BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah (government expenditure) merupakan cerminan kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut terkait dengan kebijakan pemerintah dalam membelanjakan pendapatan untuk membeli barang dan jasa. Kebijakan ini diambil untuk mensejahterakan rakyatnya melalui berbagai program terutama pelayanan di sektor publik (Mangkoesoebroto, 2003). Hal ini mencerminkan bahwa pengeluaran pemerintah berperan dalam mempertemukan permintaan masyarakat dengan penyediaan sarana dan prasarana yang tidak dapat dipenuhi oleh swasta. Jumlah pengeluaran pemerintah yang akan dilakukan dalam suatu periode tertentu tergantung kepada banyak faktor. Beberapa faktor yang penting diantaranya adalah: 1) jumlah pajak yang akan diterima, 2) tujuan-tujuan kegiatan ekonomi jangka pendek dan pembangunan ekonomi jangka panjang, dan 3) pertimbangan politik dan keamanan (Sukirno, 2000). Menurut Basri dan Subri (2003), pengeluaran pemerintah itu sangat bervariasi, namun secara garis besarnya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Pengeluaran yang merupakan investasi yang menambah kekuatan dan ketahanan ekonomi dimasa yang akan datang. 2. Pengeluaran yang langsung memberikan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
23
3. Pengeluaran yang merupakan penghematan terhadap masa yang akan datang. Pengeluaran untuk menyediakan kesempatan kerja yang lebih luas dan menyebarkan daya beli yang luas. Pengeluaran pemerintah biasanya direncanakan jauh lebih awal. Pemerintah membuat daftar anggaran yang akan dikeluarkan setiap tahunnya dan dijabarkan dalam APBN. Pengeluaran pemerintah dibedakan menjadi dua yaitu: pengeluaran negara yang tercermin pada APBN dan pengeluaran daerah yang tercermin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah harus dicatat dan dikelola dalam APBD. Pengeluaran pemerintah merupakan bentuk pelaksanaan tanggung jawab dan wewenang kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya (pemerintah propinsi/pusat). Pengeluaran pemerintah daerah dilakukan dalam bentuk belanja daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dikatakan bahwa belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan. Jika kita melihat APBD, maka pengeluaran pemerintah daerah secara garis besar dikelompokkan menjadi dua golongan sebagai berikut: 1.
Belanja Tidak Langsung Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja tidak langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan dan belanja tidak terduga.
24
2.
Belanja Langsung Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang/jasa dan belanja modal. Pengalokasi dana yang bersumber dari pendapatan dan pembiayaan
daerah kepada belanja daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah itu sendiri. Namun pemerintah memiliki peran dalam hal ini ditunjukkan oleh besaran pengeluaran pemerintah. Peran pemerintah dalam perekonomian juga dapat ditunjukkan melalui pengeluaran pemerintah. Untuk mencapai kondisi masyarakat yang sejahtera, pemerintah memiliki empat peran (Dumairy, 1999:56) yaitu: 1.
Peran alokasi, yaitu peranan pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi yang ada agar pemanfaatannya dapat optimal dan produktif;
2.
Peran distributif, yaitu peranan pemerintah dalam mendistribusikan sumber daya yang ada, hasil-hasil perekonomian, secara adil dan merata;
3.
Peran stabilitatif, yaitu peran pemerintah dalam memelihara stabilisasi perekonomian.
4.
Peran dinamisatif, yaitu peran pemerintah dalam menggerakkan proses pembangungan perekonomian agar lebih cepat tumbuh, berkembang dan maju Untuk mengembangkan daerahnya, pemerintah daerah diberi wewenang
dalam mengelola dan mengatur keuangan daerahnya sendiri. Pengeluaran terbesar pemerintah daerah biasanya lebih difokuskan untuk pendidikan. Selain itu belanja terbesar digunakan untuk pelayanan umum.
25
2.1.1. Pengeluaran Pemerintah dalam Perekonomian Pada sistem perekonomian campuran, partisipasi pemerintah dalam pasar adalah sebagai pembeli barang dan jasa. Pemerintah membeli barang untuk menyediakan kebutuhan masyarakat. Pemerintah membeli input dari rumah tangga dan mendapatkan hak kepemilikan dari sumber produktif (modal dan tanah). Pemerintah menggunakan input tersebut untuk menghasilkan barang dan jasa yang tidak dijual kepada sektor rumah tangga dan perusahaan, tetapi disediakan melalui distribusi tanpa melalui pasar. Pembelian barang dan jasa oleh pemerintah dapat digolongkan menjadi dua yaitu konsumsi pemerintah dan investasi pemerintah (Supriana,2013:22). Konsumsi pemerintah adalah pembelian barang yang akan dikonsumsi, seperti membayar gaji guru, PNS, membeli alat tulis kantor dan lainnya. Sedangkan investasi pemerintah meliputi pengeluaran untuk membangun sarana dan prasarana seperti jalan, sekolah, rumah sakit dan irigasi. Pemerintah juga memiliki dan menjalankan perusahaan, seperti jasa pelayanan pos, kereta api dan lain-lain. Untuk membayar barang dan jasa yang dipergunakannya, pemerintah mendapatkan
pemasukan
dari
perusahaan
dan
rumah
tangga,
seperti
hasil pembayaran pajak, retribusi, royalti dan fee. Pemerintah menggunakan sumber daya yang produktif untuk menghasilkan barang dan jasa termasuk pertahanan, jalan, sekolah dan jasa-jasa lainnya. Dari uraian diatas, secara sederhana sebenarnya tidak sulit untuk mengetahui jumlah barang dan jasa yang harus disediakan oleh pemerintah daerah
26
dan anggaran yang dibutuhkan. Penyediaan barang publik ini harus disesuaikan dengan tingkat kebutuhan masyarakat. Sedangkan kebutuhan konsumen baik rumah tangga maupun perusahaan sangat tergantung pada tingkat pendapatan. Kebutuhan terhadap barang jasa publik bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah akan berbeda dengan masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Teori-teori pengeluaran pemerintah dibedakan menjadi 2, yaitu teori secara makro dan teori secara mikro. Teori Makro, digolongkan menjadi 3 (Mangkoesoebroto, 2003), yaitu: 1.
Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave, menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap pembangunan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana. Pada tahap menengah investasi pemerintah tetap diperlukan untuk menghindari terjadinya kegagalan pasar yangdisebabkan oleh investasi swasta yang sudah semakin besar pula. Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, aktivitas pemerintah beralih pada bentuk pengeluaranpengeluaran untuk aktivitas-aktivitas sosial.
2.
Hukum Wagner Hukum
Wagner
apabila pendapatan
menyatakan
bahwa
perkapita
meningkat,
dalam secara
suatu relatif
perekonomian, pengeluaran
pemerintah pun akan meningkat. Peran pemerintah yang semakin besar mengakibatkan pengeluaran pemerintah juga semakin besar. Menurut Wagner
27
ada 5 hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah selalu meningkat yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan tingkat pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi,
perkembangan
ekonomi,
perkembangan
demokrasi
dan
ketidakefisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintahan. 3.
Teori Peacock dan Wiseman Teori
ini
didasarkan
pada
suatu
pandangan
bahwa
pemerintah
senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran, sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut. Masyarakat mempunyai tingkat toleransi pajak, yaitu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Menurut teori Peacock dan Wiseman, pemungutan pajak yang semakin tinggi meskipun tarif pajak tidak berubah akan menyebabkan pengeluaran pemerintah akan meningkat. Itulah sebabnya, dalam keadaan normal, pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dalam GNP yang meningkat akan menyebabkan penerimaan pemerintah juga akan meningkat sekaligus juga meningkatkan pengeluaran pemerintah. Teori Peacock dan Wiseman dapat dilihat seperti Gambar 2.1. berikut:
Pertumbuhan Ekonomi
Penerimaan Pajak Meningkat
Pengeluaran pemerintah Meningkat
Gambar 2.1. Teori Peacock dan Wiseman Sumber: Mangkoesoebrata, 2010 28
Pertumbuhan Ekonomi Meningkat
Penerimaan & Pengeluaran Pemerintah Meningkat
Teori mikro bertujuan untuk melihat faktor-faktor yang menimbulkan permintaan terhadap barang-barang publik serta faktor-faktor yang mempengaruhi tersedianya barang publik. Interaksi antara permintaan dan penawaran akan barang publik menentukan jumlah barang public yang akan disediakan melalui anggaran belanja. Jumlah barang publik yang akan disediakan tersebut, selanjutnya akan menimbulkan permintaan akan barang lain. Sebagai contoh, pemerintah akan mendirikan gedung sekolah, hal ini akan mengakibatkan permintaan terhadap barang lain yang dihasilkan oleh sektor swasta seperti: seng, batu bata, semen dan sebagainya. Teori mikro mengenai pengeluaran pemerintah dapat dirumuskan (Mangkoesoebrata, 2010) sebagai berikut: 1.
Penentuan permintaan Perkembangan pengeluaran pemerintah dapat dijelaskan oleh beberapa faktor dibawah ini yaitu: a. Perubahan permintaan akan barang publik. b. Perubahan dari aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan. c. Perubahan kualitas barang publik dan perubahan harga faktor produksi. d. Perubahan harga faktor-faktor produksi.
2.
Penentuan tingkat output Barang dan jasa publik yang disediakan oleh pemerintah ditentukan oleh politisi yang memilih jumlah barang dan jasa yang dihasilkan. Disamping itu,
29
para politisi juga menentukan jumlah pajak yang akan dikenakan kepada masyarakat untuk membiayai barang dan jasa publik yang akan disediakan. 2.2. Konsep Dasar Perpajakan Perkembangan penerimaan pajak yang tercantum dalam APBN, terlihat bahwa pajak mendominasi sumber penerimaan negara. Hal ini tentu sangat membanggakan dimana bangsa kita sudah semakin mandiri dalam membiayai anggaran rumah tangganya. Disisi lain, pajak juga merupakan sarana yang dapat digunakan untuk membatasi yang kuat dan lemah, penyeimbang antara yang kaya dan miskin (Irianto dan Jurdi, 2005). Dengan uang pajak, pemerintah dapat menggunakannya untuk melaksanakan roda pembangunan dan memberi pelayanan umum kepada masyarakat yang bersifat strategis yang hasilnya dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Menurut Soemitro, pengertian pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan UU (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra-pretasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Mardiasmo, 2002). Pengertian pajak menurut Andriani adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) terutama oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung atau tidak langsung dapat ditunjuk, digunakan untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang ketentuan umum
30
dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 2.2.1. Teori Pemungutan Pajak Terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain adalah (Mardiasmo, 2006) : 1.
