1
INSENTIF FINANSIAL PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI DARI PERDAGANGAN KARBON SKEMA REDD+
RINA MUHAYAH NOOR PITRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Insentif Finansial Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari dari Perdagangan Karbon Skema REDD+ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012 Rina Muhayah Noor Pitri E151090021
3
ABSTRACT RINA MUHAYAH NOOR PITRI. Financial Incentive of Sustainable Natural Production Forest Management from Scheme of REDD+ Carbon Trading. Under direction of BAHRUNI and DUDUNG DARUSMAN. Carbon trading mechanism for sustainable natural production forest management in REDD+ is part of forestry sector participation in reducing carbon emission. Nevertheless, studies of relationship between carbon stock in sustainable forest management and incentive from REDD+ were limited, therefore the financial benefit from REDD+ could not be predicted. The objective of this research is to know incentive financial REDD+ value toward sustainable natural forest management. Objects of this research are management of natural production forest before getting sustainable certificate (A1), management of natural production forest after getting sustainable certificate (A2), and management of natural production forest have not got sustainable certificate. In general terms, data analysis consisted two major steps: (1) Calculating carbon stock and carbodioxide emission (2) Calculating economic value of carbon. Carbon stock was resulted from comparing A2-1 is 532.807 ton C/year, A2-B is 717.450 ton C/year. Carbondioxide emission was resulted from comparing A2-1 is 1.955.403 ton CO 2 /year, A2-B is 2.633.041 ton CO 2 /year. This results indicate that sustainable natural production forest management (A2) have much more carbon stock and Carbondioxide than unsustainable natural production forest management (A2 and B). Financial incentive could received by A2-1, A2-B at level price over US$ 3,52/tCO 2 and US$ 1,01/tCO 2 , respectively. Natural production forest that is managed with sustainable management could be join in REDD+ scheme. Keywords: Sustainable forest management, financial incentive, carbon trading, REDD+
4
RINGKASAN RINA MUHAYAH NOOR PITRI. Insentif Finansial Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari dari Perdagangan Karbon Skema REDD+. Dibimbing oleh BAHRUNI DAN DUDUNG DARUSMAN. Pengelolaan hutan alam produksi mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan simpanan karbon hutan atau mereduksi emisi karbon. Perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan praktek pengelolaan hutan seperti kegiatan pemanenan, penanaman dan perlindungan hutan. COP XIII UNFCCC memasukkan pengelolaan hutan lestari sebagai salah satu mekanisme pengurangan emisi karbon dalam REDD+ sehingga membuka peluang bagi pengelolaan hutan alam produksi lestari untuk memperoleh tambahan insentif dari REDD+. Pengelolaan hutan alam produksi lestari diharapkan mampu mereduksi emisi karbon dan mempertahankan simpanan tegakan atau karbon yang lebih besar daripada pengelolaan hutan tidak lestari karena perbedaan dalam pengelolaannya. Keterbatasan kajian tentang hubungan antara simpanan karbon pengelolaan hutan alam produksi lestari dan biaya mengikuti REDD+ menyebabkan perolehan insentif finansial dari REDD+ belum dapat diprediksi. Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui besar insentif finansial dari REDD+ terhadap pengelolaan hutan alam produksi lestari. Penelitian ini dilaksanakan di hutan alam produksi bersertifikat (IUPHHK A) dan hutan alam produksi tidak bersertifikat (IUPHHK B). Pada hutan bersertifikat diambil data sebelum memiliki sertifikat (A1) dan sesudah memiliki sertifikat (A2). Hutan alam produksi bersertifikat mewakili pengelolaan hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi yang belum dan tidak bersertifikat mewakili pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Komparasi antara IUPHHK A2 dengan IUPHHK A1 diberi symbol A2-1 dan komparasi IUPHHK A2 dengan IUPHHK B diberi symbol A2-B. Metode perhitungan terdiri dari (1) perhitungan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 (2) perhitungan nilai ekonomi karbon untuk mengikuti REDD+. Fokus perhitungan simpanan biomassa, karbon dan karbondioksida berasal dari tiga kegiatan yaitu kegitan produksi, kegiatan perlindungan hutan dan kegiatan penanaman. Kegiatan produksi difokuskan pada kegiatan pemanenan (berdasarkan indikator pohon tersedia dan pohon dipanen) dan kerusakan tegakan tinggal. Kegiatan perlindungan hutan menggunakan indikator penutupan lahan dan kegiatan penanaman berdasarkan penanaman yang dilakukan. Struktur biaya dalam perhitungan nilai ekonomi karbon adalah biaya oportunitas dan biaya transaksi. Rasio produksi pengelolaan hutan lestari dan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari 0,2-07 terhadap AAC. Rasio produksi pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari cenderung menurun dan rasio produksi pengelolaan hutan alam produksi lestari cenderung meningkat. Kecenderungan produksi pengelolaan hutan alam produksi lestari dalam jangka panjang memiliki tingkat produksi yang relatif meningkat menunjukkan bahwa kelestarian produksi pengelolaan hutan lestari relatif dapat dipertahankan dan kelestarian produksi pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari tidak dapat dipertahankan. Pada kegiatan pemanenan dengan indikator pohon tersedia dan pohon dipanen menunjukkan bahwa pengelolaan hutan alam produksi lestari melakukan penebangan lebih rendah dari pengelolaan hutan alam produksi tidak
5
lestari. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hutan lestari memiliki stok tegakan atau karbon hutan lebih besar daripada hutan tidak lestari sehingga mampu mereduksi kehilangan tegakan akibat kegiatan pemanenan. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mengurangi kehilangan biomassa atau karbon sebesar 0,72%-16,85%/tahun dibandingkan dengan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Hasil komparasi tegakan tinggal memberikan gambaran bahwa pengelolaan hutan alam produksi lestari lebih mampu mereduksi emisi karbon sebesar 234.158 ton CO 2 /tahun untuk A2-1 dan sebesar 373.625 ton CO 2 /tahun untuk A2-B dibandingkan dengan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Kerusakan tegakan tinggal pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari menyebabkan kehilangan biomassa sebesar 135,55-323,58 ton/ha/tahun. Kerusakan tegakan tinggal pengelolaan hutan alam produksi lestari sebesar 69,43 ton/ha/tahun. Perbedaan teknik yang digunakan untuk pemanenan menyebabkan perbedaan tingkat kerusakan tegakan. Teknik pemanenan Reduce Impact logging (RIL) yang di gunakan pada pengelolaan hutan alam produksi lestari memberikan dampak kerusakan yang lebih rendah daripada teknik konvensional yang digunakan pada pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu meminimalkan kerusakan tegakan tinggal sehingga mampu mengurangi kehilangan karbon sebesar 90,5-190,2 ribu ton C/tahun atau mampu mereduksi emisi karbon 39%57%/tahun. Perhitungan biomassa tutupan hutan menunjukkan adanya penurunan total biomassa setiap tahunnya. Kecenderungan perubahan tutupan lahan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari menunjukkan laju perubahan tutupan lahan yang rendah dibandingkan dengan perubahan tutupan lahan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon sebesar 1,39-1,56 juta ton C/tahun atau mampu mengurangi laju degradasi sebasar 1,11-1,20%/tahun dari pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Upaya dan komitmen pengelola hutan lestari untuk melakukan kegiatan perlindungan hutan terhadap degradasi lebih baik daripada unit manajemen hutan tidak lestari antara lain dibuktikan dari biaya perlindungan dan pengamanan hutan yang lebih besar; membuat menara kebakaran; melakukan pengawasan dan membuat rambu-rambu peringatan dilarang membakar, berladang dan berburu hewan yang dilindungi. Kegiatan penanaman yang dilakukan pengelolaan hutan alam produksi lestari lebih besar dari pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Rata-rata simpanan biomassa kegiatan penanaman pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari sebesar 0,195-0,978 ton/tahun dan simpanan biomassa pengelolaan hutan produksi lestari sebesar 2,544 ton/tahun. Kegiatan penanaman pengelolaan hutan alam produksi lestari yang lebih besar mencerminkan bahwa upaya yang dilakukan untuk meningkatkan stok tegakan dengan menerapkan teknik silvukultur intensif lebih baik dari pengeloaan hutan alam produksi tidak lestari. Hasil komparasi biomassa penanaman menunjukkan bahwa hutan yang dikelola secara lestari mampu meningkatkan stok karbon hutan sebesar 0,781,16 tC/tahun. Kemampuan reduksi emisi karbon pengelolaan hutan lestari dari kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman sebesar 1,955-2,633 juta ton CO 2 /tahun. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon hutan sebesar 1,76%/tahun hingga 2,37%/tahun atau sebesar 9,03-12,16 ton CO 2 /ha/tahun. Perhitungan nilai ekonomi karbon terdiri dari perhitungan biaya oportunitas, biaya transaksi dan insentif dari REDD+. Biaya oportunitas diperoleh
6
dari perbedaan keuntungan antara pengelolaan hutan alam produksi lestari dan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Biaya oportunitas untuk mengikuti REDD+ antara (12,57) milyar rupiah/tahun dan 24,45 milyar rupiah/tahun. Perhitungan biaya transaksi berdasarkan besarnya transaksi CO 2 yang ditawarkan. Biaya transaksi menggunakan tiga pendekatan yaitu US$ 0,03; US$ 0,63; dan US$ 1,23/tCO 2 . Biaya transaksi untuk mengikuti REDD+ sebesar 0,5228,76 milyar rupiah/tahun. Total biaya mengikuti REDD+ sebesar (4,376)-61,155 milyar rupiah/tahun Insentif yang dapat diperoleh dari perdagangan karbon skema REDD+ dipengaruhi oleh biaya yang harus ditanggung untuk mengikuti REDD+ dan penerimaan dari kompensasi reduksi emisi karbon. Harga kompensasi CO 2 yang disimulasikan dalam penelitian ini sebesar US$ 6, US$ 9 dan US$ 12/tCO 2 . Penerimaan dari REDD+ sebesar 104,18-280,58 milyar rupiah/tahun. Perhitungan nilai ekonomi karbon menunjukan adanya peluang bagi IUPHHK bersertifikat lestari untuk memperoleh insentif tambahan dari perdagangan karbon skema REDD+. Peluang tersebut diterima pada semua harga kompensasi yang disimulasikan. Insentif finansial paling rendah yang diterima sebesar 43 milyar rupiah/tahun untuk A2-1 dan sebesar 116,6 milyar rupiah/tahun untuk A2-B pada harga kompensasi US$6 dan beban biaya transaksi tertinggi. Insentif finansial tertinggi sebasar 168 milyar rupiah/tahun untuk A2-1 dan sebesar 284,95 milyar rupiah/tahun untuk A2-B pada harga kompensasi US$12/tCO 2 -e dan beban biaya transasksi paling rendah (US$ 0,03/tCO 2 -e). Titik impas tertinggi terjadi pada harga US$ 3,52/tCO 2 untuk A2-1 dan US$ 1,01/tCO 2 untuk A2-B. Kata kunci: pengelolaan hutan alam produksi lestari, insentif finansial, perdagangan karbon, REDD+
7
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
8
INSENTIF FINANSIAL PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI DARI PERDAGANGAN KARBON SKEMA REDD+
RINA MUHAYAH NOOR PITRI
Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
9
Judul Tesis Nama NRP
: Insentif Finansial Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari dari Perdagangan Karbon Skema REDD+ : Rina Muhayah Noor Pitri : E151090021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Bahruni, MS. Ketua
Prof.Dr.Ir. Dudung Darusman, MA. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS.
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 30 Desember 2011
Tanggal Lulus: 10 Januari 2011
10
KATA PENGANTAR Pengelolaan hutan alam produksi lestari menganut prinsip bahwa hutan harus dikelola secara lestari untuk membatasi kerusakan terhadap tegakan dan ekosistem secara keseluruhan. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mempertahankan sumberdaya kayu untuk kelestarian produksi jangka panjang dan reduksi emisi karbon. Pertemuan UNFCCC pada COP XIII tahun 2007 menyepakati bahwa pengelolaan hutan lestari menjadi salah satu mekanisme pengurangan emisi karbon dalam skema REDD+ sebagai suatu bentuk apresiasi terhadap kemampuan pengelolaan hutan lestari dalam mempertahankan simpanan karbon dan mengurangi emisi karbon. Kesepakatan tersebut membuka peluang bagi pengelolaan hutan alam produksi lestari untuk memperoleh insentif finansial dari perdagangan karbon skema REDD+. Keterbatasan kajian tentang hubungan antara simpanan karbon pada hutan alam produksi lestari dan insentif REDD+ menyebabkan perolehan manfaat finansial REDD+ bagi pengelolaan hutan alam produksi lestari belum dapat diprediksi. Diperlukan pendugaan simpanan karbon dan biaya untuk memperoleh insentif REDD+ pada hutan alam produksi yang dikelola secara lestari. Lokasi dalam penelitian ini tidak disebutkan secara detil untuk menghargai kerahasiaan informasi perusahaan. Keterbatasan informasi tempat penelitian yang dapat ditampilkan dalam tulisan ini juga berkaitan dengan sedikitnya unit manajemen
pengelolaan
hutan
alam
produksi
yang
memiliki
sertifikat
pengelolaan hutan lestari sehingga relatif mudah diidentifikasikan. Kerahasiaan ini juga diperlukan untuk tetap membina hubungan baik dalam pelaksanaan penelitian antara Perguruan Tinggi dan Pengelola Hutan Alam Produksi. Tulisan dalam tesis ini menampilkan dua komponen utama, yaitu: (1) Perhitungan pendugaan simpanan biomassa, karbon dan karbondioksida (2) Perhitungan nilai ekonomi karbon dari REDD+. Fokus utama kegiatan pengelolaan
yang
diperhitungkan
adalah
kegiatan
produksi,
kegiatan
perlindungan hutan dan kegiatan penanaman. Ucapan terima kasih dan penghargaan Penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Bahruni MS dan Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman MA selaku pembimbing
11
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Elias yang mendukung pendanaan penelitian dari program penelitian Hibah Pascasarjana IPB dan sekaligus sebagai penguji dalam ujian tesis. 3. Ayah H. Mugeni Masda dan Ibu Hj. Taniah atas doa dan kasih sayangnya; suami dan anakku Anita zulfa; serta seluruh keluarga atas dukungan dan bantuannya. 4. Seluruh pimpinan dan karyawan IUPHHK A dan IUPHHK B yang telah berkenan menerima dan memfasilitasi penulis untuk melakukan penelitian 5. Seluruh civitas akademik Institut Pertanian Bogor dan Universitas Lambung Mangkurat, Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional melalui bantuan biaya pendidikan BPPS dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat dan berguna bagi pengembangan pengelolaan hutan lestari.
Bogor, Januari 2012
Rina Muhayah Noor Pitri
12
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gambut (Kalimantan Selatan) pada tanggal 6 Februari 1979 dari ayah Mugeni Masda dan ibu Taniah. Penulis merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Tahun 1997 penulis lulus dari MAN 1 Banjarmasin dan pada tahun 2002 lulus pada program studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat. Kesempatan melanjutkan ke program Magister pada program studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan
pascasarjana
diperoleh
dari
Direktorat
Pendidikan
Tinggi
Kementerian Pendidikan Nasional. Penulis
bekerja
di
Universitas
Lambung
Mangkurat
Banjarbaru
Kalimantan Selatan sejak tahun 2003. Penulis bekerja sebagai staf Pengajar pada Program studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
13
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL...........................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
xviii
I.
II.
PENDAHULUAN
………………………………………………………..
1
1.1. Latar Belakang …………………………………………………….
1
1.2. Perumusan Masalah ……………………………………………….
3
1.3. Tujuan ………………………………………………………………
4
1.4. Hipotesis Penelitian
………………………………………………
4
1.5. Manfaat Penelitian …………………………………………………
4
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
.......................................................
5
………………………………………………….
6
2.1. Biomassa dan Karbon Hutan ……………………………………..
6
2.2. Perdagangan Karbon di Sektor Kehutanan ……………………..
9
2.3. Pengelolaan Hutan Lestari dan Pengurangan Emisi Karbon ….
14
TINJAUAN PUSTAKA
2.4. Nilai Ekonomi Karbon Hutan……………………………………………. 18 III.
IV.
METODOLOGI PENELITIAN …………………………………………..
20
3.1. Lokasi Penelitian ………………………………………………….
20
3.2. Alur Pikir Penelitian ..............……..............................................
20
3.3. Metode Penelitian ………………………………………………….
22
3.3.1. Rancangan Penelitian ...................................................
22
3.3.2. Perhitungan Biomassa, Karbon dan Karbondioksida ....
24
3.3.3. Perhitungan Nilai Ekonomi Karbon ................................
27
3.3.4. Perhitungan harga kayu bersertifikat dan kompensasi harga karbon...................................................................
28
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...........................................
29
4.1. IUPHHK A ..................................................................................
29
4.1.1. Letak Geografis dan Luas IUPHHK A ............................
29
4.1.2. Tanah dan Geologi ........................................................
29
4.1.3. Topografi ........................................................................
30
4.1.4. Iklim dan Curah Hujan....................................................
30
4.1.5. Keadaan Hutan ..............................................................
30
4.1.6. Sistem Silvikultur ...........................................................
31
4.1.7. Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat .......
31
14
V.
4.2. IUPHHK B...................................................................................
32
4.2.1. Letak dan Luas IUPHHK A ............................................
32
4.2.2. Tanah dan Geologi ........................................................
32
4.2.3. Topografi ........................................................................
33
4.2.4. Iklim dan Curah Hujan....................................................
33
4.2.5. Keadaan Hutan ..............................................................
33
4.2.6. Sistem Silvikultur ...........................................................
34
4.2.7. Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat .......
34
HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
37
5.1. Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK A1 ..................................
37
5.1.1. Kegiatan Produksi ..........................................................
37
5.1.2. Kegiatan Perlindungan Hutan ........................................
40
5.1.3. Kegiatan Penanaman ....................................................
41
5.2. Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK A2 ..................................
42
5.2.1. Kegiatan Produksi ..........................................................
42
5.2.2. Kegiatan Perlindungan Hutan ........................................
46
5.2.3. Kegiatan Penanaman ....................................................
47
5.3. Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK B ..................................
49
5.3.1. Kegiatan Produksi ..........................................................
50
5.3.2. Kegiatan Perlindungan Hutan ........................................
53
5.3.3. Kegiatan Penanaman ....................................................
53
5.4. Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO2 A2-1 dan A2-B ...................................................................................
54
2
5.4.1. Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO kegiatan Produksi...........................................................
55
2
5.4.2. Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO kegiatan Perlindungan Hutan ........................................
57
2
5.4.3. Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO kegiatan Penanaman ....................................................
59
5.4.4. Total Biomassa, Karbon dan CO 2 .................................
60
5.5. Nilai Ekonomi dalam Perdagangan Karbon Skema REDD+ .....
61
5.5.1. Biaya, Pendapatan dan Keuntungan Pengelolaan Hutan
61
5.5.2. Biaya, Penerimaan dan Insentif Finansial REDD+
62
5.5.3. Peluang Insentif berupa Manfaat Finansial bagi Pengelolaan Hutan Alam Lestari dalam Skema REDD+
65
15
VI.
SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
68
6.1.
Simpulan .................................................................................
68
6.2.
Saran .......................................................................................
68
DAFTAR PUSTAKA...……………………………………………………..
69
LAMPIRAN ..........................................................................................
74
16
DAFTAR TABEL Halaman 1. Sumber Karbon Hutan …………………………………………………….
7
2. Berbagai elemen pada pendekatan bertahap menuju REDD+ .............
14
3. Rata-rata harga kayu bersertifikat dan tidak bersertifikat ......................
15
4. Keuntungan bersih dari berbagai pilihan penggunaan lahan……………
18
5. Rancangan penelitian pada kegiatan produksi.......................................
22
6. Rancangan penelitian pada kegiatan perlindungan hutan .....................
23
7. Rancangan penelitian pada kegiatan penanaman .................................
23
8. Rancangan analisis ekonomi karbon......................................................
24
9. Kerusakan tegakan tinggal pada pemanenan konvensional dan RIL ....
26
10. Jenis-jenis tanah pada IUPHHK A..........................................................
29
11. Distribusi kelas lereng areal IUPHHK A .................................................
30
12. Penutupan lahan IUPHHK A ................................................................
31
13. Rincian formasi geologi di areal kerja IUPHHK B
...............................
32
14. Tanah-tanah di areal kerja IUPHHK B ..................................................
32
15. Kondisi tofografi IUPHHK B
................................................................
33
16. Kondisi penutupan lahan di areal kerja IUPHHK B ..............................
34
17. Biomassa, karbon dan CO2 pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A1 ............................................................................................
39
18. Potensi biomassa dan karbon IUPHHK A ............................................
39
2
19. Biomassa, karbon dan CO yang hilang akibat kerusakan tegakan A1
40
20. Biomassa tiap tutupan lahan IUPHHK A1 ..............................................
41
21. Kegiatan penanaman IUPHHK A1 .........................................................
41
22. Biomassa kegiatan penanaman IUPHHK A1..........................................
42
2
44
2
24. Biomassa, karbon dan CO yang hilang akibat kerusakan tegakan A2..
46
25. Biomassa tiap tutupan lahan pada IUPHHK A2 .....................................
46
26. Kegiatan penanaman IUPHHK A2 ........................................................
47
27. Biomassa pada kegiatan penanaman IUPHHK A2 ................................
48
28. Biomassa pohon tersedia dan pohon dipanen pada IUPHHK B...............
50
29. Potensi biomassa dan karbon pada IUPHHK B .....................................
51
30. Biomassa yang hilang pada IUPHHK B akibat kerusakan tegakan .......
52
31. Biomassa tiap tutupan lahan IUPHHK B ...............................................
53
32. Biomassa kegiatan penanaman pada IUPHHK B .................................
54
23. Biomassa, karbon dan CO pohon tersedia, pohon dipanen IUPHHK A2
17
33. Simpanan karbon dan CO 2 tegakan tinggal ..........................................
54
34. Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO2 tegakan tinggal .......
55
2
35. Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO dari kerusakan tegakan tinggal .....................................................................................
56
36. Biomassa, karbon dan CO 2 akibat degradasi hutan ....................... ......
57
2
37. Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO kegiatan perlindungan hutan ....................................................................................................
57
38. Perbedaan simpanan biomassa, Karbon dan CO 2 kegiatan penanaman
58
39. Total biomassa, karbon dan CO2 ..........................................................
59
40. Biaya, Pendapatan dan keuntungan pengelolaan hutan .......................
60
41. Biaya transaksi pada A2-1 dan A2-B......................................................
61
42. Biaya total A2-1 dan A2-B ......................................................................
61
43. Penerimaan dari konpensasi simpanan CO 2 pada A2-1 dan A2-B .......
64
44. Insentif finansial A2-1 dan A2-B dari REDD+ ........................................
64
18
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Emisi karbon tanpa REDD, dengan REDD dan REDD+ .......................
12
2. Kerangka pemikiran penelitian ...............................................................
21
3. Kecenderungan produksi pada IUPHHK A1 ..........................................
38
4. Kecenderungan produksi pada IUPHHK A2 ..........................................
43
5. Kerusakan tegakan tinggal pada IUPHHK A2 ........................................
45
6. Penanaman yang dilakukan IUPHHK A2 ...............................................
48
7. Rasio produksi terhadap AAC pada IUPHHK B .....................................
49
8. Kerusakan tegakan tinggal pada IUPHHK B ..........................................
52
19
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Wood density yang digunakan dalam penelitian ..................................
75
2.
Target dan realisasi produksi IUPHHK A1...............................................
77
3.
Target dan realisasi produksi IUPHHK A2 ...........................................
78
4.
Target dan realisasi produksi IUPHHK B...............................................
79
5.
Pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A1 .................................
80
6.
Pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A2 ..................................
80
7.
Pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK B ....................................
81
8.
Persentase biaya, pendapatan dan keuntungan pengelolaan hutan alam produksi .......................................................................................
81
Tutupan lahan IUPHHK A1 ...................................................................
81
10. Tutupan lahan IUPHHK A2 ...................................................................
81
11. Tutupan lahan IUPHHK B ...................................................................
82
12. Potensi tegakan pada IUPHHK A..........................................................
82
13. Potensi tegakan pada IUPHHK B..........................................................
82
14. Perhitungan simpanan biomassa kegiatan produksi berdasarkan beda persentase.............................................................................................
83
15. Simpanan biomassa, karbon dan CO 2 kegiatan perlindungan hutan berdasarkan persentase laju degradasi hutan.......................................
83
9.
16. Simpanan biomassa, karbon dan CO 2 kegiatan penanaman berdasarkan persentase penanaman......................................................................... 85 17. Total simpanan biomassa, karbon dan CO 2 berdasarkan persentase perbandingan total.................................................................................
85
18. Biaya, penerimaan dan insentif finansial berdasarkan perhitungan persentase simpanan biomassa, karbon dan CO 2 ...............................
86
19. Kelompok pohon pada IUPHHK A .......................................................
87
20. Kelompok pohon pada IUPHHK B ........................................................
88
21. Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pohon pada IUPHHK A tahun 2011 .........................................................................
89
22. Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pohon pada IUPHHK A tahun 2011 .................................................................
90
23. Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat tiang pada IUPHHK A tahun 2011 .........................................................................
91
24. Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat tiang pada IUPHHK A tahun 2011 .................................................................
91
25. Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pancang pada IUPHHK A tahun 2011 .........................................................................
92
20
26. Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pancang pada IUPHHK A tahun 2011 .................................................................
92
27. Jenis tingkat semai pada hutan primer IUPHHK A tahun 2011 ............
93
28. Jenis tingkat semai pada hutan bekas tebangan IUPHHK A tahun 2011
93
29. Potensi tegakan dan biomassa tingkat semai IUPHHK A tahun 2011 ..
94
30. Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pohon pada IUPHHK B tahun 2011 .........................................................................
94
31. Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pohon pada IUPHHK B tahun 2011 .................................................................
95
32. Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat tiang pada IUPHHK B tahun 2011 .........................................................................
95
33. Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat tiang pada IUPHHK B tahun 2011 .................................................................
96
34. Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pancang pada IUPHHK B tahun 2011 .........................................................................
96
35. Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pancang pada IUPHHK B tahun 2011 .................................................................
