DUNIA PEWAYANGAN DAN KEKUASAAN ORDE BARU Suatu gejala yang patut untuk diamati dalam masyarakat Jawa - yang punya pengaruh yang kuat dalam masyarakat Indonesia pada umumny a - adalah masih lestarinya budaya "wayang purwo/kulit" biarpun berbagai unsur budaya telah mempengaruhi bangsa Jawa/Indonesia termasuk unsur2 budaya Islam, dan budaya Barat. Bukti yang nyata dari masih besarnya pengaruh budaya "wayang purwo/kulit" ini dengan adanya siaran seminggu sekali di salah satu stasiun TV swasta (yang mendapat sambutan yang sangat positif dari penggemar budaya "wayang purwo/kulit" pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya). Mengingat bahwa budaya "wayang purwo/kulit" merupakan budaya tua yang masih bertahan sampai dengan saat ini yang meminjam istilahnya Alvin Toffler berarti tetap bertahan pada masa gelombang pertama, gelombang kedua, sampai dengan gelombang ketiga yang merupakan abad informasi dengan komunikasi (termasuk Internet) sebagai tulang punggung pendukung utamanya. Bertahannya budaya "wayang purwo" menjadi menarik mengingat bahwa: 1. "Wayang purwo/kulit" berbasis cerita Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari budaya Hindu dari India. 2. Masyarakat Jawa mayoritas beragama Islam. 3. Cerita dalam "wayang purwo" berbasiskan cerita tentang kerajaan yang raja dan ksatria sebagai focus utamanya yang berarti semangat dalam ceritanya adalah tata budaya feodal. 4. Masyarakat Jawa terpelajar umumnya berbasis pendidikan Barat yang mau tidak mau terpengaruh budaya Barat (mungkin juga terpengaruh sistim pemerintahan dinegara Barat-terutama Amerika Serikat). Jelas bagi masyarakat diluar Indonesia akan terkejut melihat segala kontradiksi yang mungkin timbul dalam kompleksitas masyarakat Jawa / Indonesia. Oleh karena itu masyarakat diluar Indonesia tidak mungkin bisa menyelami sepenuhnya manusia Jawa /Indonesia tanpa mempelajari lebih jauh pengaruh budaya masa lalu termasuk yang sangat besar pengaruhnya seperti "wayang purwo" (Dalam hal ini penulis sangat kagum kepada Prof. Danys Lombard yang dalam bukunya "Nusa Jawa - Silang Budaya" menyadari betul pengaruh "wayang purwo/kulit" juga tulisan klasik Jawa lainnya seperti Babad Tanah Jawi, Serat Centini, dll. dalam kehidupan masyarakat Jawa sampai dengan saat ini). Kajian subyektif (opini) kenapa "wayang purwo"masih bisa bertahan sampai dengan saat ini. Dimasa yang lalu "wayang purwo/kulit" dipergunakan oleh masyarakat Jawa untuk keperluan "ritual" seperti upacara ruwatan (ruwatan adalah upacara yang diadakan untuk menolak bala - sial - yang dikarenakan secara alami seseorang dilahirkan dengan kondisi membawa kearah malapetaka - atau yang dipercaya akan membawa malapetaka - umpamanya: anak tunggal, anak kembar, anak lelaki yang diapit oleh dua anak perempuan dsb.). Upacara lainnya yaitu untuk keperluan keselamatan desa yang setiap bulan Suro (awal bulan tahun Jawa atau bulan Muharam dalam tahun Islam) setahun sekali diadakan upacara pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan cerita "Baratayuda"agar dalam tahun berjalan desa akan diberi panen yang banyak dan keselamatan seluruh warganya (cerita "Baratayuda", yaitu kisah peperangan antara Kurawa dan Pandawa yang sesama darah Bharata untuk memperebutkan kerajaan Hastina, dianggap cerita yang sakral yang tidak setiap dalang bisa melaksanakan dan tidak setiap saat bisa dipentaskan). Jelas bahwa wayang tidak lepas dari keseharian kehidupan manusia Jawa dimasa lalu (yang juga masih hidup di pedesaan masa kini) dalam ritus kehidupan sehari-hari. Dipercaya bahwa budaya wayang sudah ada bahkan sebelum pengaruh agama Hindu datang dengan bukti adanya unsur panakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) yang tidak ada dalam cerita asli baik Ramayana ataupun Mahabharata. Walaupun basis cerita wayang adalah Ramayana dan Mahabharata tetapi dalam kenyataannya cerita yang dibawakan sudah bercampur / dirubah dengan cerita yang diperhalus dan disesuaikan dengan budaya Jawa, sebagai contoh :
1. Dewi Drupadi dalam cerita Mahabharata yang asli bersuami lima yaitu semua Pendawa Lima (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa) dalam pewayangan diceritakan adalah hanya istri Puntodewo/Yudistira. 2. Gatutkaca adalah anak Bima yang raksasa di Mahabharata dan hanya muncul pada saat perang Baratayuda, dijadikan idola pahlawan yang gagah perkasa dalam pewayangan dengan berbagai cerita kesaktiannya dengan ajian2 seperti Brajamusti yang sampai saat in masih bisa dipelajari gikalangan masyarakat Jawa. 3. Dalam Mahabharata tidak diceritakan bahwa masing2 Pandawa Lima diberi daerah kekuasaan, didalam pewayangan diceritakan bahwa Arjuna punya teritori namanya Madukara, Bima dari Jodipati, Gatutkaca dari Pringgodani dsb. Dari indikasi diatas jelas bahwa cerita Ramayana dan terutama Mahabarata telah diberikan kandungan lokal sedemikan rupa sehingga mengalami internalisasi dan sangat dekat dengan masyarakat Jawa, termasuk memasukkan unsur panakawan didalamnya. Bahkan dibeberapa tempat di Jawa diberi nama tempat yang mengesankan se-olah-olah kejadian cerita Mahabharata itu memang betul2 terjadi ditanah Jawa (sebagai contoh didaerah yang sekarang dijadikan waduk Sempor, Gombong, Jawa Tengah, nama asli desa tersebut adalah Cicingguling yang oleh penduduk setempat dipercaya sebagai tempat dimana Bima berperang melawan Duryudana dengan menghantamkan gadanya dibagian pahanya sehingga Duryudana terpaksa menyisingkan kainnya/celananya - bahasa jawanya menyisingkan adalah cicing - dan berguling- guling karena kesakitan, oleh karena itu desa tersebut diberi nama Cicingguling). Ketika agama Islam datang ke Indonesia, bahkan oleh salah satu wali songo (sembilan wali) - Sunan Kalijaga - wayang dijadikan alat untuk penyebaran agama Islam yang memasukkan unsur Islam dalam kandungan cerita Mahabharata, sebagai contoh: Puntodewa/Yudistira sebagai raja di Amartapura mempunyai jimat/pusaka yang bernama "Jamus Kalimasada" yang merupakan pegangan/lambang keunggulan sebagai raja diterjemahkan sebagai "Kalimat Sahadat" yang melambangkan keunggulan Islam sebagai pegangan hidup dengan pengakuan "tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai utusanNya". Konon diceritakan Puntadewa belum bisa meninggal sebelum ada yang bisa menjabarkan jimat "Kalimasada" yang kemudian dalam pertapaannya bertemu dengan Sunan Kalijaga di hutan Ketangga yang menjabarkan "Kalimasada"sebagai "Kalimat Sahadat"dan yang meng-Islamkan Puntodewa/Yudistira yang kemudian bisa menemui ajalnya dalam Islam (apabila dipikirkan secara "rational"tentu saja tidak masuk akal karena Puntadewa bagaimanapun adalah produk dari budaya Hindu tentu saja ini adalah kepandaian dari wali songo untuk meng-Islamkan masyarakat yang pada saat itu masih mayoritas Hindu). Dalam hal seberapa besar Islam betul-betul secara effektif mempunyai pengaruh yang besar dalam "wayang purwo / kulit" masyarakat Islam masih banyak meragukan, oleh karena itu ada sebahagian masyarakat Islam bahkan mengharamkan "wayang purwo/kulit" yang jelas nafas Hindunya atau Jawanya lebih menonjol dibandingkan dengan nafas Islamnya, lepas dari kenyataan bahwa "wayang purwo/kulit" masih tetap digemari masyarakat Jawa yang Islam maupun yang bukan Islam. "Wayang Purwo/Kulit" seperti juga namanya sebagai "wayang" yang juga bisa berati "bayangan"ataupun"simbol" , bisa saja sebagai sekedar tontonan buat masyarakat awam, bisa juga memang sangat sarat dengan "simbol-simbol" yang secara luas bisa diterjemahkan menurut selera ataupun peresapan dari masing2 pengamat maupun penggemar "wayang purwo/kulit". Peresapan dan penangkapan arti "simbol-simbol" dalam cerita "wayang purwo/kulit" begitu luas jangkauannya sehingga bisa dijadikan suatu sumber yang tak terbatas dalam interpretasinya sebagai suatu refleksi kehidupan seseorang sebagai individu, bermasyarakat, bernegara, bahkan juga hubungan dengan Tuhannya tanpa batasan agama besar yang ada (Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha). Peresapan dan penangkapan "simbol-simbol" dalam "wayang purwo/kulit" hanya dimungkinkan kalau seseorang betul betul memahami dan meresapi cerita-cerita dan tokoh-tokoh dalam dunia "pewayangan". Beberapa contoh "wayang" sebagai refleksi atau simbol2 dari tokoh ataupun ceritanya : 1. Dalam salah satu artikel diharian Kompas beberapa tahun yang lalu (penulis lupa siapa yang menulis)
dikatakan bahwa Parikesit(Parikesit adalah cucu Arjuna yang akhirnya menjadi raja di Hastinapura) adalah simbol dari "penyangkalan /perlawanan manusia terhadap kematian"kenapa dikatakan begitu : Diceritakan bahwa Parikesit sedang berburu ditengah hutan dan tersesat dari pengiringnya. Kemudian dia bertemu dengan seorang brahmana yang sedang bertapa bisu. Dia menanyakan arah keluar dari hutan tersebut yang didiamkan saja oleh brahmana tersebut maklum dia baru bertapa bisu. Parikesit timbul marahnya karena sebagai raja yang sangat dihormati, pertanyaannya tidak dihiraukan oleh seorang brahmana. Kebetulan didekat situ ada bangkai ular, dengan kemarahan yang sangat Parikesit mengalungkan bangkai ular tersebut kepada brahmana tersebut. Karena merasa diperlakukan diluar kewajaran akhirnya brahmana tersebut menyatakan kekecewaannya terhadap sikap raja yang sangat angkuh tersebut dan mengutuk bahwa dalam waktu empat puluh hari ini Parikesit akan mati digigit naga Tatsaka (kalau tidak salah nama). Nasi telah menjadi bubur biarpun Parikesit meminta maaf, kutukan sudah diucapkan. Sepulangnya kekerajaan dia memerintahkan membuat pangggung yang tinggi sehingga dia bisa bersiap-siap apabila naga Tatsaka datang dia bisa melihat dan melakukan perlawanan-dan dia sangat yakin akan kesaktiannya. Sampai dengan menjelang hari terakhir tidak kelihatan tanda-tanda ada naga yang datang, dan Parikesit menyimpulkan bahwa kutukan brahmana tersebut mungkin tidak akan berlaku. Sampai pada saat2 terakhir pada hari yang keempatpuluh tersebut datang seorang pendeta yang membawa persembahan berupa buah jambu, Parikesit memerintahkan untuk menerima perembahan tersebut. Ketika raja menerima buah jambu tersebut,jambu tersebut ada ulatnya, tiba-tiba Parikesit tertawa terbahak - bahak: "Hoi, rupanya ini yang disebu naga Tatsaka, yang tak lebih hanya seekor ulat" dan kemudian berubahlah sang ulat menjadi naga Tatsaka yang menggigit sang Parikesit dan wafatlah sang raja. Kenapa dikatakan bahwa Parikesit simbol dari "penyangkalan/perlawanan manusia terhadap kematian ?" Parikesit tidak mau menerima begitu saja kematian yang dipastikan untuknya dengan membuat panggung dan pertahanan diri, begitulah simbol dari manusia pada umumnya bahwa manusia tidak akan menyerah begitu saja dengan takdir kematiannya. 2. Dalam cerita "Sumantri ngenger" (Sumantri mengabdi pada raja) bahwa Sumantri adalah simbol "pencaharian manusia akan Tuhannya". Diceritakan bahwa Sumantri adalah anak seorang pertapa yang dianjurkan oleh orang tuanya untuk mengabdi kepada raja Arjuna Sasra Bahu yang konon adalah titisan Wisnu (Wisnu adalah Tuhan di agama Hindu). Pada saat mulai mengabdi kepada raja, Sumantri diberikan pekerjaan untuk memerangi musuh kerajaan, dengan kesaktiannya segala musuh bisa dimusnahkan dan kembali ke kerajaan dengan membawa kemenangan. Pada saat dia kembali dengan kemenangan Sumantri berpikir, kenapa tidak raja Arjuna Sasra Bahu sendiri yang berperang, timbul keraguannya terhadap kemampuan dan kesaktiannya rajanya dan timbul kesombongan dalam dirinya dengan keberhasilanya. Oleh karena itu dia tidak mau menghadap raja, dan meminta raja untuk menjemputnya dan menantang raja untuk mencoba kesaktiannya. Arjuna Sasra Bahu sebagai titisan Wisnu tahu apa yang terjadi dan mendatangi Sumantri dalam wujud Wisnu yang sebenarnya yang dilambangkan sebagai Raksasa yang luar biasa besarnya (Tiwikrama) yang akhirnya Sumantri tidak berdaya menghadapinya. Sumantri adalah lambang kesombongan manusia dalam keberhasilannya tapi juga lambang pencarian/penemuannya kepada Tuhannya bahwa apapun yang diperbuat manusia dimuka bumi tidak akan bisa terjadi tanpa kehendakNya. Jelas dalam dua contoh diatas bahwa "wayang purwo /kulit" sebagai simbol menyelam jauh dalam inti permasalahan manusia yang sangat universal dan hidup dari waktu kewaktu yaitu : a. Masalah etika dalam pergulatan manusia mencari nilai antara baik dan buruk. b. Masalah hubungan manusia dengan alam dan penciptaNya. c. Masalah hubungan manusia dengan kekuasaan yang sifatnya fana maupun Yang Mutlak. Dan alasan diatas itu kenapa "wayang purwo/kulit" masih bisa bertahan sampai dengan saat ini, dikarenakan kandungan simbolik yang tidak akan pernah kering untuk suatu interpretasi yang hampir tak terbatas dalam kebutuhan manusia melakukan refleksi dengan dirinya sendiri, dengan alam
sekitarnya, dengan masyarakatnya,dengan negaranya, dengan penciptaNya. Penulis merasa perlu untuk memberikan gambaran umum tentang "wayang purwo/kulit" diatas sebelum memasuki bahasan utama hubungan antara dunia pewayangan dengan kekuasaan orde baru agar pembaca yang tidak punya latar belakang budaya Jawa mempunyai sedikit gambaran untuk bisa mengikuti logika analisa hubungannya dengan situasi kekuasaan saat ini yang tidak bisa lepas dari produk budaya Jawa masa lalu. Dunia Pewayangan dan Kekuasan Order Baru - suatu refleksi. Dunia pewayangan tidak akan pernah bisa lepas dengan dunia kekuasaan dan kenegaraan karena pada saat yang paling awal "sang dalang" selalu mulai dengan suatu utopi tentang masyarakat / negara ideal yaitu situasi masyarakat/negara yang "panjang punjung pasir wukir loh jinawi tata tentrem gemah ripah karta raharja ". Panjang berarti termasyhur, punjung - tinggi kewibawaannya, pasir - luas jangkauannnya, wukir-teguh dan kuat,loh-subur, jinawi murah sandang pangan, tata - tertib, tentrem tenteram, gemah -perdagangan maju, ripah- erba tersedia, karta-aman, raharja - makmur. Yang pada hakekatnya saat ini diterjemahkan sebagai visi bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur. Dunia pewayangan juga tidak bisa lepas dari dunia kepemimpinan yang ideal, yaitu syarat yang berat untuk seseorang menjadi seorang raja/pemimpin negara karena hanya pemimpin yang ideal bisa mewujudkan masyarakat yang ideal. Salah satu ajaran yang paling umum diceritakan dalam pewayangan syarat pemimipin ideal adalah "hastabrata" atau delapan sikap/laku yang diambilkan dari sifat alam, yaitu pemimpin harus mempunyai sikap : a. mahambeg mring kismo (sifat bumi): setia memberi kebutuhan hidup kepada siapa saja. b. mahambeg mring warih (sifat air): selalu turun kebawah rakyat dan memberikan kesejukan atau rasa ketentraman kepada semua rakyat. c. mahambeg mring samirana (sifat angin): ada dimana saja atau bersikap adil kepada siapa saja. d. mahambeg mring candra (sifat bulan): memberi penerangan yang sejuk dan indah (kebahagian dan harapan). e. mahambeg mring surya (sifat matahari):memberi sinar hidup keseluruh jagat raya atau sebagai sumber petunjuk hidup. f. mahambeg mring samodra (sifat laut / samudra): luas, tempat membuang apa saja atau sifat kasih sayang, pengertian, dan kesabaran. g. mahambeg mring wukir (sifat gunung): kukuh, teguh, tidak mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun rakyatnya. h. mahambeg mring dahono (sifat api): mampu membakar semangat dan memberi kehangatan atau mampu memerangi kejahatan dan memberikan ketenteraman / perlindungan buat rakyatnya. Dunia pewayangan juga tidak lepas dari dunia ksatria utama (ksatria dalam artian yang luas adalah seseorang yang mempunyai kemampuan /kesaktian untuk membela kebenaran - dalam artian yang terbatas saat ini bisa berarti ABRI). Karena epic Ramayana dan Mahabharata adalah cerita tentang kepahlawan, ksatria menjadi focus cerita dan kstaria utama selalu menjadi idola penonton "wayang purwo / kulit" yang tokohnya sangat banyak sekali yang bisa dijadikan contoh sifat-sifatnya (Bima, Arjuna, Gatotkaca, Tripama - Sumantri, Kumbokarno, Karna - dsb.) Salah satu yang cukup banyak dikutip adalah "Ajaran 15" yaitu ksatria utama bersifat: a. Wijaya : bijaksana dalam berbakti kepada negara. b. Mantriwira : dengan senang hati berbakti kepada negara. c. Wicaksana maya : bijaksana dalam berbicara dan bertindak. d. Matangwan : dikasihi dan dan dicintai rakyat. e. Satya bakyi prabu : setia kepada negara dan raja. f. Wakniwak : tidak berpura-pura, mulut dan hati harus satu. g. Seharwan pasaman : sabar dan sareh - tidak gugup dalam hati. h. Dirut saha : Jujur, teliti, sungguh-sungguh dan setia. i. Tan lelana : baik budi dan mengendalikan pancaindra. j. Diwiyacita : menghilangkan kepentingan pribadi. k. Masisi samasta buwana : memperjuangkan kesempurnaan diri dan kesejahteraan dunia.
l. Sih samastha buwana : setia kepada negara agar rakyat tertib dan makmur. m.Dinrang pratidina : meninggalkan tindak yang jelek dan mengutamakan tindakan yang baik. n. Sumantri : menghamba seumur hidup. o. Hanaya ken musuh : mengorbankan jiwa untuk negara berlandaskan kebenaran dan keadilan. Dunia pewayangan adalah sarat dengan petuah-petuah perbuatan yang utama sebagai pegangan hidup maupun dalam bertindak baik seseorang sebagai raja / pemimpin, ksatria, pendeta, maupun orang biasa yang intinya adalah pelajaran etika agar seseorang selalu berbudi luhur untuk selalu berbuat luhur dan menjauhi perbuatan yang merusak diri maupun lingkungan sekitarnya dan ini sebetulnya juga inti dari pelajaran keagamaan dan kepandaian "sang dalang" yang menjadi faktor utama agama yang mana atau ajaran etika yang mana yang akan ditonjolkan. Dan etika pedalangan bahwa tidak seorang dalangpun yang akan lebih menonjolkan/memenangkan perbuatan tercela dalam penampilan cerita/lakon yang dibawakan. Kembali kepada pokok persoalan: seberapa pengaruh dunia pewayangan dalam kehidupan kenegaraan dan kepemimpinan orde baru : 1. Negara/masyarakat ideal : Visi dari bangsa Indonesia untuk mencapai masyarakat adil dan makmur pada tahun 2020 tidak terlepas dari pengaruh utopi dunia pewayangan. Dalam Mahabharata ada dua negara yang saling berhadapan sebagai pihak yang tercela dan pihak yang patut ditiru yaitu: Hastinapura - dengan Duryudana sebagai rajanya dan Amartapura-dengan Puntadewa /Judistira sebagai rajanya. Dalam Ramayana negara Alengkadiraja - dengan Rahwana sebagai rajanya dan Ayodya Ramawijaya sebagai rajanya. Kaitannya dengan negara dalam pewayangan "sang dalang" selalu menceritakan keberadaan negara ideal baik itu di Hastinapura, Amartapura, Alengkadiraja, atau Ayodya. Yang membedakan sifat negara tersebut adalah sifat pemimpin2-nya yang menjadikan ciri negara tersebut bisa dikatakan sebagai negara panutan atau bukan. Adalah tidak bisa memberikan suatu analogi yang tepat dengan mengatakan negara Indonesia menganut utopi Indonesia-Amartapura, Indonesia - Hastinapura, Indonesia Alengkadiraja, atau Indonesia-Ayodya. Karena yang tercela adalah Hastinapura pada saat dipimpin oleh Duryudana (tidak pada waktu dipimpin oleh Panduwinata, ataupun Parikesit)begitu juga Alengkadiraja pada saat dipimpin oleh Rahwana tidak pada saat dipimpin Prabu Somali , ataupun Gunawan Wibisana). Pewayangan telah memberikan simbol yang tepat tentang suatu negara panutan sangat tergantung dari etika dari para pimpinannya, negara adalah negara sekedar suatu wilayah tertentu, kesatuan bangsa tertentu, dan dengan suatu visi utopi tertentu, yang memberikan ciri apakah bisa menjadi negara ideal/panutan adalah pelaku2-nya atau pimpinan2-nya. Sebagai contoh bahwa "image" Negara tergantung para pemimpinnya seperti Pemerintahan Orde Baru saat ini : a. Apabila sang pemimpin memberikan kesan-mungkin juga melaksanakan- bahwa menerima komisi berdasarkan jasa2 yang diberikan berhubungan dengan jabatannya itu adalah sah, semua jajaran dalam pemerintah sampai dengan yang paling rendah tanpa rasa bersalah menerima komisi /uang jasa (padahal untuk pekerjaannya itu ia sudah diberi imbalan gaji) b. Kalau sang pemimpin menghalalkan anak dan cucunya menjadi pengusaha dengan mendompleng fasilitas ayahnya - bahkan termasuk mendapatkan kucuran kredit dengan mudah dari bank pemerintah untuk pembeyaan proyek2-nya - maka ramai-ramai anak Menteri, anak Gubernur, anak Dirjen, anak Bupati, anak Camat, anak Lurah jadi pengusaha muda dadakan dengan segala fasilitas orang tuanya. c. Kalau sang pemimpin dengan mudahnya meminta sumbangan kepada konglomerat untuk mendirikan Yayasan yang katanya untuk mempercepat kesejahteraan rakyatnya konon khabarnya yang dikucurkan untuk keperluan sumbangan hanya sebahagian dari bunganya), dan ramai2-lah dalam setiap kesempatan dan segala alasan yang dibuat setepat-tepatnya kalangan pejabat pemerintahan meminta sumbangan kepada para pengusaha (dan pengusaha tidak bodoh karena struktur harga produk yang dijual akan disesuaikan dengan segala pengeluaran tak terduga yang akan membebani konsumen yang
kebanyakan adalah rakyat kecil, dan logikanya sebetulnya para pemimpin tersebut secara tidak langsung meminta sumbangan kepada rakyat kecil). Dan pembaca bisa menambahkan sendiri kalau mau - barangkali pemimpin2 mengira bahwa rakyat tidak tahu hal2 tersebut diatas - dan bisa menyimpulkan sendiri bagaimana "image" negara kita yang tercinta Indonesia dengan kelakuan para pemimpin2 Orde Baru dibandingkan dengan tujuan visi negara /masyarakat ideal dalam dunia pewayangan. 2. Pimpinan ideal (seberapa jauh pimpinan orde baru merupakan refleksi pimpinan ideal seperti dalam pewayangan): Adalah kajian yang menarik apabila melihat pimpinan Nasional bangsa Indonesia saat ini (istilah pimpinan disini bisa berarti kelompok dalam kaitan yang luas termasuk pimpinan nasional didalamnya). Apakah kekuasan orde baru adalah refleksi dari Amartapura pada masa kepemimpinan Puntadewa/Judistira ataukah refleksi dari Hastinapura pada masa kepemimpinan Duryudana (dengan tidak ada maksud memberikan garis lurus hitam - putih, setidaknya ciri-ciri utama yang nampak dalam opini penulis). Adalah menjadi ciri-ciri utama dalam ruang tamu pimpinan2 nasional yang Jawa untuk mempunyai hiasan penyekat ruangan dengan dekorasi tokoh "wayang purwo/kulit" dan umumnya tokoh yang digambarkan adalah tokoh PendawaLima dan Kresna. Ini adalah refleksi positif bahwa yang ditokohkan adalah tokoh yang mempunyai sifat2 kepemimpinan yang terpuji : a. Yudistira : Sang raja yang konon kabarnya mempunyai darah putih, dengan ciri utama kejujuran dan kesabaran, begitu jujurnya Yudistira sehingga dia dikaruniai Dewata kereta yang tidak merambah bumi. Saat pertama kali, dalam kisah Baratayuda, Yudistira mengucapkan kata yang tidak jujur adalah ketika dia diminta oleh Sri Kresna untuk mengatakan bahwa Aswatama telah gugur apabila ditanya oleh Pendita Durna (ayah Aswatama), padahal yang mati adalah Gajah yang bernama Aswatama. Pendita Durna tidak percaya bahwa Aswatama telah gugur oleh karena itu dia menanyakan ke Yudistira yang terkenal kejujurannya. Yudistira menjawab dengan melirihkan suara Gajah dan menekankan kata Aswatama sehingga memberikan kesan bahwa Aswatama telah gugur dan pada saat itu juga kereta Judistira merambah bumi karena Yudistira tidak lagi sempurna kejujurannya. Yudistira adalah ksatria yang lebih menonjol sifat kependetaannya dan kepemimpinannya sangat dihormati oleh adik2-nya maupun oleh Sri Kresna. b. Bima/Werkudoro : Jujur, tegas, disiplin, berani karena benar c. Arjuna : senang bertapa dan menuntut ilmu oleh karena itu sangat sakti d. Nakula : ahli dibidang pertanian dan kesejahteran rakyat e. Sadewa : ahli dibidang peternakan dan industri f. Sri Kresna : bijaksana, ahli strategi, antisipatif oleh karena itu sering dikatakan bisa mengerti sesuatu kejadian yang belum terjadi Apakah pimpinan2 orde baru yang Jawa pada saat ini memang mengidolakan Pendawa Lima dan Sri Kresna dan kemudian mencoba meniru sifat2 yang terpuji dari tokoh2 tersebut secara konsekwen ? Kalau indikasi yang ada jauh dari sifat2 yang diidolakan dalam gambar wayang yang dipajang diruang tamu pimpinan2 Nasional yang Jawa maka keadaan ini justru suatu sikap hipokrit (ke-pura2-an) yang sangat nyata. Pada saat perang Baratayuda (perang antara Pendawa Lima dan Kurawa yang sama2 masih keturunan Barata) Resi Bisma yang sesepuh dari kedua belah pihak mengingatkan pihak Kurawa tidak akan mungkin menang melawan Pandawa karena di pihak Pandawa ada Yudistira, Sri Kresna, dan Semar. Dan sifat2 nyata dari ketiganya yang merupakan kekuatan suatu negara : a. Yudistira sebagai raja yang sangat jujur dengan sifat yang "ambeg paramarta berbudi bawalaksana" ambeg para marta berati murah hati / suka memberi, berbudi - mempunyai budi pekerti yang luhur, bawalaksana - satunya kata dengan perbuatan. Refleksi ini seharusnya yang dipunyai oleh pimpinan yang berada dibidang eksekutif negara kita. b. Sri Kresna yang sangat adil dan bijaksana sebagai penasehat Pendawa - refleksi dari fungsi lembaga strategis, dewan pertimbangan agung, dan lembaga peradilan yang netral / judikatif.
c. Semar sebagai simbol rakyat yang bisa memberikan suara hati nurani rakyatnya, yang juga sangat menentukan dan didengar oleh rajanya - refleksi dari lembaga perwakilan rakyat /legislatif. Dari interpretasi simbolik dari dunia pewayangan tidak benar adanya bahwa kita tidak mengenal suatu konsep yang mirip dengan konsep "trias politika", tidak benar juga kalau kita tidak mengenal oposisi, dalam cerita pewayangan banyak cerita yang Semar dan panakawan sebagai simbol dari rakyat tidak sependapat dengan para Ksatria dan raja yang menyimpang dari budi pekerti luhur yang akhirnya bisa diingatkan kembali (cerita/lakon seperti Jamus Kalimosodo, Petruk Jadi Raja, Semar Barang Jantur, dll.). Dan dalam pewayangan biarpun namanya Dewa, Raja, dan Ksatria mempunyai kelemahan2 yang juga pada saat tertentu mempunyai perilaku yang tercela yang perlu diperbaiki. Justru pewayangan memberikan tempat paling terhormat kepada Semar (rakyat) yang selalu mengingatkan Raja dan Ksatria untuk tetap berjalan pada garis yang lurus dan berbudi luhur. Jelas faktor utama kepemimpinan dalam pewayangan yang dinilai adalah faktor etika yaitu seberapa pemimpin menunjukan keluhuran budi dan bisa membedakan antara baik dan buruk, karena pemimpin yang berkelakuan buruk tentu akan menghasilkan masyarakat yang buruk pula. Kembali kepada refleksi kepemimpinan Nasional Orde Baru saat ini: 1. Apakah ciri-ciri utama pimpinan Nasional negara Indonesia yang tercinta ini refleksi dari Amartapura dibawah kepemimpinan bijaksana dari Judistira, Sri Kresna, dan Semar? Dan ini secara nyata yang diidealkan oleh masyarakat Jawa dalam dunia "wayang purwo/ kulit" (dan ini pasti dicita-cita kan oleh pemimpin2 Nasional yang Jawa sebagai pegangan ideal - lepas secara nyata bisa dilaksanakan atau tidak). Dari indikator pengamatan penulis kelihatannya sifat2 kepemimpinan Orde Baru saat ini tidak ada miripnya dengan kepemimpinan ideal Judistira, Sri Kresna, dan Semar. 2. Apakah ciri-ciri utama pimpinan Nasional negara Indonesia yang tercinta ini refleksi dari Hastinapura dibawah pimpinan Duryudana dengan penasehat Patih Sengkuni, Pendita Durna yang banyak tipu muslihat dan mengagungkan angkaramurka? Kalau ini disamakan sifat kepemimpinan Nasional Orde Baru saat ini seperti sifat Duryudana, pasti akan banyak yang marah besar (apalagi kalau dikatakan seperti Rahwana / Dasamuka yang bermuka sepuluh dari Alengkadiraja). Kalau pemimpin2 Orde Baru berani melakukan intropeksi barangkali indikasi ini memang benar adanya mengingat dengan sistim kolusi dan korupsi yang merajalela, yang ukuran materi menjadi lebih utama dari budi yang luhur, yang kepentingan pribadi, keluarga, dan kelompok melebihi kepentingan rakyat banyak. Terus terang penulis berhenti sejenak, tanpa terasa mengalirkan airmata - sebagai manusia Jawa apakah betul sudah sejauh itu penyimpangan yang telah dilakukan oleh manusia yang dipercaya sebagai pimpinan2 Nasional yang Jawa meninggalkan "uger-uger" atau petuah etika Jawa yang dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun diceritakan dalam bentuk pementasan "wayang purwo/kulit" yang merupakan sumber yang tidak pernah kering untuk mengingatkan manusia, terutama para pemimpinnya memegang teguh etika berbudi luhur. Apakah etika Jawa itu hanya utopi yang sangat sulit untuk dilaksanakan? Atau sekedar kesombongan manusia yang mabuk keberhasilan yang lupa bahwa kesombongan dan keangkara-murka-an akan selalu mencari jalan "karma" nya sendiri dan akhirnya segala sesuatu hal apapun tidak bisa terjadi tanpa izinNya. 3. Ksatria ideal dan dwifungsi ABRI: Sangat menarik untuk dikaji bahwa peranan Ksatria Utama dalam arti yang terbatas pada saat ini bisa berarti kalangan ABRI - dalam "wayang purwo / kulit" meniru model Ksatria Pandawa Lima terutama yang menjadi tulang punggung dalampeperangan adalah Bima/Werkudoro dan Arjuna. Disamping sebagai panglima perang Bima / Werkudoro juga diberikan teritori yang namanya Jodipati dan Arjuna diberi teritori yang namanya Madukara (Kemungkinan besar pemberian teritori ini pengaruh pada masa Mataram mengingat model Panglima yang merangkap Bupati yang mengelola pemerintahan daerah adalah terjadi pada masa kekuasaan Mataram - dalam cerita asli Mahabharata tidak pernah diceritakan tentang kekuasan teritori dari Bima ataupun Arjuna). Makanya sangat tidak mengherankan kalau pelaksanaan dwifungsi ABRI, banyak kalangan Ksatria / ABRI mendapat jabatan Gubernur, Bupati, Camat dan lain2-nya. Dan kalau
interpretasi tentang fungsi rangkap di pewayangan tidak diluruskan kembali, dwifungsi ABRI akan tetap ada selama pengaruh "wayangpurwo/kulit" dalam masyrakat masih ada - dan tetap dianggap suatu kewajaran meniru idola Bima dan Arjuna sebagai Ksatria Utama terpanggil untuk ikutjuga mengelola pemerintahan (walaupun belum tentu punya penguasaan yang cukup dibidang ini - dan mempersempit ruang gerak orang sipil untuk menduduki fungsi penting dalam pemerintahan). Model ini sebetulnya tidak lebih model negara kerajaan bukan model peranan tentara dinegara demokrasi. Barangkali interpretasi simbolik dari dunia "wayang purwo/kulit" berkaitan dengan fungsi rangkap dari Ksatria Utama bisa kita koreksi dan luruskan : a. Meskipun Bima dan Arjuna adalah panglima perang andalan Pandawa, yang menjadi raja di Amartapura adalah Puntodewa/Judistira dibantu penasehat Sri Kresna dan Semar. b. Bima dan Arjuna selalu akan tunduk pada perintah sang kakak/sang raja Puntadewa/Judistira. Tidak akan maju perang atas maunya sendiri. c. Bima dan terutama Arjuna selalu mendapat nasehat dari Sri Kresna dan bimbingan dari Semar maupun punokawan yang lainnya. Secara simbolik bisa diartikan : a. Ksatria Utama dalam hal ini Bima dan Arjuna sebagai refleksi dari ABRI tidak pernah mempunyai kekuasaan yang mutlak. Dia akan selalu tunduk pada kepemimpinan eksekutif sang kakak yang memerintah dengan asas etika yang luhur. b. Tidak ada sedikitpun ambisi dari Bima dan Arjuna untuk menggantikan sang kakak menjadi raja. Menyadari bahwa peran utamanya adalah sebagai Ksatria Utama. c. Bima dan terutama Arjuna sangat dekat dengan Semar sebagai lambang rakyat sehingga tidak mungkin menganiaya rakyat atau memusuhi rakyat (kalau ini terjadi, dalam pewayangan Semar tetap akan menang) d. Bima dan Arjuna selalu tunduk dan meminta nasehat Sri Kresna dan tidak mungkin untuk menggantikan peranan Sri Kresna dengan dirinya sendiri. Bagi Ksatria Utama - Indonesia yang Jawa yang kebetulan membaca tulisan ini, mohon direnungkan apakah peranan dwifungsi ABRI yang sedang dilaksanakan saat ini memang sudah sesuai dengan prinsip Ksatria Utama seperti yang pernah diajarkan nenek moyang kita dalam dunia pewayangan atau memerlukan koreksi sehingga jangan sampai membawa "karma" yang negatif terutama dalam bersikap menghayati nurani rakyat - dan kenyataannya ABRI juga berasal dari rakyat. Jangan sampai interpretasi secara dangkal peranan ganda Bima dan Arjuna didalam pewayangan hanya diterjemahkan satu sisi yang menguntungkan saja karena mendapatkan kekuasaan tambahan dan rejeki tambahan tanpa melihat sisi lain dari hubungannya dengan Yudistira, Sri Kresna, dan Semar maupun sifat2 utama yang harus dikembangkan dan dipegang teguh berkaitan dengan etika sebagai Ksatria Utama. Kesimpulan "Wayang purwo / kulit" adalah sumber yang tidak pernah kering untuk sarana refleksi bagi seseorang sebagai individu, sebagai pemimpin, sebagai ksatria atau apapun peran sosial dari seseorang di masyarakat yang dalam cerita/lakon yang diceritakan maupun tokoh2-nya mengajarkan pada kita : 1. Pada akhirnya peran seseorang harus diuji terhadap nilai etika antara perbuatan yang baik dan yang buruk. 2. Apapun perbuatannya baik atau buruk seseorang akan menanggung "karma" nya sendiri-sendiri. 3. Nilai2 yang ideal agar kita berusaha secara optimal untuk mencapainya. 4. Nilai religius yang terdalam bahwa apapun yang terjadi hanya akan terjadi atas kehendakNya. Mudah-mudahan tulisan ini mengetuk hati pembaca untuk menghayati nilai luhur budaya bangsa kita sendiri dan memberi kesadaran kepada pimpinan2 Nasional Orde Baru untuk melaksanakan koreksi dalam membimbing bangsa kita ini kearah etika yang luhur dengan memberi contoh yang nyata mulai dari dirinya sendiri untuk lebih mementingkan kepentingan rakyat banyak dibandingkan dengan kepentingan dirinya sendiri, keluarganya , dan kelompoknya sendiri sebelum "karma" mencari jalannya sendiri.
Dan juga porsi pendidikan etika maupun perbuatan etika yang luhur tidak pernah mendapat porsi utama dalam pembangunan bangsa yang secara simbolik didalam pewayangan justru menjadi faktor yang utama sehingga menunjang terjadinya unsur "panjang-punjung" - panjang berarti termasyur dan punjung berarti mempunyai kewibawaan yang tingi - didalam negara / masyarakat ideal yang akan menjadi contoh untuk negara lain betapa tingginya etika yang dijunjung oleh bangsa Indonesia, dan tidak perlu dengan susah payah selalu membantah bahwa "tidak pernah ada korupsi dan kolusi di Indonesia", "pelaksanaan hak-hak asazi manusia di Indonesia sudah sesuai dengan budaya bangsa Indonesia sendiri" dan banyak faktor etika yang lainnya yang selalu membuat malu bangsa Indonesia dan sorotan negatif didalam pergaulan international yang se-mata-mata bukan Indonesia sebagai bangsa dan negara tetapi lebih disebabkan oleh tingkah-laku dari pelaku2/pimpinan2 Nasional Orde Baru pada tingkat yang mayoritas.. Ki Ageng Mangir Referensi : 1. Dr. Hasim Amir M.A. - 1991. Nilai-Nilai Etis Dalam Wayang.Penerbit Pustaka Sinar Harapan 2. Nyoman S. Pendit - 1970. Mahabharata. Penerbit Bhratara 3. Prof. Danys Lombard - 1996. Nusa Jawa - Silang Budaya Jilid 1,2,3. Penerbit P.T.Gramedia Pustaka Utama 4. Prof. Drs. Suwadji Bastomi - 1992. Gelis Kenal Wayang. Penerbit IKIP Semarang Press - 1996. Gemar Wayang. Penerbit IKIP Semarang Press - 1996. Gandrung Wayang. Penerbit IKIP Semarang Press MAKNA PERANG BHARATAYUDA DAN PERUBAHAN Sebagai kelanjutan dari tulisan "DUNIA PEWAYANGAN DAN KEKUASAAN ORDER BARU" yang mengupas idealisme etika JAWA dalam pewayangan yang berkenaan dengan masyarakat dan pimpinan ideal maupun kekuasaan, "wayang purwo / kulit" sebagai pengertian simbolik bagi penulis tetap merupakan sumber yang tidak pernah kering untuk suatu refleksi kekinian. Kali ini penulis ingin mengajak pembaca mengupas makna simbolik dari perang Bharatayuda yaitu bagian dari Mahabharata yang mengisahkan perang saudara antara Pendawa Lima dan Kurawa (mereka adalah sama-sama cucu dari Bhegawan Abiyasa) untuk mengambil kembali kerajaan Indraprasta / Amartapura yang dikuasai oleh Hastina-pura dikarenakan kalah judi. Pendawa Lima merasa sudah melunasi hukumannya dibuang dihutan selama 12 (duabelas) tahun, dan satu tahun dalam penyamaran, tetapi Kurawa mempertahankan dan menuduh Pandawa Lima gagal melaksanakan hukumannya. (Dalam "wayang purwo / kulit" agak sedikit ada kerancuan bahwa penyebab peperangan disebabkan Pendawa Lima ingin mendapatkan hak Hastina-pura yang dititipkan oleh Panduwinata - ayah Pendawa Lima, yang pada saat itu raja Hastinapura - kepada kakaknya yang buta Destrarata - ayah Kurawa). Dalam episode Bharatayuda, didalamnya terdapat kisah "Bhagawatgita" yaitu kisah awal dari Bharatayuda ketika Arjuna merasa sangat tidak bersemangat untuk berperang melawan Kurawa dikarenakan musuh yang dihadapi masih saudara sendiri bahkan diantara musuh yang harus dihadapi adalah para sesepuh yang sangat dihormati yaitu Resi Bisma, Pendita Durna dll. Arjuna merasa kenapa harus berperang untuk memperebutkan kerajaan, kalau perlu biarlah Kurawa menguasai kerajaan. Sri Kresna memberikan nasihat kepada Arjuna bahkan terpaksa memperlihatkan wujud Wisnu yang sebenarnya untuk meyakinkan Arjuna bahwa : Peperangan Bharatayuda bukan sekedar perang melawan saudara sendiri tapi adalah peperangan suci yang harus dilaksanakan oleh Ksatria Utama sebagai dharmanya / kewajibannya untuk melenyapkan keangkaramurkaan dan kebatilan dimuka bumi. Sri Kresna kemudian juga mengajarkan kepada Arjuna makna hidup, asal kehidupan, dan akhir kehidupan yang mengalir dalam perwujudan Wisnu yang sebenarnya yang dituliskan dalam kisah Bhagawatgita (yang juga menjadi salah satu kitab suci pemeluk agama Hindu). Dalam interpretasi perang Bharatayuda dalam kisah "wayang purwo/kulit" banyak versi sesuai dengan peresapan masing-masing penggemar ataupun pengamat "wayang purwo / kulit" yang pada hakekatnya bisa dikatagorikan dalam simbolik berupa perubahan yang bersifat
micro (dalam diri manusia sendiri) dan perubahan yang bersikap macro (dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara). Arti simbolik yang bersifat micro (dalam diri manusia secara individu) Pengertian simbolik perang Bharatayuda dalam diri manusia adalah peperangan dalam diri manusia dalam rangka mengatasi dirinya antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Adalah peperangan yang tiada henti selama hidup dari seseorang sebagai individu untuk mencari nilai budi luhur dan melaksanakan dalam tindakan nyata sehari-hari yang melawan pengaruh buruk yang bersifat kesenangan yang bisa merusak diri dan lingkungannya. A. Bharatayuda sebagai simbol pertarungan / pergulatan etika baik dan buruk dalam diri manusia: Peperangan dalam diri manusia adalah hakekatnya perang saudara, karena apabila manusia menginginkan sifat baik yang terpancar dalam kehidupannya dia harus berani membunuh sifat buruk dalam dirinya yang berarti membunuh sebahagian dari dirinya. Betapa sakitnya seseorang yang harus membunuh sifat dalam dirinya yang bersifat kesenangan yang merusak seperti "ma-lima" (lima M) yaitu (madon, madat, maling, main, mabuk yang artinya madon berarti - kesenangan dengan wanita/ sex diluar pernikahan, madat - kesenangan dengan candu / ganja / ecstacy / heroin / ataupun sejenisnya, maling - kesenangan memiliki hak / kepunyaan orang lain, main - kesenangan berjudi, mabuk - kesenangan minum minuman keras). Kalau seseorang sudah terlanjur mempunyai kesenangan seperti tadi yang merupakan sifat buruk dalam dirinya, seseorang memerlukan sikap sebagai Arjuna yang harus berani melakukan perang Bharatayuda, untuk membunuh sebahagian dari dirinya yang bersifat buruk, betapa hal itu sangat berat dan terasa menyakitkan. Dan apabila sifat Ksatria Utama yang memenangkan peperangan dalam diri seseorang,dia mampu mengatasi dirinya untuk tidak berbuat yang kurang terpuji dan berbudi luhur dalam perbuatan nyata untuk dirinya maupun untuk masyarakat sekelilingnya. Kemenangan dalam peperangan ini sebetulnya perubahan yang nyata dari sifat manusia tersebut dari manusia yang kurang terpuji sifat2-nya menjadi manusia yang terpuji sifat2-nya. B. Bharatayuda sebagai simbol cara kematian seseorang sesuai dengan karma/ akibat perbuatannya: Dalam kehidupan seseorang selalu diuji keberpihakan-nya terhadap nilai-nilai budi luhur atau kecenderungannya terpengaruh oleh perbuatan buruk. Dalam masyarakat modern yang makin heterogen dan dengan makin terbukanya pengaruh2 berbagai budaya dari luar kadang2 agak sulit untuk mengenali dengan cepat dan mengambil garis lurus ataupun garis pemisah antara perbuatan etika moral yang terpuji maupun yang kebalikannya yang kadang agak sulit bagi kita menarik garis hitam putih. Tapi kalau kita mengkaji lebih lanjut kisah / lakon dalam "wayang purwo/kulit" hal tersebut bukan sesuatu yang tidak terdeteksi dalam kisah tokoh2-nya yang selalu bergulat dalam perbuatan yang terpuji maupun kurang terpuji bahkan terhadap tokoh2 yang di-ideal-kan seperti tokoh Pendawa Lima dan Sri Kresna. Hal ini adalah suatu indikasi alamiah ketidak sempurnaan manusia. "Wayang purwo / kulit" mengajarkan suatu budaya yang sangat bijaksana berkaitan dengan ketidak sempurnaan manusia dengan menciptakan tokoh punokawan yaitu Semar, Petruk, Gareng, Bagong yang selalu memberikan peringatan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh para raja dan ksatria. Kalau punokawan ini secara simbolik diartikan sebagai "rakyat" dan inilah secara nyata sistem demokrasi dimana kelemahan dan ketidaksempurnaan manusia dicoba diatasi dengan melaksanakan sistem yang saling mengingatkan (check and balance ataupun social control) antara pihak pimpinan / raja, para ksatria, sistim peradilan, dan rakyatnya. Sistem ini menuntut semua pihak rela menerima koreksi / kritik dari pihak yang lain, dan budaya "wayang purwo/kulit" memberi contoh yang gamblang bahwa Semar maupun punokawan selalu mengingatkan raja / ksatria yang peringatannya / kritiknya diterima dan diperhatikan oleh raja dan para ksatria. Beberapa contoh kisah pewayangan yang menggambarkan ketidak sempurna-an sifat2 dari tokoh yang dianggap sebagai tauladan : 1. Yudistira/Puntodewo yang terkenal kejujurannya dan kebijaksanaannya sebagai seorang raja ternyata dia mempunyai kelemahan yang sangat fatal yaitu kesenangannya dengan judi yang kelemahan tersebut dimanfaatkan oleh Kurawa dengan arsiteknya Patih Sengkuni sehingga membawa kesengsaraan keluarganya bahkan sampai dengan negaranya, saudara2-nya, bahkan istrinya - Dewi Drupadi - dipakai sebagai barang taruhan
dan sempat sangat dipermalukan didepan umum oleh Dursasono - salah satu dari Kurawa, dan akhirnya membawa Pendawa Lima harus menjalani hukuman dibuang ditengah hutan selama duabelas tahun dan melakukan penyamaran selama satu tahun. 2. Arjuna yang sangat pandai dan sakti ternyata punya kelemahan terhadap wanita yang membawanya dia terkenal kalau dengan istilah sekarang sebagai "Don Yuan" (biarpun beberapa pakar pewayangan hal ini diartikan sebagai simbol kegandrungan Arjuna akan ilmu pengetahuan sehingga dia selalu berguru kepada Bhegawan dan mengawini anak perempuannya yang diartikan / disimbolkan sebagai menguasai ilmu dari sang Bhegawan). 3. Sri Kresna yang terkenal bijaksana dan dikatakan sebagai titisan Wisnu ternyata kurang mampu mendidik anaknya dan terlalu memanjakan anaknya yang akhirnya membawa pada karma kematiannya melalui seorang pemburu yang tanpa sengaja memanah kakinya - yang anak panahnya berasal dari perbuatan / kesombongan anaknya Samba (Mohon ber-hati-hati bagi yang merasa menjadi raja - dan saya tidak yakin kalau beliau membaca Internet, dan saya yakin bahwa pembantu2 dekatnya pasti ada yang membaca Internet dan pasti tidak berani mengingatkan sang raja - dan yang memanjakan anak2-nya menjadi orang yang serakah dan angkara murka bahkan Sri Kresna yang titisan dewa tidak bisa lepas dari karma akibatnya). Contoh2 diatas masih bisa diperpanjang dengan tokoh2 seperti Abimanyu (anak Arjuna) yang membohongi istrinya, Gatutkaca (anak Werkudoro) yang memunuh pamannya sendiri, Resi Bisma yang membunuh wanita yang mencintainya, Prabu Salyo yang membunuh mertuanya, dan yang lain2nya yang pada suatu saat dalam kehidupannya pernah melakukan perbuatan yang kurang terpuji yang balasan karma dari perbuatan buruknya terjadi pada perang Bharatayuda dan ini menjadi suatu interpretasi simbolik lainnya dari makna perang Bharatayuda secara micro (pada individu) yaitu : peperangan terakhir dari manusia menghadapi karma hidupnya, yaitu cara kematiannya adalah cermin dari seluruh cara dan perilaku seluruh kehidupannya baik ataupun buruk. Arti simbolik yang bersifat macro (dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara) Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara manusia sebagai individu juga selalu diuji keberpihakan seseorang terhadap kelompok yang punya nilai2 luhur dan kelompok yang cenderung terpengaruh oleh perbuatan buruk. Dalam masyarakat modern yang makin heterogen dan dengan makin terbukanya suatu negara dari pengaruh-pengaruh berbagai budaya dari luar sebagai suatu dampak globalisasi kadang2 agak sulit untuk mengenali dengan cepat dan mengambil garis lurus ataupun garis pemisah antara kelompok2 yang memperjuangkan suatu etika moral yang terpuji maupun yang kebalikannya. Kalau melihat contoh2 seperti Yudistira /Puntodewo, Arjuna, dan Sri Kresna seperti tersebut diatas jelas bahwa sebagai manusia mereka tetap mempunyai sifat alamiah tentang ketidaksempurna-an manusia. Walaupun secara umum atau bisa juga dikatakan bahwa sebagian besar perilaku yang diperbuat bisa dijadikan contoh walaupun tidak lepas dari cacat dan cela. Dengan segala cacat dan cela sebagai individu, secara kelompok mereka mempunyai suatu ciri utama yaitu mengemban tugas Pemimpin maupun Ksatria Utama yang harus selalu menegakkan kebenaran dan memerangi kelompok yang angkaramurka. Dan dari zaman ke zaman selalu saja akan muncul seorang Pemimpin yang memimpin kelompoknya untuk memerangi kezaliman yang merugikan masyarakat/rakyat banyak ataupun pihak2 yang lemah dan tak berdaya. Dan nyata2 bahwa setiap Pemimpin akan mengalami dilema seperti Arjuna yang ragu2 untuk menjalankan perannya untuk menegakkan kebenaran apabila yang dihadapi adalah para Pimpinan bangsanya sendiri, bahkan diantaranya adalah para tokoh yang dihormati seperti Resi Bisma, Adipati Karno yang oleh keterikatan historis (walaupun sebetulnya mereka tidak sependapat dengan kelakuan Duryudono sebagai raja kelompok Kurawa) ataupun dengan sejuta alasan lainnya berpihak kepada yang tidak benar. Dan perang Bharatayuda adalah simbol peperangan yang mungkin bisa timbul didalam masyarakat apabila muncul kelompok yang menjunjung tinggi etika berbudi luhur yang melaksanakan perang suci menghadapi kelompok yang zalim dan angkaramurka agar terjadi perubahan yang nyata menuju suatu tata masyarakat yang lebih baik. Bahwa pada akhirnya Pendawa Lima memutuskan untuk melaksanakan suatu perang Bharatayuda bukanlah suatu proses atau keputusan yang mudah, Pendawa Lima secara nyata telah menjalankan usaha mencegah agar perang Bharatayuda jangan terjadi dengan misi perdamaian - yang terakhir adalah lakon / cerita "Kresno Duto" yang mengutus Sri Kresna untuk menyelesaikan masalah secara damai yang akhirnya malah menimbulkan kemarahan yang sangat dari Sri Kresna yang hampir saja menghancur-luluhkan seluruh kerajaan Hastinapura. Secara simbolik bisa diartikan bahwa kezaliman dan keangkara-murkaan
itu semacam candu/ecstacy, sekali kita didalamnya sulit kita bisa dengan mudah menjadi sadar dengan sendirinya, harus ada pihak2 yang berani memerangi dan menghancurkannya. Diceritakan bahwa perang Bharatayuda adalah perang yang "gegirisi" atau sangat menakutkan -tidak ada satupun perang yang tidak menakutkan yang akan meminta banyak korban-dimana akhirnya semua seratus Kurawa dan segala Ksatria yang membantunya habis terbunuh, juga dari sisi Pendawa Lima tidak ada anak2 Pendawa Lima yang bisa lolos dari maut. Kemenangan dari Pendawa Lima harus dibayar sangat mahal walaupun akhirnya Hastinapura bisa menjadi negara yang adil makmur setelah segala keangkamurkaan Kurawa bisa dimusnahkan. "Jer basuki mawa bea" adalah suatu pepatah Jawa yang artinya - untuk mencapai suatu tujuan selalu ada beayanya. Kesimpulan Indikasi masyarakat Indonesia saat ini sangat memprihatinkan yaitu suatu kondisi yang apabila tidak dicermati ataupun disadari terutama oleh pendukung Orde Baru - dikarenakan posisinya yang memegang kekuasaan dan kekuasaan apabila berciri angkaramurka sama dengan ketagihan candu / ecstacy yang punya ciri: sekali kita didalamnya sulit kita bisa dengan mudah menjadi sadar dengan sendirinya - yang bisa menimbulkan suatu situasi radikal para kelompok yang merasa terpanggil untuk melaksanakan pembaharuan yang bisa mengidentifikasikan ebagai kelompok moralis / kelompok prodemokrasi menghadapi pemerintahan yang zalim yang telah menjalankan Pemilu yang tidak adil, pemerintahan yang penuh korupsi dan kolusi, yang tentaranya menembaki rakyatnya sendiri, melakukan manipulasi undang2 dan peraturan yang menguntungkan kelompoknya, yang anak-anak sang pemimpin ikut campur dalam urusan berusaha dan bernegara seperti layaknya pangeran2 kerajaan dsb. Lambat atau cepat apabila tidak diatasi secara bijaksana bukan sesuatu yang tidak mungkin bisa terjadi perang Bharatayuda dibumi kita tercinta, walaupun kita semua tidak menginginkan, dan adalah sangat alami barangkali juga sebagai hukum alam bahwa selalu akan muncul kelompok moralis yang dengan segala resikonya untuk memerangi pihak yang dianggap menyimpang dari tindakan yang jujur dan terpuji dari waktu ke waktu. Tulisan ini dibuat dengan maksud agar tercapai suatu Pemerintahan (siapapun yang melaksanakan) yang berorientasi sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat secara luas. SEMAR DAN SENJATA "KENTUT"-NYA Melanjutkan refleksi budaya pewayangan pada tulisan pertama yaitu "DUNIA PEWAYANGAN DAN KEKUASAN ORDE BARU" yang membahas tentang etika Jawa berkenaan dengan pimpinan ideal dan kekuasaan, tulisan kedua "MAKNA PERANG BHARATAYUDA DAN PERUBAHAN" yang membahas tentang ketidak sempurnaan manusia dan hakekat perang saudara dalam kerangka menegakkan kebenaran melawan keangkara-murkaan agar terjadi perubahan yang nyata untuk menuju pada tata masyarakat yang lebih baik, pada tulisan kali ini penulis akan membahas tokoh yang sangat menarik didunia pewayangan yang paling banyak mendapat perhatian dan berbagai intrepertasi simbolik yang sangat bervariasi yaitu tokoh Semar dengan senjata ampuhnya "Kentut"yang merupakan bagian terakhir dari trilogi pewayangan. Semar adalah tokoh utama panakawan - arti dari panakawan adalah pana yang berarti bijaksana dan kawan berarti teman jadi artinya adalah teman yang bijaksana - bersama-sama ketiga anaknya yang bernama Gareng, Petruk, dan Bagong, secara umum dalam pewayangan digambarkan sebagai berikut : 1. Semar selalu muncul pada tengah malam pada pagelaran "wayang purwo / kulit" semalam suntuk yaitu setelah episode yang dinamakan "goro-goro" yang dalam "goro-goro" diceritakan terjadi banyaknya kekacauan dimuka bumi ini yang secara simbolik kemunculan Semar dan punokawan meredakan kekacauan tersebut. 2. Pada saat pemunculannya Semar sang Dalang akan bercerita bahwa: "Semar punika saking basa "samar", mapan pranyoto Kyai Lurah Semar punika wujudira samar.
Yen den wastani jalu wandanira kadi wanita.Yen sinebat estri, dadapuranira teka pria. Pramila katah ingkang klentu mastani. Yen ta wonten ingkang hatanya menggahing sasipatanira hirung sunti mrakateni, mripat mrembes mrakateni, lan sak panunggalnipun sedaya sarwa mrakateni " yang terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia adalah: "Semar berasal dari kata samar. Memang sesungguhnya wujud dari Kyai Lurah Semar juga samar. Kalau dikatakan laki-laki wajahnya mirip wanita. Kalau disebut wanita perawakannya seperti laki-laki. Oleh karena itu banyak orang keliru menilai. Jika ada yang mencoba memerinci anggota badannya akan melihat hidungnya mancung seperti wanita yang mempesonakan, matanya yang basah juga mempesonakan, dan yanglain-lain-nya juga serba menarik perhatian". 3. Semar dan panakawan lainnya bukan berasal dari epic Ramayana dan Mahabharata sehingga banyak pakar yang menyimpulkan bahwa tokoh tersebut asli Jawa / asli Indonesia yang sudah ada sebelum agama Hindu dan Budha datang ke Indonesia. 4. Diceritakan asal usul Semar adalah dari telor yang : a. Kulitnya menjadi Togog yang menjadi simbol hidup laksana kulit tanpa isi yang mementingkan duniawi semata oleh karena itu ia mengabdi pada raksasa sebagai simbul angkaramurka. b. Putihnya menjadi Semar yang menjadi simbol hidup yang penuh kesucian yang mementingkan isi dari pada kulitnya. Ia selalu memihak kepada kebenaran dan keadilan dan meluruskan segala bentuk penyelewengan oleh karena itu ia mengabdi kepada raja dan ksatria utama. c. Kuningnya menjadi Manikmaya yang mencerminkan kekuasaan karena itu ia dinobatkan menjadi rajanya dewa di Kahyangan "Junggring Salaka" sebagai Bhatara Guru. Biarpun Semar itu manusia atau rakyat biasa yang menjadi panakawan para raja dan ksatria, tapi dia memiliki kesaktian yang melebihi Bhatara Guru yang rajanya para Dewa. Semar selalu bisa mengatasi kesaktian dari Bhatara Guru apabila ingin mengganggu Pendawa Lima yang dalam asuhannya. Banyak arti simbolik dalam masalah ini yang penulis percayai mungkin mendekati kebenaran adalah : Bhatara Guru dalam agama Hindu adalah Dewa Shiva yang dipuja oleh pemeluk agama Hindu, sedangkan Semar adalah tokoh asli Jawa / asli Indonesia yang mungkin juga dipuja saat sebelum kedatangan agama Hindu. Secara simbolik bisa diartikan bahwa existensi dari budaya atau nilai2 luhur dari Jawa kuno selalu akan bisa mengatasi dari pengaruh Hindu dan secara simbolik selalu memenangkan tokoh Semar terhadap tokoh2 dewa Hindu. Dan hanya dengan menerima tokoh Semar agama Hindu bisa berkembang di Indonesia. Hal ini sekali lagi dibuktikan dengan apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga yang menggunakan senjata Puntadewa jamus "Kalimasada" sebagai transisi dari Hindu menjadi Islam yaitu dengan menimbulkan kisah hutan Ketangga yang mengisahkan pertemuannya dengan Puntadewa dan meng-Islamkan dengan menjabarkan jamus Kalimasada sebagai Kalimat Sahadat. Dan peng-Islaman masayarakat Jawa tidak melepas sama sekali tokoh yang sudah ada dari zaman sebelum Hindu dari sekarang seperti Semar yang perilakunya dijadikan teladan ataupun panutan masyarakat Jawa. Dan disadari oleh Sunan Kalijaga bahwa Islam hanya akan bisa diterima oleh masyarakat Jawa apabila kesenangan orang Jawa akan "wayang purwo / kulit" tidak diganggu yang sebetulnya kesenangan orang Jawa kepada "wayang kulit / purwo" bukan sekedar sebagai tontonon tapi suatu upaya pelestarian dari petuah atau etika atau budaya Jawa yang berumur sangat tua yang masih hidup sampai sekarang oleh karena itu wajah Islam di Jawa atau mungkin juga di Indonesia mempunyai ciri budaya yang berbeda dengan Islam di Saudi Arabia tanpa mengurangi makna Islam yang mendasar. 5. Dengan berjalannya waktu tokoh Semar dan panakawan diterjemahkan sebagai simbol kesederhanaan dari rakyat jelata, dikarenakan kehidupannya sebagai Lurah / Kepala Desa yaitu suatu jabatan kepemimpinan yang paling dasar/bawah dalam sistim pemerintahan yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat pedesaan pada masa lalu, tokoh Semar selalu berada diantara rakyat kecil dan kesederhanaannya telah membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan yang bisa memberikan pandangan yang lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan sehingga bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya. Oleh karena itu diceritakan dalam "wayang purwo/kulit" Semar selalu bisa mengatasi permasalahan yang tidak mampu diatasi oleh asuhannya Pendawa Lima ataupun para raja dan ksatria lainnya.
