STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
BAB II KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA
2.1.
LAHAN DAN HUTAN
2.1.1. Kondisi Eksisting Sumber daya lahan di wilayah perkotaan merupakan bagian dari bentang alam yang meliputi lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi tanah dan keadaan vegetasi alami yang berpontensi dapat mempengaruhi penggunaan lahan pada wilayah kota. Ketersediaan lahan merupakan salah faktor penting untuk mendukung usaha Pemerintah Kota dalam perencanaan tata ruang dan pemenuhan kebutuhan serta kegiatan suatu kota. Faktor-faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan adalah politik, ekonomi, demografi, dan budaya. Aspek politik merupakan pembentukan kebijakan yang dilakukan oleh pengambil keputusan yang mempengaruhi terhadap pola tata ruang lahan. Seiring pertumbuhan ekonomi, permintaan terhadap penggunaan lahan wilayah perkotaan Surabaya akan terus berkembang untuk pembangunan pendidikan, kemajuan teknologi, fasilitas umum kota, transportasi, pemukiman penduduk dan industri. Tingginya permintaan sektor-sektor bisnis akan pemenuhan kebutuhan lahan kosong menyebabkan adanya perubahan penggunaan lahan pertanian dan ruang terbuka
hijau.
Permasalahan
tersebut
menyebabkan
Pemerintah
Kota
perlu
menetapkan konsep tata ruang kota yang saling berkesinambungan dengan melakukan berbagai pendekatan dalam perencanaan dan pembangunannya. Kota Surabaya dibagi dalam beberapa wilayah yang terdiri atas 31 kecamatan. Masing-masing kecamatan memiliki lahan yang dipergunakan untuk berbagai macam kegiatan masyarakat. Penggunaan lahan secara umum dikelompokan ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan di Kota Surabaya sebagian besar digunakan oleh sektor non pertanian dengan luasan sebesar 30.076,30 ha dari luas total lahan kota yaitu 36.508,39 ha. Pembagian wilayah menurut penggunaan lahan/ tutupan lahan di Kota Surabaya digambarkan seperti diagram pada Gambar 2.1.
II - 1
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.1. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan / Tutupan Lahan Kota Surabaya
Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan Kota Surabaya 0%
0,3%
0% 5,3%
Non Pertanian
12%
Sawah Lahan Kering Perkebun-an 82,4%
Hutan Lain-nya
Sumber : Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011
Pemerintah Kota memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang terkait untuk melakukan pembangunan secara berkesinambungan di berbagai sektor sarana dan fasilitas umum Kota Surabaya. Hal tersebut merupakan salah satu wujud usaha dalam mengembangkan kehidupan kota yang dinamis, khususnya pada bidang industri dan perdagangan yang menjadi titik berat pembangunan di Kota Surabaya. Pengembangan kawasan konservasi di Kota Surabaya perlu dilakukan sebagai perwujudan upaya perlindungan serta pelestarian flora dan fauna. Berdasarkan Keputusan Walikota Surabaya No. 188.45/296/436.1.2/2010, dibentuk suatu tim persiapan untuk pengembangan kawasan konservasi sumber daya alam kota Surabaya. Instansi yang memiliki kewajiban dalam pelaksanaan konservasi di Kota Surabaya adalah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam JawaTimur. Tugas dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam JawaTimur adalah sebagai berikut:
Penyelenggaraan KSDA hayati dan ekosistemnya
Pengelolaan kawasan cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam dan taman buru
Koordinasi teknis pengelolaan taman hutan raya dan hutan lindung
Konservasi tumbuhan dan satwa liar di luar kawasan konservasi berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Hutan Kota adalah pepohonan yang berdiri sendiri atau berkelompok atau vegetasi berkayu di kawasan perkotaan yang pada dasarnya memberikan dua manfaat pokok bagi masyarakat dan lingkungannya, yaitu manfaat konservasi dan manfaat estetika. II - 2
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Sesuai dengan peruntukannya, Hutan Kota dapat dibangun dalam beberapa bentuk, di antaranya :
Ruang hijau pertamanan kota
Ruang hijau rekreasi kota
Ruang hijau stadion olah raga
Ruang hijau pemakaman
Ruang hijau pertanian
Ruang jalur hijau (green belt)
Ruang hijau taman hutan raya
Ruang hijau kebun binatang
Ruang hijau hutan lindung
Ruang hijau areal penggunaan lain (APL)
Ruang hijau kebun raya
Ruang hijau kebun dan halaman di lingkungan perumahan, perkantoran, pertokoan, pabrik, terminal dan, sebagainya.
Hutan Kota mempunyai beberapa peranan penting di antaranya : 1. Identitas Kota Hutan Kota dapat menggambarkan identitas kota melalui koleksi jenis tanaman dan hewan di areal Hutan Kota tersebut yang merupakan simbol atau lambang suatu kota. 2. Pelestarian Plasma Nutfah Hutan Kota dapat dijadikan tempat koleksi keanekaragaman hayati yang tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. Kawasan Hutan Kota dapat dipandang sebagai areal pelestarian di luar kawasan konservasi, karena pada areal tersebut dapat dilestarikan flora dan fauna secara ex-situ. 3. Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara Tajuk pohon yang ada di areal Hutan Kota dapat membersihkan partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi melalui proses jerapan dan serapan, sehingga udara kota menjadi lebih bersih. Partikel padat yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan mempunyai permukaan yang kasar. Sebagian lagi akan terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Selain di daun, maka partikel padat ini juga akan menempel pada kulit batang, ranting, dan cabang.
II - 3
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
4. Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal dan Debu Industri Hutan Kota dengan jenis-jenis tanaman yang sesuai mempunyai kemampuan untuk menyerap dan menjerap partikel timbal dan debu industri. Sumber utama timbal yang mencemari udara berasal dari kendaraan ber motor. 5. Peredam Kebisingan Pohon dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang, dan ranting. Jenis tumbuhan yang paling efektif untuk meredam suara adalah yang mempunyai tajuk tebal dengan daun yang rindang. Dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95% (Grey and Deneke, 1978). Dengan menanam berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata yang cukup rapat dan tinggi akan dapat mengurangi kebisingan, khususnya kebisingan yang sumbernya berasal dari bawah. 6. Mengurangi Bahaya Hujan Asam Menurut Smith (1985), pohon dapat membantu mengatasi dampak negatif hujan asam melalui proses fisiologis tanaman yang disebut proses gutasi, yang menghasilkan beberapa unsur-unsur seperti Ca, Na, Mg, K, dan bahan organik seperti glutamin dan gula (Smith, 1981). Menurut Henderson et al. (1977) bahan inorganik diturunkan ke lantai hutan dari tajuk daun lebar maupun daun jarum melalui proses through fall dengan urutan K > Ca > Mg >Na. Hujan yang mengandung H2SO4 atau HNO3 jika tiba di permukaan daun akan mengalami reaksi. Pada saat permukaan daun mulai basah, maka asam seperti H2SO4 akan bereaksi dengan Ca pada daun membentuk garam CaSO4 yang bersifat netral. Adanya proses intersepsi dan gutasi oleh permukaan daun akan sangat membantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi tidak berbahaya lagi bagi lingkungan. 7. Penyerap Karbon-monoksida (CO) Mikroorganisme dan tanah pada lantai hutan mempunyai peranan yang baik dalam menyerap gas CO. Inman et al. dalam Smith (1981) mengemukakan, tanah dengan mikroorganismenya dapat menyerap gas CO dari udara yang semula konsentrasinya sebesar 120 ppm menjadi hampir mendekati nol dalam tiga jam. 8. Penyerap Karbon-dioksida (CO2) dan Penghasil Oksigen (O2) Hutan (termasuk di dalamnya Hutan Kota) merupakan penyerap gas CO2 dan penghasil O2 yang cukup penting, selain fitoplankton, ganggang, dan rumput laut di samudera. Cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh tumbuhan di areal Hutan Kota melalui proses fotosintesis untuk merubah gas CO 2 dan air menjadi karbohidrat dan oksigen. II - 4
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
9. Penahan Angin Angin kencang dapat dikurangi 75-80% oleh suatu penahan angin berupa Hutan Kota (Panfilov dalam Robinette, 1983). 10. Penyerap dan Penapis Bau Tanaman dapat menyerap bau secara langsung atau menahan angin yang bergerak dari sumber bau (Grey dan Deneke, 1978). Akan lebih baik hasilnya jika ditanam tanaman yang menghasilkan bau harum yang dapat menetralisir bau busuk dan menggantinya dengan bau harum, seperti cempaka, dan tanjung. 11. Mengatasi Penggenangan Daerah yang sering digenangi air perlu ditanami dengan jenis tanaman yang mempunyai kemampuan evapotranspirasi tinggi, yaitu tanaman berdaun banyak sehingga luas permukaan daunnya besar dan mempunyai banyak stomata (mulut daun). 12. Mengatasi lntrusi Air Laut Intrusi air laut dapat diatasi dengan upaya peningkatan kandungan air tanah melalui pembangunan hutan lindung kota pada daerah resapan air dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah. Dengan dibentuknya ruang-ruang terbuka hijau tersebut, maka dapat disusun suatu jaringan RTH kota sebagai pendukung ekosistem lingkungan perkotaan yang berfungsi meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan yang nyaman, segar, bersih, sehat, dan indah. Beberapa kawasan konservasi di Kota Surabaya diantaranya: 1. Kebun Binatang Surabaya Lokasi : Jl. Setail No. 1, Wonokromo Luas
: 15 Ha
Fungsi : Sebagai tempat rekreasi dan telah dikembangkan fungsinya menjadi sarana perlindungan dan pelestarian, pendidikan, penelitian, dan rekreasi 2. Taman Flora Lokasi : Jl. Manyar KertoarjoLuas
: 2,4 Ha
Fungsi : Sebagai taman lingkungan yang berfungsi untuk estetika, elemen pembatas fungsi kawasan, elemen pengikat ruang, dan taman bermain 3. Kebun Bibit Wonorejo Lokasi : Jl. Kendang Sari Luas
: 87.526,54 m2 II - 5
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Fungsi : Sebagai kebun pembibitan tanaman 4. Mini Agrowisata Dinas Pertanian Lokasi : Jl. Pagesangan II /56 Surabaya Luas
: 6.000 m2
Fungsi : Sebagai kebun koleksi tanaman, pembibitan, dan sarana edukasi
Di Kota Surabaya kawasan hutan yang ada hanyalah kawasan hutan yang memiliki fungsi dan status sebagai kawasan konservasi dan hutan kota, sedangkan kawasan hutan yang berfungsi sebagai cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata, taman buru, taman nasional, taman hutan raya, hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas maupun hutan produksi konservasi tidak ada disini. Luas kawasan konservasi di Kota Surabaya adalah sebesar 2.490,95 Ha, sedangkan luas hutan kota Surabaya adalah sebesar 3,14 Ha. Gambar 2.2 di bawah ini menunjukkan luas kawasan hutan di Kota Surabaya menurut fungsi dan statusnya.
Luas (Ha)
Gambar 2.2. Luas Kawasan Hutan menurut Fungsi atau Statusnya
Luas Kawasan Hutan menurut Fungsi atau Statusnya 3,000.00 2,500.00 2,000.00 1,500.00 1,000.00 500.00 0.00
2,490.95
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 3.14
Sumber : Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011
Dari gambar di atas diketahui bahwa luas kawasan hutan didominasi sepenuhnya oleh kawasan konservasi dan hanya sebagian kecil saja yang berupa II - 6
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
hutan kota. Pemerintah Kota Surabaya menetapkan kawasan hijau Hutan Kota dan Kawasan Konservasi agar dilakukan kegiatan penanaman jenis tanaman tahunan dengan jarak tanam rapat. Sekitar 90 % - 100 % dari luas areal total diwajibkan untuk dilakukan kegiatan penghijauan, sedangkan areal lainnya dapat digunakan untuk kelengkapan penunjang. Hutan mangrove di Kota Surabaya menempati luas wilayah total sebesar 491,62 Ha. Pemerintah Kota Surabaya mengembangkan kawasan pantai timur dari daerah Kenjeran hingga Gunung Anyar Tambak sebagai “Wana-Mina” . Masyarakat tani dan nelayan daerah Wonorejo, Medokan Ayu, Kejawen Putih dan Gunung Anyar Tambak
menjadikan
kawasan
hutan
mangrove
tersebut
sebagai
kawasan
pembudidayaan berbagai jenis ikan dan udang, serta biota laut lainnya. Menurut hasil pengamatan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Jogjakarta diketahui bahwa dalam waktu satu tahun terakhir terjadi pertambahan jenis burung yang hidup menetap di hutan mangrove kota Surabaya. Populasi awal yang diperkirakan sebanyak 140 jenis burung bertambah menjadi 147 jenis burung. Sebanyak 38 jenis burung berimigrasi dari Australia dan Thailand. Hutan Mangrove di Kota Surabaya tersebar di sekitar kawasan Pantai Utara dan Pantai Timur Surabaya dengan luasan total 624,73 ha. Luas penutupan lahan untuk hutan mangrove di Kota Surabaya selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Luas Penutupan Lahan Hutan Mangrove No
KOTA
DAS
1
Surabaya
Brantas
Kecamatan
Kelurahan
PANTAI UTARA SURABAYA Kec. Pakal -Tambak Dono Jumlah Kec. Benowo -Romokalisari -Tbk. Osowilangun Jumlah -Tbk. Langon Kec. Asemrowo -Greges -Kalianak Jumlah Kec. Kenjeran -Tbk. Wedi Jumlah Kec. Bulak -Kedung Cowek -Kenjeran -Sukolilo Jumlah Jumlah Pantai Utara PANTAI TIMUR SURABAYA -Kalisari Kec. -Kejawan Putih Mulyorejo Tambak Jumlah Kec. Sukolilo -Keputih Jumlah Kec. Rungkut -Wonorejo II - 7
Blok
Luas Hutan Mangrove (ha) KA-KI LainPantai Tambak sungai nya
Jumlah
0 0 0 0 0 0
0 13,79 6,78 20,57 1,66 4,86 3,92 10,44 35,51 35,51 5,59 5,77 11,36 77,88
3,08 3,08 11,3 5,39 16,69 1,66 0,3 1,38 3,34 0,007 0,007 0,44 6,39 5,99 12,82 35,937
0 8,02 2,09 10,11 0,72 0,88 4,15 5,75 0 3,37 3,37 19,23
0 0 0 0 0 0
3,08 3,08 33,11 14,26 47,37 4,04 6,04 9,45 19,53 35,58 35,58 6,03 6,39 15,13 27,55 133,11
0 0 -
74,47 10,12 84,59 24,03 24,03 23,12
17,5 28,63 46,13 85,72 85,72 13,29
5,55 10,57 16,12 7,16 7,16 27,86
0 0 -
97,52 49,32 146,84 116,91 116,91 64,27
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
No
KOTA
DAS
Kecamatan
Kelurahan
-Medokan Ayu Jumlah Gunung Anyar -G. Anyar Tambak Jumlah Jumlah Pantai Timur Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011.
