II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Kondisi Lingkungan Hidup dan Pendidikan Perhatian masyarakat dunia terhadap lingkungan hidup baru berlangsung pada sekitar tahun 1972, yaitu sejak ditandatanganinya Deklarasi Stockholm. Sejak saat itu mulai disadari bahwa ternyata keadaan lingkungan hidup sangat memprihatinkan dan banyak mengalami kerusakan yang berarti. Pencemaran atmosfer yang pada sebelum abad 21
hanya berskala
lokal telah berubah
menjadi global dan diikuti dengan pemanasan bumi. Air laut juga mengalami pencemaran
yang terus meningkat dari pencemaran yang bersifat sporadis
menjadi pencemaran limbah padat, cair, bahan beracun dan berbahaya (B3), kerusakan terumbu karang, dan instrusi garam terhadap air tanah. Permasalahan air bersih
yang pada awalnya hanya berupa
pencemaran pada skala
lokal
menjadi masalah terbatasnya air yang berkualitas dan makin sulitnya air bersih diperoleh. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Yudhoyono (2007) bahwa kondisi sumberdaya air di Indonesia yang sudah mencapai tahap kritis akibat tekanan, pengelolaan, serta kuantitas dan kualitas sumberdaya air. Padahal Indonesia merupakan negara sebagai penyedia 6 % sumber air dunia dan 21% di Asia Pasifik. Permasalahan lainnya adalah terbentuknya lahan penggundulan
hutan,
penggurunan, longsor
kekeringan,
penciutan
lahan
kritis, banjir,
pertanian
yang semakin luas, terancamnya
produktif,
sumberdaya hayati,
kebakaran hutan, dan illegal logging. Di beberapa daerah kawasan hutan yang seharusnya merupakan kawasan konservasi sekarang ini jumlahnya berkurang karena terdesak oleh
kegiatan masyarakat sekitar seperti
penebangan liar,
permukiman penduduk, serta perambahan hutan yang tak terkendali (Wildensyah, 2007). Sejalan dengan itu menurut Siburian (2006) pengambilan kayu dari hutan oleh
masyarakat disebabkan rendahnya pengetahuan
tentang
dampak
lingkungan yang ditimbulkan. Godwin Limberg peneliti Cifor dalam Kompas Senin 24 September 2007
halaman 23 mengemukakan
bahwa
adanya
perambahan hutan pada Taman Nasional Kutai. Menurut Asdak (2002) banjir bandang di wilayah hilir Daerah Aliran Sungai
berhubungan dengan penebangan hutan di wilayah hulu DAS. Hal ini
15
disebabkan
kurangnya
pemahaman masyarakat
tentang keterkaitan
antara
vegetasi, air dan tanah. Tingkat pemahaman masyarakat juga berkaitan dengan tingkat keberhasilan perbaikan kampung oleh pemerintah, masyarakat, maupun swasta
dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejateraan,
sehingga
banyak program perbaikan kampung yang belum dapat dicapai.
Keadaan yang sama juga terjadi pada upaya rehabilitasi hutan Mangrove yang kondisinya mengkhawatirkan. Keadaan
ini disebabkan penebangan oleh
masyarakat, pembangunan tambak, dan abrasi seperti yang terjadi di kecamatan Pemangkat kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Upaya rehabilitasi yang mengalami hambatan disebabkan oleh rendahnya partisipasi masyarakat. Sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Risyanto dan Widyastuti (2004) mengemukakan ada kaitan antara perilaku penduduk dan kualitas air sungai Gajahwong dengan sumber pencemar limbah rumah tangga, pertanian, dan industri. Rendahnya pendidikan masyarakat juga merupakan penyebab pemanfaatan bahan peledak
untuk menangkap ikan oleh nelayan di pulau
Kodinggareng Sulawesi Selatan sehingga merusak terumbu karang
(Bachtiar
dkk, 2003). Rario dkk (2005) mengemukakan pengetahuan petani dalam penggunaan pestisida
berhubungan nyata dan berpengaruh besar terhadap persepsi dan
perilaku penggunaan pestisida. Selain itu dikemukakan pula bahwa persepsi tentang pestisida berhubungan nyata dan berpengaruh besar terhadap perilaku penanganan pestisida seperti alasan penggunaan, cara penyimpanan, dan pemusnahan.
Irham dan Mariyono ( 2001) juga mengemukakan banyak petani
menggunakan pestisida keadaan serangan hama
dengan dasar pencegahan tanpa mempertimbangkan dan penyakit sehingga penggunaannya
cenderung
berlebih. Kegiatan masyarakat yang menimbulkan masalah lingkungan juga dikemukakan oleh Agus dkk (2005). Penambangan emas tanpa izin
di desa
Jendi Kecamatan Selogiri Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah telah menurunkan kualitas air sungai akibat penggunaan
merkuri dalam penambangan
dan
terindikasi telah melewati baku mutu air. Dampak merkuri terhadap makhluk hidup adalah bersifat racun, sulit untuk dihancurkan dan dapat terakumulasi pada tiap makhluk hidup dalam jaring makanan. Sungai Kahayan di Kalimantan
16
Tengah juga tengah mengalami tekanan lingkungan
karena adanya limbah
merkuri yang berasal dari penambangan emas tradisional. Dampak merkuri yang mencemari sungai telah diindikasikan ada pada ikan Baung (Mytus nemurus) yang biasa dikonsumsi masyarakat. Kegiatan masyarakat lainnya yang dapat merusak lingkungan pembuang
limbah domestik, industri, dan pertanian
adalah
ke dalam badan air.
Menurut Sudarso dkk (2005) kondisi waduk Saguling telah terkontaminasi Pb dan Cu seingga menimbulkan gangguan pada ekosistem perairan disamping blooming algae. Penelitian terhadap pembuangan limbah rumah tangga yang berasal dari permukiman, perdagangan, rekreasi di Makasar yang
kemudian
dialirkan langsung ke tempat yang lebih rendah seperti sungai dan laut telah melampaui baku mutu
untuk kualitas air
golongan 1 yaitu air yang dapat
digunakan untuk minum dengan parameter DO, fosfat, BOD, dan deterjen. Sahubawa (2001) mengemukakan bahwa aktifitas masyarakat selama 15 tahun terakhir di perairan teluk Ambon seperti pembuangan limbah domestik dan industri dan pengrusakan hutan mangrove telah menurunkan kecerahan perairan yang menghambat
proses fotosintesis tumbuhan air dan pertumbuhan ikan.
Penelitian terhadap perilaku petani juga telah dilakukan oleh Baroroh dan Utami (2001) yang mengemukakan bahwa pada umumnya petani kentang dan kubis di dataran tinggi Dieng Jawa Tengah tidak melaksanakan teknik konservasi tanah yang memadai untuk dapat menekan erosi dan aliran permukaan, kehilangan hara yang akibatnya menurunkan produktifitas dan kerugian ekonomi. Pengolahan tanah budidaya sayuran yang dilakukan oleh petani kurang memperhatikan aspek garis kontur, dan petani membuat guludan yang memotong garis kontur dengan alasan bahaya penyakit layu yang disebabkan oleh jamur (Phytopthora infestan). Cara pengolahan tanah dengan guludan searah lereng pada kemiringan yang curam dan curah hujan yang tinggi sangat potensial menimbulkan erosi yang tinggi. Akibatnya dapat mengurangi kemampuan lahan dalam berproduksi. Lebih jauh dikemukakan oleh Fujisaki (1995) bahwa kerusakan lingkungan secara lokal akibat aktifitas manusia dapat menimbulkan kerusakan dalam skala global. Hal ini juga dijelaskan oleh Rich dan Neilsen (2004) serta Verma dkk (2004). Perubahan iklim yang terjadi saat ini disebabkan oleh perilaku manusia (BBC World Service dalam Republika 17 Oktober 2007 halaman 14).
17
Cowwie dkk (2007) juga mengemukakan bahwa pemanasan global terjadi akibat aktifitas manusia. Hal lain yang dilaporkan Cowie dkk (2007) adalah perubahan lingkungan global yang terjadi merupakan sinergi dari perubahan iklim,
penurunan keanekaragaman hayati, dan desertifikasi. Dengan demikian
maka diperlukan upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan global (Hohne dkk, 2007). Upaya pelestarian sumberdaya hayati yang telah dilakukan selama ini adalah pelestarian flora dan fauna dalam habitatnya. Akan tetapi upaya tersebut belum dapat mengimbangi tingkat kerusakan yang terjadi
sehingga perlu
diperluas dengan upaya pelestarian tingkat plasma nutfah, jenis, dan ekosistem. Upaya penanggulangan kesehatan
manusia juga mengalami perubahan
dari
pengendalian penyakit kekurangan gizi dan penyakit menular terutama di negara berkembang
menjadi
lingkungan hidup.
penyakit yang berkaitan dengan penurunan kualitas
Penyakit-penyakit
tersebut adalah gangguan pernafasan,
jantung, alergi, stress, dan kanker. Belajar dari permasalahan lingkungan seperti yang dikemukakan di atas, maka tujuan pembangunan seharusnya bukan hanya menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi untuk mencapai kemakmuran tetapi juga harus memperhatikan keberlanjutan lingkungan hidup dan sumberdaya alam serta pemerataan pembangunan yang nyata pada tingkat lokal, nasional, regional, dan global (Soeriatmadja, 2004). Masalah lingkungan saat ini menurut Perhimpunan Cendekiawan Ilmu Lingkungan Se Indonesia (2005) adalah emisi karbondioksida dari pembakaran bahan bakar fosil dan pencemar lainnya yang menyebabkan berlangsungnya pemanasan global yang memberikan dampak pada perubahan iklim. Selain itu juga pemanasan global merupakan
dampak dari deforestasi, degradasi hutan,
devegetasi (Schlamadinger dkk, 2007).
Hal ini juga dilaporkan oleh Povellato
dkk (2007) bahwa diperlukan strategi untuk mengurangi gas rumah kaca karena dampaknya karena
terhadap pemanasan global.
Ozon telah mengalami kerusakan
terlepasnya CFC yang menurut
Derwent dkk (2007) juga dapat
disebabkan oleh alkohol, ester, ketone, ether, alkana, cyckloalkana dan glycol. Ribuan spesies
tumbuhan dan hewan
setiap tahun punah akibat
penebangan hutan, dan kerusakan lingkungan alam seperti trace (kelumit) dari bahan kimia (toksik) dijumpai
pada banyak danau dan ekosistem lainnya
18
termasuk lautan. Hujan asam yang disebabkan oleh emisi sulfur dioksida dari pusat pembangkit tenaga listrik dengan pembakaran batu bara jatuh di daerah sangat luas di bumi. Sumberdaya air terkuras oleh pemakaian berlebihan di banyak daerah di dunia. Jalur transportasi air tercemar dan terdegradasi oleh limpasan limbah cair rumah tangga dan pertanian, serta pembuangan limbah kimia. Bappenas (2003) dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Universitas Indonesia menggambarkan SDA dan lingkungan hidup Indonesia pada tahun 2025 sebagai berikut : 1. Total populasi diperkirakan akan mencapai 260 juta dengan persebaran yang semakin terkonsentrasi di daerah perkotaan yaitu 70% dari total penduduk dan
terkonsentrasi di daerah pesisir. Peningkatan
penduduk akan mempengaruhi
aktifitas
jumlah
ekonomi dan sosial ke arah
konsekuensi upaya ekspansif termasuk penggunaan lahan. 2. Kebutuhan SDA yang melebihi ketersediaannya perambahan aktifitas memiliki
dapat mengakibatkan
ekonomi dan sosial ke wilayah-wilayah
penurunan kualitas
lingkungan, terutama
konservasi. Selain berkurangnya
yang
di hutan-hutan
keanekaragaman hayati
juga
berkurangnya luas hutan dan bertambah luas daerah dan volume erosi tanah sehingga menyebabkan bencana banjir. 3. Perubahan daerah rawa dan ruang hijau yang berfungsi untuk menyimpan air
akan beralih fungsi
menjadi tanah persawahan dan pemukiman.
Fenomena di atas menggambarkan
adanya resiko
degradasi kualitas
sumberdaya air, khususnya di daerah perkotaan oleh besarnya tekanan penduduk dan pengelolaan sumberdaya air. 4. Indonesia akan mengalami berkurangnya nilai sumberdaya laut akibat kebijakan pembangunan di masa lalu yang sekarang masih berjalan tanpa disadari. 5. Permasalahan pengelolaan sumberdaya air, tanah, dan udara serta unsurunsur yang terkait dapat menimbulkan konflik sosial,
budaya, dan
ekonomi sebagai akibat kelangkaan ketesediaan SDA. 6. Penyediaan energi yang terbatas akibat cadangan minyak yang semakin menipis dan bergeser pada gas alam. Pendistribusian sumberdaya energi
19
yang tidak merata akan memungkinkan terjadinya konflik sosial dan ekonomi. Perubahan kualitas lingkungan dan sumberdaya alam yang cepat serta bersifat global
tidak dapat dihindari oleh setiap individu, masyarakat, dan
pemerintah. Namun demikian kini telah ada kesadaran masyarakat dunia termasuk Indonesia untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Disamping adanya kesadaran juga diperlukan upaya untuk menyatukan pandangan terhadap masalah dunia dan melakukan satu aksi untuk menyelamatkan planet bumi sebagai tempat yang aman dan berkelanjutan (sustainable development). Untuk dapat merealisasikan hal tersebut maka pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses transformasi kesadaran yang menjadi satu kesatuan nilai pengetahuan, sikap, dan perilaku. Kondisi lingkungan global yang cenderung kian
memburuk memicu
lahirnya program Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan atau Education for Sustaianable
Development (ESD) yang dicanangkan melalui resolusi
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Nomor 57 tahun 2004. Ada tiga tahapan untuk dapat memahami ESD yaitu memahami konsep sustainable development dan memahami peran pendidikan dalam merealisasi sustainable development. Hal ini mempresentasikan visi baru bagi pendidikan
yaitu visi yang
masyarakat berbagai usia untuk mengerti dunia tempat tinggal
menolong secara baik,
sanggup menghadapi kompleksitas dan keterkaitan masalah seperti ekonomi, ekologi, dan sosial. Menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Universitas Indonesia (2006)
pendidikan untuk
sustainable development
merupakan: 1. Pendidikan
yang mendorong orang untuk memperoleh keahlian,
kapasitas, nilai, dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjamin terwujudnya pembangunan berkelanjutan. 2. Pendidikan merata di semua tingkat dan konteks sosial (keluarga, sekolah, tempat kerja, dan komunitas). 3. Pendidikan yang menghasilkan warga negara yang bertanggung jawab serta mengusung nilai demokrasi dengan mengizinkan individu dan komunitas-komunitas kewajibannya.
memperoleh
haknya
dan
menjalankan
20
4. Pendidikan berdasarkan prinsip pembelajaran seunur hidup. 5. Pendidikan yang membantu pembangunan individu yang seimbang Powers (2004) mengemukakan bahwa kesempatan yang diberikan kepada sekolah
untuk mempengaruhi masyarakat dengan
cara
memberikan bekal
kompetensi pengetahuan, sikap, dan pengalaman kepada siswa dapat membentuk tingkah laku masyarakat yang positif terhadap lingkungan sehingga terbentuk lingkungan alami dan sosial yang sehat. Sebagai produk dari sikap individu, masyarakat, dan pemerintah berhubungan dengan
terhadap lingkungan
sikap atau perilaku. Sikap
maka kualitas lingkungan merupakan
refleksi dari
pemahaman pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran, sedangkan perilaku adalah tindakan yang merefleksikan pengetahuan dan sikap.
Proses
pembelajaran merupakan rangkaian informasi pendidikan baik formal maupun informal yang
senantiasa mengalami perubahan.
Dengan demikian dunia
pendidikan dituntut untuk mengantisipasi cepatnya perubahan sehingga perlu segera menangkap informasi lingkungan yang saat ini mendapat perhatian yang besar, khususnya jika dikaitkan dengan kondisi sumberdaya alam dan kualitas lingkungan yang semakin menurun. Pendidikan dasar dan dapat menanamkan transfer pengetahuan
menengah dinilai
norma, cara pandang, dan etika yang dibangun melalui secara formal untuk selanjutnya akan menjadi jiwa
peradaban bangsa. Pada Rencana Pembangunan Berkelanjutan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) dijelaskan bahwa indikator keberhasilan dalam bidang Pendidikan adalah
memberikan
pengetahuan,
pemahaman
dan
pembangunan berkelanjutan melalui penyelenggaraan
wawasan
mengenai
dan pengembangan
pendidikan formal, informal, dan nonformal sehingga dihasilkan sumberdaya manusia Indonesia yang berbudaya, paham, tanggap, dan kreatif terhadap tiga pilar pembangunan berkelanjutan.
Ada dua hal yang mendasar
dibenahi yaitu kesadaran masyarakat
terhadap lingkungan
yang harus
dan
penegakan
hukum yang masih kurang dan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) adalah upaya
untuk memberikan kesadaran terhadap lingkungan.
