BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori Penelitian mengenai akuntansi publik di Indonesia sampai saat ini masih terbatas. Dimana salah satu penyebabnya masih terjadinya perubahan-perubahan dalam peraturan perundang-undangan pada sektor publik.
2.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan oleh Bendahara Umum Daerah (BUD) yang berasal dari potensi asli daerah yang bersangkutan sesuai kewenangan daerah tersebut. Penerimaan tersebut akan menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan dan menjadi hak pemerintah daerah serta tidak perlu dibayar kembali.
Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah berdasarkan
pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Selanjutnya menurut pasal 6 ayat 2 Undang-
Undang tersebut di atas, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah adalah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan
Universitas Sumatera Utara
atau jasa oleh daerah. Saragih (2006) dalam Harianto dan Adi (2007) menyatakan bahwa peningkatan PAD harus berdampak pada perekonomian daerah. Peningkatan PAD menunjukkan adanya peningkatan partisipasi publik terhadap jalannya pemerintahan di daerah itu BAPPENAS (2003) seperti yang dikutip Adi (2006) melakukan analisis elastisitas PAD terhadap PDRB menunjukkan bahwa setiap terjadi perubahan PDRB akan memberikan dampak yang positip dan signifikan terhadap perubahan PAD.
2.9.
Dana Perimbangan Dana perimbangan adalah penerimaan daerah dalam bentuk pendapatan transfer
yaitu pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah yang bersumber dari transfer pemerintah atasan yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Pendapatan ini meliputi : Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). 2.9.1. Dana Alokasi Umum (DAU) Dengan terbitnya Peraturan Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang dana perimbangan antara perimerintah Pusat dan Daerah menyebutkan Dana Alokasi Umum (DAU) yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah untuk membiayai pelaksanaan desentralisasi Dana Alokasi Umum ini bersifat Block Grant yang berarti penggunaan dana ini diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi
Universitas Sumatera Utara
daerah dimana dasar hukum pengalokasian dana ini sesuai dengan Undang-undang nomor 33 tahun 2003 tentang perimbangan dana antara pusat dan daerah besaran Dana Alokasi Umum (DAU) ini sekurang-kurangnya
26 % dari pendapatan dalam
negeri (PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN. Sedangkan proporsi DAU untuk daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan dan kewenangan antara propinsi dan Kabupaten/kota formula DAU menggunakan pendekatan celah fiskal (fiskal gap) yaitu selisih antara kebutuhan. Penyaluran DAU,DAK dan DBH disalurkan dengan cara pemindah bukuan dari rekening Kas Umum Negara ke Kas Umum Daerah. Hal ini berkaitan dengan perimbangan antara pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan antara pusat dan daerah (Darwanto dan Yustikasari, 2007) lebih lanjut menurut Darwanto dan Yustikasari (2007) hal tersebut menunjukkan terjadinya transper yang cukup signifikan di dalam APBN dari Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana dana tersebut secara leluasa dapat dipergunakan untuk pelaksanaan desentralisasi. 2.9.2. Dana Alokasi Khusus (DAK) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan menyebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) ádalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional yang dilaksanakan di tingkat daerah. Kegiatan khusus ini sulit untuk diperkirakan dengan rumus alokasi khusus. DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus. Karena itu, alokasi yang
Universitas Sumatera Utara
didistribusikan oleh pernerintah pusat sepenuhnya merupakan wewenang psrnerintah pusat untuk tujuan nasional Kebutuhan khusus alokasi DAK meliputi : 1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak rnempunyai akses yang memadai ke daerah lain. 2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung tiansrnigrasi. 3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir kepulauan dan tidak mempunyai prasarana dan sarana yang rnemadai. 4. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan. 5. Pembangunan Jalan, rumah sakit, irigási dan air bersih DAK disalurkan dengan cara pemindah bukuan dari rekening Kas Umum Negara ke rekening Kas Umum Daerah, oleh sebab itu DAK dicantumkan dalam APBD. DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai adiministrasi kegiatan, penelitian, pelatihan dan perjalanan dinas. Pembiayaan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) ini bisa disamakan dengan belanja pembangunan karena digunakan untuk mendanai peningkatan kwalitas pelayanan publik berupa pembangunan sarana dan prasana publik ( Ndadari dan Adi, 2008). Menurut Abdullah dan Halim (2006) aset tetap yang dimiliki dari penggunaan belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintahan daerah. Menurut Abimayu (2005) yang dikutip oleh Arianto dan Adi (2007) infrastruktur dan sarana prasana yang ada di daerah akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Jika sarana prasana yang memadai di
Universitas Sumatera Utara
daerah itu maka masyarakat akan dapat melaksanakan aktifitas pekerjaan sehinga akan berdampak positip terhadap roda perekonomian sehingga akan berpengaruh pada produktifitas yang semakin meningkat. 2.9.3. Dana Bagi Hasil (DBH) Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah). DBH yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari dua (2) jenis, yaitu DBH pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). Pola bagi hasil penerimaan tersebut dilakukan dengan prosentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil. Penerimaan DBH pajak bersumber dari: 1.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
2.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
3.
Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh WPOPDN) dan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21).
4.
Sedangkan penerimaan DBH SDA bersumber dari: Kehutanan,
Pertambangan Umum, Perikanan,
Pertambangan Minyak Bumi,
Pertambangan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya setiap daerah memiliki sektor unggulan sendiri-sendiri dalam hal keuangan dan hal ini sangat bergantung pada pemerintah daerah itu sendiri dalam menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang ada. Demikian halnya dalam sistem DBH yang bersumber dari pajak dan SDA. Mekanisme bagi hasil SDA dan pajak bertujuan untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) pusatdaerah. Namun, pola bagi hasil tersebut dapat berpotensi mempertajam ketimpangan horisontal (horizontalimbalance) yang dialami antara daerah penghasil dan non penghasil. horisontal tersebut disebabkan karena dalam kenyataannya karakteristik daerah di Potensi Indonesia sangat beraneka ragam. Ada daerah yang dianugerahi kekayaan alam yang sangat melimpah seperti di Riau, Aceh, Kalimantan Timur dan Papua
yang berupa minyak bumi dan gas alam (migas), pertambangan, dan
kehutanan. Ada juga daerah yang sebenarnya tidak memiliki kekayaan alam yang besar namun karena struktur perekonomian mereka telah tertata dengan baik maka potensi pajak dapat dioptimalkan sehingga daerah tersebut menjadi kaya. (Astuti dan Joko, 2005) Hal tersebut sejalan dengan Cristyanto (2005) yang menyatakan bahwa potensi penerimaan daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Pajak Penghasilan dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa daerah saja Berdasarkan Undang-Undang PPh yang baru (UU Nomor 17 Tahun 2000), mulai tahun anggaran 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh Pasal 21 serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi.Ditetapkannya PPh Perorangan
Universitas Sumatera Utara
sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN). Volume perolehan pajak di daerah berasosiasi kuat dengan besarnya tingkat pendapatan sebagai basis pajak. Dengan demikian, daerah dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi cenderung akan memperoleh DBH pajak yang lebih tinggi pula. DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan berasal dari Pendapatan Asli Daerah selain Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.
2.10. Pendapatan Perkapita PDRB Perkapita merupakan gambaran dari rata-rata pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk selama satu tahun di suatu wilayah atau daerah. Data statistik ini merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu wilayah atau daerah. Adanya peningkatan perekonomian dengan melambatnya perkembangan pertumbuhan penduduk, akan mengakibatkan terjadinya peningkatan PDRB perkapita. PDRB Perkapita diperoleh dari hasil bagi antara PDRB dengan penduduk pertengahan tahun yang bersangkutan. Jadi besarnya PDRB Perkapita tersebut sangat dipengaruhi oleh kedua variabel di atas. Dengan disajikannya PDRB Perkapita seluruh daerah kabupaten/kota, diharapkan dapat membantu para pemakai data dalam melakukan perbandingan, baik antara kabupaten/kota maupun antara satu tahun dengan tahun berikutnya. Daerah yang
Universitas Sumatera Utara
memiliki PDRB Perkapita tinggi, masih berasal dari daerah-daerah potensial yang memiliki lahan perkebunan besar dan juga daerah konsentrasi industri. Tingginya peningkatan
PDRB
perkapita
ternyata
belum
menunjukkan
membaiknya
