INFORMASI
MERAH PUTIH
INSA
PASTI BISA
Untuk Kejayaan Pelayaran Nasional
DITERBITKAN : DPP INSA PENANGGUNGJAWAB : DPH INSA EDISI : 005/II/2016, Februari 2016
Sektor Offshore Migas Perlu Insentif
INSA Desak Pelonggaran Kebijakan Transaksi Rupiah
istimewa
Pelayaran anggota INSA telah mengajukan keberatan kepada Bank Indonesia (BI) tentang kebijakan penggunaan mata uang Rupiah di sektor angkutan offshore migas. JAKARTA—Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) meminta Pemerintah tidak memaksakan pelaksanaan kebijakan penggunaan mata uang rupiah di sektor penunjang operasi lepas pantai di tengah lesunya bisnis minyak dan gas di Indonesia. Wakil Ketua Umum INSA Sugiman Layanto mengatakan kondisi saat ini telah terjadi over supply terhadap kapal-kapal penunjang operasi lepas pantai (offshore) Indonesia sehingga jumlah kapal yang menganggur (laid up) meningkat. Dia menjelaskan kapal-kapal yang menganggur tersebut tidak bekerja atau tanpa kontrak dengan populasi yang terus bertambah setiap bulan. “Kondisi pelayaran khususnya anggota INSA yang telah berinvestasi di bidang ini sangat sulit dan kritis,” katanya kepada INFO INSA.
Dia menjelaskan jika kebijakan tersebut tetap dipaksakan, industri pelayaran sektor offshore akan semakin berat bahkan berpotensi gulung tikar. “Kredit macet akan meningkat secara signifikan karena factor mismatch antara pendapatan dan pinjaman,” tegasnya. Untuk merespon masalah tersebut, INSA telah melayangkan surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Surat No. DPP-SRT-1215037 tertanggal 16 Desember 2015 tersebut langsung diteken Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto. Surat tersebut merujuk kepaada Peraturan Bank Indonesia No. 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban untuk Menggunakan Rupiah dalam Semua Transaksi di Indonesia. Aturan ini berlaku sejak 1 Juli 2015.
Sejauh ini, INSA telah mengajukan keberatan kepada Bank Indonesia, khususnya terhadap kontrak jasa sewa kapal (marine vessel service) pada kegiatan usaha hulu dan hilir minyak dan gas yang juga diwajibkan transaksi menggunakan rupiah. INSA meminta dukungan Pemerintah dengan memberikan keringanan agar sektor pelayaran penunjang offshore minyak dan gas dapat bertahan di saat yang sulit ini. “Jika kebijakan tersebut tetap dijalankan, sektor angkutan offshore migas akan terpuruk lebih dalam lagi,” ujar Sugiman. Untuk diketahui, guna mendukung Pemerintah dalam menerapkan kebijakan nasional asas cabotage pada kegiatan angkutan laut dalam negeri sesuai dengan UU No/17 tahun 2008 tentang Pelayaran, para pemilik kapal anggota INSA telah melakukan investasi secara massif di bidang pengadaan kapal offshore dan angkutan cair, gas bahkan tanker. Bersambung ke hal 2...................
