinggi dibanding penambahan biaya untuk keluarga berpenghasilan tinggi. Dalam kasus ini, pemerintah dituntut untuk dapat menciptakan pendidikan yang kompetitif sekaligus adil dan terjangkau.163 Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, reformasi jenis ini biasanya memiliki tujuan: (a) untuk menjangkau golongan berpenghasilan rendah dengan kualitas akademik yang tinggi pada jenjang pendidikan dasar, khususnya 163
Lihat Martin Carnoy. Globalization and Educational Reform: What Planners Need to Know. 1999. UN: Unesco, hal. 44.
155
untuk golongan muda dan dewasa yang tidak memiliki akses untuk ketrampilanketrampilan dasar; dan (b) untuk menjangkau kelompok-kelompok tertentu seperti wanita dan masyarakat desa yang tertinggal secara pendidikan.164 Sebagai bentuk nyata dari reformasi ini, proyek IMHERE mengharuskan kepada setiap Universitas yang mengajukan proposal untuk memasukan program outreach sebagai cara untuk “menciptakan keadilan”. Tuntutan untuk menjangkau golongan berpenghasilan rendah ini juga diterapkan Unhas dalam program IMHERE yang dimenangkan. Dana IMHERE Unhas digulirkan untuk “program outreach” bagi pelajar dari keluarga miskin yang memiliki kemampuan akademik tinggi, khususnya di derah pesisir. Di bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa rencana awal pelaksanaan program beasiswa IMHERE adalah para mahasiswa yang merupakan anak petani tambak, petani rumput laut yang bermukim didaerah pesisir seperti Takalar, Jenneponto, Pangkep, Pinrang yang merupakan wilayah Sulawesi Selatan serta daerah di Sulawesi Barat.165 Beasiswa ini menanggung SPP selama berkuliah di Unhas. Selain itu, juga terdapat grand-beasiswa sebesar 5 juta kepada mahasiswa dari semua fakultas yang ingin mengadakan penelitian atau penyusunan skripsi dengan syarat topiknya tetap pada tema besar yang diangkat oleh Unhas.166 Program beasiswa ini dirancang untuk memberi keadilan (equity)
164
Ibid. hal. 45.
165
“Unhas Mencari Mahasiswa Asal Pesisir” diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2008/01/04/058114768/Unhas-Mencari-Mahasiswa-AsalPesisir pada 12 Juli 2012.
166
“BDP dan Farmasi Menggaet I-MHERE” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2007/05/bdp-dan-farmasi-menggaet-i-mhere.html pada 2 Juli 2012.
156
bagi masyarakat dan mahasiswa yang dianggap bersentuhan langsung dengan tujuan utama proyek IMHERE (B.2.a). Skema seperti ini mencerminkan pola yang sama seperti yang disebutkan oleh Carnoy tentang refomasi yang berorientasi pada
keadilan. Pemberian
beasiswa bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah dan memiliki kemampuan akademik tinggi merupakan salah satu IMHERE untuk “menangkal” anggapan bahwa reformasi berbasis kompetisi dan reformasi finansial hanya akan menciptakan ketidakadilan. Program ini merupakan mekanisme yang ditawarkan Unhas dan Bank Dunia untuk mengakomodasi golongan masyarakat miskin. Dampak dari kebijakan ini tidak signifikan karena dalam pelaksanaannya terjadi kesenjangan informasi dengan banyaknya mahasiswa yang tidak tahumenahu soal beasiswa ini. Mis-managemen juga terjadi yakni pada penyaluran beasiswa yang tidak sepenuhnya diberikan pada mahasiswa yang proposalnya menyangkut tema budidaya kelautan. Penyaluran beasiswa ini sempat menjadi polemik diantara pelaksana program di Unhas dan mahasiswa yang merasa tidak mendapatkan haknya. Dari peristiwa ini dapat dilihat bahwa reformasi untuk penciptaan keadilan ini tidak berjalan sepenuhnya di Unhas. Pada lingkup yang lebih luas, selain beasiswa yang ditawarkan oleh program-program hibah seperti IMHERE, Unhas mencoba untuk menggaet sumber-sumber pemberi beasiswa dari pihak swasta maupun perusahaanperusahaan pemerintah. Pada tahun 2010 terdapat 26 sumber pemberi beasiswa
157
dengan jumlah penerima beasiswa mencapai 5.149 orang.167 Jumlah ini cukup signifikan namun tidak mengakomodasi semua pihak karena kebanyakan dari pemberi beasiswa ini memberikan beasiswanya kepada mahasiswa yang memiliki kemampuan akademik tinggi dan berasal dari keluarga tidak mampu. Seharusnya, dalam menciptakan kultur sosial-pendidikan yang berkeadilan, mahasiswamahasiswa yang kemampuan akademiknya rata-rata juga harus mendapatkan biaya yang sama karena pengeluaran dan biaya kebutuhan yang mereka keluarkan juga sama. Reformasi untuk menciptakan keadilan dengan mekanisme seperti ini tidak memberikan dampak yang signifikan dibanding dengan akibat yang ditimbulkan sebagai implikasi penerapan IMHERE, yakni korporatisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi yang tengah terjadi di Unhas. Apalagi melihat alokasi beasiswa dana yang sangat sedikit dan penerapannya yang bermasalah. Dari sisi lainnya, beasiswa ini malah mempertajam kultur kompetisi di lingkungan akademis Unhas yang seharusnya mengedepankan kesetaraan dan kesamaan perlakuan.
