II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rusa Timor 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Rusa timor yang dikenal juga dengan nama rusa jawa, secara taksonomi termasuk dalam Kingdom Animalia, Phylum Chordata, Sub Phyllum Vertebrata, Class Mamalia, Ordo Cetartiodactyla, Sub Ordo Ruminantia, Family Cervidae, Sub Family Cervinae, dan Genus Rusa. Nama ilmiah rusa timor adalah Rusa timorensis de Blainville, 1822. Namun demikian, nama rusa timor juga memiliki beberapa sinonim, yaitu: Cervus celebensis Rorig, 1896; Cervus hippelaphus G.Q. Cuvier, 1825; Cervus lepidus Sundevall, 1846; Cervus moluccensis Quoy & Gaimard, 1830; Cervus peronii Cuvier, 1825; Cervus russa Muller & Schlegel, 1845; Cervus tavistocki Lydekker, 1900; Cervus timorensis Blainville, 1822; dan Cervus tunjuc Horsfield, 1830 (IUCN 2008). Secara morfologi rusa timor memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih kecil dan kaki yang lebih pendek dibandingkan rusa sambar (Cervus unicolor) dan rusa bawean (Axis kuhlii). Warna bulu coklat abu-abu sampai coklat tua kemerahan dengan bagian bawah perut dan ekor berwarna lebih terang dibandingkan bagian punggung. Warna bulu ini tersebar merata pada seluruh tubuh dan tidak memiliki titik-titik (spot) pada tubuhnya. Ukuran tubuh jantan lebih besar dibandingkan betina. Panjang tubuh berkisar antara 130–210 cm, tinggi bahu 80–110 cm, berat 50–115 kg, dan panjang ekor 10 – 30 cm. Rusa jantan dewasa memiliki ranggah. Ranggah penuh mempunyai tiga ujung runcing dengan panjang rata-rata 80–90 cm (Schroder 1976, Drajat 2002, Worlddeer 2005). 2.1.2 Habitat, Penyebaran, dan Status Rusa timor merupakan jenis yang sangat utama pada habitat padang rumput di daerah tropis dan sub tropis, tapi dapat beradaptasi pada habitat hutan, pegunungan, serta semak belukar. Walaupun dapat beradaptasi mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, rusa timor jarang dijumpai pada ketinggian di atas 2500 m di atas permukaan laut. Semiadi dan Hedges dalam IUCN (2008) bahkan mengungkapkan bahwa rusa timor hidup pada ketinggian 0 – 900 m dari
7 permukaan laut. Jika dibandingkan jenis rusa sambar, rusa timor juga memiliki adaptabilitas yang tinggi untuk hidup pada daerah yang kering. Hal ini disebabkan kebutuhan air pada rusa timor sangat rendah (Schroder 1976). Walaupun demikian rusa timor juga dapat hidup di daerah rawa (Worlddeer 2005).
a
b Gambar 1 Rusa timor jantan (a) dan betina (b).
Rusa timor merupakan satwa asli Indonesia. Menurut Bemmel (1949) rusa timor berasal dari Jawa, Kepulauan Sunda Kecil dan Malaka. Namun demikian kalangan ahli lainnya menyatakan bahwa rusa timor hanya berasal dari Jawa dan Bali (IUCN 2008). Dalam perkembangannya, rusa timor menyebar luas sampai ke bagian timur wilayah Indonesia seiring dengan perpindahan manusia. Hal ini berbeda dengan jenis rusa sambar yang daerah penyebarannya hanya berada di bagian Barat wilayah Indonesia. Luasnya penyebaran rusa timor juga terlihat dari banyaknya sub spesies yang dimiliki, yakni 8 sub-spesies. Menurut Bemmel (1949), penamaan sub-spesies ini didasarkan atas daerah penyebarannya, yakni: a. Cervus t. russa, terdapat di Jawa dan Kalimantan (S.E. Borneo). b. Cervus t. laronesiotes, terdapat di Pulau Peucang. c. Cervus t. renschi, terdapat di Bali. d. Cervus t. timorensis, terdapat di Timor, Roti, Semau, Pulau Kambing, Alor, Pantar, Pulau Rusa. e. Cervus t. macassaricus, terdapat di Sulawesi, Banggai, Selayar. f. Cervus t. jonga, terdapat di Pulau Buton dan Pulau Muna. g. Cervus t. moluccensis, terdapat di Ternate, Mareh, Moti, Halmahera, Bacan, Parapotan, Buru, Seram dan Ambon. h. Cervus t. florensiensis, terdapat di Lombok, Sumbawa, Rinca, Komodo, Flores, Adonara, Solor dan Sumba.