Blok 0 0 0
Luas Hutan Mangrove (ha) KA-KI LainPantai Tambak sungai nya 24,76 56,68 8,3 47,88 69,97 36,16 0 14,94 47,64 11,28 14,94 47,64 11,28 0 171,44 249,46 70,72 0
Lahan Potensial Kritis Lahan potensial kritis adalah tanah-tanah yang masih produktif bila diusahakan untuk usaha pertanian. Lahan Semi kritis / hampir kritis (agak kritis) Lahan semi kritis adalah tanah-tanah yang kurang produktif akibat terjadinya erosi, tetapi masih dapat diusahakan untuk usaha pertanian, namun demikian produktivitasnya relatif rendah. Lahan Kritis Lahan kritis adalah tanah-tanah yang tidak produktif, dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk diusahakan sebagai lahan pertanian, tanpa usaha-usaha rehabilitasi lebih dahulu. Di kota Surabaya terdapat lahan seluas 7.920 Ha, dimana kondisinya masih dalam taraf agak kritis dan potensial kritis. Lahan yang paling berpotensial kritis terdapat di Kecamatan Benowo dengan luas 500 Ha. Selain di Kecamatan Benowo lahan kritis juga tersebar di kecamatan-kecamatan lain di Kota Surabaya, selengkapnya disajikan pada Tabel 2.2 berikut ini. Tabel 2.2. Luas Lahan Kritis No
Kecamatan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
JAMBANGAN KARANGPILANG WIYUNG DUKUH PAKIS SAWAHAN LAKARSANTRI SAMBIKEREP PAKAL BENOWO TANDES SUKOMANUNGGAL ASEMROWO KREMBANGAN PABEAN CANTIAN BUBUTAN
Luas (ha) 106 250 250 275 138 582 501 601 742 231 202 403 195 102 76
Lahan Kritis (ha) Sangat Kritis
Kritis
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
II - 8
Agak Kritis 40 90 122 90 63 193 167 199 242 104 83 139 76 48 36
Potensial Kritis 66 160 128 185 75 389 334 402 500 127 119 264 119 54 40
Jumlah 89,74 154,01 73,86 73,86 491,62
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
No 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Kecamatan SEMAMPIR KENJERAN BULAK SUKOLILO SIMOKERTO GUBENG TAMBAKSARI MULYOREJO GENTENG RUNGKUT TENGGILIS MEJOYO GUNUNG ANYAR GAYUNGAN WONOKROMO TEGALSARI WONOCOLO TOTAL
Lahan Kritis (ha)
Luas (ha)
Sangat Kritis
Kritis
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
159 166 149 731 53 166 179 355 79 200 109 370 136 188 88 138 7.920
Agak Kritis 73 75 88 218 25 80 87 137 37 75 53 76 60 89 40 64 2.969
Potensial Kritis 86 91 61 513 28 86 92 218 42 125 56 294 76 99 48 74 4.951
Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011.
Kota Surabaya tidak memiliki kawasan hutan alami, hutan produksi, hutan tanaman industri, maupun hutan konservasi. Oleh karena itu di Kota Surabaya juga tidak terdapat kerusakan hutan.
2.1.2. Baku Mutu Pola pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam RTRW Kota Surabaya meliputi perencaanaan strategis pelaksanaan wilayah kota yang sesuai dengan regulasi Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 3 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya. Pihak yang memiliki kewajiban untuk menyusun RTRW adalah Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya. Regulasi lainnya adalah
Keputusan
Walikota
Surabaya
No.
188.45/296/436.1.2/2010
yang
mengamanatkan bahwa sekitar 90% - 100% dari luas areal total diwajibkan untuk dilakukan kegiatan penghijauan, sedangkan areal lainnya dapat digunakan untuk kelengkapan penunjang. 2.1.3. Perbandingan Nilai antar Lokasi Dengan potensi yang dimilikinya, Kota Surabaya dapat dikembangkan menjadi pusat perdagangan utama untuk melayani kawasan timur Indonesia. Sektor perumahan dan pemukiman juga mendapatkan perhatian yang cukup besar dari pemerintah Kota Surabaya seiring semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dan II - 9
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
urbanisasi. Di Kota Surabaya Kecamatan Tegalsari merupakan kecamatan dengan luas wilayah terbesar, yaitu seluas 4.730 Ha, dimana seluruh wilayah tersebut merupakan lahan yang digunakan untuk sektor non pertanian. Hal ini juga menunjukkan bahwa laju perkembangan sektor non pertanian (permukiman dan perdagangan) Kecamatan Tegalsari juga merupakan yang paling besar. Menempati tempat ke-dua adalah Kecamatan Sukolilo dengan luas wilayah 3.117,53 Ha, dimana lahan yang digunakan untuk sektor non pertanian adalah seluas 2.232,53 Ha. Sedangkan daerah luas wilayah paling kecil adalah Kecamatan Wonokromo dengan luas 214,80 Ha dan seluruhnya merupakan lahan untuk sektor non pertanian. Perbandingan luas lahan menurut penggunaan lahan per kecamatan di Kota Surabaya disajikan pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Luas Lahan Menurut Penggunaan Lahan per Kecamatan di Kota Surabaya
Sumber : Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011
Pengembangan berbagai sektor di Surabaya tidak hanya memberikan manfaat namun juga dampak negatif yaitu berkurangnya luasan lahan kosong terbuka hijau (RTH) yang memiliki potensi sebagai hutan kota. Kualitas tanah dan lahan di beberapa kawasan di Kota Surabaya semakin memburuk dari waktu ke waktu sehingga banyak terbentuk lahan kritis. Pembentukkan lahan kritis tersebut diakibatkan oleh penggunaan lahan secara berlebihan tanpa disertai dengan pengelolaan yang terpadu dan sesuai. Berdasarkan data seperti yang tercantum pada Tabel 2.2 diketahui bahwa saat ini wilayah kecamatan di Kota Surabaya yang memiliki lahan agak kritis dan potensial kritis terparah adalah Kecamatan Benowo dengan luas 242 Ha untuk lahan agak kritis dan seluas 500 Ha II - 10
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
untuk lahan potensial kritis. Tingginya tingkat kerusakan lahan di Kecamatan Benowo dipengaruhi oleh adanya TPA di wilayah tersebut. Daerah yang memiliki lahan kritis terbesar kedua setelah Kecamatan Benowo adalah Kecamatan Sukolilo yang memiliki lahan agak kritis seluas 218 Ha dan lahan potensial kritis seluas 513 ha. Perbandingan luas lahan kritis per kecamatan di Kota Surabaya disajikan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Luas Lahan Kritis per Kecamatan di Kota Surabaya
Luas (Ha)
Luas Lahan Kritis 800 700 600 500 400 300 200 100 -
Kritis Sangat Kritis Potensial Kritis Agak Kritis
Kecamatan Sumber : Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011
2.1.4. Analisis Statistik Lahan di Kota Surabaya sebagian besar digunakan untuk sektor non pertanian (82,4%). Sisanya, sebesar 5,3% untuk lahan persawahan, 0,3% untuk perkebunan dan 12% untuk sektor lainnya (Gambar 2.3). Karena di Kota Surabaya tidak terdapat hutan dan lahan kering maka luas lahan untuk sektor tersebut adalah 0%. Kecamatan yang memiliki luas lahan non pertanian terbesar adalah Kecamatan Tegalsari dengan luas 4.730,00 Ha, sedangkan persawahan terluas terdapat di Kecamatan Pakal yaitu 640,09 Ha. Gambar 2.5. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan Kecamatan Tegalsari Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan Kecamatan Tegalsari Non Pertanian Sawah Lahan Kering Perkebun-an Hutan Lain-nya
100%
Sumber : Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011
II - 11
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Kecamatan Tegalsari memiliki luas wilayah terbesar dibandingkan dengan kecamatan lainnya di Kota Surabaya, dan seluruhnya hanya dipergunakan untuk sektor non pertanian saja (100%). Gambar 2.6. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan Kecamatan Sukolilo Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan Kecamatan Sukolilo
Non Pertanian
26%
0%
Sawah
0% 0% 72%
2%
Lahan Kering Perkebun-an Hutan Lain-nya
Sumber : Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011
Kecamatan Sukolilo dengan luas wilayah total 3.117,53 ha merupakan kecamatan dengan luas wilayah terbesar kedua setelah Kecamatan Tegalsari. Penggunaan lahan di Kecamatan Sukolilo terdiri atas 72% lahan non-pertanian, 2% lahan persawahan, dan 26% sisanya untuk sektor lainnya. Gambar 2.7. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan Kecamatan Pakal Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan Lahan Kecamatan Pakal
Non Pertanian
39%
40%
Sawah Lahan Kering Perkebun-an
21%
Hutan
0%
Lain-nya
0% 0% Sumber : Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011
Kecamatan dengan luas wilayah terbesar ketiga adalah Kecamatan Pakal dengan luas wilayah sebesar 2.982,65 Ha, dimana 40%-nya berupa lahan non pertanian, 21% berupa lahan persawahan, dan sisanya sebesar 39% dimanfaatkan untuk sektor lainnya.
II - 12
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Luas lahan kritis di Kota Surabaya telah mencapai 21,7% dari luas Kota Surabaya, dimana statusnya masih dalam taraf agak kritis dan potensial kritis. Luas lahan agak kritis adalah sebesar 8,1% dari luas total Kota Surabaya, sedangkan lahan potensial kritis sebesar 13,6% dari luas total Kota Surabaya. Perbandingan antara luas lahan kritis dan luas total Kota Surabaya disajikan pada Gambar 2.8 berikut.
Gambar 2.8. Perbandingan Luas Lahan Kritis dengan Luas Total Kota Surabaya
Luas (Ha)
Luas Lahan Kritis 40000 35000 30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 Sangat Kritis
Kritis
Agak Kritis Potensial Luas Kota Kritis Surabaya
Kondisi Lahan Sumber : Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011
2.2.
KEANEKARAGAMAN HAYATI
2.2.1. Kondisi Eksisting Keanekaragaman hayati atau biodiversitas merupakan keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah, yang merupakan dasar kehidupan di bumi. Keanekaragaman hayati melingkupi berbagai perbedaan atau variasi bentuk, penampilan, jumlah, dan sifat-sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan. Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dan pemanfaatan jenis tumbuhan serta satwa liar. Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dapat dilakukan dengan cara tidak melakukan degradasi dan fragmentasi habitat asli kawasan tersebut. Sedangkan untuk pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar, dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar yang bersangkutan. Seiring semakin pesatnya pertumbuhan suatu kota, maka akan mengurangi jumlah populasi dan ekosistem dari tumbuhan dan II - 13
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
hewan yang ada. Diperlukan suatu program perlindungan dari pemerintah, agar tidak terjadi pengurangan jumlah flora dan fauna atau bahkan mengalami kepunahan. Pemanfaatan komponen keanekaragaman hayati ini sangat beragam, tidak hanya terbatas sebagai bahan pangan atau untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia lainnya, tetapi lebih luas lagi mencakup aspek lainnya. Fauna yang dilindungi di hutan perkotaan serta konservasi Kota Surabaya sebagian besar merupakan golongan hewan menyusui (mamalia) dan burung (aves). Jumlah spesies flora dan fauna yang diketahui dan dilindungi di Kota Surabaya dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Jumlah Spesies Flora dan Fauna yang Diketahui dan Dilindungi No
Golongan
Jumlah spesies diketahui
Jumlah spesies dilindungi
1.
Hewan menyusui ( Mamalia)
85
20
2.
Burung ( Aves)
243
27
3.
Reptil ( Reptilia)
32
8
4.
Amphibi
7
0
5.
Ikan ( Pisces)
117
0
6.
Keong ( Crustacea)
12
0
7.
Serangga ( Insecta)
37
0
8.
Tumbuh-tumbuhan ( Plantae)
756
1
1.289
56
TOTAL
Sumber: Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011.
Kota Surabaya memiliki beberapa jenis fauna yang telah terancam punah (critically endangered) yaitu Kera Sulawesi Jambul, Cikalang Christmas, Jalak Bali, Jalak Putih, Kakaktua Jambul Kuning Kecil, Kakatua Jambul Oranye, dan Kura-Kura Tungtong. Peristiwa tersebut diakibatkan oleh kegiatan manusia serta kompleksitas makhuk hidup yang dapat beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Pencegahan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Kota Surabaya untuk meminimalisir berkurangnya jumlah fauna yang hampir punah adalah dengan pelestarian hewan langka. Pemerintah telah bekerja sama dengan pihak Kebun Binatang Surabaya untuk mengkonservasi flora dan fauna yang dianggap memiliki potensi punah. Langkah lainnya adalah dengan membuat beberapa tempat konservasi bagi flora dan fauna dengan bantuan dari pihak terkait seperti Dinas Pertanian Kota Surabaya. Tempat-tempat konservasi yang telah disediakan oleh pemerintah adalah Kebun Bibit Wonorejo, Taman Flora, Hutan Mangrove Wonorejo, dan lain-lain.
II - 14
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
2.2.2. Baku Mutu Nilai Indeks diversitas yang semakin tinggi atau ID>2 menunjukkan bahwa semakin beranekaragam jenis
flora dan fauna dalam suatu wilayah dan memiliki
kondisi ekosistem yang stabil. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 merupakan regulasi yang mengatur tentang perlindungan terhadap keanekaragaman flora - fauna dan pengawetannya. Perundang-undangan tersebut mengacu pada UU No. 5 Tahun 1990 yang berisi tentang perlindungan burung dengan sifat endemik pada suatu daerah (persebaran terbatas), mempunyai populasi yang kecil dan terdapat penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam.
