Kata Pengantar
S
ampai saat ini, masih banyak umat Hindu yang belum jelas benar, apakah mereka datang ke sebuah pura memuja Bethara, Dewa-Dewa atau Hyang Widhi. Mereka bahkan tak ambil pusing dan tak peduli. Mereka hanya tahu, misalnya, datang bersembahyang ke pura untuk piodalan. Tapi siapa yang piodalan di sana? Ida Bethara yang mana? Atau bukan Ida Bethara, tetapi Istadewata, tapi Istadewata yang mana? Seperti diketahui, ajaran Hindu memang menyebutkan, bahwa umat Hindu selain memuja Tuhan Yang Maha Esa (Hyang Widhi), juga memuja leluhur. Leluhur itu ada yang bersifat umum artinya orang-orang tua di masa lalu yang sangat berjasa, bisa berarti pula kawitan, yakni yang langsung punya hubungan darah secara vertikal. Leluhur ini dalam ajaran Hindu menyatu dengan Tuhan.
Dalam memuja Tuhan pun umat Hindu tak harus langsung kepada Tuhan itu sendiri (dalam hal ini disebut Brahman), tetapi bisa melewati Istadewata, yakni para dewa yang merupakan sinar sakti dari Brahman. Nah, siapa Istadewata yang dipuja pada hari-hari tertentu dan tempat tertentu itu, sebaiknya dipahami lebih dahulu agar persembahyangan menjadi khusuk dan tepat sasaran. Buku ini dimaksudkan untuk itu, mengenal Bethara (leluhur), Hyang Widhi dan Istadewata dengan tempat-tempat pemujaannya dan caranya memuja. Karena itu buku ini pun dilengkapi dengan Puja Stawa kepada Bethara, Tuhan dan Para Dewa. Tentu saja puja yang terbatas, karena buku ini ditujukan kepada masyarakat umum -- meski pun sebagai pelengkap disajikan juga Gagelaran Pemangku. Semoga buku ini bermanfaat adanya. Om Shanti, Shanti, Shanti, Om Pasraman Dharmasastra Manikgeni Akhir November 2010
Bersembahyang ke Pura Leluhur
B
ersembahyang bisa di mana saja. Di kamar bisa, di ruang tamu dengan menggelar tikar. juga bisa. Di ruang kelas pun bisa, apalagi bagi pelajar. Bersembahyang di kamar kerja, bagi pegawai negeri dan karyawan swasta, juga sudah biasa dilakukan di kota-kota besar seperti di Jakarta. Dulu, ketika saya masih menjadi wartawan dan berkantor di Majalah Tempo Jakarta, saya biasa bersembahyang di ruang kerja. Kalau di luar ada suara hiruk pikuk yang mengganggu konsentrasi, saya biasanya memutar kaset tabuh gong atau kidung yadnya. Tujuannya adalah membawa pikiran pada satu fokus yang paling memungkinkan untuk
mencapai suasana religius. Kalau bersembahyang bisa di mana saja, asal jangan di perempatan jalan yang lagi ramai lalu lintasnya, untuk apa umat Hindu mengunjungi pura? Kenapa umat berduyun-duyun pergi ke Pura Tri kahyangan pada saat Hari Raya Galungan? Kenapa Pura Luhur Batukaru penuh sesak pada saat Manis Galungan? Begitu pula Pura Lempuyang Luhur, umat parkir jauh sekali dan berjalan naik ke bukit. Dan apa pula penyebabnya umat berbondong-bondong datang ke Kintamani, bukan untuk melihat Danau Batur, tetapi bersembahyang ke Pura Ulun Danu pada Purnama Kedasa? Kenapa umat Hindu memenuhi Pura Dasar Bhuwana di Gelgel pada Pemacekan Agung dan berbondong-bondong ke Pura Sakenan pada hari Kuningan? Jelas ada daya tariknya, kenapa pura dikun jungi. Yang pertama-tama dalam pikiran masya rakat tradisional adalah pura itu “tempat tinggal” Sesuhunan (sebutan untuk para Dewa di pedesaan Bali), stana Ida Bethara, Dewa, Hyang Widhi. Namun umat tak banyak yang mengetahui dan bisa memerinci apa beda Dewa, Bethara, dan Hyang
Widhi itu. Kebanyakan umat hanya tahu ke pura untuk bersembahyang, tak menghiraukan dengan teliti apakah persembahyangan itu di depan meru, balai gedong, atau padmasana. “Sembahyang untuk memuja Tuhan,” begitu umumnya orang berkata. Bagi orang yang berpikir sederhana seperti ini, bersembahyang di merajan, di Pura Puseh, di Pura Ulun Danu Batur, di Pura Besakih, semuanya sama saja, yakni memuja Tuhan. Padahal sesungguhnya beda, tergantung pura itu sendiri. Kalau setiap persembahyangan memuja Tuhan, untuk apa mencari pura yang begitu jauh dan penuh rintangan, bukankah Tuhan ada di mana-mana, bahkan para spiritual sering menyebutkan Tuhan ada dalam diri sendiri. Dalam setiap kesempatan mengisi dharmatula, saya selalu menyarankan, jika kita mengunjungi pura (tirthayatra) hendaknya dengan cara-cara yang dikehendaki oleh para leluhur kita, karena yang kita puja di sana adalah leluhur kita. Yang dikehendaki itu adalah pikiran kita sudah dibawa ke alam keheningan sebelum sampai di pura. Apa
maksudnya? Para leluhur kita mendirikan pura atau meninggalkan warisan tempat suci yang kemudian oleh pengikutnya dibangun pura, lebih banyak di tempat-tempat di mana orang harus melakukan “perjalanan penuh rintangan” sebelum sampai ke pura itu. Pura Ulun Danu Batur (yang “asli” di Desa Songan), sebagaimana namanya, berada di pinggir danau, yang dahulu kala harus dicapai dengan berjalan kaki di terjal-terjal. Pura Lempuyang (baik di Luhur maupun di Madya) dibangun di puncak gunung, di mana orang harus datang ke sana melewati jalan yang kiri kanannya tebing curam. Pura Sakenan berada di tengah pulau, dan umat yang datang harus naik perahu atau berjalan kaki dengan memperhitungkan naik turunnya air laut. Begitu pula Pura Tanah Lot berada di karang yang dipisahkan dengan air laut yang kadangkala bisa pasang. Apa yang dimaui para leluhur kita di masa lalu itu? Kenapa tidak membangun pura di tempat pemukiman biasa saja, seperti Mpu Kuturan men
ganjurkan membuat Pura Trikahyangan dan “pura moderen” yang kini banyak dibangun seperti Pura Jagatnatha? Jawabnya adalah para leluhur itu ingin umat yang datang menyadari adanya “rintangan” dalam perjalanan itu. Dengan adanya “rintangan” itu, umat sudah terkonsentrasi untuk mendekatkan dirinya kepada Hyang Widhi atau leluhur kita yang sudah menyatu dengan Hyang Widhi, yang akan kita sembah di sana. “Rintangan” itu tak lain adalah cara tak langsung untuk melakukan japa dan juga samadhi, sehingga begitu sampai di pura, pikiran otomatis sudah terfokus dan persembahyangan langsung bisa dimulai. Sayang sekali, sekarang “rintangan” itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia moderen. Pulau Serangan di mana Pura Sakenan berada, sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu umat bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah. Anak-anak
menangis minta mainan dan ibunya membentak terus karena tak punya uang. Suasana ngedumel dan tangisan dibawa langsung masuk pura. Pikiran apakah yang dibawanya ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang oleh Pemangku? Tak lain adalah pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal dulu, ketika kita pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di tujuan. Begitu ada ombak, meski kecil, orang berdoa. Suasana khusuk doa dibawa ke jeroan pura. Kita melakukan “japa” dan “samadhi” ketika dalam perjalanan naik jukung, sampai suasana itu kita bawa masuk ke pura. Luar biasa indahnya. Sekarang rintangan itu sudah dihilangkan oleh manusia-manusia moderen. Pulau Serangan di mana Pura Sakenan berada sudah menyatu dengan Bali. Orang datang naik mobil dan motor, menderu-deru sampai depan pura. Lalu bertengkar dengan tukang parkir, atau mengumpat karena
mobilnya keserempet, atau ngedumel karena parkirnya susah, dan langsung masuk pura. Pikiran apakah yang dibawanya ketika berada di jeroan pura, dan langsung dituntun bersembahyang? Pikiran yang masih penuh marah, pikiran yang masih ngedumel, setidak-tidaknya jauh dari rasa hening. Padahal dulu, ketika saya sekeluarga pergi ke Pura Sakenan dan masih naik jukung, semuanya seperti terpaku hening dan berdoa agar selamat sampai di tujuan. Ketika saya masih walaka (sebelum menjadi Pandita Mpu), saya punya kisah yang bisa dikenang ketika sekeluarga ke Pura Dasar Bhuwana di Gelgel pas di hari Pemacekan Agung, puncak piodalan. Bayangkan betapa ramainya. Anak saya kecil, berdesak-desakan. Ada yang mendorong dari belakang, istri saya yang melindungi anak saya, kena sikut mukanya. Ia menegor lelaki yang menyikutnya. Lelaki itu tersinggung dan marah, lalu istri saya ikut marah. Apa yang saya lakukan? Saya menarik tangan istri saya dan anak saya keluar dari kerumunan, lalu duduk di balai gong. Anak saya bertanya, kenapa mengaso? Saya jawab, 10
apa gunanya bersembahyang ketika pikiran masih dipenuhi rasa marah dan dendam? Kami istirahat sejenak, mendengarkan bunyi gamelan, setelah pikiran tenang baru masuk ke jeroan. Sekarang ini pengaturan masuk di Pura Dasar Gelgel di hari Pemacekan Agung sudah berlapis tiga dan mulai tertib. Tetapi masih saja ada dorong-mendorong, dan ada maki-makian di antara pengunjung. Suasana seperti ini hampir terjadi di setiap pura kalau ada pujawali besar.Termasuk Pura Besakih. Penyebabnya adalah kawasan suci pura sudah semakin sempit karena ledakan penduduk. Dan manusia-manusia moderen sudah mempersempitnya lagi dengan memberikan akses masuk bagi kendaraan, pedagang, dan sebagainya ke lokasi paling dekat pura. Akibatnya, umat ke pura selalu dalam posisi “grasa-grusu” (tergesa-gesa dengan cara sembrono). Namun, di luar kesulitan dan keruwetan itu, sudah saatnya umat diberikan pengertian hal yang paling mendasar, seperti bagaimana etika mengunjungi pura, dan siapa yang dipuja di pura itu. 11
Jika perlu siapkan buku sejarah mengenai pura itu yang bisa dijual dengan harga yang terjangkau. Pura besar di Bali, apakah Pura Besakih atau Pura Lempuyang Madya semuanya punya sejarah, dan ini harus diketahui umat. Sejarah pura ini dimulai pembangunan phisiknya sampai pada siapa leluhur yang dipuja di sana. Kalau tidak, akan muncul generasi “anak mula keto” jilid dua: generasi yang tak bisa menjelaskan apa-apa mengenai ritual dan agamanya sendiri. Tantangan bagi kita semua untuk menerbitkan buku sejarah tentang pura, tentu termasuk di dalamnya tentang ketokohan Rsi Agung kita yang pernah berstana di pura itu, yang kini kita puja. Karena dengan cara itulah kita menjadi tahu, apa bedanya bersembahyang di kamar dengan bersembahyang jauh-jauh ke atas bukit di Pura Lempuyang Madya, misalnya. Sebagai umat Hindu kita memang memuja Tuhan (Hyang Widhi), tapi kita juga memuja leluhur, dan keduanya berbeda. Apa perbedaan itu mari kita simak dalam tulisan selanjutnya. 12
Memuja Leluhur Yang Mana?