Reformasi-reformasi
yang
terjadi
ini
semakin
menciptakan
kesenjangan sosial dilingkungan yang seharusnya menjadi “benteng” kebudayaan. Hal ini seperti yang telah dikatakan oleh Carnoy bahwa: Globalization tends to push governments away from equity-driven reforms, for two main reasons. The first reason is that globalization increases the pay-off to high-level; skills relatives to lower-level skills, reducing the complementarities between equity and competitiveness-driven reforms. The second is that in most developing countries and in many developed countries, finance167
Data dan informasi Unhas. Jumlah Mahasiswa Universitas Hasanuddin Penerima Beasiswa Dirinci Menurut Fakultas Dan Sumber/Sponsor Untuk Strata 1 Tahun 2010. Makassar: Unhas
158
driven reforms dominate educational change in the new globalized economic environment, and such reforms tend to increase inequity in the delivery of educational service. Konsep dan cita-cita keadilan yang dibawa dalam program IMHERE menjadi tidak berarti karena reformasi keuangan dalam pengelolaan PT akhirnya mendominasi
dan
mendesak
agar
setiap
perguruan
tinggi
haruslah
mengedepankan kompetisi. Alokasi dana untuk menciptakan keadilan ini sangat tidak sebanding dengan akibat dari reformasi finansial yang menciptakan praktek korporatisasi dan komersialisasi kampus. Apalagi mahasiswa Unhas yang sekitar 45% berasal dari keluarga dengan penghasilan per bulan kurang dari Rp 1.500.000,- tentu sangatlah tidak berimbang dengan kenaikan biaya-biaya operasional yang terus meningkat.168 Dari analisa dengan memakai model Carnoy ini nampak jelas bahwa Bank Dunia melalui proyek IMHERE-nya telah membawa perubahan atau reformasi pada sektor pendidikan tinggi di Indonesia. Perubahan tersebut meliputi reformasi paradigma dan prinsip-prinsip pengelolaan melalui competition-based reforms, perubahan mekanisme pendanaan dan tata kelola keuangan melalui reforms based on financial imperative, dan perubahan dalam melihat peran dan fungsi pendidikan tinggi dalam konteks sosial masyarakat, khususnya untuk menjawab masalah menciptakan kualitas dan keadilan secara bersamaan.
168
Renstra Unhas 2006-2010, hal. 21.