Contoh-contoh diatas adalah memberikan suatu gambaran bahwa tokoh Semar merupakan tokoh yang paling banyak mendapat sorotan interpretasi simbolik dikarenakan keunikan, kesamaran dan ketidakjelasannya dan yang lebih lagi karena sebagai tokoh yang asli Jawa / asli Indonesia yang oleh cendikiawan ataupun budayawan Jawa dimasa lalu disisipkan dalam epic Ramayana dan Mahabharata dalam cerita "wayang purwo / kulit" tanpa harus merusak kisah kepahlawan yang ingin ditonjolkan bahkan malahan memperkaya nuansa etika yang lebih mendalam. Contoh-contoh diatas belum lagi membahas intepretasi tokoh Semar yang bersifat mistik yang penulis tidak akan bahas disini. Semar dengan senjata ampuhnya "Kentut" Diceritakan dalam pewayangan bahwa Semar mempunyai senjata yang sangat ampuh yaitu berupa "Kentut" dan hal ini yang penulis ingin bahas kandungan simbolik yang semata-mata adalah menurut keterbatasan pandangan penulis sendiri. Sebagai suatu kisah kepahlawanan "wayang purwo/kulit" tidak lepas dari kisah kesaktian senjata dari para pahlawannya untuk bisa memenangkan peperangan, seperti Arjuna dengan senjata panahnya Pasopati, Bima dengan kuku Pancanaka, Sri Kresna dengan Cakra dan sebagainya. Bahkan dalam pewayangan juga dimasukkan unsur keris yang nyata2 bukan senjata dari Hindia tapi asli dari Jawa. Tradisi memuja senjata ini berlanjut pada budaya/sejarah Jawa dengan pada masa-masa kejayaan kerajaan Hindu dan Islam seperti Ken Arok dengan keris Empu Gandring, Raja Balambangan dengan gada Besi Kuning, anembahan Senopati dengan tombak Kyai Plered, dsb. Senjata sebagai alat memenangkan peperangan akan tetap penting artinya bahkan sampai pada masa kekinian seperti bagaimana Sekutu menggunakan senjata nuklir untuk memenangkan peperangan melawan Jepang. Juga dengan terjadinya perlombaan kecanggihan persenjataan pada masa perang dingin antara Rusia dan Amerika pada masa beberapa tahun yang lalu. Apabila senjata itu kita terjemahkan sebagai tools atau peralatan untuk memenangkan suatu peperangan ataupun persaingan, pengembangan peralatan ini tidak hanya terbatas kepada sesuatu yang bersifat phisik peralatan peperangan militer tapi juga menyangkut peralatan atau sumber daya (resources) untuk memenangkan persaingan ibidang bisnis dan politik. Sedangkan peralatannya atau tools bisa bervariasi dari penguasaan informasi, sistim, strategi, prosedur/peraturan, sumber daya manusia yang berkwalitas dsb. Yang memerlukan kajian lebih lanjut kenapa Semar mempunyai senjata "Kentut" dan bukan senjata yang bersifat phisik seperti panah, pedang, tombak ataupun sejenisnya. Beberapa sifat senjata "Kentut" nya Semar: 1. Kentut berasal dari dalam diri Semar sendiri, jadi senjata ini sifatnya adalah kekuatan yang muncul dari pribadi Semar bukan alat yang diciptakan atau dibuat. 2. Semar menggunakan senjatanya bukan untuk mematikan tapi lebih untuk menyadarkan. Dalam beberapa lakon/cerita pewayangan Semar menggunakan senjata "Kentut" nya melawan resi/raja/ksatria yang tidak bisa dikalahkan oleh Pandawa Lima yang akhirnya "badar" atau sadar kembali pada perwujudannya yang semula, yang biasanya adalah Bhatara Guru, Bhetari Durga dsb. 3. Semar akan menggunakan senjata "Kentut" nya apabila para raja / ksatria asuhannya tidak bisa mengatasi masalah dengan cara yang konvensional / menggunakan senjata biasa. Sebagai makna simbolik "Kentut" itu sendri mempunyai sifat-sifat: 1. Selalu mempunyai nuansa bersuara dan berbau. 2. Biasanya baunya busuk atau tidak enak. 3. Jadi "Kentut" itu juga bisa berati suara yang berbau atau bernuansa kurang enak didengar maupun dirasakan. Jadi kalau kita kombinasikan dengan dengan simbolik Semar sebagai suara "rakyat" kecil yang bercirikan kesederhanaan yang membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan yang bisa memberikan pandangan yang lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan sehingga bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya. Maka senjata "Kentut" nya Semar adalah bisa punya arti simbolik suara "rakyat" yang menyuarakan kebenaran yang sifatnya memberikan kesadaran kepada para pimpinannya agar kembali pada jalan yang benar sehingga suaranya bagi sang pimpinan adalah suara-suara yang tajam dan tidak enak didengar dan kalau dirasakan sangat bau busuk karena keterus terangannya melaksanakan kritik yang cenderung untuk menyakitkan kalau dirasakan bagi sang pemimpin. Dan kenyataannya apabila rakyat
sudah mengutarakan isi hatinya, apalagi kalau menyampaikan kemarahannya akan lebih dahsyat seperti laiknya "Kentut" Kyai Lurah Semar yang mau tidak mau pemimpin harus sadar untuk memperbaiki diri (atau kepemimpinannya sebetulnya tidak diakui oleh mayoritas rakyat dan rakyat mengakuinya sematamata berdasarkan rasa takut). Dalam kondisi kekinian, suara rakyat yang murni tidak terdengar dalam tata masyarakat Indonesai dikarenakan ada hambatan2 dalam penyampaiannya atau tidak ada kebebasan dalam menyuarakan pendapatnya/keinginannya (termasuk didalamya kemandulan media masa, lembaga perwakilan rakyat untuk dijadikan sarana rakyat menyatakan pendapatnya yang mungkin saja tidak sejalan dengan pendapat yang sedang berkuasa). Sebagai akibatnya para pimpinan negara hanya mendengarkan suara-suara yang merdu dan enak didengar saja yang mungkin jauh dari kenyataan yang ada. Oleh karena itu "rakyat" mencari jalannya sendiri untuk menyuarakan hati nuraninya. Kalau kita membaca Internet - seperti Indonesia-L - barangkali ini lambang "Kentut" nya Semar dengan segala suara yang tidak enak didengar ditelinga oleh para pimpinan Negara kita(kalau mereka baca Internet - mengingat accesnya yang masih terbatas di Indonesia)yang mungkin lebih mendekati realitas dan suara rakyat yang sebenarnya yang menghendaki keterbukaan dan kearifan para pimpinan Negara untuk menerima saran dan kritik agar melakukan perbaikan dan "badar" atau sadar kembali untuk menuju cita-cita masyarakat Indonesia yang adil makmur bagi semua rakyat (bukan buat sebahagian kecil rakyat yang dengan kedekatannya dengan kekuasaan mendapat kesempatan yang lebih dari yang lain) Kesimpulan Senjata "Kentut" nya Semar adalah secara simbolik bisa diartikan senjata pamungkasnya "rakyat" untuk menyadarkan pemimpinnya agar kembali kepada jalan yang benar yaitu etika berbudi luhur yang harus dipegang teguh. Mencapai tujuan yang benar haruslah dengan cara yang benar, adalah sangat disayangkan apabila kita dipimpin oleh pimpinan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (tanpa maksud untuk mengurangi nilai keberhasilan secara phisik yang telah dicapai selama ini). Nilai-nilai luhur etika Jawa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya selalu mengajarkan mencapai tujuan yang baik menuju Indonesia yang adil dan makmur harus dengan sekaligus mempraktekkan etika budi luhur agar terjadi Negara ideal yang "panjang-punjung", panjang berarti menjadi panutan negara lain, punjung berarti mempunyai kewibawaan yang tinggi. Tulisan ini dibuat dengan maksud agar tercapai suatu Pemerintahan (siapapun yang melaksanakan) yang berorientasi sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat secara luas. Ki Ageng Mangir. Referensi: 1. Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo , Apa dan Siapa Semar, 1975,P.T. Gunung Agung SEMAR DAN SENJATA "KENTUT"-NYA
Melanjutkan refleksi budaya pewayangan pada tulisan pertama yaitu "DUNIA PEWAYANGAN DAN KEKUASAN ORDE BARU" yang membahas tentang etika Jawa berkenaan dengan pimpinan ideal dan kekuasaan, tulisan kedua "MAKNA PERANG BHARATAYUDA DAN PERUBAHAN" yang membahas tentang ketidak sempurnaan manusia dan hakekat perang saudara dalam kerangka menegakkan kebenaran melawan keangkara-murkaan agar terjadi
perubahan yang nyata untuk menuju pada tata masyarakat yang lebih baik, pada tulisan kali ini penulis akan membahas tokoh yang sangat menarik didunia pewayangan yang paling banyak mendapat perhatian dan berbagai intrepertasi simbolik yang sangat bervariasi yaitu tokoh Semar dengan senjata ampuhnya "Kentut"yang merupakan bagian terakhir dari trilogi pewayangan. Semar adalah tokoh utama panakawan - arti dari panakawan adalah pana yang berarti bijaksana dan kawan berarti teman jadi artinya adalah teman yang bijaksana - bersama-sama ketiga anaknya yang bernama Gareng, Petruk, dan Bagong, secara umum dalam pewayangan digambarkan sebagai berikut : 1. Semar selalu muncul pada tengah malam pada pagelaran "wayang purwo / kulit" semalam suntuk yaitu setelah episode yang dinamakan "goro-goro" yang dalam "goro-goro" diceritakan terjadi banyaknya kekacauan dimuka bumi ini yang secara simbolik kemunculan Semar dan punokawan meredakan kekacauan tersebut. 2. Pada saat pemunculannya Semar sang Dalang akan bercerita bahwa: "Semar punika saking basa "samar", mapan pranyoto Kyai Lurah Semar punika wujudira samar. Yen den wastani jalu wandanira kadi wanita.Yen sinebat estri, dadapuranira teka pria. Pramila katah ingkang klentu mastani. Yen ta wonten ingkang hatanya menggahing sasipatanira hirung sunti mrakateni, mripat mrembes mrakateni, lan sak panunggalnipun sedaya sarwa mrakateni " yang terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia adalah: "Semar berasal dari kata samar. Memang sesungguhnya wujud dari Kyai Lurah Semar juga samar. Kalau dikatakan laki-laki wajahnya mirip wanita. Kalau disebut wanita perawakannya seperti laki-laki. Oleh karena itu banyak orang keliru menilai. Jika ada yang mencoba memerinci anggota badannya akan melihat hidungnya mancung seperti wanita yang mempesonakan, matanya yang basah juga mempesonakan, dan yang lain-lain-nya juga serba menarik perhatian". 3. Semar dan panakawan lainnya bukan berasal dari epic Ramayana dan Mahabharata sehingga banyak pakar yang menyimpulkan bahwa tokoh tersebut asli Jawa / asli Indonesia yang sudah ada sebelum agama Hindu dan Budha datang ke Indonesia. 4. Diceritakan asal usul Semar adalah dari telor yang : a. Kulitnya menjadi Togog yang menjadi simbol hidup laksana kulit tanpa isi yang mementingkan duniawi semata oleh karena itu ia mengabdi pada raksasa sebagai simbul angkaramurka. b. Putihnya menjadi Semar yang menjadi simbol hidup yang penuh kesucian yang mementingkan isi dari pada kulitnya. Ia selalu memihak kepada kebenaran dan keadilan dan meluruskan segala bentuk penyelewengan oleh karena itu ia mengabdi kepada raja dan ksatria utama. c. Kuningnya menjadi Manikmaya yang mencerminkan kekuasaan karena itu ia dinobatkan menjadi rajanya dewa di Kahyangan "Junggring Salaka" sebagai Bhatara Guru. Biarpun Semar itu manusia atau rakyat biasa yang menjadi panakawan para
raja dan ksatria, tapi dia memiliki kesaktian yang melebihi Bhatara Guru yang rajanya para Dewa. Semar selalu bisa mengatasi kesaktian dari Bhatara Guru apabila ingin mengganggu Pendawa Lima yang dalam asuhannya. Banyak arti simbolik dalam masalah ini yang penulis percayai mungkin mendekati kebenaran adalah : Bhatara Guru dalam agama Hindu adalah Dewa Shiva yang dipuja oleh pemeluk agama Hindu, sedangkan Semar adalah tokoh asli Jawa / asli Indonesia yang mungkin juga dipuja saat sebelum kedatangan agama Hindu. Secara simbolik bisa diartikan bahwa existensi dari budaya atau nilai2 luhur dari Jawa kuno selalu akan bisa mengatasi dari pengaruh Hindu dan secara simbolik selalu memenangkan tokoh Semar terhadap tokoh2 dewa Hindu. Dan hanya dengan menerima tokoh Semar agama Hindu bisa berkembang di Indonesia. Hal ini sekali lagi dibuktikan dengan apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga yang menggunakan senjata Puntadewa jamus "Kalimasada" sebagai transisi dari Hindu menjadi Islam yaitu dengan menimbulkan kisah hutan Ketangga yang mengisahkan pertemuannya dengan Puntadewa dan meng-Islamkan dengan menjabarkan jamus Kalimasada sebagai Kalimat Sahadat. Dan peng-Islaman masayarakat Jawa tidak melepas sama sekali tokoh yang sudah ada dari zaman sebelum Hindu dari sekarang seperti Semar yang perilakunya dijadikan teladan ataupun panutan masyarakat Jawa. Dan disadari oleh Sunan Kalijaga bahwa Islam hanya akan bisa diterima oleh masyarakat Jawa apabila kesenangan orang Jawa akan "wayang purwo / kulit" tidak diganggu yang sebetulnya kesenangan orang Jawa kepada "wayang kulit / purwo" bukan sekedar sebagai tontonon tapi suatu upaya pelestarian dari petuah atau etika atau budaya Jawa yang berumur sangat tua yang masih hidup sampai sekarang oleh karena itu wajah Islam di Jawa atau mungkin juga di Indonesia mempunyai ciri budaya yang berbeda dengan Islam di Saudi Arabia tanpa mengurangi makna Islam yang mendasar. 5. Dengan berjalannya waktu tokoh Semar dan panakawan diterjemahkan sebagai simbol kesederhanaan dari rakyat jelata, dikarenakan kehidupannya sebagai Lurah / Kepala Desa yaitu suatu jabatan kepemimpinan yang paling dasar/bawah dalam sistim pemerintahan yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat pedesaan pada masa lalu, tokoh Semar selalu berada diantara rakyat kecil dan kesederhanaannya telah membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan yang bisa memberikan pandangan yang lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan sehingga bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya. Oleh karena itu diceritakan dalam "wayang purwo/kulit" Semar selalu bisa mengatasi permasalahan yang tidak mampu diatasi oleh asuhannya Pendawa Lima ataupun para raja dan ksatria lainnya. Contoh-contoh diatas adalah memberikan suatu gambaran bahwa tokoh Semar merupakan tokoh yang paling banyak mendapat sorotan interpretasi simbolik dikarenakan keunikan, kesamaran dan ketidakjelasannya dan yang lebih lagi karena sebagai tokoh yang asli Jawa / asli Indonesia yang oleh cendikiawan ataupun budayawan Jawa dimasa lalu disisipkan dalam epic Ramayana dan Mahabharata dalam cerita "wayang purwo / kulit"
tanpa harus merusak kisah kepahlawan yang ingin ditonjolkan bahkan malahan memperkaya nuansa etika yang lebih mendalam. Contoh-contoh diatas belum lagi membahas intepretasi tokoh Semar yang bersifat mistik yang penulis tidak akan bahas disini. Semar dengan senjata ampuhnya "Kentut" Diceritakan dalam pewayangan bahwa Semar mempunyai senjata yang sangat ampuh yaitu berupa "Kentut" dan hal ini yang penulis ingin bahas kandungan simbolik yang semata-mata adalah menurut keterbatasan pandangan penulis sendiri. Sebagai suatu kisah kepahlawanan "wayang purwo/kulit" tidak lepas dari kisah kesaktian senjata dari para pahlawannya untuk bisa memenangkan peperangan, seperti Arjuna dengan senjata panahnya Pasopati, Bima dengan kuku Pancanaka, Sri Kresna dengan Cakra dan sebagainya. Bahkan dalam pewayangan juga dimasukkan unsur keris yang nyata2 bukan senjata dari Hindia tapi asli dari Jawa. Tradisi memuja senjata ini berlanjut pada budaya/sejarah Jawa dengan pada masa-masa kejayaan kerajaan Hindu dan Islam seperti Ken Arok dengan keris Empu Gandring, Raja Balambangan dengan gada Besi Kuning, Panembahan Senopati dengan tombak Kyai Plered, dsb. Senjata sebagai alat memenangkan peperangan akan tetap penting artinya bahkan sampai pada masa kekinian seperti bagaimana Sekutu menggunakan senjata nuklir untuk memenangkan peperangan melawan Jepang. Juga dengan terjadinya perlombaan kecanggihan persenjataan pada masa perang dingin antara Rusia dan Amerika pada masa beberapa tahun yang lalu. Apabila senjata itu kita terjemahkan sebagai tools atau peralatan untuk memenangkan suatu peperangan ataupun persaingan, pengembangan peralatan ini tidak hanya terbatas kepada sesuatu yang bersifat phisik peralatan peperangan militer tapi juga menyangkut peralatan atau sumber daya (resources) untuk memenangkan persaingan dibidang bisnis dan politik. Sedangkan peralatannya atau tools bisa bervariasi dari penguasaan informasi, sistim, strategi, prosedur/peraturan, sumber daya manusia yang berkwalitas dsb. Yang memerlukan kajian lebih lanjut kenapa Semar mempunyai senjata "Kentut" dan bukan senjata yang bersifat phisik seperti panah, pedang, tombak ataupun sejenisnya. Beberapa sifat senjata "Kentut" nya Semar: 1. Kentut berasal dari dalam diri Semar sendiri, jadi senjata ini sifatnya adalah kekuatan yang muncul dari pribadi Semar bukan alat yang diciptakan atau dibuat. 2. Semar menggunakan senjatanya bukan untuk mematikan tapi lebih untuk menyadarkan. Dalam beberapa lakon/cerita pewayangan Semar menggunakan senjata "Kentut" nya melawan resi/raja/ksatria yang tidak bisa dikalahkan oleh Pandawa Lima yang akhirnya "badar" atau sadar kembali pada perwujudannya yang semula, yang biasanya adalah Bhatara Guru, Bhetari Durga dsb. 3. Semar akan menggunakan senjata "Kentut" nya apabila para raja / ksatria asuhannya tidak bisa mengatasi masalah dengan cara yang
konvensional / menggunakan senjata biasa. Sebagai makna simbolik "Kentut" itu sendri mempunyai sifat-sifat: 1. Selalu mempunyai nuansa bersuara dan berbau. 2. Biasanya baunya busuk atau tidak enak. 3. Jadi "Kentut" itu juga bisa berati suara yang berbau atau bernuansa kurang enak didengar maupun dirasakan. Jadi kalau kita kombinasikan dengan dengan simbolik Semar sebagai suara "rakyat" kecil yang bercirikan kesederhanaan yang membawa kepada sifat kearifan dan kesucian pandangan yang bisa memberikan pandangan yang lebih murni tanpa bias terhadap suatu permasalahan sehingga bisa menangkap kebenaran seperti apa adanya. Maka senjata "Kentut" nya Semar adalah bisa punya arti simbolik suara "rakyat" yang menyuarakan kebenaran yang sifatnya memberikan kesadaran kepada para pimpinannya agar kembali pada jalan yang benar sehingga suaranya bagi sang pimpinan adalah suara-suara yang tajam dan tidak enak didengar dan kalau dirasakan sangat bau busuk karena keterus terangannya melaksanakan kritik yang cenderung untuk menyakitkan kalau dirasakan bagi sang pemimpin. Dan kenyataannya apabila rakyat sudah mengutarakan isi hatinya, apalagi kalau menyampaikan kemarahannya akan lebih dahsyat seperti laiknya "Kentut" Kyai Lurah Semar yang mau tidak mau pemimpin harus sadar untuk memperbaiki diri (atau kepemimpinannya sebetulnya tidak diakui oleh mayoritas rakyat dan rakyat mengakuinya semata-mata berdasarkan rasa takut). Dalam kondisi kekinian, suara rakyat yang murni tidak terdengar dalam tata masyarakat Indonesai dikarenakan ada hambatan2 dalam penyampaiannya atau tidak ada kebebasan dalam menyuarakan pendapatnya/keinginannya (termasuk didalamya kemandulan media masa, lembaga perwakilan rakyat untuk dijadikan sarana rakyat menyatakan pendapatnya yang mungkin saja tidak sejalan dengan pendapat yang sedang berkuasa). Sebagai akibatnya para pimpinan negara hanya mendengarkan suara-suara yang merdu dan enak didengar saja yang mungkin jauh dari kenyataan yang ada. Oleh karena itu "rakyat" mencari jalannya sendiri untuk menyuarakan hati nuraninya. Kalau kita membaca Internet - seperti Indonesia-L - barangkali ini lambang "Kentut" nya Semar dengan segala suara yang tidak enak didengar ditelinga oleh para pimpinan Negara kita (kalau mereka baca Internet - mengingat accesnya yang masih terbatas di Indonesia) yang mungkin lebih mendekati realitas dan suara rakyat yang sebenarnya yang menghendaki keterbukaan dan kearifan para pimpinan Negara untuk menerima saran dan kritik agar melakukan perbaikan dan "badar" atau sadar kembali untuk menuju cita-cita masyarakat Indonesia yang adil makmur bagi semua rakyat (bukan buat sebahagian kecil rakyat yang dengan kedekatannya dengan kekuasaan mendapat kesempatan yang lebih dari yang lain) Kesimpulan
Senjata "Kentut" nya Semar adalah secara simbolik bisa diartikan senjata pamungkasnya "rakyat" untuk menyadarkan pemimpinnya agar kembali kepada jalan yang benar yaitu etika berbudi luhur yang harus dipegang teguh. Mencapai tujuan yang benar haruslah dengan cara yang benar, adalah sangat disayangkan apabila kita dipimpin oleh pimpinan yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan (tanpa maksud untuk mengurangi nilai keberhasilan secara phisik yang telah dicapai selama ini). Nilai-nilai luhur etika Jawa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya selalu mengajarkan mencapai tujuan yang baik menuju Indonesia yang adil dan makmur harus dengan sekaligus mempraktekkan etika budi luhur agar terjadi Negara ideal yang "panjang-punjung", panjang berarti menjadi panutan negara lain, punjung berarti mempunyai kewibawaan yang tinggi. Tulisan ini dibuat dengan maksud agar tercapai suatu Pemerintahan (siapapun yang melaksanakan) yang berorientasi sepenuhnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat secara luas. Ki Ageng Mangir. Referensi: 1. Ir. Sri Mulyono Djojosupadmo , Apa dan Siapa Semar, 1975,P.T. Gunung Agung Orang mempelajari cerita pewayangan kebanyakan perhatiannya tertuju kepada judul cerita dan isi pokok ceritanya. Tetapi orang sering ingin mempelajari lebih dalam, ingin mengetahui unsur-unsur cerita yang membentuk struktur ceritanya, unsur yang menjadi perhatian mereka antara lain tema dan tokoh. Bila mengkaji cerita pewayangan, terutama mengenai tokoh-tokoh, amat banyak jumlah tokoh yang diperolehnya. Secara garis besar tokoh cerita pewayangan terdiri dari tokoh dewa dan tokoh bukan dewa. Tokoh dewa dibedakan jenis pria yang disebut dewa atau dewata, dan mendapat sebutan Hyang, Sang Hyang atau Bathara. Jenis wanita, disebut bidadari dan mendapat sebutan Dewi atau Bathari. Tokoh bukan dewa terdiri dari manusia atau yang diindetikkan dengan manussia, raksasa, jin dan setan yang sering disebut lelembut dan hewan, tetapi bukan hewan sembarangan, melainkan hewan jelmaan dewa atau tokoh hewan yang mempunyai kelahiran dan kehidupan luar biasa. Tokoh-tokoh itu tersebar luas dan didapat dalamn cerita lama dan baru. Secara garis besar cerita pewayangan dapat diurutkan sebagai berikut: Pertama, cerita yang menampilkan tokoh dewa dengan keturunnannya. Kedua, cerita Arjunasasra dan tokoh Ngalengka yang bertitik tolak pada masa kehidupan Dasamuka Ketiga, cerita Rama sesaudara dengan permusuhannya dengan Dasamuka sesaudara. Keempat, cerita yang bersumber pada cerita Mahabarata. Cerita yang bersumber pada cerita Mahabarata terbagi pada masa sebelum kelahiran Pandhawa dan Korawa, pada masa kehidupan Padhawa dan Korawa, dan masa setelah kehancuran Korawa dalam perang Baratayuda. Pada masa kehidupan Pandhawa dan Korawa ini muncul berbagai peristiwa yang banyak diolah dan diciptakan bermacam-macam cerita lakon. Masyarakat Jawa sangat tertarik kepada cerita Mahabarata, terutama cerita yang menyangkut kehidupan Yudhistira sesaudara dan Duryodana sesaudara. Cerita bermunculan dengan tema cerita yang menampilkan masalah kehidupan dua kelompok keluarga Pandhawa dan Korawa itu.
Cerita yang menampilkan masyarakat Pandhawa dan Korawa ternyata banyak melibatkan kelompok masyarakat lain. Cerita pewayangan disusun dan dikarang seperti cerita kehidupan masyarakat sungguhan. Munculah jenis cerita roman, yang bisa disebut roman pewayangan, sejenis roman simbolik. Para penyusun cerita lakon pewayangan selain melibatkan tokoh kelompok Pandhawa dan Korawa, juga melibatkan kelompok tokoh dari negara Wiratha, Mandura, Dwarawati, Ngawangga dan negara-negra kecil lainnya. Cerita pewayangan yang mengambil latar tempat Ngamarta, Ngastina dan beberapa negara itu banyak melibatkan tokoh terkenal. Tokoh Pandhawa yang terkenal ialah Yudhistira, Wrekodara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Tokoh Korawa yaitu Duryodana bersama seratus saudara sekandungnya. Tokoh Baladewa dari Mandura, tokoh Kresna dari Dwarawati, dan tokoh-tokoh negara lain serta putra Pandhawa dan Korawa. Mereka banyak terlibat dalam penyusunan cerita lakon mengenai perebutan pewaris kerajaan Ngastina yang amat menarik masyarakat pecinta pewayangan. Tokoh Kresna lebih cenderung kepada pihak Pandhawa. Tokoh Kresna dikenal sebagai manusia jelman dewa, tokoh itu mempunyai banyak cerita dan keistimewaan. Maka termasuk tokoh yang menjadi perhatian masyarakat pecintanya. Demikian besar perhatian masyarakat terhadap tokoh itu, kemudian muncul banyak cerita lakon dengan menampilkan tokoh Kresna. Kelahiran, perkawinan dan beberapa cerita lakon mengangkat tokoh Kresna sebagai tokoh utama. Cerita yang melibatkan warga Padhawa kebanyakan melibatkan Kresna juga.oleh karena itu bila menyoroti tokoh Kresna akan memperoleh gambaran watak dan sikap Kresna dalam berbagai peristiwa. Cerita lakon secara simbolik melukiskan kehidupan masyarakat sekelilingnya atau masyarakat pecintanya. Kresna berkedudukan sebagai raja, anggota keluarga Mandura dan Dwarawati, dan anggota masyarakat. Kresna diberi watak sebagai manusia yang berkedudukan pemimpin dan orang terkemuka. Maka segala sesuatu perwatakannya menjadi cerminan tokoh pemimpin masyarakat pecintanya.
Cerita Kresna di India Nama Kresna didapat dalam Regweda. Diceritakan, Kresna muncul sebagai anak Dewaki yang pandai dan bijaksana. Ada lagi nama Kresna, nama seorang resi anak laki-laki Wiswaka. Dewa besar bernama Kresna bersama sepuluh ribu pengikut melakukan pengrusakan, kemudian dikalahkan oleh Indra. Dalam syair Weda diceritakan limapuluh ribu Kresna terbunuh. Dalam mitologi India diceritakan Kresna adalah pahlawan paling cemerlang, dewa paling populer. Ia adalah awatara Wisnu yang kedelapan, bahkan dikatakan jelmaan Dewa Wisnu. Kresna juga dikenala dalam banyak legenda dan fable, hidup dalam cerita epos. Kresna ikut mengambil bagian dalam cerita Mahabharata. Cerita-cerita pendek banyak yang mengangkat Kresna sebagai dewa. Cerita Kresna berkembang pula dalam cerita Hariwamsa. Dalam kitab purana lebih banyak ceritanya, terutama dalam Bhagawatapurana. Dalam kitab itu kisah hidup Kresna sejak awal diceritakan secara teriinci dan disenngi bnaayak orang. kenakalan sejak kanak-kanak, kesalahan dn cerita cinta masa remaja amat menarik. Cerita awal kehidupan Kresna merupakan ciptaan baru, sedang cerita yang berkaitan dengan tokoh Pandawa lebih banyak berkembang. Kresna berasal dari suku Yadawa, keturunan Yadu, salah satu anak Yayati. Suku Yadawa hidup sebagai penggembala, tinggal ditepi sungsi Yamuna, di Windawana barat. Pada waktu itu berkuasalh Kamsa raja Boja, anak Ugrasena. Setelah mengusir ayahnya, Kamsa memerintah Matura dekat Wrindawana. Ugrasena mempunyai saudara laki-laki bernama Dewaka. Dewaka mempunyai anak perempuan bernama Dewaki. Dewaki kawin dengan Wasudewa anak Sura, keturunan Yadu. Kisah kelahiran Kresna dimuat dalam kitab Wisnupurana dan Mahabharata. Diceritakan dewa Wisnu mencabut dua helai rambut putih dan hitam. Rambut itu dimasukkan dalam rahim Rohini dan Dewaki.
Hamillah dua isteri Wasudewa itu. Rohini melahirkan Balarama, Dewaki melahirkan Kresna atau Kesawa. Wasudewa adalah saudara Kunti isteri Pandu. Maka Kresna adalah saudara sepupu tiga saudara Pandawa. Kresna anak periang dan besar di antara gembala. Kekuatan bahunya terkenal di tiga dunia. Ia membunuh raja Haya yang tinggal di hutan Yamuna, membunuh Danawa berwujud banteng dahsyat yang menakutkan, membunuh Pralambang, Naraka, Yamba, Pita, Asura dan Muru. Ia membunuh Kamsa yang dibnatu oleh Jarasanda. Bersama Balarama ia menghancurkan Sunaman saudara Kamsa dan raja Surasena. Kresna menang dalam sayembara bagi anak perempuan raja Gandara, mengalahkan Jarasanda, Sisupala, Samba dan menguasai kota para Ditya di tepi laut. Ia mengalahkan suku Angga dan Bangga. Di dasar laut ia megalahkan Waruna, di dasar bumi ia mengalahkan Pancajana dan memperoleh kerang Pancajanya. Bersama Arjuna memadamkan kemarahan Agni di hutan Kandawa dan memperoleh sanjata cakra. Ia mengacau Amarawati dengan kendaraan garuda, mengacau kota Indra dan melarikan Parijata. Kresna manaklukana raja Boja dan melarikan Rukmini, kemudian diperistrinya. Ia menghancurkan orangorang Gandara, mengalahkan anak Nagnajit dan membebaskan raja Sudarsana dari tahanan musuh. Ia membunuh Pandya dengan kepingan daun pintu, menghancurkan orang-orang Kalingga di Dantakura. Kresna berhasil memulihkan kota Benares yang habis terbakar. Ia membunuh Ekalawya raja Nisada dan iblis Jamba. Bersama Balarama ia menaklukan raja Sunaman anak Ugrasena, kemudian menyerahkan kerajaan Mathura kepada Ugrasena. A menaklukan kota Sauba dan raja Salwa, dan memperoleh senjata Satagni yang sakti. Kresna menolong Indra untuk mengalahkan Naraka yang melarikan anting-anting permata milik Aditi dan dibawa ke Pragjotrisna. Kresna berhasil menewaskan Muru dan Oga, kemudian Naraka. Anting-anting permata berhasil direbut kembali dari tangan Naraka. Kresna adalah bangsawan Dwaraka, hadir dalm sayembara Drauoadi. Ia membantu memberi jawaban sayembara, sehingga Draupadi dapat diboyong oleh Arjuna. Ketika Pandaw menguasai Indraprastha Kresna mengunjungi mereka dan ikut berburu ke hutan Kandawa. Di hutan itu Kresna dan Arjuna memihak Agni yang ingin membakar hutan. Tetapi dihalanghalangi oleh Indra. Agni memberi Cakra dengan nama Wajranaba dan gada bernama Kaumodaki. Indra dapat dikalahkan, Agni membakar hutan Kandawa. Ketika Arjuna berkunjung ke Dwaraka diterima oleh Kresna dengan gembira. Pada waktu itu Arjuna jatuh cinta pada Subhadra, adik Kresna. Kresna menyetujui percintaan Subhadra dan Arjuna, tetapi Balarama menolak maksud Arjuna memperistri Subhadra. Ketika Yudhisthira ingin menyelenggarakan upacara korban Rajasuya, Kresna menyarnkan agar ia menaklukan Jarasanda raja Magada. Jarasanda diserang dan tewas. Tindakan itu dilakukan sebagai balasan ketika Kresna dipaksa meninggalkan Mathur dan pindah ke Dwaraka. Kresna menghadiri upacara korban Rajasuya, ditempat itu bertemu Sisupala yang istrinya telah dilarikan oleh Kresna. Sisupala menghina dan bersikap keras. Kresna berang, Sisupala di cakra, putus kepalanya. RS. Subalidinata
MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu. Yang ada itu sesungguhnya tidak ada. Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan. Yang bukan dikira iya. Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru. Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.
Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu: 1. tidak pernah lapar 2. tidak pernah mengantuk 3. tidak pernah jatuh cinta 4. tidak pernah bersedih 5. tidak pernah merasa capek 6. tidak pernah menderita sakit 7. tidak pernah kepanasan 8. tidak pernah kedinginan kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia. Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga. Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta. Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna. Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya. Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar. Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar.
Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada. Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol,berkulit hitam yang bernama Semarasanta. Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta. Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar. SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi. (herjaka) Semar, Gareng, Petruk, Bagong Dalam perkembangan selanjutnya, hadirnya Semar sebagai pamomong keturunan Saptaarga tidak sendirian. Ia ditemani oleh tiga anaknya, yaitu; Gareng, Petruk, Bagong. Ke empat abdi tersebut dinamakan Panakawan. Dapat disaksikan, hampir pada setiap pegelaran wayang kulit purwa, akan muncul seorang ksatria keturunan Saptaarga diikuti oleh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Cerita apa pun yang dipagelarkan, ke lima tokoh ini menduduki posisi penting. Kisah Mereka diawali mulai dari sebuah pertapaan Saptaarga atau pertapaan lainnya. Setelah mendapat berbagai macam ilmu dan nasihatnasihat dari Sang Begawan, mereka turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan melakukan tapa ngrame. (menolong tanpa pamrih). Dikisahkan, perjalanan sang Ksatria dan ke empat abdinya memasuki hutan. Ini menggambarkan bahwa sang ksatria mulai memasuki medan kehidupan yang belum pernah dikenal, gelap, penuh semak belukar, banyak binatang buas, makhluk jahat yang siap menghadangnya, bahkan jika lengah dapat mengacam jiwanya. Namun pada akhirnya Ksatria, Semar, Gareng, Petruk, Bagong berhasil memetik kemenangan dengan mengalahkan kawanan Raksasa, sehingga berhasil keluar hutan dengan selamat. Di luar hutan, rintangan masih menghadang, bahaya senantiasa mengancam. Berkat Semar dan anakanaknya, sang Ksatria dapat menyingkirkan segala penghalang dan berhasil menyelesaikan tugas hidupnya dengan selamat. Mengapa peranan Semar dan anak-anaknya sangat menentukan keberhasilan suatu kehidupan? Sudah dipaparkan pada dua tulisan sebelumnya, bahwa Semar merupakan gambaran penyelenggaraan Illahi yang ikut berproses dalam kehidupan manusia. Untuk lebih memperjelas peranan Semar, maka tokoh Semar dilengkapi dengan tiga tokoh lainnya. Ke empat panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta. Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan, tangan cekot adalah rasa ketelitian dan kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari kehendak, keinginan, karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya selalu bersedia bekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karya berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masing-masing dengan harmonis, untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan signifikan.
Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya). Simbolisasi ksatria dan empat abdinya, serupa dengan 'ngelmu' sedulur papat lima pancer. Sedulur papat adalah panakawan, lima pancer adalah ksatriya. Posisi pancer berada ditengah, diapit oleh dua saudara tua (kakang mbarep, kakang kawah) dan dua saudara muda (adi ari-ari dan adi wuragil). Ngelmu sedulur papat lima pancer lahir dari konsep penyadaran akan awal mula manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Awal mula manusia diciptakan di awali dari saat-saat menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (bayi, dalam konteks ini adalah pancer) lahir dari rahim ibu, yang muncul pertama kali adalah rasa cemas si ibu. Rasa cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian pada saat menjelang bayi itu lahir, keluarlah cairan bening atau banyu kawah sebagai pelicin, untuk melindungi si bayi, agar proses kelahiran lancar dan kulit bayi yang lembut tidak lecet atau terluka. Banyu kawah itu disebut Kakang kawah. Setelah bayi lahir akan disusul dengan keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi ari-ari dan darah disebut Adi wuragil. Ngelmu sedulur papat lima pancer memberi tekanan bahwa, manusia dilahirkan ke dunia ini tidak sendirian. Ada empat saudara yang mendampingi. Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat adalah raga sejati. Bersatunya suksma sejati dan raga sejati melahirkan sebuah kehidupan. Hubungan antara pancer dan sedulur papat dalam kehidupan, digambarkan dengan seorang sais mengendalikan sebuah kereta, ditarik oleh empat ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih. Sais kereta melambangkan kebebasan untuk memutuskan dan berbuat sesuatu. Kuda merah melambangkan energi, semangat, kuda hitam melambangkan kebutuhan biologis, kuda kuning melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih melambangkan keheningan, kesucian. Sebagai sais, tentunya tidak mudah mengendalikan empat kuda yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya. Jika sang sais mampu mengendalikan dan bekerjasama dengan ke empat ekor kudanya dengan baik dan seimbang, maka kereta akan berjalan lancar sampai ke tujuan akhir. Sang Sangkan Paraning Dumadi. (herjaka)
Puntadewa adalah anak sulung Prabu Pandu Dewanata, seorang Raja Astinapura. yang lahir dari Dewi Kunthi Talibrata. Dari ibu yang sama ia mempunyai dua adik laki-laki, yaitu Bimasena dan Harjuna. Sedangkan dari Dewi Madrim ibu yang lain, Puntadewa mempunyai saudara laki-laki kembar, bernama Pinten dan Tansen. Kelima anak laki-laki Pandu Dewanata lebih dikenal dengan sebutan Pandhawa Lima. Selain berayah Pandudewanata, Puntadewa dikenal juga sebagai anak Dewa pendarma, yang bernama Bathara Dharma. Pada umumnya Puntadewa dianggap tokoh baik, berwatak putih suci, berbudi halus, sabar, berbelas kasih, setia, tidak mau mengecewakan orang lain, dan tulus ikhlas memberikan kepunyaannya kepada orang lain yang membutuhkan. Bahkan istrinya sekali pun jika diminta, akan diberikan. Karena perilaku yang teramat baik itulah, Puntadewa disebut sebagai manusia sempurna berdarah putih, atau manusia Ajatasatru, artinya manusia yang tidak mempunyai musuh. Sebagai anak sulung, Puntadewa dipersiapkan menjadi raja. Namun sayang, Pandu Dewanata wafat ketika ke lima anak-anaknya masih kecil, sehingga untuk sementara negara Astinapura di titipkan kepada kakak Pandu yang bernama Destarasta, dengan janji bahwa nanti setelah Pandawa dewasa Kerajaan Astinapura akan diserahkan kepada Puntadewa. Namun janji tersebut tidak pernah ditepati. Buktinya, setelah Puntadewa dan ke empat adiknya dewasa, para kurawa yang didalangi Patih Sengkuni mencoba membunuh mereka dengan cara menjebaknya dalam sebuah rumah dan membakarnya hidup-hidup. Peristiwa tersebut dikenal dengan sebutan "Bale Sigala-gala." Setelah tragedi berlalu, diantara puingpuing reruntuhan, didapatkan enam jenasah yang hangus terbakar, dan itu diyakini bahwa mereka adalah Kunthi Puntadewa dan ke empat adiknya. Dengan demikian tahta Hastina sudah aman dari pewarisnya. Maka segeralah Duryudana, anak sulung Prabu Destarastra naik tahta menjadi Raja Hastinapura.
Beberapa tahun kemudian, ada berita bahwa Puntadewa, Kunthi dan keempat adiknya masih hidup dan bahkan saat ini mereka sedang merayakan perkawinan Puntadewa dengan Dewi Drupadi di Negara Pancala. Agar Para Pandawa tidak merebut tahta Hastina, Destarastra menyarankan kepada Duryudana untuk memanggil mereka dan memberikan tanah kepada Puntadewa sebagai pengganti bumi Hastina. Tanah tersebut berupa hutan yang bernama Wanamarta. Walaupun merasa diperlakukan tidak adil, dengan ikhlas Puntadewa dan keempat adiknya melakukan pekerjaan besar, yaitu Babad Alas Wanamarta. Dikisahkan bahwa Alas Wanamarta sesungguhnya merupakan sebuah Kraton "lelembut"yang sangat indah bernama Indraprasta, Prabu Yudistira, adalah nama rajanya. Ia mempunyai empat adik laki-laki bernama Dandunwacana, Dananjaya dan saudara kembar Nakula, Sadewa. Di dalam Wayang Kulit Purwa, Prabu Yudistira dan ke empat adik laki-lakinya bentuknya sulit dibedakan dengan Pandawa Lima. Prabu Yudistira seperti Puntadewa, Dandunwacana hampir sama dengan Bimasena, Dananjaya mirip Harjuna, sedangkan Nakula Sadewa tidak jauh berbeda dengan Pinten dan Tansen. Ketika Puntadewa, adik-adiknya dan didukung para kawula berkumpul di hutan untuk memulai membabat hutan Wanamarta, Prabu Yudistira dan adik-adiknya merasa terusik, mereka marah dan ingin menggagalkan babad Alas Wanamarta. Namun niat itu diketahui oleh Harjuna, karena ia mempunyai pusaka 'Lenga Jayeng Katon' yang jika dioleskan di mata dapat melihat para makhluk halus. Maka terjadilah peperangan antara Pandawa dan para penguasa Kerajaan Indraprasta. Pada akhirnya, Prabu Yudistira dapat ditundukan. Kerajaan Indraprasta diserahkan kepada Puntadewa. Jiwa Prabu Yudistira masuk ke dalam jiwa Puntadewa, diikuti oleh jiwa Dandunwacana bersatu dengan Bimasena, Dananjaya bersatu dengan Harjuna, si kembar Nakula dan Sadewa menyatu dengan si kembar Pinten dan Tansen. Setelah peristiwa itu, keajaiban terjadi. Alas lebat Wanamarta berubah menjadi keraton megah dan indah, dengan nama Indraprasta. Puntadewa diangkat menjadi Raja dengan gelar Prabu Yudistira. Demikian juga Bimasena disebut juga Dandunwacana, Harjuna disebut Dananjaya, dan Pinten, Tansen disebut juga Nakula, Sadewa. Sebagai ucapan syukur atas keberhasilan mendirikan Keraton Indraprasta yang besar dan sangat indah, jauh melebihi Negara Astinapura, Prabu Yudistira mengadakan upacara sesaji yang dinamakan Sesaji Raja Suya. Pada upacara tersebut, Prabu Yudistira mengundang Raja-raja dari seribu negara, termasuk Raja Astina Prabu Duryudana. Pada Upacara Sesaji Raja Suya, nampaklah kebesaran Prabu Yudistira yang dielu-elukan raja dari seribu negara dan juga kemegahan dan keindahan negara Indraprasta. Tentu saja Prabu Duryudana menjadi iri. Di dalangi oleh Patih Sengkuni, Prabu Duryudana ingin merebut Negara Indraprasta. Maka disusunlah siasat licik. Prabu Duryudana mengundang Puntadewa untuk bermain dadu dalam sebuah acara pesta. Pada puncak permainan dadu, Puntadewa mempertaruhkan negara Indraprasta beserta isinya, dan kalah. Akibatnya Puntadewa dan adik-adiknya, juga kawula Indraprasta terusir dari keraton. Mereka dibuang ke hutan dan hidup sengsara selama 13 tahun.
Ribuan Bala tentara bergerak maju bagaikan ombak samudra saling menerjang silih berganti. Gemerincing suara pedang dan kelewang bersulingnya anak panah ditingkah jerit lengking anak manusia, seakan ilustrasi musik kematian yang mengerikan. Itulah perang besar Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa. Gelanggang perang Kurusetra yang terhampar luas bagaikan sebuah pentas permainan drama perebutan nyawa. Panggung maut itu tampak menyeramkan dikelilingi hutan tempat setan dan iblis bercokol turut berpesta menonton kisah drama kematian. Mereka tertawa riang, mereka merasa senang melihat darah berceceran daging berkeping-keping pertanda hancurnya peradaban manusia nyawa tidak berharga. Demikian perang Barata telah dimulai akibat Duryudana menolak perdamaian. Tongkat panglima di pihak Kurawa berada di tangan si jago tua Arya Bisma yang terkenal gagak sakti tiada tanding. Selain Bisma juga Dorna mantan guru Pandawa ahli menggunakan senjata dan pakar strategi perang, ditopang aji Chandra Birawanya Salya yang ganas mematikan. Sementara di pihak Pandawa hanya memiliki seorang Kresna itu pun tak boleh terlibat langsung secara fisik dalam perang, kecuali memberi petunjuk di saat Pandawa mengalami kesulitan. Demikianlah selama sembilan hari komando Kurawa di tangan Bisma, serangan Pandawa praktis menjadi lumpuh. Tidak sedikit prajurit yang mati perwira yang perlaya menghadapi amukan Bisma. Siasat gunung segara sulit ditebus. Masuknya Arjuna dalam peperangan kekuatan agak seimbang, meskipun untuk memperoleh kemajuan tetap seru. Melihat perkembangan yang memprihatinkan, Pandawa mengadakan pertemuan membahas bagaimana mengatasi situasi. Mereka bertanya kepada nasehat agung Kresna. "Selama komando pihak Kurawa masih di tangan Bisma, Pandawa tidak akan memperoleh kemajuan apalagi untuk keluar sebagai pemenang. Bisma tak dapat dikalahkan oleh prajurit laki-laki betapapun saktinya," ujar Kresna. "Kalau Bisma tak dapat dikalahkan oleh laki-laki, apa harus sama cewek?" seloroh bima seenaknya saking keselnya. "Kau benar dik. Di tangan prajuit wanitalah rahasia kelemahannya," Kresna membenarkan pendapat Bima. Siapa lagi prajurit wanita kalau bukan Srikandi istri Arjuna. Demikianlah kesokan harinya dengan didampingi Arjuna, Srikandi menuju medan laga Kurusetra mengendarai kereta perangnya. Terkejut Bisma melihat Srikandi menuju ke arahnya. Sementara di angkasa sukma Dewi Amba yang pernah disakiti hatinya oleh Bisma telah siap meraga sukma ke tubuh Srikandi, Bisma sadar bahwa lembaran hidupnya akan segera berakhir. Ia berguman: "Amba aku takkan lari dari sumpahmu. Tapi aku sebagai prajurit takkan membiarkan kemenanganmu akan mudah diraih," tegasnya.
Akhirnya dalam perang itu Bisma roboh setelah sebuah panah Srikandi menancap didadanya yang kemudian disusul panah Arjuna mendorong panah Srikandi bagaikan sebuah paku yang dipalu panah itu tembus ke punggung sang Gangga putra. Tapi karena badannya penuh dengan panah, maka tubuhnya tidak sampai menyentuh tanah. Ia seolah-olah berkasurkan panah, sedang kepalanya terkulai. Seketika perang dihentikan guna menghormat seorang pahlawan agung yang banyak jasanya pada keturunan Barata. Hari itu Pandawa dan Kurawa tampak akrab saling bertanya, sejenak mereka melupakan perang. Bisma tersenyum puas karena telah memenuhi darma baktinya. Karena kepalanya terkulai ia minta diganjal. Segera Duryudana memerintahkan mengambil bantal empuk bersarungkan kain sutra. Tapi Bisma menolak katanya: "Maaf, bantal ini terlalu bagus. Aku ingin bantal yang pantas buat seorang prajurit." Bisma melirik pada Arjuna. Arjuna mengerti apa yang diminta. Dengan mata berkaca -kaca Arjuna melepas tiga anak panah ketanah dan kepala Bisma direbahkan tersangga oleh anak panah itu seraya berkata: "Nah, beginilah pantasnya bantal seorang prajurit di medan laga. Jangan aku dipindah dari sini," pintanya. "Oh, aku haus, tolong berikan air," Tanpa pikir lagi Duryudana segera memerintahkan mengambil arak dan anggur. Pemberian itu kembali ditolak dan Bisma melirik Arjuna, dilepaskanlah anak panah ke tanah dibagian sisi kanan Bisma dan keluarlah air jernih memancar dari tanah dan jatuh persis di mulutnya dan dengan nikmatnya ia minum air itu. Sesaat kemudian Bisma berkata kepada Duryudana: "Wahai cucuku Duryudana, kepandaian Arjuna menandingi Dewa. Dalam segala hal ia tampak lebih menonjol. Karena itu dia bukan tandinganmu. Lebih baik berdamai, berikanlah sebelah negeri ini kepada Pandawa dan hiduplahj rukun bersamanya," wejangnya. "Tidak eyang, perang tak akan berhenti dan sejengkal tanah pun takkan kuserahkan. Aku yakin kemenangan akan berada di pihak kami," sergahnya tegas. Begitulah keesokan harinya perang pun dimulai lagi. Kali ini Pandawa terus memperoleh kemenangan karena Bisma yang menjadi andalannya telah tiada. Next: Kunti Perawan yang Sudah Berputra
Judul di atas sulit diterima oleh akal bila dikaji secara rasional, bahwa ada wanita yang melahirkan anak tetapi ia masih tetap perawan. Lain halnya di zaman
kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran, wanita dapat melahirkan anak hanya dengan menyuntikkan sperma laki-laki ke dalam tubuhnya dan si anak tetap keluar dari rahimnya (inseminasi). Lebih lain lagi hanya bila seorang gadis melahirkan anak di luar nikah istilah sopannya disebut "kecelakaan". kehamilan Dewi Kunti berawal dari sebuah mantra yang disebut Aji Dipa pemberian resi Druwasa yang keampuhannya dapat mendatangkan seorang dewa yang dikehendaki. Tentu saja mantra itu tidak boleh dipergunakan di sembarang waktu, terlebih di saat sang surya sedang menyinarkan cahanya karena akan mendatangkan malapetaka kepada dirinya. Namun rupannya sang dewi merasa penasaran ingin mencoba sejauh mana keampuhan mantra itu. Dengan tidak memperdulikan larangan dan akibatnya, ia bersemadi dan membaca mantra justru di saat sang surya sedang berkuasa menyinari alam marcapada atau dunia manusia yang penuh dihuni berbagai makhluk hidup. Di kala sang dewi sedang tenggelam dalam semadi, tiba-tiba muncul seberkas cahaya yang sangat terang masuk ke dalam kamar dan cahaya itu redup menjelma menjadi sosok tubuh laki-laki berwajah tampan yang tak lain adalah Dewa Batara Surya berdiri di hadapan sang dewi dan bersabda: "Wahai dewi, akulah dewa surya penguasa alam siang. Aku datang memenuhi panggilanmu, dan aku akan menanamkan benih suci di rahimmu. Tetapi engkau tak perlu khawatir, keperawananmu akan tetap terjaga dalam keadaan tetap suci," ujarnya. Kunti menyembah dengan ketakutan: "Oh, bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana tuan tiba-tiba ada disini? Hamba tak mengerti." Surya : "Hemmm, apa yang baru saja engkau lakukan, Kunti?" Kunti : "Bersemadi, seperti yang dikatakan resi Druwasa, lalu hamba mencobanya. Itu saja." Surya : "Ya, itu sebabnya aku datang memenuhi panggilanmu." Kunti : "Tapi, tapi....." Surya: "Engkau telah mencobanya justru di saat yang dilarang oleh resi Druwasa. Dilarang tapi engkau tetap mencobanya. Itu sebabnya engkau akan mendapat hasilnya." Kunti : "Oh, tidak, tidak, hamba tidak bermaksud berbuat yang tidak baik. Hamba berusaha menjaga kesucian." Surya : "Engkau harus mengerti dan setiap wanita harus mengerti, bahwa ada sesuatu yang keluar dari rahimnya, dan kini engkau telah mencobanya melalui mantra suci, maka engkau akan tetap suci." Selanjutnya apa yang dilakukan oleh Dewa Surya terhadap Kunti, hanya Kunti yang tahu. Yang pasti Kunti telah berbuat, Kunti telah melakukan dan Kunti telah mengalami lewat kesucian mantra. Setelah itu Dewa Surya berlalu dan tak lama kemudian sang Dewi pun hamil. Di saat sang dewi melahirkan terjadi sesuatu yang tak masuk akal. Anak itu lahir tidak melalui rahim, tetapi keluar dari telinga. Karena itu si anak diberi nama Karna yang artinya Telinga. Kunti masih tetap suci walau ia telah berputra. Bagaimanapun, walau Kunti masih suci tetapi ada bukti seorang bayi. Sebagai wanita yang punya etika perasaan malu tetap ada. Ia takut menjadi bahan pergunjingan khalayak. Maka secara diam-diam si bayi dimasukkan ke dalam "Kandaga" kemudian dilarung ke sungai Aswanadi dan hanyut sampai ke tanah Angga (Awangga) serta ditemukan oleh seorang kusir bernama Adirata dan diakui sebagai anaknya. Nasib baik telah menanti di saat dewasa ia diangkat menjadi bupati daerah Awangga oleh raja Duryudana yang berkuasa di negeri Astina. Pengangkatan itu bersifat politis, karena kegagahannya dapat diandalkan dalam perang melawan kaun Pandawa.
Bila dikaji maknanya, Kunti bukan sekadar masih suci, bukan pula si anak lahir bukan dari rahimnya, tetapi kehamilannya itu merupakan peristiwa "aib" bagi seorang gadis akibat nekad ingin mencoba akhirnya jadi malapetaka. Tidak jarang diberitakan di mass media seorang gadis melahirkan anak di luar pernikahan, kemudian bayinya dibuang begitu saja untuk menghindari rasa malu. Cerita wayang banyak terjadi dalam kehidupan nyata, karena wayang adalah "bayangan" perilaku manusia, tetapi wayang bukan sejarah manusia. Para pujangga menciptakan bukan sekadar mencipta tanpa makna, melainkan merupakan simbol kehidupan yang dapat dipetik inti sarinya, setidaknya dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dengan kehidupan di alam nyata. Prev: Bisma Gugur di Tangan Prajurit Wanita Next: Yudhistira Lambang Manusia Sabar dan Adil
Orangnya pendiam tidak banyak bicara. Kalaupun berbicara tidak banyak direkayasa supaya menarik perhatian orang. Ia sabar, jujur dan adil serta pasrah dalam menghadapi cobaan hidup. Dialah yudhistira. Karena jujur dan sabar harus disertai kesumerahan, maka ia mampu memenjarakan nafsu. kesabaran tanpa kesumerahan belum dapat dikatan sabar. Untuk melukiskan sejauh mana kesabaran dan kesumerahannya, dijelaskan dalam kisah sebagai berikut: ketika itu Pandawa sedang berada di hutan Kamiaka. Merek sedang menjalani hukuman buang selama 13 tahun akibat tipudaya kaum Kurawa. Lapar dan dahaga serta bahaya yang setiap saat mengancam merupakan derita yang amat sangat. Tetapi berkat keteguhan dan ketabahan serta tak putus-putus berdoa kepada Hyang Maha Tunggal kesemua itu dapat diatasi. "Hemm, sampai kapan derita ini akan berakhir, si Duryudana keparat itu semakin besar kepala," geram Bima, "Baru tujuh tahun Sena. Tinggal enam tahun lagi, sabarlah dik," Yudhistira menghibur. "Kalau saja aku diberi ijin kakang Yudhis, sekarang juga aku gedor si laknat itu," kata Bima penuh nafsu. "Tulisan neraca Maha Agung tak dapat diubah lagi. Andaipun kita bertindak, tetapi tidak akan merubah
nasib, dik. Malapetaka ini harus kita jadikan pelajaran untuk memperkuat jiwa dan pikiran agar siap menghadapi segala tantangan hidup," ujar Yudhistira. Sabar dan kesumerahan Yudhistira membuat adikadiknya tunduk tak berani membantah. Pada suatu hari terjadi musibah menimpa keluarga Pandawa. Arjuna, Nalu dan Sadeewa ditemukan ajal setelah minum air kolam di tengah hutan itu. Rupa-rupanya kolam itu ada penunggunya. Dengan perasaan sedih Yudhistira berkata: "Duh, dewta, siapa yang tega mencabut nyawa adik-adikku. habislah harapanku untuk merebut negeri Astina. Dinda Arjuna, kaulah andalan kami, tapi kini kau telah pergi untuk selama-lamanya. Apa dayaku," ratapnya. Tak lama kemudian terdengar suara tanpa rupa: "Mereka mati karena minum air kolam. Peringatanku tak dihiraukan." "Oh, siapakah tuan?" tanya Yudhistira. "Aku penunggu kolam. Saudaramu tak menghiraukan peringatanku untuk tidak minum air itu," jawabnya. "Hamba mohon maaf atas kelancangan adik-adik hamba. Jika memang kematiannya sudah kehendak Hyang Pinasti, hama relakan. Tetapi jika kematiannya belum waktunya, sudi kiranya tuan menolong menghidupkannya kembali," pintanya. "Aku bersedia menghidupkan salah seorang diantara mereka, asal kau bersedia menjawab beberapa pertanyaanku," kata suara itu. "Hamba akan menurut kehendak tuan, Silahkan tuan bertanya barangkali hamba dapat menjawabnya," "Baik, dengarkan. Pertanyaan pertama: Siapa musuh yang paling gagah suka membunuh tapi sukar dilawan?" Menurut hamba musuh yang paling gagah adalah hawa nafsu yang bersemayam di dalam diri sendiri. Ia suka membunuh apabila diperturutkan keinginannya. Ia sukar dilawan jika iman ikta lemah," jawab Yudhistira. "Jawabanmu benar. Sekarang pertanyaan kedua: Yang bagaimana orang yang baik itu dan bagaimana orang yang buruk itu?" "Menurut hamba orang yang baik adalah orang yang berbudi luhur mau menolong yang susah dan kasih sayang terhadap sesama. Sedangkan orang yang buruk adalah orang yang tak menaruh belas kasih dan tak berperikemanusiaan." "Benar, sekarang apakah yang tinggi ilmu itu orang yang pandai membaca kitab atau ngaji, atau orang alim atau karena keturunan?" "Menurut hamba orang yang berilmu tinggi bukan karena ia pintar ngaji. Sebab meskipun pintar ngaji, ilmunya tinggi tetapi kalau pikirannya takabur suka ingkar janji, dia bukan orang alim dan bukan pula orang baik," jawabnya. "Jawabanmu semua benar. Sekarang pilih salah seorang mana yang harus aku hidupkan kembali," kata suara itu. Yudhistira tampak bingung siapa yang harus ia pilih. Menurut kata hati Arjunalah pilihannya. Selain satu ibu. dia merupakan andalan jika ada kerusuhan. Tapi pilihan itu segera hilang dari ingatannya, manakala pertimbangan rasa tertuju kepada si kembar yang sudah tidak beribu. Jikawa memilih Arjuna. selain akan sedih arwahnya, juga sangat tak adil. Maka akhirnya pilihan jatuh kepada Nakula yang segera ia sampaikan kepada si penunggu kolam. "Hamba memilih Nakula, tuan." "Mengapa engkau memilih Nakula. Bukankah Arjuna lebih penting untuk tenaga andalanmu, lagi pula seibu?" tanya suara itu.
"Bagi hamba bukan soal penting atau tidaknya, tetapi keadilannya. Dengan memilih Nakula, maka kedua ibu hamba akan sama-sama merasa senang. Dari ibu Kunti kehilangan Arjuna, sedangkan dari ibu Madrim kehilangan Sadewa. Bukankah pilihan itu cukup adil," jawab Yudhistira. "Benar-benar engkau kekasih Yang Manon. Kau manusia berbudi luhur, sabar dan cinta keadilan. Tapi mengapa engkau lebih berat kepada adil dari pada kasih sayang?" tanyanya lagi. "Sebab adil harus jauh dari sifat serakah. Jika hanya kasih atau sayang saja, maka ia akan menyalahkan yang benar membenarkan yang salah. Yang buruk seperti bagus, yang kotor seperti bersih, yang dilihat hanya bagusnya saja. Wataknya masih suka menghilangkan kebenaran mengaburkan penglihatan," Yudhistira menegaskan pendiriannya. Suara itu tak menjawab lagi, sebagai gantinya Batara Darma, dewa keadilan, telah berdiri di hadapan Yudhistira seraya bersabda: "Anakku, engkau benar benar mustikaning manusia. Sebagai imbalannya ketiga saudaramu akan kuhidupkan kembali," tukasnya, yang tak lain adalah suara yang tanpa rupa tadi. Betapa gembirannya Yudhistira dapat berkumpul kembali dengan adik-adiknya. Kemudian mereka melanjutkan pengembaraannya menyusuri hutan-hutan belantara dengan tabah dan tawakal. Dia putra Arjuna yang lahir dari cintanya yang pertama kepada seorang wanita yang bernama Sumbadra putri Raja Basudewa dari Dewi Badraini. Abimanyu kekasihnya satria muda usia, sopan tutur bahasanya, ortmat kepada orang tua dan tak segan menolong sesamanya. Istrinya bernama Utari putri Raja Wirata, berputra seorang bernama parikesit yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan Astina menggantikan Prabu Yudhistira. Sayang ia kurang wiwaha seperti kebanyakan anak muda. Tindakannya ceroboh menurut kata hati tak pandang bahaya mengancam akhirnya terjadi malapetaka menimpa dirinya. Malapetaka itu terjadi ketika satria Plengkawati itu hendak menolong pasukan pandawa yang terkepung rapat balatentara Kurawa di Tegal Kuru Setra Dengan keberanian yang luar biasa ditunjang semangat yang menyala-nyala, diterjangnya barikade musuh hingga porak poranda dan pasukan Pandawa pun terbebas dari malapetaka yang nyaris menghancurkan. Namun rupanya si anak muda itu belum merasa puas, darah mudanya bergejolak, ia terus menghajar musuh seorang diri walau sempat diperingatkan para Pandawa agar tidak meneruskan maksudnya, tapi tak digubrisnya. Ia malah terus memacu kudanya melaju menggempur musuh hingga jauh menusuk jantung pertahanan Kurawa. Akibatnya perbuatan yang berani tetapi tak berhati-hati itu berakibat fatal baginya. Pihak Kurawa yang lebih unggul dalam pengalaman taktik strategi perang telah memasang perangkap yang disebut Durgamarungsit, yaitu sebuah perangkap semacam bubu yang apabila orang masuk ke dalamnya tak akan bisa keluar lagi. Siasat itu ditambah lagi dengan perangkap yang lebih berbahaya lagi yaitu perangkap Gelar Maha Digua semacam pintu jebakan. Di setiap balik pintu telah bersembunyi sebagai algojo. Di situlah si anak muda belia itu dibantai, dibokong dari belakang, dihimpit dari pinggir, dihadang dari depan serta dihujani berbagai rupa senjata hingga bandanya arang kerancang. Akhirnya gugur ditikam dari belakang oleh tumenggung Kelana jayadrata. Kualitas manusia Kurawa sungguh tak berperikemanusiaan, curang dan menyalahi aturan perang. Anak yang masih ingusan diperlakukan bagai binatang buruan dikepung dan dibantai oleh orang-orang yang
bukan layak menjadi lawannya. Akibatnya anak tewas secara tragis, Arjuna terpukul jiwanya. Ia tampak lesu tak bergairah hingga membuat para Pandawa prihatin mengingat Arjuna andalan dalam perang itu. Menyadari situasi yang tidak menguntungkan, Kresna memberi wejangan: "Adikku, sedih, nelangsa, sakit hati sudah lumrah dalam hidup ini. Itu pertanda kita masih memiliki perasaan. Tetapi janganlah kesedihan itu berlarut-larut hingga menghambat perjuangan yang sedang kita hadapi. Tabahkanlah hati adinda menghadapi cobaan ini. Gugurnya Abimanyu tidaklah sia-sia, dia telah membuktikan dirinya sebagai pejuang muda yang gagah perkasa pantang menyerah. Dia gugur sebagai kusuma bangsa yang akan dikenang sepanjang masa," ujarnya. Wejangan Kresna itu memberi pengertian, bahwa apa pun yang terjadi walau pahit dirasakannya, hendaknya diterima dengan kebesaran jiwa sebagai tolak ukur atas kelebihan dan kekurangan manusia. hati Arjuna terusik mendengar wejangan itu lalu berkata: "Duh kanda Batara. hamba bukans edih karena kematian anak. Hamba hanya tak rela 'cara'nya anak itu mati. Hamba dapat merasakan seolah dia pun tak rela mati dengan cara demikian. Dia seolah tersentak diperlakukan bagai binatang buruan, dikepung dan dibantai oleh orang-orang yang hanya pantas menjadi lawan hamba. mereka orang-orang sakti tapi tak manusiawi. Karena itu hamba akan menuntut balas," ujarnya penuh rasa dendam. Di saat itu pula emosinya sudah tak terbendung lagi dan tidak seorang pun menduga, ketika dengan tibatiba Arjuna berdiri tegak mengangkat senjata tinggi-tinggi seraya berkata: "Wahai bumi dan langit, wahati semua yang hidup, aku bersumpah dan minta kesaksianmu, bahwa esok hari sebelum matahari terbenam aku sudah harus membunuh si kelana Jayadrata. Jika aku gagal, aku akan masuk ke dalam Pancaka." (Pancaka api unggun yang sengaja dibuat untul lebih geni). Usai sumpah seketika terdengar suara dari empat penjuru disertai angin kencana, kilat tatit menggelegar pertanda sumpah Arjuna telah didengar dan bumi langit menjadi saksi. Gegerlah para Pandawa disertai keprihatinan menyaksikan peristiwa yang tak diduga itu. Mengkaji sumpah Arjuna berawal dari perasaan dendam yang mendalam, memprotes perlakuan Kurawa di luar batas kemanusiaan, telah mendorong sifat keakuannya untuk berbuat sesuatu yang di luar batas kemampuannya, membunuh seseorang dalam waktu yang relatif singkat sebelum matahari terbenam di ufuk barat. Itu adalah suatu kesanggupan yang tidak normal yang pasti akan menjadi beban moril yang amat berat. Akal dan pikiran sehat sudah tidak berfungsi. Tujuan akan menghabisi Jayadrata dalam waktu sehari sebelum matahari tenggelam ke peraduannya hanya merupakan impian belaka. Kecanggihan taktik strategi pakar Kurawa terutama Danghyang Dorna yang melindungi, terlalu sulit untuk dapat ditembus hanya oleh keberanian dan kekuatan fisik semata. Dorna telah membuat sebuah benteng yang kuat bagai baja terdiri dari ribuan balatentara Kurawa dan di situlah jayadrata disembunyikan. Meskipun beberapa lapis dapat dihancurkan, namun beratus lapis lagi masih berdiri tangguh. Sementara sang surya sudah semakin condong ke arah barat mendekati peraduannya. Untunglah Arjuna tertolong seorang pakar yang dapat mengubah suasana alam. Kresna segera menutup sinar matahari dengan senjata andalannya, Cakra hingga suasana alam seakan sedang petang. Bersoraklah kaum Kurawa kegirangan, karena Arjuna telah gagal membunuh Jayadrata dalam waktu sehari sebelum matahari terbenam. Kegembiraan semakin menjadi tatkala dilihatnya api unggun telah menyala berkobar menerangi alam sekelilingnya. Mereka ingin menyaksikan Arjuna terjun ke dalam api unggun memenuhi sumpahnya. Tetapi tidak seorang pun yang tahu, bahwa Ajuna telah berada di atas bukit yang tak jauh dari benteng tempat Jayadrata bersembunyi dan siapdengan senjata panahnya.