A
gama Hindu memberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk memuja leluhur. Hormat kepada leluhur adalah hormat kepada kawitan, hormat kepada orang yang telah melahirkan kita, melahirkan ayah dan ibu kita, melahirkan nenek dan kakek kita. Meski demikian dalam Bhagawadgita ada sloka yang menyebutkan, kalau kita memuja leluhur maka kita akan sampai ke alam leluhur, kalau kita memuja dewa akan menuju ke alam dewa, tetapi jika kita memuja Hyang Widhi maka kita akan menuju ke pada-Nya. Sloka ini menyiratkan bahwa pemujaan kepada leluhur beda dengan pemujaan kepada Istadewata dan berbeda pula dengan pemu13
jaan kepada HyangWidhi. Perbedaan ini dipraktekkan nyata di luar Bali. Di Bali budaya lokal begitu kuat. Pemujaan kepada leluhur menjadi sangat dominan bahkan umat Hindu di Bali – terutama di masa lalu – lebih banyak memuja leluhur ketimbang memuja Hyang Widhi. Hanya belakangan setelah ritual keagamaan ditata dengan mendekatkan pada sastra agama, pemujaan kepada Hyang Widhi juga mendapatkan porsi penting. Caranya dengan menggabungkan rangkaian pemujaan itu. Kalau kita mau kritis, cobalah dipertanyakan. Untuk memuja siapa kita datang bersusah payah ke Pura Dalem Sakenan? Memuja Tuhan atau memuja leluhur kita, Danghyang Nirartha, yang mewariskan pura itu? Untuk memuja siapa kita datang ke Pura Silayuksi, memuja Hyang Widhi atau memuja Mpu Kuturan? Pertanyaan ini bisa diteruskan dengan mengacu ke banyak pura. Pasti orang Bali akan bingung menjawabnya. Kalau dijawab memuja Tuhan, kenapa harus jauh? Di rumah juga bisa. Kalau dijawab memuja leluhur, salah14
salah menjelaskan, rasanya belum memeluk agama, masih seperti sebelum 1959 di mana Hindu Bali disebut “kepercayaan”. Bagi yang paham perbedaan antara memuja leluhur dan Hyang Widhi, juga punya sikap berbeda tentang siapa yang dipuja lebih dulu. Contoh bagus menjelaskan hal ini adalah di Pura Besakih. Ada orang yang datang langsung ke Padma Tiga (simbol pemujaan kepada Tri Murthi atau Hyang Widhi), setelah itu baru menuju Pura Pedharman untuk memuja kawitannya. Alasannya adalah Tuhan yang paling utama disembah, jangan yang lain. Tapi ada orang yang menuju Pura Pedharman lebih dulu, baru ke Padma Tiga. Alasannya, kita berbakti dulu kepada kawitan dan meminta restu Beliau sebelum memuja Hyang Widhi di Padma Tiga. Keduanya tidak bisa diperdebatkan karena kedua alasan ini ada rujukannya. Nah, persoalan yang tajam di Bali dan perkem bangannya sangat mengkhawatirkan adalah tentang siapa leluhur yang kita puja. Banyak orang Bali yang belakangan ini bingung lalu mencari-cari kawitan15
nya. Kebingungan yang sesungguhnya dibuat-buat, karena sebelumnya mereka sudah tenang dengan kawitan yang mereka puja itu. Namun karena ada masalah, entah ada keluarganya yang sakit atau apa, lalu mereka menemui “orang pintar” (balian) dan di sana bertanya siapa kawitannya. Ini masalah keyakinan, tak bisa diperdebatkan memakai rujukan kitab suci, sastra agama, atau globalisasi. Ketika balian menyebutkan kawitan yang mereka puja selama ini salah, dan harusnya memuja kawitan yang lain, keluarga itu pun menyempal dengan keluarga besarnya. Jika tak ada kesepakatan maka keretakan keluarga muncul dari sini. Banyak kasus begini di Bali. Belum lagi persaingan antar soroh (klan) yang sesungguhnya bermuara kepada leluhur mana yang dipuja. Leluhur orang Bali itu sesungguhnya satu, ini ucapan yang sering dilontarkan Pedanda Gede Puniatmaja ketika masih walaka (Ida Bagus Oka Puniatmaja). Leluhur yang satu itu menurunkan banyak orang. Lalu orang Bali mencari-cari leluhurnya yang pas untuk dirinya sendiri dengan berhenti pada satu nama (orang) leluhur. 16
Misalnya, ada leluhur bernama Arya Putih bersaudara dengan Arya Hitam. Lalu sejumlah orang di masa lalu mengaku, kami keturunan Arya Putih (ini hanya umpama, tak ada Arya Putih) dan ber dasarkan babad, Arya Putih adalah pendeta, maka keturunan kami semuanya wangsa brahmana. Kamu keturunan Arya Hitam (juga umpama saja), menurut babad Arya Hitam selama hidupnya tidak melakukan dwijati, maka keturunannya bukan brahmana. Kemudian Arya Hitam dan Arya Putih punya anak, punya cucu, yang keahliannya berbeda-beda. Orang Bali masa kini lalu mematut-matutkan leluhur hanya pada seorang nama, entah itu Arya Hitam, Arya Putih, anak-anaknya, atau cucu-cucunya. Bukan leluhur pada satu kesatuan. Maka muncullah banyak wangsa atau soroh. Banyak pura kawitan dibangun. Fanatisme buta pada soroh membuat orang Bali pecah, yang merasa tinggi tak mau mebanjar jika ketua banjar dianggapnya rendah. Padahal siapa yang lebih tinggi dan lebih rendah, bukankah Arya Hitam dan Arya Putih termasuk anak dan cucunya, datang dari satu kawitan? 17
Konsep pemujaan leluhur dalam sastra Hindu adalah satu kesatuan, yang dipuja leluhur yang sudah meninggal dunia dan amoring achintya (istilah umumnya sudah diaben). Dari yang paling rendah (ibu dan ayah) sampai pada kawitan yang paling luhur (utama), tanpa disekat-sekat nama. Karena itu dalam rong dua atau rong tiga, kita menstanakan leluhur dengan sebutan purusa dan pradana, laki dan perempuan, bukan menyebut Men Lanying, Pekak Mokoh atau nama lain. Tidak ada lagi stana untuk nenek, kumpi, buyut, arya ini, arya itu, mpu ini, mpu itu, danghyang ini, danghyang itu. Semuanya adalah leluhur. Pemujaan leluhur atau bhakti kepada kawitan intinya adalah persaudaraan dan kekerabatan. Semua manusia bersaudara, Bhaga wadgita menyebutkan: Lokasamgraham eva ‘pi.
18
Di mana Memuja Bethara, Hyang Widhi dan Dewa-dewa
S
iapakah leluhur yang kita puja itu? Itulah yang oleh orang awam di Bali disebut dengan Bethara. Jadi, yang disebut Bethara itu, dulunya adalah manusia biasa. Bukan Dewa, bukan pula Hyang Widhi atau Tuhan yang Maha Esa. Hanya saja, sebutan kepada Bethara biasanya diberikan kepada orang-orang yang di masa lalu mempunyai tingkat kerohanian yang tinggi. Mereka adalah para penyebar agama Hindu, para pandita, mpu, wiku, dan berbagai sebutan lainnya. Sampai saat ini pun jika ada Sulinggih (wiku atau pandita) yang wafat, setelah upacara pitra yadnya dilakukan sebutannya adalah Bethara. Adapun orang-orang biasa, sebutannya adalah Hyang Pitara. 19
Para leluhur yang sudah menjadi Bethara inilah yang kita puja di berbagai pura yang ada. Pura Silayukti adalah tempat memuja leluhur kita yang bernama Mpu Kuturan. Pura Dalem Dasar Gelgel tempat memuja Bethara Gana, karena beliau bernama Mpu Gana. Di Pura Lempuyang Madya tempat memuja Bethara Gni Jaya, karena dulunya beliau adalah Mpu Gni Jaya. Di Pura Pedharman Pasek Besakih, kita memuja Bethara Semeru yang juga sering disebut Bethara Ratu Pasek. Dulunya beliau adalah Mpu Semeru. Di Pura Sakenan, Uluwatu, Rambut Siwi, Pulaki, Tanah Lot adalah pura-pura untuk pemujaan Bethara Sakti Wawu Rauh alias Danghyang Nirartha, karena ini bekas peninggalan Beliau. Itu adalah contoh pura yang besar, termasuk yang oleh warga Pasek disebut Catur Parhyangan (Besakih, Gelgel, Silayukti dan Lempurang Madya). Di pedesaan tentu masih ada puluhan pura untuk pemujaan leluhur. Umumnya, mereka tidak dikenal secara persis siapa nama beliau, bagaimana kisah kehadirannya di sana, dari mana asal-usulnya. Satu contoh misalnya Pura Manikgeni yang terletak di 20
Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan. Tak dikenal dengan pasti, siapa tokoh yang berstana di sana, namun diyakini bahwa Beliau adalah seorang dukuh yang sakti dan pernah menjadi penasehat Kerajaan Gelgel. Secara remang-remang disebutkan, Beliau pernah ikut memimpin penyerangan ke Lombok (tidak jelas tahunnya dan masa pemerintahan siapa), dan sepulang dari Lombok, kerajaan memberikan kenang-kenangan berupa kentongan besi. Sampai sekarang kentongan besi itu dilestarikan dan menjadi salah satu pratima di Pura Manikgeni. Dukuh ini diperkirakan membangun pesraman di lokasi tempat Pura Manikgeni yang sekarang, dan beliau kini dipuja – mungkin supaya lebih mudah menyebutkan – dengan sebutan Ki Dukuh Sakti. Piodalan pura ini berlangsung setiap Tumpek Landep. Masih di Desa Pujungan, ada pura yang bernama Pura Manikterus. Di sini pun konon di masa lalu, berdiam seorang pendeta yang sangat dikagumi dengan mengayomi masyarakat etnis Cina. Setiap odalan di sana selalu ada orang kerauhan dengan 21
menggunakan bahasa Cina, meski “tapakan” itu tak pernah kesehariannya berbahasa Cina. Yang unik, di Desa Pujungan tak boleh – sebenarnya tak ada yang melarang – ada orang Cina yang menetap sebagai penduduk. Masyarakat keturunan Cina tinggal di Pupuan dan Pempatan, dua desa tetangga Pujungan. Sudah disinggung tadi, karena itu adalah leluhur yang dulunya manusia biasa – tetapi orang suci – dalam setiap piodalan umumnya mereka “turun” mencari seorang tapakan atau dasaran. Ini masuk akal, karena Bethara itu bukan Dewa dan bukan HyangWidhi, jadi bisa saja rohnya memasuki badan kasar seseorang untuk menyampaikan sesuatu. Bahwa ada yang percaya atau tidak dengan kejadian seperti ini, tergantung masing-masing orang dan desa, kala, patra. Yang jelas, kalau statusnya Dewa atau Hyang Widhi tak mungkin “turun” dan mengambil badan orang yang disebut kerauhan itu.Tak mungkin ada orang kerauhan Dewa dan Hyang Widhi. Kitab suci menyebutkan, kalau Hyang Widhi atau Tuhan 22
itu turun ke bumi, itu karena terjadi sesuatu yang luar biasa untuk menyelamatkan umat manusia, dan sebutannya adalah Awatara (avatar). Lalu, siapa Tuhan itu? Dan di mana kita memuja Tuhan? Kitab Brahmasutra I.I.2 menyebutkan: Janmadyasya yatah, Tuhan adalah dari mana asal mula semuanya. Jadi,Tuhan adalah asal atau sumber dari seluruh alam semesta beserta isinya. Tuhan adalah nama dalam bahasa Indonesia. Dalam Weda tak ada kata Tuhan.Yang ada Brahman. Ekam evadvityam Brahman, arti bebasnya: Hanya ada satu Tuhan, yakni Brahman.Tuhan juga disebut Sat (kebenaran yang mutlak). Misalnya, Ekam sat viprah bahudah vadanti, artinya: ada satu hakekat Yang Maha Kuasa (yang disebut) Sat, para arif bijaksana menyebut dengan berbagai nama. Kata Hyang Widhi yang digunakan untuk penyebutan Tuhan di Bali berasal dari kata Vidhi yang ditemukan dalam berbagai purana. Vidhi artinya pencipta. Hyang Widhi berarti Dia Sang Pencipta. 23
Tuhan tidak berwujud, tidak berjenis kelamin, memenuhi seluruh alam semesta. Tuhan ada di mana-mana, tak ada satu tempat pun di bawah kolong langit ini yang tidak dihuni oleh Tuhan. Mantram Gayatri yang merupakan “ibu segala mantram” diawali dengan Om bhur bhwah swah. Artinya Tuhan yang memenuhi alam bawah atau jagat raya ini (bhur), yang memenuhi alam tengah (bhwah) , dan memenuhi alam atas atau angkasa (swah), Maha Agung Tuhan, Maha Besar Tuhan. Kalau kita tahu Tuhan ada di mana saja dan ada di setiap saat, kita bisa memuja Tuhan kapan saja, tak peduli apakah hari itu rerahinan atau tidak, purnama atau tilem, Senin atau Kamis. Kita bisa memuja Tuhan di sembarang tempat, di kamar tidur, di ruang tamu, di kantor. Kita bisa melakukan Trisandya di manapun kita mau, sepanjang tempat itu memberikan pada kita suatu keheningan untuk mendapatkan konsentrasi pikiran. Memuja Tuhan juga tak perlu dengan doa yang panjang, kalau memang waktu dan situasi tak men24
gizinkan untuk itu. Kita bisa memuja Tuhan dengan doa Gayatri saja, ini doa bait pertama Puja Trisandhya yang sudah dijadikan “doa wajib” umat Hindu. Atau doa lebih pendek lagi – bahkan di dalam hati – dengan berjapa; Om nama siwa ya… Kalau begitu mudahnya memuja Tuhan, lalu untuk apa membangun pura? Pura yang khusus memuja Tuhan cirinya adalah pura yang memiliki Padmasana dengan segala tingkatannya. Pura seperti ini sering disebut pura umum atau istilah kerennya Pura Jagatnatha. Yang berstana di sini sungguh-sungguh Tuhan adanya, bukan Bethara, misalnya. Lalu untuk apa lagi Tuhan distanakan? Tak ada lain adalah untuk menguatkan konsentrasi kita agar lebih dekat dengan Tuhan. Bahkan tak cukup di situ, masih juga diperlukan sarana penguatan konsentrasi lainnya, seperti pratima, baik pratima berupa patung maupun lainnya. Jadi kita tidak menyembah patung (dan sering oleh orang lain yang tak senang Hindu disebut menyembah berhala), semuanya itu adalah alat atau sarana saja. Lalu fungsi pura bukan sekedar alat konsen 25
trasi saja, tetapi juga sarana untuk sosialisai umat, tempat umat saling bergaul dan saling berkenalan, tempat umat mendapatkan pencerahan. Namun yang perlu diperhatikan adalah tidak semua pura itu tempat memuja Tuhan, karena banyak pura yang berfungsi memuja leluhur yang disebut Bethara. Ini yang harus dipahami oleh umat Hindu. Yang menjadi masalah kemudian adalah memuja Tuhan dirasakan oleh sebagian umat sebagai sesuatu yang sangat luas atau sangat umum atau bahasa sekarang sangat general. Padahal umat membutuhkan hal yang lebih spesifik, misalnya, ingin memuja Tuhan hanya sebatas untuk memohon perlindungan, ingin memuja Tuhan sebatas untuk memuliakan ilmu pengetahuan. Masih banyak contoh lain yang merupakan keinginan yang terbatas itu. Nah, semua itu dalam konsep Hindu terwadahi dengan adanya Dewa-dewa atau dalam istilah Weda disebut Istadewata. Jadi, siapa Dewa itu dan bagaimana umat Hindu memuja para Dewa? Dewa berasal dari kata div yang berarti sinar. 26
Jadi, dewa itu adalah sinar kekuatan sakti dari Tuhan Yang Maha Esa. Kalau kita ibaratkan Tuhan sebagai sinar matahari, maka sinar matahari yang beragam fungsi itu adalah para dewa. Kita memuja atau mencari sinar ultra fiolet, misalnya, atau berjemur mencari vitamin D, misalnya, tak lain adalah “memuja dan mencari” Tuhan itu sendiri. Sinar itu timbul karena ada (kekuatan) matahari. Kalau matahari tak ada sinar itu pun tak ada. Artinya, memuja dewa adalah juga memuja Tuhan, tetapi memuja Tuhan belum tentu memuja dewa seperti yang kita inginkan di dalam permohonan. Dewa diciptakan karena Tuhan ada, kalau Tuhan tak ada, maka dewa pun tak akan ada – begitu berpikir yang sederhana. Lalu, kalau dewa adalah sinar sakti dari Tuhan, kenapa dewa diberi nama? Kenapa tidak disebut Tuhan saja? Tentu saja hal ini akan membuat rancu jika penamaan fungsional itu tidak ada. Di sinilah kebesaran ajaran Hindu yang menjangkau pikiran jauh ke masa depan. Dewa diberi nama untuk menjelaskan apa fungsi dan apa tugas dari “sinar sakti” itu. 27
