4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spirituil (Arsyad, 2000). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, semak, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 2000). Berikut ini merupakan penjelasan beberapa jenis penggunaan lahan berdasarkan pedoman survai yang digunakan oleh Direktorat Tata Guna Tanah Departemen Dalam Negeri (Sitorus 1989): 1). Hutan adalah areal yang ditumbuhi berbaga jenis pepohonan besar dan kecil dengan tingkat pertumbuhan yang maksimum, dapat meliputi hutan heterogen yang merupakan hutan alam atau hutan homogen yang ditumbuhi pepohonan dengan didominasi oleh satu jenis saja. 2). Perkebunan adalah areal yang ditanami jenis tanaman keras atau tanaman tahunan, baik untuk usaha perkebunan besar maupun perkebunan rakyat. 3). Kebun Campuran adalah areal yang ditanami berbagai macam tanaman, jenis tanaman keras, atau kombinasi tanaman keras dan tanaman semusim yang tidak jelas jenis mana yang lebih dominan. 4). Tegalan adalah areal pertanian lahan kering, biasanya tanaman yang diusahakan adalah tanaman berumur pendek. 5). Sawah adalah areal pertanian lahan basah yang secara periodik atau terusmenerus ditanami padi.
5
6). Danau adalah areal penggenangan permanen yang dalam dan terjadi secara alami. 7). Rawa adalah areal dengan penggenangan permanen yang dangkal tetapi belum cukup dangkal untuk dapat ditumbuhi tumbuhan besar, sehingga pada umumnya ditumbuhi rerumputan rawa. 8). Perkampungan atau Pemukiman adalah bagian dari permukaan bumi yang dihuni oleh manusia, meliputi segala (sarana dan prasarana) yang menunjang kehidupan penduduk. Penggunaan lahan secara umum dipengaruhi oleh kemampuan lahan dan lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan dipengaruhi oleh kelas kemampuan lahan yang dicirikan adanya perbedaan sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi. Penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh lokasi, khususnya untuk daerah-daerah pemukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi (Suparmoko, 1995). Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan akan menciptakan pemanfaatan ruang yang tepat guna dan berhasil guna sehingga penting dilakukan perhitungan terhadap faktor-faktor fisik tanah untuk mengetahui besarnya kemampuan dan kesesuaian lahan pada suatu kawasan. Penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah ruang, kemampuan dan kesesuaian lahan menyebabkan dampak lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti terjadi erosi, menurunnya fungsi hidrologis hutan, terjadinya degradasi lahan dan meningkatnya lahan kritis serta kerusakan lingkungan (Desman, 2007).
2.2. Dampak Penyimpangan Penggunaan Lahan Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Rencana tata ruang merupakan instrumen penting bagi pemerintah, sehingga penetapan rencana harus mendapat kesepakatan dan pengesahan oleh lembaga legislatif sebagai wakil rakyat dan dukungan masyarakat. Rencana tata ruang secara legal mempunyai kekuatan mengikat untuk dipatuhi baik oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri, sehingga diharapkan proses pemanfaatan ruang dapat dilakukan secara konsisten. Menurut Wiranto (2001), pelaksanaan pembangunan
6
harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, agar dapat dihindari masalah:
(1)
ketidakseimbangan
laju
pertumbuhan
antar
daerah;
(2)
ketidakefisienan pemanfaatan sumberdaya alam dan kemerosotan kualitas lingkungan hidup; (3) ketidaktertiban penggunaan tanah; (4) ketidakefisienan kegiatan ekonomi-sosial; dan (5) ketidakharmonisan interaksi sosial ekonomi antar pelaku dalam pemanfaatan ruang. Menurut Dardak (2006), upaya menciptakan ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dirasakan masih menghadapi tantangan yang berat. Hal ini di tunjukkan oleh masih banyaknya permasalahan yang mencerminkan bahwa kualitas ruang kehidupan kita masih jauh dari cita-cita tersebut. Di Indonesia, salah satu masalah pokok dalam usaha penataan penggunaan lahan dan lingkungan hidup antara lain adanya kontradiksi antara kebutuhan yang menjadi pemakai yang lebih luas di satu pihak dan batasan-batasan yang berat demi lingkungan hidup (Sitorus, 2004). Menurut Direktorat Jendral Penataan Ruang (2003), terdapat beberapa permasalahan penting yang diduga mempengaruhi terjadinya bencana banjir yang menggenangi hampir 60% wilayah Jakarta di tahun 2002 dan 2003, yaitu: berkurangnya fungsi kawasan-kawasan lindung di wilayah Bogor sebagai kawasan resapan air, dan berbagai penyimpangan antara rencana dan pemanfaatan ruang. Kerusakan lahan merupakan beban berat yang harus ditanggung masyarakat terutama jika diperhitungkan akibat sampingan yang ditimbulkan, seperti kerusakan lingkungan, banjir pada saat musim hujan, pendangkalan irigasi dan saluran sungai serta kekurangan air pada saat musim kemarau. Hal ini menuntut perhatian karena memperbaiki lahan yang telah kritis agar dapat berfungsi dengan baik memerlukan waktu yang lama serta biaya yang mahal (Arsyad, 2000).