97
36. Jenis tingkat semai pada hutan primer IUPHHK B tahun 2011 ............
97
37. Jenis tingkat semai pada hutan bekas tebangan IUPHHK A tahun 2011
98
38. Potensi tegakan dan biomassa tingkat semai IUPHHK A tahun 2011 ..
98
21
1 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pada KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro 1992 telah disepakati
beberapa komitmen, salah satunya adalah menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim melalui konvensi PBB untuk perubahan iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change - UNFCCC). Pertemuan UNFCCC pada COP III tahun 1997 menghasilkan Protokol Kyoto yang mengatur perdagangan karbon sebagai mekanisme pasar yang diperuntukkan untuk menanggulangi pemanasan global. Pada COP XIII tahun 2007 dihasilkan Bali Road Map dan salah satu kesepakatannya adalah memasukkan pengelolaan hutan lestari menjadi salah satu mekanisme pengurangan emisi karbon dalam skema REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation Plus). Hutan berfungsi sebagai sumber emisi khususnya CO 2 , tetapi juga dapat berfungsi sebagai penyerap karbon (Ari wibowo dan Rufii 2009). Menurut IPCC (2007), deforestasi dan degradasi hutan menyumbang 12% - 20% emisi karbon dunia. Praktek pengelolaan hutan yang dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi laju peningkatan karbondioksida di atmosfer (Brown et al. 1996; Watson et al. 1996), yaitu (1) pengelolaan untuk mengkonservasi karbon (2) pengelolaan untuk pengambilan dan penyimpanan karbon (3) pengelolaan untuk mencari substitusi karbon. Strategi yang dapat dilakukan agar pengelolaan hutan dapat berkontribusi terhadap perubahan iklim sebagai strategi penyerapan CO 2 dari udara melalui: (1) penanaman hutan yang baru pada lahan yang sebelumnya tidak berhutan; (2) penerapan manajemen tegakan yang dapat menambah karbon (3) menghasilkan produksi dan penggunaan produksi kayu yang lebih awet (Maness 2007). Menurut Imai et al. (2009), hutan yang dikelola secara lestari dapat mempertahankan sumberdaya kayunya untuk kontinuitas produksi dan juga dapat menjaga kelestarian cadangan karbon hutan dibandingkan dengan hutan yang dikelola secara tidak lestari. Praktek-praktek kehutanan yang dilaksanakan pada hutan bersertifikat (sebagai pendekatan pengelolaan hutan lestari) dari FSC dapat mengurangi emisi karbon dibandingkan dengan hutan tidak bersertifikat dan besarnya pengurangan emisi tersebut sekurang-kurangnya 10% (Putz et al. 2008). Pengelolaan hutan alam produksi lestari memperhatikan keseimbangan fungsi produksi, ekologi dan sosial (Bahruni 2011). Manfaat dari
22
pengelolaan hutan lestari cukup banyak, namun tantangan yang dihadapi untuk mencapai pengelolaan hutan lestari juga cukup besar. Luas kawasan hutan di Indonesia berdasarkan data Statistik Bina Produksi Kehutanan tahun 2009 sebesar 133.453.366 hektar dan luas hutan alam produksi yang dibebani hak (IUPHHK_HA) seluas 25.770.887 hektar. Hutan alam produksi di Indonesia yang memiliki sertifikat dari FSC hanya 5 unit manajemen dengan luas 632.345 hektar atau 2,45% dari total luas hutan alam produksi (FSC 2011). Hutan alam produksi yang memiliki sertifikat dari LEI (3 unit; 2 unit diantaranya juga memiliki sertifikat FSC) seluas 502.000 hektar (LEI 2011) dan sertifikat dari Departemen Kehutanan (48 unit) seluas 6.517.489 hektar. Jumlah keseluruhan areal hutan yang memiliki sertifikat lestari seluas 7.904.962 hektar atau mewakili 29,69% dari total hutan alam produksi. Rendahnya persentase luas hutan alam produksi yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari di Indonesia mengindikasikan rendahnya motivasi pengelola hutan untuk melakukan pengelolaan hutan lestari. Hasil studi Bahruni (2011) menyatakan bahwa kendala yang menyebabkan rendahnya motivasi pengelola hutan untuk melaksanakan pengelolaan hutan lestari disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) faktor tata kelola dan regulasi yang tidak mampu menumbuhkan perilaku pengusahaan hutan yang baik, serta birokrasi yang belum efisien (2) ketidakpastian lahan (3) faktor kemampuan manajerial yang mencakup aspek teknis, manajemen dan finansial yang masih rendah (4) faktor motif
ekonomi
yang
tidak
disertai
dengan
kemauan
untuk
dapat
mempertahankan ketersediaan hutan dalam jangka waktu yang panjang. Hasil studi Darusman dan Bahruni (2004) menyatakan bahwa biaya produksi hutan lestari lebih tinggi dari hutan tidak lestari. Besar kenaikan biaya produksi hutan lestari berkisar antara IDR 26.000-44.000/m3 atau sekitar 4-6,5% dari biaya produksi hutan tidak lestari. Perdagangan karbon melalui skema REDD+ pada hutan produksi yang dikelola secara lestari merupakan suatu bentuk keikutsertaan sektor kehutanan dalam upaya pengurangan emisi karbon. Contoh program yang dapat diterapkan dalam pengelolaan hutan lestari adalah perubahan dari sistem penebangan konvensional menjadi pembalakan berdampak rendah/Reduced Impact Logging (VCS 2010, di acu dalam Solichin 2010). Kesepakatan COP XIII tentang pengurangan emisi karbon oleh hutan lestari mengarah pada peluang perolehan insentif dari REDD+ untuk pengelola
23
hutan alam produksi lestari. Pengelolaan hutan alam produksi lestari diharapkan mampu mengurangi emisi dan mempertahankan simpanan karbon yang lebih besar dibandingkan dengan hutan alam produksi tidak lestari. Informasi yang penting untuk diketahui dan menjadi pertimbangan bagi pengelola hutan alam produksi lestari untuk ikut serta dalam mekanisme perdagangan karbon skema REDD+ adalah perbedaan simpanan karbon dan biaya yang diperlukan untuk memperoleh manfaat finansial. 1.2. Perumusan Masalah Pengelolaan hutan alam produksi mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan simpanan karbon hutannya. Perbedaan tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan praktek pengelolaan hutan seperti kegiatan pemanenan, penanaman dan perlindungan hutan. Kegiatan pemanenan yang dilakukan pada hutan alam produksi menyebabkan kerusakan pada tegakan tinggal. Besarnya kerusakan tersebut dipengaruhi oleh sistem pemanenan yang diterapkan oleh pengelola hutan produksi. Kegiatan lain seperti kegiatan penanaman juga mempengaruhi stok karbon hutan karena perbedaan jumlah tanaman atau luas areal penanaman. Kegiatan perlindungan hutan seperti perlindungan terhadap kebakaran dan perambahan mempengaruhi laju degradasi hutan dan simpanan karbon pada hutan alam produksi. Pengelolaan
hutan
alam produksi dapat
dikelompokkan
menjadi
pengelolaan hutan alam produksi lestari dan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Pengelolaan hutan alam produksi lestari merupakan hutan alam produksi yang pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan asas-asas kelestarian dengan memperhatikan kelestarian fungsi produksi, ekologi dan sosial. Pengelolaan hutan lestari merupakan proses mengelola hutan untuk mencapai satu atau beberapa tujuan untuk menghasilkan barang atau jasa hutan secara berkelanjutan, tanpa mengurangi nilai dan produktivitas hutan dimasa yang akan dating dan tanpa adanya dampak yang tidak diharapkan terhadap lingkungan dan sosial. Pendekatan terhadap pengelolaan hutan alam produksi lestari dapat ditentukan berdasarkan pada sertifikat lestari yang diperoleh dari lembaga sertifikasi sebagai suatu bukti bahwa unit manajemen telah memenuhi standarstandar yang ditentukan oleh lembaga sertifikasi.
24
Hutan produksi yang dikelola secara lestari mempunyai potensi untuk ikut serta dalam REDD+. Pengelolaan hutan alam produksi lestari diharapkan mampu mereduksi emisi karbon dan mempertahankan simpanan tegakan atau karbon yang lebih besar daripada pengelolaan hutan tidak lestari karena perbedaan dalam pengelolaannya. Indikator kelestarian hutan alam produksi lestari di antaranya ditunjukkan oleh tingkat kerusakan tegakan tinggal yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan hutan produksi yang dikelola secara tidak lestari. Kegiatan perlindungan hutan yang dilaksanakan hutan produksi lestari relatif lebih intensif bila dibandingkan dengan hutan produksi tidak lestari. Keterbatasan
kajian
tentang
hubungan
antara
simpanan
karbon
pengelolaan hutan alam produksi lestari dan insentif REDD+ menyebabkan perolehan manfaat finansial REDD+ bagi pengelola hutan lestari belum dapat diprediksi. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pendugaan simpanan karbon dan biaya untuk memperoleh insentif REDD+ pada hutan alam produksi lestari. Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini: apakah skema REDD+ dapat memberikan tambahan insentif atau manfaat finansial yang memadai bagi pengelolaan hutan alam produksi lestari? 1.3. Tujuan Penelitan ini bertujuan untuk mengetahui peluang insentif finansial dari REDD+ sebagai pendorong pelaku usaha IUPHHK-HA melakukan pengelolaan hutan alam produksi lestari. 1.4.
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu (1) pengelolaan hutan
alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon dibandingkan dengan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari (2) biaya yang ditanggung pengelola hutan untuk melakukan pengurangan emisi lebih besar dari insentif yang ditawarkan dalam skema REDD+. 1.5.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik dari sisi akademis
maupun pengelola hutan produksi dalam hal berikut: 1. Memberikan informasi berupa data empirik dampak pengelolaan hutan terhadap emisi karbon dan simpanan karbon di hutan alam produksi.
25
2. Memberikan informasi tentang peluang mengikuti perdagangan karbon skema REDD+ dan manfaat finansial yang dapat diperoleh dari pengelolaan hutan alam produksi lestari. 1.6.
Ruang Lingkup Penelitian Perhitungan reduksi emisi karbon dalam penelitian ini difokuskan pada
kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman di hutan alam produksi. Reduksi emisi karbon pada tegakan tinggal dan kegiatan penanaman tidak memperhitungkan pertumbuhan yang terjadi.
26
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biomassa dan Karbon Hutan Biomassa merupakan jumlah bahan organik yang diproduksi oleh organisme (tumbuhan) persatuan unit area pada suatu waktu yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per ha (Brown 1997). Menurut Whitten et al. (1984), diacu dalam Rizon (2005), biomassa hutan adalah jumlah total bobot kering semua bagian tumbuhan hidup, baik untuk seluruh atau sebagian tubuh organisme, produksi atau komunitas dan dinyatakan dalam berat kering persatuan luas (ton/ha). Biomassa dibedakan ke dalam dua kategori yaitu biomassa di atas permukaan (above ground biomass) dan biomassa bawah permukaan (below ground biomass). Biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktifitas, umur tegakan dan distribusi organik. Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan. Faktor iklim seperti curah hujan dan suhu merupakan faktor yang mempengaruhi laju peningkatan biomassa pohon (Kusmana 1993). Pendugaan
bomassa
di
atas
permukaan
tanah
dapat
diukur
menggunakan metode langsung (destructive) dan metode tidak langsung (non destructive). Pendugaan biomassa pohon dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi alometrik biomassa. Pendugaan biomassa dengan metode tidak langsung menggunakan allometrik dapat lebih cepat dilaksanakan dan area yang lebih luas dapat dijadikan contoh. Diperkirakan 45%-50% komponen penyusun biomassa adalah karbon (Brown 1997). Persamaan allometrik yang disesuaikan dengan kondisi nasional sangat disarankan untuk digunakan (IPCC 2006). Upaya pengembangan allometrik lokal berdasarkan kondisi tapak maupun jenis atau kelompok jenis diperlukan untuk meningkatkan akurasi (Kettering 2001). Hutan tropika mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga dapat menyediakan simpanan karbon. Selain itu, karbon juga tersimpan dalam material yang sudah mati dalam serasah batang pohon yang jatuh ke permukaan tanah dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore 1985). Suhendang (2002) menyatakan bahwa sumberdaya hutan di Indonesia memiliki potensi tinggi dalam hal keanekaragaman hayati dan potensi
27
penyerapan karbon. Diperkirakan hutan di Indonesia dengan luas 120,4 juta hektar mampu menyerap dan menyimpan karbon sebesar 15,05 milyar ton karbon. Lasco (2002) menyatakan bahwa cadangan karbon di hutan tropis Asia berkisar antara 40–250 ton C/ha untuk vegetasi dan 50–120 ton C/ha untuk tanah. Sedangkan Murdiyarso et al. (1994) memperkirakan bahwa hutan tropis di Indonesia mempunyai cadangan karbon berkisar antara 161–300 C/ha. Akumulasi
kandungan
biomassa
hutan
dipengaruhi
oleh
teknik
pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur yang digunakan. Pinard dan Putz (1997) menyebutkan bahwa kandungan biomassa hutan hujan tropika di Asia Tenggara berkisar antara 400 – 500 ton/ha (berat kering oven) termasuk biomassa akar. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelepasan cadangan karbon ke atmosfir antara lain intensitas pemanenan hutan dan proses dekomposisi (Ojima et al. 1996). Menurut Brown (1999), bagian terbesar gudang karbon dalam proyek berbasis hutan adalah dalam biomassa hidup, biomassa mati, tanah dan produk kayu. Biomassa hidup mencakup komponen bagian atas dan bagian bawah (akar), pohon, palma, tumbuhan herba (rumput dan tumbuhan bawah), semak dan paku-pakuan. Biomassa mati mencakup serasah halus dan sisa kayu kasar, dan tanah mencakup mineral, lapisan organik dan gambut. Kriteria yang harus dipertimbangkan dalam menentukan gudang karbon yang perlu diukur dan dimonitor tergantung kepada proyek yang dilakukan, kapasitas penyimpanan karbon, laju dan arah perubahan persediaan karbon, biaya pengukuran. Berdasarkan IPCC (2006), sumber karbon utama dalam hutan adalah biomassa atas tanah dan bawah tanah, bahan organik mati (kayu mati dan serasah) dan bahan organik tanah. Berikut ini definisi sumber karbon beradasarkan IPCC guideline tahun 2006.
28
Tabel 1 Sumber karbon hutan Sumber Biomassa
Atas tanah
Bahan organik mati
Tanah
Penjelasan Semua biomassa dari vegetasi hidup di atas tanah, termasuk batang, tunggul, cabang, kulit, daun serta buah. Baik dalam bentuk pohon, semak maupun tumbuhan herbal. Ket: tumbuhan bawah di lantai hutan yang relatif sedikit, dapat dikeluarkan dari metode penghitungan.
Bawah Tanah
Semua biomassa dari akar yang masih hidup. Akar yang halus dengan diameter kurang dari 2 mm seringkali dikeluarkan dari penghitungan, karena sulit dibedakan dengan bahan organik mati tanah dan serasah.
Kayu mati
Semua biomassa kayu mati, baik yang masih tegak, rebah maupun di dalam tanah. Diameter lebih besar dari 10 cm.
Serasah
Semua biomassa mati dengan ukuran > 2 mm dan diameter kurang dari sama dengan 10 cm, rebah dalam berbagai tingkat dekomposisi.
Bahan organik tanah
Semua bahan organik tanah dalam kedalaman tertentu (30 cm untuk tanah mineral). Termasuk akar dan serasah halus dengan diameter kurang dari 2mm, karena sulit dibedakan.
Sumber: IPCC, 2006
Menurut Thomson (2008), peranan hutan mencegah dan mengurangi emisi karbon atau mitigasi perubahan iklim dapat dilihat dari berbagai kemungkinan berikut: 1. Penggunaan energi dari biomassa kayu dan sisa-sisa industri kayu menggantikan bahan bakar fosil. 2. Penggantian bahan-bahan bangunan yang diproduksi dengan bahan bakar fosil seperti baja, bata dan aluminium dengan produk kayu. 3. Mengurangi kebakaran hutan dan emisi gas rumah kaca. 4. Mempertahankan penutupan hutan dan potensinya untuk mencegah perubahan iklim. 5. Pengaturan
kegiatan
manajemen
hutan
untuk
menangkap/menyerap
tambahan CO 2 di atmosfir 6. Penangkapan dan penyimpanan karbon dalam pool karbon hutan dan penggunaan kayu dalam jangka panjang. 7. Mengembangkan pasar perdagangan karbon dan menciptakan insentif untuk kegiatan kehutanan yang mengurangi emisi industri dan penghasil polutan lainnya.
29
Mitigasi perubahan iklim adalah pencegahan dan pengurangan pengaruh perubahan iklim melalui pencegahan emisi gas rumah kaca. Malmsheimer et al. (2008) menyebutkan bahwa pencegahan emisi gas rumah kaca di sektor kehutanan dapat dilakukan dengan substitusi kayu, substitusi biomassa dan menghindari konversi lahan. Pengurangan gas rumah kaca di atmosfir dapat dilakukan melalui penyerapan vegetasi hutan, penyimpanan dalam produksi kayu. Khusus untuk penyerapan karbon di atmosfir melalui vegetasi hutan merupakan fungsi dari produktivitas hutan dalam tapak baik dalam bentuk penyimpanan dalam (pool) tanah, serasah, bahan kayu yang jatuh, kayu mati yang masih tegak, batang hidup, cabang dan dedaunan hidup. Maness (2007) menyebutkan bahwa pengelolaan hutan yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dilakukam dalam 3 strategi: 1. Strategi perlindungan stok dengan mencegah emisi (mitigasi) melalui 3 cara yaitu: -
menghindarkan
konversi
lahan
yang
secara
permanen
menjadi
penggunaan lain. -
menunda waktu panen.
-
mengurangi gangguan kebakaran dan hama penyakit.
2. Strategi penyerapan, yaitu hutan menyerap CO 2 dari udara melalui tiga cara: -
Penanaman hutan yang baru pada lahan yang sebelumnya tidak berhutan.
-
Penerapan pengelolaan hutan yang dapat menambah simpanan karbon.
-
Menghasilkan produksi dan penggunaan produksi kayu yang lebih awet.
3. Strategi penggunaan energi yang dapat diperbaharui. 2.2.
Perdagangan Karbon di Sektor Kehutanan Perhatian dunia internasional terhadap iklim bumi mengemuka pada
tahun 1980an terakhir ketika suhu bumi dirasakan meningkat secara nyata (Ojima et al. 1996). Hutan dianggap sebagai salah satu pemecahan untuk perubahan Iklim sekaligus sebagai penyumbang emisi. Deforestasi dan degradasi hutan memberikan 12-20% dari emisi karbon dunia dan merupakan sumber utama emisi bagi banyak negara berkembang tropis (IPCC 2007; Van der Werf et al. 2009; CAIT 2010). Salah satu komitmen yang dihasilkan KTT bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 adalah menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim melalui
30
konvensi PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC). Dalam konvensi tersebut disepakati juga untuk membagi negara-negara yang meratifikasi menjadi dua kelompok, yaitu negara-negara Annex I (negara-negara maju) dan negaranegara non-Annex I (negara-negara berkembang). Pertemuan UNFCCC pada COP III di Kyoto (Jepang) tahun 1997 menghasilkan Protokol Kyoto yang menegaskan beberapa hal berikut: -
Negara-negara Annex I (pada umumnya negara maju/industri) akan mengurangi emisi dari enam gas rumah kaca : karbondioksida, metana, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan laporan tahun 1990 untuk diterapkan pada periode 2008-2012.
-
Untuk mencapai target yang ditetapkan, Protokol Kyoto dilengkapi dengan emission trading, joint implementation dan mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism -CDM).
-
Emission trading (ET) merupakan mekanisme tukar menukar kredit emisi antara negara Annex I dalam memenuhi target mereka.
-
Joint implementation mewadahi mekanisme untuk melakukan investasi proyek pengurangan emisi di suatu negara Annex-I oleh suatu negara AnnexI lainnya. Kredit pengurangan emisi yang diperoleh dari pelaksanaan proyek tersebut akan diberikan
kepada
negara
yang
melakukan investasi.
Selanjutnya, mekanisme yang melibatkan negara berkembang (bukan negara Annex-I) adalah yang dikenal sebagai mekanisme pembangunan bersih (CDM). -
CDM merupakan mekanisme yang memungkinkan negara Annex-I dan negara berkembang bekerja sama untuk melakukan “pembangunan bersih”. Dengan fasilitas CDM, negara Annex-I dapat memenuhi kewajiban pengurangan emisinya dengan melakukan proyek pengurangan emisi di suatu
negara
berkembang
dan
negara
berkembang
mendapatkan
kompensasi finansial dan teknologi dari kerja-sama tersebut. Tujuan CDM Pasal 12 adalah membantu negara berkembang melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan turut menyumbang pencapaian tujuan pengurangan emisi global, serta untuk membantu negara Annex-I mencapai target pengurangan emisi. Investasi negara Annex-I di negara berkembang yang menghasilkan penurunan emisi akan disertifikasi dan kredit
31
dari pengurangan emisi yang disertifikasi (certified emission reduction, CER) tersebut akan diberikan kepada negara Annex-I. COP IV UNFCCC di Buenos Aires (Argentina) tahun 1998 menghasilkan Rancangan Aksi Buenos Aires (Buenos Aires Plan of Action – BAPA). Para pihak (dalam BAPA) mengalokasikan waktu dua tahun untuk memperkuat komitmen terhadap konvensi dan penyusunan rencana serta pelaksanaan Protokol Kyoto. COP VI Bagian II menghasilkan Kesepakatan Bonn (Bonn Agreement) dalam rangka implementasi BAPA. Bali roadmap sebagai hasil COP XIII UNFCCC di Bali tahun 2007 berisi beberapa hal berikut: 1. Adaptasi Negara-negara peserta bersepakat untuk membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang melalui metode Clean Development Mechanism. (CDM). 2. Teknologi Negara-negara peserta bersepakat untuk memulai program strategis untuk memfasilitasi teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang. 3. Reducing emissions from deforestation and degradation in developing countries. 4. Kelangsungan pasca Protocol Kyoto REDD merupakan salah satu agenda penting negosiasi yang mencakup empat (4) isu utama: (1) metode penentuan emisi, preferensi dan pemantauan yang diperlukan sebagai dasar penentuan besar penurunan emisi yang berhasil dicapai dari upaya mencegah konversi dan kerusakan hutan (2) panjang periode waktu yang digunakan untuk menentukan emisi referensi, (3) basis perhitungan penurunan emisi apakah berdasarkan tingkat proyek atau wilayah (4) mekanisme pendanaan. REDD sebagai program pencegahan deforestasi dan degradasi dalam mengurangi emisi karbon untuk mencegah dan mengurangi perubahan iklim kemudian berkembang menjadi REDD plus (REDD+). Perkembangan tersebut seiring dengan adanya konsensus bahwa kegiatan REDD harus diperluas. REDD+ menambahkan strategi mengurangi emisi dengan memasukkan peranan konservasi, pengelolaan hutan lestari dan kegiatan peningkatan stok karbon hutan.
32
REDD+ memperluas cakupan kegiatan yang dapat dimasukkan sebagai upaya mengurangi emisi sehingga diharapkan hasil dari kegiatan tersebut mampu mengurangi emisi karbon yang dihasilkan. Gambar berikut memberikan informasi tentang emisi karbon yang dihasilkan tanpa REDD, dengan REDD dan dengan REDD+.
Sumber: CIFOR 2009
Gambar 1 Emisi karbon tanpa REDD, dengan REDD dan dengan REDD+ Pemikiran dasar dari REDD+ adalah pembayaran yang sesuai dengan kinerja. Artinya, pembayaran akan bergantung pada hasil dari tindakan-tindakan REDD+. Alasan utama untuk pembayaran berdasarkan hasil (dan bukan pembayaran berdasarkan masukan) adalah bahwa mengaitkan insentif secara langsung dengan masalah akan membawa hasil yang paling efektif. Misalnya, pembayaran atas reformasi kebijakan tidak dapat dilakukan hanya dari keefektifan penerapan suatu kebijakan, atau apakah reformasi tambahan lainnya akan diperlukan. Mewujudkan REDD+ di suatu negara harus memperhatikan tiga unsur pokok yaitu: insentif, informasi dan institusi (3Is). Insentif terdiri dari pembayaran imbalan sesuai kinerja dan berbagai perubahan kebijakan. Insentif REDD+ mengalir dari berbagai sumber internasional ke sebuah dana nasional atau anggaran rutin (misalnya, departemen keuangan), kemudian menuju ke tingkat subnasional melalui anggaran pemerintah atau pembayaran langsung kepada pemegang hak karbon. Pemegang hak karbon mencakup pemilik lahan perorangan, masyarakat, pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) dan berbagai lembaga pemerintah. Elemen kedua adalah informasi REDD+, yaitu data pengurangan emisi hutan atau peningkatan cadangan karbon untuk setiap hutan, berdasarkan jenis dan lokasinya. Negara-negara perlu menyediakan informasi yang dapat
33
dipercaya tentang perubahan nyata cadangan karbon hutan yang dicapai untuk memperhitungkan dana dari sumber-sumber internasional. Informasi ini akan dikumpulkan dan diproses melalui suatu sistem MRV nasional, regional dan internasional dan menyerahkannya kepada lembaga REDD+ nasional yang berwenang (dana atau kas negara), suatu institusi UNFCCC dan untuk pembeli kredit REDD+ internasional. Pembayaran untuk pemegang hak karbon lokal akan ditetapkan dengan menggunakan informasi ini. Elemen ketiga adalah institusi REDD+ yang akan mengatur aliran informasi tentang perubahan cadangan karbon antar tingkat, dan aliran insentif ke arah pemegang hak karbon. Sejumlah institusi ini dapat berasal dari institusi yang sudah ada dan akan melibatkan lembaga yang berwenang untuk pembayaran REDD+ dan sistem MRV. Lembaga pembayaran REDD+ ini akan menjembatani dana dari tingkat internasional ke tingkat subnasional sesuai dengan volume, lokasi, dan jenis pengurangan emisiInstitusi atau kelembagaan yang efektif dibutuhkan untuk mengelola informasi dan insentif (Angelsen, 2010). Meridian Institute (2009), menerapkan REDD+ dapat dilakukan dalam tiga tahap yaitu: 1.
Tahap kesiapan Sejumlah negara menyiapkan strategi REDD+ nasional melalui proses konsultasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan; memulai mengembangkan
kemampuan
dalam
pemantauan,
pelaporan
dan
pembuktian (MRV); dan memulai tindakan uji coba. 2.
Tahap kesiapan lebih lanjut Fokus pada tahapan ini adalah menerapkan kebijakan dan tindakan untuk mengurangi emisi (seperti yang diatur dalam strategi REDD+ nasional dan yang akan dibuktikan dengan sejumlah indikator tidak langsung (proxy indicators).
3.
Tahap ketaatan penuh sesuai dengan UNFCCC Pada tahap ini, negara-negara berhutan tropis akan mendapatkan pembayaran hanya dari pengurangan emisi dan peningkatan cadangan karbon sesuai dengan tingkat rujukan yang telah disepakati bersama. Kelebihan
pendekatan
REDD+
secara
bertahap
terletak
pada
keluwesannya. Berbagai negara dapat turut berpartisipasi menurut kemampuan mereka dan terdapat insentif untuk melanjutkan dari satu tahap ke tahap
34
berikutnya. Artinya, sejumlah besar negara berhutan tropis akan dapat turut ambil bagian dalam REDD+. Tabel 2 Berbagai elemen pada pendekatan bertahap menuju REDD+ Tahap 1 Cakupan
Tahap 2
RED/REDD/REDD+
Skala pembayaran
Tahap 3
REDD/REDD+
Subnasional
Indikator kinerja • • • •
Terpusat (keduanya, subnasional dan nasional) • Kebijakan telah Strategi yang diadopsi. Penilaian legislative dan dilaksanakan. kebijakan telah selesai. • Tindakan telah ditegakkan. Konsultasi telah • Faktor pengganti dilaksanakan. untuk perubahan Institusi telah dibentuk atas karbon hutan.
Pendanaan
Dukungan awal untuk pengembangan strategi nasional dan kesiapan sejumlah kegiatan (misalnya FCPF, UNREDD, sejumlah prakarsa bilateral).
