BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kanker Ovarium 2.1.1 Epidemiologi Sampai saat ini, angka insiden kanker ovarium masih tinggi dan cenderung meningkat. Di dunia, angka insiden kanker ovarium pada tahun 2008 adalah 9,4% dengan angka kematian sebesar 5,1% (Jemal, dkk., 2011). Angka insiden kanker ovarium menempati urutan ketujuh di antara kanker pada wanita setelah kanker payudara, kolorektal, serviks, paru-paru, lambung, dan korpus uteri, serta kanker terbanyak ketiga di antara kanker ginekologi setelah kanker payudara dan serviks (Ferlay, dkk., 2010). Di beberapa negara dilaporkan bahwa angka insiden kanker ovarium bervariasi. Di Amerika Serikat berdasarkan data the Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER) dari the U.S. National Cancer Institute (NCI) jumlah kasus kanker ovarium pada tahun 2008 adalah 21.650 kasus (Jemal, dkk., 2008), sementara di Inggris pada tahun yang sama terdapat 6.500 kasus kanker ovarium. Jumlah kasus kanker ovarium di Inggris menempati urutan kedua di antara kanker ginekologi setelah kanker korpus uteri dan menempati urutan keenam di antara kanker pada wanita melampaui jumlah kasus kanker serviks (Office for National Statistics, 2010). Pada tahun 2008, angka insiden kanker ovarium di Eropa bervariasi dari 12 per 100.000 wanita di Eropa Selatan sampai 19 per 100.000 wanita di Eropa Utara.
10
11
Negara-negara Eropa dengan angka insiden kanker ovarium tertinggi adalah Latvia dan Lithuania (sekitar 19 per 100.000 wanita), sedangkan negara-negara Eropa dengan angka insiden kanker ovarium paling rendah adalah Cyprus dan Portugal (sekitar 7 per 100.000 wanita) (GLOBOCAN, 2008). Di Asia, angka insiden kanker ovarium secara umum lebih rendah dibandingkan dengan populasi Eropa dan Amerika Utara. Di Jepang, angka insiden kanker ovarium meningkat sejak tahun 1970, tetapi tetap lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara barat (Niwa, dkk., 2005). Ushijima (2009) melaporkan angka insiden kanker ovarium di Jepang pada usia 60 tahun sebanyak 10 per 100.000 wanita dan terus meningkat setelah usia tersebut. Di Indonesia, angka insiden kanker ovarium secara pasti tidak diketahui. Berdasarkan laporan dari Badan Registrasi Kanker Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2003) yang diperoleh dari 13 Laboratorium Pusat Patologi Anatomi di Indonesia menunjukkan bahwa angka insiden kanker ovarium adalah 4,9%. Angka insiden kanker ovarium menempati urutan keenam di antara sepuluh kanker tersering pada pria dan wanita setelah kanker serviks, payudara, kulit, nasofaring, dan kolorektal, serta menempati urutan ketiga di antara kanker pada wanita setelah kanker serviks dan payudara (Lubis, dkk., 2003). Hal yang sama ditemukan di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta, di mana angka proporsi kanker ovarium pada tahun 2002 menempati urutan ketiga di antara sepuluh kanker tersering pada wanita yaitu sebanyak 178 kasus (32,5%) (Aziz, 2009). Di RSUP Sanglah Denpasar
12
dilaporkan angka proporsi kanker ovarium sebanyak 35% dari seluruh kanker ginekologi dan hanya 10% terdiagnosis pada stadium dini (Karyana, 2005). Angka insiden kanker ovarium juga cenderung meningkat. Di Inggris, angka insiden kanker ovarium meningkat dari 15 per 100.000 wanita pada tahun 1975 menjadi 19 per 100.000 wanita pada akhir tahun 1990 (Office for National Statistics, 2010). Di Australia, jumlah kasus kanker ovarium meningkat sebanyak 47% dari tahun 1982 sampai 2006, yaitu dari 833 kasus menjadi 1.226 kasus. Diperkirakan jumlah kasus baru akan terus meningkat menjadi 1.434 kasus kanker ovarium pada tahun 2015 (Australia Institute of Health and Welfare, 2010). Di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta, angka proporsi kanker ovarium antara tahun 1989-1992 sebesar 13,6% (Aziz, 1995) menjadi 32,5% pada tahun 2002 (Aziz, 2009). Meskipun angka insiden kanker ovarium menempati urutan ketiga akan tetapi kanker ini merupakan penyebab kematian nomor satu di antara kanker ginekologi. Di Amerika Serikat (2002) terdapat 23.300 kasus kanker serviks dan sebanyak hanya 51,5 % di antaranya meninggal. Berbeda dengan kanker ovarium di mana ditemukan 16.200 kasus dan angka kematiannya mencapai 85,7%. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta menemukan angka harapan hidup selama lima tahun penderita kanker ovarium stadium I sebesar 94,3%, stadium II 75%, stadium III 31%, dan stadium IV 11,7% (Aziz, 2009). Hal ini terkait dengan hampir 90% diagnosis kanker ovarium ditegakkan pada stadium III ke atas (Karyana, 2005; Sihombing dan Sirait, 2007). Faktor terpenting yang mempengaruhi tingginya angka kematian kanker ovarium adalah sebanyak 70-75%
13
kasus terdiagnosis pada stadium lanjut bahkan terminal di mana angka harapan hidup 5 tahun secara keseluruhan adalah 20-30%. Namun, bila ditemukan pada stadium I maka angka harapan hidup 5 tahun mencapai 90-95 % (ACOG Committee Opinion, 2002).