Teori Asuransi Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Maka membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2.
Teori Kepentingan Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, maka makin tinggi pajak yang harus dibayar.
3.
Teori Daya Pikul Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya artinya pajak harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 pendekatan yaitu : b. Unsur objektif, yaitu dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.
31
c. Unsur subjektif, yaitu dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi. 4.
Teori Bakti Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5.
Teori Asas Daya Beli Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya menungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.
2.2.2. Asas Pemungutan Pajak Asas pemungutan pajak terdiri dari (Mardiasmo, 2006): 1.
Asas domisili (asas tempat tinggal). Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya.
2.
Asas sumber. Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
3.
Asas kebangsaan. Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. 2.2.3. Sistem Pemungutan Pajak Dalam memungut pajak dikenal ada 3 (tiga) sistem pemungutan
(Mardiasmo, 2006), yaitu:
32
1.
Official Assessment System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2.
Self Assessment System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.
3.
With Holding System, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang terhadap wajib pajak.
2.2.4. Pengelompokan Pajak Menurut lembaga pemungutnya, pajak dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: 1.
Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Bea Meterai.
2.
Pajak Daerah, yaitu Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Hiburan.
2.3. Pajak Daerah Menurut Marsyahrul (2004:5), Pajak daerah adalah pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah yang hasilnya dipergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan daerah. Hal tersebut menggambarkan bahwa 33
pajak daerah dapat digunakan sebagai sumber pendapatan pemerintah daerah untuk membiayai anggaran rumah tangganya. Sebagai sumber pendapatan, pajak daerah masih merupakan sumber penerimaan pemerintah daerah yang aman dan potensial. Dalam UU No. 34 Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah, disebutkan bahwa pajak daerah yang selanjutnya disebut sebagai pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Pajak daerah untuk masingmasing Kabupaten/Kota dapat dilihat dari pos PAD dalam Laporan Realisasi APBD. Sebagai salah satu unsur pembentuk PAD, dalam pemungutannya pajak daerah juga harus mempunyai dasar hukum sehingga pungutan tersebut dapat dipaksakan. Sama halnya dengan pajak pusat, pajak daerah juga memiliki unsur paksaan dalam pemungutannya sehingga diperlukan dasar hukum. Pungutan pajak yang
dilakukan
oleh
pemerintah
daerah
harus
didasarkan
kepada
Keputusan/Peraturan Kepala Daerah (Perda). Materi yang diatur dalam perda tersebut harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang tindih pemungutan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Meskipun demikian, hal ini tidak menjadikan otoritas fiskal sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah. Penyebabnya karena stabilitas makro secara nasional harus
34
dijaga karena terdapat kenyataan bahwa tiap daerah memiliki kapasitas fiskal yang berbeda (Irianto, 2012:191). Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 28 Tahun 2009, jenis-jenis pajak daerah yang boleh dipungut oleh daerah adalah sebagai berikut : 1.
Pajak Provinsi, terdiri dari: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
2.
Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Wallet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
2.4.
Kebijakan Desentralisasi Fiskal Instrumen desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan instrumen yang
digunakan dalam penyelenggaraan pembangunan. Dengan instrumen ini, tujuan negara untuk mensejahterakan masyarakat dapat lebih mudah dicapai. Hubungan masyarakat dengan pemerintah daerah diharapkan dapat membuat kebijakan fiskal di daerah sesuai dengan kebutuhan, aspirasi, prioritas dan kebutuhan daerah. Desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu, salah satu makna desentralisasi fiskal dalam bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber penerimaan) kepada daerah merupakan suatu proses 35
pengintensifikasian
peranan
dan
sekaligus
pemberdayaan
daerah
dalam
pembangunan. Kedepannya, kebijakan pajak daerah diarahkan pada penguatan taxing power yaitu dengan meningkatkan basis pajak daerah dan diskresi dalam menetapkan pajak daerah. Penetapan tarif pajak daerah juga sepenuhnya diserahkan kepada daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal merupakan langkah penting untuk mendukung hal tersebut. Desentralisasi fiskal adalah cermin adanya power sharing (pembagian kekuasaan), yang berupa taxing power sharing (pembagian wewenang perpajakan). Dalam konteks pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal, dukungan pendanaan kepada daerah dilakukan melalui pemberian kewenangan perpajakan daerah dan retribusi daerah. Pada tanggal 15 September 2009 telah disahkan UU No. 28 Tahun 2009 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perubahan penting dari UU ini adalah adanya pengalihan dua jenis pajak pusat yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor pedesaan dan perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menjadi pajak daerah. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa dalam era otonomi, daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pusat, tetapi benar-benar mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan kreativitas dalam mengembangkan potensi yang sebelumnya bisa dikatakan terpasung. Namun dalam menetapkan jenis pajak daerah yang wajar untuk dipungut, maka harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a.
Bersifat pajak, dan bukan retribusi;
b.
Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah tersebut; 36
c.
Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
d.
Potensinya memadai. Hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari biaya pemungutan;
e.
Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif. Tidak mengganggu sumber ekonomi dan tidak merintangi arus sumber daya antar daerah;
f.
Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;
g.
