III. METODE PENELITIAN
3.1 Metode Analisis Bab ini akan membahas metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yang terdiri dari analisis deskriptif dan analisis ekonometrika. Analisis dengan metode ekonometrika menggunakan metode univariate detrending dan metode regresi data panel seperti telah disampaikan pada tinjauan teoritis dalam bab sebelumnya. Guna mendukung analisis ini, akan digunakan paket program software STATA 10.0. dan EViews 6.0. 3.1.1 Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum mengenai dinamika inflasi regional dan beberapa variabel yang diduga terkait erat dengan inflasi, termasuk struktur ekonomi menurut provinsi. Melalui metode analisis yang pertama ini akan disajikan tabel dan gambar/grafik untuk memperlihatkan kondisi perekonomian secara umum menurut provinsi. Selain itu, digunakan pula beberapa statistik sederhana seperti rata-rata sederhana, rata-rata tertimbang, koefisien korelasi Pearson dan pengujian kausalitas granger untuk melihat keterkaitan inflasi antar provinsi di Indonesia dan keterkaitan inflasi dengan variabel lainnya yang digunakan dalam penelitian ini. Melalui gambaran umum ini, diharapkan dapat menguatkan analisis ekonometrika yang akan dibahas selanjutnya, terkait dengan hipotesis yang telah disusun untuk menjawab tujuan penelitian ini. 3.1.2 Estimasi Output Potensial dengan Metode Univariate Detrending Penghitungan output potensial pada hakikatnya tidak mudah dilakukan karena output potensial sendiri merupakan unobserved component. Metode yang umum digunakan untuk mengestimasi output potensial adalah pendekatan univariate. Pendekatan ini relatif lebih mudah dibanding pendekatan multivariate, karena bisa dilakukan melalui dekomposisi atau detrended dari series data tertentu. Adapun penggunaan metode univariate dalam penelitian ini mengacu pada hasil penelitian dari Justiniano and Primiceri (2008) yang menyatakan bahwa output potensial lebih halus dan lebih baik jika diestimasi dengan menggunakan metode detrended tradisional.
66
Metode univariate detrending yang digunakan digunakan dalam penelitian ini adalah metode Hodrick–Prescot (HP) filter dan band pass filter ala ChristianoFitzgerald. Penggunaan kedua metode ini didasari atas kesadaran bahwa output potensial sendiri merupakan unobserved component, sehingga pada praktiknya
diperlukan
metode
penghitungan
alternatif
untuk
melihat
keterbandingan hasil estimasi output potensial. Berdasarkan hasil estimasi output potensial dengan kedua metode ini, kemudian akan diturunkan output gap yang menjadi salah satu variabel yang memengaruhi inflasi, dengan demikian akan dilihat bagaimana keterkaitan antara output gap yang dihasilkan dengan inflasi yang merupakan objek utama dalam penelitian ini. Langkah awal dalam melakukan estimasi output potensial adalah menyiapkan data dengan series yang cukup panjang, setidaknya 20 tahun, sehingga secara tidak langsung dapat mencerminkan adanya kondisi NAIRU (non-accelerating inflation rate of unemployment) atau menggambarkan tren pertumbuhan output dalam jangka panjang. Pada praktiknya, penelitian ini akan menggunakan PDB atas dasar harga konstan yang merupakan proksi dari output riil, untuk periode tahun 1983 – 2009. Pada metode HP filter, permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana memilih 1, yaitu sembarang konstanta yang mencerminkan biaya atau pinalti terkait dengan bagaimana menurunkan fluktuasi menjadi tren. Dalam beberapa penelitian termasuk Hodrick–Prescot (1984, dalam Enders, 2004) dan Farmer (1993, dalam Enders, 2004), ditetapkan sebesar 1.600. Menurut mereka, besarnya tersebut merupakan nilai yang cukup ideal karena umumnya akan diperoleh hasil dekomposisi yang cukup masuk akal. Sayangnya, dalam Ender (2004) tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai periode data yang digunakan, apakah data tahunan, triwulanan atau bulanan yang cukup baik untuk menggunakan nilai yang disarankan. Merujuk pada Hodrick–Prescot (1980, dalam Ladiray et al., 2003), nilai dibedakan menurut periode data, yaitu untuk data tahunan menggunakan = 100, sedangkan pada data triwulanan ditetapkan sebesar 1.600, sementara untuk data bulanan besarnya adalah 144.000. Merujuk pada penjelasan Ladiray et al. (2003) tersebut, maka nilai untuk metode HP filter dalam penelitian ini adalah 100, karena periode data yang digunakan adalah data tahunan.