Namun berkaitan
dengan pelaksanaan PLH, Kusumo (2003) mengemukakan bahwa PLH dengan sasaran sustainable development yang sudah dilaksanakan mengalami beberapa hambatan yaitu berupa:
di Indonesia
21
1. Terbatasnya jumlah tenaga pengajar yang dapat menyusun materi ajar PLH
dan yang menguasai pengetahuan lingkungan hidup. Dengan
demikian diperlukannya pendidikan lingkungan hidup untuk calon guru seperti yang
dikemukakan oleh
Heimlich dkk (2004) melalui
penelitiannya di Amerika. 2. Terbatasnya kualitas dan kuantitas bahan dan materi ajar tentang lingkungan hidup. 3. Masih kurangnya inisiatif dan partisipasi dari masyarakat
dalam
pengembangan dan pelaksanaan PLH 4. Masih terbatasnya
jaringan kerjasama antara pihak terkait
baik
pemerintah, swasta, industri, peruguan tinggi, lembaga pendidikan formal dan non formal, serta lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup. 5
Masih terbatasnya sarana dan prasarana
6. Terbatasnya dana dalam pengembangan dan pelaksanaan PLH. Selain itu menurut Saragih ( 2000) Pandangan dan cara hidup masyarakat sukar diperbaiki dalam jangka waktu yang singkat. Pola pikir dan pola hidup yang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat tidak dapat dikendalikan dan diperbaiki dengan cara perundangan. Untuk memperbaiki hal seperti itu cara pendidikan formal maupun informal mungkin efektif walaupun
tidak dapat
dilakukan dalam kurun waktu yang singkat. Pelatihan tentang lingkungan hidup sudah mulai digalakkan pada tahun 1989/1990 hingga sekarang terhadap guru-guru Sekolah Dasar dan Menengah dengan nama Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan hidup (PKLH), Pelaksanaan PKLH Dikdasmen didukung
oleh 12 Pusat Pengembangan
Penataran Guru (PPPG). Pengamatan PPPG menunjukkan bahwa kemampuan tenaga kependidikan untuk mengajarkan lingkungan hidup telah dapat ditingkatkan tetapi implementasinya di sekolah masih lemah. Alkarhami (2000) juga mengemukakan bahwa PLH yang disampaikan melalui Kurikulum 1984 belum memberikan hasil yang menggembirakan. Realita sehari-hari
hampir
semua lulusan sekolah belum menampilkan kinerja ramah lingkungan. Dengan demikian kondisi aktual di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan pendidikan nasional belum menyentuh paradigma lingkungan hidup. Hasil evaluasi terhadap
22
Proyek PLH Dikdasmen yang dilakukan oleh oleh IPB (2001) memperlihatkan bahwa: 1. Pola pelatihan yang belum efektif 2. Metode pengajaran lebih didominasi ceramah 3. Kurikulum sangat padat waktu terbatas dan sulit diintegrasikan ke dalam kurikulum. 4. Penegakan hukum yang masih rendah. 5. Tidak ada target yang jelas dalam pelaksanaan PLH. 6. Keterlibatan lembaga lain masih rendah.
2.2. Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendiikan (KTSP) serta Kaitannya dengan PLH Salah satu kelengkapan penyelenggaraan pendidikan yang sangat penting adalah
kurikulum.
Kurikulum
Tahun 1994 yang selama sepuluh tahun
dilaksanakan pada SMA telah mendapat evaluasi dari kalangan masyarakat. Hasilnya antara lain menyimpulkan bahwa materi kurikulum ini dinilai sangat padat dan sukar dipahami oleh siswa bahkan oleh guru. Selain itu kurang menyentuh kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh materi tentang pengelolaan sumberdaya alam (SDA) yang terdapat pada lingkungan sekitar dan potensi daerah tidak dituangkan dan digali dalam Kurikulum Pendidikan 1994. Padahal materi lingkungan hidup sangat penting mengingat kenyataannya sumberdaya alam bersifat terbatas sehingga jika pemanfaatannya atau pengelolaannya keliru dapat menyebabkan unrenewable
kerusakan atau kepunahan. Pemanfaatan
perlu dilakukan
SDA yang
secara hemat maupun mencari alternatif
pengganti agar kehidupan dapat berlangsung secara berkelanjutan. Demikian juga halnya dengan SDA yang bersifat renewable juga tidak dapat diabaikan karena sumberdaya ini dapat mengalami kepunahan yang akhirnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem secara keseluruhan. Mempertahankan eksistensi SDA bukan hal yang mudah karena membutuhkan upaya dan kesungguhan. Oleh sebab itu dalam mendukung keberlangsungan kehidupan, selain diperlukan kompetensi
untuk
mengelola
mempertahankan keberadaan
SDA
juga
diperlukan
SDA. Kompetensi
kompetensi
untuk
tersebut dapat berupa
23
pembekalan kompetensi akan
teknologi yang ramah lingkungan di berbagai
bidang misalnya pertanian, industri, dan informasi sehingga siswa
memiliki
kompetensi yang handal dan mampu bersaing secara global. Djajadiningrat (2001) mengemukakan individu perlu peduli terhadap lingkungan karena individu merupakan bagian integral dari seluruh mata rantai lingkungan hidup, dan sebagai pengelola SDA manusia adalah pelaku aktif yang bertindak sebagai konsumen, produsen, dan pembina ekosistem.
Perwujudan
pembangunan berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui masyarakat yang hidup dalam prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Menghormati dan memelihara komunitas kehidupan. 2. Memperbaiki kualitas lingkungan manusia. 3. Melestarikan lingkungan hidup dan keragaman bumi. 4. Menghindari pemborosan sumberdaya yang tak terbarukan. 5. Berusaha untuk tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi. 6. Mengubah sikap dan gaya hidup. 7. Mendukung kreatifitas
masyarakat untuk memelihara lingkungan
sekitarnya. 8. Menyediakan kerangka
kerja nasional untuk memadukan upaya
pembangunan dan pelestrian. 9. Menciptakan kerjasama global. Dengan demikian untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) memiliki peranan yang sangat besar. Menurut
Dewan Riset Nasional (2003) isu pokok bidang lingkungan salah
satunya adalah PLH. Selain itu isu lingkungan juga meliputi pembangunan yang belum berwawasan lingkungan, konservasi dan rehabilitasi, peluang pengelolaan dan penyelamatan SDA, serta peningkatan kemampuan hukum dan institusi. PLH merupakan kunci penting untuk menjawab rasa ingin tahu sebagai dasar kearifan manusia
dalam berperilaku.
Perilaku yang menjamin
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan perlu dikemas dalam berbagai program pembangunan yang bermuara pada peningkatan kualitas hidup. PLH dalam era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang harus memberdayakan setiap individu untuk mampu beradaptasi dalam kehidupan yang selalu bergolak. Oleh karena itu
PLH harus mampu memberdayakan
24
manusia untuk tegar tetapi lentur dengan kearifan agar mampu menghasilkan kompromi dalam berbagai hal yang memerlukan pendekatan dari dimensi yang berbeda (Soeryani, 2005).
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Soemarwoto (1981) bahwa sikap manusia terhadap ekosistem adalah faktor penentu kualitas lingkungan. Penurunan SDA, erosi, polusi, kepunahan spesies dan berbagai masalah adalah refleksi hubungan manusia dan lingkungannya. Sebagai konsekuensinya pendidikan lingkungan hidup harus mendapat perhatian yang besar. Untuk mencapai hal tersebut SDM masyarakat sekolah khususnya Kepala Sekolah dan guru
perlu terus melakukan pembelajaran khususnya mengenai
lingkungan dengan kesadaran yang tinggi. Karena itu menerus untuk memutakhirkan pengetahuan
tuntutan agar
terus
menjadi suatu keharusan. Agar
lulusan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai dengan standar mutu nasional dan internasional dengan tidak mengabaikan lingkungan. Dengan demikian maka kurikulum perlu dikembangkan dengan pendekatan Kurikulum Berwawasan Lingkungan.
Melalui upaya ini diharapkan terjadi peningkatan
kompetensi SDM terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sehingga
dapat dicapai perbaikan kualitas
lingkungan yang berdampak pada kesejahteraan bangsa. Upaya untuk mencapai kesejahteraan bangsa SDA bukan merupakan faktor yang utama, tetapi yang lebih besar peranannya adalah kompetensi dari SDM yang dimiliki. Adanya perubahan yang cepat menyebabkan perlunya pembaruan paradigma kompetensi lulusan Sekolah Menengah, khususnya SMA. Kompetensi yang diharapkan dari pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di tingkat sekolah menengah mengalami perubahan yaitu dari
penguasaan
materi menjadi kompetensi
mengembangkan materi pembelajaran yang berpijak pada
untuk dapat Pembangunan
Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan (PBBL). Menurut Soeriatmadja (2004) pembaruan pendidikan di tingkat SMA baik IPA maupun IPS pada abad 21 adalah berperan aktif
dalam PBBL. Hal ini berbeda dengan pendidikan
SMA pada abad 20 yang terfokus pada peningkatan dan penguasaan pelajaran, dan lebih pada pengembangan lokal dan nasional. Materi IPA dan IPS yang pada
25
awalnya bersifat spesialisasi menjadi interdisiplin dan bergerak menuju pola holistik. Pembelajaran dalam PBBL memuat tiga aspek yaitu tujuan ekonomi, ekologi, dan sosial. Tujuan utama pembelajaran ekonomi adalah memberikan pemahaman stabilitas.
tentang
pertumbuhan ekonomi, pemerataan, ekoefisiensi, dan
Tujuan utama
pembelajaran
ilmu sosial adalah pemberdayaan
sumberdaya manusia, partisipasi masyarakat, kebersamaan, identitas budaya, pembinaan kelembagaan, dan pengentasan kemiskinan. Sedangkan target pembelajaran ekologi adalah kemampuan mengidentifikasi ekologi, keutuhan ekosistem, pelestarian keanekaragaman hayati khususnya pada daerah tropika, daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan hidup (carrying capacity), pengenalan IPTEK yang ramah lingkungan, penghematan sumberdaya alam, dan tanggap terhadap isu lingkungan global. Adapun tujuan akhir ke tiga aspek tersebut adalah kemampuan menjalin dan membina kemitraan dalam masyarakat (Soeriatmadja, 2004). Dalam pencapaian kompetensi tersebut di atas materi dan metode pembelajaran perlu disesuaikan dengan tingkat usia, lingkungan,
dan
potensi daerah. Pembekalan pemahaman terhadap pelestarian lingkungan sebaiknya telah ditanamkan sejak dini dan secara formal di tingkat sekolah dasar. Tetapi sangat disayangkan upaya pembekalan terhadap pelestarian lingkungan masih kurang memadai dan hanya diberikan pada pelajaran tertentu seperti Biologi dan Geografi secara terbatas dan kurang
mengangkat serta
menganalisis isu
kerusakan sumberdaya alam di daerah sekitarnya. Diberlakukannya kemudian
Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999
yang
direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah serta adanya tuntutan otonomi dan demokratisasi dalam bidang pendidikan telah merubah cara pandang dalam penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia. Sejalan dengan itu penyelenggaraan pendidikan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang semula bersifat sentralistik perlu diubah menjadi desentralistik.
Dengan demikian pengembangan kurikulum dapat disesuaikan
dengan kondisi daerah setempat. Hamid (2000) mengemukakan keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan ekonomi merupakan suatu realita dalam masyarakat.
26
Selain
itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Bab II Pasal 3 menegaskan
bahwa
pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pada Pasal 4 ditegaskan bahwa sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah: 1. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup 2. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup. 3. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan 4. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup 5. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana 6. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Sasaran pengelolaan Pengelolaan
lingkungan hidup dalam Undang-Undang tentang
Lingkungan Hidup merupakan payung untuk mendukung PLH
melalui kurikulum pada tingkatan pendidikan. Pemahaman Kurikulum menurut Beaucham (1972) adalah rencana instruksional, dengan konsep tersebut berupa pengetahuan yang
maka
menimbulkan pengaruh
yaitu
dihafal dan diingat siswa dan sedikit sekali
berkontribusi pada perkembangan kepribadian, tingkah laku, dan sikap siswa (Zais, 1976). Pemahaman tentang kurikulum berkembang sebagai bekal yang memadai
kepada siswa untuk
berhasil dalam kehidupannya (Ornstein dan
Hunkin (1984). Selanjutnya kurikulum saat ini dibuat dengan mengangkat issue yang sedang berkembang, kultur, dan politik dan ada selalu disertai kontrol sosial ( Grifin, 1983). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, kurikulum adalah seperangkat rencana, pengaturan, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
27
untuk melaksanakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan kata lain kurikulum pendidikan berfungsi sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan tertentu.
Kurikulum memberikan dasar-dasar pengetahuan yang dapat dikembangkan, ketrampilan pengalaman belajar untuk membangun integritas sosial,
serta
membudayakan dan mewujudkan karakter nasional. Pada hakikatnya kurikulum disusun untuk dapat dijadikan instrumen yang membantu peserta didik untuk berkembang menjadi individu sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Kurikulum juga
bertujuan untuk mengembangkan
kompetensi siswa secara
keseluruhan. Kompetensi merupakan keunggulan yang fundamental dari seorang individu sehingga mencerminkan sikap dan kinerja di dunia kerja. Menurut Hall dan Jones (1976) kompetensi adalah wujud penampilan yang ditimbulkan dari integrasi kompetensi pengetahuan dan sikap. Kompetensi pengetahuan adalah pengertian dan pemahaman dari suatu informasi, kompetensi sikap berhubungan dengan nilai,
minat, dan apresiasi, sedangkan kompetensi perilaku adalah
demonstrasi atau tindakan yang diharapkan. Keputusan Mendiknas No. 045/U/2002 mendefinisikan kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas di pekerjaan.
Kompetensi terdiri dari kemampuan
akademik, ketrampilan hidup, pengembangan moral,
pembentukan karakter
yang kuat, kebiasaan hidup sehat, semangat bekerja sama, dan apresiasi estetika yang terdapat di dunia sekitar. Prinsip–prinsip pengembangan kurikulum adalah penekanan keseimbangan etika, dan logika. Pengembangan etika dilaksanakan dalam rangka penanaman nilai-nilai sosial dan moral termasuk menghargai dan mengangkat nilai-nilai
pluralitas dan
universal.
Pengembangan estetika
menempatkan pengalaman belajar secara total untuk memberikan pengalaman estetik melalui berbagai kegiatan yang dapat mengekspresikan gagasan, rasa, dan karsa. Logika yang dikembangkan adalah kemampuan berpikir kreatif inovatif disertai keseimbangan kompetensi merupakan
dan
antara pengetahuan dan emosi. Disamping itu
pengetahuan ketrampilan dan nilai-nilai dasar yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak
secara konsisten
dan terus menerus
memungkinkan seseorang
menjadi kompeten dalam arti memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan nilai-nilai
28
dasar untuk melakukan sesuatu. Pemikiran menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut : 1. Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan
sesuatu
sesuai dengan konteks yang diharapkan. 2. Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten. 3. Kompetensi merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran. 4. Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur. KBK digulirkan dalam keadaan pendidikan Indonesia yang menghadapi masalah seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. Selain
itu
pendidikan di SMA dihadapkan pada masalah- sebagai berikut: 1.
Masih rendahnya prestasi akademik lulusan SMA.
2.
Jumlah lulusan SMA yang melanjutkan studi sangat kecil
3.
Lulusan SMA tidak dibekali ketrampilan khusus untuk masuk dunia kerja.
4.
Persaingan global dunia kerja menuntut kualitas SDM yang bermutu tinggi.
5.
Kesulitan membentuk sumber belajar yang peduli terhadap lingkungan guna mengatasi
berbagai masalah lingkungan seperti pencemaran, sampah,
banjir, kelangkaan sumber air bersih maupun pelestarian sumber alam hayati. Masalah tersebut di atas diikuti pula dengan rendahnya daya saing kompetensi SDM Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Human Development Report (2000) melaporkan kualitas SDM Indonesia berada pada urutan 105 dari 108 negara dan jauh tertinggal dengan Filipina yang berada pada urutan ke 77, Thailand ke 71, Malaysia ke 61, Brunai Darussalam ke 32, Korea Selatan ke 30, dan Singapura ke 24. International Educational Achiefment (IEA) mengemukakan bahwa kemampuan membaca siswa Sekolah Dasar Indonesia terdapat pada
urutan
Mathematics and
ke 38 dari 39 negara yang disurvey. Studi Third
Science
Study (TMSS)
memperlihatkan kemampuan
matematika siswa SMP di Indonesia berada pada urutan ke 34 dari 38 negara sedangkan IPA pada urutan ke 32 dari 38 negara. Fakta di atas diantaranya dapat
29
disebabkan oleh kompetensi dan profesionalisme SDM yang bergerak dalam dunia pendidikan yang masih belum dapat diharapkan. Selain itu disebabkan oleh kurikulum yang selama ini belum dapat menjembatani pemahaman pengetahuan yang diperoleh dengan permasalahan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. KBK memiliki ciri menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, dengan demikian kompetensi yang diharapkan akan dapat dicapai oleh semua siswa. Selain itu KBK berorientasi pada hasil belajar
dengan keragaman potensi, oleh sebab itu penyampaian dalam
pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang serasi. Prinsip dalam pelakasanaan kurikulum adalah nilai dan budi pekerti,
penguatan identitas
nasional, keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika. Kesamaan memperoleh kesempatan pengetahuan dan teknologi informasi sehingga mengembangkan kemampuan berpikir dan belajar dengan akses, memilih, dan menilai pengetahuan untuk mengatasi situasi yang cepat berubah. Di samping itu juga dikembangan ketrampilan hidup yaitu kurikulum perlu memasukkan unsur ketrampilan, sikap menghadapi
dan perilaku adaptif, kooperatif
tantangan dan tuntutan kehidupan
Kurikulum perlu diintegrasikan dengan
dan kompetitif dalam
sehari-hari
secara efektif.
unsur-unsur penting yang menunjang
kemampuan untuk bertahan hidup. Siswa dilatih untuk belajar sepanjang hidup manusia dalam rangka mengembangkan dan menambah kesadaran untuk selalu belajar
memahami dunia
yang selalu berubah
dalam berbagai bidang.
