II. TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Manggis
Mallggis (Gaminin mangostana L.) tennasuk dalam famili Guttiferae yang terdiri atas sejun~lahbesar kelompok tanaman tropis yang meliputi 35 genera dan lebih dari 800 species (Bailey, 1949). Dari 400 species dalam genus Garcinia, lebih dari 40 species diantaran~.alnerupakan tanaman buah yang dapat dimakan (Bordeaut and Moreuil, 1970). Tanaman manggis biasa
diperbanyak dengan menggunakan biji. Satu bulan
setelah biji berkecambah, sistem perakaran tanaman manggis masih sangat jarang. Bijinya tetap melekat pada pangkal tunas sampai dengan umur 11 bulan. Pada umur 11 bulan, baik tunas maupun biji yang masih melekat tersebut masing-masing masih memperlihatkan perakarannya. Pada umur 2-4 bulan terjadi peningkatan akar sekunder, sedangkan pertuinb~hanakar tersier dimulai pada urnur 3 bulan. Akar sekunder maupun tersier tebal, halus dan tidak berakar rarnbut (Rukayah dan Zabedah, 1992). Pertumbuhan bibit manggis sampai dengan umur 6 bulan menunjukkan pertambahan tinggi tanaman yang lambat dan peningkatan tinggi bibit yang nyata terlihat setelah berumur 18 bulan dengan pola pertumbuhan sigmoid. Setelah berumur lebih dari 2 tahun, bibit manggis membentuk cabang dan selanjutnya setiap kali trubus tunas pucuk menghasilkan 2 cabang yang saling berhadapan. Tanaman manggis setelah besar berupa pohon densan tinggi tanaman mencapai 10-25 m, berbatang tunggal dengan diameter 2535 cm dengan bentuk kanopi piramida. Daun benvama hijau tua mengkilat, berbentuk oval (oblongovate) dengan panjang bervariasi dari 15-25 cm dan lebar 7-13 cm. Manggis merupakan tanaman diesis (dioecious) dan berbunga pada pohon betina yang bersifat soliter terminal, sedangkan pohon jantan sampai sekarang belum teridentifikasi (Almeyda dan Martin, 1976: Rukayah dan Zabedah, 1992). Buah manggis bersifat partenokarpi dan apomiksis, artinya buah tetap terbentuk, walaupun tidak terjadi penyerbukan maupun pembuahan (Richards, 1992a). Buah masak beratnya berkisar antara 30-140 g berbentuk bulat, daging buah (aril) terdiri atas 5-7 segmen bewanla putih, rasanya manis dan hanya mengandung 1-2 biji. Kulit buah benvarna merah keunguan (purple), tebal sekitar 5 mm. Karakter morfologi buah manggis
lainn~ayaitu: getah benvarna kuning, warna petal merah, stigma berupa sessile dengan permukaan halus dan diameter stigma 8- 12 mm (Richards, 1990b). Biji illallggis inerupakan biji apomiksis dan sering disebut sebagai agamospermi, direproduksi inelalui tunas adventif proembrio dari jaringan ovular, benvarna coklat, pipih, tidak berendospenn yang ditutupi permukaannya oleh jaringan pembuluh (vascular bundles) (Lim, 1984; Richards, 1990a). Biji manggis bersifat poliembrioni dan nutrisi untuk perkembangan embrionya didukung oleh nuselus atau jaringan integumen dan inti endosperm. Sekitar 10 % dari biji yang berkecambah akan menumbuhkan lebih dari satu tunas dan masing-masing tunas akan tumbwh pada posisi yang berlainan dan masingmasing membawa perakarannya sendiri-sendiri (Lim, 1984). Manggis (Gai-cilzia mangostana L.) mempunyai jumlah kromosom yang bervariasi, yaitu: 56-76, 88-90, 88-96, 20-130 (Verheij, 1991; Richards, 1990b). Terdapat dua kerabat dekat manggis
ykgjuga
merupakan agamospermi fakultatif, yaitu G.
hambroniann (2n= 48) dan G malaccensis (2n = 42). B. Faktor-faktor Penyebab Lambatnya Pertumbuhan Manggis
Pertumbuhan tanaman manggis sangat lambat (Ramlan et al., 1992) dengan masa yuwana panjang (8- 15 tahun) (Samson, 1989). Lambatnya pertumbuhan tanaman manggis disebabkan karena (a) buruknya sistem perakaran manggis, sehingga (b) penyerapan air dan haranya lambat, (c) rendahnya laju fotosintesis, (d) rendahnya laju pembelahan sel pada meristem pucuk dan (e) lamanya masa intertrubus atau dormansi (Wiebel, Downton dan Chacko, 1992 b; Ramlan et al., 1992; Poenvanto et al., 1995). Jumlah akar tanaman manggis sedikit. Akar tidak mempunyai bulu akar, pertumbuhannya lambat dan mudah rusak akibat lingkungan yang kurang menguntungkan, sehingga luas pennukaan kontak antara akar dan media tumbuh sempit (Cox, 1988). Perbanyakan vegetatif dengan penyambungan dapat memperpendek umur pohon mulai berbuah menjadi 5 tahun, namun lambatnya pertumbuhan batang bawah manggis sampai siap disambung perlu waktu 2-3 tahun (Anwarudin et al., 1991). Kendala yang muncul setelah disambung dengan entris manggis dewasa adalah pertumbuhan bibit sambungan menj adi lambat (Rukayah dan Zabedah, 1992). Upaya perbaikan pertumbuhan
tanaman manggis dengan penyambungan atau tempelan mata tunas manggis dengan species Garcinia lain tidak menunjukkan keberhasilan (Richards, 1990b). Periode donnansi yang panjang pada tanaman manggis diperlihatkan dengan frekuensi trubus per tahun yang semakin sedikit setelah tanaman membentuk cabang. Bibit manggis umur 1 tahun dan belum bercabang dapat menghasilkan 8 - 10 pasangan daun per tahun (JViebel, 1993), setelah bibit manggis tersebut berumur 2 tahun dan terbentuk cabang frekuensi trubus menjadi 3 - 4 kali per tahun (Wiebel et al., 1993). C . Upaya-upaya Perbaikan Pertumbuhan Bibit Manggis 1. Pada Bibit Asal Biji