Dalam menyebut nama, sungguh begitu banyaknya nama dewa. Ada ribuan nama dewa, karena semua isi semesta ini pada hahekatnya dikuasai oleh dewa – bukankah sinar matahari tak pernah pilih kasih dalam membagikan kekuatan sinarnya? Di Bali, Istadewata itu dikelompokkan untuk memudahkan umat menghayatinya. Misalnya ada Tri Murti, terdiri dari Dewa Brahma sebagai pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan Dewa Siwa sebagai pemralina – mengembalikan ke asal usulnya. Trimurti ini kemudian terkelompok lagi ke dalam Dewa Nawa Sanga yang mengisi delapan penjuru angin dengan Siwa sebagai penguasa yang ada di tengah-tengahnya. Ke Sembilan Dewa Nawa Sanga itu juga memiliki pasangan yang disebut sakti (orang awam di Bali menyebut istri, ini salah, lebih tepat ardhanareswari). Misalnya, Dewa Brahma saktinya Dewi Saraswati, Dewa Wisnu saktinya Dewi Sri, Dewa Siwa saktinya Sada Siwa, Dewi Durga dan sebagainya. Di luar kelompok itu masih banyak para dewa maupun para dewi. Nah, di mana para dewa ini dipuja? Ada pura khusus yang menjadi sarana 28
untuk memuja para dewa dan dewi itu. Trimurti dipuja di Tri Kahyangan. Pura Desa memuja Dewa Brahma, Pura Puseh memuja Dewa Wisnu, Pura Dalem memuja Dewa Siwa. Tentu dengan segala sakti-nya. Jadi, tak bisa dicampur aduk. Kalau kita bersembahyang ke Pura Dalem, jangan memuja Dewa Brahma di sana, demikian pula sebaliknya. Kalau kita sembahyang ke laut, sebut saja pada saat melasti atau menghanyutkan segala kekotoran ritual, pujalah Dewa Baruna, jangan memuja Dewi Laksmi, misalnya. Kalau kita sedang mempelajari Weda atau melakukan pewintenan yang pada hahekatkan menurunkan ilmu pengetahuan, pujalah Dewi Saraswati, bukan Dewi Durga, misalnya. Di Pura Prajapati tentu memuja Dewa Prajapati, bukan memuja Dewa Wisnu. Dengan demikian, umat Hindu penting untuk mengetahui sebelumnya, ke pura mana melakukan persembahyangan sehingga tahu dewa mana yang akan dipuja, dan apa mantramnya. Karena itu harus dipahami dulu apa “jenis” pura yang dikunjungi. Dalam prakteknya yang ada di 29
Indonesia khususnya di Bali (jika berbicara di India akan lain lagi masalahnya), jenis pura itu dikelompokkan menjadi empat kelompok. Pertama, Pura Kawitan. Pemujaan yang dilakukan di sini adalah memuja leluhur yang menjadi kawitan seseorang. Pura ini dipuja oleh umat yang berada dalam satu garis keturunan, semakin besar garis keturunan itu diambil, semakin besar fungsi pura itu. Pura ini biasa disebut — dimulai dari paling kecil – sanggah/merajan kemulan, pura panti, pura dadia, pura pedharman, pura kawitan. Sanggah atau merajan kemulan (di beberapa tempat disebut sanggah pekomelan), dipuja oleh keluarga yang satu kakek-nenek, bahkan belakangan pura jenis ini banyak lagi dipecah-pecah – tergantung kemampuan membuat pura dan tempat domisili, mungkin keluarga itu sudah berjauhan. Orangorang yang tak ada hubungan dengan garis kakeknenek itu, tak akan memuja ke sana. Kemudian Pura Panti dan Pura Dadia adalah gabungan dari garis keturunan yang berbeda kakek-neneknya. Di atas Pura Dadia juga ada Pura 30
Dadia Agung, namun tak semua soroh/klan umat Hindu di Bali memiliki Dadia Agung. Lalu Pura Pedharman dipuja oleh satu garis keturunan atau kawitan. Misalnya, warga Pasek yang tergabung dalam Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi memiliki Pura Pedharman di Besakih yang disebut Pura Catur Lawa Ratu Pasek. Warga lain juga banyak memiliki Pura Pedharman di Besakih, ada 13 pura Pedharman di komplek Pura Besakih. Orang-orang yang bukan warga bersangkutan tak bersembahyang ke Pedharman yang berbeda, misalnya, warga Arya tak akan sembahyang ke Ratu Pasek, demikian pula sebaliknya. Hampir sama dengan itu adalah Pura Kawitan. Yang sangat penting dipahami adalah semua yang dipuja di sini adalah Bethara, yang merupakan leluhur. Bahwa kemudian di dalam Panca Sembah ada pemujaan ke Tuhan, itu dikarenakan leluhur umat Hindu amor ring achintya, jadinya rohnya menyatu dengan Tuhan – bukan berada di sisi Tuhan sebagaimana agama lainnya. 31
Kedua Pura Tri Kahyangan atau Kah yangan Tiga. Sesuai namanya terdiri dari tiga pura, Pura Desa atau Baleagung, Pura Puseh dan Pura Dalem. Pura ini harus ada di setiap Desa Pekraman, bahkan syarat sebuah desa berstatus Desa Pekraman, salah satunya memiliki Tri Kahyangan. Di sini, seperti yang sudah diuraikan terdahulu, dipuja Trimurti. Brahma dipuja di Pura Desa, Wisnu dipuja di Pura Puseh dan Siwa dipuja di Pura Dalem. Orang-orang yang bukan berada atau menjadi warga di desa pekraman bersangkutan, tak akan bersembahyang di pura ini. Misalnya, warga Desa Pekraman Pujungan tak akan bersembahyang di Pura Puseh Desa Pekraman Pupuan, demikian sebaliknya. Dan ingat, yang dipuja di sini adalah Istadewata, bukan memuja leluhur. Karena para Dewa yang dipuja, otomatis pula Tuhan ikut dipuja. Ketiga Pura Swagina. Jika memakai bahasa sekarang, pura ini dipuja oleh para professional dan yang dipuja adalah Istadewata sebagai Dewa Penuntun. Kelompok pemujanya adalah mereka yang memiliki profesi sejenis. Pura Subak dipuja oleh mereka yang profesinya petani, Pura Melant32
ing oleh para pedagang, demikian seterusnya. Kalau bukan pedagang, tak perlu bersembahyang di Pura Melanting. Jelas yang dipuja adalah Tuhan sebagai Dewa Penuntun sesuai bidang pekerjaan, dan bukan tempat memuja leluhur atau Bethara. Keempat Kahyangan Jagat. Ini adalah pura yang dipuja oleh seluruh umat. Kelompok pura ini sebenarnya masih bisa dibagi berdasarkan kelompok lebih kecil. Misalnya kelompok Pura Kahyangan Padma Bhuwana. Keberadaan pura ini mengitari Bali dari segala penjuru angin. Pura itu adalah Besakih di timur laut, Lempuyang Luhur di timur, Andakasa di tenggara, Goalawah di selatan, Uluwatu di barat daya, Batukaru di barat, Puncak Mangu di baratlaut, Batur di utara dan Pusering Jagat di tengah-tengahnya. Kesembilan pura ini membentuk bunga padma (teratai) sebagai stana Hyang Widhi. Yang dipuja di sini tentu saja Tuhan Yang Maha Esa melalui Istadewata yang menghuni sembilan penjuru angin -- termasuk di tengah. (Di Nusantara, ada juga keinginan membuat Kahyangan Padma Bhuwana, namun sampai akhir 2010 PHDI Pusat belum memutuskan secara resmi pura yang 33
digunakan sebagai Padma Bhuwana.) Kahyangan Jagat di luar Padma Bhuwana itu adalah tempat pemujaan para Rsi yang berjasa di masa lalu, artinya pemujaan kepada leluhur atau Bethara. Seringpula pura ini disebut Dang Kahyangan. Pura itu misalnya Silayukti, Sakenan, Airjeruk, Tanah Lot, Rambut Siwi dan banyak lagi. Termasuk Kahyangan Jagat adalah Pura Jagatnatha yang mulai didirikan di setiap kota atau ibukota provinsi. Di Bali, kabupaten yang belum punya Pura Jagatnatha hanyalah Tabanan dan Badung. Kenapa disebut Kahyangan Jagat? Karena siapa pun boleh melakukan pemujaan di sini, jadi ini pura bersifat umum, tanpa memandang dari desa mana, soroh/klan mana, bahkan suku bangsa, asalkan beragama Hindu. Uniknya lagi, sifat umum itu juga termasuk siapa yang dipuja. Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa tentu sudah umum dipuja di sana, tetapi Istadewata pun bisa dipuja di sana asalkan bertepatan dengan waktu yang pas. Misalnya, di saat Hari Raya Saraswati, orang memuja Dewi Saraswati di Pura Jagatnatha, saat Siwaratri orang memuja Siwa di sana.Yang jelas, tak ada pemujaan 34
Bethara di Pura Jagatnatha. Demikianlah dengan mengetahui jenis pura, kita tak tersesat dalam melakukan pemujaan. Kita bisa lebih fokus dan juga tidak salah kaprah. Pernah ada rombongan tirthayatra yang mengun jungi Candi Cetho di Jawa Tengah, salah seorang berkata; “Wah, jauh sekali memuja Tuhan, dua hari perjalanan, padahal memuja Tuhan bisa di rumah di depan pelangkiran.” Ini betul-betul salah kaprah, Candi Cetho termasuk pura leluhur karena di situ distanakan Prabu Brawijaya. Yang dipuja Bethara. Tentu saja untuk memuja Bethara Brawijaya orang harus datang ke Candi Cetho, untuk memuja Bethara Mpu Kuturan harus datang ke Pura Silayukti. Tentu tak elok semua Bethara dipuja dari sembarang tempat, kalau begitu tak usah memuja Bethara, cukup memuja Tuhan Yang Maha Esa saja.
35
Gagelaran Pemangku (Bisa Dipakai juga untuk Bukan Pemangku)
B
agaimana kita melakukan pemujaan, baik kepada leluhur, Hyang Widhi, maupun memuja Hyang Widhi melalui Istadewata? Pemujaan atau persembahyangan yang baik, tentu saja harus dituntun oleh seorang pemangku. Pemangkulah yang nganteb upacara dengan memohon tirtha terlebih dahulu, kemudian menyampaikan maksud persembahyangan, lalu sembahyang bersama. Namun, kalau tak ada pemangku, siapa pun boleh melakukan persembahyangan di sebuah pura asal minta izin kepada pemangku atau pengempon pura. Untuk para pemangku, di sini akan diuraikan secara singkat Agem-agem atau Gagelaran Pemangku. Setelah proses Gagelaran Pemangku 36
ini diselesaikan, barulah nganteb persembahan dan mengajak pemedek (umat) melakukan persem bahyangan bersama. Namun, jika tak ada pemangku, mereka yang dituakan yang akan memimpin upacara, hendaknya tahu sedikit urutan persembahyangan, dan pakai saja Gagelaran Pemangku ini sebisa-bisanya dengan catatan tidak memakai bajra. Mari kita ikuti Gagelaran itu. PEMBERSIHAN DIRI Duduk Berssila: OM OM Padmasana ya namah Cuci Tangan: Om rah pat astray a namah Berkumur: Om Um rah pat astra ya namah Memantrai Badan: OM Prasada sthiti sarira siwa suci nirmala ya namah 37
Mengambil dan menghaturkan asap dupa: OM ANG Brahma amretha dhipa ya namah OM UNG Wisnu amretha dhipa ya namah OM MANG Lingga purusa ya namah Mengasapi badan: Om Sri Guru jagat papebyo namah swaha NGARGA TIRTHA Mengambil bunga dipegang kedua tangan diletakkan di depan dada, ucapkan Astra Mantra: Om Um rah pat astra ya namah OM Atma tatwa-atma suddha mam swaha OM OM Ksama sampurna ya namah OM Sri Pasupatye Hung Phat OM Sriyam bhawantu OM Sukham bhawantu OM Purnam bhawsantu Mengambil Genta dan diasapi: Om Am dhupa astra ya namah Memercikkan tirtha di genta (Gunakan Astra Mantra seperti di atas) 38
Memuja Genta: OM Kara Sadasiwa stham, Jagat Natha hitang karah Abhiwada wadanyam, Ghanta sabdha prakasyate OM Ghanta sabdha mahasrestah, Ongkara parikirtitah Candra nada bhindu drestham, Spulingga siwa twam ca OM Ghantayur pujyate dewah, Abhawa-bhawa karmesu Warada labdha sandeham, Wara siddhi nih samsayam Paliti Genta: Om, Om, Om (tik ning) Membunyikan Genta: OM Ang Kang Kasolkaya Iswara ya namah Ngaksama: (tangan kiri membunyikan genta, tangan kanan pegang bunga) 39
(1) OM Ksama swamam mahadewa, Sarwa prani hitang karah Mamoca sarwa papebhyah, Phalaya swa sadasiwa OM Papoham papo karmaham, papa-atma papa sambhahwah Trahimam pundari kaksah, Sambhahya byantara suci OM Ksantawya kayiko dosah, Ksantawyo waciko mama Ksantawyo manaso dosah, Tat pramadat ksama swamam Om Hinaksaram hina-padam, Hina-mantram tathaiwanca, Hina-bhaktim hina wreddhim, Sada Siwa namo’stu te. Om, Mantram hinam kriya hinam, Bhakti-hinam Maheswrah, Yat-pujitam Mahadewam, Paripurna tad-astu-me. 40
(2) OM Apsudewa pawitrani, Gangga dewi namo’stute Sarwa klesa winasanam, Toyane parisuddhaya te Sarwa papa winocini, Sarwa rogha winasa ya, Sarwa klesa winasanam, Sarwa bhogam ewapnuyat OM Sri kare sa-pahut kare, Rogha dosa winasanam Siwa-lokam maha-yaste, mantre manah papa-kelah Om Siddhim tri-sandhya sa-pala, Sekala mala malahar Siwa-amretha manggalan ca, Nadinidam namah siwa ya (3) OM Panca-aksara maha tirtham, Pawitram papa nasanam 41
Papa kotti sahasranam, Aghadam bhawet sagaram OM Panca-aksara parama-jnanam, Pawitram papa nasanam Mantram tam parama-jnanam, Siwa logham pratisthanam OM Namah siwa ya etyewam, Param Brahman atmane wandam Param sakti panca diwyah, Panca Rsi bhawed agni OM A-karas ca U-karas ca, Ma-karo windu nada kam Panca-aksara maya proktam, Ongkara agni mantrake OM Bhur Bwah Swah swaha maha ganggayai tirtha pawitrani Ya namah swaha. Gangga Puja: Dengan genta dan bunga (1) OM Gangga sindhu saraswati, Suyamuna godhawari Kaweri sarayu mahendra, 42
Tenaya carma wati wai nuka Badra netrawati maha suranadi, Kyata ca ya ghandaki punyah Purnam jalah samudra sahitah, Kurwantu te manggalam (2) Om Namaste Bhagawn Gangga, Namaste sitalambhwati, Salilam wimalam toyam, Swayambhu tirtha bhajanam. Om Subhiksa hasta-hastaya, Dosa-kilbhisa nasanam, Pawitre su maha tirtham, Gangga thapi maho dadhi. Om Wajrapani maha tirtha, papa-soka winasanam, Nadi puspa-laya nityam, Nadi tirtha taya priya. Om Tirtha-nadisca kumbhasca, Warna deha mahãtmanam, Muninam manggalesu ca, Ye wapi ca Dewokasah. 43
Ngurip tirta: pakai bunga tunjung, kalau tak ada kalpika atau bunga biasa. Tanpa bajra/genta, bunga dipegang dengan kedua tangan di sela mata. OM OM I A KA SA MA RA LA WA YA UNG namo namah swaha OM OM A RA KA SA MA RA LA WA YA UNG namo namah swah OM OM kurmeda jaya jiwa sarira raksan dadasi me OM Mjum sah wausat mrtyujaya ya namah (kalau pakai bunga tunjung kurmeda diganti kumeda) Ambil bajra, bunyikan, ambil bunga: Om Mretyunjaya dewasya, Yo namoni hanukerttiyet, Dirghayusam awãpnotu, Sanggrame wijaya bhawet. Om, Atma-tattwãtma suddha ya mam swaha. Masukkan bunga tadi ke dalam sangku, bajra tetap bersuara, dilanjutkan lagi dengan memasukkan bunga satu persatu sesuai irama mantram di balik ini: 44
Om Prathama suddha, dwitya suddha, tritya suddha, caturti suddha, pancami sudha, sadmi sudha sabda, sapta ti sudha, Om suddha, suddha, suddha wariastu tat astu swaha Ayuwerdi Stawa Om Ayuwreddhi yaso wreddhi, wreddhi pradnyan sukha sriyam. Dharma santana wreddhisca, santute sapta wreddhayam. Ya ta mero sthito dewam, Ya wat Gangga mahitale, Candrako gagana yawat tawat twa wijayi bhawet. Om Dirghayur-astu-tad-astu-astu, Om Awighnam-astu-tad-astu-astu. Om Subham-astu-tad-astu-astu. Om Sryam-bhawantu, Om sukham-bhawantu Om purnam-bhawantu. Memercikkan tirtha ke awang-awang – kalau 45
menghadap pelinggih ke pelinggih – dengan Astra Mantra. Mantram Astra Mantra sudah ada di depan, Memercikkan tirtha ke diri sendiri. Memakai basma, doa basma: Om Idam bhasmam param guhyam, Sarwa papa winasanam Sarwa rogha prasamanam. Sarwa kalusa nasanam. Om Ang – di antara alis mata Om Ung – di dada Om Mang – di tenggorokan luar. Bagi seorang pemangku (pinandita), proses permohonan tirtha suci sudah selesai, jika ritual di atas dilakukan dalam keseharian, bisa dilanjutkan dengan Kramaning Sembah. Jika ritual di atas untuk memimpin umat melaksanakan upacara (di hadapan upakara) dilanjutkan dengan pelaksanaan pengeresikan seperti, Byakaon, Durmenggala, Pengulapan, Prayascita. Tirtha 46
dipercikkan satu persatu ke arah pelinggih lalu ke banten upakara. Byakaonan dan Durmenggala ke arah pelinggih bagian bawah, Pengulapan dan Prayascita ke pelinggih bagian atas. Lalu memohon “pesaksian” dengan memuja pada Akasa dan Ibu Pertiwi, setelah itu langsungkan pemujaan dalam bentuk sehe sesuai dengan bahasa yang dikuasai, apa tujuan persembahyangan itu. Jika itu menyangkut piodalan, tentu saja didahului dengan “nedunang Bethara” lengkap dengan segala prosesnya. Seorang pemangku belum diperkenankan menggunakan lis gede, belum diperkenankan untuk membuat tirtha pemuput, oleh sebab itu tirtha pemuput dimohonkan (istilahnya “nuwur”) di depan pelinggih sesuai tingkatan upakara, misalnya, kalau di merajan gunakan tirtha pemerajan.