Menjaga kelestarian lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak memberi peluang kepada pemda atau masyarakat luas untuk merusak lingkungan. Tujuan dari UU Nomor 28 Tahun 2009 (Mulyawan, 2010) adalah:
1. Memperbaiki kewenangan pemungutan; 2. Meningkatkan local taxing power; 3. Meningkatkan efektivitas pengawasan; 4. Meningkatkan sistem pengelolaan. Kebijakan desentralisasi fiskal memungkinkan pemerintah daerah memiliki sumber dana yang cukup untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, perlahan-lahan juga dapat berkurang. Dengan demikian, penguatan otonomi daerah dapat terwujud. Berkenaan dengan hal itu, pemerintah daerah diharapkan semakin mendekatkan diri dalam berbagai kegiatan pelayanan publik guna meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Seiring dengan semakin tingginya tingkat kepercayaan, diharapkan tingkat partisipasi (dukungan) publik terhadap pemerintah daerah juga semakin tinggi.
37
Seiring bertambahnya pajak daerah yang dikelola langsung oleh pemerintah
daerah,
maka
kesempatan
bagi
pemerintah
daerah
untuk
meningkatkan penerimaan pajak daerah semakin meningkat. Dari hal tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa kebijakan desentralisasi fiskal merupakan bukti nyata dari upaya pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah sehingga tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin rendah. 2.5. Pertumbuhan Ekonomi Secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Hal penting yang perlu ditekankan terdapat pada tiga aspek yaitu proses, output perkapita dan jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses, bukan suatu gambaran ekonomi pada suatu waktu yang dinamis dari suatu perekonomian yaitu melihat bagaimana perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Pertumbuhan ekonomi membahas gerakan perekonomian dalam jangka panjang. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengentaskan kemiskinan sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang sebuah negara.
Pertumbuhan
ekonomi
berarti
perkembangan
kegiatan
dalam
perekonomian menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi dalam jangka panjang. Dari satu periode ke periode lainnya, kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor produksi akan selalu mengalami
38
pertambahan dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi akan menambah jumlah barang modal. Teknologi yang digunakan berkembang. Disamping itu, tenaga kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk dan pengalaman kerja dan pendidikan menambah ketrampilan (Sukirno, 2006). Di dalam proses pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh dua macam faktor yaitu faktor ekonomi yaitu modal dan teknologi, faktor nonekonomi yaitu sumber alamnya dan sumber daya manusia. 2.5.1.
Teori Pertumbuhan Ekonomi Ada beberapa teori pertumbuhan ekonomi, masing-masing teori
mengemukakan faktor-faktor apa saja yang mendorong pertumbuhan, yaitu: 1.
Teori Pertumbuhan Klasik Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik, ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu: jumlah penduduk, jumlah stok barang-barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi yang
digunakan.
Meskipun
disadari
bahwa
banyak
faktor
yang
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi namun yang menjadi titik perhatian utama adalah pertambahan penduduk. Pada awalnya, jumlah penduduk yang sedikit dan kekayaan alam yang besar mengakibatkan tingkat pengembalian modal dari investasi akan tinggi. Hal ini tidak akan berlangsung lama apabila jumlah penduduk sudah terlalu banyak. 2. Teori Schumpeter Teori Schumpeter menekankan tentang pentingnya peranan pengusaha dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Para pengusaha merupakan golongan
39
yang akan terus-menerus membuat pembaruan atau inovasi dalam ekonomi.. Adapun jenis-jenis inovasi, yaitu: a. Memperkenalkan barang-barang baru b. Mempertinggi efisiensi cara memproduksi dan menghasilkan barang c. Memperluas pasar suatu barang ke pasar-pasar yang baru d. Mengembangkan sumber bahan mentah yang baru e. Mengadakan perubahan dalam organisasi untuk efisiensi kegiatan perusahaan. Menurut
Schumpeter,
makin
tinggi
tingkat
kemajuan
suatu
perekonomian maka semakin terbatas untuk mengadakan inovasi. Hal ini akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi berjalan lambat. Pada akhirnya akan mencapai tingkat “keadaan tidak berkembang” atau “stationary state”. Namun berbeda dengan pandangan Klasik, pada pandangan Schumpeter keadaan tidak berkembang dicapai ketika tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi. 3. Teori Harrod-Domar Teori ini bertujuan untuk menerangkan syarat yang harus dipenuhi perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh atau steady growth dalam jangka panjang. Model Harrod-Domar dibangun berdasarkan asumsiasumsi : a. Perekonomian dalam kondisi full employment dan closed economy. b. Tidak ada campur tangan pemerintah c. APS sama dengan MPS, dan MPS dianggap konstan
40
d. Rasio stok kapital terhadap pendapatan dianggap tetap e. Tidak ada penyusutan barang capital f. Tingkat harga umum konstan (upah riil sama dengan pendapatan riil) g. Tidak ada perubahan tingkat bunga. Teori
Harrod-Domar
menganggap
bahwa
pertambahan
dan
kesanggupan memproduksi tidak secara sendirinya akan menciptakan pertambahan produksi dan kenaikan pendapatan nasional. Harrod dan Domar sependapat dengan Keynes bahwa pertambahan produksi dan pendapatan nasional bukan ditentukan oleh pertambahan dalam kapasitas memproduksi, tetapi
oleh
kenaikan
pengeluaran
masyarakat.