Mendengar sorak sorai dan berkobarnya api unggun bagaikan api neraka yang akan melumat habis Arjuna, Jayadrata tertarik ingin menyaksikan. Kemudian ia memperlihatkan diri. Tetapi baru saja kepalanya menyembul, tak diduga sebuah anak panah melesat bagai kilat da... terpangkaslah kepalanya terpisah dari badannya larut terbawa angin dan lenyap ditelan awan. Seiring dengan itu, alam petang berubah menjadi terang benderang kembali, setelah senjata Cakra diambil oleh pemiliknya. Gegerlah kaum Kurawa menyaksikan kejadian yang tak masuk di akal itu. Hanya Dorna yang tanggap dan mengerti seraya berucap: "Hemmm, memang segala-galanya ada di pihak Pandawa. Kemenangan akhir pun akan diraih oleh mereka," gumannya
Dia putra Arjuna yang lahir dari cintanya yang pertama kepada seorang wanita yang bernama Sumbadra putri Raja Basudewa dari Dewi Badraini. Abimanyu kekasihnya satria muda usia, sopan tutur bahasanya, ortmat kepada orang tua dan tak segan menolong sesamanya. Istrinya bernama Utari putri Raja Wirata, berputra seorang bernama parikesit yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan Astina menggantikan Prabu Yudhistira. Sayang ia kurang wiwaha seperti kebanyakan anak muda. Tindakannya ceroboh menurut kata hati tak pandang bahaya mengancam akhirnya terjadi malapetaka menimpa dirinya. Malapetaka itu terjadi ketika satria Plengkawati itu hendak menolong pasukan pandawa yang terkepung rapat balatentara Kurawa di Tegal Kuru Setra Dengan keberanian yang luar biasa ditunjang semangat yang menyala-nyala, diterjangnya barikade musuh hingga porak poranda dan pasukan Pandawa pun terbebas dari malapetaka yang nyaris menghancurkan. Namun rupanya si anak muda itu belum merasa puas, darah mudanya bergejolak, ia terus menghajar musuh seorang diri walau sempat diperingatkan para Pandawa agar tidak meneruskan maksudnya, tapi tak digubrisnya. Ia malah terus memacu kudanya melaju menggempur musuh hingga jauh menusuk jantung pertahanan Kurawa. Akibatnya perbuatan yang berani tetapi tak berhati-hati itu berakibat fatal baginya. Pihak Kurawa yang lebih unggul dalam pengalaman taktik strategi perang telah memasang perangkap yang disebut Durgamarungsit, yaitu sebuah perangkap semacam bubu yang apabila orang masuk ke dalamnya tak akan bisa keluar lagi. Siasat itu ditambah lagi dengan perangkap yang lebih berbahaya lagi yaitu perangkap Gelar Maha Digua semacam pintu jebakan. Di setiap balik pintu telah bersembunyi sebagai algojo. Di situlah si anak muda belia itu dibantai, dibokong dari belakang, dihimpit dari pinggir, dihadang dari depan serta dihujani berbagai rupa senjata hingga bandanya arang kerancang. Akhirnya gugur ditikam dari belakang oleh tumenggung Kelana jayadrata. Kualitas manusia Kurawa sungguh tak berperikemanusiaan, curang dan menyalahi aturan perang. Anak yang masih ingusan diperlakukan bagai binatang buruan dikepung dan dibantai oleh orang-orang yang bukan layak menjadi lawannya. Akibatnya anak tewas secara tragis, Arjuna terpukul jiwanya. Ia tampak lesu tak bergairah hingga membuat para Pandawa prihatin mengingat Arjuna andalan dalam perang itu. Menyadari situasi yang tidak menguntungkan, Kresna memberi wejangan: "Adikku, sedih, nelangsa, sakit hati sudah lumrah dalam hidup ini. Itu pertanda kita masih memiliki perasaan. Tetapi janganlah kesedihan itu berlarut-larut
hingga menghambat perjuangan yang sedang kita hadapi. Tabahkanlah hati adinda menghadapi cobaan ini. Gugurnya Abimanyu tidaklah sia-sia, dia telah membuktikan dirinya sebagai pejuang muda yang gagah perkasa pantang menyerah. Dia gugur sebagai kusuma bangsa yang akan dikenang sepanjang masa," ujarnya. Wejangan Kresna itu memberi pengertian, bahwa apa pun yang terjadi walau pahit dirasakannya, hendaknya diterima dengan kebesaran jiwa sebagai tolak ukur atas kelebihan dan kekurangan manusia. hati Arjuna terusik mendengar wejangan itu lalu berkata: "Duh kanda Batara. hamba bukans edih karena kematian anak. Hamba hanya tak rela 'cara'nya anak itu mati. Hamba dapat merasakan seolah dia pun tak rela mati dengan cara demikian. Dia seolah tersentak diperlakukan bagai binatang buruan, dikepung dan dibantai oleh orang-orang yang hanya pantas menjadi lawan hamba. mereka orang-orang sakti tapi tak manusiawi. Karena itu hamba akan menuntut balas," ujarnya penuh rasa dendam. Di saat itu pula emosinya sudah tak terbendung lagi dan tidak seorang pun menduga, ketika dengan tibatiba Arjuna berdiri tegak mengangkat senjata tinggi-tinggi seraya berkata: "Wahai bumi dan langit, wahati semua yang hidup, aku bersumpah dan minta kesaksianmu, bahwa esok hari sebelum matahari terbenam aku sudah harus membunuh si kelana Jayadrata. Jika aku gagal, aku akan masuk ke dalam Pancaka." (Pancaka api unggun yang sengaja dibuat untul lebih geni). Usai sumpah seketika terdengar suara dari empat penjuru disertai angin kencana, kilat tatit menggelegar pertanda sumpah Arjuna telah didengar dan bumi langit menjadi saksi. Gegerlah para Pandawa disertai keprihatinan menyaksikan peristiwa yang tak diduga itu. Mengkaji sumpah Arjuna berawal dari perasaan dendam yang mendalam, memprotes perlakuan Kurawa di luar batas kemanusiaan, telah mendorong sifat keakuannya untuk berbuat sesuatu yang di luar batas kemampuannya, membunuh seseorang dalam waktu yang relatif singkat sebelum matahari terbenam di ufuk barat. Itu adalah suatu kesanggupan yang tidak normal yang pasti akan menjadi beban moril yang amat berat. Akal dan pikiran sehat sudah tidak berfungsi. Tujuan akan menghabisi Jayadrata dalam waktu sehari sebelum matahari tenggelam ke peraduannya hanya merupakan impian belaka. Kecanggihan taktik strategi pakar Kurawa terutama Danghyang Dorna yang melindungi, terlalu sulit untuk dapat ditembus hanya oleh keberanian dan kekuatan fisik semata. Dorna telah membuat sebuah benteng yang kuat bagai baja terdiri dari ribuan balatentara Kurawa dan di situlah jayadrata disembunyikan. Meskipun beberapa lapis dapat dihancurkan, namun beratus lapis lagi masih berdiri tangguh. Sementara sang surya sudah semakin condong ke arah barat mendekati peraduannya. Untunglah Arjuna tertolong seorang pakar yang dapat mengubah suasana alam. Kresna segera menutup sinar matahari dengan senjata andalannya, Cakra hingga suasana alam seakan sedang petang. Bersoraklah kaum Kurawa kegirangan, karena Arjuna telah gagal membunuh Jayadrata dalam waktu sehari sebelum matahari terbenam. Kegembiraan semakin menjadi tatkala dilihatnya api unggun telah menyala berkobar menerangi alam sekelilingnya. Mereka ingin menyaksikan Arjuna terjun ke dalam api unggun memenuhi sumpahnya. Tetapi tidak seorang pun yang tahu, bahwa Ajuna telah berada di atas bukit yang tak jauh dari benteng tempat Jayadrata bersembunyi dan siapdengan senjata panahnya. Mendengar sorak sorai dan berkobarnya api unggun bagaikan api neraka yang akan melumat habis Arjuna, Jayadrata tertarik ingin menyaksikan. Kemudian ia memperlihatkan diri. Tetapi baru saja kepalanya menyembul, tak diduga sebuah anak panah melesat bagai kilat da... terpangkaslah kepalanya terpisah dari badannya larut terbawa angin dan lenyap ditelan awan. Seiring dengan itu, alam petang berubah menjadi terang benderang kembali, setelah senjata Cakra diambil oleh pemiliknya.
Gegerlah kaum Kurawa menyaksikan kejadian yang tak masuk di akal itu. Hanya Dorna yang tanggap dan mengerti seraya berucap: "Hemmm, memang segala-galanya ada di pihak Pandawa. Kemenangan
akhir pun akan diraih oleh mereka," gumannya Dia putra Arjuna yang lahir dari cintanya yang pertama kepada seorang wanita yang bernama Sumbadra putri Raja Basudewa dari Dewi Badraini. Abimanyu kekasihnya satria muda usia, sopan tutur bahasanya, ortmat kepada orang tua dan tak segan menolong sesamanya. Istrinya bernama Utari putri Raja Wirata, berputra seorang bernama parikesit yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan Astina menggantikan Prabu Yudhistira. Sayang ia kurang wiwaha seperti kebanyakan anak muda. Tindakannya ceroboh menurut kata hati tak pandang bahaya mengancam akhirnya terjadi malapetaka menimpa dirinya. Malapetaka itu terjadi ketika satria Plengkawati itu hendak menolong pasukan pandawa yang terkepung rapat balatentara Kurawa di Tegal Kuru Setra Dengan keberanian yang luar biasa ditunjang semangat yang menyala-nyala, diterjangnya barikade musuh hingga porak poranda dan pasukan Pandawa pun terbebas dari malapetaka yang nyaris menghancurkan. Namun rupanya si anak muda itu belum merasa puas, darah mudanya bergejolak, ia terus menghajar musuh seorang diri walau sempat diperingatkan para Pandawa agar tidak meneruskan maksudnya, tapi tak digubrisnya. Ia malah terus memacu kudanya melaju menggempur musuh hingga jauh menusuk jantung pertahanan Kurawa. Akibatnya perbuatan yang berani tetapi tak berhati-hati itu berakibat fatal baginya. Pihak Kurawa yang lebih unggul dalam pengalaman taktik strategi perang telah memasang perangkap yang disebut Durgamarungsit, yaitu sebuah perangkap semacam bubu yang apabila orang masuk ke dalamnya tak akan bisa keluar lagi. Siasat itu ditambah lagi dengan perangkap yang lebih berbahaya lagi yaitu perangkap Gelar Maha Digua semacam pintu jebakan. Di setiap balik pintu telah bersembunyi sebagai algojo. Di situlah si anak muda belia itu dibantai, dibokong dari belakang, dihimpit dari pinggir, dihadang dari depan serta dihujani berbagai rupa senjata hingga bandanya arang kerancang. Akhirnya gugur ditikam dari belakang oleh tumenggung Kelana jayadrata.
Kualitas manusia Kurawa sungguh tak berperikemanusiaan, curang dan menyalahi aturan perang. Anak yang masih ingusan diperlakukan bagai binatang buruan dikepung dan dibantai oleh orang-orang yang bukan layak menjadi lawannya. Akibatnya anak tewas secara tragis, Arjuna terpukul jiwanya. Ia tampak lesu tak bergairah hingga membuat para Pandawa prihatin mengingat Arjuna andalan dalam perang itu. Menyadari situasi yang tidak menguntungkan, Kresna memberi wejangan: "Adikku, sedih, nelangsa, sakit hati sudah lumrah dalam hidup ini. Itu pertanda kita masih memiliki perasaan. Tetapi janganlah kesedihan itu berlarut-larut hingga menghambat perjuangan yang sedang kita hadapi. Tabahkanlah hati adinda menghadapi cobaan ini. Gugurnya Abimanyu tidaklah sia-sia, dia telah membuktikan dirinya sebagai pejuang muda yang gagah perkasa pantang menyerah. Dia gugur sebagai kusuma bangsa yang akan dikenang sepanjang masa," ujarnya. Wejangan Kresna itu memberi pengertian, bahwa apa pun yang terjadi walau pahit dirasakannya, hendaknya diterima dengan kebesaran jiwa sebagai tolak ukur atas kelebihan dan kekurangan manusia. hati Arjuna terusik mendengar wejangan itu lalu berkata: "Duh kanda Batara. hamba bukans edih karena kematian anak. Hamba hanya tak rela 'cara'nya anak itu mati. Hamba dapat merasakan seolah dia pun tak rela mati dengan cara demikian. Dia seolah tersentak diperlakukan bagai binatang buruan, dikepung dan dibantai oleh orang-orang yang hanya pantas menjadi lawan hamba. mereka orang-orang sakti tapi tak manusiawi. Karena itu hamba akan menuntut balas," ujarnya penuh rasa dendam. Di saat itu pula emosinya sudah tak terbendung lagi dan tidak seorang pun menduga, ketika dengan tibatiba Arjuna berdiri tegak mengangkat senjata tinggi-tinggi seraya berkata: "Wahai bumi dan langit, wahati semua yang hidup, aku bersumpah dan minta kesaksianmu, bahwa esok hari sebelum matahari terbenam aku sudah harus membunuh si kelana Jayadrata. Jika aku gagal, aku akan masuk ke dalam Pancaka." (Pancaka api unggun yang sengaja dibuat untul lebih geni). Usai sumpah seketika terdengar suara dari empat penjuru disertai angin kencana, kilat tatit menggelegar pertanda sumpah Arjuna telah didengar dan bumi langit menjadi saksi. Gegerlah para Pandawa disertai keprihatinan menyaksikan peristiwa yang tak diduga itu. Mengkaji sumpah Arjuna berawal dari perasaan dendam yang mendalam, memprotes perlakuan Kurawa di luar batas kemanusiaan, telah mendorong sifat keakuannya untuk berbuat sesuatu yang di luar batas kemampuannya, membunuh seseorang dalam waktu yang relatif singkat sebelum matahari terbenam di ufuk barat. Itu adalah suatu kesanggupan yang tidak normal yang pasti akan menjadi beban moril yang amat berat. Akal dan pikiran sehat sudah tidak berfungsi. Tujuan akan menghabisi Jayadrata dalam waktu sehari sebelum matahari tenggelam ke peraduannya hanya merupakan impian belaka. Kecanggihan taktik strategi pakar Kurawa terutama Danghyang Dorna yang melindungi, terlalu sulit untuk dapat ditembus hanya oleh keberanian dan kekuatan fisik semata. Dorna telah membuat sebuah benteng yang kuat bagai baja terdiri dari ribuan balatentara Kurawa dan di situlah jayadrata disembunyikan. Meskipun beberapa lapis dapat dihancurkan, namun beratus lapis lagi masih berdiri tangguh. Sementara sang surya sudah semakin condong ke arah barat mendekati peraduannya. Untunglah Arjuna tertolong seorang pakar yang dapat mengubah suasana alam. Kresna segera menutup sinar matahari dengan senjata andalannya, Cakra hingga suasana alam seakan sedang petang. Bersoraklah kaum Kurawa kegirangan, karena Arjuna telah gagal membunuh Jayadrata dalam waktu sehari sebelum matahari terbenam. Kegembiraan semakin menjadi tatkala dilihatnya api unggun telah menyala berkobar menerangi alam
sekelilingnya. Mereka ingin menyaksikan Arjuna terjun ke dalam api unggun memenuhi sumpahnya. Tetapi tidak seorang pun yang tahu, bahwa Ajuna telah berada di atas bukit yang tak jauh dari benteng tempat Jayadrata bersembunyi dan siapdengan senjata panahnya. Mendengar sorak sorai dan berkobarnya api unggun bagaikan api neraka yang akan melumat habis Arjuna, Jayadrata tertarik ingin menyaksikan. Kemudian ia memperlihatkan diri. Tetapi baru saja kepalanya menyembul, tak diduga sebuah anak panah melesat bagai kilat da... terpangkaslah kepalanya terpisah dari badannya larut terbawa angin dan lenyap ditelan awan. Seiring dengan itu, alam petang berubah menjadi terang benderang kembali, setelah senjata Cakra diambil oleh pemiliknya. Gegerlah kaum Kurawa menyaksikan kejadian yang tak masuk di akal itu. Hanya Dorna yang tanggap dan mengerti seraya berucap: "Hemmm, memang segala-galanya ada di pihak Pandawa. Kemenangan akhir pun akan diraih oleh mereka," gumannya
Ia hebat, kuat, tegas tapijuga adil dan teguh pendirian. Berbicara apa adanya tidak direkayasa, tidak mengenal takut dan memperlakukan sama kepada siapa pun tanpa memandang tinggi rendahnya derajat. Ia menggunakan bahasa kasar dan tidak pernah menyembah, kecuali kepada gurunya dengan cara merengkuhkan badan. Sedang kepada orang yang lebih tua dan dihormati cukup badannya ditegakkan seperti seorang prajurit memberi hormat kepada komandannya. Tubuhnya yang jangkung dan besar bagaikan bunga besar yang wangi luar dalamnya pertanda hatinya bersih ilmunya tinggi tapi tidak menyombongkan diri. Mudah tersinggung tapi cepat berbaik kembali, bahkan jika perlu mau mengalah asal untuk kedamaian dan keselamatan. Dalam menerapkan keadilan tidak pandang bulu walau sanak kadang jika bersalah harus dihukum dan tabu berbohong. Sekalipun demikian ia penurut kepada Yudhistira kakak tertuanya. Hal itu dibuktikan ketika Pandawa kalah bermain judi dengan Drupadi menjadi tumpangannya hingga menjadi milik Kurawa. Ketika itu Dursasena berusaha menelanjangi Drupadi di hadapan orang banyak dengan cara membetot kain yang menutupi tubuh si putri jelita itu hingga Bima manjadi sangat murka dan hendak menolong serta membunuh Dursasena. Tetapi Yudhistira mencegah seraya berkata: "Tahan, simpan amarahmu kita sedang diuji," ujarnya. Terpaksa Bima mengurungkan niatnya sambil menahan nafsu yang membara.
Ternyata usaha Dursasena hendak mempermalukan Drupadi menemui kegagalan, karena setiap kali membetot kain yang menutupi tubuh Drupadi, Dewa Darma menggantinya dengan kain lain hingga Dursasena menjadi pusing sendiri. Atas perlakuan Dursasena yang diluar batas itu, Bima bersumpah jika kelak timbul perang besar antara kedua golongan, ia akan membunuh Dursasena dan darahnya akan diminum. Bima pun bersumpah akan menggebug paha Duryudana hingga remuk sampai ajal. Sementara Drupadi akan membiarkan rambutnya terurai tak disanggul sebelum dikeramas oleh darahnya Dursasena yang telah mempermalukan dirinya. Keistimewaan lain Bima adalah lambang kejujuran dan kesetiaan seorang murid kepada gurunya. Dorna (guru) di mata Bima adalah manusia utama bermartabat baik, berilmu tinggi. Karena itu kejujuran dan kesetiaan kepada guru dibuktikan ketika Bima diperintahkan mencari Air Hidup (Tirta Amerta) di samudera selatan, suatu lokasi yang amat terpencil dan mengerikan dengan gelombangnya yang ganas bergulung gulung sebesar gunung anakan hingga tak seorang pun yang berani menjamah tempat itu. Sebaliknya bagi Bima sedikit pun tak merasa gentar. Diterjangnya gelombang dahsyat itu hingga mencapai tengah samudera. Di saat itulah Bima dihadang seekor Naga bernama Nembur Nawa dan pertarungan hebat pun terjadi yang berakhir dengan terbunuhnya sang penjaga samudera itu. Keberhasilan menyingkirkan ular naga itu, melambangkan bahwa Bima bermasih membunuh nafsu duniawi yang menghambat tujuan mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tetapi akibat perkelahian yang dahsya itu, Bima pun mengalami akibat fatal dilanda kelelahan yang amat sangat hingga tubuhnya timbul tenggelam tak berdaya. Hal ini melambangkan bahwa betapapun hebatnya manusia, namun ibarat sebutir beras di dalam karung menunjukkan betapa kecilnya manusia dibandingkan kebesaran Tuhan. Semua yang dimiliki, kekuatan, keperkasaan, ilmu pengetahuan yang dibanggakan untuk pemenuhan hasratnya masih sangat terbatas dibanding keakraban Maha Pencipta seru sekalian alam. Di saat Bima hampir mati ditelan laut, tiba-tiba muncul seorang anak kecil yang baik bentuk maupun rupanya sama dengan sama Bima. Dialah Dewa Ruci atau Nawa Ruci. Bima yang heran ada anak kecil yang segala-galanya sama dengan dirinya bertanya: "Hai bocah cilik, rupamu kok sama denganku. Siapa engkau?" Dewa Ruci: "Aku adalah Engkau dan Engkau adalah aku. Aku berada dalam dirimu. Tetapi karena matamu hanya digunakan untuk memandang yang jauh, menoleh ke belakang sedang dekatnya tak kau hiraukan, maka bersatu pun kau tak mengenal aku. Karena itu kenalilah dirimu. Dengan mengenal diri sendiri, kau akan mengenal pula sifat-sifatmu, kelebihan dan kekurangannya," ujarnya. Selanjutnya dalam wejangannya Dewa ruci mengatakanm bahwa siapa yang mengenal dirinya akan mengenal pula Tuhannya. Tetapi dalam hal mengenal Tuhan, bukan seperti engkau melihat aku dengan jelas, sebab tidak ada manusia yang ma'rifat dengan Tuhan. Mengenal Tuhan hanya dengan kepercayaan dan bukti karyanya yang nyata. Menurut ahli pikir (philisopher), dengan akal dan pikiran alam yang besar dan luar terdiri dari bumi, langsit, matahari, bulan dan berjuta-juta bintang, pasti ada yang menciptakan yaitu Tuhan. Karena alam termasuk manusia yang adanya diciptakan, maka sifatnya tidak sempurna. Sedang Tuhan yang menciptakan, maka sifatnya sempurna. Karena itu manusia tidak dapat melihat Tuhan dengan sempurna. Maka di saat itulah Bima mengenal dengan dirinya yang sejati guru yang mursid. Dengan demikian maka Bima adalah satu-satunya satria yang dapat manunggal dan mengenal dengan hidupnya.
Kemudian Bima bertanya mengenai air hidup yang sedang ia cari dan apa maksudnya. Dewa Ruci menerangkan, bahwa air itu hidup dan akan selalu hidup karena hidup adalah sala satu sifat Allah. Dialah yang memberi hidup kepada semua makhluk hidup yang kumelip hidup di dunia, karena dialah yang hidup langgeng dan dialah yang punya hidup. Tetapi untuk mengenal makna perlambangannya, Bima harus mengetahui rahasianya. Untuk itu Bima dipersilahkan masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui lubang telingannya yang kiri, tetapi tidak boleh hanya sukmanya, melainkan harus dengan badan jasad seutuhnya. Bima bertanya mengapa harus masuk ke telinga kiri, apa bedanya telinga kiri dan yang kanan. Dewa Ruci menjawab, bahwa dalam jiwa manusia melekat noda-noda kotor dan nafsu angkara. Sedang Bima akan masuk ke suatu alam yang teramat suci tak ada titik noda sedikitpun. Karena itu harus masuk ke telinga kiri yang fungsinya membersihkan noda-noda kotoran tersebut. Syaratnya Bima masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci, tetapi sesungguhnya ia masuk ke alam gaib yang kosong melompong tiada suatu apa pun di sekitarnya, uwung-uwung masih suwung, awang -awang masih lengang, bumi langit tiada nampak yang dipijak tak bertanah, Di alam itulah Bima menyaksikan dan mendapat penerangan mengenai Sapta Alam dari mulai Alam Gaib sampai Alam Sempurna (Insan kamil). Maka di saat itulah Bima mengenal asal mula adanya hidup hingga akhir dari hidup dan kehidupan. Dengan demikian maka Bima adalah satu-satunya satria yang dapat manunggal dan mengenal dengan hidup dan kehidupannya. Busana Bima antara lain, dodot kampuh bang bintulu berwarna merah, putih, hitam, dan kuning melambangkan bibitnya yang akan menjadi bumi langit dan isinya. Kuku Pancanaka, Panca= lima, Naka= landep, memperlambangkan bahwa Bima mampu menaklukkan nafsu Pancaindra, sehingga menjadikan kekuatan yang positif. Memakai gelang Chandra Kirana, Chandra= rupa, Kirana= bulan. Artinya ilmu pengetahuan itu laksana bulan sedang purnama dapat menentramkan hati dan bermanfaat bila digunakan secara benar. Anting-anting Pudak sinumpet, artinya Bima sudah mengenyam ilmu mangunngal tetapi tidak memperlihatkan diri kepada orang lain (menyombongkan diri) karena itu sekilas ia terlihat seperti orang dungu atau bodoh.
Dia terkenal ksatria tampan rupawan sakti mandraguna punya segudang ilmu. Seagai Maha perwira ia tidak saja menjunjung tinggi apa arti kewibaan bagi hidup manusia, tetapi juga memproses alam pikirannya untuk menjangkau sasaran akhir hayatnya dengan jalan gemar beribadat (tapa), agar kelak mendapat kemuliaan akhirat. Sementara dalam hal menggunakan senjata, orang ketiga keturunan Pandu ini sulit tandingannya. Kesemua ilmu itu diperoleh ketika menjadi mahasiswa jurusan ilmu perang di bawah asuhan Resi Dorna sebagai dosennya. Sedang di pemerintahan ia menjabat sebagai Adipati Madukara. Istri yang tetap adalah Sumbadra dan Srikandi. Sebagai tokoh teladan apa yang dilakukan berdasarkan dermanya seorang ksatria. Luhur budinnya rendah hatinya, tetapi pantang mundur menghadapi kesulitan. Meonolong orang yang sedang kesulitan merupakan kewajiban utama baginya, tanpa memandang siapa orangnya dan dari golongan mana. Karena itu tidak mengherankan apabila ia sering pula di sengsarakan kaum Kurawa. Tapi semua itu diterima dengan kebesaran jiwa tanpa ada rasa dendam. Wajah tampan yang dimiliki seolah menjadi modal hingga banyak digandrunggi putri-putri jelita, tetapi pantang memanfaatkan kesempatan untuk melayaninya. Keteguhan imannya terlalu kokoh dilanggar perbuatan yang asusila. Keutamaan lain jika ia berbuat salah tak segan menyerahkan diri untuk mendapat hukuman atau bahkan menghukung dirinya sendiri. Itulah kepribadian yang menonjol hingga patut mendapat gelar sebagai tokoh Teladan Jaya dalam susila. Akan tetapi pada sisi lain ada perbedaan antara Arjuan sebagai tokoh teladan dengan apa yang sering dilukiskan dalam cerita wayang, di mana ia dianggap tokoh penjaja cinta beristri banyak beranak banyak pula. Dia dianggap lambang laki-laki jantan bukan saja dalam watak dan perbuatan hingga ia dijuluki "Lelananing Jagat", tetapi juga dikenal laki-laki jantan dalam arti biologis, hingga sering ganti-ganti teman kencan dan sering menimbulkan khayalan yang spektakuler menjadi bahan olok-olokan kaum pria yang figurnya mirip tokoh Arjuna. Memang dalam cerita wayang Arjuna banyak figurnya antara lain sebagai Damar Wulan dalam cerita wayang klitik dan dalam cerita menak dikategorikan sebagai Amir Hamzah yang digambarkan sebagai prototip tokoh budaya yang sudah ada sebelum Hindu datang di Indonesia. Dengan kata lain tokoh Mahabharata itu telah mengisi tokoh-tokoh yang sudah ada. Akan tetapi jika kita simak jati diri Arjuna menurut versi Mahabharata, tidak seperti yang digambarkan masyarakat di negeri ini. Karena meskipun beristri banyak, yang benar-benar jatuh cinta secara murni
hanya kepada seorang saja, yaitu Sumbadra. Sedang lainnya adalah sebagai imbalan atas jasa-jasanya. Adanya perbedaan antara Arjuna dalam pewayangan di negeri ini dengan Arjuna bersi mahabharata, karena dunia pewayangan di Indonesia mempunya konsep sendiri yang umurnya sudah ribuan tahun sebelum Hindu datang di negeri ini. Mungkin dahulunya ada semacam kepercayaan yang berkaitan dengan kesuburan dalam bercocok tanama adalah hal yang utama dalam kehidupan. Karena itu ketika agama Hindu masuk ke Indonesia yang dipuja adalah patung "lingga Yoni". Lingga ini adalah lambang 'kelaki-lakian' sedang Yoni adalah lambang 'kewanitaan'. Maka Lingga Yoni itulah menurut kepercayaan mereka akan menghasilkan kesuburan dalam bercocok tanam. Sedang dalam dunia pewayangan Lingga dilambangkan oleh tokoh Arjuna dan Yoni adalah lambang putri, yang menurut kesustraan kuna, putri adalah lambang "Rasa sejati' atau 'Puncaknya Rasa'. Jadi itulah motif adanya anggapan Arjuna sebagai tokoh petualang cinta, tapi sebenarnya berdasarkan kepada alam pikiran kesuburan tadi. Suatu bukti bahwa Arjuna bukan petualang cinta dibuktikan dalam cerita Duryudana Rabi, yaitu perkawinannya dengan Banowati putri Prabu Salya dari Negara Mandaraka. ketika Duryudana melamar, si putri jelita yang centil itu mengajukan permintaan yang amat sensitif yang tidak mungkin dipenuhi oleh si pelamar. Betapa tidak, karena permintaan itu adalah: Pertama, minta dimandikan oleh seorang laki-laki yang tampan melebihi laki-laki yang ada di Mandaraka dan Astina, Kedua, minta dirias oleh laki-laki yang tampan tadi, dan Ketiga, pada malam pertama minta tidur bersama laki-laki yang itu juga. Sanksinya apabila ketiga syarat itu ditolak, maka dengan sendirinya lamaran pun ditolak. Lalu siapakah laki-laki yang dimaksud itu, tidak lain adalah Arjuna. Rupa-rupanya sang putri telah lama menaruh hati kepada putra ketiga Dewi Kunti itu, sehingga ia nekad akan memberikan kesuciannya sebelum kepada laki-laki yang berhak memilikinya menurut hukum perkawinan. Tentu saja hal ini merupakan problem yang amat sulit dan serba salah bagi Duryudana. Dipenuhi permintaannya diragukan kesucian calon istrinya. Tidak dipenuhi maka keinginan untuk mempersunting wanita idamannya hanya sebatas mimpi belaka. Ununglah Arjuna tanggap atas kesulitan yang dihadapi Duryudana. Maka ia menyarankan agar permintaan Banowati dipenuhi dengan jaminan, calon istrinya akan tetap dalam keadaan suci. Pernyataan itu dibuktikan setelah ketiga syarat yang diminta Banowati dilaksanakan, baik waktu sang putri dimandikan, dirias maupun ketika tidur bersama di mana Arjuna telah mempersiapkan diri dengan mantra penangkal nafsu birahi, baik utnuk Banowati maupun bagi dirinya. Terlebih di saat tidur berduaan di kamar pengantin, di saat yang amat kritis itu Arjuna memapatkan aji sirepnya hingga sang putri yang cantik dan genit itu, tak mampu menahan kantuk dan tertidur pulas. Di saat itu pula Arjuna mempersilahkan Duryudana menggantikan tidur bersama putri idamannya. Betapa lhur budi dan kuatnya iman laki-laki yang bernama Arjuna itu. Barangkali tak semua laki-laki dalam dunia pewayangan mampu menahan nafsu seperti dia walau ini hanya sebuah cerita saja. Demikianlah Arjuna seorang ksatria utama berhasil memerangi hawa nafsunya, sehingga dia dijuluki 'Arjuna Jaya Susila'
Namanya Cukup dikenal sebagai seorang Adipati yang gagah perkasa dari negeri Awangga bawahan kerajaan Astinapura. Ia memiliki sebuah senjata tumbak yang sangat ampuh bernama Konta. Karena ampuhnya senjata ini hanya dapat digunakan sekali saja, kemudian akan kmbali kepada pemiliknya yakni Batara Indra. Ketika bayi ia diketemukan oleh Rada, istri Adirata kusir kereta serta diakui sebagai anaknya dan diberi nama Karna Radea, artinya Karna anak Rada. Setelah dewasa Karna sering menonton Kurawa dan Pandawa berlatih menggunakan senjata panah dibawah asuhan gurunya, Dorna. Ia sangat tertarik dengan pelajaran ilmu menggunakan senjata panah dan sangat ingin menjadi siswa perguruan itu. Tetapi ia sadar bahwa itu tidak mungkin, karena ia hanya anak seorang kusir kereta, sedang Kurawa dan Pandawa adalah keluarga kerajaan. Karena keinginan untuk menjadi seorang pemanah yang mahir tetap menggelora di dalam jiwanya, maka secara iam-diam ia menonton sambil mempelajari cara-cara melepas anak panah seperti diajarkan Dorna kepada siwa-siswanya. Berkat kemauan yang keras ditunjang kecerdasan yang luar biasa, akhirnya karna mahir menggunakan senjata, bahkan melebihi kepandaian kaum Kurawa atau sejajar dengan Arjuan yang merupakan siswa terbaik dalam perguruan itu. Suatu hari perguruan mengadakan ujian praktik bagi siswa-siswanya, di mana kedua golongan yang masih bersaudara itu harus mengadu kemahiran menggunakan senjata panah. Ternyata dalam adu kemahiran itu, Pandawa tampak lebih unggul dari kaum Kurawa. Waktu itu Sakuni adik Gandari ibunda Kurawa tengah berusaha menanamkan benih-benih kebencian kaum Kurawa kepada Pandawa mengenai hak pemilikan tahta kerajaan Astina agar tidak jatuh ke tangan Pandawa. Sedangkan udhistira telah ditetapkan oleh Dewa sesepuh kerajaan sebagai calon raja Astina. Karena itu kebencian Kurawa semakin menjadi manakala setiap adu kemahiran anak-anak Gendari itu selalu dikalahkan oleh anak-anak Kunti. Karna yang waktu itu turut menonton sudah tidak tahan lagi ingin turut dalam pertandingan. Maka tanpa pikir panjang lagi, ia nyelonong masuk gelanggang minta kepada Dorna supaya diperkenankan ikut bertanding dan sanggup mengalahkan Arjuna. mendengar kata-kata sombong itu, Bima naik pitam dan mencaci maki karna: "Hei, kau anak yang tidak diketahu ibu bapaknya, tidak pantas ikut bertanding. Kau hanya anak pungut kusir kereta lebih pantas pgang cambuk dan memandikan kuda," bentaknya. Caci
maki itu sangat menyakitkan hatinya, hampir-hampir ia jatuh pingsan karena malu dicaci di hadapan orang banyak. Karena itu Duryudana melihat potensi dan keberanian si anak kusir demikian hebat lalu dibelanya dan ketika itu juga Karna diangkat menjadi Adipati di negeri Awangga. Pengangkatan itu beresifat politis, karena potensi Karna dapat dijadikan andalan dalam menghadapi Pandawa, sekaligus menambah kekuatan dalam kampanye merebut tahta kerajaan Astina. Tentu saja si anak kusir itu sangat gembira dan dengan spontan di hadapan Duryudana ia bersumpah akan membela Kurawa samapi tetes darah yang penghabisan. Sementara itu Dewi Kunti yang hadir mnyaksikan pertandingan hatinya senang bercampur seih melihat anak yang dulu dihanyutkan di sungai masih hidup dan telah menjadi seorang ksatria yang gagah dan tampan. Sedih karena tidak dapat menemui karena takut rahasianya diketahui. Yang lebih merisaukan hatinya, Kunti mendengar sumpah karna akan memebela Kurawa. Timbul kekhawatiran bahwa kedua anak kandungnya akan saling bermusuhan. Kekhawatiran itu menjadi kenyataan dengan akan terjadinya pertumpahan darah antara Pandawa dan Kurawa dalam perang Baratayudha. Segera Kunti berunding dengan Kresna untuk mencegah Karna terlibat memerangi saudara kandungnya sendiri. Satu-satunya jalan Kunti harus membuka rahasia kepada Karna, bahwa dialah ibunya dan Pandawa adalah saudara kandungnya. Maka bergegaslah Kunti menemui Karna, di mana sebelumnya Kresna pun telah menemui Adipati Karna. Kunti : "Raden, engkau adalah anakku, darah dagingku yang ketika bayi ibu hanyutkan di sungai, hingga ibu menemukannya kembali, tatkala engkau masuk gelanggang pertandingan menantang Arjuna." Karna : "Hamba sudah mendengar dari kanda Kresna, bahwa ada seorang anak bernasib buruk dibuang oleh ibunya untuk menghindari malu." Kunti : "Maafkan ibu nak. Ketika itu tak ada jalan lain. Tetap ibu pun tidak mengerti mengapa harus melahirkan engkau. Semua itu rahasia Dewa," kilahnya. Karna : "Lho, mengapa ibu harus minta maaf kepada hamba? Antara kita tak ada hubungan sama sekali dengan peristiwa dibuangnya si bayi itu. Hama anak ibu Rada dan ayahanda Adira kusir kereta desa." Kunti : "Ibu memang tak ada hak atas dirimu. Tapi bagaimanapun engkau adalah darah dagingku, raden. Dan Pandawa adalah adik-adikmu sekandung. Hati ibu akan hancur menyaksikan anak-anak kandungku saling membunuh," katanya dengan suara sendu. Karna : "Andaikan benar hamba putra kandung ibu, mengapa ibu begitu tega membuang hamba bagai sampah tak berharga. Itu berarti ibu telah menyerahkan hamba kepada masa lalu dan tiadak hak memiliki hamba. Karena itu janganlah berharap keinginan ibu akan terpenuhi. Hamba telah bersumpah di hadapan Duryudana, bahwa hamba akan membela Kurawa hingga tetes darah yang penghabisan. Seorang satria harus memegang teguh kata-katanya." Kunti menangsi tersedu dengan penyesalan yang tiada hingga. Tetapi air mata tak mampu meluluhkan hati Karna. Dia seorang ksatria yang teguh memeggang janji dan sumpah. Sementara itu Karna pun tak kurang sedihnya melihat Kunti terluka hatinya. Kemudian dia berkata: Karna : "Terlepas engkau ibu kandungku atau bukan, yang pasti hamba berterima kasih bila ibu mengakui hamba sebagai putra kandung ibu. Akan halnya hamba dibuang ketika masih bayi, itu adalah sudah kehendak Dewata semata-mata. Bukankah tadi ibu mengatakan tidak mengerti mengapa melahirkan hamba? Tetapi kini ibu masih dapat bertemu dengan hamba." Kunti : "Oh Raden, ibu gembira mendengar pengkauanmu dan harus dengan cara apa, ibu harus berterima kasih kepada ibu Rada dan bapak Adiratam hanya Dewatalah yang mampu membalas kebaikan mereka. Tapi satu hal yang masih mengusik hati ibu, ialah kau akan berperang dengan adikadikmu Raden."
Karna : "Apabila hamba harus lari dari kenyataan meninggalkan Duryudana yang telah berbaik hati kepada hamba, makan hamba akan tercatat sebagai orang yang berprilaku buruk , karena tidak menepati janji dan sumpahnya. Hamba mengakui bahwa hamba berada di pihak yang berwatak angkara, tetapi akan lebih buruk lagi diri hamba apabila ingkar janji, Dalam perang nanti, hamba akan merasa bahagia apabila mati di tangan adik-adik hamba sendiri. Pertarungan yang akan terjadi nanti, bukan pertarungan karena soal pribadi, melainkan kesemua itu telah diatur oleh pihak yang berkuasa yang tidak mungkin dapat ditarik kembali," tukas Karna. Ringkas cerita pertemuan itu berakhir dengan tidak tercapainya keinginan Kunti. Tetapi setidaknya Kunti merasa lega dengan pengakuan si anak yang hilang itu. Menurut Mahabharata baik Karna maupun Pandawa tidak saling mengetahui mereka masih saudara sekandung. Tapi setelah usai perang, barulah Pandawa mengetahui, bahwa karna adalah saudara kandungnya sendiri. Dalam perang itu, Karna gugur di tangan adiknya sendiri, Arjuna.
Setiap wanita melahirkan bayi. Tetapi tidak demikian dengan Gandari istri Destarata. Ia melahirkan segelantung daging sebesarguling. Orang bertanya-tanya pertanda apa gerangan. Bisma segera mengundang Resi Abiyasa dari pertapaan Sapta Arga guna mempermaknakan kelahiran yang unik itu. Oleh Resi daging itu dikucuri air. Ajaib daging gelantung itu bercerai-berai menjadi berkeping-keping kemudians atu pesatu berubah menjadi bayi laki-laki, satu di antaranya perempuan. Bayi pertama diberi nama Duryudana atau Suyudana, kedua Dursasana dan seterusnya hingga semua berjumlah seratus anak bayi. Sedan yang perempuan diberi nama Dusala atau Dursilawati. Sementara Pandu dari kedua istrinya, Kunti dan Madrim melahirkan lima orang anak laki-laki. Dari Kunti lahir Yudhistira, Bima dan Arjuna. Sedang dari Madrim, Nakula dan Sadewa. Kedua golongan itu masingmasing disebut Kurawa dan Pandawa dan merupakan inti cerita Mahabharata. Karakter kedua golongan itu saling bertolak belakang. Kurawa berwatak angkara sedang Pandawa memiliki budi pekerti luhur dan ksatria. Duryudana sebagai ketua kelompok Kurawa budinya rendah tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tidak mempunyai pertimbangan sendiri segala sesuatu bagaimana orang lain. Dalam hal ini Sakuni yang berwatak dengki dan licik mempunyai andil membentuk kepribadian anak Gandari pertama yang berwatak angkara itu. Dia selalu ingin disanjung tetapi tidak senang kalau ada yang menyaingi sehingga tidak pernah mau berkenalan dengan kebenaran. Karena sejak kecil telah ditanamkan benih kebencian kepada Pandawa, setelah dewasa sering terlibat dalam perkelahian, tapi kemudian berkembang lagi menjadi permusuhan perebutan kekuasaan negara. Sikap permusuhan semakin menjadi manakala usaha Sakuni berhasil mendudukkan Duryudana menjadi
raja negara tersebut. Sedang golongan Pandawa yang lebih berhak malah terusir harus menjalani hukum buang selama 13 tahun lamanya merana di hutan belantara karena kalah bermain judi. Kesemua itu adalah hasil tak-tik liciknya Sakuni yang telah direncanakan sejak lama. Melihat Pandawa diusir seorang Resi bernama Maitreja merasa iba karena dia tahu, bahwa itu terjadi semata-mata perbuatan liciknya Sakuni. Maka dia mengusulkan supaya Pandawa tidak diusir tetapi ditematkan di sebuah desa agar hidup tentram dan aman. Mendengar itu Duryudana sangat murka dan tak ayal lagi Resi Maitreja ditendang dan kepalanya diinjak-injak. Untung Arya Widura segera melerai hingga Resi MAitreja selamat dari kematian. Namun Resi Maitreja yang merasa ingin berbuat tetapi malah disiksa, mengutuk Duryudana: "Engkau Duryudana, aku memohon kepada Dewata, kelak bila engkau sedang sekarat kepalamu akan diinjak-injak dan mukamu tak henti-hentinya dijotos dan tubuhmu diluluh hingga engkau mati bagai binatang hina," ujarnya. Semua yang hadir kaget mendengar kutukan resi yang amat mengerikan itu. Akhirnya Resi Maitreja meninggalkan negeri itu tak mau mengabdi kepada Raja yang laknat galak dan menyiksa tanpa alasan. Ketika perang Barata hampir selesai selurunya keluarga Kurawa telah hancur tinggal Duryudana seorang, pikirannya tak karuan. Ia masih ingin hidup tetapi harus lari ke mana. Rasa takut semakin mencengkram terutama kepada Bima yang mengancam akan membunuhnya dalam perang itu. Saking bingungnya ia masuk merendam dalam sungai agar dingin pikirannya dan tak akan ada yang mengetahui. Tetapi Samiaji tahu serta dihampirinya Duryudana serta berkata: "Wahai raja Suyudana, tak pantas tuan bersembunyi mundur dari arena peperangan, sementara keluarga tuan telah membaktikan dirinya demi tuan." Suyudana menjawab: "Bukan aku tetapi aku ingat kepada keluargaku yang telah bela pati dan memohon kepada Dewata agar mereka dimasukkan surga. Mengenai engkau menginginkan kerajaan, aku rela memberikannya, sementara aku akan merantau ke tempat lain tidak akan tinggal di negeri ini," kilahnya. "Akhh, tidak pantas tuan berkata begitu. Tuan harus perang tanding. Silahkan pilih siapa lawan tuan akan kami siapkan," Yudhistira membesarkan hati Duryudana. Akhirnya raja Astina itu menurut dan memulihkan keberanian dan rasa percaya diri. Dan dia mengetahui siapa pun lawannya. Apabila dia menang, maka kerajaan Astina akan tetap menjadi miliknya. Akhirnya diputuskan oleh pengatur jalannya perang, bahwa lawan Suyudana adalah Bima. Demikianlah perang tanding itu disaksikan banyak kalangan antara lain Prabu Baladewa yang berpendirian netral. Ternyata dalam perang tanding itu, Bima hampir-hampir tidak tahan menghadapi kelincahan Suyudana dan lupa di mana kelemahan lawannya itu. Kresna segera meminta Arjuna berpura-pura menepuk pahanya supaya dapat dilihat Bima. Bima pun waspada dan ia ingat bahwa kelemahan lawannya itu di pahanya. Ketika Bima hendak menggebuk punggunnya. Suyudana meloncat terlalu tinggi sehinga gada Bima mengenai paha kirinya dan tak ampun lagi seketika ia roboh tak berdaya. Saat itu lah kutukan resi Maitreja terjadi, maksud baik malah disiksa dan dihina. Walaupun Suyudana telah roboh tetapi Bima masih terus menghajarnya, kepalanya diinjak-injak, mukanya di jotos berulang kali tubuhnya diluluh bagaikan binatang. Walau Suyudana berteriak minta tolong tapi tak dipedulikan hingga penonton yang menyaksikan turut merasakan ngerinya siksaan itu. Melihat adegan mengerikan Baladewa murka dan berteriak: "Hei Bima, kau melanggar aturan, musuh sudah kalah kau memukulnya terus. Dan kau bertanding curang memukul anggota badan dari batas udal ke bawah yang tidak diperbolehkan aturan perang," teriaknya emosi. Dan saat itu pula Baladewa akan melepas jemparing ke arah Bima. Bima tak tingal diam ia akan menubruknya, tetapi dengan sigap pula Kresna menghadang di antara keduanya dan dengan nada lirih menerangkan, bahwa Bima menggebug paha Suyudana bukan dengan sengaja, melainkan suyudana meloncat terlalu tinggi hingga gada tepat mengenai paha kirinya. Sesuai sifatnya yang mudah marah tapi mudah pula baik, Baladewa pun mengerti dan berlalu. Demikianlah akhir riwayat Duryudana yang penuh berlumuran dosa sekaratnya pun tersiksa tak mati seketika tetapi merasakan dahulu akibatnya tak berdaya seperti sakitnya orang-orang yang pernah disakiti olehnya.
Baik buruknya kualitas suatu benda umumnya di nilai dari perbedaan buruk. Baik bentuknya baik pula kualitasnya. Buruk bentuknya buruk pula mutunya. Tetapi hukum perbedaan dua unsur itu tidak selalu stabil nilai kualitasnya, ada yang baik bentuknya ternyata buruk kualitasnya, Buruk bentuknya justru baik kualitasnya. Demikian pula dengan manusia, yang tampan dan cantik parasnya, 'hati'nya tidak selalu setampan atau secantik parasnya. Baik buruknya kelakuan manusia akan tergantung dari manusianya itu sendiri, tidak selalu tergantung pada wujud lahiriahnya. Kadang-kadang kita sering disilaukan oleh wujud lahiriahnya, padahal belum tentu wujud yang kemilau itu isinya baik. Sifat yang kontroversial selalu menjadi ciri yang alami dalam kehidupan. Peribahasa mengatakan: tempurung berbulu berisi madu. Artinya di luarnya buruk isinya semanis madu. Lahir dan batin tidak selalu memiliki nilai yang seimbang. peribahasa ini cocok bagi Begawan Bagaspati penghuni padepokan Arga Belah. Ia berwujud dan berwajah raseksa tetapi hatinya mulia, baik tutur bahasanya, lemah lembut ramah tamah, sering menolong orang yang sedang kesusahan, memberi obor kepada yang sedang kegelapan, sehingga ia dihormati dan disukai masyarakat di sekitar padepokan itu. Sebaliknya Narasoma (menantunya) orangnya tampan dan gagah, putra seorang raja memiliki daya tarik yang tinggi, tetapi sifatnya angkuh dan tinggi hati. Hal itu nampak ketika ia menghadapi problem memendam perasaan benci kepada mertuanya karena berwajah raseksa. Kebencian menjadi suatu obsesi yang sukar dihilangkan. Tapi soal cinta..... no problem walau diakui wanita yang telah diperistri adalah darah daging orang yang dibencinya. Dalam hal ini agaknya ia masih berpikir secara realistis, bahwa soal cinta tidak tergantung tinggi rendanya harkat derajat, miskin atau kaya. Namun walau bagaimanapun dalilnya itu berarti, anaknya dicintai sepenuh hati, bapaknya dibenci setengah mati. Lebih nekad lagi obsesinya itu disampaikan kepada Pujawati (istrinya) dengan mengaku mimpi diberi cincin oleh mertuanya. Cincin itu terbuat dari emas murni dihiasi berlian melingkari sebuah batu yang buruk rupanya sehingga nampak tidak seimbang, karena itu batunya harus disingkirkan. Pujawati atau Satyawati terkejut menyimpan arti mimpi kias suaminya. Ia mengerti makna di balik mimpi kias itu. Bagaikan peribahasa, dalamnya laut masih bisa diukur, hati manusia siapa tahu, paling tidak hanya kira-kira. Kemilau lahirny tapi guram batinnya. Hampir tak percaya di balik penampilan yang menawan penuh kharisma tersembunyi benih kebencian terhadap ayahnya hanya karena berwajah seperti raseksa.
Sedih tak terperihkan hati pedih bagai terisis tak tahu harus berbuat apa. Marah tak bisa protes pun tak mampu, jadilah sebuah dilema yang sulit dipecahkan. Betapa tidak, ia menghadapi cinta segitiga. Kepada suami ia cinta dan satu-satunya tempat menggantungkan hidup di kemudianhari, pada sisi lain tak ada yang wajib dihormati dan dicintai di dunia ini kecuali orang tua yang telah membesarkan mengurus dan mendidik hingga dewasa. Narasoma tanggap apa yang dirisaukan istrinya. Kemudian dengan diplomatis ia menjelaskan: "Dinda sayang, aku tidak membenci Rama Begawan, beliau mertuaku. Cuma yang tak kusukai wajahnya seperti raseksa. Ini dapat menjatuhkan martabat kita di mata orang banyak," kilahnya. Suatu pernyataan yang terus terang tanpa memperdulikan ketersinggungan perasaan orang lain, menunjukkan sikap mental yang angkuh memandang rendah harkat derajat mertuanya. Karena tidak mampu mengatasi persoalan itu, akhirnya Setyawati menyampaikan mimpi kias suaminya kepada ayahnya seraya berkata dengan suara yang pilu: "Rama Begawan, bunuhlah hamba. Hamba tidak sanggup menghadapi persoalan yang rumit ini," ratapnya. Bagaspati terperangah sejenak setelah memahami makna di balik mimpi kias menantunya. Tak disangka menantu menyimpan hati yang munafik. Membersit perasaan sakit di hati tapi tak berlangsung lama. predikat sebagai seorang Brahmana yang telah mencapai tingkat kesempurnaan, kesadaran selalu menuntun rasa eling kepada Yang maha Kuasa, bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak-Nya. Ia menyadari bahwa putrinya sedang menghadapi dilema cinta segitiga, kepada suami ia cinta, tapi juga sayang kepada orang tua selain memikirkan nasib dirinya di kemudian hari. Ia tidak akan membiarkan anaknya merana tanpa kepastian. Sedangkan ia telah cukup lama menghirup udara pahit manisnya kehidupan dunia, sementara putrinya baru akan melangkah menata kepastian hidupnya. Mengingat hal itu tidak ada jalan lain kecuali pasrah kepada keinginan menantunya yang ingin menyingkirkan dirinya dari percaturan hidup ini dengan jaminan, bahwa narasoma tidak akan menyianyiakan kecintaan dan kesetiaan istrinya untuk selama-lamanya. Di samping itu Bagaspati akan memberikan ajian yang tiada duanya di dunia yaitu, aji Candra Bairawa yang dapat mendatangkan ribuan bala raseksa yang ganas dan menakutkan. Karena selama ajian itu masih menyatu dengan dirinya, maka siapa pun tidak akan memapu menewaskan dirinya. Tetapi diamanatkan agar Narasoma tidak menggunakan ajian itu sembarang waktu selain saat diperlukan. Semua amanat mertua diterima oleh Narasoma dengan sumpah bahwa ia akan sehidup semati dengan istrinya hingga akhir hayatnya dan tidak akan mempergunakan aji Candra Bairawa selain saat dibutuhkan. Demikianlah setelah ajian itu dititiskan maka Begawan Bagaspati Brahmana pinandita yang berwajah raseksa itu dengan tenang berpulang ke alam asalnya. Selang beberapa waktu Narasoma memboyong Setyawati pulang ke negeranya dan menduduki tahta kerajaan Mandaraka dengan nama Prabu Salya. Janji untuk tetap mencintai istrinya dipenuhi. Hingga masa tuanya ia hidup bahagia dengan istrinya bagai pengantin baru untuk selama-lamanya. Namun hukum karma atas dosa terhadap mertua tetap berlaku. Konon menurut cerita, ia mati termakan oleh ajiannya sendiri yakni dimangsa aji Candra Bairawa dalam perang Baratayudha ketika melawan Yudhistira.
Waktu muda bernama Narasoma. Ia anak Prabu mandrapati raja Mandaraka. mempunyai adik perempuan bernama Madrim menikah dengan Pandu berputra kembar, Nakula Sadewa. Istrinya bernama Pujawati (Satyawati) putri Begawan raseksa Pinandita di padepokan Arga Belah. Menjelang berakhirnya Baratayuda raja Salya diangkat menjadi panglima perang Astina. Pengangkatan itu telah menarik perhatian Pandawa mengingat kesaktian raja Mandaraka itu tidak ada tandingannya. ia memiliki aji Candra airawa yang dapat menciptakan ribuan raseksa ganas pemangsa manusia. Konon apabila darahnya menciprat benda, maka benda itu akan menjadi raseksa. Dapat dibayangkan apabila banyak darah bercipratan, akan bermunculan pula raseksa-raseksa lain dan arena peperangan lainnya akan dipenuhi oleh makhluk-makhluk pemangsa itu. Menurut Kresna sekalipun Salya sakti tiada tanding gagah tak ada lawan, batinnya lebih menyayangi Pandawa. Berpihaknya kepada Kurawa karena terjebak kelicikan Sakuni. Padahal semula ia akan membantu Pandawa. Untuke mengetahui rahasia kelekmahannya, diutuslah nakula Sadewa menghadap uwaknya. Demikianlah tatkala nakula Sadewa menghadap Salya, dengan nada sendu si kembar berkata: "Duh, uwak Prabu, kedatangan hamba menghadap paduka, anya untuk menyerahkan jiwa raga hamba berdua. Hamba malu oleh saudara-saudara hamba, apabila balatentara Pandawa dan saudara-saudara hamba akand engan mudah paduka hancurkan. Kesaktian paduka tiada tandingannya. Karena itu hamba berdua ingin didahulukan dibunuh sebelum paduka berhadapan dengan mereka," ujarnya memelas. Sejenak Salya berdiam diri wajahnya membersit perasaan haru yang mendalam. Ia melihat dan membayangkan adiknya, madrim yang telah tiada. ia introspeksi diri betapa rakusnya ia menghirup kelezatan duniawi, sementara yang muda harus segera mengakhiri hidupnya. Terbayang pula kejadian dahulu ia telah memaksa membunuh mertuanya yang baik hati dan berbudi luhur hanya karena berwajah raseksa. Ia mengakui bahwa Ia telah tertipu oleh perasaannya sendiri, bahwa bentuk luarnya yang buruk ternyata dalamnya berisikan emas. Lalu ia bersabda: "Anakku, sebenarnya aku lebih menyayangi Pandawa. Hanya saja aku telah terjebak oleh kelicikan Sakuni yang memaksa aku berada di pihak Kurawa. Tapi apa boleh buat nasi telah menjadi bubur kini aku harus berhadapan dengan mereka yang aku sayangi. Memang kesaktianku takkan ada tandingnya, kecuali oleh seseorang yang memiliki darah putih. Di tangan dialah rahasia kematianku. Sekarang kembalilah enkau ke kubumu dan sampaikan salam kasihku kepada mereka,"
katanya. Salya dengan sengaja telah membuka rahasia kematiannya kepada pandawa melalui Nakula Sadewa. Tetapi Salya punt idak mengetahui, adakah di antara para Pandawa yang memiliki darah putih. Ketika hal itu disampaikan kepada Pandawa, Kresna langsung menunjuk Yudhistira sebagai lawan raja Mandaraka itu. Maka dengan hati yang amat berat terpaksa Yudhistira maju ke medan perang menghadapi kakak kandung ibu misannya (Madrim). Ketika Salya telah berada di medan perang, ternyata ia pun tak sampai hati harus berhadapan dengan Yudhistira. Maka dengan berat hati pula terpaksa ia mmerintahkan ajiannya raseksa Candra Bairawa. Sementara itu balatentara padnawa telah siap bertempur dengan raseksa. Tetapi kresna merasa khawatir atas keselamatan tentara Pandawa, karena prajurit-prajurit itu akan dengan mudah menjadi mangsa raseksa-raseksa ganas itu. Segera ia memerintahkan semua tentara membuka pakaian keprajuritannya, karena hanya orang-orang yang berpakaian prajurit saja yang akan menjadi sasarannya. Tetapi tidak demikian dengan Yudhistira, ia menolak membuka pakaian keprajuritannya, karena itu berarti telah menipu atau membohong yang sangat tabu baginya. Maka dengan sekejap saja Yudhistira telah berada dalam lingkaran para raseksa siap untuk dimangsa. Tapi tiba-tiba raseksa itu terperanjat karena mencium bau darah putih seperti darah Bagaspati pemilik aji Candra Bairawa. Makand engan serempak si raseksa itu berkata: "WAhhh, dia gusti kita," serunya berulang kali. Dan seketika itu musnahlah makhluk-makhluk itu masuk ke dalam tubuh Yudhistira. Dari kejauhan Salya menyaksikan ajiannya telah menyatu dengan Yudhistira. Ia semakin yakin, bahwa kematiannya ada di tangan manusia berbudi luhur adil palamarta yang ternyata berdarah putih. Lalu ia berkata" "Anakku, lepaslah panahmu. Aku telah waspada engkaulah satu-satunya ksatria yang akan mengatarku ke alam asal," ujarnya pasrah. Dengan memejamkan kedua matanya, Yudhistira melepas panah dan rebahlah raja mandaraka itu di atas kereta perangnya. Ia mati dengan tersenyum. Sebaliknya Yudhistira sangat pedih karena seumur hidup jangan pun membunuh, memukul pun tak pernah. Kresna segera menghibur dengan mengatakan, bahwa Yudhistira telah menunjukkan kewajibannya sebagai seorang ksatria.
Ayah mengawinkan anak hal yang biasa. Tetapi anak mengawinkan ayah adalah hal yang aneh, unik dan tak biasa meskipun dapat saja terjadi. Tetapi Bisma mengawinkan ayahnya Santanu kepada Durgandini
bukan saja aneh tetapi juga berlatar belakang politis. Masalahnya mas kawin yang diminta oleh Durgandini bukan saja aneh tetapi juga berlatar belakang politis. Masalahnya mas kawin yang diminta oleh Durgandini ada dalam "lubukhati: sang Bisma berupa "Pengorbanan yang tulus dan ikhlas" mau menarik diri sebagai calon raja dan menyerahkan kepada calon keturunan ayahnya dari hasil perkawinan Durgandini. Suatu perhitungan politis yang matang demi tercapainya ambisi kedudukan terhormat yang di rencanakan. Keikhlasan untuk berkorban itu ditambah lagi dengan pernyataan yang mengejutkan bahwa Bisma tidak akan menikah untuk selama-lamanya. Suatu keputusan yang nekad, sesudah haknya menjadi raja direlakan untuk orang lain, hak hidup yang paling pribadi pun tak ingin diwujudkan. Mengapa Bisma mengambil keputusan sedrastis itu? Yang pasti guna mencegah terjadinya kemlut di akhir kemudian, yakni perebutan kekuasaan antara keturunannya (bila ia menikah) dengan keturunan ayahnya dari Durgandini. Sebaliknya Santanu tega menjual hak anaknya demi cintanya kepada seorang wanita yang berarti, Santanu telah melanggar tradisi hak waris hanya karena "Cinta". Sekalipun demikian ditinjau dari sisi lain, ambisi Durgandini bertujuan agar keturunan Barata tidak terputus walau dengan cara merampas hak orang lain. Ambisinya tercapai dengan lahirnya Citrawirya dan Citranggada meskipun keduanya berumur pendek. Tetapi tersambung dengan lahirnya Destarata dan Pandu yang kemudian menurunkan Kurawa dan Pandawa. Tetapi hak waris tak selalu berdampak mulus, karena dalam periode generasi itu telah terlihat tanda-tanda keretakan keluarga kerajaan dimana Kurawa dan Pandawa merupakan benih-benih perpecahan saling memperebutkan tahta kerajaan. Bisma yang mengasuh sangat mengenal kualitas kedua golonga itu. Pandawa memiliki sifat ksatria berwatak jujur dan adil serta taat kepada orang tua. Sementara Kurawa gemar foya-foya bermain judi dan tiak pernah mau mengenal kebenaran. Akhirnya dengan kelicikan yang dimotori Sakuni, Kurawa berhasil merebut tahta kerajaan secara tidak sah, sementara Pandawa yang lebih berhak atas tahta kerajaan, terusir dari negerinya sengsara merana di hutan-hutan belantara selama 13 tahun lamanya. Ketika usai masa pembuangan, Pandawa kembali ke negerinya menuntut haknya secara adil dan bijaksana. Tanah negara tak ingin mereka kuasai sepenuhnya melainkan ada bagian untuk Kurawa. Tuntutan yang adil dan bijaksana itu didukung oleh Arya Bisma dan menasihati Duryudana agar mau menerima tuntutan Pandawa itu, demi terciptanya perdamaian kedua belah pihak. Akan tetapi Duryudana bersikap keras tidak akan pernah mau membukakan pintu perdamaian. Komentarnya: "Damai berarti rugi, perang pilihan terbaik." jawabnya tegas. Dan... perang besar Bharatayuda pun tak terelakan lagi. Kurusetra akan menjadi panggung maut perebutan nyawa begalan pati antara kedua golongan yang masih bersaudara itu. Bisma hanya dapat menarik napas serta menggeleng-gelengkan kepala.