kesejahteraan masyarakat, angka ini masih dipengaruhi oleh banyak faktor yang antara lain tingkat laju inflasi atau naiknya harga barang dan jasa yang sangat tinggi sehingga kurang menggambarkan kenaikan tingkat kesejahteraan secara riil. Salah satu manfaat dari data PDRB untuk mengetahui tingkat produk yang dihasilkan oleh seluruh faktor produksi, besarnya laju pertumbuhan ekonomi dan struktur perekonomian pada satu periode di suatu daerah tertentu. PDRB atas dasar konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar perhitungannya. Selanjutnya menurut Kuncoro (2004), Gaspersz dan Feony (2003) dalam Harianto dan Adi (2007) Indikator pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan Produk Domestik Bruto (PDRB) dianggap tidak selalu tepat karena tidak mencerminkan makna pertumbuhan yang sebenarnya. Lebih lanjut disebutkan bahwa indikator pendapatan perkapita lebih komprehensif dalam mengukur pertumbuhan ekonomi karena lebih menekankan kemampuan daerah untuk meningkatkan PDRB karena secara simultan menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi mampu meningkatkan kesejahteraan seiring dengan laju pertambahan penduduk. Hukum Wagner merupakan teori mengenai perkembangan persentase pengeluaran Pemerintah yang semakin besar terhadap Gross National Product (GNP). Wagner mengatakan dalam satu perekonomian apabila pendapatan perkapita
Universitas Sumatera Utara
meningkat
secara
relatif
pengeluaran
pemerintah
juga
akan
meningkat
(Mangkoesoebroto, 2001) GpCt− n GpCt GpCt−1 GpCt−2 〉 〉 〉.....〉 YpCt YpCt−1 YpCt−2 YpCt− n
…………………………......(2.1)
Keterangan : Gp C = Pengeluaran Pemerintah YP C = Produk atau pendapatan Nasional Perkapita t
= indeks waktu (tahun) Menurut Wagner ada lima hal yang menyebabkan pengeluaran pemerintah
selalu meningkat yaitu tuntutan peningkatan perlindungan keamanan dan pertahanan, kenaikan pendapatan masyarakat, urbanisasi yang mengiringi pertumbuhan ekonomi, perkembangan demografi, dan ketidak efisienan birokrasi yang mengiringi perkembangan pemerintah (Dumairy, 1997). Pertumbuhan ekonomi berkaitan dengan kenaikan output perkapita, dalam hal ini berkaitan output total (Gross Domestic Product) dan jumlah penduduk jadi prosese kenaikan output perkapita harus dianalisa dengan melihat apa yang terjadi dengan output total di satu pihak dan jumlah penduduk di pihak lain Musgrave (1989) mengatakan bahwa pendekatan alternatif penyebab semakin meningkatnya jumlah anggaran pemerintah antara lain adalah : a. Pertumbuhan pendapatan perkapita; oleh karena proporsi antara barang pribadi dan barang sosial selalu berubah sesuai dengan kenaikan pendapatan perkapita dan bahwa porsi barang-barang sosial selalu mengalami peningkatan hal ini membawa implikasi bahwa kebijakan anggaran yang efesien menghendaki adanya
Universitas Sumatera Utara
peningkatan rasio pembelanjaan pemerintah terhadap Gross National Product (GNP) b. Perubahan populasi penduduk; perubahan populasi bisa merupakan suatu penentu utama porsi pengeluaran pemerintah. Perubahan tingkat pertumbuhan penduduk menyebabkan perubahan distribusi umur dan kecenderungan ini direfleksikan dalam perubahan pengeluaran seperti kebutuhan pendidikan, fasilitas perumahan, dan sebagainya. Oleh karena itu kebutuhan akan pelayanan umum dipengaruhi pula oleh kaktor-faktor seperti mobilitas penduduk yang dapat mendorong pertumbuhan kota-kota baru dan berakibat peningkatan permintaan fasilitas publik. Dengan reformasi ini diharapkan anggaran daerah mampu memainkan perannya sebagai instrumen kebijakan dan instrumen manajemen bagi pemerintah daerah. Menurut Jones (1996), sebagai instrumen kebijakan, anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah. Oleh karena itu, anggaran daerah harus mampu secara optimal difungsikan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktifitas dari berbagai unit kerja. Kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal
Universitas Sumatera Utara
lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum. Uraian di atas menunjukkan bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan yang tidak terlepas dari kebijakan anggaran dengan titik berat pada kebijakan penerimaan dan pengeluaran. Dari sisi kebijakan penerimaan misalnya,
selain upaya
meningkatkan PAD, pemerintah daerah juga diharapkan mampu mengelola seluruh pendapatan dan pengeluaran atau belanja daerahnya. Hal ini dapat
dinyatakan
sebagai suatu prestasi dan merupakan salah satu ukuran kinerja pemerintah daerah tersebut. Ukuran kinerja dari sisi ini dilihat dengan membandingkan antara rencana atau target pendapatan maupun pengeluaran atau belanja daerah untuk berbagai kegiatan dan program dengan realisasinya.