Gambaran
ini
menunjukkan
kemungkinan
adanya
peluang
untuk
meningkatkan angka harapan hidup penderita kanker ovarium bila terdeteksi pada stadium awal. Sebagian besar (90%) tumor ovarium adalah tipe epitel dan berasal dari epitel coelom. Sisanya berasal dari sel-sel germinal atau sel-sel stromal (Karst dan Draphin, 2010). Komponen herediter pada kanker ovarium yang berasal dari sel-sel germinal atau sel-sel stromal sangat jarang, tetapi termasuk herediter dari tipe ini adalah tumor sel granulosa pada pasien-pasien dengan sindrom Peutz-Jeghers dan pada kanker ovarium tipe sel kecil yang diturunkan secara autosomal dominan (Jinawath dan Shih, 2010). Terdapat
banyak
faktor
predisposisi
yang
berpengaruh
terhadap
perkembangan kanker ovarium. Karakteristik individu seperti umur, ditemukan bahwa kanker ovarium sangat jarang terjadi pada usia muda dan kemungkinannya meningkat sejalan dengan peningkatan umur sampai mencapai kejadian yang stabil dalam rentang usia 50-55 tahun. Beberapa penelitian menemukan risiko kanker ovarium tipe epitel lebih tinggi pada wanita-wanita dengan status sosial ekonomi yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan sedikitnya wanita-wanita ini mempunyai anak (Berek, 2010). Faktor lain yang berperan sebagai faktor risiko kanker ovarium tipe epitel adalah indeks massa tubuh (IMT). Suatu penelitian menemukan bahwa pada
14
wanita dengan IMT di atas 30 kg/m2 atau obesitas memiliki risiko relatif sebesar 1,59 untuk terjadinya kanker ovarium dibandingan wanita dengan IMT normal (Lahmann, 2009). Faktor reproduksi lain yang berpengaruh terhadap perkembangan kanker ovarium adalah multiparitas. Multiparitas berkaitan dengan penurunan risiko terkena kanker ovarium, di mana multiparitas mempunyai risiko relatif terkena kanker ovarium sebesar 0,6-0,8 dibandingkan dengan wanita nuliparitas (Pelucchi, dkk., 2007). Faktor lain yang turut berperan dalam penurunan risiko kanker ovarium adalah menyusui. Wanita-wanita yang menyusui selama 1-2 bulan mempunyai risiko relatif terjadinya kanker ovarium sebesar 0,6 dibandingkan dengan wanita-wanita yang tidak pernah menyusui (Jinawath dan Shih, 2010), sedangkan faktor lain yang berperan meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium adalah infertilitas. Wanita-wanita infertil mempunyai risiko tinggi terkena kanker ovarium. Beberapa peneliti menemukan hal ini berkaitan dengan seringnya pasien-pasien infertil terpapar atau diterapi dengan obat-obat untuk induksi ovulasi (Ness, dkk., 2002; Rossing, dkk., 2004). Penelitian lainnya menemukan efek proteksi dari kontrasepsi oral terhadap perkembangan kanker ovarium. Penurunan risiko kanker ovarium pada pemakai kontrasepsi oral diperkirakan sekitar 30-60% tergantung dari lamanya pemakaian (Berek, 2010). Suatu penelitian kohort dan kasus kontrol menemukan efek proteksi sebesar 40% pada wanita-wanita pemakai kontrasepsi oral dan efek proteksinya meningkat mencapai 50% pada pemakaian selama lima tahun atau lebih (La Vecchia, 2006).
15
Efek proteksi terhadap perkembangan kanker ovarium seperti multiparitas, menyusui, dan pemakaian kontrasepsi oral mendukung konsep incessant ovulation merupakan faktor yang berperan dalam perkembangan terjadinya kanker ovarium. Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Fathalla (Fathalla, 1971). Peneliti-peneliti berikutnya menemukan bahwa proses yang terlibat pada upaya mereparasi epitel permukaan ovarium yang rusak akibat trauma ovulasi, suatu ketika mengalami perubahan ke arah keganasan. Semakin banyak jumlah total siklus ovulasi sepanjang hidup wanita, semakin tinggi wanita itu mempunyai risiko terkena kanker ovarium tipe epitel (Zweemer dan Jacobs, 2000; Purdie, dkk., 2003).
2.1.2 Kanker ovarium dalam keluarga Kanker ovarium dalam keluarga pertama kali dilaporkan pada tahun 1929 yang terjadi pada 2 saudara kembar. Selama 15 tahun kemudian tidak ada laporan, tetapi penemuan itu memulai penelitian yang lebih sistematik tentang kemungkinan kanker ovarium diturunkan secara genetik (Zweemer dan Jacobs, 2000). Meskipun kanker ovarium dalam keluarga sangat jarang, sekitar 5-10% dari semua kasus kanker ovarium (Jinawath dan Shih, 2010), banyak peneliti tertarik untuk menemukan kaitan kemungkinan perubahan genetik dengan kanker ovarium tipe epitel. Kanker ovarium dalam keluarga dapat muncul sebagai suatu fenomena lokasi spesifik, dalam kombinasi dengan kanker payudara atau dalam kombinasi dengan kanker endometrium dan kanker kolon yang diturunkan (sindroma Lynch) (Pal, dkk., 2005).
16
Dalam upaya untuk menemukan gambaran kanker ovarium yang diturunkan, selama 10 tahun Piver, dkk., (1993) mengumpulkan data 1.568 kasus kanker ovarium yang berasal dari 658 keluarga. Dalam laporannya, hubungan yang paling sering terjadi antara ibu dengan anak perempuan, diikuti kemudian antara saudara perempuan. Hubungan antara ibu dan anak perempuan yang menderita kanker ovarium dalam keluarga terbukti sekitar 49,5% sementara hubungan antara saudara terjadi sekitar 38,5%. Penelitian itu juga melaporkan bahwa wanita yang mempunyai riwayat keluarga di mana ibunya menderita kanker ovarium mempunyai rasio odds 40,73 untuk menderita kanker ovarium, sedangkan wanita dengan riwayat keluarga di mana saudaranya menderita kanker ovarium mempunyai rasio odds sebesar 34,51. Penelitian ini secara umum menunjukkan gambaran penurunan secara autosomal dominan dengan penetrasi yang bervariasi, di mana setiap wanita mempunyai risiko sepanjang hidupnya lebih dari 50% untuk menderita kanker ovarium. Risiko yang dihubungkan dengan adanya riwayat keluarga yang menderita kanker ovarium juga banyak diteliti dengan menggunakan rancangan kasus kontrol. Rasio odds yang dikaitkan dengan adanya riwayat kanker ovarium dalam keluarga setidaknya pada generasi pertama, mempunyai rentang 2,5 sampai tak terhingga (Zweemer dan Jacobs, 2000). Penelitian-penelitian
selanjutnya
mendukung
peranan
genetik
pada
perkembangan kanker ovarium. Penelitian sitogenetik kanker ovarium menemukan karyotyping aneuploid kompleks dengan sejumlah kelainan struktural, yang paling sering mengenai kromosom 1, 3, 6, 11, 17, dan 19. Meskipun tidak ada kelainan
17
sitogenetik secara spesifik, perubahan yang paling sering adalah deletion pada lengan pendek kromosom 6 yang menghasilkan mutasi pada sejumlah gen seperti gen BRCA1 (Buller, dkk., 2001; Deng dan Wang, 2003; Pal, dkk., 2005). Abnormalitas gen-gen yang berperan pada regulasi siklus sel, proliferasi sel, proses perbaikan terhadap kerusakan gen, dan apoptosis sering ditemukan dan merupakan bukti lebih lanjut keterlibatan faktor genetik pada kanker ovarium (Bai dan Zhu, 2006). Banyak literatur membahas tentang peran penting gen p53 pada proses karsinogenesis. Mutasi gen p53 sejauh ini merupakan perubahan genetik yang paling sering dijelaskan pada kanker ovarium tipe epitel (Legge, dkk., 2005). Penelitian in vitro menunjukkan p53 wild-type berperan sebagai gen penekan tumor. Protein 53 mutant berperan sebagai onkogen transformasi dominan di dalam kultur sel dan menunjukkan hubungan dengan p53 wild-type, mungkin melalui ikatan dengan p53. Karena gen mutant p53 mengkode protein dengan waktu paruh yang panjang, mutasi gen p53 selalu memungkinkan ekspresi relatif protein p53. Hampir 50% kanker ovarium stadium lanjut memperlihatkan ekspresi p53 mutant, sementara itu ekspresi p53 mutan pada kanker ovarium stadium awal hanya 15% (Bast dan Mills, 2000).