Walaupun
kapasitas
memproduksi bertambah, pendapatan nasional baru akan bertambah dan pertumbuhan ekonomi tercipta apabila pengeluaran masyarakat mengalami kenaikan kalau dibandingkan dengan pada masa sebelumnya. 2.5.2. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Pajak Pajak mempengaruhi permintaan agregat {AD = C + I + G (bila perekonomian tertutup)} secara tidak langsung melalui dispossable income dan selanjutnya terhadap pengeluaran konsumsi. Apabila pajak naik sebesar ΔT maka disposable income turun dengan jumlah yang sama dan pengeluaran konsumsi juga turun sebesar : ΔC = -c ΔT d imana c adalah Marg inal Propensity to Consume
(MPC), dan selanjutnya ΔC ini menurunkan AD
melalui proses multiplier sebesar 1/1-c x ΔC atau -c/1-c x ΔT.
Dengan
demikian kenaikan pajak cenderung untuk menurunkan output dan bersifat deflasioner. Akan
tetapi,
apabila
penerimaan
pajak
digunakan
untuk
pembelian barang/jasa (ΔG) maka pengaruh pajak ini belum tentu deflasioner.
41
Apabila kenaikan penerimaan pajak sebesar ΔT seluruhnya digunakan untuk pembelian barang/jasa (ΔG) maka kenaikan AD sebesar 1/1-c x ΔG. Pengaruh netto dari kebijakan tersebut sebesar (-c/1-c x ΔT) + (1/1-c x ΔG). Tetapi karena seluruh kenaikan
pajak
digunakan untuk pembelian
barang/jasa maka ΔT = ΔG sehingga pengaruh nettonya terhadap AD sebesar ΔAD = ΔT = ΔG. Apabila penerimaan pajak meningkat sebesar ΔT dan seluruhnya digunakan untuk pembelian barang/jasa sebesar ΔG maka akan meningkatkan permintaan agregat sebesar ΔAD. Hal ini terkenal dengan dalil Anggaran Berimbang atau Balanced Budget Multiplier (Boediono, 2001). 2.6. Jumlah Penduduk Penduduk adalah orang-orang yang berada di dalam suatu wilayah yang terkait oleh atura-aturan yang berlaku dan saling berinteraksi satu sama lain secara terus menerus. Dalam sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu. Konsep penduduk menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap. Dewasa ini, penduduk merupakan subyek penting dalam pembangunan. Penyebabnya
karena
penduduk
merupakan
penggerak
dan
pelaksana
pembangunan. Selain itu penduduk adalah sumber tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda pembangunan. Setiap tahun, angka pertumbuhan penduduk terus meningkat. Hal ini menyebabkan jumlah penduduk juga semakin besar. Meningkatnya jumlah
42
penduduk menuntut konsekuensi logis adanya peningkatan sarana dan prasarana umum, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas. Karena seiring dengan semakin besarnya jumlah penduduk maka barang dan jasa yang dibutuhkan juga makin besar. Hal ini memerlukan anggaran yang besar dalam membiayai kebutuhan tersebut. Widarjono (Budiharjo, 2003:159) mengatakan bahwa, jumlah penduduk yang besar bagi Indonesia oleh perencanaan pembangunan dipandang sebagai asset modal besar pembangunan tetapi sekaligus juga sebagai beban. Pembangunan sebagai asset apabila dapat meningkatkan produksi nasional. Jumlah penduduk yang besar akan menjadi beban jika struktur, persebaran, dan mutunya sedemikian rupa sehingga hanya menuntut pelayanan sosial dan tingkat produksinya rendah sehingga menjadi tanggungan penduduk yang bekerja secara efektif. Dalam perekonomian, penduduk dapat berfungsi ganda jika ditinjau dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Dilihat dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan pangsa pasar yang baik dan potensial. Karena pada sisi ini, penduduk berfungsi sebagai konsumen harus memenuhi segala kebutuhan hidup. Namun jika dilihat dari sisi penawaran, penduduk juga merupakan produsen yang memproduksi barang dan jasa. Sehingga berdasarkan hal tersebut, secara teori pertumbuhan penduduk yang besar bila diikuti oleh tingkat produktivitas yang tinggi akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi tinggi (Putong, 2008).
43
2.6.1.
Jumlah Penduduk Terhadap Pajak Menurut Todaro (2003), pertambahan penduduk bukanlah merupakan
masalah. Namun sebaliknya, pertambahan penduduk merupakan unsur penting yang dapat memacu pembangunan ekonomi. Populasi yang besar merupakan pasar yang potensial sebagai sumber permintaan akan berbagai macam barang dan jasa. Hal ini kemudian berpengaruh menggerakkan roda perekonomian yang pada akhirnya menciptakan skala ekonomis (economics of scale) produk yang menguntungkan semua pihak. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana (Harian Tempo, 2014) menyatakan bahwa saat ini jumlah penduduk Indonesia mencapai angka 255,5 juta atau 40,3 persen dari total jumlah penduduk Asia Tenggara. Angka itu bisa menjadi kekuatan ekonomi bagi Indonesia karena akan menjadi pangsa pasar yang sangat besar. Menurutnya, penduduk yang besar ini akan menjadi pendorong peningkatan pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Sejalan dengan teori perpajakan, Musgrave: besar kecilnya penerimaan pajak sangat ditentukan oleh pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Pajak dan pendapatan memiliki hubungan fungsional, karena pendapatan merupakan fungsi dari pajak. Apabila pendapatan seseorang meningkat maka kemampuannya untuk membayar pajak juga akan meningkat. Demikian juga halnya dengan jumlah penduduk. Ketika seseorang bekerja maka dia akan mendapatkan penghasilan. Penghasilan tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup setelah dikurangi pajak. Maka semakin besar jumlah penduduk, kesempatan 44
pemerintah untuk menaikkan pendapatan daerah melalui pajak juga akan meningkat. 2.6.2. Jumlah Penduduk dan Pengeluaran Pemerintah Unsur pembentuk suatu negara terdiri dari rakyat, wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Rakyat termasuk syarat terbentuknya suatu negara yang bersifat konstitutif atau mutlak. Rakyat suatu negara meliputi penduduk dan bukan penduduk (orang asing). Bukan penduduk adalah orang yang ada di wilayah suatu negara tetapi tidak bermaksud untuk menetap dan tinggal di negara yang bersangkutan. Jumlah penduduk memiliki hubungan yang erat dalam menentukan anggaran pengeluaran pemerintah. Karena meningkatnya jumlah penduduk menuntut konsekuensi logis adanya peningkatan kebutuhan terhadap sarana dan prasarana umum, baik dari aspek kuantitas maupun kualitas, seperti sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan lain-lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka pemerintah menggunakan pendapatan yang dimilikinya untuk membeli barang dan jasa demi memenuhi kepentingan masyarakat. Dengan demikian, jumlah penduduk yang besar akan memerlukan anggaran yang besar. Hal ini akan mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran pemerintah yang diperlukan. 2.7.