47
Berbagai Puja Stawa
P
uja Stawa yang ada di dalam buku ini, hanya untuk kepentingan praktis memuja leluhur (Bethara), Hyang Widhi dan Istadewata yang hakekatnya juga memuja Tuhan Yang Maha Esa. Dalam beberapa puja sengaja disebutkan lebih dari satu sloka (bait) dengan maksud bisa dipilih bait mana yang disukai atau mudah dihafal. Yang penting, utamakan dulu bait pertamanya. Tidak semua sloka harus diucapkan, karena pemujaan seperti ini sifatnya adalah pujian, sehingga pujian (puja-puji) bisa diulang-ulang sebagai rasa bhakti kepada para Istadewata. Akasa Stawa dan Pretiwi Stawa umumnya adalah puja untuk Pesaksian. Jika ada upacara yang sedikit besar, sebelum melakukan puja-puja persembahan, 48
ucapkan Akasa Stawa dan Pertiwi Stawa untuk pesaksian: Akasa Stawa OM Akasa nirmalam sunyam, Guru dewa bhyo mãntaram, Siwa nirmalam wiryanam, Rekha Ongkara wijayam. OM Meru srengga candra prabham, Siwa layam murti wiryam, Dhupam huwanam timirañca, Amretha bhumi candra prabham. OM Dewa dewi murti bhuwanam, Wyomãntaram murti wiryam, Candra lokam dhupa bhuwanam, Guru dewa murti wiryam. OM, OM, Akasa bhyoma Siwa ya namah swaha.
49
Pretiwi Stawa OM Prethiwi Srinam dewam, Catur dewi maha wiryam, Catur asrama Bhatari, Siwam bhumi maha siddhyam dewam. OM Ripurwani Bhasundari, Siwapatni putra yoni, Uma Durga Gangga Gauri, Indrani Camundi dewi. Brahma bhatari Waisnawe, Komari Gayatri dewi. OM Sri-dewi ya namah swaha.
Puja Memuja Leluhur Tiga Guru Stawa OM Dewa dewi tri Dewanam, Trimurti trilinggãtmakam, Tri Purusa suddha nityam, Sarwa jagat pratisthanam .
50
OM Guru purwam Guru dewam, Guru madhyam Guru tattwam Guru pantaram Dewam, Guru dewa suddha atmakam. OM Brahma Wisnu Iswara dewam, Jiwãtmanam tri lokanam, Sarwa jagat pratisthanam, Sarwa rogha wimurcatam, Sarwa wighna winasanam. OM, Ang, Ung, Mang, Paduka Guru bhyo namah swaha. Kawitan Stawa (Puja untuk memuja leluhurWarga Pasek) Om Siwa rsi maha tirtham, Panca rsi Panca tirtham, Sapta rsi catur yogam, Lingga rsi maha linggam. Om Rsi dartah mahãmrtham, Rsi raksa tamam nityam, 51
Nama kastha-kastha Brahmanam, pasupati Guru Siwam. Om Manik agni Jayasca dewam, Siwa ageng Agnijaya anugrahakam Pasapati Pasupati anugrahakam, Agnijaya Jagatnatha anugrahakam Om Pasupati Brahma Manik jatyam, Sarwa amrtha anugrahakam Sumerusca, Saganasca, De Kuturan, Bradasca, Sarwãmrtha hanugrahakam. Om Panca rsi Sapta rsi Paduka Guru bhyo namah swaha. Untuk Memuja (di pura warisan) Pedanda Sakti Wawu Rawuh Om Dwijendra purwanam siwam, Brahmanam purwantisthanam Sarwa dewa masariram, Surya mertha pawitranam 52
Puja Stawa untuk Hyang Widhi
Giri Pati Stawa (untuk Sad Kahyangan) Om Giripati Dewa-dewi, Lokanatha jagatpati, Sakti manta maha wiryam, Jñana manta Siwãtmakam. Om Iswara dibya caksu, maha padma namo namah, Ghore-ghore maha suksmam, Adi dewa nama namah. Om Maha rodhram maha suddham, Sarwa pãpa winasanam, Maha murti maha tattwam, pasupatye namo namah. Om Mahadewa Sangkaranca, Siwa Sambhuh bhawãstuti, Maheswara Brahma Rudrasca, Siwa Isana ya namo namah. 53
Kahyangan Stawa Om Indragiri murti dewyam, Lokanatha Jagatpati, Sakti wiryam Rudra murti, Sarwa Jagat pawitranam. Om Girimurti trilokanam, Siwa murti Prajapati, Brahma Wisnu Iswara dewam, Sarwa Jagat prawaksyamam. Om Surya dewa Mahadewa, Siwa agni tejo maya, Siwa Durga kali sira, Sarwa Jagat wisyãntakam. Tri Bhuwana Stawa Om Parama Siwa twam guhyam, Siwa tattwa paroyanah, Siwasya pranato nityam, Candis ca ya namo’stu te. Om Niwedyam Brahma Wisnusca, Dewa Bhokta Maheswaram, 54
Sarwa wyadi nala bhakti, Sarwa karyan prasiddhantam. Om Jayarthi jaya-apnuyat, Yasarthi yasa apnoti, Siddhi sakala apnuyat, Parama Siwa ya labhati Om Parama Siwa ya namah swaha. Puja di Pemrajan, Panti, Pedharman Om Brahma Wisnu Iswaram dewam, jiwatmanam tri lokanam Sarwa jagat pratisthanam, suddha klesa winasanam Puja di Pura Desa Om Isano sarwa widyana, Iswara sarwa bhutanam Brahmane dhipati Brahman, Siwastu Sadasiwa ya
55
Puja di Pura Puseh Om Giripati maha wiryam, Mahadewa pratistha lingam Sarwa dewa pranamyanam, sarwa jagat pratisthanam Puja di Pura Dalem Om Catur dewi mahadewi, catur asrame bhatari Siwa jagat pati dewi, Durgha masariram dewi Puja di Padmasana Om Akasa nirmalam sunyam, guru dewa bhyomantaram Siwa nirbhana wiryanam, rekha Ongkara wijayam Puja di Pura Segara Om Nagendra krura murtinam, gajendra matsya waktranam Baruna dewa masariram, sarwa jagat suddha atmakam 56
Puja di Pura Batur, Ulun Danu, Ulun Carik Om Sri danba dewika bawyam, sarwa rupa wati tasya Sarwa jnaka miti datyam, sri sri dewi namastute Puja Hyang Ardhanareswari (juga dipakai saat Panca Sembah) Om nama dewa adisthanaya, sarwa wyapi wai siwa ya Padmasana eka pratisthaya, ardhanareswaryai namo namah
Puja di Pura Melanting Om Ung Dewa suksma parama sakti ya namo namah swaha Om Ung Giripati ya sukla dewi, Sing Kling tiksna ya namah swaha Ing Ang Swabhawa dewi sukla dewi maha sakti ya namah swaha
57
Puja Stawa untuk Istadewata Kelompok Dewata Nawasanga Iswara Stawa Om Giri murti sweta warnam, meru rajata bhaswaram Purwa desa pratistanam, purwa Iswara arcanam Om Sarwa sweta suddha nityam, Bhusana ratna swetanam, Mani Surya sweta warnam, Surya kotti prabha jwalam Om Iswara dewa sa linggam, Sarwa dewa pranamyakam, Puruso sweta pawitram, Santha jñana suddha nityam. Om Iswara dewa murtinam, Wighna klesa winasanam, Sarwa duhka wimurcatam, Sarwa wyadhi nirantaram. 58
Om Iswara dewa murtinam, Sarwa pãpa praharanam, Swasthi dam sarwa roghanam, Labhati bala wiryanam. Om Iswara dewa salinggam, Swa sariram praja dipam, Sarwa duhka winasanam, Sarwa jagat suddha nityam. Om Mang, Iswara dewãrcanam, Bhoga-urdhwa phala bhukti, Sridhanam ca sadhanakam, Wirya bala jiwãtmakam. Mahesora Stawa Om Maheswara murti lokam, agneya lingga arcanam Sarwa usadhi nugranam, Weda mantr4a siddhi yogam Om,Suksma murti amrtha jiwam, Bhuwana loka pawitram, Sarwa narãnugrahakam, Jagat wighna pratisthanam. 59
Om Dharmosadi nugrahakam, Amrtha bhumi maha wiryam Moksanam sarwa pãpebhyah, Purna jiwam jagat trayam. Om Sarwa klesa winasanam, Sarwa marana muktaye, Maheswara dewa wiryam, sarwa wyadhi nirwaranam. Om Nugranam yuwatim dewam, Dirghayusa Jagatpurnam, Wreddhi guna ya yadnyanam, Sarwa lokãmrtha jiwam. Om Laksmi dewi gara dewi, Giri putri candra-prabham, Amrtha candra pawitram, Sarwa jagat pratisthanam. Om Namah Siwa ya dewanca, Sarwa dewa suddha nityam, Maheswara murti bhuwanam, Sarwa rogha wimurcatam. 60
Brahma Stawa Om Ang Brahma namas catur mukham, Brahmagni rakta warnanca Sphatika warta dewata, sarwa bhusana raktakam Brahma Prajapati Stawa Om Namaste bhagawan Agne, Namaste bhagawan Hare Namaste bhagawan Isa, Sarwa bhaksa Uttasana. Om,Tri-warno bhagawan Agnir, Brahma Wisnu Maheswarah, Santhikam paustikam cai wa, Raksanañca bhicarukam. Om Brahma Prajapati sresthah, Swayambhur warado Guruh, Padma-yonis catur-waktro, Brahma sakalam-ucyate. Om Namo’stu bhagawan Agni, Sarwoktena Uttasanah, 61
Wajra sara maha sara, Dipto agnih jjwalanas tatha. Om Sarwa pãpa prasamanam, Hiranya garbha sambahwam, Lokam ca sarirañca, Sukham agnih pramucyate. Rudra Stawa Om Rudra dewa murti lokam, giri ratna rakta warnam Agni sakala murtinca, Yama desa masarnam Om Sarwa wighna masariram, Sarwa rogha bhasmi swastham, Dur-manggalam dusta cittam, Sarwa bhicari moksanam. Om Rudra dewa agni jwalam, Sarwa bhaksa Huttasanam, Murti-murti Rudra murti, Brahma Wisnu Maheswaram. 62
Om Anugraham jiwitam dewam, Dirghayu Jagat sampurnam, Wreddhi gunam jaya jñanam, Sarwa lokãmrtha jiwam. Om Rudra dewa agni murtiyam, Sarwa bhaksa maha rodram, Yamapati Mrtyu dewa, Sarwa satru winasanam . Om Ang Kalãgni Rudra jwala ya namah. Om Siddhir astu ya namah swaha. Mahadewa Stawa Om Namostute Mahadewa, pita warna Mahadewa Padmasana Mahadewa, Saci dewi samostute Om Dewa dewa mahadewa, Catur bhja Rudatmakam, Pita warna Mahadewa, Meru kancana bhaswaram. 63
Om Pascima pratistha linggam, Ratna tejo pita warnam, Surya prabham maha wiryam, Sarwa Dewati dewanam. Om Sapta dware Mahadewam, Sapta Ongkara murtinam, Bhusanam sarwa dewanam, Ratna kancana pradiptam. Om Maha rodram Mahadewam, Surya kotti prabhaswaram, Bhusanam sarwa bhuh lokam, Sarwa dewa namãskaram Om Meru sapta swarga dewam, Siwa Rudra murti sriyam, Sarwa kanaka bhuktanam, Bhusanam sarwa dewatam. Om Mahadewa puja nityam, Dhupanam sarwa bhuh lokam Sarwa bhicara manggalam, Sarwa dusta winasanam. 64
Om Giri murti Mahadewa, Pasupati putro dewam, Sarwa jagat pawitranam, amrtha pitãnugrahakam. Om Jagat wighna winasanam, Sarwa Dewa pratisthanam, Suddha suddha sarwa klesa, Sarwa praja sukha sriyam. Om Sri dewam suddha sa linggam, Amrtha sadhana manggalam Bhoga wiryam udanakam, Rogha dosa winasanam. Sangkara Stawa Om Giri dewa ratna wiryam, Syama rupam murtgi bhwanam Sangkara dewa salinggam, Sarwa dewa pranamyakam Om Jaya wijaya murtinam, Suddha jñanam amrtha jiwam, Amrtha bhumi pawitranam, Sarwa papa winasanam. 65
Om Tri-mandhala pratisthanam, Bhuta Pretha mandiraksam, Sarwa jagat purna jiwam, Sarwa wighna winasanam. Om Sangkara dewa murtinam, Wayabyanca pratisthanam, Sarwa jagat awitranam, Amrtha bhumi anugrahakam. Om Bhuh loka mandhala purnam, Sangkara dewãnugrahakam, Dirghayu bhuwana sampurnam, Sarwa marana moksanam. Wisnu Stawa Om Ung namo Wisnu tri mukhanam, Tri nayanam catur bhuyam Kresna warnam sphatikantam, Sarwa bhusana nilanam Wisnu Stawa untuk Tirtha Om Prenamya sirase Wisnu, Triloke Brahma Sawitri, 66
