1 Redaksi Penanggung Jawab: Dody Budi Waluyo Pemimpin Redaksi: Difi A. Johansyah Redaksi Pelaksana: Harymurthy Gunawan, Rizana Noor, Tutut Dewanto, Dedy Irianto, Diyah Woelandari, Wahyu Indra Sukma, Risanthy Uli N Alamat Redaksi Humas Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin 2 - Jakarta Telp. : 021 - 3817317, 3817187 email :
[email protected], website : www.bi.go.id
Edisi 25 | April 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
Foto: “Rumah Adat Toraja” oleh: Sandy Wijaya
MEJA REDAKSI Ketika Bank Indonesia menggulirkan Peraturan Bank
Indonesia
(PBI)
No.13/20/PBI/2011
pada
30 September 2011 tentang Devisa (DHE)
Hasil dan
Ekspor Penarikan
Devisa Utang Luar Negeri (DULN), sontak banyak pelaku usaha dan eksportir meradang.
Mereka
nengarai itu
me
kebijakan
akan
menggiring
Indonesia memasuki ke bijakan kontrol devisa. Benarkah? Tidaklah
Jelas
tidak.
mungkin
BI
menabrak UU No.24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa & Sistem Nilai Tukar yang sudah jelas mengamanatkan
sistem
devisa bebas. Pada terbitan GERAI
INFO kali sengaja
ini,
redaksi
memilih
topik
tentang DHE & DULN ini agar jelas kemana arah bidikan kebijakan tersebut. BI menyadari bahwa dengan tersebut. tengok ‘sedikit’
ada
kerepotan
hadirnya
PBI
Tapi
cobalah
manfaat
dibalik
kerepotan
itu,
guedee sekali.
Salam, Difi A. Johansyah Kepala Grup Humas Bank Indonesia Redaksi menerima kiriman naskah dan mengedit naskah sebelum dipublikasikan.
Kebijakan DHE & DULN:
Demi Stabilnya Rupiah Dan
Tegaknya Merah-Putih S
etiap kali ada sinyalemen badan usaha besar akan masuk ke pasar valuta asing untuk membeli dolar guna keperluan bayar impor atau bayar utang luar negeri, sontak pasar valas pun gemetar. Ya, harap maklum saja karena pasar valas di dalam negeri memang stoknya terbatas, bahkan boleh dibilang mengidap sindrom “kekurangan valas” sejak lama. Masih ingat dong krisis ekonomi tahun 1998 yang sempat membuat rupiah terjun bebas terhadap dolar AS hingga Rp17.000/dolar. Kenyataan itu merupakan sebuah contoh ekstrem dari besarnya permintaan yang tak disokong suplai yang memadai dan tidak terpantaunya utang luar negeri. Pada sisi lain, sekarang ini ada kenyataan dimana Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa Utang Luar Negeri (DULN) banyak yang asyik parkir di luar negeri dan tak masuk sistem keuangan dalam negeri. Bilangannya lumayan besar yakni US$29 miliar untuk DHE dan US$2,5 miliar untuk DULN. Bisa dibayangkan bila dana itu ditarik ke sistem keuangan dalam negeri, bukankah bakal bikin likuid pasar valas? Hingga 2011, pasar valas dalam negeri boleh dibilang dipengaruhi portfolio asing yang sifatnya jangka pendek (hot money). Bahayanya, dana itu sewaktu-waktu bisa kabur (sudden capital reversal) dan bikin gonjang-ganjing nilai tukar rupiah. Kalau begitu apa dong terapi untuk membuat likuid pasar valas dalam negeri dan membabat sindrom kekurangan valas menahun? Mau tak mau, DHE dan DULN yang asyik parkir di perbankan asing kudu ditarik ke sistem perbankan dalam negeri. Caranya? Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter dan penjaga stabilitas sistem keuangan serta sistem pembayaran, merilis kebijakan yang mewajibkan setiap eksportir menerima DHE melalui bank devisa di Indonesia. Begitu pula debitur utang luar negeri wajib menarik DULN melalui bank devisa nasional. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/20/PBI/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri tertanggal 30 September 2011, dan mulai berlaku per 2 Januari 2012. Pada waktu BI mengeluarkan kebijakan tersebut, memang sempat memunculkan riak kekhawatiran eksportir bahwa beleid itu identik dengan kontrol devisa.
Apa iya begitu? Indonesia punya UU No.24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar yang menganut sistem devisa bebas. BI menegaskan bahwa PBI tersebut tidak bertabrakan dengan UU. Hal ini dapat dilihat dalam PBI yang tidak mewajibkan eksportir dan debitur untuk berapa lama menyimpan DHE dan DULN di perbankan dalam negeri dan/atau mengkonversinya ke mata uang rupiah. Kehadiran PBI itu setidaknya membawa tiga manfaat yaitu secara nasional, moneter dan pasar keuangan. Secara nasional, kebijakan itu akan memperkokoh stabilitas makroekonomi dan menjadi sumber pem biayaan ekonomi, mendukung kebijakan perpajakan terkait restitusi pajak, dan meningkatkan kualitas statistik dan monitoring devisa (ekspor, impor, dan utang luar negeri). Manfaat di bidang moneter, akan memperkuat stabilitas nilai tukar dan ketahanan eksternal RI. Selain itu, akan mendukung upaya mencapai stabilitas harga yang tercermin pada inflasi bersumber dari imported inflation. Sedangkan manfaat bagi pasar keuangan, akan mengaktifkan pasar valuta asing di dalam negeri dan meningkatkan kedalaman pasar uang. Bila melihat luasnya cakupan manfaat kebijakan yang ingin digapai, sudah barang tentu BI tidak bisa jalan sendirian. Untuk itulah, sejak Agustus 2011 BI meneken kesepakatan dengan Kementerian Keuangan yang dibelakangnya termasuk Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Badan Pusat Statistik (BPS). Kerjasama tersebut dimaksudkan agar upaya pemantauan DHE dan penarikan DULN oleh bank sentral bisa berjalan efektif demi kepentingan perekonomian nasional. Dengan paparan di atas, kehadiran kebijakan DHE & DULN jelas akan bikin sindrom “kekurangan pasok” pasar valas menahun sirna, nilai tukar stabil, stabilitas makroekonomi semakin kokoh dan bertambahnya sumber pembiayaan ekonomi. Nah, siapa sih yang tidak happy dengan kondisi seperti itu, tak heran muncul respon heroik dari eksportir ketika dilakukan sosialisasi kebijakan DHE & DULN, “sepanjang semua demi tegaknya Merah-Putih, kita dukung!” Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | April 2012 | Edisi 25
2
IKHTISAR
Satu Sen Devisa Pun Berharga S
etidaknya, ada 3 (tiga) prinsip yang terkandung dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/20/PBI/2011 ten tang Kebijakan Penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (DULN). Ketiga prinsip itu bahwa DHE wajib masuk melalui bank devisa nasional, nilai DHE haruslah sama dengan nilai pemberitahuan ekspor barang (PEB), dan DHE wajib masuk ke bank setelah 90 hari sejak dikeluarkannya PEB. Sedangkan terhadap debitur yang melakukan penarikan DULN, PBI ini mewajibkan aliran valas masuk melalui bank devisa. Untuk memastikan beleid itu ditaati, Divisi Statistik dan Monitoring DHE di Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter (DSM) Bank Indonesia bertugas melakukan pemantauan. Sebagai upaya pemantauan, BI akan melakukan penelitian dokumen atas ke patuhan eksportir terhadap pemenuhan kewajiban penerimaan DHE. Apa yang di
teliti? Yang diteliti adalah kesesuaian antara nilai DHE yang masuk melalui bank devisa nasional dengan nilai PEB yang disampaikan eksportir ke Ditjen Bea dan Cukai. BI juga akan memastikan bahwa DHE sudah diterima di bank devisa nasional sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan. Sejak informasi PEB diterima, BI sudah mulai melakukan pemantauan ada tidaknya DHE yang masuk dan dilaporkan oleh bank. Karena itu eksportir perlu menyampaikan informasi tentang DHE yang diterimanya ke bank untuk selanjutnya informasi DHE diteruskan ke BI. Apabila DHE belum diterima setelah melewati tenggat waktu, atau terpantau angka DHE lebih kecil dari nilai PEB, maka bank sentral akan meminta penjelasan tertulis disertai dokumen pendukung. Seandainya saja, ternyata ada eksportir atau debitur yang lalai memenuhi aturan tersebut, ada sanksi administratif berupa denda. Hal serupa juga dilakukan Departe
men Internasional Bank Indonesia terhadap debitur DULN yang tak mengindahkan aturan tersebut dengan mengenakan sanksi administratif berupa denda. Meskipun eksportir membayar denda tapi kalau DHE tak masuk juga, eksportir tersebut akan diblokir oleh Ditjen BC sehingga tidak bisa melakukan ekspor. Sanksi pemblokiran baru bisa dicabut oleh Ditjen BC setelah menerima laporan dari BI bahwa denda telah dibayar dan DHE telah masuk ke bank devisa nasional. Untuk menghindari sanksi, sebaiknya eksportir melaksanakan kewajiban me masukkan DHE dan segera menyampaikan informasi DHE yang diterimanya ke bank. Nah, kita semua mahfum bahwa setiap sen devisa sangat berharga bagi per ekonomian nasional, dan kita berharap tidak sampai terjadi pemblokiran ekspor. Karena itu diperlukan dukungan dari semua eksportir dan bank.