TERAS INSA
2
istimewa
Dari Halaman 1 Dengan investasi tersebut, saat ini sebagian besar kegiatan angkutan minyak dan gas dalam negeri maupun kegiatan eksplorasi, eksploitasi minyak dan gas offshore telah menggunakan kapal-kapal berbendera Merah Putih dari sebelumnya dikuasai kapal asing. Mengingat nilai investasi kapal-kapal tersebut sangat tinggi, maka semua pengadaan kapal jenis ini harus didukung dengan pinjaman perbankan dan dilakukan dengan menggunakan mata uang US$ dengan jangka waktu antara lima hingga delapan tahun. Di sisi lain, penurunan harga minyak dunia yang sangat drastis pada akhir tahun lalu berdampak terhadap penundaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sebagian besar kegiatan hulu minyak dan gas bumi. “Bahkan sebagian sudah dihentikan karena cost of production lebih tinggi dibandingkan harga jual produk,” ujar Sugiman. Terhadap masalah-masalah tersebut, INSA mengusulkan solusi alternatif guna mendukung upaya pemulihan sektor penunjang offshore minyak dan gas bumi yakni memindahkan penggolongan/ pengelompokan marine service vessel dari kategori satu menjadi kategory tiga. Kemudian tetap memberikan underlying kontrak dalam mata uang US$, akan tetapi pembayaran dilaksanakan dalam rupiah sesuai kurs yang berlaku pada saat pembayaran. “Skema ini sudah dijalankan di PT Pertamina (Persero) dalam jasa penyewaan kapal.” (II)
INSA Dukung Pengadaan Kapal Navigasi Kemenhub Jakarta—Asosiasi Pengusaha Pelayaran (INSA) mengapresiasi langkah Direktorat Kenavigasian Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan kembali membangun lima unit kapal kelas I kenavigasian. “Kami melihat dan menilai pembangunan lima kapal navigasi itu merupakan aksi berkelanjutan Kementerian Perhubungan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana bantu navigasi pelayaran,” ujar Johnson W Sutjipto, Ketua Umum INSA sebagaimana ditulis BeritaTrans.com dan tabloid mingguan BeritaTrans. Johnson mengutarakan dengan penambahan kapal navigasi maka Kementerian Perhubungan memposisikan diri sebagai lembaga pemerintah, yang gencar mewujudkan visi dan misi Nawa Cita yakni negara hadir dalam kesempatan apapun yang dibutuhkan rakyat, termasuk mengenai keselamatan pelayaran.
“Dengan bertambahnya kapal navigasi maka semakin kuat posisi Kementerian Perhubungan dalam menjaga keselamatan pelayaran. Patroli untuk mengecek rambu, mengantar petugas dan logistik menara suar dan sebagainya menjadi lebih terjamin,” tuturnya. Johnson juga mengapresiasi Menteri Ignasius Jonan dalam menggerakkan Kementerian Perhubungan memberikan fokus utama dalam keselamatan. Seperti diketahui, kontrak pembangunan 5 kapal navigasi ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan kapal kenavigasian Ditjen Hubla dengan Direktur Utama Galangan Kapal PT. Palindo Marine, Senin (23/2/2016). Penandatangan kontrak tersebut disaksikan langsung oleh pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Perhubungan Laut DR. Umar Aris, SH, MM, MH (II)
istimewa
INFORMASI
3
Pemerintah Semakin Perketat Impor Kapal Bekas di Indonesia
istimewa istimewa
“Tidak akan menjadikan Indonesia sebagai pasar barang bekas” Jakarta—Pemerintah semakin memperketat impor kapal bekas dengan membatasi usia maksimum 15 tahun untuk kapal jenis tertentu yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri hingga 30 tahun untuk kapal yang belum bisa diproduksi di dalam negeri. Kebijakan itu di atur berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.127 tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Barang Modal dalam Keadaan Tidak Baru yang berlaku mulai 1 Februari 2016 hingga 31 Desember 2018 dan diharapkan dapat meningkatkan kinerja industri di dalam negeri. Permendag tersebut merupakan pengganti atas Peraturan Menteri Perdagangan No.75 tahun 2013 yang dinilai sudah tidak relevan lagi. Dalam peraturan yang lama, impor kapal dibatasi maksimal 20 tahun. Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan No. 127 tahun 2015 menyatakan barang modal dalam keadaan tidak baru adalah barang sebagai modal usaha atau untuk menghasilkan sesuatu yang masih layak pakai, atau untuk direkondisi, remanufacturing, digunafungsikan kembali dan bukan skrap.