Kemampuan belajar sepanjang hayat dapat dilakukan melalui pendidikan formal dan nonformal
serta pendidikan alternatif yang diselenggarakan baik oleh
pemerintah maupun masyarakat. Pendidikan berpusat pada anak dengan penilaian yang berkelanjutan dan komprehensif dengan pendekatan menyeluruh dan kemitraan. Tujuan penyelenggaraan sekolah adalah kompetensi lulusan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki karakter, kecakapan dan ketrampilan yang kuat untuk digunakan dalam
mengadakan
hubungan timbal balik dengan
lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja dan pendidikan lebih lanjut. KBK yang juga dikenal dengan Kurikulum 2004 dilaksanakan di Indonesia berdasarkan keputusan Mendiknas No 232/U/2002. Pada KBK fokus kebijakan pengembangan kurikulum bukan hanya pada tingkat pusat saja tetapi
30
juga berada pada pemerintahan tingkat daerah maupun sekolah. Berdasarkan hal tersebut maka
daerah atau sekolah memiliki kewenangan yang cukup untuk
merancang dan menentukan pengembangan
materi, metode pengajaran,
pengalaman belajar, dan evaluasi informasi kurikulum. Dengan digulirkannya otonomi pendidikan kewenangan Pemerintah Pusat adalah menetapkan standar kompetensi, sedangkan
Pemerintah Daerah
mendukung penyelenggaraan pendidikan dan melaksanakan penyelenggaraan pendidikan yang mencakup kewenangan menyusun Silabus Mata Pelajaran dan pengendalian mutu. Daerah berpeluang besar
untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia. Bupati melalui Dinas Pendidikan memiliki kewenangan penuh untuk menentukan kualitas SDM yang diharapkan. Sekolah juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang selama ini kurang diperhatikan oleh stakeholder pendidikan. Dalam pengelolaan kurikulum berbasis sekolah, selain pihak sekolah terdapat pihak-pihak lainnya yang mempunyai peran dan tanggung jawab yang terkait dalam bidang pendidikan di daerah yang bersangkutan yaitu: 1. Dinas Pendidikan Provinsi -
Menjadi
fasilitator
pembentukan,
pelatihan,
dan
pembinaan
tim
pengembangan Silabus Mata Pelajaran pada tingkat Kabupaten / Kota. -
Membuat kebijakan operasional pelaksanaan KBK dan penyusunan Silabus Mata Pelajaran bagi seluruh Kabupaten Kota.
-
Memonitor penyusunan dan implementasi Silabus Mata Pelajaran pada tingkat Kabupaten/ Kota.
-
Memberikan dukungan sumber-sumber daya pendidikan yang diperlukan dalam penyusunan Silabus Mata Pelajaran.
-
Mengusahakan dana secara rutin untuk kegiatan penyusunan, penilaian, dan monitoring Silabus Mata Pelajaran.
-
Melakukan
supervisi, penilaian, dan monitoring
untuk kepentingan
informasi pendidikan tingkat provinsi. -
Melakukan koordinasi vertikal dengan unit-unit kerja terkait di lingkungan Depatemen Pendidikan Nasional.
31
2. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota -
Mengusahakan tersedianya dialokasikan
dana dari APBD Kabupaten/Kota
yang
untuk penyusunan, evaluasi, dan perbaikan Silabus Mata
Pelajaran. -
Membuat rambu-rambu pengembangan Silabus Mata Pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan.
-
Membentuk tim pengembang Silabus Mata Pelajaran pada tingkat Kabupaten/Kota.
-
Melakukan sosialisasi KBK berkenaan dengan segala implikasi perubahan dalam tatanan penyelenggaraan pendidikan.
-
Memberikan pengesahan terhadap Silabus Mata Pelajaran yang dibuat oleh Tim Pengembangan Silabus.
-
Mengkaji Silabus Mata Pelajaran yang dibuat oleh sekolah yang mampu membuatnya sendiri.
-
Mendistribusikan Silabus Mata Pelajaran ke sekolah yang tidak menyusun Silabus Mata Pelajaran.
-
Mengkaji kelayakan sekolah yang akan memulai penggunaan KBK, supervisi, penilaian, dan monitoring Sekolah.
3. Sekolah -
Mengajukan usulan kegiatan penyusunan Silabus Mata Pelajaran kepada Dinas Kabupaten/Kota bagi sekolah yang akan menyusun sendiri Silabus Mata Pelajaran.
-
Melaksanakan Silabus Mata Pelajaran bagi sekolah yang mampu menyusun sendiri Silabus Mata Pelajaran.
-
Melaksanakan Silabus Mata Pelajaran yang telah disiapkan terlebih dahulu oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
-
Meningkatkan Capacity Building
tenaga kependidikan melalui berbagai
pelatihan. -
Melibatkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk meningkatkan efektifitas dan mutu pelaksanaan Silabus Mata Pelajaran sebagai penjabaran KBK.
-
Mengkomunikasikan implikasi KBK kepada orang tua siswa dan anggota masyarakat lainnya.
32
Ciri lain dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah berbasis luas (broad based education) yaitu pendidikan yang berbasis pada masyarakat luas dengan orientasi kecakapan untuk hidup (life skill). KBK berorientasi pada ketrampilan hidup tetapi tidak menjadikan pendidikan hanya sebagai latihan kerja. Pendidikan yang diberikan membuka kesempatan kepada setiap anak didik untuk mengembangkan potensinya. Proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik jika ada keterlibatan langsung antara siswa, obyek, peristiwaperistiwa dan situasi serta kondisi alam kehidupan yang dipelajari. Kemampuan mengingat, mengatakan dan melakukan akan mencapai tingkat keberhasilan 90%, mengatakan mencapai 70%, melihat dan mendengar mencapai 50%, melihat
mencapai 30%, mendengar
mencapai 20%, dan membaca
hanya
mencapai 10% (Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2002). Selama ini pendidikan memberikan perlakuan yang kurang memberikan tantangan kepada siswa untuk memanfaatkan adanya muatan lokal dan potensi lingkungan sekolah sebagai sumber belajar. Hal tersebut dapat dilakukan dengan masukan unsur budaya daerah, ketrampilan-ketrampilan khusus yang menggunakan nara sumber dari masyarakat dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan di daerah tersebut. Hal ini merupakan usaha untuk meningkatkan kebermaknaan materi kurikulum sehingga dapat merangsang gairah belajar siswa dan semangat mengajar guru dengan memanfaatkan potensi lingkungan sekolah. Selain itu juga memberikan bekal ketrampilan dan keahlian yang dapat dijadikan sumber penghidupan. KBK juga memberikan kesempatan untuk pengembangan potensi daerah yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan latar belakang
budaya masyarakat
daerah. Life skill merupakan orientasi pendidikan yang mengarah pada pembekalan kecakapan untuk hidup yang meliputi general life skill dan specific life skill. General life skill terdiri atas self awareness, thingking skill, dan social skill. Self awareness adalah penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan serta menyadari kelebihan dan kekurangannya. Thinking skill
adalah kecakapan
menggali dan menemukan, mengolah informasi, dan mengambil keputusan serta kecakapan memecahkan masalah secara kreatif. Social skill adalah kecakapan berkomunikasi, berempati, dan bekerjasama. Specific life skill meliputi kemampuan untuk mengidentifikasikan variable, merumuskan hipotesis dan
33
melaksanakan penelitian yang terdiri dari academic skill dan vocational skill. Academic skill adalah kemampuan berpikir ilmiah sedangkan
vocational skill
disebut juga ketrampilan kejuruan yaitu ketrampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang tedapat di masyarakat.
Menurut Depdiknas
(2001) tujuan life skill adalah: 1. Kemampuan menghitung dengan atau tanpa bantuan teknologi. 2. Kemampuan teknologi dalam aneka ragam lapangan kehidupan antara lain pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan, kerumahtanggaan, kesehatan, komunikasi, informasi, dan transportasi. 3. Kemampuan mengelola SDA, sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan untuk bisa hidup mandiri dan otonomi. 4. Kemampuan bekerja sama yang merupakan tuntutan ekonomi saat ini. 5. Kemampuan untuk terus belajar (learning process). Sasaran kompetensi seperti yang diharapkan sangat tepat dan dibutuhkan untuk mensiasati perubahan lingkungan global dan masalah kerusakan lingkungan yang dihadapi. Visi
kurikulum juga mengalami perubahan
dari kurikulum
efisiensi sosial ke kurikulum yang fleksibel dan egaliter serta demokratik. KBK diharapkan dapat dijadikan strategi mengembangkan
untuk membelajarkan manusia dan
potensi individu. Pembelajaran akan
terfokus
pada
pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung melalui kontak sosial dan kultural, sehingga dapat mendorong siswa membangun kompetensi. KBK memiliki perbedaan dibandingkan dengan Kurikulum Pendidikan 1994 karena menitikberatkan pada kompetensi secara keseluruhan yaitu perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Perbedaan yang mendasar adalah pada Kurikulum Pendidikan 1994 materi pelajaran telah ditetapkan dari pusat (sentralistik) dan sepenuhnya disampaikan secara utuh kepada siswa, walaupun di lapangan ketuntasan belajar sulit tercapai. Sedangkan KBK menuntut penguasaan materi dengan kompetensi pada ranah kognitif, psikomotor, dan afektif. Di samping itu KBK bersifat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan daya serap siswa. Walaupun demikian ada standar kompetensi minimal yang telah ditentukan dan harus dicapai. Selanjutnya pada KBK materi pelajaran selalu dikaitkan dengan lapangan pekerjaan yang ada pada
34
masyarakat setempat. Hal ini disebabkan tujuan KBK adalah memberikan bekal kecakapan hidup yang dapat dimanfaatkan pada waktu masyarakat. Dengan demikian pembelajaran
siswa terjun di
KBK dapat disesuaikan dengan
pengembangan potensi daerah melalui pemberdayaan sumberdaya alam, kondisi ekonomi, perhatian pada pranata sosial dan budaya setempat sehingga bersifat desentralistik. Evaluasi belajar yang dilakukan disesuaikan dengan kemampuan yang dapat dicapai oleh rata-rata siswa dalam kelas, dengan demikian
akan
dijumpai variasi perbedaan kompetensi antar kelas dan bersifat individual. Hasil yang maksimal dapat dicapai melalui pengertian yang
berkembang dari
pemahaman dan pengetahuan sendiri melalui pengalaman belajar. Dengan KBK standar yang akan dicapai dalam pendidikan terdiri atas dua jenis, yaitu Standar Akademis Kompetensi
(Performances
(Academic Content Standards) dan Standar
Standards).
Standar
akademis
merefleksikan
pencapaian pengetahuan dan kerampilan esensial dari suatu disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh peserta didik. Sedangkan standar kompetensi adalah suatu kegiatan yang dapat didemonstrasikan oleh peserta didik sebagai penerapan dari pengetahuan dan ketrampilan yang telah dipelajari. Standardisasi tersebut dapat dicapai melalui tiga hal yang diterapkan dalam KBK yaitu adanya pergeseran dari pembelajaran kelompok ke individual, pengembangan konsep belajar tuntas, dan memperhatikan bakat siswa (Mulyasa, 2004).
Tiga konsep pembelajaran
tersebut akan mendorong guru untuk memacu potensi siswa secara individu dan penguasaan materi pelajaran pada setiap siswa. Melalui KBK target kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang diharapkan sebagai implementasi dari standar akademik dan standar kompetensi dapat dicapai.
Standar kompetensi
tidak hanya ditentukan oleh Depdiknas tetapi dapat ditentukan oleh masyarakat setempat yang disampaikan melalui sekolah sesuai dengan kebutuhan daerah. Potensi sumberdaya alam lokal juga dapat dimanfaatkan dalam pengalaman belajar. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab X yang pada intinya bahwa kurikulum dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan potensi daerah dan peserta didik. Disamping
itu
penyelenggaraan
pendidikan
juga
berbasis
pendidikan berdasarkan
pada
masyarakat
sehingga
kekhasan agama, sosial budaya,
aspirasi, dan potensi masyarakat. Dengan demikian pendidikan kejuruan dan
35
kewirausahaan berbasis lokal dengan potensi sumberdaya alam di sekitarnya pada tingkat SD, SMP, dan SMA dapat dikembangkan. Sejalan dengan itu Hewindati (2003) mengemukakan bahwa pendidikan dan ketrampilan dalam pengelolaan lingkungan perlu dilaksanakan secara terpadu dalam berbagai mata pelajaran melalui kurikulum pendidikan dan pelatihan. Dengan demikian implementasi KBK
sangat dimungkinkan
untuk mengisi muatan ketrampilan
dalam
pengelolaan lingkungan. Penerapan KBK di lapangan mengalami berbagai kendala diantaranya yaitu stakeholder pendidikan masih menganut pemahaman pola konvensional yang hanya mengukur kompetensi dari segi kognitif seperti pada Kurikulum Tahun 1994. Pemahaman KBK yang berbeda pada stakeholder pendidikan menimbulkan kerancuan disebabkan terbatasnya informasi, sarana, dan prasarana untuk mendukung program tersebut. Kendala lainnya adalah lemahnya ketiga kompetensi yang selayaknya dimiliki oleh guru yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Menurut Suparno (2004) lemahnya kompetensi tersebut disebabkan universitas pendidikan penghasil guru yang kurang menekankan penguasaan materi, kurangnya praktik mengajar mahasiswa keguruan, motivasi sehingga perubahan Kurikulum Pendidikan
dan rendahnya
1994 menjadi KBK
menimbulkan kesan kurang dapat diterima pada masyarakat sekolah. Secara rinci perbedaan antara Kurikulum Pendidikan 1994 dan KBK disajikan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1.
Perbedaan Kurikulum 1994 dan Kurikulum Berbasis Kompetensi
ASPEK
KURIKULUM 1994
Landasan Hukum dan Legalitas
Seluruh perangkat kurikulum ditetapkan oleh Pusat (Keputusan Mendikbud No 061/ U / 1993) Mulai Buku I (Landasan), Buku II (GBPP), Buku III (Pedoman Pelaksanaan) berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis ditetapkan oleh pusat menjadi wewenang Pusat
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI Pusat menetapkan kebijakan umum dan mengembangkan kompetensi menurut PP No 25 tahun 2000 pasal 2 ayat 2 Kewenangan Daerah adalah membuat Silabus, panduan pembelajaran dan penilaiaan sesuai dengan kebutuhan masing-masing dan menentukan sumber-sumber belajar yang cocok untuk mendukung pembelajaran
36
Dokumen
Pendekatan Konten
Persiapan
Waktu belajar Penjurusan
Seluruh dokumen kurikulum Kompetensi dan materi direncanakan, dibuat, dan pokok dikembangkan di dikembangkan oleh Pusat. pusat sedangkan Silabus dan bahan ajar dikembangkan oleh Daerah. Diformulasikan secara rigid Memberi peluang yang luas dan kurang dinamis sehingga kepada guru/sekolah /daerah kurang memberikan peluang untuk mengembangkan kepada daerah, sekolah, dan potensinya sesuai dengan guru untuk mengembangkan kebutuhan daerah/sekolah. potensinya. secara jelas Kurang jelas menyajikan Disajikan target yang ingin dicapai di kemampuan-kemampuan setiap jenjang. yang harus dicapai pada setiap jenjang dan kelas. Berbasis konten Berbasis kompetensi Materi padat dan tumpang Materi dibentuk untuk tindih, banyak hafalan, kurang mengarah kepada mengarah pada pembentukan kompetensi yang dituntut, sikap ilmiah dan kepribadian karena berbasis kompetensi melalui pengembangan maka materi pokok bukan ketrampilan dan sikap. merupakan materi untuk hafalan tetapi mengarah pada kompetensi yang dituntut seperti yang dapat diperagakan dan didemonstrasikan. Tidak dan kurang melalui Melalui tahap-tahap uji coba tahap tahap uji coba dimana terbatas mulai tahun 2002 sekolah langsung menerapkan /2003 di 40 SMA mulai di kurikulum baru di kelas 1 kelas 1 Guru diminta untuk mebuat AMP prota proca program satuan pelajaran dan rencana pembelajaran.
Guru diminta membuat Silabus prota prosem dan rencana/ skenario pembelajaran.
Menerapkan sistem Cawu.
Menerapkan sistem Semester. Dimulai di kelas 2 Terdiri dari IIA, IIS dan bahasa. Penjurusan dilakukan dengan mempertimbangkan bakat dan minat siswa disamping kemampuan siswa pada mata pelajaran – mata pelajaran yang menjadi kekhususan program/jurusan.
Dimulai di kelas 3 Terdiri dari program IPA, IPS, dan Bahasa. Penjurusan dilakukan kurang memperhatikan minat siswa, kebanyakan berdasarkan kemampuan siswa terhadap mata pelajaran tertentu.
37
Faktor penilaian dari guru pembimbing (bimbingan konseling) kurang mendapat perhatian. Tidak ada aturan tentang perpindahan jurusan yang tidak diminati atau tidak sesuai bagi siswa.
