II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit Udang Ekspor komoditi hasil perikanan dari Indonesia yang terbesar sampai saat ini adalah udang. Realisasi ekspor udang pada tahun 2007 mencapai 160.797 ton dengan nilai Rp 11,5 trilyun. Nilai ekspor udang ini adalah 50 % dari nilai ekspor komoditi perikanan Indonesia pada tahun 2007 yaitu sebesar 23 trilyun (Pusat Data Statistik dan Informasi, Departemen Kelautan dan Perikanan 2008 http://www.dkp.go.id) Ekspor udang tahun 2003 sampai 2007 terus meningkat sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Udang yang diekspor hampir 90 % nya adalah bentuk beku tanpa kulit dan kepala. Jenis udang yang diekspor adalah udang vannamei dan windu, untuk tiga tahun terakhir hampir 75 % adalah udang vannamei (Pusat Data Statistik dan Informasi, Departemen Kelautan dan Perikanan 2008 http://www.dkp.go.id) Tabel 1 Produksi dan ekspor udang Indonesia 2003 – 2007 Tahun
Produksi (ton)
Ekspor (ton)
2003
191.723
92.027
2004
226.553
124.604
2005
295.000
153.906
2006
281.901
159.329
2007
318.565
160.797
Sumber : Pusat Data Statistik dan Informasi, Departemen Kelautan dan Perikanan 2008 http://www.dkp.go.id
Salah satu limbah yang dihasilkan dari industri pembekuan udang tanpa kulit dan kepala adalah kulit udang. Proporsi kulit udang dapat mencapai 45 % dari berat udang keseluruhan (Dhewanto dan Kresnowati 2002). Berdasarkan asumsi tersebut, ketersediaan kulit udang di Indonesia tiap tahunnya relatif besar. Menurut Rao et al. (2000), kulit udang mengadung beberapa komponen yaitu protein, pigmen, lemak, kitin dan mineral yang berupa kalsium karbonat. Semua komponen ini dapat diisolasi atau diekstraksi sehingga mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan kulit udang. Tiga komponen yang keberadaannya cukup besar dalam kulit udang adalah kitin, mineral dan protein. Kandungan kitin pada kulit udang merah (Solenocera melantho) adalah 23,3 % (bk) (Chang dan Tsai 1997). Kandungan kitin pada udang Crangon crangon adalah 17,8 % (bk) (Synowiecki dan Al-Khateeb 2000).
Menurut
Muzzarelli (2000), kandungan kitin dalam kulit udang berkisar antara 20 – 60 % (bk), tergantung jenisnya.
2.2 Kitin Kitin merupakan senyawa biopolimer berantai panjang dan tidak bercabang. Tiap rantai polimer pada umumnya terdiri dari 2000 hingga 5000 unit monomer N-asetil-D-Glukosamin (2-acetamido-2-deoksi-D-Glukosa) yang terpaut melalui ikatan β (1-4) glukosa.
Unit monomer kitin mempunyai rumus molekul
C8H12NO5 dengan kadar C, H, N dan O berturut-turut 47%, 6%, 7% dan 40% (Bastaman 1989).
Struktur kitin dan kitosan serupa dengan selulosa, yaitu antara monomernya terangkai dengan ikatan glukosida pada posisi β (1-4). Perbedaan dengan selulosa adalah gugus hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon nomor dua, digantikan oleh gugus asetamina (-NHCOCH3) pada kitin sehingga kitin menjadi sebuah polimer berunit N-Asetil glukosamin sedangkan pada kitosan digantikan oleh gugus amin (NH2) (Tsugita 1990). Struktur kimia kitin, kitosan dan selulosa dapat dilihat pada Gambar 1. Kitin
Kitosan
Selulosa
Gambar 1 Struktur kimia kitin, kitosan dan selulosa (Tsugita 1990) Pengamatan dengan sinar X terhadap struktur kitin menunjukkan adanya gugus amino yang tidak terasetilasi pada setiap 6 sampai 7 gugus asetil glukosamida.
Ditinjau dari segi fisik, struktur kitin tersusun atas unit-unit
berbentuk ortorombik, setiap sel dibangun oleh 8 residu asetil glukosamin, dan
mempunyai ukuran 94Ǻ x 10,5 Ǻ x 9,3 Ǻ. Berdasarkan struktur tersebut kitin dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu α kitin (rantai antipararel), β kitin (rantai pararel) dan γ-kitin (rantai campuran) (Tsugita 1990). Menurut Stephen (1995), kitin merupakan makromolekul berbentuk padatan amorf atau kristal dengan panas spesifik 0,373 kal/g/oC, berwarna putih, dan dapat terurai secara hayati (biodegradable), terutama oleh bakteri penghasil enzim lisozim dan kitinase. Kitin bersifat tidak larut dalam air, asam anorganik encer, asam organik, alkali pekat dan pelarut organik tetapi larut dalam asam pekat seperti asam sulfat, asam nitrit, asam fosfat dan asam formiat anhidrous. Menurut Austin (1988), kitin yang larut dalam asam pekat dapat terdegradasi menjadi monomernya dan memutuskan gugus asetil. Mutu niaga berbagai produk kitin berdasarkan spesifikasi kandungan air, abu, dan proteinnya terdapat pada Tabel 2. Menurut Bustos dan Healey (1994), harga kitin ditentukan oleh kandungan abu dan proteinnya.