Kaya Tapi Bokek E
mangnya ada orang kaya tapi kantongnya kempes alias bokek? Ahh… ada- ada saja pertanyaan saya ini! Mana ada sih orang kaya yang tidak punya duit! Kalau ada orang kaya yang tak mau keluarin duit ya karena memang dasarnya pelit, irit dan medit. Maklum ketiga sifat itulah yang banyak menjadikan orang menjadi kaya! Apalagi ditambah lagi dengan kelakuan suka ngemplang alias menjadi kaya dengan duit orang lain...! Hee … hee … Tapi bukan orang kaya seperti ini yang saya maksud. Ada lho orang kaya yang kantongnya pas-pasan! Masa iya? Liatin aja seabrek warga Jakarta tergolong orang kaya ‘di atas kertas’. Banyak warga ibukota yang umumnya sudah sepuh punya aset (tanah dan rumah) yang berlokasi di daerah strategis, yang kalo dihitunghitung nilainya bisa miliaran rupiah. Tapi warga yang ‘kaya’ tadi hidup hariannya ngepas aja karena cuma mengandalkan dari uang sewa koskosan dan/atau tempat usaha dari Edisi 25 | April 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
aset yang dimiliki. Mereka baru benar-benar kaya apabila udah mati, itupun yang menikmati ahli warisnya. Beda dengan orang Jakarta yang hidup di daerah pinggiran kota tapi punya uang cukup untuk beli mobil gres meski kredit dan nongkrong di kafe-kafe. Itulah analogi dari hubungan antara aset dan likuiditas dalam sebuah lembaga (entitas) ekonomi/ usaha. Sering orang melihat kinerja sebuah perusahaan hanya dari asetnya semata seperti bangunan mewah, pabrik besar dan putaran omset. Padahal, aset saja tidak akan ada artinya tanpa punya dokat atau arus dana yang biasa disebut likuiditas, yakni hasil usaha dari aset yang ada! Emang sih punya aset gede penting untuk kelangsungan usaha jangka panjang, tapi sayangnya hal itu kurang bermakna untuk jangka pendek. Jadi, likuiditas itu penting untuk memutar roda usaha. Kalo gitu, bisa dong relasi antara aset dan likuiditas ditempelkan ke sebuah negara. Ya, jelas bisa.
Indonesia dech ambil contoh. Negara kita ini dikenal sebagai kepulauan Nusantara yang “gemah ripah loh jinawi” atau meminjam istilah band Koes Plus yang beken di era tahun 1970-an sebagai negara “kolam susu” ini memang dikenal punya aset gede banget. Lihat saja sumber daya alam seperti gas, tambang, minyak bumi, emas, batubara, hasil laut, perkebunan dan lainnya yang berpotensi menghasilkan devisa bila diekspor. Tapi tengok hidup keseharian negara kita untuk membiaya impor barang modal aja masih bergantung pada pasok valuta asing dari modal jangka pendek. Makanya, urgen banget semua hasil ekspor dari anak bangsa ini dibawa pulang ke dalam negeri yang akan menambah suplai valas di pasar uang sehingga kagak melulu mengandalkan hot money. Nah, kalo sampe kita punya kesadaran itu, busyet dah Indonesia bakal menjadi negara kaya dengan kocek oke punya.
WAWASAN Kebijakan DHE & DULN:
Sumber Pembiayaan
Pembangunan Nasional
Pujiastuti, Analis Ekonomi Senior Divisi Analisis dan Pengembangan Statistik Eksternal Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter BI
I
ndonesia sungguh negara besar yang sedang menggeliat. Pada 2009, saat perekonomian global mengalami kontraksi akibat krisis finansial yang melanda dunia, Indonesia masih mampu mencatat pertumbuhan sebesar 4,5%, tertinggi ke tiga setelah China dan India. Pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,5%, capaian tertinggi setelah krisis 1997/98 dan jauh lebih cepat dari laju pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya sebesar 3,9%. Pencapaian pertumbuhan ekonomi tersebut tentunya tidak terlepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia. Menyitir pepatah Jawa jer basuki mawa bea – suatu keberhasilan memerlukan biaya – upa ya pembangunan ekonomi tersebut membutuhkan sumber dana yang memadai dan berkesinambungan. Mengingat hingga saat ini Indonesia masih bergantung pada impor barang modal, perekonomian nasional mem butuhkan kesinambungan pasokan valas. Pasokan valuta asing di pasar domestik saat ini sebagian besar berasal dari dana asing dalam bentuk investasi portofolio, yaitu berupa pembelian saham perusahaan lokal, Surat Berharga Negara, atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Aliran modal asing dalam investasi portofolio ini bersifat jangka pendek (hot money) dan rentan terhadap risiko pembalikan (sudden capital reversal). Keluarnya modal asing seketika ini menimbulkan gonjang-ganjing nilai tukar rupiah. Kondisi ini sudah barang tentu tidak akan menguntungkan karena pembangunan membutuhkan kestabilan nilai tukar rupiah.
Sumber dana lain yang sifatnya lebih stabil (sustainable) dapat berasal dari Devisa Hasil Ekspor (DHE) atau Devisa Utang Luar Negeri (DULN). Namun demikian, dalam pelaksanaannya, tidak seluruh DHE masuk ke dalam negeri. Hal ini mengakibatkan pasar valas domestik secara struktural mengalami kekurangan pasokan. Kurangnya pasokan inilah yang dipenuhi oleh aliran modal asing jangka pendek. Pada 2011, jumlah DHE yang disimpan di luar negeri diperkirakan mencapai US$29 miliar. Jumlah tersebut lebih dari cukup untuk menggantikan sumber dana pembangunan yang berasal dari ‘uang panas’ sebesar US$16 miliar pada 2010, dan menyusut menjadi US$6 miliar pada 2011. Atas dasar itulah Bank Indonesia pada September 2011 mengeluarkan aturan yang dapat memastikan penerimaan DHE melalui perbankan Indonesia dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/20/ PBI/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri. Peraturan baru ini mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2012.