67
Permasalahan selanjutnya yang dihadapi dalam metode band pass filter dari ChristianoFitzgerald adalah memilih pendekatan simetris atau pendekatan asimetris. Pendekatan simetris menetapkan peningkatan dan penurunan output potensial berada pada band tertentu, dengan besarnya lower band dan upper band dibuat sama. Sebaliknya, pada pendekatan asimetris yang dimungkinkan terjadinya peningkatan atau penurunan output tidak selalu dalam range yang sama. Sayangnya, pendekatan simetris akan menyebabkan hilangnya beberapa observasi di awal dan di akhir dari suatu set series data, sementara pada pendekatan asimetris hal tersebut tidak terjadi. Berdasarkan penjelasan tersebut, metode band pass filter yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan asimetris dari ChristianoFitzgerald agar diperoleh observasi yang utuh dari series data yang diestimasi. Adapun nilai lower band dan upper band yang ditetapkan dalam model ini masing-masing sebesar 0,8 dan 0,2. 3.1.3 Aplikasi Regresi Data Panel Pembahasan mengenai aplikasi regresi data panel dalam sub bab ini terdiri dari tiga bagian, yaitu data panel statis, data panel dinamis non spasial dan data panel spasial dinamis, dengan landasan teoritis mengenai ketiganya telah disampaikan pada bab sebelumnya. Setiap bagian akan membahas beberapa kendala yang dihadapi oleh masing-masing model dan bagaimana perlakuan yang diterapkan untuk mengatasinya. Analisis data panel umumnya menggunakan data dalam bentuk level dengan tujuan untuk memudahkan interpretasi model, namun jika kemudian penelitian menggunakan data dengan series yang yang mengandung tren, maka perlu dilakukan pengujian unit root, untuk memastikan bahwa hubungan antara variabel dependen dan variabel independen tidak menunjukkan spurious regression. Bila hasil pengujian unit root menunjukkan adanya tren pada data level, maka seperti biasanya, harus dilakukan pembedaan pertama (first differencing) untuk menghindari terjadinya hasil yang misleading. Perlu diingat bahwa karena data yang digunakan dalam penelitian adalah data panel, maka pengujian unit root yang digunakan bukan menggunakan metode yang biasa, tetapi menggunakan panel unit root. Pengujian ini disarankan oleh Baltagi (2005) untuk data panel dengan N dan T yang relatif tidak besar.
68
Hipotesis nol yang digunakan dalam pengujian panel unit root sama seperti pada pengujian unit root untuk data time series murni, hanya saja statistik uji yang digunakan merupakan pengembangan lebih lanjut dari statistik uji Augmented Dickey–Fuller (ADF) dan Phillips–Perron (PP). Statistik uji yang digunakan dalam menguji panel unit root terdiri dari dua jenis, yaitu common unit root yang terdiri dari statistik uji Levin, Lin and Chu (LLC) dan Breitung’s test; serta individual unit root yang terdiri statistik uji Im, Pesaran and Shin (IPS), ADF – Fisher test dan PP – Fisher test. Setelah diperoleh hasil pengujian yang menyatakan bahwa series dari data panel tidak mengandung unit root maka estimasi bisa dilaksanakan. 3.1.3.1 Model Data Panel Statis Estimasi dengan model regresi data panel statis dapat menggunakan data level sepanjang tidak mengandung unit root. Secara umum model estimasi dari data panel statis untuk data pada bentuk level dapat dituliskan sebagai berikut : F
pit a0 a1 pi ,t 1 a j x jit it
....................... (3.1)
j 1
dengan pit dan pi,t–1 menyatakan tingkat harga pada data cross section ke-i periode t, dan sebelumnya, sementara xjit adalah variabel eksogen ke-j, pada data cross section ke-i periode t, dan F + 1 menyatakan seluruh jumlah variabel penjelas termasuk variabel pi,t–1. Jika kemudian terdapat unit root pada data level, maka persamaan (3.1) harus dilakukan first differencing, sehingga akan diperoleh persamaan berikut : F
pit 1 pi ,t 1 j x jit it
....................... (3.2)
j 1
Metode data panel statis yang digunakan untuk mengestimasi salah satu dari persamaan (3.1) atau (3.2) adalah Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM). Model FEM dibatasi hanya akan menggunakan within estimator dan Pooled Least Squared (PLS), sementara pada model REM akan menggunakan GLS estimator saja. Statistik uji Hausman akan digunakan untuk membandingkan model FEM dengan model REM, sementara uji Chow digunakan untuk membandingkan FEM dengan PLS. Tujuan penggunaan kedua statistik uji ini adalah untuk mendapatkan model terbaik pada metode data panel statis.
