II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penggunaan Lahan Meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan memerlukan pemikiran yang seksama dalam mengambil keputusan bagi penggunaan lahan, karena lahan sifatnya terbatas. Sumberdaya lahan yang paling menguntungkan dari lahan yang terbatas perlu dipertimbangkan untuk penggunaan dan pemanfaatannya di masa mendatang. Beberapa permasalahan dalam penggunaan lahan untuk tujuan pemanfaatan ruang adalah lemahnya penegakan hukum, kurangnya informasi tentang potensi lahan dan rendahnya tingkat kesadaran serta pengetahuan masyarakat tentang penggunaan ruang tata ruang. Tindakan pengelolaan diperlukan bagi setiap areal lahan yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam pe manfaatan areal tersebut. (Sitorus, 1998). Banyak definisi yang dikembangkan untuk mendifinisikan penatagunaan tanah, diantaranya Canadian Institute of Planners mendefinisikan bahwa: "Perencanaan (penatagunaan) tanah merupakan pendekatan keilmuan, estetika, dan pengaturan penggunaan lahan, sumber daya, fasilitas dan pelayanan untuk menjamin efisiensi fisik, ekonomi dan sosial serta kesehatan dan kesejahteraan masyarakat perkotaan dan pedesaan. Untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan bahkan bisa sampai melihat dampak penggunaan lahan terhadap urbanisasi, Negara Canada menggunakan data Landsat (Zhang, 2005). Analisis terhadap perubahan penggunaan lahan, baik pola/bentuk, proses, metode dan peralatan (tools), penyebab serta dampaknya, telah banyak dilakukan (Kartodiharjo, 2007). Akan tetapi perubahan penggunaan lahan terus terjadi dan dampak negatif dari perubahan penggunaan lahan seolah sulit dikendalikan. Ketika dulu perubahan penggunaan lahan didominasi oleh konversi hutan menjadi lahan pertanian, maka sekarang terdapat kecenderungan perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi pemukiman dan industri. Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna tanah yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak
sesuai dengan kemampuannya, selain dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lain, bahkan dapat menghancurkan suatu kebudayaan yang sebelumnya telah berkembang (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Sitorus (1998) menyatakan bahwa pada dasarnya evaluasi kesesuaian lahan memerlukan informasi yang menyangkut tiga aspek utama, yaitu: lahan, penggunaan lahan dan aspek ekonomi. Manfaat yang mendasar dan evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan. Penggunaan lahan adalah setiap campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhannya, baik material maupun spiritualnya (Vink 1975 dalam Sitorus 2001). Menurut Barlowe (1986), faktor- faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan kelembagaan. Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuhtumbuhan, hewan dan kependudukan. Faktor ekonomi dicirikan oleh keuntungan, kondisi pasar dan transportasi. Faktor kelembagaan dicirikan oleh hukum dan pertahanan, situasi politik, sosial ekonimi dan secara administrasi dapat dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bagi seorang perencana, pengetahuan mengenai penggunaan lahan dan penutupan lahan sangatlah penting dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya lahan yang memperhatikan aspek lingkungan. Penggunaan lahan (land use) dan penutupan lahan (land cover) merupakan dua istilah yang sering diberi pengertian sama, padahal keduanya mempunyai pengertian berbeda. Menurut Lillesand dan Kiefer (1987), penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutupan lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia pada obyek-obyek tersebut. Irawan (2005) mengemukakan bahwa, konversi
lahan pertanian pada
dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antar sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut
muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu : (a) keterbatasan sumberdaya lahan, (b) pertumbuhan penduduk, dan (c) pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian pada tingkat yang lebih tinggi di bandingkan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian. Ini disebabkan karena permintaan produk non-pertanian lebih elastis terhadap pendapatan.