Iswara loka pawitra, Bhayam nasti kadacanam. Om Kuwera priti dhanasca, Karni ksatriya purusa, Sambhu mulya ta suksma ya, Ripu bhasmi durwinasa. Om Sangkara Sang Hyang Sri-dewi, Para lingga tri sudewa, Bhasmi bhuta durwinasa, Kreta rogha durwinasa. Om Rudro trinayana dewo, Bhayam asti kapawitram. Bhaya klesa winasa ya, Bhasmi klesa trikayatah. Om Siwo Rudra tri nayanah, Suksma Suryãmrthani, Siwasca candram mah punyam, Jayam satru winasanam. Om Aditaya-aditaya. Suksma taya maya-maya, 67
Suksma taya aditaya, Siwa Rudra maya-maya. Om Ang, Amrtha ya namah. Om Sudha-suddha namah Siwa ya. Om Sarwãmrtha-aditaya. Om Siwa-lingga purusa nama Siwa ya. Om Ardhanareswarebhyo namah. Om Salila sarwãtmane ya namah swaha. Wisnu Stawa Tirtha Pengelukatan Om Wisnu Wisnu rahade triyade, Sri Wisnu prajapati ksetra Waraha kalpa pratama, carana lala yuga Kala mangsa kala dite yoga nasksatra nitaye Wadhakti palam prapti kama naya Sarwa prayascita karisye Om sobhagyam astu tat astu astu swaha Sambu Stawa Om Airsanyam dewa prathistam, Sambu dewa murti lokam 68
Sarwa tatta suddha nityam, kawya jnanam siddhi wakyam Om Suksma murti sakti jnanam, Sarwa mantre yoga nityam Sarwa jagat pratisthanam, Rogha dosa winasanam. Om Amrtha jnanam anugrahakam, Amrtha bhumi prakirtitam Uma dewi ghara dewi, Mukti sriya bhoga murtaye. Om, Ksatriya wibhuh murti wiryam, Bhiksukam weda paragam Sarwa jagat wreddhi bhogam, Sarwa dewa ma sariram. Siwa Stawa Om Namah Siwa ya sarwa ya, Dewa dewa ya wai namah Rudrasya bhuwanesaya, Siwa rupa ya wai namah 69
Om Twam Siwas twam Mahadewah, Iswarah ParameSwarah, Brahma Wisnusca Rudrasca, Purusah Prekirttis tatha. Om Prethiwi salilam twam-hi, Twam-agnir wayur ewa ca, Akasam twam param-sunyam, Sakalam-niskalam tatha. Om Namo Siwa ya namah swaha. Kelompok Shakti Uma Stawa Om Parwati twam namasyami, Rudra patim tapasinim, Dayawatim suddhãsanam, Istãnugraha karinim. Om Gauri Umam namasyami, Rudra deha diwasinim, Yasa swinim gunawatim, Bhaktãnugraha karanim. 70
Om Satim saktam namasyami, Bhawanim bhakta waksalam, Guhya syabha Hari-dewi, ubhyam nityam namo namah. Om Uma-dewaya namah swaha. Kuwera Stawa Om Brahma Wisnu Iswara Rudra, Rudra-dewa ya wai namah, Wisnu Sangkara bhupati, Dewa-diwya ya wai namah. Ong-kara Sada Siwam-dewam, jagatam sarwa pujanam, Upayam sadhana smertham, Suci dewa Sri Sadhanam. Om Kawatam anugraha smertham, Kanya-wati Siwa rupam, Dandopadrawa sampurnam, Kretta bhuwana sada-smertham. Om, Kuwera-dewa ya namah swaha. 71
Saraswati Stawa Om Saraswati namãstu bhyam, warade kama rupini, Siddhãrambhan kari syami, Siddhir bhawantu me sada. Om Pranamya sarwa dewanca, paramãtmanam ewa ca, Rupa siddhi prayukta ya, Saraswati namamy aham. Om Padma-patra wisalaksi, Padma kesari warnini, Nityam padma laya dewi, Samam pa-tu Saraswati. Om Brahma putri mahadewi, Brahmanya rahma Nandini, Saraswati samjñayani, Pranayana Saraswati, Om Sang Saraswati sweta warna ya namah. Om Bang Saraswati rakta warna ya namah. Om Tang Saraswati pita warna ya amah. 72
Om Ang Saraswati kresna-warna ya namah. Om Ing Saraswati wiswa-warna ya namah. Sri Stawa Om Sri dewi maha waktram, Catur warna catur bhujam, Pradnya wiryam saro jñeyah, Cinta manir uru smertham. Om Sri Tandhuli Mahadewi, Sri-mati komala sobhitah, Dadasi me maha bhogam, sarwa drawya hiam labham. Om Sri-Wrihi makuta jiwam, Twam sarwa bhuwanandhari, Dadasi me sukha nityam, Jiwitam dhatu kancanam. Om Dhana rajñi twam dewi, Pradnya tanduli samjñikah. Mani ratnãsana nityam, Sarwa ratna gunãnwita. Om Sri-dewi ya namah swaha. 73
Laksmi Stawa Om Namaste astu mahaa maaye, Shrii pitthe surapuujite Shankha chakra gadda haste, Mahaa Laksmi namo stute Om Namaste garuda aruudhe, Kola asura bhayangkari Sarwa paapa hare dewi, Mahaa laksmi namo stute Om Sarwagne sarwa warade, Sarwa dustha bhayangkari Sarwa dukha hare dewi, Mahaa Laksmi namo stute Om Siddhi buddhi prade dewi, Bhukti mukti pradaa ayini Mantra muurte sadda dewi, Mahaa Laksmi namo stute Om Aadyanta rahite dewi, Aadi shakti maheswari Yogaye yoga sambhuute, Mahaa Laksmi namo stute 74
Om Sthuula suukshma mahaa raudre, Maha shakti mahodare Mahaa paapa hare dewi, Mahaa Laksmi namo stute Om Padmaasana sthite dewi, Para brahma swaruu pini Parameshi jagan maataha, Mahaa Laksmi namo stute Om Shweta ambarad hare dewi, Naanaa alangka ara bhuushite Jagat sthite jagan maataha, Mahaa Laksmi namo stute
Sadasiwa Stawa Om Siwa jagat pati dewam, Sadasiwa mam pramanan Mertha manggalam pawitram, sarwela mala sampurnam
75
Istadewata Penguasa Semesta Surya Stawa Om Adhityasya paramjyoti, rakta teja namostute Sweta pangkaja madhyastha, Bhaskaraya namostute Om Aditya garbha pawana, Aditya dewa raja twam, Aditya twam gatir asi, Aditya caksur ewa ca. Om,Aditya jata wedasah, Aditya janopa Suryah, Surya rasmir Hrsi kesa, Surya-sattwam maha-wiryam. Om Hrang, Hring, Sah, parama Siwãditya ya namah. Samudra Stawa Om Namah Siwa ya sarwa ya, Dewa-dewa ya wai namah, 76
Rudraya bhuwanesa ya, Siwa waruna ya namah. Om Sapta mudram Siwam garam, jaladhi-tasik garayam, Rudra ya bhuwanesaya, Waruna Siwa sampurnna. Om Hrang,Hring,Sah, Sri Samudra guru bhyo namah swaha. Segara Stawa Om Gangga-puruso wiryanam, Brahma mandhala Waisnawam, Gangga rantãngkara dewi, Brahma murti tri-lokanam. Om Jala nidhi murti lokam, Bhumi matsya maha ghoram, Bharuna dewam ca Dewanam, Lembu haro Hari-murti. Om Jala siddha maha Sakti, Sarwa siddhi Siwa tirthah, 77
Siwãmrtha manggalan ca, Sri dewi Jagat pawitram. Om Namah Siwa ya wai namah, Nama Wisnu dwarçswarah, Prabhu wibhuh mahãmrtham, Sarwa pataka sampurnam. Ananta Bhoga Stawa Om Ksiti dewi Ananta bhogam, Nugranam janadhi lokam, Suddha lara tri lokanam, Amrtha bhumi nugrahanam. Om Nagendra-dewa murtinam, Sapta-patala pratistham, Sarwa Jagat sangghanakam, Suddha purna tri-lokanam. Om Amrtha bhogãnugrahakam, Sarwa wisa wimurcatam, Dewa-dewa maha suksmam, Sarwa wighna winasanam. 78
Ganapati Stawa Om Gana parama twam guhyam, Gana tattwa parayanah, Gana pranata labhanam, Sukha Gana namo’stu te. Om Asuci sarwa pawitram, Sarwa karya suci mukti, Bhukti Gana mahottama, Dewa sukha paripurnam. Om Tesu karti maha gana, Mataras te sukha karyam, Etana sarwa apunyat, Suddha Dewa paripurnam. Om Tesu karti maha trepti, Mataras te Bhatarakah, Etasam sarwa dewanam, Treptãyuyam bhawantu te. Ghanapati Stawa untuk Pewintenan Om Ghana pati rsi putram, Bhuktyantu weda tarpanam, 79
Bhuktyantu Jagat tri lokam, Suddha purna Sariranam. Om Sarwa wisa winasanm, Kala Durga durgi pati, Marana mala murcyate, Tri-Wristi pangupa jihwa, Om Gangga Uma stawa-siddhi, Dewa Ghana guru putram, Sakti wiryam loka Sriyam, jayati labha anugrahakam. Om Astu-astu ya namah swaha. Ganapati Gayatri (Gayatri Ganesa) OM Ekadanta ya widmahe Waktratundaya dimahi, Tanno dantih pracodayat OM Gana parama tvam guhyam, Gana tattva parayana, Gana pranata labhanam, sukha Gana namo’ stute. 80
OM Asuci sarva pavitram, Sarva karya suci muktim, Bhukti Gana mahottarna, Deva sukha paripurna, OM Ganapati Rsi putram, Bhuktyantu veda tarpanam, Bhuktyantu jagat trilokam, suddha purnam sariranam. OM Sarva Visa vinasanam, Kala Durga Durgi pati, Marana mala mucyate, Trivristi pangupajiwam. Agni Stawa Om Giripate dewa-dewa, Loka natha jagat pate Sakti mantam maha wirya, jnana watam Siwatmakam Candra Stawa Om Candra mandala sampurna, candor yam te pranamyate 81
Candradhipa param jyotir, namas candra namostute Danu Stawa Om Indra giri putri wiryam, Sri Gangga Uma Dewi ca Saraswati wiryam diwyam, mertha bhumi suddha jiwam Durgha Stawa Om Durgha murti panca griwam, kalika wahana diwyam Krura rupam agni jawalam, kala murthi Rudramakam Gangga Stawa Om Apsu dewa pawitrani, Gangga dewi namostute Sarwa klesa winasanam, toyane parisuddyate Indra Stawa Om Dewa-dewa maha sidham, yajnikanam phalam idam 82
Laksmih siddhisca dirhayur, Nirwighnam tu sukhakrti Kumara Stawa Om Namah Kumaraya sad anamaya, Sikhi dhwajaya pratimaya loke Sad krttikananda karaya nityam, mamostu rajawara pujitaya Pasupati Stawa Om Namaste bhagawan Wisnu, Namaste bhagawan Hare Namaste bhagawan Krsna, jagat raksa namostute Prajapati Stawa Om brahma prajapati sretah, swayambhur warade guruh Padma yonis catur waktro, brahma sakalam ucyate Samodaya Stawa Om Samodaya ma siwaya, nara asta ma sanggaya 83
Namaste wahyakasaya, sarwa sarwa namostute Baruna Stawa Om Baruna ya pita purusaya, pinggalaya babhru mayaya Musala sula wajra panaye, pritisanaya tasmai waruna ya Basuki Stawa Om Indra giri murti lokam, nagendra sakti wiryawam Basuki dewa murtinam, sarwa dewa sama sukham Bayu Stawa Om Prana bayu murti bhwanam, mukha sthanam pratisthanam Siddhi yoga wakyam wajre, sarwa mantre siddhi puja
84
Memandang Agama dengan Kekinian Tiga tulisan berikut ini adalah sebuah ulasan yang melihat agama dari kaca mata kekinian. Agama tidak semata ritual, tetapi juga punya konteks hubungan horizontal. Kebetulan ketiga tulisan ini berkaitan dengan memuja dan memuliakan leluhur. Yang pertama soal Hari Raya Galungan, yang kedua Hari Raya Kuningan, dan ketika bagaimana kita “membaca” bhisama kawitan jika dihadapkan dengan persoalan masa kini. Ketiga tulisan ini dibuat semasih saya walaka dan belum medwijati sebagai sulinggih. Semoga bisa menambah wawasan, terutama berkaitan dengan pemujaan kepada leluhur.