Semakin kecil
kandungan abu dan proteinnya harga kitin semakin tinggi. Tabel 2 Mutu kitin niaga dari berbagai produk Dalian Chem Imp & Exp Group Co.ltd *) Spesifikasi Mutu Mutu Mutu I II III Kandungan abu (%) ≤ 1,5 ≤5 ≤ 10
Bioline **) Mutu Industri ≤2
Thailand ***) Mutu Komersial ≤ 1,0
Kandungan protein (%)
≤ 1,5
≤3
≤3
≤2
≤ 5,0
Kandungan air (%)
≤ 10
≤ 10
≤ 10
≤ 10
≤ 10
*) http://alibaba.co **) http://bioline.co ***) http://www.indiaagar.com
Menurut Knorr (1984), sifat kitin yang penting untuk aplikasinya adalah kemampuannya mengikat air dan minyak karena terdapat gugus hidrofobik dan hidrofilik.
Struktur polar kitin terdispersi membentuk misel, dan ekor
hidrokarbonnya tersembunyi di sebelah dalam membentuk fase hidrofobik, sedangkan fase hidrofilik ada di sebelah luar. Jumlah air dan minyak yang dapat diikat kitin masing-masing sebesar 385 % dan 315 %. Kitin karena bersifat mengikat air dan minyak, sehingga dapat digunakan sebagai surfaktan atau pengemulsi pada makanan, dan kosmetik. Selain itu kitin dan turunannya dapat digunakan sebagai penstabil, pengental, kelengkapan ion exchanger, membran pada kromatografi dan dialisis (Knorr 1984), untuk proses penyembuhan luka bakar, pengobatan dermatitis, pengobatan infeksi jamur, sebagai benang bedah dan sebagai bahan lensa kontak yang lunak dan bersih (Alamsyah 2004).
Hubungan antara penerapan dan nilai tambah kitin dan
turunannya dalam berbagai industri terdapat pada Gambar 2. Nilai tambah tinggi dan volume pemakaian sedikit -
Biomedik dan Pharmaceutical Teknologi kimia Kosmetik Teknologi pangan Penjernih air Pertanian Tekstil Teknologi kertas
Nilai tambah rendah dan volume pemakaian tinggi Gambar 2 Penerapan kitin dan turunannya di industri (Morrisey 2003).
Kitin dengan proses deasetilasi (pengurangan gugus asetil) diturunkan menjadi kitosan.
Kitosan ini mempunyai sifat yang larut dalam asam-asam
organik encer dan tidak larut dalam air (Alamsyah 2004). Proses deasetilasi kitin menjadi kitosan selama ini dilakukan secara termokimia menggunakan alkali kuat pada suhu tinggi, perlakuan secara enzimatik belum memberikan hasil yang memuaskan yaitu memperoleh derajat deasetilasi (DD) yang sangat rendah (Emmawati 2005). Penelitian yang dilakukan Tsigos dan Bouriotis (1995) pada kristal kitin dari kulit udang yang dideasetilasi secara enzimatis mendapatkan kitosan dengan nilai DD 54 %. Menurut Bartnicki-Gracia (1989), sulitnya dihasilkan kitosan dengan DD tinggi diduga karena kitin secara alami berbentuk kristalin yang mengandung rantai-rantai polimer kitin berkerapatan sangat tinggi, yang satu sama lain terikat dengan ikatan hidrogen yang sangat kuat, sehingga menghalangi enzim berpenetrasi mencapai subtrat spesifiknya.
2.3 Ekstraksi Kitin Ekstraksi kitin dilakukan melalui dua tahapan proses yaitu penghilangan protein (deproteinasi) dan penghilangan kalsium karbonat (demineralisasi) dari kulit udang (Muzzarelli 2000).
Kedua tahapan proses dalam ekstraksi kitin
tersebut dapat dilakukan secara kimia maupun biologi (Alamsyah 2004). Ekstraksi kitin secara kimia dilakukan dengan menggunakan senyawa kimia seperti asam klorida, atau asam laktat pada proses demineralisasinya. Sedangkan pada proses deproteinasi menggunakan basa kuat seperti natrium klorida
(Bastaman 1989).
Ekstraksi kitin secara biologi dilakukan melalui proses
fermentasi asam laktat pada tahapan demineralisasi sedangkan pada tahapan deproteinasi menggunakan enzim protease baik yang ditambahkan langsung atau enzim yang dihasilkan oleh bakteri selama proses kultivasi (Lee dan Tan 2002).
2.3.1 Proses Deproteinasi Kulit udang selain mengandung kitin juga mengandung protein.
Untuk
mendapatkan kitin dari kulit udang, maka protein tersebut harus dihilangkan atau dideproteinasi. Protein yang terdapat pada kulit udang dapat berikatan secara fisik dan kovalen.
Protein yang terikat secara fisik dalam kulit udang dapat
dihilangkan dengan perlakuan fisik seperti pengecilan ukuran, dan pencucian dengan air. Adapun protein yang terikat secara kovalen dapat dihilangkan dengan perlakuan kimia yaitu pelarutan dalam larutan basa kuat atau dengan perlakuan biologi (Lee dan Tan 2002). Jumlah protein yang terikat secara kovalen dengan kitin setiap jenis crustacea tidak sama. Protein yang terikat secara kovalen dalam kulit udang sekitar 16 %.
Perbedaan jumlah protein yang terikat secara kovalen akan
mempengaruhi mudah tidaknya proses deproteinasi (Austin 1988). Deproteinasi secara kimia dari kulit udang dengan menggunakan larutan natrium hidroksida atau larutan basa lainnya dapat menyebabkan kerusakan pada asam amino protein yang direcovery. Kerusakan yang terjadi adalah pelepasan amonia pada pemecahan group amida asparagin dan glutamin menjadi asam aspartat dan asam glutamat. Selain itu group amino hidroksin seperti serin dan
threonin mengalami kerusakan sekitar 5 – 10 %, adapun sistin/sistein, asam aspartat, asam glutamat, lisin, arginin, tirosin dan prolin terdegradasi sebagian (Davidex et al. 1990). Deproteinasi secara biologi dilakukan dengan menggunakan enzim protease. Enzim protease adalah enzim yang mampu menghidrolisis ikatan peptida dalam protein.