Kekuatan fisik dan keahlian bertanding ditopang dengan kesaktian yang tinggi, belum menjamin sebagai suatu kekuatan yang prima tanpa ditunjang aspek kejiwaan seperti ketenangan, ketahanan mental dan kewaspadaan atin. Maha resi Dorna seorang pakar straegi perang dan ahli menggunakan senjata masih terpancing oleh berita provokasi hingga terpecah konsetrasinya melemah daya juangnya. Ini terjadi dalam perang barata ketika bertarung dengan Pandawa bekas muridnya. Sebenarnya guru besar ilmu perang itu menaruh simpati yang dalam kepada Pandawa yang selama menjadi mahasiswanya, dinilai baik tingkah lakunya, penurut dan sungguh-sungguh dalam mengamalkan pelajaran yang diberikan. Sebaliknya kaum Kurawa selain tingkah lakunya ugal-ugalan, juga rendah akhlaknya dan kurang memperhatikan pelajaran sehingga dalams egala hal Pandawa di nilai lebih unggul. Keberadaannya di pihak Kurawa adalah rekayasa politik Sakuni untuk memperkuat barisan Kurawa jika timbul perang dengan Pandawa. Walau demikian Dorna masih berusaha membujuk Duryudana agar bersikap lebih lunak mau memenuhi tuntuan Pandawa untuk memperoleh tanah sesigar semangka sehingga perang dapat dicegah. Berkata Dorna:" Angger Prabu, redamlah kebencian itu. Kebencian timbul karena dirinya tidak mampu berpikirs ecara sehat. Karena itu bersikaplah lebih lunak agar tercipta perdamaian kedua belah pihak," ujarnya menyarankan. "Jangan paman bicara soal perdamaian. Aku tidak berugur macam itu. Damai berarti rugi, perang pilihan terbaik," jawabnya tegas. "Mereka menuntut keadilan bukan perang." kilah Dorna. "Itu sudah merupakan keadilan yang digariskan Hyang Pasti. Kaum pengemis sudah terbiasa hidup sengsara. Karena itu mereka tidak patut memerintah negara," kilahnya dengan nada menghina. "Angger masih anggap enteng Pandawa? Bukankah sudah terbukti mereka ungguls egala-galanya? Adipati karna yang dijagokan ajal di tangan Arjuna. lalu hari ini, esok atau lusa siapa lagi yang akan menyusul," Dorna memberi peringatan. "Justru hari ini, esok atau lusa dan seterusnya giliran mereka yang akan binasa di tangan kaum Kurawa!" sergahnya. "lalu siapa orangnya yang sanggup menghancurkan pandawa?" desak sang resi ingin tahu. "Siapa lagi kalau bukan sampeyan yang sanggup dan harus menghancurkan Pandawa. Hari esok harus paman buktikan kesetianmu kepadaku. Ini perintah!" tegasnya. Terhenyak sang resi mendengar perintah itu. Ia bukan takut perang, tetapi ia harus perang memerangi kebenaran. Sedang di sisi lain ia harus melaksanakan perintah raja. Begitulah keesokan harinya Dorna bertandang di medan laga. ia perang dengan sungguh-sungguh sehingga tidak sedikit korban di pihak Pandawa. Kesaktiannya tak tertandingi, hanya Arjuna yang sanggup menyaingi walau pasukannya tetap tak memperoleh kemajuan. Kresna yang mengawasi dari jauh cukup waspada, bahwa Dorna sulit
ditandingi dengan cara biasa. Satu-satunya cara untuk dapat melemahkan daya juangnya harus dibohongi, seolah-olah anak tunggalnya Aswatama yang sangat dikasihi telah mati di medan laga. Kebetulan ketika itu di medan perang Prabu Gardapati tengah bertarung dengan mengendari gajahnya yang kebetulan namanya Estitama. Segera Kresna menyuruh Bima membunuh raja dan gajahnya dan kemudian menyebarkan berita bahwa anaknya telah mati, tetapi tidak dengan nama Estitama melainkan dengan nama Aswatama mati. Dengan demikian diharapkan si Resi yang sakti tak tertandingi itu akan terpecah konsentrasinya dan melemah daya juangnya. Demikianlah setelah Bima berhasil membunuh raja dan gajahnya, ia menyebarkan berita bahwa Aswatama telah mati. Berita itu digemakan pula oleh para prajurit dengan teriakan: "Aswatama mati... Aswatama mati!". Gema berita itu sampai ke telinga sang resi dan seketika ia tersentak seraya berucap: "hah, anakku mati? Ah, tidak, tidak, tak mungkin, dia gagah sakti," ucapnya setengah tak percaya. Namun teriakan bergema lagi bahkan semakin santer sehingga ia menghentikan perangnya dan mengajak gencatan senjata kepada Pandawa, untuk mendapatkan kejelasan benar tidaknya anaknya telah mati. Baik Nakula maupun Sadewa sama-sama menjawa: "Estu Aswatama telah mati." Meski mengiris hati tapi jawaban itu masih ngambang. Didatanginya Arjuna bekas murid kekasihnya: "Anakku, aku sengaja minta gencatan sehari ini, karena ada sesuatu yang penting yang ingin aku tanyakan kepadamu anakku." "Apakah jawabannya akan dipercaya mengingat kita sedang bermusuhan, paman?" "Aduh anakku, meskipun kita sedang dalam perang, tetapi yang sedang perang itu kewajiban, bukan guru dan muridnya. Karena itu tidak ada alasan untuk tidak percaya, anakku," ujarnya menyaknkan. "Kalau begitu silahkan apa yang hendak paman tanyakan?" "Benarkah Aswatama anak paman telah mati,he?" "Oh, hama harus memberitahukan hal ini, sebab ini menyangkut nyawa seseorang, apalagi yang bertanya adalah ayahnya sendiri. Memang benar Aswatama sudah mati paman," Arjuna coba menyakinkan. Hati siapa yang tidak hancur mendegar anaknya telah mati. Apa lagi bagi Dorna< style="font-style: italic;">sampeyan yayi," desaknya. "Bertanggung jawab, bahkan membiarkan para pejuang hancur binasa, hanya karen ingin mempertahankan kepentingan diri pribadi. Layakkah seorang pemimpin bersikap demikian?" Hening sejenak masing-masing tenggelam dalam lamunan tetapi pikiran tetap bergerak mencari jalan yang terbaik. Tiba-tiba Kresna yang memang ahli dalam berpolitik telah menemukanc ara untuk mengatasi persoalan yang dihadapi. Ia meminta Samiaji untuk mengatakan dengan kata "Esti" yang artinya gajah. Tetapi dalam mengatakan kata esti hendaknya tidak dengan nada yang keras. Belum sempat Samiaji menjawab, resi Dorna telah datang dan berkata: "Angger, bumi dan langit menjadi saksi, bahwa angger adalah mustikaning manusia yang anti untuk berbohong. Angger akan mengatakan putih pada yang putih, dan hitam pada yang hitam tanpa direkayasa apa pun. Nah, kini paman sangat membutuhkan jawaban yang murni semurni sikap dan watak angger dengan sebuah pertanyaan: "Benarkah anak paman Aswatawa sudah mati?" tanyanya harap-harap cemas. Samiaji termenung terjadi perang sabild alam dirinya tapi kemudian ia menjawa: "Masihkan paman percaya kepada orang yang sedang paman musuhi?" "Olalala, paman tidak bertanya kepada musuh, tapi bertanya kepada manusia Samiaji yang tidak pernah mengingkari keteguhan imannya," ujarnya memberi keyakinan. Maka dengan mengingatkan hati sang Pandu putra menjawab: "Paman, Esti Aswatama sudah mati." Hanya dalam mengatakan Esti sangat perlahan hampir tidak terdengar, tetapi jawaban itu sudah cukup bagi resi Dorna untuk mempercayainya. Seketika itu ia terpaku bagai patung. Air mata meleleh menyusuri celah-celah pipi yang keriput seraya berucap tersendat: "Duh anakku, kini aku sadar, bahwa manusia itu ada tapi tidak sempurna. Memang kita berada di pihak yang salah dan salah akan kalah. Kini aku rela untuk mati menyusul engkau anakku," ujarnya sangat memelas. lalu bagaimana dengan Samiaji. Ia tampak termenung karena, bagaimanapun juga, dia telah berbohong. Akibatnya kereta yang biasa ia kendarai sejengkal tidak menapak tanah, mendadak anjlok menapak bumi.
Tiba-tiba Drestajumena sesumbar menantang Dorna ingin membalas kematian ayahnya, Drupada. Sementara di angkasa Sukma Ekalaya juga siap akan memebalas atas kematiannya gara-gara jari kelingkingnya dipotong oleh Dorna, sewaktu adu ketangkasan melepas anak panah dengan Arjuna. Maka masuklah sukma Ekalaya ke dalam tubuh Drestajumena, hingga satria Pancala itu menjadi berignas. Dan tak lama kemudian puluhan anak panah dilepas mengarah pada sang resi. namun hanya sebuah yang mengenai dada sang resi, sedang lainnya berhasil ditepisnya. Resipun tak tinggal diam, dilepasnya puluhan anak panah dan mengenai kuda serta keretanya hingga hancur berantakan, bahkan nyaris membinasakan satria Pancala itu jika tidak segera melompat dari keretanya. Menyaksikan perang yang tidak seimbang, Bima naik pitam dan memaki sang resi: "Hei, ternyata engkau brahmana licik perang seperti prajurit mencabut nyawa orang seenaknya. Padahal engkau tukang ibadah, anak sendiri mati tidak kau hiraukan, saksinya Samiaji orang yang pantang berbohong. Seperti itukah sikap seorang Brahmana?" Mendengar makian itu hati sang resi terasa pedih. Hati kecilnya membenarkan makian itu. Seketika gendawa dan jemparingnya ditaruh dan ia bersidakep sinuku tunggal meleng anteng mengheningkan cipta kepada Dewa Wisnu. Tak lama kemudian dari tubuhnya keluar cahaya menyilaukan, sukmanya melayang munggah ke alam nirwana disambut dewa apsara dan dewi apsari sambil menaburkan wewangian. yang tinggal hanya jasadnya terpaku bagai patung. Tak ada seorang pun yang tahu bahwa dia telah tiada. Tiba-tiba Drestajumena dengan pedang di tangannya menghampiri dan menebas kepala sang resi hingga menggelinding jatuh ke bumi. Para Pandawa sangat menyesalkan tindakannya. Tetapi Kresna menjelaskan, bahwa maha resi adalah manusia yang bijaksana dan banyak jasanya, tetapi tak lepas dari kesalahan yang telah diperbuatnya. Mungkin kejadian itu sebagai hukumannya.*
Perang besar Baratayudha telah berlangsung dengan serunya. Tidak sedikit prajurit dari kedua belah pihak yang gugur membela masing-masing pihaknya. Peraturan yang adil tetapi ketat diterapkan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. bertindak sebagai pengatur laku sekaligus hakim perang adalah Kresna yang tidak segan-segan memberi peringatan kepada pelanggar tanpa pilih bulu siapun orangnya dan dari golongan mana. Dalam perang itu Kresna bertindak seblaku penasehat perang Pandawa setelah melalui referendum. Sebelumnya ia diminta kaum Kurawa untuk menjadu penasehat di pihaknya tetapi sebenarnya akan dimanfaatkan kesaktiannya untuk memukul hancur kaum Pandawa. Tetapi niat licik itu telah terbaca dan Kresna tetapi pada pendiriannya hanya bersedia menjadi penasehat tanpa terilbat secara fisik dalam perang, hinggu akhirnya Kurawa menarik kembali permintaanya. Sebalikany Pandawa lebih tanggap
bahwa justru petunjuk itu yang lebih berharga, karena Kresna adalah seorang ahli strategi dan mampu mengantisipasi situasi kritis yang dihadapi sedangkan Kurawa mendapat pakar-pakar perang seperti Bisma, Dorna, diperkuat Prabu Salya yang dapat mendatangkan ribuan bala tentara dengan Aji Chandra Birwayanya. Tindakan tegas kresna dalam mengawal jalannya perang dibuktikan ketika menyaksikan Arya Bisma perang secara membabi buta membantai bala tentara Pandawa hingga banyak menimbulkan korban. Dengan lantang ia mencaci: "hei Bisma, ternyata engkau ksatria yang tidak tahu atuan perang, membabi buta membantai prajurit yang bukan tandinganmu. Tidakkah lebih pantas engkau bertanding dengan sesama satria. Aku tahu kau sukar dilawan dewa maupun manusia. Sekarang ayo lawan aku. Keluarkan semua kepandaian dan senjata andalanmu, ayo maju," tantangnya penuh emosi. Bisma kget lalu tergopoh-gopoh turun dari keretanya menghampiri Kresna seraya memberi hormat dan berucap: "Duh Sang Kesawa, hamba mengaku salah bertanding tanpa pilih lawan. Karena itu hukumlah hamba. Mati ditangan awatara Wisnu amat membahagiakan. Lepaskan senjata pusaka paduka bagi kematian hamba," ujarnya pasrah. Di saat situasi menegangkan datanglah Arjuna merangkul kaki Kresna seraya memohon agar Kresna menepati janji untuk tidak terlibat langsung dalam perang. Akhirnya Kresna sadar dan berlalu. Begitulah kresna mengawasi jalannya perang dengan tindak tegas tanpa pilih bulu. Tetapi pada bagian lain keadilan yang dilakukan menimbulkan masalah ketika Antareja putra Bima dari Saptapertala datang ingin bakti diri serah nyawa membantu Pandawa melawan Kurawa. Tentu saja kehadirannya seharusnya diterima dengan senang hati karena akan menambah kekuatan di kubu Pandawa. Tetapi tidak demikian, Kresna mempunyai catatan matinya seseorang dalam perang, termasuk Baladewa, saudara yang sangat dihormati justru akan mati di tangan si anak Bima itu. Tentu saja hal itu membuat resah hatinya dan berniat untuk mencari jalan keluarnya. Dasar Kresna berpikiran cerdas pandai mengantisipasi situasi kritis yang dihadapi, manakala ia mengetahui bahwa Antareja memiliki senjata berupa Taring yang amat berbahaya yang tidak boleh dalam perang. Janganpun terkena taringnya, terlanggar bayangnya saja orang bisa mati seketika. Maka entah apa yang terjadi apabila putra Bima itu dibiarkan terjun dalam perang. Jelas, Kurawa akan hancur sebelum waktunya. Bagaimanapun, ini bertentangan dengan perikeadilan. Untuk mencegah Antareja terjun dalam kancah peperangan, tidak ada pilihan lain kecuali nyawanya harus dikorbankan dengan cara halus. Maka dengan pura-pura memuji keampuhan senjati taringnya, Kresna minta Antareja memperlihatkan senjata itu kepada ayahnya. Dengan bergengsot ia menyerahkan senjata itu kepada ayahnya. tetapi baru saja senjata itu berada di tangan Bima, Kresna membaca aji "Pelumpuhan" hingga tangan Bima mendadak lemas dan terjatuhlah senjata yang mematikan itu menimpa tubuh anaknya hingga tewas seketika. Mengkaji tindakan Kresna ditinjau dari satu sisi, matinya cucu Hyang antaboga itu merupakan pengorbanan suci demi tegaknya keadilan sehingga kaum Kurawa akan terhindar dari kehancuran yang tidak semestinya. Hukum keadilan tidak berarti salah satu pihak yang sedang perang tidak harus lebih cepat mengalami kekalahan, tetapi juga tidak dibenarkan pihak yang akan unggul harus lebih awal meraih kemenangan. Akan tetapi ditinjau dari sisi lain, tindakan Kresna itu jelas merupakan pembunuhan yang direncanakan secara halus, bahkan tidak berperikemanusian karena matinya Antareja meminjam tangan ayahnya sendiri, selain memanipulasi matinya Baladewa oleh Antareja. Secara hukum, setiap perbuatan menghilangkan nyawa seseorang, meski hal itu berdalih demi keadilan, tetap harus mendapat hukuman. Walaupun kedudukan Kresna sebagai pengatur jalannya perang dan pengendali keadilan, tidak berarti
dirinya kebal terhadap hukum keadilan itu sendiri. Maka dalam kisah Baratayudha, hukuman terhadap Kresna pun berlaku, karena kutukan Dewi Anggandari (ibunya Kurawa) yang menuduh Kresna telah mengadu domba Kurawa dan Pandawa hingga kedua golongan yang masih bersaudara itu ludas. Hukuman itu akan terbukti dimana kelak leluhuh dan keturunannya akan saling membunuh hingga ludas dan tak bersisa. Dua belas tahun (menurut Mahabarata 35 tahun) telah berlalu setelah perang usai dengan Pandawa sebagai pemenangnya. Ini berarti tugas Wisnu akan segera berakhir dan kematian Kresna pun akan segera tiba. Ketika itu Kresna sedang beristirahat sambil bersemedi di semak belukar di dalam hutan. Sementara itu Ki Daruka (nama lain, Ki Jara) yang sedang menunggu tuannya datang ketempat itu. Tibatiba ia melihat sesuatu yang bergerak-gerak di dalam semak, penglihatannya seperti seekor rusa. Tak ayal lagi kusir yang gemar berburu itu melepas senjata panahnya dan tepat mengenai dada Kresna hingga roboh. Sang kusir kaget dan mohon ampun telah salah penglihatan, tetapi Kresna malah berterima kasih karena dengan demikian telah memberi "jalan" bagi sang Wisnu untuk kembali ke tempat asalnya. Sementara itu di angkasa terdengar suara gemuruh para dewa dan bidadari menyambut yang akan kembali. Kendaraan Wisnu, Garuda Kencana, telah tiba dan keluarnya Wisnu dari tubuh Kresna. Yang tinggal hanya raga tak berdaya. Gagah sakti punjul agung telah sirna. Kresna seorang besar dan berwibawa dengan sejuta kesaktian bukan mati di tangan seorang raja bukan pula oleh seorang ksatria, tetapi ia mati hanya oleh seorang rakyat kecil berpangkat kusir. Di mata Tuhan semua makhluk adalah "sama" tanpa mengenal tinggi rendahnya martabat atau golongan.
Apabila dalam dunia politik internasional dikenal sebutan "DIPLOMAT", di dunia pewayangan predikat itu layak disandang oleh seorang tokoh ayng keahliannya setaraf dengan profesi tersebut. Dia adalah Kresna awatara (titisan) Dewa Wisnu pemelihara perdamaian pengendali keadilan dan kesejahteraan umat di Jagat Raya.
Anak Raja Basudewa dari Dewi Mairah itu mempunya keahlian berbicara fasih, taktis, diplomatis, disegani kawan maupun lawan. Kadang-kadang ia menggunakan bahasa sindir yang tajam tapi tidak terasa menusuk hingga orang yang kena sindir tidak menaruh dendam atau marah selain mengakui kebenarannya. Sebagai diplomat ia berpandangan luas mengenai hubungan dan kepentingan masalah mancanegara, terutama konflik antara Kurawa dan Pandawa mengenai hak pemikikan atas tahta kerajaan Astina yang dituntut kaum Pandawa. Keahlian lain ialah, mengatur taktik strategi perang merusak konsentrasi lawan dan mengantisipasi situasi kritis yang dihadapi. Sebagai titisan Wisnu tak heran bila ia memiliki segudang ilmu dan peralatan serba canggih antara lain Gampar Lopian, semacam komputer pencari data kelemahan lawan atau untuk menemukan barang yang hilang termasuk identitas seseorang. Peralatan lain yang dimiliki berupa sekuntum bunga disebut Sekar Wijaya Kusuma, berkhasiat menyembuhkan orang sakit, bahkan menghidupkan yang mati belum waktunya. Sedang senjata andalan berteknologi tinggi adalah Cakra, semacam peluru kendali antar benua yang mampu mencapai sasaran dimanapun tempatnya. Akhirnya peralatan tercanggih berupa ajian Triwikrama. Tri = Tiga; Wikrama = Langkah. Dengan ber Triwikrama tubuhnya menjadi besar dan tinggi bagai raksasa Kala Mercu bertangan seribu. Jagat yang besar dan luas dari ujung ke ujung ini hanya dicapai dengan Tiga Langkah saja. Jika melangkah jagat akan miring ke arah tempat kakinya berpijak sehingga betapa mudahnya jika ia ingin melumat jagat semudah membulak-balikkan telapak tangan. Tetapi karena pemiliknya terikat oleh konvensi hukum kemanusiaan sesuai tugasnya sebagai pemelihara perdamaian dan pengendali keadilan, senjata penghancur jagat itu tak boleh dipergunakan dengan sewenag-wenang, kecuali menghadapi kekuatan destruktif yang membahayakan keselamatan umat manusia. Tetapi berbeda menurut pustaka Kresnayana, penampilan anak Basudewa itu lebih nampak sifat "Kemanusiannya" daripada sifat "Kewisnuannya". Faktor penyebabnya, dalam kisah mahabarata jalan cerita lebih banyak didominasi oleh liku-liku kehidupan kaum Kurawa dan Pandawa. Pernah ciri Kewisnuannya ia perlihatkan ketika bertindak sebagai duta perdamaian ke negara Astina guna mencegah perang antara kaum Kurawa dan Pandawa mengenai tahta kerajaan Astina. Namun agaknya maksud baik sang duta dianggap merugikan kaum Kurawa sehingga timbul niat jahat untuk mencelakakannya. Di saat itulah Kresna bertriwikrama nyaris melumat hbis bangunan-bangunan mewah, jika saja rasa kesadaran tidak menggugahnya. Ia sadar bahwa neraca tulisan tuhan tidak akan mengubah apa yang telah ditentukan dari Lohmahfuznya, bahwa perang besar Baratayudha tidak dapat diubah lagi kepastiannya. Justru dalam perang itu Kresna akan berperan penting sebagai Sutradara pengatur laku pengendali keadilan dan walaupun ia berada di pihak Pandawa, tetapi tak boleh terlibat secara fisik melainkan sebatas hanya menjadi penasehat saja. Suatu ketika Kresna bertindak sebagai kusir kereta perang Arjuna di gelanggang payudan Kurusetera. Ketika satria andalan Pandawa itu telah mengincar mangsa, tiba-tiba ia berseru "Oh, tidak, tidak... kanda bawa aku segera keluar gelanggang." perintahnya. Sang kusir kaget, "eh, kok malah mengajak keluar ... ada apa si anak Pandu ini?", gumamnya keheran-heranan. Sekilas Kresna melihat tiga wajah yang tidak asing lagi yaitu Bisma, Dorna dan Salaya. Setiba di luar gelanggang Arjuna berdalih, "Kanda Batara, perang ini tidak lebih hanya untuk memperebutkan kekuasaan dan kemewahan lahiriah semata, hanya karena Pandawa sedang menderita. Untuk apa kekuasaan, apa guna kemewahan jika untuk itu hamba harus membunuh orang-orang yang pernah berbuat baik kepada Pandawa. Mereka eyang Bisma, Bapak guru Dorna dan Uwa Prabu Salya telah mendidik dan membina hamba untuk menjadi manusia berwatak ksatria. Lalu adilkah jika kebaikan mereka dibalas dengan senjata?" , ujarnya menyakinkan seolah merasa benar. Di saat itulah adegan yang dikenal dengan sebutan Bahgawat Gita, yaitu wejangan Kresna kepada
Arjuna yang isinya meluruskan pendirian yang keliru serta membangkitkan semangat juangnya. Maka bersabdalah sang Kresna: "Wahai putra Pandu, engkau berkata benar jika engkau seorang Brahmana. Tetapi engkau bukan Brahmana, engkau seorang ksatria. Tanpa kau sadari pernyataanmu tadi telah menyimpang dari darmamu sebagai seorang ksatria. Oh anak Pandu, engkau telah tertipu oleh perasaanmu sendiri hingga enggan menghadapi orang-orang yang telah berjasa kepadamu. Itu tandanya jiwamu lemah dan kelemahan bukanlah sifat seorang ksatria. Ketahuilah jika mereka telah berbuat baik padamu, itu sematamata adalah "Kewajiban" untuk berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan. Lalu adilkah jika engkau membalasa kebaikan dengan acungan senjata kepada mereka? Masalahnya bukan soal adil atau tidak adil, tetapi terletak pada tanggu jawab untuk membela Hak dan Kewajiban. Lihat, untuk apa Bisma, Dorna dan Salya maju ke medan perang kalau bukan untuk membela hak dan Kewajiban sebagai seorang prajurit. Apakah engkau pikir mereka mempertimbangkan tega atau tak tega membunuhmu hanya karena bekas anak didiknya? Tidak adikku, mereka orang-orang yang telah matang luar dalamnya. Mereka mengerti bahwa dalam suasana perang tidak ada istilah sanak kandung atau anak didik; yang ada hanya satu tujuan, membunuh atau terbunuh dan memenangkan perjuanan, titik. Lalu bagaimana dengan engkau?" , ujarnya meyakinkan. Wejangan itu bagaikan seribu pelita menerangi kegelapan hati dan jiwa, memulihkan kepercayaan diri serta membangkitkan kembali daya juang Ki Arjuna. Seketika terdengar perintahnya, "Cambuk kudanya, bawa segera aku kembali ke medan perang," ujarnya bersemangat. Sejurus kemudian terdengar Sangkakala suaranya menembus angkasa dan menggelinding roda kereta melaju dengan cepatnya menuju medan juang. Kesadaran telah memulihkan kepercayaan diri sekaligus melenyapkan keraguraguan.*
Negara Non Blok tidak hanya terdapat dalam dunia nyata, pewayangan pun memiliki negara semacam itu. Mandura, demikian namanya, dipimpin Prabu Baladewa , putra Basudewa. Istrinya bernama Irawati, putri Salya, berputra Wisata. Ia profil manusia bangsawan tapi berpola pikir sederhana. Hitam akan dikatakan hitam, putih dikatakan putih tanpa rekayasa. Berpendirian netral, tak mau campur urusan dalam negeri orang lain, tapi juga menolak campur tangan asing atas negerinya. Hidup berdampingan secara damai dan saling
menguntungkan. Sifat temperamental tapi tak berlangsung lama karena hatinya baik. Kelemahannya kurang wiwaha, tak panjang pikiran, hingga mudah dipengaruhi, tapi mudah pula dibawa kejalan yang benar. Artinya, jika telah diketahui bahwa persoalan yang dihadapi akan berakibat buruk, ia segera mundur tak mau ikut campur. Meskipun pendiriannya netral, tak berarti pasif. Kehadirannya pada seitap musyawarah di Keraton Astina menunjukkan ahwa ia aktif memberi sumbangan pikiran memecahkan persoalan yang dihadapi negeri itu. Meskipun demikian, Mandura bukan negara protektorat. Hanya sedikit banyak pengaruh buruk kaum Kurawa yang seringkali mendiskreditkan Pandawa sering mempengaruhinya, sehingga tak jarang Baladewa dijadikan senjata untuk mengintimidasi Pandawa. Tapi pengaruh buruk itu dapat diredam setelah persoalannya dinetralisir oleh Kresna. Menghadapi perang Baratayudha, Baladewa tetap konsisten dengan sikapnya yang netral, tak mau berpihak pada salah satu golongan baik pada Kurawa maupun Pandawa. Terlalu banyak pertimbangan yang menyita perasaan bila ia berpihak di pihak Kurawa ada sang mertua (Salya), sedang di Pandawa ada Kresna (adik seayah) yang justru bertugas mengatur jalannya perang mengendalikan keadilan. Maka jalan terbaik adalah... NETRAL. Tetapi menurut versi lain ketidakikutsertaanya dalam perang Baratayudha adalah atas taktik Kresna yang membelokkan perhatian Baladewa supaya bertapa di Grojogan Sewu hingga usainya Baratayudha. Sebab bila saudara seayahnya terlibat pasti akan berada di jajaran kaum Kurawa, karena mertuanya berada di pihak duryudana Cs. Itu berarti akan terjadi perang senjata canggih antara Cakra dan Nanggala. Walaupun ia bersikap netral, emosinya pernah memuncak tatkala menyaksikan perang tanding antara Bima dan Duryudana. Ketika itu Bima memukul paha lawannya hingga pingsan, karena tidak dibenarkan memukul anggota badan tersebut. Saking murkanya ia hendak melepas senjatanya ke arah Bima, tapi dengan cekatan kresna menghalangi seraya menerangkan duduk perkaranya, bahwa pemukulan ke arah paha bukan salah Bima, tetapi Duryudana melompat terlalu tinggi hingga mengenai pahanya. Sesuai sifatnya yang mudah marah tetapi mudah baik, seketika amarahnya reda. Padahal pukulan Bima mengenai paha Duryudana adalah akibat kutukan Resi Matireja terhadap Duryudana yang dahulu pernah menggebug paha resi itu. Ia berusia panjang hingga zaman Parikesit dan tetap dihormati sebagai orangtua yang punya wibawa dan sering dimintai nasihatnya. Akhir riwayat Baladawa, menurut Mahabarata, bukan mati terbunuh, melainkan terjun ke laut dan menghilang. Hal itu terjadi setelah bangsa Yadawa, leluhur dan sanak keluarganya, saling gempur sesamanya hingga ludas. Konon peristiwa itu terjadi karena kutukan Dewi Anggandari yang mengutuk Kresna telah mengadu domba Kurawa dan Pandawa hingga ludas dalam perang Baratayudha. Versi lain menerangkan matinya Baladewa diusia renta terinjak-injak oleh orang-orang yang inin melihat bayangan Arjuna, hingga badannya tertusuk Nanggala senjatanya sendiri. Yang jelas hingga akhir riwayatnya Baladewa tetap teguh dengan pendiriannya yang netral.*
Dia seorang yang Kontroversial. Bukan seorang penasehat tetapi sering dimintai pendapat. Dianggap lemah tetapi di saat kritis muncul sebagai penyelamat. Pintar dialingaling bodoh, gagah dialing-aling lemah. Padahal dia hanya rakyat biasa hidup di desa bersama masyarakat golongan bawah. Orang menganggapnya hanya sebagai hamba atau pelayan pada keluarga terhormat. Keberadaannya hanya sebagai figur tambahan yang tidak ada kaitannya dengan jalan cerita. Meskipun demikian kehadirannya mempunyai daya pesona tersendiri sebagai artis penghibur di kala sendu, pengundang tawa dikala duka. Dibalik itu semua sesungguhnya dia adalah penjelmaan dewa bertugas mengemong para satria Pandawa pemeran inti kisah Mahabarata. Anehnya, walai dia bersatu dengan keluarga Pandawa namanya tidak tercantum dalam Mahabarata sehingga menimbulkan tanda tanya, siapa dan dari mana Ki Semar itu? Untuk mengungkapnya kita tinjau dari dua sudut pengertian. Ditinjau dari sejarah perjalanan hidupnya di alam pewayangan, Semar dan anak-anaknya hidup dan mengabdi sejak generasi Sakutrem, Sakri, Manumayasa, Palasara hingga Abiasa dan Arjuna tanpa mengalami pergantian generasi sebagai pengabdi. Dalam pengabdian dari generasi ke generasi yang begitu panjang, dia bersama anak-anaknya telah menjadi saksi hidup tentang kebangkitan, kemegahan sekaligus keruntuhan generasi masa silam. Ia juga telah mengalami, merasakan dan menyaksikan semua peristiwa yang terjadi di masa itu. Pelbagai tempat telah disinggahi, berbagai peristiwa telah dialami, sehingga betapa luas dan lengkapnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki serta mengetahui seluk-beluk kehidupan di masa lalu. Karena itulah rupanya Ki Semar dan anak-anaknya dipanggil dengan sebutan "Panakawan". Pana artinya Tahu/mengetahui. Tetapi bukan sekadar tahu sepintas lalu, melainkan mengetahui sampai pada tingkat yang sedalam-dalamnya. Sedang Kawan adalah Teman, tetapi juga bukan sekedar teman biasa, melainkan teman yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas dan lengkap sampai pada tingkat yang dijadikan sebagai teman hidupnya, Ini melambangkan bahwa hidup tanpa pengetahuan bagai damar tanpa sinar. Kesimpulan pertama Panakawan adalah teman yang baik yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas dan lengkap serta mendalam. Sedang kesimpulan kedua bukan semata-mata ditujukan kepada individunya, tetapi kepada ilmu pengetahuannya dan pengetahuan itu dapat diartikan sebagai Pandangan hidup atau falsafah hidup. Dengan demikian Panakawan seolah Pewaris dan pemelihara yang konsekuen terhadap nilai-nilai sejarah dan peradaban manusia untuk masa lampau, masa yang sedang dijalani dan masa yang akan
datang. Sementara pihak ada yang mentafsirkan Semar adalah tokoh misterius antara Ada (berwujud konkret) dan tidak ada (Abstrak). Dalam pengertian abstrak Ki Semar dilukiskan dalam wujud yang tidak "berbangun", tidak mirip laki-laki atau perempua, serba tidak jelas atau "samar-samar" sehingga menimbulkan teka-teki bersifat rahasia atau gaib (Dr. Seno Sastroamidjojo). Perutnya besar, berwajah putih, badannya hitam dan berkuncung di atas kepala. Kesemua itu bukan tanpa arti. Wajah putih lambang kesucian bahwa manusia harus berusaha membersihkan diri (hati), menghindari dari perbuatan buruk. Badan hitam pertanda teguh iman tak tergoyahkan oleh ajakan syetan. Berkuncung lurus menunjuk ke atas harus mawas diri eling kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian Semar dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk dan apa pun yang terjadi ia terima dengan sabar dan ikhlas, pertanda ia telah mengenal "Jati Diri", karena itu ia mampu mengendalikan diri. Menurut Ki Resi Wahono dalam bukunya Takbir mahabarata, Ki Semar identik dengan nama Kyai Lurah Nayataka. Naya artinya Sinar atau Cahaya. Sedan Taka mempunyai arti Pati atau Mati. Jadi Nayataka mempunyai arti "Sinarnya Pati" atau Dhat Luhur yang sudah terluput dari pengaruh badan jasmani terbebas dari segala keinginan duniawi. Jika ditinjau dari nama Nayataka artinya seorang yang luhur derajatnya dan martabatnya. Semar juga bergelar Hyang Maya. Kata "maya" artinya tidak berwujud tetap atau selalu berganti-ganti sifat, tidak tentu jenis kelaminnya laki-laki atau perempuan. Maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa Semar bukanlah manusia wajar melainkan nama yang memperlambangkan unsur yang selalu mengikuti dan melindungi seseorang atau perlambang sebagai KAWAN. Pengertian yang lebih dalam adalah lambang SUKSMA, ROH atau JIWA yang berada di dalam diri kita semua. Secara filosofis mengandung arti hubungan antara keluarga Pandawa dengan Panakawan. Karena itu, kehadirannya sebagai pengasuh merupakan sosial kontrol memberi koreksi, reaksi dan kritik terhadap para satria Pandawa memperlambangkan hidupnya demokrasi. Akan tetapi kenyataan sering membuktikan dalam cerita wayang, bahwa koreksi atau reaksi dan kritik Panakawan sering diremehkan, bahkan tak jarang mendapat perlakuan yang menyakitkan dari satria yang diasuhnya. Hal ini melambangkan bahwa, meskipun Pandawa merupakan mythos kebenaran, tetapi mereka tidak bersih dari kesalahan. Kebenaran bukan monopoli mereka yang masih bisa berbuat salah. Sebagai akibatnya, apabila Pandawa berpisah dari Panakawan, Pandawa akan kehilangan kontrol kebenaranm sebaliknya Panakawan pun akan merasa prihatin. Hal ini melambangkan apabila manusia mengingkari kebenaran, ia akan jatuh ke dalam jurang kenistaan. Demikianlah kehadiran Ki Semar dalam setiap lakon meski tidak ada kaitannya dengan jalan cerita, namun mempunyai daya tarik dan pesona sendiri. Akan terasa hambar pagelaran wayang jika tidak menghadiran kelompok Panakawan. Seringkali dalam lakon wayang jika Pandawa menghadapi kesulitan yang tidak dapat diatasi, maka di saat itu Ki Semar muncul sebagai penyelamat walau kadang-kadang tidak secara terang-terangan. Selain keterangan diatas tentang Semar, tidak mengesampingkan adanya penelitian dari segi lain. Ditinjau dari segi kebudayaan secara luas, ketika orang-orang Hindu datang di Indonesia menyebarkan kebudayaannya, antara lain agama dan kesustraan, kebudayan kita sudah cukup tinggi, termasuk seni pedalangannya dikenal dengan sebutan "Juru Barat" (860 M). Tetapi pengaruh Hindu telah menimbulkan proses akulturasi antara kebudayaan pribumi dengan kebudayaan Hindu yang disesuaikan dengan alam pikiran dan pola kebudayaan pribumi, di atanranya adalah dua epos besar sastra Hindu; Ramayana dan Mahabarata. Yang kemudian menjadi sumber pokok cerita pedalangan. Dari akulturasi kemudian muncul apa yang disebu Sinkretisme. Sinkretisme adalah bentuk reinterpretasi yang menunjukan berubahnya segala aspek dalam kebudayaan, yaitu suatu proses yang menyelarasakan anasir-anasir tua dalam kebudayaan terhadap unsur-unsur baru atau diubah dengan nilai-nilai baru. Maka sangat mungkin Semar termasuk dalam kategori sinkretisme, karena tokoh Panakawan adalah
unsur budaya pribumi yang dalam proses akulturasi kedudukannya tidak di bawah unsur budaya Hindu seperti Batara Guru (Syiwa), Indra, Brahma dan lain-lain. Bahkan dalam pewayangan Semar mempunyai kedudukan yang lebih tinggi serta memegang supremasi hegemoni. Dengan demikian jelas kiranya Semar bukanlah tokoh produk budaya yang diimpor lewat Mahabarata atau Ramayana, tetapi asli hasil produk pemikiran para cendekia budaya Indonesia. Nama Sakuni cukup dikenal sebagai seorang pejabat kerajaan Astina. Ia beperan penting membentuk watak dan prilaku kaum Kurawa. Tetapi sifatnya tidak mencerminkan seorang pendidik yang baik. Hatinya buruk, dengki tapi pengecut dan licik, Ia selalu melakukan manuver politik memburuk-burukan nama baik kaum Pandawa dengan tujuan tahta kerajaan tidak jatuh ke tangan Yudhistira melainkan kepada Duryudana keponakannya. Setelah Prabu pandu wafat, atas keputusan Dewan sesepuh tahta kerajaan Astina untuk sementara dipercayakan kepada Destarata dan harus diserahkan apabila yudhistira telah dewasa. Tetapi di saat itu pula usaha Sakuni semakin meningkat. Berbagai cara di lakukan untuk merubah karakter kaum Kurawa memutar balikan fakta sejarah, bahwa sesungguhnya Kurawalah yang paling berhak atas tahta kerajaan Astina, usahanya berhasil menanamkan perasaan benci terhadap Pandawa. Sejak itu sering terjadi konflik fisik antara kedua golongan yang masih bersaudara itu. Siapa Sakuni? Sebenarnya ia tinggal di nagara Trigan Talpati. Istrinya bernama Sukesti. Suatu waktu ia mendengar berita bahwa di negara Mandura sedang diadakan sayembara memperebutkan Dewi Kunti yang cantik jelita. Ia berangkat bersama kakaknya Dewi Anggandari. Tapi malang sayembara telah berakhir dengan pandu sebagai pemenangnya serta memboyong Dewi Kunti ke negeri Astina. Karena sifatnya serakah dan merasa dirinya gagah, di perjalanan ia ingin merebut Putri Mandura itu dari tangan Pandu. Tetapi usahanya gagal setelah tidak mampu mengungguli kesaktian pandu. Sebagai imbalan atas kekalahannya, ia serahkan Tunggandari untuk dijadikan permaisuri Prabu Pandu. Penyerahan itu merupakan taktik agar ia mendapat kedudukan terhormat di kerajaan itu. Namun taktik itu gagal karena Pandu menolak pemberian gratis tanpa perjuangan. Akhirnya Gandari diserahkan kepada Destarata yang buta matanya. Sejak itulah timbul obsesi itu terpuaskan setelah ia berhasil mendudukkan Duryudana sebagai raja Astina. Keberhasilannya itu karena taktik liciknya Sakuni yang mengalahkan pandawa dalam permainan judi. Lebih tragis lagi Pandawa harus dibuang selama 13 tahun merana di hutan belantara. Masa pmbuangan telah berakhir dan Pandawa menuntut dikembalikannya tahta kerajaan. Tetapi Duryudana menolak keras sehingga perang besar sesama keturunan Barata tak terhindarkan. Akibatnya seluruh keluarga Kurawa ludas tandas dalam perang itu dan Sakuni sendiri harus menebusnya dengan kematian yang amat mengerikan. Arya Bima melampiaskan dendam kesumatnya. Sakuni dijungkirbalikan, duburnya dihujani senjata, mulutnya dirobek-robek akibat kata-katanya yang jahat hingga mengakibatkan banyak orang menderita. Kulitnya dikupas disayat-sayat sebagai pembalasan atas keserakahan dan kerasukan yang dilakukannya. Demikianlah perbuatan jahat harus dibayar dengan rasa sakit yang luar biasa hingga ajalnya sangat mengenaskan.
Aswatama anak Resi Dorna yang lahir dari seekor kuda penjelmaan bidadari Wilutama yang sedang menjalani hukuman Dewata. hasil hubungan inseminasi itu membuahkan anak yang urakan, nakal dan tak mengenal mana yang benar mana yang salah. Versi lain mengatakan ia anak Dorna dan Dewi Kerpini putri raja Purung Aji negeri Tempuru. Sebagai anak Resi kesaktian dan kegagahannya tak mudah dikalahkan lawan. Bersama ayahnya ia bergabung dengan Kurawa hingga tatkala pecah perang Barata ia membantu Kurawa melawan Pandawa. Suatu waktu terjadi insiden dimana antara dia dengan Prabu Salya raja Mandaraka. Aswatama menuduh Salya telah bekhianat ketika menjadi kusir kereta perang Adipati Karna ketika perang dengan Arjuna. Setiap Karna melepas senjata, Salya selalu mencambuk kudanya hingga kereta bergoyang dan arah panah pun berbelok tidak mengenai sasaran. Tuduhan itu membuat Salya murka dan hampir terjadi baku hantam. Duryudana melerai dan menyalahkan Aswatama hingga si anak resi itu pun ditundung dan angkat kaki tak pernah muncul kembali. Ia baru muncul setelah mengetahui Kurawa telah hampir ludas dan Duryudana sedang sekarat menghadapi ajal. Lebih-lebih setelah mengetahui bahwa ayahnya telah ajal di tangan Drestajumena. Timbul niatnya ingin membalas. Tapi untuk secara terang-terangan berhadapan dengan pandawa ia merasa tak mampu. Jalan satu-satunya mengadakan gerakan di bawah tanah membuat terowongan yang arahnya menuju ke Pesanggrahan Pandawa dan harus dikerjakan di malam hari untuk tidak diketahui pihak Pandawa. Tapi waktu itu bulan sedang gelap. Tiba-tiba ia teringat ibunya seorang bidadari dari khayangan untuk dimintai tolong memberi penerangan selama ia bekerja. Dipanggilnya melalui semadi dan seketika itu sang ibu telah berada di hadapannya seraya berkata: "Anakku, ibu mengerti engkau kesulitan membuat jalan di bawah tanah. Tetapi perang telah berakhir lebih baik engkau menyerah supaya engkau selamat," pintanya. "Menyerah? Oh tidak. hamba tidak akan menyerah sebelum dapat membalas kematian resi dan raja hamba Duryudana yang sedang sekarat menghadapi ajal," tolaknya tegas. "Baiklah jika itu pilihanmu. Ibu akan menerangi dengan cahaya yang terang benderang selama engkau bekerja jangan sekali-kali menoleh ke belakang. Jika kau langgar, selain cahaya akan lenyap seketika, kau pun akan tercatat sebagai anak durhaka dan akan menerima hukuman yang amat berat," Aswatama menyanggupi karena pikirnya, apa susahnya tidak menoleh ke belakang. Maka seketika menggebyarlah cahaya yang amat terang benderang di sekitar itu dan Aswatama pun mulai bekerja membuat lubang. lalu dari mana datangnya cahaya itu? Ternyata cahaya yang terang benderang itu datangnya dari tubuh sang bidadari setelah menanggalkan seluruh busananya kecuali
penutup aurat. Itulah sebabnya Aswatama dilarang menoleh kebelakang. Mula-mula ia bekerja seperti biasa. Tapi lama-lama badan dan kepalanya merasa pegal karena tak bergerak bebas. Di samping itu timbul keingintahuan cahaya dari mana yang diberikan ibunya. Cahaya dari swarga atau lampu dunia. Maka seketika itu ia nekad menoleh ke belakang dan... terdengar suara jerit sang bidadari seiring dengan itu keadaan menjadi gelap gulita. Sang Dewi terbang kembali ke khayangan seraya berkata: "Kau anak durhaka Aswatama." Tapi Aswatama tidak menyesal dengan kejadian itu, karena jarak menuju pesanggrahan Pandawa sudah amat dekat dan dalam tempo yang tidak lama, ia telah muncul di permukaan pesanggrahan Pandawa. Waktu itu para satria sedang tidur lelap tak seorang pun yang terjaga. Maka dengan tenang si anak resi itu membunuh satu persatu para satria Pandawa seperti Drestajumena, Pancawala, Srikandi dan lainlain. Ketika melangkah ke sebuah kamar, dilihatnya seorang anak bayi yang tak lain Parikesit anak Abimanyu, generasi penerus keturunan Pandawa yang harus segera di lenyapkan. Namun tiba-tiba Dewi Utari terjaga dan menjerit minta tolong sehingga si pembunuh bertangan dingin itu langsung kabur. Sebelum masuk ke hutan ia sempat memberitahu Duryudana yang sedang sekarat, bahwa sakit hatinya telah terbalas dan raja Astina merasa puas kemudian menghembuskan nafasnya. Keadaan menjadi gempar, Bima, Arjuna dan Kresna segera mengejar si pembunuh ke dalam hutan. Akhirnya Aswatama tak berdaya dihajar Bima walau dapat meloloskan diri. Namun sebuah panah yang dilepas Arjuna tidak dapat dihindari menancap di dadanya. Sewaktu sukmanya akan berpisah dari raganya, Kresna mengutuknya hingga sukmanya amblas ke dasar bumi bersatu dengan binatangbinatang kotor merana salam tiga ribu tahun lamanya. Adapun makana cahaya yang keluar dari tubuh Wilutama adalah lambang cinta kasih seorang ibu kepada anaknya, bahwa sejak bayi lahir dari kandungannya, si ibu telah memberi sinar menerangi perjalanan hidup anaknya melalui air susunya. Karena itua nak wajib menghormati orang tuanya. Versi lain dalam pedalangan menjelaskan, ketika Aswatama memasuki sebuah kamar ia melihat seorang anak bayi yang tak lain Parikesit anak Abimanyu. Aswatama tidak melihat bahwa di dekat kaki bayi ada senjata Pasupati warisan dari kakeknya (Arjuna) yang sengaja ditaruh di situ sebegai penunggu, Maka begitu Aswatama mengayunkan senjatanya ke tubuh si bayi, mendadak si bayi terbangun dan seperti ada kekuatan yang luar biasa, kakinya menendang Pasupati hingga terpental menembus dada Aswatama dan seketika menemui ajalnya, maka selamatlah si bayi yang kelak akan meneruskan tahta kerajaan Astinapura. Versi lain mengenai Dorna dan Aswatama menerangkan, bahwa Dorna lahir secara gaib dari makhluk Ipri, sehingga Dorna sering dikatakan tidak beribu. Sedang ayahnya seorang kasta Brahmana bernama pandita Baratwaja. Sifat ayahnya menurun kepada Dorna yaitu, soleh, mencintai kebenaran dan pemberani, Dorna kemudian menikah dengan Krespa putri raja Tempuru dan mempunya seorang anak diberi nama Aswatama. kata Aswa artinya kuda, dan Thama artinya suara atau tenaga. Dinamakan Aswatama karena sewaktu bayi itu lahir, tangisnya menyerupai suara kuda, "Hiemmm, Hiemm." jadi bukan lahir dari seekor kuda penjelmaan bidadari Wilutama. Dijelaskan pula bahwa Dorna berjasa besar terhadap keturunan Barata yakni Pandawa dan Kurawa dengan memberikan pelajaran ilmu perang dan pendidikan budi pekerti agar kelak menjadi ksatria yang mencintai keadiland an kebenaran. Tidak seperti digambarkan dalam pedalangan, di mana gelar Pandita tidak digambarkan sesuai dengan martabat yang dihormati para kasta satria. Dorna digambarkan sebagai orang pembuat keonaran, provokasi, mengadu domba Pandawa dan Kurawa hingga terjadi perpecahan di antara kedua golongan yang masih bersaudara itu. Demikian pula apabila dalam pedalangan Dorna bertubuh cacad, buruk rupanya, hidungnya bengkung, tangannya sengkong dan jalannya pincang, maka dalam versi mahabharata tidaklah demikian. Pandita Dorna adalah manusia utuh luar dan dalamnya.
Tiga puluh enam tahun telah berlalu sejak pecah perang Baratayuda antara Pandawa dan Kurawa yang dimenangkan oleh pandawa. Sejak itu kerajaan Astina di bawah pimpinan prabu Yudhistira berhasil mewujudkan suatu negara yang subur makmur gemah ripah loh jinawi kerta tur raharja. Jauh daris engketa politik tidak seperti ketika negara amsih dikuasi kaum Kurawa, dimana Pandawa harus mengalami hidp sengsara merana di hutan belantaa 13 tahun lamanya. Akan tetapi perjalanan hidup tidak selalu langgeng, situasi dan kondisi turut menentukan, terutama setelah meninggalnya para pini sepuh seperti Destarata, Gendari, Kunti dan kresna, Pandawa seperti kehilangan pegangan. Kelezatan dan kemewahan tak mampu menjamin ketenangan batin. Resah gelisah dan serba salah akhirnya menimbulkan rasa jenuh, seolah mereka sudah tidak betah lagi tinggal di dalam istina. Untuk menetralisir keadaan, Yudhistira bersama saudara-saudaranya sepakat akan minta nasehat Begawan Abiyasa di pertapaan Ukir Retawu. Bersabdalah sang Begawan: "Cucuku, segala sesuatu yang diciptakan tidak ada yang sempurna. Begitu pula hidup di dunia tidak ada yang langgeng, cepat atau lambat kita akan kembali menghadap Yang Maha Kuasa. Karena itu aku menasehatkan agar kalian segera berpindah dari istana kerajaan dengan segala kelezatan dan kemewahannya, pindah ke istana alam dengan segala keasliannya untuk mencapai kemuliaan akherat sambil menunggu kedatangan Hyang Kala," ujarnya. Wejangan Abiyasa itu memberi tanda lampu kuning, agar Pandawa meninggalkan kelezatan duniawi beralih mencari kemuliaan akhirat, mempersiapkan diri bila sewaktu-waktu dipanggil menghadap Tuhan Maha Kuasa. Atas wejangan itu Pandawa sepakat akan meninggalkan kerajaan membuang diri menjelajah alam terbuka bertapa mendekatkan diri dengan Hyang Maha Tungal. Sedang untuk meneruskan tahta kerajaan telah diangkat Parikesit sebagai raja Astinapura. Demikianlah pada hari yang telah ditetapkan, para Ksatria Pandawa bersama Drupadi meningalkan istana dengan perasaan pilu diiringi isak tangis keluarga dan rakyatnya. Tidak sepotong pun harta dunia yang dibawa, bahkan pakaian pun terbuat dari kulit. Ketika mereka keluar dari istana seekor anjing mengikuti dari belakang. Mereka berjalan ke arah timur masuk hutan keluar hutan, kemudian berbelok ke selatan dan akhirnya sampai di pegunungan Himawan (Himalaya) yang di situ terbentang alam terbuka gurun pasir yang terhampas luas sejauh mata memandang. Gurun itulah yang akan mereka tempuh. Setelah bersemadi beberapa saat, mulailah mereka memasuki istana alam di bawah teriknya sinar matahari menyengat sekujur badan. Tiba-tiba Drupadi mengaduh dan jatuh terkulai serta tak lama kemudian menemui ajal, Bima sedih
melihatnya dan bertanya: "Kakangku, Drupadi telah mati, apakah ia membawa dosa?" Yudhistira: "Adikku Bima, setiap kematian membawa dosa. Semasa hidupnya Drupadi bertindak pilih kasih. Ia lebih mencintai Arjuna daripada kita. Dosa itulah yang akan ia bawa," jelasnya. Tidak lama kemudian Sadewa pun terjatuh dan ajal seketika. Bima bertanya: "Kakang lihat, Sadewa pun mati, apa pendapatmu?" Yudhistira: "Adikku, Tuhan tidak menyukai orang yangs ombong. Ketika masih hidup Sadewa suka menyombongkan diri, bahwa dialah yang paling pintar tak ada yang mengungguli. Padahal setiap manusia mempunyai keterbatasan. Itulah dosanya." Perjalanan diteruskan dan semakin jauh menyelusuri gurun pasir dan kelelahan pun semakin terasa. Tiba-tiba nakula pun tejratuh dan menghembuskan nafas yang terakhir. Bima kembali bertanya: "Kakang Yudhis, Nakula pun menyusul, bagaimana pendapatmu?" "Jika seseorang merasa dirinya lebih dari yang lain, maka orang itu takabur. Begitupun Nakula. Ia merasa dirinya yang paling tampan tiada duanya. Itu pertanda hatinya tak setampan lahirnya. Karena itu ia tak dapat mengikuti kita," jelasnya. Belum kering mulut Yudhistira berkata, giliran Arjuna jatuh terkulai mengalami nasib yang sama. Padahal kesaktiannya seperti Hyang Indra "Apakah dosanya Kang?" Yudhistira: "Arjuna pun terkena penyakit takabur. Ketika anaknya mati, ia telah sesumbar sanggup mengalahkan musuh dalam satu hari sebelum matahari terbenam. Padahal kesanggupannya hanya terdorong oleh nafsu semata, sehingga janjinya tak dapat dibuktikan. Itulah dosanya." Tak berapa lama tiba-tiba Bima mengerang: "Oh, kakang tolong aku, badanku gemetar aku tak mampu berjalan, tolong aku kang...: "Adikku Bima, engkau makan sangat gembul tanpa mengindahkan orang lain yang juga butuh makanan. Kata-katamu kasar tak perduli dengan siapa engkau berbicara. Selain itu engkau selalu menyombongkan kekuatanmu. Karena itu terimalah apa yang telah engkau lakukan," dan sang Bima pun menemui ajalnya. Tinggallah Yudhistira seorang diri hanya ditemani angjingnya yang sangat setia. Hatinya sedih tak terperikan lalu ia berdoa: "Duh Maha Agung, terimalah adik-adik hamba menghadap -Mu. Meski mati membawa dosa, tetapi mereka pun banyak berbuat amal kebaikan semasa hidupnya. Karena itu ampunilah dosanya, berilah mereka tempat yang layak sesuai dengan amal perbuatannya." Kemudian ia berkata kepada anjingnya: "Anjingku yang setia, engkau telah menjadi saksi atas kepergian adik-adikku. Tak lama lagi mungkin giliranku. Tapi aku sangat sedih karena kau harus menyendiri. Padahal selama ini engkau begitu setia menyertaiku." Baru saja Yudhistira hendak beranjak, tiba-tiba di angkasa terdengar suara mengguruh ternyata Hyang Indra datang dengan kereta kencana tiba di hadapan Yudhsitra seraya bersabda: "Ya Yudhistira, janganlah engkau bersedih atas kematian adik-adik dan istrimu. Mati telah menjadi bagian setiap manusia. Sekarang naiklah ke atas kereta, engkau akan kubawa ke swarga tanpa harus meninggalkan jasadmu sebagai penghargaan atas keutamaanmu. Yudhistira : "Ya sang Pikulun, hamba sangat bersykur mendapat anugerah yang tak terhingga besarnya. Hanya ada satu permintaan sebelum paduka membawa hamba." "katakan apa yang kau minta?" tanya Indra. "Hamba mohon supaya anjing ini diperkenankan turut serta naik ke swarga," pintanya. Indra : "Yudhistira, ketahuilah bahwa engkau akan kubawa ke alam yang teramat suci tanpa noda sedikit pun. Seedang anjing adalah hewan yang sangat kotor. Karena itu jangalah engkau memikirkannya, walaupun ia setia padamu." Yudhistira : "Kalau demikian lebih baik hamba tinggal di sini bersamanya. Hamba tidak tega meninggalkan dia sendirian di tengah hamparan pasir yang luas sejauh mata memandang. Dia telah merasakan kelelahan yang amat sangat menempuh perjalanan yang amat jauh bersama hamba," jawab Yudhistira bertahan. Indra : "Kalau begitu engkau tidak menghargai kesetiaan saudara-saudaramu yang telah pergi lebih
dahulu. Selama hidupnya mereka begitu setia kepadamu hingga akhir hayatnya. Lalu mana kesetiaanmu kepada mereka?" sergahnya. Yudhistira : "Tidak dapat dikatakan hamba tak akan setia kepada mereka, karena mereka telah ajal lebih dahulu. Kecuali jika mereka masih hidup kemudian hamba meninggalkan mereka, barulah itu dikatakan bahwa hamba tidak setia kepada mereka. Dan kini seekor anjing walaupun hewan kotor, karena dia sangat setia kepada hamba dan adik-adik hamba, apakah hamba harus tega meninggalkannya sendirian di alam terbuka tanpa ada yang menemani. Bukankah anjing juga makhluk Tuhan? Oh, tidak sang Pikulun, lebih baik hamba tak ke swarga daripada harus meninggalkan dia," kilahnya. Tiba-tiba anjing itu menghilang dan Dewa Darma telah berada di hadapan yudhistira merangkul dan bersabda: "Anakku Yudhistira, telah dua kali aku menguji keutamaanmu. Pertama ketika saudarasaudaramu mati di tepi hutan karena minum air kolam. Ketika kau minta supaya Nakula yang dihidupkan bukan Arjuna saudara sekandungmu, karena engkau lebih mengutamakan keadilan daripada kasih sayang. Dan sekarang engkau lebih baik tak jadi ke swarga daripada harus meninggalkan seekor anjing yang setia kepadamu. Mengingat keutamaanmu, engkau diperkenankan naik ke swarga bersama jasadmu." Ringkas cerita Yudhistira telah naik ke alam akhirat. Setibanya di sana ia melihat-lihat apakah saudarasaudaranya berada di situ. Ternyata taks eorang pun ia lihat. Bahkan ia kaget ketika melihat Duryudana sedang duudk di singgasana disanjung dan dimuliakan. Ia berkata dalam hatinya: "Ah, ini tidak sesuai dengan karyanya di dunia. Walaupun ia raja tapi ia berwatak angkara. Justru dialah yang menyulut api perang Baratayudha. Tapi mengapa ia justru ditempatkan di swarga?" Batara Narada yang menyertai terusik rasa tahu apa kata hati si anak Pandu itu lalu berkata: "Wahai Yudhistira, janganlah engkau heran. Matinya Duryudana di medan perang sebagai seorang perwira. Maka sudah sepantasnya Maha Kuasa mengganjar dengan kemulian." "Hamba tak berhak mencampuri urusan akhirat, silahkan bila Duryudana diberi ganjaran kemuliaan. Tetapi kalau tempat ini pantas untuk Duryudana, lalu di manakah tempat berkumpulnya saudara hamba?" tanya Yudhistira. Narada lalu menitahkan seorang ahli swarga mengantar Yudhistira ke tempat saudaranya berkumpul. Ternyata jalannya penuh kerikil dan batu-batuan. Ribuan nyamuk berterbangan, di sepanjang jalan darah berceceran, daging terkeping-keping serta tulang-tulang berserakan ditambah bau amis sangat menyengat. Tak lama terlihat sebuah kancah dengan godongan minyak yang sangat panas sedang menggodog manusia-manusia yang sedang disiksa. Yudhistira tak sampai hati dan ingin berlalu. Tetapi tiba-tiba ada suara menghimbau: "Oh, jangan pergi dulu sang Prabu, karena air minyak yang sangat panas ini, begitu tuand atang mendadak menjadi sangat dingin bagai hawa di pegunungan." Ternyata yang berbicaa bukan hanya seorang, tetapi beberapa orang yang sedang mendapat siksaan. Yudhistira kaget, karena ia mengenal satu-satunya suara itu. Lalu ia bertanya siapa tadi yang bertanya. Maka mereka menjawab: "Aku Karna, Aku Bima." Lalu lainnya: "Saya Arjuna," demikian seterusnya sampai nama Nakula Sadewa dan Drupadi. Setelah jelas bahwa mereka yang sedang mendapat siksaan itu adalah saudara-saudaranya, Yudhistira minta kepada pengiringnya agar meninggalkan tempat itu. Biarlah dia ingin menyertai mereka, agar godongan minyak itu tetap dingin. Tetapi tak lama kemudian berdatanganlah para Dewa ke tempat siksaan dan.. seketika tempat yang semula berupa kancah godongan berubah menjadi suatu tempat yang amat indah tiada tara, sejuk nyaman dengan semilir angin yang menyejukkan ditambah tercium harum yang mewangi di sekitarnya. Hyang Indra kemudian bersabda: "Yudhistira, jangan engkau masygul, sebab ini adalah suatu rahasia. Setiap manusia tak dipilih-pilih harus ke neraka. Hanya ada aturan tertentu, siapa yang ke swarga dahulu, selanjutnya harus ke nereka. . Dan siapa yang ke neraka dahulu, akhirnya akan ke swarga. Artinya apabila di dunia hidupnya berbuat jahat, maka di akhiratnya akan diganjar swarga dahulu, kemudian dimasukkan ke nereka. Sedang tuan harus melihat, sebab tuan pernah berbohong menipu Dorna ketika perang tuan mengatakan bahwa
Aswatama telah mati. Demikian pula saudara-saudara tuan masuk kenera karena ada dosanya. Tetapi sejak hari ini, hukumannya telah ditutup dan mereka akan masuk swarga. Nah, biarkan mereka lebih dahulu memasuki gerbang Nirwana." Setelah itu sukma Yudhistira medal dari raga badannya dan dengan diiringi para Dewa masuk ke swarga bertemu dengan saudara-saudara serta para kerabat dan sahabatnya mendapat sejatining kemuliaan.