2.11. Hubungan Realisasi Pendapatan Daerah Dengan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Identitas keseimbangan pendapatan nasional adalah konsumsi (C) ditambah Investasi (I), Pembelian atau Pengeluaran Pemerintah (G), dan Ekspor (X) dikurangi Impor (M) yang dirumuskan dengan persamaan Y = C + I + G + X-M merupakan
Universitas Sumatera Utara
sumber legitimasi pandangan kaum Keynesian akan relevansi campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Banyak pertimbangan yang mendasari pengambilan keputusan dalam mengatur pengeluarannya. Pemerintah tidak cukup hanya meraih tujuan akhir dari setiap kebijakan pengeluarannya tetapi juga harus memperhitungkan sasaran yang akan menikmati kebijakan tersebut. (Rahmansyah, 2004 : 15). Pendapat di atas berarti bahwa memperbesar pengeluaran dengan tujuan semata-mata untuk meningkatkan pendapatan nasional atau memperluas kesempatan kerja adalah kurang memadai, melainkan perlu diperhitungkan siapa yang akan terpekerjakan atau meningkat pendapatannya. Disamping itu pemerintah perlu menghindari agar peningkatan perannya dalam perekonomian tidak justru melemahkan pihak swasta. Menurut Wijaya (2000), pengeluaran pemerintah mempunyai efek pengganda (multiplier effect) dan merangsang kenaikan pendapatan nasional dan akan menaikkan pendapatan serta produksi secara berganda sepanjang perekonomian belum mencapai tingkat kesempatan kerja penuh (full employment) karena ia menaikkan permintaan agregatif didasarkan pada anggapan bahwa pengeluaran pemerintah tidaklah pada proyek-proyek yang dapat menghalangi atau menggantikan investasi sektor swasta. Anggaran pemerintah merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif dengan legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah dan pendapatan yang diharapkan untuk menutup keperluan belanja atau pembiayaan yang diperlukan bila diperkirakan akan terjadi defisit atau
Universitas Sumatera Utara
surplus. Anggaran berfungsi sebagai pernyataan kebijakan publik, sebagai target fiskal yang menggambarkan keseimbangan antara belanja pendapatan dan pembiayaan yang diinginkan, menjadi landasan pengendalian yang memiliki konsekuensi hukum, serta menjadi landasan penilaian kinerja pemerintah. (KSAP, 2005 : 13) Oleh karena itu, APBN suatu negara atau APBD suatu daerah dapat kita yakini mempunyai hubungan yang sangat signifikan terhadap perekonomian khususnya sektor riil.
Signifikansi
tersebut tercermin dari kontribusinya terhadap produk
domestik bruto. Kebijakan fiskal suatu negara
merupakan instrumen untuk
melaksanakan fungsi stabilitasi, distribusi dan alokasi yang diarahkan pada stimulus pertumbuhan ekonomi dan mendorong penciptaan lapangan kerja. Di Indonesia misalnya, dampak APBN terhadap sektor riil merupakan salah satu indikator yang mengidentifikasikan dampak dari kebijakan fiskal terhadap perekonomian tahun 2008. Dalam kondisi perekonomian yang lesu, kebijakan diarahkan pada stimulus fiskal antara lain melalui pengeluaran pemerintah yang bersifat autonomous yang mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, pada saat overheating ekonomi , intervensi kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah bersifat kontraktif untuk menyeimbangkan permintaan agregat (aggregate demand) dengan penyediaan sumber-sumber daya perekonomian. (BPKP-RI, 2009 : 38). Meningkatnya pendapatan negara melalui penerimaan dari sumber-sumber pendapatan merupakan suatu hasil kinerja pemerintah mengelola pos-pos penerimaan negara. Demikian juga halnya dengan meningkatnya penyerapan belanja dan
Universitas Sumatera Utara
akuntabilitas keuangan. Penyerapan anggaran merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan berhasilnya program atau kebijakan yang dilakukan pemerintah. Rasio realisasi terhadap pagu anggaran mencerminkan terserapnya anggaran dalam melakukan berbagai program yang telah ditetapkan. Sebaliknya, lambatnya penyerapan anggaran mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi karena eksekusi anggaran memiliki dampak
yang sangat besar terhadap perekonomian
sesuai dengan efektifitas penggunaan sumber-sumber penerimaan daerah terhadap Anggaran Belanja Daerah (ABD) dimana t 1 semakin besar atau sama dengan satu maka sumber-sumber penerimaan semakin efektif digunakan untuk membiayai belanja daerah, sebaliknya t 1 sama dengan nol maka sumber-sumber penerimaan daerah semakin tidak efektif digunakan untuk membiayai belanja daerah.