Enzim protease tersebut dapat diperoleh baik dari jaringan tanaman,
hewan maupun hasil metabolik mikroba (Lee dan Tan 2002). Pada proses hidrolisis ikatan peptida terdapat tiga perubahan. Perubahan pertama yaitu struktur molekul polipeptida membentuk struktur hidrofobik yang terbuka terhadap lingkungan berair. Perubahan kedua terjadi kenaikan jumlah gugus terionisasi (NH4+, COO-) sehingga produk lebih bersifat hidrofilik. Perubahan ketiga adalah penurunan ukuran molekul rantai polipeptida sehingga sifat antigenisitas menurun tajam (Mahmoud 1994). Menurut Stauffer (1989), salah satu enzim protease atau proteolitik ada yang memiliki aktivitas endo-peptidolitik yaitu memutuskan ikatan peptida di dalam rantai polipeptida protein. Proses pemutusan ikatan peptida dengan katalis enzim terdapat pada Gambar 3 sedangkan secara skematis deproteinasi kulit udang dengan enzim protease dapat dilihat pada Gambar 4. Protein yang tersusun dari 20 jenis asam amino dapat memiliki 380 ikatan peptida. Ikatan peptida inilah yang akan menjadi sasaran aksi enzim. Enzim tertentu hanya memutuskan ikatan tertentu yang secara fisik cocok dengan enzim. Proses hidrolisis protein secara enzimatis memerlukan kondisi yang sesuai sehingga aksi enzim dalam memutuskan ikatan peptida menjadi maksimal.
Faktor-faktor yang perlu dikondisikan dalam proses hidrolisis adalah temperatur, jumlah dan jenis enzim yang digunakan, pH, dan waktu. Enzim CHR’- CO-NH-CHR” + H2O Gambar 3
→ –CHR’-COOH + NH -CHR” 2
Reaksi kimia pemutusan ikatan peptida dengan katalis enzim (Mahmoud 1994)
Beberapa penelitian deproteinasi kulit udang secara biologi telah banyak dilakukan, baik yang menggunakan enzim yang ditambahkan langsung maupun enzim hasil metabolik sekunder dari proses kultivasi mikroba (Yang et al. 2000). Bustos dan Healy (1994) telah membandingkan penggunaan enzim langsung dengan enzim hasil metabolik kultivasi mikroba pada proses deproteinasi kulit udang.
Hasilnya menunjukkan tingkat
hidrolisis protein kulit udang
menggunakan enzim hasil kultivasi mikroba (82 %) lebih baik dibandingkan menggunakan enzim yang ditambahkan langsung (64 %). Menurut Gagne dan Simpson (1993) rasio enzim papain terhadap kulit udang yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil maksimum pada proses deproteinasi adalah sangat tinggi yaitu 1 : 10 (b/b). Buston dan Healey (1994) menyatakan penggunaan enzim langsung untuk proses deproteinasi pada tahapan ekstraksi kitin dari kulit udang diperlukan dua tahapan proses.
Tahapan pertama dilakukan proses isolasi dan pemurnian
terhadap enzim proteolitik dari jaringan hewan dan tanaman atau hasil metabolik sekunder mikroba.
Tahapan kedua adalah enzim yang telah diisolasi dan
dimurnikan tersebut digunakan untuk proses hidrolisis protein terhadap kulit udang. Akan tetapi, proses deproteinasi kulit udang melalui kultivasi mikroba
proteolitik hanya dilakukan satu tahapan saja yaitu tidak diperlukan proses isolasi dan permurnian enzim. Enzim hasil metabolik mikroba langsung menghidrolis protein kulit udang yang terdapat dalam kultivasi tersebut. Deproteinasi kulit udang melalui kultivasi mikroba telah banyak dilakukan. Bustos and Healy (1994) melaporkan penggunaan campuran mikroba B. subtilis, S. faecium, P. pentasaseus, dan A.oryzae dan mampu mendeproteinasi 81,7 % dari kulit udang yang telah didemineralisasi secara kimia. Yang et al. (2000), menggunakan B. subtilis dan mampu mendeproteinasi 78 % dari kulit udang segar. Protein terasosiasi dalam kulit udang
protein terlarut
hidrolisis enzim protease Mikroba penghasil enzim protease Gambar 4 Skematis deproteinasi kulit udang secara biologi (Lee dan Tan 2000) B. licheniformis mempunyai potensi untuk digunakan pada proses deproteinasi kulit udang (Waldeck et al. 2006). B. licheniformis merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang dengan panjang antara 1,5 µm sampai 3 µm dan lebar antara 0,6 µm sampai 0,8 µm. Spora bakteri ini berbentuk batang silindris atau elips dan terdapat pada sentral atau parasentral. Suhu maksimum pertumbuhannya adalah 50 – 55 oC dan suhu minimumnya 15 oC (Mao et al. 1992). B. licheniformis merupakan species bakteri yang mampu menghasilkan protease dalam jumlah yang relatif tinggi. Jenis protease yang dihasilkan adalah
enzim ekstraselular yang tergolong proteinase serin. Enzim ini bekerja sebagai endopeptidase yaitu memutuskan ikatan peptida yang berada dalam rantai protein sehingga dihasilkan peptida dan polipeptida (Fleming et al. 1995). Sifat dari enzim protease serin adalah aktivitasnya dapat dihambat kuat oleh senyawa diisopropil-fluorofosfat (DFP), 3,4-dichloroisocoumarin (3,4-DCL), L-3carboxytrans-2,3-epoxypropyl-leucylamido
(4-guanidine),
butane,
phenymethylsulfonylfluoride (PMSF), dan tosyl-L-lysine chlorometyl ketone (TLCK).