2.2 Protein 53 (p53) 2.2.1 Protein penekan tumor p53 Protein 53 (p53) pertama kali diidentifikasi pada tahun 1979 sebagai transformation-related protein dan protein sel yang terakumulasi pada inti sel kanker
18
dan berikatan kuat dengan simian virus 40 (SV40) large T antigen (Lane dan Crawford, 1979). Akan tetapi, hampir 10 tahun kemudian para peneliti menemukan bahwa ternyata protein tersebut merupakan bentuk mutasi dari p53 yang pada awalnya diistilahkan sebagai p53 wild-type (p53 wt), dan sifat onkogenik dari p53 sebenarnya berasal dari mutasi p53 (Bai dan Zhu, 2006). Pada masa lalu, p53 diyakini berperan sebagai onkogen karena ditemukan pada sel-sel yang mengalami perubahan keganasan. Hal ini berdasarkan beberapa penelitian, di mana beberapa klon p53 dapat diisolasi dan terbukti dapat memelihara sel-sel kultur tetap hidup melalui kolaborasi dengan c-ras. Tetapi kemudian, penelitian-penelitian mencatat bahwa p53 pada sel-sel yang mengalami perubahan keganasan adalah bentuk mutant p53. Penelitian selanjutnya menyatakan bahwa p53 mampu menekan perubahan sel-sel ke arah keganasan yang disebabkan oleh onkogen di dalam jaringan yang dikultur dan dapat menghambat potensi sel-sel menjadi tumor pada binatang (Suryohusodo, 2000). Karena alasan tersebut, saat ini p53 diklasifikasikan sebagai protein penekan tumor. Protein 53 (p53) merupakan penekan tumor yang multifungsi dan sering mengalami perubahan pada kanker ovarium dan jenis kanker lainnya. Protein 53 dalam kondisi normal berinteraksi dengan berbagai jenis protein yang terlibat dalam regulasi transkripsional, perbaikan kerusakan DNA, progresi siklus sel, dan apoptosis (Havrilesky, dkk., 2003). Protein 53 dikenal dengan sebutan beragam seperti p53 atau TP53. Protein 53 merupakan salah satu molekul terpenting dalam dunia biologi. Berbagai peran dari p53 yang berhubungan dengan kanker terus berusaha diteliti.
19
Sejauh ini fungsi p53 yang telah diketahui mencakup pengaturan siklus sel, kematian sel/apoptosis, perbaikan kerusakan DNA yang disebabkan oleh bahan genotoksik, angiogenesis, dan regulasi stres oksidatif. Relevansi fungsi yang sangat luas menempatkan p53 pada posisi pengendali yang bertanggung jawab terhadap berbagai proses terkait dengan kanker. Begitu pula mengingat banyaknya mitra interaksi, tidaklah mengherankan jika penyimpangan pada p53 sangat sering ditemukan pada kanker (Foulkes, 2007). Protein penekan tumor p53 bertindak sebagai simpul utama dari jalur sinyal kompleks yang terlibat dalam berbagai respon stres seluler seperti kerusakan DNA, aktivasi onkogen, infeksi virus, dan deplesi ribonukleotida. Pada keadaan normal, p53 dalam jaringan berada pada kondisi yang tidak aktif (switched off). Protein 53 biasanya diaktifkan oleh semacam stres seluler yang dapat mengubah siklus perkembangan sel normal atau menginduksi mutasi genome yang kemudian mengarah pada perubahan keganasan. Protein 53 aktif dapat menghentikan siklus sel, atau pada banyak kasus, mengaktifkan (switched on) program jalur kematian sel (apoptosis) dan memaksa sel-sel rusak dan mengandung mutasi melakukan bunuh diri sehingga mencegah perbanyakan dan pertumbuhan selular yang abnormal. Oleh karena itu, p53 dikenal sebagai penjaga genome (guardian of genome), berperan menghambat perkembangan tumor sehingga protein ini paling sering mengalami mutasi pada penyakit kanker (Bourdon, dkk., 2003). Banyak penelitian melaporkan bahwa patogenesis kanker ovarium saat ini makin luas dengan ditemukannya peranan berbagai onkogen. Salah satu teori
20
menjelaskan progresivitas kanker ovarium invasif berdasarkan interaksi yang kompleks antara latar belakang genetik pasien dengan pengaruh lingkungan yang memicu mutasi berbagai onkogen. Perkembangan keganasan memerlukan kerusakan berbagai protein. Hal ini dapat memicu kerusakan gen penekan tumor akibat adanya delesi atau mutasi (Bai dan Zhu, 2006). 2.2.2 Struktur p53 Gen yang menyandi protein 53 terletak pada bagian lengan pendek dari kromosom 17 (17p13.1), merupakan suatu fosfoprotein nukleus yang memiliki berat molekul sebesar 53 kilo Dalton (kDa). Protein 53 ini dikode oleh 20 kilobasa (kb) yang terdiri dari 11 ekson dan 10 intron (Bai dan Zhu, 2006; Maximov dan Maximov, 2008). Protein p53 wild type (p53 wt) mengandung sebanyak 393 asam amino yang secara fungsional dibagi menjadi tiga bagian utama, yaitu bagian N-terminal, bagian inti, dan bagian C-terminal (Bai dan Zhu, 2006). Tiga bagian utama ini terbagi lagi menjadi 5 bagian penting, yaitu: N-terminal transactivation, rantai spesifik pengikat DNA, C-terminal yang terlibat pada regulasi pengikat DNA, bagian pengatur yang kaya prolin, dan bagian oligomerization (Gambar 2.1) (Bai dan Zhu, 2006). 2.2.2.1 Bagian N-terminal Sebagai faktor transkripsi, p53 memiliki bagian transaktivasi ganda (asam amino 1-42 dan 43-73) yang bersama-sama dengan bagian yang kaya prolin (asam amino 61-94) membentuk bagian N-terminal. Oleh karena kaya akan residu acidic seperti Asp dan Glu menjadikan domain ini suatu bagian transaktivasi acidic (bagian transaktivasi yang bersifat asam) (Jung, 2007). Bagian ini tidak memiliki struktur
21
tersier dan sebagian besar memerlukan elemen struktural sekunder yang merupakan ciri khas dari kebanyakan transaktivasi ganda acidic. Potongan kecil dari transaktivasi ganda p53 dapat membentuk sub-struktur lokal, seperti induced helices, dengan formasinya yang tergantung pada sifat pasangan protein pengikatnya, misalnya murine double minute 2 (MDM2) (Reles, 2001). Suatu rangkaian pengekspor inti (nuclear export sequence=NES) terletak pada bagian N-terminal (asam amino 11-27) dan berkolaborasi dengan C-terminal NES untuk melaksanakan ekspor inti p53. Inaktivasi sinyal ekspor oleh modifikasi pasca-translasi terhadap bagian N-terminal terjadi saat aktivasi p53 (Jung, 2007; Meek dan Anderson, 2009).
