BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa penelitian mengenai hubungan kebahagiaan dengan kepuasan hidup pada konselor adiksi khususnya mantan pecandu, sampai saat ini sangat sulit didapatkan. Namun, peneliti mencoba untuk membahas hasil kajian yang berhubungan dengan kebahagiaan dengan kepuasan hidup yang dianggap relevan. Dalam hal ini, pekerjaan dapat mempengaruhi kepuasan hidup seseorang. Secara umum, kondisi tidak bekerja akan memberikan dampak negatif bagi individu yang mengalaminya baik bagi individu yang tidak bekerja karena kehilangan pekerjaannya (kecelakaan kerja, PHK, tidak memperoleh lapangan kerja) ataupun bagi individu yang tidak bekerja karena sukarela memilih untuk tidak bekerja. Bagi seorang mantan pecandu kondisi tidak bekerja dapat disebabkan karena adanya stigma masyarakat bahwa mantan pecandu adalah negatif dan keterbatas ketrampilan yang dimilliki. Bagi mantan pecandu yang tidak memiliki pekerjaan, mereka cenderung kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun demikian dampak ini masih dapat diatasi oleh sebagian mantan pecandu yang memiliki dukungan materi dari orang-orang
10
11
disekitarnya (orang tua, saudara, paman dll), sehingga walaupun mereka tidak bekerja mereka masih dapat melangsungkan hidupnya. Dampak yang lebih besar adalah pada kondisi psikologis dari individu yang tidak bekerja. Individu yang tidak bekerja kehilangan kesempatan untuk mencapai prestasi, kemungkinan pengenalan diri, kemajuan, dan pengembangan pribadi (Herzberg, dalam Furnham, 1988).Selain itu, pada usia dewasa muda pekerjaan merupakan salah satu tugas perkembangan yang cukup penting untuk dipenuhi. Hal ini berarti bahwa individu pada usia dewasa muda yang tidak bekerja belum dapat memenuhi tugas perkembangannya. Tidak terpenuhinya tugas perkembangan ini dapat mempengaruhi kualitas hidup individu tersebut (Wardhani, 2006). Setiap
individu
mengejar
kebahagiaan
dalam
hidupnya.
Kebahagiaan sendiri merupakan keadaan psikologis yang positif ditandai dengan tingginya derajat kepuasan hidup, emosi positif, dan rendahnya derajat emosi negatif (Carr, 2004). Selain itu, menurut Veenhoven (2001) kebahagiaan merupakan komponen penting yang turut menentukan kualitas hidup individu. Kualitas hidup secara umum dibedakan menjadi kualitas eksternal dan internal individu (Veenhoven, dalam Filep, 2004).Kualitas eksternal berkaitan dengan kondisi lingkungan individu, sedangkan kualitas internal berhubungan dengan kondisi subjektif individu seperti otonomi, kreativitas, kontrol terhadap realitas, serta kesejahteraan subjektif dan kebahagiaan yang dirasakan individu. Kondisi subjektif dianggap lebih berperan dalam mempengaruhi kualitas hidup, karena
12
kondisi kehidupan tertentu tidak menghasilkan reaksi yang sama pada setiap individu, tiap-tiap individu memiliki definisi masing-masing mengenai hal-hal yang mengindikasikan kualitas hidup yang baik dan buruk (Brown et al., 1997). Dalam hal kebahagiaan, setiap individu juga memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap kebahagiaan yang ia rasakan, dengan kata lain, kebahagiaan yang berhubungan dengan aspek internal dari kualitas hidup akan mepengaruhi baik tidaknya kualitas hidup individu tersebut. Selain itu menurut Veenhoven (2001), kebahagiaan berhubungan dengan seberapa individu menikmati hidupnya secara keseluruhan. Disisi lain, menurut O’Connor (1993) faktor utama yang menentukan kualitas hidup individu adalah persepsi individu terhadap kesenjangan antara apa yang ada dengan apa yangmungkin terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas hidup lebih menekankan pada penilaian secara kognitif dan mencakup tentang aspek-aspek kehidupan tertentu yang dimaknai secara berbeda oleh setiap individu. Oleh karena itu, untuk melihat penilaian individu tentang kualitas kehidupannya perlu dilakukan pengukuran kebahagiaan secara umum dan pengukuran kualitas hidup yang lebih spesifik pada aspek-aspek kehidupan yang dianggap penting oleh individu, sehingga walaupun kebahagiaan merupakan bagian dari kualitas hidup, peneliti melihat perlu dilakukan pengukuran yang berbeda untuk keduanya.
13
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, yaitu tidak dimilikinya pekerjaan pada usia dewasa muda akan mempengaruhi kualitas hidup maka kondisi tersebut juga akan mempengaruhi kebahagiaan individu. Hal ini diperkuat oleh Izawa (2004) yang menyatakan pekerjaan sebagai salah satu faktor
demografi
yang penting
mempengaruhi kebahagiaan
dibandingkan faktor demografi lain. Pekerjaan menjadi hal yang utama karena pekerjaan memberikan aktivitas yang menghabiskan sepertiga waktu individu (8 jam perhari), dimana waktu ini setara dengan waktu yang dihabiskan individu untuk tidur dan melakukan berbagai aktivitas lainnya. Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kebahagiaan dan kepuasaan hidup didapatkan peneliti dari beberapa sumber melalui internet. Penelitian Thomas dan Diener (dikutip dari Diener ar all,2005) menemukan bahwa kebahagiaan dipengaruhi oleh suasana hati individu pada saat tertentu, keyakinannya tentang kebahagiaan, serta seberapa mudahnya seseorang menerima informasi positif dan negatif. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan pleh Sonja Lyubormisky, Chris Tkach dan M.Robin DiMatteo dari Univeristy Of California menemukan bahwa prediktor kebahagiaan adalah perasaan optimis dan keinginan untuk berada di dekat orang lain, merasakan suasana hati yang baik dan terpuaskan dalam kehidupan yang merupakan prediktor kebahagiaan (“Happiness And Self-Esteem : Can One Exixt Without The Other ?”, 2004).