159
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Perbincangan tentang bantuan luar negeri selalu tidak lepas dari untuk apa, bagaimana, dan apa dampak yang disebabkan dari instrument hubungan internasional tersebut. Baik secara bilateral maupun multilateral, pemberian dan penerimaan bantuan luar negeri juga tidak bisa dilepaskan dari dimensi ekonomipolitik yang melingkupinya. Begitupun dengan praktek bantuan luar negeri yang dijalankan oleh Bank Dunia sebagai institusi multilateral yang menjadi agen distribusi bantuan dalam bentuk pinjaman/hutang dan hibah dari negara-negara donor ke negara-negara recipient. Bantuan untuk reformasi manajemen dan relevansi pendidikan tinggi atau IMHERE yang digulirkan oleh Bank Dunia untuk sektor pendidikan tinggi di Indonesia membawa misi besar pendidikan Bank Dunia. Misi tersebut terkait dengan peran Bank Dunia sebagai bank internasional yang memberikan pinjaman untuk proses deregulasi-privatisasi-liberalisasi dalam kerangka globalisasi-neoliberal. Dari pembahasan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa IMHERE merupakan bantuan luar negeri dalam bentuk pinjaman dari Bank Dunia kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementrian Pendidikan Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI). Pengaruh Bank Dunia dalam implementasi program ini sangatlah besar yang tercermin dalam Loan Agreement (IBRD) no. 4789-IND dan Develeopment Credit Agreement (IDA) no. 4077-IND schedule 4. Syarat dan
160
substansi proyek ini sarat dengan visi dan strategi Bank Dunia untuk sektor pendidikan tinggi. Begitupun dalam implementasinya, Bank Dunia memiliki pengaruh dan peran besar baik dalam syarat pengajuan proposal, skema pendanaan, dan evaluasi proyek. Universitas Hasanuddin ,sebagai salah satu penerima hibah IMHERE, juga mengalami perubahan-perubahan mendasar sesuai dengan misi yang dibawa oleh bantuan ini melalui komponen yang dimenangkan oleh Unhas yakni proyek IMHERE B.1 (Improvement of Social Quality and Social Responsibilty) dan komponen B.2.a (Strengthening Institutional Management in Autonomous Public Education Institution). Melalui program ini terjadi reformasi-reformasi dalam hal paradigma, pendanaan, dan tata kelola universitas. Dengan pendekatan analisa model Martin Carnoy tentang implikasi globalisasi-neoliberal dalam pendidikan tinggi, disimpulkan bahwa reformasi yang diklarifikasikan Carnoy ke dalam “reformasi berbasis kompetisi” (competition-based reforms); “reformasi berbasis financial” (reform based on financial imperatives) dan “reformasi berorientasi kesetaraan” (equity-driven reforms) terjadi juga di Universitas Hasanuddin dalam bentuk yang hampir sama. Implikasi reformasi itu dalam perubahan kebijakan di Unhas adalah pergeseran paradigma tata kelola universitas yang menekankan pada semangat kompetsisi menuju ke arah korporatisasi pendidikan tinggi yang dibawa oleh competition-based reforms. Perubahan pola pendanaan dan pengurangan subsidi pemerintah yang menjadi ciri reform based on financial imperatives dan berakibat
161
pada praktek komersialisasi yang mulai dijalankan oleh Unhas dengan beberapa indikasi. Selain itu proyek IMHERE juga membawa pola equity-driven reforms dimana ditekankan pada keharusan untuk memberikan kesempatan dan beasiswa bagi mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah namun memiliki kemampuan akademik tinggi. Walaupun dalam pelaksanaannya, reformasi untuk keadilan ini tidak terlaksana dengan baik dan maksimal karena adanya mismanagemen dan kurangnya sosialisasi di tingkat pelaksana Universitas Hasanuddin. Secara singkat dapat dikatakan bahwa, bantuan Bank Dunia melalui proyek IMHERE menjadi “pembuka jalan” untuk diterapkannya reformasi di Unhas dan sistem pendidikan tinggi di Indonesia.
B. Saran Pada akhirnya, setelah melakukan analisi dan pembahasan, penelitian ini memberikan saran-saran rekomendatif yang diharapkan menjadi bahan masukan bagi perkembangan pengetahuan maupun pada praksis pelaksanaan kebijakan: 1. Bantuan luar negeri sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai sebuah fenomena “penyaluran dana” (money transfer) namun harus juga dilihat secara kritis atas apa yang menjadi motif pemberi bantuan dan apakah motif tersebut kompatibel dengan kondisi dan kebutuhan kita atau tidak, 2. Begitupun,sebagai Bank, bantuan dari Bank Dunia yang berwujud hutang, haruslah dilihat secara kritis atas tujuan dan maksudnya, khususnya untuk pendidikan tinggi,
162
3. Pendidikan tinggi di Indonesia sebaiknya tidak terjebak ke dalam praktek komersialisasi yang pada akhirnya hanya mempersempit akses rakyat miskin terhadap pendidikan dan menjauhkan pendidikan tinggi dari nilainilai luhurnya sebagai tulang punggung pemikiran dan pengabdian kepada masyarakat, 4. Universitas
Hasanuddin
sebaiknya
memiliki
karakter
dan lebih
menekankan pada penciptaan kultur dan karakter yang jujur dibanding harus “ikut-ikutan” dalam praktek-praktek komersialisasi.