ABD = t1 PAD + t 2 DAU
+t
3
DAK + t 4 DBH ……………………………....2.2
Dimana 0 ≤ t 1 ≤ 1 efektifitas penggunaan sumber-sumber penerimaan daerah terhadap anggaran belanja daerah (ABD). PAD ádalah kemampuan otonomi daerah untuk menghasilkan sumber-sumber pendapatan daerah karena PAD langsung dipungut dari masyarakat sehingga PAD tersebut mengurangi dampak positip belanja pemerintahan daerah terhadap aktifitas ekonomi daerah sehingga dapat digambarkan sebagai berikut :
ABD − t1 PAD = t 2 DAU + t 3 DAK +
t
4
DBH ………….……………...……2.3
Dimana ABD dan PAD dinyatakan sebagai rasio pendapatan daerah yakni: PAD = t x PDRB …………………………………………………………….2.4 A
Universitas Sumatera Utara
Dimana t x PDRB adalah proporsi dari Pendapatan Asli Daerah dari PDRB ABD = g x PDRB ……..………………………………………………………2.4 B
Dimana g x PDRB adalah Proporsi dari Anggaran Belanda Daearah terhadap PDRB Dan subtisusi persamaan 2.4B ke persamaan 2.3 akan menghasilkan
g x PDRB − t1 x t PDRB = t 2 DAU + t 3 DAK + t 4 DBH PDRB =
t
2
DAU
g − t1 x t
+
t
3
DAK
g − t1 x t
+
t
3
DBH
g − t1 x t
….…………………………….25
Dari persamaan 2.5 ditunjukkan bahwa pengaruh DAU, DAK dan DBH terhadap PDRB tergantung pada nilai g - t 1 x t artinya jika g > t 1 x t maka pengaruh DAU DAK dan DBH terhadap PDRB adalah positip, sebaliknya jika g < t 1 x t maka pengaruh DAU, DAK DAN DBH adalah negatif. Lebih jauh dapat dikatakan jika rasio ABD lebih besar terhadap PDRB lebih besar dari rasio PAD terhadap PDRB dikalikan dengan efektifitas penggunaan PAD untuk ABD maka pengaruh DAU DAK dan DBH terhadap PDRB ádalah positip. Salah satu indikator kinerja keuangan pemerintah dalam bidang anggaran belanja dapat dilihat dari terealisasinya prioritas alokasi anggaran belanja yang selaras dengan akselerasi pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Untuk mencapai percepatan pertumbuhan ekonomi misalnya, pada tahun 2008 pemerintah Indonesia telah menetapkan 6 (enam) prioritas alokasi anggaran (BPKPRI, 2009 : 25 ) antara lain :
Universitas Sumatera Utara
1.
Belanja
investasi terutama di bidang infrastruktur dasar untuk mendukung
kegiatan ekonomi nasional; 2.
Bantuan sosial, terutama untuk menyediakan pelayanan dasar kepada masyarakat,
khususnya
di
bidang
pendidikan
dan
kesehatan,
dengan
memperhatikan rasio anggaran pendidikan sesuai amanat UUD 1945, serta meningkatkan upaya pemerataan; 3.
Perbaikan penghasilan dan kesejahteraan aparatur negara dan pensiunan;
4.