Gambar 2.1 Struktur p53 Protein p53 terdiri dari 393 asam amino, terbagi menjadi tiga domain fungsional; N-terminal activation domain, DNA binding domain dan Cterminal tetramerization domain (Bai dan Zhu, 2006).
22
2.2.2.2 Bagian pengikat DNA Central sequence-specific DNA binding domain (DBD) dari p53 umumnya disebut sebagai core domain (bagian inti; asam amino 102-292) sangat penting dalam kapasitas faktor transkripsi p53 untuk mengikat DNA. Ikatan p53 dengan DNA terjadi melalui kerjasama dengan empat bagian inti yang menempati satu elemen respon DNA. Berdasarkan data dasar internasional, lebih dari 90% mutasi p53 pada berbagai tumor terjadi pada bagian inti (Jung, 2007).
2.2.2.3 Bagian C-terminal Bagian C-terminal dianggap memiliki peran regulasi. Residu pada bagian Cterminal mengalami modifikasi pasca-translasi termasuk fosforilasi dan asetilasi. Bentuk fungsional p53 terdapat dalam bentuk tetramer (Bai dan Zhu, 2006). Bagian C-terminal p53 terdiri dari dua bagian, yaitu bagian oligomerisasi atau bagian tetramerisasi (residu 324 sampai 355) dan bagian regulator pada terminal karboksil (residu 363 sampai 393) (Bai dan Zhu, 2006). Suatu nuclear export sequence (NES; asam amino 350-351) terletak di dalam bagian tetramerisasi dan melakukan mediasi hubungan sitoplasma-inti. Saat bagian ini terpapar pada permukaan protein dan ketika p53 berada dalam bentuk monomernya, NES tertanam di bawah permukaan saat oligomerisasi p53 dan akan menimbulkan retensi inti. Bagian auto-regulatory negatif pada bagian C-terminal dari p53 dihubungkan dengan bagian tetramerisasi melalui bagian penghubung utama, yang mengandung suatu sinyal lokalisasi inti ganda (bipartite nuclear localization signal) yang memediasi impor inti dari p53. Bagian
23
auto-regulatory negatif berimplikasi pada auto-inhibisi terhadap fungsi bagian pengikat DNA p53 (Jung, 2007). Bagian C-terminal juga berfungsi sebagai bagian regulasi negatif yang memiliki fungsi menginduksi proses kematian sel atau apoptosis dan mengatur kemampuan bagian pengikat DNA untuk mempertahankan dalam bentuk laten. Jika interaksi antara bagian C-terminal dan bagian pengikat inti diputus atau dihilangkan oleh modifikasi pasca-translasi, seperti proses fosforilasi dan asetilasi, bagian pengikat inti akan menjadi teraktivasi, sehingga dapat menginduksi terjadinya transkripsi (Bai dan Zhu, 2006).
2.2.3 Peran p53 Protein 53 berperan utama sebagai faktor transkripsi dengan bermacammacam target. Hal ini berarti p53 mengontrol berbagai jenis protein dengan fungsi yang berbeda-beda (Foulkes, 2007). Sebagai protein penekan tumor, p53 sangat penting untuk mencegah proliferasi sel yang menyimpang serta mempertahankan integritas genome akibat stres genotoksik. Sebagai akibat dari berbagai stimulus intraseluler dan ekstraseluler, seperti kerusakan DNA (termasuk radiasi pengion, radiasi ultraviolet, pengunaan obat-obat sitotoksik atau obat-obat kemoterapi, dan infeksi virus), syok akibat pemanasan, hipoksia, dan ekspresi onkogen yang berlebihan, p53 wt diaktifkan dan hadir sebagai protein regulator yang penting untuk memicu respon biologis yang beragam, baik di tingkat sel tunggal maupun pada semua organisme.
24
Protein-protein yang diaktifkan oleh p53 wt memiliki fungsi yang beragam dan merupakan efektor hilir (downstream) pada jalur penyampaian sinyal yang memperoleh tanggapan beragam seperti cell-cycle checkpoints, reparasi kerusakan DNA, dan apoptosis. Sebagian dari berbagai fungsi p53 termasuk peran utama p53 dalam menekan pertumbuhan tumor, dapat dikaitkan dengan kemampuannya untuk bertindak sebagai faktor transkripsi – suatu rangkaian spesifik yang mengatur ekspresi protein-protein seluler yang berbeda dalam mengatur berbagai proses seluler, meskipun interaksi protein-protein lain juga mungkin memainkan peranan. Menanggapi berbagai jenis stres, p53 diakumulasikan di dalam inti dan berikatan pada tempat tertentu di daerah pengaturan dari gen responsif p53, dan kemudian mendorong dengan kuat transkripsi dari gen-gen tersebut. Target hilir p53 secara berbeda diaktifkan tergantung pada jenis sel, tingkat kerusakan yang telah mempengaruhi aktivasi p53, dan berbagai parameter lain yang belum teridentifikasi (Bai dan Zhu, 2006).
2.2.3.1 Regulasi siklus sel dan perbaikan kerusakan DNA Berbagai respon seluler yang ditimbulkan oleh p53 yang merupakan kontrol terhadap pertumbuhan meliputi penghentian siklus sel (cell cycle arrest), reparasi kerusakan DNA, dan apoptosis (Reles, 2001; Bai dan Zhu, 2006). Tampak bahwa kemampuan p53 untuk menghambat pertumbuhan sel sangat penting mengingat fungsinya sebagai penekan tumor. Hambatan terhadap siklus sel terjadi apabila timbul rintangan di dalam siklus pembelahan sel. Induksi penghentian siklus sel oleh p53
25
dapat memberikan tambahan waktu bagi sel untuk memperbaiki kerusakan genome sebelum memasuki tahapan penting sintesis DNA dan mitosis. Sel-sel yang sebelumnya tertahan akan dikembalikan ke kondisi proliferasinya melalui fungsi biokimia p53 yang memfasilitasi perbaikan DNA termasuk di antaranya nucleotide excision repair dan base excision repair (Bai dan Zhu, 2006).