Tersedianya bibit manggis bermutu dalam jumlah banyak dan dalam waktu singkat merupakan faktor penting dalam menunjang keberhasilan pengembangan budidaya dan perbaikan kualitas buah manggis. Kendala yang dihadapi dalam pengadaan bibit manggis adalah lambatn>.a pertumbuhan, akibatnya pengadaan bibit manggis tidak dapat dilakukan dalam \vaktu singkat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memacu pertumbuhan bibit semai adalah dengan memperbaiki teknologi budidaya mulai dari pemilihan biji untuk disemaikan, persemaian dan pemeliharaan bibit sampai ditanam di lapangan dengan memperhatikan kesesuaian karakter tanaman manggis terhadap lingkungan tumbuhnya. Beberapa penelitian mengenai pemacuan pertumbuhan bibit manggis dengan penggunaan zat pengatur tumbuh telah banyak dilakukan. Dari penelitian Poenvanto et al. (1995) diketahui bahwa pemberian IBA 50-150 ppm terhadap biji dan akar manggis (saat transplanting dari persemaian) meningkatkan pertambahan panjang akar, diameter batang, bobot total tanaman, kandungan dan serapan hara daun manggis. Dilaporkan juga bahwa pemberian triakontanol (0.075-0.150 ppm) meningkatkan luas daun, tinggi bibit, jumlah ruas, diameter batang, panjang akar, bobot tanaman serta serapan hara daun pada seedling berumur 7 bulan (Hidayat et al., 1999), tetapi konsentrasi 0.1-10.0 ppm cenderung menurunkan pertumbuhan manggis seedling umur 1 tahun. Tinggi bibit semai manggis dapat dipacu densan perendaman GA3 100 - 200 ppm pada biji sebelum di semai (Rais et al., 1996), sedangkan pemberian sitokinin 3 ppm dapat meningkatkan pertumbuhan bibit
manggis umur 1 tahun dengan meningkatkan frekuensi pecah tunas dari 2.0 menjadi 2.7 selama 7 bulan (Poenvanto et al., 1995). Upaya pemacuan pertumbuhan bibit manggis juga dilakukan dengan memperbaiki media tanamnya. Seedling manggis yang ditanam pada media yang porous (peat moss: kompos pinus: pasir = 1: 1: 1) yang diberi pupuk terkendali Osmocote Plus dan kelat besi pertun~buhai~nyalebih baik dibandingkan dengan manggis pada media yang kurang porous. Perbedaan kedua media terletak pada porositas, aerasi dan pH (6.2 pada media porous vs 7.0 pada media lain) (Wiebel et al., 1992a). Perbaikan media tanarn dengan organic soil treatment (OST) sebanyak 5-15g / 3 kg media tanah meningkatkan tinggi bibit, diameter batang, panjang akar dan kandungan klorofil daun manggis (Poenvanto et al., 1995). Beberapa faktor lingkungan dilaporkan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman manggis, sehingga perlu dilakukan modifikasi lingkungan yang lebih sesuai dengan karakter tumbuh tanaman manggis terhadap lingkungan sekitamya. Bibit semai manggis yang tumbuh di bawah naungan 75 % memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan naungan 25 % atau tanpa naungan (Rais et al., 1996). Wiebel et al. (1993) menunjukkan hasil penelitiannya pada bibit manggis bahwa naungan 20% sampai 80% inenghasilkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap laju fotosintesis, namun perbedaan konsentrasi C 0 2 berpengaruh terhadap respon asimilasi. Hal ini menunjukkan bahwa bibit manggis toleran terhadap naungan dan untuk menjaga agar laju asimilasi tetap tinggi, maka konsentrasi C 0 2 harus dijaga pada konsentrasi tinggi. Daun manggis muda yang tumbuh pada naungan 60 % menghasilkan luas daun dan berat kering daun tertinggi dibandingkan dengan tingkat naungan lainnya. Pada tanarnan manggis dewasa, daun yang dinaungi di luar kanopi menghasilkan penurunan titik kejenuhan cahaya yang diikuti peningkatan fotosintesis net. Titik kejenuhan cahaya daun manggis yang terkena langsung cahaya matahari penuh dan setengah penuh sebesar 800 1000 p rno1/m2/detik,sedangkan pada daun manggis yang temaungi menjadi 600 - 800 p mollm2/detik. Peningkatan maksimum fotosintesis net dari 2.89 p mol c02/m2/detikpada tanaman n~anggisyang disinari cahaya matahari sehari penuh dan net fotosintesis pada tanaman yang dinaungi 60 % sebesar 4.93 p m o l ~ ~ ~ / m ~ / d(Issakraisila, etik 2001).
Peningkatan konsentrasi C 0 2 udara dari 330 ppm (udara normal) sampai 1100 ppm belum menunjukkan adanya titik jenuh C 0 2 , laju fotosintesis meningkat terus dari 0.89 lng ~02/drn'/jam , menjadi 2.31 mg ~ 0 ~ / d m ~ / (Ramlan jam et al., 1992). Wiebel et al. (1 992b) juga melaporkan tanaman manggis muda yang diletakkan di dalam phytotron
selama satu tahun dengan konsentrasi C02 800 pmol/mol meningkat semua parameter pertumbuhan yang diamati, terutama berat kering akar dan cabang (sampai dua kali lipat) dibandingkan yang tumbuh pada udara normal. Titik kejenuhan cahaya pada bibit manggis (umur 8 bulan) tercapai pada intensitas cahaya 700 pmol~/m2/detik(Ramlan el al., 1992). Intensitas cahaya ini dicapai dengan naungan 50%. Wiebel et al. (1992a) juga melaporkan ha1 yang sarna pada tanaman manggis berumur satu tahun.
Semakin dewasa pohon manggis, kebutuhan naungan
berkurang dan titik jenuh cahayanya meningkat. Hal ini berhubungan dengan semakin besarnya sink pada tanaman yang akan memacu peningkatan laju fotosintesis. Pemberian
mikorhiza
dapat
memperbaiki pertumbuhan
tanaman
manggis.
Poenvanto, Darusman dan Sari (1998) melaporkan hasil penelitiannya bahwa pemberian mikorhiza dapat meningkatkan pertumbuhan bibit manggis umur 4 minggu. Peningkatan pertumbuhan bibit terbaik diperlihatkan oleh pemberian endomikorhiza Gigaspora sp dengan meningkatkan panjang akar primer, panjang total akar dan luas daun, serta berat kering akar, batang dan daun. 2. Dormansi dan Upaya Mengatasi Panjangnya Periode Dormansi Tanaman Manggis
a. Tatanama dan Tahap Dormansi.
