Forum Kebijakan Publik Asia 2017 Meningkatkan Akses dan Kualitas Pendidikan di Asia 18 – 19 Januari 2017 Sunway University, Malaysia Diselenggarakan bersama Harvard Kennedy School Ash Center for Democratic Governance and Innovation dan Jeffrey Cheah Institute on Southeast Asia Disponsori oleh Jeffrey Cheah Foundation Sinopsis I. Latar Belakang dan Tujuan APPF 2017 Harvard Kennedy School Indonesia Program (HKSIP) bekerja sama dengan Jeffrey Cheah Institute on Southeast Asia di Sunway University, menyelenggarakan Asia Public Policy Forum keenam (APPF 2017, dengan tema “Meningkatkan Akses dan Kualitas Pendidikan di Asia,” di Sunway University, Malaysia pada 18-‐19 Januari 2017. APPF merupakan acara tahunan yang mengundang para pejabat senior baik dari pusat maupun daerah, tokoh-‐tokoh sektor swasta dan lembaga swadaya masyarakat, selain kalangan akademisi, peneliti, dan intelektual publik untuk membahas tantangan kebijakan yang kompleks dan penting baik bagi Indonesia maupun bagi negara-‐negara tetangga Asia lainnya. Hampir sebagian besar dari 120 peserta berasal dari ASEAN, sedangkan sisanya dari Asia Timur, ditambah beberapa peserta dari negara yang lebih jauh. APPF diselenggarakan oleh HKSIP di HKS Ash Center for Democratic Governance and Innovation, dengan tempat penyelenggaraan bergantian antara Indonesia dan negara-‐negara ASEAN lain. Sasaran utama APPF jangka panjang adalah menyatukan peneliti-‐peneliti dan praktisi-‐praktisi kebijakan publik Indonesia ke dalam komunitas kebijakan publik regional dan global untuk menciptakan jaringan pendukung kebijakan publik informal bagi kalangan peneliti dan tokoh praktisi kebijakan publik Indonesia. Sasaran kedua yang jangka pendek adalah meningkatkan rancangan, implementasi, dan evaluasi terhadap kebijakan publik saat ini baik di Indonesia maupun di negara-‐ negara lain. Sampai saat ini, ada lima APPF yang telah diselenggarakan: • 2011: “Kebijakan Energi” di Jakarta bersama Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-‐UI) dan Bimasena (Masyarakat Pertambangan dan Energi Indonesia) http://ash.harvard.edu/event/asia-‐public-‐policy-‐forum • 2012: “Manajemen Bencana” di Singapura bersama Lee Kuan Yew School of Public Policy di National University of Singapore (LKYSPP/NUS) http://ash.harvard.edu/event/asia-‐public-‐policy-‐forum-‐disaster-‐management-‐asia
• 2013: “Kemiskinan, Ketidakadilan, dan Perlindungan Sosial di Asia” di Jakarta dengan Harvard University Asia Center, Tim Nasional untuk Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K), Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan AusAid https://ash.harvard.edu/event/asia-‐public-‐policy-‐forum-‐poverty-‐inequality-‐and-‐social-‐ protection-‐asia • 2014: “Transportasi Perkotaan dan Tata-‐Guna Tanah di Kota-‐kota Besar Asia yang Tumbuh Pesat” di Ho Chi Minh City bersama Fullbright Economics Teaching Program (FETP) http://ash.harvard.edu/event/asia-‐public-‐policy-‐forum-‐2014-‐urban-‐transport-‐and-‐land-‐use-‐ rapidly-‐growing-‐asian-‐cities • 2015: “Pendanaan dan Penyelenggaraan Layanan Kesehatan Masyarakat di Asia” di Jakarta bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan http://ash.harvard.edu/news/2015-‐asia-‐public-‐policy-‐forum-‐explores-‐financing-‐and-‐delivery-‐ public-‐health-‐services-‐asia%E2%80%9D
II Temuan-‐temuan Utama dan Pelajaran-‐pelajaran yang Dipetik dari APPF 2017 APPF 2017 berfokus pada “Peningkatan Akses dan Kualitas Pendidikan di Asia.” Topik ini dipilih karena dua alasan. Pertama, ini merupakan prioritas utama Pemerintah Indonesia. Presiden Joko Widodo telah berulang-‐ ulang mencanangkan pentingnya peningkatan pendidikan guna menaikkan produktivitas dan kualitas hidup sumber daya manusia Indonesia, selain bahwa Undang-‐undang Dasar juga mewajibkan alokasi sekurangnya dua puluh persen dari anggaran nasional dan daerah untuk pendidikan. Kedua, pendidikan merupakan tantangan mendesak di seluruh Asia. Seperti Indonesia, setelah berhasil meningkatkan akses yang banyak