2.3. Lahan Kritis Lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan fisik tanah karena berkurangnya penutupan vegetasi dan adanya gejala erosi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi dan daerah lingkungannya (Tim Balai Penelitian Tanah, 2004). Timbulnya lahan kritis disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
7
adalah tutupan vegetasi, lereng, erosi, dan kedalaman solum tanah. Tutupan vegetasi, sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrologis. Suatu lahan dengan tutupan vegetasi yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga memperkecil terjadinya erosi percik, dan memperkecil koefisien aliran sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan, khususnya pada lahan dengan solum tebal. Disamping itu kondisi tutupan vegetasi yang baik juga memberikan serasah yang cukup banyak, sehingga bisa mempertahankan kesuburan tanah (Notohadiprawiro, 2006). Hubungan antara lereng dengan fungsi hidro-orologis adalah bahwa semakin kecil lereng akan semakin besar kemungkinan air hujan untuk meresap ke dalam tanah. Hal ini dikarenakan semakin kecilnya air hujan yang menjadi air permukaan. Disamping itu aliran air di daerah datar, cenderung lebih lambat dibandingkan dengan daerah curam, sehingga kemungkinan terjadinya erosi juga kecil. Dengan demikian pengaruh daerah dengan lereng datar terhadap kemungkinan timbulnya lahan kritis juga semakin kecil (Darmawijaya, 1992). Erosi di daerah hulu antara lain mengakibatkan menurunnya kualitas lahan pertanian, perkebunan, dan padang penggembalaan. Keadaan ini menyebabkan berkurangnya produktivitas lahan-lahan tersebut yang berarti juga akan terjadi peningkatan biaya dibutuhkan untuk mengembalikan tingkat kesuburan tanah. Ditinjau dari aspek kerusakan fisik, lahan kritis dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok, yaitu: lahan potensial kritis, lahan semi/hampir kritis, lahan kritis, dan lahan sangat kritis (Sitorus, 2004). a) Lahan potensial kritis adalah lahan yang masih/kurang produktif bila diusahakan untuk pertanian tanaman pangan atau mulai terjadi erosi ringan. Bila pengelolaannya tidak berdasarkan pada kaidah-kaidah konservasi tanah, maka lahan dapat menjadi rusak dan cenderung akan berubah menjadi lahan semi/hampir kritis atau lahan kritis. b) Lahan semi/hampir kritis adalah lahan yang kurang/tidak produktif, dan telah terjadi erosi namun masih dapat diusahakan untuk kegiatan pertanian dengan tingkat produksi yang rendah.