14
Sedangkan Lara Aknin dan Michael Norton mengadakan penelitian dengan 630 orang partisipan yang merupakan orang Amerika Serikat (55% diantaranya adalah wanita). Partisipan diminta untuk melaporkan pendapatannya, serta diminta untuk menilai kebahagiaannya sendiri, serta menuliskan pengeluarannya untuk memberikan hadiah kepada orang tercinta, diri sendiri dan amal.Hasilnya, partisipan yang membelanjakan uangnya untuk orang lain ternyata lebih bahagia dibandingkan dengan yang membelanjakan uangnya untuk kepentingan sendiri (“Money Buys Happiness When You Spend On Others”, 2008). Artikel Penelitian lain yang dikeluarkan oleh The San Francisco State University menjelaskan bahwa sejumlah orang menyatakan bahwa mereka merasa bahagia dan puas ketika mengingat kembali masa sulit ketika berjuang untuk mencapai keinginannya yang telah diperoleh saat ini. Menurut Howell, asisten Proffesor Psikologi dari universitas tersebut, seseorang akan merasa bahagia ketika bekerja di bidang yang memang menjadi minatnya serta ketika ia berhasil menunjukan kemampuannya dan membuktikan bahwa yang dilakukannya saat ini memang merupakan kemauannya (“No Pain, No Gain : Making A Skill Makes Us Stressed In The Moment, Happy Long Term”, 2009) Dari penelitian-penelitian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa seorang mantan pecandu yang bekerja sebagai konselor adiksi dapat merasa bahagia karena dengan demikian dirinya dapat mengingat masamasa sulit untuk mencapai keinginannya melalui berbagi pengalaman,
15
harapan dan kekuatannya dalam menjalani proses pemulihan kepada orang lain yang membutuhkan. Kebahagian dapat dirasakan pula karena konselor adiksi merupakan bidang pekerjaan yang saat ini merupakan minat mereka dengan menjadi konselor adiksi, seorang mantan pecandu dapat menunjukan kemampuannya dan membuktikan bahwa mereka dapat bertahan hidup bersih dalam menjalani proses pemulihan. 2.2
Kerangka Pemikiran
2.2.1 Kebahagiaan Studi mengenai konsep kebahagiaan telah banyak dilakukan melalui berbagai perspektif. Masing-masing perspektif menyediakan berbagai penjelasan yang berbeda-beda mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan itu sendiri, yang pada akhirnya muncul hasil yang berbeda-beda pula mengenai bagaimana kebahagiaan itu bisa dicapai. 2.2.1.1Definisi Kebahagiaan Sepertiapa yang telahdijelaskansebelumnyabahwa kebahagiaan dapat diartikan sebagai sebuah penilaian menyeluruh tentang kehidupan secara lengkap, yang meliputi aspek kognitif dan afektif (Galati, Manzano & Sotgiu, 2006). Namun, para peneliti seringkali menemukan kesulitan untuk merumuskan konsep mengenai kebahagiaan. Kata ”kebahagiaan” ini memiliki makna yang beragam. Seringkali makna dari ”kebahagiaan” (happiness) disamakan dengan ”baik” (the good) ataupun ”hidup yang bagus” (the good life) (Eddington & Shuman, 2005). Namun demikian,
16
beberapa peneliti mencoba untuk memaknai apa yang sebenarnya dimaksud dengan kebahagiaan. Ed Diener (Gelati, dkk, 2006) menawarkan konsep kebahagiaan sebagai sebuah penilaian individu mengenai kehidupannya, meliputi penilaian afektif maupun secara kognitif. Penilaian ini merupakan evaluasi global untuk merasakan segala sesuatu secara positif, sehingga individu tersebut menikmati hidupnya karena dia bahagia. Persepektif yang diberikan Diener ini menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan kumpulan dari berbagai kenikmatan (Diener, dalam Bekhet, dkk, 2008). Sejalan
dengan
Diener,
peneliti
lain
seperti
Veenhoven
mengartikan kebahagiaan sebagai keseluruhan evaluasi mengenai hidup termasuk semua kriteria yang berada di dalam pemikiran individu, seperti bagaimana rasanya hidup yang baik, sejauh mana hidup sudah mencapai ekspektasi, bagaimana hidup yang menyenangkan dapat dicapai, dan sebagainya (Gelati, dkk, 2006). Selain itu, kebahagiaan juga dapat dikatakan sebagai pengalaman positif, kenikmatan yang tinggi, dan motivator utama dari segala tingkah laku manusia (Argyle dalam Bekhet, dkk, 2008). Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah penilaian positif mengenai kehidupannya secara global sehingga individu dapat merasakan kenikmatan dalam hidupnya. Kebahagiaan sendiri sering disamakan dengan istilah subjective well-being (SWB). Menurut Diener, Scollon dan Lucas (2003), istilah subjective
well-being
merupakan
istilah
ilmiah
dari
happiness
17
(kebahagiaan). Istilah ini lebih dipilih untuk digunakan oleh ilmuwan karena istilah happiness telah diperdebatkan definisinya selama berabadabad. Diener sendiri mengartikan SWB sebagai penilaian pribadi individu mengenai hidupnya, bukan berdasarkan penilaian dari ahli, termasuk di dalamnya mengenai kepuasan (baik secara umum, maupun pada aspek spesifik), afek yang menyenangkan, dan rendahnya tingkat afek yang tidak menyenangkan (Diener, dkk, 2003). Hal tersebut akhirnya oleh Diener dijadikan sebagai komponen-komponen spesifik yang dapat menentukan tingkat SWB seseorang. Komponen-komponen tersebut antara lain: emosi yang menyenangkan, emosi yang tidak menyenangkan, kepuasan hidup secara global, dan aspek-aspek kepuasan (Diener, dkk, 2003). Namun demikian, Lyubomirsky dan Lepper (1997) memberikan kritik bahwa untuk menilai tingkat subjective well-being tidak cukup dengan melihat masing-masing komponen. Dibutuhkan penilaian global mengenai keseluruhan hidup yang lebih luas daripada hanya melihat afek, kepuasan hidup, dan aspek-aspek kepuasan bagi individu. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa kebanyakan orang dapat menilai dirinya sebagai orang yang bahagia atau tidak. Tidak hanya itu, kebanyakan orang juga dapat menilai orang lain sebagai orang yang bahagia atau tidak. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah istilah mengenai kebahagiaan yang tidak sekedar menilai kebahagiaan seseorang dari komponen-komponen subjective well-being. Lyubomirsky dan Lepper (1997) menyebutnya sebagai subjective happiness.
18
Kebahagiaan Subjektif ( Subjective Happiness) Menentukan apa arti yang sebenarnya dari kata kebahagiaan merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Hal ini terjadi karena setiap orang memiliki cara tersendiri dalam memaknai kebahagiaan. Menurut Averill dan More (dalam Gelati, dkk, 2006) konsep mengenai kebahagiaan hampir berbeda di setiap budaya. Penyebabnya adalah adanya perbedaan nilai-nilai yang dianut setiap masyarakatnya sehingga setiap orang mampu memaknai kebahagiaan sesuai dengan nilai yang dianutnya. Beberapa orang menilai kebahagiaannya dari tingkat kesejahteraan hidupnya, sedangkan yang lainnya menilai kebahagiaannya berdasarkan hubungan sosial yang dijalinnya. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep kebahagiaan itu sendiri sifatnya sangat subjektif, tergantung dari individu yang memaknainya. Sama halnya seperti yang dikatakan Drummond (dalam Gundlach & Kreiner, 2004) bahwa kebahagiaan adalah tempat dimana segala ranah kehidupan dimaknai secara subjektif. Subjective happiness itu sendiri diartikan oleh Lyubomirsky dan Lepper (1997) sebagai penilaian subjektif dan global dalam menilai diri sebagai orang yang bahagia atau tidak. Hal ini berangkat dari pemikiran bahwa kebahagiaan dinilai berdasarkan kriteria-kriteria subjektif yang dimiliki individu. Lyubomirsky dan Lepper (1997) menemukan bahwa seseorang bisa saja merasakan ketidakbahagiaan dalam hidupnya walaupun hidupnya dikelilingi oleh segala kenyamanan, cinta, dan
19
kesejahteraan.