ke pendidikan, banyak tetangga Indonesia telah berusaha keras meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan. Makin banyak anak yang mengikuti pendidikan di sekolah, tetapi prestasi mereka buruk pada ujian-‐ujian internasional dan lulus tanpa keterampilan yang diperlukan oeh calon-‐calon pemberi kerja di bursa lapangan kerja yang sudah ada. Oleh sebab itu APPF 2017 berfokus pada enam tema: • Menciptakan Sektor Pengetahuan yang Menggairahkan • Menyeimbangkan Akses dan Kualitas dalam Pendidikan Dasar dan Menengah • Menyeimbangkan Akses dan Kualitas dalam Pendidikan Tinggi • Mengevaluasi dan Meningkatkan Kualitas Pendidikan • Memenuhi Permintaan Pasar Kerja • Memahami Hubungan Antara Pendidikan dan Pembangunan.
Sesi 1 Sesi pertama APPF 2017, “Menciptakan Sektor Pengetahuan yang Menggairahkan,” ditujukan untuk mengembangkan ekosistem pendidikan yang kondusif untuk pembangkitan inovasi, kreativitas, dan kewirausahaan. Sesi ini dibuka dengan sebuah ikhtisar tentang masalah-‐masalah yang saling-‐silang (Prof. Michael Woolcock). Pembahasan berfokus pada perlunya pendekatan yang komprehensif dalam menciptakan sektor pengetahuan yang menggairahkan karena interaksi-‐interaksi yang kompleks dan saling ketergantungan antara komponen-‐komponen kebijakan pendidikan (kebijakan, pendanaan, logistik, pelatihan dan motivasi guru, serta dukungan keluarga) serta masa tunggu sampai suatu dampak dapat dipahami oleh orang banyak. Diingatkan pula soal akibat-‐akibat yang tidak diharapkan dari sebuah sukses: yang bisa sangat merusak akibat perubahan-‐perubahan sosial dan politik yang mungkin ditimbulkannya. Dua pembicara berikutnya (Daniel Suryadarma dan Dr. Karndee Leopairote) menyajikan studi-‐studi kasus dari Indonesia dan Thailand. Studi kasus Indonesia berfokus pada kendala-‐kendala di sisi suplai untuk penciptaan pengetahuan bagi kebijakan-‐kebijakan pembangunan yang efektif. Sementara kuantitas penelitian tentang kebijakan telah meningkat cukup banyak, kualitas penelitian ini masih relatif rendah. Sebagai contoh, bahkan walaupun total publikasi akademis telah tumbuh secara dramatis sejak 2002, dalam ukuran publikasi per 1 miliar dolar PDB atau GDP (PPP terms), pada 2014 angka total untuk Indonesia adalah 30% dibanding output Vietnam, 8% dibanding output Cina, dan 6% dibanding output Malaysia. Kendala-‐kendala pokok untuk meningkatkan kualitas penelitian kebijakan di Indonesia meliputi: perlunya mengejar kontrak-‐kontrak dari pemerintah yang bersifat jangka pendek dan berfokus sempit daripada menekuni penelitian-‐penelitian jangka panjang yang lebih menantang karena kekurangan dalam hal pendanaan; tidak adanya spesialisasi dan akumulasi pengetahuan akibat sifat dasar kontrak-‐kontrak penelitian dari pemerintah; rendahnya kualitas pendidikan tinggi, yang berakibat sedikitnya pelatihan dalam berpikir kritis atau dalam menulis; dan buruknya lingkungan penelitian secara keseluruhan, termasuk buruknya akses ke kepustakaan internasional dan terbatasnya telaah oleh sesama peneliti. Perkembangan terbaru yang paling menjanjikan guna mengatasi kendala ini adalah dibentuknya Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia, tetapi terlalu dini untuk menilai hasil-‐hasilnya saat ini. Studi kasus Thailand berfokus pada kesenjangan generasi yang lebar di seluruh ASEAN, dengan lebih dari setengah penduduk ASEAN yang sekitar 640 juta jiwa berusia kurang dari 30 tahun. “Generasi Baru” ASEAN terkesan memiliki jauh lebih banyak kesamaan daripada sesamanya yang lebih tua, termasuk keakraban mereka dengan teknologi, keyakinan pada kearifan sosial melalui crowdsourcing, dan kefasihan mereka dalam “bahasa gaul” atau Globish. Perbedaan-‐perbedaan ini menuntut pemikiran ulang konsep-‐konsep pengetahuan, penciptaan pengetahuan, dan pasar-‐pasar untuk pengetahuan. Kendati demikian, konsisten dengan temuan-‐temuan dalam studi kasus Indonesia, tantangan tertinggi dalam bidang pendidikan adalah tidak adanya pengembangan keterampilan berpikir kritis.