2.2.3. Analisis Statistik Surabaya merupakan kota yang memiliki kelimpahan flora dan fauna di beberapa wilayah konservasi terutama mamalia, burung (aves), ikan (pisces), reptil dan vegetasi tumbuhan yang telah masuk dalam daftar daerah IBA (Important Bird Area). Daerah IBA (Important Bird Area) merupakan daerah perlindungan bagi burung terutama burung air dan migran. Salah satu wilayah konservasi burung adalah daerah Wonorejo. Wilayah tersebut memiliki luas kurang lebih 50 Ha dan digunakan sebagai tempat singgah lebih dari 10.000 burung air tiap tahunnya. Salah satu upaya dari Pemerintah Kota Surabaya adalah dengan melakukan pengembangan Kawasan Wonorejo sebagai MIC (Mangrove Information Center) menjadi ekowisata bakau. Upaya
pengembangan
kawasan Wonorejo memiliki
dampak
terhadap
ekosistem lingkungan sekitar terutama habitat asli flora dan fauna. Selama tahun 20072008 tercatat sekitar 140 jenis burung berdomisili di Wonorejo. Jenis burung tersebut meliputi burung air, migran maupun burung lain. Sebanyak 31 jenis burung diantaranya memiliki status dilindungi oleh Perundang - undangan Indonesia. Secara keseluruhan jumlah flora dan fauna di Kota Surabaya yang diketahui dan dilindungi dapat dilihat pada Tabel 2.3 dan Gambar 2.9 serta Gambar 2.10. Jumlah spesies terbesar di Kota Surabaya adalah tumbuh-tumbuhan (plantae) yaitu 58,7% dari jumlah total spesies, kemudian disusul oleh burung 18,9%, ikan sebesar 9%, hewan menyusui 6,6%, serangga 2,9%, reptile 2,5%, keong 0,9% dan yang terakhir adalah amphibi sebanyak 0,5 %.
II - 15
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.9. Persentase Jumlah Spesies Flora dan Fauna yang Diketahui di Kota Surabaya
Jumlah Spesies Flora dan Fauna yang Diketahui 6,6% 18,9% 2,5%
58,7%
0,5% 9% 0,9% 2,9%
Hewan menyusui ( Mamalia) Burung ( Aves) Reptil ( Reptilia) Amphibi Ikan ( Pisces) Keong ( Crustacea) Serangga ( Insecta) Tumbuh-tumbuhan ( Plantae)
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Gambar 2.10. Perbandingan Jumlah Spesies Flora dan Fauna yang Diketahui dan Dilindungi di Kota Surabaya
Jumlah Spesies
Jumlah Spesies Flora dan Fauna 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Jumlah Spesies Diketahui Jumlah Spesies Dilindungi
Golongan Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa sebagian kecil dari jumlah spesies flora dan fauna yang diketahui berstatus dilindungi. Sebanyak 23,5% dari jumlah spesies hewan menyusui (mamalia) yang diketahui berstatus dilindungi, dan berturutturut sebanyak 11%, 25%, dan 0,1% dari jumlah spesies burung (aves), reptil (reptilia), dan tumbuh-tumbuhan (plantae) yang diketahui juga berstatus dilindungi.
2.3.
AIR
2.3.1. Kondisi Eksisting Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang biasa dimanfaatkan oleh manusia dalam berbagai macam kegiatan yaitu sebagai air minum, mandi, cuci, dan lain-lain. Secara umum manfaat air bagi kehidupan manusia meliputi dua aspek yaitu : II - 16
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Aspek Internal yaitu air yang berperan dalam tubuh manusia, misalnya untuk keperluan minum, proses metabolisme, melarutkan bahan makanan, dan lainlain.
Aspek Eksternal yaitu peranan air di luar tubuh manusia, misalnya untuk keperluan industri, pertanian, transportasi, dan lain-lain. Ketersediaan air di bumi yang dapat dikonsumsi oleh manusia terdiri dari air
hujan, air permukaan, dan air tanah. Dari ketiga macam sumber air tersebut, yang dapat langsung dikonsumsi oleh manusia adalah air hujan dan air tanah dengan kriteria tertentu. Air permukaan yaitu air hujan yang telah terendapkan di permukaan bumi selama beberapa lama, tidak dapat dikonsumsi langsung karena rentan terhadap penyebaran penyakit yang dapat disebarkan melalui air (water borne disease). Selain permasalahan tersebut di atas, buruknya kualitas sumber air di Kota Surabaya juga diakibatkan oleh adanya pencemaran air tanah karena pembuangan limbah cair dan padat dari kegiatan industri, kegiatan penimbunan sampah, tumpahan bahan kimia, eksploitasi sumber-sumber air secara massal oleh rumah tangga, dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk mendapatkan air yang sesuai dengan kualitas yang diharapkan air harus diolah terlebih dahulu sebelum akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Kualitas air tergantung dari karakteristik fisik, kimia dan biologinya. Adapun syaratsyarat kualitas air secara fisik, kimia dan biologi adalah sebagai berikut :
Persyaratan fisik, meliputi warna, bau, rasa, kekeruhan, temperatur, dan daya hantar listrik.
Persyaratan kimia, meliputi pH, kesadahan, besi, mangan, seng, krom cadmium, nitrat, chlor, sulfat, klorida, dan lain-lain.
Persyaratan radioaktif, meliputi sinar alpha dan sinar betha.
Persyaratan mikroorganisme, meliputi total koliform dan koli tinja.
A. Air Permukaan Sumber air permukaan utama yang digunakan oleh Kota Surabaya adalah sungai. Sungai memiliki fungsi yang vital dan beragam, diantaranya adalah sebagai sumber air baku untuk pengolahan air bersih, transportasi, irigasi, perikanan, fungsi rekreasi, fungsi komunikasi, fungsi konservasi (ekosistem air sungai), dan lain-lain. Kota Surabaya memiliki sebanyak 6 sungai, 27 saluran primer, dan 142 saluran sekunder. Kali Surabaya merupakan sungai terpanjang di Kota Surabaya dengan panjang mencapai 17.400 m, sedangkan sungai yang terpendek adalah Kali Lamongan dengan panjang sungai 9.770 m. Aliran air permukaan Kota Surabaya dimulai dari DAM Mlirip (Kabupaten Mojokerto), kemudian melewati Sidoarjo,
II - 17
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gresik, dan akhirnya sampai sampai di DAM Jagir Wonokromo (Surabaya). Terjadi percabangan pada DAM Jagir menjadi dua sungai yaitu Kali Mas yang mengalir ke utara sampai pelabuhan dan Kali Wonokromo yang mengarah ke timur sampai Selat Madura. Kali Surabaya memiliki fungsi sebagai air baku untuk air minum (PDAM) masyarakat kota. Sedangkan Kalimas dan Kali Wonokromo fungsi pokoknya adalah untuk drainase kota, kegiatan perikanan, peternakan, mengaliri tanaman, serta pariwisata air. Pihak yang memiliki kewajiban untuk memiliharaan dan dan pengawasan kawasan sungai di Kota Surabaya adalah Balai PSAWS (Pengelolaan Sumber Air Wilayah Sungai) dan Perum Jasa Tirta. Saluran primer dan sekunder Kota Surabaya dikelola oleh pemerintah Kotamadya Surabaya. Selain sungai, sistem hidrologi Surabaya juga dipengaruhi oleh keberadaan beberapa danau, waduk, situ atau embung. Pada tahun 2011 terdapat sebanyak 21 sistem hidrologi (Danau/ Waduk/ Situ/ Embung) masuk dalam rekapitulasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik Kota Surabaya. Inventarisasi Danau/ Waduk/ Situ/ Embung di Kota Surabaya selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4. Inventarisasi Danau/ Waduk/ Situ/ Embung No.
Rayon
I
TANDES
Nama Danau/Waduk/Situ/Embung - Sambikerep - Telaga Manukan Tirto - Telaga Manukan - Sumber Langgeng - Sumberejo - Sememi - Lontar - Tanjungsari - Margomulyo
II
Volume 3 (m )
0,80 0,20 0,30 0,30 0,30 5,00 0,30 0,17 0,10
16.000 4.000 6.000 6.000 6.000 100.000 6.000 3.400 2.080
1,05 2,00 2,91 1,72 0,59 16,00 0,55
21.021 40.000 58.155 34.493 11.760 320.000 11.060
2,70 7,50
54.000 150.000
- Morokrembangan
80,50
1.610.000
- Kedurus - Lakarsantri
37,00 0,54
740.000 10.800
JAMBANGAN - Wonorejo 1 - Wonorejo 2 - Wonorejo 3 - Bratang - Jambangan - Rungkut ( SIER ) - Sidosermo ( PDK )
III
Luas (ha)
GUBENG - Kalidami - Kenjeran ( Kepiting )
IV
GENTENG
V
WIYUNG
Sumber: Dinas PU Bina Marga dan Pematusan Kota Surabaya, 2011.
Pemantauan kualitas air dilakukan untuk mengetahui status kualitas air di Kota Surabaya. Kualitas air sungai dipantau berdasarkan standar baku mutu dalam II - 18
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air di Propinsi Jawa Timur. Pemantauan kualitas air di Kota Surabaya tidak dilakukan secara terus menerus, tetapi dilakukan secara berkala tergantung kebutuhan dan dana yang ada. Pengambilan sampel dilakukan di 23 titik lokasi dengan waktu yang berbeda. Pemantauan dilakukan mulai bulan Januari hingga November 2011. Parameter-parameter yang dipantau adalah pH, DO, BOD, COD, TSS, dan deterjen. Hasil pemantauan kualitas air sungai selengkapnya dapat dilihat pada Tabel SD-13 di Buku Data. Titik pengambilan sampel serta penggolongan kelas kualitas air sungai Kota Surabaya adalah sebagai berikut :
Kali Surabaya Lokasi Pengambilan Sampel
: Kali
Surabaya
di
Kedurus
(1)
dan
Jembatan Wonokromo (2) Kelas Sungai
: Kelas II
Kali Mas Lokasi Pengambilan Sampel
: Kali Mas di Jl. Ngagel (1), Jembatan Keputran (2), dan Jembatan Kebon Rojo (3)
Kelas Sungai
: Kelas II
Kali Jeblokan Lokasi Pengambilan Sampel
: Kali Jeblokan di Jl. Petojo(1) dan Jl. Kedung Cowek (2)
Kelas Sungai
: Kelas III
Kali Pegirian Lokasi Pengambilan Sampel
: Kali Pegirian di Jl. Undaan (1) dan Jl. Pegirian (2)
Kelas Sungai
: Kelas IV
Kali Banyu Urip Lokasi Pengambilan Sampel
: Kali Banyu Urip di Jembatan Balongsari (1)
Kelas Sungai
: Kelas IV
Kali Greges Lokasi Pengambilan Sampel
: Kali Greges di Jembatan Jl. Dupak (1)
Kelas Sungai
: Kelas IV
Kali Dami Lokasi Pengambilan Sampel
: Kali Dami di Jembatan Jl. Kali Dami (1)
Kelas Sungai
: Kelas III
II - 19
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Kali Bokor Lokasi Pengambilan Sampel
: Kali Bokor di Jembatan Jl. Pucang (1)
Kelas Sungai
: Kelas III
Kali Wonorejo Lokasi Pengambilan Sampel
: Kali Wonorejo di Jembatan Kedung Baruk Utara (1)
Kelas Sungai
: Kelas IV
Kali Kepiting Lokasi Pengambilan Sampel
: Kali Kepiting di Jl. Sutorejo (1)
Kelas Sungai
: Kelas III
Kali Kebon Agung Lokasi Pengambilan Sampel
: Kali Kebon Agung di Jl. Rungkut Madya (1)
Kelas Sungai
: Kelas III
Kali Wonokromo Lokasi Pengambilan Sampel
: Kali Wonokromo di Jembatan Merr C II (1)
Kelas Sungai
: Kelas III
Saluran Dinoyo Lokasi Pengambilan Sampel
: Saluran Dinoyo di Pompa air Dinoyo (1)
Kelas Sungai
: Kelas III
Saluran Darmo Lokasi Pengambilan Sampel
: Saluran Darmo di Pompa air Darmo Kali (1)
Kelas Sungai
: Kelas IV
Saluran Kenari Lokasi Pengambilan Sampel
: Saluran Kenari di Jl. Simpang Dukuh (1)
Kelas Sungai
: Kelas IV
Selain
pemantauan
terhadap
kualitas
air
sungai,
juga
dilakukan
pemantauan terhadap kualitas air waduk/ situ/ embung. Pemantauan dilakukan di 4 (empat)
lokasi
yaitu
Boezem
Kalidami,
Boezem
Wonorejo,
Boezem
Morokrembangan, dan Tambak Wedi, dimana pemantauan dilakukan secara berkala tergantung kebutuhan dan dana yang ada. Boezem-boezem di Kota Surabaya memiki fungsi sebagai pengendali banjir. Oleh karena itu pemantauan terhadap kualitas airnya sangat penting dilakukan agar pencemaran yang terjadi dapat segera ditangani dan tidak sampai mengganggu fungsi dari boezem tersebut. Hasil analisis kualitas air waduk/ situ/ embung selengkapnya dapat dilihat pada Tabel SD-14 pada Buku Data.
II - 20
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
B. Air Tanah Bila dilihat dari ketinggian muka air tanah, pola dan kedudukan muka air tanah bebas umumnya dikontrol oleh topografl setempat sehingga Kota Surabaya dibagi menjadi 4 (empat) zona wilayah kedalaman air tanah yang meliputi : a. Zona kedalaman air tanah 0 – 1 m: meliputi wilayah Kecamatan Sukolilo, Tegalsari, Rungkut, Gunungsari, Sukomanunggal, dan sebagian Benowo bagian Timur. b. Zona kedalaman air tanah 1 – 2 m: meliputi wilayah Kecamatan Genteng, Tandes, Asemrowo, Gubeng, Mulyorejo, Gayungan, Wonocolo. c. Zona kedalaman air tanah 2 – 3 m: meliputi wilayah Kecamatan Kenjeran, Tenggilis Mejoyo, dan sebagian Karangpilang sebelah Utara. d. Zona kedalaman air tanah > 3 m: meliputi wilayah Kecamatan Lakarsantri, Wiyung, Sawahan, Dukuh Pakis. Arah aliran air tanah di wilayah Surabaya umumnya mengalir ke arah timur menuju kearah pantai, kecuali pada daerah Surabaya Barat umumnya arah aliran air tanah mengalir searah dengan kemiringan sayap lipatannya. 2.3.2. Baku Mutu Regulasi yang menjadi dasar pemantauan kualitas air permukaan adalah PP No. 82 Tahun 2001 dan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air di Jawa Timur. Apabila persyaratan kualitas air tidak memenuhi untuk peruntukan tertentu, maka air tidak dapat digunakan dan tidak mempunyai manfaat. Penggolongan kelas air berdasarkan peruntukannya sesuai dengan PP No. 82 Tahun 2001 adalah sebagai berikut :
Kelas I
:
Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air sama dengan kegunaan tersebut.