Kebijakan pengaturan penerimaan DHE ini tetap berlandaskan pada sistem devisa bebas yang berlaku selama ini (UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar), yaitu setiap penduduk dapat dengan bebas memiliki dan menggunakan devisa. Secara garis besar, aturan ini mewajibkan seluruh DHE diterima melalui bank devisa dalam negeri paling lambat 90 hari setelah tanggal Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Namun untuk ekspor 2012 diberi kelonggaran batas waktu penerimaan DHE sampai dengan enam bulan setelah tanggal PEB. Sejalan dengan prinsip kebebasan
3
kepemilikan dan penggunaan devisa, tidak ada kewajiban bagi eksportir untuk menyimpan DHE di bank dalam jangka waktu tertentu dan mengkonversi valas DHE ke mata uang rupiah. Banyak manfaat yang akan dipetik dari penerapan kebijakan ini. Penempatan DHE melalui perbankan di Indonesia dapat memberikan kontribusi yang optimal secara nasional karena dapat memperkuat stabilitas makroekonomi dan meningkatkan sumber pembiayaan ekonomi yang stabil. Adanya kebijakan DHE ini juga mendukung kebijakan perpajakan yang terkait dengan restitusi pajak serta diharapkan dapat meningkatkan kualitas statistik ekspor dan monitoring pasokan valas. Masuknya DHE ke perbankan nasional akan meningkatkan kesinambungan pa sokan valas domestik dan mengurangi ketergantungan pada dana asing berjangka pendek sehingga memperkuat stabilitas nilai tukar dan ketahanan eksternal Indonesia. Nilai tukar yang stabil mengurangi dampak imported inflation yang dapat mengganggu upaya pencapaian stabilitas harga (inflasi). Lebih jauh, aliran DHE ke perbankan Indonesia juga diharapkan menjadi sumber dana yang dimanfaatkan oleh perbankan, mengaktifkan pasar valas di dalam negeri, dan mendorong pelaku pasar keuangan menciptakan pasar keuangan yang lebih sehat. Indonesia bukan satu-satunya negara di dunia yang mewajibkan eksportir memasukkan DHEnya. Di regional ASEAN, Malaysia mewajibkan hasil ekspor dibawa masuk ke perbankan domestik paling lambat 6 bulan setelah tanggal ekspor. Di Thailand, devisa wajib dibawa masuk ke perbankan domestik paling lambat 1 tahun setelah tanggal transaksi ekspor dan utang luar negeri. Sementara di Filipina, penarikan utang luar negeri untuk kegiatan di domestik wajib masuk dan dikonversi ke peso. Di antara negara-negara emerging market, India mewajibkan hasil ekspor masuk paling lambat 1 tahun setelah tanggal ekspor dan wajib dikonversi ke mata uang lokal. Selain itu, Brazil tidak mewajibkan masuknya hasil ekspor dan utang luar negeri, namun bila masuk ke perbankan nasional wajib dikonversi ke mata uang domestik. Sambil terus berupaya mengurangi ketergantungan kita pada impor, kita berharap banyak pada DHE untuk masuk menjadi sumber dana bagi pembiayaan pembangunan. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | April 2012 | Edisi 25
4
EDUKASI
Devisa Hasil Ekspor :
‘Ikan Besar’ Bagi Bank B Farida Peranginangin, Kepala Divisi Statistik dan Monitoring Devisa Hasil Ekspor Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter BI
Adanya kewajiban eksportir untuk menyampaikan informasi terkait DHE yang diterimanya, juga merupakan peluang sekaligus tantangan bagi bank devisa dalam negeri.
erita bahwa Bank Indonesia (BI) mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/20/ PBI/2011 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri yang mewajibkan eksportir untuk menerima DHE melalui bank di dalam negeri, merupakan kabar yang menggembirakan bagi seluruh bank devisa di dalam negeri. Tentu saja, bank devisa melihat DHE yang masih belum masuk ke Indonesia itu, bagaikan ikan besar yang menari-nari menggoda untuk ditangkap. Bank devisa berharap bahwa DHE tersebut akan diterima oleh eksportir di bank devisa dalam negeri, dan tidak hanya numpang lewat tetapi betah berlama-lama di tempat mereka. Bank berharap dana tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber dana valas sehingga dapat memberikan keuntungan bagi bank. Segera setelah BI me ngumumkan ketentuan me ngenai kewajiban penerimaan DHE melalui bank devisa dalam negeri, bank devisa berlombalomba mempercantik diri untuk memikat hati eksportir dan berharap dipilih oleh eksportir sebagai bank penerima DHE. Beberapa bank dengan sigap segera menyiapkan sumber daya manusia yang mempunyai tugas khusus untuk menangani nasabah bank yang merupakan eksportir, antara lain untuk menjawab ber bagai pertanyaan dari eksportir dan membantu eksportir untuk mendapatkan berbagai kemudahan terkait kegiatan ekspornya. Malah ada bank yang memuat di websitenya nama-nama pegawai yang dapat dihubungi, khusus untuk melayani pertanyaan yang menyangkut ke tentuan DHE. Beberapa bank mencoba strategi lain seperti mengadakan pertemuan dengan nasabah pemilik dana secara khusus, serta dengan sengaja menggunakan acara pertemuan tersebut sebagai
Edisi 25 | April 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
event untuk menjelaskan layanan bank terkait penerimaan DHE. PBI No.13/20/PBI/2011 me mang membuka peluang bagi bank untuk mendapatkan valas DHE yang wajib diterima melalui bank devisa dalam negeri. Namun keberhasilan bank untuk menangkap peluang ini sangat dipengaruhi pada kemampuan dalam memberikan pelayanan yang prima kepada eksportir, sang pemilik DHE. Eksportir sebagai pemilik DHE tentunya memiliki berbagai kebutuhan akan layanan perbankan untuk memperlancar kegiatan ekspornya. Kondisi ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi bank devisa di dalam negeri, bagaimana memenuhi kebutuhan eksportir akan layanan perbankan yang menunjang kelancaran kegiatan ekspornya. Bank dituntut untuk memberikan produk maupun layanan yang terbaik sehingga peluang menangkap DHE itu dapat menjadi kenyataan.