Adapun impor kapal berusia 15 tahun dibatasi pada kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, kapal kargo, tongkang dna kendaraan air semacam itu untuk pengangkutan orang atau barang dengan bobot tidak melebihi 5.000 GT, kapal tanker dengan ukuran dibawah 17.500 DWT, kapal penangkap ikan, kapal pabrik dan kendaraan air lainnya untuk pemrosesan atau pengawetan produk perikanan dengan bobot tidak lebih dari 1.000 GT dan kapal penarik dan pendorong dengan ukuran tidak melebihi 6.000 horse power. Pemerintah juga membatasi impor kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk dibawah 5.000 M3, crane terapung, kendaraan air ainnya yang fungsi berlayarnya bukan merupakan fungsi utama, dok terapung, kapal produksi dan flatform pengeboran dengan ukuran dibawah 2.000 GT karena diperkirakan bisa diproduksi di dalam negeri. Meskipun demikian, pemerintah memperlonggar impor kapal tertentu yang belum bisa diproduksi di dalam negeri dengan usia hingga 30 tahun yakni kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, kapal kargo, tongkang dna kendaraan air semacam itu untuk pengangkutan orang atau barang dengan bobot lebih dari 5.000 GT, kapal tanker dengan ukuran diatas 17.500 DWT, kapal penangkap ikan, kapal pabrik dan kendaraan air lainnya untuk pemrosesan atau pengawetan produk perikanan dengan bobot di atas 1.000 GT dan kapal penarik dan pendorong dengan ukuran di atas 6.000 horse power.
Pemerintah juga memperlonggar impor kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk di atas 5.000 M3, crane terapung, kendaraan air ainnya yang fungsi berlayarnya bukan merupakan fungsi utama, dok terapung, kapal produksi dan flatform pengeboran dengan ukuran di atas 2.000 GT. Sugiman Layanto, Wakil Ketua Umum INSA mengatakan pembatasan impor kapal berdasarkan usia memang perlu dilakukan karena saat ini, untuk kapal dengan jenis tertentu, Indonesia sudah kelebihan kapal. “Kebijakan pembatasan impor kapal ini harapkan agar menjadi perhatian seluruh anggota INSA se-Indonesia,” katanya kepada INFO INSA. Sementara itu, Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan Permendag tentang ketentuan impor barang modal dalam keadaan tidak baru akan berdampak positif terhadap pertumbuhan industri nasional. Regulasi tersebut, katanya, tidak akan menjadikan Indonesia sebagai pasar barang bekas karena seluruh aspek teknis dikontrol oleh Kementerian Perindustrian. “Semua harus diverifikasi oleh teknis kami. Barang yang bisa diproduksi di dalam negeri, tidak akan kami berikan izin impor,” katanya sebagaimana ditulis Bisnis.
INFORMASI
4
“Tunda Penerapan Aturan Dana Ombudsman: BUP Tidak Perlu Jaminan Rugi Pencemaran” Urus IzinGanti Usaha Bongkar Muat
istimewa
Bongkar muat sudah termasuk dalam izin BUP Jakarta—Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menegaskan seluruh badan usaha pelabuhan (BUP), khususnya Pelindo I, II, III, dan IV, tidak perlu mengurus Surat Izin Usaha Perusahaan Bongkar Muat (SIUPBM) sebab kegiatan bongkar muat sudah termasuk dalam izin BUP. Penegasan itu disampaikan ORI dalam suratnya kepada Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, menanggapi keluhan pengguna jasa Pelabuhan Tanjung Emas Semarang karena pelayanan bongkar muat sempat dihentikan oleh Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP).
Surat tersebut juga ditembuskan kepada Presiden dan beberapa menteri terkait, seperti Menko Perekonomian, Menko Maritim dan Sumber Daya, Menteri BUMN, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, serta Dirut Pelindo I, II, II, dan IV. ORI sebagai lembaga negara yang berwenang mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, menyarankan Menhub memberikan penegasan bahwa seluruh BUP tidak perlu melakukan pengurusan SIUPBM.