Menurut Lang (1990) dormansi tunas adalah suatu periode dimana organ atau jaringan yang mengandung meristem berhenti tumbuh untuk sementara waktu. Pada fase ini pertumbuhan organ atau jaringan tersebut hanya berhenti sementara dan pertumbuhan yang berhenti hanya dinilai secara tersaksikan (visual), sedangkan mungkin saja pada organ atau jaringan tersebut masih berlangsung proses akumulasi senyawa-senyawa organik tertentu atau terjadi perubahan struktur mikroskopiknya (Lakitan, 1995). Beberapa ahli yang meneliti tentang donnansi banyak yang menggunakan tenninologi dormansi, diantaranya "quiscence" yaitu: kondisi biji atau mata tunas tidak
mampu tumbuh hanya disebabkan karena faktor eksternal yang optimum tidak tersedia. Hambatan korelatif adalah tipe dormansi yang disebabkan hambatan dari organ atau jaringan lain di dalam tanaman yang sama
dan "dormansi" lebih disebabkan oleh
pengaruh organ atau jaringan yang mengalami dorman itu sendiri (Dennis, 1996). Ada jugs !.ang nlenggunakan istilah periode "Rest" yaitu suatu kondisi fisiologis pada mata
tunas \-ang tidak dapat tumbuh menjadi tunas daun atau bunga pada kondisi lingkungan optimum dan setelah diberi kecukupan dingin akan pecah tunas dan mata tunas selanjutnya akan berkembang secara normal dengan dukungan lingkungan yang optimum (Salisbury dan Ross, 1992). Lang et al. (1987) menginventarisir istilah dormansi dan jumlahnya mencapai 56 macam, selanjutnya mengkonsolidasi istilah dormansi menjadi 3 golongan dormansi berdasarkan pengendalinya, yaitu: eko-, para- dan endodorman (Gambar 2). Dormansi
Ekodormansi
Paradormansi
Endodormansi
Dikendalikan oleh faktor Lingkungan
Dikendalikan oleh faktor Fisiologi di Luar StrukturIOrgan yang Dorman
Dikendalikan oleh faktor Fisiologi di dalarn Struktu: atau Organ yang Dorman
Suhu yang ekstrim Kekurangan Hara
Dominasi Apikal Respon Fotoperiodik
Respon Chilling Respon Fotoperiodik
Gambar 2. Tatanama dormansi menurut Lang et al. (1987) Dennis (1994) membedakan dormansi pada biji dan pada mata tunas. Dormansi yang terjadi pada biji bersifat otonom, yaitu dikendalikan oleh biji itu sendiri, sebab biji merupakan kesatuan yang utuh, sedangkan pada mata tunas selain otonom, juga bersifat correlurive efficts atau dikendalikan oleh organ-organ lain (batang atau akar).
Berdasarkan prosesnya, dormansi dibagi menjadi 4 tahap, yaitu: Induksi, A!(iiclintenaizce,
Pemecahan dan Pertumbuhan (Wattimena, 1991). Induksi dormansi adalah
faktor-faktor penyebab organ atau jaringan menjadi dorman, misalnya: suhu, air, dominasi apikal. Maintenance, yaitu tunas dalam keadaan dorman selama kondisi lingkungan tidak berubah sejak induksi dormansi terjadi. Pemecahan dormansi, yaitu perlakuanperlakuan fisik atau kimia yang menyebabkan dormansi pecah. Tahap pertumbuhan, yaitu tahap organ atau jaringan bertambah bobot maupun ukurannya (Lakitan, 1995). Di daerah tropis, trubus biasanya berlangsung pada musim hujan dan dormansi terjadi pada musim kemarau. Namun demikian pada musim kemarau pertumbuhan di mungkinkan jika air tersedia dan untuk menghindarkan dormansi tindakan budidaya yang diperlukan yaitu: perompesan, pengeringan diikuti dengan pengairan dan aplikasi zat pemecah dormansi (Erez, 2000). b. Upaya Mengatasi Lamanya Periode Dormansi Tanaman Manggis
Dormansi mata tunas merupakan suatu mekanisme adaptasi pada kebanyakan tanaman temperate dan sub-tropis yang berhenti tumbuh untuk sementara waktu pada saat lingkungan kurang menguntungkan (musim dingin) dan kemudian pada musim berikutnya apabila lingkungan menguntungkan (musim semi sampai dengan musim panas) mata tunas tersebut akan tumbuh kembali (Dennis, 1994). Tanaman manggis merupakan tanaman tropis basah yang memperlihatkan ritme pertumbuhan seperti tanaman temperate, walaupun ditanam pada kondisi pertumbuhan yang relatif sama. Keadaan tersebut menurut beberapa peneliti merupakan manifestasi dari ritme endogen (Greathouse et al., 1971). Berdasarkan model derajat stadia pertumbuhan ("GS) tanaman di daerah temperate yang dikembangkan Kobayashi, Fuchigami dan English (1982) bahwa satu siklus pertumbuhan dan dormansi diasumsikan sepanjang OOGSsampai dengan 360°GS. Pada keadaan lingkungan yang ideal, stadia dorman dari suatu tanaman umumnya berada pada 180°GS - 360°GS. Berdasarkan model tersebut upaya yang dapat dilakukan untuk memacu pertumbuhan tanaman manggis adalah dengan aplikasi zat peinecah dornlansi pada saat tanaman sensitif terhadap perlakuan dari luar. Pada kondisi ideal, bibit manggis umur kurang dari 1 tahun yang ditumbuhkan pada 50% naungan, trubus terjadi setiap interval 40 hari, sehingga menghasilkan 9 trubus per
tahun, sedallgkan pada tanaman manggis berumur lebih dari satu tahun frekuensi trubus lllenjadi 6-7 kali trubus, dan tanaman manggis dikebun (sudah bercabang dan berumur > 4 tahun) hanya menghasilkan 3 kali trubus pertahun (Wiebel et al., 1993). Dengan demikian mass donnansi pada tanaman manggis sangat panjang dan aspek fisiologi dari dormansi
yang panjang, serta ritme pertumbuhan tanaman manggis yang lambat tersebut belum diketahui secara menyeluruh. Pada beberapa tanaman sub-tropika dilaporkan bahwa dormansi mata tunas dipengaruhi oleh rendahnya kandungan gibberellin dan atau tingginya ABA (Dennis. 1994; Halinska and Lewak, 1987), dan berhubungan dengan perubahan aktivitas enzim (katalase, glukosa 6-fosfat dehidrogenase, 6-fosfoglukonat dehidrogenase, dan isositrar dehidrogenase) selama pertumbuhan aktif ke kondisi donnan dan sebaliknya (Wang and Faust, 1989; Lang, 1994; Fuchigami and Nee, 1987). Penelitian lain juga menunjukkan adanya perubahan kandungan tripeptida glutathion (Fuchigami and Nee, 1987), profil polipeptida, mRNA and cDNA (Lang, 1994; Lang and Tao, 1991), dan permeabilitas membran sel saat dormansi (Dennis, 1994). Beberapa upaya yang dapat memberikan peluang untuk mempercepat pertumbuhan tanaman manggis adalah perbaikan teknologi budidaya dan perlakuan bahan kimia. Berdasarkan percobaan pendahuluan oleh Coronel (1986) diketahui bahwa pemberian giberelin memperbaiki pertumbuhan tanaman manggis muda. Lebih lanjut Wiebel(1993) menunjukkan hasil penelitiannya bahwa pemberian G&+7 (5 pg) dan BA (5 pg) atau kombinasi GA4+, (5 pg)
+
BA (5 pg) nyata meningkatkan jumlah trubus tanaman
manggis per tahun. Oleh karena itu perlu diteliti lebih jauh hubungan antara perubahan aktivitas hormon GA3 dengan ritme pertumbuhan vegetatif tanaman manggis muda, baik pada kondisi tunas dorman maupun trubus. Lebih lanjut Wiebel et al. (1992b) memperlihatkan bahwa hormon pertumbuhan dari golongan giberelin sangat efektif dalam memecah dormansi tunas manggis, terlihat dengan meningkatnya jumlah trubus pada tanaman manggis muda umur 4 tahun selama 6 bulan setelah aplikasi sebesar 10.9 kali trubus dibandingkan 7.6 kali trubus pada kontrol. Oleh karena itu diduga bahwa GA3 pada saat trubus konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman manggis pada kondisi dorman. Fuchigaini dan Nee (1987) menunjukkan adanya model hubungan stadia