Kelas II
:
Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman,
dan
atau
peruntukan
lain
yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Kelas III :
Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut
II - 21
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Kelas IV :
Air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Pemantauan kualitas air permukaan oleh BLH Kota Surabaya dilakukan di 20 titik pada beberapa sungai utama di Kota Surabaya. Kegiatan ini dilakukan mulai bulan Januari hingga November 2011. Parameter yang dianalisis sesuai dengan baku mutu yang tercantum pada PP No.82 Tahun 2001. Beberapa parameter yang dianalisa meliputi 5 (lima) parameter yaitu :
pH DO BOD COD TSS Deterjen
2.3.3. Perbandingan Nilai antar Lokasi Dari hasil pemantauan kualitas air sungai di Kota Surabaya yang mencakup parameter-parameter di atas, masih terdapat beberapa parameter yang melebihi baku mutu. Berikut merupakan penjelasan tentang kualitas air sungai ditinjau dari 3 (tiga) parameter yaitu DO, BOD, dan TSS :
Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen dalam miligram yang terdapat dalam satu liter air. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan mikroorganisme. Hasil pemantauan parameter DO untuk badan air kelas II ditunjukkan Gambar 2.11. Gambar 2.11. Hasil pemantauan parameter DO untuk badan air kelas II
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
II - 22
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Kandungan oksigen terlarut pada badan air kelas II di Kota Surabaya di beberapa titik pengambilan sampel masih di bawah baku mutu yaitu 4 mg/L. Badan air kelas II yang memiliki kualitas paling baik dilihat dari parameter DO adalah Kali Surabaya pada titik pengambilan sampel di Jembatan Wonokromo yang diambil pada bulan November 2011 yaitu 7,32 mg/L. Kualitas paling buruk terjadi di Kali Surabaya pada titik pengambilan sampel di Kedurus yang dipantau pada bulan Januari 2011 yaitu berada di bawah limit deteksi alat pemantau. Hasil pemantauan parameter DO untuk badan air kelas III ditunjukkan pada Gambar 2.12. Gambar 2.12. Hasil pemantauan parameter DO untuk badan air kelas III
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Untuk badan air kelas III baku mutu parameter DO adalah sebesar 3 mg/L. Beberapa badan air juga masih belum memenuhi baku mutu tersebut. Nilai DO terbaik dimiliki oleh Kali Jeblokan pada titik pengambilan sampel di Jl. Petojo pada pemantauan bulan Mei 2011 yaitu sebesar 7,51 mg/L, sedangkan kondisi DO terburuk terjadi di Kali Dami karena selama 5 bulan pemantauan dari bulan Juli hingga November 2011 nilai DO-nya berada di bawah limit deteksi alat. Hasil pemantauan parameter DO untuk badan air kelas IV ditunjukkan Gambar 2.13. Gambar 2.13. Hasil pemantauan parameter DO untuk badan air kelas IV
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
II - 23
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Sedangkan untuk badan air kelas IV baku mutu parameter DO adalah sebesar 0 mg/L, sehingga semua badan air yang dipantau telah memenuhi baku mutu tersebut. Nilai DO terbaik dimiliki oleh Kali Pegirian pada titik pengambilan sampel di Jl. Undaan pada pemantauan bulan Juni 2011 yaitu sebesar 5,8 mg/L.
BOD (Biological Oxygen Demand) BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorgasnisme untuk menguraikan bahan-bahan organik (zat pencemar) yang terdapat di dalam air secara biologis. BOD dan COD digunakan untuk memonitor kapasitas self purification badan air. Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air buangan penduduk atau industri, dan untuk mendesain sistem-sisitem pengolahan
biologis bagi air yang tercemar tersebut. Hasil
pemantauan parameter BOD untuk badan air kelas II ditunjukkan Gambar 2.14. Gambar 2.14. Hasil pemantauan parameter BOD untuk badan air kelas II
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Kandungan BOD pada badan air kelas II di Kota Surabaya di beberapa titik pengambilan sampel masih belum memenuhi baku mutu yaitu 3 mg/L, bahkan hampir di semua titik pengambilan sampel. Hanya beberapa titik pada waktu pemantauan tertentu saja yang masih memenuhi baku mutu parameter BOD untuk Badan air kelas II, yaitu Kali Surabaya di semua titik pemantauan dan Kali Mas di titik Jembatan Kebon Rojo, hanya pada bulan November 2011. Badan air yang memiliki kualitas paling buruk dilihat dari parameter BOD adalah Kali Surabaya pada titik pengambilan sampel di Kedurus yang diambil pada bulan Januari 2011 yaitu 13,95 mg/L. Hasil pemantauan parameter BOD untuk badan air kelas III ditunjukkan Gambar 2.15.
II - 24
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.15. Hasil pemantauan parameter BOD untuk badan air kelas III
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Untuk badan air kelas III baku mutu parameter BOD adalah sebesar 6 mg/L. Beberapa badan air juga masih belum memenuhi baku mutu tersebut. Nilai BOD terendah dimiliki oleh Kali Jeblokan pada titik pengambilan sampel di Jl. Petojo pada pemantauan bulan November 2011 yaitu sebesar 3,07 mg/L, sedangkan konsentrasi BOD tertinggi terjadi di Kali Dami pada pemantauan bulan Agustus 2011 yaitu sebesar 25,69 mg/L. Hasil pemantauan parameter BOD untuk badan air kelas IV ditunjukkan Gambar 2.16. Gambar 2.16. Hasil pemantauan parameter BOD untuk badan air kelas IV
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Sedangkan untuk badan air kelas IV baku mutu parameter BOD adalah sebesar 12 mg/L. Masih banyak badan air kelas IV yang belum memenuhi baku mutu ini. Konsentrasi BOD terendah dimiliki oleh Kali Wonorejo pada titik pengambilan sampel di Jembatan Kedung Baruk Utara pada pemantauan bulan Maret 2011 yaitu sebesar 2,56 mg/L, namun konsentrasi BOD tertinggi juga terjadi pada Kali Wonorejo titik sampling Jembatan Kedung Baruk Utara yaitu sebesar 15,39 mg/L. II - 25
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
TSS (Total Suspended Solid) TSS adalah jumlah berat dalam mg/L kering lumpur yang ada dalam limbah setelah mengalami penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron (Sugiharto, 1987). Penentuan zat padat tersuspensi (TSS) berguna untuk mengetahui kekuatan pencemaran air limbah domestik, dan juga berguna untuk penentuan efisiensi unit pengolahan air (BAPPEDA, 1997). Zat padat tersuspensi merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan. Padatan tidak terlarut menyebabkan air berwarna keruh. Penetrasi cahaya matahari ke permukaan dan bagian yang lebih dalam tidak berlangsung efektif akibat terhalang oleh zat padat tersuspensi, sehingga fotosintesis tidak berlangsung sempurna. Apabila ini terjadi kehidupan mikroorganisme dalam air akan terganggu. Hasil pemantauan parameter TSS untuk badan air kelas II ditunjukkan Gambar 2.17. Gambar 2.17. Hasil pemantauan parameter TSS untuk badan air kelas II
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Kandungan TSS pada badan air kelas II di Kota Surabaya di beberapa titik pengambilan sampel masih belum memenuhi baku mutu yaitu 50 mg/L. Badan air yang memiliki kualitas paling buruk dilihat dari parameter TSS adalah Kali Mas pada titik pengambilan sampel di Jembatan Kebon Rojo yang diambil pada bulan Maret 2011 yaitu sebesar 793 mg/L. Sedangkan hasil pemantauan TSS terbaik diperoleh pada Kali Mas pada titik pemantauan di Jl. Ngagel sebesar 6 mg/L. Hasil pemantauan parameter TSS untuk badan air kelas III ditunjukkan Gambar 2.18.
II - 26
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.18. Hasil pemantauan parameter TSS untuk badan air kelas III
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Untuk badan air kelas III baku mutu parameter TSS adalah sebesar 400 mg/L. Hanya satu badan air yang masih belum memenuhi baku mutu tersebut, yaitu Kali Kepiting pada waktu pemantauan bulan Januari 2011 yaitu sebesar 492 mg/L. Nilai TSS terendah dimiliki oleh Kali Jeblokan pada titik pengambilan sampel di Jl. Kedung Cowek dan Kali Dami pada pemantauan bulan Juni 2011 yaitu sebesar 2 mg/L. Hasil pemantauan parameter TSS untuk badan air kelas IV ditunjukkan Gambar 2.19. Gambar 2.19. Hasil pemantauan parameter TSS untuk badan air kelas IV
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Untuk badan air kelas IV baku mutu parameter TSS juga sebesar 400 mg/L. Pada badan air kelas IV semua lokasi pemantauan telah memenuhi baku mutu ini. Konsentrasi TSS terendah dimiliki oleh Saluran darmo pada titik pengambilan sampel di Pompa Air Darmo Kali pada pemantauan bulan Mei 2011 yaitu sebesar 1 mg/L, sedangkan konsentrasi TSS tertinggi terjadi pada Kali Greges titik sampling Jembatan Jl. Dupak pada waktu pemantauan bulan Juli 2011 yaitu sebesar 365 mg/L. II - 27
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Dari hasil analisa tersebut, diketahui bahwa pada beberapa parameter justru badan air yang seharusnya merupakan badan air kelas III dan kelas IV memiliki kualitas yang lebih baik daripada badan air yang peruntukannya sebagai badan air kelas II. Hal ini disebabkan beban pencemaran yang masuk pada badan air kelas II tersebut kemungkinan lebih besar, sehingga degradasi kualitas airnya juga terjadi lebih cepat. Berdasarkan Tabel 2.4 diketahui bahwa Boezem Morokrembangan merupakan boezem terbesar di Surabaya dengan luasan sebesar 80,50 ha dan mampu menampung air sebanyak 1.610.000 m3. Volume terkecil berada di Margorejo yang hanya mampu menampung limpasan air sebesar 2.080 m3. Hasil pemantauan terhadap kualitas air boezem dapat dilihat pada Gambar 2.20 sampai Gambar 2.22.
Perbandingan Parameter DO
5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Nopember
Oktober
September
Waktu Pemantauan
Agustus
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Pebruari
Bozem Kalidami
Januari
Konsentrasi (mg/L)
Gambar 2.20. Perbandingan Hasil Pemantauan Parameter DO
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Untuk parameter DO, Boezem Kalidami memiliki kualitas terbaik, diikuti Boezem Wonorejo, dan Boezem Morokrembangan memiliki kualitas terburuk. Gambar 2.21. Perbandingan Hasil Pemantauan Parameter BOD
Konsentrasi (mg/L)
Perbandingan Parameter 30 25 20 15 10 5 0
BOD
Bozem Kalidami
Waktu Pemantauan Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
II - 28
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Sedangkan untuk parameter BOD, Boezem Wonorejo cenderung memiliki kualitas yang paling baik dengan kadar BOD relatif paling rendah, disusul Boezem Kalidami, dan yang terakhir Boezem Morokrembangan. Gambar 2.22. Perbandingan Hasil Pemantauan Parameter TSS
Perbandingan Parameter TSS Konsentrasi (mg/L)
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0
Bozem Kalidami
Waktu Pemantauan Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Untuk parameter TSS, Boezem Morokrembangan relatif paling rendah konsentrasinya, sedangkan Boezem Wonorejo pada bulan September
2011
konsentrasi TSSnya melebihi baku mutu yaitu sebesar 525 mg/L, dan Boezem Kalidami pada bulan Maret kadar TSS mencapai 920 mg/L.
2.3.4. Analisis Statistik Dari hasil inventarisasi sungai yang ada di Kota Surabaya diketahui bahwa dari keseluruhan sungai yang merupakan sungai asli ada 6 sungai atau 3,5% dari hasil inventarisasi keseluruhan, sedangkan sebanyak 27 sungai atau 16% merupakan saluran primer, dan sebanyak 142 sungai atau 80,5% merupakan saluran sekunder. Sedangkan dari hasil inventarisasi danau/ waduk/ situ/ embung di Kota Surabaya diketahui terdapat total 21 danau/ waduk/ situ/ embung yang tersebar di beberapa Kecamatan. Sebanyak 9 danau/ waduk/ situ/ embung (43%) berada di Kecamatan Tandes, 7 danau/ waduk/ situ/ embung (33%) berada di Kecamatan Jambangan, 2 danau/ waduk/ situ/ embung (9,5%) berada di Kecamatan Gubeng, 1 danau/ waduk/ situ/ embung (5%) berada di Kecamatan Genteng, dan 2 lagi (9,5%) berada di Kecamatan Wiyung.
II - 29
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
2.4.
UDARA
2.4.1. Kondisi Eksisting Terdapat dua polutan yang ditimbulkan semua jenis kendaraan di Surabaya, yakni partikel dan gas. Keduanya sama-sama berbahaya untuk kesehatan. Partikelpartikel yang cukup berbahaya itu misalnya asbes yang keluar dari sisa kampas kopling dan rem kendaraan. Juga partikel karet sisa gesekan ban dengan aspal. Partikel yang tidak bisa dilihat kasat mata itu akan dihirup manusia dan terakumulasi dalam tubuh. Sedangkan polutan gas yang biasanya diproduksi kendaraan, yakni hasil pembakaran mesin baik solar maupun premium seperti gas karbon dioksida (CO 2) dan karbon monoksida (CO). Kemacetan lalu lintas yang diakibatkan oleh laju pertumbuhan kendaraan yang tidak seimbang dengan kemampuan ruas jalan memberi kontribusi besar terhadap pencemaran udara. Pada kondisi jalan macet emisi gas buang berada di atas nilai baku mutu. Mengetahui bahaya dari zat-zat pencemar terhadap lingkungan dan kesehatan manusia apabila melebihi baku mutu, diperlukan suatu upaya untuk meminimalisir pencemaran udara. Polusi udara di Kota Surabaya dapat menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah masyarakat yang terkena penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan atas) dan beberapa penyakit lainnya. Partikulat yang memiliki diameter sangat kecil (<1-500 µm) dapat terhisap dalam saluran pernafasan dan berpengaruh terhadapat kemampunan jarak pandang mata. Mengetahui pentingnya dampak yang ditimbulkan oleh bahaya polutan terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, diperlukan upaya untuk mengurangi beban pencemar di Kota Surabaya. Untuk itu diperlukan suatu data yang akurat dalam pengukuran kualitas udara di Kota Surabaya. Pengukuran kualitas udara di Kota Surabaya dilakukan pada 5 titik, yaitu Taman Prestasi, Perak Timur, Sukomanunggal, Gayungan, dan Gebang Putih. Pengukuran dilakukan secara kontinyu dengan interval pengambilan data setiap 30 menit, selama 24 jam, dan setiap hari selama satu tahun.