Pada November 2015, KSOP Tanjung Emas Semarang sempat menghentikan pelayanan kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Emas. Padahal, penghentian operasional pelabuhan bisa melumpuhkan perekonomian kawasan di sekitarnya. Pelindo III, yang mengelola Tanjung Emas, meskipun perpanjangan tangan negara dalam mengelola pelabuhan seusai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, oleh Dirjen Hubla Kementerian Perhubungan dianggap tetap perlu mengurus SIUPBM.
Surat tertanggal 15 Februari 2016 yang ditandatangani oleh Ketua ORI Danang Girindrawardhana itu dikeluarkan setelah melakukan tinjauan lapangan dan mengumpulkan keterangan dari pihak-pihak terkait, seperti Ditjen Perhubungan laut, Kepala Dinas Perhubungan Jateng, KSOP Tanjung Emas, direksi Pelindo III, dan GM Pelabuhan Tanjung Emas. ORI juga menyatakan bahwa pada kenyataannya tidak terjadi monopoli, diskriminasi dalam pemberian pelayanan, dominasi pada kegiatan operasional di Pelabuhan Tanjung Emas.
Dalam suratnya, ORI juga menyinggung bahwa permohonan APBMI (Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia) Semarang kepada Mahkamah Konstitusi (MK) atas pengujian Pasal 90 Ayat 3 Huruf g UU Pelayaran terkait kewenangan kegiatan bongkar muat oleh Pelindo sudah ditolak.
Kahumas Pelindo III Edi Priyanto menyambut baik surat dari ORI tersebut. Dia memandang penegasan dari Menhub akan mencegah terjadinya penghentian pelayanan bongkar muat di pelabuhan lain di seluruh Indonesia yang dapat mengancam perekonomian negara.
Salah satu pertimbangan pendapat MK yakni bahwa penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang di pelabuhan dilakukan oleh badan usaha yaitu BUP, PBM, dan perusahaan angkutan laut nasional, yang masingmasing memiliki fungsi dan kewenangan berbeda sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
"Kami yakin kebijakan pemerintah, termasuk melalui Kemenhub, untuk terus mendukung pelaksanaan Program Tol Laut tetap konsisten. Karena itu penyederhanaan birokrasi dan kepastian hukum untuk mendukung iklim bisnis harus terwujud. Janganlah masyarakat sampai dirugikan oleh perbedaan penafsiran atas peraturan negara," ujarnya dalam siaran pers.
BERITA FOTO
5 RAPAT KKP: INSA memberikan masukan terkait dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. 45 tahun 2015 pada rapat yang dilaksanakan Komite Kebijakan Publik (KKP) yang dipimpin Ketua KKP bidang Transportasi Laksamana (Purn) DR Marsetio didampingi Wakil Ketua KKP Leon Muhammad dan Plt Dirjen Perhubungan Laut Umar Aris SH, MM, MH.
dppinsa
Dok.dppinsa
Dok.dppinsa
RAPAT: INSA aktif menyelenggarakan rapat pengurus yang membahas berbagai persoalan keanggotaan seperti masalah regulasi, perpajakan, keorganisasian dan kesekretariatan dalam rangka mencapai visi dan misi organisasi.