163
DAFTAR PUSTAKA Buku Alma, Buchari dan Ratih Hurriyati (ed). Manajemen Corporate dan Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan, 2008. Bandung: Alfabeta Armstrong, Shiro dan Bruce Chapman (ed). Financing Higher Education and Economic Development in East Asia, 2011, Australia: ANU E Press Bastiaens, Jo. International Assistance and State-University Relations, 2008, New York: Routledge Baswir, Revrisond. Bahaya Neoliberalisme, 2009, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Buchori dan Malik (ed), “The Evolution of Higher Education in Indonesia”, dalam: Altbach & Umakoshi. Asian Universities. Carnoy, Martin. Globalization and Educational Reform: What Planners Need to Know. 1999. UN: Unesco Chang, Ha-joon dan Ilene Grabel. Membongkar Mitos Neolib. 2004, Yogyakarta: INSISTPress Darmaningtyas, dkk. Tirani Kapital dalam Pendidikan. 2009, Jakarta: Damar Press Darmaningtyas. Utang dan Korupsi Racun Pendidikan, 2008, Jakarta: Pustaka Yashiba Djiwandono, J. Soedjati. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, 2000 Yogyakarta: Kanisius, Easterly, William (ed). Reinventing Foreign Aid, 2008, Cambridge: The MIT Press Eggins, Heather. Globalization and Reform in Higher Education. 2008, Glasgow: Society for Research into Higher Education & Open University Press Freeman, Alan dan Boris Kagarlitsky (ed), The Politics of Empire: Globalisation in Crisis. 2004, London: Pluto Press Fukuyama, Francis. The End of History and the Last Man. 2004, Yogyakarta: Penerbit Qalam
166
Gerring, John. Case Study Reserch, Principles and Practices. 2007. Cambridge : Cambridge University Press Habibullah, A. Kebijakan Privatisasi BUMN: Relasi State, Market, dan Civil Society. 2009, Malang: Averoes Press Hadiz, Vedi R. dan Daniel Dhakie (ed), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. 2006. Jakarta: Equinox, Harvey, David. A Brief History of Neoliberalism, 2005, New York: oxford University Press Hasbullah. Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. 2010. Jakarta: Rajawali Press Hawkins, D., dkk. “Delegation Under Anarchy: States, International Organisations And Principal-Agent Theory”, 2003, Cambridge: Cambridge University Press Holsti. K.J. Politik Internasional Suatu Analisis, Bandung: Bina Cipta, 1987 Ikbar, Yanuar. Ekonomi Politik Internasional 2, 2007, Bandung: Refika Aditama Jones, Philip W. World Bank Financing of Education: Lending, learning, and Development. 2007. New York: Routledge Jones, Walter S. Logika Hubungan Internasional: Kekuasaan, Ekonomi Politik Internasional dan Tatanan Dunia, 1993, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Joyner, Christopher C. (ed). The United Nation and International Law, 1997, Cambridge: Cambridge University Press Khor, Martin. Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan (terjemahan), 2003, Yogyakarta: Cinderalas Pustaka Rakyat Cerdas Lancaster, Carol, Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics, 2007, London: The University Chichago Press Leviza, Jelly. Tanggung Jawab bank Dunia dan IMF sebagai Subjek Hukum Internasional. 2009, Jakarta: Softmedia McBride, Stephen dan John Wiseman (ed.), Globalization and its Discontents, 2002, Basingstoke: Macmillan
167
Nugroho, Heru (Ed), McDonalisasi Pendidikan Tinggi. 2002, Yogyakarta: Kanisius OECD, Twenty-five Yesrs of Development Co-operation: A Review, 1985, Paris: OECD Perwita, Anak Agung Banyu dan Yayan Mochamad Yani. Pengantar Hubungan Internasional. 2005, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Portnoi, Laura M. dkk (Ed), Higher Education, Policy, And Global Competition The Phenomenon, 2010, New York: Palgrave Macmillan Prasetyo, Eko. Orang Miskin Dilarang. 2006, Yogyakarta: Resist Book Rifai, Muhammad. Politik Pendidikan Nasional, 2011, Yogykarta : Ar-Ruzz Media Ritzer, George dan Douglass J. Goodman, terjemahan oleh Nurhadi, Teori Sosiologi, 2004. Bantul: Kreasi Kencana Rizki, Awalil dan Nasyith Majidi. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia., 2008, Jakarta: E-Publishing Rohman, Arif. Pendidikan Komparatif. 