69
3.1.3.2 Model Data Panel Dinamis Non Spasial Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa model data panel dinamis diperoleh dari data level sebagaimana dapat dilihat pada persamaan (2.22) untuk tinjauan teoritis dan persamaan (3.1) atau persamaan (3.2) untuk aplikasinya. Secara umum, permasalahan utama dalam aplikasi regresi data panel dinamis adalah penentuan variabel instrumen yang akan digunakan untuk estimasi model empiris. Tahap awal dalam menentukan instrumen variabel adalah seluruh variabel penjelas (explanatory variable) selain lag dari variabel dependen diasumsikan strictly exogenous. Berdasarkan asumsi tersebut, maka matriks instrumen (Wi) pada persamaan (2.26) hanya terdiri dari sekumpulan data level untuk variabel dependen atau dalam persamaan (3.1) secara eksplisit dinyatakan oleh variabel “p”. Instrumen ini tentu saja hanya tepat digunakan untuk model FD-GMM, karena secara teoritis tidak mensyaratkan adanya intial condition sebagaimana dibutuhkan pada model SYS-GMM (Baltagi, 2005). Sedikit berbeda dengan instrumen yang digunakan pada model FD-GMM, maka untuk model SYS-GMM dibutuhkan intial condition dalam suatu sistem persamaan. Bentuk sistem persamaan dari metode ini adalah dengan menggabungkan persamaan (3.1) dan (3.2) dengan mengeliminasi intersep (a0) dari persamaan (3.1). Jika variabel penjelas lainnya masih diasumsikan strictly exogenous, maka variabel instrumennya adalah data first differencing untuk persamaan pada level dan data level untuk persamaan first difference. Di bawah sistem persamaan dari SYS-GMM, secara eksplisit, variabel instrumen untuk persamaan (3.1) adalah “pit”, sedangkan “pit” merupakan variabel instrumen untuk persamaan (3.2), dengan t = 1, 2, … , T – 2. Khusus pada model SYS-GMM, variabel instrumen dapat ditambah dengan memasukkan lag dari variabel instrumen awal, yaitu “pit-1” dan “pit-1”. Dasar penambahan variabel instrumen ini adalah adanya keterkaitan antara variabel dependen dan lag dari variabel dependen yang berada pada sisi kanan sistem persamaan. Meski dapat ditambahkan variabel instrumen, termasuk pada model FD-GMM, namun perlu dipastikan terlebih dahulu apakah variabel instrumen yang digunakan adalah valid. Pengujian validitas variabel instrumen yang digunakan adalah menggunakan statistik uji Sargan, dengan hipotesis nol
70
yang menyatakan bahwa variabel instrumen yang digunakan adalah valid. Hasil pengujian yang diharapkan adalah hipotesis nol diterima, artinya tidak ada cukup bukti untuk menolak bahwa variabel instrumen yang digunakan adalah valid. Sebaliknya, jika kemudian hipotesis nol ditolak, maka perlu ditambahkan beberapa variabel instrumen lainnya, salah satunya dengan membuat kombinasi pasangan dengan variabel penjelas lainnya yang sebelumnya diasumsikan strictly exogenous. Selanjutnya, pengujian tambahan perlu dilakukan untuk model FD-GMM, selain menggunakan uji Sargan. Pengujian tambahan dimaksud adalah dengan menggunakan statistik uji Arelano-Bond “m1” dan “m2”. Hipotesis nol dari uji Arelano-Bond adalah terjadi autokorelasi pada error, dengan hipotesis untuk “m1” menyatakan bahwa rata-rata autocovariance dari error pada ordo 1 adalah nol sedangkan hipotesis untuk “m2” adalah rata-rata autocovariance dari error pada ordo 2 adalah nol. Hasil pengujian yang diharapkan adalah hipotesis untuk “m1” ditolak, sebaliknya hipotesis untuk “m2” harus diterima. 3.1.3.3 Model Data Panel Spasial Dinamis Ide dasar dari dari model data panel spasial adalah keterkaitan antar wilayah yang kemungkinan akan berpengaruh pada hasil estimasi. Hal ini setidaknya mengikuti First Law of Geography dari Tobler yang menyatakan bahwa “everything is related to everything else, but near things are more related than distant things” (World Development Report 2009). Baik secara teoritis maupun secara empiris, keterkaitan tersebut memang tidak dapat disangkal, namun ukuran keterkaitan itu sendiri yang mungkin menjadi sumber perdebatan mengingat keterkaitan dimaksud bisa ditinjau dari berbagai sudut pandang. Terkait dengan model data panel spasial dinamis, salah satu permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana menentukan matriks penimbang spasial W untuk model spatial lag dan M untuk model spatial error atau untuk model gabungan dari keduanya (lihat persamaan (2.45) dan (2.46)). Kukenova dan Monteiro (2009) menggunakan dua pendekatan untuk menentukan matriks penimbang spasial W, yaitu pertama, bersandarkan pada kondisi ideal keterkaitan antar wilayah di seluruh dunia akibat perbedaan derajat penyebarannya (degree of sparseness), sebagaimana penelitian Kelejian dan Prucha (1999) dan Kapoor et al. (2007), dan
71