Konsumsi Masyarakat Konsumsi adalah kegiatan membeli barang dan jasa untuk memuaskan
keinginan, memiliki dan menggunakan barang dan jasa tersebut. Pengeluaran konsumsi rumah tangga adalah nilai belanja yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli berbagai kebutuhan tersebut. Menurut Sukirno (2004:38),
45
Konsumsi adalah nilai perbelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhannya dalam satu tahun tertentu. Dalam perekonomian dua sektor yang terdiri dari sektor rumah tangga dan perusahaan, digambarkan bahwa sektor rumah tangga akan memperoleh pendapatan berupa gaji dan upah, sewa, bunga dan keuntungan. Hal ini disebabkan karena sektor perusahaan menggunakan faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh rumah tangga. Sebagian besar dari pendapatan itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan membeli barang dan jasa yang dihasilkan oleh sektor perusahaan. Sisa pendapatan yang tidak digunakan untuk konsumsi akan ditabung (Sukirno, 2012). Pengeluaran konsumsi masyarakat adalah salah satu variabel makro ekonomi dalam identitas pendapatan nasional menurut pendekatan pengeluaran. Umumnya konsumsi masyarakat dilambangkan dengan huruf C (Consumption). Konsumsi merupakan fungsi dari pendapatan yang dapat dibelanjakan. Keynes menduga bahwa kecenderungan mengkonsumsi merupakan fungsi yang stabil. Besarnya konsumsi agregat sangat bergantung kepada besarnya pendapatan agregat. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa konsumsi akan meningkat jika pendapatan meningkat namun peningkatan konsumsi tidak akan sebesar peningkatan pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka jarak (gap) antara pendapatan dan konsumsi akan semakin besar. Hal ini menggambarkan bahwa semakin tinggi pendapatan maka proporsi dari pendapatan yang ditabung juga semakin besar. Konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatannya. Secara makro,
46
agregat pengeluaran konsumsi masyarakat berbanding lurus dengan pendapatan nasional. Semakin besar pendapatan, makin besar pula pengeluaran konsumsi. Demikian pula halnya dengan perilaku tabungan. Apabila pendapatan bertambah, maka baik konsumsi maupun tabungan juga akan bertambah. Perbandingan besarnya tambahan pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan disebut hasrat marjinal untuk berkonsumsi (Marginal Propensity to Consume, MPC). Sedangkan nisbah besarnya tambahan pengeluaran konsumsi terhadap tambahan pendapatan disebut hasrat marjinal untuk menabung (Marginal Propensity to Save, MPS). Pada masyarakat yang kehidupan ekonominya relatif belum mapan, biasanya angka MPC mereka relatif besar, sementara angka MPS mereka relatif kecil. Artinya jika mereka memperoleh tambahan pendapatan maka sebagian besar tambahan pendapatannya itu akan teralokasikan untuk konsumsi. Hal sebaliknya berlaku pada masyarakat yang kehidupan ekonominya sudah relatif lebih mapan.
Pola
konsumsi
masyarakat
yang
belum
mapan
biasanya
didominasi oleh konsumsi kebutuhan pokok atau primer. Sedangkan pengeluaran konsumsi masyarakat yang sudah mapan cenderung lebih banyak teralokasikan ke kebutuhan sekunder atau bahkan tersier. 2.8. Review Peneliti Terdahulu Dalam penelitian ini, penulis juga menyertakan penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan sebagai referensi, yaitu: 1.
Putriani (2011)
47
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pengeluaran pemerintah di Indonesia. Judul penelitian adalah “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengeluaran Pemerintah Indonesia Periode 1999-2009”. Dengan menggunakan beberapa teori dan hasil penelitian sebelumnya terhadap pengeluaran pemerintah. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah jumlah penduduk, inflasi, kurs dan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan data time series selama periode 1999-2009 dan dianalisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Penelitian ini menemukan bahwa faktor jumlah penduduk dan kurs, signifikan mempengaruhi total pengeluaran pemerintah di Indonesia, sedangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi kurang signifikan. 2.
