BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Praktik kedokteran saat ini berkembang dengan sangat pesat, sehingga
banyak pasien dengan penyakit kritis yang dahulunya tidak dapat terselamatkan saat ini dapat bertahan hidup dengan perawatan intensif di Ruang Terapi Intensif (ICU). Namun sayangnya jumlah pasien yang meningkat tidak sejalan dengan peningkatan kapasitas perawatan di ICU sehingga diperlukan seleksi yang akurat untuk menentukan prioritas perawatan pasien di ICU. Sejalan dengan penerapan Sistem Jaminan Kesehatan Nasional melalui Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS), praktisi medis saat ini diharapkan dapat membuat perhitungan dan perkiraan kasar untuk prognosis dari tindakan yang akan dilakukan sehingga perkiraan biaya perawatan dapat dibuat dengan baik dan efisiensi pembiayaan dapat berjalan. Saat ini penilaian untuk indikasi masuk ICU di RSUP Sanglah menggunakan kriteria prioritas sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
nomor 1778/Menkes/SK/XII/2010, yang membagi menjadi
tiga prioritas ditambah dengan pengecualian sesuai dengan kebijakan kepala ICU. Namun kriteria priortas ini masih belum mampu menjawab prognosa dari perawatan di ICU yang akan dijalani oleh pasien, sehingga ketersediaan informasi untuk keluarga, penanggung jawab keuangan, rumah sakit, dan praktisi medis sendiri sangat terbatas.
1
2
Untuk menjawab pertanyaan tentang harapan hidup dan prognosa perawatan pasien yang akan dirawat di ICU perlu digunakan suatu sistem skoring yang memberikan gambaran kemungkinan mortalitas pasien tersebut. Sistem skoring yang lazim digunakan di luar negeri adalah APACHE II (Acute Physiologis and Chronic Health Evaluation II), APACHE III, APACHE IV, SAPS II (Simplified Acute Physiological Score II), SOFA Score (Sequential Organ Failure Assessment ) dan MPM II (Mortality Probability Model II). APACHE II dikembangkan oleh Knaus dkk di tahun 1985 dengan menggunakan 3 komponen; APS (Acute Physiological Score ), komponen terbesar yang diturunkan dari 12 pengukuran klinis yang didapat dalam 24 jam perawatan di ICU. Pengukuran paling abnormal digunakan untuk menghasilkan komponen APS untuk skor APACHE II. Jika ada variabel yang tidak diukur maka dianggap memiliki nilai 0. Salah satu keterbatasan dari sistem skoring APACHE II ini adalah sistem ini pada dasarnya merefleksikan karakteristik populasi dan kultur medis dari negara dimana sistem ini dikembangkan di tahun 1978 dan 1985 (Christopher, 2008). Di sisi lain penggunaan parameter tunggal untuk menilai mortalitas seperti osmolalitas plasma meskipun memiliki nilai prediktor yang cukup baik AuROC 0.75 masih lebih rendah dibandingkan dengan APACHE II yaitu 0.83 (Wardani, 2014). Parameter tunggal lainnya seperti kadar C-reactive protein, procalcitonin, lama perawatan di ICU, dan usia juga tidak memberikan nilai prediktor yang baik disamping juga jarang diperiksa dalam penegakan diagnosis utama dari penyakit pasien (Al-Subaie, 2010., Dahaba, 2006., Williams, 2010., Hood, 2011).
3
Sistem skoring yang lazim digunakan di beberapa penelitian dan ICU di Indonesia dan luar negeri dan digunakan sebagai standar baku skoring adalah APACHE II (Afthab, 2014., Bouch, 2008., Halim, 2009). Sistem skoring APACHE II sebagai parameter kompleks memiliki kelemahan dimana tidak semua parameter penilaian yang digunakan tersedia untuk semua fasilitas kesehatan. Sistem skoring lebih sederhana daripada APACHE II yang dikembangkan adalah modified SOFA (Sequential Organ Failure Assessment) yang pada awalnya diaplikasikan untuk triage perawatan kritis di amerika serikat. (Colin dkk, 2010). SOFA mengambil 4 parameter laboratorium (PaO2, kreatinin, bilirubin, dan platelet) dan 2 parameter klinis untuk penilaiannya (GCS dan kebutuhan vasopressor). Namun dengan sistem SOFA itu juga dinilai masih kurang praktis dan masih ada beberapa parameter penilaian yang sulit didapatkan (PaO2, bilirubin, dan Glasgow Coma Scale) sehingga dikembangkan modifikasi Modified Sequential Organ Failure Assessment (MSOFA) dan Mexican Sequential Organ Failure Assessment (MEXSOFA) (Grissom, 2010., Namendysilva, 2013). Berdasarkan hasil hasil penelitian tersebut peneliti ingin membuat modifikasi sistem penilaian skoring SOFA yang disesuaikan dengan keadaan di ICU RSUP Sanglah Denpasar Bali, yang peneliti sebut dengan Customized Sequential Organ Failure Assessment (CSOFA). Pemilihan sampel pasien non bedah didasarkan pada belum adanya penelitian sejenis yang menggunakan sampel secara homogenisasi pasien non bedah, dan angka kematian pada pasien non bedah yang mencapai 80% pada penelitian sebelumnya (Aris dkk, 2012). Di samping itu pada penelitian lain
4
didapatkan perbedaan bermakna untuk mortalitas antara pasien pembedahan elektif, emergency, dan non bedah dengan pasien non bedah memiliki nilai persentase mortalitas yang tinggi yaitu sebesar 48%. Pemikiran penulis adalah CSOFA dapat memberikan akurasi yang lebih baik daripada APACHE II dan SOFA dengan pengukuran parameter yang lebih praktis dan membutuhkan pemeriksaan yang rutin diperiksa di RSUP Sanglah Denpasar.