pertumbuhan dan n~ekanislne pemecahan dormansi dengan aktivitas GA3 dan ABA selama satu siklus pertumbuhan tanaman di daerah temperate. Pada saat trubus kandungan GA3 meningkat dan ABA menurun dan sebaliknya pada saat dorman GA3 menurun dan ABA meningkat. Lebih lanjut Zhu, Matsumoto dan Shiraishi (1989) mengemukakan bahwa GA3 dan ABA berhubungan dengan siklus pertumbuhan pada tunas dan akar tanaman. Studi fisiologi menunjukkan bahwa level ABA endogen meningkat pada jaringan tanaman yang mengalami stres dan indikasinya biasa ditunjukkan dengan kondisi dormansi (Giraudat et al., 1994). Keberadaan ABA juga
berfungsi menjaga
berlangsungnya siklus atau ritme pertumbuhan tanaman dan mengontrol sejumlah proses fisiologi penting, tennasuk perkembangan biji dan kondisi dormansi (Jiang et nl., 1996). Upaya lain untuk memperpendek periode dormansi pada tanaman manggis dapat dilakukan dengan meningkatkan frekuensi pecahnya tunas, yaitu dengan perlakuan zat pemecah dormansi. Aplikasi zat pemecah dormansi seperti
(40 g/l) terhadap
tanaman jenlk Siam seperti yang dilaporkan oleh Poenvanto et al. (1997) dapat memacu dan menyerempakkan pecahnya kuncup jeruk Siam. Efek yang sama juga diperlihatkan pada aplikasi KN03 terhadap tanaman mangga apabila diaplikasikan 1 bulan setelah penyiraman paclobutrazol (Poenvanto et al., 2000). Bahan-bahan kimia lain yang mempunyai peluang memacu pecahnya kuncup (trubus) pada tanaman manggis, diantaranya adalah senyawa yang mengandung hidrogen sianamida (HNCN). Menurut Notodimedjo (1995) aplikasi dormex (HNCN) 1% dan 3% dapat memacu pecahnya kuncup mangga dan persentasenya semakin meningkat apabila diaplikasikan pada daun mangga yang benvarna hijau tua dan mengeras. Lebih lanjut Lakitan (1995) mengemukakan bahwa hidrogen sianamida yang diaplikasikan pada stadia awal dormansi dapat memecah dormansi tunas apel. Kemampuan hidrogen sianamida (HNCN) dalam memacu pemecahan kuncup, karena HNCN dapat meningkatkan kerja enzim katalase yang berfungsi merombak Hz02 dalam tanaman menjadi O2 untuk disuplai kedalam jaringan tanaman, sehingga meningkatkan respirasi dan menstimulasi lintasan pentosa fosfat (Youngman, 1989). Peningkatan lintasan pentosa fosfat, menyebabkan senyawa-senyawa lain seperti: gula pentosa, lipid dan RNA juga meningkat dan memacu awal pertumbuhan dalam proses pemecahan
kuncup yang istirahat, sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan tunas (jumlah daun dan panjang tunas) pada tanaman mangga. Hal ini menunjukkan bahwa HNCN dapat memacu pembelahan sel (Notodimedjo, 1995). Thiourea merupakan zat pemecah dormansi yang juga efektif memacu pecah tunas manggis. Pada tanaman manggis umur 15 tahun, aplikasi thiourea 0.5 % terhadap tunas manggis seedling umur 9 minggu setelah trubus nyata menghasilkan persentase pecah tunas tertinggi dan persentase gugur daun terendah dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi thiourea lainnya maupun kontrol (Poonnachit et al., 1997). Upaya pemacuan pertumbuhan tanaman manggis dengan aplikasi zat pemecah dormansi memberikan pengaruh yang efektif bila didukung oleh kondisi lingkungan yang memungkinkan, terutama pada kondisi air tersedia. Air merupakan zat pelarut dan medium transpor senyawa organik dan hara mineral pada lingkungan tumb~hnya.Oleh karena itu pergantian stadia dari dorman ke stadia tumbuh aktif atau sebaliknya pada tanaman akan berlangsung lambat apabila air dalanl keadaan terbatas, sebab ketersediaan air merupakan salah satu faktor kritis dalam mempengaruhi kelancaran aktivitas metabolisme dan diyakini bahwa ketersediaan air menjadi pemicu untuk induksi pecah tunas (Lakitan, 1995). 0 . Efek Fisiologi Hormon Giberelin, Sitokinin dan Zat Pemecah Dormansi
Hormon tanaman merupakan senyawa organik pada konsentrasi rendah mempengaruhi proses fisiologi. Proses yang dipengaruhi terutama pada pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan tanaman, juga proses lain seperti: pergerakan stomata
(Davies, 1995). Selanjutnya dikemukakan bahwa Hormon tidak beraksi secara sendiri, melainkan bersama-sama atau berlawanan dan kondisi akhir pertumbuhan dan perkembangan tanainan merupakan representasi dari keseimbangan hormon pemacu dan penghambat. Sampai saat ini telah dikenal beberapa kelompok hormon pertumbuhan, ~ a i t u : auksin, giberelin, sitokinin, asam absisik, etilena, retardan dan senyawa poliamin, serta polifenolik (Wattimena, 1991).
I.Efek Fisiologi Hormon Giberelin
Giberelin rnerupakan senyawa kimia yang mempunyai struktur dasar ent-gibberellane. Sampai sekarang telah diketahui lebih dari 70 macam jenis giberelin yang terdiri atas 89 deri\.at yang sebagiannya merupakan prekursor pada pertumbuhan aktif (Davies, 1995). GAS disintesis dari asam mevalonat pada jaringan muda tunas, akar dan biji yang sedang
berksmbang. Beberapa efek fisiologis giberelin antara lain: (a) perpanjangan batang oleh rangsangan pelnbelahan sel dan pemanjangan sel, sehingga dihasilkan tanaman yang tinggi. (b) induksi perkecambahan biji yang secara normal membutuhkan perlakuan dingin (strarifikasi) atau cahaya, (c) stimulasi produksi beberapa enzim, termasuk a-amilase, (d) induksi 17talene.s~pada bunga diesis. Dengan demikian diketahui bahwa GAS merupakan golongan hormon tanaman yang mempunyai efek terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Davies, 1995). Studi mutan GAS defisien dan pengaruh pemberian GAS eksogen terhadap pertumbuhan tanaman, menunjukkan bahwa GAS berpotensi mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan tanaman dan berpengaruh dalam kisaran luas (Hooley, 1994). Pengaruh GAS terhadap perkembangan tanaman secara umum dibedakan menjadi tiga katagori. yaitu: (1) pertumbuhan sel pada jaringan vegetatif (pemanjangan tunas, pertumbuhan petal, polaritas pertumbuhan sel pada jaringan meristem, pertumbuhan tabung pollen dan perkecambahan biji), (2) perkembangan bunga dan buah (inisiasi bunga, perksmbangan anther, pigmentasi mahkota bunga, hit-set dan perkembangan buah), dan
(3) mobilisasi balik pada biji oleh sel aleuron (sintesis dan sekresi beberapa enzim hidrolase, pelepasan mio-inositol, fosfor dan ion-ion mineral) (Hooley, 1994). Aplikasi giberelin dalam upaya mempercepat siklus trubus ditunjukkan oleh Erez
(2000) bahwa giberelin dapat menginduksi pemecahan dormansi pada kisaran konsentrasi
100-100 mgll. Efektifitas aplikasi giberelin berupa respon pemecahan tunas diperlihatkan apabila diaplikasikan pada saat tingkat dormansi sudah mulai menurun (melewati puncak stadia dorman). Arias dan Crabbe (1975) dalam Crabbe dan Barnola (1996) menunjukkan bahna tanaman sweet cherry yang disemprot GA3 pada awal dormansi tidak memperpendek waktu pecah tunas, sedangkan bila disemprotkan akhir periode dormansi dapat mernperpendek waktu pecah tunas.