Sebaliknya
seseorang
bisa
saja
tetap
merasakan
kebahagiaan walaupun hidupnya penuh dengan rintangan, tragedi, ketidaksejahteraan, dan tidak adanya cinta. Hal ini membuktikan bahwa sumber-sumber kebahagiaan itu sangat personal dan bervariasi dari satu individu ke individu lainnya. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan Berbagai penelitian telah menunjukkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan individu. Setiap peneliti menemukan faktor yang berbeda-beda. Beberapa peneliti juga mencoba menghubungkan kebahagiaan dengan faktor lingkungan dan demografi (Eddington & Shuman, 2005). Berikut akan dijelaskan beberapa faktor yang berpengaruh pada kebahagiaan: 1. Gender Menurut Inglehart (dalam Eddington & Shuman, 2005), telah dilakukan penelitian dengan 170.000 responden dari 16 negara; dan hasil yang ditemukan adalah tidak terdapat perbedaan tingkat kebahagiaan antara wanita dan pria. Walaupun demikian ditemukan juga hasil penelitian yang mengatakan bahwa wanita memiliki tingkat afek negatif yang lebih tinggi dan tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria (Eddington & Shuman, 2005). Hal ini mungkin terjadi karena wanita lebih sering menunjukan perasaan ini dibandingkan dengan pria yang lebih sering menyembunyikan perasaannya. Namun demikian, tingkat kebahagiaan secara global
20
antara pria dan wanita tetap berada pada level yang sama (Eddington & Shuman, 2005). 2. Usia Telah ditemukan hasil penelitian yang menunjukan bahwa tingkat kebahagiaan cenderung stabil sepanjang rentang kehidupan (Butt & Beiser, Inglehart, dan Veenhoven dalam Eddington & Shuman, 2005). Hal ini sejalan dengan tingkat kepuasan hidup yang juga stabil selama rentang kehidupan. Jika pun terjadi penurunan tingkat kebahagiaan dalam rentang usia, mungkin ini disebabkan oleh menurunnya kemampuan adaptasi terhadap kondisi hidup, seperti menurunnya tingkat
penghasilan,
perkawinan.
Namun
para
peneliti
telah
membuktikan bahwa seseorang mampu menyesuaikan goals-nya seiring dengan bertambahnya usia sehingga baik tingkat kebahagiaan maupun tingkat kepuasan hidup menjadi cenderung stabil (Eddington & Shuman, 2005). 3. Pendidikan Tingkat pendidikan memiliki korelasi yang kecil namun signifikan dengan tingkat subjective well-being (SWB). Hal ini didapat dari penelitian yang dilakukan di Amerikan. Eddington dan Shuman (2005) memiliki asumsi hal ini dapat terjadi karena pengaruh dari pendidikan yang telah melemah seiring berjalannya waktu bagi masyarakat Amerika. Tingkat pendidikan memiliki korelasi yang sedikit lebih besar pada individu dengan penghasilan yang rendah dan pada masyarakat di
21
negara miskin (Campbell, Diener, dan Veenhoven dalam Eddington & Shuman, 2005). 4. Tingkat Pendapatan Diener (dalam Eddington & Shuman, 2005) telah menemukan bahwa hanya terdapat korelasi yang kecil namun signifikan antara tingkat pendapatan seseorang dengan tingkat kebahagaian atau SWB. Secara umum, orang yang lebih kaya memiliki tigkat kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang lebih miskin, namun demikian perbedaannya sangat kecil (Diener, Horwitz, & Emmons dalam Eddington & Shuman, 2005). 5. Pernikahan Pernikahan memiliki hubungan yang signifikan dengan SWB terutama pada negara Amerika, Kanada, dan Norwegia (Eddington & Shuman, 2005). Penelitian yang dilakukan Diener, Gohm, dan Suh (dalam Eddington & Shuman, 2005) menemukan bahwa orang yang menikah lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang tidak menikah, bercerai, berpisah, ataupun menjadi janda atau duda. Pasangan yang melakukan
kohabitasi
tanpa
menikah
juga
memiliki
tingkat
kebahagiaan yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan orang yang tinggal sendiri (Kurdek & Mastekaasa dalam Eddington & Shuman, 2005). Penelitian tetap menunjukan hasil bahwa pernikahan dan well-being berkorelasi secara signifikan walaupun usia dan tingkat penghasilan sudah dikontrol.
22
6. Pekerjaan Status pekerjaan seseorang berhubungan dengan kebahagiaan. Individu yang bekerja umumnya lebih bahagia dibandingkan dengan mereka yang tidak bekerja, dan individu yang bekerja pada pekerjaan yang
membutuhkan keterampilan (skilled jobs)
lebih
bahagia
dibandingkan pekerja pada pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan (unskilled jobs) (Argyle, 2001, dalam Carr, 2004). Pekerjaan memiliki korelasi yang tinggi dengan tingkat kebahagiaan dikarenakan pekerjaan mampu memberikan level stimulisasi yang optimal sehingga seseorang dapat merasakan kesenangan, kesempatan untuk memenuhi rasa ingin tahu dan pengembangan kemampuan, adanya dukungan sosial, adanya rasa aman secara finansial, serta merasa
memiliki
identitas
dan
tujuan
dalam
hidupnya
(Csikszentmihalyi & Scitovsky dalam Eddington & Shuman, 2005). Sementara itu, individu yang tidak bekerja umumnya memiliki tingkat stres yang tinggi, kepuasan hidup yang rendah, dan memiliki tingkat kemungkinan melakukan bunuh diri yang tinggi dibandingkan individu yang bekerja (Oswald, 1997; Platt & Kreitman, 1985; dalam Eddington & Shuman, 2005). 7. Kesehatan George dan Landerman (dalam Eddington & Shuman, 2005) menemukan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara kebahagiaan dengan kesehatan. Namun kesehatan yang dimaksud adalah penilaian
23
subjektif bahwa dirinya termasuk orang yang sehat, bukan berdasarkan penilaian ahli kesehatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa orang yang mengaku bahwa dirinya adalah orang sehat adalah orang yang memiliki kecenderungan kebahagiaan yang tinggi. Individu yang memiliki kondisi kesehatan yang buruk atau memiliki penyakit kronis akan menunjukan tingkat kebahagiaan yang rendah. Namun hal ini juga terkait dengan kemampuan adaptasi individu, jika individu tersebut memiliki kemampuan adapatasi ataupun kemampuan coping yang baik, maka ia dapat menunjukan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi (Mehnert dalam Eddington & Shuman, 2005). 8. Agama Berbagai penelitian di Amerika telah menemukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara kebahagiaan dengan keyakinan seseorang akan agamanya, kekuatan hubungan seseorang dengan Tuhannya, ibadah, serta partisipasi dalam kegiatan keagamaan (Eddington & Shuman, 2005). Hal ini dapat terjadi karena pengalaman religius ataupun kepercayaan yang dimiliki seseorang membuat seseorang memiliki perasaan bermakna dalam kehidupannya (Pollner, dalam Eddington & Shuman, 2005). Agama atau religi juga mampu memenuhi kebutuhan sosial seseorang melalui kegiatan agama yang dilakukan secara bersama-sama ataupun karena berbagi nilai dan kepercayaan yang sama. Misalnya kegiatan-kegiatan yang diadakan suatu gereja dapat membuat anggota gereja tersebut menjalin hubungan
24
pertemanan dengan anggota lainnya. Ataupun dengan menganut agama tertentu dapat membuat diri seseorang merasa bahwa ia menjadi bagian kelompok orang yang memegang nilai dan kepercayaan yang sama. 9. Kejadian Penting dalam Hidup (Live Events) Menurut Kanner (dalam Eddington & Shuman, 2005) frekuensi dari kejadian yang positif memiliki korelasi dengan afek positif. Misalnya seseorang yang sering mengalami kejadian yang menurutnya menyenangkan bagi dirinya, maka orang tersebut cenderung memiliki tingkat kebahagiaan yang tinggi. Adapun contoh dari kegiatan-kegiatan yang dianggap mampu memunculkan afek positif adalah hubungan pertemanan, terpenuhinya kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman, hubungan seksual, dan pengalaman sukses (Scherer, dalam Eddington & Shuman, 2005). Selain itu pengalaman yang terkait dengan alam juga dinilai mampu meningkatkan afek postif, seperti laut, matahari, gunung, dan hutan (Eddington & Shuman, 2005). Sebaliknya, jika seseorang sering mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, seperti bencana, maka tingkat kebahagiaan orang tersebut cenderung rendah (Luechinger & Raschky, 2006). 10.