Adanya kewajiban eksportir untuk menyampaikan informasi terkait DHE yang diterimanya, juga merupakan peluang sekaligus tantangan bagi bank devisa dalam negeri. Eksportir sebagai nasabah perlu mendapatkan layanan yang baik dari petugas bank dan men dapatkan kemudahan dalam me nyampaikan informasi atas DHE yang diterimanya, atau yang dikenal dengan Rincian Transaksi Ekspor (RTE). Bank devisa selaku perantara penerimaan DHE dan penyampaian RTE memiliki ke wajiban untuk memastikan pe nyampaian RTE kepada BI di
lakukan secara tepat waktu dan akurat. Jika tidak, dampaknya BI akan menilai bahwa eksportir belum memenuhi kewajibannya melaporkan DHE. Jika eksportir sesungguhnya sudah memenuhi kewajibannya, dan kelalaian ada pada pihak bank, tentunya eksportir akan kecewa pada bank dan enggan untuk menerima DHE-nya melalui bank tersebut di kemudian hari. Sebaliknya, jika bank memberi kemudahan dan kenyamanan ba gi eksportir, termasuk dalam pemenuhan kewajiban pelaporan RTE, maka eksportir akan loyal dan dengan senang hati menempatkan DHE miliknya di bank tersebut. Pelaporan RTE yang sejatinya merupakan kewajiban eksportir, bisa dibilang mungkin cukup mem beratkan bank. Hal ini disebabkan laporan atas DHE yang diterima hanya dapat disampaikan eksportir kepada BI melalui bank. Sebelum adanya kewajiban pelaporan RTE pun bank sudah dibebani dengan berbagai kewajiban pelaporan, antara lain laporan harian, laporan mingguan, dan laporan bulanan termasuk laporan bulanan lalu lintas devisa. Tambahan kewajiban pelaporan RTE yang diatur dalam PBI No.13/21/PBI dan SE Ekstern No.14/12/DSM menambah beban kerja bank. Di ketentuan itu, bank juga terkena kewajiban batas waktu penyampaian pelaporan RTE ini ke BI. Apabila bank terlambat menyampaikan laporan RTE kepada BI, dan/atau laporan RTE yang dikirimkan tidak benar, bank akan dikenakan sanksi administratif berupa denda. Nah, dari paparan di atas, kita dapat melihat bahwa keluarnya ketentuan DHE memberikan pe luang bagi bank devisa dalam negeri untuk mendapatkan sumber dana valas yang dapat digunakan antara lain untuk penyaluran kredit valas atau pinjaman pasar uang antarbank, di samping peluang mengais fee based income tambahan. Kondisi ini merupakan tantangan bagi bank devisa dalam negeri untuk berlombalomba menjaring “ikan besar” DHE dengan memberikan produk maupun layanan terbaiknya.
EDUKASI
5
Rincian Transaksi Ekspor :
“Selembar Laporan
Dengan Setumpuk Manfaat” E
Andyan Kurniati, Analis Ekonomi Divisi Statistik dan Monitoring Lalu Lintas Devisa Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter BI
Tanpa adanya informasi yang benar, rinci dan akurat dari eksportir, bank tidak dapat menyampaikan RTE kepada BI sesuai dengan ketentuan.
ksportir adalah pahlawan devisa. Faktanya, eksportir mer upakan penyumbang devisa terbesar bagi republik ini. Dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) tahun 2011, dapat dilihat bahwa inflow terbesar berasal dari kegiatan ekspor yang nilainya mencapai US$201,47 miliar. Namun, angka sebesar itu tidak seluruhnya berada dalam sistem perbankan Indonesia. Sejumlah eksportir lebih memilih menerima pembayaran ekspor pada bank di luar negeri dengan berbagai alasan. Untuk menyikapi kondisi di atas, BI mengeluarkan ketentuan mengenai kewajiban penerimaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang mewajibkan eksportir untuk menerima DHE melalui bank di dalam negeri. Dan untuk me mastikan ketentuan itu berjalan dengan baik, eks portir har us me laporkan penerima an DHE dalam format Rincian Transaksi Ekspor (RTE) kepada BI melalui bank dimana eksportir menerima dana. RTE erat kaitan nya dengan DHE. Di mana ada DHE, di situ harus ada RTE. Ketika eksportir menjual barang kepada importir di luar negeri, maka importir akan membayarkan sejumlah uang sebagai kompensasi untuk barang tersebut. Uang yang diterima eksportir itulah yang disebut DHE. Lalu, apa dong RTE? RTE merupakan laporan yang di sampaikan bank kepada BI atas dasar informasi eksportir berkenaan dengan DHE yang diterimanya. Secara spesifik, RTE berisikan seputar informasi yang menjelaskan keterkaitan antara DHE dan kegiatan ekspor sebagaimana tercantum dalam dokumen Pemberitahuan Ekspor
Barang (PEB). PEB diterbitkan oleh Ditjen Bea Cukai (DJBC) setiap ada pengiriman barang oleh eksportir. Tanpa adanya informasi yang benar, rinci dan akurat dari eksportir, bank tidak dapat menyampaikan RTE kepada BI sesuai dengan ketentuan. Akibatnya, BI tidak memiliki data yang menunjukkan bahwa eksportir telah memenuhi kewajiban menerima DHE melalui bank devisa dalam negeri. Padahal, kelalaian eksportir pada akhirnya akan berakibat pengenaan sanksi administratif berupa denda serta sanksi pemblokiran pelayanan ekspor terhadap eksportir tersebut. Karena itu, akurasi dan kebenaran pengisian data RTE menjadi sangat penting. Lalu, bagaimana mekanisme penyampaian RTE oleh eksportir
kepada bank serta dari bank ke BI? Saat DHE diterima eksportir di bank dalam negeri, dalam tiga hari kerja eksportir harus melengkapi RTE dengan informasi yang diperlukan untuk disampaikan kepada bank dimana DHE diterima bersama dengan dokumen pendukung jika diperlukan. Selanjutnya, bank akan melakukan verifikasi terhadap RTE serta dokumen pendukung yang disampaikan eksportir untuk digabungkan dalam laporan Lalu Lintas Devisa (LLD) untuk disampaikan kepada BI pada Masa Penyampaian Laporan (MPL). (Lihat: bagan) Jadi, RTE kewajiban siapa, bank ataukah eksportir? Meski
penyampaian RTE kepada BI di lakukan oleh bank melalui sistem pelaporan LLD Bank, sejatinya RTE merupakan kepentingan eks portir yang difasilitasi oleh bank. Mengapa demikian? Bukankah informasi yang tercakup dalam RTE sebagian besar milik eksportir. Begitu pula aturan kewajiban penerimaan DHE di bank dalam negeri ditujukan kepada eksportir bukan bank. Selain mengatur kewajiban, aturan itu juga memuat sanksi bagi eksportir apabila tidak lengkap dan akurat mengisi laporan RTE. Meski RTE merupakan ke wajiban eksportir, bank selaku perantara penerimaan DHE dan penyampaian RTE tetap memiliki kewajiban untuk memastikan pe nyampaian RTE kepada BI di lakukan secara tepat waktu dan akurat. Jika tidak, sesuai ketentuan pe laporan LLD, bank akan dikenai sanksi keterlambatan dan atau sanksi ketidak benaran laporan. Agar pelaporan RTE berjalan baik, BI secara in tensif melakukan sosialisasi kepada eksportir dan bank. Bila masih ada hal yang ingin ditanyakan seputar RTE, BI membuka Klinik Bank dan layanan Help Desk bebas pulsa (telepon lokal) 0-800-10-80000 atau bisa juga berkomunikasi via email ke