Pelaksanaan
Guru mengalami kesulitan mengembangkan topik-topik tertentu. Beberapa materi ada yang sulit diajarkan guru dan ada yang sulit dipahami siswa sehingga terjadi penumpukkan materi pada cawu tertentu. Dalam pelaksanaan kurang memperhatikan learning to know, learning to do, learning live together, learning to be. Yang ada kebanyakan adalah learning to know. Formulasi dan pelaksanaan kurikulum kurang memperhatikan keutuhan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam pembelajaran siswa dijadikan sebagai obyek pendidikan. Kecakapan hidup (life skill) kurang terakomodasi dalam kurikulum dan proses pembelajaran karena mengejar target kurikulum. Berorientasi pada proses (proses oriented) dan curiculum target oriented. Kurang diterapkan sistem belajar tuntas. Seorang siswa dinyatakan tuntas belajar jika telah menguasai 65% atau lebih dari suatu topik tertentu (tuntas secara individu). Sedangkan tuntas klasikal apabila 85 % atau lebih dari seluruh siswa dalam satu kelas
Masukan dari guru pembimbing (BK) terhadap keadaan siswa sangat diperlukan. Menerapkan sistem multy entry multy exit yang artinya seorang siswa dapat pindah ke jurusan lain bila ia tidak berminat /tidak sesuai jurusan. Guru diberi kebebasan untuk berkreasi dan mengembangkan secara kreatif materi-materi pokok untuk mencapai kompetensi tertentu. Learning to know, learning to do, learning life together, dan learning to be diakomodasikan secara integratif dan proporsional. Aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik merupakan suatu keutuhan dalam pencapaian kompetensi dan kemampuan dasar. Siswa sebagai subyek pendidikan (student centered learning) Kecakapan hidup (life skill) terakomodasi secara terpadu dan proporsional dalam kurikulum dan proses pembelajarannya. Berorientasi pada output /kompetensi siswa. Sistem belajar tuntas benarbenar dituntut untuk diterapkan karena seorang siswa dituntut untuk master atau kompeten sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Seorang siswa bisa pindah melanjutkan ke kompetensi lain jika
38
telah mencapai dan menguasai 65 % suatu topik tertentu. Belum/kurang diterapkan sistem manajemen berbasis sekolah dalam melaksanakan kurikulum. Penilaian
Diversifikasi
Menerapkan sistem penilaian berbasis konten yang lebih banyak menekankan aspek kognitif. Sistem penilaian dilakukan secara konvensional dan berbasis pada pokok bahasan dan sub pokok bahasan
komnpetensi sebelumnya telah dimiliki. Diperlukan sistem manajemen sekolah dan partisipasi seluruh stakeholder untuk melaksanakan kurikulum. Menerapkan sistem penilaian berkelanjutan yaitu mengacu pada keberlangsungan proses dan sistem penilaian berbasis kelas (Classroom Based Assessment) yang berbentuk tes uraian, porto folio, dan tugas (project work). Ulangan/tagihan harian, ulangan akhir semester, dan Ujian Akhir SMA. Ujian akhir disebut Ujian Akhir SMA yang mengacu pada kemampuan dan kisikisi yang ditetapkan oleh pusat. Ujian Akhir Nasional dilakukan untuk mata pelajaran tertentu yang merupakan mata pelajaran wajib setiap jurusan seperti Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dan mata pelajaran yang menjadi kekhasan program jurusan seperti Matematika, Ekonomi, dan Bahasa Asing
Ulangan harian, ulangan umum, akhir Cawu, Ebta dan Ebtanas. UUB dan Pra EBTA. Ujian akhir yang disebut EBTANAS sampai tahun 2001- 2002, 7 mata pelajaran disiapkan oleh Pusat sedangkan Ebta disiapkan oleh sekolah. Sedangkan mulai tahun 2002/2003 dilakukan Ujian Akhir Nasional yang bahannya disiapkan dari pusat (7 mata pelajaran) dan Ujian Akhir Sekolah yang bahannya disiapkan oleh sekolah dengan mengacu pada standar kemampuan yang telah ditetapkan oleh Pusat. Penilaian dilakukan dengan Penilaian dilakukan dengan menggunakan acuan norma menggunakan criterian (norm reference test). referenced test karena berdasarkan kompetensi yang dituntut. Tidak mengakui kompetensi / Adanya pengakuan hasil hasil pembelajaran siswa belajar awal (recognition of sebelumnya. prior learning). diversifikasi Tidak berjalan sebagaimana Menerapkan mestinya, artinya di beberapa kurikulum dengan sekolah tertentu hanya klasifikasi siswa normal, menangani siswa yang cepat sedang, dan tinggi. Siswa belajar (di atas normal), yang normal dituntut untuk minimum sedangkan yang lambat memiliki
39
belajar dianggap siswa normal. Selain itu penggalian karakteristik lokal yang berbeda–beda kurang diterapkan dan diintgrasikan pada materi-materi pembelajaran.
Akselerasi Belajar
Laporan hasil belajar, kelulusan, dan sertifikasi
Dilaksanakan pada sekolahsekolah tertentu dengan memberikan materi kompetensi yang harus dimiliki untuk satu jenjang dan bisa diambil dari materi cawu berikutnya sehingga seorang siswa bisa menyelesaikan program belajarnya di SMA selama 2 tahun. Berbentuk rapor yang lebih banyak menekankan aspek kognitif. Hasil belajar tiap mata pelajaran dinyatakan dengan angka dimana mata pelajaran tertentu tidak boleh kurang dari 6. Kenaikan kelas dipertimbangkan berdasarkan nilai raport cawu. Untuk kenaikan kelas nilai K tidak boleh lebih dari 5 dan tidak boleh memiliki angka 3 dengan menggunakan rumus tertentu. Menerapkan sistem tamat pada siswa untuk akhir jenjang. Sertifikasi ketamatan siswa dinyatakan dengan STTB dan Daftar Nilai Ujian Nasional.
kompetensi yang dipersyaratkan. Sedangkan siswa yang tinggi bisa memiliki kompetensi yang lebih tinggi dengan mempelajari materi-materi pengayaan. Dengan adanya kebebasan guru untuk mengembangkan materimateri yang akan diajarkan untuk mencapai kompetensi tertentu pada siswa maka penggalian karakteristik lokal bisa diterapkan melalui sumber belajar yang ada. Dilaksanakan dengan memperhatikan kompetensi yang harus dimiliki untuk satu jenjang dalam masa belajar yang lebih cepat dari masa belajar yang ditetapkan pada suatu sekolah.
Rapor berbentuk profil yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hasil belajar tiap mata pelajaran dinyatakan lulus atau belum lulus. Minat belajar dinyatakan memenuhi syarat dan belum memenuhi syarat. Batas kelulusan 75% menguasai bahan ajar. Kenaikan kelas diterapkan dengan klasifikasi naik kelas murni dan naik kelas dengan syarat, yang artinya seorang siswa harus memiliki kompetensi yang ditetapkan sebelumnya dan bisa dilakukan dengan mempelajari materi yang diperlukan untuk kompetensi tersebut. Menerapkan sistem lulus pada siswa untuk akhir jenjang SMA. Sertifikasi
40
kelulusan dinyatakan dengan Ijazah dan Sertifikat Lulus.
Pengembangan KBK adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun dan dilaksanakan oleh satuan pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan. Tujuan KTSP untuk pendidikan
menengah
adalah
meningkatkan
kecerdasan,
pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. KTSP diberlakukan di Indonesia mulai tahun ajaran 2006/2007, menggantikan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Satuan pendidikan ini telah melakukan uji coba melalui KBK atau kurikulum 2004
secara
menyeluruh
dan
diperkirakan
mampu
secara
mandiri
mengembangkan kurikulum berdasarkan Standar Kompetensi kelulusan (SKL), Standar Isi (SI) dan berpedoman pada Panduan penyusunan KTSP oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Standar isi juga merupakan pedoman
untuk pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, Kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan Kalender pendidikan. Pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Menggunakan
Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati dan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang dapat disesuaikan dengan potensi siswa, kondisi
sekolah
dan
daerah
tempat
sekolah
tersebut
berada
http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum_Tingkat_Satuan_Pendidikan. KTSP yang menekankan pada kompetensi memiliki ciri ketercapaian kompetensi siswa secara individual dan kelompok,
berorientasi pada
pada hasil belajar dan
keberagaman, penilaian terhadap proses belajar, pembelajaran dengan berbagai metode, sumber belajar yang bukan hanya terbatas pada guru. KTSP diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
41
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pengembangan KTSP berdasarkan prinsip : 1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya Kurikulum dikembangkan berasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki potensi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta
bertanggung jawab. Untuk
mendukung pencapaian tujuan tersebut
pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki potensi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik. 2. Beragam dan terpadu Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial, ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta isusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi. 3. Tanggap teradap perkembangan ilmu dan teknologi Kurikulum dikembangkan atas asar kesadaran
bahwa ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni. 4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan Pengembangan
kurikulum,
dilakukan
dengan
melibatkan
kepentingan (stakeolder) untuk menjamin relevansi
pemangku
pendidikan dengan
kebutuhan kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. 5. Menyeluruh dan berkesinambungan
42
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan. 6. Belajar sepanjang hayat Kurikulum diarahkan pada proses
pengembangan, pembudayaan, dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur penidikan formal, nonformal, informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang . 7. Seimbang antara kepentingan Nasional dan Daerah Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran,
muatan lokal dan
kegiatan pengembangan diri. Muatan mata pelajaran berpedoman pada struktur kurikulum yang tercantum dalam standar isi. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi sesuai dengan ciri khas dan potensi daerah termasuk keunggulan daerah. Kegiatan pengembangan diri
adalah
kegiatan yang bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Menurut Subandrijo dan Hidayanto (2001) kurikulum yang tepat dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan menekankan pada
Community Based
Education yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa meninggalkan pengetahuan dan kebutuhan siswa. Berdasarkan Pusat Kurikulum dalam Enoh (2005) dasar
pemikiran menggunakan
konsep kompetensi dalam kurikulum
adalah :kompetensi yang berkaitan konteks tertentu yang berkaitan
dengan
bidang kehidupan. Enoh (2004) mengemukakan bahwa dalam desentralisasi pendidikan terdapat sejumlah implikasi yaitu melaksanakan langkah strategis yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan siswa, meningkatkan kapasitas sekolah,
meningkatkan partisipasi masyarakat
memperkuat
fungsional
pendidikan
dalam kegiatan pendidikan,
dengan
kebutuhan
masyarakat,
43
menumbuhkan manajemen yang efisien, efektif, produktif, serta meningkatkan kreatifitas dan kemandirian kelembagaan. 2. 3. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan PLH Untuk menunjang
pelaksanaan KBK di lapangan maka
memiliki hak manajemen yaitu
sekolah perlu
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Hak
otonomi ini diperlukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan sehingga sekolah mempunyai keleluasaan untuk menyusun dan mengembangkan Silabus Mata Pelajaran. Hal penting yang diharapkan dari adanya MBS adalah dapat mengakomodasi potensi sekolah, kebutuhan dan kemampuan peserta didik, serta kebutuhan masyarakat sekitar sekolah. Pembelajaran yang dilakukan mendorong terjalinnya kerjasama antar sekolah, masyarakat, dan dunia kerja. Masyarakat melalui Komite Sekolah dapat berpartisipasi aktif dalam pengembangan kurikulum. Dengan demikian KBK sulit diimplementasikan tanpa adanya MBS. MBS merupakan bentuk sekolah, karena sekolah
manajemen
organisasi dalam kepemimpinan
mendapat kewenangan dari pusat
untuk menyusun
rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolah, menjamin adanya komunikasi yang efektif antar sekolah dan masyarakat terkait serta
adanya
pertanggung jawaban antara sekolah dan masyarakat. MBS ditandai dengan adanya otonomi yang luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat, dengan kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi tersebut kesempatan
bagi sekolah
memberikan
untuk memprioritaskan kebutuhan masyarakat
setempat. Masyarakat dituntut untuk berpartisipasi dalam dunia pendidikan, membantu, dan mengontrol pengelolaan
pendidikan.
Dalam proses belajar
mengajar sekolah diharapkan mampu mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat. Peranan Kepala Sekolah untuk melaksanakan program ini sangat besar yaitu sebagai kepala perencanaan dan keuangan. Berkaitan dengan ciri yang dimiliki oleh KBK maka kompetensi Kepala Sekolah yang berperan dalam manajemen berbasis sekolah sangat menentukan pelaksanaan KBK di lapangan. Dengan demikian kompetensi Kepala Sekolah secara tidak langsung akan mempengaruhi suksesnya pelaksanaan otonomi daerah secara keseluruhan.
Kepala Sekolah dituntut untuk
dapat
membaca perubahan dan perkembangan global untuk bertindak lokal serta mampu untuk membaca kondisi daerah setempat. Di samping peranan Kepala Sekolah,
44
guru juga sangat berperan dalam implementasi KBK. Guru juga dituntut untuk dapat mengaitkan materi pelajaran sebagai dasar pijakan pengetahuan materi pelajaran dengan lingkungan hidup. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang memadai tentang pengelolaan sumberdaya alam, ekonomi, sosial, dan budaya setempat. Menurut Suriani (2004) kompetensi guru
dibedakan menjadi tiga
bagian, yaitu kompetensi personal, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Ketiganya merupakan syarat untuk mendapatkan kompetensi yang diharapkan dari siswa. Dari berbagai proses pembelajaran maka pendekatan individual merupakan hal terpenting yang perlu diperhatikan untuk mencapai standar akademis dan standar kompetensi. Melalui cara ini maka potensi siswa dapat ditumbuhkan, dikembangkan, dan dibina.
Selain faktor-faktor di atas
keseriusan pemerintah pusat dan aparat daerah juga merupakan faktor penting yang menentukan suksesnya pelaksanaan KBK. Pelaksanaan MBS memerlukan pendekatan sistem karena di dalammya terdapat stakeholder terkait dengan berbagai kepentingan seperti politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi, dan ekologi. MBS yang dapat diterapkan dalam desentralisasi adalah: 1. Manajemen Kurikulum dan program pengajaran yaitu kewenangan sekolah mengelola dan mengembangkan standar minimal kurikulum yang berlaku pada tingkat dasar dan menengah, mengaitkan dengan potensi dan kondisi daerah setempat dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial budaya, dan ekonomi. 2.
Manajemen Tenaga Kependidikan yaitu kewenangan dan kebebasan sekolah untuk merekrut guru dan pegawai dibutuhkan, meningkatkan kompetensi,
sesuai dengan kompetensi yang pembinaan dan penghargaan
terhadap SDM pendidikan. 3. Manajemen Kesiswaan yaitu
kewenangan dan kebebasan sekolah dalam
proses belajar mengajar, evaluasi, kegiatan pembinaan, dan segala aktifitas yang mendukung kompetensi siswa. 4. Manajemen Keuangan dan Pembiayaan yaitu kewenangan dan kebebasan sekolah dalam pengelolaan keuangan yang bersumber dari pemerintah, orang tua, peserta didik, dan masyarakat.
45
5. Manajemen Sarana dan Prasarana yaitu kewenangan dan kebebasan sekolah untuk mengatur peralatan dan perlengkapan yang langsung maupun tidak langsung untuk digunakan sebagai penunjang proses pendidikan baik yang diperoleh dari pusat maupun hasil kerjasama dengan masyarakat. 6. Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat yaitu sekolah sebagai bagian integral dari sistem sosial mempunyai kewenangan dan kebebasan bekerja sama dengan komponen yang terdapat pada masyarakat. Dengan demikian tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat yaitu memajukan kualitas pembelajaran dan target kompetensi, memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup
dan penghidupan masyarakat,
serta
menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah dapat terlaksana. Sedangkan berdasarkan dimensi kebutuhan masyarakat fungsi sekolah adalah untuk memajukan
dan meningkatkan
masyarakat, membantu memecahkan berbagai
kesejahteraan
masalah yang dihadapi
masyarakat, dan menjamin relevansi program sekolah dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Menurut Mantja (2000)
fungsi manajemen
pendidikan adalah
perencanaan, pengorganisasian, aktualisasi, dan pengendalian. Berkaitan dengan MBS Pidarta (1981)
mengemukakan terdapat tiga macam ketrampilan yang
harus dimiliki Kepala Sekolah yaitu ketrampilan konseptual berupa ketrampilan untuk memahami dan mengelola organisasi, ketrampilan untuk bekerjasama, memotivasi dan
memimpin, serta ketrampilan teknik
pendekatan berbagai
metoda agar implementasi KBK dapat berjalan dengan baik. Sejalan dengan itu Mulyasa (2004) mengemukakan tentang kriteria MBS seperti yang disajikan pada tabel 2.2. Tabel 2.2. Kriteria Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Organisasi
Proses Belajar
Sumberdaya
Sumberdaya dan
Sekolah
Mengajar
Manusia
Administrasi
Menyediakan
Meningkatkan
Memberdayakan
manajemen
kualitas belajar
staf dan
organisasi
siswa
menempatkan
diperlukan
personel yang
mengalokasikan
kepemimpinan
Mengidentifikasi sumberdaya yang dan
46
transformasional
dapat melayani
sumberdaya
dalam mencapai
keperluan siswa
tersebut
tujuan sekolah
sesuai
dengan kebutuhan
Menyusun
Menggambarkan
Memilih staf
rencana sekolah
kurikulum yang
yang memiliki
dan merumuskan
cocok dan tanggap
wawasan
kebijakan untuk
terhadap
manajemen
sekolah masing-
kebutuhan siswa
berbasis sekolah
masing
dan masyarakat
Mengelola
dana
sekolah
sekolah Mengelola
Menyelenggarakan
Menyediakan
Menyediakan
kegiatan
pengajaran yang
kegiatan untuk
dukungan
operasional
efektif
pengembangan
administrasi
sekolah
profesi pada semua staf
Menjamin adanya
Menyediakan
Menjamin
Mengelola dan
komunikasi yang
program
kesejahteraan staf
memelihara
efektif antara
pengembangan
dan siswa
gedung dan sarana
sekolah dan
yang diperlukan
masyarakaat
siswa
lainnya
terkait (school community) Menjamin akan
Program
Kesejahteraan staf
Memelihara
terpeliharanya
pengembangan
dan siswa
gedung dan sarana
sekolah yang
yang diperlukan
bertanggung
siswa
jawab (akuntabel) kepada masyarakat dan pemerintah
lain
47
2. 4. Sejarah Pendidikan Lingkungan Hidup di Indonesia Pendidikan
Lingkungan
Hidup
di
Indonesia
diawali
dengan
diadakannya Lokakarya Internasional di Beograde, Jugoslavia pada tahun 1975 (www. men LH. go. id) yang dikenal dengan The Beograde Charter a Global Framework for Environtmental Educational yang bertujuan untuk: 1. Meningkatkan kesadaran
dan perhatian terhadap keterkaitan
bidang
ekonomi, sosial, politik, serta ekologi di perkotaan maupun di pedesaan. 2. Memberi kesempatan bagi setiap orang untuk mendapatkan
pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan perilaku, motivasi, serta komitmen yang diperlukan untuk bekerja secara individu dan kolektif untuk menyelesaikan masalah lingkungan saat ini dan mencegah munculnya masalah baru. 3. Menciptakan satu kesatuan pola tingkah laku baru
individu, kelompok-
kelompok dan masyarakat terhadap lingkungan hidup. Berdasarkan Beograde Charter a Global Framework for Environtmental Educational maka embrio Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) dilahirkan oleh IKIP Jakarta pada tahun 1975 dengan cara merintis penyusunan Garis-garis Besar Program Pengajaran. Selanjutnya Pendidikan Lingkungan Hidup diujicobakan pada 15 Sekolah Dasar di Jakarta pada periode tahun 1977/1978. Perkembangan Pendidikan Lingkungan Hidup dilanjutkan dengan Proyek Nasional Program Kependudukan
(PNPK) bekerjasama dengan BKKBN.
