III
3.1.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Konsep Daya Saing Perdagangan Internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara yang lainnya. Setiap negara akan memproduksi apa yang menjadi kebutuhannya dan mengimpor apa yang tidak negara tersebut produksi. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan suatu negara melakukan perdagangan internasional. Pertama, yakni adanya keragaman sumberdaya alam yang dimiliki oleh suatu negara. Hal ini berhubungan dengan faktor-faktor yang secara alamiah dimiliki oleh suatu negara tertentu. Selanjutnya adalah karena adanya perbedaan selera (preferensi) pada masing-masing negara. Perdagangan internasional yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung atas dasar perbedaaan preferensi permintaan atau selera di masing-masing negara. Kemudian yang terakhir karena adanya perbedaan biaya. Hal ini berkaitan erat dengan biaya produksi. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan untuk mencapai skala ekonomi. Hal ini akan menyebabkan setiap negara cenderung untuk melakukan spesialisasi. Jika negara-negara melakukan spesialisasi, maka skala ekonomis akan tercapai dan biaya produksi per unit akan semakin murah. Daya saing merupakan kemampuan produsen dalam menghasilkan produk yang sesuai dengan permintaan konsumen dan memiliki biaya produksi yang rendah. Biaya produksi yang rendah disini diasumsikan apabila terjadi di pasar internasional, sehingga produk atau komoditas tersebut dapat diproduksi dan dipasarkan oleh produsen sehingga dapat mempertahankan kelangsungan produksinya. Menurut Kuraisin dalam Septiyorini, (2009) menyebutkan bahwa pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur dayasaing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditas
49
dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
3.1.2. Keunggulan Komparatif Hukum keunggulan komparatif pertama kali diperkenalkan oleh David Ricardo pada tahun 1817, yang mengatakan bahwa meskipun salah satu negara kurang efisien dibanding negara lainnya dalam memproduksi kedua komoditi, masih terdapat dasar dilakukannya perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak, dengan asumsi proporsi kerugian absolut satu negara pada kedua komoditi tersebut tidak sama (Salvatore 1997). Kelemahan pada teori keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo adalah keunggulan komparatif ini hanya didasarkan pada perbedaan produktivitas setiap tenaga kerja saja, padahal masih banyak faktor yang mempengaruhi seperti teknologi, modal, tanah, dan sumberdaya lainnya. Pada tahun 1936, hukum keunggulan komparatif disempurnakan dengan teori biaya imbangan (Oppurtunity Cost Theory) yang dikemukakan oleh Haberler. Menurut teori biaya imbangan, biaya sebuah komoditi adalah jumlah komoditi kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumber daya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditi pertama. Artinya negara yang memiliki biaya imbangan lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditi akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditi tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam komoditi kedua (Salvatore 1997). Teori keunggulan komparatif yang lebih modern dikemukakan oleh Hecksler dan Ohlin yang diberi nama dengan teori Hecksler-Ohlin. Teori tersebut menyatakan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditi yang banyak menyerap faktor produksi yang tersedia di negara itu dalam jumlah dan berharga relatif murah, serta mengimpor komoditi banyak menyerap faktor produksi yang di negara itu relatif langka dan mahal (Salvatore 1997). Keunggulan komparatif akan menjadi ukuran daya saing, apabila perekonomian tidak mengalami gangguan atau distorsi. Seperti yang telah disebutkan, bahwa keunggulan komparatif akan menjadi tolak ukur daya saing
50
komoditas tertentu dari segi efisiensi. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dapat dikatakan komoditas tersebut telah mencapai efisiensi secara ekonomi. Oleh karena itu keunggulan komparatif terkait dengan kelayakan secara ekonomi. Artinya kelayakan ekonomi menilai aktivitas ekonomi bagi masyarakat secara general atau menyeluruh, tanpa melihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut.