Selain itu, protease serin tahan terhadap EDTA (Ethylene diamine
tetraacetic acid) dan adanya ion Ca++ dapat menstabilkan enzim ini pada suhu tinggi (Rao et al. 1998).
2.3.2 Proses Demineralisasi Kulit udang mengandung mineral 30 – 50 % (berat kering), komposisi yang utama adalah kalsium karbonat. Komponen mineral ini dapat dilarutkan dengan penambahan asam seperti asam klorida, asam sulfat atau asam laktat (Bastaman 1989). Menurut Lee dan Tan (2002), proses demineralisasi dapat dilakukan secara kimia dan biologi. Demineralisasi secara kimia digunakan senyawa kimia seperti asam klorida atau asam laktat. Demineralisasi secara biologi yaitu melarutkan mineral yang terdapat dalam kulit udang melalui proses fermentasi asam laktat. Proses demineralisasi secara biologi ini melibatkan dua proses utama yang bersamaan dalam satu sistem. Proses pertama adalah pembentukan asam laktat. Proses kedua adalah reaksi antara asam laktat yang terbentuk dengan kalsium
karbonat dalam kulit udang membentuk kalsium laktat (Lee dan Tan 2002). Proses biologi yang terjadi selama demineralisasi kulit udang dalam fermentasi asam laktat ditunjukkan pada Gambar 5, sedangkan reaksi antara asam laktat dan kalsium karbonat terdapat pada Gambar 6. Menurut Healey et al. (2003), demineralisasi melalui fermentasi asam laktat hampir sama dengan secara kimia yang menggunakan asam laktat. Akan tetapi demineralisasi menggunakan asam laktat langsung diperlukan dua tahapan proses. Proses pertama adalah pembentukan dan pemisahan asam laktat. Proses kedua adalah reaksi antara asam laktat dengan kalsium karbonat dalam kulit udang membentuk kalsium laktat. Glukosa L. acidophilus FNCC 116 Asam laktat + kalsium karbonat dalam kulit udang terbentuk produk akhir Kalsium laktat + CO2 + air
Kalsium laktat mengendap pada permukaan kulit udang dan dihilangkan dengan proses pencucian Gambar 5 Skema proses biologi demineralisasi kulit udang dalam fermentasi asam laktat (Lee dan Tan 2000) Fermentasi asam laktat merupakan proses perubahan bahan penghasil asam laktat seperti glukosa, sukrosa, maltosa dan laktosa menjadi asam laktat oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat termasuk dalam golongan bakteri gram positif, tidak berspora, berbentuk batang atau bulat, tidak berespirasi, dan suhu optimum pertumbuhan antara 20 – 40 oC. Sifat-sifat
khusus bakteri asam laktat adalah mampu tumbuh pada kadar gula, alkohol, dan garam yang tinggi, tumbuh pada pH 3,8 sampai 8,0.
Adapun bakteri yang
tergolong dalam bakteri asam laktat adalah Aerococcus, Corinobacterium, Lactobacillus, Leuconostoc, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, dan Vagacoccus (Frazier dan Westhoff 1988). Bakteri-bakteri yang mampu menghasilkan asam laktat dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu bakteri homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri heterofermentatif selain menghasilkan asam laktat, juga karbondioksida dan etanol. Adapun bakteri homofermentatif hanya menghasilkan asam laktat (Litchfield 1996). CaCO3 + 2CH3CHOHCOOH
(CH3CHOHCOO)2Ca + H2CO3
H2CO3
H2O + CO2
CaCO3 + 2CH3CHOHCOOH
(CH3CHOHCOO)2Ca + H2O + CO2
Gambar 6 Persamaan reaksi antara asam laktat dan kalsium karbonat (Lee dan Tan 2000) Seluruh anggota genus Pediococcus, dan Streptococcus merupakan bakteri homofermentatif, sedangkan seluruh genus Leuconostoc merupakan bakteri heterofermentatif. Genus bakteri Lactobacillus ada yang termasuk dalam bakteri homofermentatif dan heterofermentatif (Sharpe 1981). Beberapa penelitian proses demineralisasi kulit udang melalui fermentasi asam laktat antara lain dilaporkan oleh Rao dan Stevens (2006), Beaney et al. (2005), dan Jung et al. (2005). Bakteri asam laktat yang digunakan Rao dan Stevens (2006) adalah L. plantarum, sedangkan Beaney et al. (2005)
menggunakan gabungan bakteri L. salvarius, Enterococcus facium dan P. acidilactici. Adapun Jung et al. (2005) menggunakan bakteri L. paracasei. Menurut Rao dan Stevens (2006), pemilihan jenis bakteri untuk proses demineralisasi pada tahapan ekstraksi kitin dari kulit crustacea didasarkan atas kemampuannya membiokonversi gula menjadi asam laktat.
Menurut Dash
(2002), salah satu bakteri asam laktat yang efisien membiokonversi gula menjadi asam laktat adalah L. acidophilus. Bakteri ini bersifat homofermentatif, mampu membiokonversi gula menjadi asam laktat lebih dari 85 %. L. acidophilus secara spesifik ditemukan dan tumbuh di dalam susu skim, termasuk golongan organisme gram positif dan non-motil. Bentuknya batang bulat 0,6 – 0,9 µm dan panjang 1,5 – 6,0 µm serta ada dalam bentuk tunggal atau berpasangan.
Suhu pertumbuhan optimumnya adalah 37 oC dan tidak dapat
tumbuh pada temperatur di bawah 22 oC atau di atas 45 oC (Dash 2002). L. acidophilus mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam media asam dan juga dalam ragi, amigdalin, selobiosa, dan salicin. L. acidophillus dapat juga melakukan proses fermentasi pada rafinosa, trihalosa dan dekstrin. Sedangkan xylosa, arabinosa, rhamnosa, gliserol, manitol, sorbitol, dulsitol, dan inositol tidak dapat difermentasi oleh bakteri asam laktat ini.
Selain itu,
Lactobacillus merupakan organisme probiotik yang memiliki banyak kemampuan penting, salah satu diantaranya dapat bertahan dalam koloni sel karena menghasilkan bacteriocins yang bekerja berlawanan terhadap pertumbuhan patogen (Oyetayo et al. 2003).
2.4 Sistem Fermentasi Proses deproteinasi maupun demineralisasi dalam ekstraksi kitin dari kulit udang secara biologi dilakukan dengan memanfaatkan kemampuan mikroba dalam suatu proses kultivasi. Kultivasi mikroba dilakukan bersama-sama dengan kulit udang dalam suatu sistem fermentasi (Lee dan Tan 2000). Untuk proses
deproteinasi,
kultivasi mikroba dimaksudkan untuk
memproduksi enzim protease yang selanjutnya enzim ini menghidrolisis protein yang terikat secara kovalen dalam kulit udang (Healey et al. 2003). Adapun pada proses demineralisasi, kultivasi mikroba dimaksudkan untuk memproduksi asam laktat.
Asam laktat yang terbentuk secara bersamaan akan bereaksi dengan
kalsium karbonat, komponen mineral yang terdapat dalam kulit udang (Rao et al. 2000). Keberhasilan ekstraksi kitin secara biologi pada tahapan deproteinasi dipengaruhi oleh kemampuan enzim untuk menghidrolis protein. Kemampuan atau aktivitas enzim ini salah satunya dipengaruhi oleh jumlah enzim yang dihasilkan dalam suatu kultivasi. Semakin banyak jumlah enzim yang dihasilkan maka aktivitas enzim semakin tinggi pula, sehingga semakin banyak protein pada kulit udang yang dihidrolisis (Bustos dan Healy 1994). Keberhasilan ekstraksi kitin secara biologi pada tahapan demineralisasi dipengaruhi oleh jumlah asam laktat. Semakin banyak jumlah asam laktat yang dihasilkan maka semakin banyak kalsium karbonat pada kulit udang yang dapat dilarutkan (Rao et al. 2000).
Menurut Stanbury dan Whitaker (1984), enzim dan asam laktat merupakan produk metabolik mikroba yang dikultivasi dalam suatu sistem fermentasi. Enzim merupakan produk metabolit sekunder sedangkan asam laktat termasuk metabolik primer. Metabolit sekunder bakteri akan diproduksi maksimal pada saat bakteri tersebut telah memasuki fase eksponensial sedangkan metabolit primer diproduksi sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan bakteri. Strategi untuk memproduksi secara maksimal baik terhadap produk metabolik primer maupun sekunder pada fermentasi medium cair telah banyak dilaporkan.
Fleming et al. (1995), menggunakan fermentasi batch untuk
mengoptimalkan sintesis enzim ektraseluler dari B. licheniformis DN286 dan B. subtilis 168. Cromwick et al. (1996) menggunakan fermentasi fed batch untuk memproduksi asam glutamat melalui kultivasi B licheniformis ATCC 9945. Sedangkan Wee
et
al.
(2006)
menggunakan
fermentasi
batch
untuk
mengoptimalkan produksi asam laktat melalui kultivasi Lactobacillus sp. RKY2.
2.5 Aerasi dan Agitasi 2.5.1 Aerasi Perberian aerasi selalu dilakukan untuk sistem kultivasi cair mikroba yang bersifat aerobik. Aerasi tersebut dimaksudkan untuk menyediakan oksigen dalam medium fermentasi.
Tingkat aerasi yang diberikan tergantung kepada jenis
bakteri yang digunakan (Cromwick et al. 1995). Mikroba aerobik seperti B. licheniformis sangat memerlukan tingkat kelarutan oksigen yang sangat tinggi dalam medium fermentasi. Kultivasi B.
licheniformis DSM 1969 dalam bioreaktor volume 3,5 L untuk memproduksi protease dilakukan aerasi sampai 2 vvm dan pemberian aerasi kurang dari 1 vvm menyebabkan pertumbuhan bakteri tidak optimal (Calik et al. 2000). Sementara itu (Cromwick et al. 1995) melaporkan bahwa pembentukan asam glutamat oleh B. licheniformis ATCC 9945A sangat dipengaruhi tingkat aerasi yang diberikan. Tingkat aeasi 2 vvm menghasilkan asam glutamat yang lebih banyak dibadingkan dengan pemberian aerasi 0,5 vvm; 1,0 vvm dan 1,5 vvm. Menurut Calik et al. (2000), metabolisme bakteri akan terganggu jika konsentrasi oksigen terlarut berada dibawah tingkat kritisnya.
Selanjutnya,
peningkatan kelarutan oksigen dalam medium kultivasi akan meningkatkan laju konsumsi oksigen spesifik oleh bakteri sampai nilai tertentu, setelah itu peningkatan oksigen terlarut tidak berpengaruh terhadap laju konsumsi oksigen spesifik. Dengan demikian ketersedian oksigen terlarut harus dipertahankan lebih besar dari tingkat kritisnya.