2010. Yogyakarta: Laksbang Grafika Schabbel, Christian. The Value Chain of Foreign Aid, 2007, New York: PhysicaVerlag Heidelberg Steger, Manfred B dan Ravy K. Roy. Neoliberalism: A Very Short Introduction, 2010, New York: Oxford University Press Todaro, Michael. P. Ilmu Ekonomi Bagi Negara Sedang Berkembang, Buku I-II Terjemahan. 1987, Jakarta: Akademi Presindo Tores, Carlos Alberto dan Ari Antikainen (ed), The Internatinal Handbook on The Sociology of Education. 2003. Lanham, MD: Rowman and Littlefield Torres, Carlos Alberto. Education and Neoliberal Globalization, 2009, New York: Routledge Unesco, Higher Education in South-East Asia,. 2006. Bangkok: UNESCO Asia and Pacific Regional Bureau for Education World Bank, Indonesia Education Sector Survey Report. 1975. Washington D.C ; World Bank
168
Tesis, Jurnal, dan Dokumen Resmi Ady Wahyudi Paundu, Laporan Webometric Unhas 2010. 2010. Makassar: PTIK Unhas Alesina, Alberto dan David Dollar. Who Gives foreign Aid to Whom and Why, Journal of Economic Growth, Volume 5, No.1 (Mar, 2000) Arif Wicaksono. Aktor Lokal dan Oda Jepang. 2011. Thesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: UGM. Atmadja, Adwin Surya. Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia: Perkembangan dan Dampaknya, Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No. 1, Mei 2000 Bank Dunia. IMHERE Project Information Document (Pid) Appraisal Stage Report No.: Ab1414. 2005 Bank Dunia Integrated Safeguards Datasheet Appraisal Stage: Higher Education for Relevance and Efficiency. 2005. Jakarta: Bank Dunia Bank Dunia. Development Credit Agreement (Managing Higher Education for Relevance and Efficiency Project. 2005. Jakarta: Bank Dunia Coxon, Eve dan Karen Munce. The Global Education Agenda and the Delivery of Aid to Pasific Education. 2008. Oxford: Comparative Education, Edisi 2 Mei 2008, Volume IV Danang Kurniadi, RUU BHP Dalam Jeratan Privatisasi. Jurnal Mahasiswa UGM, November 2007 Data Bag. Akademik Unhas. Jumlah Mahasiswa Baru Universitas Hasanuddin Menurut Fakultas, Program Studi, Jalur Penerimaan Yang Diterima Dan Mendaftar Ulang Tahun 2010/ 2011. Makassar: Unhas Data Bag. Akademik Unhas. Rekapitulasi Jumlah Mahasiswa Baru Program S1 Univ. Hasanuddin Menurut Fakultas Dan Jalur Penerimaan Tahun 2009/2010. Makassar: Unhas Data Bag. Akademik Unhas. Rekapitulasi Jumlah Mahasiswa Baru Program S1 Univ. Hasanuddin Menurut Fakultas Dan Jalur Penerimaan Tahun 2008/2009. Makassar: Unhas Data dan informasi Unhas. Jumlah Mahasiswa Universitas Hasanuddin Penerima Beasiswa Dirinci Menurut Fakultas Dan Sumber/Sponsor Untuk Strata 1 Tahun 2010. Makassar: Unhas
169
Dikti. Strategi Pendidikan Tinggi Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003 – 2010: Mewujudkan perguruan tinggi berkualitas, 2004. Jakarta: Dikti _____, Workshop Sosialisasi IMHERE Program B.1 , 15 Agustus 2008 _____. Book I: Self Evaluation Report: Hasanuddin University. 2006. Jakarta: Dikti Dokumen Bank Information Center, Toolkit for Activist Dokumen KBK Dan Status Akreditasi Prodi Di Universitas Hasanuddin, 2010 Dokumen Rencana Strategis Unhas 2006-2010 Dokumen World Bank. Human Development East Asia and Pasific Region. Indonesia : Higher Education Financing, 17 April 2012 Economic Development and Cultural Change, 1985, Vol. 33, No. 2 Journal of International Cooperation in Education, Vol. 13 No. 2 Kabag. Kerjasama Unhas. Dokumen Jumlah Dosen Unhas yang Menyelesaikan Pendidikan S2 dan S3 Dalam dan Luar Negeri Tahun 2010. Makassar: Unhas Kerjasama Internasional Universitas Hasanuddin, slide presentasi Dwia Aries Tina P., 2012. Kemendiknas. Naskah Akademik Program Sertifikasi Dosen 2007. 2007. Jakarta: Dikti Laporan International Crisis Group Asia No. 15 Jakarta/Brussel dalam International Crisis Group, “Kredit Macet: Politik Reformasi Keuangan Indonesia”, 13 Maret 2001 Laporan Tahunan Rektor Unhas 2007 Naskah Kebijakan Bank Dunia, Indonesia: Pembiayaan Pendidikan Tinggi. 2010. Jakarta: Bank Dunia Presentasi Direktorat Pembinaan PK BLU Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan RI, Implementasi Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Surakarta, 16 Februari 2009.