kedua, berdasarkan kondisi riil yang terjadi yang dinyatakan sebagai jarak riil (jarak Euclidean) antar ibukota negara/negara bagian. Penelitian Baltagi et al. (2010) tentang kurva upah di Jerman dengan model spatial error menggunakan 5 pendekatan untuk matriks penimbang spasial M, yaitu berdasarkan letak yang berdampingan antar dua wilayah (contiguity), arus ulang-alik commuter, jarak, waktu tempuh perjalanan dan berdasarkan penimbang tingkat penyerapan tenaga kerja dari dua wilayah yang berdampingan (employment weighted contiguity). Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada intinya pendekatan untuk matrik penimbang spasial W dan M menggunakan variabel-variabel yang mewakili jarak riil dan variabel-variabel yang menyiratkan adanya spillover antar wilayah. Beberapa variabel yang digunakan untuk menangkap adanya spillover seperti dinyatakan dalam penelitian Baltagi et al. (2010) sepertinya cukup masuk akal, namun penggunaan jarak Euclidean perlu dipertanyakan, khususnya untuk kasus Indonesia yang notebenenya merupakan negara kepulauan yang masih terkendala dengan masalah infrastruktur yang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya divergensi harga dan inflasi. Terkait dengan masalah tersebut, sepertinya untuk variabel jarak harus dilakukan redifinisi sehingga matrik penimbang spasial W yang nantinya terbentuk akan menggambarkan keterkaitan secara spasial yang kuat selainjuga karena akan digunakan sebagai salah satu variabel instrumen dalam estimasi model. Definisi jarak menurut World Development Report 2009 adalah sesuatu yang dapat menunjukkan mudah atau sulitnya barang, jasa, tenaga kerja, modal, informasi dan ide-ide untuk melintasi ruang, sehingga mencerminkan bagaimana kemudahan perpindahan arus modal, mobilitas tenaga kerja dan bagaimana aliran barang dan jasa bisa sampai dari satu tempat ke tempat lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, istilah jarak lebih merujuk pada konsep ekonomi dan bukan sekedar jarak secara fisik. Terkait definisi tersebut, maka untuk menangkap keterkaitan spasial yang kuat yang mewakili konsep ekonomi, pada penelitian ini digunakan matrik penimbang yang berasal dari koefisien matriks penggunaan barang domestik Inter-Regional Input Output (IRIO) Indonesia tahun 2005.
72
Koefisien matriks tersebut kemudian dilakukan ditranspose sehingga secara baris menyatakan pengaruh penggunaan input. Permasalahan lain dalam model data panel spasial dinamis adalah bagaimana membuat sistem persamaan simultan dengan beberapa instrumen tambahan agar terpenuhi kondisi momen pada persamaan (2.49) di bawah prosedur Arellano-Bond atau Blundell-Bond, sebagaimana syarat yang disarankan oleh Kukenova dan Monteiro (2009). Hal ini tentu berbeda dengan prosedur untuk metode data panel dinamis non spasial yang tidak mensyaratkan sistem persamaan simultan dan sebagainya dalam penggunaannya. Terkait dengan penggunaan metode data panel dinamis, akan digunakan prosedur Arellano-Bond terlebih dahulu. Jika hasilnya menunjukkan statistik uji m1 dan m2 dari Arellano-Bond serta uji Sargan sesuai dengan harapan dan cukup konsisten dengan teori ekonomi maka tidak perlu menggunakan prosedur Blundell-Bond. Selanjutnya, guna menanggulangi terjadinya downward biased dari estimator GMM murni, estimasi dari standar error akan mengikuti prosedur dari Windmeijer (2005) untuk menjaga robustness hasil penelitian. 3.2 Spesifikasi Model Penelitian Model empiris dalam penelitian ini pada dasarnya mengacu pada penelitian Beirne (2009), dengan baseline model yang digunakan adalah F
pit 1 pi ,t 1 j x jit it
....................... (3.3)
j 1
dengan pit dan pi,t–1 adalah level harga pada provinsi ke-i periode t, dan sebelumnya, sementara xjit adalah variabel penjelas ke-j, pada provinsi ke-i periode t, dan F menyatakan jumlah variabel penjelas lainnya selain dari lag variabel dependen. Modifikasi baseline model dari penelitian Beirne (2009) diperlukan mengingat dari 18 variabel yang digunakan tersebut, 4 variabel diantaranya, yaitu harga relatif, kapitalisasi pasar modal, indeks kebebasan ekonomi dan indeks liberalisasi harga tidak tersedia pada tingkat provinsi di Indonesia. Kemudian, beberapa faktor global seperti shock harga minyak dunia dan shock harga pangan dunia dianggap sudah diwakili melalui transmisi ke variabel nilai tukar. Khusus untuk shock harga minyak dunia juga dianggap kurang relevan dengan kondisi
73
Indonesia yang menetapkan harga minyak sebagai administred prices sehingga variabel ini digantikan dengan indeks harga BBM. Kemudian untuk variabel shock yang dari suku bunga dunia juga tidak digunakan karena mekanisme transmisinya sudah terwakili oleh penyesuaian suku bunga acuan domestik yang dilakukan oleh Bank Indonesia sehingga variabel tersebut digantikan dengan suku bunga acuan domestik, sebagaimana penelitian dari Habermeier et al. (2009) yang memasukkan variabel ini sebagai salah satu faktor yang dapat memengaruhi inflasi dan merupakan salah satu opsi kebijakan dalam mengendalikan inflasi. Selanjutnya, variabel dummy tentang kondisi suatu negara sebelum dan sesudah masuk sebagai anggota Uni Eropa; variabel dummy tentang pergantian sistem nilai tukar; dan variabel kondisi nilai tukar sebelum dan setelah pergantian sistem nilai tukar juga tidak relevan dengan kondisi Indonesia yang merupakan satu kesatuan moneter sejak pertama merdeka, sedangkan pergantian nilai tukar telah dilaksanakan secara resmi mulai tahun 1999, sementara cakupan analisis adalah tahun 2000 – 2009. Variabel pergantian sisitem nilai tukar kemudian, digantikan dengan variabel kebijakan kerangka kerja penargetan inflasi (inflation targeting framework/ITF) dalam penelitian ini. Variabel-variabel lainnya yang juga tidak digunakan adalah PDB riil per kapita, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi riil dan persentase kredit domestik untuk sektor swasta (kredit modal usaha) terhadap PDB karena tidak sesuai dengan tujuan penelitian. Pertimbangan lainnya dengan tidak memasukkan PMTB dan kredit modal usaha adalah secara langsung maupun tidak langsung hal tersebut merupakan outcome dari penyesuaian suku bunga acuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Baseline model dari penelitian Beirne (2009) memperlihatkan variabel pengangguran yang secara tidak langsung menandakan bahwa model yang dibangun sesungguhnya menggunakan pendekatan kurva Phillips dengan perluasan dan berdasarkan relasinya terhadap tingkat pengangguran. Pendekatan kurva Phillips klasik ini digantikan dengan pendekatan NKPC sesuai landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini, dengan demikian, variabel tingkat pengangguran digantikan dengan output gap sebagai driving force variable. Alasan penggantian pendekatan kurva Phillips tersebut adalah building block dari mikro ekonomi untuk pendekatan klasik masih perlu dipertanyakan. Sebaliknya,
74
pendekatan New Keynesian diturunkan dari landasan mikro ekonomi yang kuat, yaitu konsumen memaksimumkan utilitasnya dan perusahaan memaksimumkan keuntungannya terkait dengan kendal masing-masing dalam kerangka ekulibrium harga yang fleksibel atau staggered price setting (Gali, 2002). Konsekuensi dari penggunaan pendekatan NKPC adalah memasukkan variabel ekspektasi inflasi yang cenderung merupakan unobservable component. Guna menanggulangi masalah tersebut, Solikin (2004); Mehrotra et al. (2007); Gali dan Gertler (2000); dan Gali et al. ((2001);(2005)) melakukan estimasi dengan beberapa variabel instrumen diantaranya nilai tukar, suku bunga dan output gap. Konsekuensi dengan membuat variabel ekspektasi inflasi sebagai variabel endogen di bawah model regresi panel dinamis, akan menyebabkan proses estimasi menjadi tidak efisien, karena harus ada variabel instrumen tambahan lainnya. Merujuk pada penelitian Solikin dan Sugema (2004) yang menyatakan bahwa ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh administered prices, harga sembako, nilai tukar, upah minimum, suku bunga, harga periode sebelumnya, dan gaji PNS, maka variabel ekspektasi inflasi digantikan dengan faktor-faktor yang memengaruhinya
kecuali
harga
sembako
dan
variabel-variabel
tersebut
dimasukkan ke dalam model. Pembahasan mengenai inflasi sendiri tentu menjadi kurang lengkap tanpa memasukkan variabel moneter jumlah uang beredar (M1), karena setidaknya Friedman menyatakan bahwa inflasi merupakan suatu fenomena moneter. Secara empiris, M1 dianggap sebagai determinan inflasi merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Kwon et al. (2009). Selain perbedaan yang telah disampaikan sebelumnya, dibanding penelitian Wimanda (2006), pendekatan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data panel dengan memasukkan beberapa variabel yang mewakili kebijakan moneter, kebijakan pemerintah pusat dan daerah, sementara penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan parsial, dengan analisis difokuskan pada variabel-variabel yang terkait dengan kebijakan desentralisasi fiskal. Berdasarkan uraian tersebut, maka model umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
75
Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it + 7 BMit + 8 Git + j j xj.it dengan : P
........ (3.4)
: perubahan harga (inflasi)
OG
: output gap
IR
: perubahan suku bunga riil
M1
: perubahan jumlah uang beredar riil
XR
: perubahan nilai tukar nominal efektif
BM
: perubahan indeks harga BBM
W2
: kenaikan gaji PNS golongan terendah
G
: perubahan belanja pemerintah daerah
xj.it
: perubahan dari variabel penjelas lainnya
subskrip (it) atau (i,t1) menandakan kondisi pada provinsi ke-i dan tahun ke-t atau tahun sebelumnya. Variabel harga (P), output gap (OG), nilai tukar nominal efektif (XR), jumlah uang beredar riil (M1), belanja pemerintah (G), indeks harga BBM (BM ), dan gaji PNS (W2) dinyatakan dalam bentuk logaritma natural, sementara untuk variabel suku bunga riil (IR) dinyatakan dalam bentuk persentase. Perlu dicatat di sini, model umum pada persamaan (3.4) adalah dalam bentuk first differencing, dengan demikian jika menggunakan data level, tanda delta () harus dihilangkan. Selanjutnya, model umum seperti dapat dilihat pada persamaan (3.4) memunculkan lag inflasi sebagai variabel penjelas sehingga model yang dikonstruksi merupakan model dinamis. Filosofi dari model dinamis ini merujuk pada kurva Phillips versi New Keynesian (NKPC) dengan memasukkan unsur ekspektasi inflasi dalam konstruksi model inflasi tersebut. Perdebatan muncul berkenaan dengan ekspektasi inflasi apakah merupakan perilaku forward looking atau cenderung bersifat backward looking. Terkait dengan perdebatan tersebut, penelitian Wimanda et al. (2011) menunjukkan bahwa perilaku backward looking lebih penting dibanding fenomena forward looking untuk kasus Indonesia. Berdasarkan kajian empiris ini, dikonstruksi model dinamis dengan memasukkan lag inflasi sebagai variabel penjelas seperti dapat dilihat pada persamaan (3.4). Berdasarkan model umum pada persamaan (3.4) tersebut, kemudian dikembangkan dua persamaan, yaitu model data panel dinamis non spasial dan
76
data panel spasial dinamis untuk menangkap dampak spasial dari keterkaitan antar provinsi terhadap inflasi. Pada metode non spasial, upaya untuk menangkap respon inflasi terhadap perubahan infrastruktur dilihat melalui interaksinya dengan penyesuaian UMP yang mencerminkan mekanisme perubahan harga yang terjadi melalui pasar tenaga kerja dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan yang mewakili mekanisme harga melalui jalur perdagangan. Interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan penyesuaian UMP yang dimasukkan dalam formulasi ini juga merupakan upaya untuk menangkap dampak spillover dari perubahan kondisi infrastruktur terhadap pasar tenaga kerja secara spasial yang kemudian berujung pada perubahan harga. Sedikit berbeda dengan model non spasial, pada metode spasial yang menggunakan matrik penimbang spasial ditambah beberapa instrumen untuk menangkap dampak spillover antar provinsi. Konsekuensi dari formulasi tersebut adalah perubahan infrastruktur hanya dikaitkan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan saja dan untuk penyesuaian UMP tidak diinteraksikan dengan perubahan kondisi infrastruktur karena telah ditangkap sebelumnya oleh matrik penimbang spasial dan beberapa variabel instrumen yang digunakan untuk lebih menangkap dampak spasial tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka spesifikasi model empiris yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it + 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it ISit ) + 10 (OPit ISit ) ... (3.5) merupakan model dasar yang digunakan untuk regresi data panel dinamis non spasial, sementara untuk model data panel spasial dinamis diturunkan spesifikasi model spatial lag berikut : Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit + 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit ISit ) . (3.6) dengan : W
: matrik penimbang spasial
WP
: pengaruh inflasi dari wilayah lainnya secara spasial
W1
: penyesuaian Upah Minimun Provinsi (UMP)
W1 IS : interaksi antara penyesuaian UMP dengan perubahan kondisi infrastruktur
77
OP IS : interaksi
antara
perubahan
derajat
keterbukaan
perdagangan dengan perubahan kondisi infrastruktur dengan variabel Upah Minimun Provinsi (W1) dan kondisi infrastruktur (IS) dinyatakan dalam bentuk logaritma natural, sementara untuk derajat keterbukaan perdagangan (OP) dinyatakan dalam bentuk persentase. Sesuai dengan landasan teoritis dan beberapa tinjauan empiris, koefisien 1 , 2 ,
4 , 5 ,6 , 7 , 8 dan 9 diharapkan bernilai positif (+), demikian pula dengan 1 , 2 , 3 , 5 , 6 , 7 , 8 , 9 dan 10 , sedangkan untuk 3 , 10 , 4 dan 11 diharapkan bernilai negatif (). Selanjutnya, merujuk pada penelitian Prasertnukul et al. (2010), dengan salah satu tujuannya untuk melihat dampak dari diterapkannya ITF, meskipun pendekatan yang digunakan bukan dengan data panel, maka variabel yang akan diteliti adalah bagaimana perilaku persistensi inflasi dan exchange rate pass through (ERPT) sebelum dan sesudah kebijakan dilaksanakan secara penuh pada tahun 2005. Selain itu, akan dilihat juga bagaimana level inflasi sebelum dan sesudah diterapkan ITF untuk melihat apakah kebijakan tersebut berhasil secara signifikan dalam menurunkan tingkat inflasi. Guna menangkap perilaku dari ketiganya, maka digunakan variabel dummy (DIT), yang kemudian digunakan sebagai intersep dan juga dummy slope, yaitu dengan mengalikan dengan variabel inflasi inersia (Pi,t1), yang merupakan pendekatan dari persistensi inflasi; dan variabel nilai tukar atau exchange rate (XRit), sebagai proksi dari ERPT. Konsekuensi dari masuknya beberap variabel dummy ini, maka dari baseline model empiris untuk model dinamis non spasial pada persamaan (3.4) dapat diturunkan model berikut : Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it + 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it ISit ) + 10 (OPit ISit ) + 1 DIT + 2 Pi,t1 DIT + 3 XRit DIT