Pendanaan dari sumber-sumber bilateral dan multilateral dan dana yang dimandatkan oleh COP
Sistem MRV
Penguatan MRV
Penguatan kemampuan dan kemampuan pemantauan dasar
REDD+ Pendekatan terpusat atau nasional Perubahan karbon hutan telah dihitung (tCO 2 -e) dibandingkan dengan tingkat rujukan yang disepakati. Awalnya dikaitkan dengan pasar karbon wajib, namun kemungkinan juga akan melalui suatu dana global Kemampuan pemantauan yang telah maju dan menetapkan tingkat rujukan.
Sumber: Meridian institute (2009) 2.3. Pengelolaan Hutan Lestari dan Pengurangan Emisi Karbon Prinsip kelestarian menyatakan bahwa hutan produksi harus dikelola secara lestari untuk membatasi kerusakan yang tidak diinginkan sebanyak mungkin terhadap tegakan tinggal dan ekosistem secara keseluruhan. Saat ini, pengelolaan
hutan
lestari
(SFM)
dikombinasikan
dengan
penebangan
berdampak rendah (RIL) dan sertifikasi hutan telah diterapkan di beberapa hutan alam produksi. RIL terdiri atas perencanaan sebelum pemanenan yang dilaksanakan secara berhati-hati dan teknik panen yang lebih baik serta perawatan pasca panen melalui tindakan silvikultur (Imai et al, 2009). Biaya produksi hutan lestari lebih tinggi dari hutan tidak lestari. Besar kenaikan biaya produksi hutan lestari berkisar antara IDR 26.000-44.000/m3 atau sekitar 4-6,5% dari biaya produksi hutan tidak lestari (Darusman dan Bahruni 2004).
35
Kollert dan Lagan (2005) melakukan pengamatan selama 5 tahun mulai bulan Januari 2000 sampai bulan November 2004. Pengamatan dilakukan pada tiga unit pengelolaan hutan yang berbeda di Sabah Malaysia. Rata-rata harga kayu pada 3 unit pengelolaan tersebut bervariasi, tetapi secara keseluruhan harga kayu pada unit pengelolaan yang memiliki sertifikat FSC lebih tinggi daripada harga kayu pada unit pengelolaan yang tidak memiliki sertifikat. Tabel 3 Rata-rata harga kayu bersertifikat dan tidak bersertifikat
Spesies Selangan Batu Keruing Kapur Seraya Seraya Merah Jenis campuran
Harga kayu bersertifikat FSC (FMU 1) USD 193,35 160,17 143,29 117,82 141,14 87,71
Harga kayu tidak bersertifikat (FMU 2) USD 121,77 104,34 96,35 101,35 97,95 70,42
Harga kayu tidak bersertifikat (FMU 3) USD 108,93 107,13 107,13 108,22 110,96 83,88
Sumber: Walter Kollert dan Peter Lagan, 2005.
Kehadiran sertifikasi pengelolaan hutan lestari merupakan arah baru dalam sejarah panjang upaya untuk meningkatkan pengelolaan hutan tropis. Sertifikasi menuai
kecaman
dan
mekanismenya
tidak
mulus
tetapi
telah
mempertimbangkan segi sosial, ekologi, dan ekonomi sehingga menghindari beberapa kekurangan dari kebijakan sebelumnya (misalnya, Tropical Forestry Action Plan dan the International Tropical Timber Organization’s Year 2000 Objective). Perbedaan utama antara sertifikasi pengelolaan hutan lestari dan tindakan lain ialah bahwa sertifikasi mendorong pengaruh pasar yang menguntungkan secara sosial dan lingkungan terhadap pengelolaan hutan. Walaupun “hadiah hijau” yang diharapkan dari sertifikasi terlalu dilebih-lebihkan. Pengelola hutan menjadi semakin sadar bahwa sertifikasi sangat meningkatkan akses pasar mereka (Auld, 2008). Kebijakan yang mengaitkan pengurangan emisi karbon yang telah dibuktikan dengan sertifikasi kayu dan hasil hutan lain akan mendapat manfaat dari REDD+. Mendukung sertifikasi pengelolaan hutan lestari tampaknya merupakan cara penggunaan dana REDD+ yang efektif dan efisien. Program-program sertifikasi yang memajukan pengelolaan hutan dan penyimpanan karbon memiliki keterbatasan. Masalah utamanya ialah penebangan liar yang menyebabkan banyak degradasi akibat pembalakan yang buruk tidak mungkin memperoleh sertifikasi. Perusahaan tertentu juga memanen kayu tanpa memperhatikan
36
dampak negatif pada tegakan yang tersisa karena mereka tidak mengharapkan memanen di lokasi yang sama lagi. Bagi perusahaan ini, biaya untuk meningkatkan efisiensi melalui teknik RIL (misalnya, pemilihan petak dan rencana panen tahunan) mungkin melebihi keuntungannya. Selain itu, penting untuk mengenali bahwa sertifikasi bukan sekadar peningkatan efisiensi melalui penggunaan teknik RIL yang berarti bahwa bahkan sebagian perusahaan dan masyarakat yang mengelola hutan dengan baik mungkin harus menanggung biaya sertifikasi yang terlalu tinggi. FSC sedang berupaya untuk mengurangi biaya sertifikasi bagi hutan kecil yang dikelola dengan intensitas rendah, khususnya yang dikelola oleh masyarakat, tetapi cara ini akan memerlukan subsidi lebih lanjut. Dana REDD+ untuk sertifikasi dan audit sertifikasi dapat menyediakan insentif ini (Angelsen, 2010). Pengelolaan hutan lestari mampu mempertahankan sumber daya kayu dan menjaga kelestarian cadangan karbon hutan (Imai et al. 2009). Beberapa praktek kehutanan yang dilaksanakan pada hutan bersertifikat (contoh kasus hutan yang memiliki sertifikat dari FSC) dapat mereduksi emisi karbon sekurangkurangnya 10% dibandingkan dengan hutan tidak bersertifikat (Putz et al. 2008). Rainforest Alliance (2009), beberapa hal yang berbeda dari pengelolaan hutan bersertifikat (contoh kasus hutan bersertifikat FSC) dan tidak bersertifikat, antara lain: a. Pengurangan volume panen Dibandingkan dengan hutan yang ditebang secara konvensional, hutan tropis bersertifikat umumnya melakukan pemanenan lebih rendah per satuan luas hutan yang ditebang. Sebuah skenario yang umum dilakukan pada hutan tidak bersertifikat adalah melakukan praktek penebangan kembali 10 sampai 15 tahun siklus. Akibatnya terjadi penurunan biomassa hidup, kurangnya sumber benih untuk regenerasi jenis-jenis kayu dan penurunan simpanan karbon melalui penebangan konvensional. Hutan bersertifikat melakukan praktek pemanenan berkelanjutan jangka panjang dan tingkat panen yang berkelanjutan dengan melakukan inventarisasi secara sistematis serta pemantauan pertumbuhan (Applegate 2001, diacu dalam Rainforest Alliance 2009). b. Peningkatan kawasan hutan konservasi dan restorasi. Hutan
bersertifikat
mempertahankan
biomassa
lebih
besar
melalui
penyediaan kawasan konservasi yang lebih besar, kawasan lindung di
37
sepanjang sungai, kawasan lindung hutan bernilai konservasi tinggi dan daerah untuk restorasi hutan. c. Pengurangan dampak kerusakan akibat kegiatan pemanenan. Praktek-praktek pada hutan bersertifikat diperkirakan telah mengurangi emisi sekurang-kurangnya 10% (Putz et al. 2008). Hutan alam produksi bersertifikat menerapkan Reduced Impact Logging (RIL) dalam operasional dukupemanenan
dan
hutan
tidak
bersertifikat
menerapkan
metode
penebangan konvensional. RIL adalah pemanenan kayu berdasarkan perspektif hutan dan survey hutan dalam rangka memperoleh data yang diperlukan untuk mendesain lay out petak-petak tebangan, unit-unit inventarisasi dan merencanakan operasi pemanenan kayu. Konsep RIL adalah menekan atau meminimalkan kerusakan akibat pemanenan kayu yang dilakukan mulai dari saat perencanaan,
pada
saat
proses pelaksanaan
dan
sesudah
proses
pemanenan kayu selesai, dengan memanfaatkan teknik-teknik perencanaan, teknik-teknik pelaksanaan, teknologi/teknik baru pemanenan kayu dan penerapan prinsip-prinsip ilmiah keteknikan hutan yang dikombinasikan dengan pendidikan dan pelatihan. Pemanenan konvensional adalah praktek pemanenan yang umum dilakukan di hutan tropika Indonesia hingga sat ini. Pemanenan
kovensional
memiliki
ciri-ciri
perencanaan
yang
kurang
cukup/akurat, penerapan teknik pemanenan kayu yang kurang tepat dan pengawasan yang kurang. Penerapan teknik reduced impact wood harvesting dapat mengurangi kerusakan hingga 50% (Elias 2002). d. Pemecahan masalah hak milik. Hutan bersertifikat memperhatikan dan menyelesaikan konflik sosial yang mungkin sering menyebabkan degradasi, seperti sengketa kepemilikan dan klaim tanah. e. Langkah-langkah untuk mencegah kegiatan yang illegal dan kebakaran. Hutan bersertifikat menerapkan sistem manajemen pencegahan, langkahlangkah monitoring dan mitigasi yang mengurangi dampak perambahan, ekstraksi illegal, penebangan liar, kebakaran hutan serta hama dan penyakit (FSC 2002). Uraian di atas menunjukkan bahwa hutan yang menerapkan pengelolaan hutan lestari dapat meningkatkan simpanan karbon atau penurunan emisi karbon. Berdasarkan hal tersebut, hutan produksi bersertifikat berpotensi untuk
38
dapat ikut serta dalam perdagangan karbon skema REDD+. Informasi tentang kelayakan untuk mengikuti REDD+ sangat diperlukan oleh pengelola hutan. Tabel berikut memberikan informasi tentang perbandingan keuntungan bersih berbagai pilihan penggunaan lahan hasil studi Sasaki dan Yoshimoto (2010). Tabel 4 Keuntungan bersih dari berbagai pilihan penggunaan lahan Pilihan Penggunaan lahan
($ ha-1) Biaya 5.125,63 5.054,87 70,76 5.419,92 41,25 688,88
Pendapatan Keuntungan BAU-timber 6.556,83 1.431,19 - Company 4.312,20 -742,67 - Government 2.244,63 2.173,87 REDD-plus 7.820,57 2.400,65 Hutan tanaman Jati 1.000,00 958,75 Hutan Tanaman Eucalyptus dan Akasia 61,60 -627,28 Kebun Karet - Kasus 1 (MAFF, 2006) 1.200,00 211,93 988,07 - Kasus 2 (Marubeni, 2004) 1.200,00 250,50 949,50 Kebun Kelapa Sawit 747,60 852,49 -104,89 Harga karbon untuk kalkulasi pendapatan pada REDD+ adalah $ 2,00t-1 CO 2 Sumber: Sasaki dan Yoshimoto 2010
Keuntungan bersih pengelolaan hutan produksi lestari dengan REDD+ lebih besar dari pengelolaan hutan konvensional. Besarnya perbedaan keuntungan bersih mencapai 67,74% dari keuntungan besih pengelolaan hutan konvensional. Pendapatan dari kegiatan pengelolaan hutan produksi lestari dan REDD+ diperoleh dari penebangan kayu yang masak tebang sebesar 30% dan kompensasi dari kemampuan mempertahankan simpanan karbon (Sasaki dan Yoshimoto 2010). Hasil penelitian Antinori dan Sathaye (2007) di Cameroon menunjukkan bahwa besarnya biaya transaksi untuk penerapan REDD+ masih kurang menentu. Tercatat dari 11 hutan produksi yang menjadi contoh dalam penelitian tersebut, biaya transaksinya berkisar antara US$ 0,03 sampai US$ 1,23/ton CO 2. Titik impas (break event) mengikuti REDD+ pada harga US$ 2,85 /tCO 2 dan economic return untuk pengelolaan hutan alam dipengaruhi oleh biaya, harga kayu dan harga karbon. 2.4. Nilai Ekonomi Karbon Hutan Perhitungan neraca karbon mencakup tahapan berikut: (1) Penetapan garis dasar (baseline) (2) kuantifikasi aliran karbon yang dihasilkan dalam proyek (3) perhitungan additionality (besarnya pengaruh tambahan proyek dari perbedaan antara karbon yang diperoleh dengan garis dasarnya).
39
Perhitungan nilai ekonomi karbon umumnya terdiri atas 2 macam yaitu: 1. Biaya oportunitas (opportunity cost) Biaya oportunitas adalah biaya kesempatan yang hilang dari alternatif penggunaan lain. 2. Biaya transaksi (transaction cost) Biaya transaksi adalah biaya pencapaian dan penguatan kesepakatan seperti biaya mendapatkan informasi, biaya tawar menawar, biaya untuk meyakinkan suatu kesepakatan. Biaya transaksi dikorbankan untuk kepentingan proyek mulai dari perencanaan, implementasi dan monitoring. Biaya transaksi menurut Kanounnikoff (2008) meliputi biaya (a) Informasi dan pengadaan (b) Implementasi (c) Monitoring (d) Penyelenggaraan dan perlindungan (e) Verifikasi dan sertifikasi.
40
3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari di wilayah Kalimantan. Pendekatan yang digunakan untuk hutan alam produksi lestari dalam penelitian ini adalah hutan alam produksi bersertifikat hutan lestari. Pada hutan alam produksi lestari diambil data sebelum memiliki sertifikat (A1) dan sesudah memiliki sertifikat (A2). Hutan alam produksi yang tidak bersertifikat mewakili hutan alam produksi yang pengelolaan hutannya tidak lestari (B). Hasil perhitungan perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 antara IUPHHK A2 dan IUPHHK A1 diberi simbol A2-1 dan hasil perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 antara IUPHHK A2 dan IUPHHK B diberi simbol A2-B. Penelitian dilaksanakan selama enam (6) bulan, mulai dari bulan Mei sampai dengan Oktober 2011. 3.2. Alur Pikir Penelitian Pengelolaan hutan lestari mampu mempertahankan kontinuitas produksi dan keseimbangan fungsi ekologis serta mampu membina hubungan sosial yang baik (Imai et al. 2009). Keutamaan hutan lestari dalam memperhatikan keseimbangan produksi, ekologis dan sosial (Bahruni 2011) memperoleh apresiasi pada COP XIII dengan memasukkan pengelolaan hutan lestari sebagai salah satu mekanisme reduksi emisi karbon dan memiliki peluang untuk memperoleh insentif finansial dari perdagangan karbon skema REDD+. Menindak lanjuti peluang insentif yang ditawarkan dalam REDD+, perlu dipersiapkan data dan informasi yang menjadi unsur pokok dalam perdagangan karbon tersebut. Data karbon tersimpan dari pengelolaan hutan lestari merupakan informasi penting untuk dapat mengikuti REDD+. Selain data tentang simpanan karbon, kuantifikasi kehilangan keuntungan karena melakukan pengelolaan hutan alam produksi secara lestari juga perlu diketahui agar mempunyai gambaran besarnya biaya oportunitas. Sehubungan dengan insentif dari mekanisme REDD+ bagi pengelolaan hutan lestari, maka tambahan biaya transaksi untuk mengikuti REDD+ juga harus dipertimbangkan sehingga manfaat finansial dari mekanisme tersebut dapat diprediksi. Secara skematis, kerangka pikir penelitian tentang insentif finansial terhadap hutan alam produksi lestari dari perdagangan karbon skema REDD+ diringkas pada Gambar 2.
41 IUPHHK
IUPHHK B
IUPHHK A Sebelum Sertifikasi (A1)
Belum Sertifikasi (B)
Setelah Sertifikasi (A2)
Identifikasi Kegiatan Pengelolaan Hutan Komparasi Produksi IUPHHK A1, A2, B
Perlindungan Hutan IUPHHK A1, A2, B
A2 < A1, B
A2 > A1, B A2 ≤ A1, B
Simpanan Karbon
Biaya produksi IUPHHK A1, A2, B
Penanaman IUPHHK A1, A2, B
A2 > A1, B A2 ≤ A1, B
A2 ≤ A1, B
Simpanan Karbon
A2 > A1, B
A2 > A1, B A2 ≤ A1, B
Analisis Ekonomi
Simpanan Karbon
Total Simpanan Karbon Upaya Perbaikan
Pendapatan IUPHHK A1, A2, B
Analisis Nilai Ekonomi Karbon Kelayakan mengikuti REDD+
Gambar 2 Diagram alir kerangka pikir penelitian
A2 ≤ A1, B
42
3.3. Metode Penelitian Data yang dikumpulkan meliputi data (1) Potensi tegakan (2) Pohon tersedia (3) Realisasi produksi (4) Penutupan lahan (5) Penanaman (6) Keuangan (7) Hasil penelitian yang relevan. Pengolahan data meliputi dua tahapan (1) Perhitungan simpanan biomassa, karbon dan karbondioksida (2) Perhitungan nilai ekonomi karbon. 3.3.1. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang dibuat terdiri dari perhitungan biomassa, karbon, karbondioksida dan analisis ekonomi karbon. Fokus perhitungan simpanan biomassa, karbon dan karbondioksida berasal dari tiga kegiatan yaitu kegiatan produksi, kegiatan perlindungan hutan dan kegiatan penanaman. Analisis ekonomi karbon diperoleh dari perbedaan keuntungan hutan bersertifikat dan hutan tidak bersertifikat (sebagai biaya oportunitas) dan biaya transaksi. Tabel 4 memperlihatkan rancangan penelitian kegiatan produksi yang meliputi (1) kegiatan pemanenan (2) pengurangan kerusakan tegakan tinggal. Tabel 5 Rancangan penelitian kegiatan produksi No. 1.
Variabel Sumber Metode analisis Keluaran Kegiatan pemanenan: Pohon tersedia dan pohon dipanen - Jumlah dan LHC dan LHP Pengolahan data: - Simpanan volume pohon - Perhitungan biomassa (ton dan biomassa %) pohon tersedia dan pohon A2-1 dan A2-B tersedia - Jumlah dan dipanen - Perhitungan beda biomassa volume pohon (ton dan %) antara pohon dipanen tersedia dan pohon dipanen - Perbedaan biomassa tegakan tinggal (A2 – A1, A2 – B) 2. Kerusakan Tegakan Tinggal - Jumlah, diameter - Pengukuran Pengolahan data: - Simpanan dan tinggi tingkat lapangan - Perhitungan kerusakan pohon, biomassa - LHC pohon, tiang, tiang, pancang dan semai. kerusakan - Hasil - Perhitungan biomassa yang pancang tegakan - Jumlah dan berat penelitian hilang (tingkat pohon, tiang, tinggal basah semai Elias 2002 pancang dan semai) akibat - Persentase kerusakan - Perbedaan biomassa yang kerusakan hilang akibat kerusakan tegakan tiap (A1– A2, B– A2) tingkat vegetasi 3. Karbon dan karbondioksida pada kegiatan produksi Simpanan Pengolahan data: Simpanan biomassa - Karbon = B x 0,5 karbon pada kegiatan - CO 2 = C x 3,67 A2-1 dan A2-B produksi
43
Kegiatan perlindungan hutan atau kegiatan yang berhubungan dengan upaya penurunan degradasi dilihat berdasarkan indikator penutupan hutan. Rancangan penelitian kegiatan perlindungan hutan ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 6 Rancangan penelitian kegiatan perlindungan hutan No. Variabel 1. - Luas tutupan hutan - Potensi tegakan
Sumber Metode analisis Keluaran - Laporan tahunan Pengolahan data: - Simpanan perusahaan - Menghitung potensi biomassa - Hasil pengukuran biomassa untuk setiap kegiatan lapangan tutupan hutan perlindungan - Menghitung beda biomassa hutan. dari data perubahan tutupan hutan - Perbedaan biomassa (A1– A2 dan B - A2).
2. Simpanan biomassa perlindungan hutan
Pengolahan data - Karbon= B x 0,5 - CO 2 = C x 3,67
Simpanan karbon kegiatan perlindungan hutan
Simpanan biomassa atau karbon hutan alam produksi lestari pada kegiatan penanaman dilihat dari perbedaan jumlah penanaman yang dilakukan. Rancangan penelitian kegiatan penanaman di ringkas pada Tabel 6. Tabel 7 Rancangan penelitian kegiatan penanaman No. 1. -
2.
Variabel data Jumlah individu Luas penanaman Jenis tanaman Lokasi penanaman
Simpanan biomassa penanaman
Sumber Data Metode analisis Laporan Pengolahan Data: perusahaan - Perhitungan biomassa Hasil penanaman pada A1, A2 pengukuran dan B lapangan - Perbedaan biomassa penanaman (A1 – A2 dan B - A2) Pengolahan data - Karbon= B x 0,5 - CO 2 = C x 3,67
Keluaran - Simpanan biomassa kegiatan penanaman.
Simpanan karbon kegiatan penanaman
Total simpanan biomassa dan karbon diperoleh dari penjumlahan simpanan biomassa atau karbon pada kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman. Rancangan penelitian analisis ekonomi karbon untuk mengikuti perdagangan karbon skema REDD+ ditampilkan pada Tabel 7.
44
Tabel 8 Rancangan penelitian untuk analisis ekonomi karbon No. 1. -
Variabel Sumber Biaya - Laporan Pendapatan Keuangan - Hasil studi Keuntungan Biaya transaksi Antinori dan Sathaye 2007) Harga karbon - Hasil penelitian Pirard (2005).
Metode analisis Pengolahan data: - Perbedaan keuntungan (A1 , - A2, dan B - A2 , ) - Perhitungan biaya transaksi - Total Biaya= Biaya oportunitas + Biaya transaksi - Perbedaan biaya REDD+ dan kompensasi harga karbon - Biaya REDD+ < harga karbon - Biaya REDD+ ≥ harga karbon: simulasi harga kayu bersertifikat dan harga karbon
Keluaran - Beda keuntungan = Biaya oportunitas - Biaya transaksi - Total biaya REDD+ - Manfaat Finansial mengikuti REDD+ - Harga kayu bersertifikat yang layak dan kompensasi karbon
3.3.2. Perhitungan Biomassa, Karbon dan Karbondioksida 3.3.2.1. Perhitungan biomassa a. Perhitungan biomassa kegiatan produksi. Simpanan biomassa kegiatan produksi diperoleh dari kegiatan pemanenan dan pengurangan kerusakan tegakan tinggal. -
Simpanan biomassa kegiatan pemanenan Simpanan biomassa kegiatan pemanenan dilihat dari indikator pohon tersedia dan pohon dipanen. Perhitungan biomassa menggunakan persamaan Brown dan Lugo (1992): B = V x WD x BEF Keterangan: V
: Volume kayu (m3)
WD
: Kerapatan kayu (kg/cm3) menurut jenis kayu
BEF
: Biomass Expansion Factor (1,74) Tahapan perhitungan simpanan biomassa kegiatan pemanenan
adalah (1) Menghitung biomassa pohon dipanen dan biomassa pohon tersedia pada A1, A2 dan B (2) Menghitung persentase biomassa pohon dipanen terhadap biomassa pohon tersedia (3) Perhitungan beda biomassa (ton dan %) pohon tersedia dan pohon dipanen (4) perbedaan biomassa (A1 - A2, B – A2). Simpanan biomassa hutan lestari diperoleh
45
dari perbedaan biomassa antara hutan yang dikelola tidak atau belum lestari dengan hutan yang dikelola secara lestari. -
Kerusakan tegakan tinggal Perhitungan kerusakan tegakan tinggal menggunakan data potensi tegakan hasil pengukuran lapangan dan persentase kerusakan tegakan tinggal hasil studi Elias (2002). Metode yang digunakan dalam membuat plot pengukuran adalah metode nested sampling. Plot pengukuran dibuat 6 petak ukur yang didalam petak ukur tersebut dibuat sub petak ukur. Vegetasi yang diamati meliputi tingkat pohon, tiang, pancang dan semai. Plot ukur 20 m x 20 m digunakan untuk pengukuran diameter, tinggi dan jenis pohon. Selanjutnya dalam plot ukur 20 x 20 m tersebut, dibuat sub petak ukur ukuran 10 m x 10 m untuk pengukuran diameter, tinggi dan jenis tiang, 5 x 5 m untuk pengukuran diameter, tinggi dan jenis pancang dan 2 x 2 m untuk pengukuran jumlah dan jenis semai. Perhitungan biomassa semai menggunakan metode secara langsung (destruktif). Bobot kering biomassa semai dihitung berdasarkan rumus: Wk = Fk x Wb Fk = BK contoh x 100% BB contoh Keterangan: Wk
= bobot kering biomassa (kg)
Wb
= bobot basah biomassa (kg)
Fk
= faktor konversi bobot basah ke bobot kering (gr)
BK contoh = Berat kering contoh (gr) BB contoh = Berat basah contoh (gr) Perhitungan biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan tinggal menggunakan persentase kerusakan tegakan tinggal pada pemanenan dengan metode konvensional dan RIL. IUPHHK yang tidak bersertifikat lestari (IUPHHK A1 dan IUPHHK B) merupakan IUPHHK yang melakukan pemanenan dengan metode konvensional dan IUPHHK bersertifikat lestari merupakan IUPHHK yang melakukan pemanenan dengan metode RIL.
46
Tabel 9 Persentase kerusakan tegakan tinggal Tingkat perkembangan vegetasi (%) - Anakan - Pancang - Tiang dan pohon
Metode Pemanenan Kayu Konvensional RIL 33,47 17,65 34,93 19,59 40,42 19,08
Sumber: Elias, 2002
Biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan tinggal diperoleh dari perkalian persentase kerusakan tegakan tinggal dengan potensi biomassa pada IUPHHK A1, A2 dan B. Hasil perbedaan biomassa yang hilang setiap tingkatan vegetasi (A1 – A2 dan B – A2) merupakan simpanan biomassa dari pengurangan kerusakan tegakan tinggal. -
Total simpanan biomassa dari kegiatan produksi diperoleh dari simpanan biomassa
kegiatan
pemanenan
dan
simpanan
biomassa
dari
pengurangan kerusakan tegakan tinggal. b. Kegiatan perlindungan hutan Data yang digunakan untuk perhitungan simpanan biomassa kegiatan perlindungan hutan adalah luas tutupan lahan IUPHHK A1, IUPHHK A2 dan IUPHHK B pada beberapa tahun yang berbeda. Berdasarkan data penutupan lahan dan potensi biomassa tiap tutupan lahan dihitung (1) biomassa tiap tutupan lahan pada tahun yang berbeda (2) penurunan biomassa tiap tahun (3) perbedaan penurunan biomassa (A1 – A2 dan B – A2). Perbedaan penurunan biomassa hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari merupakan simpanan biomassa kegiatan perlindungan hutan. c. Simpanan biomassa pada kegiatan penanaman diperoleh dari perhitungan beda biomassa penanaman A2-1 dan A2-B. Perhitungan biomassa pada kegiatan penanaman menggunakan pendekatan rata-rata biomassa dari hasil pengukuran di lapangan. 3.3.2.2. Perhitungan simpanan karbon dan karbondioksida Estimasi jumlah C tersimpan pda kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman dapat dihitung dengan mengalikan total berat massanya dengan konsentrasi C (Brown 1997). C = Biomassa x 0,5 CO 2 = C x 3,67
47
3.3.3. Perhitungan Nilai Ekonomi Karbon Biaya yang harus ditanggung untuk mengikuti REDD+ adalah biaya oportunitas dan biaya transaksi. Tahapan perhitungan nilai ekonomi karbon yang dilakukan sebagai berikut: 3.3.3.1. Perhitungan Keuntungan Pengelolaan Hutan Keuntungan yang diperoleh pengelola hutan alam produksi A1, A2 dan B merupakan selisih antara pendapatan dan biaya pengelolaan hutan.