Raden Hanantareja yang dalam pedalangan cukup dipanggil Anantareja, mempunyai nama lain Wasianantareja, Anantarareja. Ia adalah putra raden Werkudara dengan Dewi nagagini, putri Batara Antaboga, di kahyangan Saptapretala. Antareja kawin dengan Dewi GAnggi, putri Prabu Ganggapranawa raja ular di kerajaan Tawingnarmada. Dari perkawinan ini lahirlah Arya Danurwenda yang kemudian diangkat menjadi patih luar (patih njaba) negara Yawastina pada masa pemerintahan Prabu parikesit. Antareja berkedudukan di kasatriyan Randuwatang atau juga disebut jangkarbumi. Bersamaan dengan lahirnya Antareja, raja negara jangkarbumi Prabu Nagabaginda menyerang kagyangan Suralaya. Ia meminta Dewi Supreti istri Sanghyang Antaboga untuk dijadikan permaisurinya, namun raja Tribuwana tidak berkenan, namun para dewa tak mampu melawan kesaktian prabu nagabaginda. Akhirnya Batara Antaboga yang ditunjuk supaya mmusnahkan Prabu nagabaginda tadi, Antareja yang masih bayi akhirnya dibawa kakeknya menuju ke medan tempur dan dipertemukan dengan raja Jangkarbumi. Sebelum diadu, bayi Antareja dilumuri air liur Antaboga sehingga menjadi kebal senjata. Bayi Antareja tidak mati melainkan bertambah dewasa. Akhirnya Prabu nagabaginda dapat dibinasakan oleh Antareja, negara Jangkarbumi lalu diserahkan kepada putra Bima tersebut. Prabu Nagabaginda yang tewas itu kemudian menjilma ke tubuh Antareja. Peristiwa ini mengilhami Antareja ketika membantu adiknya. Arya Gatutkaca yang menuntut janji raja Tribuwana. Ketika Gatutkaca dapat menumpas raja Gilingwesi Prabu Pracona dan patih Kala Sekipu, Sanghyang Guru menjanjikan akan mengangkat Gatutkaca menjadi raja di kahyangan. Karena ditunggutunggu Hyang Guru tidak segera memenuhi janjinya, Gatutkaca menagih janji dibantu saudaranya, Antareja. Saat itu Antareja menjadi raja Puserbawana bergelar Prabu Nagabaginda. Ia menyerang Suralaya sehingga Sanghyang Guru memanggil Gatutkaca. Sebelum berhadapan dengan Gatutkaca, Prabu nagabaginda melarikan diri sehingga Gatutkaca kemudian diangkat menjadi raja di Suralaya bergelar Prabu Sumilih. Prabu Nagabaginda yang lari dari kahyangan, kemudian menyerang negara Astina. Kurawa kalang kabut sehingga meminta bantuan kepada Pandawa. Karena Pandawa dan Sri Kresna
juga tidak mampu membendung pasukan perang Puserbuwana, Sri Kresna dan Arya Bima meminta bantuan kepada Prabu Sumilih. Akhirnya Prabu Sumilih dan Prabu Nagabaginda berperang, keduanya kembali seperti sediakala menjadi Arya Gatutkaca dan Raden Antareja. Antareja mempunyai kesaktian racun/bisa pada air liurnya yang dapat membinasakan lawan dalam waktu sekejap. Kulitnya yang bersisik Napakawaca mampu menahan serangan senjata tajam. Ia juga mempunyai cincin sakti Mustikabumi pemberian dari ibunya untuk tanda bukti bahwa Antareja adalah putra Dewi Nagagini. Didalam lakon Subadra Larung, cincin itu diperlihatkan kepada Arya Werkudara ayahnya, sehingga bima mengakui putranya. Kala itu Antareja terkejut melihat perahu mayat wanita yang tiada lain adalah Wara Subadra istri Janaka. Dengan cincin Mustikabumi, Antareja dapat menghidupkan kembali Subadra yang sudah meninggal karena dibunuh oleh Burisrawa secara tidak sengaja. Akhirnya, Gatutkaca yang mendapat tugas untuk mengawasi jenazah Wara Subadra menjadi curiga dan menuduh Antareja yang membunuh bibinya itu. Keduanya lalu berperang, namun segera dicegah oleh Sri Kresna dan diberi nasehat bahwa keduanya masih saudara. Wara Subadra sendiri mengaku bahwa yang membunuh dirinya itu satriya Madyapura Raden Burisrawa, putra Prabu Salya raja Mandaraka. Dalam kisah Kresna Gugah, Sri Kresnah merubah dirinya menjadi kumbang putih dan meninggalkan jasmaninya dalam bentuk raksasa yang sedang tidur. Roh Sri Kresna berupa kumbah putih itu menyelidiki kitab Jitabsara yang ditulis oleh Batara Panyarikan. Kitab Jitabsara mengisahkan Bharatayudha lengkap senopati Kurawa berpasangan dengan senopati Pandawa. Ketika Prabu Baladewa ditulis memihak Kurawa dan berhadapan dengan Antareja, Sri Kresna tidak sampai hati, maka ia menumpahkan tinta hitam tepat mengenai tulisan yang menerangkan pasangan Baladewa melawan Antareja. Sehingga keduanya gagal dipertemukan dalam Bharatayudha. Akhirnya riwayat Antareja dikisahkan dalam lakon Tawur atau pengorbanan keluarga demi mencapai kejayaan perang. Kurawa tidak rela mengorbankan salah satu keluarganya, melainkan membunuh Ijrada, tarka dan Sarka, sedangkan Antareja dan Wisenggani rela mengorbankan diri untuk tumbal kemenangan pandawa. Antareja rela mati dengan menjiliat telapak kakinya sendiri dengan anugerah menempati sorgaloka tingkat sembilan (swarga tunda sanga) milik Sri Kresna. xxxx Antareja Lahir Di negara Saptapratala, Hyang Anantaboga, resi Abiyasa, para Pandawa, berkumpul untuk menunggu Dewi Nagagini yang akan melahirkan putera, berkatalah resi Abiyasa,”Hyang Anantaboga perkenankanlah nagagini saya bawa ke negara Amarta, jika bayi telah lahir, akan saya serahkan kembali .” Hyang Anantaboga menyetujuinya, dan berangkatlah Resi Abiyasa dengan Dewi Nagagini beserta pada Pandawa kembali ke Amarta. Sesampainya di Amarta telah hadir pula Hyang Kanekaputra dan para bidadari, berkatalah Hyang Narada,”gara-gara telah terjadi , tak lain dan tak bukan, titahku resi Abiyasa akan menurunkan ke-alusan-nya Gandamana, lagipula aku datang di Amarta atas nama Hyang guru, untuk menyaksikan kelahiran bayi Nagagini”. Tak lama setelah Hyang Narada bersabda, lahirlah bayi dari kandungan Dewi Nagagini. Resi Abiyasa diberitahu oleh Hyang Kanekaputra, bahwa Hyang Guru berkenan memberi nama kepada si bayi: Senaputra, Antarja, lagipula diberi wahyu kesaktian racun hru pada gigi taringnya si bayi. Untuk mendapatkan kelemasan ototototnya, diseyogyakan si bayi diadu perang, dikemudian hari bayi akan menjadi jagonya para dewa. Setelah Hyang Narada selesai bersabda, kembalilah ke Suralaya diiring pada bidadari . Negara Amarta pada waktu yang bersamaan , dikepung oleh musuh, raja dari Paranggumiwang, bernama Prabu Salksadewa, datang akan menuntut balas dendam kematian ayahnya prabu Kaskaya, yang dibunuh oleh prabu Pandudewanata, ayah dari Prabu Yudistira dari negara Wanamarta. Berkatalah Hyang Anantaboga,”Biarlah si Antarja menghadapi musuh dari Paranggumiwang, Werkudara bimbinglah puteramu ke medan laga”. Prabu Saksadewa mati oleh Anantareja, prajurit Paranggumiwang,
patih Kalasudarga, emban Saksadewi tak dapat pula menandingi AntarEja, mati kesemuanya oleh putera Raden Arya Werkudara. Seluruh istana bersuka cita merayakan kemenangan, Hyang Ananboga membawa cucunya Raden Anatareja kembali ke Saptapratala. xxxx Antareja Takon Bapa Di kerajaan Astina Prabu Nagabagendo, Begawan Durna menghadap Prabu Duryudana, oleh Begawan Durna dikatakan bahwa anak muridnya yang bernama Nagabagendo bersedia menjadi duta untuk membinasakan Pandawa. Setelah semua mufakat, berangkatlah Begawan Durna diiringi Prabu Nagabagendo menuju negeri Amarta, namun diperjalanan bertemu dengan R. Sentyaki dan R. Udawa kesatria dari Dwarawati. Setelah mengetahui bahwa Prabu Nagabagendo akan menjadi perusuh dan membahayakan keluarga Pandawa, kedua satria tersebut lalu berperang dengan Prabu Nagabagendo dam kedua satria digertak Prabu Nagabagendo, R. Udawa jatuh dilapangan negeri Amarta dan R. Sentyaki jatuh di negeri Amarta. Begitu R. Sentyaki mendapat dirinya berada di negeri Amarta, segera melaporkan akan mara bahaya yang akan menimpa pihak Pandawa, belum selesai melaporkan kejadian yang dialami pihak Pandawa, datang Prabu Nagabagendo untuk merebut kekuasaan Amarta, maka terjadilah peperangan dan pihak Pandawa tak ada yang dapat mengalahkan kesaktian Prabu Nagabagendo. Akhirnya berdasarkan saran Prabu Kresna, bahwa yang dapat mengalahkan Prabu Nagabagendo adalah kesatria yang berkulit sisik seperti ular, maka R. Angkawijaya ditugaskan untuk mencari satria yang dimaksud. Sementara itu di sumur Jalatunda, R. Pudak Kencana menghadap kakeknya, Sang Hyang Hanantaboga untuk diberitahu siapa sebenarnya ayahnya dan dimana berada. Oleh Sang Hyang Hanantaboga diberitahu bahwa ayahndanya ada di negeri Amarta bersemayam di Kasatrian Jodipati. Dengan diiringi kakeknya, R. Pudak Kencana pergi menuju kasatrian Jodipati dan di tengah jalan bertemulah ia dengan R. Angkawijaya yang sedang mencari jago untuk melawan Prabu Nagabagendo. Sesampainya di negeri Amarta, R. Pudak Kencana bertemu dengan R. Werkudara, namun R. Werkudara akan mengakui sebagai anaknya bila mampu membinasakan Prabu Nagabagendo. Akhirnya R. Pudak Kencana berperang melawan Prabu Nagabagendo dan binasa, oleh kakeknya R. Pudak Kencana dapat dihidupkan kembali dengan air kehidupan yang disebut Tirta Kamandanu serta R. Pudak Kencana diberi kesaktian Ajian Upas Onto. Dengan kesaktian Upas Onto, R. Pudak Kencana dapat membinasakan Prabu Nagabagendo dan bala tentara Kurawa dapat dikalahkan oleh Pandawa beserta putra-putranya. Dengan kematian Prabu Nagabagendo negeri Amarta menjadi aman, tentram dan damai serta R.Pudak Kencana menjadi bagian keluarga besar Pandawa dan beralih nama R.Antareja. xxxx Antareja (versi wikipedia) Antareja adalah anak dari Werkodara atau Bima dari istri keduanya Nagagini seorang putri Dewa Antaboga. Dikisahkan dia adalah seorang satria yang tangguh, sakti mandraguna. Ia mempunyai 2 (dua) orang saudara lelaki lain ibu, bernama: Raden Gatotkaca, putra Bima dengan Dewi Arimbi, dan Arya Anantasena, putra Bima dengan Dewi Urangayu. Sejak kecil Anatareja tinggal bersama ibu dan kakeknya di Saptapratala (dasar bumi). Ia memiliki Ajian Upasanta pemberian Hyang Anantaboga. Lidahnya sangat sakti, mahluk apapun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian. Anatareja berkulit napakawaca, sehingga kebal terhadap senjata. Ia juga memiliki cincin mustikabumi, pemberian ibunya, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan
dari kematian selama masih menyentuh bumi/tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Kesaktian lain Anantareja dapat hidup dan berjalan didalam bumi. Anantareja memiliki sifat dan perwatakan : jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaanya kepada Sang Maha Pencipta. Ia menikah dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa, raja ular/taksaka di Tawingnarmada, dan berputra Arya Danurwenda. Setelah dewasa Anantareja menjadi raja di negara Jangkarbumi bergelar Prabu Nagabaginda. Ia meninggal menjelang perang Bharatayuda atas perintah Prabu Kresna dengan cara menjilat telapak kakinya sebagai tawur (korban untuk kemenangan) keluarga Pandawa dalam perang Bharatayudha.
Bermula sejak jaman Arjuna Sasrabahu dari riwayat Sumantri / Patih Suwanda. Patih Suwanda sebenarnya adalah anak Resi Wisanggeni bernama Sumantri dan mempunyai seorang adik yang berbadan kontet dan bermuka seperti raksasa bernama Sukrasana. Resi Wisanggeni adalah kakak Resi Bhargawa yang melanglang buana mencari Ksatria untuk bertarung dengan dalih mencari kematian bagi dirinya sendiri -- pada akhirnya Resi Bhargawalah yang membunuh Arjuna Sasrabahu dan dikemudian hari gugur ditangan Rama. Sumantri menjelma menjadi seorang ksatria yang sakti gagah perkasa berkat ajaran Resi Wisanggeni, sementara Sukrasana biarpun berbentuk seperti raksasa mempunyai budi pekerti yang sangat luhur. Suatu ketika, Sumantri dan Sukrasana sedang berjalan didalam hutan. Sukarsana yang bertubuh kecil merasa cape dan minta istirahat. Ketika beristirahat, Sukarsana tertidur pulas dan saat itu juga datanglah sebuah raksasa lapar yang ingin memakan Sumantri dan Sukarsana. Sumantri dengan sigap membopong adiknya yang tertidur lelap dan melarikan diri kedalam hutan. Setelah cukup jauh, Sukarsana dibaringkan di tempat yang aman sementara Sumantri berusaha menghadang raksasa tersebut. Walau bertarung sekuat tenaga, Sumantri tidak bisa mengalahkan raksasa tersebut. Sumantri hampir kehabisan tenaga ketika Betara Indra datang dan mempersembahkan panah Cakrabiswara kepadanya. Sumantri segera melepas panah itu kearah sang raksasa dan dalam sekejap raksasa tersebut mati. Setelah berhasil membunuh raksasa, Sumantri teringat pada adiknya dan segera mencari Sukarsana. Sumantri sangat terkejut melihat binatang2 buas di dalam hutan ternyata berkumpul disekililing Sukarsana demi menjaga keselamatannya. Sumantri bertanya kepada Sukarsana ajian apa yang dimiliki olehnya sehingga bisa menguasai binatang2 buas. Sukarsana menjawab bahwa ia tidak memiliki ajian apapun, hanya selama hidupnya dia tak pernah menganggu ataupun melukai binatang2
sekecil apapun. Kedua bersaudara kemudian pulang ke padepokan untuk menceritakan kejadian ini kepada Resi Wisanggeni. Oleh sang resi diceritakan bahwa orang yang memiliki Cakrabiswara merupakan kekasih Betara Wisnu, sementara yang dilindungi binatang2 liar artinya adalah orang yang berbudi luhur dan merupakan kekasih Betara Dharma. Tak lama setelah itu, Sumantri bertanya kepada Resi Wisanggeni mengenai kesaktian ilmunya. Sang resi berkata bahwa Sumantri telah menjadi ksatria yang gagah perkasa dan hanya beberapa orang yang bisa melawan kesaktiannya. Sumantri kemudian berkata bahwa ilmunya harus digunakan untuk melayani sesama umat manusia dan dia meminta ijin kepada Resi Wisanggeni untuk meninggalkan padepokannya. Dengan berat hati Resi Wisanggeni memberi ijin, tapi Sumantri diharuskan mengabdi kepada Raja Mayaspati/Maespati (*ngga yakin namanya*) - Prabu Arjuna Sasrabahu yang terkenal adil bijaksana. Karena kesian pada adiknya, Sumantri sengaja tidak mengajak Sukarsana karena takut dia akan dicemooh akibat bentuknya. Sumantripun berangkat menuju Mayaspati ketika Sukarsana sedang tidur. Ketika bangun, Sukarsana bingung karena kakaknya telah menghilang. Sukarsana bertanya kepada Resi Wisanggeni kemana kakaknya menghilang. Ketika diberitahukan, Sukarsana tidak rela berpisah dengan kakaknya dan memutuskan untuk mencari kakaknya di Mayaspati. Dalam perjalanannya, Sukarsana merasa capai dan berisitrahat di sebuah pohon besar yang teduh. Tiba2 dia dikejutkan oleh suara besar dari dalam pohon itu. Suara itu berasal dari Candra Birawa yang sedang menunggu kedatangan kekasih Betara Dharma supaya dirinya bisa menitis kedalam tubuh Sukarsana. Sukarsana menjadi bingung dan bertanya mengenai asal usul Candra Birawa. Candra Birawa pun menjelaskan bahwa dirinya sebenarnya diciptakan dari gabungan raksasa2 yang menyerang Swargaloka. Raksasa2 itu punah dikalahkan oleh para dewata tapi oleh Betara Guru dihidupkan kembali menjadi satu badan dan diberi nama Candra Birawa. Tapi Candra Birawa tidak boleh sembarangan berkeliaran di mayapada, dia diharuskan bersatu dengan kekasih/keturunan Betara Dharma karena di tangan orang yang salah, Candra Birawa sangat berbahaya dan bisa menimbulkan kekacauan di mayapada. Setelah dijelaskan asal usulnya, Sukarasana masih sangsi untuk memperbolehkan Candra Birawa untuk masuk berdiam dalam tubuhnya. Candra Birawa kemudian menjelaskan bahwa jika tubuhnya menjadi satu, Sukarsana akan menjadi lebih sehat dan kuat, selain itu jika dalam kesulitan Sukarsana tinggal singkep memangil Candra Birawa dan dirinya akan segera muncul untuk membantu. Dalam pertarungan, Candra Birawa sangat sakti karena setiap tetes darahnya akan menjadi Candra Birawa baru. Sukarsana pun setuju dan memperbolehkan Candra Birawa untuk masuk ke dalam tubuhnya. Dalam hatinya, Sukarsana berpikir bahwa Candra Birawa ini lebih cocok jika diberikan kepada saudaranya Sumantri. Sementara itu, Sumantri telah mengabdi kepada Arjuna Sasrabahu dan berhasil merebut Dewi Citrawati. Sumantri juga sempat bertarung dengan Arjuna Sasrabahu dan yakin bahwa Arjuna Sasrabahu merupakan raja yang gagah sakti tanpa tandingan (Sumantri sempat seri melawan Arjuna Sasrabahu tapi langsung ketakutan begitu sang prabu menjadi marah dan bertiwikrama, ini merupakan bukti bahwa Arjuna Sasrabahu merupakan titisan Betara Wisnu). Dewi Citrawati kemudian mempunyai permintaan kepada Arjuna Sasrabahu, yaitu untuk memindahkan taman Sri Wedari dari swargaloka ke dalam Mayaspati. Tanpa berpikir panjang, Sumantri mengiakan permintaan Dewi Citrawati. Kemudian Sumantri ditinggal oleh Arjuna Sasrabahu dan Dewi Citrawati kedalam istana. Sumantri menjadi bingung, karena jangankan memindahkan taman Sri Wedari, letaknya saja dia tak tahu. Dalam keadaan linglung, Sumantri bertemu dengan adiknya Sukarsana yang sedang mencari dirinya. Sumantri bahagia melihat adiknya tapi kaget bahwa adiknya bisa sampai ke Mayaspati dengan selamat karena perjalannya jauh dan juga berbahaya. Oleh Sukarsana diceritakan mengenai Candra Birawa yang bersemayam di dalam dirinya. Sumantripun bahagia mendegar cerita adiknya tapi ketika teringat janjinya untuk memindahkan taman Sri Wedari dia kembali muram. Sukarsana sangat mengerti kakaknya, dalam sekejap dia tahu bahwa kakaknya sedang kepikiran sesuatu. Ketika ditanyakan, Sumantri menceritakan janjinya untuk memindahkan taman Sri Wedari. Sukarsana berpikir bahwa Candra Birawa bisa membantu abangnya untuk menyanggupi permintaan itu. Dengan singkep sebentar, Candra Birawa segera tampil dihadapan Sukarsana dan Sumantri. Sukarsana memberitahukan kesusahan kakaknya kepada Candra Birawa. Candra Birawa segera tahu bahwa yang meminta taman Sri Wedari pastilah titisan istri Betara Wisnu. Candra Birawa berkata bahwa dia bisa melakukan tugas tersebut tanpa masalah, Sukarsana dan Sumantripun diminta singkep menutup seluruh panca indra sementara Candra Birawa memindahkan
taman tersebut. Dalam sekejap Candra Birawa menjadi ribuan dan taman Sri Wedari pun dipindahkan dari swargaloka ke Mayaspati. Setelah berhasil, Sukarsana berniat untuk ikut dengan kakaknya mengabdi di Mayaspati. Sumantri kembali tidak tega dan menyuruh Sukarsana kembali ke padepokan. Tapi Sukarsana tetap bersikeras, Sumantripun mengeluarkan Cakrabiswara untuk menakut nakuti adiknya. Tanpa disangka2, Sukarsana tersandung dan tubuhnya tertusuk Cakrabiswara. Sebelum meninggal Sukarsana berkata pada kakaknya bahwa dia tidak sempat memberikan Candra Birawa kepada Sumantri dan memohon kepada dewata agar di kehidupan selanjutnya Sukarsana bisa kembali dekat dengan kakaknya. Di kemudian hari, Sumantri menitis kepada Narasoma (Prabu Salya) sementara Sukarsana (+ Candra Birawa) menitis kepada Resi Bagaspati yang juga berbentuk seperti raksasa hanya tidak kontet. Resi Bagaspati mempunyai seorang putri bernama Dewi Pujawati, suatu ketika Narasoma sedang berburu dan ketika melihat Dewi Pujawati langsung terkesima oleh kecantikannya. Narasomapun mengikuti Dewi Pujawati untuk bertemu Resi Bagaspati. Ketika keduanya ditanya oleh Resi Bagaspati, mereka berkata bahwa telah mencintai satu sama lain. Narasoma dan Pujawati pun dinikahkan saat itu juga oleh Resi Bagaspati. Narasoma sangat sayang pada istrinya Pujawati, tetapi ketika ditanya seperti apa cintanya kepada Pujawati, Narasoma berkata bahwa cintanya seperti beras putih yang bersih. Kemudian Narasoma menambahkan bahwa sayang beras putih pun ada gabahnya. Pujawati sangat bingung oleh perkataan Narasoma dan dia bertanya kepada Resi Bagaspati. Sang resi yang bijaksana segera tahu bahwa yang dimaksud oleh Narasoma ialah dirinya, karena tidak mungkin seorang pangeran penerus tahta kerajaan mempunyai mertua seorang raksasa. Sang resi menenangkan Pujawati dan menyuruhnya untuk memanggil Narasoma. Ketika Narasoma menghadap Resi Bagaspati, dijelaskan bahwa dalam tubuh Resi Bagaspati bersemayam Candra Birawa sebuah mahkluk berbadan halus yang sangat sakti. Karena Narasoma kini bertanggung jawab akan keselamatan Pujawati, Resi Bagaspati akan memberikan Candra Birawa kepadanya. Mereka berdua kemudian bersemedi dan terlihat Candra Birawa pindah dari Resi Bagaspati ke tubuh Narasoma. Sang resi kemudian lanjut semedinya dengan menahan napas, tak lama kemudian tubuh Resi Bagaspati menghilang dari pandangan. Pujawati yang melihat kejadian ini menjadi kaget dan menangis. Sementara itu Narasoma mendegar suara sang resi yang menjelaskan bahwa dia sebenarnya adalah titisan Sukarsana yang ingin dekat pada kakanya Somantri yang menitis pada tubuh Narasoma. Resi Bagaspati bersemedi untuk mendapat anak perempuan yang bisa dijodohkan dengan dirinya dan juga supaya bisa mewariskan Candra Birawa tapi sayang pada akhirnya Narasomapun telah berbuat salah kepada Resi Bagaspati seperti Somantri bersalah kepada Sukarsana. Narasoma kemudian diwanti2 bahwa mulai saat itu dia harus berhati2 kepada titisan/kekasih betara Dharma yang berikutnya karena pada saat itu dia akan gugur. Narasoma kemudian perganti nama menjadi Prabu Salya setelah menjadi raja. Dalam perang Bharatayuda, Prabu Salya diangkat menjadi panglima perang Hastina sebagai pengganti Karna (urutannya: Bisma,Dorna,Karna,Salya). Begitu melihat Prabu Salya turun ke medan danalaga, Sri Kresna segera mawas bahwa dia akan menjadi lawan yang berbahaya. Seluruh pasukan Pandawa diwanti2 supaya jangan gegabah melawan ksatria yang satu ini. Bimapun dengan sombongnya berkata bahwa Prabu Salya sudah tua dan kesaktiannya berkurang bisa dikalahkan oleh dirinya. Sri Kresna segera menceritakan kepada Bima dan Arjuna bahwa Prabu Salya memiliki Candra Birawa yang sangat berbahaya dan tidak boleh dianggap remeh. Ketika perang dimulai, Bima segera menggasak tentara Kurawa. Prabu Salya sebagai panglima perang memajukan dirinya untuk mencegah Bima. Prabu Salya kewalahan melawan kekuatan Bima dan memutuskan untuk memanggil Candra Birawa. Bimapun bertarung dengan Candra Birawa tapi semakin lama Bima menjadi capai sementara Candra Birawa tetap mengganas. Arjuna yang melihat kakaknya dalam bahaya segera melepas panah. Sayangnya panah Arjuna melukai Candra Birawa, dan setiap tetes darahnya menjadi Candra Birawa baru. Bima semakin kewalahan melawan ratusan Candra Birawa, dan barisan pasukan Pendawa juga semakin hancur diobrak abrik. Melihat kejadian ini Sri Kresna segera mendatangi Arjuna dan mencegahnya untuk memanah Candra Birawa. Kemudian Sri Kresna bergerak ke garis belakang untuk bertemu Yudistira. Sri Kresna berkata bahwa Yudistira harus maju ke medan perang untuk mengalahkan Prabu Salya demi kemenangan Pendawa karena hanya Yudistiralah yang bisa mengalahkannya sebagai titisan Betara Dharma. Yudistira yang dikusiri oleh Nakula segera memasuki medan perang dan bertemu langsung dengan Prabu Salya.
Yudistira segera memohon ampun kepada Prabu Salya atas kelancangannya berani melawan Prabu Salya. Prabu Salya menjawab bahwa dalam medan perang tidak perlu merasa lancang karena ini merupakan tugas Yudistira sebagai raja untuk membela tentaranya. Yudistira pun menjawab bahwa seumur hidup dia tidak bisa melukai orang, dia rela mengorbankan dirinya asalkan Candra Birawa ditarik kembali kedalam tubuh Prabu Salya. Sayangnya Candra Birawa tidak bisa ditarik kembali sebelum tugasnya selesai yaitu memusnahkan tentara Pendawa. Yudistira dengan berat hati mengambil busur dan panah. Tapi Yudistira tidak berani mengarahkan panahnya kepada Prabu Salya, panahnya kemudian diarahkan ke bawah. Dengan ajaib, panah Yudistira yang menyentuh tanah langsung memantul dan mengenai Prabu Salya. Prabu Salyapun gugur, sesuai dengan yang dikatakan Resi Bagaspati. Sekedar tambahan, sebenarnya Candra Birawa pernah sekali ditarik sebelum tuntas tugasnya. Kejadiannya ketika Narasoma bertarung melawan Pandu untuk memperebutkan Dewi Kunti. Pandu telah memenangkan sayembara dan Narasoma menantang Pandu dengan taruhan Dewi Madrim adiknya menjadi istri Pandu jika Narasoma kalah. Ketika bertarung, Narasoma kewalahan melawan kesaktian Pandu dan memanggil Candra Birawa. Akibatnya Pandu menjadi terdesak karena keris pusakanya tidak mempan terhadap Candra Birawa dan malahan menambah jumlah Candra Birawa. Pandu kemudian mengejek bahwa Narasoma tidak bisa bertarung sendiri perlu minta bantuan. Narasoma dengan sombongnya berkata bahwa Pandu juga bisa meminta bantuan kedua sodaranya, bahkan mengejek bahwa Dasarata disuruh maju kedepan biar diinjak2 oleh Candra Birawa. Mendengar ejekan Narasoma, Dasarata menjadi marah dan menyuruh Widura untuk menuntunnya kearah pertarungan. Setelah ditutun, Dasarata segera menyuruh Widura untuk menyingkir dan kemudian berteriak kepada Pandu supaya datang ke arah Dasarata. Pandu yang cerdas segera tahu rencana kakaknya itu dan segera melesat ke arahnya. Ketika Candra Birawa mengejar Pandu ke arah Dasarata, Pandu segera berdiri di belakang kakaknya dan Dasarata segera mengeluarkan Ajian Kumbalageni. Ajian Kumbalageni merupakan ajian dashyat yang membuat apa saja yang disentuh oleh Dasarata hancur menjadi debu. Candra Birawa tidak kuat melawan kesaktian ini dan kembali kedalam tubuh Narasoma. Pandu pun bergerak secepat kilat menyerang Narasoma, pukulan Pandu menyebabkan Narasoma terpental. Narasoma akhirnya mengaku kalah kepada Pandu dan berangkat menjemput Dewi Madrim untuk diberikan kepada Pandu.
Terlahir dengan nama Arjunawijaya, putra tunggal Prabu Kartawijaya ini, setelah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja negara Maespati dikenal dengan Prabu Harjunasasrabahu. Gelar ini diberikan karena ketika ia bertiwikrama, wujudnya berubah menjadi brahala sewu - raksasa sebesar bukit, berkepala, seratus, bertangan seribu yang keseluruh tangannya memegang berbagai macam senjata sakti. Tiwikrama menjadi brahala-sewu dilakukan oleh Prabu Arjuna Wijaya tatkala berperang melawan Bambang Sumantri, duta kepercayaannya dalam meminang putri Magada. Dewi Citrawati. Bambang
Sumantri yang dengan kesaktiannya telah berhasil mengalahkan lebih dan seribu raja dari berbagai negara yang ingin memperebutkan Dewi Citrawati, hanya bersedia menyerahkan Dewi Citrawati apabila Prabu Arjuna Wijaya berhasil mengalahkan dirinya. Ini sesuai dengan tekad Bambang Sumantri sejak meninggalkan pertapaan Ardisekar, di mana ia hanya akan mengabdi pada raja yang akan mengalahkan kesaktiannya. Arjuna Wijaya adalah satria titisan Bhatara Wisnu. merupakan raja besar yang disembah oleh sesama raja. Ia sakti mandraguna dan pilih tanding. Meskipun demikian, ia termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh negeri dan negara-negara taklukannya. Selain gagah perkasa, Prabu Arjuna Wijaya merupakan satria yang sangat tampan. Sepintas lalu, wajahnya mirip Bhatara Kamajaya . Cahaya yang keluar dart mukanya mengalahkan cahaya bintang, bahkan kadangkadang seperti cahaya matahari di pagi atau senja hari. Merah merona penuh pencaran keemasan. Ketika ia mendapat wangsit dari Bhatara Narada, kalau Dewi Citrawati, putri negeri Magada yang kini dalam pinangan raja raja lebih dari seribu negara merupakan titisan Bhatari Sri Widowati, hatinya menjadi gelisah. Mungkinkah, untuk mendapatkan Dewi Citrawati dan menyelamatkan negara Magada, ia harus berperang dan menumpas sekian banyak raja serta membunuh ribuan prajurit tak berdosa ?. Seorang diri ia mampu melakukan hal itu. Tetapi tindakan itu bertentangan dengan hati nuraninya yang cinta damai Sementara menempuh perdamaian di negara Magada suatu hal yang sulit dilaksanakan, karena lebih dari seribu raja dari berbagai negara juga sangat menginginkan Dewi Citrawati sebagai istrinya. Dari sekian banyak raja yang menginginkan Dewi Citrawati, Prabu Darmawisesa dari negeri Widarba, merupakan raja yang sangat berpengaruh dan ditakuti. Kini bersama lebih dari tujuh puluh lima raja sekutunya lengkap dengan ribuan prajuritnya, telah mengepung negara Magada dari berbagai penjuru. Tujuannya jelas. Bila lamarannya terhadap Dewi Citrawati ditolak, Prabu Darmawisesa akan merebutnya dengan kekerasan. Tatkala Prabu Arjuna Wijaya dalam kebimbangan untuk menentukan sikap, datanglah Bambang Sumantri menghadap untuk mengabdikan diri di negara Maespati. Melihat kesungguhan hati dan kemantapan tekad Sumantri. Prabu Arjuna Wijaya menerima pengabdian Sumantri dengan satu persyaratan, Sumantri harus berhasil menjadi utusan pribadinya dan duta resmi Negara Maespati melamar dan memboyong Dewi Citrawati ke negara Maespati. Persyaratan tersebut diterima oleh Bambang Sumantri. Dengan kesaktiannya. Sumantri akhirnya dapat menaklukan Prabu Darmawisesa dan sekalian para raja lainnya. memenuhi persyaratan pernikahan Dewi Citrawati berupa Putri Domas (800 orang), dan memboyong Dewi Citrawati dan Magada ke Maespati. Namun sebelum memasuki kota negara Maespati, Bambang Sumantri mengajukan persyaratan kepada Prabu Arjuna Wijaya agar menjemput sendiri Dewi Citrawati di perbatasan kota dengan cara seorang satria, berhasil mengalahkan Sumantri dalam satu peperangan. "Mohon Sri Paduka jangan salah mengerti akan sikap hamba, menduga yang tidak-tidak, terutama mengenai diri dan itikad hamba. Sedikitpun tak terbersit di hati hamba suatu niat atau keinginan untuk memperistri Tuan Puteri Dewi Citrawati, karena hamba sudah berprasetya sejak dulu untuk hidup sebagai satria pinandhita tidak akan menikah seumur hidupnya. Karena itulah hamba tidak rela menyerahkan putri ulama seperti Dewi Citrawati secara begitu saja kepada Paduka, layaknya seorang raja taklukkan menyerahkan seorang putri sebagai upeti. hamba ingin Dewi
Citrawati direbut dengan peperangan dasyat seorang raja. Hamba berharap peperangan ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan Paduka, bukan saja kepada Dewi Citrawati dan sekalian para putri yang berjumlah 800 orang, tetapi juga terhadap para raja dari lebih seribu negara yang kini berada di luar kota Maespati. Merekalah yang akan menjadi saksi sejarah keperkasaan dan kebesaran Paduka. Karena itulah hamba berharap perang tanding diantara kita harus berlangsung dahsyat dan hebat." Demikian isi surat Sumantri kepada Prabu Arjuna Wijaya, yang ditanggapi Prabu Arjuna Wijaya dengan kelapangan dada. Apa yang diinginkan Sumantri menjadi kenyataan. Perang maha dahsyat dan mengerikan terjadi antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan Malawa, di luar kota negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan, peperangan antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri merupakan perang maha dahsyat dan maha mengerikan selama alam raya gumelar. Suasana perang ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada perangnya Kumbakarna melawan Prabu Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan laskar kera, atau perangnya Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam perang Alengka.Perang itu juga lebih dahsyat dan lebih mencekam dari pada perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna atau perangnya Resi Bhisma melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu Duryudana dalarn perang Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari keseluruhan perang Bharatayudha itu sendiri. Perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri juga terasa agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran seorang senapati prajurit yang serba sama baik warna maupun bentuknya. Mereka juga menyandang gendewa perang lengkap dengan anak-anak panah saktinya. Bentuknya sama satu dengan lainnya, hanya warna tali selempang gandewa yang berbeda. Selempang gandewa Prabu Arjuna Wijaya berwarna merah, sedangkan selempang gandewa Bambang Sumantri berwarna kuning gading. Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Prabu Arjuna Wijaya menaiki kereta perang milik Dewa Wisnu yang sengaja didatangkan dari Kahyangan Untarasegara, ditarik empat ekor kuda berbulu hitam dan putih. Sedangkan Bambang Sumantri menaiki kereta perang milik Prabu Citragada, yang ditarik empat ekor kuda berbulu merah dengan belang putih pada keempat kakinya. Kereta ini dahulu merupakan kereta perang kadewatan milik Bhatara Indra yang diberikan kepada Prabu Citradarma, raja negara Magada. Tak ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan keagungan yang hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada pariji perang yang tertancap berkibar di bagian buritan kereta. Panji perang Prabu Arjuna Wijaya berwarna kuning emas dengan lambang burung garuda yang siap menerkam lawan, sedangkan panji perang Bambang Sumantri berwarna putih dengan lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan. Keagungan semakin nampak manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan. Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara
dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsari dipimpin langsung oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra. Berbagai tata gelar perang juga diperagakan dalam perang tanding ini. Dari tata perkelahian tangan kosong, gelar perang keris, tombak dan trisula, juga tata gelar perang kereta disertai ketrampilan menguasai kuda dan kereta, serta kemahiran memainkan anak panah. Kelak mereka baru menyadari, bahwa apa yang diperagakan oleh Prabu Arjuna Wijaya dan Bambang Sumantri, sesungguhnya merupakan pelajaran tata gelar dan teknik peperangan maha tinggi yang hanya bisa diperagakan oleh Dewa Wisnu dan Dewa Surapati, yang tidak akan terulang lagi selama jagad raya gumelar. Berbagai ilmu kesaktian dan senjata sakti diperagakan dan gumelar dalam perang tanding ini. Ketika senjata sakti panah Dadali milik Sumantri lepas dari busurnya dan begitu melesat di udara pecah menjadi ribuan anak panah dengan pamor berujud bara api menyala merah, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan senjata sakti panah Tritusta. Begitu lepas dari busurnya, panah tersebut pecah menjadi ribuan anak panah yang pamornya memancarkan cahaya keputihan. Ribuan anak panah dari kedua belah pihak itu saling bertempur dahsyat di udara, tak ubahnya orang yang sedang berperang. Saling tangkis, saling menyambar dan saling mengejar serta saling menyerang. Benturan keras kedua senjata itu menimbulkan desis suara yang melengking, memekakkan telinga. Melihat pertempuran ribuan anak panah yang tiada akhir itu, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan panah angin, yang begitu melesat di udara menimbulkan angin besar yang menyapu habis sernua anak panah tersebut. Menghadapi kenyataan itu, Sumantri segera melepaskan panah Bojanggapasa, yang begitu melesat ke udara memecah menjadi jutaan ular naga yang memenuhi arena pertempuran. Untuk mengetahui keampuhan pusaka lawan, Prabu Arjuna Wijaya segera melepas panah sakti Paksijaladra. Seketika di udara muncul jutaan burung garuda, terbang menukik menyambar ular-ular naga ciptaan Sumantri. Akhir dari perang tanding tersebut, memberi pengaruh sangat besar bagi Prabu Arjunasasrabahu. Kini yakinlah semua orang, bahwa ia seorang raja penjelmaan Dewa Wisnu. la dikenal sebagai raja maha sakti dan kewibawaannya memancar ke seantero jagad raya. Para raja yang sejak semula sudah tunduk dan bersekutu dengan kerajaan Maespati, kini semakin menghormatinya. Sementara para raja yang dahulunya ragu untuk tunduk dan bersatu, kini dengan sukarela menyatakan bernaung dibawah panji kebesaran negara Maespati. Di bawah pemerintahan Prabu Arjunasasrabahu dengan patihnya Suwanda, Maespati berkembang menjadi negara adikuasa yang rnenguasai hampir dua-pertiga jagad raya Meski demikian, Prabu Arjunawijaya tetap memerintah dengan sikap yang adil dan arif bijaksana. Prabu Arjunasasrabahu dikenal sebagai raja yang cinta damai dan selalu berusaha menyelesaikan perselisihan dengan negara tetangga secara musyawarah. Dialah raja yang melaksanakan prinsip dan semboyan perdamaian ; Sugih tanpo bondo, ngruruk tanpo bolo, Menang tanpo angasorake. (kaya tanpa harta benda, menyerang tanpa prajurit, menang tanpa merasa mengalahkan). Prabu Arjunasasrabahu adalah Maharaja terbesar yang pernah ada di jagad raya. la tidak hanya memerintah hampir duapertiga luas jagad raya dan membawahi lebih dari dua ribu raja dari berbagai negara, tetapi ia juga seorang raja yang hidup dengan seorang permaisuri, Dewi Citrawati, dan lebih dari 800 orang selir. Karena itu tak mengherankan apabila sebagian besar penghuni istana Maespati adalah wanita-wanita cantik, sehingga keadaan taman keputrian istana Maespati tak ubahnya kahyangan
Ekacakra, tempat para bidadari. Prabu Arjunasasrabahu adalah raja yang sangat mencintai dan memanjakan istri-istrinya, terutama permaisuri Dewi Citrawati. Apa saja yang menjadi keinginan Dewi Citrawati selalu berusaha untuk dipenuhinya. Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Marcapada. Bahkan Dewapun belum tentu kuasa untuk memenuhi keinginannya tersebut. Dewi Citrawati ingin mandi bersama 800 orang selirnya di sebuah sungai atau danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu Arjunasasrabahu. Dengan disertai Patih Suwanda, dan dikawal beberapa ratus orang prajurit, Prabu Arjunasasrabahu membawa Dewi Citrawati dan 800 orang selirnya lengkap dengan para dayangnya masing-masing meninggalkan istana Maespati pergi kesebuah dataran rendah antara pegunungan Salva dan Malawa, dimana ditengahnya mengalir sebuah sungai. "Dinda Patih Suwanda, aku akan bertiwikrama tidur melintang membendung aliran sungai agar tercipta danau buatan untuk tempat mandi dan bercengkrama dinda Dewi Citrawati dan para selir. Selama aku tidur bertiwikrama, keselamatan dinda Citrawati dan para garwa ampil, sepenuhnya aku serahkan pada dinda Patih Suwanda." kata Prabu Arjunasasrabahu kepada patih Suwanda. Prabu Arjunasasrabahu kemudian bertiwikrama, tidur melintang membendung aliran sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dengan panjang hampir mencapai 500 meter, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah antara pegunungan Salva dan Malawa berubah menjadi sebuah danau buatan yang sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun kedalam air, diikuti oleh para selir dan para dayang. Mereka berenang kesana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan dan gelak tawa. Hampir semua prajurit yang menyaksikan hal itu, menelan air hur dan tubuh prungsang menahan hawa nafsu menyaksikan seribu lebih wanita cantik bertubuh seksi dalam keadaan polos tumplek uyel (menyatu saling bergerak tak karuan) di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah yang lucu-lucu dan aneh-aneh. Hanya Patih Suwanda yang bersikap tenang dan dapat mengendalikan dirinya. Luapan air sungai yang terbendung semakin lama semakin meninggi, meluas melebar menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir deras ke daratan yang lebih rendah, laksana air bah melanda persawahan dan perbukitan. Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu Arjunasasrabahu, karena ia dalam keadaan tidur berTiwikrama. Sementara itu diantara kedua betis raksasa jelmaan Prabu Arjunasasrabahu muncul daerah kering. Di tempat itulah dibuat pesanggrahan mewah semacam istana sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati dan para selir berikut dayang-dayangnya. Adapun Patih Suwanda, beberapa para raja dan prajurit Maespati membuat pesanggrahan di luar betis yang melintang itu. Banyak sekali ikan-ikan yang menggelepar di tanah kering atau kubangan sisa-sisa air. Hal mi sangat menggembirakan para putri domas dan para dayang, yang saling berebut menangkap ikan sambil bercanda. Macam-macam ulah para putri domas itu. Ada yang menaruh ikannya pada kain kembennya dengan cara dibungkus, tapi ada pula yang dengan seenaknya diselipkan di lengkang dadanya. Manakala ikan-ikan itu bergerak-gerak, ia akan tertawa geli penuh suka cita. Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya di wilayah negara Sakya, dimana Rahwana, raja Alengka beserta para hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan
pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Rahwana dan para hulubalangnya yang bisa terbang, segera terbang menyelamatkan diri ke puncak gunung, diikuti oleh para raksasa pengikutnya berlari-lari cepat mendaki bukit yang lebih tinggi. Namun banyak pula diantara para raksasa yang tidak sempat menyelamatkan diri, mati hanyut dilanda air bah. Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan Rahwana. la segera menyuruh Detya Kala Marica, abdi kepercayaarmya yang ahli dalam telik sandi untuk melakukan penyelidikan. Dalam waktu singkat Kala Marica telah kembali menghadap Rahwana, melaporkan hasil penyelidikannya. Dilaporkan oleh Detya Kala Marica, bahwa yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menghancurkan pesanggrahan adalah akibat ulah Prabu Arjunasasrabahu, raja negara Maespati, yang tidur melintang di muara sungai. "Beliau sedang melakukan Tiwikrama. Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar dan setinggi seratus bukit. Itulah mengapa air sungai terbendung dan berbalik arah melanda perbukitan." kata Kala Marica. "Hemmm.. siapa itu Arjunasasrabahu, paman ?" tanya Rahwana. "... Prabu Arjunasasrabahu adalah raja negara Maespati yang terkenal sakti mandraguna dan pilih tanding. Beliau bertiwikrama membendung aliran sungai untuk menyenangkan permaisurinya dan para putri domas serta selir-selir yang jumlahnya ribuan orang. Para selir Prabu Arjunasasrabahu bukanlah wanita sembarangan, tetapi wanita-wanita cantik putri para raja taklukan yang secara sukarela tunduk pada kekuasaan negara Maespati. Namun dan kesernua para putri itu, yang paling cantik adalah permaisuri Dewi Citrawati. Beliau adalah putri Magada yang pernah menjadi rebutan ribuan raja karena diyakini sebagai penjelmaan Bhatari Sriwidawati." "Hemmm, sangat kebetulan! Kalau begitu aku akan rebut Dewi Citrawati dari tangan Arjunasasrabahu!" kata Rahwana lantang. la kemudian memerintahkan Aditya Mintragna, Karadusana dan Trimurda untuk menyiapkan pasukan perang, menggempur negara Maespati. Dengan sikap hati-hati Patih Prahasta berusaha menasehati dan mengingatkan Prabu Rahwana akan akibat buruk dari peperangan tersebut. Diingatkan pula oleh Patih Prahasta, akan kesaktian dan keperwiraan Prabu Arjunasasrabahu dan patih Suwanda yang sulit tertandingi oleh lawan siapapun, termasuk Prabu Rahwana sendiri. Namun Rahwana tetap kukuh dengan kamauannya. "Di jagad raya ini tidak ada seorangpun titah yang dapat mengalahkan Rahwana. Inilah janji Dewa Syiwa kepadaku!" kata Rahwana lantang. Peperangan tak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan seru antara pasukan Alengka sebagai penyerang dan pasukan Maespati yang berusaha mempertahankan kehormatan dan kedaulatan negaranya. Korbanpun berjatuhan, bergelimpangan. Ribuan raksasa dipihak Alengka dan ribuan prajurit di pihak Maespati. Ketika banyak para senopati perang Alengka mati dalam peperangan dan pasukan terdesak mundur, Rahwana akhirnya maju perang sendiri menghadapi para senopati perang Maespati.
Rahwana bertiwikrama , merubah wujud menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan dua puluh yang masing-masing tanganya memegang berbagai jenis senjata. Sepak terjang Rahwana sangat menakutkan. Dalam sekejap ratusan prajurit Maespati menemui ajaInya. Untuk menghadapi amukan dan sepak terjang Rahwana, beberapa raja yang menjadi senopati perang Maespati, seperti Prabu Wisabajra, Prabut Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu dan Patih Handaka Sumekar, mencoba menghadangnya. Namun bagaimanapun saktinya mereka, mereka bukantah tandingan Rahwana. Para raja itu akhirnya gugur ditangan Rahwana. Menyaksikan hal itu, akhirnya Patih Suwanda maju sendiri memimpin pasukan Maespati. Dengan tata gelar perang "Garuda Nglayang" pasukan Maespati bergerak cepat, memukul mundur dan memporak porandakan pasukan Alengka. Sepak terjang Patih Suwanda sangat trengginas. Tak satupun para Senopati perang Alengka, baik Tumenggung Mintragna, Karadusana, Trimurda, juga patih Prahasta yang mampu menandingi kesaktian Patih Suwanda. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa putra Rahwana antara lain Kuntalamea, Trigarda, Indrayaksa dan Yaksadewa yang nekad berperang mati-matian melawan Patih Suwanda, akhirnya mati juga di medan perang. Mengetahui beberapa orang putranya tewas dalam peperangan dan tak satupun para senapati perangnya yang dapat menandingi kesaktian dan keperkasaan Patih Suwanda, akhirnya Rahwana maju sendiri ke medan laga. Perang tanding pun berlangsung dengan seru Berkali-kali Patih Suwanda berhasil memenggal putus kepala Rahwana Namun Rahwana selalu dapat hidup kembali dari kematian. Hal ini berkat Ajian Rawarontek, ajaran dan pemberian Prabu Danaraja (Prabu Danapati atau Prabu Bisawarna), raja negara Lokapala yang masih kakak Rahwana satu ayah, sama-sama putra resi Wisrawa. Merasa kewalahan menghadapi patih Suwanda, Rahwana berTiwikrama . Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan duapuluh. Perubahan wujud ini sama seakali tidak menakutkan Patih Suwanda. Tiwikrama yang dilakukan Rahwana tidaklah sehebat dan semenakutkan Tiwikrama yang dilakukan Prabu Arjunasasrabahu. Dengan cepat Patih Suwanda melepaskan senjata Cakra, yang begitu melesat langsung menebas putus kesepuluh kepala Rahwana. Kesepuluh kepala itu jatuh bergelimpangan di tanah, namun dalam sekejap menyatu kembali pada badannya. Patih Suwanda mulai kehilangan akal dan kesabaran menghadapi kesaktian Rahwana. Sementara itu di Sorgamaya, arwah Sukasrana, adik Patih Suwanda, masih bergentayangan melihat pertempuran tersebut. la, berkesimpulan, inilah saat yang tepat untuk membalas dendam pada kakaknya, dan
memenuhi janjinya unluk bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri (Patih Suwanda) pergi ke Sorgaloka. Dengan cepat arwah Sukasrana menyatu hidup dalam taring Rahwana. Perang tanding pun kembali berlangsung antara Patih Suwanda melawan Rahwana. Patih Suwanda telah berketetapan hati hendak mencincang habis kepala Rahwana agar tidak bisa hidup kembali. Karena itu tatkala kepala Rahwana lepas dari lehernya terbabat senjata cakra, Patih Suwanda segera memungut kepala Rahwana. Tak terduga, saat ia memegang rambut kepala Rahwana, tanpa disadari tubuh Rahwana menyatu kembali berkat daya kesaktian Aji Rawarontek. Begitu kepalanya menggeliat dan membuka mata, berkat pengaruh arwah Sukasrana, tangan Rahwana langsung mengangkat tubuh Patih Suwanda dan menggigit lehernya hingga putus. Saat itu juga Patih Suwanda menernui ajalnya. Arwahnya berdampingan dengan arwah Sukasrana terbang menuju ke sorgaloka. Mengetahui Patih Suwanda gugur dalarn pertempuran, beberapa orang prajurit Maespati lari ke pesanggrahan Prabu Arjunasasrabahu memberitahukan kejadian tersebut. Prabu Arjunasasrabahu yang mendengar laporan tewasnya patih Suwanda oleh Prabu Rahwana, segera bangun dari tidurnya dan mengakhiri Tiwikramanya. la meminta para raja-raja pengikutnya untuk segera mengumpulkan sisa-sisa laskar Maespati yang bercerai berai, dan dia sendiri yang akan memimpin pasukan Maespati menghadapi Rahwana. Di tengah perjalanan, Prabu Arjunasasrabahu diternui olch Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa yang sengaja menghadang langkah Prabu Arjunasasrabahu atas perintah Bhatara Guru. "Cucu Ulun, Arjunasasrabahu. Mengemban perintah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun menghadang lakumu yang akan menggelar perang menghadapi Rahwana. Titah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun harus membatalkan perang melawan Rahwana. Berilah kesempatan Rahwana untuk hidup lebih lama. Ulun tahu, Rahwana titah maha sakti yang sepak terjangnya direstui Hyang Siwa dan Durga. Tapi, Rahwana tetap bukan tandinganmu !" kata Bhatara Narada kepada Prabu Arjunasasrabahu. "Bukan maksud hamba untuk menentang perintah Hyang Jagad Pratingkah. Pukulun Kanekaputra tahu, Rahwana telah membunuh adik hamba, Patih Suwanda. Karena itu Rahwana harus dihukum kata Prabu Arjunasasrabahu. 'Ulun tahu akan kecintaanmu terhadap Patih Suwanda, dan dendam ulun pada Rahwana. Tapi saat ini Rahwana belum saatnya mati. Takdir dewata, ia memang harus mati melalui tanganmu, tapi bukan pada penitisanmu yang sekarang, melainkan pada penitisanmu yang akan datang." kata Bhatara Narada. "Hamba berjanji, hamba tidak akan membunuh Rahwana. Hamba hanya akan menghukumnya, memberi pelajaran agar dapat mengkontrol tindak angkara murkanya. Karena itu perkenankanlah hamba melanjutkan perjalanan, menggelar perang menghadapi Rahwana dan laskar Alengka !" kata Prabu Arjunasasrabahu. "Kalau itu yang menjadi tujuan ulun, ulun mengiringi langkahmu. Tapi ingat, Ulun harus menetapi janji untuk tidak membunuh Rahwana !" kata Bhatara Narada setelah merasa gagal membujuk Prabu Arjunasasrabahu untuk membatalkan perang. Perang sampyuh tak bisa dihindarkan lagi antara prajurit Maespati melawan laskar raksasa negara Alengka. Dengan tata gelar perang "Garuda Nglayang" sebagaimana yang diterapkan oleh Patih Suwanda, pasukan Maespati di bawah pimpinan Prabu Arjunasasrabahu berhasil memukul mundur dan memporak porandakan laskar raksasa Alengka. Tak terbilang jumlahnya, mungkin ribuan laskar Alengka mati di medan peperangan. Mengetahui pasukannya lumpuh bercerai berahi, akhirnya Rahwana sendiri yang maju perang menghadapi Prabu Arjunasasrabahu. Nasehat Patih Prahasta agar Rahwana menank mundur sernua pasukan dan menyatakan kalah, ditolak mentah-mentah oleh Rahwana. Rahwana
merasa yakin, dengan aji Rawarontek yang dapat menolongnya luput dari kematian, ia akan dapat mengalahkan dan membunuh Prabu Arjunasasrabahu, sebagai mana ia mengalahkan dan membunuh Patih Suwanda. Rahwana mengamuk, membabi-buta. Setlap sabetan pedangnya selalu memakan korban nyawa prajurit Maespati. la terus mendesak maju berusaha mendekati kereta Prabu Arjunasasrabahu. Hati Rahwana tercekat kagum manakala ia melihat, betapa agungnya Prabu Arjunasasrabahu berdiri gagah di atas kereta perangnya. Cahaya semacam pelangi melingkari tubuh Raja Maespati itu, yang menandakan ia raja kekasih dewata, penitisan Bhatara Wisnu. Rahwana ingin menunjukkan kesaktiannya. Sambil membaca mantera sakti, ia melepaskan senajuta Branaspati yang begitu melesat di udara dari pamornya langsung menyemburkan gumpalan-gumpalan api sebesat gelugu (batang kelapa/nyiur) dan sangat panas tiada terkira, membakar hangus prajurit Maespati. Melihat hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertidak cepat. Sambil membaca mantera sakti, ia melepaskan seniata Bayusayuta, yang begitu melesat di udara dari pamornya menyembur angin besar dan kencang yang mengandung hawa dingin. Dengan suara mendesis, angin itu mematikan dan meniup habis gumpalan-gumpalan api Rahwana. Merasa kalah sakti dalam olah senjata, Rahwana kemudian bertriwikrama. Tubuhnya menjadi sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan seratus yang masing-masing tangannya memegang berbagai macam senjata tajam. Rahwana terbang hendak menerkam dan membinasakan lawannya. Menghadapi serangan Rahwana yang demikian ganas dan mengerikan, Prabu Arjunasasrabahu segera melepaskan panah Trisula, yang begitu melesat di udara pecah menjadi ratusan anak panah, yang dengan cepat memangkas putus kesepuluh kepala Rahwana, keseratus tangan dan kakinya. Potongan-potongan kepala , tangan, kaki dan gembung Rahwana jatuh berserakan di atas tanah. Namun berkat daya kesaktian Aji Rawarontek, begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh itu secepatnya bergerak menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali. Masih dalam keadaan bertriwikrama, Rahwana terbang ke udara, sambil berlindung di balik gumpalan mega, ia mengeluarkan kesaktiannya. Dari keseluruh anggota tubuhnya, termasuk lubang hidung dan telinga - (dalam keadaan triwikrama, tangan Rahwana berjumlah seratus dan berkepala sepuluh) - keluar ribuan macam senjata seperti gada, limpung, pedang, tombak dan anak pariah, yang meluncur cepat menyerang prajurit Maespati. Bersarnaan itu pula, Rahwana mengeluarkan ajian "Gunturgeni', dimana ketika ia berteriak dari mulutnya keluar ribuan kilat menyambar dengan daya hangus yang luar biasa. Menyaksikan hal itu, Prabu Arjunasasrabahu tetap tenang. la segera melepaskan senjata Trisula, yang begitu melesat di udara memecah menjadi ratusan naga sebesar bukit yang langsung menelan habis semua senjata ciptaan Rahwana. Bersarnaan dengan itu pula, Prabu Arjunasasrabahu melepaskan senjata Candrasa yang melesat tepat menghantam hancur tubuh Rahwana. Dalam keadaan berkepingkeping serpihan Rahwana jatuh ke tanah. Peristiwa pun terulang kembali. Berkat daya kesaktian aji Rawarontek, begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh Rahwana bergerak saling menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali.
Menghadapi kejadian yanh terus berulang, hilang kesabaran Prabu Arjunasasrabahu. la segera bertriwikrama. Dalam sekejap tubuhnya berubah meniadi brahalasewuRaksasa hampir sebesar gunung, berkepala seratus dan bertangan seribu, di mana masing-masing tangannya memegang berbagai jenis senjata. Melihat tubuh raksasa yang demikian besar dengan bentuk yang sangat menakutkan, Rahwana mengigil ketakutan. Cepat ia terbang melarikan diri dan berlindung di balik gumpalan awan, sambil berterjak minta tolong. Teriakan Rahwana yang dilambari ajian Guntur sewu itu terdengar oleh Bhatari Durga yang bertahta di Kahyangan Setragandamayit. Bhatari Durga segera keluar dari istananya dan secepat kilat menuju ke arah Rahwana. Begitu mengetahui Rahwana dalam kesulitan menghadapi raksasa penjelmaan Prabu Arjunasasrabahu, Bhatari Durga segera menciptakan awan hitam untuk melindungi tubuh Rahwana. Hal ini ia lakukan karena ia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan Rahwana, yang secara tidak langsung adalah putranya sendiri dengan Bhatara Syiwa (=Bhatara Guru). Prabu Arjunasasrabahu yang mengetahui ulah Bhatari Durga melindungi Rahwana segera melepaskan pariah "Prahara" yang begitu melesat di udara dari pamornya menyembur badai awan panas. Awan hitam seketika tersibak hilang. berubah menjadi rintikan hujan. Dalam suasana alam yang terang benderang nampak dengan jelas tubuh Bhatari Durga yang berada di sebelah Rahwana. Prabu Arjunasasrabahu siap melepaskan panah Trisula, Namun sebelum panah Trisula dilepaskan, Bhatari Durga yang mengetahui daya keampuhan pusaka itu, secepat kilat lari kembali ke Setragandamayit sambil berteriak minta ampun. Prabu Arjunasasrabahu yang tidak mau kehilangan sasaran, mengarahkan pariah Trisula ke tubuh Rahwana. Begitu terkena hantaman pusaka tersebut, tubuh Rahwana hancur menjadi beberapa bagian, berterbangan di udara dan akhirnya jatuh berserakan di tanah. Aji Rawarontek kembali menolong Rahwana dari kematian. Namun saat tubuhnya menyatu kembali, Prabu Arjunasasrabahu segera bertindak cepat, menangkap tubuh Rahwana. Bersamaan dengan itu, Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa datang menegur Prabu Arjunasasrabahu. "Cucu Ulun, Prabu Arjunasasrabahu. Hentikan triwikramamu. Bukankah Ulun telah berjanji tidak akan membunuh Rahwana," kata Bhatara Narada. Mendapat teguran Bhatara Narada, Prabu Arjunasasrabahu
menyudahi triwikramanya, kembali kewujud aslinya. "Hamba tidak akan membunuh Rahwana, tetapi hamba punya kewajiban untuk menyiksa dan menghajarnya sebagai pelajaran tata kesusilaan bagi aditya ambek angkara murka ini!" jawab Prabu Arjunasasrabahu. "Syukurlah kalau ulun tetap memenuhi apa yang telah ulun janjikan kepada dewata!" kata Bhatara Narada yang segera meninggalkan Prabu Arjunasasrabahu diikuti kemudian oleh Bhatara Mahadewa. Sepeninggal Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa, Prabu Arjunasasrabahu segera mengikat tubuh Rahwana dengan rantai. Kemudian, tubuh yang sudah tak berdaya itu diikat pada belakang kereta perang Prabu Arjunasasrabahu dan ditarik mengelilingi alun-alun negeri Maespati sampai beberapa kali putaran, baru ditarik menyusuri jalan-jalan di kota negara Maespati. Berkat daya kesaktian ajian Rawarontek, Rahwana memang tidak bisa mati. Tapi !a bisa mengalami penderitaan, dan penderitaan yang tengah ia alami sekarang ini merupakan penderitaan yang maha berat yang arus ia alami baik secara lahir dan batin. Dalam keadaan terseret, tubuh Rahwana bukan saja harus berbenturan dengan batu lubang jalanan dan roda kereta, tetapi ia juga harus menanggung penghinaan yang luar biasa besarnya, dimana dalam keadaan sebagai pecundang dan pesakitan, tubuhnya yang terseret kereta itu harus menjadi tontonan ribuan rakyat Maespati. Tidak itu saja. Rakyat Maespati yang membencinya ikut menambah derita lahir batinnya. Mereka melempari tubulnya dengan batu, kayu, telur busuk dan juga kotoran hewan. Bila berkesempatan sebagian rakyat Maespati meludahi mukanya. Setelah semua lorong-lorong jalan ibu negara Maespati dilalui, Prabu Arjunasasrabahu mengarahkan keretanya menuju ke pesanggrahan dimana Dewi Citrawati dan para selir beserta para dayang berkemah. Prabu Arjunasasrabahu ingin menunjukan kepada istrinya, wujud raksasa Rahwana yang telah membunuh Patih Suwanda. Apa yang dialami Prabu Rahwana diketahui pula oleh Detya Kala Marica. Raksasa cerdik dan licik ini merasa iba atas penderitaan yang dialami rajanya, juga rasa sakit hati rajanya diperlakukan sedemikian hina. Marica ingin membalas dendam, membuat sakit hati Prabu Arjunasasrabahu. Ketika tubuh Rahwana masih terseret-seret di sepanjang jalanan ibu negara Maespati. Marica mendahului pergi ke pesanggrahan Dewi Citrawati. Dengan merubah wujudnya menjadi seorang punggawa istana, Marica berhasil menemui Dewi Citrawati. Dengan menghiba dan kata-kata pedih diciptakannya sebuah laporan palsu, bahwa Prabu Arjunasasrabahu beserta para raja pengikutnya telah tewas dalam peperangan melawan Rahwana. Disampaikan pula pesan Prabu Arjunasasrabahu, mengingat Rahwana raja yang ambek angkara murka, maka apabila Prabu Arjunasasrabahu tewas dalam peperangan, maka Dewi Citrawati, sernua para selir berikut dayangdayang harus melakukan bela pati. Kata-kata Marica yang disertai mantra "kemayan" itu berhasil membutakan alam pikiran bawah sadar Dewi Citrawati, yang dengan mudahnya menerima saja semua laporan Marica. Tanpa pikir panjang, demi bakti setianya pada suami, Dewi Citrawati segera menghunus patrem (keris kecil) dan melakukan bunuh diri. Tindakan Dewi Citrawati tersebut segera diikuti oleh para selir dan dayang. Terjadilah bunuh diri masal yang mencapai hampir empat ribu orang. Sehingga dalam sekejap, pesanggrahan yang dibangun dengan segala keindahan dan keelokannya itu dipenuhi oleh mayat-mayat wanita cantik. Namun masih ada seorang dayang yang belurn sempat melakukan bunuh diri. Hal ini karena saat ia akan
menusukan patrem ke ulu hatinya, Marica yang merasa usahanya telah berhasil telah merubah wujudnya ke wujud aslinya. Dayang itu pingsan karena takut melihat wajah Marica yang mengerikan. Betapa terkejut Prabu Arjunasasrabahu ketika ia memasuki pesanggrahan, dijumpainya Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang sernuanya telah menjadi mayat, tumpang-tindih tak karuan. la tak tahu, apa yang telah terjadi sesungguhnya hingga istri dan sernua selir serta para dayang melakukan bunuh diri masal. Pada saat Prabu Arjunasasrabahu dalam kebingungan, dayang yang selamat telah siuman dan segera mendekati Prabu Arjunasasrabahu, melaporkan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Bunuh diri masal itu terjadi karena Dewi Citrawati, para selir dan dayang melaksanakan pesan Prabu Arjunasasrabahu yang disampaikan oleh raksasa Alengka yang menyaru sebagai punggawa istana Maespati. Seketika muntab kernarahan Prabu Arjunasasrabahu. la bermaksud untuk bertiwikrama, membunuh Rahwana dan menghancurkan alam seisinya sebagai protes atas ketidak adilan dewata yang telah membiarkan istrinya yang setia termakan bujukan Marica. Namun sebelurn niat itu dilaksanakan, telah muncul Bhatara Waruna. Dewa laut itu datang menyabarkan Prabu Arjunasasrabahu. Dikatakan kepada raja Maespati tersebut, bahwa apa yang menimpa Dewi Citrawati berikut para selir dan dayang merupakan cobaan dewata yang harus diterima dengan lapang dada. Kedatangannya menemui prabu Arjunasasrabahu adalah untuk menolong sang Prabu dari kesedihan. Dengan air sakti Tirta mulya" (=semacam air penghidupan "tirta amarta") ia sanggup menghidupkan kembali orang yang telah mati, khususnya yang mati karena terluka. Prabu Arjunasasrabahu menerima kebaikan hati Bhatara Waruna. Dengan percikan air sakti "Tirta mulya" Dewi Citrawati dapat dihidupkan kembali. Demikian pula para selir dan dayang-dayang yang jumlahnya hampir 4000 orang. Setelah itu Bhatara Waruna menjelaskan, bahwa yang membuat pengkhianatan dengan memberikan laporan palsu adalah Datya Kala Marica, hulubalang setia Rahwana, yang memang cerdik dan licik. Mengetahui hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertekad akan segera mencari dan membunuh Marica walau ia berlindung di balik Kahyangan sekalipun. Dewi Citrawati melarangnya. Janganlah kebencian beralih menjadi dendam. Toh berkat pertolongan Bhatara Waruna, ia dan semua selir dan dayang-dayang telah hidup kembali. Karena itu Dewi Citrawati meminta agar Prabu Arjunasasrabahu melupakan dendamnya terhadap Marica. Demi menghormati keinginan istrinya, Prabu Arjunasasrabahu berjanji akan melupakan dendamnya terhadap Marica. Sepeninggal Bhatara Waruna, datang menemui Prabu Arjunasasrabahu, Brahmana Pulasta yang sengaja turun dari pertapaan Nayaloka yang berada di kahyangan Madyapada. Brahmana raksasa yang tingkat ilmunya sudah mencapai kesempumaan itu adalah kakek buyut Rahwana dari garis ayah, Resi Wisrawa. Brahmana Pulasta adalah cucu Bhatara Sambodana yang berarti cicit Bhatara Sambu. la, berputra Resi Supadma, ayah Resi Wisrawa. Kedatangan Brahmana Pulasta menemui Prabu Arjunasasrabahu adalah untuk memintakan pengampunan bagi cucu buyutnya, Rahwana. Karena menurut ketentuan Dewata, belum saatnya Rahwana untuk menemui kematian. la memang harus mati oleh satria penjelmaan Dewa Wisnu, tetapi bukan pada penjelmaannya yang sekarang, tetapi pada penjeImaan Wisnu berikutnya. "Rahwana memang makluk yang ambek angkara murka. memang pantas menderita dan mati untuk menebus dosa-dosanya. Tapi bukan sekarang. Itutah ketentuan dewata yang aku ketahui. Karena itulah aku memohon kemurahan hati Paduka untuk membebaskan Rahwana. Berilah ia kesempatan untuk hidup dan memperbaiki perilakunya. Apapun persyaratan yang Paduka minta, aku akan memenuhinya."
kata Brahmana Pulasta, lembut menghiba. "Aku juga tidak akan membunuh Rahwana sebagaimana janjiku pada Bhatara Narada. Apa yang aku lakukan sekedar memberi pelajaran pada Rahwana agar ia menyadari, bahwa di jagad raya ini masih banyak titah lain yang dapat mengalahkannya, walau tidak kuasa untuk membunuhnya. Kalau aku membebaskan Rahwana, jaminan apa yang bisa sang Bagawan berikan padaku?" kata Prabu Arjunasasrabahu. "Jaminanku, aku berjanji, Rahwana akan tunduk pada Paduka dan mau merubah sifat angkara murkanya. Aku yakin, Rahwana bersedia menyerahkan negara dan tahta Alengka kepada Paduka dan menjadikan Alengka sebagai negara bagian Maespati. Sebagai imbalan kemurahan hati Paduka membebaskan Rahwana, aku bersedia menghidupkan semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan!" kata Brahmana Pulasta. Menghargai permintaan brahmana sakti yang tingkat hidupnya sudah setara dewa itu, Prabu Arjunasasrabahu memenuhi apa yang menjadi keinginan Brahmana Pulasta. Rahwana segera dilepaskan dari ikatan rantai yang membelit sekujur tubuhnyaBegitu terbebas, Rahwana langsung duduk bersimpuh di hadapan Prabu Arjunasasrabahu. Sambil menyembah ia menyatakan fobat dan berjanji tidak akan berbuat kejahatan lagi. Rahwana juga menyatakan tunduk pada Prabu Arjunasasrabahu dan rela menyerahkan tahta dan kerajaan Alengka dalam kekuasaan raja Maespati, dan bersedia menjadi raja taklukan. Prabu Arjunasasrabahu menerima pertobatan Rahwana. Namun ia tak menghendaki tahta dan negara Alengka. la hanya menasehati dan meminta Rahwana untuk memerintah dengan adit dan memanfaatkan kekayaan negara untuk kepentingan rakyatnya. Bukan untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Brahmana Pulasta pun memenuhi janjinya. Dengan mantera saktinya ia berhasil menghidupkan kembali semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan, terkecuali Patih Suwanda. Inilah yang membuat sedih Prabu Arjunasasrabahu. Ketika ia menanyakan hal itu kepada Brahmana Pulasta, sang brahmana menjelaskan bahwa kematian Patih Suwanda sudah mencapai kesempumaan sesuai takdir hidupnya. Ia menemui ajalnya sesuai dengan karmanya terhadap Sukasrana, adiknya. "Kalau aku paksakan untuk menghidupkan kembali Rayi Paduka, Patih Suwanda, berarti aku nekad melanggar kehendak Sang Maha Pencipta. Aku juga telah melanggar niat luhur Sukasrana. Karena arwah manusia suci itu belum mau masuk ke sorgaloka tanpa bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri -- nama kecil Patih Suwanda !" kata Brahmana Pulasta menegaskan. Prabu Arjunasasrabahu akhimya dapat menerima penjelasan Brahmana Pulasta dan merelakan kematian Patih Suwanda. Sepeninggal Brahmana Pulasta dan Rahwana, Pancaka (api pembakaran mayat) segera disiapkan untuk menyempurnakan jasad Patih Suwanda. Selesai upacara pembakaran jenazah Patih Suwanda, mereka kembali ke ibunegeri Maespati. Sejak peristiwa tersebut, negeri Maespati tumbuh menjadi negara adi daya dan adi kuasa. Kejayaannya merambah sampai lebih dan tiga perempat isi jagad raya. Prabu Arjunasasrabahu sendiri dikenal sebagai Raja yang Gung Binatara (Maha Besar dan Maha Berkuasa) * Hampir seluruh raja di jagad raya secara suka reta tunduk dan hormat kepadanya. Meskipun demikian, ia tetap bersikap bijaksana, arif dan hormat terhadap sesama titah marcapada. Kebahagaian Prabu Arjunasasrabahu dilengkapi pula dengan kebahagiaan keluarganya. Dari
pernikahannya dengan Dewi Citrawati, Prabu Arjunasasrabahu berputra Raden Ruryana. Oleh ayahnya sejak kecil Raden Ruryana dididik dalam berbagai ilmu, baik ilmu tata kenegaraan maupun ilmu jayakawijayan. Hal ini karena dialah satu-satunya pewaris tahta dan negara Maespati. Merasa tak ada lagi lawan yang berarti, dan tak ada lagi gangguan yang mengancam negara Maespati dan negara-negara sekutunya, kehidupan selanjutnya dari Prabu Arjunasasrabahu lebih banyak digunakan bersenangsenang, memanjakan istri, para selir dan putra-putranya. Akibatnya, semakin asyik hidup dalam kesenangan, Prabu Arjunasasrabahu mulai melupakan tugas kewajiban menjaga kelestarian dan kesejahteraan jagad raya (memayu hayuning, bawono). Akibat dari kelalaian Prabu Arjuansasrabahu tersebut, tanpa sepengetahuannya (tanpa ia sadari-pen), Dewa Wisnu loncat dari tubuhnya, menitis pada Ramaparasu, putra bungsu dari lima bersaudara putra Resi Jamadagni dan Dewi Renuka, raja negara Kanyakawaya yang hidup sebagai brahmana di pertapaan Daksinapata. Ramaparasu sedang melaksanakan sumpah dendamnya, ingin membunuh setiap satria yang dijumpainya. Sumpah itu terlontar sebagai akibat dari perbuatan Prabu Citrarata, yang telah menodai ibunya, Dewi Renuka, serta perbuatan Raja Hehaya yang telah menghancurkan pertapaan Daksinapata dan membunuh Resi Jamadagni, ayahnya. Beberapa tahun kemudian, Prabu Arjunasasrabahu dan Ramaparasu saling bertemu di sebuah hutan. Saat itu Prabu Arjunasasrabahu sedang melakukan perburuan di hutan. Seperti biasa, setiap melakukan perburuan, Prabu Arjunasasrabahu selalu mengajak serta Dewi Citrawati, semua para selir, para dayang dan para raja sekutunya. Ikut serta dalam rombongan tersebut ratusan prajurit pengawal dan para kerabat kerajaan Maespati lainnya. Sehingga kegiatan perburuan tak ubahnya kegiatan wisata keluarga besar Kerajaan Maespati. Perkemahan besar pun dibangun di tengah hutan sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang. Sementara Dewi Citrawati dan para selir dan dayang tinggal di perkemahan dalam kawalan para prajurit, Prabu Arjuansasrabahu disertai Prabu Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu dan beberapa hulubalang melakukan perburuan binatang ke tengah hutan. Pada saat melakukan perburuan itulah Prabu Arjunasasrabahu di hadang oleh Ramaparasu. Ramaparasu sengaja menghadangnya setelah mendapat petunjuk dari seorang brahmana, bahwa raja yang sedang melakukan perburuan adalah Prabu Arjunasasrabahu, raja penjelmaan Dewa Wisnu dari negara Maespati. Atas anugerah dewata sesuai doa dan permohonan ayahnya, Resi damadagni, Ramaparasu hanya akan mati oleh perantaraan titisan Dewa Wisnu. Karena itu setelah ia lama malang melintang membunuh para satria, dan merasa telah bosan hidup, ia berusaha mencari satria penjelmaan Dewa Wisnu, untuk memintanya mengantarkan kembali ke alam kelanggengan. Karena itu ketika dalam pengembaraannya ia bertemu dengan seorang brahmana yang memberitahukan bahwa Dewa Wisnu menitis pada Prabu Arjunasasrabahu, Ramaparasu berusaha mencari Prabu Arjunasasrabahu sampai ke negara Maespati, dan akhimya menyusul ke hutan. Penghadangan yang dilakukan oleh Ramaparasu, sangat menggembirakan hati Prabu Arjunasasrabahu. Perawakan Ramaparasu yang tinggi besar, kekar dan menakutkan itu dengan dua pusaka, Kapak dan Bargawastra, menerbitkan suatu harapan besar di hati Arjunasasrabahu, bahwa yang menghadangnya ini adalah penjelmaan Dewa Wisnu -- pada saat itu Prabu Arjunasasrabahu telah menyadari Dewa Wisnu telah meninggalkan dirinya. Karena itu ia pun ingin mati melalui perantaraan Dewa wisnu.
Ramaparasu menceritakan kisah hidup petualangannya, sejak meninggalkan pertapaan Daksinapata setelah perabukan jenasah ayahnya, Resi Jamadagni, hingga ia bertemu dengan Prabu Arjunasasrabahu. la merasa bimbang dan keraguan akan dharma yang telah dijalankan Resi Pulasta, kakek Rahwana selama ini. Karena itu tujuanya kini hanyalah mencari penjelmaan Dewa Wisnu, sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat mengantarkannya ke Nirwana. "Itulah Paduka yang hamba cari selama ini." kata Ramaparasu. "Mengapa tuan mengira hamba sebagai penjelmaan Dewa Wisnu?" tanya Prabu Arjunasasrabahu. "Tanda-tanda keagungan ada pada Paduka " jawab Ramaparasu. "Tuan juga seorang yang agung budi. Menurut pendapatku, Tuanlah satria brahmana berwatak dewa, karena tuan telah melaksanakan dharma dan kebajikan dunia dan umat manusia. Siapa lagi yang sanggup berbuat demikian selain Dewa Wisnu?" kata Arjunasasrabahu. "Oh. sekiranya kata-kata Tuan benar, apa perlu hamba mencari Dewa Wisnu?" kata Ramaparasu. "Jadi Tuan tetap mengira, akulah penjelmaan Dewa Wisnu?" tanya Prabu Arjunasasrabahu. "Ya, sebab Paduka bias bertriwikrama!" "Sekiranya aku mengatakan tidak, lalu apa yang akan Tuan lakukan?" "Akan hamba paksa Paduka melepaskan senjata Cakra. Sebab hanya senjata Dewa Wisnu yang dapat menembus dada hamba!" jawab Ramaparasu tegas. "Sekiranya senjataku tidak dapat menembus dada Tuan , lalu apa yang akan Tuan lakukan?" tanya Prabu Arjunasasrabahu. "Paduka akan hamba bunuh dengan Bargawastra Paduka pasti tewas, sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat menahan keampuhannya!" kata Ramaparasu penuh keyakinan. Prabu Arjunasasrabahu tersenyum. Dalam hati ia berdoa, mudah-mudahan Bargawastra dapat menembus dadanya. Dan inilah yang ia cari selama ini. Mereka kemudian sepakat untuk mengadu kesaktian. Mereka kini telah siap tempur. Karena masingmasing tak ada niat untuk menggelak hantaman senjata lawan, mereka berdiri hampir berhadaphadapan. Ramaparasu menimang-nimang Bargawastra, sedangkan Prabu Arjunasasrabahu memegang senjata cakra yang berbahaya, Dengan teriakan panjang keduanya siap melepaskan senjata pemusnahnya masing-masing. Prabu Arjunasasrabahu menahan senjata cakranya. Semenjak bersiaga, tiada niat sedikitpun untuk melepaskan senjata cakra, sebab takut akan menembus dada Ramaparasu. Sebaliknya Ramaparasu melempaskan senjata Bargawastra dengan sungguh-sungguh. Senjata ampuh itu menyibak udara menembus dada Prabu Arjunasasrabahu, yang segera rebah ke tanah dengan bersembah. Bisiknya : "Oh, Dewata Agung! Hamba menghaturkan terimakasih yang tak terhingga. Sudah engkau tunjukan kepadaku kini, Dialah sesungguhnya penjelmaan Dewa Wisnu setelah aku!" Walau bersimbah darah, wajah Arjunasasrabahu menunjukkan kepuasan batin yang dalam, karena akan mati dengan hati iklas dan puas. Ramaparasu yang menyaksikan kejadian itu sangat terkejut. Ia segera berlari dan memeluk tubuh Prabu Arjunasasrabahu.
"Hai, betapa mungkin .... ? Betapa mungkin?! Paduka berkhianat. Paduka sengaja tidak melepaskan senjata cakra!" kata Ramaparasu menggugat. Sambil menahan rasa sakit, Prabu Arjunasasrabahu berujar : "Sudah kukatakan tadi, tiada senjata apapun di dunia ini yang dapat menembus dadaku kecuali senjata Dewa Wisnu yang dilepaskan oleh Dewa Wisnu sendiri. Jadi jelas sudah, Tuan memang penjelmaan Dewa Wisnu!" Seketika terbit perasaan gusar dan kecewa pada Ramaparasu begitu mengetahui Prabu Arjunasasrabahu bukan penjelmaan Dewa Wisnu. Menganggap bahwa Prabu Arjunasasrabahu tidak ada artinya lagi baginya, tak ubahnya ribuan satria lain yang telah dibunuhnya, maka Ramaparasu berteriak lantang: "Jahanam! Bangsat! Kau telah menipuku. Kau memang layak untuk mati! " Setelah itu Ramaparasu pergi meninggalkan jasad Prabu Arjunasasrabahu. Sepeninggal Ramaparasu, jasad Prabu Arjunasasrabahu diangkat oleh Prabu Kalinggapati dan Prabu Soda, dibawa ke pesanggrahan. Gelombang tangis dan hujan air mata seketika meledak dan terjadi di pesanggrahan, karena Dewi citrawati beserta sernua selir Prabu Arjunasasrabahu yang berjumlah 2000 orang, beserta para dayang yang jumlahnya hampir ernpat ribu orang itu, nangis bersama-sama. Persiapan pembakaran jenasah segera dilakukan oleh Prabu Kalinggapati, Prabu Soda dan para raja lainnya. Arena pembakaran dipersiapkan sedemikian luas. Ribuan ton kubik kayu dipersiapkan. Inilah arena dan upacara pembakaran mayat yang terbesar yang pernah ada di jagad raya. Karena bukan hanya jenasah Prabu Arjunasasrabahu yang akan dibakar, tetapi Dewi Citrawati dan para selir akan ikut bela pati, terjun kedalam pancaka (api pembakaran jenasah). Pudarnya nyala api pembakaran, bukan hanya sekedar akhir hidup dan kejayaan Prabu Arjunasasrabahu, tetapi juga awal pudarnya masa kejayaan negara Maespati. Sebab sepeninggal Prabu Arjunasasrabahu, satu persatu para raja dari negara-negara yang semula bergabung dengan Maespati, menyatakan diri memisahkan diri dan berdaulat sendiri. Tak ayal lagi, setelah berakhirnya masa pemerintahan Prabu Ruryana, secara lambat tapi pasti, negeri Maespati lenyap dari percaturan dunia pewayangan. Ironis memang!.
Karna adalah salah satu tokoh penting dalam Mahabharata. Ia adalah putra tertua Kunti, sehingga merupakan saudara seibu Pandava dan merupakan yang tertua dari keenam saudara tersebut. Walaupun Duryodhana menunjuknya sebagai raja Anga, perannya dalam kisah Mahabharata jauh melebihi peran seorang raja. Karna bertarung di pihak Kaurava dalam perang di Kurukshetra. Semasa mudanya, Kunti merawat resi Durvasa selama satu tahun. Sang resi sangat senang dengan pengabdian yang diberikan olehnya sehingga memberikan anugerah untuk memanggil salah satu dari para dewa dan dewa yang dipilihnya tersebut akan memberiknya seorang putra yang mempunyai sifat baik menyamai dewa tersebut. Karena ragu-ragu apakah anugerah tersebut benar, Kunti, selagi masih belum menikah, memutuskan untuk mencoba mantra tersebut dan memanggil dewa matahari, Surya. Ketika Surya menampakkan diri didepannya, Kunti terpesona. Karena terikat mantra Durvasa, Surya memberinya seorang anak secemerlang dan sekuat ayahnya, walaupun Kunti sendiri tidak menginginkan anak. Dengan kesaktian Surya, Kunti tetap tidak ternodai keperawanannya. Sang bayi adalah Karna, lahir dengan baju besi dan anting-anting untuk melindunginya. Kunti kini berada dalam posisi yang memalukan sebagai seorang ibu seorang anak tanpa ayah. Karena tidak mau menanggung malu ini, ia meletakkan Karna ke dalam keranjang dan menghanyutkannya bersama dengan perhiasannya (mirip dengan kisah Nabi Musa), berdoa agar bayi tersebut selamat. Bayi Karna terhanyut di sungai dan ditemukan oleh seorang pengemudi kereta bernama Adhiratha, seorang Suta (campuran antara Brahmin dengan Khsatriya). Adhiratha dan istrinya Radha membesarkan Karna sebagai anak mereka dan memberinya nama Vasusena karena baju besi dan antingnya. Mereka mengetahui latar belakang Karna dari perhiasan yang ditemukan bersamanya, dan tidak pernah menyembunyikan kenyataan bahwa mereka bukan orang tua Karna yang sebenarnya. Karna juga disebut Radheya karena nama ibunya Radha. Adiknya, Shon, lahir dari Adhiratha dan Radha setelah kedatangan Karna. Ikatan antara Karna dan keluarga angkatnya merupakan hubungan berdasarkan cinta dan rasa hormat yang murni. Karna menghormati Adhiratha di depan teman-teman khsatriyanya, dan dengan penuh rasa cinta tetap melaksanakan tugasnya sebagai seorang anak dalam keluarga angkatnya meskipun ia telah menjadi raja Anga dan mengetahui asal usul kelahirannya.
Karna ingin menjadi seorang prajurit besar. Maka ia mengembara ke Hastinapura bersama dengan ayah dan adik angkatnya. Di sana menguasai ilmu kanuragan dengan belajar kepada Drona, walaupun ia belajar tidak bersama dengan para pangeran (Pandava dan Kaurava) karena dipandang berasal dari kasta yang rendah. Karna menguasai semua ilmu yang diajarkan, terutama ilmu memanah. Ketika Pandava diusir ke hutan selama 14 tahun, Duryodhana meminta Karna untuk menguasai Brahmastra, salah satu senjata terkuat yang ada. Hanya beberapa orang yang mengetahui hal ini termasuk Drona, Arjuna, Bhisma dan Ashwathama (anak Drona). Ia pertama-tama mendekati Drona, guru Pandava dan Kaurava, tetapi Drona menolak untuk mengajarinya karena kastanya yang rendah. Ia kemudian meminta Parashurama, guru besar yang lain, untuk mengajarinya seni berperang terutama untuk mnguasai Bhramashtra. Parashurama tidak akan mengajari seorang khsatriya karena rasa bencinya pada kaum khsatriya yang telah membunuh orang tuanya. Maka untuk mendapatkan ilmu, Karna berbohong tentang asal usulnya dan mengaku sebagai seorang Brahmin. Suatu saat, ketika Parashurama sedang tidur dengan kepala di pangkuan Karna, seekor serangga menggigit pahanya. Ini menyebabkan paha Karna berdarah dan ia pun merasakan kesakitan yang amat sangat. Namun Karna bertahan untuk tidak bergerak agar gurunya tidak terbangun. Darah yang menetes dari paha Karna memercik ke muka Parashurama dan membuatnya terbangun. Melihat apa yang terjadi Parashurama mengetahui bahwa Karna bukanlah seorang Brahmin karena hanya seorang khsatriya yang dapat menahan sakit seperti itu. Karna mengaku bahwa ia telah berbohong, dan Parashurama yang marah mengutuk Karna: ia tidak akan bisa mengeluarkan ilmunya pada saat di mana ia paling membutuhkannya. Sebelum Parashurama, seorang brahmin yang lain pernah mengutuk Karna bahwa Karna akan dibunuh ketika ia dalam keadaan tak berdaya, hal ini disebabkan karena Karna telah membunuh sapi kesayangan brahmin tersebut. Suatu saat sebuah turnamen diadakan untuk menentukan perajurit yang terkuat setelah 'lulus' dari pendidikan Drona. Dalam perlombaan itu Arjuna keluar sebagai yang terbaik dan Duryodhana takut padanya. Kemudian Karna muncul dan menantang Arjuna. Dalam pertanding yang berlangsung kemudian, Karna dapat mengimbangi semua keahlian Arjuna. Untuk menentukan pemenang yang sesungguhnya, Karna menantang Arjuna untuk bertempur satu lawan satu di mana kemenangan salah satu pihak ditentukan dengan kematian lawannya. Dengan alasan bahwa Karna berasal dari kasta yang lebih rendah dari Arjuna, Drona menolak usul Karna tersebut. Duryodhana yang memang menyimpan rasa iri dan takut kepada Pandava seketika memberikan tahta kerajaan Anga kepada Karna, sehingga Karna menjadi seorang raja dan dengan demikian pantas untuk menantang Arjuna berduel sampai mati. Tindakan Duryodhana ini menanamkan benih kesetiaan Karna kepadanya. Tetapi akhirnya duel tersebut tetap tidak terwujud. Ketika Pandava mengasingkan diri, Karna membebankan kepada dirinya sendiri tugas untuk menjadikan Duryodhana penguasa dunia. Karna memimpin pasukan ke negara-negara sekitar untuk menaklukkan raja-rajanya di bawah kekuasaan Duryodhana. Karna berhasil menang dalam semua pertempuran yang dilaluinya, walaupun kepatuhan raja-raja tersebut tidak semuanya berlangsung lama (sebagian tetap memihak kepada Pandava dalam perang Bharatayudha).
Tragedi Dalam Hidup Karna Pertemuan dengan Kunti Sebelum perang Bharatayudha Kunti mendekati Karna dan memintanya untuk bergabung dengan Pandava dan menyatakan bahwa Karna adalah pewaris sebenarnya tahta Hastinapura (sebagai sulung
dari Pandava). Karna menolak tawaran ini karena Kunti membuangnya waktu kecil dan juga setelah ia dewasa. Karna berkata bahwa karena Duryodhana selalu setia kepadanya sebagai seorang sahabat, ia akan membela pihak Kaurava. Kunti lalu meminta Karna untuk berjanji untuk tidak membunuh kelima anaknya. Karna berjanji bahwa setelah perang Bharatayudha, lima anak Kunti akan tetap hidup, Kunti lega mendengar janji Karna ini. Yang tersembunyi dari janji ini adalah bahwa sebenarnya Kunti memiliki enam orang anak (termasuk Karna sendiri), maka bila Karna bertemu dengan para Pandava ia akan melepaskan mereka kecuali satu orang: Arjuna. Karena Karna adalah salah satu dari sedikit yang sanggup menghadapi Arjuna dan di antara mereka telah terjadi persaingan yang sengit. Pertemuan dengan Indra Indra, raja para dewa dan ayah Arjuna, menyadari bahwa baju besi dan anting Karna tidak dapat ditembus oleh senjata apa pun, dengan demikian menjadikan Karna tidak terkalahkan. Ia memutuskan untuk menyamar sebagai seorang brahmana miskin tepat sebelum Karna mandi. Khrisna mengetahui keutamaan moral Karna dan bahwa Karna tidak akan menolak permintaan apapun baik dari seorang brahmana maupun seorang pengemis pada saat tersebut (setelah pemujaan terhadap Surya). Surya, dewa matahari dan ayah Karna, mengingatkan Karna dalam mimpi bahwa Indra akan menyamar sebagai seorang brahmana dan meminta baju besi serta antingnya. Karna tidak mengetahui bahwa Surya adalah ayahnya. Seperti yang telah diduga oleh Surya, atas nasihat dari Khrisna, Indra yang menyamar mendekati Karna dan meminta sedekah berupa baju besi (kavacha) dan antingnya (kundala). Karna tahu bahwa dengan memberikan kedua hal tersebut, ia tidak lagi tak terkalahkan. tetapi karena telah menjadi komitment-nya maka ia tetap memberikan kedua benda tersebut. Indra kagum akan kebaikan hati Karna, menawarkan Karna untuk memakai senjatanya (Shakti) tetapi hanya untuk satu kali saja. Percakapan dengan Khrisna Khrisna pernah berusaha membujuk Karna untuk membela Pandava. Percakapan ini, yang terjadi ketika Khrisna meninggalkan Hastinapura setelah misi perdamaian yang gagal (lakon Kresna Duta dalam wayang purwa), berpusat kepada kebenaran moral yang mendasari alasan Pandava berperang. Walaupun Khrisna menyadari kebaikan Duryodhana kepada Karna, ia berargumen bahwa Karna memiliki kewajiban yang lebih tinggi: mengikutinya dalam jalan kebenaran. Ketika Karna mengatakan bahwa beralih pihak kepada Pandava adalah tindakan yang tidak terhormat, Khrisna mengingatkan Karna akan kisah Ramayana: Vibheesena, saudara Ravana memilih untuk berpihak kepada Rama setelah tidak berhasil membujuk kakaknya itu untuk merubah tindakan jahatnya. Di sinilah rasa setia kawan Karna ditunjukkan. Karna memberitahu Khrisna ia mengetahui bahwa Duryodhana tidak mengikuti kebenaran, dengan mendukungnya berarti ia juga tidak mengikuti kebenaran, dan pada akhirnya ia akan menghadapi kekalahan dan kematian karenanya. Tapi ia tetap memutuskan untuk membela Duryodhana. Ia berkata kepada Khrisna "Sepanjang hidupku orang menganggapku anak seorang tukang kuda dahulu, baru kemudian sebagai seorang prajurit dan raja. Duryodhana adalah satu-satunya orang yang tidak hanya memandangku sebagai seorang prajurit dan raja, tetapi juga sebagai seorang yang setara dengan dirinya. Tidak pernah ia memandangku sebagai seorang anak tukang kuda. Ketika temanku ini membutuhkan dukungan, masihkah engkau mengharapkanku untuk meninggalkannya?".
Keutamaan dan Ketercelaan Karna dalam perang Bharatayudha Pada saat perang, Karna bertemu dengan masing-masing Pandava (kecuali Arjuna), mengalahkan mereka, dan bahkan mampu untuk membunuh mereka. Tetapi Karna menepati janjinya kepada Kunti untuk tidak membunuh mereka.
Pada perang hari ketigabelas, Drona mengatur formasi pasukan yang disebut Chakravyuha. Hanya Khrisna dan Arjuna di pihak Pandava yang mengetahui cara membuyarkan formasi ini; tetapi Khrisna dan Arjuna dengan sengaja dialihkan perhatiannya oleh pihak Kaurava ke bagian lain dari pertempuran. Abhimanyu, anak Arjuna, memiliki sebagian pengetahuan tentang formasi ini. Ia mendengarnya ketika masih dalam kandungan saat Khrisna menjelaskan tentang formasi ini kepada ibunya (ibu Abhimanyu adalah Subhadra, adik Khrisna). Tetapi saat itu Khrisna tidak menjelaskan samapi selesai. Sehingga Abhimanyu mengetahui cara memasuki formasi tersebut, tetapi tidak mengetahui cara keluar darinya. Pada hari itu tidak seorang pun sanggup mengalahkan Abhimanyu yang telah berada di dalam formasi Chakravyuha. Sendirian ia menandingi jendral-jendral pihak Kaurava termasuk Karna, Drona, dan Duryodhana. Atas perintah Drona, Duryodhana dan Karna mengeroyok Abhimanyu (Karna memanah busur Abhimanyu dan melumpuhkan keretanya, kemudian para Kaurava membunuh Abhimanyu. Jadi bukan Karna sendiri yang membunuh Abhimanyu). Pada perang hari keempatbelas, perang berlangsung sampai malam. Ghatotkacha, putra Bhima yang setengah raksasa, makin memporak porandakan barisan Kaurava (golongan Asura, termasuk raksasa, makin kuat di malam hari). Karna terpaksa memakai senjata Shakti yang dipinjamnya dari Indra untuk membunuh Ghatotkacha. Karena Indra hanya memperbolehkan Karna memakai senjata Shakti sekali saja, maka Karna kini tanpa senjata pamungkas dan baju besi serta antingnya yang tak tertembus senjata. Karna hanya bisa mengandalkan kesaktiannya sendiri dalam melawan Arjuna nanti. Pada perang hari kelimabelas, Drona terbunuh dan Karna menjadi senapati pasukan Kaurava. Pada hari ketujuhbelas, Karna akhirnya bertemu dengan Arjuna dalam pertempuran yang seru dan setanding. Karena telah kehilangan senjata pamungkas dan baju besinya, Karna hanya mengandalkan keahlian dan kesaktiannya sendiri. Dalam suatu kesempatan, Karna melakukan trik cerdik dengan keahliannya. Ia membuat Arjuna lumpuh sejenak dengan memanah dada Arjuna. Ketika Arjuna belum pulih dari pukulan pertama tadi, Karna melepaskan panah ke arah kepala Arjuna untuk membunuhnya. Khrisna menyelamatkan Arjuna dengan menekan kereta mereka sampai amblas ke tanah beberapa senti, sehingga panah Karna meleset dari kepala Arjuna. Banyak orang menganggap kejadian ini sebagai bukti superioritas Karna dari adiknya itu, paling tidak dari sisi keahlian dan kesaktian. Saat pertempuran berlangsung, salah satu roda kereta Karna selip di tanah berlumpur. Ini diakibatkan oleh kutukan Brahmana yang telah disebutkan di atas. Shalya yang menjadi kusir kereta Karna tidak bisa membantu karena telah dilumpuhkan oleh Arjuna. Karna meminta Arjuna untuk menghentikan pertempuran untuk menunggunya mengeluarkan roda kereta dari tanah berlumpur tadi. Arjuna setuju. Tetapi Khrisna menyuruh Arjuna melanggar kode keprajuritan dan membunuh Karna yang sedang tidak berdaya. Roda kereta Karna tidak bisa digerakkan dan kutukan Parashurama membuatnya tidak bisa membela diri. Khrisna mengingatkan Arjuna kekejaman Karna ketika ikut mengeroyok Abhimanyu yang sampai mati bertarung tanpa kereta dan senjata. Dengan penuh kemarahan dan kesedihan Arjuna melepaskan panah Anjalika ke arah Karna. Karna jatuh ke tanah dengan luka yang mematikan. Tetapi ujian untuknya belumlah berakhir. Khrisna menyamar sebagai seorang pertapa dan meminta sedekah kepadanya. Karna yang terluka parah tidak memiliki apa pun untuk diberikan, kemudian ia ingat masih memiliki satu gigi emas. Dengan penuh kesakitan Karna melepaskan gigi emasnya, membersihkannya kemudian memberikannya kepada Khrisna. Dengan demikian Karna menjadi satu-satunya manusia yang telah memberikan sedekah kepada Vishnu sendiri. Terharu dengan kemurahan hati Karna, Khrisna memberikan kesempatan kepada Karna untuk mengajukan satu permintaan kepadanya. Karna meminta agar jenasahnya diperabukan di tempat yang
paling suci di dunia. Sebagai Vishnu, Khrisna kemudian memperabukan jenasah Karna ditelapak tangannya. Setelah kematian Karna, Kunti memberitahu Pandava bahwa Karna adalah putranya dan saudara tertua mereka. Para Pandava kemudian berkabung untuk Karna. Yudhistira, terutama, begitu terpukul mengetahui ibunya merahasiakan kenyataan bahwa Karna adalah saudara tertua mereka yang seharusnya mereka hormati dan patuhi. Ia kemudian mengeluarkan sabda agar sejak saat itu semua perempuan tidak lagi bisa menyimpan rahasia apapun untuk diri mereka sendiri. Pada hari kedelapanbelas, Kaurava tertumpas. Perang Bharatayudha berakhir, dan Yudhistira menjadi raja Hastinapura. Perbedaan dengan Arjuna banyak persamaan antara Arjuna dan Karna. Keduanya adalah ahli memanah, dan saling bersaing untuk mendapatkan Draupadi. Keduanya juga mempunyai ikatan yang erat dengan kaurava, baik karena pertalian darah maupun karena persahabatan. Percakapan Karna dengan Khrisna sangat mirip dengan Bhagavad Gita yang terkenal itu, dalam mana Khrisna menjelaskan kepada Arjuna tentang kewajibannya sebagai seorang Khsatriya. Perbedaan mereka terletak pada keputusan yang diambil oleh masingmasing: Arjuna mengutamakan tugasnya sebagai seorang Khsatriya yang harus membela kebenaran apapun yang terjadi dan Karna mengutamakan persahabatanya dengan Duryodhana. Beberapa Pendapat yang mendukung Superioritas Karna atas Arjuna Banyak pendapat bahwa alasan Bhisma untuk tidak memperbolehkan Karna bertempur bersamanya ketika ia menjadi senapati adalah rasa cintanya kepada Pandava. Jika Bhisma dan Karna muncul bersamaan di medan perang, Pandava tidak akan mampu memenangkan Bharatayudha. Saat itu Bhisma berdalih bahwa karena Karna berasal dari kasta yang lebih rendah. Dalam suatu kejadian saat pertempuran Karna dan Arjuna, kereta Arjuna terpental ke belakang beberapa meter oleh panah Karna. Khrisna memuji kehebatan Karna karena hal ini. Arjuna, yang panahnya mementalkan kereta Karna berpuluh-puluh meter, heran atas pujian Khrisna ini dan meminta penjelasan kepadanya. Khrisna menjawab, "Arjuna, aku sendiri yang memiliki berat seluruh alam semesta duduk di kereta ini dan kereta ini juga dilindungi oleh Hanuman (kereta Arjuna memakai bendera Hanuman). Bila hanya engkau sendiri yang ada di kereta ini, kereta ini akan terlempar mengelilingi bumi."
-----------------------(versi wikipedia)
Adipati Karna (Sansekerta: karṇa) (juga dikenal dengan Karnan), adalah salah satu tokoh dari wiracarita Mahabharata yang terkenal dan sangat menarik. Ia sebenarnya adalah masih saudara satu ibu dengan para Pandawa; Yudistira, Werkodara dan Arjuna (Nakula dan Sadewa bukan saudara langsung Karna, melainkan saudara sepupunya). Kelahiran Karna Ibu dari Karna dan Panca Pandawa yaitu Kunti, pernah mencoba sebuah aji pada masa kecilnya untuk memanggil seorang Dewa. Yang dipanggilnya adalah Dewa Matahari dan beliau membuatnya hamil. Putranya akan keluar dari telinga untuk menjaga keperawanan Kunti, maka dinamakannya Karna. Namanama Karna lainnya berhubungan dengan statusnya sebagai putra Dewa Matahari, yaitu Arkasuta, Suryatmaja dan lain sebagainya.
Oleh ibunya, Karna dihanyutkan di sungai sampai ia ditemukan oleh seorang Prabu Radeya dan diangkat anak, sayangnya kerajaan Prabu Radeya tunduk kepada Hastinapura dan ia dibesarkan oleh seorang sais prabu Dretarastra, yang bernama Nandana atau Adirata. Meskipun Karna masih saudara seibu dengan Yudistira, Werkodara, dan Arjuna, tetapi para Pandawa tidak mengetahuinya sampai ia gugur di perang Bharatayuddha. Sehingga mereka suka menghinanya. Pemanah tangguh Karna sangat mahir menggunakan senjata panah. Kesaktiannya setara dengan Arjuna. Mempunyai senjata andalan bernama Kunta. Suatu ketika, ketika terjadi uji tanding antara Korawa dengan Pandawa sebagi murid-murid Dorna, Karna berhasil menandingi kesaktian Arjuna. Namun karena Karna bukan raja atau anak raja maka beliau diusir dari arena. Karena mengetahui kesaktiannya, maka Duryodana, ketua para Korawa mengangkatnya menjadi raja Awangga. Sejak itu Karna bersumpah setia kepada Duryodana. Senjata andalannya, panah kunta adalah pemberian batara Narada karena beliau mengira bahwa Karna adalah Arjuna karena kemiripannya. Panah tersebut adalah senjata yang paling ampuh, bahkan melebihi cakra prabu kresna dan pasopati Arjuna, namun untungnya hanya sekali pakai. Sarung dari panah tersebut yang masih disimpan Batara Narada kemudian dititpkan ke Bima untuk diberikan ke Arjuna adalah saat para pandawa mengetahui bahwa Batara Narada salah alamat. Sarung dari Kunta tersebut kemudian dipakai untuk memutus tali pusar bayi Tetuka/ Gatotkaca. Kesaktian yang didapat Karna dalam versi lain Karna dilahirkan memakai anting-anting dan baju kebal pemberian ayahnya (Batara Surya). Kunti, ibunya, mengenal dirinya saat adu ketrampilan murid-murid Dorna karena melihat anting-anting tersebut. Selama memakai kedua benda ini Karna tidak akan mati oleh senjata apapun. Hal ini diketahui oleh Batara Indra yang sangat menyayangi Arjuna. Oleh karena itu beliau meminta benda tersebut dengan menyamar sebagai seorang pengemis. Batara Surya mendahuluinya dengan menemui Karna terlebih dulu dan memperingatkan Karna. Tapi Karna menganggap mati dalam perang tanding lebih terhormat daripada panjang umur. Batara Surya kemudian menyarankan Karna untuk meminta senjata ampuh sebagai kompensasi atas kedua benda tersebut. Hal ini disanggupi Karna. Ketika pengemis itu datang, Karna langsung mengenalinya dan memberi hormat dan pengemis itu berubah kembali menjadi Batara Indra. Sebagai kompensasi, Batara Indra memberi senjata Kunta kepada Karna. Peran Karna dalam Bharatayuddha Kresna mengetahui bahwa Karna adalah pandawa sulung, namun lain ayah. Dan semua tahu bahwa Karna lah pemilik Kunta. Kresna sempat ingin membuat Karna memihak pandawa pada Bharatayuda mendatang dan ia mengatur sebuah pertemuan rahasia antara Karna dan ibunya Kunti. Karna pun memelas setelah ia melihat ibunya menangis namun ia menganjurkan ibunya untuk tetap tegar karena ia melakukan kewajiban bela negara ia juga memberi tahu ibunya bahwa selain dia berkorban demi negara ia juga akan menyelamatkan para Pandawa lima karena ia tidak akan menggunakan panah Kunta untuk membunuh Arjuna dan saat ia berperang dengan Arjuna dia memastikan bahwa Arjuna tidak tahu bahwa Karna adalah kakaknya sendiri sehingga tidak segan membunuhnya. Pada perang Bharatayuddha, ia membunuh Gatotkaca dan hampir membunuh Arjuna. Tetapi Arjuna menang bertanding dan Karna pun gugur. Baru setelah Karna gugur, para Pandawa mengetahui asal usulnya dan mereka sangat terpukul oleh hal ini.
Syahdan sang prabu dari Gajahoya, Sri Maharaja Driyodhana, sedang merundingkan sesuatu dengan Sri Dang Hyang Drona. Nampaknya sangat penting hal yang mereka bicarakan, sebab para pujangga, resi, pendeta Syiwa, pendeta Buddha, menteri, pejabat tinggi negara, kepala daerah dan pegawai rumah tingga istana tak ada yang diikutsertakan dalam pembicaraan itu. Berkata Driyodhana, bahwa ia bermaksud mengakhiri hidup Sang Bima yang sedang berguru pada Drona untuk memperoleh ilmu kamoksan. === Bima Pergi Ke Sumur Dorangga === Lakon Nawaruci Tak lama kemudian datanglah Raden Wrekodara, yang disambut Diryodhana dan Dang Hyang Drona. Bahagia, anakku Raden Wrekodara, sungguh bahagia anaknda datang kepada saya, sebab saya akan memberikan surga kepadamu. Carilah anakku, air suci, Banyu Mahapawitra, agar saya dapat menyampaikan kepadamu kata-kata bertuah tentang pelepasan raga. Adapun tempat Banyu Mahapawitra itu di sumur Dorangga. Berkata Bima, Raden Wrekodara "Selamat tinggal guruku, saya berangkat mencari Banyu Mahaprawitra". Segera ditinggalkannya Gajahoya, berbagai kesulitan bahaya dan kesukaran ditemui di perjalanan. Melintas jurang curam, tebing terjal, cadas-wadas - ia langsung menuju ke sumur Dorangga. Tanpa ragu ia masuk, tidak takut, tidak gentar. Tapi Banyu Mahapawitra tidak ia temukan. Sumur yang kotor dan sunyi itu ternyata dihuni ular sejodoh yang sangat ganas. Kedua ular membelit, menggigit dan menghisap Bima, tapi tak sedikitpun menyebabkan luka pada tubuhnya. Segera ulur sejodh itu ditusuk dengan pancanhaka (panca=5, naka=kuku). Darah ular menyembur, leher naga robek, keduanya mati oleh keperkasaan Sang Bima. Segera di lempar bangkai ular itu keluar semur. Terkejutlah dua pengiring Sang Bima, bernama Si Gagakampuhan dan Si Tuwalen, karena terkena bangkai naga, mereka gemetar dan meremang bulu kuduk mereka. Lalu keluar Sang Bima dari sumur Dorangga dan segera ia sampai ke atas. Kedua bangkai naga diangkut oleh para pengiring Raden Wrekodara dan segera meninggalkan tempat itu. Belum jauh perjalanan, tiba-tiba dari jauh terdengar jeritan memanggil Sang Bima, dan dua orang bagus dan cantik tiba-tiba datang, lalu menangis dan menyembah. Dengan hormat Bima berkata "Saya bertanya kepadamu, pria tampan dan putri cantik, dari mana kalian datang?" Bidadara dan bidadari itu menjawab "Di bawah duli paduka Raden, kami memberi tahukan, bahwa sesungguhnya kami terjadi dari naga sejodoh.
Radenlah yang melukat (menyucikan) kami dari mala petaka. Kami mohon diri untuk kembali ke Suralaya". Lalu melesat bidadara dan bidadari itu ke antariksa. Raden Wrekodara sangat heran, dan ia lanjutkan perjalanannya. Rupanya bidadara dan bidadari itu telah lama menderita duka nestapa menjadi naga. Dwidasya warsa, dasya = sepuluh, dwi = dua, warsa = tahun, dua belas tahun mereka menderita. Sekarang mereka cantik dan bagus seperti sedia kala. Si Syarasambaddha dan si Harsanandi. Sementara itu tertawa dan bersukahatilah Sri Maharaja Driyodhana dan Sri Dang Hyang Drona. Berkata Sri Dang Hyang Drona "Sekarang matilah Si Bima digigit naga. Ini terlihat dalam Puja saya, namanya puja Kuncang kancing, sebab saya awas dalam penglihatan". Sekonyong-konyong datang Sang Wrekodara, menghadap Sri Dang Hyang Drona dan mempersembahkan kedua bangkai naga kepadanya. Terkejutlah mereka melihat wujud naga yang sebesar pohon kelapa, menyeringai gigi taring dan membelalak kedua matanya. Lalu berkata Sang Wrekodara, "Tidak saya temukan Banyu Mahapawitra dalam sumur Dorangga, yang kotor dan sunyi ini. Saya menemukan dua ekor naga, yaitu yang saya persambahkan ini. Kedua naga menggigit dan membelit dan menghisap saya. Kedua naga saya tusuk dengan Pancanhaka sempai mati, ternyata mereka adalah bidadara dan bidadari. Menjawab Sri Dang Hyang Drona, "Kelirulah saya, anakku Sang Wrekodara. Tidak dalam sumur Dorangga air suci itu. Kelihata dalam puja saya, bahwa Banyu Mahapawitra ada di lapangan Andadawa. Segera berangkatlah, jangan membuang-buang waktu, anakku Sang Wrekodara dan waspadalah. Akan kamu temukan, Banyu Mahapawitra itu. *** Disarikan dan diolah kembali dari *** Buku Nawaruci *** di Indonesiakan oleh SP Adhikara, *** Penerbit ITB Bandung, 1984. Analisis / Interpretasi Sumur adalah tempat air dan air adalah lambang kesucian. Tetapi dalam sumur Dorangga terdapat dua ekor naga sejodoh Syarasambaddha dan Harsanandi. Kalau di analisa dari nama-nama Dorangga, Syarasambaddha dan Harsanandi, maka kita dapat memahami apa yang tersirat dari perintah Drona kepada Bima. Menurut kamus jawa kuno Zoetmulder arti kata dora = bohong, palsu, dusta. Sedangkan angga=awak, diri. Syarasambaddha asal kata syara=panah, jenis alang-alang atau rumput (dipakai untuk panah. Sambaddha = (sansekerta hubungan pertalian, hubungan kepada, hubungan pribadi, kekerabatan, persahabatan, kerabat, sanak saudara, teman). Lalu Harsanandi asal kata harsa = kesukacitaan, kesenangan dlsb dan nandi = (nandini?) lembu putih yang dapat memberikan segalam permintaan, biasa juga dikaitkan dengan Batara Wisnu.
Raden Antasena adalah putra Arya Wekudara yang ketiga dengan Dewi Urangayu, putri Sanghyang Baruna, dewi ikan yang berkedudukan di Kisiknarmada. Pertemuan Bima dengan Dewi Urangayu terjadi ketika Resi Druna menguji siswanya di perguruan Sokalima. Saat itu Werkudara diadu dengan duryudana, karena kalah dalam menggunakan gada, Duryudana sakit hati. Ia menyuruh Dursasana agar melenyapkan Werkudara. Dursasana pura-pura mengadakan pesta memeriahkan pendadaran siswa Sokalima tadi. Dalam pesta itu Werkudara memeriahkan pendadaran siswa Sokalima tadi. Dalam pesta itu Werkudara diajak minum tuak. Karena terlalu banyak minum, Aryaa Sena mabuk dan jatuh pingsan. Dalam keadaan pingsan itulah tubuh Sena diikat lalu diceburkan ke dalam sungai Jamuna. Tubuh Bima hanyut hingga ke Kisik narmada (pertemuan sungai Jamuna dan sungai Gangga). ia ditolong oleh Batara Baruna dan disembuhkan dengan air Rasakunda. Akhirnya Arya Bima dijodohkan dengan putrinya Dewi Urangayu adik Urang Rayung yang menjadi istri Anoman dan berputera Trigangga. Perkawinan Bima dengan Dewi Urangayu inilah akhirnya Arya Sena berputera Raden Antasena, berkedudukan di Kisik Narmada ikut kakeknya. Bersamaan lahirnya Antasena, kahyangan Suralaya sedang digempur angkatan dari Girikadasar di bawah kekuasaan raja Kalalodra. namun raja raksasa berwajah ikan itu dapat dibinasakan oleh Antasena yang saat itu masih bocah. Dengan keberhasilan menumpas musuh dewa tersebut, Resi Mintuna (kakek Antasena) diangkat menjadi dewa menguasai ikan dengan gelar Batara Baruna. Ketika Resi Bisma menyelenggarakan perlombaan membuat sungai menuju bengawan Gangga, Kurawa dan Pandawa saling berlomba. Werkudara dibantu pasukan dari Kisik Narmada yang dipimpin oleh Antasena berhasil membuat sungai yang kemudian oleh Bisma diberi nama Sungai Serayu. Kurawa hanya mampu membuat sungai yang tembus ke kali Serayu, maka sungai itu dinamakan Kelawing atau terbalik. Nama Kelawing dalam pedalangan disebut Kali Cingcinggoling. Ketika usai perlombaan, Kurawa yang sakit hati kembali berusaha ingin membinasakn Pandawa. Ia bersekutu dengan raja Girisamodra Prabu Gangga Trimuka. Atas bujuk Sengkuni, Gangga Trimuka akan menguasai Tribuwana jika dapat membunuh padanwa sebagai tumbalnya. Prabu Gangga Trimuka kemudian menangkap Pandawa dan dipenjara ke dalam gedung kaca bernama Kongedah, sehingga Pandawa mati lemas di dalam penjara gedung kaca tadi. Mengetahui Pnadawa dipenjara, Antasena melabrak raja Girisamodra. Prabu Gangga Trimuka dibinasakan dengan belai upas (sungut upas Jw.) dan Pandawa dikeluarkan dari Kongedah. Melihat kondisi Pandawa mati lemas, Antasena segera menghidupkan kembali dengan air kehidupan Madusena. Atas kemufakatan Pandawa, negara Girisamodra kemudian diserahkan kepada Antasena.
Tidak berbeda dengan Antareja, kakaknya. Antasena juga memiliki sisik pada kulitnya yang berfungsi untuk menangkal senjata tajam. Keduanya juga dapat membenamkan diri ke dalam tanah dan tak akan mati jika tubuhnya masih menyinggung air ataupun tanah. Dalam pedalangan, Antasena kawin dengan Dewi Manuwati, putri Arjuna dan Dewi manuhara. Akhir riwayat Antasena diceritakan sebagai berikut: Pada waktu perang bharatayudha hampir terjadi, Antasena menghadap Sanghyang Wenang di kahyangan Alang-alang Kumitir. ia menanyakan tentang dirinya, bagaimana sikapnya menghadapi perang bharatayudha. Sanghyang Wenang menjelaskan bahwa Antasena tidak terdaftar di dalam kitab Jitapsara, bahakan oleh Sanghyang Wenang, ia dilarang terjun ke medan tempur. Apabila Antasena terjun, Pandawa justru akan mengalami kekalahan. Antasena dianjurkan menjadi tawur keluarga demi kejayaan Pandawa, akhirnya putra Bima itupun menurut. Sanghyang Wenang lalu memandang tubuh Antasena, yang semakin lama semakin kecil lalu hilang muksa ke alam nirwana. Bentuk/Wandanya : Bujang. xxx (versi wikipedia) Antasena adalah putra Bima dan Dewi Urang Ayu. Tokoh ini paling sakti di antara tiga putra Bima. Jika Gatotkaca mampu terbang di udara dan Antareja mampu ambles bumi (hidup di bawah tanah), Antasena mampu terbang di udara, ambles bumi, dan menyelam. Sama seperti ayahnya, Antasena tidak bisa berbahasa santun (ngoko). Kendati demikian, Antasena berhati baik dan paling bijak di antara putra-putra Pandawa. Ia memiliki tubuh bersisik bagaikan udang dan tidak mempan ditusuk senjata. Antasena beristrikan Dewi Jenakawati, putri Arjuna. Ia tidak ikut berperang di Bharatayudha. Bersama Wisanggeni, mereka menjadi tumbal agar Pandawa menang melawan Korawa. Syahdan, hal ini merupakan taktik yang diambil Kresna karena Antasena tidak terkalahkan. Hal ini akan membuat pertempuran tidak berimbang. Ada juga versi yang menyebutkan, Kresna takut karena dalam rencana dewa, Antasena akan bertanding dengan kakaknya, Baladewa. Anantasena berwatak jujur, terus terang, bersahaja, berani kerena membela kebenaran, tidak pernah berdusta. Setelah dewasa, Anantasena menjadi raja di negara Dasarsamodra, bekas negaranya Prabu Ganggatrimuka yang mati terbunuh dalam peperangan. Anatasena meninggal sebelum perang Bharatayudha. Ia mati moksa (lenyap dengan seluruh raganya) atas kehendak/kekuasaan Sang Hyang Wenang
Bambang Ekalaya versi mahabharata Ekalaya adalah seorang pangeran dari kaum Nisada. Kaum ini adalah kaum yang paling rendah yaitu kaum pemburu, namun memiliki kemampuan yang setara dengan Arjuna dalam ilmu memanah. Bertekad ingin menjadi pemanah terbaik di dunia, lalu ia pergi ke Hastina ingin berguru kepada bhagawan Drona. Tetapi ditolaknya. Penolakan Sang Guru Keinginannya yang kuat untuk menimba ilmu panah lebih jauh, menuntun dirinya untuk datang ke Hastina dan berguru langsung pada Drona. Namun niatnya ditolak, dikarenakan kemampuannya yang bisa menandingi Arjuna, dan keinginan dan janji Drona untuk menjadikan Arjuna sebagai satu-satunya ksatria pemanah paling unggul di jagat raya, yang mendapat pengajaran langsung dari sang guru. Ini
menggambarkan sisi negatif dari Drona, serta menunjukkan sikap pilih kasih Drona kepada muridmuridnya, dimana Drona sangat menyayangi Arjuna melebihi murid-murid yang lainnya. Belajar dibawah bayangan patung Sang Guru Penolakan sang guru tidak menghalangi niatnya untuk memperdalam ilmu keprajuritan, ia kemudian kembali masuk kehutan dan mulai belajar sendiri dan membuat patung Drona serta memujanya dan menghormati sebagai seorang murid yang sedang menimba ilmu pada sang guru. Berkat kegigihannya dalam berlatih, Ekalaya menjadi seorang prajurit yang gagah dengan kecapakan yang luar biasa dalam ilmu memanah, yang sejajar bahkan lebih pandai daripada Arjuna, murid kesayangan Drona. Suatu hari, ditengah hutan saat ia sedang berlatih sendiri, ia mendengar suara anjing menggonggong, tanpa melihat Ekalaya melepaskan anak panah yang tepat mengenai mulut anjing tersebut. Saat anjing tersebut ditemukan oleh para Pandawa, mereka bertanya-tanya siapa orang yang mampu melakukan ini semua selain Arjuna. Kemudian mereka melihat Ekalwya, yang memperkenalkan dirinya sebagai murid dari Guru Drona. Pengorbanan seorang murid Mendengar pengakuan Ekalaya, timbul kegundahan dalam hati Arjuna, bahwa ia tidak lagi menjadi seorang prajurit terbaik, ksatria utama. Perasaan gundah Arjuna bisa dibaca oleh Drona, yang juga mengingat akan janjinya pada Arjuna bahwa hanya Arjuna-lah murid yang terbaik diantara semua muridnya. Kemudian Drona bersama Arjuna mengunjungi Ekalaya. Ekalaya dengan sigap menyembah pada sang guru. Namun ia malahan mendapat amarah atas sikap Ekalaya yang tidak bermoral, mengaku sebagai murid Drona meskipun dahulu sudah pernah ditolak untuk diangkat murid. Dalam kesempatan itu pula Drona meminta Ekalwya untuk melakukan Dakshina, permintaan guru kepada muridnya sebagai tanda terima kasih seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan. Drona meminta supaya ia memotong ibu jarinya, yang tanpa ragu dilakukan oleh Ekalaya serta menyerahkan ibu jari kanannya kepada Drona, meskipun dia tahu akan akibat dari pengorbanannya tersebut, ia akan kehilangan kemampuan dalam ilmu memanah. Ekalaya menghormati sang guru dan menunjukkan "Guru-bhakti". Namun tidak setimpal dengan apa yang didapatkannya yang akhirnya kehilangan kemampuan yang dipelajari dari "Sang Guru". Drona lebih mementingkan dirinya dan rasa ego untuk menjadikan Arjuna sebagai prajurit utama dan tetap yang terbaik. Kematian sang prajurit Kematian Ekalaya termuat dalam Srimad Bhagavatha. Ekalaya bertempur untuk Raja Jarasandha dalam peperangan melawan Sri Krishna dan Balarama, dan terbunuh dalam pertempuran oleh pasukan Yadawa. xxx
Bambang Ekalaya versi pewayangan Jawa Ekalaya atau Ekalaya atau Ekalya dalam kisah Mahabharata, dalam cerita pedalangan dikenal pula dengan nama Palgunadi, adalah raja negara Paranggelung. Ekalaya mempunyai isteri yang sangat cantik dan sangat setia bernama Dewi Anggraini, putri hapsari/bidadari Warsiki. Ekalaya seorang raja kesatria, yang selalu mendalami olah keprajuritan dan menekuni ilmu perang. Ia sangat sakti dan sangat mahir mampergunakan senjata panah. Ia juga mempunyai cincin pusaka bernama Mustika Ampal yang menyatu dengan ibu jari tangan kanannya. Ekalaya berwatak; jujur, setia, tekun dan tabah, sangat mencintai istrinya. Ekalaya adalah seseorang yang gigih dalam menuntut ilmu. Suatu ketika Prabu Ekalaya mendapatkan bisikan ghaib untuk mempelajari ilmu atau ajian Danurwenda yang kebetulan hanya dimiliki oleh Resi Drona. Sedangkan Sang Resi sudah berjanji tidak akan mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain melainkan kepada para Pandawa dan Kurawa saja. Dengan kegigihannya Prabu Ekalaya belajar sendiri dengan cara membuat patung Sang Resi dan belajar dengan sungguh-sungguh sehingga berhasil menguasai ajian tersebut. Istri Prabu Ekalaya sangat cantik jelita sehingga membuat Arjuna berhasrat padanya, Dewi Anggraini mengadukan hal tersebut kepada suaminya sehingga terjadi perselisihan dengan Arjuna. Prabu Ekalaya mempertahankan haknya sehingga bertarung dengan Arjuna yang menyebabkan Arjuna sempat mati yang kemudian dihidupkan kembali oleh Prabu Batara Sri Kresna Dalam perselisihannya dengan Arjuna, Ekalaya ditipu untuk merelakan ibu jari tangan kanannya dipotong oleh 'patung' Resi Drona, yang mengakibatkan kematiaannya karena cincin Mustika Ampal lepas dari tubuhnya. Menjelang kematiaanya, Ekalaya berjanji akan membalas kematiannya pada Resi Drona. Dalam perang Bharatayuda kutuk dendam Ekalaya menjadi kenyataan. Arwahnya menyatu dalam tubuh Arya Drestadyumena satria Pancala, yang memenggal putus kepala Resi Drona hingga menemui ajalnya. xxx Bambang Ekalaya / Palgunadi versi R.A Kosasih
Akisah seorang ksatria bernama Bambang Ekalaya mencari ilmu memanah yang bernama Danuweda. Hanya satu orang yang memiliki ajian ini yaitu Resi Dorna dari Hastinapura. Tetapi Resi Dorna telah berjanji bahwa dia tidak akan mengajar kepada orang lain kecuali putra2 Hastina. Ketika Bambang Ekalaya datang memohon berguru kepada Resi Dorna, diapun ditolak. Kecewa karena ditolak, Bambang Ekalaya tidak menyerah dan membuat patung Resi Dorna dan berguru panah kepada patung itu. Dengan tekunnya Bambang Ekalaya berguru sehingga akhirnya diapun menguasai aji Danuweda. Suatu ketika, Para Kurawa dan Pandawa sedang berburu dan mereka melihat sebuah celeng yang mati dengan mulut penuh panah. Tapi panah2 itu tidak dilepaskan satu per satu melainkan sekaligus, yang merupakan ciri khas dari aji Danuweda. Pandawa dan Kurawa menjadi bingung dan mencari ksatria yang memanah celeng tersebut. Setelah dicari mereka bertemu dengan Bambang Ekalaya dan oleh Arjuna ditanyakan kepada siapa berguru di memanah, Bambang Ekalaya menjawab Resi Dorna. Terkejut oleh jawaban Bambang Ekalaya, Arjuna membawa celeng itu kehadapan gurunya resi Dorna untuk meminta penjelasan mengapa sang resi telah mengajarkan ilmu itu kepada orang lain yang bukan putra Hastina (kalau tidak salah hanya 2 orang di Hastinapura yang mampu menguasai ajian ini, Arjuna dan Karna). Resi Dornapun terkejut hatinya ketika melihat bahwa ada orang lain yang memilik aji Danuweda tanpa sepengetahuannya, sang resi meminta Pandawa dan Kurawa untuk menunjukkan tempat ksatria tersebut. Bambang Ekalaya sangat gembira ketika melihat gurunya datang. Resi Dornapun terkejut dan bertanya mengapa Bambang Ekalaya bisa menguasai aji Danuweda tanpa diajari apapun olehnya. Bambang Ekalaya pun menunjukkan patung Resi Dorna yang dibuatnya dan menjelaskan bahwa dia berlatih memanah setiap saat dibawah pengawasan patung tersebut. Resi Dorna menjadi marah ketika mengetahui hal tersebut dan tetap tidak mau mengakui Bambang Ekalaya sebagai muridnya. Bambang Ekalaya menjawab bahwa dia tidak pantas berguru langsung dari Resi Dorna dan patungnya saja sudah lebih dari cukup untuk berguru. Karena kesal, terbesit sebuah rencana di hati Resi Dorna untuk mencegah Bambang Ekalaya. Resi Dorna akan mengakui Bambang Ekalaya sebagai muridnya jika dia mempersembahkan kedua jempolnya. Bambang Ekalaya sangat gembira mendegar hal ini dan memotong kedua jempolnya tanpa pikir2. Setelah dipotong kedua jempolnya dipersembahkan kepada Resi Dorna. Resi Dorna berkata bahwa Bambang Ekalaya tidak akan bisa lagi memegang panah karena kedua jempolnya telah tidak ada. Bambang Ekalaya menjawab bahwa dia rela demi menjadi murid Resi Dorna. Resi Dorna pun menyuruh Bambang Ekalaya pulang karena dia tidak akan mengajarkan apapun kepadanya. Mematuhi perintah gurunya, Bambang Ekalaya pun kembali ke tempat asalnya. Ketika para pendawa telah menetap di Indrapasta, Bambang Ekalaya ingin memberi persembahan kepada gurunya Resi Dorna di Hastinapura untuk memberitahukan bahwa Bambang Ekalaya kini telah menikah dan menjadi seorang raja. Bambang Ekalaya kemudian mengirim istrinya dikawal beberapa ponggawa untuk membawa persembahan ini. Dalam perjalanan mereka diserang oleh sekelompok raksasa yang membunuh seluruh ponggawa. Istri Bambang Ekalaya berhasil melarikan diri tapi para raksasa terus mengejar. Ketika melarikan diri, terlihat seorang ksatria sedang bertapa di gua yaitu Arjuna. Istri Bambang Ekalaya lupa tata krama dan segera masuk kedalam gua tempat Arjuna bertapa. Tapa Arjuna jadi terganggu dan terbangun dari tapanya. Ketika melihat sang putri cantik yang dikejar2 oleh raksasa, Arjuna segera mengambil busur dan panahnya dan dalam sekejap menumpas gerombolan raksasa. Setelah selesai menumpas raksasa2, Arjuna menjadi tertarik oleh istri Bambang Ekalaya yang cantik. Arjunapun lupa tata krama karena birahinya telah memuncak walaupun telah dijelaskan siapa sang putri itu sebenarnya. Arjuna mengejar sang putri ke pinggir tebing dimana sang putri memilih melompat, Arjuna menjadi terkejut melihat hal ini dan menyesali tindakannya. Untungnya, ibu sang putri yang merupakan seorang dewi turun dari kahyangan untuk menolong putrinya. Istri Bambang Ekalayapun dibawa kembali ke hadapan Bambang Ekalaya oleh sang ibu, ketika ditanya apa yang terjadi dijelaskan bahwa Arjuna telah lupa tata krama dan berusaha mendekati istrinya. Bambang Ekalaya menjadi marah dan bertekad untuk membunuh Arjuna.
Ketika sampai di Indrapasta, Bambang Ekalaya segera menantang Arjuna untuk bertarung. Saat itu, Sri Kresna sedang bertamu di Indrapasta dan mendegar tantangan tersebut dirinya segera sadar bahwa Arjuna akan perlaya jika bertarung melawan Bambang Ekalaya. Sebagai raja yang adil dan bijaksana, Yudistira menolak untuk melibatkan kerajaan Indrapasta kedalam masalah ini sehingga dia menyuruh Arjuna untuk mengatasi masalah ini sendiri dan tidak menyeret2 nama Indrapasta dan juga para Pendawa. Arjuna juga sadar atas kesalahannya dan menerima tantangan Bambang Ekalaya. Ketika bitotama, ternyata Bambang Ekalaya masih cekatan walaupun dia tidak memiliki kedua jempolnya. Berkali2 Bambang Ekalaya terjatuh mati terkena serangan Arjuna tapi dia tidak bisa mati karena Bambang Ekalaya memilik cincin pusaka Ampal di jarinya yang melindungi dari segala marabahaya dan memberi kesaktian ajian Ampal yang akan membunuh musuhnya jika ditamparkan ke arah musuhnya dari jauh. Ketika Bambang Ekalaya menggunakan ajian Ampal, Arjuna pun segera terjatuh dari kudanya tak bernyawa. Sri Kresna segera memunculkan diri untuk mengambil jenasah Arjuna dan membawanya kembali. Setelah dibawa kembali, Sri Kresna mengeluarkan Aji Wijayakusumah untuk menghidupkan Arjuna kembali. Arjuna yang dihidupkan kembali menyesal karena dia telah rela mati daripada mencoreng nama Pendawa dari sikap ksatria. Tetapi oleh Sri Kresna dijelaskan bahwa tenaga Arjuna masih diperlukan oleh Pendawa di masa depan ketika terjadi perang besar antara kebaikan melawan kejatahan. Arjuna kemudian kembali berkata bahwa dia tidak rela hidup selama Bambang Ekalaya masih hidup. Oleh Sri Kresna kemudian dijelaskan cerita tentang kesaktian cincin Ampal yang dimiliki Bambang Ekalaya. Kemudian oleh Sri Kresna dijelaskan rencana untuk mengalahkan Bambang Ekalaya kepada Arjuna. Di malam hari, Sri Kresna dan Arjuna menggunakan aji Halimunan untuk menyelinap ke perkemahan Bambang Ekalaya, para ponggawa tertidur nyenyak terkena Aji Sirep Sri Kresna. Bambang Ekalaya masih belum tidur karena sedang bersemedi di hadapan patung Dorna yang selalu dibawanya kemana saja. Sri Kresna kemudian menyamar menjadi Dorna melalui patung tersebut dan berkata bahwa Bambang Ekalaya telah bersalah karena telah membunuh murid kesayangannya Arjuna. Sri Kresna patung Dorna kemudian meminta cincin wasiat yang telah membunuh Arjuna untuk diletakkan di pangkuannya. Bambang Ekalaya yang gembira karena mendegar suara gurunya segera mematuhi perintah Dorna dan meletakkan cincin pusaka itu dipangkuannya. Setelah dilepas, Arjuna mengambil keris Bambang Ekalaya yang kemudian ditusukkan kepada empunya sendiri sehingga terlihat bahwa Bambang Ekalaya telah bunuh diri. Sri Kresna dan Arjuna pun meninggalkan perkemahan Bambang Ekalaya.Dari situ arwah Bambang Ekalaya menuntut balas kepada Resi Dorna yang dikira telah membunuhnya. Arwahnya kemudian menitis kepada Drestajumena yang di Bharatayuda memenggal Resi Dorna.
Leluhur Pendawa - Bisma Dewabrata Bisma tumbuh menjadi seorang ksatria yang gagah perkasa dan berbudi luhur. Prabu Santanu sering mempercayakan kerjaan Hastina kepada Bisma, sementara dirinya pergi berburu. Ini disebabkan oleh janji sang prabu kepada dirinya sendiri untuk tidak menikah lagi karena teringat akan cintanya kepada Dewi Gangga, untuk menghilangkan rasa rindunya kepada Dewi Gangga sang prabu sering pergi berburu. Saat sedang pergi berburu di dekat kali Yamuna, sang prabu mencium bau harum disekitarnya. Sang prabu menjadi bingung karena didekat situ adalah desa nelayan yang berbau amis. Ketika ditelusuri, sang prabu melihat seorang wanita cantik yang mengeluarkan bau harum dari badannya. Terkesima, sang prabu mendekati wanita itu dan menanyakan namanya ... sang putri menjawab bahwa dia beranama Setyawati anak seorang nelayan. Sang prabu kemudian bertanya kenapa badannya bisa berbadan harum dan oleh Setyawati dijelaskan bahwa badannya dulu berbau amis tapi menjadi harum setelah ditolong oleh begawan Parasurama. Setyawati bercinta dengan sang begawan dan badannya menjadi harum setelah melahirkan seorang anak laki yang berbadan amis bernama Abiyasa yang kini sedang bersama ayahnya menimba ilmu. Sang prabu menjadi semakin tertarik pada Setyawati dan bertanya apakah Setyawati bersedia menjadi istrinya. Setyawati sebenarnya juga sudah tertarik pada Santanu, namun Setyawati telah berjanji hanya akan menikah dengan orang yang bisa memberikan keturunannya sebagai seorang raja. Setelah dijelaskan, sang Prabu menjadi bingung. Sang prabu memang seorang raja tapi tahta kerajaan Hastina selayaknya menjadi milik Bisma sebagai putra mahkota dan sang prabu tidak mau mengambil hak tersebut dari Bisma karena Bisma merupakan orang yang adil dan bijaksana, calon raja yang ideal. Selain itu, walaupun Bisma bersedia menolak tahta, keturunannya pasti akan menuntut hak atas tahta kerajaan Hastina dan akan pecah perang saudara. Dalam keadaan linglung dan berat hat, sang prabu terpaksa meninggalkan Setyawati menuju istana. Sang prabu terus menerus memikirkan Setyawati sehingga sering termenung, lupa makan dan akhirnya jatuh sakit karena badannya yang lemah. Bisma sebagai anak yang berbakti menjadi khawatir dan memanggil dokter dan tabib untuk menyembuhkan Prabu Santanu namun tak ada yang mampu. Salah seorang tabib berkata bahwa penyebab lemahnya sang prabu disebabkan oleh pikiran bukan oleh penyakit. Bisma kemudian mendekati ayahnya untuk bertanya apa yang menyusahkan ayahandanya. Oleh sang prabu kemudian dijelaskan segalanya, mengenai perjumpaan dengan Setyawati, persyaratan Setyawati mengenai tahta hastina. Mendegar penuturan ayahnya, Bisma berjanji bahwa dia rela menyerahkan tahta Hastina demi kebahagaiaan ayahnya. Namung sang prabu menjelaskan bahwa keturunannya masih berhak atas tahta itu dan akan menututnya dikemudian hari. Bisma kemudian bersumpah dihadapan para dewata bahwa dia selamanya tidak akan menikah dan tidak akan mempunyai keturunan. Seketika petir menyambar dari langit, menandakan bahwa para dewata telah menyetujui sumpah Bisma. Para dewata memberi gelar Dewabharata kepada Bisma atas pengorbanannya yang besar dan Bisma diperbolehkan memilih waktu
kematiannya sendiri. Setelah mendengar sumpah Bisma, Prabu Santanu kemudian berangkat untuk menyunting dewi Setyawati. Setyawatipun menjadi kagum kepada Bisma dan bersedia menjadi permaisuri Hastina. Setyawati melahirkan dua orang putra, Citragada dan Wicitrawirya. Sesuai dengan janjinya, prabu Santanu menyerahkan tahta Hasina kepada Citragada sementara Bisma menjadi penasihat kerajaan. Citragada merupakan ksatria yang gagah sakti, ilmu yang diajarkan Bisma telah diserap semuanya. Sayangnya, Citragada menjadi sombong dan mulai menantang kesaktian raja2 disekitar Hastina. Bisma sebagai penasihat tidak bisa berbuat apa2 dan tidak lama Hastina telah menaklukkan negara2 tetangga. Tindakan Citragada yang dianggap merusak kedamaian telah mendapat perhatian para dewata yang kemudian mengirim seorang raja raksasa untuk menaklukkan Citragada. Sang raja raksesa turun ke mayapada dan menyamar sebagai Citragada untuk menantangnnya. Citragada terkejut melihat kembarannya menantang bitotama. Keduanya kemudian mulai bertarung dengan serunya. Pada awalnya mereka terlihat seri, tapi kemudian Citragada gadungan mengeluarkan kesaktiannya dan dalam sekejap Citragada yang asli telah terkapar tak bernyawa. Para ponggawa yang menyaksikan pertarungan ini bersorak2 karena mereka mengira bahwa Citragada gadungan yang telah perlaya. Citragada gadungan kemudian menjelaskan bahwa yang perlaya ialah Citragada asli dan melesat kembali ke kahyangan. Dengan gugurnya Citragada, Wiciyacitra diangkat sebagai raja Hastina. Wicitrawirya tidak sakti seperti Citragada dan menurut kepada Bisma. Setyawati sebagai sang ibu menjadi khawatir dengan keturunannya karena Citragada meninggal tanpa keturunan sementara Wicitrawirya tidak sesakti kakaknya sehingga sulit untuk meminang putri. Setyawati menyampaikan kekhawatirannya kepada Bisma dan Bisma berkata bahwa dia akan pergi untuk meminang ketiga putri dari kerajaan Kasi yang sedang mengadakan sayembara untuk mencari suami. Dewi Amba, Ambalika dan Ambika terkenal kecantikkannya dan banyak ksatria dan raja yang datang untuk meminangnya. Ketika tiba, Bisma segera menuju ke tengah lapangan dan dengan nyaring menyatakan bahwa ketiga putri akan dibawa ke Hastina olehnya, jika ada yang tidak setuju silahkan maju menantang dirinya. Para kstaria dan raja yang hadir menjadi terhina dan segera menantang Bisma, tapi satu persatu mereka dikalahkan oleh kesaktian Bisma. Kemudian datang seorang ksatria bernama Salya yang sebenarnya adalah kekasih Dewi Amba. Salya merupakan ksatria yang sakti namun kesaktiannya masih dibawah Bisma, berkali2 dirinya dipaksa mencium tanah oleh Bisma. Namung Salya tidak menyerah dan terus menyerang, Bisma akhrinya menjadi bosan dan berniat mengakhiri pertarungan. Dengan sebuah pukulan dashyat dari Bisma, Salya terkapar tak bernyawa. Melihat kesaktian Bisma, tak ada lagi yang berani menantang Bisma dan ketiga putri Kasi dibonyong Bisma ke Hastina. Setibanya di Hastina, ibu Setyawati gembira melihat Bisma berhasil membawa ketiga putri sebagai menantunya. Ambika dan Ambalika langsung tertarik oleh Prabu Wiciyactira, kecuali dewi Amba yang mencintai Salya. Dewi Amba kemudian datang menuntut kepada Bisma untuk mengawini dirinya karena sebenarnya Bismalah yang telah membunuh Salya pujaan hati Dewi Amba. Bisma yang telah bersumpah untuk tidak menikah segera menolak Dewi Amba, namun Dewi Amba bersikeras kepada Bisma untuk melakukan hal yang benar. Untuk menakut nakuti Dewi Amba, Bisma mengeluarkan panah pusakanya dan mengancam Dewi Amba untuk menikahi Wicitrawirya. Tak diduga, Dewi Amba tiba tersandung dan tubuhnya tertusuk panah Bisma. Sebelum Dewi Amba menghembuskan napas akhirnya di pangkuan Bisma, Amba memohon pada dewata agar dapet menitis kembali ke mayapada dan pada saat itu dirinya akan datang menjemput Bisma untuk hidup bersama di kahyangan. Para dewata menyetujui permohonan Dewi Amba dan dikemudian hari roh Dewi Amba akan menitis kepada Srikandi anak Prabu Drupada dan Dewi Gandawati dari Pancala (saudara Drupadi dan Drestajumena). Dewi Ambalika dan Ambika bersedih mendengar bahwa kakanya telah meninggal namun segera terlupakan karena mereka bahagia menjadi istri Prabu Wicitrawirya. Sayangnya, Prabu Wiciyacitra meninggal sebelum mempunyai keturunan. Akibatnya, Hastina tidak memiliki raja dan untuk sementara Bisma bertugas untuk mengurus kerajaan. Ibunda Setyawati yang kebingungan meminta tolong anak sulungnya, Begawan Abiyasa. Begawan Abiyasa merupakan orang yang sangat sakti dan arif bijaksana tapi penampilannya mengerikan, kulitnya hitam, rambutnya gembel, badannya bau amis, matanya buta satu dan kakinya pincang. Oleh ibunda Setyawati, diatur supaya Begawan Abiyasa membuahi Dewi Ambalika dan Ambika. Namun kedua putri itu terkejut ketika melihat penampilan Begawan Abiyasa, Dewi Ambalika menutup matanya terus sementara Dewi Ambika memalingkan mukanya.
Begawan Abiyasa memang sakti, tak lama kemudian tampak bahwa kedua Dewi telah berbadan dua. Ketika lahir, kedua bayi mempunyai kelainan. Anak yang sulung lahir buta karena Dewi Ambalika terus menerus menutup matanya dan diberi nama Dasarata. Anak kedua lahir dengan tubuh putih pucat pasi karena Dewi Ambika yang pucat melihat Begawan Abiyasa dan juga kepala agak tengeng sedikit akibat memalingkan kepala diberi nama Pandu. Ibunda Setyawati menjadi kecewa dan meminta Abiyasa untuk memberi satu anak lagi. Kedua dewi terkejut mendegar berita ini kemudian mereka mempunyai rencana untuk mendadani seorang pelayan sudra untuk menggantikan mereka. Begawan Abiyasa yang sakti dan bijaksana mengetahui tipu muslihat mereka tapi berpesan kepada Ibunda Setyawati untuk memperlakukan anak itu seperti anaknya sendiri karena bagaimanapun juga anak itu adalah anak Abiyasa. Ketika lahir, putra ketiga ini diberi nama Widura. Begitulah ceritanya leluhur pendawa, keturunan Dasarata adalah Kurawa sementara Pandu berketurunan Pendawa Lima. xxx
versi mahabharata original Bhisma adalah putra sulung Shantanu dari istri pertamanya Dewi Gangga. Terlahir dengan nama Devabrata. Nama Bhisma sendiri berarti "He of Terrible Oath". Didapatkan karena sumpahnya untuk tidak menikah selama hidupnya dan setia kepada siapapun yang duduk di tahta ayahnya. Bhisma mengucapkan sumpah ini karena ketika ayahnya, Shantanu, hendak menikahi gadis nelayan Satyavati, ayah Satyavati menolak karena cucunya kelak tidak mungkin menjadi raja Hastinapura. Ketika Bhisma bersumpah tidak akan menjadi raja, ayah Satyavati masih berdalih bahwa keturunan Bhisma akan berontak dan mengambil alih tahta dari keturunannya. Akhirnya Bhisma mengucapkan sumpahnya untuk tidak menikah seumur hidupnya. Karena merasa terharu atas bakti puteranya, Shantanu menganugerahkan karunia kepada Bhisma: Bhisma dapat menentukan sendiri waktu kematiannya. Bhisma adalah seorang prajurit dan pemanah yang hebat. Dalam proses menemukan istri untuk Vichitravirya (putra Satyavati). Suatu ketika ia mengikuti sayembara di negeri Kashi untuk memenangkan putri Amba, Ambika, dan Ambalika. Ia mengalahkan semua peserta yang lain dalam sayembara itu sehingga memenangkan ketiga puteri raja tersebut. Tanpa sepengetahuan Bhisma, Salya raja negeri Saubala saling jatuh cinta dengan Amba. Ketika Bhisma kembali ke Hastinapura dengan para puteri itu, Salya menghadang di tengah jalan dan manantang Bhisma untuk memperebutkan Amba. Setelah pertarungan yang melelahkan, Salya mengaku kalah dan melarikan diri. Setelah tiba di Hastinapura, Amba memberitahu Bhisma bahwa ia hanya mau menikah dengan Salya dan tidak dengan orang lain. Ketika Bhisma mengirimnya ke Salya, Salya tidak mau menerima karena malu telah kalah perang melawan Bhisma. Ketika kembali ke Hastinapura, Vichitravirya juga menolaknya sebagai wanita yang telah mencintai orang lain. Hal ini membuat Amba membenci Bhisma yang dianggapnya sebagai sumber
dari segala penderitaannya. Amba kemudian melakukan pengorbanan kepada Shiva dan memperoleh pengabulan permintaan bahwa suatu saat ia akan memegang peranan penting dalam kematian Bhisma. Amba akan terlahir di Panchala sebagai seorang puteri Raja Drupada, yang atas pengabulan permintaan yang lain berubah menjadi Shikandi dan menjadi penyebab kematian Bhisma. Kesalahan terbesar Bhisma mungkin adalah membiarkan terjadinya permainan dadu antara Pandava dan Kaurava serta membiarkan Kaurava mempermalukan Draupadi yang menjadi titik awal dari perang antara kedua belah pihak. Bhisma sebagai sesepuh di Hastinapura tidak berbuat apa-apa untuk mencegah hal tersebut terjadi. Dalam perang Bharatayudha, Bhisma berpihak kepada Kaurava karena terikat sumpahnya untuk setia kepada tahta Hastinapura. Walaupun sebenarnya enggan berperang melawan Pandava. Pada suatu waktu, kesaktian Bhisma ditambah dengan keengganan Arjuna untuk melawannya hampir membuat Khrisna melanggar sumpahnya untuk tidak ikut bertempur. Khrisna hampir menyerang Bhisma dengan Cakra Sudharsana, sebelum akhirnya dihentikan oleh Arjuna yang berjanji untuk berkelahi sepenuh hati melawan Bhisma. Bhisma akhirnya dikalahkan oleh Arjuna pada hari kesepuluh Bharatayudha. Dalam pertempuran terakhir itu Arjuna berlindung di belakang ksatria yang lain: Shikandi. Bhisma mengetahui bahwa Shikandi terlahir sebagai seorang perempuan dan baginya membunuh seorang perempuan bukanlah perbuatan yang layak bagi seorang kshatria. Ia akhirnya jatuh dengan tubuh dipenuhi oleh panah Arjuna. Bhisma terbaring di 'tempat tidur dari panah' sampai perang Bharatayudha berakhir. xxx versi wikipedia Resi Bhisma atau Resi Bisma, kakek dari para pandawa dan kurawa dalam wiracarita Mahabharata. Nama Bisma berarti Maha Dahsyat. Bisma adalah anak Prabu Sentanu, Rata Astina dengan Dewi Gangga/Dewi Jahnawi (dalam versi Jawa). Waktu kecil bernama Raden Dewabrata yang berarti keturunan Barata yang luhur. Ia juga mempunyai nama lain Ganggadata. Dia adalah salah satu tokoh wayang yang tidak menikah yang disebut dengan istilah Brahmacari. Berkediaman di pertapaan Talkanda. Bisma dalam tokoh perwayangan digambarkan seorang yang sakti, dimana sebenarnya ia berhak atas tahta Astina akan tetapi karena keinginan yang luhur dari dirinya demi menghindari perpecahan dalam negara Astina ia rela tidak menjadi raja. Resi Bisma sangat sakti mandraguna dan banyak yang bertekuk lutut kepadanya. Ia mengikuti sayembara untuk mendapatkan putri bagi raja Astina dan memboyong 3 Dewi. Salah satu putri yang dimenangkannya adalah Dewi Amba dan Dewi Amba ternyata mencintai Bisma. Bisma tidak bisa menerima cinta Dewi Amba karena dia hanya wakil untuk mendapatkan Dewi Amba. Namun Dewi Amba tetap berkeras hanya mau menikah dengan Bisma. Bisma pun menakut-nakuti Dewi Amba dengan senjata saktinya yang justru tidak sengaja membunuh Dewi Amba. Dewi Amba yang sedang sekarat dipeluk oleh Bisma sambil menyatakan bahwa sesungguhnya dirinya juga mencintai Dewi Amba. Setelah ruh Dewi Amba keluar dari jasadnya kemudian mengatakan bahwa dia akan menjemput Bisma suatu saat agar bisa bersama di alam lain dan Bisma pun menyangupinya. Diceritakan ruh Dewi Amba menitis kepada Srikandi yang akan membunuh Bisma dalam perang Bratayudha. Dikisahkan, saat ia lahir, ibunya moksa ke alam baka meninggalkan Dewabrata yang masih bayi. Ayahnya prabu Santanu kemudian mencari wanita yang bersedia menyusui Dewabrata hingga ke negara Wirata bertemu dengan Dewi Durgandini atau Dewi Setyawati, istri Parasara yang telah berputra Wiyasa. Setelah Durgandini bercerai, ia dijadikan permaisuri Prabu Santanu dan melahirkan Citragada dan Wicitrawirya, yang menjadi saudara Bisma seayah lain ibu. Setelah menikahkan Citragada dan Wicitrawirya, Prabu Santanu turun tahta menjadi pertapa, dan digantikan anaknya. Sayang kedua anaknya kemudian meninggal secara berurutan, sehingga tahta kerajaan Astina dan janda Citragada dan Wicitrawirya diserahkan pada Wiyasa, putra Durgandini dari suami pertama. Wiyasa lah yang kemudian menurunkan Pandu dan Destarata, orangtua Pandawa dan
Kurawa. Dalam perang Baratayuda, Bisma berpihak pada kurawa. Beliau pernah dikutuk oleh seseorang yang mencintainya dan tak sengaja dibunuhnya yaitu Dewi Amba. Putri ini lalu menitis pada Srikandi dan membunuhnya di perang Bharatayudha. Bhisma memiliki kesaktian tertentu, yaitu ia bisa menentukan waktu kematiannya sendiri. Maka ketika sudah sekarat terkena panah, ia minta sebuah tempat untuk berbaring. Kurawa memberinya tempat pembaringan mewah namun ditolaknya, akhirnya pandawa memberikan ujung panah sebagai alas tidurnya (kasur panah): sarpatala. Tetapi ia belum ingin meninggal, ingin melihat akhir daripada perang Bharatayudha. xxx notes: Bisma dalam Versi Pewayananga Jawa dalam kisah wayang jawa, amba sangat mencintai bhisma, ketika sayembara cari jodoh itu berahir amba ngintilin bhisma kemanapun, bahkan amba gak mau jauh jauh dari kekasihnya itu. tapi bhisma yang juga mencintai amba ingat akan sumpahnya, dengan berat hati dia ketika malam tiba melarikan diri dari keraton dan bermaksud meninggalkan amba. ternyata amba tahu kalo kekasihnya yang tampan itu bermaksud meninggalkanya, dia pun menyusul ke perbatasan dan mencoba dengan kemanjaanya menggodeli bhisma. bhisma bermaksud menakut nakuti amba dengan mempersiapkan panah, eh malah amba nekat, dan ahirnya karena salah teknik akibat gemetaran antara menahan rasa cinta dan memenuhi sumpah, bhisma melontarkan panah itu, dan menembus tubuh amba. amba berjanji sebelum mati, bahwa dia akan menjemput kekasihnya ketika waktu matinya tiba, karena amba tahu bahwa dalam kehidupan mereka tak akan bisa bersatu, tapi setelah kematian, mereka akan menjadi suami istri. dalam kisah wayang jawa, srikandi juga ikut memanah dan bertarung melawan bhisma, bahkan saat itu srikandi tak bisa banyak berbuat, sampai di awang awang arwah amba melihat bahwa sudah waktunya menjemput suaminya bhisma. maka dia masuk ke raga srikandi.saat melihat amba masuk ke raga srikandi maka bhisma tahu hal ini dan tersenyum....sambil membuka dadanya dia berkata "adiku amba, sudah waktuku untuk kembali, ayo amba ambil nyawaku" sambil tersenyum dan berlari ke arah srikandi. lalu panah srikandi menembus dada bhisma disusul panah harjuna, dan arwahya di ambil oleh amba, kembang berjatuhan ketika arwahnya dibopong oleh istrinya yang setia amba. bhisma dan amba di dunia mungkin tak bersatu, tapi di sorga pengrantunan mereka ibarat pengantin baru, dan bebaslah bhisma dari sumpahnya.
Batari Durga pada mulanya bernama Dewi Pramoni. Ia sangat cantik jelita sehingga mabuk asmara dengan Batara Guru, karena dengan bermodal paras rupawan itu, Batara Guru akan jatuh cintan kepadanya. Suatu hari ia pergi bertapa mengingin kan mejnadi istri Batara Guru. Keinginan terkabul, tetapi hanya dalam lahirnya saja yaang terlaksana, sebab pada kakekatnya, jiwa Dewi Pramoni tidak dapat terwujud dalam kenyataan. Segala sesuatu telaha da kodrat kepastiannya yang gaib. Jasmaninya yang cantik menjadi permaisuri Batara Guru, sedangkan jiwanya harus menjelma kepada jasmani Dewi Umayi yang telah berubah menjadi raseksi. Sehingga antara Dewi Umayi dan Dewi pramoni saling bertukar raga. Jiwa Pramoni masuk ke dalam raga Umayi yang berujud raseksi,s ebaliknya jiwa Umayi menempati raga Dewi Pramoni yang cantik jelita. Dewi Umayi sebenarnya adalah putri hartawan dari negeri Merut yang dipersembahkan kpada batara Guru. Setelah berputera lima orang, suatu senja Batara Guru dan Dewi Umayi berpesiar dengan menaiki lembu Andini. Dalam tamasya terbang di angkasa, Sanghyang Guru timbul hasrat asmaranya ingin bersengama di atas punggu lembu Andini, tetapi Dewi Umayi menolak demi menjaga kehormatannya selaku ratu dari sekian bidadari di kahyangan. Penolakan Dewi Umayi semata-mata ingin menjaga kewibaan Batara Guru agar tidak melakukan hasrat asmaranya di sembarang tempat. Karena Batara Guru mekasa, maka Dewi Umayi menyabda bahwa hasrat suaminya itu melebihi hasratnya raksasa, seketika itu juga Batara Guru memiliki taring dan bergelar Sanghyang Randuwanda. Karena besarnya hawa nafsu rahsa Sanghyang Randuwanda, Dewi Umayi menghindar sehingga kama (sperma) meloncat jatuh ke dalam samodera, yang akhirnya beruah menjadi bola api raksasa, semakin lama bola api kejadiaan dari kama salah sasaran itu menjadi raksasa. Kelak bayir aksasa tersebut menimbulkan kegoncangan dan para dewa tak mampu menghadapinya. Oleh Sanghyang Guru, raksasa sakti tadi diberi nama Batara Kala. Dalam pengembaraannya di atas punggung lembu Andini, Batara guru tertararik dengan seorang wanita bernama Dewi Lokati, karena ia merasa dicampakkan oleh istriya. Batara Guru mendekati Dewi Lokati, namaun putri berparas jelita itu telah menjelma ke dalam butiran padi. Oleh Sanghyang Guru, butiran padi dipetik dan diserahkan kepada raja Purwacarita Prabu Sri maha Punggung atau Prabu Makukuhan agar ditanam. Benih padi yang ditanam raja Makukuhan telah berbuah. Sanghyang Guru kembali timbul asmaranya
ingin menyantap padi jelmaan Dewi Lokawati, sehinga raja tribuwana tersebut beralih rupa menjadi seekor burung pipit putih dan terbang ke negeri Purwacarita. Melihat suaminya beralih rupa menjadi urung pipit, Dewi Umayi mngajak para bidadari seketi (1000,000) kurang satu uuntuk menyusup ke dalam tanaman padi. Para bidadari tadi beralih rupa menjadi rumput kejawan yang buahnya mirip dengan buah padi. Pada saat padi mulai menguning, buah rumput kejawan itupun telah mulai tua buahny. Buah rumpuh kejawan menutupi buat padi yang siap dipanen. Burung pipit meanjadi marah setiap hendak mematuk buah padi selalu dihangangi oleh buah rumput kejawaan, Akhirnya buah rumput itupun dipatuk dan digigitnya kaut-kuat, maka keduanya berubah menjadi Batara Guru dan Batari Umayi. Pada saat yang bersamaan datanglah Batara Kala yang selalu memeperhatikan Dewi Umayi. Batara Guru menjadi cemburu, dan Dewi Umayi menjadi pelampiasan amarahnya. "Kalau kau jatuh cinta dengan Batara Kala, jadilah raseksi saja." sabda Sanghyang Guru. Dewi Umayi seketika itu juga berubah menjadi raseksi yang menyeramkan. Suatu hari Batara Guru melihat wanita cantik yang tidak lain adalah Dewi Parwati, putri hartawan Umaran yang tercipta dari buah ranti. Perempuan yang cantik dan juga bernama Dewi Pramoni tadi diambil istri oleh batara Guru, tetapi hanya raganya saja. Jiwa Parwati dipindahkan ke dalam raga raseksi kejadian dari Dewi Umayi, sebaliknya jiwa Umayi diambil dan ditempatkan ke dalam tubuh Pramoni. Raseksi jelmaan Dewi Pramoni itu kemudian ditempatkan di hutan Setaganda mayit dan dijodohkand engan Batara Kala. Dia mendapat tugas merajai para gandarwa, setan dan makhluk halus yang jahat lainnya. Pada waktu itu pula Dewi Pramoni bergelar Batari Durga. Sedangkan perkawinannya dengan Batara Kala, Batari Pramoni menurunkan kala Yawana, Kala Durgangsa, Jaramaya, Ranumaya dan masih banyak lagi putra-putra yang lain. Watak Batari Durga sangat jahat karena ia mengemban tugas menggoda orang yang baik budi. Dalam pewayangan, bentuk atau wanda Batari Durga ini dinamakan wanda Rangkung. Sedangkan dalam cerita Sudamala, Batari Durga berhasil diruwat oleh Raden Sadewa, bungsu Pandawa. Ia kembali menjadi bidadari yang cantik dan pulang ke Tinjomaya, tempat bersemayamnya para bidadari kahyangan. (versi balai pustaka) xxx
Durga atau Durgā (Dewanagari ) adalah sakti (=istri) Siwa. Dalam agama Hindu, Dewi Durga adalah ibu dari Dewa Ganesa dan Dewa Kumara (Kartikeya). Beliau kadangkala disebut Uma atau Parwati. Dewi Durga biasanya digambarkan sebagai seorang wanita cantik berkulit kuning yang mengendarai seekor harimau. Beliau memiliki banyak tangan dan memegang banyak tangan dengan posisi mudra, gerak tangan yang sakral yang biasanya dilakukan oleh para pendeta Hindu. Di Nusantara, Dewi ini cukup dikenal pula. Candi Prambanan di Jawa Tengah, misalkan juga dipersembahkan kepada Dewi ini. Dalam bahasa Sansekerta, durga berarti "yang tidak bisa dimasuki" atau "terpencil". (versi wikipedia) xxx notes: Gedeng Permoni dalam versi pedalangan sunda Dewi Permoni katanya mantan istri Arjuna yang kemudian bertukar tubuh sama Dewi Uma yang jadi raksasi karena tidak puas punya suami manusia biasa kayak Arjuna tetapi pingin punya suami Dewa. Oleh Batara Guru kemudian Dewi Permoni dijodohin ke Batara Kala yg sama-sama berwujud raksasa. Konon setelah itu Dewi Permoni sering menyesali keputusannya bertukar tubuh & meninggalkan Arjuna sehingga kemudian sering membuat onar karena kepengen balik ke Arjuna.
1. Gunung Indralika: Kyai Semar bersama anak-anaknya yaitu Gareng, Petruk dan Bagong. Yang dibicarakan punakawan atas sikap dan tabahnya serta keteguhan jiwa Begawan Ciptoning yang tak lain dan tak bukan adalah si Arjuna, dalam melaksanakan wangsit dari Hyang Agung agar bertapa di Goa Pamintaraga.Tak lama kemudian datanglah Begawan Anoman yang diiringi oleh Gatutkaca. Suasana menjadi riang gembira atas kedatangan Anoman. Setelah bertemu dalam keadaan selamat maka kedatangan Anoman memang disuruh oleh Pandawa untuk mencari Arjuna, maka Semarpun mengatakan bahwa Raden Arjuna sedang bertapa di Goa Pamintaraga dengan alih nama "Begawan Ciptoning". Anoman dan Gatotkaca merasa gembira dengan keterangan Kyai Semar, maka Anoman secepatnya memberitahu kepada Pandawa, namun sebelum berangkat ditempat itu situasinya berubah menjadi gaduh, karena datangnya patih Mamanggono beserta wadyabala raksasa. Patih dari negara Himahimantaka dan punggawanya mencari saudaranya tua yang bernama patih Mamangmurko yang kesiku oleh dewa berupa babi hutan yang akhirnya pergi dari Jamurdipa, memasuki kawasan gunung Indrakila. Karena silang pendapat dengan Anoman maka terjadilah perang. Perang antara patih Mamanggono belum selesai, ada sambungan cerita, yakni yang ada di Kayangan Suralaya. 2. Kayangan Batara Indra dihadap 7 bidadari dan memrintahkan para bidadari membuyarkan tapa arjuna karena para Dewa telah kewalahan menghadapi Niwatakaca. Usaha 7 bidadari gagal total, justru malah para bidadari yang jatuh cinta pada arjuna, bukannya arjuna yang badhar tapanya
3. Kayangan Suralaya: Bathara Guru sedang miyos siniwoko, dihadapi Bathara Narada dan putra-putra dewa. Yang dibicaraakan Bathara Guru minta laporan atas kehendak Raja Himahimantaka yakni prabu
Niwotokawoco, yang ingin mempersunting Bathari Supraba. Bathara Indra melaporkan bahwa Prabu Niwotokawoco mengutus patihnya yang bernama Patih Mamangmurko dan Patih Mamanggono. (Laporan Bathara Indra tadi digelar tersendiri yang kejadiannya sebagai berikut): Betara Indra beserta dewa lainnya telah bertemu dengan patih mamangmurko dan punggawanya di lereng Gunung Jamurdipa, karena permintaan memboyong Bathari Supraba di tolak oleh Bathara Indra maka terjadilah perang, yang akhirnya Patih Mamangmurko dikutuk oleh dewa menjadi babi hutan Bathara Narada menyarankan walaupun hari ini utusan prabu Niwotokawoco sudah pergi dari gunung Jamurdipa, manun perlu mencari jago guna mengimbangi sekaligus menumpas Prabu Niwotokawoco. Kehendak Bathari Guru untuk mencari jago dilakukan sendiri dan yang dituju yaitu gunung Indrakila, karena Bathari Guru tahu di gua Pamintaraga ada pendeta yang sedang bertapa. Maka Bathara Guru berganti diri menjadi ksatriya dengan nama "Raden Kerotorupo". 4. Gunung Indrakila: Gareng, Petruk dan Bagong tidak berani mengganggu Semar yang sedang semedi membantu begawan Ciptoning yang juga terus bertapa. Namun juga tidak berani mendekat kepada Anoman dan gatotkaca yang sedang perang dengan Mamanggono dan wadyabala raksasa. Untuk menghibur diri Gareng, Petruk dan Bagong dengan cara tetembangan. Belum puas untuk mengalunkan tembang-tembangnya ditempat punakawan tersebut terpaksa menjadi ajang perang yang terus bergeser ke gua Pamintaraga. Perang terus berlanjut antara Anoman melawan Patih Mamanggono dan antara Gatotkaca melawan wadyabala raksasa. 5. Gua Pamintaraga: Begawan Ciptaning beberapa bulan lamanya bertapa, namun terpaksa badhar dari semedinya, dikarnakan ada babi hutan yang mengamuk dan semakin mendekati tempat begawan Ciptaning bertapa. Begawan Ciptaning segera mengambil anak panah dan kemudian dilepaskannya tepat mengenai leher babi hutan, bersamaan dengan lepasnya anak panah milik raden Keratarupa yang juga menancap pada leher si babi hutan tersebut, yang tak lain babi hutan tersebut adalah jelmaan dari patih Mamangmurko. Begawan Ciptaning dan Raden Keratarupa berebut kebenaran atas anak panah yang mengenai babi hutan, maka akhirnya terjadi perang. Ciptaning badhar Arjuna, Raden Keratarupa badhar Betara guru sekaligus mengangkat Arjuna sebagai jago dewa, serta Betara Guru memberi pusaka kyai Pasopati, kemudian Arjuna diboyong ke kayangan. Kembali lagi melanjutkan Anoman yang sengaja menghabiskan tenaga patih Mamanggono, yang akhirnya tewas di tangan Anoman. Gatutkaca tidak gentar menghadapi bala raksasa dari Himahimantaka, maka satu demi satu bala raksasa tersebut akhirnya tewas. Tewasnya patih dan bala raksasa, kemudian datanglah kyai Semar mengatakan bahwa Raden Arjuna menjadi jagonya dewa untuk menumpas Prabu Niwotokawoca raja Himahimantaka. Anoman dan Gatutkaca segera pamit kepada para panakawan untuk segera memberitahu kepada para Pandawa. Setelah itu para panakawan bergegas untuk menyusul Arjuna ke Kayangan Suralaya. 6. Kayangan Suralaya Bathara Guru dihadap oleh para Dewa, dan Raden Arjuna yang akan diwisuda untuk menjadi jago Dewa. Setelah persiapan selesai, Arjuna diwisuda menjadi jago Dewa untuk menumpas murkanya Prabu Niwotokawoco yang menentang kodrat, yakni ingin mempersunting Bathari Supraba. kemudian Arjuna berangkat ke Himohimantoko didampingi Bathari Supraba. 7. Kerajaan Himohimantoko
Prabu Niwotokawoco menerima kedatangan Togog dan Bilung yang melaporkan tewasnya Patih Mamangmurko dan Patih Mamanggono. sang Prabu sangat marah mendengar berita tersebut, namun belum sampai jumangkah, Abdi Emban menghadap, untuk menghaturkan bahwa Bathari Supraba berada di Kedaton. Bathari Supraba beberapa lama menanti kondur sang Prabu Niwotokawoco. Setelah yang dinanti-nantikan datang, kemudian Bathari Supraba mengatakan bahwa kedatangannya memang siap untuk dipersunting sang raja.Prabu Niwotokawoco sangat gembira mendengar keterangan dari Bathari Supraba sehingga secara tidak sadar, sang raja memberitahu segala hal yang ingin diketahui oleh Dewi Supraba. Sang raja juga memberi tahu letak kesaktiannya, termasuk Aji Gineng, sampai letak pengapesannya juga diberitahukan kepada Bathari Supraba. pada waktu itu juga, keterangan sang raja didengar oleh Arjuna yang juga berada di kedaton tersebut dengan menggunakan Aji Panglemunan, yang akhirnya terjadilah perang antara Arjuna melawan Prabu Niwatakawaca. 8. Kerajaan Himahimantaka: Arjuna tidak berdaya melawan kekuatan Prabu Niwatakawaca. Namun pada waktu Arjuna telah dijangkahkan oleh Prabu Niwatakawaca yang sedang tertawa terbahak-bahak, Arjuna melihat sinar yang berada di telak sang raja, yang merupakan sinar dari Aji Gineng. Kemudian dengan gerak yang sangat cepat, Arjuna melepaskan Pasopati tepat mengenai telak Prabu Niwatakawaca, yang membuat sang raja tewas. Para Punggawa yang tidak menerima kematian raja mereka bisa ditumpas oleh Raden Bima yang juga sudah berada di Himahimantaka. Bathara Indra menjemput sang Arjuna untuk menghadapi Sang Hyang Giripati untuk diwisuda menjadi "Lananging Jagat Lancuring Madyapada". 9. Kayangan Suralaya. Batara Indra dihadap para dewa, bidadari dan arjuna. Disini Arjuna diwisudha menjari raja kaendran selama 7 hari (dunia) = 7 bulan di kayangan dan boleh memilih 40 bidadari sebagai istrinya
Bambang Tetuka (Bayi e Gatotkoco) oleh: Ki Waluyo Kekacauan terjadi di Kayangan Jonggringsaloka. Prabu
Pracona Raja Raksasa Negara Gilingwesi dan Patih Sakipu mengamuk di Suralaya, karena keinginannya memperistri Bathari Prabasini ditolak Bathara Guru. Tak satupun dari para dewa yang dapat mengalahkan Prabu Pracona dan Patih Sakipu. Sehingga Bathara Guru menugaskan Bathara Narada untuk meminta bantuan Pandawa. Arjuna yang datang ke Kahyangan tidak dapat mengalahkan Patih Sakipu bahkan ia terbuang melayang – layang dan jatuh dihadapan Resi Kanwa di pertapaan Yasarata. Bathara Guru kembali menugaskan Bathara Narada turun ke Marcapada sambil membawa senjata Kuntawijayadanu. Pusaka itu harus diserahkan kepada Arjuna sebagai sarana memutus tali pusar jabang bayi putra Dewi Arimbi dengan Bima. Jabang bayi itulah yang akan dijadikan jago kadewatan melawan Prabu Pracona dan Sakipu. Tetapi kekeliruan dilakukan Bathara Narada. Senjata Kunta diberikan kepada Suryamatja yang menyaru mirip Arjuna. Akibatnya perang tanding terjadi antara Arjuna melawan Suryamatja memperebutkan senjata Kunta. Peperangan berakhir setelah Suryamatja berhasil memperdaya Arjuna yang hanya berhasil membawa lari sarung senjata Kunta. Atas kehendak Dewata, sarung senjata Kunta dapat digunakan untuk memotong tali pusar si jabang bayi putra Dewi Arimbi disertai satu keajaiban sarung senjata Kunta terlepas dari tangan Arjuna dan terhisap masuk ke dalam pusar si jabang bayi. Bertepatan dengan itu datang Bathara Narada, memberi nama si jabang bayi Bambang Tetuka, dan meminjamnya untuk dibawa ke kahyangan. Sebelum melawan Prabu Pracona dan Sakipu, untuk menambah kesaktian, Bambang Tetuka dimasukkan ke dalam Kawah Candradimuka, diaduk dengan berbagai senjata kadewatan yang dimasukkan oleh para dewa. Dengan kesaktian pemberian Dewa tersebut Bambang Tetuka terjun ke medan perang. Prabu Pracona yang sakti menjadi penyebab semakin besarnya tubuh Bambang Tetuka. Dari bayi menjadi semakin dewasa dan semakin besar. Untuk menambah kesaktian, Bathara Guru menganugerahkan tiga pusaka kadewatan, yaitu : Kutang Antakusuma, Caping Basunanda, dan Tiumpah / Sepatu Padakucarma. Bambang Tetuka juga diberi nama Gatotkaca. Dengan ketiga pusaka tersebut, Gatotkaca akhirnya dapat membinasakan Prabu Pracona dan Patih Sakipu.
Raden
Puntadewa
adalah
putra
sulung
dari
Prabu
Pandudewanata dan Dewi Kuntinalibrata. Sesungguhnya Puntadewa merupakan putra kedua dari Dewi Kuntinalibrata. Akibat Ajian Adityaredhaya ajaran Resi Druwasa, Kunti sempat hamil, sesaat sebelum terjadinya sayembara pilih. Lalu putranya yang di keluarkan dari telingga yang dinamai Karna dibuang dan kemudian diasuh oleh seorang sais kereta bernama Adirata.
Secara resmi memang Puntadewa adalah putra Prabu Pandu dan Dewi Kunti namun sesungguhnya ia adalah putra Dewi Kunti dan Batara Darma, dewa keadilan. Hal tersebut diakibatkan oleh kutukan yang diucapkan oleh Resi Kimindama yang dibunuh Pandu saat bercinta dalam wujud kijang. Tapi akibat dari ajian Adityaredhaya, Dewi Kunti dan Prabu Pandu masih dapat memiliki keturunan untuk menghasilkan penerus takhta kerajaan. Puntadewa bersaudarakan empat orang, dua saudara seibu dan 2 saudara berlainan ibu. Mereka adalah Bima atau Werkudara, Arjuna atau Janaka, Nakula atau Pinten, dan Sadewa atau Tangsen. Puntadewa memiliki dasanama (nama-nama lain) yaitu Raden Dwijakangka sebagai nama samaran saat menjadi buangan selama 13 tahung di kerajaan Wirata, Raden Darmaputra karena merupakan putra dari Batara Darma, Darmakusuma, Darmawangsa, Darmaraja, Gunatalikrama, Sang Ajatasatru, Kantakapura, Yudistira, dan Sami Aji, julukan dari Prabu Kresna.
Raden Puntadewa memiliki watak sadu (suci, ambeg brahmana), suka mengalah, tenang, sabar, cinta perdamaian, tidak suka marah meskipun hargadirinya diinjak-injak dan disakiti hatinya. Oleh para dalang ia digolongkan dalam tokoh berdarah putih dalam pewayangan bersama Begawan Bagaspati, Antasena dan Resi Subali sebagai perlambang kesucian hati dan dapat membunuh nafsu-nafsu buruknya.
Konon, Puntadewa dilahirkan melelui ubun-ubun Dewi Kunti. Sejak kecil para putra putra Pandu selalu ada dalam kesulitan. Mereka selalu bermusuhan dengan saudara sepupu mereka, Kurawa, yang didalangi oleh paman dari para Kurawa yang juga merupakan patih dari Kerajaan Astinapura, Patih Harya Sengkuni. Meskipun Pandawa memiliki hak atas kerajaan Astinapura, namun karena saat Prabu Pandu meninggal usia pandawa masih sangat muda maka kerajaan dititipkan pada kakaknya, Adipati Destarastra dengan disaksikan oleh tetua-tetua kerajaan seperti, Dang Hyang Dorna, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Begawan Abiyasa, dan Yamawidura dengan perjanjian tertulis agar kerajaan Astina diserahkan kepada Pandawa setelah dewasa, dan Destarastra mendapatkan separuh dari wilayah Astina. Namun atas hasutan Patih Sengkuni maka kemudian Kurawalah yang menduduki takhta kerajaan. Segala cara dihalalkan untuk menyingkirkan pandawa, dimulai dengan Pandawa Timbang (lih. Bima), Bale Sigala-gala, Pandawa Dadu sampai pada perang besar Baratayuda Jayabinangun. Meskipun Puntadewa adalah manusia berbudi luhur namun ia memiliki kebiasaan buruk yaitu suka berjudi.
Kelak kebiasaan buruk dari Puntadewa ini menyebabkan para Pandawa berada dalam kesulitan besar. Hal tersebut dikisahkan sebagai berikut: Saat terjadi konflik antara Pandawa dan Kurawa tentang perebutan kekuasaan Kerajaan Astinapura, Kurawa yang didalangi oleh Sengkuni menantang Pandawa untuk main judi dadu. Pada permainan tersebut, para Pandawa mulanya hanya bertaruh uang, namun lama kelamaan, Puntadewa mempertaruhkan kerajaan, istri, dan pada akhirnya pandawa sendiri sudah menjadi hak milik kurawa (Sebelumnya Puntadewa bersama adik-adiknya berhasil mendirikan kerajaan yang berasal dari Hutan Mertani, sebuah hutan angker yang ditempati oleh raja jin yang bernama Prabu Yudistira dan adik-adiknya).
Saat Pandawa beranjak dewasa, mereka selalu dimusuhi oleh para Kurawa, akibatnya para tetua Astinapura turun tangan dan memberi solusi dengan menghadiahi Pandawa sebuah hutan angker bernama Wanamarta untuk mengindari perang saudara memperebutkan takhta Astinapura. Setelah itu, hutan yang tadinya terkenal angker, berubah menjadi kerajaan yang megah, dan Prabu Yudistira serta putrinya, Dewi Ratri atau para dalang juga sering menyebutnya Dewi Kuntulwilanten menyatu di dalam tubuh Puntadewa yang berdarah putih. Sejak saat itu pulalah Puntadewa bernama Yudistira.
Sebelumnya, setelah Pandawa berhasil lolos dari peristiwa Bale Sigala-gala, dimana mereka dijebak disuatu purocana (semacam istana dari kayu) dengan alasan Kurawa akan menyerahkan setengah dari Astina, namun ternyata hal tersebut hanyalah tipu muslihat kurawa yang membuat para Pandawa mabuk dan tertidur, sehingga pada malamnya mereka dapat leluasa membakar pesanggrahan Pandawa. Bima yang menyadari hal itu dengan cepat membawa saudara-saudara dan ibunya lari menuju terowngan yang diiringi oleh garangan putih sampai pada Kayangan Saptapertala, tempat Sang Hyang Antaboga, dari sana Pandawa lalu melanjutkan perjalanan ke Pancala, dimana sedang diadakan sayembara adu jago memperebutkan Dewi Drupadi. Barang siapa berhasil mengalahkan Gandamana, akan berhak atas Dewi Drupadi, dan yang berhasil dalam sayembara tersebut adalah Bima. Bima lalu menyerahkan Dewi Drupadi untuk diperisri kakaknya. Sumber yang lain menyebutkan bahwa setelah mengalahkan Gandamana Pandawa masih harus membunuh naga yang tinggal di bawah pohon beringin. Kemudian Arjunalah yang dengan panahnya berhasil membunuh naga tersebut. Dari Dewi Drupadi Puntadewa memilki seorang putra yang diberi nama Pancawala. Dalam masa buangan tersebut ada sebuah kisah yang menggambarkan kebijaksanaan dari Raden Puntadewa. Pada suatu hari Puntadewa memerintahkan Sadewa untuk mengambil air di sungai. Setelah menunggu lama, Sadewa tidak kunjung datang, lalu diutuslah Nakula, hal yang sama kembali terjadi, Nakula pun tak kembali. Lalu Arjuna dan akhirnya Bima. Semuanya tak ada yang kembali. Akhirnya menyusulah Puntadewa. Sesampainya di telaga ia melihat ada raksasa besar dan juga adik-adiknya yang mati di tepi telaga. Sang Raksasa kemudian berkata pada
Puntadewa bahwa barang siapa mau meminum air dari telaga tersebut harus sanggup menjawab teka-tekinya. Pertanyaannya adalah apakah yang saat kecil berkaki empat dewasa berkaki dua dan setelah tua berkaki tiga? Punta dewa menjawab, itu adalah manusia, saat kecil manusia belum sanggup berjalan, maka merangkaklah manusia (bayi), setelah dewasa manusia sanggup berjalan dengan kedua kakinya dan setelah tua manusia yang mulai bungkuk membutuhkan tongkat untuk penyangga tubuhnya. Sang raksasa lalu menanyakan pada Puntadewa, jika ia dapat menghidupkan satu dari keempat saudaranya yang manakah yang akan di minta untuk dihidupkan? Puntadewa menjawab, Nakula lah yang ia minta untuk dihidupkan karena jika keempatnya meninggal maka yang tersisa adalah seorang putra dari Dewi Kunti, maka sebagai putra sulung dari Dewi Kunti ia meminta Nakula, putra sulung dari Dewi Madrim. Dengan demikian keturuanan Pandu dari Dewi Madrim dan Dewi Kunti tetap ada. Sang Raksasa sangat puas dengan jawaban tersebut lalu menghidupkan keempat pandawa dan lalu berubah menjadi Batara Darma. Puntadewa bisa saja meminta Arjuna atau Bima untuk dihidupkan sebagai saudara kandung namun secara bijaksana ia memilih Nakula. Suatu ajaran yang baik diterapkan dalam kehidupan yaitu keadilan dan tidak pilih kasih.
Akibat kalah bermain dadu, Pandawa harus menerima hukuman menjadi buangan selama 13 tahun. Dan sebelumnya Drupadi pun sempat dilecehkan oleh Dursasana yang berusaha menelanjanginya sampai sampai terucaplah sumpah Dewi Drupadi yang tidak akan mengeramas rambutnya sebelum dicuci oleh darah Dursasana, untunglah Batara Darma menolong Drupadi sehingga ia tidak dapat ditelanjangi. Pada tahun terakhir sebagai buangan, Pandawa menyamar sebagai rakyat biasa di suatu kerajaan bernama Wirata. Disana Puntadewa lalu menjadi ahli politik dan bekerja sebagai penasehat tak resmi raja yang bernama Lurah Dwijakangka. Puntadewa memiliki jimat peninggalan dari Prabu Pandu berupa Payung Kyai Tunggulnaga dan Tombak Kyai Karawelang, Keris Kyai Kopek, dari Prabu Yudistira berupa Sumping prabangayun, dan Sangsangan robyong yang berupa kalung. Jika puntadewa marah dan tangannya menyentuh kalung ini makan seketika itu pulalah, ia dapat berubah menjadi raksasa bernama Brahala atau Dewa Mambang sebesar gunung anakan dan yang dapat meredakannya hanyalah titisan Batara Wisnu yang juga dapat merubah diri menjadi Dewa Amral. Selain itu Puntadewa juga memiliki pusaka bernama Serat Jamus Kalimasada.
Kemudian atas bantuan dari Werkudara, adiknya, akhirnya Puntadewa menjadi raja besar setelah mengadakan Sesaji Raja Suya yang dihadiri oleh 100 raja dari mancanegara. Dengan demikian Puntadewa menjadi seorang raja besar yang akan menjadi anutan bagi raja-raja di dunia.
Pada Perang besar Baratayuda Jayabinangun, Puntadewa menjadi senapati perang pihak pandawa menghadapi raja dari kerajaan Mandraka, Prabu Salya. Puntadewa pun akhirnya behasil membunuh Salya meskipun sebenaranya ia maju kemedan perang dengan berat hati. Saat perang Baratayuda terjadi pun, Puntadewa pernah melakukan tindakan tercela yang mengakibatkan senapati perang Kurawa yang juga gurunya, Dang Hyang Dorna terbunuh. Dikisahkan sebagai berikut, saat para pandawa berhasil membunuh gajah Estitama, seekor gajah milik Astina. Drona yang samar-samar mendengar “....tama mati!” menjadi bigung, mungkin saja Aswatama, putranya telah mati, dan lari menuju pesanggrahan Pandawa, Drona tahu benar siapa yang harus ditanyai, Puntadewa, seorang raja yang selama hidupnya tak pernah berbohong. Saat itu Puntadewa atas anjuran Kresna menyebutkan bahwa Hesti (dengan nada lemah) dan tama (dikeraskan) memang telah mati, Drona yang mendengar hal itu menjadi tambah panik karena menurut pendengarannya yang telah kabur, putra tunggalnya telah tewas. Drona pun kemudian tewas oleh Drestajumena yang mamanggal lehernya saat Drona dalam keaadaan ling-lung. Dalam hal ini dapat di petik sebuah pelajaran bahwa dalam hidup ini sebuah kejujuran pun tidak dapat dilakukan secara setengah-setengah, memang Puntadewa tidak pernah berbohong, namun sikap setengah-setengah tersebut pulalah yang mangakibatkan kematian guru besar Astina tersebut.
Setelah selesai Baratayuda, Puntadewa menjadi raja di Astina sebentar dengan gelar Prabu Kalimataya. Lalu di gantikan oleh cucu dari Arjuna yang bernama Parikesit dengan gelar Prabu Kresnadwipayana. Setelah tua, Puntadewa lalu memimpin adik-adiknya untuk naik ke Puncak Himalaya untuk mencapai nirwana. Disana satu persatu istri dan adik-adiknya meninggal, lalu hanya ia dan anjingnya lah yang sampai di pintu nirwana, di sana Batara Indra menolak membawa masuk anjing tersebut, namun puntadewa bersikeras membawanya masuk. Lalu
setelah perdebatan panjang anjing tersebut berubah menjadi Batara Darma dan ikut ke nirwana bersama Puntadewa.
Raden Werkudara atau Bima merupakan putra kedua dari Dewi Kunti dan Prabu Pandudewanata. Tetapi ia sesungguhnya adalah putra Batara Bayu dan Dewi Kunti sebab Prabu Pandu tidak dapat menghasilkan keturunan. Ini merupakan kutukan dari Begawan Kimindama. Namun akibat Aji Adityaredhaya yang dimiliki oleh Dewi Kunti, pasangan tersebut dapat memiliki keturunan.
Pada saat lahirnya, Werkudara berwujud bungkus. Tubuhnya diselubungi oleh selaput tipis yang tidak dapat disobek oleh senjata apapun. Hal ini membuat pasangan Dewi Kunthi dan Pandu sangat sedih. Atas anjuran dari Begawan Abiyasa, Pandu kemudian membuang bayi bungkus tersebut di hutan Mandalasara. Selama delapan tahun bungkus tersebut tidak pecah-pecah dan mulai berguling kesana kemari sehingga hutan yang tadinya rimbun menjadi rata dengan tanah. Hal ini membuat penghuni hutan kalang kabut. Selain itu para jin penghuni hutan pun mulai terganggu, sehingga Batari Durga, ratu dari semua makhluk halus, melapor pada Batara Guru, raja dari semua dewa. Lalu, raja para dewa itu memerintahkan Batara Bayu, Batari Durga, dan Gajah Sena, anak dari Erawata, gajah tunggangan Batara Indra, serta diiringi oleh Batara Narada untuk turun dan memecahkan bungkus bayi tersebut. Sebelum dipecahkan, Batari Durga masuk kedalam bungkus dan memberi sang bayi pakaian yang berupa, Kain Poleng Bang Bintulu (dalam kehidupan nyata, banyak ditemui di pulau Bali sebagai busana patung-patung yang
danggap sakral (kain poleng= kain kotak-kotak berwarna hitam dan putih), Gelang Candrakirana, Kalung Nagabanda, Pupuk Jarot Asem dan Sumping (semacam hiasan kepala) Surengpati. Setelah berbusana lengkap, Batari Durga keluar dari tubuh Bima, kemudian giliran tugas Gajah Sena memecahkan bungkus dari bayi tersebut. Oleh Gajah Sena kemudian bayi tersebut di tabrak, di tusuk dengan gadingnya dan diinjak-injak., anehnya bukannya mati tetapi bayi tersebut kemudian malah melawan, setelah keluar dari bungkusnya. Sekali tendang, Gajah Sena langsung mati dan lalu menunggal dalam tubuh si bayi. Lalu bungkus dari Werkudara tersebut di hembuskan oleh Batara Bayu sampai ke pangkuan Begawan Sapwani, yang kemudian dipuja oleh pertapa tersebut menjadi bayi gagah perkasa yang serupa Bima. Bayi tersebut kemudian diberi nama Jayadrata atau Tirtanata.
Nama-nama lain bagi Bima adalah Bratasena (nama yang di gunakan sewaktu masih muda), Werkudara yang berarti perut srigala, Bima, Gandawastratmaja, Dwijasena, Arya Sena karena di dalam tubuhnya menunggal tubuh Gajah Sena, Wijasena, Dandun Wacana, di dalam tubuhnya menunggal raja Jodipati yang juga adik dari Prabu Yudistira, Jayadilaga, Jayalaga, Kusumayuda, Kusumadilaga yang artinya selalu menang dalam pertempuran, Arya Brata karena ia tahan menderita, Wayunendra, Wayu Ananda, Bayuputra, Bayutanaya, Bayusuta, Bayusiwi karena ia adalah putra batara Bayu, Bilawa, nama samaran saat menjadi jagal di Wiratha, Bondan Peksajandu yang artinya kebal akan segala racun, dan Bungkus yang merupakan panggilan kesayangan Prabu Kresna.
Karena Bima adalah putra Batara Bayu, maka ia memiliki kesaktian untuk menguasai angin. Werkudara memiliki saudara Tunggal Bayu yaitu, Anoman, Gunung Maenaka, Garuda Mahambira, Ular Naga Kuwara,Liman/ Gajah Setubanda, Kapiwara, Yaksendra Yayahwreka, dan Pulasiya yang menunggal dalam tubuh Anoman sesaat sebelum perang Alengka terjadi (zaman Ramayana).
Werkudara yang bertubuh besar ini memiliki perwatakan berani, tegas, berpendirian kuat, teguh iman. Selama hidupnya Werkudara tidak pernah berbicara halus kepada siapapun termasuk kepada orang tua, dewa, dan gurunya, kecuali kepada Dewa Ruci, dewanya yang sejati, ia berbicara halus dan mau menyembah.
Selama hidupnya Werkudara berguru pada Resi Drona untuk olah batin dan keprajuritan, Begawan Krepa, dan Prabu Baladewa untuk ketangkasan menggunakan gada. Dalam berguru Werkudara selalu menjadi saingan utama bagi saudara sepupunya yang juga sulung dari Kurawa yaitu Duryudana.
Para Kurawa selalu ingin menyingkirkan Pandawa karena menurut mereka Pandawa hanya menjadi batu sandungan bagi mereka untuk mengusasai kerajaan Astina. Kurawa menganggap kekuatan Pandawa terletak pada Werkudara karena memang ia adalah yang terkuat diantara kelima Pandawa, sehingga suatu hari atas akal licik Patih Sengkuni yang mendalangi para Kurawa merencanakan untuk meracun Werkudara. Kala itu saat Bima sedang bermain, dpanggilnya ia oleh Duryudana dan diajak minum sampai mabuk dimana minuman itu di beri racun. Setelah Werkudara jatuh tak sadarkan diri, ia di gotong oleh para kurawa dan dimasukkan kedalam Sumur Jalatunda dimana terdapat ribuan ular berbisa di sana. Kala itu, datanglah Sang Hyang Nagaraja, penguasa Sumur Jalatunda membantu Werkudara, lalu olehnya Werkudara diberi kesaktian agar kebal akan bisa apapun dan mendapat nama baru dari San Hyang Nagaraja yaitu Bondan Peksajandu.
Akal para Kurawa untuk menyingkirkan Pandawa belum habis, mereka lalu menantang Yudistira untuk melakukan timbang yang menang akan mendapatkan Astina seutuhnya. Jelas saja Pandawa akan kalah karena seratus satu orang melawan lima, namun Werkudara memiliki akal, ia meminta kakaknya menyisakan sedikit tempat buat dirinya. Werkudara lalu mundur beberapa langkah, lalu meloncat dan menginjak tempat yang disisakan kakaknya, sesaat itu pulalah, para Kurawa yang duduk paling ujung menjadi terpental jauh. Para Kurawa yang terpental sampai ke
negri-negri sebrang itu yang kemudian dalam Baratayuda dinamai “Ratu Sewu Negara.” Diantaranya adalah Prabu Bogadenta dari kerajaan Turilaya, Prabu Gardapati dari kerajaan Bukasapta, Prabu Gardapura yang menjadi pendamping Prabu Gardapati sebagai Prabu Anom, Prabu Widandini dari kerajaan Purantura, dan Kartamarma dari kerajaan Banyutinalang. Cerita ini dikemas dalam satu lakon yang dinamai Pandawa Timbang.
Belum puas dengan usaha-usaha mereka, Kurawa kembali ingin mencelakakan Pandawa lewat siasat licik Sengkuni. Kali ini Para Pandawa diundang untuk datang dalam acara penyerahan kekuasaan Amarta dan di beri suatu pesanggrahan yang terbuat dari kayu yang bernama Bale Sigala-gala. Acara penyerahan tersebut diulur-ulur hingga larut malam dan para Pandawa kembali di buat mabuk. Setelah para Pandawa tertidur, hanya Bima yang masih terbangun karena Bima menolak untuk ikut minum- minuman keras. Pada tengah malam, Para Kurawa yang mengira
Pandawa
telah
tidur
mulai
membakar
pesanggrahan.
Sebelumnya
Arjuna
memperbolehkan enam orang pengemis untuk tidur dan makan di dalam pesanggrahan karena merasa kasihan. Saat kebakaran terjadi Bima langsung menggendong ibu, kakak, dan adikadiknya kedalam terowongan yang telah dibuat oleh Yamawidura, yang mengetahui akal licik Kurawa. Mereka lalu dibimbing oleh garangan putih yang merupakan jelmaan dari Sang Hyang Antaboga. Sampai di kayangan Sapta Pratala. Di sini Werkudara kemudian berkenalan dan menikah dengan putri Sang Hyang Antaboga yang beranama Dewi Nagagini. Dari perkawinan itu mereka memiliki sorang putra yang kelak menjadi sangat sakti dan ahli perang dalam tanah yang dinamai Antareja. Setelah para Pandawa meninggalkan kayangan Sapta Pratala, mereka memasuki hutan. Di tengah Hutan para Pandawa bertemu dengan Prabu Arimba yang merupakan putra dari Prabu Tremboko yang pernah dibunuh Prabu Pandu atas hasutan Sengkuni. Mengetahui asal usul para Pandawa, Prabu Arimba kemudian ingin membunuh mereka, tetapi dapat dihalau dan akhirnya tewas di tangan Werkudara. Namun Adik dari Prabu Arimba bukannya benci tetapi malah menaruh hati pada Werkudara. Sebelum mati Prabu Arimba menitipkan adiknya Dewi Arimbi kepada Werkudara. Karena Arimbi adalah seorang rakseksi, maka Werkudara menolak cintanya. Lalu Dewi Kunti yang melihat ketulusan cinta dari Dewi Arimbi bersabda, “ Duh ayune, bocah iki...” (Duh cantiknya, anak ini..!) Tiba-tiba, Dewi Arimbi yang buruk rupa itu menjadi cantik dan lalu diperistri oleh Werkudara. Pasangan ini akhirnya
memiliki seorang putra yang ahli perang di udara yang dinamai Gatotkaca. Gatotkaca lalu juga diangkat sebagai raja di Pringgandani sebagai pengganti pamannya, Prabu Arimba.
Pada saat berada di hutan setelah kejadian Bale Sigala-gala, ibunya meminta Werkudara dan Arjuna untuk mencari dua bungkus nasi untuk Nakula dan Sadewa yang kelaparan. Werkudara datang kesebuah negri bernama Kerajaan Manahilan dan di sana ia menjumpai Resi Hijrapa dan istrinya yang menangis. Saat ditanyai penyebabnya, mereka menjawab bahwa putra mereka satu satunya mendapat giliran untuk dimakan oleh raja di negri tersebut. Raja dari negri tersebut yang bernama Prabu Baka atau Prabu Dawaka memang gemar memangsa manusia. Tanpa pikir panjang, Werkudara langsung menawarkan diri sebagai ganti putra pertapa tersebut. Saat dimakan oleh Prabu Baka, bukannya badan dari Werkudara yang sobek tetapi gigi dari Prabu Baka yang putus. Hal ini menyebabkan murkanya Prabu Baka. Tetapi dalam perkelahian melawan Werkudara, Prabu Baka tewas dan seluruh rakyat bersuka ria karena raja mereka yang gemar memangsa manusia telah meninggal. Oleh rakyat negri tersebut Werkudara akan dijadikan raja, namun Werkudara menolak. Saat ditanyai apa imbalan yang ingin diperoleh, Werkudara menjawab ia hanya ingin dua bungkus nasi. Lalu setelah mendapat nasi tersebut Werkudara kembali ke hutan dan kelak keluarga pertapa itu bersedia menjadi tumbal demi kejayaan Pandawa di Baratayuda Jayabinangun. Sementara Arjuna juga berhasil mendapatkan dua bungkus nasi dari belas kasihan orang. Dewi Kunti pun berkata “Arjuna, makanlah sendiri nasi tersebut!” Dewi Kunti selalu mengajarkan bahwa dalam hidup ini kita tidak boleh menerima sesuatu dari hasil iba seseorang.
Selain Gatotkaca dan Antareja, Werkudara juga mamiliki putra yang ahli perang dalam air yaitu Antasena, Putra Bima dengan Dewi Urangayu, putri dari Hyang Mintuna, dewa penguasa air tawar. Para tetua Astina merasa sedih karena mereka mengira Pandawa telah meninggal karena mereka menemukan enam mayat di pesanggrahan yang habis terbakar itu. Kurawa yang sedang bahagia kemudian sadar bahwa Pandawa masih hidup saat mereka mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Drupadi. Para Pandawa yang diwakilkan Werkudara dapat memenangkan sayembara
denagn membunuh Gandamana. Disaat yang sama hadir pula Sengkuni dan Jayajatra yang ikut sayembara mewakili Resi Drona tetapi kalah. Dari Gandamana, Werkudara memperoleh aji-aji Wungkal Bener, dan Aji-aji Bandung Bandawasa. Setelah memenangkan sayembara tersebut, Werkudara mempersembahkan Dewi Drupadi kepada kakaknya, Puntadewa.
Setelah mengetahui bahwa Pandawa masih hidup, para tetua Astina seperti Resi Bisma, Resi Drona, dan Yamawidura mendesak Prabu Destarastra untuk memberikan Pamdawa hutan Wanamarta, denagn tujuan agar Kurawa dan Pandawa tidak bersatu dan menghindarkan perang saudara. Akhirnya Destarastra menyetujuinya. Para Pandawa lalu dihadiahi hutan Wanamarta yang terkenal angker. Dan dengan usaha yang keras akhirnya mereka dapat mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Amarta. Werkudara pun berhasil mengalahkan adik dari raja jin, Prabu Yudistira, yang bersemayam di Jodipati yang bernama Dandun Wacana. Dadun Wacana kemudian menyatu dalam tubuh Werkudara. Lalu, Werkudara mendapat warisan Gada Lukitasari selain itu, Werkudara juga mendapat nama Dandun Wacana. Sebagai raja di Jodipati, Werkudara bergelar Prabu Jayapusaka dengan Gagak Bongkol sebagai patihnya. Werkudara juga pernah menjadi raja di Gilingwesi dengan gelar Prabu Tugu Wasesa.
Pada saat Pandawa kalah dalam permainan judi dengan kurawa, para pandawa harus hidup sebagai buangan selama 12 tahun di hutan dan 1 tahun menyamar. Dalam penyamaran tersebut, Werkudara menyamar sebagai jagal atau juru masak istana di negri Wiratha dengan nama Jagal Abilawa. Di sana ia berjasa membunuh Kencakarupa, Rupakenca dan Rajamala yang bertujuan memberontak. Sesungguhnya ia membunuh Kencakarupa dan Rupakenca dengan alasan keduannya ingin memperkosa Salindri yang tidak lain adalah istri kakaknya, Puntadewa, Dewi Drupadi yang sedang menyamar.