[email protected]. id. Memang sih kehadiran RTE sedikit banyak bikin repot eksportir dan juga bank. Tapi coba deh sejenak direnungkan, bukankah dibalik kerepotan tadi terbentang manfaat bagi perekonomian na sional yang begitu besar? Nah, bolehlah dibilang bahwa setiap tetes keringat eksportir selaku pahlawan devisa dalam membuat laporan RTE tidaklah akan sia-sia. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | April 2012 | Edisi 25
6
LIPUTAN
Sosialisasi DHE :
Membangun Perekonomian
Semakin Ciamik Dedy Irianto, Analis Divisi Relasi Internal dan Publikasi Departemen Perencanaan Strategis dan Humas BI
M
enara Radius Prawiro Bank Indonesia (BI) Lantai 25 menjadi saksi atas per kembangan Kebijakan Bank Indonesia terkait dengan Devisa Hasil Ekspor (DHE) pada 11 April 2012 silam. BI bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) serta Asosiasi Pengusaha Kawasan Berikat (APKB) melakukan sosialisasi kebijakan tersebut kepada eksportir. Kegiatan ini merupakan salah satu dari banyak langkah sosialisasi yang dilakukan BI sebelum dan sesudah diberlakukannya kebijakan tersebut sejak September 2011. “BI sangat peduli terhadap kendalakendala yang dihadapi eksportir baik dalam pemenuhan kewajiban untuk menerima DHE melalui bank devisa di dalam negeri maupun pelaporannya, karena itu acara pertemuan semacam ini diharapkan dapat menjembatani komunikasi antara BI, eksportir dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,” demikian disampaikan Farida Peranginangin, Ketua Divisi Statistik dan Monitoring DHE Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter BI dalam pembuka an kegiatan sosialisasi tersebut. Sejauh manakah makna ketentuan ini? Pertanyaan yang simpel namun menarik untuk diungkapkan. Secuplik kilas balik pengalaman penulis di salah satu bank nasional di New York, Amerika Serikat yang terkait dengan DHE dan Devisa Utang Luar Negeri (DULN). Sebagai salah seorang penanggung jawab di divisi setelmen, terasa ada hal yang tidak Edisi 25 | April 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
‘pas’ dalam transaksi Letter of Credit (L/C) salah satu perusahaan nasional Indonesia. Transaksi perusahaan dilakukan offshore (di luar negeri), tidak melalui perusahaan dalam negeri yang dimiliknya. Hal yang sebenarnya tidak sulit dilakukan oleh perusahaan dimaksud. Transaksi terlaksana diikuti dengan porsi transaksi keuangan yang cukup besar melalui perusahaannya di salah satu negara tetangga. Dana pun berpindah ke rekening perusahaan di negara tetangga tersebut. Beberapa potensi berkurangnya pemasukkan negara tercipta karena transaksi ini. Bea masuk dan penerimaan pajak yang lebih kecil. Pengalaman lain di negeri Paman Sam, sebagai salah seorang penanggung jawab di divisi pinjaman (loan), tergelitik rasa nasionalisme penulis akan pola pinjaman beberapa perusahaan Indonesia yang mem peroleh fasilitas pinjaman luar negeri, baik oleh perbankan nasional maupun perbankan internasional. Pagu kredit yang menggiurkan dan diikuti dengan penarikan yang cukup besar, nilai penarikan kredit ini akan sangat menolong perekonomian nasional apabila keseluruh dana dimaksud segera dipergunakan untuk mendukung proses produksi di Indonesia. Pada kenyataannya, hanya sebagian dari DULN dikembalikan langsung dalam rangka proses produksi atas barang-barang ekspor yang dipersiapkan di Indonesia. Bahkan pada saat pembayaran termin pinjaman, seringkali perusahaan tidak menggunakan dana valas pada rekening bank luar negeri. Mereka lebih suka membayar menggunakan hasil penjualan di Indonesia yang dikonversi dari rupiah ke valas yang diperlukan. Beberapa potensi meningkatnya ke wajiban negara juga tercipta karena transaksi ini. Secara tidak langsung kewajiban swasta nasional dalam valas meningkat. Pinjaman luar negeri swasta dimaksud pada akhirnya akan meningkatkan kebutuhan atas hard currency di Indonesia. Ini menjadi beban bagi negara, khususnya BI dalam mengawal stabilitas nilai tukar di Indonesia. Beberapa contoh di atas, telah meng gambarkan bahwa kebijakan DHE/ DULN pada akhirnya bertujuan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi na sional melalui stabilitas nilai tukar. Hal ini sejalan dengan pernyataan Gubernur BI
Darmin Nasution dalam pertemuan dengan pemimpin bank devisa awal September 2011. “Latar belakang ditempuhnya kebijakan DHE/DULN masih belum seluruh DHE/ DULN masuk ke dalam negeri, pasar valas domestik secara struktural kekurangan pasokan, tingkat hot money yang tinggi; hot money mudah keluar. Latar belakang dimaksud dapat menggangu stabilitas nilai tukar.” Dengan demikian, penerapan kebijakan DHE/DULN dalam jangka panjang akan menambah pasokan valas yang dapat mem bantu upaya stabilitas nilai tukar Indonesia. Hal ini ditegaskan Difi A. Johansyah, Kepala Grup Hubungan Masyarakat BI dalam talkshow di salah satu media elektronis. “Potensi tambahan pasokan valas yang cukup besar dalam membantu pasokan valas nasional baik yang timbul dari kebutuhan valas reguler seperti kebutuhan pembayaran hutang luar negeri, kebutuhan PLN, kebutuhan Pertamina maupun ke mungkinan capital reversal dari penempatan dana asing di Indonesia.” Dalam talkshow yang sama, Benny Soetrisno, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengungkapkan bahwa penerapan kebijakan DHE/DULN dapat dimengerti oleh kalangan pengusaha ekspor Indonesia dan disadari kebijakan ini akan sangat membantu mereka dalam kepastian pasokan valas di Indonesia dengan nilai tukar yang terjaga. Namun demikian, ia juga sangat mengharapkan kalangan perbankan nasional dapat menawarkan berbagai hal yang tidak kalah menarik dibandingkan dengan perbankan di luar negeri, baik fasilitas kredit yang menarik termasuk tingkat suku bunga tidak kalah bersaing. Dari gambaran di atas, dapat kita maknai bahwa kebijakan DHE & DULN memberikan dampak yang positif terhadap sektor riil, khususnya dalam mendukung eksportir Indonesia, serta terhadap ketahahan perekonomian nasional. Hal ini juga disadari oleh para peserta yang hadir dalam pertemuan antara BI, DJBC dan APKB pada 11 April 2012 tersebut di atas. Dari pertemuan itu terdapat banyak masukkan mengenai pemberlakuan kebijakan DHE/DULN, khususnya ter kait dengan pelaporan dan pengenaan sanksi yang masih merupakan isu cukup besar. Oleh karena itu, upaya sosialisasi dan diseminasi kebijakan ini harus terus dilakukan dalam upaya mendorong per ekonomian Indonesia semakin ciamik. All on board, for Indonesia’s glory. (*)
RUANG BACA
Data Akurat
Bikin Putusan Tepat S
Bagus Dwi Karyawan, Analis Ekonomi Senior Divisi Statistik Neraca Pembayaran Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter BI
Agar data statistik dapat dimanfaatkan tidak hanya oleh BI tapi juga oleh masyarakat luas, maka hasil kompilasi data perlu didesiminasikan secara luas dan transparan.