Program
diklat
kependudukan mulai dintegrasikan ke dalam pendidikan lingkungan dan dilaksanakan sejak tahun 1978. Kegiatan pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang berkelanjutan yang hasilnya dapat dinikmati oleh generasi berikutnya. Oleh sebab itu model penyelenggaraan melibatkan
semua mata pelajaran
merupakan tanggung jawab semua
PLH di SMA
perlu
karena pemeliharaan lingkungan hidup warga dan bagian integral dari kegiatan
pembelajaran di sekolah baik melalui program intra kurikuler maupun ekstra kurikuler. Pengetahuan ekologi yang tersedia untuk tercapainya pengetahuan lingkungan belum dapat terlaksana. Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional yang diselenggarakan oleh UNPAD pada bulan Mei 1977 menyimpulkan bahwa hanya
48
dalam lingkungan hidup yang baik manusia dapat berkembang secara maksimal, dan hanya dengan manusia yang baik lingkungan dapat berkembang ke arah optimal. Lingkungan sekolah sebagai sumber belajar siswa bukan hanya dapat mengembangkan pengetahuan, sikap, dan pembekalan ketrampilan kepada siswa untuk mengenal dunia kerja, pengelolaan dasar mengatasi berbagai
tetapi
juga
untuk membuka wawasan
dan
lingkungan, serta menimbulkan kesadaran untuk peduli masalah lingkungan yang lebih luas. Pengembangan
wawasan lingkungan sekolah akan sangat berarti dengan adanya muatan lokal. Misalnya dengan perusahaan setempat yang dijadikan sumber belajar sehingga siswa memperoleh pengalaman praktis. Sejak tahun 1987/1988 mulai dirasakan bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dengan
lingkungan hidup
sehingga
materi lingkungan hidup
dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dan berubah menjadi proyek Pendidikan Kependudukan
dan Lingkungan Hidup (PKLH). Pelaksanaan PKLH mulai
terealisasi sejak tahun 1992/1993.
Tujuan
PKLH adalah meningkatkan
kepedulian, ketrampilan, partisipasi seluruh warga sekolah dalam memecahkan permasalahan lingkungan. Melalui
Kurikulum Pendidikan
1984 dan sesuai
dengan keputusan Mendikbud nomor 0209/V/1984 tanggal 2 Mei 1984 PKLH secara
integratif terdapat pada mata pelajaran yang relevan. Melalui PKLH
diharapkan akan terjadi perubahan perilaku masyarakat sehingga meningkatkan pengetahuan, menanamkan sikap, ketrampilan, dan kesadaran masyarakat tentang nilai-nilai lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat menggerakkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang, serta
rasional dan bertanggungjawab terhadap masalah kependudukan. Kusumo (2003) mengemukakan visi PLH yang dikembangkan saat ini
adalah adalah terwujudnya manusia Indonesia ketrampilan, dan kesadaran
yang memiliki pengetahuan,
untuk berperan aktif
dalam melestarikan
meningkatkan lingkungan hidup Dalam mencapai visi PLH maka
dan
Misi yang
dilaksanakan adalah mendorong pendidikan lingkungan sedini mungkin yang terdiri atas pengetahuan, ketrampilan dan kesadaran manusia Indonesia dalam melestarikan, memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan baik di tingkat lokal, nasional, regional, dan global. Latar belakang pengembangan PLH adalah
49
jumlah penduduk Indonesia yang besar sehingga mengakibatkan kebutuhan akan SDA semakin meningkat. Disamping itu juga pertumbuhan ekonomi menurunkan
turut
tersedianya SDA karena kesadaran akan menjaga kualitas
lingkungan yang rendah yang diperlihatkan dengan banyaknya kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan. Peningkatan kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup memunculkan tuntutan tanggung jawab dalam pelestarian lingkungan. Oleh sebab itu materi PLH yang diintegrasikan dalam kurikulum adalah: 1. Kegiatan manusia yang dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan. 2. Kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan. 3. Berbagai isu masalah lingkungan seperti illegal logging, green house efeect, hujan asam, kebakaran hutan, pencemaran air, udara, tanah, kerusakan lahan. 4. Kebijakan hukum, standar dan baku mutu lingkungan. 5. Pengetahuan dasar teknik pengelolaan lingkungan (air, udara, B3, tanah, dan lahan). 6. Berbagai issue tentang
lingkungan global seperti lapisan ozon,
pemanasan global, dan perpindahan limbah berbahaya. Untuk menunjang program PLH diharapkan setiap
pembelajaran
bermuatan PLH dan mengembangkan sistem nilai dengan mengaitkan pembelajaran dengan 9 aspek PLH menurut Depdiknas (2002) yaitu: 1. Pengertian dasar lingkungan. 2. Pengertian sistem dan ekosistem. 3. Pengertian sumberdaya alam dan permasalahannya. 4. Upaya menanggulangi isu-isu lingkungan hidup global. 5. Aspek sosial dalam pengelolaan lingkungan. 6. Pengertian pengelolaan SDA dalam kaitannya dengan lingkungan. 7. Pengertian ekonomi lingkungan. 8. Pengertian pembangunan berkelanjutan. 9. Pendekatan dan alat pengelolaan lingkungan. Adapun kajian dalam PLH yang berkaitan dengan isu yang dihadapi adalah pemanasan global,
penurunan dan hilangnya keanekaragam hayati,
penipisan dan lubang ozon, masalah sampah, hujan asam, pencemaran air, aspek sosial ekonomi, budaya, dan kependudukan.
50
Aspek lain yang perlu disampaikan dalam PLH adalah Ekonomi Lingkungan yang
menyinggung masalah hubungan ekonomi dan ekologi
terutama pengkajian secara analisis manfaat dan biaya yang dalam teori dan prakteknya
mempertimbangkan
mencerminkan
faktor
efisiensi
akutansi lingkungan secara baik.
dan
optimalisasi
Dalam hal ini
yang
ekonomi
lingkungan merupakan penerapan prinsip ekonomi terutama ekonomi mikro yang mempelajari
pengambilan
keputusan
menyangkut
pengembangan
dan
pengelolaan SDA sehingga dampak lingkungan suatu kegiatan seimbang dengan kebutuhan lingkungan. Dalam aspek sosial, partisipasi dan kemitraan faktor penting
merupakan salah satu
yang harus diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan.
Masyarakat dapat dijadikan sumber potensi untuk pengembangan sekolah baik secara urun pendapat, sumber pendanaan, nara sumber maupun sumber tenaga gotong royong dalam rangka membudayakan sikap peduli dan cinta lingkungan. Pelaksanaan PLH
dapat memberikan manfaat bagi daerah yang
melaksanakan diantaranya adalah: 1. Menyelesaikan masalah lingkungan global, nasional, dan lokal. 2. Menyiapkan SDM dalam mencapai Pembangunan berkelanjutan. 3. Menghemat SDA dan biaya pemulihan lingkungan. 4. Menunjang program pemerintah seperti ADIPURA. 5. Meningkatkan kesehatan dan harapan hidup masyarakat. 6. Memberikan peluang harapan hidup generasi yang lebih baik. Saragih (2000) menjelaskan rendahnya keberhasilan PLH di lapangan dapat disebabkan oleh keadaan yang belum menempatkan guru sebagai agen perubahan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
khususnya
kompetensi dalam pengelolaan SDA yang berkelanjutan. Kompetensi guru untuk mengemban profesi kependidikan dirasakan masih kurang. Upaya peningkatan kompetensi guru menurut Suroso (2003) dapat dilakukan dengan melakukan seleksi dalam penerimaan guru. Di samping itu diperlukan pembinaan untuk menambah wawasan melalui pelatihan, kursus, maupun pendidikan, adanya jenjang peningkatan karier guru serta perhatian terhadap fasilitas guru. Dalam upaya peningkatan kompetensi maka penjenjangan karier guru juga sebaiknya berorientasi pada penghargaan prestasi. Dengan demikian dalam meningkatkan
51
profesionalismenya guru akan selalu berusaha untuk belajar dan membaca perubahan yang terjadi di masyarakat lokal maupun global. 2. 5. Upaya Meningkatkan Kompetensi Lingkungan 2. 5. 1. Sekolah Model Berbudaya Lingkungan (SBL) Salah satu upaya memunculkan gagasan pendekatan baru PLH adalah membuat Sekolah Model Berbudaya Lingkungan (SBL) atau Sekolah Hijau (SH). Pelaksanaan proyek ini terdapat pada tiap provinsi dengan masing-masing satu SD, SMP, dan SMU. Walaupun demikian diharapkan nantinya akan memberikan imbas pada sekolah-sekolah lain. Sebagai pelaksana awal pembinaan SBL adalah proyek PKLH (Pusat) pada tahun 2001, selanjutnya pembinaan dilakukan oleh Dinas di tingkat Provinsi dan Dinas Kabupaten atau Kota. Tahap berikutnya pembinaan diserahkan kepada daerah. Konsep Sekolah Hijau adalah model sekolah yang mengimplementasikan lingkungan dalam penyelenggaraan kegiatan kurikulernya. Salah satu program PLH tersebut adalah memilih sekolah yang layak melaksanakan program. Program SBL berlangsung tahun 2000 hingga 2001. Adapun kegiatannya
diantaranya berupa penghijauan, membantu
program pemerintah seperti langit biru, kali bersih, pengadaan alat kebersihan, sarana kegiatan pendidikan lingkungan hidup yang terintegrasi dalam mata pelajaran, dan pelaksanaan ekstra kurikuler yang relevan dengan SBL. Tujuan dan pengembangan program SBL adalah agar sekolah mampu: 1.
Meningkatkan
kualitas
pengetahuan
warga
sekolah
tentang
permasalahan lingkungan hidup yang ada, baik dari lingkungan pribadi, sekolah, masyarakat, regional maupun global. 2.
Meningkatkan kualitas kepedulian warga sekolah terhadap permasalahan lingkungan hidup yang ada dan secara sadar mau membangun lingkungan ke arah yang lebih baik.
3.
Memotivasi warga sekolah
untuk mengambil peran sebagai pelopor
dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. 4.
Mewujudkan sekolah yang berbudaya lingkungan sehingga dapat dijadikan contoh bagi sekolah lain dan sekitarnya. Indikator keberhasilan dari program ini adalah
setiap guru mampu
mengintegrasikan PLH dalam materi pelajaran, perilaku warga sekolah yang sadar
lingkungan, lingkungan sekolah, dan kelas. Agar program SBL dapat
52
berlanjut maka pengembangannya akan dikaitkan dengan permasalahan masyarakat di wilayah sekolah
sehingga masyarakat merasa mendapatkan
manfaat dari program tersebut. Konsep SBL adalah model sekolah yang mengimplementasikan konsep lingkungan dalam penyelenggaraan kegiatan kurikuler. Dalam pelaksanaannya SBL didukung oleh lingkungan fisik yang memadai dari segi penghijauan, estetika, dan
fasilitas lingkungan yang alami. Dengan demikian dalam
pelaksanaan
proses
lingkungan
sekolah
belajar mengajar yang
baik
dapat mendorong untuk
memahami,
pada penciptaan merasakan,
dan
mengimplementasikan aspek-aspek lingkungan hidup dalam seluruh kegiatan sekolah sehingga seluruh warga sekolah
akan berperilaku arif terhadap
lingkungan dan bermanfaat bagi daerah sekitarnya. Penyelenggaraan
model SBL diharapkan
lingkungan yang kondusif
untuk memotivasi
akan menciptakan kondisi belajar. Siswa mengelola
lingkungan sehingga memberikan dampak terhadap kesehatan Disamping itu juga membantu memecahkan
masyarakat.
masalah-masalah lingkungan di
daerah maupun isu-isu lingkungan. Melalui program SBL lingkungan dan kondisi sekolah dikelola secara baik dengan lahan yang cukup luas yang ditanami dengan tanaman untuk kesehatan lingkungan seperti tanaman pengisap racun, tanaman hias, tanaman hijau berbunga, tanaman obat, tanaman penyerap air hujan. Lingkungan sekolah dilengkapi dengan taman sekolah, warung hidup, kantin sekolah yang mencukupi dan tempat pembuangan sampah, sumber air bersih dan sistem pembuangan limbah MCK, laboratorium sekolah dan kelengkapannya, perpustakaan sekolah yang mendukung kegiatan pendidikan lingkungan hidup, tempat ibadah sebagai pembinaan mental spiritual siswa, serta lapangan olah raga sebagai sarana kebugaran dan kesehatan jasmani siswa. Hal-hal tersebut akan membuka wawasan dalam pendidikan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sehat juga meningkatkan motivasi belajar siswa dan memperoleh pengalaman bekal ketrampilan hidup (life skill) bagi kehidupan di masyarakat. Selain itu lingkungan alam dapat memberikan berbagai inspirasi pendidikan dan nilai untuk kehidupan manusia dalam bermasyarakat seperti nilai religius, nilai pendidikan, nilai intelektual, dan nilai sosial politik. Dengan kegiatan memilih
sumber
pelajaran
manusia
tidak
akan
menggali, meniru,
kehabisan
ide
untuk
53
mensejahterakan kehidupan yang diikuti dengan kemampuan berpikir, bersikap, perilaku kritis, analitis, kreatif, inovatif, dan produktif dalam menerapkan sistem nilai yang ada. Adanya pembelajaran berpikir yang berbasis sistem nilai maka akan menghasilkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Yang Maha Kuasa sehingga pada akhirnya peduli terhadap pemeliharaan dan pelestarian lingkungan yang sehat. Dengan
menerapkan
prinsip ekologis terhadap pembangunan
pendidikan di sekolah dapat diwujudkan hubungan timbal balik antara sekolah dengan masyarakat
sekelilingnya. Kemajuan sekolah bergantung
besarnya dukungan
partisipasi
kepada
masyarakat terhadap sekolah tersebut dan
kepercayaan masyarakat kepada sekolah bergantung kepada prestasi yang dicapai sekolah. Dalam pembangunan jaring-jaring
stakeholder
sekolah ditantang
sampai sejauh mana sekolah dapat memenuhi tuntutan dan menanggulangi kebutuhan masyarakat termasuk dalam penanggulangan masalah lingkungan sekitar maupun isu-isu lingkungan global. Melalui program SBL juga dilakukan pembangunan lingkungan fisik seperti taman/ kebun sekolah, halaman, bangunan sekolah yang ditata
secara asri
melalui program 7 K yaitu Keindahan,
Kerindangan, Kebersihan, Keamanan, Kekeluargaan, Ketertiban, dan Kesehatan. Model SBL
diharapkan mampu menerapkan konsep pembangunan
berkelanjutan menuju sekolah yang mampu mengintegrasikan aspek dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dimensi ekonomi mencakup pertumbuhan, pemerataan, dan efisiensi. Penyelenggaraan Berwawasan
Lingkungan
aspek
Model Sekolah
mengarah kepada profit (keuntungan) dan benefit
(kemanfaatan) untuk menjadi model sekolah mandiri yang berkeunggulan. Dimensi lingkungan sekolah yang dikembangkan adalah integritas ekosistem, pemeliharaan, pemanfaatan dan pelestarian lingkungan, penanggulangan masalah isu-isu global, dan daya dukung lingkungan sebagai sumber belajar, maupun pasar bagi para alumninya. Siswa memperoleh
pembekalan substantif, kognitif,
ketrampilan dasar, maupun pembinaan sikap dan perilaku
dalam kerangka
mengembangkan wawasan dan pengelolaan dasar lingkungan bagi siswa dan masyarakat sekitar sekolah serta instansi terkait sehingga dihasilkan SDM yang berkualitas sebagai daya dukung pembangunan berkelanjutan. Secara rinci tujuan
54
yang akan dicapai melalui program ini adalah siswa SMA yang
memiliki
kemampuan sebagai berikut: 1. Memiliki keyakinan dan ketakwaan yang tercermin dalam perilaku seharihari sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. 2. Memiliki nilai dasar humaniora (nilai religius, nilai pendidikan, nilai sosio politik, nilai intelektual, dan nilai praktis) untuk menerapkan kebersamaan dalam kehidupan. 3. Mengusai pengetahuan, ketrampilan akademik, dan sikap serta beretos belajar untuk melanjutkan pendidikan. 4. Mengalihgunakan kemampuan akademik dan ketrampilan hidup (life skills) di masyarakat lokal, regional, nasional maupun global. 5. Berpartisipasi aktif, kritis, analitis, kreatif, inovatif, produktif, demokratif
serta
dan
berwawasan lingkungan dan kebangsaan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. 6. Mampu menciptakan 7 K (Ketertiban, Keamanan, Kebersihan, Keindahan, dan Kesehatan) hingga ditambah satu kriteria K (Kecerdasan) lagi yaitu untuk terselenggaranya lingkungan yang sehat dan serasi. 7. Memacu motivasi belajar siswa dari lingkungan sekolah yang kondusif untuk belajar sehingga menghasilkan siswa yang unggul dalam uji coba kecerdasan dalam berbagai kesempatan, khususnya masalah pengetahuan dan pengelolaan dasar lingkungan hidup baik di tingkat lokal, regional, nasional, maupun internasional. 8. Memberikan kesempatan dan menghimpun siswa yang memiliki bakat khusus dan kecerdasan tinggi agar dapat dikembangkan secara optimal dalam mambangun daerahnya dengan pembekalan life skill, terutama dalam pengelolaan SDA yang berwawasan lingkungan hidup dengan menerapkan asas pembangunan berkelanjutan. Upaya membangun
kepedulian lingkungan dari warga sekolah melalui
pendekatan proyek tampaknya masih kurang menyentuh akar permasalahan dalam pendidikan lingkungan hidup. Hal ini disebabkan masyarakat diluar sekolah yang langsung mengalami masalah lingkungan masih belum dilibatkan. Di samping itu perhatian sekolah terhadap permasalahan lingkungan di masyarakat sekitar sekolah masih kurang.