3.1.3. Keunggulan Kompetitif Pada keunggulan komparatif disebutkan akan menjadi ukuran daya saing suatu komoditas dengan asumsi perekonomian tidak mengalami gangguan atau distorsi sama sekali. Namun, pada kenyataannya sulit sekali ditemukan kondisi perekonomian yang tidak mengalami gangguan atau distorsi, misalnya seperti di Indonesia sebagai negara berkembang. Keunggulan komparatif digunakan hanya untuk mengukur manfaat aktivitas ekonomi dari segi masyarakat keseluruhan atau general. Oleh karena itu dalam perkembangannya konsep yang sesuai untuk mengukur kelayakan secara finansial, digunakanlah konsep keunggulan kompetitif. Konsep keunggulan kompetitif dapat mengukur manfaat yang diterima oleh pihak-pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi. Oleh karena itu keunggulan kompetitif terkait langsung dengan kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Konsep keunggulan kompetitif ini secara operasional bukan untuk menggantikan konsep keunggulan komparatif, namun saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Artinya jika suatu komoditas memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, maka komoditas tersebut layak dan menguntungkan untuk diproduksi dan dapat bersaing dengan pasar internasional. Jika keunggulan komparatif berfungsi sebagai alat untuk mengukur keuntungan sosial dan dihitung berdasarkan harga sosial dan harga bayangan nilai tukar uang, maka keunggulan kompetitif berfungsi sebagai alat untuk mengukur keuntungan privat dan dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku (Septiyorni 2009). Menurut Grey et al. (1993), suatu perhitungan dikatakan perhitungan privat atau analisis finansial, bila yang berkepentingan langsung dalam benefit dan biaya proyek adalah individu atau pengusaha. Dalam hal ini yang dihitung sebagai
51
benefit adalah apa yang diperoleh orang-orang atau badan swasta yang menanamkan modalnya dalam proyek tersebut. Sebaliknya suatu perhitungan dikatakan perhitungan sosial atau ekonomi, bila yang berkepentingan langsung dalam benefit dan biaya proyek adalah pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini, yang dihitung adalah seluruh benefit yang terjadi dalam masyarakat sebagai hasil dari proyek dan semua biaya yang terpakai terlepas dari siapa saja yang menikmati benefit dan siapa yang mengorbankan sumber-sumber tersebut.
3.1.4.
Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah biasanya diterapkan untuk melindungi produk
dalam negeri terhadap produk luar negeri dan juga biasanya untuk meningkatkan ekspor produk dalam negeri. Kebijakan tersebut biasanya bertujuan untuk memperbaiki kegagalan pasar, yang biasanya diberlakukan untuk input dan output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi jika dalam kondisi perdagangan bebas (harga sosial). Secara garis besar kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah terdiri dari dua bentuk, yaitu berupa subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi ini terdiri dari dua bentuk, yakni subsidi positif dan subsidi negatif atau biasa disebut dengan pajak. Kemudian kebijakan hambatan perdagangan yakni berupa tarif dan kuota. Kebijakan-kebijakan digolongkan
menjadi
tiga
yang
mempengaruhi
kategori,
yaitu
sektor
kebijakan
makroekonomi, dan kebijakan investasi publik.
pertanian harga,
dapat
kebijakan
Kebijakan harga komoditas
pertanian merupakan kebijakan yang bersifat spesifik komoditas. Setiap kebijakan diterapkan untuk satu komoditas. Kebijakan harga juga bisa mempengaruhi input pertanian. Kebijakan makroekonomi mencakup seluruh wilayah dalam satu negara, sehingga kebijakan makroekonomi akan mempengaruhi seluruh komoditas. Kebijakan investasi publik mengalokasikan pengeluaran investasi (modal) yang bersumber dari anggaran belanja negara. Kebijakan ini bisa mempengaruhi kelompok seperti produsen, pedagang, dan konsumen dengan dampak yang berbeda karena dampak tersebut bersifat spesifik pada wilayah dimana investasi itu dilakukan (Pearson et al. 2005).