Parameter yang dipantau antara lain
adalah CO, NO2, O3, PM10, dan SO2. Hasil pengukuran kualitas udara di Kota Surabaya selengkapnya dapat dilihat pada Tabel SD-16 pada Buku Data. Pada Gambar 2.23 hingga Gambar 2.27 di bawah ini ditunjukkan mengenai kualitas udara ambien berbagai parameter di Kota Surabaya dengan lama pengukuran 1 jam. Khusus untuk parameter PM10 digunakan data dengan lama pengukuran 24 jam. Pengukuran kualitas udara ambien kota Surabaya dilakukan berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur no. 10 tahun 2009 tentang Baku Mutu Udara Emien dan Emisi Sumber Tidak Bergerak di Jawa Timur (PP no 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
II - 30
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.23. Kualitas Udara Ambien Parameter SO2
(µg/m3)
Konsentrasi
Kualitas Udara Parameter SO2 600 500 400 300 200 100 0
SO2
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Untuk parameter SO2 semua lokasi memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan yaitu 900 µg/m3. Gambar 2.24. Kualitas Udara Ambien Parameter CO
(mg/m3)
Konsentrasi
Kualitas Udara Parameter CO 2.5 2 1.5 1 0.5 0
CO
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Untuk parameter CO semua lokasi telah memenuhi baku mutu yang telah
ditetapkan yaitu 30.000 µg/m3 . Gambar 2.25. Kualitas Udara Ambien Parameter NO2
Konsentra si (µg/m3)
Kualitas Udara Parameter NO2 35 30 25 20 15 10 5 0
NO2
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011 .
Untuk parameter NO2 semua lokasi telah memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan yaitu 400 µg/m3. II - 31
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.26. Kualitas Udara Ambien Parameter O3
Konsentras i (µg/m3)
Kualitas Udara Parameter O3 160 140 120 100 80 60 40 20 0
O3
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Untuk parameter O3 semua lokasi telah memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan yaitu 235 µg/m3. Gambar 2.27. Kualitas Udara Ambien Parameter PM10
Kualitas Udara Parameter PM10 Konsentrasi (µg/m3)
1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
PM10
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Untuk parameter PM10 semua lokasi telah memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan yaitu 150 µg/m3. Dampak pencemaran udara tidak hanya mempengaruhi kualitas udara setempat, namun juga mempengaruhi komponen kimia air hujan dalam skala meso atau regional. Yang menyebabkan terjadinya hujan asam. Selama polutan berada di udara, maka kualitas udara ambien menurun. Peningkatan gas buang seperti NH3, NO2, SO2, dan aerosol akan mempengaruhi kadar keasaman air hujan. Aerosol dan gas-gas NH3, NO2, SO2 yang terlarut dalam udara dapat dibersihkan dari atmosfer melalui pembersihan secara kering (dry deposition) atau basah (wet deposition). Proses deposisi basah (wet deposition) adalah proses pencucian dimana polutan diserap oleh elemen hujan dan jatuh dipermukaan selama hujan. Proses deposisi kering (dry deposition) ialah peristiwa terkenanya benda dan mahluk hidup oleh asam yang ada dalam udara. Ini dapat terjadi pada daerah perkotaan karena pencemaran II - 32
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
udara akibat kendaraan maupun asap pabrik. Selain itu deposisi kering juga dapat terjadi di daerah perbukitan yang terkena angin yang membawa udara yang mengandung asam. Biasanya deposisi jenis ini terjadi dekat dari sumber pencemaran. Pada sistem hidrologi, air hujan merupakan salah satu sumber air baku yang mensuplai air ke DAS. Kualitas air hujan dipengaruhi oleh kualitas udara di suatu wilayah. Dalam proses jatuhnya air hujan ke bumi, terlebih dahulu melalui lapisan udara yang terdiri dari beberapa jenis gas yang dapat larut dalam air hujan. Pada kotakota besar seperti di Surabaya, sumber air baku untuk air bersih semakin menipis, untuk itu terdapat suatu wacana untuk menggunakan air hujan sebagai sumber air alternatif. Air hujan yang digunakan untuk sumber air bersih diharapkan memiliki kualitas yang baik, untuk itu diperlukan suatu pemantauan terhadap kualitas air hujan. Pemantauan kualitas air hujan di Kota Surabaya dilakukan di 6 (enam) titik yaitu : Titik I
: Surabaya Timur
Titik II
: Stasiun Perak
Titik III
: Surabaya Selatan
Titik IV
: Surabaya Utara
Titik V
: Surabaya Barat
Titik VI
: Surabaya Pusat (Jalan Jimerto 25-27)
2.4.2. Baku Mutu Baku mutu kualitas air hujan yang dipakai sebagai acuan disini adalah baku mutu kualitas air hujan yang berlaku di seluruh dunia mengikuti Weather Link, hal ini dikarenakan di Indonesia belum ada baku mutu untuk kualitas air hujan. Namun demikian, di dalam baku mutu ini hanya terdapat baku mutu untuk parameter pH saja, sedang untuk parameter lainnya tidak ada baku mutu yang diacu. Terdapat 11 parameter kualitas air hujan yang dipantau yaitu SO42- , NO3- , Cl- , NH4+ , Na+ , K+ , Ca2+ , Mg2+, pH, EC yang hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel SD-17 pada Buku Data.
2.4.3. Perbandingan antar Lokasi Dari hasil pemantauan yang telah dilakukan diketahui bahwa kualitas air hujan di Kota Surabaya, untuk parameter pH sebagian tidak memenuhi baku mutu, yaitu berada di bawah baku mutu pH sebesar 5,6. Ini berarti pH air hujan pada beberapa kali pengambilan sampel, di beberapa lokasi, bersifat asam. Hasil analisa kualitas air hujan untuk parameter pH dapat dilihat pada Gambar 2.28 sampai Gambar 2.33.
II - 33
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.28. Hasil Pemantauan pH Air Hujan pada Titik Pantau Surabaya Timur Tahun 2011
SURABAYA TIMUR
pH
7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 18-Nov
27-Nov 3-Dec WAKTU SAMPLING
5-Dec
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Gambar 2.29. Hasil Pemantauan pH Air Hujan pada Titik Pantau Stasiun Perak Tahun 2011
pH
STASIUN PERAK 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 6-Dec
7-Dec 10-Dec 11-Dec 13-Dec 15-Dec 17-Dec 18-Dec WAKTU SAMPLING
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Gambar 2.30. Hasil Pemantauan pH Air Hujan pada Titik Pantau Surabaya Selatan Tahun 2011
pH
SURABAYA SELATAN 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
WAKTU SAMPLING Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011 II - 34
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
pH
Gambar 2.31. Hasil Pemantauan pH Air Hujan pada Titik Pantau Surabaya Utara Tahun 2011
SURABAYA UTARA
8 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
WAKTU SAMPLING Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Gambar 2.32. Hasil Pemantauan pH Air Hujan pada Titik Pantau Surabaya Barat Tahun 2011
pH
SURABAYA BARAT 7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
WAKTU SAMPLING Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
II - 35
11-Dec
3-Dec
30-Nov
8-Nov
4-Nov
22-Nov
WAKTU SAMPLING
3-May
03-Apr
01-Apr
25-Mar
12-Mar
08-Mar
25-Feb
13-Feb
31-Jan
25-Jan
20-Jan
11-Jan
07-Jan
SURABAYA PUSAT (JALAN JIMERTO 25-27)
7.5 7 6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 02-Jan
pH
Gambar 2.33. Hasil Pemantauan pH Air Hujan pada Titik Pantau Surabaya Pusat Tahun 2011
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Dari hasil pemantauan kualitas air hujan untuk parameter pH seperti yang ditunjukkan pada gambar-gambar di atas, dapat diketahui bahwa hampir di seluruh lokasi pemantauan menunjukkan adanya nilai pH yang tidak memenuhi baku mutu (pH < 5,6), kecuali di Stasiun Perak. Namun, hasil pemantauan di Surabaya Timur dan Stasiun Perak dianggap kurang representative dikarenakan minimnya data yang tersedia. Hasil pemantauan di Surabaya Selatan menunjukkan ± 40 % hasil analisa pH air hujan tidak memenuhi baku mutu, dengan pH terendah 5,4. Di Surabaya Utara ± 25 % hasil analisa pH air hujan tidak memenuhi baku mutu, dengan pH terendah 4,5. Untuk Surabaya Barat hasil analisa pH air hujan yang tidak memenuhi baku mutu ± 30 % dari data yang didapatkan, dengan pH terendah 4,6. Sedangkan hasil pemantauan di Surabaya Pusat ± 35 % yang tidak memenuhi baku mutu, dengan pH terendah 4,5. 2.4.4. Analisis Statistik Dari hasil pemantauan yang menunjukkan bahwa kualitas air hujan belum memenuhi baku mutu pH yaitu 5,6 dapat disimpulkan adanya potensi terjadinya deposisi basah di Kota Surabaya. Deposisi basah adalah turunnya asam dalam bentuk hujan. Kondisi deposisi basah di Surabaya Pusat secara long time disajikan pada gambar-gambar di bawah ini.: Gambar 2.34. Konsentrasi Anion pada Air Hujan di Surabaya Pusat
Konsentrasi SO42- di Surabaya Pusat y = 0.005x + 4.344 R² = 0.000
ppm
12.000 10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 -
Waktu Sampling
Konsentrasi Cl- di Surabaya Pusat
ppm
5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 -
y = 0,045x + 0,729 R² = 0,168
Waktu Sampling Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
II - 36
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.35. Konsentrasi Kation pada Air Hujan di Surabaya Pusat
Konsentrasi Na+ di Surabaya Pusat 5.000 y = 0.003x + 1.565 R² = 0.001
4.000
ppm
3.000 2.000 1.000 -
Waktu Sampling
Konsentrasi NH4+ di Surabaya Pusat
5.000
y = 0.045x + 0.729 R² = 0.168
4.000 ppm
3.000 2.000 1.000 -
Waktu Sampling Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Sesuai grafik pada Gambar 2.34 dan Gambar 2.35, dapat dijelaskan bahwa koefisien determinasi (R2) yang menunjukan kecenderungan peningkatan konsentrasi secara umum sebagai berikut: (R2) SO422
-
(R ) Cl 2
(R ) Na
=0 = 0,168
+
(R2) NH4+
= 0,001 = 0,168
Hasil pemantauan di Surabaya Pusat menunjukkan hampir semua parameter kualitas air hujan terjadi kenaikan pada Bulan Oktober, November, dan Desember yang ditunjukkan dengan nilai determinasi kecuali SO42-. Kenaikan konsentrasi anion kation tersebut diiringi dengan penurunan nilai pH dengan slope -0,007. Sebanyak ± 35 % hasil pemantauan pH air hujan di Surabaya Pusat tidak memenuhi baku mutu (pH < 5,6), dengan pH terendah 4,5. Korelasi antara nilai pH dengan perbandingan anion-kation air hujan di Kota Surabaya dapat dilihat pada Gambar 2.36 sampai Gambar 2.39 berikut ini.
II - 37
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.36. Grafik Korelasi antara pH dengan Perbandingan Anion-Kation (Lokasi Surabaya Pusat) Korelasi antara pH dengan Perbandingan Anion-Kation (Lokasi Surabaya Pusat) 8.00 6.00 4.00 2.00 -
pH
Anion : Kation
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Gambar 2.37. Grafik Korelasi antara pH dengan Perbandingan Anion-Kation (Lokasi Surabaya Barat) Korelasi antara pH dengan Perbandingan Anion-Kation (Lokasi Surabaya Barat) 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Gambar 2.38. Grafik Korelasi antara pH dengan Perbandingan Anion-Kation (Lokasi Surabaya Selatan) Korelasi antara pH dengan Perbandingan Anion-Kation (Lokasi Surabaya Selatan) 7 6 5 4 3 2 1 0
pH
anion:kation
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
II - 38
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.39. Grafik Korelasi antara pH dengan Perbandingan Anion-Kation (Lokasi Surabaya Utara) Korelasi antara pH dengan Perbandingan Anion-Kation (Lokasi Surabaya Utara) 8 7 6 5 4 3 2 1 0
pH
anion:kation
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Bila dilihat dari nilai korelasi dengan nilai signifikasi 0,05 antara perbandingan anion dan kation untuk empat lokasi sampling (Surabaya Pusat, Surabaya Barat, Surabaya Selatan, Surabaya Utara) maka: -
Surabaya Pusat dengan nilai r = 0,67046, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara kenaikan nilai perbandingan anion-kation dengan penurunan pH air hujan.
-
Surabaya Barat dengan nilai r = 0,20438, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kenaikan nilai perbandingan anion-kation dengan penurunan pH air hujan.
-
Surabaya Utara dengan nilai r = 0,69196, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara kenaikan nilai perbandingan anion-kation dengan penurunan pH air hujan.
-
Surabaya Utara dengan nilai r = 0,17905, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kenaikan nilai perbandingan anion-kation dengan penurunan pH air hujan. Perbedaan hasil analisa ini dapat disebabkan karena faktor perbedaan
konsentrasi CO2 di udara yang bereaksi dengan uap air sehingga membentuk suatu buffer. Buffer ini berfungsi menjaga terjadinya penurunan pH yang tajam.
2.5.