Gambar 2.2 Mekanisme p53 Menghentikan Siklus Sel pada Fase G1-S (Rose, 2007) Gambaran skematik penghentian siklus sel pada fase G1-S oleh p53 yang mengaktifkan p21, CAK, dan PC3. Tanda panah warna hijau menunjukkan aktivasi target dan garis merah menunjukkan penghambatan target
Mekanisme p53 dalam proses transformasi ke arah keganasan dapat melalui beberapa mekanisme. Bila terjadi kerusakan DNA, p53 memperantarai berhentinya fase G1 melalui pengaktifan gen-gen yang bertanggungjawab pada respon kerusakan gen seperti WAF1 yang mengkode p21Waf1/Cip1, suatu penghambat yang poten dari cyclin-dependent kinase (cdk)-dependent phosphorylation dari protein retinoblastoma
26
(pRb) (Gambar 2.2). Protein retinoblastoma yang terhipofosforilasi mengikat faktor transkripsi E2F-1 yang mengakibatkan berhentinya siklus sel. Protein 53 dapat juga menghambat siklus G1 melalui pengaturan aktivitas transkripsi RNA polymerase II dengan menghambat kompleks cdk-activating kinase (CAK) cdk7/cyclin H1/Mat1 (Rose, 2007). Selain itu, berhentinya siklus G1 dapat juga diakibatkan oleh kemampuan p53 menginduksi PC3, gen yang menurunkan kadar cyclin D1, yang menghambat cdk4 dan hipofosforilasi pRb (Guardavaccaro, dkk., 2000). Hal ini menunjukkan bahwa checkpoint pada fase G1-S dari siklus sel merupakan fase yang sangat kritis dari mekanisme perbaikan kerusakan DNA.
Gambar 2.3 Mekanisme p53 Menghentikan Siklus Sel pada Fase G2-M (Rose, 2007) Gambaran skematik penghentian siklus sel pada fase G2-M oleh p53 yang mengaktifkan p21, GADD45, dan 14-3-3σ. Tanda panah warna hijau menunjukkan aktivasi target dan garis merah menunjukkan penghambatan target.
27
Seperti terlihat pada Gambar 2.3, protein 53 juga menghambat siklus sel pada fase transisi G2-M. Aktivasi p53 dapat menghambat secara efektif aktivitas B1/cdc2 yang sangat penting bagi sel-sel memasuki fase mitosis. Protein 21Waf1/Cip1 juga berperan pada berhentinya fase G2 melalui penghambatan secara langsung kompleks cyclin B1/cdc2 (Flatt, dkk., 2000). Selain itu, p53 menginduksi GADD45 yang dapat mengikat cdc2 dan mengakibatkan ketidakmampuannya membentuk kompleks dengan cyclin B1 (Jin, dkk., 2000; Rose, 2007). Protein 53 menginduksi 14-3-3-σ yang tidak hanya mengikat dan menghancurkan cdc2 di dalam sitoplasma, tetapi juga mengikat dan menghancurkan cdc25 yang bertanggungjawab terhadap defosforilasi dan aktivasi kompleks cyclin B/cdc2 (Rose, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa p53 dikenal sebagai guardian of the genome karena peranannya menghambat pertumbuhan sel-sel dengan kerusakan DNA.
2.2.3.2 Apoptosis Selain melalui mekanisme tersebut di atas, p53 juga mengontrol proliferasi sel dan integritas genome dengan menginduksi apoptosis melalui aktivasi transkripsi gengen target p53. Sebagai penjaga integritas keutuhan selular, salah satu peranan p53 adalah memonitor stres selular dan menginduksi apoptosis apabila lesi DNA irreversible atau tidak dapat diperbaiki. Apoptosis merupakan proses multi-step yang diregulasi dengan ketat, ditandai dengan penyusutan sel, kondensasi kromatin, serta fragmentasi sel dan inti (Bai dan Zhu, 2006; Miettinen, 2009). Dalam perkembangannya apoptosis juga sering disebut dengan kematian sel yang
28
terprogram, yang berlangsung terus selama proses kehidupan dengan maksud untuk menjaga homeostasis jaringan, yaitu keseimbangan antara proliferasi dengan kematian sel. Apoptosis merupakan barrier utama onkogenesis dan protein penekan tumor p53 merupakan kunci utama regulasi apoptosis dan karsinogenesis (Maximov dan Maximov, 2008). Seperti diuraikan di atas, apoptosis dimediasi oleh dua jalur apoptosis utama, yaitu jalur ekstrinsik dan intrinsik. Apapun jalur aktivasi yang diinduksi, masing-masing jalur tersebut menimbulkan aktivasi protease selektif yang disebut sebagai caspase. Jalur ekstrinsik dikenal sebagai death receptor pathway dan jalur intrinsik sebagai mitochondrial pathway. Baik jalur ekstrinsik dan intrinsik diaktifkan oleh gen penekan tumor p53 (Miettinen, 2009).
A. Jalur Ekstrinsik Protein p53 dapat mengaktivasi jalur apoptosis ekstrinsik melalui induksi gen yang mengkode tiga protein transmembran: FAS, DR5/KILLER (the death-domaincontaining receptor for TNF-related apoptosis-inducing ligand/TRAIL), dan PERP. Reseptor permukaan sel FAS (CD95/APO1) merupakan komponen kunci dari jalur apoptosis ekstrinsik (Haupt, dkk., 2003). Jalur apoptosis ekstrinsik diinisiasi oleh anggota keluarga tumor necrosis factor (TNF) termasuk TNFα, FAS/CD95 ligand (FASL), dan APO2 ligand (APO2L). Mereka mengaktifkan death receptor dari keluarga TNF/NGF seperti TNFR1, FAS (CD95/APO1), dan APO2 (Maximov dan Maximov, 2008).