52
Monke dan Pearson (1989) menjelaskan bahwa kebijakan harga (price policies) dibedakan menjadi tiga tipe kriteria, yaitu tipe instrument, penerimaan yang akan diperoleh, dan tipe komoditi. Implementasi dari kebijakan ini nantinya akan dapat mempengaruhi kemampuan negara dalam memanfaatkan peluang ekspor suatu komoditi dan kemampuan negara tersebut untuk melindungi konsumen dan produsen dalam negeri. 1)
Tipe Instrumen Pada tipe instrumen ini terdapat dua kebijakan, yaitu kebijakan subsidi dan
kebijakan perdagangan. Subsidi merupakan pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah atau untuk pemerintah. Pembayaran yang berasal dari pemerintah disebut dengan subsidi positif, sedangkan pembayaran untuk pemerintah disebut dengan subsidi negatif atau biasa disebut dengan pajak. Subsidi dilakukan untuk melindungi baik konsumen maupun produsen dengan menciptakan harga dalam negeri atau domestik agar berbeda dengan harga yang berlaku di internasional. Kebijakan perdagangan merupakan pembatasan yang diterapkan oleh pemerintah pada ekspor atau impor suatu komoditi tertentu. Kebijakan perdagangan yang dapat diterapkan dapat berupa tarif dan kuota. Menurut Salvatore (1997) tarif adalah pajak atau cukai yang dikenakan untuk suatu komoditi yang diimpor atau diekspor. Tarif merupakan bentuk kebijakan perdagangan yang paling tua dan secara tradisional telah digunakan sebagai sumber penerimaan pemerintah sejak lama. Sedangkan kuota merupakan bentuk hambatan perdagangan non-tarif yang paling penting, dimana dimana adanya pembatasan secara langsung terhadap jumlah impor atau ekspor. Kuota dapat digunakan untuk melindungi sektor industri domestik tertentu, atau bisa juga untuk melindungi sektor pertanian. Tujuan dilakukannya kebijakan tersebut adalah untuk menciptakan perbedaan harga yang terjadi di pasar domestik dengan harga yang terjadi di pasar internasional dan juga untuk membatasi kuantitas barang yang masuk ke dalam negeri (barang impor). 2)
Kelompok Penerimaan Monke dan Pearson (1989) menjelaskan bahwa klasifikasi kelompok
penerimaan adalah kebijakan yang dikenakan pada produsen dan konsumen.
53
Suatu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan menyebabkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen, dan anggaran pemerintah. 3)
Tipe Komoditi Tujuan dengan adanya pengklasifikasian tipe komoditi adalah untuk
membedakan komoditi mana yang dapat diekspor dan komoditi yang dapat diimpor. Tidak adanya kebijakan harga, maka harga domestik akan sama dengan harga internasional, sehingga harga yang digunakan untuk ekspor adalah fob atau harga pelabuhan, sedangkan harga yang digunakan untuk impor adalah cif atau harga di pelabuhan pengekspor. Namun apabila diberlakukan kebijakan untuk barang ekspor dan impor maka harga yang terjadi di pasar domestik akan berbeda dengan harga fob dan cif.
3.1.4.1. Kebijakan Output Kebijakan pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output/NPCO). Kebijakan terhadap output dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor baik berupa subsidi positif maupun subsidi negatif atau pajak. Berikut dampak yang diberikan dengan adanya subsidi positif terhadap produsen pada barang impor dan ekspor dapat dilihat pada Gambar 1.
P
P Pp S
Pp Pw
Pw
H G
B E
S
F A
A C
B D
Q1
Q2 (a) S+/PI
Gambar 1.
Q3
Q
D Q2
Q1
Q3
Q4
Q
(b) S+/PE
Dampak Subsidi Positif Terhadap Produsen Barang Impor dan Ekspor Sumber : Monke and Pearson (1989)
54
Gambar 1(a) merupakan gambar subsidi positif yang ditujukan untuk produsen barang impor. Adanya subsidi positif ini menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat, sedangkan jumlah impor akan menurun. Hal ini disebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri di dalam negeri. Pada Gambar 1(a) output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 menjadi Q2 dan jumlah impor menurun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2, sedangkan konsumsi tetap pada Q3. Besarnya subsidi per output sebesar (Pp - Pw) pada tingkat output Q2, sehingga transfer total dari pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (Pp - Pw) atau PpABPw. Biaya korbanan jika barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri di dalam negeri adalah sebesar Q1CAQ2, sedangkan jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2. Sehingga efesiensi yang hilang dengan adanya subsidi tersebut adalah sebesar CAB. Gambar 1(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi mengakibatkan output produksi dalam negeri dan jumlah ekspor meningkat yakni dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2. Tingkat subsidi yang diberikan pemerintah adalah sebesar GABH.