8 Berdasarkan kategori IUCN Red List, sejak tahun 2008 rusa timor termasuk dalam kategori rentan (vulnerable). Sebelumnya rusa timor berstatus resiko rendah/kurang perhatian (lower risk/least concern) sejak tahun 1996. Perubahan status ini disebabkan total populasi asli rusa timor di daerah penyebaran aslinya diperkirakan kurang dari 10.000 individu dewasa, dengan perkiraan penurunan sekurangnya 10% selama tiga generasi sebagai akibat dari hilangnya habitat, degradasi habitat, dan perburuan (IUCN 2008). Di Indonesia, rusa timor termasuk jenis yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Namun demikian, rusa dapat dimanfaatkan melalui penangkaran
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwaliar, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Selain itu di bidang peternakan, rusa telah menjadi salah satu satwa potensial untuk dikembangkan sebagai hewan ternak sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/Kpts/OT.210/6/2002. 2.1.3 Perilaku dan Reproduksi Rusa timor bersifat nokturnal, akan tetapi juga dapat mencari makan pada siang hari (Reyes 2002). Namun pendapat yang berbeda dinyatakan oleh Schroder (1976) bahwa rusa timor secara alamiah tidak bersifat nokturnal, tetapi dapat secara mudah berubah sifat menjadi nokturnal dan pergi ke wilayah terbuka pada siang hari. Rusa jantan dan betina biasanya hidup terpisah dalam kelompok tertentu, kecuali pada musim kawin. Selama musim kawin, rusa jantan menjadi lebih agresif dan menghiasi ranggahnya dengan dedaunan dan ranting untuk menarik perhatian betina dan mengintimidasi jantan lainnya (Reyes 2002). Rusa timor bersifat sosial, dan dapat dijumpai dalam kelompok kecil dengan jumlah individu mencapai 25 individu. Perilaku rusa di penangkaran dilaporkan oleh Lelono (2005) yang menggambarkan tiga pola aktivitas harian rusa timor, yaitu aktivitas makan, aktivitas istirahat, dan aktivitas lain. Aktivitas makan dilakukan pada pagi (pukul 07.00 – 11.00), siang (pukul 11.00 – 14.00), dan sore (pukul 17.00 – 18.00).
9 Aktivitas istirahat dilakukan pada pagi dan sore hari setelah aktivitas makan. Aktivitas lain terdiri dari aktivitas berjalan, memelihara diri, merawat anak, bercumbu, bertarung, berlari dan lainnya. Rusa dapat hidup selama 15 – 20 tahun di alam maupun di penangkaran, dengan rata-rata 17,5 tahun. Usia dewasa kelamin rata-rata 21 bulan, walaupun juga ditemukan rusa dewasa kelamin pada usia lebih kurang 15 bulan. Umumnya rusa mengalami dewasa kelamin pada usia 15 – 18 bulan. Menurut Semiadi (2006) dewasa kelamin dipengaruhi oleh berat badan dan ketersediaan pakan. Kelahiran pada rusa tropis terjadi sepanjang tahun. Sody (1940) menyatakan bahwa musim kelahiran pada rusa timor umumnya terjadi pada bulan April–Juni, sedangkan di Jawa pada bulan September, Flores pada bulan Maret serta Sulawesi pada Januari dan Agustus. Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan dalam setiap kelahiran adalah satu. Rata-rata masa menyusui adalah 8 bulan atau 251 hari, ratarata masa menyapih adalah 7 bulan atau 228 hari, walaupun demikian untuk wilayah timur Indonesia, masa sapih pada rusa timor adalah 4 – 7 bulan (Garsetiasih dan Takandjandji 2006, Reyes 2002). Untuk di penangkaran di Indonesia, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa umur pubertas rusa timor adalah 8–8,1 bulan, siklus berahi 20 hari, lama berahi 2 hari, lama bunting 8,3 bulan, dan jumlah anak pada setiap kelahiran pada umumnya 1 ekor. Umur perkawinan pertama pada jantan adalah 11 – 12,67 bulan, dan 10 – 15,25 bulan pada betina. Namun demikian rusa timor sudah mampu kawin pertama kali umur 7 bulan. Umur kebuntingan pertama adalah 11 – 17 bulan, dan lama kebuntingan adalah 8,3 – 8,5 bulan. Umur melahirkan pertama adalah 20 – 25 bulan, dan interval kelahiran pertama dan kedua adalah 13,25 13,75 bulan. Persentase kelahiran di Indonesia berkisar antara 45 – 75% (Semiadi 2006, Garsetiasih dan Takandjandji 2006, Takandjandji et al. 1998). 2.1.4 Nilai Ekonomi Rusa Sebagai satwa herbivora, rusa memiliki nilai ekonomi tinggi karena dapat menghasilkan daging, ranggah, velvet, kulit, bahkan satwa hidup, sehingga sangat potensial dikembangkan di penangkaran. Di dunia, seperti Kanada, wapiti (Cervus canadensis) jantan dijual senilai CDN$135.000. Velvet rusa juga memiliki nilai
10 ekonomi tinggi, dan Republik Korea merupakan pasar utama penjualan velvet rusa secara internasional. Sedangkan New Zealand merupakan negara modern pertama penghasil velvet di dunia. Di Kanada, pada tahun 1997, pemanenan ranggah wapiti mencapai 50 ton dengan nilai total mencapai CDN$7,13 juta. Pada pasar lokal seperti di Vancouver, harga velvet tertinggi mencapai CDN$260/kg, dan terendah senilai CDN$45/kg. Sementara di Malaysia velvet dijual dengan harga RM 3.000/kg (Chardonnet et al. 2002, Semiadi 2002) Daging merupakan produk yang paling populer dari satwaliar di seluruh dunia dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Harga jual karkas rusa fallow (Dama dama) di Amerika Serikat pada tahun 1997 adalah US$4,5/pound. Di Canada, harga jual daging untuk venison antara C$3,1 – C$3,6/pound. Sedangkan di Australia harga jual karkas rusa fallow mencapai A$2,24/kg, untuk daging rusa merah A$2,56/kg, dan rusa jawa A$2,12/kg. Untuk Selandia baru, harga jual karkas rusa merah mencapai antara NZ$3,32 hingga NZ$5,20/kg karkas (Semiadi 2002). Salah satu alasan pemilihan daging rusa, adalah
karena rusa mampu
mengkonversi 30 kilogram bahan kering menjadi 3 kilogram daging, sehingga rusa lebih efisien dibandingkan sapi dan domba. Daging rusa memiliki rasa yang khas dan rendah kalori, sehingga digunakan sebagai venison. Di Malaysia, harga daging rusa mencapai RM 30 perkilogram lebih tinggi dibandingkan daging sapi yang hanya RM 10 perkilogram (Drajat 2002, Semiadi 2002). Untuk Indonesia harga daging rusa bervariasi pada kisaran Rp. 250.000,- perkilogram. Untuk ranggah, hasil penelitian Garsetiasih (2000) menunjukkan bahwa harga tanduk rusa tua dalam bentuk hiasan di beberapa tempat di Bogor memiliki harga Rp. 250.000,- sampai Rp. 750.000,-. Sedangkan untuk satwa hidup memiliki nilai jual bervariasi mulai dari Rp. 3.500.000,- sampai Rp. 15.000.000,2.2 Sistem Penangkaran Rusa Sistem penangkaran rusa pada beberapa wilayah di beberapa negara mengacu pada prinsip pengelolaan habitat yaitu secara intensif atau extensif. Pada pengelolaan intensif, campur tangan manusia sangat tinggi, sebaliknya pada pengelolaan ekstensif manusia hanya mengatur beberapa aspek habitat dan kebutuhan hidup satwa.
11 Pengelolaan secara ekstensif berimplikasi terhadap luasnya areal dan umumnya tenaga dan biaya yang dibutuhkan perhektarnya relatif rendah. Sebaliknya pada pengelolaan intensif dibutuhkan biaya yang sangat tinggi untuk setiap hektar areal. Beberapa tindakan pengelolaan yang termasuk ke dalam pengelolaan ekstensif diantaranya adalah pembakaran terkendali, pengendalian semak belukar, dan seleksi tumbuhan sumber pakan. Sedangkan pengelolaan intensif diantaranya adalah pemberian pakan oleh pengelola secara cut and carry, membangun kebun pakan, membangun kandang, sumber air, peneduh (cover). Pengelolaan reproduksi secara non alami juga dapat digolongkan pada pengelolaan secara intensif (SRNF 2008). Di beberapa negara, pengelolaan ekstensif lebih penting dan efektif dibandingkan sistem intensif. Namun pada beberapa situasi, pengelolaan secara intensif digabungkan dengan pengelolaan ekstensif untuk mencapai pengelolaan yang lebih efektif dalam mengatasi beberapa faktor pembatas. Konsep pengelolaan intensif dan ekstensif tersebut di Indonesia diadaptasi ke dalam sistem penangkaran secara intensif dan ekstensif. Penggabungan kedua konsep tersebut melahirkan sistem semi intensif yang banyak diterapkan pada berbagai penangkaran di Indonesia. Sistem-sistem penangkaran tersebut diterapkan dalam beberapa bentuk pemeliharaan. Semiadi dan Nugraha (2004) mengelompokkan ke dalam bentuk pemeliharaan, yaitu diikat, dikandangkan, dan dilepas di padang umbaran yang disebut pedok (paddock). Bentuk pemeliharaan diikat dan dikandangkan dapat dikategorikan sebagai sistem pemeliharaan intensif, sedangkan penggembalaan di padang umbaran dapat tergolong pada sistem ekstensif atau semi intensif tergantung pada tingkat campur tangan manusia dalam pengelolaan habitat, populasi, dan reproduksi satwa. 2.3 Analisis Populasi 2.3.1 Definisi dan Karakteristik Populasi Populasi adalah sekelompok organisme sejenis atau memiliki kesamaan genetik yang secara bersama-sama mendiami wilayah tertentu dan waktu tertentu, serta mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya (Odum 1971, Krebs 1978, Alikodra 1990). Menurut Tarumingkeng (1992), populasi adalah sehimpunan individu atau kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang
12 tergolong dalam satu spesies atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Krebs (1978) menyatakan unsur utama dari populasi adalah individu organisme yang memiliki potensi untuk berkembang-biak. Populasi tersebut dapat dibagi ke dalam sejumlah deme atau populasi lokal yang merupakan kelompok organisme yang mampu berkembang-biak, yang merupakan unit kolektif terkecil dari sebuah populasi tumbuhan atau satwa. Pengertian yang hampir sama dikemukakan oleh Tarumingkeng (1992) yang menyatakan bahwa deme adalah populasi setempat yang merupakan sekelompok individu dimana setiap pasangan (jantan dan betina) dalam kelompok itu memiliki peluang yang sama untuk kawin (memiliki satu gene pool). Populasi memiliki beragam karakteristik kelompok, yang secara pengukuran statistik tidak dapat diterapkan secara individual. Karakteristik dasar dari populasi adalah ukuran atau kepadatannya (densitas). Densitas atau disebut juga kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit ruang yang umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu dalam satu unit luas atau volume. Ukuran populasi atau kepadatan ini dipengaruhi oleh empat parameter populasi yang dikenal sebagai parameter populasi primer, yaitu natalitas, mortalitas, imigrasi, dan emigrasi. Selain itu, terdapat parameter populasi sekunder yang terdiri dari distribusi umur, komposisi genetik, dan pola sebaran ruang (Krebs 1978, Alikodra 2002). 2.3.2 Natalitas Suatu populasi dapat meningkat disebabkan oleh natalitas. Natalitas, yang dapat juga disebut sebagai potensi perkembangbiakan, adalah jumlah individu baru yang lahir dalam suatu populasi. Natalitas dapat dinyatakan dalam produksi individu baru dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu per individu. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa laju natalitas adalah jumlah organisme yang lahir per induk per satuan waktu. (Odum 1971, Krebs 1978).
13 Angka kelahiran terdiri dari angka kelahiran kasar, yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan dengan seluruh anggota populasi dalam suatu periode waktu; dan angka kelahiran spesifik, yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk ke dalam klas umur tertentu selama periode waktu. Natalitas atau angka kelahiran tersebut ditentukan oleh faktor-faktor: (1) perbandingan komposisi kelamin dan kebiasaan kawin, (2) umur tertua dimana individu masih mampu untuk berkembangbiak (maximum breeding age), (3) umur termuda dimana individu mulai mampu untuk berkembangbiak (minimum breeding age), (4) jumlah anak yang dapat diturunkan oleh setiap individu betina dalam setiap kelahiran (fecundity), (5) jumlah melahirkan anak per tahun (fertility), dan (6) kepadatan populasi (Alikodra 2002). 2.3.3 Mortalitas Kepadatan populasi dapat berkurang oleh faktor mortalitas. Mortalitas merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas terdiri dari angka kematian kasar, yaitu perbandingan antara jumlah kematian dari semua sebab dengan total populasi selama satu periode waktu; dan angka kematian spesifik, yaitu perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama satu periode waktu.
Faktor-faktor yang menyebabkan kematian adalah; (1)
kematian oleh keadaan alam, seperti bencana alam, penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan, (2) kematian oleh kecelakaan, seperti tenggelam, tertimbun tanah longsor, tertimpa batu dan kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian, (3) kematian oleh adanya pertarungan dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan dan air serta untuk menguasai kawasan, dan (4) kematian yang disebabkan oleh aktifitas manusia, seperti perusakan habitat, perburuan, pencemaran dan kecelakaan lalulintas (Alikodra 2002).
14 2.3.4 Model Pertumbuhan Populasi Ukuran dan kepadatan populasi dapat bertambah, tetap, atau berkurang. Besarnya penambahan atau pengurangan ukuran atau kepadatan populasi tersebut dapat dinyatakan dengan laju pertumbuhan populasi. Dalam pertumbuhan populasi, laju petumbuhan pada awalnya rendah kemudian mencapai maksimal dan akhirnya menurun sampai akhirnya mencapai nol pada kondisi dimana jumlah individu sama dengan daya dukung lingkungannya (Krebs, 1978) Laju pertumbuhan populasi dapat disebabkan oleh faktor internal (genetik), eksternal (lingkungan), atau interaksi keduanya. Pertumbuhan populasi dapat dinyatakan dalam suatu model pertumbuhan populasi. Dikenal ada dua model pertumbuhan populasi, yaitu model pertumbuhan eksponensial dan model pertumbuhan logistik. Model pertumbuhan eksponensial terjadi pada populasi yang tidak dibatasi oleh keadaan lingkungan. Pada kondisi ideal dan tidak ada faktor penghambat (fisik maupun biotik), maka populasi akan berkembang terus dan tumbuh secara maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa populasi tumbuh dalam keadaan lingkungan yang tidak membatasi pertumbuhannya. Secara realistis, terdapat persaingan, keterbatasan ruang dan makanan yang akan menyebabkan pertumbuhan populasi menurun dan pada akhirnya berhenti pada saat daya dukung sudah tercapai. Apabila model pertumbuhan eksponensial diterapkan untuk waktu yang tidak terbatas tetapi sumber dayanya terbatas, maka akan menjadi tidak realistis karena tidak diperhitungkannya faktor-faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan populasi seperti kerapatan, makanan dan lainnya. Atas dasar hal tersebut, maka dibangun model yang lebih realistis yang memasukkan faktor kerapatan populasi sebagai faktor pembatas, sehingga disebut sebagai model terpaut kerapatan atau model pertumbuhan logistik. Model matematis pertumbuhan kerapatan adalah sebagai berikut:
15
Keterangan: Nt = N0 = K = r = t = e =
ukuran populasi pada waktu ke-t ukuran populasi awal kapasitas daya dukung lingkungan laju pertumbuhan waktu ke-t bilangan euler (e = 2,718281…)
Menurut Tarumingkeng (1992), model logistik dibangun berdasarkan asumsi-asumsi: (1) populasi akan mencapai keseimbangan dengan lingkungan sehingga memiliki sebaran umur stabil (stable age distribution), (2) populasi memiliki laju pertumbuhan yang secara berangsur-angsur menurun secara tetap dengan konstanta r, (3) pengaruh r terhadap peningkatan kerapatan karena bertumbuhnya populasi merupakan respon yang instantaneous atau seketika itu juga dan tidak terpaut penundaan atau senjang waktu (time lag), (4) sepanjang waktu pertumbuhan keadaan lingkungan tidak berubah, (5) pengaruh kerapatan adalah sama untuk semua tingkat umur populasi, dan (6) peluang untuk berkembangbiak tidak dipengaruhi oleh kerapatan. 2.4 Daya Dukung Sharkey (1970) mendefinisikan daya dukung sebagai bobot satwa dari satu atau gabungan populasi yang dapat disokong secara permanen pada area tertentu. Pengertian yang hampir sama diberikan oleh Bailey (1984) yang menyatakan bahwa daya dukung adalah jumlah individu satwaliar dengan kualitas tertentu yang dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap sumberdaya habitat. Menurut Alikodra (2002), besarnya nilai daya dukung ditentukan oleh kondisi potensi makanan dan ruang. Selain itu nilai daya dukung tidak berlaku umum melainkan spesifik bagi suatu spesies tertentu pada waktu dan lokasi tertentu, sehingga kondisi habitat yan berbeda akan menyebabkan perbedaan daya dukung habitat. Menurut Syarief (1974), besarnya daya dukung suatu areal dapat dihitung melalui pengukuran salah satu faktor habitat, misalnya produkstifitas hijauan. Untuk menghitung produktivitas hijauan berupa padang
16 rumput dapat dilakukan dengan cara pemotongan hijauan pada suatu luasan sampel savanal, menimbang dan dihitung produksi per unit luas per unit waktu. Beberapa ahli membagi daya dukung atas dua kategori yaitu daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomis. Daya dukung ekologis adalah kepadatan maksimum satwa yang masih dapat hidup secara lestari tanpa pemanenan dan rekayasa terhadap vegetasi, sedangkan daya dukung ekonomis adalah kepadatan satwa yang memungkinkan pemanenan maksimal secara lestari dan selalu lebih rendah dari daya dukung ekologis (Caughley 1976). Daya dukung ekologis terdiri dari tingkat kepadatan subsisten, tingkat kepadatan toleran, dan tingkat kepadatan aman. Sedangkan daya dukung ekonomis terdiri dari tingkat kepadatan pemanenan maksimum, dan tingkat kepadatan yang dampaknya minimum terhadap satwa lain dan habitatnya. 2.5 Pemanenan Pemanenan merupakan salah satu komponen penting dalam program pengelolaan populasi satwa khususnya yang bernilai ekonomis, seperti rusa. Pengelolaan akan sangat menentukan tujuan dan target yang akan dicapai dalam pemanenan (Evans et al. 1999). Prinsip pemanenan dalam pengelolaan populasi adalah menyediakan panenan lestari, yaitu sejumlah hasil yang dapat diambil dari tahun ketahun tanpa menyebabkan penurunan populasi. Jumlah panen lestari tertinggi yang mungkin diperoleh disebut sebagai panen lestari maksimum (maximum sustainable yield), sedangkan panen lestari yang dapat diperoleh tanpa menyebabkan kerusakan disebut dengan panen lestari