Sesi 2 Sesi kedua APPF 2017, “Menyeimbangkan Akses dan Kualitas dalam Pendidikan Primer (Dasar) dan Sekunder (Menengah),” terdiri atas tiga studi kasus: Indonesia (Prof. Lant Pritchett), Malaysia (Prof. Rajah Rasiah), dan Thailand (Dr. Deunden Nikombrorirak). Studi kasus Indonesia berfokus pada perbedaan antara persekolahan dan pendidikan, yakni, perbedaan antara hadir di kelas dan belajar, menekankan bahwa persekolahan bukan tujuan, melainkan sebuah cara untuk meningkatkan pendidikan. Studi kasus ini mendokumentasikan masifnya pendirian sekolah-‐sekolah di seluruh dunia, termasuk Indonesia, tetapi juga menyampaikan bahwa penambahan tahun belajar di sekolah sering tidak menghasilkan pembelajaran yang banyak. Studi kasus ini menyoroti implikasinya baik untuk yang berada di bawah maupun di atas dalam distribusi pendidikan. Sebagai contoh, distribusi uji baca oleh PISA (Program for International Student Assessment) menunjukkan bahwa tidak hanya 58% anak Indonesia lebih rendah dari Level 1 dalam membaca, tetapi juga bahwa hampir tidak ada anak Indonesia meraih Level 4 dalam membaca. Lebih jauh lagi, lulusan universitas Indonesia, secara rata-‐rata, memiliki tingkat literasi yang sama dengan mereka yang putus sekolah dari SMA dalam OECD. Seperti yang diselorohkan oleh pembicara, barangkali mahasiswa Indonesia mengikuti nasihat penulis Amerika Mark Twain, yang mengatakan, “Aku tidak pernah membiarkan persekolahanku menggangu pendidikanku.” Studi kasus Malaysia juga mendokumentasikan pesatnya kenaikan angka kelulusan sekolah menengah, naik dari 7% pada 1950 menjadi lebih dari 75% pada 2010. Kendati demikian, walaupun catatan kinerja sekolah nasional telah naik dengan tajam (kecuali untuk bahasa Inggris), Malaysia tidak begitu berprestasi ketika dibandingkan dengan negara-‐negara lain, karena telah jatuh dalam baik uji PISA maupun TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study). Sebagai contoh, pada 2015, 60% pelajar Malaysia gagal memenuhi angka minimum PISA dalam matematika, sementara 44% dan 43% tidak memenuhi tingkat penguasaan minimum dalam membaca dan sains. Bukti dari hasil-‐hasil sekolah negeri yang mengecewakan itu adalah makin maraknya sekolah-‐sekolah internasional di Malaysia. Kunci untuk membalik kecenderungan ini adalah kualitas bahasa Inggris, matematika, dan membaca yang lebih baik, selain disiplin yang lebih ketat. Studi kasus Thailand melakukan evaluasi terhadap keadaan sistem pendidikan Thai. Mirip dengan negara-‐negara tetangganya, akses ke pendidikan dasar dan menengah, yang diukur dari perubahan dalam angka penerimaan netto, telah meningkat secara dramatis, dari 81% dan 55% dalam tahun 2000 menjadi 99% dan 80% dalam tahun 2012. Bagaimanapun, juga seperti negara-‐negara tetangganya, hasil-‐hasil pembandingan internasional telah mengecewakan, sebagai contoh, mereka jatuh dalam skor-‐skor PISA untuk sains, matematika, dan membaca. Hasil-‐hasil ini bahkan lebih meresahkan lagi ketika angka rata-‐rata tersebut diurai lagi berdasarkan distribusi atau tipe sekolah. Kemiripan menarik lain adalah kontras antara prestasi yang terkesan membaik ketika menggunakan uji nasional versus prestasi ketika menggunakan uji internasional. Kendala yang pokok adalah rantai akuntabilitas panjang yang “berpusat pada guru,” yang dimungkinkan oleh pengaruh politik guru-‐ guru, dan masalah “sekolah kecil,” yang diperbesar oleh angka fertilitas Thailand yang rendah. Saran-‐ saran untuk meningkatkan kualitas itu meliputi desentralisasi sistem pendidikan, evaluasi kinerja guru dan sekolah yang lebih baik dan insentif-‐insentif, termasuk pengungkapan hasil-‐hasil evaluasi kepada masyarakat, dan pendanaan yang tidak diskriminatif.