dppinsa
INDONESIAN NATIONAL SHIPOWNERS’ ASSOCIATION Wisma BSG, Lantai 3A #M04-05 Jl. Abdul Muis No.40 Jakarta Pusat, 10160-Indonesia P: +62 21 351 4348. F: +62 21 351 4347 Email:
[email protected]. Website: www.dppinsa.com Dok.dppinsa
Dewan Pengurus Pusat Indonesian National Shipowners’ Association
Dok.dppinsa
TAHUN 2016 GONG XI FA CHAI
INFORMASI
6
“Tunda Penerapan Aturan Dana Jaminan Ganti Rugi Pencemaran”
istimewa
Jakarta—Pelaku usaha pelayaran anggota INSA meminta pemerintah menerapkan kebijakan tentang Penerapan Dana Jaminan Ganti Rugi Nasional terhadap Kerusakan Akibat Pencemaran Minyak Bahan Bakar dan Muatan secara bertahap. Sekretaris Umum INSA Lolok Sujatmiko mengatakan kebijakan tersebut tidak bisa diterapkan secara konstan karena belum tersosialisasi hingga ke pelayaran menengah ke bawah. “Ini harus ada intensifikasi sosialisasi ke pemilik kapal sebelum diterapkan secara keseluruhan,” kata Lolok. Dia menilai untuk tahap pertama, kebijakan tersebut diwajibkan kepada kapal-kapal yang mengangkut muatan minyak secara curah hingga 2.000 ton atau lebih dan kapal dengan ukuran 1.000 gross tonnage atau lebih. Tahap ini sesuai dengan ayat 1 dan 2 pasal 39 Permenhub No, 29 tahun 2014. “ Sedangkan tahap berikutnya adalah kapal-kapal dengan ukuran yang lebih kecil sebagaimana ayat 5 dan 6 pasal 39,” ujarnya kepada INFO INSA. Mengingat kebijakan tersebut belum tersosialisasi dengan optimal kepada pelaku usaha pelayaran, katanya, INSA meminta agar pelaksanaan kebijakan tersebut ditunda sekurang-kurangnya hingga Juni tahun ini. “Ini penting agar proses sosialisasi berjalan optimal.”
Terkait dengan kebijakan tersebut, INSA telah menyurati Kementerian Perhubungan c.q Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Surat No. DPP-SRT1/16/0111 tertanggal 22 Januari 2016 tersebut menanggapi Surat Edaran Dirjen Perhubungan Laut No. UM 003/26/5/DK-15. Dalam Surat tersebut, INSA sepakat mendukung intensifikasi pelaksanaan Peraturan tersebut dengan akan melakukan sosialisasi kepada seluruh anggota INSA di dua kota yakni Surabaya dan Jakarta. “Kami mendukung intensifikasi sosialisasi agar kebijakan ini dapat diterapkan secara optimal,” ujarnya. Surat Edaran Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan No. UM.003/26/5/DK-15 tentang Penerapan Dana Jaminan Ganti Rugi Nasional Terhadap Kerusakan Akibat Pencemaran Minyak Bahan Bakar dan Muatan. INSA menegaskan pengusaha pelayaran nasional anggota INSA pada prinsipnya mendukung dan mengapresiasi langkahlangkah pemerintah dalam menerapkan kebijakan di bidang pencegahan pencemaran di lingkungan perairan Indonesia sesuai dengan UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran yang kemudian dituangkan dalam peraturan turunannya.
Lolok mengingatkan dari sekitar 3.100 perusahaan pelayaran niaga nasional dengan populasi kapal mencapai 16.574 unit (Desember 2015), merupakan perusahaan kecil dan menengah yang sangat membutuhkan binaan dan perhatian dari Pemerintah, khususnya Kemenhub agar dapat tumbuh dan berkembang dalam rangka mendukung program konektivitas nasional, khususnya Tol Laut dan Poros Maritim. Menurut dia, implementasi kebijakan yang diatur di dalam Peraturan Menteri Perhubungan No.29 tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim seyogyanya memperhatikan kondisi aktual pelaku usaha pelayaran nasional saat ini dimana sebagian besar mengoperasikan kapal berskala kecil tapi sangat berkontribusi dalam menjaga konektivitas angkutan barang dalam negeri.
Tahap pertama, diwajibkan kepada kapal-kapal yang mengangkut muatan minyak secara curah hingga 2.000 ton atau lebih dan kapal dengan ukuran 1.000 gross tonnage atau lebih.