optimum (optimum sustainable yield) (Caughley 1977). Pada pengelolaan Ungulata untuk tujuan pemanenan umumnya digunakan konsep tingkat kepadatan pemanenan maksimum, yaitu jumlah satwaliar yang mampu ditampung oleh suatu habitat pada kondisi hasil pemanenan yang maksimum. Kondisi ini dapat dicapai dengan cara mengatur faktor-faktor kesejahteraan, dengan demikian, keadaan pemanenan maksimum memerlukan pengelolaan secara intensif. Selain itu, juga diperlukan data dasar untuk menetapkan jumlah satwaliar maksimum yang dapat dipanen, dan memelihara populasi agar mencapai jumlah yang maksimum. Untuk mendapatkan jumlah hasil pemanenan maksimum yang tepat diperlukan berbagai fakta seperti model
17 populasi yang dapat disusun berdasarkan respon pertumbuhan populasi terhadap berbagai macam ukuran populasi dan kondisi produktifitas habitat (Adams 1971, Anderson 1971). 2.6 Analisis Break Even Point Analisis Break Even Point (BEP) merupakan sebuah teknik yang telah digunakan secara luas oleh manajemen produksi dan manajemen akuntan. Tujuan dari analisis BEP adalah untuk menentukan jumlah pulang pokok (breakeven quantity) dari suatu produk dengan mempelajari hubungan diantara struktur biaya perusahaan, volume output, dan keuntungan (Martin et al. 1991). Jumlah pulang pokok yang ditentukan sebagai BEP adalah sejumlah unit yang harus terjual dalam upaya menghasilkan keuntungan sebesar nol tetapi akan menutupi biayabiaya yang berhubungan, sehingga perusahaan tidak mengalami kerugian. Dengan demikian prinsip dasar BEP adalah total penerimaan sama dengan total pengeluaran. BEP dapat dinyatakan dalam unit atau harga (FeedBurner 2008, Home et al. 1995). Analisis BEP berdasarkan pada pengelompokan biaya produksi atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap atau biaya tidak langsung adalah biaya yang tidak bervariasi berdasarkan volume penjualan atau jumlah dari perubahan output. Biaya tetap bersifat independen terhadap kuantitas produk yang dihasilkan dan seimbang terhadap sejumlah harga yang tetap. Biaya variabel atau biaya langsung adalah biaya yang tetap per unit output tetapi berubah secara keseluruhan jika output berubah. Total biaya variabel diperhitung berdasarkan biaya variabel per unit dan mengalikannya dengan jumlah produksi dan penjualan (Martin et al. 1991). Break Even Point dapat diketahui dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu, trial and error analysis, contribution margin analysis, dan algebric analysis (Martin et al. 1991). Asumsi yang digunakan dalam analisis BEP adalah (1) semua barang produksi terjual habis, (2) apabila harga jual dan biaya berubah, maka harga dan biaya produksi tetap. Analisis BEP dapat digunakan untuk memecahkan masalah manajerial yaitu mengatur tingkat harga, menargetkan biaya tetap dan biaya variable yang optimal, menentukan pilihan strategi yang
18 berbeda bagi perusahaan, serta merencanakan penjualan setiap bulan atau setiap tahun. Selain itu, BEP berfungsi sebagai indikator kelayakan suatu usaha, dan sebuah teknik pengawasan operasi (Berry 2003). Namun demikian analisis BEP memiliki beberapa keterbatasan, diantaranya (1) hubungan biaya-volumekeuntungan diasumsikan linier, (2) kurva total penerimaan diperkirakan meningkat secara linier dengan volume output, (3) diasumsikan produksi tetap dan penjualan tidak tetap, dan (4) perhitungan breakeven merupakan bentuk analisis yang statis. Oleh sebab itu analisis BEP digunakan untuk tindakan-tindakan manajerial, bukan untuk pengambilan keputusan akhir (Martin et al. 1991).