Peningkatan kualitas pelayanan dan efisiensi penyelenggaraan kegiatan operasional pemerintahan;
5.
Penyediaan subsidi untuk membantu menstabilkan harga barang dan jasa pada tingkat yang terjangkau masyarakat;
6.
Pemenuhan kewajiban pembayaran bunga utang. Penjelasan dan gambaran sebagaimana diuraikan di atas membuktikan bahwa
realisasi pendapatan dan belanja pemerintah daerah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konsep pertumbuhan ekonomi daerah. Di Indonesia dalam tahun 2008, penyerapan anggaran yang cepat, efisien dan efektif telah menjadi salah satu agenda reformasi manajeman keuangan pemerintah. Sejalan dengan agenda tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya optimal dalam rangka mengurangi berbagai hambatan dalam penyerapan anggaran dan meminimisasi kecenderungan penarikan anggaran di akhir tahun (execution skewed towards the end of fiscal year) oleh kementerian negara/lembaga. Salah satu langkah konkrit yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mendelegasikan kekuasaan (relax control) dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
eksekusi anggaran dengan memberikan berbagai fleksibilitas terhadap kementerian teknis. Namun demikian, juga mensyaratkan adanya akuntabilitas terhadap penggunaan anggaran tersebut. (BPKP-RI, 2009 : 14 ).
2.12.
Tinjauan Peneliti Terdahulu Beberapa peneliti di Indonesia telah melakukan studi tentang masalah
pengelolaan keuangan daerah dengan menggunakan Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Pendapatan Perkapita sebagai variabel penelitian. 1.
Saggaf (1999) menyimpulkan bahwa secara simultan dan parsial terdapat pengaruh yang signifikan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap pertumbuhan ekonomi daerah Kota Pekan baru dalam kurun waktu tahun 1989 – 1993. Demikian juga halnya dengan jumlah alokasi APBD secara keseluruhan juga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah tersebut dalam kurun waktu yang sama.
2.
Helmi (2009) menyimpulkan bahwa pendapatan dari sektor pajak dan pendapatan asli daerah berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Riau, dimana PAD dari sektor pertambangan, pertanian dan pariwisata berpengaruh positif terhadap pembentukan PDRB.
3.
Fitrianti dan
Pratolo (2009), dalam studi tentang pengaruh pendapatan asli
daerah dan belanja pembangunan terhadap rasio kemandirian dan pertumbuhan ekonomi menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1999 – 2007
di
Universitas Sumatera Utara
beberapa
kabupaten / kota di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak
terdapat pengaruh yang signifikan antara pendapatan asli daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, akan tetapi terdapat pengaruh yang signifikan antara pendapatan asli daerah terhadap rasio kemandirian, serta pengaruh signifikan antara belanja pembangunan terhadap rasio kemandirian. 4.
Hamzah (2009) menyatakan bahwa dalam kurun waktu 2001 – 2006, PAD dan Dana Perimbangan baik secara langsung maupun tidak langsung tidak berpengaruh secara secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi 38 Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Timur.
5.
Rahmansyah (2004) menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu tahun 1999 – 2003 pengeluaran pemerintah yang dialokasikan sebagai belanja daerah dalam APBD berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada 11 Propinsi di Indonesia, yaitu Nangroe Aceh Darusalam (NAD), Sumatera Utara, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Barat Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah dengan tingkat signifikansi yang berbeda-beda.
6.
Nurlina (2004) menyimpulkan bahwa dalam kurun waktu 1999 – 2003 anggaran belanja rutin daerah Propinsi Nangroe Aceh Darusalam memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kepercayaan 99 persen.
7.
Saragih (2006) menganalisis pengaruh keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Simalungun. Data yang digunakan adalah data sekunder
Universitas Sumatera Utara
yang diperoleh dari berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan Simalungun selama periode tahun 1986-2005. metode analisis yang digunakan adalah OLS. Variable dependent yang digunakan yaitu PDRB berdasarkan harga berlaku sedangkan variable independentnya adalah PAD,DBH,dan DAU kesimpulan yang diperoleh adalah PAD berpengaruh positif dan siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Simalungun serta DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Simalungun 8.