Meningkatnya kelangkaan lahan (akibat
pertumbuhan penduduk), yang dibarengi dengan meningkatnya permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian (akibat pertumbuhan Penduduk) mendorong terjadinya konversi lahan pertanian. Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat akan berpengaruh terhadap berbagai macam aktivitas di dalam kota dan konsekwensinya akan berdampak pada pembangunan perkotaan itu sendiri (Masri, 2008). Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai suatu proses pilihan pemanfaatan ruang guna memperoleh manfaat yang optimum, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Menurut Winoto et al. (1996), perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian bukanlah semata- mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Sementara Sumaryanto et al. (1994) menjelaskan alih fungsi lahan dari segi pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi sumber daya antar sektor penggunaan. Akibat struktur perekonomian yang mengarah
pada semakin meningkatnya peranan sektor non pertanian,
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi besaran dan laju penggunaan sumberdaya (tenaga kerja, modal dan tanah) antar sektor. Lazimnya, sektor-sektor ekonomi dengan pertumbuhan yang tinggi akan diikuti dengan laju penggunaan sumberdaya yang lebih tinggi. Lahan pertanian yang berpeluang untuk terkonversi lebih besar adalah lahan sawah dibandingkan lahan kering. Sawah secara spasial memiliki alasan yang kuat untuk dikonversi menjadi kegiatan non-pertanian karena (1) kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian lebih menguntungkan di lahan yang datar dimana sawah pada umumnya ada, (2) infrastruktur seperti jalan lebih tersedia di daerah
persawahan, (3) daerah persawahan pada umumnya lebih mendekati wilayah konsumen yang relatif padat penduduk dibandingkan lahan kering yang sebagian besar terdapat di daerah bergelombang, perbukitan dan pegunungan (Nofarianty, 2006). Alih fungsi lahan
pertanian ke non pertanian, disamping merupakan
berubahnya fenomena fisik luasan tanah pertanian, juga berkaitan erat dengan berubahnya orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat. Sementara Sumaryanto et al. (1994) menjelaskan alih guna lahan dari segi pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi sumber daya antar sektor penggunaan.
2.2. Penyimpangan Penggunaan Lahan Penyebab penyimpangan penggunaan lahan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu: 1) ruang sebagai objek, dan 2) manusia sebagai pelaku. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Dari aspek manusia sebagai pelaku, dalam penggunaan lahan dipengaruhi oleh: faktor pengetahuan, faktor pekerjaan dan faktor pendapatan. Ruang memiliki keterbatasan sehingga dapat dilihat semakin langkanya lahan di pusat kota, sementara masih banyak lahan- lahan tidak produktif/belum optiomal dalam pemanfaatannya yang jauh dari pusat kota. Karena persaingan dan faktor kepentingan terjadilah penyimpangan penggunaan lahan. Penyimpangan penggunaan lahan perkotaan tidak lepas dari faktor perilaku serta latar belakang masyarakat yang menempatinya, misalnya tumbuhnya permukiman kumuh dan bangunan sekitar bantaran memperlihatkan cirri perilaku penghuninya. Tindakan manusia dilakukan untuk memenuhi kebutuhan berdasarkan cara pandangnya (Budihardjo, 1993). Dari landasan ini manusia menumbuhkan rasa memiliki dan mempertahankannya.
2.3. Penataan ruang Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang
meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang (UU No. 26/2007 Pasal 1). Menurut Yuwono (2008), penggunaan lahan sangat me nentukan wujud keruangannya serta caca-cara manusia beraktifitas. Penyebab penyimpangan penggunaan lahan secara garis besar ada dua, yaitu ruang sebagai objek dan manusia sebagai pelaku. Dari aspek ruang, pengambilalihan lahan dari masyarakat yang berpenghasilan rendah oleh masyarakat yang berpenghasilan menengah atau tinggi menunnjukkan pembentukkan ruang dilatarbelakangi oleh nilai ekonomi. Semakin tinggi nilai ruang meningkatkan daya tarik masyarakat yang mampu untuk menguasainya. Dari aspek pelaku, kota merupakan hasil kreatifitas yang mencerminkan pandangan manusia yang membentuknya. Budiharjo (1999) mengemukakan bahwa manusia memegang peranan penting dalam mengatur pemanfaatan ruang. Penyimpangan terjadi akibat ledakan penduduk yang tidak terkendali. Perencanaan tata ruang merupakan metode yang digunakan oleh sektor publik untuk mengatur penyebaran penduduk dan aktivitas dalam ruang yang skalanya bervariasi. Perencanaan tata ruang terdiri dari semua tingkat penatagunaan
tanah, termasuk perencanaan
kota, perencanaan
regional,
perencanaan lingkungan, rencana tata ruang nasional, sampai tingkat internasional seperti Uni Eropa. Salah satu definisi awal perencanaan tata ruang diambil dari European Regional/Spatial Planning Charter (disebut juga Torremolinos Charter), yang diadopsi pada tahun 1983 oleh Konferensi Menteri Eropa yang bertanggung jawab atas Regional Planning, yang berbunyi: "Perencanaan tata ruang memberikan ekspresi geografis terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial, budaya, dan ekologis. Perencanaan tata ruang juga merupakan sebuah ilmu ilmiah, teknik administrasi, dan kebijakan, yang dikembangkan sebagai pendekatan lengkap dan antar-ilmu, yang diarahkan kepada pengembangan regional dan organisasi fisik terhadap sebuah strategi utama."
Dari penelitian diketahui bahwa pada umumnya penyimpangan terhadap rencana tata ruang kota justru berawal dari kebijaksanaan pemerintah (Sunardi, 2004). Hal ini berarti pemerintah daerah sebagai penanggung jawab rencana tata ruang kota dirasa kurang konsekuen dalam melaksanakan pembangunan kota. Sebagai penyebab utama kurang efektifnya rencana tata ruang kota (dengan indikator adanya berbagai penyimpangan) adalah kurang adanya koordinasi antar dinas/instansi lain dan kurang dilibatkannya unsur masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat tidak terakomodasi di dalam rencana tata ruang kota. Menurut Undang-undang No. 26 tahun 2007, ruang didefinisikan sebagai ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara. termasuk rua ng didalam bumi, sebagai tempat manusia dan mahluk hidup melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Pada pasal 9 ayat 1, dikemukakan bahwa penyelenggarakan penataan ruang dianalisis oleh seorang menteri. Penataan ruang berazaskan: a) pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan, b) keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan. Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan fungsi yang harus diemban oleh masing- masing ruang/kawasan. Fungsi suatu kawasan akan diperoleh jika penyusunan rencana tata ruang sebagai tahap awal dari proses penataan ruang mempertimbangkan aspek kesesuaian lahan, kemampuan lahan dan ketersediaan lahan yang selanjutnya akan mendorong pembangunan berkelanjutan (Azhari, 2004). Mengapa perencanaan tata ruang itu perlu?, karena
manusia sebagai
makhluk berbudaya yang mempunyai pemikiran dan keinginan tidak sama. Setiap individu manusia bahkan bertentangan satu sama lainnya, sehingga pertentangan tersebut menimbulkan suatu pemikiran-pemikiran yang berbeda tentang suatu perencanaan dan pengaturan serta pengembangan kualitas lingkungan hidupnya. Beberapa alasan tentang pentingnya arti dari suatu penataan ruang adalah: 1. Yang optimal bagi suatu individu tidak selalu optimal bagi masyarakat karena itu perencanaan tata ruang dianggap perlu.
2.Salah satu faktor dari ruang, yaitu atmosfir adalah merupakan suatu sumberdaya yang bersifat public goods. 3.Ruang merupakan komponen ekosistem dimana fungsi- fungsi ekologis dari ruang dalam suatu ekosistem mempengaruhi kesinambungan dan kontinuitas dari suatu sistem. Pengaturan pemanfaatan ruang yang paling dikenal saat ini adalah pengaturan penggunaan lahan yang didahului oleh penyusunan perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Perencanaan penggunaan lahan merupakan perencanaan fisik yang paling utama dalam proses penataan ruang (Rustiadi, 2006). Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, penataan ruang diatur berdasarkan fungsi utama kawasan dan terdiri atas kawasan lindung seperti suaka alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam dan sebagainya, serta kawasan budidaya seperti industri, permukiman, pertanian. Untuk aspek administratif, penataan ruang meliputi ruang wilayah nasional, wilayah provinsi dan wilayah kabupaten/kota yang dalam penyusunannya melalui hierarki dari level yang paling atas ke level yang paling bawah agar penataan ruang bisa dilakukan secara terpadu. Menurut Rustiadi et al. ( 2004 ), penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang mempunyai tiga urgensi, yaitu: 1) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi), 2) alat dan wujud distribusi sumberdaya ( prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan ), 3) keberlanjutan prinsip (sustainability). Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tata guna lahan, air dan udara serta tata guna sumberdaya alam yang menurut Undang-Undang pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, negara mengatur penggunaan tanah agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tata guna lahan adalah struktur dan pola pemanfaatan lahan, baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan yang meliputi persediaan peruntukan dan penggunaan lahan.
Pemanfaatan ruang mempunyai tiga tujuan, yaitu optimalisasi pemanfaatan sumberdaya
(productivity),
keberimbangan
dan
keadilan
(equity)
dan
keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al. 2004). Penyimpangan penggunaan lahan dari rencana tata ruang dikhawatirkan akan menghambat tujuan tersebut diatas. Untuk itu
perlu dilakukan evaluasi
rencana tata ruang Kota Tasikmalaya
penggunaan lahan sesuai dengan
sebagai bahan pertimbangan dalam
penyempurnaan kebijakan rencana tata ruang yang baru. Konsep secara teoritis alokasi penggunaan lahan melalui beberapa mekanisme, yaitu: 1) Penggunaan oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundangan; 2) Mekanisme pasar dan 3) kombinasi keduanya. Alokasi berdasarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah: dilihat dari aspek pembangunan, aspek hukum, aspek organisasi dan aspek teknis. Menurut Darwanto (2000) penataan ruang bertujuan untuk terselenggaranya penataan ruang yang berwawasan lingkungan, terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budidaya sehingga tercipta pengaturan pemanfaatan ruang yang berkualitas. Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan yang sangat penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi. Konsep penataan ruang dapat menjadi aktivitas yang mengarah kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha. Penataan ruang bukanlah suatu tujuan melainkan alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian kegiatan penataan ruang tidak boleh berhent i, melainkan penataan ruang harus merupakan aktivitas yang terus-menerus dilakukan untuk mengarahkan masyarakat suatu wilayah dalam mencapai tujuan-tujuan pokoknya, (Darwanto, 2000). Diatas
kertas,
penetapan
tata
ruang
dipandang
seringkali
hanya
mempertimbangkan aspek fisik wilayah (land suitability dan land capability) dan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Di dalam pelaksanaannya perencanaan tata ruang juga seringkali dimonopoli oleh pihak-pihak tertentu yang tidak berorie ntasi pada kepentingan publik/masyarakat luas ( Rustiadi dan Saefulhakim, 2006). Sasaran utama dari Perencanaan Tata Ruang pada dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan lahan terbaik, namun biasanya dapat dikelompokkan
atas tiga sasaran umum: (1) efisiensi, (2) keadilan dan akseptabilitas masyarakat, dan (3) keberlanjutan. Sasaran efisiensi merujuk pada manfaat ekonomi, dimana dalam konteks kepentingan publik pemanfaatan ruang diarahkan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Tata ruang harus merupakan perwujudan keadilan dan melibatkan partisipasi masyarakat, oleh karenya perencanaan yang disusun harus dapat diterima oleh masyarakat. Perencanaan tata ruang juga harus berorientasi pada keseimbangan fisik lingkungan dan sosial sehingga menjamin peningkatan kesejahteraan secara berkelanjutan (sustainable). Berdasarkan Pasal 12 UU No. 24 tahun 1992 tentang penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah, pihak masyarakat merupakan pihak yang akan menerima hasil- hasil dari produk RTRW, dengan demikian, sebaiknya dalam penyusunan RTRW pihak masyarakat diikutsertakan. Begitu pun dalam pembangunan, dimana penduduk diharapkan berperan serta dalam proses pembangunan daerahnya. Oleh karena itu, sebagai pihak yang akan merasakan dan sekaligus malaksanakan pembangunan daerahnya, diperlukan tinjauan mengenai kependudukan yang merupakan salah satu bentuk pengakomodasian kepentingan penduduk, misalnya dengan menemukenali karakteristik umum penduduk maka dapat diperkirakan kebutuhan- kebutuhan
masyarakat di masa depan. Menurut istilah geografi
regional rua ng sering diartikan sebagai suatu wilayah yang mempunyai batas geografi, yaitu batas menurut keadaan fisik, sosial atau pemerintahan yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan udara di atasnya (Jayadinata, 1999). Menurut Wegener (2001), terdapat tiga kategori model spasial, yaitu model skala, model konseptual dan model matematik. Model skala adalah model yang merepresentasikan kondisi fisik yang sebenarnya, seperti data ketinggian. Model konseptual adalah model yang menggunakan pola-pola aliran dari komponenkomponen sistem yang diteliti dan menggambarkan hubungan antar kedua komponen tersebut. Model matematik digunakan dalam model konseptual yang merepresentasikan beberapa komponen dan interaksinya dengan hubungan matematik.
2.4. Konsep Kota Kota adalah suatu bentukan manusia yang terjadi akibat kegiatan manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya, sehingga faktor- faktor sosial, ekonomi, budaya, kelembagaan, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi mempengaruhi perubahan lanskap perkotaan juga akan berkontribusi terhadap lingkungan fisik kota (Simons, 1992). Setiap rencana yang dibuat haruslah efsien baik ditinjau dari aspek ekonomi maupun dari aspek sosial sebagai akibat dari proses normal alam dan kehidupan manusia yang tercermin dari keterkaitan fungsi dan makna kota. Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerint ahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (UU No. 26 Th 2007). Misalnya salah satu definisi menyatakan sebuah kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu- individu yang heterogen dari segi sosial, yang
dijabarkan dalam 10 kriteria yang lebih spesifik untuk merumuskan kota, menurut Rapoport (1982) sebagai berikut : 1. Ukuran dan jumlah penduduk yang besar terhadap massa dan tempat. 2. Bersifat permanen. 3. Kepadatan minimum terhadap massa dan tempat. 4. Struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukkan jalur jalan dan ruang-ruang perkotaan yang nyata. 5. Tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja. 6. Fungsi perkotaan minimum meliputi sebuah pasar, sebuah pusat administrasi atau pemerintahan, sebuah pusat militer, sebuah pusat keagamaan, atau sebuah pusat aktivitas intelektual. 7. Heterogenitas dan pembedaan yang bersifat hierarkis pada masyarakat. 8. Pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan sebuah daerah pertanian ditepi kota dan memproses bahan mentah untuk pemasaran yang lebih luas. 9. Pusat pelayanan bagi daerah-daerah lingkungan setempat. 10. Sebagai pusat penyebaran.
Pengorganisasian sebuah permukiman dapat dirumuskan sebagai sebuah kota bukan dari segi ciri-ciri morfologis tertentu atau bahkan kumpulan ciricirinya, melainkan dari segi suatu fungsi khusus yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang efektif. Menurut Sujarto (1998) ada lima paradigma baru yang menyebabkan perubahan dan perkembangan pola pikir dalam perencanaan wilayah dan kota, adalah sebagai berikut : 1) Perekonomian global, 2) Orientasi pembangunan, 3) Kemitraan pemerintah dan masyarakat, 4) Perkembangan sistem dan teknologi informasi dan 5) Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkunga n. Kota yang berkelanjutan adalah suatu daerah perkotaan yang mampu berkompetisi secara sukses dalam pertarungan global dan mampu pula mempertahankan vitalitas budaya serta keserasian lingkungan. Konsep kota yang berkelanjutan merupakan suatu konsep global yang kuat yang diekspresikan dan diaktualisasikan secara lokal. Pendekatan dalam penataan kota yang dilakukan dewasa ini banyak menyimpang dan meninggalkan aspek kesejahteraan dan pelestarian. Menurut Antariksa (2004), hal ini banyak terjadi dibeberapa kota dunia, dimana latar belakang dari sejarah besar. Pembangunan dan penataan kota menjadi bagian dari modernisasi perkotaan tanpa memperhitungkan lagi aspek kultur masyarakat sebagai penghuninya. Menurut Yunus (2000) di dalam kota terdapat kekuatan-kekuatan dinamis yang
mempengaruhi
pola
penggunaan
lahan
kota,
artinya
di
dalam
pergerakkannya terdapat penambahan dan pengurangan bangunan, fungsi fisik, struktur penduduk, nilai kehidupan dan aspek-aspek kehidupan (politik, sosial, ekonomi, dan budaya). Ada 4 macam dimensi yang perlu diperhatikan dalam mencoba memahami dinamika perubahan tempat tinggal pada suatu kota, yaitu: 1) dimensi lokasi, 2) dimensi perumahan, 3) dimensi siklus kehidupan dan 4) dimensi penghasilan. Barcelona berkembang menjadi kota metropolitan diawali pada tahun 1972 dengan mempertimbangkan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui spekulasi membuka lahan subur dan lembah sungai yang kemiringannya < 20% menjadi suatu kota pusat perbelanjaan
dan tempat wisata dengan
dilengkapi berbagai fasilitas pendukung. Spekulasi tersebut menyebabkan nilai dari lahan menjadi tinggi dan kehidupan masyarakatnya secara ekonomi meningkat, dikut ip dari jurnal Papayanis (2000).
2.5. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem perangkat kerja komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan data, analisis data dan tampilan geografi yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. Sistem komputer ini terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan manusia (personal) yang sengaja
dirancang
untuk secara efisien
memasukkan, menyimpan, memperbaharui, menganalisis dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis ( ESRI, 1990 ). Analisis dengan SIG dapat memperoleh jawaban dari permasalahan-permasalahan keruangan. Hal ini tergantung dari bagaimana analisis melakukan klasifikasi atau simbolisasi suatu fitur. Informasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan penganbilan keputusan (Mitchell, 2005). SIG saat ini lebih sering diterapkan bagi teknologi informasi spasial atau geografi yang berorientasi pada penggunaan teknologi komputer. Pada pengertian yang lebih luas SIG mencakup pengertian sebagai suatu sistem yang berorientasi opersi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan dan manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional (Barus & Wiradisastra, 2000). Burrough (1986) mendefinisikan SIG sebagai seperangkat alat
yang
digunakan
untuk
mengumpulkan,
menyimpan,
menampilkan,
mentransformasikan dan menyajikan data spasial obyek atau aspek permukaan bumi untuk tujuan tertentu. SIG adalah sistem informasi yang mendasarkan pada kerja dasar komputer yang mampu memasukkan, mengelola (memberi dan mengambil kembali), memanipulasi dan menganalisis data (Aronoff, 1989). Analisis SIG dapat dipakai untuk mendukung berbagai aplikasi terhadap fenomena geografis yang penting dalam kegiatan pembangunan, misalnya dalam perencanaan tata ruang (spatial planning). Dalam perencanaan pembangunan tersebut perlu dilakukan analisis spasial dari berbagai kondisi fisik dan sosial ekonomi suatu daerah untuk dapat menentukan pemanfaatan sumberdaya yang
optimal. Untuk keperluan analisis keruangan, SIG mempunyai kemampuan yang sangat fleksibel dan akurat. Keunikan SIG lainnya jika dibandingkan dengan sistem pengelolaan basis data adalah kemampuan untuk menyajikan informasi spasial maupun non spasial secara bersama-sama. Sebagai contoh, data SIG penggunaan lahan dapat disajikan dalam bentuk batas-batas luasan yang masing- masing mempunyai atribut dalam bentuk tulisan maupun angka. Informasi dalam tema umumnya disajikan dalam lapisan (layer) informasi yang berbeda. Oleh karena SIG merupakan penyederhanaan dari fenomena alam/geografi yang nyata, maka SIG harus betulbetul mewakili kondisi, sifat-sifat (atribut yang penting) bagi suatu aplikasi/ pemanfaatan tertentu (Raharjo, 1996). Tahap terakhir kelengkapan SIG adalah pengambilan keputusan. Pada tahap ini digunakan model- model untuk mendapatkan evaluasi secara real time yang kemudian hasilnya didapatkan dari pemodelan dibamdingkan dengan kondisi dilapangan (Robinson et al, 1995).
2.6. Analisis Spasial Menurut Rustiadi et al. (2004), pengertian analisis spasial dipahami secara berbeda antara ilmuwan berlatar belakang geografi dengan ilmuwan berlatar belakang sosial (termasuk ekonomi). Perbedaan keduanya bersumber dari perbedaan dalam dua hal, pertama perbedaan pengertian kata spasial atau ruang itu sendiri dan kedua fokus kajiannya.
Dari pandangan geografi, pengertian
spasial adalah pengertian yang bersifat rigid (kaku), yakni segala hal yang menyangkut lokasi atau tempat.
Definisi suatu ”tempat” atau lokasi secara
geografis sangat jelas, tegas, dan lebih terukur karena setiap lokasi diatas permukaan bumi dalam ilmu geografi dapat diukur secara kuantitatif.