Traits Karakteristik kepribadian (traits) yang dimiliki seseorang dianggap
mampu mempengaruhi tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup seseorang. Beberapa penelitian mengkelompokan lima traits, atau yang dikenal sebagai Five-Factor Model, untuk dilihat pengaruhnya terhadap
25
kebahagiaan dan kepuasan hidup. Hasil yang ditemukan antara lain: traits extroverversion memiliki korelasi
dengan afek positif,
neuroticism memiliki korelasi dengan afek negatif, conscientiousness dan agreebleness memiliki korelasi yang tidak terlalu tinggi dengan afek postif dan afek negatif, dan openness to experience tidak memiliki korelasi dengan kedua jenis afek maupun dengan kepuasan hidup (Eddington & Shuman, 2005). Terkait dengan penelitian ini, traits dikatakan dapat berbeda tergantung pada lokasi geografi tempat tinggalnya (Allik & McCrae, 2004; Rentfrow, dkk, 2008). Dari sepuluh faktor yang dapat mempengaruhi kebahagiaan, peneliti hanya mengambil lima faktor untuk dilihat pengaruhnya terhadap tingkat kebahagiaan pada konselor adiksi. Kelima faktor tersebut adalah usia, pendidikan, pernikahan, agama dan kejadian penting dalam hidup (live events). Alasan peneliti adalah kelima faktor tersebut merupakan faktor-faktor dasar yang dapat membedakan diri seseorang. Selain itu, kelima faktor tersebut juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan hidup seseorang. Mengukur Kebahagiaan Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Lyubomirsky dan Lepper mengatakan bahwa untuk mengukur subjective well-being dibutuhkan penilaian global mengenai keseluruhan hidup yang lebih luas daripada hanya melihat afek, kepuasan hidup, dan aspek-aspek kepuasan bagi individu.
Berdasarkan hal tersebut, Lyubomirsky dan Lepper
26
membuat alat ukur yang dianggap dapat mengukur tingkat kebahagiaan subjektif seseorang. Alat ukur tersbut dinamakan Subjective Happiness Scale (Lyubomirsky & Lepper, 1997). Alat ukur ini menggunakan teknik lapor diri (self-repport) dari responden. Teknik ini dipercaya dapat membantu individu untuk memberikan pendangan mereka mengenai kebahagiaan berdasarkan perspektif diri sendiri (Lyubomirsky, Sheldon, & Schkade, 2005). Di dalam alat ukur ini, individu diminta untuk melaporkan sejauh mana ia termasuk orang yang bahagia (atau tidak bahagia) dan penilaian ini tidak sama dengan penilaian individu dalam pengukuran sederhana mengenai level afek dan kepuasan hidup (Lyubomirsky & Lepper, 1997). Alat ukur ini juga sudah melewati uji reliabilitas dan validitas. Tes reliabilitas menggunakan data longitudinal yang di peroleh dari 5 sample terpisah. Sedangkan untuk validitas alat ukur menggunakan tes convergent validitas dan discriminat validitas. Dalam tes convergen validitas tersebut alat ukur ini pertama kali di korelasikan dengan pengukuran kebahagiaan dan kesejahteraan siswa di 3 sekolah (2 di Amerika dan 1 di Rusia). Lalu, alat ukur ini di uji cobakan pula dengan menggunakan number of dispositional constructs sehubungan dengan teori kebahagiaan dan penelitian empiris sebelumnya seperti selfesteem(Rosenberg, 1965), optimism (Scheier and Carver, 1985), positive emotionality and negative emotionality (Tellegen, 1985),extraversion and neuroticism (Eysenck and Eysenck, 1975), anddysphoria (Beck, 1967).
27
Dalam tes ini terdapat nilai korelasi 0.36 - 0.60 (M = 0.51). Untuk mendukung penelitian selanjutnya, Lyubomirsky menemukan indikasi bahwa mereka yang merasa bahagia juga memiliki penilaian yang baik terhadap dirinya, optimis terhadap masa depan, memiliki pengalaman emosi yang positif dan ekstravert. Alat ukur ini terdiri dari 4 butir soal yang diperoleh dari pengelompokan 13 soal dalam teknik lapor diri. Dalam penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Lyubomirsky, 6 item tidak lagi digunakan karena kalimat dalam soal mengandung arti yang sama. Kemudian, 3 item yang lain juga tidak digunakan karena tidak memuat faktor yang dapat menginterprestasikan prinsip analisis komponen. 4 Soal terakhir yang sampai saat ini digunakan pada awalnya menggunakan bahasa inggris, kemudian setelah diadaptasi pada penelitian yang dilakukan Farah Mutiasari dengan judul “Kebahagiaan dan Kepuasan Hidup Warga Jakarta : Studi komparatif pada lima wilayah di Jakarta”, Setiap soal memiliki pilihan jawaban yang pada awalnya memiliki rentang 1-7 dan skor total didapat dengan cara mencari rata-rata nilai dari skor masing-masing item, sehingga kemungkinan skor total berkisar dari 1-7 diadaptasi dengan rentang skor 1-6 dengan tujuan mencegah adanya response set (kecenderungan subjek bersikap netral). 2.2.2 Kepuasan Hidup Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Diener (dalam Diener, dkk, 2003) menyebutkan bahwa kepuasan hidup merupakan salah satu
28
bagian dari empat komponen subjective well-being (SWB) yang dapat digunakan untuk menilai tingkat SWB atau kebahagiaan seseorang. Menurut Diener, Scollon dan Lucas (2003), Subjective Well-Being (SWB) atau kebahagiaan memiliki dua jenis penilaian, yaitu penilaian secara afektif dan penilaian secara kognitif. Aspek afektif dari kebahagiaan meliputi seberapa sering individu merasakan emosi positif dan emosi negatif. Sedangkan kepuasan hidup dianggap sebagai aspek kognitifnya (Sousa & Lyubomirsky, 2001), dimana individu dapat menilai kondisi hidupnya, menimbang kondisi mana yang paling penting dalam hidupnya, sehingga mereka dapat mengevaluasi bagaiamana hidup mereka, apakah hidup mereka memuaskan atau tidak (Diener, dkk, 2003). Definisi Kepuasan Hidup Menurut Sousa dan Lyubomirsky (2001), kepuasan terhadap hidup berarti penerimaan terhadap situasi hidup, atau terpenuhinya keinginan dan kebutuhuan hidup seseorang secara menyeluruh. Sedangkan menurut Veenhoven (dalam Gundlach & Kreiner, 2004) kepuasan hidup merupakan derajat penilaian individu terhadap keseluruhan kualitas hidupnya sebagai sesuatu yang menyenangkan; dengan kata lain adalah bagaimana seseorang menyukai hidup yang ia jalani. Campbell (dalam Gundlach & Kreiner, 2004) menambahkan bahwa arti dari kepuasan itu sendiri adalah diskrepansi yang dirasakan antara aspirasi dengan pencapaian. Misalnya seseorang dapat dikatakan puas dengan hidupnya ia merasa bahwa kondisi dirinya secara aktual tidak jauh berbeda dengan
29