udah lama Bank Indonesia me mantau gerak-gerik lalu lintas devisa khususnya devisa hasil ekspor (DHE) dan penarikan Devisa Utang Luar Negeri (DULN) yang asyik parkir di perbankan di luar negeri. Pada 2011, angka DHE dan DULN yang parkir di bank luar negeri masing-masing diperkirakan sebesar US$29 miliar dan US$2,5 miliar. Jumlah yang tak kecil memang. Bisa dibayangkan bila devisa tersebut bisa dibawa masuk ke sistem perbankan di dalam negeri. Wouuww … akan besar sekali manfaatnya bagi perekonomian Indonesia. Merujuk data itulah yang men dorong BI menggulirkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/20/ PBI/2012 tentang DHE dan DULN. Beleid ini mewajibkan setiap eksportir menerima DHE dan DULN melalui bank devisa dalam negeri. Salah satu dasar pertimbangan PBI ini menyatakan bahwa keterangan dan data yang benar dan tepat waktu, yang diperoleh dari pemantauan kegiatan lalu lintas devisa sangat diperlukan dalam rangka penyusunan statistik yang meliputi statistik Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), Posisi Investasi Internasional Indonesia (PIII) dan statistik lainnya. Di Indonesia, masih sering orang bertanya, apa sih manfaat data statistik. Padahal banyak data dan informasi yang bernilai sangat strategis, bahkan saat ini data telah menjadi kebutuhan pokok berbagai pihak. Adalah sangat mustahil apabila terdapat suatu kebijakan tanpa didasari oleh data. Barangkali kebijakan BI tentang DHE/DULN tidak akan terbit apabila tak diketahui seberapa besar potensi devisa yang disimpan eksportir di bank luar negeri. Melihat ilustrasi itu terbayang betapa besar manfaat data statistik bagi pengambilan kebijakan. Manfaat akan pentingnya data bukan hanya dirasakan Pemerintah saja, para pengusaha tentunya juga sangat mengandalkan data dalam pengambilan keputusan bisnis. Misalnya, apabila eksportir mau melakukan ekspansi usaha, maka
mereka harus tahu seberapa besar potensi pasar komoditas yang akan diekspor di negara tujuan, berapa kurs saat itu sehingga perusahaan dapat mengetahui potensi keuntungan nya, tentunya dengan asumsi nilai tukar yang stabil. Semua pertanyaan tersebut akan terjawab apabila tersedia data yang akurat. Itu sebabnya pula kenapa selama ini BI banyak meminta data dari masyarakat. Tindakan BI dalam mengkompilasi data DHE bukan tanpa dasar. Sesuai UU No.24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, bank sentral berwenang meminta keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa (LLD) yang dilakukan penduduk. Untuk itu, setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan LLD yang dilakukannya baik secara langsung maupun melalui pihak lain kepada BI. Yang dimaksud LLD adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antara penduduk dengan bukan penduduk maupun antarpenduduk. Data LLD yang telah dikompilasi BI sangat besar manfaatnya baik dalam rangka penyusunan statistik NPI, PIII, penyusunan supply-demand valas, serta monitoring kegiatan LLD. Sebagai gambaran, penyusunan statistik NPI memerlukan data nilai ekspor serta devisa hasil ekspornya. Penyusunan statistik PIII memerlukan data posisi rekening giro eksportir yang disimpan di bank luar negeri serta jumlah kewajiban luar negerinya. Selanjutnya dengan menyusun supply-demand valas akan diketahui seberapa besar tekanan terhadap rupiah sehingga bermanfaat bagi bank sentral dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. Sebagai ilustrasi, merujuk data statistik BI diketahui bahwa transaksi berjalan NPI pada 2011 mencatat surplus US$2,1 miliar. Hal ini berarti nilai ekspor barang dan jasa serta pendapatan lebih besar dibanding nilai impornya. Namun sebaliknya secara cash, sesuai data monitoring kegiatan
7
LLD, diketahui transaksi berjalan justru mengalami defisit besar. Ini berarti penerimaan devisa dari hasil ekspor barang dan jasa serta pendapatan lebih kecil dibanding jumlah kebutuhan devisa untuk transaksi impornya. Kondisi tersebut antara lain karena tidak seluruh DHE diterima eksportir melalui bank domestik. Sebaliknya, sebagian besar kebutuhan devisa untuk kegiatan impor dipenuhi dari pasar valas domestik. Kekurangan pasokan valas pada transaksi sektor riil tersebut kemudian diimbangi oleh neto surplus pada transaksi finansial, yang notabene lebih berfluktuasi. Kehadiran kebijakan DHE/DULN bertujuan menambah pasokan valas yang berasal dari transaksi sektor riil yang lebih stabil. Agar data statistik dapat di manfaatkan tidak hanya oleh BI tapi juga oleh masyarakat luas, maka hasil kompilasi data perlu didiseminasikan secara luas dan transparan. Hanya saja transparansi publikasi data me nuntut adanya akurasi agar data dapat dipertanggungjawabkan. Untuk men dapatkan data yang akurat, bukan persoalan mudah dan perlu komitmen semua pihak, mulai dari masyarakat sebagai subyek pelapor maupun BI sebagai kompilator, disamping perlu didukung pula dengan sistem pelaporan yang handal. Mengingat publikasi data adalah tanggung jawab BI, isu krusialnya bagaimana meningkatkan akurasi data statistiknya. PBI mewajibkan seluruh DHE diterima eksportir melalui bank domestik. Dasar penentuan seberapa besar DHE yang harus diterima eksportir melalui bank domestik adalah nilai ekspor yang tercantum dalam dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Apabila eksportir salah mengisi PEB maka dapat dianggap tidak menerima DHE sesuai nilai ekspor yang tercantum pada PEB. Nilai ekspor dalam PEB selanjutnya dipakai sebagai dasar input data statistik ekspor Indonesia. Nah, kehadiran PBI DHE/DULN akan mendorong nilai ekspor yang tercantum pada PEB menjadi lebih akurat, dan akan berdampak pada peningkatan kualitas data statistik. Selanjutnya, data yang akurat akan sangat berguna baik bagi Pemerintah, BI maupun pelaku usaha dalam mengambil putusan yang tepat. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | April 2012 | Edisi 25
8
REHAT DHE, Benar-Benar Bermanfaat k Ban ng Asi
RAPAT DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA
Waw... Devisa yang nangkring di bank asing gede...
RDG BI merilis PBI no.13/20/PBI/2011 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan penarikan devisa utang luar negeri (DULN). Bank wajib lapor RTE ke BI
BANK INDONESIA
EKSPOR INDONESIA
ortir Eksp etor s ib j a w ULN an D k d E n DH b lui a mela asional n a is dev
Hooorrreee ... DHE masuk ke bank devisa nasional bikin pasok valas bertambah dan rupiah stabil!
RT
E
Eksportir wajib lapor DHE yang diterima ke bank melalui Rincian Transaksi Ekspor (RTE).
Bila bank terlambat atau tidak benar lapor RTE ke BI akan dikenakan sanksi.
Tulisan Pada Kapal Mereka selalu jalan kaki
Anak : Yah, boleh dong aku punya mobil! Ayah : Boleh, asal nilai kamu naik kelas, kamar kamu bersih, dan rambutmu dipotong. Sebulan kemudian. Anak : Yah, boleh dong aku punya mobil!! Ayah : Nak, aku bangga padamu. Nilai kamu mengalami kenaikan, kamarmu rapi jali, tapi kamu belum potong rambut!! Anak : Tapi, Yah, tahu nggak kalau Samson rambutnya panjang, Musa rambutnya panjang, Nuh rambutnya panjang. Ayah : Iya, dan mereka JALAN KAKI kemanapun mereka pergi!!
Jangan ampe lupe tempatnye
Dodo sepulang dari sekolah bercerita pada babenya yang gak pernah sekolah. “Be..tadi aye dimarahin ama pak guru.” “Emang loe salah ape Do..” “Tadi aye kagak bisa jawab pertanyaan pak guru.” “Emang loe ditanye ape..?” “Pak guru tanye.. dimana letaknya Washington..” “Mangkenye Do.. laen kali kalo’ loe ngeletakin sesuatu jangan ampe lupe letaknye.” Edisi 25 | April 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
David sangat ingin memiliki dan membeli sebuah kapal boat tapi isterinya sangat tidak setuju. Tapi David nekat dan suatu hari dia akhirnya membeli kapal boat idamannya itu. Dia lalu membawa istrinya ke dermaga tempat kapal boatnya berada. “Nahh … bagaimana? Bagus bukan?” katanya pada istrinya. “Mari sekarang kita berdamai ya, Sayang! Kamu sekarang aku beri kehormatan untuk menuliskan sesuatu di kapal kita ini!” Dengan penuh semangat dan senyum manis istri David mengambil cat yang sudah disiapkan suaminya dan bersiap untuk menulis. Sambil menunggu istrinya menulis, David pergi ke toko minuman. Ketika David kembali ke dermaga, tulisan inilah yang dia lihat di kapalnya: “UNTUK DIJUAL”
Harmonika Baru
“Terimakasih atas harmonika yang paman berikan pada saya sebagai hadiah ulang tahun,” kata Joshua kecil pada pamannya ketika mereka berjumpa setelah liburan. “Itu adalah hadiah ulang tahun yang paling bagus yang pernah saya terima.” “Senang sekali saya mendengarnya,” kata pamannya. “Dapatkah kamu memainkannya?” “Oh, saya tidak dapat memainkannya,” kata Joshua. “Tetapi ibu memberiku sedolar setiap hari bila saya tidak memainkannya dan ayah memberi saya lima dolar seminggu bila saya tidak memainkannya pada malam hari.