Sesi 3 Sesi ketiga APPF 2017, “Menyeimbangkan Akses dan Kualitas dalam Pendidikan Tinggi,” terdiri atas ikhtisar (Dr. Connie Kyung-‐Hwa Chung) dan dua studi kasus, dari Vietnam (Dam Bich Thuy) dan dari Indonesia (Mokhamad Mahdum). Presentasi ikhtisar berfokus pada Global Education Innovation Initiative (GlobalEd), yang berusaha memajukan pemahaman tentang bagaimana tokoh-‐tokoh dan praktisi-‐praktisi pendidikan dalam sistem pendidikan yang beragam mendefinisikan dan mempraktikkan pengajaran dan pembelajaran yang relevan dengan abad ke-‐21. GlobalEd berpusat di Harvard Graduate School of Education dan bermitra dengan lembaga-‐lembaga di Brasil, Chile, Kolumbia, Cina, India, Meksiko, dan Singapura. Sebuah temuan penting GlobalEd adalah bahwa kecenderungan paling kritis abad ke-‐21 yang harus diadaptasi oleh pendidikan adalah: cepatnya pengembangan dan penyebaran teknologi, yang menyebabkan VUCA: volatility (mudah berubah), uncertainty (ketidakpastian), complexity (kerumitan), dan ambiguity (kemenduaan); interdependensi akibat globalisasi, migrasi, dan tantangan-‐tantangan lingkungan; dan peralihan dari masyarakat industrial ke masyarakat informasi. Kerangka yang dihasilkan untuk pendidikan abad ke-‐21 dengan demikian didasarkan pada tiga kompetensi utama, kognitif, intrapersonal, dan domain-‐domain interpersonal, dengan penekanan pada sikap serta nilai, selain dengan merangkul dan memberdayakan para siswa, termasuk fokus pada yang dikerjakan. Studi kasus Vietnam adalah tentang evolusi 23 tahun Fullbright Economics Teaching Program (FETP), sebuah proyek kerja sama antara Harvard Kennedy School dan Economic University of Ho Chi Minh City, menjadi Fullbright University Vietnam (FUV), universitas pertama Vietnam yang independen, swasta, dan nirlaba. FUV berakar pada masyarakat Vietnam namun menganut model pendidikan liberal arts Amerika. Pilar-‐pilar pokok FUV adalah kebebasan akademis dan otonomi operasional, dengan keyakinan kuat bahwa pendidikan berkualitas menarik pendanaan yang memadai, selain memiliki staf pengajar dan mahasiswa yang di atas rata-‐rata. FUV berharap dapat menjadi katalisator untuk perubahan kelembagaan dalam sistem pendidikan tinggi Vietnam. Studi kasus Indonesia membahas tujuan-‐tujuan dan operasi-‐operasi Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Indonesia. LPDP dibentuk untuk menyediakan beasiswa bagi studi pascasarjana di 200 universitas yang telah disaring di seluruh dunia. LPDP telah membantu lebih dari 16.000 mahasiswa di 135 negara, dan nilainya yang sekarang adalah Rp. 22,5 triliun. Sesi 4 Sesi keempat APPF 2017, “Mengevaluasi dan Meningkatkan Kualitas Pendidikan,” terdiri atas sebuah ikhtisar (Prof. Xiao-‐Li Meng) dan dua studi kasus, Myanmar (Dr. Nay Win Oo) dan Indonesia (Prof. Anita Lie). Presentasi ikhtisar berfokus pada penyiapan masa depan staf pengajar Harvard University untuk mengajar dan menguji mahasiswa-‐mahasiswa sekarang dan akan datang. Menurut pengamatan pembicara tantangan-‐tantangan utama berpangkal dari cara-‐cara baru mahasiswa mendapatkan informasi dan ruang kelas yang berubah, dalam konteks tiga pertanyaan mendasar: Apa yang kita