LAUT, PESISIR, DAN PANTAI
2.5.1. Kondisi Eksisting Perairan wilayah pesisir umumnya merupakan perangkap zat-zat hara maupun bahan-bahan buangan. Perlu dilakukan suatu perencanaan dengan cermat agar dapat II - 39
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
mencegah timbulnya masalah lingkungan yang berhubungan dengan bahan buangan seperti sampah organik dari kota, sisa-sisa pestisida dan pupuk pertanian, bahan buangan industri dan sebagainya. Laut, pesisir, dan pantai memiliki peranan yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan nelayan dan kegiatan pariwisata. Kota Surabaya tidak memiliki habitat terumbu karang di daerah perairan lautnya, hal tersebut dikarenakan buruknya kualitas air laut yang disebabkan oleh limbah buangan dari kegiatan masyarakat dan industri. Kegiatan monitoring pengelolaan pesisir yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya melalui Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya secara periodik dilakukan di 3 (tiga) kawasan perairan. Lokasi pemantauan kualitas air di kawasan pesisir Kota Surabaya dilakukan pada 8 (delapan) titik sampling dengan parameter kondisi fisik, kimia dan biologi perairan laut. Kegiatan pemantauan dilakukan dalam rangka pengendalian pencemaran kawasan pantai dan pesisir. Secara Umum pengambilan sampel air laut dilaksanakan pada siang hari (09.00 s/d 12.00 WIB) pada saat air pasang, dan tidak dilaksanakan pada hari hujan. Lokasi titik sampling tersebut meliputi:
Uji sampling air laut (wisata bahari) Lokasi : Kenjeran gunung pasir dan Kenjeran pengasapan ikan
Uji sampling air laut (perairan pelabuhan) Lokasi : Nilam barat dan Nilam timur
Uji sampling air laut (biota laut) Lokasi : Gunung anyar 1 kali UPN, Gunung anyar 2 kali Wonorejo, Kali Lamong 1, dan, Kali Lamong 2
2.5.2. Baku Mutu Baku mutu yang dijadikan sebagai acuan dalam pemantauan kualitas air laut di Kota Surabaya adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 54 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Pemantauan kualitas air laut dilakukan secara periodik dalam 4 triwulan meliputi : 1. Uji Sampling Air Laut untuk Wisata Bahari dilaksanakan di 2 lokasi 4 kali 2. Uji Sampling Air Laut untuk Perairan Pelabuhan dilaksanakan di 2 lokasi 4 kali 3. Uji Sampling Air Laut untuk Biota Laut dilaksanakan di 4 lokasi 4 kali Parameter yang dipantau juga didasarkan pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 54 Tahun 2004. 2.5.3. Perbandingan Nilai antar Lokasi dan Waktu Pemantauan kualitas air laut di Kota Surabaya dilakukan pada 8 titik pengambilan sampel yang dilakukan setiap 3 bulan sekali tiap tahunnya (triwulan I II - 40
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
triwulan IV). Secara umum kualitas air laut di Kota Surabaya tidak sesuai dengan baku mutu, hanya ada 5 (lima) titik yang hasil pengujiaannya memenuhi baku mutu, dimana hasil tersebut diperoleh pada waktu pengujian yang berbeda. Kualitas air laut yang memenuhi baku mutu terdapat pada:
Uji Sampling Air Laut di Perairan Pelabuhan Lokasi
: Nilam Barat
Periode
: Triwulan III
Uji Sampling Air Laut untuk Biota Laut Lokasi
: Gunung Anyar 1 Kali UPN
Periode
: Triwulan III
Uji Sampling Air Laut untuk Biota Laut Lokasi
: Gunung Anyar 1 Kali UPN
Periode
: Triwulan III
Uji Sampling Air Laut untuk Biota Laut Lokasi
: Gunung Anyar 2 Kali Wonorejo
Periode
: Triwulan I dan III
Uji Sampling Air Laut untuk Biota Laut Lokasi
: Kali Lamong 1
Periode
: Triwulan I dan III
Uji Sampling Air Laut untuk Biota Laut Lokasi
: Kali Lamong 2
Periode
: Triwulan III dan IV
Sedangkan hasil uji sampling air laut yang tidak sesuai dengan baku mutu KepMenLH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut dan KepMenLH No. 179 Tahun 2004 tentang Ralat Atas KepMenLH No. 51 Tahun 2004 adalah sebagai berikut: Uji Sampling Air Laut untuk Wisata Bahari Parameter Fisik Kekeruhan Dari hasil analisa terhadap air laut di kedua titik sampling untuk Wisata Bahari diketahui bahwa parameter kekeruhannya cenderung cukup tinggi di tahun 2011 dan masih melebihi baku mutu menurut KepMenLH No. 51 Tahun 2004 yaitu 5 NTU. Faktor-faktor yang diduga sebagai pemicu kondisi tersebut adalah aktivitas masyarakat setempat yang memanfaatkan kedua lokasi tersebut untuk jalur pelayaran perahu mereka untuk sektor pariwisata. Dampak negatif dari besarnya tingkat kekeruhan adalah terganggunya keanekaragaman fitoplankton dan berpengaruh juga terhadap
II - 41
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
menurunnya kadar oksigen terlarut serta terjadi peningkatan kadar BOD (Biological Oxygen Demand ~ Kebutuhan Oksigen Biologis). Minimnya kontribusi pasokan air dari darat menuju ke laut melalui muara sekitar serta pengambilan sampling pada triwulan 3-4 cenderung masih masuk musim kemarau menyebabkan tingkat kekeruhan di tahun 2011 mengalami penurunan yang cukup signifikan dibanding tahun 2008-2010. Sebenarnya kondisi kekeruhan bersifat sementara (temporer) waktu tertentu saja karena dipengaruhi oleh masukan air dari darat dan juga kondisi laut sedang dalam keadaan surut. Hasil analisa tingkat kekeruhan pada wilayah uji sampling air laut untuk Wisata Bahari dapat dilihat pada Gambar 2.40 di bawah ini : Gambar 2.40. Grafik Kondisi Tingkat Kekeruhan di Dua Lokasi Sampling Air Laut untuk Wisata Bahari Pada Tahun 2008-2011 Tingkat kekeruhan
Tingkat Kekeruhan
500
600,0
450
500,0
400 350
400,0
300
250
300,0
200
200,0
150 100
100,0
50 0
0,0 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 hasil
TAHUN 2010
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
TAHUN 2011
TAHUN 2008
baku mutu(<5NTU)
TAHUN 2009 Hasil
a. Kenjeran Gunung Pasir
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu< 5NTU
b. Kenjeran Pengasapan Ikan
Padatan Tersuspensi (TSS) Nilai parameter TSS pada umumnya juga cenderung tinggi di atas baku mutu (> 20 mg/L). Gambar 2.41 menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara TSS dengan tingkat kekeruhan, terutama apabila sampling dilakukan pada waktu transisi dari musim kemarau ke musim hujan, karena pada musim penghujan nilai konsentrasi TSS juga akan membesar. Gambar 2.41. Grafik Kondisi Tingkat TSS di Dua Lokasi Sampling Air Laut untuk Wisata Bahari Pada Tahun 2008-2011 Padatan Suspensi
Padatan tersuspensi 600,0
500 450
500,0
400 350
400,0
300
300,0
250 200
200,0
150 100
100,0
50 0
0,0 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Series1
TAHUN 2010
TAHUN 2011
baku mutu(20 mg/l)
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
a. Kenjeran Gunung Pasir
TAHUN 2010
Baku Mutu ( 20 mg/l)
b. Kenjeran Pengasapan Ikan II - 42
TAHUN 2011
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Parameter Kimia Parameter kimia yang akan dianalisa meliputi oksigen terlarut (DO), BOD, Amonia sebagai N, deterjen, dan senyawa phenol. Biological Oxygen Demand (BOD) Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis merupakan
suatu analisa empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasikan) hampir semua bahan organik yang terlarut dan sebagian zat organik yang tersuspensi dalam suatu perairan. Secara umum, jika nilai BOD lebih tinggi dari 10 mg/L, maka perairan tersebut dapat dikatakan tercemar. Hasil pengujian secara umum menunjukkan bahwa nilai BOD di lokasi cenderung lebih rendah dibanding baku mutu (< 10 mg/L). Hasil pemantauan kadar BOD dapat dilihat pada Gambar 2.42. Kondisi ini sesuai dengan nilai DO yang cenderung lebih tinggi dibanding baku mutu, mengingat nilai BOD mempunyai korelasi negatif terhadap nilai DO. Gambar 2.42. Grafik Kondisi Tingkat BOD di Dua Lokasi Sampling Air Laut untuk Wisata Bahari Pada Tahun 2008-2011
a.
Kenjeran Gunung Pasir
b. Kenjeran Pengasapan Ikan
Amoniak (NH3-N) Parameter amoniak (NH3-N) dapat bersifat toksik bila melebihi baku mutu yang ditetapkan. Berdasarkan hasil pengujian pada kedua lokasi pengambilan sampel menunjukkan nilai amoniak cenderung lebih tinggi dibanding baku mutu (baku mutu untuk amoniak yang ditetapkan adalah nihil). Pada kasus ini, kemungkinan tingginya nilai amoniak sebenarnya merupakan suatu proses hasil metabolisme hewan dan proses dekomposisi bahan organik dari bakteri. Dan jika kadar amoniak di suatu perairan terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi (> 1,1 mg/L) ada dugaan terjadi pencemaran. Hasil pengujian parameter amoniak dapat dilihat pada Gambar 2.43. II - 43
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.43. Grafik Kondisi Tingkat NH3-N di Dua Lokasi Sampling Air Laut untuk Wisata Bahari Pada Tahun 2008-2011 Amoniak Sebagai N (NH3) 4,5000 4,0000 3,5000 3,0000 2,5000 2,0000 1,5000 1,0000 0,5000 0,0000 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
a.
Kenjeran Gunung Pasir
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (nihil)
b. Kenjeran Pengasapan Ikan
Surfaktan (Deterjen) Surfaktan (deterjen) merupakan salah satu polutan organik yang menyumbang 11 % kandungan fosfat suatu perairan (Kohler, 2006). Tingginya fosfat suatu perairan akan mengakibatkan efek negatif, salah satu diantaranya adalah keragaman plankton menjadi menurun karena terjadi dominansi spesies fitoplankton tertentu. Berdasarkan hasil pengujian yang ditunjukkan pada Gambar 2.44 di bawah diketahui bahwa nilai surfaktan deterjen cenderung masih bisa ditoleransi meskipun lebih tinggi sedikit di atas baku mutu.
Gambar 2.44. Grafik Kondisi Tingkat Surfaktan (Deterjen) di Dua Lokasi Sampling Air Laut untuk Wisata Bahari Pada Tahun 2008-2011 Surfaktan detergen 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 hasil
a.
TAHUN 2010
TAHUN 2011
baku mutu(0,001mg/l)
Kenjeran Gunung Pasir
b.
Kenjeran Pengasapan Ikan
Senyawa Fenol Senyawa-senyawa fenol merupakan senyawa organik yang mempunyai sifat racun. Bila mencemari perairan dapat membuat rasa dan bau tidak sedap, dan pada nilai konsentrasi tertentu dapat menyebabkan kematian organisme di perairan tersebut. Pada Gambar 2.45 dapat diketahui bahwa tahun 2008 – 2011, nilai fenol yang terdeteksi berkisar antara 0,001 – 0,005 di kedua lokasi sampling, dimana baku mutu II - 44
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
yang disyaratkan bernilai nihil. Meskipun begitu, nilai LC50 (Lethal concentration 50%) senyawa fenol pada organisme perairan berkisar antara 0,1 – 0,4 mg/L, yang berarti senyawa fenol di kedua lokasi tersebut masih bisa ditoleransi. Gambar 2.45. Grafik Kondisi Tingkat Senyawa Fenol di Dua Lokasi Sampling Air Laut untuk Wisata Bahari Pada Tahun 2008-2011 Senyawa Phenol 0,006 0,005 0,004 0,003 0,002 0,001
0 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 hasil
a.
TAHUN 2010
TAHUN 2011
baku mutu(nihil mg/l)
Kenjeran Gunung Pasir
b. Kenjeran Pengasapan Ikan
Parameter Logam Terlarut Kedua lokasi sampling pengujian kualitas air laut untuk Wisata Bahari yaitu Kenjeran Gunung Pasir dan Kenjeran Pengasapan Ikan mempunyai aktifitas sosial yang sangat berbeda. Gunung Pasir ada di tengah laut yang jumlah pengunjungnya relatif sedikit, sedangkan Pengasapan Ikan ada di pinggir laut yang tingkat hunian dan pengunjung/ pembeli relatif sangat tinggi. Kondisi ini signifikan mempengaruhi jumlah total bakteri koliform yang berasal dari sisa metabolisme manusia dan makhluk hidup. Bila melihat data tahun 2010 – 2011, perairan di kedua titik sampling ini memang terdeteksi mengandung bakteri koliform di atas batas ambang. Dimana Pengasapan Ikan menunjukkan jumlah 1.6 X 105 MPN/100, signifikan sangat tinggi bila dibandingkan dengan ambang batas 1 X 10 3 MPN/100. Walau ada faktor pengenceran dari air laut, ada kemungkinan bakteri koliform ini terbawa arus pasang naik/ surut ke titik sampling Gunung Pasir yang aktifitas pengunjungnya relatif hanya jalan-jalan di perairan yang dangkal saja. Angka 1.6 X 105 MPN/100 ini merupakan indikator bahwa perairan Pengasapan Ikan sudah sangat tidak sehat untuk manusia. Sehingga perlu dilakukan usaha untuk mengurangi pencemaran bakteri koliform. Salah satunya adalah pengaturan pembuangan sisa pembersihan ikan, yang selama ini dilakukan dengan langsung membuangnya ke perairan. Logam terlarut yang diteliti adalah Hg, Cr6+, Cd, Cu, Pb, Zn dan Ni. Dari ketujuh logam terlarut tersebut, logam Cr6+ dan Cd menunjukkan nilai cenderung dominan di atas baku mutu masing-masing. II - 45
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Logam Cr6+ Logam Cr6+ atau Cr(VI) merupakan salah satu jenis limbah berbahaya, dan berasal dari industri cat, pelapisan logam (electroplating), dan penyamakan kulit (leather tanning). Sebenarnya krom terdapat dalam bentuk oksida yaitu Cr(VI) atau chromium hexavalent dan Cr(III) atau chromium trivalent. Tingkat toksisitas Cr(VI) sangat tinggi sehingga bersifat racun terhadap semua organisme untuk konsentrasi > 0,05 ppm karena bersifat karsinogenik. Berdasarkan hasil pemantauan yang ditunjukkan pada Gambar 2.46 dari tahun 2008 – 2011, kandungan Cr6+ di kedua lokasi tertinggi hanya 0,035, sehingga secara teoritis masih bisa dianggap dapt di toleransi. Gambar 2.46. Grafik Kondisi Tingkat Logam Cr6+ di Dua Lokasi Sampling Air Laut untuk Wisata Bahari Pada Tahun 2008-2011 Krom heksavalen (Cr6+)
Krom Heksavalen (Cr6+)
0,0035
0,0035
0,003
0,0030
0,0025
0,0025
0,002
0,0020
0,0015
0,0015
0,001
0,0010
0,0005
0,0005 0,0000
0 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 hasil
a.
TAHUN 2010
TAHUN 2011
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
baku mutu(0,002 mg/l)
Kenjeran Gunung Pasir
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (0,002 mg/l)
b. Kenjeran Pengasapan Ikan
Logam Cadmium (Cd) Logam Cd merupakan salah satu logam berat yang juga bersifat racun dan merugikan semua organisme hidup, tidak terkecuali manusia. Dalam badan perairan, kelarutan Cd dalam konsentrasi tertentu dapat membunuh biota perairan. Dari hasil pemantauan yang ditunjukkan pada Gambar 2.47, nilai Cd tertinggi berkisar 0,04 – 0,05 mg/L di tahun 2008 – 2009. Sementara di tahun 2011, nilai mengalami penyusutan yang cukup signifikan hingga berkisar 0,001 mg/L. Menurut Palar (1994) dalam Lestari dan Edward (2004), biota sebangsa udang-udangan (Crustacea) akan mengalami kematian dalam selang waktu 24 – 504 jam bila dalam perairan dimana biota tersebut hidup terdapat logam terlarut Cd pada rentang konsentrasi 0,005 – 0,15 ppm. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa di tahun 2011, konsentrasi logam terlarut Cd relatif masih berada pada kisaran dapat ditoleransi.