Penyebab lainnya adalah rendahnya
keterlibatan
55
masyarakat dalam kegiatan sekolah.
Kebanyakan masyarakat awam masih
menganggap bahwa kegiatan sekolah adalah proses pembelajaran materi pelajaran semata, yang dipersiapkan untuk menghadapi ujian dan memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu terbatasnya pemahaman masyarakat terhadap masalah lingkungan menyebabkan kurangnya perhatian
terhadap
kegiatan sekolah yang berkaitan dengan lingkungan. Kegiatan pembinaaan siswa terhadap lingkungan melalui integrasi mata pelajaran terkait masih kurang dianggap penting oleh guru dan bersifat fakultatif yang tidak termasuk dalam parameter keberhasilan belajar. Inovasi baru yang tidak memperhatikan masukan guru dan siswa baik dalam proses perencanaan dan pelaksanaan berpeluang untuk ditolak karena dianggap tidak memberikan keuntungan. Dengan demikian pencapaian sasaran proyek ini yaitu meningkatkan kualitas pengetahuan warga sekolah
tentang permasalahan
lingkungan hidup pada tingkat
masyarakat,
regional, maupun global kemungkinan masih kurang berhasil. Oleh sebab itu perlu penyempurnaan program pembelajaran PLH di sekolah. 2.5.2. Western Java Environtmental Management Keterlibatan Departemen selain Depdiknas dalam PLH di antaranya adalah
Depkimpraswil melalui Western Java Environtmental Management
Project
2003.
Salah
satu
laporan
tahunannya
diantaranya
adalah
mengikutsertakan sekolah dalam program pemantauan lingkungan. Pemerintah Daerah menyiapkan satu sekolah menengah yang diharapkan dapat memberikan informasi pada sekolah lain. Peningkatan kesadaran lingkungan dicapai melalui
para siswa
pembelajaran mengenai lingkungan, pelatihan pemantauan
lingkungan, dan memberikan informasi kepada siswa lain. Hal yang dijumpai di lapangan dalam melaksanakan proyek ini adalah rendahnya partisipasi guru yang menganggap mata pelajaran yang diajarkan tidak ada kaitan dengan topik lingkungan yang diangkat dalam penelitian. Selain itu ada kecenderungan warga sekolah yang kurang peduli terhadap kegiatan-kegiatan lingkungan sehingga tidak dimasukkan dalam program evaluasi kegiatan belajar mengajar.
Target
ketuntasan dalam menyesaikan
kurikulum untuk dapat
mencapai kelulusan 100% dan prosentase masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) turut merendahkan partisispasi warga sekolah untuk mensukseskan proyek lingkungan hidup. Harapan untuk memberikan imbas pengetahuan lingkungan
56
hidup untuk sekolah lain juga menghadapi kendala yang disebabkan rendahnya pengetahuan lingkungan
dan perhatian masyarakat terhadap pentingnya
lingkungan hidup. 2. 5. 3. Balai Pelatihan Guru (BPG) Pengembangan PLH juga dilakukan
oleh Balai Penataran Guru
Yogyakarta pada tahun 2003 melalui pembuatan contoh penataan lingkungan pada lahan Balai Pelatihan Guru (BPG). Kegiatan dilakukan melalui analisis kesesuaian lahan untuk mendapatkan
tanaman yang sesuai dan cocok untuk
tumbuh dan berkembang dengan memperhatikan estetika, ekologi, buffer dan produktifitas alam. Selain itu dibuat pula pengelolaan air bersih, pengelolaan air limbah, pengelolaan sampah, pemanfaatan limbah dapur, serta pemanfaatan air limpasan.
Model pengelolaan lingkungan tersebut diharapkan dapat menjadi
contoh pembinaan lingkungan hidup bagi siswa. Saat ini PLH masih dilakukan secara sporadis yang ditunjukkan dengan sistem pembelajaran yang dilakukan pada sekolah-sekolah tertentu. Demikian juga pembelajaran lingkungan hidup hanya dilakukan terhadap guru-guru yang mengajar Fisika, Kimia, Biologi, dan Geografi yang lolos seleksi. Melalui cara ini diharapkan terjadi arus informasi pengetahuan lingkungan terhadap siswa dan masyarakat. Akan tetapi harapan ini mengalami kendala yang menurut Depdiknas (2003) disebabkan: 1. Kebanyakan guru mengalami kesulitan
menentukan inti pesan
materi
lingkungan yang dikaitkan dengan materi pelajaran. 2. Persepsi sebagian guru bahwa PLH bukan materi yang wajib diajarkan. 3. Belum adanya pembinaan, pemantauan, evaluasi, dan penilaian terhadap proses pembelajaran PLH oleh Kepala Sekolah dan stakeholder pendidikan lainnya. 4. Sistem pembinaan mata pelajaran yang terintegrasi dengan PLH masih belum mantap. Pada Rencana
Tindak Pembangunan Berkelanjutan Menteri Negara
Lingkungan Hidup (2004) dijelaskan bahwa indikator keberhasilan dalam bidang
Pendidikan adalah memberikan pengetahuan, pemahaman dan
wawasan mengenai
pembangunan berkelanjutan melalui penyelenggaraan
dan pengembangan pendidikan formal, informal, dan nonformal sehingga
57
dihasilkan sumberdaya manusia Indonesia yang berbudaya, paham, tanggap, dan kreatif terhadap tiga pilar pembangunan berkelanjutan. Ada dua hal yang mendasar
yang harus dibenahi yaitu kesadaran masyarakat
terhadap
lingkungan dan penegakan hukum yang masih kurang dan PLH adalah upaya untuk memberikan kesadaran terhadap lingkungan. 2.6. Komite Sekolah dan PLH Komite Sekolah masyarakat
adalah
badan mandiri yang mewadahi peran serta
dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi
pengelolaan pada satuan pendidikan. Komite Sekolah dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 044/U/2002 tentang Komite Sekolah. Tujuan dibentuknya kelembagaan ini
adalah
mendukung tujuan pendidikan nasional dengan cara menyatukan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah.
Keberadaan Komite Sekolah
dalam penyelenggaraan pendidikan berlandasan pada partisipasi masyarakat sehingga dapat membantu meningkatkan
kualitas
pelayanan
dan hasil
pendidikan sesuai dengan fungsi kedua badan tersebut yaitu: 1.
Mendorong perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
2.
Bekerja sama dengan masyarakat baik perorangan, organisasi, dunia usaha, industri, dan pemerintah.
3.
Menampung dan menganalisis
aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai
kebutuhan pendidikan yang diajukan masyarakat. 4.
Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan
mengenai
kebijakan dan program pendidikan,
Rencana
Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS), kriteria kinerja satuan pendidikan, kriteria tenaga pendidikan, kriteria fasilitas pendidikan, dan mendorong orang tua serta masyarakat
untuk berpartisipasi dalam
pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan, serta melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan. Keanggotaan Komite Sekolah orang tua,
adalah unsur masyarakat yang terdiri
tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, dunia usaha dan industri,
organisasi profesi tenaga kependidikan, wakil alumni, dan wakil peserta didik.
58
Unsur-unsur
lainnya
adalah Lembaga Swadaya Masyarakat di bidang
pendidikan, Birokrat, dan Legislatif. Komite Sekolah merupakan wadah yang
memberikan kesempatan pada
masyarakat untuk menyalurkan kebutuhannya khususnya mengenai kompetensi lulusan yang diharapkan. Jika peluang ini dapat dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya maka akan dapat meningkatkan mutu sekolah. Kondisi masyarakat sekitar sekolah dan lingkungannya yang berbeda-beda merupakan potensi yang besar untuk pengembangan organisasi sekolah. Dengan demikian pembelajaran terhadap masyarakat sangat diperlukan. Upaya ini dapat dilakukan oleh lembaga yang ada di masyarakat misalnya tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, dan organisasi lain. Tanpa pembelajaran maka masyarakat akan kurang mengenal permasalahan yang dihadapi dan tidak mampu mengidentifikasi permasalahan sehingga sulit mencari pemecahannya terutama masalah lingkungan. 2.7. PLH di Beberapa Negara Sejak Agenda 21 digulirkan pendidikan dan ditingkatkan dalam rangka
capacity building terus
pembangunan berkelanjutan.
Issue penting alam
pembangunan berkelanjutan adalah pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, konsumsi yang berlebihan, perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, sosial, dan ekonomi. Pendidikan yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan bukan hanya pengetahuan dan pemahaman tetapi juga termasuk ketrampilan dan kemampuan untuk merencanakan, motivasi, dan pengaturan di dalam organisasi, komunitas, maupun industri. Berikut ini adalah program pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan negara-negara
di
Australia. (Tilbury, 2004). 1. Pendidikan Lingkungan untuk Tujuan dari Action Plan berkaitan dengan
Action Plan Pembangunan berkelanjutan.
adalah
mengkoordinir semua aktifitas yang
pembangunan pendidikan formal
dan pendidikan
masyarakat. 2. Konsultan Pendidikan Lingkungan Hidup yang memberikan masukan dan saran pada Kementerian Lingkungan Hidup. Badan ini terdiri atas stakeholder dari kalangan
bisnis, industri, pendidik dari
Universitas Pendidikan. 3. Kerjasama negara-negara di Australia untuk PLH
berbagai sekolah,
dan
59
4. Institut yang menggarap penelitian Pembangunan Berkelanjutan Dissamping itu PLH yang terintegrasi dalam kurikulum dimasukkan pada mata pelajaran sebagai berikut: 1. Sains dan Lingkungan
khususnya di Barat Australia menekankan pada
konteks pembangunan berkelanjutan. 2. Sains:
khususnya di Selatan Australia yang menekankan pembelajaran
lingkungan. 3. Bahasa Inggris yang dikaitkan dengan issue-issue lingkungan. 4. Matematika yang berkaitan dengan lingkungan seperti pemetaan. 5. Pendidikan Kesehatan menekankan lingkungan yang sehat. 6. Teknologi yang berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. 7. Seni yang dikaitkan dengan pemahaman lingkungan.
Sehubungan dengan integrasi PLH dalam mata pelajaran, Jacobus (2004) menambahkan PLH juga dapat diberikan melalui pendidikan moral dan spiritual. Penelitian lain seperti yang dilakukan oleh Amstrong dkk (2004) melaporkan bahwa Pengelolaan Limbah dalam bentuk Reduce, Reuse dan Recycle
telah
diimplementasikan dalam kegiatan pada 900 sekolah di Victoria dan 300 di Australia. Program ini telah berhasil merubah sikap dan perilaku
siswa yang
juga berdampak pada perilaku masyarakat sekolah termasuk orang tua siswa. Disamping itu juga
memberikan
perbaikan lingkungan sekolah,
keuntungan kepada sekolah
pendidikan, sosial dan ekonomi.
dalam
hal
Sedangkan
WWF dalam Backmore (2007) mengemukakan bahwa konteks pembangunan berkelanjutan telah diintegrasikan pada kurikulum mata pelajaran di negaranegara Eropa. Di Amerika PLH sudah dijalankan sejak 30 tahun terakhir dengan penekanan pada empat program yang saling terkait yaitu guru, siswa, sekolah dan masyarakat. Hal yang mendasar dalam PLH adalah sumberdaya, issue dari masyarakat setempat yang kemudian diintegrasikan dalam tingkatan pendidikan, sehingga diperlukan kerjasama antara sekolah dan masyarakat. yang dilakukan menitikberatkan pada masyarakat dengan
prestasi siswa dan
Pembelajaran
memberdayakan
lingkungan, sosial dan ekonomi. Sekolah menerima
masyarakat dan masyarakat menerima siswa untuk belajar di berbagai dimensi.
60
Kruse dan
Card (2004) melaporkan penelitiannya
pada sekolah di Florida
dengan program Pendidikan Konservasi dengan cara merawat hewan, memberi makanan, mengamati perilaku hewan yang kemudian didiskusikan telah meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku siswa. Hal yang positif dari PLH pembelajaran pelayanan,
yang terus menerus
di Amerika
adalah
terjadinya iklim
dari tingkat masyarakat,
dan kegiatan pembangunan
yang
proyek-proyek,
mengintegrasikan
konsep
lingkungan Power (2004). Model PLH di Amerika diilustrasikan pada gambar 2.1. Raymon dkk, 1994 menambahkan masyarakat yang berpartisipasi dalam pengelolaan sampah secara Reduce, Reuse dan Recycle
telah berhasil
meningkatkan perilaku lingkungan. Evaluasi terhadap sistem pembelajaran ini
menunjukkan hasil yang
memuaskan baik terhadap siswa maupun masyarakat. Siswa
mendapatkan
informasi pengetahuan secara langsung dari textbook maupun kondisi nyata. Beberapa efek positf adalah siswa apat mengembangkan kemampuannya, guru merasa puas dan dapat meningkatkan keprofesionalannya, dan masyarakat dekat dengan sekolah.
Ada enam dampak dari PLH yaitu menggunakan lokasi dan
sumberdaya setempat, pengajaran antar disiplin ilmu, kolaborasi dari berbagai guru, melatih kepemimpinan, kemandirian, dan pengembangan kurikulum..
61
Pemahaman Kondisi Setempat (Pengetahuan dan Pengalaman)
Peranan Sekolah dan Masyarakat
Peningkatan Sikap
Ketrampilan (Pengetahuan dan Pengalaman )
Peningkatan Kompetensi
Partisipasi Masyarakat (Perubahan Tingkah Laku)
Peningkatan Sosial dan Ekonomi Masyarakat
Sosial dan Lingkungan yang lebih baik Gambar 2. 1. Model PLH Berdasarkan Kondisi Setempat
Shi Jang Hsu (2004) melaporkan pelaksanakan PLH di Taiwan yang menunjukkan bahwa tingkah laku yang responsif terhadap lingkungan dapat tercapai dengan model seperti yang disajikan pada gambar 2.2. Melalui model tersebut siswa perlu dilatih untuk melakukan investigasi terhadap isu-isu lingkungan.
Dampak dari pelatihan
adalah terbentuknya
sikap yang peka
terhadap lingkungan dan meningkatkan pengetahuan tentang ekologi dan mampu menganalisis isu-isu
yang ada. Dengan demikian dapat menemukan langkah
strategis dalam pemecahan masalah lingkungan, yang selanjutnya berpengaruh terhadap tingkah laku yang responsif terhadap lingkungan.
Wrigt
(2004)
menjelaskan bahwa aktifitas Problem Solving dengan kompetensi pengetahuan,
62
informasi, sosial dan pembelajaran dapat mendukung kapasitas individu, sosial dan organisasi. Akan tetapi alam proses pembelajaran juga perlu memperhatikan tipe dari pengetahuan yang dimiliki oleh kelompok organisasi yang
pada
umumnya heterogen (Klein dkk, 2004).
Intervensi Pendidikan PLH: investigasi isu dan training
Sikap peka terhadap lingkungan dan pengetahuan ekologi
Kemampuan menganalisis isu dan respon terhadap lingkungan
Pengetahuan dan ketrampilan yang digunakan dalam langkah strategi permasalahan lingkungan
Tingkah laku yang responsif terhadap lingkungan
Gambar 2. 2. Model PLH dengan Pelatihan
2.8. Teori Organisasi dan Pendidikan Pendidikan memiliki peranan yang besar dalam mengantisipasi perubahan dan globalisasi. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan wahana pembelajaran yang berlangsung secara terus menerus. Pendidikan merupakan suatu bentuk organisasi dan merupakan
sistem karena terdiri dari sejumlah komponen yang
63
berkaitan untuk mencapai tujuan tertentu. Kurang berhasilnya suatu organisasi dalam mencapai
visi dan misinya merupakan ancaman bagi keberlangsungan
suatu organisasi. Organisasi dapat tumbuh jika dapat beradaptasi secara dinamis dengan cara terus berusaha mendapatkan informasi sehingga perubahan dapat diantisipasi. Pendidikan berwawasan global bersifat sistemik organik dengan ciri fleksibel dan kreatif.