...... (3.7)
sementara untuk model spasial dinamis adalah Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit + 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit ISit ) + 1 DIT + 2 Pi,t1 DIT + 3 XRit DIT
...... (3.8)
78
dengan : nilai DIT = 0 untuk kondisi sebelum tahun 2005 dan nilai DIT = 1 untuk periode tahun setelahnya. Nilai koefisien yang mencerminkan kondisi sebelum dan sesudah kebijakan ITF diterapkan, yaitu 1 , 2 dan 3 diharapkan negatif (). Hal ini sesuai dengan tujuan dari ITF, yaitu menurunkan persistensi inflasi dan menurunkan ERPT, di samping juga untuk melihat dampak kebijakan terhadap penurunan tingkat inflasi. Berkenaan dengan hipotesis tentang perbedaan kondisi infrastruktur secara simultan dengan trade openness akan menyebabkan perbedaan volatilitas inflasi antara Jawa dengan luar Jawa atau antara KBI dengan KTI, maka pada penelitian ini akan difokuskan untuk melihat apakah perbedaan tersebut signifikan. Guna menangkap perbedaan tersebut, seperti pada persamaan (3.7) dan (3.8), akan digunakan variabel dummy slope yang menyatakan perbedaan kawasan. Spesifikasi model empiris yang digunakan untuk melihat perbedaan kondisi infrastruktur antara Jawa dengan luar Jawa adalah sebagai berikut : Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it + 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it ISit ) + 10 (OPit ISit ) + 1 (OPit ISit ) DJW
...... (3.9)
Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit + 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit ISit ) + 1 (OPit ISit ) DJW
...... (3.10)
dengan : nilai DJW = 0 untuk luar Jawa dan nilai DJW = 1 untuk Jawa sementara spesifikasi model empiris untuk melihat perbedaan kondisi infrastruktur antara KBI dengan KTI adalah sebagai berikut : Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it + 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it ISit ) + 10 (OPit ISit ) + 2 (OPit ISit ) DKTI
...... (3.11)
Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit + 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit ISit ) + 2 (OPit ISit ) DKTI
...... (3.12)
79
dengan : nilai DKTI = 0 untuk KBI dan nilai DKBI = 1 untuk KTI nilai dari 1 diharapkan positif (+) untuk dummy Pulau Jawa, sebaliknya 2 diharapkan bernilai negatif () untuk dummy KTI. 3.3 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang berasal dari berbagai sumber. Data yang dikumpulkan adalah data panel tahunan dari seluruh provinsi di Indonesia, kecuali provinsi pemekaran sehingga jumlah provinsi yang dianalisis adalah 26 provinsi, masing-masing dengan rentang waktu tahun 1999 – 2009. Adapun deskripsi dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini seperti dapat dilihat pada persamaan (3.5) dan (3.6) adalah sebagai berikut : 1. Harga (P) diwakili dengan IHK ibukota provinsi sebagai proksi dari tingkat harga pada level provinsi dan dinyatakan dalam bentuk logaritma natural. Dasar penggunaan proksi ini adalah ibukota provinsi sebagai pusat pertumbuhan yang akan memengaruhi daerah lainnya di luar ibukota provinsi. 2. Output aktual (Y) diproksi dengan PDRB atas dasar harga konstan (adhk). Output potensial (YPOT) merupakan estimasi dari PDRB adhk dengan metode detrending. Output gap (OG) selanjutnya diturunkan dengan menghitung deviasi antara output aktual terhadap output potensialnya. (OG = ln Y – ln YPOT). Terkait dengan proses estimasi output potensial, data PDRB adhk yang digunakan adalah periode tahun 1983 – 2009, sementara untuk analisis hanya menggunakan tahun 2000 – 2009. 3. Proksi dari nilai tukar (KURS) yang digunakan adalah kurs rupiah per dolar AS, sementara dari nilai tukar nominal efektif (XR) dihitung dengan membagi kurs dengan tingkat harga atau dalam bentuk logaritma natural XR = ln KURS – P. 4. Proksi dari suku bunga nominal adalah suku bunga acuan dari BI (BI rate), sementara suku bunga riil (IR) dihitung dengan persamaan Fisher, yaitu suku bunga nominal dikurangi tingkat inflasi yang diharapkan (Mankiw, 2007). Tingkat inflasi (e) yang diharapkan diproksi inflasi IHK periode sebelumnya.