II - 46
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.47. Grafik Kondisi Tingkat Logam Cd di Dua Lokasi Sampling Air Laut untuk Wisata Bahari Pada Tahun 2008-2011 Kadmium(Cd)
Kadmium
0,045
0,0500
0,04
0,0450
0,035
0,0400 0,0350
0,03
0,0300
0,025
0,0250
0,02
0,0200
0,015
0,0150
0,01
0,0100
0,005
0,0050 0,0000
0 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 hasil
TAHUN 2010
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
TAHUN 2011
TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
baku mutu(0,002 mg/l)
a. Kenjeran Gunung Pasir
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (0,002 mg/l)
b. Kenjeran Pengasapan Ikan
Dari ketiga parameter (fisik, kimia dan logam terlarut) untuk peruntukan Wisata Bahari, menunjukkan kecenderungan mengalami penurunan konsentrasi di tahun 2011, meskipun sebagian kecil diantaranya masih berada di atas baku mutu yang ditentukan. Kondisi ini cukup bagus, namun masih tetap harus dilakukan monitoring dan pengelolaan kawasan terutama yang terkait dengan bahan organik. Uji Sampling Air Laut untuk Perairan Pelabuhan Uji sampling air laut untuk perairan pelabuhan dilakukan di Nilam Timur dan Nilam Barat. Kedua lokasi ini cukup berdekatan dan berada pada kompleks pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Parameter Fisik Jika melihat data hasil pengambilan sampel parameter fisika, terutama padatan tersuspensi, pada tahun 2011 menunjukkan hasil di bawah baku mutu (memenuhi baku mutu). Sementara bila ditinjau dari rangkaian monitoring sejak tahun 2008 – 2011, hanya pada triwulan III pada tahun 2009 di Nilam Barat kadar TSS yang termonitor berada di atas baku mutu yaitu 137 mg/L dari nilai baku mutu yang hanya 80 mg/L. Seperti disampaikan sebelumnya, parameter padatan tersuspensi mempunyai kaitan erat dengan tingkat kekeruhan, dimana padatan tersuspensi merupakan bahan buangan organik yang bersifat larut dalam air dan menjadi koloid. Secara umum dapat dinyatakan bahwa kondisi perairan di Nilam Barat dan Nilam Timur terpantau dapat ditoleransi kondisinya.
Parameter Kimia Parameter kimia meliputi : amoniak, sulfide, surfaktan (deterjen), pH dan senyawa fenol. Dari kedua lokasi pemantauan, hanya parameter amoniak, II - 47
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
surfaktan (deterjen) dan senyawa fenol yang diketahui mempunyai nilai di atas ambang baku mutu (tidak memenuhi baku mutu). Namun, untuk tahun 2011, ketiga parameter tersebut menurun dan menjadi bernilai di bawah baku mutu (telah memenuhi baku mutu). Amoniak di Nilam Timur dan Nilam Barat pada tahun 2008-2009 cenderung tinggi, namun tahun 2010-2011 menurun secara drastis sehingga berada di bawah baku mutu. Sumber amoniak diduga berasal dari dari limbah industri, mengingat lokasi pengambilan sampel relatif dekat dengan kegiatan industri perkapalan. Selain itu, kemungkinan kedua terkait sumber amoniak di perairan adalah hasil dari pemecahan nitrogen organik (berupa protein dan urea) serta nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air yang berasal dari dekomposisi bahan organik (berupa tumbuhan dan biota akuatik yang mati) oleh mikroba dan jamur yang kemudian dikenal dengan istilah amonifikasi (Efendi, 2003). Selain amoniak, konsentrasi surfaktan (deterjen) di Nilam Timur pada tahun 2010 triwulan I terdeteksi 1,17 mg/L atau lebih tinggi dibanding baku mutu yang hanya 1 mg/L. Kemudian senyawa fenol pada tahun 2010 triwulan II - IV mencapai 50 µg/L dimana baku mutu disyaratkan hanya boleh 0,01 µg/l saja. Namun, kedua parameter kimia tersebut pada tahun 2011 menurun dengan drastis sehingga memenuhi ambang baku mutu yang disyaratkan.
Parameter Logam Terlarut Secara rerata jumlah bakteri koliform di dua titik pemantauan Nilam Barat dan Nilam Timur relatif stabil pada tahun 2010-2011, bahkan cenderung menurun pada 2 triwulan terakhir di tahun 2011, meskipun masih di atas ambang batas 1 X 103 MPN/100. Ini menunjukkan bahwa aktifitas manusia dan makhluk hidup di kedua titik tersebut relatif stabil dari waktu ke waktu. Mengingat peruntukan perairan di lokasi ini relatif tidak untuk konsumsi dan pariwisata, maka jumlah total bakteri koliform yang berkisar 2-5 X 103 MPN/100 relatif belum membahayakan. Logam terlarut adalah logam yang mampu membentuk kompleks dengan senyawa organik dan anorganik. Sementara logam tidak terlarut merupakan partikel-partikel yang berbentuk koloid dan senyawa kelompok metal yang teradsorbsi pada partikel-partikel yang tersuspensi. Pada monitoring yang dilakukan di dermaga Nilam Timur dan Nilam Barat, logam terlarut yang terdeteksi adalah Hg, Cd, Cu, Pb, dan Zn. Dari kelima logam tersebut hanya logam Cd yang mempunyai nilai konsentrasi lebih tinggi dari baku mutu yang ditetapkan, terutama pada tahun 2008. Sementara pada tahun 2009-2011, tingkat konsentrasi logam Cd
II - 48
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
cenderung mengalami penurunan cukup signifikan mencapai hanya 0,001 mg/L dibanding baku mutu 0,01 mg/L. Logam Cd merupakan logam yang bersifat non esensial karena tidak dibutuhkan oleh organisme dalam kehidupannya. Sumber Cd di perairan dapat berasal dari alam ataupun hasil kegiatan manusia, berupa industrial waste. Cat dan materi pelapis pada kapal juga mengandung Cd, sehingga kemungkinan berkontribusi terhadap tingginya nilai konsentrasi Cd pada tahun 2008 yang mencapai 0,03 mg/L di Nilam Barat ataupun Nilam Timur. Sementara, rendahnya konsentrasi logam terlarut secara keseluruhan di kedua lokasi sampling kemungkinan akibat sebagian besar logam tersebut teradsorpsi dan terabsorpsi oleh tingginya padatan tersuspensi yang terdiri dari komponen fitoplankton dan partikel-partikel sedimen tersuspensi. Sachoemar et al (2007) menyatakan bahwa parameter oseanografi seperti konsentrasi klorofil a dan padatan tersuspensi memegang peran penting sebagai penyerap (scavenger) logam-logam terlarut, yang selanjutnya akan terendapkan (sinking processes) ke dasar.
Uji Sampling Air Laut untuk Biota Laut Biota laut merupakan salah satu parameter biotik yang sangat penting dalam suatu uji sampling air laut. Hasil uji berupa parameter fisika, kimia, logam terlarut dan juga biologi akan menjadi lebih berdaya guna apabila mempunyai keterkaitan erat dengan kondisi organisme di dalamnya. Pada uji sampling air laut untuk biota laut, peraturan perundangan melalui KepMenLH No. 51 Tahun 2004 diatur dalam lampiran 3, dimana pada lampiran tersebut ditambahkan pula dengan parameter plankton (terkhusus fitoplankton) sebagai produsen utama perairan. Lokasi uji sampling air laut untuk biota laut dilakukan di empat titik, yaitu Gunung Anyar 1 Kali UPN, Gunung Anyar 2 Kali Wonorejo, Kali Lamong 1 dan Kali Lamong 2.
Parameter Fisik Berdasarkan hasil pemantauan yang ditunjukkan pada Gambar 2.48 di bawah dapat disimpulkan bahwa keempat lokasi sampling tersebut, untuk parameter kekeruhan menunjukkan nilai yang cukup tinggi dibanding baku mutunya.
II - 49
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.48. Tingkat Kekeruhan Perairan di Empat Lokasi Uji Sampling Perairan Untuk Biota Laut Selama Kurun Waktu 2008 – 2011 Tingkat Kekeruhan
Tingkat Kekeruhan
180,0
600
160,0
500
140,0
400
120,0 100,0
300
80,0
200
60,0 40,0
100
20,0
0
0,0
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
a.
TAHUN 2010
TAHUN 2008
TAHUN 2011
TAHUN 2009 Hasil
Baku Mutu (<5NTU)
Gunung Anyar 1 Kali UPN
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (<5NTU)
b. Gunung Anyar 2 Kali Wonorejo Tingkat Kekeruhan
Tingkat Kekeruhan 400
120
350
100
300
80
250 200
60
150
40
100 20
50 0
0 TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
c.
TAHUN 2010
TAHUN 2011
TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW TW 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 TAHUN 2008
TAHUN 2009 Hasil
Baku Mutu (<5NTU)
Kali Lamong I
d.
TAHUN 2010
TAHUN 2011
Baku Mutu (< 5NTU)
Kali Lamong 2
Jika memperhatikan Gambar 2.48 di atas, kecenderungan kekeruhan melebihi baku mutu KepMenLH No. 51 Tahun 2004 selama kurun waktu 2008-2011 terjadi di Kali Lamong 1. Sementara tahun 2008 merupakan tahun dimana keempat lokasi sampling tersebut menunjukkan tingkat kekeruhan yang cenderung sangat tinggi di atas baku mutu. Pada tahun 2011, tingkat kekeruhan menunjukkan tren penurunan yang cukup signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya, terutama pada triwulan IV. Seperti telah disampaikan dalam informasi sebelumnya, tingkat kekeruhan dan padatan tersuspensi mempunyai korelasi positif. Jika padatan tersuspensi tinggi, maka akan semakin tinggi pula nilai kekeruhannya. Hal ini disebabkan definisi dari padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak mengendap langsung yang terdiri atas partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen, seperti tanah liat, bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme dan lain sebagainya. Oleh karena itu, parameter konfirmasi apakah padatan tersuspensi tersebut dianggap memberikan efek negatif II - 50
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
bagi biota laut adalah dengan melihat nilai indeks keragaman dari plankton. Jika semakin tinggi keragaman plankton, maka padatan tersuspensi yang tinggi dapat dieliminasi sebagai suatu dampak negatif bagi perairan karena padatan tersuspensi tersebut bisa jadi merupakan fitoplankton itu sendiri. Selain itu, lokasi keempat titik sampling merupakan kawasan muara atau estuari yang memang mempunyai ciri salah satu diantaranya adalah lokasi pertemuan antara arus sungai dengan arus pasang surut yang berlawanan sehingga menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada mekanisme terbentuknya flokulan-flokulan yang bilamana flokulan tersebut mempunyai berat molekul lebih tinggi dibandingkan air akan membentuk proses sedimentasi. Sementara, bila flokulan-flokulan tersebut mempunyai berat molekul cenderung hampir sama dengan berat molekul air, maka akan terbentuk koloid dan menjadi padatan tersuspensi. Kondisi lingkungan seperti ini memang akan menjadi ciri khas dari estuari, yaitu cenderung minim penetrasi cahaya sehingga dominasi plankton yang berada di estuari adalah zooplankton yang mempunyai sifat fototropisme negatif.
Parameter Plankton untuk Baku Mutu Air Laut Melihat data tahun 2010-2011, kondisi di empat titik sampling tidak ideal sebagai kawasan hidup biota laut. Kandungan bakteri koliform yang sangat tinggi 1.6 X 105 MPN/100 dapat berkorelasi negatif terhadap kandungan oksigen terlarut (DO) yang memiliki baku mutu minimal sebesar 5 mg/L. Semakin tinggi jumlah bakteri koliform, semakin sedikit pula oksigen yang terlarut di kawasan tersebut, karena semakin banyak bakteri yang menggunakan oksigen untuk proses respirasinya. Rendahnya kadar oksigen di kawasan ini akan mempengaruhi keberadaan ikan atau makhluk hidup lain yang berhabitat di lokasi tersebut atau di sekitarnya. Tetapi di sisi lain, jumlah bakteri koliform berkorelasi positif terhadap BOD (rata-rata ada di bawah ambang batas <10 mg/L). Semakin banyak jumlah bakteri koliform, maka akan semakin menurun pula nilai BOD di kawasan tersebut. Karena bakteri koliform mendegradasi limbah organik yang ada di sekitarnya selama proses respirasinya. Mengingat keempat titik sampling ini adalah perwakilan kawasan hidup biota laut dan lokasi sampling merupakan daerah yang bervegetasi mangrove, maka tingginya kandungan bakteri koliform menjadi suatu pertanda adanya pencemaran. Pencemaran bisa terjadi karena daerah tersebut sudah menjadi areal perumahan nelayan, seperti di Kali Lamong 1 dan 2, atau menjadi tempat pembuangan sampah domestik, seperti di Muara Kali Wonorejo dan UPN. Pengelolaan secara intensif perlu dikoordinasikan secara holistik.
II - 51
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Yang menarik dari parameter kimia, terkait dengan nilai yang berada di atas baku mutu adalah parameter fosfat (PO4-P) dan nitrat (NO3-N), meskipun selain kedua parameter tersebut di atas terdapat pula parameter yang nilainya melebihi baku mutu. Parameter pH, oksigen terlarut, dan amoniak sebenarnya juga melebihi baku mutu, meskipun tidak mutlak ditemukan di empat lokasi tersebut. Kandungan fosfat di Gunung Anyar 1 Kali UPN pada tahun 2011 berfluktuasi dari 0,04 – 0,8408 mg/L dibanding nilai baku mutu yang ditetapkan 0,015 mg/L. Kondisi ini menurut Pirzan dan Masak (2008) dapat mendorong terjadinya ledakan populasi fitoplankton sehingga menyebabkan terjadinya dominansi spesies fitoplankton tertentu. Jika terjadi dominansi, maka dapat dipastikan nilai indeks keanekaragamannya akan menurun. Namun, nilai indeks keanekaragaman plankton di lokasi Gunung Anyar 1 UPN selama rentang waktu tahun 2011 berkisar pada 1,82 – 2,70. Namun, untuk lebih jelasnya melihat keterkaitan antara kadar fosfat – nitrat dan indeks keanekaragaman plankton, maka dapat dilihat pada Tabel 2.5 dibawah ini. Tabel 2.5. Konsentrasi Fosfat, Nitrat dan Indeks Keanekaragaman Plankton pada Lokasi Sampling Uji Kualitas Perairan Peruntukan Biota Laut Tahun 2011
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Tabel 2.6. Kualitas Perairan menurut Indeks Diversitas Fitoplankton dan Zooplankton Indeks Keanekaragaman > 2.41 1.81 – 2.40 1.21 – 1.80 0.61 – 1.20 < 0.60
Kondisi struktur komunitas Sangat stabil Lebih stabil Stabil Cukup stabil Kurang stabil
Kategori Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk
Skala 5 4 3 2 1
Sumber : Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2011
Dari Tabel 2.5 di atas, terlihat bahwa dari seluruh triwulan kegiatan sampling untuk parameter fosfat dan nitrat selalu di atas baku mutu yang disyaratkan. Secara teoritis, fosfat dalam bentuk PO4-P merupakan salah satu indikator kelimpahan bahan organik suatu perairan yang efek negatif terburuknya adalah terjadinya eutrofikasi. Tingginya fosfat akan memicu pertumbuhan plankton tertentu, dimana untuk kasus tahun 2011 ini bisa dilihat pada triwulan IV. II - 52
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Konsentrasi fosfat pada triwulan IV untuk lokasi Kali Lamong 1 mengarah pada angka 4,099 mg/L, suatu angka yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan baku mutunya (0,015 mg/L). Kondisi ini kemudian memicu pada dominansi spesies plankton tertentu sehingga menurunkan indeks keaneka-ragamannya menjadi 1,6 atau bila ditinjau dari kondisi struktur komunitasnya bernilai stabil atau masuk kategori
sedang.