Sistemik organik adalah sekumpulan proses yang
bersifat interaktif dan merupakan interaksi dari keseluruhan interaksi yang ada. Organisasi juga menyerupai makhluk hidup yang eksistensinya ditentukan oleh kemampuannya untuk beradaptasi atas berbagai keterbatasan sumberdaya dan gerak perubahan lingkungan hidupnya (Syafar, 1995). Upaya yang digunakan untuk mendapatkan informasi dengan jalan memahami, menciptakan pengetahuan, dan membuat keputusan ( Choo, 1998). Memahami yaitu melakukan interpretasi dari data yang diperoleh melalui strategi informasi untuk mendapatkan pengetahuan yang baru melalui organisasi. Pengetahuan
dicapai melalui
pengenalan
pembelajaran
pada hubungan yang
sinergik antara tacit dan eksplisit. Tacit adalah pengetahuan personal yang bersifat subyektif, simultan, analog, dan berupa pengetahuan yang lahir dari pengalaman. Explisit adalah pengetahuan formal yang mudah ditransfer dengan mudah antar individu dan organisasi yang
bersifat pengetahuan, rasional,
sistematik, dan kuantitatif. Organisasi membutuhkan kemampuan untuk merubah tacit menjadi explisit agar tercipta inovasi dalam baru. Sosialisasi merupakan
proses
mengembangkan produk
memberikan pengetahuan tacit
melalui
pengalaman. Externalisasi adalah proses mengubah pengetahuan tacit menjadi konsep eksplisit dengan menggunakan metaphora, analogi, atau model. Kombinasi adalah proses menciptakan pengetahuan eksplisit dari sejumlah sumber. Internalisasi adalah membangun pengetahuan eksplisit ke dalam tacit. Adapun proses konversi pengetahuan organisasi disajikan pada gambar 2.3 .
64
Gambar 2.3. Proses Konversi Organisasi Pembelajaran Sumber : Nonaka dan Takeuchi (1995)
Tiga model informasi yang digunakan dalam organisasi adalah Sense Making, Knowledge Creating, dan Decision Making. Sense Making
adalah
memahami yaitu aktifitas untuk mengumpulkan informasi dari lingkungan yang kemudian diinterpretasi sehingga terbentuk konstruksi yang berarti.
Knowledge
Creating yaitu pembelajaran organisasi dengan cara membuat pengetahuan baru dengan
output yang dicapai adalah
pengetahuan explicit dan tacit untuk
melahirkan inovasi baru. Proses kreasi pengetahuan adalah hasil dari suatu interaksi yang dinamik diantara pelaku dalam organisasi. yaitu membuat keputusan dengan
meneliti dan
Decision making
melakukan seleksi terhadap
alternatif serta informasi untuk dianalisis sehingga dapat dilakukan pemecahan masalah.
Baskerville dan Dulipovici (2006) mengemukakan pentingnya
pengelolaan pengetahuan berasarkan informasi ekonomi, strategi manajemen, kultur organisasi, perilaku organisasi, struktur organisasi dan pengukuran kemampuan organisasi. Implikasi dari pendidikan yang berwawasan global
65
adalah perlu memperhatikan mekanisme pasar disamping aspek sosial. Menurut Ma’arif dan Tanjung (2003) dalam pasar yang sangat terbuka dan konsumen yang sangat kritis serta mempunyai organisasi yang kuat, produsen dituntut tanggung jawabnya terhadap produk yang dihasilkan. unggul termasuk unggul melayani konsumen
Hanya produsen yang
yang akan keluar
sebagai
pemenang dalam persaingan bisnis. Produsen wajib memberikan informasi yang jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa yang dihasilkan. Salah satu keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang adalah selalu waspada dalam menciptakan customer retension yaitu konsumen pembelian berulang. Sekolah sebaiknya dipandang sebagai
yang
melakukan
suatu perusahaan
yang menjual jasa penghasil SDM dengan kompetensi keunggulan tertentu kepada masyarakat. Masyarakat saat ini adalah masyarakat modern yaitu masyarakat pasar atau masyarakat bisnis atau juga masyarakat konsumen. Dengan demikian diperlukan strategi untuk mendapatkan keunggulan yang bertahan lama dengan cara seperti yang dikemukakan oleh Grant (1995) sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi
sumberdaya
yang meliputi
kekuatan dan kelemahan
pesaing. 2. Mengidentifikasi kemampuan yang dapat dilakukan. 3. Menilai sumberdaya
yang
potensial menciptakan, mempertahankan dan
menggali keuntungan. 4. Memilih strategi untuk menggali kemampuan. 5. Mengidentifikasi kesenjangan sumberdaya yang perlu ditambahkan. Tahap persaingan untuk masa depan adalah kepemimpinan intelektual yaitu memperoleh wawasan ke depan, mengembangkan suatu sudut pandang kreatif tentang evolusi potensial dari fungsionalitas, kompetensi diri, dan perhatian terhadap pelanggan (Hamel dan Prahalad, 1995). Perusahaan Jepang yang sukses dan menjadi perusahaan global mampu mengembangkan pengetahuan, secara terus menerus, melakukan inovasi, dan melakukan kompetisi. Organisasi sekolah perlu mengembangkan semangat berkompetisi untuk dapat diterima masyarakat sebagai sekolah yang memiliki keunggulan tertentu. Menurut Nonaka (1995) ketiga hal tersebut dapat memberikan penguatan seperti yang pada Gambar 2.4
66
Kreasi Pengetahuan
Inovasi terus menerus
Kompetisi
Gambar 2.4. Urutan Langkah Kesuksesan Organisasi Sumber: Nonaka (1991)
Blackmore (2007) menjelaskan bahwa dalam pembangunan berkelanjutan diperlukan stakeholder yang dapat mengantisipasi
pengetahuan yang selalu
berkembang, pembelajaran, dan keinginan untuk mengetahui. Pemahaman yang diperlukan adalah pemikiran yang dapat mengintegrasikan berbagai informasi, membangun kerjasama, pengelolaan yang baik, pemanfaatan sumberaya alam yang efisien, pengetahuan yang baik, dan tanggap terhadap masalah sosial. Collins dkk (2007) menambahkan pendekatan sistem dengan melibatkan berbagai stakeholder akan memicu proses pembelajaran sehingga proses pengambilan keputusan dapat dilalui dengan berbagai pertimbangan.
Steyaert dan Jiggins
(2007) berpendapat bahwa dalam pemerintahan dengan situasi lingkungan yang kompleks diperlukan pembelajaran sosial. Sebagai contoh pemecahan perubaan iklim yang berkaitan dengan siklus Carbon memerlukan pembelajaran yang berkaitan dengan sains, teknologi dan sosial. (Dilling, 2007). Demikian juga aktifitas manusia yang menyebabkan kerusakan tanah ( Thornton dkk, 2007) dan masalah-masalah lingkungan yang berkaitan dengan kesehatan ( Corburn, 2007). Proses pembelajaran
organisasi juga telah dilakukan
juga oleh Departemen
Pertanian di Colorado dalam pemecahan perubaan iklim seperti pengetahuan lanjutan tentang pertanian, lingkungan, kesehatan, dukungan masyarakat, dan pendidikan (Logar dan Conant, 2007).
67
Disamping itu dalam pembelajaran organisasi juga perlu memprediksi keadaan ke depan seperti yang dilakukan oleh Lucas dkk (2007) hingga tahun 2100 dalam penelitiannya tentang pengurangan gas-gas yang menimbulkan efek rumah kaca selain
CO2 seperti
CH4,
N2 O
dan gas Flour seperti
Sulfurhexafloria. Gas-gas tersebut diantaranya dapat berasal dari minyak bumi, kotoran hewan,
landfills, pertanian lahan basah, transportasi
dan limbah
domestik. Dalam bidang pendidikan Kepala Sekolah sebagai manajer senior perlu mengembangkan iklim
pembelajaran
dan memiliki kemampuan untuk
berorientasi terhadap arah pelaksanaan kurikulum, disamping efisien dan efektif dalam penggunaan sumberdaya yang dimiliki guna mencapai tujuan. Selain itu perlu adanya penanaman semangat belajar di lingkungan sekolah maupun di masyarakat secara terus menerus. Mardi (2003) menyatakan bahwa sumberdaya dalam organisasi yang paling vital adalah informasi dan pengetahuan. Oleh sebab itu organisasi pendidikan perlu bersifat fleksibel dan adaptif yang berarti pendidikan ditekankan sebagai sesuatu proses pembelajaran. Selain itu juga mengembangkan sikap kreatif demokratis artinya pendidikan menekankan pada sikap mental untuk senantiasa menghadirkan sesuatu yang baru dan orisinil (Zamroni, 2004). Melalui cara ini diharapkan dapat menciptakan masyarakat belajar. Dengan demikian reformasi kelembagaan pendidikan secara total agar pendidikan nasional memiliki kemampuan untuk melaksanakan peran, fungsi, dan misinya. Menurut Gaffar (2002) fungsi utama Kepala Sekolah adalah sebagai manajer
pendidikan tingkat sekolah
yang perlu memahami
konsep dan
penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Model manajemen ini sedang dikembangkan dalam era otonomi dengan mengembangkan kemandirian semua unsur di sekolah melalui pemberdayaan yang efisien dan efektif. Pemimpin perlu selalu mengantisipasi perubahan sehingga menjadikan organisasi tersebut mendapat pasar, respon, dan efektif dibandingkan pesaingnya. Empat tahapan yang perlu dilakukan untuk mengelola perubahan yaitu strategi, operasi, kultur, dan penghargaan. Perubahan diawali dari pemicu perubahan, ketidakstabilan situasi bisnis, melakukan perkiraan pemasaran, keputusan untuk perubahan, perencanaan perubahan, dilanjutkan dengan aktifitas (Berger dkk, 1994).
68
Penanganan masalah lingkungan yang saat ini mengalami penurunan kualitas salah satunya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan membutuhkan pendekatan secara organisasi. Pendekatan melalui organisasi merupakan pendekatan secara sistematis dan memerlukan
model yang dapat disimulasi
untuk membuat, menganalisis, maupun kontrol terhadap kebijakan. Penerapan kebijakan
lapangan tidak dapat
dilakukan secara langsung karena
membutuhkan proses pembelajaran sehingga ada faktor keterlambatan (delay). Faktor keterlambatan perlu diantisipasi agar pemecahan masalah yang merupakan issue actual dapat segera dipecahkan. Pentingnya penanganan masalah dengan segera erat kaitannya dengan cepatnya perubahan yang bergerak secara dinamis. Keterlambatan penanganan menimbulkan masalah baru yang lebih besar, terlebih jika penanganan yang dilakukan hanya bersifat simtomatis. Oleh sebab
itu
pembelajaran dalam organisasi sangat penting untuk dibangun. Ison dkk (2007) mengemukakan bahwa pembelajaran
juga dilakukan pada implementasi
managemen keberlanjutan keberadaan
air di Eropa, disamping itu beberapa
pembelajaran yang dilakukan dengan observasi lainnya sepert keberlanjutan agroekosistem (Toderi dkk, 2007), penggunaan pestisida. Steyaert dkk (2007) juga
berpendapat pentingnya
organisasi pembelajaran dari stakeholder yang
terlibat alam masalah lingkungan seperti
pengelolaan lahan basah
pesisir
Atlantik Perancis. Proses pembelajaran dalam organisasi adalah mengelola informasi pengetahuan pada organisasi.
Pengetahuan dalam organisasi
merupakan hal
penting dibandingkan sumber lain seperti finansial, posisi pasar, dan asset lain. Pengetahuan adalah nutrisi untuk pertumbuhan organisasi karena organisasi membutuhkan pengetahuan eksternal dan internal untuk pengembangan. Nonaka (1991) mengemukakan sukses suatu organisasi adalah kemampuan organisasi tersebut dalam berkreasi untuk mendapatkan pengetahuan baru. Ada empat subsistem dalam knowledge yaitu Acquisition, Creation, Storage, dan Transfer Knowledge. Acquisition adalah mengumpulkan data dan informasi dari dalam dan luar organisasi.
Creation adalah kemampuan organisasi untuk mendapatkan
pengetahuan baru dan kemampuan memecahkan masalah. Storage adalah menyimpan dengan tertib informasi pengetahuan sehingga mudah diperoleh.
69
Transfer dan
utilization adalah penyebaran dan
Pembelajaran organisasi
penggunaan
pengetahuan.
adalah suatu proses belajar organisasi dengan
pembelajaran yang kuat dan kolektif yang dilanjutkan dengan transformasi. Pembelajaran organisasi menjelaskan sistem prinsip dan karakter dari organisasi belajar dan secara kolektif. Menurut Marquardt (1996) anggota organisasi perlu selalu melakukan
pembelajaran sehingga
sukses
di masa depan, belajar
berkelanjutan, fokus pada kreativitas, berpikir sistem, dapat informasi dan data diakses oleh masyarakat, penghargaan, dan akselerasi individu, bekerja sama dan inovasi, fleksibel, semua bergerak dengan keiginan kualitas dan melanjutkan pengembangan, mengembangkan kompetensi, beradaptasiterhadap pembaharuan, revitalisasi, dan respon terhadap perubahan lingkungan. Pembelajaran terdiri dari
beberapa tingkatan yaitu tingkat
individual, kelompok, dan organisasi
seperti yang disajikan pada gambar 2.3. Hal ini dapat dilakukan melalui dialog, diskusi, dan berbagi pengalaman. Sedangkan tipe pembelajaran adalah adaptasi, antisipasi,
dan umum. Pembelajaran adaptif adalah pembelajaran dari
pengalaman dan refleksi. Pembelajaran antisipasi adalah proses mendapatkan pengetahuan untuk mengharapkan masa yang akan datang. Pembelajaran umum adalah pembelajaran kreatifitas.
Enam kunci pembelajaran organisasi yang
memberikan dampak maksimal yaitu: 1. Berpikir sistem yaitu
menunjukkan konsep suatu susunan kerja
yang
digunakan untuk membuat pola yang jelas, dan membantu untuk melihat sejauh mana langkah yang diambil memberikan perubahan efektif. 2. Mental model yaitu asumsi mendalam
yang dipengaruhi bagaimana
mengerti. 3. Kemampuan individu menunjukkan
tingginya
tingkat kepandaian dan
keahlian. 4. Pembelajaran kelompok adalah kapasitas suatu kelompok untuk belajar dan dapat mencapai yang diinginkan. 5. Berbagi visi yaitu mau mendengar, memberikan gambaran masa depan yang akan dicapai. 6. Dialog adalah tingkatan tertinggi yaitu mendengar dan berkomunikasi.
70
Epistological dimension
Explicit knowledge
Ontological dimension Tacit knowledge
Individual
Group
Organization
Inter-Organization
Knowledge level
Gambar 2.5. Dua Dimensi Kreasi Pengetahuan Sumber: Nonaka (1991)
Berdasarkan
gambar 2.5. pengembangan
kerangka teori dengan
menjelaskan pada dua dimensi yaiu epistemology dan ontology mengenai kreasi pengetahuan organisasi. Dimensi
epistemology menunjukkan
konversi
pengetahuan tacit menjadi eksplisit. Sedangkan dimensi ontology yang diwakili oleh garis horizontal memperlihatkan pengetahuan diciptakan melalui individuindividu
yang kemudian
ditransformasikan pada
kelompok
secara terus
menerus dan saling ketergantungan. Konversi pengetahuan secara terus menerus membentuk spiral. Pemimpin harus berani menghidupkan suatu perubahan dan merupakan tantangan yang harus dihadapi. Tiga macam tacit knowledge yang
71
dimiliki pemimpin yang sukses menurut White (1996) dalam Fransisca (1997) yaitu : 1. Tacit knowledge berupa cara mengatur diri dan menunjukkan motivasi diri, organisasi serta aspek wawasan seorang Manajer. 2. Tacit knowledge
berupa pengetahuan
yang ditunjukkan dengan
cara
mengatur orang lain. 3. Tacit knowledge berupa pengetahuan yang ditunjukkan dengan kemampuan melakukan tugas–tugas manajemen dan menspesifikasikan dengan baik. Senge (1990) juga mengemukakan terdapat lima dimensi penting dalam organisasi yang ingin membangun yaitu berpikir sistem, penguasaan pribadi, mental model, membangun wawasan bersama, dan belajar dalam tim. Selain itu membangun organisasi berarti mengelola kultur sehingga dapat mengantisipasi perubahan, beberapa hal yang dibutuhkan menurut Clarke (1994) adalah sebagai berikut : 1. Organisasi struktur rancangan prosedur, filosofi, pemikiran. 2. Membuat kriteria penghargaan dan status. 3. Membina masalah dan kegagalan. 4. Mempertimbangkan pengaruh model, pengajaran, dan pelatihan. 5. Kriteria untuk rekruitmen, promosi, pensiun, dan pemberhentian. 6. Pengukuran, kontrol, dan perhatian. Keberhasilan KBK dalam memberikan pemahaman aspek lingkungan kepada siswa erat kaitannya dengan tuntutan ISO 140001. Jika SDM tidak dipersiapkan
sejak dini
tentunya Indonesia tidak dapat bersaing
dalam
perdagangan global karena melalui pembelajaran yang berkelanjutan perubahan cepat dipahami, diantisipasi, dan dijadikan peluang inovasi baru.
Manajemen
Berbasis Sekolah diharapkan dapat mendukung keberhasilan KBK sehingga perlu memperhatikan pengelolaan organisasi modern yang berbasis pada pembelajaran. Hal ini berkaitan dengan misi pemberdayaan dalam MBS yang meliputi: 1. Pemberdayaan
yang
berhubungan
dengan
peningkatan
kemampuan
masyarakat untuk memegang kontrol dengan memperhatikan pembangunan yang bersifat lokal, mengutamakan aksi sosial, dan menggunakan pendekatan organisasi masyarakat setempat.