Pernah Bima diminta oleh gurunya, Resi Drona, untuk mencari Tirta Prawitasari atau air kehidupan di dasar samudra. Sebenarnya Tirta Prawitasari itu tidak ada di dasar samudra tetapi ada di dasar hati tiap manusia dan perintah gurunya itu hanyalah jebakan yang di rencanakan
oleh Sengkuni dengan menggunakan Resi Drona. Namun Bima menjalaninya dengan sungguhsungguh. Ia mencari tirta Prawitasari itu sampai ke dasar samudra di Laut Selatan. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan dua raksasa besar yang menghadang. Kedua raksasa itu bernama Rukmuka dan Rukmakala yang merupakan jelmaan dari Batara Indra dan Batara Bayu yang di sumpah oleh Batara Guru menjadi raksasa. Setelah berhasil membunuh kedua rakasasa tersebut dan setelah raksasa tersebut berubah kembali ke ujud aslinya dan kembali ke kayangan, Werkudara melanjutkan peprjalanannya. Sesampainya di samudra luas ia kembali diserang oleh seekor naga bernama Naga Nemburnawa. Dengan kuku pancanakanya, disobeknya perut ular naga tersebut. Setelah itu Werkudara hanya terdiam di atas samudra. Di sini lah ia bertemu dengan dewanya yang sejati, Dewa Ruci. Oleh Dewa Ruci, Werkudara kemudian diminta masuk kedalam lubang telinga dewa kerdil itu. Lalu Werkudara masuk dan mendapat wejangan tentang makna kehidupan. Ia juga melihat suatu daerah yang damai, aman, dan tenteram. Setelah itu Werkudara menjadi seorang pendeta bergelar Begawan Bima Suci dan mengajarkan apa yang telah ia peroleh dari Dewa Ruci. Werkudara juga pernah berjasa dalam menumpas aksi kudeta yang akan dilakukan oleh Prabu Anom Kangsa di negri Mandura. Kangsa adalah putra dari Dewi Maerah, permaisuri Prabu Basudewa, dan Prabu Gorawangsa dari Guwabarong yang sedang menyamar sebagai Basudewa. Saat itu Kangsa hendak menyingkirkan putra-putra Basudewa yaitu Narayana (kelak menjadi Kresna), Kakrasana (kelak menjadi Baladewa, raja pengganti ayahnya) dan Dewi Lara Ireng (kelak menjadi istri Arjuna yang bernama Wara Sumbadra). Dalam lakon berjudul Kangsa Adu Jago itu, Werkudara berhasil menyingkirkan Patih Suratimantra dan Kangsa sendiri tewas oleh putra-putra Basudewa, Kakrasana dan Narayana. Sejak saat itulah hubungan kekerabatan antara Pandawa dan Kresna serta Baladewa menjadi lebih erat. Dalam lakon Bima Kacep, Werkudara menjadi seorang pertapa untuk mendapat ilham kemenangan dalam Baratayuda. Ketika sedang bertapa datanglah Dewi Uma yang tertarik dengan kegagahan sang Werkudara. Mereka lalu berolah asmara. Namun, malang, Batara Guru, suami Dewi Uma, memergoki mereka. Oleh Batara Guru, alat kelamin Werkudara dipotong dengan menggunakan As Jaludara yang kemudian menjadi pusaka pengusir Hama bernama Angking Gobel. Dari hubungannya dengan Dewi Uma, Bima memiliki seorang putri lagi bernama Bimandari. Lakon ini sangat jarang dipentaskan. Dan beberapa dalang bahkan tidak mengetahui cerita ini.
Selain Ajian yang diwariskan oleh Gandamana, Werkudara juga memiliki Aji Blabak pangantolantol dan Aji Ketuklindu. Dalam hal senjata, Werkudara memiliki senjata andalan yaitu Gada Rujak Polo. Selain itu Werkudara juga memiliki pusaka Bargawa yang berbantuk kapak serta Bargawastra yang berbentuk anak panah. Anak panah tersebut tak dapat habis karena setiap kali digunakan, anak panah tersebut akan kembali ke pemiliknya. Ia pernah pula bertemu dengan Anoman, saudara tunggal Bayunya. Disana mereka bertukar ilmu, dimana Werkudara mendapat Ilmu Pembagian Jaman dari Anoman dan Anoman mendapat Ilmu Sasra Jendra Hayuningrat. Sebelumnya, arwah Kumbakarna yang masih penasaran dan ingin mencapai kesempurnaan juga menyatu di paha kiri Raden Werkudara dalam cerita Wahyu Makutarama yang menjadikan ksatria panegak Pandawa tersebut bertambah kuat.
Dalam perang besar Baratayuda Jayabinangun Werkudara berhasil membunuh banyak satria Kurawa, diantaranya, Raden Dursasana, anak kedua kurawa yang dihabisinya dengan kejam pada hari ke 16 Baratayuda untuk melunasi sumpah Drupadi yang hanya akan menyanggul dan mengeramas rambutnya setelah dikeramas dengan darah Dursasana setelah putri Pancala tersebut dilecehkan saat Pandawa kalah bermain dadu. Bima juga membunuh adik- adik Prabu Duryudana yang lain seperti, Gardapati di hari ke tiga Baratyuda, Kartamarma, setelah Baratayuda, dan Banyak lagi. Werkudara pun membunuh Patih Sengkuni di hari ke 17 dengan cara menyobek kulitnya dari anus sampai ke mulut untuk melunasi sumpah ibunya yang tidak akan berkemben jika tidak memakai kulit Sengkuni saat Putri Mandura tersebut dilecehkan Sengkuni pada pembagian minyak tala. Hal tersebut juga sesuai dengan kutukan Gandamana yang pernah dijebak Sengkuni demi merebut posisi mahapatih Astina bahwa Sengkuni akan mati dengan tubuh yang dikuliti.
Pada hari terakhir Baratayuda, semua perwira Astina telah gugur, tinggal saingan terbesar Werkudaralah yang tersisa yaitu raja Astina sendiri, Prabu Duryudana. Pertarungan ini diwasiti oleh Prabu Baladewa sendiri yang merupakan guru dari kedua murid dengan aturan hanya boleh
memukul bagian tubuh pinggang keatas. Dalam pertarungan itu Duryudana tubuhnya telah kebal dan hanya paha kirinya yang tidak terkena minyak tala, karena ia tidak mau membuka kain penutup kemaluannya yang masih menutupi paha kirinya saat Dewi Gendari mengoleskan minyak tersebut ke tubuh Duryudana. Banyak pihak yang menyalah artikan paha ini dengan mengatakan betis kiri. Sebenarnya yang betul adalah paha karena dalam bahasa Jawa wentis adalah paha bukan betis. Duryudana yang mencoba memukul paha kiri Werkudara gagal karena di paha kiri Werkudara bersemayam arwah Kumbakarna yang mengakibatkan paha kiri Bima menjadi sangat kuat, ditempat lain Werkudara mulai kewalahan karena Duryudana kebal akan segala pukulan Gada Rujak Polonya. Untunglah Arjuna dari kejauhan memberi isyarat dengan menepuk paha kiri nya. Werkudara yang waspada dengan isyarat adiknya itu langsung menghantamkan gadanya di paha kiri Duryudana, dalam dua kali pukul Duryudana sekarat, oleh Werkudara, Duryudana lalu dihabisi dengan menghancurkan wajahnya sehingga tak berbentuk. Baladewa yang melihat hal itu menganggap Werkudara berbuat curang dan hendak menghukumnya, namun atas penjelasan dari Prabu Kresna akan kecurangan yang dilakukan terlebih dulu oleh Duryudana dan kutukan dari Begawan Maetreya akhirnya Prabu Baladewa mau memaafkannya. Saat Begawan Maetreya datang menghadap Duryudana dan memberi nasehat tentang pemberian setengah kerajaan kepada Pandawa, Duryudana hanya duduk dan berkata, seorang pendeta seharusnya hanya berpendapat jika sang raja memintanya, sambil menepuk-nepuk paha kirinya. Bagi Begawan Maetreya hal ini dianggap sebagai penghinaan, ia lalu menyumpahi Prabu Duryudana kelak mati dengan paha sebelah kiri yang hancur.
Setelah Baratayuda usai, Para Pandawa datang menghadap Prabu Destarastra dan para tetua Astina lainnya. Ternyata Destarastra masih menyimpan dendam pada Werkudara yang mendengar bahwa banyak putranya yang tewas di tangan Werkudara terutama Dursasana yang di bunuhnya dengan kejam. Saat para Pandawa datang untuk memberi sembah sungkem pada Destarastra, diam-diam Destarastra membaca mantra Aji Lebursaketi untuk menghancurkan Werkudara, namun, Prabu Kresna yang tahu akan hal itu mendorong Werkudara kesamping sehingga yang terkena aji-aji tersebut adalah arca batu. Seketika itu pulalah arca tersebut hancur menjadi abu. Destarastra kemudian mengakui kesalahannya dan iapun mundur dari pergaulan masyarakat dan hidup sebagai pertapa di hutan bersama istrinya dan Dewi Kunti. Beberapa
pakem wayang mengatakan bahwa Prabu Destarastra telah tewas sebelum pecah perang Baratayuda saat Kresna menjadi Duta Pandawa ke Astina. Saat itu ia tewas terinjak-injak putraputranya yang berlarian karena takut akan kemarahan Prabu Kresna yang telah menjadi Brahala.
Akhir riwayatnya, Werkudara mati moksa bersama-sama saudara-saudaranya dan Dewi Drupadi.
Wayang Bima ditampilkan dalam beberapa wanda yaitu wanda Mimis, Lintang, Lindu Panon, Lindu Bmabang, Tatit, Ketug, Jagor, Kedu, Gandu, Jagong, Bedil, Mbugis, dan Gurnat.
Raden Arjuna adalah putra ketiga dari pasangan Dewi Kunti dan Prabu Pandu atau sering disebut dengan ksatria Panengah Pandawa. Seperti yang lainnya, Arjuna pun sesungguhnya bukan putra Pandu, namun ia adalah putra dari Dewi Kunti dan Batara Indra. Dalam kehidupan orang jawa, Arjuna adalah perlambang manusia yang berilmu tingga namun ragu dalam bertindak. Hal ini nampak jelas sekali saat ia kehilangan semangat saat akan menghadapi saudara sepupu, dan guru-gurunya di medan Kurusetra. Keburukan dari Arjuna adalah sifat sombongnya. Karena merasa tangguh dan juga tampan, pada saat mudannya ia menjadi sedikit sombong.
Arjuna memiliki dasanama sebagai berikut : Herjuna, Jahnawi, Sang Jisnu, Permadi sebagai nama Arjuna saat muda, Pamade, Panduputra dan Pandusiwi karena merupakan putra dari Pandu, Kuntadi karena punya panah pusaka, Palguna karena pandai mengukur kekuatan lawan, Danajaya karena tidak mementingkan harta, Prabu Kariti saat bertahta menjadi raja di kayangan Tejamaya setelah berhasil membunuh Prabu Niwatakaca, Margana karena dapat terbang tanpa sayap, Parta yang berarti berbudi luhur dan sentosa, Parantapa karena tekun bertapa, Kuruprawira dan Kurusatama karena ia adalah pahlawan di dalam baratayuda, Mahabahu karena memiliki tubuh kecil tetapi kekuatannya besar, Danasmara karena tidak pernah menolak cinta manapun, Gudakesa, Kritin, Kaliti, Kumbawali, Kumbayali, Kumbang Ali-Ali, Kuntiputra, Kurusreta, Anaga, Barata, Baratasatama, Jlamprong yang berarti bulu merak adalah panggilan kesayangan Werkudara untuk Arjuna, Siwil karena berjari enam adalah panggilan dari Prabu Kresna, Suparta, Wibaksu, Tohjali, Pritasuta, Pritaputra, Indratanaya dan Indraputra karena merupakan putra dari Batara Indra, dan Ciptaning dan Mintaraga adalah nama yang digunakan saat bertapa di gunung Indrakila. Arjuna sendiri berarti putih atau bening.
Pada saat lahir, sukma Arjuna yang berwujud cahaya yang keluar dari rahim ibunya dan naik ke kayangan Kawidaren tempat para bidadari. Semua bidadari yang ada jatuh cinta pada sukma Arjuna tersebut yang bernama Wiji Mulya. Kegemparan tersebut menimbulkan kemarahan para dewa yang lalu menyerangnya. Cahaya yang samar samar tersebut lalu berubah menjadi sesosok manusia tampan yang berpakaian sederhana.
Hilangnya sukma Arjuna dari tubuh Dewi Kunthi menyebabkan kesedihan bagi Prabu Pandu. Atas nasehat Semar, Pandu lalu naik ke kayangan dan meminta kembali putranya setelah diberi wejangan oleh Batara Guru.
Sejak muda, Arjuna sudah gemar menuntut ilmu. Ia menuntut ilmu pada siapapun. Menurutnya lingkungan masyarakat adalah gudang dari ilmu. Guru-gurunya antara lain adalah Resi Drona, dari Resi Dona ia mendapat senjata ampuh yang bernama panah Cundamanik dan Arya Sengkali,
yang kedua adalah Begawan Krepa, Begawan Kesawasidi, Resi Padmanaba, dan banyak pertapa sakti lainnya. Dalam kisah Mahabarata, Arjuna berguru pada Ramaparasu, namun dalam kisah pewayangan, hal tersebut hampit tidak pernah disinggung. Dalam pewayangan diceritakan bahwa Arjuna memiliki lebih dari 40 orang istri namun hanya beberapa saja yang terkenal dan sering di singgung dalam pedalangan. Istri-istri Arjuna adalah sebagai berikut : - Endang Jimambang berputra Bambang Kumaladewa dan Bambang Kumalasekti - Dewi Palupi atau Dewi Ulupi berputra Bambang Irawan - Dewi Wara Sumbadra berputra Raden Angkawijaya atau Raden Abimanyu. - Dewi Srikandi tidak berputra - Dewi Ratri berputra Bambang Wijanarka - Dewi Dresnala berputra Bambang Wisanggeni - Dewi Juwitaningrat berputra Bambang Senggoto yang beujud raksasa - Endang Manuhara berputri Dewi Pregiwa dan Dewi Manuwati - Dewi Banowati berputri Endang Pergiwati (diasuh oleh Endang Manuhara) - Dewi Larasati berputra Bambang Sumitra dan Bambang Brantalaras - Dewi Gandawati berputra Bambang Gandakusuma - Endang Sabekti berputra Bambang Priyembada - Dewi Antakawulan berputra Bambang Antakadewa - Dewi Supraba berputra Bambang Prabakusuma - Dewi Wilutama berputra Bambang Wilugangga - Dewi Warsiki tidak diketahui putranya - Dewi Surendra tidak diketahui putranya - Dewi Gagarmayang tidak diketahui putranya - Dewi Tunjungbiru tidak diketahui putranya - Dewi Leng-Leng Mulat tidak diketahui putranya - Dewi Citranggada berputra Bambang Babruwahana - Dewi Lestari tidak berputra - Dewi Larawangen tidak berputra - Endang Retno Kasimpar tidak berputra - Dewi Citrahoyi tidak berputra
- Dewi Manukhara tidak berputra
Banyaknya istri yang dimiliki Arjuna ini dalam cerita pewayangan bukanlah merupakan gambaran seseorang yang serakah istri atau mata keranjang, namun gambaran bahwa Arjuna dapat menerima dan diterima oleh semua golongan.
Ketika muda, Arjuna pernah ingin memperistri Dewi Anggraini, istri Prabu Ekalaya atau juga sering disebut Prabu Palgunadi dari kerajaan Paranggelung. Saat itu Arjuna yang ingin memaksakan kehendaknya mengakibatkan Dewi Anggraini bunuh diri karena ia hanya setia pada suaminya. Prabu Ekalaya yang mengetahui hal itu menantang Arjuna, namun kehebatan Prabu Ekalaya ternyata lebih dari Arjuna. Arjuna lalu mengadu pada Drona. Ia beranggapan gurunya telah ingkar janji dengan pernah menyebutkan tidak akan pernah mengajari memanah kepada siapapun selain Arjuna. Resi Drona lalu pergi kepada Prabu Ekalaya. Prabu Ekalaya memang adalah penggemar dari Resi Drona, namun karena ia tak dapat berguru secara langsung, ia menciptakan arca Drona di istananya untuk diajak bicara dadn berlatih. Oleh Drona hal tersebut dianggap sebagai suatu hal terlarang dengan memasang arcanya di sana. Maka sebagai gantinya Resi Drona lalu meminta Cincin Mustika Ampal yang telah tertanam di ibu jari Prabu Ekalaya. Oleh drona jari tersebut lalu dipotong lalu di tempelkan pada jari Arjuna. Sejak itulah Arjuna memiliki enam jari pada tangan kanannya. Hal ini dalam bahasa Jawa disebut siwil. Saat bertemu dengan Arjuna lagi, Prabu Ekalaya kalah. Saat itu ia menyadari bahwa ia telah diperdaya, maka sebelum mati ia berkata akan membalas dendam pada Drona kelak dalam Perang Baratayuda.
Arjuna memiliki banyak sekali senjata dan aji-aji.Senjata-senjata Arjuna antara lain adalah Panah Gendewa dari Batara Agni setelah ia membantu Batara Agni melawan Batar Indra dengan membakar Hutan Kandawa, Panah Pasopati dari Kirata, seorang pemburu jelmaan Batara Guru, sebelum Arjuna membunuh Niwatakaca, Mahkota Emas dan berlian dari Batara Indra, setelah ia mengalahkan Prabu Niwatakaca dan menjadi Raja para bidadari selama tujuh hari, keris Pulanggeni, keris Kalanadah yang berasal dari taring Batara Kala, Panah Sarotama, Panah
Ardadali, Panah Cundamanik, Panah Brahmasirah, Panah Angenyastra, dan Arya Sengkali, keempatnya dari Resi Drona, Minyak Jayangketon dari Begawan Wilawuk, mertuanya, pusaka Mercujiwa, panah Brahmasirah, cambuk kyai Pamuk, panah Mergading dan banyak lagi. Selain itu aji-aji yang dimiliki Arjuna adalah sebagai berikut : - Aji Panglimunan/Kemayan : dapat menghilang - Aji Sepiangin : dapat berjalan tanpa jejak - Aji Tunggengmaya : dapat mencipta sumber air - Aji Mayabumi : dapat meperbesar wibawa dalam pertempuran - Aji Mundri/Maundri/Pangatep-atep : dapat menambah berat tubuh - Aji Pengasihan : menjadi dikasihi sesama - Aji Asmaracipta : menambah kemampuan olah pikir - Aji Asmaratantra : menambah kekuatan dalam perang - Aji Asmarasedya : manambah keteguhan hati dalam perang - Aji Asmaraturida : meanmbah kekuatan dalam olah rasa - Aji Asmaragama : menambah kemampuan berolah asmara - Aji Anima : dapat menjadi kecil hingga tak dapat dilihat - Aji Lakuna : menjadi ringan dan dapat melayang - Aji Prapki : sampai tujuan yang diinginkan dalam sekejap mata - Aji Matima/Sempaliputri : dapat mengubah wujudnya. - Aji Kamawersita : dapat perkasa dalam olah asmara
Arjuna pernah membantu Demang Sagotra rukun dengan istrinya saat ia mencari nasi bungkus untuk Nakula dan Sadewa setelah peristiwa Balesigala-gala. Konon hal ini yang membuat Demang Sagotra rela menjadi tawur kemenangan Pandawa kelak dalam Perang Baratayuda Jayabinangun.
Setelah Pandawa dihadiahi hutan Kandaprasta yang terkenal angker, Arjuna bertemu dengan Begawan Wilawuk yang sedang mencarikan pria yang diimpikan putrinya. Saat itu Begawan Wilawuk yang berujud raksasa membawa Arjuna dan menikahkannya dengan putrinya, Dewi
Jimambang. Konon ini adalah istri pertama dari Arjuna. Dari mertuanya, ia mendapat warisan minyak Jayangketon yang berhasiat dapat melihat makhluk halus jika dioleskan di pelupuk mata. Minyak ini berjasa besar bagi para Pandawa yang saat itu berhadapan dengan Jin Yudistira dan saudara-saudaranya yang tak dapat dilihat mata biasa. Saat itu pulalah Arjuna dapat mengalahkan Jin Dananjaya dari wilayah Madukara. Jin Danajaya lalu merasuk dalam tubuh Arjuna. Selain mendapat nama Dananjaya, Arjuna juga memperoleh wilayah kesatrian di Madukara dengan Patih Suroto sebagai patihnya.
Saat menjadi buangan selama 12 tahun di hutan setelah Puntadewa kalah dalam permainan dadu Arjuna pernah pergi untuk bertapa di gunung Indrakila dengan nama Begawan Mintaraga. Dia saat yang sama Prabu Niwatakaca dari kerajaan Manimantaka yang meminta Dewi Supraba yang akan dijadikan istrinya. Saat itu tak ada seorang dewapun yang dapat menandingi kehebatan Prabu Niwatakaca dan Patihnya Ditya Mamangmurka. Menurut para dewa, hanya Arjunalah yang sanggup menaklukan raja raksasa tersebut. Batara Indra lalu mengirim tujuh bidadari untuk memberhentikan tapa dari Begawan Mintaraga. Ketujuh bidadari tersebut adalah Dewi Supraba sendiri, Dewi Wilutama, Dewi Leng-leng Mulat, Dewi Tunjungbiru, Dewi Warsiki, Dewi Gagarmayang dan Dewi Surendra. Tetapi ketujuh bidadari tersebut tetap saja tidak berhasil menggerakkan sang pertapa dari tempat duduknya. Setelah ketujuh bidadari tersebut kembali ke kayangan dan melaporkan kegagalannya, tiba-tiba munculah seorang raksasa besar yang mengobrak-abrik gunung Indrakila. Oleh Ciptaning, Buta tersebut di sumpah menjadi seekor babi hutan. Lalu babi hutan tersebut dipanahnya. Disaat yang bersamaan panah seorang pemburu yang bernama Keratapura. Setelah melalui perdebatan panjang dan perkelahian, ternyata Arjuna kalah. Arjuna lalu sadar bahwa yang dihadapinya tersebut adalah Sang Hyang Siwa atau Batara Guru. Ia lalu menyembah Batara Guru. Oleh Bataar Guru Arjuna diberi panah Pasopati dan diminta
mengalahkan
Prabu
Niwatakaca.
Ternyata mengalahkan Prabu Niwatakaca tidak semudah yang dibayangkan. Arjuna lalu meminta bantuan Batari Supraba. Dengan datangnya Dewi Supraba ke tempat kediaman Prabu
Niwatakaca, membuat sang Prabu sangat senang karena ia memang telah keseng-sem dengan sang dewi. Prabu Niwatakaca yang telah lupa daratan tersebut menjawab semua pertanyaan Dewi Supraba, sedang Arjuna bersembunyi di dalam gelungnya. Pertanyaan tersebut diantaranya adalah dimana letak kelemahan Prabu Niwatakaca, sang Prabu dengan tenang menjawab, kelemahannya ada di lidah. Seketika itu Arjuna muncul dan melawan Prabu Niwatakaca. Karena merasa di permainkan, Prabu Niwatakaca membanting Arjuna dan mengamuk sejadi-jadinya. Saat itu Arjuna hanya berpura-pura mati. Ketika Niwatakaca tertawa dan sesumbar akan kekuatannya, Arjuna lalu melepaskan panah Pasopatinya tepat kedalam mulut sang prabu dan tewaslah Niwatakaca.
Arjuna lalu diangkat menjadi raja di kayangan Tejamaya, tempat para bidadari selama tujuh hari (satu bulan di kayangan = satu hari di dunia). Arjuna juga boleh memilih 40 orang bidadari untuk menjadi istrinya dimana ketujuh bidadari yang menggodanya juga termasuk dalam ke-40 bidadari tersebut dan juga Dewi Dresnala, Putri Batara Brahma. Selain itu Arjuna juga mendapat mahkota emas berlian dari Batara Indra, panah Ardadali dari Batara Kuwera, dan banyak lagi. Arjuna juga diberi kesempatan untuk mengajukan suatu permintaan. Permintaan Arjuna tersebut adalah agar Pandawa jaya dalam perang Baratayuda. Hal ini menimbulkan kritik keras dari Semar yang merupakan pamong Arjuna yang menganggap Arjuna kurang bijaksana. Menurut Semar, Arjuna seharusnya tidak egois dengan memikirkan diri sendiri dan tidak memikirkan keturunan Pandawa lainnya. Dan memang benar, kesemua Putra Pandawa yang terlibat dalam Perang Baratayuda tewas.
Di saat Arjuna sedang duduk-duduk tiba-tiba datanglah Dewi Uruwasi. Dewi Uruwasi yang telah jatuh cinta terhadap Arjuna meminta dijadikan istrinya. Arjuna menolak secara halus, namun Dewi Uruwasi yang sudah buta karena cinta tetap mendesak. Karena Arjuan tetap menolak, Dewi Uruwasi mengutuknya akan menjadi banci kelak. Arjuna yang sedih dengan kutukan tersebut dihibur Batara Indra. Menurut Batara Indra hal tersebut akan berguna kelak dan tak perlu disesali.Setelah kembali dari Kayangan, Arjuna dan saudara-saudaranya harus menyamar di negri Wirata. Dan disinilah kutukan Dewi Uruwasi berguna. Arjuna lalu menjadi guru tari dan
kesenian, dan menjadi banci yang bernama Kendri Wrehatnala. Di akhir penyamarannya, Arjuna kembali menjadi seorang ksatria dan mengusir para kurawa yang ingin mnghancurkan kerajaan Wirata. Arjuna lalu akan dikawinkan dengan Dewi Utari namun Arjuna meminta agar Dewi Utari dikawinkan dengan putranya yaitu Raden Abimanyu.
Kendati Arjuna adalah seorang berbudi luhur namun ia tetap tidak dapat luput dari kesalahan. Hal ini menyangkut hal pilih kasih. Saat putranya Bambang Sumitra akan menikah dengan Dewi Asmarawati, Arjuna terlihat acuh tak acuh. Oleh Semar, lalu acara tersebut diambil alih sehingga pesta tersebut berlangsung dengan sangat meriah dengan mengadirkan dewa-dewa dan dewidewi dari kayangan. Arjuna kemudian sadar akan kekhilafannya dalam hal pilih-pilih kasih. Suatu pelajaran yang dapat dipetik disini adalah sebagai orang tua hendaknya tidak memilihmilih kasih pada anak-anaknya.
Dalam perang Baratayuda Arjuna menjadi senopati Agung Pandawa yang berhasil membunuh banyak satriya Kurawa dan juga senotapi-senopati lainnya. Yang tewas di tangan Arjuna antara lain Raden Jayadrata yang telah membunuh putra kesayangannya yaitu Abimanyu, Prabu Bogadenta, Raden Citraksa, Raden Citraksi, Raden Burisrawa, dan Adipati Karna. Masih dalam Baratayuda, Arjuna yang baru saja kehilangan putra kesayangannya menjadi kehilangan semangat, ditambah lagi guru dan saudara-saudaranya satu-persatu gugur di medan Kurusetra. Prabu Kresna lalu memberi nasihat bahwa dalam perang itu tidak ada kawan-lawan, kakak-adik ataupun guru-murid semuanya adalah takdir dan harus dijalani. Ajaran ini dikenal dengan nama Bagawat Gita. Yang membuat semangat ksatria penengah pandawa tersebut kembali menyala saat akan berhadapan dengan Adipati Karna, saudara tua seibu.
Setelah Perang Baratayuda berakhir, Dewi Banowati yang memang telah lama berselingkuh dengan Arjuna kemudian diperistrinya. Sebelumnya Arjuna telah memiliki seorang putri dari Dewi Banowati. Di saat yang sama Prabu Duryudana yang mulai curiga dengan hubungan istrinya dan Arjuna lalu berkata bahwa jika yang lahir bayi perempuan, itu adalah putri dari
Arjuna dan Banowati akan diusir tetapi jika itu laki-laki maka itu adalah putranya. Saat bayi tersebut lahir ternyata adalah seorang perempuan. Banowati sangat panik akan hal itu. Namun atas pertolongan Kresna, bayi tersebut ditukar sebelum Prabu Duryudana melihatnya. Bayi perempuan yang lalu diasuh oleh Dewi Manuhara, istri Arjuna yang lain kemudian di beri nama Endang Pergiwati. Karena kelahirannya hampir sama dengan putri Dewi Manuhara yang bernama Endang Pergiwa, lalu keduanya di aku kembar. Sedang untuk putra dari Dewi Banowati dan Prabu Duryudana, Prabu Kresna mengambil seorang anak gandrawa dan diberi nama Lesmana Mandrakumara. Karena ia adalah anak gandrawa yang dipuja menjadi manusia, maka Lesmana Mandrakumara memiliki perwatakan yang cengeng dan agak tolol. Malang bagi Dewi Banowati, pada malam ia sedang mengasuh Parikesit, ia dibunuh oleh Aswatama yang bersekongkol dengan Kartamarma dan Resi Krepa untuk membunuh Parikesit yang masih Bayi. Dihari yang sama Dewi Srikandi, dan Pancawala juga dibunuh saat sedang tidur. Untunglah bayi parikesit yang menangis lalu menendang senjata Pasopati yang di taruh Arjuna di dekatnya dan membunuh
Aswatama.
Arjuna yang sedang sedih karena Banowati telah dibunuh bersama Dewi Srikandi lalu mencari seorang putri yang mirip dengan Dewi Banowati. Putri tersebut adalah Dewi Citrahoyi, istri Prabu Arjunapati yang juga murid dari prabu Kresna. Prabu Kresna yang tanggap akan hal itu lalu meminta Prabu Arjunapati menyerahkan istrinya pada Arjuna. Prabu Arjunapati yang tersinggung akan hal itu menantang Prabu Kresna berperang dan dalam pertempuran itu Prabu Arjunapati gugur sampyuh dengan Patih Udawa dan Dewi Citrahoyi lalu menjadi istri Arjuna.
Setelah penguburan para pahlawan yang gugur dalam perang Baratayuda dan pengangkatan Prabu Puntadewa menjadi raja Astina dengan gelar Prabu Kalimataya, Arjuna melaksanakan amanat kakaknya dengan mengadakan Sesaji Korban Kuda atau disebut Sesaji Aswameda. Arjuna yang diiringi sepasukan tentara Astina lalu mengikuti seekor kuda kemanapun kuda itu berjalan dan kerajaan-kerajaan yang dilewati kuda tersebut harus tunduk pada Astina, jika tidak Arjuna dan pasukannya akan menyerang kerajaan tersebut. Semua kerajaan yang dilewati kuda
tersebut ternyata dapat dikalahkan. Arjuna lalu kembali ke Astina dan akhir hidupnya diceritakan mati moksa dengan keempat saudaranya dan Dewi Drupadi.
Dalam pewayangan gaya Yogyakarta, Arjuna memiliki beberapa wanda yaitu wanda Jenggleng, wanda Yudasmara, wanda Kinanthi, dan wanda Jangkung. note : untuk melihat beberapa wanda diatas silahkan kunjungi Album "Tokoh Raden"
Resminya, Nakula atau Pinten adalah putra dari Prabu Pandu dan Dewi Madrim. Namun karena Prabu Pandu tak dapat behubungan tubuh dengan istrinya, maka Dewi Madri yang telah diajari ilmu Adityaredhaya oleh Dewi Kunti memanggil dewa tabib kayangan yang juga dikenal sebagai dewa kembar. Batara Aswan-Aswin. Nakula adalah putra dar Batara Aswan sedang Sadewa adalah putra dari Batara Aswin. Raden Nakula memiliki perwatakan jujur, setia, taat pada orang tua dan tahu membalas budi serta dapat menjaga rahasia. Setelah 12 tahun menjadi buangan di hutan, Nakula beserta saudara-saudaranya menyamar di negri Wirata. Di sana Nakula menjadi seorang pelatih kuda kerajaan bernama Darmagrantika. Aji-aji yang dimiliki oleh Nakula adalah Aji Pranawajati yang berhasiat tak dapat lupa akan hal apapun. Aji ini ia dapat dari Ditya Sapujagad, seorang perwira Kerajaan Mertani di bawah kekuasaan Prabu Yudistira yang menyatu dalam tubuhnya. Nakula pun mendapat wilayah yang dulu diperintah oleh Sapujagad yaitu Sawojajar. Nakula juga memiliki cupu yang berisi Banyu Panguripan dari Batara Indra, cupu berisi Tirta Manik yang merupakan air kehidupan dari mertuannya Begawan Badawanganala. Raden Nakula menikah dengan Dewi Retna Suyati, putri dari Prabu Kridakerata dari Awu-Awu Langit dan berputra Bambang Pramusinta dan Dewi Pramuwati. Ia juga menikah dengan Dewi Srengganawati, putri Dari Begawan Badawanganala dari Gisik Samudra berputri Dewi Sritanjung. Saat perang Baratayuda berlangsung, Nakula dan Sadewa diutus Prabu Kresna untuk menemui Prabu Salya dengan membawa patrem (semacam pisau kecil) dan minta dibunuh karena tidak tahan melihat saudara-saudaranya mati karena tak ada satupun manusia yang sanggup menandingi Aji Candabirawa Prabu Salya. Prabu Salya yang terharu lalu memberikan rahasia kelemahannya kepada si kembar bahwa yang sanggup membunuhnya adalah Puntadewa yang berdarah putih.
Setelah Baratayuda selesai, Nakula diangkat menjadi raja di Mandrapati menggantikan Prabu Salya karena semua putranya tewas dalam perang Baratayuda. Diceritakan bahwa Nakula mati moksa bersama empat saudaranya dan Dewi Drupadi.
Raden Sadewa atau Tangsen yang merupakan saudara kembar dari Raden Nakula adalah bungsu dari Pandawa. Ia adalah putra dari Dewi Madrim dan Batara Aswin, dewa kembar bersama Batara Aswan, ayah Nakula.
Raden Sadewa memiliki perwatakan jujur, setia, taat pada orang tua dan tahu membalas budi serta dapat menjaga rahasia. Dalam hal olah senjata, sadewa ahli dalam penggunaan pedang. Nama-nama lain dari Sadewa adalah Sudamala, dan Madraputra.
Dalam penyamaran di Negri Wirata Sadewa menjadi pengurus taman kerajaan di Wirata bernama Tantripala.
Jika Nakula tak dapat lupa akan segala hal maka, Sadewa juga memiliki ingatan yang kuat serta ahli dalam hal menganalisis sesuatu. Sadewa juga ahli dalam hal Metafisika dan dapat tahu hal yang akan terjadi. Ini diperoleh dari Ditya Sapulebu yang dikalahkannya dan menyatu dalam tubuhnya saat Pandawa membuka hutan Mertani. Selain itu, Sadewa mendapatkan wilayah Bumiretawu atau juga disebut Bawertalun.
Sadewa menikah dengan Dewi Srengginiwati putri Begawan Badawanganala dan berputra Bambang Widapaksa. Selain itu Ia juga menikah dengan Dewi Rasawulan, putri dari Prabu Rasadewa dari kerajaan Selamiral. Menurut kabar, yang sanggup memperistri Dewi Rasawulan akan unggul dalam Baratayuda Di saat yang sama Arjuna dan Dursasana juga datang melamar, namun yang memenakan sayembara pilih itu hanyalah Sadewa karena ia sanggup menjabarkan apa arti cinta sebenarnya.
Sebelum pecah Baratayuda, ada dua raksasa penjelmaan Citraganda dan Citrasena yang bernama Kalantaka dan Kalanjaya yang datang ke Astina hendak membantu kerajaan Astina. Kedua raksasa tersebut sebenarnya hanyalah jin biasa, namun karena dikutuk oleh Batara Guru akibat mengintip Batara Guru dan Dewi Uma yang sedang mandi di telaga. Kehadiran kedua raksasa tersebut tenyata menimbulkan kegusaran dalam diri Dewi Kunti. Dewi Kunti lalu memohon pada Batari Durga agar kedua raksasa tersebut dimusnahkan. Batari Durga meminta Sadewa sebagai tumbalnya. Mendengar hal itu, Dewi Kunti tidak setuju dan kemudian kembali ke Amarta. Batari Durga kemudian menyuruk Kalika, seorang jin anak buahnya untuk menyusup kedalam tubuh Dewi Kunti. Dalam keadaan kerasukan, Dewi Kunti menyuruh sadewa sebagai tumbal dan diminta menghadap Batari Durga. Sadewa pun hanya menurut perintah ibu tirinya yang telah mengasuhnya dari kecil.
Sesampainya di hutan, Batari Durga minta diruwat oleh Sadewa menjadi putri yang cantik. Sadewa tidak sanggup melakukannya dan lalu akan dimangsa oleh Batari Durga. Sang Hyang Narada yang mengetahui hal itu lalu melaporkannya pada Batara Guru. Batara Guru lalu merasuk kedalam tubuh Sadewa dan meruwat Batari Durga. Kemudian kedua raksasa jelmaan Citraganda dan Citrasena dimusnahkan. Cerita ini dikenal dengan lakon Sudamala. Setelah perang baratayuda selesai, Sadewa memilih menjadi patih Hastina dan juga pendamping Puntadewa. Akhir hidupnya diceritakan mati moksa dengan saudara-saudaranya.
Dalam pewayangan gaya Yogyakarta, wayang Nakula dan Sadewa dibedakan oleh jamang lidi (semacam hiasan kepala) yang di tunjuk dalam gambar dibawah. Sadewa menggunakan jamang lidi sedang Nakula tidak.
Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia Filosofi, Biologis Semar Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik". Domisili semar adalah sebagai lurah karangdempel / (karang = gersang) dempel = keteguhan jiwa. Rambut semar "kuncung" (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan : akuning sang kuncung = sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya : "dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq ) yang maha pengasih serta penyayang umat". Kain semar Parangkusumorojo: perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayuhayuning bawono : mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi. ciri sosok semar adalah Semar berkuncung seperti kanak kanak,namun juga berwajah sangat tua Semar tertawannya selalu diakhiri nada tangisan Semar berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa Semar berprofil berdiri sekaligus jongkok
Semar tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa. Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa. Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas ,dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa . Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi: Semar (pralambang ngelmu gaib) - kasampurnaning pati. Gambar kaligrafi jawa tersebut bermakna : Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika artinya "merdekanya jiwa dan sukma", maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu) artinya : "dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup". Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon Semar Mbabar Jati Diri Dalam Etika Jawa ( Sesuno, 1988 : 188 ) disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan " Abdi " Pamomong " yang paling dicintai. Apabila muncul di depan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya. Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara ( Hazeu dalam Mulyono 1978 : 25 ). Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa ( Brandon dalam Suseno, 1988 : 188 ). Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah " menjelma " ( menjadi manusia ) yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan. Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa ( Poedjowijatno, 1975 : 49 ) Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia ( Geertz 1969 : 264 ). Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya ( Suseno 1988 : 190 ). Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe " sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana " menjaga kedamaian dunia ( Mulyono, 1978 : 119 dan Suseno 1988 : 193 ) Dari segi etimologi, joinboll ( dalam Mulyono 1978 : 28 ) berpendapat bahwa Semar berasal dari sar yang berarti sinar " cahaya ". jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa ( Mulyono 1978 : 18 ) yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula ( Mulyono 1978 : 118 - Suseno 1988 : 191 ). Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto ( 1969
: 31 ) berpendapat dan menggambarkan ( dalam bentuk kaligrafi ) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah. Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti " pimpinan rahmani " yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih ( timoer, tt : 13 ). Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling " rasa ingat " ( timoer 1994 : 4 ), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNYA yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma ( Mulyono 1978 : 35 ) Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon " Semar Mbabar Jati Diri ". gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4 ( Cermomanggolo 1995 : 5 ). Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain : Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan manteb Soedarsono ( Cermomanggolo 1995 : 5 - Arum 1995 : 10 ). Dikemukan oleh Arum ( 1995:10 ) bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon " Semar Mbabar Jadi Diri " diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi " ilmu asal dan tujuan hidup, yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer ( 1994:4 ) bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito ( dalam Ciptoprawiro 1991:46 ) bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-NaCa-Ra-Ka.
Palasara. (Leluhur Mahabharata) Cerita Pendek HERMAWAN AKSAN AKAN kutulis ulang sejarah salah arcapada. Apakah Tuan
pikir apa yang menjadi titik tolak sebuah perang besar bernama Baratayuda, kelak, dan juga kejadian-kejadian rancu lainnya, adalah keserakahan terhadap kekuasaan, nafsu duniawi untuk mereguk segala kenikmatan, dan hasrat untuk menjadi yang paling hebat? Nanti dulu. Bukan salah mereka di masa depan entah kapan, yang memaksa anak-anak manusia itu saling membunuh di antara sesama saudara. Para dewalah sang kausa prima, pelaku utamanya. Baiklah, akan kuceritakan sebuah hikayat tentang para titah, yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan, dengan kitab utama. Boleh jadi jagat akan guncang. Barangkali pula hanya seperti angin bertiup sepoi yang tak mampu mengeringkan setetes air di batu. Aku hanya ingin mengungkapkan kebenaran sejati, bukan kebenaran cuma di mata dewa. Namun, catat, aku tak bermaksud menggugat logika absurd para dewa. Sebab, para dewa sendiri lahir tanpa logika-bukankah hanya berdasarkan imajinasi manusia? Inilah aku, Palasara, ingin mengungkapkan bahwa akulah, bukan Sentanu sebagaimana kitab-kitab besar menulisnya, pemilik sah Hastinapura. Semenjak awal, hikayat memang sarat dengan absurditas. Aku mungkin bukan siapa-siapa, manusia yang tak ber-apa-apa . Namun Sakri, ayahku, dan Sakutrem, kakekku, pernah mencoreng wajah para dewa-setidaknya menurut nalar-ketika keduanya, pada masa yang berbeda, berhasil membasmi para penyerang Suralaya, yang tak mampu dihadapi bahkan oleh dewanya para dewa. Sakutrem membunuh raja Nuswantara, sedangkan Sakri membinasakan entah raja siapa, karena tak tercatat dalam hikayat. Logika yang kacau pula, bukan? Bedanya, kemudian, Sakutrem mendapat anugerah seorang dewi jelita, sedangkan keinginan Sakri untuk beristrikan bidadari yang serupa ditolak mentah-mentah para dewa. Padahal, kurasa, keinginan Sakri itu wajar saja. Disamping mengalahkan penyerbu Suralaya, ia toh masih berdarah dewa. Bukankah Sakutrem itu putra Resi Manumayasa, cucu Resi Parikenan, dan cicit Resi Bremani? Bukankah Resi Bremani itu putra Batara Brama? Dan bukankah Batara Brama itu putra Sang Manikmaya dan Dewi Uma? Bukan berarti aku sedang mengaku-aku sebagai keturunan dewa. Aku toh tidak bangga karenanya. Aku hanya mencoba menguraikan bukti bahwa ada bibit-bibit ketidakadilan yang dilakukan para dewa. Aku sendiri tak punya banyak ambisi. Sejak muda aku malah lebih suka bertapa di rimba raya. Aku ingin mengikuti laku kakek Resi Manumayasa, yang mencapai taraf mumpuni dalam olah batin dan kanuragan sekaligus. Jangankan hanya sepasang burung pipit, sedangkan terhadap ririwa yang berwujud segala rupa yang menakutkan aku tak beringsut setapak pun dari titik pusat semadiku. Apalagi hanya selusin bidadari yang gemulai menari, cuma berbusana kelopak bunga di
sekeliling pinggangnya. Juga ketika kedua burung kecil itu membangun sarang, melalui jalinan tangkai demi tangkai ranting dan helai demi helai ilalang dan daun kering, lalu bercinta dan membuahkan telur di atas kepalaku. Sebuah awal kehidupan, yang ditandai dengan akhir riwayat kehidupan yang lain. Hanya cicit-cicit makhluk mungil, pilu mengorek telinga, ketika pasangan induknya justru terbang entah ke mana. O, dewata, jangan kau uji aku dengan penderitaan bibit-bibit kehidupan yang murni. Biarlah aku gagal menjalani tapa, tapi jangan sampai terputus harapan-harapan baru. Tak tahan aku mendengar cicit-cicit tak berdaya itu. Gelombang suaranya yang tak seberapa ternyata mampu meremukkan jantung melebihi aum raja rimba. Kubatalkan tapaku, kuturunkan sarang di atas kepalaku, dan kukejar induk yang telah meninggalkan anak-anaknya. Kukejar dari kedalaman rimba hingga tepi Bengawan Gangga. Aku hanya menemukan kesunyian. Hanya desir angin dan riak air sungai. "Apa yang kaucari, anak muda?" Aku membalik badan. Dua sosok bercahaya putih berdiri dengan sikap jumawa. "Aku mencari sepasang burung pipit." "Kamilah burung yang kaucari," kata yang seorang, dengan sepasang tangan berlipat di dada dan sepasang tangan lain mencengkeram tongkat bertatah permata. Mataku luruh. Aku berlutut dan menyembah. "Bagaimana dengan nasib anak-anak burung itu?" "Tak perlu kau pikirkan. Engkau punya kewajiban yang lebih besar, mengobati penderitaan Putri Wirata." "Bagaimana caranya?" "Engkau akan tahu." Salah satu tangan kanannya mengasongkan sebuah botol warna jingga. "Di mana bisa kutemui dia?" "Arah matahari terbenam." Aku menoleh. Matahari yang hampir jatuh di seberang sungai membuat pandanganku silau, dan tak kulihat apa-apa. Ketika kutolehkan lagi kepala, dua sosok bercahaya itu telah sirna. Kutatap gelombang Gangga. Terlalu besar, terlampau lebar, dan pasti sangat dalam untuk kuarungi. Bahkan daratan di seberang pun hanya tampak seperti garis samar. Ada kecipak air beriak. Sebuah perahu pelahan melaju. Ah, mungkin ada orang yang bersedia menyeberangkanku. Dan benar, justru perahu itulah yang mendekat. Perahu nelayankah? Bau amisnya begitu menyengat hidungku. "Tuan hendak menyeberang?" Seseorang bertanya lebih dulu. Suara perempuan. Lembut dan sedikit serak. Bau amis makin menyesaki hidungku. "Apakah aku berhadapan dengan Putri Wirata?" "Bagaimana Tuan tahu?" "Tuan Putri bersedia menyeberangkanku?" Aku balik
bertanya. "Asal Tuan bersedia mengobatiku hingga sembuh." Aku meloncat ke perahu. Perempuan yang cantik, berlilit kain sederhana hingga sebatas dada. Rambutnya air terjun yang berkilau oleh segaris sisa matahari. Benarkah bau amis itu meruab dari sekujur tubuhnya yang sesungguhnya indah tiada tara? "Benar, Tuan, dan saya sangat menderita karenanya." Ia seakan sudah tahu apa isi hatiku. "Aku akan memohon." Kulipat kedua kakiku di lantai perahu. Kutangkupkan kedua telapak tanganku, dan kupejamkan mataku. Hanya bidang hitam. Dan kemudian titik cahaya putih, gemilang, makin lama makin besar, dan akhirnya mewujud sosok bertangan empat itu. Oleskan minyak Jayengkaton yang kuberikan padamu, bisiknya, jelas menyelusup dalam isi kepala. "Ampuni Tuan Putri, saya akan mengoleskan minyak ini ke sekujur tubuhmu." Oh, jagat, ampuni aku, hanya inilah jalan yang bisa kutempuh. "Tuan Putri, bukalah pakaianmu. Saya akan menutup mataku." Kulepas ikatan bandana di kepala, lalu kupasang menutupi mata, dan kuikat kencang di bagian belakang. Gelap segera menyungkup. Hanya napas yang kutahan-tahan, agar bau amis tak menyelusup hingga dada. Kuusapkan Jayengkaton ke sekujur tubuhnya. Oh, tubuh yang begitu mulus. Seandainya tak meruabkan bau amis yang menyengat. Dewa pengatur jagat, beri aku kekuatan. Kubalurkan cairan minyak dari telapak, kuusapkan dari bawah tengkuk pelan-pelan menyusuri kulitmu yang, duhai, kenyal dan lembut seperti karet, menuruni lekukan di tengah punggungnya yang melandai bagai alur sungai lurus ke dataran rendah, dan berakhir di lembah, di antara tonjolan bokongnya yang membukit. Kurasakan, bukit itu menggerinjal seperti entakan sebuah gempa. "Ampun Tuan Putri, berbaliklah." Kubalurkan minyak dari telapak, kuusapkan menyusuri permukaan perutnya yang lembut, hmm -- seperti boneka, melesak sedikit melalui lekuk pusarnya dan yang sedikit menonjol di tengahnya, mendaki hingga celah dua bulatan payudaranya yang melembung dan kurasakan seperti kubah kembar, dan berakhir menjelang pundak kirinya. Oh, disertai lenguhan di bibir, tubuhnya bergetar. Tubuhku menggetar. Tak ada lagi bau amis. Yang ada adalah keharuman yang memabukkan. "Lepaskan bandanamu," bisiknya. Napasnya mengusap pipiku. Mentari telah hilang. Langit menyungkup dengan bidangnya yang remang. Ombak Gangga hanya riak. Namun ombak di dada bergemuruh menggelegak. Dan berahi pun
tak terkendali. (Duhai dewata, jangan salahkan hamba, berahi adalah karunia purba yang turun-temurun diwariskan para dewa, semenjak Sang Manikmaya dan Dewi Uma bahkan bercinta di angkasa di atas punggung Sang Andini.) Tentu tak bisa kunihilkan peran dewata, yang membantuku menolong Putri Wirata, dan lantas memboyongnya menjadi belahan jiwa, dan kemudian membangun sebuah negara yang kelak akan menjadi adidaya. "Kunamakan negeri ini Hastina, dan engkau menjadi permaisuri yang akan memancarkan keharuman ke negeri-negeri manca," kataku. "Aku sangat bahagia," katanya. Wajahnya memancarkan cahaya, apalagi setelah rahimnya menjadi pelindung setia sang putra, Abiyasa. Namun (begitulah selalu bagian dari cerita: namun --) di jagat fana ini kebahagiaan tak pernah abadi. Suatu hari, seperti angin yang membadai tiba-tiba, datang ksatria gagah tampan menggendong bayi dalam pelukan. Wajahnya muram, tapi matanya seakan menggeram. "Tolong susui bayiku Dewabrata, dengan susu Sang Ratu," katanya. Aku tak mampu berkata-kata mendengar permintaannya yang tak biasa. "Aku tak bisa mengizinkan kecuali dengan izinnya," jawabku. "Aku hanya ingin agar anakku, yang tak lagi beribu, dapat mencicip zat-zat kehidupan yang paling bermutu." Kupanggil istriku. Matanya tersenyum. Kuanggukkan kepala. Namun mata ksatria itu benar-benar menggeram ketika mulut mungil Dewabrata dengan rakus mengisap puting Putri Wirata, permaisuriku. "Aku Sentanu dari Talkanda. Permaisuri terlalu rupawan bagimu. Bagaimana kalau aku meminta agar ia menjadi istriku?" Aku membelalak. "Oh, ksatria yang baru kukenal, benarkah kata-kata yang kudengar?" "Bila perlu, kita tentukan di palagan." Tak tahan lagi mendengar penghinaan yang paling menghinakan, kuterjang tubuhnya yang tak berkuda-kuda. Ia menggelepak dalam sekali gebrak. Dengan cepat ia melenting dan menjulurkan tinjunya. Namun aku sudah menduga gerakannya. Kumentahkan pukulannya dengan tangan yang terbuka. Tubuhnya kembali terjengkang. Dan aku akan melayangkan hantaman pemungkas tatkala melayang cahaya terang dari langit siang. "Cucuku, tahan pukulanmu!" Sesosok tubuh tambun yang bercahaya berdiri di antara kami. Mmh, kebayan para dewa rupanya. "Sudahlah, berikan negara dan istrimu," katanya. "Mengapa?" "Kau akan tahu kelak sebabnya."
"Tapi mengapa?" "Sudahlah, aku dewa, dan aku lebih tahu segalanya." Namun hingga sekarang aku tak pernah tahu mengapa negeri dan istriku tercinta harus menjadi milik orang lain. Aku juga terus-menerus sangsi benarkah dewa lebih tahu segalanya. ** NAH, Tuan, untuk sementara akan kusimpan hikayat singkat yang baru kutulis ini. Kelak akan terbeberkan, mudah-mudahan menjelang perang, bahwa apa yang diperebutkan kedua kubu yang berseteru hanyalah harapan kosong. Mungkin dendamku telah menjadi batu. Namun ia akan terus membara di dada anak cucuku. Tunggulah saatnya, hanya keturunankulah, bukan mereka, yang berhak duduk di singgasana Hastina. ***
Sumber: Sedjarah Wajang Purwa Pak Hardjowirogo P.N. Balai Pustaka Gatotkaca sangat hebat tapi sayang dia harus mati di usia muda. Kematian Gatotkaca sudah diatur oleh Prabu Kresna. Prabu Kresna menginginkan kemenangan sempurna bagi pihak Pandawa dalam perang Bharatayudha. Beliau takut dengan panah andalan Karna yang bernama Kunta. Kunta adalah senjata pemberian Batara Indra. Panah tersebut merupakan senjata yang maha ampuh, tidak ada senjata yang lebih hebat dari Kunta. Tapi sayang Panah Kunta hanya bisa digunakan sekali. Rencana Karna untuk menggunakan Panah Kunta untuk menghadapi Arjuna. Tetapi melihat Gatotkaca begitu perkasa menghancurkan pasukan Kurawa. Pihak Kurawa putus asa dan meminta Karna untuk membunuh Gatotkaca tetapi Gatotkaca tidak bisa dihadapi karena Gatotkaca bisa tebang dan bersembunyi di balik awan dan kebal dengan semua senjata pusaka yang ada. Akhirnya Karna tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan Panah Kunta. Karena beliau sadar kalau Gatotkaca tidak dibinasakan maka seluruh Pasukan Kurawa lah yang akan binasa. Dan matilah Gatokaca. Jatuh dari atas langit meremuk bumi. Sebelum menyentuh bumi, Gatotkaca membesarkan tubuhnya sebesar gunung dan membunuh ribuan pasukan Kurawa.
Skenario Gatotkaca menghadapi Pasukan Kurawa sudah diatur oleh Prabu Krisna. Prabu Krisna percaya kalau Karna pasti akan menggunakan Panah Kunta-nya. --Sewaktu lahir, Gatotkaca berwujud raksasa bernama Putut Tutuka. Namun ketika di Kahyangan terjadi masalah karena diserbu pasukan raksasa yang dipimpin Sakipu, para dewa meminjam Tutuka kepada Bima. Terus Gatotkaca menang dan mendapat tiga hadiah dari pada dewa. Hadiah pertama adalah brevet penerbang bernama “kotang Antakusuma” yang membuat Gatotkaca dapat terbang dengan cepat tanpa menimbulkan ledakan supersonik. Hadiah kedua adalah topi bernama Caping Basunanda, yang mempunyai kesaktian apabila panas tidak merasa panas dan hujan tidak menjadi basah. Hadiah ketiga, berupa sepatu “Pada Kacarma” yang mempunyai kesaktian tidak akan kualat walaupun melintasi daerah-daerah angker. Kutipan dari buku “Wayang dan Karakter Manusia” karangan Ir. Sri Mulyono Cerita lain yang lebih lengkap: Raden Gatotkatja putera Raden Wrekiodara jang kedua, ibunja scorang puteri raksasa bernama Dewi Arimbi di Pringgadani. Waktu dilahirkan Gatotkatja berupa raksasa ; karena sangat saktinja, tidak ada sendjata jang dapat snemotong tali pusatnja. Kemudian tali pusat itu dapat djuga dipotong tetapi sarung sendjata Karna jang bernama Kunta, tetapi sarung sendjata itu masuk kedalam perut Gatotkatja, dan menambah lagi kesaktiannja. Dengan kehendak Dewa-Dewa, baji Gatotkatja itu dimasak sebagai bubur dan diisi dengan segala kesaktian ; karena itu Raden Gatotkatja berurat kawat, bertulang besi, berdarah gala-gala, dapat terbang diawan dan duduk diatas awan jang melintang. Ketjepatan Gatotkatja pada waktu terbang diawan sebagai kilat, liar sebagai halilintar. Kesakrtiannja dalam perang, dapat mentjabut leher musuhnja dengan digunakan pada saat jang penting. Gatotkatja diangkat djadi radja di Pringgadani, dan ia disebut kesateria di Pringgadani, karena pemerintahan negara dikuasai oleh keturunan dari pihak perempuan. Dalam perang Beratajuda Gatotkatja tewas oleh sendjata Kunta Karna jang ditudjukan kepada Gatotkatja, waktu Gatotkatja bersembunji dalam awan. Gatotkatja djatuh dari angkasa mengenai kereta kendaraan Karna hingga hantjur lebur. Gatotkatja beristerikan saudara misan, bernama Dewi Pregiwa, puteri Raden Ardjuna. Dalam riwajat, Gatotkatja mati masih sangat muda, hingga sangat disesali oleh sekalian keluarganja. Gatotkatja bermata telengan (membelalak), hidung dempak, berkumis dan berdjanggut. Berdjamang tiga susun, bersunting waderan, sanggul kadal-menek, bergaruda membelakang, berpraba, berkalung ulur2, bergelang, berpontoh dan berkerontjong, Berkain keradjaan lengkap. Menurut kata dalang waktu Raden Gatotkatja akan mengawan, diutjapkan seperti berikut: Tersebutlah, pakaian Raden Gatotkatja jang djuga disebut kesateria di Pringgadani: Berdjamang mas ber-sinar2 tiga susun, bersunting mas berbentuk bunga kenanga dikarangkan berupa surengpati. (Surengpati berarti berani pada adjalnja. Sunting serupa ini djuga dipakai untuk seorang murid waktu menerima ilmu dari gurunja bagi ilmu kematian, untuk lambang bahwa orang jang menerima ilmu itu
takkan takut pada kematiannja). Bergelung (sanggul) bentuk supit urang (sepit udang) tersangga oleh praba, berkantjing sanggul mas tua bentuk garuda membelakang dan bertali ulur-ulur bentuk naga terukir, berpontoh nagaradja, bergelang kana (gelang empat segi). Berkain (kampuh) sutera djingga (merah tua), dibatik dengan lukisan seisi hutan, berikat-pinggang tjindai hidjau, bertjelana tjindai biru, berkerontjong suasa bentuk nagaradja, untjal (kain sebai) diberi emas anting. Ditjeritakan, Raden Gatotkatja waktu akan berdjalan ia berterumpah Padakatjarma, jang berkuasa dapat mengawan tak dengan sajap. Bersongkok Basunanda, walaupun pada waktu panas terik takkan kena panas, bila hudjan tak kena air hudjan. Ditjeritakan Raden Gatotkatja menjingsingkan kain bertaliwanda, ialah kain itu dibelitkan pada badan bagian belakang Raden Gatotkatja segera menepuk bahu dan menolakkanlah kakinja kebumi, terasa bumi itu mengeram dibawah kakinja. Mengawanlah ia keangkasa. Wajang itu diudjudkan sebagai terbang, jalah didjalankan, dari kanan kekiri, dibagian kelir atas sementara kali, lalu ditjatjakkan, ibarat berhenti diatas awan, dan dalang bertjerita pula: Tersebutlah Raden Gatotkatja telah mengawan, setiba diangkasa terasa sebagai mengindjak daratan, menjelam diawan biru, mengisah awan dihadapannja dan tertutuplah oleh awan dibelakangnja, samarsamar tertampak ia dipandangan orang. Sinar pakaian Gatotkatja jang kena sinar matahari sebagai kilat memburunja. Maka berhentilah kesatria Pringgadani diawan melintang, menghadap pada awan jang lain dengan melihat kekanan dan kekiri. Setelah hening pemandangan Gatotkatja, turunlah ia dari angkasa menudju kebumi. Adipati Karna waktu perang Beratajuda berperang tanding melawan Gatotkatja. Karna melepaskan sendjata kunta Widjajadanu, kenalah Gatotkatja dengan sendjata itu diarah pusatnja. Setelah Gatotkaja kena panah itu djatuhlah Gatotkatja dari angkasa mendjatuhi kereta kendaraan Karna, hingga hantjur lebur kereta itu. Tersebut dalam tjerita, Raden Gatotkatja seorang kesateria jang tak pernah bersolek, hanja berpakaian bersahadja, djauh dari pada wanita. Tetapi setelah Gatotkatja melihat puteri Raden Ardjuna, Dewi Pregiwa, waktu diiring oleh Raden Angkawidjaja, Raden Gatotkatja djatuh berahi, ketarik hati Gatotkatja lantaran melihat puteri itu bertjambang dan berhias serba bersahadja. Berubah tingkah Raden Gatotkatja ini, diketahui oleh ibunja (Dewi Arimbi) dengan sukatjita dan menuruti segala permintaan Raden Gatotkatja. Kemudian puteri ini diperisteri Raden Gatotkatja. Gatotkatja berwanda 1 Guntur, 2 Kilat 3 Tatit. 4 Tatit sepuh, 5 Mega dan 6 Mendung.
Jejer Kayangan Batara Guru dihadap Batara Bayu, Batara Narada, Batari Durga, dan Batara Penyarikan. Para dewa membicarakan tentang gara-gara yang terjadi di dunia. Batari Durga juga menyampaikan kabar bahwa para jin dan siluman di hutan Mandalasara mulai protes karena hawa panas yang dibawa oleh bayi bima yang masih tebungkus. Para jin berunjuk rasa menuntut persoalan ini segera diselesaikan karena banyak jin yang tertabrak bayi bima menjadi cacat Karen panasnya bungkus tersebut. Di saat perbincangan semakin serius, kemudian munculah anak Gajah Erawata yang berwarna putih yang bernama Gajah sena. Gajah Sena ingin mencapai kesempurnaan dan menanyakan caranya kepada Batara Guru. Alhasil rapat kayangan itu berhasil menemukan jalan keluar untuk mengatasi persoalan ini. Lalu diutuslah Batara Bayu, Batari Durga, Gajah Sena dan Batara Narada untuk turun kedunia memecahkan bungkus bayi itu. Di hutan Mandalasara Bayi bima sedang biam di tengah hutan yang sudah hampir rata dengan tanah karena di tabrak oleh bayi ima ini selama berhari hari. Setelah paradewa berkumpul, lalu Batari Durga masuk ke bungkus bima untuk memberi anugrah berupa sandang yang antara lain kain poleng bang bintulu, kelatbahu dan gelang candrakirana, kalung nagabanda dan pupuk jarot asem. Setelah Batari durga keluar tiba giliran Gajah Sena memecah bungkus bima. Bungkusan bayi itu ditabrak, dibanting dan di injak injang hingga pecah. Saat itu keanehan terjadi, Bayi bima muncul sebagai seorang yang bertubuh besar dan sekali tendang, Gajah Sena pun musnah dan menyatu di tubuh Bima. Batara Bayu lalu menyapu bungkusan bima sampai ke pangkuan Begawan Sapwani. Bungkusan itu kelak menjadi ksatria gagah yang bernama Jayadrata. Setelah selesai, Batara Narada memberi petunjuk kepada Bima untuk kembali ke Astina menemui ayahnya dan saudara-saudaranya (Puntadewa (kakaknya) dan Arjuna(adiknya)).dan para dewa kembali ke kayangan. Kerajaan Astina Tahun berganti tahun, Bima tumbuh menjadi semakin kuat dan juga bermusuhan dengan Kurawa. Karena tidak ada yang bisa menandingi Bima lalu para kurawa mengajak bima minum sampai mabuk. Lalu tubuhnya di lempar ke sumur jalatunda yang berisi ular berbisa. Disana Bima ditolong oleh Batara
Badawanganala yang kemudian memberi kesaktian untuk kebal akan segala macam racun dan dinamai Bondan Pesajandu. Bale Sigala- Gala Sengkuni dihadap Duryudana, Dursasana, dan kurawa lainnya. Atas hasutan Sengkuni, para kurawa diminta untuk membuat pesta penyerahan tahta kerajaan di tengah hutan dimana telah dibangun pesanggrahan tempat untuk pandawa yang terbuat dari kayu yang mudah terbakar. Saat waktunya tiba para kurawa hanya menunda-nunda sampa para pandawa mabuk Karena kebanyakan minum. Saat itu hanya BIma yang tidak mabuk. Setelah tengah malam para pandawa tertidur. Pesanggrahan mereka dibakar. Oleh Bima kesemua saudara dan ibunya dibawa masuk ke terowongan atas petunjuk garangan putih. Sampailah mereka di Kayangan Saptapertala. Disana Bima lalu menikah dengan Dewi Nagagini (berputra Antareja). Saat perjalanan pengenbaraan kembali ke astina, mereka melewati wilayah Pringgandani, di sana Bima bertemu dengan Arimba dan bertempur karena silang pendapat sehingga Arimba tewas (Arimba dendam pada Pandawa karena Prabu tremboko sebelumnya dibunuh oleh Pandu atas hasutan sengkuni). Arimbi, adik Arimba justru malah jatuh cinta pada Bima dan atas sabda Dewi Kunti, Dewi Arimbi menjadi cantik dan menikah dengan Bima. (mereka kemudian berputra Gatotkaca) Tahun berganti tahun, Pandawa akhirnya berhasil mendirikan kerajaan yang makmur bernama amarta. Kerajaan Astina Para kurawa mendesak Durna untuk mencelakakan Bima. Awalnya Durna menola namun atas desakan para kurawa dan pernyataan2 sengkuni yang memojokkan , pergilah Durna menemui Bima. Disana ia meminta Bima mencari air suci tirta perwitasari di samodra dengan tujuan menenggelamkan Bima di tengah samodra. Semua penghalang di terjang, pergilah Bima kesana kemari sampai di samudra. Ia bingung. Lalu muncullah sosok dewa Ruci yang memberinya pengetahuan tentang tirta perwitasari yang sebenarnya ada di dalam hati yang paling dalam. Setelah itu kembali lah Bima ke Amarta dan lalu menjadi Begawan Bima Suci. Tegal Kurusetra Semua cara untuk mancapai perdamaian antara Kurawa dan Pandawa gagal sehingga pecahlah Baratayuda. Dalam Baratayuda Bima berhasil membunuh banyak Kurawa dan juga beberapa raja pendukung. Sampai pada hari ke 16 Baratayuda, Bima berhasil ngithik ithik perutnya Dursasana sampe ususnya pada jebol. Bima juga berhasil membunuh Sengkuni. Hari terakhir Baratayuda, Duryudana menjadi lawan si Bima. Di sini si Baladewa dating uintuk menjadi wasit. Setelah pertempuran berlangsung sengit, Bima akhirnya menang denagn memukulkan gada ke paha kiri Duryudana.