kondisi dirinya yang ia inginkan (ideal self). Beberapa peneliti juga menambahkan bahwa penilaian seseorang mengenai kepuasan hidupnya merupakan evaluasi kognitif (Sousa & Lyubomirsky, 2001) dan sifatnya konkrit (Gundlach & Kreiner, 2004). Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan hidup adalah evaluasi kognitif individu mengenai kualitas hidupnya serta terpenuhinya segala keinginan dan kebutuhan hidupnya sehingga jarak antara aspirasi dan pencapaiannya kecil. Evaluasi kognitif yang diberikan individu mengenai kualitas hidupnya bersifat subjektif. Hal ini diungkapkan oleh Shin dan Johnson (dalam Diener, Emons, Larsen, & Griffin, 1985) yang menilai bahwa kepuasan hidup adalah penilaian global mengenai kualitas hidup seseorang berdasarkan kriterianya sendiri. Begitu dengan yang dikatakan oleh Pavot dan Diener (1993) bahwa kepuasan hidup adalah proses penilaian kognitif mengenai hidupnya berdasarkan kriteria pribadinya. Penilaian seberapa puas hidup yang dirasakan oleh individu harus berdasarkan standard yang dianggap sesuai oleh individu itu sendiri, bukan berdasarkan standard yang dibuat oleh orang lain ataupun peneliti. Hal ini berarti bahwa penilaian akan kepuasan hidup seseorang sifatnya sangat subjektif. Contohnya adalah seberapa banyak uang yang harus dimiliki oleh seseorang agar ia puas dalam hidupnya tidak dapat ditentukan oleh siapapun. Jumlahnya pasti akan berbeda bagi setiap orang. Begitu juga dalam menilai kepuasan hidup. Peneliti tidak dapat memberikan batasan kapan seseorang harus
30
sudah puas dengan hidupnya, hanya diri sendiri yang bisa menentukannya. Oleh karena itu, tingkat kepuasan hidup yang dirasakan individu harus benar-benar bersumber dari perspektif individu itu sendiri (Diener, Scollon, dan Lucas, 2003). Dalam membuat penilaian mengenai kepuasan hidup, seseorang cenderung akan melihat kembali kondisi hidup yang sedang dijalaninya, kemudian menimbang kembali segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Oleh karena itu penilaian ini bisa tergantung oleh mood yang dirasakan saat memberikan penilaian ataupun informasi yang tersedia saat ia membuat penilaiannya (Diener, Scollon, dan Lucas, 2003). Campbell et al (dalam (Diener, Scollon, dan Lucas, 2003) juga mengatakan bahwa individu akan melihat kembali segala aspek penting dalam hidupnya dan akan membandingkannya dengan kondisinya saat itu. Misalnya, individu akan membandingkan tingkat penghasilannya dengan penghasilan orangorang di sekitarnya, kemudian membandingkan dengan penghasilannya di masa yang lalu, dan membandingkannya dengan penghasilan yang ia citacitakan. Individu tampaknya sangat fleksibel dalam menggali informasi yang ia butuhkan untuk memberikan penilaian mengenai kepuasan hidupnya (Diener, Scollon, dan Lucas, 2003). Menurut Diener, Scollon, dan Lucas (2003), keuntungan yang didapat dari pengukuran kepuasan hidup seseorang adalah pengukuran ini dapat menangkap secara global gambaran kepuasan hidup seseorang dari kriteria mereka sendiri, sehingga dapat diidentifikasi kriteria apa saja yang
31
berpengaruh bagi individu dalam memberikan penilaian mengenai kepuasan hidup mereka. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Hidup Sama halnya dengan kebahagiaan, kepuasan hidup juga memiliki berbagai faktor yang mempengaruhinya. Berbagai penelitian menemukan faktor yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan hidup seseorang. Seperti diantaranya pendapatan, pendidikan, kesehatan, pernikahan (Sousa & Lyubomirsky, 2001), tingkat kesejahteraan suatu negara (Diener&Suh dalam Gelati, dkk, 2006),
jumlah penduduk,
kepadatan penduduk, ras, heterogenitas ekonomi, usia wilayah, dan penggunaan lahan (Oliver, 2003), dan bencana alam (Luechinger & Raschky, 2006). Berikut ini penjelasan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan hidup : 1. Gender Ed Diener dan Frank Fujita (dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001), menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kepuasan hidup dalam gender. Diener dan Fujita hanya menemukan bahwa perbedaan hanya ditemukan pada sumber-sumber yang mempengaruhi tingkat kepuasan hidup. Pada wanita prediksi kepuasan hidup dapat ditemukan pada sumber-sumber sosial seperti keluarga, teman, dan akses hubungan sosial, sedangkan pada pria sumber-sumber kepuasan hidupnya berupa tujuan pribadinya seperti kemampuan atletik, otoritas, pengaruh diri, pekerjaan, dan pendapatan.
32
2. Usia Selain itu Diener dan Suh (dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001) juga menemukan bahwa tingkat kepuasan hidup tidak menurun dengan bertambahnya usia, melainkan cenderung stabil selama rentang kehidupan, dan sedikit meningkat pada usai 20 dan 80 tahun. Hal ini dapat disebabkan kemampuan manusia untuk beradaptasi dalam mengahadapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam hidupnya. Carol Ryff (dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001) menambahkan bahwa orang yang lebih tua memiliki dikrepansi yang lebih kecil antara keadaan diri faktual dengan diri idealnya dibandingkan dengan orang yang berumur lebih muda. 3. Hubungan Sosial Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan hidup adalah hubungan sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Francis Bacon (dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001) menemukan bahwa semakin tinggi tingkat dukungan sosial yang dimiliki, maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan hidupnya. Bacon menemukan hasil penelitian bahwa orang yang mampu menyebutkan lima nama temannya atau lebih memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi daripada orang yang sulit menyebutkan nama teman-temannya. Diener menambahkan bahwa dalam budaya barat, orang yang tidak menikah namun melakukan kohabitasi lebih tidak puas dibandingkan dengan orang yang menikah. Memiliki anak tidak menambah tingkat kepuasan hidup seseorang.
33
Namun, Diener menemukan bahwa semakin besar jumlah anak, semakin menurun tingkat kepuasan hidup seseorang (dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001). 4. Pendidikan Pada penelitian yang dilakukan oleh Sousa & Lyubomirsky (2001) ditemukan hubungan yang rendah antara pendidikan dan kepuasan hidup. Hubungan antara pendidikan dan kepuasan hidup mungkin disebabkan adanya fakta bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan pendapatan yang juga lebih tinggi. Pendidikan juga terlihat memiliki hubungan yang lebih tinggi dengan kepuasan hidup pada individu dengan pendapatan yang rendah dan di negara miskin.Umumnya, pendidikan memberikan akses yang lebih baik akan adanya kesempatan kerja dan pendapatan, yang pada akhirnya mempengaruhi kepuasan hidup. 5. Pekerjaan Status pekerjaan individu mampu untuk meramalkan kepuasan hidup seseorang. Sebaliknya, individu yang tidak bekerja menunjukkan penurunan kepuasan hidupnya secara signifikan dibandingkan dengan individu yang bekerja (Sousa & Lyubomirsky, 2001). 6. Tingkat Kesejahteraan Sousa dan Lyubomirsky (2001) menemukan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan hidup seseorang (salah satunya dilihat dari tingkat pendapatan), maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan hidupnya.