72
2. Adanya kesamaan dan kesepadanan kedudukan
dalam hubungan
kerja.
Upaya yang dilakukan adalah manajemen swakelola oleh para guru dan Kepala Sekolah,
tumbuhnya rasa memiliki
pada masyarakat
terhadap
program sekolah, pemantauan dari pemerintah daerah, dan rasa kebersamaan. 3. Menggunakan pendekatan
partisipatif
dengan cara
merumuskan tujuan
bersama antara sekolah dan masyarakat, serta menyikapi program dengan dialog. 4. Pendidikan untuk keadilan adalah konsepsi yang diimplementasikan dengan cara mengembangkan kesadaran yang kritis, menggunakan metode diskusi, menggunakan sarana untuk simulasi,
memusatkan perhatian pada sistem
sosial, menyelesaikan konflik dengan win-win solution, dan menjalin hubungan antar manusia. 2.9. Analisis Kebijakan Pemerintah mempunyai peran yang besar dalam melaksanakan keadilan, penyelenggaraan
pemerintahan,
desentralisasi,
mengatur perekonomian,
menjaga keamanan dan persatuan, memelihara lingkungan, melindungi hak asasi manusia, serta meningkatkan kemampuan dan moral masyarakat. Untuk mencapai
tujuan
tersebut,
maka
diperlukan
suatu
kebijakan.
Menurut
Partowidagdo (1999) dalam menyusun kebijakan diperlukan suatu proses, yaitu: 1. Perumusan permasalahan, yaitu berupa permasalahan
yang berasal dari
publik. 2. Formulasi, yaitu
membuat alternatif-alternatif
yang berkaitan
dengan
masalah yang telah dirumuskan. 3. Adopsi, yaitu upaya agar suatu alternatif kebijakan dapat diterima dan disahkan. 3. Implementasi, hal ini berkaitan dengan stakeholder yang terlibat, pemilihan metode agar kebijakan dapat terlaksana, serta mengantisipasi dampak akibat pelaksanaan kebijakan. 4. Evaluasi, yaitu untuk mengukur efektifitas pelaksanaan suatu kebijakan. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam implementasi kebijakan adalah
peraturan yang logis, pihak yang berperan berkepentingan dalam
implementasi,
dan
mengkoordinasikan
organisasi terwujudnya
atau
lembaga
kebijakan.
yang
Melalui
menyusun
kebijakan
dan
peranan
73
pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan diharapkan dapat berfungsi secara optimal. Berdasarkan adanya masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan maka peranan
analisis kebijakan dalam pemecahan persoalan dinilai sangat besar.
Berbagai fenomena dan persoalan akibat dijalankannya suatu kebijakan dapat dikoreksi dan disempurnakan melalui
analisis kebijakan.
Sehingga analisis
kebijakan didefinisikan sebagai nasehat yang relevan dengan keputusan publik yang dipengaruhi oleh nilai sosial (Weimer dan Vining, 1999). Hal ini sesuai dengan pendapat Parto (1999) yang mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah penasehat kebijakan dan bukan penentu kebijakan. Analisis kebijakan bertujuan untuk menganalisis dan mempresentasikan alternatif yang tersedia bagi penyelenggara pemerintahan untuk menyelesaikan masalah dalam masyarakat. Sintesis
penelitian dan teori
yang tersedia
dapat digunakan untuk
memperkirakan konsekuensi dari beberapa alternatif keputusan. Penyelesaian analisis kebijakan berhubungan dengan keputusan yang spesifik, akan tetapi kelemahannya
adalah sempitnya pandangan yang diakibatkan oleh orientasi
penyelenggara pemerintahan dan tekanan waktu. Ma’arif (2004) mengemukakan bahwa dalam analisis kebijakan diperlukan proses
perumusan permasalahan,
pembuatan model hubungan sebab akibat, pengembangan model dinamis, pengembangan perencanaan skenario, pembelajaran organisasi, dan implementasi.
2.10. Berpikir Sistemik (System Thinking) Penelitian dengan tujuan untuk melakukan merekayasa
model perlu
analisis kebijakan dan
dilakukan dengan pendekatan sistem yang disebut
dengan system thinking yaitu cara memandang masalah sebagai sebuah sistem yang kompleks (Maani dan Cavana 2000). Hal tersebut disebabkan banyaknya variabel yang terkait
dan dalam kondisi dinamis yaitu kondisi yang
selalu
berubah karena adanya pengaruh waktu. Dengan adanya gejala yang selalu mengalami perubahan setiap waktu dan merupakan variabel yang kompleks maka disebut system dynamic. Menurut Eriyatno (2003) dalam pendekatan sistem harus memenuhi karakteristik kompleks yaitu adanya interaksi antar elemen yang cukup rumit, dinamis yaitu adanya faktor yang berubah menurut
74
waktu
dan ada pendugaan ke masa depan, probabilistik yaitu diperlukannya
fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Hal yang mendasar pada system thinking yaitu sistem memiliki karakteristik cybernistic, holistic, dan efektif. Cybernistic artinya dalam sistem tersebut terdapat
tujuan yang akan dicapai dengan jangkauan masa depan.
Holistic yaitu mengkaji sistem secara menyeluruh dengan melibatkan berbagai komponen terkait dan selalu dalam kondisi yang dinamis serta mengalami perubahan
karena waktu, sedangkan efektif dan
efisien adalah cara untuk
mencapai tujuan tersebut bersifat sistemik, tepat, dan hemat. Berdasarkan adanya umpan balik dalam sistem maka sistem terdiri atas sistem terbuka dan tertutup. Pada sistem terbuka input masuk ke dalam proses dan selanjutnya memperoleh output. Output tidak memberikan efek umpan balik dan tidak ada faktor koreksi sehingga dibutuhkan faktor eksternal. Contoh dari sistem terbuka
adalah jam tangan, radio dan sebagainya. Pada sistem tertutup
terdapat umpan balik sehingga output dikembalikan sebagai input ke dalam sistem. Sistem
tertutup adalah
sistem dimana output
yang dihasilkan
merupakan tanggapan dari input dan perilaku sistem akan dipengaruhi output tersebut. Dengan demikian sistem tertutup menyediakan sarana koreksi dalam rangka pencapaian tujuan sistem. Gambar 2.6 dan 2.7. menyajikan skema sistem terbuka dan tertutup.
Input
Proses
Gambar 2.6. Sistem Terbuka Sumber : Eriyatno (2003)
Out put
75
Input
Proses
Output
Umpan Balik Gambar 2.7 Sistem Tertutup Sumber : Eriyatno (2003)
Berdasarkan cara mengkajinya maka sistem dapat digolongkan dalam tiga cara yaitu melalui sistem analisis, desain, dan kontrol. Pada sistem analisis input dan proses sudah diketahui sedangkan output dari sistem yang ingin diketahui. Pada
sistem desain
input dan output telah ditentukan tetapi proses belum
diketahui, sedangkan pada sistem kontrol input belum diketahui sehingga perlu dicari sedangkan proses dan outputnya sudah diketahui. Berdasarkan tujuan yang akan dicapai dan masukan yang ada maka penelitian ini termasuk sistem analisis karena melakukan menganalisis
pengaruh kebijakan pendidikan
terhadap
pengetahuan siswa terhadap lingkungan. Penelitian dengan pendekatan sistem berangkat dari kondisi ideal dengan kondisi yang nyata. Selanjutnya adalah penetapan kesenjangan,
pembuatan
analisis, penyusunan kebijakan, dan memperkirakan dampak (Aminullah, 2004). Pengungkapan kejadian nyata adalah memaparkan keadaan sebenarnya sebagai hasil dari proses nyata dalam pengubahan masukan menjadi keluaran. Penentuan output yang diharapkan adalah sasaran yang diprogramkan. Oleh karena itu bersifat rencana sehingga merujuk kepada waktu mendatang. kesenjangan adalah
perbedaan antara kejadian nyata
Penetapan
dengan kejadian yang
diinginkan. Pembuatan analisis adalah menganalisis jalan yang perlu ditempuh untuk mengisi kesenjangan diinginkan.
antara kejadian nyata dengan
Penyusunan kebijakan dilakukan dengan
kejadian yang
menetapkan pilihan
tindakan atau keputusan yang akan diambil untuk mempengaruhi proses nyata dalam sistem
yang menghasilkan
kejadian nyata.
Memperkirakan dampak
76
adalah mempertimbangkan kemungkinan adanya penolakan dari lingkungan sistem terhadap pilihan tindakan atau keputusan yang akan diambil. Menurut Hartisari (2004) tahapan dalam pendekatan sistem dimulai dari analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem,
membuat model,
verifikasi, dan validasi. Analisis Kebutuhan adalah menginventarisasi kebutuhan stakeholder yang dimasukkan dalam batasan sistem. Melalui analisis tersebut dapat diketahui disusun
kebutuhan yang sinergis dan berbeda.
Perbedaan
kebutuhan tersebut merupakan masalah dalam sistem yang perlu diformulasikan. Variabel sinergis dan yang berbeda merupakan dasar dalam melakukan identifikasi sistem untuk selanjutnya dibuat model. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah
yang harus dipecahkan
untuk mencukupi
kebutuhan tersebut. Hal ini digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop).
Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan
suatu gejala yang ada di dunia nyata. Dengan demikian model yang dibangun dapat menggambarkan
kondisi
keseluruhan asalkan
faktor dominan yang
berlaku sama, sehingga model di lokasi studi kasus berlaku secara luas. Model dapat digunakan untuk memudahkan menganalisis kebijakan setelah dilakukan simulasi,
validasi dan verifikasi. Model digunakan untuk analisis kebijakan
karena simulasi model tidak membutuhkan waktu yang lama, lingkup sangat luas, efisien, dan relatif mudah dikerjakan. Model terdiri dari model kuantitatif, kualitatif, dan
ikonik. Causal Loop
Diagram (CLD) atau diagram sebab akibat berikut model Stock Flow Diagram (SFD) atau diagram alir termasuk model kualitatif. CLD adalah hubungan antara satu unsur dengan unsur lainnya dengan hubungan positif dan negatif. Hubungan positif jika
terjadi peningkatan unsur yang satu
akibat peningkatan
kenaikan unsur yang lain demikian pula jika terjadi penurunan. hubungan negatif
terjadi jika
peningkatan unsur yang satu
atau
Sedangkan
menyebabkan
pengurangan atau penurunan unsur yang lain. Model yang dibuat dari data kuantitatif merupakan hard system untuk simulasi dapat digunakan Powersim atau Visual Basic .
Diagram dasar dari
simulasi adalah eksponensial growth, eksponensial collapse, decay, goal seeking, sigmoid (kurva S), dan osilasi. Simpal kausal negatif memperlihatkan perilaku
77
menyeimbangkan yaitu mempunyai kecenderungan melawan perubahan dalam sistem untuk stabilitas sistem menuju goal (keadaan yang dikehendaki) dan peluruhan (decay). Diagram simpal kausal
positif untuk memperkuat sehingga
menyebabkan exponential growth atau exponential collaps. Diagram alir (SFD) adalah diagram simpal kausal yang telah diperluas dan dipresentasikan dengan menggunakan simbol-simbol perangkat lunak. Hasil simulasi model dapat berupa Kurva S (Sigmoid) terjadi karena percepatan pertumbuhan akibat pengaruh simpal positif, kemudian mengalami perlambatan karena ditekan oleh oleh simpal negatif
yang bekerja
setelah
pertumbuhan mencapai maksimum.
Sedangkan Osilasi adalah suatu kondisi dimana perilaku model menunjukkan gejala osilasi yaitu gerakan turun naik secara berkala. Hasil simulasi model dapat bervariasi berdasarkan model simulasi dasar. Dalam kehidupan nyata terdapat 8 jenis model baku yang dikenal dengan archetype. Model baku tersebut adalah Fixes That Fail, Shifting The Burden, Limits To Success, Drifting Goal, Growth and Underinvestment,
Success to Successful, Escalation, Tragedy of
the Commons ( Kim dan Anderson, 1998)
Model yang dibangun dan disimulasi
perlu dilakukan kalibrasi melalui pustaka atau perbandingan antara output yang dihasilkan dengan nilai acuan dari pustaka atau hasil pengukuran langsung dari lapangan. Jika terjadi perbedaan maka dilakukan perubahan beberapa parameter hingga perbedaan tersebut tidak nyata (Hartrisari dan Handoko, 2004). Pembuatan
model berdasarkan pengetahuan termasuk dalam soft
sistem dengan metode pengolahan diantaranya adalah Analisis Prospektif dan Interpretative Struktural Modelling (ISM).
2 10.1. Analisis Prospektif Analisis
Prospektif bermanfaat untuk mempersiapkan tindakan
strategis, dan melihat apakah dibutuhkan perubahan di masa depan. Menurut Hartisari (2004) tahapan dalam melakukan analisis prospektif adalah menemukan faktor kunci
dari sistem yang akan dikaji, menentukan tujuan strategis dan
kepentingan pelaku utama, membangun alternatif skenario model kebijakan, serta menentukan alternatif saran kebijakan. Langkah-langkah dalam Analisis Prospektif adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi faktor penentu di masa depan
78
2. Menemukan elemen kunci di masa depan. 3. Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Tahapan untuk mengidentifikasi faktor penentu di masa depan adalah identifikasi kriteria yaitu mencari variabel yang mempengaruhi tujuan studi melalui lokakarya. Jumlah variabel yang diharapkan berkisar 15 sampai 20, yang selanjutnya dilakukan analisis antar faktor dengan cara menyiapkan tabel dan melihat hubungan secara timbal balik. Adapun pedoman penilaiannya adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3. Pedoman Penilaian Pengaruh Variabel
Skor
Keterangan
0
Tidak ada pengaruh
1
Berpengaruh Kecil
2
Berpengaruh Sedang
3
: jika tidak ada pengaruh terhadap faktor lain :jika ada pengaruh kecil terhadap faktor lain : jika ada pengaruh sedang terhadap faktor lain
Berpengaruh sangat kuat: jika ada pengaruh sangat kuat terhadap faktor lain
Selanjutnya data yang diperoleh dari pakar diolah dengan program Analisis Prospektif untuk mendapatkan hasil pemetaan sehingga dapat diketahui variable yang mempunyai pengaruh besar dan ketergantungan kecil yang disebut Variabel Penentu Input. Melalui program juga dapat diketahui posisi variable lain sesuai dengan gambar 2.8, sedangkan langkah-langkah dari Analisis Prospektif disajikan pada Gambar 2 9
79
Pengaruh
Variabel Penentu Input
Variabel Penghubung Stakes
Variabel Autonomous
Variabel Terikat Out Put
Unused
Gambar 2.8. Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan Ketergantungan
Pengaruh Timbal Balik
Menemukan Elemen Kunci Untuk Masa Depan
Mencatat seluruh Elemen Penting
Faktor
Mengidentifikasi Keterkaitan
Membuat tabel Untuk Menggambarkan Keterkaitan
Memilih Elemen Kunci Masa Depan
Visualisasi Software Gambar 2.9. Langkah-langkah dalam Analisis Prospektif
80
2.10.2. Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (ISM) Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (ISM) termasuk dalam Soft System Methodology (Checkland dan Scholes, 1990). Menurut Eriyatno (2003) ISM adalah
proses pengkajian
kelompok
dengan menghasilkan Model
Struktural dalam memotret perihal yang komplek dari suatu sistem melalui pola yang dirancang
secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat.
Metode ISM dapat
menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya
dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Marimin (2004) mengemukakan bahwa Teknik ISM menggambarkan pengaturan dari elemen-elemen dalam membentuk suatu sistem
berkenaan dengan
interpretasi dari hubungan antar elemen dari suatu sistem yang didasarkan atas hubungan konstektual tertentu. Jenis hubungan konstektual adalah pengaruh, membantu,
kontribusi, kepentingan, mendorong., tahapan dan langkah ISM
adalah: 1. Menentukan tujuan dan output dari kajian. 2. Mental Process melalui Studi Pustaka, Diskusi, Brainstorming, dan Survey Pakar. 3. Menentukan elemen dan sub elemen dari sistem dan jenis hubungan konstektual. 4. Menentukan tingkat hubungan konstektual antar elemen dan sub elemen. 5. Structured Self Interaction Matrix (SSIM). 6. Transformasi SSIM ke Reachability Matrix. 7. Reachability Matrix (RM). 8. RM Transitive ----- Modifikasi SSIM ------ SSIM revised. Sedangkan Teknik ISM adalah: 1. Identifikasi elemen: elemen sistem diidentifikasikan dan didaftar melalui brainstorming. 2.
Hubungan
Kontekstual: Sebuah hubungan kontekstual
antar elemen
dibangun tergantung pada tujuan dari permodelan. 3. Matriks interaksi tunggal terstruktur Struktural Self Interaction Matrix / SSIM. Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap elemen hubungan yang dituju yaitu: V........ hubungan dari elemen Ei terhadap Ej
81
tetapi tidak sebaliknya.
A........ hubungan dari elemen E j terhadap E i tetapi tidak sebaliknya. X........ hubungan antara E i dan E j dapat sebaliknya. O........ antara E i dan E j tidak berkaitan. 4. Matriks Reachability yang dipersiapkan untuk mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. 5. Tingkat partisipasi dilakukan dengan mengklasifikasikan elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. 6.
Matriks Canonical: Pengelompokan elemen-elemen
dalam level yang
sama mengembangkan matriks. Matriks memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi dari 0 dan terendah 1. 7. Diagraph: sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan level hirarki. Diagraf awal dipersiapkan dari matriks canonical. Diagraf awal selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membuat Diagraf Akhir. 8. Interpretive Struktural Model dibangkitkan dengan memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual.