BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Uraian Teori Penelitian mengenai akuntansi sektor publik di Indonesia sampai saat ini
masih terbatas. Salah satu penyebabnya adalah masih berlanjutnya perubahanperubahan dalam peraturan perundang-undangan pada sektor publik. Oleh sebab itu tinjauan teori yang mendukung penelitian ini agak sulit diperoleh. 2.1.1. Dana Alokasi Umum Untuk
mengurangi
ketimpangan
dalam
kebutuhan
pembiayaan
dan
penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah dengan kebijakan bagi hasil dan Dana Alokasi Umum (DAU) minimal sebesar 25% dari Penerimaan Dalam Negeri. Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, di mana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan atas kebutuhan Daerah (fiscal needs) dengan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan Daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerahdaerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya daerah yang fiscal capacitynya lebih besar dari fiscal needs hitungan DAUnya akan negatif. Variabel-variabel kebutuhan Daerah dan potensi ekonomi Daerah. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB. Menghindari kemungkinan penurunan kemampuan Daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, maka perhitungan DAU di samping menggunakan formula Fiscal Gap juga menggunakan Faktor Penyeimbang (sesuai PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah direvisi dengan PP Nomor 84 Tahun 2001). Dengan adanya Faktor Penyeimbang, alokasi DAU kepada Daerah ditentukan dengan perhitungan formula Fiscal Gap dan Faktor Penyeimbang.
Universitas Sumatera Utara
Untuk formula dan perhitungan DAU Tahun Anggaran (TA) 2001 (berdasarkan PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan) telah dialokasikan DAU TA 2001 kepada masing-masing Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan Keppres Nomor 181 Tahun 2000 (dalam tabel terlampir). Formulasi dan perhitungan DAU TA 2001 dianggap mengandung banyak kelemahan terutama menyangkut keadilan antar Daerah. Hal ini dapat dimaklumi mengingat proses tersebut merupakan proses awal/tahun pertama dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal. Dalam rangka perhitungan DAU untuk TA 2002 dan tahun-tahun selanjutnya sudah ada komitmen bersama antara Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR-RI untuk mengkaji ulang sekaligus mereformulasi DAU TA 2002, agar dihasilkan perhitungan dan distribusi DAU TA 2002 yang lebih baik dan mencerminkan rasa keadilan antar Daerah. Formula DAU TA 2002 merupakan rekomendasi dari Tim Independen yang terdiri dari 4 (empat) universitas terkemuka yang selama ini terlibat dalam kajian di bidang keuangan Daerah (UI, UGM, UNAND, dan UNHAS) kepada Pemerintah. Formula DAU tersebut telah disetujui oleh Pemerintah telah ditetapkan dengan PP Nomor 84 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan. Namun demikian, dalam perhitungan DAU TA 2002 berdasarkan plafon DAU dalam APBN TA 2002 (Rp. 69,1 triliun) dengan formula tersebut terdapat daerah-daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang mengalami penurunan penerimaan DAU TA 2002 dibandingkan dengan DAU TA
Universitas Sumatera Utara
2001. Hal ini cukup logis mengingat formula DAU yang baru dianggap lebih baik dan dapat mengoreksi hasil perhitungan DAU TA 2001 bagi daerah-daerah yang diuntungkan dalam perhitungan pada waktu itu. Sesuai dengan pembahasan perhitungan DAU TA 2002 dengan Panitia Anggaran telah disepakati bahwa hasil akhir perhitungan DAU TA 2002 menggunakan formula DAU sebagaimana dimaksud di atas dengan dilakukan beberapa penyesuaian dengan tujuan tidak ada Daerah yang menerima DAU TA 2002 lebih kecil dari DAU TA 2001 ditambah Dana Kontinjensi 2001 bagi Daerah yang menerima. Untuk tujuan tersebut telah ada tambahan dana untuk DAU (bukan dari plafon) yang disebut dengan Dana Penyeimbang sebesar Rp. 2.054,72 miliar yang perhitungannya bersamaan dengan perhitungan DAU. Keberadaan Dana Penyeimbang juga dimaksudkan untuk menambah penerimaan DAU Provinsi, di mana dengan 10% dari total DAU secara nasional untuk penerimaan DAU Provinsi dirasa masih kurang dibandingkan dengan kebutuhan DAU seluruh Provinsi. Dalam TA 2002, penerimaan DAU seluruh Provinsi sebesar Rp. 6,91 triliun, sementara penerimaan DAU TA 2001 ditambah Dana Kontinjensi untuk Provinsi sebesar Rp. 7,47 triliun. Alokasi DAU TA 2002 untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 131 Tahun 2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2002 tertanggal 31 Desember. Selanjutnya pada tanggal yang sama telah pula ditetapkan Keputusan
Universitas Sumatera Utara
Menteri Keuangan Nomor 685/KMK.07/2001 tentang Penetapan Rincian Dana Penyeimbang Tahun Anggaran 2002 Kepada Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Rincian alokasi DAU TA 2002 dan Dana Penyeimbang untuk masing-masing Daerah dapat dilihat dalam tabel terlampir. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Lebih lanjut menurut Darwanto dan Yustikasari (2007) hal tersebut menunjukkan terjadi transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini apakah untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang tidak penting. 2.1.2. Dana Alokasi Khusus Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian DAK
ditentukan dengan memperhatikan
tersedianya dana dalam APBN. DAK disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah. Oleh sebab itu DAK dicantumkan dalam APBD. DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas.
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Implementasi konsep DAK di Indonesia mencakup pula alokasi dana untuk kegiatan penghijauan dan reboisasi, di mana pembiayaannya berasal dari penerimaan Dana Reboisasi (DR) dalam APBN yang diberikan 40%-nya kepada Daerah penghasil. Pembiayaan dari DAK-DR sejalan dengan keinginan Pemerintah untuk melibatkan PemerintahDaerah penghasil DR dalam kegiatan penghijauan dan reboisasi kawasan hutan di Daerahnya, dimana kegiatan tersebut merupakan salah satu kegiatan yang menjadi prioritas nasional. Pedoman Umum Pengelolaan DAKDR untuk Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2001 diatur dalam Surat Edaran Bersama Departemen Keuangan, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, dan Bappenas Nomor: SE-59/A/2001, Nomor: SE-720/MENHUT-II/2001,
Nomor:
2035/D.IV/05/2001,
dan
Nomor:
SE-
522.4/947/5/BANGDA. Adapun untuk DAK TA 2001 hanya dialokasikan dari Dana Reboisasi yang berasal dari 40% penerimaan Dana Reboisasi dan diberikan kepada Daerah
Universitas Sumatera Utara
Penghasil. Berdasarkan penyesuaian APBN TA 2001, alokasi DAK-Dana Reboisasi (DAK-DR) semula sebesar Rp. 900,6 milyar dan menjadi Rp. 700,6 milyar (revisi APBN TA 2001) yang pengalokasiannya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 491/KMK.02/2001 tanggal 6 September 2001. Provinsi yang tidak mendapatkan alokasi DAK-DR TA 2001 adalah Daerah bukan penghasil yang meliputi provinsi-provinsi yang ada di Pulau Jawa, Provinsi Lampung, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Keputusan Menteri Keuangan tersebut, dan penetapan alokasi oleh Gubernur kepada Daerah serta Rencana Definitif yang disampaikan Gubernur, Dirjen Anggaran telah menerbitkan Daftar Alokasi DAK-DR (DA-DAK-DR) yang berlaku untuk kabupaten/kota dalam wilayah 21 provinsi penghasil. Sesuai dengan APBN TA 2002 yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, DAK TA 2002 masih dialokasikan dari DR yang ditetapkan sebesar Rp. 817,3 milyar. Untuk itu, akan dilakukan koordinasi dengan pihak Departemen Kehutanan agar segera menyusun ancar-ancar pengalokasian DAK-DR TA 2002 untuk daerah penghasil sesuai dengan DAK-DR yang telah ditetapkan dalam APBN, dan diharapkan secepatnya dapat mengusulkan kepada Menteri Keuangan untuk ditetapkan dalam Daftar Alokasi DAK-DR TA 2002. DAK ini akan digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik antara lain seperti pembangunan rumah sakit, jalan, irigasi, dan air bersih. DAK ini bisa disamakan dengan dengan belanja pembangunan karena digunakan untuk mendanai
Universitas Sumatera Utara
peningkatan kualitas pelayanan publik berupa pembangunan sarana dan prasarana publik (Ndadari dan Adi, 2008). DAK digunakan sepenuhnya sebagai belanja modal oleh pemerintah daerah. Belanja modal kemudian digunakan untuk menyediakan aset tetap. Menurut Abdullah dan Halim (2004) aset tetap yang dimiliki dari penggunaan belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemda. Lebih lanjut Abdullah dan Halim (2006) menjelaskan bahwa biasanya setiap tahun pemda melakukan pengadaan aset tetap sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial. Menurut Abimanyu (2005) yang dikutip oleh Harianto dan Adi (2007) infrastruktur dan sarana prasarana yang ada di daerah akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah. Jika sarana dan prasarana memadai maka masyarakat dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara aman dan nyaman yang akan berpengaruh pada tingkat produktivitasnya yang semakin meningkat dan dengan adanya infrastruktur yang memadai akan menarik investor untuk membuka usaha di daerah tersebut. Transfer pemerintah pusat ke pemda diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Meskipun demikian, menurut Ndadari dan Adi (2008) bahwa dapat juga terjadi keganjilan di mana terjadi flypaper effect yaitu saat pemda mendapat transfer dari pemerintah pusat justru pendapatan masyarakat tidak meningkat karena transfer tersebut digunakan sepenuhnya untuk kegiatan belanja pemerintah tanpa diimbangi dengan peningkatan PAD. Menurut Maimunah (2006) seharusnya dana
Universitas Sumatera Utara
transfer dari pemerintah pusat diharapkan untuk digunakan secara efektif dan efisien oleh pemda untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, selain itu kebijakan penggunaan dana tersebut harus transparan dan akuntabel. 2.1.3. Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber
Daya
Alam
(SDA)
(http://www.djpk.depkeu.go.id/document.php/
document/article/108/69). Dasar hukum dana bagi hasil adalah Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, yaitu: 1. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua; 2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 3. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; 4. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; dan 5. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak dilaksanakan seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah sejak adanya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang
Universitas Sumatera Utara
-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Alokasi DBH Pajak yang telah didistribusikan adalah Realisasi DBH Pajak dalam bentuk lampiran PMK: 1. Lampiran PMK No. 05 Tahun 2007, tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Bagian Pemerintah Pusat yang dibagikan kepada Seluruh Kabupaten dan Kota Tahun Anggaran 2007. PMK No.05 tahun 2007. 2. Lampiran PMK No. 03 Tahun 2007, tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Bagian Daerah Tahun Anggaran 2007. PMK No.141 tahun 2006. 3. Lampiran PMK No. 127 Tahun 2006, tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Sementara Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tahun Anggaran 2007. PMK No. 127 Tahun 2006. Sedangkan jenis-jenis penerimaan DBH sumber daya alam adalah sebagai berikut: 1. Kehutanan, berasal dari: a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); b. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); dan c. Dana Reboisasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Pertambangan Umum, berasal dari: a. Iuran Tetap (Landrent); dan b. Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (royalty). 3. Perikanan, berasal dari: a. Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan b. Pungutan Hasil Perikanan. 4. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, berasal dari: a. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi dalam bentuk dana bagi hasil dialokasikan kepada pemerintah daerah sebesar 15,5% setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya serta bagian Pemerintah Pusat sebesar 84,5%; dan b. Penerimaan Negara dari pertambangan gas bumi dalam bentuk dana bagi hasil dialokasikan kepada pemerintah daerah sebesar 30,5% setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya serta bagian Pemerintah Pusat sebesar 69,5%. 5. Pertambangan Panas Bumi, berasal dari: a. Setoran Bagian Pemerintah; atau b. Iuran Tetap dan Iuran Produksi. 2.1.4. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, buta huruf, pendidikan dan
Universitas Sumatera Utara
standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel India Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom Pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics dan sejak itu dipakai oleh Program Pembangunan PBB pada laporan HDI tahunannya. Digambarkan sebagai "pengukuran vulgar" oleh Amartya Sen karena batasannya. indeks ini lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya sekedar pendapatan perkapita yang selama ini digunakan, dan indeks ini juga berguna sebagai jembatan bagi peneliti yang serius untuk mengetahui hal-hal yang lebih terinci dalam membuat laporan pembangunan manusianya. HDI mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara dalam 3 dimensi dasar pembangunan manusia: 1. Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran. 2. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga).
Universitas Sumatera Utara
3. Standard kehidupan yang layak diukur dengan GDP per kapita gross domestic product/produk domestik bruto dalam paritas kekuatan beli purchasing power parity dalam Dollar AS 2.1.4.1. Komponen penyusunan IPM Pada tahun 1996 BPS dan UNDP untuk pertama kali menerbitkan Indeks Pembangunan Manusia antar provinsi untuk tahun 1990 dan 1993. Karena data survey ekonomi sosial tidak ada sebelum 1990, maka indeks ini tidak bisa dibuat untuk tahun sebelumnya. Karena lintas data yang dibuat barulah IPM belum indeks lainnya. Pada dasarnya metode yang digunakan selalu mengikuti yang dibuat UNDP dalam membuat IPM 1994. Beberapa modifikasi terpaksa dibuat berkaitan dengan pembuatan standar kehidupan di provinsi. UNDP menggunakan GDP riil perkapita yang disesuaikan sebagai ukuran pendapatan, sedangkan Indonesia membuat pengeluaran riil yang disesuaikan (rata-rata propinsi), diperoleh dari hasil susenas dan dihitung atas dasar harga konstan tahun 1988/1989. Tetapi maksimum pendapatan diambil dari tingkat target rata-rata tahun 2018 (akhir PJP II), dan batas bawah disesuaikan dengan situasi Indonesia. Edisi revisi yang paling lengkap dipublikasikan tahun 1997, yaitu revisi tentang IPM tahun 1990 dan 1996. Publikasi ini juga turut mencakup GDI (Gender Development Indeks) dan GEM untuk 1990 dan 1996 juga HPI untuk tahun 1990 dan 1995. Gambaran IPM dalam IHDR 2004 tak dapat dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya karena adanya perubahan metodologi, yaitu tentang tahun dasar
Universitas Sumatera Utara
yang digunakan untuk menghitung pengeluaran riil perkapita yang disesuikan publikasi sebelumnya tahun 1988/1989 sebagai tahun dasar, sedangkan publikasi tahun 1997 menggunakan tahun 1993 sebagai tahun dasar. Sebagai bagian dari pilot proyek untuk pengembangan IPM dan pemakaiannya kepada perencanaan regional pada Juni 1999, BPS dan Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri mengeluarkan gambaran tingkat daerah untuk tahun 1990 dan 1996. Pada IPM 1996 (dipublikasikan tahun 1997) menunjukkan gambaran yang sedikit berbeda dengan IPM tahun 1999 dan dalam IHDR tahun 2004. Pada publikasi tahun 1997, umur harapan hidup adalah kurang akurat karena didasarkan atas sensus penduduk 1971, 1980 dan 1990, sedangkan dipublikasi tahun 1999 telah memasukkan data-data survey penduduk tahun 1995 antara sensus dan survey sosial ekonomi tahun 1996. Juga penting dicatat bahwa harapan hidup tahun 1999 dari Indonesia HDR 2004 adalah taksiran berdasarkan trend sebelumnya dan belum memperhitungkan dampak dari krisis ekonomi yang terakhir. IHDR
2004
memakai
data
sensus
penduduk
tahun
2000
yang
diekstrapolasikan ke tahun 2002. Metode yang dipakai dalam Indonesia HDR 2004 juga sama dengan metode UNDP sebanyak mungkin, untuk memastikan hasilnya dapat dibandingkan dengan gambaran internasional. Walau bagaimanapun juga berkaitan dengan ketersediaan data dan juga untuk alasan beberapa substansi maka beberapa modifikasi dari metode global juga dipublikasikan.
Universitas Sumatera Utara
Sebagian dari perbedaan itu adalah pengukuran pencapaikan pendidikan dalam komponen IPM seperti yang disebutkan sebelumnya, setelah tahun 1995, laporan dunia telah menggantikan angka rata-rata lama sekolah menjadi kontribusi angka partisipasi kasar pendidikan dasar, sekunder dan tertier. Indonesia HDR 2004 masih menggunakan angka rata-rata lama sekolah dengan alasan tertentu. Pertama, untuk perbandingan time series, karena data angka partisipasi kasar pada tahun sebelum tersedia. Kedua angka ratio sekolah selalu dianggap lebih baik sebagai indikator dampak dari pada angka partisipasi kasar yang merupakan indikator proses. Jadi rata-rata lama sekolah akan lebih stabil dari tingkat partisipasi kasar yang merupakan indikator proses. Jadi rata-rata lama sekolah akan lebih stabil dari tingkat partisipasi yang cenderung berfluktuasi. Hal lain yang berbeda dengan laporan dunia l (global report) ialah pemakaian database untuk menggambarkan pendapatan. Laporan dunia memakai GDP per kapita, sedangkan Indonesia HDR 2004 memakai pengeluaran per kapita. 2.1.4.2. Metode Indeks Pembanguan Manusia (IPM) di Indonesia IPM ini merupakan rata-rata sederhana dari ketiga komponen, yaitu: IPM = 1/3 (Indeks X 1 + Indeks X 2 + Indeks X 3 ) X 1 , X 2 dan X 3 adalah lamanya hidup, tingkat pendidikan dan tingkat kehidupan yang layak. Indeks X(i, j) – X(i – min)) / (X(i – max) X(i – min)) X(i, j)
: Indikator ke i dari daerah j
Universitas Sumatera Utara
X(i – min)
: Nilai minimum dari X i
(X(i – max) : Nilai maksimum dari X i Untuk setiap komponen IPM, masing-masing indeks dapat dihitung dengan ketentuan umum berikut: A. Usia Hidup Usia hidup diukur dengan angka harapan hidup waktu lahir (life expectancy at birth) yang dihitung dengan metode tidak langsung. Metode ini menggunakan dua macam data dasar yaitu rata-rata anak yang dilahirkan hidup (live births) dan rata-rata anak yang masih hidup (still living) per wanita usia 1549 tahun menurut kelompok umur lima tahunan. Pada komponen angka umur harapan hidup, angka tertinggi sebagai batas atas untuk penghitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. B. Pengetahuan Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan 2 indikator yaitu rata-rata lama sekolah (mean year schooling) dan angka melek huruf. Angka rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Sedangkan angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca
dan
menulis
huruf
latin
dan
atau
huruf
lainnya.
Proses
penghitungannya, kedua indikator tersebut digabung setelah masing-masing diberi bobot. Rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga dan angka melek
Universitas Sumatera Utara
huruf diberi bobot dua pertiga. Untuk penghitungan indeks, batas maksimum untuk angka melek huruf dipakai 100 dan minimum 0 (nol), yang menggambarkan kondisi 100 persen atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis dan nilai 0 mencerminkan sebaliknya. C. Standard Hidup Layak Angka standard hidup layak bisa menggunakan indikator GDP perkapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita) atau menggunakan indikator rata-rata pengeluaran perkapita riil yang disesuaikan (adjusted real per capita expenditure). Konsep Pembangunan Manusia yang dikembangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menetapkan peringkat kinerja pembangunan manusia pada skala 0,0 – 100,0 dengan kategori sebagai berikut: Tinggi
: IPM lebih dari 80,0
Menengah Atas
: IPM antara 66,0 – 79,9
Menengah Bawah
: IPM antara 50,0 – 65,9
Rendah
: IPM kurang dari 50,0
2.1.4.2. Pengalaman Indonesia dalam melakukan pembangunan manusia Sebelum krisis tahun 1998 Indonesia berhasil membangun hak-hak dasar manusia, mentransfer pertumbuhan ekonomi yang tinggi kepada pembangunan manusia. Dimulai dari tingkat rendah pada tahun 1960, akhirnya Indonesia berhasil melewati tingkat perkembangan yang dicapai oleh negara-negara tetangga se-Asia Tenggara. Sebagai hasilnya dalam bidang pembangunan manusia, rangking global
Universitas Sumatera Utara
Indonesia sama dengan rangking pendapatan per perkapitanya. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan manusia adalah dalam tingkat rata-rata dengan tingkat perkembangan ekonomi, tidak dibawah dan tidak di atas IHDR (2004). Kemajuan ini dicapai sebagai hasil dari kombinasi pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan penurunan laju pertumbuhan penduduk, yang menyebabkan pertumbuhan yang substansial pada standar kehidupan dan laju penurunan angka kemiskinan. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan penurunan kemiskinan cukup kuat karena selama masa itu tidak ada pertambahan kesenjangan: distribusi pendapatan tetap stabil IHDR (2004). Di samping jalan ini, berbagai dimensi pembangunan manusia memiliki hubungan yang bersinergi dan saling memperkuat satu sama lain. Sangat penting untuk mengadakan dukungan pemerintah dalam berbagai bidang, dan hal ini tidak mudah tetapi dengan pendekatan yang serius akan dapat ditangani. Hal ini memerlukan partisipasi aktif dari pada pemerintah dan masyarakat. Di Indonesia porsi pengeluaran publik sebagai bagian dari GDP adalah rendah. Pengeluaran publik dalam pelayanan bidang ini cukup rendah dibandingkan dengan rata-rata negara berkembangan. Walaupun satu faktor kompensasi ialah bahwa pengeluaran ini dipusatkan kepada pelayanan dasar, dengan jumlah yang berarti kepada pemenuhan pelayanan kesehatan dasar dan pendidikan dasar. Pengeluaran pemerintah yang rendah ini harus diimbangi dengan pengeluaran swasta yang lebih tinggi. Hal ini sangat jelas pada sektor kesehatan, di mana
Universitas Sumatera Utara
pengeluaran swasta mencapai 80%, sedangkan pemerintah hanya sekitar 20%. Pengeluaran pemerintah untuk pelayanan dasar kesehatan terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat untuk semua kelas sedangkan pengeluaran swasta hanya cenderung untuk golongan. Seperti dalam sektor kesehatan, dalam sektor pendidikan juga terdapat pembagian kelas. Walaupun kurang nyata seperti pada sektor kesehatan. Hasil dari pada pendidikan pada tingkat tertentu akan tergantung kepada pengaruh keluarga, terutama tentang tingkat pendidikan orang tua dan dengan keluarga untuk meninggalkan sekolah dalam rangka bekerja. Dalam hal pendidikan, pengeluaran pemerintah cenderung memiliki efek yang sama karena sebagian besar tingkat pendidikan dasar dan tingkat menengah diselenggarakan oleh pemerintah. Sebagai hasilnya maka hampir tidak ada perbedaan angka partisipasi antara golongan pendapatan yang rendah. Walaupun demikian terdapat perbedaan yang nyata untuk tingkat menengah. Angka partisipasi 20% golongan kaya adalah 72%, sedangkan untuk 20% golongan miskin 50%. Banyak pula yang drop out sebelum menyelesaikan pendidikan tingkat dasar. Perbedaan ini juga nampak pada kemampuan baca tulis untuk tahun 2002 golongan miskin mencapai 87% sedangkan golongan kaya 98%.