inginkan untuk dipelajari oleh para mahasiswa? Bagaimana kita mencapai tujuan ini? Bagaimana kita tahu bahwa kita berhasil? Terkait dengan ketiga pertanyaan tadi, kita perlu mengidentifikasi cara-‐cara baru untuk mengevaluasi efektivitas pengajaran, termasuk mencermati dampak jangka panjang, menggunakan alat-‐alat evaluasi baru, dan menguji konsep-‐konsep yang keliru selain jawaban yang benar. Salah satu alat yang murah tetapi jarang dimanfaatkan untuk mengevaluasi keefektifan pengajaran adalah pertemuan aktif dengan para alumni, yang dengan senang hati membagikan evaluasi mereka tentang apa yang berhasil dan apa yang tidak berhasil bagi mereka. Studi kasus Myanmar lebih kualitatif daripada kuantitatif, mengingat ketersediaan data yang terbatas dan relatif masih mudanya tahap pengembagan sektor pendidikan di Myanmar. Presentasi berfokus pada baru dibentuknya Komisi Kebijakan Pendidikan Nasional Myanmar (NEPC). Tugas NEPC adalah melaksanakan pembahasan kebijakan komprehensif untuk kebijakan pendidikan dan merumuskan usulan-‐usulan untuk perbaikan akses dan kualitas pendidikan di Myanmar. Studi kasus Indonesia menyajikan ikhtisar yang komprehensif dan komparatif tentang sektor pendidikan di Indonesia, selain gambaran sekilas tentang upaya-‐upaya terkini untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Berdasarkan kemajuan sampai saat ini dan tantangan-‐tantangan masa depan, prakarsa-‐prakarsa telah diambil untuk meningkatkan: kesiapan bersekolah sebelum memasuki sekolah dasar melalui kesertaan dalam pendidikan usia dini; kualitas pendidikan dasar universal (12 tahun); akses dan kualitas pendidikan lebih tinggi; dan kualitas serta prestasi guru yang lebih baik. Salah satu evaluasi pendidikan paling teliti sampai saat ini adalah studi yang baru diselesaikan atas Program Pelita Pendidikan, sebuah proyek pengembangan profesional berbasis komunitas untuk guru-‐guru yang sedang bertugas di tiga provinsi di Sumatra, yang menyimpulkan bahwa program ini baru berhasil memberikan pengaruh yang sedang-‐sedang saja sampai saat ini dalam peningkatan pengetahuan tentang mengajar yang efektif, memperbaiki praktik-‐ praktik pengajaran, dan mengajak para siswa dalam pembelajaran yang aktif. Sebuah studi lain, kali ini tentang Ujian Nasional Bahasa Inggris SMA, yang mengamati sangat mendesaknya perubahan yang substansial dalam cara mengevaluasi pembelajaran, menyimpulkan bahwa sebagian besar pertanyaan berfokus pada keterampilan-‐keterampilan literal dan reorganisasi tingkat rendah, bukan keterampilan-‐keterampilan kognitif tingkat tinggi. Sesi 5 Sesi kelima APPF 2017, “Memenuhi Permintaan Lapangan Kerja,” terdiri atas tiga studi kasus: Vietnam (Dr. Vu Quoc Huy), Indonesia (Prof. Mayling Oey), dan Malaysia (Prof. Tan Sri Dr. Ghauth Jasmon). Studi kasus Vietnam berfokus pada sulitnya memenuhi permintaan lapangan kerja yang berubah dengan cepat akibat dorongan modernisasi ekonomi. Ini telah berakibat pada pergeseran dari pekerjaan yang terutama manual ke pekerjaan yang lebih menuntut keterampilan, dan walaupun sistem pendidikan