INFORMASI
7
Menko Maritim: Kalibaru Port Jangan Sampai Molor Lagi
istimewa
Operasional Kalibaru sudah meleset dari target Januari 2016 JAKARTA - Menteri Koordinator bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli meminta target pembangunan Terminal 1 New Priok atau Pelabuhan Kalibaru tidak mundur lagi dari Juni 2016. Mengingat, operasional pelabuhan tersebut sudah meleset dari target seharusnya yakni Januari 2016. "Yang saya ketahui, pembangunan ini mundur dari jadwalnya terus. Dikhawatirkan terjadi cost off run, anggarannya berubah terus. Juga terjadi loan overpricing di mana ongkosnya semakin tinggi, tolong dijelaskan," kata Rizal Ramli di kantor Pelindo II seusai meninjau jalur kereta api kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (18/2/2016). Dia menegaskan hal itu saat berdialog dengan direksi Pelindo II dan anak perusahaannya PT Pengembang Pelabuhan Indonesia (PPI) yang bertanggung jawab merealisasikan proyek Kalibaru. Terminal tambahan sangat mendesak untuk mengurangi beban kapasitas di Pelabuhan Tanjung Priok.”
Direktur Utama PPI Retno Soelistiyanti menjelaskan mundurnya target penyelesaian konstruksi karena waktu pengurusan perizinan yang mundur hingga sembilan bulan. "Kami membutuhkan waktu dalam mengurus perizinan-perizinan. Jadi bila belum ada kelengkapan surat-surat yang dimiliki, tidak bisa ada pembangunan," ungkapnya sebagaimana ditulis website Menko Maritim. Selain perizinan yang panjang, menurut Retno, juga ada masalah sosial lantaran konstruksi akses jalan harus melewati lahan hunian warga. "Proyek ini juga bersinggungan dengan proyek pemerintah lainnya, misalnya jalan common gate (area pemeriksaan karantina dan bea cukai) yang harus disesuaikan dengan proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat," jelas Retno Dia mengungkapkan, pihaknya hanya meminta penyesuaian target proyek ke Juni 2016 untuk beberapa hal di lapangan sudah siap semua. Soal anggaran, Retno menegaskan tidak ada pembengkakan investasi akibat molornya target proyek. "Kita pakai dolar AS dan rupiah, ditotal masih sekitar Rp10 triliun-Rp11 triliun," jelasnya.
Rizal menginstruksikan jajaran Kemenko Kemaritiman segera berkoordinasi dengan Kementerian PUPR untuk mempercepat pembangunan common gate yang menjadi kendala tersebut. "Nanti saya minta pihak Kemenko Kemaritiman untuk berkoordinasi mengenai masalah perizinan itu sehingga target pembangunan dapat terlaksana.“ Terminal Kalibaru dibangun PT Pelindo II (Persero) berkat adanya Surat Penugasan dari Pemerintah. Pelabuhan tersebut dibangun untuk memperkuat Pelabuhan Tanjung Priok dan telah dilakukan uji coba pengoperasian pada Rabu, (27/1) sebagai tahap awal dari rangkaian beberapa tahapan. Uji coba disaksikan otoritas pelabuhan utama tanjung priok, syahbandar utama pelabuhan tanjung priok, distrik navigasi kelas 1 Tanjung Priok beserta instansi pemerintah lainnya di lingkungan pelabuhan Tanjung Priok guna mendapatkan masukan terkait hasil uji coba agar segera dapat dilakukan upaya penyempurnaan Corporate Secretary & GA PT Pelindo II Hambar Wiyadi menjelaskan, uji coba ini bertujuan mempersiapkan dengan sebaikbaiknya pengoperasian secara komersial terminal peti kemas 1 yang rencananya berlangsung pertengahan tahun ini.
INFORMASI
8
INSA Minta Optimalisasi Tol Laut Jakarta—Pelaku usaha pelayaran yang tergabung ke dalam Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) menilai implementasi Tol Laut harus dioptimalkan agar tujuannya dapat tercapai. detik.com
Asosiasi Pelayaran ASEAN Akui INSA Jakarta—Setelah mendapatkan pengakuan dari Menteri Hukum dan HAM, perjuangan pengurus DPP INSA periode 2015-2019 terus dilakukan, terutama terhadap dunia internasional. Organisasi pengusaha perusahaan pelayaran se-ASEAN (Federation of ASEAN Shipowners’ Association (FASA) secara resmi mengakui kepengurusan INSA periode 2015-2019 hasil Rapat Umum Anggota (RUA) INSA ke-16 di Hotel Kempenski, 20 Agustus 2015. “In the unlikely event of a new separate entity that sets up and in parallel, represents Indonesia shipping/shipowners’ interest, FASA only recognises INSA and no other entity. Mr Johnson Sutjipto has been permitted to run the INSA entity, as reflected in the Domicile Certificate,” tulis Sekretaris General FASA Michael Phoon menanggapi klarifikasi DPP INSA.
INSA merupakan satu-satunya organisasi pengusaha perusahaan pelayaran niaga nasional yang diakui keberadaannya oleh Pemerintah dan disahkan berdasarkan SK Menteri Hukum dan HAM No. AHU0035091.AH.01.07 tahun 2015. Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto mengatakan berterima kasih atas dukungan pengurus dan anggota INSA sehingga pengurus INSA hasil RUA 2015 diakui organisasi internasional. “Kita anggota FASA dan sekarang kepengurusan INSA kita sudah diakui oleh FASA,” katanya. Dia menjelaskan dibawah kepemimpinannya, INSA akan meningkatkan kontribusinya kepada dunia pelayaran secara internasional guna meningkatkan pembangunan nasional. “INSA itu bagian dari komunitas pelayaran internasional. Pengakuan ini adalah jalan penting bagi INSA untuk meningkatkan pemberdayaan anggota,” ujarnya. Johnson menjelaskan sejumlah agenda FASA sudah ada di depan mata. Pihaknya akan lebih aktif pada agendaagenda FASA maupun Asian Shipowners’ Forum memperkenalkan pelayaran nasional kepada dunia global. “Tujuan kami demi memakmurkan anggota,” katanya.
AGENDA KEGIATAN FASA Hongkong Kobe, Japan Singapore Hanoi, Vietnam Shanghai, China
23 Februari 2016 ASF Ship Insurance & Liability Committee (SILC) 3-4 March 2016 ASF Shipping Economic Review Committee (SERC) 18 March 2016 ASF Safe Navigation & Environment Committee (SNEC) 27 March 2016 ASF Ship Recycling Committee (SRC) 18-20 May 25 Th ASF Meeting
Oleh karena itu, INSA mengharapkan evaluasi tol laut dilakukan secara menyeluruh. Dalam rangka evaluasi tersebut, INSA mengusulkan agar program PSO dirubah menjadi program subsidi.
Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto mengatakan pengubahan program PSO menjadi program subsidi akan menguntungkan masyarakat karena kegiatan tol laut menjadi lebih kompetitif sehingga biaya semakin murah dan pelayaran swasta banyak yang terlibat. “Swasta harus dilibatkan,” ujarya. Tol Laut merupakan salah satu janji kampanye Presiden Joko Widodo. Program tersebut dibangun dengan tujuan untuk menyatukan nusantara, menjaga kelancaran arus barang hingga ke pelosokpelosok dalam negeri dan memangkas disparitas harga antar wilayah di Indonesia. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Elly Sinaga mengatakan pihaknya sudah menyelesaikan evaluasi tersebut dan akan dipaparkan kepada Menteri Perhubungan terlebih dahulu sebelum dipublikasikan. “Sebenarnya sudah siap tinggal finalisasi saja,” katanya. Sementara itu, Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah akan menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi XI, pada pekan depan. “Mudahmudahan Minggu depan,” kata Darmin, Rabu (24/2). Sejak September 2015, pemerintah terus menggulirkan paket kebijakan. Langkah itu ditempuh untuk menciptakan iklim investasi yang makin kondusif sehingga dapat menarik arus masuk investasi dan dana ke dalam negeri.
Darmin mengungkapkan, Paket Kebijakan XI akan fokus pada upaya pemerintah untuk menghapus berbagai aturan penghambat kelancaran lalu lintas logistik di Tanah Air. (II)