34
Sejalan dengan hal tersebut, juga dikatakan bahwa semakin sejahtera suatu negara, maka semakin tinggi juga tingkat kepuasan hidupnya. Sousa dan Lyubomirsky (2001) juga menemukan bahwa semakin besar perbedaan pendapatan ekonomi antara daerah dalam suatu negara, semakin rendah tingkat kepuasan masyarakat negara tersebut secara keseluruhan dan semakin besar perbedaan tingkat kepuasan hidup antara masyarakat yang kaya dengan masyarakat yang miskin dalam negara tersebut. Selain tingkat pendapatan, ditemukan pula bahwa kepemilikan status sebagai pekerja dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi tingkat kepuasan hidup seseorang. Dari enam faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan hidup, peneliti hanya mengambil empat faktor untuk dilihat pengaruhnya terhadap tingkat kepuasan hidup pada konselor adiksi dengan latar belakang mantan pecandu. Keempat faktor tersebut adalah usia, hubungan sosial, pendidikan dan tingkat kesejahteraan. Mengukur Kepuasan Hidup Diener (dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001) membuat alat ukur yang dapat mengukur kepuasan hidup secara global yang dinamakan Satisfaction With Life Scale (SWLS). Alat ukur ini didesain pada tahun 1985 oleh Ed Diener dan terdiri dari lima butir soal di mana individu diminta untuk menilai hidupnya secara global. Setiap soal dibuat sedemikian rupa sehingga tidak ada soal yang terkait penilaian secara afektif. Hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa
35
kepuasan hidup merupakan aspek kognitif dari SWB (Diener dalam Sousa & Lyubomirsky, 2001). Hubungan Kebahagiaan Dengan Kepuasan Hidup Kebahagiaan dan kepuasan hidup merupakan dua hal yang berbeda. Kebahagiaan adalah penilaian keseluruhan mengenai hidup yang dimaknai secara subjektif oleh individu, sedangkan kepuasan hidup adalah evaluasi kognitif individu mengenai kualitas hidupnya serta terpenuhinya segala keinginan dan kebutuhan hidupnya. Kebahagiaan sendiri dinilai oleh Diener, Scollon dan Lucas (2003) sebagai istilah ilmiah dari Subjective Well-Being dan kepuasan hidup merupakan salah satu dari empat komponen di dalamnya yang dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai kebahagiaan seseorang. Dengan kata lain, sesuai dengan teori Diener, berarti bahwa kepuasan hidup merupakan bagian dari kebahagiaan. Oleh karena itu jika ingin mengukur tingkat kebahagiaan, peneliti harus mengukur tingkat kepuasan hidup sebagai salah satu komponennya. Peneliti lain seperti Campbell (dalam Gundlach & Kreiner, 2004) membedakan kebahagiaan dan kepuasan hidup dengan lebih jelas. Menurut Campbell, kepuasan hidup merupakan penilaian secara kognitif, sedangkan kebahagiaan lebih terkait dengan penilaian menggunakan perasaan atau afek. Lebih lanjut Lane (dalam Gundlach & Kreiner, 2004) juga mengatakan hal yang sama bahwa kebahagiaan adalah suasana hati (mood) dan kepuasan hidup adalah penilaian kognitif. Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan merupakan penilaian secara afektif terhadap kehidupan seseorang dan kepuasan hidup merupakan penilaian secara koginitif terhadap kehidupan seseorang.
36
Menurut Gundlach dan Kreiner (2004), beberapa peneliti menganggap kepuasan hidup dan kebahagiaan adalah hal sama dan tidak ada konsekuensi tertentu jika memperlakukan kedua konsep tersebut secara identik. Namun kemudian Gundlach dan Kreiner memberi penjelasan bahwa kedua konsep ini tidak bisa dianggap sama dan tidak bisa diperlakukan secara identik. Penelitian mereka menemukan bahwa kepuasan hidup dan kebahagiaan adalah dua variabel yang berbeda dan tidak berasal dari variabel laten yang sama. Mereka juga menemukan bahwa kedua variabel ini memiliki korelasi yang sangat tinggi, tetapi keduanya dipengaruhi oleh independen variabel yang berbeda. Hal ini diperoleh dari hasil penelitian mereka mengenai tingkat kepuasan hidup dan kebahagiaan pada suatu negara. Hasil yang didapat adalah tingkat kepuasan hidup mirip dengan tingkat kebahagiaan, namun tidak identik. Hal ini membuktikan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup memiliki hubungan, namun merupakan fenomena yang berbeda (Gundlach & Kreiner, 2004). Seseorang bisa saja bahagia dengan hidupnya, tetapi tidak puas pada beberapa aspek dalam hidupnya. Dari perbedaan ini, dapat dilihat bahwa kebahagiaan sangat dipengaruhi oleh kondisi emosi yang dirasakan seseorang terlepas dari kultur manapun, sedangkan kepuasan hidup sangat terkait dengan pengalaman spesifik dalam situasi kehidupan seseorang (Campbell, Converse, & Rodgers dalam Gundlach & Kreiner, 2004). Dalam penelitian yang akan peneliti lakukan, peneliti ingin melihat bagaimana tingkat kebahagiaan dan tingkat kepuasan hidup pada konsleor adiksi mantan pecandu khususnya dengan latar belakang mantan pecandu. Sesuai dengan
37
pendapat Gundlach dan Kreiner (2004) bahwa kedua variabel ini tidak bisa diperlakukan dengan indentik, maka peneliti menggunakan dua alat ukur yang berbeda, yaitu Subjective Happiness Scale dan Satisfaction With Life Scale (SWLS). Hal ini dilakukan dengan anggapan bahwa tingkat kebahagiaan dan tingkat kepuasan hidup yang akan didapatkan tidak sama namun masih berkorelasi. 2.2.3 Adiksi Dalam bukunya Overcoming Addiction (2000), Michael Hardiman menjelaskan “ Addiction accurs when person surrender to substance or activity, which gradually takes control of their life and eventually destroys them if they do not recover”, artinya bahwa adiksi terjadi ketika seseorang menyerah kepada suatu obat-obatan atau aktivitas yang secara bertahap mengendalikan kehidupan mereka dan pada akhirnya menghancurkan mereka jika mereka tidak menjalani pemulihan. Dalam buku Learning to Live Again (Merlene Miller, Terence T.Gorski dan David K.Miller, 1992), menjelaskan “terminology is a problem in the addiction field, due largely to the variety of drugs available and what we are learning about them”. Karena banyaknya jenis obat-obatan dan berbagai teori yang ada maka sulit untuk menemukan terminologi yang jelas sehubungan dengan adiksi. Namun, dalam buku tersebut mereka menggunakan terminologi chemical dependency. Miller dkk menjelaskan “Chemical dependency is a condition in which a person becomes addicted to mind-altering substance”. Adiksi, Dalam DSM IV-TR dijelaskan sebagai substance-related disorder. Definisi substance di maksudkan kepada penyalahgunaan obat-obatan. Dari pemahaman ini, peneliti
38
berpendapat bahwa adiksi adalah suatu gangguan disebabkan dari penyalahgunaan narkoba yang menyebabkanketergantungan. Gangguan tersebut berdampak kepada individu secara biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Secara psikologis, individu yang mengalami ketergantung secara kognitif dan afeksi. Pecandu tidak dapat berpikir secara jernih, memiliki emosi yang labil, menurunnya ketrampilan dalam mengatasi masalah dll. “Addiction is the continued use of a mood altering substance or behavior despite adverse consequences or a neurological impairment leading to such behaviors” (http://en.m.wikipedia.org/wiki/addiction). Dari penjelasan wikipedia, peneliti menyimpulkan bahwa adiksi merupakan perubahan emosi dan prilaku yang
berkelanjutan sebagai konsekwensi dari kerusakan syaraf akibat
penyalahgunaan obat-obatan. 2.2.4 Mantan Pecandu (Recovering addict) Sebagaimana telah dijelaskan mengenai adiksi bahwa penyalahgunaan narkoba menyebabkan banyak kerusakan dalam aspek kehidupan seseorang. Untuk itu, diperlukan suatu proses pemulihan agar mereka memiliki cara hidup baru yang lebih bermakna dan berkualitas. “The person recovering from chemical dependency needs to develop a new life style to maintain sobriety” (Miller dkk, 1992). Artinya orang menjalani pemulihan dari ketergantungan obat-obatan harus membangun gaya hidup yang baru untuk memelihara kewarasannya. Dari penjelasan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa mantan pecandu (recovering addict) adalah orang yang dulu pernah terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.