80
5. Jumlah uang beredar (JUB) yang digunakan adalah jumlah uang beredar dalam arti sempit. Jumlah uang beredar riil (M1) diproksi dengan membagi besarnya jumlah uang beredar dalam arti sempit dengan tingkat harga. Dalam bentuk logaritma natural M1 = ln JUB – P. 6. Pengeluaran belanja pemerintah daerah secara nominal (GEXP) dihitung dengan menjumlahkan seluruh belanja pemerintah daerah untuk barang dan jasa pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam satu provinsi, sementara belanja riil (G) diperoleh dengan membagi belanja nominal dengan tingkat harga. Dalam bentuk logaritma natural G = ln GEXP – P. 7. Indeks Harga BBM (BM) merupakan proksi dari administred prices yang dinyatakan dalam bentuk logaritma natural. Indeks harga ini dikonstruksi dari perkembangan harga bensin premium, harga solar dan harga minyak tanah berdasarkan nilai konsumsi masing-masing dan tidak diterbitkan secara resmi oleh BPS. 8. Upah minimum nominal diproksi dengan dua variabel, yaitu besarnya gaji PNS terendah (GPNS) dan Upah Minimum Provinsi (UMP). Upah minimum riil untuk sektor swasta (W1) dan pemerintah (W2) masing-masing dihitung dengan membagi upah minimum nominal dengan tingkat harga, atau dalam bentuk logaritma natural W1 = ln UMP – P dan W2 = ln GPNS – P. 9. Kondisi infrastruktur (IS) diwakili oleh infrastruktur jalan raya, dengan diproksi dengan panjang jalan raya dengan kondisi baik (km) dibagi dengan luas wilayah (km2) dan kemudian dinyatakan dalam bentuk logaritma natural. Proksi ini mengacu pada pendekatan yang telah banyak diterapkan dalam beberapa penelitian, termasuk oleh Asian Development Bank (ADB). 10. Derajat keterbukaan perdagangan (trade openness) diproksi dengan membagi nilai total trade (nilai ekspor ditambah impor) dengan total output. Nilai ekspor dan impor dimaksud diambil dari data PDRB menurut penggunaan, sementara total output menggunakan PDRB total, keduanya pada tingkat provinsi dan dinyatakan merupakan PDRB nominal atau PDRB atas dasar harga berlaku (adhb). Secara umum, sumber data dan data dasar yang akan digunakan dalam analisis dirangkum dalam tabel berikut :
81
Tabel 5. Sumber data dan data dasar yang digunakan dalam analisis No. Variabel
Keterangan
Sumber
1. IHK
rebasing : tahun dasar 2000
BPS : diolah
2. PDRB adhk
rebasing : tahun dasar 2000 (jutaan rupiah)
BPS : diolah
3. KURS
Rupiah per dolar AS
BI
4. Suku bunga
BI rate (%)
BI
5. Jumlah uang beredar
Jumlah uang beredar dalam arti sempit/M1 *)
BI
6. Indeks Harga BBM
rebasing : tahun dasar 2000
BPS : diolah
7. Upah Minimum Provinsi (UMP)
Dalam rupiah
Kemenakertrans
8. Gaji PNS terendah
Dalam rupiah
Kemenkeu
Panjang jalan raya dengan kondisi baik (km)
BPS
9.
Panjang jalan
2
10. Luas wilayah
Dalam km
BPS
11. Ekspor
Nilai ekspor dari PDRB menurut penggunaan atas dasar harga berlaku (jutaan rupiah)
BPS
12. Impor
Nilai impor dari PDRB menurut penggunaan atas dasar harga berlaku (jutaan rupiah)
BPS
13. PDRB adhb
PDRB atas dasar harga berlaku (jutaan rupiah)
BPS
14. IRIO 2005
Digunakan sebagai matriks penimbang spasial model spatial lag (W)
Bappenas & BPS : diolah
Keterangan : *) jumlah uang beredar pada level nasional
Selanjutnya, mengingat keterbatasan data untuk jumlah uang beredar pada tingkat provinsi, maka dilakukan estimasi dengan metode proporsi jumlah uang beredar dalam arti sempit pada level nasional dengan alokator yang digunakan adalah PDRB atas dasar harga berlaku (adhb) menurut provinsi. Estimasi ini merujuk pada teori kuantitas uang, yang menyatakan bahwa jumlah uang beredar berbanding lurus dengan aktivitas perekonomian yang diproksi dengan PDRB atas dasar harga berlaku. Alasan lain dalam penggunaan indikator PDRB atas dasar harga berlaku menurut provinsi sebagai pendekatan dari jumlah uang beredar menurut provinsi adalah korelasinya yang tinggi dengan jumlah uang beredar pada level nasional. 3.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka tersebut di atas, maka hipotesis yang diajukan untuk kondisi Indonesia adalah: 1. Inflasi inersia memberikan peran yang positif dan signifikan dalam pembentukan inflasi.
82
2. Kesenjangan output (output gap) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan inflasi. 3. Perbaikan kondisi infrastruktur secara bersama-sama dengan peningkatan derajat keterbukaan perdagangan memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi. 4. Perbedaan laju peningkatan kondisi infrastruktur secara bersama-sama dengan derajat keterbukaan perdagangan menyebabkan perbedaan volatilitas inflasi yang signifikan antara Jawa dengan luar Jawa dan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). 5. Pergerakan nilai tukar dolar AS memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi . 6. Pengaruh penetapan upah minimum provinsi (UMP) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap volatilitas inflasi. 7. Peningkatan belanja pemerintah daerah memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi. 8. Penyesuaian harga BBM yang memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi . 9. Penyesuaian gaji PNS yang dilakukan memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi . 10. Penyesuaian suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi. 11. Pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi. 12. Penargetan inflasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan volatilitas inflasi, persistensi inflasi dan exchange rate pass through (ERPT).