3.1.4.2. Kebijakan Input Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input asing (Tradable) dan input domestik (Non Tradable). Kebijakan pada kedua input tersebut dapat berupa subsidi positif maupun subsidi negatif atau pajak, sedangkan kebijakan hambatan perdagangan hanya berlaku pada input asing (Tradable) karena input domestik (Non Tradable) hanya diterapkan pada komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. a)
Kebijakan Input Tradable Kebijakan pada input Tradable dapat berupa subsidi, pajak, dan hambatan
perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input Tradable ditunjukkan pada Gambar 2 berikut ini.
55
P
P Sā
Sā S
Pw
A
C
B Q2
C
Pw
B
D Q1
Q
(a) S-/Pt Gambar 2.
A
S
D Q1
Q2
Q
(b) S+/Pt
Pajak dan Subsidi pada Input Tradable Sumber : Monke and Pearson (1989)
Gambar 2(a) menunjukkan pengaruh pajak terhadap input Tradable yang digunakan. Pajak pada input akan menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga output domestik turun, yakni dari Q1 menjadi Q2 dan kurva penawaran (supply) bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang yaitu Q1CAQ2 dengan biaya produksi output sebesar Q2BCQ1. Gambar 2(b) menunjukkan dampak subsidi pada input Tradable yang digunakan. Adanya subsidi pada input Tradable menyebabkan biaya produksi semakin rendah sehingga produksi meningkat, yakni dari Q1 menjadi Q2 dan kurva penawaran bergeser ke bawah (Sā). Efisiensi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi yang betambah setelah menigkatnya output dengan peningkatan nilai output.
b)
Kebijakan Input Non Tradable Kebijakan input Non Tradable dapat berupa kebijakan subsidi positif dan
subsidi negatif (pajak). Dampak kebijakan subsidi dan pajak pada input Non Tradable dapat dilihat pada gambar 3.
56
P
P C
S
S
Pc Pd Pp
Pp B
A
C
Pd
E
A
Pc
B E
D
Q2
Q1
D
Q
(a) S-/Pnt
Q1
Q2
Q
(b) S+/Pnt
Keterangan : Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan subsidi dan pajak Pc : Harga konsumen setelah diberlakukan subsidi dan pajak Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan subsidi dan pajak Gambar 3.
Dampak Subsidi Dan Pajak Pada Input Domestik Sumber: Monke and Pearson (1989)
Gambar 3(a) menunjukkan dampak pajak pada input Non Tradable, dimana sebelum diberlakukannya kebijakan subsidi tingkat harga keseimbangan yang terjadi berada pada Pd dan dengan tingkat output keseimbangan sebesar Q1. Pajak sebesar Pd-Pp menyebabkan produk yang dihasilkan turun menjadi Q2, begitu juga harga yang diterima produsen turun menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen naik menjadi Pc. Besaran efisiensi ekonomi yang hilang dari produsen yakni sebesar BEA dan dari konsumen yang hilang sebesar BCA. Gambar 3(b) menunjukkan dampak subsidi pada input Non Tradable, dimana sebelum diberlakukannya kebijakan subsidi tingkat harga keseimbangan yang terjadi berada pada Pd dan dengan tingkat output keseimbangan sebesar Q1. Adanya subsidi ini akan menyebabkan produksi meningkat dari dari Q1 menjadi Q2. Harga yang diterima produsen akan meningkat menjadi Pp sedangkan harga yang diterima oleh konsumen akan turun menjadi Pc. Efisiensi yang hilang dari produsen sebesar ACB dan dari konsumen sebesar ABE.
3.1.5. Teori Policy Analysis Matrix (PAM) Penelitian ini menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM), yaitu matrik yang berfungsi untuk mengetahui daya saing dan dampak kebijakan
57
pemerintah terhadap suatu komoditi. Metode Policy Analysis Matrix (PAM) dikemukakan oleh Monke dan Pearson pada tahun 1989. Menurut Monke dan Pearson (1989), Metode Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan suatu alat analisis yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Empat aktivitas yang terdapat dalam sistem komoditas yang dapat dipengaruhi terdiri dari tingkat usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolah, dan pemasaran. Menurut Indriyati (2007), metode PAM dapat mengidentifikasi tiga analisis, yaitu analisis keuntungan (privat dan sosial), analisis daya saing (keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif), dan analisis dampak kebijakan. Dalam metode PAM terdapat asumsi-asumsi yang digunakan, antara lain : 1)
Perhitungan berdasarkan Harga Privat (Privat Cost), yaitu harga yang benar-benar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang benar-benar terjadi setelah adanya kebijakan.
2)
Perhitungan berdasarkan Harga Sosial (Sosial Cost) atau Harga Bayangan (Shadow Price), yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi apabila tidak ada kebijakan. Pada komoditas yang dapat diperdagangkan (Tradable), harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional.
3)
Output bersifat Tradable dan input dapat dipisahkan ke dalam komponen asing (Tradable) dan domestik (Non Tradable).
4)
Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan. Tiga tujuan utama dari metode PAM yakni memungkinkan seseorang
untuk menghitung tingkat keuntungan privat atau sebuah ukuran dayasaing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual. Sehingga dengan melakukan hal yang sama untuk berbagai sistem usahatani lainnya memungkinkan kita untuk melakukan urutan daya saing pada tingkat harga aktual untuk berbagai sistem usahatani tersebut. Kemudian tujuan kedua dari anallisis PAM ialah menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani, dimana dihasilkan dengan menukar output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (sosial opportunity cost). Tujuan terakhir dari analisis PAM ialah menghitung transfer effect, sebagai dampak dari
58
sebuah kebijakan. Dengan membandingkan pendapatan dan biaya sebelum dan sesudah penerapan kebijakan kita bisa menentukan dampak dari kebijakan tersebut. Metode PAM menghitung dampak kebijakan yang mempengaruhi output maupun faktor produksi (lahan, tenaga kerja dan modal) (Pearson et al. 2005).
Tabel 5. Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Uraian Harga Privat Harga Sosial Dampak Kebijakan
Penerimaan Output A E
Biaya Input Tradable Non Tradable B C F G
I
J
K
Keuntungan D H L
Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan : A : Penerimaan Privat B : Biaya Input Tradable Privat C : Biaya Input Non Tradable Privat D : Keuntungan Privat E : Penerimaan Sosial F : Biaya Input Tradable Sosial
G : Biaya Input Non Tradable Sosial H : Keuntungan Sosial I : Transfer Output J : Transfer Input Tradable K : Transfer Faktor L : Transfer Bersih
3.1.5.1. Analisis Keuntungan 1)
Keuntungan Privat (PP) PP = D = A - B - C Secara finansial kegiatan usahatani akan layak untuk diteruskan, jika
keuntungan privat lebih besar atau sama dengan nol, sebaliknya bila kurang dari nol maka usahatani tersebut rugi.
2)
Keuntungan Sosial (PS) PS = H = E - F - G Secara ekonomi pengusahaan suatu komoditas layak untuk diteruskan, jika
nilai keuntungan sosial lebih dari satu atau sama dengan nol dan jika nilainya kurang dari nol maka kegiatan usahatani tersebut tidak layak untuk diteruskan karena dapat menimbulkan kerugian.
59
3.1.5.2. Analisis Efisiensi (Keunggulan Komparatif dan Kompetitif) 1)
Rasio Biaya Privat (PCR) PCR Jika PCR memiliki nilai lebih kecil dari satu, maka suatu komoditas akan
memiliki keunggulan kompetitif, yang berarti untuk meningkatkan nilai tambah sebesar satu satuan diperlukan tambahan biaya faktor domestik yang dikeluarkan lebih kecil dari satu satuan.
2)
Rasio Biaya Sumber Daya (DRC) DRC Jika DRC memiliki nilai lebih kecil dari satu, maka suatu pengusahaan
komoditas tertentu akan memiliki keunggulan komparatif, yang berarti pengusahaan komoditas tersebut memiliki efisiensi secara ekonomi.
3.1.5.3. Dampak Kebijakan Pemerintah 1)
Kebijakan Output a) Transfer Output (TO) TO = I = A - E Transfer Output menunjukkan kebijakan pemerintah yang diterapkan pada
output yang menyebabkan harga output privat dan sosial berbeda. Nilai Transfer Output menunjukkan besarnya intensif masyarakat terhadap produsen. Nilai transfer Output yang positif berarti masyarakat harus membeli dengan harga yang lebih mahal dari harga yang seharusnya dibayarkan dan produsen menerima harga yang lebih besar dari harga yang seharusnya diterima.
b) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) NPCO
60
Koefisien Proteksi Output Nominal digunakan untuk mengukur dampak kebijakan pemerintah yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai output yang diukur dengan harga privat dan sosial. Apabila nilai NPCO lebih kecil dari satu maka menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang menghambat ekspor output yang berupa pajak.