Simanjuntak (2006) menganalisis pengaruh PAD terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Labuhan Batu. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data time series selama kurun waktu 2001-2004. Data yang digunakan bersumber dari Dinas Pendapatan Kabupaten Labuhan Batu (Dispenda). BPS, Departemen Keuangan dan sumber-sumber lainnya seperji jurnal-jurnal serta hasil penelitian. Variabel dependen yang digunakan yaitu PDRB berdasarkan harga
berlaku.
Variabel
independen
yang
digunakan
yaitu
PAD,DAU,APBD,Derajat Otonomi Fiskal. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah ordinary Least Square. Hasil penelitiannya yaitu PAD dan DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten Labuhan Batu serta pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi tahun berjalan di Kabupaten Labuhan Batu. 9.
Ramzuhri (2008) Meneliti pengaruh pertumbuhan belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi pada enam (6) Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
yaitu,
Toba
Samosir,Mandailing
Natal,Tapanuli
Tengah,Tapanuli
Selatan,Labuhan Batu dan Asahan. Data realisasi belanja modal yang berasal dari Laporan Realisasi APBD Pemda dari tahun 2001-2006 yang diperoleh dari Bagian keuangan atau Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah pada setiap kabupaten. Data pertumbuhan ekonomi dinyatakan dalam bentuk data tahunan pada tahun anggaran 2001-2006 yang diperoleh dari BPS. Kesimpulan yang diperoleh adalah tidak ada pengaruh pertumbuhan belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi. 10. Wahyuni dan Priyo Hari Adi (2009) meneliti pengaruh pertumbuhan dan kontribusi Dana Bagi Hasil (DBH) bagi Pemerintah Daerah terhadap Pendapatan Daerah di Kabupaten/Kota se Jawa-Bali.
Penelitian ini menggunakan data
sekunder dengan jenis data time series selama kurun waktu 2001-2005. Data yang digunakan bersumber dari BPS, Departemen Keuangan dan sumber-sumber lainnya seperji jurnal-jurnal serta hasil penelitian. Variabel dependen yang digunakan yaitu Pendapatan Daerah. Variabel independen yang digunakan yaitu Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi hasil Sumber Daya alam (DBH SDA). Hasil penelitiannya yaitu bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) pajak selalu mengalami pertumbuhan positif selama periode pengamatan (2001-2005) namun demikian DBH SDA masih mengalami pertumbuhan yang fluktuatif secara umum.
Universitas Sumatera Utara
2.13.
Kerangka Konseptual Berdasarkan teori dan penjelasan pada bab sebelumnya maka penulis
membuat Kerangka konsep untuk dapat menggambarkan ruang lingkup Analisis pengaruh Alokasi Dana Perimbangan Pemerintah Pusat terhadap pertumbuhan ekonomi daerah adalah ditunjukkan oleh gambar 3.1 berikut. Variabel Independen
Varibel Dependen
Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Pendapatan Perkapita Kabupaten/Kota (PKK)
Dana Bagi Hasil (DBH)
Gambar 3.1. Kerangka Konseptual Analisis Alokasi Dana Perimbangan Pemerintah Pusat Terhadap Pendapatan Perkapita delapan Kabupaten/kota di SumateraUtara Berdasarkan penjelasan literatur dan hasil penelitian sebelumnya peneliti membentuk kerangka konseptual yang mengambarkan hubungan antara variabel dependen dan independen. Variabel independen dalam penelitian ini yaitu DAU, DAK, DBH yang diduga akan berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap
Universitas Sumatera Utara
variabel dependen yakni Pendapatan Perkapita. Tanda panah menunjukan bahwa masing-masing variabel independen diduga berpengaruh baik secara parsial maupun simultan terhadap variabel dependen.
2.14.
Hipotesis Berdasarkan tinjauan teori, tinjauan peneliti terdahulu serta mengacu pada
kerangka konseptual pada gambar 3.1, maka
hipotesis yang dapat dirumuskan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bahwa alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap Pendapatan perkapita di 8 Kabupaten/kota baik secara parsial maupun secara simultan, ceteris paribus. 2. Bahwa alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap Pendapatan perkapita 8 Kabupaten/kota baik secara parsial maupun secara simultan, ceteris paribus. 3.
Bahwa alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positif terhadap Pendapatan perkapita 8 Kabupaten/kota baik secara parsial maupun secara simultan, ceteris paribus.
Universitas Sumatera Utara