29
Fatty acid synthetase (FAS) diaktifkan dengan ikatan pada ligand-nya (FASL), yang dominan diekspresikan oleh sel T. Protein 53 menginduksi ekspresi FAS mRNA dengan berikatan pada elemen yang terdapat pada promoter dan intron pertama dari gen FAS (Haupt, dkk., 2003). Fatty acid synthetase (FAS) berhubungan dengan protein FADD (Fas associated death domain) untuk membentuk suatu kompleks yang disebut DISC (Death-inducing signaling complex), kemudian DISC mengaktifkan procaspase-8 dan caspase-8 yang pada gilirannya menginduksi aktivasi caspase-3 dan caspase-7 sehingga menyebabkan apoptosis. TNFR1 dan APO2 yang terinduksi juga mempromosikan kematian sel melalui caspase-8. Caspase-8 dapat mengaktifkan protein proapoptosis BID yang merupakan penghubung antara jalur apoptosis ekstrinsik dan intrinsik (Maximov dan Maximov, 2008). Protein 53 berperan baik pada jalur ekstrinsik maupun jalur intrinsik dari mekanisme apoptosis. Reseptor kematian sel pada membran plasma seperti Fas, DR4, dan DR5 diatur oleh p53 melalui jalur ekstrinsik (Yu, dkk., 2005). Protein 53 menginduksi
caspase-8
yang mengaktifkan
Bid.
Bid
memasuki
membran
mitokondria, yang selanjutnya mengaktifkan Bax dan Bak. Bax dan Bak menstimulasi pembentukan apoptosome dalam mitokondria. Protein 53 mengatur mekanisme jalur intrinsik apoptotik melalui induksi langsung keluarga Bcl-2 seperti Bax, PUMA (p53-upregulated modulator of apoptosis), dan Noxa, yang terletak pada membran mitokondria dan menstimulasi pelepasan sitokrom-c dan mengaktifkan jalur caspase (Schuler, dkk., 2000; Haupt, dkk., 2003). Pembentukan apoptosome tergantung pada sitokrom-c, Apaf-1, dan caspase-9. Dengan demikian, p53 tidak
30
bekerja sendiri dalam mekanisme transaktivasi, tetapi memerlukan kerjasama banyak protein yang secara bersama-sama menimbulkan efek pada mekanisme apoptosis.
B. Jalur Intrinsik Jalur apoptosis intrinsik juga disebut mitochondrial pathway karena dikaitkan dengan pelepasan protein sitokrom-c dan protein lain dari ruang antar-membran mitokondria ke dalam sitoplasma sebagai akibat dari aktivasi anggota keluarga protein proapoptosis Bcl-2 yang merupakan regulator permeabilitas membran luar mitokondria. Jalur apoptosis intrinsik didominasi oleh keluarga protein Bcl-2, yang terbagi menjadi tiga kelas: protein pro survival seperti Bcl-2, Bcl-XL; protein proapoptosis seperti Bax, Bak, dan Bcl-X1; protein pro-apoptosis BH3-only seperti Bid, Bad, Noxa, Puma (p53-up-regulated modulator of apoptosis), p53AIP1 (Haupt, dkk., 2003; Bai dan Zhu, 2006). Anggota keluarga pro-apoptosis Bcl-2 yang telah diaktifkan dapat menetralkan anggota anti-apoptosis dari keluarga yang sama, yang jika tidak, akan dapat menghambat kematian sel dengan mencegah pelepasan sitokrom-c dari mitokondria. Setelah dilepaskan ke sitoplasma, sitokrom-c mengikat protein adaptor Apaf-1 (Apoptotic protease-activating factor-1) untuk membuat apoptosome, sebuah kompleks yang akan mengaktifkan procaspase-9. Dengan adanya dATP/ATP nukleotida caspase-9 diaktifkan, yang pada gilirannya mengaktifkan caspase-3 dan caspase-7, menyebabkan aktivasi luas terhadap caspase lain (caspase cascade) dan kematian sel. Beberapa protein inhibitor dari IAPs (proteins-inhibitors of caspases) seperti DIABLO/Smac dan Omi/HtrA2 juga dirilis, serta protein penting
31
lainnya seperti AIF (apoptosis-inducing factor) dan endonuklease G (Endo G). Protein-protein ini dapat berkontribusi pada proses apoptosis, bahkan tanpa adanya aktivasi caspase, menciptakan jalur kematian sel caspase-independent (Maximov dan Maximov, 2008).
2.2.4 Protein 53 mutan dan kanker ovarium Pada kanker, mutasi p53 sebagian besar adalah missense mutations yang menimbulkan substitusi asam amino pada protein wild-type (Bai dan Zhu, 2006). Mutasi ini selalu berakibat terjadinya sintesis protein mutant yang dapat meningkatkan stabilitas seluler akan tetapi cacat secara fungsi. p53 mutant terakumulasi di dalam sel, mencapai level hingga 10 sampai 100 kali lipat lebih tinggi daripada protein wild type (Miettinen, 2009). Terdapat hubungan yang erat antara missense mutations dengan ekspresi protein 53 (Havrilesky, dkk., 2003). Selama perkembangan kanker, p53 dapat mengalami perubahan oleh karena terjadi mutasi. Sejauh ini, missense mutation pada p53 sangat sering terjadi pada sel kanker. Non-sense mutation, insersi, dan delesi pada p53 juga dijumpai. Mutasi pada gen p53 terdeteksi pada 10% hingga 80% pasien kanker ovarium. Pada beberapa penelitian, mutasi p53 berhubungan dengan prognosis yang buruk. Prevalensi mutasi p53 sangat bergantung pada subtipe histologik kanker ovarium. Mutasi p53 terjadi pada lebih dari dua pertiga kanker ovarium tipe epitel stadium lanjut (Havrilesky, dkk., 2003).
32
Jalur Intrinsik
Jalur Ekstrinsik
Gambar 2.4 Mekanisme Apoptosis yang Dimediasi oleh p53 (Maximov dan Maximov, 2008)
Mutasi p53 lebih sering terjadi pada primary serous ovarian cancer yaitu 58% dari kasus. Persentase mutasi p53 dilaporkan rendah pada tumor ovarium tipe endometrioid, musinus, dan clear-cell, berturut-turut 28%, 16%, dan 10% tetapi sedikit lebih tinggi jika menggunakan teknik imunohistokimia, yaitu 37% pada endometrioid dan 31% pada tipe tumor musinus (Schuijer dan Berns, 2003). Insiden mutasi sangat tinggi khususnya pada highgrade serous carcinoma.