Vietnam memiliki rekam jejak yang kuat dalam memproduksi keterampilan-‐ keterampilan sangat mendasar, sistem itu lemah sekali dalam menghasilkan keterampilan-‐ keterampilan kognitif tingkat lanjut. Akibatnya, sektor pendidikan dan pelatihan Vietnam tidak memenuhi permintaan lapangan kerja baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Selain itu, persen pengangguran keseluruhan naik sejalan dengan tingkat pendidikan, sementara kekurangan keterampilan tertinggi adalah untuk jabatan manajer, profesional, dan teknisi karena para pelamar
tidak memiliki keterampilan-‐keterampilan kepemimpinan, pemecahan masalah, kreativitas, berpikir kritis, komunikasi, dan teknik-‐teknik spesifik untuk suatu pekerjaan. Guna mengatasi kekurangan-‐ kekurangan ini, Vietnam memerlukan sistem yang lebih saling terkait antara industri, universitas, dan sekolah-‐sekolah kejuruan. Beberapa contoh pendekatan ini adalah kemitraan universitas dengan Vietnam-‐Singapore Industrial Park Vinh Phuc Industrial Park, dan program magang Vietsteel. Studi kasus Indonesia menganalisis tantangan-‐tantangan dan peluang-‐peluang berdasarkan dividen demografis negara itu antara 2020 hingga 2040, ketika rasio ketergantungan akan berada di titik paling rendah. Studi kasus itu menyimpulkan bahwa manfaat bagi penduduk muda Indonesia baru dapat dinikmati dari peningkatan modal sumber daya manusia melalui investasi-‐investasi yang sangat bermutu dalam pendidikan, termasuk komitmen terhadap pendidikan kejuruan. Sampai saat ini, kebijakan pendidikan Indonesia telah dibangun seputar prinsip bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia yang mendasar, karena itu pemenuhannya didorong oleh sektor publik dan telah menekankan akses universal dengan pendekatan dari bawah ke atas (dimulai di tingkat dasar). Sebagaimana dibahas dalam sesi terdahulu, Indonesia telah sangat sukses dalam meningkatkan angka penerimaan/ pendaftaran sekolah dan angka kelulusan sekolah, terutama di tingkat dasar dan menengah, dan karena itu, sejalan dengan waktu angkatan kerja telah menjadi lebih terdidik, setidaknya dalam makna kuantitatif. Sayangnya, perbaikan dalam kualitas pendidikan telah tidak bersesuaian dengan penambahan tahun persekolahan, menciptakan paradoks antara lowongan-‐ lowongan pekerjaan yang menuntut keterampilan-‐keterampilan kognitif atau teknis lebih tinggi dan angka pengangguran tertinggi di kalangan lulusan-‐lulusan sekolah menengah atas umum dan kejuruan. Oleh sebab itu Indonesia harus berusaha keras meraih keseimbangan yang lebih baik antara sasaran-‐sasaran sosial dan ekonomi dalam kebijakan pendidikannya. Studi kasus Malaysia menyediakan sebuah ikhtisar tentang skenario Malaysia dewasa ini dalam memenuhi permintaan lapangan kerja dalam perekonomian yang digerakkan oleh sektor jasa dan industri. Keterampilan-‐keterampilan khusus yang kurang di semua perusahaan adalah bahasa Inggris dan ICT (teknologi informasi dan komunikasi), khususnya teknisi, klerk, dan petugas layanan, yang menunjukkan kekurangan dalam pelatihan kejuruan. Tantangan-‐tantangan ini ditambah lagi dengan sekitar 6 juga pekerja asing legal dan ilegal di Malaysia di tengah perekonomian yang relatif lamban akibat kemerosotan tajam harga-‐harga komoditas. Kekurangan tenaga terampil juga terjadi dalam engineering, perbankan, dan