170
Therien, Jean-Philipe. Debating Foreign Aid: Right versus Left, 2002, Third World Quartly, Vol, 23, No.2 UNAIR, Borang Akreditasi Program Studi Sarjana Farmasi FF Unair, 2010. Surabaya: Unair Undang-Undang No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara Undang-Undang No 17/2003 tentang Keuangan Negara UNESCO, The Education for All Development Index 2011 Unhas, Dokumen ICT-IMHERE Program 4: Revitalization of Academic Management Information System to Support the Quality Assurance System. 2007. Makassar: Unhas ____, Draft Sitem Informasi Universitas Hasanuddin Standar 11 (PTIK dan IMHERE). Dokumen tidak diterbitkan. Makassar: Unhas Unit Pendidikan Bank Dunia Indonesia, Pembiayaan Pendidikan Tinggi: Naskah Kebijakan. 2010. Jakarta: Bank Dunia Van Olden, J. F., dan Serpenti, L. M. Evaluation Report on the inter-university cooperation between the Universitas Hasanuddin (Ujung Pandang/Indonesia) and Erasmus University Rotterdam, 1979–1982. (Evaluation Report). 1983 The Hague: NUFFIC
Internet http://imhere.ipb.ac.id “Apa Kabar BHP ?” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2006/10/apakabar-bhp_116101835749941858.html pada 12 Juli 2012 “Anomali Grand Beasiswa Penelitian I-MHERE BDP” diakses melalui http://akuakulturunhas.blogspot.com/2008/10/anomali-grand-beasiswa-penelitiani.html pada 11 Juli 2012. “BDP dan Farmasi Menggaet I-MHERE” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2007/05/bdp-dan-farmasi-menggaet-i-mhere.html pada 2 Juli 2012.
171
“BPS: Jumlah Pengangguran di Indonesia Berkurang” diakses malalui http://www.tribunnews.com/2010/05/11/bps-jumlah-pengangguran-di-indonesiaberkurang pada 10 Juli 2012. “Data dan Informasi Unhas Tahun 2010” diunduh melalui http://unhas.ac.id/dataunhas/Ixan/Data%20dan%20Informasi%20Unhas %20Tahun%202010/b.%20AKADEMIK/ pada 12 Desember 2011. “Diskusi Filosofi Otonomi” diakses melalui http://lantai6rektorat.blogspot.com/2008/08/diskusi-filosofi-otonomi.html pada 1 Agustus 2012 “Forum Rektor Tolak Liberalisasi Pendidikan” Kliping Koran Suara Pembaharuan tanggal 1 Desember 2005 diakses melalui http://www.ui.ac.id/download/kliping/021205/Forum_Rektor_Tolak_ Liberalisasi_Pendidikan.pdf “GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi” diakases melalui http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/Strategi-Menghadapi-Liberalisasi-PendidikanTinggi.pdf pada 13 Juli 2012 “Higher Education Reform In Indonesia At Crossroad” melalui http://dikti.go.id/files/atur/bhp/HEReform-Singgih.doc diakses pada 12 Juni 2012. “Indikator Pendidikan Tahun 1994 – 2010” dalam http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php? tabel=1&daftar=1&id_subyek=28¬ab=1 diakses pada 12 Desember 2011 “Indonesia Penghasil Rumput Laut Terbesar” diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2007/11/28/056112513/Indonesia-PenghasilRumput-Laut-Terbesar pada 1 agustus 2012 “Kebakaran Unhas Ludeskan 20 Proyek Penelitian Farmasi diakases melalui http://www.tempo.co/read/news/2009/07/05/058185301/Kebakaran-UnhasLudeskan-20-Proyek-Penelitian-Farmasi pada 1 agustus 2012 “Komersialisasi Terjadi, Mahasiswa Unhas Tolak BHP“ diakses melalui http://news.okezone.com/read/2007/12/03/1/65385/komersialisasi-terjadimahasiswa-unhas-tolak-bhp pada 12 Juli 2012 “Kualitas Manusia Indonesia Perlu Ditingkatkan” melalui http://economy.okezone.com/read/2011/11/15/20/529848/kualitas-manusiaindonesia-perlu-ditingkatkan diakses pada 12 Desember 2011 “Mendiknas Bantah UU BHP Komersialisasi Pendidikan” diakses melalui
172