PERISTIWA
9
BI Dianugerahi
“The Best Systemic and Prudential Regulator” B ank Indonesia mendapat penghargaan sebagai “The Best Systemic and Prudential Regulator” dari The Asian Banker. Pemberian anugerah itu dilaksanakan pada acara The Asian Banker Annual Leadership Achievement Awards yang digelar di Bangkok, 25 April 2012. Anugerah itu diterima BI karena pencapaian mengarahkan industri perbankan menerapkan aturan berstandar internasional. Selain itu bank sentral juga dinilai berhasil dalam menghadapi perekonomian global saat krisis yang bisa berdampak sistemik. "Ini pengakuan atas kebijakan kita selama ini yang membuat industri perbankan mengalami kemajuan seperti sekarang," kata Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad usai menerima penghargaan itu dari Ketua The Asian Banker Summit, David Seldon. Menurutnya, penghargaan tersebut diberikan kepada BI atas kemampuan merespons tantangan yang muncul dalam
beberapa krisis ekonomi dunia yang terjadi. Dunia mengakui kebijakan yang diterapkan di Indonesia akhirnya bisa mewujudkan industri perbankan yang sehat dan punya
daya tahan dengan pencapaian yang terbaik di Asia. Muliaman mengatakan lebih lanjut, jika dibandingkan negara tetangga, indikator
keuangan perbankan kita seperti CAR, NPL, kredit, dan pertumbuhan aset, itu semua paling tinggi. Kondisi itu didukung faktor fundamental yang juga kuat, karena penerapan aturan kehati-hatian yang baik. Ia tak menampik banyak bank mengeluhkan regulasi BI yang ketat, tetapi jerih payah itu membuat industri perbankan secara keseluruhan memiliki daya tahan terhadap krisis atau "shock". Bahkan dari waktu ke waktu kondisinya semakin baik. "Sekarang kita itu ibarat punya antibodi yang luar biasa, yang mampu menahan krisis, apalagi dengan rasio kecukupan modal dan likuiditas yang tinggi," katanya. Forum Asian Banker merupakan pertemuan tahunan para pelaku industri keuangan dunia yang menilai perkembangan industri tersebut di Asia dan kali ini dihadiri sekitar 1.000 perwakilan sejumlah perusahaan keuangan, perbankan dan bank sentral di Asia, Amerika Serikat, Eropa, Australia dan Amerika Latin.
BI Gencar
Sosialisasi DHE
S
ebuah kebijakan memang ti dak akan pernah memuaskan semua pihak, tak terkecuali ketika Bank Indonesia merilis Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/20/ PBI/2011 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri (DULN)
tertanggal 30 September 2011. Awal kebijakan ini disosialisasikan, merebak respons ‘menolak’ dari kalangan pelaku usaha khusus eksportir. Harap maklum, ketika itu, memang para eksportir belum memahami sepenuhnya apa yang menjadi latar belakang dikeluarkannya kebijakan tersebut. Untuk memberi pemahaman yang tepat akan PBI tersebut, serangkaian upaya sosialisasi digelar BI. Ambil contoh sosialisasi yang digelar di Menara Radius Prawiro di Kantor Pusat BI pada 11 April 2012, bank sentral menggandeng Asosiasi Pengusaha Kawasan Berikat (APKB) dan Direktorat Bea dan Cukai (DJBC). Menurut Kepala Divisi Statistik dan Monitoring DHE BI, Farida Peranginangin, sosialisasi ini dapat membantu ekportir dalam melakukan pelaporan Rincian Transaksi Ekspor
(RTE). Saat ini, RTE yang diterima BI belum optimal antara lain karena eksportir enggan memberi laporan kepada bank yang selanjutnya menyampaikan ke BI. “Kebijakan terkait DHE sangat tergantung peran aktif eksportir menyampaikan pelaporan RTE,” ujar Farida. Sementara itu, Sekjen APKB, Ade Riphat Sudrajat menyampaikan apresiasi kepada BI dan DJBC atas penyelenggaraan sosialisasi di maksud. Sosialisasi ini akan meng hilangkan kegalauan eksportir karena kurangnya pemahaman terhadap ketentuan DHE. Ia berharap dengan sosialisasi tersebut eksportir dapat melaporkan RTE dengan benar dan akurat sehingga tidak perlu khawatir terkena denda. Dalam acara itu, DJBC diwakili Pelaksana Tugas (Plt) Kasubdit PDPI Akhyat Mujayin, dan Kasie Pengelola Data Muslim Kholid Arifin yang menyampaikan informasi mengenai rencana penambahan sandi bank di formulir Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang bertujuan untuk mempermudah bank maupun eks portir dalam melakukan pelaporan RTE. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | April 2012 | Edisi 25
10
PERISTIWA
Transaksi Kliring Close to Real Time P
elayanan pembayaran nontunai melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang tadinya proses penyelesaian tran saksi (setelmen) hanya 2 (dua) kali menjadi 4 (empat) kali sehari. Tambahan waktu itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan ma syarakat dan bank peserta akan setelemen yang lebih cepat. Tambahan waktu setelmen tersebut bagi perbankan memberi manfaat dalam mengelola likuiditas harian yang lebih optimal. Pasalnya dengan mekanisme ini, bank dapat memanfaatkan hasil hasil kliring lebih cepat dari sebelumnya. Sementara itu, bagi masyarakat, penambahan layanan ini akan lebih mempercepat penerimaan dana
Edisi 25 | April 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
oleh penerima transfer. Se suai aturan yang berlaku, bank penerima dana wajib menyelesaikan transfer yang diterima kepada rekening nasabah penerima segera setelah dilakukan setelmen oleh Bank Indonesia. Layanan tambahan kliring SKNBI yang men dekati “close to real time” ini, diharapkan akan semakin mendukung kegiatan ekonomi masyarakat dengan proses transfer dana lebih cepat dan murah dengan tetap mempertahankan service level yang ada.