2)
Kebijakan Input a) Transfer Input (TI) TI = J = B - F Nilai Transfer Input yang positif menunjukkan kebijakan pemerintah pada
input tradable menyebabkan keuntungan yang diterima lebih besar dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Nilai TI negatif menunjukkan kebijakan pemerintah keuntungan yang diterima secara finansial llebih kecil dibandingkan tanpa adanya kebijakan.
b) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) NPCI = Nilai Koefisien Proteksi Input Nominal lebih dari satu menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input, sementara sector yang menggunakan input tersebut akan dirugikan dengan tingginya biaya produksi. Jika nilai NPCI lebih kecil dari satu menunjukkan adanya hambatan ekspor input, sehingga produksi menggunakan input local.
c) Transfer Faktor (TF) TF = K = C - G Nilai Transfer Faktor menunjukkan besarnya subsidi terhadap input non tradable, dimana jika nilai TF positif maka terdapat subsidi negatif atau pajak pada input non tradable, sedangkan jika TF memiliki nilai negatif maka terdapat subsidi positif pada input non tradable.
61
3.1.5.4. Kebijakan Input - Output 1)
Koefisien Proteksi Efektif (EPC) EPC = Nilai Koefisien Proteksi Efektif menunjukkan arah kebijakan pemerintah
apakah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Nilai EPC lebih besar dari satu menunjukkan tingginya proteksi pemerintah dalam sistem produksi suatu komoditas, sedangkan jika nilai EPC kurang dari satu menunjukkan proteksi pemerintah terhadap sistem produksi sangat rendah.
2)
Transfer Bersih (TB) TB = L = D ā H Nilai transfer bersih menunjukkan ketidakefisienan dalam sistem produksi.
Jika TB memiliki nilai lebih besar dari nol maka nilai tersebut menunjukkan tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dilakukan pada input dan output. Nilai TB yang lebih kecil dari nol akan menunjukkan keadaan yang sebaliknya.
3)
Koefisien Keuntungan (PC) PC = Nilai koefisien keuntungan menunjukkan dampak kebijakan pemerintah
terhadap keuntungan yang diterima oleh produsen. Jika nilai PC kurang dari satu menunjukkan kebijakan pemerintah yang mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dari pada tanpa adanya kebijakan. Sebaliknya, jika nilai PC lebih dari satu berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima oleh produsen lebih besar.
4)
Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) SRP =
62
Nilai SRP kurang dari nol menunjukkan kebijakan pemerintah menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih kecil dari biaya imbangan untuk berproduksi. Namun jika nilai SRP lebih dari nol menunjukkan kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produsen lebih besar dari biaya imbangan untuk berproduksi.
3.1.6. Analisis Sensitivitas Sifat dari metode Policy Analysis Matrix (PAM) yang kaku atau statis, menyebabkan tidak bisa dilakukannya simulasi untuk kemungkinan perubahanperubahan pada faktor usahatani, misalnya perubahan pada variabel-variabel biaya atau penerimaan. Sehingga untuk mereduksi kelemahan dari metode ini maka dilakukanlah analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas merupakan suatu alat dalam menganalisis pengaruhpengaruh risiko yang ditanggung dan ketidakpastian dalam analisa proyek (Gittinger 1986). Analisis sensitivitas bertujuan untuk melihat bagaimana hasil dari suatu kegiatan ekonomi apabila terjadi perubahan-perubahan terhadap faktorfaktor dalam perhitungan biaya atau benefit. Menurut Kadariah (1988), analisis sensitivitas dilakukan dengan cara mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing terpisah atau dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahanperubahan tersebut, dan menentukan dengan berapa suatu unsur harus berubah sampai hasil perhitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima. Pada bidang pertanian, kegiatan ekonomi atau proyek-proyek biasanya sensitif akibat empat masalah utama, yaitu harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan biaya, dan hasil (Gittinger 1986). Analisis sensitivitas membantu dalam menentukan unsur-unsur sensitif yang berperan dalam menentukan hasil dan proyek. Menurut Yusran (2006), Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau kombinasi unsur kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan analisis sensitivitas adalah : 1)
Analisis sensitivitas tidak digunakan untuk pemilihan proyek, karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah satu parameter pada suatu saat tertentu.