33
Status ekspresi p53 juga berkaitan dengan prognosis kanker ovarium. Pasien dengan p53 aberrant, misalnya, ekspresi positif atau status p53 yang benar-benar negatif, mempunyai 5-year overall survival 26%, sedangkan pasien dengan p53 normal memiliki 5-year overall survival 79%. Frekuensi ekspresi p53 lebih tinggi secara bermakna pada penyakit stadium lanjut yakni stadium III dan IV (40%-60%) dibandingkan pada stadium I dan II (10%-20%). Dengan kata lain, sangat mungkin jika p53 berkaitan dengan fenotip yang agresif, yang juga berarti bahwa penyakit tersebut menyebar lebih cepat (Havrilesky, dkk., 2003). Akumulasi mutasi p53 pada sel ganas membangkitkan respon imun humoral terhadap protein p53 pada lingkungan di sekitar tumor. Seperti adanya autoantibodi anti-p53 dalam cairan asites pasien kanker ovarium, yang berhubungan dengan disease free survival yang buruk (Miettinen, 2009). Selain itu, perubahan pada p53 diketahui berhubungan dengan respon atau resistensi terhadap kemoterapi. Hal ini mengindikasikan bahwa hilangnya fungsi p53 dapat memberikan fenotif berupa sifat kanker yang kemoresisten, karena p53 berperan dalam apoptosis yang diinduksi oleh kemoterapi. Berdasarkan hasil penelitian in vitro, status p53 sangat penting khususnya dalam hal sensitivitas sel kanker ovarium terhadap cisplatin (Havrilesky, dkk., 2003).
2.3 Protein Bcl-2 Telah diketahui bahwa regulasi sel diatur oleh keseimbangan antara laju proliferasi sel dan kematian sel. Hal ini berarti pertumbuhan sel-sel secara tidak
34
terkontrol tidak hanya disebabkan oleh meningkatnya proliferasi sel tetapi dapat juga disebabkan oleh karena adanya hambatan terhadap proses kematian sel, yang mengakibatkan kegagalan mekanisme fisiologis kematian sel yang terprogram (apoptosis). Protein Bcl-2 merupakan salah satu anggota keluarga Bcl-2 yang terlibat pada mekanisme apoptosis dan berperan sebagai anti-apoptosis (protectors) yang memungkinkan sel-sel tetap tumbuh (Marx dan Meden, 2001; Raspollini, dkk., 2006). Protein ini pertama kali ditemukan sebagai proto-onkogen pada limfoma sel B. Gen yang menyandi protein ini terletak pada kromosom nomer 18q21 sebagai hasil translokasi t(14;18)q (Pollard, dkk., 2008). Keluarga Bcl-2 dapat dibagi menjadi kelompok protectors (anti-apoptotis) yaitu Bcl-2, Bcl-xl, Bcl-W, Mcl-1, A1, Boo/Diva, C. elegans ced-9, Adenovirus E1B19K, Epstein-Barr virus BHFR1. Kelompok killers (pro-apoptosis) antara lain Bax, Bak, Bok/Mtd, Bcl-xs, serta kelompok regulators seperti Bad, Bid, Bim, BmF, Hrk, C. elegans Egl-1, Bik/Nbk, HRK, Puma, dan Noxa (Pollard, dkk., 2008). Protein Bcl-2 memiliki berat molekul 25 kD. Gugusan C-terminal 21 asam amino dikode menjadi asam amino hidrofobik yang penting dalam pertahanan membran. Protein Bcl-2 terdapat dalam permukaan sitoplasma membran luar mitokondria, envelop inti sel, dan dalam retikulum endoplasma (Pollard, dkk., 2008). Proses apoptosis pada tingkat yang lebih tinggi melibatkan p53 seperti telah diuraikan di atas. Protein 53 akan menghambat aktivitas anti-apoptosis dan mengaktifkan
gen-gen
pro-apoptosis
dari
membran
mitokondria.
Hal
ini
mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran mitokondria. Meningkatnya
35
permeabilitas membran mitokondria akan melepaskan molekul pro-apoptosis sitokrom-c yang akan berikatan dengan apoptotic protease-activating factor-1 (Apaf1). Ikatan ini kemudian akan mengaktifkan kaskade caspase yang menimbulkan apoptosis (Kumar, dkk., 2005). Suatu protein yang mencegah sel-sel dari kematian menyebabkan organisme multiseluler berhadapan dengan potensi yang berbahaya, di mana keseimbangan antara proliferasi dan kematian sel menjadi terganggu. Peningkatan transkripsi Bcl-2 secara langsung bertanggungjawab terhadap stimulasi perubahan ke arah keganasan. Tidak seperti onkogen-onkogen lainnya, ekspresi berlebihan dari Bcl-2 tidak menyebabkan proliferasi sel. Sebaliknya, hal itu menyebabkan terganggunya pengaturan keseimbangan antara kehidupan dan kematian dari sel-sel yang terkena. Sel-sel yang memperlihatkan ekspresi Bcl-2 berlebihan akan mengalami pertumbuhan terus dan sangat resisten terhadap berbagai rangsangan yang secara normal menstimulasi kematian sel (Pollard, dkk., 2008). Telah diketahui bahwa ekspresi protein Bcl-2 sangat lemah pada sel-sel epitel ovarium yang normal atau pada tumor ovarium jinak dan borderline, tetapi sangat kuat pada kanker ovarium (Chan, dkk., 2000; Anderson, dkk., 2009). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas apoptosis menurun sebagai akibat peningkatan aktivitas protein Bcl-2 pada kanker ovarium (Tas, 2001). Baekelandt, dkk., (1999) menemukan ekspresi protein Bcl-2 pada kanker ovarium sebesar 39%, sementara Chan, dkk., (2000) menemukan ekspresi protein Bcl-2 pada kanker ovarium sebesar 33%.
36
KELUARGA Bcl-2
PROTECTORS
KILLERS
REGULATORS
Gambar 2.5 Protein-Protein yang Termasuk Keluarga Bcl-2 (Pollard, dkk., 2008) Anggota keluarga Bcl-2 dikenali dengan adanya satu sampai empat kotak pendek rangkaian protein yang disebut BH (Bcl-2 homology). Kelompok anti-apoptosis Bcl-2 (protectors) mempunyai empat bagian. Kelompok pro-apoptosis (killers) mempunyai tiga bagian, sedangkan kelompok regulators hanya mempunyai satu bagian BH3.