ILUSTRASI TRA NSFER DANA VIA SKN BI
HUMANIORA
Melatih Kaki Lima
Agar Dilirik Perbankan S
ekonyong-konyong puluhan orang men datangi Kantor Perwakilan (KPw) BI Provinsi Maluku di Ambon pada Kamis, 5 April 2012. Padahal hari itu masih terbilang pagi karena jam belum juga menunjukkan pukul 08.00 Waktu Indonesia Timur (WIT). Ingin berdemonstrasikah mereka di KBI, ohh … tidak. Mereka adalah para pedagang kaki lima yang biasa berjualan di pinggir jalan di seantero kota Ambon yang akan mengikut pelatihan tentang administrasi dan pengembangan usaha di Ruang Serbaguna KPw. Pelatihan yang diikuti 95 pedagang kaki lima dari beragam jenis usaha seperti penjualan buah, makanan dan pakaian ini memperkenalkan lima materi utama, yakni kewirausahaan, laporan keuangan sederhana, perkoperasian, KUR, dan studi kasus UMKM. Yang menarik dalam materi studi kasus dengan menyuguhkan UMKM yang berhasil memperoleh kredit bank. Pada sesi itu pula peserta ditantang untuk membuat usaha yang
mereka geluti pantas untuk dibiaya bank, dan bagi peserta yang berhasil akan diberi hadiah berupa kredit oleh perbankan setempat. Meski kegiatan pelatihan mungkin sesuatu yang langka diterima para pedagang kaki lima, toh mereka mengikuti setiap sesi dengan
antusias. Pelatihan yang dirancang dengan pola dinamika kelompok ini menyisipkan sebuah permainan lempar gelang yang melambangkan kredit dan sasaran yang
Swisscontact Bangun Kontak
Petani Kakao Aceh P
etani kakao di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sedang dilanda kegalauan. Betapa tidak. Tengoklah tingkat produksi buah kakao yang mereka tanam hanya menghasilkan rata-rata 330 kg per hektar. Padahal, tingkat produktivitas kakao nasional bisa mencapai 620 kg/hektar. Perbedaan angka produksi yang begitu besar inilah yang membuat petani kakao di NAD berupaya mencari penyebabnya. Untuk maksud itulah petani meminta bantuan Swisscontact sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing yang punya pengalaman dan kepedulian membantu memberdayakan petani. Kerjasama petani dan Swisscontact melahirkan program Peningkatan Ekonomi Kakao Aceh (PEKA). Program ini berupaya meningkatkan tingkat pro duktivitas tanama kakao di Aceh melalui sekolah lapang, pembinaan, hingga sistem alih teknologi. Pengembangan kakao difokuskan pada 5 kabupaten di Provinsi Aceh, yaitu Pidie Jaya, Bireun, Aceh Tamiang,
Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya dengan total areal tanam seluas 28.245 hektar. Setelah beberapa saat bersama petani kakao di Aceh, keluarlah hasil kajian rantai nilai komoditi kakao oleh Swisscontact. Kajian ini mendapati bahwa letak permasalahan ada
pada sisi on farm, terutama pada segi kualitas biji kakao, nilai tambah hingga berimplikasi pada permasalahan pasar. Melihat kondisi
11
merupakan simbol keuntungan usaha. Kalau letak sasaran semakin jauh bisa diibaratkan sebagai potensi keuntungan usaha semakin besar plus risiko tinggi yang menyertainya. Pelatihan yang digelar seharian penuh ini merupakan hasil kerja bareng KPw BI Provinsi Maluku dengan Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI). Ke depan, peran KKMB akan diintensifkan dalam rangka memfasilitasi pencairan kredit untuk pedagang kaki lima sehingga dapat mendorong ekspansi usaha mereka. “Kami berharap para peserta memiliki kemauan untuk terus belajar, melihat peluang usaha dan kerja keras untuk bangkit ketika mengalami kegagalan,” kemuka Deputi Kepala KPw BI Provinsi Maluku, Poltak Sitanggang saat membuka pelatihan tersebut. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa keberadaan perbankan di Ambon hendaknya dianggap sebagai peluang untuk meningkatkan usaha usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang didalamnya termasuk para pedagang kaki lima ini. Kemitraan jangka panjang dengan perbankan dapat dibangun melalui kejujuran, keterbukaan, ketepatan menyelesaikan ke wajiban kredit. “Peluang usaha di Ambon masih sangat luas dan beragam karena ke butuhan sembako, buah-buahan, pakaian.” demikian, upaya perbaikan perlu dilakukan secara komprehensif di semua level produksi pada tingkat petani hingga pedagang akhir. Syukur Alhamdulillah, sejak program PEKA digulirkan Juli 2011, mulai mem perlihatkan hasil berupa peningkatan pro duktivitas tanaman kakao menjadi 445 kg/ hektar. Untuk lebih menggenjot tingkat produktivitas, Swisscontact terus melakukan pembinaan terhadap kelompok tani andalan tentang sistem alih teknologi yang diharapkan dapat meningkatkan produksi dan kualitas biji kakao. Salah satu program PEKA juga memasukkan tahapan Access to Finance yang perlu mendapat sokongan Kantor Perwakilan BI Provinsi Aceh. Wujud dukungan BI khususnya dalam mem fasilitasi kelompok tani dengan lembagalembaga keuangan bank, membuat model skim pembiayaan untuk komoditi kakao serta mendorong pengembangan kakao melalui pendekatan klaster di Aceh. Nah, untuk maksud itulah, pada 15 Maret 2012, antara KPw BI Provinsi Aceh dan Swisscontact menandatangani kesepakatan bersama pengembangan kakao di Aceh untuk rentang waktu hingga Desember 2015. Newsletter Bank Indonesia | Tahun 3 | April 2012 | Edisi 25
12
HUMANIORA
Karawitan Tampil Modern S
uara lembut nan merdu mengalir dari dua pengrawit wanita memecah keheningan malam Ruang Auditorium Gedung Bank Indonesia di Jakarta, Sabtu, 14 April 2012. Sesekali
muncul suara lelaki yang berperan layaknya seorang dalang dalam pentas wayang, menimpali tembang pengrawit. Suasana magis khas Jawa kuno pun menyelimuti seantero ruangan dan penonton. Sontak beberapa saat kemudian, sekitar sepuluh pemain musik gamelan Jawa yang berada dibelakang pengrawit menyentakkan alat musik menyuguhkan tontonan yang jauh dari suasana kantuk dan magis. Inilah konser karawitan Manggala Gita yang mengkreasi musik tradional dengan suguhan kreativitas modern. Walhasil, suguhan karawitan tersebut seperti menyihir penonton menjadi lebih bersemangat dan waktu dua jam pagelaran pun berlalu tanpa terasa. Komposer konser, Waluyo Sastro Soekarno, adalah sosok yang pernah mendapatkan penghargaan dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sebagai Pewaris dan Pengembang Tradisi.
Dalam rangka mewariskan budaya karawitan inilah, saat konser tersebut diundang pula anak sekolah setingkat SMA dan Anak2 Tunanetra. Sebelum menonton konser, mereka bahkan mengikuti workshop, untuk mengenal musik/ instrumen musik gamelan dan karawitan serta memraktekkannya langsung bersama komposernya. Gelaran ini merupakan hasil kerjasama Unit Seni Karawitan IPEBI, Komunitas BudayaKu dan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Agus Santoso, Ketua Umum Ikatan Pegawai BI mengatakan, kerjasama ini sejalan dengan semangat BI untuk melestarikan budaya dan tradisi daerah di Indonesia, termasuk seni karawitan. “Di BI juga ada Unit Seni Karawitan. Perkumpulan ini menjadi wadah bagi pegawai yang tertarik dengan karawitan, bersama-sama belajar dan ber karya menuangkan kreativitas dan kecintaannya pada budaya karawitan.” Yuk kita dukung kebangkitan musik tradisional!
Uang Logam Yang Dicabut & Ditarik
Bank Indonesia mencabut dan menarik dari peredaran uang logam pecahan Rp5 tahun emisi/TE 1970, Rp25 TE 1971, Rp50 TE 1971, Rp100 TE 1973 dan 1978. Bagi masyarakat yang memiliki uang logam tersebut bisa menukarkan ke kantor pusat atau perwakilan BI di daerah hingga tanggal 24 Juni 2012, setelah tanggal tersebut penukaran tidak berlaku lagi. Keputusan mencabut dan menarik uang logam tersebut merujuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.4/3/PBI/2002 tanggal 6 Juni 2002 tentang Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran mata uang logam tersebut. No. Pecahan Gambar Depan
Belakang
No. Pecahan Gambar Depan
1 Rp5 TE 1970
4 Rp50 TE 1971
2 Rp5 TE 1974
5 Rp100 TE 1973
3 Rp25 TE 1971
6 Rp100 TE 1978
Edisi 25 | April 2012 | Tahun 3 | Newsletter Bank Indonesia
Belakang