“Mismanagement, I-MHERE Macet” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2007/11/no-673tahun-xxxiiiawal-november2007.html pada 12 Juli 2012 “Overseas Non Degree Training (ONDT) dan Domestic Non Degree Training (DNDT)” diakses melalui http://unhas.ac.id/peternakan/pengum.php? 57868104af3c0225183046a9307de888d03767b309bde91ed2773746e295d9fa pada 5 Agustus 2012 “Sejarah Fakultas farmasi” Diakses http://www.unhas.ac.id/content/fakultas-farmasi pada 12 Juli 2012. “UGM
melalui
Menangkan Hibah IMHERE B2c” diakses melalui http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2369 pada 7 Juli 2012.
“Umpan Tak Dilirik, Kuota Tak Terpenuhi” diakses melalui http://www.identitasonline.net/2007/06/identitas-no-663-edisi-xxxiii-edisi.html pada 2 Juli 2012. “Unhas Mencari Mahasiswa Asal Pesisir” diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2008/01/04/058114768/Unhas-MencariMahasiswa-Asal-Pesisir pada 12 Juli 2012. “Unhas Mencari Mahasiswa Asal Pesisir” diakses melalui http://www.tempo.co/read/news/2008/01/04/058114768/Unhas-MencariMahasiswa-Asal-Pesisir pada 12 Juli 2012.
“World Conference on Higher Education in the Twenty-first Century: Vision and Action” dokumen lengkap dapat diakses melalui http://unesdoc.unesco.org/images/0011/001164/116428e.pdf
173
Lampiran I: Program Studi Dan Nilai Akreditasi Badan Akreditasi Nasional (BAN) Universitas Hasanuddin Tahun 2010/2011
173
174
Lampiran II: Simpulan eveluasi internal dan program yang diajukan untuk Unhas menuju BHP, 2006
SELF EVALUATION
PROGRAMS
FINANCE SE No integrated & clear regulation No budgeting system Lack of competent staff No computer based information system Poor recording system
FINANCE: IMPLEMENTATION OF PERFORMANCE-BASED BUDGETING Building university community commitment Capacity building on performance-based budgeting Establishment of standardized unit cost for academic program Development of computer software for performance-based costing Pilot project and evaluation at selected work units Program wide implementation
HUMAN RESOURCES DEVELOPMENTSE No credible HR Department No HRD strategy, operative function and processes and TQM No HRD information system
HRD: DEVELOP A HIGHLY CREDIBLE AND RELIABLE HUMAN RESOURCE SYSTEM Skill inventory and mapping Enhancing capacity of potential candidates for HR Manager Writing HR handbook and manual Implementation of IT-based HR management system Implementation of HR management system in three selected faculties
INFRASTRUCTURE & FACILITIES SE No integrated system which is based on regulation No clear investment policy No computer based information system
I&F: ESTABILISHMENT OF TOTAL ASSET MANAGEMENT Establishment of asset management task force Development of asset management scheme and procedures Development of information system in asset management Updating asset data Implementation of total asset management
ACADEMIC PROGRAMS AND QUALITY ASSURANCE SYSTEM SE No integrated system Low motivation & competence staff No on computer based information system
AP&QAS: REVITALIZATION OF ACADEMIC MANAGEMENT INFORMATION SYSTEM FOR QUALITY ASSURANCE SYSTEM Development of university ICT policy Integration of academic data among academic unit Improving network connection and user access Improving the university academic service Implementing evidence based decision making
University IMAGE Having an appropriate and reliable education system Performing high quality research and community empowerment
Having effective organization structure and resource management Having a friendly and beautiful campus environment
175