Efek fisiologis GAS terhadap pecah tunas manggis diketahui b a h \ ~ a7 hari setelah aplikasi GA3 (1 0 pg) maupun GA 4+7 (20 pg) meningkatkan 100 persen tunas pecah dan sekaligus mempercepat pemecahan donnansi manggis umur 8 bulan dan 20 bulan (Wiebel et crl., 1992b). Pengaruh giberelin terhadap pertumbuhan tunas diperlihatkan pada tanaman jeruk. Kandungan giberelin yang tinggi pada tunas jeruk menunjukkan bahu~a giberelin mengubah pembagian asimilat diantara tunas dan akar dengan meningkatkan persentase gula tereduksi dan pati pada tunas (Mehouachi et al., 1996). Efek fisiologis lain dari giberelin terhadap tanaman cherry diperlihatkan oleh Kobayashi et al. (1996) dengan membandingkan kandungan giberelin endogen pada tanaman cherry normal dan tanaman cherry weeping. Diketahui bahwa kandungan giberelin (GA
1,
GA4 dan GA20)pada tanaman cherry weeping lebih tinggi dibandingkan
tanaman chery normal, kecuali kandungan GA19yang relatif lebih tinggi pada tunas pucuk yang memanjang. Hal ini menunjukkan bahwa biosintesis GAS pada tunas cherry weeping tersebut nonnal dan sifat weeping tersebut tidak disebabkan oleh adanya hambatan genetik selama biosintesis GAS, melainkan diduga disebabkan oleh tidak normalnya transpor giberelin endogen ke tunas pucuk cherry weeping, sebab aplikasi GAS eksogen pada pucuk dapat menunda sifat weeping sampai dengan sejumlah GAS yang diaplikasikan masih lebih tinggi daripada tingkat GAS endogen. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa giberelin mempengaruhi aktivitas kambium dan diferensiasi xilem, serta reaksi pengerasan pada batang, seperti pembentukan lignin dan selulosa. Hasil ini menunjukkan bahwa GAS endogen bertanggung jawab terhadap sifat weeping pada tunas. 2. Efek Fisiologi Hormon Sitokinin
Sitokinin merupakan salah satu jenis honnon pemacu pertumbuhan tanaman. Sitokinin alamiah di dalam tanaman adalah zeatin, zeatin ribosida, dihidrozeatin dan isopentenil adenin. Biosintesis sitokinin terutama terdapat pada ujung akar dan ditranslokasikan ke tunas melalui xilem, selanjutnya didistribusikan dengan aliran transpirasi. Peran fisiologis sitokinin diantaranya mendorong pembelahan sel, morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas dan pemecahan dormansi (Wattimena, 1991).
Terdapat indikasi kuat bahwa sitokinin yang disintesis oleh akar berpsngaruh terhadap pel-tumbuhan dan fotosintesis. Juga diyakini bahwa sitokinin berperan pada proses pertulnbuhan tunas setelah donnansi dipecahkan (Lakitan, 1995) Hal ini menunjukkan bahn.a sitokinin berperan dalam pengaturan rasio tunas dan akar. Mekanisme pengaturannya diperlihatkan pada tanaman bunga matahari bahn a saat terjadinya pertumbuhan tunas, bersamaan dengan peningkatan kandungan sitokinin pada akar. Selanjutnya peningkatan sitokinin yang nyata dicatat setelah 16 hari dari permulaan trubus, dimana kandungan sitokinin pada helai daun meningkat apabila akar adventif terbentuk. Hal ini dibuktikan pada tanaman bunga matahari, kandungan sitokinin cairan xilem meningkat selama periode pertumbuhan cepat dan menurun bila pertumbuhan vegetatif terhenti (Lakitan, 1995). Dengan demikian terdapat ketergantungan tunas pada kandungan sitokinin akar untuk sintesis dinding sel dan fotosintesis. Namun demikian transpor sitokinin dari akar ke tunas dapat terhambat apabila tanaman dalam kondisi stres (Itai dan Bimbaum, 199 1) dan kekurangan unsur hara (Marschner, 1995). Medford et nl. (1939) dan Smigocki (1991) mendemonstrasikan induksi pecah tunas dengan gen yang mengsndalikan sintesis sitokinin pada jaringan yang tertransfonnasi oleh promotor shock-panas menunjukkan bahwa jaringan yang mendapat perlakuan panas menghasilkan lebih dari 200 kali zeatin dan zeatin-ribosida. Peningkatan kandungan zeatin tersebut diikuti dengan perubahan morfologi berupa peningkatan pertumbuhan mata tunas aksilar, sama seperti perlakuan dengan sitokinin. Sitokinin disintesis pada ujung akar dan ditranslokasikan ke pucuk melalui xilem menyebabkan akumulaji sitokinin pada daun muda, buah dan biji. Namun apabila transpirasi terbatas, maka phloem lebih efektif mendistribusikan sitokinin ke seluruh bagian tanaman (Salisbury dzn Ross, 1992). Fungsi fisiologis sitokinin meliputi: (a) memacu pembelahan sel dan psmbentukan organ dengan meningkatkan pemecahan donnansl mata tunas (Erez, 2000) dan meningkatkan pertumbuhan batang dan daun, (b) menghanlbat penuaan sel dengan menjaga integritas membran tonoplas dan meningkatkan aktivitas "sink", (c) merangsang perkembangan tunas lateral dengan meniadakan apikal dominan, (d) meningkatkan psrbssaran sel pada kotiledon dan daun dikotil, dan (e) merangsang perkembangan kloroplzs dan sintesis klorofil (Salisbury dan Ross, 1992).