85
Memaknai Hari Raya Galungan dalam Era Kekinian
D
i tahun-tahun 1970-an, Hari Raya Galungan menghadirkan kesibukan tersendiri pada Ibu saya. Sehabis melaksanakan persembahyangan ke berbagai Pura dengan sesajen Galungan yang penuh buah dan makanan, beliau lantas mengemas buah-buahan dan makanan yang hampir sama dengan yang dipersembahkan ke Pura.Tapi kali ini, buah dan makanan yang dibungkus rapi dan dimasukkan “penarak” itu, “dipersembahkan” kepada tiga keluarga yang beragama Islam, yang sudah menetap lama di kampung kami. Ketiga keluarga Muslim itu adalah penjual sate keliling di kampung kami, berasal dari Madura dan hidup sangat sederhana. Karena sudah lama 86
bermukim di kampung kami, ketiganya pun sudah tercatat sebagai “banjar pekraman” dengan kewajiban-kewajiban tertentu, minus yang menyangkut ritual Hindu. Sesekali saya menyertai ibu saya ke sana — karena salah satu anak keluarga Muslim itu teman sekelas saya di SD — dan saya merasakan persaudaraan yang sejati. Senyum persahabatan, tak ada sekat-sekat karena perbedaan agama. Ketupat mereka sama, cuma cara sembahyang mereka yang tak sama. Hari Raya Galungan adalah hari kemenangan dharma melawan adharma. Di setiap agama ada hari-hari kemenangan seperti ini. Dan khusus di Hindu, hari kemenangan bisa ditentukan sendiri oleh budaya lokal di mana Hindu itu masuk. Karena itu, hari kemenangan umat Hindu yang budaya lokalnya Bali, tak persis sama dengan yang bukan budaya lokalnya Bali. Di India, kemenangan dharma itu dirayakan dengan nama Hari Raya Wijaya Dasami. Rangkaian upacara pun selama 10 hari, seperti halnya Galungan menuju Kuningan yang juga berangkai 10 hari. 87
Di hari Galungan itu, umat Hindu harus mampu menghadirkan kekuatan spritual agar bisa dan mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana yang berupa kebenaran (dharma). Juga dapat membedakan sifat-sifat keraksasaan (asura sampad) dan sifat-sifat kedewaan (dewa sampad). Lontar Sunarigama menulis: Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan, patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep. Artinya: Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran. Jadi inti perayaan ini adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran dan pendirian yang terang-seterangnya. Bersatunya pikiran yang terang inilah wujud dari dharma itu sendiri, sedangkan segala kekacauan pikiran itu adalah penjelmaan dari adharma. Dan setelah pikiran terang itu muncul, umat Hindu saling mendatangi 88
tetangga, kerabat, kenalan untuk menjalin apa yang kini dikenal secara umum sebagai silaturahmi. Itu dilakukan keesokan harinya, saat Manis Galungan, karena di hari Galungan itu sendiri umumnya disita oleh mengadakan persembahan kepada leluhur di berbagai Pura yang ada. Sekarang, adakah tali silaturahmi itu terus dilakukan? Tentu masih ada, khususnya di kalangan umat yang sama, Hindu. Bagaimana dengan jalinan ke luar umat? Kalau pun masih dilakukan, saya menduga kadarnya itu mulai berkurang. Ibu saya telah tiada, tak ada keluarga di kampung saya yang mewariskan kebiasaan “ngejot” ke “nyama selam” itu. Keluarga penjual sate dari Madura itu pun telah pindah, tetapi “nyama selam” bukan berarti tak ada. Mereka ada yang berjualan bakso, bubur kacang hijau, makelar kopi, dan sebagainya. Hubungan mereka dengan masyarakat Hindu setempat tak lebih dari hubungan bisnis. Tak ada hari raya keagamaan yang bisa lagi dirasakan secara bersama-sama. Galungan adalah milik Hindu, Lebaran adalah milik Islam, Natal adalah milik umat Kristiani. Masingmasing berjalan dalam sekat-sekatnya tersendiri. 89
*** Kenapa tangan kita ini tidak lagi mengetuk pintu untuk menyapa. Kenapa ketukan di setiap pintu rumah kini jadi menakutkan. Kenapa jemari ini tidak bisa menunjuk setiap kebaikan. Kenapa jemari ini harus menunjuk dalam sarung? Sepenggal puisi dalam film terbaru Garin Nugroho, Puisi Tak Terkuburkan, ini secara tepat sekali mempertanyakan banyak hal dalam hubungan adanya sekat-sekat di berbagai masyarakat yang majemuk ini. Umat Hindu tak mengetuk pintu umat Muslim di hari Raya Galungan untuk mengantarkan sekedar makanan dan buah-buahan, karena adanya kekhawatiran, apakah cara-cara itu bisa diterima sekarang ini? Juga umat Muslim tak mengetuk pintu umat Hindu di hari Raya Idul Fitri untuk bersalam-salaman sambil mengucapkan Minal Aidin Walfaizin, karena apakah itu perlu kalau bukan seiman? Sudah sejak lama ada perdebatan di kalangan masyarakat akar rumput, apakah umat Islam boleh atau tidak mengucapkan Selamat Hari Natal kepada umat Kristiani? Apakah seorang 90
penganut Hindu mengucapkan: Asalamualaikum kepada seorang penganut Islam, diterima dengan kebesaran jiwa dan perasaan lapang, ataukah dicibir sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak perlu? Sebaliknya, apakah seorang penganut Hindu akan membalas sapaan Om Swastyastu yang disampaikan umat beragama non-Hindu, atau justru bersikap curiga? Ketukan di setiap pintu rumah kini jadi menakutkan, karena kita memandang sekat-sekat yang ada, terutama masalah agama, sebagai sesuatu yang menghambat tali silaturahmi. Agama yang mengajarkan perdamaian dan menebarkan kasih sayang untuk sesama manusia, ternyata mulai dikotori oleh niat untuk menghimpun semakin banyak pengikut di masing-masing agama itu sendiri. Target jumlah pengikut ini menjadi tujuan utama dan ini melahirkan sekat-sekat yang ekslusif. Kecurigaan pun lahir: apakah kebiasaan yang dilakukan ibu saya di dua dasawarsa yang lalu, tidak malah dicurigai sebagai menghindukan orang Islam? Kecurigaan seperti ini pada akhirnya memang mendapatkan alasan, karena ada banyak kejadian belakangan 91
ini, sumbangan dari kelompok agama tertentu selalu diimingi-imingi “target”: suatu saat yang menerima sumbangan itu mau mengikuti agama si penyumbang. Mereka umumnya mendalihkan bahwa kegiatan mereka itu sejalan dengan ajaran agamanya, sebagai agama misi. Padahal semua agama adalah agama misi, hanya cara dan tekanannya yang berbeda. Hindu pun agama misi. Kalau tidak, untuk kepentingan apa agama ini masuk ke Nusantara ini. Salah satu sloka dalam Yayur Veda berbunyi: Yathenam wacam kalyanim, awadai janebhyah, Brahmana Rajanyabhyam, Cudra ya caryaya ca, Swaya carana ca (YV. XXV.2) Artinya: Biar KUajarkan pengetahuan suci ini (maksudnya Veda) kepada orang banyak, kaum Brahmana, Ksatria, Sudra dan Wasiya, dan bahkan kepada orang asing sekalipun. Sepanjang gerakan agama diarahkan untuk mendapatkan sebanyak pengikut, dan bukan tujuan luhurnya sebagai menyebarkan perdamaian dan ka92
sih sayang, menyebarkan rasa persaudaraan yang sejati, maka kita akan masih melalui masa-masa yang penuh kecurigaan. Bahkan curiga terhadap sebuah senyum, apalagi terhadap ketulusan bantuan. *** Darimana kita harus mengembalikan situasi ini sehingga kecurigaan berkurang dan sekat-sekat ekslusif mencair?Yang pertama-tama harus dicerna adalah ajaran agama yang paling hakiki itu, bahwa Tuhan mewahyukan ajarannya dalam kurun waktu ribuan tahun tidak hanya sekali saja. Ada banyak perantara yang dipakai Tuhan untuk menyebarkan ajaran-Nya. Kita mengenal banyak Awatara, kita mengenal banyak Nabi, kita pun mengenal beberapa Maharesi.Tuhan menciptakan manusia yang berbeda-beda warna kulitnya, jenis rambutnya, suku dan etnisnya, bahasanya, budayanya, agar manusia yang berbeda-beda itu bisa saling mengenal dan saling isi-mengisi, kasih mengasihi, bantu membantu. Tercipta persaudaraan sejati di kalangan umat yang berbeda. Bayangkanlah kalau manusia di bumi ini semuanya berkulit putih, atau semuanya berambut keriting, semua wajahnya sama, apakah justru ti93
dak terjadi kekacauan. Ada orang yang dilahirkan miskin dan menderita, justru agar orang yang kaya dan sejahtra merasa terhukum untuk membantu si miskin ini. Ada tentara berpangkat sersan, agar ada yang memberi hormat kepada jenderal. Kalau semuanya jenderal, siapa yang harus lebih dulu memberi hormat? Keberagaman ini diciptakan agar umat manusia menjalin tali silaturahmi di antara kelompoknya, antar kelompok yang berbeda, antar bangsa dan seterusnya. Dan untuk itu toleransi mendapat tempat yang tinggi. Marilah kita toleran terhadap segala perbedaan yang ada dan menghargai perbedaan itu.Tapi janganlah toleransi ini disalah-artikan, lalu dengan seenaknya kita melecehkan aturan-aturan yang ada di kelompok orang lain. Idiom-idiom yang ada dalam satu kelompok — lebih-lebih jika itu bernama agama — dan sangat disakralkan, harus dihormati dan tak bisa dicomot kelompok lain untuk tujuan yang menyimpang. Ini yang belakangan merebak, khususnya di Bali. Saudara kita umat Kristiani, mengambil idiom94
idiom Hindu dan menggunakannya di lingkungannya sendiri. Tanpa permisi dan tanpa izin. Doa suci Hindu, Om Swastyastu, di pakai nama sekolah yang justru tidak mengajarkan pendidikan Hindu. Syukurlah Perguruan Swastyastu yang ada di Denpasar itu sudah berubah nama menjadi Perguruan Santa Yosef. Namun masih ada Dewa-Dewa dalam mitologi Hindu yang dicomot begitu saja untuk mengembangkan ajaran yang bukan Hindu, bahkan untuk bisnis, misalnya, Swalayan Siwa dan sebagainya. Aksara suci Om dipajang untuk tujuan yang sangat vulgar, misalnya, dijadikan tattoo ditaruh di bagian tubuh yang “jorok”. Namun, di kalangan umat Hindu etnis Bali pun, hendaknya sadar pula, mana idiom dalam kelompok agama yang sakral dan tak boleh dicomot kelompok agama lain, dan mana idiom adat atau budaya lokal yang memang bisa diadopsi pihak lain. Karena budaya dalam perkembangan peradaban ini tak bisa lagi dimonopoli kelompok tertentu. Apalagi di zaman globalisasi ini. Budaya Bali itu sendiri sudah mengadopsi berbagai jenis budaya luar. 95
Budaya, adat, agama, adalah sesuatu yang berbeda-beda. Adat adalah kebiasaan atau tradisi yang mempunyai wilayah teritorial tertentu. Budaya adalah proses peradaban manusia yang selalu berkembang, saling mempengaruhi, dan bisa lintas teritorial. Agama adalah sebuah keyakinan yang rujukannya sudah jelas dan pasti, yakni adanya kitab suci, penerima wahyu, dan hukum-hukum yang tak bisa diperdebatkan, kecuali mengacu ke kitab suci itu sendiri. Kalau kita tak bisa memisahkan mana agama, adat, dan budaya, maka kita akan bisa salah protes. Apakah kita (umat Hindu) protes kepada umat Kristen di Bali yang kalau ke gereja memakai pakaian adat Bali? Kan mereka orang Bali, lahir dan besar di Bali dan mewarisi adat Bali. Apa kita protes umat Islam di Pegayaman yang memakai nama Wayan, Ketut, Nengah dan berbahasa Bali halus (lebih halus ketimbang umat Hindu tetangganya?). Apakah kita protes bahwa Nyama Selam (umat Islam Pegayangam) mewarisi Subak dan memelihara tradisi itu? Kain, anteng, udeng, destar, subak, Nyoman, Nengah,Wayan, adalah adat. Gong, legong, 96
drama gong, arja, pupuh sinom, pangkur, bahasa Bali, adalah budaya. Apakah umat Kristen etnis Bali dilarang mengarang lagu bertembangkan Sinom? (Bukankah umat Hindu etnis Bali justru di masa lalu mengadopsi Sinom itu dari Jawa, misalnya). Apakah group-group tari di Jakarta dilarang mementaskan Legong Kraton? Tentu saja tidak. Kemudian budaya Bali diadopsi oleh orang luar: penjor, pajegan, rangkaian kembang, rangkaian janur, dan lain-lain. Apakah ini kita protes? Karena itu, PHDI dan Departemen Agama/Lembaga Umat Hindu membuat pembatasan lewat berbagai seminar Kesatuan Tafsir, mana budaya tadi yang berkaitan dengan agama (sakral) dan mana budaya tadi yang tidak sakral, hanya sebatas hiasan. Ini yang perlu disosialisasikan kembali, terutama kepada anak-anak muda yang kini sangat kritis. Lewat Seminar Kesatuan Tafsir yang gencar diadakan di tahun 1970-an itu, lahirlah padanan seperti: papen joran, urap sari, babentaran, dan banyak lagi. Kalau ini masih kurang karena tuntutan zaman globalisasi, di mana batas-batas budaya sudah tak jelas lagi teritorialnya, kembalilah diinventarisasi apa-apa saja yang perlu dirumuskan kembali. 97
Kalau umat Hindu etnis Bali protes karena budayanya diadopsi umat beragama lain, orang lain pun bisa protes kepada umat Hindu. Pakaian kebaya itu dari mana asalnya? Ternyata dari Jawa, sampai sekarang pun ada yang menyebut kebaya dengan “baju potongan Jawa”. Lihat belakangan ini, anak-anak muda Hindu di Bali, sudah mengadopsi cara orang Jawa menggunakan kain, rata depannya, tidak lagi mekancut. Hal-hal seperti ini tak terhindarkan. Cara berpakaian itu budaya, bukanlah agama. Umat Hindu di Kaharingan (Kalimantan Tengah) tak ada sembahyang memakai pakaian cara budaya Bali. Umat Hindu di Jawa tak ada menggunakan destar (udeng) yang terbuka atasnya, tetapi memakai blangkon. Bahasa lokal pun bukan agama. Mana ada umat Hindu etnis Kaharingan, Batak, Toraja, Jawa yang menggunakan bahasa Bali dalam menghaturkan sesajen. Tetapi kalau menggunakan mantram, pasti sama, karena rujukannya Weda. Memang kemudian diperlukan visi yang sama. 98
Dalam kasus-kasus seperti ini, PHDI sebagai lembaga pengayom umat dan pembuat bhisama harus segera berperan. Membiarkan kasus begini berlarut –larut menjadi polemik di masyarakat, sama artinya dengan mengadu domba umat itu sendiri. Sebaliknya, umat lain yang mencomot begitu saja apa yang kini akrab dijadikan simbol-simbol dalam Hindu, juga jangan mencari gara-gara. Aksara suci semacam Om itu semestinya sudah diketahui secara luas, betapa sakralnya bagi pemeluk Hindu, janganlah dinistakan sedemikian rupa. Saya menyinggung kasus-kasus yang pernah ramai jadi polemik ini hanyalah sebagai ilustrasi, bagaimana kita semestinya menjalin persaudaraan sejati di antara berbagai perbedaan. Ada aturan umum yang harus sangat dihormati dalam persaudaraan ini, yakni etika dan itikad yang baik. Etika menyangkut sopan santun, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas. Semuanya harus mengacu kepada lingkungan budaya setempat. Sebutlah satu contoh, Meru adalah bangunan suci 99
umat Hindu. Tapi, sebuah Meru yang suci tentu memenuhi semua persyaratan, misalnya, bertumpang ganjil, dan sebagai-sebagainya. Tak ada Meru bertumpang genap. Lalu, ada orang nyeleneh dan mencari gara-gara, membuat WC dengan bangunan berbentuk Meru, tetapi bertumpang empat, dan dia ngotot itu bukan Meru. Memang betul. Secara hukum formal kita tak bisa mengatakan itu menghujat agama. Tetapi, dari segi moral, etika, dan sopan-santun, itu sudah sangat keblablasan. Contoh ini hampir mirip dengan digunakannya Swastyastu sebagai nama sekolah yang tak ada juntrungannya dengan Hindu. Masih dapat diperdebatkan, apakah Swastyastu yang berdiri sendiri tanpa diawali kata Om itu sesuatu yang sakral atau kehilangan kesakralannya? Apapun, karena kata itu adalah doa suci dalam Hindu, didahului atau tidak dengan kata Om, secara etika Swastyastu tak bisa digunakan oleh sesuatu yang tidak berhubungan dengan agama Hindu. Swastyastu tetap merupakan idiom Hindu, yang harus dihormati oleh pemeluk agama lain. 100