keuangan. Akan tetapi, walaupun rendahnya keterampilan bahasa Inggris, komunikasi, dan teknik merupakan penyebab yang umum untuk pengangguran di kalangan lulusan-‐lulusan baru, dua penyebab utama adalah tuntutan imbalan yang tidak realistis sementara karakter, sikap, atau kepribadian pelamar terbilang buruk. Oleh sebab itu, mengelola harapan angkatan kerja merupakan sebuah tantangan besar lain di Malaysia, terutama mengingat pemotongan besar-‐besaran anggaran pendidikan tinggi baru-‐baru ini oleh pemerintah. Sesi 6 Sesi keenam APPF 2017, “Memahami Hubungan Antara Pendidikan dan Pembangunan,” terdiri atas dua studi kasus, Indonesia (Prof. Satryo Brodjonegoro) dan Cina (Prof. Chen Zhao), dan rangkuman lima sesi terdahulu (Prof. Woo Wing Thye). Studi kasus Indonesia berfokus pada tautan mendasar antara pendidikan dan pembangunan ketika
bangsa-‐bangsa beralih dari perekonomian yang mengandalkan keunggulan komparatif berdasarkan sumber daya alam dan tenaga kerja berlimpah ke perekonomian lebih produktif yang mengandalkan keunggulan kompetitif berdasarkan modal, teknologi, tenaga kerja terampil, dan inovasi. Ini menuntut perubahan dalam kompetensi-‐kompetensi angkatan kerja dari keterampilan manual ke keterampilan-‐ keterampilan analitis, kognitif, dan interaktif, dan Indonesia merupakan contoh negara yang kekurangan dalam hal keterampilan-‐keterampilan analitis, kognitif dan interaktif. Agar Indonesia dapat menjadi sebuah negara berpendapatan tinggi, negara itu harus berfokus pada pembangunan yang digerakkan oleh manusia dengan pergeseran paradigma dari pendidikan dan pelatihan yang digerakkan oleh input ke pendidikan dan pelatihan yang digerakkan oleh output. Selain keterampilan-‐ keterampilan yang keras, penekanan lebih besar harus diberikan pada keterampilan-‐keterampilan lunak seperti berpikir kreatif dan kritis, kerja kelompok dan hubungan-‐hubungan interpersonal, manajeman adaptif, dan kepemimpinan yang terdistribusi. Studi kasus Cina juga meneliti tautan-‐tautan mendasar antara pendidikan dan pembangunan, berfokus pada pendidikan sebagai sebuah cara untuk memajukan pembangunan yang menyeluruh dan adil. Yang menjadi perhatian khusus di Cina tidak hanya distribusi pendapatan dan kekayaan yang secara umum tidak merata, tetapi juga kesenjangan yang besar dan meningkat antara perkotaan dan pedesaan. Yang belakangan antara lain terjadi karena akses yang tidak merata terhadap hasil pendidikan selama pengembangan pasar Cina. Keadaan ini telah diperburuk oleh: penutupan sejumlah sekolah belum lama ini dan penggabungan sekolah-‐sekolah di kawasan pedesaan, yang berakibat jumlah murid dalam satu kelas lebih besar, kualitas menurun, masalah keamanan dan psikologis, naiknya angka putus sekolah, dan ongkos yang makin mahal; selain itu ada sistem izin tinggal Hukou1 di kawasan perkotaan, yang berakibat terbatasnya akses ke pendidikan bagi anak-‐anak para pekerja migran. Usulan-‐usulan penting untuk menangani masalah-‐masalah ini adalah dukungan fiskal lebih banyak kepada pendidikan di kawasan pedesaan dan akses yang sama ke pendidikan bagi anak-‐anak pekerja migran di kota-‐kota superbesar. Presentasi rangkuman mengulang tema-‐tema yang dibahas di APPF 2017, menggarisbawahi kesamaan kebutuhan di seluruh Asia untuk membangun akses ke pendidikan yang