63
2)
Analisis sensitivitas hanya mencatatkan apa yang terjadi jika variabel berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Mengacu pada permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah menganalisis bagaimana pengaruh teknologi terhadap keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif jeruk siam di Kabupaten Garut, serta menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing pengusahaan jeruk siam di Kabupaten Garut. Tahap pertama dalam penelitian ini adalah menganalisis bagaimana daya saing pada komoditas jeruk siam di Kabupaten Garut. Analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis daya saing adalah Policy Analysis Matrix (PAM). Melalui hasil PAM tersebut dapat diketahui keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas jeruk siam. Keunggulan kompetitif tercermin dari nilai keuntungan privat (PCR) dan rasio biaya privat sedangkan keunggulan komparatif tercermin dari keuntungan sosial dan rasio biaya sumberdaya domestik (DRC). Kemudian tahap selanjutnya adalah menaganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap dayasaing komoditas jeruk siam di Kabupaten Garut. Pendekatan yang dilakukan juga melalui Matriks Kebijakan pemerintah (PAM). Pada analisis tersebut akan diketahui kebijakan yang berkaitan dengan input antara lain Transfer Input (TI), Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI), dan Transfer Faktor (TF). Kebijakan output ditunjukkan oleh nilai Transfer Output (OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Kebijakan gabungan antara input dan output ditunjukkan oleh nilai Transfer Bersih (TB), Keofisien Proteksi Efektif (EPC), Koefisien Keuntungan (PC), dan Rasio Subsisi Produsen (SRP). Tahap terakhir yang dapat dilakukan adalah melakukan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas perlu dilakukan karena metode PAM hanya memberlakukan satu harga sedangkan harga yang terjadi sebenarnya sangat bervariasi. Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat konsistensi kelayakan dari suatu kegiatan ekonomi secara sistematis atau untuk melihat apa yang akan
64
terjadi pada hasil suatu kegiatan ekonomi apabila terdapat perubahan pada variabel-variabel biaya atau benefit. Analisis sensitivitas dilakukan dengan cara mengubah variabel input output yang berdasarkan asumsi kondisi yang mungkin terjadi di tempat penelitian dan dengan mengubah besaran masing-masing variabel dengan besaran persentase perubahan yang sama. Adapun penetapan skenario yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1)
Pelemahan nilai mata uang rupiah (depresiasi) dan penguatan nilai mata uang rupiah (apresiasi) sebesar lima persen. Depresiasi dan apresiasi sebesar lima persen ditetapkan berdasarkan kondisi fluktuasi kurs mata uang rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika pada tahun 2010.
2)
Kenaikan dan penurunan harga jeruk siam sebesar sepuluh persen. Fluktuasi harga jeruk siam ditetapkan berdasarkan kondisi fluktuasi harga yang terjadi di tempat penelitian pada tahun 2010.
3)
Kenaikan harga pupuk bersubsidi ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 32/Permentan/SR.130/4/2010 mengenai kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi, dimana kenaikan harga pupuk urea sebesar 33 persen, pupuk SP-36 sebesar 29 persen dan pupuk ZA sebesar 33 persen. Skema kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 4.
65
1. Persaingan dengan jeruk siam impor dan peluang ekspor 2. Potensi Kabupaten Garut sebagai sentra produksi Jeruk Siam 3. Peran Pemerintah dalam mengembangkan Jeruk Siam di Kabupaten Garut
Teknologi Modern (Bibit Penangkaran)
Teknologi Tradisional (Bibit Batang Bawah Sendiri)
Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi Usahatani Buah Jeruk Siam di Kecamatan Samarang
PAM (Policy Analysis Matrix)
Analisis Daya Saing Jeruk Siam
Analisis Keunggulan Kompetitif (PP, PCR)
Analisis Keunggulan Komparatif (SP, DRC)
Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah
Analisis Kebijakan Input (TI,TF,NPCI)
Analisis Kebijakan Output (TO,NPCO)
Analaisis Kebijakan InputOutput (TB,EPC,PC,SRP)
Daya Saing Jeruk Siam dan Dampak Kebijakan Pemerintah
Analisis Sensitivitas Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional
i