Sasana (2011) Penelitian yang berjudul: “Analisis Determinan Belanja Daerah di
Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat Dalam Era Otonomi dan Desentralisasi Fiskal” yang dimuat dalam Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Maret 2011, Hal. 46–58 Vol. 18, No. 1ISSN: 412-3126. Penelitian ini mengkaji pengaruh pendapatan asli daerah, produk domestik regional bruto, dana perimbangan, dan jumlah penduduk terhadap belanja pemerintah daerah di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Dengan menggunakan regresi linear berganda metode OLS sebagai alat analisis, penelitian ini menunjukkan bahwa produk domestik regional bruto, transfer dana dan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap belanja pemerintah daerah pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.
48
3.
Bustamam (2004) Penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pengeluaran Pemerintah Di Propinsi Riau (1976-2000)”. Dengan menggunakan data time series selama periode 1976-2000, yang merupakan data sekunder dari BPS Propinsi Riau dan dianalisis dengan menggunakan metode OLS, penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor yang signifikan yang mempengaruhi pertumbuhan total pengeluaran pemerintah di Propinsi Riau adalah jumlah penduduk dan total pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya. Sedangkan pertumbuhan pengeluaran rutin secara signifikan dipengaruhi oleh investasi, jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran rutin tahun sebelumnya. Faktor yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan pengeluaran pembangunan pemerintah di Propinsi Riau adalah jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pembangunan tahun sebelumnya. Jumlah penduduk merupakan faktor yang paling besar mempengaruhi pengeluaran pemerintah di Propinsi Riau, terutama terhadap pengeluaran pembangunan. 4.
Ulfa (2005) Penelitianya yang berjudul’’ Studi Analisis Kebijakan Fiskal Dan
Struktur Pembiayaan Jangka Menengah di Indonesia’’ dengan metode deskrisptif dijelaskan dimana sisi penerimaan pemerintah sangat mempengaruhi besaran pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya pada jangka menengah serta kondisi perekonomian pada saat itu yang turut memberikan andil pada besaran dan alokasi anggaran pengeluaran.
49
5.
Sihombing (2003) Penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pengeluaran Pemerintah Dengan Pendekatan Error Correction Model”. Penelitian ini menggunakan pendekatan Eror Corection Model untuk melihat pengaruh jangka pendek dan jangka panjang setiap faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran pemerintah tersebut. Dengan mengambil data time series sejak tahun 1969 - 2000 dan diproses dengan Program Eviews 3.0, penelitian ini menemukan bahwa dalam jangka pendek variabel arus modal masuk dan inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap besarnya pengeluaran pemerintah. Sementara dalam jangka panjang, hasil estimasi memperlihatkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, arus modal masuk, inflasi, pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya, perubahan inflasi tahunan dan perubahan pengeluaran pemerintah tahunan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengeluaran pemerintah Indonesia. Namun ditemukan pula, bahwa perubahan pertumbuhan ekonomi tahunan dan perubahan arus modal masuk tahunan tidak memberikan pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap pengeluaran pemerintah. 6.
Mehmood (2010) Penelitian yang berjudul: “The Relationship between Government
Expenditure and Poverty: A Cointegration Analysis”. Dipublikasikan di Romanian Journal of Fiscal Policy, Volume 1, Issue 1, July-December 2010, Pages 29-37. Menggunakan data time-series periode 1976-2010 dan dianalisis dengan menggunakan ECM model and Johnson Cointegration test respectively. Penelitian ini mengkaji hubungan antara defisit fiskal yang disebabkan oleh
50
pengeluaran pemerintah yang melebihi jumlah pendapatan Pajak yang dipungut dengan kemiskinan (Poverty). Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam jangka pendek dan jangka panjang, terdapat hubungan yang negatif diantara kedua variabel. 7.
Tayeh (2011) Penelitian yang berjudul: ”The Determinants of Public Expenditures in
Jordan”. Dengan menggunakan data periode 1979-2000, hasil analisis menyatakan bahwa jumlah penduduk, pengangguran dan inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap pengeluaran pemerintah. 8.
Taha, (2008) Penelitian yang berjudul: “Causality Between Tax Revenue and
Government Spending in Malaysia”, dipublikasikan di The International Journal of Business and Finance Research,Volume2,2008. Trend pemungutan pajak di Malaysia tidak konsisten, selalu berubah sesuai dengan kondisi perekonomian. Total penerimaan pajak memberikan kontribusi terbesar dari total seluruh pendapatan pemerintah Malaysia. Dengan menggunakan VAR models dan data periode 1970-2006, penelitian ini mengkaji hubungan antara penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, terdapat hubungan antara penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah pada pemerintah federal Malaysia. 9.