Berangkat dari pemikiran tersebut maka penulis akan melakukan
perbandingan validasi CSOFA, APACHE II dan SOFA dengan sampel yang lebih homogen yaitu sampel pasien non bedah yang dirawat di ICU RSUP Sanglah.
1.2
Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan bahwa keterbatasan kapasitas perawatan di ICU tidak sebanding dengan peningkatan jumlah rujukan untuk perawatan ICU. Perkiraan prognosa perawatan dan lama perawatan menjadi keharusan sebagai komponen di sistem Jaminan Kesehatan Nasional dalam rangka efisiensi pembiayaan kesehatan. Diperlukan sistem penilaian skala prioritas yang valid dan reliable untuk dapat mengoptimalkan penggunaan ruangan di ICU. Di sisi lain sistem prioritas yang digunakan saat ini di RSUP Sanglah masih belum mampu untuk menilai prognosa dari pasien. Sistem skoring APACHE II yang dikembangkan saat ini adalah berdasarkan kultur medis di negara asal saat dikembangkan sekitar tahun 1985, dan sistem skoring tersebut memerlukan pemeriksaan laboratorium dan parameter lain yang kompleks. MSOFA memberikan alternatif penilaian sistem skoring untuk
5
memperkirakan mortalitas pasien yang dirawat di ruang terapi intensif dengan parameter penilaian yang lebih praktis dan pemeriksaan laboratorium yang lebih sedikit. Dari uraian di atas diperlukan suatu sistem skoring yang disesuaikan dengan keadaan dan fasilitas kesehatan yang tersedia di RSUP Sanglah Denpasar, sehingga penulis ingin membuat modifikasi dari sistem skoring MSOFA menjadi Bali Sequential Organ Failure Assessment dengan mengurangi dan mensubstitusi beberapa parameter dengan berdasarkan analisa
penelitian terdahulu dengan
tujuan mendapatkan parameter penilaian yang mudah didapatkan, rutin dilakukan, dengan nilai prediktif yang tinggi. Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah sistem skoring CSOFA lebih valid dibandingkan APACHE II, dan SOFA sebagai prediktor mortalitas pasien non bedah yang dirawat di ICU RSUP Sanglah ?
1.3
Tujuan Penelitian
1. Untuk membandingkan validitas sistem penilaian CSOFA, APACHE II dan SOFA dalam memperkirakan mortalitas pasien yang dirawat di ICU RSUP Sanglah.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat akademik
6
1. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih untuk pengembangan sistem skoring ICU yang dapat memperkirakan prognosa pasien yang akan masuk ke ICU. 2. Memberikan data dasar bagi penelitian berikutnya untuk membandingkan satu sistem skoring dengan sistem skoring lainnya. 3. Memberikan data dasar yang valid sesuai dengan kondisi dan kemampuan ICU RSUP Sanglah dan pendukungnya dalam memperkirakan mortalitas pasien. 4. Memberikan homogenitas sampel untuk penelitian lanjutan di bidang perawatan intensif 1.4.2 Manfaat bagi pelayanan 1. Memberikan alternatif sistem skoring yang lebih sederhana kepada dokter intensivis dalam melakukan prediksi mortalitas pasien yang dirawat di ICU RSUP Sanglah. 2. Dasar penjelasan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai prognosa dan pilihan terapi yang akan dijalani. 3. Dengan mengetahui parameter yang berkontribusi terhadap peningkatan mortalitas, hal tersebut dapat dicegah dengan harapan dapat menurunkan mortalitas