Pembentukan tunas adventif disamping memerlukan sitokinin dalam konsentrasi tinggi, diperlukan juga auksin dalam taraf konsentrasi rendah, sedangkan pada proliferasi tunas aksilar hanya memerlukan sitokinin dalam konsentrasi tinggi (Wattimena, 1991). Aplikasi sitokinin terhadap tunas dorman pada beberapa species menunjukkan pengaruhnya
dalam merangsang pertumbuhan tunas. Tunas-tunas yang terpacu
pertumbuhannya tersebut umumnya adalah tunas yang dorman akibat dominasi apikal (Lakitan, 1995). Lang (1994) menzemukakan hipotesis bahn.a
dominasi apikal
merupakan tipe paradormansi yang dikendalikan oleh keseimbangan produksi auksin yang tinggi dan produksi sitokinin yang rendah yang dapat dinormalisir dengan penambahan sitokinin dari luar. Aplikasi sitokinin eksogen pada tanaman manggis telah berhasil memperpendek periode dormansi dengan meningkatkan frekuensi pecah tunas. Hasil penelitian Wiebel et n1.(1992b) menunjukkan bahwa 7 hari setelah aplikasi benzil adenine (BA) (20 1-18) meningkatkan pecah tunas manggis sebesar 83 % dibanding kontrol (1 7 %). Selanjutnya penyemprotan sitokinin 3 ppm dapat meningkatkan frekuensi pecah tunas manggis umur 1 tahun dari 2.0 menjadi 2.7 kali selama 7 bulan (Poenvanto, et al. 1995). 3. Efek Fisiologi Zat Pemecah Dormansi
Dormansi adalah berhenti sementara waktu pertumbuhan tampak dari organ tanaman yang mengandung jaringan meristem pada kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan untuk pertumbuhan. Tunas yang dorman biasanya hanya mempertahankan proses metabolik pada tingkat yang sangat rendah (Ryugo, 1988; Schoot, 1996). Dormansi yang terjadi pada mata tunas diklasifikasikan menjadi tiga (3) tipe dormansi, yaitu: Para-, Endo dan Ekodormansi (Dennis, 1996). Endodormansi adalah tipe dormansi dimana faktor pengendalinya berada di dalam struktur atau organ yang mengalami dorman dan pemecahan mata tunas tidak dapat diinduksi oleh faktor luar, sedangkan paradormansi adalah dormansi yang faktor pengendalinya berada di dalam tanaman itu sendiri tetapi di luar struktur atau organ dorman dan ekodormansi adalah tipe dormansi dimana pemecahan mata tunas dorman sangat tergantung pada kondisi lingkungan yang menguntungkan (Dennis, 1996).
Hasil penelitian frekuensi trubus pada berbagai umur tanaman, diketahui bahwa mak kin tua umur tanaman frekuensi trubusnya semakin sedikit. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tua umur tanaman manggis periode dormansinya semakin lama. Salah satu upaya pemacuan pertumbuhan tanaman manggis yang memperlihatkan periode dormansi panjang tersebut dapat dilakukan dengan aplikasi zat pemecah dormansi. Aplikasi zat pemecah do~mansidapat dilakukan dengan memperhatikan dosis dan saat aplikasi yang tepat. Aplikasi senyawa tumbuh pada waktu yang tidak tepat (tanaman tidak sensitif) tidak akan di respon oleh tanaman (Wattimena, 1991). Kobayashi, Fuchigami dan English (1982) mengembangkan model derajat stadia tumbuh selama perkembangan mata tunas dari 0
O -
360
' Growth Stage (GS). Siklus
musiman yang ideal selarna stadia perkembangan mata tunas untuk mengetahui perubahan fisiologi tanaman selama periode dorman. Titik 0 dormansi (pecah tunas), 90
O
O
dan 360
' merupakan titik,akhir
merupakan titik puncak peltumbuhan vegetatif, 180
O
tanaman memasuki endodormansi, 270 O dormansi pada tingkat maksimum. Pada model ini paradormansi terdapat pada 90 '-180
' dan pada saat tersebut perompesan daun dapat
mempercepat induksi dormansi dengan mengurangi sifat dominansi apikal, sedangkan endodormansi terdapat pada 180 '-3 15 O dan ekodormansi terdapat pada 3 15 '-360
'.
Berdasarkan model derajat stadia tumbuh diatas Fuchigami dan Nee (1987) menjelaskan pentingnya memperhatikan waktu aplikasi zat pemecah dormansi pada stadia endodormansi yang dibagi menjadi dua stadia, yaitu: perlakuan yang diberikan pada stadia endodormansi diantara 200'-270~ GS dapat memecah dormansi, tetapi tidak terjadi pemanjangan tunas. Apabila senyawa tumbuh di aplikasikan pada 270'-3 1~ O G S dapat memecah dormansi dan menghasilkan pemanjangan tunas yang normal. Poonnachit et al. (1997) melaporkan hasil penelitian aplikasi thiourea, urea dan air terhadap induksi trubus tanaman manggis bahwa umur tunas berperan penting dalam induksi trubus. Tunas manggis umur < 9 minggu setelah trubus tidak dapat diinduksi pecah dormansin~adengan aplikasi zat pemecah dormansi. Thiourea 0.5 % efektif menginduksi trubus pads pucuk manggis umur 9 minggu setelah trubus. Lebih tua umur daun pucuk, persentase trubus meningkat. Lebih lanjut dikemukakan bahwa aplikasi urea dan air juga dapat menginduksi
trubus manggis setidak-tidaknya setelah tunas manggis berturut-turut berunlur 12 dan 14 minggu setelah trubus. Aktivitas senyawa pemecah dormansi pertarna-tama dicatat melalui pengamatan sespon insektisida pada mata tunas. Selanjutnya berkembang dari adopsi berbagai senyawa kimia komersial yang dipakai untuk n~emecahdormansi dibawah kondisi dingin yang berf~lngsisebagai pengganti ketidakcukupan kebutuhan chiling (Erez, 2000). Senyawa kimia pemecah dormansi yang banyak digunakan pada tanaman buahbuahan meliputi: kombinasi minyak dan dinitro orto kresol (Oils-DNOC) dengan efek fisiologis meningkatkan respirasi dan produksi etilena; sianamida (Ca maupun hidrogensianamida);Tl~iourea;KN03; Zat perangsang tumbuh (GAS dan sitokinin); zat penghambat (retardant) dan Armobreak merupakan group asam amino-lemak yang efektif sebagai zat pemecah dormansi (Erez, 2000). '
Hasil penelitian aplikasi zat pemecah dormansi terhadap tanaman buah-buahan
diesis nlenulljukkan bahwa Dormex (hidrogen sianamida) memecahkan dormansi tunas apel yang disemprotkan pada stadia awal dormansi (Lakitan, 1995). Notodimedjo (1995) melaporkan aplikasi dormex (HNCN) 1% dan 3% pada daun mangga yang benvarna hijau tua dan mengeras menghasilkan kuncup pecah dengan persentase tertinggi dibandingkan dengan konsentrasi dan waktu aplikasi dormex lainnya. Penelitian Wiebel et al. (1992b) pada bibit manggis seedling juga menunjukkan bah~vaaplikasi sitokinin (Benzil Adenine) pada konsentrasi 1 sampai dengan 20 pg efektif mempercepat dan meningkatkan persentase pecah tunas manggis seedling umur 8 bulan. Penggunaan sitokinin sintetis seperti CPPU (N-(2-Chloro-4-pyridiny1)-Nphenylurea) juga disarankan digunakan untuk memacu pemecahan dormansi mata tunas tanaman buah-buahan tahunan. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sitokinin sintetis juga efektif memecah dormansi pada anggur dan apel (Erez, 2000). Aplikasi CPPU 20 -120 ppm meningkatkan laju fotosintesis dan gula tersedia, serta dapat merangsang pertumbuhan tunas tanaman Olive (Antogozzi dan Proietti, 199% sedangkan konsentrasi yang dianjurkan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman buah-buahan tahunan adalah 5 ppm.