Secara
matematis perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui besarnya keuntungan yang diperoleh dari hutan A1, A2 dan B sebagai berikut:
3.3.3.2. Biaya Oportunitas dan Biaya Transaksi dalam Perdagangan Karbon Skema REDD+ Biaya yang dikorbankan untuk mengikuti REDD+ terdiri atas biaya oportunitas dan biaya transaksi. Biaya oportunitas dihitung berdasarkan kehilangan
kesempatan
memperoleh
keuntungan
karena
melakukan
pengelolaan hutan lestari. Biaya Oportunitas = Keuntungan A2 – Keuntungan A1 atau B Pendekatan yang digunakan untuk perhitungan besarnya biaya transaksi adalah berdasarkan besarnya transaksi CO 2 yang dilakukan yaitu $0,03 dan $1,23 serta rata-ratanya sebesar $ 0,63 per ton CO 2 (Antinori dan Sathaye 2007). Total biaya mengikuti REDD+ adalah penjumlahan dari biaya oportunitas dan biaya transaksi. Total Biaya REDD+ = Biaya oportunitas + Biaya transaksi 3.3.3.3. Manfaat finansial pengelolaan hutan alam produksi lestari dari REDD+ Manfaat finansial mengikuti REDD+ diperoleh dengan membandingkan total biaya dalam mekanisme REDD+ dengan kompensasi harga CO 2 . Dalam penelitian ini, pendekatan harga karbon berdasarkan harga hipotetik menurut Pirard (2005) yaitu US$ 6, US$ 9 dan US$ 12/tCO 2 . Kemungkinan hasil yang diperoleh: Biaya total < harga karbon maka diperoleh insentif berupa manfaat finansial pengelolaan hutan lestari yang mengikuti REDD+.
48
Biaya total ≥ harga karbon maka manfaat finansial dari skema REDD+ belum dapat diperoleh pengelola hutan alam produksi lestari. 3.3.4. Perhitungan harga kayu bersertifikat dan kompensasi harga karbon Jika biaya yang dikorbankan untuk mengikuti REDD+ lebih besar atau sama dengan harga karbon berarti hutan alam produksi lestari belum memperoleh tambahan insentif dari skema REDD+. Berdasarkan hal tersebut, strategi yang dapat dilakukan agar pengelola hutan lestari dapat memperoleh tambahan insentif antara lain (1) meningkatkan harga jual kayu bersertifikat (2) meningkatkan standar harga CO 2 . Penentuan harga yang layak untuk kayu bersertifikat dan kompensasi karbon menggunakan teknik simulasi.
49
4
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. IUPHHK A 4.1.1. Letak dan Luas IUPHHK A IUPHHK A berada di Kalimantan dan mulai melakukan kegiatan pemanfaatan hutan sejak tahun 1974. Semula luas wilayah hanya 170.000 ha dan meningkat menjadi 265.205 ha setelah diselesaikan seluruh tata batas luarnya tahun 1994 (Surat Ditjen Intag Nomor 064/A/VII-3/1994 tanggal 22 Januari 1994). Tahun 2004 luas areal kerja IUPHHK A disesuaikan kembali karena adanya konversi areal untuk keperluan perkebunan kelapa sawit dan HTI. IUPHHK A memperoleh ijin perpanjangan IUPHHK definitif berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (No. 266/Menhut-II/2004 tanggal 21 Juli 2004) dan areal kerja ditetapkan menjadi 216.580 ha. IUPHHK A berusaha memantapkan status kawasan hutannya dengan menyelesaikan seluruh tata batas luarnya tahun 1994. Mulai tahun 2005, IUPHHK A menerapkan sistem silvikultur intensif (SILIN) sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. SK.77/VI-BPHH/2005 tentang Penunjukkan Pemegang IUPHHK pada Hutan Alam Sebagai Model Sistem Silvikultur TPTI-Intensif (TPTII). 4.1.2. Tanah dan Geologi Berdasarkan Peta Tanah skala 1 : 250.000 (PPPG, 1986) jenis tanah yang dijumpai di lokasi penelitian berdasarkan klasifikasi USDA termasuk dalam jenis tanah Dystropepts (Inceptisol; setara kambisol oksik), tropudults (ultisol; setara podsolik kromik), tropaquepts (Inceptisol; setara kambisol distrik) dan tropohemist (histosol; setara organosol). Jenis tanah yang mendominasi areal kerja IUPHHK A adalah jenis tanah podsolik. Bahan geologi pada areal IUPHHK A terdiri atas terobosan batuan andesit, batuan terobosan komplek granit mandahan dan formasi kuayan (sebagian besar areal didominasi oleh batuan terobosan komplek granit mandahan). Tabel 10 Jenis-jenis tanah IUPHHK A Jenis tanah Dystropepts Tropudults Jumlah
Luas Areal ha % 132.114 61,01 84.446 38,99 216.580 100,00
Sumber : Peta tanah IUPHHK A skala 1: 250.000
50
4.1.3. Topografi Topografi daerah penelitian bervariasi dari datar sampai berbukit dan hanya sebagian kecil tanah rawa di sepanjang sungai. Bentuk bentang alam yang bervariasi pada areal IUPHHK A akibat pengaruh faktor struktur dan resistensi batuan yang berperan aktif dalam proses pembentukan bentang alamnya. Rincian sebaran kelerengan lahan areal IUPHHK A disajikan pada Tabel 10. Tabel 11 Distribusi kelas lereng areal IUPHHK A Topografi Datar Landai Agak curam Curam Sangat curam Jumlah
Kelas lereng (%) 0–8 8 - 15 15 - 25 25 - 40 > 40
Luas areal ha 109.728 37.304 31.747 33.231 4.570 216.580
% 50,7 17,2 14,7 15,3 2,1 100
Sumber : Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP)
Ketinggian tempat bervariasi dari 18 – 944 meter dari permukaan laut. Areal yang relatif datar berada di bagian Utara dan Selatan. Areal dengan kemiringan lapangan sangat curam (kemiringan > 40%) ditetapkan sebagai kawasan lindung. 4.1.4. Iklim dan Curah Hujan Berdasarkan data curah hujan tahun 2001 s/d 2008, tipe iklim areal kerja IUPHHK A termasuk tipe iklim A (schmidt & Ferguson). Curah hujan rata-rata 3.804 mm/tahun dan hari hujan rata-rata 182 hari/tahun. 4.1.5. Keadaan Hutan Sebagian besar kondisi areal IUPHHK A merupakan kawasan hutan produksi. Hutan di lokasi penelitian termasuk tipe hutan hujan tropika basah yang didominasi oleh Shorea. Selain terdapat berbagai jenis vegetasi, di lokasi penelitian juga ditemukan tumbuhan bawah, yang terdiri atas berbagai jenis anggrek, tumbuhan obat, tumbuhan hias, serta berbagai jenis herba dan liana. Target dan realisasi produksi untuk tebangan RKT Kumulatif IUPHHK A tahun 1981 sampai dengan tahun 2009 dapat dilihat pada Lampiran 2. Kondisi penutupan lahan IUPHHK A sesuai surat Kepala Badan Planologi Kehutanan nomor S.330/IPSDH-2/2010 sebagai berikut:
51
Tabel 12 Penutupan lahan IUPHHK A Luas (ha) No Penutupan lahan HPT HPK Jumlah 1. Hutan primer 3.675 2.255 5.930 2. Hutan bekas tebangan 129.427 32.150 161.577 3. Non hutan 15.603 16.739 32.342 4. Tertutup awan 8.815 7.916 16.731 Jumlah 157.520 4.484 216.580
% 2,7 74,6 15,0 7,7 100,0
Sumber: Surat Direktur Inventarisasi dan Pemantauan SDH Nomor S.330/PSDH-2/2010 tanggal 26 Juli 2010 di dalam RKT 2011
4.1.6. Sistem Silvikultur Pada awal pengelolaan hutan, IUPHHK A melakukan pengelolaan hutan dengan sistem TPTI (Tebang Pilih dan Tanam Indonesia). Siklus tebang pada IUPHHK A adalah 35 tahun dan melakukan penebangan pada diameter 50 cm ke atas untuk hutan produksi dan 60 cm ke atas untuk hutan produksi terbatas. Penggunaan sistem TPTI berlangsung hampir 35 tahun. Mulai tahun 2005, IUPHHK A menerapkan sistem silvikultur intensif (SILIN) untuk meningkatkan produktivitas hutan alam yang telah terdegradasi dengan melakukan penanaman dan pembinaan tegakan secara intensif. IUPHHK A diijinkan untuk melakukan penebangan pohon berdiameter 40 cm ke atas untuk menyiapkan lahan kegiatan SILIN. Khusus untuk jalur tanaman diijinkan pula menebang seluruh pohon berdiameter 20 cm ke atas. Penentuan jatah produksi kayu ditetapkan dengan rotasi tebang 30 tahun. 4.1.7. Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pekerjaan penduduk sekitar areal kerja IUPHHK A didominasi oleh sektor pertanian (± 85%). Jenis pekerjaan lain yang ada di sekitar IUPHHK A antara lain sektor pertambangan, konstruksi, perdagangan, jasa keuangan dan transportasi. Tanaman yang dikembangkan sektor pertanian adalah tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan. Masyarakat desa sekitar hutan terdiri atas 7 desa. Fasilitas pendidikan umum di sekitar IUPHHK adalah SD dan SLTP. Fasilitas kesehatan berupa balai pengobatan yang terdapat di tiap-tiap kecamatan dikepalai oleh seorang mantri kesehatan.
52
4.2. IUPHHK B 4.2.1. Letak dan Luas IUPHHK B IUPHHK B terletak di Kalimantan dan mulai melakukan kegiatan pemanfaatan hutan sejak tahun 1972. IUPHHK B berada pada ketinggian tempat 30 sampai 200 meter di atas permukaan laut (dpl). Pada awalnya seluruh areal telah ditata batas, namun karena adanya pelepasan areal (hasil telaah BAPLAN), maka sebagian areal menjadi belum ditata batas. Berdasarkan hasil verifikasi Badan Planologi Kehutanan melalui Surat Nomor 1103/VIII-KP/2000 tanggal 18 Desember 2000 luas areal kerja IUPHHK B seluas 92.475 ha. Berdasarkan Surat Menteri Kehutanan Nomor 856/Menhut-IV/1994 tanggal 8 Juni 1994, IUPHHK B telah mendapat Perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam. Tahun 2005 diperoleh izin perpanjangan melalui SK Menhut Nomor SK. 393/Menhut-II/2005 tentang Perpanjangan IUPHHK B atas areal hutan produksi seluas 92.475 ha. 4.2.2. Tanah dan Geologi Formasi geologi di areal kerja IUPHHK B
berdasarkan Peta Geologi
skala 1 : 250.000 disajikan dalam tabel berikut: Tabel 13 Rincian formasi geologi IUPHHK B Simbol Tpl Tmpl Jumlah
Formasi Buntok Teweh
Bersusunan Batu liat dan batu pasir Batu pasir dan kuarsa
Luas Ha 23.272 69.203 92.475
% 25,17 74,82 100,00
Sumber: RKUPHHK pada Hutan Alam tahun 1992 – 2037
Tanah di IUPHHK B mempunyai kelas kedalaman bervariasi dari dangkal (< 50 cm) sampai sangat dalam (> 150 cm). Kedalaman tanah IUPHHK B didominasi oleh kelas dalam (100 – 150 cm) dan kelas dangkal dijumpai pada tanah yang terbentuk dari bahan granit dengan lereng terjal. Tabel 14 Tanah-tanah di areal kerja IUPHHK B Ordo Inceptisols
Grup Dystrudepts
Ultisols
Kandiudults Hapludults
Subgrup Aquic Dystrudepts Typic Dystrudepts Oxic Dystrudepts Fluventic Dystrudepts Typic Kandiudults Typic Hapludults
53
4.2.3. Topografi Topografi IUPHHK B bervariasi mulai dari datar hingga berbukit. Topografi yang paling dominan pada IUPHHK B adalah agak curam dengan lereng 15-25%. Rincian luas masing-masing kelerengan IUPHHK B disajikan dalam tabel berikut: Tabel 15 Kondisi topografi IUPHHK B Topografi
Bentuk Wilayah
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam Jumlah
Datar – Berombak Bergelombang Agak berbukit Berbukit Bergunung
Kelas Lereng (%) 0–8 8 – 15 15 – 25 25 – 40 > 40
Luas ha 17.931 12.253 32.831 29,460 0 92,475
% 19,39 13,25 35,50 31,86 0 100,00
Sumber: RKUPHHK pada Hutan Alam tahun 1992 – 2037
4.2.4. Iklim dan Curah Hujan Faktor iklim sangat berpengaruh terhadap rencana kegiatan usaha, baik dalam produksi kayu bulat maupun dalam usaha pemeliharaan kondisi fisik lingkungan. Iklim sangat ditentukan oleh pengaruh curah hujan, hari hujan, suhu udara, radiasi matahari, kecepatan angin, dan arah angin serta evaporasi potensial. Curah hujan rata-rata tahunan IUPHHK B sebesar 2.457,4 mm/tahun dan jumlah hari hujan per tahunnya sebesar 97 hari/tahun. Intensitas hujan rata-rata tahunan sebesar 25,33 mm/hari. Tipe iklim di sekitar areal kerja IUPHHK B adalah tipe A. Hal ini terutama disebabkan hampir tidak pernah terjadi bulan kering yang < 60 mm/bulan (Schmidt and Fergusson, 1951). Suhu udara ratarata di sekitar areal kerja IUPHHK ini adalah 26,4º C dengan kisaran antara 26,1 – 26,8º C. Kelembaban udara rata-rata tahunan 84,1% dengan kisaran antara 82,6 – 85,4%. Kelembaban yang rendah pada bulan terkering yaitu bulan September dan kelembaban yang tinggi pada bulan terlembab yaitu bulan Mei. 4.2.5. Keadaan Hutan Fungsi hutan di areal IUPHHK B dibagi atas hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap dan hutan produksi yang dapat dikonversi. Secara rinci kondisi penutupan lahan di areal kerja IUPHHK B disajikan dalam tabel berikut:
54
Tabel 16 Kondisi Penutupan Lahan di Areal Kerja IUPHHK B No 1. 2. 3. 4.
Penutupan Lahan Hutan Primer Bekas Tebangan Non Hutan Tertutup Awan Jumlah
HPT 5.987 46.458 3.230 1.921 57.296
HP 2.761 19.312 700 1.616 30.695
Luas (ha) HPK 339 4.451 4.484
Jumlah 8.748 65.809 14.382 3.536 92.475
% 9,5 71,2 15,6 3,7 100,0
Sumber: RKT 2011
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap citra landsat tahun sebelumnya dan pengamatan lapangan, areal tertutup awan tersebut sebagian besar merupakan areal hutan bekas tebangan (3.286 ha) dan sebagian kecil (250 ha) merupakan areal non hutan. Target dan realisasi produksi untuk tebangan RKT Kumulatif IUPHHK A tahun 1972 sampai dengan tahun 2009 disajikan pada Lampiran 3. Hutan di areal IUPHHK B termasuk tipe hutan hujan tropika basah dataran tinggi yang dicirikan oleh dominasi famili Dipterocarpaceae (kelompok Meranti). Jenis-jenis dari famili Dipterocarpaceae yang mendominasi antara lain adalah Keruing, Meranti, Bangkirai dan Sarangan Batu. Jenis vegetasi dikelompokkan menjadi (1) Kelompok Kayu Meranti, (2) Kelompok Kayu Rimba Campuran, (3) Kelompok Kayu Indah (4) Kelompok Kayu Dilindungi. 4.2.6. Sistem Silvikultur IUPHHK B melakukan pengelolaan hutan dengan sistem TPTI. Siklus tebang pada IUPHHK B adalah 35 tahun dan melakukan penebangan pada diameter 50 cm ke atas untuk hutan produksi dan 60 cm ke atas untuk hutan produksi terbatas. Penggunaan sistem TPTI berlangsung mulai awal usaha pemanfaatan hutan tahun 1972 sampai sekarang. 4.2.7. Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Sebagian besar mata pencaharian penduduk sekitar adalah bertani dengan menerapkan cara-cara tradisional dan apa adanya seperti yang telah disediakan oleh alam, meskipun ada sebagian kecil yang telah menerapkan pertanian terpadu. Mata pencaharian lainnya adalah pedagang, PNS, TNI, jasa angkutan dan lain-lain. Mereka yang bertani berladang menggarap ladang atau lahan mereka di pinggiran hutan atau di areal dekat tebangan atau di sepanjang sungai. Hasil yang mereka peroleh lebih banyak digunakan untuk kebutuhan keluarga.
55
Sebagian dari hasil tanaman tahunan mereka dijual ke kota misalnya durian dan rambutan. Mata pencaharian sebagai petani ladang adalah usaha tani yang telah diwarisi secara turun-temurun. Usaha tani ladang merupakan usaha dengan tanaman semusim (padi) dan tanaman tahunan (buah-buahan) yang sebagian besar diusahakan secara tradisional dan pemeliharaan yang minimimal tanpa menggunakan input usaha tani seperti pupuk dan obat-obatan. Sistem pembukaan lahan yang dilakukan adalah tebas, tebang, dan bakar. Sejak lama masyarakat setempat telah memanfaatkan kayu dari hutan untuk berbagai keperluan. Selain itu dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya hutan adalah kegiatan pengumpulan hasil hutan bukan kayu seperti rotan, getah damar, dan madu. Peluang kerja yang paling banyak menyerap tenaga kerja masyarakat desa sekitar adalah sektor pertanian dan kehutanan. Berdasarkan data monografi Kecamatan tahun 2005, jumlah penduduk sebanyak 21.804 jiwa yang terdiri atas 10.747 jiwa laki-laki dan 11.057 jiwa perempuan. Adapun luas wilayah kecamatan sebesar 2.913 km2. Dengan demikian tingkat kepadatannya sebesar 7,5 jiwa/km2. Mayoritas penduduk sekitar IUPHHK B memeluk agama Islam, dan sebagian
kecil beragama Katholik
dan
Hindu Kaharingan. Kondisi ini
menunjukkan bahwa penduduk di desa tersebut umumnya merupakan pendatang. Kebiasaan masyarakat dalam usaha tani adalah budaya usaha tani ladang yang dibuka secara umum tebas bakar yang hingga saat ini masih dianut. Hal ini karena pertimbangan kepraktisan pelaksanaan dan keyakinan adanya abu sisa pembakaran yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Usaha tani yang diterapkan adalah ladang secara tradisional dengan tanaman semusim seperti padi, singkong, jagung, sayuran, dan lain-lain serta tanaman tahunan seperti buah-buahan. Selain usaha tani sebagian penduduk memilih kebiasaan menebang kayu atau bekerja sebagai buruh di perusahaan-perusahaan kayu terdekat. Kegiatan lain yang dilakukan adalah berburu hewan sebagai kegiatan tambahan saja, antara lain: babi hutan, pelanduk, payau, dan lain-lain. Tingkat pendidikan masyarakat sekitar sangat dipengaruhi oleh lokasi pemukiman mereka. Untuk masyarakat yang bermukim di dalam hutan, pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. Hal ini terlihat dari masih banyaknya (85%) penduduk yang masih buta huruf latin. Sedangkan untuk masyarakat yang bermukim di tepi sungai pada umumnya lebih memiliki tingkat
56
pendidikan yang maju. Kondisi ini disebabkan oleh adanya transportasi air yang menjadi sarana utama menuju sekolah. Sarana prasarana pendidikan yang cukup lengkap terdapat di Ibukota Kecamatan, sedangkan di desa-desa sekitar areal IUPHHK B hanya ada 3 bangunan Sekolah Dasar (SD).
57
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK A1 IUPHHK
A
merupakan
IUPHHK
yang
belum
memiliki
sertifikat
pengelolaan hutan alam produksi lestari. Perhitungan biomassa dilakukan pada kegiatan produksi, kegiatan perlindungan hutan dan kegiatan penanaman. Data yang digunakan untuk menggambarkan hutan yang belum bersertifikat pada IUPHHK A adalah data di bawah tahun 2004. Pemilihan tahun tersebut diprediksi dapat merepresentasikan keadaan hutan IUPHHK A yang belum memiliki sertifikat berdasarkan pertimbangan bahwa IUPHHK yang melakukan sertifikasi memerlukan waktu kurang lebih 5 (lima) tahun untuk persiapan sertifikasi. IUPHHK A memperoleh sertifikat hutan alam produksi lestari pada tahun 2008 sehingga data dari IUPHHK A di bawah tahun 2004 merupakan data dari hutan yang pengelolaannya belum berdasarkan pada pengelolaan hutan alam produksi lestari. Pada IUPHHK A1, terdapat 13 jenis pohon yang umumnya dipanen (termasuk jenis rimba campuran yang merupakan gabungan 22 jenis pohon). Berdasarkan volume pohon tersedia dan volume panen tiap jenis pohon pada IUPHHK A1 maka jenis yang paling banyak tersedia dan dipanen (mewakili lebih dari 66% volume keseluruhan) adalah Meranti. Perhitungan besarnya biomassa tiap jenis pohon dipanen dipengaruhi oleh besarnya volume pohon dan nilai wood density (WD). Nilai WD tertinggi pada IUPHHK A adalah jenis Meranti batu dan nilai WD terendah adalah jenis Pulai. Nilai WD yang digunakan pada penelitian ini tersaji pada Lampiran 1. 5.1.1. Kegiatan Produksi Kegiatan produksi difokuskan pada kegiatan pemanenan (dengan indicator pohon tersedia dan pohon dipanen) dan kerusakan tegakan tinggal. Kegiatan pemanenan menggunakan indikator pohon tersedia dan pohon dipanen. Perhitungan kerusakan tegakan tinggal IUPHHK B berdasarkan kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan konvensional. Data statistik produksi menunjukkan bahwa realisasi produksi pada IUPHHK A1 antara 50%–98% (kurang dari 100%) dari target produksi. Rekapitulasi target produksi dan realisasi produksi pada IUPHHK A1 (tahun 1981–2003) dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil studi Bahruni (2011)
58
menyebutkan bahwa gambaran kelestarian produksi jangka panjang tidak dapat diukur dengan kriteria rasio rencana (target) dan realisasi produksi tahunan. Rasio rencana dan realisasi produksi tidak mencerminkan kelestarian produksi yang didasarkan potensi tegakan, karena rasio ini hanya menunjukkan kemampuan unit manajemen merealisasi rencana atau target produksi tahunan. Kecenderungan produksi jangka panjang dapat dievaluasi menggunakan rasio antara realisasi produksi dengan Annual Allowable Cutting (AAC). Gambar 3 menyajikan kecenderungan produksi pada IUPHHK A1. Rasio produksi terhadap AAC
0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Gambar 3 Kecenderungan produksi IUPHHK A1 Rasio produksi A1 berada antara 0,36-0,60 terhadap AAC. Gambaran angka rasio produksi pada A1 terhadap AAC sedikit menurun. Kecenderungan produksi jangka panjang IUPHHK A1 menunjukkan tingkat produksi yang relatif menurun. Angka rasio realisasi produksi dan AAC menegaskan bahwa IUPHHK A1 tidak mampu mempertahankan kelestarian produksi jangka panjang. 5.1.1.1. Kegiatan Pemanenan: Pohon Tersedia dan Pohon Dipanen Volume pohon tersedia pada IUPHHK A sangat fluktuatif. Pada tahun 2001 volume pohon tersedia sebesar 335.484,34 m3 dan tahun 2002 hanya 164.382,97 m3 atau 49% dari volume pohon tersedia tahun 2001. Berbeda dengan besarnya volume pohon tersedia, volume pohon dipanen ternyata lebih besar pada tahun 2002 yaitu 159.990,72 m3 atau 26% lebih besar dari volume panen pada tahun 2001 (126.840,58 m3). Rincian pohon tersedia dan pohon dipanen pada IUPHHK A1 dapat dilihat pada Lampiran 4. Luas tebangan tahun 2001 dan 2002 seluas 2.490 ha dan 3.201 ha. Ratarata penebangan IUPHHK A1 seluas 2.845,5 ha/tahun. Berdasarkan luas areal penebangan, realisasi pohon dipanen pada tahun 2001 dan 2002 sebesar
59
134,73 m3/ha dan 51,35 m3/ha. Biomassa pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A1 dirangkum pada Tabel 16. Tabel 17 Biomassa, karbon dan CO 2 pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A1 Kegiatan pemanenan Pohon tersedia Pohon dipanen Tegakan tinggal
2007
2008
Biomassa (ton) 377.980 146.105 231.875
185.206 184.290 915
Biomassa (ton/tahun) 281.593 165.198 116.395
Rata-rata Karbon CO 2 (tC/tahun) (tCO 2 /tahun) 140.796 516.723 82.598 303.138 58.198 213.585
Rata-rata biomassa pohon dipanen lebih besar dibandingkan dengan biomassa tegakan tinggal. Simpanan karbon tegakan tinggal IUPHHK A1 sebesar 58.198 ton C/tahun atau 20,45 ton C/ha. Persentase biomassa pohon dipanen tahun 2001 sebesar 38,65% dan biomassa tegakan tinggal sebesar 61,35%. Persentase biomassa pohon dipanen tahun 2002 sebesar 91,75% dan menyisakan 8,25% tegakan tinggal. Rata-rata kegiatan pemanenan IUPHHK A1 menyisakan 34,8%/tahun tegakan tinggal. 5.1.1.2. Kerusakan Tegakan Tinggal Perhitungan kehilangan biomassa akibat kerusakan tegakan tinggal menggunakan data potensi biomassa hasil pengukuran di IUPHHK A dan persentase kerusakan tegakan. Potensi biomassa dan karbon IUPHHK A di hutan primer dan hutan bekas tebangan setiap tingkat perkembangan vegetasi ditampilkan pada Tabel 17. Tabel 18 Potensi biomassa dan karbon pada IUPHHK A pada tahun 2011 Tingkat Vegetasi Pohon Tiang Pancang Semai Total
Hutan primer Biomassa Karbon (ton/ha) (ton/ha) 358,30 179,15 56,78 28,39 25,73 12,87 0,89 0,44 441,70 220,85
Hutan bekas tebangan Biomassa Karbon (ton/ha) (ton/ha) 279,85 139,93 36,67 18,34 20,79 10,39 1,04 0,52 338,35 169,18
Potensi biomassa atau karbon tingkat pohon pada hutan primer adalah 82,7% dan hutan bekas tebangan sebesar 81,11% dari total biomassa tegakan. Biomassa tingkat tiang, pancang dan semai pada hutan primer sebesar 12,85%; 5,83% dan 0,20% dan hutan sekunder sebesar 10,84%; 6,14% dan 0,31%.