8
c) Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali sehingga untuk dapat diusahakan sebagai lahan pertanian perlu didahului dengan usaha rehabilitasi. d) Lahan sangat kritis adalah lahan-lahan yang sangat rusak sehingga tidak memungkinkan lagi untuk diusahakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar untuk di rehabilitasi. Di dalam Karmelia (2006) disebutkan bahwa Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat tahun 1997 telah mengklasifikasikan lahan kritis menggunakan empat parameter lahan
yaitu
: (1) kondisi penutupan vegetasi, (2) tingkat
torehan/kerapatan drainase, (3) penggunaan lahan dan (4) kedalaman tanah. Sesuai dengan parameter-parameter lahan tersebut, lahan kritis dibedakan ke dalam empat tingkat kekritisan lahan yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangat kritis. Ciri-ciri kondisi lapang setiap kriteria dan parameter lahan kritis tersebut disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Penilaian Lahan Kritis menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat 1997 Parameter
Potensial Kritis
Semi Kritis
Kritis
Sangat Kritis
Penutupan vegetasi
> 75 %
50-75 %
25-50 %
< 25 %
Tingkat torehan
Agak tertoreh
Cukup tertoreh
/ kerapatan drainase
Cukup tertoreh
Sangat tertoreh
Hutan, kebun
Pertanian, lahan
campuran,
kering, semak
belukar,
belukar, alang-
perkebunan
alang
Dalam
Sedang
Dangkal
(>100 cm)
(60-100 cm)
(30-60 cm)
Penggunaan lahan
Kedalam tanah
Sangat tertoreh Sangat tertoreh sekali
Sangat tertoreh
Pertanian, lahan
Gundul,
kering, rumput
rumput
semak
semak Sangat dangkal (< 30 cm )
Sumber : Karmelia (2006)
Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.167/V-SET/2004, menggolongkan tingkat kekritisan lahan kedalam lima kelompok, yaitu : (1) Tidak kritis, (2) Potensial Kritis, (3) Agak Kritis, (4) Kritis, dan (5) Sangat Kritis. Kriteria pengelompokkan ini berdasarkan pada variabel:
9
kondisi tutupan vegetasi, kemiringan lereng, tingkat erosi, penutupan oleh batuan, tingkat pengelolaan (manajemen) dan produktivitas lahan. Kriteria penetapan lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan, dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Kriteria lahan kritis kawasan budidaya untuk usaha pertanian, Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, Departemen Kehutanan No 1
2
Kriteria (% bobot)
Kelas
Skor
Keterangan
>80%
5
Dinilai berdasarkan ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional
Produktivitas
1. Sangat Tinggi
(30)
2. Tinggi
61 – 80 %
4
3. Sedang
41 – 60 %
3
4. Rendah
21 – 40 %
2
5.Sangat Rendah
<20 %
1
Lereng
1. Datar
<8 %
5
(20)
2. Landai
8 – 15 %
4
3. Agak Curam
16 – 25 %
3
4. Curam
26 – 40 %
2
>40 %
1
5. Sangat Curam 3
Besaran/Diskripsi
Erosi
1. Ringan
(15)
Tanah dalam : <25% lapisan tanah
5
atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak 20 – 50 m Tanah dangkal : <25% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak >50 m 2. Sedang
Tanah dalam : 25 – 75 % lapisan
4
tanah atas hilang dan/atau erosi alur pada jarak kurang dari 20 m Tanah dangkal : 25–50% lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi alur dengan jarak 20-50 m 3. Berat
Tanah dalam : > 75 % lapisan tanah atas hilang dan/atau erosi parit dengan jarak 20-50 m Tanah dangkal : 50 – 75 % lapisan tanah atas hilang
3
10
Tabel 2 (Lanjutan) Kriteria
No 3
(% bobot) Erosi
Kelas
Besaran/Diskripsi
Skor
4. Sangat Berat
Tanah dalam : Semua lapisan tanah
2
(15)
Keterangan
atas hilang, >25 % lapisan tanah bawah dan/atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak kurang dari 20 m Tanah dangkal : >75 % lapisan tanah atas telah hilang, sebagian tanah lapisan bawah tererosi
4
Batu – batuan
1. Sedikit
(5)
< 10 % permukaan lahan tertutup
5
batuan 2. Sedang
10 – 30 % permukaan lahan
3
tertutup batuan 3. Banyak
>30 % permukaan lahan tertutup
1
batuan 5
Manajemen
1. Baik
(30)
- Penerapan teknologi konservasi
5
tanah lengkap dan sesuai petunjuk teknis 2. Sedang
- Tidak lengkap atau tidak
3
terpelihara 3. Buruk
- Tidak ada
1
Sumber : Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.167/V-SET/2004
Tabel 3. Selang tingkat kekritisan lahan dan jumlah kumulatif skor tiap kelas Tingkat Kekritisan
Jumlah Nilai (bobot x skor)
Sangat Kritis
115 – 200
Kritis
201 – 275
Agak Kritis
276 – 350
Potensial Kritis
351 – 425
Tidak kritis
426 – 500
Sumber : Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.167/V-SET/2004