Universitas Sumatera Utara
2.2.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Tinjauan penelitian yang berhubungan dengan Indeks Pembangunan Manusia
saat penelitian ini dilaksanakan belum ada. Berikut ini adalah tinjauan atas penelitian terdahulu yang berhubungan dengan akuntansi sektor publik: a. Budi D. Sinullingga (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Pengaruh Alokasi Sektor Anggaran Pemerintah terhadap Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (Studi Kasus Kota Medan)” dengan metode expost facto (Sugiyono, 2004) karena meneliti sesuatu yang telah terjadi yaitu peningkatan IPM Kota Medan tahun 1995 sampai dengan 2005, yang dipengaruhi oleh sektor anggaran pembangunan pemerintah kota tahun 1995 sampai dengan 2005. Variabel dependen pada penelitian ini adalah IPM yang dinilai dengan nilai IPM sedangkan variabel independennya yaitu sektor pendidikan (X 1 ), sektor kesehatan (X 2 ), sektor transportasi (X 3 ), sektor pembangunan daerah (X 4 ), sektor perumahan (X 5 ), sektor industri (X 6 ) dan sektor tenaga kerja (X 7 ). Kesimpulan penelitian ini bahwa sektor-sektor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap peningkatan IPM ialah sektor yang mengurangi kesenjangan yaitu sektor perdagangan, tenaga kerja dan industri. Selama tahun penelitian 1995-2005 sektor-sektor pengurangan kesenjangan ini anggarannya sangat kecil sekali dibandingkan dengan sektor-sektor infrastruktur. Sektor-sektor infrastruktur pemukiman memiliki pengaruh langsung relatif kecil terhadap peningkatan IPM, dan diantara sektor infrastruktur ini yang paling kecil pengaruhnya ialah sektor
Universitas Sumatera Utara
perumahan. Sektor transportasi dan pembangunan daerah juga mempunyai pengaruh terhadap IPM melalui pertumbuhan ekonomi dan besarnya belum termasuk dalam penelitian ini. Sektor yang secara langsung menangani komponen peningkatan IPM, yaitu sektor pendidikan dan kesehatan kurang efektif meningkatkan IPM. Untuk tahap penelitian ini, dikemukakan yang menjadi penyebabnya adalah kecilnya anggaran sehingga kurang efektif mengimbangi kondisi perekonomian yang dilanda krisis. Tabel 2.1. Daftar Tinjauan Peneliti Terdahulu Nama
Judul Penelitian
Budi D. Sinullingga (2009)
Analisis Pengaruh Alokasi Sektor Anggaran Pemerintah terhadap Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (Studi Kasus Kota Medan)
Variabel Alokasi Sektor Anggaran Pemerintah, Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia
Hasil Penelitian Kesimpulan penelitian ini bahwa sektor-sektor yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap peningkatan IPM ialah sektor yang mengurangi kesenjangan yaitu sektor perdagangan, tenaga kerja dan industri. Selama tahun penelitian 1995-2005 sektor-sektor pengurangan kesenjangan ini anggarannya sangat kecil sekali dibandingkan dengan sektor-sektor infrastruktur. Sektor-sektor infrastruktur pemukiman memiliki pengaruh langsung relatif kecil terhadap peningkatan IPM, dan diantara sektor infrastruktur ini yang paling kecil pengaruhnya ialah sektor perumahan. Sektor transportasi dan pembangunan daerah juga mempunyai pengaruh terhadap IPM melalui pertumbuhan ekonomi dan besarnya belum termasuk dalam penelitian ini. Sektor yang secara langsung menangani komponen peningkatan IPM, yaitu sektor pendidikan dan kesehatan kurang efektif meningkatkan IPM, yang menjadi penyebabnya adalah kecilnya anggaran sehingga kurang efektif mengimbangi kondisi perekonomian yang dilanda krisis.
Universitas Sumatera Utara