2.5.2
Agitasi Agitasi mempunyai peranan sangat penting pada sistem cair kultivasi
mikroba baik yang bersifat aerobik (Calik et al. 1998) maupun mikroaerofilik seperti fermentasi asam laktat (Luis et al. 2003). Menurut Benz (2008), tingkat agitasi yang diberikan berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba, sehingga berakibat terhadap jumlah metabolik yang dihasilkan. Menurut Calik et al. (1998), kultivasi mikroba B. licheniformis DSM 1969 untuk produksi serine alkaline protease diperlukan agitasi yang kuat yaitu lebih
dari 250 rpm. Karena B. licheniformis DSM 1969 adalah mikroba yang bersifat aerobik yaitu sangat memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Sementara itu, Luis et al. (2003) melaporkan tingkat agitasi yang diberikan untuk produksi asam laktat optimal melalui fermentasi asam laktat menggunakan L. delbrueckii NRRL B 445 hanya 200 rpm. Dijelaskan bahwa pemberian agitasi yang terlalu tinggi menyebabkan pertumbuhan bakteri tidak optimal sehingga terjadi penurunan terhadap produksi asam laktat. Pemberian agitasi juga dilakukan pada proses ekstraksi kitin secara biologi (Bustos dan Healey 1994). Tingkat agitasi yang diberikan tergantung pada jenis mikroba yang digunakan (Benz 2008). Jung et al. (2005) melalui kofermentasi L. paracasei subsp dan S. marcescens FS-3 untuk ekstraksi kitin dari cangkang kepiting, agitasi yang diberikan adalah 180 rpm. Selanjutnya (Rao dan Stevens 2005), melaporkan tingkat agitasi yang diberikan untuk ekstraksi kitin dari kulit udang adalah 50 rpm. Bakteri yang digunakan adalah L. plantarum 541, bakteri ini bersifat mikroaerofilik yaitu memerlukan oksigen dalam jumlah terbatas.
2.9 Optimasi dengan Response Surface Methodology Penggunaan metode Response Surface Methodology (RSM) untuk optimasi dalam proses-proses kimia, bioproses dan pengembangan pengolahan pangan telah banyak dilaporkan (Mangunwijadja dan Harahap 2001; Santoso dkk 2002; dan Luis et al.
2003). Optimasi adalah suatu pendekatan normatif untuk
mengidentifikasi penyelesaian terbaik dalam pengambilan keputusan suatu
permasalahan.
Dalam optimasi ini, permasalahan akan diselesaikan untuk
mendapatkan hasil sesuai dengan batasan yang diberikan (Box dan Draper 1987) Selanjutnya Box dan Draper (1987) menjelaskan bahwa tujuan dari optimasi adalah untuk meminimumkan usaha yang diperlukan atau biaya operasional dan memaksimumkan hasil yang diinginkan. Jika usaha yang diperlukan atau hasil yang diharapkan dapat dinyatakan sebagai sebagai fungsi peubah keputusan, maka optimasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapaian kondisi maksimum atau minimum fungsi tersebut. Teknik optimasi dapat digunakan untuk fungsi yang berkendala dan fungsi tidak berkendala. Penyelesaian permasalahan dapat berbentuk persamaan dan pertidaksamaan. Unsur penting dalam masalah optimasi adalah fungsi tujuan yang dipengaruhi oleh sejumlah peubah. Peubah-peubah ini dapat tidak saling bergantung atau saling bergantung melalui satu atau lebih kendala (Bronson 1982). Fungsi tujuan secara umum merupakan langkah minimalisasi biaya atau penggunaan bahan baku, maksimalisasi hasil atau efisiensi pemanfaatan bahan produksi/proses. Penentuan fungsi tujuan dikaitkan dengan permasalahan yang akan dihadapi (Box dan Draper 1987). Menurut Bronson (1982), metode penentuan kondisi optimum dikenal sebagai pemrograman teknik matematik.
Tujuan dan kendala-kendala dalam
program matematika diberikan dalam bentuk fungsi-fungsi matematik dan hubungan fungsional. Program matematik ini dapat berbentuk :
Optimasikan Dengan kendala
: z = f (x1, x2, ..... xn) : g1 (x1, x2, ....,xn) ≤ g2 (x1, x2, ...., xn) = ≥ gm (x1, x2, .....xn)
b1 b2 bm
Setiap fungsi kendala (gm) dapat dihubungkan melalui tanda persamaan ataupun pertidaksamaan dengan alat nilai-nilai konstantanya (b m). Dalam suatu proses, yang paling penting dioptimumkan adalah produktivitas proses. Hal ini hanya dapat dicapai dengan mengidentifikasikan dan mengendalikan berbagai faktor yang menentukan aktivitas proses. Dalam deproteinasi kulit udang secara bioproses, faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas proses adalah konsentrasi subtrat, konsentrasi inokulum, waktu proses, suhu, pH, agitasi dan aerasi (Waldeck et al. 2006). Faktor-faktor ini merupakan peubah keputusan yang perlu ditentukan nilainya dengan mempertimbangkan faktor-faktor kendalanya (Box dan Draper 1987). Masalah
yang dinyatakan dalam
program
matematika
merupakan
maksimalisasi atau minimalisasi suatu fungsi tujuan f (xi) dengan memilih faktorfaktor yang mempengaruhi (x1, x2, .... xn), sehingga nilainya memenuhi tujuan pemecahan masalah tersebut. Penyelesaian masalah optimasi dengan program matematika dapat dilakukan melalui program linier, program tak linier, program integral dan program dinamik (Bronson 1982). Pada program tak linier, masalah dapat berbentuk optimasi dengan satu peubah, optimasi banyak peubah tanpa kendala dan optimasi banyak peubah dengan kendala (Bronson 1982). Untuk optimasi banyak peubah dengan kendala,
pemecahan masalah dapat dilakukan dengan metode Response Surface Methodology (RSM) (Box dan Draper 1987). RSM adalah suatu kumpulan teknik penyelesaian masalah dengan menggunakan matematika dan statistik dalam bentuk model matematika atau fungsi dan menganalisis masalah tersebut, respon yang ingin dicapai dipengaruhi oleh beberapa peubah sehingga respon tersebut berada pada titik optimumnya (Montgomery 1991). Selanjutnya Dash et al. (1983) menjelaskan bahwa RSM ini banyak digunakan dalam masalah proses peubah ganda, yaitu ada banyak peubah yang akan ditetapkan jika interaksi antara peubah percobaan dan respon ditemukan tidak linier. Efektivitas RSM tergantung pada perkiraan nilai f dengan polinomial orde rendah dalam beberapa peubah daerah bebas. Box dan Draper (1987) menjelaskan tahapan analisis RSM ini sebagai berikut : 1. Analisis sidik ragam.
Analisis ini dimaksudkan untuk memperkirakan
parameter model dengan metode kuadrat terkecil (least square). Selain itu dengan analisis ini dapat dilihat apakah hasil yang diperoleh berpengaruh nyata terhadap model yang digunakan. 2. Analisis kanonik, untuk melihat kecenderungan kurva yang dihasilkan dalam memperkirakan kondisi yang diinginkan. Berdasarkan perkiraan titik diam yang diperoleh, dapat ditentukan apakah kurva tersebut mempunyai titik maksimum, titik minimum atau titik belok (saddle point).
3. Analisis daerah, analisis ini digunakan untuk memperkirakan daerah optimum, jika titik optimum yang diperoleh dari analisis sebelumnya berada diluar daerah percobaan. Menurut Box dan Draper (1987) bahwa analisis untuk menduga fungsi respon sering disebut sebagai analisis permukaan.
Analisis permukaan pada
dasarnya serupa dengan analisis regresi. Keduanya sama-sama menggunakan prosedur pendugaan parameter fungsi respon berdasarkan metode kuadrat terkecil (least square method); hanya saja dalam analisis permukaan, diperluas dengan menerapkan teknik-teknik matematika untuk menentukan titik-titik optimum agar dapat ditemukan respon yang optimum.
Penentuan kondisi operasi optimum
diperlukan fungsi respon ordo kedua dengan menggunakan rancangan komposit terpusat dalam mengumpulkan data percobaan.
Penentuan kondisi optimum
proses dilakukan menggunakan analisis kanonik dari analisis plot kontur permukaan.
Analisis kanonik dalam metode permukaan respon adalah
mentransformasikan pemukaan respon dalam bentuk kanonik. Sedangkan kontur adalah suatu seri garis atau kurva yang mengidentifikasikan nilai-nilai peubah uji pada respon yang konstan.
Kontur memegang peranan penting dalam
mempelajari analisis permukaan. Ada beberapa hal penting yang perlu diketahui dalam melakukan optimasi antara lain dalam pengujian model pada teknik optimasi untuk mengetahui ketepatan model didasarkan atas uji penyimpangan model (lack of fit), koefisien determinasi (R2), uji signifikan model, dan uji asumsi residual. Ketepatan model yang dianggap tepat jika uji simpangan model (lack of fit) bersifat tidak nyata
secara statistik. Sebaliknya, jika bersifat nyata maka suatu model dianggap tidak cocok untuk menerangkan fenomena sistem yang dipelajari; walaupun kriteria lain cukup baik (Box dan Drapper 1987). Nilai R2 merupakan ukuran kesesuaian model dalam kemampuannya untuk menerangkan keragaman nilai peubah Y. Uji signifikansi model dan uji asumsi residual dilakukan untuk mengetahui pengaruh peubah bebas terhadap respon. Model dikatakan tepat jika uji asumsi residual menunjukkan plot residual menyebar acak disekitar nol dan mendekati garis lurus sehingga terdistribusi normal (Rigas et al. 2001).
2.7 Perancangan Proses Perancangan proses merupakan kegiatan kreatif menciptakan gagasan untuk menghasilkan bahan baru atau meningkatkan nilai tambah, hasil yang didapat adalah rancangan proses (Mangunwidjadja dan Sailah 2005). Menurut Douglas (1988), gagasan baru diperlukan untuk menghasilkan produk baru, mengubah limbah menjadi produk yang berharga, menciptakan bahan atau produk yang sama sekali baru, menemukan cara baru untuk memproduksi produk yang telah ada (seperti alternatif bioproses), menerapkan teknologi baru, dan menggali bahan konstruksi baru. Metode perancangan proses dapat dilakukan melalui perancangan analitis dan sintesis.
Perancangan analitis berdasarkan model matematika untuk
menghasilkan rancangan optimal.
Adapun perancangan sintesis melibatkan
invensi, perancangan awal dan analitik (Hartmann dan Kaplick 1990).
Menurut Edgar et al. (2001), model matematik menyatakan proses transformasi substansi, seperti hubungan fungsional antara variabel bebas dan tak bebas. Pengembangan model matematik didasarkan pada teori fisik dan deskripsi empiris. Model matematik berdasarkan teori deskripsi empiris digunakan jika model metematik teori fisik tidak dapat dikembangkan karena batasan waktu dan sumber.
Penggolongan model secara teoritis maupun empiris, dapat juga
didasarkan kepada linier-nonlinier, steady state – unsteady state, dan peubah kontiyu – diskret. Menurut Seader et al. (1999), perancangan proses melalui metode sistensis dapat dilakukan secara kuantitatif (algoritma dan prosedural) dan kualitatif yaitu dengan menggunakan heuristik (pengalaman).
Teknik heuristik untuk
perancangan proses terdiri dari lima tahapan, (1) pengurangan perbedaan jenis molekul bahan atau pemilihan jalur proses, (2) pembagian pereaksi atau bahan dengan cara mempertemukan sumber dan tujuan proses, (3) penggurangan perbedaan komposisi, yang antara lain dilakukan dengan penerapan sistem pemisahan, (4) pengurangan perbedaan suhu, tekanan, dan fasa, (5) pemaduan atau integrasi tahapan, yaitu menggabungkan kegiatan operasi ke dalam satuansatuan proses. Douglas (1988) menyebutkan ada lima langkah heuristik untuk perancangan proses, (1) penentuan proses, (2) penentuan struktur masukan dan keluaran untuk penyusunan diagram alir proses, (3) pertimbangan adanya struktur daur ulang pada diagram alir, (4) penyusunan struktur sistem pemisahan dan (5) penyusunan jaringan penukar panas.
Selanjutnya, tiap tahapan heuristik
senantiasa merupakan hasil pilihan terbaik dari beberapa pilihan yang dicanangkan.
Oleh karena itu pengambilan keputusan secara heuristik dalam
perancangan proses dapat digambarkan sebagai pohon sintesis. Hasil akhir dari sintesis adalah tersusun rancangan awal diagram alir proses.
2.8 Peningkatan Skala Bioproses Perluasan suatu bioproses dari skala kecil ke skala yang lebih besar adalah suatu tantangan karena sangat sulit dalam penentuan faktor lingkungan yang berpengaruh selama kultivasi. Hasilnya, banyak bioproses dalam skala yang lebih besar memberikan hasil yang jauh lebih rendah daripada hasil yang diperoleh dari skala kecil (Bylund et al. 2000). Menurut Hosobuchi dan Yoshikawa (1999), kondisi lingkungan bioproses harus dipertahankan optimal baik dalam skala kecil maupun skala besar. Kondisi lingkungan melibatkan faktor kimiawi dan fisik.
Faktor kimiawi meliputi
konsentrasi substrat, konsentrasi inokulum, pH, dan suhu pertumbuhan bakteri. Faktor kimiawi ini dapat dijaga konstan selama peningkatan skala sehingga kondisi optimal dapat dilakukan dalam skala kecil.
Faktor fisik meliputi
kemampuan pindah massa dan kemampuan pencampuran. Faktor fisik ini sangat tergantung kepada ukuran bioreaktor atau skala produksinya. Menurut Kossen dan Oosterhius (1985), untuk mempertahankan faktor fisik tetap optimal selama peningkatan skala, terdapat lima metode yaitu metode dasar, semi dasar, analisis dimensional, kaidah ibu jari dan coba-coba. Metode-metode tersebut memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan antara satu dengan yang
lainnya. Metode kaidah ibu jari adalah metode yang paling umum digunakan untuk peningkatan skala bioproses karena penerapannya sangat mudah dan sederhana. Metode kaidah ibu jari didasarkan pada penghitungan empirik yang diperoleh dari hasil proses optimal pada skala kecil sebagai kriteria peningkatan skala yang lebih besar. Kesamaan geometrik bioreaktor merupakan persyaratan utama dalam metode kaidah ibu jari (Kossen dan Ooterhius 1985). Menurut Hsu and Wu (2002), jika kesamaan geometrik bioreaktor skala kecil dan skala besar dipertahankan, maka kriteria peningkatan skala yang paling umum digunakan adalah tenaga per unit volume tetap, kecepatan ujung pengaduk tetap, laju aerasi tetap dan koefisien transfer oksigen tetap. Menurut Mavituna (1996) diperkirakan sebanyak 30 % industri bioproses menggunakan kriteria tenaga per unit volume tetap, 30 % menggunakan koefisein tranfers oksigen tetap, 20 % menggunakan kecepatan ujung pengaduk tetap dan 20 % menggunakan tingkat aerasi tetap dalam peningkatan skala. Penelitian peningkatan skala ekstraksi kitin secara biologi dari kulit udang selama ini belum pernah dilaporkan.
Akan tetapi, beberapa penelitian
peningkatan skala bioproses untuk produksi produk metabolik primer maupun sekunder telah banyak dilaporkan.
Meskipun demikian, menurut Bustos dan
Healey (1994), pada dasarnya ekstraksi kitin secara biologi dari kulit udang adalah memanfaatkan kemampuan mikroba untuk memproduksi produk metaboliknya.
Beberapa laporan penelitian tentang peningkatan skala bioproses antara lain : Peningkatan skala produksi bialophos oleh Streptomyces hygroscopicus berdasarkan kriteria tenaga per unit volume tetap dan koefisien tranfer oksigen tetap (Takebe et al. 1994).
Peningkatan skala produksi thuringiensin oleh
Bacillus thuringiensis berdasarkan kriteria koefisien transfer oksigen tetap (Flores et al. 1997). Peningkatan skala produksi biosurfaktan oleh Bacillus sp. BMN 14 berdasarkan kriteria tenaga per unit volumet tetap dan koefisen tranfer oksigen tetap (Hartoto 2002).
Peningkatan skala produksi rifamycin B oleh
Amycolatoposis mediterranei berdasarkan kriteria tenaga per unit volume tetap (Zhi-hua et al. 2004).