sudah berhasil ditingkatkan melalui perbaikan kualitas dan relevansi pendidikan. Presentasi ini menekankan penting sekali bagi sebuah negara untuk meningkatkan produktivitas, dan karena itu tetap kompetitif secara ekonomi dan akhirnya menjadi negara berpendapatan tinggi. III Tindak Lanjut APPF 2017 Setiap APPF tidak hanya menyediakan sebuah platform untuk bertukar pikiran soal kebijakan di antara pejabat-‐pejabat senior sektor publik, manajer-‐manajer sektor swasta, tokoh-‐tokoh masyarakat, dan kalangan peneliti terkemuka, tetapi juga berfungsi sebagai katalisator untuk penelitian dan aksi di masa mendatang guna meningkatkan dampak kebijakan. Jaringan-‐jaringan pendidikan lokal, regional, dan global yang entah dibentuk atau diperbarui selama APPF 2017 akan terus difasilitasi melalui penyebaran bahan-‐bahan APPF 2017 secara luas. Agenda 1
Ijin tinggal hukou – semacam KTP. Hanya pemegang ijin tinggal setempat dapat bersekolah di tempat itu.
APPF 2017, sinopsis, video tiap sesi dan slide presentasi, termasuk foto-‐foto acara diunggah di situs web Harvard Kennedy School Ash Center dan dapat diakses secara cuma-‐cuma di: https://ash.harvard.edu/event/asia-‐public-‐policy-‐forum-‐improving-‐education-‐access-‐and-‐quality-‐asia Ini akan membantu para peserta APPF terus belajar dari sesama dan untuk menjalin kerja sama mengatasi tantangan-‐tantangan penting bersama dalam meningkatkan akses dan kualitas pendidikan di Asia. APPF 2017 juga mengidentifikasi banyak masalah yang menuntut penelitian lebih lanjut atas kebijakan terapan yang sangat eksak, yang dapat dijadikan fokus untuk kerja sama masa mendatang. Yang paling penting di antara masalah-‐masalah penelitian ini adalah kebutuhan untuk secara lebih efektif mengubah kegiatan persekolahan menjadi pembelajaran sehingga kenaikan angka penerimaan/pendaftaran juga menghasilkan lulusan-‐lulusan yang lebih terdidik dan lebih memenuhi standar. Tantangan ini dapat digali dengan mencoba menjawab dua pertanyaan kebijakan utama berikut serta enam pertanyaan penelitian penunjang mereka: 1. Bagaimana setiap negara dapat meraih kesempatan yang sama untuk menyekolahkan putra-‐putri mereka sambil harus menjamin bahwa persekolahan itu menghasilkan pembelajaran bermutu tinggi? • Apa kendala utama untuk meningkatkan lagi angka penerimaan/pendaftaran dan angka kelulusan, khususnya untuk pendidikan tingkat sekolah menengah atas, sekolah tinggi, dan sekolah kejuruan? • Apa yang kita inginkan dipelajari oleh para siswa di tiap jenjang tersebut, dan mengapa? • Bagaimana kita dapat meningkatkan sistem evaluasi terhadap para siswa, para pengajar, dan prestasi sekolah? 2. Bagaimana setiap bangsa dapat menjamin bahwa pendidikan meningkatkan keterampilan dan pengetahuan para siswa sehingga sesuai dengan permintaan lapangan kerja dalam situasi ekonomi yang dinamis dan terus berubah? • Mengingat biaya dan peluang untuk menikmati sekolah, akankah mereka yang sudah lulus dapat menemukan pekerjaan yang sesuai dengan pengorbanan mereka? • Akankah lulusan-‐lulusan yang dihasilkan memenuhi permintaan calon-‐calon pemberi kerja? • Akankah investasi dalam sumber daya manusia dapat meningkatkan produktivitas yang cukup untuk menaikkan nilai tambah dan membenarkan kenaikan imbalan yang penting sekali untuk standar hidup yang lebih tinggi?