cepat dan aktivitas organogenesis pada tingkat yang rendah. Primordia daun pertanla pada trubus berikutnya terbentuk pada mata tunas baru. Pemanjangan mas, pertama kali distimulasi secara basipetal oleh pembesaran daun yang ban^. Selanjutnya terjadi penurunan pertumbuhan cepat dan berhenti memasuki stadia dormansi dengan organogenesis yang berlangsung sangat lambat sarnpai dengan peningkatan aktivitas yang mendahului munculnya tunas baru. Secara umum tunas yang dorman menunjukkan tingkat hidrasi yang rendah sebelum pecah tunas. Pada kondisi tersebut tampak terjadi pengaturan ke pergantian dari endodennis ke ekodermis, yang ditunjukkan oleh adanya sejumlah perubahan metabolit, yaitu: (a) Total protein cenderung menurun, (b) Berat basah dan berat kering meningkat, (c) gula sederhana, asam amino dan asam-asam organik meningkat sangat besar dan cepat, (d) Pati menurun. Setelah donnansi pecah taraf DNA, RNA dan protein meningkat dengan cepat, demikian pula respirasi dan aktivitas beberapa enzim, terutama enzim hidrolitik dan atau enzim oksidatif meningkat (Lang, 1990). Menurut Wang dan Faust (1989) terdapat beberapa perubahan metabolik diantara dorman dan permulaan pertumbuhan tunas. Pada saat dorman terjadi peningkatan kandungan pati di batang dan siklus pentosa fosfat (PP) lebih dominan daripada siklus TCA (Tri Carboxylic Acid). Pada saat akhir donnansi ke arah pecahnya tunas terjadi perubahan aktivitas metabolisme, diantaranya: (a) meningkatnya hormon pemacu pertumbuhan (sitokinin dan giberelin), (b) hidrolisis pati di batang, (c) pergerakan karbohidrat dari pangkal batang ke atas (tunas), (d) peningkatan asam nukleat, protein dan kandungan poliamina pada tunas, (e) peningkatan respirasi dan etilena pada tunas, (f) protein terhidrolisis dan terjadi peningkatan asam amino bebas pada pangkal batang dan peningkatan asam organik pada tunas, (g) aktivitas katalase meningkat dan radikal bebas berkurang, (h) rasio asam lemak tak jenuhtasam lemak jenuh meningkat dan (i) rasio sterol bebas /total fosfolipid menurun, sehingga fluiditas membran dan aktivitas metabolisme sel meningkat (Wang dan Faust, 1989). Kandungan RNA dalam struktur donnan adalah rendah. Perlakuan senyawa kimia pemecah dormansi, seperti: GA3 dan Etilena klorhidrin, meningkatkan penyatuan prekursor RNA dan DNA dan meningkatkan aktivitas RNA kromatin tunas dorman. Ini
menunjukkall bahwa materi genetik dalain tunas dorman tertekan, sedangkan pecahnya dormansi diiringi oleh tidak tertekannya materi genetik (Lang, 1990). Selama siklus tumbuh, tanaman akan mengalami perubahan aktivitas fitohormon di dalam tubuhnya. Diantaranya perubahan aktivitas GA3 dan ABA pada kondisi trubus dan dorman. Hal
iili
menunjukkan balnva ABA dan GA berturut-turut berperan sebagai
induksi dan pelepasan dormansi dari suatu tumbuhan (De-Klerk dan Gerrits, 1996). Lang (1989) mengemukakan bahwa giberelin dapat omengatasi dormansi dengan mengganti peranan chilling pada tunas dorman dan mendorong vernalisasi untuk menginduksi pemanjangan sel dalam biji. Kemampuan GA eksogen dalam mengganti kebutuhan chillilzg memperkuat dugaan tentang peranan GA dalam pemecahan dormansi tunas. Peranan ABA dalam induksi dan menjaga dormansi telah banyak dilaporkan dan telah terbukti bahwa ABA merupakan inhibitqr penyebab dormansi dan berkurangnya ABA pada tunas yang pecah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan chiling. Namun deinikiail peranan ABA dalam dormansi tunas mungkin tidak memerlukan taraf ABA yang tinggi. Pernyataan tersebut diperkuat oleh De-Klerk dan Gerrits (1996), bahwa penambahan ABA hanya memberi peranan kecil, bahkan penambahan ABA terhadap Lycopevsicur?isp. tidak berpengaruh (Kim, et al., 1994). Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya perkembangan dormansi tidak hanya semata-mata oleh rendahnya tingkat ABA, tetapi lebih disebabkan oleh tingkat ABA yang tidak sensitif, karena selama periode dormansi berkembang ABA sensitive meningkat. Kenyataan menunjukkan bahwa bulb Lycopersicurlz sp. yang diregenerasikan pada suhu rendah (15' C) paling sensitive terhadap ABA. Respon tanaman terhadap promotor (GA) dan inhibitor (ABA) tergantung atas keseimbangan hormon endogen dan atau dengan perubahan aktivitas, sensitivitas, reseptivitas, afinitas dan kemampuan responnya (Lang, 1990). Meningkatnya aktivitas enzim katalase berhubungan dengan masuknya tunas ke masa dorman dan aktivitasnya berangsur-angsur berkurang sampai tunas dorman pecah. Senyawa-senyawa kimia tertentu, seperti thiourea dan hidrogen sianamida diketahui berinteraksi dengan katalase, yaitu sebagai pengaktif katalase ke bentuk reaktif yang menghambat aldehida dehidrogenase. Menurunnya aktivitas katalase dapat meningkatkan
taraf Hz02 dalaln jaringan pucuk. Hal ini dihipotesiskan telah mengaktifian lintasan pentosa fosfat untuk mengakhiri dormansi (Lang, 1989). Sejulnlah 02 pada mata tunas merupakan faktor utama dalam pengaturan transformasi biokimia yang mendahului fase dorman. Katalase adalah enzim oksidatif yang berfungsi memastikan perubahan H202 dan menyuplai oksigen untuk jaringan. Peningkatan pada suplai oksigen bebas akan berperan sebagai trigger mechanism pada perkembangan mata tunas (Lang, 1989). Isoenzim spesifik yang dimiliki tunas apel merupakan penentu stadia pertumbuhan dan perkembangan tunas bunga. Hal ini dapat dijelaskan sebagai pengaturan on atau off nya mekanisme sintesis protein pada sel dan tergantung pada kebutuhan metabolit mata tunas. Perbedaan isoenzym pada stadia perkembangan mata tunas yang berbeda mungkin terjadi karena ekspresi enzim adalah hasil aktivitas struktural dan dikendalikan oleh gen yang mengatur status perkembangan mata tunas (Wang dan Faust, 1989). Pergantian jalur metabolisme pada mata tunas apel juga berasosiasi dengan transisi dari kondisi dorman ke pecahnya mata tunas. Dormansi tunas apel sangat berkaitan dengan tingginya level dari
Glukosa-6-fosfat Dehidrogenase (G6PDH) dan 6-
fosfoglukonat Dehidrogenase (6PGDH). Pada saat terjadi transisi dari dormansi ke arah pertumbuhan, aktivitas kedua enzim tersebut menurun. Sebaliknya aktivitas enzim pada siklus pentosa-fosfat, yaitu Isositrat dehidrogenase (ISDH) sebagai enzim kunci yang mengatur siklus trikarboksilik acid (TCA) meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas enzim ISDH berasosiasi dengan pecahnya tunas. Aktivitas ISDH mencapai maksimum pada saat ujung mata tunas berwarna hijau, dan segera diikuti dengan pembesaran yang cepat, dan kemudian aktivitasnya mengalami penurunan lagi sainpai dengan inencapai stadia dorman (Wang dan Faust, 1989). Perubahan aktivitas enzim G6PDH, 6PGDH dan ISDH pada saat bersamaan dengan pecahnya tunas, menunjukkan bahwa terjadi perubahan dalarn kebutuhan energi dan atau untuk kebutuhan seluler pada mata tunas. Perubahan aktivitas enzim tersebut merupakan persyaratan sebelum mengalami pertumbuhan. Oleh karena itu peristiwa yang terjadi selama periode transisi diantara dorman dan pecah tunas merupakan organisasi untuk mempersiapkan pertumbuhan yang cepat selanjutnya (Wang dan Faust, 1989).