39
2.2.5 Konselor Adiksi Theories Of Counseling And Psychoteraphy, C.H Patterson menjelaskan bahwa, “Counseling is one of the personalized and individualized processes designed to aid the individual to learn school subject matter, citizenship traits, social and personal values and habits, and all the other habits, skills, attitudes, and beliefs which go to make up a normally adjusting being”. Artinya, konseling adalah satu dari ukuran tertentu dan proses individu yang di buat untuk membantu individu mempelajari masalah sosial, nilai individu, dan kebiasaan serta segala ketrampilan, prilaku, keyakinan untuk membantu seseorang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Definisi lain yang dikemukan dalam buku ini adalah “Counseling is an individualized, personalized and permissive assistance in developing skill in attaining and re-attaining socially enlightened self-understanding and self direction”, secara singkat dapat diartikan
bahwa
konseling
bertujuan
untuk
membantu
sesorang
mengembangkan pemahaman diri dan pengarahan diri. Dalam buku Chemical Dependency Counseling (Lawson,Lawson and Rivers, 1996), “There are three major areas of consideration for becoming a chemical dependency counselor : knowledge and skill, experience and knowledge of self”, terdapat tiga area utama untuk menjadi seroang konselor adiksi yaitu : pengetahuan dan ketrampilan serta pengetahuan akan diri sendiri.
40
Berdasarkan pemaparan, maka peneliti menarik kesimpulan bahwa konselor adiksi adalah seseorang yang melakukan proses konseling dengan tujuan membantu individu yang mengalami ketergantung narkoba untuk mengatasi masalah ketergangtungan tersebut. Konselor adiksi memiliki fungsi untuk meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, kedewasaan dan juga peningkatan fungsi serta kemampuan pecandu yang berniat sembuh dalam menghadapi hidup dengan lebih baik. Dalam memberikan bantuan tersebut konselor adiksi juga menyediakan kondisi untuk individu agar dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup yang berarti, mempunyai rasa aman, kebutuhan untuk cinta dan respek, harga diri, dapat membuat keputusan dan aktualisasi diri. Konselor adiksi juga harus memiliki kesediaan untuk mendengarkan riwayat hidup seseorang, apa yang menjadi harapannya, kegagalan yang dialami, emosi dan tragedi dalam hidupnya serta masalah yang dihadapinya. Carl Rogers (1971) menjelaskan bahwa terdapat 3 karakteristik utama yang harus dipunyai konselor, yaitu : congruence, unconditional positive regard dan empathy. 3 karaterisitik tersebut dijelaskan sebagai berikut : a) Congruence: paham tentang dirinya sendiri, pikiran, perasaan dan pengalaman harus serasi dan memahami bias2 dalam diri, prasangka2 yang mewarnai pikiran serta mengetahui kelemahan dan aset yang dimiliki, mengetahui bahwa orang lain bukanlah dirinya.
41
b) Unconditional positive regard : penerimaan tanpa syarat & respek, menerima bahwa klien mempunyai nilai2 & kebutuhan sendiri (orang lain, bukan dirinya). c) Empathy : memahami orang lain dari sudut kerangka berpikir orang lain. Empati yang dirasakan harus dapat diekspresikan dan harus dapat menyingkirkan nilai2nya sendiri, tetapi juga tidak boleh larut dalam nilai2 orang lain. Sedangkan, Baruth & Robinson (1987) menjelaskan karakteristik konselor, sebagai berikut : a) Terampil untuk ‘menjangkau’ (reaching out) klien b) Mampu untuk menumbuhkan perasaan percaya, kredibilitas dan yakin dalam diri orang yang akan dibantunya c) Mampu untuk ‘menjangkau’ ke dalam dan ke luar d) Berkeinginan untuk mengkomunikasikan caring dan respek untuk orang yang sedang dibantunya e) Menghormati diri sendiri dan tidak menggunakan orang yang sedang dibantunya sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhannya sendiri f) Mempunyai sesuatu pengetahuan dalam bidang tertentu yang akan mempunyai makna khusus bagi orang yang dibantunya. g) Mampu untuk memahami tingkah laku orang yang akan dibantunya tanpa menerapkan value judgements. h) Mampu untuk melakukan penalaran secara sistematis dan berpikir dalam kerangka sistem.