Izzah (2014) Penelitian yang berjudul: “Analisis Penerimaan Pajak Daerah dan
Pengeluaran Pemerintah Terhadap Perekonomian Propinsi Sumatera Utara (VAR)”. Dengan menggunakan teknik analisis VAR dengan uji Impulse Response 51
Function (IRF), hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, PDRB mempengaruhi penerimaan pajak daerah sekaligus mempengaruhi pengeluaran aparatur daerah. Variabel yang paling efektif mempengaruhi pengeluaran aparatur daerah adalah penerimaan pajak daerah. 10. Supriadi (2013) Penelitian yang berjudul: “Kajian Hubungan Resiprokal antara Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah (Studi Kasus di Indonesia Periode 1969-2011)”. Kajian ini menguji hubungan resiprokal antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah Indonesia dengan menggunakan data tahunan pada periode 1969-2011. Disamping itu pula diteliti juga pengaruh variabel kontrol pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan harga minyak internasional terhadap penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dengan menggunakan Analisis TwoStage Least Square dihasilkan kesimpulan bahwa hubungan antara penerimaan dan pengeluaran memiliki pola hubungan yang mendukung hipotesis sinkronisasi fiskal. Sedangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan harga minyak internasional serta variabel dummy krisis ekonomi sebagai variabel kontrol memiliki pengaruh yang bervariasi. Review penelitian terdahulu diatas diringkas dalam Tabel 2.1. berikut Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu N o
Nama Peneliti
1 Putriani (2011)
Judul Penelitian
Variabel Terikat
Variabel Bebas
Analisis Pengeluara Penduduk, Faktor yg n inflasi, kurs mempengaruhi Pemerintah & Pengeluaran Pertumbuhan Pemerintah Ekonomi
52
Hasil Penelitian Dgn menggunakan metode OLS,Penelitian ini menemukan bahwa faktor jumlah
Indonesia Periode 19992009
penduduk dan kurs, signifikan mempengaruhi total pengeluaran pemerintah di Indonesia, sedangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi kurang signifikan.
2 Sasana, Hadi (2011)
Analisis Belanja Determinan Daerah Belanja Daerah di Kab/Kota Prop Jawa Barat Dalam Era Otonomi dan Desentralisasi Fiskal
3 Bustama m (2004)
Analisis total Jumlah Faktor-Faktor pengeluara Penduduk, yang n Investasi, Mempengaruh pemerintah Pertumbuhan i Pengeluaran Ekonomi Pemerintah Di Propinsi Riau (1976-2000)
4
Studi Analisis Pembiayaa - Penerimaan dengan metode Kebijakan n Pemerintah deskrisptif Fiskal dan dijelaskan dimana
Ulfa
- PAD - PDRB - Dana Perimbanga n - Jumlah Penduduk
53
Penelitian ini mengkaji pengaruh PAD, PDRB, dana perimbangan, dan jumlah penduduk terhadap belanja pemerintah daerah kab/kota di Provinsi Jawa Barat. Temuan penting penelitian ini adalah PDRB, transfer dana,dan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap belanja pemerintah daerah dikabupaten / kota diProvinsi Jawa Barat. Penelitian ini menemukan bahwa faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan total pengeluaran pemerintah di Propinsi Riau ialah jumlah penduduk dan total pengeluaran pemerintah tahun sebelumnya.
( 2005)
Struktur Pemerintah Pembiayaan Jangka Menengah di Indonesia
sisi penerimaan pemerintah sangat mempengaruhi besaran pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya pada jangka menengah serta kondisi perekonomian pada saat itu yang turut memberikan andil pada besaran dan alokasi anggaran pengeluaran.
5
Sihombi Analisis Pengeluara ng Faktor yang n Mempengaruh Pemerintah (2003) i Pengeluaran Pemerintah dgn Pendekatan Error Correction Model
Pertumbuha n ekonomi, arus modal masuk, inflasi
Dengan mengambil data time series sejak tahun 1969 2000 dan diproses dengan Program Eview 3.0, penelitian ini menemukan bahwa dalam jangka pendek variabel arus modal masuk dan inflasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap besarnya pengeluaran pemerintah.
6
Mehmoo d (2010)
Kemiskinan
Menggunakan data time-series periode 1976-2010 dan dianalisis dengan menggunakan ECM model and Johnson Cointegration test respectively. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam jangka pendek dan jangka panjang, terdapat hubungan
The Defisit Relationship fiskal between Government Expenditure and Poverty: A Cointegration Analysis
54
yang negatif diantara kedua variabel. 7
Tayeh (2011)
The pengeluara - jumlah Determinants n penduduk, of Public pemerintah penganggura Expenditures n dan inflasi in Jordan
menyatakan bahwa jumlah penduduk, pengangguran dan inflasi berpengaruh secara signifikan terhadap pengeluaran pemerintah.
8
Taha, (2008)
Causality pendapatan - penerimaan Between Tax pemerintah pajak Revenue and Government Spending in Malaysia
Penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, penerimaan pajak yang besar memberikan kontribusi terhadap pendapatan pemerintah federal Malaysia.
9
Izzah (2014)
Analisis Perekonomi - Pajak Penerimaan Daerah an Pajak Daerah - Pengeluara dan n Pengeluaran Pemerintah Pemerintah Terhadap Perekonomia n Propinsi Sumatera Utara (VAR)
Dengan menggunakan teknik analisis VAR dengan uji Impulse Response Function (IRF), hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka panjang , PDRB mempengaruhi penerimaan pajak daerah sekaligus mempengaruhi pengeluaran aparatur daerah. Variabel yang paling efektif mempengaruhi pengeluaran aparatur daerah adalah penerimaan
55
pajak daerah. 1 0
Supriadi (2013)
Kajian Hubungan Resiprokal antara Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah (Studi Kasus di Indonesia Periode 1969-2011)
Pengeluara Pertumbuhan Dengan n menggunakan Ekonomi, Analisis Two-Stage Pemerintah Inflasi dan Least Square harga dihasilkan minyak kesimpulan bahwa internasional hubungan antara penerimaan dan pengeluaran memiliki pola hubungan yang mendukung hipotesis sinkronisasi fiskal. Sedangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan harga minyak internasional serta variabel dummy krisis ekonomi sebagai variabel kontrol memiliki pengaruh yang bervariasi
56