Memang
kondisi
ini
dapat
dianggap
belum
terlalu
mengkhawatirkan mengingat dominansi spesies plankton untuk lokasi ini hanya berkisar 40,4 % untuk spesies Micractinum sp (batasan dominansi umumnya berkisar > 50%). Selain itu plankton adalah biota yang mempunyai karakteristik unik, diantaranya mempunyai kesukaan makan bahan organik yang berbeda-beda. Namun, bila konsentrasi fosfat terus meningkat, maka dikhawatirkan dominansi spesies tersebut akan memicu semakin menurunnya kestabilan komunitas plankton di lokasi sampling. Jika dikaitkan dengan parameter nitrat, menurut Nontji (1992), nitrat dan ammonium mempunyai peranan penting sebagai sumber nitrogen bagi plankton meskipun peranan masing-masing ion tidak sama terhadap masingmasing jenis plankton. Hal ini senada dengan informasi pada paragraf sebelumnya yang menyatakan bahwa plankton mempunyai keunikan dalam hal kesukaan makan bahan organik. Selanjutnya Raymont (1980) menambahkan bahwa ada jenis plankton yang lebih dahulu menggunakan nitrat dan ada juga yang lebih dahulu menggunakan amonium. Berdasarkan dari informasi tersebut, maka jika konsentrasi nitrat di lokasi sampling masih cenderung tinggi untuk keempat triwulan sampling tersebut, maka diduga plankton yang ditemui mengkonsumsi amonium terlebih dahulu untuk kemudian beralih ke nitrat sesaat setelah peralihan tersebut, sehingga nitrogen dalam bentuk nitrat masih tetap tinggi. Sayangnya, data tentang amonium (NH 4-N) pada sampling ini tidak ditemui, hanya data amoniak (NH3) saja yang ada, dan kisaran nilainya masih di bawah baku mutu. Memang ada literatur yang menyatakan bahwa konsentrasi amonium dan amoniak pada umumnya tidak berbeda jauh, namun akan menjadi lebih valid seandainya nilai amonium juga teridentifikasi. Kesimpulannya, terkait dengan nilai indeks keanekaragaman plankton yang merupakan salah satu parameter biota utama dalam uji sampling perairan berdasar KepMenLH no. 51 Tahun 2004 Lampiran 3 di tahun 2011 mempunyai kisaran 1,61 – 2,73, yang bila diinterpretasikan berdasar kondisi struktur komunitas maka termasuk dalam kategori stabil – sangat stabil, atau berdasar skala kategori termasuk dalam skala sedang – sangat baik. Sehingga, sebagai produsen utama
II - 53
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
perairan,
peran
plankton
dengan
nilai
keanekaragaman
tersebut
masih
memungkinkan untuk mendukung kehidupan struktur tropik di atasnya.
Parameter Bakteri Coliform untuk Baku Mutu Air Laut Total bakteri koliform dipakai menjadi salah satu parameter lingkungan air, karena bakteri koliform pada umumnya berasal dari limbah padat (feses) sisa sistem pencernaan makhluk hidup. Habitat asal bakteri ini adalah usus dan lambung, organ makhluk hidup dimana sistem pencernaan optimal berlangsung. Ada korelasi positif antara konsentrasi bakteri koliform dengan konsentrasi feses yang ada di suatu lingkungan. Semakin tinggi konsentrasi bakteri koliform, maka ada indikasi bahwa lingkungan tersebut telah tercemar atau terakumulasi feses makhluk hidup. Arti penting bakteri koliform untuk lingkungan air adalah berhubungan dengan kesehatan. Beberapa penyakit manusia dapat ditularkan oleh bakteri koliform yang berasal dari manusia atau mahluk hidup lain (seperti unggas dan mamalia) yang sakit. Penyakit yang relatif sering disebabkan oleh bakteri ini adalah diare, disentri dan penyakit lain yang berhubungan langsung dengan sistem pencernaan. Bakteri koliform pada umumnya termasuk golongan heterotrof oksigenik dan anoksigenik fakultatif. Golongan heterotrof artinya bakteri ini menggunakan bahan organik sebagai sumber nutrisinya untuk menghasilkan energi. Oksigenik artinya bakteri ini menggunakan oksigen sebagai elektron aseptor terakhirnya selama proses respirasinya. Sedangkan anoksigenik fakultatif artinya bakteri ini dapat menggunakan elektron aseptor yang lain, selain oksigen, bila oksigen menjadi terbatas. Pada keadaan anoksigenik ini, bakteri koliform melalukan fermentasi bahan organik untuk mendapat-kan energi, dan menghasilkan asam organik yang dapat menurunkan pH atau tingkat keasaman suatu lingkungan. Berdasarkan hasil sampling dengan parameter total bakteri koliform yang dilakukan secara periodik triwulan mulai tahun 2008 sampai dengan 2011, terlihat bahwa meskipun total bakteri koliform masih di atas ambang batas (> 1000 MPN/100) tetapi ada tendesi pola naik-turun. Pola ini juga terlihat pada parameter lain yang berkaitan secara tidak langsung dengan total bakteri koliform, yaitu parameter BOD, DO kadar amoniak dan fosfat. Hanya parameter keasaman (pH) yang terlihat relatif stabil sepanjang masa sampling. Pola seperti ini berkaitan dengan beberapa hal yang mempengaruhi, antara lain : 1. Kondisi fisik lingkungan yang berbeda ketika sampling dilakukan. Sampling dilakukan setiap triwulan, dimana faktor abiotik tidak bisa dikontrol, seperti cuaca (misal kemarau/ hujan), pasang naik/ surut, ada pembuangan limbah/ tidak, kepadatan transportasi laut, dsb. II - 54
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
2. Telah terjadi siklus alami mengarah ke natural self purification. Secara alami mikroorganisme yang ada dalam suatu perairan melakukan proses
pembersihan
melalui
proses
metabolismenya.
Mikroorganisme
mendegradasi senyawa organik kompleks menjadi senyawa organik sederhana dan ion anorganik. Kecepatan degradasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti suhu, pH, dan kandungan bahan organik. Telah dilakukan usaha pembersihan lingkungan.
Terumbu karang merupakan salah satu vegetasi laut yang banyak di temukan di Indonesia yang memiliki terumbu karang baru 2 sampai 7 mm per tahun. Terumbu karang termasuk organisme yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan sekitar, seperti terlalu banyak sedimen, pasir atau lumpur dapat mematikan terumbu karang. Padang Lamun (seagrass) merupakan komponen utama yang dominan di lingkungan pesisir. Biasanya berkembang pada perairan dangkal, agak berpasir dan berasosiasi dengan laut dan pesisir, perikanan, bakau, dan terumbu karang. Perairan lepas pantai Kota Surabaya tidak memiliki konservasi terumbu karang dan padang lamun secara khusus, sehingga tidak terdapat data tentang persebaran kedua vegetasi tersebut. Kota Surabaya memiliki tempat-tempat yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai hutan bakau/ mangrove. Hutan mangrove memiliki banyak fungsi dan manfaat bagi kestabilan lingkungan Kota Surabaya. Fungsi hutan mangrove meliputi fisik, kimia, biologis dan ekonomis sebagai berikut: Fungsi fisik:
Penjaga kestabilan garis pantai
Melindungi pantai dan tebing sungai dari erosi serta menahan atau menyerap tiupan angin laut yang kencang
Kawasan penyangga proses intrusi atau rembesan air laut ke darat.
Fungsi kimia:
Sebagai tempat penghasil oksigen (O2) dan menyerap karbondioksida (CO2).
Pengolahan alami untuk limbah industri dan limbah sektor lainnya.
Fungsi biologi:
Penghasil bahan pelapukan dan penguraian yang menjadi sumber makanan untuk hewan-hewan invertebrata yang merupakan makanan dari hewan yang lebih besar.
II - 55
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Merupakan kawasan konservasi habitat alami dan perkembangbiakan bagi udang, kepiting, kerang, ikan, serta menjadi tempat bersarang bagi burung dan hewan lainnya.
Sebagai plasma nutfah bagi sebagian jenis hewan
Fungsi ekonomis:
Lahan pekerjaan untuk masyarakat Kota Surabaya yang berdomisili di dekat hutan bakau
2.6.
Dapat dijadikan sebagai bahan bakar, obat-obatan, kertas dan lain-lain.
IKLIM
2.6.1. Kondisi Eksisting Kota Surabaya merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3-6 m di atas permukaan air laut, kecuali di sebelah selatan ketinggian 25-50 m di atas permukaan air laut. Suhu rata-rata kota Surabaya pada bulan Februari 2011 mencapai 27,4–28,8 ºC; suhu minimum berada diantara 21,6-24 ºC; sedangkan suhu maksimum Kota Surabaya antara 34,2-35,8ºC. Curah hujan harian Kota Surabaya mencapai 9-582 milimeter yang didapatkan dari 10 stasiun pemantauan yaitu Gunung Sari/ Dam, Kebon Agung, Wonorejo Rungkut, Simo/ Banyu Urip, Kandangan, Larangan/ Kenjeran, Gubeng/ Dam, Keputih/ Sukolilo ITS, Wokromo, dan Stamet Perak I Surabaya. Data curah hujan serta suhu rata-rata bulanan Kota Surabaya selengkapnya dapat dilihat pada Tabel SD-22 dan Tabel SD-23 pada Buku Data. 2.6.2. Perbandingan Nilai antar Lokasi dan Waktu Dari data yang ada menunjukkan bahwa curah hujan Kota Surabaya pada tahun 2010 secara umum cenderung lebih besar dibanding dengan curah hujan pada tahun 2011, sehingga pada tahun 2011 cenderung lebih kering. Curah hujan tertinggi pada tahun 2011 terjadi pada bulan Maret, dimana curah hujan tertinggi terukur di Stasiun Gunungsari/ DAM dengan curah hujan sebesar 512 mm. Curah hujan terndah terjadi pada bulan Mei yang terukur pada stasiun Stamet Perak I Surabaya dengan curah hujan sebesar 70 mm. Temperatur rata-rata Kota Surabaya yang diukur dari bulan Januari 2010 hingga Februari 2011 menunjukkan kecenderungan naik pada bulan Januari hingga Agustus 2010 dan kecenderungan turun pada bulan September 2010 hingga Februari 2011. Suhu udara teringgi terjadi pada bulan September dan Oktober 2010 yang pernah mencapai 35,8oC. Sedangkan suhu udara terendah adalah 21,6oC yang terjadi pada bulan Juli 2010.
II - 56
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
2.6.3. Analisis Statistik Total curah hujan Kota Surabaya yang dipantau pada 10 stasiun pemantau dari bulan Januari hingga Mei 2011 menunjukkan nilai tertinggi sebesar 1816 mm, dan nilai terendah sebesar 1132 mm. Jumlah curah hujan tertinggi terukur di Stasiun Pemantauan Gunung Sari/ Dam dan curah hujan terendah terukur di Stamet Perak I Surabaya. Jumlah curah hujan yang terukur di Stamet Perak I Surabaya hanya sebesar 62,3% dari jumlah curah hujan yang terukur di Gunung Sari/ Dam. Ini menunjukkan perbedaan jumlah curah hujan yang cukup besar antara satu lokasi dengan lokasi lainnya, yang berarti turunnya hujan di Kota Surabaya tidak merata. Suhu udara di Kota Surabaya yang dipantau dari bulan Januari 2010 hingga bulan Februari 2011 menunjukkan rata-rata sebesar 28,5oC, maksimum 35,8oC, dan minimum 21,6oC. Hasil pemantauan suhu udara di Kota Surabaya tiap bulannya dapat dilihat pada Gambar 2.49 sampai Gambar 2.51. Gambar 2.49. Temperatur Rata-Rata per Bulan Kota Surabaya Tahun 2010-2011 Temperatur Rata-Rata per Bulan 29.5 TEMPERATUR
29 28.5 28 27.5 27 26.5
BULAN Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2011
II - 57
STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH (SLHD) KOTA SURABAYA 2011
Gambar 2.50. Temperatur Maksimum per Bulan Kota Surabaya Tahun 2010-2011 Temperatur Maximum per Bulan
TEMPERATUR
36 35.5 35 34.5 34 33.5 33
BULAN Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2011
Gambar 2.51. Temperatur Minimum per Bulan Kota Surabaya Tahun 2010-2011 Temperatur Minimum per Bulan
TEMPERATUR
25 24 23 22 21 20
BULAN Sumber : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2011
Dari gambar di atas diketahui bahwa temperatur rata-rata Kota Surabaya cenderung naik dari bulan Januari hingga Agustus 2010, dan turun dari bulan Agustus 2010 hingga Januari 2011 dan kemudian naik lagi pada bulan Februari 2011. Sedangkan temperatur maksimum dan minimumnya berfluktuasi dengan pola yang tidak beraturan. 2.7.
BENCANA ALAM Bencana alam merupakan salah satu resiko yang tidak dapat diduga
kejadiannya, tidak dapat dihindari, akan tetapi dapat dikurangi dampak kerugian yang disebabkan oleh bencana itu, dengan adanya kebijakan penanggulangan bencana yang tepat. Kawasan bencana alam terbentuk akibat alam dan kegiatan manusia. Kota Surabaya merupakan salah satu kota di Indonesia yang secara geografis memiliki potensi yang kecil untuk terkena bencana dan bukan merupakan kawasan rawan bencana. Pada tahun 2011 ini data mengenai bencana alam di Kota Surabaya tidak tersedia. II - 58