42
i) Tidak ketinggalam zaman dan memiliki pandangan luas tentang hal2 yang terjadi di dunia. j) Mampu untuk mengidentifikasi pola2 tingkah laku yang self defeating, yang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah laku yang merugikan diri sendiri ini menjadi pola tingkah laku yang lebih memuaskan. k) Terampil membantu orang lain untuk ‘melihat’ ke dalam dirinya sendiri dan bereaksi secara tidak defensif terhadap pertanyaan “siapakah saya?”. Brammer, Abrego & Shostrom (1993) menjelaskan kualitas2 yang harus dimiliki seorang konselor, yaitu : a) Person-technician balance b) Kompetensi intelektual c) Spontanitas d) Acceptance and caring e) Understanding and empathy f) Warmth and human encounter g) Freedom h) Congruence and transparancy i) Flexibility 2.2.6 Therapeutic Community (Program Terapeutik Komunitas) George De Leon,Phd dalam bukunya The Therapeutic Community (2000), mengatakan bahwa “The therapeutic community (TC) has proven
43
to be a powerful treatment approach for substance abuse and related problem in living. The TC is fundamentally a self-help approach, evolved primarily outside of mainstream psychiatry, psychology and medicine”. Artinya, bahwa terapeutik komunitas (TC) telah terbukti merupakan pendekatan terapi yang sangat baik bagi mereka yang mengalami ketergantungan narkoba dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan kehidupan. Dikatakan pula dalam bukunya, “In the therapeutic community (TC), recovery is viewed as a change in lifestyle and identity. It is a view than can be contrasted with the conventional concept of recovery in medicine,
mental
health
and
other
substance
abuse
treatment
approaches.” Artinya, bahwa dalam TC, recovery dipandang sebagai perubahan gaya hidup dan identitas. Hal ini sejalan dengan konsep konvensional dalam pemulihan terhadap obat-obatan, kesehatan jiwa dan pendekatan terapi penyalahgunaan obat-obatan lainnya. Dalam program TC dikenal istilah ‘Self-Help and Mutual SelfHelp”, yang dijelaskan oleh De Leon dalam bukunya bahwa “Self-help recovery means that individuals make the main contribution the the change process.” Artinya, pemulihan dengan bantuan diri sendiri berarti individu memiliki kontribusi utama dalam proses perubahan. Sedangkan, “mutual self-help means that individual assume responsibility for the recovery of their peers in order to maintain their own recovery.” Artinya, bahwa saling menolong berarti setiap individu memiliki tanggung jawab
44
untuk
membantu
pemulihan
orang
lain
dengan
tujuan
untuk
mempertahankan pemulihannya sendiri. 2.2.7 12 Steps Program (Program 12 Langkah) Theresia Ametembun dalam bukunya “Program 12 Langkah : Metode Pemulihan Kecanduan” (2000) mengatakan bahwa, “Program 12 langkah adalah program yang mempunyai 12 langkah, disusun dan telah dipakai dihampir seluruh penjuru dunia lebih dari 50 tahun oleh para mantan pecandu dan keluarga mereka. Program ini juga berlaku untuk semua adiksi bukan NAPZA yang merupakan bagian dari ganti adiksi (subtitute) atau multi-adiksi seperti : adiksi makanan (obesitas, anoreksia/bulimia), judi, kekuasaan, seks, belanja danl lain-lain.” Dalam buku “It Works How And Why : The Twelve Steps And The Twelve Traditions Of Narcotic Anonymous” (1993), dikatakan bahwa “Each member of NA has contributed to this book in some way. Wheter you are new to recovery or one of our longtime members, your experience, your support and above all, your presence in the rooms where addicts meet to share recovery have been the motivation forces behind the production of this book”. Artinya bahwa program 12 langkah disusun berdasarkan pengalaman pribadi para anggota dari Narkotik Anonymous. Program 12 langkah, pertama kali digunakan oleh AA (alcoholic anonymous) yang kemudian diadaptasi oleh NA (narcotic anonymous). Dalam buku Narcotic Anonymous (1988) dikatakan bahwa, “N.A. is a non profit fellowship or society of men and women for whom drugs had
45
become a major problem. We are recovering addict who meet regularly to help each other stay clean. This is a program of complete abstinence from all drugs. There is only one requirement for membership, the desire to stop using...” Artinya bahwa Narcotic Anonymous (NA) adalah kelompok pria dan waniya yang tidak mencari keuntungan dimana penyalahgunaan obatobatan menjadi masalah utama. Satu-satunya syarat keanggotaan adalah keinginan untuk sembuh. Dalam buku “The Narcotic Anonymous Step Working Guides” (1998), 12 langkah terdiri dari : 1.
We admitted that we were poweless over our addiction, that our lives had become unmanageable.
2.
We came to believe that a Power greater than ourselves could restore us to sanity.
3.
We made a dececion to turn our will and our lives over to the the care of God as we understood him.
4.
We made a searching and fearless moral inventory of ourselves.
5.
We admitted to God, to ourselves and to another human being the exact nature of our wrongs.
6.
We were entirely ready to have god remove all these defects of character.
7.
We humbly asked Him to remove our shotcomings.
8.
We made a list of all persons we had harmed and became willing to make amends to them all.
46
9.
We made direct amends to such people wherever possible, except when to do so would injure them or others.
10. We continued to take personal inventory and when we were wrong promptly admitted it. 11. We sought through prayer and meditations to improve our conscious contact with God as we understood Him. 12. Having had a spiritual awakening as a result of these steps, we tried to carry this message to addicts and to practise these principles in all our affairs. Dalam langkah ke-12, seperti yang dikutip dari buku The Narcotic Anonymous Step Working Guides, “We can only keep what we have by giving it away”, memiliki arti individu menguatkan pemulihan mereka dengan berbagi pengalaman, harapan dan kekuatan mereka kepada individu lain. Hal ini sama dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya pada konsep “Self-Help And Mutual Self-Help” dalam program Therapeutic Community (TC). Kebahagiaan dan Kepuasan Hidup Konselor Adiksi Seperti
apa
yang
telah
dijelaskan
sebelumnya
mengenai
kebahagiaan, kepuasan hidup, adiksi, konselor adiksi dan mantan pecandu (recovering addict), maka peneliti menyimpulkan bahwa kebahagian dan kepuasan hidup pada konselor adiksi dengan latar belakang mantan pecandu saling berhubungan satu sama lain. Hubungan tersebut diakibatkan karena kebahagian (subjective well being) merupakan
47
penilaian pribadi individu mengenai hidupnya, bukan berdasarkan penilaian dari ahli, termasuk di dalamnya mengenai kepuasan (baik secara umum, maupun pada aspek spesifik). Dalam hal ini, seorang konselor adiksi dengan latar belakang recovering addict merasa bahagia dengan pekerjaannya karena adanya aspek spesifik yaitu pemulihan (recovery). Kepuasan hidup sebagai salah satu komponen dari kebahagiaan (subjective well being) tentu saja memiliki hubungan dengan kebahagiaan seorang mantan pecandu yang bekerja sebagai konselor adiksi. Dengan memiliki pekerjaan, mantan pecandu memiliki kualitas hidup yang baik. Dengan kualitas hidup yang baik maka kebahagiaan pun dapat tercapai. 2.3
Hipotesis Pada sub bab ini, peneliti akan menjabarkan permasalahan penelitian yang disusun berdasarkan latar belakang pemikiran dari penelitian ini. Selanjutnya juga akan dipaparkan hipotesis penelitian yang dibuat berdasarkan permasalahan yang telah disusun sebelumnya. Pemasalahan dalam peneilitian, sebagai berikut ?
Apakah terdapat hubungan kebahagiaan dengan kepuasan hidup konselor adiksi mantan pecandu narkoba ? Padapenelitianini,
hipotesisterdiridarihipotesisilmiahdanhipotesisstatistic.Hipotesis
statistic
terdiri dari potesis alternatif (Ha) dan hipotesis null (Ho). Hipotesis alternatif adalah kalimat dugaan dari hubungan antara dua variabel atau lebih (Kerlinger & Lee, 2000). Sementara hipotesis null adalah kalimat
48
yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara dua variabel atau lebih (Kerlinger & Lee, 2000). Berikut ini adalah hipotesis dalam penelitian ini: 2.3.1 Hipotesis Ilmiah Terdapat hubungan antara kebahagiaan dengan kepuasan hidup pada konselor adiksi dengan latar belakang mantan pecandu narkoba. 2.3.2 Hipotesis Statistik Hipotesis statistik terdiri dari hipotesis alternatif dan hipotesis null, sebagai berikut : Hipotesis Alternatif (Ha): Terdapat hubungan yang signifikan antara kebahagiaan dan kepuasan hidup pada konselor adiksi mantan pecandu narkoba. Hipotesis Null (Ho): Tidak
terdapat
hubungan
yang
signifikan
antara
kebahagiaan dan kepuasan hidup pada konselor adiksi mantan pecandu narkoba.