60
Hasil penelitian Junaedi (2007) menunjukkan persentase biomassa yang relatif sama pada semua tingkatan vegetasi di hutan primer. Pada hutan bekas tebangan, persentase biomassa tingkat pohon relatif sama tetapi lebih rendah pada tingkat vegetasi tiang, pancang dan semai (tiang = 4,02%, pancang = 1,98% dan semai = 0,21%) daripada IUPHHK A. Total biomassa dan karbon hutan bekas tebangan menunjukkan penurunan sekitar 23,40%. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Lasco (2002) bahwa aktifitas pemanenan kayu di hutan tropis Asia akan menurunkan cadangan karbon antara 22% - 67%. Kegiatan pemanenan kayu mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal. Perhitungan biomassa kerusakan IUPHHK A1 menggunakan persentase kerusakan tegakan hasil studi Elias (2002) dan potensi biomassa dari hasil pengukuran di lokasi penelitian. Pendekatan persentase kerusakan tegakan IUPHHK A1 berdasarkan persentase kerusakan pada blok tebangan yang melakukan pemanenan dengan metode konvensional. Tabel 18 menunjukkan biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan karena menerapkan metode pemanenan konvensional pada IUPHHK A1. Tabel 19 Biomassa, karbon dan CO 2 yang hilang akibat kerusakan tegakan A1 Tingkat Vegetasi Pohon Tiang Pancang Semai Total
Biomassa (ton/ha) 113,12 14,83 7,26 0,34 135,55
Biomassa (ton/tahun) 390.300 51.152 25.055 1.201 467.709
Karbon (ton C/tahun) 195.150 25.576 12.528 601 233.854
CO 2 (ton CO 2 /tahun) 716.201 93.864 45.976 2.204 858.246
Total biomassa yang hilang akibat kerusakan sebesar 135,55 ton/ha atau sebesar 467.709 ton/tahun. Tingkat pohon merupakan penyumbang terbesar kehilangan biomassa hutan akibat kerusakan tegakan tinggal. Kerusakan yang terjadi pada tingkat pohon mengakibatkan kehilangan biomassa 83,45%/tahun dari total biomassa yang hilang karena kerusakan tegakan tinggal IUPHHK A1. Tingkat semai memberikan kontribusi terkecil (0,26%/tahun) terhadap kehilangan biomassa akibat kerusakan tegakan tinggal A1. 5.1.2. Perlindungan Hutan Penutupan lahan pada IUPHHK A berdasarkan interpretasi citra landsat dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu hutan primer, hutan bekas tebangan dan tidak berhutan. Pada IUPHHK A1 digunakan data penutupan lahan tahun 1998, 1999
61
dan 2001. Potensi biomassa IUPHHK A untuk hutan primer sebesar 441,70 ton/ha dan hutan bekas tebangan sebesar 338,35 ton/ha. Berdasarkan data penutupan lahan tersebut terlihat perubahan tutupan lahan tiap tahunnya. Laju degradasi hutan yang meningkat pada hutan tidak lestari diduga disebabkan penggunaan areal hutan untuk kebun, pertambangan, perambahan dan illegal logging lebih tinggi dari hutan lestari (Bahruni 2011). Tabel 20 Biomassa tiap tutupan lahan IUPHHK A1 Tutupan lahan Hutan primer Hutan bekas tebangan Tidak berhutan Total
1998 27.374.648 40.404.478 0 67.779.126
Biomassa (ton) 1999 24.633.693 42.504.131 0 67.137.824
2001 15.653.320 49.383.364 0 65.036.683
Luas areal kerja IUPHHK A1 seluas 204.200 ha. Rata-rata biomassa yang hilang pada IUPHHK A1 sebesar 845.936 ton/tahun atau sebesar 3,91 ton/ha. Kehilangan karbon hutan IUPHHK A1 sebesar 422.968 ton C/tahun dengan laju degradasi sebesar 1,26%/tahun. 5.1.3. Kegiatan penanaman Data yang digunakan untuk perhitungan biomassa kegiatan penanaman adalah tahun 2001, 2002 dan 2003. Kegiatan penanaman yang dilakukan adalah kegiatan rehabilitasi, penanaman kanan dan kiri jalan serta penanaman tanah kosong. Tabel 21 Kegiatan penanaman IUPHHK A1 Tahun 2001 2002 2003
Rehabilitasi (batang) 95.654 77.359 84.652
Kanan kiri jalan (batang) 56.000 56.000 56.000
Tanah Kosong (batang) 141.317 150.650 110.366
Total (batang) 292.971 284.009 251.018
Rata-rata penanaman pada IUPHHK A1 adalah 275.999 batang/tahun. Tingkat keberhasilan kegiatan penanaman pada IUPHHK A sebesar 80%, sehingga rata-rata tanaman yang hidup dari kegiatan penanaman sebesar 220.799 batang/tahun. Simpanan biomassa kegiatan penanaman IUPHHK A1 ditunjukkan pada Tabel 21.
62
Tabel 22 Biomassa kegiatan penanaman IUPHHK A1 Tahun 2001 2002 2003
Rehabilitasi (ton)
Kanan kiri jalan (ton)
Tanah Kosong (ton)
Total (ton/tahun)
0,337 0,273 0,299
0,198 0,198 0,198
0,503 0,536 0,394
1,038 1,007 0,890
Rata-rata biomassa dari kegiatan penanaman sebesar 0,978 ton/tahun. Kegiatan penanaman tanah kosong mempunyai kontribusi 48,83%/tahun dari kegiatan penanaman IUPHHK A1. Biomassa dari kegiatan rehabilitasi dan penanaman kanan kiri jalan memberikan kontribusi sebesar 30,98%/tahun dan 20,19%/tahun. 5.2.
Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK A2 IUPHHK A2 mulai menerapkan pengelolaan hutan alam produksi lestari
sejak tahun 2004. IUPHHK A memperoleh sertifikat hutan alam produksi lestari dari salah satu lembaga sertifikasi tahun 2008. Data yang digunakan untuk kegiatan produksi pada IUPHHK A2 adalah (1) Pohon tersedia dan pohon dipanen tahun 2007, 2008 dan 2009 (2) Kerusakan tegakan akibat pemanenan. Data yang digunakan untuk kegiatan perlindungan hutan/penurunan degradasi pada IUPHHK A2 menggunakan data tutupan lahan tahun 2005, 2006 dan 2007. Kegiatan penanaman IUPHHK A2 menggunakan data penanaman tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. 5.2.1. Kegiatan Produksi Realisasi produksi pada IUPHHK A2 kurang dari 100% atau hanya sekitar 76%-87% dari rencana atau target produksi. Realisasi tersebut belum dapat menggambarkan bahwa A2 dapat mempertahankan target produksi jangka panjang karena tidak melakukan penebangan melebihi target produksi. Kelestarian produksi jangka panjang dapat dilihat dari rasio realisasi produksi dan AAC.
Rasio Produksi terhadap AAC
63
0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 4 Kecenderungan produksi IUPHHK A2 Rasio produksi IUPHHK A2 antara 0,38-074 terhadap AAC. Rasio produksi
IUPHHK
A2
cenderung
meningkat.
Kecenderungan
produksi
pengelolaan hutan alam produksi lestari dalam jangka panjang menunjukkan tingkat produksi yang relatif meningkat dengan rasio 0,38 pada tahun 2004 dan terus meningkat hingga mencapai rasio 0,74 terhadap AAC pada tahun 2009. Kesimpulan yang dapat diambil adalah kelestarian produksi jangka panjang pengelolaan hutan alam produksi lestari relatif dapat dipertahankan. Kecenderungan produksi tersebut dikuatkan juga oleh data potensi tegakan pada IUPHHK A2 yang sedikit meningkat. Volume pohon tersedia pada IUPHHK A2 tahun 2007 sebesar 386.402,84 m3. Pada tahun 2008 volume pohon tersedia mengalami peningkatan sebesar 4,94% atau sebesar 19.096,85 m3 dan pada tahun 2009 meningkat 3,76% atau sebesar 15.245,52 m3. Luas areal penebangan pada tahun 2007, 2008 dan 2009 sebesar 4.307,68 ha; 4.856 ha dan 4.138,94 ha. Rata-rata luas penebangan IUPHHK A2 seluas 4.434,21 ha/tahun. Perhitungan biomassa, karbon dan CO 2 kegiatan produksi adalah pada kegiatan pemanenan dan kerusakan tegakan tinggal. Kegiatan pemanenan dilihat berdasarkan indikator pohon tersedia dan pohon dipanen pada IUPHHK A2. 5.2.1.1. Kegiatan Pemanenan: Pohon Tersedia dan Pohon Dipanen Volume pohon tersedia pada IUPHHK A2 tahun 2007 sebesar 386.402,84 m3; tahun 2008 meningkat menjadi 405.499,69 m3 dan menjadi 420.745,2 m3 pada tahun 2009. Rata-rata pohon tersedia IUPHHK A2 sebesar 404.215,91 m3/tahun.
64
Volume pohon dipanen tahun 2007 sebesar 181.613,50 m3, kemudian meningkat 9,85% pada tahun 2008 menjadi 199.499,53 m3. Pada tahun 2009, volume pohon dipanen mengalami peningkatan 7,73% menjadi 214.925,71 m3. Rata-rata pohon dipanen IUPHHK A2 sebesar 198.679,58 m3/tahun. Jenis-jenis pohon tersedia IUPHHK A2 relatif sama dengan A1 dan jenisjenis pohon dipanen IUPHHK A2 bertambah 4 jenis (Agathis, Pulai, Resak dan Rengas) selain pohon dipanen yang dipanen pada A1. Perhitungan biomassa pohon tersedia, pohon dipanen dan tegakan tinggal IUPHHK A2 tersaji pada Tabel 22. Tabel 23 Biomassa, karbon dan CO 2 pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A2 Kegiatan pemanenan Pohon tersedia Pohon dipanen Tegakan tinggal
2007
2008
2009
Biomassa (ton/tahun) 444.946 475.767 497.858 472.857 209.197 229.800 247.569 228.855 235.749 245.967 250.289 244.002 Biomassa (ton)
Rata-rata Karbon CO 2 (tC/tahun) (tCO 2 /tahun) 236.428 867.692 114.427 419.949 122.001 447.743
Rata-rata biomassa tegakan tinggal lebih besar daripada biomassa pohon dipanen. Rata-rata biomassa pohon dipanen IUPHHK A2 sebesar 228.855 ton/tahun dan biomassa tegakan tinggal sebesar 244.002 ton/tahun. Persentase biomassa pohon dipanen tahun 2007 sebesar 47,02% dan biomassa tegakan tinggal sebesar 52,98%. Pada tahun 2008 dan 2009, persentase biomassa pohon dipanen meningkat menjadi 48,30% dan 49,73%. Peningkatan persentase biomassa pohon dipanen menyebabkan persentase biomassa tegakan tinggal IUPHHK A2 semakin rendah (51,70% pada tahun 2008 dan 50,27% pada tahun 2009). Rata-rata persentase pohon dipanen IUPHHK A2 sebesar 48,35%/tahun dan tegakan tinggal sebesar 51,65%/tahun. Simpanan karbon IUPHHK A2 pada kegiatan pemanenan sebesar 122.001 tC/tahun atau 447.743 tCO 2 /tahun. Simpanan karbon IUPHHK A2 (absolut dan persentase) lebih besar dari IUPHHK A1. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hutan alam produksi yang telah memiliki sertifikat lestari melakukan penebangan lebih rendah dibandingkan dengan sebelum memiliki sertifikat. Menurut Pirard et al. 1995, diacu dalam Elias 2002, intensitas penebangan pada hutan yang dikelola secara lestari dan menerapkan metode RIL sebesar 8,8 batang/ha atau 103 m3/ha. Pengelolaan hutan tidak lestari yang
65
menerapkan metode pemanenan konvensional memiliki intensitas penebangan sebesar 13,6 batang/ha atau 139 m3/ha. 5.2.1.2. Kerusakan Tegakan Tinggal Aktifitas pemanenan kayu mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal. Persentase
kerusakan
tegakan
berbeda-beda
sesuai
dengan
metode
pemanenan yang digunakan. IUPHHK A2 menerapkan teknik RIL dalam kegiatan pemanenan. Menurut Elias (2002), minimalisasi kerusakan akibat pemanenan kayu dengan menerapkan reduced impact wood harvesting dapat mencapai pengurangan hingga 50% dari kerusakan yang diakibatkan praktek pemanenan konvensional. Gambaran kerusakan akibat aktifitas pemanenan IUPHHK A2 dapat dilihat pada Gambar 5. Perhitungan kerusakan tegakan IUPHHK A2 menggunakan persentase kerusakan tegakan tinggal berdasarkan hasil penelitian Elias (2002) dan data potensi biomassa dari hasil pengukuran lapangan. Besarnya biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan IUPHHK A2 ditunjukkan pada Tabel 23.
a. Tunggak sisa penebangan
b. Kerusakan batang dan kondisi lantai hutan Gambar 5 Kerusakan tegakan tinggal pada IUPHHK A2
66
Tabel 24 Biomassa, karbon dan CO 2 yang hilang akibat kerusakan tegakan A2 Tingkat Vegetasi Pohon Tiang Pancang Semai
Biomassa (ton/ha) 53,395 6,998 4,072 0,184
(ton/tahun) 236.765 31.030 18.058 814
Karbon
CO 2
(tC/tahun) 118.382 15.515 9.029 407
(tCO 2 /tahun) 434.464 56.940 33.137 1.494
Total biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan sebesar 64,65 ton/ha atau sebesar 286.667 ton/tahun. Kerusakan tegakan tinggal IUPHHK A2 menyebabkan penurunan potensi karbon tegakan tinggal sebesar 143.333 ton C/tahun atau sebesar 526.034 ton CO 2 /tahun. Kerusakan pada tingkat pohon sebesar 82,59% dari total biomassa yang hilang karena kerusakan tegakan. Pemanenan juga menyababkan kerusakan pada tingkat tiang, pancang dan semai sebesar 17,41%. 5.2.2. Perlindungan Hutan Data tutupan lahan yang digunakan pada IUPHHK A2 adalah tahun 2005, 2006 dan 2007. Data tutupan lahan digunakan untuk melihat gambaran perkembangan stok hutan. Berdasarkan
data
penutupan lahan terlihat
perubahan tutupan lahan setiap tahunnya. Perubahan tersebut menyebabkan penurunan potensi tegakan atau karbon. Potensi biomassa IUPHHK A untuk hutan primer sebesar 441,698 ton/ha dan hutan bekas tebangan sebesar 338,354 ton/ha. Biomassa tiap tutupan hutan pada IUPHHK A2 diringkas pada Tabel 24. Tabel 25 Biomassa tiap tutupan hutan pada IUPHHK A2 Penutupan lahan Hutan Primer Hutan Bekas Tebangan Tidak Berhutan Total
Biomassa (ton/tahun) 2005 6.813.124 54.100.057 0 60.913.182
2006 6.405.940 54.411.973 0 60.817.913
2007 6.052.582 54.682.656 0 60.735.237
Kehilangan biomassa pada tahun 2006 sebesar 95.269 ton/tahun dan laju degradasi 0,16%. Kehilangan biomassa tahun 2007 sebesar 82.675 ton/tahun dengan laju degradasi 0,14%. Rata-rata kehilangan biomassa (88.972 ton/tahun) atau karbon (44.486 ton C/tahun) IUPHHK A2 lebih kecil dibandingkan dengan IUPHHK A1. Rata-rata laju degradasi IUPHHK A2 sebesar 0,15%/tahun.
67
Rendahnya laju degradasi hutan bersertifikat (IUPHHK A2) memberikan gambaran bahwa IUPHHK A2 mampu melakukan kegiatan perlindungan hutan dan pengamanan hutan lebih baik dibandingkan dengan sebelum memiliki sertifikat. Upaya perlindungan dan pengamanan hutan yang dilakukan IUPHHK A2 antara lain: (1) membuat dan menggunakan menara kebakaran (2) sosialisasi pencegahan kebakaran (3) membuat tata batas yang jelas (4) meningkatkan kegiatan PMDH (5) melakukan pengawasan hutan. Peningkatan upaya perlindungan hutan yang dilakukan IUPHHK A2 dibuktikan juga dari biaya perlindungan dan pengamanan hutan (1,39 milyar/tahun) lebih besar dari IUPHHK A1(416,61 juta/tahun). 5.2.3. Kegiatan Penanaman Data kegiatan penanaman yang digunakan untuk perhitungan biomassa penanaman pada IUPHHK A2 adalah tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Kegiatan penanaman yang dilakukan pada IUPHHK A2 adalah kegiatan rehabilitasi, penanaman kanan dan kiri jalan, penanaman tanah kosong dan penanaman pada jalur TPTJ. Tabel 26 Kegiatan penanaman IUPHHK A2
2006
Rehabilitasi (batang) 66.236
Kanan kiri jalan (batang) 56.000
Tanah Kosong (batang) 138.520
TPTJ (batang) 305.638
Total (batang) 566.394
2007
64.252
56.000
114.642
556.975
788.149
2008
13.367
56.000
14.807
572.944
657.118
2009
0
0
40.000
825.969
870.709
Tahun
68
a. Persemaian
a. Tanaman umur 2 tahun
b. Tanaman umur 6 bulan
b. Tanaman umur 4 tahun
Gambar 6 Penanaman yang dilakukan IUPHHK A2 Tingkat hidup kegiatan penanaman pada IUPHHK A sebesar 80% dan rata-rata keberhasilan penanaman sebesar 576.474 batang/tahun. Biomassa dari setiap kegiatan penanaman pada IUPHHK A2 ditunjukan pada Tabel 26. Tabel 27 Biomassa pada kegiatan penanaman pada IUPHHK A2 Tahun Rehabilitasi 2006 2007 2008 2009
0,234 0,227 0,047 0
Biomassa (ton/tahun) Kanan kiri Tanah jalan kosong 0,198 0,490 0,198 0,409 0,198 0,056 0 0,141
TPTJ
Total
1,078 1,965 2,021 2,914
1,999 2,798 2,322 3,055
Rata-rata biomassa dari kegiatan penanaman IUPHHK A2 sebesar 2,544 ton/tahun. Kontribusi biomassa terbesar diperoleh dari kegiatan penanaman pada jalur TPTJ. Penanaman jalur TPTJ pada IUPHHK A2 di mulai pada tahun 2006 sampai sekarang. Jumlah penanaman pada jalur TPTJ cenderung meningkat setiap tahunnya. Rata-rata kontribusi biomassa penanaman jalur TPTJ pada IUPHHK A2 terhadap total biomassa penanaman sebesar 76,72%/tahun.
69
5.3.
Deskripsi Simpanan Karbon IUPHHK B IUPHHK B merupakan IUPHHK yang tidak memiliki sertifikat pengelolaan
hutan alam produksi lestari. Simpanan biomassa difokuskan pada kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman. Simpanan biomassa kegiatan produksi menggunakan data (1) kegiatan pemanenan berdasarkan indikator pohon tersedia dan pohon dipanen tahun 2007, 2008 dan 2009 (2) Kerusakan tegakan tinggal. Perhitungan kehilangan biomassa akibat degradasi pada kegiatan perlindungan hutan IUPHHK B menggunakan data penutupan lahan tahun 2000, 2003, 2005 dan 2009. Data kegiatan penanaman IUPHHK B menggunakan data tahun 2007 hingga tahun 2010. Realisasi produksi IUPHHK B menggunakan data produksi tahun 1981 hingga tahun 2009. Berdasarkan data target dan realisasi panen, kemampuan IUPHHK B merealisasikan produksi lebih kecil dari target atau rencana produksi. Angka rasio realisasi produksi dan target produksi pada IUPHHK B cenderung menurun. Hasil tersebut memberikan gambaran bahwa kemampuan IUPHHK B merealisasikan rencana atau target produksi tahunan semakin menurun. Kelestarian produksi jangka panjang belum dapat diukur dari gambaran rasio realisasi produksi dan target produksi. Kelestarian produksi jangka panjang dapat
Rasio Produksi terhadap AAC
dievaluasi dari rasio realisasi produksi dan AAC (Bahruni 2011). 0,30 0,25
IUPHHK B
0,20 0,15 0,10 0,05 0,00
Gambar 7 Rasio produksi terhadap AAC pada IUPHHK B Angka rasio produksi terhadap AAC pada IUPHHK B cenderung menurun. Kecenderungan produksi jangka panjang yang relatif menurun menunjukkan bahwa IUPHHK B belum mampu mempertahankan kelestarian produksi jangka panjang.
70
Kelestarian produksi juga dapat dilihat dari potensi tegakan. Potensi tegakan IUPHHK B bervariasi sehingga belum dapat memberikan gambaran perkembangan stok tegakan (menurun atau stabil). Diduga IUPHHK B belum mampu mempertahankan tingkat produksi disebabkan keterbatasan modal dan kurangnya (jumlah dan kompetensi) tenaga kerja. 5.3.1. Kegiatan Produksi 5.3.1.1. Kegiatan Pemanenan: Pohon Tersedia dan Pohon Dipanen Pohon yang dipanen pada IUPHHK B terdiri atas 15 jenis yang terbagi dalam 3 kelompok yaitu (1) Kelompok Meranti terdiri atas 11 jenis dapat dilihat pada lampiran (2) Kelompok rimba campuran dari jenis Kapur naga dan Kempas (3) Kelompok kayu indah dari jenis Sindur dan Ulin. Realisasi luas areal penebangan IUPHHK B tahun 2007, 2008 dan 2009 sebesar 2.000 ha, 2.150 ha dan 2.350 ha. Volume pohon tersedia IUPHHK B sebesar 56.165,12 m3 pada tahun 2007, sebesar 46.074,72 m3 pada tahun 2008 dan 69.495,04 m3 pada tahun 2009. Rata-rata pohon tersedia IUPHHK B sebesar 57.244,96 m3/tahun. Pada tahun 2007 dan 2008 dilakukan pemanenan pada IUPHHK B sebesar 29.519 m3 dan sebesar 28.280,6 m3. Pada tahun 2009, pemanenan yang dilakukan pada IUPHHK B hanya sebesar 22.760,58 m3 atau hanya 32,75% dari volume pohon yang tersedia. Rata-rata pohon dipanen IUPHHK B sebesar 26.853,39 m3/tahun atau 48,9%/tahun dari rata-rata volume pohon tersedia. Rincian pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK B disajikan pada Lampiran 7. Biomassa pohon tersedia, pohon dipanen dan tegakan tinggal pada IUPHHK B tersaji pada Tabel 27. Tabel 28 Biomassa pohon tersedia dan pohon dipanen pada IUPHHK B Biomassa atau karbon
2007
2008
2009
Pohon tersedia
68.602
63.049
96.616
Biomassa (ton/tahun) 76.089
Pohon dipanen Tegakan tinggal
36.523 32.079
37.960 25.089
32.610 64.006
35.698 40.391
Biomassa (ton)
Rata-rata Karbon CO 2 (tC/tahun) (tCO 2 /tahun) 38.045 139.624 17.849 20.196
65.506 74.118
Rata-rata biomassa pohon dipanen IUPHHK B sebesar 35.698 ton/tahun atau 49,07%/tahun dari biomassa pohon tersedia. Rata-rata biomassa tegakan tinggal IUPHHK B lebih besar daripada biomassa pohon yang dipanen. Biomassa
tegakan
tinggal
sebesar 40.391
ton/tahun
atau
menyisakan
50,93%/tahun dari pohon tersedia untuk tidak dipanen. Simpanan karbon
71
tegakan tinggal IUPHHK B sebesar 20.196 ton C/tahun atau 19,59 ton C/ha. Simpanan karbon IUPHHK B lebih rendah dibandingkan dengan IUPHHK A2. Hasil tersebut menegaskan bahwa hutan alam produksi lestari melakukan penebangan yang lebih rendah dari hutan alam produksi tidak lestari. 5.3.1.2. Kerusakan Tegakan Tinggal Perhitungan kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan menggunakan data potensi tegakan IUPHHK B dan persentase kerusakan pada penebangan konvensional. Potensi biomassa dan karbon hutan yang ada di IUPHHK B pada hutan primer dan hutan bekas tebangan pada tingkat pohon, tiang, pancang dan semai di rangkum pada Tabel 28. Tabel 29 Potensi biomassa dan karbon IUPHHK B. Tingkat vegetasi Pohon Tiang Pancang Semai Total
Hutan primer Biomassa Karbon (ton/ha) (ton C/ha) 899,32 449,66 120,40 60,20 35,30 17,65 0,29 0,15 1.055,31 527,66
Bekas tebangan Biomassa Karbon (ton/ha) (ton C/ha) 714,75 357,38 71,10 35,55 15,77 7,88 1,29 0,64 802,91 401,45
Potensi biomassa atau karbon tertinggi pada hutan primer dan sekunder berasal dari tingkat pohon. Potensi biomassa atau karbon tingkat pohon IUPHHK B sebesar 85,22% pada hutan primer dan sebesar 89,02% pada hutan bekas tebangan. Persentase biomassa tingkat tiang, pancang dan semai pada hutan primer sebesar 11,41%; 3,35% dan 0,03%. Potensi biomassa hutan bekas tebangan tingkat tiang sebesar 8,86%; pancang sebesar 1,96% dan semai sebesar 0,16%. Potensi biomassa dan karbon IUPHHK B lebih tinggi daripada IUPHHK A. Berdasarkan total biomassa dan karbon pada hutan bekas tebangan IUPHHK B menunjukkan adanya penurunan cadangan karbon sekitar 23,92%. Nilai pengurangan cadangan karbon yang hampir sama juga terjadi pada IUPHHK A (23,40%). Aktifitas pemanenan kayu mengakibatkan kerusakan pada tegakan tinggal. Perhitungan kerusakan tegakan IUPHHK B menggunakan persentase kerusakan dari blok tebangan yang menerapkan metode konvensional berdasarkan penelitian Elias (2002) dan potensi tegakan hasil pengukuran di
72
IUPHHK B. Tabel 29 menunjukkan biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan di IUPHHK B.
a. Kerusakan pada pangkal pohon
b. Tunggak sisa penebangan konvensional
Gambar 8 Kerusakan tegakan tinggal IUPHHK B Tabel 30 Biomassa, karbon dan CO 2 yang hilang pada IUPHHK B akibat kerusakan tegakan pada tahun 2011 Tingkat Vegetasi Pohon Tiang Pancang Semai Total
Biomassa (ton/ha)
Biomassa (ton/tahun)
288,90 28,74 5,51 0,43 323,58
595.624 59.253 11.353 889 667.119
Karbon (ton C/tahun) 297.812 29.626 5.676 445 333.560
CO 2 (ton CO 2 /tahun) 1.092.971 108.729 20.833 1.632 1.224.164
Biomassa yang hilang akibat kerusakan tegakan karena kegiatan pemanenan dengan metode konvensional pada IUPHHK B sebesar 323,58 ton/ha atau sebesar 667.119 ton/tahun. Kerusakan yang terjadi pada tingkat pohon mengakibatkan kehilangan biomassa 89,28%/tahun dari total biomassa yang hilang. Kontribusi tingkat tiang, pancang dan semai terhadap kehilangan biomassa pohon sebesar 8,88%/tahun; 1,70%/tahun dan 0,13%/tahun. Kerusakan tegakan IUPHHK B menyebabkan kehilangan 333.560 tC/tahun. Nilai kehilangan potensi karbon tersebut lebih tinggi dari IUPHHK A2. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa hutan alam produksi lestari yang menerapkan metode RIL mampu meminimalkan kehilangan biomassa atau karbon sebesar 57%/tahun.