Di sinilah dibutuhkan kebesaran jiwa, jangan mencampur-adukkan idiom-idiom kepercayaan lain untuk kepercayaan yang lain lagi. Lantas, karena semua ini sudah terjadi, apa yang seharusnya dilakukan? Perlu dialog dari hati kehati, perlu membuka diri, perlu dijalin semangat rekonsiliasi. Kata terakhir ini mungkin kurang pas, tetapi tak apa disebutkan, karena suasana yang penuh kecurigaan ini harus segera diakhiri. Kecurigaan antar kelompok yang berbau SARA saat ini sudah mencapai tingkat yang sangat mencemaskan. Perang saudara terjadi di berbagai tempat, hanya karena beda agama. Kalau kita ingin mengembalikan situasi ke arah terwujudnya persaudaraan yang sejati, kenapa harus mencari gara-gara dengan memasuki rumah orang tanpa mengetuk pintu dan mengambil apa-apa yang ada di dalamnya untuk digunakan semaunya? Perahu bangsa ini sedang oleng. Perahu bangsa sudah retak di sana-sini. Kita harus sama-sama menambalnya. Melalui Hari Raya Galungan, kita harus bisa memilah-milah, yang mana kebenaran 101
dan yang mana kebathilan. Dan mari, kebenaran (dharma) itulah yang kita menangkan. Kita jalin kembali tali silaturahmi, kita tancapkan lagi semangat rekonsiliasi. Kita ketuk pintu setiap rumah, dan kita menyapa dengan etika sopan santun. Kalau ada yang salah, jemari ini lalu menunjukkan arah kebaikan. Bukan menunjuk dalam sarung, seperti pesan dalam film arahan Garin Nugroho, yang hanya bisa memfitnah, membunuh atau menghakimi. “Kalau saya khilaf, disapa saya, diajak bicara saya. Kami diajarkan untuk bicara siapa yang salah dan siapa yang benar, berani bicara letak yang salah, letak yang benar.” Itulah puisi yang penuh makna dalam film Garin itu.Ya, mari kita saling menyapa, dan bukan saling bertengkar. *** Tapi, apa sebenarnya arti Galungan itu? Sekali lagi perlu diingatkan, Galungan artinya keme nangan. Dungulan (nama wuku saat Galungan) juga berarti kemenangan. Umat Hindu memiliki ajaran yang luhur untuk merayakan kemenangan. 102
Menang di mana dan menang melawan apa? Apakah menang di meja judi atau di sabungan ayam? Atau di pertandingan sepakbola yang rusuh dan penuh pelanggaran? Atau menang di Pemilu yang penuh kecurangan dengan menyisakan korban rakyatrakyat yang terkapar karena membela simbol partai? Tidak sembarang kemenangan, tentu saja.Yang dirayakan adalah kemenangan dharma. Dharma kalau disederhanakan artinya kebenaran. Jadi, menangnya kebenaran itulah yang dirayakan oleh umat Hindu. Sepintas seperti aneh, bukankah kebenaran itu semestinya selalu menang? Kalau kita hidup di zaman Satya Yuga atau Treta Yuga, barangkali betul. Tetapi ini era Kali Yuga, zaman penuh kegelapan, yang menang itu belum tentu yang benar. Para “penentu kebenaran” sudah direcoki oleh virus-virus angkara murka, kelobaan, kedengkian, iri hati, dan sifat buruk lainnya yang bertentangan dengan dharma. Itulah sifat-sifat adharma. Wasit bisa memihak, hakim dan jaksa bisa disuap. Bahkan pada diri kita sendiri bersemayam sifat-sifat adharma. Ketika anak kita belum 103
mendapat pelayanan yang baik di rumah sakit, kita menempeleng perawat. Ketika seorang calon legislatif merasa disaingi calon lain, ia menyuruh orang untuk membakar baliho lawan, jika perlu membawa pedang terhunus, main tebas. Adharma bercokol dalam diri kita sendiri, besar dan kecilnya bervariasi. Nah, sifat adharma itulah yang harus kita kalahkan. Kita awali dengan niat yang suci, melakukan pembersihan diri, baik dengan tapa, japa, brata yang dalam bahasa sekarang bisa kita sebut “tekad untuk berbuat suci”. Umat Hindu di Bali menyediakan hari yang disebut Sugian Bali dan Sugian Jawa, itulah hakekat pensucian diri. Ketika segala yang kotor itu bisa kita bersihkan, mari kita belenggu keinginan jahat (adharma) kita. Leluhur kita di Bali mengenal Hari Penyekeban dilanjutkan Hari Penyajaan (di beberapa tempat disebut Pengejukan), itulah saatnya kita membelenggu nafsu jahat kita. Pada akhirnya segala yang jahat dan kotor kita musnahkan, kita “sembelih” sifat-sifat hewani buruk yang ada pada diri kita. Itu disebut Hari 104
Penampahan. Jika semua tahap itu bisa kita lakoni dengan baik, pada Rabu Keliwon Wuku Dungulan semuanya itu kita syukuri sebagai kemenangan dharma. Inilah Galungan yang sejatinya. Kita selalu memaknai Galungan tanpa pernah mencari apa arti di balik simbol-simbol yang diciptakan oleh leluhur kita ini. Kita sudah letih “jalan di tempat” dan tak pernah maju-maju dari jebakan ritual. Ritual memang perlu, tetapi bukan berhenti di sana. Ribuan babi disembelih orang Bali pada saat Penampahan Galungan, ribuan penjor berdiri di pinggir jalan, ratusan pura dikunjungi dan dihaturkan sesajen saat Galungan, tetapi apakah dharma sudah menang, apakah sifat-sifat adharma sudah berkurang? Lihat di sekeliling kita, umat Hindu bertengkar soal kuburan, alam Bali diperkosa dari pantai sampai gunung, berbeda partai saling bacok. Lalu apa arti merayakan Galungan kalau adharma tak pernah berkurang? Galungan memang tak ada dalam kitab suci Weda. Namun, merayakan kemenangan dharma melawan adharma, yang pada hakekatnya adalah 105
ajaran untuk selalu berbuat yang “benar”, menghiasai banyak sloka-sloka suci Weda. Karena Hindu menyebar di dunia dengan memberi keleluasaan untuk menyerap budaya lokal, maka “perayaan dharma” ini berbeda bentuknya. Perayaan itu pun kemudian dicarikan simbol-simbol lokal untuk lebih membumi, sehingga masyarakat yang awam mudah untuk menghayatinya. Di India kemenangan dharma itu dirayakan dua kali setahun. Di bulan April (Waisaka) dirayakan dengan sebutan Wijaya Dasami. Simbol yang diambil adalah kemenangan Dewi Parwati mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura. Hari raya ini juga disebut Durga Nawa Ratri. Kemudian di bulan Oktober (Kartika) simbol yang diambil adalah kisah kemenangan Rama atas Rahwana. Perayaan ini disebut Rama Nawa Ratri. Inti dari kedua perayaan itu sama, bersyukur dan bersukaria atas kalahnya adharma, dan dirayakan sepuluh hari. Barangkali untuk “menyesuaikan” dengan India di mana agama Hindu lahir, leluhur kita di Bali juga 106
merayakan kemenangan dharma dua kali setahun, meski tak persis dengan tahun Masehi, karena perhitungan yang dipakai adalah wariga, bukan sasih. Dan perayaan yang disebut Galungan ini dijatuhkan pada Rabu Kliwon Dungulan, lalu ditutup dengan Hari Raya Kuningan, yang juga berjarak 10 hari. Umat Hindu di Jawa sebaiknya juga merayakan Galungan. Dalam Kidung Panji Amalat Rasmi dan Kidung Pararaton, disebutkan pernah ada perayaan kemenangan dharma di zaman Majapahit pada wuku Dungulan. Seperti diketahui, wariga yang ada di Bali sumbernya adalah di Jawa, nama wuku maupun pasaran semuanya sama. Masalahnya mungkin – ini perlu dikaji—leluhur kita di Bali mengkaitkan perayaan Galungan itu dengan mitos Mayadenawa. Sampai saat ini, masyarakat Bali terjebak pada mitos itu. Padahal tak ada prasasti apapun tentang Mayadenawa yang dikaitkan dengan Galungan, kecuali karya sastra yang sifatnya fiksi. Yang ada adalah prasasti yang menyebutkan, orang Bali “lama sekali” tak merayakan Galungan, dan perayaan itu baru dibuat rutin 107
kembali sejak tahun 1126 ketika Bali diperintah Sri Jayakusunu. Dikaitkannya Galungan dengan legenda Mayadenawa membuat Galungan menjadi “Bali sentris” dan barangkali ini membuat umat Hindu non-Bali kurang sreg merayakan kemenangan dharma pada saat Galungan ini. Ke depan kita harus lebih banyak lagi menelaah ajaran Hindu berdasarkan sastra dan tatwa. Bagi umat Hindu non-Bali, kalau memang tak sreg merayakan kemenangan dharma bersama-sama orang Bali, silakan membuat perayaan sendiri pada hari yang berbeda. Seperti halnya di India, ini menunjukkan Hindu begitu universal, ibarat taman dengan beragam bunga yang indah. Adapun bagi umat Hindu di Bali, mari kita rayakan Galungan dengan mencari inti filsafahnya, membunuh sifatsifat adharma untuk kemenangan dharma, dan mensyukuri kemenangan itu. Suksesnya perayaan Galungan seharusnya bisa dilihat dari masyarakat yang lebih tentram dan damai, bukan banyaknya orang mabuk di balai banjar yang disulap jadi bar. Tak ada gunanya penjor dan 108
sesajen di hari Galungan kalau keributan yang terjadi, karena itu berarti adharma yang tetap menang. Seharusnya kita hanya mengucapkan Selamat Hari Raya Galungan untuk orang yang benar-benar bisa mengalahkan adharma untuk kemenangan dharma. (Tulisan ini, dalam bentuk terpisah-pisah, pernah dimuat Harian Radar Bali dan Majalah Majemuk Jakarta)
109
Bagaimana Merayakan Hari Kuningan
M
erayakan Kuningan bagi umat Hindu di Bali lebih banyak ditujukan kepada leluhur. Karena itu yang dominan di sini adalah tumpeng. Bahwa tumpeng itu warnanya kuning, tidak jelas sumber sastranya. Mungkin juga leluhur kita di masa lalu tak begitu jelimet harus mengacu kepada sastra agama, tetapi lebih pada kebiasaan masyarakat setempat bahwa tumpeng kuning itu enak dipandang dan enak dimakan. Kebiasaan membuat tumpeng kuning sudah ada sejak lama sebelum Hindu masuk di Indonesia. Namun, Hari Raya Kuningan tidak spesifik diatur dalam Kitab Weda. Sebagaimana halnya hari 110
raya lain, semuanya mengacu kepada tradisi lokal, hanya jiwanya saja ada dalam ajaran agama. Misalnya, umat Hindu dianjurkan untuk merayakan hari kemenangan dharma setelah simbo-simbol adharma ditumbangkan. Umat Hindu di India memakai mitologi kemenangan Rama atas Rahwana, umat Hindu di Bali memakai mitologi Mayadanawa. Jadi, nama hari raya bisa beda dan kapan dirayakan serta bagaimana cara merayakannya juga berbeda-beda. Tapi, ada aturannya yang bersifat lokal. Sayangnya, aturan merayakan Kuningan hanya sedikit dan itu dimuat dalam lontar Sundarigama. Disebutkan di situ, hendaknya umat menghaturkan sesaji pada pagi hari dan jangan menghaturkan sesaji setelah lewat tengah hari. Kenapa begitu? Karena yang dihaturkan sesaji berupa tumpeng berwarna kuning itu adalah Dewa Pitara alias leluhur kita sendiri. Para leluhur ini akan “kembali ke sorga” pada tengah hari. Umat Hindu menyembah (dalam hal ini lebih baik digunakan istilah memuliakan) leluhur dan menyembah Hyang Widhi. Dalam ajaran Hindu 111
juga disebutkan roh para leluhur menyatu dalam sinar suci Hyang Widhi, bukan “berada di sisiNya” sebagaimana keyakinan umat beragama lain. Karena itu, kalau pada pagi hari kita tidak sempat menyembah leluhur, bersembahyanglah sore atau malam hari ke hadapan Hyang Widhi, toh para leluhur kita sudah “menyatu dalam sinar suci” Hyang Widhi. Hanya, tentu saja sarana persembahyangan kepada Hyang Widhi berbeda bentuknya dengan sarana persembahyangan kepada leluhur. Beberapa pura besar melangsungkan piodalan pada saat Hari Raya Kuningan, seperti Pura Sakenan di Pulau Serangan, Pura Pekendungan di Tabanan, dan banyak lagi pura kawitan. Tradisi merayakan Kuningan juga disertai dengan adanya simbol “tamiang”. Ini adalah alat untuk menangkis serangan musuh, semacam perisai untuk membentengi diri. Siapa yang dibentengi? Bisa leluhur yang sedang menikmati “suguhan tumpeng” sehingga dalam perjalanannya selamat kembali ke sorga (mur mwah maring swarga), bisa pula simbol untuk diri kita sendiri agar selalu bisa selamat dari serangan musuh. Kita baru saja mengalahkan ad112
harma dan merayakan kemenangan dharma pada Hari Raya Galungan. Sepuluh hari larut dalam kemenangan dharma dengan melakulan silakrama (silaturahmi) dan tirtayatra (menghaturkan bhakti ke pura-pura), maka kini saatnya kita membentengi diri kita dari musuh-musuh yang baru. “Tamiang” harus selalu berada dalam kehidupan kita seharihari. Sekarang, bagaimana kita menerjemahkan penghormatan kepada leluhur itu serta membentengi diri dari musuh-musuh yang baru? Menghormati leluhur adalah mewarisi dan menjaga peninggalan beliau. Peninggalan itu banyak sekali, dari harta benda yang diwariskan kepada keturunannya langsung maupun peninggalan berupa pura, kitab sastra, dan sebagainya. Warisan ini yang seringkali luput dijaga oleh umat Hindu di Bali, sehingga banyak sekali tanah-tanah di Bali berpindah tangan ke orang luar Bali. Di sinilah lemahnya orang Bali yang tidak bisa membentengi dirinya dengan “tamiang”, sehingga mudah sekali diserang. Serangan yang paling berbahaya adalah serangan berupa konsu merisme, mengejar materi untuk kenikmatan duni113
awi yang sifatnya terbatas. Mereka hanya mengejar kesenangan sesaat. Beli sepeda motor atau mobil dengan menjual warisan orangtua, misalnya. Atau menjual warisan dengan alasan untuk biaya ngaben leluhurnya, padahal biaya itu tidak begitu besar. Menjaga warisan kolektif juga sangat kendor di Bali. Lingkungan Pura Sakenan sudah rusak parah sejak menyatunya Pulau Serangan dengan Pulau Bali. Aura magis sudah berbeda dengan masa lalu, ketika umat Hindu harus menyeberang laut menuju pura peninggalan Danghyang Nirartha ini. Kegiatan yang jauh dari religius sudah menjamah kawasan ini, misalnya, musik hingar-bingar yang dipentaskan secara marathon. Kasus Pura Sakenan hanya satu contoh dari begitu banyak kasus-kasus yang mulai menurunkan tingkat kesucian tanah Bali. Kesucian Bali yang diwariskan leluhur kita dari pendahulunya, sudah rusak di tangan generasi Bali saat ini. Kita tak kuasa membentenginya lagi, kita sudah tak punya “tamiang” yang bagus untuk itu. Barangkali itu sebabnya daya pertahanan Bali jadi lemah, bom 114
mudah meledak di Kuta dan Jimbaran. Dulu, teroris yang berniat menghancurkan Bali, bomnya meledak di perjalanan menuju Bali. Seperti ada kekuatan magis yang menangkisnya karena Bali masih suci. Pada hari Tumpek Kuningan ini, marilah kita membentengi diri lebih kuat lagi, dan mem bentengi Bali dengan “tamiang niskala” yang tangguh dan suci. (Tulisan ini pernah dimuat di Bali Post)
115
Mensosialisasikan Bhisama Kawitan untuk Kaum Muda
(Om awignam astu. Nunas lugra ring Ida Bethara Kawitan seantukan titiyang purun ngojah Ida Bethara, dumadak-dumanik titiyang tak keni sodsod upradrawa, nunas pangampura banget tur nunas panugrahan Ida Bethara mangde sami damuh Ida Bethara manggihin kerahajengan. Om, namo namah swaha).
S
esungguhnya kita tak tahu pasti, karena tak ada catatan sejarah yang otentik, kapan para leluhur kita menginjakkan kakinya di Bali. Leluhur yang dimaksud adalah para Pandita Mpu yang berjasa dalam membangun Bali, baik menata masalah sosial kemasyarakatan, maupun meletakkan dasar-dasar ritual keagamaan di Bali. Leluhur itu dikenal dengan sebutan Catur Sanak, karena memang terdiri dari empat bersaudara. 116
Mereka adalah putra dari Mpu Lampita, yakni Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana dan Mpu Kuturan. Satu lagi putra dari Mpu Lampita, yaitu Mpu Bradah, namun beliau tak ikut ke Bali. Kelima putra Mpu Lampita ini disebut juga Sang Panca Tirtha. Seperti diketahui, Mpu Lampita adalah putra dari Mpu Wiradharma, sedangkan Mpu Wiradharma putra dari Mpu Withadarma. Akan halnya Mpu Withadarma adalah putra Hyang Gnijaya yang sudah jauh sebelumnya datang ke Bali dan membangun tempat yoga samadi di puncak Gunung Lempuyang yang kini dikenal dengan Pura Lempuyang Luhur. “Empat Sekawan” Sang Catur Sanak menjadi penting bagi orang Bali, bukan saja karena mereka meletakkan dasar-dasar adat, budaya dan agama, tetapi juga membangun dasar parahyangan yang kini kita jadikan sungsungan bersama. Kedatangan mereka di Bali juga tak sekedar mengikuti jejak leluhur beliau yang sudah mondar-mandir ke Bali dari Jawa (Timur), namun keempat Mpu ini sebenarnya juga diundang oleh raja Bali saat itu, Udayana Warmadewa. Jadi, kalau memakai bahasa 117
saat ini, tugas beliau adalah mengemban “dharma negara” dan “dharma agama”. Meski catatan otentik tak ditemukan, dalam buku Babad Pasek karya sesepuh kita yang sudah tiada, Jero Mangku Soebandi, disebutkan Mpu Semeru datang pertamakali pada tahun Caka 921 atau 999 Masehi. Beliau menetap di Besakih dan kini parhyangan itu dikenal dengan Pura Catur Lawa Ratu Pasek, Pedharman Warga Pasek Sanak Sapta Rsi. Menyusul datang Mpu Ghana pada tahun Caka 923 atau 1001 Masehi dan menetap di Gelgel. Parhyangan beliau kini dikenal dengan Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Lalu datang Mpu Kuturan pada tahun yang sama (1001 Masehi) dan menetap di Padang yang kini parhyangan beliau dikenal dengan Pura Silayukti. Dan terakhir datang Mpu Gnijaya pada tahun Caka 971 atau 1049 Masehi dan beliau menetap di Bukit Bisbis dan parhyangan itu kini dikenal dengan Pura Lempuyang Madya. Jadi sebenarnya, 118
kalau kita mengacu kepada temuan Guru Soebandi ini, belum tepat benar kita memperingati seribu tahun kedatangan Mpu Gnijaya.Tapi apalah artinya waktu, yang penting ini sudah kejadian yang sangat lama dan perlu kita kenang kembali, dan dikenang seterusnya. Relevansi Bhisama Kawitan Saat ini Apa yang dikenang dari keempat Mpu itu? Semua parhyangan beliau kini sudah dalam bentuk pura dan dijadikan pura kawitan oleh semeton Warga Pasek. Dalam Bhisama Kawitan jelas-jelas disebutkan, mereka yang lalai dengan Catur Parhyangan warisan Mpu Catur Sanak itu, tak akan menemukan kehidupan yang baik. Baca penggalan Bhisama Kawitan ini: Kamung Pasek, Gelgel, Bandesa, Tangkas, Kubayan, Salahin, Tohjiya, Gaduh, Dangka, Pasek makabehan, maka Santana nira Sang Sapta Pandhita utawi Sang Sapta Rsi anakanak Mpu Gnijaya ring giri Lempuyang Madhya, haywa ta kita lupa ring kahyangan nira Bhatara, mekadi ring Lempuyang Madhya, ring Bhasukih, ring Gelgel Dalem Dasar, ring Silayukti.Yan kita lupa ring kahyangan nira 119
Bhatara Kawitan tan abhakti sanisthanya dasa temuan sapisan, wastu kita tan anut ring apasanakan, setata anemu rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan. Jadi, kalau kita lupa kahyangan Bethara Kawitan sampai sepuluh kali odalan, kehidupan kita tak tenteram.Tidak pernah cocok (anut) di pesemetonan, selalu menemui kebingungan, bertengkar sesama semeton, banyak kerja kurang makan – artinya rejeki tak bagus. Bagaimana kita menghayati atau membaca Bhisama Kawitan ini jika dihadapkan kepada generani muda Pasek? Kita tak perlu lagi menekankan kata “wastu” yang artinya kira-kira “semoga” atau “dumadak” (bhs Bali). Penekanan seperti ini bisa menimbulkan salah persepsi bahwa Bethara Kawitan itu ternyata sangat pemarah, dendam, main kutuk, bukan bersifat welas asih sebagai mana Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah. Bhisama ini kita kembalikan kepada sastra Hindu yakni Weda, dan betapa luas pengetahuan leluhur kita di masa lalu dengan ajaran Hindu – meski kita tak tahu dengan 120
cara apa leluhur kira mempelajari Weda. Ajaran Hindu mengenal pemujaan kepada leluhur, selain kepada Tuhan dalam hal ini Brahman. Leluhur yang dipuja menyatu dalam sinar Tuhan – bukan berada di sisi-Nya seperti kepercayaan Muslim – namun leluhur yang sudah menjadi Pitara, Hyang Pitara, Ida Bethara tetap saja bisa kita pisahkan dengan Tuhan itu sendiri. Karena itu hendaknya selalu ditekankan kepada anak-anak muda, memuja leluhur (kawitan) beda dengan memuja Tuhan, namun bisa dilakukan dalam ritual berurutan. Itu yang membuat orang akan datang ke pura-pura kawitan. Jika kita hanya menyebutkan, “mari bersem bahyang ke Lempuyang Madya”, anak-anak muda akan bertanya: sembahyang di rumah juga bisa,Tuhan ada di mana-mana, untuk apa jauh naik gunung segala? Tetapi jika kita sebutkan, mari kita memuja Bethara Gnijaya ditempat beliau dulu melaksanakan yoga semadi. Orang mungkin akan tertarik, apalagi kalau kita jelaskan kembali bagaimana kisah leluhur itu di masa lalu dan vibrasi seperti apa yang 121
didapatkan di Lempuyang Madya. Jangan melupakan kahyangan kawitan selama sepuluh odalan – artinya antara enam sampai sepuluh tahun tergantung tegak odalan, apakah memakai hitungan sasih atau wariga— sebenarnya sesuai dengan konsep keagungan tirthayatra. Umat Hindu wajib melaksanakan tirthayatra disesuaikan dengan kemampuan yang ada. Kini banyak orang melakukan tirthayatra dengan agak ngawur, melukat ke pura-pura yang dianggap keramat, padahal sekali pun tak pernah ke Lempuyang Madya, Silayukti dan sebagainya. Kalau mengunjungi pura saja sampai lupa bertahun-tahun, bagaimana bisa mengenal para semeton, lalu semeton saja tak dikenal bagaimana bisa rukun dan guyub? Salah satu fungsi pura adalah sosialisasi, interaksi antara pemedek, dan akhirnya banyak teman. Banyak teman bisa saja mendatangkan banyak rejeki, bagaimana melakukan bisnis kalau tak punya teman? Inilah cara-cara kita membaca bhisama dalam kehidupan yang sangat modern ini, sehingga 122
bhisama tidak semata-mata menjadi catatan yang usang dan ketinggalan jaman. Apalagi jika isi bhisama itu mengenai hal yang paling mendasar, tentang hak-hak kita yang lahir sebagai pewaris leluhur yang maha mulia. Saya kutip isi bhisama dari Ida Bethara Mpu Gnijaya: Kamung Pasek mwang Bandesa, kita padha wenang Mbhujanggain, apan kita witning Brahmana jati, treh Arya Tatar, mwah rikalaning kapejahanta wenang winungkusan rwaning Gedang Kaikik, mangkan kita prasanakku haywa lupa ring piteketku, maka cihna kita parati santananku. Apan ring kuna duk kita wawu metu ginelar rwaning gedang Kaikik, mangkana kauttamaning Wangsanta, haywa lupa, haywa lali ring kawangsanta, wenang kita hanyisyani, apan kita treh aku, MpuWithadharma. Jelas di sini disebutkan, “Kalian Pasek dan Bandesa, kalian sama-sama berhak menjadi Pandhita, sebab kalian adalah keturunan Brahmana sejati, turunan Arya Tatar….” Kalau sampai sekarang masih ada yang menyebutkan orang Pasek tak berhak menjadi Pandhita, apalagi disebutkan orang 123
Pasek bukan keturunan Brahmana, itu pasti orang yang tak kenal leluhurnya sama sekali. Bagaimana bisa menjadi Hindu yang baik kalau leluhur saja tak diketahui? Begitu pula kalau orang Pasek ngaben dipuput Sulinggih non-Pasek, jangan mau dikibuli bahwa jenasah orang Pasek tak boleh beralaskan biu Kaikik. Bhisama jelas mengatakan begitu, bahkan dalam Bhisama MpuWithadharma hal ini dikatakan lebih lengkap lagi. Dalam pergaulan modern, Bhisama Mpu Ketek harus disosialisasikan lebih luas kepada generasi muda warga Pasek. Begini petikan bhisamanya: Putungku Ki Pasek makabehan, yan hana wang angangken asanak ring Ki Pasek mwang Bandesa, haywa ta kita tan paryangken asanak ri sira, anghing pratyaksa rumuhun, yan wus anut ring katattwanta, kadi linging pujara kanda, munggwing prasasti kang piyagem, mwang wehana pramodo pajanji, saha upasaksi, yanya tan anut, dudu ya asanak ri kita.Yan wus manut ring panjanji ubaya upasaksi, ya tuhu asanak ri kita Pasek sedaya, wenang kita aweha ring apasanakan, haywa kita sandeha. 124
Bhisama ini menegaskan, kita sebagai warga Pasek dan Bandesa, harus mau mengakui dengan tulus setiap orang yang mengaku dirinya Pasek dan Bandesa. Jadikan mereka semeton. Tapi hati-hati, cek dulu kebenarannya, tentu dalam hal ini tingkah laku dan kesehariannya. Kalau dia mengaku Pasek tetapi tak mengakui keberadaan Pandita Mpu, malah Pandita Mpu disepelekan pandita lain diutamakan, ya, mikir dululah. Kalau dipikir-pikir Pandita Mpu kita di masa lalu sudah bisa melihat kejadian masa sekarang. Ida Mpu Ketek saja sudah memberi peringatan ratusan tahun yang lalu agar kita waspada, namun tak boleh curiga. Semua bhisama, tak satupun mengajurkan kita untuk pecah berantakan, ini inti yang harus terus didengungkan. Semoga semangat yang sudah diwariskan seribu tahun ini tetap bergema di hati setiap semeton pasek. (Tulisan ini dipresentasikan pada Seminar 1000 125
Tahun kedatangan Mpu Gni Jaya di Bali, yang diselenggarakan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi Kabupaten Karangasem di Amlapura)
126
I
da Pandita Mpu Jaya Prema Ananda melaksanakan diksa dwijati pada 21 Agustus 2009, dengan Guru Nabe, Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda dari Griya Nataran, Kayumas Kelod, Denpasar. Semasa walaka bernama Putu Setia, lebih dari 30 tahun tinggal di luar Bali (Yogyakarta dan Jakarta), namun aktif dalam berbagai organisasi umat Hindu. Juga banyak menulis buku-buku agama, budaya, selain buku tentang jurnalistik dan sosial politik. Kini menetap di Bali, lebih banyak di Pasraman namun sesekali berada di Denpasar. Kontak selengkapnya: Pasraman Dharmasastra Manikgeni Banjar Taman Sari, Desa Pujungan Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan 82163 Telepon (0362) 71116 Griya Alit Manikgeni Jalan Pulau Belitung Gg. II/3 - Desa Pedungan Denpasar 80222. Telepon (0361) 723765 Email:
[email protected] Web: http//www.mpuprema.blogspot.com Facebook: Mpu Jaya Prema Ananda HP: (Karena sifatnya pribadi, bisa di-klik pada web atau Facebook, atau tanya ke Griya/Pasraman)
127