Terda~at pendapat
lain, bahwa
berakhirnya dormansi disebabkan karena
meningkatnya glutathion. Fuchigaini dan Nee (1987) menduga bahwa Glutathion-thioldisulfida terlibat dalam mengatasi dormansi melalui pengaruh glutathion thiol group rerhadap status protein thiol-group, yang kemudian mempengaruhi pembentukan polisome dan sintesis protein. Hipotesis Fuchigami dan Nee (1987) terhadap pengaturan derajat atau intensitas dornlansi menyebutkan bahwa: rasio glutathion tereduksi (GSH)/ glutathion reroksidasi (GSSG) secara langsung mempengaruhi rasio dembatan protein-thiol terreduksi (PSH)/jembatan protein-thiol teroksidasi (PSSG). Sofro (1 990) Glutation adalah senyawa tripeptida, yaitu: Gama Glutamil-SisteinilGlisin yang dijumpai secara meluas dalam tumbuhan mempunyai fungsi fisiologis, seperti: (a) mengangkut asam amino melintas membran, (b) melindungi protein terhadap bahan pengoksidasi yang akan mengoksidasi gugus SH protein, dan (c) mem-pertahankan atom besi hemoglobin dalam keadaan tereduksi (Fe 2+). Kedua fungsi fisiologis terakhir tersebut dimungkinkan karena bentuk ti01 tereduksi (-SH bebas ) dari glutation bertindak sebagai bahan pereduksi (sumber elektron) yang dapat diubah menjadi bentuk teroksidasi. Asam amino yang inengandung gugus -SH adalah sistein dan metionin. S e l m a pertumbuhan aktif bentuk GSH dan PSH sangat dominan. Dengan meningkatnya dormansi PSSG dan GSSG meningkat dan rasionya menurun dengan terkonversinya polisome menjadi monosome dan aktivitas metaboliknya menurun. Kemudian rasionya meningkat lagi sebagai akibat dari meningkatnya PSH dan menurunnya PSSG dan GSSG. Hal ini menyebabkan dormansi pecah (Lang, 1990). Perlakuan-perlakuan pemecah dormansi dihipotesiskan oleh Lang (1990) sebagai akibat menurunnya GSSG ke GSH, yang menyebabkan meningkatnya rasio PSH/PSSG, sintesis protein dan pecah tunas (bud break). Poliamines dianggap sebagai
"secondary messengers"
yang potensial dalam
menstimulasi dan mengatur a s m nukleat dan protein, umumnya terdapat dalam jumlah vang berlimpah pada jaringan yang sedang tumbuh dan jaringan meristematik. Tersintesisnya poliamina dianggap berperanan dalam memecah dormansi. Poliamina (putresin, spermidin dan spennin) diketahui terdapat sepanjang musim pada tunas c h e w .
Taraf polianlina meniilgkat mengikuti pecahnya dormansi, karena diinduksi oleh thiourea (Galston dan Sawhney, 1995). Doorenbos (1953) dalarjt Lang (1990) menyatakan bahwa pecahnya dormansi disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas membran selama chiling. Hal ini berkaitan dengan peranan penting dari membran sel dalam pengaturan transpor ion dan metabolit, sebagai tempat reseptor hormon (diduga) dan sebagai tempat aktivitas enzim bagi segala yang berkaitan dengan membran. Terdapatnya perubahan membran pada transisi dari kondisi donnan ke keadaan trubus dan sebaliknya, diduga disebabkan karena adanya perubahan komposisi fosfolipid, sehingga memberikan perubahan permeabilitas membran dan aktivitas enzimnya. Terdapat dua proses metabolisme penting sehubungan dengan dormansi tunas, yaitu: (1) metabolisme asam nukleat dan (2) permeabilitas membran sel. Percobaan terhadap jaringan submeristematik tanaman Helianthus tuberosus menunjukkan bahwa tunas dalam keadaan dorman kurang manlpu mengkonversi nukleotida adenilat (ATP) menjadi nukleotida nonadenilat (NTP) yang terdiri dari nukleotida gunilat, sitidilat dan uridilat. Lambatnya konversi ATP menjadi NTP, menyebabkan nisbah ATPNTP rendah. Pada saat donnan, tanaman diinkubasi dengan adenosin, konversi adenosin menjadi ATP tidak terhambat pada jaringan dorman. Pemeabilitas membran sel diukur berdasarkan nisbah
DM0 (5,5-di-methyl oxazolidone-2,4 dione) yaitu asam lemah yang berada di dalam sel (Ci) dan di ruang antar sel (Ce). Pada saat dorman, nisbah Ci/Ce pucuk lebih rendah dibandingkan dengan jaringan submeristematik, sehingga pergerakan unsur hara dari jaringan submeristematik ke pucuk terhambat. Saat pecah tunas, nisbah CiICe pada pucuk tersebut meningkat dan sama dengan jaringan submeristematik (Lakitan, 1995). Perubahan kandungan asam lemak dan sterol tunas pucuk ape1 selama perubahan dorman ke trubus menunjukkan terjadinya perubahan dalam permeabilitas membran dan fungsi secara fisiologis. Diketahui bahwa yang dominan dalam tunas dorman adalah asam lemak tak jenuh (palmitik, linoleik dan linolenik). Perubahan dalam taraf dan komposisi sterol, yaitu: p-sitosterol dan sitosteril ester yang lebih dominan dalam tunas dorman. Sedangkan kampesterol dan stigmasterol meningkat dengan cepat setelah mulain~a pertumbuhan (Wang and Faust, 1989).