73
5.3.2. Perlindungan Hutan Penutupan lahan IUPHHK B dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu hutan primer, hutan bekas tebangan dan non hutan. Pada IUPHHK B digunakan data penutupan lahan tahun 2000, 2003, 2005 dan 2009. Potensi biomassa pada IUPHHK B untuk hutan primer sebesar 1.055,31 ton/ha dan biomassa hutan bekas tebangan sebesar 802,91 ton/ha. Data penutupan lahan IUPHHK B diharapkan mampu memberikan gambaran perkembangan stok tegakan dan laju degradasi pada hutan alam produksi tidak lestari dengan manajemen yang berbeda dari A1. Tabel 31 Biomassa tiap tutupan lahan IUPHHK B Biomassa (ton)
Tutupan lahan Hutan primer Hutan bekas tebangan Tidak berhutan Total
2000
2003
2005
25.042.484 46.440.512 0 71.482.997
9.231.844 55.678.031 0 64.909.875
7.185.599 56.702.549 0 63.888.148
2009 5.616.355 57.801.737 0 63.418.092
Luas areal kerja IUPHHK B seluas 92.475 ha. Data penutupan lahan IUPHHK B (dapat dilihat pada Lampiran 11) menunjukkan perubahan tutupan lahan setiap tahunnya. Perubahan tutupan hutan pada IUPHHK B menyebabkan potensi biomassa pada IUPHHK B mengalami penurunan sebesar 939.806 ton/tahun atau kehilangan 469.903 ton C/tahun. Laju degradasi IUPHHK B sebesar 1,35%/tahun dengan potensi kehilangan karbon sebesar 2,17 ton C/ha. Laju degradasi IUPHHK B lebih tinggi dari IUPHHK A2. Hasil tersebut memberikan gambaran bahwa IUPHHK B belum mampu mereduksi laju degradasi akibat pemanenan dengan metode konvensional, akses yang semakin terbuka dan perladangan. 5.3.3. Kegiatan penanaman Perhitungan biomassa kegiatan penanaman IUPHHK B menggunakan data kegiatan penanaman pada tahun 2007 2008, 2009 dan 2010. Kegiatan penanaman yang dilakukan adalah kegiatan rehabilitasi, penanaman kanan dan kiri jalan serta penanaman tanah kosong.
74
Tabel 32 Kegiatan penanaman IUPHHK B Tahun 2007 2008 2009 2010 Rata-rata
Jumlah (batang) 55.900 75.000 74.000 15.900 55.200
Biomassa (ton) 0,197 0,265 0,261 0,056 0,195
Penanaman yang dilakukan IUPHHK B lebih kecil dari penanaman pada IUPHHK A1 dan IUPHHK A2. Rendahnya penanaman yang dilakukan pada IUPHHK
B
disebabkan
permasalahan
manajemen
perusahaan
yang
mempengaruhi alokasi modal untuk kegiatan penanaman. Rata-rata penanaman yang dilakukan oleh IUPHHK B sebesar 55.200 batang/tahun. Rincian besarnya biomassa pada kegiatan penanaman tersaji pada Tabel 32. Tabel 33 Biomassa kegiatan penanaman pada IUPHHK B Tahun 2007 2008 2009 2010 Rata-rata
Biomassa (ton) 0,197 0,265 0,261 0,056 0,195
Karbon (ton C) 0,0986 0,1323 0,1305 0,0280 0,0974
CO 2 (ton CO 2 ) 0,3619 0,4856 0,4790 0,1029 0,3573
Biomassa kegiatan penanaman tertinggi yang dilakukan IUPHHK B adalah tahun 2008 sebesar 0,265 ton. Rata-rata simpanan biomassa kegiatan penanaman pada IUPHHK B sebesar 0,195 ton/tahun. Kegiatan penanaman IUPHHK B lebih rendah dari IUPHHK A1 dan A2. Faktor penting yang mempengaruhi kegiatan penanaman IUPHHK B adalah kemampuan finansial yang rendah sehingga tidak mampu melaksanakan penanaman sesuai dengan target. 5.4. Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO 2 A2-1 dan A2-B Simpanan biomassa, karbon dan CO 2 untuk mengikuti perdagangan karbon skema REDD+ dihitung berdasarkan perbedaan biomassa, karbon dan CO 2 pada kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman antara IUPHHK A2 dengan IUPHHK A1 dan IUPHHK A2 dengan IUPHHK B. Hasil perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 antara IUPHHK A2 dengan
75
IUPHHK A1 diberi simbol A2-1 dan hasil perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 antara IUPHHK A2 dengan IUPHHK B diberi simbol A2-B. 5.4.1. Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO 2 Kegiatan Produksi Data statistik produksi pada IUPHHK A1, IUPHHK A2 dan IUPHHK B menunjukkan realisasi produksi antara 81%-98% (realisasi produksi kurang dari 100%) dari target produksi. Hasil studi Bahruni (2011) menyebutkan bahwa gambaran kelestarian produksi jangka panjang tidak dapat diukur dengan kriteria rasio target dan realisasi produksi tahunan. Kecenderungan produksi jangka panjang dapat dievaluasi menggunakan rasio antara realisasi produksi dengan AAC. Rasio produksi pada A1, A2 dan B antara 0,2-07 terhadap AAC. Rasio produksi A1 dan B cenderung menurun sedangkan rasio produksi pada A2 cenderung meningkat. Kecenderungan produksi pengelolaan hutan lestari dalam jangka panjang memiliki tingkat produksi yang relatif meningkat dengan rasio 0,38 pada tahun 2004 dan terus meningkat hingga mencapai rasio 0,74 terhadap AAC pada tahun 2009. Kesimpulan yang dapat diambil adalah kelestarian produksi jangka panjang pengelolaan hutan lestari relatif dapat dipertahankan, sedangkan kelestarian produksi pada hutan alam produksi tidak lestari belum mampu dipertahankan. 5.4.1.1. Kegiatan Pemanenan Simpanan
biomassa
atau
karbon
pada
kegiatan
pemanenan
menggunakan indikator pohon tersedia dan pohon dipanen. Penebangan yang dilakukan oleh IUPHHK A1 sebesar 65,2%/tahun; IUPHHK A2 sebesar 48,35%/tahun dan IUPHHK B sebesar 49,07%/tahun terhadap pohon tersedia. Biomassa pohon tersedia dan pohon dipanen dirangkum pada Tabel 33. Tabel 34 Simpanan karbon dan CO 2 tegakan tinggal IUPHHK A1 IUPHHK A2 IUPHHK B Karbon CO 2 Karbon CO 2 Karbon CO 2 (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) Pohon tersedia 140.796 516.723 236.428 867.692 38.045 139.624 Pohon dipanen 82.599 303.138 114.428 419.949 17.849 65.506 Tegakan tinggal 58.198 213.585 122.001 447.743 20.196 74.118 Kegiatan pemanenan
Simpanan karbon tegakan tinggal pada hutan alam produksi lestari (A2) lebih tinggi dari hutan alam produksi tidak lestari (A1 dan B). Rata-rata
76
persentase biomassa tegakan tinggal terhadap pohon tersedia IUPHHK A1 sebesar 34,8%/tahun; IUPHHK A2 sebesar 51,65%/tahun dan IUPHHK B sebesar 50,93%/tahun. Simpanan karbon tegakan tinggal dari kegiatan pemanenan menunjukkan bahwa hutan lestari melakukan penebangan lebih rendah dari hutan tidak lestari. Hal tersebut mengindikasikan bahwa hutan lestari mampu mempertahankan stok karbon lebih besar dari hutan tidak lestari sehingga mampu mereduksi kehilangan karbon. Tabel 35 Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 tegakan tinggal pada kegiatan pemanenan Biomassa (ton/tahun) 127.606 203.610
IUPHHK A2-1 A2-B Hasil
perbedaan
tegakan
tinggal
Karbon CO 2 (ton/tahun) (ton/tahun) 63.803 234.158 101.805 373.625 memberikan
gambaran
bahwa
pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon sebesar 234.158 tCO 2 untuk A2-1 dan sebesar 373.625 tCO 2 untuk A2-B. Hasil perbedaan persentase tegakan tinggal menunjukkan bahwa pengelolaan hutan alam
produksi lestari
mampu
menghindari
kehilangan
karbon
sebesar
16,85%/tahun untuk A2-1 dan 0,72%/tahun untuk A2-B dibandingkan dengan hutan alam produksi tidak lestari. Hasil perbedaan (absolut dan persentase) tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi kehilangan tegakan atau karbon lebih baik dari pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. 5.4.1.2. Pengurangan Kerusakan Tegakan Kerusakan terhadap tegakan tinggal akibat kegiatan pemanenan pada IUPHHK bersertifikat (A2) lebih kecil daripada IUPHHK yang belum (A1) dan tidak (B) memiliki sertifikat. IUPHHK yang mengalami kehilangan biomassa terbesar akibat kerusakan tegakan tinggal karena menggunakan metode pemanenan konvensional adalah IUPHHK B. Kerusakan tegakan menyebabkan kehilangan biomassa sebesar 135,55 ton/ha/tahun pada IUPHHK A1; sebesar 64,65 ton/ha/tahun pada A2 dan 323,58 ton/ha/tahun pada IUPHHK B. Rata-rata luas penebangan pada IUPHHK A1 seluas 3.450,48 ha/tahun; IUPHHK A2 dengan luas 4.434,21 ha/tahun dan IUPHHK B seluas 2.061,67 ha/tahun. Perbedaan biomassa, karbon dan CO 2 yang hilang akibat kerusakan tegakan tinggal tahun 2011 pada A2-1 dan A2-B diringkas pada Tabel 35.
77
Tabel 36 Perbedaan biomassa, karbon dan CO 2 yang hilang akibat kerusakan tegakan tinggal pada tahun 2011 Biomassa Karbon CO 2 IUPHHK (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) 181.042 90.521 332.212 A2-1 380.452 190.226 698.130 A2-B Hasil perbedaan biomassa, karbon dan CO 2 yang hilang akibat kerusakan tegakan tinggal pada tahun 2011 menunjukkan adanya simpanan biomassa, karbon dan CO 2 pada A2-1.dan A2-B. Perbedaan teknik yang digunakan untuk pemanenan menyebabkan perbedaan tingkat kerusakan tegakan. Teknik pemanenan RIL yang di gunakan pada IUPHHK A2 memberikan dampak kerusakan yang lebih rendah daripada teknik konvensional yang digunakan pada IUPHHK A1 dan B. Hasil perbedaan kehilangan karbon akibat kerusakan tegakan tinggal memberikan gambaran bahwa pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mengurangi kehilangan karbon sebesar 90.521190.226 ton C/tahun. Pengelolaan hutan alam produksi lestari yang menerapkan teknik RIL mampu mereduksi emisi CO 2 akibat kerusakan tegakan tinggal sebesar 39%-57%/tahun dari pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Hasil studi Elias (2002), penerapan metode RIL dapat mengurangi kerusakan hingga 50%. Persentase kerusakan pada blok tebangan yang menerapkan RIL dan blok tebangan yang menerapkan teknik konvensional menunjukkan adanya perbedaan persentase kerusakan pada tingkat vegetasi pohon dan tiang sebesar 21,34%, tingkat pancang dan semai sebesar 15,34% dan 15,82%. 5.4.2. Perbedaan Simpanan Perlindungan Hutan
Biomassa,
Karbon
dan
CO 2
Kegiatan
Perkembangan stok hutan merupakan suatu indikator kelestarian produksi yang dapat dievaluasi menggunakan indikator perubahan tutupan hutan (Bahruni, 2011). Perubahan tutupan hutan menjadi semak, rumput dan areal tidak berhutan pada IUPHHK A1, A2 dan B memberikan gambaran perubahan simpanan (stok) karbon hutan. Tabel 37 Biomassa karbon dan CO 2 yang hilang akibat degradasi hutan IUPHHK
Biomassa
Karbon
CO 2
Kehilangan biomassa
78
A1 A2 B
(ton/tahun) 845.936 88.971 939.806
(tC/tahun) (tCO 2 /tahun) 422.968 1.552.293 44.486 163.262 469.903 1.724.544
(%/tahun) 1,26 0,15 1,35
Perhitungan biomassa tutupan hutan pada IUPHHK A1, IUPHHK A2 dan IUPHHK B menunjukkan adanya penurunan total biomassa setiap tahunnya. Kecenderungan perubahan tutupan hutan IUPHHK A2 menunjukkan perubahan tutupan hutan yang menurun dengan laju yang relatif rendah. Laju perubahan tutupan hutan IUPHHK A2 hanya sebesar 0,15%/tahun. Perubahan tutupan hutan IUPHHK A1 dan IUPHHK B relatif lebih tinggi dari IUPHHK A2. Perbedaan biomassa, karbon dan CO 2 yang hilang akibat degradasi hutan antara pengelolaan hutan alam produksi lestari dan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari diringkas pada tabel berikut: Tabel 38 Perbedaan biomassa, karbon dan CO2 yang hilang akibat degradasi hutan IUPHHK A2-1 A2-B
Biomassa (ton/tahun) 756.965 850.835
Karbon (ton/tahun) 378.482 425.417
CO 2 (ton/tahun) 1.389.030 1.561.282
Hasil perbedaan biomassa, karbon dan CO2 yang hilang akibat degradasi hutan menunjukkan adanya simpanan biomassa, karbon dan CO 2 dari kegiatan perlindungan hutan A2-1 dan A2-B. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mengurangi laju degradasi sebesar 1,11%/tahun pada A2-1 dan 1,20%/tahun pada A2-B dari pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. Hal tersebut mengindikasikan bahwa upaya dan komitmen pengelola hutan lestari untuk melakukan kegiatan perlindungan hutan terhadap degradasi lebih baik daripada unit manajemen hutan tidak lestari (A1 dan B). Hasil studi Bahruni (2011), beda laju degradasi hutan lestari sebesar 1,98% (periode 1999- 2011) dan 2,44% (periode
2000-2011). Hasil tersebut lebih tinggi dari hasil yang
diperoleh dalam penelitian ini, tetapi tetap sejalan untuk menegaskan bahwa pengelolaan hutan lestari mampu mereduksi laju degradasi dari pengelolaan hutan tidak lestari. Pengelolaan hutan alam produksi lestari melakukan beberapa upaya perlindungan dan pengamanan hutan yaitu (1) membuat menara kebakaran (2) melakukan sosialisasi pencegahan kebakaran seperti membuat rambu-rambu larangan membakar hutan, larangan berburu hewan yang dilindungi, dilarang berladang dan dilarang menebang pohon disempadan sungai (3) melakukan patroli pengamanan hutan 2-3 kali dalam setiap bulan dan
79
terkadang dibantu aparat setempat (4) memiliki tata batas yang jelas (5) mengalokasikan dana yang lebih besar (dari hutan tidak lestari) kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan. Tabel 37 memberikan gambaran bahwa pengelolaan hutan alam produksi lestari dapat mempertahankan karbon hutan lebih baik dari pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari dan diharapkan mampu melestarikan produksi jangka panjang. Pengelolaan
hutan alam produksi lestari mampu mengurangi
penurunan/kehilangan stok hutan akibat degradasi (dibandingkan dengan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari) sehingga mampu mereduksi emisi karbon hutan sebesar 1.389.030 ton CO 2 /tahun hingga 1.561.282 ton CO 2 /tahun. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mengurangi laju degradasi antara 1,11%-1,20%/tahun dari pengelolaan hutan alam produksi lestari. 5.4.3. Perbedaan Simpanan Biomassa, Karbon dan CO 2 pada Kegiatan Penanaman Pada IUPHHK A1 dan IUPHHK B menggunakan sistem TPTI dan IUPHHK A2 mulai tahun 2006 menerapkan sistem TPTII dengan teknik silvikultur intensif. Jumlah penanaman yang dilakukan IUPHHK bersertifikat lebih besar daripada IUPHHK yang belum dan tidak bersertifikat. Teknik silvikultur intensif yang diterapkan pada IUPHHK A2 mempengaruhi kegiatan penanaman yang dilakukan. Penanaman jalur yang dilakukan IUPHHK A2 pada tahun 2006 hingga 2009 antara 143 – 200 batang/ha. Kegiatan
penanaman
pada
IUPHHK
A2
cenderung
mengalami
peningkatan yang signifikan mulai tahun 2006. Data penanaman tahun 2006 merupakan gambaran kegiatan penanaman dari hutan yang bersertifikat dan penanaman yang dilakukan sebelum tahun 2004 merupakan gambaran kegiatan penanaman yang dilakukan IUPHHK A sebelum memiliki sertifikat. Hasil perbedaan penanaman menunjukkan bahwa penanaman yang dilakukan IUPHHK A2 lebih besar dari IUPHHK A1 dan B. Rata-rata biomassa penanaman IUPHHK A1 sebesar 0,978 ton/tahun; IUPHHK A2 sebesar 2,544 ton/tahun dan IUPHHK B sebesar 0,195 ton/tahun. Kegiatan penanaman hutan bersertifikat yang lebih besar mencerminkan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan stok tegakan pada hutan bersertifikat lebih baik dari hutan yang tidak bersertifikat. Beda biomassa penanaman IUPHHK A2-1 dan A2-B merupakan simpanan biomassa kegiatan penanaman. Tabel 39 Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 kegiatan penanaman
80
IUPHHK A2-1 A2-B
Biomassa (ton/tahun) 1,565 2,349
Karbon (ton/tahun) 0,78 1,17
CO 2 (ton/tahun) 2,87 4,31
Hasil perbedaan biomassa, karbon dan CO 2 kegiatan penanaman menunjukkan simpanan biomassa A2-1 dan A2-B. Hasil tersebut menegaskan bahwa hutan yang dikelola secara lestari mampu meningkatkan stok karbon hutan sebesar 0,78 tC/tahun (A2-1) dan 1,17 tC/tahun (A2-B). Perhitungan stok karbon tersebut, diperoleh dari pendugaan simpanan karbon tanaman pada tingkat semai Perhitungan perbedaan stok tegakan pada kegiatan penanaman tidak memperhitungkan pertumbuhan tanaman/kemampuan meningkatkan stok karbon dari proses fiksasi. Hasil perhitungan peningkatan stok tegakan pada kegiatan penanaman lebih rendah dari nilai kemampuan meningkatkan stok karbon sesungguhnya. Simpanan biomassa pada A2-B menjadi lebih besar dari simpanan biomaassa A2-1 karena rendahnya kegiatan penanaman yang dilakukan pada IUPHHK B. Pengelolaan hutan di IUPHHK B mengalami beberapa permasalahan yaitu kurangnya modal untuk pengelolaan hutan dan kurangnya komitmen pengelola untuk menerapkan pengelolaan hutan dengan baik sehingga menyebabkan (1) terkendalanya kegiatan pengelolaan hutan (2) kurangnya tenaga kerja (3) kurangnya motivasi untuk menerapkan pengelolaan hutan lestari. 5.4.4. Total Biomassa, Karbon dan CO 2 Perolehan simpanan biomassa A2-1 dan A2-B memberikan gambaran bahwa pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mempertahankan tegakan atau karbon lebih baik daripada hutan alam produksi tidak lestari. Total simpanan biomassa, karbon dan CO 2 pada A2-1 dan A2-B diperoleh dari penjumlahan simpanan pada kegiatan produksi, perlindungan hutan dan penanaman. Tabel 40 Total simpanan biomassa, karbon dan CO 2 Biomassa Karbon CO 2 IUPHHK (ton/tahun) (ton/tahun) (ton/tahun) 1.065.615 532.807 1.955.403 A2-1 1.434.900 717.450 2.633.041 A2-B Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mempertahankan simpanan biomassa tegakan lebih baik dari hutan yang dikelola tidak lestari. Berdasarkan kecenderungan produksi jangka panjang pada pengelolaan hutan
81
alam produksi lestari menunjukkan tingkat produksi yang relatif meningkat. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon hutan sebesar 74,52%/tahun untuk A2-1 dan sebesar 87,11%/tahun untuk A2-B. Kemampuan reduksi biomassa, karbon dan CO 2 pengelolaan hutan alam produksi lestari disajikan pada tabel berikut: Tabel 41 Kemampuan reduksi biomassa, karbon dan CO 2 pengelolaan hutan alam produksi lestari IUPHHK A2-1 A2-B
Reduksi biomassa (ton/ha/tahun) 4,92 6,63
Reduksi karbon (ton/ha/tahun) 2,46 3,31
Reduksi CO 2 (ton/ha/tahun) 9,03 12,16
5.5. Nilai Ekonomi dalam Perdagangan Karbon Skema REDD+ Biaya yang diperhitungkan untuk mengikuti REDD+ adalah biaya oportunitas dan biaya transaksi. Biaya oportunitas merupakan perbedaan keuntungan antara hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari. Biaya transaksi dihitung berdasarkan jumlah CO 2 yang ditawarkan dan pendekatan biaya transaksi hasil studi Antinori dan Sathaye (2007). 5.5.1. Biaya, Pendapatan dan Keuntungan Pengelolaan Hutan Alam Produksi Data yang digunakan untuk menghitung biaya dan pendapatan pada IUPHHK A adalah data keuangan tahun 2001, 2002, 2007, 2008 dan 2009. Data keuangan yang digunakan IUPHHK B adalah tahun 2007, 2008 dan 2009. Ratarata realisasi produksi IUPHHK A1 sebesar 143.415,65 m3/tahun; IUPHHK A2 sebesar 201.437,64 m3/tahun dan IUPHHK B sebesar 26.853,39 m3/tahun. Data biaya dan pendapatan digunakan untuk mengetahui keuntungan yang diterima IUPHHK A1, IUPHHK A2 dan IUPHHK B. Perhitungan biaya, pendapatan dan keuntungan berdasarkan harga tahun 2009 dengan tingkat suku bunga nyata sebesar 9,47%. Suku bunga nyata merupakan suku bunga yang telah terkoreksi oleh inflasi. Rata-rata tingkat inflasi yang digunakan sebesar 6,47% dan suku bunga pasar 16%. Biaya, pendapatan dan keuntungan pengelolaan hutan alam produksi disajikan pada Tabel 41. Tabel 42 Biaya, pendapatan dan keuntungan pengelolaan hutan alam produksi Biaya, pendapatan dan keuntungan Biaya Pendapatan
IUPHHK A1 (Rp/m3)
IUPHHK A2 (Rp/m3)
IUPHHK B (Rp/m3)
736.806
908.185
945.236
1.008.464
982.274
994.120
82
Keuntungan
271.658
74.089
48.884
Keterangan: Berdasarkan harga tahun 2009
Biaya pengelolaan hutan alam produksi bersertifikat lebih tinggi dari biaya pengelolaan hutan belum bersertifikat (A1). Hal tersebut disebabkan tingginya biaya pemanenan IUPHHK A2. Faktor lain yang juga mempengaruhi besarnya biaya pengelolaan hutan alam produksi bersertifikat adalah dilakukannya peningkatan kegiatan penanaman, perlindungan hutan, penerapan teknik RIL dan kerjasama dengan masyarakat sekitar hutan. Biaya pengelolaan hutan bersertifikat lestari mengalami kenaikan sebesar Rp 171.378,-/m3 atau 23% dari biaya pengelolaan hutan A1. Nilai tersebut lebih tinggi dari hasil studi Darusman dan Bahruni (2004) yang menyatakan bahwa kenaikan biaya pengelolaan hutan lestari berkisar antara IDR 26.000-44.000/m3 atau 4-6,5%. Biaya pengelolaan hutan IUPHHK A2 yang lebih besar dari IUPHHK A1 mempengaruhi jumlah keuntungan yang diterima. Rata-rata keuntungan IUPHHK A1 sebesar Rp 271.658,-/m3 dan IUPHHK A2 sebesar Rp. 74.089,-/m3. Biaya pengelolaan hutan IUPHHK B sebesar Rp 945.236,-/m3 dengan keuntungan sebesar Rp 48.884,-/m3. Biaya pengelolaan hutan IUPHHK B lebih tinggi dari IUPHHK A1 dan IUPHHK A2. Rata-rata kenaikan biaya pengelolaan IUPHHK B sebesar Rp. 208.430,-/m3 terhadap A1 dan sebesar Rp. 37.052,-/m3 terhadap A2. Keuntungan IUPHHK B lebih rendah (antara IDR 25.206 – 22.775/m3 atau 34-82%) dari keuntungan IUPHHK A1 dan IUPHHK A2. Perbedaan keuntungan antara hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari merupakan biaya oportunitas untuk mengikuti REDD+. 5.5.2. Biaya, Penerimaan dan Insentif Finansial REDD+ Keuntungan yang diperoleh IUPHHK A1 lebih besar dibandingkan dengan keuntungan IUPHHK A2. Perbedaan keuntungan antara IUPHHK A1 dengan IUPHHK A2 (A2-1) sebesar Rp 197.569,-/m3. Hasil yang berbeda diperoleh dari Perbedaan keuntungan antara IUPHHK B dengan IUPHHK A2 (A2-B). IUPHHK B memiliki keuntungan yang lebih kecil dibandingkan dengan IUPHHK A2. Perbedaan keuntungan A2-B sebesar Rp (25.206,-)/m3. Perbedaan keuntungan A2-B bernilai negatif menunjukkan bahwa IUPHHK A2 yang melakukan pengelolaan hutan alam produksi lestari memperoleh keuntungan yang lebih besar dari IUPHHK B.
83
Struktur biaya dalam analisis ekonomi REDD+ terdiri atas biaya oportunitas dan biaya transaksi. Biaya oportunitas merupakan biaya yang timbul karena hilangnya kesempatan akibat alternatif penggunaan lain. Pada penelitian ini biaya oportunitas diperoleh dari perbedaan keuntungan antara IUPHHK yang memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari (IUPHHK A2) dan IUPHHK yang tidak atau belum memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari (IUPHHK A1 dan IUPHHK B). Biaya oportunitas A2-1 sebesar Rp. 39,8 milyar/tahun dan A2-B sebesar Rp. (5,1) milyar/tahun. Perhitungan biaya transaksi dapat dihitung berdasarkan besarnya transaksi CO 2 yang ditawarkan. Menurut Antinori dan Sathaye (2007), besarnya biaya transaksi antara US$ 0,03 sampai dengan US$ 1,23/tCO 2 . Berdasarkan kisaran biaya transaksi tersebut, perhitungan biaya transaksi dalam penelitian ini menggunakan tiga pendekatan biaya yaitu US$ 0,03; US$ 1,23/tCO 2 dan rataratanya sebesar US$ 0,63/tCO 2 . Biaya transaksi berdasarkan simpanan CO 2 pada A2-1 dan A2-B dapat dilihat pada Tabel 42. Tabel 43 Biaya transaksi pada A2-1 dan A2-B Alternatif biaya transaksi ($/tCO 2 ) 0,03 0,63 1,23
A2-1 (Rp/tahun)
A2-B (Rp/tahun)
520.919.316 10.939.305.635 21.357.691.953
701.442.241 14.730.287.063 28.759.131.885
Biaya transaksi A2-1 lebih rendah dibandingkan dengan biaya transaksi A2-B. Hal tersebut disebabkan rendahnya simpanan CO 2 yang mampu dilakukan oleh A2-1 dibandingkan dengan A2-B. Biaya total yang harus di korbankan A2-1 dan A2-B untuk dapat mengikuti REDD+ dirangkum dalam Tabel 43. Tabel 44 Biaya total A2-1 dan A2-B A2-1 (Rp/tahun) 40.318.713.095 50.737.099.414 61.155.485.732
A2-B (Rp/tahun) (4.375.930.125) 9.652.914.698 23.681.759.520
Biaya total yang harus dikorbankan untuk mengikuti perdagangan karbon skema REDD+ merupakan penjumlahan dari biaya oportunitas dan biaya transaksi. Biaya total untuk mengikuti REDD+ pada A2-1 lebih tinggi daripada A2-B karena biaya oportunitas A2-B bernilai negatif.