2.4 CASPASE-3 Caspase termasuk keluarga protease interleukin-1β-converting enzyme, yang sangat mirip dengan protein kematian dari sel Caenorhabditis elegans (CED-3). Sampai saat ini telah diketahui sebanyak 14 caspase, yang semuanya merupakan protease dengan kandungan sistein asam asetat (caspase=cysteine aspartic acid protease) (Bai dan Zhu, 2006). Caspase terdapat di setiap sel sebagai prekursor tidak
37
aktif yang disebut procaspase. Bagian N-terminal
dari procaspase mengandung
struktur yang sangat bervariasi yang diperlukan untuk aktivasi caspase. Semua anggota caspase mampu mengaktivasi dirinya sendiri (autoactivation) seperti halnya mengaktivasi caspase lainnya untuk menghasilkan suatu heterodimer dengan sebuah subunit besar dan sebuah subunit kecil, serta dua heterodimer membentuk suatu enzim aktif heterotetramer (Fan, dkk., 2005). Di antara 14 anggota procaspase, hanya procaspase-14 yang bersifat unik untuk proses proteolisis yang secara prinsip berkaitan dengan differensiasi sel-sel epitel dibandingkan dengan apoptosis atau inflamasi. Semua bentuk procaspase dari caspase yang memediasi inflamasi dan caspase aktivator apoptosis mempunyai long prodomain. Bagian long prodomain mengandung death effector domain (DED) pada procaspase-8 dan procaspase-10 atau caspase activation and recruitment domain (CARD) pada procaspase-2 dan procaspase-9. DED dan CARD anggota dari keluarga death domain terlibat pada aktivasi procaspase dan regulasi kaskade caspase melalui interaksi protein-protein. Ketiga bagian tersebut mengandung struktur 3-D yang dikenal sebagai death domain fold, yang tersusun oleh enam α-heliks antiparalel. Namun, prodomain yang lebih pendek pada procaspase dari caspase executioner apoptosis tidak terlibat pada interaksi antar protein (Yuan dan Ding, 2002). Ketika teraktivasi, caspase aktivator apoptosis seperti caspase-2, caspase-8, dan caspase-10 akan mengaktifkan caspase executioner apoptosis seperti caspase-3, caspase-6, dan caspase-7. Selanjutnya caspase-8 dapat mengikat Bid ke tBid yang berpindah ke membran mitokondria dan memicu pelepasan sitokrom-c dan
38
mengaktifkan jalur apoptosis mitokondria (jalur intrinsik) (Kuwara, dkk., 2002). Caspase executioner yang teraktivasi selanjutnya mengikat protein seluler yang berbeda seperti PARP [poly(ADP-ribose) polymerase], lamin, fodrin, dan Bcl-2 yang menyebabkan perubahan bentuk morfologis. Pengaktifan caspase mediator inflamasi seperti caspase-1, caspase-4, dan caspase-5, termasuk pro-IL-1β, pro-IL-18, IL-1F7b, dan keluarga NOD-LRR (nucleotide-binding oligomerization domain-leucine-rich repeat) seperti Ipaf (interleukin-1β-converting-enzyme protease-activating factor), LRR dan protein pyrin (Gaggero, 2004; Martinon dan Tschopp, 2004).
Tabel 2.1 Pengelompokan Keluarga Caspase (Fan, dkk., 2005)
KELOMPOK CASPASE
ANGGOTA
1. Caspase Initiator/activator
Caspase-2 Caspase-8 Caspase-9 Caspase-10
2. Caspase Executioner
Caspase-3 Caspase-6 Caspase-7
3. Caspase mediator inflamasi
Caspase-1 Caspase-4 Caspase-5 Caspase-11 Caspase-12 Caspase-13 Caspase-14
39
Caspase-3 adalah faktor kunci dari apoptosis executioner yang merupakan bentuk aktif dari procaspase-3. Procaspase-3 dapat diaktifkan oleh caspase-3, caspase-8, caspase-10, CPP32 activating protease, granzyme B (Gran B), dan lainlain. Pengaktifan substrat caspase-3 dilakukan oleh procaspase-3, procaspase-6, procaspase-9, DNA-PK, PKCγ, PARP, D4-GDI (D4GDP-dissociation inhibitor), steroid response element-binding protein, U1-70kD, inhibitor of caspase activated deoxyribonuclease (ICAD), dan lain-lain. Kecuali untuk α-fodrin dan topoisomerase I, semua substrat dapat melekat pada caspase-3 selama apoptosis (Yuan dan Ding, 2002). Caspase-6 dan caspase-7 sangat homolog dengan caspase-3. Procaspase-6 dapat diaktifkan oleh caspase-3 tetapi bukan Gran-B. Caspase-6 juga dapat mengaktifkan procaspase-3 melalui suatu jalur umpan balik positif. Substrat caspase6 meliputi PARP, lamin, dan procaspase-3. Procaspase-7 yang substratnya meliputi PARP, procaspase-6, dan steroid response element-binding protein dapat diaktifkan oleh Gran B (Cowling dan Downward, 2002; Sattar, dkk., 2003). Seperti diuraikan di atas, caspase-3 adalah salah satu kunci executioner dari apoptosis yang bertanggungjawab secara sebagian atau secara keseluruhan terhadap melekatnya beberapa protein kunci seperti nuclear enzyme poly (ADP-ribose) polymerase (PARP) yang melekat pada beberapa sistem berbeda selama apoptosis. Dengan menggunakan potongan DNA yang mengkode lokasi aktif dari caspase-1 dan CED-3 untuk mencari suatu potongan yang mengekspresikan tanda data dasar, suatu rangkaian telah teridentifikasi, diklon, dan dikode oleh suatu protease sistein 32kDa yang disebut CPP32. Caspase-3 merupakan anggota dari keluarga CED-3 secara luas
40
didistribusikan dengan ekspresi yang sangat tinggi dalam cell lines yang berasal dari limfosit. Hal ini menunjukkan bahwa caspase-3 mungkin berperan sebagai mediator apoptosis yang penting pada sistem imun (Fan, dkk., 2005).
A
B
Gambar 2.6. Struktur Caspase-3 (Pollard, dkk., 2008) A. Caspase-3 mempunyai komponan subunit besar (warna biru) dan subunit kecil (warna kuning) serta bagian kecil dari prodomain (warna abu-abu). B. Struktur 3-D caspase-3 menunjukkan residu katalisis terutama berasal dari subunit besar (warna biru). Subunit kecil (warna kuning) membentuk suatu tudung yang membatasi akses ke lokasi yang aktif. Struktur ruang kosong (warna merah) menunjukkan suatu peptida inhibitor yang terikat secara kovalen pada lokasi yang aktif.
Pada kanker ovarium, beberapa penelitian menemukan ekspresi caspase-3 lebih rendah dibandingkan dengan ekspresinya pada tumor ovarium jinak atau pada ovarium normal. Duo, dkk., (2004) menemukan bahwa ekspreasi caspase-3 pada kanker ovarium sebesar 44.4%, lebih rendah dibandingkan dengan ekspresi caspase-3 pada tumor jinak sebesar 81,8%. Ekspresi caspase-3 pada kanker ovarium
41
berhubungan dengan derajat diferensiasi sel, stadium penyakit, dan adanya metastasis pada kelenjar limfe. Ditemukan juga bahwa terdapat hubungan antara ekspresi caspase-3 dengan apoptosis yang berperan pada perubahan keganasan dan untuk memprediksi prognosis.
Gambar 2.7 Skema Aktivasi Caspase-3 dan Caspase Executioner Lainnya (Fan, dkk., 2005)