84
Penerimaan dari kompensasi simpanan CO 2 pengelolaan hutan alam produksi lestari berdasarkan pendekatan harga hipotetik menurut Pirard (2005) yaitu US$ 6, US$ 9 dan US$ 12/ton CO 2 . Penerimaan yang diperoleh dari simpanan CO 2 sebesar 1.955.403 ton CO 2 /tahun pada A2-1 dan sebesar 2.633.041 ton CO 2 /tahun pada A2-B ditampilkan pada Tabel 44. Tabel 45 Penerimaan dari kompensasi simpanan CO 2 pada A2-1 dan A2-B IUPHHK A2-1 A2-B
Harga kompensasi simpanan CO 2 $6 (Rp 53.280,-)
$9 (Rp 79.920,-)
$12 (Rp 106.560,-)
104.183.863.187 140.288.448.221
156.275.794.780 210.432.672.331
208.367.726.373 280.576.896.442
Penerimaan A2-B pada perdagangan karbon skema REDD+ untuk setiap level harga kompensasi lebih tinggi daripada penerimaan A2-1. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan kemampuan reduksi emisi karbon A2-1 dan A2-B yang dipengaruhi oleh garis dasar yang digunakan untuk menentukan additionality untuk mengikuti REDD+. Insentif yang dapat diperoleh dari keikutsertaan hutan bersertifikat dalam perdagangan karbon skema REDD+ dipengaruhi oleh biaya yang harus ditanggung untuk mengikuti REDD+ (biaya oportunitas dan biaya transaksi) dan harga kompensasi karbon. Insentif finansial A2-1 dan A2-B pada perdagangan karbon skema REDD+ disajikan pada Tabel 45. Tabel 46 Insentif finansial A2-1-A2-B dari REDD+ IUPHHK
A2-1
A2-B
Harga kompensasi $6 (Rp 53.280,-)
63.865.150.092 53.446.763.773 43.028.377.454 144.664.378.345 130.635.533.523 116.606.688.701
$9 (Rp 79.920,-)
$12 (Rp 106.560,-)
115.957.081.685 105.538.695.366 95.120.309.047 214.808.602.456 200.779.757.634 186.750.912.812
168.049.013.278 157.630.626.959 147.212.240.641 284.952.826.566 270.923.981.744 256.895.136.922
Tabel 45 menunjukkan bahwa A2-1 dan A2-B memiliki peluang menerima insentif finansial dari perdagangan karbon skema REDD+ pada semua harga kompensasi yang disimulasikan. Nilai insentif finansial paling rendah yang diterima A2-1 sebesar Rp. 43,03 milyar/tahun pada kompensasi harga US$ 6/tCO 2 dengan biaya transaksi tertinggi (US$ 1,23/tCO 2 ) dan insentif tertinggi
85
sebesar Rp. 168,05 milyar/tahun pada harga kompensasi US$ 12/tCO 2 dan beban biaya transaksi paling rendah ($ 0,03/tCO 2 ). Insentif finansial paling rendah dari REDD+ yang diterima A2-B sebesar Rp. 116,61 rupiah/tahun pada harga kompensasi US$ 6/tCO 2 dan beban biaya transaksi tertinggi. Insentif tertinggi A2-B sebesar Rp. 284,9 milyar/tahun pada harga kompensasi US$ 12/tCO 2 dan biaya transaksi paling rendah. Insentif finansial A2-B lebih besar dari A2-1. Besarnya insentif yang akan diterima A2-B dipengaruhi oleh biaya total mengikuti REDD+ yang lebih rendah (dari biaya total A2-1) bahkan ada yang bernilai negatif. Perhitungan nilai ekonomi karbon menunjukkan adanya peluang bagi hutan alam produksi lestari untuk memperoleh insentif tambahan dari perdagangan karbon skema REDD+.
Peluang insentif tersebut memberikan
gambaran bahwa hutan alam produksi lestari dapat mengikuti perdagangan karbon karena memiliki simpanan karbon yang lebih besar dari hutan alam produksi tidak lestari (sebagai garis dasar) dan memperoleh kompensasi dari simpanan CO 2 yang lebih besar dari biaya yang harus dikorbankan untuk mengikuti REDD+. Titik impas tertinggi terjadi pada harga US$ 3,52/tCO 2 untuk A2-1 dan harga US$ 1,01/tCO 2 untuk A2-B. Jika biaya untuk mengikuti REDD+ adalah biaya yang paling rendah maka titik impas terjadi pada harga US$ 2,32/tCO 2 untuk A2-1 dan harga US$ (0,19)/tCO 2 untuk A2-B. Insentif finansial dari REDD+ dapat diterima jika harga kompensasi reduksi emisi karbon diatas harga titik impasnya. 5.5.3. Peluang Insentif Finansial dari REDD+ bagi Hutan Alam Produksi Lestari Pengelolaan
hutan
lestari
merupakan
salah
satu
mekanisme
pengurangan emisi karbon dalam skema REDD+. Pengelola hutan alam produksi dapat berperan aktif dalam upaya penurunan emisi karbon melalui pengelolaan hutan alam produksi secara lestari. Pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan suatu kawasan hutan alam produksi dikelola secara lestari adalah memiliki sertifikat hutan lestari. Dalam penelitian ini, IUPHHK yang dikelola secara konvensional (IUPHHK A1 dan IUPHHK B) di asumsikan sebagai sebuah skenario Business as Usual (BAU) dan dijadikan sebagai garis dasar perhitungan karbon. Sedangkan IUPHHK yang memiliki sertifikat (IUPHHK A2) merupakan IUPHHK yang memiliki
86
komitmen dan upaya yang kuat untuk menerapkan pengelolaan hutan secara lestari. Komitmen dan upaya tersebut merupakan additionality yang dapat diajukan untuk mengikuti proyek perdagangan karbon melalui mekanisme REDD+. Menurut salah satu Lembaga Sertifikasi di Indonesia (2008), manajemen IUPHHK A2 mempunyai komitmen yang kuat dalam pencapaian sertifikasi pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHAPL), hal ini dibuktikan dengan kesungguhan dalam mempersiapkan dokumentasi dan lapangan, penyusunan tim sertifikasi yang cukup solid dalam jangka beberapa tahun untuk memperoleh sertifikat PHAPL. Beberapa hal lain yang menjadi kekuatan IUPHHK A2 untuk pencapaian PHAPL yaitu: •
Jajaran manajemen sampai karyawan di bawah turut terlibat dalam menyiapkan sertifikasi dalam mencoba untuk melaksanakan praktek-praktek pengelolaan hutan yang baik dan memperbaiki secara berkelanjutan pada pengelolaan hutannya
•
Memperkerjakan karyawan yang cukup banyak jumlahnya yang berdampak pada terbukanya peluang kerja di daerah dan juga meningkatnya pendapatan masyarakat secara umum
•
Program community development (PMDH) selalu menjadi bagian dari kegiatan perusahaan untuk pemberdayaan masyarakat Hutan alam produksi yang dikelola secara lestari mempunyai beberapa
kelebihan dibandingkan dengan hutan alam produksi tidak lestari, di antaranya (1) mampu mempertahankan kelestarian produksi jangka panjang sehingga dapat terus menyediakan lapangan pekerjaan (2) Mampu meminimalkan kerusakan tegakan tinggal (3) Mampu mereduksi laju degradasi (4) Mampu meningkatkan stok tegakan dari kegiatan penanaman yang lebih besar (5) Mampu mencegah kehilangan pendapatan negara . Menurut Malsheimer, et. al. (2009), hutan yang dikelola menyerap karbon lebih banyak daripada hutan yang tidak di kelola karena hutan yang dikelola berisi pohon muda lebih banyak sehingga memiliki kapasitas penyerapan yang lebih tinggi. Berdasarkan Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009, hutan produksi lestari (IUPHHK A2) dapat mengikuti usaha pemanfaatan Penyerapan karbon dan atau penyimpanan Karbon (UP RAP-KARBON dan/atau UP PAN-KARBON). Kegiatan usaha RAP-KARBON yang dilakukan IUPHHK A2 yaitu: •
Penanaman dan pemeliharaan pada areal hutan alam produksi.
87
•
Penanaman pada jalur tanam pada sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).
•
Peningkatan riap tegakan dengan penerapan teknik silvikultur intensif. IUPHHK A2 juga melakukan kegiatan PAN-KARBON terkait pengelolaan
hutan alam produksi lestari, yaitu: •
Menerapkan penebangan ramah lingkungan dengan teknik RIL
•
Melakukan pemeliharaan dan pengamanan pada jalur antar
•
Melakukan perlindungan dan pengamanan pada areal yang berfungsi perlindungan
•
Melakukan perlindungan dan pengamanan pada seluruh areal hutan. Kegiatan UP RAP-KARBON DAN UP PAN-KARBON pada hutan alam
produksi lestari menghasilkan simpanan karbon pada A2-1 dan A2-B sebesar 532.807 ton/tahun dan 717.450 ton/tahun. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon dan menghindarkan kehilangan tegakan akibat pemanenan dan degradasi hutan. Hasil perhitungan nilai ekonomi karbon memberikan gambaran bahwa pengelola hutan alam produksi lestari memiliki peluang untuk mendapatkan insentif berupa manfaat finansial dari skema REDD+. Insentif dari REDD+ tersebut diharapkan cukup mampu menguatkan pengelolaan hutan alam produksi lestari. Titik impas tertinggi untuk mengikuti REDD+ terjadi pada harga US$ 1,013,52/ton CO 2 . Insentif finansial akan diterima pengelolaan hutan alam produksi lestari jika harga kompensasi CO 2 diatas nilai titik impasnya. Hasil penelitian Antinori dan Sathaye (2007) menegaskan bahwa titik impas pada pilihan penggunaan lahan untuk hutan alam produksi dan REDD+ terjadi pada harga US$ 2,85/tCO 2 . Nilai kompensasi yang lebih rendah diperoleh dari studi Sasaki dan Yoshimoto (2010) yang menyatakan bahwa harga kompensasi agar hutan lestari mendapatkan insentif finansial dari REDD+ sebesar US$ 2/tCO 2 .
88
6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1.
Simpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini: 1. Pengelolaan hutan alam produksi lestari mampu mereduksi emisi karbon sebesar 74,52%-87,11%/tahun atau sebesar 9,03-12,16 ton CO 2 /ha/tahun dibandingkan dengan pengelolaan hutan alam produksi tidak lestari. 2. Pengelolaan hutan alam produksi lestari memiliki peluang untuk memperoleh insentif finansial dari REDD+. Biaya yang ditanggung pengelola hutan untuk melakukan reduksi emisi karbon lebih kecil dari insentif yang ditawarkan REDD+. 3. Titik impas tertinggi terjadi pada harga US$ 3,52/tCO 2 untuk A2-1 dan US$ 1,01/tCO 2 untuk A2-B. Insentif finansial dari REDD+ berpeluang diterima pada semua harga kompensasi yang disimulasikan atau pada harga kompensasi di atas nilai titik impas. 4. Ada peluang insentif yang dapat memotivasi pelaku melakukan pengelolaan hutan alam produksi lestari sehingga kompensasi reduksi emisi karbon dari REDD+ pada tarif paling rendah yang disimulasikan (US$ 6/tCO 2 ) diharapkan dapat menggerakkan pelaku pengelola hutan untuk melakukan pengelolaaan hutan alam produksi lestari. 6.2. SARAN Pengelolaan hutan alam produksi lestari dapat diikutsertakan dalam perdagangan karbon skema REDD+ dengan mempertimbangkan harga satuan kompensasi minimal agar nilai ekonominya lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan sehingga insentif finansial dari REDD+ dapat diperoleh.
89
DAFTAR PUSTAKA Agenda 21 (1992). Earth Summit. Agenda 21. The United Nations Programme of Action from Rio. New York: United Nations Department of Public Information. Angelsen A, Brockhaus M, Kanninen M, Sills E, Sunderlin WD, WertzKanounnikoff S, editor. 2010. Mewujudkan REDD+: Strategi nasional dan berbagai pilihan kebijakan. Bogor, CIFOR [Center for International Forestry Research]. Angelsen A, Atmadja S, editor. 2010 Melangkah maju dengan REDD: isu, pilihan dan implikasi. Bogor: CIFOR. Antinori C, Sathaye J. 2007. Assessing Biaya transaksis of Project-based Greenhouse Gas Emissions Trading. Lawrence Berkeley National Laboratory, Berkeley, CA Ariwibowo dan Rufii. 2009. Peran Sektor Kehutanan Di Indonesia Dalam Perubahan Iklim. Tekno Hutan Tanaman Vol. 1. No. 1, November 2009. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Litbang Departemen Kehutanan Hal ; 23-32. Auld G, Gulbrandsen LH, McDermott CL. 2008. Certification schemes and the impacts on forests and forestry. Annual Review of Environment and esources 33: 187-211. Bahruni. 2011. Conduct study and Analysis on Economic Incentive Framework of SFM as Important option for Forest Based Climate Change Mitigation-to Reduce Emission from and by tropical foriest. Jakarta: International Tropical Timber Organization. Bellassen V, Vincent. 2008. Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in Cameroon — Assessing costs and benefits. Ecological Economics 68 (2008) 336 – 344. Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass change of Tropical Forest. USA: A Primer FAO Forestry Paper No. 134. [CIFOR]. 2005. Carbon Brieft; Siklus Proyek Karbon Hutan dalam Mekanisme Pembangunan Bersih. Bogor, CIFOR. www.cifor.cgiar.org
90
[CIFOR]. 2009. SFM Contributions to REDD-plus at National Level. Singapura: CIFOR. www.cifor.cgiar.org [CIFOR]. 2010. Peliputan REDD+: sebuah panduan bagi jurnalis tentang peranan hutan dalam menghadapi perubahan iklim global. Bogor: CIFOR. www.cifor.cgiar.org Darusman D, Bahruni. 2004. Economic Analysis of Sustaineble Forest Management at Unit Management Level in Indonesia. ITTO Project No PD 42/00/REV.1 (F). Jakarta: ITTO dan APHI. Elias. 2002. Code Forest Harvesting and Reduced Impact Logging in Asia. IPB Press, Bogor. Elias. 2002. Percobaan Minimalisasi Kerusakan akibat Pemanenan Kayu. IPB Press, Bogor. Ginoga Kl, Lugina M. 2007. Biaya Transaksi dalam Perolehan Sertifikat Penurunan Emisi Mekanisme Pembangunan Bersih Kehutanan. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Nomor: 1(4): 93 – 119. [FSC]. Forest Stewardship Council. 2002. Increasing Access to FSC Certification for Small and Low Intensity Managed Forests, the SLIMFs initiative: a progress report. Forest Stewardship Council, Oaxaca, Mexico. Hairiah K, Van Noordwijk M, Sitompul SM and Palm C. 2001. Methods for Sampling Carbon Stocks Above and Below Ground. ASB Lecture Note 4B Bogor: ICRAF. Imai N, Samejima H, Langner A, Ong RC, Kita S, et al. (2009) Co-Benefits of Sustainable Forest Management in Biodiversity Conservation and Carbon Sequestration. PLoS ONE 4(12): e8267. doi:10.1371/journal.pone. 0008267 [IPCC] International Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan. [IPCC]. 2007. Climate Change 2007: The Physical Science Basis: Summary for Policymakers. http://www.ipcc.ch/pdf/assessmentreport/ar4/wg1/ar4-wg1spm.pdf. Junaedi A. 2007. Dampak Pemanenan Kayu dan Perlakuan Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) terhadap Potensi Kandungan Karbon dalam Vegetasi Hutan Alam Tropika (Tesis). Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian bogor. Kettering QM, Coe M, Van Noordwijk, Ambagau CA, Palm. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equations for pre dicting above-ground tree biomass in mixed secondary forests.Forest Ecology and Management. Elsevier.
91
Kollert W dan Lagan P. 2005. Do Certified Tropical Logs Fetch a Market Premium? A Comparative Price Analysis from Sabah, Malaysia. Kusmana C. 1993. A Study on Mangrove Forest Management Base on Ecological Data in East Sumatera, Indonesia [dissertation]. Japan: Kyoto University, faculty of Agricultural. Lasco RD. 2002. Forest Carbon Budget in Southeast Asia Following Harvesting and Land Cover Change. Science in China (series C) 45: 55 – 64. Malmsheimer RW, Hefferman S, Brink D, Crandall F, Deneke C, Galik E, Gee JA, Helm N, Mc Clure M, Mortimer, Ruddell M, Smith dan Stewart. 2008. Forest Management Solutions for Mitigating Climate Change in the Journal of Forestry 106 (3) p : 115-117 Society of American Foresters Task Force Report. Grosvenor Lane, Bethesda, Maryland USA. Meridian Institute. 2009a. Reducing emissions from deforestation and forest degradation: an options assessment report. Prepared for the Government of Norway by Angelsen A, Brown S, Loisel C, Peskett L, Streck C, Zarin D. http://www.REDD-OAR.org. Meridian Institute. 2009b. REDD+ institutional options assessment. Prepared for the Government of Norway by Streck C, Gomez-Echeverri L, Gutman P, Loisel C, Werksman J. http://www.REDD-OAR.org. Maness TC. 2009. Forest Management and Climate Change Mitigation: Good Policy Requires Careful Thought. Journal of Forestry 107 (3): 119-123. A Society of American Foresters.Grosvernor Lane,Bethesda, Maryland,USA. Mirbach VM. 2000. Carbon Budget Accounting at the Forest Management Unit Level: An Overview of Issues and Methods. http://www.modelforest.net. Murdiyarso D, Hairiah dan Van Noordjwik M. 1994. Modelling and measuring soil organics matter dynamics and greenhouse gas emission after forest conversion. Report of a workshop training course, Bogor: 8-15 Agustus 1994. Murdiyarso D. 2003. Protokol Kyoto Impilkasinya bagi Negara Berkembang. Jakarta: Kompas. Murdiyarso D, Herawati H, editor. 2005. Carbon Forestry: Who will benefit? Proceding of Workshop on Carbon Sequestration and Sustainable Livelihoods. Bogor, Indonesia: CIFOR. Ojima D, Asfawa W, Tedla A dan Atsedu M. 1996. Effect of Long-term Cultivation and grazing on Soil Carbon Storage and Plant Biomassa. A Simulation Approach to Two Case Studies from Ethiopia. The Environmental Profesional 18: 125 – 133. Pinard AM, Putz FE, Tay J and Sulivan TE. 1995. Creating Timber Harvest Guidelines for a Reduced Impact Logging. Project in Malaysia. Peer Reviewed. Repronted from the Journal of Forestry 93: 41 – 45.
92
Pirard R. 2005. Pulpwood Plantations as Carbon Sinks in Indonesia: Methological Challenge and impact on livelihoods. On Murdiyarso D dan Herawati H, editor. Carbon Forestry: Who Will Benefit? Proceedings of workshop on carbon sequestration and sustainable livelihoods. Bogor: Center for International Forestry Research. Putz FE, Sist P, Fredericksen T, Dykstra D. 2008. Reduced-impact logging: Challenges and opportunities. Forest Ecol Manage 256: 1427–1433 Rain Forest Alliance. 2009. FSC Certification Keeps Trees Standing and Forests Intact: Responsible Forestry Reduces Emissions. www.rainforestalliance.org Rainforest Coalition. 2008. Climate Change & DevelopmentReducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation. www.RainforestCoalition.org Rizon M. 2005. Profil Kandungan Karbon pada Setiap Fase Pengelolaan Lahan Hutan oleh Masyarakat menjadi Repong Damar [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Rosolono T. 2006. Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestry untuk Pengelolaan Hutan Milik Melalui Skema Perdagangan Karbon (disertasi). Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian bogor. Sasaki N, Yoshimoto A. 2010. Benefits of tropical forest management under the new climate change agreement—a case study in Cambodia. Environmental science & policy 13 (2010) 384 – 392 Smith J. 2002. Carbon Trading. Climate Change and The Kyoto Protokol: New Report Discovers, Carbon Trading to be Win-win Proposition For Poor Villangers, Big Business and for Slowing Climate Change. http://www.futureharvest.org/news/carbontrading Solichin. 2009. Pengukuran Emisi Karbon di Kawasan Hutan Rawa Gambut Merang. Palembang. http://merangredd.org/REDD/phocadownload/ Reports/Pengukuran%20Emisi%20Karbon%20di%20HRGM.pdf Solichin, Riyanto B. 2010. Pengukuran Karbon di Kawasan Hutan Produksi melalui IHMB. http://www.google.co.id/search?hl=id&client=firefoxa&hs=S2U&rls=org.mozilla%3AenUS%3Aofficial&channel=s&q=solichin+I HMB+perhitungan+karbon+&btnG=Telusuri&aq=f&aqi=&aql=&oq=&gs_rf ai Steen N. 2002. UK Carbon Emissions Prices Rice as trade Picks Up. http://agribisnis.ieta.org/Library_Link/IETAEnvNews/May_Jul02/Jun_UK.h tm Suhendang E. 2002. Pengantar Kehutanan. Bogor. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Thomson T. 2008. Forestry and Climate Change (Commentary). Journal of Forestry 106 (3) : 113. A Society of American Foresters Task Force Report. Grosvernor Lane, Bethesda. Maryland, USA .
93
Tigor B. 2009. Inovasi Manajemen Kehutanan untuk Solusi Perubahan Iklim di Indonesia (Forestry Management Inovations for Climate Change Solutions in Indonesia. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 6 No. 2, Agustus 2009 : 121 – 129. Utami SD. 2007. Analisis Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan di Hutan Bekas Tebangan dan Hutan Primer di Areal IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber Kalimantan Tengah (Skripsi). Bogor: Departemen Manajemen Hutan Institut Pertanian Bogor. Van der Werf GR, Morton DC, De Fries RS, Olivier JGJ, Kasibhatla PS, Jackson, RB, Collatz GJ, Randerson JT, 2009. CO 2 emissions from forest loss. Nat. Geosci. 2, 737–738. Whitmore T.C. 1985. Tropical Rain Forest of The Far East New York Oxford. University Press.
94
LAMPIRAN
95
Lampiran 1 Wood Density yang digunakan dalam penelitian Jenis
Nama ilmiah
Famili
WD
Agathis Balau Banitan
Agathis borneensis Shorea elliptica
Araucariaceae Dipterocarpaceae
Mezzettia parviflora Shorea laevis Scorodocarpus bornensis Phetrospermum sp. Shorea kunstleri
Annonaceae Dipterocarpaceae Olacaceae
0,47 0,90 0,60 0,91 0,9 0,54 0,82
Guttiferaceae
Binuang Bunyu
Callophyllum inophyllum Octomeles sumatrana Miq Santiria grififiti
Datiscaceae Burseraceae
0,69 0,33 0,75
Draya
Myiristica maxima
Myristicaceae
0,47
Durian
Durio zibethinus Gonystylus sp. Syzygium inophyllum Cratoxylon arborescens
Bombacaceae
Annonaceae
0,52 0,65 0,67 0,47 0,65
Apocynaceae
0,43
Guttiferaceae
0,76 0,63 0,51 0,42 0,59 0,95 0,86 0,80 0,47 0,92 0,45
Bangkirai Bawang Bayur Benuas/sarangan batu Bintangur
Gandis Gelam tikus Gerunggang Jangkang Jelutung Kapur naga Kedondong Kelapih Kelampai Kelungkung Kempas Keranji Keruing Kumpang Lambin Lampung behas Lanying Mahang Mahawai Medang Manggis Hutan Melalin Menjalin Meranti batu Meranti kuning Meranti merah
Xylopia malayana Hook f. Et.Th. Dyera costulata Miq. Calophyllum pulcherrimum Pentaspadon motleyi Shorea johorensis Anthocepalus chinensis Shorea ovalis Koompassia malaccensis Dialium plathycephalum Dipterocarpus sp. Myristica sp. Tarrietia riedeliana Shorea parvifolia Shorea pinanga Macaranga sp. Mezettia sp. Alseodaphne sp. Garcinia celebica Madhuca betiodes Xanthophylum execelsum Shorea foxworthyi Shorea faguetiana Shorea leprosula Miq.
Sterculiaceae Dipterocarpaceae
Guttiferaceae Myrtaceae Guttiferaceae
Anacardiaceae Dipterocarpaceae Moraceae Dipterocarpaceae Fabaceae Leguminosae Dipterocarpaceae Myristicaceae Sterculiaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Annonaceae Lauraceae Guttiferae Sapotaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae
0,42 0,47 0,66 0,63 0,89 0,71 0,83 0,94 0,57 0,52
96
Jenis
Nama ilmiah
Famili
WD
Meranti putih Merijang Mersawa Merumbung Nyatoh
Shorea bracteolata
Dipterocarpaceae Leguminosae Dipterocarpaceae Dipterocarpaceae Sapotaceae
0,66 0,66 0,61 0,50 0,71
Dipterocarpaceae Thymelaceae
0,90
Pangin Pala
Sindora leiocarpa Anisoptera costata Korth Shorea smithiana Palaquium sp. Shorea elliptica
Pampaning
Gonystylus velutinus Quercus paculipormis
Papisangan Pasak bumi Pelawan Penguan Perupuk Pulai Putat Rambutan Hutan Ramin Rengas Resak Samuleng Sarangan batu Selumbar Simpur Sindur Siwao Tamias Tengkawang Terap Tumeh Ubar Ulin
Fagaceae
0,56 0,72
Polyalthia rumphii
Annonaceae
0,74
Eurycoma longifolia
Simaburaceae
0,57
Tristaniopsis maingayi Alseodaphne bancana
Myrtaceae
1,09 0,66
Lophopetalum sp. Alstonia sp. Baringtonia racemosa Nephelium sp. Gonystylus bancanus
Celastraceae
Melanorhoe walichii Vatica rassak Korth Blume
Anacardiaceae
Barringtonia sp. Shorea kunstleri
Barringtoniaceae
Lauraceae Apocynaceae Baringtoniaceae Sapindaceae Guttiferaceae Dipterocarpaceae
Arthocarpus elasticus Combretocarpus rotundatus
Dipterocarpaceae Myrtaceae Dilleniaceae Leguminosae Sapindaceae Melastomataceae Dipterocarpaceae Moraceae nisophylleaceae
Syzygium sp. Eusyderoxylon zwageri
Myrtaceae Lauraceae
Syzygium sp. Dillenia sp. Sindora velutina JG Baker Nephelium mutabile Memecylon steenis Shorea stenoptera Burck
Sumber: Atlas kayu dan wood density database (www.icraf.org/sea)
0,45 0,34 0,54 0,75 0,63 0,66 0,60 0,71 0,82 0,63 0,8 0,66 0,75 0,83 0,49 0,43 0,71 0,63 1,04
97
Lampiran 2 Target dan realisasi produksi IUPHHK A1 Target Tebangan
Tahun Penebangan
Luas(ha)
1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989
Realisasi produksi 3
3
Luas(ha)
2.300 4.600 2.450 2.900 3.100 1.800 3.300 3.900 3.900
Volume (m ) 133.000 300.000 100.000 180.000 130.000 110.000 140.000 153.000 105.000
1.329,00 2.394,00 2.332,00 1.816,00 2.410,00 1.722,00 3.006,00 3.900,00 3.100,00
Volume (m ) 60.361,00 118.797,00 91.050,00 76.845,00 56.019,00 66.819,24 96.648,62 115.814,40 988.95,25
1990 1991 1992 1993 1994 1995
3.500 2.700 2.200 3.900 3.650 5.700
125.000 165.000 132.500 160.000 139.179 182.046
3.019,00 2.305,59 1.833,60 3.343,00 2.965,00 5.221,00
120.392,64 137.134,01 119.889,88 156.346,98 137.027,82 176.052,36
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 Rata-rata A1 Rata-rata (m3/ha)
4.816 4.600 4.766 6.394 7.384 5.619 5.415 4.107
139.500 210.000 220.000 273.202 262.535 186.000 171.151 166.592
3.181,00 2.345,00 2.411,00 2.826,00 2.660,00 2.490,00 3.201,00 2.803,07
122.494,55 109.027,73 106.797,35 108.111,65 129.295,68 126.840,58 159.990,72 113.028,11
40,56
Sumber: Laporan RKT IUPHHK A tahun 2010 dan pengolahan data
40,32
98
Lampiran 3 Target dan realisasi produksi IUPHHK A2 Tahun Penebangan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata A2 Rata-rata (m3/ha)
Target Tebangan
Realisasi produksi 3
Luas(ha)
2.955 4.273 3.360 4.920 5.582 5.563
Volume (m ) 125.897 170.682 155.011 225.643 241.229 260.251
4.442
196.452
3.564,61
Luas(ha)
44,22
2.249,00 2.551,49 3.284,57 4.307,68 4.856,00 4.138,94
3
Volume (m ) 109.148,26 129.713,61 134.332,45 181.613,50 199.499,53 214.925,71
161.538,84 45,32
99
Lampiran 4 Target dan realisasi produksi IUPHHHK B Tahun
Target tebangan Luas (ha)
Realisasi produksi 3
Produksi (m )
Luas (ha)
3
Produksi (m )
1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
1.000 1.000 2.000 2.300 1.360 1.400 1.650 1.400 1.400 1.600 1.200 1.200 1.400 1.400 1.400 1.400 1.100 1.000 1.400 1.200 2.400 1.000 1.300 1.910 1.100 1.000 850 900 800 1.000 840 1.000 1.000
90.000 110.000 100.000 45.000 50.000 50.000 82.000 62.000 63.000 69.000 44.000 44.000 67.000 67.000 80.000 100.000 100.000 60.000 61.000 52.000 70.497 45.200 49.830 86.000 66.000 80.500 31.300 53.120 24.500 21.120 21.863 20.000 17.000
1.000 1.059 801 2.225 1.360 1.200 1.200 1.200 1.100 1.400 1.200 1.200 1.000 1.200 1.400 1.100 700
83.368,00 108.857,00 49.417,00 44.382,00 44.134,00 47.179,23 48.989,81 12.474,75 21.013,34 42.133,63 18.083,81 28.092,55 34.685,00 54.618,14 79.860,31 58.659,40 60.180,31
910 1.365 1.070 1.700 991 894 899 790 679 440 798 372 631 353 905 790
51.327,54 60.942,02 45.961,66 70.454,68 43.565,32 38.380,32 52.612,28 45.570,71 59.167,13 18.739,42 31.800,13 11.730,01 13.163,83 9.747,58 18.862,97 14.966,74
2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
1.350 1.400 2.200 2.200 2.100 1.373
27.000 30.000 29.000 29.300 25.000 55.874
1.350 1.120 2.000 2.150 2.035 1.121
27.000,00 20.546,86 29.519,00 28.280,60 22.760,58 40.821,78
100
40,71 Rata-rata (m3/ha) Sumber: Laporan RKT IUPHHK B tahun 2010 dan pengolahan data
36,42
Lampiran 5 Pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A1 tahun 2001 dan 2002
Tahun
2001
2002
Kelompok Kelompok Meranti Kelompok Rimba Campuran Kelolmpok Kayu Indah Jumlah Kelompok Meranti Kelompok Rimba Campuran Kelolmpok Kayu Indah Jumlah
Pohon tersedia (m3) 314.543,75 17.031,67 3.908,92 335.484,34 154.124,87 8.342,72 1.915,38 164.382,97
Pohon di panen (m3) 124.942,31 808,40 1.089,87 126.840,58 157.759,37 1.445,4 785,95 159.990,72
Sumber: Laporan tahunan perusahaan dan laporan RKT IUPHHK A
Lampiran 6 Pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK A2 tahun 2007, 2008 dan 2009 Tahun Kelompok
2007
2008
2009
Kelompok Meranti Kelompok Rimba Campuran Kelolmpok Kayu Indah Jumlah Kelompok Meranti Kelompok Rimba Campuran Kelolmpok Kayu Indah Jumlah Kelompok Meranti Kelompok Rimba Campuran Kelolmpok Kayu Indah Jumlah
Pohon tersedia (m3) 138.027,10 245.677,15 2.698,59 386.402,84 344.790,74 53.056,11 7.652,84 405.499,69 363.304,21 51.975,93 5.465,07 420.745,20
Sumber: Laporan tahunan perusahaan dan laporan RKT IUPHHK A
Pohon dipanen (m3) 137.605,06 41.062,27 2.946,17 181.613,50 156.634,28 39.908,79 2.956,46 199.499,53 194.775,23 17.276,29 2.874,19 214.925,71
101
Lampiran 7 Pohon tersedia dan pohon dipanen IUPHHK B Tahun
2007
2008
2009
Kelompok Kelompok Meranti Kelompok Rimba Campuran Kelolmpok Kayu Indah Jumlah Kelompok Meranti Kelompok Rimba Campuran Kelolmpok Kayu Indah Jumlah Kelompok Meranti Kelompok Rimba Campuran Kelolmpok Kayu Indah Jumlah
Pohon tersedia (m3) 52.655,89 3.509,23 56.165,12 43.805,30 2.235,13 34,29 46.074,72 67.371,83 1.875,16 248,05 69.495,04
Pohon dipanen (m3) 28.945,15 573,85 29.519,00 27.375,46 905,14 0 28.280,60 22.301,97 458,61 0 22.760,58
Sumber: Laporan tahunan perusahaan dan laporan RKT IUPHHK B
Lampiran 8 Persentase biaya, pendapatan dan keuntungan pengelolaan hutan alam produksi IUPHHK A1 dan IUPHHK B terhadap IUPHHK A2 Komponen (Rp/tahun) (Rp/m3) (Rp/tahun) Pendapatan (Rp/m3) (Rp/tahun) Keuntungan (Rp/m3) Biaya
IUPHHK A1 (%) 60 87 66 93 133 187
IUPHHK A2 (%) 100 100 100 100 100 100
IUPHHK B (%) 15 107 14 103 10 72
Sumber: Laporan tahunan perusahaan dan laporan RKT IUPHHK A
Lampiran 9 Tutupan lahan IUPHHK A1 Tutupan lahan (ha) Hutan primer Hutan bekas tebangan Tidak berhutan Total
1998 61.976 119.415 22.809 204.200
1999 55.771 125.621 22.809 204.200
2001 35.439 145.952 22.809 204.200
Sumber: Laporan tahunan perusahaan dan laporan RKT IUPHHK A
Lampiran 10 Tutupan lahan IUPHHK A2 Tutupan lahan (ha) Hutan primer Hutan bekas tebangan Tidak berhutan
2005 15.425 159.892 41.263
2006 14.503 160.814 41.263
2007 13.703 161.614 41.263
102
216.580
Total
216.580
216.580
Sumber: Laporan tahunan perusahaan dan laporan RKT IUPHHK A
Lampiran 11 Tutupan lahan IUPHHK B Tutupan lahan (ha) Hutan primer Hutan bekas tebangan Tidak berhutan Total
2000 23.730
2003 8.748
2005 6.809
2009 5.322
57.840
69.345
70.621
71.990
10.905 92.475
14.382 92.475
15.045 92.475
15.163 92.475
Sumber: Laporan tahunan perusahaan dan laporan RKT IUPHHK B
Lampiran 12 Potensi tegakan pada IUPHHK A IUPHK A Hutan primer Hutan bekas tebangan
Pohon N V 275 298
Tiang N V 440 51,60
Pancang N V 3280 23,23
Semai N 91.000
325
480
3200
38.500
238
33,14
21,03
Lampiran 13 Potensi tegakan hutan IUPHHK B Tahun tebangan
Pohon
Hutan Primer
N/ha 432
Hutan bekas tebangan 2007 2009 Rata-rata
218 208 213
Tiang V/ha 668 574,5 500,34 537,42
Pancang
N/ha 633
V/ha 102
367 333 350
60,03 51,31 55,67
N/ha 3.667 3.610 3.657 3.633
Semai V/ha 15
N/ha 34.583
15,91 13,11 14,51
37.083 43.751 40.417
103
Lampiran 14 Perhitungan simpanan biomassa kegiatan produksi berdasarkan perhitungan beda persentase a.
Simpanan dari kegiatan pemanenan: pohon tersedia dan pohon dipanen
Persentase pohon tersedia, pohon dipanen dan tegakan tinggal IUPHHK A1 IUPHHK A2 IUPHHK B (%/tahun) (%/tahun) (%/tahun) Pohon tersedia 100,00 100,00 100,00 Pohon di panen 65,20 48,35 49,07 Tegakan tinggal 34,80 51,65 50,93 Perbedaan persentase simpanan biomassa tegakan tinggal IUPHHK A2-1 A2-B
Beda simpanan biomassa (%/tahun) 16,85 0,72
Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 berdasarkan perbedaan persentase simpanan tegakan tinggal IUPHHK A2-1 A2-B b.
Reduksi biomassa (ton/tahun) 79.687 3.397
Reduksi karbon (ton/tahun) 39.844 1.698
Reduksi CO 2 (ton/tahun) 146.226 6.233
Simpanan biomassa, karbon dan CO 2 dari penurunan kerusakan tegakan tinggal
Persentase kerusakan tegakan tinggal pada metode pemanenan konvensional dan RIL Tingkat vegetasi Pohon Tiang Pancang Semai
Konvensional (%) 40,42 40,42 34,93 33,47
RIL (%) 19,08 19,08 19,59 17,65
Beda kerusakan (%) 21,34 21,34 15,34 15,82
Sumber: Elias, 2002
Simpanan biomassa, karbon dan CO 2 berdasarkan beda persentase kerusakan tegakan tinggal Tingkat vegetasi Pohon Tiang Pancang Semai Total
Reduksi Reduksi biomassa kerusakan (%) (ton/tahun) 21,34% 50.526 21,34% 6.622 15,34% 2.770 15,82% 128 20,95% 60.046
Reduksi karbon (ton/tahun) 25.263 3.311 1.385 64 30.023
Reduksi karbon C (ton/tahun) 92.715 12.151 5.083 236 110.185
104
Lampiran 15 Simpanan biomassa, karbon dan CO 2 kegiatan perlindungan hutan berdasarkan persentase laju degradasi hutan Biomassa yang hilang akibat degradasi hutan Biomassa hilang akibat degradasi hutan Biomassa yang hilang (ton/tahun) Biomassa yang hilang (%/tahun) Biomassa yang hilang (ton/ha/tahun)
IUPHHK A1
IUPHHK A2
IUPHHK B
845.936
88.971
939.806
1,26
0,15
1,35
3,91
0,41
4,34
Perbedaan persentase biomassa yang hilang akibat degradasi hutan IUPHHK A2-1 A2-B
Beda kehilangan biomassa (%) 1,11 1,20
Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 kegiatan perlindungan hutan berdasarkan persentase. IUPHHK A2.1 A2.2
Reduksi biomassa (ton/tahun) 674.731,92 729.403,19
Reduksi karbon (ton/tahun) 337.365,96 364.701,60
Reduksi CO 2 (ton/tahun) 1.238.133,08 1.338.454,86
105
Lampiran 16 Simpanan biomassa, karbon dan CO 2 kegiatan penanaman berdasarkan persentase penanaman Jumlah dan biomassa kegiatan penanaman Jumlah penanaman (batang/tahun) 275.999 720.338 55.200
IUPHHK A1 A2 B
Biomassa penanaman (ton/tahun) 0,978 2,544 0,195
Perbedaan persentase biomassa penanaman IUPHHK
Beda biomassa penanaman (%) 61,54 92,34
A2-1 A2-B
Perbedaan simpanan biomassa, karbon dan CO 2 kegiatan penanaman IUPHHK A2-1 A2-B
Biomassa (ton/tahun) 1,57 2,33
Karbon (ton/tahun) 0,78 1,16
CO 2 (ton/tahun) 2,87 4,27
Lampiran 17 Total simpanan biomassa, karbon dan CO 2 berdasarkan persentase Total simpanan biomassa, karbon dan CO 2 IUPHHK Biomassa (ton/tahun) Karbon (ton/tahun) A2-1 814.467 407.234 A2-B 792.849 396.424
CO 2 (ton/tahun) 1.494.547 1.454.877
Total reduksi biomassa, karbon dan CO 2 berdasarkan persentase IUPHHK A2-1 A2-B
Total reduksi (%/tahun) 1,35 1,31
Reduksi biomassa (ton/ha/tahun) 3,76 3,66
Reduksi karbon (ton/ha/tahun) 1,88 1,83
Reduksi CO 2 (ton/ha/tahun) 6,90 6,72
106
Lampiran 18 Biaya, penerimaan dan insentif finansial REDD+ berdasarkan perhitungan persentase simpanan biomassa, karbon dan CO 2 Biaya oportunitas Biaya oportunitas (Rp/tahun) A2-1 A2-B 39.797.793.779 (5.077.372.366) Biaya transaksi berdasarkan perhitungan persentase Alternatif biaya transaksi ($/tCO 2 ) 0,03 0,63 1,23
A2-1 (Rp/tahun)
A2-B (Rp/tahun)
398.147.351 8.361.094.372 16.324.041.393
387.579.336 8.139.166.057 15.890.752.778
Biaya total mengikuti REDD+ A2-1 (Rp/tahun) 40.195.941.130 48.158.888.151 56.121.835.172
A2-B (Rp/tahun) (4.689.793.030) 3.061.793.691 10.813.380.412
Penerimaan dari kompensasi simpanan CO 2 Harga kompensasi simpanan CO 2
IUPHHK
$6 (Rp 53.280,-)
$9 (Rp 79.920,-)
$12 (Rp 106.560,-)
A2-1
79.629.470.208
119.444.205.312
159.258.940.416
A2-B
77.515.867.209
116.273.800.813
155.031.734.417
Insentif finansial dari REDD+ IUPHHK
A2-1
A2-B
Harga kompensasi $6 (Rp 53.280,-)
$9 (Rp 79.920,-)
$12 (Rp 106.560,-)
39.433.529.078
79.248.264.182
119.062.999.286
31.470.582.057
71.285.317.161
111.100.052.265
23.507.635.036
63.322.370.140
103.137.105.244
82.205.660.238
120.963.593.842
159.721.527.447
74.454.073.517
113.212.007.122
151.969.940.726
66.702.486.796
105.460.420.401
144.218.354.005
Titik impas mengikuti REDD+ A2-1 (Rp/tCO 2 ) 26.895 32.223
A2-B ($/tCO 2 ) 3,03 3,63
(Rp/tCO 2 ) (3.223) 2.105
($/tCO 2 ) (0,36) 0,24
107
37.551
4,23
7.433
0,84
Lampiran 19 Kelompok pohon pada IUPHHK A Kelompok kayu dilindungi Asam Doho Durian Manggis Pantung Rambutan Ramin Bukit Tengkawang Ulin
Kelompok Meranti Agathis Bangkirai Benuas Keruing Meranti Batu Meranti Kuning Meranti Merah Meranti Putih Mersawa Nyatoh Pulai
Kelompok Rimba campuran Bawang Bayur Bintangur Binuang Bunyu Cemara Cempedak Gandis Gelam Gembor Geronggang Jabon Jangkang Kaja Kapul Kedondong Kelampai Kempas Keramu Keranji Kumpang Mahang Mahawai Medang Menjalin Merpayang Pelawan Pempaning Petai Selumbar Simpur Terap Ubar
Kelompok kayu indah Rengas Sindur
108
Lampiran 20 Kelompok pohon pada IUPHHK B Kelompok kayu dilindungi Tengkawang Jelutung
Kelompok Meranti Bangkirai Keruing Lambin Meranti Meranti Batu Mersawa Merumbung Nyatoh Perupuk Resak Sarangan Batu
Kelompok Rimba campuran
Kelompok kayu indah
Kapur Naga Kempas
Sindur Ulin
109
Lampiran 21 Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pohon pada IUPHHK A tahun 2011 Jenis pohon Benuas Bunyu Kedondong Kayu bawang Kempas Mahang Medang Meranti kuning Meranti merah Mersawa Nyatoh Pampaning Penguan Putat Resak Rengas Merumbung Selumbar Simpur Sindur Tarap Ubar Ulin Total
Volume (m3/ha) 42,918 5,940 2,522 3,845 31,234 4,091 22,109 14,973 42,030 33,077 11,977 9,120 5,460 4,227 5,300 0,975 5,751 2,468 12,257 1,983 3,573 28,296 4,321 298,446
Biomassa (ton/ha) 61,24 9,41 2,76 6,02 51,63 3,35 24,24 14,85 38,03 35,11 14,80 11,43 6,27 3,97 5,53 1,12 5,00 2,71 17,06 2,28 2,67 31,02 7,82 358,30
110
Lampiran 22 Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pohon pada IUPHHK A tahun 2011 Jenis pohon Bangkirai Bunyu Kedondong Kelampay Kempas Kumpang Kuranji Mahawai Medang Menjalin Meranti batu Meranti kuning Meranti merah Mersawa Pampaning Rengas Kelapih Kelungkung Merumbung Selumbar Sindur Siwao Tengkawang Ubar Total
Volome (m3/ha) 4,116 18,080 16,155 1,256 44,525 3,085 1,000 4,214 6,187 2,210 1,440 28,762 21,680 5,435 12,055 5,519 3,632 4,375 4,884 4,421 1,310 0,970 23,309 19,630 238,249
Biomassa(ton/ha) 6,52 23,59 17,71 0,92 73,60 2,52 1,50 4,84 6,78 3,19 2,36 28,53 19,62 5,77 15,10 6,34 3,22 4,49 4,25 4,85 1,50 1,27 19,87 21,52 279,849
111
Lampiran 23 Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat tiang pada IUPHHK A tahun 2011 Jenis Bunyu Kedondong Kelungkung Keruing Mahawai Medang Merantikuning Merantimerah Pampaning Rasak Ubar Total
Volume(m3/ha) 1,318 8,111 2,256 4,153 1,029 16 3,399 3,867 0,205 2,372 8,886 51,597
Biomassa (ton/ha) 1,72 8,89 2,32 5,78 1,18 17,54 3,37 3,50 0,26 2,48 9,74 56,775
Lampiran 24 Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat tiang pada IUPHHK A tahun 2011 Jenis Bunyu Kedondong Kumpang Mahang Mahawai Sindur Medang Meranti kuning Meranti merah Rasak Simpur Ubar Total
Volume(m3/ha) 7,429 0,406 2,866 1,304 3,231 1,055 2,563 3,032 3,883 3,474 3,312 0,580 33,136
Biomassa (ton/ha) 9,695 0,445 2,343 1,067 3,710 1,212 2,810 3,007 3,513 3,628 4,610 0,635 36,676
112
Lampiran 25 Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pancang pada IUPHHK A tahun 2011 Jenis Banitan Bunyu Durian Keruing Kuranji Madang Mahawai Meranti kuning Merumbung Pangin Rambutan Sindur Tamias Tarap Ubar Total
Volume (m3/ha) 2,307 0,414 0,114 0,344 1,446 3,328 2,065 0,722 0,119 0,048 0,602 0,801 1,908 3,500 5,513 23,231
Biomassa (ton/ha) 2,41 0,54 0,10 0,48 2,16 3,65 2,37 0,72 0,10 0,08 0,79 0,92 2,76 2,62 6,04 25,73
Lampiran 26 Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pancang pada IUPHHK A tahun 2011 Jenis Banitan Bunyu Galam tikus Meranti batu Kedondong Kumpang Madang Mahawai Menjalin Meranti kuning Penguan Putat Rambutan Rangas Rasak Sindur Ubar Ulin
Volume (m3/ha) 2,047 1,068 0,033 2,568 0,129 1,603 3,743 0,741 2,920 0,131 0,451 1,607 0,130 0,131 0,281 0,999 2,226 0,224
Biomassa (ton/ha) 2,14 1,39 0,04 4,20 0,14 1,31 4,10 0,85 4,22 0,13 0,52 1,51 0,17 0,15 0,29 1,15 2,44 0,41
113
Total
21,034
25,16
Lampiran 27 Jenis tingkat semai pada hutan primer IUPHHK A tahun 2011 Jenis tingkat semai Banitan Bunyu Gaharu Gandis Kayu batu Kopihutan' Kumpang Kuranji Madang Mahawai Mangkokan Merantikuning Merantimerah Penguan Plantonia Rangas Rasak Tengkawang Ubar Total
Jumlah (batang/ha) 1000 2000 500 500 500 1000 2000 500 2000 1000 500 12000 3500 1000 500 5500 500 500 3500 38500
Lampiran 28 Jenis tingkat semai pada hutan bekas tebangan IUPHHK A tahun 2011 Jenis tingkat semai Agathis Binuas Bunyu Gaharu Kempas Keruing Mahawai Merantimerah Podocarpus Rangas S.leprosula S.ovalis Tamias Ubar
500 77000 1000 500 1500 500 500 2500 500 1000 1000 2500 500 1500
114
Total
91000
Lampiran 29 Potensi tegakan dan biomassa tingkat semai IUPHHK A tahun 2011 Biomassa semai Hutan primer Hutan bekas tebangan
Jumlah (batang/ha) 91.000 38.500
Biomassa (ton/ha) 0,89 1,04
Lampiran 30 Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pohon pada IUPHHK B tahun 2011 Jenis Bangkirai Gerunggang Kempas Keruing Lambin Lampung behas Melalin Meranti batu Meranti kuning Meranti merah Meranti putih Merijang Merong Mersawa Nyatoh Palawan merah Rasak Samuleng Sindur Tumeh Total
Volume (m3/ha)
Biomassa (ton/ha)
32,190 3,997 74,459 246,931 11,221 25,488 28,550 40,425 38,950 9,677 63,306 11,312 5,218 3,312 14,361 23,855 11,742 8,910 11,312 2,458 667,674
50,970 3,269 123,081 343,728 17,963 19,957 35,271 66,119 38,631 8,756 72,700 12,990 5,902 3,515 17,742 39,432 12,258 11,008 12,990 3,037 899,32
115
Lampiran 31 Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pohon pada IUPHHK B tahun 2011 Jenis Bangkirai Kempas Keruing Lambin Lampung behas Melalin Meranti batu Meranti kuning Meranti putih Mersawa Nyatoh Papisangan Rasak Salumpeng Total
Volume (m3/ha) 17,174 20,286 261,218 9,646 1,666 11,553 70,915 3,429 41,103 12,378 17,050 2,086 31,629 18,739 518,872
Biomassa (ton/ha) 27,193 33,532 363,615 15,442 1,304 14,273 115,989 3,401 47,203 13,138 21,063 2,432 33,020 23,150 714,756
Lampiran 32 Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat tiang pada IUPHHK B tahun 2011 Jenis Bangkirai Draya Kempas Keruing Lampung behas Melalin Meranti merah Meranti putih Merumbung Pampaning Rangas Resak Sarangan batu Total
Volume (m3/ha)
Biomassa (ton/ha)
14,503 0,870 4,609 3,406 6,179 12,190 3,540 11,430 9,426 8,006 6,867 19,643 1,059 101,728
22,964 0,711 7,619 4,741 4,838 15,060 3,203 13,126 8,200 10,030 7,886 20,507 1,511 120,397
116
Lampiran 33 Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat tiang pada IUPHHK B tahun 2011 Jenis Kempas Keruing Lanying Melalin Meranti batu Meranti kunig Meranti putih Merong Salumpeng Total
Volume (m3/ha)
Biomassa (ton/ha)
7,844 18,226 1,870 3,673 12,441 2,044 3,351 3,109 3,109 55,667
12,9656 25,3702 1,3668 6,0069 12,3389 1,8498 3,8479 3,5165 3,8411 71,1038
Lampiran 34 Potensi tegakan dan biomassa hutan primer tingkat pancang pada IUPHHK B tahun 2011 Jenis Bangkirai Draya Gandis Keruing manggis hutan Melalin meranti batu meranti putih Mersawa Merumbung pala Pampaning pasak bumi putat Rangas Salumpeng Siwao Tamias Tumeh Total
Volume (m3/ha) 2,9767 2,1067 1,3000 0,7058 1,8200 2,1720 0,1780 0,9667 0,8613 0,0388 0,6667 0,5333 2,8267 0,2667 2,1333 0,4533 0,5200 6,3598 1,0667 27,9523
Biomassa (ton/ha) 4,7133 1,7228 1,4703 0,9824 2,8185 2,6833 0,2911 1,1101 0,9142 0,0338 0,6496 0,6682 2,8035 0,2506 2,4499 0,5600 0,6786 9,1848 1,3178 35,303
117
Lampiran 35 Potensi tegakan dan biomassa hutan bekas tebangan tingkat pancang pada IUPHHK B tahun 2011 Jenis Draya Gandis Ubar Keruing Mahang Meranti batu Meranti kuning Meranti putih Mersawa Merumbung Pasak bumi Putat Salumpeng Tumeh Total
Volume (m3/ha) 1,580 0,867 0,600 0,353 0,664 1,246 0,580 1,573 2,584 0,155 1,413 1,600 0,227 1,067 14,509
Biomassa (ton/ha) 1,292 0,980 0,658 0,491 0,543 2,038 0,575 1,807 2,743 0,135 1,402 1,503 0,280 1,318 15,765
Lampiran 36 Jenis tingkat semai pada hutan primer IUPHHK B tahun 2011 Jenis semai Bangkirai gandis keruing kelapih Lampung Behas pala Pala Pampaning pasak bumi putat rangas rasak Tamias tepus tumeh Total
Jumlah (batang.ha) 15.833 1250 417 3.750 1250 417 7.083 833 417 833 417 833 833 417 417 34583
118
Lampiran 37 Jenis tingkat semai pada hutan bekas tebangan IUPHHK B tahun 2011 Jenis semai bangkirai gandis kelapih keruing macaranga gigantea mahang manggis mcaranga sp. meranti batu mersawa merumbung pampaning putat salumpeng Total
Jumlah (batang/ha) 2.500 3.750 2.917 5.000 1.667 833 1.250 5.833 5.417 1.667 833 833 6.667 1.250 40.417
Lampiran 38 Potensi tegakan dan biomassa tingkat semai IUPHHK B tahun 2011 Biomassa semai Hutan primer Hutan bekas tebangan
Jumlah (batang/ha) 34.583 40.417
Biomassa (ton/ha) 0,29 1,29